Pergolakan Politik Antara Tokoh Muslim Dan Nasionalis Dalam Penentuan Dasar Negara Republik Indonesia

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Pergolakan Politik Antara Tokoh Muslim Dan Nasionalis Dalam Penentuan Dasar Negara Republik Indonesia PERGOLAKAN POLITIK ANTARA TOKOH MUSLIM DAN NASIONALIS DALAM PENENTUAN DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA Imam Amrusi Jailani Fakultas Syari’ah , UIN Sunan Ampel Surabaya Jl. A. Yani 117 Surabaya email: [email protected] Abstrak: Pengkajian yang menggambarkan moment krusial dan bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia menjelang dan sesaat setelah proklamasi kemerdekaan amatlah urgent. Sudah dimaklumi bahwa terdapat dua faksi yang keduanya saling berkompetisi dalam menentukan dasar Negara Republik ini, yaitu kalangan Muslim, yang berpendirian bahwa dasar Negara dari bangsa Indonesia harus Islam, dan golongan nasionalis “sekuler” yang memandang bahwa Negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas kebangsaan, bukan Islam. Memang iakui bahwa mayoritas tim perumus yang tergabung dalam keanggotaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah Muslim, namun pada kenyataannya mereka tidak seia sekata dalam memoosisikan Islam sebagai dasar negara, dan akhirnya dicapai kesepakatan bahwa dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila. Pencapaian konsesus tersebut merupakan kredit point tersendiri, khususnya mengenai jiwa besar para elit atau tokoh Muslim dengan menerima Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Bagi mereka, kepentingan bangsa dan Negara berada di atas segala-galanya. Tendensi golongan, apalagi kepentingan pribadi, untuk sejenak dilupakan, demi kepentingan umat dan bangsa. Abstract: Study describing crucial and historical moments in Indonesia before and after Independence was urgent. It was knowledgeable that there were two fractions competing each other in determining the basis of this Republic Country, those were Islam group, it had a concept that Indonesian must be Islam, and the other was secular nationalism which had point of view that Indonesian must be nationalistic, not Islam. It is recognized that the majority of the design team incorporated in the membership of the Preparatory Committee for Indonesian Independence (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI) are Muslims, but in reality they are not unanimous in the position of Islam as basis of the state, and finally reached an agreement that the basis of the republic of Indonesia is Pancasila. The consensus- building is a separate points-credit, especially about the great soul of the elite or the Muslim leaders to accept Pancasila as the basis of the Republic of Indonesia. For them, the interests of the nation and the State is above everything. Tendency of Imam Amrusi Jailani group, moreover personal interests, for a moment forgotten, for the sake of the people and the nation. Kata-kata Kunci: Islam, Muslim, nasionalis, dasar negara, Pancasila Pendahuluan agar tidak terjadi kecemburuan dan dis- Salah satu syarat iakuinya suatu kriminasi agama. Pada kenyataan selan- negara oleh negara lain adalah harus judnya lahirlah beberapa rumusan ten- memiliki dasar negara. Oleh karena itu, tang dasar negara yang antara lain adalah dasar negara dijadikan prasyarat didi- Piagam Jakarta dan Pancasila. Setelah rikannya suatu negara yang berdaulat. melalui diskusi yang alot serta perde- Antara negara dan dasar negara meru- batan yang menyita waktu serta mengu- pakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan ras perhatian para tokoh bangsa, maka satu sama lainnya, yang diibaratkan dua pada akhirnya, dengan berbagai pertim- sisi mata uang yang harus sama-sama ada bangan, pilihan mereka jatuh pada dan tidak boleh terbuang salah satu di Pancasila untuk dijadikan sebagai dasar antara keduanya. Hilangnya salah satu di negara Republik Indonesia. antara