Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

METAKRITIK UNTUK

Arif Bagus Prasetyo International Writing Program, University of IOWA, Amerika Serikat. Email: [email protected] Abstrak Subagio Sastrowardoyo menghasilkan analisis struktur yang bagus dalam sejumlah kajian sastranya. Salah satunya adalah kajian tentang puisi Sitor Situmorang Sosok Pribadi dalam Sajak. Esai tersebut diajukan Teeuw sebagai contoh dan pembicaraan yang sangat tepat tentang ikhtiar mencari kebulatan makna yang tersembunyi dan sukar dipahami dalam puisi modern. Dalam kasus puisi Situmorang, sorotan atas pemikiran sastra dan budaya Sastrowardoyo ini dilandasi pembacaan terhadap buku Sosok Pribadi dalam Sajak (SPdS), Sastra Hindia Belanda dan Kita, SHBdK dan Bakat Alam dan Intelektualisme. Secara keseluruhan, SPdS ditulis dengan orientasi (yang mengutamakan interpretasi tentang dunia batin, kejiwaan atau sosok pribadi pengarang sebagaimana yang terbayang pada isi karyanya. Penekanan kuat pada isi, disertai kuatnya paham romantik dan modernis yang menempatkan seniman di pusat penciptaan seni, telah mendorong Sastrowardoyo untuk merancukan penilaian mutu karya dan penilaian kualitas pribadi pengarang, mengaburkan perbedaan antara kritik seni dan kritik moralitas, mencampuradukkan persoalan estetika dan perkara etika. Ketajaman, kecermatan dan ketekunan analisis Sastrowardoyo seringkali diredupkan atau dipiuhkan oleh hasrat melakukan semacam “inkuisisi suci” terhadap pengarang. Dalam SHBdK, Sastrowardoyo bergeser menjauhi kutub ekspresif dan mendekati kutub struktural, meski tidak pernah kehilangan minat kepada sosok pribadi pengarang. Kata kunci: metakritik, Subagio, SPds, estetika, etika Abstract Subagio Sastrowardoyo produces good structural analysis in a number of literary studies. One is the study of Sitor Situmorang‘S poetry Sosok Pribadi dalam Sajak. The essay is submitted by Teeuw “as an example and very precise topic” about endeavor of searching the hidden meanings in unanimity and elusive of modern poetry. In Situmorang‘s poetry , the focus discussion of Sastrowardoyo about literature and culture is based on a reading Sosok Pribadi dalam Sajak (SPdS), Sastra Hindia Belanda dan Kita, SHBdK dan Bakat Alam dan Intelektualisme. Overall, the SPDs are written which prioritizes the interpretation of the inner world , psychiatric or “private figure” author as depicted on the content of his work. Content, strong romantic and modernist understanding that puts the artist at the center of artistic creation, has encouraged Sastrowardoyo to blur quality of assessment and work of the author personally, and to blur the distinction between art criticism and morality criticism, and the issue of aesthetics and ethics matters. Sharpness, accuracy, and diligence analysis are often dimmed by passion on doing “holy inquisition” against the author. In SHBdK, Sastrowardoyo shifts away from expressive to structural approach, though he never lost interest in the “private figure” of the author.

