<<

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. Kerajaan Awal Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar di yang didirikan oleh yaitu menantu dari Kertanegara pada tahun 1293. Kerajaan Majapahit didirikan dengan usahanya sendiri bukan merupakan warisan dari Kertanegara. Kertanegara adalah terakhir Kerajaan Singasari sebelum runtuh akibat serangan . Kertanegara dan permaisurinya wafat akibat serangan tersebut. Raden Wijaya dan pengikutnya melarikan diri dengan melakukan pengembaraan dari Rabut Carat ke Pamawaran, Trung, Kulwan, Kembang Sari,karena di wilayah ini Raden Wijaya dan pengikutnya dikejar musuh mereka berjalan kembali ke Desa Kudadu sampai akhirnya Raden Wijaya disarankan meminta bantuan Aria Wiraraja di Madura. Setelah tinggal beberapa waktu di Madura atau lebih tepatnya wilayah Aria Wiraraja, Raden Wijaya dan Aria Wiraraja menyusun siasat untuk merebut kekuasaan Jayakatwang. Dengan segala tipu muslihatnya, Raden Wijaya menyatakan seolah-olah takluk pada kekuasaan Jayakatwang. Takluknya Raden Wijaya diterima baik oleh Jayakatwang untuk mengabdi padanya. Raden Wijaya pun dihadiahi tanah Tarik yang waktu itu berupa hutan (sekarang ) untuk menjadi daerah kedudukannya. Saat sedang melakukan pembukaan hutan Tarik, salah seorang pasukan Raden Wijaya menemukan buah maja. Raden Wijaya memakannya, tetapi ketika dimakan rasanya pahit. Oleh karena itu, wilayah hutan Tarik ini kemudian diberi nama Majapahit. Pada tahun 1293, tentara Tartar datang ke Jawa hendak menyerang Kertanegara karena telah melukai salah satu utusannya, namun Kertanegara sudah wafat. Pasukan Tartar dengan dibantu pasukan Raden Wijaya kemudian menyerang Jayakatwang dan berhasil menundukkan Jayakatwang. Kesempatan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang balik tentara Tartar dan

8

memukul mundur tentara Tartar dari wilayah Singasari. Dengan berakhirnya kekuasaan Jayakatwang, Raden Wijaya menobatkan dirinya menjadi raja baru dengan nama kerajaan Majapahit. Raden Wijaya naik tahta dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Pada saat pemerintahan Raden Wijaya berakhir, tahta Majapahit jatuh ke tangan putranya, Jayanagara atau yang memiliki nama kecil Raden Kala Gemet. Kala Gemet naik tahta dengan gelar Sri Wiralandagopala Sri Sundarapandy Dewa Adhiswara pada tahun 1294. Pada masa pemerintahannya muncul banyak pemberontakan, diantaranya pemberontakan Ranggalawe, pemberontakan Lembu Sora, pemberontakan Juru Demung, pemberontakan Gajah Biru, pemberontakan Mandan, pemberontakan Wagal, pemberontakan Lasem, pemberontakan Semi, pemberontakan Semi, dan pemberontakan Kuti. Menururt Kitab Pararton, pemberontakan terjadi akibat fitnah dan adu domba Mahapati, sementara sumber yang lain menyebutkan bahwa pemberontakan terjadi karena ketidakpuasan beberapa orang dengan penobatan , contohnya pemberontaka Nambi Pada masa pemerintahan Jayanagara, pertama kali muncul menjadi anggota pasukan pengawal raja atau pasukan Bhayangkari. Gajah Mada mulai dikenal sebab jasanya dalam pemberontakan Ra Kuti. Pada saat itu Gajah Mada dan pasukannya berhasil mengungsikan Raja Jayanegara beserta keluarganya ke desa Badander saat Ra Kuti menduduki istana. Setelah peristiwa Badander atau pemberontakan Ra Kuti, Gajah Mada diangkat menjadi patih di . Kemudian setelah 2 tahun diangkat menjadi patih di Daha. Pada masa pemerintahan Raden Wijaya Daha dan Kahuripan merupakan daerah bawahan Majapahit yang paling utama. Daha di Barat, Kahuripan di Timur, dan Majapahit sebagai pusatnya. Pada tahun 1250 Saka atau 1328 M, Jayanagara wafat dibunuh oleh Tanca (tabib kerajaan). Ra Tanca merupakan ahli pengobatan istana. Menurut Sri Wintala Achmad, suatu hari, Ra Tanca dipanggil untuk mengobati sakit bisul

