SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 12 Nomor 1 Edisi Juni 2015 (51—63)

DARA JINGGA, WISRAN HADI: PARODI TERHADAP KEKUASAAN (, Wisran Hadi: a Power Parody)

Rusyda Ulva Sekolah Tinggi Keilmuan dan Ilmu Pendidikan Jalan Lintas Sumatera km 18 Koto Padang, Dharmasraya Pos-el : [email protected] (Naskah diterima: 5 Desember 2014, Disetujui: 10 Mei 2015)

Abstract This article uses Dara Jingga (1984) playscript by Wisran Hadi as the material object. The research was done by using the postmodern parody theory of Linda Hutcheon. Parody theory is utilized to find the implicit and explicit meanings as a new interpretation of the mythical and historical background of Dara Jingga script play. In so doing, it can reveal the author criticisms as an implementation of parodies in this act. The result of this research points out that the playscript of Dara Jingga is a parody of Dara Jingga or Bundo Kanduang myth and history text. Parody in this script play is a media used by the author to give a critical response toward power deviation which is done by power regime. The criticisms toward power that are being passed on among others: criticizing authoritarian government form which prevents the freedom of expressing opinion, criticizing the power holder that monopolizes history, and criticizing power that is carried on with violence. Keywords: parody, criticism, power

Abstrak Tulisan ini membahas naskah lakon Dara Jingga (1984) karya Wisran Hadi sebagai objek material. Pembahasan dilakukan dengan menggunakan teori parodi postmodern model Linda Hutcheon. Teori parodi digunakan untuk menemukan makna-makna implisit dan eksplisit sebagai interpretasi baru dari penyimpangan cerita mitos dan teks sejarah yang menjadi latar penciptaan lakon Dara Jingga. Dengan demikian, dapat mengungkap kritikan-kritikan pengarang sebagai implementasi dari parodi dalam lakon ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa naskah lakon Dara Jingga merupakan parodi dari mitos Dara Jingga atau Bundo Kanduang serta teks sejarah Pamalayu. Parodi dalam naskah lakon ini merupakan media yang digunakan pengarang untuk memberi tanggapan kritis terhadap penyimpangan kekuasaan yang dilakukan rezim penguasa. Kritik yang ingin disampaikan mengenai kekuasaaan di antaranya mengkritik bentuk pemerintahan yang otoriter tanpa memberikan kebebasan berpendapat, mengkritik penguasa yang memonopoli sejarah, serta mengkritik kekuasaan yang dijalankan dengan menggunakan kekerasan. Katak kunci: parodi, kritik, kekuasaan

51

SET JUNI 15.pmd 51 11/3/2017, 10:41 AM SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 12 Nomor 1 Edisi Juni 2015 (51—63)

1. Pendahuluan mitos Dara Jingga dan teks sejarah Pamalayu Salah satu persoalan masyarakat yang sebagai latar penciptaan. Latar peristiwa itu sering dibicarakan dalam sebuah karya sastra berkaitan dengan sejarah zaman kerajaan adalah kekuasaan. Kekuasaan mengacu pada Swarnabumi-Darmasraya, Singosari, sampai suatu jenis pengaruh yang dimanfaatkan si . Sehubungan dengan latar kerajaan objek, individu, atau kelompok terhadap yang tersebut, maka peperangan, perebutan lainnya (Martin, 1990:69). Semenjak zaman kekuasaan, dan hal-hal yang bersifat kekerasan modern, definisi kekuasaan diidentikkan menjadi pembicaraan utama dalam lakonDara dengan negara. Secara politis menurut Yoesoef Jingga. (2007:204), kekuasaan merupakan dasar untuk Dengan memanfaatkan mitos Dara melaksanakan pengaturan negara. Kekuasaan Jinggadan teks sejarah Pamalayu, Wisran Hadi dipandang sebagai alat untuk mencapai dan menghadirkan sesuatu yang baru dari mitos dan mempertahankan posisi tertentu dalam hierarki sejarah tersebut sebagai media dalam pemerintahan (kekuasaan politik). Dalam menyampaikan pikirannya. Tokoh-tokoh dalam menjalankan kekuasaannya, seorang pemegang mitos masyarakat Minangkabau, dalam naskah kekuasaan mempunyai berbagai kemungkinan, lakonDara Jingga dihadirkan dengan karakter antara lain melaksanakan kekuasaan secara yang berbeda. Meskipun alur naskah drama benar dengan dasar tujuan untuk mencapai ini hampir serupa dengan mitos dan sejarah, kesejahteraan dan melakukan pengawasan namun beberapa peristiwa baru muncul dalam sistem, atau kekuasaan dijalankan secara salah, naskah lakon ini, sebagai wadah yang yakni menggunakan kekuasaan untuk mendukung pikiran pengarangnya dalam kepentingan dan kemuliaan pemegangnya. mengkritisi persoalan di sekitarnya. Dalam hal ini muncullah praktik penyalahgunaan Sebagaimana hakikatnya sebuah karya sastra wewenang dan kekuasaan yang cenderung ‘melaporkan’ kehadiran sesuatu (peristiwa). menimbulkan anarki kekuasaan. Kehadirannya menyebabkan orang berpikir Penguasa yang memilih menjalankan tentang sesuatu yang tidak hadir, sedangkan kekuasaan secara salah akan menerapkan yang hadir hanya alat untuk memikirkan sesuatu berbagai kebijakan dan program kerja yang yang tak hadir tersebut (Junus, 1984:63—64). menguntungkan kepentingannya. Kondisi Peristiwa yang hadir dalam karya sastra seperti ini selalu menimbulkan ketidakadilan menjadi wadah untuk menyampaikan sesuatu sehingga berdampak dengan lahirnya karya- yang tidak hadir itu. Dengan demikian, mitos karya sastra yang bertemakan hal tersebut. dan teks sejarah merupakan wadah atau media Kritikan yang dilontarkan dalam karya-karya yang digunakan pengarang untuk sastra terhadap penguasa salah satunya adalah menyampaikan kritikan terhadap kekuasaan tindakan-tindakan penyimpangan yang yang terjadi. dilakukan dalam mempertahankan kekuasaan Berdasarkan hal tersebut, maka kritikan yang dimilikinya. Banyak upaya yang dilakukan terhadap kekuasaan merupakan persoalan yang rezim penguasa dalam mempertahankan ingin disampaikan Wisran Hadi dalam lakon kekuasaannya, antara lain berupa politik Dara Jingga. Dengan memanfaatkan mitos penaklukan yaitu memonopoli kekuasaan di Dara Jingga dan teks sejarah Pamalayu, tingkat nasional sampai daerah, mengaburkan Wisran Hadi menghadirkan sesuatu yang baru sejarah, merampas hak kebebasan dari mitos dan sejarah tersebut. Tokoh, alur, berpendapat, memarginalkan kebudayaan dan latar dalam mitos dan sejarah diparodikan daerah, sampai pada tindakan anarki. dalam bentuk baru, sebagai wadah untuk Fenomena tersebut juga ditanggapi Wisran menyampaikan kritikan terhadap fenomena Hadi dalam naskah lakon Dara Jingga (1984) yang terjadi di masyarakat. ini. Kritikan disampaikan Wisran Hadi melalui

