RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H DAN RELEVANSINYA DENGAN KONDISI SAAT INI

skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Untuk Memenuhi Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Aliza Aulia NIM : 1113045000051

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

ABSTRAK

Aliza Aulia. NIM 1113045000051. RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H WAHID HASYIM DAN RELEVANSINYA. Program studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.

Studi ini menegaskan bagaimana hubungan Pancasila sebagai dasar ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia. Pembahasan ini menjadi menarik, karena persoalan Islam dan Pancasila telah menjadi perdebatan panjang sejak pertama kali perumusan dasar Negara Indonesia sampai hari ini, termasuk pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang agama dan Pancasila.

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, yakni penulis berusaha menggambarkan objek penelitian, yaitu pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang relasi agama dan Pancasila.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam menilai relasi agama dan Pancasila, K.H Wahid Hasyim bisa dikategorikan seorang yang substansialis, yang berpandangan relasi agama dan Pancasila sebagai hubungan yang simbiosis mutualistik. Negara dan agama saling menopang dan mengisi, tanpa saling berhadapan secara konfrontatif. K.H Wahid Hasyim ini memiliki tipikal pemikir yang substansialis, yang menghendaki agar agama ditempatkan dalam posisi strategis dalam kehidupan bernegara. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran politik yang bercorak sunni klasik, sesuai dengan latar belakang dari kalangan . Relevansinya terletak pada gagasannya untuk tetap mendahulukan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan pribadi.

Kata Kunci : K.H Wahid Hasyim, relasi agama dan Pancasila, dan relevansi Pembimbing : Dr. H. Rumadi, M,Ag Daftar Pustaka : Tahun 1972 s.d 2017

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Puji syukur penulis kehadirat Ilahi Rabbi yang selalu melimpahkan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat dan kita sebagai pengikutnya. Maksud penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi dan menambah khazanah keilmuan serta melengkapi syarat yang menjadi ketetapan dalam menyelenggarakan studi program S1 (Strata Satu) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul “RELASI AGAMA DAN PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN K.H WAHID HASYIM DAN RELEVANSINYA.” Dalam penyelesaian skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara personal maupun kelembagaan. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Maka perkenankan penulis menghaturkan ucapan terimkasih kepada: 1. Bapak Dr. Ahmad Thalabi, Kharlie, S.H., MA., M.H. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. 2. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Hukum Tata Negara dan Ibu Masyrofah, S.Ag., M.Si. selaku sekertaris jurusan Hukum Tata Negara. 3. Bapak Dr. H. Rumadi, M.Ag selaku pembimbing dalam penyelesaian skripsi ini. Beliau dengan tulus telah memberikan bimbingan dan arahan serta meluangkan waktunya bagi penulis sehingga skripsi ini lebih terarah dan menjadi lebih baik.

v 4. Afwan Faizin M.A Dosen Penasehat Akademik yang membimbing selama masa perkuliahan saya. 5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga penulis bisa dapat menyelesaikan studi di jurusan Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan ini berupa buku dan literatur lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. 7. Bapak dan Ibuku tercinta serta kakakku tersayang dan semua saudaraku yang ikut berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas dukungan dan kasih sayang kalian. 8. Sahabat sahabatku yang menemaniku dari awal kuliah sampai sekarang Bagus Priyanto, Masagus Ahmad Fahrobi, Imam Syarifuddin, Ferdiansyah Ramadhan, Dudu Abdul Manan dan Bintang Tri Fajar. 9. Sahabat-sahabat Hukum Tata Negara angkatan 2013. Terima kasih atas persahabatanya dan kebersamaanya. Semoga kita bisa terus menyambung tali silaturahmi. 10. Teman-teman Alumni Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta yang sudah menyemangati dan selalu mengingatkan saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Terutama teman teman satu kosan saya Fadel Muhammad Anugerah, Abyan Perdana Putra, dan Audi Ghafarrie. 11. Seluruh pihak yang berkontribusi dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun yang tidak langsung yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

vi Semoga bantuan mereka dinilai sebagai amal shaleh dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Doa yang tulus dan ikhlas penulis memohonkan kepada Ayahanda serta Ibunda yang telah menanamkan semangat dan memberi motivasi untuk meraih kesuksesan ini. Dengan harapan doa semoga Allah yang Maha Arif dan Bijak juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberi limpahan ampunan, rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Akhirnya skripsi ini penulis persembahkan kepada almamater dan masyarakat akademik demi perkembangan ilmu pengetahuan. Penulis berharap semoga skrispsi ini bermanfaat bagi pembaca khususnya penulis. Amien.

Jakarta, 23 September 2019

Aliza Aulia

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...... ii

LEMBAR PERNYATAAN ...... iii

ABSTRAK ...... iv

KATA PENGANTAR ...... v

DAFTAR ISI ...... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...... 1

B. Identifikasi Masalah ...... 8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 8

E. Tinjauan dan Kajian Terdahulu ...... 9

F. Metode Penelitian ...... 10

G. Sistematika Penelitian ...... 14

BAB II LATAR BELAKANG KEHIDUPAN K.H. WAHID HASYIM

A. Biografi K.H Wahid Hasyim ...... 15

B. K.H Wahid Hasyim dan ...... 22

viii

C. K.H Wahid Hasyim dan Kementerian Agama ...... 31

D. K.H Wahid Hasyim Dalam Pandangan Gus Dur dan Gus Solah Tentang

Negara ...... 39

BAB III SEJARAH PANCASILA SERTA PERDEBATAN DI DALAM

PIAGAM JAKARTA

A. Sejarah Pancasila ...... 43

B. Piagam Jakarta dan Majelis Konstituante ...... 49

C. Nilai Kandungan Pancasila ...... 63

BAB IV PEMIKIRAN K.H WAHID HASYIM TENTANG AGAMA DAN

PANCASILA

A. Pemikiran K.H Wahid Hasyim Tentang Hubungan Agama dan Pancasila

...... 70

B. Relevansi Pemikiran K.H Wahid Hasyim Dengan Kondisi Indonesia Saat

Ini ...... 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...... 84

B. Saran-saran ...... 84

DAFTAR PUSTAKA ...... 86

ix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Negara kesatuan Republik Indonesia yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan sebuah Negara yang lahir dari perjuangan. Melalui proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh di Jakarta pada hari Jum’at dan bertepatan dengan tanggal 10 Ramadhan 1364 Hijriyah kala itu merupakan suatu anugerah yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. 1 Proklamasi kemerdekaan yang disampaikan tersebut maka mulai saat itulah terbentuknya sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, maupun kebudayaan. Perdebatan tentang relasi agama dan negara terus menjadi wacana yang menarik. Pengalaman masyarakat muslim di sejumlah negara menunjukan terdapatnya hubungan yang canggung antara Islam dan Negara.2 Maka dari itu pancasila menjadi dasar Negara agar bisa menjadi jembatan disetiap permasalahan yang ada, karena didalam pancasila terdapat nilai-nilai agama yang dapat menjadi acuan bagi setiap pemeluknya. Dalam beberapa literatur, terdapat tiga paradigma yang cukup populer dalam wacana relasi agama dan Negara. Pertama, paradigma integralistik. Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan agama dan Negara yang menganggap keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua lembaga yang menyatu. Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Paradigma

1A.M Effendy, Falsafah Negara Pancasila, (Semarang : CV. Triadan Jaya Offset Semarang, 1995), h. 25

2 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta : Erlangga, 2008), h. 76

1

2

ini melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip kenegaraan.3 Kedua, paradigma sekuleristik. Paradigma ini memisahkan agama dan Negara secara diametral. Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun ini memisahkan antara agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warganya untuk memeluk agama apapun yang mereka yakini dan Negara tidak mengintervensi dalam urusan agama. Ketiga, paradigma simbiotik. Paradigma menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang memiliki sistem kenegaraan. Namun, menolak juga pengertian barat bahwa Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut konsep ini, hubungan agama dan Negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Negara membutuhkan agama, agama juga membutuhkan Negara dalam pembinaan moral, etika dan spiritualitas. Dalam proses awal pembentukan negara Indonesia, persoalan paling krusial adalah menyepakati dasar Negara. Hampir seluruh anggota BPUPKI memilih bentuk republik. Namun, setelah melalui diskusi panjang tentang dimana posisi Islam di dalam kehidupan bernegara, para pendiri bangsa itu berhasil mencapai kesepakatan bahwa Negara Republik Indonesia bukanlah sebuah Negara teokrasi, melainkan Negara yang di dalamnya Islam dan kehidupan berislam mendapat tempat yang sangat terhormat dan dilindungi sebagaimana tercantum di dalam pasal 29 UUD 1945.4

3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta : UI Press, 1990), h. 1-3

4 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Polemik Negara Islam : Soekarno Versus Natsir, (Jakarta : Teraju, 2002), h. vi-viii

3

Namun, kesepakatan ini tidak serta merta membuat umat Islam di Indonesia mendapatkan haknya untuk menjalankan syari’at Islam secara sempurna. Wacana menjadikan Indonesia Negara sekuler masih kental terasa. Sepanjang abad ke-20, umat Islam Indonesia telah berhadapan dengan tantangan serius dari begitu cepatnya arus modernisasi dan sekulerisasi yang telah mengubah beberapa aspek fundamental dari sistem religio-politik mereka. Disi lain, menguatnya pengaruh Islam dalam medan pendidikan dan wacana publik dan terus munculnya partai-partai politik dan gerakan-gerakan Muslim juga merupakan sebuah fakta. Dialektika antara sekulerisasi dan Islamisasi terus berlanjut menjadi isu utama dari politik dan masyarakat Indonesia. 5 Dalam hal ini, salah satu aktivis liberal Indonesia menjelaskan bahwa “negara harus netral agama” maka dari itu perlu ide sekulerisme, liberalisme dan pluralism mesti berkembang di Indonesia, dia mengatakan: “Demokrasi tidak akan mampu berdiri tanpa disangga dengan sekulerisme…Demokrasi hanya bisa dikembangkan kalau masyarakatnya liberal…liberalisme adalah strategi paling jitu untuk menghadapi absolutisme dan totalitarianisme agama. Liberalismelah yang dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan dan keseimbangan agama.”6 Disi lain, upaya penerapan syari’ah terus berkembang. Partai politik yang berideologi Islam mulai banyak memainkan peran dalam pemerintahan. Menambah keuinikan problematika kehidupan berislam dan bernegara di Indonesia. Umat Islam dihadapkan pada sebuah dilema. Berislam dengan menjalankan Islam secara kaffah, meskipun sering kali bersebrangan dengan

5 Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, (Jakarta : Democracy Project, 2012), h. 728

6 Yudi Latif, Intelegensia dan Kuasa, h. viii

4

pemerintah. Atau, bernegara yang baik dengan mengikuti peraturan pemerintah, meskipun sering bersebrangan dengan agama Islam. Abad kedua puluh merupakan masa kegemilangan bagi terbentuknya sejarah bangsa Indonesia. Berbeda dari masa perlawanan di abad sebelumnya, pada awal abad kedua puluh bentuk dan strategi gerakan perlawanan terhadap kolonialisme sudah lebih terorganisir secara efektif. Banyak para tokoh menggalakan perserikatan dalam bentuk organisasi untuk memperteguh pemahaman tentang kemerdekaan. Muncul kemudian organisasi kelembagaan yang utuh mengkampanyekan ide Keindonesiaan dengan berbagai strateginya sesuai dengan dasar ideologi organisasi.7 Pada tahun 1926 di Surabaya berdiri organisasi yang dimotori oleh para kiai dari kalangan pesantren tradisional di bawah kepemimpinan (Rais Akbar) Hadhratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. 8 Organisasi sosial- keagamaan yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU) tersebut didirikan untuk merespon atas diabaikannya pendapat para kiai tradisionalis, yang berbeda di kampung-kampung atau desa-desa yang masih mempertahankan sistem pengajaran dan tradisi yang dianggap konservatif.9 Meskipun demikian, selama empat dasawarsa terakhir, Nahdlatul Ulama menjadi organisasi yang menarik akademisi untuk melakukan penelitian, baik dalam maupun luar negeri. Keunikan tersebut secara akademisi terletak pada banyak faktor, terutama tipologi tokoh yang ada di dalamnya. Dari sekian banyak tokoh NU yang memunculkan gerakan, K.H Abdul Wahid bin Hadhratussyaikh Hasyim Asy’ari merupakan sosok yang

7 David McLellan, ideologi Tanpa Akhir, alih bahasa Muhammad Syukri, cet. Ke-1 (Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2005), h. 135

8 Zamarkhasyi Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai), cet, -4 (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 76

9Lihat Martin Van Bruinessen, NU (Tradisi Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru), alih bahasa Farid Wajidi, cet -1 (Yogyakarta : LkiS, 1994), h. 18

5

menempati posisi paling signifikan dalam sejarah organisasi. Ia menunjukan ide metode berpikir sebagai seorang cendikia-negarawan dalam memandang ragam dinamika guna mencapai keadilan bersama.10 Dalam perjalanan hidupnya, Wahid Hasyim banyak memangku jabatan penting di Republik Indonesia di antaranya jabatan penting itu adalah menjadi Panitia Pembentukan Dasar Negara Indonesia. Dalam forum ini Kiai Wahid Hasyim mampu membuktikan dirinya sebagai seorang tokoh yang mampu menengahi ketegangan di antara para tokoh bangsa yang berdebat mengenai dasar Negara tersebut, bahkan mampu memberikan solusi terbaik bagi bangsa ini dengan merumuskan Pancasila yang sekarang menjadi idelogi Bangsa Indonesia. Dalam lembaran sejarah, merumuskan sebuah dasar Negara bukanlah perkara yang mudah. Penyebabnya, karena corak pemikiran para perumus pada waktu itu bermacam-macam. Sekurang-kurangnya Munawar Ahmad menyebut ada lima macam corak pemikiran pada waktu itu, antara lain: Nasionalisme Radikal yang digagas oleh Soekarno dan aktivis PNI, Tradisionalisme Jawa seperti Supomo, Islam diwakili Muhammad Natsir, dan Komunisme diwakili Aidit. 11 Corak pemikiran yang bermacam-macam ini pula yang menjadi penyebab ketika Ketua BPUPKI Dr. Radjiman mengeluarkan sebuah pertanyaan tentang landasan filosofis yang akan digunakan Negara Republik Indonesia, pertanyaan tersebut menyulut benih- benih perdebatan pemikiran mengenai dasar Negara yang akan digunakan

10 Roger Simon, Gagasan Politik Gramsci, alih bahasa Kamdani dan Imam Baehaqi, cet. ke-4 (Yogyakarta : INSIST bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2009), h. 142

11 Munawar Ahmad, Menurut Akar Pemikiran Politik Krisis di Indonesia dan Penerapan Critical Discourse Analysis Sebagai Alternatif Metodologi, (Yogyakarta : Gava Media, 2007), h. 21

6

sebagai dasar penyelenggaraan kegiatan Negara Indonesia begitu terlihat memanas di antara tokoh bangsa di bandingkan diskusi-diskusi lain.12 Perdebatan berlangsung tatkala para Founding Father yang tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) membahas bentuk Negara pemerintahan. Dari 62 anggota BPUPKI, terbagi dua arus besar; golongan nasionalis sekuler serta nasionalis Islami. Namun, dari jumlah itu, hanya 25% saja yang dianggap mewakili kepentingan Islam, selebihnya mewakili pandangan nasionalis sekuler yang dalam hal ini tidak mau membawa agama dalam masalah kenegaraan. Sehingga tampaknya dukungan pemerintah pendudukan Jepang kepada Islam tak dapat lagi diharapkan.13 Lewat debat yang begitu panjang akhirnya tercapai sebuah kesepakatan berupa pembukaan Undang-Undang yang ditanda tangani di Jakarta 22 Juni 1945. Bahkan hal itu diikuti pula kesepakatan batang tubuh rancangan UUD. Nasionalis Islam memberikan konsekuensi kepada nasionalis sekuler bahwa mereka sepakat Islam tidak dijadikan dasar Negara. Dan sebaliknya nasionalis sekuler juga sepakat sila ketuhanan ditaruh pada urutan pertama pancasila, dan presiden Indonesia beragama Islam. Tetapi, meski susah payah merumuskan dan menghasilkan sebuah kesepakatan, akhirnya terjadi perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945, satu hari setelah proklamasi kemerdekaan. Alasannya, untuk mencegah masyarakat Kristen di Indonesia Timur memisahkan diri dari NKRI begitu tutur Hatta yang menjadi aktor dibalik perubahan yang di dukung Ir.soekarno. Perubahan tersebut

12 BPUPKI meupakan kepanjangan dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diselenggarakan mulai tanggal 28 Mei sampai tanggal 1 Juni yang di ketuai Dr. Radjiman, Lihat Listoyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2004), h. 22

13 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia1945-1859 (Bandung : Penerbit Pustaka, 1983), h. 26

7

menyangkut kalimat “Berdasarkan Kepada Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan pasal 6 ayat 1 “Presiden Adalah Orang Indonesia Asli dan beragama Islam” kemudian kata “Yang Beragama Islam” di cabut.14 Melihat kondisi yang demikian, Wahid Hasyim yang awalnya menyatakan Islam harus dipakai sebagai idelogi Negara dan ide kata “Berdasarkan Kepada Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya” pada akhirnya bersikap lunak dan menyetujui perubahan tersebut. Wahid Hasyim menyatakan bahwa sikap politiknya tersebut merupakan sikap moderatnya dari agama-agama besar di Indonesia dan sebuah upaya untuk mengakomodir berbagai rakyat untuk menjalankan agamanya. Selain dari pada itu, menurutnya, persatuan dan kesatuan jauh lebih penting dari pada mempentingkan kelompok saja.15 Pemikiran Wahid Hasyim dalam memandang perubahan Pancasila tersebut sangat menarik jika dikaitkan dengan konsep kewargaan. Menurut As’ad Said Ali misalnya, pilihan kiai Wahid Hasyim sebagaimana dikemukakan Ibn Khaldun, Allah membolehkan kita mendirikan Negara berdasarkan nalar (siyasah aqliyah) bukan berdasarkan (siyasah Diniyah) karena syariat membolehkan ditinjau untuk kesejahteraan umum.16

Dari latar belakang tersebut, skripsi ini memfokuskan pada “Relasi Agama dan Pancasila Menurut Pemikiran KH Wahid Hasyim dan Relevansinya”.

14 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Penerbit Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 56

15Ahmad Mansyur Surya Negara, Api Sejarah 2 (Bandung : Salamadani Pustaka Semesta, 2010), h. 124

16 As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa, (Jakarta : LP2ES, 2009) , h. 19

8

B. Idenifikasi Masalah 1. Peran agama dalam pancasila 2. Hubungan agama dengan pancasila khususnya di Indonesia 3. Konsep pemikiran KH Wahid Hasyim dalam menjelaskan hubungan agama dan pancasila 4. Pola pikir K.H Wahid Hasyim yang melatari gagasan keislaman dan kenegaraan dan kaitannya dengan kondisi saat ini C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini agar pembahasannya tidak melebar dan mempermudah pembahasannya, maka penulis membatasi pembahasan pada permasalahan relasi agama dan pancasila menurut K.H Wahid Hasyim dan kaitannya dengan kondisi saat ini.

