Editorial

Jurnal HAM KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Diterbitkan oleh: KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA ©2014

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 i Editorial Dafart Isi Jurnal HAM KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Dewan Penasihat : Semua Komisioner & Sekretaris Jenderal Komnas HAM Penanggungjawab : M. Imdadun Rahmat Dewan Penyunting : Dianto Bachriadi; Muhammad Nurkhoiron, Sandrayati Moniaga; Roichatul Aswidah; Nur Kholis;Ansori Sinungan; Natalius Pigai; Manager Nasution; Siane Indriani; Otto Nur Abdullah; Siti Noor Laila, Hafid Abbas, Penyunting Penyelia : Rusman Widodo, Penyunting Pelaksana : Adoniati Meyria Widaningtias, Yuli Asmini, Eka Christiningsih, Kurniasari Novita Dewi, Roni Giandono, Sri Rahayu, Banu Abdillah Administrasi dan Keuangan : Sudibyanto (Koordinator); Iman Supandi; Adrianus Abiyoga; Sri Rahayu Distribusi : Banu Abdillah Penerbit : Komnas HAM

Alamat Redaksi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jalan Latuharhary No. 4B Menteng, Jakarta Pusat 10310 Telepon (021) 392 5230, Faksimili (021) 391 2026

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan ISBN: 978-979-26-1438-1

Jurnal HAM Komnas HAM Jakarta: Jurnal HAM Komnas HAM, 2014, xviii + 244 Hal; 210 mm x 297 mm

Penerbitan ini dibagikan secara gratis, tidak diperjualbelikan. Penggandaan penerbitan ini untuk ­kepentingan penyebarluasan nilai-nilai HAM harus mendapat persetujuan tertulis dari Komnas HAM.

Gambar Cover: Colorful water rings wallpaper. Sumber: http://www.superbwallpapers.com/abstract/colorful-water-rings-20350/

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak ­sebagian atau seluruh isi jurnal ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Kutipan Pasal 72, Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Republik Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan ­pidana penjara masing-masing­ paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) ­tahun dan/atau denda paling ­banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana­ dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pi- dana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Editorial Dafart Isi

Daftar Isi

Editorial Rusman Widodo ...... v

Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia M. Imdadun Rahmat...... 1

Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia M. Subhi Azhari...... 35 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas Muhammad Hafiz...... 63

UU Nomor 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Halili...... 95 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-Isu Krusial di Seputar Proselitisme dan Hak Kebebasan Beragama Alamsyah M. Djafar...... 115

Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti- Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Ihsan Ali-Fauzi, Irsyad Rafsadi, Siswo Mulyartono...... 139

Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Ahmad Nurcholish...... 165

Kebebasan Beragama dan Negara Zuly Qodir...... 221

Aturan Penulisan Naskah JURNAL HAM Komnas HAM...... 243

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 iii Editorial

Rusman Widodo Editorial

Rusman Widodo

ersoalan hak asasi tujuan, fungsi, keanggotaan, asas, manusia (HAM) di kelengkapan, serta tugas dan Indonesia telah menjadi wewenang Komnas HAM. Di era tema utama dalam per- reformasi muncul perubahan bincanganP kehidupan bernegara mendasar terhadap UUD 1945 dan bermasyarakat. Embrio HAM (konstitusi). Tercatat konstitusi di Indonesia sudah tersemai sejak mengalami empat kali amandemen Orde Baru masih berkuasa. Pada yang memasukkan prinsip-prinsip tahun 1993, Presiden Soeharto dan nilai-nilai HAM yang berlaku mengeluarkan Keputusan Presiden universal. Indonesia juga melakukan Nomor 50 Tahun 1993 tentang sejumlah ratifikasi konvensi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia internasional seperti Konvensi tanggal 7 Juni 1993. Pada awal Penghapusan Diskriminasi Ras keberadaannya, Komnas HAM dan Etnis, Konvensi Penghapusan telah berani melakukan sejumlah Diskriminasi terhadap Perempuan, gebrakan yang luar biasa. Konvensi Hak Sipil dan Politik, Senafas dengan berakhirnya Konvensi Hak Anak, Konvensi kekuasaan Orde Baru pada 1998 Hak Ekosob dan lain-lain. Pada dan lahirnya era reformasi, posisi level masyarakat, HAM juga mulai Komnas HAM semakin menguat diperkenalkan melalui lembaga- setelah keluar Undang-undang lembaga pendidikan, media massa, Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. organisasi kemasyarakatan dan UU ini menetapkan keberadaan, sebagainya. Berbagai upaya ter-

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 v Editorial

sebut telah menjadikan HAM warga negaranya untuk memeluk sebagai rezim baru dalam sistem agama dan kepercayaannya masing- ketatanegaraan Indonesia. masing. Dan, masih banyak lagi HAM yang terpenting, salah peraturan yang menjamin warga satunya, di dalam kehidupan ber- negara Indonesia untuk bebas bangsa dan bernegara di Indonesia memeluk agama atau keyakinan adalah hak atas kebebasan ber- tertentu. agama dan berkeyakinan (KBB). Meskipun demikian, dalam Kebebasan beragama sejak saat kehidupan nyata sehari-hari di itu sampai kini terus menjadi masyarakat persoalan KBB masih perdebatan yang dinamis. terus bermunculan. Banyak tema Perdebatan muncul karena bagi dalam ruang lingkup KBB yang sebagian kelompok HAM dianggap masih terus diperdebatkan, seperti: berwatak liberal yang cenderung kebebasan memeluk agama; mengedepankan hak-hak individu kebebasan berpindah agama; hak daripada hak kelompok. Watak mendirikan rumah ibadah; hak seperti itu bagi sebagian kelompok melakukan ibadah atau ekspresi dinilai tidak sesuai dengan budaya keagamaan; hak mendirikan dan nilai-nilai budaya Timur yang organisasi keagamaan; hak menikah kolektif. Tapi, sebagian masyarakat beda agama; hak untuk mendapat yang lan menilai ide KBB dalam pendidikan keagamaan; hak konteks HAM adalah tepat untuk untuk melakukan penyiaran dan diterapkan di Indonesia yang penyebaran agama. masyarakatnya memiliki agama dan Pada kenyataaan di lapangan, kepercayaan yang beragam. HAM tema-tema itu sering memunculkan dinilai dapat membantu mencegah gesekan antar pemeluk agama. terjadinya tindakan represif dari Bahkan sering terjadi tindakan kelompok agama dan berkeyakinan kekerasan yang mengakibatkan yang mayoritas kepada yang kerugian jiwa, harta, dan kerugian minoritas. materi yang tidak sedikit nilainya. Sejatinya perdebatan tentang Gesekan atau konflik muncul karena tepat tidaknya penerapan KBB adanya perbedaan cara pandang di Indonesia sudah harus selesai antar satu kelompok dengan ketika Indonesia telah meratifikasi kelompok lainnya yang kebanyakan Kovenan Internasional tentang Hak tidak terjembatani dengan baik oleh Sipil dan Politik, dan juga Kovenan negara. Internasional tentang Hak Ekonomi, Itu artinya kerukunan kehi-dupan Sosial dan Budaya. Apalagi konstitusi beragama dan berkeyakinan di Indonesia telah menjamin setiap Indonesia belum terjamin dengan

vi Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Editorial

baik. Sampai saat ini di Indonesia atas hak tersebut. masih sering terjadi beragam Pengertian agama dalam Pasal 18 bentuk pelanggaran HAM terkait Kovenan Hak Sipil dan Politik pun hak atas KBB. Sejak tahun 1998 sangat luas, termasuk kepercayaan- sampai 2009 Komisi Nasional Hak kepercayaan teistik, non-teistik, Asasi Manusia (Komnas HAM) telah dan ateisme, serta hak untuk tidak menerima ratusan pengaduan menganut agama atau kepercayaan terkait kasus pelanggaran hak apa pun. Cakupan hak kebebasan atas kebebasan beragama dan beragama dan berkeyakinan berkeyakinan. Kasusnya, antara merujuk pada Komentar Umum lain, pelarangan pendirian tempat yang dikeluarkan oleh Komite ibadah, perusakan tempat tinggal Hak Asasi Manusia PBB berkaitan umat, pelarangan beribadat dan dengan Pasal 18 Kovenan Hak Sipil penutupan tempat ibadat, tindakan dan Politik, yaitu Komentar Umum diskriminasi terhadap umat tertentu, Komite HAM No. 22. penganiayaan, penghancuran Komentar Umum No. 22 tempat-tempat ibadah dan lain-lain. menyatakan bahwa ”Hak atas Sebenarnya hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama beragama dan berkeyakinan adalah (yang termasuk kebebasan untuk hak untuk memilih, memeluk dan menganut kepercayaan) dalam pasal menjalankan agama dan keyakinan. 18.1 bersifat luas dan mendalam; Hak ini tidak dapat dikurangi hak ini mencakup kebebasan berpikir dalam keadaan apapun (non mengenai segala hal, kepercayaan derogable rights).Jaminan terhadap pribadi, dan komitmen terhadap hak atas kebebasan beragama agama atau kepercayaan, baik dan berkeyakinan terdapat pada yang dilakukan secara individual instrumen HAM internasional dan maupun bersama-sama dengan peraturan perundang-undangan orang lain”. Dengan demikian nasional. hak atas kebebasan beragama Kovenan Internasional tentang dan berkeyakinan pada dasarnya Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 18 meliputi dua dimensi yaitu dimensi merupakan salah satu instrumen individual dan dimensi kolektif. internasional yang menjamin hak Dimensi individual tercermin atas kebebasan beragama dan dalam perlindungan terhadap berkeyakinan. Sedangkan Konstitusi keberadaan spiritual seseorang Indonesia (UUD 1945) Pasal 28 E (forum internum) termasuk di dan 29 (2) serta Undang Undang dalam dimensi ini adalah memilih – No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi mengganti, mengadopsi - dan memeluk Manusia turut menyatakan jaminan agama dan keyakinan. Sedangkan

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 vii Editorial

dimensi kolektif tercermin dalam (non-derogable rights). Konstitusi perlindungan terhadap keberadaan Indonesia Pasal 28 J, berikut Kovenan sese-orang untuk mengeluarkan Hak Sipil dan Politik Pasal 18 (3) keberadaan spiritualnya dan menyatakan bahwa forum internum mempertahankannya di depan publik atas hak ini tidak boleh dibatasi tanpa (forum eksternum). Dengan kata lain pengecualian, sementara wilayah Pasal 18 membedakan kebebasan ‘menjalankan’ atau manifestasi berkeyakinan dan beragama atau dari hak dan kebebasan beragama berkepercayaan dari kebebasan dan berkeyakinan (forum externum) untuk menjalankan agama atau dapat dibatasi. kepercayaannya. Pembedaan ini Negara sebagai entitas berdaulat secara legal sangat penting untuk ruang publik dapat membatasi membedakan di wilayah mana hanya pada aras manifestasi lebih negara diperbolehkan untuk tepatnya pada ruang lingkup forum membatasi dan di wilayah mana externum. Pembatasan dan juga negara dilarang untuk melakukan campur tangan itu dibentuk dalam pembatasan. sebuah peraturan perundang- Komentar Umum No. 22 juga undangan sebagai norma publik menyatakan bahwa tidak satu yang memungkinkan publik (orang pun pengamalan agama atau banyak) berpartisipasi dalam kepercayaan dapat digunakan membentuk dan mengawasi sebagai propaganda untuk pelaksanaannya, dilakukan dengan berperang atau advokasi kebencian tetap memenuhi asas keperluan nasional, rasial, atau agama, yang (necessity) dan proporsionalitas. dapat mendorong terjadinya Dalam mengartikan ruang diskriminasi, permusuhan, atau lingkup ketentuan pembatasan yang kekerasan. diizinkan, Negara-Negara Pihak Dalam pelaksanaan tanggung harus memulai dari kebutuhan jawabnya, negara diperbolehkan untuk melindungi hak-hak yang untuk membatasi hak tertentu dijamin oleh Kovenan, termasuk dengan dasar beberapa klausul hak atas kesetaraan dan non- pembatasan. Hak beragama dan diskriminasi di bidang apa pun berkeyakinan termasuk dalam non sebagaimana ditentukan di pasal 2, derogable rights, sehingga tidak pasal 3, dan pasal 26 Kovenan Hak dapat dikurangi. Namun tidak Sipil dan Politk. semua aspek hak dan kebebasan Pembatasan-pembatasan dapat beragama dan berkeyakinan berada diterapkan hanya untuk tujuan- dalam wilayah hak yang tidak dapat tujuan sebagaimana yang telah dikurangi dalam keadaan apa pun diatur serta harus berhubungan

viii Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Editorial

langsung dan sesuai dengan sebagai pemangku kewajiban kebutuhan khusus yang sudah hak asasi manusia setidaknya ditentukan. Pembatasan tidak boleh memiliki tiga kewajiban yang harus diterapkan untuk tujuan-tujuan dilaksanakan untuk menjamin yang diskriminatif atau diterapkan hak atas kebebasan beragama dengan cara yang diskriminatif. dan berkeyakinan terpenuhi yaitu Komentar Umum No. 22 kewajiban untuk menghormati (to selanjutnya menjelaskan bahwa respect), melindungi (to protect), adanya kenyataan bahwa suatu memenuhi (to fulfill). Negara – agama diakui sebagai agama dalam hal ini adalah pemerintah negara, atau bahwa agama tersebut sebagai penyelenggara negara – dinyatakan sebagai agama resmi harus bertindak cepat, tepat, dan atau tradisi, atau bahwa penganut tegas bila mengetahui ada pihak- agama tersebut terdiri dari pihak tertentu yang menodai hak mayoritas penduduk, tidak boleh atas kebebasan beragama dan menyebabkan tidak dinikmatinya berkeyakinan. Negara juga harus hak-hak yang dijamin oleh Kovenan, serius untuk mengharmoniskan termasuk oleh pasal 18 dan pasal dan menyelaraskan beberapa 27 ICCPR, maupun menyebabkan produk hukum (policy) yang diskriminasi terhadap penganut saling bertentangan terkait agama lain atau orang-orang hak atas kebebasan beragama yang tidak beragama atau dan berkeyakinan. Harus ada berkepercayaan. upaya sungguh-sungguh untuk Berdasarkan penjelasan di atas mengevaluasi dan memperbaiki maka jelas UU telah sepenuhnya beberapa produk hukum yang menjamin hak atas KBB. Bila segenap bertentangan dengan ketentuan pihak mampu mematuhi rambu- hak atas kebebasan beragama rambu UU kebebasan beragama dan berkeyakinan seperti yang dan berkeyakinan yang ada maka tercantum di dalam UUD 1945 dan di Indonesia tak akan terjadi UU tentang HAM. tindakan diskriminasi, kekerasan, Pemerintah perlu menyebar- dan beragam bentuk pelanggaran luaskan pengetahuan yang benar HAM – terutama terhadap minoritas tentang hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. beragama dan berkeyakinan Agar UU tersebut dapat terhadap semua jajarannya dari terealisasi secara nyata maka tingkat tertinggi sampai terendah segenap pihak harus berupaya di seluruh pelosok . untuk mendukung mewujudkan Sehingga tidak terjadi lagi muncul pemenuhan hak tersebut. Negara peraturan-peraturan daerah

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 ix Editorial

yang bertentangan dengan hak keuntungan. Keuntungannya, atas kebebasan beragama dan antara lain, Indonesia akan lebih berkeyakinan sebagaimana tercan- mudah menyerap investasi untuk tum di dalam UUD 1945. pembangunan, perekonomian akan Selain itu pemerintah wajib terjaga dan stabil, kehidupan sosial mendorong masyarakat untuk akan lebih aman dan terjaga dan mendukung upaya pemenuhan lain-lain. hak atas kebebasan beragama dan Tapi bila kerukunan beragama berkeyakinan. Pemerintah juga dan berkeyakinan tak mampu dijaga harus mampu mencegah segala maka kerugiannya amat besar. bentuk pelanggaran HAM terkait Bukan saja kerugian material yang hak atas kebebasan beragama dan muncul karena adanya korban, berkeyakinan. kerusakan sarana prasarana tapi Tapi peran pemerintah saja tidak juga kerugian immaterial yang tak cukup untuk menjamin terpenuhinya ternilai harganya. Bahkan tanpa hak atas kebebasan beragama dan adanya kerukukan beragama dan berkeyakinan karena pemerintah berkeyakinan maka persatuan dan juga memiliki banyak keterbatasan kesatuan Indonesia bisa terancam mengingat wilayah Indonesia yang secara serius. sangat luas, jumlah penduduknya Upaya untuk mencegah yang besar, dan beragam. Untuk munculnya beragam konflik atau itu peran pihak lain terutama gesekan terkait hak atas KBB organisasi massa besar seperti perlu secara intensif dan masif Nahdlatul , , dilaksanakan. Untuk itu sangat sangat diperlukan. Juga butuh peran perlu dilakukan pendidikan dari lembaga swadaya masyarakat dan penyebarluasan nilai-nilai (LSM), akademisi, tokoh agama, HAM, khususnya hak atas KBB, tokoh masyarakat dan stake holder kepada seluruh masyarakat di lainnya. Indonesia. Melalui penyebarluasan Sinergi dari pemerintah dengan pengetahuan tentang hak KBB dari para stake holder hak atas kebebasan para ahlinya kepada para pihak beragama dan berkeyakinan sangat terkait akan memperkaya sudut dibutuhkan untuk memantik upaya pandang masyarakat dan tokoh penciptaan kerukunan kehidupan agama sehingga mereka tidak beragama dan berkeyakinan di mudah terjebak pada sikap anti Indonesia. Apabila Indonesia mampu dialog, dan mau menyelesaikan menciptakan kerukunan kehidupan persoalan dengan jalan damai. beragama dan berkeyakinan maka Menyadari pentingnya keru- hal itu akan mendatangkan banyak kunan kehidupan beragama dan

x Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Editorial

berkeyakinan tersebut maka Jurnal hak atas kebebasan beragama dan HAM Tahun 2014 kali ini akan berkeyakinan yang dapat dipilah membahas kebebasan beragama kedalam kategori: forum internum dan berkeyakinan ditinjau dari (privat freedom) dan forum externum perspektif HAM. Jurnal HAM kali (public freedom), kewajiban negara menyajikan tulisan para pakar yang terkait forum internum dan forum bergelut mendalami persoalan externum serta bentuk dan jenis hak atas kebebasan beragama dan pelanggarannya yang terjadi di berkeyakinan di Indonesia. Indonesia. Artikel pertama berjudul Penulis melengkapi artikel ini “Jaminan Kebebasan Beragama dan dengan data-data terkini dan Berkeyakinan di Indonesia” ditulis komprehensif terkait pelanggaran oleh M. Imdadun Rahmat. Artikel ini hak atas kebebasan beragama dan mengatakan setiap orang memiliki berkeyakinan di Indonesia, yang kebebasan dan kemerdekaan tidak saja dihasilkan oleh Komnas untuk mengamalkan agama dan HAM, namun juga oleh lembaga kepercayaannya. Hak ini dijamin masyarakat sipil yang menaruh oleh instrumen hak asasi manusia. perhatian khusus pada isu ini. Tidak ada seorangpun yang boleh Tulisan ini ditutup dengan dipaksa untuk memilih agama. rekomendasi yang patut dijadikan Tidak ada yang berhak mengurangi, pertimbangan bagi Pemerintah membatasi atau menghilangkan Indonesia baik pihak eksekutif hak seseorang untuk memeluk maupun legislatif dan terutama agamanya. Karena hak beragama Kepolisian Republik Indonesia dalam dan berkeyakinan adalah non- menjalankan kewajibannya terkait derogable right, suatu hak yang perlindungan dan pemenuhan hak tidak bisa dikurangi dalam keadaan atas kebebasan beragama dan apapun dan oleh siapapun. berkeyakinan bagi warga negara Penulis, yang merupakan Indonesia. Special Rapporteur Kebebasan Selanjutnya, Muhammad Subhi Beragama dan Berkeyakinan Komnas Azhari menulis artikel berjudul HAM, menekankan bahwa Konstitusi “Kebebasan Beragamaatau dan undang-undang yang berlaku di Berkeyakinan dan Problem Pendirian Indonesia memberi jaminan bahwa Rumah Ibadah di Indonesia”. memilih, memeluk, mengimani dan Tulisan ini ingin mendiskusikan menjalankan ibadat suatu agama berbagai persoalan yang muncul dan kepercayaan adalah hak bagi dalam kaitannya dengan pendirian setiap individu. rumah ibadah di Indonesia, Secara jelas, penulis menjabarkan mulai dari persoalan filosofis,

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 xi Editorial

sosiologis, hingga politik hukum wacana KBB sendiri menjadikan tema dan implikasinya terjahap jaminan ini tidak cukup banyak dipahami, kebebasan beragama di Indonesia. bahkan oleh para penggiat HAM Dari diskusi tersebut diharapkan dari pelbagai elemen pemerintah akan diperoleh gambaran yang atau masyarakat. Kebutuhan untuk lebih jelas mengenai faktor yang sumber daya informasi terhadap paling dominan mempengaruhi tema KBB ini menjadikan dua terhalangnya jalan keluar permanen buku yang di-review dalam tulisan problem pendirian rumah ibadah ini menjadi sangat relevan dan baik di tingkat pusat maupun di penting, karena buku yang ditulis berbagai daerah. Selama ini terdapat oleh Tore Lindholm, dkk., ”Fasilitasi analisis yang berkembang bahwa Kebebasan Beragama: Seberapa problem rumah ibadah sangat Jauh?” telah mampu menghasilkan dipengaruhi oleh ketidaktegasan sebuah kajian mendalam tentang pemerintah dalam melaksanakan KBB, dari pelbagai sudut pandang, peraturan perundang-undangan sumber dan latar belakang penulis. yang ada. Namun hal ini belum Di sisi yang lain, buku kedua pernah dibuktikan secara akademik yang ditulis oleh Ahmad Sueady, dan lebih merupakan analisis politik. dkk., , HAM dan Konstitusi, Oleh karenanya, tulisan ini akan merupakan sumber penting untuk berusaha menemukan berbagai lebih menerjemahkan tema-tema keterkaitan dari elemen-elemen KBB yang telah dibahas dalam buku yang ada termasuk membedah pertama dalam konteks Indonesia. secara menyeluruh aturan-aturan Berdasarkan dua buku tersebut, hukum yang dimaksud. artikel ini mencoba untuk melihat Tak kalah menarik untuk disimak norma-norma ideal dalam KBB, adalah tulisan dari Muhammad sekilas tentang praktik yang ada Hafiz yang berjudul “Jaminan secara komparatif dan bagaimana Kebebasan Beragama: Norma nilai-nilai itu berhadapan dengan Ideal, Praktik dan Lokalitas”. Melalui lokalitas budaya atau tradisi. tulisannya, Muhammad Hafiz, Sementara itu, pembahasan mengatakan meningkatnya kasus- tentang PNPS ditulis oleh Halili kasus kebebasan beragama atau melalui artikel berjudul “UU No 1/ berkeyakinan (KBB) di Indonesia PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan menjadikan diskursus tentang Kebebasan Beragama/Berkeyakinan KBB ini menjadi perhatian banyak di Indonesia”. Artikel ini bertujuan pihak, pemerintah, masyarakat untuk menganalisis beberapa sipil, akademisi dan pihak-pihak pertanyaan kunci: 1) Apakah berkepentingan lainnya. Kebaruan pembatasan semacam itu memiliki

xii Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Editorial

pendasaran dalam teori-teori HAM Di sisi lain Alamsyah M.Djafar dan instrumen internasional? 2) Apa menulis artikel berjudul “Islamisasi saja persoalan Undang-Undang (UU) dan Kristenisasi:Isu-isu krusial No. 1/PNPS/1965 dalam konteks itu? di Seputar Proselitisme dan Hak 3) Apakah UU tersebut kompatibel Kebebasan Beragama”. Tulisan dengan upaya perlindungan dan ini hendak menguji argumen jaminan kebebasan beragama/ bahwa segala bentuk proselitisme (penyiaran agama) khususnya yang berkeyakinan oleh negara? ditujukan kepada “yang sudah Hasil pembahasan dan analisis beragama” adalah pelanggaran menunjukkan beberapa kesimpulan hukum dan karena itu harus utama: Pertama, UU PNPS dilarang. Sebaliknya, tulisan ini bukanlah mekanisme pembatasan hendak menegaskan, proselitisme kebebasan beragama/berkeyakinan seperti dalam bentuk aktivitas sebagaimana dimaksudkan dalam Islamisasi dan Kristenisasi yang berbagai doktrin dan teori HAM dilakukan dengan cara damai serta ketentuan-ketentuan dasar kepada umat lain, menjadi elemen derogasi dan limitasi sebagaimana dasar kebebasan beragama yang diintroduksi dalam instrumen dijamin UUD 1945 dan instrumen internasional dan nasional hak internasional yang sudah diratifikasi. asasi manusia. Kedua, UU PNPS Pelarangan proselitisme kepada mengandung berbagai cacat yang sudah beragama adalah materiil berkaitan dengan materi pelanggaran kebebasan beragama. dan konsep penodaan agama serta Proselitisme hanya sah dilarang tidak memberikan kepastian hukum jika ditujukan di antaranya, dan dalam konsepsi-konsepsi hukum tidak terbatas, kepada anak-anak dan penegakan hukumnya. Ketiga, yang berbeda agama/keyakinan, UU PNPS tidak kompatibel dengan ditujukan kepada orang dewasa upaya perlindungan dan jaminan yang berbeda agama di antaranya kebebasan beragama/berkeyakinan dengan cara-cara intimidatif, oleh negara. Sebaliknya UU ini menciptakan ketergantungan antara berwatak restriktif dan bahkan pelaku proselitisme dengan sasaran stimulatif terhadap pelanggaran proselitisme, mengambil jalan kebebasan beragama/berkeyakinan. kekerasan, dan cuci otak. Namun Keempat, implikasinya, pemerintah untuk memastikan agar aktivitas dan DPR harus segera menyusun tidak melahirkan sikap-sikap politik legislasi baru berkaitan intoleransi bahkan konflik berbasis dengan kebebasan beragama/ agama/keyakinan, diperlukan nilai- berkeyakinan sebagai pengganti UU nilai etik bersama proselitisme yang PNPS. bersifat universal.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 xiii Editorial

Terkait penanganan konflik atas eskalasi konflik yang mengarah nama agama, pembaca Jurnal HAM pada kekerasan massa. Bertolak yang mulia bisa menyimak tulisan belakang dengan yang terjadi di berjudul “Belajar dari Pemolisian Cikeusik, meskipun polisi sudah yang Baik: Menangani Konflik Anti- berusaha untuk melakukan tindakan Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) pencegahan, namun eskalasi dan Cikeusik (Banten)”. Tulisan yang konflik tetap tidak terbendung ditulis oleh Ihsan Ali-Fauzi, Irsyad dan kekerasan yang membawa Rafsadi, dan Siswo Mulyartono ini korban jiwa terjadi. Belajar pada mengatakan konflik antar agama kedua kasus tersebut, peran polisi dan intra agama baik dalam skala dalam upaya penangkalan atau kecil maupun skala besar rupanya pencegahan (deterrences) menjadi menunjukkan potensi yang terus sangat penting, selain penggunaan meningkat, bahkan kecenderungan kekuatan dan waktu pengerahan yang terjadi diikuti dengan aksi-aksi aparat kepolisian. Dibutuhkan kekerasan. Konflik bukan hanya perhitungan dan strategi yang tepat menyangkut persoalan tempat serta keseriusan pimpinan dalam ibadah namun juga konflik sektarian memberikan komando. Di sini peran baik di tingkat internal agama itu pemolisian menjadi sangat penting, sendiri maupun antar agama. Dalam mengingat keberhasilan pemolisian tulisan ini, tidak dibahas secara konflik beragama salah satunya detail tentang apa saja penyebab adalah keberhasilan dalam upaya konflik antar maupun intra agama preemtif dan preventif. tersebut, namun ingin melihat dan Selain itu, pembaca Jurnal HAM membandingkan bagaimana peran yang mulia, dapat membaca tulisan negara khususnya polisi sebagai berjudul “Pernikahan Beda Agama aparat penegak hukum dalam dan Jaminan Kebebasan Beragama menghadapi dan menyelesaikan di Indonesia” yang ditulis oleh Ahmad konflik intra agama yang terjadi. Nurcholish. Tulisan ini mengatakan Studi kasus yang menjadi pijakan pernikahan beda agama merupakan analisis adalah konflik yang terjadi di fakta sosial yang tak terbantahkan Manis Lor, Jawa Barat dan Cikeusik, di negeri Indonesia yang plural. Tapi Banten. Keduanya adalah konflik fakta tersebut menjadi problem anti-Ahmadiyah. tersendiri bagi pelakunya karena Terdapat dua hasil yang berbeda status pernikahan mereka sering dari tindakan polisi di kedua konflik tidak dicatat atau tidak mendapat tersebut. Konflik di Manis Lor, Jawa pengakuan dari negara. Di Indonesia Barat dapat dicegah dengan baik pengakuan pernikahan dilakukan oleh polisi sehingga tidak terjadi oleh Kantor Urusan Agama

xiv Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Editorial

(KUA) yang berfungsi mencatat ini memaparkan Indonesia sebagai perkawinan pasangan yang sama- negeri multireligius dan multikultur sama beragama Islam. Sedangkan sering mendapatkan ujian hebat. dan Dinas Kependudukan dan Berbagai bentuk kekerasan atas Catatan Sipil (DKCS) berfungsi nama agama, dan atas nama mencatatkan perkawinan kalangan ideologi silih berganti menyerang yang bukan beragama Islam, seperti republik yang berumur 70 tahun Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha dari kemerdekaan. Terdapat serta Khonghucu. Sementara kasus-kasus kekerasan yang agama yang di luar itu, dianggap bernama intoleransi agama terjadi tidak berhak mengesahkan lembaga diberbagai belahan tanah air dan perkawinan. Padahal, sebetulnya, tidak selesai dengan baik. Bahkan sesuai dengan aturan tentang dalam kasus Pemilu Legislatif dan civil registration PBB, pencatatan Pemilu Presiden tahun 2014 isu merupakan kewajiban negara untuk tentang agama menjadi bagian tak menjamin terpenuhinya hak-hak terpisahkan dari kejahatan politik. sipil warga atau citizen. Isu agama menjadi komoditas Asumsi-asumsi tentang agama politik yang turut serta mewarnai resmi dan yang tidak resmi sudah perpolitikan kita. Kita dapat katakan seharusnya ditinggalkan. Karena bahwa berpolitik kita sebagian ternyata merugikan kehidupan meninggalkan etika mendahulukan berbangsa dan bernegara dalam kepentingan. Praktik politik kotor masyarakat bangsa yang majemuk dengan sentimen agama mewarnai dan bhinneka ini. Perlu dilakukan hampir seluruh proses demokrasi revisi terhadap sejumlah peraturan kita. Kasus-kasus pelanggaran hak atau undang-undang, antara lain warga negara untuk beragama UU Perkawinan Tahun 1974, agar dan berkeyakinan apa pun terjadi segala bentuk diskriminasi atas sepanjang tahun 2013-2014. Tulisan dasar etnis, ras, budaya dan agama, ini hendak menguraikan berbagai terutama pencatatan perkawinan peristiwa pelanggaran kebebasan bagi pemeluk agama dan keyakinan tidak terjadi lagi. Di level praktik, beragama yang dianut warga negara perlu dilakukan penyuluhan kepada Indonesia. Negara tampaknya absen pegawai-pegawai KUA dan DKCS bahkan sebagian mengatakan tentang kesadaran pentingnya negara ambil bagian dalam kasus pencatatan nikah beda agama pelanggaran HAM kebebasan sebagai hak-hak asasi manusia. beragama dan berkeyakinan. Tulisan Artikel kedelapan berjudul diakhiri dengan menempatkan “Kebebasan Beragama dan Negara” Muhammadiyah dan NU serta ulama yang ditulis oleh Zuly Qodir. Artikel dalam proses ke-Indonesiaan.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 xv Editorial

Pembaca Jurnal HAM yang mulia, delapan artikel yang disuguhkan oleh para penulis yang aktif bergiat di bidang kebebasan beragama dan berkeyakinan ini akan menjadi informasi yang berharga bagi para pembaca Jurnal HAM. Semoga artikel- artikel tersebut mampu menambah pengetahuan dan meningkatkan kearifan para pembaca Jurnal HAM dan masyarakat Indonesia untuk menolak segala bentuk kekerasan dan tindakan diskriminatif dalam beragama dan berkeyakinan.

xvi Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Editorial

Riwayat Hidup

Nama : Rusman Widodo, S.Sos Tempat, Tanggal Lahir : Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Januari 1973 Email : [email protected]

Pendidikan dan Pelatihan 1. Training on Trainer (ToT) Hak Asasi Manusia, Komnas HAM, Jakarta, 2008.

2. Sub Regional Training Workshop on National Human Rights Institutions and Human Rights Defenders, Bangkok, 19-23 Februari 2007.

3. Pelatihan Penyelidikan Proyustisia oleh Komnas HAM bekerja sama dengan Norwegian Human Rights Centre, Cisarua, Bogor, 28 Agustus - 1 September 2006.

4. Training Project Design & Implementation, Performance Monitoring & Reporting oleh AusAID dan Komnas HAM, Jakarta, 29 Agustus – 1 September 2005.

5. Workshop Strategi Kampanye Publik dengan tajuk Human Rights “Learn by Doing” Campaign, Kerja sama Komnas HAM – IALDF - Ogilvy Public Relations, 2006-2007.

6. Pelatihan Hak Asasi Internally Displaced Persons (IDPs) oleh Komnas HAM- Norwegian Refugee Council-Norwegian Human Rights Centre, Purwakarta, 27- 29 Juni 2005.

7. Human Rights Training (Pelatihan HAM Dasar) oleh Komnas HAM – Canadian International Development Agency, Ciawi, Jawa Barat, 16-19 Maret 2005.

8. Sarjana Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 29 Agustus 1998.

Karier 1. Staf Fungsional Penyuluh HAM, Komnas HAM, 2012 - kini. 2. Pimpinan Redaksi Majalah SUAR, Buletin Wacana HAM, sejak 2006 - kini. 3. Penyunting Jurnal HAM Komnas HAM, 2008 - kini.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 xvii Editorial

4. Dosen Luar Biasa Mata Kuliah Teknik Mencari dan Menulis Berita, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid, Jakarta, September 2004 - 2005. 5. Penyunting beberapa buku terbitan Komnas HAM, 2006-kini. 6. Jurnalis di berbagai media massa nasional, 1999-2005.

xviii Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia [M. Imdadun Rahmat]

Abstrak

etiap orang memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk mengamalkan agama dan kepercayaannya. Hak ini dijamin oleh instrumen Hak Asasi Manusia. Tidak ada seorangpun yang boleh dipaksa untuk memilih agama. Tidak ada yang berhak mengurangi, membatasiS atau menghilangkan hak seseorang untuk memeluk agamanya. Karena hak beragama dan berkeyakinan adalah non-derogable right, suatu hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Penulis, yang merupakan Special Rapporteur Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, menekankan bahwa Konstitusi dan Undang- Undang yang berlaku di Indonesia memberi jaminan bahwa memilih, memeluk, mengimani dan menjalankan ibadat suatu agama dan kepercayaan adalah hak bagi setiap individu. Secara jelas, Penulis menjabarkan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dapat dipilah kedalam kategori: forum internum (privat freedom) dan forum externum (public freedom), kewajiban negara terkait forum internum dan forum externum serta bentuk dan jenis pelanggarannya yang terjadi di Indonesia. Penulis melengkapi artikel ini dengan data-data terkini dan komprehensif terkait pelanggaran atas Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 1 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

di Indonesia, yang tidak saja dihasilkan oleh Komnas HAM, namun juga oleh lembaga masyarakat Sipil yang menaruh perhatian khusus pada isu ini. Tulisan ini ditutup dengan rekomendasi yang patut dijadikan pertimbangan bagi Pemerintah baik pihak eksekutif maupun legislatif dan terutama Kepolisian Republik Indonesia dalam menjalankan kewajibannya terkait pemenuhan dan perlindungan Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan bagi Warga Negara Indonesia.

Abstract

Everyone has the freedom and independence to practice their religion or belief . This right is guaranteed by the Human Rights instruments . No one should be forced to choose a religion . No one is entitled to reduce , limit or eliminate the right of a person to embrace a religion . Because of religious rights are non - derogable rights , a right which can not be reduced under any circumstances and by anyone . The author, who is the The Indonesian National Commission on Human Rights Special Rapporteur on Freedom of Religion and Belief , stressed that the Constitution and the law applicable in Indonesia gave the assurance that to choose , embrace , believe and execute worship of a religion and belief is a right for every individual . Clearly, the author lays out the rights to freedom of religion and belief which can be sorted into categories : forum internum ( private freedom) and externum forum (public freedom) , state obligations related to that rights as well as the shape and type of violations that occurred in Indonesia . The author complete his article with the latest and comprehensive data related to violation of the Right to Freedom of Religion and Belief in Indonesia , which is not only produced by the Commission , but also by civil society organizations who give special attention to this issue . This paper concludes with recommendations for the Government that should be taken into consideration both by the executive and legislative branches , and especially the Indonesian National Police in carrying out its obligations regarding the fulfillment and protection of the Right to Freedom of Religion and Belief for Indonesian citizens .

2 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Pendahuluan an berekspresi dengan kebebasan beragama. alam ranah perdebatan Definisi lain dikemukakan intelektual, termasuk oleh Dr. Nasir Al-Mayman yakni di kalangan intelektual “perasaan bebas untuk memeluk muslim, berkembang keyakinan agama tanpa tekanan pengertianD yang beragam tentang dan pemaksaan”2. Pengertian serupa kebebasan beragama dan ber- juga dikemukakan oleh Dr. Ahmad keyakinan (freedom of religions and Rasyad Tohun bahwa kebebasan beliefes). Keragaman definisi tersebut beragama adalah “hak manusia terkait dengan hubungannya dengan untuk memilih apa yang diimaninya kebebasan berekspresi, serta sesuai dengan hati nuraninya tanpa perbedaan apakah hak tersebut intimidasi, tekanan, dan paksaan dari mencakup hak untuk berpindah pihak lain”.3 Dua definisi ini tidak agama, dan hak untuk meninggalkan memasukkan hak berpindah agama agama menuju ateisme atau tidak. atau menjadi ateis sebagai bagian Sebagai contoh, berikut ini disajikan dari hak atas kebebasan beragama beberapa definisi yang mencerminkan dan berkeyakinan. perbedaan perspektif tersebut: Definisi yang berbeda paradigma Terdapat definisi yang dikutip dikemukakan oleh Dr. Muhammad dari Lucie Veyretout, bahwa Nur Farhat yang mengartikannya kebebasan beragama adalah sebagai “hak individu untuk memeluk “kemampuan manusia untuk agama yang ia yakini kebenarannya, mengekspresikan dengan berbagai dan dalam mengubah keyakinan sarana yang ada untuk memilih tersebut ke keyakinan lain, dan hak agama tertentu atau jalan tertentu untuk tidak memiliki agama, selain untuk berhubungan dengan itu adalah hak untuk mengumumkan Tuhannya, atau mengimaniNya, keyakinan keagamaannya, dan melakukan ibadat kepadaNya, dan melaksanakan peribadatan, serta mentaatiNya”1. Definisi ini cenderung menyebarkannya tanpa pengaturan mencampuradukkan antara kebebas- kecuali bahwa pengaturan itu betul-betul sangat diperlukan demi 1 Lucie Veyretout, La liberte religeuse et la Convention europeenne des droits de keteraturan bersama yang bisa l’homme, Memoire de Master 2, Sous la direction de M.J.F. Prevost, Universite de 2 Nasir Ibn Abdullah Al-Mayman, “Al-Hurriyah Paris V Rene Decartes – Malakoff, Juin 2006. Al-Diniyyah fi Al-Syariah Al-Islamiyyah P.3, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Ab’aduha wa Dlowabituha”, dalam Majma’ Sayyid Hasan Daud, Haqq Al-Insan fi Al- Al-Fiqh Al-Islamy Al-Tabi’ li Al-Munadlamah Khurriyyah Al-Diniyyah, Dirasah Ta’shiliyyah Al-Mu’tamar Al-Islamy, Al-Daurah Tasi’ Asyar, ala Dlou’I Al-Ittifaqiyyah Al-Urubbiyyah li hlm. 5. Huquq Al-Insan Muqaranah bi Al-Fiqhi Al- 3 Ahmad Rasyad Tohun, Hurriyah Al-aqidah Islamy, (Kairo: Dar Al-Kalimah, 2013), hlm. fi Al-Syariah Al-Islamiyyah, (Kairo: Itrak li Al- 14. Nashr wa Al-Tawzi’, 1998), hlm. 93.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 3 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

diterima oleh masyarakat yang Terlepas dari keragaman definisi demokratis dan bebas”4. Definisi tentang kebebasan beragama, ini menggambarkan makna memilih, memeluk, mengimani luas kebebasan beragama yang dan menjalankan ibadat suatu mencakup hak pindah agama dan agama dan kepercayaan adalah hak untuk menganut ateisme. hak bagi setiap individu. Setiap Definisi dengan nuansa orang memiliki kebebasan dan berbeda dikemukakan oleh kemerdekaan untuk mengamalkan Dr. Abdul Majid Najjar bahwa agama dan kepercayaannya. Hak ini kebebasan beragama diartikan dijamin oleh instrumen Hak Asasi sebagai “kebebasan seseorang Manusia. Tidak ada seorangpun memilih untuk membangun yang boleh dipaksa untuk memilih pemahaman dan pemikiran, agama. Tidak ada yang berhak yang ditempuh melalui olah pikir mengurangi, membatasi atau atau melalui jalan tertentu yang menghilangkan hak seseorang kemudian menjadi keyakinannya, untuk memeluk agamanya. Karena dan ia mempercayainya sebagai hak beragama dan berkeyakinan kebenaran, serta ia menyesuaikan adalah non-derogable right, suatu hidupnya baik dari sisi pemikiran, hak yang tidak bisa dikurangi dalam tingkah laku, maupun aturan keadaan apapun dan oleh siapapun. peribadatannya, tanpa adanya Akan tetapi, pelaksanaan akan persekusi, penindasan dan hak tersebut masih menghadapi diskriminasi karenanya, serta tanpa berbagai tantangan. Di Indonesia, adanya pemaksaan dalam bentuk pelanggaran atas hak tersebut apapun untuk meninggalkan dari waktu ke waktu cenderung keyakinannya, atau membangun meningkat. Seseorang bisa dengan keyakinan lain yang bertentangan mudah mengalami pelecehan, dengan keyakinanya itu”5. Dalam intimidasi, ancaman, penganiayaan, definisi ini diakui hak untuk penyerangan, hingga pembunuhan membangun keyakinan atau agama karena ia menganut suatu baru di luar keyakinan atau agama agama atau kepercayaan yang yang sudah ada. sedang dipersekusi. Perusakan,

4 Mahmud Nur Farhat, “Al-Islam wa Hurriyah perampasan properti, hingga Al-Aqidah, Mulahadlat Awwaliyah”, Al- penghancuran rumah ibadah terjadi Majallah Al-Arabiyyah li Huquq Al-Insan, al- atas dasar kebencian terhadap adad al-khamis, Yanayir 1997, hlm. 172. 5 Abdul Majid Al-Najjar, Al-Hurriyyah Al- agama atau keyakinan. Tragedi Diniyyah fi Al-Syariah Al-Islamiyyah demi tragedi terjadi hampir-hampir Ab’aduha wa Dlowabituha, Bahts Muqaddamila Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Al- tanpa perlindungan dari aparat Dauli, Munadlamah Al-Mu’tamar Al-Islamy, keamanan, dan minim penyelesaian Al-Daurah Tasi’ Asyar, hlm. 4.

4 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

yang layak dan adil baik bagi pelaku Indonesia. Untuk memaksimalkan maupun bagi korban. kerja Special Rapporteur dalam Perlindungan atas hak menjalankan mandat tersebut beragama dan berkeyakinan harus dibentuklah Tim Asistensi Special mendapatkan perhatian lebih serius Reporteur KBB di Komnas HAM. oleh publik khususnya negara Tim ini berada di bawah Special (pemerintah). Pelanggaran demi Rapporteur yang diberi nama pelanggaran yang terjadi tidak Desk KBB. Komposisi Desk KBB ini boleh ditangani dengan sekedarnya, terdiri dari staf khusus dengan staf apalagi dibiarkan begitu saja. Sudah internal Komnas HAM dari Sub saatnya menjadikan persoalan ini Komisi Pemantauan dan Sub Komisi sebagai prioritas nasional mengingat Mediasi. Special Rapporteur dan dampaknya yang sangat buruk. Desk KBB ini diharapkan mampu Buruk bagi jaminan hak-hak rakyat, mendukung Komnas HAM agar buruk bagi wibawa pemerintah dan bekerja lebih fokus dan terintegrasi buruk bagi sendi-sendi berbangsa dalam penanganan kasus-kasus dan bernegara. pelanggaran KBB. Oleh karena itu, Komnas Desk KBB melihat pendekatan HAM dalam Sidang HAM III 2013 advokasi kasus-kasus pelanggaran mengangkat issue ini sebagai KBB di Komnas HAM cenderung masalah utama. Diharapkan lahir berbasis pada pengaduan kasus. kepedulian publik dan kemauan Hal ini telah menempatkan politik pemerintah untuk melakukan Komnas HAM seolah-olah lembaga langkah-langkah kongkrit yang “pemadam kebakaran”. Dengan efektif bagi penyelesaian masalah dasar pandangan tersebut, Desk ini secepat mungkin. Sebagai KBB telah memulai pendekatan tindak lanjut yang bersifat baru advokasi berbasis isu dengan kelembagaan dari rekomendasi capaian kerja yang terencana. yang dihasilkan oleh Sidang HAM Pendekatan ini diharapkan mampu tersebut, Sidang Paripurna Komnas memperkuat peran Komnas HAM HAM membentuk Pelapor Khusus dalam isu KBB dengan orientasi (Special Rapporteur) Kebebasan hasil jangka panjang. Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Mandat utama Special Rapporteur adalah melakukan identifikasi atas Jaminan Akan Hak Beragama dan situasi dan tantangan, sekaligus Berkeyakinan memberikan rekomendasi untuk pemajuan, penghormatan dan Jaminan konstitusi terhadap pemenuhan Hak atas KBB di kebebasan beragama di Indonesia

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 5 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

ditegaskan dalam pasal 28E ayat (1) dalam keadaan apapun dan oleh dan ayat (2) Undang-Undang Dasar siapapun”. 1945. Kedua ayat itu menyatakan Selain penghormatan (respect), bahwa, ”Setiap orang bebas pengakuan (recognition) akan hak memeluk agama dan beribadat warga negara akan kebebasan menurut agamanya.” Bahwa, ” beragama dan berkeyakinan, Setiap orang berhak atas kebebasan UU No. 39 Tahun 1999 tentang meyakini kepercayaan, menyatakan HAM juga menegaskan kewajiban pikiran dan sikap sesuai dengan hati negara untuk memberikan jaminan nuraninya.” Jaminan ini diperkuat perlindungan (protec) hak tersebut. lagi dalam pasal 29 ayat (2) UUD Selengkapnya, UU No. 39 Tahun. 1945, yang menyebutkan bahwa 1999 pasal 22 berbunyi: ”Negara menjamin kemerdekaan (1) Setiap orang bebas memeluk tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing agamanya masing-masing dan untuk dan untuk beribadah menurut beribadat menurut agamanya dan agamanya dan kepercayaanya kepercayaannya itu.” Pasal-pasal ini itu. dengan jelas menjamin prinsip non- (2) Negara menjamin kemer- coersive (asas tidak ada paksaan) dekaan setiap orang memeluk dalam beragama dan berkeyakinan. agamanya masing-masing dan Di samping itu, dalam Pasal 28I untuk beribadat menurut ayat (1) Undang-Undang Dasar agamanya dan kepercayaanya 1945 dinyatakan bahwa kebebasan itu. beragama dan berkeyakinan adalah bagian dari ”hak asasi manusia yang Negara juga telah menegaskan tidak dapat dikurangi dalam keadaan larangan diskriminasi berdasarkan apa pun”. Status non-derogable agama. Prinsip non-diskriminatif ini rights bagi religious freedom ini juga ditegaskan UUD 1945 ayat (2) Pasal ditegaskan kembali dalam UU No. 28I bahwa, ”Setiap orang berhak 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 4: bebas dari perlakuan yang bersifat “Hak untuk hidup, hak untuk diskriminatif atas dasar apa pun dan tidak disiksa, hak kebebasan berhak mendapatkan perlindungan pribadi, pikiran dan hati nurani, terhadap perlakuan yang bersifat hak beragama, hak untuk tidak diskriminatif”. diperbudak, hak untuk diakui Pengertian konsep diskriminasi sebagai pribadi dan persamaan di secara normatif telah didefinisikan hadapan hukum, dan hak untuk dalam Pasal 1 butir 3 Undang- tidak dituntut atas dasar hukum undang Nomor 39 Tahun 1999 yang berlaku surut adalah hak asasi tentang Hak Asasi Manusia yang manusia yang tidak dapat dikurangi menyebutkan 11 kriteria/indikator

6 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

diskriminasi, yang salah satunya Pasal 18 Deklarasi Universal adalah pembedaan manusia atas Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB dasar agama. menyatakan: ”Setiap orang berhak Sangat jelas bahwa Konstitusi dan atas kebebasan pikiran, hati nurani, Undang-Undang yang berlaku di dan agama, dalam hal ini termasuk Indonesia memberi jaminan bahwa kebebasan berganti agama atau memilih, memeluk, mengimani dan kepercayaan, dan kebebasan menjalankan ibadat suatu agama untuk menyatakan agama atau dan kepercayaan adalah hak bagi kepercayaan, dengan cara meng- setiap individu. Setiap orang memiliki ajarkannya, melakukannnya, ber- kebebasan dan kemerdekaan untuk ibadat dan mentaatinya, baik sendiri beragama dan berkepercayaan. maupun bersama-sama dengan Tidak ada seorangpun yang boleh orang lain, di muka umum maupun dipaksa untuk memilih agama dan sendiri”. keimanan. Tidak ada yang berhak Selengkapnya, pasal 18 Kovenan mengurangi, membatasi atau Internasional Hak-Hak Sipil dan menghilangkan hak seseorang untuk Politik berbunyi: mempercayai dan mengimani suatu 1. Setiap orang berhak atas agama atau kepercayaan. Karena kebebasan pikiran, hati nurani hak beragama dan berkeyakinan dan agama. Hak ini mencakup adalah non-derogable right, suatu kebebasan untuk memiliki atau hak yang tidak bisa dikurangi dalam memeluk agama atau keyakinan keadaan apapun. atas pilihannya sendiri, dan kebebasan untuk menyatakan Hak atas kebebasan beragama agama atau kepercayaan, dan berkeyakinan juga dijamin dengan cara mengajarkannya, oleh Instrumen Internasional. melakukannnya, beribadat dan Norma-norma hukum internasional mentaatinya, baik sendiri maupun yang mengatur dan menjamin bersama-sama dengan orang lain, hak atas kebebasan beragama di muka umum maupun sendiri.6 dan berkeyakinan memperoleh penegasan dalam Pasal 18 Universal 6 Rumusan ini berbeda degan versi DUHAM dimana kata-kata “hak untuk mengganti Declaration on Human Rights dan agama” dihilangkan dan ditambah kata- Pasal 18 Kovenan Internasional kata “atas pilihan sendiri” dibelakang kata “kebebasan untuk memiliki atau memeluk tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, agama atau keyakinan”. Perubahan sebagaimana yang telah disahkan ini dilakukan sebagai akomodasi atas oleh Pemerintah RI dengan Undang- keberatan delegasi negara-negara Islam khususnya Mesir, Yaman, Arab Saudi dan undang Nomor 12 tahun 2005. Afghanistan yang khwatir kata-kata “hak Pelanggaran atas norma-norma untuk mengganti agama” akan mendorong pemurtadan, penyebaran agama yang tersebut dapat digolongkan sebagai agresif dan aktivitas-aktivitas ateisme, pelanggaran hak atas kebebasan serta propaganda anti agama. Kesepakatan dalam forum Komite HAM dan Majelis beragama dan berkeyakinan. Umum PBB tersebut tercapai dan diterima

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 7 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

2. Tidak seorangpun boleh menjadi Pengertian agama dan keyakinan sasaran pemaksaan yang akan dalam instrumen HAM internasional mengganggu kebebasannya untuk ternyata tidaklah sempit. Dalam memiliki atau memeluk agama Komentar Umum No. 22 (48) Komite atau keyakinan atas pilihannya HAM PBB tentang substansi normatif sendiri. Kovenan Internasional tentang 3. Kebebasan untuk mewujudkan Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18 agama atau keyakinan seseorang dijelaskan bahwa pengertian agama boleh dibatasi hanya atas dasar dan keyakinan meliputi agama/ keputusan pengadilan dan sangat keyakinan tradisional, dan agama/ dibutuhkan untuk melindungi keyakinan yang baru didirikan. keselamatan, ketertiban, kesehat- Dalam memahami substansi Pasal an, atau moral masyarakat atau 18 Kovenan Internasional tentang hak-hak dasar dan kebebasan Hak-Hak Sipil dan Politik secara dasar orang lain. benar, dibedakan antara kebebasan 4. Para negara pihak yang meratifikasi berkeyakinan dan beragama atau Kovenan ini berkewajiban untuk berkepercayaan dengan kebebasan menghormati kebebasan orang untuk menjalankan agama atau tua dan, jika dimungkinkan, wali kepercayaannya. Pembedaan ini untuk menjamin pendidikan secara legal sangat penting untuk agama dan moral bagi anak sesuai membedakan di wilayah mana dengan agama orang tua dan negara diperbolehkan untuk walinya. membatasi dan wilayah mana negara dilarang untuk melakukan Pemberian status khusus kebe- pembatasan. basan beragama dan berke-yakinan Maka secara teoritis, hak sebagai hak yang tidak bisa dikurangi atas kebebasan beragama dan (non-derogable right) ditegaskan berkeyakinan dapat dipilah kedalam dalam pasal 4 ayat 2. kategori: forum internum (privat oleh delegasi negara-negara Islam dengan freedom) dan forum externum menggantinya dengan rumusan di atas (public freedom). Forum Internum berdasarkan usulan Brazil dan Philipina. Lihat Mashood A. Baderin, Hukum adalah eksistensi spiritual individual Internasional Hak Asasi Manusia & Hukum seseorang, sebuah wilayah yang Islam (Jakarta: Komnas HAM, 2010), hlm. 121. Meskipun demikian, kata-kata “atas secara teoritis tidak dimungkinkan pilihan sendiri” berarti adanya jaminan akan dilakukan pengurangan (derogasi) hak untuk mempertahankan keyakinan atau berganti keyakinan. Lihat, Mafred hak atas kebebasan beragama Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political dan keyakinan tersebut. Dimensi Rights CCPR Commentary 2nd revised edition (Arlington USA: N.P. Angel Publisher, 2005) individual tercermin dalam hlm. 410 dan hlm. 413-414 perlindungan terhadap keberadaan spiritual seseorang termasuk di

8 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

dalam dimensi ini adalah memilih dasar atas kebebasan berkomunikasi – mengganti, mengadopsi - dan tidak hanya melindungi eksistensi memeluk agama dan keyakinan. spiritual seseorang tetapi juga Dimensi individual ini juga melindungi kebebasan seseorang menyangkut menjalankan ibadat untuk mewujudkan keyakinan dan agama dalam ruang privat. Yaitu ajaran agama dalam kehidupan ketika dalam menjalankan agama nyata. dan keyakinannya, seseorang tidak Kategori Forum Externum yang meninggalkan wilayah keberadaan merupakan manifestasi dari individual dan tidak menyentuh keyakinan ke dalam kehidupan nyata wilayah privat orang lain. Contoh atas ini merupakan subjek pembatasan situasi ini adalah ketika seseorang yang diatur dalam pasal 18 ayat mengamalkan ritual keagamaan, 3 Kovenan Internasional tentang baik secara sendiri-sendiri maupun Hak-Hak Sipil dan Politik. Hak-hak bersama komunitas keagamaan dalam kategori ini dengan selektif atau keyakinan tanpa “mengubah” dan sangat ketat dapat dikurangi wilayah privat orang lain.7 Maka hal (di-derogasi). Untuk menentukan ini tidak bisa dikurangi, diatur dan apakah hak beragama dan dikriminalisasikan. Kebebasan ini berkeyakinan tertentu mengancam membutuhkan perlindungan khusus atau melanggar ketertiban, kesehat- oleh negara. an, moral masyarakat, keamanan Sedangkan dimensi kolektif negara dan hak serta kebebasan tercermin dalam perlindungan ter- dasar orang lain haruslah ditentukan hadap keberadaan seseorang untuk oleh hukum, UU atau pengadilan mengeluarkan keberadaan spiri- yang beroperasi dalam situasi tualnya dan mempertahankannya yang adil, non-diskriminatif dan di depan publik (forum eksternum). demokratis. Hal ini dikenal dengan Forum eksternum yang juga disebut “Prinsip-prinsip Siracusa” (Siracusa sebagai “community right”, berupa Principles).8 hak memanifestasikan dan Terdapat beberapa hal yang pengkomunikasian materi-materi tidak boleh diintervensi, dipaksa, spiritual kepada dunia yang lebih dipengaruhi dengan cara-cara luas dan upaya mempertahankan manipulatif (seperti indoktrinasi, kesalehan di ruang publik. Hak-hak 8 Mafred Nowak, hlm. 417-418. Siracusa Principles adalah prinsip-prinsip mengenai 7 Nowak, M. (2005), U.N. Covenant on Civil ketentuan pembatasan dan pengurangan and Political Rights, CCPR Commentary, hak yang diatur di dalam Kovenan 2nd revised edition, N.P. Engel, Internasional tentang Hak Sipil dan Publishers dalam Laporan Pemetaan Politik. Prinsip-prinsip ini dihasilkan oleh Hak atas Kebebasan Beragama dan sekelompok ahli hukum internasional yang Berkepercayaan di Enam Daerah bertemu di Siracusa, Italia pada April dan (Komnas HAM: Jakarta, 2009) Mei 1984.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 9 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

brainwashing, dan penggunaan sarana pendidikan, tempat sarana obat-obat psichotropica dan pertemuan, pusat studi agama, sebagainya), oleh negara atau pihak dan lain-lain. manapun karena itu adalah forum 7. Membentuk dan menjalankan internum: organisasi berbasis agama 1. Memilih dan mengimani agama, dengan jaminan status legal. keyakinan atau kepercayaan. 8. Mengelola pendidikan keagama- 2. Memilih dan mengimani sekte an. atau madzhab tertentu dalam 9. Kebebasan menulis, mengajarkan suatu agama. dan menyebarluaskan ajaran 3. Memilih untuk taat pada (menja- agama. lankan) suatu ajaran agama atau 10. Memperoleh status keagamaan. tidak taat. 11. Memperoleh pendidikan dan 4. Menjalankan ibadat ritual di pengajaran agama sesuai dengan ruang privat. agama orang tua/wali. 5. Memikirkan, memahami, me- 12. Memperoleh layanan menikah, renungi, menafsirkan dan bercerai, dan upacara kematian. mengembangkan pemikiran 13. Memperoleh hak-hak kewargane- tentang agama. garaan tanpa didiskriminasi karena agama. Namun ada beberapa hak yang bisa dikurangi atau diatur Kebebasan beragama juga dengan persyaratan yang sangat didukung oleh sebuah prinsip ketat karena ia tergolong Forum non-diskriminasi. Prinsip non Eksternum: diskriminasi merupakan salah satu 1. Menjalankan ibadat ritual di ruang prinsip utama dalam hak asasi publik. manusia. Dalam DUHAM prinsip ini 2. Menjalankan ajaran agama ditempatkan pada Pasal 2 setelah non ibadat; ceramah agama, penjelasan tentang manusia yang pertemuan agama, pendidikan dilahirkan merdeka dan mempunyai agama, perayaan hari-hari besar, martabat serta hak yang sama. menyiarkan agama, dll. “Setiap orang berhak atas semua 3. Mendirikan dan menggelola hak dan kebebasan-kebebasan yang rumah ibadat. tercantum di dalam Deklarasi ini 4. Kebebasan menggunakan simbol- dengan tidak ada pengecualian apa simbol agama. 5. Kebebasan mengangkat pemim- pun, seperti pembedaan ras, warna pin agama. kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, 6. Mendirikan dan mengelola sarana- politik atau pandangan lain, asal-usul sarana keagamaan lain seperti: kebangsaan atau kemasyarakatan,

10 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

hak milik, kelahiran ataupun kedudukan didasarkan agama/keyakinan dan lain”. mengurangi peng-akuan penik- Prinsip non-diskriminasi ini juga matan atau pelaksanaan hak-hak ditempatkan di awal dalam Pasal 2 manusia dan kebebasan-kebebasan Kovenan Internasional tentang Hak dasar atau suatu dasar yang sama. Sipil dan Politik yaitu, Setiap Negara Pasal 2 ayat (1) Kovenan Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk Internasional tentang Hak-Hak Sipil menghormati dan menjamin hak-hak dan Politik menjelaskan bahwa yang diakui dalam Kovenan ini bagi negara harus menjamin dan semua orang yang berada dalam menghormati hak-hak yang diakui di wilayahnya dan tunduk pada wilayah dalam Kovenan tersebut tanpa ada hukumnya, tanpa perbedaan apapun perbedaan atas dasar agama, ras, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis kelamin, dan status lainnya. bahasa, agama, politik atau pendapat Pasal ini menjelaskan prinsip non lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, diskriminasi pemenuhan untuk kekayaan, kelahiran atau status sosial individu atas hak-hak sipol termasuk lainnya. hak atas kebebasan beragama/ Kovenan ini sudah diratifikasi kepercayaan. Kovenan Internasional oleh Indonesia melalui UU 12/2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik sehingga sudah menjadi hukum tidak menjelaskan bentuk-bentuk positif Indonesia. Khusus mengenai diskriminasi, hanya menjelaskan perbuatan tidak toleran dan tentang istilah “pembedaan”. diskriminasi berbasis agama atau Deklarasi PBB tentang penghapusan keyakinan memiliki pengertian, bentuk-bentuk diskriminasi dan “setiap pembedaan, pengesampingan, intoleransi justru memberikan pelarangan atau pengutamaan berbasis penjelasan secara rinci dan agama atau keyakinan yang tujuannya spesifik mengenai bentuk-bentuk atau akibatnya penghilangan atau diskriminasi atas dasar agama. pengurangan pengakuan, penikmatan Pasal 1 ayat (1) Deklarasi PBB atau pelaksanaan hak asasi manusia tentang penghapusan segala dan kebebasan dasar berdasarkan bentuk diskriminasi dan intoleransi kesetaraan.”9 atas dasar agama/kepercayaan, Intoleransi dan diskriminasi atas menjelaskan tidak seorang pun dasar agama/kepercayaan adalah menjadi target diskriminasi yang pembedaan, pengesapingan, pem- dilakukan oleh negara, institusi, batasan, dan pengutamaan/prefensi kelompok orang atau seseorang 9 Declaration on the Elimination of All Forms atas dasar agama/kepercayaan. of Intolerance and of Discrimination Based Sedangkan Pasal 1 ayat (2) Deklarasi on Religion or Belief Proclaimed by General Assembly resolution 36/55 of 25 November menegaskan tidak seorang pun 198, Pasal 2 ayat 2.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 11 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

dapat dipaksa yang mengurangi Terkait dengan prinsip non kebebasan beragama atau berke- diskriminasi di atas, Komite HAM yakinan sesuai dengan pilihannya. telah mengeluarkan Komentar Kebebasan beragama juga Umumnya yakni bahwa jika suatu didukung oleh sebuah Deklarasi agama diakui sebagai agama negara Majelis Umum PBB yakni Dekla- atau jika pengikut agama tersebut rasi tentang Penghapusan merupakan mayoritas penduduk Segala Bentuk Intoleransi dan negara tersebut, tidak berarti Diskriminasi Berdasarkan Agama bahwa agama tersebut diberikan atau Kepercayaan yang intinya hak istimewa (privilege) atau bahwa berisi larangan diskriminasi ber- dibolehkan diskriminasi terhadap dasarkan agama dan keyakinan. pemeluk agama lain atau yang tidak Deklarasi ini berkontribusi dalam memiliki agama atau keyakinan.12 penyusunan penjelasan lebih lanjut Prinsip non-diskriminasi secara substansi dan isi pasal 18 Kovenan teoritis dipahami ke dalam 2 (dua) Internasional tentang Hak-Hak Sipil jenis makna, yaitu menunjuk pada: (i) dan Politik yang karena itu, bisa ”equal treatment of equals” (perlakuan digunakan sebagai pertimbangan yang sama terhadap mereka yang dalam menafsirkan pasal ini.10 sama); dan (ii) ”unequal treatment Dalam deklarasi ini, terkait of unequals” (perlakuan yang tidak dengan diskriminasi berbasis agama sama terhadap mereka yang tidak atau keyakinan, Negara memiliki sama). Makna yang disebut terakhir kewajiban sebagai berikut: ini dimaksudkan untuk mencapai a) mengambil langkah-langkah apa yang disebut oleh E.W. Vierdag efektif untuk mencegah dan sebagai equality in fact (persamaan me-nghilangkan diskriminasi; dalam kenyataannya).13 b) mengerahkan seluruh upaya Dalam konteks anti diskriminasi untuk mengundangkan atau atas minoritas agama, pada tataran menghapuskan perundang- teoritis dikenal konsep “diskriminasi undangan apabila diperlukan untuk melarang diskriminasi terbalik” yang sering pula dikenal apapun; sebagai bentuk tindakan afirmasi c) mengambil segala langkah (affirmative action), yaitu a set of actions yang tepat untuk memerangi designed to eliminate existing and intoleransi berbasis agama atau continuing discrimination, to remedy keyakinan.11 lingering effects of past discrimination, and to create systems and procedures 10 Mafred Nowak, hlm. 409 11 Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based 12 Mafred Nowak, hlm. 415-416. on Religion or Belief Proclaimed by General 13 E.W. Vierdag, The Concept of Discrimination Assembly resolution 36/55 of 25 November in International Law, Martinus Nijhoff, The 198, pasal 4. Hague, 1973, hlm.14.

12 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

to prevent future discrimination14 adalah negara, dalam hal ini adalah (sehimpunan tindakan yang pemerintah. Semua penjelasan dirancang untuk mengeliminasi dalam DUHAM menyatakan bahwa diskriminasi yang terjadi dan perwujudan HAM sepenuhnya berlanjut, untuk memperbaiki adalah kewajiban negara. Dalam efek yang masih melekat dari hal ini, negara memiliki tiga diskriminasi di masa lalu, dan kewajiban. Antara lain negera menciptakan sistem dan prosedur harus menjalankan kewajiban untuk mencegah diskriminasi di pemenuhan HAM dalam bentuk masa mendatang). Diskriminasi antara lain penghormatan (to terbalik ini tidak tergolong respect), melindungi (to protect), dan sebagai pelanggaran HAM, justeru memenuhi (to fullfil). sebaliknya: melindungi, memenuhi, Hal ini juga diakui dalam hukum menghormati dan memajukan HAM. nasional Indonesia. Dalam Pasal Penciptaan suasana yang 28 I Ayat (4) Undang-Undang Dasar kondusif bagi religious freedom juga 1945 secara gamblang dicantumkan didukung oleh adanya larangan jaminan mengenai hal ini dengan manifestasi agama dan keyakinan kata-kata berikut, “perlindungan, yang berbentuk propaganda perang, pemajuan, penegakan, dan pe- hasutan kebencian atas dasar menuhan hak asasi manusia adalah kebangsaan, rasial atau agama tanggung jawab negara, terutama yang bisa menyulut diskriminasi, pemerintah”. permusuhan atau kekerasan. Larangan hatred speech yang sangat Sedangkan dalam Undang- penting bagi menjaga agama agar Undang No 39 Tahun 1999 tentang tidak menjadi sumber konflik, Hak Asasi Manusia, jaminan ini kebencian dan kekerasan serta juga diperkuat dalam Pasal 71 yang membina perdamaian dan harmoni menyatakan, “Pemerintah wajib dan antar umat manusia ini termuat bertanggung jawab menghormati, dalam Kovenan Internasional melindungi, menegakkan, dan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik memajukan hak asasi manusia pasal 20. yang diatur dalam Undang-Undang ini (UU 39 Tahun 1999), peraturan perundang-undangan lain, dan Kewajiban Negara hukum internasional tentang hak Dalam hukum HAM pemangku asasi manusia yang diterima oleh kewajiban HAM sepenuhnya Negara Republik Indonesia”. Pada 30 September 2005 14 Bryan A. Garner, (ed.), Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul, Indonesia meratifikasi dua per- Minn, 1999, hlm.60. janjian internasional tentang

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 13 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

hak-hak manusia, yaitu Kovenan ke dalam perundang-undangan, Internasional tentang Hak-hak baik yang dirancang maupun Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diberlakukan sebagai (International Covenant on Economic, UU. Yang lain adalah pemerintah Social and Cultural Rights – ICESCR) memiliki kewajiban mengikat untuk dan Kovenan Internasional tentang mengambil berbagai langkah dan Hak-hak Sipil dan Politik (International kebijakan dalam melaksanakan Covenant on Civil and Political Rights – kewajiban untuk menghormati (to ICCPR). Dan pada 28 Oktober 2005, respect), melindungi (to protect) dan kedua kovenan internasional ini memenuhi (to fullfil) hak-hak asasi disahkan, ICESCR menjadi UU No. manusia. Kewajiban ini juga diikuti 11 Tahun 2005 dan ICCPR menjadi dengan kewajiban pemerintah yang UU No. 12 Tahun 2005. Dengan lain, yaitu untuk membuat laporan demikian, selain menjadi bagian dari yang bertalian dengan penyesuaian sistem hukum nasional maka kedua hukum, langkah, kebijakan dan kovenan ini sekaligus melengkapi tindakan yang dilakukan. empat perjanjian pokok yang telah Mengenai implementasi antara diratifikasi sebelumnya, yaitu The kedua kategori hak, baik yang non- Convention on the Elimination of derogable maupun yang derogable All Forms of Discrimination against juga memiliki batas-batasnya, Women, dikenal dengan CEDAW yaitu pada batas mana negara (penghapusan diskriminasi perem- tak melakukan intervensi dan puan), Convention on the Rights of pada batas mana pula intervensi the Child, dikenal dengan CRC (hak harus dilakukan. Negara tak boleh anak), Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading melakukan intervensi dalam rangka Treatment or Punishment dikenal menghormati hak-hak setiap orang, dengan CAT (anti penyiksaan), terutama hak-hak yang tak dapat dan International Convention on the ditangguhkan. Karena campur Elimination of All Forms of Racial tangan negara justru mengakibatkan Discrimination, dikenal sebagai CERD terjadinya pelanggaran atas hak- (penghapusan diskriminasi rasial). hak individu/kelompok. Sebaliknya, Ratifikasi ini menimbulkan intervensi dapat dilakukan atas dua konsekuensi terhadap pelaksanaan hal; pertama, dalam situasi atau hak-hak asasi manusia, karena alasan khusus untuk membatasi Negara Indonesia telah mengikatkan atau mengekang hak-hak atau diri secara hukum. Antara lain kebebasan berdasarkan UU; kedua, pemerintah telah melakukan dalam rangka untuk menegakkan kewajiban untuk mengadopsi per- hukum atau keadilan bagi korban janjian yang telah diratifikasi ini tindak pidana.

14 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Karena itu, dalam menghormati dalam hukum nasional. Pemerintah dan melindungi hak-hak kebebasan juga harus segera melakukan beragama dan berkeyakinan, harmonisasi hukum nasional ada dua jenis pelanggaran yang dengan menggunakan kerangka bertalian dengan kewajiban negara. Kovenan Internasional tentang Pertama, seharusnya menghormati Hak-Hak Sipil dan Politik. Semua hak-hak kebebasan beragama dan peraturan perundang-undangan berkeyakinan, tapi negara justru yang tak sesuai dengan Kovenan melakukan tindakan yang dilarang Internasional tentang Hak-Hak atau bertentangan Kovenan Sipil dan Politik harus dicabut dan Internasional tentang Hak-Hak direvisi. Begitu juga dengan RUU Sipil dan Politik melalui campur- yang telah dibahas dan disiapkan tangannya dan disebut pelanggaran hingga proses ratifikasi. melalui tindakan (violation by action). Selain itu pemerintah harus Kedua, seharusnya aktif secara melakukan sosialisasi Kovenan terbatas untuk melindungi hak-hak Internasional tentang Hak-Hak Sipil tersebut – melalui tindakannya – dan Politik yang telah diratifikasi, negara justru tak melakukan apa-apa sehingga banyak orang akan baik karena lalai dan lupa maupun mengetahui apa saja hak-hak absen, disebut pelanggaran melalui sipil dan politik yang seharusnya pembiaran (violation by omission). dinikmati. UU No 12 Tahun 2005 Jenis pelanggaran lainnya adalah diberlakukan secara seragam di tetap memberlakukan ketentuan seluruh negeri dan diharapkan tak hukum yang bertentangan dengan ada peraturan yang bertentangan Kovenan Internasional tentang dengan isi undang-undang ini. Hak-Hak Sipil dan Politik yang Termasuk yang bertalian dengan disebut pelanggaran melalui hukum kekuatiran mengenai kelemahan (violation by judicial). otonomi daerah atau otonomi Dengan meratifikasi Kovenan khusus. Internasional tentang Hak-Hak Sipil Tak adanya fasilitasi pemerintah dan Politik, pemerintah Indonesia dalam penyediaan infrastruktur memiliki kewajiban yang mengikat pendukung atas langkah-langkah secara hukum untuk melakukan implementasi hasil ratifikasi beberapa hal. Antara lain negara, berbagai perjanjian hak-hak dalam hal ini pemerintah, harus manusia dapat dipandang sebagai segera melakukan reformasi hukum sikap tak mau (unwilling) atau dengan menerjemahkan prinsip abai untuk berbuat sesuatu, dan ketentuan yang terkandung termasuk bagaimana seharusnya dalam Kovenan Internasional semua aparatur berperilaku yang tentang Hak-Hak Sipil dan Politik ke dipertalikan dengan Kovenan

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 15 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Internasional tentang Hak-Hak dengan hak-hak beragama dan Sipil dan Politik tanpa kecuali pada berkeyakinan seringkali dilanggar. lembaga-lembaga peradilan dan Baik pelanggaran terkait kasus pengadilan, sehingga terasa kurang kekerasan dan konflik bernuansa berefek pada pelaksanaannya. agama maupun kekerasan yang menimpa kaum minoritas baik yang Fakta Tentang Tingginya pelakunya negara atau non negara Pelanggaran masih sering terjadi. Kekerasan di Ambon dan Poso pada tahun Bangsa Indonesia menempatkan 1999 dapat disebut sebagai salah kehidupan keagamaan, keyakinan, satu contoh betapa kekerasan bisa dan spiritualitas pada posisi yang begitu dahsyat mengebiri hak-hak sangat penting. Realitas sosiologis, umat manusia untuk secara leluasa kultural dan politik di Indonesia dan aman menjalankan agamanya. yang kental warna religiusitasnya Kekerasan dan intoleransi juga menunjukkan kebenaran hal di atas. dapat melahirkan pelanggaran Dunia spiritual dan religius hidup terhadap hak kebebasan beragama subur di negeri kita. Agama dan seperti yang kerapkali dialami oleh kepercayaan yang hidup dan dianut berbagai kelompok minoritas agama oleh penduduk Indonesia, sangatlah seperti penghayat kepercayaan, beragam. Bahkan yang paling Ahmadiyah, Syiah dan kelompok beragam dibandingkan negara yang dituduh sesat. Sejak tahun 2005 lain di dunia. Di negara ini, hidup misalnya, hak kebebasan beragama dan berkembang dengan subur kelompok ini seringkali dilanggar: beragam agama dan kepercayaan berupa penyegelan rumah ibadah, mulai dari Hindu, Buddha, Islam, kantor organisasi, bahkan sampai Kristen (Kristen Protestan), Katolik pengusiran komunitas tersebut (Kristen Katholik), Khonghchu, dari tempat tinggal mereka, seperti Zoroastrian (Baha’i), Sikh, Taoisme, yang terjadi di Lombok Nusa Shinto, dan ada juga sistem Tenggara Barat. Tahun 2006 juga kepercayaan lokal seperti Kajang, terjadi pelanggaran hak kebebasan Tolotang, Bissu (Sulawesi Selatan), beragama terhadap komunitas Sunda Wiwitan (Jawa Barat), dan Syi’ah baik yang tergabung dalam Kaharingan (Kalimantan), serta Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia aliran kepercayaan (Jawa Tengah, (IJABI) maupun Ahlul Bait Indonesia Jawa Timur dan Yogyakarta). (ABI) di berbagai tempat Bondowoso, Di tengah tingginya religiusitas dan Pasuruan, Sampang dan lain-lain. semangat mengamalan agama dan Pelanggaran juga terjadi terhadap keyakinan, berbagai masalah terkait agama yang pemeluknya lebih

16 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

sedikit dari keseluruhan populasi penghayat kepercayaan 6 kasus. di suatu daerah. Di daerah- Pada tahun 2013 Komnas menerima daerah dengan mayoritas muslim, sebanyak 39 berkas pengaduan. kecenderungan terbesar sasaran Diskriminasi, pengancaman, dan pelanggaran adalah Kristen. Di kekerasan terhadap pemeluk agama daerah mayoritas Kristen dan Hindu, sebanyak 21 berkas, penyegelan, korban pelanggaran terutama perusakan, atau penghalangan adalah Islam. pendirian rumah ibadah sebanyak 9 Jika kita lihat data pengaduan berkas dan penghalangan terhadap Komnas HAM tiga tahun belakangan ritual pelaksanaan ibadah sebanyak ini, dapat dilihat fakta bahwa 9 berkas. 15 pelanggaran terhadap kebebasan Bahkan dalam lima tahun beragama dan berkeyakinan begitu belakang ini, yakni dari tahun 2007 tinggi. Pada 2010 Komnas HAM sampai dengan 2012, pelanggaran menerima 84 buah pengaduan, terhadap hak kebebasan beragama yang terdiri dari kasus perusakan, itu cenderung menguat dan gangguan dan penyegelan rumah secara kuantitatif terus meningkat. ibadah sebanyak 26 kasus, Kecenderungan meningkatnya kekerasan terhadap “aliran sesat” angka pelanggaran terhadap hak 14 kasus, konflik dan sengketa kebebasan beragama itu dapat internal 7 kasus dan yang terkait diketahui dari data pengaduan ke pelanggaran terhadap jama’ah Komnas HAM dan laporan hasil Ahmadiyah 6 kasus, dan sisanya monitoring lembaga-lembaga pelanggaran lain-lain. Pada 2011, masyarakat sipil seperti Setara pengaduan yang masuk sebanyak Institute, , dan 83 kasus dengan 32 kasus terkait Moderate Muslim Society. gangguan dan penyegelan atas Setara Institute misalnya rumah ibadah, 21 kasus terkait mencatat telah terjadi sedikitnya Jama’ah Ahmadiyah, gangguan dan 600 peristiwa kekerasan dan pelarangan ibadah 13 kasus, dan intoleransi terhadap hak kebebasan diskriminasi atas minoritas agama beragama di seluruh Indonesia sejak 6 kasus. Tahun 2012, Komnas HAM tahun 2007 sampai dengan 2009. mencatat 68 pengaduan, yang Peristiwa kekerasan dan intoleransi perinciannya adalah, perusakan dan 15 Diolah dari data pengaduan Komnas penyegelan rumah ibadah sebanyak HAM. Dilihat dari angka pengaduan terjadi 20 kasus, konflik dan sengketa penurunan dari tahun ke tahun, tetapi ini tidak berati bahwa jumlah kasusnya internal 19 kasus, gangguan dan menurun. Sebab, banyak kasus yang pelarangan ibadah 17 kasus diadukan di tahun sebelumnya belum terselesaikan hingga tahun berikutnya, dan diskriminasi minoritas serta sehingga yang terjadi di lapangan adalah peningkatan kasus pelanggaran.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 17 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

itu pada umumnya terkait dengan yang terjadi tahun 2010 itu pelarangan pendirian rumah ibadah, menurut Laporan Moderate Muslim perusakan dan penutupan paksa Society berbentuk: pengusiran, tempat ibadah; dan penyesatan pembubaran kegiatan atas agama, aliran keagamaan/keyakinan yang diskriminasi karena keyakinan, disertai dengan kekerasan.16 Pada penyerangan dan pengrusakan, 2012, Setara Institute mencatat ada ancaman tuntutan, dan intimidasi, 264 kasus dengan 371 tindakan. penutupan dan penolakan rumah Selain itu, laporan The Wahid ibadah dan terakhir pelanggaran Institute menyatakan terlah terjadi kegiatan beribadah.18 59 aksi kekerasan dan intoleransi Di samping itu, data Kepolisian terhadap hak kebebasan beragama Republik Indonesia juga di Indonesia sepanjang tahun menunjukkan bahwa sepanjang 2008.17 Pada tahun 2010 The Wahid tahun 2007-2010 telah terjadi 107 Institute kembali memaparkan hasil kekerasan terhadap hak kebebasan laporannya dengan menyatakan beragama, dengan rincian 10 bahwa sepanjang tahun 2010 peristiwa kekerasan terjadi pada telah terjadi 63 kasus pelanggaran tahun 2007, 8 peristiwa pada tahun terhadap hak kebebasan beragama 2008, 40 peristiwa pada tahun 2009, di Indonesia. Lembaga yang sama, 49 peristiwa pada tahun 2010.19 pada 2012 juga melaporkan Dari berbagai data ini, bisa pelanggaran kebebasan beragama disimpulkan bahwa pelanggaran dan tindakan intoleran yang terjadi atas hak rakyat Indonesia atas tiga tahun berturut-turut yakni: kemerdekaan beragama dan 2010 terjadi 184 kasus, 2011 terjadi berkeyakinan tergolong sangat 267 kasus dan 2012 274 kasus. tinggi. Beberapa penelitian Sementara Moderate Muslim misalnya The Wahid Institute (2012) Society menilai tahun 2010 sebagai menempatkan Jawa Barat sebagai tahun kelam kebebasan beragama provinsi paling banyak pelanggaran di Indonesia. Sepanjang tahun 2010 dengan 43 peristiwa, disusul menurutnya telah terjadi 81 kasus Nanggroe Aceh Darussalam dengan kekerasan dan intoleransi terhadap 22 peristiwa, kemudian Jatim dan hak kebebasan beragama di Jateng masing-masing dengan 12 Indonesia. Kasus-kasus kekerasan pelanggaran. 16 Setara Institute, Negara Harus Bersikap: Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2007- 2009, (Jakarta: Setara Institute, 2010). 18 Kompas, ”Tahun Kelam Beragama,” Rabu, 17 The Wahid Institute, Menapaki Bangsa yang 22 Desember 2010. Kian Retak: Laporan Tahunan Pluralisme 19 Kompas, Kapolri: Bekukan Ormas Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Bermasalah, 31 Agustus 2010. (Jakarta: The Wahid Institute, 2008).

