PROSIDING SEMINAR NASIONAL 20 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG 25 NOVEMBER 2017

PERANAN BUDAYA, BAHASA, DAN SASTRA DALAM MENUMBUHKAN TOLERANSI DAN SIKAP SALING MENGHORMATI

Maman S Mahayana Universitas e-mail: [email protected]

Abstrak: culturally is essentially 'ethnic' literature. The use of that places it as Indonesian literature, a national language derived from the Malay ethnic language. As a literature whose spirit is derived from ethnic culture, it can not be separated from the things that circle it. However, the creation of literary works does not come from emptiness. Not taken by angels from the sky. Literature was born from various socio-cultural problems, ideology, and so on which became anxiety writers. Indonesian literature is culturally an 'ethnic' literature so the study of it, directly or indirectly, can be used as an entry point to introduce the wealth of other ethnic cultures. Thus, literary learning in schools should no longer be treated as theoretical knowledge, but as a form of appreciation of the literary treasures of Indonesia itself and all as an effort to introduce ethnic culture with various phenomenon.

Kata Kunci: Culture, Language, Literature, Indonesia, Tolerance and Mutual Respect

——————————  ——————————

PENDAHULUAN iwayat pembentukan bangsa Indonesia adalah bawah perlindungan politik negara yang disebut kisah panjang tentang sebuah komunitas yang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rinklusif. Bangsa yang terbuka menerima segala Secara politik, NKRI silakan saja ditetapkan pengaruh (apa pun yang baik) yang datang dari mana sebagai “harga mati”. Artinya, segala yang berada di pun. Tanpa mesti meninggalkan apa yang sudah bawah naungan NKRI, tanpa terkecuali, adalah menjadi miliknya, ia baik-baik saja menerima dan bagian inheren dari diri kita, saudara kita, kehidupan menyikapi segala pengaruh luar yang menyelinap, kita. Oleh karena itu, sesiapa pun hendaklah tidak nongkrong atau berseliweran di depan mata. Tak ada mencoba-coba ngapusi, merampok, merampas, resistensi ketika pengaruh luar itu datang dengan melukai, mencederai, dan seterusnya, sebab ia akan semangat menyebarkan persaudaraan, tanpa berurusan dengan kita selaku bangsa yang besar, paksaan atau peperangan. Sikap seperti itulah yaitu warga bangsa yang berada di bawah naungan sebenarnya yang menciptakan tali persatuan pada NKRI itu. Tetapi, sebagai bangsa yang sejak awalnya keberagaman penduduk di wilayah Nusantara ini. sudah terbiasa berkelindan dan tumbuh dengan Mengingat sejak awalnya bangsa ini inklusif, segala kreativitasnya, NKRI adalah harga hidup. ia senantiasa menjadi tuan rumah yang baik: kepada Begitulah Sutardji Calzoum Bachri membuka wacana siapa pun well come, silakan, prasangkanya baik, tentang bangsa yang berkembang lantaran kehidupan riang gembira, dan positive thinking! Dengan kreativitas di Tanah Air ini tidak tumbuh stagnan, karakteristik yang demikian, bangsa ini, tanpa mandek, dan juga tidak mundur terus pantang maju. disadarinya, berkembang menjadi sebuah komunitas Sutardji memberi penyadaran pada kita dengan yang terbentuk lewat proses hibridisasi yang besar, membuka ruang kreatif seluasnya. Maka NKRI, tak luwes, lincah, lentur, mudah beradaptasi, dan penuh dapat lain: sebagai harga hidup! daya kreatif. Apa pun yang datang dan diterima, tiba- Apa benar begitu? Mari kita periksa! Proses tiba disesuaikan dengan keadaan alam, dinamika pembentukan kebudayaan di wilayah Nusantara ini kultural, dan kondisi sosial di sekitar. Segalanya, sebenarnya berkaitan erat dengan sikap hidup lewat kreativitas, diolahnya kembali, diubahsuaikan, masyarakatnya yang religius. Sistem kepercayaan dan dinusantarakan! Itulah karakteristik sebagian adalah akar tunjangnya. Proses pembentukannya besar penduduk yang mendiami wilayah Nusantara tentu tidak sekali jadi, tidak ujug-ujug; tidak juga, jadi, ini: bangsa Indonesia! Ia terus bergerak dalam proses maka jadilah: Tidak! Juga tidak melalui simsalabim menjadi. Meskipun begitu, sebagai bangsa yang tidak adakadabra, prok-prok-prok! lalu keluarlah burung dapat menghindar dari konsep negara, ia berada di merpati atau bunga! Di sana, ada kisah yang panjang.