21

yang diderita Jayanagara. Di dalam kamar raja, hanya ada Ra Tanca, Jayanagara, dan Jaka Mada. Usai melakukan terapi pembedahan, tiba-tiba Ra Tanca menusuk Jayanagara dari belakang hingga tewas. Melihat peristiwa pembunuhan itu, Jaka Mada menikam Ra Tanca hingga tewas (Sri Wintala Achmad, 201:90). Jayanagara tidak memiliki anak sehingga adik (tiri) perempuannya yang bernama Tribhuwana Wijayatunggadewi naik takhta menggantikannya Tiga tahun setelah Tribhuwana Wijayatunggadewi naik takhta, terjadi pemberontakan Sadeng (1331) yang mampu dipadamkan oleh Gajah Mada. Pemberontakan Sadeng dilatarbelakangi oleh Jayanegara yang mengkhianati perjanjian Songeneb. Perjanjian Songeneb yaitu perjanjian antara Aria Wiraraja dan Raden Wijaya yang menyebutkan bahwa wilayah Sadeng dan Keta menjadi kekuasaan Aria Wiraraja. Jayanegara mengklaim bahwa Sadeng dan Keta adalah wilayah kekuasaannya. Pendapat lain mennyebutkan bahwa Tribhuwana Wijayatunggadewi berniat menguasai Sadeng dan Keta karena kedua daerah tersebut memiliki pelabuhan potensial yang mendukung perekonomian Majapahit (Sri Wintala Achmad, 2014:96-97). Gajah Mada yang saat itu menjadi Patih di Daha diminta Arya Tadah untuk menggantikannya sebagai Mahapatih Amangkubumi, namun Gajah Mada menolak. Gajah Mada tidak akan menjabat sebagai Patih Amangkubumi sebelum berhasil menumpas pemberontakan Sadeng. Dalam menumpas pemberontakan Sadeng terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar. Ra Kembar adalah putra bungsu Raja Pamekalahan. Ra Kembar adalah prajurit yang tangguh dan ahli menunggang kuda serta menggunakan senjatanya berupa cambuk (Sri Wintala Achmad,2019:58). Gajah Mada dan Ra Kembar bersaing memperebutkan posisi sebagai panglima perang dalam penumpasan pemberontakan Sadeng. Ra Kembar mendahului berangkat menyerang Sadeng saat Gajah Mada dan melakukan diplomasi dengan Sadeng agar pemberontakan dapat terselesaikan tanpa adanya pertumpahan darah. Ra Kembar ingin mencari perhatian dari Ratu

20

Tribhuwana Wijayatunggadewi. Beberapa utusan dikirimkan Gajah Mada untuk menemui Ra Kembar agar mengurungkan niatnya. Ra Kembar menolak dengan alasan apa yang dilakukannya untuk kerajaan. Pertempuran antara pasukan Ra Kembar dan pasukan Sadeng tidak dapat dihindari. Melihat kondisi yang memburuk, Gajah Mada mengerahkan pasukannya, dibantu dengan Adityawarman dan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi Sadeng dapat dipadamkan. Kemenangan Majapahit atas Sadeng, membawa anugerah bagi Gajah Mada yang diangkat menjadi Angabehi dan tak lama kemudian diangkat menjadi Patih Amangkubumi. Sedangkan Ra Kembar diangkat sebagai Bekel Araraman (Krisna Bayu Adji, 2014:123). Setelah memerintah selama 22 tahun, Tribuwanatunggadewi digantikan oleh putranya yaitu . Hayam Wuruk naik tahta pada 1350 M dengan gelar Maharaja Sri Rajasanagara. 4.2. Hayam Wuruk dan Gajah Mada 4.2.1. Latar Belakang Hayam Wuruk dan Gajah Mada Hayam Wuruk adalah putra dari Bhre Tumapel dan Tribhuwanatunggadewi dengan nama kecil Raden Tetep. Dalam Kitab Negarakertagama pupuh 1 diuraikan tentang kelahiran Hayam Wuruk dimana ia lahir pada tahun Saka 1256 (1334 M) di saat terjadinya gempa bumi dan gunung Kampud meletus. Pada hari kelahirannya pula diikrarkan Sumpah Amukti Palapa oleh Gajah Mada (Sri Wintala Achmad, 2019:108). Hayam Wuruk adalah seorang raja yang memiliki jiwa seni di dalam dirinya. Ia suka menari dengan memainkan peran wanita sebagai Pager Antimun, menjadi dalang bergelar Tirtaraju, dan menjadi pelawak dalam pertunjukkan wayang dengan memainkan peran Gagak Ketawang (Purwadi, 2007:107). Penobatan Hayam Wuruk menjadi raja dilakukan pada saat ia masih berusia tujuh belas tahun yang menggantikan ibunya, Tribhuwana Tunggadewi karena turun tahta dan bergabung dalam Saptaprabhu pada