2. Perumusan Masalah

Setelah melihat dari identifikasi dan pembatasan masalah, maka penulis dapat mengambil pokok-pokok pembahasan yang menjadi perumusan permasalahan dalam tulisan ini, diantara rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : a. Bagaimana konsep pemikiran KH Wahid Hasyim dalam menjelaskan hubungan agama dan pancasila? b. Bagaimana relevansi pemikiran K.H Wahid Hasyim dengan kondisi Indonesia saat ini? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berkesesuaian dengan rumusan penelitian diatas, maka penulisan skripsi ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:

9

1. mendapat gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk pandangan keislaman dan kenegaraan K.H Wahid Hasyim. 2. Mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang pemikiran K.H Wahid Hasyim dalam gagasan keislaman dan kenegaraan. Sedangkan manfaat kegunaan penulisan skripsi ini adalah, untuk memberikan sumbangsih terhadap khazanah keilmuan tentang pemikiran tokoh Republik Indonesia yang berperan penting dalam merumuskan dasar haluan ketatanegaraan Indonesia. Selain itu, skripsi ini didedikasikan sebagai wujud peran partisipasi aktif dalam mengembangkan keilmuan dalam penyusun bidang tata Negara. E. Tinjauan Kajian Terdahulu Kajian akademik mengenai pemikiran seorang tokoh utama K.H Wahid Hasyim mengenai relasi agama terhadap pancasila yang dalam kaitannya dengan saat ini amatlah jarang, sebab tokoh yang satu ini memang oleh para akademisi digolongkan sebagai pemikir pendidikan dari pada negarawan dan pemikir politik. Untuk sampai kepada penelitian ini amat jarang penulis yang mengkaji secara fokus dan mendalam tentang pemikiran K.H Wahid Hasyim, khususnya mengenai pemikirannya mengenai relasi agama terhadap pancasila yang dalam kaitannya saat ini. Untuk itulah penulis berkeinginan menelitinya. Untuk menguji kemurnian penelitian ini, perlu dilakukan telaah kajian terdahulu untuk menguatkan bahwa penelitian ini belum pernah diangkat sebelumnya, oleh karena itu penulis berupaya mengkaji beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini. Berikut adalah beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan judul yang akan diangkat oleh penulis : Skripsi Ahmad Danuji, NIM 08370056, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri , jurusan Jinayah Siyasah, dengan judul “Pemikiran Wahid Hasyim Tentang Islam dan Kewargaan”. Dalam

10

skripsi ini Danuji mengulas tentang pemikiran politik kewargaan dari K.H Wahid Hasyim yang dimana nilai-nilai yang nyata diperjuangkan oleh Wahid Hasyim seperti kemanusian dan hak perlindungan atas hak warga Negara sebagai ruh daripada hal-hal yang bersifat formal. Skripsi Ahmad Nadirin, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Sunan Kalijaga dengan judul “Kiprah Politik K.H Wahid Hasyim (1938- 1953)” K.H Wahid Hasyim di terangkan pada skripsi ini sebagai seorang pemimpin politik yang segala gerakannya merupakan akibat dari pengembangan dua tradisi : pesantren yang sudah mapan dan Indonesia modern yang diupayakan. Nadiri menggambarkan bahwa K.H Wahid Hasyim tampak menonjol dalam kepemimpinan politik sebagai negarawan yang organisatoris, orator, kritikus dan pencetak kader handal. Tulisan Dr Adian Husaini yang berjudul “Pancasila bukan untuk menindas Hak Konstitusi Umat Islam”. Dalam buku ini, Dr Adian Husaini hanya menjelaskan bahwa pancasila sering kali dijadikan tameng oleh orang- orang nonmuslim untuk membungkam aspirasi umat Islam ketika berbicara peraturan yang berbau syari’ah. Di satu sisi buku ini juga membahas tentang situasi pada masa perdebatan-perdebatan yang menyertainya. Dari berbagai literatur yang sudah penulis sebutkan di atas, penulis belum menemukan literatur yang secara khusus meneliti pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang relasi agama terhadap pancasila dan kaitannya dengan saat ini. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti pemikiran K.H Wahid Hasyim guna mengungkap pemikirannya secara fokus. Penelitian inilah yang sesungguhnya membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah disebutkan diatas. F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah merujuk pada metode deskripsi analitik. Deskripsi analitik. Deskripsi analitik memiliki dua

11

unsur paling mendasar. Pertama, menggunakan konsep-konsep, proposisi- proposisi dan generalisasi empiris dari suatu teori ilmiah. Kedua, menggunakan koleksi, klasifikasi dan fakta secara sistematis. Ketiga, menghasilkan generalisasi empiris yang baru berdasarkan data tersebut. metode deskripsi analitik dianggap sebagai alternatif yang memiliki efisiensi dan kekuatan aplikasi dan modifikasi teori.17

1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yakni penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu suatu penyelidikan yang menuturkan dan menafsirkan dari data-data yang ada menjadi suatu rumusan yang sistematis dan analisis 3. Objek Penelitian Objek material dalam penelitian ini adalah pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang relasi agama terhadap pancasila dalam kaitannya saat ini. 4. Sumber Data Penelitian ini menggunakan bahan-bahan kepustakaan Primer dan Kepustakaan Sekunder. Kepustakaan Primer adalah karya-karya yang ditulis langsung oleh K.H Wahid Hasyim. Dalam hal ini, penulis menetapkan kepustakaan Primer pada esai karya Wahid Hasyim, yang terhimpun dalam buku “Sejarah Hidup K.H Wahid Hasyim”. Sementara kepustakaan Sekunder adalah data-data pendukung yang berkaitan dengan pokok masalah yang diteliti, berupa buku, ensiklopedia, kamus, majalah, jurnal, dan lain sebagainya

17 Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, {Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya}, cet, ke-7, ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010), h. 173

12

5. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan untuk penelitian ini adalah dokumentatif, yaitu dengan mengumpulkan data Primer yang diambil dari buku-buku secara langsung berbicara tentang permasalahan yang akan diteliti dan juga dari data Sekunder yang secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan diteliti, namun masih relevan untuk dikutip sebagai pembanding. Adapun prosesnya adalah melalui penelaahan kepustakaan yang telah diseleksi agar sesuai dengan kategorisasinya dan berdasarkan pada analisis isi, kemudian data tersebut disajikan secara deskriptif. 6. Analisis Data Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa sesuai dengan data yang di dapat. Sedangkan dalam skripsi ini, penulis menggunakan analisis data Kualitatif, yakni upaya yang dilakukan dengan berpangkal pada data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya, mensintesiskannya, mencari dan menemukan alur pola, menemukan sesuatu yang penting dan dapat dipelajari untuk dapat disuguhkan kepada orang lain. Oleh karenannya, digunakanlah nalar metode analisis data dalam skripsi ini, yakni: a. Deduksi Yaitu suatu metode penalaran yang berangkat dari data yang umum ke data yang khusus. Penulis akan menggunakan nalar ini untuk mendapat gambaran mengenai relasi agama terhadap pancasila menurut pemikiran K.H Wahid Hasyim dalam kaitannya dengan saat ini. Metode penalaran deduksi ini akan digunakan dalam hal deskriptif. b. Induksi Yaitu metode penalaran yang berpangkal dari data khusus untuk kemudia diformulasikan dalam suatu kesimpulan yang bersifat umum.

13

Penulis akan menggunakan nalar ini guna mencari relasi pengatahuan Wahid Hasyim dengan berbagai diskursus.

Untuk memantapkan jalannya penelitian ini, penyusun melakukan beberapa tahapan, yaitu: a. Heuristik dan Kritik Sumber, yaitu langkah pelacakan sumber data baik primer maupun sekunder, kemudian menyeleksi dengan melakukan kritik ekstern terhadap data yang didapat. Kuntowijoyo mengatakan, keabsahan suatu penelitian tergantung pada kemampuan menelistik data.18 Heuristika juga memuat didalamnya usaha menemukan pemahaman baru pada tokoh b. Holistika dan Deskripsi, yaitu langkah penulis untuk melihat keseluruhan konsepsi pemikiran tokoh, kemudian menguraikan secara teratur seluruh konsepsi tersebut. c. Interpretasi dan Refleksi Pribadi, yaitu langkah memberikan penafsiran terhadap kondisi tekstual data dengan konteks yang terjadi. Mudahnya, langkah interpretasi menjembatani pesan yang secara eksplisit dan implicit termuat dalam realitas. Guna menambah fokus dan holistiknya penelitian ini, maka pendekatan kesejarahan digunakan sebagai pendekatan utama. Kemudian dari data sejarah yang berkaitan dengan relasi agama terhadap Negara itu akan diinterpretasikan untuk di jadikan bahan acuan dalam mendapatkan inti pemikiran Wahid Hasyim sesuai dengan salah satu pendekatan yang lain dalam skripsi ini.

18 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, cet, ke-1, (Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 1995), h. 94-102

14

G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab, yang masing-masing sub-bab tersebut menjelaskan masing-masing pembahasannya terdiri dari suatu rangkaian pembahasan yang berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga penulisan ini terarah dan sistematis dalam satu kesatuan yang utuh. Adapun sistematika penulisan tersebut sebagai berikut : Bab I menyajikan tentang pendahuluan yang merupakan suatu pengantar umum pada tulisan berikutnya, meliputi: latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II mengulas tentang biografi K.H Wahid Hasyim dan faktor determinan dari kondisi sosial dan politik identitas diri K.H Wahid Hasyim. Bab III membahas relasi agama terhadap pancasila. Dalam bab ini penyusun menerangkan bagaimana konsep relasi agama dan pancasila secara umum Bab IV menjelaskan pola pikir K.H Wahid Hasyim tentang relasi agama terhadap pancasila yang berkaitan dengan kondisi saat ini. Dalam bab inipula akan di bahas mengenai argumentasi pemikiran Wahid Hasyim. Bab V merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran- saran.

BAB II

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN K.H WAHID HASYIM

A. Biografi K.H Abdul Wahid Hasyim Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 Juni 1914 di Jombang Jawa Timur. Dia adalah putra Haji Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU).1 Dari pasangan K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqoh binti Kyai Ilyas Madiun. Wahid Hasyim adalah anak kelima K.H Hasyim Asy’ari dan Nafiqah, dan merupakan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara. Nama aslinya adalah Abdul wahid, tapi ketika menginjak dewasa dia lebih suka menulis namanya dengan A.Wahid dan ditambah nama ayahnya dibelakangnya, sehingga menjadi A.Wahid Hasyim. Dan kemudian, dia lebih dikenal dengan Wahid Hasyim,2 tapi biasanya Nyai Nafiqah selalu memanggil Abdul Wahid kecil dengan sebutan “Mudin”.3 Kembali membahas masa kecil Wahid Hasyim, ketika ia masih berada dalam kandungan, Nyai Nafiqah selalu merasa badannya lemas dan sakit- sakitan, seolah tidak kuat menahan kehamilan. Suatu saat, sambil berdoa agar diberikan kesehatan untuk dirinya dan anak yang dikandung, ia bernazar. Bila nanti anak ini lahir dalam keadaan sehat walafiat, ia akan membawanya mengahadap guru ayahnya di Bangkalan, Madura, yaitu K.H Kholil.

1 Achmad Zaini, K.H Abdul Wahid Hasyim Pembaruan Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan, (Jombang : Pesantren Tebuireng, 2011), h. 7

2 (ed), Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, (Jakarta: PPIM, 1998), h.99

3 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar , (Bandung: Marja, 2017), h. 25

15

16

Wahid Hasyim merupakan keturunan keluarga masyhur, perintis pesantren Jawa. Ayahnya, K.H Muhammad Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama dan pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya putri K.H Muhammad Ilyas, pendiri pesantren Sewulan, Madiun. Seperti umumnya keluarga ulama waktu itu, perkawinan merupakan perjodohan antara-anak Kyai atau anak Kyai dengan santrinya. Dirunut lebih jauh, dari pihak ibu, Wahid Hasyim masih keturunan Ki Ageng Tarub I. Sedangkan dari pihak ayah, silsilah itu sampai pada Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya, Raja pertama kesultanan Pajang (1549-1582) keduanya bermuara di sultan Demak Raden Brawijaya VI, yang berkuasa pada 1478-1498. 4 Jelas sekali asal usulnya bahwa Wahid Hasyim masih keturunan para ulama-ulama besar dan priyai. Sejak kecil, Wahid Hasyim dikenal sangat cerdas. Ia pendiam tapi ramah dan pandai mengambil hati orang. Ia gemar menolong kawan, suka bergaul dengan banyak orang tanpa membeda-bedakan agama, pangkat, atau tingkat kekayaan. Ia juga senang berkorban untuk kawan, tapi juga gampang tersinggung. Bahkan sejak kecil hingga remaja Wahid Hasyim dikenal pemarah. Sifat ini lenyap ketika ia beranjak dewasa. Hilangnya sifat pemarah itu, menurut penuturan Wahid Hasyim sendiri, terjadi sesudah ia membiasakan diri untuk berpuasa sunnah selama bertahun-tahun. Dikalangan kaum santri istilah orang yang gemar berpuasa adalah “ahli tirakat”, menurut K.H M. Syatari, pemimpin pesantren Arjawinangun, Cirebon, biasanya puasa sunnah ini memang sudah diajarkan sejak kecil oleh ayahnya, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. 5 Pada umur lima tahun, Wahid Hasyim belajar Al-Quran pada ayahnya sehabis shalat Maghrib dan Dzuhur. Paginya ia belajar di Madrasah Salafiyah di Tebuireng. Ia sudah khatam Al-

4 Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, (Jakarta : KPG- Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h.34

5 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h.29 17

Quran ketika masih berusia tujuh tahun. Ia kemudia belajar kitab Fathul Qarib, Minhajul Qawin, dan, Mutammimah. Pada usia 12 tahun , setelah tamat di Madrasah, ia membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak seusianya.6 Wahid Hasyim tidak pernah mengeyam pendidikan di bangku sekolah pemerintahan Hindia Belanda. Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Salah satu mata pelajaran yang paling disukai Wahid Hasyim adalah kesusastraan. Tak mengherankan jika ia banyak hafal bait syair tersebut, selain menguasai maknannya dengan baik. Pada umur 13 tahun, ia dikirim ke Pondok Siwalan Panji-Pesantren tua di Sidoarjo, Jawa Timur, milik kyai Hasyim, bekas mertua ayahnya. Gurunya kyai Hasyim sendiri dan kyai Khozin Panji. Namun di pondok ini Wahid Hasyim hanya bertahan 25 hari. Dari Sriwalan, Wahid Hasyim pindah ke pondok pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia mondok dalam waktu yang sangat singkat, hanya tiga hari. Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan Wahid Hasyim hanyalah berkah dari sang guru. Sepulang dari Lirboyo, Wahid Hasyim tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain. Ia lebih memilih untuk tinggal di rumah. Selama ia di rumah, tekad akan semangat untuk belajar tak pernah padam. Meskipun tidak bersekolah di lembaga pendidikan umum, pada usia 15 tahun ia sudah menguasai bahasa Arab, Inggris dan Belanda. Ketiga bahasa itu dipelajarinya dengan membaca majalah dari dalam dan luar negeri.7 Pada tahun 1932, ketika menginjak usia 18 tahun, Wahid Hasyim pergi ke Mekah. Kepergian Wahid Hasyim ke Tanah Suci, disamping menunaikan ibadah haji, juga memperdalam ilmu agama. Dia berangkat ke Mekah ditemani saudara sepupunya, Muhammad Ilyas. Muhammad Ilyas

6 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 28

7 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h.30

18

dikenal fasih berbahasa Arab dan dialah yang mengajari Wahid Hasyim bahasa Arab. Di Tanah Suci, Wahid Hasyim belajar selama dua tahun. Meski tidak membawa satu gelar akademik, ilmu pengetahuan yang diperoleh Wahid Hasyim selama di Mekah sangat banyak. Pada akhir 1933, saat usianya 19 tahun, Wahid Hasyim pulang dari Mekah. Sebagai putra pesantren yang tulen, Wahid Hasyim ingin melakukan banyak hal untuk kemajuan pesantren. Ia ingin memperbarui sistem, materi pelajaran, mental, serta metodologi pembelajaran. Atas dasar pemikiran itu, pada 1935, saat berusia 21 tahun, Wahid Hasyim di Tebuireng membuka madrasah modern yang dinamai Madrasah Nizamiyah. Materi pelajaran yang diberikan adalah ramuan Wahid Hasyim sendiri, yang belum pernah dikenal di dunia pesantren. Meski tak pernah berencana untuk segera menikah, kalau takdir sudah berbicara tak ada yang mampu mengelak. Di tengah kesibukan Wahid Hasyim, ada celah bagi dia untuk bertemu dengan sang belahan jiwa. Gadis itu tidak cantik, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Wahid Hasyim terkesan. Setelah mengetahui gadis itu adalah putri K.H Bisri Syansuri, keesokan harinya, ia menemui kyai Bisri dan melamar Solichah. Dengan senang hati kyai Bisri menerima lamaran tersebut dan tahun itu pula Wahid Hasyim menikahi Solichah. Waktu itu Solichah baru berusia 15 tahun, sementara Wahid Hasyim 25 tahun. 8 Pernikahan Wahid Hasyim dengan Solichah dikaruniai enam orang anak diantaranya Abdurrahman ad-Dakhil (Gus Dur), Aisyah, Sholahuddin Al-Ayubi, Umar Wahid, Khadijah dan Hasyim Wahid.9 Sesudah perkawinan berlangsung, kedua mempelai itu hanya tinggal 10 hari di Denanyar, lalu tahun itu juga pindah ke Tebuireng dan menetap

8 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 35-40

9 , Ulama Pendiri, Penggerak, Intelektual NU dari Jombang, (Jawa Timur: Pustaka Tebuireng Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, 2015), h. 193 19

disana sampai tahun 1942 dalam masa pendudukan Jepang. Tidak berapa lama sesudah Jepang mendarat, Tebuireng dibubarkan dan K.H Hasyim Asy’ari ditangkap dan dipenjarakan di Surabaya. Sesudah pembubaran Tebuireng dan penangkapan K.H Hasyim Asy’ari, ibu Wahid Hasyim dengan anak-anaknya pindah ke Denanyar dan Wahid Hasyim sendiri tergesa berangkat ke Jakarta untuk mencari hubungan dengan pembesar Jepang di Jakarta guna membebaskan kembali ayahnya.10 Di antara orang-orang yang melaksanakan urusan agama, yang dipimpin oleh Kol. Horie, terdapat orang-orang Jepang-Islam, dan seorang diantaranya ialah Hamid Ono, yang sudah dikenal Wahid Hasyim di dalam masa Belanda. Dibantu Hamid Ono ini Wahid Hasyim memperjuangkan pembebasan ayahnya melalui pembesar-pembesar dan instansi-instansi yang penting, dan sesudah melalui banyak kesukaran akhirnya berhasilah pembebasan itu pada tanggal 18 Agustus dan K.H Hasyim Asy’ari dikeluarkan dari penjara dengan selamat. Keadaan sudah berubah dan Tebuireng boleh dibuka kembali. Ibu Wahid dengan anak-anaknya pun kembali ke Tebuireng sampai akhir tahun 1943. Oleh karena itu Wahid Hasyim ditahan di Jakarta untuk melakukan beberapa pekerjaan, baik yang berhubungan dengan pemerintah atau yang berhubungan dengan pergerakan, pada akhir tahun 1944 keluarganya dipindahkan ke Jakarta dan tinggal ketika itu di jalan Showadori, sekarang 42 Jakarta. Ketika itu Wahid Hasyim menjabat sebagai penasihat pada kantor Urusan Agama Jepang, yang dinamakan Shumubu, sebagai suatu Pemerintahan Balatentara Jepang, Gunseinkanbu. Ia bekerja bersama K.H Abdul Kahar Muzakkir, yang menjadi kepala kantor tersebut, dan penasihat tertingginya ialah K.H Hasyim Asy’ari.

