PROSIDING SEMINAR NASIONAL 20 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG 25 NOVEMBER 2017 PERANAN BUDAYA, BAHASA, DAN SASTRA DALAM MENUMBUHKAN TOLERANSI DAN SIKAP SALING MENGHORMATI Maman S Mahayana Universitas Indonesia e-mail: [email protected] Abstrak: Indonesian literature culturally is essentially 'ethnic' literature. The use of Indonesian language that places it as Indonesian literature, a national language derived from the Malay ethnic language. As a literature whose spirit is derived from ethnic culture, it can not be separated from the things that circle it. However, the creation of literary works does not come from emptiness. Not taken by angels from the sky. Literature was born from various socio-cultural problems, ideology, and so on which became anxiety writers. Indonesian literature is culturally an 'ethnic' literature so the study of it, directly or indirectly, can be used as an entry point to introduce the wealth of other ethnic cultures. Thus, literary learning in schools should no longer be treated as theoretical knowledge, but as a form of appreciation of the literary treasures of Indonesia itself and all as an effort to introduce ethnic culture with various phenomenon. Kata Kunci: Culture, Language, Literature, Indonesia, Tolerance and Mutual Respect —————————— —————————— PENDAHULUAN iwayat pembentukan bangsa Indonesia adalah bawah perlindungan politik negara yang disebut kisah panjang tentang sebuah komunitas yang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rinklusif. Bangsa yang terbuka menerima segala Secara politik, NKRI silakan saja ditetapkan pengaruh (apa pun yang baik) yang datang dari mana sebagai “harga mati”. Artinya, segala yang berada di pun. Tanpa mesti meninggalkan apa yang sudah bawah naungan NKRI, tanpa terkecuali, adalah menjadi miliknya, ia baik-baik saja menerima dan bagian inheren dari diri kita, saudara kita, kehidupan menyikapi segala pengaruh luar yang menyelinap, kita. Oleh karena itu, sesiapa pun hendaklah tidak nongkrong atau berseliweran di depan mata. Tak ada mencoba-coba ngapusi, merampok, merampas, resistensi ketika pengaruh luar itu datang dengan melukai, mencederai, dan seterusnya, sebab ia akan semangat menyebarkan persaudaraan, tanpa berurusan dengan kita selaku bangsa yang besar, paksaan atau peperangan. Sikap seperti itulah yaitu warga bangsa yang berada di bawah naungan sebenarnya yang menciptakan tali persatuan pada NKRI itu. Tetapi, sebagai bangsa yang sejak awalnya keberagaman penduduk di wilayah Nusantara ini. sudah terbiasa berkelindan dan tumbuh dengan Mengingat sejak awalnya bangsa ini inklusif, segala kreativitasnya, NKRI adalah harga hidup. ia senantiasa menjadi tuan rumah yang baik: kepada Begitulah Sutardji Calzoum Bachri membuka wacana siapa pun well come, silakan, prasangkanya baik, tentang bangsa yang berkembang lantaran kehidupan riang gembira, dan positive thinking! Dengan kreativitas di Tanah Air ini tidak tumbuh stagnan, karakteristik yang demikian, bangsa ini, tanpa mandek, dan juga tidak mundur terus pantang maju. disadarinya, berkembang menjadi sebuah komunitas Sutardji memberi penyadaran pada kita dengan yang terbentuk lewat proses hibridisasi yang besar, membuka ruang kreatif seluasnya. Maka NKRI, tak luwes, lincah, lentur, mudah beradaptasi, dan penuh dapat lain: sebagai harga hidup! daya kreatif. Apa pun yang datang dan diterima, tiba- Apa benar begitu? Mari kita periksa! Proses tiba disesuaikan dengan keadaan alam, dinamika pembentukan kebudayaan di wilayah Nusantara ini kultural, dan kondisi sosial di sekitar. Segalanya, sebenarnya berkaitan erat dengan sikap hidup lewat kreativitas, diolahnya kembali, diubahsuaikan, masyarakatnya yang religius. Sistem kepercayaan dan dinusantarakan! Itulah karakteristik sebagian adalah akar tunjangnya. Proses pembentukannya besar penduduk yang mendiami wilayah Nusantara tentu tidak sekali jadi, tidak ujug-ujug; tidak juga, jadi, ini: bangsa Indonesia! Ia terus bergerak dalam proses maka jadilah: Tidak! Juga tidak melalui simsalabim menjadi. Meskipun begitu, sebagai bangsa yang tidak adakadabra, prok-prok-prok! lalu keluarlah burung dapat menghindar dari konsep negara, ia berada di merpati atau bunga! Di sana, ada kisah yang panjang. Mula-mula, bangsa Indonesia yang dengan segala dan seterusnya. Take for granted. Sudah sedemikian keberagamannya itu, merasa dipersatukan oleh adanya. Jadi, terima sajalah, sebab setiap manusia kesamaan sejarah, bahasa, budaya, klaim wilayah, pada awalnya memang begitu. Meski demikian, kesadaran kebangsaan, dan entah apalagi. Tidak hendaklah jangan ada yang merasa lebih agung atau sesiapa pun yang pantas merasa paling Indonesia. lebih luhur dibandingkan yang lain, atau sebaliknya. Fakta sosiologis memang begitu: identitas Indonesia Tak perlu mengagungkan semangat primordial terus bergerak, menggelinding, membal, menabrak