PERANAN BUDAYA, BAHASA, DAN SASTRA DALAM MENUMBUHKAN TOLERANSI DAN SIKAP SALING MENGHORMATI Maman S Mahayana Universitas Indones

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

PERANAN BUDAYA, BAHASA, DAN SASTRA DALAM MENUMBUHKAN TOLERANSI DAN SIKAP SALING MENGHORMATI Maman S Mahayana Universitas Indones PROSIDING SEMINAR NASIONAL 20 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG 25 NOVEMBER 2017 PERANAN BUDAYA, BAHASA, DAN SASTRA DALAM MENUMBUHKAN TOLERANSI DAN SIKAP SALING MENGHORMATI Maman S Mahayana Universitas Indonesia e-mail: [email protected] Abstrak: Indonesian literature culturally is essentially 'ethnic' literature. The use of Indonesian language that places it as Indonesian literature, a national language derived from the Malay ethnic language. As a literature whose spirit is derived from ethnic culture, it can not be separated from the things that circle it. However, the creation of literary works does not come from emptiness. Not taken by angels from the sky. Literature was born from various socio-cultural problems, ideology, and so on which became anxiety writers. Indonesian literature is culturally an 'ethnic' literature so the study of it, directly or indirectly, can be used as an entry point to introduce the wealth of other ethnic cultures. Thus, literary learning in schools should no longer be treated as theoretical knowledge, but as a form of appreciation of the literary treasures of Indonesia itself and all as an effort to introduce ethnic culture with various phenomenon. Kata Kunci: Culture, Language, Literature, Indonesia, Tolerance and Mutual Respect —————————— —————————— PENDAHULUAN iwayat pembentukan bangsa Indonesia adalah bawah perlindungan politik negara yang disebut kisah panjang tentang sebuah komunitas yang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rinklusif. Bangsa yang terbuka menerima segala Secara politik, NKRI silakan saja ditetapkan pengaruh (apa pun yang baik) yang datang dari mana sebagai “harga mati”. Artinya, segala yang berada di pun. Tanpa mesti meninggalkan apa yang sudah bawah naungan NKRI, tanpa terkecuali, adalah menjadi miliknya, ia baik-baik saja menerima dan bagian inheren dari diri kita, saudara kita, kehidupan menyikapi segala pengaruh luar yang menyelinap, kita. Oleh karena itu, sesiapa pun hendaklah tidak nongkrong atau berseliweran di depan mata. Tak ada mencoba-coba ngapusi, merampok, merampas, resistensi ketika pengaruh luar itu datang dengan melukai, mencederai, dan seterusnya, sebab ia akan semangat menyebarkan persaudaraan, tanpa berurusan dengan kita selaku bangsa yang besar, paksaan atau peperangan. Sikap seperti itulah yaitu warga bangsa yang berada di bawah naungan sebenarnya yang menciptakan tali persatuan pada NKRI itu. Tetapi, sebagai bangsa yang sejak awalnya keberagaman penduduk di wilayah Nusantara ini. sudah terbiasa berkelindan dan tumbuh dengan Mengingat sejak awalnya bangsa ini inklusif, segala kreativitasnya, NKRI adalah harga hidup. ia senantiasa menjadi tuan rumah yang baik: kepada Begitulah Sutardji Calzoum Bachri membuka wacana siapa pun well come, silakan, prasangkanya baik, tentang bangsa yang berkembang lantaran kehidupan riang gembira, dan positive thinking! Dengan kreativitas di Tanah Air ini tidak tumbuh stagnan, karakteristik yang demikian, bangsa ini, tanpa mandek, dan juga tidak mundur terus pantang maju. disadarinya, berkembang menjadi sebuah komunitas Sutardji memberi penyadaran pada kita dengan yang terbentuk lewat proses hibridisasi yang besar, membuka ruang kreatif seluasnya. Maka NKRI, tak luwes, lincah, lentur, mudah beradaptasi, dan penuh dapat lain: sebagai harga hidup! daya kreatif. Apa pun yang datang dan diterima, tiba- Apa benar begitu? Mari kita periksa! Proses tiba disesuaikan dengan keadaan alam, dinamika pembentukan kebudayaan di wilayah Nusantara ini kultural, dan kondisi sosial di sekitar. Segalanya, sebenarnya