21

tahun 1351. Saptaprabhu adalah pejabat tinggi kerajaan Majapahit semacan Pertimbangan Agung yang bertugas sebagai Penasehat Raja. Hayam Wuruk naik tahta dengan bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Kisah tentang kelahiran Gajah Mada masih dipenuhi mitos. Menurut Naskah Usana Jawa, Gajah Mada dilahirkan di . Ia lahir dengan cara memancar dari buah kelapa sebagai penjelmaan dari Dewa Wisnu. Ia dipercaya masyarakat tidak memiliki ayah dan ibu. Gajah Mada lahir atas kehendak para dewa dan dewi (Sri Wintala Achmad, 2019:220). Menurut Babad Gajah Mada, diceritakan ada seorang pendeta bernama Mpu Sura Dharma Yogi yang memiliki istri bernama Patni nari Ratih. Suatu ketika Dewa Brahma jatuh cinta pada Patni Nari Ratih karena kecantikannya hingga Dewa Brahma memperkosa Nari Ratih di gubuk yang sepi. Nari Ratih kemudian menceritakannya kepada suaminya, sehingga mereka kemudian memutuskan untuk mengembara. Ketika sudah waktunya untuk melahirkan, mereka sampai di desa Mada yang terletak di kaki Gunung Semeru. Nari Ratih melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi ini kemudian diserahkan kepada kepala Desa Mada untuk diasuh karena kedua orangtuaya bertapa. Setelah bertahun-tahun bayi ini tumbuh menjadi seorang remaja. Suatu hari Mahapatih Majapahit datang ke Desa Mada dan mengajaknya untuk ikut ke Majapahit (Sri Wintala Achmad, 2019:220). Dalam Kitab disebutkan bahwa Gajah Mada adalah anak dari Gajah Pagon. Gajah Pagon ialah seorang pengikut Raden Wijaya yang terluka saat serangan pasukan Jayakatwang yang ditinggal di Desa Pandakan. Gajah Pagon menikah dengan putri kepala desa bernama Macan Kuping. Dari hasil pernikahan Gajah Pagon dan Macan Kuping lahirlah anak laki-laki yang diberi nama Gajah Mada (Sri Wintala Achmad, 2019:220).

20

4.2.2. Peristiwa-peristiwa yang Terjadi pada Masa Pemerintahan Hayam Wuruk a. Sumpah Palapa Sumpah Palapa sebenarnya sudah diikrarkan sejak masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi, namun dalam prakteknya Sumpah Palapa terpenuhi pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Banyak sumber yang mengatakan bahwa Sumpah Palapa Gajah Mada terinspirasi dari Ekspedisi oleh Kertanegara (Slamet Muljana, 2005:251). Gajah Mada mengangkat sumpah pada pertemuan yang dihadiri lengkap para pejabat Majapahit bertempat di balairung keraton. Ia berdiri sambil memegang gadha, lalu bersumpah: “Lamun huwus kalah Nusantara isn amukti palapa, lamun kalah ring Gurun,ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru. ring , Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”. Atinya, “Jika telah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru akan beristirahat”. Menurut sumpah tersebut, ada sepuluh wilayah yang ingin dikuasai Gajah Mada, yaitu Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik (Adi P. Talango, 2012: 62). Sumpah Gajah Mada menimbulkan kegegeran di Majapahait. Para pejabat kerajaan mengejeknya dan menertawakannya. Mereka itu antara lain Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Tarewes, dan Lembu Peteng. Mereka menertawakan bahkan mencaci maki Gajah Mada hingga membuat Gajah Mada sangat marah. Gajah Mada kemudian meninggalkan tempat itu kemudian menghadap Tribhuwana Wijayatunggadewi (Slamet Muljana, 2006:143). b. Perang Bubad