keduanya menyebabkan hilangnya Jika ditelisik dalam lintasan seja- semua hal tersebut. Suatu negara bisa rah, perjuangan bangsa Indonesia, khu- berdiri dengan tegak, kokoh, dan ber- susnya dalam konteks historis bangsa daulat jika dilandaskan pada dasar Indonesia menjelang diproklamasikannya negara yang mapan. Begitulah peng- kemerdekaan negara Indonesia, dikenal akuan secara konvensional dan menjadi adanya dua kelompok yang saling ber- wacana publik yang mengglobal dalam kompetisi dalam diskursus politik Indo- tata kelola berbangsa dan bernegara. nesia, yakni golongan Muslim dan go- Wacana ini pula yang menjadi topik longan nasionalis.2 Kedua kelompok diskusi paling alot di kalangan tokoh- tersebut sama-sama mencurahkan sege- tokoh bangsa Indonesia, baik kalangan nap perhatian dan pikirannya untuk Muslim maupun nasionalis. Satu pihak mempersiapkan rakyat dan bangsa Indo- menghendaki Islam sebagai ideologi nesia untuk menghirup udara kemer- bangsa dan memberlakukan hukum Is- dekaan. Dalam upaya tersebut, mereka lam di Indonesia,1 sementara pihak lain menawarkan beberapa konsep yang menghendaki dan merumuskan landasan kerap kali berhadap-hadapan (berten- negara yang berwawasan kebangsaan tangan). Di antara dispute tersebut adalah 1Pandangan tersebut didasarkan pada kenyataan 2 Penjelasan selengkapnya mengenai hal tersebut bahwa mayoritas bangsa Indonesia beragama dapat dilihat dalam Bakhtiar Efendi, Islam dan Islam, dan Islamic law pernah diberlakukan di Negara: Transformasi Pemikiran da Praktek Politik di Nusantara bersama dengan hukum Adat. Lihat Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 70. penjelasannya dalam B.J. Boland dan I. Farjon, Bandingkan dengan Daliar Noor yang mengi- Islam in Indonesia: A Bibliographycal Survey 1600- dentifikasikannya dengan golongan nasionalis 1942, with Post 1945 Addenda (t.d). Lihat juga netral agama dan nasionalis Islam. Daliar Noor, Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics under Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Soeharto (London: Routledge, 1994), hlm. 120-121. (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 267-271. 246 | KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014 Pergolakan Politik antara Tokoh Muslim dan Nasionalis menyangkut masalah nasionalisme,3 da- Asy’ari yang pelaksana hariannya adalah sar dan bentuk negara, apakah akan K.H. Wahid Hasyim.7 Pendekatan menjadi negara Islam atau sekular.4 semacam itu iambil oleh pemerintah Persiapan menyongsong kemerde- Jepang, yang menurut pengamatan Harry kaan merupakan langkah antisipatif dari J.Benda, tidak lain dalam rangka Nippon’s bangsa ini untuk menjadi bangsa yang Islamic grassroots policy untuk melawan berdaulat. Langkah antisipatif tersebut sekutu. Dengan modal dukungan yang bergulir dengan dinamis sejak mun- diharapkan tersebut, Jepang berupaya culnya gejala kekalahan Jepang atas untuk memertahankan eksistensinya se- sekutu. Fenomena tersebut sepertinya bagai penguasa Asia Raya. memberikan sinyal kuat pada Jepang Langkah antisipatif dari para tokoh akan munculnya vacuum of power bila pendiri bangsa ini rupanya lebih sigap mereka tidak segera bertindak. Akan ketimbang langkah strategi Jepang yang tetapi, Jepang juga tidak mau begitu saja kala itu sudah di ujung tanduk melepaskan Indonesia dari genggam- kekahannya. Dengan langkah sigap, para annya. Karena tokoh-tokoh perjuangan tokoh pendiri bangsa ini menetapkan kemerdekaan bangsa Indonesia memer- dasar negara, yang pilihannya jatuh pada siapkan langkah antisipatif, maka Jepang Pancasila. Lahirnya Pancasila sebagai pun tidak kalah ketinggalan juga memer- dasar negara juga menimbulkan polemik siapkan langkah strategis dan antisipatif. di kalangan cendikiawan Muslim Indo- Sebagai langkah antisipatif, pemerintah nesia: apakah Pancasila sesuai dengan Jepang adalah memberikan kelonggaran ajaran Islam atau malah sebaliknya. kepada rakyat Indonesia untuk