berkaitan erat dengan sikap hidup lewat kreativitas, diolahnya kembali, diubahsuaikan, masyarakatnya yang religius. Sistem kepercayaan dan dinusantarakan! Itulah karakteristik sebagian adalah akar tunjangnya. Proses pembentukannya besar penduduk yang mendiami wilayah Nusantara tentu tidak sekali jadi, tidak ujug-ujug; tidak juga, jadi, ini: bangsa Indonesia! Ia terus bergerak dalam proses maka jadilah: Tidak! Juga tidak melalui simsalabim menjadi. Meskipun begitu, sebagai bangsa yang tidak adakadabra, prok-prok-prok! lalu keluarlah burung dapat menghindar dari konsep negara, ia berada di merpati atau bunga! Di sana, ada kisah yang panjang. Mula-mula, bangsa Indonesia yang dengan segala dan seterusnya. Take for granted. Sudah sedemikian keberagamannya itu, merasa dipersatukan oleh adanya. Jadi, terima sajalah, sebab setiap manusia kesamaan sejarah, bahasa, budaya, klaim wilayah, pada awalnya memang begitu. Meski demikian, kesadaran kebangsaan, dan entah apalagi. Tidak hendaklah jangan ada yang merasa lebih agung atau sesiapa pun yang pantas merasa paling Indonesia. lebih luhur dibandingkan yang lain, atau sebaliknya. Fakta sosiologis memang begitu: identitas Indonesia Tak perlu mengagungkan semangat primordial terus bergerak, menggelinding, membal, menabrak dengan sikap chauvinistic secara berlebihan. Oleh pewatas identitas lain dengan segala karakteristik karena itu, tidak pada tempatnya jika kita mengukur keindonesiaannya. Identitas Indonesia, sampai entah persoalan etnisitas, budaya, dan agama, berdasarkan kapan pun, akan terus laju dalam proses menjadi kacamata yang kita miliki. Sudah dari sononya ia (becoming). ditakdirkan dalam garis etnisitas,3 lalu tumbuh, Begini Stuart Hall,1 coba merumuskannya: bergerak, berproses, membentuk identitas baru, dan “Identitas merupakan sesuatu yang secara aktual menjadi entah apa. Identitas keindonesiaan adalah terbentuk melalui proses tidak sadar meloncati waktu, proses yang belum selesai. bukan kondisi yang terberi begitu saja dalam Begitulah perkara identitas. Ia tak dapat kesadaran sejak lahir.” Identitas menyisakan menghindar dari keunikan yang membedakannya ketidaklengkapan, selalu ia berada dalam proses dengan identitas lain, dan bersamaan dengan itu, menjadi, sedang dibentuk dan entah selesainya melekat adanya persamaan. Jadi, sesungguhnya kapan, atau terus berproses dan tak pernah selesai. identitas menyimpan kesamaan di tengah perbedaan Jadi, di satu pihak, secara juridis, NKRI yang (sameness amid difference). Perbedaan itu, tidak mewadahi identitas Indonesia, dan di pihak lain, perlu diprovokasi, sehingga memicu konflik. Sebab, manakala ia berurusan dengan perkara etnisitas yang setiap manusia pada hakikatnya juga berbeda. melekat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Fitrahnya memang begitu. Lalu, mengapa pula ada NKRI, secara sosio-kultural, ia bergerak dalam proses pemaksaan agar segalanya sama dan seragam? yang belum selesai. Bukankah kita, sang manusia, setiap individu, Di dunia ini, bangsa-bangsa yang multikultur komunitas, suku bangsa, sejak awalnya sudah tidak terhindarkan, kerap menyimpan, potensi –dan ditakdirkan berbeda? Lalu, para pendiri bangsa ini sekaligus— problem keberbagaian etnisitas, menyadari bahwa perbedaan itu mustahil dihilangkan, kesukubangsaan, dan identitas kebangsaan. Jika tetapi mereka dapat dipersatukan oleh kesadaran problem laten itu gagal diselesaikan, maka memiliki wilayah tempat tinggal yang sama; oleh dampaknya sangat serius. Kesepakatan para pemuda sentimen yang sama melalui ikatan sejarah, jaringan yang mewakili organisasi etnik kesukubangsaan dan budaya, dan persaudaraan; dan penerimaan pada kemudian menanggalkan fanatisme primordial dan sebuah bahasa yang disepakati sebagai bahasa egoisme kedaerahan lewat deklarasi Sumpah persatuan. Dengan kesadaran itulah, seperti telah Pemuda, 28 Oktober 1928, merupakan fase penting disinggung tadi, lahir sebuah