Bab 2 Landasan Teori
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Umum 2.1.1. Letak Geografis Sumatra Barat Secara geografis, Provinsi Sumatera Barat terletak pada garis 00 54’ Lintang Utara sampai dengan 30 30’ Lintang Selatan serta 980 36’ – 1010 53’ Bujur Timur dengan luas wilayah 42.29730 Km2 atau 4.229.730 Ha. Luas perairan laut Provinsi Sumatera Barat kurang lebih 186.500 Km2 dengan jumlah pulau besar dan kecil sekitar 345 pulau. 2.1.2. Kedatangan Majapahit Di Minangkabau Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit, sekaligus melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman. Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 masehi atau 1267 saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya dengan namaMalayapura. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya, dan memindahkan ibukotanya dari Dharmasraya ke daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso). Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada bangsa Mauli penguasa Dharmasraya, dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari 3 4 Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi. 2.1.3. Kerajaan Pagaruyung Masa Kebudayaan Islam Sultan Alif Khalifatullah naik tahta sekitar tahun 1560. Beliau merupakan raja (sultan) pertama di Kerajaan Pagaruyung yang memeluk agama Islam. Perubahan corak kepemimpinan ini secara langsung mengubah pula sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Pagaruyung. Perubahan yang sangat drastis di lingkungan Kerajaan Pagaruyung terjadi ketika datang 3 orang ulama yang baru pulang dari Tanah Suci (Mekah) pada tahun 1803. Mereka berupaya melakukan pembaharuan (pemurnian) ajaran agama Islam yang menimbulkan “Gerakan Paderi” (M.D. Mansoer et.al., 1970). Kaum Paderi melihat bahwa ajaran Islam di tempat tersebut telah meleceng dari norma yang digariskan oleh agama Islam.. Dari sinilah muncul 8 orang pemimpin yang dikenal dengan Kaum Paderi. Sedangkan Kaum Adat yang pakaiannya bisanya berwarna hitam dijuluki dengan “Kaum Hitam“. Dari sinilah asal mula perseteruan antara Kaum Paderi dengan Kaum Adat di lingkungan Kesultanan Pagaruyung (Datoek Toeah, 1976). Menurut Yus Dt. Parpatiah, pada tahun 1833 Sultan Bagagar Alamsyah, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada Belanda dan untuk mengakhiri perang Padri (perang antara pemuka adat minang dan para ulama), maka para pihak Belanda mengeluarkan Mahlumat Pelangkap Pancak. yang isinya ada 3 pasal, yaitu : 1. Membebaskan rakyat dari pajak. 2. Pemerintahan tidak mencapuri urusan-urusan adat di nagari. 3. Penjualan kopi yang di monopoli oleh VOC, kini dijual bebas di pasar. 5 Sebagai imbalannya, Belanda akan membantu berperang melawan Kaum Paderi dan sultan diangkat menjadi Regent Tanah Datar mewakili pemerintah pusat. Namun pasal-pasal tersebut tidak ditepati janjinya oleh Belanda. janji kolonial Belanda kepada Kerajaan Pagaruyung pun juga tidak ditepati Belanda. semua itu omong kosong. Pada akhirnya para pihak bangsawan, revolusi padri dan kaum adat untuk melaksanakan pertemuan di Bukit Marapalam. mereka membuat sebuah kesepakatan adat dan agama islam disatukan. maka terbentuklah falsafah adat Minang Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah. Dan dari pertemuan di bukit Marapalan tersebut, mereka bersatu untuk melawan mundur Belanda. Namun data dan bukti ontektik telah dimusnakah oleh Belanada. Pada 2 Mei 1833 Yang Dipertuan Minangkabau Sultan Bagagar Alamsyah, raja terakhir Kerajaan Pagaruyung, ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan di pekuburan Mangga Dua (http://id.wikipedia.org/). Sepeninggal Sultan Bagagar Alamsyah, perlawanan secara gerilya masih dilakukan oleh Sultan Sembahyang III. Akan tetapi perlawanan ini hanya terjadi sesaat karena pada 1870 Sultan Sembahyang III meninggal dunia di Muara Lembu (Datoek Toeah, 1976). Dengan meninggalnya Sultan Sembahyang III, maka berakhir pula sejarah Kerajaan Pagarung yang didirikan oleh Adityawarman pada 1347. 2.1.4. Islam Dan Adat Minangkabau 1. Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah Falsafah Budaya Minang Dalam Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah merupakan salah satu filosofi hidup yang dipegang oleh masyarakat Minangkabau, yang menjadikan Islam sebagai landasan utama dalam tata pola perilaku dan nilai-nilai kehidupan. Dengan kata lain, 6 Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah merupakan kerangka dasar kehidupan sosial baik horizontal-vertikal maupun horizontal-horizontal. Bila Budaya Batak dan Falsafah Budayanya Secara Umum terdapat penekanan pada siklus kekerabatan dan konsep ini dijalankan bersamaan dengan konsep kerohanian sesuai Injil, maka Adat Barsendi Syarak, Syarak Barsendi Kitabullah dalam masyarakat Minangkabau merupakan perpaduan yang hampir serupa antara norma dan etika masyarakat dengan masuknya agama Islam. Adat Barsendi Syarak, Syarak Barsendi Kitabullah di masyarakat Minang yang menjadi identitas, lahir dari sebuah kesadaran sejarah dan pergumulan tentang perjuangan dan hidup. Masuknya agama Islam dan berpadu dengan adat istiadat setempat melahirkan kesepakatan luhur. Bahwa sesungguhnya seluruh alam merupakan ciptaan Allah SWT dan menjadi ayat-ayat yang menjadi tanda kebesaran-Nya, memaknai eksistensi manusia sebagai khalifatullah di dunia. Adat disebut juga 'uruf, yang berarti sesuatu yang dikenal, diketahui dan berulang-ulang menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Adat telah berusia tua dan menjadi bagian turun-temurun umat manusia sehingga menjadi identitas.'Uruf bagi umat Islam ada yang baik adapula yang buruk. Pengukuhan adat yang baik dan menghapus yang buruk menjadi tugas dan tujuan kedatangan agama dan syariat Islam (Drs. H. Musyair Zainuddin, MS, 2013:31-40). Proses dialektika, pertentangan dan perimbangan oleh orang Minang telah membentuk masyarakat Minangkabau yang memiliki karakter, watak dan sikap yang jelas dalam menghadapi kehidupan. Karakter tersebut diantaranya yaitu : 1. Penekanan terhadap nilai-nilai keadaban dan menjadikan kekuatan budi dalam menjalani kehidupan 7 2. Etos kerja yang didorong oleh penekanan terhadap kekuatan budi yang mendasari setiap orang untuk dapat melakukan hal-hal berguna bagi semua orang 3. Kemandirian . Etos kerja dalam melaksanakan amanah sebagai khalifah menjadi kekuatan bagi orang Minang untuk dapat hidup mandiri tanpa harus tergantung dengan orang lain. 4. Toleransi dan Kesamaan Hati. Meskipun terdapat kompetisi, namun adanya rasa kesamaan menimbulkan toleransi khususnya dalam memandang komunitas 5. Kebersamaan , Adanya toleransi dan kesamaan hati terhadap komunitas menyebabkan tumbuhnya kesadaran sosial untuk dapat hidup dan menjalani hidup secara bersama-sama 6. Visioner . Adanya budi pekerti, etos kerja yang tinggi dan kemandirian diiringi semangat kebersamaan dan toleransi yang tinggi menimbulkan pandangan jauh ke depan. 2. Sistem Matrilineal Minangkabau atau Sumatera Barat khususnya menganut “ Sistem Kekerabatan Matrilineal” yaitu “Sistem kekerabatan berdasarkan Garis Keturunan Ibu”. Setiap anak yang lahir dalam sebuah keluarga minangkabau akan menjadi kerabat keluarga ibunya, bukan kerabat ayahnya yang biasa terjadi di suku-suku lain di Indonesia. Hal ini menjadikan ciri khas tersendiri bagi Minangkabau yang membedakannya dengan suku lain di Indonesia (H. Musyair Zainuddin, MS, 2010:62-67). Adapun ciri-ciri dari sistem Matrilineal yaitu sebagai berikut; 1. Keturunan dihitung menurut garis ibu. 2. Suku terbentuk menurut garis ibu 3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya atau eksogami karena di Minangkabau dilarang kawin sesuku. 8 4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku 6. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi dan tinggal dirumah istrinya. 7. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan. Di dunia hanya beberapa suku saja yang menggunakan sistem Matrilineal ini, Yakni : - Suku Minangkabau di Sumatera Barat, Indonesia - Suku Indian di Apache Barat - Suku Navajo, sebagian besar suku Pueblo, suku Crow, di Amerika Serikat - Suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut - Suku Nakhi di Provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok - Beberapa suku kecil di kepulauan Asia Pasifik Dari beberapa suku tersebut diatas, Suku Minangkabau merupakan Suku terbesar penganut sistem kekerabatan yang menurut garis keturunan ibu ini. Matrilineal merupakan salah satu aspek dalam menentukan dan mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa. Adat dan budaya di Minangkabau menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Sampai detik ini Sistem kekerabatan Matrilineal masih tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau. Pada setiap individu Minang, memiliki kecenderungan untuk menyerahkan harta pusaka yang seharusnya dibagi