Keywords: meta-critic , Subagio, SPDs, aesthetics, ethics

Pendahuluan berarti ia penulis yang kurang produktif. Justru Mendiang Subagio Sastrowardoyo (1924- sebaliknya. Sepanjang 71 tahun usia hidupnya, ia 1995) adalah salah seorang penyair dan kritikus menelurkan tujuh buku puisi, dua di antaranya sastra terpenting dalam sejarah sastra modern memperoleh penghargaan: Anugerah Seni dari pasca-kemerdekaan. Selain puisi dan Pemerintah RI tahun 1970 untuk kumpulan kritik sastra, ia memang juga menulis cerpen dan Daerah Perbatasan (1970) dan SEA Write Award esai seni/budaya. Cerpen-cerpennya diterbitkan 1991 untuk kumpulan Simfoni Dua (1990). dalam kumpulan Kejantanan di Sumbing (1965, Puisi “Dan Kematian Makin Akrab” juga 1982) satu-satunya buku cerpen yang terlahir memenangi hadiah dari Majalah Sastra Horison dari tangannya. Sebelum dibukukan, cerpen tahun 1966/1967. Untuk karya non-fiksi, ia “Kedjantanan di Sumbing” mendapat Hadiah menghasilkan sembilan buku esai (termasuk Pertama Majalah Kisah tahun 1955. Bukan dalam bahasa Inggris), sekurang-kurangnya dua

97 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 di antaranya berupa kajian sastra, Sosok Pribadi Metakritik SPdS dan SHBdK dalam Sajak (1980) dan Sastra Hindia Belanda SPdS, yang berisi empat kajian puisi, dan Kita (1983), dengan yang disebut terakhir dinilai oleh Yudiono sebagai “contoh kritik menyabet Hadiah Sastra DKJ 1983. sastra Indonesia bergaya populer yang terbilang Karya non-fiksi Sastrowardoyo dalam unggul”, dan “dapat diharapkan dari buku bahasa Indonesia tercatat dibukukan dalam tersebut akan terpetik inspirasi penulisan kritik enam buku. Selain dua judul yang telah sastra yang bergaya populer yang mutunya disebut di atas, empat buku lainnya adalah: terjamin”. Menurutnya, signifikansiSPdS terletak Bakat Alam dan Intelektualisme (1971), Manusia pada pandangan Subagio Sastrowardoyo yang Terasing di Balik Simbolisme Sitor (1976), Pengarang menyarankan pentingnya pengalaman estetik Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989), Sekilas atau pengalaman menulis sastra bagi seorang Soal Sastra dan Budaya (1992). Buku Manusia kritikus. Ia mengutip pendapat Rachmat Djoko Terasing di Balik Simbolisme Sitor, yang berisi Pradopo dalam Kritik Sastra Indonesia Modern kajian tentang puisi Sitor Situmorang, di (2002): kemudian hari digabungkan dengan buku Sosok Pribadi dalam Sajak. Sorotan atas pemikiran “Orientasi ekspresif Subagio dalam sastra dan budaya Sastrowardoyo dalam tulisan teori dan prakteknya itu dapat diperkirakan berhubungan