deklarasi penting yang penyelesaian fondasi etnisitas, yang dikatakan Ben membayangkan sebuah tanah air, bangsa, dan Anderson sebagai komunitas bayangan (imagined bahasa sebagai alat persatuannya. Deklarasi itulah community).2 Sebuah dasar untuk membangun pilar yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, 28 Indonesia yang multikultur. Jadi, sesungguhnya, Oktober 1928 berikut ini: Indonesia telah menyelesaikan problem Pertama: kesukubangsaan sejak hampir seabad yang lalu, dan mereka memilih sebuah bahasa sebagai bahasa 3 Etnisitas adalah kelompok masyarakat yang (merasa) memiliki persatuan: “menjunjung bahasa persatuan, bahasa kesamaan sejarah, nenek moyang, asal usul dan bahasa yang Indonesia.” sama, sebagaimana tercermin dalam simbol-simbol yang khas, Setiap individu etnik adalah khas dan unik. seperti agama, pakaian, dan tradisi. Berdasarkan adanya sejumlah Seolah-olah, sudah nasibnya ia terlahir begitu dengan unsur budaya yang sama, satu kelompok masyarakat etnik secara latar belakang suku bangsa, bahasa, budaya, agama, budaya berbeda dari kelompok masyarakat yang lain. (International Encyclopedia of Social Science, Vol. 3). Sebagai 1Stuart Hall “Introduction: Who Needs Identity?” dalam Stuart konsep, etnisitas mengacu pada pembentukan dan pelanggengan Hall & Paul du Gay (ed.), Questions of Cultural Identity. batas-batas kultural dan punya keunggulan dalam penekanannya London: Sage Publications, 1996. pada sejarah, budaya dan bahasa (Obed Bima Wicandra, “Graffiti 2 Benedict R.O'G Anderson, Imagined Communities: Reflections di Indonesia: Sebuah Politik Identitas ataukah Tren? (Kajian on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso, Politik Identitas pada Bomber di Surabaya)” Jurnal Nimana, Vol. 1986. 8, No. 2, Juli 2006: 53. 10 Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah Pernyataan “… menjunjung bahasa persatuan, darah yang satu, tanah Indonesia. bahasa Indonesia” tidak hanya sebagai bentuk Kedua: pengakuan akan keberadaan bahasa-bahasa daerah, Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa melainkan juga klaim atau semacam rekomendasi yang satu,
Recommended publications
  • Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia
    1 DARI KARTINI HINGGA AYU UTAMI: MEMPOSISIKAN PENULIS PEREMPUAN DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA Oleh Nurhadi Abstract There is an interesting phenomenon in the end of 20-th century and in the beginning of 21-th century in Indonesian literature history. That’s phenomenon are so many women writer whose productive in writing poetry or fiction. Is this a suddenly phenomenon? There is a series moment that couldn’t ignored, because there were some women writers in the beginning of Indonesian literary history, especially in 1920- ies, a milestone in modern Indonesian literary history. The modern Indonesian literary history itself is impact of acculturation by western culture. This acculturation appears in Kartini herself, a woman writer who never mention in history about her literature activity. Limitation to women writers in the past often interrelated by the edge of their role, for example, they were: never categorized as qualified literature writer, or as a popular writer, or just a peripheral writer, not as a prominent writer in their generation of writer. Is installation of Ayu Utami as a pioneer in novel genre in Indonesian 2000 Generation of Literature as one strategy of contrary to what happen recently? Apparently, the emergent of women writers weren’t automatically had relation by feminism movement. The writer who had struggle for Kartini’s history is Pramoedya Ananta Toer, a man writer. Key words: women writers, feminism, Indonesia literary history, the role of historical writing. A. PENDAHULUAN Memasuki tahun 2000 terjadi fenomena menarik dalam sejarah sastra Indonesia, khususnya ditinjau dari feminisme. Ayu Utami menerbitkan novel Saman pada 1998.