10 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, (Jawa Timur: Pustaka Tebuireng, 2015), h.177

20

Di zaman penjajahan bala tentara Jepang, sungguh beliau memberikan rangkaian contoh kebijaksanaan dan keuletan bersilat politik untuk menentang paksaan kehendak Jepang itu secara elegan untuk mempergunakan agama dan pemuka-pemuka Islam bagi kepentingan penjajahan Jepang. Dimasa-masa kritik itu ketika paksaan kehendak Jepang menjadi mutlak, beliau pun tidak segan untuk mempertahankan seluruh iman dan jiwanya untuk menentang paksaan kehendak Jepang itu. Dimasa itu pun beliau mengucapkan kata-kata supaya hendaknya dalam menentang dan membenci penjajahan Jepang masyarakat dan bangsa Indonesia jangan sampai bersifat seperti kambing yang mempersoalkan macam jenis tali yang mengikat leher kambing itu. Masalahnya bagaimana menghancurkan tali pengikat leher itu hingga kita bebas merdeka. Sebabnya bahwa masyarakat pada waktu itu masih membandingkan masa penjajahan Jepang dan masa penjajahan Belanda, sehingga akibatnya masyarakat ada yang memilih keadaan masa penjajahan Jepang dan penjajahan Belanda.11 Sering kali kita sering terkejut mendengar berita tentang meninggalnya seseorang. Betapa tidak terkejutnya kita bahwa yang meninggal tersebut adalah orang yang semalam baru saja bertemu di rumahnya yang ia masih sehat walafiat, segar bugar dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan meninggalkan dunia ini. Begitulah pula kita dikejutkan oleh suatu berita radio, pada hari minggu 19 April 1953 yang merupakan hari berkabung bagi bangsa Indonesia. Dikabarkan dalam berita radio tersebut bahwasannya K.H Wahid Hasyim bekas Menteri Agama telah meninggal dunia dalam suatu kecelakaan di antara Cimahi dan Bandung. Ketika itu almarhum bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Ia naik mobil Chevrolet miliknya dengan ditemani seorang supir dari Harian Pemandangan; Argo Sutjipto, bagian tata usaha majalah Gema Muslim dan Abdurahman ad- Dakhil (Gus

11 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 293 21

Dur) putra sulungnya duduk didepan bersama supir, sementara Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto duduk di jok belakang. Ketika itu daerah sekitar Cimahi-Bandung diguyur hujan sehingga jalanan menjadi licin. Sekitar pukul 13:00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi Wahid Hasyim itu selip dan supir tidak bisa menguasai kendaraan. 12 Di belakang mobil Chevrolet itu banyak iring-iringan mobil. Dari arah depan, truk yang sedang melaju terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil tergelincir dari arah berlawanan. Supir Chevrolet berusaha mengerem mobil yang melaju cukup kencang. Karena kondisi jalan pada saat itu sangan licin, mobil bukannya berhenti, tapi malah memutar hingga bagian belakangnya membentur badan truk dengan keras. Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto yang duduk di jok belakang terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti. Keduanya luka parah, Wahid Hasyim terluka dibagian kening, mata, pipi dan leher. Sedangkan sang supir dan Abdurahman yang duduk di jok depan tidak cedera sedikit pun. Lokasi kecelakaan itu agak jauh dari kota, sehingga usaha untuk pertolongan datang terlambat. Baru pukul 16:00 datang mobil ambulans untuk membawa korban kerumah sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban tidak sadarkan diri. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18:00 Argo Sutjipto meninggal dunia. Keesokan harinya, Ahad 19 April 1953 pukul 10:30, Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah SWT pada usia 39 tahun. Itulah rupanya akhir perjuangan singkat sang pemimpin. Dalam usianya yang begitu pendek, Wahid Hasyim membawa perjuangan dan darma bakti bagi bangsa yang begitu panjang, dan akan terus dikenang dengan begitu indah. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 206 Tahun 1964, tertanggal 24 Agustus 1964, K.H Wahid Hasyim ditetapkan

12 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 324 22

sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional mengingat jasa-jasanya yang luar biasa sebagai pemimpi Indonesia.13

B. K.H Wahid Hasyim dan Nahdlatul Ulama Pada awal abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun, seorang yang sangat dinamis yang pernah belajar di Mekah, yaitu K.H , mengorganisir Islam tradisionalis dengan dukungan kiai dari Jombang Jawa Timur yang sangat disegani yaitu K.H Hasyim Asy’ari ayah dari Wahid Hasyim. K.H Hasyim Asy’ari diumpamakan sebagai orang yang membentuk isi Nahdlatul Ulama, salah seorang yang mewujudkan gerakan itu menjadi organisasi ialah K.H Abdul Wahab Hasbullah yang juga sebagai ipar dari Kiai Hasyim Asy’ari. Dengan didukung oleh para kiai dan ulama, Kiai Wahab pun juga aktif didalam Syarikat Islam (SI) sebuah perkumpulan para saudagar muslim yang didirikan di Surakarta 1912, dan pada tahun 1916 Kiai Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama yang berpusat di Surabaya yang pengasuhnya adalah K.H Wahab Hasbullah dan K.H Mas Mansyur. Diantara sekian banyak ormas, pada mulanya yang paling berpengaruh adalah Syarikat Islam (SI). Asal usul dan pertumbuhan politik dan keagamaan dikalangan muslim Indonesia dapat dikatakan sangat identik dengan asal-usul dan pertumbuhan Syarikat Islam, yaitu sebuah ormas yang merupakan bentuk “reinkarnasi” dari Syarikat Dagang Islam (SDI) yang lahir pada tahun 1911. Syarikat Islam kelak akan menjadi Partai Syarikat Islam atau PSI pada tahun 1921, kemudian berubah menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia atau PSII pada tahun 1930. Dapat dikatakan bahwa Syarikat Islam (SI) merupakan embrio lahirnya ormas-ormas Islam yang muncul pada fase berikutnya. Sejak

13 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan, Profil Pahlawan Nasional, (Jakarta:Direktorat Kepahlawanan dan Kesetiakawanan Sosial Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementrian Sosial RI, 2014), h. 21 23

saat itu, kemudian bermunculan berbagai ormas Islam, yaitu: (1912) di Yogyakarta, Persatuan Islam atau Persis (1923) di Bandung, al- Irsyad (1914) di Jakarta, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah atau Perti (1928) di Bukit Tinggi, al-Jamiyatul Washliyah (1930) di Medan, termasuk Nahdlatul Ulama (1926) di Surabaya.14 Tokoh sentral Syarikat Islam, H.O.S Tjokroaminoto pernah dipercaya sebagai “Ratu Adil”, pada perkembangan berikutnya, SI tidak bisa menampung aspirasi berbagai tokoh, aktivis, intelektual dan ulama yang ada di dalamnya, yang memang memiliki latar belakang dan basis keilmuan yang berlawanan. Lambat laun SI dikendalikan oleh para intelektual Islam yang berpendidikan Barat seperti H.O.S Tjokroaminoto dan atau . Kemudian, SI dikendalikan oleh para santri yang terpengaruh gagasan modernisme Islam terutama pengikut Muhammadiyah, seperti K.H , K.H Mas Mansur dan K.H Fahrudin. Sementara para kiai dan santri yang berbasis tradisional di pedesaan tidak memiliki peran berarti, meskipun terdapat tokoh berpengaruh di dalamnya, seperti K.H Wahab Hasbullah. Kondisi seperti ini kemudian mengakibatkan SI lambat laun mengalami kondisi terhenti tanpa menunjukan adanya suatu kemajuan yang berarti. 15 Syarikat Islam (SI) yang berdiri sejak tahun 1912 sudah mulai dicurigai oleh pemerintah, terutama tertangkapnya H.O.S Tjokroaminoto sebagai akibat pemberontakan H. Hasan Leles di Garut dan timbulnya Afdeeling B16 dan

14 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : Pustaka LP3ES, 1994), h. 155

15 M. Mukhsin Jamil dkk, Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU, (Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2007), h. 278

16 Afdeeling B adalah gerakan rahasia yang dipersiapkan untuk menyuarakan perang suci (jihad) melawan kolonial Belanda. Tokoh pergerakan SI ini adalah H. Ismail, ulama terkemuka asal Gunung Tanjung Manonjaya. Pada tahun 1919, beliau mendesain upaya pemberontakan terhadap kolonial Belanda bersama tokoh-tokoh besar lainnya seperti H. Sulaeman Ciawi, Abdul Jalil, Alhasim, Tabri, H. Adra’I dan H.Hasan Cimareme. 24

Syarikat Islam ini, sehingga banyak umat Islam yang sudah meninggalkan gerakan ini karena takut akan akibat-akibat kepolisian.17 Perlu digaris bawahi, terbentuknya NU bukan semata-mata karena tidak mampu menampung gagasan keagamaan para ulama tradisional, ataupun sebagai reaksi atas penetrasi ideologi gerakan modernisme Islam yang mengusung gagasan purifikasi Islam seperti yang sering digembor-gemborkan oleh sejumlah pengamat. Statmen yang demikian bukan hanya terlalu menyederhanakan persoalan, tetapi telah merudiksi fakta historis atas dinamika keulamaan yang merupakan embrio lahirnya NU. Pendirian ormas berlambang tali jagat ini memiliki sejarah panjang dan sangat kompleks untuk terlalu disederhanakan. Menurut Manfred Ziemek dalam bukunya yang diterjemahkan oleh BB. Soendjojo yang berjudul “Pesantren dalam Perubahan Sosial”, kehadiran NU mewakili faham konsevatif para ulama, namun juga sekaligus mewakili tradisi perlawanan ratusan tahun terhadap kolonialisme Belanda, dengan kedudukan mandiri, bebas dan tersentralisasi pada masyarakat pedesaan, serta para kiainya orang-orang yang tidak diperintah oleh siapapun.18 Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai representatif dari ulama tradisional, dengan haluan ideologi ahlus sunnah wal jamaah. Pada masa itu ulama belum begitu terorganisir namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun wafatnya seorang kiai, secara berkala mengumpulkan para kiai, masyarakat sekitar ataupun para bekas murid pesantren mereka yang tersebar luas diseluruh nusantara. 19 Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) tak bisa

17 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 525

18 Mahfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. BB. Soendjojo, (Jakarta: P3M, 1986), h. 64-65

19 Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002), h.66 25

dilepaskan dari upaya mempertahakan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-Quran, Sunnah, Ijma (keputusan para ulama sebelumnya) dan Qiyas. Dengan haluan ideologi ahlus sunnah wal jamaah ini lahir dengan alasan yang mendasar, yaitu kekuatan penjajah Belanda untuk meruntuhkan potensi Islam telah melahirkan tanggung jawab alim ulama untuk menjaga kemurnian dan keluhuran ajaran Islam. Kemudian, rasa tanggung jawab alim ulama sebagai pemimpin umat memperjuangkan kemerdekaan dan membebaskan dari belenggu penjajahan, dan rasa tanggung jawab ulama menjaga ketentraman dan kedamaian bangsa Indonesia. Sejarah mencatat, jauh sebelum NU lahir dalam bentuk organisasi (jam’iyyah), ia sudah ada dalam bentuk komunitas (jama’ah) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Lahirnya NU tak ubahnya mewadahi suatu barang yang sudah ada. Dengan kata lain, wujud NU sebagai organisasi keagamaan hanya sekedar penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham, yaitu pemegang teguh salah satu dari empat madzhab Fikih : Syafi’I, Maliki, Hanafi dan Hambali yang telah ada jauh sebelum organisasi NU lahir.20 Putra Rais Akbar Nahdlatul Ulama K.H Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim, pada waktu itu tidak tertarik untuk masuk ke dalam organisasi para ulama ini. Bagi Wahid Hasyim, memilih organisasi itu ibarat memilih jodoh. Harus jelas betul segala hal yang berkaitan dengan organisasi tersebut. Wahid Hasyim sadar bahwa tidak ada organisasi manapun yang memenuhi semua kriteria yang diidamkan, tetapi paling tidak organiasasi tersebut haruslah yang paling sedikit kekurangannya. Wahid Hasyim yang pada saat itu menjelaskan pandangannya tentang NU dan kecenderungan sosial politik masa itu.

20 Anas Thohir, et. Al., Kebangkitan Umat Islam dan peranan NU di Indonesia, (Surabaya : PCNU Kodya Surabaya, 1980), h. 90

26

Menurutnya, ukuran utama menilai kualitas organisasi adalah aspek keradikalan dan jumlah kaum terpelajar yang ada di dalamnya. Nahdlatul Ulama jelas bukan organisasi yang radikal bahkan terkesan lambat. Juga tak banyak kaum terpelajar di dalamnya. Saking sedikitnya kaum terpelajar dalam tubuh NU, Wahid Hasyim mengibaratkan, untuk mendapatkan akademisi dari kalangan NU sama saja dengan mencari orang yang berjualan es pada pukul satu dini hari.21 Jarang ada orang yang memasuki organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran kritis. Pada umumnya, seseorang aktif dalam organisasi atas dasar tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau bahkan teman. Tidak terkecuali bagi kebanyakan warga Nahdlatul Ulama. Sudah lazim orang NU masuk karena keturunan. Ayahnya aktif di NU, maka otomatis si anak menjadi aktivis NU. Kelaziman ini agaknya tidak berlaku bagi Wahid Hasyim. Proses ke-NU-an Wahid Hasyim berlangsung cukup lama, setelah melakukan perenungan mendalam. Setelah mempertimbangkan matang-matang, Wahid Hasyim akhirnya menjatuhkan pilihan ke NU. Meskipun belum sesuai dengan keingannya, ia menganggap NU memiliki kelebihan disbanding yang lain. Maka mulai 1938, Wahid Hasyim terlibat aktif dalam kegiatan Nahdlatul Ulama. Pada tahun itu Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Sekretaris Pengurus Ranting NU Cukir. Lalu, ia menjadi Ketua Pengurus Cabang NU Jombang. Pada 1940, Wahid Hasyim dipilih sebagai Pengurus Besar NU Bidang Pendidikan. Nahdlatul Ulama yang berdiri pada 31 Januari 1926, juga banyak dipandang sebagai organisasi milik kiai. Segala keputusan dan kebijakan organisasi bergantung pada pemimpin pesantren. Anggapan itu membuat NU kurang diminati pemuda karena dianggap kaku, sulit bergerak, juga menghalangi berkembangnya pikiran bebas dan kreatif. Tetapi setelah cukup

21 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 108 27

lama melakukan refleksi, Wahid Hasyim menemukan sudut pandang berbeda. Banyak aspek positif yang dimiliki NU, yang seolah-olah tampak sebagai kekurangan. Menurut dia, NU tidaklah beku dan jumud sebagaimana dilihat banyak orang. NU kemungkinan begitu luas untuk memberikan kemaslahatan bagi umat, bahkan mungkin lebih banyak dibanding perhimpunan lain. Ketika digelar Muktamar NU ke-5 di Pekalongan, Jawa Tengah, September 1930, meski belum resmi memasuki NU, Wahid Hasyim ikut hadir. Begitupun dalam kegiatan NU berikutnya, Wahid Hasyim tampak mulai terlibat meski dalam banyak hal lebih untuk mewakili sang ayah, K.H Hasyim Asy’ari. Ketika Kongres atau Muktamar NU ke-12 pada Juni 1937 di Malang yang dihadapkan kepada suatu persoalan yang penting mengenai pendirian pemuda-pemuda Ansor NU dengan pemukanya, K.H Mahfud Siddiq dan K.H Abdullah Ubaid. Pertentangan paham ini demikian ramainya, sehingga terpaksa diadakan sebuah rapat khusus untuk menyelesaikan persoalan itu. Dalam rapat ini yang diadakan di rumah K.H Nachrawi, ketua Cabang Malang, mengambil bagian 20 anggota Syuriah dan 20 anggota Tanfiziah, dan diketuai oleh Rais Akbar K.H Hasyim Asy’ari. Perdebatan ini sudah sampai kepada puncak yang sangat genting dan bisa memecah belah NU dari dalam. Dalam rapat ini kelihatan kebijaksanaan K.H Wahid Hasyim yang rupanya banyak memberikan sumbangan pikiran kepada sikap pemuda. Kemudian Wahid Hasyim menjadi sebagai penengah antara perdebatan kedua belah pihak yang pada akhirnya K.H Hasyim Asy’ari mendamaikan semua pihak. Nasihat-nasihat K.H Hasyim Asy’ari ini diuraikan sesuai sifat lemah lembut K.H Hasyim Asy’ari, sehingga banyak yang terharu dan banyak yang tidak dapat menampung air matanya.22

22 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 528 28

Pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya, yang digelar Juli 1940, Wahid Hasyim masih memegang jabatan Ketua Tanfidz Bidang Maarif. Selama memimpin Departemen Pendidikan NU, dia melalukan banyak sekali pembenahan, baik dalam aspek kepungurusan maupun prigram pengembangan. Salah satunya adalah menambah jumlah madrasah di seluruh Indonesia dan meningkatkan kualitas guru dan materi pelajarannya. Sedangkan untuk program pendirian perguruan tinggi, Wahid Hasyim menggelar pertemuan khusus di Malang pada 13 Februari 1941. Pertemuan ini menghasilkan rancangan peraturan rumah tangga Nahdlatul Ulama bagian perguruan dan pendidikan. Rancangan ini pada hakikatnya cikal bakal pendirian universitas dan isntitusi agama Islam yang tersebar di seluruh Indonesia. Tidak sampai disitu, inovasi lain yang dilakukan Wahid Hasyim semasa memegang Departemen Maarif NU adalah mendirikan majalah Suluh NU pada tahun 1941. Majalah tersebut berisi pelbagai tulisan mengenai pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Muktamar NU ke-19 yang digelar April 1952 adalah yang terpenting dan merupakan muktamar terakhrir yang diikuti Wahid Hasyim. Dalam muktamar ini, PBNU resmi memutuskan keluar dari partai Masyumi. Keputusan tersebut diambil dalam sidang yang dipimpin Wahid Hasyim, yang pada saat itu menjabat sebagai ketua muda PBNU. Perpisahan NU dengan Masyumi merupakan peristiwa yang sangat bersejarah bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia. dan dalam peristiwa itu, tokoh muda NU yang sekaligus tokoh utama Masyumi, Wahid Hasyim, berada dititik paling menentukan. Secara garis besar bisa dikatakan hitam putihnya hubungan NU dengan Masyumi ditentukan oleh sosok Wahid Hasyim. Sejak awal, Wahid Hasyim menolak perpisahan NU dengan Masyumi. Namun ketika keputusan sudah diambil, Wahid Hasyim pulalah orang paling depan menghidupi NU. Ketika konflik sering terjadi antara NU dengan Masyumi, Wahid Hasyim selalu mampu menjadi penengah sekaligus pemersatu. Peran penting ini hanya 29

bisa dilakukan oleh sosok yang dihormati sekaligus dipercaya oleh dua organisasi itu. Pada awal berdiri, NU tidak menerima kaum perempuan (muslimat) sebagai anggota, tetapi hanya untuk kaum muslimin dan para ulama, karena pada waktu itu para alim ulama berpendapat belum waktunya muslimat dibawa kedalam perserikatan dan organisasi. Para ulama memandang pada waktu itu perempuan tugasnya hanya didalam rumah saja. Seiring berjalannya waktu, keinginan mamasukan perempuan kedalam organisasi muncuk pertama kali dalam rapat muktamar ke-13 di Menes. Mayoritas peserta muktamar menolak usulan ini. Akan tetapi untunglah bahwa diantara ulama itu ada juga beberapa orang yang melihat jauh kedepan, memandang dengan mata hati yang tajam apa yang terjadi jika NU menutup segala pintu untuk kaum perempuan ini. Diantara para ulama yang berpendapat demikian ialah K.H.A.Wahid Hasyim dan K.H.M Dakhlan. Wahid Hasyim melihat di luar NU sudah banyak kaum perempuan yang memasuki perkumpulan dan perserikatan. Walaupun tidak diperbolehkan memasuki dunia pergerakan, kaum perempuan akan terus mencari-cari celah yang dapat dilalui. Ibarat air bah yang mengalir deras dari hulu, begitulah semangat yang telah melanda kaum perempuan Islam Indonesia. jika dihambat dan ditahan, ia akan melompat ke sebrang, menghancurkan setiap rintangan yang akan menghalanginya. Wahid Hasyim berpikir bahwa semangat ini haruslah disalurkan, diberi ruang, sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat. Atas dasar pemikiran itulah akhirnya muktamar NU ke-13 di kota Menes menerima kaum muslimat sebagai anggota. Tetapi penerimaan muslimat ini bersifat sangat minim, hanya boleh menjadi anggota biasa, tidak diperkenankan menjabat pengurus. Keanggotaannya semata untuk menjadi pendengar dan pengikut. Namun, meski hanya sebagai pendengar dan pengikut, antusiasme kaum perempuan untuk terlibat dalam kegiatan NU 30

sangat tinggi. Hal itu terlihat dari jumlah keanggotaan muslimat sudah mencapai ribuan dalam satu tahun. Sewaktu digelar muktamar ke-14 pada tahun 1939, kaum muslimat NU sudah mengadakan rapat sendiri. Rapat tersebut dihadiri oleh 4.000 utusan dari 10 daerah perwakilan. Ketika sejumlah utusan diberi kesempatan bicara dalam rapat, terlihat kaum muslimat saat itu seperti sudah pandai dan berpengalaman. Pada tahun 1940 ketika digelar muktamar NU ke-15 di kota Surabaya, muncul usulan agar pergerakan muslimat bisa berdiri sebagai organisasi yang memiliki pengurusan sendiri, tidak menjadi satu dengan NU. Akhirnya, diputuskan agar masalah tersebut diserahkan ke pengurus PBNU. Belum lagi ada keputusan Syuriah mengenai masalah ini, situasi Indonesia mulai memburuk ketika kedatangan bala tentara Jepang, bangsa Indonesia terseret dalam situasi peperangan yang melelahkan. NU praktis tidak dapat beraktivitas secara normal. Para kiai dan para santri berperang merebut dan mempertahankan Indonesia. salah satu momen penting perjuangan NU mengusir penjajah adalah ketika Rais Akbar K.H Hasyim Asy’ari mengeluarkan keputusan yang terkenal sebagai “Resolusi Jihad”. Resolusi menyatakan, “mempertahankan dan menegakan Negara Republik Indonesia menurut hukum Islam sebagai kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang Islam laki-laki dan perempuan. Pertempuran terbesar setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan terjadi di Surabaya pada 10 November 1945. Para kiai dan pemuda NU serta seluruh elemen bangsa Indonesia di bawah komando Bung Tomo berjuang habis-habisan. Tak terkecuali kaum perempuan NU. Mereka turut andil dalam peristiwa ini. Sangat banyak kegiatan yang dilakukan muslimat NU untuk mendukung perjuangan agama dan bangsa. Situasi seperti itu rupanya menyadarkan banyak pihak bahwa memang sudah waktunya muslimat NU berdiri sendiri sebagai organisasi. Sejak muktamar ke-16 pada maret 1946, muslimat secara resmi menjadi organisasi NU dengan nama NU 31