berpar- Masalah pokok yang muncul adalah tisipasi dalam pemerintahan.5 Hal trsebut bagaimana memosisikan Islam dalam dibuktikannya dengan digantikannya dasar negera, yang dalam hal ini adalah tampuk kepemimpinan Shumubu,6 dari Pancasila. Kolonil Horie kepada Prof. Hussien Djayadiningrat, kemuian K.H. Hasyim Posisi Tawar Islam terhadap Dasar Negara pada Masa pra Proklamasi Kemerdekaan 3 Carlton J.H. Hayees mendefinisikan nasi- Penghujung 1944 merupakan ba- onalisme dengan a fusion of patriotism with a conciousness of nationality. Sedangkan patriotisme bak baru pendudukan Jepang yang akan didefinisikan sebagai love of country. Lihat Carlton segera memasuki masa penghujung pen- J.H. Hayees, Nasionalism: A Religion (New York: dudukannya. Ketika kondisi psikologis Mac Millan Company, 1960), hlm. 2. Lihat juga dan kekuatan perang mulai beralih Elnes Gelner, Nation and Nationalism (New York: dengan pengharapan memperoleh du- Cornel University Press, 1983), hlm. 1 – 5. 4 Lihat komentar Supomo mengenai untung dan kungan Indonesia untuk usaha pe- ruginya jika Indonesia menjadi negara Islam, rangnya, Jepang mengubah sikapnya dalam B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern tehadap kaum nasionalis Indonesia, Indonesia (Hague: Martinus Nijhoff, 1982), hlm.20. dengan memerkenalkan mereka meng- 5 /ihat A. Syafi’i 0a’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 188. 7 Penjelasan selengkapnya dapat dilihat dalam 6 Shumubu adalah kantor Departemen Agama Harry Julian Benda, The Cressent and The Rising (sekarang: Kementerian Agama), atau semacam Sun: Indonesian Islam under The Japanese Occupation, office for Native Affair pada masa pemerintahan 1942-1945 (The Hague: W. Van Hoeve, 1958), hlm. Hindia Belanda. 134. KARSA, Vol. 22 No. 2, Desember 2014| 247 Imam Amrusi Jailani ambil sebagian yang lebih aktif dalam persoalan-persoalan pokok tentang kon- urusan negara serta kebebasan bergerak flik yang mendatang antara para pen- yang lebih luas. Orang Indonesia kini dukung negara ”sekular” pada satu sisi diperkenalkan membentuk organisasi dan para pendukung negara Islam pada bersenjata sendiri. Di samping itu, pada 7 sisi yang
Recommended publications
  • Muslim Negarawan: Telaah Atas Pemikiran Dan Keteladanan Buya Hamka
    Andi Saputra MUSLIM NEGARAWAN: TELAAH ATAS PEMIKIRAN DAN KETELADANAN BUYA HAMKA Andi Saputra Mahasiswa Pascasarjana Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Pe- mikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Surel: [email protected] Abstract One of the primary values inherent in the personality of the nation (founding father) in addition to the breadth of insight is the strong pas- sion and love for the homeland nationality. Philosophy of life that stands on the foundation of nationalism and patriotism that is then color every movement, behavior as well as the epic struggle deeds they do, for the grounding the ideals of independence. Along with that, especially in the context of the independence of the nation, teaching in the form of ideas and ideals that appear to be important life values for the next generation. Besides an attempt to take the essence of the teaching given, also related to the effort to continue to foster national values and love of the homeland as the ethical foundation in terms of bringing the nation to the gates of progress. One in a series of well-known national leader is Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka); a statesman who thinks that nation- alism and patriotism as part of the faith (religion). Through a sociolog- ical theory of knowledge Mannheim has found that important teaching presented Hamka in relation to the life of the nation that is their re- sponsibility that must be realized that every citizen. Responsibilities shall include nationality, homeland, all of which according to Hamka in line with the main principles of Islam, namely amar ma’ruf nahi munkar.