    [Show full text]
  • Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke
    Between G elanggang and Lekra: Pramoedya's Developing Literary Concepts- by Martina Heinschke Introduction During the first decade of the New Order, the idea of the autonomy of art was the unchallenged basis for all art production considered legitimate. The term encompasses two significant assumptions. First, it includes the idea that art and/or its individual categories are recognized within society as independent sub-systems that make their own rules, i.e. that art is not subject to influences exerted by other social sub-systems (politics and religion, for example). Secondly, it entails a complex of aesthetic notions that basically tend to exclude all non-artistic considerations from the aesthetic field and to define art as an activity detached from everyday life. An aesthetics of autonomy can create problems for its adherents, as a review of recent occidental art and literary history makes clear. Artists have attempted to overcome these problems by reasserting social ideals (e.g. as in naturalism) or through revolt, as in the avant-garde movements of the twentieth century which challenged the aesthetic norms of the autonomous work of art in order to relocate aesthetic experience at a pivotal point in relation to individual and social life.* 1 * This article is based on parts of my doctoral thesis, Angkatan 45. Literaturkonzeptionen im gesellschafipolitischen Kontext (Berlin: Reimer, 1993). I thank the editors of Indonesia, especially Benedict Anderson, for helpful comments and suggestions. 1 In German studies of literature, the institutionalization of art as an autonomous field and its aesthetic consequences is discussed mainly by Christa Burger and Peter Burger.
    [Show full text]
  • SITOR SITUMORANG Pcnerima Hadiah Sastra Asia Tenggara 2006 Awardee of the S.E.A
    3 .44 ~ s- SASTRAWAN INDONESIA INDONESIAN WRITER Sas trawan Indonesia Indonesian Writer SITOR SITUMORANG Pcnerima Hadiah Sastra Asia Tenggara 2006 Awardee of the S.E.A. Write Award 2006 -----~-- --- PEttPIJSTA:G\,..N FUSAT BA~ ASA " "ARTEr..' CN "E.,m,o:;CA , • r Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional National Language Center Ministry of National Education Jakarta 2006 TSBN 979 685-580 1 f L\K CTPTA DILTNDUNGLUNl.l.l~ .~-Y~H::>ANC I v ... T BAHASi\ tJo. lndul; . w261>-(, Tgi ~1A Ttd. ·-- -- Isi buku ini, baik sebagian maupun selunihnya, <lilarang dipcrbanyak dalam bcntuk apa pun tanpa izin tcrtulis clan pcncrbit, kccuali dalam hal pcngutipan untuk kcpcrluan penulisan artikel atau karangan ilmiah. 1\ 0 f'ill1 o/this book. ma)' be copied or reprodlfced wilholfl wrille11 pmm>..-lrm/ivm the publfrher, except.for research and sdenli/i<' wrili1(~ purposes. IV PUS.\T B.\1-L\S.\ DEP:\RTE;\IEN PENDIDIK..\N N.\SI()J\;_\1. Buku im di~u s nn dan disunung oleh J J. Rizal dan Pnh Sulurto dcngan bantuan John .\IcGlyn (Yayasan Lontar), 1·ang telah menglZlnkan penerbitan kembali terjemahan bahasa Iny.,gns sejumlah s:11ak Sitor S1tumorang dalam buku To Lot•e. To lfa11der. 1lie l'nefr)' o(\L!or 1·11umo ra1{~ (Lontar Fow1dation, 1996) dan meneqemahkan heberapa >;11a k barn clan kumpulan Biksu Tak Berjubah (Komumtas Rambu, 211tq) Selatn John i\IcGlyn, Harn- :\vcling 1uga terhbar dengan mcncqcmakan ccrpen S1tor S1tumorang yang bequdul "!bu Pcrgt kc Sorga" Buku 1111 disusun dalam rangka penyerahan Had1ah Sastra The SI: \ Wnte .\ward 2006 oleh Putra Mahkota Kerajaan Thailand Y.1ng .\lulrn \'a1iralongkom, tanggal 8 Oktober 2006, d1 Bangkok.