Muslimat (NUM). tujuan utamanya adalah menyadarkan para wanita Islam Indonesia akan kewajibannya menjadi ibu yang sejati, sehingga dapat membantu menegakan agama Islam. C. K.H Wahid Hasyim dan Kementerian Agama 1. Latar Belakang Kementerian Agama Setelah Jepang dapat mengontrol wilayah Indonesia, Jepang mulai mencari cara agar mendapat bantuan dari bangsa Indonesia, terutama komunitas Muslim dan pemimpin nasional, agar dapat memperkuat posisinya di Indonesia. Bangsa Jepang menyadari betapa pentingnya mempunyai sebuah federasi yang memayungi segala bentuk organisasi keagamaan (Islam) sehingga seluruh pemimpin umat Islam berkumpul dan dapat disatukan, yang dengan begitu umat Islam lebih mudah diperdaya guna membantu keinginan bangsa Jepang. Untuk itu bangsa Jepang memperbolehkan kembali berdirinya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang didirikan pada tanggal 24 Oktober 1943. Sebagai figur utama pemimpinnya adalah K.H Hasyim Asy’ari, akan tetapi kedudukan ini hanya sebatas penghormatan karena K.H Hasyim Asy’ari tetap tinggal di pesantrennya, dan membiarkan anaknya K.H Wahid Hasyim sebagai ketua pelaksananya. Wahid Hasyim melaksanakan beberapa program yang di desain untuk memperkuat kapasitas umat Islam dan meningkatkan infrastrukturnya. Wahid Hasyim menyadari bahwa tujuan dibalik dibentuknya Masyumi oleh Jepang adalah untuk melayani segala bentuk propaganda bangsa Jepang, yang bertujuan memobilisasi segala bentuk bantuan untuk Jepang baik itu berupa tenaga kerja sukarela maupun makanan. Maka dari itu, Wahid Hasyim mengundang pemuda Muslim, di antaranya M. Natsir, Harsono Tjokroaminoto, Prawoto Mangkusumo dan guna untukmenyiapkan bangsa Indonesia baik secara fisik dan mental guna 32

melawan bangsa Jepang. 23 Wahid Hasyim juga mempublikasikan sebuah majalah Soeara Moeslimin Indonesia sebagai alat guna untuk menyebarkan semangat berjuang untuk mencapai kemerdekaan. Salah satu bentuk strategi lainnya yang diharapkan bangsa Jepang untuk memperoleh simpati dari bangsa Indonesia, khususnya umat Islam adalah pembentukan Shumubu, atau Kantor Kementerian Agama yang bertugas mengamati semua urusan keagamaan dan umat Islam. Kantor ini dikepalai oleh Kolonel Horie Chozo, seorang arsitek yang membidangi usaha pemerintah penjajahan Jepang di Jawa. Meskipun K.H Hasyim Asy’ari diberi tanggung jawab sebagai kepala, dalam prakteknya, dia mendelegasikan tugas- tugasnya kepada anaknya K.H Wahid Hasyim.24 Wahid Hasyim mempunyai peran paling signifikan dalam pembentukan Kementerian Agama (sekarang bernama Departemen Agama). Sejarah pembentukannya cukup lama dan membutuhkan beberapa tahun sebelum pertama kali diperdebatkan dalam pertemuan di parlemen pada tahun 1950-an. Ada beberapa alasan penolakan diadakannya Departemen Agama, di antaranya, pertama, biaya pendiriannya sangat mahal; kedua, kenyataanya bahwa banyak persoalan yang ditangani Departemen Agama dapat diambil alih oleh kementerian lainnya, seperti kehakiman, penerangan, pendidikan dan kebudayaan; ketiga, bahwa kementerian akan memperhatikan hanya kepada urusan agama Islam dan bahwa agama seharusnya dipisah dari politik (Negara).25

23 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 369

24 Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fiqih Dalam Politik (Jakarta : Gramedia, 1994)h. 322

25 Pertama, Kabinet Hatta (20 Desember 1949), dalam Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951), dan dalam Kabinet Sukiman (27 April 1952-3 April 1953). Lihat di Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.683

33

Sebagai respon terhadap keberatan tersebut, Wahid Hasyim yang ditunjuk sebagai menteri agama selama tiga kali berturut-turut mencoba menjelaskan bahwa: Pemerintah menyepakati prinsip pemisahan gereja (agama) dan Negara, dalam pengertian tidak mencampuri urusan-urusan internal sebuah kekhusuan agama. Bagaimanapun, pemerintah merasa berkewajiban untuk melayani kebutuhan-kebutuhan keagamaan masyarakat menurut Pancasila. Pemisahan antara agama dan Negara mengecualikan satu kepercayaan ateistik. Meskipun materi mempertimbangkan bahwa kementerian agama sebenarnya dapat dihapus apabila fungsi-fungsinya dapat dijalankan kementerian lain, menghapus kementerian agama dapat melukai perasaan umat Islam Indonesia.26 Selanjutnya dia mengatakan bahwa kementerian memberikan perhatian yang lebih kepada umat Islam dibanding dengan agama lainnya. Dia menolak adanya tuduhan diskriminasi dalam kementerian agama. Sebagai bukti, dia menunjukan bahwa subsidi yang diberikan kepada madrasah hanya satu rupiah per siswa, sedang bagi sekolah non-Islam tiap siswa menerima empat rupiah dari Departemen Pendidikan. Selama resolusi, Wahid Hasyim memberikan substansi dan arahan yang jelas pada kementerian. Pada awal Indonesia setalah Indonesia terpecah beberapa Negara federal yang mana masing-masing daerah berubah menjadi Negara, Wahid Hasyim berusaha untuk menyatukan semua departemen agama yang ada di masing-masing dibagian Negara federal tersebut di bawah kontrol Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika semua Negara federasi melebur menjadi Negara kesatuan kembali pada tahun 1950, dia mengundang seluruh pimpinan dan kementerian agama masing-masing Negara federasi untuk mendiskusikan dan merumuskan wilayah kerja kementerian. Setalah mengadakan diskusi, pertemuan tersebut menghasilkan peraturan pemerintah

26 Achmad Zaini, K.H Abdul Wahid Hasyim; Pembaharuan Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan, (Pesantren Tebuireng, 2011), h. 78 34

No: 8 tahun 1950.27 Keberhasilan Wahid Hasyim dalam menyatukan kembali cabang kementerian yang telah terpecah menunjukan keinginannya untuk mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam Indonesia. 2. Sejarah Berdirinya Kementerian Agama Sesudah Syahrir menjadi ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), maka dilangsungkan sidang pleno yang waktu itu merupakan Parlemen sementara Indonesia. pada tanggal 25-27 November 1945, untuk mendengarkan keterangan pemerintah, bertempat diruangan atas Fakultas Kedokteran di Salemba Jakarta. Sebagai anggota KNIP mewakili daerah dari karesidenan Banyumas dalam sidang KNIP diatas adalah K.H Abu Dardiri, H. Moh. Saleh Suaidy dan M. Sukono Wiryosaputro yang semuanya dari Masyumi. Beberapa KNI daerah Banyumas mengusulkan supaya Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah urusan agama dibebankan kepada Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi harus dikelola oleh Kementerian Agama secara khusus dan tersendiri. Usul itu mendapat sambutan dan dikuatkan oleh M. Natsir, Dr. Mawardi, Dr. Marzuki Mahdi, N. Kartosudarmo. Maka tanpa pemungutan suara ternyata setelah terlihat PJM Presiden member isyarat kepada PJM. Wakil Presiden Moh. Hatta, lalu berdirilah Wakil Presiden menyatakan bahwa “adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah”. Maka pada tanggal 3 Januari 1946 pemerintah mengumumkan bahwa Kementerian Agama didirikan tersendiri dengan menteri agamanya yang bernama H. Rasyidi B.A.28

27 Peraturan Pemerintah No: 8 tahun 1950 yang memperbaiki Peraturan Pemerintah No: 33 tahun 1949 yang menetapkan tugas dan kewajiban Kementerian Agama, Lihat di Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.693

28 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 678 35

Dalam pidatonya yang diucapkan di Konferensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta pada tanggal 17-18 Maret 1946 diuraikan oleh menteri agama pertama itu akan sebab-sebab dan kepentingannya pemerintah Republik Indonesia mendirikan Kementerian Agama. Diantaranya ditegaskan untuk memenuhi kewajiban pemerintah terhadap UUD BAB XI pasal 29, yang menerangkan bahwa “Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu” (ayat 1 dan 2). Jadi lapangan pekerjaan Kementerian Agama ialah mengurus segala hal yang bersangkut-paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya. Pada zaman pemerintahan penjajahan Hindia-Belanda segala persoalan yang berhubungan dengan keagamaan langsung atau tidak langsung diurus dibawah pengawasan beberapa jawatan, misalnya oleh pamong pradja (pengangkatan penghulu, anggota Raad Agama dan pegawai-pegawai pekauman, urusan masjid, zakat fitrah, haji, perkawinan, pengajaran agama dan lain-lain), oleh Departement van Justitie (organisasi dan pekerjaan Mahkamah Islam Tinggi dengan Raad agamanya dan penasihat pengadilan negeri), dan oleh Kantoor voor Inlandsche Zaken, yang menjadi penasehat pemerintahan Hindia-Belanda dalam hal keagamaan dalam arti seluas- luasnya, sedang urusan agama Kristen yang mengenai gereja-gereja, pendeta- pendeta diselesaikan oleh bagian “Eeredienst” dari “Departement van Onderwijs en Eeredienst”.29 Dalam zaman Jepang pada umumnya aturan-aturan yang mengenai hal-hal diatas itu tidak diubah, selain penghapusan Kantoor voor Inlandsche Zaken. Oleh Jepang didirikan sebagai gantinya Kantor Urusan Agama (Shumubu), bagian dari Gunseikanbu, sedang didaerah-daerah diadakan

29 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.679 36

Shumuka sebagai bagian dari pada pemerintahan karesidenan (Shu). Dengan adanya Kementerian Agama, maka hal-hal yang mengenai keagamaan dan pekerjaan yang tadinya diurus oleh beberapa jawatan itu dikerjakan oleh Kementerian Agama. Maklumat Kementerian Agama No.2 tertanggal 23 April 1946 menetapkan bahwa : 1. Shumuka yang dalam zaman Jepang termasuk dalam kekuasaan Residen menjadi Jawatan Agama Daerah yang selanjutnya ditempatkan dibawah Kementerian Agama. 2. Hak untuk mengangkat penghulu Landraad (sekarang bernama pengadilan negeri), ketua dan anggota Raad agama yang dahulu ada dalam tangan Residen, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama. 3. Hak untuk mengangkat penghulu masjid, yang dahulu ada dalam tanga Bupati, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama.30

Dalam pengumuman Kementerian Agama No.3 hal tersebut dalam maklumat No.2 itu dikuatkan dengan pengumuman persetujuan Dewan Kabinet dalam sidangnya tanggal 29 Maret 1946. Dengan berdirinya Kementerian Agama dapatlah diperbaiki beberapa hal kesalahan yang diperbuat dalam zaman pemerintahan Belanda dan Jepang yang berakibat perpecahan dalam golongan agama.karena kesukaran perhubungan dalam bagian-bagian kepulauan Indonesa yang lain belum dapat diadakan perbaikan. Walaupun demikian di Sumatera telah dapat dibentuk Jawatan Agama dalam tiap-tiap karesidenan.

30 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 667 37

3. Kepemimpinan K.H Abdul Wahid Hasyim Dalam Kementerian Agama K.H.A.Wahid Hasyim menjadi menteri agama pada saat kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pada kabinet Hatta (20 Desember 1949 – 6 September 1950), Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951) dan Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952). Dapat dikatakan bahwa Wahid Hasyim menjadi menteri agama dari tanggal 20 Desember – 3 April 1952 dengan melalui dua sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan menurut Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950) dan sistem pemerintahan menurut UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959). Salah satu jasa K.H Wahid Hasyim yang terbesar dalam Kementerian Agama setelah kebinet RIS terbentuk pada tanggal 20 Desember 1949, ialah mengadakan konferensi besar di Yogyakarta antara tanggal 14-18 April 1950 untuk mempersatukan kembali kementerian, depertemen dan jawatan-jawatan agama dari Negara-negara bagian,31 yang didirikan oleh Belanda di seluruh Indonesia. Selain dari pada organisasi yang baik dibawah pemimpin M. Farid Ma’ruf kepala jawatan urusan agama Yogyakarta, dan kemudian kebetulan kedua menteri agama dari RIS dan RI, adalah menteri dari Masyumi yang sudah memiliki rasa kebangsaan yang sama. Meskipun tanah airnya telah dipecah belahkan oleh Belanda tetapi itu tidak membuat mereka saling bermusuhan. Dan K.H Wahid Hasyim merupakan orang yang berperan penting untuk mempersatukan kembali kementerian-kementerian, departemen-departemen dan jawatan-jawatan agama seluruh Negara bagian itu.32

31 Jawata-jawatan agama merupakan lembaga yang mengurusi urusan agama di Negara bagian seluruh Indonesia, mengingat pada saat itu Negara Indonesia masih terpecah- pecah akibat dari sistem Negara yang berdasarkan serikat (RIS).

32 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h.692 38

Mengenai perbaikan perjalanan haji, Wahid Hasyim sebagai menteri agama tidak menyumbangkan bantuannya. Sebagaimana selama masa pendudukan Jepang, begitu juga dalam masa Revolusi yang meletus sejak 17 Agustus 1945 tidak ada kesempatan untuk naik haji bagi bangsa Indonesia. Pada waktu itu tidak ada kesempatan untuk naik haji karena seluruh rakyat Indonesia berjihad melawan Belanda yang datang kembali untuk menjajah Indonesia, sesudah Jepang kalah oleh sekutu dan proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno-Hatta. Sesudah penyerahan kedaulatan dan terbentuknya kebinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 20 Desember 1949, maka menteri agama K.H.A Wahid Hasyim, dari kabinet RIS meletakan beberapa dasar dalam program politik dari kementerian agama RIS. Diantaranya meletakan corak politik keagamaan dari dasar-dasar kolonial menjadi dasar-dasar nasional dan membimbing tumbuh dan berkembangnya faham Ketuhanan Yang Maha Esa di segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, ke dalam lingkungan pekerjaan kementerian tersebut dimasukkan segala usaha dan tanggung jawab pada bagian ibadah, kementerian kebuadayaan, pengajaran dan pendidikan. Kemudian segala pekerjaan usaha dan tanggung jawab yang dikerjakan oleh salah satu bagian dan kabinet HVK yang merupakan kelanjutan dari Kantoor van den Adviseur voor Inlandsche en Islamistische Zaken sebelum Perang Dunia II, dan pada akhirnya disebutkan dalam rencana usaha akan “menyesuaikan peraturan-peraturan dan penyeenggaraan peralatan-peralatan urusan ibadah haji dengan derajat umat yang merdeka dan bernegara nasional”. Ini adalah program politik Kementerian Agama RIS tanggal 16 Januari 1950. Maka sejak saat itu segala urusan haji dipegang oleh Kementerian Agama. Dalam bagian ini terdapat suatu bagian yang khusus menyelenggarakan urusan haji. Salah satu jasa K.H.Wahid Hasyim selama ia menjadi menteri agama ialah menerima pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) 39

dalam Kementerian Agama. Pada tahun 1950 dengan keluarnya peraturan pemerintah No. 34/1950 tanggal 14 Agustus 1950 dimulai langkah pertama yang menuju kea rah melaksanakan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri. Suatu perguruan tinggi yang bertujuan member pengajaran tinggi dan sebagai salah satu pusat untuk memperkembangkan ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Atas putusan kabinet dibentuklah suatu panitia bernama Panitia Perguruan Tinggi Agama, kemudian diganti menjadi Panitia Perguruan Tinggi Islam yang diketuai oleh K.H Fathurrahman Kafrawi bekas menteri agama RI33. Pada langkah pertama dengan dibukanya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri pada tanggal 26 September 1951 itu sudah resmi dibuka dan K.H. Wahid Hasyim selaku menteri agama menyampaikan pidatonya untuk pertama kalinya di PTAIN ini.