    [Show full text]
  • Feminist Exegesis in Hamka's Tafsir Al-Azhar
    Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis – ISSN: 1411-6855 (p); 2548-4737 (e) Vol. 22, No. 2 (Juli 2021), hlm. 403-426, doi: 10.14421/qh.2021.2202-07 https://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/qurdis/index Article History: Submitted: 30-04-2021 Revised: 02-07-2021 Accepted: 05-07-2021 Feminist Exegesis in Hamka’s Tafsir Al-Azhar Penafsiran Feminis dalam Tafsir Al-Azhar Karya Hamka Zulfikri Zulkarnaini * (a) * Corrsponding Author, email, [email protected] (a) Uludag University Bursa-Turkey Abstract This research aims to understand the typology of contemporary interpretation in Indonesia, especially concerning the issue of women based on the interpretation narrative in Hamka's Tafsir Al-Azhar. This interpretation arose in modern thought and was born from Indonesian society that the Dutch were colonizing. Therefore, this interpretation represents an idea with a modern background and colonial issues. One of the interesting issues in Al-Azhar's notion is the interpretation of verses related to women. This study uses a qualitative approach by collecting interpretations related to women in Tafsir Al-Azhar. This research used Hans-George Gadamer's philosophical hermeneutic method. The study results prove that the context of the colonial era made Hamka choose to reinterpret the verses of the Qur'an related to women's creation. The purpose of the interpretation is to harmonize between religious values and social conditions. According to Hamka, he interpreted the female verse that said women created from Adam’s ribs. Also, he explained controversially that the interpretation of women's creation from Adam’s ribs is merely a metaphor.
    [Show full text]
  • Analysis of M. Natsir's Thoughts on Islamic
    Integral-Universal Education: Analysis of M. Natsir’s Thoughts on Islamic Education Kasmuri Selamat Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim, Riau, Indonesia [email protected] Abstract. This paper aimed at exploring M. Natsir's thoughts on Islamic education. Using a qualitative study with a historical approach, the writer found that M. Natsir was a rare figure. He was not only a scholar but also a thinker, a politician, and an educator. As an educator, he not only became a teacher, but also gave birth to various educational concepts known as an integral and universal education concept. He was an architect and an anti-dichotomous thinker of Islamic education. According to Natsir, Islam did not separate spiritual matters from worldly affairs. The spiritual aspect would be the basis of worldliness. The foregoing indicated that religious ethics emphasized by Islamic teachings must be the foundation of life. The conceptual basis of "educational modernism" with tauhid as its foundation demonstrated that he was a figure who really cared about Islamic education. Keywords: Integral-Universal Education, M. Natsir, Thought Introduction Minangkabau, West Sumatra, is one of the areas that cannot be underestimated because there are many great figures on the national and international scales in various fields of expertise from this area, such as scholars, politicians, and other strategic fields. Among these figures are Tuanku Imam Bonjol, Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Hamka, M. Natsir, and others. Everybody knows these names and their works. These figures lived in the early 20th century when three ideological groups competed with one another to dominate in the struggle for independence.
    [Show full text]
  • Pemikiran Wahid Hasyim Tentang Pendidikan Dan Relevansianya Dengan Dunia Modern
    Pemikiran Wahid Hasyim tentang PendidikanLITERASI Nurhabibah ISSN: 2085-0344 (Print) ISSN: 2503-1864 (Online) Journal homepage: www.ejournal.almaata.ac.id/literasi Journal Email: [email protected] Pemikiran Wahid Hasyim tentang Pendidikan dan Relevansianya dengan Dunia Modern Nurhabibah Program Magister Konsentrasi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Jalan Laksda Adisucipto, Caturtunggal, Depok, Papringan, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281 e-mail: [email protected] Abstract KH Wahid Hasyim is a fi gure of clergy and statesman who is undoubtedly his service to the state. As a cleric, he is son of KH Hasyim Asy’ari, the founder of Nahdatul Ulama, the largest Islamic organization in Indonesa. As a statesman, he served as a minister of religion. His work in the academic world and his struggle and educating the people is well known and made an impression. In outlining the policy in the world of education, certainly not apart from the Islamic backround and statesmanship he has. This make his thinking to be balanced between the inner and outer dimensions, between traditionality and modernity. This paper attemps to decipher Wahid Hasyim’s biography and the examines his thoughts in education as well as his relation to education in the modern world. The signifi cance of this paper is as a literature for the biography of Wahid Hasyim and the relevance of his thought to education from time to time. Keyword: Wahid Hasyim, education, modern Abstrak KH Wahid Hasyim adalah sosok agamawan dan negarawan yang tidak diragukan jasanya bagi negara. Sebagai agamawan, dia adalah putera KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi Islam terbesar.