    [Show full text]
  • Skripsi Sastra, Sastra Indonesia, Fib, Unpad
    SKRIPSI SASTRA, SASTRA INDONESIA, FIB, UNPAD NO NPM NAMA JUDUL BID KAJIAN 1. 180110160060 PARANTI SIMBOL-SIMBOL CELENG DALAM NOVEL MENYUSU CELENG SASTRA KARYA SINDHUNATA SEBAGAI KRITIK TERHADAP PEMERINTAH:PENDEKATAN SEMIOTIKA CHARLES SANDERS PEIRCE 2. 180110150086 NIKITA REMIGIA PUTRI ANALISIS BENTUK, MAKNA, DAN FUNGSI ONOMATOPE SASTRA PUJIYANTO PADA KOMIK TERJEMAHAN CODE BREAKER VOLUME SATU KARYA AKIMINE KAMIJYO 3. 180110150078 HELMI AFAN FAHMI DAMPAK KONFLIK AGRARIA TERHADAP KONDISI PSIKOLOGIS SASTRA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL DAWUK KARYA MAHFUD IKHWAN 4. 180110150058 RISWANTO GENDER DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN DAYAK BENUAQ SASTRA DALAM NOVEL UPACARA KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN 5. 180110150051 JULISA YARNI REPRESENTASI REMAJA TAHUN 1990-AN DAN 2000-AN SASTRA DALAM NOVEL DILAN 1990 KARYA PIDI BAIQ DAN JOMBLO KARYA ADHITYA MULYA 6. 180110150038 LUKMAN HADI RAHMAN INDONESIA PERIODE ORDE BARU PADA NOVEL ORANG- SASTRA ORANG PROYEK KARYA AHMAD TOHARI 7. 180110150012 DZIKRI MAULANA A PENGARUH MODERNISASI PADA MASYARAKAT TORAJA SASTRA MELALUI REPRESENTASI TOKOH DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL ODDANG 8. 180110140086 IRFAN HADI NUGRAHA ASPEK BIOGRAFIS ACHDIAT KARTA MIHARDJA DALAM NOVEL SASTRA MANIFESTO KHALIFATULLAH SKRIPSI SASTRA, SASTRA INDONESIA, FIB, UNPAD 9. 180110140071 RIZKA KHAERUNNISA MOBILITAS SOSIAL DALAM INDUSTRI KRETEK SASTRA PADA NOVEL GADIS KRETEK KARYA RATIH KUMALA DAN NOVEL SANG RAJA KARYA IKSAKA BANU 10. 180110140070 IHFA FIRDAUSYA DEKONSTRUKSI PENGGAMBARAN PEREMPUAN DALAM SASTRA EMPAT CERPEN INTAN PARAMADITHA DALAM ANTOLOGI KUMPULAN BUDAK SETAN 11. 180110140060 MUHAMAD RIZQI KECEMASAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL DAN SENJA PUN SASTRA HIDAYAT TURUN KARYA NASJAH DJAMIN 12. 180110140044 SUCI PURNAMA PERMASALAHAN SOSIAL DALAM NOVEL DAWUK : KISAH SASTRA CAHYANI KELABU DARI RUMBUK RANDU KARYA MAHFUD IKHWAN 13.
    [Show full text]
  • PDF Van Tekst
    Over Multatuli. Delen 24-25 bron Over Multatuli. Delen 24-25. Huis aan de Drie Grachten, Amsterdam 1990 Zie voor verantwoording: https://www.dbnl.org/tekst/_ove006199001_01/colofon.php Let op: werken die korter dan 140 jaar geleden verschenen zijn, kunnen auteursrechtelijk beschermd zijn. i.s.m. 3 [Nummer 24] Sitor Situmorang Multatuli en de Indonesische cultuur Een terugblik op zijn Sumatraanse periode In 1972 kwam Multatuli's Max Havelaar voor het eerst uit in het modern Indonesisch. In zijn voorwoord bij die uitgave schreef de toenmalige Indonesische minister van onderwijs, Mashuri, over de betekenis van de Havelaar en Multatuli's optreden in de beginfase van de nationalistische beweging omstreeks de eeuwwisseling. Hij beschouwde het boek ook als een belangrijk sociaal-historisch document, daarbij doelend op de geschiedenis van het Nederlandse kolonialisme en de reactie daarop van Indonesische kant in de tweede helft van de 19e eeuw. Tegen het einde van de 19e eeuw was de Havelaar voor een groot deel van de eerste generatie van de westers opgeleide Indonesische intelligentsia op Java een eye-opener voor de realiteit van het koloniale bestel, en tevens een aanklacht tegen de eigen medeplichtigheid daaraan. De meeste, zo niet alle leden van die intelligentsia, kwamen namelijk voort uit de inheemse bestuursaristocratie, de priaji's, de klasse waartoe ook de Boepati van Lebak, Kartanegara, behoorde. Juist in de tijd dat men nieuwe westerse liberale en democratische ideeën opdeed, gaf de Havelaar nog een impuls tot een kritische kijk op de eigen medeverantwoordelijkheid in het systeem, en uiteraard op het systeem zelf. Dit leidde tot culturele bezinning, tot vragen over de eigen Adat, het geheel van ongeschreven regels waarop de traditionele maatschappij verondersteld werd te rusten, ook in de koloniale situatie.