Mula-mula, bangsa Indonesia yang dengan segala dan seterusnya. Take for granted. Sudah sedemikian keberagamannya itu, merasa dipersatukan oleh adanya. Jadi, terima sajalah, sebab setiap manusia kesamaan sejarah, bahasa, budaya, klaim wilayah, pada awalnya memang begitu. Meski demikian, kesadaran kebangsaan, dan entah apalagi. Tidak hendaklah jangan ada yang merasa lebih agung atau sesiapa pun yang pantas merasa paling Indonesia. lebih luhur dibandingkan yang lain, atau sebaliknya. Fakta sosiologis memang begitu: identitas Indonesia Tak perlu mengagungkan semangat primordial terus bergerak, menggelinding, membal, menabrak dengan sikap chauvinistic secara berlebihan. Oleh pewatas identitas lain dengan segala karakteristik karena itu, tidak pada tempatnya jika kita mengukur keindonesiaannya. Identitas Indonesia, sampai entah persoalan etnisitas, budaya, dan agama, berdasarkan kapan pun, akan terus laju dalam proses menjadi kacamata yang kita miliki. Sudah dari sononya ia (becoming). ditakdirkan dalam garis etnisitas,3 lalu tumbuh, Begini Stuart Hall,1 coba merumuskannya: bergerak, berproses, membentuk identitas baru, dan “Identitas merupakan sesuatu yang secara aktual menjadi entah apa. Identitas keindonesiaan adalah terbentuk melalui proses tidak sadar meloncati waktu, proses yang belum selesai. bukan kondisi yang terberi begitu saja dalam Begitulah perkara identitas. Ia tak dapat kesadaran sejak lahir.” Identitas menyisakan menghindar dari keunikan yang membedakannya ketidaklengkapan, selalu ia berada dalam proses dengan identitas lain, dan bersamaan dengan itu, menjadi, sedang dibentuk dan entah selesainya melekat adanya persamaan. Jadi, sesungguhnya kapan, atau terus berproses dan tak pernah selesai. identitas menyimpan kesamaan di tengah perbedaan Jadi, di satu pihak, secara juridis, NKRI yang (sameness amid difference). Perbedaan itu, tidak mewadahi identitas Indonesia, dan di pihak lain, perlu diprovokasi, sehingga memicu konflik. Sebab, manakala ia berurusan dengan perkara etnisitas yang setiap manusia pada hakikatnya juga berbeda. melekat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Fitrahnya memang begitu. Lalu, mengapa pula ada NKRI, secara sosio-kultural, ia bergerak dalam proses pemaksaan agar segalanya sama dan seragam? yang belum selesai. Bukankah kita, sang manusia, setiap individu, Di dunia ini, bangsa-bangsa yang multikultur komunitas, suku bangsa, sejak awalnya sudah tidak terhindarkan, kerap menyimpan, potensi –dan ditakdirkan berbeda? Lalu, para pendiri bangsa ini sekaligus— problem keberbagaian etnisitas, menyadari bahwa perbedaan itu mustahil dihilangkan, kesukubangsaan, dan identitas kebangsaan. Jika tetapi mereka dapat dipersatukan oleh kesadaran problem laten itu gagal diselesaikan, maka memiliki wilayah tempat tinggal yang sama; oleh dampaknya sangat serius. Kesepakatan para pemuda sentimen yang sama melalui ikatan sejarah, jaringan yang mewakili organisasi etnik kesukubangsaan dan budaya, dan persaudaraan; dan penerimaan pada kemudian menanggalkan fanatisme primordial dan sebuah bahasa yang disepakati sebagai bahasa egoisme kedaerahan lewat deklarasi Sumpah persatuan. Dengan kesadaran itulah, seperti telah Pemuda, 28 Oktober 1928, merupakan fase penting disinggung tadi, lahir sebuah deklarasi penting yang penyelesaian fondasi etnisitas, yang dikatakan Ben membayangkan sebuah tanah air, bangsa, dan Anderson sebagai komunitas bayangan (imagined bahasa sebagai alat persatuannya. Deklarasi itulah community).2 Sebuah dasar untuk membangun pilar yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, 28 Indonesia yang multikultur. Jadi, sesungguhnya, Oktober 1928 berikut ini: Indonesia telah menyelesaikan problem Pertama: kesukubangsaan sejak hampir seabad yang lalu, dan mereka memilih sebuah bahasa sebagai bahasa 3 Etnisitas adalah kelompok masyarakat yang (merasa) memiliki persatuan: “menjunjung bahasa persatuan, bahasa kesamaan sejarah, nenek moyang, asal usul dan bahasa yang Indonesia.” sama, sebagaimana tercermin dalam simbol-simbol yang khas, Setiap individu etnik adalah khas dan unik. seperti agama, pakaian, dan tradisi. Berdasarkan adanya sejumlah Seolah-olah, sudah nasibnya ia terlahir begitu dengan unsur budaya yang sama, satu kelompok masyarakat etnik secara latar belakang suku bangsa, bahasa, budaya, agama, budaya berbeda dari kelompok masyarakat yang lain. (International Encyclopedia of Social Science, Vol. 3). Sebagai 1Stuart Hall “Introduction: Who Needs Identity?” dalam Stuart konsep, etnisitas mengacu pada pembentukan dan pelanggengan Hall & Paul du Gay (ed.), Questions of Cultural Identity. batas-batas kultural dan punya keunggulan dalam penekanannya London: Sage Publications, 1996. pada sejarah, budaya dan bahasa (Obed Bima Wicandra, “Graffiti 2 Benedict R.O'G Anderson, Imagined Communities: Reflections di Indonesia: Sebuah Politik Identitas ataukah Tren? (Kajian on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso, Politik Identitas pada Bomber di Surabaya)” Jurnal Nimana, Vol. 1986. 8, No. 2, Juli 2006: 53. 10