dengan diri pribadinya ini dilandasi pembacaan terhadap buku Sosok sebagai seorang penyair. Bahkan ia Pribadi dalam Sajak, Sastra Hindia Belanda dan mengharapkan (malah mengharuskan) Kita, dan Bakat Alam dan Intelektualisme. Sesuai bahwa seorang kritikus sastra itu dengan materi, tulisan ini berfokus pada kritik haruslah juga mempunyai pengalaman menulis sastra meskipun karangan yang sastra Sastrowardoyo. ditulisnya itu sedikit atau tidak berhasil Dalam buku Pengkajian Kritik Sastra (tidak bernilai). Pengalaman itu akan Indonesia (2009), Yudiono K.S memasukkan cukup berharga untuk menjadi topangan Sosok Pribadi dalam Sajak (selanjutnya ditulis bagi pandangan kritikus itu mengenai kesusastraan, setidak-tidaknya mengenal “SPdS”) dalam daftar 10 buku kritik sastra proses kejadiannya. Dengan demikian, ia yang, menurutnya, “sepantasnya dibaca akan mengakui adanya unsur- unsur yang para mahasiswa”, untuk “merangsang dan rasional dalam karya sastra, yang subjektif menggugah semangat mahasiswa untuk menulis dan bersuasana―misteri”. kritik sastra yang kelak akan terbaca masyarakat luas”. Daftar ini penting, karena Pengkajian Orientasi ekspresif dalam praktek kritik Kritik Sastra Indonesia disusun sebagai buku sastra Sastrowardoyo menempatkan karya sastra ajar mata kuliah Kritik Sastra Indonesia untuk sebagai cerminan dunia batin pengarang. Sebab, mahasiswa sastra S-1, dan diterbitkan dengan sebagaimana yang dikatakannya dalam “Prakata” biaya negara (program Hibah Buku Teks SPdS, Sastrowardoyo percaya bahwa “Penyair Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada bersuara dalam sajak. Ia ingin membayangkan Masyarakat/DP2M Departemen Pendidikan dirinya dalam kata-katanya. Ia tidak puas sebelum Nasional). Artinya, sepuluh buku kritik sastra dirinya terungkapkan dengan sepenuhnya di tersebut dijadikan sarana memperkenalkan dalam sajak”. Berdasarkan kepercayaan ini, kritik sastra Indonesia kepada mahasiswa Sastrowardoyo menulis kritik sastra sebagai sastra—sebagian besar pemangku kepentingan upaya “untuk membangkitkan pribadi penyair sastra Indonesia pada masa depan. Kita tentu yang terbayang dalam sajak”. bisa berdebat sampai pagi kenapa sepuluh buku Upaya kritis Sastrowardoyo tersebut itu yang dipilih, tapi fakta dicantumkannya dan sesuai dengan ciri pendekatan ekspresif yang diulasnya buku-buku tersebut dalam buku teks merajai kritik sastra di Barat beberapa abad akademis jelas memiliki signifikansi strategis silam, sebagaimana yang diuraikan A. Teeuw bahkan “politis” tertentu. dalam Sastra dan Ilmu Sastra (1984):