    [Show full text]
  • Downloaded from Brill.Com09/28/2021 07:30:37AM Via Free Access 358 Book Reviews
    Book reviews Des Alwi, Friends and exiles; A memoir of the nutmeg isles and the Indonesian nationalist movement. Edited by Barbara S. Harvey. Ithaca, New York: South East Asia Program Publications, Cornell University, 2008, vii + 171 pp. ISBN 9780877277446. Price: USD 20.95 (paperback). CHRIS F. VAN FRAASSEN Goes (Netherlands) [email protected] Des Alwi was born on 17 November 1927 in Banda Neira, capital of the fabled ‘Nutmeg Isles’. His maternal grandfather, Said Tjong Baadilla (1859-1933), born from a marriage between an Arab entrepreneur and a daughter of the head of the Chinese community in Banda, was a very prominent figure in Bandanese society. He had got fabulous rich by the exploitation of pearl banks. However, in the beginning of the 1930s he became bankrupt and shortly the- reafter he passed away, according to Des Alwi in this memoir (p. 15) in 1934, and according to other sources on February 4, 1933. Des Alwi’s paternal grandfather, Pangeran Omar, descended from the royal dynasty of Palembang. He came to the Moluccas to seek information about the fate of his grandfather, Sultan Mahmud Badaruddin of Palembang (1818-1821), who had been banned to Ternate in 1825, where he died in 1852. Des Alwi’s father was born in Ternate and came to Banda in 1912, where he got a job in the Baadilla fleet. He married a daughter of Said Tjong Baadilla in 1923. After the Baadilla glory had crumbled in the early 1930s, Des Alwi grew up in destitute circumstances. Nevertheless, in Friends and exiles he looks back on a relatively carefree youth.
    [Show full text]
  • The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo's
    Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema Umi Lestari Southeast of Now: Directions in Contemporary and Modern Art in Asia, Volume 4, Number 2, October 2020, pp. 313-345 (Article) Published by NUS Press Pte Ltd DOI: https://doi.org/10.1353/sen.2020.0014 For additional information about this article https://muse.jhu.edu/article/770704 [ Access provided at 25 Sep 2021 00:27 GMT with no institutional affiliation ] This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema UMI LESTARI Abstract Basuki Resobowo (1916–99) is known primarily as a painter, activist and head of Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, Institute for People’s Culture). He was affil- iated with left-wing politics during Sukarno’s Old Order (1945–65) and first entered the film industry in the 1940s when he played the role of Basuki in Jo An Djan’s film Kedok Ketawa (1940). During the Japanese Occupation (1942–45), Resobowo was part of Keimin Bunka Shidoso (Culture Centre). Literature on Resobowo’s artistic practice has mostly referred to his background in painting. However, in the 1950s, he joined Perusahaan Film Negara Indonesia (Perfini) as an art director and scriptwriter, making seven films, includingDarah dan Doa (Blood and Prayer) in 1950, which is regarded as the firstfilm nasional (national film). This article, while devoting some space to Resobowo’s overall career, chiefly endeavours to revisit the early Perfini films and examine the influence of Reso- bowo’s ideas about art and theatre on cinematographic mise-en-scene.
    [Show full text]
  • Indonesian Notebook: a Sourcebook on Richard Wright and the Bandung Conference Brian Russell Roberts and Keith Foulcher, Eds
    Book Reviews 563 Nishaant Choksi Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University References Errington, James Joseph. 1988. Structure and Style in Javanese: A Semiotic View of Linguistic Etiquette. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Keane, Webb. 1997. Signs of Recognition: Powers and Hazards of Representation in an Indonesian Society. Berkeley: University of California Press. Kuipers, Joel C. 1998. Language, Identity, and Marginality in Indonesia: The Changing Nature of Ritual Speech on the Island of Sumba. Cambridge: Cambridge University Press. ―. 1990. Power in Performance: The Creation of Textual Authority in Weyewa Ritual Speech. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Indonesian Notebook: A Sourcebook on Richard Wright and the Bandung Conference BRIAN RUSSELL ROBERTS and KEITH FOULCHER, eds. Durham: Duke University Press, 2016, xxiv+262pp. The Color Curtain, The Colored Glasses In Chimamanda Ngozi Adichie’s 2013 novel Americanah, the protagonist, a strong-willed young woman named Ifemelu, leaves military-ruled Nigeria for the United States, where she is forced to grapple with what it means to be black for the first time. “I came from a country where race was not an issue,” Ifemelu reflects. “I did not think of myself as black and I only became black when I came to America.” She later achieves academic success and is recognized for her thought- provoking blog about race in America. In this space she announces: “Dear Non-American Black, when you make the choice to come to America, you become black. Stop arguing. Stop saying I’m Jamaican or I’m Ghanaian. America doesn’t care.” This fictional figure’s observation in the digital world of the 2000s echoes a number of Indo- nesian cultural elites’ reaction to an encounter with the renowned African American writer Richard Wright in 1955.