52

SET JUNI 15.pmd 52 11/3/2017, 10:41 AM Rusyda Ulva: Dara Jingga, Wisran Hadi: Parodi terhadap Kekuasaan

Berdasarkan masalah di atas, maka Unsur parodi sering digunakan dalam rumusan masalah dalam penelitian ini mengenai karya seni termasuk karya sastra. Sindiran kritikan terhadap kekuasaan melalui parodi dalam bentuk memparodikan realitas lakon Dara Jingga. Berkaitan dengan hal itu, merupakan sebuah alternatif dalam maka objek formal dalam penelitian ini adalah memberikan kritikan ataupun menyampaikan kritikan terhadap kekuasaan yang terdapat di pesan moral kepada masyarakat pembaca. dalam karya sastra dengan menggunakan teori Meskipun gaya parodi sudah ada sejak dahulu, parodi postmodern Linda Hutcheon sebagai namun dalam perkembangannya parodi baru pisau analisisnya. Sedangkan, objek materialnya dikenal sebagai ilmu sejak posmodernisme ikut adalah naskah lakonDara Jingga yang termuat mempengaruhi dunia sastra. Berdasarkan hal dalam kumpulan drama Empat Sandiwara tersebut maka teori parody postmodern Linda Orang Melayu karya Wisran Hadi. Huthcheon akan digunakan sebagai pisau Penelitian ini secara teoretis bertujuan analisis untuk melihat kritikan yang terdapat untuk mengakumulasi ilmu dalam dalam naskah lakon ini. pengembangan dan penelitian sastra khususnya Seperti yang telah dikemukakan di atas drama, serta dalam penelitian yang bahwa parodi yang dikemukakan oleh menggunakan teori parodi. Selain itu, penulis Hutcheon adalah parodi postmodernisme. mengungkapkan kritik terhadap kekuasaan Istilah Posmodernisme sangat berkaitan erat dalam naskah lakon Dara Jingga. Adapun dengan apa yang disebut dengan modernisme tujuan praktisnya adalah untuk meningkatkan atau modernitas. Konsep posmodernisme apresiasi terhadap karya sastra terutama drama merupakan konsep yang sangat kompleks yang di kalangan civitas akademika dan masyarakat merupakan suatu aliran pemikiran besar yang umum. Selain itu, juga diharapkan merupakan negasi dari pemikiran sebelumnya, meningkatkan perhatian pada aspek parodi yakni modernisme. Menurut Hutcheon dalam karya sastra. Bagi para pembaca, (1988:50—53) posmodernisme memang tidak penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai dapat dilepaskan dari modernisme, tidak dalam referensi mengenai bentuk-bentuk karya yang hubungannya yang menegasikan, tetapi dalam berisi kritikan terhadap kekuasaan. hubungannya yang saling bergantung dan Sebagaimana yang telah diungkapkan memiliki dampak yang kompleks meskipun sebelumnya, kritik terhadap kekuasaan yang keduanya memiliki perbedaan. terdapat dalam naskah lakon ini dihadirkan Secara umum postmodernisme mengambil Wisran Hadi melalui tokoh-tokoh dengan latar bentuk pernyataan sadar-diri (self-conscious), mitos dan sejarah. Penyelewengan terhadap berkontradiksi dengan diri sendiri (self mitos dan sejarah sebagai suatu bentuk sindiran contradictory), dan menghancurkan diri sendiri dan kritikan inilah yang disebut sebagai parodi. (self-undermining). Postmodernisme seperti Tokoh Parodi menurut Teeuw (1984: 214) mengatakan sesuatu, tapi pada saat yang sama adalah tokoh-tokoh yang diambil dari karya menambahkan apostrof pada apa yang sastra yang secara berwibawa mewakili norma- dikatakan. Hal inilah yang menjadi ciri khas dari norma tertentu yang kemudian dipermainkan postmodernisme, yaitu komitmen ke arah dan ditertawakan. Sebuah parodi menisbikan kegandaan (doubleness), atau duplisitas dan meniadakan norma sastra, konteks, dan (Hutcheon, 2004:2—3). horizon harapan pembaca dengan Menurut Hutcheon, satu fitur utama yang mempermainkan atau menertawakan karya membedakan postmodernisme dari sastra yang secara berwibawa mewakili norma- modernisme adalah fakta itu “takes the form norma tertentu of self-conscious, self-contradictory, self-

53

SET JUNI 15.pmd 53 11/3/2017, 10:41 AM SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 12 Nomor 1 Edisi Juni 2015 (51—63)