dengan sikap chauvinistic secara berlebihan. Oleh pewatas identitas lain dengan segala karakteristik karena itu, tidak pada tempatnya jika kita mengukur keindonesiaannya. Identitas Indonesia, sampai entah persoalan etnisitas, budaya, dan agama, berdasarkan kapan pun, akan terus laju dalam proses menjadi kacamata yang kita miliki. Sudah dari sononya ia (becoming). ditakdirkan dalam garis etnisitas,3 lalu tumbuh, Begini Stuart Hall,1 coba merumuskannya: bergerak, berproses, membentuk identitas baru, dan “Identitas merupakan sesuatu yang secara aktual menjadi entah apa. Identitas keindonesiaan adalah terbentuk melalui proses tidak sadar meloncati waktu, proses yang belum selesai. bukan kondisi yang terberi begitu saja dalam Begitulah perkara identitas. Ia tak dapat kesadaran sejak lahir.” Identitas menyisakan menghindar dari keunikan yang membedakannya ketidaklengkapan, selalu ia berada dalam proses dengan identitas lain, dan bersamaan dengan itu, menjadi, sedang dibentuk dan entah selesainya melekat adanya persamaan. Jadi, sesungguhnya kapan, atau terus berproses dan tak pernah selesai. identitas menyimpan kesamaan di tengah perbedaan Jadi, di satu pihak, secara juridis, NKRI yang (sameness amid difference). Perbedaan itu, tidak mewadahi identitas Indonesia, dan di pihak lain, perlu diprovokasi, sehingga memicu konflik. Sebab, manakala ia berurusan dengan perkara etnisitas yang setiap manusia pada hakikatnya juga berbeda. melekat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Fitrahnya memang begitu. Lalu, mengapa pula ada NKRI, secara sosio-kultural, ia bergerak dalam proses pemaksaan agar segalanya sama dan seragam? yang belum selesai. Bukankah kita, sang manusia, setiap individu, Di dunia ini, bangsa-bangsa yang multikultur komunitas, suku bangsa, sejak awalnya sudah tidak terhindarkan, kerap menyimpan, potensi –dan ditakdirkan berbeda? Lalu, para pendiri bangsa ini sekaligus— problem keberbagaian etnisitas, menyadari bahwa perbedaan itu mustahil dihilangkan, kesukubangsaan, dan identitas kebangsaan. Jika tetapi mereka dapat dipersatukan oleh kesadaran problem laten itu gagal diselesaikan, maka memiliki wilayah tempat tinggal yang sama; oleh dampaknya sangat serius. Kesepakatan para pemuda sentimen yang sama melalui ikatan sejarah, jaringan yang mewakili organisasi etnik kesukubangsaan dan budaya, dan persaudaraan; dan penerimaan pada kemudian menanggalkan fanatisme primordial dan sebuah bahasa yang disepakati sebagai bahasa egoisme kedaerahan lewat deklarasi Sumpah persatuan. Dengan kesadaran itulah, seperti telah Pemuda, 28 Oktober 1928, merupakan fase penting disinggung tadi, lahir sebuah deklarasi penting yang penyelesaian fondasi etnisitas, yang dikatakan Ben membayangkan sebuah tanah air, bangsa, dan Anderson sebagai komunitas bayangan (imagined bahasa sebagai alat persatuannya. Deklarasi itulah community).2 Sebuah dasar untuk membangun pilar yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, 28 Indonesia yang multikultur. Jadi, sesungguhnya, Oktober 1928 berikut ini: Indonesia telah menyelesaikan problem Pertama: kesukubangsaan sejak hampir seabad yang lalu, dan mereka memilih sebuah bahasa sebagai bahasa 3 Etnisitas adalah kelompok masyarakat yang (merasa) memiliki persatuan: “menjunjung bahasa persatuan, bahasa kesamaan sejarah, nenek moyang, asal usul dan bahasa yang Indonesia.” sama, sebagaimana tercermin dalam simbol-simbol yang khas, Setiap individu etnik adalah khas dan unik. seperti agama, pakaian, dan tradisi. Berdasarkan adanya sejumlah Seolah-olah, sudah nasibnya ia terlahir begitu dengan unsur budaya yang sama, satu kelompok masyarakat etnik secara latar belakang suku bangsa, bahasa, budaya, agama, budaya berbeda dari kelompok masyarakat yang lain. (International Encyclopedia of Social Science, Vol. 3). Sebagai 1Stuart Hall “Introduction: Who Needs Identity?” dalam Stuart konsep, etnisitas mengacu pada pembentukan dan pelanggengan Hall & Paul du Gay (ed.), Questions of Cultural Identity. batas-batas kultural dan punya keunggulan dalam penekanannya London: Sage Publications, 1996. pada sejarah, budaya dan bahasa (Obed Bima Wicandra, “Graffiti 2 Benedict R.O'G Anderson, Imagined Communities: Reflections di Indonesia: Sebuah Politik Identitas ataukah Tren? (Kajian on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso, Politik Identitas pada Bomber di Surabaya)” Jurnal Nimana, Vol. 1986. 8, No. 2, Juli 2006: 53. 10 Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah Pernyataan “… menjunjung bahasa persatuan, darah yang satu, tanah Indonesia. bahasa Indonesia” tidak hanya sebagai bentuk Kedua: pengakuan akan keberadaan bahasa-bahasa daerah, Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa melainkan juga klaim atau semacam rekomendasi yang satu,
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages9 Page
-
File Size-