D. K.H Wahid Hasyim dalam pandangan Gus Dur dan Gus Solah tentang Negara

Satu ayah, satu ibu, satu guru, namun berbeda. Itulah DR K.H atau yang akrab disapa Gus Dur dan Dr. Ir. H. atau yang sering dipanggil Gus Solah. Mereka adalah putra dari K.H Wahid Hasyim. Keduanya putra K.H Wahid Hasyim ini memiliki penilaian yang berbeda tentang pandangan politik keislaman sang ayah. Terutama terkait hubungan agama dan Negara. Dalam pandangan Gus Dur terhadap sang ayah tentang kenegaraan, K.H Wahid Hasyim selalu ingin memberikan supremasi hukum Islam untuk disandarkan pada Pancasila. Baginya, Syari’ah itu pada umunya lebih tinggi dari pada Pancasila. Dalam hal ini K.H Wahid Hasyim bukan tidak menerima

33 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 739 40

Pancasila, akan tetapi ia lebih menganggap Syari’ah lebih tinggi dari pada Pancasila buatan manusia. Dalam hal ini Gus Dur berbeda pandangan dengan ayahnya. Bagi Gus Dur, tugas Agama dan Negara itu berbeda. Agama dan Negara memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing bertanggung jawab terhadap umatnya. Jadi, Negara dengan Pancasila-nya, dan Agama dengan Islam Ahlusunnah wal Jama’ah-nya, terdapat pemisahan fungsi dan struktur, meskipun keduanya suatu ketika akan bertemu dalam suatu peristiwa. Ada pemisahan tempat, ada yang urusan antar kita, ada yang urusan kita bersama dengan Negara. Menurut Gus Dur, sampai saat ini saudara-saudara kita yang beragama Kristen dan Protestan masih mengalami kesulitan besar. sebab, mereka masih sulit mendudukan antara keimanan dan ideologi. Karena dalam agama mereka tidak terdapat kamus ideologi dan tidak punya kamus keimanan yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat di luar Negara.34 Padahal menurut kamus Nahdlatul Ulama, kalau kita setia kepada Islam, kita harus setia kepada Negara. Sebab, Negara adalah bagian dari kegiatan masyarakat dibuat bersama dengan orang lain. Aqidah adalah yang milik kita sendiri. Ada beda tapi tetap dalam satu kaitan. Karena penjelasannya yang liberal tersebut, Gus Dur mendapat serangan dari tokoh- tokoh Islam garis keras, termasuk Solahuddin Wahid, adik kandungnya sendiri. Gus Dur dianggap tidak memberi legitimasi atas upaya mendirikan Negara Islam di Indonesia. Sebaliknya, ia memberi legitimasi teologis terhadap pemerintah, bahwa urusan duniawi diurus oleh Negara dan urusan akhirat diurus oleh agama. Bagi Gus Solah, pandangan ini memisahkan antara agama dan Negara. Agama mengurusi akhirat dan Negara mengurusi dunia. Bagi Gus Solah, argumen diterimanya Pancasila sebagai ideologi Negara bukan karena

34 Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur; Analisis Wacana Kritis, ( Yogyakarta : LKiS Yogyakarta, 2010), h. 186 41

pandangan sekuleristik, melainkan justru melihat bahwa di dalam Pancasila, terutama sila pertama, dianggap telah mengakomodasikan konsep Ke-Esaan Tuhan dalam konteks Tauhid Islamiyah. Jadi Pancasila telah dijiwai oleh Islam.35 Artikel Gus Dur yang menulis tentang Soewarno, seorang yang pernah menjadi ajudan Panglima besar Jendral Soedirman. Soewarno menceritakan bahwa ia berkali-kali menjaga Panglima Besar Soedirman di saat beliau bertemu dengan pemuda A.Wahid Hasyim dan pimpinan Masyumi Dr di Yogyakarta. Menurut Soewarno ketika mereka bertemu dan berbicara tentang masalah kenegaraan, bahwasannya sikap K.H A.Wahid Hasyim yang menjelaskan bahwa perlunya hukum Islam disandarkan pada Pancasila yang menjadi Dasar Negara Republik Indonesia.36 Gus Dur juga mengulas ketika Mbah Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama, beliau membuat kebijakan yang memperoleh perempuan mendaftar pada Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHAN). Gus Dur pun meyakini bahwa pandangan politik Mbah Wahid Hasyim merupakan pandangan politik sekuler. Alasan Gus Dur adalah sebagaimana syariah telah menetapkan empat syarat bagi kedudukan hakim Islam, termasuk seorang wanita yang tidak boleh menjadi hakim agama. Jika Mbah Wahid Hasyim menjadikan syariat sebagai landasan hukum positif Negara, seharusnya perempuan tidak boleh belajar di SGHAN sebab lulusan dari sekolah itu kelak akan menjadi guru hakim atau hakim agama. Gus Solah yang menulis K.H A.Wahid Hasyim, Pancasila dan Islam pada 17 Oktober 1998. Tulisan Gus Solah meragukan cerita Gus Dur mengenai pendapat Soewarno terhadap sang ayah. Gus Solah mengenal Soewarno dan sering bercakap. Namun, menurut Gus Solah belum pernah

35 Lihat Solahuddin Wahid, “Pancasila, Jalan Tengah Kita” Dalam Media Indonesia 4 September 1998

36 Lihat Abdurrahman Wahid, A.Wahid Hasyim, NU dan Islam, 8 Oktober1998 42

mendengar Soewarno melontarkan cerita sebagaimana ditulis Gus Dur. Bisa jadi Soewarno belum menangkap dan memahami sikap K.H Wahid Hasyim. Gus Solah juga menilai kekentalan keimanan sang ayah tidak dapat diragukan. Memang K.H Wahid Hasyim dan pemimpin Islam lain bersedia menghilangkan tujuh kata pada Piagam Jakarta hingga terangkum dalam sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah simbol keteguhan tauhid dalam kehidupan berbangsan dan bernegara. Artinya Negara tidak boleh sekuler. Gus Solah juga mengingatkan keberpihakan Mbah Wahid Hasyim pada sidang Konstituante bersama Masyumi memperjuangkan syariat Islam sebagai jiwa Pancasila dan hukum-hukum positif di Indonesia.37 Dialektika tersebut terus berlanjut, tulisan-tulisan yang secara ide sangat jelas terlihat jurang perbedaannya, namun tetap santun dan sesuai dengan kaidah-kaidah diskusi dalam Islam yakni bil hikmah, mauidzatil hasanah, dan mujadalah bil ahsan. Gus Solah sebagai adik sangat santun dalam berbahasa kepada kakaknya. Sebaliknya, Gus Dur juga tidak anti kritik, dengan terus berdialektika dalam posisi yang demokratis dan setara pada mimbar yang dapat dipertanggung jawabkan. Baik Gus Dur dan Gus Solah, dibalik pertentangan pendapatnya tentang nilai-nilai macam apa yang menjadi ruh Pancasila, tetaplah dua tokoh yang memposisikan Negara sebagai prioritas utama yang harus dijaga, sehingga polemik yang ada merupakan pertarungan intelektual terhormat yang tetap menjaga kepentingan Jam’iyat dan seluruh bangsa.

37 Lihat K.H A.Wahid Hasyim, Pancasila dan Islam pada 17 Oktober 1998 BAB III

SEJARAH PANCASILA SERTA PERDEBATAN DI DALAM PIAGAM JAKARTA DAN KONSTITUANTE

A. Sejarah Pancasila Dalam historiografi Indonesia, Pancasila secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta dari India. Ngudi Astuti mengutip Muh. Yamin menyebutkan bahwa perkataan Pancasila dalam bahasa Sansekerta memliki dua macam arti, yaitu dari kata “Panca” artinya lima dan “Syila” artinya batu sendi, alas atau dasar, sehingga jika digabungkan berarti berbatu sendi lima atau berdasar yang lima, atau dari kata “Panca” yang berarti lima dan “Syila” yang berarti peraturan tingkah laku yang baik, atau yang penting, sehingga jika digabungkan berarti lima peraturan tingkah laku yang baik, atau yang penting.1 Perkataan Pancasila terdapat dalam buku Negarakertagama karya empu Prapanca, seorang penulis dan penyair istana, sebagai sebuah catatan sejarah tentang kerajaan Hindu Majapahit (1296-1478M).2 Istilah Pancasila juga diperkenalkan oleh Empu Tantular dalam bukunya yang berjudul Sutasoma.3 Dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular Pancasila mempunyai arti berbatu sendi yang ke lima (dari bahasa Sansekerta) dan juga mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima, yaitu:4

1 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah: Konsep Teori dan Analisis Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia, (Jakarta : Media Bangsa, 2012),h. 32-33

2 M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: Surya Raya, 2004),h. 9

3 Subandi Al-Marsudi, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2003), h. 2

43

44

1. Tidak boleh melaksanakan kekerasan 2. Tidak boleh mencuri 3. Tidak boleh berjiwa dengki 4. Tidak boleh berbohong 5. Tidak boleh mabuk minuman keras. Istilah Pancasila di India merupakan lima prinsip moral yang ditaati dan dilaksanakan oleh penganut agama Budha yang berupa lima macam larangan atau pantangan, yaitu larangan membunuh, larangan mencuri, larangan berzina, larangan berdusta, dan larangan minum-minuman keras. Agama Budha setelah masuk ke Indonesia maka istilah Pancasila ini berpengaruh pula khususnya dalam masyarakat Jawa yang dikenal dengan “ma-lima”, yaitu macam larangan yang huruf depannya dimulai dengan huruf “ma”, yakni mateni (membunuh), maling (mencuri), madon (berzina), mabuk (minum-minuman keras atau candu), main (berjudi).5 Berbagai penjelasan mengenai Pancasila diatas dapat disimpulkan bahwa Pancasila secara etimologis mengandung arti lima dasar peraturan, dimana peraturan tersebut menjadi suatu acuan pokok bagi kehidupan, suatu acuan pokok bagi penilaian terhadap sikap maupun tingkah laku seseorang. Pancasila secara terminologis ialah sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea yang didalamnya tercantum rumusan Pancasila yang terdiri dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.6 Pancasila secara terminologis

4 Darji Darmodiharjo, dkk., Santiaji Pancasila: Suatu Tinjauan Filosofis, Historis, dan Yuridis-Konstitusional, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988),h. 15

5 A.M Effendy, Faslsafah Negara Pancasila, (Semarang: BP Walisongo Press, 1995), h.3

6 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah, h. 34-35 45

menurut Asmoro Achmadi ialah lima sila atau aturan yang menjadi ideologi bangsa dan Negara, pedoman bermasyarakat, dan pandangan hidup bangsa dan Negara Indonesia, yang berarti bahwa Pancasila merupakan jiwa seluruh rakyat Indonesia yang memberikan kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia, dan memberikan bimbingan dalam kesejahteraan hidup baik lahir maupun batin.7 Berbagai pengertian yang didapat diketahui Pancasila merupakan dasar Negara Indonesia yang berisi mengenai aturan atau anjuran-anjuran mengenai sikap dan perilaku terpuji, yang merupakan moralitas yang telah disepakati bersama dalam menjalankan hidup, yang menjadi acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai ideologi mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang oleh bangsa Indonesia diyakini paling benar. Pancasila sebagai dasar Negara merupakan Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).8 Pancasila sebagai dasar filsafat Negara mempunyai arti yang abstrak, umum, universal dan tetap tidak berubah sehingga memungkinkan Pancasila dalam isi dan artinya adalah sama dan mutlak bagi seluruh bangsa, diseluruh tumpah darah, dam diseluruh waktu sebagai cita-cita bangsa dalam Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.9 Adapun Pancasila yang dikenal sebagai Dasar Negara Republik Indonesia saat ini, diperkenalkan oleh Ir. Soekarno pada sidang pertama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengusulkan agar dasar Negara Indonesia diberi nama Pancasila (atas petunjuk Muh. Yamin), maka tanggal 1 Juni 1945,

7 Asmoro Achmadi, Paradigma Baru Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2009), h. 10

8 Mengenai Pancasila sebagai idelogi, sebagai dasar Negara, dan lain-lainnya lebih lanjut lihat, Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah, h.52,32

9 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h.33 46

seperti yang dijelaskan dalam buku “Santiaji Pancasila” (1988), disebut sebagai hari lahir ïstilah Pancasila”untuk digunakan sebagai nama dasar Negara Indonesia. Dasar Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan Pancasila, diterima dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD 1945. Nama Pancasila sebenarnya tidak terdapat baik dalam Pembukaan UUD 1945 maupun dalam batang tubuh UUD 1945,10 namun didalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusian yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Istilah Pancasila secara resmi tidak tercantum dalam Pembukaan UUD1945, namun lima dasar Negara yang tertulis dalam bagian terakhir dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 disebut dengan Pancasila, meskipun urutan sila dan isinya agak berbeda dengan yang diusulkan oleh Ir. Soekarno. Sejarah perumusan Pancasila diawali dari terbentuknya BPUPKI yang dibentuk oleh penjajahan Jepang. Pembentukan BPUPKI ialah terkait janji penjajah Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Tindakan Jepang untuk dalam pembentukan BPUPKI ini untuk menarik simpati bangsa Indonesia karena Jepang memerlukan bantuan dan dukungan bangsa Indonesia untuk memenangkan peperangan Asia Timur Raya atau

10 Darji Darmodiharjo, dkk., Santiaji Pancasila: Suatu Tinjauan Filosofis, Historis, dan Yuridis-Konstitusional, h. 15 47

perang Pasifik, yaitu antara Jepang yang tergabung dalam front Jerman dan Italia melawan Amerika dan sekutu.11 BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945 yang dibentuk oleh Jepang. BPUPKI mengadakan sidang dua kali. Sidang pertama membahas mengenai dasar Negara dan rancangan Undang-Undang Dasar dengan dikemukakannya usul dan pendapat oleh beberapa anggota BPUPKI. Sidang BPUPKI yang pertama menghasilkan beberapa konsep dan berbagai pandangan yang du usulkan sehubungan dengan dasar Negara dan kemerdekaan Negara Indonesia. Usulan pertama disampaikan oleh Muh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 melalui pidato yang mengusulkan lima dasar Negara dengan istilah dan urutan sebagai berikut: 1. Peri Kebangsaan 2. Peri Kemanusiaan 3. Peri Ketuhanan 4. Peri Kerakyatan 5. Kesejahteraan Rakyat. Muh. Yamin juga mengusulkan secara tertulis rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar yang didalamnya terdapat lima dasar Negara yang istilah dan urutannya agak berbeda, yaitu: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kebangsaan Persatuan Indonesia 3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.12

11 Ahmad Fauzi, dkk, Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis, (Surabaya: Usaha Offset Printing, 1983), h. 42

12 Ahmad Fauzi, dkk, Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis, h. 46 48

Pada tanggal 30 Mei 1945 banyak golongan/tokoh-tokoh Islam yang mengusulkan agar dasar Negara yang dipakai adalah dasar Islam, diantara tokoh tersebut ialah K.H Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan K.H.A. Kahar Muzakir. Pada tanggal 31 Mei 1945 Supomo menyampaikan usulan menganai dasar Negara antara lain:13 1. Dasar Persatuan dan Kekeluargaan 2. Dasar Ketuhanan 3. Dasar Kerakyatan/Permuyawaratan 4. Dasar Koperasi dalam Sistem Ekonomi 5. Mengenai hubungan antar bangsa, dianjurkan supaya Negara Indonesia bersifat sebagai Negara Asia Timur Raya, sehingga masih tampak ada keterkaitan dengan Jepang. Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengusulkan dasar Negara yang berjumlah lima, yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan 3. Mufakat atau demokrasi atau permusyawaratan, perwakilan 4. Kesejahteraan sosial 5. Ketuhanan yang berkebudayaan atau Ketuhanan Yang Maha Esa Lima dasar Negara tersebut oleh Ir. Soekarno masih bias diperas lagi menjadi tiga dasar dengan nama “Trisila” yaitu: 1. Socio-nationalisme, yang merupakan perasan dari kebangsaan dan internasionalisme 2. Socio-demokrasi, yang merupakan perasan dari demokrasi dan kesejahteraan sosial 3. Ketuhanan yang menghormati satu sama lain.

13 A.M. Effendy, Falsafah Negara Pancasila, (Semarang: Triadan Jaya Offset, 1995), h14 49

Tiga dasar tersebut oleh Ir. Soekarno masih bias diperas lagi menjadi satu saja yang disebut “Ekasila”, yaitu dasar “gotong royong”.14 B. Piagam Jakarta dan Majelis Konstituante

Menjelang kemerdekaan Indonesia pada 1945, tepatnya 29 April 1945, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu Junbi Cosakai. Wahid Hasyim terpilih menjadi anggota BPUPKI. Badan itu diketuai oleh Dr. K.R.T Radjiman Wedyadiningrat, dengan jumat anggota 60 orang kemudian ditambah lagi 6 orang sehingga total berjumlah 66 anggota. Rapat pertama BPUPKI digelar 28 Mei 1945, di gedung Chusang In, bekas gedung Volksraad di jalan pejambon 6, Jakarta-kini Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI. Rapat ini membahas dasar Negara. Ada tiga pengusul mengenai masalah tersebut, yakni Mr. Muhammad Yamin, Prof. Mr. Dr , dan Ir. Soekarno. Setelah sidang pertama berakhir, 38 orang anggota melanjutkan pertemuan. Kemudian mereka membentuk panitia kecil yang terdiri atas Sembilan orang yang dipilih, yaitu : Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, H Agus Salim, Achmad Soebarjo, Abdul Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin. Karena jumlahnya Sembilan orang, tim kecil tersebut sering juga disebut “Tim Sembilan”. Salah satu tugas utama Tim Sembilan adalah membuat draft rumusan undang-undang dasar, termasuk pembukaan.15 Setelah melalui pembicaraan yang serius, akhirnya panitia kecil ini berhasil mancapai satu modus Vivendi antara para nasionalis Islami pada satu pihak, dan para nasionalis sekuler pada lain pihak, karena Preambul itu

14 Ahmad Fauzi, dkk, Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis, h. 51

15 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta : Rajawali, 1986), h. 30 50

ditandatangani oleh Sembilan anggota pada 22 Juni 1945 di Jakarta, maka ia terkenal sebagai Piagam Jakarta (The ). Dalam merumuskan pembukaan undang-undang dasar, Wahid Hasyim merupakan salah satu tokoh kunci munculnya tujuh kata berbunyi, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, di belakang kata, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.16 Bahkan di bagian draf lain Undang- Undang Dasar 1945, Wahid Hasyim mengusulkan agar pasal 4 ayat 2, yang mengatur mengenai presiden dan agama resmi Negara, berbunyi: “Yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Tidaklah mengherankan bahwa pembahasan banyak terpusat pada kata-kata tersebut. sehari setelah itu, yakni pada 11 Juli 1945, Latuharhary, seorang Protestan anggota badan penyelidik, menyatakan keberatannya atas kata-kata tersebut, dia mengatakan “Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain”, katanya, “…kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan terhadap istiadat”.17 Haji Agus Salim, seorang pemimpin Islam terkenal dari kalangan nasionalis Islami dengan spontan menjawab : “Pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru, dan pada umumnya sudah selesai. Lain daripada itu orang-orang yang beragama lain tidak perlu khawatir : keamanan orang-orang itu tidak tergantung pada kekuasaan Negara, tetapi pada adatnya umat Islam yang 90% itu”. Beberapa orang yang lainnya menyampaikan pula keberatannya. menyatakan pendapatnya, didukung oleh Hosein Djajadiningrat, bahwa anak kalimat tersebut “mungkin menimbulkan fanatisme karena seolah-olah memaksakan menjalankan syari’at bagi orang-

16 Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, h. 50-51

17 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 34 51

orang Islam”. Kali ini K.H Wahid Hasyim tampil menjawab dan mengingatkan mereka pada dasar permusyawaratan, katanya “paksaan- paksaan ini tidak bisa terjadi, bila ada orang yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam”. Dua pasal dari rancangan pertama Undang-Undang Dasar yang menjadi relevan dengan pokok pembicaraan ini ialah pasal 4 dan 29, diajukan oleh ketua panitia kecil kepada sidang paripurna badan penyelidik pada tanggal 13 Juli. Pasal 4 ayat 2 tentang presiden : “yang dapat menjadi presiden dan wakil presiden hanya orang Indonesia asli”. Kemudian pasal 29 tentang agama : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing”. K.H Wahid Hasyim mengajukan dua usul. Pertama, pada pasal 4 ayat 2 tersebut ditambah dengan kata-kata : “yang beragama Islam”. “buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dan masyarakat, dia menyampaikan alasan. “jika presiden orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam dan akan besar pula pengaruhnya”. Kedua, diusulkannya pula agar pasal 29 tentang agama diubah sehingga berbunyi : “agama Negara ialah Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain”. Menurut pendapatnya, hal tersebut berhubungan erat dengan pembelaan. “pada umunya pembelaan berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat”, katanya pula, “karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi Negara”. Pihak dari kalangan nasionalis Islami yaitu Haji Agus Salim tidak menyetujui usul dari sahabatnya itu, dia mengatakan :18 “Dengan ini kompromi antara golongan kebangsaan dan Islam mentah lagi : apakah hal ini tidak bisa diserahkan kepada badan permusyawaratan rakyat? Jika presiden harus orang Islam, bagaimana

18 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 36 52

halnya terhadap wakil presiden, duta-duta dan sebagainya. Apakah artinya janji kita untuk melindungi agama lain?”. K.H Wahid Hasyim menerima dukungan dari Sukiman, katanya, “…disamping usul tersebut pada hakikatnya tidak membawa akibat apa-apa, kata-kata yang diusulkan tersebut akan memuaskan rakyat”. Dalam sidang badan penyelidik 14 Juli 1945, Soekarno, sebagai ketua panitia konstitusi melaporkan kepada sidang paripurna tiga rancangan : deklarasi kemerdekaan, preambule (mukadimah) Undang-Undang Dasar, dan batang tubuh Undang-Undang Dasar yang terdiri dari 42 pasal. Berbicara tentang mukaddimah, Ki Bagus Hadikusumo, pemimpin Muhammadiyah tidak menyatujui rumusan “Negara ……berdasarkan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sejalan dengan saran Kiai Ahmad Sanusi, dia mengusulkan agar kata-kata tersebut dihilangkan saja. Soekarno mengingatkan sidang, “bahwa anak kalimat tersebut adalah hasil kompromi antara dua pihak, dan bahwa setiap kompromi didasarkan atas memberi dan mengambil”. Seorang peimipin Islam yang juga salah seorang penandatangan Piagam Jakarta, sekali lagi menunjukan bahwa yang dimuat Piagam tersebut adalah sebuah kompromi antara golongan Islami dan golongan Kebangsaan. Dia mengatakan:19 “kalau tiap-tiap dari kita harus, misalnya…….dari golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana harapan tuan Hadikusumo. Tetapi kita sudah menjalankan kompromi, sudah melakukan perdamaian dan dengan tegas oleh paduka tuan ketua panitia sudah dinyatakan, bahwa kita harus memberi dan mendapat. Untuk mengadakan persatuan, janganlah terlihat perbedaan paham tentang soal ini dari statmen. Itulah tanda yang tidak baik buat

19 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 39 53

dunia luar. Kita harapkan sungguh-sungguh, kita mendesak kepada setiap golongan yang ada dalam badan ini, sudahilah kiranya kita mengadakan suatu perdamaian. Janganlah sampai Nampak kepada dunia luar, bahwa dalam hal ini ada perselisihan paham”. Sidang selanjutnya beralih pada apakah presiden harus seorang muslim atau tidak. Pratalykrama mengusulkan, “kepala Negara atau Presiden Republik Indonesia hendaknya orang Indonesia yang asli, berumur sedikit- dikitnya 40 tahun dan beragama Islam”. mengenai masalah tersebut Supomo mengingatkan dia pada Piagam Jakarta; usul tersebut menurut pendapatnya tidak menghormati Piagam ini. Dengan demikian, katanya pula, “anak kalimat tambahan mengenai hal itu dalam Undang-Undang Dasar tidak perlu”. Akan tetapi usul Pratalykrama mendapat dukungan K.H , katanya, “kalau di dalam Republik Indonesia ini ada kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya maka presiden haruslah seorang Muslim; karena presiden yang bukan Muslim tidak akan menjalankan hukum dengan saksama dan tidak bakal diterima oleh golongan Islam”. Soekarno tampil dan menyatrakan bahwa dia memahami betul apa yang telah di sampaikan K.H Masjkur, katanya:20 “….kami anggota-anggota panitia berkepercayaan penuh kepada kebijaksanaan rakyat Indonesia. Kami berkepercayaan bahwa yang akan dipilih oleh rakyat Indonesia ialah orang yang akan bisa menjalankan ayat 1 dalam pasal 28. Kalau tuan Haji Masjkur menanyakan hal itu kepada saya secara person Soekarno, saya seyakin-yakinnya, bahwa presiden tentu orang Islam,….oleh karena saya melihat dan mengetahui bahwa sebagian besar dari penduduk bangsa Indonesia iala beragama Islam.

