T1 152016008 BAB IV.Pdf
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Kerajaan Majapahit Awal Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar di Indonesia yang didirikan oleh Raden Wijaya yaitu menantu dari Kertanegara pada tahun 1293. Kerajaan Majapahit didirikan dengan usahanya sendiri bukan merupakan warisan dari Kertanegara. Kertanegara adalah raja terakhir Kerajaan Singasari sebelum runtuh akibat serangan Jayakatwang. Kertanegara dan permaisurinya wafat akibat serangan tersebut. Raden Wijaya dan pengikutnya melarikan diri dengan melakukan pengembaraan dari Rabut Carat ke Pamawaran, Trung, Kulwan, Kembang Sari,karena di wilayah ini Raden Wijaya dan pengikutnya dikejar musuh mereka berjalan kembali ke Desa Kudadu sampai akhirnya Raden Wijaya disarankan meminta bantuan Aria Wiraraja di Madura. Setelah tinggal beberapa waktu di Madura atau lebih tepatnya wilayah Aria Wiraraja, Raden Wijaya dan Aria Wiraraja menyusun siasat untuk merebut kekuasaan Jayakatwang. Dengan segala tipu muslihatnya, Raden Wijaya menyatakan seolah-olah takluk pada kekuasaan Jayakatwang. Takluknya Raden Wijaya diterima baik oleh Jayakatwang untuk mengabdi padanya. Raden Wijaya pun dihadiahi tanah Tarik yang waktu itu berupa hutan (sekarang Mojokerto) untuk menjadi daerah kedudukannya. Saat sedang melakukan pembukaan hutan Tarik, salah seorang pasukan Raden Wijaya menemukan buah maja. Raden Wijaya memakannya, tetapi ketika dimakan rasanya pahit. Oleh karena itu, wilayah hutan Tarik ini kemudian diberi nama Majapahit. Pada tahun 1293, tentara Tartar datang ke Jawa hendak menyerang Kertanegara karena telah melukai salah satu utusannya, namun Kertanegara sudah wafat. Pasukan Tartar dengan dibantu pasukan Raden Wijaya kemudian menyerang Jayakatwang dan berhasil menundukkan Jayakatwang. Kesempatan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang balik tentara Tartar dan 8 memukul mundur tentara Tartar dari wilayah Singasari. Dengan berakhirnya kekuasaan Jayakatwang, Raden Wijaya menobatkan dirinya menjadi raja baru dengan nama kerajaan Majapahit. Raden Wijaya naik tahta dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Pada saat pemerintahan Raden Wijaya berakhir, tahta Majapahit jatuh ke tangan putranya, Jayanagara atau yang memiliki nama kecil Raden Kala Gemet. Kala Gemet naik tahta dengan gelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandy Dewa Adhiswara pada tahun 1294. Pada masa pemerintahannya muncul banyak pemberontakan, diantaranya pemberontakan Ranggalawe, pemberontakan Lembu Sora, pemberontakan Juru Demung, pemberontakan Gajah Biru, pemberontakan Mandan, pemberontakan Wagal, pemberontakan Lasem, pemberontakan Semi, pemberontakan Semi, dan pemberontakan Kuti. Menururt Kitab Pararton, pemberontakan terjadi akibat fitnah dan adu domba Mahapati, sementara sumber yang lain menyebutkan bahwa pemberontakan terjadi karena ketidakpuasan beberapa orang dengan penobatan Jayanegara, contohnya pemberontaka Nambi Pada masa pemerintahan Jayanagara, Gajah Mada pertama kali muncul menjadi anggota pasukan pengawal raja atau pasukan Bhayangkari. Gajah Mada mulai dikenal sebab jasanya dalam pemberontakan Ra Kuti. Pada saat itu Gajah Mada dan pasukannya berhasil mengungsikan Raja Jayanegara beserta keluarganya ke