undermining statement” (2004:1). Maka, yang bermaksud memahami fenomena tentang salah satu cara untuk menciptakan sikap ganda apa yang dialami oleh subjek penelitian secara atau bertentangan terhadap pernyataan apa pun holistik, dan dengan cara deskripsi dalam adalah penggunaan parodi: mengutip konvensi bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu hanya untuk bersenang-senang. konteks khusus yang alamiah dan dengan Hutcheon menjelaskan, “Parody—often memanfaatkan berbagai metode ilmiah. called ironic quotation, pastiche, Adapun langkah-langkah yang dilakukan appropriation, or intertextuality—is usually dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. considered central to postmodernism, both Pertama, membaca secara cermat objek by its detractors and its defenders” material penelitian yaitu naskah lakon Dara (2004:93). Parodi sering disebut sebagai Jingga karya Wisran Hadi. Kedua, kutipan ironis, bunga rampai, perampasan, atau pengumpulan data berupa sumber-sumber intertekstualitas biasanya dianggap pusat tertulis (buku, jurnal, laporan penelitian, dan lain- postmodernisme, baik oleh para pengkritiknya lain) yang relevan, membacanya dan maupun pembelanya. mempelajari secara teliti seluruh data yang Sebagai bentuk representasi ironis, parodi terkumpul. Ketiga, menganalisis data penelitian. dikodekan secara ganda dalam pengertian Tahap ini merupakan aplikasi dari teori yang politik: parodi melegitimasi dan meruntuhkan digunakan, antara lain memahami dan melihat apa yang diparodikan. Transgresi terotorisasi bentuk-bentuk parodi yang terdapat dalam inilah yang membuat parodi semacam drama Dara Jingga, kemudian melihat kendaraan siap pakai bagi kontradiksi politik implementasinya dalam bentuk kritik terhadap postmodern secara umum. Parodi dapat kekuasaan. Keempat, membuat simpulan digunakan sebagai teknik refleksi diri yang berdasarkan hasil penelitian. menunjuk seni sebagai seni, tapi juga pada seni sebagai seni yang tidak dapat lepas dari masa 2.Hasil dan Pembahasan lalu estetik, bahkan politiknya. Perulangan ironis 2.1 Parodi dalam Naskah Lakon Dara parodi juga menawarkan tanda kesadaran diri Jingga tertentu tentang alat-alat legitimasi ideologis Naskah Lakon Dara Jingga merupakan kebudayaan kita. Parodi dapat memberikan parodi dari teks sejarah Pamalayu dan Bundo jalan untuk mengkaji sejarah proses tersebut Kanduang. Parodi ini terlihat dari alur cerita, (Hutcheon, 2004:159—160). penokohan dan karakter tokoh. Salah satu Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa bentuk parodi terlihat dalam alur peristiwa melalui proses ganda, parody memperlihatkan Ekspedisi Pamalayu. Dalam mitos dan fakta bagaimana reperesentasi dari masa kini berasal sejarah, Ekspedisi Pamalayu merupakan dari representasi masa lalu dan konsekuensi ekspedisi persahabatan dengan membawa dua ideologis yang dihasilkan, baik dari kontinuitas orang putri Dharmasraya, Dara Jingga dan Dara maupun perbedaan itu. Parodi melegitimasi dan Petak sebagai duta persahabatan untuk meruntuhkan apa yang diparodikan. Melalui dikawinkan dengan Raja Singosari. Dua orang parodi itulah akan dilihat representasi atau putri ini dibawa secara baik-baik oleh pasukan perwakilan dari masa kini yang ditawarkan Singosari. Pasukan Singosari datang membawa Wisran Hadi melalui mitos Dara Jingga dan Arca Amaghopasa sebagai tanda persahabatan, sejarah Pamalayu sebagai latar penciptaan dari kemudian membawa Dara Jingga dan Dara masa lalu. Petak untuk dipinang sekaligus sebagai duta Langkah kerja penelitian ini dibantu persahabatan antara Dharmasraya dan dengan menggunakan metode deskriptif Singosari (Majapahit). Peristiwa ini dapat kualitatif. Moleong (2007: 6) mengungkapkan dilihat dalam ilustrasi berikut. bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian

54

SET JUNI 15.pmd 54 11/3/2017, 10:41 AM Rusyda Ulva: Dara Jingga, Wisran Hadi: Parodi terhadap Kekuasaan

Tujuh hari tujuh malam pesta Sejak saat itu Dharmasraya dan penyambutan utusan Singosari diadakan. Singasari saling membuka diri, saling Empat belas arca Amaghopasa beserta berkirim utusan. Baik pedagang maupun empat belas pengiringnya berada di peziarah agama. Ancaman Cina di bawah Dharmasraya. Hulu kegembiraan itu Khubalai Khan tetap menjadi alasan kuat ternyata adalah kesedihan yang untuk semakin mempererat persahabatan membingungkan bagi rakyat Dharmasraya. dua kerajaan besar (Idma dan Sjafnir, Cepat atau lambat, Dara Jingga dan Dara 1994: 22) Petak harus meninggalkan Dharmasraya. Tidak ada pilihan lain. Hanya Dara Dalam naskah lakon Dara Jingga, Jingga dan Dara Petak yang bisa ekspedisi ini diparodikan dengan terjadinya dikawinkan dengan Raja Singasari. Datuk penculikan kedua orang putri Dharmasraya. Suri Maharajo tidak mungkin mengirim Kedatangan rombongan Singosari yang putri Dharmasraya yang bukan keturunan disambut hangat oleh rakyat Dharmasraya raja untuk diperistri raja Singasari. (Idma dikhianati dengan kaburnya sebagian dan Sjafnir, 1994: 31) rombongan Singosari membawa Dara Jingga dan Dara Petak. Peristiwa ini dilukiskan dalam Dan juga ilustrasi berikut, beberapa dialog berikut. Pinangan Singasari, diterima Dharmasraya. Arca Amaghopasa DUBALANG : Dandang besar Singosari ditinggalkan di Dharmasraya. Selanjutnya tidak ada lagi di muara, rombongan pengiring Amoghapasa Tumanggung. melanjutkan perjalanannya ke Pahang. DUBALANG : Mereka berangkat dalam Dari Pahang ke Campa guna gelap saat bulan tertutup mengantarkan seorang putri Jawa awan. bernama Tapasi, untuk dikawinkan PERPATIH : Dan Mahisa Anabrang di dengan Raja Campa. Ancaman Khubalai atasnya. Khan benar-benar membuat raja TUMANGGUNG: Celaka! Kita kurang Kertanegara berusaha menjalin waspada persahabatan dan persaudaraan di sekitar PERPATIH : Dara Petak dan Dara Nusantara. Dara Jingga akan dijemput Jingga tentu dibawanya. dan diboyong ke Pulau Jawa bersamaan (Hadi, 1984:121) dengan kembalinya utusan ini ke Singasari. (Idma dan Sjafnir, 1994: 33) Setelah penculikan itu, Singosari menghadiahkan dua belas arca kepada Ekspedisi persahabatan yang dilakukan Dharmasraya. Berbeda dengan mitos, arca Singosari ke Dharmasraya itu kemudian datang beriringan dengan datangnya meninggalkan hubungan baik antara Singosari rombongan yang menjemput Dara Jingga dan dan Dharmasraya. Hal ini dapat dilihat dalam Dara Petak. Berikut dialog pada saat datangnya ilustrasi berikut. arca dari Singosari. Seratus hari kemudian barulah seribu Dubalang datang bersama 12 kambang dua ratus pasukan yang memakai sandi dan dayang masing-masing membawa arca PAMALAYU meninggalkan DUBALANG : Arca Amaghopasha! Inilah Dharmasraya untuk melanjutkan hadiah dari Raja Sri perjalanan mereka mengunjungi kerajaan- Kertanegara. kerajaan di Nusantara bahagian barat Dipersembahkan kepada sampai ke Siam dan Kamboja. Tribuanaraja