20 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 43 54

Kahar Muzakkir, yang merasa kecewa mengetahui usul golongan Islam tidak diindahkan oleh Soekarno, sambil memukul meja, dia berkata: “supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka smpai kepada pasal di dalam Undang-Undang Dasar itu yang menyebut-nyebut atau agama Islam atauapa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu”. Radjiman, ketua badan penyelidik, menyarankan agar sidang mengadakan pemungutan suara untuk menentukan yang mana yang akan diterima : panitiakah, ataukah usul Pratalykrama yang didukung oleh Masjkur. Saran Radjiman disetujui oleh Soekarno, akan tetapi ditentang oleh Kiai Sanusi yang berkata bahwa masalah agama tidak dapat begitu saja ditentukan oleh suara terbanyak. Dia meminta agar sidang menerima salah satu dari dua usul : usul Kiai Masjkur atau usul Muzakkir. Soekarno, sebagai ketua panitia, menjawab : “Tuan ketua, kami panitia tidak mufakat dengan usul tuan Muzakkir itu, terimakasih”. Ketika ketua umum bertanya kepada Muzakkir mengenai pernyataan Soekarno, Muzakkir menjawab bahwa dia tetap pada pendiriannya agar usulnya dipertimbangkan. Kemudian Hadikusumo tampil mendukung Muzakkir, katanya: “Saya berlindung kepada Allah terhadap syetan yang merusak. Tuan- tuan, dengan pendek sudah kerapkali diterangkan disini, bahwa Islam itu mengandung idelogi Negara. Maka tidak bisa dipisahkan dari Islam. jadi saya menyetujui usul tuan Abdul Kahar Muzakkir tadi; kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi nyata Negara ini tidak berdiri di atas agama Islam dan Negara akan netral”.21 Perdebatan panjang mengenai esensi “Ketuhanan” antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler yang memakan waktu, tenaga, dan pikiran bagi para anggota badan penyelidik ini yang pada akhirnya rapat tersebut ditutup. Ketidaktentuan dan kegelisahan yang telah ditimbulkan oleh sidang pada hari

21 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 194, h. 44 55

itu tercermin dengan jelas dalam pembicaraan Soekarno ketika membuka kembali sidang pada pagi berikutnya, tanggal 16 Juli. Dia berkata bahwa dia yakin banyak anggota badan penyelidik yang malamnya tidak dapat tidur, tapi kemudian Soekarno menghimbau segenap anggota, terutama dalam hal kepada pihak Kebangsaan untuk berkorban, dia mengatakan : “Saya berkata, adalah sifat kebesaran di dalam pengorban ……yang saya usulkan, ialah : bahwa di dalam Undang-Undang Dasar dituliskan bahwa Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Saya mengetahui bahwa buat sebagian pihak kebangsaan ini berarti suatu…….pengorbanan mengenai keyakinan. Tetapi apa boleh buat! Karena bagaimanapun kita yang hadir di rapat ini, dikatakan 100% yakin bahwa karena penduduk Indonesia, rakyat Indonesia terdiri daripada 90% atau 95% orang-orang yang beragama Islam, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden Indoneisa tentulah yang beragama Islam”. Kemudian Soekarno menyambung bahwa dia menyadari bahwa hal ini merupakan pengorbanan yang besar terutama bagi patriot seperti Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam.22 Setelah jelas bahwa sudah tidak ada lagi keberatan di dalam sidang. Ketua BPUPKI yaitu Dr. K.R.T Radjiman Wedyadiningrat meresmikan dan mengumumkan rancangan Undang-Undang Dasar ini dapat diterima dengan sebulat-bulatnya. Piagam Jakarta, yang dirancang dan dirumuskan serta dipertahankan oleh Panitia Sembilan ini merupakan hasil akhir perjuangan yang panjang untuk kemerdekaan dan dalam waktu yang sama merupakan titik tolak pembangunan dan perkembangan masa mendatang. Pada tanggal 7 Agustus 1945 berdiri Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua dan

22 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 46 56

Mohammad Hatta sebagai wakil ketua. Dalam rapat pertama panitia persiapan ini direncanakan agenda pada jam 09.30, akan tetapi ternyata belum juga dimulai sampai jam 11.30. Apa yang terjadi dalam dua jam tersebut itu ternyata suatu yang teramat penting bagi sejarah Indonesia umumnya, dan bagi sejarah konstitusi khususnya.23 Dalam pidato pembukaan pada rapat PPKI Soekarno menekankan arti historik saat ini, dan mendesak agar panitia persiapan bertindak dengan cepat dan mengingatkan para anggota agar tidak bertele-tele dalam masalah detail, tetapi memusatkan perhatian mereka pada garis besarnya saja. Kemudian Mohammad Hatta dipersilahkan untuk berpidato, dalam pidatonya Hatta menyampaikan empat usul perubahan: 1) Kata “Mukaddimah”24 diganti dengan kata “Pembukaan” 2) Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat : “Berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” 3) Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam dicoret” 4) Sejalan dengan perubahan yang kedua diatas, maka pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke- Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Hatta menyatakan keyakinannya bahwa perubahan yang maha penting menyatukan bangsa, kemudian Soekarno menambahkan bahwa Undang-Undang Dasar

23 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 50

24 Mukaddimah berasal dari bahasa Arab Muqaddimah yang artinya sama dengan Pembukaan 57

yang dibuat ini Undang-Undang Dasar sementara nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat undang-undang yang lebih lengkap dan sempurna. Empat usul perubahan yang disampaikan Mohammad Hatta dalam rapat pertama PPKI menimbulkan suatu pertanyaan sejarah. Bahwa pada petang hari 17 Agustus 1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) mendatangi Hatta dan mengatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan terhadapat kalimat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Walaupun mereka mengakui, dan hanya mengikat kepada rayat yang beragama Islam, namun mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Hatta menjelaskan kepada opsir tersebut bahwa hal tersebut bukanlah diskriminasi, karena penerapan tersebut hanya mengikat kepada rakyat yang beragama Islam. 25 Ketika pembukaan UUD dirumuskan, Mr Maramis seorang Kristen yang menjadi salah satu anggota panitia Sembilan tidak berkeberatan apa-apa, bahkan pada tanggal 22 Juni 1945 turut membubuhkan tanda-tangannya. Opsir tersebut menjawab, bahwa pada waktu itu mungkin Mr Maramis tidak merasakan bahwa penetapan tersebut suatu diskriminasi. Kalau pembukaan diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik suka berdiri diluar Republik. Hatta pun teringat pada semboyan yang selama ini didengung-dengungkan “bersatu kita teguh berpecah kita jatuh”. Hatta pun menjanjikan kepada opsir tersebut, bahwa esok harinya dia akan menyampaikan masalah yang sangat penting itu dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

25 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 55 58

Begitu seriusnya dalam masalah ini, Hatta pun esok paginya tanggal 18 Agustus 1845 mengajak Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo dan Mr Teuku Hasan dari Sumatra untuk mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya Indonesia tidak terpecah sebagai bangsa, mereka akhirnya mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa". Beberapa hal dalam keterangan Hatta ini layak mendapat perhatian dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini. konsensus nasional yang sudah dicapai dengan susah payah dalam badan penyelidik melalui diskusi dan perdebatan sengit itu, dicairkan oleh usul orang asing, seorang Kaigun Jepang, dan dari keterangan Hatta jelas dapat mengetahui bahwa keberatan opsir Kaigun Jepang yang datang mengatas namakan orang-orang Katolik dan Protestan di Indonesia bagian Timur itu ialah terhadap “klausula Islami” dalam pembukaan, dan sama sekali tidak menyinggung batang tubuh Undang- Undang Dasar. Namun kenyataannya, yang telah dicoret oleh panitia persiapan itu bukan hanya “anak kalimat Islami” yang terdapat dalam pembukaan saja, melainkan juga seluruh “kalimat-kalimat Islami” yang tercantum dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar dan alasan Hatta mencoret “klausula Islami” dari pembukaan Undang-Undang Dasar supaya tidak menusuk hati kaum Kristen dan supaya untuk menjaga agar bangsa Indonesia tidak terpecah belah. Hampir seluruh rumusan dan usulan yang dibuat Wahid Hasyim menyangkut Islam jatuh berguguran. Ada satu hal yang menjadi sorotan, yakni pemikiran Wahid Hasyim yang pada akhirnya menyetujui bahkan turut menegosiasikan konsep Negara kesatuan dengan perwakilan kaum Islamis lainnya setelah sebelumnya terjadi perdebatan sengit antara anggota sidang BPUPKI. Sebagaimana yang dinyatakan Mohammad Hatta bahwa tujuh kata tersebut adalah buah pemikiran Wahid Hasyim. Hal ini sekaligus 59

mengindikasi bahwa Wahid Hasyim semula ingin mewujudkan Islam sebagai dasar Negara. Namun pada akhirnya ada sebuah perubahan frame berpikir yang dilakukan oleh Wahid Hasyim. Ditengah situasi yang genting serta mendesak, dalam rangka pembentukan sebuah wadah persatuan dan kesatuan, para tokoh Islam Khususnya Wahid Hasyim melahirkan sebuah Ijtihad Kebangsaan dengan menerima bentuk Negara kesatuan serta idelogi Pancasila tanpa tujuh kata pada butir pertama. Piagam Jakarta itulah yang menjadi Mukaddimah konstitusi Republik Indonesia serta Undang-Undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi politik yang ditentukan di dalam persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula kalimat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus 1945 itu. Piagam Jakarta itulah yang nanti akan melahirkan Proklamasi dan Konstitusi.26 Pada tanggal 10 November 1956 Soekarno melantik Konstituante, karena menekankan pentingnya sebuah konstitusi disusun oleh badan yang sah yang terdiri atas wakil-wakil rakyat. Konstituante dipimpin oleh ketua dengan lima wakil ketua. Mereka dipilih dari anggota Konstituante dalam rapat terbuka yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota Konstituante dan disahkan oleh presiden. Wilopo (PNI) dipilih sebagai ketua; Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Fatchurahman Kafrawi (NU), Leimena (Parkindo), Sakirman (PKI), dan Hidajat Ratu Aminah (IPKI).27 Pada sidang-sidang tahun 1956, ketua dan wakil ketua dipilih menurut prosedur yang disetujui sesudah perdebatan yang panjang lebar. Setelah itu, dimulai dengan diskusi Peraturan Tata Tertib yang mencakup organisasi Konstituante dan cara-cara kerja. Peraturan Tata Tertib ditetapkan dalam

26 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, h. 210

27 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, (Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), h. 38 60

sidang pada semester pertama tahun 1957. Selama perdebatan tentang Peraturan Tata Tertib itu, partai-partai nasionalis radikal mengajukan pendapat yang secara prinsipil bertentangan dengan pendapat mayoritas perihal wewenang Konstituante dan fungsi Konstitusi yang kalau dilihat dari perkembangannya dapat dianggap sebagai indikasi campur tangan pemerintah yang dilakukan pada tahun 1959. Karenannya wewenang Konstituante dalam merancang Konstitusi seharusnya tidak bersumber pada UUD 1950, melainkan pada UUD 1945. Pada sidang kedua tahun 1957, dua pokok yang sangat penting untuk diperdebatkan yaitu Dasar Negara dan hak asasi manusia. Selama berbulan- bulan terakhir tahun 1957, tiga usul yang berkaitan dengan Dasar Negara yaitu: Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi yang diajukan dan diperjuangkan oleh pendukungnya secara gigih. Perdebatan tersebut bersifat ideologis, mutlak-mutlakan dan antagonistik. Akibatnya, pada tanggal 6 Desember sidang pleno Persiapan Konstitusi ditugaskan untuk mempersiapkan rumusan yang akan memungkinkan tercapainya kompromi. Pada sidang tahun 1958, pokok-pokok pembicaraan yang paling penting ialah hak-hak asasi manusia, penyempurnaan prosedur dan asas-asas dasar kebijakan Negara. Berbeda dengan sifat perdebatan mengenai dasar Negara yang cenderung mengarah pada perpecahan, perdebatan tentang hak asasi manusia lebih mengarah kepada hal yang mempersatukan. Pada tanggal 9 dan 11 September 1958 Konstituante menerima 19 pasal mengenai hak asasi manusia untuk dimasukan kedalam undang-undang dasar dan diteruskan kepada panitia persiapan Konstitusi agar dapat dirumuskan dalam pasal-pasal. Pada tahun ini juga Konstituante juga berhasil memasukan bentuk pemerintahan, yakni bentuk republik, serta pasal-pasal tentang bahasa resmi, bendera nasional, lagu kebangsaan, mengenai lambang Negara, pejabat Negara dan keuangan Negara. Prinsip-prinsip tersebut berhasil diputuskan dan 61

kemudian diteruskan kepada Panitia Persiapan Konstitusi untuk dirumuskan menjadi pasal-pasal dalam undang-undang dasar. Dengan begitu ketua Konstituante senang dan mengungkapkan optimismenya ketika menutup sidang pada tanggal 11 September 1958, dengan menyatakan bahwa sesudah bekerja keras, Konstituante telah berhasil mengambil banyak keputusan. Konstituante telah melakukan panen keputusan dan ia gembira Karena panen itu merupakan hasil dari benih-benih tanaman Konstituante sendiri. Sementara itu, di luar Konstituante sedang diperjuangkan sebuah konsep Negara yang sangat berbeda dengan konsep Negara yang digariskan dalam UUD 1950 dan juga berbeda dengan paham Negara konstitusional yang dibayangkan oleh Konstituante. Sesudah itu Soekarno menyampaikan usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 kepada Konstituante dengan mengadakan perubahan pada acara yang sudah diputuskan berlaku untuk sidang umum tahun 1959. Soekarno mengemukakan argumentasinya bahwa pemberlakuan kembali UUD 1945 diperlukan karena (1) keadaan nasional yang kritis; (2) makna simbolid UUD 1945 sesuai dengan kepribadian nasional; (3) perlunya pemerintahan yang kuat.28 UUD 1945 dapat menjamin pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang sudah diperjuangkannya tanpa hasil jejak tahun 1957 karena dihalangi oleh konstitusi yang liberal. Dalam jalan berfikir yang logis, apabila kekuasaan seluruhnya telah berkumpul ke dalam tangan atau total ke dalam satu tangan, bernamalah dia “totaliter”. Tetapi karena nama totaliter tidak popular, ditukarlah namanya jadi Demokrasi Terpimpin.29 Perdana Menteri Djuanda menyampaikan jawaban pemerintah yang menawarkan beberapa konsesi, tetapi sekaligus menjelaskan seterang-terangnya bahwa pemerintah telah merebut wewenang Konstituante

28 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, h.46

29 Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945,h. 106 62

untuk menyusun rancangan undang-undang dasar, dengan menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk cepat proses penyusunan dan sekaligus bertanggung jawab atas isi undang-undang dasar baru itu. Kemudian Djuanda menegaskan kembali bahwasannya UUD 1945 memang sesuai dengan kerpibadian Indonesia dan Proklamasi 1945. Kembalinya ke UUD 1945 dimaksudkan untuk meningkatkan pelaksanaan kebijakan pemerintah, yaitu Demokrasi Terpimpin yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Ia menekankan juga bahwa pemerintah ingin supaya pemberlakuan kembali UUD 1945 itu dilakukan melalui cara-cara konstitusional. Dalam balasannya sesudah iu, Konstituante menolak pembedaan yang dibuat oleh pemerintah antara keputusan mengenai hak-hak asasi manusia dengan keputusan wilayah dan lain sebagainya, dan partai- partai merumuskan sejumlah amandemen terhadap usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 agar dapat ditambahkan dalam Piagam Bandung. Di antara amandemen terhadap usul pemerintah terdapat usul dari pihak partai- partai Islam, yakni untuk memasukan kembali kata-kata yang berkenaan dengan agama Islam, yang dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, ke dalam pembukaan. Setelah perdebatan sengit, masalah amandemen ini terlebih dahulu diserahkan pada prosedur pemungutan suara sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Konstituante pada tanggal 29 Mei 1959 dan ditolak oleh sidang pleno. Pada hari berikutnya-30 Mei, 1 dan 2 Juni- usul kembali ke UUD 1945 tiga kali diajukan untuk diputuskan melalui pemungutan suara dan ketiga- tiganya ditolak oleh Konstituante, dan dengan sendirinya pemungutan suara tentang amandemen lain-lain tidak diadakan lagi. Pada tanggal 2 Juni Konstituante reses. Sidang ini ternyata menjadi sidang yang terakhir. Perdebatan bebas tentang soal-soal politik dan pemerintahan, yang berlangsung dalam rangka usaha menyusun undang-undang dasar yang defenitif, diakhiri dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juni 1959. 63

Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan kembali UUD 1945, sehingga dasar Negara yang dipakai sejak tanggal 5 Juli 1959 ialah tetap Pancasila dengan rumusan sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang telah ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Ketetapan mengenai urutan dan rumusan Pancasila yang benar terdapat dalam Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1968/ tanggal 13 April 1968 yang menyebutkan bahwa sila-sila dalam Pancasila urutan dan rumusannya ialah sebagai berikut:30 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Demikian urutan dan rumusan Pancasila yang benar yang berlaku kembali sejak tanggal 5 Juni 1959 sampai sekarang.