18 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Bentuk Pelanggaran Forum Sebanyak 131 Jamaah Muslim Internum Ahmadiyah di Provinsi Nusa Tenggara Barat hidup dalam Pelanggaran terhadap Forum pengungsian selama 7 (tujuh) Internum yang merupakan hak yang tahun dari tahun 2006 s/d 2013 tidak dapat dikurangi dalam kondisi karena adanya 8 (delapan) kali apapun (non-derogable right) ini amuk massa dan kekerasan berbentuk: ancaman, gangguan dan berupa penyerangan, pengrusakan, kekerasan terhadap sekelompok penjarahan, pembakaran aset, orang karena agama, keyakinan, penganiayaan dan pembunuhan. atau aliran yang dianutnya; Mereka terpaksa tingga di 2 (dua) pemaksaan untuk pindah agama tempat pengungsian yaitu di Asrama atau keyakinan; dan pemaksaan Transito kota Mataram dan Eks atas pengamalan ajaran agama RSUD Praya Lombok Tengah hingga kepada penganutnya. saat ini. Pada tanggal 6 Februari 2011, A. Ancaman, gangguan dan lebih dari 1.000 orang memegang kekerasan yang mengancam batu, parang, pedang dan tombak eksistensi hak beragama dan menyerbu rumah seorang berkeyakinan. pemimpin Ahamadiyya di kecamat- an Cikeusik, Provinsi Banten. Di Indonesia tindakan pelanggar- Massa mengepung rumah di mana an atas hak eksistensial ini masih setidaknya 18 pengikut Ahmadiyah sering terjadi khususnya terhadap berkumpul, mereka menyerang dan kaum minoritas agama dan menewaskan tiga warga Ahmadiyah. keyakinan. Mereka menghadapi Para korban ditemukan dengan pemaksaan langsung (direct beberapa luka-luka termasuk lima coercion) dalam bentuk yang paling orang lainnya luka berat. Massa primitif berupa ancaman fisik, juga menghancurkan rumah serta penganiayaan hingga pembunuhan. kendaraan. Ancaman fisik lainnya juga berupa Pada 26 Agustus 2012 , massa perusakan properti bahkan rumah anti - Syiah sekitar 500 orang ibadah. Tindakan demikian jelas- dengan senjata tajam dan batu jelas melanggar hak warga negara menyerang sebuah komunitas Syiah untuk bebas dan merdeka dalam di Desa Nangkrenang, Omben, memilih, menganut dan beribadat Sampang , Pulau Madura. Dalam di ruang privatnya. Beberapa kasus serangan itu 1 orang tewas, dan kekerasan bisa dikemukakan di sini banyak yang terluka. Tiga puluh sebagai contoh: lima rumah milik komunitas Syiah

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 19 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

juga dibakar oleh massa. Banyak dengan kekuatan fisik atau sanksi dari masyarakat melarikan diri hukuman sampai pemaksaan sanksi dari desa, bersembunyi sementara hukum untuk memaksa seseorang yang lain dievakuasi ke tempat menganut atau tidak menganut penampungan sementara di sebuah atau pindah agama dan keyakinan. kompleks olahraga di Sampang, dan Sementara itu, paksaan tidak kemudian dipindahkan ke Sidoarjo. langsung mencakup, antara lain, Ini adalah serangan kedua terhadap insentif yang tidak diperbolehkan, komunitas Syiah dalam periode satu adanya hak istimewa (privilege) bagi tahun. kelompok agama atau kepercayaan Pada 5 Mei 2013 , massa anti- tertentu, baik berdasarkan hukum Ahmadiyah menyerang sedikitnya publik (public law, misalnya akses ke 20 rumah, sekolah dan masjid kantor publik atau privilege dalam milik jemaat Ahmadiyah di pajak atau kesejahteraan sosial) Desa Tejowaringin, Kabupaten maupun menggunakan hukum Tasikmalaya, Provinsi Jawa privat (private law, misalnya hukum Barat. Massa melempari rumah, mengenai kepemilikan). Contoh menghancurkan jendela dan paksaan tidak langsung berupa juga membakar tempat ibadah pembatasan akses pelayanan Ahmadiyah di desa lain di lokasi publik (pendidikan, kesehatan, yang tidak jauh. Tidak ada yang pekerjaan).20 terluka, tapi banyak dari pengikut Pemaksaan langsung bisa dilihat Ahmadiyah, termasuk anak-anak, dari beberapa fakta sebagai berikut: dilaporkan mengalami trauma Secara periodik, Kesbangpol Jabar dengan kejadian tersebut. melakukan “pembinaan” kepada penduduk Kampung Naga agar B. Pemaksaan Konversi konversi ke Islam. Pada April 2011 keluarga Ahmadiyah di Komnas HAM juga menemukan Desa Sukagalih, Sukaratu, Jawa fakta bahwa pejabat pemerintah Barat menerima kunjungan pusat dan pemerintah daerah setiap beberapa minggu oleh staf terlibat dalam tindakan memaksa administrasi desa dan anggota sekelompok orang untuk mengganti kelompok Front Pembela Islam (FPI). agama, keyakinan atau aliran yang Para anggota Ahmadiyah diberikan mereka peluk. Ada dua jenis paksaan, surat undangan meminta mereka yaitu paksaan fisik (physical coercion) untuk menghadiri pertemuan di dan paksaan tidak langsung (indirect mana mereka didorong untuk means coercion). Paksaan langsung di 20 Laporan Komnas HAM tahun 2009 sini termasuk penggunaan ancaman tentang Pemaksaan Terselubung atas Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

20 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

meninggalkan iman Ahmadiyah. yakni tinggal sementara di Asrama Mereka yang setuju untuk Haji untuk mendapatkan menghadiri dikondisikan untuk pengarahan dan pembinaan menandatangani perjanjian. Para dari Kemenag sebelum mereka pejabat dilaporkan memberitahu dikembalikan dari pengungsian para anggota Ahmadiyah bahwa “jika Sidoarjo ke desa asal. Paket ini Anda tidak ingin menandatangani, ditolak pengungsi karena mereka kami tidak akan bertanggung jawab menganggap bahwa “proses har- atas apa yang mungkin terjadi pada monisasi” itu adalah pemaksaan Anda”. Selain itu, Kementerian konversi secara terselubung.22 Agama telah memberikan dana Sedangkan pemaksaan secara cukup besar (1,5 miliar Rupiah) tidak langsung sesungguhnya telah kepada sebuah tim penanganan berlangsung lama semenjak Orde Ahmadiyah di Jawa Barat yang Baru. Di masa lalu, lembaga bernama disalurkan kepada kelompok yang Bakor Pakem (Badan Koordinasi didaku telah keluar dari Ahmadiyah Pengawasan Aliran Kepercayaan bernama Imkasa (Ikatan Masyarakat Masyarakat) menjadi tangan Korban Kesesatan Ahmadiyah). pemerintah melakukan pemaksaan Program yang didukung pemerintah sejenis ini. Dengan berbagai aturan ini jelas-jelas bertujuan menekan dan kebijakan, pemerintah melalui para penganut Ahmadiyah untuk lembaga ini memaksa penganut pindah keyakinan ke Islam aliran kepercayaan dan agama- mainstream.21 agama lokal untuk bergabung Menurut laporan kelompok dengan agama-agama “resmi” pembela HAM, pengikut Syiah di yang lima, termasuk Konghucu Sampang, Jawa Timur yang tinggal di yang digabungkan dengan Budha. tempat penampungan telah ditekan Pemaksaan dalam bentuk berbagai oleh Pemerintah Provinsi Jawa pembatasan pelayanan publik ini Timur dan Kabupaten Sampang mengarah kepada para penganut untuk mengkonversi ke Islam Sunni agama-agama lokal maupun jika mereka ingin kembali ke rumah aliran kepercayaan, selain kepada mereka. Jika tidak, mereka akan penganut Ahmadiyah. dipaksa pindah baik ke bagian lain Terkait pemaksaan secara tidak dari provinsi atau ke suatu tempat langsung ini bisa diukur dari empat di luar pulau Jawa. Upaya serupa elemen pelayanan yang diatur oleh juga diindikasikan akan dilakukan Komentar Umum No. 22 Tentang lagi pada bulan November 2013 pasal 18 Hak Sipil dan Politik yaitu: dalam bentuk “proses harmonisasi” 22 Laporan ini diperkuat oleh hasil pemantauan Komnas HAM. 21 Hasil pemantauan Komnas HAM.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 21 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

pendidikan, kesehatan, pekerjaan mendapatkan akta kelahiran untuk dan administrasi kependudukan. anak atau kerabat mereka, yang tidak Dalam empat aspek ini, Komnas bisa mendapatkan surat kematian HAM menemukan fakta di lapangan untuk keluarga atau kerabat dan bahwa pembatasan pelayanan sebagainya dan itu semua karena terhadap kaum minoritas agama alasan agama dan keyakinan yang masih banyak terjadi. Dalam mereka anut.23 pendidikan, masih banyak kasus kaum minoritas ditolak men- daftar ke sekolah umum, tidak C. Pemaksaan atas Pengamalan mendapatkan pelajaran agama/ Ajaran Agama kepada kepercayaan yang sesuai dengan Penganutnya keyakinannya di sekolah, dan siswa yang di”interogasi” karena alasan Intervensi negara terhadap agama di sekolah. kebebasan forum internum di Jumlah penganut agama mino- Indonesia juga terjadi dalam bentuk ritas yang terdiskriminasi dalam diterapkannya regulasi-regulasi pelayanan kesehatan juga masih khu-susnya Perda-perda maupun signifikan. Ada yang tidak dapat me- SK Kepala Daerah. Pewajiban ajaran meriksakan kesehatannya di tempat agama dalam bentuk mengubah fasilitas kesehatan (pemerintah/ kewajiban agama sebagai regulasi swasta), tidak dapat bersalin di formal mengandung konsekuensi tempat fasilitas kesehatan (pemerin- bahwa negara bisa memberi sangsi tah/swasta), tidak mendapatkan kepada yang melanggar ajaran asuransi kesehatan pemerintah agama itu. Maka si pelaku “dosa” (Jamkesmas), dan ada yang tidak bisa mendapatkan sangsi hukum; mendapatkan pelayanan kesehatan ditangkap polisi, diadili hakim dan sebagaimana mestinya oleh tenaga sangsinya bisa denda, hukuman medis (pemerintah/swasta). Dalam fisik, atau penjara. Maka, negara pekerjaan, banyak yang ditolak telah menggunakan piranti hukum mendaftar sebagai pegawai negeri publik untuk memaksa warga atau BUMN karena alasan agama. negara untuk melakukan suatu Mereka juga dihambat dalam peribadatan tertentu, dengan cara pelayanan admnistrasi kepen- dan menurut aliran tertentu. dudukan. Sebagian mereka didis- Di berbagai daerah di Indonesia kriminasi dalam bentuk tidak terdapat berbagai regulasi lokal bisa mendapatkan KTP, tidak bisa yang berisi pengaturan busana; menikah secara resmi baik di KUA 23 Laporan Komnas HAM tahun 2009 atau pun catatan sipil, tidak bisa tentang Pemaksaan Terselubung atas Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

22 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

perempuan muslimah wajib me- and morals), dan kebebasan dan nutup aurat dan berjilbab; kaum hak-hak fundamental orang lain laki-laki memakai baju koko di Hari (fundamental rights and freedom of Jum’at, dan sebagainya. Ada juga others). Terutama bila ajaran agama yang mengatur pewajiban ibadah; dianggap bisa membahayakan hak- kewajiban setiap laki-laki muslim hak asasai yang paling mendasar, melaksanakan shalat jum’at di misalnya hak untuk hidup para masjid, kewajiban kepada para pengikut agama tersebut atau pegawai pemerintah untuk shalat masyarakat sekitarnya. berjamaah di masjid (terutama Di negeri kita masih mudah pada waktu Dzuhur), pewajiban ditemukan pelanggaran-pelang- baca tulis Al-Qur’an, pembayaran garan Forum Externum baik yang zakat, infak, dan sedekah, serta berkait dengan peristiwa-peristiwa larangan membuka warung di pelanggaran Forum Internum sebagai bulan puasa, dan sebagainya. akibat kekerasan massa intoleran Bentuk lain dari regulasi itu juga maupun oleh aktor negara yang mengatur kemaksiatan; pengaturan/ terjadi maupun akibat pembatasan- pelarangan miras, perjudian, pembatasan oleh regulasi yang pelacuran, zina, dan pacaran menyalahi prinsip-prinsip Siracusa. (khalwat). Misalnya pembubaran organisasi keagamaan, pelarangan organisasi Bentuk Pelanggaran Forum aliran kepercayaan, penyegelan Externum rumah ibadah, penutupan lembaga keagamaan, pelarangan kegiatan Meskipun dimensi kolektif keagamaan, diskriminasi pelayanan dari kebebasan beragama dan publik dan sebagainya. berkeyakin-an bisa dibatasi dan Pelanggaran-pelanggaran yang diatur, tetapi dalam praktiknya sering menarget kaum minoritas di Indonesia pembatasannya ini terutama berbentuk pendirian banyak melanggar prinsip-prinsip rumah ibadah. Dalam kasus necessery dan proporsionalitas. rumah ibadah Komnas HAM telah Intervensi terbatas oleh negara mendokumentasikan penutupan pada kebebasan eksternal (forum atau pengambilalihan tempat externum/exsternal freedom) dalam ibadah oleh pemerintah setempat. kaitan penyebaran atau pelaksanaan Dalam beberapa kejadian, pihak agama harus didasarkan pada berwenang telah menolak untuk alasan yang diperlukan (necessary) membuka kembali tempat ibadah untuk menjaga ketertiban umum atau untuk mengeluarkan ijin (public order), kesehatan dan bangunan meskipun putusan moral masyarakat (public health pengadilan telah memenangkan

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 23 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

pihak pengelola rumah ibadah 2009, Bupati Bekasi mengeluarkan bersangkutan. surat yang melarang pembangunan Ada beberapa kasus yang bisa gedung gereja di situs tersebut dikemukakan: Gereja Kristen dan melarang jemaat beribadat di Indonesia Taman Yasmin, di Bogor, tanah mereka. Pemimpin jemaat Jawa Barat, ditutup dan disegel oleh menyerahkan kasus tersebut ke pemerintah kota Bogor pada tahun Pengadilan Tata Usaha Bandung 2008 setelah ijin bangunan dicabut. pada Maret 2010. Pengadilan Pemkot Bogor menyatakan bahwa memutuskan memenangkan ijin tersebut diperoleh dengan mereka pada bulan September menggunakan tanda tangan 2010, memerintahkan Bupati palsu dari anggota masyarakat. Bekasi untuk menarik surat itu dan Namun, pada bulan Desember memberikan gereja izin bangunan. 2010 Mahkamah Agung Republik Upaya banding oleh pemerintah Indonesia membatalkan keputusan daerah Kabupaten Bekasi ke tersebut dan memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara gereja untuk dibuka kembali. Jakarta, dan Mahkamah Agung juga Namun demikian, pihak berwenang ditolak. Dalam menolak banding, di Bogor telah menolak untuk Mahkamah Agung memutuskan mematuhi putusan itu, dengan bahwa mencegah jemaat beribadah alasan kekhawatiran bahwa hal itu pada properti gereja itu melanggar akan memicu kerusuhan sosial. hukum. Namun, pihak berwenang Anggota jemaat, yang telah dipaksa Bekasi terus menentang putusan untuk melakukan layanan mingguan Mahkamah Agung dan telah mereka di trotoar di luar gereja menolak untuk mengeluarkan ijin telah dilecehkan, diintimidasi dan pembangunan gereja. Sejak yang diserang oleh massa sejak 2008. dilarang untuk membangun gereja Pada bulan April 2008 jemaat mereka, jemaat telah dipaksa Filadelfia Batak Gereja Kristen untuk mengadakan kebaktian di Protestan mengajukan permohonan trotoar di luar gedung. Jemaat izin untuk membangun gereja di telah menghadapi banyak protes, Bekasi. Meskipun aplikasi mereka intimidasi dan ancaman sejak memenuhi semua persyaratan, ijin mereka mulai beribadah di luar tidak dikeluarkan. Sambil menunggu gereja pada bulan Desember 2009. ijin, jemaat memutuskan untuk Pada tahun 2011, pembentukan membangun sebuah gereja darurat sebuah Masjid (Masjid Nur Musafir) di mana mereka bisa melakukan yang terletak di Kupang Barat ditolak kebaktian Minggu mingguan oleh masyarakat setempat, yang mereka. Pada tanggal 31 Desember didominasi oleh pengikut Gereja

24 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Mesias Indonesia Timur. Mereka masyarakat setempat dan para menyerang komunitas Muslim, Pecalang (penjaga tradisional). dengan tindakan melempar batu Sampai sekarang, proses berhenti, ke rumah pemimpin komunitas dan penggunaan mushalla dilarang Muslim, demonstrasi di depan oleh masyarakat setempat dan DPRD, dan membakar kantor desa mushala disegel oleh massa setempat yang dituduh mendukung intoleran. dalam membangun masjid. Hingga Di Manokwari, Provinsi Papua saat ini, masjid ini tidak pernah Barat, rencana untuk mendirikan dibangun. sebuah masjid agung ditolak oleh Pada tahun 2011, di Kabupaten komunitas mayoritas Kristen, Ende dari Provinsi Nusa Tenggara pada tahun 2005. Sementara ini Timur, sebuah pembangunan pembangunan masjid selesai pada musholla yang terletak di Desa tahun 2011 itu adalah sebuah masjid Wolokali, Kecamatan Wolowaru kecil, tidak besar sebagaimana ditolak. Dugaan Alasan penolakan awalnya direncanakan. Kejadian ini adalah bahwa persyaratan untuk intoleransi terhadap minoritas mendirikan sebuah mushalla yang muslim di Papua juga terjadi pada belum terpenuhi, sebagaimana tahun 2008 di mana pendirian diatur dalam Surat Keputusan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bersama tentang pembentukan (STAIN) ditolak oleh mayoritas tempat ibadah. Pada tahun yang Kristen. sama di Kabupaten Rote Ndau, rencana untuk membangun musholla di kantor polisi setempat Analisis Masalah juga ditolak oleh masyarakat setempat yang Nasrani. Sampai Dari hasil pemantauan yang saat ini, dua musholla tidak bisa dilakukan Komnas HAM atas dibangun. berbagai kasus pelanggaran hak Pada September 2012, ada atas kebebasan beragama di penolakan oleh masyarakat Hindu Indonesia, bisa terlihat trend umum setempat terhadap peningkatan dari sebagai berikut: Mushalla Baitul Makmur menjadi Pertama, terjadi pergeseran Masjid di Buleleng, Bali. Sampai pelaku pelanggaran; dari yang dulu saat ini, peningkatan tersebut tidak didominasi oleh aparatus negara pernah terwujud. Kasus serupa juga menjadi didominasi oleh aktor non- terjadi pada tahun 2008 di kota negara. Denpasar, Bali, di mana perluasan Kedua, peningkatan tindakan Mushalla As- Syafiiyah ditolak oleh intoleransi (dari sisi jumlah maupun

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 25 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

kadar kekerasannya) di daerah Sebaliknya, tindakan hukum yang tertentu terkait erat dengan tegas dan vonis yang berat semakin meluasnya pemahaman kepada kelompok minortas yang agama yang ekstrem di daerah sesungguhnya merupakan korban. bersangkutan. Jika kelompok- Alasan yang sering dikemukakan kelompok ekstrem berpengaruh adalah agar tidak terjadi kemarahan di suatu daerah, maka intensitas massa yang lebih luas. pelanggaran menjadi tinggi. Keenam, tindakan penegakan Ketiga, pelaku (perpetrator) hukumnya direduksi hanya pada adalah sekelompok orang yang pelaku lapangan, tidak menyentuh berasal dari agama mayoritas atau para aktor pengoranisasian pe- nyerangan apalagi pada organisasi keyakinan mayoritas di daerah massa yang menjadi induk para bersangkutan. Di daerah di mana pelaku. penganut suatu agama tertentu Ketujuh, aparat pemerintah pusat menjadi mayoritas maka ialah atau daerah cenderung meng- yang menjadi pelaku. Sementara di untungkan atau berpihak kepada daerah lain penganut suatu agama pelaku karena statusnya sebagai tersebut menjadi minoritas, maka mayoritas. Dalam penyelesaian ia akan menjadi korban. Artinya, masalahpun pemerintah lebih men- tindakan intoleransi tidak hanya dengar, melibatkan dan memakai monopoli kelompok radikal pro cara versi para pelaku. Dalam kekerasan, atau kelompok agama beberapa kasus, pemerintah lokal tertentu, tetapi tindakan intoleransi turut mengorganisir kekerasan juga melekat pada status dominan terhadap korban. Akibatnya, para sebagai mayoritas. aktor pemerintah justru terlibat Keempat, aparat keamanan tidak menjadi pelaku pelanggaran cepat melakukan pencegahan atau (violation by commission). terlampau sedikit mengirimkan Kedelapan, adanya keengganan personil keamanan. Bisa jadi karena dan ketidakberanian untuk me- lemahnya intelijen atau informasi ngambil kebijakan tegas atau intelijen yang diabaikan atau tidak melakukan langkah pemulihan ditindaklanjuti (unwilling). Sering hak-hak korban. Baik berupa terjadi pembiaran (violation by pengembalian ke daerah asal bagi ommision) oleh aparat keamanan pengungsi, rehabilitasi properti dengan alasan keterlambatan atau yang rusak atau sekedar memenuhi kalah jumlah. kebutuhan dasar para korban. Kelima, tindakan hukum yang Argumen yang diberikan seringkali lembek terhadap para pelaku berupa ketakutan menimbulkan pelanggaran, bahkan terdapat iri hati kalangan mayoritas dan impunitas dalam banyak kasus. memantik kekerasan lagi.

26 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Kesembilan, pembagian tugas penyelesaian secara damai, dialog, dan koordinasi yang lemah antar toleransi, pluralisme, penghargaan unit aparat negara. Sehingga terjadi pada hak-hak orang lain, peng- saling lempar tanggung jawab, ego hormatan kepada hukum dan sektoral, parsialitas penanganan konstitusionalisme. Perkembangan dan ketidakjelasan blueprint civil society (masyarakat madani) penyelesaian. Sebuah potret mengalami stagnasi. pemerintahan yang tidak efektif. Peran sentral konstituen dalam Kesepuluh, perintah pimpinan setiap hajat politik pemilihan tertinggi Negara (Presiden) tidak langsung menjadikan kelompok juga bisa membuat tindakan atau mayoritas memegang kendali langkah-langkah penyelesaian ber- kekuasaan. Kehawatiran terjadinya jalan sesuai koridor konstitusi, UU tirani mayoritas di kalangan para dan HAM. Di sini terlihat seriusnya filosof politik makin jelas wujudnya ketidakberdayaan pemerintah di era saat ini. Idealitas demokrasi berhadapan dengan kelompok dalam adagium “majority rules”, intoleran. “minority rights” masih jauh panggang Trend atau kecenderungan dari api. Elektabilitas yang makin di atas (khususnya keterlibatan menjadi “panglima” di kalangan aparat negara sebagai aktor baik by penguasa rupanya disadari betul commission maupun by ommission) oleh kalangan mayoritas intoleran bisa dipahami dengan mengamati untuk tawar-menawar. relasi kuasa yang terjadi antar aktor. Para aktor politik dan pe- Transisi demokrasi yang lambat nyelenggara kekuasaan juga tidak saat ini menyebabkan prosedur kunjung naik kelas. Kekuasaan demokrasi yang sudah baik tidak adalah untuk kekuasaan itu didukung oleh kebudayaan tinggi sendiri. Kekuasaan yang diraih dari para pelakunya. Civilized culture reprosedural demokrasi tak kunjung (peradaban yang madani) belum digunakan untuk mewujudkan cita- tumbuh di masyarakat, sehingga cita demokrasi: membentuk negara aktor non-negara baik masyarakat yang otoritasnya diabdikan bagi umum maupun para aktivis gerakan keselamatan, ketertiban, keadilan keagamaan justru memanfaatkan dan kemakmuran bagi semua. kebebasan dan ruang publik yang Kekuasaan tidak dipakai untuk terbuka sebagai kesempatan menjamin pelaksanaan HAM. memaksakan ide-ide, ideologi dan Maka pada titik ini relasi kuasa agenda-agenda eksklusif mereka. antara organisasi massa intoleran, Keterbukaan justru ditunggangi massa mayoritas dengan para untuk merusak nilai-nilai demokrasi: pejabat dan aparat negara pusat atau

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 27 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

lokal bertemu: transaki kekuasaan. Pemerintah Indonesia memang Atas nama dukungan politik telah melakukan berbagai tindakan untuk meraih dan menstabilkan kebijakan, antara lain meratifikasi kekuasaan, maka sumberdaya sejumlah perjanjian HAM inter- negara; manipulasi hukum; nasional, mengharmonisasi ber- inkonsistensi terhadap konstitusi bagai peraturan perundang- undangan dengan norma dan bisa dijadikan alat bargaining politik. standar HAM internasional, serta Maka yang terjadi negara menjadi menyusun Rencana Aksi Nasional powerless berhadapan dengan HAM (RANHAM). Namun semua mayoritas yang intoleran. Aparat itu ternyata belum menghasilkan negara “dibajak” oleh kelompok regulasi yang betul-betul mem- intoleran untuk menjalankan aksi- berikan jaminan dan kepastian aksi pelanggaran atas kebebasan kepada warga negara untuk dapat keragama dan berkeyakinan menikmati hak beragama dan kelompok powerless. Berbagai ke- berkeyakinan. lompok intoleran leluasa melakukan Di sana sini masih terdapat aturan pelanggaran hukum dan menikmati publik yang menindas, mengekang, impunitas akibat runtuhnya law dan diskriminatif. Adalah PnPs No. 1/ enforcement. PnPs/1965 jo. UU No. 5 Tahun 1969 Berbagai kasus yang diadukan tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan ditangani oleh Komnas HAM dan/atau Penodaan Agama yang maupun penelitian yang dilakukan mendestruksi posisi poros tengah oleh Komnas HAM menunjukkan negara berdasarkan dan bahwa justru aparat negara melegitimasi watak negara yang menjadi pelaku pelanggaran paling intervensionis dan diskriminatif. banyak. Pelanggaran ini bisa berupa UU ini mengatur tentang penodaan tindakan aktif (by commission) dan penyimpangan terhadap maupun tindakan pembiaran (by pokok-pokok ajaran suatu agama. omission). Termasuk dalam tindakan UU ini dilatarbelakangi oleh aktif negara adalah pernyataan- kekhawatiran atas maraknya ber- pernyataan pejabat publik yang bagai aliran keagamaan yang provokatif dan mengundang dianggap bertentangan dengan terjadinya kekerasan (Condoning). ajaran-ajaran agama mainstream Selain problem di atas, UU dan dianggap telah menimbulkan dan regulasi yang tidak selaras pelanggaran hukum, memecah dengan jaminan hak kebebasan persatuan nasional, menodai dan beragama dan berkeyakinan membahayakan agama mainstream. yang digariskan oleh konstitusi Pada Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1969 dan UU juga berkontribusi besar. mengatur beberapa hal:

28 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

1. Pelarangan di muka umum untuk peluang yang besar kepada negara melakukan penafsiran tentang untuk melakukan intervensi pada sesuatu agama atau melakukan forum internum dan memiliki kegiatan-kegiatan keagamaan kecenderungan untuk bertindak yang menyerupai kegiatan- diskriminatif terhadap agama, aliran kegiatan keagamaan dari agama. agama, dan keyakinan minoritas 2. Pemerintah menyalurkan lainnya.Oleh karenanya, Komnas badan/aliran kebatinan ke arah HAM mendukung judicial review pandangan yang sehat dan ke terhadap UU ini yang diajukan oleh arah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. sebuah koalisi masyarakat sipil ke Hal ini sesuai dengan ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK).Namun M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, sayangnya, upaya ini gagal. lampiran A. Bidang I, angka 6. Pangkal persoalan kegagalan 3. Kewenangan pemerintah mem- dicabutnya UU ini dalam judicial beri nasehat, pembinaan, review di MK 2 tahun yang lalu perintah, dan peringatan keras adalah penafsiran yang keliru oleh untuk menghentikan perbuatan MK tentang adanya hubungan yang dianggap melanggar UU antara Pasal 28 I (ayat 2) yang ini. Apabila suatu organisasi atau menegaskan bahwa hak beragama aliran melakukan penyelewengan adalah hak non-derogable right yang berdampak serius bagi dengan pasal 28 J (ayat 2) yang masyarakat, maka presiden— menjelaskan pembatasan terhadap setelah mendapat pertimbangan hak dan kebebasan. Dengan kata Menteri Agama, Jaksa Agung lain, menurut penafsiran MK dan Menteri Dalam negeri— ini, pasal 28 J adalah “pengunci” berwenang untuk membubarkan Pasal 28 I. Menurut Komnas HAM dan menyatakan suatu organisasi bahwa Pasal 28I (ayat 2) itu berdiri atau aliran sebagai terlarang (jo sendiri dan tidak terkait dengan pasal 169 KUHP). pembatasan oleh pasal 28J (ayat 4. Kewenangan untuk memidana 2), karena dalam pasal 28I tersebut orang, penganut, anggota dan/ jelas-jelas ada kalimat “Hak Asasi atau anggota pengurus organisasi Manusia yang tidak bisa dikurangi atau aliran yang dianggap dalam keadaan apapun”. Maka melakukan penyelewengan pa- penafsiran MK tersebut perlu diuji ling lama lima tahun. secara serius oleh publik. Sebagai dampak turunan dari UU Dari poin-poin di atas tampak yang melanggar forum internum ini bahwa UU PnPs No. 1/PnPs/1965 jo. munculah kewenangan pemerintah UU No. 5 Tahun 1969 memberikan untuk membubarkan aliran agama

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 29 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

yang dianggap “menyimpang”, tidak menyebut aliran keyakinan misalnya aliran Ahmadiyah dalam tradisional. Hal ini mengakibatkan Islam yang memiliki keyakinan dan aliran keyakinan tradisional dan pemahaman yang berbeda dengan aliran agama minoritas tidak ajaran-ajaran pokok agama Islam. mendapat tempat yang memadai Pengaturan tentang hal ini tampak dalam pengaturan hak beragama pada Surat Keputusan Bersama dan berkeyakinan. (SKB) Tiga Menteri (Menteri Agama, Meskipun adanya “status agama Jaksa Agung dan Menteri Dalam resmi” dalam PNPS ini telah di- Negeri) tentang Ahmadiyah No. 3 batalkan oleh keputusan MK, tetapi Tahun 2008, Kep-033/A/JA/6/2008 regulasi yang ada tidak mengalami dan No. 199 Tahun 2008, tanggal perubahan demikian juga praktik 9 Juni 2008 tentang Peringatan diskriminasi yang ditimbulkannya dan Perintah Kepada Penganut, di lapangan. Misalnya UU Nomor Anggota, dan/Anggota Pengurus 23 Tahun 2006 tentang Adminis- Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) trasi Kependudukan. UU ini masih dan Warga Masyarakat. membedakan antara agama yang Dalam PnPs No. 1/PNPS/1965 diakui dan belum diakui negara. juga dinyatakan bahwa agama- Pembedaan tersebut jelas bukan agama yang dipeluk oleh penduduk sebuah nilai baik bagi upaya meng- di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, hapus diskriminasi. Karena, yang Katolik, Hindu, Budha dan diakui tentu memiliki nilai dan tem- Khonghucu (Confusius). Juga pat yang berbeda. Dampaknya pada disebutkan agama-agama lain, yaitu perlakuan yang berbeda pula mis- Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism alnya individu dengan agama dan yang mendapatkan jaminan pada keyakinan “bukan agama resmi” konstitusi. akan diakui dan memiliki KTP jika Pasal tersebut telah melegitimasi agama dan keyakinan individu di- asumsi bahwa negara mengakui maksud masuk katagori organisasi. keberadaan agama-agama tersebut Beberapa penganut menolak bahwa sekaligus menguatkan kesan bahwa agama dan keyakinannya dianggap agama di luar agama yang disebut hanya sebuah organisasi. dalam UU itu bukan agama yang Problem serius yang lain juga diakui negara. Hal ini berdampak terdapat pada bermunculannya pada perlakuan yang diskriminatif perda-perda bernuansa agama yang terhadap agama dan keyakinan menjadi sarana negara melakukan yang tidak disebutkan dalam UU pemaksaan dalam beragama baik ini. Persoalan lain yang krusial paksaan fisik (physical coercion) adalah pasal tersebut sama sekali maupun paksaan tidak langsung

30 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

(indirect means coercion). Perda-perda setiap peraturan yang akan bernuasa “Syariat” atau “perda Injili” dikeluarkan di tingkat provinsi semacam ini juga memunculkan dan di tingkat kabupaten sesuai tindakan diskriminatif baik keadaan dengan perlindungan hak kaum perempuan maupun kepada asasi manusia sebagaimana minoritas agama. diatur dalam UUD 1945, hukum internasional, khususnya Rekomendasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hal Sipil dan Politik. Berdasarkan situasi dan kondisi 4. Mendesak Polri melakukan demikian Komnas HAM telah pemeriksaan yang efektif, inde- mengeluarkan rekomendasi sebagai penden dan tidak memihak berikut:24 terhadap semua laporan intimi- 1. Mendesak Pemerintah dan dasi, pelecehan dan serangan DPR RI untuk mencabut terhadap Ahmadiyah, Syiah, Undang-Undang Nomor 1/ Kristen dan minoritas agama PNPS/1965 tentang pencegahan lain dan membawa para pelaku penyalahgunaan agama dan/ ke pengadilan sesuai dengan atau penodaan agama dan Pasal standar internasional untuk 156 ( a) KUHP. Terkait dengan pengadilan yang adil. agenda ini perlu dilakukan kajian 5. Mendesak Polri aktif melindungi mendalam mengenai tafsir hak-hak semua warga negara Mahkamah Konstitusi mengenai tanpa memandang agama hubungan pasal 28 I (ayat 2) atau kepercayaan lainnya dan dengan pasal 28 J (ayat 2) yang menempatkan strategi untuk menghilangkan status “tidak mencegah dan menangani bisa dikurangi dalam keadaan insiden kekerasan berbasis apapun” hak beragama. agama. Polisi juga harus me- 2. Mendesak Pemerintah segera mastikan mereka mendaftar mencabut SKB 2008 dan semua dan menyelidiki semua kasus peraturan lain yang membatasi kekerasan berbasis agama, kegiatan komunitas Ahmadiyah ancaman dan intimidasi, terlepas di Indonesia atau melanggar dari latar belakang agama dari hak mereka untuk kebebasan korban. berpikir, hati nurani dan agama. 6. Polri dan pemerintah mem- 3. Mendesak lembaga legisatif fasilitasi dan memberikan daerah memastikan bahwa jaminan keamanan, kembalinya pengungsi minoritas umat 24 Laporan Komnas HAM dalam Sidang HAM III 2013.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 31 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

beragama ke rumah mereka dengan Kovenan Internasional secara sukarela dan bermartabat. tentang Hak-Hal Sipil dan Politik 7. Mendesak aparat penegak serta dengan ketentuan hak hukum mengambil langkah- asasi manusia yang diatur dalam langkah untuk memastikan Konstitusi Indonesia dan dalam bahwa semua agama minoritas UU 1999 tentang Hak Asasi dilindungi dan diperbolehkan Manusia. untuk mempraktekkan iman 12. Mendesak Depertemen Hukum mereka bebas dari rasa takut, dan HAM membuat penilaian intimidasi dan serangan; atas penerapan jaminan atas 8. Mendesak aparat penegak kebebasan beragama dan hukum menyelidiki laporan berkeyakinan terhadap peme- bahwa pejabat pemerintah rintah daerah. daerah telah terlibat dalam 13. Mendesak Kementerian Agama intimidasi kepada para pengikut untuk lebih aktif dalam mem- Ahmadiyah dan memaksa berikan kontribusi positif mereka untuk meninggalkan terhadap pengkondisian akan iman mereka. jaminan hak beragama dan 9. Mendesak pemerintah mem- berkeyakinan, bukan justru fasilitasi kemudahan bagi umat sebaliknya. beragama mendirikan dan mempergunakan rumah ibadah baik terkait dengan Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin di Bogor dan Gereja Protestan Kristen Batak Filadelpia di Bekasi, dan juga semua masjid yang ditutup di Bali dan Wilayah Timur Indonesia. 10. Meminta Pemerintah mengecam semua insiden yang terkait dengan serangan terhadap tempat-tempat ibadah dan memastikan bahwa para pelaku dibawa ke pengadilan. 11. Mendesak lembaga legislatif melakukan review semua peraturan daerah yang telah diberlakukan yang tidak sejalan

32 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Daftar Riwayat Hidup

Lahir di Rembang, Jawa Tengah pada 6 September 1971. Sarjana Agama merupakan gelar yang di raihnya setelah menyelesaikanstudinya di Institut Agama Islam Al Aqidah (Fakultas Tarbiyah) Jakarta pada 2000. Imdadun meraih gelar S2 pada 2003 dari Universitas Indonesia (Jurusan Politik dan Hubungan Internasional Timur Tengah). Saat ini Imdadun sedang menyelesaikan Program Doktoral di Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Imdadun pada 1992-1995 mengikuti Forum Studi Sosial Politik 164 di Jakarta, mengikuti Pendidikan Kepemimpinan untuk Pemimpin Muda Ormas Keagamaan (kursus singkat 15 hari) di Jepang tahun 2001, dan Pendidikan Multikulturalisme untuk Aktivis NGO di Amerika Serikat (kursus singkat 25 hari) tahun 2007. Sejak 2000-kini Imdadun aktif sebagai konsultan, narasumber, dan fasilitator untuk diskusi bertema HAM, demokrasi, kebebasan beragama, pluralisme, dan keadilan gender (khususnya dalam perspektif Islam). Mulai 2010-kini Imdadun dipercaya menjadi Sesjen di Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP), sebuah lembaga interfaith yang memiliki perhatian terhadap isu hak dan kebebasan beragama/berkeyakinan dan kebebasan sipil. Imdadun pernah menjadi Direktur Paras Foundation, sebuah lembaga yang konsen pada isu pluralisme dan religious freedom. Imdadun banyak menelurkan tulisan soal pluralisme dan multikulturalisme. Karyanya, antara lain, Buku Modul Pelatihan Advokasi dan Pengorganisasian Masyarakat (2002), Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (2002), Dakwah Transformatif: Islam dan Toleransi (pegangan para Da’i) (2003), dan Buku Pegangan Pemantau Pemilu (2004). Semua tulisan tersebut diterbitkan oleh Lakpesdam NU yang bekerja sama dengan lembaga lain seperti JPPR. Selain itu tulisannya juga diterbitkan oleh MADIA (Dialog dan Kebebasan Beragama, 2003); Paras Foundation (buku Modul Pendidikan Pluralisme dan Religius Freedom bagi Guru, 2005, dan buku Integrasi Multikulturalisme d WH alam Kurikulum, 2010). Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

34 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

M Subhi Azhari

Abstrak

ulisan ini ingin mendiskusikan berbagai persoalan yang muncul dalam kaitannya dengan pendirian rumah ibadah di Indonesia, mulai dari persoalan filosofis, sosiologis, hingga politik hukum dan implikasinya terjahap jaminan kebebasan beragama di Indonesia. DariT diskusi tersebut diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai faktor yang paling dominan mempengaruhi terhalangnya jalan keluar permanen problem pendirian rumah ibadah baik di tingkat pusat maupun di berbagai daerah. Selama ini terdapat analisis yang berkembang dan bahwa problem rumah ibadah sangat dipengaruhi oleh ketidaktegasan pemerintah dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada. Namun hal ini belum pernah dibuktikan secara akademik dan lebih merupakan analisis politik. Oleh karenanya, tulisan ini akan berusaha menemukan berbagai keterkaitan dari elemen-elemen yang ada termasuk membedah secara menyeluruh aturan-aturan hukum yang dimaksud.

Kata Kunci Kebebasan beragama/berkeyakinan, rumah ibadah, hak konstitusi.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 35 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

Pendahuluan kolektif, menjaga, serta melestarikan kekhasan identitas kelompok minoritas tersebut. Negara men- epanjang sejarah, agama dorong setiap kelompok untuk telah memberi sumbangsih mengembangkan entitasnya secara positif bagi masyarakat bertanggung jawab.26 dengan memupuk persau- Hubungan antarumat beragama daraanS dan semangat kerjasama di Indonesia menjadi bagian penting antar anggota masyarakat. Namun dalam upaya penanganan konflik sisi yang lain, agama juga sering khususnya pada era reformasi. menjadi pemicu konflik antar Data menunjukkan bahwa konflik masyarakat beragama. Hal ini bernuansa agama sering terjadi di merupakan sisi negatif dari agama Indonesia. Mulai dari masalah rumah dalam mempengaruhi masyarakat ibadah, kekerasan terhadap aliran dan telah terjadi di beberapa tempat yang dianggap sesat termasuk di di Indonesia.25 dalamnya rentetan kasus kekerasan Realita Indonesia sebagai yang menimpa Ahmadiyah dan negara majemuk mengharuskan belakangan warga Syiah di berbagai adanya kemampuan mengelola daerah. kemajemukan tersebut menjadi Ada banyak analisis dan pandangan energi bersama memajukan mengenai fakta tersebut. Sebagian bangsa, karena tidak selamanya menyimpuljkan peningkatan kon- kemajemukan tersebut menjadi flik muncul karena adanya pe- sumber konflik. John Rawls ningkatan praktek pelanggaran menggariskan, jika sebuah bangsa terhadap kebebasan beragama ingin meneguhkan diri sebagai kelompok-kelompok minoritas. negara demokratis, kemajemukan Pelanggaran kebebasan beragama/ seperti itu harus dikelola dengan berkeyakinan, selain didorong prinsip konsensus bersama yang oleh menguatnya intoleransi dan adil dan mengedepankan nilai- kelompok-kelompok pengusung nilai pluralisme. Senapas dengan aspirasi intoleran yang semakin itu, Will Kymlicka, pencetus politik kokoh, juga disebabkan karena multikulturalisme berpendapat negara yang tetap memilih politik bahwa negara mesti menerapkan diskriminatif dalam menjalankan kebijakan multikultural guna mandat konstitusionalnya men- memastikan kelompok minoritas 26 Sebagaimana dikuti Ismail Hasani dan memperoleh hak-haknya. Negara Bonar Tigor Naipospos (ed.) Politik juga perlu memberikan hak-hak Diskriminasi Susilo Bambang Yudhoyono Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011, (Jakarta: Pustaka 25 http://alkitab.sabda.org/resource. Masyarakat Setara, 2012), 70. php?topic=956&res=jpz

36 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

jamin kebebasan beragama/ rumah ibadah adalah bangunan berkeyakinan.27 biasa sebagaimana bangunan Pandangan lain melihat bahwa lainnya akan tetapi di dalamnya konflik-konflik tersebut memiliki memuat aspek lain yaitu asumsi dua akar masalah terkait dengan politik yang menyatakan bahwa penikmatan hak atas kebebasan kehadiran sebuah rumah ibadah beragama dan berkeyakinan di menjadi petunjuk adanya kelompok Indonesia. Pertama adalah masalah umat beragama yang menggunakan penyesatan terhadap kelompok yang bangunan rumah ibadah tersebut.30 bukan mainstream dan minoritas. Karena itulah, konflik mengenai Dan Kedua, karena masalah pembangunan rumah ibadah ibarat toleransi antar umat beragama riak sungai yang selalu muncul dan dan berkeyakinan.28 Ada juga yang mengganggu harmoni hubungan memandang persoalan tersebut antara umat beragama. Bahkan muncul karena ketidakmampuan tidak sedikit kasus pendirian rumah pemerintah dalam melindungi hak ibadah telah mengakibatkan warga negaranya dalam menjalankan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak beragama mereka sesuai kebebasan beragama dan ketentuan yang ada dalam undang- berkeyakinan di Indonesia. Lahirnya undang. Hal ini diperparah karena Keputusan Bersama Menteri (PBM) adanya konflik hukum dalam legislasi Agama dan Menteri dalam Negeri nasional kita dan masih kuatnya No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang peran institusi-institusi keagamaan Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala dan institusi lainnya yang menolak Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam kebebasan beragama.29 Pemeliharaan Kerukunan Umat Ada pula pandangan lain yang Beragama, Pemberdayaan Forum melihat, meningkatnya konflik Kerukunan Umat Beragama, dan khususnya terkait dengan pendirian Pendirian Rumah Ibadat adalah rumah ibadah disebabkan adanya upaya pemerintah untuk mengatasi pemahaman dari masyarakat bahwa konflik seputar pembangunan pendirian rumah ibadah memiliki rumah ibadah. PBM ini sebagai muatan politis yaitu berpeluang pengganti Surat Keputusan Bersama mengubah peta regionalisasi agama (SKB) Menteri Agama dan Menteri di Indonesia. Sekalipun bangunan Dalam Negeri tahun 1969 yang dinilai 27 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos 30 M. Yusuf Asry (Ed.), Pendirian Rumah Ibadah (ed.) Politik Diskriminasi..., 33-34. di Indonesia Pelaksanaan Peraturan Bersama 28 Muktiono, “Mengkaji Politik Hukum Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di No. 9dan 8 tahun 2006. (Jakarta: Badan Indonesia”, 13-14. Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan 29 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama Keagamaan Kementrian Agama RI, 2011), di Indonesia, (Yogyakarta: LaksBang Grafika, xii. 2010), 238.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 37 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

tidak mampu menjawab kebutuhan keagamaan, penggunaan pakaian- umat beragama dalam mengatur pakaian keagamaan, simbol-simbol pendirian rumah ibadah, sekaligus keagamaan dan upacara-upacara mencegah konflik terkait pendirian keagamaan lainnya.31 rumah ibadah ini. Lebih jauh, pada paragraf 4 Komentar Umum No. 22 terhadap Mendirikan Tempat Ibadah dalam Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan politik Konteks HAM menjelaskan makna ibadah terdiri dari ritual dan upacara keagamaan yang merupakan ekspresi langsung Ibadah merupakan salah satu dari ajaran agama/kepercayaan elemen penting dari kebebasan juga berbagai kegiatan keagamaan beragama, dimana kebebasan yang terintegral dengan kegiatan ini termasuk aspek yang paling ritual keagamaan dan lain-lain sentral dibanding aspek-aspek seperti bangunan rumah ibadah, lain. Karena ibadah merupakan pemasangan dan penggunaan objek/ pengejawantahan dari agama itu simbol keagamaan dan menjalankan sendiri, ibadah adalah manifestasi libur/hari keagamaan.32 dari keyakinan. Pasal 18 Kovenan Paul M. Taylor menjeaskan hak Hak Sipil dan Politik mengakui hak untuk beribadah dalam kaitannya untuk memanifestasi agama baik dengan mendirikan rumah ibadah sendiri maupun bersama-sama baik tidak hanya mencakup hak di muka umum maupun secara mendirikan rumah ibadah (right pribadi, dan salah satu bentuk to establish), tetapi juga hak untuk manifestasi ini adalah beribadah dan menjalankan/menjaga rumah iba- melaksanakan ritual-ritual, khutbah- dah tersebut (maintain). Dalam khutbah. Termasuk di dalam hak ini perkembangannya ternyata ada sebagaimana diakui oleh Dokumen kewajiban negara (state obligation) Kesimpulan Wina adalah mendirikan yang terkait dengan rumah ibadah dan memelihara, melestarikan seperti Putusan Komisi HAM Bosnia secara bebas dan dapat diakses Herzegovina di dalam kasus hukum suatu tempat ibadah atau tempat antara the Islamic Community in berkumpul para pemeluk agama Bosnia and Herzegovina v. Republic yang bersangkutan. 31 Manfred Nowak, “Freedom of Thought, Manfred Nowak memaknai ibadah Conscious, Religion and Belief” seperti adalah bentuk doa/sembahyang dikutip Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Memahami Kebijakan Rumah (religious prayer) dan khotbah Ibadah, (Jakarta: ILRC 2010, 3. keagamaan. Sementara upacara 32 Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, keagamaan dimaknai prosesi Memahami Kebijakan Rumah Ibadah, (Jakarta: ILRC 2010, 4.

38 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

Srpska. Komisi HAM Bosnia melaksanakan ibadah menurut menjelaskan kewajiban positif dari agama dan kepercayaannya.35 Negara negara secara efektif (effective), layak juga menjamin bahwa setiap orang (reasonable) dan tepat (appropriate) berhak meyakini kepercayaan, untuk melindungi rumah-rumah menyatakan pikiran dan sikap sesuai ibadah dan situs-situs keagamaan dengan hati nuraninya.36 Bahkan yang suci.33 lebih jauh, konstitusi menjamin setiap Menurut Cole Durham, penghor- orang berhak bebas atas perlakuan matan terhadap hak mendirikan yang diskriminatif atas dasar apapun rumah ibadah ini masih saja dan berhak mendapat perlindungan menyisakan berbagai masalah dari tindakan diskriminatif tersebut.37 di berbagai negara. Yang paling Namun ketika jaminan konstitusi umum adalah pernyataan sebagian tersebut diimplementasikan di orang untuk menghormati hak lapangan, muncul berbagai aturan dan kebebasan beribadah, namun yang justru mengekang kebebasan di saat yang sama tidak bersedia tersebut tanpa dasar yang dapat memberikan hak mendirikan rumah dibenarkan oleh konstitusi. ibadah di suat tempat.34 Bahkan lebih Memang menurut Pasal 18 ironis dari itu, di satu sisi konstitusi dan Kovenan Hak Sipil dan Politik, hukum memberi jaminan kebebasan kebebasan memanifestikan agama beragama kepada setiap warga dan keyakinan bukan kebebasan negara, namun ketika kebebasan itu yang absolut namun dapat dibatasi dimanifestasikan dalam ibadah atau oleh pemerintah. Kebebasan mendirikan rumah ibadah, jaminan manifestasi adalah kebebasan hukum tersebut dengan sangat eksternal yang terkait dengan mudah diabaikan. hubungan antar warga negara, oleh Kesimpulan Cole Durham terse- karenanya bisa diatur atau dibatasi. but sangat kontekstual dengan Dalam rezim hak asasi manusia, kondisi di Indonesia saat ini. Di kebebasan mendirikan rumah ibadah satu sisi Undang Undang Dasar merupakan salah satu elemen dari Negara Republik Indonesia (UUD- kebebasan eksternum beragama. NRI) memberi jaminan bagi setiap Hal ini karena mendirikan rumah warga negara memeluk agama dan ibadah adalah ekspresi kebebasan beragama yang terkait dengan 33 Paul Taylor, “The Right to Manifest Religious Belief” seperti dikutip Siti Aminah dan Uli wilayah publik dan menyangkut Parulian Sihombing, Memahami Kebijakan Rumah Ibadah, (Jakarta: ILRC 2010, 5. 35 Lihat, Pasal 29 ayat (2) Undang Undang 34 W. Cole Durham, “Places of Worship: Dasar Negara Republik Indonesia. Enhancing Implementation of a Core 36 Lihat Pasal 28E ayat (2) Undang Undang Human Right”, Supplementary Human Dasar Negara Republik Indonesia. Dimension Meeting On Freedom Of Religion 37 Lihat Pasal 28I ayat (2) Undang Undang Or Belief, Hofburg, Vienna, Austria, 9-10 July Dasar Negara Republik Indonesia. 2009, 4.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 39 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

hubungan antar umat beragama bersifat diskriminatif atau diterapkan dengan publik secara umum. dengan cara yang diskriminatif.38 Menurut Komentar Umum Prinsip non diskriminasi sering 22 untuk Pasal 18 tersebut, disandingkan dengan prinsip memang ada kemungkinan adanya kesamaan dimuka hukum, merupa- pembatasan terhadap kebebasan kan dua prinsip fundamental untuk menjalankan agama atau dalam hukum HAM. Prinsip non- kepercayaan seseorang hanya jika diskriminasi melarang segala pembatasan tersebut diatur oleh bentuk pembedaan, pengurangan ketentuan hukum dan diperlukan yang bertujuan atau berakibat untuk melindungi keamanan, berkurangnya pengakuan, penik- ketertiban, kesehatan atau moral matan atau keleluasaan bagi setiap masyarakat, atau hak dan kebebasan orang untuk mendapatkan hak dan mendasar orang lain. Pembatasan kebebasannya. Kata-kata “bertujuan tersebut tidak boleh diterapkan atau berakibat” merujuk kepada dengan cara-cara yang dapat adanya peraturan atau kebijakan melanggar hak-hak yang dijamin di yang pada dasarnya bersifat netral pasal 18. Pembatasan tidak boleh namun diinterpretasikan dengan diterapkan untuk tujuan-tujuan yang cara yang berakibat lahirnya diskri- diskriminatif atau diterapkan dengan minasi. Karena itulah hukum HAM cara yang diskriminatif. internasional melarang diskriminasi Sebagaimana dijelaskan pada baik yang bersifat langsung maupun Pasal 25 Kovenan, pembatasan tidak langsung.39 tersebut tidak boleh meniadakan Diskriminasi langsung adalah kesamaan memperoleh akses pada tindakan yang diniatkan oleh pelayanan umum di negaranya. pelakunya atau oleh pembentuk Pembatasan yang diterapkan harus undang-undang dalam konteks dijamin oleh hukum dan tidak produk hukum yang diskriminatif boleh diterapkan dengan cara- sebagai tindakan untuk menimbul- cara yang dapat melanggar hak- kan akibat terdiskriminasinya hak yang dijamin pada Pasal 18. seseorang atau kelompok. Semen- Pembatasan dapat diterapkan hanya tara diskriminasi tidak langsung untuk tujuan-tujuan sebagaimana yang telah diatur serta harus 38 Ngesti D. Prasetyo, dkk. Rumah Tuhan Yang Ilegal Catatan Kritis Perpsktif HAM dan berhubungan langsung dan sesuai Konstitusi, (Malang: PP Otoda dan Yayasan dengan kebutuhan khusus yang TIFA, 2013), 50-51. 39 United Nation Human Right Offoce of sudah ditentukan. Pembatasan tidak The High Commision, Minority Right: boleh diterapkan dengan tujuan yang International Standards and Gudance for Implementation, ( New York and Geneva: United Nation, 2010), 8.

40 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

adalah diskriminasi yang muncul manusia yang pada tingkatan paling sebagai dampak dari pembedaan, serius telah mengakibatkan jatuhnya pembatasan atau pengucilan korban jiwa terutama bagi kelompok yang menunjuk pada akibat dari agama/keyakinan minoritas. upaya-upaya pengurangan dan Prospek terhadap jaminan hak penghapusan atas pengakuan, atas kebebasan beragama dan penikmatan dan penggunaan hak berkeyakinan di Indonesia saat asasi manusia. Pengurangan terjadi ini menjadi permasalahan serius apabila suatu persyaratan diletakkan di tengah keterikatan Indonesia pada suatu hak sehingga terjadi baik secara moral maupun hukum pembatasan pengakuan atas hak terhadap norma-norma hak asasi tersebut. Sedangkan penghapusan manusia internasional.41 adalah suatu keadaan dimana terjadi Demokrasi mengakui hak-hak pembatasan secara total atas hak- individu dan kelompok unuk merawat hak seseorang atau keadaan dimana dan melestarikan perbedaan agama mekanisme pendukung untuk dan identiras budaya mereka. pemenuhan atau mempertahankan Meski demikian, demokrasi juga hak-hak tersebut tidak tersedia.40 mengakui tanpa jaminan melalui mekanisme hukum yang jelas dan Kebebasan Mendirikan Rumah adil, problem yang mereka hadapi Ibadah di Indonesia akan terus muncul. Masalahnya, bagaimana merumuskan aturan Di tengah semakin kondusifnya dan mekanisme hukum tersebut situasi untuk melakukan pemajuan menjadi tantangan tersendiri,42 hak kebebasan beragama dan terlebih bagi masyarakat plural berkeyakinan di sisi lain masih seperti Indonesia. terdapat fakta bahwa pemenuhan Kerumitan inilah yang terjadi di hak atas kebebasan beragama Indonesia selama puluhan tahun dan berkeyakinan di Indonesia dalam pengaturan pendirian merupakan masalah rumit untuk rumah ibadah. Di satu sisi, negara diselesaikan. Antinomi eksis mulai mempunyai sikap yang cukup tegas dari level konstitusi sampai dengan terhadap posisi warga negara. penerapan norma pada tindakan Keberadaan Pasal 29 aat (2) yang

administratif pemerintahan daerah 41 Muktiono, “Mengkaji Politik Hukum yang mengakibatkan terjadinya Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di serangkaian pelanggaran hak asasi Indonesia”, 3. 42 Clinton Bennett, “Religious Minorities: Challenge or Threat”, makalah disampaikan 40 Lihat Ismail Hasani dan Bonar Tigor dalam International Coalition for Religious Naipospos (Ed.), Mengatur Kehidupan Freedom Conference on “Religious Freedom Beragama; Menjamin Kebebasan?, (Jakarta: and the New Millenium” Berlin, Germany, Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 101-102. May 29-31, 1998.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 41 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

menjamin kemerdekaan bagi setiap in hampir terjadi di seluruh negara warga negara untuk beragama dan di dunia. Seperti di dalam kasus melaksanakan ibadah menurut Metropolitan Church of Bestarabia keyakinannya harusnya difahami and Other v. Moldova, tidak keluarnya bahwa pemerintah harus menjamin ijin rumah ibadah mengakibatkan pelaksanaan agama dan ibadah rumah ibadah sama sekali tidak tersebut dengan baik. Pemaknaan berfungsi dan anggotanya tidak bisa “baik” berarti pemerintah juga menjalankan hak beribadah.45 harus menfasilitasi keberadaan Pengaturan mengenai pendirian tempat ibadah dan tempat rumah ibadah yang saat ini berlaku penyelenggaraan kegiatan ibadah di Indonesia terdapat dalam dua dan juga pelaksanaan ibadah agar peraturan perundang-undangan. dapat berjalan lancar.43 Pertama, UU No. 28 tahun 2002 Pada pasal lainnya (Pasal 28E tentang Bangunan Gedung; Kedua, ayat 2), juga terdapat jaminan Peraturan Bersama Menteri (PBM) kepada setiap orang untuk meyakini No. 9 dan No. 8 tahun 2006 tentang kepercayaan dan menyatakan Pedoman Pelaksanaan Tugas pikiran dan sikap menurut hati Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah nuraninya. Ini berarti bahwa setiap dalam Pemeliharaan Kerukunan orang bebas meyakini apa yang Umat Beragama, Pemberdayaan menjadi kepercayaannya baik Kerukunan Umat Beragama dan sama, berbeda atau perpaduan Pendirian Rumah Ibadat. dari keyakinan yang telah ada Pada Pasal 5 UU No. 28 tahun sebelumnya.44 Namun di sisi yang 2002 disebutkan bahwa fungsi lain, negara menghadapai dilema bangunan gedung meliputi fungsi ketika berhubungan dengan hunian, keagamaan, usaha, sosial persoalan rumah ibadah. dan budaya, serta fungsi khusus. Kewajiban untuk mendaftarkan Satu fungsi dapat disertai fungsi perijinan rumah ibadah misalnya lain. Dalam konteks prizinan tempat sering digunakan oleh pemerintah ibadah, bangunan gedung dengan untuk mengontrol keberadaan fungsi keagamaan ditentukan secara rumah ibadah dan dilakukan dengan limitatif terbatas pada masjid, gereja, cara yang diskriminatif. Menurut pure, wihara dan klenteng. Di daerah catatan pelapor khusus PBB atas peruntukan lokasi harus sesuai kebebasan beragama, kasus seperti dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang. Di wilayah 43 Ngesti D. Prasetyo, dkk. Rumah Tuhan Yang Ilegal Catatan Kritis Perpsktif HAM dan kabupaten/kota fungsi bangunan Konstitusi, (Malang: PP Otoda dan Yayasan gedung ditetapkan dalam bentuk TIFA, 2013), 43. 44 Ngesti D. Prasetyo, dkk. Rumah Tuhan Yang 45 Siti Aminah dan Uli Parulian Sihombing, Ilegal..., 44. Memahami Kebijakan Rumah Ibadah..., 6.

42 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

Izin Mendirikan Bangunan, pun Konteks Kelahiran PBM jika terjadi perubahan maka harus mendapatkan penetapan kembali Minimal ada dua konteks yang dari Pemerintah Daerah. Pasal 7 melatar belakangi kelahiran PBM menyebutkan ada dua persyaratan No. 9 dan 8 tahun 2006: Pertama, yang dilihat untuk pendirian tempat latar sosiologis dan. Kedua, latar ibadat. Pertama, persyaratan yuridis. administratif berupa status hak atas Secara sosiologis, PBM lahir tanah, status kepemilikan bangunan sebagai respon respon atas be- dan izin mendirikan bangunan. berapa permasalahan yang timbul Kedua persyaratan teknis berupa di masyarakat khusus terkait persyaratan tata bangunan dan masalah pendirian rumah ibadah. persyaratan keandalan bangunan Sebagaimana banyak dilaporkan, gedung. 2-3 tahun sebelum PBM ini keluar, Namun dua persyaratan tersebut terjadi peningkatan konflik antar nampaknya belum cukup karena agama terutama menyangkut PBM tahun 2006 menambah pendirian rumah ibadah umat persyaratan lain yakni: Pertama, Kristen. Maraknya konflik tempat adanya Kartu Tanda Penduduk ibadah ini terus memuncak mulai pengguna rumah ibadat paling dari tahun 2005-2014. Satu pihak sedikit 90 orang yang disahkan oleh menyatakan, maraknya penutupan pejabat setempat sesuai dengan rumah ibadah tersebut tidak akan tingkat batas wilayah. Kedua, terjadi jika rumah ibadah tersebut dukungan masyarakat setempat memenuhi aturan yang sudah paling sedikit 60 orang yang disahkan ditentukan, sementara di lain pihak oleh lurah/kepala desa. Ketiga, mereka yang ingin mendirikan rumah rekomendasi tertulis kepala kantor ibadah menyatakan aturan tersebut departemen agama kabupaten/ sangat sulit untuk dilaksanakan, kota. Keempat, rekomendasi tertulis sementara kebutuhan akan ibadah FKUB kabupaten/kota. dan saranya tidak dapat ditunda- Artinya apabila dijumlahkan tunda dan termasuk hak kebebasan persyaratan perizinan pendirian beragama yang dijamin konstitusi rumah ibadah di Indonesia saat negara. ini menjadi 6 (enam) syarat. Ini Secara yuridis, keberadaan aturan menunjukkan bahwa kebebasan sebelumnya yakni SKB No. 1 tahun mendirikan rumah ibadah masih 1969 dianggap sudah tidak memadai belum sepenuhnya diberikan dalam mengelola dinamika rumah negara apabila mengacu kepada ibadah di Indonesia. Bahkan tisak konstitusi UUD 1945. sedikit yang menilai SKB tahun 1969

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 43 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

tersebut bertentangan dengan UUD dikatakan bahwa rumusan PBM NRI 1945. yang saat ini tidak sepenuhnya bisa Keberadaan SKB 2 Menteri dikatakan kompromi karena masih tahun 1969 tidak dapat menjawab ada delegasi yang belum terwakili berbagai persoalan keagamaan aspirasinya. pasca reformasi. Bahkan khusus Sebagaimana dicatat dalam dalam hal pendirian rumah ibadah Legal Review Setara Institute, klaim umat Kristen-Katolik merasa bahwa PBM ini adalah konsensus dipojokkan dengan SKB tersebut. bersama semua agama adalah Terlebih lagi umat Kristen yang pengingkaran terhadap sejarah memiliki banyak sekte, aturan dan catatan kritis yang diajukan ini dianggap sangat membatasi. oleh beberapa majelis agama. Namun hal ini tidak terbatas di Pengabaian ini telah mengakibatkan lingkungan Kristen saja, umat Islam substansi PBM masih mengandung yang minoritas di sebuah wilayah masalah. Bahkan jika mereview juga akan terkena dampak yang diskusi yang berkembang dalam menyulitkan dari SKB tersebut. pembentukan PBM ini nampak jelas Karena umat Kristen dianggap niat pembentukannya adalah untuk yang paling dirugikan, maka tidak membatasi kelompok lain. mengherankan kalau umat Kristen Dalam memorandum tertanggal senantiasa menghendaki agar SKB 10 Oktober 1969 kepada Pemerintah, tersebut dicabut. Dewan Gereja-gereja Se-Indonesia/ Dalam proses perumusannya, DGI (saat ini Persekutuan Gereja- PBM ini tidak hanya melibatkan Gereja Se-Indonesia/PGI) dan Pemerintah melainkan masyarakat Majelis Agung Waligereja Indonesia/ yang direpresentasikan oleh MAWI (saat ini Konferensi Waligereja Indonesia/KWI) menyampaikan perwakilan majelis lima agama yakni bahwa SKB tersebut tidak dapat Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan menjamin kemerdekaan beragama Buddha. Dalam pembahasannya seperti tercantum dalam Pasal 29 sendiri, terjadi perdebatan yang Undang-undang Dasar 1945, bahkan panjang menyangkut klausul-klausul dapat membahayakan kesatuan yang akan dimasukkan. Bahkan dan persatuan bangsa dalam hingga draft PBM sudah dianggap negara Indonesia. Umat Kristen final, sebagian kalangan masih nampaknya paling merasa dirugikan belum menerima sepenuhnya sehingga mereka mendesak agar rumusan yang ada, namun tidak bisa SKB tersebut dicabut.46 berbuat banyak karena sebagian 46 The Wahid Institute, Mengelola Toleransi dan besar delegasi merasa sudah Kebebasan Beragama 3 Isu Penting, (Jakarta: terakomodir aspirasinya. Dapat The Wahid Institute dan Yayasan TIFA, 2012), 80.

44 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

Lebih lanjut Setara mencatat, intensif, serius dan berulang-ulang PBM ini dibentuk sebagai jawaban lebih kurang selama enam bulan atas desakan berbagai kalangan berhasil mencapai kesepakatan yang menolak dan mendesak yang kemudian dituangkan menjadi pencabutan Namun demikian PBM.48 Aturan baru ini juga dususun protes warga negara tetap dijawab berdasar pengalaman penerapan dengan menbentuk Peraturan SKB sebelumnya, sehingga Bersama Menteri yang juga diharapkan kekurangan-kekurangan diskriminatif. Meski diskriminatif, yang ada dapat diperbaiki.49 majelis-majelis agama membiarkan Secara garis besar, peraturan dan memberikan kesempatan bersama ini mengatur tiga hal bagaimana PBM ini dilaksanakan.47 pokok yang saling berkaitan: Bagi pemerintah, aturan ini Pertama, peran Pemerintah Daerah dianggap lebih baik dari SKB dalam pembinaan kerukunan umat sebelumnya karena dianggap lebih beragama; Kedua pembentukan rinci sehingga dapat menghindarkan Forum Kerukunan Umat Beragama multitafsir seperti yang terjadi (FKUB); Ketiga, prosedur pendirian pada SKB. Di dalam SKB misalnya, rumah ibadat. Jika dalam SKB 1969 tidak jelas siapa yang dimaksud tidak ada ketentuan tentang FKUB, Pemerintah Daerah, tidak jelas siapa dalam Perber ini FKUB diatur secara yang dimaksud “pejabat pemerintah khusus. Di samping menjadi forum yang dibawahnya yang dikuasakan lintas agama untuk membicarakan untuk itu”, lalu tidak jelas siapa berbagai persoalan umat, FKUB yang disebutorganisasi keagamaan juga mempunyai otoritas untuk dan ulama/rohaniwan setempat, menilai apakah tempat ibadah layak serta apa yang dimaksud dengan didirikan atau tidak. “planologi”. Untuk merespon persoalan Peta Problem PBM tersebut, pemerintah (Departemen

Agama dan Departemen Dalam Secara garis besar, peraturan Negeri) bersama majelis-majelis agama (MUI, PGI, KWI, PHDI, bersama ini mengatur dua hal yang WALUBI) telah sepakat bahwa saling berkaitan, yaitu pembinaan masalah pengaturan rumah 48 Dra. Kustini, M.Si, (Ed.), Efektifitas sosialisasi PBM No. 9 dan 8 tahun 2006, (Jakarta: ibadah yang sebelumnya berlaku Departemen Agama RI Badan Litbang dan perlu ditata ulang. Melalui proses Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, pembahasan dan dialog yang relatif 2009), 2. 49 M. Subhi Azhari & Dindi A. Ghazali, “Berebut 47 Lihat Ismail Hasani dan Bonar Tigor Kue FKUB: FKUB Kota Depok dan Kabupaten Naipospos (Ed.), Mengatur Kehidupan Bandung Pasca PBM” dalam Agama dan Beragama..., 103. Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), Hal. 359-360.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 45 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

kerukunan umat beragama melalui b. dukungan masyarakat setempat pembentukan Forum Kerukunan paling sedikit 60 (enam puluh) orang Umat Beragama (FKUB) dan yang disahkan oleh lurah/kepala prosedur pendirian tempat ibadat. desa; c. rekomendasi tertulis Jika dalam SKB 1969 tidak ada kepala kantor departemen agama ketentuan tentang FKUB, dalam kabupaten/kota; d. rekomendasi Perber ini FKUB diatur secara tertulis FKUB kabupaten/kota khusus. Di samping menjadi forum (Pasal 14). Dalam pasal ini juga lintas agama untuk membicarakan ditekankan bahwa dalam hal berbagai persoalan umat, FKUB persyaratan sebagaimana dimaksud juga mempunyai otoritas untuk pada ayat (2) huruf a terpenuhi menilai apakah tempat ibadah sedangkan persyaratan huruf b layak didirikan atau tidak menurut belum terpenuhi, pemerintah pertimbangan sosial keagamaan. daerah berkewajiban memfasilitasi Semangat untuk melakukan tersedianya lokasi pembangunan birokratisasi tempat ibadah begitu rumah ibadat. kuat. Pendirian tempat ibadah Munculnya ketentuan menge- bukan hanya melalui birokrasi resmi nai persayaratan 90 pengguna dan dalam struktur pemerintah, tapi 60 persetujuan warga sekitar dalam juga harus melalui “birokrasi tidak peraturan ini diperoleh dari hasil resmi” yaitu FKUB.50 kompromi majelis-majelis agama Dalam PBM ini, prosedur ketika PBM ini dirumuskan. Angka pendirian tempat ibadah diatur ini dianggap mewakili kearifan secara rinci dalam Bab IV pasal lokal di tanah air. Menteri Agama 13-17. PBM misalnya menetapkan kala itu Maftuh Basyuni memberi adanya sejumlah persyaratan yang argument: “Angka ini diperoleh harus dipenuhi dalam pendirian setelah mempelajari kearifan lokal rumah ibadah yakni: 1) persyaratan di tanah air. Sebagaimana diketahui, administratif, 2) persyaratan teknis sejumlah gubernur telah melakukan bangunan, 3) persyaratan khusus pengaturan tentang hal ini. Di meliputi: a. daftar nama dan Kartu Provinsi Riau diatur jumlah syarat Tanda Penduduk pengguna rumah minimal 40 KK, di Sulawesi Tenggara ibadat paling sedikit 90 (sembilan diatur jumlah syarat minimal 50 puluh) orang yang disahkan oleh KK dan di Bali diatur jumlah syarat pejabat setempat sesuai dengan minimal 100 KK”. Sementara untuk tingkat batas wilayah sebagaimana syarat dukungan 60 Menteri Agama dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); mengatakan: “Terkait dengan dukungan masyarakat setempat 50 Rumadi, “Politik Dindin Tempat Ibadah”, Jurnal Harmoni Edisi…. (Jakarta: Puslitbang minimal 60 orang, dapat kami Keagamaan Kementrian Agama RI, ) Hal.

46 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

jelaskan bahwa angka itu sebenarnya sebagaimana sering dikeluhkan tidak mutlak, karena pada bagian beberapa kalangan. Ketentuan ini berikutnya diketahui bahwa apabila juga diperkuat pasal 13 ayat (3) yang dukungan masyarakat setempat menyatakan jika ketentuan huruf yaitu 60 orang tidak terpenuhi (b) pasal 13 ayat (2) tidak terpenuhi, sedangkan calon pengguna rumah Perber memerintahkan Pemerintah ibadah sudah memenuhi keperluan Daerah untuk menfasilitasi lokasi- nyata dan sungguh-sungguh, maka nya. pemerintah daerah memfasilitasi Ketentuan ini sesungguhnya tersedianya lokasi pembangunan sangat jelas bertujuan memper- rumah ibadah.51 mudah proses perizinan dan Apa yang ditegaskan Menteri memberi jaminan setiap umat Agama tersebut menunjukkan beragama dapat memperoleh syarat dukungan 60 orang lebih tempat ibadah mereka secara sebagai syarat pelengkap. Syarat legal. Namun dalam kenyataannya, yang paling utama adalah adanya pemerintah daerah sering tidak calon pengguna tempat ibadah konsisten melaksanakan aturan ini. yang telah memiliki keperluan nyata Bahkan sebagian kepala daerah dan sungguh-sungguh terhadap terkesan menghalangi pendirian tempat ibadah. Atas alasan tersebut, rumah ibadah. Alasan yang sering pemerintah daerah memiliki dipakai adalah masih adanya kewajiban memfasilitasi tersedianya penolakan dari warga sehingga lokasi pembangunan. Dari pernya- pemerintah daerah belum bisa taan Menteri Agama tersebut mengeluarkan izin. Lebih ironis lagi, dapat dikatakan bahwa PBM ini walaupun rumah ibadah tersebut dapat ditafsirkan sebagai upaya telah memperoleh izin legal dalam pemerintah memberi kemudahan bentuk Izin Mendirikan Bangunan pendirian rumah ibadah. (IMB), kemudian ada sekelompok Kecendrungan ini juga nampak masyarakat yang menolak pada pasal 16 ayat (2) PBM yang keberadaan rumah ibadah tersebut, menyatakan: Bupati/walikota mem- beberapa pemerintah daerah malah berikan keputusan paling lambat membekukan izin yang sudah 90 (sembilan puluh) hari sejak dikeluarkan dan mengakibatkan permohonan pendirian rumah ibadat posisi hukum rumah ibadah diajukan sebagaimana dimaksud bersangkutan menjadi lemah. pada ayat (1). Pasal ini bisa menjadi Kasus seperti ini terjadi di semacam jaminan bahwa izin Kota Depok. Pada 27 Maret 2009, rumah ibadah tidak berlarut-larut Walikota Depok Nur Mahmudi

51 M. Subhi Azhari & Dindi A. Ghazali, “Berebut Ismail mengeluarkan SK pencabutan Kue FKUB…Hal. 363-364.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 47 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

IMB Gereja HKBP Cinere dengan keluar. Tempat ibadah seperti ini alasan adanya penolakan dari yang dikatakan sebagai tempat masyarakat sekitar. Pencabutan ibadah liar dan sering menjadi IMB ini mengakibatkan Gereja sasaran aksi kelompok yang HKBP Cinere tidak bisa melanjutkan tidak senang.52 Izin sementara ini pembangunan gereja karena dikeluarkan oleh bupati/walikota tidak memiliki izin. Mereka harus dengan sejumlah persyaratan yakni: menempuh jalur hukum dengan 1. laik fungsi bangunan, 2. syarat menggugat Walikota Depok ke pemeliharaan kerukunan beragama Pengadilan Tata Usaha di Bandung. serta ketentraman dan ketertiban Kasus serupa juga terjadi di Bogor masyarakat. Syarat pemeliharaan menimpa Gereja Kristen Indonesia kerukunan ini juga memiliki sejum- )GKI) Taman Yasmin Bogor. Pada lah persyaratan yakni: a. izin tertulis pertengahan 2008, Walikota Bogor pemilik bangunan; b. rekomendasi Diani Budiarto membekukan IMB tertulis lurah/kepala desa; c. GKI Yasmin yang sudah diperoleh pelaporan tertulis kepada FKUB pada awal 2006. Bahkan ketika GKI kabupaten/kota; dan d. pelaporan Yasmin menggugat ke pengadilan tertulis kepada kepala kantor dimana Mahkamah Agung departemen agama kabupaten/ memerintahkan Walikota Bogor kota. mencabut pembekuan tersebut, Ada beberapa hal yang penting Diani Budiarto pada pertengahan untuk dicatat soal izin sementara 2010 malah membekukan IMB GKI tempat ibadah. Pertama, ketentuan Yasmin secara permanen. Kedua ini dimaksudkan untuk memberikan kasus ini menunjukkan bahwa dasar ruang bagi umat beragama legal seringkali dikalahkan oleh yang belum mampu mendirikan aspirasi sebagian masyarakat. tempat ibadah permanen untuk Di samping itu, PBM ini juga men- tetap beribadah. Kedua, proses fasilitasi kemungkinan adanya rumah perijinan tidak mensyaratkan ibadah sementara. Ketentuan izin jumlah pengguna dan dukungan sementara ini untuk mengakomodasi masyarakat setempat. Yang penting kenyataan bahwa banyak tempat- adalah adanya kebutuhan nyata tempat yang tidak diperuntukkan umat beragama akan rumah ibadah sebagai tempat ibadah tapi itu. Ketiga, ketentuan dua tahun batas kenyataannya difungsikan sebagai berlakunya izin sementara bukan tempat ibadah karena berbagai berarti tidak dapat diperpanjang. alasan. Sebagian mereka ada yang Keempat, ketentuan ini bisa sekedar menggunakan, tapi ada juga membatasi munculnya “gereja ruko” yang sudah izin tapi tidak pernah 52 Rumadi, “Politik Dindin…Hal.