desa Badander saat Ra Kuti menduduki istana. Setelah peristiwa Badander atau pemberontakan Ra Kuti, Gajah Mada diangkat menjadi patih di Kahuripan. Kemudian setelah 2 tahun diangkat menjadi patih di Daha. Pada masa pemerintahan Raden Wijaya Daha dan Kahuripan merupakan daerah bawahan Majapahit yang paling utama. Daha di Barat, Kahuripan di Timur, dan Majapahit sebagai pusatnya. Pada tahun 1250 Saka atau 1328 M, Jayanagara wafat dibunuh oleh Tanca (tabib kerajaan). Ra Tanca merupakan ahli pengobatan istana. Menurut Sri Wintala Achmad, suatu hari, Ra Tanca dipanggil untuk mengobati sakit bisul 21 yang diderita Jayanagara. Di dalam kamar raja, hanya ada Ra Tanca, Jayanagara, dan Jaka Mada. Usai melakukan terapi pembedahan, tiba-tiba Ra Tanca menusuk Jayanagara dari belakang hingga tewas. Melihat peristiwa pembunuhan itu, Jaka Mada menikam Ra Tanca hingga tewas (Sri Wintala Achmad, 201:90). Jayanagara tidak memiliki anak sehingga adik (tiri) perempuannya yang bernama Tribhuwana Wijayatunggadewi naik takhta menggantikannya Tiga tahun setelah Tribhuwana Wijayatunggadewi naik takhta, terjadi pemberontakan Sadeng (1331) yang mampu dipadamkan oleh Gajah Mada. Pemberontakan Sadeng dilatarbelakangi oleh Jayanegara yang mengkhianati perjanjian Songeneb. Perjanjian Songeneb yaitu perjanjian antara Aria Wiraraja dan Raden Wijaya yang menyebutkan bahwa wilayah Sadeng dan Keta menjadi kekuasaan Aria Wiraraja. Jayanegara mengklaim bahwa Sadeng dan Keta adalah wilayah kekuasaannya. Pendapat lain mennyebutkan bahwa Tribhuwana Wijayatunggadewi berniat menguasai Sadeng dan Keta karena kedua daerah tersebut memiliki pelabuhan potensial yang mendukung perekonomian Majapahit (Sri Wintala Achmad, 2014:96-97). Gajah Mada yang saat itu menjadi Patih di Daha diminta Arya Tadah untuk menggantikannya sebagai Mahapatih Amangkubumi, namun Gajah Mada menolak. Gajah Mada tidak akan menjabat sebagai Patih Amangkubumi sebelum berhasil menumpas pemberontakan Sadeng. Dalam menumpas pemberontakan Sadeng terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar. Ra Kembar adalah putra bungsu Raja Pamekalahan. Ra Kembar adalah prajurit yang tangguh dan ahli menunggang kuda serta menggunakan senjatanya berupa cambuk (Sri Wintala Achmad,2019:58). Gajah Mada dan Ra Kembar bersaing memperebutkan posisi sebagai panglima perang dalam penumpasan pemberontakan Sadeng. Ra Kembar mendahului berangkat menyerang Sadeng saat Gajah Mada dan Adityawarman melakukan diplomasi dengan Sadeng agar pemberontakan dapat terselesaikan tanpa adanya pertumpahan darah. Ra Kembar ingin mencari perhatian dari Ratu 20 Tribhuwana Wijayatunggadewi. Beberapa utusan dikirimkan Gajah Mada untuk menemui Ra Kembar agar mengurungkan niatnya. Ra Kembar menolak dengan alasan apa yang dilakukannya untuk kerajaan. Pertempuran antara pasukan Ra Kembar dan pasukan Sadeng tidak dapat dihindari. Melihat kondisi yang memburuk, Gajah Mada mengerahkan pasukannya, dibantu dengan Adityawarman dan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi Sadeng dapat dipadamkan. Kemenangan Majapahit atas Sadeng, membawa anugerah bagi Gajah Mada yang diangkat menjadi Angabehi dan tak lama kemudian diangkat menjadi Patih Amangkubumi. Sedangkan Ra Kembar diangkat sebagai Bekel Araraman (Krisna Bayu Adji, 2014:123). Setelah memerintah selama 22 tahun, Tribuwanatunggadewi digantikan oleh putranya yaitu Hayam Wuruk. Hayam Wuruk naik tahta pada 1350 M dengan gelar Maharaja Sri Rajasanagara. 