21

Menurut kitab Pararaton, Hayam Wuruk pada saat berusia 23 tahun berniat mencari wanita untuk dijadikannya sebagai permaisuri. Hayam Wuruk mengirim juru gambar ke kerajaan-kerajaan tetangga untuk melukis wajah putri-putri mereka dan mengirimkannya ke Majapahit. Dari lukisan yang diterimanya, Hayam Wuruk tertarik pada Dyah Pitaloka, seorang putri dari kerajaan Sunda. Melalui Tuan Anepaken, Hayam Wuruk melamar Dyah Pitaloka. Keiginan Hayam Wuruk ini tidak disetujui oleh Gajah Mada. Gajah Mada tidak menyetujuinya karena jika Dyah Pitaloka menjadi permaisuri Hayam Wuruk, maka seharusnya Dyah Pitaloka diserahkan kepada Majapahit sebagai wujud Kerajaan Sunda takluk pada Majapahit. Namun menurut ibu Hayam Wuruk, Tribuwanatunggadewi, Sunda adalah kerabat sendiri jadi tidak harus ditaklukkan sehingga Hayam Wuruk melamar Dyah Pitaloka. Setelah lamaran Hayam Wuruk diterima oleh Sunda, Hayam Wuruk kemudian mengutus Madhu untuk datang ke Sunda guna membicarakan tempat dan waktu pernikahannya. Setelah berunding dengan keluarga kerajaan Sunda, disetujui bahwa pernikahan dilakukan di kerajaan Majapaahit. Pada saat waktu pernikahan raja Sunda, Maharaja Linggabuana beserta rombongan datang dari Galuh ke , Majapahit. Namun saat rombongan raja sampai di Bubat, utusan Gajah Mada datang dan menyampaikan maksud bahwa Hayam Wuruk menikahi Dyah Pitaloka adalah sebagai tanda takluk Sunda kepada Majapahit. utusan tersebut mengakibatkan rombongan Sunda merasa tidak dihargai. Rombongan raja Sunda mendesak agar Raja Hayam Wuruk menerima Dyah Pitaloka sebagai permaisuri. Sebelum Hayam Wuruk memberikan keputusan tentang hal ini, Gajah Mada telah menggerakkan pasukan Bayangkarinya agar raja

20

Sunda mengakui superioritas Majapahit. Perbedaan pendapat kedua belah pihak ini mengakibatkan terjadinya perang di lapangan Bubat. Rombongan raja Sunda gugur termasuk Maharaja Linggabuana dan pejabat kerajaan. Untuk membela kehormatan mereka, istri para pejabat dan wanita-wanita kerajaan Sunda melakukan bela pati. Bela pati adalah tindakan bunuh diri yang dilakukan untuk membela kematian orang lain. Untuk menghormati mereka, Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar sebagai penghormatan atas orang- orang Sunda yang gugur di Bubat. Kisah Perang Bubat juga ditulis pada , namun tidak tercatat pada kitab Negarakertagama. Akibat Perang Bubat hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjadi renggang (Sri Wintala Achmad, 2019:123). 4.3 Model Kepemimpinan Dwitunggal Unsur pokok kepemimpinan adalah cara, seni, proses memanfaatkan sumber kekuatan yang dimiliki sehingga orang lain atau kelompok yang dipimpinnya bersedia melakukan sesuatu seperti yang diinginan (Emy Wuryani dan Sri Muryani, 2015:71). Kepemimpinan Hayam Wuruk bersifat demokratis. Hal ini ditunjukkan dengan Hayam Wuruk yang beragama Hindu tidak membatasi rakyatnya untuk harus beragama Hindu. Selain itu, Hayam Wuruk juga membentuk dewan khusus pengurus agama, yaitu Dharmadhayaksa Kasaiwan untuk mengurus agama Hindu Siwa dan Dharmadhayaksa Kasogatan yang mengurus agama Buddha. Dengan adanya dewan khusus ini, kehidupan keagamaan rakyat Majaphit dapat berjalan dengan baik dan terciptanya toleransi antarumat beragama. Emy Wuryani dan Sri Muryani (2015) dalam jurnal yang berjudul “Model Kepemimpinan Universitas Kristen Satya Wacana 1956-1993 (Sebuah Kajian Sejarah Lisan)” menjelaskan bahwa pemimpin yang demokratis memiliki ciri utama yakni tidak mengambil keputusan sendiri atau dalam pengambilan