C. Nilai Kandungan Pancasila Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia juga berkedudukan sebagai ideologi bangsa Indonesia, sebagaimana tertera dalam ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Keteapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila dan penetapan tentang penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Pasal 1 ketetapan tersebut menyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Adapun makna Pancasila sebagai ideologi nasional menurut

30 A.M. Effendy, Falsafah Negara Pancasila, h. 35-36 64

ketetapan tersebut adalah bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi cita-cita nirmatif penyelenggaraan Negara.31 Pancasila dalam sila-silanya tidaklah berdiri sendiri melainkan dalam tiap sila mengandung sila yang lain. Notonagoro menjelaskan bahwa Pancasila didalamnya terdapat sifat persatuan dan kesatuan dari sila-silanya dalam arti sila sebelumnya menjadi dasar dari sila berikutnya, dan sila yang berikutnya merupakan pengkhususan atau penjelmaan dari sila sebelumnya,32 atau dalam bahasa Darji Darmodiharjo disebutkan bahwa sila sebelumnya meliputi dan menjiwai sila berikutnya, dan sebaliknya sila berikutnya harus diliputi dan dijiwai oleh sila sebelumnya,33 sehingga Pancasila dalam pengamalannya harus secara utuh karena dalam satu sila mengandung sila yang lain. Pancasila merupakan dasar Negara Indonesia yang berisi ajaran- ajaran mengenai sifat-sifat terpuji, yang merupakan moralitas yang telah disepakati bersama dalam menjalankan hidup kenegaraan. Pancasila berisi lima sila yang hakikatnya berisi lima dasar dan fundamental. Nilai-nilai dasar Pancasila terdapat dalam pembukaan UUD 1945 Alinea IV adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat perwakilan, dan nilai Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berikut penjelasan menganai nilai kandungan dasar Pancasila yang merupakan intisari dari sila- sila Pancasila:34

31 , Paradigma Baru, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 40

32 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 111

33 Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1979), h. 45

34 Sukarno, Paradigma Baru, Pendidikan Kewarganegaraan, h. 23 65

1. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti kesesuaian dengan hakekat Tuhan, yaitu Yang Maha Tunggal, hanya ada satu, tiada sekutu dan merupakan asal mula dari segala sesuatu, karena Tuhan merupakan pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Dari nilai tersebut bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious bukan bangsa yang tidak memliliki agama atau atheis. Notonagoro menjelaskan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti mutlak bahwa dalam Negara Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan dalam hal Ketuhanan atau keagamaan, bagi sikap dan perbuatan anti Ketuhanan atau anti keagamaan dan bagi paksaan agama35. Hal tersebut karena Indonesia menghormati keyakinan terhadap agama dan keyakinan terhadap Tuhan diserahkan kepada keyakinan masing-masing agama sebagaimana yang dilukiskan Ir. Soekarno sebagai Ketuhanan yang berkebudayaan, yaitu Ketuhanan yang berbudi luhur, Ketuhanan yang menghormati satu sama lain, yang oleh Yudi Latif kemudian diistilahkan dengan Ketuhanan tanpa “egoisme agama”.36 2. Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab Hakekat sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah manusia. Manusia utuh dilihat dari sila kedua ialah yang sadar akan dirinya sebagai manusia, yaitu yang berpendidikan luhur, berbeda dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia mempunyai kelebihannya yaitu jiwa. Oleh karena itu manusia hendaknya berbuat sesuai dengan nilai-nilai kejiwaannya. Ia wajib berbuat sesuai dengan nilai-nilai tersebut agar bias disebut manusia yang berperikemanusiaan. Notonagoro menjelaskan mengenai sila kedua dari Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan

35 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 67

36 Yudi Latif, Mata Air Keterladanan: Pancasila dalam Perbuatan, (Jakarta: Mizan, 2014), h.3 66

beradab ialah mengandung isi arti kesesuaian dengan hakekat manusia. Notonagoro menjelaskan bahwa unsur hakekat manusia adalah majemuk tunggal atau monopluralis yang terdiri dari susunan jiwa atau rohani dan raga atau jasmani, unsur sifat manusia sebagai diri yang terdiri dari makhluk individual dan juga makhluk sosial, dan kedudukan manusia yaitu sebagai makhluk yang berdiri sendiri dan juga makhluk Tuhan. Kemanusiaan menurut Darji Darmodiharjo berarti sifat manusia yang merupakan esensi dan identitas manusia karena martabat kemanusiaannya, yaitu sebagai makhlum berbudi yang memiliki potensi piker, rasa, karsa dan cipta. Adil mengandung arti suatu keputusan dan tindakan yang didasarkan atas norma-norma yang objektif dan bukan subjektif atau sewenang-wenang, sedangkan beradab mengandung arti sikap hidup dan tindakan yang selalu berdasarkan nilai-nilai kesusilaan atau moralitas, jadi kemanusiaan yang adil dan beradab seperti dijelaskan Darji Darmodiharjo ialah kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan pada potensi budinurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya baik terhadap alam dan hewan37 3. Nilai persatuan Indonesia Hakekat sila ketiha adalah satu, berkaitan dengan manusia utuh adalah satu baik dalam dirinya maupun hubungannya dengan orang lain. Satu dengan yang lain berarti bahwa adanya manusia tidak dapat lepas dari adanya manusia lain, alam sekitar dan Tuhan. Manusia hendaknya tahu dan sadar bahwa dirinya merupakan suatu kesatuan dengan manusia lain, alam sekitar dan Tuhan.38 Notonagoro menyebutkan bahwa sila persatuan Indonesia mengandung isi arti kesesuaian dengan hakekat yang satu, yakni bahwa

37 Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, h. 48

38 Sunoto, Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), h.22 67

sifat mutlak kesatuan bangsa, wilayah, dan Negara Indonesia yang terkandung dalam sila persatuan Indonesia dengan segala perbedaan didalamnya memenuhi sifat hakekat dari satu, yaitu mutlak tidak dapat terbagi.39 Dariji Darmodiharjo menjelaskan bahwa persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan.40 Persatuan Indonesia menghendaki hanya ada satu Indonesia yang berdiri sendiri, tidak bias dibagi-bagi dan mutlak berbeda dengan Negara lain. Persatuan Indonesia merupakan jalan untuk mewujudkan cita-cita nasional. Persatuan dapat diwujudkan dengan adanya kerjasama dan kebersamaan dalam bentuk gotong royong dalam mencapai tujuan bersama. Persatuan Indonesia diperkuat dengan adanya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang menyatukan segala macam kemajemukan yang ada melebur menjadi satu Negara bangsa Indonesia. Pancasila yang didalamnya mengandung persatuan dan kesatuan dalam sila-silanya maka persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkeraykatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat perwakilan, yang beradilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 4. Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat perwakilan Hakekat sila keempat ialah rakyat, yang dalam kaitannya dengan manusia ialah menghendaki manusia yang mampu menjadikan dirinya sungguh-sungguh sebagai bagian dari rakyat. Manusia yang mampu berbuat dari, oleh dan untuk kepentingan bersama. Manusia yang mampu

39 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 120

40 Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, h. 49 68

memecahkan problema bersama secara musyawarah dan mufakat.41 Sila keempat Pancasila mengandung isi arti bahwa sifat dan keadaan Negara harus sesuai dengan hakekat rakyat, sehingga Negara Indonesia bukan Negara satu orang, bukan Negara golongan, tetapi Negara yang didasarkan atas seluruh rakyat, bukan pada golongan dan bukan pada perseorangan, berdasarkan atas kekuasaan yang ada ditangan rakyat (kedaulatan rakyat), berdasarkan atas muyswarah dan gotong royong. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Hakekat sila kelima ialah keadilan, berkaitan dengan manusia ialah manusia yang mampu memiliki nilai keadilan didalam dirinya, kemudian melaksanakannya dengan baik. Adil dalam hal ini bukan hanya kepada sesame manusia namun juga mancakup adil terhadap alam dan lingkungan sekitar dan juga adil terhadap Tuhan.42 Sila keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung isi arti kesesuaian hakekat dari adil. Adil dalam Kamus Besar Basaha Indonesia ialah sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, sedangkan keadilan sosial diartikan dengan kerjasama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup berdasar kemampuan aslinya.43 Hakekat adil menurut Notonagoro ialah dipenuhinya segala sesuatu yang telah dipenuhinya segala sesuatu yang telah merupakan suatu hak dalam hiduo bersama sebagai sifat hubungan satu dengan yang lain, mengakibatkan bahwa memenuhi setiap hak dalam hubungan satu dengan

41 Sunoto, Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, h. 22

42 Sunoto, Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, h. 23-24

43 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 10 69

yang lain adalah suatu kwajiban.44 Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ialah setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hokum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.45 Keadilan sosial sebagai sila terakhir ialah merupakan tujuan dari bangsa Indonesia dalam bernegara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Adanya keadilan sosial yang ingin diwujudkan merupakan konsekuensi dari penindasan yang menyengsarakan rakyat dari akibat adanya penjajahan.

44 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 162

45 Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat, h.52 BAB IV

PEMIKIRAN K.H. A. WAHID HASYIM TENTANG RELASI AGAMA DAN PANCASILA

A. Pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang hubungan Agama dan Pancasila Pancasila sebagai dasar Negara tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang terdapat dalam alinea keempat dan sebagaimana tertuang dalam memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar Negara Republik Indonesia.1 Pancasila yang telah disepakati tersebut menjadi dasar atau ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan lima sila dasar yang dijabarkan di dalam UUD 1945, itu artinya, pancasila dan UUD 1945 menjadi acuan dalam menjalani kehidupan bernegara. Kendati masih ada ketidakpuasan dari sebagian kalangan akan rumusan sila-sila dari Pancasila, karena dihapusnya tujuh kata Islami, namun penerimaan Pancasila oleh sebagian umat Islam sebagai dasar ideologi Negara, tidak luput dari pertimbangan akan nilai-nilai Islam didalamnya.2 Dari serangkaian diskusi dan pertemuan Panitia Sembilan dihasilkan rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan dari pembentukan Negara Indonesia merdeka dalam sebuah preambule yang dinamakan “Piagam Jakarta” pada 22 Juni 1945. Rumusan dari dasar Negara Indonesia itu adalah:

1 Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah (Konsep Teori dan Analisis Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia), (Jakarta: Media Bangsa, 2012), h. 35

2 https://www.nu.or.id/post/read/64325/teks-deklarasi-hubungan-islam-pancasila- pada-munas-nu-1983 di akses pada 1 Agustus 2019

70

71

1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya 2. (menurut) Dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. (dan) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. (serta) dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.3

Namun sebelum konsep Piagam jakarta tersebut disahkan pada sidang tanggal 12 Juli, terdapat masalah yang sangat serius. Masalah itu bermula ketika muncul aspirasi dari kelompok minoritas non-Muslim dari Indonesia Timur kepada Mohammad Hatta yang menyatakan agar sebelum UUD itu disepakati sebaiknya dilakukan perubahan terhadap diktum pertama Piagam Jakarta. Mereka menghendaki kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya” dihapus dan diganti dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Menurut Mohammad Hatta, tujuh kata pada butir pertama dari piagam Jakarta itu adalah hasil dari pemikiran KH. Wahid Hasyim. Dengan melihat pada kenyataan bahwa Islam adalah keyakinan mayoritas yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia serta keunggulan dan kelengkapan ajaran Islam dibandingkan dengan ajaran-ajaran agama lain, maka K.H Wahid Hasyim semula ingin mewujudkan Islam menjadi dasar negara, yang tentunya pemikiran ini mendapatkan dukungan dari perwakilan kelompok Islam yang berjumlah 15 orang dalam BPUPKI. Selain itu, jika dicermati lebih teliti, kalimat pada diktum pertama Piagam Jakarta tersebut tidak lebih sebagai

3 Marwati Djoenoed & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta, Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan PT. Balai Pustaka), h. 71

72

sebuah ungkapan realitas yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia yang memang mayoritas Muslim. Namun kalimat tersebut juga tidak terlalu salah jika dipahami adanya “diskriminasi” terhadap agama dan keyakinan lain.4

Wahid Hasyim sebagai pencetus dari kalimat tersebut membantah persepsi yang menyatakan bahwa kalimat itu memiliki potensi pada munculnya rasa fanatisme dan seolah-oleh syari’at Islam harus dipaksakan untuk dipatuhi dan dilaksanakan bagi kalangan non-Islam. Bagi Wahid Hasyim tidak ada paksaan terhadap disetujuinya kalimat tersebut oleh para anggota BPUPKI yang lain termasuk dari anggota non-Muslim karena pada awalnya kalimat itu disepakati melalui mekanisme demokratis yang berlangsung dalam BPUPKI.

Ia juga menolak jika butir pertama Piagam Jakarta itu sebagai sebuah kalimat yang tajam, karena ini adalah pendapat subyektif bagi yang menyatakannya sebagai demikian. Untuk hal ini K.H Wahid Hasyim memberikan bukti dan kenyataan di mana sebagian anggota BPUPKI yang lain melihat serta menilai bahwa kalimat itu bukan sebagai sebuah narasi kalimat yang tajam. Dalam menjelaskan dan memberi argumentasinya, K.H Wahid Hasyim menyatakan bahwa Islam merupakan satu sistem agama, sosial, politik, dan sebagainya yang bersumber serta berstandar kepada kitab suci Al-Qur’an. Sebagai sumber dan sandaran, Al-Qur’an ibarat sebuah bangunan yang kokoh karena berasal dari Allah SWT.5

4 Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, (Jakarta: Kinta, 1972) h. 451-458

5 Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, (Jawa Timur: Pustaka Tebuireng, 2015), h. 377

73

Sehari setelah proklamasi, K.H Wahid Hasyim berubah pikiran. Ia malah mendukung usulan kalangan nasionalis sekuler dalam menghapus tujuh kata tersebut. Dengan demikian, jika diteliti lebih lanjut, disinilah kebesaran jiwa seorang K.H Wahid Hasyim tampak mencolok. Ia mendahulukan kepentingan lebih besar dalam skala jangka panjang. Ia lebih memilih menekankan sisi substansi dari pada tampilan formalitas. Ia lebih bijak dalam menyikapi persoalan dasar Negara, dan dalam menempatkan posisi Pancasila dalam struktur keberagaman muslim Indonesia. Apa yang diperjuangkan K.H Wahid Hasyim saat itu adalah melakukan upaya-upaya Islamisasi disegala bidang, terutama dalam konstitusi Negara. Akan tetapi, tatkala ia menjumpai sebuah permasalahan besar yang menyangkut persatuan dan kesatuan umat, ia rela meninggalkan pendapat pribadinya, demi kemaslahatan umat.6 K.H Wahid Hasyim memiliki argumentasi kuat dalam melakukan penghapusan tujuh kata itu. K.H Wahid Hasyim melihat ide dan gagasannya mengenai Islam terlalu beresiko jika dipaksakan.7 Penerimaan dan pengamalan Pancasila, demikian yang dikutip oleh Muchith Muzadi, merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia dalam menjalankan syari’ah.8 Sebagai seorang yang dibesarkan di kalangan tradisionalis yang bercorak pemikiran Sunni, K.H Wahid Hasyim tentu saja banyak dipengaruhi oleh khazanah pemikiran klasik. Ditinjau dari segi pemikiran Nahdlatul Ulama yang mempengaruhinya, sikap K.H Wahid memiliki konsistensi rasional. Dalam mengantisipasi gejala-gejala sosial politik, NU selalu

6 Rijal Mumazziq, “Relasi Agama dan Negara Perspektif K.H Wahid Hasyim” Al- Daulah. Vol. 5 No. 2, Oktober 2015, h. 343-344

7 Saifuddin Zuhri, Keleidoskop Politik Indonesia, Jilid I, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 197

8 Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H.A Muchith Muzadi, (Surabaya: Khalista, 2008), h 103 74

melihatnya tidak dalam posisi seutuhnya. Apa yang dilakukan oleh K.H Wahid Hasyim dengan menerima Pancasila, merupakan implementasi dari sebuah doktrin fiqh. Tatkala Negara Islam tak terbentuk, maka nilai-nilai Islam akan berusaha diakomodasi oleh Pancasila. Pemikiran fiqh menyediakan jalan keluar tanpa harus terjebak dalam sikap-sikap yang dipaksakan. Selain itu, wujud formal Negara telah memenuhi kualifikasi menurut syari’ah, yang secara de jure diputuskan dalam muktamar NU di Banjarmasin pada 1936, merupakan perintah agama yang harus diikuti.9 Dua alasan penerimaan K.H Wahid Hasyim terhadap Pancasila adalah kondisi saat itu yang sangat membutuhkan persatuan untuk menghadapi Belanda yang berusaha kembali ke daerah jajahan mereka. Alasan lainnya adalah bahwa kewajiban mengikuti syari’ah Islam bagi umat Islam akan tetap mendapatkan tempatnya dalam penerapan yang jujur terhadap pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap warga Negara untuk memeluk agama dan mengamalkan menurut agamanya masing-masing. Dalam alasan pertama, K.H Wahid Hasyim tampaknya menggunakan kaidah dar al-mafasid muqaddam ala jalb al-mashalih; mendahulukan upaya menghindari bahaya atau kerusuhan daripada melaksanakan kemaslahatan yang lebih besar.10 Kaidah ini menjelaskan bahwasannya mencegah bahaya lebih diutamakan daripada mencari kemaslahatan untuk dirinya. Dengan mempertimbangkan usia republik yang baru diproklamirkan, ia menghindari resiko perpecahan, terutama dengan kawasan Indonesia Timur maupun dengan umat beragama lain, dengan konsekuensi permintaan menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Padahal, yang dibutuhkan saat itu adalah persatuan, bukan perpecahan yang diakibatkan perbedaan sectarian.

9 Rijal Mumazziq, “Relasi Agama dan Negara Perspektif K.H Wahid Hasyim” Al- Daulah. Vol. 5 No. 2, Oktober 2015, h. 345

10 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan sehari-hari, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 162 75

Dengan demikian, polarisasi dan friksi akut yang akan terjadi dikalangan internal umat Islam maupun kelompok non-muslim, jika ia tetap bersikukuh mempertahankan pendapatnya. Padahal sebagaimana Boland anak kalimat tersebut sangat penting artinya pada tahun-tahun berikutnya karena memberikan peluang kepada masyarakat Islam yang berusaha keras melaksanakan cita-cita Negara Islam dengan cara konstitusional. Intinya, Piagam Jakarta adalah pintu menuju Negara berdasarkan Islam, sebagaimana yang dikehendaki K.H Wahid Hasyim bersama kelompok nasionalis Islam dalam sidang BPUPKI. Tetapi, kalangan nasionalis Islam lebih memilih mengalah.11 Seperti yang diungkapkan Saifuddin Zuhri (mantan Menteri Agama), ia menceritakan bagaimana K.H Wahid Hasyim menjelaskan kepadanya masalah kesepakatan tersebut, K.H Wahid Hasyim di dalam pertemuan 18 Agustus 1945 itu menyatakan bahwa kelompok minoritas bisa melakukan politik ofensif, bahkan disertai dengan ancaman karena mereka tertindas. Tetapi sebagai kelompok yang mempunyai kepentingan atas kokohnya persatuan untuk menghadapi Belanda, para pemimpin Islam dan para nasionalis sudah sepatutnya memenuhi keinginan itu. Menurut K.H Wahid Hasyim, penerapan syari’ah Islam boleh ditampung melalui pelaksanaan Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 secara jujur. Apabila aturan yang menjamin kemerdekaan beragama dan beribadah ini dijalankan dengan baik, maka berarti sudah semestinya kewajiban menjalankan syari’ah Islam akan tumbuh sebagai kesadaran setiap Muslim.12 Bagi K.H Wahid Hasyim, yang harus diterima dan yang terpenting adalah di dalam Indonesia, yaitu adanya Negara yang memungkinkan kaum

11 B.J Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), h. 72

12 Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2007), h. 36 76

muslimin melaksanakan ajaran agama mereka secara nyata.13 Dengan demikian, pemberlakuan syari’ah adalah melalui cara persuasif. Tampaknya pendapat K.H Wahid Hasyim itu dipengaruhi oleh keputusan Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU di Banjarmasin pada 1963 yang memutuskan bahwa kawasan Hindia Belanda telah memenuhi syarat sebagai Dar al-Islam (Negara Islam). Sebagai seorang nasionalis yang akrab dengan nilai-nilai Islam, Wahid Hasyim berusaha menjalani kehidupan sebagai seorang negarawan, juga sebagai seorang muslim. Sebagai negarawan, ia tidak mau persatuan bangsa Indonesia terkoyak dengan adanya pemberontakan di berbagai daerah. Pada gerakan oposisi Angkatan Umat Islam di Kebumen, K.H Wahid Hasyim selaku Menteri Agama berusaha mendatangi mereka guna mengajak menghentikan perlawanan. Bahkan, konon ia sempat diculik oleh anak buah Kahar Muzakkar, guna dimintai pertimbangan dan nasehat. Begitu pula tatkala nama K.H Wahid Hasyim dicatut oleh sebagai salah satu calon menteri jika upaya kudeta yang dilakukan berhasil, K.H Wahid Hasyim sontak terkejut dan tak menyetujui upaya kudeta yang dilakukan Chaerul Saleh dan Tan Malaka, sahabat eratnya itu.14 Apa yang dikehendaki K.H Wahid Hasyim dalam memandang posisi Negara adalah, bahwa Negara memiliki peranan penting sebagai sebuah kesepakatan dari berbagai elemen bangsa. Untuk itulah, ia bersikukuh mempertahankan persatuan dan keutuhan bangsa. ia juga bersedia menerima Pancasila sebagai dasar Negara karena disamping Pancasila dianggap baik Islam juga harus memberikan motivasi untuk menerima, bukan hanya