55

SET JUNI 15.pmd 55 11/3/2017, 10:41 AM SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 12 Nomor 1 Edisi Juni 2015 (51—63)

Mauliwarmadewa. Arca (Hadi, 1984:121—122) Amargophasa beserta 12 arca pengiringnya sebagai Dari ilustrasi tersebut terlihat hubungan tanda bersuka cita raja yang tidak baik antara kerajaan Dharmasraya atas hubungan yang telah dan Singosari. Dalam hal ini, kerajaan Singosari terjalin antara Tanah Jawa dihadirkan Wisran Hadi sebagai pihak dan Darmasraya. antagonis yang melakukan penculikan terhadap TUMANGGUNG:Hadiah? Baru saja Suri putri Dharmasraya sebagai simbol dari harga Marajo Dirajo meninggal, diri masyarakatnya. Berbeda dengan yang mereka bersuka ria dan terdapat di dalam mitos, hubungan Singosari mengirimkan arca! dan Dharmasraya terjalin dengan baik, dengan PANGULU : Tapi Dara Petak dan Dara dikirimnya dua putri Dharmasraya sebagai duta Jingga tidak ada persahabatan di antara keduanya. khabarnya. Beberapa ilustrasi di atas merupakan DATUK : Dikiranya dua dara dapat bentuk-bentuk parodi yang terdapat dalam diganti dengan dua belas naskah lakon Dara Jingga. Selain perbedaan arca! (Hadi, 1984) alur cerita, parodi juga terlihat dari karakter masing-masing tokoh yang berfungsi sebagai Hilangnya dua putri Dharmasraya, wadah untuk memberikan tanggapan terhadap membuat hubungan Dharmasraya dan Singosari persoalan kekuasaan. Tokoh Suri Marajo, tidak baik. Hal ini terlihat dari kecurigaan rakyat Penghulu, Datuk Ketumanggungan, dan Dharmasraya dengan kedatangan Perpatih menyimpang dari karakter yang ada mencari ibunya ke di dalam mitos. Tokoh Suri Marajo misalnya, Dharmasraya. Selain itu, akhir yang tidak baik dalam mitos dan sejarah, raja Suri Marajo antara Dharmasraya dengan Singosari terlihat merupakan raja yang baik dan bijaksana serta dalam ilustrasi pada saat rakyat Dharmasraya menjunjung tinggi nilai demokrasi, sedangkan marah dengan hilangnya dua putri dan ingin di dalam naskah lakon Dara Jingga, tokoh membunuh rombongan Singosari yang tersisa, Suri Marajo merupakan seorang raja yang sebagai berikut. otoriter yang tidak mau memberikan kebebasan SEMUA : Penculikan!Bunuh semua berpendapat kepada bawahannya. Begitu pula Singosari yang ada di sini! dengan Tumanggung dan Perpatih. Dua (SEMUA BERGERAK pimpinan tertinggi di Minangkabau ini, dalam PERGI). naskah lakon Dara Jingga merupakan dua PERPATIH : Tunggu! Mereka tidak tokoh yang sibuk berselisih paham satu dengan perlu dibunuh! yang lain sehingga mengabaikan apa yang terjadi TUMANGGUNG: Di negeri ini tidak eorang pada masyarakatnya. Dengan penyimpangan pun mengkhianatan boleh tersebut, tokoh-tokoh dalam Dara Jingga hidup! hadir sebagai tokoh masa lalu yang diparodikan PERPATIH :Jangan! Tenaga kasar untuk merespons peristiwa masa kini sehingga mereka diperlukan untuk dialog dan karakternya disesuaikan dengan pembangunan masa keinginan pengarang. datang! SEMUA : Ayo bunuh saja! 2.2 Kritik terhadap Kekuasaan Jangan biarkan hidup! Parodi masa lalu dalam naskah lakon Jadikan budak! Dara Jingga tersebut merupakan wadah bagi SEMUA ORANG KE LUAR pengarang menyampaikan kritik dan MENGHUNUS KERIS. tanggapannya terhadap masalah kekuasaan

56

SET JUNI 15.pmd 56 11/3/2017, 10:41 AM Rusyda Ulva: Dara Jingga, Wisran Hadi: Parodi terhadap Kekuasaan