    [Show full text]
  • Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945
    Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945 R. E. Elson* On the morning of August 18, 1945, three days after the Japanese surrender and just a day after Indonesia's proclamation of independence, Mohammad Hatta, soon to be elected as vice-president of the infant republic, prevailed upon delegates at the first meeting of the Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, Committee for the Preparation of Indonesian Independence) to adjust key aspects of the republic's draft constitution, notably its preamble. The changes enjoined by Hatta on members of the Preparation Committee, charged with finalizing and promulgating the constitution, were made quickly and with little dispute. Their effect, however, particularly the removal of seven words stipulating that all Muslims should observe Islamic law, was significantly to reduce the proposed formal role of Islam in Indonesian political and social life. Episodically thereafter, the actions of the PPKI that day came to be castigated by some Muslims as catastrophic for Islam in Indonesia—indeed, as an act of treason* 1—and efforts were put in train to restore the seven words to the constitution.2 In retracing the history of the drafting of the Jakarta Charter in June 1945, * This research was supported under the Australian Research Council's Discovery Projects funding scheme. I am grateful for the helpful comments on and assistance with an earlier draft of this article that I received from John Butcher, Ananda B. Kusuma, Gerry van Klinken, Tomoko Aoyama, Akh Muzakki, and especially an anonymous reviewer. 1 Anonymous, "Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945: Pengkhianatan Pertama terhadap Piagam Jakarta?," Suara Hidayatullah 13,5 (2000): 13-14.
    [Show full text]
  • Examining Pancasila's Position in the Public Reason Scheme: a Critical Analysis
    Examining Pancasila’s Position in the Public Reason Scheme: A Critical Analysis MUHAMAD ISWARDANI CHANIAGO* Postgraduate Program of Islamic Studies, Postgraduate School of Syarif Hidayatullah State Islamic University (UIN), Jakarta Jl. Kertamukti No. 5, East Ciputat, South Tangerang, Banten 15419 Indonesia Email: [email protected] ABSTRAK Tulisan ini mencoba untuk mengkaji ulang sejumlah gagasan dari beberapa sarjana dan intelektual Indonesia, seperti Yudi Latif, Franz Magnis-Suseno dan Syamsul Ma’arif, yang melihat dan menggambarkan relasi antara Pancasila dengan public reason, salah satu konsep politik yang cukup populer dalam studi politik. Sejumlah sarjana dan in- telektual Indonesia tersebut membingkai Pancasila dengan public reason dalam gam- baran yang bernuansa sekuler sehingga berpotensi melepaskan kontribusi dari yang seharusnya dapat dilakukan oleh agama. Turunan dari public reason yang bermasalah tersebut di antaranya (1) prinsip negasi terhadap mayoritarianisme, (2) prinsip negara netral, dan (3) prinsip substansial dalam agama (universalisme). Dengan penelaahan kualitatif yang merujuk pada sejumlah argumen baik filosofis maupun historis, maka dapat ditunjukkan bahwa argumen yang diberikan ketiga sarjana di atas beserta sejum- lah sarjana lain yang mendukung dan memiliki gagasan serupa, dinilai memiliki sejum- lah masalah. Kemudian dari penelaahan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemikiran yang mendukung relasi Pancasila dengan public reason secara sekuler tidak kuat secara argumen dan tidak dipertahankan. Sehingga, relasi Pancasila dengan public reason bisa ditelaah ulang dengan konsep yang lebih ramah terhadap kontribusi agama. Kata kunci: pancasila, public reason, mayoritarianisme, universalisme, negara netral ABSTRACT This research tries to review a number of ideas of some Indonesian scholars such as Yudi Latif, Franz Magnis-Suseno, and Syamsul Ma’arif, who saw and described the re- lationship between Pancasila and public reason, one of the popular political concepts in political studies.