21

keputusan melibatkan orang lain. Contohnya saat Gajah Mada mangkat (1364), Hayam Wuruk memamnggil keluarga kerajaan seperti Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Lasem, Raja Wengker, Raja Metahun, dan Bhre Pajang untuk memutuskan siapa pengganti Gajah Mada. Selain itu dengan adanya pemegang jabatan Bhre yang perempuan menunjukkan bahwa pada masa pemerinthan Hayam Wuruk keseimbangan gender sudah mulai disadari (Sri Wintala Achmad, 2019:111). Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, struktur birokrasi Majapahit sangat teratur. Raja memegang kekuasaan tertinggi dianggap sebagai jelmaan dewa. Sebagai kepala pemerintahan raja bergelar Bhatara Prabu (Bhre Prabu) atau Sri Maharajasa. Pejabat pemerintahan di bawah raja yaitu Patih Amangkubumi yang bertugas memberi arahan tentang jalannya pemerintahan di negara bawahan atau daerah (Sri Wintala Achmad, 2019:110). Untuk di daerah di bawah Majapahit, terdapat raja daerah yang disebut Paduka Bhattara yang bertugas mengumpulkan penghasilan kerajaan dan penyerahan upeti. Daerah bawahan Majapahit menurut Prasati Waringin Pitu tahun 1447 (Sri Wintala Achmad, 2019:111) adalah sebagi berikut: a. Daha, dipimpin oleh Bhattara ring Daha, Jayawardhani, Dyah Jayeswari. b. Jagaraga, dipimpin oleh Bhattara ring Jagaraga, Wijayendudewi, Dyah Wijayaduhita. c. Kahuripan, dipimpin oleh Bhattara ring Kahuripan, Rajasawardhana, Dyah Wijayaumara Sang Sinagara. d. Tanjungpura, dipimpin oleh Bhattara ring Tanjungpura, Manggalawardhani, Dyah Suragjarini. e. Pajang, dipimpin oleh Dyah Sureswari. f. Kembang Jenar, dipimpin oleh Bhattareng Kembang Jenar, Rajanandaneswari, Dyah Sudharmini. g. Wengker, dipimpin oleh Bhattareng Wengker, Girisawardhana, Dyah Surya wikrama Hyang Purwawisesa.

20

h. Kabalan, dipimpin oleh Bhattara ring Kabalan, Mahamahisi, Dyah Sawitri. i. Tumapel, dipimpin oleh Bhattara ring Tumapel, Singawikramawardhana, Dyah Suraprabhawa. j. Singhapura, dipimpin oleh Bhattara ring Singhapura, Rajasawardhanidewi, Dyah Sripura. k. Matahun, dipimpin oleh Bhattara ring Matahun, Wijayaparakrama, Dyah Samarawijaya l. Wirhabumi, dipimpin oleh Bhattara ring Wirhabumi, Rajasawadhanendudewi, Dyah Pureswari. m. Keling, dipimpin oleh Bhattara ring Keling, Girindrawardhana, Dyah Wijayakarana. n. Kalinggapura, dipimpin oleh Bhattara ring Kalinggapura, Kamalawarnadewi, Dyah Sudayita. Berbeda dengan Hayam Wuruk, Gajah Mada memiliki model kepemimpinan yang koersif, dimana para pengikutnya harus menjalankan perintahnya. Hal ini bisa dilihat saat Gajah Mada dan pasukannya mengungsikan Raja Jayanagara di Desa Badander saat pemberontakan Ra Kuti terjadi. Saat itu salah satu pasukannya berniat untuk pulang ke rumah menjenguk keluarganya, karena takut keberadaan mereka diketahui pasukan Ra Kuti Gajah Mada melarang salah satu anak buahnya untuk pulang. Namun anak buah tersebut memaksa untuk pulang sehingga dengan terpaksa Gajah Mada membunuhnya. Dengan dua model kepemimpinan yang berbeda, Hayam Wuruk dan Gajah Mada mampu membawa Majapahit ke puncak kejayaannya. Kelebihan dan Kelemahan Kepemimpinan Dwi Tunggal Majapahit: Masa pemerintahan Hayam Wuruk dibantu dengan Gajah Mada, Majapahit mampu mencapai puncak kejayaannya. Dengan spirit Sumpah Palapa banyak wilayah yang berhasil dikuasai Majapahit. Menurut Moh. Yamin, wilayah kekuasaan Majapahit yang berbatasan dengan wilayah kekuasaan Sin