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah Pernyataan “… menjunjung bahasa persatuan, darah yang satu, tanah Indonesia. bahasa Indonesia” tidak hanya sebagai bentuk Kedua: pengakuan akan keberadaan bahasa-bahasa daerah, Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa melainkan juga klaim atau semacam rekomendasi yang satu, bangsa Indonesia. bahwa bahasa-bahasa daerah itu, mesti Ketiga: dipertahankan keberadaannya dan kosa katanya Kami putra dan putri Indonesia mengaku menjunjung dijadikan kekayaan untuk meningkatkan jumlah kosa bahasa persatuan, bahasa Indonesia. kata bahasa Indonesia.7 Dalam lampiran keputusan kongres itu Sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia dijelaskan, bahwa keputusan tersebut berdasarkan menunjukkan, bahwa kekayaan sumber-sumber “… keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan alam, laut, hutan, hasil pertanian, dan eksotisme memperhatikan dasar persatuannya, yaitu Kemauan, panorama keindahan alamnya, telah mendorong Sejarah, Hukum Adat, serta Pendidikan dan bangsa-bangsa asing datang ke kepulauan Kepanduan.”4 Muhammad Yamin, salah seorang Nusantara. Bangsa Eropa kemudian menyebut pemrakarsa dan perumus teks Sumpah Pemuda, wilayah itu sebagai Mooi Indië,8 kepulauan Hindia dalam pidatonya yang bertajuk “Bangsa dan yang indah. Bukan cuma itu, inklusivisme penduduk Kebangsaan”5 mengungkapkan dasar pemikirannya di wilayah Nusantara itu, juga menjadi pertimbangan tentang ketiga butiran yang tertera dalam teks bangsa-bangsa asing itu datang ke Nusantara. Maka, Sumpah Pemuda, berikut ini: “Kesadarannya dalam seperti telah disebutkan di awal, penduduk merumuskan Indonesia dilandasi oleh tiga faktor Nusantara, juga dikenal sebagai masyarakat yang penting, yaitu (1) Indonesia sebagai Tanah Air yang terbuka menerima apa pun sejauh memberi manfaat. secara geografis tercakup dan wujud sebagai wilayah Harap diingat, semua yang diterima itu tidak begitu Nusantara; (2) Indonesia sebagai bangsa yang saja ditelan bulat mentah, tetapi diolah lagi sesuai mempunyai sejarah panjang keagungan raja-rajanya; asas manfaat dan kepentingan masyarakat, dikemas dan (3) Indonesia yang terdiri dari berbagai lagi agar tidak ada resistensi. Singkatnya: semua sukubangsa, etnis, agama, dan bahasa yang yang datang dari bangsa-bangsa asing itu, diterima mendiami pulau-pulau besar dan kecil yang dan seketika itu pula dinusantarakan. dipersatukan oleh kesadaran menggunakan bahasa Penusantaraan agama, budaya, bahasa, atau yang sama sebagai alat komunikasi.”6 apa pun yang datang dari luar itu, memang sudah Mengenai butir ketiga Sumpah Pemuda yang terjadi sejak awal. Faktor penusantaraan pengaruh berbunyi: “Kami putra dan putri Indonesia mengaku bangsa-bangsa asing itulah yang menjadikan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” penduduk di Nusantara pernah begitu reputasional.9 bermakna bahwa bahasa Indonesia yang ditempatkan berada di atas bahasa-bahasa daerah 7 Dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 25—28 Juni 1938, lain yang hidup dan berkembang di wilayah budaya masalah hubungan bahasa Indonesia dan bahasa daerah, etnik di seluruh pelosok Nusantara, tidak berarti disampaikan juga oleh Ki Hadjar Dewantara yang dikatakannya, hendak menyingkirkan bahasa-bahasa daerah itu. “… bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang diwajibkan tidak berarti mendesak bahasa daerah ….” Sementara M. Tabrani 4 Dalam notula penjelasan tentang ketiga butir Sumpah Pemuda mengatakan, “Bahasa Indonesia bukan lawan bahasa daerah.” itu, ada keterangan bahwa dasar pemikiran tentang ketiga butir Lihat Harimurti Kridalaksana (Ed.), Masa Lampau Bahasa Sumpah Pemuda dengan mempertimbangkan faktor kemauan, Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, : Kanisius, 1991), sedjarah, hukum adat, pendidikan, dan kepanduan. Kemauan hlm. 241, 251. (bersama) adalah kemerdekaan; sejarah (yang sama) adalah latar 8 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, : belakang Indonesia dengan kebesaran masa lalu raja-raja Gramedia, 1996, hlm. 43. Nusantara dan kesadaran pentingnya persatuan; hukum adat adalah penghormatan pada kultur dan bahasa etnik; pendidikan 9 Sekitar lima abad lamanya (abad ke-14 sampai abad ke-19) adalah usaha memajukan pendidikan bagi bangsa bumiputra; dan Nusantara pernah menjadi pusat peradaban dan jaringan kepanduan adalah kesadaran pentingnya kepeloporan para intelektual poros Nusantara—Timur Tengah dan Asia Barat pemuda (Indonesia) berada di garis terdepan dalam mencapai dengan bahasa Melayu dan Arab sebagai bahasa komunikasi. Di cita-cita (kemerdekaan). berbagai daerah, muncul pula para ulama dan intelektual yang ribuan karya filsafat, sastra, bahasa, sejarah, antropologi, dan 5 Dibacakan pada Kerapatan Besar Indonesia Moeda yang seterusnya. Beberapa di antaranya, dapat disebutkan di sini: Nur Pertama, di Surakarta, 29 Desember—2 Januari 1931. al-Din al-Raniri dan Abd. Al-Rauf al-Sinkili, Hamzah Fansuri 6 Pitut Soeharto dan A. Zainoel Ihsan, Permata Terbenam, dan Syams al-Din al-Samatrani (Aceh), Muhammad Yusuf al- Jakarta: Aksara Jayasakti, 1981, hlm. 251—282. Maqassari (Makassar), Arsyad al-Banjari (Banjarmasin), Al- 11