    [Show full text]
  • Bab Ii Kondisi Bangsa Indonesia Sebelum Sidang Bpupki A
    BAB II KONDISI BANGSA INDONESIA SEBELUM SIDANG BPUPKI A.Masa Sebelum Sidang BPUPKI Setiap negara memiliki konstitusi. Demikian halnya bangsa Indonesia sebagai suatu negara juga memiliki konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan atau perumusan Undang-Undang Dasar 1945 ini menjadi konstitusi Indonesia melalui beberapa tahap.Pembuatan konstitusi ini diawali dengan proses perumusan Pancasila. Pancasila adalah dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila berasal dari kata panca yang berarti lima, dan sila yang berarti dasar. Jadi, Pancasila memiliki arti lima dasar. Maksudnya, Pancasila memuat lima hal pokok yang diwujudkan dalam kelima silanya.1 Menjelang kemerdekaan Indonesia, tokoh-tokoh pendiri bangsa merumuskan dasar negara untuk pijakan dalam penyelenggaraan negara. Awal kelahiran Pancasila dimulai pada saat penjajahan Jepang di Indonesia hampir berakhir.Jepang yang mulai terdesak saat Perang Pasifik menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Untuk memenuhi janji tersebut, maka dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 28 Mei 1945. Badan ini beranggotakan 63 orang dan diketuai oleh dr. Radjiman Widyodiningrat. BPUPKI bertugas untuk mempersiapkan dan merumuskan hal-hal mengenai tata pemerintahan Indonesia jika merdeka. Untuk memperlancar tugasnya, BPUPKI membentuk beberapa panitia kerja, di antaranya sebagai berikut: 1. Panitia sembilan yang diketuai oleh Ir. Sukarno. Tugas panitia ini adalah merumuskan naskah rancangan pembukaan undang-undang dasar. 2. Panitia perancang UUD, juga diketuai oleh Ir. Sukarno. Di dalam panitia tersebut dibentuk lagi panitia kecil yang diketuai Prof. Dr. Supomo. 3. Panitia Ekonomi dan Keuangan yang diketuai Drs. Moh. Hatta. 4. Panitia Pembela Tanah Air, yang diketuai Abikusno Tjokrosuyoso. BPUPKI mengadakan sidang sebanyak dua kali. Sidang pertama BPUPKI terselenggara pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945.
    [Show full text]
  • Peranan Kiai Haji Mas Mansur Dalam Muhammadiyah Tahun 1921-1946
    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERANAN KIAI HAJI MAS MANSUR DALAM MUHAMMADIYAH TAHUN 1921-1946 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh: ALPIAN NIM: 051314015 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERANAN KIAI HAJI MAS MANSUR DALAM MUHAMMADIYAH TAHUN 1921-1946 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Oleh: ALPIAN NIM: 051314015 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI MOTTO “Quod libentissime accepi, libentissisme et dabo” (apa yang dengan gembira saya terima, dengan gembira pula saya bagikan). Janganlah cemas dan gelisah memikirkan masa yang akan datang, burung-burung di udara, tak menabur tak menuai namun diberi makan, apalagi kita manusia. Kejeniusan adalah hasil dari 1 % inspirasi dan 99 % keringat. Aku mengenalmu agar kamu dikenal, aku menulismu agar kamu tertulis, aku mengenangmu agar kamu dikenang, aku mengingatmu agar kamu diingat, aku mencintaimu agar kamu dicintai. iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERSEMBAHAN Skripsi ini aku persembahkan untuk: Tuhan Yesus Kristus yang selalu membimbing langkahku, menuntun, memberi kekuatan dan ketabahan padaku dalam menghadapi berbagai hal yang aku hadapi. Buat papa ( Bernad) dan mama ( Tikuk), adikku Hermanus Sompet, Trisno Tutuh, Rusdy Alok, Yanto B, dan abangku Petrus Awet, Udak Karno, Donatus Denggeng, Nani Lestari, SE. yang aku sayangi dan banggakan.