21

(Syangka), Thai, Dharmanagara, Martaban (Bhirma), Kalingga (Rajapura), Singanagari, Campa, Kamboja, serta Annam (Yawana) tersebut meliputi: a) Seluruh Jawa, antara lain: Jawa, Madura, dan Galiyao (Kangean). b) Seluruh Pulau (Melayu), antara lain: Lampung, Palembang, Jambi, Karitang (Inderagiri), Muara Tebo, (Sijunjung), Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamiang, Perlak, Barat (), Lawas (Padang Lawas, Gayu Luas), Samudra (Aceh), Lamuri (Aceh tiga segi), Bantam, dan Barus). c) Seluruh Pulau Kalimantan (Tanjungnegara), antara lain: Kapuas, Katingan, Sampit, Kuta Lingga (Serawak), Sedu (Sedang di Serawak), Kota Waringin, Sambas, Lawar (Muara Labai), Kedangdanan (Kendangwangan), Landak, Samedang (Simpang), Tiram (Peniraman), Brunai, Kalka, Saludung, Solot (Solok, Sulu), Pasir, Baritu, Sebuku, Tabalong (Amuntai), Tanjung Kutai, Malanau, dan Tanjung Puri. d) Seluruh Semenanjung Melayu (Malaka), antar lain: Pahang, Hujungmedini (Johar), Lengkasuka (Kedah), Saimwang (Semang), Kelantan, Trengganu, Nagor (Ligor), Pakamuar (Pekan Muar), Dungun (di Trengganu), Tumasik (Singapura), Sanghyang Hujung, Kelang (Kedah, Negeri Sembilan), Kedah, Jere (Jering, Petani), Kanjab (Singkep), dan Niran (Karimun). e) Di sebelah timur Jawa, seluruh Nusa Tenggara, antara lain: Bali, Bedulu, Lwagajah (Lilowan, Negara), Gurun (Nusa Penida), Taliwang (Sumbawa), Dompo (Sumbawa), Sapi (Sumbawa), Sanghyang Api (Gunung Api, Sangean), Bima, Seram, Hutan (Sumbawa), Kedali (Buru), Gurun (Gorong), Lombok Mira (Lombok Barat), Sumba, dan Timor. f) Seluruh Sulawesi, antara lain: Bantayan (Bontain), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makasar, Butun (Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (Pulau Kunyit), Salaya (Saleier), dan Solot (Solor).

20

g) Seluruh Maluku, antara lain: Muar (Kei), Wandan (Banda), Ambon dan Maluku (Ternate). h) Seluruh Irian (Barat), meliputi: Onin (Irian Utara) dan Seram (Iriajn Selatan).

Luasnya daerah kekuasaan Majapahit pada masa itu membuktikan betapa luar biasanya kepemimpinan Hayam Wuruk yang tentu saja dibantu Gajah Mada.

Peristiwa perang Bubat menjadi peristiwa renggangnya hubungan Majapahit dengan Sunda. Selain Majapahit dengan Sunda, hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada pun merenggang. Hayam Wuruk kecewa karena keputusan sepihak yang diambil Gajah Mada.

4.4. Nilai-nilai Karakter dalam Kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada

Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, nilai karakter dikelompokkan menjadi lima (Zainal Aqib, 2012:40). Kelima kelompok nilai karakter tersebut terdiri dari nilai-nilai dalam hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan, dan nilai kebangsaan. Di dalam kelompok-kelompok nilai tersebut masih dibagi menjadi beberapa nilai.