98 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

diandaikan sengaja atau tidak sengaja dikuburkan “Pada zaman romantik, misalnya, pengarang di bawah permukaan struktur karya pendekatan terhadap karya sastra yang dominan adalah pendekatan ekspresif: sastra. Sebagai kritikus sastra, Sastrowardoyo penulis mendapat sorotan yang khas, pada hakikatnya bekerja, dalam istilah Teeuw, sebagai pencipta yang kreatif; dan jiwa “untuk memahami jiwa penyair”—tugas yang pencipta itu mendapat minat yang utama lebih cocok dan efektif dilaksanakan oleh dalam penilaian dan pembahasan karya sastra; tidak kebetulan pula pada masa itu psikoanalis dan ahli ilmu jiwa pada umumnya. puisi lirik dianggap sebagai bentuk sastra Simpulan Yudiono bahwa Sastrowardoyo yang paling utama. [B]ahwa dalam kritik menyadari pentingnya pemahaman bentuk sastra abad ke-19 pendekatan ekspresif sebagai sarana pemahaman isi karya sastra lebih sangat ditonjolkan. Penyair, jiwanya, kreativitasnya, genia- litasnyalah yang tepat dikenakan bukan pada SPdS, melainkan menjadi pusat perhatian para pengritik pada buku kajian sastranya yang lain: Sastra Hindia dan ahli sastra, dan karya sastra hanyalah Belanda dan Kita (selanjutnya disebut “SHBdK”), atau terutama menjadi jalan atau sarana yang berisi sembilan kajian roman. Dalam untuk memahami jiwa penyair.” SHBdK, terutama ketika menganalisis roman karya Eduard Douwes Dekker dan Yudiono menutup uraian singkatnya roman Atheis karya Achdiat K. Mihardja—dua tentang SPdS dengan simpulan “bahwa esai terpanjang dalam buku ini—Sastrowardoyo Subagio Sastrowardoyo menyadari pentingnya dengan sangat cermat mengupas bentuk cerita pemahaman struktur atau bentuk sajak sebagai berbingkai dan detail perwatakan tokoh cerita, sarana pemahaman isinya”. Simpulan ini ditarik yang digunakan oleh kedua pengarang tersebut langsung dari pernyataan Sastrowardoyo dalam untuk “memungkinkan tinjauan kepada realitas SPdS ketika membahas puisi Sitor Situmorang: secara lain, tidak hanya dari satu sudut seperti “Sesuai dengan hakikat segala di dalam roman-roman yang sedang berlaku, sastra, dalam sajak-sajak Sitor, bentuk melainkan dari berbagai sudut” (pada Atheis), tidak dapat dipisahkan dari isi. Apa yang atau untuk mencerminkan “berganti-ganti tampak sebagai wujud permukaan berupa sikap dan suara hati pengarangnya dan pasang- lambang- lambang adalah sebagian dari sosok kejiwaan juga, boleh dikatakan segi surut gelombang batin” yang membangun balik dari kehadiran diri yang sama. Sitor kekuatan estetis dan daya persuasif karya dalam menyambut simbolisme seperti yang (pada Max Havelaar). Dalam kasus Atheis, ditemukan di dalam persajakan Prancis pemakaian struktur cerita berbingkai dipandang dengan tindakan itu sudah melakukan perbuatan melahirkan kejiwaannya. Ia Sastrowardoyo sebagai pembaharuan penting telah mengambil putusan dan memilih dalam sejarah sastra Indonesia: yang baginya paling kena menurut selera serta kecenderungan pribadinya”. “Masuknya bentuk cerita berbingkai sebagai jenis karya baru di dalam kesusastraan modern kita mempunyai arti Pernyataan ini tidak serta-merta yang penting bagi sejarah sastra. Kurang menyarankan “bahwa Subagio Sastrowardoyo lebih sama pentingnya dengan masuknya menyadari pentingnya pemahaman struktur atau jenis karya- karya lain, seperti bentuk bentuk sajak sebagai sarana pemahaman isinya”, soneta di zaman Pujangga Baru dan sajak bebas di tengah persajakan Angkatan 45, sebagaimana yang disimpulkan Yudiono. Justru sekalipun sampai kini belum ada peroman sebaliknya, struktur atau bentuk sajak tampaknya lain yang ikut mempergunakan struktur tidak terlalu penting bagi Sastrowardoyo, berbingkai itu”. karena yang lebih dipentingkannya adalah isi, yang dianggap merefleksikan “sosok kejiwaan” Dalam menelaah Atheis maupun Max pengarang. Tugas kritikus sastra dipahami Havelaar, di sana-sini Sastrowardoyo masih sebagai menggali “makna orisinal” yang tampak tergoda untuk mencari-cari kaitan antara