    [Show full text]
  • List of Figures
    The Study on Integrated Transportation Master Plan for JABODETABEK (Phase II) Report Volume 2: Pre Feasibility Studies List of Figures Figure Page Figure 2.1.1 Busway Route for Short-Term Plan 2-1 Figure 2.2.1 Location of Current Bus Stops 2-2 Figure 2.2.2 Major Dimensions of Bus Coach 2-4 Figure 2.3.1 Busway Passenger Demand - 2007 2-5 Figure 2.3.2 Busway Passenger Demand - 2010 2-5 Figure 2.3.3 Busway Passenger Demand – 2020 2-6 Figure 2.3.4 Jabodetabek Public Transport Demand, 2020 2-7 Figure 2.3.5 Specification of Articulated Bus Coach (18 m type) 2-8 Figure 2.3.6 Bus Operation Concept 2-11 Figure 2.3.7 Bus Exclusive Lane Arrangement 2-12 Figure 2.3.8 Example of Bus Lane in Case of Road Widening 2-13 Figure 2.3.9 Location of Road Widening and Installation of Exclusive Bus Lane 2-14 Figure 2.3.10 Interchange-Facility Development 2-16 Figure 2.3.11 Number of Transfer Passengers (2010) 2-16 Figure 2.3.12 Square Development at New Sudirman Bus Stop 2-18 Figure 2.3.13 (1) Bus Terminal Improvement Plan 2-18 Figure 2.3.13 (2) Bus Terminal Improvement Plan 2-19 Figure 2.3.13 (3) Bus Terminal Improvement Plan 2-20 Figure 2.3.14 Transferring Center at Monas and Senen 2-21 Figure 2.3.15 Example of the Bus Shelters 2-22 Figure 2.3.16 Example of Feeder Bus Service 2-23 Figure 2.3.17 Example of Travel-lane Rearrangement by Removal of Side Separator 2-24 Figure 2.3.18 Example of Travel-lane Rearrangement by Removal of Side Separator 2-24 Figure 2.3.19 Tidal Flow Lane System 2-25 Figure 2.4.1 Comparison of U-Turn Measures 2-28 Figure 2.4.2 U-Turn Measure Type 1 2-29 Figure 2.4.3 U-Turn Measure Type 2 2-29 Figure 2.4.4 U-Turn Measure Type 3 2-29 Figure 2.4.5 Rough Layout at Jl.
    [Show full text]
  • Islamic Values Have Easily Existed Side by Side with Hdigenous Hdonesian Values, and Some
    TWE MODERNIZATION OF THE PESANTREN'S EDUCATIONAL SYSTEM TO MEET THE NEEDS OF INDONESIAN COMMUNITIES by Suprayetno Wagiman A thesis submitted to the Faculty of Graduate Studies and Research 'in partial fuifiilment of the requirements . for the degree of Master of Arts Institute of Xslamic Studies McGU University July 1997 8 Suprayetno Wagiman National Library Bibliothèque nationale l*l of Canada du Canada Acquisitions and Acquisitions et Bibliographie Services services bibliographiques 395 Wellington Street 395, nie Wellington Ottawa ON KIA ON4 Ottawa ON Kt A ON4 Canada Canada Your hle Votre relerence Our h& Notre réUrence The author has granted a non- L'auteur a accordé une licence non exclusive licence allowing the exclusive permettant à la National Library of Canada to Bibliothèque nationale du Canada de reproduce, loan, distribute or sell reproduire, prêter, distribuer ou copies of this thesis in microform, vendre des copies de cette thèse sous paper or electronic formats. la forme de microfiche/^, de reproduction sur papier ou sur format électronique. The author retains ownership of the L'auteur conserve la propriété du copyright in this thesis. Neither the droit d'auteur qui protège cette thèse. thesis nor substantid extracts fiom it Ni la thèse ni des extraits substantiels may be printed or otherwise de celle-ci ne doivent être imprimés reproduced without the author's ou autrement reproduits sans son permission. autorisation. ABSTRACT Au thor : Suprayetno Wagiman Title : The Modemization of The Pesantren's Educational System to Meet the Needs of Indonesian Communities. Department: hstitute of Lslamic Studies, McGill University Degree : Master of Arts. Indonesian archipelago facilitateci its dissemination throughout this region.