48 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

dan meminimalisir konflik akibat Namun dikarenakan adanya kesalahpahaman soal tempat ibadah. kebutuhan untuk melaksanakan Ketentuan ini meskipun terlihat ibadah, merekapun beribadah cukup sederhana namun pada di rumah-rumah jemaat secara kenyataannya sangat potensial bergiliran. Alasan lainnya, karena izin menimbulkan permasalahan di rumah ibadah mereka belum keluar lapangan. Bahkan ketentuan ini telah atau dalam proses perizinan. Mereka banyak menimbulkan masalah baik kemudian beribadah di rumah-rumah karena ketentuan ini sering diabaikan jemaat untuk sementara waktu baik oleh pengguna maupun sambil menunggu perizinan selesai. pemerintah atau karena perysratan Aktifitas seperti ini sering mendapat tersebut terlalu birokratis dan pertentangan dari masyarakat yang cenderung menyulitkan pengguna tidak setuju. Mereka juga sering rumah ibadah. Dalam banyak mendapat stigma melakukan ibadah kasus, rumah-rumah ibadah yang secara liar. dipermasalahkan di berbagai daerah Harus diakui bahwa ketentuan adalah rumah yang difungsikan mengenai izin sementara ini banyak sebagai rumah ibadah. Hal seperti tidak diketahui oleh masyarakat ini banyak terjadi di lingkungan termasuk pengguna rumah ibadah. Kristen dalam bentuk kebaktian Masyarakat yang tidak toleran Minggu dan muslim dalam kegiatan- menganggap bahwa ibadah di kegiatan pengajian mingguan. rumah-rumah sebagai problem Namun yang paling banyak hukum dan problem sosial dimana dipermasalahkan adalah kebaktian jalan keluarnya adalah menghentikan umat Kristen, mereka sering dituding kegiatan ibadah tersebut. Bahkan mengalihfungsikan rumah sebagai masyarakat menganggap ibadah tempat ibadah. Pengalihfungsian ini liar ini sebagai gangguan terhadap dianggap melanggar hukum, karena kerukunan umat beragama. Di lain itu harus dilarang. pihak, banyak oknum pemerintah Umat Kristen sendiri mengakui terutama di tingkat desa/kelurahan bahwa mereka sering melaksanakan atau kecamatan juga tidak kebaktian di rumah-rumah jemaat. memahami ketentuan semacam ini. Hal ini mereka lakukan dengan Sehingga ketika ada penolakan dari sejumlah alasan, seperti: adanya masyarakat terhadap satu kegiatan sejumlah umat Kristen di satu ibadah bukan pada tempatnya, kawasan namun belum memenuhi mereka cenderung berpihak persyaratan mendirikan gereja sendiri kepada masyarakat yang menolak baik menurut aturan internal gereja ketimbang menfasilitasi pengurusan mereka maupun aturan pemerintah. izin sementara.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 49 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

Berbeda dengan umat Kristen puluhan tahun beraktifitas tanpa yang sering dipersoalkan, ibadah di ada masalah. Masalah muncul rumah-rumah juga diakukan umat ketika ada sekelompok orang muslim dalam bentuk pengajian yang mengetahui bahwa rumah dan majelis taklim baik mingguan ibadah tersebut tidak memiliki maupun harian. Bahkan kegiatan ini izin, sehingga mereka melihat ada lebih vulgar karena menggunakan peluang mempermasalahkannya. pengeras suara. Bedanya, kegiatan Dan biasanya kelompok yang ini tidak pernah dipermasalahkan mempermasalahkan keberadaan oleh umat lain. rumah ibadah tersebut berasal Hal lain yang perlu mendapat dari luar wilayah namun mengajak perhatian adalah soal gedung masyarakat sekitar rumah ibadah rumah ibadah yang telah mempersoalkan kasus tersebut. dipergunakan secara permanent Kasus-kasus ini banyak terjadi paska tapi belum memiliki IMB rumah reformasi 1998 dimana kebebasan ibadah. Harus diakui selama ini menyampaikan pendapat semakin banyak rumah ibadah yang tidak terbuka. Kasus penutupan 17 rumah memiliki ijin karena berbagai alasan. ibadah di Aceh Singkil pada tahun Alasan yang paling sering muncul 2012 lalu menjadi contoh paling adalah karena sulitnya mendapat nyata bagaimana rumah-rumah ijin itu. Ada tempat ibadah yang ibadah yang telah berdiri belasan sudah bertahun-tahun digunakan hingga puluhan tahun ditutup oleh meski tanpa ijin rumah ibadah. Pemerintah Daerah karena adanya Nah, ketentuan ini digunakan untuk desakan dari sebagian masyarakat mengatasi hal ini. Pasal 28 ayat yang tidak toleran terhadap rumah- (3) PBM disebutkan: “dalam hal rumah ibadah tersebut. bangunan gedung rumah ibadat yang Problem berikutnya terkait telah digunakan secara permanent dengan kewajiban Pemerintah dan/atau memiliki nilai sejarah yang Daerah untuk melakukan belum memiliki IMB untuk rumah penyesuaian paraturan di daerah ibadat sebelum berlakunya Peraturan dengan PBM paling lambat 2 tahun Bersama ini, bupati/walikota sejak PBM disahkan. Artinya sejak membantu menfasilitasi penerbitan tanggal 21 Maret 2006 hingga 20 IMB untuk rumah ibadat dimaksud”. Maret 2008, Pemerintah Daerah Rumah-rumah ibadah yang telah wajib melakukan penyesuaian berdiri lama namun tidak memiliki peraturan perundang-undangan izin banyak tersebar di berbagai di daerahnya. Namun dalam tempat di tanah air. Rumah ibadah kenyataannya daerah-daerah tidak seperti ini bahkan ada yang sudah mampu menyelesaikan kewajiban

50 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

tersebut sesuai batas waktu. Meski jaminan-jaminan kebebasan yang demikian, PBM sama sekali tidak ada dalam konstitusi RI. Selain menjelaskan tentang konsekuensi mengandung materi muatan yang hukum dari pengabaian kewajiban diskriminatif, PBM justru mereduksi tersebut. Alhasil, selain tidak norma yang ada dalam konstitusi. melaksanakan kewajiban, banyak Sebagai sebuah produk hukum kepala daerah justru membuat PBM tidak dibenarkan bertentangan aturan daerah yang bertentagan dengan konstitusi, karena konstitusi dengan PBM tersebut. adalah landasan pembentukan Menurut hasil penelitian yang peraturan perundang-undangan.54 dilakukan PP Otoda, ada delapan sumber masalah yang tidak bisa Analisis Efektifitas PBM diselesaikan oleh PBM, Yakni: Dengan melihat fakta di atas, 1. Adanya penerjemahan yang ber- pertanyaannya, apakah sejak diber- beda-beda terhadap PBM ini. lakukannya, PBM ini sudah efektif 2. Adanya dominasi aktor dan mengatasi kebutuhan hukum lembaga dalam mmenentukan izin pendirian rumah ibadah? Apakah pendirian rumah ibadah. PBM ini juga efektif dalam mencegah dan mengatasi konflik pendirian 3. Adanya dominasi mayoritas terha- rumah ibadah di masyarakat? Dalam dap minoritas. sudut pandang hak konstitusi, 4. Adanya penolakan masyarakat apakah PBM ini mampu mendorong terhadap izin tertentu pendirian semua pemeluk agama dapat saling rumah ibadah, menghormati hak dan kebebasan 5. Adanya alur perizinan yang tidak beragama dan berkeyakinan seragam, masing-masing? 6. Adanya ketidakcocokan dan Sebagaimana telah dijelaskan ketidakharmonisan internal dalam sebelumnya, PBM ini memang diatur jemaah keagamaan, prosedur pendirian rumah ibadah 7. Konstruksi pemikiran pembuatan yakni pada Bab IV pasal 13-17. Dalam perundang-undangan belum prosedur tersebut, terlihat bahwa nyaman bagi keenam agama persyaratan pendirian rumah ibadah 8. Peran FKUB yang belum optimal.53 di Indonesia cukup berat karena harus melalui persyaratan berlapis Secara lebih kritis lagi, Setara dan juga birokrasi yang panjang. Institute memandang PBM ini cacat Dalam banyak kasus, hambatan konstitusional karena bertentangan pendirian rumah ibadah pasca 53 Ngesti D. Prasetyo, dkk. Rumah Tuhan Yang 54 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos Ilegal Catatan Kritis Perpsktif HAM dan (Ed.), Mengatur Kehidupan Beragama;..., 103. Konstitusi, (Malang: PP Otoda dan Yayasan TIFA, 2013), 168-180.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 51 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

PBM ini terletak pada: Pertama, yang tidak pada tempatnya seperti persyaratan dukungan 60 orang di trotoar, gedung sekolah, aula setempat yang harus disahkan oleh pertemuan, hotel-hotel dan lain- kepala desa atau lurah. Persyaratan lain. ini tidak mudah karena harus Problem kedua, panjangnya dari pihak yang bukan pengguna birokrasi yang harus ditempuh pihak rumah ibadah. Syarat persetujuan pengguna rumah ibadah hanya ini sering dipergunakan banyak untuk memperoleh IMB. Selain pihak untuk menolak berdirinya harus memperoleh pengesahan dari satu rumah ibadah. Kalaupun birokrasi setempat seperti RT, RW dan diperoleh, muncul tudingan kepala desa, mereka juga diwajibkan bahwa tandatangan dukungan memperoleh surat rekomendasi masyarakat sekitar dipalsukan oleh dari Kantor Kementrian Agama pihak panitia pembangunan. Atau dan FKUB setempat. Setidaknya kalaupun tidak dipalsukan, panitia ada tahap birokrasi yang harus pembangunan dituding membayar dilalui sebelum IMB keluar. Dari orang-orang sekitar agar bersedia kelima tahap tersebut yang paling menandatangani surat dukungan. sulit diperoleh adalah rekomendasi Tudingan-tudingan seperti ini dapat dari FKUB. Mengapa demikian? memancing ketegangan antar Karena di dalam PBM, FKUB diberi berbagai pihak. kewenangan untuk menilai layak Tuduhan seperti ini sangat atau tidak rekomendasi dikeluarkan, sulit dibuktikan benar tidaknya pihak-pihak yang kontra baik di kecuali oleh orang-orang yang dalam maupun luar FKUB berusaha bersangkutan. Kesulitan pem- agar rekomendasi tidak diterbitkan buktian inilah yang seringkali dengan berbagai alasan. dijadikan alasan pihak pemerintah Kami melihat, hambatan daerah (Pemda) menunda utama pendirian rumah ibadah menerbitkan atau bahkan mencabut sebagaimana diatur PBM tidak IMB rumah ibadah. Akibatnya. terletak pada rumitnya persyaratan Pihak pengguna harus menunggu administratif, melainkan pada proses pembuktian berlangsung, beratnya persyaratan sosial. Apalagi atau mereka harus menempuh jika persyaratan sosial ini diintervensi jalur hukum guna membuktikan sah kepentingan-kepentingan politik, tidaknya kebijakan Pemda tersebut. maka pendirian rumah ibadah Proses inilah yang menjadikan akan semakin berat. Laporan pendirian rumah ibadah menjadi penelitian Balitbang Kementrian berlarut-larut serta mengakibatkan Agama RI di Denpasar misalnya penggunanya beribadah di tempat menyebutkan, minat masyarakat

52 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

membangun rumah ibadah pasca Contoh lain, tidak adanya PBM cenderung berkurang drastis, tafsir yang tegas terkait kalimat bahkan tidak ada, karena beratnya “menfasilitasi tersedianya lokasi persyaratan yang harus dipenuhi.55 pembangunan rumah ibadah” Dalam banyak kasus, meskipun hak pada Pasal 14 ayat 2a. Apakah mendirikan rumah ibadah adalah yang dimaksud dalam kalimat murni hak konstitusi, masalah ini adalah menyediakan lokasi relasi negara dengan warga negara, sementara atau menfasilitasi namun dalam kenyataannya sering seluruh proses perizinan di lokasi terseret menjadi relasi mayoritas yang baru hingga siap digunakan? minoritas. Misalnya di dalam FKUB Pertanyaan berikutnya, bagaimana diterapkan mekanisme voting jika di lokasi yang baru terjadi untuk memutuskan menerbitkan penolakan? Ketidakjelasan ini telah rekomendasi atau tidak, dimana mengakibatkan ketidakpastian kelompok-kelompok mayoritas bagi pengguna rumah ibadah yang akan selalu menang. dipermasalahkan. Ketidakjelasan ini Problem ketiga, rumusan-rumus- juga telah mengakibatkan masing- an pasal PBM yang multitafsir masing Pemda memiliki cara sehingga melahirkan penerapan pandang dan tafsir sendiri. yang berbeda-beda di setiap Indikator lain yang dapat diguna- daerah. Contohnya, di Aceh lahir kan untuk mengukur efektifitas Peraturan Gubernur 25/2007 tentang PBM hingga saat ini adalah semakin Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. tingginya konflik terkait rumah Peraturan ini berisi syarat-syarat ibadah pasca 2006. Dalam catatan yang lebih berat dibanding SKB 2 The Wahid Institute selama lima Menteri tentang hal yang sama. tahun terakhir (2008-2012) telah Jika SKB mensyaratkan 60 anggota terjadi 163 peristiwa terkait konflik jemaat gereja untuk mengajukan rumah ibadah dengan perincian permohonan IMB, maka Pergub sebagai berikut: 21 peristiwa pada tersebut mensyaratkan 150 jemaah. 2008, 26 pada 2009, 42 pada 2010, Di Provinsi Bali, kategori rumah 23 pada 2011 dan 49 peristiwa ibadah yang diatur dalam PBM pada 2012. Peristiwa-peristiwa ini diperluas menjadi semua jenis muncul dalam bentuk pelarangan rumah ibadah termasuk rumah mendirikan rumah ibadah baik do’a, mushalla dan lain-lain.56 oleh pemerintah maupun anggota

55 M. Yusuf Asry (Ed.), Pendirian Rumah Ibadah masyarakat, perusakan, penyegelan, di Indonesia, (Jakarta: Kementrian Agama penolakan menerbitkan IMB, RI-Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011), h. 96. pencabutan IMB dan penolakan 56 M. Yusuf Asry (Ed.), Pendirian Rumah penggunaan rumah ibadah yang Ibadah..., h. 37.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 53 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

sudah permanen. Dari jumlah FKUB sebagaimana diamanatkan tersebut, konflik paling banyak Peraturan Bersama Menteri (PBM) terjadi di Jawa Barat (sekitar 80 %) No. 8 dan 9 tahun 2006 adalah: terkait pendirian rumah ibadah umat Kristiani dan Jemaat Ahmadiyah. a) melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat. Tingginya kasus atau peristiwa konflik terkait rumah ibadah ini b) menampung aspirasi ormas menunjukkan bahwa penerapan keagamaan dan aspirasi masya- PBM di lapangan masih belum efektif rakat, mengatasi konflik rumah ibadah. c) menyalurkan aspirasi ormas Bahkan sebaliknya dengan lahirnya keagamaan dan masyarakat PBM, konflik rumah ibadah semakin dalam bentuk rekomendasi seba- tinggi bila dibanding sebelum gai bahan kebijakan gubernur keluarnya PBM. Dalam laporan dan Balitbang Kementrian Agama terkait pendirian rumah ibadah pasca d) melakukan sosialisasi peraturan PBM disebutkan, penyebabnya perundang-undangan dan ke- adalah meningkatnya pengetahuan bijakan dibidang keagamaan masyarakat tentang tatacara dan yang berkaitan dengan kerukun- aturan pendirian rumah ibadah an umat beragama dan pem- yang ada dalam PBM.57 berdayaan masyarakat, Disamping itu, pengaturan e) memberikan rekomendasi tertulis mengenai fungsi dan peran FKUB atas permohonan pendirian tidak secara spesifik diarahkan ke rumah ibadah.58 penyelesaian konflik melainkan dititikberatkan pada peran Tugas-tugas tersebut pada memelihara kerukunan melalui dasarnya bersifat umum dan dialog dan menampung aspirasi. memberi keleluasaan kepada para Perbedaan mendasarnya, peran anggota FKUB untuk berkreasi penyelesaian konflik adalah peran menurut kebutuhan masing-masing mediasi antara pihak-pihak yang daerah. Namun karena bersifat berkonflik, sementara peran yang umum, seringkali hanya berbentuk ada saat ini hanya untuk mencegah seremoni tanpa tindak lanjut yang konflik. Padahal untuk daerah- berkesinambungan. daerah rawan konflik SARA seperti Dalam pandangan kami, peran Poso, Ambon dan lain-lain, mandat yang paling menonjol dari FKUB itu sangatlah dibutuhkan. Tugas 58 Pasal 9 ayat 2 Peraturan Bersama Menteri 57 M. Yusuf Asry (Ed.), Pendirian Rumah Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 Ibadah..., h. 38. dan 9 tahun 2006.

54 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

saat ini adalah peran-peran yang Pemerintah hanya memfasilitasi berkaitan dengan pendirian dalam proses pembentukan FKUB, rumah ibadah terutama dalam namun tidak ada upaya peningkatan hal memberikan rekomendasi kapasitas para anggotanya. Dalam pendirian rumah ibadah. Sebagian kasus ini, pemerintah terkesan kalangan mengkritik tugas FKUB kurang memberi perhatian setelah memberi rekomendasi karena FKUB terbentuk. dianggap sebagai birokrasi baru Kedua, FKUB menghadapi dalam beragama.59 persoalan keterbatasan anggaran Fakta menunjukkan bahwa dalam menjalankan peran dan konflik agama tidak terkait fungsinya secara maksimal. dengan persoalan rumah ibadah Meskipun di dalam PBM ditegaskan semata, namun lebih luas dari itu, bahwa pemerintah daerah wajib seperti konflik terkait penyiaran menfasilitasi FKUB, namun tidak dan dakwah keagamaan, konflik ada ketegasan apa yang dimaksud terkait aliran-aliran yang dinilai dengan “menfasilitasi” tersebut. sesat di masyarakat, konflik terkait Bahkan PBM juga menegaskan politisasi agama, konflik bernuansa bahwa belanja FKUB dibebankan SARA hingga konflik antar aliran kepada anggaran belanja Negara. di dalam suatu agama yang kerap Memang ada beberapa FKUB yang kali melahirkan kekerasan dan memperoleh dukungan anggaran anarkhi. Berbagai konflik tersebut yang cukup besar dari pemerintah kerapkali tidak terselesaikan hingga daerah, namun hal itu sangat ke akarnya sehingga menjadi konflik tergantung pada kebijaksanaan laten yang bisa meletus setiap kepala daerah bersangkutan. saat. Dan meskipun FKUB memiliki Ketiga, FKUB seringkali menjadi peluang untuk turut menangani perpanjangan tangan pemerintah vis berbagai konflik tersebut, di dalam a vis masyarakat. Sebagian anggota prakteknya peran FKUB sangat kecil FKUB bingung memposisikan diri dan kerap terpinggirkan. mereka apakah merupakan bagian Minimnya peran FKUB diluar dari pemerintah atau masyarakat. persoalan rumah ibadah di Indonesia Meskipun di dalam PBM di Karena beberapa sebab: Pertama, tegaskan bahwa FKUB dibentuk belum adanya upaya penguatan oleh masyarakat dan difasilitasi kapasitas anggota FKUB terutama oleh pemerintah, namun dalam oleh pemerintah kemampuan prakteknya sebagian FKUB terkesan menangani konflik-konflik agama. tersandera oleh kepentingan 59 http://www.perisai.net/berita/pgi_ pemerintah. Dalam banyak kasus nilai_fungsi_fkub_di_indonesia_telah_ konflik rumah ibadah antara berubah#ixzz1pkA4dHEM

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 55 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

masyarakat dengan pemerintah diterima selama pengajuan itu tidak daerah, FKUB kerap berpihak kepada bertentangan dengan perundang- pemerintah. undangan. Namun lagi-lagi, antara Keempat, belum adanya perspektif norma tertulis yang sudah sangat baik yang merata di dalam FKUB mengenai tersebut tidak mampu dilaksanakan HAM, kebebasan beragama dan hak- secara konsisten di lapangan. Inilah hak minoritas terutama minoritas yang mengakibatkan pelaksanaan agama. Meskipun konstitusi telah PBM menjadi tidak efektif. menjamin bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi manusia Anomali Hukum dan Kewenangan dan setiap warga negara memiliki hak dan kebebasan yang sama Perlu digarisbawahi bahwa untuk beragama dan berkeyakinan, PBM ini mengandung sejumlah masih banyak anggota FKUB yang anomali baik dalam konteks hierarki belum sepenuhnya memahami dan hukum dan perundang-undangan, menerima jaminan tersebut. dalam konteks azas hukum Di dalam konsideran PBM sendiri materiil, maupun dalam dalam ditegaskan bahwa bahwa hak konteks pembagian kewenangan beragama adalah hak asasi manusia antara pusat dan daerah. Anomali yang tidak dapat dikurangi dalam pertama terkait hierarki peraturan keadaan apapun; bahwa setiap orang perudang-undangan sebagaimana bebas memilih agama dan beribadat diatur dalam Undang Undang No. menurut agamanya; bahwa negara 10 tahun 2004 jo. UU No. 12 tahun menjamin kemerdekaan tiap- 2011, tidak dikenal istilah Peraturan tiap penduduk untuk memeluk Bersama Menteri sebagai sumber agamanya masing-masing dan untuk hukum formil. Anomali kedua beribadat menurut agamanya dan terkait azas hukum materil yang kepercayaannya itu. Selanjutnya PBM menyatakan lex specialist derogate lex juga menegaskan bahwa Pemerintah generalis (aturan yang lebih khusus berkewajiban melindungi setiap mengesampingkan aturan yang usaha penduduk melaksanakan lebih umum), apabila PBM dianggap ajaran agama dan ibadat pemeluk- sebagai lex specialis dari peraturan pemeluknya, sepanjang tidak yang leboh umum dalam hal ini bertentangan dengan peraturan Undang Undang, tidak ada satupu perundangundangan. Prinsip- Undang Undang yang memberi prinsip di atas seharusnya dapat mandat untuk mengatur pendirian tercermin dalam implementasi rumah ibadah dalam bentuk PBM. PBM di lapangan. Dimana setiap Idealnya, pengaturan terkait pengajuan izin rumah ibadah harus pendirian rumah ibadah harus melalui Undang Undang sebagai-

56 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

mana telah diatur dalam konstitusi, pemeliharaan kerukunan beragama bahwa pembatasan hak kebebasan sebagai bagian dari pembinaan beragama dan berkeyakinan hanya kerukunan nasional yang menjadi dapat dilakukan dengan Undang tanggungjawab semua.60 Undang. Argumen Menteri Agama di Anomali ketiga berkaitan dengan atas tidak memberi jalan keluar azas pembagian kewenangan hukum yang dapat diuji, karena Pusat dan Daerah, keberadaan sebagaimana diakui Menteri Agama, PBM telah menyalahi ketentuan kedudukan hukum PBM yang lemah tentang pembagian kewenangan ini berimplikasi pada kedudukan masalah agama. Undang Undang konstitusional PBM yang lemah. No. 32 tahun 2004 jo. UU No. 8 Fakta ini juga menunjukkan negara tahun 2005 tentang Pemerintah belum komit melaksanakan amanat Daerah telah menetapkan bahwa konstitusi secara konsekuen, pengaturan masalah agama menjad sekaligus menunjukkan lemahnya kewenangan Pemerintah Pusat dan komitmen negara untuk menjamin tidak didesentralisasi. hak kebebasan beragama dan Menyikapi berbagai anomali berkeyakinan. tersebut, Menteri Agama Maftuh Basyuni berargumen meskipun secara juridis keberadaan PBM ini Kesimpulan lemah, namun tetap bisa berlaku karena tidak dilarang dalam sistem Lahirnya PBM diharapkan peraturan perundang-undangan mampu menjembatani berbagai di Indonesia. Begitupula dalam permasalahan kerukunan umat kaitannya dengan ketentuan beragama termasuk problem kewenangan agama tidak pendirian rumah ibadah di Indonesia. didesentralisasi, bagi Maftuh Dalam pandangan sebagian bahwa yang dimaksud dengan kalangan, PBM ini lebih baik dari kewenangan Pemerintah Pusat di aturan sebelumnya karena seakan bidang agama adalah pada aspek menmberi jaminan yang lebih kuat kebijakannya. Sedangkan pada bagi kebebasan mendirikan rumah aspek pelaksanaan pembangunan ibadah. Namun dalam implementasi dan kehidupan beragama itu di lapangan selama ini, PBM sendiri tentu saja dapat dilakukan justru sering menjadi dasar untuk oleh seluruh warga masyarakat mempersulit pendirian rumah ibadah. termasuk Pemerintah Daerah. Pendek kata, salah satu keberhasilan Lebih jauh Maftuh memandang 60 Badan Litbang dan Diklat Kementrian PBM merupakan implementasi dari Agama RI, Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya, (Jakarta, 2012), h. 7-8.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 57 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

PBM adalah menghambat derasnya kualitas hubungan antar agama di arus pendirian rumah ibadah Indonesia ke depan semakin baik. sekaligus menertibkan rumah ibadah 3. Komnas HAM mengingatkan yang selama ini dianggap ilegal. kembali Pemerintah Pusat untuk PBM belum mampu menjadi konsisten melaksanakan amanat landasan normatif dalam mendorong Undang-Undang Pemerintah Dae- sikap toleran dan saling menerima rah yang menegaskan tentang perbedaan di masyarakat. Keberadaan kewenangan agama ada pada FKUB sebagai wadah yang lahir dari Pemerintah Pusat. PBM tidak banyak berperan dalam 4. Diperlukan Tim Nasional yang mendidik masyarakat menerima bertugas menyusun strategi perbedaan, sebaliknya FKUB justru nasional penyelesaian persoalan sering terjebak dalam birokratisasi pendirian rumah ibadah. Tim agama yang justru mereduksi fungsi Nasional tersebut dapat melibat- tokoh-tokoh agama yang menjadi kan lintas kementerian dan anggotanya. institusi termasuk melibatkan Pemerintah Daerah guna Saran menghasilkan rumusan strategi Dari kesimpulan tersebut dapat yang menyeluruh dan integral. diajukan beberapa rekomendasi: 5. Diperlukan aturan yang lebih kuat 1. Diperlukan evaluasi menyeluruh secara juridis guna mengatur terhadap penerapan PBM masalah agama termasuk dalam di berbagai daerah. Hal ini rangka menjamin perlundungan diperlukan untuk mengetahui terhadap kebebasan beragama peta permasalahan yang muncul dan berkeyakinan. Aturan terse- sekaligus menjadi masukan bagi but dapat berupa Undang pemerintah dan masyarakat Undang yang mengatur berbagai untuk melakukan kajian ulang aspek kebebasan beragama dan terhadap PBM yang ada saat ini. berkeyakinan termasuk salah 2. Pemerintah dapat mengundang satunya terkait pendirian rumah semua majelis agama untuk ibadah. bersama-sama mengevaluasi PBM dalam berbagai sudut pandang. Pemerintah tidak perlu menutup berbagai kemungkinan, termasuk merevisi dan memperbaiki rumusan yang ada. Hal ini diperlukan agar

58 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

Riwayat Hidup

Name : Muhammad Subhi

Sexs : Male Age : 29 years

Place/DOB : Lombok, April 30th 1978 Address : Residence: Kp. Panggulan RT 001 RW 004 No. 26th, Pengasinan, Sawangan Depok, West Java. Office : Jl. Taman No. 8 Pegangsaan, Menteng Jakarta Pusat 10320 E – Mail : [email protected] Website : www.wahidinstitute.org Blog : http//anakrinjani.wordpress.com Nationality : Indonesia

Muhammad Subhi is a Program Officer of The Wahid Institute. He has been an activist for more than four years promoting Islam, pluralism, democracy and civil society in Indonesia. He has been observer of Islam and democracy in Indonesia and has published extensively on the subjet in various media.

Education :

1. Formal Education • Graduated Islamic State University (UIN) Jakarta : 2002 • Graduated MA-PK Mataram : 1996

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 59 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

• Graduated MTs Daar El Siddiqien : 1993 • Graduated Elementary School : 1990

2. Non-formal Education • English Course at Islamic State University : 2001 • Pendidikan & Pelatihan Kader Pembina Rohani Depag RI 1997 • Pendidikan & Pelatihan Jurnalistik UIN Jakarta :2000 • Training Kesetaraan Gender 1997 • Pelatihan advokasi kebebasan beragama YLBHI Agustus 2009

J o b E x p e r i e n c e :

• Editor Staff of www.gusdur.net 2004 • Program Officer The Wahid Institute 2008 • Program Officer of Institute for the Study of Religion and Democracy (IRD) Jakarta 2003

P u b l i c a t i o n :

Books: • Kala Fatwa Jadi Penjara (Author and editor -- 2006) • Politisasi Agama dan Konflik Komunal (Editor – The Wahid Institute) • Gus Dur Memilih Kebenaran Daripada Kekuasaan (Editor – The Wahid Institute) • Ragam Ekspresi (Author -- 2008) • Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (Author -- 2009) • Agama dan Pergeseran Representasi: Konflk dan Rekonsiliasi di Indonesia (Author -- 2009)

Articles, Papers and Researchs: • Ketika Pendapat Dimaknai Fatwa (Duta Masyarakat, 11 Juni 2004) • “Ketika Intelektual PTAI Makin Membumi” (Article -- Jurnal PERTA Indonesia Deparment of Religion, 2006). • Roots of Religious Discrimination in Indonesia (Research – www. wahidinstitute.org 2007) • Jejak Agamawan Organik (Artikel – Majalah Gatra) • Menebar Damai Lewat Udara (Artikel – Majalah Tempo) • Pendidikan Alternatif yang Membebaskan (Artikel – Majalah Tempo) • Wajah Multikulturalisme Kampus Islam (Artikel – Majalah PERTA Departemen Agama RI)

60 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

• Drs. K.H. Muhammad Tholchah Hasan: Meretas Keberpihakan Pada Pendidikan Swasta (Artikel – Majalah PERTA Departemen Agama RI) • Jika Gus Dur Mendapat Gelar Pahlawan (Suara Pembaruan 7 Januari 2010) • Soal Nasib Rumah Tuhan (Sinar Harapan, Sinar Harapan, Kamis 21 Januari 2010) • Ihwal Uji Materil UU Penodaan Agama (Suara Pembaruan, 23 Februari 2010) • Menimbang pencabutan SKB Ahmadiyah (Sinar Harapan 1 Maret 2011) • Beragama tanpa Visi Ketuhanan (Suara Pembaruan 2 Maret 2011) • Agama Para Pembajak (Majalah Majemuk edisi Maret 2011)

Langauges :

• English : Writing, speaking & reading • Arabic : Writing, speaking & reading

Other Actifities : • Participant in Training for Young Religious Preachers (Ministry of Religious Affairs 2001). • Participant in International Visitors Leadership Program (U.S. Department of State, 11 September – 3 October 2009) • Seminar on Religious Freedom in Indonesia (Presidency Advices Council -- 2008) • Participant in Religious Freedom Training (The Wahid Institute -- 2006) • Refleksi bersama NGO muslim progresif di Jakarta, Solo, Makassar, Mataram dan Padang (2005 – 2006) • Legislation and Pluralism Watch (2006 – 2007) • Monitoring religious issues monitoring (2007– 2008) • Anggota Desk KBB Komnas HAM RI (2013-2014)

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 61 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

62 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Problem Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia

Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas Muhammad Hafiz

Abstrak

Meningkatnya kasus-kasus kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia menjadikan diskursus tentang KBB ini menjadi perhatian banyak pihak, pemerintah, masyarakat sipil, akademisi dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Kebaruan wacana KBB sendiri menjadikan tema ini tidak cukup banyak dipahami, bahkan oleh para penggiat HAM dari pelbagai elemen pemerintah atau masyarakat. Kebutuhan untuk sumber daya informasi terhadap tema KBB ini menjadikan dua buku yang direview dalam tulisan ini menjadi sangat relevan dan penting, karena buku yang ditulis oleh Tore Lindholm, dkk., Fasilitasi Kebebasan Beragama: Seberapa Jauh? telah mampu menghasilkan sebuah kajian mendalam tentang KBB, dari pelbagai sudut pandang, sumber dan latar belakang penulis. Di sisi yang lain, buku kedua yang ditulis oleh Ahmad Sueady, dkk., Islam, HAM dan Konstitusi, merupakan sumber penting untuk lebih menerjemahkan tema-tema KBB yang telah dibahas dalam buku pertama dalam konteks Indonesia. Berdasarkan dua buku tersebut, artikel ini mencoba untuk melihat norma-norma ideal dalam KBB, sekilas tentang praktik yang ada secara komparatif dan bagaimana nilai-nilai itu berhadapan dengan lokalitas budaya atau tradisi.

Keyword: KBB, HAM, budaya, partikularitas, universalitas, ICCPR.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 63 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

eiring dengan meningkat- diskursus KBB tersebut, karena dalam nya kasus-kasus kebebas- Kovenan ini hak-hak KBB ditegaskan an beragama atau berke- secara eksplisit di dalam Pasal 18 dan yakinan (KBB) di Indonesia dijabarkan melalui Komentar Umum selamaS sepuluh tahun terakhir, Komite No. 22.61 Sebagai komponen diskursus tentang tema-tema hak yang telah muncul sejak masa- KBB menjadi perhatian kalangan masa awal perbedatan diskursus masyarakat sipil, akademisi, dan HAM di tatanan global. Jaminan KBB bahkan pemerintah. Produksi di dalam Pasal 18 ICCPR ini semakin laporan pemantauan tentang memperkuat tatanan normatifnya, KBB di Indonesia bermunculan, walaupun upaya rencana untuk dengan skema dan sudut pandang membentuk sebuah standard yang berbeda-beda, yang menekankan bersifat legally binding hanya terhenti pada catatan pemantauan tentang pada Deklarasi di Majelis Umum pemenuhan hak-hak tersebut dan PBB.62 Pasal 22 ICCPR dan Komentar tanggung jawab Negara sebagai Umumnya menjadi salah satu basis pemangku kewajiban. Setidaknya, pemikiran KBB yang diterjemahkan sejak tahun 2007 hingga saat dalam advokasi dan pengembangan ini, dua lembaga yang memang diskursus KBB di Indonesia, di samping menitikberatkan pada advoksi perkembangan Prosedur Khusus KBB di Indonesia, yaitu The Wahid PBB untuk KBB. Dalam proses yang Institute dan Setara Institute, secara sedang menjadi pijakan kerangka konsisten mengeluarkan laporan normatif KBB untuk memaknai tahunan situasi KBB di Indonesia, fenomena dan kasus pelanggaran yang juga diikuti sejumlah lembaga yang semakin meningkat tersebut, lain, baik laporan komprehensif ICCPR menjadi pilihan strategis seluruh Indonesia, laporan tematik yang dapat digunakan, setidaknya ataupun laporan-laporan yang secara normatif bagaimana HAM bersifat lokal. Laporan-laporan meletakkan permasalahan KBB di pemantauan ini juga menjelaskan Indonesia. tentang perkembangan kapasitas Transfer pengetahuan dari dan kemampuan masyarakat pelbagai Negara yang telah lebih sipil dalam memahami diskursus dahulu memiliki khazanah pemikiran

KBB yang dapat dikatakan baru di 61 Paul M. Tailor, Freedom of Religion: UN and Indonesia. European Human Rights Law and Practice, (Cambridge: Cambridge University Press, Ratifikasi Kovenan Internasional 2005), h. 9 Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada 62 Natan Lerner, “The Nature and Minimum tahun 2005 juga menjadi salah satu Standard of Freedom of Religion or Belief” dalam Bringham Young University Law modalitas penting pengembangan Review, (25 September 2000), h. 908.

64 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

tentang KBB juga memperkuat Artikel ini akan mengulas dua buku konsep-konsep KBB secara teoritis penting dalam diskursus KBB, dengan di Indonesia, baik dalam bentuk tema kajian dan sudut pandang yang penerjemahan sumber-sumber relatif berbeda. Kajian komprehensif rujukan tentang KBB ataupun terkait dengan KBB yang diulas dalam reproduksi pemikiran-pemikiran dua buku ini, baik dalam konteks luar yang dilakukan oleh penulis- global atau Indonesia, mengarahkan penulis dalam negeri dengan pembacanya untuk lebih memahami kontekstualisasi lokalitasnya seluk beluk KBB yang hingga saat di Indonesia. Hal demikian ini masih belum banyak dilirik oleh memungkinkan para penggiat KBB para sarjana, terutama di Asia dan dan dunia akademis menemukan secara khusus di Indonesia. Padahal, rujukan-rujukan intelektual untuk agama dan keyakinan merupakan lebih mengembangkan kembali bagian integral dari kehidupan umat diskusi dan penelitian tentang KBB, manusia yang tidak mengenal ruang termasuk pula landasan konseptual dan waktu. Untuk itu pula, artikel untuk semakin meningkatkan ini mencoba untuk mengantarkan kualitas laporan pemantauan kita pada suatu pemahaman yang perlindungan KBB di Indonesia. lebih komprehensif tentang dua buku tersebut untuk kemudian lebih Semakin kompleksnya realitas mengembangkannya dalam wacana kehidupan masyarakat Indonesia advokasi atau akademis. dewasa ini memunculkan permasalahan-permasalahan baru *** yang menuntut penyelesaian, Kebebasan Beragama atau termasuk dalam hal KBB. Minimnya Berkeyakinan: Seberapa Jauh? rujukan yang dapat dilihat tentu merupakan buku kumpulan tulisan merupakan kendala, bahkan dalam yang disunting dan diedit oleh tiga banyak kasus pemangku kewajiban orang pakar di bidang KBB, yaitu tidak cukup ahli dalam mengelola Tore Lindholm, W. Cole Durham dan kasus-kasus yang dihadapi. Sebut Bahia G. Tahzib Le, sebagai edisi saja misalnya kasus pelarangan terjemahan yang diringkas dari edisi jilbab di sekolah Negeri yang baru- aslinya yang berbahasa Inggris.63 baru ini mulai terjadi, penerapan Bersama dengan Penerbit Kanisius, peraturan-peraturan daerah (qanun) edisi bahasa Indonesia diterbitkan syariat Islam di Aceh, kekerasan dan pula oleh BYU International Center diskriminasi berbasis agama atau for Law and Religion Studies, Provo, keyakinan, hingga kasus penulisan agama di KTP. 63 Separoh isi buku di bagian akhir buku versi Inggris tidak diterjemahkan dan diterbitkan dalam versi Indonesia.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 65 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

Amerika Serikat dan The Norwegian dokumen. Secara garis besar, Centre for Human Rights, University bab-bab di dalam buku ini dapat of Oslo, Norwegia. diklasifikasi ke dalam beberapa kajian Judul dalam versi Inggris buku ini pokok, yaitu landasan konseptual (Facilitating Freedom of Religion or Belief: tentang KBB, yang menjelaskan A Deskbook) menunjukkan bahwa tentang norma-norma KBB di tingkat buku ini disusun sebagai pedoman internasional dan regional (terutama bagi semua pihak dalam upaya untuk Eropa), institusi dan mekanisme memfasilitasi KBB. Berangkat dari internasional perlindungan dan sebuah Konferensi Oslo pada tahun pemajuan KBB, ulasan tentang 1998, buku ini merupakan salah satu kebebasan beragama dan Negara langkah “perjuangan” pemajuan yang lebih menitikberatkan pada dan perlindungan KBB yang berkelanjutan. Secara komprehensif, relasi agama dan Negara dalam buku ini menghadirkan variasi menjamin KBB, perhatian khusus perspektif tentang KBB dari pelbagai bagi kelompok rentan, seperti latar belakang penulis yang berbeda- perempuan, isu-isu kunci dalam beda, sehingga secara konseptual KBB, seperti penyebaran agama dan teoritis menjadi sangat dan humanisme, serta pembahasan komprehensif untuk mengetahui khusus tentang Indonesia. lebih lanjut tentang seluk-beluk yang Bahan pokok pertama buku ini ada di sekitar KBB. Diungkap dalam terdiri dari Bab 1 dan Bab 2 – yang pengantar buku, bahwa “Buku ini masing-masing ditulis oleh Malcom menghimpun secara bersama banyak D. Evans, Profesor Hukum Publik suara, datang dari latar belakang Internasional di Universitas Bristol agama, Negara dan budaya yang yang meneliti khusus tentang berbeda, masing-masing berbicara perlindungan internasional KBB, untuk mereka sendiri dan terkadang dan Tore Lindholm, Profesor pada tidak setuju dengan yang lainnya di Norwegian Centre for Human Rights, 64 dalam buku ini”, yang menegaskan Fakultas Hukum, Universitas Oslo – otentisitas dari masing-masing karya, merupakan pembahasan awal yang namun sekaligus pula menjadikan mengkonseptualisasikan secara rinci buku ini semakin kaya dengan tentang asal muasal KBB. Kedua pandangan-pandangan tentang KBB tulisan ini menjadi basis utama dari itu sendiri. diskursus KBB, baik dalam konteks Buku setebal 829 halaman ini terdiri umum ataupun lebih spefisik dari 13 tulisan dari para kontributor untuk kepentingan bagian-bagian yang berbeda-beda dan 6 lampiran selanjutnya di dalam buku.

64 Tore Lindholm, Kebebasan Beragama atau Pokok kedua adalah bab 3 dan Berkeyakinan: Seberapa Jauh?, h. 39. bab 4 merupakan kajian yang

66 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

memfokuskan pada norma dan Pembatasan juga dimungkinkan institusi internasional KBB, yang untuk mencegah pengistimewaan diarahkan untuk memberikan agama mayoritas, diskriminasi pemahaman kepada pembaca agama minoritas, atau tindakan tentang jalinan norma, institusi, yang mengarah pada penyebaran dan prosedur yang ada untuk kebencian dan kekerasan agama.66 melindungi KBB. Natan Lerner, Di sisi lain, pembatasan tersebut Profesor Hukum Internasional pada juga harus diperlakukan tidak Universitas Tel Aviv, memfokuskan melampaui batas yang dibenarkan tulisannya pada bab 3 tentang sifat secara hukum dan lembaga dan standard minimum KBB, dengan pemantauan internasional, melalui menguraikan urgensi KBB dan uji kelayakan, dan Negara harus secara sistematis tentang sejarah meyakinkan bahwa pembatasan KBB di komunitas internasional sejak ini tidak merupakan manifestasi Perang Dunia I hingga terbentuknya dari kepentingan kelompok agama standard norma-norma pokok tertentu, karena bila demikian, cepat KBB, seperti Kovenan Hak Sipil- atau lambat, pembatasan tersebut Politik (ICCPR), Deklarasi 1981, serta akan mengarah pada tindakan sejumlah norma-norma regional dan diskriminatif dan pelanggaran HAM kesepakatan khusus (h. 190). Kajian yang serius dan sistematis. singkat ini disempurnakan oleh Untuk itu pula keduanya Manfred Nowak dan Tanja Vospernik mengajukan pertanyaan yang pada bab 4, dengan memfokuskan sangat mendasar terkait dengan kajiannya pada pembatasan- pembatasan ini, yaitu: apakah pembatasan norma KBB yang penggunaan helm atau pelindung diperbolehkan dalam perspektif kepala bagi seorang penganut Sikh hukum HAM internasional (h. 201). yang bekerja di perusahaan kereta Dalam pembahasannya ini, Nowak api menjadi wajib untuk menjaga dan Vospernik menyimpulkan bahwa keselamatan atau kesehatan? Hal pembatasan kebebasan beragama serupa juga dalam kasus pelarangan dalam hal tertentu dimungkinkan perempuan menggunakan jilbab untuk dilakukan, asalkan demi di sekolah-sekolah Negeri. Inti dari kepentingan umum yang sah simpulan Nowak dan Vospernik ini (seperti keselamatan, tatanan/ pada dasarnya bahwa pembatasan ketertiban, kesehatan dan moral dapat dilakukan oleh Negara, namun publik), perlindungan kebebasan pembatasan itu harus betul-betul beragama atau kebebasan lain yang Pasal 4 Kovenan Sipol dan dalam Ciracusa mendasar dari intervensi orang lain.65 Principles. 66 Sebagaimana diatur di dalam Pasal 20 65 Secara normatif pembatasan dalam ICCPR. konteks HAM ini telah ditegaskan di dalam

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 67 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

terukur dan proporsional, sehingga yurisprudensi ke dalam dua bagian tidak membuka celah bagi tindakan besar, yaitu (a) yurisprudensi diskriminatif atau kewenang- berkenaan dengan sikap Negara dan wenangan terhadap kelompok hukum sekular terhadap komunitas minoritas yang seringkali menjadi keagamaan, dan (b) yurisprudensi sasaran pembatasan (h. 242). dalam hal perlindungan KBB individu Berkaitan dengan pokok bahasa dan minoritas agama. kedua buku ini, bab 3 yang ditulis Salah satu kasus yang menarik oleh Javier Martinez-Torron dan dalam kajian pertama tentang Rafael Navarro-Valls menguraikan yurisprudensi ini adalah tentang tentang mekanisme perlindungan “marjin apresiasi” tertentu dalam KBB di dalam Sistem Dewan Eropa. relasi agama dan Negara secara Kita ketahui bahwa tema-tema historis, dengan pelbagai bentuk kebebasan mendasar, termasuk rezim Negara. Artinya, margin kebebasan beragama, merupakan apresiasi ini memungkinkan Negara isu yang telah lama menjadi perhatian membuka ruang dan kesempatan komunitas dan Negara Eropa. Untuk secara fleksibel untuk bekerjasama itu pula, Konvensi HAM Eropa yang dengan kelompok atau institusi diadopsi pada 4 November 1950 agama tertentu, asalkan kebijakan menegaskan KBB di dalam salah satu ini tidak kemudian menimbulkan pasalnya, dengan dua penekanan, tindakan diskriminatif yang yaitu Pasal 9 menjamin kebebasan signifikan atau ancaman yang tidak berfikir, berkeyakinan dan beragama dibenarkan terhadap hak-hak urusan dan Pasal 14 yang menegaskan keagamaan atau ideologi orang lain tentang prinsip kesamaan dan yang seharusnya dinikmati, terutama larangan diskriminasi berdasarkan kelompok minoritas. Untuk itu pula, agama (h. 248). Komisi HAM Eropa – yang saat ini Kajian Torron dan Valls telah melebur menjadi Pengadilan sebetulnya lebih banyak pada HAM Eropa – menegaskan bahwa putusan-putusan pengadilan Dewan sistem Negara agama (gereja) tidak Eropa tentang kasus-kasus KBB, secara otomatis melanggar hak-hak namun kasus-kasus ini seakan KBB selama keanggotaan terhadap memberikan suatu panduan bagi agama (gereja) resmi tersebut tidak Negara tentang bagaimana mereka bersifat wajib atau mengandung harus bersikap terhadap suatu pemaksaan (h. 257). kondisi yang terkadang memiliki Hanya saja, Torron dan Valls tafsir berbeda dan memunculkan menegaskan bahwa yang menjadi keraguan dalam pemberlakuannya. persoalan utama dari sudut pandang Keduanya membagi pembahasan hukum Negara adalah intoleransi

68 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

yang mewujud dalam dua bentuk. (milik Negara), namun secara Pertama, intoleransi berbasis bersamaan membatasi hak-hak berorientasi agama, di mana individu, terutama pegawai negeri, struktur legal dan konstitusional untuk memanifestasikan ajaran dirancang agar sesuai dengan pe- agama dalam penggunaan simbol- rintah sebuah agama, sementara simbol keagamaan (h. 285). Menutup agama atau keyakinan lainnya tulisannya, keduanya menggugah ditekan, sebagaimana banyak pembaca dengan sebuah penyataan, terjadi di sejumlah Negara Islam. terutama dalam menyikapi antara Kedua, intoleransi berorientasi hukum agama Islam yang hadir sekularisme, yaitu Negara secara bersamaan dengan meningkatnya eksplisit memutuskan menjadi arus migrasi Muslim di Eropa sekular atau tidak agamis, yang dewasa ini dan tradisi kebebasan dalam banyak kasus terkadang dan demokrasi yang telah lama berdampak pada pelanggaran hak- mengakar di masyarakat Eropa; hak KBB, sebagaimana yang terjadi “Bagaimanapun juga, jika kita di Prancis dan Turki. Kedua macam sebagai bangsa Eropa benar-benar bentuk ini merupakan manifestasi ingin dipandang oleh Negara-negara dari fundamentalisme yang sama- lain sebagai contoh dalam hal sama mengancam KBB, baik penghormatan terhadap HAM, kita fundamentalisme agama ataupun harus berupaya mengakomodasi fundamentalisme sekular. berbagai agama dan budaya Hal menarik lain yang juga dikemukakan oleh keduanya adalah yang terus-menerus datang dan tentang inkonsistensi pengadilan berkembang dalam masyarakat Eropa sendiri dalam menyikapi kasus- Eropa, yang menjadi semakin kasus KBB yang justru bertentangan multicultural. Sudah barang tentu dengan prinsip KBB. Dalam kasus hal ini harus dilakukan dengan yurisprudensi Strasbourg yang penghormatan terhadap berbagai diuraikan pada bagian pembahasan gagasan non Barat, tapi pada saat kebebasan individu dan minoritas, yang sama mempertahankan/ penulis menyimpulkan bahwa memelihara berbagai sumbangan pengadilan Eropa sejauh ini tidak berharga yang telah diberikan berhasil merancang kerangka oleh revolusi politik kita terhadap hukum tepat yang memungkinkan peradaban – dimulai dengan integrasi budaya dan agama non- gagasan kebebasan individu dan Barat ke Eropa. Pandangan demikian HAM yang merupakan dasar- berangkat dari beberapa putusan dasar demokrasi. Tidaklah mudah pengadilan yang ternyata berlindung mencapai keseimbangan yang tepat, di balik “netralitas” lembaga publik namun kita harus tetap berusaha.”

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 69 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

Hubungan agama dan Negara sarana untuk menegaskan dan ini kemudian dibahas secara memfasilitasi KBB, kendati hal ini lebih detil oleh W. Cole Durham, seringkali terlupakan. Tanpa status salah seorang Profesor di Young yang bersifat praktis seperti ini, Bringham University yang fokus sebuah organisasi keagamaan terhadap isu KBB, dengan judul yang besar tidak mampu berjalan Manifestasi Kebebasan Beragama secara efektif dan efisien, seperti atau Berkeyakinan Melalui Perundang- pendaftaran, perizinan, status undangan Asosiasi Keagamaan, badan hukum fasilitas keagamaan, yang pada dasarnya lebih terfokus atau bahkan status penggunaan pada implikasi dari sistem hukum tanah. Untuk itu, pembatasan akses Negara terhadap asosiasi-asosiasi terhadap status demikian juga keagamaan. Hubungan antara menyebabkan kesulitan yang sangat agama dan Negara ini menjadi besar bagi sebuah komunitas agama, elemen pokok ketiga yang dibahas secara kelompok ataupun individu, dalam buku ini, dengan pembahasan karena hak demikian biasanya yang sebetulnya juga telah banyak sangat terkait dengan hak untuk disinggung oleh Torron dan Valls memanifestasikan agama mereka sebelumnya. dalam ajaran, praktik, ibadat atau Tulisan Durham yang cukup ketakwaan (h. 297). Bahkan, menurut panjang ini dapat diklasifikasikan Durham, status hukum ini dapat dalam beberapa bagian besar, yaitu: menjadi salah satu tolok ukur dalam (a) mendokumentasikan pentingnya menilai level KBB di suatu Negara. perundang-undangan asosiasi Ia membedakan dua bentuk fungsi keagamaan bagi implementasi Negara dalam hal status hukum praktis KBB; (b) menggambarkan keagamaan ini; fungsi fasilitasi dan tipe-tipe struktur organisasi menurut fungsi kontrol. Di sebagian besar hukum yang ada bagi komunitas Negara di Amerika dan Eropa, badan- keagamaan; (c) menganalisa norma- badan keagamaan dirancang untuk norma HAM yang terkait dengan memfasilitasi penyelenggaraan pengaturan asosiasi keagamaan; (d) aktivitas keagamaan (fungsi fasilitasi), mengintifikasi isu-isu yang seringkali sedangkan di Negara-negara bekas muncul dalam perumusan dan jajahan Uni Soviet atau otoriter, implementasi perundang-undangan hukum seperti itu malah seringkali asosiasi keagaman. digunakan untuk mengontrol Durham menegaskan pentingnya aktivitas keagamaan, walaupun peraturan perundang-undangan, sejumlah Negara bekas blok sosialis secara khusus status hukum sebuah telah mengarah pada fungsi fasilitatif. organisasi keagamaan, sebagai Salah satu contoh penerapan kontrol

70 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

ini terlihat dalam adanya aturan menegaskan sejumlah prinsip tentang pembubaran atau likuidasi tentang apa yang harus dilakukan organisasi agama secara paksa, yang Negara terkait dengan hak status merupakan intervensi atau kontrol hukum lembaga keagamaan ini agar Negara pada agama tertentu. Tingkat hak-hak KBB dapat tetap terjamin. kontrol terhadap agama ini semakin Pada penggalan selanjutnya, tinggi ketika Negara menetapkan Durham menjelaskan secara lebih kriteria yang sangat terbatas pada detil tentang aspek-aspek norma pengaturan pemberian status HAM lainnya yang berhubungan kelembagaan agama. dengan asosiasi keagamaan, yaitu Untuk menggambarkan fleksi- norma-norma non-diskriminasi, bilitas dalam pengaturan ke- norma larangan pengambilan lembagaan agama ini Durham keputusan secara sewenang- memberikan uraian cukup panjang wenang, dan hak atas pemulihan. tentang sistem perwalian agama di Untuk lebih mengkomparasikan Negara-negara penganut common law praktik di Negara-negara yang lebih yang secara historis telah berevolusi menekankan fungsi hukum sebagai mencari titik keseimbangan untuk fasilitasi, ia menjelaskan pula tentang memberikan pelayanan terbaik isu-isu praktis yang muncul dari pada kepentingan agama. Untuk pengaturan asosiasi keagamaan, menegaskan tesisnya tersebut, terutama di Negara-negara bekas Duham kemudian mengemukakan sosialis, yang lebih ditujukan untuk pandangan komparatif tentang menunjukkan pergerakan evolutif status hukum kelembagaan di dari pendekatan yang bersifat sejumlah Negara, terutama di kontrol menuju pendekatan Negara-negara Amerika dan Eropa. fasilitatif. Ia menganalisa beberapa Dari pengungkapan situasi ini, ia aspek, seperti perundang-undangan menganalisisnya dengan perspektif mewajibkan pendaftaran, syarat- norma-norma KBB internasional agar syarat minimum keanggotaan, syarat aturan asosiasi keagamaan dapat durasi minimum, syarat yang terlalu betul-betul dikonseptualisasikan ke membebani untuk mendapatkan dalam kerangka norma yang lebih status, diskresi pemerintah yang konkret. Berangkat dari penjelasan berlebihan, ketidakjelasan aturan, normatif, ia mengarahkan pembaca intervensi urusan internal agama untuk sensitif terhadap aspek-aspek dan ketentuan-ketentuan retroaktif, regulatif status hukum agama yang sebagai alat ukur kualitas pengaturan ternyata bertentangan dengan ini (h. 416). norma-norma tersebut. Di penggalan Berangkat dari sejumlah kasus pertama tulisannya, Durham yang banyak terjadi di seluruh dunia

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 71 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

saat ini, ia menegaskan bahwa minoritas, sekularitas Negara, proses untuk memperoleh status keyakinan secara umum, dan arus hukum ini seharusnya dirancang keyakinan laki-laki dalam keluarga. sedemikian rupa agar menjadi Untuk menilai sejumlah kasus dan efisien dan menghormati martabat fenomena perempuan dan KBB, ia anggota komunitas kepercayaan menggunakan instrumen-instrumen yang mengajukan permohonan. internasional HAM yang menegaskan Petugas pemerintah harus melihat bahwa perbedaan jenis kelamin peran mereka sebagai unsur yang atau gender tidak boleh menjadi memberikan pelayanan dan fasilitasi alasan untuk membatasi penikmatan kehidupan keagamaan, daripada hak KBB. Instrumen-instrumen ini menertibkan dan mengawasi menggarisbawahi beberapa hal, kelompok-kelompok keagamaan yaitu: bahwa laki-laki dan perempuan tersebut. Perubahan sikap aparat adalah sama dan setara dalam pemerintah ke arah positif dalam kaca mata HAM dan kebebasan pelayanan ini menjadi salah satu fundamental; dan melarang pelbagai kemajuan penting untuk membangun bentuk diskriminasi berdasarkan kehidupan yang lebih toleran (h. 425). jenis kelamin atau jender secara Setelah konsep KBB dijelaskan oleh lebih luas (h. 430). Berdasarkan para penulis terdahulu dan Durham pada kedua hal di atas, ia kemudian juga menguraikan cukup panjang mengkerangkakan analisanya melalui di dalam buku ini tentang relasi Pasal 18 ICCPR yang menegaskan agama dan Negara, pembahasan tentang kebebasan internal dan buku ini kemudian dilanjutkan pada kebebasan eksternal dalam KBB. permasalahan yang lebih spesifik, Terkait dengan kebebasan internal, yaitu tentang isu KBB kaitannya ia menggarisbawahi tentang larangan dengan kaum perempuan yang ditulis “pemaksaan”, yang menurutnya, oleh Bahia Tahzib Lie, penasehat tidak ada ukuran jelas sejauh mana HAM pada Kementerian Luar Negeri dan dalam konteks apa Negara Belanda. Bahia memfokuskan bertanggung jawab atas tindakan kajiannya pada seperangkat isu yang pemaksaan yang dilakukan oleh berkaitan dengan perubahan perilaku seorang individu kepada orang terhadap gender, keluarga, dan lain. Bahia merujuk pada doktrin anak-anak, dengan menggambarkan hukum HAM “due diligence” yang isu-isu yang dihadapi oleh para mengandung arti “(A)mbang batas “perempuan yang melawan arus”, usaha yang harus dilakukan oleh yaitu para perempuan yang melawan Negara untuk memenuhi tanggung arus utama, seperti arus dalam jawabnya melindungi setiap individu tradisi keagamaan dominan, tradisi dari berbagai bentuk pelanggaran

72 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

HAM”.67 Dalam hal ini, ia cukup menjadikan mereka rentan terhadap optimis bahwa konsep due diligence pelanggaran, yang termanifestasi dapat digunakan sebagai upaya dalam beberapa kasus, seperti preventif untuk mencegah terjadinya agama mereka yang berbeda dengan pemaksaan terhadap seseorang. Dari mayoritas, perempuan (mayoritas) sini Bahia mengungkap serangkaian yang hidup di sebuah Negara sekular, contoh tentang pelanggaran atau ketika mereka termasuk dalam kebebasan internal kaum perempuan, minoritas dalam kelompok mayoritas seperti pemaksaan pindah agama, karena perbedaan pandangan dilecehkan dengan mengeluarkan teologis. Ketiga, pelanggaran kebebas- anak-anak mereka dari sekolah an internal terhadap perempuan karena ibunya berpindah agama, ini juga termasuk sebagai tindakan dipaksa menikah dengan laki-laki kekerasan terhadap perempuan. yang menganut agama berbeda, Dalam hal kebebasan eksternal, dipaksa secara mental dan fisik agar ia menyinggung tentang bolehnya meninggalkan suatu keyakinan, atau pembatasan oleh Negara dengan ditolak masyarakat karena pilihan sejumlah syarat yang menjadi untuk pindah agama (472-3). alat uji, yang bergerak di antara Contoh-contoh tersebut me- kepentingan pribadi melalui doktrin nggambarkan tiga hal pelanggaran batas keleluasaan atau diskresi kebebasan internal kaum perempuan, yang disebut dengan “margin yaitu: pertama, pilihan agama atau apresiasi”. Dalam setiap kasus yang keyakinan perempuan yang harus ia angkat, terdapat ragam lingkup diumumkan dan diketahui oleh Negara marjin apresiasi ini, yang tergantung atau publik akhirnya memunculkan pada sifat/hakikat dan konteks pelanggaran-pelanggaran baru pada kepentingan umum yang hendak kebebasan eksternal. Dalam kasus dibatasi, sifat aktivitas-aktivitas pertama ini, Bahia menemukan pemohon yang diatur, sejauh bahwa dalam beberapa kasus cukup mana intervensi Negara, keadaan sulit untuk membedakan secara seputar kasus-kasus tersebut, ada tegas antara kebebasan internal atau tidaknya dasar yang disepakati dan eksternal, sehingga pandangan bersama pada bolehnya dilakukan kebebasan internal yang hanya pembatasan terhadap hak individu (h. berlaku pada wilayah pribadi tidak 442). Dari sini, dapat saja keputusan dapat dipertahankan. Kedua, status untuk melakukan pembatasan perempuan melawan arus ini terhadap sejumlah permasalahan

67 Untuk menjelaskan konsep due diligence diterapkan secara berbeda, sesuai ini, Bahia mengutip apa yang pernah dengan penyesuaian antara hak diputuskan oleh Pengadilan HAM Inter- Amerika, di samping beberapa rujukan kepentingan umum dan individu di akademis tentang hukum internasional.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 73 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

dalam negosiasi marjin apresiasi. minoritas untuk berpakaian sesuai Bahia mengungkap sejumlah dengan perempuan-perempuan contoh kasus, spesifik pada tiga mayoritas, yang terjadi ketika kasus pembatasan yang dialami non-Muslim menjadi minoritas di oleh perempuan melawan arus komunitas Islam. Melalui persyaratan dan menunjukkan pula situasi pembatasan, Bahia menguji satu per perempuan yang lebih rentan. satu dari setiap kasus di atas, dengan Setiap kasus menunjukkan adanya menjelaskan keabsahan pembatasan konflik kepentingan antara Negara yang dilakukan dan sejauh mana (pemangku kewajiban), masyarakat keabsahan itu dimungkinkan dari (kepentingan umum) dan individu kacamata HAM. (perempuan), yang ditimbang Bahia juga menunjukkan ku- melalui persyaratan pembatasan rangnya perhatian komunitas yang diizinkan. Kasus-kasus tersebut internasional dalam melihat kasus- adalah sunat perempuan, larangan kasus pelanggaran KBB terhadap penggunaan atribut keagaman perempuan. Ia mengidentifikasi di tempat kerja, dan keharusan sembilan bidang yang perlu dimajukan perempuan menggunakan atribut terkait dengan perempuan dan keagamaan. Setiap kasus ini diuji KBB ini, yang semua harus menjadi melalui persyaratan pembatasan, perhatian semua pihak yang bekerja yang asumsinya bahwa setiap kasus untuk isu-isu HAM dan KBB secara harus memenuhi persyaratan ini agar khusus. Dalam hal ini pula kemudian mendapatkan justifikasi normatifnya Bahia menyampaikan saran-saran melalui norma HAM internasional. krusial tentang bagaimana semua Dalam kasus pertama, ia menguji pihak dapat andil dalam mendorong apakah Negara boleh membatasi pemenuhan hak KBB perempuan kebebasan eksternal perempuan lebih baik dan maksimal. untuk melakukan sunat perempuan Selanjutnya, Bab 8 buku ini mem- yang dianjurkan oleh agama. bahas tentang gerakan-gerakan Kasus kedua hendak menjawab agama baru yang ditulis oleh Eileen apakah Negara boleh melarang Barker dalam Sistem Pemujaan? seorang perempuan secara hukum Gerakan-gerakan Keagamaan baru penggunaan jilbab/kerudung di dan Kebebasan Beragama atau tempat kerja dalam hal ketika umat Berkeyakinan. Pembahasan ini spe- Islam merupakan minoritas di sifik meninjau gerakan-gerakan Negara tersebut. Dalam kasus ketiga, agama baru (GKB) atau new religious ia hendak melakukan pengujian movement, sistem pemujaan atau sejauh mana Negara dibenarkan pengkultusan dan sekte-sekte untuk memaksakan perempuan yang pada praktiknya seringkali

74 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

mendapatkan diskriminasi. Bab ini namun ia menegaskan karakteristik dimulai dengan penjelasan tentang yang membedakan GKB ini dengan GKB; bentuk dari GKB, meliputi agama-agama lain yang biasanya ciri-ciri GKB, citra atau image yang mayoritas, seperti gaya hidup yang dimiliki/diterima oleh GKB; sifat GKB, berkelompok, perbedaan bentuk yaitu pencucian otak, pengontrolan ritual, atau hal-hal baru dalam pikiran dan manipulasi mentak; sikap kehidupan, seperti tidak menikah, Negara; dan terakhir bagaimana pendidikan anak cukup di rumah membangun pendekatan melalui atau di sekolah khusus kelompok ilmu sosial dalam melihat GKB. mereka, ada kalanya sangat ramah, Barker sendiri mendefinisikan namun juga terkadang berbahaya GKB dengan: (a) gerakan keagamaan bagi kehidupan sekitarnya, dan yang muncul sejak Perang Dunia sebagainya. Kesemua ini dapat saja II dan merupakan (b) kelompok lebih luas lagi, yang pada intinya keagamaan yang hendak menjawab terdapat kebaruan, terutama dalam kembali pertanyaan-pertanyaan hal pemujaan. yang telah berusaha dijawab oleh Barker kemudian melanjutkan agama-agama besar terdahulu, penjelasannya tentang ciri-ciri yang seperti Siapakah Tuhan? Apakah dimiliki oleh GKB ini, yang meliputi ada Tuhan? Adakah hidup setelah beberapa hal, yaitu: 1) para pengikut kematian? Apa arti dan tujuan hidup? perdana yang biasanya lebih fanatik dan pertanyaan-pertanyaan lain dan antusias, bahkan seringkali yang bersifat teologis. Walapun, melemahkan iman keagamaan orang menurutnya, terutama dalam wilayah lain; 2) segmen keanggotaan yang hukum sangat sulit mencari kriteria tidak khas, seperti usia muda, kelas memadai yang bisa mendefinisikan menengah, dan belum menikah; 3) GKB atau sistem pemujaan, sehingga kepercayaan keagamaan yang lebih tidak jarang definisi yang dibuat jelas, mutlak dan tepat dibandingkan malah mengekslusi kelompok- dengan agama-agama terdahulu; kelompok dari definisi agama dan 4) adanya otoritas karismatik akibatnya mereka menjadi target dengan karunia khusus; 5) menjaga diskriminasi dari kebijakan yang ada. jarak dengan komunitas luar; 6) Hal ini mengarahkan pada berubahnya generasi, memudar sulitnya membuat generalisasi dan bercampurnya ajaran pada terhadap GKB itu sendiri, karena generasi kedua; 7) kecurigaan dan memang gerakan-gerakan tersebut diskriminasi yang dialami oleh GKB berbeda-beda sesuai tradisi dan ini dari penduduk mayoritas di hidup dalam pelbagai budaya. luarnya. Barker memberi sejumlah contoh Dalam bagian akhir tulisannya, beberapa perbedaan yang ada, ia memberikan beberapa contoh,

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 75 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

seperti gerakan Falun Gong di karena 90% dari mereka yang hadir China, Khrisna di Uni Soviet, atau dalam seminar-seminar residensial insiden-insiden di Amerika dan berhasil diajak untuk menganut Eropa Barat, yang intinya, gerakan- ajaran baru ini. Dalam hal ini, Barker gerakan keagamaan baru ini hendak menegaskan, bahwa di seringkali mendapatkan diskriminasi luar dari tekanan dan pembatasan dan pelecehan, penyangkalan yang dilakukan oleh GKB terhadap hak, termasuk pendirian rumah anggota mereka, Negara atau hukum ibadah. Di Barat, tidak jarang juga tidak semestinya mencegah para anggota GKB ini diculik dan atau melarang gerakan-gerakan ini, dipaksa untuk mengikuti program- karena pada prinsipnya setiap orang program penyadaran kembali yang masuk ke gerakan ini seringkali kepada agama lama, ancaman dan melakukannya berdasarkan pada paksaan meninggalkan agama baru, pilihan dan pertimbangan bebas dan sejumlah praktik-praktik lain, mereka masing-masing. Dari sini yang intinya mendorong agar para kemudian ia mencoba meninjau penganut GKB ini kembali pada bagaimana terkadang Negara keyakinan sebelumnya. Hal ini tidak memperlakukan gerakan-gerakan luput dari citra yang dimiliki oleh baru ini, dengan mengungkap aspek GKB sendiri, yang terkadang tidak metode pendaftaran dan sejumlah cukup proporsional dan obyektif kasus di Eropa, pembuatan undang- digambarkan oleh para kelompok undang untuk menyikapi GKB ini, penentang dan media. Untuk itu pula, penetapan jangka waktu keberadaan Barker mengarahkan pada suatu GKB sebagai syarat untuk pendaftaran, pendekatan yang menurutnya lebih pengkambinghitaman GKB sebagai obyektif, yaitu melalui ilmu sosial dampak pasca komunisme, hak yang dapat dipertanggungjawabkan. istimewa bagi agama-agama Hal menarik lain yang diungkap lama, kriminalisasi organisasi atau oleh Barker adalah tentang praktik pengikutnya, dan adanya labelisasi pencucian otak, pengontrolan pikiran atau penghakiman bahwa keyakinan dan manipulasi mental yang seringkali GKB adalah salah dan menyimpang. digunakan oleh GKB ini dalam Barker kemudian menawarkan mencari pengikut-pengikut baru. Ia sebuah pendekatan yang sebetulnya mengungkap bahwa kajiannya pada lebih obyektif dalam menilai GKB tahun 1970-an tentang suksesnya tersebut, yaitu melalui pendekatan metode yang diterapkan oleh ilmu sosial, dengan mengambil Unification Church yang pada waktu pelajaran best practice INFORM, itu dituduh melakukan teknik-teknik sebuah organisasi non-pemerintah yang sangat menarik dan efektif, miliknya yang didukung oleh

76 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

pemerintah Inggris, dengan tujuan menegaskan Negara harus mengambil memberikan informasi yang sikap dengan membuat peraturan seakurat mungkin, berimbang dan perundangan yang konsisten dengan update terhadap suatu keyakinan instrumen HAM internasional, yaitu atau GKB. Terakhir, ia menegaskan, dengan tidak menerapkan kebijakan bahwa memang GKB seringkali dan cara-cara yang diskriminatif. memunculkan kekhawatiran, namun Secara struktur, Ted Stanke memulai membuat perundang-undangan yang pembahasannya tentang konsep mengkriminalisasi gerakan-gerakan penyebaran agama, mulai dari ini bukanlah solusi, tetapi justru definisi, pandangan agama-agama, yang paling cocok adalah dengan pembatasan-pembatasan dalam mengumpulkan informasi seakurat, penyebaran agama, bagaimana sedetil dan se-update mungkin (h. instrumen HAM melihat penyebaran 525). agama ini, dampak dan kepentingan Selanjutnya, Bab 9 dan Bab 10 dari pembatasan dan penyebaran buku ini menyinggung tentang agama, serta penyebaran agama perdebatan antara persuasi ke- yang patut dan tidak patut. agamaan dan perlindungan identitas Menurutnya, pengaturan penyiar- keagamaan dan budaya. Tad an agama tak dapat didasar- Stanke pada Bab 9 menulis tentang kan pada pandangan agama- persuasi keagamaan, dengan agama an sich, tetapi harus pula memberikan kerangka analisa yang memperhatikan prinsip-prinsip berguna untuk memilah perbedaan HAM yang mengarahkan Negara antara kesaksian iman seseorang untuk menyeimbangkan pembatasan yang memang dilindungi dan hak setiap orang atau kelompok penyebaran agama yang tidak patut, untuk menyebarkan agamanya. dengan menegaskan pentingnya Dalam pembatasan inipun, perlindungan pada persuasi agama Negara kadang memiliki cara yang tersebut. Sementara Makau Mutua, berbeda-beda, secara langsung melalui tulisannya Penyebaran Agama ataupun tidak; sengaja atau tidak dan Identitas Budaya berusaha untuk sengaja, yang dalam batas tertentu menggambarkan upaya-upaya paling seringkali lebih memberikan tradisional para misionaris yang keistimewaan bagi agama tertentu terkadang seringkali merendahkan dan mendiskriminasikan yang lain. identitas budaya tradisional sasaran Pembatasan yang dibuat secara baik misinya. dan netralpun kadang seringkali Tulisan Ted Stanke ini menyasar dilaksanakan secara berbeda, apalagi sejumlah permasalahan terkait bila kebijakan itu dibuat secara luas dengan penyebaran agama dan dan memberikan diskresi yang luas

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 77 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

kepada pelaksananya. Untuk itu, sumber dan sasaran ini harus betul- Stanke mengajak pembaca untuk betul dipertimbangkan. Negara mengetahui lebih lanjut tentang juga harus mempertimbangkan penyebaran agama dan HAM dalam kepentingannya sendiri dalam bagian lanjutan tulisannya. melakukan pembatasan, yaitu Ia juga menjelaskan tentang hak memperhatikan aspek-aspek KBB yang tidak dibatasi dan hak seperti perlindungan tradisi agama manifestasi yang memungkinkan dominan, pemeliharaan tatanan adanya pembatasan, sembari publik, dan perlindungan konsumen menegaskan prinsip persamaan, dalam pasar agama. Dengan anti diskriminasi, serta diskriminasi demikian, ketiga aspek tersebut di positif dalam hukum HAM. atas, “hak sumber”, “hak sasaran” dan Kemudian, ia mengidentifikasi “kepentingan Negara”, harus dilihat sejumlah aspek yang harus dianalisa dalam satu wadah pertimbangan untuk mengetahui apakah sebuah untuk memunculkan pengaturan pembatasan dapat dilakukan terbaik dari penyebaran agama ini. atau tidak sesuai hukum HAM, di Paruh ketiga tulisan Stanke antaranya adalah melalui identifikasi lebih terfokus pada uraian tentang hak-hak sumber, hak-hak sasaran, penyiaran agama yang patut dan kepentingan Negara. tidak patut, yang dalam kasus tertentu Analisa “hak-hak sumber” melihat agak sulit – bahkan tidak bisa – untuk sejauh mana praktik dakwah diakui mengklasifikasikan faktor-faktor sebagai hak yang harus dijamin, penilaian tentang patut atau tidak namun pembatasan terhadap patut ini. Walaupun, dalam sebuah hak-hak pendakwah juga masih kasus yang diungkapnya (Kokkinakis), dimungkinkan dengan persyaratan hakim Pettiti menyalahkan Pengadilan yang ada dan menentukan HAM Eropa yang tidak mengklarifikasi keabsahan pembatasan itu sendiri. hal tersebut, karena menurut Pettiti Namun, bolehnya pembatasan dari hal tersebut memungkinkan, dengan perspektif sumber ini dihadapkan mendefinisikan ketidakpatutan, keke- pada “hak-hak sasaran” yang juga rasan dan paksaan. Stanke sendiri dijamin, meliputi kebebasan pindah lebih menggunakan variabel-variabel agama, menerima informasi, tertentu yang berhubungan satu memeluk agama tertentu, dan sama lain untuk menerjemahkan hak minoritas mempertahankan kepatutan dan ketidakpatutan ini, tradisi dan identitas. Untuk itu, yaitu: 1) atribut atau sifat dari sumber; Stanke menegaskan bahwa bisa 2) atribut atau sifat sasaran; 3) tempat jadi Negara berada pada posisi terjadinya tindakan yang diperkirakan yang kontradiktif, sehingga aspek sebagai penyebaran agama yang

78 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

tidak patut; dan 4) sifat tindakan. aksi misionaris terkadang menyerang Semua variabel ini diletakkan dalam identitas budaya yang telah lama satu skala dan dengan menggunakan terbangun. Walaupun keduanya skala tersebut Negara dapat menarik sepakat bahwa penyebaran agama garis batas antara tindakan yang tidak boleh dilakukan melalui patut dan tidak. pemaksaan, namun bagi Mutua Batu uji dari variabel-variabel dalam batas tertentu, Negara dapat ini adalah “pemaksaan”, dengan melakukan pembatasan terhadap asumsi bahwa seorang individu penyebaran agama-agama baru haruslah mampu membuat pilihan tersebut untuk melindungi tradisi sendiri atas keyakinan dan afiliasi dan lokalitas budaya. keagamaan secara bebas dan penuh Mutua memulai tulisannya pertimbangan. Untuk itu, semakin dengan secara singkat menguraikan penyebaran agama mengintervensi sejarah gerakan HAM dan cita ideal kemampuan untuk memilih secara yang relevan dengan tulisannya, bebas, maka semakin diperlukan pandangan agama terhadap HAM, kewenangan untuk mengaturnya oleh dan terakhir ia menyelidiki bentuk- Negara. Sasaran, tipe atau sumber bentuk penyebaran agama Islam tindakan, serta tempat, kesemuanya dan Kristen (yang ia sebut sebagai dapat berkontribusi terjadinya agama imperial) di Afrika dengan pemaksaan, secara bersamaan atau penggunaan kekerasan, baik fisik terpisah, dengan sifat penyebaran atau budaya, sebagai alat dakwah. yang memaksa. Dalam hal ini, suatu Ia mengambil suatu kesimpulan tindakan dapat saja merupakan bahwa masuknya Islam yang pemaksaan di suatu tempat, namun disertai kekuatan dan Kristen yang tidak di tempat yang lainnya, karena menyertai agama kolonial, praktis adanya perbedaan tempat kejadian. telah mematikan agama-agama asli, Ia menegaskan di bagian akhir atau setidaknya, telah menjamin tulisannya, bahwa Negara harus masuknya agama-agama pendatang menjaga kondisi minimum yang secara paksa. memungkinkan berlangsungnya Ia kemudian mengkritik DUHAM pilihan bebas terhadap agama dan dan ICCPR yang tidak memberikan di sisi lain menjamin perlindungan porsi perlindungan yang besar kemungkinan erosi kemampuan terhadap agama asli dalam untuk mempertahankan agama yang kaitannya dengan keyakinan sudah dipilih (578). dan budaya dominan, walaupun Berlanjut tentang penyebaran menurutnya Pasal 27 ICCPR dan agama ini, tulisan Stanke dilengkapi Komentar Umumnya telah cukup oleh Mutua yang melihat bagaimana memadai. Perkembangan terakhir,

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 79 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

ia menyinggung pula tentang humanisme sebagai pandangan- kemajuan PBB dalam merumuskan pandangan dunia yang tidak bersifat prinsip perlindungan masyarakat asli religius, tetapi masuk dalam kerangka (indigenous people), walapun dalam kebebasan berfikir, hati nurani dan batas-batas tertentu Negara-negara beragama, sebagaimana ditegaskan di Afrika tidak cukup kuat membuat dalam Pasal 18 ICCPR. Humanisme pengaturan tentang hal ini. sendiri diartikan oleh para penulis Mutua mengakui bahwa setiap sebagai “sikap hidup modern yang budaya adalah setara, semuanya berakar pada pemikiran rasional, yang bercampur dan saling mengisi, dan memberikan pemahaman tentang dalam batas tertentu tidak ada alam semesta dan tempat kita dalam budaya asli, meskipun mereka yang alam semesta itu secara alamiah”, mempertahankan budaya khasnya. sehingga bagi seorang humanis Untuk itu, ia mengajak gerakan HAM sendiri prioritas tertingginya adalah untuk lebih memberikan perhatian perwujudan lingkungan yang toleran pada persilangan budaya dan toleransi kondusif bagi pencarian secara bebas. terhadap keberagaman, dan lebih Menurut para penulis, walaupun dari itu juga menolak penyeragaman instrumen HAM telah memasukkan dan pemaksaan di dalamnya. humanisme sebagai bagian dari Walaupun ia setuju konsepsi HAM keyakinan, pada praktiknya Negara memungkinkan adanya ide-ide dan seringkali tidak memasukkan aspek tantangan baru, namun ia khawatir ini ke dalam jaminan perlindungan, bahwa keterbukaan ini justru menjadi bahkan standard HAM sendiri tidak bentuk dukungan advokasi yang cukup perhatian untuk mengem- meniadakan hak-hak khusus dan bangkannya (h. 616). Humanisme memberi justifikasi pada sewenang- seringkali mendapatkan tantangan wenang, sebagaimana yang terjadi di yang besar, terutama kaitannya Afrika atas infasi Islam dan Kristen di dengan sistem sekolah negeri, atas. kurangnya perhatian media dan Dari uraian Stanke dan Mutua di kurangnya toleransi dari publik atas, buku ini dilanjutkan dengan secara umum. Dibandingkan agama, dua tulisan yang lebih terkait humanisme tampaknya tidak dengan humanisme keagamaan cukup mendapatkan tempat dan dan toleransi, sebelum akhirnya situasinya di banyak Negara masih ditutup dengan kajian tentang memprihatinkan. Indonesia. Rajaji Ramanadha Babu Selain kurangnya jaminan kebebas- Gogineni dan Lars Gule menulis an beragama sebagai tantangan tentang Humanisme dan Kebebasan besar humanisme, nampak adanya dari Agama yang spesifik meletakkan “kecemburuan” para penulis tentang

80 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

kurangnya kebebasan keyakinan yang mendasarkan analisisnya pada sekular yang setara dengan keyakinan inisiatif pendidikan dari Pelapor agama dan dalam batas tertentu Khusus (PK) KBB, dengan berfokus keyakinan ini kurang mendapatkan pada pertanyaan bagaimana sistem kebebasannya di hadapan agama pendidikan yang berada dalam di ranah publik. Sistem Negara masyarakat plural saat ini mampu agama, peraturan yang tidak adil, menumbuhkan sikap toleransi, saling pajak, sekolah negeri, terkait hak- menghormati dan tanpa membatasi hak anak, upacara dan konseling, KBB yang lainnya (h. 648). media dan bahkan di kalangan Tulisan ini dimulai dengan pra- masyarakat sipil merupakan aspek- syarat pluralisme, dengan pentingnya aspek yang seringkali tak ramah pada jaminan KBB, pembedaan antara humanisme, yang dilihat secara detil toleransi oleh Negara dan individu oleh penulis dalam kerangka kasus- atau kelompok, dan relevansi kasus yang banyak terjadi. toleransi ini di bidang agama. Penulis Yang menarik dari perdebatan kemudian memetakan masalah dan humanisme ini adalah tentang pendekatan utama dalam pendidikan “tuntutan” penulis terkait relasi agama agama ini, seraya menegaskan dan ruang publik. Sebagaimana pula bahwa pendidikan agama yang disebutkan oleh para editor dalam sukses adalah pendidikan agama pengantarnya untuk buku ini, bahwa yang: 1) berkontribusi secara efektif imaji humanis ini mengarah pada apa pada usaha memajukan toleransi; yang disebut Tole Lindholm sebagai dan 2) menghormati hak-hak yang “laicisme asertif” yang dalam batas sama terhadap KBB dari semua tertentu justru dapat melanggar individu yang dididik. Alat ukur KBB itu sendiri. Namun, para editor yang digunakan adalah norma- menyarankan kepada pembaca agar norma KBB, dengan mengacu pada tulisan Gogineni dan Gule ini dipahami rekomendasi-rekomendasi PK KBB secara lunak (h. 62), yaitu pada dalam dokumen yang disajikan pemberian dukungan yang setara pada Konferensi Madrid tahun 2001. terhadap keyakinan sekular yang Plesner juga mencoba menggunakan secara konseptual berbeda dengan alat tersebut untuk melihat praktik keyakinan agama, namun berada di pendidikan agama di Negara-negara bawah payung perlindungan norma Eropa dan kemudian melakukan yang sama. pembahasan akhir yang menjawab Dalam hal ini pula kemudian pertanyaan utama dari tulisan ini. penting untuk membaca tulisan Ingvill Sependapat dengan PK KBB, ia Thorson Plesner tentang Memajukan setuju bahwa sekolah merupakan Toleransi melalui Pendidikan Agama arena potensial paling penting bagi

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 81 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

usaha mengembangkan toleransi Jerman, Norwegia, dan Inggris. dan saling menghormati lintas Namun yang terpenting, menurut sekat agama atau keyakinan. Untuk Plesner, tantangan utamanya mencapai itu, pendekatan dalam adalah bagaimana merancang pendidikan agama menjadi penentu suatu mata pelajaran bagi semua apakah tujuan itu bisa tercapai siswa dan dengan cara demikian atau tidak, karena setidaknya, berkontribusi memajukan toleransi, ada dua pendekatan yang dapat tanpa mencampuri hak orang tua dikemukakan, “pendekatan integrasi untuk memutuskan pendidikan yaitu memasukkan anak dari moral, filosofis, dan keagamaan bagi semua keyakinan dan “pendekatan anak-anaknya. Untuk itu pula penulis konfensional” yaitu memisahkan menekankan pentingnya dialog anak didik dalam kelompok yang dan diskusi semua pihak, termasuk berbagi dalam keyakinan yang Negara dan kelompok-kelompok, mereka miliki, yang keduanya juga untuk merumuskan secara lebih memiliki dilema masing-masing. komprehensif dan melakukan Terhadap “konfesional”, PK KBB evaluasi berkala bagaimana menegaskan bahwa bila murid- sebuah pendidikan agama ini dapat murid tidak memperoleh pendidikan mencapai tujuannya, sembari agama bersama atau saling berbagi juga tetap memperhatikan sisi-sisi pengetahuan tentang keyakinan dan dilematis yang terdapat di dalam tradisi satu sama lain, pendidikan pendekatan integrasi. Demikian ia bisa gagal untuk menjamin pondasi menutup tulisannya. bagi toleransi dan perkembangan Selanjutnya, Bab terakhir dalam solidaritas global dan antaragama. buku ini ditulis oleh Nicola Colbran Namun sebaliknya, pendidikan tentang Kebebasan Beragama “integrasi” juga berada pada titik atau Berkeyakinan di Indonesia, dilema, yaitu para orang tua yang bagian yang memang ditulis untuk merasa tidak cukup nyaman dan kepentingan penerbitan buku dalam terlindungi terkait dengan keyakinan versi Bahasa Indonesia, sehingga atau agama anak-anak mereka. bab ini tidak ada di dalam buku asli Penulis kemudian memfokuskan versi bahasa Inggris. kajiannya pada pendekatan integrasi, Colbran memulai tulisannya dengan mengacu pada beberapa dengan jaminan normatif KBB di contoh praktik di Negara-negara Indonesia, sebagaimana termaktub Eropa. Kenyataannya, masing-masing di dalam UUD 1945, UU No. Negara memperlakukan cara yang 39 Tahun 1999 tentang HAM, berbeda-beda dalam pendidikan dan sejumlah instrumen HAM agama integratif ini, seperti di internasional yang telah diratifikasi. Setelah menjelaskan sisi normatif

82 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

ini, ia langsung mengarah pada UU dan mempertanyakan bagaimana No. 1/PNPS Tahun 1965 Tentang bisa Negara tidak melindungi sesuai Pencegahan Penyalahgunaan dan/ UUD 1945 sebagai konstitusi dan atau Penodaan Agama, dengan bersikap ambigu, setidaknya dengan menegaskan adanya klasifikasi sejumlah kasus-kasus pelanggaran “agama-agama yang diakui” oleh dan diskriminasi yang diungkapnya Negara dan “agama atau keyakinan dalam tulisan ini. yang tidak diakui”, yang berdampak Colbran kemudian membahas pada pelanggaran hak-hak, seperti Peraturan Bersama Menteri (PBM) pemaksaan untuk mengikuti salah Agama dan Menteri Dalam Negeri satu agama resmi dan menyebabkan matinya sekitar 517 aliran keper- No. 8 dan 9 Tahun 2006 yang cayaan sejak 1949 sampai 1992 di mengatur tentang kerukunan umat Indonesia. Menurutnya, UU 1/PNPS beragama dan pendirian rumah telah berperan aktif membatasi ibadah. Dari PBM ini, ia memunculkan ruang gerak kelompok minoritas dan sejumlah pertanyaan yang patut ironisnya peraturan perundangan disampaikan, di antaranya adalah: lain yang menjamin KBB hanya mengapa pembatasan terhadap ditujukan bagi mereka yang hak beragama ini dilakukan melalui termasuk ke dalam agama resmi. Ia peraturan menteri, padahal menurut juga mengaitkan pembahasan UU prinsip HAM harus dilakukan melalui No. 1/PNPS ini dengan UU No. 37 UU? Apakah para penghayat yang Tahun 2007 Tentang Administrasi tidak diakui dapat mendirikan rumah Kependudukan yang dalam ibadah dan bagaimana caranya? batas tertentu memungkinkan Bagaimana pendiri tempat ibadat pencatatan administratif peng- bisa menghindari politisasi dan hayat, walaupun UU ini dan per- birokrasi pembangunan tempat aturan pelaksanaannya belum ibadah, karena badan (Forum dapat dikatakan menghapuskan Komunikasi Umat Beragama, FKUB) diskriminasi tersebut. yang ditunjuk untuk menentukan Dalam bagian lain tulisan ini, ia pendirian itu sangat politis? juga menyoroti pasal UU 1/PNPS Bagaimana pula nasib kalangan yang ditambahkan ke dalam pasal minoritas di wilayah kecamatan, 156A KUHP sebagai delik penodaan kabupaten atau provinsi? agama, dengan mengungkap Sebelum mengakhiri kajiannya, beberapa contoh kasus kriminalisasi tulisan ini juga menyorot tentang terhadap keyakinan di Indonesia. peranan Mahkamah Konstitusi Kemudian, ia spesifik melihat (MK) dalam menafsirkan hak KBB kelompok Ahmadiyah di Indonesia di Indonesia, dengan mengambil dan kaitannya dengan Pasal 156A ini sejumlah kasus yang diajukan oleh