4.2. Hayam Wuruk dan Gajah Mada 4.2.1. Latar Belakang Hayam Wuruk dan Gajah Mada Hayam Wuruk adalah putra dari Bhre Tumapel dan Tribhuwanatunggadewi dengan nama kecil Raden Tetep. Dalam Kitab Negarakertagama pupuh 1 diuraikan tentang kelahiran Hayam Wuruk dimana ia lahir pada tahun Saka 1256 (1334 M) di saat terjadinya gempa bumi dan gunung Kampud meletus. Pada hari kelahirannya pula diikrarkan Sumpah Amukti Palapa oleh Gajah Mada (Sri Wintala Achmad, 2019:108). Hayam Wuruk adalah seorang raja yang memiliki jiwa seni di dalam dirinya. Ia suka menari dengan memainkan peran wanita sebagai Pager Antimun, menjadi dalang bergelar Tirtaraju, dan menjadi pelawak dalam pertunjukkan wayang dengan memainkan peran Gagak Ketawang (Purwadi, 2007:107). Penobatan Hayam Wuruk menjadi raja dilakukan pada saat ia masih berusia tujuh belas tahun yang menggantikan ibunya, Tribhuwana Tunggadewi karena turun tahta dan bergabung dalam Saptaprabhu pada 21 tahun 1351. Saptaprabhu adalah pejabat tinggi kerajaan Majapahit semacan Dewan Pertimbangan Agung yang bertugas sebagai Penasehat Raja. Hayam Wuruk naik tahta dengan bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Kisah tentang kelahiran Gajah Mada masih dipenuhi mitos. Menurut Naskah Usana Jawa, Gajah Mada dilahirkan di Bali. Ia lahir dengan cara memancar dari buah kelapa sebagai penjelmaan dari Dewa Wisnu. Ia dipercaya masyarakat tidak memiliki ayah dan ibu. Gajah Mada lahir atas kehendak para dewa dan dewi (Sri Wintala Achmad, 2019:220). Menurut Babad Gajah Mada, diceritakan ada seorang pendeta bernama Mpu Sura Dharma Yogi yang memiliki istri bernama Patni nari Ratih. Suatu ketika Dewa Brahma jatuh cinta pada Patni Nari Ratih karena kecantikannya hingga Dewa Brahma memperkosa Nari Ratih di gubuk yang sepi. Nari Ratih kemudian menceritakannya kepada suaminya, sehingga mereka kemudian memutuskan untuk mengembara. Ketika sudah waktunya untuk melahirkan, mereka sampai di desa Mada yang terletak di kaki Gunung Semeru. Nari Ratih melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi ini kemudian diserahkan kepada kepala Desa Mada untuk diasuh karena kedua orangtuaya bertapa. Setelah bertahun-tahun bayi ini tumbuh menjadi seorang remaja. Suatu hari Mahapatih Majapahit datang ke Desa Mada dan mengajaknya untuk ikut ke Majapahit (Sri Wintala Achmad, 2019:220). Dalam Kitab Pararaton disebutkan bahwa Gajah Mada adalah anak dari Gajah Pagon. Gajah Pagon ialah seorang pengikut Raden Wijaya yang terluka saat serangan pasukan Jayakatwang yang ditinggal di Desa Pandakan. Gajah Pagon menikah dengan putri kepala desa bernama Macan Kuping. Dari hasil pernikahan Gajah Pagon dan Macan Kuping lahirlah anak laki-laki yang diberi nama Gajah Mada (Sri Wintala Achmad, 2019:220). 20 4.2.2. Peristiwa-peristiwa yang Terjadi pada Masa Pemerintahan Hayam Wuruk a. Sumpah Palapa Sumpah Palapa sebenarnya sudah diikrarkan sejak masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi, namun dalam prakteknya Sumpah Palapa terpenuhi pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Banyak sumber yang mengatakan