    [Show full text]
  • Sastra / Literature / Literatur
    SASTRA / LITERATURE / LITERATUR Tahun / No. / Code Judul / Titel Penulis / Autor Penerbit / Herausgeber Jahr SAS Ind 1 Madre. Kumpulan Cerita Dee Bentang, Yogyakarta 2012 Hikayat The Da Peci Code. Misteri tak Berbahaya di Balik Tradisi SAS Ind 2 Berpeci Ben Sohib Bentang, Yogyakarta 2010 Komunitas Bambu, SAS Ind 3 Ibu Pergi ke Surga. Kumpulan Lengkap Cerpen Sitor Situmorang JJ Rizal (ed.) Depok 2015 S.M. Ardan & G. Masup Jakarta, SAS Ind 4 Nyai Dasima Francis Depok 2013 Dengan Puisi, Aku. 1 Puisi, 80 Bahasa, 80 Tahun. Terjemahan Puisi SAS Ind 5 dalam 58 Bahasa Dunia dan 22 Bahasa Daerah Taufiq Ismail Horison, Jakarta 2015 AKY Press, SAS Ind 6 Perempuan Pala Azhari Yogyakarta 2004 I Made Iwan PT Gramedia Widiasarana SAS Ind 7 Ayu Manda Darmawan Indonesia, Jakarta 2010 PT Gramedia Pustaka Utama, SAS Ind 8 Cala Ibi Nukila Amal Jakarta 2015 SAS Ind 9 Aksara Amananunna Rio Johan KPG, Jakarta 2014 PT Gramedia Pustaka Utama, SAS Ind 10 Nyanyian Akar Rumput. Kumpulan Lengkap Puisi Wiji Thukul Jakarta 2015 SAS Ind 11 Cinta Brontosaurus Raditya Dika Gagas Media, Jakarta 2015 Yayasan Pustaka Obor Indonesia, SAS Ind 12 i Mirah dari Banda Hanna Rambe Jakarta 2010 Yayasan Pustaka Obor Indonesia, SAS Ind 12 ii Mirah dari Banda Hanna Rambe Jakarta 2010 Toeti Heraty Roosseno dkk. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, SAS Ind 13 Antologi Cerpen Indonesia-Malaysia-Singapura (eds.) Jakarta 2015 SAS Ind 14 Jurnal Sajak: Puisi Perempuan. Perempuan Puisi Jamal D. Rahman (red.) Jurnal sajak, Depok 2011 Rumah Baca Buku Sunda, SAS Ind 15 Sajak Dongeng Si Ujang. Antologi Puisi Godi Suwarna Bandung 2011 Suatu Cerita dari Negeri Angin.
    [Show full text]
  • Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013
    Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 METAKRITIK UNTUK SUBAGIO SASTROWARDOYO Arif Bagus Prasetyo International Writing Program, University of IOWA, Amerika Serikat. Email: [email protected] Abstrak Subagio Sastrowardoyo menghasilkan analisis struktur yang bagus dalam sejumlah kajian sastranya. Salah satunya adalah kajian tentang puisi Sitor Situmorang Sosok Pribadi dalam Sajak. Esai tersebut diajukan Teeuw sebagai contoh dan pembicaraan yang sangat tepat tentang ikhtiar mencari kebulatan makna yang tersembunyi dan sukar dipahami dalam puisi modern. Dalam kasus puisi Situmorang, sorotan atas pemikiran sastra dan budaya Sastrowardoyo ini dilandasi pembacaan terhadap buku Sosok Pribadi dalam Sajak (SPdS), Sastra Hindia Belanda dan Kita, SHBdK dan Bakat Alam dan Intelektualisme. Secara keseluruhan, SPdS ditulis dengan orientasi (yang mengutamakan interpretasi tentang dunia batin, kejiwaan atau sosok pribadi pengarang sebagaimana yang terbayang pada isi karyanya. Penekanan kuat pada isi, disertai kuatnya paham romantik dan modernis yang menempatkan seniman di pusat penciptaan seni, telah mendorong Sastrowardoyo untuk merancukan penilaian mutu karya dan penilaian kualitas pribadi pengarang, mengaburkan perbedaan antara kritik seni dan kritik moralitas, mencampuradukkan persoalan estetika dan perkara etika. Ketajaman, kecermatan dan ketekunan analisis Sastrowardoyo seringkali diredupkan atau dipiuhkan oleh hasrat melakukan semacam “inkuisisi suci” terhadap pengarang. Dalam SHBdK, Sastrowardoyo bergeser menjauhi kutub ekspresif dan mendekati kutub struktural, meski tidak pernah kehilangan minat kepada sosok pribadi pengarang. Kata kunci: metakritik, Subagio, SPds, estetika, etika Abstract Subagio Sastrowardoyo produces good structural analysis in a number of literary studies. One is the study of Sitor Situmorang‘S poetry Sosok Pribadi dalam Sajak. The essay is submitted by Teeuw “as an example and very precise topic” about endeavor of searching the hidden meanings in unanimity and elusive of modern poetry.