Sebab, segalanya diterima, diolah, dikemas, dan tidak menghilangkan begitu saja Hinduisme. Buddha disajikan kembali secara kreatif. Tambahan pula, dan Hindu dapat berkembang bersama tanpa sebelum bangsa-bangsa asing datang ke wilayah menimbulkan konflik.11 Nusantara, penduduk setempat sudah mempunyai Masuknya agama Hindu dan Buddha ke modal budaya—meminjam istilah Bourdieu, yaitu wilayah Nusantara, tidak berarti nilai-nilai sistem aksara (huruf),10 bahasa, dan tradisi sastra yang kepercayaan animisme ditinggalkan. Sistem melimpah. Penduduk di wilayah Nusantara itu juga kepercayaan itu tetap dipertahankan, meskipun entah sejak kapan sudah dikenal sebagai bangsa penduduknya beragama Hindu atau Buddha. Itulah religius yang berpangkal dari sistem kepercayaan sebabnya, menjelang keruntuhan kerajaan-kerajaan animisme. Hindu di pulau Jawa, masuknya agama Islam, yang Masuknya agama Hindu yang dibawa para dibawa para pedagang Timur Tengah, diterima gujarat India diterima begitu saja yang kemudian penduduk dengan tetap mempertahankan nilai-nilai melahirkan kerajaan-kerajaan Hindu. Penerimaan sistem kepercayaan yang sudah ada, yaitu animisme, Hinduisme itu, terutama karena ajaran Hindu sejalan Hindu, dan Buddha. Itulah gelombang ketiga dengan sistem kepercayaan animisme yang sudah masuknya bangsa asing memperkenalkan agama tumbuh subur dalam masyarakat Nusantara. Maka baru, yaitu Islam. Agama Islam dibawa para gujarat ajaran Hindu mudah diintegrasikan dengan sistem India dan para penyebar agama dari Magribi. Seperti kepercayaan yang sudah ada. Jadilah para penghuni juga penerimaan Hindu dan Buddha, Islam diterima pohon, batu besar, hutan belantara, gunung atau laut tanpa melalui konflik dan peperangan, juga tanpa yang tadinya disebut roh nenek moyang, kini berganti menghilangkan anasir-anasir Hindu12 dan Buddha. menjadi para dewa. Inilah gelombang pertama Bahkan, kepercayaan animisme bisa menyusup di bangsa asing yang berhasil menyebarkan tengah ritual upacara tradisi.13 pengaruhnya begitu kuat dan luas di Nusantara. Gelombang keempat datang dari bangsa Asia Itulah sebabnya, Hinduisme menjadi salah satu akar Timur, terutama China. Sistem kepercayaan kebudayaan Indonesia. Jejaknya sampai kini dapat Konfusianisme yang lebih dikenal dengan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari bangsa Konghuchu, menjadi bagian penting bagi kelompok Indonesia, apa pun agama yang dianutnya. masyarakat Tionghoa. Meskipun pada zaman Orde Setelah itu, datang pula para pendeta Buddha menyebarkan agamanya. Kerajaan Sriwijaya 11 Sebagai bukti bagaimana hubungan dua agama itu berlangsung tahun 686 Masehi pernah menjadi pusat agama tanpa konflik, datang saja ke Candi Borobudur dan pelajari relief Buddha terbesar di Asia. Itulah gelombang kedua yang terdapat di dinding candi itu. Kita akan menemukan kisah masuknya kebudayaan India. Kali ini yang datang Ramayana yang berasal dari tradisi Hindu. Borobudur dan beberapa candi lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur dibangun adalah para rahib, pendeta, dan intelektual. Mereka oleh raja yang menganut agama Hindu. Tetapi kini candi itu dan ada yang diundang, ada juga yang datang sendiri dan beberapa candi lainnya digunakan untuk upacara keagamaan memperkenalkan ajaran Buddha. Dari sanalah umat Buddha. penduduk di beberapa wilayah Nusantara mengenal 12 Islam yang diajarkan Sunan Kalijaga, salah satunya, Buddhisme. Mereka menerima Buddhisme, namun disampaikan melalui kesenian. Sunan Kalijaga memanfaatkan gamelan dan wayang (peninggalan Hindu) untuk menyebarkan Palimbani (Palembang), Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), bahkan agama Islam. Oleh karena itu, dalam beberapa upacara sampai Dawud bin Abd. Allah di Patani. Periksa V.I. Braginsky, keagamaan (Islam), jejak Hindu ini masih tampak dengan jelas, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam seperti misalnya, pembakaran kemenyan, dupa, dan sesajen Abad 7—19, Jakarta: Indonesian- Cooperation in berupa bunga-bungaan. Dalam naskah-naskah awal zaman Islam, Islamic Studies (INIS), 1998, Teuku Iskanda, Kesusasteraan penyebutan dewata-alla banyak kita jumpai di sana. Sebuah Klasik Melayu Sepanjang Abad, Jakarta: Libra, 1996; dan Edi suratkabar, Bintang Djohar (terbit pertama kali, 11 Januari 1873) Sedyawati, dkk. Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta: Pusat yang dikelola para misionaris Kristen, selain menyebut Tuhan Bahasa, 2004. Allah, Tuhan Jesus, juga Allah ta alla. 10 Suku-suku bangsa di Indonesia yang mempunyai aksara 13 Penduduk beragama Islam di beberapa daerah sampai sekarang sendiri, antara lain, Aceh, Bali, , Bima, Cirebon, Jawa, masih ada yang beranggapan, bahwa benda-benda alam (pohon, Kerinci, Lampung, Rejang, Sunda. Ada juga aksara-aksara yang gunung, atau batu besar) dihuni oleh makhluk halus. Oleh karena sudah tidak digunakan lagi, tetapi terdapat dalam prasasti- itu, benda-benda alam itu harus dihormati dan diberi sesajen prasasti, yaitu aksara Palawa, Sansekerta, dan Kawi. Adapun (makanan dan bunga-bungaan), agar tak mengganggu aksara Jawi, Pegon, atau Arab gundul, yaitu bahasa Melayu atau ketenteraman warga masyarakat. Periksa juga ritual pesta laut bahasa daerah yang memakai huruf Arab, sampai sekarang masih yang diselenggarakan para nelayan di Banyuwangi, Cirebon, digunakan masyarakat. Cilacap, atau di beberapa daerah pesisir atau upacara panen raya sebagai ucapan rasa syukur kepada Dewi Sri, Sang Dewi Padi. 12