99 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 kenyataan fiksional dalam karya dan kenyataan dari penilaian Sastrowardoyo terhadap karya faktual dalam kehidupan pengarangnya—suatu sastra. Tanggapan Sastrowardoyo terhadap gejala orientasi ekspresif. Tetapi , terlihat jelas roman Tanah Asal karya Du Perron dapat disebut bahwa ia mengutamakan pendekatan structural sebagai perkecualian. Menurut Sastrowardoyo, sehingga hubungan apapun yang ditemukannya roman Tanah Asal―tidak dapat dilepaskan antara karya dan “sosok pribadi” pengarang penilaiannya dari penulisnya, karena merupakan tidak banyak menentukan penilaiannya penggambaran riwayat hidup dirinya. Menilai terhadap karya. Dalam esai “Pendekatan roman itu adalah menilai pribadi penulisnya kepada Roman Atheis”, Sastrowardoyo juga”. Penilaian kualitas “sosok pribadi” menyatakan bahwa tokoh “saya” dalam Atheis Du Perron merupakan unsur signifikan dari “rupanya menyuarakan pendirian pengarangnya penilaian kualitas roman Tanah Asal: di dalam roman masalah ini”, namun segera menambahkan bahwa “Kita tidak dapat terlalu “Pengejaran kepada gaya Eropah, baik di dalam segi kehidupan umum pasti tentang hal ini, karena Achdiat dapat maupun di dalam segi budaya, tidaklah saja cuci tangan dan memulangkan pendirian berlangsung tanpa langkah-langkah yang itu kepada juru kisah itu” (walaupun sejurus salah. Semangat yang menyertai usaha kemudian Sastrowardoyo kembali tergoda: itu tidak sedikit menjerumuskan orang kepada sikap sok cendekia yang berlebih- “Tetapi menilik kesimpulan-kesimpulan yang lebihan. Du Perron menunjukkan gejala menyertai peristiwa-peristiwa serta masalah- salah langkah demikian”. masalah roman, berat dugaan saya bahwa juru kisah itu bayangan angan-angan pengarangnya “Kecendekiaan yang sudah kelewat batas itu telah meninggalkan bekasnya sendiri serta mewakili pendiriannya”). Dalam pada gaya menulis Du Perron yang boleh esai “Max Havelaar sebagai Karya Sastra”, dinamakan abstrak dan mengawang. Sastrowardoyo bahkan seperti menolak orientasi Du Perron telah menyuguhkan kepada ekspresif: pembaca beranekawarna gagasan dan kejadian—deretan saat-saat di dalam “Menurut pandangan saya, kalau hidupnya yang tak tersaring dan hampir kita hendak menelaah Max Havelaar tak ada putus-putusnya—tetapi tidak sebagai karya sastra, dan tidak sebagai diberi waktu sedikit pun pada dirinya pamflet politik belaka, pengetahuan kita untuk mengaji setiap peristiwa secara tentang riwayat hidup pengarangnya seksama, kecuali secara mengawang dalam tidaklah berguna sebagai sarana untuk perenungan”. menguji isi karangan kepada kenyataan sejarah. Tugasnya adalah sebaliknya. “Bagi Du Perron, dunia pengalaman Pengetahuan itu untuk meneliti, sampai merupakan alam perenungan seorang berapa banyak kenyataan sejarah mengenai cendekia. Ia mendekati kenyataan secara kehidupan pengarangnya itu tersaring abstrak dan umum. Karena tidak sanggup oleh daya angan-angannya. Penilaian meresapkan diri ke dalam kejiwaan kita lalu didasarkan pada ukuran betapa tokoh- tokohnya serta melibatkan diri karya itu meyakinkan serta memperdalam ke dalam nasibnya, ia pun sudah merasa kesadaran batin kita, lepas dari persoalan puas dengan pengamatan permukaan dan apakah yang disajikan tepat benar atau tidak deretan saat-saat yang penting dengan dengan kenyataan. Di dalam hal ini pun yang tak penting, tanpa menegaskan di kita harus ingat, bahwa pemutarbalikan mana pusat atau tekanan perhatiannya. dalam penulisan karya sastra justru bisa […] Kecendekiaan Du Perron belum menandakan kelembutan serta keliatan sanggup menangkap kenyataan pada daya angan-angan pengarangnya”. intipatinya serta memperoleh arah penglihatan kepada titik- titik peristiwa pada garis hidupnya. Pada hemat saya, Ketika membahas roman dalam SHBdK, cita-citanya menjadi cendekia Eropah, secara umum dapat dikatakan bahwa―sosok seperti yang terkesankan pada roman pribadi” pengarang bukan komponen terpenting ini, masih mengandung sikap pura- pura