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 83 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

pelbagai pihak, yaitu permohonan sebuah buku yang disusun secara uji materi terkait pasal 86 UU No. bersamaan oleh beberapa penulis 23 tentang Perlindungan Anak dan dari The Wahid Institute, dengan diputuskan melalui Putusan MK No. ketua tim Ahmad Suaedy. Secara 018/PUU-III/2005 dan permohonan khusus, buku ini hendak menilai uji materi tentang persyaratan apakah ratifikasi ICCPR telah mampu poligami dalam UU No. 1 Tahun 1974 memperbaiki dan perlindungan KBB dan diputuskan melalui Putusan MK di Indonesia. Buku terdiri dari 5 bab No. 12/PUU-V/2007. dengan pembahasan yang berbeda- Dalam bagian akhir tulisannya, beda dalam kerangka pembahasan ia kembali mengemukakan pe- tentang norma HAM dan KBB, Islam langgaran-pelanggaran dan situasi dan Negara, serta kasus-kasus KBB di Indonesia, terutama kelompok relevan di Indonesia. rentan. Ia menegaskan bahwa pada Secara teoritis buku ini hadir dalam dasarnya HAM bukanlah sesuatu kehausan sumber-sumber KBB di yang asing bagi Indonesia, karena Indonesia, karena buku ini memulai merujuk pada sejumlah karya-karya pembahasannya dengan konsep- besar terdahulu, seperti R.A. , konsep dasar KBB yang terdapat di H.O.S. Cokroaminoto, , ICCPR secara khusus dan sejumlah Soewardi Soeryaningrat, Soekarno intrumen HAM lainnya. Tidak hanya dan Hatta, telah menjelaskan dan itu, Bab II buku ini juga menguraikan menegaskan prinsip-prinsip HAM tentang jaminan KBB di Indonesia dalam kehidupan ketatanegaraan secara lebih spefisik sebagaimana dan kebangsaan Indonesia. Untuk dicantumkan di dalam Konstitusi itu pula, sebagai Negara yang dan peraturan perundang-undangan berdasarkan pada hukum dan lainnya. Secara lebih detil, Bab II buku menjunjung tinggi harkat martabat ini menguraikan beberapa informasi manusia, Colbran menegaskan kunci, di antaranya adalah tentang bahwa sudah seharusnya Negara sejarah dari Kovenan ICCPR, kewajiban mencabut atau memperbaiki per- Negara di bawah mekanisme aturan-peraturan yang selama Kovenan, ratifikasi Kovenan oleh ini justru masih mendiskriminasi Indonesia dan permasalahan-perma- kelompok agama atau keyakinan. salahan yang muncul setelah ratifikasi. Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Dalam konteks sejarah, buku ini Manusia yang juga diterbitkan menjelaskan bagaimana dampak dalam versi Inggris dengan judul konflik blok Timur dan Barat yang Islam, The Constitution and Human memengaruhi diadopsinya dua Rights: The Problematic of Religious Kovenan kembar, Sipil-Politik dan Freedom in Indonesia merupakan Ekonomi-Sosial-Budaya. Dengan se-

84 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

gala perdebatan panjang di dalam- tersebut bahwa hak-hak mendasar nya, PBB akhirnya menyepakati dua dalam kebebasan beragama, yaitu Kovenan ini pada tahun 1966 (h. 14). kebebasan berfikir, hati nurani dan Bersama dengan Deklarasi Universal beragama, tidak dapat dibatasi (non- Hak Asasi Manusia (DUHAM), ke- derogable rights) oleh Negara, bahkan duanya menjadi instru-men dasar dalam situasi darurat, sebagaimana utama HAM di tingkat internasional, ditegaskan di dalam Pasal 4 ayat (2) yang sering pula disebut dengan Kovenan. International Bill of Rights. Menekankan apa yang sudah Untuk itu pula kemudian di dalam ditegaskan di dalam ayat (1), ayat ICCPR ini ditegaskan bagaimana (2) Pasal 18 Kovenan melarang sebuah Negara harus bertindak aktif praktik koersi terhadap siapapun melaksanakan ketentuan-ketentuan untuk memaksa orang tersebut Kovenan di tingkat nasional, seperti meninggalkan agama atau keyakinan kewajiban untuk menghormati, yang dianutnya. Pasal 18 ayat (3) tindakan-tindakan legislatif, langkah- ICCPR mengatur tentang manifestasi langkah konkret yang dibutuhkan, ajaran agama, yang memungkinkan mekanisme pemulihan korban, untuk dibatasi, dengan tujuan sistem peradilan, serta memastikan untuk melindungi keamanan dan bahwa aparat Negara menjalankan tatanan publik, kesehatan, moral setiap pengaduan yang disampaikan. dan kebebasan mendasar lainnya. Selanjutnya, para penulis meng- Terakhir, ayat (4) Pasal 18 ICCPR uraikan secara cukup detil tentang menegaskan tentang hak orang prinsip-prinsip KBB di dalam ICCPR, tua untuk memastikan pendidikan terutama di dalam Pasal 18, yang agama dan moral bagi anak-anaknya dihubungkan dengan Pasal 20 dan sesuai dengan keyakinan mereka 27 Kovenan. Pasal 18 Kovenan masing-masing. menegaskan tentang kebebasan Selain dari menjelaskan Pasal 18 di setiap orang untuk berfikir, hati nurani atas, buku ini juga mengaitkan dengan dan beragama, yang mencakup beberapa pasal lainnya, yaitu 20 (2) dan di dalamnya hak untuk menganut Pasal 27 Kovenan. Pasal 20 (2) pada suatu agama atau keyakinan sesuai dasarnya menegaskan hubungan dengan pilihanya, baik secara individu antara kebebasan berekspresi dan atau berkelompok, di ruang publik kebebasan beragama, dengan mem- atau privat, dan juga hak untuk berikan pembatasan pada kebebasan memanifestasikan ajaran agama berekspresi agar tidak mengarah tersebut di dalam ibadat, pelaksanaan, pada ajaran kebencian atau meng- praktik dan pengajaran. Dalam hal ajak orang lain untuk melakukan ini, ditegaskan pula di dalam buku permusuhan dan tindakan keke-

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 85 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

rasan, berdasarkan nasionalitas, ras penodaan agama, keberadaan dan agama. Sementara Pasal 27 lebih Bakor Pakem yang mengawasi spesifik menekankan pada hak-hak kelompok-kelompok keagamaan kelompok minoritas, termasuk di atau keyakinan di luar dari agama dalamnya adalah minoritas agama. “resmi”, yang semuanya terkait Pada bagian akhir dari pembahasan dengan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 subbab ini, para penulis menekankan yang mengatur tentang pengawasan adanya konflik kepentingan yang aliran kepercayaan dan keyakinan di memunculkan perdebatan di antara Indonesia. Negara-negara Muslim dan standard Selanjutnya, para penulis lebih ICCPR, di mana konsepsi tentang menekankan tentang dilema KBB konversi agama menjadi problematik di Indonesia, dengan mengaitkan di kalangan Negara-negara Islam antara sejumlah isu krusial dan pada saat proses adopsi ICCPR. sensitif di dalam KBB dan keberadaan Dalam Bab II ini, para penulis Indonesia sebagai Negara yang menguraikan pula tentang proses berpenduduk mayoritas Muslim. ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Berangkat dari perdebatan tentang Politik oleh Indonesia secara sekilas sejarah DUHAM 1948 dan posisi dan reservasi yang dilakukan pada beberapa Negara Islam waktu itu, Pasal 1 Kovenan. Uraian subbab bagian ini memfokuskan bagaimana ini kemudian diakhiri dengan komunitas Muslim di dunia serangkaian kewajiban Negara pasca menyikapi isu-isu sensitif dalam ratifikasi, sebagaimana ditegaskan HAM dan upaya mereka dalam di dalam Komentar Umum Komite membangun diskursus tandingan No. 3/13 tahun 1991 dan 29/3 tahun terhadap apa yang telah disepakati 2004, sembari juga mengaitkannya oleh masyarakat global. Lebih dari dengan status hukum KBB di itu, bagian bab ini juga menyinggung Indonesia secara singkat. tentang sisi normatif dalam Islam Kontekstualisasi yang lebih terkait isu-isu tersebut, di samping konkret dari norma HAM dan KBB juga memberikan ulasan cukup detil internasional di Indonesia cukup tentang tantangan penyerapan dan jelas dengan penjelasan para penulis penerapan norma-norma tersebut di bagian akhir dari bab II ini, yang dalam konteks Indonesia yang menguraikan tentang sejumlah mayoritas Muslim. Secara lebih tantangan KBB di Indonesia, di detil, bagian awal bab menjelaskan antaranya adalah pengakuan ter- tentang sejarah singkat DUHAM dan hadap agama-agama tertentu di posisi komunitas Islam terhadap Indonesia, kriminalisasi berdasarkan DUHAM, perdebatan tentang uni- agama atas delik penistaan atau versalitas dan partikularitas dalam

86 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

HAM, konsep kebebasan beragama sehingga memunculkan relasi yang atau berkeyakinan, isu-isu sensitif saling bersifat antagonis. Norma dalam KBB, dan pembahasan HAM yang diidentifikasi sebagai mengenai Islam, kewarganegaraan norma universal seringkali dianggap dan Indonesia. sebagai norma luar yang tidak terlalu Bagian pertama bab III ini cocok dengan kekhususan yang menjelaskan secara singkat tentang ada di komunitas lokal, sehingga PBB dan tujuan yang diemban PBB dalam banyak kasus relasi seperti ini sebagai pengantar singkat. Kemudian memunculkan ketegangan. Dalam para penulis masuk ke dalam hal ini, nilai-nilai agama yang acapkali pembahasan lebih detil tentang menjadi alasan untuk membenturkan perdebatan antara universalitas dan norma ini dipandang sebagai suatu partikularitas dalam HAM, dengan tatanan nilai yang bersifat sakral dan terlebih dahulu menguraikan tidak cukup lentur untuk menerima pengembangan norma-norma HAM nilai-nilai yang berasal dari luar (h. 64). di level internasional dan pengakuan Untuk menjelaskan tentang masyarakat global terhadap univer- universalitas HAM ini, para penulis salitasnya. Namun demikian, me- banyak merujuk pada Abdullah nurut buku ini, universalitas ini Ahmed An-Naim dan Mashood A. seringkali pula mengalami benturan Baderin yang keduanya memiliki yang cukup serius dalam praktiknya, kesamaan pendekatan. Menurut terutama ketika berhadapan dengan Mashood Baderin, ada dua istilah nilai-nilai kultural yang bersifat lokal. yang harus dibedakan terkait hal ini, Dalam relasi antar norma universal yaitu “universality of human rights” dan partikular ini, setidaknya, ada dua yang merujuk pada kualitas universal hubungan yang teridentifikasi, yaitu: atau penerimaan global gagasan pertama, hubungan yang bersifat HAM, sementara “universalism positif, yaitu ketika tradisi-tradisi ini of human rights” merujuk pada mampu untuk bernegosiasi dengan interpretasi dan penerapan gagasan norma-norma HAM yang terkadang HAM. Nampak bahwa kedua istilah ini berasal dari luar tradisi mereka. berbeda, karena universalitas lebih Yang menarik, relasi ini berada pada nilai universal yang inheren di pada posisi yang setara, sehingga dalam HAM, sementara universalime satu sama lain norma-norma yang sangat berkaitan dengan penerapan bersifat universal dan partikular ini dan penafsiran yang terkadang tidak saling menegasikan. Kedua, sangat tergantung dengan situasi, hubungan yang negatif, yaitu ketika konteks dan kepentingan politik. salah satu norma menjadi atau Berangkat dari dua pembedaan dipandang superior dari norma lain, ini pula kemudian sentimen “Barat

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 87 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

sentris” terhadap gagasan HAM partikular atau khusus, sehingga dapat dipahami, karena yang dimungkinkan adanya pemberlakuan dimaksud dari sentimen tersebut khusus nilai-nilai HAM di sebuah pada dasarnya adalah universalisme Negara dan biasanya penerapan HAM dan bukan universalitas HAM sangat tergantung dari situasi gagasan HAM itu sendiri. dan kondisi di dalam negeri. Terakhir, Dampak dari kegagalan mema- radikal universalisme memandang hami dua pemilahan ini, muncul bahwa nilai-nilai HAM bersifat pandangan terkait dengan relasi universal dan tidak bisa dimodifikasi universalitas dan partikularitas HAM untuk disesuaikan dengan konteks itu sendiri, yaitu para pendukung perbedaan budaya, keyakinan atau partikularitas HAM yang menyatakan sejarah sebuah bangsa. Sebaliknya, bahwa HAM harus tunduk pada nilai-nilai dan budaya lokal harus struktur sosiologis dan diversifikasi disesuaikan dengan norma-norma budaya, serta tidak dapat dipaksakan, HAM. sementara pandangan pendukung Untuk mendamaikan pendekatan- universalisme HAM menyatakan pendekatan ini, para penulis mencoba bahwa norma HAM berlaku secara untuk mengungkap kesepakatan univesal dan harus diterapkan secara yang diambil oleh Negara-negara, seragam di seluruh Negara, termasuk termasuk Indonesia, dalam Kon- pula komunitas budaya atau tradisi. ferensi Dunia HAM di Wina, Secara teoritis, perdebatan ini dapat Austria, pada Juni 1993, yang ditinjau dari tiga teori besar yang menggambarkan sikap Indonesia mengemukan, yaitu teori realitas, untuk menerima nilai-nilai universal relativisme kultural, dan radikal HAM, namun tetap menjaga prinsip- universalisme. prinsip keberagaman, kemajemukan, Teori realitas mendasarkan pan- dan kondisi budaya, sejarah, tahap dangannya pada asumsi adanya sifat pertumbuhan dan sistem politik, manusia yang menekankan pada di samping juga menolak untuk self interest dan egoisme, sehingga bersembunyi atas dasar relativitas, tindakan anarkis merupakan cermin- kebudayaan dan relativitas tersebut. an dari dorongan ini, karena setiap Dengan demikian, jalan tengah orang saling mementingkan diri yang dimaksud adalah bagaimana sendiri yang kemudian menimbulkan nilai-nilai universalitas HAM dapat kekacauan, sehingga nilai atau diintroduksi ke dalam Negara, norma menjadi tidak memiliki fungsi namun di sisi yang lain tetap menjaga dan peran yang kuat. Di sisi lain, teori partikularitas yang ada, karena pada relativitas kultural melihat bahwa prinsipnya HAM merupakan nilai- nilai-nilai moral dan budaya bersifat nilai dasar universal yang melampaui

88 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

kepentingan yang bersifat partikular HAM tandingan pada tahun 1980 (h. 70). “DUHAM disusun lebih banyak dan 1990-an. Secara jelas, demikian berdasar pengalaman Negara Barat, para penulis, Deklarasi Kairo yang namun ia bukanlah monopoli Barat. diadopsi pada tahun 1990 oleh OKI DUHAM dirumuskan tidak mewakili menggambarkan sikap komunitas suatu kerangka teologis atau metafisika Islam terhadap DUHAM, dengan tertentu, karena ia dirumuskan tidak menolak universalitas HAM di menjustifikasi agama tertentu. Hal ini dalamnya. memungkinkan agama apapun untuk Untuk menjelaskan hal ini, para membangun komitmen atas deklarasi penulis merujuk pada proposisi- tersebut berdasar norma yang dianut,” proposisi yang dibangun oleh demikian para penulis menegaskan. Abdullah Ahmed An-Naim, yaitu: Untuk itu pula, HAM harus terpadu pertama, formulasi standar HAM dengan kultur semua masyarakat. internasional memang mereflek- Perbedaan budaya, situasi, dan sikan pengalaman filsafat Barat, latar belakang masyarakat tidak namun bukan berarti norma HAM kemudian menjadi justifikasi dalam Deklarasi ini merupakan hal menolak nilai-nilai HAM, karena yang asing dan tidak sesuai dengan apapun latarbelakangnya, setiap masyarakat Asia atau Afrika yang orang membutuhkan perlindungan juga membutuhkan perlindungan dan pemenuhan setiap haknya HAM. Kedua, para aktivis HAM harus untuk mempertahankan martabat mendesakkan DUHAM sebagai dasar dan kehormatannya. Dan, HAM esensial bagi masyarakat beradab, menjamin kehormatan dan martabat bukan malah meninggalkannya, itu terpenuhi. karena kegagalan beberapa pemerin- Dari sini, para penulis kemudian tah untuk menegakkan prinsip-prinsip melangkah pada konteks yang tersebut. Dengan begitu, An-Naim lebih spesifik, yaitu agama, dengan menentang keras praktik sejumlah memfokuskan pada agama Islam, Negara yang menggunakan alasan yang dalam sejarahnya lebih partikularitas untuk melepaskan banyak bersinggungan dengan tanggung jawabnya sebagai perkembangan wacana HAM di komponen utama yang bertanggung dunia dan spesifik di Indonesia. jawab pelaksanaan dan pemenuhan Buku ini memotret perkembangan HAM di tingkat nasional. HAM di Negara-negara Muslim, Selanjutnya, buku ini masuk terutama yang tergabung di dalam pada pembahasan tentang konsep Organisasi Konferensi Islam (saat kebebasan beragama atau ber- ini Organisasi Kerjasama Islam, keyakinan secara lebih detil, dengan OKI) yang merumuskan deklarasi mengungkap delapan prinsip

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 89 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

KBB, yang meliputi: kebebasan dan hadis Nabi, buku ini mengulas internal, kebebasan eksternal, tidak tentang perdebatan status seorang ada paksaan atau koersi, tidak murtad atau pindah agama, berikut diskriminatif, hak orang tua dan pula ancaman hukuman mati bagi wali, kebebasan lembaga dan status para pelakunya. Dalam tulisannya, hukum, pembatasan yang diizinkan para penulis hendak menyampaikan pada kebebasan eksternal, serta hak pandangan berbeda tentang status yang tidak bisa dibatasi atau prinsip murtad, karena dalam beberapa non-derogable. Delapan prinsip ini riwayat disebutkan bahwa Rasulullah merupakan norma-norma yang tidak menghukum mati seseorang dalam penerapannya terkadang harus yang murtad, sebagaimana pernah dielaborasi dan ditafsirkan lagi, seperti dikemukakan oleh Ibrahim Al-Nakha’i misalnya dalam hal mengaitkan dan Sufyan Al-Tsauri. KBB dalam konteks individu dan “Pemberlakuan hukuman mati keyakinan kolektif sebuah komunitas karena afiliasi mereka dengan musuh- agama, yang dalam banyak kasus musuh Islam untuk memerangi Islam” jaminan perlindungan individu merupakan argumentasi mengapa berbenturan dengan kepentingan kemudian mereka tidak dihukum komunitas, seperti praktik di Negara- mati oleh Rasulullah. Untuk itu, negara Muslim tentang penodaan mengutip Subhi Mahmassasi, para agama. Untuk menjelaskan hal penulis menyebutkan, bahwa hu- ini, para penulis kemudian masuk kuman mati terhadap murtad ini pada pembahasan tentang diper- sangat terkait dengan situasi politik bolehkannya pembatasan KBB saat itu, sebagaimana Mahmud dalam hukum HAM, asalkan syarat- Syalthut, bahwa kekafiran tidak syaratnya dapat terpenuhi. Dalam secara otomatis menghalalkan hal ini pula, kontekstualisasi Dawam darah pelakunya, tetapi karena per- Rahardjo terhadap prinsip KBB musuhannya terhadap Islam. Para menjadi relevan diungkap dalam penulis mengungkap sejumlah fakta buku ini, dengan menegaskan 20 yang menguatkan pendapat ini, selain prinsip KBB dalam kaitannya dengan juga pandangan-pandangan para kehidupan berbangsa dan bernegara ahli hukum Islam dan fikih tentang (h. 82-83). keharusan mengkontekstualisasikan Pembahasan Bab III ini kemudian hadist murtad tersebut dengan dilanjutkan dengan kilasan tentang situasi saat hadist tersebut dikeluar- titik singgung krusial antara Islam kan (h. 88). dan HAM, terutama dalam kasus Pada bagian akhir Bab III buku, para murtad atau pindah agama. Dengan penulis membawa para pembaca merujuk pada sejumlah ayat Alquran kepada permasalahan yang lebih

90 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

kontekstual lagi, yaitu bagaimana ketika sebuah komunitas tidak lagi perdebatan tentang agama, Negara dibatasi dengan identitas pribadinya, dan kewarganegaraan terjadi di termasuk agama, namun didasarkan Indonesia, serta kaitannya dengan pada konstitusi yang memandang prinsip-prinsip KBB itu sendiri. setiap orang setara dan sama. Kewarganegaraan menjadi titik Untuk itu pula kemudian penulis tolak buku ini untuk membincang menegaskan bahwa perspektif politik relasi antara kebebasan internal Islam (fikih siyasah) yang disusun oleh dan kepentingan komunitas agama, para ahli fikih terdahulu dan masih karena prinsip ini menjadi meletak- meletakkan relasi sosial berbasis kan setiap orang sama di hadapan pada identitas, tidak cukup relevan hukum dan meniscayakan perlakuan dengan perkembangan zaman yang secara setara. Prinsip ini, setidaknya sama sekali berbeda. dalam konteks Indonesia, telah sesuai Pembahasan yang lebih kasuistik dengan prinsip kenegaraan dan dimuat oleh para penulis dalam berbangsa, sebagaimana ditegaskan Bab IV buku dengan mengungkap dalam Konstitusi dan peraturan sejumlah kasus-kasus pelanggaran perundangan lainnya. Kembali, KBB di Indonesia dan untuk penulis mengemukakan tentang menegaskan bagaimana jaminan hukum murtad dalam Islam, dengan KBB yang telah diatur di dalam mengutip pandangan Abdullah Kovenan Hak Sipil dan Politik yang Saeed. telah diratifikasi tersebut tidak Menurut Saeed, hak individu cukup berdampak positif di tingkat dalam masyarakat pra-modern nasional. Para penulis memetakan didefinisikan atas dasar komunitas kasus-kasus tersebut dalam tren eksklusif sehingga menjadi identitas pelanggaran, yaitu pemenjaraan, politik, yang tergambar dari klasifikasi tren pembatasan dan pelarangan, Negara menjadi daerah damai (dar dan tren pembatasan terhadap al-islam) dan daerah perang (dar al- akses rumah ibadah. Pada trend harb) dalam Islam. Konsekuensinya, pemenjaraan, para penulis merujuk mereka yang berbeda secara pada sejumlah kasus kriminalisasi identitas, walaupun diberikan penganut atau kelompok agama hak yang terbatas, juga diberikan atau keyakinan minoritas, seperti batasan-batasan yang tidak boleh pada kasus vonis terhadap Ishak mengganggu kepentingan mayoritas, Suhendra bin Shamad yang dipidana yang kemudian memengaruhi karena dianggap menodai perasaan produk hukum pada ahli fikih pada umat Islam dengan ajarannya yang waktu itu. Hal yang sangat berbeda mengandung unsur penyimpangan terjadi di masyarakat modern, yaitu dari ajaran Islam, kasus kriminalisasi

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 91 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

terhadap Lia Eden yang dianggap argumentasi keagamaan. menyebarkan ajaran sesat, kasus Tren terakhir yang diungkap buku Mohammad Ardi Husein al-Pardi ini difokuskan oleh para penulis yang juga dianggap sesat. Para untuk mengungkap fakta tentang penulis menegaskan bahwa Kovenan pelanggaran-pelanggaran KBB terha- ICCPR ternyata tidak cukup memadai dap kelompok minoritas agama untuk menghentikan praktik-praktik dan non-Muslim, dengan lebih kriminalisasi keyakinan di Indonesia, menitikberatkan pada hak-hak untuk di samping juga menggarisbawahi beribadat dan mendirikan rumah kuatnya pengaruh non-Negara ibadat, baik yang dilakukan oleh seperti MUI dalam upaya pemerintah masyarakat ataupun tidak jarang mengatasi masalah agama di bahkan para aparat pemerintah Indonesia. terlibat aktif. Dalam hal ini, Negara Tren kedua yang dilihat oleh para gagal untuk menjamin hak setiap penulis adalah pembatasan dan orang untuk memiliki rumah ibadat pelarangan yang difokuskan pada dan beribadat sesuai dengan kasus Ahmadiyah di Parung, Bogor, keyakinan mereka, karena dalam Ahmadiyah di Manislor, Kuningan, sejumlah kasus pemerintah juga dan Ahmadiyah di Lombok, NTB. tidak bisa tegas terhadap kelompok- Melalui konstruksi tiga kasus kelompok yang menciderai jaminan tersebut, para penulis hendak KBB atas rumah ibadat ini. menyampaikan, bahwa dengan Kedua buku ini tentu mengisi sekelumit kasus yang dialami oleh kekosongan referensi terkait dengan jemaat Ahmadiyah di Indonesia KBB di Indonesia, karena selain perlindungan kelompok minoritas secara norma-norma KBB, termasuk agama masih sangat jauh dari HAM, sering diidentikkan dengan harapan, apalagi diskriminasi Negara Barat, tidak banyak pula khazanah ini diikuti dengan serangkaian kasus- pemikiran Timur, terkhusus Indo- kasus kekerasan dan penyerangan nesia, yang dapat memberikan yang terkadang Negara sendiri kontribusi bagi pengembangan tidak mampu memberikan rasa pemikiran KBB itu sendiri. Buku keadilan dan pemulihan kepada pertama yang dikaji dalam tulisan ini korban. Akibatnya, diskriminasi, (Tore Lindhom, dkk., ed.) merupakan penyerangan dan bahkan kekerasan karya besar yang patut menjadi terus menerus terjadi secara rujukan oleh semua pihak yang meluas, sementara Negara tak bekerja untuk itu KBB di Indonesia, mampu berbuat banyak karena baik dari kalangan pemerintah, kuatnya desakan dari kelompok masyarakat sipil (NGO), ataupun konservatif Islam yang menggunakan akademisi, mengingat tema-tema

92 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

yang dibahas di dalamnya juga memiliki budaya dan peradaban menjadi permasalahan tersendiri berbeda, seperti di Timur Tengah, bagi masyarakat Indonesia dewasa Asia atau Afrika secara lebih jauh. ini. Untuk itu, buku ini menginspirasi Ditulis oleh penulis yang bagi semua pihak untuk lebih berbeda-beda, buku ini setidaknya mengembangkan lagi tema-tema KBB memberikan pandangan yang yang akhir-akhir ini mulai menggeliat beragam terhadap KBB, bahkan ada di Asia dan Indonesia secara khusus pula yang seakan berseberangan agar wacana KBB lebih menyentuh dalam melihat suatu permasalahan. permasalahan-permasalahan aktual Untuk itu, pembaca betul-betul di masing-masing Negara dan kawas- meletakkan buku ini sebagai hasil an. dari karya intelektual sarjana Adapun isi buku yang lebih banyak yang telah memiliki pengalaman mengangkat contoh dan kasus panjang dalam pemajukan hak KBB yang terjadi di Barat tentu menjadi dan tidak menutup kemungkinan catatan tersendiri buku tersebut, masih terjadinya pengembangan karena memang para kontributor dan pendalaman, sebagaimana kebanyakan sarjana Barat yang disebutkan di atas ketika kelompok cakupan advokasi atau penelitiannya humanis yang merasa cukup “muak” di Negara-negara Barat. Keragaman dengan kuatnya pengaruh agama kasus yang dimunculkan dan dalam dunia publik. banyaknya tema yang dibahas di Kebaruan tema KBB, setidaknya dalamnya, termasuk pula tulisan dibandingkan dengan tema-tema terakhir buku ini yang memuat kasus HAM lainnya, menjadikan diskursus Indonesia, menutupi kekurangan ini pemikiran KBB belum banyak tentunya. terungkap. Hal ini menjadi sangat Untuk itu pula, buku kedua wajar bila Tore Lindholm, dkk., harus (Ahmad Suaedy, dkk.) menjadi mengumpulkan banyak tulisan yang relevan bagi pembaca, karena kasus- mengupas permasalahan ini dan kasus yang diangkat sangat spesifik memasukkannya sebagai bagian di Indonesia, dengan menggunakan dari buku, walaupun di sisi yang kerangka pemikiran yang sama, yaitu lain, banyaknya cakupan isi buku prinsip-prinsip HAM universal dan menunjukkan bahwa ada banyak KBB. Hal yang sama ketika konsep tema dan kajian lain yang harus KBB secara khusus dihadapkan diperdalam. Pembahasan yang lebih dengan kerangka nilai agama yang banyak terfokus pada masyarakat dipandang oleh penganutnya lebih Barat ini harus dikembangkan lagi sakral, seperti Islam, buku ini telah di Negara-negara yang nota bene cukup mengelaborasi tema-tema

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 93 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

pokok yang terkadang sangat sensitif dan jarang dipahami secara utuh oleh orang Islam sendiri, seperti hukuman mati bagi pelaku murtad. Setidaknya, buku pertama tidak menyentuh secara mendalam tentang titik singgung kebudayaan ini, walaupun ada beberapa tulisan yang juga melihat bagaimana relasi antara KBB dan budaya masyarakat asli. Dalam hal ini, membaca kedua buku ini secara bersamaan sangatlah penting agar gambaran realitas permasalahan KBB di Indonesia nampak lebih terlihat dan kasus- kasus yang selama ini ada dapat lebih dikontruksikan lagi dalam wacana pemikiran yang tengah berkembang. Lebih dari itu, dua buku ini dapat memberikan pemahaman utuh dalam memahami norma-norma KBB dalam kerangka yang lebih luas, yaitu bagaimana norma-norma tersebut berkelindan dengan praktik dan lokalitas budaya di masyarakat.

94 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 UU No 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia Halili

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis beberapa pertanyaan kunci: 1) Apakah pembatasan semacam itu memiliki pendasaran dalam teori-teori HAM dan instrumen internasional? 2) Apa saja persoalan Undang-Undang (UU) No. 1/PNPS/1965 dalam konteks itu? 3) Apakah UU tersebut kompatibel dengan upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan oleh negara? Hasil pembahasan dan analisis menunjukkan beberapa kesimpulan utama: Pertama, UU PNPS bukanlah mekanisme pembatasan kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagaimana dimaksudkan dalam berbagai doktrin dan teori HAM serta ketentuan-ketentuan dasar derogasi dan limitasi sebagaimana diintroduksi dalam instrumen internasional dan nasional hak asasi manusia. Kedua, UU PNPS mengandung berbagai cacat materiil berkaitan dengan materi dan konsep penodaan agama serta tidak memberikan kepastian hukum dalam konsepsi-konsepsi hukum dan penegakan hukumnya. Ketiga, UU PNPS tidak kompatibel dengan upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan oleh negara. Sebaliknya UU ini berwatak restriktif dan bahkan stimulatif terhadap pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan. Keempat, implikasinya, pemerintah dan DPR harus segera menyusun politik legislasi baru berkaitan dengan kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagai pengganti UU PNPS.

Kata Kunci: Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, UU PNPS, Hak Asasi Manusia

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 95 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

A. Pendahuluan

ebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) me-rupakan salah satu hak dasar yang urgen, dan bersifat elementer dalam relasi warga negara dengan negara.68 Dalam renungan Kuntjoro Purbopranoto (1979), kebebasan beragama meru-pakan suatu hak asasi yang terkenalK dan yang mempunyai riwayat yang amat mengharukan pula, sampai berurat dalam abad-abad ke-16 dan ke-17.69 Secara konstitusional, negara memanggul kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan. Konstitusi menegaskan jaminan itu dalam Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28E Ayat (2), Pasal 28I Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 29 Ayat (1), dan Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, pemerintah juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang memberikan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan, yaitu pada Pasal 18. Demikian juga UU Hak Asasi Manusia, memberikan penegasan bahwa kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan hak dasar, utamanya Pasal 4 dan Pasal 22. Namun, secara faktual kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan dan pluralisme pada umumnya berada dalam situasi bahaya.70 Laporan riset dan pemantauan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia yang dirilis oleh SETARA Institute menunjukkan tren peningkatan intoleransi, diskriminasi, dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.71 Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain soal kebijakan negara dalam pengaturan kebebasan beragama/berkeyakinan tersebut yang

68 Konstitusi di hampir seluruh negara, baik sekuler, teokratis, maupun di antara keduanya. Di AS yang sekuler, kebebasan beragama (freedom of religion) merupakan salah satu kebebasan sipil yang masuk dalam amandemen pertama Konstitusi AS. Di Iran, minoritas agama memiliki kebebasan dan perlindungan negara. Lihat Muhammad Anis (2013), Islam dan Demokrasi: Perspektif Wilayah Faqih. Jakarta: Mizan, hlm. 194-195. Di Indonesia, kebebasan beragama merupakan hak dasar yang mendapatkan afirmasi khusus sejak Konstitusi pertama RI yang dirumuskan oleh para pendiri negara (the founding fathers), yaitu pada pasal 29 ayat (2). 69 Untuk menjustifikasi atribusi itu, Purbopranoto mengutip Prof Logemann yang meneruskan Jellineck, “voor het eerst in de geschiedenis de erkenning van de vrijheid van elk mens, ook van de heidenen, inzake religie in de constitutie van Providance van 1637 als consequentie der tolerantie wordt aan vaarrd!”. Lihat Purboranoto, Hak Azasi Manusia dan Pancasila (Jakarta, Pradnya Pramita, 1979) hlm. 32. 70 Lihat Laporan Christian Solidarity Worldwide (CSW), 2014, INDONESIA: Pluralism in Peril (The rise of religious intolerance across the archipelago), London: CSW, versi pdf-nya dapat dapat diunduh di alamat website www.csw.org.uk/2014-indonesia-report 71 Setara melakukan riset tahunan dan rilis secara reguler setiap tahun, mulai dari Tunduk pada Penghakiman Massa (2007) hingga Stagnasi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (2013). Dalam riset SETARA Institute delapan tahun tersebut tampak bahwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan menampakkan tren peningkatan. Meskipun secara kuantitatif naik turun, namun secara kualitatif bobot masalah, baik di level masyarakat maupun negara.

96 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

kerap memberikan stimulus bagi umum dalam suatu masyarakat pelanggaran HAM dalam bidang demokratis.” kebebasan beragama/berkeyakinan atau dengan sendirinya melanggar. Di antara pembatasan yang kerap Padahal, dalam kon-teks kebijakan, dijadikan justifkasi dalam menindak negara dituntut untuk menunaikan pemeluk agama/keyakinan adalah kewajibannya dalam bentuk doktrin penodaan agama. Peraturan pencabutan produk perundang- perundang-undangan utama yang undangan yang res-triktif dan digunakan untuk mengukuhkan pembangunan produk perundang- pembatasan kebebasan beragama/ undangan yang kondusif di samping berkeyakinan adalah UU No. 1/ pemberian reparasi dalam bentuk PNPS/1965 tentang Pencegahan pemulihan hak-hak korban jika Penyalahgunaan dan/atau Penodaan pelanggaran sudah terlanjur terjadi. Agama. Pasca putusan Mahkamah Sayangnya ruang untuk penu- Konstitusi yang menyatakan naian kewajiban dan tanggung bahwa UU No.1/PNPS/1965 tidak jawab negara dipersempit sendiri bertentangan dengan konstitusi, se- oleh negara melalui berbagai makin tegaslah pengaturan negara regulasi. Argumentasi yang paling mengenai penyalahgunaan dan/atau seringkali dijadikan justifikasi adalah penodaan agama sebagai bentuk pembatasan kebebasan beragama/ dimungkinkannya derogasi atau berkeyakinan. pengurangan dan pembatasan pada Pertanyaannya, apakah pem- hak-hak tertentu, khususnya hak batasan semacam itu memiliki sipil dan politik. Dalam konstitusi pendasaran dalam teori-teori HAM RI, pembatasan dan pengurangan dan instrumen internasional? Apa didasarkan pada ketentuan Pasal 28J saja persoalan UU No. 1/PNPS/1965 Ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: dalam konteks itu? Apakah UU “Dalam menjalankan hak dan tersebut kompatibel dengan upaya kebebasannya, setiap orang wajib perlindungan dan jaminan kebe- tunduk kepada pembatasan yang basan beragama/berkeyakinan oleh ditetapkan dengan undang-undang negara? dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta B. Doktrin Derogasi dan Limitasi penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi Dalam perspektif teori HAM, tuntutan yang adil sesuai dengan dikenal doktrin pengurangan dan pertimbangan moral, nilai-nilai pembatasan dalam hak sipil dan agama, keamanan, dan ketertiban politik. Derogasi merupakan me-

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 97 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

kanisme yang memungkinkan keamanan nasional, dan disintegrasi “pengecualian” bagi suatu negara bangsa. Contohnya, perang saudara untuk menyimpangi tanggung dan bencana alam yang hebat seperti jawabnya secara hukum karena tsunami Aceh. adanya situasi khusus atau darurat. Meskipun begitu, derogasi Maka hak-hak yang boleh diderogasi hanya dapat dikenakan pada hak- dikenal sebagai derogable rights. hak tertentu. Derogasi tidak bisa Pasal 4 Kovenan Internasional dilakukan pada semua hak yang tentang Hak Sipil dan Politik diatur dalam Kovenan Internasional, menyatakan bahwa “dalam keadaan sebab derogasi memungkinkan suatu darurat umum yang mengancam negara untuk melepaskan diri dari kehidupan bangsa dan keadaan pelanggaran terhadap bagian tertentu darurat tersebut telah diumumkan suatu perjanjian internasional. secara resmi, Negara Pihak pada Padahal secara prinsipil, seluruh hak Kovenan ini dapat mengambil dasar yang diakui negara-negara tindakan untuk mengurangi kewajib- beradab, diakui dan diatur dalam an mereka menurut Kovenan ini, norma dan instrumen nasional harus sejauh yang sungguh-sungguh dihormati, dipenuhi, dan dilindungi diperlukan oleh tuntutan situasi, seoptimal dan sejauh mungkin. dengan ketentuan bahwa tindakan Berdasarkan Prinsip Siracusa,72 tersebut tidak bertentangan terdapat dua perlakuan terhadap dengan kewajiban lain Negara Pihak implementasi HAM, yaitu: prinsip menurut hukum internasional dan non-derogable rights (hak-hak yang tidak menyangkut diskriminasi yang tak dapat ditunda atau ditangguhkan semata-mata didasarkan atas ras, pemenuhannya) dan derogable warna kulit, jenis kelamin, bahasa, rights (hak-hak yang dapat ditunda agama atau asal-usul sosial.” Pada atau ditangguhkan pemenuhannya). umumnya hampir semua perjanjian Prinsip Siracusa menggaris-bawahi internasional memiliki ketentuan bahwa hak-hak yang dapat ditunda tentang derogasi, seperti halnya atau ditangguhkan hanya dapat dengan ketentuan dalam Kovenan diberlakukan pada situasi atau Internasional tentang Hak Sipil dan 72 Prinsip Siracusa adalah prinsip tentang Politik. ketentuan pembatasan dan derogasi hal Derogasi dapat dilakukan dalam dalam ICCPR. Lahir dalam pertemuan peraturan perundang-undangan na- Panel 31 ahli hak asasi manusia dan hukum internasional dari berbagai negara di Sicilia sional, paling tidak, dilakukan dengan Italia tahun 1984. Pertemuan ini menghasilkan tiga alasan utama, yaitu: suatu seperangkat standar interpretasi atas klausul pembatasan hak dalam ICCPR. Lihat Ismail keadaan darurat yang esensial dan Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed.) mengancam kelanjutan hidup suatu (2011), juga Halili dan Bonar Tigor Naipospos (2014), Stagnasi Kebebasan Beragama, negara, ancaman esensial terhadap Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, hlm. 6

98 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

kondisi tertentu yang dianggap kecuali karena alasan-alasan yang dapat membahayakan kepentingan dapat dibenarkan oleh Kovenan, umum. yaitu: Sementara prinsip non-derogable 1) guna melindungi keamanan rights menegaskan hak yang bersifat nasional dan ketertiban umum, mutlak/absolut, dan oleh karenanya 2) melindungi kesehatan atau moral tak dapat ditangguhkan atau masyarakat, atau ditunda dalam situasi atau kondisi 3) melindungi hak-hak dan apapun. Hak-hak yang terkandung kebebasan dari orang lain, dan dalam prinsip ini mencakup: hak yang sesuai dengan hak-hak lain hidup (tidak dibunuh), hak atas yang diakui dalam Kovenan. keutuhan diri (tidak disiksa, diculik, dianiaya, diperkosa), hak untuk Selain itu, pembatasan terse- tidak diperbudak, hak untuk bebas but harus diterapkan secara beragama, berpikir dan berkeyakinan, proporsional. Asas proporsionalitas hak untuk diperlakukan sama di dalam pembatasan tersebut, paling muka hukum, hak untuk tidak tidak, harus dilakukan dengan dipenjara atas kegagalannya menenuhi dua aspek: 1) tidak boleh memenuhi kewajiban kontraktual, diterapkan secara diskriminatif, serta hak untuk tidak dipidana dan 2) dituangkan dalam bentuk berdasarkan hukum yang berlaku peraturan perundang-undangan. surut. Dengan demikian, segala jenis Dengan demikian, limitasi juga tindakan yang dapat mengakibatkan merupakan “norma pengecualian” hilangnya hak seseorang ataupun dari norma umum hak asasi manusia sekelompok orang untuk bebas sebagaimana dinyatakan dalam beragama—sebagai salah satu Kovenan Internasional. Karena ber- unsur non-derogable rights—dapat sifat pengecualian, maka kriteria dan digolongkan sebagai pelanggaran indikator yang dikenakan juga harus hak asasi manusia. ketat, dengan mengacu pada norma Sedangkan limitasi merupakan dan hukum internasional. doktrin yang memungkinkan negara Dalam konteks derogasi dan melakukan pembatasan pada hak- limitasi tersebut, pengaturan kebe- hak tertentu. Pasal 12 Kovenan basan beragama/berkeyakinan Internasional Hak Sipil dan Politik, dapat dilakukan, tetapi bukan yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam kerangka tindakan negara melalui UU No 12 Tahun 2005, (termasuk tindakan hukum) yang menegaskan bahwa pembatasan memungkinkan, membuka peluang, terhadap hak-hak sipil dan politik atau bahkan mendeterminasi ter- pada dasarnya tidak boleh dilakukan, jadinya pelanggaran atas kebebasan

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 99 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

beragama/berkeyakinan. Sebaliknya, Dalam perspektif itu, negara harus “intervensi” negara dalam bentuk menyediakan mekanisme-mekanis- pengembangan regulasi dan me hukum yang memberikan kebijakan haruslah bertujuan untuk jaminan dan mekanisme penegakan menghormati, melindungi, dan hukum jika terjadi pelanggaran atas menjamin implementasi kebebasan hak tersebut. beragama/berkeyakinan sebagai hak Hal tersebut berkaitan dengan dasar. beberapa aspek. Pertama, substansi hak. Hakikatnya, kebebasan C. Pembatasan KBB sebagai Hak beragama/berkeyakinan merupakan hak mutlak (absolute) dan tidak Sipol dapat dikurangi, dibatasi, dicampuri dalam keadaan apapun, termasuk Secara substantif, kebebasan dalam keadaan darurat perang beragama/berkeyakinan merupakan (non derogability). Namun demikian, hak asasi manusia yang dijamin pembatasan tetap dimungkinkan dan dilindungi oleh konstitusi paling tidak jika mengacu pada negara, hukum nasional, dan doktrin limitasi, terutama untuk hukum internasional. Hak setiap alasan-alasan yang telah disebutkan warga negara untuk beragama/ pada ulasan sebelumnya, yaitu, demi berkeyakinan merupakan hak asasi melindungi kepentingan publik, manusia yang bersifat mutlak, tidak kesehatan dan moralitas umum, dapat dikurangi, dibatasi, atau serta hak-hak dan kebebasan orang dicampuri oleh siapapun, dalam lain. Dengan demikian, pembatasan keadaan apapun, dalam keadaan (limitasi) yang dilakukan, pada darurat perang sekalipun.73 dasarnya untuk perlindungan dan Kebebasan beragama/berke- pemajuan hak tersebut, bukan untuk yakinan tersebut harus dilindungi pengurangannya. dan ditegakkan oleh negara. Kedua, fungsi negara. Negara harus berdiri tegak dan konsisten 73 Payung hukum untuk kebebasan beragama/ untuk memenuhi fungsi-fungsi berkeyakinan dalam bentuk instrumen nasional dan internasional antara lain aksiologisnya, antara lain: sebagai berikut: 1) Deklarasi Umum Hak 1) melaksanakan ketertiban (law Asasi Manusia tahun 1948 (pasal 18), UUD Negara RI Tahun 1945, UU Nomor 39 Tahun order) untuk mencapai tujuan 1999 tentang Hak Asasi Manusia (pasal dan menghindari tindakan 4, pasal 22 ayat (2), UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International konflik berkekerasan, Covenant on Elimination of All Forms of 2) mengusahakan kesejahteraan Racial Discrimination/CERD atau Kovenan dan kemakmuran rakyat, Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang 3) penjagaan dan pertahanan Pengesahan International Covenant on Civil ancaman dan serangan dari and Political Right/ICCPR atau Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. luar, dan

100 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

4) menegakan pengadilan melalui Internasional tersebut menegaskan badan-badan peradilan.74 bahwa kebebasan beragama/ berke- yakinan mencakup: Dengan demikian, dalam konteks kebebasan beragama/berkeyakinan, 1) Kebebasan untuk menganut atau negara harus menyediakan segala memilih agama atas kepercayaan mekanisme dan prosedur hukum atas pilihannya sendiri, dan untuk melindungi hak warga negara, kebebasan, baik secara sendiri mencegah terjadinya pelanggaran maupun bersama-sama dengan oleh warga negara—lebih-lebih oleh orang lain, baik di tempat aparat negara, dan menegakan umum atau tertutup, untuk hukum jika terjadi pelanggaran atas mengejawantahkan agama atau kebebasan beragama/berkeyakinan kepercayaannya dalam kegiatan tersebut. ibadah, penaatan, pengamalan Ketiga, pengaturan oleh negara. dan pengajaran; Berkaitan dengan dua aspek tersebut 2) Tanpa pemaksaan sehingga maka tindakan negara bukan sesuatu terganggu kebebasannya untuk yang tabu, namun dengan tujuan menganut atau memilih agama melindungi, memajukan, mencegah atau kepercayaan sesuai dengan pelanggaran, dan menegakkan pilihannya; hukum atas pelanggaran yang ada. 3) Kebebasan untuk mengejawan- Dalam konteks itu, maka pertanyaan tahkan agama atau kepercayaan selanjutnya adalah: bagaimana seseorang hanya dapat dibatasi lingkup pembatasan tersebut dan oleh ketentuan berdasarkan apa kriteria-kriterianya. hukum, dan hanya apabila di- Sebelum mengulas batasan- perlukan untuk melindungi batasan pembatasan tersebut, keamanan, ketertiban, kesehatan kita perlu meninjau ruang lingkup atau moral masyarakat, atau hak- kebebasan beragama/berkeyakinan hak dan kebebasan mendasar yang menjadi objek afirmasi dalam orang lain; aneka instrumen nasional dan 4) Negara-negara pihak kovenan internasional. Instrumen pokok hak ini berjanji untuk menghormati asasi manusia yang menjadi dasar kebebasan orang tua, dan apabila bagi jaminan kebebasan beragama/ diakui, wali hukum yang sah, berkeyakinan adalah Kovenan untuk memastikan bahwa agama Internasional tentang Hak-hak Sipil dan moral bagi anak-anak mereka dan Politik yang diadopsi oleh PBB sesuai dengan keyakinan mereka pada tahun 1966. Pasal 18 Kovenan sendiri.

74 Lihat Miriam Budiardjo (1998), Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, hlm. 46.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 101 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

Pada tahun 2005, pemerintah praktik hubungan internasional Indonesia telah meratifikasi kovenan pada umumnya. Sebagai negara internasional ini melalui UU No. 12 anggota PBB, Indonesia tidak bisa Tahun 2005 tentang Pengesahan sekonyong-konyong mengabaikan Kovenan Internasional tentang Hak- deklarasi ini dalam menjalankan hak Sipil dan Politik. Kovenan ini kewajiban memenuhi hak asasi bersifat mengikat secara hukum warga negaranya. (legally binding) dan sebagai negara Pasal 6 Deklarasi Penghapusan pihak (state parties) yang telah Segala Bentuk Intoleransi dan meratifikasi, Indonesia berkewajiban Diskriminasi Berdasarkan Agama memasukkannya sebagai bagian dan Keyakinan, menegaskan bahwa dari perundang-undangan nasional sesuai dengan ketentuan Pasal 1 dan memberikan laporan periodik Deklarasi ini dan dengan tunduk kepada Komisi HAM PBB. pada ketentuan-ketentuan Pasal 1 Sedangkan instrumen Hak Asasi Ayat (3), maka hak atas kebebasan Manusia lainnya yang mengatur pikiran, hati nurani, beragama atau jaminan kebebasan beragama/ keyakinan harus mencakup, antara berkeyakinan adalah Deklarasi Peng- lain, kebebasan-kebebasan berikut: hapusan Segala Bentuk Intoleransi 1) Beribadah atau berkumpul dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dalam hubungannya dengan atau Keyakinan (Declaration on The suatu agama atau keyakinan, Elimination of All Forms of Intolerance dan mendirikan serta mengelola and of Discrimination Based on tempat-tempat untuk tujuan- Religion or Belief) yang dicetuskan tujuan ini; melalui resolusi Sidang Umum 2) Mendirikan dan mengelola PBB No. 36/55 pada 25 November berbagai lembaga amal atau 1981. Deklarasi ini jauh lebih rinci kemanusiaan yang tepat; mengatur jaminan kebebasan 3) Membuat, memperoleh dan beragama/berkeyakinan dibanding mempergunakan sampai sejauh Kovenan Internasional tentang Hak- memadai berbagai benda dan Hak Sipil dan Politik, hanya saja material yang diperlukan ber- karena bentuknya deklarasi maka kaitan dengan upacara atau bersifat tidak mengikat (non binding) istiadat suatu agama atau bagi negara pihak. Namun demikian, keyakinan; meskipun tidak mengikat secara 4) Menulis, mengemukakan dan hukum, deklarasi ini mencerminkan menyebarluaskan berbagai pe- konsensus universal dari komunitas nerbitan yang relevan di bidang- internasional. Oleh karena itu, bidang ini; memiliki kekuatan moral dalam 5) Mengajarkan suatu agama atau

102 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

keyakinan di tempat-tempat yang serta berhak kembali. cocok untuk maksud-maksud ini; 2) Setiap orang berhak atas meyakini 6) Mengumpulkan dan menerima kepercayaan, menyatakan pikir- sumbangan-sumbangan keuang- an dan sikap, sesuai dengan hati an dan sumbangan-sumbangan nuraninya. lain sukarela dari perseorangan atau lembaga; Dari dua pasal konstitusi tersebut 7) Melatih, menunjuk, memilih atau dapat dicermati bahwa jaminan mencalonkan dengan suksesi konstitusional atas hak untuk para pemimpin yang tepat yang beragama/berkeyakinan sangatlah diminta dengan persyaratan- kuat di dalam UUD 1945. Jaminan persyaratan dan standar-standar konstitusional tersebut berimplikasi agama atau keyakinan apapun; pada pemaknaan dan sekaligus 8) Menghormati hari-hari istirahat, tuntutan kebijakan turunannya, dan merayakan hari-hari libur minimal sebagai berikut: dan upacara; 1. Negara harus memberikan 9) Mendirikan dan mengelola ko- jaminan pengayoman dan ruang munikasi-komunikasi dengan yang seluas-luasnya bagi setiap seseorang dan masyarakat dalam warga negara merdeka untuk persoalan-persoalan agama atau beragama serta menjalankan keyakinan pada tingkat nasional agama dan keyakinannya. dan internasional, upacara me- 2. Negara tidak boleh membuat nurut ajaran-ajaran agama atau berbagai larangan dan hambatan keyakinan seseorang. bagi penduduk untuk menjalankan agama dan keyakinannya.75 Konstitusi Negara Republik Indo- nesia, UUD Negara RI 1945, dalam Sesuai ketentuan Pasal 29 Pasal 28E juga telah menegaskan UUD 1945, negara mengemban jaminan kebebasan beragama/ tanggung jawab konstitusional berkeyakinan, sebagaimana bunyi untuk melindungi hak beragama pasal berikut: setiap warga negara. Negara me- miliki kewajiban untuk menjamin 1) Setiap orang bebas memeluk kebebasan beragama/ berkeyakinan agama dan beribadat menurut sebagaimana dinyatakan dalam agamanya, memilih pendidikan Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945. dan pengajaran, memilih peker- Hal itu sejalan dengan mandat jaan, memilih kewarga-negaraan, Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 yang memilih tempat tinggal di wilayah 75 Lihat Ismail Hasani (ed) (2011), Dokumen Kebijakan Penghapusan Diskriminasi Agama/ negara dan meninggalkannya, Keyakinan, Pustaka Masyarakat SETARA, Jakarta, hlm. 81.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 103 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

harus dipenuhi negara, terutama kebebasan setiap orang atas agama pemerintah. Pasal 28I Ayat (4) atau keyakinan.77 Prinsip dasar menyatakan bahwa perlindungan, kewajiban negara untuk menghormati pemajuan, penegakan, dan peme- hak asasi manusia adalah bahwa nuhan hak asasi manusia adalah negara tidak melakukan hal-hal tanggung jawab negara, ter-utama yang melanggar integritas individu pemerintah. Itu berarti bahwa atau kelompok atau mengabaikan pemerintah dibebani kewajiban kebebasan mereka. Sementara untuk melindungi dan menghormati kewajiban untuk melindungi adalah hak asasi manusia. mengambil tindakan-tindakan yang Berdasarkan kedua instrumen diperlukan untuk melindungi hak hak asasi manusia dan Konstitusi seseorang/kelompok orang atas RI di atas, maka lingkup kebebasan kejahatan/pelanggaran hukum/ beragama/berkeyakinan secara kekerasan yang dilakukan oleh umum meliputi: individu atau kelompok lainnya, 1) Kebebasan untuk memeluk suatu termasuk mengambil tindakan agama atau keyakinan pilihannya pencegahan terjadinya pengabaian sendiri, yang menghambat penikmatan 2) Kebebasan baik secara sendiri kebebasan mereka. maupun bersama-sama dengan Kemudian rambu-rambu seper- orang lain menjalankan ibadah ti apa yang dapat dikenakan kepa- agama atau keyakinan sesuai da negara untuk memberikan yang dipercayainya, pembatasan, namun dengan tidak 3) Kebebasan untuk mematuhi, melanggar—sebaliknya menduku-ng mengamalkan dan menyelengga- dan mempromosikan perlindung- rakan pengajaran secara terbuka an—substansi kebebasan beragama/ atau tertutup.76 berkeyakinan tersebut sebagai hak Indonesia sebagai negara pihak dasar? Prinsip Siracusa memberikan dalam hukum internasional hak asasi tafsir secara lebih operasional manusia berkewajiban (obligation mengenai pembatasan kebebasan of the state) untuk menghormati (to hak sipil dan politik, termasuk hak respect) dan melindungi (to protect) untuk beragama/berkeyakinan. Berkaitan dengan itu, kebebasan 76 Pasal 18 Deklarasi Universal Hak-hak beragama/berkeyakinan dapat di- Manusia (1948): “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; kategorikan ke dalam dua jenis dalam hal ini termasuk kebebasan berganti kebebasan, yaitu forum internum agama atau keyakinan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau keyakinan dengan dan eksternum yang keduanya cara mengajarkannya, mempraktikkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, 77 Lihat Pasal 18 DUHAM, Pasal 18 ICCPR, baik sendiri maupun bersama-sama dengan Pasal 28 I, 28 E, 29 UUD Negara RI 1945. orang lain, di muka umum maupun sendiri.”

104 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

dilindungi oleh hukum.78 Forum untuk memanifestasikan agama dan internum berarti bahwa setiap keyakinannya dalam pengajaran, orang memiliki hak atas kebebasan pengamalan, ibadah, dan pena- berpikir, berkeyakinan dan ber- taannya.80 Kebebasan eksternal agama, termasuk kebebasan untuk tersebut, dalam situasi khusus memiliki, menganut, memperta- tertentu, negara diperbolehkan hankan atau pindah agama atau membatasi atau mengekang hak-hak keyakinan. Kebebasan perorangan dan kebebasan ini, namun dengan yang mutlak, asasi, yakni forum margin of discretion atau prasyarat internum (kebebasan internal) yang ketat dan legitimate berdasarkan adalah kebebasan di mana tak ada prinsip-prinsip Siracusa. satu pihak pun yang diperbolehkan Yang termasuk dalam rumpun campur tangan (intervensi) terhadap kebebasan eksternal adalah (1) perwujudan dan dinikmatinya kebebasan untuk beribadah baik hak-hak dan kebebasan ini. Yang secara pribadi maupun bersama- termasuk dalam rumpun kebebasan sama, baik secara tertutup maupun internal adalah (1) hak untuk bebas terbuka; (2) kebebasan untuk menganut dan berpindah agama; mendirikan tempat ibadah; (3) dan (2) hak untuk tidak dipaksa kebebasan untuk menggunakan menganut atau tidak menganut simbol-simbol agama; (4) kebebasan suatu agama.79 untuk merayakan hari besar agama; Sedangkan forum externum berarti (5) kebebasan untuk menetapkan setiap orang memiliki kebebasan, pemimpin agama; (6) hak untuk baik sendiri-sendiri maupun mengajarkan dan menyebarkan bersama orang lain, baik dalam ajaran agama; (7) hak orang tua wilayah publik maupun pribadi, untuk mendidik agama kepada 78 Ada 8 elemen pokok hak kebebasan anaknya; (8) hak untuk mendirikan beragama/berkeyakinan, antara lain adalah: 1) kebebasan internal (forum internal), 2) dan mengelola organisasi atau kebebasan eksternal (forum external), 3) perkumpulan keagamaan; dan (9) tak ada paksaan (non coersion), 4) tidak hak untuk menyampaikan kepada diskriminatif (non discrimination), 5) hak dari orang tua dan wali, 6) kebebasan lembaga dan pribadi atau kelompok materi-materi status legal, 7) pembatasan yang diijinkan, keagamaan.81 dan 8) tidak dapat dikurangi (non derogability). Lihat dalam buku Nurkholis Hidayat, Meski sifat dasar HAM tidak dapat dkk., Peradilan Kasus-Kasus Kebebasan dihilangkan ataupun dicabut dan Beragama dan Berkeyakinan; Rangkuman 8 Studi Kasus: Dampak,Pencapaian, Hambatan bersifat total pada setiap manusia, dan Strategi, (Jakarta: LBH Jakarta, 2011), hal. 20-21. 80 Ibid., hal. 20. 79 Lihat Pasal 18 DUHAM, Pasal 18 ICCPR, 81 Semua jaminan hak-hak ini tercantum dalam Deklarasi Universal 1981 tentang Pasal 18 ICCPR, Komentar Umum No. 22 Penghapusan Intoleransi dan Diskriminasi Komite HAM PBB, dan Deklarasi Universal Berdasarkan Agama/Keyakinan, dan 1981 tentang Penghapusan Intoleransi dan Komentar Umum No. 22 Komite HAM PBB. Diskriminasi Berdasarkan Agama/Keyakinan.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 105 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

namun berdasarkan Prinsip Sira- Pasal 1 Undang-Undang tersebut cusa yang telah disepakati, dero- menegaskan: gasi dan limitasi dimungkinkan dan Setiap orang dilarang di muka dapat diberlakukan pada situasi umum menceritakan, meng- atau kondisi tertentu yang dianggap anjurkan atau mengusahakan du- dapat membahayakan kepentingan kungan umum, untuk melakukan umum. penafsiran tentang sesuatu Meskipun diskursus hak asasi agama yang dianut di Indonesia manusia mengakui adanya pem- atau melakukan kegiatan-kegiatan batasan dalam menunaikan jaminan keagamaan yang menyerupai kebebasan hak-hak asasi manusia, kegiatan-kegiatan keagamaan dari pemantauan ini tetap melingkupi agama itu; penafsiran dan kegiatan berbagai pelanggaran baik hak- mana menyimpang dari pokok- hak yang termasuk dalam kategori pokok ajaran agama itu. forum internum maupun kebebasan yang masuk dalam kategori forum Hakim Harjono yang mengajukan eksternum. concurring opinion dalam uji materi Dengan demikian, kita bisa UU tersebut di MK, menyatakan menguji UU No.1/PNPS/1965 tentang bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Pencegahan Penyalahgunaan dan/ telah mengalami perubahan. Dalam atau Penodaan Agama dari pers- perubahan tersebut terdapat dua pektif tersebut. Apakah peraturan unsur yang harus diperhatikan, yaitu : (1) perlindungan agama; (2) perundang-undangan ini kompatibel hak kebebasan meyakini sebuah atau tidak dengan jaminan kepercayaan kepada pihak lain. perlindungan hak asasi manusia Hubungan antara kedua unsur harus baik menurut instrumen hukum disatukan dalam formula yang tidak nasional maupun internasional. saling menegasikan. Dalam kaitan dengan hal itu, Hakim Harjono D. Masalah UU No. 1/PNPS/1965 berpandangan bahwa penerapan Undang-Undang Penodaan Agama Undang-Undang Nomor 1/ secara harfiyah dapat menimbulkan PNPS/1965 merupakan salah satu ketidakseimbangan, sehingga me- masalah fundamental dalam hierarki rusak keinginan untuk mencari hukum kebebasan beragama/ keseimbangan dua unsur tersebut.82 berkeyakinan di Indonesia. UU yang bermula dari legislasi “tidak normal” 82 Margiyono, dkk., “Bukan Jalan Tengah” Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah berupa penetapan Presiden (PNPS) Konstitusi Perihal Pengujian Undang- ini megandung beberapa cacat Undang Nomor 1/PNPS/ Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, materiil. The Indonesian Legal Resourse Center (ILRC), Jakarta, 2010, hlm. 76

106 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

Musababnya, Pasal 1 UU ter- subjektif dinilai “tidak sejalan” sebut menurut Harjono, dari dengan tafsir mayoritas, 2) Negara sudut redaksional mengandung mengintervensi terlalu jauh ke ketidakjelasan sehingga tidak dalam ruang privat terdalam (forum memenuhi syarat tindak pidana internum) individu warga negara, yang haruslah jelas (lex certa). bahkan hingga ke ruang tafsir di Dengan alasan itu, ia menyarankan kepala dan hati mereka, 3) Negara perlunya melakukan revisi terhadap tidak menjamin kepastian hukum Undang-Undang Penodaan Agama bagi seluruh warga negara dengan oleh Pembuat Undang-Undang. membentuk dan menerapkan Satu yang pasti, UU tersebut undang-undang yang mengatur tidak dapat memberikan kepastian objek dan substansi yang abstrak, untuk terlaksananya hak beragama/ kabur, dan absurd. berkeyakinan bagi warga negara. Di samping itu, UU ini juga UU tersebut juga tidak dapat mengandung cacat materiil yang memberikan kepastian untuk tidak berkaitan dengan proses beracara terjadinya perlakuan yang bersifat terhadap penyalahgunaan dan diskriminatif dalam pelaksanaan penodaan agama. UU ini tidak hak beragama dan berkeyakinan mengatur mengenai mekanisme seseorang, yang disebabkan oleh hukum yang harus dilakukan oleh karena UU tersebut mengandung aparat penegak hukum, sebelum unsur-unsur materiil yang tidak seseorang atau organisasi yang jelas maksudnya atau mengandung diduga melakukan pelanggaran banyak tafsir. Fakta tersebut diakui diberi teguran, peringatan atau oleh seluruh hakim konstitusi pembubaran. Teguran dan pe- yang memeriksa proses pengujian ringatan dapat diberikan begitu Undang-Undang ini. Kondisi ter- saja tanpa terlebih dahulu adanya sebut sekaligus mengisyaratkan pembuktian terhadap tindakan bahwa UU tersebut tidak memadai yang disangkakan. Kondisi tersebut untuk memberikan kepastian membuka ruang untuk terjadinya agar hak beragama/berkeyakinan tindakan sewenang-wenang dan terlaksana tanpa pelanggaran dan perlakukan diskriminasi dalam diskriminasi. pelaksanaan hak beragama dan Dengan demikian, kekeliruan berkeyakinan. mendasar dalam Undang-Undang Oleh karena itu, elemen tersebut—sebagaimana tergambar masyarakat sipil—Setara Institute secara eksplisit dalam rumusan merupakan bagian di dalamnya— Pasal 1 di atas—antara lain: 1) mengajukan uji materi UU PNPS ke Pemerintah mendiskriminasi peme- Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui luk agama dengan tafsir yang secara Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 107 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

dalam perkara Pengujian Undang- pembentuk Undang-Undang untuk Undang Nomor 1/PNPS/1965, MK melakukannya melalui proses menyatakan bahwa UU tersebut legislasi yang normal.83 konstitusional, dan permohonan Apapun kontroversi yang me- para pemohon ditolak. Namun latarinya, pada akhirnya UU demikian, MK mengakui bahwa tersebut tetap merupakan hukum UU ini memiliki kelemahan positif dalam hirarki hukum yang memerlukan diadakannya nasional. Hingga kini UU tersebut perubahan. Dalam poin [3.71] tetap dijadikan landasan bagi pendapat hukumnya, Mahkamah pembentukan beberapa peraturan Konstitusi menyatakan : pelaksana tentang pengaturan Menimbang bahwa Mahkamah kebebasan beragama/berkeyakinan dapat menerima pandangan para dan kehidupan beragama di ahli seperti Andi Hamzah, Azyumardi Indonesia. Azra, Edi OS Hiariej, Emha Ainun Peraturan pelaksana tersebut Nadjib, Siti Zuhro, Jalaludin Rakhmat, sebagian berbentuk Peraturan dan Ahmad Fedyani Saifuddin, Taufik Keputusan Bersama Menteri. Yang Ismail, dan Yusril Ihza Mahendra, paling kontroversial di antaranya yang menyatakan perlunya revisi yaitu : terhadap UU Pencegahan Penodaan Agama, baik dalam lingkup formil 1. Peraturan Bersama Menteri perundang-undangan maupun secara Agama dan Menteri Dalam substansi agar memiliki unsur- Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 unsur materiil yang lebih diperjelas Tahun 2006 tentang Pedoman sehingga tidak menimbulkan Pelaksanaan Tugas Kepala kesalahan penafsiran dalam praktik. Daerah/Wakil Kepala Daerah Akan tetapi oleh karena Mahkamah dalam Pemeliharaan Kerukunan tidak memiliki kewenangan untuk Umat Beragama, Pemberdayaan melakukan perbaikan redaksional Forum Kerukunan Umat dan cakupan isi, melainkan hanya Beragama, dan Pendirian Rumah boleh menyatakan konstitusional Ibadah (Peraturan Bersama Dua atau tidak konstitusionalnya, Menteri); maka mengingat substansi UU 2. Keputusan Bersama Menteri Pencegahan Penodaan Agama Agama, Jaksa Agung, dan tersebut secara keseluruhan adalah Menteri Dalam Negeri Republik konstitusional, Mahkamah tidak 83 Ismail Hasani (Ed.), Putusan Uji Materil dapat membatalkan atau mengubah Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang redaksionalnya. Oleh karena itu, Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Terhadap Undang-Undang untuk memperbaikinya agar menjadi Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi, Publikasi sempurna, menjadi kewenangan Setara Institute,Jakarta, 2010, hlm. 336

108 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, konstitusional setiap warga negara, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, baik masyarakat maupun negara, Nomor 199 Tahun 2008 tentang dalam aneka bentuk pelanggaran Peringatan dan Perintah kepada baik dalam bentuk tindakan Penganut, Anggota, dan/atau langsung (by commission) maupun Anggota Pengurus Jemaat dalam bentuk peraturan pelaksana Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan di bawahnya (by rule). Warga Masyarakat (SKB Tiga E. Lalu Apa? Menteri). Beberapa peraturan di tingkat Dengan latar belakang objektif daerah pun dikeluarkan dengan bahwa UU PNPS bermasalah dari prinsip-prinsip dan muatan yang beberapa aspek, maka negara harus mengacu pada regulasi di atas. menyusun politik legislasi baru Peraturan daerah dimaksud dapat yang korektif terhadap UU tersebut. ditemui di Provinsi Jawa Barat, Kota Negara, dalam konteks itu, harus Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten mengambil tindakan yang memadai Sampang, Provinsi Nusa Tenggara untuk mencegah pelanggaran Barat, dan lain sebagainya. kebebas-an beragama/berkeyakinan Berbagai regulasi tersebut secara yang menginstrumentasi UU tersebut. faktual seringkali menjadi pemicu Melalui politik legislasi normal utama terjadinya beberapa perilaku yang baru, negara dalam hal ini intoleran dan tindak kejahatan pemerintah dan/atau DPR, harus diskriminasi atas kelompok agama melakukan pembentukan UU minoritas. Dalam perspektif hak yang baru. Pembentukan UU baru asasi manusia, berbagai regulasi tersebut harus didasarkan pada tersebut dapat dikategorikan sebagai urgensi dan perspektif hak asasi pelanggaran hak asasi manusia manusia. melalui hukum atau peraturan. Beberapa acuan dasar untuk Dengan demikian, dapat kita legislasi baru UU pengganti UU PNPS, antara lain sebagai berikut: inferensi bahwa UU PNPS se- 1. sungguhnya tidak kompatibel UU yang baru harus didasarkan dengan doktrin dan teori hak asasi pada jaminan konstitusional kebebasan beragama/ berke- manusia dalam hal derogasi dan yakinan yang ada dalam UUD limitasi. Selain itu, UU PNPS juga Negara RI 1945. bertentangan dengan kerangka 2. UU yang baru harus menegasi normatif dan legal hak asasi manusia, realitas legal yang diskriminatif bahkan cenderung membuka dan stimulatif terhadap pelang- ruang bagi pelanggaran kebebasan garan kebebasan beragama/ beragama/berkeyakinan sebagai hak berkeyakinan di indonesia.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 109 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

3. UU yang baru harus memberikan No. 08 dan No. 09/2006 tentang kepastian hukum secara materiil Pedoman Pelaksanaan Tugas maupun formil untuk menghindari Kepala Daerah/ Wakil Kepala kerentanan politisasi dan krimi- Daerah dalam Pemeliharaan nalisasi atas dasar penodaan dan Kerukunan Umat Beragama, penyalahgunaan agama. Pemberdayaan Forum Keru- 4. UU yang hendak disusun kunan Umat Beragama, melalui proses legislasi normal Pendirian Rumah Ibadat; dan hendaknya berorientasi pada Surat Keputusan Bersama Tiga penghapusan diskriminasi dan Menteri, Nomor: 3 Tahun 2008, intoleransi agama/ keyakinan. Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang Momentum legislasi baru Peringatan dan Perintah Kepada tersebut sebenarnya sudah hadir Penganut, Anggota, dan/ atau sejak periode pemerintahan yang Anggota Pengurus Jemaat lalu. Secara politiko-legal, dinamika Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan lima tahun terakhir memungkinkan Warga Masyarakat. pembentukan UU baru yang 4. Elemen-elemen masyarakat dimaksud. Beberapa faktor yang sipil telah ikut mendorong ke- memungkinkan proses legislasi mungkinan revisi sejumlah tersebut, antara lain: peraturan perundang-undang- an.84 1. Mahkamah Konstitusi RI 5. Berbagai peristiwa mutakhir mengamanatkan pembentukan merupakan akselarator penyu- UU baru atau revisi atas UU sunan legislasi UU PNPS dan No. 1/PNPS/1965 tentang peraturan turunannya. Pencegahan Penyalahgunan/ Penodaan Agama. Sayangnya, momentum tersebut 2. DPR RI bersama Pemerintah dilewatkan begitu saja, baik oleh telah memasukkan RUU pemerintah maupun DPR periode Kerukunan Umat Bergama yang lalu. Maka tidak ada pilihan lain (KUB) dalam Program Legislasi bagi pemerintahan periode ini selain Nasional (Prolegnas) 2009-2014, menyegerakan penyusunan legislasi yang berarti bahwa RUU KUB baru untuk menyusun UU pengganti atau sejenisnya akan menjadi UU PNS. Hal itu merupakan ujian agenda pembahasan DPR RI. 84 Setara Institute bahkan sejak tahun 2011 telah membentuk Tim Riset dan Perumus 3. Pemerintah telah membuka Naskah Akademis dan RUU Penghapusan kemungkinan revisi atas Diskriminasi Agama/Keyakinan. Lihat Hasani, Peraturan Bersama Menteri Ismail (ed.) (2011), Dokumen Kebijakan Penghapusan Diskriminasi/Keyakinan, Agama dan Menteri Dalam Negeri Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara

110 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

bagi pemerintah, apakah mereka pelanggaran kebebasan beragama/ akan menegakkan konstitusi dan berkeyakinan. cita hukum berkaitan dengan Implikasinya, pemerintah dan kebhinnekaan—khususnya dalam DPR harus segera menyusun politik agama/keyakinan—atau mereka legislasi baru berkaitan dengan akan akan tunduk pada kehendak kebebasan beragama/berkeyakinan kelompok intoleran sehingga untuk membangun kehidupan pelanggaran demi pelanggaran beragama/berkeyakinan yang lebih kebebasan beragama/berkeyakinan kondusif, demokratis, dan damai akan terus kita saksikan di negeri di negara yang bersemboyan Pancasila ini. bhinneka tunggal ika ini. Jika tidak, tampaknya keseriusan pemerintahan negara untuk menunaikan janji F. Penutup kemerdekaan, yaitu “melindungi segenap bangsa dan seluruh Dari ulasan terdahulu dapat tumpah darah Indonesia”. disarikan bahwa: Pertama, UU PNPS bukanlah mekanisme pembatasan kebebasan beragama/berkeyakinan sebagaimana dimaksudkan dalam berbagai doktrin dan teori HAM serta ketentuan-ketentuan dasar derogasi dan limitasi sebagaima diintroduksi dalam instrumen internasional dan nasional hak asasi manusia. Kedua, UU PNPS mengandung berbagai cacat materiil berkaitan dengan materi dan konsep penodaan agama serta tidak memberikan kepastian hukum dalam konsepsi-konsepsi hukum dan penegakan hukumnya. Ketiga, UU tersebut dengan demikian tidak kompatibel dengan upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan oleh negara. Sebaliknya UU ini berwatak restriktif dan bahkan stimulatif terhadap

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 111 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

Daftar Pustaka Muhammad Anis (2013). Islam dan Demokrasi: Perspektif Wilayah Faqih. Budiarjo, Miriam (1998). Dasar-Dasar Jakarta: Mizan Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Purbopranoto (1979), Hak Azasi Christian Solidarity Worldwide Manusia dan Pancasila. Jakarta: (CSW) (2014). INDONESIA: Plural- Pradnya Pramita ism in Peril (The rise of religious in- UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang tolerance across the archipelago). Pengesahan International Cove- London: CSW nant on Civil and Political Right/ Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, ICCPR atau Kovenan tentang Hak- tahun 1948 Hak Sipil dan Politik.

Deklarasi Universal Penghapusan UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Intoleransi dan Diskriminasi Ber- Pengesahan International Cove- dasarkan Agama/Keyakinan, tahun nant on Elimination of All Forms of 1981 Racial Discrimination/CERD

Halili dan Bonar Tigor Naipospos UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang (2014). Stagnasi Kebebasan Berag- Hak Asasi Manusia ama/Berkeyakinan. Jakarta: Pusta- UUD Negara RI Tahun 1945 ka Masyarakat Setara

Hasani, Ismail (ed.) (2007). Tunduk pada Penghakiman Massa. Jakarta: Pustaka Masyarakat Negara.

______(2011), Dokumen Ke- bijakan Penghapusan Diskriminasi Agama/Keyakinan, Pustaka Mas- yarakat SETARA: Jakarta

Hidayat, Nurkholis, dkk (2011). Peradilan Kasus-Kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan; Rang- kuman 8 Studi Kasus: Dampak, Pencapaian, Hambatan dan Strate- gi. Jakarta: LBH Jakarta

Kovenan Penghapusan Segala Ben- tuk Diskriminasi Rasial (CERD)

112 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

Riwayat Hidup

Nama lengkap: HALILI. Profesi: Dosen Tetap/PNS pada Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Email: [email protected]. Akun FB: Halili Hasan, Twitter: alielhaz. Alamat Kantor: Lantai 3 Gedung G. 04 FISE UNY Karangmalang 55281 Yogyakarta, telp. (0274) 586168 psw. 348. Alamat domisili: Malangrejo RT 03/RW 34 Wedomartani Ngemplak Sleman D.I.Yogyakarta, No HP: 081931752746. No. KTP. 34.7113.140578.0002. NPWP. 68.201.996.3- 541.000. No. Rek. 137-00-0553892-7 Bank Mandiri Gabang UGM Yogyakarta a.n. Halili.

Pria kelahiran Madura pada 14 Mei 1978 ini mengambil Studi Strata 1 (satu) PKn di UNY. Studi lanjut S2-nya ditempuh di UGM Yogyakarta pada Prodi Ilmu Politik FISIPOL UGM konsentrasi kajian HAM dan Demokrasi. Bidang yang ditekuninya belakangan adalah ilmu pengetahuan dan aktivitas kemanusiaan.

Sejak kuliah hingga kini bergiat dalam gerakan masyarakat sipil. Pernah menjadi pengelola Sekolah Ekonomi Rakyat yang menyelenggarakan Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila antara 2003-2004. Sejak tahun 2005 bergabung dalam Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), terakhir menjadi Deputi Direktur Wilayah Yogyakarta (2010-2012). Pada 2009 merintis Lembaga Independen untuk Transformasi (Lintas) di Yogyakarta. Sejak awal 2011 bergabung dalam isu toleransi, nondiskriminasi, dan kemajemukan di SETARA Institute Jakarta, sebagai associate researcher. Belum lama ini memprakarsai Lingkar Studi Demokrasi dan HAM (Link-DeHAM) di Fakultas dimana dia mengajar.

Dosen matakuliah Hak Asasi Manusia ini memiliki hobi dan terus belajar menulis, di media massa, buku, jurnal ilmiah, dan untuk forum-forum ilmiah. Beberapa artikelnya dimuat di berbagai media cetak baik lokal maupun nasional, antara lain: “Membangun (Kembali) Pendidikan yang Memerdekakan, dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, “Politik Masuk Kampus: Tidak untuk Mahasiswa An Sich” dan “Menyemai (Kembali) Nasionalisme dan Multikulturalisme”, keduanya dimuat di Harian Jawa Pos-Radar Jogja. “Krisis Legitimasi SBY”, “Agama Kemanusiaan dan Negara”, “Negara dan Minimarket”, “Yuristokrasi di Indonesia”, “Radikalisasi Negara Pancasila”, serta “HAM dan Soal Barat” dimuat di Harian Jogja. “Mewaspadai Musuh Demokrasi” dan “Melawan Tirani Mayoritas DPR”, terbit di Harian Tribun Jogja. “Potong Generasi

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 113 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

Korupsi”, “Politik (Pendidikan) Pancasila”, “Pembajakan Politik partai”, “Politik Profesi Guru” (25/2/2014), “Kemunduran Politik Legislasi” (Juli 2014) dimuat di Harian KOMPAS.

Ayah dua putri ini mempresentasikan paper berjudul “Women and Politics of Law: Affirmative Action for Women’s Political Participation” dalam forum The 2nd International Graduate Student Conference on Indonesia (IGSCI), November 2010. Juga berbicara dalam World Conference on Youth and Islamic Awakening, di Teheran Iran pada akhir 2012.

Belasan penelitian dan paper ilmiah telah dihasilkan. Paper ilmiah terakhirnya dimuat di Jurnal Humaniora edisi Oktober 2012 dengan judul “Implementasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi pada Perempuan dalam Politik Hukum Indonesia”. Beberapa artikel ilmiah lainnya dimuat di Jurnal Civics, dan sebagainya.

Belasan bukunya telah diterbitkan. Antara lain 3 (tiga) jilid buku teks Pendidikan Kewarganegaraan SMP oleh Haka MJ Solo (2007) dan 2 (dua) buku teks mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan SD oleh Penerbit Putra Nugraha Solo (2008). Kelima buku teks tersebut dinyatakan “Berstandar Nasional” oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdiknas RI. Di samping itu, dia juga menulis 1 (satu) buku teks mata kuliah Kebijakan Publik, sebagai asisten penulis, yang diterbitkan oleh UNY Press (2009). Tiga buku yang ditulis bersama dengan judul “Dokumen Kebijakan Penghapusan Diskriminasi Agama/Keyakinan” (2011), “Kepemimpinan Tanpa Prakarsa” (2013), “Dinamika Perlindungan Hak Konstitusional Warga” (2014) yang diterbitkan oleh Pustaka Masyarakat Setara, Salah satu bukunya berjudul “Ber-Pancasila secara Sederhana” menjadi Juara I bidang Sosial Humaniora dalam Sayembara Nasional Buku Pengayaan tahun 2012 yang diselenggarakan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud. Satu judul buku pengayaan lainnya berjudul “Membumikan Bhinneka Tunggal Ika dalam Kehidupan Beragama” (2013). Buku terbarunya berjudul “Stagnasi Paripurna” dalam proses terbit oleh penerbit Pustaka Masyarakat Setara, dan “Sketsa-Sketsa Politik Indonesia Pasca Reformasi” dalam proses terbit oleh Penerbit Ombak Press. (*)

114 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia UU No. 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia

Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu krusial di Seputar Proselitisme dan Hak Kebebasan Beragama Alamsyah M. Djafar

Abstrak

ulisan ini hendak menguji argumen bahwa segala bentuk proselitisme (penyiaran agama) khususnya yang ditujukan kepada “yang sudah beragama” adalah pelanggaran hukum dan karena itu harus dilarang. Sebaliknya, tulisan ini hendak menegaskan, proselitisme seperti Tdalam bentuk aktivitas islamisasi dan kristenisasi yang dilakukan dengan cara damai kepada umat lain, menjadi elemen dasar kebebasan beragama yang dijamin UUD 1945 dan instrumen internasional yang sudah diratifikasi. Pelarangan proselitisme kepada yang sudah beragama adalah pelanggaran kebebasan beragama. Proselitisme hanya sah dilarang jika ditujukan di antaranya, dan tidak terbatas, kepada anak-anak yang berbeda agama/ keyakinan, ditujukan kepada orang dewasa yang berbeda agama di antaranya dengan cara-cara intimidatif, menciptakan ketergantungan antara pelaku proselitisme dengan sasaran proselitisme, mengambil jalan kekerasan, dan cuci otak. Namun untuk memastikan agar aktivitas tidak melahirkan sikap- sikap intoleransi bahkan konflik berbasis agama/keyakinan, diperlukan nilai- nilai etik bersama proselitisme yang bersifat universal.

