Datar Isi Bab I
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
DATAR ISI BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………………………….. 23 BAB II : LATAR HISTORIS MTA DI . …. .. 24 BAB III : WAHABISME DAN GERAKAN PURIFIKASI DI PEDESAAN JAWA … …. 55 BAB IV : RESPONS ISLAM MAINSTREAM INDONESIA PADA MTA …….. 110 BAB V : KEBANGKITAN ISLAM POLITIK PADA PEMILU 2014 DI INDONESIA .. …160 BAB VI : PENUTUP …. …… 205 BAB I PENDAHULUAN Di awal abad ke-21, pasca runtuhnya Orde Baru, kesempatan politik semakin terbuka yang dimotori oleh gerakan reformasi Indonesia. Hal tersebut juga mendorong gerakan mobilisasi massa secara transparan dalam ruang publik. Hal ini menimbulkan munculnya berbagai macam gerakan sosial secara massif di Indonesia. Perubahan iklim politik pada Orde Reformasi tersebut, berpengaruh juga terhadap perkembangan kehidupan keagamaan masyarakat Islam di Indonesia. Pengaruh ini dapat dilihat dengan semakin menguatnya identitas dan gerakan kelompok keagamaan di luar mainstream kelompok keagamaan. Dalam perkembangan gerakan sosial keagamaan tersebut, terdapat tiga aspek yang menonjol, yaitu pertama, aspek yang didorong oleh orientasi politis, kedua orientasi keagamaan yang kuat, dan ketiga orientasi kebangkitan kultural rakyat Indonesia.1 Adapun dalam pendekatannya, kaum agamawan dan gerakan keagamaan, menurut AS Hikam, menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan “menegara” dan pendekatan “masyarakat”.2 Terdapat beberapa faktor yang secara bersamaan menggerakkan orang untuk membangun sebuah bangsa yang bersatu. Faktor-faktor tersebut tidak terbatas pada adanya kesamaan pengalaman masa lalu seperti ras, bahasa, dan agama. Selain itu, yang penting pula perannya adalah faktor kondisi sosial yang dirasakan bersama, kemudian membentuk ikatan solid dan menyatukan sebuah kelompok masyarakat menjadi suatu kesatuan yang sadar-diri. Di antara kondisi yang dialami bersama itu, pengalaman paling menyakitkan adalah yang paling kuat pengaruhnya. Dalam kasus di Indonesia yang kaitannya dengan gerakan keagamaan misalnya, tidak mengherankan jika pengalaman menyakitkan berupa kemiskinan, ketidakadilan, dan ketakutan akan hilangnya identitas keagamaan, yang disebabkan oleh kebijakan pelaksana negara, menjadi pendorong paling 1 Alwi Shihab, Membendung Arus: Muhammadiyah dan Kristenisasi, Mizan, Bandung, 2002: 94 2 Muhammad AS Hikam, Civil Society dan Demokrasi di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998: 2 kuat bagi tumbuhnya gerakan-gerakan sosial keagamaan yang membangkitkan kesadaran kebangsaan rakyat Indonesia.3 Selain hal tersebut, faktor pendorong lain tumbuhnya gerakan keagamaan di Indonesia adalah terbukanya kesempatan politik untuk rakyat Indonesia, sehingga mereka dapat melakukan perlawanan dan protes terhadap penyelenggara negara. Aksi kolektif seringkali muncul ketika rakyat menghendaki reformasi besar-besaran yang menimbulkan sistem ekonomi dan politik yang dahulunya tertutup menjadi terbuka lebar. Ini menggambarkan bahwa gerakan sosial terjadi disebabkan oleh perubahan dalam struktur politik, yang dilihat sebagai sebuah kesempatan.4 Dalam konteks semacam ini, agama sebagai sistem makna ataupun tindakan tidak dapat dipahami hanya sebagai suatu fenomena teologi yang sifatnya normatif. Akan tetapi, agama dijadikan separangkat struktur makna khusus yang memiliki kemampuan menjelaskan, merespons dan mengkonstruksi kenyataan sosial di dalam konteks waktu dan tempat yang berbeda.5 Agama dapat pula dilihat sebagai suatu sistem pengetahuan yang mampu menjadi suatu ‘kontra-diskursus’ atau ‘kontra-hegemoni’ terhadap ideologi dan tindakan-tindakan dominan (Kleden, 1985: 215). Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, berbagai gerakan anti kebijakan negara tentang agama telah berlangsung selama beberapa abad yang lalu. Akan tetapi, gerakan- gerakan sosial dapat terorganisasikan dengan baik baru benar-benar berkembang pada dekade pertama abad 20.6 Meskipun amat beragam dilihat dari asal-usul dan tujuan khusus pembentukannya, gerakan-gerakan sosial tersebut hendak mencapai tujuan umum yang sama, yaitu menentang berbagai kebijakan dan sistem penyelenggaraan negara. Beberapa di antara gerakan sosial tersebut tidak bersifat politis, sebagian lagi di antaranya lebih tegas menyatakan sifat politisnya, sedangkan yang lainnya lebih bercorak gerakan keagamaan dan kultural. Dalam hal gerakan keagamaan, dapat dibuktikan bahwa gerakan- gerakan keagamaan pernah ada di Indonesia khususnya di Jawa dalam abad-abad ke-19 dan ke-20. Berbagai macam pergolakan keagamaan pun sering dijumpai berkaitan dengan perubahan sosial dengan hal-hal yang menyertainya, termasuk di dalamnya keresahan sosial, mobilitas, dan pertikaian.7 3 Opcit, Alwi Shihab, 2002: 93 4 Ann Swidler, Cultural Power and Social Movement, dalam Lyn Spillman (ed), Cultural Sociology, Blackwel Publisher, UK, 2002: 312-315 5 Dawam Rahardjo, Gerakan Keagamaan di Indonesia, LSAF dan The Asia Foundation, Jakarta, 1999: 3 6 Untuk keterangan mengenai pertumbuhan oragnisasi-oraganisasi sekuler dan keagamaan pada dekade-dekade pertama abad ke-20, lihat Anthony H. Johns, “Indonesia: Islam and Cultural Pluralism”, dalam John L. Esposito (ed.), Islam in Asia, Religion, Politics and Society (Oxford: Oxford University Press, 1987: 203-213). 