Baru, sistem kepercayaan ini tidak diakui sebagai Masuknya bangsa-bangsa Eropa (Portugis, agama, kelompok masyarakat Tionghoa masih tetap Inggris, dan terutama Belanda), juga meninggalkan menjalankan sistem kepercayaan itu dalam begitu banyak unsur budaya yang kemudian diterima kehidupan sehari-hari. Setelah Presiden begitu saja sebagai kebudayaan Indonesia. Inilah Abdurrahman Wahid mengakui keberadaan gelombang kelima kedatangan bangsa asing yang Konghuchu dan dinyatakan sebagai salah satu ikut mewarnai kebudayaan Indonesia. Agama Kristen agama resmi di Indonesia, kelompok masyarakat diterima sebagai salah satu sistem kepercayaan yang etnik ini seperti berlomba-lomba menyumbangkan dianut sebagian bangsa Indonesia. Sesudah peranannya dalam ikut memperkaya kebudayaan Indonesia merdeka, Kristen (Protestan dan Katholik) Indonesia.14 Meskipun demikian, tidak sedikit pula diakui negara sebagai agama resmi bersama dengan masyarakat kita yang tetap bersiteguh pada sistem agama Islam, Hindu, dan Buddha. kepercayaan yang paling awal atau kepercayaan Sistem kepercayaan, produk budaya, sebagai sinkretisme atau penggabungan dengan ekspresi bahasa, dan penyikapan masyarakat –atau tradisi setempat. Para penganutnya disebut bangsa—pada apa pun yang datang dari luar itu, penghayat aliran kepercayaan. Pada 7 November berlangsung baik-baik saja. Semua diterima seolah- 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, olah segala unsur dan pengaruh asing yang dianggap bahwa negara mengizinkan atau membolehkan aliran baik itu sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. kepercayaan tercantum secara eksplisit pada kolom Tidak ada resistensi. Tidak ada protes. Inklusivisme Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurut data dan penyikapan masyarakat yang baik-baik saja itu, Kemendikbud 2017, ada sekitar 187 aliran tampak juga dalam bahasa Indonesia yang menyerap kepercayaan yang tersebar di 13 provinsi di Tanah begitu banyak serapan bahasa asing. Maka, kalimat Air. Bukankah mereka secara historis, sosiologis, berikut ini pun, diterima begitu saja, seolah-olah kultural, dan faktual adalah bagian inheren dan tidak semua kosa kata yang membentuknya asli berasal terpisahkan dari Indonesia. dari bahasa Indonesia (: Melayu). Itulah empat pilar sistem kepercayaan, yaitu Menurut kalkulasi primbon Jawa dan animisme, Hindu, Buddha, dan Islam yang perhitungan feng shui, pada hari Minggu nanti, membentuk kebudayaan Indonesia.15 kursi, meja, dan komputer itu, seyogianya diletakkan menghadap jendela tanpa kaca, agar sirkulasi udara dari arah taman dapat 14 Kelenteng Sam Pho Kong di Semarang adalah salah satu menerobos masuk ruangan. kelenteng terbesar di Asia Tenggara. Setiap tahun, pada setiap Pertanyaannya: berapa banyak kosa kata hari raya Imlek, para penganut Kong Hun Chu dari seluruh dunia bahasa Melayu –sebagai asal dan dasar bahasa datang ke kelenteng itu. Kota Singkawang di Kalimantan Barat yang mayoritas penduduknya beragama Buddha (47 %), Indonesia—yang terdapat dalam kalimat itu? Semua Konghuchu (10 %) dan Islam (22%) mengklaim sebagai kota kata yang dicetak miring dalam kalimat itu bukan seribu kuil. Pada hari raya Imlek dan Capgomeh, orang-orang berasal dari bahasa Melayu. Di sana, ada serapan Tionghoa dari seluruh dunia datang ke kota itu untuk merayakan dari bahasa Jawa (menurut, primbon, menerobos), hari raya umat Konghuchu itu bersama orang-orang Melayu yang Inggris (kalkulasi, sirkulasi), Minangkabau beragama Islam, dan orang Dayak yang menganut kepercayaan (diletakkan), Kawi (menghadap, masuk), Prancis animisme. Pada upacara itu, dihadirkan pula para tatung dengan (komputer), Portugis (Minggu, meja, jendela, kaca), segala kekuatan supranaturalnya. Cina (feng shui), Arab (kursi), Sanskerta (tanpa, 15 Berbeda dengan penerimaan agama Hindu, Buddha, dan Islam, seyogianya, Jawa), dan Parsi (hari, agar, arah, penerimaan agama Kristen (Protestan dan Katolik) pada mulanya taman). di beberapa daerah mendapat resistensi atau penolakan, karena Kristen diperkenalkan oleh bangsa Belanda yang dianggap Inklusivisme yang menjadikan bangsa ini sebagai kolonial. Meski begitu, di Sumatera Utara dan Manado, mudah menerima apa pun yang dianggap baik. misalnya, Protestan diterima secara baik-baik saja, tanpa Penyikapan mereka yang baik-baik saja, dalam istilah resistensi. Penerimaan pengaruh kebudayaan Barat, pada awalnya yang agak berbau politis, disebut toleransi. Nah, terjadi melalui perubahan penggunaan huruf Arab-Melayu bangsa Indonesia sejak awalnya memang dikenal dengan huruf Latin yang lalu diikuti dengan perkenalan mesin sebagai bangsa yang penuh toleransi. Sejauh cetak. Dari sana merembet pada gaya hidup orang Barat yang dipandang baik dan tidak mengarahkan pada diperlihatkan bangsa Belanda serta melalui sistem pendidikan kerusuhan, semua akan disikapi dan diperlakukan dan pemerintahan kolonial Belanda. Lebih lengkap, lihat Maman secara baik. Perbedaan adalah keniscayaan. Jadi, S. Mahayana, “Permasalahan Kebudayaan dan Tantangannya di sungguh mengherankan jika terjadi kerusuhan SARA Indonesia,” Makalah Expert Meeting Komite III Dewan hanya lantaran perbedaan kepercayaan, ideologi, Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta, 13 April 2016. 13

atau sikap budaya. panjang pembentukan pilar kebudayaan Indonesia Begitulah, dalam hal sistem kepercayaan yang yang berkaitan dengan identitas keindonesiaan dan kemudian jadi sikap budaya, penduduk di wilayah toleransi pada perbedaan dan keberbagaian. Nusantara ini –seperti sudah disebutkan—sudah Penerimaan bangsa kita pada sistem kepercayaan dikenal sebagai bangsa yang inklusif, toleran, yang dibawa bangsa asing, sebagiannya dikemas menerima secara baik apa pun yang datang dari luar sebagai ritual, sebagiannya lagi sebagai ekspresi yang dianggap baik, tanpa perlu menumpas, budaya. membuang atau melenyapkan sistem kepercayaan Pertanyaan kini: mengapa bangsa yang sejak yang sudah ada dan mengakar dalam kehidupan lama dikenal begitu toleran, punya sejarah yang masyarakat. Segalanya dinusantarakan. Dalam membanggakan, ada alat perekat keanekaragaman kehidupan modern sekarang ini, kita dengan mudah kultur etnik, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa dapat melihat jejak akulturasi itu. Tak perlu heran, jika persatuan, dan punya kekayaan budaya yang menjelang Ramadhan atau pada saat hari raya berlimpah, belakangan ini seperti surut ke belakang, Lebaran (Iedul Fitri) sejumlah besar umat Islam tergusur oleh derasnya kultur asing yang membawa datang ke kuburan leluhur atau kerabat keluarga, film dan sinetron. Pemakaian bahasa asing, terutama berziarah di sana, sambil menaburkan bunga- Inggris untuk nama-nama kompleks perumahan bungaan dan air doa. mewah, hotel, toko, mal, dan seterusnya, seperti Berbeda dengan masuknya bangsa-bangsa menegaskan ketergusuran posisi bahasa Indonesia. Asia (terutama India, Arab, dan China) ke wilayah Setidak-tidaknya, kebanggaan itu tampak makin Nusantara yang tanpa bermaksud melakukan luntur manakala budaya asing menerjang masuk tak penjajahan, kedatangan bangsa Eropa, khususnya terkendali.16 Bagaimana penyikapan bangsa kita pada Belanda, datang dengan semangat menjajah. kebudayaan Indonesia yang sumbernya berasal dari Nusantara hendak dijadikan sebagai wilayah kultur etnik dalam menghadapi derasnya pengaruh koloninya. Setelah Vereenigde globalisasi dan desakan masuknya kebudayaan OostindischeCompagnie (VOC) datang pada tahun asing? Bagaimana segala keanekaragaman 1596 dan menguasai perdagangan di wilayah kebudayaan etnik sebagai kekayaan bangsa Nusantara, konflik beberapa kerajaan dan kesultanan Indonesia menjadi benteng utama yang dapat pribumi dengan bangsa asing (khususnya Belanda) menumbuhkan kebanggaan nasional? Bagaimana mulai sering terjadi. Pertanyaannya: mengapa penguatan sentimen kebangsaan perlu dilakukan kedatangan gujarat dan para pedatang India serta dalam menghadapi berbagai masalah itu? Itulah bangsa Asia Timur, diterima tanpa konflik, sementara beberapa pertanyaan yang perlu kita renungkan kedatangan Belanda justru malah menimbulkan bersama. konflik berkepanjangan? Ada dua fondasi yang dapat digunakan untuk Itulah yang membedakan kedatangan bangsa mengembalikan kebesaran peradaban bangsa Timur (Arab, India dan China) dan bangsa Barat Indonesia sebagai usaha penguatan nilai (Belanda). Bangsa Indonesia akan menerima bangsa kebangsaan, yaitu menumbuhkan kebanggaan (1) mana pun, tanpa sikap permusuhan, jika bangsa itu pada bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, datang dengan semangat persahabatan— bahasa nasional, dan bahasa persatuan dan (2) pada persaudaraan. Belanda datang justru dengan keberagaman bangsa Indonesia dengan segala semangat menguasai, semangat menjajah. Maka, tradisi dan kultur etniknya yang eksotik, khas, dan bangsa Indonesia akan menolak dan berusaha mempesona. Tujuannya: (1) menegaskan kembali mengusirnya dari wilayah Nusantara. Hal itu pula identitas keindonesiaan yang tidak dapat melepaskan yang terjadi pada kedatangan bala tentara Jepang