    [Show full text]
  • Islamic Law and Social Change
    ISLAMIC LAW AND SOCIAL CHANGE: A COMPARATIVE STUDY OF THE INSTITUTIONALIZATION AND CODIFICATION OF ISLAMIC FAMILY LAW IN THE NATION-STATES EGYPT AND INDONESIA (1950-1995) Dissertation zur Erlangung der Würde des Doktors der Philosophie der Universität Hamburg vorgelegt von Joko Mirwan Muslimin aus Bojonegoro (Indonesien) Hamburg 2005 1. Gutachter: Prof. Dr. Rainer Carle 2. Gutachter: Prof. Dr. Olaf Schumann Datum der Disputation: 2. Februar 2005 ii TABLE OF RESEARCH CONTENTS Title Islamic Law and Social Change: A Comparative Study of the Institutionalization and Codification of Islamic Family Law in the Nation-States Egypt and Indonesia (1950-1995) Introduction Concepts, Outline and Background (3) Chapter I Islam in the Egyptian Social Context A. State and Islamic Political Activism: Before and After Independence (p. 49) B. Social Challenge, Public Discourse and Islamic Intellectualism (p. 58) C. The History of Islamic Law in Egypt (p. 75) D. The Politics of Law in Egypt (p. 82) Chapter II Islam in the Indonesian Social Context A. Towards Islamization: Process of Syncretism and Acculturation (p. 97) B. The Roots of Modern Islamic Thought (p. 102) C. State and Islamic Political Activism: the Formation of the National Ideology (p. 110) D. The History of Islamic Law in Indonesia (p. 123) E. The Politics of Law in Indonesia (p. 126) Comparative Analysis on Islam in the Egyptian and Indonesian Social Context: Differences and Similarities (p. 132) iii Chapter III Institutionalization of Islamic Family Law: Egyptian Civil Court and Indonesian Islamic Court A. The History and Development of Egyptian Civil Court (p. 151) B. Basic Principles and Operational System of Egyptian Civil Court (p.
    [Show full text]
  • CHAPTER III Political Thought of Mohammad Natsir A. Biography Of
    CHAPTER III Political Thought of Mohammad Natsir A. Biography of Mohammad Natsir 1. Life of Mohammad Natsir Mohammad Natsir was born in Alahan Panjang, Gumanti valley, Solok district , West Sumatra province on July 17th, 1908 from his parents Mohammad Idris Sutan Saripado and Khadijah.1 In his childhood, Natsir and his family lived in the Sutan Rajo Ameh’s house, a famous coffee merchant there. By the owner, the house was divided into two parts; Natsir and his family live on the left and Mohammad Idris Sutan Saripado stay to the right.2 Natsir has three siblings, namely Yukinan, Rubiah, and Yohanusun. His last father position was as a government employee in Alahan Panjang, while his grandfather was an Islamic scholar. He later became the custom authorities for his people who came from Maninjau, Tanjung Raya, Agam with title Datuk Sinaro nan panjang.3 Natsir started an education at the Elementary School Maninjau for two Years until the second grade, and then moved to Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiyah in Padang .4 After a few months, he moved to Solok and cared in the house merchant namely Haji Musa. Beside studied in HIS in day, he also studien in Madrasah diniyah at the evening.5 Three years later, he moved back to HIS in Padang with his sister. In 1923, he continued his studies at Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) then joined the youth associations as Pandu Nationale Islamietische Pavinderij and Jong Islamieten Bond. After graduating from MULO, he moved to Bandung to study at the General Middelbare 1Thohir Luth, Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta, Gema Insani, 1999, P.
    [Show full text]