Kata-kata kunci: islamisasi, kristenisasi, proselitisme, kebebasan beragama, kemerdekaan beragama.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 115 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

Pengantar Video ini menyulut pro-kontra. Lebih dari 9.700 Komentar muncul wal November 2014, dalam tautan video. Dari yang sebuah video berjudul halus hingga amat kasar. Sebagian Spesial: Kristenisasi Terse- menganggap sejak awal video ini sejak lubung di Car Free Day awal tendensius. Pembawa acara JakartaA dipampang di youtube. Salah dianggap sengaja membuktikan satu tayangannya menampilkan kristenisasi. Sebagian lainnya menilai mata kamera yang menyorot seorang tindakan komunitas itu upaya laki-laki pembawa acara menunjukan kristenisasi. Tapi salah seorang sejumlah barang yang ia dapat gratis bertanya, apakah menyebarkan di hari bebas kendaraan Minggu Kristen melanggar hukum? Sebagian pagi: kalung bergambar merpati, menganggap tidak, sebagian lagi biskuit, permen, pin bertuliskan menilainya melanggar hukum.86 “I’m Saved” (Saya terselamatkan). Sementara itu, masih di awal “Mereka misionaris yang nyebarin. November, di salah satu situs media Itu kan simbolnya Kristen,” Kata online Islam diturunkan berita Rateka Winner Lee, lelaki itu, kepada kisah sukses Fadlan Garamatan empat bocah laki-laki bersepeda mengislamkan lebih dari 3000 orang yang sedang diwawancarai. Bocah- Papua. Di hadapan ratusan peserta bocah ini mengenakan kalung yang di Masjid Nurul Huda Universitas Sebelas Maret (UNS), pendakwah dibagi-bagi gratis. Islam asal Papua itu berkisah bagai- Rateka, pembawa acara sekaligus mana ia mengislamkan keluarga pembuat di video berdurasi 24 pendeta. Selama tiga bulan mela- menit itu. Dalam adegan lain, Rateka kukan pendekatan, kata Fadlan, menyorongkan pertanyaan kepada keluarga pendeta akhirnya masuk salah satu pria relawan berkaos Islam dengan mengucap dua kalimat merah bergambar burung merpati syahadat.87 putih yang tengah membagi-bagikan Pada Mei 2013, isu islamisasi di barang-barang. Dari mana komunitas Papua ini dimuat koran Australia ini berasal? “Kita komunitas Peduli Sydney Morning Herald. Koran Indonesia yang cinta Indonesia,” kata si relawan. Rateka juga bertanya asal 86 Lihat komentar-komentar dalam “Spesial: gereja mereka. “Gak ada gereja,” Kristenisasi Terselubung di Car Free Day Jakarta” https://www.youtube.com/ 85 jawab si relawan lagi. watch?v=QUw11Tk6VnU (diakses 8 Desember 2014) 85 “Gawat! Ada Video Kristenisasi di Car Free 87 “Kisah Ustadz Fadlan Mengislamkan Day Jakarta” http://nasional.republika. 3712 Warga Pedalaman Papua” “http:// co.id/berita/nasional/umum/14/11/10/ panjimas.com/news/nasional/2014/11/11/ nesefc-gawat-ada-video-kristenisasi-di- kisah-ustadz-fadlan-mengislamkan-3712- car-free-day-jakarta (diakses 8 Desember warga-pedalaman-papua/” (diakses 8 2014) Desember 2014)

116 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

ini bahkan menuding kegiatan santunan 350 anak yatim dari Papua islamisasi dilakukan pemerintah. yang dilakukan Tuti Awaliyah.89 Caranya mengirimkan anak-anak Papua ke Jawa untuk disekolahkan di -pesantren dan menjadi Islamisasi dan Kristenisasi muslim. Sydney menyamakan nasib warga Papua Barat dengan perlakuan Dalam sejarah relasi Islam-Kristen pemerintah Australia terhadap suku di Indonesia, istilah kristenisasi Aborigin. Kebijakan pemerintah menjadi salah satu isu sensitif dan Australia pada 1910-1971, meng- kontroversial. Begitupun islamisasi, ambil dan mengirim sekitar 100 ribu Kristenisasi sering memicu kete- anak suku Aborigin untuk dididik gangan, terutama di kalangan berdasarkan budaya Eropa atau kelompok konservatif muslim dan Barat. Atas kejadian ini, Pemerintah Kristen. Ketegangan akibat praktik Australia kemudian meminta maaf yang diduga kristenisasi memicu pada “generasi yang hilang” tersebut ledakan konflik bermotif agama. sejak pemerintahan Perdana Menteri Isu-isu kristenisasi juga berkelindan Kevin Rudd. Informasi itu dibantah dengan isu-isu lain pendirian gereja, pemerintah Indonesia lewat juru bantuan sosial, pendidikan, dan per- bicara Staf Khusus Presiden Bidang kawinan. Pandangan umum yang Hubungan Internasional, Teuku muncul, kristenisasi dipandang Faizasyah. Katanya informasi itu praktik yang “bermasalah” dan tidak berdasar.88 dilarang hukum. Dengan begitu, Maret 2014, berita tentang islamisasi juga dipandang praktik islamisasi ini kembali dimuat Sydney. yang dilarang. Bentuknya membawa anak-anak Dalam dua kisah di atas, selain Papua ke Jakarta untuk dimasukan ke tidak cukup jelas, definisi kristenisasi pesantren atau diasuh dalam panti dan islamisasi dimakna dan merujuk asuhan. Bahkan Koran ini menyebut makna beragam. Bisa diartikan dan mewawancarai beberapa sebagai penyiaran agama secara nama seperti pimpinan Pesantren umum (propagation) dan ajakan Asyafi’iyah Jakarta Tuti Awaliyah dan konversi (conversion). Pengertian tokoh-tokoh dari Partai Amanat yang pertama sangat luas. Tidak Nasional: Menteri Hatta Rajasa, selalu bertujuan mengajak sese- Zulkifli Hasan, Azwar Abubakar. Tiga orang berpindah agama. Bisa yang terakhir hadir dalam acara hanya sekedar berbagi informasi

88 “Istana Pertanyakan Berita Islamisasi 89 “Conversions invoke fears of West Papua’s di Papua”, http://www.tempo.co/read/ stolen generation” http://www.smh.com.au/ news/2013/05/06/078478403/Istana- world/conversions-invoke-fears-of-west- Pertanyakan-Berita-Islamisasi-Papua papuas-stolen-generation-20140301-33shu. (diakses 7 Desember 2014) html (diakses 8 Desember 2014)

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 117 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

kepada umat di luar mereka. Bisa yang bukan Kristiani. Sementara pula ditujukan untuk umat mereka kata evangelisasi bisa bermakna agar lebih taat dalam beragama. luas sebagai upaya memberi kabar Pengertian yang kedua lebih sempit baik dan karya dasar gereja baik dan jelas. Dalam Islam ukurannya untuk kalangan sendiri maupun luar mengucap dua kalimat syahadat, Kristen.91 dan Kristen dibaptis. Dalam doktrin Kristen, pusat Dalam Kristen, istilah penyiaran dari Injil atau kabar baik adalah agama bisa disebut misi atau Yesus. Sedang pusat kehidupan dan misi Yesus adalah kerajaan Allah, penginjilan (evangilisasi). Misi atau pemerintahan Allah. Pemerintahan aktivitas misionaris diartikan sebagai Allah mengandung makna keadilan aktivitas yang mengkomunikasikan sosial, kebebasan penyempurnaan, sebuah agama atau pandangan penyembuhan, perbaikan, hidup melalui komunikasi secara rekonsiliasi, komunitas, tanggung verbal atau melalui sejumlah jawab bersama, dan kehidupan aktivitas sebagai sebuah undangan yang utuh. Dalam Injil Markus (1:14- bagi lainnya untuk memeluk agama 14) disebutkan, “Datanglah Yesus … atau pandangan hidup tersebut. memberitakan Injil Allah, kata-Nya Berbeda dengan misi, kegiatan Kerajaan Allah sudah dekat”. yang lebih bersifat ke internal umat Di sebagian kalangan Kristen, Kristen disebut diakonia, aktivitas usaha penginjilan masih dipandang pelayanan terhadap gereja.90 sebagai kristenisasi bagi yang belum Evangelisasi berasal dari bahasa beragama Kristen dan mendorong Yunani: euanggelion, kabar baik. Kata yang telah beragama Kristen untuk kerjanya eunggelizomai. Kadang- beragama lebih militan. Namun kadang misi dan penginjilan dianggap sebagian lagi justru sudah memaknai memiliki makna serupa. Teolog penginjilan sebagai pewartaan Katolik Donal Dorr menjelaskan, kabar baik dalam masyarakat kata evangelisasi sekarang ini sudah pluralistik yang berperan dalam dipakai luas di kalangan teolog dan proses pembangunan masyarakat pemimpin gereja Katolik di Eropa. yang lebih baik, lebih manusiawi, Kata ini menggantikan kata misi dan beradab. Yang pertama yang dianggap mulai mengalami termasuk kegiatan konversi, yang masalah. Bagi kebanyakan kedua kegiatan penyiaran agama orang Katolik kata misi masih secara umum. membangkitkan kenangan pada 91 Dr. Kees de Jong, “Pekabaran Injil dalam gambaran bekerja di daerah asing Konteks Masyarakat Multikultural Pluralistik” dalam Hendri Wijayatsih, dkk, ed., Memahami 90 Olaf H. Schumman, Dialog Antar Umat Kebenaran yang Lain Sebagai Upaya Beragama (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), Pembaharuan Hidup Bersama (Yogayakarta: 120 Taman Pustaka Kristen, 210), 338

118 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

Dalam tradisi Islam, konsep dakwah itu tercantum dalam QS. Ali serupa misi atau penginjilan adalah Imron 3: 104. Ayat ini menegaskan dakwah. Di lingkungan Islam, seperti agar ada di antara umat kelompok misi atau penginjilan, dakwah bisa yang mengajak kepada kebaikan, menyasar kelompok di luar Islam menyeru kepada yang ma’ruf (baik) dan bertujuan agar memeluk Islam dan mencegah kemunkaran.94 (konversi), juga bisa dimaknai secara Seperti dalam Kristen, di umum, mengabarkan nilai-nilai kalangan Islam terdapat pandangan universal Islam kepada publik luas yang melihat dakwah sebagai (propagasi). usaha mengajak orang lain agar Dari sisi kebahasaan, dakwah memeluk Islam (konversi). Sikap memiliki beragama makna. Dalam ini berangkat dari keyakinan Islam Lisan al-Arab (Lidah Arab), ahli bahasa sebagai satu-satunya yang benar. Arab Ibnu Manzur al-Misri mengartikan dakwah dalam beberapa. Pertama, Di luar Islam tidak ada kebenaran. meminta pertolongan (al-istigitstah). Namun demikian sebagian lainnya Kedua, menghambakan diri (ibadah) menilai dakwah adalah usaha baik kepada Allah maupun kepada untuk menyebar nilai-nilai Islam selain Allah. Misalnya tercatat yang universal yang juga memiliki dalam QS. Al-A’raf [7]: 194. Ketiga, kesamaan tujuan agama-agama memanjatkan permohonan kepada lain. Sehingga target dakwah tidak Allah SWT (berdoa). Keempat, lagi dilihat sebagai upaya konversi persaksian Islam (syahadat al-Islam). melainkan peningkatan kualitas Contohnya tercantum dalam surat manusia, tidak hanya bagi muslim Nabi Muhammad kepada Heraklius, tapi umat lainnya. ud’uka bi di`ayat al-Islam (aku Penginjilan Kristen dan dakwah memanggil Anda dengan persaksian Islam sama-sama menempati tentang Islam). Keempat, memanggil posisi sentral dalam doktrin agama. atau mengundang (al-nida).92 Keduanya kewajiban yang menjadi Para ulama mengartikan dakwah manifestasi atas keimanan mereka. sebagai upaya mengajak umat Di lingkungan Islam, sebagian manusia kepada jalan Islam dengan ulama menilai dakwah merupakan beragam metode seperti lisan, perbuatan utama setelah iman.95 Ini tulisan, atau tindakan nyata.93 Ajaran menunjukan betapa penting posisi 92 A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan 94 Tedi Kholiludin dan Khoirul Anwar, “Dari Peradaban Islam (Jakarta: Prenada Media Pengeras Suara Hingga Dakwah Provokatif; Group, 2011) 27-28 Problematika Kebijakan Penyiaran Agama 93 Lihat misalnya Ahmad Mahmud, Dakwah di Indonesia,” dalam Ahmad Suaedy, ila al-Islam (Mauqi’ al-Islam, tt), 14. Ia dkk., Mengelola Toleransi dan Kebebasan mengartikan dakwah sebagai upaya agar Beragama : Tiga Isu Penting (Jakarta: The orang lain condong, termotivasi, dan simpati Wahid Institute, 2012) 117. untuk melakukan ajaran Islam (fi’ al-imalatun 95 Yusuf Qardhawi, Tsaqafat Ad-Daiyah (Kairo: wa targhibun). Maktabah Wahbah, 1996), 3

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 119 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

dakwah dalam perkembangan non-misionari bisa sekarat.98 agama. Ada tiga pandangan dalam Dari sisi penyebaran agama, melihat kewajiban dakwah.96 Perta- orientalis kelahiran Jerman dan ma, wajib bagi setiap individu muslim ahli studi perbandingan agama alias disebut fardu ‘ain. Dakwah wajib memang membagi agama-agama bagi setiap individu di setiap levelnya dunia dalam dua kategori: agama sebagai implikasi dari iman. Di antara non-misionari dan agama misionari. argumennya adalah karena kata Pandangannya ini dikemukakannya minkum (dari kalian semua) di Ali Imran ketika memberi kuliah di Westminster 3: 104 diartikan untuk penjelasan Abbey, 3 Desember 1873. Yahudi, (litabyin). Ini berarti setiap umat Islam Hindu, dan Zoroaster diletakannya berkewajiban menjalakannya. dalam kelompok pertama, sedang Kedua, dakwah hanya menjadikan Budha, Islam, dan Kristen ditaruh di kewajiban kolektif atau fardu kifayah. kelompok kedua. Tidak semua individu muslim Para ahli studi agama juga wajib melakukannya. Cukup untuk menyebut padanan “agama kelompok tertentu dari umat Islam misionari” sebagai “agama universal”. yang memiliki kompetensi tertentu. Misalnya T. Patrick Burke. Menurut Para ulama di antaranya merujuk profesor agama di Universitas makna QS. A-Taubah 9122. Dalam Temple Amerika Serikat ini, terdapat surat itu, Allah menyatakan agar tidak beberapa agama yang memahami semua orang pergi ke medan perang. diri mereka sendiri sebagai agama Sebagian dari mereka seharusnya yang ditujukan untuk semua ada yang berusaha memperdalam manusia; tujuan mereka adalah ilmu agama dan memberi peringatan merangkul semua manusia dan kepada kaumnya. Ketiga, kombinasi mereka secara aktif menginginkan antara fardu ain dan fardhu kifayah. adanya konversi. Agama jenis ini Salah satu yang memiliki pandangan yang disebut Burke sebagai agama ini adalah mufassir Indonesia, M. universal meskipun tidak selalu Quraish Shihab.97 mereka berusaha merangkul semua F. Max Mueller meramalkan hanya manusia.99 agama-agama yang punya doktrin Sebagai “lawan” dari agama misionari seperti Kristen dan Islam universal, atau yang memahami yang akan bertahan dan berkembang agama mereka ditujukan untuk di dunia. Sementara agama-agama seluruh manusia dan mengharapkan konversi adalah agama yang 96 Abdul Karim Zaidan, Ushul Dakwah (Beirut: disebut dengan beberapa istilah: Muassasah Risalah, 2001), 311 97 Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah 98 Arvind Sharma, Problematizing Religious Rekayasa Membangun Peradaban Islam Freedom (New York: Springer, 2011), 175 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 99 Arvind Sharma, Problematizing Religious 2011),62-69 Freedom, 176

120 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

agama suku, agama etnik, atau luar umatnya, termasuk pula usaha agama nasional. Yahudi dan Hindu mengajak seseorang memeluk dan dianggap masuk dalam kategori ini. memilih agama tertentu (konversi). Ada dua kriteria mengapa agama Islamisasi dan kristenisasi bisa disebut agama universal atau berupa ceramah-ceramah agama, tidak. Pertama, dalam prinsip dan langsung maupun lewat media, ajarannya berpandangan setiap penyebaran informasi keagamaan, orang di dunia ini bisa melakukan bantuan-bantuan sosial, aktivitas konversi dan kedua agama tersebut pendampingan dan pengembangan menginspirasi untuk mengkonversi masyarakat, dan dalam bentuk- setiap orang di dunia ini.100 bentuk lain. Beberapa ahli ini terlihat lebih Kata Proselitisme sendiri berasal mengerangkakan misionari atau dari bahasa Yunani prosêlutos dan penyebaran agama sebagai praktik Latin, proselytus. Prosêlutos, kata yang ditujukan untuk orang luar benda, berasal dari kata yang berarti agama, meski tidak menutup “ datang” dengan awalan yang berarti kemungkinan menyasar umat “terhadap” atau “menuju”. Secara sendiri. harfiah berarti mungkin menjadi seseorang yang datang (dari satu lokasi ke lokasi lain).”101 Proselitisme dan Kebebasan roselitisme umumnya diartikan Beragama sebagai segala tindakan, termasuk ucapan, yang melibatkan usaha Pertanyaan penting dari seluruh penyebaran agama atau firman perbincangan ini adalah apakah tuhan dan usaha-usaha membujuk proselitisme dalam bentuk kristenisasi yang lain untuk pindah konversi dan islamisasi bertentangan dengan atau mengikuti pesan-pesan yang prinsip kebebasan beragama? disampaikan orang-orang yang Kristenisasi dan islamisasi macam apa melakukan proselitisme. Definisi yang bertentangan dengan prinsip lain menyebut proselitisme yang jaminan kebebasan beragama? juga disamakan dengan misionari Penulis memaknai kristenisasi adalah berbagai aktivitas yang dan islamisasi di sini sebagai bentuk mengkomunikasikan sebuah agama dari aktivitas proselitisme di dua atau pandangan hidup melalui agama tersebut. Ia bisa mengacu komunikasi secara verbal atau pada pelbagai aktivitas penyiaran 101 Leo Walsh, “Proselytism and agama secara umum, ditujukan Evangelization: Important Distinctions for Catholic Catechists” (Makalah kepada umatnya sendiri maupun di disampaikan dalam Catechetical Sunday 100 Arvind Sharma, Problematizing Religious United State Conference of Chatolic Freedom, 176 Bishop, 22 September 22, 2012) 1-2

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 121 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

melalui sejumlah aktivitas terkait sekalipun. Dalam Rapporteur’s Digest sebagai sebuah undangan bagi on Freedom of Religion or Belief, yang lainnya untuk memeluk agama proselitisme dimasukan di elemen atau pandangan hidup tersebut.102 keenam bentuk-bentuk manifestasi Pengertian terakhir tampaknya beragama/berkeyakinan, yakni lebih netral. dalam pengajaran dan diseminasi Jika merujuk konstitusi Indonesia, materi-materi keagamaan (termasuk hak atas proselitisme ini dilindungi. aktivitas penyebaran agama).103 Ini termaktub dalam pasal 29 Penyebaran tidak terbatas pada ayat 2 UUD 1945. Jika islamisasi internal umat tapi juga di luar umat dan kristenisasi dilarang lantas masing-masing. dimana letak kebebasan beragama? Terdapat sebelas elemen hak- Bukankah keduanya manifestasi dari hak dalam forum externum yaitu keyakinan setiap agama. Islamisasi : kebebasan untuk beribadah dan kristenisasi bisa dianggap (freedom to worship), tempat ibadah sebagai bagian dari “ibadah” dalam (places of worship), menggunakan kalimat “untuk beribadah menurut simbol-simbol keagamaan (religious agama dan kepercayaannya itu” symbols), menghadiri hari libur dalam kedua ayat tersebut. Kata itu keagamaan (observance of holidays juga ditegaskan kembali dalam UU and days of rest), memilih tokoh agama No 39 Tahun 1999 tentang HAM di (appointing clergy); pengajaran dan pasal 22 ayat 1 dan 2. diseminasi materi-materi keagamaan, Dalam instrumen HAM termasuk aktivitas penyiaran agama internasional tentang kebebasan (teaching and disseminating materials beragama, proselitisme merupakan [including missionary activity]), hak orag hak yang berada dalam forum 103 Rapporteur’s Digest merupakan eksternum. Hak-hak ini merupakan kumpulan dari Laporan-laporan Pelapor manifestasi dari hak-hak dasar dalam Khusus, ahli yang ditunjuk Komisi HAM forum internum. Di forum internum PBB, mengenai Kebebasan Beragama sejak 1986-2011. Di desain berdasarkan manusia memiliki kebebasan untuk topik-topik tertentu sebagai kerangka memilih atau tidak memilih agama/ komunikasi dalam isu-isu kebebasan beragama. Para pelapor khusus ini keyakinan tertentu dan tidak adalah Heiner Bielefeldt asal Jerman seorangpun boleh membatasinya, (sejak 1 Agustus 2010), Asma Jahangir dari Pakistan (Agustus 2004 – Juli 2010), bahkan dalam keadaan perang Abdelfattah Amor dari Tunisia (April 1993 - Juli 2004), dan Angelo d’Almeida Ribeiro 102 Howard O. Hunter & Polly J. Price, “Regulation dari Portugal (Maret 1986 – Maret 1993). of Religious Proselytism in the United Lihat Rapporteur’s Digest on Freedom of States,” Brigham Young University Law Religion or Belief yang diterbitkan Office Review (2001), 538. Bisa diunduh di http:// of The United Nations High Commisioners digitalcommons.law.byu.edu/cgi/viewcontent. for Human Rights. Bisa diunduh di http:// cgi?article=2069&context=lawreview (diakses www2.ohchr.org/english/issues/religion/ 6 Desember 2014) (diakses 7 Desember 2014)

122 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

tua untuk memastikan pendidikan The right to freedom of thought, agama dan moral anak-anak mereka conscience, religion or belief includes (the right of parents to ensure the the freedom, “To write, issue and religious and moral education of their disseminate relevant publications in children), pendaftaran (registration), these areas;”. komunikasi dengan individu atau [Hak atas kebebasan berpendapat, komunitas mengenai masalah hati nurani, beragama atau keagamaan di tingkat nasional mau- kepercayaan harus mencakup, antara pun internasional (communicate lain, kebebasan untuk, “menulis, with individuals and communities on menerbitkan dan menyebarluaskan religious matters at the national and berbagai penerbitan yang relevan di international level), menetapkan dan bidang-bidang ini] mengatur institusi kemanusiaan The right to freedom of thought, dan karitas dan menerima dana conscience, religion or belief includes (establish and maintain charitable and the freedom, “To teach a religion or humanitarian institutions/solicit and belief in places suitable for these receive funding); menolak kewajiban purposes.” (conscientious objection).104 Dalam Konvensi Hak Sipil Hak atas kebebasan berpendapat, Dan Politik (ICCPR), jaminan hati nurani, beragama atau proselitisme diatur dalam pasal kepercayaan harus mencakup, 18 ayat (1) di mana kebebasan antara lain, kebebasan untuk berpikir, hati nurani dan agama “mengajarkan suatu agama atau termasuk juga kebebasan baik kepercayaan di tempat-tempat yang secara individu maupun bersama cocok untuk tujuan-tujuan ini] komunitas,di publik maupu privat, untuk memanifestasikan agama/ Kalimat “to write …” dalam pasal kepercayaan dalam beribadah, 6 (d) dan “to teach …” merujuk pentaatan, pengajaran, praktik dan pada aktivitas-aktivitas proselitisme. pengajaran. Jaminan ini juga diperkuat oleh Jaminan ini juga termaktub dalam Resolusi Komisi HAM 2005/40 Deklarasi tentang Penghapusan paragrap 4 (d) dan Resolusi Badan Semua Bentuk Intoleransi dan HAM 6/37 paragrap 9 (g). Disebutkan Diskriminasi Berdasarkan Agarna “urges States, ‘To ensure, in particular, atau Kepercayaan (1981) Pasal 6 (d) [...] the right of all persons to write, issue dan (e) : and disseminate relevant publications in these areas’.

104 Rapporteur’s Digest on Freedom of Religion or Belief, 3

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 123 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

Begitupun dalam Dalam menjalankan agama. Proselitisme Komentar Umum 22 Komite HAM merupakan manifestasi dalam Paragaf 4 : keyakinan beragama. Para Pelapor Khusus Kebebasan “ … the practice and teaching of Beragama berkesimpulan, segala religion or belief includes acts integral bentuk pemaksaan aktor negara to the conduct by religious groups of dan non-negara yang ditujukan their basic affairs, [...] the freedom pada aktivitas konversi agama to establish seminaries or religious sesungguhnya dilarang di bawah schools and the freedom to prepare hukum HAM internasional, dan setiap and distribute religious texts or tindakan tersebut akan dihukum publications.” melalui kewenangan hukum pidana dan perdata. Kegiatan misionaris “Kemudian, pengamalan dan diterima sebagai kebebasan pengajaran agama atau kepercayaan berekspresi dari agama yang sah mencakup kegiatan-kegiatan integral dan arena itu menikmati jaminan yang dilakukan oleh kelompok- perlindungan yang diberikan kelompok agama berkaitan dengan pasal 18 ICCPR dan instrumen - urusan-urusan mendasar mereka, instrumen internasional lainnya […] kebebasan untuk membentuk yang relevan. Kegiatan misionaris seminari atau sekolah agama, dan tidak dapat dianggap sebagai kebebasan untuk membuat dan pelanggaran kebebasan beragama menyebarluaskan teks-teks atau dan berkeyakinan terhadap yang publikasi-publikasi agama” lain jika semua pihak adalah orang dewasa yang bisa berpikir sendiri dan jika tidak ada hubungan dari Di Indonesia, pandangan untuk adanya ketergantungan atau hirarki melindungi kristenisasi dan islami- antara misionaris dan objek dari sasi sebagai bagian dari hak kegiatan misionaris tersebut. kebebasan beragama tampaknya masih sulit diterima. Padahal sejauh dilakukan dengan cara-cara yang Penyiaran Agama dan Penyuluhan tidak bertentangan dengan hukum Agama dan melabrak elemen pembatasan hak asasi manusia (moral publik, Kesulitan penerimaan pandangan kesehatan publik, keamaan, semacam ini diantaranya muncul ketertiban publik, dan hak-hak akibat ketegangan - ketegangan fundamental orang lain), sebagai hubungan yang selama ini bagian dari praktik proselitisme terjadi antara Islam - Kristen dan adalah hak dalam kemerdekaan pemahaman yang terlembagakan

124 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

melalui regulasi, terutama Surat kelompok orang yang telah memeluk/ Keputusan Bersama Menteri Agama menganut agama yang lain berpindah dan Menteri Dalam Negeri Nomor dan memeluk/menganut agama 1 tahun 1979 Tentang Tata cara yang disiarkan tersebut. Kedua, Pelaksanaan Penyiaran Agama menyebarkan pamflet, majalah, dan Bantuan Luar Negeri Kepada bulletin, buku-buku, dan bentuk- Lembaga Keagamaan di Indonesia bentuk barang penerbitan cetakan (Selanjutnya disebut SKB Penyiaran lainnya kepada orang atau kelompok Agama). orang yang telah memeluk/menganut Di luar itu harus juga disadari agama yang lain. Ketiga, kunjungan bahwa klaim kebenaran selalu dan rumah ke rumah umat yang telah ada dalam setiap agama-agama. memeluk/menganut agama yang lain. Klaim inilah yang mau tidak mau Kata “penyiaran agama” dalam melahirkan sikap untuk menentang SKB Penyiaran Agama ini tampaknya upaya-upaya orang lain “mengambil” dimaknai sebagai praktek saudara seiman mereka. Dan sikap mengkomunikasikan agama yang dan keyakinan semacam ini sesuatu bukan hanya ditujukan kepada yang lazim dalam beragama. Sikap internal umat, tapi untuk umat di luar dan keyakinan semacam ini juga agama mereka. Itu berarti penyiaran semestinya hal yang dijamin negara. agama termasuk merangkum Penyiaran agama di pasal 2 larangan terhadap konversi. 105 SKB Penyiaran Agama diartikan Istilah regulasi yang dipakai untuk sebagai segala kegiatan yang mengartikan penyiaran agama bentuk, sifat dan tujuannya untuk kepada internal umat adalah menyebarluaskan ajaran sesuatu “penyuluhan agama”.106 Misalnya ini agama. Namun begitu, pasal ini 105 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia problematik lantaran menyatakan kata siar punya beberapa arti. Antara lain meratakan ke mana-mana, mem- tidak dibenarkan untuk ditujukan beritahukan kepada khalayak umum, terhadap orang atau kelompok mengumumnkan, menyebarkan, mem- orang yang telah memeluk/ propagandakan, menerbitkan, menjual, dan mengirimkan. Lihat “Siar” http:// menganut agama lain. badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/ Cara-cara penyiaran yang dila- index.php (diakses 6 Desember 2014) 106 Penyuluh dari kata dasar suluh. Menurut rang itu lewat tiga cara. Pertama, Kamus Besar Bahasa Indonesia suluh menggunakan bujukan dengan berarti barang yang dipakai untuk menerangi (biasa dibuat dari daun kelapa atau tanpa pemberian barang, yg kering atau damar); obor. Bisa juga uang, pakaian, makanan dan atau berarti pengintai; penyelidik; mata-mata; penyuluh. Penyuluhan berarti proses, minuman, pengobatan, obat-obatan cara, perbuatan menyuluh; penerangan; dan bentuk-bentuk pemberian pengintaian; penyelidikan. Sementara penyuluh berarti pemberi penerangan; apapun lainnya agar orang atau penunjuk jalan; pengintai, atau mata- mata. Yang lebih mendekati makna di

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 125 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

dalam Keputusan Menteri Agama Salah satu penyebab keruncingan No. 791 Tahun 1985; Keputusan Islam-Kristen adalah keberhasilan Menteri Agama No. 178 dan 574 spektakuler kegiatan misionaris Tahun 1999; Keputusan Menteri selama lima tahun setelah 1965. Pada Agama No. 373 Tahun 2002. Di dasawarsa 1970, pertumbuhan gereja ketiga aturan itu, “penyuluh Agama” meningkat pesat dan jumlah konversi didefinisikan sebagai “Pegawai ke Kristen melonjak, khususnya di Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika tanggung jawab, wewenang untuk itu diperkirakan muslim-Jawa yang melakukan kegiatan bimbingan melakukan konversi sekitar dua juta dan penyuluhan agama dan 107 pembangunan melalui bahasa orang. Sebagian besar mereka agama”. Istilah peyuluh agama ini yang melakukan konversi ini adalah digunakan untuk menggantikan mereka yang dituding anggota Partai istilah guru agama Honorer (GAH). Komunis Indonesia yang sebelumnya Pertanyaan yang segera muncul mendapat perlakuan buruk dari dalam memahami dan menjalankan masyarakat muslim. Bagi sebagian SKB Penyiaran Agama itu adalah kalangan muslim, kesuksesan siapa yang dimaksud dengan yang Kristen itu terjadi karena pemerintah belum beragama? Apakah yang memberi angin kepada mereka. Dalam periode berikutnya menganut apa yang dikategorikan ketegangan ini meletus menjadi sebagai aliran penghayatan konflik kekerasan. Di beberapa dinyatakan sebagai yang belum tempat di Jawa Tengah dan Aceh, beragama dan karenanya menjadi sasaran proselitisme? Apakah gereja dibakar pemuda muslim. kristenisasi atau islamisasi terhadap Di Sulawesi Utara dan Ambon orang di luar umat menjadi praktik sebaliknya terjadi pembakaran yang terlarang? masjid oleh penganut Kristen SKB Penyiaran Agama ini sendiri Protestan. Antara tahun 1975 – 1984, lahir di saat ketegangan hubungan tercatat jumlah gereja yang dirusak Islam-Kristen meruncing. Ketika itu sekitar 891 gereja, jumlah perusakan posisi Menteri Agama dijabat tokoh tertinggi dalam sejarah perjalanan berlatar belakang militer, Alamsjah bangsa Indonesia sejauh ini.108

Ratu Prawiranegara (1978-1983) dan 107 Ali Munhanif, “Prof Dr. A. : mengusung agenda stabilitasi dan Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru” dalam dan Saiful Umam, ketahanan nasional sebagai prioritas ed., Menteri Agama RI Biografi Sosial Politik kementeriannya. (Jakarta: INIS-PPIM-Litbang Agama Depag RI, 1998), 303 sini adalah pemberi penerangan dan 108 Data itu merujuk hasil yang direkam dalam penunjuk jalan. Lihat “Suluh” http:// buku Beginikah Kemerdekaan Kita? (1997) badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/ yang disunting Paul Tahalele dan Thomas index.php ((diakses 6 Desember 2014) Santoso. Lihat Fatimah Husein, Muslim- Christian Relation in The Indonesia

126 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

Melalui SKB itu pemerintah termasuk prinsip dasar dalam pasal berharap kasus-kasus ketegangan UUD 1945 pasal 29 ayat 2, SKB berbasis agama, khususnya Islam- Penyiaran agama harus dinyatakan Kristen, yang menggangu stabilitas bertentangan dan bermasalah. dan ketahanan nasional bisa diatasi. Membatasi seseorang berdakwah Karena itu SKB yang tidak memuat atau misionari, jelas membatasi sanksi hukum ini disahkan. Beleid ini ekspresi keberagaman mereka. mendapat tentangan dari komunitas Kristen dan Katolik, mewakili Proselitisme Bermasalah organisasi masing-masing. Melalui Dewan Gereja Indonesia (DGI) – Tentu saja dalam proselitisme saat ini berubah nama menjadi selalu ditemukan praktik-praktik Persekutuan Gereja-Gereja di yang dianggap tidak konvensional, Indonesia—dan Majelis Agung Wali tidak etis, bahkan melanggar hukum. gereja (MAWI) –kini KWI—menulis Misalnya, prosilitisme dengan surat keberatan kepada pemerintah. bentuk-bentuk tindakan intimidasi Mereka beranggapan aturan ini atau koersi atau pemaksaan untuk membatasi hak dasar beragama memeluk atau pindah dari agama untuk menyiarkan agama mereka. atau kepercayaan sebelumnya, Meski SKB ini disahkan, dalam upaya koersi kepada anak-anak, dan praktiknya upaya-upaya penyiaran di saat-saat tidak normal seperti saat agama kepada yang sudah bencana alam. Tindakan-tindakan beragama ini tetap berjalan, bahkan ini bisa merupakan bentuk yang hingga hari ini. Pemahaman yang melanggar prinsip-prinsip kebebasan berkembang atas SKB ini kemudian beragama. menganggap agama-agama lokal, Dalam melihat kasus-kasus atau yang biasa disebut pemerintah ini, pelapor khusus mengajukan sebagai aliran kepercayaan, menjadi dua pendekatan yang memiliki sasaran islamisasi atau misionari. implikasi berbeda atas jawaban Mereka dipandang sebagai orang apakah pemerintah perlu mengatur yang belum beragama. Orang- melalui regulasi. Pertama, apakah orang yg sudah beragama itu adalah itu termasuk wilayah yang menjadi pemeluk Islam, Kristen, Katolik, perhatian isu HAM. Kedua, apakah Hindu dan Budhha. Kepada mereka, ini hanya merupakan aksi-aksi proselitisme dilarang. kriminal. Jika itu bentuk aksi Dengan begitu dengan bahasa kriminal, pelapor khusus dengan yang terang, dari sudut pandang tegas untuk mengatasinya melalui jaminan kebebasan beragama hukum kriminal yang tersedia.109

The Exclusivist and Inclusivist Muslim’s 109 Rapporteur’s Digest on Freedom of Religion Perspective (Bandung : Mizan, 2005), 194 or Belief, 32

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 127 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

Yang dimaksud dengan menye- bentuk proselitisme yang dilarang? lesaikan lewat hukum kriminal berarti Apakah tindakan mendatangi dari pula pada penghukuman atas bentuk pintu ke pintu untuk menyampaikan kriminalnya, bukan keyakinannya. informasi keagamaan, baik kepada Misalnya, jika seseorang melakukan umatnya sendiri atau bukan, sebagai tindakan penyebaran kebencian tindakan yang melanggar atau tidak? seperti ceramah yang mengajak Dari kontruksi SKB Penyiaran pendengarnya menghabisi kelompok agama, kunjungan dari rumah yang berbeda, maka penghukuman ke rumah kepada “yang sudah dilakukan pada bentuk penyebaran beragama” itu jelas sekali dikatego- kebenciannya, bukan keyakinannya rikan sebagai tindakan yang pada kelompok lain.110 Soal keyakinan dilarang. Tapi tidak dalam istrumen internasional tentang kebebasan terhadap yang lain menjadi beragama. Sekali lagi karena hak urusan komunitas untuk memberi beragama juga termasuk hak untuk perimbangan pemahaman. menginformasikan ajaran agama Namun demikian Pelapor kepada orang lain, termasuk kepada khusus juga memberi catatan, umat di luar mereka. mereka tidak menganjurkan untuk Kasus terkemuka di dunia mengkriminalisasi aksi-aksi non- internasional terkait proselitisme ini kekerasan yang dilakukan dalam adalah kasus Kokkinakis di Yunani. konteks manifestasi agama tertentu, Sepasang suami isteri dari pengikut khususnya penyiaran agama, ter- Saksi Yehuwa dilaporkan salah masuk karena dengan kriminalisasi seorang penganut gereja ortodoks itu memberi jalan persekusi terhadap ke polisi. Tindakan pengikut Saksi kelompok minoritas. Yehuwa mendatangi dari rumah ke Yang masih-masih abu-abu adalah rumah untuk membujuk orang lain perkara mana saja yang bisa dianggap bergabung dengan agama mereka itu praktik proselitisme yang tidak dinilai mengganggu dan melanggar konvensional dan tidak etis. Perkara hukum.111 yang tidak etis belum tentu sebuah Tapi Pengadilan HAM Eropa pelanggaran, namun berpotensi menganggap apa yang dilakukan melahirkan pelanggaran. Apakah pengikut Saksi Yehuwa itu tidak tindakan membagi-bagi kalung yang melanggar prinsip kebebasan diindikasikan simbol agama Kristen beragama sebagaimana di atur seperti dalam kasus car free day di pasal 9 ECHR. Larangan proselitisme atas sebuah pelanggaran dan karena 111 Lihat Johan D. van der Vyver “The Relationship itu harus dilarang. Apakah pemberian of Freedom of Religion or belief Norms to sajadah kepada umat Kristen sebagai Other Human Rights” dalam Tore Lindholm, dkk., eds. Facilitating Freedom of Religion or 110 Rapporteur’s Digest on Freedom of Religion Belief: A Deskbook (Leiden: Martinus Nijhoff, or Belief,32 2004). 107-108

128 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

Yunani ini hanya tepat ditujukan intoleransi beragama, bahkan untuk praktik proselitisme yang tidak memprovokasi intoleransi lanjutan. tepat seperti proselitisme dalam Pelapor khusus menghimbau bentuk intimidasi, kekerasan, atau para misionaris, kelompok agama, cuci otak.112 dan LSM kemanusiaan, seyogyanya Di Yunani, proselitisme dianggap melaksanakan aktivitas mereka sebagai gangguan terhadap agama dalam semangat penghormatan lain yang tidak diperbolehkan penuh terhadap budaya dan agama (impermissible interference) dan masyarakat setempat. Mereka dianggap tindak pidana. Hukum juga mestinya menjalankan kode Yunani mendefinisikan proselitisme etik tertentu yang relevan. Pelapor adalah “setiap usaha-usaha langsung Khusus misalnya merujuk Kode Etik maupun tidak langsung untuk Federation of Red Cross and Red mengganggu keyakinan agama Crescent Societies and NGOs in seseorang dari persuasi keagamaan Disaster Relief.114 yang berbeda, dengan tujuan merusak keyakinan itu, baik melalui Etika Proselitisme; Sebuah setiap jenis bujukan, dukungan Tawaran material, bantuan materi, atau dengan dengan cara curang atau Di sinilah kemudian penting dengan mengambil keuntungan sekali merumuskan etika bersama dari pengalaman, kepercayaan, tentang proselitisme. Etika ini akan kebutuhan, intelektual yang rendah berisi kumpulan asas asas atau nilai- atau kenaifan.113 nilai moral yang bersifat universal Dalam laporan-laporannya, dalam aktivitas proselitisme yang Pelapor Khusus juga mengakui disepakati komunitas agama dan menerima sejumlah laporan berkeyakinan atau komunitas- mengenai kasus-kasus dimana komunitas lain yang terkait dalam misionaris, kelompok agama dan LSM isu-isu kemanusiaan. kemanusiaan dituding berperilaku Kode Etik The International tidak sopan di hadapan masyarakat Red Cross and Red Crescent di mana mereka beroperasi. Meski Movement and NGOs in Disaster tidak bisa dinyatakan sebagai Relief misalnya disusun dan sudah pelanggaran kebebasan beragama, disetujui delapan agen-agen tangap pelapor Khusus menyesalkan bencana terbesar dunia pada 1994. tindakan mereka yang menciptakan Ini dipakai sebagai standar dalam menjalankan kegiatan-kegiatan ke- 112 Johan D. van der Vyver “The Relationship of Freedom of Religion or belief Norms to Other manusiaan organisasi-organisasi ter- Human Rights”, 108 113 114 Bisa diunduh di www.ifrc.org/publicat/conduct/ code.asp (Diakses 8 Desember 2014)

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 129 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

sebut. Kode etik yang bersifat voluntary dasar. Pertama, untuk tidak ini terdiri dari 10 prinsip, di antaranya melakukan hal-hal yang tidak terpuji prinsip kemanusiaan yang pertama kepada penganut agama lain melalui kali harus dijunjung dalam setiap cara paksaan, bujukan dan bantuan aktivitas; pemberian bantuan tidak ekonomi maupun peluang pekerjaan memandang ras, keyakinan, atau yang bertujuan mengajak seseorang kebangsaan dari penerima dan berpindah agama. Kedua, tidak tanpa sikap membeda-bedakan menyebarkan fitnah dan kebencian yang merugikan; bantuan juga tidak terhadap agama lain. Ketiga, boleh mewakili pandangan politik menumbuhkembangkan semangat atau agama tertentu; menghormati kerukunan melalui berbagai ke- budaya dan adat istiadat di area giatan kemanusiaan, sehingga operasi.115 masyarakat dapat membudayakan Di Indonesia, untuk kepentingan kerukunan beragama di kalangan “penyuluhan agama”, itu berarti mereka. penyiaran agama yang ditujukan Kode etik ini tentu saja harus untuk internal umat”, lahir kode etik diperluas untuk masalah-masalah yang bisa dirujuk sebagai panduan yang mengatur proselitisme kepada dalam membangun proselitisme diluar umat mereka. Dengan begitu yang sehat. Kode etik ini lahir dari bisa dipegang sebagai panduan hasil Lokakarya Nasional Penyuluhan etis setiap pemuka agama dalam Agama yang digelar di Bogor, 13-15 menyiarkan agama mereka. Juni 2006, penting dikemukakan di Prosesnya betul-betul dilakukan sini. Panduan penyuluhan ini diberi secara partisipatif oleh setiap nama “Kode Etik Penyuluh Dan perwakilan agama dan keyakinan Pedoman Penyuluhan Agama”. Di yang ada. Ini berarti berbeda antara penyusunnya berasal dari pendekatan seperti pola yang terjadi perwakilan masing-masing agama dalam SKB penyiaran agama yang seperti Ahmadi Isa, M. Qasim lebih bersifat atas-bawah. Mathar, Ahmad Kamaludiningrat, Perbincangan mengenai kode Gunawan Yuli AS, Romo Maxi Un etik di level internasional salah Bria, dan Eklefina Manati.116 satunya dilakukan Koalisi Oslo Kode etik ini di antaranya untuk Kebebasan Beragama menegaskan beberapa prinsip dan Berkeyakinan Oslo. Pada 2009, bersama aktivitas-aktivitas 115 “Code of conduct,” http://www.ifrc.org/en/ publications-and-reports/code-of-conduct/ misionaris dan hak asasi manusia (Diakses 8 Desember 2014) menyusun panduan etika dalam 116 “Kode Etik Penyuluh Dan Pedoman aktivitas-aktivitas misionaris dan Penyuluhan Agama”. http://mangarajaoloan. blogspot.com/2011/03/kode-etik-penyuluh- hak asasi manusia. agama.html

130 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

Dokumen tersebut menghasilkan dalam aktivitas-aktivitas penyiaran dari rangkaian konsultasi sejak 2005 agama. Kedua, mereka yang menjadi dan termasuk di dalamnya sejumlah sasaran Aktivitas Misionaris. seminar nasional serta internasional Di Bagian pertama, kode etik ini di bawah naungan Koalisi Oslo, di antaranya menegaskan jika klaim dengan perwakilan dari lembaga agama sesuatu yang bisa diterima, akademisi Norwegia maupun namun tidak untuk perlakuan kasar luar negeri, komunitas keyakinan dan olok-olok kepada agama yang dan organisasi-organisasi yang lain. Kritik persuasif terhadap suatu melakukan kegiatan penyebaran agama juga dinilai bukan tindakan agama. yang tidak etis. Tindakan cara-cara Dokumen ini diberi judul “Aktivitas- kontroversial dalam proselitisme aktivitas Misionaris dan Hak Asasi seperti kunjungan dari pintu ke pintu Manusia: Ketentuan-ketentuan bisa diterima tetapi dengan prinsip Mendasar untuk Aktivitas-aktivitas menghormati hak atas privasi dan misionaris yang Di rekomendasikan juga dapat diterima menurut norma (Sebuah pijakan bagi penciptaan sosial setempat. Prinsip lain yang kode etik individu)”. Di modul diatur adalah bahwa paksaan dan ini, misionaris kami terjemahkan manipulasi tidak boleh menjadi dengan penyiaran agama.117 bagian dari aktivitas-aktivitas Kode etik ini terdiri dari dua misionaris. Para pelaku proselitisme bagian berdasarkan sasaran. juga tidak dibenarkan berbicara Pertama, untuk mereka yang terlibat tentang agama-agama yang lain atau pengikut mereka dalam 117 Lihat Koalisi Oslo untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Oslo, pengertian yang dapat dipandang “Aktivitas-aktivitas Misionaris dan Hak sebagai pidato penyebar kebencian. Asasi Manusia: Ketentuan-ketentuan Mendasar untuk Aktivitas-aktivitas Pada bagian mereka yang misionaris yang Direkomendasikan menjadi sasaran misionaris, kode (Sebuah pijakan bagi penciptaan etik menegaskan mengenai tata kode etik individu)” (November 2009). http://www.jus.uio.no/smr/english/ cara penyelesaian merespons about/programmes/oslocoalition/docs/ cara-cara yang dianggap tidak groundrules_bahasa.pdf (diakses 7 Desember 2014). Judul dalam bahasa etis, anggota-anggota komunitas Inggris Missionary Activities and Human harus terlebih dahulu mencoba Rights: Recommended Ground Rules for untuk menyelesaikan persoalan Missionary Activities (A basis for ini melalui kontak secara langsung creating individual codes of conduct). Dapat diunduh di http://www.jus.uio. dengan mereka yang terlibat. no/smr/english/about/programmes/ Jika masalah itu tetap ada, maka oslocoalition/docs/groundrules_english. pdf (diakes 7 Desember 2014). Dokumen anggota-anggota komunitas harus ini diterjemahkan ke dalam lima bahasa membawa persoalan tersebut (Inggris, Arab, Indonesia, Rusia, dan Prancis)

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 131 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

agar menjadi perhatian dari para dan di mana komunitas agama pimpinan organisasi misionaris. mengelola. Batas ini penting untuk Dalam upaya mendorong mediasi menentukan apakah kebijakan atau dialog sebagai sebuah jalan tertentu atau kasus tertentu me- untuk menyelesaikan persoalan yang langgar prinsip kebebasan beragama terkait dengan aktivitas-aktivitas atau tidak. misionaris, dewan lintas-agama Upaya ini juga bisa dimulai dengan yang memiliki dasar luas harus melihat sejumlah regulasi yang ada. dibentuk. Ketika mediasi atau dialog Apakah ia masih benar-benar relevan tidak menghasilkan perlindungan atau sebaliknya justru tidak relevan, yang memuaskan terhadap hak- bahkan melanggar hak proselitisme hak anggota komunitas untuk sebagai bagian dari hak beragama/ mempertahankan ajaran agama berkeyakinan. Yang perlu diingat mereka, atau dalam situasi-situasi dalam upaya ini adalah hak atas lain dimana mereka merasa bahwa proselitisme juga berkaitan dengan hak-hak mereka dilanggar melalui hak-hak lain dalam ruang lingkup aktivitas-aktivitas keagamaan yang HAM seperti hak anak, kebebasan lain, anggota-anggota komunitas berekspresi, bebas dari diskriminasi harus mengajukan keberatan melalui dan sebagai-nya. Dari sini kita bisa jalur hukum yang sejalan dengan memahami apakah menjadi anak- standar-standar HAM internasional. anak sebagai target proselitisme sebuah pelanggaran atau bukan. Upaya lain yang juga tidak Penutup kalah mendesak adalah membangun kode etik bersama antar agama/ Dua isu ini (islamisasi dan keyakinan menyangkut prinsip- kristenisasi) memang isu kontro- prinsip pokok dalam proselitisme. versial yang selalu melahirkan pro- Apa yang etis dan tidak etis. Ini bisa kontra. Ini bukan khas Indonesia. digali bersama-sama. Dan usaha ini Negara-negara tetangga di Asia jelas sepenuhnya menjadi peran Tenggara, termasuk di Eropa dan dan tanggung jawab komunitas Amerika menghadapinya. Yang agama, bukan negara. membedakan adalah pendekatan dan penyelesaian atas kasus-kasus yang dihadapi. Respons terhadap kasus-kasus proselitisme ini harus segera dimulai dengan membicarakan kembali secara terbuka di mana batas-batas kewenangan pemerintah mengatur

132 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

Riwayat Hidup

Alamsyah M. Dja’far, peneliti The Wahid Institute Jakarta. Selain aktif di lembaga yang berusaha memperjuangkan gagasan dan perjuangan KH. memperkuat Islam moderat di Indonesia ini, Alamsyah juga tengah merampungkan studi magister Kajian Agama di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia tercatat sebagai pengajar di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Jawa Barat; pengurus Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Jakarta. Aktif menulis untuk jurnal dan media massa nasional tentang agama dan isu-isu toleransi. Korespondensi bisa dilakukan via [email protected]

Riwayat Hidup

Nama : Alamsyah M. Dja’far Alamat Rumah : Perumahan Villa Boenga Blok C-4 Jalan Haji Kocen RT 02 RW 06 Kampung Duren Kalimulya Depok Jawa Barat 16431 HP+6221 815 9819841 (e) [email protected] (w) www.alamsyahdjafar.wordpress.com Alamat Kantor : The Wahid Institute Jl. Taman Amir Hamzah No 8, Jakarta 10320, Indonesia Telpon +62 21-3928233, 3145671 Fax : +62 21-3928250 Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, November 19, 1979 Status : Menikah

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 133 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

Pendidikan • S2 Kajian Islam, Konsentasi Agama dan Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta (2011 – sekarang) • S1, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta (1997-2003). Tugas Akhir: Dakwah dan Plurarisme Agama Menuju Tranformasi Sosial Studi atas Pemikiran • Pondok Pesantren Ashidiqiyyah, Jakarta (1994-1997)

Pengalaman Kerja • 2013 – sekarang. Dewan Redaksi Majalah Surah. • 2013. Editor Bahasa Majalah Bulanan Nusa • 2011 – sekarang. Pengajar Institute Studi Islam Fahmina, Cirebon Jawa Barat. • 2009 – sekarang. Program Officer Media dan Monitoring the Wahid Institute, Jakarta. • 2008. Project Officer Asia Calling Forum “Islam and Democracy in South Asia”, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Jakarta • 2007. Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Syirah Online • 2003 – 2007. Pemimpin Umum Majalah Syirah • 2001 - 2003. Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Majalah Syirah. • 2001. Staf Program Talkshow Ramadhan Kampanye Toleransi dan Perdamaian Lakpesdam NU

Pengalaman Organisasi • 2011 – sekarang. Anggota Pengurus Bidang Informasi dan Komunikasi, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) • 2010 – sekarang. Anggota Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Pengurus Besar (LTN-NU) • 2010 – Sekarang. Koordinator Komunitas Indonesia yang Adil dan Setara (KIAS) Jabodetabek

TRAINING, WORKSHOP, PENGHARGAAN • Jakarta, 8 Desember 2014. Peserta Konferensi Human Right Cities, International NGO Forum on Indonesian Development [INFID] • 2011 – 2013. Penerima Beasiswa Studi Pendidik dan Kependidikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI

134 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

• Bali 22-23 April 2013. Roundtable Discussion Kebebasan Beragama Berkeyakinan, Asia Justice and Rights (AJAR) • Bali, 24 – 26 April 2013. Workshop Strategi Advokasi Melawan Impunitas Pelanggaran hak-hak kelompok minoritas Agama di Indonesia , Asia Justice and Rights (AJAR). • Depok, April 1, 2013. Peserta Workshop “Workshop Penelaahan Implementasi Penyelenggaraan Perlindungan Anak Di Indonesia” Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). • Jakarta, 13 Februari 2013. Undangan Konsultasi Pemangku Kepentingan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) Kementerian Luar Negeri RI Direktorat Kerjasama ASEAN • Solo, 9-11 Oktober 2012. Peserta Pertemuan Nasional Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara (KIAS) Federasi LBH Apik • Bogor, 21-24 Juli 2010. Peserta Pelatihan Mekanisme HAM Internasional Human Rights Working Group (HRWG) • Jakarta, January 2003. Peserta Pelatihan Jurnalisme Sastrawi Institut Studi Arus dan Informasi(ISAI), Jakarta

LAPORAN DAN PENELITIAN • 2013. 2012. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Toleransi the Wahid Institute • 2012. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Toleransi the Wahid Institute • 2011. Penelitian Politik di Indonesia Dilema Negara Majemuk Menegakan Konstitusi” (Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia, Jakarta). • 2011. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Toleransi the Wahid Institute • 2010. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Toleransi the Wahid Institute • 2008. Asisten Peneliti dalam Penelitian Peta Gerakan Pro-Pluralisme Indonesia (HIVOS Indonesia)

PUBLIKASI BUKU & ARTIKEL • “Politik Toleransi dan Pembangunan di Indonesia: Membaca Rencana Kerja Pemerintah.” (Artikel yang disusun sebagai Kertas Kerja International NGO Forum on Indonesian Development [INFID] 2014. • Tim penulis Menemukan Kembali Indonesia: Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan demi Memutus Rantai Impunitas, (Jakarta: KKPK, 2014)

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 135 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

• Tim Penulis Ensiklopedi NU (Empat Jilid), LTNU PBNU, 2014 • Penyusun Modul Pendidikan Konstitusi, HAM, dan Demokrasi bagi Penyuluh Agama-Agama (2014), ICRP-Hanns Seidel Foundation • “An Indonesia we can take pride in” artikel dipublikasi di Common Ground News (2013) http://www.commongroundnews.org/article. php?id=33194&lan=en • (editor) Ahmad Suaedy, dkk, Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia (Jakarta: the Wahid Institute, 2009) • (editor) Ahmad Suaedy, dkk., Islam, Konstitusi Hak Asasi Manusia Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009) • (editor) Ahmad Suaedy Perspektif Pesantren: Islam Indonesia, Gerakan Sosial Baru, Demokratisasi (Jakarta: the Wahid Institute, 2010) • (penulis) Alamsyah M. Dja’far Lelaki Laut (Jakarta: Gramedia, 2010) • (penulis) Alamsyah M. Dja’far, dkk, Mengadili Keyakinan: Kajian putusan Mahkamah Konstitusi atas UU Pencegahan Penodaan Agama (Jakarta: ICRP, 2011) • Alamsyah M. Dja’far, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik dan Perhatian Internasional (Jakarta: HRWG, 2012) • (penulis) Ahmad Suedy, dkk., Islam dan Kaum Minoritas: Tantangan Kontemporer (Jakarta: The Wahid Institute, 2012) • Ahmad Suaedy, dkk., Islam, Konstitusi Hak Asasi Manusia Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009) • “Minoritas Dalam Ancaman” (epilog) dalam Ahmad Suaedy, dkk, Agama dan Konstestasi Ruang Publik:Islamisme, konflik dan demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2011) 303 -319 • “Setop Penutupan Gereja!”, Suara Pembaruan, 4 Agustus 2010 • “Gus Dur dan Pembelaan Terhadap Kelompok Minoritas,” Harian Pelita, 26 Nopember 2010 • “Memangkas Rantai Kekerasan atas Nama Agama” Sinar Harapan, Sabtu, 16 Maret 2013 • “Melanjutkan Gagasan Kebudayaan Gus Dur: Mengenang 1000 Hari Gus Dur” www.wahidinstitute.org, Rabu, 3 Oktober 2012 07:20 • “Penyesatan Keyakinan di Media,” Harian Pelita, Jumat, 18 Nopember 2011 • “Membela Umat,” Harian Pelita, Jumat, 30 Desember 2011 • “Islam dan Ruang Publik,” Harian Pelita, Jumat, 28 Oktober 2011

136 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

• “Melindungi Minoritas: Untuk 85 Tahun NU,” www.wahidinstitute.org, Jumat, 22 Juli 2011 05:21 • “Merayakan Intoleransi”, Sinar Harapan, 12 Januari 2012 • “Antara Penafsiran dan Penodaan,” Harian Pelita, 7 Januari 2011 • “Kepahlawan Gus Dur dan Pembubaran Ahmadiyah,” www.wahidinstitute. org, Selasa 4 November 2010 12:13 • “Menghidupkan Kata” (Tulisan untuk “Workshop Fotografi & Bengkel Cerpen Nida (BCN).” Pulau Tidung, Sabtu 7 Juli 2012) • “Tak Susah Menulis Berita” (Tulisan untuk Pelatihan Menulis Remaja Panggulan, Pengasinan, Depok, Minggu 14 Juli 2013) • “Menulis Esai” (2008)

MAKALAH & PRESENTASI

• “Memperjungkan Wajah Islam Toleran dan Damai”. Makalah disajikan dalam Regional Conference on “Strengthening Accountability for Violations of Religious Freedom in Southeast Asia”, Panel 1 “Understanding and promoting religious tolerance and pluralism in society: Best practices,” National Library-Jakarta, 18 November 2014 • : Its Roles and Challeges”. Dipresentasi dalam In Country Orientation Program (ICOP), Austarlian Vounteer International Jakarta, November 13, 2014 • Freedom of Religion and Belief in ASEAN. Dipresentasikan bersama Tim penulis dalam Regional Consultation on Promotion of Freedom of Religion and Belief in ASEAN, HRWG, Jakarta, 20 Februari 2014. • “Problematika Peran FKUB dalam kerukunan beragama di Indonesia: Perspektif konstitusi dan HAM,” (dipresentasikan dalam Workshop Penyusunan Modul Peningkatan Kapasitas Anggota FKUB tentang Konstiusi, HAM, dan Mediasi Konflik Keagamaan, The Wahid Institute dan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 26-28 Maret 2012) • “Sekali Lagi Soal Islam dan Pancasila” (dipresentasikam dalam Refleksi Nasional “Empat Pilar Kebangsaan: Solusi untuk Masalah Kebangsaan,” Lingkar Studi Islam dan Sosial (LsIS) and Forum Komunikasi Remaja Masjid Lebak, Rangkas Bitung, Banten, Selasa 22 Desember 2011) • “Menegakkan Konstitusi, Melindungi Minoritas” (Diprsentasikan pada Dies Natalis GMKI ke-62 “Apa Kabarmu GMKI di Usiamu ke-62 Tahun?” dengan subtema “Eksistensi GMKI dalam Memperjuangkan Hak-Hak

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 137 Islamisasi dan Kristenisasi: Isu-isu Krusial di Seputar Proseslitisme dan Hak Kebebasan Beragama

Konstitusional Warga Negara, Rabu, 15 Februari 2012 di Aula PGI Salemba) • “Pancasila, Pesantren, dan Sejumlah Tantangannya” (dipresentasikan pada Dialog “Membangun Karakter Kebangsaan Melalui Pondok Pesantren dalam Upaya Mencegah Paham Radikalisme”, Kamis, 28 April 2011, Pondok Pesantren Al-Karimiyah, Sawangan Depok) • “Pengaruh Kekuasaan Eksternal terhadap Agenda Media Detik.com dalam Isu Kebebasan Beragama: Perspektif Agenda-Setting” (makalah dipresentasikan untuk mata kuliah Da’wah, Cultural, Communication, and Politics” Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2012) • “Talkshow Belajar Islam Tasawuf MNC Muslim: Perspektif Produksi” (Belajar Islam Tasawuf MNC Muslim: Production Perspective) (makalah dipresentasikan untuk mata kuliah “Applied Communication for Da’wah, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2012) • “Peta Suram Kemerdekaan Beragama dan Intolerasi di Indonesia” (Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Menata Keragaman Keagamaan Respon Terhadap Konflik Bernuansa Keagamaan Di Indonesia, UIN Yogyakarta, Rabu, 12 September 2012, Yogyakarta) • “Memahami Gerakan Islam Transnasional: Sebuah Pengantar” (makalah dipresentasikan dalam Diskusi Publik Fundamentalisme Agam dan Ideologi Transnasional, Komisarit PMII IAI Al-Aqidah Jakarta Period 2009- 2010)

138 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Ihsan Ali-Fauzi, Irsyad Rafsadi, Siswo Mulyartono118

Abstrak

Konflik antar agama dan intra agama baik dalam skala kecil maupun skala besar rupanya menunjukkan potensi yang terus meningkat, bahkan kecenderungan yang terjadi diikuti dengan aksi-aksi kekerasan. Konflik bukan hanya menyangkut persoalan tempat ibadah namun juga konflik sektarian baik di tingkat internal agama itu sendiri maupun antar agama. Dalam tulisan ini, tidak dibahas secara detail tentang apa saja penyebab konflik antar maupun intra agama tersebut, namun ingin melihat dan membandingkan bagaimana peran negara khususnya polisi sebagai aparat penegak hukum dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik intra agama yang terjadi. Studi kasus yang menjadi pijakan analisa adalah konflik yang terjadi di Manis Lor, Jawa Barat dan Cikeusik, Banten. Keduanya adalah konflik anti-Ahmadiyah. Terdapat dua hasil yang berbeda dari tindakan polisi di kedua konflik tersebut. Konflik di Manis Lor, Jawa Barat dapat dicegah dengan baik oleh polisi sehingga tidak terjadi eskalasi konflik yang mengarah pada kekerasan massa. Bertolak belakang dengan yang terjadi di Cikeusik, meskipun polisi sudah berusaha untuk melakukan tindakan pencegahan, namun eskalasi konflik tetap tidak terbendung dan kekerasan yang membawa korban jiwa terjadi. Belajar pada kedua kasus tersebut, peran polisi dalam upaya

118 Ihsan Ali-Fauzi adalah direktur pada Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Irsyad Rafsadi dan Siswo Mulyartono adalah peneliti pada lembaga studi yang sama.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 139 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

penangkalan atau pencegahan (deterrences) menjadi sangat penting, selain penggunaan kekuatan dan waktu pengerahan aparat kepolisian. Dibutuhkan perhitungan dan strategi yang tepat serta keseriusan pimpinan dalam memberikan komando. Di sini peran pemolisian menjadi sangat penting, mengingat keberhasilan pemolisian konflik beragama salah satunya adalah keberhasilan dalam upaya preemtif dan preventif.

Abstract

The religion conflict both of between and intra-faith religion on a small scale and large scale seems to show the potential of increasing, even trends followed of violences. Conflict is not just about the issue of the worship place butalso sectarian conflict both of the internal level of religion itself and between religions. In this article, it is not discussed about the causes of conflict both of between and the intra-faith, but to compare how the state responsibility, especially police as law enforcement officers to finished the intra-faith religious conflicts that occur. The case study analysis, base on the conflict in Manis Lor, West Java and Cikeusik, Banten. Both are anti-Ahmadiyya conflict. There are two different results from the police actions in both of the conflict. The conflict in Manis Lor, West Java can be prevented by the police so there is no escalation of the conflict that led to mass violence. Contrary with Manis Lor, in Cikeusik although the police had tried to take prevention, but the conflict escalation unabated and violence that take some of victims occurred. Learning in both cases, the police responsibility in an effort to deterrence or prevention becomes very important, in addition to the use of force and the timing to police deployment. It takes the right calculations and strategies as well as the seriousness of the leadership in command. Here the role of policing becomes very important, the one of the religion conflict policing success are the success in preemptive and preventive efforts.

140 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Pendahuluan tak banyak studi yang berusaha menjawab pertanyaan ini. da perkembangan yang Dari sedikit literatur yang ada, Polri patut disyukuri tapi sering dinilai tidak berani menindak juga disayangkan dalam tegas pihak-pihak yang melanggar pengelolaan kehidupan hak kelompok tertentu untuk bebas keagamaanA di Indonesia pasca- beragama atau berkeyakinan dan Orde Baru. Di satu sisi, kekerasan tunduk kepada tekanan kelompok- kolektif antar-agama, seperti yang kelompok dominan dalam masya- terjadi di Ambon dan Poso, sudah rakat (Asfinawati et al. 2008; ICG2008 berhenti sejak sekitar sepuluh tahun dan 2012). Tetapi, meskipun kinerja lalu. Namun, di sisi lain, beberapa polisi dalam segi ini cukup jelas laporan menunjukkan peningkatan tercatat, variasi spasialnya masih insiden konflik antar-agama berskala perlu dianalisis lebih lanjut, karena rendah, yang terpenting di antaranya contoh pemolisian yang sebaliknya adalah konflik dan sengketa terkait bukan tidak ada sama sekali (lihat tempat ibadat. Selain itu, laporan- dalam Ali-Fauzi et al. 2009b). laporan yang ada juga menunjukkan Di tengah kelangkaan ini, hasil meningkatnya insiden konflik pemantauan Komisi untuk Orang sektarian intra-agama, yang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan sebagian besarnya berbentuk aksi- (Kontras 2012a) terkait peran polisi aksi kekerasan terhadap anggota dalam melindungi hak-hak beragama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan berkeyakinan kelompok minori- komunitas Syiah, dan sekte-sekte tas di Jakarta, Jawa Barat, dan keagamaan lain.119 Banten, penting diperhatikan. Dalam kesimpulannya, Kontras antara Di tengah konflik-konflik tersebut, lain menyebutkan bahwa Polri bagaimana Kepolisian Republik sering tidak bisa bertindak tegas Indonesia (Polri) memainkan fung- di antara pilihan mengawal nilai- sinya? Pertanyaan ini penting disam- nilai konstitusi dan hak-hak asasi paikan, karena sejak pemisahannya manusia (HAM) atau menghadapi dari Angkatan Bersenjata Republik tekanan kelompok mayoritas dan Indonesia (ABRI) pada 1999, Polri kebijakan hukum yang ambigu.121 mulai mengambil alih tanggung jawab utama pemeliharaan keamanan dan memelihara keamanan dan ketertiban ketertiban masyarakat.120 Sayang, masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, 119 Untuk laporan paling akhir dari lembaga- dan pelayanan kepada masyarakat. lembaga ini, lihat misalnya Cholil et al 2013; 121 Secara khusus Kontras menggarisbawahi Naipospos et al 2013; Azhari et al 2012; ketidakpatuhan aparat kepolisian di dan HRW 2013. lapangan dalam menggunakan perangkat 120 Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang instrumen internal Polri. Kontras No.2/2002 tentang Kepolisian Negara, melihat ada banyak instrumen Polri Pasal 13, bahwa tugas pokok Polri adalah yang menyediakan landasan kuat bagi

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 141 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Hasil pantauan ini menyajikan Pertanyaannya mengapa, terle- data dan wawasan yang berguna. pas dari itu, Polri masih tetap Meski terfokus pada kasus-kasus gamang dalam menjalankan fung- besar, hasil pantauan ini cukup sinya? Jangan-jangan ini memberi berimbang dalam melihat kinerja isyarat bahwa pada tingkat polisi, ada yang berhasil meredam tertentu, perspektif HAM memiliki gejolak penolakan seperti yang keterbatasan. Fakta bahwa seorang terlihat di Manis Lor dan Kebayoran anggota Polri sudah mengetahui Lama, tapi ada juga yang gagal prinsip HAM dalam konstitusi dan seperti dalam penanganan atas norma institusi Polri, namun tidak kasus anti-JAI di Cikeusik dan GKI serta-merta berarti bahwa dia mau Taman Yasmin. Sayangnya, Kontras atau mampu menegakkannya. tidak menjelaskan variasi di dalam Dengan kata lain, tidak ada hubungan kinerja pemolisian ini. langsung antara pengetahuan Sebagai tindak lanjut studi di seseorang dan perilaku aktualnya. atas, Kontras menerbitkan panduan Ada faktor-faktor lain yang menen- bagi polisi dalam melindungi tukan apakah seseorang mau atau hak beragama dan berkeyakinan kelompok minoritas (Kontras 2012b). mampu menjalankan kewajiban Sumbernya tidak saja prinsip-prinsip yang sudah cukup diketahuinya universal seperti Deklarasi Universal dengan pasti. tentang HAM (DUHAM) dan Kovenan Tulisan ini, salah satu bagian dari Internasional tentang Hak-hak Sipil riset yang lebih besar dan masih dan Politik (ICCPR), tapi juga dari berlangsung tentang pemolisian konstitusi Republik Indonesia dan konflik-konflik agama, ingin mengisi kebijakan serta norma institusi Polri kekurangan di atas, khususnya sendiri. Panduan ini memperlihatkan upaya-upaya terobosan Kontras. bahwa norma dan perangkat Fokus riset ini bukan hanya pada hukum untuk membela keyakinan pengetahuan polisi mengenai atau agama kelompok minoritas prinsip dan norma HAM, meskipun sebenarnya sudah ada dan sangat jelas aspek ini penting, tapi juga kuat tertanam di Indonesia secara konteks menyeluruh yang diduga umum dan pada institusi Polri secara berperan penting dalam pemolisian khusus. konflik agama. Tulisan ini dengan

perlindungan kelompok-kelompok minori- sengaja melihat secara mendalam tas, seperti Peraturan Kapolri Nomor 8 kasus-kasus yang merupakan kasus- Tahun 2009 tentang Prinsip dan Standar kasus positif, misalnya pemolisian Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia atau konflik anti-JAI di Manis Lor, Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 Kuningan (dibandingkan dengan tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat. konflik senada di Cikeusik, Banten), Lihat Kontras 2012 a:11. yang seringkali diabaikan dalam

142 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

pemantauan kinerja pemolisian, riset intra-agama. Dalam tulisan ini, ini ingin menemukan lessons learned hanya akan dibahas konflik intra- yang bisa menjadi contoh di tempat- agama, yang dalam hal ini konflik tempat lain. terkait anti-JAI. Ada dua pertanyaan pokok yang Kedua, pemolisian konflik agama, hendak dijawab dalam artikel ini. pengertian ini berangkat dari asumsi Pertama, mengapa pemolisian bahwa kinerja polisi dalam hal ini, insiden konflik anti-JAI tidak efektif seperti dalam bidang-bidang lain, pada kasus tertentu (Cikeusik, tidak dapat dinilai terpisah semata- Banten) dan efektif pada kasus mata sebagai urusan polisi. Kegagalan lainnya (Manis Lor, Kuningan)? atau keberhasilan pemolisian harus Kedua, apa yang menjelaskan variasi dilihat dalam kaitannya dengan dalam keberhasilan dan kegagalan struktur kesempatan politik dan pemolisian insiden konflik anti-JAI hambatan yang ada. Hal ini bisa tersebut? Efektivitas di sini dilihat ditelusuri dari beberapa segi, dari sejauh mana Polri berhasil pertama, polisi adalah aparat negara meredam konflik yang ada sehingga yang menegakkan konstitusi dan berlangsung secara damai atau menerima perintah dari pemimpin politik. Seperti dikatakan Lipsky, ditandai dengan kekerasan, bahkan polisi dapat dipandang sebagai jatuhnya korban jiwa. ‘birokrat pada tingkat-bawah’ (street- Pemolisian Konflik Agama: level bureaucrats) yang ‘mewakili’ Definisi dan Konseptualisasi pemerintah di hadapan rakyat (Lipsky 1970, dikutip dalam della Sebelum melangkah lebih jauh, Porta & Reiter 1998:1). Karena itu, ada dua konsep utama yang perlu kegagalan polisi dalam mengelola dijelaskan di sini, yakni: (1) konflik konflik-konflik agama juga harus agama dan (2) pemolisian konflik dilihat sebagai ketidakmampuan agama. Pertama, yang dimaksud atau ketidakinginan negara dalam dengan konflik agama di sini adalah menangani masalah ini.122 perseteruan menyangkut nilai, 122 Hal ini tercermin misalnya dari tersedia atau klaim, dan identitas yang melibatkan tidaknya kerangka legal berupa peraturan isu-isu keagamaan atau isu-isu perundang-undangan yang menjamin kebebasan beragama dan yang mengatur yang dibingkai dalam slogan atau bagaimana lembaga dan aparat negara, ungkapan keagamaan (Ali-Fauzi, termasuk polisi, bertindak dalam rangka menjamin dan melindungi kebebasan itu. Alam, dan Panggabean 2009:9). Itu juga tercermin dari dukungan nyata Konflik agama biasanya dibagi ke semua unsur pemerintahan – baik eksekutif, dalam dua kategori besar, yaitu legislatif, maupun yudikatif – dan para elite politik terhadap pemolisian yang tegas dan konflik antar-agama dan konflik tepat. Untuk studi mutakhir mengenai hal ini di Indonesia, lihat misalnya Crouch 2012 dan Bagir 2013.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 143 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Lebih lanjut, sebagai bagian dari kebebasan beragama, yang sudah masyarakat, keberhasilan atau dijamin penuh oleh konstitusi. kegagalan pemolisian juga harus Yang lebih mengkhawatirkan dilihat dari sejauhmana para elite adalah ketika tokoh agama, baik dan anggota masyarakat, juga secara terbuka maupun diam-diam, media massa, memberi dukungan mendukung atau merestui tindakan kepada pemolisian yang tepat di atas (lihat misalnya Bruinessen dan tegas. Seperti disebutkan 2013 dan Ricklefs 2012).123 Schneider (2008: 134), “Polisi Karena asumsi di atas, dalam mencerminkan masyarakat di memahami mengapa cara mana mereka bertugas.” Dalam penanganan polisi atas suatu konteks penanganan konflik-konflik peristiwa protes atau konflik agama di Indonesia, polisi bekerja bervariasi dari satu tempat ke ditengah tantangan yang antara lain tempat lainnya diadopsi model dicirikan oleh makin berkurangnya penjelasan della Porta dan Rieter penghargaan atas asas Bhinneka (1998). Mengikuti definisi keduanya Tunggal Ika yang selama ini dianggap tentang pemolisian protes, yang menyimbolkan kemajemukan dan dimaksud di sini dengan pemolisian toleransi (Muhtadi 2011; Salim konflik agama adalah tindakan HS 2011), adanya rongrongan aparat kepolisian dalam menangani terhadap otoritas negara yang suatu peristiwa atau insiden konflik datang misalnya dari organisasi- agama. organisasi garis-keras (Wilson 2008; Demikian juga dalam melihat Hadiwinata 2009; Jones 2013), dan faktor-faktor yang diduga dapat masalah-masalah dalam demokrasi mempengaruhi cara polisi dalam di Indonesia seperti pilkada yang menangani insiden konflik mengikuti memberi ruang bagi para politisi model yang dikembangkan della untuk “menjual” agama (ICG 2008; Porta dan Rieter. Faktor yang Bush 2008; Hamid 2012). mempengaruhi tersebut bekerja

Selain itu, kinerja pemolisian 123 Perbandingan dengan sikap mereka juga harus dilihat dari peran yang menentang terorisme dapat disebutkan dimainkan oleh para tokoh dan sebagai contoh disini: Kekerasan teror dikecam, tetapi kekerasan dalam konflik organisasi agama dalam mendukung tempat ibadat dan sectarian tidak. Tokoh- atau menghambat pelaksanaan tokoh organisasi massa Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tugas-tugas kepolisian. Sejauh ini, secara terbuka menentang terorisme peran mereka tampak sangat lemah, sebagai tindakan yang tidak selaras dengan Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mereka tidak berani, atau tidak mau, mengeluarkan fatwa yang mengharamkan menentang tegas tindakan yang terorisme,tapi ketegasan dan keberanian serupa tak tampak dalam kaitannya membatasi dan melanggar asas dengan sengketa tempat ibadat dan konfliksektarian (lihat Ichwan 2013).

144 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

pada dua level. Pertama, bahwa sebagian besarnya tidak diterbitkan, pemolisian dipengaruhi oleh (a) seperti notulensi rapat atau laporan karakter kelembagaan kepolisian, hasil investigasi kepada atasan, (b) budaya politik dan profesional surat perintah kepolisian, Berita kepolisian, (c) konfigurasi kekuasaan Acara Pemeriksaan (BAP). Dan untuk politik, (d) opini publik, dan (e) mendukung data yang diperoleh, interaksi polisi dengan aktor-aktor informasi juga didapatkan dari konflik, dimana kelima pengaruh liputan media massa, slide-slide ini kemudian disaring, pada level presentasi yang disampaikan kedua, oleh (f) pengetahuan aparat dalam berbagai kesempatan, dan kepolisian, yang didefinisikan sebagai dokumentasi video, baik yang persepsi polisi terhadap realitas sempat diunggah ke publik maupun eksternal, yang mempengaruhi yang tidak. praktik konkret pemolisian konflik di Pada bagian-bagian berikut, akan lapangan. Faktor-faktor yang bekerja dipaparkan dan didiskusikan secara pada level pertama disebut sebagai berurutan dua kasus konflik anti- stuktur kesempatan dan hambatan, JAI, di Manis Lor dan Cikeusik, dan baik politik maupun budaya, bagaimana pemolisiannya. Masing- yang pengaruhnya terhadap aksi masing akan dilihat dari tiga segi pemolisian di lapangan difasilitasi yaitu demografi sosial-keagamaan atau dimediasi oleh pengetahuan di tingkat lokal, kronologi dan aparat kepolisian yang bekerja pada insiden konflik yang terjadi, serta level kedua.124 penanganan kepolisian atas Untuk memperoleh informasi konflik yang terjadi. Sesudah itu, mengenai faktor-faktor di atas, akan dibandingkan kedua kasus sumber utama yang digunakan pemolisian konflik anti-JAI ini, yang adalah wawancara dengan anggota berakhir dengan kinerja pemolisian Polri setempat, pejabat pemda yang kontras, dimana untuk kasus setempat, para elite dan anggota yang satu efektif, namun untuk organisasi serta masyarakat sipil kasus yang lainnya tidak. setempat seperti FKUB, MUI, Pemolisian Konflik Anti-JAI di pemimpin agama dan pemuda. Manis Lor, Kuningan Untuk melengkapi hasil wawancara tersebut, data juga didapat dari dokumen-dokumen yang terkait Sekilas Demografi Sosial-Keagamaan dengan peristiwa konflik, yang Manis Lor

124 Uraian lebih lengkap tentang model Kabupaten Kuningan terletak pemolisian ini dapat dilihat pada di bagian timur Jawa Barat dan Panggabean dan Ali-Fauzi 2014, terbitan pertama proyek riset ini, khususnya pada berbatasan dengan Jawa Tengah. hal. 13-19.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 145 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Perannya sebagai penghubung Desa Manis Lor hampir selalu dijabat wilayah Priangan Timur dengan wakil Ahmadi. Cirebon dan Jawa Tengah membuat Sekilas tidak ada perbedaan kabupaten ini sangat strategis. mencolok terkait okupasi atau Kabupaten Kuningan bisa diakses kondisi sosial ekonomi warga Ahmadi lewat Majalengka dan Ciamis dari dan non-Ahmadi di Manis Lor. Hanya sebelah barat dan selatan atau saja pemukiman warga Ahmadi lebih lewat Cirebon dari sebelah utara. banyak terkonsentrasi di bagian Di pertengahan jalan raya yang barat desa (sebelah kanan jalan raya menghubungkan Cirebon dan jika dari arah Cirebon). Sementara Kuningan inilah terletak Desa Manis itu, pemukiman non-Ahmadi (dan Lor, Kecamatan Jalaksana. anti-Ahmadi) sebagian besar terletak Jumlah penduduk kabupaten di bagian timur desa dan di sekitar Kuningan berdasarkan Sensus masjid utama desa, Al-Huda. Penduduk 2010 adalah sebanyak Dalam urusan keseharian 1.037.558 jiwa (BPS Kabupaten seperti bertani dan berniaga, warga Kuningan 2010:6). Mereka tersebar Ahmadi maupun non-Ahmadi di 32 kecamatan, 15 kelurahan berinteraksi seperti biasa. Tetapi dan 361 desa. Berdasarkan sensus dalam urusan ibadah, warga JAI yang sama, Desa Manis Lor dihuni memiliki tradisi tersendiri yang sebanyak 4.133 jiwa dari total salah satunya tak memungkinkan penduduk Kecamatan Jalaksana mereka bermakmum salat kepada sebanyak 45.257 jiwa (BPS Kabupaten non-Ahmadi. Hal itu mendorong Kuningan 2010:7). Sementara mereka untuk memiliki tempat itu, jumlah penduduk Kabupaten ibadat sendiri.125 JAI Manis Lor Kuningan berdasarkan agama yang mempunyai satu masjid utama dan dianut pada 2010 adalah sebagai tujuh mushala. Masjid pusat JAI, An- berikut: Islam 1.003.709 orang, Nur, terletak bersebelahan dengan Katolik 7.094 orang, Protestan 1.711 rumah missi yang dihuni mubalig orang, Buddha 375 orang, Hindu 28 Ahmadiyah dan berdekatan dengan orang, dan lainnya 4 orang. SMP Amal Bhakti yang sebagian Tidak ada angka pasti mengenai besar pengelolanya Ahmadi. Masjid jumlah JAI di Kuningan. Tetapi dan mushala warga Ahmadi kerap berbagai laporan dan narasumber menjadi sasaran perusakan massa menyebutkan bahwa jumlah mereka dan penyegelan pemerintah selama lebih dari 3000 jiwa, yang kurang sepuluh tahun terakhir. lebih sama dengan perkiraan mereka 125 Hal ini tampak juga dari surat Jemaat di Manis Lor sendiri. Karena mereka Ahmadiyah Cabang Manis Lor Nomor 005/JAI/III/2011 tanggal 15 Maret 2011 mayoritas di tingkat desa, Kepala perihal imam dan khatib shalat Jumat, yang kami simpan.