(Dai Nippon), Maret 1942. Pada awalnya, penduduk 16 Rasa hormat yang berlebihan pada orang asing—dengan Indonesia menerima bala tentara Jepang sebagai menempatkan gaji pekerja asing lebih tinggi daripada orang saudara tua yang akan membebaskan bangsa Indonesia sendiri, derasnya sinentron asing masuk dan nyaris Indonesia dari penjajahan Belanda. Dalam menguasai industri hiburan televisi, dan meluasnya pemakaian perkembangannya, ternyata bala tentara Jepang bahasa Indon-English sebagai nama toko, kafe, hotel, kawasan berusaha melakukan pendudukan dan menciptakan perumahan dengan nama-nama jalannya, produk kosmetik, dan penderitaan bagi rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia seterusnya, menunjukkan tiadanya penghargaan pada bahasa pun melakukan perlawanan dan memproklamasikan sendiri, bahkan juga dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. bahasa negara. Asumsi bahwa bahasa Indonesia “tidak punya nilai jual, tak komersial” merupakan representasi dari bentuk Demikianlah gambaran selintasan perjalanan pelecehan terhadap bahasa negara. 14

diri dari latar belakang budaya etnisitas, sekaligus atau kesusastraan yang berorientasi pada unsur menanamkan kesadaran, bahwa bahasa Indonesia kedaerahan.18 Jadi, meskipun Alisjahbana merupakan bahasa negara, bahasa nasional, dan menganjurkan agar bangsa Indonesia berorientasi ke bahasa persatuan yang masih terus dalam proses Barat, ia sendiri tidak menolak dan membiarkan orang menjadi. Sangat mungkin suatu saat bahasa berbicara tentang berbagai pemikiran yang berkaitan Indonesia menjadi bahasa resmi ASEAN, atau dengan kebudayaan tradisional (: kebudayaan bahkan bahasa resmi antarbangsa. (2) Kebanggaan daerah). Dari sejumlah artikel yang dimuat majalah sebagai bangsa yang multi-etnik dengan segala , kita memperoleh gambaran, kekayaan tradisi budayanya, akan menumbuhkan bahwa kaum terpelajar kita, seperti Hussen semangat saling menghormati. Keanekaragaman Djajadiningrat, Armijn Pane, Amir Hamzah, menyadari etnik atau suku bangsa itu, tidak lain adalah bagian benar, bahwa kebudayaan etnik yang tersebar di yang tidak terpisahkan dari Indonesia. Jika leluhur seluruh wilayah Nusantara merupakan sumber bangsa ini telah menunjukkan jiwa besar mereka inspirasi para sastrawan kita dalam melahirkan karya- dengan terus-menerus memelihara kerukunan dan karyanya. toleransi, maka sungguh mengherankan apabila kini Persoalan itu pula yang terjadi pada seniman persoalan itu, justru terkoyak lantaran kepentingan dan budayawan Gelanggang yang politik sesaat. memproklamasikan sikap berkeseniannya lewat Surat Kesusastraan Indonesia secara kultural pada Kepercayaan Gelanggang. Dari sejumlah besar hakikatnya adalah kesusastraan ‘etnik’. Penggunaan sastrawan Gelanggang, yang tegas bahasa Indonesia yang menempatkannya sebagai mengatakan, bahwa Pujangga Baru sebenarnya tidak sastra Indonesia, bahasa nasional yang diangkat dari memberikan apa-apa bagi kebudayaan Indonesia. bahasa etnik Melayu. Sebagai sastra yang ruhnya Meskipun begitu, Chairil Anwar menerjemahkan berasal dari kultur etnik, ia tak terlepas dari berbagai semangat Barat untuk kepentingan kreativitasnya. hal yang melingkarinya. Bagaimanapun, penciptaan Maka, seperti dikatakan Sutardji Calzoum Bachri, karya sastra tidak datang dari kekosongan. Tidak “Ambillah Barat dan kebudayaan Indonesia baru akan dibawa para malaikat dari langit. Sastra lahir dari menjadi kreatif sesuai dengan tuntutan zaman.”19 berbagai problem sosio-kultural, ideologi, dan Selain Chairil Anwar, di sana masih ada Asrul seterusnya yang menjadi kegelisahan sastrawan. Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer, Boleh dikatakan, sastrawan langsung atau tidak, Achdiat Karta Mihardja, Rivai Apin, dan sederetan merefleksikan latar belakang sosio-budaya dan nama lain yang juga tidak dapat melepaskan diri dari ideologi yang melahirkan dan membesarkannya. kebudayaan etnik yang melahirkan dan Sekadar contoh, sebut saja misalnya novel- membesarkannya. Maka, kita dapat melihat, novel awal Balai Pustaka. Sebagian besar tokoh pernyataan “melap-lap kebudayaan lama” justru telah utama dalam novel terbitan Balai Pustaka, tidak diterjemahkan dalam sejumlah karya mereka sebagai pernah lepas dari semangat pengelanaan (merantau). penggalian pada sumber tradisi (: etnik). Asrul Sani “Konsep merantau menurut alam pikiran ternyata masih mencintai Sang Mamak (“Surat dari Minangkabau ialah untuk menimba segala sesuatu Ibu”) dan melakukan pengelanaannya dalam yang tidak mereka dapati di alam tradisional. semangat Minangkabau. Pramoedya Ananta Toer Perantauan adalah sumber dari sesuatu yang baru (Bukan Pasar Malam) menguak secara kritis .…”17 Bukankah gambaran perantauan tokoh-tokoh dalam novel itu merupakan representasi kultur 18 Minangkabau? Periksa artikel Poerwoto Prawirahardjo, “Kesoesasteraan Indonesia Djawa” (Poedjangga Baroe, No. 6, November 1933) Ketika Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan, yang mengangkat perjalanan kesusastraan Jawa berikut para bahwa kebudayaan tradisional (: kultur etnik) – pujangganya. Bersamaan dengan artikel itu, dimuat pula tulisan sebagai masa lalu—yang harus mati semati-matinya, Hoesein Djajadiningrat, “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib” yang dalam kenyataannya, pernyataan itu sekadar slogan menolak pandangan orang-orang Barat tentang pantun. Dalam belaka. Majalah Poedjangga Baroe yang dikelolanya, artikel Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe” (Poedjangga Baroe, justru banyak pula memuat berbagai tulisan yang No. 1—6, Djoeli – Desember 1933) ditegaskan pula bahwa mengangkat kebudayaan tradisional (kultur etnik) pengaruh kebudayaan daerah tidak dapat diabaikan begitu saja dalam kesusastraan baru. Sejumlah puisi yang ditulis Imam Soepardi, Tatengkeng, Amir Hamzah, A. Tisna, dan beberapa 17 A.A. Navis, “Benang Merah Minangkabau dalam Karya penulis lain, memperlihatkan juga pengaruh kebudayaan etnik. Sastera Asrul Sani,” Asrul Sani 70 Tahun (Jakarta: Pustaka Jaya, 19 Sutardji Calzoum Bachri, “Chairil,” J.B. Kristanto (Ed.), 100 1977), hlm. 131. Tahun Nusantara (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 536. 15