    [Show full text]
  • Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University Book Reviews 563
    http://englishkyoto-seas.org/ <Book Review> Taomo Zhou Brian Russell Roberts and Keith Foulcher, eds. Indonesian Notebook: A Sourcebook on Richard Wright and the Bandung Conference. Durham: Duke University Press, 2016, xxiv+262pp. Southeast Asian Studies, Vol. 6, No. 3, December 2017, pp. 563-567. How to Cite: Zhou, Taomo. Review of Indonesian Notebook: A Sourcebook on Richard Wright and the Bandung Conference edited by Brian Russell Roberts and Keith Foulcher. Southeast Asian Studies, Vol. 6, No. 3, December 2017, pp. 563-567. Link to this book review: https://englishkyoto-seas.org/2017/12/vol-6-no-3-book-reviews-taomo-zhou/ View the table of contents for this issue: https://englishkyoto-seas.org/2017/12/vol-6-no-3-of-southeast-asian-studies/ Subscriptions: http://englishkyoto-seas.org/mailing-list/ For permissions, please send an e-mail to: [email protected] Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University Book Reviews 563 Nishaant Choksi Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University References Errington, James Joseph. 1988. Structure and Style in Javanese: A Semiotic View of Linguistic Etiquette. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Keane, Webb. 1997. Signs of Recognition: Powers and Hazards of Representation in an Indonesian Society. Berkeley: University of California Press. Kuipers, Joel C. 1998. Language, Identity, and Marginality in Indonesia: The Changing Nature of Ritual Speech on the Island of Sumba. Cambridge: Cambridge University Press. ―. 1990. Power in Performance: The Creation of Textual Authority in Weyewa Ritual Speech. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Indonesian Notebook: A Sourcebook on Richard Wright and the Bandung Conference BRIAN RUSSELL ROBERTS and KEITH FOULCHER, eds.
    [Show full text]
  • Ac Know Ledg Ments
    ac know ledg ments This book had its beginnings as we both, inde pen dently and from two dif- ferent fields, began finding Indonesian- language sources on Richard Wright’s Indonesian travels. As Brian (American literature and American studies, in the United States) was tracking down Indonesian-language sources on Wright for the final chapter of his book Artistic Ambassadors: Literary and International Repre sen ta tion of the New Negro Era, Keith (Indonesian studies, in Australia) was preparing a chapter for the collection Heirs to World Culture: Being Indone- sian, 1950–1965, researching the literary culture surrounding the 1950s Kon- frontasi Study Club, one of the organizations that hosted Wright during his Indonesian travels during April and May 1955. We met by e-mail, when Brian wrote to Keith asking for research leads on Pramoedya Ananta Toer’s admira- tion for Wright. Sharing research sources led to commenting on each other’s work and eventually collaborating to edit and introduce an En glish transla- tion of Beb Vuyk’s Dutch- language essay “Weekeinde met Richard Wright” for pmla in 2011. Within a few months of this publication, we began working to imagine the shape of a volume that would reproduce, in translated form, many more of the Indonesian- and Dutch- language sources we had been gathering during our research. We are grateful to our editor at Duke University Press Courtney Berger, who has been encouraging throughout what has been a long and exciting pro cess. We have benefited from the feedback— enthusiastic and constructive— offered by our manuscript’s two anonymous readers.
    [Show full text]