146 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Kronologi dan Insiden Konflik darah Ahmadiyah (negara).” Spanduk lainnya dari Komponen Sejak pertama diperkenalkan Muslim Kabupaten Kuningan pada 1954, JAI Manis Lor terus (KOMPAK) berbunyi “Aksi birokrasi berkembang dan kini jumlahnya mandul, aksi jihad muncul. Hindari mencapai sekitar 3000 jiwa. Tetapi anarki, pastikan Ahmadiyah habis. hal itu bukan berlangsung tanpa Ahmadiyah di dunia sengsara, di hambatan. Letupan-letupan kecil Akhirat ke neraka.” Plang besar yang dipicu oleh penolakan anti- yang dipasang di jalan masuk ke Ahmadiyah sudah terjadi sejak itu Desa Manis Lor terpampang Surat dan di masa Orde Baru ketika MUI Keputusan Bersama (SKB) dan mengeluarkan fatwa sesat terhadap pernyataan Gerakan Anti-Ahmadiyah Ahmadiyah pada 1980-an. (GERAH), “Ahmadiyah mutlak bukan Di luar itu, ketegangan anti- Islam. Ajarannya sesat dan merusak Ahmadiyah tidak pernah terdengar Islam. Orang Islam Mendukung sampai era pasca-Reformasi, Ahmadiyah = Murtad.” tepatnya sejak 2001. Berawal dari Mereka menyuarakan tuntutannya hasutan, perusakan, pembakaran dalam demonstrasi pada 2 Maret dan penganiayaan yang dilakukan 2010 dan pertemuan pada 1 dan pihak anti-Ahmadiyah di Manis Lor 14 Juni 2010 yang dihadiri Muspida dan sekitarnya, konflik berkembang beserta MUI, ulama dan tokoh-tokoh melibatkan aktor lintas kecamatan ormas Kuningan (Kontras 2012a:10). hingga lintas kabupaten dan Sebagai tindak lanjut dari mencapai puncaknya pada peristiwa pertemuan tersebut, MUI Kuningan penyerangan Desember 2007 dan mengirim surat rekomendasi kepada Juli 2010. Bupati tertanggal 24 Juni 2010 Seperti mengikuti pola-pola untuk menutup sarana kegiatan sebelumnya, peristiwa pada 2010 Ahmadiyah. Surat bernomor diawali dengan tuntutan ormas- 38/ MUI-kab/VI/2010 itu turut ormas Islam agar pemerintah ditandatangi sejumlah pimpinan menutup tempat ibadat Ahmadiyah ormas dan pondok pesantren. di Manis Lor. Tuntutan bahkan Berdasarkan surat itu, pada 25 Juli ancaman sejenis juga disampaikan 2010, Bupati mengeluarkan surat lewat spanduk-spanduk yang perintah Nomor 451.2/2065/SAT. dipasang di sekitar jalan Desa POL.PP untuk menyegel delapan Manis Lor. Spanduk Remaja Masjid tempat kegiatan Ahmadiyah. Al-Huda (RUDAL) Desa Manis Lor, Upaya penyegelan pun dilakukan misalnya, menyatakan, “Ahmadiyah esok harinya, 26 Juli 2010, namun jelas aliran sesat dan menyesatkan. gagal karena ditolak pihak JAI. Upaya Halal darah Ahmadiyah (agama), penyegelan kembali dilakukan dua

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 147 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

hari kemudian, 28 Juli 2010. Satpol batu dan memasang ban bekas di PP menyegel satu masjid dan empat tengah jalan. Petugas Polri bersiaga musala Ahmadiyah. Tidak terima, di antara kedua pihak massa yang warga Ahmadiyah membuka palang berhadap-hadapan dan di setiap yang telah dipasang dan melempari gang di lingkungan desa Manis Lor petugas Satpol PP dengan batu. (wawancara Kapolsek Jalaksana, 21 Upaya penyegelan akhirnya Februari 2013). dihentikan (wawancara Kapolres Massa anti-Ahmadiyah terus Kuningan, 6 Februari 2013; Kontras merangsek masuk sehingga 2012a:8; Setara 2010:7). konfrontasi dengan aparat tak Hal ini memicu reaksi ormas- terhindarkan. Mereka melempari ormas penentang Ahmadiyah yang petugas dengan batu, yang memang sudah berniat menge- kemudian dibalas petugas dengan rahkan massa lewat istigasah di gas airmata. Batu yang bertubi-tubi Masjid Al-Huda, Jalaksana, pada 29 membuat barikade aparat jebol. Juli 2010. Informasi tentang istigasah Kedua pihak kemudian terlibat ini tersebar luas lewat media massa perang batu tetapi tak sampai terjadi lokal. Ketika itu juga sempat beredar bentrokan fisik secara langsung provokasi dan seruan mobilisasi dalam jarak dekat. Massa penentang melalui SMS (layanan pesan singkat) yang tinggal berhadap-hadapan dan telepon. dengan warga Ahmadiyah hanya Jumlah massa yang hadir pada berteriak-teriak sambil mengacung- istigasah 29 Juli 2010 diperkirakan acungkan benda keras dan benda sekitar 1.000 sampai 1.500 orang. tajam seperti balok kayu dan golok. Mereka mewakili berbagai ormas Amuk massa mereda selepas zuhur. dari kabupaten Kuningan, Cirebon, Polisi kemudian mengumpulkan Tasikmalaya, Garut, dan Cianjur. kekuatan dan akhirnya berhasil Dalam istigasah tersebut, tokoh mengurai massa. ormas dan kiyai pesantren bergiliran Dalam peristiwa ini, lima orang menyampaikan orasi, beberapa di terluka akibat lemparan batu, antaranya berisi provokasi (lihat seorang dari warga Ahmadiyah, dokumentasi Kapolres, “Ahmadiyah seorang dari Brimob Cirebon, dan Kuningan [29-07-2010].wmv”). tiga orang dari pihak penentang Setelah berorasi, sekitar pukul Ahmadiyah. Sementara itu sejumlah 11.00 WIB massa mulai bergerak ke rumah milik JAI rusak terkena arah Masjid An-Nur yang menjadi lemparan batu (Kontras 2012a: pusat kegiatan JAI Manis Lor. 8-10). Tidak ada pelaku perusakan Sementara itu, warga JAI sudah yang ditangkap atau diproses secara bersiap mempertahankan masjid hukum. Tetapi pasca-peristiwa, dari serbuan. Mereka menyiapkan Kapolres Yoyoh Indayah sempat

148 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

mengumpulkan sejumlah pimpinan disertai dengan permintaan back- ormas dan memperingatkan up dari Polda dan Polres sekitar, bahwa pihaknya tak segan-segan khususnya Brimob Detasemen membekuk mereka jika melakukan C, Cirebon. Polda cukup sigap tindakan pidana. dalam menanggapi laporan serta memberikan arahan dan bantuan. Dinamika Pemolisian Konflik Kepolisian sudah bersiaga di Manis Lor sejak 26 Juli 2010, ketika Dilihat dari jumlah massa dan ada upaya penyegelan oleh Satpol ancaman keamanan yang ditimbul- PP. Tercatat 250 anggota Polres kannya, polisi berhasil meredam Kuningan dibantu satu Satuan kekerasan dan meminimalkan Setingkat Kompi (SSK) Brimob Polda jumlah korban dan kerugian. Ada Jawa Barat dan satu Satuan Setingkat beberapa aspek yang menjelaskan Pleton (SST) anggota Kodim dan hal ini. Dishub Kuningan bersiaga di Manis Pertama, jauh sebelum peristiwa Lor. Semua bergabung di bawah 29 Juli 2010, Polres Kuningan sudah arahan Kapolres Yoyoh Indayah mendeteksi potensi gangguan yang turun langsung ke lokasi. keamanan. Polres hadir dalam Selain mengerahkan kekuatan, pertemuan Juni 2010 ketika sejumlah polisi melakukan tindakan ormas mendesak pemerintah pencegahan dengan mempersuasi Kabupaten Kuningan menutup pihak-pihak yang berkonflik, baik sarana kegiatan Ahmadiyah. Intelijen Ahmadiyah maupun penentangnya. Polres (wawancara, 19 Februari Pihak Ahmadiyah beberapa kali 2013) juga telah mendeteksi SMS didatangi aparat kepolisian yang dan telepon berisi provokasi. meminta agar mereka menghindari Menindaklanjuti informasi tersebut, bentrokan (Kontras 2012a:31). Polres melakukan koordinasi lintas Persuasi juga dilakukan kepada daerah untuk memperkirakan ormas anti-Ahmadiyah sejak jumlah massa. Bahkan, di bawah pertemuan Juni 2010 sampai saat spanduk-spanduk yang berisi istigasah 29 Juli 2010. Dalam tuntutan dan ancaman terhadap JAI, istigasah itu, Kapolres sempat Polres Kuningan turut memasang menghimbau ribuan anggota spanduk yang bunyinya: “Kita semua ormas Islam yang hadir agar tidak adalah saudara, hindari kekerasan melakukan tindakan melanggar dan main hakim sendiri.” hukum. Kapolres saat itu, Yoyoh Indayah, Setelah upaya persuasi tak juga berkoordinasi dengan Polda. berhasil, Dalmas Polres Kuningan Setiap laporan perkembangan dan Sat Brimob Polda Jawa Barat situasi yang dikirim ke Polda selalu melakukan upaya antisipasi. Mereka

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 149 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

membentuk barikade berlapis di Meski secara pribadi Kapolres jalan utama menuju desa Manis tidak sejalan dengan keyakinan Lor. Sementara itu anggota Polres Ahmadiyah, hal itu tidak menjadi lainnya sudah berjaga di setiap jalan penghalang bagi dirinya untuk gang menuju pemukiman warga memerintahkan tindakan Ahmadiyah Manis Lor (wawancara pengamanan. Baginya warga Kapolsek Jalaksana, 19 Februari Ahmadiyah juga adalah warga 2013). negara Indonesia. Dalam peristiwa KapolresYoyoh Indayah (FGD, 6 ini, Kapolres berpegang pada UU Februari 2013) menuturkan bahwa No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian pada saat istigasah 29 Juli 2010, Negara Republik Indonesia, jumlah kekuatan anggotanya kira- khususnya pasal 13 tentang tugas kira 900 personil. Setelah datang pokok Polri dan pasal 14 tentang bantuan, total anggota Polri yang pemeliharaan ketertiban dan bersiaga di Manis Lor mencapai keamanan, dengan menjunjung sekitar 1.500 personil, terdiri dari tinggi hak asasi manusia. Dia anggota Polres Kuningan, bantuan berusaha agar prinsip tidak berpihak personil dari Polda Jawa Barat dan (netral) dan tidak pandang bulu Polres-polres sekitar Kuningan. (imparsial) ini juga dipegang oleh Jumlah tersebut kira-kira berimbang anak buahnya. Katanya: dengan jumlah massa anti- Ahmadiyah yang datang ke Manis “Saya selalu menyampaikan Lor. hal itu ke anggota ketika Pengerahan ribuan personil apel. Pokoknya tugas kita selama beberapa hari tentu mengamankan dan menye- memerlukan dana operasional yang lamatkan seluruh warga masya- cukup besar. Kapolres Yoyoh Indayah rakat, siapa pun itu. Semua (FGD, 6 Februari 2013) menyebutkan adalah umat Tuhan. Semua bahwa biaya pengamanan Juli punya hak hidup. Kita berpegang 2010 memang tak bisa ditanggung pada UU No. 2/2002 bahwa tugas semua oleh anggaran operasional kita melindungi, mengamankan, kepolisian. Tetapi menurutnya hal dan menyelamatkan seluruh itu tak bisa dijadikan alasan untuk warga masyarakat. (FGD, 6 mengendurkan pengamanan. Untuk Februari 2013)” mengakali keterbatasan dana, Polres mendapat bantuan dari Polda Jabar Pentingnya kepemimpinan Kapol- dan Pemkab Kuningan. Sementara res di atas juga diakui oleh Kapolsek untuk konsumsi personil, Polres Jalaksana (wawancara, 21 Februari sampai mengebon dari beberapa 2013). Katanya: rumah makan.

150 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

“Waktu 2010, polisi berha- an dan tantangan yang dihadapi dap-hadapan [dengan massa], polisi, meski harus terus diperbaiki, sampai ada yang luka. Setelah bukan alasan polisi tidak bertindak itu Kapolres Bu Yoyoh langsung tegas terhadap pelaku kekerasan. mengambil sikap. Karena itu, saya anggap Bu Yoyoh Pemolisian Konflik Anti-JAI di berhasil. Beliau panggil semua Cikeusik, Pandeglang LSM ke Polres, dari mulai FPI, Gibas, Gamas, dan lain-lain, untuk memberikan ultimatum. Sekilas Demografi Sosial-Keagamaan Kapolres kira-kira bilang, “kalau Cikeusik dan Pandeglang terjadi sesuatu, saya tahu Anda ketuanya yang akan saya Kabupaten Pandeglang terletak di tangkap. Boleh memprotes sebelah barat daya Propinsi Banten. tapi jangan pakai kekerasan. Kabupaten ini berbatasan dengan Menganiaya dan membunuh Kabupaten Serang di sebelah utara, itu melanggar undang-undang. Kabupaten Lebak di sebelah timur, Kalau ada apa-apa, koordinasi Samudera Hindia di sebelah selatan, dengan kita dan musyawarah dan Selat Sunda di sebelah barat. dengan Pemda.” Sejak itu Pada tahun 2010, berdasarkan sampai sekarang tak ada lagi sensus penduduk pada Mei 2010, bentrokan fisik, hanya laporan- jumlah penduduk Kabupaten laporan protes dan keberatan, Pandeglang adalah 1.149.610 orang. seperti soal pembangunan Dilihat dari segi agama, mereka yang perpustakaan sekolah dan memeluk agama Islam sebanyak kegiatan-kegiatan massal di 1.154.375, Protestan 2.344, Katolik Manis Lor.” 258, Buddha 2.353, dan Hindu 1.552 warga. Dari data tersebut, jelas bahwa kaum Muslim mendominasi Bisa disimpulkan bahwa dalam Pandeglang. Hal ini juga tampak menangani konflik anti-Ahmadiyah dari jumlah tempat ibadat yang ada di Manis Lor, kepolisian sudah di sana, yang terdiri dari: masjid menjalankan fungsinya, dari mulai 1.730, mushala/langgar 2.246, 3 upaya persuasif sampai upaya gereja Protestan, dan 1 vihara (Tim represif. Hal ini memberikan Kementrian Agama Propinsi Banten pelajaran penting bahwa polisi 2010). bisa bertindak tegas, meski di Tidak ada data pasti mengenai tengah kuatnya tekanan kelompok berapa jumlah penganut Ahmadiyah mayoritas yang menentang di Kabupaten Pandeglang. Tetapi Ahmadiyah. Keterbatasan, hambat- ada dua kecamatan di Kabupaten

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 151 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Pandeglang yang sering dikaitkan Kronologi dan Insiden Konflik dengan JAI, yaitu Kecamatan Cisata dan Cikeusik. Sampai saat ini kurang JAI di Cikeusik sudah ada lebih ada empat kepala keluarga sejak tahun 1990-an. Namun, yang menganut Ahmadiyah di perkembangannya sempat terhenti kurang lebih selama 15 tahun, karena Cisata. Sedangkan di Cikeusik, JAI pada 1994, Mubalig Khairudin Barus ada dua puluh lima anggota dan dan Ismail Suparman memutuskan semuanya sudah pindah akibat meninggalkan Cikeusik dan pergi insiden kekerasan pada 6 Februari ke Filipina. Keputusan ini diambil 2011 (wawancara Bendahara MUI karena beberapa ulama dan aparat Pandeglang dan anggota FKUB pemerintahan setempat melarang Pandeglang, 11 Februari 2013). aktivitas Ahmadiyah. Kecamatan Cikeusik berbatasan Pada Agustus 2009, Suparman dengan Kabupaten Lebak di kembali ke Cikeusik dan resmi bagian timur, Kecamatan Angsana diangkat sebagai mubalig dan Munjul di bagian utara, dan Cikeusik dan sekitarnya. Dia mulai Kecamatan Cibaliung dan Cibatu menempati rumah di Penduey, di bagian barat. Di bagian selatan, Umbulan, Cikeusik, pada April 2010. Kecamatan Cikeusik berbatasan Rumah itu digunakan sebagai pusat dengan laut Jawa. Kecamatan kegiatan Ahmadiyah atau “rumah Cikeusik terdiri dari empat belas missi”. desa. Salah satunya adalah Desa Penolakan pun muncul dan Umbulan, lokasi kekerasan anti- mengencang ketika Suparman Ahmadiyah (wawancara Sekretaris menempati rumah missi. Para Kecamatan Cikeusik, 14 Februari ulama anti-Ahmadiyah makin marah 2013). ketika beredar isu bahwa Suparman Mayoritas penduduk Cikeusik akan membangun tempat kegiatan bertani. Pada sekitar 1950-an, Ahmadiyah terbesar di Indonesia. banyak penduduk dari Cirebon, Suparman juga diduga mengajak Jawa Barat, menempati wilayah warga untuk masuk ke Ahmadiyah Cikeusik. Perpindahan ini meng- dengan imbalan materi. Ini akibatkan penduduk Cikeusik, menguatirkan para ulama, karena saat ini, merupakan percampuran sebagian warga Cikeusik tergolong antara penduduk lokal (sunda miskin. Banten) dan Cirebon. Hampir setiap Pada Sekitar November 2010, desa di Cikeusik memiliki pondok Kiai Muhamad beserta 15 rekannya pesantren, rerata kurang lebih melakukan demonstrasi anti- sepuluh pesantren. Ahmadiyah atas nama Gerakan

152 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Muslim Cikeusik (GMC) di Mapolsek Meskipun sudah dibuat ke- Cikeusik. Usaha ini berawal dari putusan, pihak-pihak yang me- usulan Majelis Ta’lim Kampung nginginkan Suparman keluar Cikareo, Desa Cikawaris.126 Bahkan dari Ahmadiyah, seperti Kades pada bulan itu, ada selebaran Umbulan dan MUI Cikeusik, tidak dari GMC yang berisi tuduhan puas dengan hasil tersebut. Bagi “kesesatan” Ahmadiyah. mereka isi kesepakatan tetap Terkait perkembangan ini, saja membolehkan keberadaan serangkaian “dialog” diseleng- Ahmadiyah di Cikeusik. Mereka garakan pemerintah. Puncaknya ingin Ahmadiyah dibubarkan berlangsung pada 18 November dan Suparman dan pengikutnya 2010 di Kejaksaan Negeri (Kejari) bertobat. Jika Suparman tetap tidak Pandeglang. Suparman dan mau bertobat, dia harus pergi dari sekretarisnya, Atep Suratep, serta Cikeusik (wawancara Ketua MUI beberapa anggota JAI lain (antara Cikeusik, 27 Februari 2013). lain Deden Sudjana, Hasan Basri, dan Akhirnya, mereka memutuskan Dade Sulaiman) datang ke kantor untuk membicarakan keputusan kejari, namun hanya Suparman itu bersama warga di pengajian dan Atep yang diperbolehkan Kecamatan Cikeusik. Mereka masuk ke ruangan pertemuan. juga minta supaya K.H. Ujang Dalam pertemuan tersebut, Muhamad Arif ikut membantu Suparman diminta menandatangani mengatasi Ahmadiyah di Cikeusik.127 surat pernyataan berisi: (a) Menindaklanjuti permintaan ini, menghentikan segala aktifitas K.H. Ujang mencoba mencari Pukulaah Ahmadiyah Cikeusik, (b) dukungan dengan mengirimkan berbaur dengan masyarakat dan pesan singkat (SMS) ke para kiai. (c) membubarkan diri. Suparman Dari pertengahan hingga 27 Januari, pun menolak tuntutan itu dan dia menyebarkan SMS yang berisi: membuat pernyataan sendiri yang “Asl., Tolong dikompakeun ulama, berisi: (a) siap menaati SKB (Surat kiai, , jawara, masyarakat untuk Keputusan Bersama) Tiga Menteri 127 Selain karismatik dan berpengaruh di tahun 2008, dan (b) siap berbaur Pandeglang dan Rangkas Bitung, K.H. dengan masyarakat dalam bidang Ujang juga dikenal berperan besar dalam pembubaran aliran yang dianggap sesat sosial. Pernyataan yang dibuat di Kecamatan Cibitung, Pandeglang. Suparman akhirnya disepakati Lihat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) II, “Tersangka KH. Ujang Muhamad Arif dalam pertemuan itu. bin Abuya Surya atas Perkara Pidana Pengroyokan dan atau Penghasutan” 126 Berita Acara Pemeriksaan (BAP) I, (Serang: Polda Banten, 17 Februari “Saksi Hasanudin atas Perkara Pidana 2011), hal. 2. Keterangan mengenai K.H. Pengroyokan dan atau Penghasutan” Ujang di bawah kami ambil dari sumber (Serang: Polda Banten, 07 Februari ini. 2011), hal. 1-5.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 153 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

ngagempur Ahmadiyah di Cikeusik. Cgls). Sebarkan! Jangan dikirim Upami aya sms ti abdi supaya turun polisi.” Sebagian besar orang yang sebarkeun (K.H Ujang Cgls).”128 menerima SMS itu menyanggupi Rencana pembubaran Ahmadiyah menghadiri undangan. Oleh karena makin melibatkan banyak aktor di luar itu, K.H. Ujang memperkirakan Cikeusik ketika Sodikin, pedagang di bahwa jumlah massa akan sekitar Pandeglang, memberitahu Kiai Babay seribu orang. pada 27 Januari 2011. Kiai Babay K.H. Ujang juga meminta adalah kiai muda dari Kecamatan dukungan anggota FPI dari Pontang, Pagelaran, Pandeglang yang sudah Serang, yaitu TB. Sidiq. dikenal di kalangan masyarakat Sebelumnya, dia bertemu dengan Cikeusik dan dekat dengan K.H. Kiai Sobri, Sekjen FPI Pusat, pada Ujang. Sodikin mengusulkan ke Kiai acara Maulid Nabi di Cibulakan. Babay supaya menghubungi Idris, Dalam pertemuan itu, dia memberi jawara dari Kecamatan Menes, tahu bahwa akan ada pembubaran Kabupaten Pandeglang. Tidak lama Ahmadiyah di Cikeusik pada Minggu, kemudian Idris bersama Roy datang 6 Februari 2011, pukul 09.00 atau ke rumah Kiai Babay. Sesudah itu, 10.00 WIB. Sodikin bersama Kiai Babay, Idris Kiai Babay kembali mengundang dan Roy membicarakan rencana Idris ke rumahnya pada 4 Februari pembubaran Ahmadiyah.129 2011. Pertemuan juga dihadiri K.H. K.H. Ujang kembali mengirimkan Ujang dan Sodikin. Pertemuan SMS ke para kiai, santri dan memutuskan bahwa pembubaran masyarakat pada 28 Januari 2014. Ahmadiyah di Cikeusik atas nama Isinya: “Assalamualikum, undangan masyarakat Pandeglang dan kepada kiai, tokoh agama, menggunakan pita biru sebagai santri, masyarakat, pembubaran pembeda antara Ahmadiyah dan Ahmadiyah di Cikeusik hari Minggu non-Ahmadiyah. Kemudian, pada 6 Februari/3 Maulud (K.H. Ujang hari itu juga, mereka mendatangi rumah AA untuk memberitahu hasil 128 Jika diindonesiakan, SMS dalam bahasa Sunda itu berbunyi: “Asl., pertemuan. Tolong dikompakkan ulama, kiai, Pada 1 Februari 2014, rencana santri, jawara, masyarakat untuk pembubaran sudah terendus oleh menggempur Ahmadiyah di Cikeusik. Kalau ada SMS dari saya sebarkan (K.H. Polri, yang akhirnya memutuskan Ujang Cigeulis).” mengevakuasi Suparman dan 129 Berita Acara Pemeriksaan (BAP) II, “Saksi Ahmad Bai Mahdi alias Kiai Babay atas Atep, melalui surat pemanggilan Perkara Pidana Pengroyokan dan atau isteri Suparman terkait status Penghasutan” (Serang: Polda Banten, 21 Februari 2011), hal. 6-7. Keterangan keimigrasiannya. Evakuasi dilakukan di bawah mengenai Kiai Babay kami polisi pada 5 Februari 2011, pukul dasarkan atas sumber ini.

154 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

03.00. Mereka diamankan ke KR: Gini Pak, saya sudah Polres Pandeglang. Selain itu, Polri monitor dari Cibaliung dan menugaskan 59 personilnya dari Cigeulis. Ada segelintir orang Polres Pandeglang dan Polsek naik kendaraan roda dua Cikeusik untuk mengamankan dan roda empat, makanya rumah Suparman. Pasukan dari kami mendahului agar tidak Polres Pandeglang berangkat kedahuluan oleh mereka. pada 6 Februari 2011, pukul 03.00. Kami dari Polres termasuk Sedangkan personil dari Polsek Dalmas telah merapat kesini. Cikeusik berangkat pukul 08.00. Tapi perkiraan kalau mereka Di tengah situasi tersebut, melihat orang kita yang Suparman dan Atep sempat banyak mereka tidak jadi. Tapi memberitahu beberapa koleganya namanya antisipasi, kita tidak tentang situasi yang berkembang. tahu.... Ya, kalau yang datang Karena itu, beberapa anggota jemaat segelintir orang, kalau yang Ahmadiyah dari wilayah Banten dan datang meratus atau meribu?… Makanya kita lihat situasi, kalau luar Banten mendatangi rumah kira -kira membahayakan lebih Suparman. Mereka berjumlah baik menghindar, intinya sih itu 17 orang, tiba di Cikeusik pada 6 saja. Februari 2011, sekitar pukul 07.00. DS: Kalau misalnya Bapak Kedatangan jemaat dari luar tidak mampu, lepaskan saja Cikeusik di atas sama sekali tidak Pak. Biarkan bentrokan saja. terdeteksi oleh polisi, yang baru Biar seru Pak, ya nggak? mengetahuinya berdasarkan laporan Habis mau bagaimana, masa warga setempat di pagi hari. Pada kita diam saja? … Jadi kalau pukul 08.00 dan 09.30, polisi memang kira-kira … mendatangi mereka. Dalam dialog AL: Kami siap Pak, tiap hari cukup lama ini, tampak bahwa Polri, kami.... diwakili Kanit Reskrim (KR) Hasan, gagal meyakinkan Deden Sujana KR: Saya sangat tidak (DS) dan Ahmadiyah lainnya (LA) mengharapkan untuk seperti untuk meninggalkan tempat itu. itu. Demikian cuplikan dialog tersebut yang dapat dikutip:130 DS: Kalau misalkan kira-kira Bapak bilang wah kepolisian 130 Dialog ini bisa juga dilihat di video “Dialog Polisi dan Pukulaah Ahmadiyah tidak sanggup, lepasin aja Pak, Sebelum Tragedi Cikeusik,” http://www. lepasin aja, paling juga banjir youtube.com/watch?v=Ojex2RC1kY8 ‘kan nggak (diakses 12 November 2012). darah, seru , ya Pak?

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 155 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Pada saat bersamaan, massa Ahmadi lainnya di belakang rumah anti-Ahmadiyah mulai berkumpul di dengan menggunakan golok, kayu lokasi yang sudah ditentukan yaitu dan balok. di Masjid Cangkore dan pertigaan Akibat peristiwa itu, tiga orang Umbulan. Sekitar pukul 10:30 Ahmadiyah meninggal dunia (Roni ribuan massa sudah berkumpul. Pasaroni, Warsono, dan Tubagus Tidak lama kemudian ada seruan Candra) dan lainnya luka-luka. Selain untuk mendatangi rumah Suparman itu, semua anggota JAI Cikeusik pergi karena rombongan Ahmadiyah dari Cikeusik karena diusir. Massa dianggap menantang dan disuruh anti-Ahmadiyah juga mengancam pulang polisi tidak mau. akan membunuh Suparman jika Kapolsek Cikeusik sempat dia ada di Cikeusik. Mereka boleh bermaksud mendatangi rombongan tinggal lagi di Cikeusik jika keluar Ahmadiyah. Tetapi niat ini gagal dari Ahmadiyah. Rumah dan sawah karena massa anti-Ahmadiyah sudah milik JAI ditinggalkan begitu saja, datang dari arah jembatan sungai tidak diurus. Warga Ahmadi juga Cibaliung. Mereka menyuruh polisi mengalami kesulitan administrasi minggir, meneriakkan kata-kata kependudukan. Seorang warga Ahmadi Cikeusik mengaku sulit keras seperti “kafir”, dan “bubarkan mengurus surat pindah karena Ahmadiyah dari Pandeglang”. Polisi aparat desa setempat tidak mau sempat menghadang mereka, tetapi melayani permintaan itu. bisa ditembus. Ketika massa anti-Ahmadiyah memasuki pelataran rumah, Dinamika Pemolisian Konflik beberapa Ahmadi sudah berada di luar. Salah satunya, Deden, Pemolisian anti-Ahmadiyah di akhirnya memukul Idris, jawara anti- Cikeusik merupakan contoh pemo- Ahmadiyah. Lalu, beberapa orang dari lisian gagal. Kegagalan bukan massa anti-Ahmadiyah mengeroyok mengindikasikan polisi tidak bekerja, Deden. Deden dan warga Ahmadi karena polisi sudah melakukan lainnya sempat membuat Idris upaya pencegahan. Kegagalan ini dan teman-temannya mundur dari lebih karena strategi polisi yang tidak pelataran rumah. Namun, karena optimal dan tidak sesuai Perkap jumlah mereka kecil, mereka Nomor 16 Tahun 2006 tentang tidak mampu bertahan dan mulai Penanganan Unjuk Rasa, Perkap 01 menjauhi rumah Suparman. Massa Tahun 2009 tentang Penggunaan mencari dan mengejar rombongan Kekuatan, serta Protap 01 Tahun Ahmadi yang coba menyelamatkan 2010 tentang Penanggulangan diri. Massa menghakimi Deden dan Anarki.

156 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Beberapa hari sebelum insiden, Tahun 2006 tentang Penanganan polisi sudah mendeteksi adanya Unjuk Rasa, polisi pada dasarnya ancaman ketertiban dan keamanan. bisa melarang secara paksa kegiatan Polisi berupaya mempersuasi pihak pembubaran karena rencana ke- Ahmadiyah dan anti-Ahmadiyah giatan tidak dilaporkan dan tidak supaya, meminjam bahasa polisi, menuruti saran polisi. Ini bisa jadi “ancaman gangguan” tidak berubah karena polisi takut menghadapi menjadi “gangguan nyata”. Polisi tekanan massa anti-Ahmadiyah dan mengimbau pihak-pihak yang terlalu hati-hati. bertikai untuk menjaga ketertiban Situasi itu membuat polisi dan keamanan, tidak bertindak di memilih strategi berbeda ketika luar hukum. Polisi juga mendatangi menangani pihak Ahmadiyah. Polisi dan memfasilitasi kedua belah memilih mengevakuasi tokoh kunci pihak untuk berdialog. Bahkan polisi Ahmadiyah Cikeusik, Suparman dan mensosialisasikan hasil kesepakatan Atep Suratep. Polisi beranggapan kedua pihak ke forum pengajian. dengan mengevakuasi, maka massa Namun, usaha ini tetap tidak mampu anti-Ahmadiyah tidak akan dating, meredam konflik. kalau pun datang, jumlahnya Polisi tahu bahwa masyarakat relatif sedikit. Prediksi tersebut yang anti-Ahmadiyah merencanakan mempengaruhi jumlah dan tujuan pembubaran secara sepihak, penugasan personil polisi. Hanya tanpa melapor ke polisi dan 59 personil polisi ditugaskan untuk unsur pemerintahan lain. Meng- mengamankan rumah Suparman antisipasi hal tersebut, polisi dan proses evakuasi anggota memilih mempertahankan strategi Ahmadiyah Cikeusik yang masih ada komunikasi dengan pihak anti- di dalam rumah tersebut. Ahmadiyah seperti pada awal Polisi nampaknya tidak sadar konflik. Polisi, dalam hal ini inte- bahwa pihak-pihak yang bertikai lijen, mengumpulkan informasi, kurang percaya terhadap polisi menghubungi dan mendatangi mo- dalam menangani konflik. Bagi para bilisator anti-Ahmadiyah supaya anti-Ahmadiyah, evakuasi tidak membatalkan pembubaran. Tapi menjamin Ahmadiyah Cikeusik polisi gagal meyakinkan mereka dan bubar atau Suparman “bertobat”. gagal mengestimasi jumlah massa Pembubaran tetap dilaksanakan anti-Ahmadiyah. bahkan dengan pengerahan Persuasi polisi yang tidak massa yang sangat banyak. Bagi tegas membuat para penentang Ahmadiyah, penugasan polisi dalam Ahmadiyah tetap melakukan pem- mengamankan rumah Suparman bubaran. Sesuai Perkap Nomor 16 tidak menjamin rumah akan utuh

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 157 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

seperti semula. Pihak Ahmadiyah membuat penempatan pasukan di pun menyuruh anggotanya baik lapangan tidak terukur dan terarah dari Cikeusik dan luar Cikeusik sesuai Perkap Nomor 16 Tahun 2006 untuk meninjau dan mengamankan tentang Pedoman Pengendalian rumah Suparman yang merupakan Massa. aset JAI. Tindakan pemolisian di Cikeusik Strategi pemolisian yang tidak tidak berjalan dengan baik juga optimal dan kurangnya rasa percaya karena pengaruh di luar polisi, seperti terhadap polisi membuat prediksi tokoh agama dan pejabat peme- polisi pada hari pembubaran salah. rintahan setempat. Tokoh agama dan Pihak-pihak yang bertikai akhirnya masyarakat yang anti-Ahmadiyah memilih caranya masing-masing serta lurah Desa Umbulan ikut dalam menyelesaikan konflik. memprovokasi dan memobilisasi Konflik pun bereskalasi menjadi warga untuk membubarkan kekerasan. Sesuai Perkap 01 Ahmadiyah. Bahkan mereka membe- Tahun 2009 tentang Penggunaan rikan informasi palsu ke polisi Kekuatan, dan Protap 01 Tahun 2010 terkait rencana pembubaran. Ada tentang Penanggulangan Anarki, tokoh agama dan masyarakat serta polisi seharus-nya bisa melakukan pejabat pemerintahan yang tidak represi untuk menghentikan eskalasi setuju membubarkan Ahmadiyah, kekerasan. Karena takut massa tapi suara mereka tidak terdengar anti-Ahmadiyah menyerang, yang di ruang publik. Opini publik lebih dilakukan polisi hanya mengevakuasi banyak mengarah pada pembubaran korban dan memberikan peringatan Ahmadiyah. Akibatnya, polisi merasa lisan kepada massa. sendirian dan semakin berat dalam Tindakan pemolisian pada menangani konflik. hari pembubaran juga jauh dari memadai karena pimpinan polisi, dalam hal ini Kapolres Pandeglang Diskusi: Membandingkan Dua dan Kapolda Banten, tidak berada Kasus Pemolisian di tempat kejadian. Ketiadaan pimpinan membuat pengendalian Dari kedua kasus yang dikaji, kita dan penanggungjawab penanganan dapat menyimpulkan bahwa polisi konflik tidak jelas. Informasi tentang berhasil mencegah konflik mengalami situasi konflik pada hari pembubaran eskalasi menjadi kekerasan di juga tidak tersampaikan secara Manis Lor, Kuningan, namun gagal utuh kepada pimpinan. Akibatnya, mencegah terjadinya kekerasan tidak ada instruksi dari pimpinan di Cikeusik, Banten. Ada beberapa bagaimana menghadapi situasi di temuan penting yang menjelaskan luar dugaan polisi. Hal tersebut juga variasi dalam pemolisian dan

158 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

dampaknya terhadap timbulnya yang sesungguhnya dan siapa yang kekerasan. bukan. Hal ini lebih terasa terjadi Pertama, mobilisasi pihak-pihak di Cikeusik, karena jumlah JAI yang yang berkonflik adalah salah satu sangat kecil. faktor yang perlu diperhatikan Dalam kedua konflik ini, ada dua karena dampaknya terhadap jenis kekerasan yang terjadi, yaitu munculnya kekerasan. Dalam kekerasan mayoritas terhadap kedua kasus, proses mobilisasi minoritas dan kekerasan yang yang militan dan meluas terjadi dilakukan minoritas. Kelompok- di kalangan pihak-pihak yang kelompok penentang Ahmadiyah bertikai, melibatkan tokoh agama menggunakan kekerasan dengan dan pengikut mereka, dan dengan melakukan agresi. Kekuatan mereka jauh lebih besar karena menggunakan doktrin, idiom, dan jumlahnya jauh lebih banyak dari simbol mereka. Meskipun pihak JAI, jumlah kelompok Ahmadiyah. Di khususnya di Cikeusik, lebih lemah lain pihak, kelompok Ahmadiyah dibandingkan pihak yang menentang menggunakan agresi dan kekerasan, mereka, mobilisasi juga berlangsung yaitu dalam rangka membela diri. di dalam tubuh komunitas JAI. Hasilnya adalah bentrokan yang tak Karena ketidakpercayaan mereka seimbang. pada model dialog yang dilakukan Tentu saja, mobilisasi pihak-pihak pemerintah, khususnya di Cikeusik, yang bertikai tidak dengan sendirinya mereka memilih menggunakan mengarah kepada kekerasan pendekatan non-konfrontatif dan terbuka. Di sini peran pemolisian, nirkekerasan dalam menghadapi khususnya kapasitas deterrences tekanan yang ada. (penangkalan), dapat meredam Lebih jauh, mobilisasi di atas timbulnya kekerasan terbuka. berlanjut ketika konteks politik lokal Dari kedua kasus, contoh terbaik membiarkan dan dalam tingkat tertentu menopang mobilisasi dan bekerjanya kapasitas penangkalan militansinya. Bupati di Kuningan, polisi adalah kasus pemolisian anti- seperti halnya lurah di Cikeusik, JAI Manis Lor. Di sini, polisi bisa berpartisipasi dalam pembentukan menunjukkan determinasi yang kuat komunitas Sunni dan Ahmadiyah dalam mencegah kekerasan yang sebagai musuh, sebagai pihak yang lebih tinggi dan meluas di tahun lain atau the other. Konflik sektarian, 2010. Di bawah kepemimpinan dengan demikian, memasuki tahap Kapolres Yoyoh Indayah, mereka yang lebih berbahaya karena belajar baik dari kekurangan dan hal itu ikut mendefinisikan siapa kelemahan pemolisian sebelumnya, warga Manis Lor atau Cikeusik khususnya pada 2007. Kapasitas

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 159 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

penangkalan ini menjadi variabel lain yang menjelaskan keberhasilan pemolisian. Dalam kasus Cikeusik, selain lemahnya intelijen, lokasi geografis yang relatif jauh dan akses yang relatif sulit turut melemahkan kapasitas penangkalan ini. Akhirnya, dari kedua kasus konflik anti-JAI, hal lain yang penting dicatat ialah perbedaan dalam hal besaran kekuatan dan waktu (timing) pengerahan aparat kepolisian. Pada kasus konflik anti-Ahmadiyah di Manis Lor, Polri mengerahkan jumlah aparat keamanan yang cukup besar pada tahap pencegahan, sebelum terjadinya mobilisasi massa. Se- baliknya, di Cikeusik, Pandeglang, mobilisasi aparat keamanan dalam jumlah besar baru dilakukan setelah terjadi bentrokan dan kekerasan, akibat penilaian intelijen yang salah dan pengambilan keputusan yang terlambat, di tengah medan yang tidak gampang.

160 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Bibliografi Kuningan. Kuningan: BPS. Pemerintah Kabupaten Kuningan Catatan: Daftar ini hanya (2011). Kuningan dalam Angka. menyebutkan sumber-sumber yang Cirebon: BPS Kabupaten Kuningan. diterbitkan, artikel dan buku, sumber Bagir, Zainal Abidin (2013). yang lain langsung disebutkan “Defamation of Religion Lawin Post- dalam catatan kaki. Reformasi Indonesia: Is Revision Possible?” Australian Journal of Asian Ali-Fauzi, Ihsan, Rizal Panggabean, Law13 (2): 1-16. Rudy Harisyah Alam (2009). Bruinessen, Martinvan (2013). Pola-pola Konflik Keagamaan di “Introduction: Contemporary De- Indonesia,1990-2008. Jakarta: Yayasan velopments in Indonesian Islam Wakaf Paramadina, MPRK-UGM, The and the ‘Conservative Turn’ of Asia Foundation. the Early Twenty-First Century. Ali-Fauzi, Ihsan, Samsu Rizal ” Dalam Martinvan Bruinessen Panggabean, Husni Mubarok, Titik (ed.), Contemporary Developments Firawati (2012). Mengelola Keragaman: in Indonesian Islam: Explaining the Pemolisian Kebebasan Beragama di Conservative Turn (Singapore: Institute Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Agama of Southeast Asian Studies). dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Bush, Robin (2008). “Regional Sharia Paramadina. Regulations in Indonesia: Anomaly or Asfinawati et al. (2008). Kekerasan Symptom?” Dalam Greg Fealy & Sally terhadap Jama’ah Ahmadiyah di White (eds.), Expressing Islam: Islamic Manislor Kuningan, JawaBarat, dan Life and Politics in Indonesia. Singapore: Lombok, NTB; Kekerasan terhadap Institute of Southeast Asian Studies. Jama’ah Al Qiyadah Al Islamiyah Siroj Cholil, Suhadi, Zainal Abidin Bagir, Jaziroh Padang, Sumatera Barat; Moh. Iqbal Ahnaf, Marthen Tahun, Kekerasan terhadap Jemaat Gereja Budi Ashari (2013) .Laporan Tahunan di Bandung, Jawa Barat. Laporan Kehidupan Beragama di Indonesia Investigasi. Jakarta: Lembaga Bantuan tahun 2012. Yogyakarta: Program Hukum (LBH) Jakarta dan Kontras. Studi Agama dan Lintas Budaya, Azhari, M. Subhi, Rumadi Ahmad, Universitas Gadjah Mada. dan Nurun Nisa (2012). Laporan Crouch, Melissa (2012). “Law Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan and : The Intoleransi 2012. Jakarta: The Wahid Constitutional Court and the Institute. Blasphemy Law.” Asian Journal of Badan Pusat Statistik (BPS) Comparative Law 7 (1): 1-46. Kabupaten Kuningan (2010). Hasil Della Porta, Donatella dan Herbert Sensus Penduduk 2010 Kabupaten Reiter (1998). “Introduction.” Dalam

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 161 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Donatella della Porta dan Herbert Pidato disampaikan dalam Nurcholish Reiter (eds.), Policing Protest: The Madjid Memorial Lecture. Jakarta: Control of Mass Demonstrations in Pusat Studi Agama dan demokrasi Western Democracies. Minneapolis (PUSAD), Yayasan Paramadina, 19 dan London: University of Minnesota Desember. Press. Kontras (Komisi untuk Orang Hadiwinata, Bob Sugeng (2009). Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) “From ‘Heroes’ to ‘Troublemakers’?: (2012a). Laporan Pemantauan Civil Society and Democratization in Pemolisian & Hak Berkeyakinan, Indonesia.” Dalam Marco Bünte dan Beragama dan Beribadah. Jakarta: Andreas Ufen (eds.), Democratization Kontras. in Post-Suharto Indonesia. London: ------(2012b). Panduan Pemolisian Routledge. & Hak Berkeyakinan, Beragama dan Hamid, Sandra (2012). “Indonesian Beribadah. Jakarta: Kontras. Politics in 2012: Coalitions, Naipospos, Bonar Tigor, Halili, Accountability and the Future of Ismail Hasani, Abdul Khoir, Agnes Democracy.” Bulletin of Indonesian Hening Ratri, Aminuddin Syarif, Akhol Economic Studies 48 (3): 325-345. Firdaus, Bahrun, Hilal Safari, dan Human Rights Watch (HRW) (2013). M. Irfan (2013). Leadership without In Religion’s Name: Abuses against Initiative: The Condition of Freedom Religious Minorities in Indonesia. New of Religion/Belief in Indonesia 2012. York: Human Rights Watch. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara. Ichwan, Moch. Nur (2013). Panggabean, Samsu Rizal dan Ihsan “Towards a Moderate Puritanical Ali-Fauzi (2014). Pemolisian Konflik- Islam: The Majlis Ulama Indonesia and konflik Keagamaan di Indonesia. Jakarta: the Politics of Religious Orthodoxy.” Pusat Studi Agama dan Demokrasi Dalam Martin van Bruinessen (PUSAD), Yayasan Paramadina. (ed.), Contemporary Developments Ricklefs, Merle C. (2012). Islam is a in Indonesian Islam: Explaining the tion and Its Opponents in Java: A Political, Conservative Turn (Singapore: Institute Social, and Religious History, c. 1930 of South east Asian Studies). to the Present. Singapore: National International Crisis Group (ICG) University of Singapore. (2008). Indonesia: Implikasi SKB Salim, Hairus, Najib Kailani & (Surat Keputusan Bersama) tentang Nikmal Azekiyah (2011). Politik Ruang Ahmadiyah. Asia Briefing No.78. Publik Sekolah: Negosiasi dan Resistensi Jakarta/Brussels: ICG. di Sekolah Menengah Umum Negeri Jones, Sidney (2013). “Sisi Gelap di Yogyakarta. Yogyakarta: Center for Reformasi di Indonesia: Ancaman Religious and Cross-cultural Studies Masyarakat Madani Garis-Keras.” (CRCS), Universitas Gadjah Mada.

162 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten) Cikeusik (Banten)

Schneider, Cathy Lisa (2008). “Police Power and Race Riots in Paris.” Politics and Society 36 (1): 133-159. Wilson, Ian Douglas (2008). “As Long as It’s Halal’: Islamic Preman in Jakarta.” Dalam Greg Fealy dan Sally White (eds.), Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 163 Jaminan Kebebasan Beragama: Norma Ideal, Praktik dan Lokalitas

164 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Ahmad Nurcholish1

Abstrak

ulisan ini mengatakan pernikahan beda agama merupakan fakta sosial yang tak terbantahkan di negeri Indonesia yang plural. Tapi fakta tersebut menjadi problem tersendiri bagi pelakunya karena status pernikahan mereka sering tidak dicatat atau tidak mendapat Tpengakuan dari negara. Di Indonesia pengakuan pernikahan dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) yang berfungsi mencatat perkawinan pasangan yang sama-sama beragama Islam. Sedangkan dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS) berfungsi mencatatkan perkawinan kalangan yang bukan beragama Islam, seperti Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha serta Khonghucu. Sementara agama yang di luar itu, dianggap tidak berhak mengesahkan lembaga perkawinan. Padahal, sebetulnya, sesuai dengan aturan tentang civil registration PBB, pencatatan merupakan kewajiban negara untuk menjamin terpenuhinya hak-hak sipil warga atau citizen.

Asumsi-asumsi tentang agama resmi dan yang tidak resmi sudah seharusnya ditinggalkan. Karena ternyata merugikan kehidupan berbangsa

1 Penulis adalah Manajer Program Studi Agama dan Perdamaian ICRP, Direktur Program Harmoni Mitra Madania, dan Pengasuh Pondok Pesantren Minhajul-Karomah, Bogor-Jabar. Kritik, saran dan komunikasi melalui: [email protected]; 0813 1106 8898 & 0877 8024 6980; Facebook/ twitter: Ahmad Nurcholish-New ([email protected]).

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 165 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

dan bernegara dalam masyarakat bangsa yang majemuk dan bhinneka ini. Perlu dilakukan revisi terhadap sejumlah peraturan atau undang-undang, antara lain UU Perkawinan Tahun 1974, agar segala bentuk diskriminasi atas dasar etnis, ras, budaya dan agama, terutama pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama dan keyakinan tidak terjadi lagi. Di level praktik, perlu dilakukan penyuluhan kepada pegawai-pegawai KUA dan DKCS tentang kesadaran pentingnya pencatatan nikah beda agama sebagai hak-hak asasi manusia.

166 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

I. PENDAHULUAN Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dibuat berdasarkan Inpres No. 1 agi Anda yang selama tahun 1990. Dalam KHI pernikahan ini menikah dengan sudah dianggap batal kalau sudah pasangan yang seagama, beda agama. Lalu, bagaimana dengan tentu Anda tidak akan UU Perkawinan? Anda tentu bisa susah-susahB mengurus segala berargumen boleh menikah dengan sesuatu mulai dari restu keluarga, pasangan yang bukan seagama dari juga dalam berhubungan dengan UU ini. Karena memang UU ini tidak pemuka agama yang menikahkan menyatakan secara eksplisit tentang hingga pegawai pencatat nikah. pernikahan campuran karena Akan tetapi, ceritanya akan lain perbedaan agama. Yang diatur kalau Anda sudah berketatapan hati cuma pernikahan campuran karena untuk menikah dengan seseorang perbedaan kewarganegaraan. yang merupakan pasangan hidup UU ini juga tidak menyatakan Anda. Bukan sekedar karena sudah batalnya suatu pernikahan karena saling mencintai, tapi juga niat tulus adanya perbedaan agama di untuk berbuat baik dan membangun antara pasangan yang menikah. keluarga bersama dalam sebuah Singkatnya, UU Perkawinan memberi ikatan atau rabithah yang dalam keterbukaan kepada Anda yang ingin fikih Islam disebut mitsaqan ghalidza menikah dengan pasangan Anda (ikatan suci). Tetapi niat baik Anda itu yang tidak seagama. Apalagi dalam akan terbentur tembok agama dan UUD 1945 Amandemen ada jaminan juga birokrasi hukum. perlindungan bagi hak-hak warga Hingga kini masih banyak Negara. Juga dalam UU HAM No. 39 penafsiran-penafsiran agama tahun 1999. yang tidak mentolerir nikah beda Namun demikian, dalam kenya- agama. Meskipun pandangan taannya, para aparat pencatatan sejumlah agama masih terbuka sering menolak perkawinan tentang soal ini. Namun, yang lebih beda agama ini. Alasan mereka krusial, pandangan keagamaan selalu merujuk ke Pasal 2 ayat yang monolitik dibawa ke dalam (1) UU Perkawinan. Pasal ini bisa argumen hukum, untuk membatasi dikatakan “pasal pamungkas” yang pernikahan semacam ini. Misalnya membendung arus pernikahan penafsiran tentang Islam yang hanya beda agama. Pasal ini menyatakan membolehkan nikah seagama, bahwa perkawinan adalah sah ditarik menjadi sebuah argumen apabila dilaksanakan menurut hukum, yakni menolak pernikahan hukum masing-masing agama dan pasangan yang berbeda agama. kepercayaannya. Pasal ini baru Seperti yang ditemukan dalam berbunyi dan berkekuatan hukum

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 167 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

ketika ia ditafsirkan. Misalnya, ada mengesahkan suatu perkawinan. pegawai Kantor Catatan Sipil (kini Lalu agama-agama mana saja Dinas Kependudukan dan Catatan yang berhak mengesahkan atau Sipil/DKCS) yang menafsirkan mempunyai kekuatan hukum untuk bahwa sebuah perkawinan harus mengesahkan suatu perkawinan itu? tunduk kepada suatu hukum Penjelasannya diperoleh dari UU No. agama. Pasangan yang beragama 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Islam misalnya harus tunduk Penyalahgunaan dan/atau Penodaan kepada hukum agamanya untuk Agama. Dalam UU disebut enam melaksanakan perkawinan. Karena agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Islam memang dibaca sebagai Hindu, Buddha dan Khonghucu. hukum. Oleh karenanya perkawinan Sementara agama yang di luar itu, yang berlaku dalam Islam adalah dianggap tidak berhak mengesahkan hukum agama Islam. Kalau terjadi lembaga perkawinan. Seperti perbedaan agama, maka tidak perkawinan penganut Khonghucu dimungkinkan untuk dilakukan dan penghayat kepercayaan. pernikahan karena adanya agama Namun, agaknya merupakan kabar yang berbeda, sehingga tidak baik bagi umat Khonghucu. Setelah memungkinkan suatu hukum agama terbitnya Surat Edaran Mendagri berlaku. Dari pengertian hukum No 470/226/SJ, 24 Februari 2006, agama inilah, munculnya semacam tentang Pelayanan Administrasi dualism pencatatan pernikahan, Kependudukan Penganut yakni Kantor Urusan Agama (KUA) Khonghucu, perkawinan mereka dan Dinas Kependudukan dan dapat dicatatkan di DKCS. Surat itu Catatan Sipil (DKCS). KUA berfungsi mengacu pada Undang-undang No mencatat perkawinan pasangan 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang sama-sama beragama dan U No 1 PNPS 1965 jo UU No Islam. Sedangkan DKCS berfungsi 5/ 1969 yang menyatakan agama- mencatatkan perkawinan kalangan agama yang dipeluk oleh penduduk yang bukan beragama Islam, seperti Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha Hindu, Buddha dan Khonghucu serta Khonghucu. sebagaimana ditegaskan Presiden Selain itu, ada pula yang Susilo Bambang Yudhoyono, Februari menafsirkan pasal 2 ayat (1) 2006. Pada 24 Januari 2006 terbit UU Perkawinan ini, terutama di pula Surat Edaran Menteri Agama lingkungan Kementerian Agama, No MA/12/2006 tentang Penjelasan bahwa yang dimaksud hukum masing- Status Perkawinan Menurut Agama masing agama dan kepercayaannya Konghucu dan Pendidikan Agama itu adalah agama-agama yang berhak Konghucu.

168 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Selain itu, ada pula yang murid KH. Abdurrahman Wahid ini, menafsirkan, nikah beda agama mulai membuka pintu nikah beda memang tidak diatur dalam UU agama. Pasangan Adi Abidin dan Perkawinan. Karena menurutnya Lia Marpaung adalah pasangan ajaran agama membenarkan adanya pertama yang dinikahkan di sana halangan dalam perkawinan bagi di bawah bimbingan akad dari KH. calon suami atau calon istri yang Husein Muhammad, pengasuh berbeda agama. Ini seperti ditemukan Pondok Pesantren Dar al- Tauhid dalam keputusan Pengadilan Negeri Arjawinangun, Cirebon dan pendiri Jakarta Pusat berkaitan dengan Fahmina Institute Cirebon. Saking kasus perkawinan Andi Vonny pada meningkatnya tren pernikahan 1986. Apalagi, dikutip Penjelasan seperti ini, Wahid Institute (WI) Pasal 2 UU Perkawinan bahwa “Tidak dikabarkan kewalahan menerima ada perkawinan di luar hukum pasangan yang akan menikah beda masing-masing agamanya dan agama. kepercayaannya itu, sesuai dengan Namun sayang, fasilitasi WI Undang-undang Dasar 1945”. terhadap pasangan nikah beda , salah seorang pakar hukum agama tak bertahan lama. Setelah yang punya kontribusi menggolkan itu estafet berpindah ke Indonesian UU Perkawinan seperti sekarang Conference on Religion and Peace ini, juga dirujuk: “Bagi orang Islam (ICRP). Sejak November 2004 tidak ada kemungkinan untuk kawin lembaga antaragama yang konsern dengan melanggar hukum agama pada masalah hak sipil warga sendiri”. negara ini tergerak untuk membuka Di tengah sejumlah kesimpang- program konseling, advokasi dan siuran dalam kebijakan tentang fasilitasi nikah beda agama. Program perkawinan ini, kasus-kasus nikah ini disambut baik khalayak public. beda agama tetap merebak. Ini terbukti dari portal ICRP yang Kecenderungannya ke depan akan diserbu para calon pasangan nikah terus meningkat. Di Jakarta saja, beda agama. Mereka pun berduyun- permintaan pernikahan beda agama duyun mendatangi kantor ICRP di Paramadina terus meningkat. untuk memeroleh penjelasan lebih Tetapi kemudian, entah suatu lanjut mengenai kemungkinan sebab, pihak Paramadina sudah dilaksanakannya nikah beda agama. menutup pintu bagi pasangan yang Maka, bergulirlah program ingin menikah beda agama sejak itu. April 2005 lembaga ini mulai medium 2005 silam. Selanjutnya, The memfasilitasi pernikahan beda Wahid Institute (WI), lembaga yang agama untuk pertama kalinya, yakni didirikan oleh putri-putri dan murid- pasangan Islam-Kristen. Bahkan,

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 169 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

secara khusus, Siti Musdah Mulia menangani persoalan yang terkait (saat itu sekretaris umum) berkenan dengan masalah tersebut. Seperti hadir dan memberikan sambutan, lembaga-lembaga sebelumnya, memberikan dukungan kepada Harmoni Mitra Madania pun pasangan yang baru saja menikah. mendapat sambutan baik dari Berlanjut kemudian pasangan- masyarakat yang membutuhkan pasangan lain yang menyusul bantuan karena mengalami menikah. Hingga Desember permasalahan terkait dengan 2007 jumlahnya mencapai 70-an pernikahan beda agama. Hampir pasang nikah beda agama. Sayang saban hari lembaga ini menerima seribu sayang, karena berbagai konsultasi, baik yang dating langsung pertimbangan, lembaga ini pun ke kantor maupun melalui surat menutup program ini. Karenanya elektronik, website, media social sejak Januari 2008 hingga saat ini maupun telepon. nampaknya belum ada lagi lembaga Hingga 22 Juni 2014 kemarin yang betul-betul konsern secara Harmoni Mitra Madania telah serius memberikan advokasi dan membantu pernikahan pasangan fasilitasi terhadap pasangan beda beda agama sebanyak 544 pasangan agama. Untungnya, para ‘alumnus’ yang berada di seluruh Indonesia. program advokasi dan fasilitasi nikah Dari jumlah tersebut pasangan yang beda agama, baik dari Paramadina terbanyak adalah pasangan Islam- maupun ICRP masih berkenan untuk Kristen (47%); Islam-Katolik (41%); dan melanjutkan dedikasinya membantu lainnya, yakni Islam-Buddha, Islam- kesulitan pasangan beda agama. Hindu, Islam-Khonghucu, Kristen- Salah satu lembaga yang Buddha, dan Kristen-Khonghucu meneruskan memberikan advokasi sebanyak 12%. Sebagian dari jumlah terhadap (calon) pasangan beda tersebut merupakan pasangan WNI- agama adalah Harmoni Mitra WNA, yang berasal dari sejumlah Madania. Lembaga yang kini Negara seperti: Malaysia, Australia, bermarkas di Cisauk, Tangerang, Korea Selatan, Belanda, Amerika, Banten ini sebetulnya merupakan Prancis, Rusia, dan Rumania. lembaga nirlaba yang menangani Menariknya, lembaga ini tak hanya kegiatan-kegiatan social dari sebuah dilirik oleh pasangan yang memang perusahaan bernama Harmoni Mitra merupakan warga Negara Indonesia, Persada. Namun karena kebetulan tapi juga pasangan yang merupakan salah satu personilnya selama ini warna Negara asing. Tercatat bergiat di bidang advokasi hak-hak lembaga ini pernah membantu sipil, termasuk dalam hal pernikahan pernikahan pasangan Kristen-Islam beda agama, maka lembaga ini pun asal Singapore dan pasangan Kristen-

170 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Islam asal Australia. perempuan pun menjadi korban Dengan demikian pernikahan dari ganasnya politik seksual negara beda agama merupakan fakta social yang cenderung patriarkis. yang tak terbantahkan di negeri yang plural ini. Merujuk pada aktivitas Lalu, apa sebetulnya yang terjadi? Lembaga Harmoni Mitra Madania ini, Sikap lembaga-lembaga pencatatan rata-rata setiap bulannya membantu seperti Dinas Kependudukan dan pernikahan beda agama antara Catatan Sipil (DKCS – d/h KCS) dan 6 - 10 pasangan saban bulannya. Kantor Urusan Agama (KUA) yang Pada bulan-bulan tertentu, seperti menerima pencatatan, sedang yang mejelang Ramadhan dan Natal lain tidak menerima pencatatan jumlahnya bisa mencapai 10 – perkawinan seperti ini, sebagaimana 18 pasangan dalam satu bulan. ditunjukkan dalam pengalaman Masihkah kita menutup mata pada pasangan nikah beda agama dalam persoalan pernikahan beda agama? penelitian ICRP dan Komnas HAM,2 jelas menunjukkan adanya masalah dalam kebijakan yang ada selama ini II. ANALISIS KEBIJAKAN (HUKUM/ tentang nikah beda agama. Apalagi UU) dengan banyaknya upaya-upaya lari dari “hukum” dengan cara- cara yang sebetulnya seharusnya 1. Sejumlah Temuan negara bertanggung jawab agar hal Lapangan itu tidak terjadi. Seperti menikah di luar negeri, yang menunjukkan Hari gini masih banyak warga bahwa negara kita tidak mampu negara kita yang belum diakui melindungi warganya sendiri, pernikahannya karena perbedaan malah negara lain yang memberi agama. Anak-anaknya pun banyak perlindungan, seperti Singapura yang tidak diakui. Ada pula yang dan Australia. Maraknya menikah masih dianggap bujangan, meski di luar negeri menunjukkan kepada sudah punya cucu. UU Perkawinan orang-orang luar bahwa negara masih tersisa dari zaman Orde Baru kita belum menjamin sepenuhnya yang cukup problematis. Masih ada hak-hak warga negaranya. Bahwa istilah “hukum agama” dan soal diskriminasi masih menghantui pengesahan, dimana pengesahan setiap pasangan beda agama perkawinan di depan pemuka yang akan menikah, sehingga agama tunduk kepada peresmian 2 Lihat Ahmad Nurcholish & Ahmad Baso pencatatan versi negara. Dalam (Ed), Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, perkara nikah beda agama ini, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan, (Jakarta: ICRP-Komnas HAM, 2010).

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 171 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

mereka ramai-ramai mengesahkan perkara ketulusan dan keikhlasan, perkawinannya di luar negeri. perkara hati nurani, dan bukan Selain itu, ada pula yang paksaan dan kepura-puraan? menikah dengan siasat dibuatkan Lalu, di mana sebetulnya KTP (Kartu Tanda Penduduk) masalahnya, sehingga pernikahan dimana dicantumkan agama beda agama tidak mendapat yang disesuaikan dengan agama perlakuan yang baik dan sewajarnya pasangannya sehingga bisa dianggap di negeri ini? sebagai pernikahan yang seagama, Pertama, masalahnya, seperti dan bukan pernikahan beda agama. ditemukan dalam penelitian ini, Seperti pembuatan “KTP Islam” agar berakar dari penafsiran tentang UU bisa menikah/dicatatkan di KUA. Ada Perkawinan No. 1 tahun 1974. Sekali pula yang berupaya pindah agama lagi, ini adalah masalah penafsiran “untuk sementara” dengan tujuan atas UU produk Orde Baru itu. pernikahannya disahkan oleh negara Terutama Pasal 2 ayat 1 UU tersebut. karena sudah dianggap seagama. Pihak pencatatan sipil (DKCS) Tidak lama setelah menikah salah menolak pernikahan beda agama, satu pasangan tetap kembali ke dengan argumen Pasal 2 ayat 1 UU agama semula. Ada pula dengan Perkawinan ini. Ditambah dengan cara mengikuti prosesi salah satu dalil-dalil dari Peraturan Pemerintah “hukum agama” sehingga pernikahan (PP) no. 9 tahun 1975 tentang mereka bisa disahkan oleh pemuka pelaksanaan UU Perkawinan. Tentu agama dan dicatatkan oleh pegawai dalam sekian pasal dan ayat itu, pencatat nikah. Cara seperti ini bahkan keseluruhan Pasal dalam UU dianggap serupa atau mirip dengan Perkawinan, tidak disebutkan secara upaya “pura-pura pindah agama”, eksplisit soal pelarangan nikah beda yakni hanya untuk memuluskan agama. Hanya dalam Kompilasi perkawinan pasangan beda agama. Hukum Islam (KHI) yang dijadikan Cara-cara seperti ini sebetulnya patokan oleh KUA, yang secara tegas tidak perlu terjadi kalau pemerintah menyebut beda agama sebagai sudah punya kepekaan dan juga penghalang perkawinan. harga diri bahwa bangsa kita sendiri Lalu, mengapa Pasal 2 UU lebih menjamin kebebasan warganya Perkawinan, PP dan Keppres itu, dari pada negara lain. Demikian pula, dengan mudah ditafsirkan oleh pihak kebebasan beragama warganya juga DKCS untuk menolak pernikahan bisa terjamin dan terpenuhi dengan beda agama? Ini berangkat dari baik, dan tidak kemudian melahirkan penafsiran atas kata “hukum generasi bangsa yang munafik dan agama” dalam Pasal 2 ayat 1, yang pura-pura. Bukankah agama adalah menyatakan “Perkawinan adalah

172 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

sah, apabila dilakukan menurut lembaga pencatatannya, seperti hukum masing-masing agamanya Islam dan Kristen, tentu secara dan kepercayaannya itu.” Penjelasan otomatis akan ditampik. Karena dalam UU itu menyebutkan, “tidak mengganggu “keragaman” atau ada perkawinan di luar hukum “dualisme” pencatatan ini. masing-masing agamanya dan Soalnya, di sini, sebagaimana kepercayaannya itu sesuai dengan ditegaskan dalam UU dan PP- UUD 1945”. Apa yang dimaksud nya, pencatatan terkait dengan “agama”, dan mengapa pula disebut pengabsahan dan peresmian “hukum agama”? pernikahan. Dan instrumen untuk Dalam PP No. 9 tahun 1975, pengabsahan itu adalah hukum pengertian hukum agama dikaitkan agama. Perkawinan beda agama pasti dengan pencatatan. Dalam Pasal akan dianggap mengacaukan hukum 2 ayat (1), disebutkan pencatatan agama. “Karena tidak mungkin perkawinan yang dilangsungkan mempertemukan dua pengabsahan menurut agama Islam, dilakukan dalam satu perkawinan,” tandas salah oleh Pegawai Pencatat yang dikenal seorang Pegawai Kantor Catatan Sipil dengan sebutan KUA (Kantor urusan (KCS) Kabupaten Kuningan, dalam Agama). Sementara dalam ayat satu wawancara dengan kami, Mei (2), dinyatakan bahwa “pencatatan 2005 silam. perkawinan dari mereka yang Ketidakmungkinan pertemuan melangsungkan perkawinan menurut pengabsahan antara lembaga KUA agamanya dan kepercayaannya dan DKCS karena perbedaan hukum itu selain agama Islam, dilakukan agama ini, membawa konsekuensi oleh pegawai pencatat perkawinan pada bentuk-bentuk pengabsahan pada kantor catatan sipil”. Dengan dalam agama-agama yang dicakup demikian, adanya dua institusi oleh DKCS ini. Agama-agama yang pencatatan, yang Islam dan yang ada di luar Islam mulai didefinisikan bukan Islam, menegaskan bahwa sebagai “hukum agama” yang masing-masing punya “standar”- mengabsahkan dan meresmikan nya sendiri dalam mengesahkan pernikahan. Agama Buddha misalnya perkawinan. Dan standar itu adalah mulai ditarik untuk ikut meresmikan agama, persisnya, hukum agama. sebuah perkawinan, supaya bisa Artinya, tidak dimungkinkan adanya dicatatkan oleh negara, oleh DKCS. kesatuan hukum atau unifikasi Jadi, bukan perkara bagaimana dalam pengesahan perkawinan ini. agama sudah menganggap Dampaknya kemudian, pernikahan selesai secara keagamaan suatu yang mempertemukan dua agama perkawinan, tapi bagaimana agama yang satu sama yang lain berbeda harus menyesuaikan kehendak

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 173 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

negara dalam meresmikan suatu Agama Protestan juga mulai perkawinan agar absah dan resmi. menyesuaikan diri dengan ketentuan Yakni agama dalam posisinya ini, meski sebelumnya hanya sebagai “hukum agama”. Sehingga, mengenal perkawinan perdata, sejumlah DKCS memahami hukum artinya yang hanya disahkan oleh agama ini sebagai “pemberkatan negara, sesuai dengan pandangan nikah”.3 yang melihat perkawinan sebagai Maka, untuk bisa dianggap perkara perdata. Dengan demikian, mempunyai hukum agama, pada dalam konteks ini, keputusan Sidang masing-masing agama diperlukan Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan lembaga atau “organ payung” yang Gereja-gereja di Indonesia (MPL menaungi lembaga pencatatan dan PGI) pada 1989 yang menyatakan peresmian catatan sipil ini. Kalau bahwa perkawinan dicatat dulu dalam Islam dikenal adanya penghulu, baru diberkati, tidak bisa dijalankan. dimana MUI dan Kementerian Agama Pasalnya, “dalam konteks ini, gereja (d/h Dept. Agama) menjadi induk harus mengembangkan secara kreatif makna Pasal 2 ayat (1) UU ‘kaderisasi”-nya, maka hal serupa No. 1/1974; sehingga pandangan juga harus ditemukan dalam agama- teologis gereja tentang perkawinan agama lain. Ini agar bisa memenuhi dapat diwujudkan serentak dengan fungsi-fungsi sebagaimana yang itu ketentuan perundangan tidak diamanatkan untuk kepentingan diabaikan”.4 DKCS. Kalau misalnya dalam Buddha Inilah yang disebut “hukum agama” tidak dikenal lembaga keagamaan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, yang meresmikan pernikahan, dimana agama dikaitkan dengan maka harus dibuat dan diciptakan. misi pencatatan dan peresmian Maka dibuatlah aturan seperti yang pernikahan. Maka, disebutlah, dikeluarkan oleh Kementerian Agama seperti dipaparkan Ichtijanto, salah tentang Nasihat Perkawinan Agama seorang arsitek RUU Kerukunan Buddha (1976), bahwa “keabsahan Umat Beragama yang kontroversial suatu perkawinan menurut Agama itu, “Kata ‘hukum masing-masing Buddha apabila dilakukan di agamanya dan kepercayaannya hadapan Romo Pandito (Bikhu)”. itu’ adalah hukum dari salah satu agama itu masing-masing, bukan Demikian pula dalam agama-agama berarti hukum agamanya masing- lainnya. masing, yaitu hukum agama yang 3 Lihat Pdt. Weinata Sairin, “Perkawinan dianut oleh kedua mempelai atau Beda Agama dalam Pandangan Kristen keluarganya”.5 Maka, sebagai Protestan”, dalam Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (eds.), Tafsir kesimpulan, “sesuai dengan UU NO. Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme (Jakarta: Kapal 4 Ibid. Perempuan & NZAID, 2004), hal. 87. 5 Ichtijanto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia (Jakarta: Litbang Departemen Agama, 2003), hal. 76.

174 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

1/PNPS/1965, hukum perkawinan Pasal 66 UU Perkawinan, dan juga yang berlaku adalah: hukum Islam, surat edaran Mendagri tahun 1975 Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha”.6 yang merujuk ke GHR, juga kepada Maka, disebutlah demikian: “Hukum Keputusan MA 1986/1989. perkawinan yang mempunyai Seperti yang dialami misalnya peran untuk menetapkan kesahan pasangan Adi Abidin dan Lia perkawinan adalah hukum Islam, Marpaung, KCS (kini DKCS) Salatiga, hukum Kristen, hukum Katolik, Jawa Tengah, menerima pencatatan hukum Hindu, dan hukum Buddha”.7 pernikahan mereka yang beda Tentu penyebutan hukum agama agama atas dasar Pasal 2 UU ini tidaklah muncul begitu saja. Ia Perkawinan, baik ayat (1) maupun punya sejarah yang panjang sejak (2). Dalam Pasal 2 dikemukakan dari masa kolonial, namun bukan bahwa hukum agama dijalankan tempatnya di sini membahasnya.8 terlebih dahulu, baru kemudian Dengan demikian, karena masing- pencatatan menyusul. Pasal 2 ayat masing agama sudah “di-hukum- (1), seperti dikemukakan di atas, kan”, yakni dibuat sebagai hukum berkaitan dengan pengesahan agama, maka pernikahan beda perkawinan berdasar hukum agama tidak dimungkinkan karena agama. Sementara Pasal 2 ayat perbedaan hukum agama. Karena (2) menyangkut pencatatan. Kalau tidak mungkin dibayangkan adanya sebuah seremoni pernikahan sudah keragaman hukum agama dalam dilakukan dan dinyatakan absah pemberkatan suatu perkawinan. di hadapan pemuka agama, lanjut Kedua, lalu, bagaimana dengan argumen KCS Salatiga ini, maka hal pandangan sebaliknya, yakni pihak itu sudah dianggap cukup. Soalnya, DKCS yang menerima pencatatan pencatatan hanya mengikuti pernikahan beda agama? pengabsahan di depan pemuka DKCS yang mencatatkan dan agama. Kalau pernikahan Adi dan menerima perkawinan beda agama Lia sudah dianggap sah dan tidak berargumen pada Pasal 2 dan ada masalah menurut pandangan 6 Ibid., hal. 77. gereja, maka bagi KCS hal itu juga 7 Ibid., hal. 97. Dalam pandangan tentang tidak ada masalah. Dengan kata agama sebagai hukum ini, Khonghucu tidaklah ditempatkan sebagai agama yang lain, pihak KCS Salatiga membaca “mempunyai peran untuk menetapkan kedua ayat dalam pasal tersebut kesahan perkawinan”. Menurut Ichtijanto, “dari segi perbandingan agama, Kong Hu Chu saling melengkapi, dengan tidak adalah falsafah hidup (Philosophy of Life). menafikan satu sama lain. Karena itu, secara sosial politik tidak sebagai agama di Indonesia.” Ibid. Sementara itu, Pasal 66 dalam 8 Pembaca bisa merujuk ke buku Ahmad UU Perkawinan di Bagian Ketentuan Baso, Islam Pasca Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme Penutup, menyatakan “Untuk (Bandung: Mizan, 2005), terutama Bab 6.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 175 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

perkawinan segala sesuatu yang Dengan demikian, kalau Pasal 66 berhubungan dengan perkawinan dan Keputusan Mendagri ini ingin berdasarkan atas Undang-undang dilaksanakan, maka perkawinan ini, maka dengan berlakunya antar agama dapat dilaksanakan Undang-undang ini ketentuan- dengan cara: ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata • Menggunakan GHR apabila (Burgerlijke Wetboek), Ordonansi perkawinan antara pria Kristen Perkawinan Indonesia Kristen dengan wanita non-Kristen; (Huwelijks Ordonantie Christen Pasal 6 GHR menetapkan bahwa Indonesiaers, S. 1933 N0. 74) [HOCI], dalam perkawinan antar agama, Peraturan Perkawinan Campuran maka hukum dari suami yang (Regeling op de Gemengde Huwelijken diterapkan. S. 1898 No. 158) [GHR] dan Peraturan- peraturan lain yang mengatur • Menggunakan HOCI apabila tentang perkawinan sejauh telah perkawinan antara pria non- diatur dalam Undang-undang ini, Kristen dengan wanita Kristen; dinyatakan tidak berlaku”. dalam Pasal 75 HOCI ditetapkan Pasal ini kemudian memunculkan bahwa perkawinan antara Keputusan Menteri Dalam Negeri No. seorang pria tidak beragama 221a tahun 1975 tentang Pencatatan kristen dengan seorang Perkawinan dan Perceraian pada wanita beragama Kristen, atas Kantor Catatan Sipil sehubungan permintaan mereka, dapat dengan Berlakunya Undang-undang dikukuhkan berdasarkan Perkawinan serta Peraturan Pelak- Ordonansi ini. sanaannya. Keputusan Mendagri tersebut di antaranya menyatakan: Mungkin ini demi kepastian “Sebelum dikeluarkannya Undang- hukum pasangan nikah beda undang tentang Catatan Sipil yang agama. DKCS yang mencatatkan bersifat nasional, maka pencatatan pernikahan beda agama, ada pula perkawinan dan perceraian di-lakukan yang berargumen dari Keputusan di Kantor Catatan Sipil menurut Mahkamah Agung (MA). Keputusan ketentuan Undang-undang No. 1 MA itu di antaranya menyatakan: Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah “Undang-undang Perkawinan No. 9 Tahun 1975 bagi mereka yang tidak memuat suatu ketentuan Pencatatan Perkawinan dilakukan apapun yang menyebutkan bahwa berdasarkan, di antaranya Ordonansi perbedaan agama antara calon Catatan Sipil untuk Perkawinan suami dan calon istri merupakan Campuran (Stb. 1904 – 279). larangan perkawinan, hal mana

176 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

adalah sejalan dengan Undang- MA/12/2006 tanggal 24 Januari undang Dasar 1945 Pasal 27 yang 2006 kepada Menteri Dalam Negeri menentukan bahwa segala warga dan Menteri Pendidikan Nasional negara bersamaan kedudukannya tentang penjelasan mengenai di dalam hukum, tercakup di status perkawinan menurut Agama dalamnya kesamaan hak asasi Khonghucu dan Pendidikan Agama untuk kawin dengan sesama warga Khonghucu. Karena UU no 1/ negara sekalipun berlainan agama pnps 1965 pasal 1 penjelasan dan selama oleh undang-undang dinyatakan Agama-agama yang tidak ditentukan bahwa perbedaan dipeluk penduduk Indonesia ada agama merupakan larangan untuk 6 termasuk Khonghucu, maka perkawinan, maka asas itu sejalan Departemen Agama melayani umat dengan jiwa Pasal 29 Undang-undang Khonghucu sebagai Umat Agama Dasar 1945 tentang dijaminnya oleh Khonghucu, berkaitan dengan negara kemerdekaan bagi setiap UU No. 01 tahun 1974 tentang warga negara untuk memeluk Perkawinan, pasal 2 ayat 1 yang agama masing-masing”. menyatakan perkawinan adalah sah, Ketiga, namun demikian, apabila dilakukan menurut hukum baik dalam pandangan DKCS masing-masing agamanya, maka yang menolak maupun yang Depag (kini Kementerian Agama) menerima pernikahan beda agama, memperlakukan perkawinan para pandangan mereka jelas masih penganut Agama Khonghucu yang bulat menolak nikah beda agama, dipimpin oleh pendeta Khonghucu kalau pernikahan beda agama adalah sah. Maka pencatatan tersebut melibatkan pasangan perkawinan bagi umat Khonghucu atau salah satunya menganut dapat dilakukan sesuai perundangan agama yang bukan agama resmi yang berlaku, demikian juga Hak (dari 5 agama resmi, yakni Islam, Sipil lainnya. Kristen Protestan, Katolik, Hindu Sebelum adanya Surat Menag dan Buddha). Seperti penganut tersebut soal pernikahan yang Agama Khonghuchu dan penganut melibatkan umat Khonghucu justru Penghayat Kepercayaan. Dalam soal lebih pelik. Karena terkait dengan pernikahan mereka ini, DKCS tidak soal ada agama yang diakui dan akan mencatatkan. Baru beberapa dianggap resmi, dan ada yang tidak tahun belakangan pernikahan umat demikian, yang dianggap tidak Khonghucu dapat dicatatkan di DKCS resmi. Seperti jawaban pegawai dan diberikan Akta Perkawinan. Hal KCS kepada pasangan Nurcholish itu setelah terbitnya Surat Menteri dan Ang Mei Yong. Pada tanggal 14 Agama Muhammad M Basyuni No. April 2004, ia hendak menyatatkan

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 177 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

pernikahannya ke KCS Tanah Protestan, Hindu, Islam, Budha, Abang, Jakarta Pusat. Di sana Bahai dan penghayat kepercayaan. ia diterima oleh Susan. Dengan “Jadi bapak pilih secara agama berkas-berkas yang sudah disiapkan apa?” tantangnya. Petugas KCS dari rumah, ia memberikannya menghindar dengan mengatakan kepada Susan sebagai persyaratan bahwa hal itu tidak umum dan tidak administratif. Setelah membolak- ada petunjuk pelaksanaan dan balik dan memeriksa sejenak, petunjuk teknisnya. Susan mengatakan, “Kami tak bisa Keempat, selain itu, yang juga mencatat pernikahan ini,” katanya ditemukan dalam penelitian ini kepada Nurcholish. Alasannya faktor kualifikasi pegawai KCS/DKCS. bukan karena perbedaan agama, Ada pegawai KCS/DKCS yang juga melainkan faktor Khonghucunya. muballigh, yang mendakwahkan “Khonghucu belum diakui sebagai tentang bahaya pernikahan beda agama yang sah di Indonesia,” agama, tentang ancaman pindah papar Susan menjelaskan. Meski agama atau murtad agama dalam sejak pemerintahan Abdurrahman pernikahan beda agama, sehingga Wahid, penganut Agama Khonghucu menutup rapat peluang bagi sudah diberi kebebasan untuk pencatatan nikah beda agama. menjalankan ajaran agama sesuai Seperti yang ditemukan di KCS dengan keyakinannya, namun, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. menurut pegawai KCS ini, “juklak Tetapi ada juga pegawai KCS/ dan juknisnya tidak pernah sampai DKCS yang lebih terbuka, dimana ke tangan kami.” lingkungannya mengkondisikan Hal ini pula yang dialami keragaman dan penghargaan atas pasangan Okky dan Dewi yang pluralisme, sehingga mereka dengan menganut kepercayaan Adat mudah menerima dan mencatatkan Karuhun Sunda dari Cigugur, nikah beda agama, seperti yang Kuningan, Jawa Barat. Awalnya terjadi di Salatiga, Jawa Tengah. petugas KCS berkilah, mereka Walau demikian, meski KCS tidak akan mencatat pernikahan Kuningan berpegangan juga Penghayat dan harus berdasarkan kepada fatwa-fatwa MUI tentang agama. Hal itu dibantah Okky perkawinan, namun menyatakan dengan argumen “kami menikah akan tetap tunduk kalau pemerintah di berkati oleh 6 tokoh agama pusat menyatakan tidak ada dan menggunakan semua cara masalah. “Kalau pemerintah pusat agama, jadi kami menikah secara mengatakan oke, ya kita akan Adat Sunda dengan pemberkatan jalankan”, ungkap Djodjo, Kepala dari semua tokoh agama Katholik, Kantor KCS Kuningan, 20 Mei 2005.