feodalisme Jawa, sementara dalam Keluarga Gerilya, baru—modern.25 Kedua, terkungkung oleh cara Pram menegaskan pentingnya berkorban demi Tanah pandang strukturalis.26 Dalam dua dasawarsa lebih, Air. Sitor Situmorang mengusung eksistensialisme pendekatan struktural mendominasi pengajaran dalam kegamangan berhadapan dengan Batak sastra di berbagai peringkat pendidikan. Akibatnya, sebagai kultur leluhurnya, dan Achdiat Karta Mihardja karya sastra yang sesungguhnya menyimpan membongkar tarekat dalam sebagian masyarakat kekayaan kultur etnik, tidak dapat lebih jauh dimaknai, Sunda berhadapan dengan rasionalitas agama. ditafsirkan, dan dikaitkan dengan kekayaan budaya Sejak tahun 1950-an, semangat mengangkat yang berada di belakang teks. Bukankah para kebudayaan etnik, tidak lagi terpusat pada sastrawan Indonesia lahir dan besar dalam lingkaran Minangkabau (: Sumatra),20 tetapi makin menyebar ke kebudayaan etnik? dalam diri para sastrawan yang berlatar etnis lain, Mengingat kesusastraan Indonesia secara seperti Jawa, Bali, Dayak, Melayu, dan seterusnya. kultural merupakan kesusastraan ‘etnik’ maka usaha Keadaan itu terus berkembang ketika ada usaha mempelajarinya, langsung atau tidak langsung, dapat untuk melakukan semacam revitalisasi tradisi dalam digunakan sebagai pintu masuk memperkenalkan kemasan modern. Itulah yang terjadi dalam kekayaan kultur etnik yang lain. Dengan demikian, perjalanan kesusastraan Indonesia tahun 1970-an,21 pelajaran sastra di sekolah mestinya tidak lagi dan terus berlanjut –meski tidak lebih semarak diperlakukan sebagai pengetahuan teoretis, dibandingkan dasawarsa itu—sampai kini. Timbul melainkan sebagai bentuk apresiasi terhadap pertanyaan: mengapa masalah kultur etnik jarang khazanah kesusastraan Indonesia sendiri dan disinggung oleh para pengamat sastra Indonesia? sekalian sebagai usaha memperkenalkan kultur etnik Ada dua kemungkinan yang melatarbelakangi dengan berbagai fenomenanya. Lebih jauh lagi, hal tersebut. Pertama, terjebak oleh cara pandang pelajaran sastra—termasuk juga berbagai penelitian kolonial, sebagaimana yang diterapkan pada Balai sastra Indonesia, diharapkan sampai ke sebuah Pustaka.22 Cara pandang kolonial itu pula yang muara yang bernama Indonesia yang pluralis, yang menempatkan sastra sebagai produk elitis,23 dan multietnik, yang multikultural. Oleh karena itu, menciptakan dikotomi roman Balai Pustaka dan mempelajari sastra Indonesia yang berdarah-daging roman picisan (: bacaan liar).24 Secara lebih luas, ada etnis, dapat dianggap sebagai usaha memahami pula dikotomi sastra lama—tradisional dan sastra kebudayaan Indonesia yang beragam dan sekaligus sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadapnya. Menempatkan kesusastraan Indonesia 20 Keadaan itu dimungkinkan karena Balai Pustaka tidak lagi sebagai pintu masuk menuju pemahaman pluralitas menerapkan sensor. Di samping itu, munculnya sastrawan dari budaya dan keberagaman etnik masyarakat di berbagai daerah non-Sumatra telah memudarkan dominasi sastrawan Sumatra. wilayah Nusantara ini, tentu saja bukan tanpa alasan. 21Sastrawan-sastrawan yang muncul pada dasawarsa ini Selain sebagai usaha penanaman nilai-nilai karakter kemudian dikenal dengan nama Angkatan 70-an. Slogan penting membangun kebanggaan pada kultur keindonesiaan, yang menjadi landasan berkeseniannya adalah “Kembali ke akar, juga untuk memperkokoh semangat persatuan dan kembali ke tradisi.” Satu pernyataan yang secara eksplisit hendak mengusung kultur etnik. 25 Secara tersirat dua buku A. Teeuw, yaitu (1) Sastra Baru 22Sejak awal berdirinya Balai Pustaka, lembaga itu telah Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1980) dan (2) Sastra Indonesia menerapkan sensor yang ketat atas naskah-naskah yang akan Modern II (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989) mengisyaratkan adanya diterbitkan. Nota Rinkes (1910) menyebutkan tiga syarat: (1) garis demarkasi antara sastra Indonesia –lama—tradisional dan tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial, (2) tidak sastra Indonesia baru—modern. Memang, kedua buku itu menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu, membicarakan sastra Indonesia pasca-Balai Pustaka. Dengan (3) tidak menyinggung suatu perasaa agama tertentu. Dalam begitu mengesankan, bahwa sastra Indonesia (baru—modern) bahasa Orde Baru, kebijaksanaan itu, tercakup dalam pernyataan: dimulai dari zaman Balai Pustaka. Pandangan ini menafikan dilarang menyinggung masalah SARA (Suku, Agama, Ras, khazanah sastra Indonesia yang terbit (1) di luar Balai Pustaka (2) Antargolongan). di media massa (suratkabar dan majalah). Kedua buku A. Teeuw 23Kenyataan, sastra (Balai Pustaka) memang dihasilkan oleh itu juga sekaligus menegaskan cara pandang yang ahistoris. beberapa gelintir kaum elite dan dibaca, juga hanya oleh Seolah-olah sastra Indonesia tanpa tradisi yang kalangan elite (kaum terpelajar). melatarbelakanginya. Seolah-olah lagi, sastra Indonesia lahir 24Salah satu alasan politis berdirinya Balai Pustaka adalah untuk akibat pengaruh sastra Belanda (Barat). membendung pengaruh buku-buku terbitan swasta yang 26 Kajian terhadap karya sastra yang semata-mata bertumpu pada dikatakannya sebagai bacaan liar produk “saudagar kitab yang struktur karya yang bersangkutan (unsur intrinsik), dan tidak tidak suci hatinya.” Dengan cap sebagai bacaan liar, maka buku- dibenarkan menghubungkaitkannya dengan faktor di luar struktur buku terbitan swasta diperlakukan dengan konotasi buruk. (ekstrinsik). 16