yang terjadi di sekitarnya. Kritik terhadap mengacaukan. Akibatnya kekuasaan dalam lakon ini berhubungan dengan kekuasaan kita sirna dan fenomena penyimpangan-penyimpangan yang Sriwijaya sempat menginjak- dilakukan para penguasa dalam usaha nginjak kedaulatan mempertahankan kekuasaannya. Adapun Swarnabhumi. Perpatih. bentuk-bentuk kritik dalam lakon ini adalah Itulah sebabnya kupaksakan sebagai berikut. pendapatku diterima supaya tercapai keseragaman. Untuk 2.2.1 Kritik terhadap Kekuasaan Otoriter persatuan Dharmasraya, tak Kekuasaan otoriter merupakan suatu lebih (Hadi, 1984:101). pemerintahan atau kekuasaan yang sepenuhnya berada di tangan penguasa tanpa memberikan Sebagai raja yang berkuasa di hak dan kebebasan berpendapat bagi Dharmasraya, Suri Marajo Dirajo tidak rakyatnya. Penguasa yang otoriter memberikan kesempatan kepada bawahannya menggunakan berbagai cara dalam melegitimasi untuk bebas bicara dan berpendapat. Baginya kekuasaannya, termasuk dengan kekerasan, perbedaan pendapat tidak akan bisa disatukan, penindasan dan dominasi yang begitu kuat baik sehingga para petinggi dan pemimpin kaum yang berbentuk fisik maupun non fisik dalam sekalipun seperti Datuk Perpatih dan Penghulu menjalankan aturan pemerintahan. Hal ini tidak berani mengemukakan pendapat mereka. menyebabkan masyarakat taat kepada Tidak adanya kebebasan mengeluarkan pemerintah dengan terpaksa karena rasa takut pendapat ini juga dapat dilihat dari dialog terhadap pemegang kekuasaan. Hal ini berikut. direfleksikan dalam lakonDara Jingga melalui PERPATIH : Tuan tahu hakekat dari pemerintahan yang dijalankan Suri Marajo. penataran yang Sebagai seorang raja yang berkuasa, Suri berkepanjangan itu? Marajo mempunyai kekuasaan penuh dalam Semakin kita memaki- memutuskan sesuatu. Namun, dalam beberapa maki negeri ini, semakin kebijakan yang diambilnya ia mengambil mencintainya. Itulah keputusan di luar yang seharusnya. Suri Marajo sebenarnya yang penting juga tidak pernah memberikan kebebasan bagi Darmasraya. Kritik. berpendapat pada bawahannya meskipun Tapi mulut datuk dan kepada Datuk Perpatih dan Datuk penghulu selalu ditutup Ketumanggungan yang menjadi pembantunya (Hadi,1984: 99). dalam menjalankan pemerintahan. Di bawah ini adalah sebuah ilustrasi. DUBALANG : Sudahlah Datuk Perpatih. PERPATIH : Suri Marajo memegang Kalau tidak sepaham, pangkal dan kami sebaiknya diam. terpegang ujung. Terlalu banyak bicara akan Apalah daya. Tapi ada satu menyusahkan Datuk juga. hal yang sangat diharapkan Datuk (Hadi, 1984:102). dari Suri Marajo. SURI MARAJO: Apa itu? Tidak diberikannya kebebasan PERPATIH : Berikan kebebasan untuk berpendapat bagi rakyat dan bawahannya mengeluarkan pendapat. merupakan salah satu bentuk dari SURI MARAJO: Tidak pernah pendapat dapat penyimpangan kekuasaan yang ingin dikritik diseragamkan. Dulu pernah dalam lakon ini. Kekuasaan dalam bentuk kita lakukan, tetapi selalu vertikal ini membuat rakyat hanya bisa bersikap

57

SET JUNI 15.pmd 57 11/3/2017, 10:41 AM SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 12 Nomor 1 Edisi Juni 2015 (51—63)

nrimo terhadap semua yang diperintahkan. Melalui parodi mitos dan sejarah Penyeragaman pendapat ini bagi penguasa Minangkabau, pengarang mencoba membuka adalah suatu cara untuk menyatukan rakyatnya mata dan hati pembacanya untuk kembali dalam satu komando. Apa yang dilakukan Suri merenungi dan mempertanyakan peristiwa- Marajo tersebut membuat rakyat merasa peristiwa yang telah terjadi. Sejarah yang tertekan. Meskipun ia dihormati dan sangat selama ini dipelajari dan disosialisasiakan dipuja, namun di belakang mereka seringkali kepada masyarakat adalah sejarah yang membicarakan kejelekannya. dinaungi oleh kepentingan-kepentingan politik Kekuasaan otoriter yang dijalankan rezim penguasa. berkuasa dalam fakta sosialnya dapat bertahan Persoalan sejarah yang disinggung- lama tanpa perlawanan dari rakyatnya. Hal singgung di sini salah satunya mengenai tersebut dapat terjadi karena besarnya peran ketidakpastian dan pengaburan sejarah. Dalam pemerintah tersebut dalam mengatur semua beberapa dialog para tokoh mengungkapkan aspek kehidupan rakyatnya sehingga hal-hal kesinisannya tentang hal itu. Seperti dalam yang dianggap mengancam kekuasaan mereka ilustrasi ketika terjadi perebutan arca dibekukan dengan dalih keamanan. Mengenai Amagopasaha, yaitu pada saat sebagian orang hal ini, dalam naskah lakon dara Jingga terlihat ingin mempertahankannya sebagai bukti dari pernyataan Suri Marajo berikut. sejarah. SURI MARAJO:“Demi Darmasraya TUMANGGUNG:Hiasan hidup kita bukan beberapa persoalan arca, bukan batu! Pangulu. perlu dibekukan”. Pecahkan batu-batu celaka itu! Pembekuan yang dilakukan rezim PERPATIH : Simpan saja, Datuk. berkuasa tersebut menjadi senjata ampuh dalam TUMANGGUNG: Untuk Apa? mempertahankan kekuasaan mereka. Rakyat PERPATIH : Bukti sejarah tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan TUMANGGUNG: Percuma. Sejarah selalu perlawanan terhadap ketidakadilan dan ditafsirkan salah! penyimpangan yang mereka rasakan. Ayo, pecahkan! (Hadi, Perlawanan bagi rezim seperti ini merupakan 1984: 133) ancaman yang harus segera disingkirkan, sehingga banyak dari tokoh-tokoh yang Persoalan sejarah kembali disinggung mencoba melakukan perlawanan dipenjara dan dalam ucapan Perpatih. diasingkan. PERPATIH:“Tuan. Jangan emosi. Kebenaran sejaran juga akan terungkap 2.2.2 Kritik terhadap Penguasa yang bila semua kekaburan telah Memonopoli Sejarah ditup angin!” (Hadi, 1984:151). Bentuk lain dari penyelewengan kekuasaan adalah melakukan monopoli sejarah Sejarah yang disalahtafsirkan, sebagai usaha mempertahankan kekuasaan. dijungkirbalikkan, dan dikaburkan di atas, pada Persoalan sejarah merupakan hal yang banyak hakikatnya berkaitan dengan sebuah kebenaran disinggung dalam lakon ini.Sebagaimana yang yang sengaja disembunyikan dan dikaburkan. dikemukakan Saini (2000: 8-9) bahwa naskah Hal ini secara jelas disinggung dalam ilustrasi lakon Dara Jingga merupakan dekonstruksi berikut. terhadap tafsiran sejarah yang umum. Pusat TUMANGGUNG: Akhirnya semua jadi kacau masalah dalamDara Jingga menurutnya adalah dan jungkir balik! Agama, sejarah. tatacara, adat istiadat,