13 Imam Ghazali Said dan A. Ma’ruf Asrori, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU (1926-1999), (Surabaya: Diantama, 2004), h. 185

14 Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 313

77

Pancasila, tetapi juga apa yang baik yang dapat memberikan kontribusi bagi perwujudan nilai-nilai Islam secara konkrit. Dalam menilai Negara, K.H Wahid Hasyim dikategorikan seorang yang substansialis, yang berpandangan relasi agama dan Negara sebagai hubungan yang simbiosis mutualistik. Dalam pandangannya, Negara sekedar melayani keperluan agama rakyat sesuai dengan dasar Pancasila terhadap persoalan yang bersifat individual, menurut K.H Wahid Hasyim, pemerintah tidak boleh mencapurinya dan hanya boleh mengatur persoalan agama pada segi yang bersifat kemasyarakatan. Pancasila dipandang sebagai suatu produk masyarakat yang diperlukan untuk keperluan itu sendiri. Pancasila dinilai sebagai falsafah Negara, sedangkan agama adalah wahyu. Pada dasarnya, sila- sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, kecuali jika diisi dengan tafsiran atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sering dikatakan bahwa Islam tidak dapat memisahkan antara agama dan politik. Tetapi, ia membedakan mana bidang yang berguna untuk ditanggapi dan mana yang tidak berguna; dan mana yang harus diterima dan mana yang harus di tolak demi tujuan keagamaan.15 Dari sudut pandang umat Islam, Pancasila menurut Abdurrahman Wahid putra dari K.H Wahid Hasyim adalah upaya maksimal warga muslim Indonesia untuk menyelamatkan bentuk Negara ditengah tarikan keinginan untuk membuat dasar Negara sekuler dan Islam. Pancasila bagi umat Islam adalah dasar Negara, sedangkan Islam adalah akidahnya. Pancasila mengatur tata hidup bernegara, sedangkan tata hidup beragama diatur oleh Islam. Keduanya tidak akan berbenturan dan tidak perlu dibenturkan, sehingga menurut Gus Dur, Islam tidak perlu menjadi agama resmi Negara dan

15 Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, h. 179 78

diformalisasikan dalam bentuk undang-undang Negara, tetapi yang penting adalah jaminan Negara bagi umat Islam untuk menjalankan agamanya.16 Meskipun ada sebagian rakyat Indonesia yang berkeinginan menghidupkan syari’ah Islam dengan mewujudkan Negara Indonesia sebagai Negara Islam, namun dengan lahirnya Republik Indonesia semuanya harus bisa menerima. Sebab yang terpenting didalamnya, menurut K.H Wahid Hasyim adalah kaum muslimin dapat melaksanakan ajaran agamanya secara nyata. Dicantumkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan dasar demokrasi (kedaulatan rakyat) dalam Pancasila memberikan pegangan kepada bangsa Indonesia untuk memberikan kebebasan dan kemerdekaan suatu golongan kepada golongan lain. Pertemuan dua prinsip, lanjutnya mengakibatkan adanya kompromi; keinginan kaum muslimin untuk menghidupkan syari’ah agamanya tetap diberi jalan, tetapi prinsip demokrasi juga dipertahankan agar keinginan tadi tidak mendesak dan merugikan golongan lain. Hal ini tampaknya sesuai dengan apa yang dikatakan Abdelwahab el- Affendi, bahwa Negara akan sesuai dengan syari’ah yang tak dipaksakan, tetapi merupakan sebuah ekspresi sesungguhnya dari kehendak masyarakat tersebut. Dengan kenggotaan yang benar-benar bebas, masyarakat muslim di jantung Negara ini merupakan masyarakat yang memilih untuk hidup sesuai dengan Islam dan mentaati syari’ah. Karena itu, syari’ah benar-benar ditaati hanya bila rakyat melakukan secara sukarela dan tulus.17 Meski menyempatkan untuk menempatkan Islam sebagai dasar Negara, K.H. Wahid Hasyim justru menyetujui penghapusan tujuh kata itu dari UUD 1945. Terlepas dari polemik dan kontroversi yang seputar kehadiran K.H. Wahid Hasyim pada 18 Agustus itu, tak dapat diragukan lagi

16 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: PT Grasindo, 1999), h. 19

17 Abdelwahab el-Affendi, Mayarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 94 79

bahwa peran dan kontribusi beliau dalam perumusan dasar Negara menjadi sangat signifikan. Disini penulis melihat apa yang dilakukan K.H. Wahid Hasyim sangat penting dan menarik, sebab diantara beberapa usulnya adalah dicantumkannya Islam secara formal sebagai agama Negara disertai syarat bahwa presiden harus orang Islam. Selain itu, upaya formalisasi Islam sebagai agama Negara juga tampak dalam proses perumusan dan pengesahan Piagam Jakarta.

B. Relevansi pemikiran K.H Wahid Hasyim dengan kondisi Indonesia saat ini K.H Wahid Hasyim adalah pemikir, perumus, serta pelaku sejarah Indonesia modern abad ke-20 yang sangat penting. Kiai Wahid adalah seorang pemuda “made in pesantren” yang brilian dan berpandangan kedepan melampaui kebanyakan orang pada waktu itu. Ide-ide dan gagasannya serta kiprahnya dalam memperjuangkan kemerdekaan, pergerakan, politik dan pendidikan adalah indikator utama K.H Wahid Hasyim dalam berpandangan kedepan. Buah pikiran dan cita-citanya ramuan antara peradaban Melayu Nusantara dan peradaban Indonesia Modern periode kemerdekaan, yang diteruskan oleh generasi berikutnya. Aktivitas K.H Wahid Hasyim dalam skala nasional menunjukan bahwa K.H Wahid Hasyim adalah orang yang sangat gigih mengusulkan Indonesia menjadi Negara yang berdasarkan Islam. Namun Islam bukan harga mati baginya. Ini terbukti ketika pada satu hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, K.H Wahid Hasyim tanpa berbelit- belit dapat menerima usulan yang diajukan Mohammad Hatta agar segala rumusan yang memuat Islam secara eksplisit dihapuskan dari pembukaan dan batang tubuh undang-Undang Dasar, karena disinyalir ada keberatan dari penduduk dari Indonesia bagian Timur yang tidak ingin bergabung dengan Indonesia merdeka jika berdasarkan Islam. disinilah peran K.H Wahid 80

Hasyim cukup penting dalam ikut menyelamatkan persatuan bangsa Indonesia. Tidak terbayangkan apa yang terjadi jika seandainya K.H Wahid Hasyim menolak usulan tersebut, karena bagi K.H Wahid Hasyim persatuan bangsa Indonesia lebih penting dari pengakuan formal terhadap Islam.18 Sejarah mencatat bahwa gerakan-gerakan nasionalis sekuler lebih mendominasi pemerintahan Indonesia, terutama pada pemerintahan represif Orde Baru. Salah satunya Pancasila dijadikan alat penguasa untuk bertindak represif terhadap kelompok penentang kebijakan pemerintah dengan tudingan tidak “Pancasilais”. Pancasila dijadikan alat penyeragaman Indonesia yang majemuk.19 Akibatnya, gerakan-gerakan Islam, terutama yang berkaitan dengan politik, bergerak secara eksklusif dan klandestine. Akibatnya, tatkala Orde Baru runtuh pada 1998, gerakan-gerakan politik yang mengusung wacana-wacana Islam politik kembali marak. Masa transisi ini sekaligus menjadikan pertanyaan besar seiring dengan runtuhnya bangunan politik lama dan belum tercapainya bangunan politik yang baru. Dalam konteks ini, relasi Islam dan Negara, dimana keberadaan NKRI dengan dasar Pancasila telah dianggap final. Termasuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta, kembali semarak. Partai politik yang mengidentifikan diri dengan Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), berupaya memasukan Piagam Jakarta dalam amandemen UUD pada tahun 1999. Di luar parlemen, upaya menghidupkan syari’ah Islam dalam Negara dilakukan juga oleh ormas keagamaan seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), hingga Front Pembela Islam, hingga saat ini.

18 Azyumardi Azra (ed), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: PPIM, 1998), h. 112

19 M. Zaid Wahyudi, Relasi Agama dan Negara yang Terus Digugat, Kompas, Selasa 26 Juni 2007 81

Upaya melakukan hukum Islam secara formal, pernah dilakukan golongan nasionalis Islami, pada pembahasan dasar Negara pada zaman pra kemerdekaan. K.H Wahid Hasyim, salah satu tokoh Islam terkemuka saat itu, menginginkan Islam dijadikan dasar Negara Indonesia. Ia begitu kukuh memperjuangkan cita-citanya. Akan tetapi, pada tanggal 18 Agustus 1945, ia memprakarsai penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis Negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakan Negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakan kemerdekaan, namun untuk mengisi Negara merdeka kelompok Islam tidak selalu pada posisi yang menentukan. Gagasan K.H Wahid Hasyim sebenarnya didasarkan pada prinsip tujuan dan cara pencapaiannya untuk melihat pentingnya aspek fungsionalisasi ajaran agama. Dalam konteks ini kemudian K.H Wahid Hasyim berupaya untuk memberikan solusi atas ketegangan antara dua kutub yang berbeda; yaitu antara nasionalis Islam dan nasionalis sekuler maupun antara mereka yang menginginkan Islam sebagai dasar Negara dan menginginkan sekulerisme tumbuh di Indonesia. K.H Wahid Hasyim, secara tidak langsung ingin mejadikan Islam sebagai etika sosial dalam kehidupan bernegara. Pemikiran ini kemudian lebih cenderung pada kedekatan pada paradigma simbiotik dimana Negara dan agama saling menunjang. Yaitu menempatkan Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural. Keyakinan ini, didasarkan atas pemahaman mengenai relasi Negara dan agama dalam pemikiran Ibnu Khaldun, yang menganggap pembentukan sebuah Negara disamping paham keagamaan, juga diperlukan rasa keterkaitan atau perasaan kelompok. 82

Dengan demikian diskursus relasi Negara dan agama memang ada dialektika Islam. Hal inilah yang kemudian tidak bisa dijustifikasi kebenarannya yang mana yang benar atau yang mana yang salah. Hanya saja sebagai solusi altefnatif, bagaimana kemudian masyarakat bisa mendapatkan keadilan dan kesejahteraan dalam bernegara, dimana dalam hal inilah yang dijelaskan dalam kehidupan agama khususnya Islam. Menurut K.H Wahid Hasyim yang pada saat itu mewakili NU mempunyai penafsiran liberan terhadap Piagam Jakarta dengan mengartikannya sebagai penegasan “hak” untuk melaksanakan ibadah, dan bukan “keharusan”.20 Inilah salah satu pemikiran K.H Wahid Hasyim yang relevan hingga kini. Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidaklah dipahami sebagai kekalahan golongan nasionalis Islami melawan nasionalis sekluer. Justru itu adalah kemenangan politik wakil-wakil muslim, dan bahkan kemenangan kaum muslim di Indonesia. Islam menghendaki para pengikutnya untuk berjuang bagi kebaikan universal (rahmatan li al-alamin), dan kembali ke keadaan nyata Indonesia, maka sudah jelas bahwa sistem yang menjamin kebaikan konstitusional bagi seluruh bangsa ialah sistem yang telah disepakati bersama, yakni pokok-pokok yang terkenal dengan Pancasila menurut semangat UUD 1945. Dalam hal ini penting dan terpaksa harus sering dikemukakan, terutama karena hal itu menyangkut persoalan pokok yang untuk sebagian masyarakat muslim dianggap belum selesai. Padahal kaum muslim di Indonesia seharusnya tidak perlu menolak Pancasila dan UUD 1945 karena ia sudah sangat Islami. Sifat Islami keduanya didasarkan pada dua pertimbangan yakni: pertama, nilai-nilainya di benarkan oleh ajaran Islam, dan kedua, fungsinya sebagai noktah-noktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan sosial-politik bersama.

20 Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara, h. 381 83

Harus diakui, sintesa antara agama dan Pancasila di Indonesia menunjukan jalan yang rumit, namun unik. Hingga kini, polemik masih terjadi untuk sekedar merebut Republik Indonesia sebagai Negara dengan klasifikasi seperti apa; bukan integralistik, juga bukan sekuler. Mungkin yang paling tepat adalah dengan menyebutnya sebagai Negara simbiotik; Negara dan agama saling menopang dan mengisi, tanpa saling berhadapan secara konfrontatif. Lebih tepatnya, jika relasi dalam diskursus ini menganut model jalan tengah, dimana Negara mengakui ekstitensi agama dalam konstitusinya dan pada saat yang sama politik agama tidak menguasai agama.

84

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan pada uraian pada bab-bab sebelumnya, skripsi ini setidaknya dapat menyimpulkan dan menemukan beberapa hal penting terkait pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang relasi agama dan Pancasila, yaitu: 1. Dalam menilai relasi agama dan Pancasila, K.H Wahid Hasyim adalah seorang yang substansialis yang dimana ia menghendaki agar agama ditempatkan dalam posisi strategis dalam kehidupan bernegara. 2. Pemikiran K.H Wahid Hasyim tentang relasi agama dan pancasila merujuk pada paradigma simbiosis mutualistik. Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Negara membutuhkan agama, agama membutuhkan negara dalam pembinaan moral, etika dan spiritualitas.

Dalam hubungan Agama dan Pancasila di Indonesia menunjukan jalan yang rumit. Hingga kini permasalahan masih terjadi untuk sekedar merebut Republik Indonesia sebagai Negara dengan paradigma seperti apa: bukan integralistik, juga bukan sekuleristik, tetapi yang paling tepat ialah dengan menyebutnya sebagai Negara simbiotik; Negara dan Agama saling menopang dan mengisi tanpa saling berhadapan secara konfrontasi.

85

B. Saran 1. Di tengah maraknya permasalahan yang dihadapi Negara Indonesia ini, mulai dari permasalahan ekonomi, sosial, pendidikan sampai dengan politik yang belum terselesaikan sampai saat ini, maka sudah seharusnya kita sebagai rakyat Indonesia untuk menghindari konfrontasi ditengah permasalahan bangsa Indonesia saat ini. Pada dasarnya Pancasila itu sudah final adanya. Ketika membicarakan Pancasila berarti membicarakan persatuan. 2. Kepada bangsa Indonesia sudah saatnya untuk menjunjung tinggi nilai persatuan. Akan lebih baik jika bersikap toleran, mengambil jalan tengah dan bersikap adil dalam menyikapi permasalahan Negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. Paradigma Baru Filsafat Pancasila dan Kewarganegaraan. Semarang: RaSAIL Media Group, 2009.

Ahmad, Munawar. Ijtihad Politik Gus Dur; Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2010. ______. Menurut Akar Pemikiran Politik Krisis di Indonesia dan Penerapan Critical Discourse Analysis Sebagai Alternatif Metodologi. Yogyakarta: Gava Media, 2007. Astuti, Ngudi. Pancasila dan Piagam Madinah: Konsep Teori dan Analisis Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia. Jakarta: Media Bangsa, 2012. Atjeh, Aboebakar. Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim. Jawa Timur: Pustaka Tebuireng, 2015. Azra, Azyumardi; Saiful Umam. Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik. Jakarta: PPIM, 1998. Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972. Jakarta: Grafiti Press, 1985.

Budiarjdo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2001.

Darmodiharjo, Darji, dkk. Santiaji Pancasila: Suatu Tinjauan Filosofis, Historis, dan Yuridis-Konstitusional. Surabaya: Usaha Nasional, 1988. ______. Pancasila Suatu Orientasi Singkat. Jakarta: Balai Pustaka, 1979.

Dhofier, Zamarkhasyi. Tradisi Pesantren {Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai}. Jakarta: LP3ES, 1985.

Djoenoed, Marwati & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta, Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan PT. Balai Pustaka. Effendi, A.M. Falsafah Negara Pancasila. Semarang: CV. Triadan Offset Semarang, 1995.

Effendi, Bahtiar. Teologi Baru Politik Islam. Yogyakarta: Galang Press, 2001.

86

87

El-Affendi, Abdelwahab. Mayarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam. Yogyakarta: LKiS, 2001.

Fauzi, Ahmad, dkk. Pancasila di Tinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis. Surabaya: Usaha Offset Printing, 1983.

Feillard, Andree. NU Vis a Vis Negara. Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2007.

Haidar, Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fiqih Dalam Politik. Jakarta: Gramedia, 1994. Hasyim, Masykur. Merakit Negeri Berserakan. Surabaya: Yayasan 95, 2002.

Hatta, Mohammad. Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Kinta, 1972 https://www.nu.or.id/post/read/64325/teks-deklarasi-hubungan-islam pancasila-pada-munas-nu-1983 di akses pada 1 Agustus 2019.

Ibnu Syarif, Mujar dan Khamami Zada. Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta : Erlangga, 2008. Jamil, M. Mukhsin, dkk. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2007. Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995. Latif, Yudi. Mata Air Keterladanan: Pancasila dalam Perbuatan. Jakarta: Mizan, 2014.

______. Yudi. Intelegensia dan Kuasa, Jakarta : Democracy Project, 2012 Mansyur Surya Negara, Ahmad. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2010. Ma’shum, Saifullah. Menapak Jejak Mengenal Watak: Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama. Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 1994.

______. Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU. Bandung: Mizan, 1998. 88

Mashad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Kautsar, 2008. McLellan, David. Ideologi Tanpa Akhir. Alih bahasa Muhammad Syukri. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005. Miftahuddin. KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara. Bandung: Marja, 2017. Mulyana, Deddy. Metode Penelitian Kualitatif, {Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya}. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.

Mumazziq, Rijal. “Relasi Agama dan Negara Perspektif K.H Wahid Hasyim” Al- Daulah. Vol. 5 No. 2, Oktober 2015, 345

Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Pustaka LP3ES, 1994. Notonagoro. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Said, Ali, As’ad. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa. Jakarta: LP2ES, 2009.

Said, Imam Ghazali, dan A. Ma’ruf Asrori, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU (1926-1999), Surabaya: Diantama, 2004.

Saifuddin Anshari, Endang. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1859. Bandung: Penerbit Pustaka, 1983. Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2004.

Seri Buku Tempo, Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng, Jakarta: KPG- Kepustakaan Populer Gramedia, 2011. Sitompul, Einar Martahan. NU Dan Pancasila. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2010.

89

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990

Subandi, Al-Marsudi. Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2003.

Sukarno. Paradigma Baru, Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015. Sunoto. Filsafat Sosial dan Politik Pancasila. Yogyakarta: Andi Offset, 1989.

Supriyadi, Ulama Pendiri, Penggerak, Intelektual NU dari Jombang, Jawa Timur: Pustaka Tebuireng Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, 2015. Thohir, Anas, et. Al., Kebangkitan Umat Islam dan peranan NU di Indonesia. Surabaya: PCNU Kodya Surabaya, 1980. Van Bruinessen, Martin. NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. alih bahasa Farid Wajidi. Yogyakarta: LkiS, 1994. Wahid, Abdurrahman. Mengurai Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: PT Grasindo, 1999.

Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan sehari- hari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

Zaini, Achmad. K.H Abdul Wahid Hasyim Pembaruan Pendidikan Islam dan Pejuang Kemerdekaan. Jombang: Pesantren Tebuireng, 2011. Ziemek, Mahfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial, terj. BB. Soendjojo. Jakarta: P3M, 1986. Zuhri, Saifuddin. Guruku Orang-Orang Dari Pesantren. Yogyakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri dan LKiS, 2001.

______. Keleidoskop Politik Indonesia, Jilid I. Jakarta: Gunung Agung, 1987.

______. Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung, 1987.