178 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Menurut responden kami, ada hubungan keperdataan saja (seperti sejumlah tempat dimana DKCS (d/h dicantumkan dalam Pasal 26 BW), KCS) bisa mencatatkan pernikahan sehingga upacara keagamaan dalam beda agama. Di antaranya, yang perkawinan tidak merupakan suatu bisa mencatakan adalah KCS Jakarta keharusan. Bahkan dalam Pasal 81 Pusat, KCS Jakarta Barat, KCS Jakarta BW ditetapkan: Selatan, KCS Kota Salatiga, Jawa Tengah, KCS Kota Magelang Jawa “Upacara keagamaan tidak Tengah. Sementara yang menolak boleh dilakukan sebelum di antaranya, KCS Kuningan dan KCS kedua calon suami-sitri mem- Karawang (untuk kasus Khonghucu). buktikan bahwa perkawinan Itu penelitian kami hingga tahun di hadapan Pegawai Catatan 2005 silam. Namun, sejak tahun Sipil telah berlangsung”. 2007 hampir semua DKCS di Untuk membuktikan adanya DKI Jakarta menolak pencatatan suatu perkawinan tidak ada pasangan nikah beda agama. Kalau cara lain kecuali dengan akta toh mau syaratnya yang Muslim perkawinan yang dibuat (terutama) harus melampirkan oleh Pegawai Catatan Sipil” surat pernyataan bahwa dia “telah (Pasal 100 BW). memeluk” atau “sedang belajar” menjadi agama sesuai pasangannya Dengan demikian, perkawinan yang non-Muslim. Di Yogyakarta dinyatakan sah ketika dilangsungkan (kota) sejak tahun lalu (2013) juga di hadapan Pegawai Catatan Sipil. berkenan mencatat pasangan beda Dan untuk membuktikan adanya agama. perkawinan tersebut, maka ditun- Kelima, soal kewenangan DKCS. jukkan dengan akta perkawinan Sebelum berlakunya UU Perkawinan yang dibuat dan dikeluarkan oleh 1974, kewenangan Kantor Cata- Pegawai Catatan Sipil. Jadi, di masa tan Sipil yang kini menjadi DKCS itu, yakni sebelum berlakunya UU adalah melaksanakan dan mencatat Perkawinan, upacara keagamaan perkawinan terutama bagi mereka tidak menentukan keabsahan suatu yang tunduk pada BW, GHR, HOCI. perkawinan, tapi hanya merupakan Pasal 76 BW misalnya menyebutkan pemenuhan ketentuan-ketentuan bahwa perkawinan harus dari agama saja. dilangsungkan di hadapan Pegawai Keenam, kini adalah UU Per- Pencatat Sipil di tempat tinggal kawinan yang berlaku. Keabsahan salah satu pihak dengan dihadiri perkawinan ditentukan apabila oleh dua orang saksi. Karena dilakukan menurut hukum masing- waktu itu perkawinan dilihat dalam masing agama dan kepercayaannya

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 179 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

(Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). nesia] yang bersedia Masalahnya muncul pada saat kawin dengan seorang menentukan hukum agama manakah lelaki penganut agama yang akan dipakai untuk menentukan lain, berarti secara sadar keabsahan perkawinan pasangan menerima pengupacaraan yang berbeda agama? perkawinannya me-nurut Solusinya, biasanya, dengan cara hukum agama suami, salah satu pihak beralih agama meninggalkan pengupa- atau menundukkan diri pada caraan perkawinan menurut hukum agama suami atau istri pada hukum agamanya sendiri. saat perkawinan dilangsungkan. Namun ia tetap tidak Termasuk juga orang tua/wali kehilangan hak asasinya tidak bersedia memberi izin (yang yang paling asasi: memeluk merupakan salah satu syarat agama dan beribadah perkawinan). Kalau ada masalah menurut agama dan keper- seperti yang terakhir ini, biasanya cayaannya itu”.11 pihak kedua mempelai mengajukan gugatan ke pengadilan. Ini untuk Ketujuh, pasal dalam UU mendapat izin sebagai pengganti Perkawinan tentang suami sebagai izin dari orang tua/wali.9 kepala keluarga. Merugikan Ada pula solusi yang ditawarkan kepentingan perempuan, seperti misalnya oleh Ichtijanto. Yang tertuang dalam Pasal 31 ayat (3), katanya harus mengikuti hukum yang menyebutkan, “Suami adalah suami, sesuai dengan Pasal 2 ayat kepala keluarga dan istri ibu rumah (1) PP no. 9/1975 jo. GHR Pasal tangga”. Karena biasanya menjadi 6: “pelangsungan perkawinan acuan untuk melangsungkan campuran menurut upacara pernikahan atas dasar cara agama hukum agama suami”.10 Berikut sang suami, dan bukan berdasar penuturannya: atas agama sang istri, seperti yang diusulkan oleh Ichtijanto di atas. “Karenanya dalam rangka Lalu, bagaimana meletakkan bermasyarakat, berbangsa, keseluruhan masalah tersebut, dan dan bernegara berdasar solusi apa yang diberikan untuk Pancasila, perlu dipahami mengoreksi segenap masalah bahwa seorang wanita yang berkiatan dengan pernikahan WNI [warga negara Indo- antar agama tersebut. Sepetti

9 O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam akan diuraikan di bawah. Pertama Teori dan Praktek (Jakarta: Srigunting, 1996), mengacu pada landasan normatif hal. 140-141. 10 Ichtijanto, Perkawinan Campuran, hal. 90- 11 Ibid., hal. 91. 91.

180 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

mengapa negara bertanggung Perdata (BW) bagi warga Indonesia jawab untuk melindungi hak- keturunan Eropa dan Cina, dan hak warganya dalam urusan Peraturan Perkawinan Campuran pernikahan beda agama ini; bagi perkawinan campuran. selanjutnya, diuraikan tinjauan kritis Dengan demikian salah satu tujuan atas segenap kebijakan tentang dari UUP adalah unifikasi atau perkawinan beda agama, seperti penyeragaman hukum perkawinan dalam UU Perkawinan hingga yang sebelumnya sangat beragam. Keputusan Mahkamah Agung Hukum adalah aturan-aturan tentang pernikahan beda agama. normatif yang mengatur pola perilaku manusia. Hukum tidak tumbuh dalam ruang kosong, 2. Tinjauan atas UU Perkawinan melainkan tumbuh dari kesadaran No. 1 Tahun 1974 masyarakat yang membutuhkan adanya aturan-aturan bersama. Hukum perkawinan di Indonesia Karena itu, hukum selalu diatur melalui Undang-undang No. mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. dan berkembang dalam masyarakat, UU ini terdiri dari 14 bab dan 67 termasuk nilai-nilai adat, tradisi dan pasal, dan untuk implementasinya agama. Konsekuensinya sebagai dilengkapi Peraturan Pemerintah produk sosial dan kultural, bahkan No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan juga sebagai produk politik yang pelaksanaannya dan dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 bernuansa ideologis, hukum selalu Oktober 1975. Undang-undang bersifat kontekstual. Dalam teori Perkawinan (UUP) merupakan UU hukum Islam disebutkan al-adah al- pertama di Indonesia yang mengatur muhakkamah, yang berarti bahwa soal perkawinan secara nasional. tradisi atau adat istiadat suatu Sebelumnya urusan perkawinan dan masyarakat dapat dijadikan hukum. segala yang berkaitan dengannya Dengan demikian, setiap produk diatur melalui beragam hukum, hukum harus dilihat sebagai produk yaitu hukum adat bagi warga negara zamannya yang sulit melepaskan Indonesia asli, hukum Islam bagi diri dari berbagai pengaruh yang warga Indonesia asli yang beragama melingkupi kelahirannya, baik Islam, Ordonansi Pemerintah pengaruh sosio-kultural maupun Hindia Belanda tentang Perkawinan pengaruh sosial-politis. Indonesia Kristen bagi warga Idealnya, sebagai suatu produk Indonesia yang beragama Kristen hukum, UU Perkawinan perlu dikaji di Jawa, Minahasa, dan Ambon, ulang sejauhmana efektifitasnya Kitab Undang-Undang Hukum dalam mengatur perilaku

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 181 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

masyarakat di bidang perkawinan. dan Peraturan Pemerintah No. 9 Sayangnya, setelah 35 tahun berlalu Tahun 1975 tentang Pencatatan belum terlihat adanya upaya-yang Perkawinan sebagai peraturan upaya serius dari pemerintah, pelaksanaan UU Perkawinan ini. terutama dari Kementerian Agama, Melalui kebijakan ini, pemerintah untuk mengevaluasi sejauhmana bermaksud melakukan unifikasi efektivitas UUP sebagai sumber di bidang hukum yang berarti hukum. Dan juga bagaimana menghapus keanekaragaman respon masyarakat terhadapnya. hukum perkawinan di Indonesia. Serta pertanyaan soal apakah UUP Padahal lembaga perkawinan dalam itu masih relevan untuk digunakan masyarakat ternyata diwarnai saat ini. Padahal sejumlah hasil dengan berbagai bentuk dan penelitian, baik dalam bentuk tesis, ekspresi yang sangat beragam, yang disertasi dan lainnya, menyimpulkan kebanyakan bersifat sakral. perlunya melakukan pembacaan Sejak UU Perkawinan disahkan ulang, bahkan revisi terhadap pada 1974, sejumlah persoalan UUP karena sebagian isinya tidak muncul, di antaranya yang berkaitan lagi mengakomodasi kepentingan dengan masalah nikah beda agama: membangun masyarakat yang Pertama, soal sahnya perkawinan. egaliter dan demokratis, bahkan Dalam Pasal 2 ayat (1), disebutkan dianggap menghambat upaya sahnya perkawinan tergantung pembentukan masyarakat sipil dan apabila dilakukan menurut hukum berkeadilan di negeri ini. masing-masing agamanya dan Ada sejumlah pasal dalam kepercayaannya. Ketentuan ini UU No. 1 tahun 1974 tentang hanya dapat dilaksanakan manakala Perkawinan yang dijadikan rujukan kedua mempelai memiliki agama soal perkawinan beda agama ini. yang sama. Kalau keduanya memiliki Pasal 2 ayat 1 adalah yang paling agama yang berbeda, maka boleh sering dikutip untuk menegaskan jadi salah satunya untuk sementara sifat keagamaan dari sebuah mengikuti agama yang lain dan perkawinan. Penjelasan Pasal 2 UU kemudian kembali ke agamanya Perkawinan ini menegaskan lagi semula setelah perkawinan bahwa “Tidak ada perkawinan di luar terlaksana. Sebab, ketentuan hukum masing-masing agamanya tersebut secara normatif tidak dan kepercayaannya itu, sesuai mengakomodasi jenis perkawinan dengan UUD 1945”. dari dua penganut agama yang Persoalan hak asasi manusia berbeda. dalam perkawinan muncul dalam Kedua, soal pencatatan per- kasus Undang-Undang Perkawinan kawinan. Dalam Pasal 2 ayat 2 No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan, tiap-tiap perkawinan

182 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

dicatat menurut per-aturan Perempuan pun merupakan korban perundang-undangan yang berlaku. pertama. Perempuan tidak akan Peran pemerintah sebatas melakukan dianggap sebagai istri dari suaminya pencatatan nikah. Artinya, yang sah, dan perempuan juga tidak pemerintah hanya mengatur aspek akan dianggap sebagai ibu dari anak administratif perkawinan. Namun, yang dilahirkannya. Seperti dalam dalam prak-teknya, kedua ayat dalam akta kelahiran anak yang lahir dari Pasal 2 tersebut berlaku secara perkawinan yang tidak dicatatkan kumulatif. Artinya, kedua-duanya oleh negara. Sang anak disebut harus diterapkan bagi persyaratan sebagai anak yang lahir dari seorang sahnya suatu perkawinan. Ini boleh perempuan, dan bukan anak yang jadi merupakan konsekuensi dari lahir dari pasangan suami-istri. sistematika produk perundang- Ketidakjelasan status seperti ini undangan dimana komponen- tentu merugikan pihak perempuan komponen yang menjadi bagiannya sepanjang hidupnya. tidak dapat dipisah-pisahkan Dari perspektif hak asasi satu sama lain, semuanya saling manusia, UU ini tampak jelas bertautan, sehingga membentuk bertentangan dengan isi DUHAM satu kesatuan yang bulat. Pasal 16 ayat (1) yang menyebutkan, Akibatnya, meskipun suatu per- “Laki-laki dan perempuan dewasa kawinan sudah dipandang sah dengan tidak dibatasi kebangsaan, berdasarkan aturan agama tertentu, kewarganegaraan atau agama tapi kalau belum dicatatkan pada berhak untuk menikah dan untuk kantor pemerintah yang berwenang membentuk keluarga. Mereka (apakah itu Kantor Urusan Agama mempunyai hak yang sama dalam [KUA] untuk yang beragama Islam perkawinan, di dalam masa atau Kantor Catatan Sipil [KCS/ perkawinan, dan di kala perceraian.” DKCS] untuk yang di luar Islam), Dan ayat 2, “Perkawinan hanya maka belum diakui sah oleh negara. dapat dilaksanakan berdasarkan Dalam berbagai kasus, sahnya suatu pilihan bebas dan persetujuan penuh perkawinan secara yuridis dibuktikan oleh kedua mempelai.” Sementara melalui buku nikah yang diperoleh ayat 3 menyebut, “Keluarga adalah dari KUA atau DKCS. Tentu saja hal kesatuan sewajarnya serta bersifat ini menimbulkan implikasi hukum pokok dari masyarakat dan berhak dan sosial yang beragam, misalnya mendapat perlindungan dari anak-anak yang lahir dianggap masyarakat dan negara”. bukan keturunan yang sah, dan Juga bertentangan dengan Pasal suami-istripun mengalami kesulitan 10 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 memperoleh hak-hak keperdataan tentang Hak Asasi Manusia, yang yang timbul dari perkawinan itu. berbunyi “Setiap orang berhak

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 183 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

membentuk suatu keluarga dan Pasal 60 UU Perkawinan yang dirujuk melanjutkan keturunan melalui oleh Kepala KUA dan Pegawai perkawinan yang sah”. Pencatat Luar Biasa Pencatat Sipil DKI UU No. 39 tahun 1999 tentang Jakarta untuk menolak perkawinan Hak Asasi Manusia Pasal 10 ayat 1 beda agama adalah keliru. Pasal 60 menyatakan bahwa “Setiap orang menurut Keputusan MA, haruslah berhak membentuk suatu keluarga dihubungkan dengan Pasal 57, 58 dan melanjutkan keturunan melalui dan 59 UU Perkawinan antara dua perkawinan yang sah”. Sedangkan orang yang di Indonesia tunduk Pasal 10 ayat 2 menyebutkan, kepada pada hukum yang berlainan “Perkawinan yang sah hanya dapat karena perbedaan kewarganegaraan berlangsung atas kehendak bebas (perkawinan campuran). calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan “Undang-undang Perkawinan ketentuan perundang-undangan”. tidak memuat suatu ketentuan Dengan kata lain, hendaknya apapun yang menyebutkan disadari, sebagai suatu perangkat bahwa perbedaan agama hukum, UU ini bukanlah produk final, antara calon suami dan melainkan langkah awal yang masih calon istri merupakan memerlukan penyempurnaan. Oleh larangan perkawinan, hal karena itu, dalam era reformasi mana adalah sejalan dengan sekarang, sesuai dengan prinsip Undang-undang Dasar 1945 bahwa undang-undang tidak Pasal 27 yang menentukan mungkin lengkap, sudah sepatutnya bahwa segala warga negara dilakukan peninjauan kembali bersamaan kedudukannya terhadap undang-undang tersebut di dalam hukum, tercakup di agar tetap relevan dengan tuntutan dalamnya kesamaan hak asasi zaman. Tentu tidak melupakan untuk kawin dengan sesama tuntutan keadilan dan kesetaraan warga negara sekalipun gender.12 berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan 3. Tinjauan atas Keputusan MA agama merupakan larangan No. 1400 Th. 1986/1989 untuk perkawinan, maka asas itu sejalan dengan jiwa Pasal Keputusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 29 Undang-undang Dasar tanggal 20 Januari 1989, menyatakan, 1945 tentang dijaminnya oleh 12 Lihat Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, negara kemerdekaan bagi Bagian Pertama: Pernikahan Lintas Agama, Model Tafsir Perempuan, hal. 52-83 setiap warga negara untuk

184 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

memeluk agama masing- Bahwa perbedaan agama bukan masing” merupakan larangan perkawinan bagi mereka dan kenyataan bahwa Keputusan MA ini juga menya- terjadi banyak perkawinan yang takan dengan tegas bahwa diniatkan oleh mereka yang berlainan ketentuan-ketentuan tentang agama, maka MA berpendapat perkawinan campuran sebelum bahwa tidaklah dapat dibenarkan berlakunya UU Perkawinan, seperti kalau karena kekosongan hukum Peraturan Perkawinan Campuran maka kenyataan dan kebutuhan (Regeling op de gemengde Huwelijken sosial seperti tersebut di atas S. 1898 No. 158), disingkat GHR, dan dibiarkan tidak terpecahkan secara Ordonansi Perkawinan Indonesia hukum, karena membiarkan Kristen (Huwelijks Ordonantie masalah tersebut berlarut-larut Christen Indonesiaers, S. 1933 N0. pasti akan menimbulkan dampak- 74), “tidak mungkin dapat dipakai dampak negatif di segi kehidupan karena terdapat perbedaan prinsip bermasyarakat maupun beragama maupun falsafah yang amat lebar yang berupa penyelundupan- antara Undang-undang Perkawinan penyelundupan nilai-nilai sosial dengan kedua ordonansi ter- maupun agama dan atau hukum sebut, yaitu: Undang-undang positif. tentang Perkawinan menganut Keputusan MA ini membenarkan asas bahwa perkawinan adalah penolakan KUA meski alasannya sah apabila dilakukan menurut tidak dapat dibenarkan. Yakni, KUA hukum masing-masing agamanya menolak atas dasar bahwa mereka dan kepercayaannya dan itu hanya menikahkan pasangan yang merupakan salah satu perwujudan segama, yakni beragama Islam. Jadi, dari Pancasila sebagai falsafah satu-satunya kemungkinan adalah negara. Perkawinan tidak lagi dilihat menikah di KCS (DKCS). Masalahnya, hanya dalam hubungan perdata, bagaimana caranya? sebab perkawinan mempunyai MA melihat, dengan diajukannya hubungan yang erat sekali dengan permohonan untuk melangsungkan agama/kerohanian, sehingga tidak perkawinan kepada KCS, harus ada perkawinan di luar hukum ditafsirkan bahwa pemohon ber- masing-masing agamanya dan kehendak untuk melangsungkan kepercayaannya.” Sedangkan per- perkawinan tidak secara Islam, dan kawinan yang diatur oleh kedua dengan demikian, haruslah ditafsirkan ordonansi Belanda ini, menurut pula bahwa dengan mengajukan Keputusan MA ini, kesemuanya permohonan itu, pemohon sudah memandang soal perkawinan hanya tidak lagi menghiraukan status dalam hubungan perdata saja. agamanya (yakni agama Islam),

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 185 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

“sehingga Pasal 8 sub f UU Per- 4. Tinjauan atas Kompilasi Hukum kawinan tidak lagi merupakan Islam (KHI) halangan untuk dilangsungkannya perkawinan yang mereka kehendaki, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan dalam hal/keadaan yang disusun berdasarkan keputusan demikian seharusnya KCS/DKCS bersama Ketua Mahkamah Agung sebagai satu-satunya instansi yang dan Menteri Agama pada tanggal berwenang untuk melangsungkan 21 Maret 1985 dan selanjutnya atau membantu melangsungkan melahirkan Proyek Pengembangan perkawinan yang kedua calon suami Hukum Islam melalui Yurisprudensi istri tidak beragama Islam wajib (Proyek Kompilasi Hukum Islam). menerima permohonan pemohon”. Penyusunan KHI berlangsung Jadi, asumsinya seperti kata selama enam tahun (1985-1991), “ditafsirkan” di atas, dalam konteks dan pada tanggal 10 Juni 1991 menyebut “kedua calon suami berdasarkan Instruksi Presiden istri tidak beragama Islam”, berarti (Inpres) No.1 Tahun 1991, KHI pasangan Andi Vonny Gani P dan dikukuhkan sebagai pedoman resmi Adrianus Petrus Hendrik Nelwan dalam bidang hukum material bagi dianggap sebagai pasangan yang para hakim di lingkungan Peradilan tunduk kepada “hukum agama Agama di seluruh Indonesia. Dasar di luar Islam”. Dan bukan karena hukumnya adalah pasal 4 ayat adanya perbedaan atau benturan (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang dianggap mengganggu stelsel yaitu kekuasaan Presiden untuk hukum. memegang kekuasaan Pemerintahan Demikian Keputusan MA No. Negara, dan UU No. 7 tahun 1989 1400 K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari tentang Peradilan Agama. 1989. Apakah ini bisa menjadi KHI sesungguhnya merupakan sebuah yurisprudensi, sehingga bisa respon pemerintah terhadap berlaku bagi pasangan nikah beda timbulnya berbagai keresahan di agama lainnya? masyarakat akibat beragamnya Menurut Prof. Zainal Asikin keputusan Pengadilan Agama untuk Atmaja, yang pernah menjabat suatu kasus yang sama. Keberagaman sebagai ketua Muda MA, keputusan itu merupakan konsekuensi logis dari MA ini adalah yurisprudensi. Dan beragamnya sumber pengambilan ia pun mengusulkan perlunya hukum, berupa kitab-kitab fiqh penyempurnaan UU Perkawinan, Pandangan Kristen Protestan”, dalam terutama yang berkaitan dengan Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito pernikahan beda agama.13 Sinaga (eds.), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme 13 Dikutip dalam Pdt. Weinata Sairin, (Jakarta: Kapal Perempuan & NZAID, 2004), “Perkawinan Beda Agama dalam hal. 78.

186 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

yang dipakai oleh para hakim dalam tidak diperbolehkan untuk menikah memutuskan suatu perkara. Karena dengan orang non-Islam. Pandangan itu, muncul suatu gagasan mengenai seperti ini tentu saja bertentangan perlunya suatu hukum positif prinsip dasar ajaran Islam, yaitu yang dirumuskan secara sistematis pluralisme. Dengan berlandas tumpu sebagai landasan rujukan bagi para pada nalar pluralisme itu, maka tidak hakim agama sekaligus sebagai tepat menjadikan perbedaan agama langkah awal untuk mewujudkan (ikhtilaf al-din) sebagai penghalang kodifikasi hukum nasional. (mani’) bagi dilangsungkannya suatu Paling tidak ada tiga tujuan pokok perkawinan beda agama. KHI, yaitu merumuskan secara Pasal-pasal ini tentu bermasalah. sistematis dan konkret hukum Sehingga diperlukan revisi. Dalam Islam di Indonesia; membangun usulan revisi KHI yang dibuat oleh landasan penerapan hukum Islam Tim Pengarusutamaan Gender, di lingkungan Peradilan Agama disebutkan: yang berwawasan nasional; serta menegakkan kepastian hukum yang (1) Perkawinan orang Islam dengan lebih seragam. Dengan demikian, bukan Islam dibolehkan. KHI berfungsi sebagai pedoman bagi para hakim di lingkungan Peradilan (2) Perkawinan orang Islam Agama sekaligus sebagai pegangan dengan bukan Islam dilakukan hukum Islam bagi warga masyarakat. berdasarkan prinsip saling meng- Berkaitan dengan pernikahan hargai dan menjunjung tinggi hak beda agama, ada dua pasal dalam KHI kebebasan menjalankan ajaran menyebutkan hal tersebut. Pertama, agama dan keyakinan masing- Pasal 40 yang menyatakan seorang masing. pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang (3) Sebelum perkawinan dilang- wanita yang tidak beragama Islam. sungkan, pemerintah berke- Dan, kedua, Pasal 44 menyatakan wajiban memberi penjelasan “seorang wanita Islam dilarang kepada kedua calon suami melangsungkan perkawinan dengan atau istri mengenai perkawinan seorang pria yang tidak beragama orang Islam dengan bukan Islam”. Islam sehingga masing-masing Perbedaan agama dalam KHI menyadari segala kemungkinan dipandang sebagai penghalang yang akan terjadi akibat per- bagi sepasang pemuda dan pemudi kawinan tersebut. yang hendak melangsungkan suatu perkawinan. Artinya, orang Islam (4) Dalam perkawinan orang Islam baik laki-laki maupun perempuan dan bukan Islam, anak berhak

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 187 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

untuk memilih dan memeluk melangsungkan perkawinan kalau suatu agama secara bebas. diperintah oleh pengadilan. Lalu bagaimana dengan (5) Dalam hal anak belum bisa perkawinan antar agama dalam menentukan pilihan agamanya, Pasal ini? maka agama anak untuk Pada PP no. 9 tahun 1975 tentang sementara ditentukan oleh Pelaksanaan UU Perkawinan, Pasal kesepakatan kedua orang 47, dan dalam Keputusan Menteri 14 tuanya. Dalam Negeri no. 221a tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan 5. Posisi dan Fungsi KUA dan dan Perceraian pada Kantor DKCS (d/h. KCS) Catatan Sipil sehubungan dengan Berlakunya UU Perkawinan serta Posisi KUA dan DKCS sangat Peraturan Pelaksanaannya, yang strategis. Karena ia merupakan garda menetapkan bahwa pelaksanaan depan dari kebijakan pemerintah pencatatan perkawinan di DKCS yang berhubungan langsung adalah bagi mereka yang pencatatan dengan pasangan nikah beda perkawinannya dilakukan berda- agama. Sebelum UU Perkawinan sarkan di antaranya Ordonansi berlaku, DKCS memiliki kewenangan Catatan Sipil untuk Perkawinan yang cukup luas berkaitan dengan Campuran (Staatsblad 1904-279), pencatatan pernikahan beda agama perkawinan campuran masih bisa ini. Termasuk mengesahkan dan dilayani di DKCS. membantu menyelenggarakan per- Tetapi, hingga munculnya kawinan, di antara perkawinan beda Keputusan Presiden No 12 tahun 1983 agama. Seperti aturan dalam HOCI tentang Penataan dan Peningkatan dan GHR. Pembinaan Penyelenggaraan Sampai kemudian, ketika UU Catatan Sipil, masalah perkawinan Perkawinan disahkan, wewenang campuran mulai muncul. Kalau dan fungsi DKCS ini masih tetap sebelumnya KCS menyelenggarakan dipertahankan. Menurut Pasal 20 perkawinan campuran, maka kini UU Perkawinan, pegawai pencatat DKCS hanya berwenang dan fungsi perkawinan melangsungkan atau mencatat dan menerbitkan di membantu melangsungkan per- antaranya Kutipan Akta Perkawinan kawinan. Dan pada Pasal 21, (Pasal 5 ayat 2). pegawai pencatat perkawinan akan Dalam Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1983, Pasal 5 ayat 2 disebutkan, 14 Lihat naskah Legal Counter Draft KHI oleh “Dalam melaksanakan tugas, Kantor Tim Pengarusutamaan Gender, Jakarta, Agustus 2004. Catatan Sipil mempunyai fungsi

188 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

menyelenggarakan: Pasal 20-21.15 Selain itu, Keppres ini sering menjadi rujukan oleh pihak DKCS a. pencatatan dan penerbitan untuk tidak mencatatkan pernikahan Kutipan Akta Kelahiran; beda agama. Karena menurut b. pencatatan dan penerbitan mereka kewenangan DKCS hanya Kutipan Akta Perkawinan; pada mencatatkan, dan bukan pada mengesahkan atau melangsungkan c. pencatatan dan penerbitan perkawinan. Kutipan Akta Pengakuan dan Namun demikian, menurut O.S. Pengesahan Anak; Eoh, Keppres ini bertentangan dengan Pasal 20 dan 21 UU d. pencatatan dan penerbitan Perkawinan, sehingga perlu Kutipan Akta Kematian; ditafsirkan bahwa KCS masih tetap e. penyimpanan dan pemeliharaan mempunyai wewenang untuk Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, melangsungkan atau membantu Akta Perceraian, Akta Pengakuan melangsungkan perkawinan dan Akta Pengesahan Anak, dan (khususnya perkawinan antar Kematian; agama).16 Lalu, bagaimana dengan f. penyediaan bahan dalam perkawinan penghayat yang terlibat rangka perumusan kebijakan dalam perkawinan beda agama? Kita di bidang kependudukan/ lihat satu contoh kasus berikut dari kewarganegaraan”. Jawa Tengah, dimana yang bermain adalah surat edaran Depdagri dan Maka di sinilah muncul masalah. surat edaran Pemda. Secara eksplisit Keppres itu Berdasarkan Surat Edaran mencantumkan soal pencatatan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa perkawinan. Tetapi KCS (yang kini Tengah tanggal 3 Januari 1996 menjadi DKCS) menafsirkan sendiri- No. 477/22945, yang ditujukan sendiri apa yang dimaksud Keppres kepada semua bupati/walikota itu. Ada yang berpegangan pada setempat, perkawinan kaum Keppres itu, sehingga tidak lagi penghayat kepercayaan terhadap menyelenggarakan perkawinan Tuhan Yang Maha Esa, tidak dapat antar agama. Ada pula yang dicatatkan di DKCS, sekalipun hal menerima melangsungkan dan itu sudah dikokohkan dengan mencatat perkawinan antar agama 15 O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam sesuai dengan kewenangan yang Teori dan Praktek (Jakarta: Srigunting, 1996), diberikan UU Perkawinan, yakni hal. 127-128. 16 Lihat O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama, hal. 143.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 189 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

penetapan Pengadilan Negeri. atau putusan yang dikeluarkan oleh Pertimbangannya, hal itu belum Mahkamah Agung. Seperti keputusan sesuai dengan hukum yang berlaku. MA no. 1559K/Pdt/1991 tanggal 12 Surat edaran itu juga menyebutkan, Januari 1995 yang mengabulkan dengan pertimbangan politis, hukum permohonan pasangan Pri Arlin dan dan aspek kemasyarakatan lainnya, Endang Sri Ambarin, yang menganut maka surat Menteri Dalam Negeri aliran Sapta Darma, yakni sebagai tanggal 25 Juli 1990 No. 477/2535/ penganut kepercayaan. PUOD perihal Pencatatan Perkawinan Surat Ditjen PUOD kepada bagi Penghayat Kepercayaan Kepala KCS Jakarta Timur, no. terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 477/3602/PUOD, yang meminta agar ditunda dahulu pelaksanaannya.17 perkawinan Gumirat dan Susilawati Surat edaran Mendagri ini tidak dapat dicatatkan. Karena kemudian dibatalkan oleh Surat menurut KCS, keterangan pada Depdagri No. 474.2/309/PUOD formulir di KCS Jakarta Timur adalah tanggal 19 Oktober 1995 tentang bahwa mereka adalah penghayat Pencatatan Perkawinan Penghayat kepercayaan. Dalam sidang kasus Kepercayaan, yang memerintahkan ini terungkap, padahal, bahwa yang untuk menunda pelaksanaan mengisi keterangan “penghayat Pencatatan Perkawinan penghayat kepercayaan” adalah pihak KCS. kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menurut mantan hakim 6. agung Bismar Siregar, surat Depdagri PBA Paska UU No. 23 Tahun ini bertentangan dengan UU 2006 tentang Adminduk Perkawinan, dan batal demi hukum.18 Di era reformasi ini, suara-suara Menurut Bismar, pencatatan tuntutan akan penghargaan dan perkawinan yang dimohonkan oleh penguatan Hak Asasi Manusia pasangan yang telah melangsungkan oleh Negara juga bergema dalam perkawinan secara adat atau bidang administrasi dan pencatatan penghayat kepercayaan, sepatutnya kependudukan. Terutama dalam tidak ditolak oleh KCS. Jika melihat soal pencatatan kasus-kasus ketentuan UU Perkawinan Pasal keperdataan warga negara, seperti 2 ayat (1), lanjut Bismar, sudah perkawinan. Ini terbukti dengan jelas bahwa perkawinan yang disahkannya UU No. 23 tahun 2006 dilangsungkan sesuai dengan agama tentang Administrasi Kependudukan. dan kepercayaan orang terkait Semangatnya, seperti disebut dinyatakan sah. Itu diperkuat lagi di bagian konsideransnya, agar dengan sejumlah yurisprudensi “peraturan perundang-undang-an 17 Kompas, Senin, 12 Mei 1997. mengenai Administrasi Kependu- 18 Kompas, 15 Mei 1997.

190 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

dukan yang ada tidak sesuai mana dimaksud dalam Pasal 34 lagi dengan tuntutan pelayanan berlaku pula bagi: a. perkawinan Administrasi Kependudukan yang yang ditetapkan oleh Pengadilan”. tertib dan tidak diskriminatif”. Selain Penjelasan Pasal 35 Huruf a ini itu, UU ini juga menyebut instrumen menyebutkan, “Yang dimaksud nasional tentang hak asasi manusia dengan ‘Perkawinan yang ditetapkan yakni UU 39 tahun 1999 tentang oleh Pengadilan’ adalah perkawinan Hak Asasi Manusia, serta instrumen yang dilakukan antar-umat yang internasional Konvensi tentang berbeda agama”. Penghapusan Berbagai Bentuk Dengan adanya UU No. 23 Diskriminasi Rasial Tahun 1965 Tahun 2006 tentang Administrasi (International Convention On The Kependudukan (adminduk) me- Elimination of All Forms of Racial mungkinkan pasangan berbeda Discrimination 1965) yang sudah agama dicatatkan perkawinannya diratifikasi menjadi Undang-undang asal melalui penetapan pengadilan. No. 29 Tahun 1999. Selama ini, sebelum keluarnya UU Dengan demikian UU ini ingin Adminduk, pasangan beda agama memastikan agar segenap peristiwa biasanya menikah di luar negeri keperdataan yang dialami oleh semua untuk menghindari UU Perkawinan warga negara Indonesia masuk yang melarang pasangan beda ke dalam pencatatan. Termasuk agama menikah. Tapi ada juga peristiwa perkawinan. Seperti yang memakai cara penundukkan ditegaskan dalam Pasal 2 UU tersebut: sementara pada salah satu hukum “Setiap Penduduk mempunyai hak agama, yaitu pagi menikah sesuai untuk memperoleh: a. Dokumen agama laki-laki, siangnya menikah Kependudukan; b. pelayanan yang sesuai dengan agama perempuan. sama dalam Pendaftaran Penduduk Pernikahan beda agama yang dan Pencatatan Sipil; c. perlindungan sudah dilegalkan oleh Pengadilan atas Data Pribadi; d. kepastian Negeri (PN), tidak berarti pasangan hukum atas kepemilikan dokumen.” itu menikah di PN. “Jadi, wewenang Lalu, pertanyaannya kemudian, kita di sini hanya mengizinkan bagaimana dengan perkawinan bukan menikahkan pasangan beda agama? Apakah pasangan beda agama karena kapasitas nikah beda agama kini sudah bisa pengadilan bukan untuk itu,” tegas memperoleh kepastian hukum atas Humas PN Bogor Djoni Witanto status pernikahan mereka setelah dalam sebuah wawancara dengan berlakunya UU Adminduk ini?? wartawan beberapa waktu lalu. Ada ketentuan Pasal 35 dalam Ia juga menjelaskan bahwa faktor UU yang menyebut demikian: yang melegalkan pasangan beda “Pencatatan perkawinan sebagai- agama diantaranya, mengacu pada

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 191 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Pasal 35 huruf a Undang-Undang dua orang saksi. “Intinya, mereka No. 23 Tahun 2006 dan pasal 10 mencatatkan pernikahannya di ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Catatan Sipil dengan kehadiran dua Tahun 1975 maupun juga pasal 28 saksi,” pungkasnya. Kasus beda B Perubahan Kedua UUD 1945 dan agama ini sudah pernah ditangani pasal 29 UUD 1945. Djoni, dengan kasus perkara perdata. “Kami menimbang permohonan Pihaknya telah memutuskan dan keduanya yang sudah direstui kedua memerintahkan kepada Pegawai belah pihak keluarga dan dalam UU Pencatat Perkawinan pada Catatan No. 1 Tahun 1974, tidak diatur kalau Sipil Kota Bogor untuk segera setelah suatu perkawinan yang terjadi di menerima salinan penetapan dari antara calon suami dan calon isteri PN untuk mencatat perkawinan yang memiliki keyakinan agama antara pasangan beda agama pada berbeda merupakan larangan buku register setelah dipenuhi perkawinan atau dengan kata lain UU syarat-syarat perkawinan menurut No. 1 tahun 1974 tidaklah melarang Undang-Undang. terjadinya perkawinan di antara Namun, masalahnya, Belum ada mereka yang berbeda agama,” hukum acara bagi para pasangan jelasnya. Selain itu, berdasarkan nikah ebda agama yang ingin pasal 28 B ayat (1) Perubahan Kedua meminta penetapan pengadilan, UUD 1945 ditegaskan kalau setiap sehingga menyulitkan bagi mereka orang berhak untuk membentuk untuk memperoleh akta pernikahan keluarga dan melanjutkan dari UPTD. Kalau misalnya mengikuti keturunan melalui perkawinan prosedur perkara perdata, seperti yang sah, dimana ketentuan inipun yang diungkap pegawai Humas PN sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 Bogor tersebut, apakah semuanya tentang dijaminnya oleh Negara berlaku semua kasus nikah beda kemerdekaan bagi setiap warga di setiap pengadilan di Tanah Negara untuk memeluk agamanya Air? Selama ini, untuk pasangan masing-masing. nikah beda agama, prosesnya Begitupula, lanjut Djoni, pada terlalu berbelit-belit, dan bahkan pasal 10 ayat (3) Peraturan bisa sampai terjadi pengujian Pemerintah No. 9 Tahun 1975 atau banding hingga ke tingkat ditegaskan dengan mengindahkan kasasi di Mahkamah Agung. Dan tatacara perkawinan menurut kalau sampai ke MA belum tentu masing-masing hukum agamanya akan memperoleh pengakuan dan kepercayaannya itu, perkawinan yang setara. Karena dalam kasus dilaksanakan di hadapan Pegawai ini MA belum mengakui adanya Pencatat dengan dihadiri oleh yurisprudensi dalam keputusannya,

192 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

seperti dianalisis di atas, dalam untuk kemudian bisa mendapatkan kasus pasangan Andi Vonny Gani penetapan dari pengadilan, sebelum P dan Adrianus Petrus Hendrik akhirnya memperoleh akta dari Nelwan. kantor catatan sipil. Ini berbeda dengan pasangan Sekali lagi aturan ini yang menikah dan mendapatkan menguntungkan orang-orang pencatatan dari luar negeri. Seperti berduit, yang punya kesempatan tertuang dalam Peraturan Menteri “menghindar” dari ruwetnya urusan Dalam Negeri No. 12 tahun 2010 pengadilan di negeri sendiri. Dan tentang Pedoman Pencatatan kantong tebal, mereka bisa leluasa Perkawinan dan Pelaporan Akta mengurus pernikahan mereka di yang Diterbitkan oleh Negara Lain. negeri orang tanapa hambatan Menurut aturan baru ini, terlepas birokrasi apapaun. Dan Peraturan apakah pernikahan itu adalah nikah Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun campuran dari pasangan beda 2010 ini jelas memberi peluang bagi warga negara maupun pernikahan mereka untuk melakukan siasat beda agama, pasangan perkawinan “menghindar” tersebut. Karena bisa mengajukan penetapan setelah mencatatkan pernikahan pencatatan dari instansi pencatatan mereka di atur negeri, mereka sipil, seperti UPTD, setelah kembali dengan mudah bisa ekmbali ke Tanah Air. Ini dilakukan hanya mendapat pengakuan pengakuan dengan menyerahkan bukti itu secara otomasits dari instansi pencatatan nikah dari luar negeri, pencatatan sipil setempat. dari instansi negara tempat mereka Apalagi, aturan itu merupakan menikah maupun dari perwakilan pelaksanaan dari UU Adminduk Indonesia di sana. Tidak ada Pasal 3 yang menyatakan “Setiap kejelasan khusus tentang pasangan Penduduk wajib melaporkan nikah beda agama, yang biasanya Peristiwa Kependudukan dan banyak etrjadi di kalangan kelas Peristiwa Penting yang dialaminya menengah ke atas dari para warga kepada Instansi Pelaksana dengan Indonesia. memenuhi persyaratan yang Ini tentu sebuah diskriminasi. diperlukan dalam Pendaftaran Sebuah praktik nikah beda agama, Penduduk dan Pencatatan Sipil.” Dan bisa dicattakan di luar negeri, Pasal 4, “Warga Negara Indonesia dan bisa langsung mengajukan yang berada di luar wilayah Negara pendaftaran ke tanpa emsti mellaui Kesatuan Republik Indonesia pengadilan. Sedangakan pasnagan wajib melaporkan Peristiwa nikah beda di dalam negeri, justru Kependudukan dan Peristiwa harus melalui pengadilan negeri, Penting yang dialaminya kepada

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 193 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Instansi Pelaksana Pencatatan Sipil Setelah permohonan didaftarkan negara setempat dan/atau kepada di bagian perdata pengadilan Perwakilan Republik Indonesia negeri bersangkutan, pihak dengan memenuhi persyaratan pasangan nikah beda agama akan yang diperlukan dalam Pendaftaran menerima surat panggilan sidang Penduduk dan Pencatatan Sipil”. yang telah ditentukan tanggal dan Lalu bagaimana dengan soal jamnya. Sebelum datang ke tempat penetapan pengadilan ini? persidangan, pihak pasangan beda Pasangan nikah beda agama agama diminta membawa surat- bisa mengajukan permohonan surat asli yang dilampirkan dalam penetapan pengadilan ke permohonan, serta 2 (dua) orang Pengadilan Negeri di tempat saksi ke pengadilan. Biasanya apabila domisili pasangan nikah beda surat-surat dianggap lengkap dan agama tersebut melangsungkan keterangan saksi dianggap cukup, pernikahannya. Di antara syarat- dalam satu kali persidangan kasus syarat yang harus dipenuhi adalah tersebut bisa diputus oleh seorang sebagai berikut: melampirkan hakim tunggal, dan kemudian Kartu Tanda Penduduk (KTP), diberikan surat penetapan. Setelah Kartu Keluarga, Surat Permohonan mendapat penetapan pengadilan Penetapan Pencatatan Perkawinan baru dibawa ke Dinas Kependudukan dari Dinas Kependudukan dan & Pencatatan Sipil di tempat domisili Catatan Sipil, Surat Keterangan pasangan nikah beda agama. dari Lurah, dan saksi 2 (dua) orang. Kasus penetapan pengadilan ini Surat-surat tersebut sesuai dengan terjadi misalnya di Bogor, melalui Undang-undang Bea Meterai Penetapan Pengadilan Negeri harus dibubuhi Bea Materai Bogor No. 111/Pdt.P/2007/ PN.BGR senilai Rp.6000,-, ditandatangani tertanggal 19 November 2007 atas serta dicap oleh Pejabat Pos. pasangan nikah beda agama HS Surat-surat tersebut kemudian (laki-laki, beragama Islam, Pemohon dilampirkan dalam permohonan I) dan IT (wanita, beragama Katolik, sebagai alat bukti dalam perkara Pemohon II). Pertimbangan hukum perdata dipersidangan. Biasanya yang digunakan PN Bogor dalam untuk permohonan ini dikenakan menerbitkan penetapan tersebut biaya administrasi, tidak lebih dari adalah sebagai berikut: 500 ribu rupiah. Kelebihan biaya dapat diminta kembali setelah permohonan selesai dan diketahui 1. Tujuan pokok permohonan para jumlah biaya yang dikeluarkan pemohon, agar perkawinan yang tercantum pada bagian akhir antara calon pengantin beda penetapan pengadilan. agama itu, bisa melangsungkan

194 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

perkawinan mereka dan 4. Menimbang bahwa perkawinan mencatatkan perkawinan mereka yang terjadi diantara 2 orang tersebut di Kantor Catatan Sipil yang berlainan status agamanya kota Bogor hanya diatur dalam penjelasan pasal 35 huruf : a Undang- 2. Dengan adanya permohonan Undang no. 23 tahun 2006 tentang para Pemohon, untuk Administrasi Kependudukan mencatatkan perkawinan di ditegaskan bahwa : “yang Kantor Catatan Sipil Bogor dimaksud dengan Perkawinan dapat ditafsirkan bahwa para yang ditetapkan oleh Pengadilan pemohon khususnya Pemohon adalah Perkawinan yang dilakukan I sudah tidak menghiraukan antar umat yang berbeda agama” status Agamanya, dan mereka Ketentuan tersebut pada berkeinginan untuk mencatatkan dasarnya merupakan ketentuan perkawinan mereka di Kantor yang memberikan kemungkinan Catatan Sipil Kota Bogor, maka dicatatkannya perkawinan hal ini merupakan kewenangan yang terjadi diantara 2 orang Pengadilan Negeri Bogor untuk yang berlainan Agama setelah menerima, memeriksa dan adanya Penetapan Pengadilan mengadili serta memberikan tentang hal tersebut, sedangkan Penetapan atas permohonan terhadap proses terjadinya para pemohon (ini dengan suatu perkawinan sebagaimana mengacu kepada Putusan dimaksudkan dalam UU no. 1 Mahkamah Agung no. 1400 K/ tahun 1974 dan PP no. 9 tahun Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989, 1975 tidak diatur lebih lanjut seperti diuraikan di atas). dalam ketentuan tersebut. 3. Bahwa pasal 2 ayat 1 Undang- Sehingga terhadap hal-hal Undang no. 1 tahun 1974 yang berkaitan dengan proses tentang Perkawinan merupakan terjadinya suatu perkawinan ketentuan yang berlaku bagi itu sendiri baik tentang sahnya perkawinan di antara 2 orang suatu perkawinan, syarat- yang sama agamanya. Sehingga syarat perkawinan , larangan terhadap perkawinan diantara perkawinan dan tata cara 2 orang berlainan agamanya pelaksanaan perkawinan masih tidaklah dapat diterapkan mengacu pada ketentuan- berdasarkan ketentuan tersebut ketentuan yang tertuang dalam (Putusan Mahkamah Agung No. UU no.1 tahun 1974 dan PP no. 1400 K / Pdt 1986 tanggal 20 9 tahun 1975 (Hakim Tunggal Januari 1989). masih mengakui tetap berlaku

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 195 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

ketentuan tentang sahnya Sementara untuk perkawinan dan tentang larangan suatu kaum penghayat, ada sejumlah perkawinan dalam UU no.1 tahun kebijakan baru yang mengakomodasi 1974 dan PP no. 9 tahun 1975). kepentingan mereka. Misalnya dengan keluarnya Peraturan Berdasarkan fakta hukum dan Pemerintah Republik Indonesia No. uraian diatas, Pengadilan Negeri 37 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Bogor (dengan Hakim Tunggal) Undang-undang No. 23 tahun 2006 berpendapat: tentang Administrasi Kependudukan, 1. Dalam UU no.1 th 1974 tidak dan Peraturan Bersama Menteri diatur kalau suatu perkawinan Dalam Negeri dan Menteri yang terjadi diantara calon suami Kebudayaan dan Pariwisata No. 43 dan calon isteri yang memiliki dan 41 Tahun 2009 tentang Pedoman keyakinan Agama berbeda Pelayanan kepada Penghayat merupakan larangan perkawinan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang atau dengan kata lain UUno.1 th Maha Esa, dan Para penganut aliran/ 1974 tidaklah melarang terjadinya penghayat kepercayaan kini mulai perkawinan diantara mereka yang mendapat ruang di mata hukum berbeda agama (suatu pendapat dan perundang-undangan. Belum yang sukar diterima, ketentuan lama ini Menteri Dalam Negeri melarang perkawinan demikian Gamawan Fauzi menerbitkan ada dalam pasal 8 huruf f. UU Peraturan Menteri Dalam Negeri No. no.1 th 1974, blogger). 12 Tahun 2010. Aturan ini antara lain 2. Berdasarkan pasal 28 B ayat 1 memungkinkan penghayat aliran UUD 1945, ditegaskan bahwa kepercayaan mencacatkan dan setiap orang berhak untuk melaporkan perkawinan mereka ke membentuk keluarga dan Dinas Kependudukan dan Catatan melanjutkan keturunan melalui Sipil sekalipun perkawinan mereka perkawinan yang sah (perkawinan dilangsungkan di luar negeri. sah di Indonesia adalah harus Dengan terbitnya UU Adminduk sesuai pasal 2 ayat 1 UU no. 1 dan PP No. 37 tahun 2007, ada th 1974 juncto larangan kawin peluang bagi komunitas penghayat pada pasal 8 huruf f UU no. 1 th kepercayaan untuk mencatatkan 1974, bloger), dimana ketentuan perkawinan mereka, dengan me- inipun sejalan dengan pasal 29 nyertakan surat keterangan ter- UUD 1945 tentang dijaminnya jadinya perkawinan dari pemuka oleh Negara kemerdekaan setiap penghayat kepercayaan. Namun warga negara untuk memeluk demikian, ada problem terkait soal agamanya masing-masing”. surat keterangan ini. Dalam PP No.

196 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

37 tahun 2007 disebutkan tentang Fokus peraturan bersama ini adalah persyaratan pemuka penghayat yang pada soal pelayanan dan lingkupnya menegsahkan pernikahan tersebut. kepada penghayat kepercayaan, Yakni, bukan sembarang pemuka yang meliputi administrasi organi- penghayat, tapi mereka yang sasi penghayat kepercayaan, berafiliasi atau direkomendasikan pemakaman dan sarana sarasehan oleh organisasi penghayat yang ataus ebutan lain yang merupakan diakui resmi oleh negara. Seperti temat untuk melakukan kegiatan disebut dalam Bab X Persyaratan dan Penghayat termausk kegiatan ritual. Tata Cara Pencatatan Perkawinan Aturan pelayanan administrasi Bagi Penghayat Kepercayaan Pasal 81: organisasi penghayat ini penting, karena dalam PP ada aturan tentang (1) Perkawinan Penghayat Ke- pemuka agama yang mengesahkan percayaan dilakukan di hadapan pernikahan penghayat yang Pemuka Penghayat Kepercayaan. bernaung dalam organisasi yang (2) Pemuka Penghayat Keper- diakui oleh pemerintah. Organisasi cayaan sebagaimana dimaksud penghayat tersebut adalah yang pada ayat (1) ditunjuk dan terdaftar di Kementerian Dalam ditetapkan oleh organisasi Negeri dan terinventarisasi di penghayat kepercayaan, untuk Kementerian Kebudayaan dan mengisi dan menandatangani Pariwisata. surat perkawinan Penghayat Nah, aturan bersama ini mengatur Kepercayaan. bagaimana organisasi penghayat (3) Pemuka Penghayat Keper- bisa diakui sebagai organisasi yang cayaan sebagaimana dimaksud bisa mengeshaka pernikahan kaum pada ayat (2) didaftar pada penghayat. Dan itu melalui penerbitan kementerian yang bidang SKT, Surat Keterangan Terdaftar, yang tugasnya secara teknis mem- merupakan bukti bahwa organisasi bina organisasi Penghayat penghayat telah terdaftar sebagai Kepercayaan Terhadap Tuhan organisasi kemasyarakatan. SKT Yang Maha Esa. dikeluarkan oleh gubenrur untuk organisasi di tingkat provisni, dan Aturan dalam PP ini kemudian bupati/walikota kalau organisasi ditindaklanjuti menjadi Peraturan itu pada level kebupaten atau Bersama Menteri Dalam Negeri kota. Ada beberapa persyaratan dan Menteri Kebudayaan dan untuk mempeorleh SKT ini, selain Pariwisata No. 43/41 Tahun 2009 administratif, juga diperlukan tentang Pedoman Pelayanan surat keterangan terinventarisasi Kepada Penghayat Kepercayaan yang dieproleh dari Kementerian Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kebudayaan dan Pariwisata

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 197 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

melalui dinas/lembaga/unit kerja itu, legitimasi hukum penghayat yang mempunyai tugas dan fungsi kepercayaan belum bisa diartikan menangani kebudayaan. sebagai pengakuan penuh terhadap Masalahnya kemudian, aturan eksistensi mereka organisasi ini punya masalah. Direktur Eksekutif Indonesian III. Legal Resource Center (ILRC), Uli PERSPEKTIF HAM Parulian Sihombing, misalnya, memberikan apresiasi atas 1. Jaminan HAM dan Kebijakan pengakuan hukum terhadap para Anti-Diskriminasi penghayat kepercayaan, khususnya dalam administrasi kependudukan. Berakhirnya Perang Dunia II Namun ia menilai pengakuan telah menggerakkan kegiatan untuk hukum tersebut belum benar-benar memajukan hak asasi manusia (Hak dilakukan. Dalam praktik, status Asasi Manusia) sebagai agenda agama para penghayar dalam internasional. Perkembangan KTP masih belum diisi sebagai memajukan Hak Asasi Manusia konsekuensi hanya enam agama sejak itu dianggap luar biasa, yang diakui resmi oleh negara. baik dalam konsep maupun Demikian pula soal pencatatan jumlah perangkat hukum yang perkawinan. Peraturan perundang- mengaturnya. Dulu dipakai sebutan undangan memang memberi ruang “fundamental human rights” (secara bagi penganut aliran/penghayat harfiah berarti hak-hak manusia kepercayaan untuk mencatatan yang mendasar) yang digunakan perkawinan mereka di Kantor oleh Piagam PBB, sekarang lebih Kependudukan dan Catatan Sipil. dikenal dengan “human rights” (hak- Tetapi seringkali kaum penghayat hak asasi manusia). kesulitan karena perkawinan Sebelumnya dikenal “the mereka harus lebih dahulu rights of man” (1776), dan dalam dicatatkan pemimpin penghayat perkembangannya bergeser kepercayaan. Dan pemimpin yang menjadi “human rights”. Hak asasi diakui adalah yang yang sudah manusia dianggap sebagai konsep tercatat di Kementerian Kebudayaan etika politik modern dengan dan Pariwisata. Menurut Uli gagasan utama pada pengakuan Parulian, para penghayat keper- akan adanya tuntutan moral yang cayaan banyak ditemukan pada menyangkut bagaimana manusia masyarakat adat yang belum wajib memperlakukan manusia, terbiasa dengan dokumentasi sehingga secara potensial amat peristiwa kependudukan. Karena kuat untuk melindungi orang dan

198 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

kelompok yang lemah terhadap hidup kebudayaan masyarakat. kesewenangan mereka yang kuat Perhatian PBB terhadap (karena kedudukan, usia, status kemajuan dan perlindungan hak- dan lainnya). Hak asasi manusia, hak asasi manusia dan kebebasan- dengan demikian, bukan hanya kebebasan fundamental sebagai suatu konsep. Ia pada dasarnya tertuang dalam DUHAM tersebut merupakan penghormatan dilandasi oleh dua pertimbangan terhadap kemanusiaan seseorang, strategis. Pertama, kesadaran laki-laki dan perempuan. komunitas internasional bahwa Ini yang akan dicapai oleh pengakuan terhadap martabat yang Deklarasi Universal Hak Asasi melekat dan hak-hak yang sederajat Manusia atau Universal Declaration dan tidak terpisahkan dari semua of Human Rights (disingkat DUHAM) anggota umat manusia adalah yang dicetuskan oleh Perserikatan dasar dari kebebasan, keadilan, dan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun perdamaian di dunia. Kedua, ikrar 1948. Deklarasi ini memuat 30 pasal, negara-negara anggota PBB untuk yang intinya mengandung 3 hak- memajukan penghormatan dan hak pokok. Pertama, hak hidup, hak pematuhan hak-hak asasi manusia untuk hidup bebas dari perhambaan, dan kebebasan-kebebasan secara hak untuk bebas dari penangkapan universal melalui kerjasama dengan dan penahanan sewenang-wenang, PBB. hak atas peradilan yang fair, dan hak Setelah DUHAM disetujui, PBB atas bantuan hukum. Kedua, hak- kemudian membuat dua perjanjian hak politik yang meliputi hak atas yang dinamakan Kovenan yang kebebasan berkumpul, hak atas menjabarkan ketentuan-ketentuan kebebasan berpendapat, hak untuk dalam DUHAM. Kedua Kovenan berorganisasi, hak untuk turut serta itu adalah Kovenan Internasional dalam pemerintahan, hak untuk tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan turut serta dalam pemilihan yang Budaya dan Kovenan Internasional bebas, dan sebagainya. Ketiga, hak- tentang Hak-hak Sipil dan Politik. hak ekonomi, sosial, dan budaya Kedua kovenan ini disahkan oleh yang mencakup hak atas jaminan Sidang Umum PBB pada tahun 1966 sosial, hak atas pekerjaan, hak atas dan mulai berlaku pada tahun 1976. pengupahan yang adil, hak atas Sebagai sebuah perjanjian istirahat dan cuti liburan, hak untuk langsung kedua kovenan ini secara memasuki serikat pekerja, hak hukum mengikat negara-negara atas tingkat hidup yang menjamin peserta yang telah menyetujui atau kesehatan, hak atas pengajaran, meratifikasinya. Secara kolektif, dan hak untuk turut serta dalam DUHAM dan kedua Kovenan

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 199 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

merupakan International Bill of Rights kajian tentang hak asasi dalam atau Undang-Undang Internasional international Covenant on Economic, Hak Asasi Manusia yang menjadi Social and Cultural Rights dan dasar keuniversalan hak asasi international Covenant on Civil and manusia dan menyediakan kerangka Political Rights kepada Presiden B.J. untuk kumpulan hukum tentang Habibie dengan rekomendasi untuk hak asasi manusia internasional. diratifikasi, dan baru pada tahun DUHAM bersama dengan kedua 2005 ada kepastian pemerintah dan Kovenan kini telah dikukuhkan DPR akan meratifikasinya). oleh 185 negara yang bersidang di Wina dalam tahun 1993 (Konferensi 2. kedua Hak Asasi Manusia) sebagai Konvensi Internasional HAM perjanjian-perjanjian yang bersifat Dalam perkembangannya, Dekla- mendasar yang harus dilaksanakan rasi Universal Hak Asasi Manusia oleh semua bangsa. Konferensi Wina selanjutnya dijabarkan lebih telah melahirkan Deklarasi Wina dan lanjut dalam perjanjian-perjanjian Program Aksi yang diterima secara internasional yang mencakup aklamasi (Juni 1993). Deklarasi Wina masalah hak asasi manusia yang menyatakan bahwa: ‘semua hak lebih khusus. Perjanjian-perjanjian asasi manusia itu adalah bersifat internasional ini disebut dengan universal, tidak dapat dibagi-bagi dan “konvensi”. PBB telah menyusun saling berkaitan antara sesamanya’ sebanyak 25 konvensi internasional, (prinsip kesatupaduan). Artinya: seperti Konvensi tentang Peng- hak-hak manusia yang bersifat sipil, hapusan Segala Bentuk Diskriminasi budaya, ekonomi, politik dan sosial Rasial, Konvensi tentang Hak harus dilihat secara keseluruhan. Anak, Konvensi Menentang Pe- Mempunyai nilai yang sama dan nyiksaan dan Perlakuan yang berlaku bagi semua orang. Kejam, Tidak Manusiawi dan Deklarasi Wina menegakkan Merendahkan Martabat, Konvensi kembali kewajiban hukum semua tentang Penghapusan Segala negara untuk meningkatkan “rasa Bentuk Diskriminasi terhadap Pe- hormat secara universal, dan rempuan, Konvensi tentang Hak melaksanakan serta melindungi Buruh Migran, Konvensi tentang semua hak asasi manusia dan Hak Penderita Cacat dan lainnya. kebebasan yang fundamental untuk Semuanya merupakan perjanjian- semua orang”. (Pada tanggal 16 perjanjian sekaligus komitmen PBB Oktober 1998, Komisi Nasional Hak untuk menegakkan standar-standar Asasi Manusia (Komnas Hak Asasi Hak Asasi Manusia internasional. Manusia) telah menyerahkan hasil Anggota-anggota PBB berkomitmen

200 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

untuk mentaatinya melalui instru- Berserikat dan Perlindungan Hak men ratifikasi. Berorganisasi. Ratifikasi adalah suatu per- 6. Konvensi tentang Penghapusan janjian pada tingkat negara untuk Segala Bentuk Diskriminasi melaksanakan ketentuan yang Rasial diratifikasi oleh Indonesia dimuat dalam konvensi-konvensi dengan UU No. 29 tahun 1999. internasional tersebut. Berikut 7. Konvensi Menentang Penyiksaan ini sejumlah konvensi yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada diratifikasi atau disahkan oleh tahun 2000. pemerintah Indonesia untuk dilak- sanakan: Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, terlihat betapa 1. Konvensi mengenai hak politik sedikitnya tindakan ratifikasi Perempuan yang diadopsi oleh oleh Indonesia, dan ini terbukti PBB dalam tahun 1952 dan dari catatan PBB sendiri (Chart diratifikasi Indonesia dengan UU of Ratification) berdasarkan data No. 68 Tahun 1958. persoalan tanggal 31 December 2. Konvensi mengenai Penghapusan 1997). Australia telah meratifikasi Segala Bentuk Diskriminasi 19 konvensi, Amerika 10, Cina 8, terhadap Perempuan yang Bangladesh 9, India 15, Iran 10, Irak diadopsi PBB dalam tahun 1979 13, dan Malaysia 6. dan diratifikasi oleh Indonesia Hingga sekarang masih ada dengan UU No. 7 Tahun beberapa kendala dalam me- 1984. menuhi komitmen tersebut. 3. Konvensi mengenai Hak Anak. Tampaknya belum ada usaha Diadopsi Majlis Umum PBB pada berkesinambungan, baik oleh tanggal 20 November 1989; pemerintah maupun masyakarat disahkan dengan Keputusan sipil untuk mensosialisasikan Presiden RI No. 36 tahun 1990. konvensi-konvensi yang telah 4. Konvensi Menentang Penyiksaan diratifikasi. Hingga kini baru ada satu dan Perlakuan Penghukuman lembaga yang secara khusus aktif lain yang kejam, tidak manusiawi, melakukan pelatihan pada sejumlah atau merendahkan martabat dosen fakultas hukum di berbagai manusia diratifikasi oleh perguruan tinggi tentang arti dan Indonesia dengan UU No. 5 isi Konvensi tentang Penghapusan tahun 1998. segala Bentuk Diskriminasi terhadap 5. Pada tahun 1998 Indonesia Perempuan. Yaitu Kelompok Kerja meratifikasi Konvensi ILO Convention Watch, yang didirikan No. 87 tentang Kebebasan oleh Program Kajian Wanita Pasca

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 201 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Sarjana Universitas Indonesia. harus menjadi kepedulian setiap Kelompok kerja ini didirikan pada orang melalui sosialisasi yang tahun 1993 menjelang 10 tahun berkelanjutan terhadap sebanyak diratifikasinya konvensi ini sebagai mungkin kelompok-kelompok usaha mensosialisasikan hak-hak strategis di atas. perempuan sebagaimana dimuat dalam konvensi tersebut. 3. Selain itu, perlu dipahami PBA dan Jaminan Kebebasan bahwa ratifikasi suatu konvensi Beragama internasional tidaklah secara Menarik dikaji bahwa sejak awal otomatis menyebabkan hak- pembentukan negara Indonesia telah hak yang termuat dalam suatu dinyatakan perbedaan antara agama konvensi akan dipromosikan atau dan kepercayaan, seperti terbaca dilindungi. Ratifikasi itu sendiri dalam Pasal 29 (2). Ini dapat diartikan sesungguhnya bukanlah jaminan bahwa agama dan kepercayaan bagi terlaksananya hak asasi merupakan satu kesatuan yang manusia. Soalnya, norma-norma tidak dapat dipisahkan. Namun, dan nilai-nilai budaya yang hingga pemahaman seperti ini tentu saja kini dianut dan menjadi pegangan tidak sesuai dengan kenyataan dalam anggota masyarakat, baik pada masyarakat. Masyarakat membedakan tingkat privat (dalam lingkungan antara agama dan kepercayaan. keluarga) maupun di tingkat Penganut suatu agama tidak serta publik (dalam lingkungan kerja merta disebut sebagai penganut dan masyarakat) seringkali kurang kepercayaan. Sebaliknya, kalangan mendukung. Karenanya suatu Penghayat Kepercayaan juga tidak ratifikasi harus diikuti dengan usaha- ingin keyakinannya disebut sebagai usaha sosialisasi dan pendidikan “agama” (setidaknya menurut terarah dan berkelanjutan untuk standar baku tentang “agama” yang menumbuhkan komitmen terhadap punya kitab dan nabi). Pembedaan arti dan isi konvensi yang telah ini semakin tegas ketika pemerintah diratifikasi. Kelompok-kelompok (dulu) mengakui kelompok aliran strategis, seperti para orang tua, kepercayaan sebagai aliran yang para penegak hukum, pendidik, berdiri sendiri. Dengan pengakuan pejabat, tokoh agama, mass itu, berarti kelompok masyarakat media, dan lainnya, memegang yang beraliran kepercayaan mem- peranan penting. Ratifikasi suatu peroleh pula pengakuan dan instrumen internasional, dengan jaminan kebebasan melaksanakan tujuan meningkatkan komitmen ibadah sesuai dengan keyakinan dalam pemajuan hak-hak manusia, dan kepercayaannya itu.

202 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Dengan kata lain, negara karena kebebasan beragama itu menghormati prinsip kebebasan langsung bersumber kepada martabat beragama dalam UUD 1945 tersebut, manusia sebagai makhluk ciptaan dan juga senafas dengan isi DUHAM Tuhan. Hak kebebasan beragama Pasal 18: “Setiap orang berhak atas itu bukan pemberian negara atau kebebasan pikiran, hati nurani, dan golongan.” agama, dalam hal ini termasuk Namun demikian, dalam kebebasan berganti agama atau perkembangannya kemudian, kepercayaan, dan kebebasan untuk prinsip kebebasan beragama ini, menyatakan agama atau kepercayaan sebagaimana tercantum dalam dengan cara mengajarkannya, Ketetapan MPR maupun dalam melakukannya, beribadat dan DUHAM, tidaklah dilanjutkan dalam menaatinya, baik sendiri maupun kebijakan-kebijakan pemerintah bersama-sama dengan orang lain, di dalam bidang agama. Misalnya muka umum maupun sendiri.” Surat Edaran Menteri Dalam Dalam Amandemen ke-2 UUD Negeri No. 477/74054/1978 yang 1945, yang merupakan bagian dari di antaranya menyebutkan: Agama hasil perjuangan reformasi di Tanah yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Air, juga dicantumkan Pasal 28 E Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan yang menyebutkan, “Setiap orang Buddha. Lebih mengejutkan lagi, bebas memeluk agama dan beribadat dua dasawarsa berikutnya, muncul menurut agamanya, memilih pen- TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang didikan dan pengajaran, memilih GBHN (Garis-garis Besar Haluan pekerjaan, memilih kewarganegaraan, Negara). Pada bagian Agama dan memilih tempat tinggal di wilayah Kepercayaan terhadap Tuhan Yang negara dan meninggalkannya, serta Maha Esa butir (6) disebutkan: berhak kembali” (ayat 1) dan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan “Penganut kepercayaan meyakini kepercayaan, menyatakan terhadap Tuhan Yang pikiran dan sikap, sesuai dengan Maha Esa dibina dan hati nuraninya” (ayat 2). Prinsip diarahkan untuk men- kemerdekaan beragama ini tampak dukung terpeliharanya lebih tegas lagi dalam Penjelasan suasana kerukunan hidup Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 bermasyarakat. Melalui tentang Pedoman Penghayatan kerukunan hidup umat dan Pengamalan Pancasila yang beragama dan penganut menyebutkan: “Kebebasan beragama kepercayaan kepada Tuhan adalah salah satu hak yang paling Yang Maha Esa terus asasi di antara hak-hak asasi manusia dimantapkan pemahaman

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 203 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

bahwa kepercayaan ter- “Hak untuk hidup, hak hadap Tuhan Yang Maha untuk tidak disiksa, hak Esa adalah bukan agama kemerdekaan pikiran dan dan oleh karena itu hati nurani, hak beragama, pembinaannya dilakukan hak untuk tidak diperbudak, agar tidak mengarah pada hak untuk diakui sebagai pembentukan agama baru pribadi di hadapan hukum, dan penganutnya diarahkan dan hak untuk tidak untuk memeluk salah dituntut atas dasar hukum satu agama yang diakui yang berlaku surut adalah oleh negara. Pembinaan hak asasi manusia yang penganut kepercayaan ter- tidak dapat dikurangi dalam hadap Tuhan Yang Maha keadaan apapun (non- Esa merupakan tanggung derogable)”. jawab pemerintah dan masyarakat.” TAP MPR No. XVII/1998 menyebut 8 (delapan) kelompok hak asasi Jelas sekali, TAP MPR di atas manusia yang diakui pemerintah bertentangan dengan prinsip sebagai hak yang tidak boleh kebebasan beragama yang ter- diabaikan dan dirampas oleh kandung dalam UUD 1945 serta siapapun, termasuk oleh negara Amandemen III UUD 1945. Padahal sekalipun. Yaitu hak untuk hidup, hak kita tahu, TAP MPR No. XVII tahun berkeluarga, hak mengembangkan 1998 tentang Hak Asasi Manusia diri, hak memperoleh keadilan, hak memperoleh kemerdekaan, hak mengakui hak beragama sebagai berkomunikasi, hak keamanan, dan hak asasi manusia sebagaimana hak kesejahteraan. Selanjutnya, tertera pada Pasal 13: “Setiap orang dalam TAP MPR tersebut, kebebasan bebas memeluk agamanya masing- beragama dikelompokkan sebagai masing dan untuk beribadat menurut hak kemerdekaan sebagaimana agamanya dan kepercayaannya tertuang dalam pasal 13: “Setiap orang itu.” Selanjutnya, hak beragama ini bebas memeluk agamanya masing- diakui sebagai hak asasi manusia masing dan untuk beribadat menurut yang tidak dapat dikurangi dalam agamanya dan kepercayaannya keadaan apapun (non-derogable) itu”. Dalam Pasal 43, disebutkan sebagaimana dinyatakan dalam bahwa perlindungan, pemajuan, TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Bab penegakan, dan pemenuhan hak X mengenai Perlindungan dan asasi manusia, terutama menjadi Pemajuan Hak Asasi Manusia Pasal 37: tanggung jawab pemerintah.

204 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Di sini terlihat adanya kontradiksi Namun, kalau yang dimaksud dan inkonsistensi. Bahkan di antara dengan negara pada ayat (1) TAP-TAP itu sendiri berkaitan adalah sistem kekuasaan yang dengan hak beragama. Hal itu boleh terorganisasikan menurut UUD jadi disebabkan oleh penafsiran 1945, yang meliputi kekuasaan yang bias terhadap Pasal 29 UUD legislatif, eksekutif dan yudikatif, 1945. Pasal 29 ayat (1) menegaskan maka asas Ketuhanan Yang Maha bahwa negara Indonesia adalah Esa adalah norma hukum yang negara religius, yaitu berdasarkan berlaku bagi negara, dan bukan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. bagi penduduk atau warga negara. Sementara pada ayat berikutnya, Artinya, pelaksanaan kekuasaan ayat (2), tidak dijelaskan bahwa legislatif, eksekutif dan yudikatif agama dan kepercayaan penduduk harus selalu mengacu pada prinsip yang dijamin oleh negara itu harus Ketuhanan Yang Maha Esa, terutama berdasarkan atas asas Ketuhanan dalam menghasilkan produk hukum Yang Maha Esa. Muncul persoalan, dan perundang-undangan. Itu bagaimana hubungan antara ayat artinya “mempunyai nilai religius”. (1) dan (2) dari Pasal 29 ini? Apakah Sementara ayat (2) merupakan ayat (1) menjadi dasar (atau syarat) jaminan kemerdekaan kepada tiap- pengakuan kebebasan beragama tiap penduduk untuk memeluk pada ayat (2)? Kalau itu menjadi dasar dan menjalankan agamanya (atau syarat), berarti kebebasan masing-masing. Penduduk dengan hanya diberikan kepada pemeluk demikian dapat menjalankan ajaran agama yang mengakui Ketuhanan agamanya masing-masing dengan Yang Maha Esa, dan bukan kepada rasa aman karena pemerintah yang lainnya. Konsekuensinya, berkewajiban menyediakan perang- negara akan melakukan peng- kat pelindung atau payung hukum awasan terhadap penduduk perihal jika ada gangguan. Tentu saja, agama yang dipeluknya, dan jika perlindungan ini tidak bersifat tidak berdasar Ketuhanan Yang mutlak, melainkan diberikan dengan Maha Esa, maka kebebasan tersebut mempertimbangkan keberadaan akan dicabut, dan negara tidak akan agama lainnya yang sama-sama menjaminnya. Lalu apa makna mempunyai hak hidup di Indonesia. negara menjamin kemerdekaan Jadi, tafsiran semacam ini tiap-tiap penduduk untuk memeluk memang pas dengan prinsip dasar agamanya masing-masing dan hak asasi manusia, terutama untuk beribadat menurut agamanya dengan semangat Pasal 28 E dan kepercayaannya itu ?! Amandemen II UUD 1945. Dengan

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 205 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

demikian, tidak ada lagi kontradiksi kepercayaannya, tetapi dalam antara ayat (1) dan (2) dalam Pasal pengertian luas, dan bukan lagi 29 ini. Yang pertama merupakan seperti yang didefinisikan di norma bagi negara, sedangkan yang masa Orde Baru. Dalam kerangka terakhir norma bagi warga negara. yang lebih luas ini, pengertian Sementara TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang agama dan kepercayaan tentang GBHN yang menyebut juga mencakup agama-agama soal agama dan kepercayaan juga minoritas dan yang selama ini dinyatakan tidak berlaku. Selain dikucilkan oleh negara, seperti bertentangan dengan UUD 1945 Khonghucu, Bahai, Sikh, dan juga dan Amandemennya, juga tidak mencakup penganut penghayat sesuai dengan TAP MPR No. XVII kepercayaan, mapapun aliran tahun 1998 tentang Hak Asasi dan kepercayaannya. Manusia; dan Pasal 22 ayat (1) UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Catatan ini penting agar tidak Asasi Manusia yang menyatakan muncul suatu pandangan “Setiap orang bebas memeluk hukum yang menyatakan bahwa agamanya masing-masing dan seseorang diberi siasat (bahasa untuk beribadat menurut agamanya fiqihnya, hilah) untuk melepaskan dan kepercayaannya itu”; dan bagian penjelasan pasal 22 ayat (1) agamanya dalam pernikahan “Yang dimaksud dengan ‘hak untuk beda agama untuk bisa seagama bebas memeluk agamanya dan atau mengakui “ala KTP”, supaya kepercayaannya’ adalah hak setiap pernikahan mereka disahkan orang untuk beragama menurut dan dicatatkan. Bukankah sudah keyakinannya sendiri, tanpa adanya seharusnya negara kita menjamin paksaan dari siapapun juga”. hak-hak masing-masing warga negara untuk menjalankan agama dan kepercayaan seperti IV. PENUTUP tertuang dalam Pasal 29 UUD 1. Simpulan 1945, dan Pasal 28 E UUD 1945. 2. Yang juga krusial adalah soal Dari hasil kajian serta analisis asumsi tentang pengesahan. kami atas persoalan pernikahan Negara mengabaikan faktor beda agama, maka kami dapat pengesahan yang sudah diakui memberikan kesimpulan sebagai dalam agama masing-masing berikut: penganut yang melangsungkan pernikahan di hadapan 1. Perkawinan tetap mengacu pemuka agama. Dengan kepada hukum agama dan sejumlah ketentuan, apalagi

206 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

dengan merujuk ke Pasal 2 UU turunannya mulai dari PP hingga Perkawinan, ada kesan yang Permendagri masih memerlukan kini memang dominan, bahwa implementasi yang konsisten. diam-diam pencatatan menjadi Sosialisasi masih harus terus sesuatu yang paling utama menerus disampaikan kepada dalam pengesahan perkawinan para pemangku kepentingan dibandingkan hanya sekedar soal (stakeholders), terutama pengakuan atau pemberkatan pasangan nikah beda agama dan dari kalangan pemuka agama. calon pasangan. Aparat birokrasi Artinya, sekali lagi, kalangan dan petugas pencatatan sipil agamawan diragukan, dan juga harus lebih memahami negara ditempatkan lebih semangat berbagai instrumen superior. Padahal, sebetulnya, kebijakan tentang pencatatan sesuai dengan aturan tentang sipil, yakni memudahkan semua civil registration PBB, pencatatan pihak, tanpa diskriminasi atau merupakan kewajiban negara pengecualian, untuk memperoleh untuk menjamin terpenuhinya hak-hak mereka untuk dicatatkan hak-hak sipil warga atau citizen. segenap peristiwa keperdataan yang mereka alami.

5. Kalau masih ada pihak menolak 3. Asumsi-asumsi tentang agama pernikahan beda agama, maka, resmi dan yang tidak resmi sudah hal itu bisa disimpulkan sebagai seharusnya ditinggalkan. Karena berikut: ternyata merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat bangsa yang a. dipengaruhi oleh ketentuan majemuk dan bhinneka ini. Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan Asumsi-asumsi tentang agama yang menetapkan perka- “resmi” dan “yang diakui” ini bisa winan adalah sah apabila ditemukan dari tafsiran atas UU dilakukan menurut hukum No.1/PNPS/1965, surat edaran masing-masing agama dan Menteri Dalam Negeri, hingga kepercayaannya UU No. 23 tahun 2006 tentang b. tidak tahu tentang ketentuan Administrasi Kependudukan. Pasal 66 UU Perkawinan yang 4. Meski ada beberapa kekurangan, masih memungkinkan ber- sehingga membutuhkan penyem- lakunya peraturan-peraturan purnaan ke depan, UU No. 23 lain tentang perkawinan, tahun 2006 tentang Administrasi misalnya BW, GHR, dan HOCI Kependudukan beserta yang bisa dipakai sebagai

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 207 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

pedoman dalam pelaksanaan hukum, MA mengharapkan pernikahan antar agama oleh ada petunjuk pelaksanaan karena UU Perkawinan tidak dari Menteri Agama dan mengatur tentang hal ini. Menteri Dalam Negeri tentang perkawinan antar agama. c. tidak tahu tentang ketentuan Pasal 20 dan 21 UU perkawinan yang menetapkan KCS dapat 6. Terkait hak-hak kaum penghayat melangsungkan atau mem- kepercayaan, perhatian perlu bantu melangsungkan perka- diberikan tentang pencatatan winan apabila diperintah oleh pernikahan mereka, terutama Pengadilan pernikahan yang melibatkan pasangan penghayat dan non- d. tidak tahu tentang Keputusan penghayat. UU Adminduk MA No. 1400/K/Pdt/1986, yang beserta turunannya sudah pada pokoknya menetapkan mengakomodasi pencatatan bahwa perbedaan agama pernikahan mereka, baik per- bukan merupakan halangan nikahan pasangan sesama suatu perkawinan. Surat penghayat maupun pernikahan Ketua MA itu menyatakan pasangan penghayat dan non- bahwa: 1) Perkawinan antar penghayat. Seharusnya penga- pemeluk agama dan penganut kuan itu terhadap mereka juga kepercayaan terhadap Tuhan tercermin dalam upaya-upaya Yang Maha Esa termasuk bertahap dan tepat sasaran dalam perkawinan campuran; 2) mengakomodasi pernikahan perkawinan di Indonesia diakui beda agama di antara mereka. sebagai suatu “Staatshuwelijk”. Artinya, perkawinan sudah 7. Persoalan keharusan adanya sah apabila telah memenuhi pemuka penghayat yang ketentuan hukum negara bernaung di bawah organisasi sedangkan hal-hal yang yang diakui oleh pemerintah menyangkut hukum agama juga mendapatkan perhatian adalah urusan dari suami dan serius. Karena persyaratan istri itu secara pribadi. Maka, demikian justru mengurangi untuk menghilangkan atau semangat mempermudah dan setidak-tidaknya mengurangi mengakomodasi hak-hak warga adanya perkawinan yang negara yang ingin memperoleh dilakukan secara liar dan/ pengakuan dalam pencatatan atau diam-diam, serta untuk peristiwa keperdataannya. Per- menjamin adanya kepastian soalan berorganisasi adalah

208 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

bagian dari hak-hak warga negara bagai kemudahan bagi sege- untuk berserikat dan berkumpul, nap pencatatan nikah beda sehingga harus mendapat agama, termasuk pernikahan prioritas pelayanan dari negara pasangan penghayat dan non- sebagai pemangku pelaksana penghayat. hak asasi manusia (duty bearer). Dan bukan malah negara mempersempit hak tersebut dan 2. Kementerian Agama menjadikannya sebagai syarat pencatatan keperdataan. a) Kementerian Agama diharapkan mengimplementasikan pengha- pusan praktik segala bentuk 2. Rekomendasi diskriminasi atas dasar etnis, ras, budaya dan agama, terutama Setelah mempelajari secara pencatatan per-kawinan bagi mendalam hasil penelitian dan pemeluk agama dan keyakinan. pengkajian kami, tentang perma- salahan pernikahan beda agama, b) Perlunya meninjau ulang maka kami merekomendasikan hal- Kompilasi Hukum Islam (KHI) No. hal sebagai berikut: 1 tahun 1991, khususnya pasal 40 dan 44 tentang pernikahan A. Untuk Pemerintah beda agama. Karenanya pasal ini perlu dirumuskan ulang 1. Kementerian Dalam Negeri sehingga dapat mengakomodasi a) Kementerian Dalam Negeri pernikahan antara muslimah harus melakukan sosialisasi dengan laki-laki non muslim. dan penyuluhan hukum Pernikahan orang Islam dengan dan Hak Asasi manusia bukan Islam ini dilakukan kepada segenap aparat dan berdasarkan prinsip saling jajarannya hingga ke daerah menghargai dan menjunjung sehingga semua warga tinggi hak kebebasan men- negara pemangku kepentingan jalankan ajaran agama dan dengan nikah beda agama keyakinan masing-masing. bisa mengenatahui hak- c) Perlunya segenap jajaran haknya dalam UU No. 23 birokrasi Kementerian Agama tahun 2006 tentang Adminduk mengkampanyekan pentingnya dan segenap instrumen hak-hak asasi manusia serta pelaksanannya. kondisi keragaman dan b) Kementerian Dalam Negeri kemajemukan bangsa ini di harus mengakomodasi ber- lingkungan pegawai dan petugas

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 209 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

pencatat perkawinan agar Rakyat mereka menyadari kewajiban Perlunya mengambil langkah mereka dalam mencatatkan inisiatif dalam penyusunan segenap perkawinan yang revisi dan amandemen UU dialami oleh warga negara dari Perkawinan sebagai bentuk hak beragam agama dan etnik itu. inisiatif DPR agar hak-hak warga negara dalam perkawinan dapat d) Agar mencabut aturan terpenuhi dengan baik. pelarangan nikah beda 5. Yudikatif/Mahkamah Agung sebagaimana dicantumkan Mahkamah Agung agar memberi dalam draf RUU Hukum Materiil kepastian hukum menyangkut Peradilan Agama (HMPA) sejumlah keputusan Mahkamah bidang Perkawinan, karena Agung tentang perkawinan bertentangan dengan semangat beda agama dan perkawinan pembaruan catatan sipil seperti Penghayat Kepercayaan, untuk diamanatkan dalam UU No. 23 memastikan bahwa keputusan tahun 2006 tentang Adminduk. itu merupakan yurisprudensi. Seperti Keputusan Mahkamah 3. Kemendikbud Agung No. 178K/TUN/1997 (Dirjend Kebudayaan) tanggal 30 Maret 2000 yang mengabulkan perkawinan a) Perlunya segenap jajaran pasangan Budi Wijaya dan Lanny Kementerian Pendidikan Guito yang menikah dengan dan Kebudayaan untuk cara Khonghucu dan Keputusan memperhatikan keberadaan MA No. 1559K/Pdt/1991 organisasi-organisasi kaum tanggal 12 Januari 1995 yang penghayat, tanpa memilah- mengabulkan permohonan milah antara satu organisasi pasangan Pri Arlin dan Endang dengan yang lainnya. Sri Ambarin, yang menganut b) Perlunya segera menaruh aliran Sapta Darma, yakni perhatian untuk sebagai penganut kepercayaan, mengakomodasi segenap yang menikah dengan cara adat organisasi penghayat, dan dan kepercayaan. serta bersikap lebih fleksibel dalam melayani pencatatan Mengeluarkan surat edaran dan pendaftaran organisasi- kepada Pengadilan Negeri untuk organisasi kaum penghayat. mem-permudah penetapan perkawinan bagi pasangan nikah beda agama. 4. Legislative/Dewan Perwakilan

210 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

6. Komisi Ombusment RI dan DKCS dapat bekerjasama dengan lembaga yang be- a. Hendaknya komisi ini seba- kompeten untuk itu dalam gaimana tugas pokonya, penyelenggaraannya. berdasarkan pasal 4 (c) Keputusan Presiden RI b). Kampanye tentang kema- Nomor 44 Tahun 2000 dapat jemukan bangsa dan plu- mengoptimalkan fungsinya ralisme agama juga masih dalam “melakukan langkah perlu disosialisasikan di ka- untuk menindaklanjuti laporan langan pegawai pencatat atau informasi mengenai perkawinan agar mereka terjadinya penyimpangan oleh menyadari betul bahwa penyelenggara negara dalam keragaman bangsa ini adalah melaksanakan tugasnya maupun berkah dan sumber kekuatan dalam memberikan pelayanan bangsa ini, dan bukan sesuatu umum”, khususnya yang yang harus dinafikan. terjadi di KUA dan DKCS untuk menjamin terpenuhinya hak- c). Sebagai lembaga pencatat hak masyarakat. perkawinan hendaknya KUA b. Dan sebagai kewenanganya dan DKCS berperan se- mengacu Pasal 2 Keppres bagaimana fungsinya dan tersebut, Komisi ini “dapat tidak mencampuri terlalu melakukan klarifikasi, moni- jauh pada aspek perbedaan, toring atau pemeriksaan atas terutama agama masing- laporan masyarakat mengenai masing pasangan pernikahan, penyelenggaraan Negara sehingga begitu mereka khususnya pelaksanaan oleh mengantongi surat nikah/ aparatur pemerintahan ter- pengesahan pernikahan dari masuk lembaga peradilan agawaman atau lembaga terutama dalam memberikan agama, maka, terutama DKCS pelayanan kepada masyarakat”. harus langsung mencatnya dan memberikan kutipan akta perkawinan. 7. KUA dan DKCS a). Diperlukan penyuluhan ke- pada pegawai-pegawai KUA B. Untuk Komnas HAM dan DKCS tentang kesadaran 1. Komnas HAM agar mereko- pentingnya pencatatan nikah mendasikan perlunya merevisi beda agama sebagai hak-hak UU Perkawinan Tahun asasi manusia. Karenanya KUA

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 211 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

1974, karena bertentangan dari pemahaman terhadap dengan Pasal 16 dan Pasal 18 doktrin-doktrin atau teks- DUHAM, Pasal 28E UUD 1945 teks keagamaan. Sehingga Amandemen, dan Pasal 10 sangat dimungkinkan adanya ayat (1) dan Pasal 22 ayat (1) tafsir yang membolehkan UU No. 39 tahun 1999 tentang pernikahan lintas agama Hak Asasi Manusia seperti yang bisa kita lihat belakangan ini. 2. Komnas HAM agar mereko- mendasikan supaya semua perkawinan di antara umat 2. Bagi para agamawan dan/atau beragama wajib dicatatkan institusi keagamaan yang tidak oleh negara (termasuk setuju dengan pernikahan perkawinan adat) sebagai beda agama hendaknya salah satu bentuk komitmen tidak perlu memfatwakan Negara pada pemenuhan kepada masyarakat luas hak-hak sipil warga negara. bahwa pernikahan beda Karena dalam Penjelasan agama adalah haram dan UU Perkawinan 1974 disebut sebagainya. Pemberian label “perkawinan adat” haram atas pernikahan beda agama menunjukkan bahwa 3. Perlunya dilakukan kajian si pemberi label tidak (mau hak asasi manusia terhadap tahu) mengetahui adanya sejumlah kebijakan tentang pluralitas tafsir yang berbeda- administrasi kependudukan beda. Di samping hanya akan sejak diberlakukannya UU melukai (secara psikologis) No. 23 tahun 2006 tentang pelaku nikah beda agama dan Administrasi Kependudukan keluarganya. dan beberapa instrumen turunannya mulai dari PP, Perpres hingga Permendagri 3. Bagi Institusi keagamaan yang telah menyediakan fasilitas pelaksanaan pernikahan beda C. Untuk Institusi Keagamaan agama hendaknya mene- dan Para Agamawan ruskan ‘terobosan’ positif 1. Hendaknya dapat mema- ter-sebut. Lebih baik lagi jika hami dan menghargai ada- disertai program konseling nya pluralitas tafsir atas dan advokasi untuk calon, pernikahan beda agama yang pelaku dan keluarga nikah merupakan konsekuensi logis beda agama.