58

SET JUNI 15.pmd 58 11/3/2017, 10:41 AM Rusyda Ulva: Dara Jingga, Wisran Hadi: Parodi terhadap Kekuasaan

bahkan sejarah akan jadi pemerintah, seringkali dalam waktu yang goyah. bersamaan peristiwa yang lebih memilukan PERPATIH : Justru dengan menjungkir- terjadi. Kenaikan bahan pokok misalnya. balikkan sesuatu kita akan Dengan itu, secara tidak langsung, rakyat akan menemukan segalanya. lebih memperdulikan nasibnya dibanding Yang kabur dan yang mendengarkan para penghujat pemerintah. dikaburkan dapat dengan Hal lain mengenai persoalan sejarah dalam mudah kita bedakan. lakon Dara Jingga adalah kekuasaan yang TUMANGGUNG: kebenaran yang ditemukan dimiliki oleh tokoh Cati Bilang Pandai dalam juga kebenaran yang mengatur sejarah. Ia bertugas sebagai peramal jungkir balik. dan pencatat sejarah. Tokoh Cati Bilang Pandai PERPATIH : kebenaran yang benar, merupakan salah satu tokoh yang cukup penting semua orang paham dalam naskah lakon ini. Lakon yang banyak (Hadi, 1984: 130). bercerita mengenai sejarah dan kekuasaan ini membuat posisinya sebagai peramal Dialog kedua tokoh pembesar mempunyai kedudukan penting. Ia merupakan Dharmasraya ini mencerminkan kondisi zaman tempat bertanya ketika terjadi suatu musibah di mana sejarah tak bisa lagi dapat dipercaya, yang menimpa negeri. Ia juga merupakan karena semua kebenarannya tidak jelas bahkan peramal masa depan Damasaraya. Ia menjadi sengaja dikaburkan oleh pihak-pihak yang kepercayaan raja Suri Marajo. berkuasa. Pengaburan dan monopoli kekuasaan Pentingnya Peran tokoh Cati Bilang ini dilakukan oleh penguasa untuk memperkuat Pandai di atas merupakan parodi untuk simbol-simbol heroiknya di mata masyarakat. mengkritisi para pakar sejarah yang menjadi Pengaburan sejarah juga dikaitkan dengan kunci dari kebenaran sejarah yang berkembang pengalihan isu-isu untuk menutupi atau di masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya, mengalihkan peristiwa yang memojokkan Cati Bilang Pandai masih diatur oleh raja yang pemerintah. Dalam naskah lakon Dara Jingga berkuasa. Dengan alasan menjaga stabilitas masalah tersebut diilustrasikan dalam dialog keamanan, kebenaran sejarah disembunyikan. berikut. Mengenai persoalan sejarah ini, Fadlillah PANGULU : Peristiwa ini sungguh terjadi atau (2007) mengungkapkan bahwa pada satu pihak hanya untuk mengalihkan mungkin tulisan sejarah sengaja dimusnahkan perhatian kita pada kenaikan karena menanggung malu, karena yang ada harga yang baru diumumkan? hanya sejarah kekalahan. Dalam pengertian DUBALANG: Hanya Pangulu yang dungu tidak yang tidak berbeda, sejarah memang dibuat memahami situasi. Soal tinggam oleh para penguasa dan untuk mengukuhkan adalah kenyataan! Adalah kekuasaan mereka, artinya sejarah adalah kebenaran! Sampiran! Apa narasi yang dianggap sah dan pasti, padahal lagi..ya itu! Tinggam (Hadi, sejarah tersebut hanyalah tulisan interpretasi 1984:96). yang tidak akan pernah mendapat kepastian. Naskah lakon Dara Jingga dalam hal ini Pengalihan peristiwa yang dibicarakan merupakan kritikan untuk kemudian para tokoh dalam dialog di atas adalah cerminan direnungkan dalam mempertanyakan kembali peristiwa yang sering terjadi di lingkungan sejarah serta kebijakan-kebijakan yang dibuat masyarakat. Ketika para kritikus mulai para penguasa demi mempertahankan menunjukkan aksinya memojokkan kekuasaannya.

59

SET JUNI 15.pmd 59 11/3/2017, 10:41 AM SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 12 Nomor 1 Edisi Juni 2015 (51—63)