Di dalam nilai hubungan manusia dengan Tuhan terdapat nilai religius. Di dalam nilai religius ini pikiran, perkataan, dan perbuatan manusia dilakukan berdasarkan ajaran agama maupun kepercayaannya. Di dalam nilai hubungan manusia dengan diri sendiri terdapat nilai jujur, bertanggung jawab, bergaya hidup sehat, disiplin, bekerja keras, percaya diri, berjiwa wirausaha, berpikir logis; kritis; kreatif dan inovatif, mandiri, ingin tahu, cinta ilmu, dan sadar akan hak dan kewajiban diri sendiri. Di dalam nilai hubngan manusia dengan sesama manusia terdapat kesadaran akan hak dan kewajiban orang lain, menghargai karya dan prestasi orang lain, santun, dan demokratis. Dalam nilai kebangsaan terdapat nilai nasionalis dan menghargai keberagaman. Dalam kepemimpinan

21

Hayam Wuruk dan Gajah Mada terdapat banyak nilai karakter yang dapat diteladan generasi masa kini. Beberapa nilai tersebut antara lain nilai nasionalis, nilai religius, nilai bertanggung jawab, nilai disiplin, nilai kerja keras, nilai percaya diri, nilai menghargai keberagaman, dan nilai demokratis.

Nilai nasionalis dari kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada dapat dilihat dari pengikraran Sumpah Palapa oleh Gajah Mada. Sumpah Palapa yang sering juga disebut sebagai Gagasan Nusantara II atau kelanjutan dari program politik Kertanegara merupakan program penyatuan kembali daerah-daerah bekas kekuasaan Singasari dan daerah lainnya yang lebih luas. Di sini Gajah Mada menyadari bahwa Nusantara adalah satu wilayah, satu perasaan, dan satu kebanggaan (Purwadi, 2007:264). Sejak saat itu, konsep Nusantara semakin dikenal luas hingga terciptanya Nusantara yang seperti saat ini. Selain nilai nasionalis, dalam pengikraran Sumpah Palapa terdapat pula nilai percaya diri. Di tengah-tengah upacara penobatannya sebagai Patih Amangkubumi, Gajah Mada dengan percaya diri mengikrarkan sumpah setianya yakni Sumpah Palapa. Sumpah tersebut ia ikrarkan di depan para pejabat kerajaan.

Pembentukan dewan khusus keagamaan (Dharmadhyaksa Kasaiwan dan Dharmadhyaksa Kasogatan) oleh Hayam Wuruk menunjukkan nilai religius yang dimilikinya. Selain itu, dengan dibebaskannya masyarakat Majapahit dalam memeluk agama menunjukkan nilai demokratis dan menghargai keberagaman yang ada.

Hayam Wuruk dalam Kitab Nagarakertagama pupuh 85 dituliskan sebagai berikut:

1. Tanggal satu bulan Caitra, datanglah bala pasukan dihimpun berkumpul dalma pertemuan, menteri dengan tanda yang berbeda, serta perwira berjalan lebih dulu, bangsawan mengikuti, dihadiri pula oleh akuwu, dan

20

kepala wilayah juga para petugas istana ], dan juga ksatria dan pendeta terdahulu, semua yang paling unggul. 2. Tujuan pertemuan menghindarkan Sang Raja serta semua pasukan pada perbuatan jahat, tetapi mengikuti ajaran Raja Kapa-kapa yang dibacakan setiap bulan Caitra, jangan melakukan perbuatan yang tidak pantas itu, dengan baju perang yang melekat, dewa yang dipuja itu adalah yang menyebabkan kesejahteraan negara (Damaika, 2018:276).

Dari terjemahan Kitab Nagarakertagama pupuh 85 tersebut, Hayam Wuruk rutin melakukan pertemuan di awal bulan Caitra dengan para pejabat kerajaan. Selain bertujuan menghindarkan raja dan pejabat kerajaan dari perbuatan yang kurang baik, tujuan dari pertemuan tersebut untuk membahas tanggung jawab pemerintahan di daerah pejabat-pejabat tersebut (Sri Wintala Achmad, 2019:118). Dalam hal tersebut, nilai bertanggung jawab dan disiplin dari kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada terlihat.

21