7 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten, Yayasan Perhidmatan, 1984: 12. Secara historis agama pada hakikatnya telah memainkan peranan besar dalam menstimulasi aksi-aksi sosial keagamaan untuk melawan sistem kekuasaan, termasuk politik dan ideologi negara yang dominan. Aksi sosial tersebut telah berlangsung sejak zaman kolonial yang hingga saat ini masih terasa dampaknya. Agama telah menjadi kritik sosial dan sekaligus simbol perlawanan rakyat dari segala bentuk penindasan negara. Aksi sosial semacam ini, dapat direfleksikan sebagai model pemberontakan kultural kontemporer yang menentang meningkatnya mekanisme sistem kontrol dan pengawasan oleh Negara terhadap masyarakat.8 Banyak gerakan millenarian di Indonesia bermunculan yang didasarkan pada ajaran-ajaran eskatologis agama, misalnya gerakan keagamaan Imam Mahdiisme atau gerakan keagamaan Ratu Adil, yang bertujuan untuk menegakkan sebuah masyarakat yang ideal, bebas dari ketidak-adilan sosial dan penindasan yang dilakukan negara.9 Pada akhir-akhir dekade ini, kehidupan beragama di Indonesia yang ditandai dengan semakin beragamnya paham keagamaan, sejumlah gerakan keagamaan baru bermunculan di luar tradisi agama yang mainstream, seperti Ahmadiyah, Komunitas Eden, atau juga praktik salat dwibahasa Yusman Roy, dan lain-lain. Munculnya gerakan-gerakan keagamaan baru (new religious movements) tersebut memang memicu pro dan kontra dalam pandangan masyarakat. Di satu sisi, ia dianggap penyimpangan dari arus utama tradisi agama yang telah mapan. Sementara itu di sisi lainnya, ia justru dianggap sebagai respons kekecewaan terhadap agama mainstream yang dianggap tidak lagi berpihak pada kepuasan para pencari kenikmatan spiritualitas (spirituality seekers). Para pencari kenikmatan spiritualitas tersebut beranggapan bahwa agama-agama mainstream telah gagal memberi ruang bagi perkembangan mental spiritualitas sehingga mereka mencari cara lain untuk memuaskan spiritualitas yang diinginkan. Terbukanya iklim kebebasan berekspresi di era Reformasi (pada tahun 1998), mendorong munculnya berbagai gerakan kelompok keagamaan dan spiritualitas, termasuk kelompok Islam yang mengusung paham dan gerakan keagamaan yang berbeda dari arus mainstream. Dalam proses perkembangannya, terdapat beberapa varian gerakan keagamaan mainstream yang muncul dalam bentuk organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI), Wahdah Islamiyah (WI), Jaringan Islam Liberal (JIL), dan sebagainya. Kemudian, adapula yang muncul sebagai gerakan keagamaan non-mainstream, baik dalam bentuk gerakan perkumpulan terbatas maupun komunitas, seperti Al-qiyadah Al-Islamiyah, Quran 8 Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman, Pustaka Pelajar, 2009: 245 9 Op cit, Sartono Kartodirdjo: 1984 Suci, dan Satrio Piningit. Ada pula yang muncul dalam bentuk gerakan individual seperti gerakan shalat dwi bahasa, shalat bersiul (Sumardin), dan gerakan Madi. Dimana semua gerakan ini merupakan gejolak keagamaan yang tampak berbeda dengan paham keagamaan mainstream.10 Dalam praktik kehidupan sosial keagamaan di Indonesia, terdapat beberapa organisasi sosial keagamaan yang menjadi pedoman dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Dalam hal ini, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai organisasi kegamaan yang besar peranannya dan memiliki jamaah dengan jumlah besar, serta menjadi ideologi paling berpengaruh bagi masyarakat Muslim di Indonesia hingga saat ini. Selain organisasi tersebut, terdapat pula organisasi yang menghimpun tokoh agama dan ulama yang dinamakan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Organisasi keagamaan yang ketiga ini sifatnya struktural dan di bawah kendali negara. Inilah yang kemudian dijadikan patokan dan sebagai alat legitimasi untuk mengatur kehidupan dan paham keagamaan di Indonesia. Pengaruh ketiga organisasi keagamaan tersebut cukup besar baik sebagai norma dan etika dalam aktivitas keagamaan maupun dalam pengaruhnya terhadap kebijakan negara mengenai agama. Ketiga organisasi tersebut dikategorikan sebagai Islam mainstream khususnya di Indonesia, sementara kelompok yang berbeda secara ideologi dan aktivitas keagamaan dikategorikan sebagai Islam non-mainstream. Islam non- mainstream adalah kelompok Islam, tetapi tidak sesuai praktik keislaman yang populer atau berbeda ideologi dari ketiga organisasi sosial keagamaan; NU dan Muhammadiyah atau di luar ketentuan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berbicara tentang "gerakan non-mainstream" berarti bertolak