2.2.3 Kritik terhadap Kekerasan dalam DUBALANG : dandang besar Singosari tidak Kekuasaan ada lagi di muara, Dengan monopoli sejarah maka dalam Tumanggung. mengukuhkan kekuasaannya, rezim berkuasa DUBALANG : mereka berangkat dalam gelap dapat dengan leluasa melakukan berbagai hal saat bulan tertutup awan. termasuk kekerasan. Hal ini yang dicerminkan PERPATIH :dan Mahisa Anabrang di atasnya. dalam naskah lakon Dara Jingga. Naskah ini TUMANGGUNG: celaka kita kurang juga menampilkan kekerasan dan peperangan waspada. dalam memperebutkan kekuasaan. Saini KM PERPATIH : dara petak dan Dara Jingga (2000:9) berpendapat bahwa kekerasan dan tentu dibawanya. peperangan yang melatarbelakangi Dara Jingga ini merupakan ungkapan dari PARA PENGHULU DAN ORANG- keserakahan akan kekuasaan yang ORANG LAIN DATANG BERTANYA dilambangkan dengan Kerajaan Majapahit. : semua: dilarikan? Bentuk kekerasan yang ingin dikritisi TUMANGGUNG: diculik (Hadi, 1984:121). pengarang dalam lakon ini terlihat dalam parodi penculikan dua orang putri Dharmasraya. Penculikan dua orang putri ini merupakan Dalam sejarah, peristiwa Pamalyu berkaitan bentuk anarki yang dijalankan pemerintahan dengan dibawanya dua putri Melayu sebagai Majapahit dalam mengukuhkan kekuasaannya duta perdamaian ke Singosari. Dalam Pararaton di tanah Melayu. Kecurangan dan disebutkan bahwa pada tahun 1224 tentara pengkhianatan yang direfleksikan oleh Singosari kembali ke Jawa di bawah pimpinan Majapahit mewakili sikap-sikap penguasa yang Mahisa Anabrang. Pasukan ini membawa 2 menghalalkan segala cara dalam melegitimasi orang puteri Melayu yang bernama Dara Petak kekuasaannya. dan Dara Jingga. Dara Petak kemudian kawin Kerajaan Majapahit juga memilih dengan Kertarajasa, Raja Majapahit yang menggunakan kekerasan dalam mendapatkan pertama dan melahirkan . Dara apa yang diinginkannya. Ini diilustrasikan pada Jingga kawin dengan “Dewa” (menunjukkan adegan para pengawal Majapahit datang ke ksatria darah luhur) atau yang dimaksud Dharmasraya ingin memaksa Adityawarman Adwayarman melahirkan Adityawarman kembali ke Majapahit. Adityawarman yang (Imran, 2000:59). telah menjadi raja tidak mau kembali pulang Dalam naskah ini terdapat penyimpangan dan ia menyembunyikan identitas dirinya dengan cerita. Datangnya rombongan Singosari ke gelar Dang Tuanku. Pertengkaran terjadi ketika Dharmasraya ternyata membawa sebuah pengawal Majapahit mengetahui siapa Dang malapetaka. Kedua putri Melayu yang Tuanku. Pertengkaran terjadi dengan kematian diceritakan dalam sejarah dan mitos Dara beberapa pengawal di pihak Majapahit. Jingga sebagai duta perdamaian dan diserahkan Pertengkaran itu berlanjut dengan sebuah secara baik-baik pada utusan Singosari, dalam peperangan di Padang Sibusuak yang akhirnya lakon ini diculik oleh pasukan Singosari. Dalam menewaskan Cati Bilang Pandai. lakon diceritakan bagaimana sebagian pasukan Adegan tersebut merupakan kritikan Singosari di bawah pimpinan Mahisa Anabrang terhadap apa yang dilakukan rezim berkuasa tiba-tiba menghilang bersamaan dengan dalam mengukuhkan kekuasaannya. Majapahit hilangnya dua putri, seperti yang ditunjukkan menjadi simbol dari kebesaran dan kekuasaan dalam dialog berikut. rezim penguasa. Berbagai upaya dilakukan

60

SET JUNI 15.pmd 60 11/3/2017, 10:41 AM Rusyda Ulva: Dara Jingga, Wisran Hadi: Parodi terhadap Kekuasaan

dalam mengukuhkan kekuasaannya, termasuk KAMBANG : disebutnya segala yang terjadi dengan perang dan kekerasan. dan yang akan menimpa negeri ini. 2.2.4 Pengaruh Penyimpangan Kekuasaan KAMBANG : kalau bukan putri Suri Marajo terhadap rakyat Dirajo, sudah cukup alasan Naskah lakon Dara Jingga merupakan bagi dubalang memasungnya sebuah ekspresi dan kritik terhadap kondisi seumur hidup bangsanya. Sejarah masa lalu yang kelam (Hadi, 1984: 94-95). memberi dampak buruk bagi generasi penerus bangsa. Penguasa yang menggunakan jalur Tidak hanya Dara Jingga, Dara Petak juga kekerasan dalam memepertahankan pernah terkena tuba. Akibat peristiwa ini semua kekuasaannya meninggalkan luka bagi rakyat. orang saling mencurigai yang menjadi dalang Dalam lakon ini, dua orang putri Dharmasraya, dari tinggam dan tuba tersebut. yaitu Dara Jingga dan Dara Petak merupakan Tinggam yang menjadi satu sumber simbol dari penderitaan itu, seperti dalam masalah dalam lakon ini, merepresentasi makna ilustrasi berikut. ambigu sehingga dapat dilihat dalam bentuk DARA JINGGA MELINTAS. multitafsir dalam pemaknaanya. Tinggam dalam TANGAN KIRINYA MENEKAN lakon ini diberikan pada Dara Jingga, sebagai DADA DAN TANGAN KANANNYA seorang anak raja, pewaris tahta kerajaan. MENGACUNG KE UDARA. Tokoh Dara Jingga dengan demikian juga dapat SEPERTI ADA SESUATU YANG diinterpretasi sebagai wadah yang mewakili DIDERITANYA. generasi penerus bangsa, kaum muda, orang DARI ARAH BERLAWANAN, yang diharapkan akan mengendalikan MELINTAS DARA PETAK. KEDUA pemerintahan dan membawa bangsa ke arah TANGANNYA MEMEGANG lebih baik. LEHER DAN TENGADAH KE Apabila dihubungkan secara kontekstual LANGIT SEPERTI ADA SESUATU dengan kondisi yang melatari karya ini, tinggam YANG TERASA SANGAT SAKIT yang diberikan pada Dara Jingga merupakan DIALAMINYA (Hadi, 1984: 91). sebuah simbol penderitaan yang ditafsirkan sebagai bentuk penderitaan rakyat terutama Dara Jingga sebagai pewaris tahta generasi penerus bangsa. Tinggam yang kerajaan Dharmasraya digambarkan seperti menyebabkan sakitnya dada Dara Jingga orang gila dan penuh kesakitan ketika terkena merupakan simbol dari kesakitan dan tinggam, yaitu sejenis santet yang proses penderitaan rakyat dan kaum muda yang pelaksanaannya dengan menusuk-nusukkan kesakitannya dalam kondisi paling vital, duri ekor ikan pari pada pohon. Keadaan menyangkut kelangsungan hidup mereka. Jingga sewaktu terkena tinggam ini terlihat Tangan kanannya yang mengacung ke atas dalam dialog para kambang berikut. menggugat masa lalu sehingga menyebabkan KAMBANG: ya. Separo dadanya akan kekacauan pada masa kini. Telunjuk ke atas membusuk. Daging jatuh bisa dimaknai menggugat dan mengutuki orang- seperti kulit kayu melapuk. orang yang di atas atau pihak penguasa yang KAMBANG : tangan kirinya menekan dada mempunyai peranan penting dalam menghapus menahan maut, tangan dan mengaburkan sejarah masa lalu. Dara Jingga kanannya mengacung ke langit dan Dara Petak sebagai generasi penerus menggamit hidup. adalah orang-orang yang harus menerima tumbal KAMBANG: berkaca-kaca matanya, bibirnya dari segala kesalahan masa lalu tersebut. tak henti bicara.