212 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

D. Untuk NGO/LSM kelancaran proses pernikahan beda agama. Bagaimanapun 1. Agar melakukan kajian selalu ada tantangan dan (lanjutan) secara mendalam tentangan yang akan mereka terhadap berbagai kebijakan hadapi kelak. yang terkait dengan perni- kahan beda agama, sehingga dapat melakukan langkah- 2. Adalah sangat dianjurkan langkah kongkrit terhadap untuk berkonsultasi dengan upaya pemenuhan hak-hak para agamawan, psikolog, sipil warna negara, khususnya konselor khusus masalah yang terkait dengan nikah beda agama dan kawan pernikahan beda agama. dekat yang mengerti keinginan kita. Nasehat, masukan atau 2. Agar membuka ruang untuk saran dari mereka akan banyak memberikan konsultasi, advo- membantu dalam persiapan kasi, dan fasilitasi terhadap diri kita. Termasuk konsultasi (calon) pasangan nikah beda dan berbagi pengalaman agama. dengan sesama pasangan 3. Mendorong munculnya lem- nikah beda agama. baga-lembaga baru yang secara khusus memberikan 3. Jika Anda sudah merasa yakin layanan konseling, advokasi, bahwa pernikahan beda pembinaan/pendampingan agama adalah pilihan yang terhadap pasangan nikah terbaik bagi Anda berdua beda agama. dan keluarga, maka Anda bisa melangkah ke tahap itu. E. Untuk (Calon) Pasangan Tetapi sebelumnya, Anda Pernikahan Beda Agama harus menuntaskan terlebih dahulu masalah-masalah 1. Pertimbangkan dengan turunan dari pernikahan matang segala sesuatunya beda agama seperti soal sebelum benar-benar bulat (pendidikan) agama anak, memutuskan untuk menikah identitas agama anak di Kartu dan melangsungkan hidup Keluarga, dsb. Hal-hal seperti berkeluarga dengan berbeda itu bisa Anda tuangkan agama. Kesiapan mental dalam Perjanjian Pra-Nikah, (psikologis) dan teologis yang sehingga begitu Anda mantab cukup turut membantu dalam untuk melangkah ke jenjang

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 213 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

pernikahan tidak ada lagi baik melalui forum-forum masalah yang mengganjal. online (mailing list, media social, microblogging, dll) maupun pertemuan darat 4. Hadapi secara bijak dan bajik yang diadakan khusus bagi pihak-pihak yang mencoba peminat, pemerhati dan ‘mengganggu’ perjalanan pelaku nikah beda agama. Hal keluarga yang tengah kita ini untuk memberikan ruang bangun. Yakinlah bahwa hal bagi pasangan nikah beda itu hanya merupakan kerikil- agama guna saling berbagi kerikil kecil yang mampu dan bertukar pengalaman, mengokohkan bangunan sehingga akan terjalin rasa rumah tangga pasangan nikah kebersamaan antar mereka beda agama. yang “senasib”.

5. Problematika yang terjadi dalam rumah tangga tidak - hanya dialami oleh pasangan beda agama. Pasangan seagama juga banyak meng- alaminya. Jadikan bahwa bukanlah perbedaan yang menjadi pangkal persoalan, melainkan sikap bagaimana kita menghadapinya. Perbe- daan bisa menjadi indah jika kita mampu mengelolanya dengan baik. Sebaliknya, persamaan kadang-kadang malah menimbulkan kejenuh- an.

6. Pasangan beda agama terka- dang mengalami “kerinduan” untuk menjadi “sama”, karena- nya ada baiknya mengadakan pertemuan-pertemuan atau komunikasi aktif dengan komunitas nikah beda agama,

214 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Bahan Bacaan: Ali Al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan: Tafsir Ayat al-Ahkam. Makkah: Abu al-A’la al-Maududi, Al-Islam fi Dar al-Qur’an al-Karim, t.t. Mawajahah al-Tahaddiyah Ichtijanto, Perkawinan Campuran al-Mu’asharah. Kuwait: Dar dalam Negara Republik el-Qalam, 1983. Indonesia. Jakarta: Badan Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Litbang Departemen Perselingkuhan Agama, Agama, 2003. Kolonialisme dan Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim. Liberalisme. Bandung: Bairut: Dar al-Ma’rifah, t.t. Mizan, 2005. Jilid II. Ahmad Nurcholish, Memoar Cintaku: Maria Ulfa Anshor dan Martin Lukito Pengalaman Empiris Sinaga (Eds.), Tafsir Ulang Pernikahan Beda Agama. Perkawinan Lintas Agama: Yogyakarta: LKiS, 2004). Persepektif Perempuan dan Ahmad Nurcholish, Menjawab Pluralisme. Jakarta: Kapal 101 Masalah Nikah Beda Perempuan & NZAID, Agama. Tangsel: Harmoni 2004. Mitra Media, 2012. Mohammad Monib & Ahmad Ahmad Nurcholish & Ahmad Baso Nurcholish, Kado Cinta (Ed), Pernikahan Beda bagi Pasangan Nikah Beda Agama: Kesaksian, Argumen Agama. Jakarta: Gramedia, Keagamaan dan Analisis 2008. Kebijakan. Jakarta: ICRP- Mohammad Monib & Ahmad Komnas HAM, 2005 & Nurcholish, FIQH Keluarga 2010). Lintas Agama. Yogyakarta: Ahmad Nurcholish, dkk., Melawan Kaukaba, 2013. Kekerasan Atas Nama Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Agama. Jakarta: ICRP, 2011. Perempuan Sebagai Ahmad Nurcholish & Alamsyah M. Pembaharu Keagamaan. Dja’far, Pendidikan HAM, Bandung: Mizan, 2005. Demokrasi dan Konstitusi Muhammad Abduh & Rasyid Ridha, Bagi Penyuluh Agama- Tafsir al-Manar. Beirur: Dar agama. Jakarta: ICRP- al-Ma’arif. Jiiid VI. Hanns Seidel Foundation, Naskah, Counter Legal Draft Kompilasi 2014. Hukum Islam. Jakarta: Al-Juzairi, al-Fiqh ala Madzahib al- Tim Pengarusutamaan Arba’ah. Kairo: al-Maktab Gender, 2004. al-Tsaqafi, 2000.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 215 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

O.S. Eoh, Perkawinan Antar-agama Balada Perkawinan Beda dalam Teori dan Praktik. Agama Pasangan Ahmad Jakarta: Srigunting, 1996. Nurcholish-Ang Mei Yong Quraiys Syihab (Ed.), Ensiklopedi Al- (3): Kekuatan Cinta pun Qur’an: Kajian Kosakata Mampu Menembus Hijab” dan Tafsirnya. Jakarta: Syir’ah, Juli 2003, “Ahmad Nurcholish Bimantara, 1997. & Ang Mei Yong: Punya Suhadi, Kawin Lintas Agama Landasan Teologis” Perspektif Kritik Nalar Islam. Syir’ah, Februari 2005, Kolom Kh. Yogyakarta: LKiS, 2006. Husein Muhammad, “Wali Tim Penulis Paramadina, Fiqih Dua Imam” Lintas Agama: Membangun Syir’ah, Februari 2005, Wawancara Masyarakat Inklusif Pluralis, Abu Deedat: “Pemurdatan Jakarta: Paramadina – The Bukan Teori, Tapi Fakta” Asia Foundation, 2004. Wanita Indonesia, edisi 712/ 30 Juni – Wahbah al-Zubaili, al-Fiqh al-Islamiy 6 Juli 2003, “Kalau Menikah wa Adillatuh. Beirut: Dar al- Beda Agama, Cinta Bertaut Fikr, 1989. Jilid III. di Paramadina” Lisa, No. 44/IV, 1-7 November 2003, Koran & Majalah: “Kisah Ahmad Nurcholish Jawa Pos, 22 Juni 2003, “Fakta Empiris dan Ang Mei Yong” Nikah Beda Agama” GATRA, 21 Juni 2003, “Pernikah Mei Menuai Kontroversi” GATRA, 12 Maret 2005, “Maaf, Paramadina Bukan KUA” Radar Surabaya, 20 Juli 2003, “Balada Perkawinan Beda Agama Pasangan Ahmad Nurcholish-Ang Mei Yong: Perkukuh Tekad setelah Baca Kitab Li Yi” Radar Surabaya, 21 Juli 2003, “Balada Perkawinan Beda Agama Pasangan Ahmad Nurcholish-Ang Mei Yong (2): Krisis Identitas setelah Hijrah ke Cilacap” Radar Surabaya, 22 Juli 2003,

216 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

Riwayat Hidup

Nama lengkap : AHMAD NURCHOLISH Tempat, Tgl, Lahir : Grobogan, 7 November 1974 Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Griya Suradita Indah, Blok E2/9, Cisauk-Serpong, Tangerang

PENDIDIKAN: A. FORMAL: 1. SDN II Plosorejo, Tawangharjo, Grobogan-Jateng 2. Madrasah Dinniyah, Tawangharjo, Grobogan-Jateng 3. Madrasah Tsanawiyah (MTs.), Tawangharjo, Grobogan-Jateng 4. Madrasah Aliyah (MA), Tawangharjo, Grobogan-Jateng 5. Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Budi Luhur, Jakarta (S-1) 6. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nida el-Adabi, Bogor-Jabar (S-1) 7. Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) – (S-2)

B. NON FORMAL: 1. Pondok Pesantren Al-Faqih, Grobogan, Jateng 2. YISC Al-Azhar Jakarta (Islamic Studies) 3. Lembaga Kajian YISC Al-Azhar, Jakarta (Filsafat dan Tasawuf) 4. KKA Paramadina, Jakarta

PENGALAMAN BERORGANISASI: 1. Korp Siswa Madrasah Aliyah, Tawangharjo, Grobogan (Bendahara, 1991-1992) 2. Dewan Kerja Ranting (DKR) Pramuka Kec. Tawangharjo (1992-1993) 3. Pondok Pesantren Al-Faqih, Grobogan-Jateng (Sekretaris, 1992-1993) 4. Remaja Masjid Baitus-Salam, Kemayoran-Jakarta (Bendahara, 1995 – 1997) 5. Youth Islamic Studi Club (YISC) Al-Azhar (Redaktur Lembaga Penerbit, 1999-2000 6. Youth Islamic Studi Club (YISC) Al-Azhar (Pengajar Islamic Studies, 2000 – 2002) 7. Youth Islamic Studi Club (YISC) Al-Azhar (Ketua Lembaga Kajian, 2002 – 2003)

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 217 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

8. Youth Islamic Studi Club (YISC) Al-Azhar (Majelis Dinamika Organisasi, 2004-2005) 9. Forum Generasi Muda Antar-Iman (GEMARI) – (Koord. Bid. Kajian, 2003 – 2004) 10. Yayasan Panca Dian Kasih (Koord. Program, 2005-2006) 11. Indonesian Conference On Religion and Peace – ICRP, Jakarta (Wakil Koord. Infokom, 2003 – 2008) 12. Indonesian Conference On Religion and Peace – ICRP, Jakarta (Koord. Riset & Infokom, 2009-2014) 13. Yayasan Ciptakan Nilai, Tangsel (Sekretaris, 2010 – 2013)

PENGALAMAN BEKERJA: 1. PT. Kinarya Abipraya, Jakarta (Staf Bag. Umum, 1993 – 1995) 2. PT. Kubung Mas Lestari, Jakarta (Staf Marketing, 1995 – 1997) 3. PT. Nusa Indah Lestari, Jakarta (Staf Administrasi, 1998 – 2005) 4. PT. Ifaria Gemilang, Tangsel (Trainer, 2005 – 2007) 5. SOS Children Vilage, Jakarta (Konsultan Program, 2008 – 2009) 6. PT. Ifaria Gemilang, Tangsel (Manajer Media & PR, 2010 – 2012)

PENGALAMAN SEBAGAI PEMBICARA/TRAINER/MOTIVATOR/FASILITATOR: 1. Pembicara/ nara sumber di berbagai forum diskusi, seminar, workshop, al. di: a. Forum GEMARI, Jakarta b. ICRP, Jakarta c. Paroki St. Yohanes Penginjil, Jakarta Selatan d. Paroki St. Mathias, Cinere-Depok e. Paroki Maria Bunda Karmel, Jakarta Barat f. YISC Al-Azhar g. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta h. Universitas Muhammadiyah Jakarta i. Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Jakarta Timur j. Sekolah Tinggi Filsafat (STF Driyarkara), Jakarta k. Universitas Pembangunan Jaya l. IAIN Semarang, Jateng m. Yayasan PERCIK, Salatiga. n. Dll.

2. Nara sumber di berbagai stasiun radio & televisi, seperti: a. Tri Jaya FM, Jakarta

218 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

b. MS-TRI FM, Jakarta c. Kantor Berita 68H, Jakarta d. Green Radio, Jakarta e. Lite FM, Jakarta f. Radio Pelita Kasih (RPK), Jakarta g. Q-TV, Jakarta h. Moslem TV Ahmadiya (MTA), Jakarta i. TEMPO-TV, Jakarta

3. Trainer/Motivator: a. Trainer dan motivator untuk PT. Ifaria Gemilang di Jabodetabek dan Kalimantan b. Trainer Pelatihan Jurnalistik dan Penulisan di

4. Fasilitator: a. Fasilitator Training-training Pece-Building di GEMARI, Padi Kasih & ICRP b. Fasilitator Training-training Pendidikan HAM, Demokrasi & Konstutusi di ICRP

PENGALAMAN SEBAGAI JURNALIS/PENULIS: A. Jurnalis: 1. Wapemred majalah BERITA YISC Al-Azhar, Jakarta (2000-2001) 2. Wapemred majalah MaJEMUK-ICRP, Jakarta (2003 – 2007) 3. Kontributor Syir’ah Online, Jakarta (2004-2005) 4. Pemred majalah I-FASHION (Indonesian Fashion Magazine), Tangsel, 2010-2011 5. Pemred majalah The INTERPRENEUR (Indonesian Entrepreneur and Motivation Magazine), Tangsel, 2011-2012)

B. Penulis: 1. Menulis artikel/opini di sejumlah media massa, baik cetak maupun online 2. Menulis lebih dari 20 judul buku, al: a. Memoar Cintaku (Yogyakarta: LKiS, 2004) b. Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan (Jakarta: ICRP-Komnas HAM, 2005 & 2010) c. Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama (Jakarta: Gramedia, 2008)

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 219 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

d. 20 Tahun Melangkah Ciptakan Nilai: Rahasia Sukses MLM Lokal Berwawasan Global (Tangsel: IFA, 2010) e. Menjawab 101 Masalah Nikah Beda Agama (Tangsel: HMM, 2012) f. Meraih Ridha Ilahi Menggapai Kehidupan Harmoni (Jakarta: Rausyan Fikr Press, 2013) g. FIQH Keluarga Lintas Agama (Yogyakarta: Kaukaba, 2013) h. Pendidikan HAM, Demokrasi & Konstitusi Bagi Penyuluh Agama- agama (Jakarta: ICRP-Hanns Seidel Foundation, 2014) i. Agama, Sex(ualitas), dan Kesehatan Reproduksi (Jakarta: ICRP- HIVOS, 2014)

AKTIVITAS SEKARANG: 1. Koord. Riset & Infokom ICRP 2. Manajer Program Studi Agama dan Perdamaian ICRP 3. Direktur Program Harmoni Mitra Madania 4. Menulis buku dan artikel di media massa

220 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia Pernikahan Beda Agama dan Jaminan Kebebasan Beragama di Indonesia

KEBEBASAN BERAGAMA DAN NEGARA Zuly Qodir1

Abstrak

ndonesia sebagai negeri multireligius dan multikultur sering mendapatkan ujian hebat. Berbagai bentuk kekerasan atas nama agama, dan atas nama ideology silih berganti menyerang republic yang berumur 70 tahun dari kemerdekaan. Terdapat kasus-kasus kekerasan yang bernama intoleransi Iagama terjadi diberbagai belahan tanah air dan tidak selesai dengan baik. Bahkan dalam kasus Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2014 isu tentang agama menjadi bagian tak terpisahkan dari kejahatan politik.Isu agama menjadi komoditas politik yang turut serta mewarnai perpolitikan kita.Kita dapat katakan bahwa berpolitik kita sebagian meninggalkan etika mendahulukan kepentingan. Praktek politik kotor dengan sentiment agama mewarnai hampir seluruh proses demokrasi kita. Kasus-kasus pelanggaran hak warga negara untuk beragama apa pun keyakinannya terjadi sepanjang tahun 2013-2014. Tulisan ini hendak menguraikan berbagai peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang dianut warga negara Indonesia, negara tampaknya absen bahkan sebagian mengatakan bahwa negara ambil bagian dalam kasus pelanggaran ham kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tulisan diakhiri dengan menempatkan Muhammadiyah dan NU serta ulama dalam proses keindonesiaan. Kata kunci :pelanggaran kebebasan beragama, kejahatan politik negara, demokrasi

1 Zuly Qodir, sosiolog Fisipol UMY dan Peneliti senior Maarif Institute Jakarta, menulis beberapa buku terkait gerakan keagamaan dan radikalisme di Indonesia.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 221 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

Pendahuluan Cirebon, Parmalin di Sumatra, di Lombok tidak diakui sebagai ajian dalam karangan agama. Bersama-sama dengan ini lebih memfokuskan Penganut Pengasih, Sapto Dharmo, pada gejala perilaku dan lainnya di Jawa dikenal dengan keagamaan (umat sebutan penganut penghayat agama)K yang dalam lima tahun kepada Tuhan yang Maha Esa dan terakhir menampakkan tanda-tanda bagian dari kebudayaan. Padahal pada perilaku kekerasan (intoleransi), betapa banyaknya yang tidak masuk pada saat kita sedang berharap dalam anah “agama resmi” Negara tumbuh dan berkembangnya jika berdasarkan UU PNPS tahun perilaku dan paham keagamaan yang 1965 yang hanya mengakui enam inklusif, demokratis dan “membumi” agama resmi saja: Kristen, Katolik, dalam makna tidak mengerikan. Islam, Hindu, Budha dan Konghucu, Ternyata di lapangan gejalanya diluar enam tidak termasuk agama bisa dikatakan sebaliknya ketika atau aliran yang sah di Indonesia. sekelompok umat berperilaku kasar Di Indonesia sendiri seperti dalam dan menebarkan kekerasan atas PNPS (Peraturan Negara dan Pejabat umat lain dan umat yang seagama. Sipil) tahun 1965 mengatakan bahwa Tentu saja kita bertanya dengan agama yang diakui di Indonesia hebat, apa yang sedang terjadi dengan umat beragama di negeri hanya ada lima yakni Kristen, Katolik, ini? Apakah yang sesungguhnya Hindu, Budha dan Islam. (Hikmat salah dengan paham keagamaan Budiman, Masyarakat Multikultur: kita di negeri ini sehingga perilaku Kebebasan dan Kewarganegaraan, kekerasan cenderung menjadi Tifa Foundation dan Yayasan Set, penyelesai hubungan antar agama 2007) oleh sekelompok umat beragama? Bahkan jika kita perhatikan Di Indonesia, merupakan Negara sejak tahun 2005, ketika MUI yang secara agama multi religious, mengeluarkan Fatwa Haram baik internal (Islam terdapat dan Sesat atas beberapa paham berbagai mazhab), sedangkan keagamaan di Indonesia seperti secara eksternal kita mengenal terhadap Ahmadiyah (Qodian), enam “agama resmi” Negara, Salamullah, Isa Bugis, LDII, JIL, dan yakni Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Islam Shalat Dua Bahasa ala Yusma Budha dan Konghucu. Sementara Roy, maka semakin banyaklah agama-agama non resmi seperti paham-paham di dalam Islam yang agama-agama suku dan keyakinan- menjadi varian Islam Indonesia. keyakinan local seperti Kaharingan Bahkan, yang paling sensasional di Kalimantan, Sunda Wiwitan di adalah belakangan sejak tahun 2013

222 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

akhir Syiah di Indonesia, terutama kasus pelanggaran atas kebebasan sejak Peristiwa Sampang, Syiah beragama yang dilakukan dengan dituduh pula sesat dan sebagian bentuk bentuk kekerasan, pemaksaan umat islam ramai-ramai menghukum dan pelarangan. Sementara itu, Setara Syiah. Padahal kita ketahui terlalu Institute tahun 2012 menyebutkan banyak cendekiawan muslim dan terdapat 103 kasus pelanggaran kebe- ulama Syiah yang memberikan basan beragama dengan berbagai inspirasi atas perkembangan dan ancaman, perusakan, keke-rasan pencerahan Islam di Indonesia. bahkan penhilangan nyawa. Sebut saja Alamah At Thabathai, Hal yang juga menarik survey LSI dan Yayasan DENY JA menyebutkan Imam Khaoemani, alamah Murthada tahun 2012, masyarakat kehilangan Mutahari, Syayed Hosein Nashr, Ali kepercayaan dan kepuasan terhadap Syariati dan banyak lagi. Apa pasal lembaga Negara demikian rendah. kok Syiah sekarang ramai-ramai Ketidakpuasan masyarakat atas disesatkan di Indonesia? Tentu Lembaga Kepresidenan mencapai 62, saja mengundang pertanyaan yang 7%, ketidakpuasan terhadap Polisi 64,7 serius untuk penganut Islam di % dan ketidakpuasan terhadap partai Indonesia.(Zuly Qodir, Radikalisme politik 58,1%. Rendahnya kepuasan Agama di Indonesia, Pustaka pelajar, masyarakat atas tiga lembaga Negara 2014) disebabkan kerja lambat, terkesan Kita dapat memperhatikan apatis, dan membiarkan dalam perkembangan perilaku intoleransi pelbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang sejak lima tahun kebebasan beragama di Indonesia. terakhir terus meningkat. Ketika Sementara itu mendasarkan kita memasuki tahun baru 2013 pada laporan tahunan kebebasan disinyalir penuh rapor merah beragama dan berkeyakinan The dalam hal kehidupan beragama. Wahid Institute 2013 menyatakan Sejumlah survey memberikan rapor bahwa selama Januari sampai merah atas kebebasan beragama Desember 2013, jumlah pelanggaran khususnya terkait kaum minoritas atau intoleransi keyakinan beragama seperti Jemaah Ahmadiyah, Jamaah berjumlah 245 peristiwa.Terdiri dari Syiah Indonesia, minoritas Kristen di 106 peristiwa (43%) yang melibatkan daerah tertentu, sampai minoritas aktor negara dan 139 peristiwa (57%) penghayat kepada Tuhan yang oleh aktor non-negara. Sementara Maha Esa. total jumlah tindakan kekerasan dan intoleransi mencapai 280, dimana Pelanggaran Kebebasan Beragama 121 tindakan (43%) dilakukan aktor negara dan 159 tindakan (57%) Survei The Wahid Institute Nopem- oleh aktor non negara. (The Wahid ber 2012 menyebutkan terdapat 193 Institute Januari 2014)

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 223 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

Berdasarkan atas fakta yang jahat lagi yakni berperan aktif dalam lapangan yang disampaikan The pelanggaran kebebasan beragama di Wahid Institute diatas terdapat Indonesia dengan cara membiarkan pertanyaan fundamental yang kekerasan yang ada di tanah air. harus dijawab oleh setiap warga Negara yang mengaku Negara Gagal Mendamaikan memiliki keyakinan keagamaan. Hal apakah yang menyebabkan Jika ditelisik lebih dalam, kondisi perilaku kekerasan dan tindakan tersebut diatas tentu sangat terkait melanggar undang-undang dasar dengan kebijakan politik negara, terkait kebebasan beragama terus sebagaimana negara lain yang berlangsung?Bukankah kebebasan didominasi oleh kelompok mayoritas menganut keyakinan keagamaan tertentu. Meski tak secara tersurat dinyatakan dalam konstitusi, merupakan hak asasi yang tidak namun dominasi itu berlangsung dapat tergantikan di Indonesia? dalam kebijakan, wacana, dan Hal yang paling krusial jika kita praktik kehidupan berbangsa mendasarkan pada fakta lapangan dan bernegara.Para elit politik yang ditemukan The Wahid Institute (terkesan) lebih suka dan lebih sibuk perilaku pelarangan dan tindakan dengan persoalan day to day politik, kekerasan atas mereka yang dibanding memikirkan persoalan beragama dilakukan oleh actor yang menyangkut eksistensi warga yang bernama Negara, bukan negara. sekedar warga Negara. Padahal Aparatus negara yang seharusnya kita mengetahui bahwa Negara berperan sebagai pelindung warga seharusnya berperan menjadi negara, acapkali absen dari tugasnya. penjamin dan pengayom kebebasan Bahkan, dalam beberapa kasus, berkeyakinan di dalam menganut pemerintah yang semestinya berada suatu keyakinan keagamaan dan diatas semua golongan, kelompok, mengerjakan ibadah penganut dan agama sering (cenderung) agama sesuai keyakinannya. berperilaku memihak dan digunakan Berdasarkan survey yang sebagai alat pemukul oleh kelompok dilakukan oleh dua lembaga diatas dominan.Negara yang seharusnya kita dapat mengambil banyak memiliki tugas dan tanggung jawab pelajaran yang berharga untuk untuk mengelola keragaman (dan tahun 2015 mendatang, jika Negara perbedaan), malah membuat ini benar benar hendak melakukan berbagai hukum dan kebijakan perubahan secara fundamental yang tak bisa mengakomodir dan dalam hal kebebasan kehidupan menghargai keragaman tersebut. beragama. Negara tidak bisa Khususnya lagi, dalam hal bergama berperilaku abai atau malah lebih dan berkeyakinan.

224 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

Di sisi lain, masyarakat pada menyimpulkan, aspek kebebasan umumnya pun belum mampu beragama dan berkeyakinan, membentuk pola pikir yang arif dan kurang mendapatkan jaminan bijaksana dalam mengapresiasi dan perlindungan.Buktinya, kasus- dengan baik keragaman pendapat, kasus kekerasan dan pelanggaran ekspresi, dan gaya hidup dari terhadap kebebasan beragama berbagai ragam perwujudan Tuhan. dan berkeyakinan terus terjadi. Realitas kultural dan sikap-sikap Aparat pemerintah bahkan yang mau menang dan benar cenderung membiarkan kasus-kasus sendiri semakin mencuat.Realitas berlangsung, tanpa terlihat adanya kultural dan perkembangan kondisi upaya pencegahan yang serius. sosial, politik, serta budaya bangsa Kelompok minoritas diperiode ini penuh dengan gejolak sosial-politik, sering mengalami diskriminasi. demikian pula konflik di berbagai Pemeluk agama minoritas suatu lapisan masyarakat. (Ignas Kleden, daerah, seringkali mendapatkan 2001:1). perlakuan yang tak adil.semisal Dalam laporan yang ditulis aktivitas keagamaannya yang Mohammad Zulfan Tadjoeddin dihambat, dibatasi dan dilarang, serta dari United Nations Support Facility tak sedikit tempat ibadah mereka for Indonesian Recovery (UNSFIR) ditutup dengan cara paksa dan tahun 2002, menunjukkan jumlah sepihak, karena dianggap melanggar kekerasan sejak 1998 melesat naik. izin pendirian rumah ibadah (Izin Di tahun itu, 124 insiden terjadi Mendirikan Bangunan/IMB). dengan korban tewas 1.343 orang. Imparsial mencatat, terjadi 24 Dua tahun sebelumnya (1996), terjadi 8 insiden dengan jumlah kasus penutupan gereja sepanjang korban tewas 227 orang. Pada 1997, 2005.Pelanggaran kebebasan terjadi 15 insiden dengan 131 korban beragama dan berkeyakinan lainnya, tewas. Setahun pasca-Soeharto jatuh selama 2005 sebanyak 12 kasus. (1999), jumlah insiden masih terus Bentuknya, mulai dari penyesatan, menanjak. Jumlahnya mencapai penangkapan, hingga pelarangan 300 insiden dengan 1.813 korban beribadah. Selanjutnya, Setara tewas. Pada tahun 2000, menjadi Institute (2007), mencatat bahwa 408 insiden dengan 1.617 korban. di sepanjang 2007 telah terjadi 135 Sedang pada tahun 2001, turun peristiwa pelanggaran kebebasan menjadi 233 insiden dengan korban beragama berkeyakinan. Sementara tewas 1.065 orang. itu, laporan PGI dan KWI, sejak 2004— Dalam laporan kondisi HAM 2007, terjadi 108 kasus penutupan, Indonesia 2005, Imparsial penyerangan, dan perusakan gereja.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 225 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

Pada tahun 2009, dalam laporan beragama/berkeyakinan, yang tentang kebebasan beragama mengandung 286 bentuk tindakan, yang dirilis The Wahid Institute yang menyebar di 20 propinsi. (2009), mencatat bahwa sepanjang Dari 286, 103 tindakan, dilakukan tahun 2009, terjadi 35 pelanggaran oleh negara yang melibatkan para kebebasan beragama, 93 tindakan penyelenggara negara sebagai intoleransi. Aparat kepolisian aktor. Institusi negara yang paling adalah pelaku terbanyak tindakan banyak melakukan pelanggaran pelanggaran, sedang ormas adalah kepolisian; sebanyak keagamaan pelaku terbanyak dengan 56 tindakan. Selanjutnya tindakan intoleransi.Laporan ini Bupati/Walikota, Camat, Satpol PP, juga menyuguhkan banyaknya Pengadilan, Kementerian Agama, TNI, Menteri Agama, dan selebihnya, bermunculan peraturan yang dinilai institusi-institusi lainnya. diskriminatif. Setidaknya, ada enam Selain itu, riset yang juga perda bernuansa agama: Qanun dilakukan oleh Setara Institute, pada Jinayah di Aceh, Perda Zakat di rentang 20 Oktober-10 November Bekasi, Perda Pelarangan Pelacuran 2010, terhadap 1.200 responden, di Jombang, Perda Pendidikan al- juga menunjukkan adanya trend di Kalimantan Selatan, Perda peningkatan pemahaman anti Pengelolaan Zakat di Batam, dan toleransi. Survei yang mengambil Perda Pengelolaan Zakat di Mamuju. responden warga Jakarta, Bogor, Walikota Palembang, juga meneken Depok, Tangerang, dan Bekasi surat bernomor 177 Tahun 2009, (Jabodetabek) ini menyebut, (49,5 tentang Kewajiban Membayar Zakat persen) responden tidak menyetujui bagi PNS di Kota Palembang. adanya rumah ibadah bagi penganut Pada tahun 2010, The Wahid Institute agama yang berbeda dari agama kembali merilis laporannya.Hasilnya yang dianutnya. Sedangkan (45 menyedihkan.Kasus Pelanggaran persen) lainnya, dapat menerima naik; dari 35 kasus, menjadi 63 kasus keberadaan rumah ibadah agama pelanggaran.Sedang intoleransi; dari lain, dan sisanya tidak menjawab 93 kasus, menjadi 133 kasus, atau (Setara Institute; 2010, 11). naik 30 persen.Salah satu faktornya, Pada tahun 2011, ICRP mencatat menurut analisis The Wahid Institute bahwa ternyata aksi-aksi kekerasan adalah adanya pembiaran yang dan diskriminasi yang dilakukan dilakukan negara. kelompok keagamaan tertentu, Hal senada, juga terlihat dalam ternyata tak menurun.Aksi paling laporan yang dirilis Setara Institute brutal menimpa jemaat Ahmadiyah (2010). Sepanjang tahun 2010, tejadi di Cikeusik, pada 6 Februari 216 peristiwa pelanggaran kebebasan 2011. Tiga orang tewas dengan

226 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

cara biadab. Kasus ini, tragisnya, Nilai Islam”, menunjukan problem menyulut desakan pembubaran ini. (vhrmedia.com:2010). dan keputusan kepala daerah untuk Pada tahun 2012, hasil survei melarang aktivitas Ahmadiyah. yang dilakukan oleh Yayasan Sejumlah kebijakan muncul di Jawa Denny JA dan LSI Community (MI: Timur, Pandeglang, Jawa Barat, 2012), menunjukkan bahwa trend Depok, dan sejumlah wilayah lain. intoleransi masyarakat Indonesia Selain itu, hasil survei Lembaga terus meningkat. Masyarakat Kajian Islam dan Perdamaian merasa semakin tak nyaman (LaKIP), Oktober 2010-Januari 2011, akan keberadaan orang lain (yang menyebut bahwa ternyata ada berbeda identitas (berbeda agama, persoalan paling mendasar pada maupun berbeda aliran dalam satu level kultural bangsa ini. Yakni, agama ) di sekitarnya. Di tahun berkembangnya pemahaman 2005, mereka yang keberatan radikal dan anti toleransi, yang hidup berdampingan dengan yang sudah masuk ke ruang pendidikan. berbeda agama (6,9%), pada tahun Dari 100 SMP serta SMA umum di 2012, naik menjadi (15%). Sedangkan Jakarta dan sekitarnya, dari 993 siswa mereka yang keberatan untuk yang disurvei, sekitar (48,9 persen) hidup berdampingan dengan orang menyatakan setuju atau sangat berbeda aliran (Syiah) (26,7%) pada setuju terhadap aksi kekerasan atas tahun 2005, menjadi (41,8%) pada nama agama dan moral. Sisanya, tahun 2012. Publik yang keberatan (51,1 persen) menyatakan kurang untuk hidup berdampingan dengan setuju atau sangat tak setuju. yang berbeda identitas tersebut, Di antara 590 guru agama yang mayoritas adalah mereka yang menjadi responden, (28,2 persen) berpendidikan dan berpenghasilan menyatakan setuju atau sangat rendah (SMA ke bawah), yakni sekitar setuju atas aksi-aksi kekerasan (67,8%) keberatan untuk bertetangga berbaju agama. (Tempo 2011). dengan yang berbeda agama dan Di samping itu, persoalan yang (61,2%) keberatan untuk bertetangga tak kalah penting adalah soal peran dengan orang Syiah. Sedangkan media dalam advokasi penguatan mereka yang berpendidikan tinggi toleransi di media massa. Tantangan (SMA ke atas), (32,2%) tak nyaman bias toleransi dalam meliput isu-isu bertetangga dengan yang berbeda keagamaan relatif masih menuai agama, dan (38,8%) keberatan untuk soal. Hasil riset The International bertetangga dengan orang Syiah. Journal of Press dan Yayasan Pantau Fakta-fakta di atas, setidaknya (2010), bertajuk “Misi Jurnalisme menunjukan bahwa sikap toleransi Indonesia: Demokrasi yang dan kesadaran akan keberagaman di Seimbang, Pembangunan, dan Nilai- Indonesia masih menjadi tantangan

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 227 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

besar. Keberagaman yang harusnya dan hl-hal yang dianggap “berbau menjadi modal sosial yang luar biasa bidaah” dalam perspektif Islam bagi bangsa Indonesia, ternyata Murni (modernis-Muhammadiyah). berbuah kerentanan konflik, anti- NU sebelumnya hanya dikenal dialog, dan penyingkiran. Jika dikalangan par dan pesantren persoalan tersebut tak segera itu sendiri.Nyaris dianggap tidak diantisipasi, maka eksistensi NKRI demikian jelas kontribusinya pada akan menjadi taruhannya. masalah-masalah kebangsaan, termasuk dalam menyangga Peran Muhammadiyah-NU kekuatan masyarakat sipil di pedesaan.Aktivitas Abdurrahman Sebagai Ormas Islam, NU sudah Wahid melalui LSM-LSM di pesantren jamak di internal Islam Indonesia yang berkolaborsi dengan embaga- bahkan internasional khususnya lembaga donor internasional dan dikalangan pengamat Islam, bahwa Lembaga-Lembaga dalam negeri NU lah sebuah kekuatan yang penting semacam LP3ES dan P3M sangat jelas dalam memberikan pengaruh pada memberikan kontribusinya pada pembentukan masyarakat sipil dan pemikiran dan sikap-sikap terbuka civil Islam. Hal seperti itu terutama pesantren. Dari sana pesantren sejak Abdurrahman Wahid menjadi kemudian dikenal luas di Indonesia Ketua Umum PBNU sejak tahun 1984 dan luar negeri, sehingga sejak di Muktamar k-27 di Situbondo, dan tahun akhir tahun 1980-an banyak terpilih kemblai pada Muktamar NU peneliti dan pengamat tertarik pada di Pondok Pesantren Al Munawwir NU bahkan lembaga-lembaga donor Krapyak tahun 1989 beruet kembali internasional memberikan perhatian dengan KH Ahmad Sidiq kiai khusus pada NU. (Bruinessen, 1994) progresif yang sangat moderat. Sejak NU bersama Muhammadiyah terpilihnya Abdurrahman Wahid di sebenarnya bisa diharapkan untuk Situbondo, Wahid memperkenal NU menjadi penopang atas masyarakat pada kalangan “luar NU” dengan sipil Indonesia. NU berbasis pelbagai macam model dan aktivitas massa pedesaan sementara yang bersifat nasional bahkan Muhammadiyah berbasis massa internasional. perkotaan. Sekalipun belakangan Jasa Abdurrahman Wahid sangat sejak tahun 1990-an deferensiasi NU besar pada NU, sebab sebelum itu, adalah pedesaan dan Muhamma- nyaris tidak ada yang memahami diyah adalah perkotaan sedikit apalagi tertarik pada organisasi kurang relevan. Apalagi dikotomi NU Islam berbasis massa di pedesaan tradisionalis dan Muhammadiyah yang sangat loyal pada kyai kharistik modernis rasional sedikit banyak

228 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

telah bergeser, jika bukan karena cukup memengaruhi perkembangan pengaruh para peneliti dan pemikiran dan sikap NU atas banyak pengamat yang membuat katego- masalah yang berkembang silih risasi belaka.Dilapangan dikotomi berganti baik level nasional maupun seperti pedesaan dan tra-disional internasional. serta perkotaan moder-nrasional Perubahan sangat drastic bisa telah hancur lebur bahkan ber- dirujuk dengan adanya Muktamar balikan. Mengalami kon-tradiksi anak-anak Muda NU di pondok yang hebat sehingga agak sulit untuk Pesantren Salafiyah Syafiiyah, memberikan katagorisasi seperti itu. Sukorejo, Situbondo 5 Oktober Perubahan karateristik seperti 2003, dimana saat itu berkumpul itu karena beberapa hal yang lebih dari 50 generasi muda NU terjadi dalam internal NU dan dari seluruh Indonesia membahas Muhammadiyah disamping pengaruh masa depan bangsa dan Indonesia eksternal yang datang mengganggu dalam perspektif pemikiran Islam NU dan Muhammadiyah.Di internal (NU). Inilah Muktamar yang berbeda NU telah terjadi gelontoran kiai-kiai dengan Muktamar NU yang biasanya muda yang memiliki pengetahuan dihadiri dan didominasi kaum keislaman sangat luas dan mendalam tua dalam Nahdliyin.Muktamar menjadi pengurus di pesantren dan Pemikiran Kaum Muda NU dan hanya di PBNU.Di samping itu juga semakin beberapa kaum senior NU yang terbukanya kelompok muda di didatangkan, seperti KH Masdar Farid Indonesia untuk bertemu dengan Masudi.Sedangkan Prof. Nurcholish literature yang berkembang dalam Madjid diminta memberikan orasi dunia pemikiran Islam internasional. pemukaan pada Muktamar tersebut Hal ini ditandai dengan banyaknya yang semakin jelas memberikan intelektual muslim kelas dunia seperti bobot muktamar anak muda NU Mohammed Arkoun, Hasan Hanafi, ini. Oleh sebab itu, bisa dikatakan Nasir Hamid Abu Zayd, Mohammad bahwa ini benar-benar memberikan Syahrur, Khalil Abdul Karim, Amina harapan pada masa depan NU dan Wadud, Fatima Mernisi, Rifat Hasan nasibnya. (Zuhairi Mizrawi, 2003) dan banyak lagi. Anak-anak muda Perubahan-perubahan yang demi- NU seperti , Syafiq kian cepat tidak bisa dilewatkan Hasyim, Abdul Moqsith Gazali, Zuhairi karena kontribusi Abdurrahman Misrawi, Rumadi, Hamami Zada, Jadul Wahid sebagai Ketua Umum PBNU Maula, Imam Aziz, Mujiburrahman yang cukup lama sebelum digantikan adalah sekian nama-nama anak Hasim Muzadi. Abdurrahman Wahid muda NU yang memiliki akses pada tampak jelas sekali member literature Islam kontemporer dan perlindungan dan pijakan pada NU

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 229 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

dan anak-anak mudanya dalam yang bergabung dengan PKB adalah berpikir dan bertindak sehingga kaum muda yang berkultur politisi, tidak lagi gamang.Memang pada bukan intelektual yang bisa dijadikan akhirnya Abdurrahman Wahid sebagai tumpuhan dan harapan berkibar dengan PKB yang didirikan masa depan NU. Termasuk menjadi bersama kiai-kiai teman sejawat tumpuhan menjaga civil society dan Abdurrahman Wahid.Sejak ini civil Islam.Civil society dan civil Islam memang tampak terlihat kontribusi dalam NU kita tumpahkan pada kaum Abdurrahman Wahid dalam mem- muda NU yang berkultur intelektual berikan arahan pada pemikiran ulama bukan politisi apalagi Islam kalangan muda NU sedikit bromocorah, politisi kutu loncat yang berkurang. Namun begitu, akar-akar hanya mencari keuntungan pribadi pembaruan yang telah ditanamkan dan keluarganya. Abdurrahman Wahid telah menjadi Mendasarkan pada apa yang trde mark di NU, sehingga tidak kita perhatikan dalam NU, sangat terpengaruh untuk berhenti dalam jelas jika NU dikatakan memenuhi membuat terobosan-terobosan persyaratan karena memiliki basis baru dan segar sehinggaNU tetap massa yang kuat ikatan primordial- diperhitungkan oleh Negara dan emosional yang mendasar untuk masyarakat Islam tingkat nasional mendorong tumbuhnya civil society maupun internasional. NU benar- dan civil Islam. Ikatan emosional benar menjadi salah satu penjaga dan primordial pada pesantren dan gawang civil society dan civil Islam Islam yang moderat adalah salah yang konsisten. (Laode Ida, 2004, satu penyebab utama mengapa NU Djohan Effendi, 2008) tidak banyak terengaruh dengan Itulah sebabnya mengapa gerakan-gerakan Islam transnasional NU tetap bisa dikatakan sebagai yang berkultur Islam politik dan kekuatan civil society, karena secara revivalism Islam. Ikatan primordial cultural maupun struktural dapat dan emosional NU pada kiai-kiai dan bergerak dalam langkah yang penuh pesantren membuat daya tahan liku-liku dihadapan Negara dan NU lebih siap berhadapan dengan Islam Indonesia. NU Muda menjadi gerakan-gerakan Islam transnasional kekuatan terendiri dalam menjaga seperti HTI dan Ikhwanul Muslimin, Khittah 1926, sehingga tidak banyak ketimbang Muhammadiyah yang anak-anak muda NU yang bergabung tampak sekali “limbung” menghadapi dalam partai PKB, sekalupun gerakan gencar Islam transional. didirikan oleh Abdurrahman Wahid Muhammadiyah sempat mebuat dan kiai-kiai kolega Abdurrahman edaran untuk membendung gerakan Wahid. Sebagian kaum muda NU radikal Islam transnasional secara

230 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

resmi.NU juga membuat pertemuan dikerjakan dalam menghadapi di pondok Pesantren Genggong gerakan Islam transnasional tahun 2007 untuk merespon sebenarnya dapat pula dibaca gerakan radikal Islam transnasional sebagai aktivitas yang diagendakan sebagaimana Muhammadiyah me- untuk tetap membawa NU pada jalur respons. Islam cultural. NU tetap diposisikan Agaknya sikap NU dan Mu- sebagai gerakan Islam yang mampu hammadiyah terhadap gerakan diharapkan untuk terus melanjutkan Islam transnasional merupakan tradisi perkembangan pemikiran respon yang dilakukan untuk Islam yang akan menjadi pedoman menghentikan agar gerakan radikal di masyarakat sebab NU memiliki Islam transnasional tidak mewabah jamaah yang besar di Indonesia. kemana-mana sehingga Islam yang Sekalipun belum pernah ada moderat dan non politik dalam NU sensus penduduk penganut NU, dan Muhammadiyah tidak terus tetapi realnya jumlah penganut berkembang. Dampak dari sikap NU NU memang dapat dilihat sangat dan Muhammadiyah atas gerakan besar di Indonesia.Klaim yang selalu Islam transnasional akhirnya dikatakan adalah bahwa jamaah NU memang menjadikan hubungan tidak kurang dari 35 juta jiwa sampai NU dan Muhammadiyah semakin 45 juta jiwa.Alasannya sederhana erat menghadapi gerakan Islam saja dengan banyaknya jumlah transnasional yang telah bergerilya pesantren di Indonesia mencapai 45 sejak tahun 1980-an di Indonesia ribu dan jamaah sholat Idul Fitri dan melalui kampus-kampus. Sikap NU Idul Adha di masjid-masjid seluruh secara khusus atas gerakan Islam Indonesia. transnasional juga dapat dibaca Selain memiliki jamaah yang dalam kaitannya dalam menjaga demikian besar, NU juga memiliki keberlangsungan NU dan agenda isu-isu yang sangat konprehensif Islam yang moderat. Menjaga agar untuk kemajuan bangsa dan NU tetap pada jalur Islam yang perkembangan peradaban umat toleran dan akomodatif dengan manusia (khususnya Indonesia) kultur local dan keindonesiaan, seperti pemberantasan korupsi, bukan kultur arabisasi. NU dengan perbaikan kepemimpinan tegas merumuskan bahwa NU adalah nasional, good governance, dan Islam berkultur keindonesiaan bukan agenda demokrasi.Semua isu ini Islam berkultur Arabisasi atau Islam biasanya dibahas dalam bahsul berkultur transnasional apalagi Islam masail (musyawarah para alim Taliban, Wahabi dan Yamani. ulama NU) untuk membabas Dengan gerakan NU yang berbagai perkembangan yang

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 231 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

terjadi di Indonesia dan global. memberontak Negara akan Isu-isu yang demikian banyak berpengaruh sangat besar pada menandakan jika NU sebenarnya perkembangan politik nasional merupakan organisasi Islam yang bahkan internasional. (Qodir, 2010) sangat konsen terhadap masalah Kekuatan lain atau potensi yang keindonesiaan dan kebangsaan. sangat luar biasa dimiliki NU selain Selain isu isu-isu ini juga dibahas kader yang demikian banyak dan isu-isu tentang keorganisasian dan juga jamaah, maka NU juga memiliki masalah fikih serta kemajuan umat jaringan umat yang menyebar Islam,khususnya NU. (Bruinessen, diseluruh Indonesia bahkan 1994) menyebar ke pelbagai negara di Isu-isu seperti fikih perempuan, isu kawasan Asia, Eropa, Amerika dan Negara Islam, pluralism,hubungan Oceania. Jaringan yang demikian antaragama tidak luput pula kuat memberikan dasar-dasar yang menjadi perhatian NU. Oleh sebab sangat jelas jika NU bukan saja itu, dengan jelas dapat dikatakan organisasi social keagamaan yang bahwa NU sebenarnya memiliki berdiri di Indonesia (organisasi local) spectrum isu yang demikian luas. tetapi dalam tradisi gerakan social, Soal isu korupsi bahkan bersama- NU sebenarnya dapat dikaegorikan sama dengan Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi melakukan kampanye gerakan anti gerakan social yang berbasis massa korupsi sekalipun dampaknya tidak dan jaringan sangat kuat di dalam demikian hebat, namun tampaknya maupun luar negeri. Memiliki tokoh- memberikan terapi pada pada tokoh penggerak dan isu yang isung pemerintah untuk melakukan sebagai trade mark atau sebagai gerakan pemberantasan korupsi “basis ideologis” sehingga jika hendak secara bersar-besaran.Dalam bergerak tidak ragu-ragu dan harus aktivitas ini bisa dikatakan NU dan memutar haluan terlebih dahulu. NU Muhammadiyah adalah pioneer, secara embrional sudah sangat layak karena sebelumnya tidak pernah ditempatkan sebagai organisasi dilakukan kerjasama yang massif gerakan social yang dapat bergerak untuk aktivitas krusial berkaitan dalam level cultural sekaligus dalam dengan masalah bangsa. Dari aktivitas level politik yang strategis. NU seperti itu sebenarnya dapat Kekuatan sebagai masyarakat dibaca bahwa NU memang memiliki sipil lainnya dari NU adalah memiliki potensi sebagai kekuatan penekan basis ideologi yang cukup memadai sekalipun bukan pemberontakan sebagai arah pergerakan jamiah. sipil, sekalipun sebenarnya jika Ideology sunnah wal jamaah (ahlu NU dan Muhammadiyah hendak sunnah wal jamaah-aswaja) yang diderifasi dari mazhab suni yang

232 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

Syafii, menempatkan NU sebagai social keagamaan. Hal ini menjadi organisasi social keagamaan yang penyebab lain, sebab organisasi ternyata sangat moderat sekaligus politik seperti partai politik, atau lentur dalam berhadapan dengan lembaga seperti legislative tidak kultur local dan Indonesia. NU dengan pula mendapatkan kpercayaan kultur aswaja menempatkan dirinya sebagaimana ormas keagamaan. berbeda dengan Muhammadiyah Dengan begitu ada bukti lain lagi yang berkultur non mazhab (kecuali bahwa di Indonesia, organisasi ar ruju illa quran dan sunnah), keagamaan masih mendapatkan namun belakangan tampak lebih tempat di hati masyarakat, pada saat Wahabi karena pengaruh pemurnian Islam model Mohammad Ibn organisasi-organisasi social politik Abdul Wahab dari semenanjung mengalami kemerosotan tajam Arabia. NU sangat jelas memiki dalam hal kepercayaan masyarakat. basis ideologis aswaja yang nyaris Mengapa masyarakat berharap tidak dapat ditawar sehingga yang pada Muhammadiyah dan NU, terjadi kemudian adalah terjaidnya sekalipun secara tidak langsung memberikan beban pada reorientasi dan reinterpretasi atas Muhammadiyah dan NU, tetapi aswaja sebagai “doktrin fikih” dan berarti Muhammadiyah dan NU “doktrin siyasah” NU sepanjang tetap merupakan ormas keagamaan hayatnya. Mungkin suatu saat NU yang dipandang memiliki kredibilitas. akan bergerak cenderung pada Beberapa harapan warga negera fikih atau keagamaan, tetapi suatu pada NU hemat saya didasarkan saat akan cenderung pada politik, pada adanya fakta-fakta sebagai semuanya terletak pada doktrin berikut: aswaja tersebut. Pertama, Muhammadiyah dan NU merupakan ormas Islam yang Berharap pada Muhammadiyah memiliki jamaah besar (selalu dan NU mengklaim lebih dari 45 juta jamaah Sebagai ormas yang besar, NU dan 35 juta Muhammadiyah) di agaknya wajar bila banyak orang seluruh indonesia, sebuah jumlah Islam bahkan diluar Islam berharap fantastik untuk sebuah ormas. pada Muhammadiyah dan NU Jumlah ini tentu akan bertambah tentang beberapa hal.Hal ini ketika jumlah penduduk bertambah sekaligus menjadi pertanda bahwa banyak. Jika model perhitungannya ormas keagamaan (Islam) masih mengikuti jumlah penduduk diberi kepercayaan oleh warga Indonesia yang menjalankan sholat Negara, hal itu menandakan bahwa Idul Fitri dan Idul Adha di Masjid organisasi di luar keagamaan tidak atau di ruangan maka tentu saja dipercaya sebagaimana organisasi saat terjadi hujan akan semakin

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 233 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

banyak. Dalam bahasa lain, klaim Pesantren NU menurut zamakhsyari NU atas jumlahnya sekalipun masih Dhofier Sampai tahun 2012 mencapai bisa diperdebatkan tetapi akal sehat 30.000, dan setiap tahunnya naik tentu jumlah yang banyak untuk 2000. Sedangkan secara jamiah, sebuah ormas keagamaan. Potensi Jamaah Muhammadiyah dan NU itu tentu saja jika dimanfaatkan dan 20 % Islam Indonesia, dari 88,7 %, dikelola secara maksimal akan dapat dari total penduduk 240 juta (tahun menghasilkan banyak ha, termasuk 2013). Hal ini merupakan kekuatan gerakan politik dan intelektual. Muhammadiyah dan NU.(Zamahsyari Dan saya kira karena jumlahnya Dhifier, Tradisi Pesantren, LP3ES, edisi yang fantastic itulah, dalam Pemilu revisi 2009) Indonesia NU senantiasa menjadi Kedua, dengan semangat kembali idola partai dan calon-calon anggota ke Khittah Muhammadiyah tidak dewan maupun calon presiden dan berpolitik praktis tetapi politik wakil presiden.Dalam beberapa kali kebangsaan dan NU kembali pada Pemilihan Kepala Daerah Bupati Khitah 1926, Muhammadiyah dan ataupun Gubernur, NU bersama NU akan menjadi penyangga civil pesantren cenderung menjadi salah society dan civil Islam, sekaligus satu pendukung kandidat, sehingga sebagai gerakan kembali ke ranting membawa dampak pada NU dan di Muhammadiyah dan kembali pesantren.Demikian pula dengan ke pesantren di NU merupakan Muhammadiyah di daerah daerah. upaya memajukan bangsa ini dari Muhammadiyah sampai sekarang kebodohan, dan keterbelakangan. memiliki Amal Usaha Muhammadiyah Sebagai ormas Islam, Muhammadiyah (AUM) berupa sekaolah, rumah pernah terlibat dalam Masyumi dan sakit, panti asuhan, masjid, mushola NU pernah menjadi partai politik dan Balai Pengobatan (BKIA) yang dan mengikuti Pemilu tahun 1955 jumlahnya mencapai ratusan sampai Pemilu 1971, namun hasilnya ribu sehingga sangat membantu bisa dikatakan tidak memuaskan. negara. Sekolah lebih dari 14.000, Apalagi setelah ada kebijakan dari hanya pondok pesantren saja yang rezim Orde Baru bahwa ormas hanya 500 buah. Sementara itu, keagamaan dilarang menjadi partai NU, memiliki Amal Usaha Nahdlatul politik dan dicurigai maka NU Ualama (AUNU) seperti pondok kemudian melebur dengan PPP yang pesantren (sekalipun deket dengan terdiri dari banyak kelompok Islam sosok kyai ketimbang milik NU), di Indonesia termasuk di dalamnya rumah sakit, sekolah termasuk PT, adalah Masyumi yang juga pernah perbankan (BPRNU), serta Balai menjadi peserta Pemilu tahun 1955. Pengobatan, dan tentu saja LSM. NU bergabung dengan PPP untuk

234 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

menjadi partai penyalur aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat menjadi umat Islam khususnya umat NU presiden ke tujuh kalinya sebelum tetapi PPP dianggap mengecewakan akhirnya dilengserkan oleh gerakan NU.NU dengan demikian dalam masyarakat sipil, tentara, birokrat sejarahnya seringkali terlibat dan akademisi tahun 1998 karena dalam politik praktis.Oleh sebab tekanan dari banyak pihak dan factor- itu memang cukup berat jika NU faktor lain yang juga memberikan harus mengundurkandiri dari pengaruh pada lengsernya Soeharto gelanggang politikpraktis.Hal ini menjadi presiden ke tujuh kalinya. karena politik dan NU seakan-akan (Barton dalam Abdurrahman Wahid, sudah mendarah daging, tidak bisa 1999) dipisahkan sekalipun dalam banyak Muhammadiyah juga keluar kasus politik NU sebenarnya dapat dari keanggota istimewa Masyumi, dikatakan gagal.Banyak peristiwa kemudian tahun 1999 Mohammad membuat NU tidak mendapatkan mendirikan PAN hal yang diharapkan tetapi tidak pula yang dianggap partai orang kapok. Inilah daya juang NU yang Muhammadiyah bahkan partai hemat saya akan lebih baik diarahkan Muhammadiyah padahal bukan untuk membangun pesantren dan sama sekali. Orang Muhammadiyah organisasi (jamiah) NU itu sendiri. bebas berpartai tidak harus di Dalam perjalanannya, NU pun PAN. Dimana saja boleh sekalipun keluar dari PPP atau tidak ada seringkali dianggap membangkang ikatan lagi dengan PPP, sehingga dengan Amien Rais ketika tidak di umat NU dberi kebebasan untuk PAN. memilih partai bahkan banyak kiai- Setelah itu, NU mendirikan kiai yang sebelumnya bermusuhan PKB dibawah Abdurrahman dengan Golkar sebagai partainya Wahid sebagai Dewan Syuro dan pemerintah bergabung dengan mengantarkan Abdurrahman Golkar.Perolehan suara Golkar pun Wahid menjadi presiden pengganti membengkak sementara suara Habibie, sebelumGus Dur juga di PPP menurun tajam. NU dengan lengserkan oleh MPR melaluia Sidang PPP berpisah dalam bulan madu, Istimewa MPR karena beberapa sementara berbulan madu dengan alasan. Sekalipun Abdurrahman Golkar sebagai partai pemerintah Wahid menyatakan terjadi kudeta yang didukung langsung oleh konstitusional atas pelengseran rezim Orde baru dibawah Soeharto dirinya dari kursi presiden.Sampai selama bertahun-tahun dari 1971 beberapa tahun kemudian PKB sampai 1997 sehingga Soeharto bahkan konflik menjadi dua (PKB terpilih secara aklamasi oleh Cipete dan PKB Gus Dur) maka kondisi

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 235 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

NU menjadi carut marut. Sekalipun yang mendalam. NU bahkan dapat sebagian orang menyatakan dikatakan sebagai pecundang bukan itulah model Gus Dur melakukan pemenang sebagaimana harapan pendidikan politik pada NU tetapi rakyat Indonesia atas ormas Islam tetap saja berpengaruh jelek pada yang besar ini. NU di masa depannya. Sekarang ini Dengan jumlah perguruan tinggi ada kecenderungan PKB dengan NU dan amal usaha Muhammadiyah dibedakan dan dipisahkan, dan jika sera pesantren yang demikian hal ini berhasil agaknya masa depan banyak maka jika dikelola dengan NU akan lebih tertata ketimbang maksimal, Muhammadiyah dan senantiasa digabungkan dengan NU akan menjadi kekuatan yang partai politik, apakah PKNU, PPNU dahsyat sebagai embrio gerakan maupun PKB bahkan PPP. (Asep social sehingga Muhammadiyah dan Saeful Muhtadi, 2004) NU semakin diperhitungkan dalam Ketiga, dengan memiliki lebih dari kancah politik nasional bahkan 183 Perguruan Tinggi dan amal usaha internasional. Muhammadiyah diatas lima ribu Muhammadiyah dan NU juga akan menjadi sebuah jelas sangat berpengaruh di gerakan cultural yang sangat nusantara. Demikian pula dengan dahsyat ketika perguruan tinggi NU. Dengan memiliki lebih 30 Muhammadiyah dan pesantren ribu pesantren, NU akan menjadi dikelola sebagai tempat pendidikan kekuatan yang luar biasa jika dikelola atau kaderisasi keilmuan Islam yang dengan maksimal, menghilangkan mumpuni, bukan terlibat dalam chauvinisme atas komunitas di luar tarik menarik politik praktis seperti pesantren. Pesantren sebagai basis ditunjukkan dalam beberapa decade civil society. Namun demikian jika sejak zaman Dr. hingga potensi yang demikian besar, jika Hasim Muzadi di tubuh NU dan tidak dikelola secara maksimal maka mengikuiti jejak Amien Rais dalam ada kekhawatiran Muhammadiyah Muhammadiyah. Abdurrahman dan NU akan menjadi ormas Islam Wahid pun sejatinya melanjutkan yang oleh pendirinya dijadikan tradisi politik penduhulu NU seperti sebagai pembawa obor Islam Idham Chalid, bahkan Wahab toleran, Islam moderat menjadi Chasbullah dan Yusuf Hasyim Paman Islam yang benar-benar sectarian Abdurrahman Wahid. (Asep Saeful dan lebih tampak dalam dimensi Muhtadi, 2004). Muhammadiyah politik praktisnya. Jika hal ini sampai politik pun telah dimulai pada terjadi maka harapan rakyat atas zaman Ki Bagus Hadikusumo Islam pada Muhammadiyah dan dan Djarnawi Hadikusumo serta NU akan menuai kekecewaan KH.Mas Mansoer menjadi pimpinan

236 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

pusat Muhammadiyah dahulu. Jika selama ini baik Muhammadiyah Muhammadiyah menjadi sangat atau NU seakan-akan menunggu jatah cultural di zaman AR Fahruddin “kursi” jabatan dari Negara, maka dan Ahmad Azhar Basyir dan Syafii sudah seharusnya Muhammadiyah Maarif. dan NU berpikir kritis bahwa Keempat, Muhammadiyah Negara yang harus sadar pada dan NU dengan sumber daya sumbangan Muhammadiyah dan NU manusia yang “mumpuni” sebagai dalambanyak dimensi. Sumbangan ulama, kiai, cendekiawan, politisi, dalam hal pembelaan Negara, pengusaha sekalipun mulai rapuh, sumbangan dalam hal pendidikan, memiliki potensi yang luar biasa ekonomi, kesehatan dan aktivitas besar dihadapan partai politik, cultural lainnya, maka Negara yang pemerintah dan para pemberi uang harus bertanggung jawab dan (donor) atau pengusaha itu sendiri. berkewajiban untuk melibatkan Muhammadiyah dan NU dengan warga Muhammadiyah dan NU sendirinya akan mampu menjadi dalam membangun Negara.Bukan “Negara dalam Negara” apabila sebaliknya Muhammadiyah dan NU Negara-dalam hal ini pemerintah yang mengendap-endap dihadapan sembrono pada Muhammadiyah Negara untuk mendapatkan jatah. dan NU. Kekuatan Muhammadiyah Bukankah orang Muhammadiyah dan NU akan mampu menjadi dan NU itulah yang harusnya diberi kekuatan “pembangkang” ketika hak, bukan meminta haknya pada Negara mengalami kegagalan dalam Negara.Negara yang sadar akan mensejahterakan warga Negara yang warganya akan dengan sendirinya seharus disejahterakan sebagaimana memberikan haknya kepada warga amanat undang-undang. Dihadapan yang telah berkorban dalam banyak para politisi rabun ayam.Dihadapan hal. Tidak boleh terjadi dalam pengusaha hitam, para bajak laut, Muhammadiyah dan NU melakukan kecu, para bandit dan mafia hukum. sowan-sowan politik yang bertujuan Dihadapan elit agama yang rakus mengharapkan “limpahan berkah” dan cendekiawan selebrities yang dari Negara dalam kekuasaan. lebih berperan sebagai iklan produk Bahkan, Muhammadiyah dan NU tertentu dan iklan pemerintah yang harus mengontrol Negara agar tidak kalap, Muhammadiyah dan NU gagal dalam mengelola Negara dan harus mampu berdiri dengan kepala integrasi bangsa.Negara yang harus tegak bahwa Muhammadiyah dan sadar dengan sendirinya. NU tidak perlu mengemis jabatan Kelima, Muhammadiyah dan NU dan kekayaan pada Negara yang dapat menjadi kekuatan mandiri gagal mensejahterakan rakyatnya. dengan kekuatan jamaah yang

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 237 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

banyak, asal dikelola dengan mandiri. Namun NU yang besar tetap maksimal sehingga tidak perlu akan terus “bertengadah tangan” panik tatkala tidak ada dana dari pada Negara dan donor ketika potensi luar Muhammadiyah dan NU. Jika yang ada tidak diorganisir dengan dalam dunia intelektual NU dengan baik apalagi jika yang terjadi pada pesantrennya dapat menghasilkan NU adalah tumbuhnya mentaitas intelektual-intelektual NU atau “pengemis” pada Negara dan donor intelektual muslim yang mumpuni, untuk sebagian besar aktivitas maka dengan kekuatan jamaah jamiah. Program lembaga swadaya dan pesantren jika dikelola dengan masyarakat “kaki tangan NU” baik maka NU sebenarnya tidak sebenarnya telah dengan sempurna perlu ragu dengan pendanaan. menciptakan ketergantungan NU Dana yang besar pun sebenarnya pada lembaga donor. Tetapi benar dapat diperoleh NU asalkan jamaah bahwa lembaga-lembaga sayap pesantren dikelola dan diberi NU perlu aktivitas da dana tetapi pengetahuan tentang kehebatan mungkin perlu dipikirkan dana yang kemandirian dalam hal pendanaan akan dipakai sebagai pembiayaan sehingga tidak perlu menunggu aktivitasnya. Bukan donor uluran tangan pihak lain, termasuk internasional atau Negara hemat saya pemerintah maupun donor agency. adalah salah satu pilihan yang dapat Jika NU mampu menggalang dana dikembangkan. Abdurrahman Wahid dengan kemandirian dari pesntren pernah mencoba membuat Bank maka kekuatan NU dihadapan Persyarikatan NUSUMA sekalipun Negara dan pihak lain akan semakin bankrupt agaknya bisa dipikirkan nyata. Disinilah NU akan benar- kembali bentuk-bentuk usaha lain benar membuktikan sebagai gerakan untuk membiayai NU dan seluruh masyarakat sipil yang mandiri secara aktivitasnya disamping memungut pendanaan bukan tergantung pada iuran jamaah. Muhammadiyah pun pihak lain, sekalipun mendapatkan dapat menghidupkan kembali Bank dana dari Negara dan agency yang Persyarikatan secara professional. memberikan dana bukan tanpa Hal yang sama juga dapat tujuan apapun, tetapi senantiasa dilakukan oleh Muhammadiyah, memiliki agenda-agenda yang jika dengan perguruan tinggi hendak disampaikan pada penerima yang demikian banyak (183) dike- dana. lola dengan maksimal untuk Sebagai jamiah yang memiliki menumbuhkan gerakan intelektual jamaah besar, NU memang potensial dan cultural serta menggali potensi untuk menggalang dana sehingga dana yang mandiri maka akan dapat membiayai organisasi secara menjadi kekuatan yang sangat

238 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

besar. Muhammadiyah tidak perlu harus menjadi kekuatan sipil yang khawatir ketika sumber sumber mampu menghadang tumbuhnya dana dari internasional funding kongkalikong: Elite Politik yang tidak ada atau berhenti akan kolap. korup, busuk dan kotor; elit agama Demikian pula ketika Negara tidak yang gila penghormatan dan mata memberikan “jatah pejabat” pada duitan, serta pengusaha yang rakus Muhammadiyah, Muhammadiyah dan menindas rakyat. tidak perlu khawatir bukankah dahulu Muhammadiyah berdiri Penutup ketika Indonesia belum merdeka dan bisa berbuat untuk Masyarakat Untuk mengantisipasi dan sipil bersama NU. Disinilah perlunya meminimalisasi efek negatif melakukan revitalisasi gerakan dari berbagai persoalan di atas, kemandirian yang terdapat dalam seyogyanya semua elemen bangsa, diri Muhammadiyah dan NU bukan tertutama para tokoh/pemuka berharap pada pemberian pihak lain agama, masyarakat (dari berbagai yang cenderung mengkerangkeng macam unsur) harus bersatu-padu, kebebasan beraktivitas. Kesan duduk bersama, dan menyamakan yang terjadi selama ini bahwa visi guna menjaga masa depan Muhammadiyah dan NU seakan- pluralitas serta integritas bangsa akan harus mendapatkan jatah ini. Ulama sebagai tokoh agama kekuasaan harus disingkirkan jauh- sekaligus tokoh bangsa tidak boleh jauh, sebab hal itu benar-benar akan berpangku tangan apalagi menjadi merusak kemampuan kemandirian pemicu sekaligus [provokator Muhammadiyah dan NU dalam terjadinya konflik sosila, politik dan berkarya dalam membangun budaya yang ada di tanah air. Ulama bangsa. Jika terdapat pejabat harus hadir menjadi perekat bangsa berlatar belakang Muhammadiyah (integrating factor) bukan disitegreting atau NU hal itu harus dilihat bukan factor dengan kutbah-kutbah sebagai “jatah” dari ormas, tetapi maupun ceramah-ceramah yang karena profesionalisme dan lebih cenderung menghakimi, menghujat, berhubungan dengan partai politik, memupuk dendam kesumat dan bukan karena ormas. Jika orang kemarahan umat atas umat lainnya Muhammadiyah dan NU masih baik seagama atau pun tidak satu beranggapan bahwa harus dapat agama. Kehadiran para ulama “jatah” maka dengan sendirinya telah dalamm membangun serta menjaga meruntuhkan tradisi kemandirian keutuhan NKRI dan menjaga Muhammadiyah dan NU itu kindonesiaan menjadi pertaruhan sendiri. Muhammadiyah dan NU sebab Indonesia merupakan negara

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 239 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

dengan penduduk muslim terbesar catatan Bahtiar Effendy, pada masa di muka bumi, mencapai 88,7 % akhir tahun 1989 sampai dengan total penduduk Indonesia yang 1998 sebenarnya Orde Baru dibawah berjumlah 240 juta jiwa. Jumlah 88,7 Soeharto sangat akomodatif ter- persen merupakan jumlah yang hadap umat Islam Indonesia, setelah sangat besar untuk ukuran negara sebelumnya dapat dianggap cukup bukan berdasarkan agama tertentu jauh dengan Islam Indonesia. tetapi menjadikan nilai-nilai agama Berbagai bukti akomodatif rezim menjadi bagian tak terpisahkan Orde Baru antara lain disyahkannya dalam mengatur dan menjalankan UU Peradilan Agama (UUPA) tahun roda pemerintahan. 1989, didirikannya Bank Muamalat Sepanjang perjalanan Indonesia, Indonesia (1989), diperbolehkannya baik zaman Orde Lama, maupun siswa-siswa sekolah negeri dari SD- Orde Baru umat Islam Indonesia telah SMA memakai jilbab dan dikantor- banyak mendapatkan kesempatan kantor (1989), tahun 1990 berdirinya yang dapat dikatakan cukup memadai ICMI dengan Ketua BJ. Habibie, dalam hal keterlibatannya dalam berdirinya Museum AL Quran di TMII politik Indonesia. Berbagai macam (1991), diadakan Festival Budaya keterlibatan ulama di Indonesia Islam Nusantara sejak tahun 1992. dapat kita saksikan dari berbagai Dan jangan lupa berdirinya masjid- aktivitas yang dilakukan para ulama masjid AMAL Bakti Muslim Pancasila dalam Majlis Konstituante (MPR) diseluruh Indonesia, selama 1989- Era Orde Lama yang terlibat dalam 1991 mencapai 2.300 buah dengan Partai Masyumi, NU maupun SI. biaya dari negara dan dengan Bahkan, Perdana Menteri M. Natsir fasilitas memadai sebagai masjid. merupakan pimpinan tertinggi (Majli Oleh sebab itu, dibutuhkan oleh Islam Ala Indonesia) yang kemudian para ulama atau pun elit agama- kita kenal adalah Presiden Masyumi, agama kita adalah kemampuan sekalipun dalam perjalanan berkomunikasi yang kontekstual selanjutnya dipenjarakan oleh dengan kondisi realitas masyarakat Soekarno dan Masyumi di bubarkan, Indonesia. Bahasa yang kontekstual SI dan NU pun dilebur dalam partai adalah Bahasa yang sesuai dengan Parmusi yang akhirnya berubah kondisi kaumnya, bukan berbahasa dalam era Orde Baru dalam Partai seenaknya sendiri sekalipun Persatuan Pembangunan. akan membuat pertengkaran, Kita juga dapat menyaksikan perpecahan bahkan kemarahan bagaimana sikap akomodatif politik dikalangan umat. Ulama seperti ini Orde Baru terhadap umat Islam harus dicegah untuk menyampaikan dan para ulama Indonesia. Menurut pesan-pesan keislaman sebab akan

240 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

banyak madlaratnya ketimbang manfaatnya untuk Indonesia. Indonesia kita sadari sebagai negeri bukan berdasarkan agama tertentu sekalipun Islam merupakan agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Indonesia. Namun harus disadari sejak awal bahwa para ulama dan elit agama-agama dalam perjuangan kemerdekaan telah bersedia menjadikan Indonesia sebagai agama yang menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan berbangsa dan bernegara serta pandangan hidup bangsa Indonesia. Secara khusus peran ulama-ulama Muhammadiyah dan NU secara resmi organsiasional telah menyepakati Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dan pandangan hidup Indonesia.

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 241 Kebebasan Beragama dan Negara Kebebasan Beragama dan Negara

Bacaan Misrawi, Zuhairi, Menggugat Tradisi, Pergulatan Pemikiran Anak Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni Muda NU, Kompas, P3M, Jakarta di Pedesaan Jawa, 2001 2005 A.Jainuri, Ideologi Kaum Reformis, Muhtadi, Asep Saeful, Komunikasi LPAM, 1997 Politik NU, LP3ES, Jakarta 2004 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Nur Khalik Ridwan, Islam Murni: Bingkai Keindonesiaan, 2009 Kritik atas Nalar Islam Borjuis, Azyumardi Azra dkk, Islam Mazhab Ircisord, 2006. Tengah, Grafindo Persada, 2006 Pramnono U Thantowi, Muha- Bahtiar Effendy, Islam dan mmadiyah Digugat, Kompas, 2000 Negara, Paramadina, 2005 Qodir, Zuly, Radikalisme Agama Bruinessen, Martin van, NU: Tradisi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana, LKIS, Yogyakarta, 2014 Jogjakarta, 1999 Robert W Hefner, Civil Islam, Effendi, Djohan, A Renewal Princenton University, 2000 Without Breaking Tradition, Interfidei, Salim, Hairus, dan Muhammad Yogyakarta, 2008 Ridwan (ed), Kultur Hibrida, Anak Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Muda NU di Jalur Kultural, LKiS, Serambi, 2001 Jogjakarta 1999 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Wahid, Abdurrahman, Prisma di Indonesia, LP3ES, Jakarta 1987 Pemikiran Gus Dur, LKis, Jogjakarta 1999 Dhofier, Zamahsyari, Tradisi Pesantren: pandangan hidup dan Wahid, Abdurrahman Wahid, perilaku kiai, edisi revisi, LP3ES, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, The Jakarta, 2009 Wahid Institute, Jakarta 2006 Ida, Laode, NU Muda Kaum Wahid, Abdurrahman, Islam Progresif dan Sekularisme Baru, Kosmopolitan, the Wahid Institute, Erlangga, Jakarta 2004 Jakarta 2007 Kuntowijoyo, paradigm Islam, Yunahar Ilyas Dkk, Respon atas Interpretasi islam untuk Aksi, Mizan, Liberalisme Muhammadiyah, LPSI 1997 UMS, 2006 Kleden, Ignas, Intoleransi dan Keindonesiaan, dalam Masyarakat Warga (St. Sularto, ed) Penerbit Buku Kompas, , Jakarta, 2001

242 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 Kebebasan Beragama dan Negara KebebasanAturan Penulisan Beragama Naskah dan J URNALNegara HAM Komnas HAM

Aturan Penulisan Naskah Jurnal HAM Komnas HAM

1. Isi naskah tidak bertentangan dengan visi, misi, tugas dan fungsi Komnas HAM. 2. Isi naskah mempunyai arti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. 3. Isi naskah mampu menampilkan sesuatu yang baru terkait dengan teori dan/atau metode ilmu terbaru yang terkait dengan persoalan hak asasi manusia. 4. Naskah disusun secara sistematis, dapat dan mudah dimengerti oleh pembaca. 5. Naskah yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggungjawab pribadi penulis yang bersangkutan. 6. Isi naskah disesuaikan dengan topik yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM. 7. Naskah belum pernah diterbitkan atau tidak sedang dalam proses pengajuan untuk diterbitkan di media lain. 8. Naskah bisa berasal dari ringkasan hasil penelitian, survai, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis, mencerahkan dan membuka wawasan. 9. Setiap penulis akan mendapat 2 buah jurnal yang telah terbit sebagai tanda bukti. 10. Penulis jurnal dapat berasal dari internal Komnas maupun eksternal Komnas HAM. 11. Dengan mempublikasikan karyanya melalui Jurnal HAM Komnas HAM maka penulis otomatis menyerahkan hak cipta (copyright) artikel secara utuh (termasuk abstrak, tabel, gambar, bagan, ilustrasi) termasuk hak untuk menerbitkan ulang dalam semua bentuk media kepada Komnas HAM. 12. Penulis wajib menyertakan curriculum vitae dan foto diri (kalau bisa foto yang terbaru). 13. Naskah dikirim dalam 2 bentuk yaitu: 1. File elektronik, 2. Naskah tercetak yang ditujukan ke Pengelola Jurnal HAM Komnas HAM. 14. Ketentuan Teknis: a. Naskah ditulis dengan format penulisan ilmiah (dilengkapi dengan catatan kaki dan daftar pustaka) menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Naskah diketik dengan menggunakan program microsoft word (windows). b. Panjang naskah antara 50 ribu sampai 70 ribu character / huruf (no spaces) atau sekitar 8 ribu sampai 10 ribu kata termasuk catatan kaki (footnote). c. Tulisan ditulis dengan menggunakan jenis huruf Arial ukuran font 12. Ukuran spasi penulisan naskah adalah 1,5 spasi. d. Naskah dilengkapi dengan abstrak dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Abstrak hanya terdiri dari satu paragraf yang

Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014 243 Aturan Penulisan Naskah JURNAL HAM Komnas HAM

menggambarkan esensi isi tulisan secara jelas dan lengkap. Panjang abstrak sekitar 1000 sampai 1250 character / huruf (no spaces). e. Catatan Kaki. Semua rujukan pada tubuh tulisan, baik sumber yang merujuk langsung maupun tidak langsung, harus diletakkan di dalam catatan kaki dengan urutan nama lengkap pengarang, judul lengkap sumber, tempat terbit, penerbit, tahun terbit dan nomor halaman. Rujukan dari internet harap mencantumkan halaman http secara lengkap serta tanggal pengaksesannya. f. Tabel, gambar, bagan, dan ilustrasi harus mencantumkan dengan jelas nomor tabel/gambar/bagan/ilustrasi secara berurutan, judul serta sumber data. Keterangan tabel/gambar/bagan/ilustrasi diletakkan di bawah tabel/gambar/bagan/ilustrasi yang bersangkutan. g. Judul artikel harus spesifik dan efektif: • Maksimal 12 kata dalam tulisan Bahasa Indonesia • Maksimal 10 kata dalam tulisan Bahasa Inggris; atau • Maksimal 90 ketuk/spasi pada papan kunci (keyboard). h. Sistematika pembaban (hindari pembaban mirip penulisan skripsi dengan mencantumkan kerangka teori, pernyataan masalah, kegunaan penulisan, saran tindak lanjut dan sejenisnya). i. Penulis mencantumkan namanya di naskah tanpa disertai gelar akademis atau indikasi jabatan dan kepangkatan.

244 Jurnal HAM • Vol. 11 • Tahun 2014