kebanggaan nasional. Oleh karena itu, kinilah Dengan dasar pemikiran itu, kiranya perlu saatnya memanfaatkan khazanah kesusastraan dipertimbangkan semacam pendidikan atau pelajaran Indonesia yang sarat bernafaskan kultur etnik untuk mengenai berbagai kebudayaan etnis dengan dijadikan salah satu alat atau kendaraan yang akan memanfaatkan khazanah kesusastraan Indonesia membawa bangsa ini menuju pemahaman sebagai jembatannya, di dalamnya termasuk keberagaman etnik dengan pluralitas budayanya. khazanah sastra klasik dan cerita rakyat yang Dengan mempertimbangkan tiga faktor berikut bertebaran di berbagai daerah di Nusantara ini. ini, tidaklah berlebihan jika gagasan ini dicobakan. Dengan memperkenalkan kekayaan tradisi khazanah Pertama, pluralitas kultural yang dimiliki suku- sastra Indonesia diharapkan ada kesadaran, bahwa suku bangsa di wilayah Nusantara ini merupakan bangsa Indonesia, jauh sebelum bangsa Eropa lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan datang, telah mempunyai tradisi baca-tulis yang bagi pemerkayaan khazanah sastra Indonesia. menunjukkan sebuah peradaban yang tinggi dan Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan reputasional. kita yang mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya.27 Kedua, diberlakukannya otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Tentu saja kondisi itu bakal meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai budaya etnik. Pada gilirannya, makin mempertegas keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam diri sastrawan Indonesia. Ketiga, kurikulum di sekolah perlu memasukkan khazanah sastra lisan, cerita rakyat, pantun, syair, lagu dolanan, dan seterusnya, yang sebenarnya merupakan kekayaan yang berlimpah dari tradisi kesusastraan Nusantara.28

27 Sekadar menyebut beberapa, misalnya, periksa novel Chairul Harun, Warisan (1979), Darman Munir, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti (2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (2000) yang merepresentasikan kultur Minangkabau; karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986), Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992), Kuntowijoyo, Pasar (1994). Dari kultur Melayu dapat disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur Madura dapat kita cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron, Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996; II, 2000), dari kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, dan dari kultur Papua (Asmat), Namaku Teweraut (2001), Aning Sekarningsih, Isinga (Dorothea Rosa Herliani (2015). Dari kultur Bali, Bila Malam Bertambah Malam (1971: II, 2003) karya Putu Wijaya dan Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini. Tentu saja masih banyak nama dan karya lain yang belum disebut yang disebutkan tadi, lalu dua buku Zuber Usman (Sasra Indonesia memperlihatkan kuatnya kegelisahan kultural yang dihadapi Lama dan Sastra Indonesia Baru), Ajip Rosidi (Kapankah pengarangnya. Kesusastraan Indonesia Lahir?), H.B. Jassin (Kesusastraan 28 Jika kita menelusuri perjalanan sastra Indonesia ke belakang, Indonesia dalam Kritik dan Esay 1—4) telah memutuskan maka sesungguhnya ada benang merah yang menghubungkan perjalanan tradisi sastra Indonesia seolah-olah bermula tahun cerita pandak ke cerita pendek; hikayat ke novel; dan syair dan 1900-an atau bertepatan dengan berdirinya Balai Pustaka (1908). pantun ke puisi Indonesia. Kedua buku A. Teeuw yang Jadi jelas, semua buku yang disebutkan itu cenderung ahistoris. 17