61

SET JUNI 15.pmd 61 11/3/2017, 10:41 AM SALINGKA, Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume 12 Nomor 1 Edisi Juni 2015 (51—63)

Duka akibat kekuasaan rezim penguasa yang seperti ini tidak memberikan kebebasan merupakan sebuah gugatan sebagai bentuk rakyat untuk berpendapat. Selain itu, dengan keprihatinannya terhadap kondisi bangsa. kekuasaan yang otoriter tersebut maka rezim Gugatan dan keprihatinan itu juga terlihat dari penguasa memaksakan penyeragaman di ucapan Dara Jingga berikut. berbagai bidang. Pihak-pihak yang melakukan Kini Darmasraya tak lebih dari sebuah perlawanan atau dianggap mengancam balon yang semakin besar mengapung pemerintahan akan ditindak dan dihukum. di udara. Di tiup oleh kata-kata besar Tindakan itu mulai dari melakukan pembredelan, yang tak jelas batas makna. pengasingan sampai menghilangkan pihak- Kebanggaan! Kebangkitan! Kejayaan! pihak yang dianggap mengancam itu. (2) Keadilan! Dan berlaksa kata yang Kritikan terhadap penguasa yang memonopoli diartikan dangkal. Diperdangkal untuk sejarah. Usaha memonopoli sejarah ini kepentingan-kepentingan tertentu.Bila dilakukan dalam bentuk mengaburkan sejarah balon besar itu tertusuk jarum alit, dia yang dianggap merugikan pemerintah dan akan kempes begitu saja. Saat itu jatuh membesarkan peristiwa-peristiwa yang dapat ke tanah dan diinjak-injak penyesalan menonjolkan kesan heroik rezim penguasa. dan penderitaan. Sebagaimana Monopoli sejarah ini di antaranya dilakukan tinggam melumpuhkan seluruh sel-sel dengan membuat sejarah resmi tentang kulit dan tulang. Kita akan terkelupas, keberhasilan pemerintahan rezim berkuasa, dan akan menjadi orang asing di negeri mengintimidasi pihak-pihak yang berusaha sendiri, terkelupas dari kehidupan memberikan sejarah yang dianggap kemanusiaan. (Hadi, 1984: 103) melemahkan kedudukan rezim otoriter tersebut. Persoalan sejarah ini merupakan kritikan yang Kondisi Dharmasraya yang diungkapkan selalu diulang-ulang pengarang dalam lakon Dara Jingga di atas merupakan simbol untuk Dara Jingga. (3) Kritikan terhadap kekerasan mewakili kondisi sosial secara keseluruhan. dalam kekuasaan. Tindakan kekerasan yang Naskah lakonDara Jingga menggugah pikiran dicerminkan dalam lakon Dara Jingga di pembaca untuk merenungi kembali, bahwa antaranya dengan penculikan dan peperangan rakyat selama ini telah terbuai oleh kata-kata yang dilakukan oleh Singosari. 4) Kritikan penguasa yang selalu meneriakkan kejayaan dengan mengemukakan pengaruh dan kebesaran. penyimpangan kekuasaan terhadap rakyat. Dengan demikian, dapat disimpulkan 3. Simpulan bahwa naskah lakon Dara Jingga sejatinya Naskah lakon Dara Jingga karya Wisran adalah tanggapan kritis terhadap Hadi disampaikan dalam bentuk parodi, yaitu penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan berupa representasi atau perwakilan dari oleh para penguasa dalam melegitimasi peristiwa masa kini yang disampaikan melalui kekuasaannya. Melalui parodi mitos dan teks peristiwa masa lalu. Dengan parodi dapat dilihat sejarah, Wisran Hadi menanggapi fenomena ini. bahwa representasi itu mengacu pada kritikan Akhirnya, kritikan-kritikan mengenai dan respons pengarang terhadap penyimpangan kekuasaan yang disampaikan melalui parodi kekuasaan yang dilakukan rezim penguasa. Dara Jingga ini diharapkan menjadi inspirasi Terdapat beberapa kritikan terhadap dan perhatian pembaca untuk lebih bersifat kekuasaan dalam lakon Dara Jingga. Kritikan kritis terhadap semua kebijakan yang ini dapat dilihat dalam beberapa hal, sebagai disampaikan pemerintah, dan diharapkan lebih berikut. (1) Kritikan terhadap kekuasaan yang peka terhadap perubahan yang terjadi dalam otoriter. Bentuk kekuasaan atau pemerintahan konteks kehidupan sosial bermasyarakat.

62

SET JUNI 15.pmd 62 11/3/2017, 10:41 AM Rusyda Ulva: Dara Jingga, Wisran Hadi: Parodi terhadap Kekuasaan

Daftar Pustaka Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Fadlillah. 2007. “Dara Jingga Seperti Minangkabau: Suatu Problema Membaca Kepedihan (Dari Wisran Sosiologi Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. Hadi, sampai kepada Gus tf Sakai Sebuah Martin, Roderick. 1990. The Sociology of Intertekstualitas)”. Power (Terjemahan Herry Ioediono: Hadi, Wisran. 2000. Empat Sandiwara Orang Sosiologi Kekuasaan). Jakarta: Rajawali Melayu. Bandung: Angkasa. Press. Hutcheon, Linda. 1988. A Poetic of Moleong. 2007. Metodelogi Penelitian Posmodernism: History, Theory, Kualitatif. Remaja Karya: Bandung. Fiction. New York: Routledge. Saini KM. 2000. “ Dunia Orang Melayu Wisran Hutcheon, Linda. 2004. Politik Hadi”. Horison/12/2000. Posmodernisme. (Terjemahan Apri Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Danarto dari The Politics of Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Posmodernism). Yogyakarta: Jendela. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Idma, Ridwan dan Sjafnir Aboe Nain. 1994. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Bundo Kanduang: Dara yang Mencari Pustaka Jaya. dan Merelakan Kasih. Padang: Penerbit Yoesoef, M. 2007. Sastra dan kekuasaan: Esa. pembicaraan atas Drama-Drama Imran, Amrin, dkk. 2000. Menelusuri Sejarah Karya W.S Rendra. Jakarta: Wedatama Minangkabau. Padang: Citra Budaya Widya Sastra. Indonesia.

63

SET JUNI 15.pmd 63 11/3/2017, 10:41 AM