100 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

dan dibuat-buat”. panjang-lebar membahas bentuk puisi Sitor Situmorang, yang dihubungkannya dengan Dalam penilaian Sastrowardoyo, pantun, soneta, puisi simbolis Perancis kelemahan karakter pribadi Du Perron telah sampai haiku Jepang. Pembahasan bentuk puisi menyebabkan roman Tanah Asal menjadi Situmorang tersebut memang bermanfaat, kurang berbobot. Meskipun demikian, bukan dapat menambah wawasan pembaca, namun berarti roman ini tidak bermutu sebagai sastra. sesungguhnya tidak esensial, karena hanya Di mata Sastrowardoyo, kelemahan Tanah Asal berfungsi sebagai semacam pengantar untuk terletak pada isi, bukan pada bentuk. Kelemahan mencari―sosok pribadi” penyair yang diyakini karakter pribadi Du Perron yang berdampak terkristalkan dalam isi puisinya. Sebagaimana negatif pada isi karyanya itu justru berdampak yang diakui sendiri oleh Sastrowardoyo, meski positif pada bentuk karyanya: sudah bersusah-payah membedah gaya puitik Situmorang, tetap saja muncul pertanyaan: “Tetapi bagaimana pun juga, sikap demikian [sikap pribadi Du Perron yang “Apakah yang hendak dikatakan Sitor sok cendekia, pura-pura dan dibuat- dengan sajak-sajaknya? Inilah pertanyaan buat—abp] telah menghasilkan sebuah yang melibatkan pikiran saya selama saya roman dengan bangun yang unik, yang membicarakan cara mengungkap Sitor ini. lain daripada yang lain. […] Pendekatan Kita tidak akan sampai pada makna yang kenyataan dari luar yang hanya menyoroti hendak ditampilkan Sitor di dalam sajak- gejala-gejala permukaan terus-menerus sajaknya sebelum kita sanggup menembus dari permulaan sampai akhir menghasilkan selaput perlambangannya. Sitor, di dalam metode menulis yang menarik. Dalam sajak-sajak yang terhimpun dalam Surat hal ini bentuk buku harian roman ini Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak dipergunakan untuk menyarankan Bernama sebagian besar mengemukakan benarnya pengalaman yang disaksikan”. diri dalam bentuk simbolik. Kita harus mengenal serta mengerti lebih Secara umum, SHBdK tidak berorientasi dahulu langgam bicaranya sebelum kita dapat menangkap pesan yang hendak ekspresif, karena faktor―sosok pribadi” disampaikan kepada kita, sedangkan pengarang diredupkan oleh sorotan terhadap langgam bicaranya yang berlambang- bentuk atau struktur formal karya sastra, juga lambang tidaklah seperti yang telah biasa hubungan antara karya sastra dan kenyataan kita jumpai di dalam persajakan Indonesia. Oleh karena itu, uraian saya sampai kini sosial-politik-kultural, serta respons pembaca adalah usaha untuk mencoba memahami terhadap karya sastra. Situasi kebalikannya wujud perlambangan itu supaya dapat lebih terdapat pada SPdS yang usianya lebih tua dari tepat mendekati sosok kejiwaan penyairnya”. SHBdK, dan tidak berisi pembahasan roman, melainkan telaah puisi, lokus aktivitas kreatif Dengan bertanya “Apakah yang hendak Sastrowardoyo sendiri sebagai penyair. Dalam dikatakan Sitor dengan sajak-sajaknya?”, SPdS, orientasi ekspresif mengendalikan Sastrowardoyo menganggap puisi sebagai penilaian terhadap karya sastra. Pendekatan- pernyataan, tepatnya pernyataan jiwa penyair. pendekatan kritis lain, kalau ada, berfungsi Karya seni, menurut Susan Sontag dalam menjustifikasi, atau setidaknya menyokong, Against Interpretation (1966), memang dapat orientasi ekspresif itu. Struktur atau bentuk dianggap sebagai pernyataan, yakni jawaban atas atau style puisi, misalnya, dikaji dalam rangka pertanyaan. Sontag mencatat bahwa setidaknya menggali isi atau makna atau pesan puisi, yang sejak Diderot, tradisi utama kritik di semua diandaikan mencerminkan―sosok kejiwaan” bidang kesenian memperlakukan karya seni penyair. sebagai pernyataan yang diungkapkan dalam Dalam esai “Manusia Terasing di Balik bentuk karya seni. “Kritikus yang menganggap Simbolisme Sitor”, Sastrowardoyo secara karya seni sebagai pernyataan”,kata Sontag,

101 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

“akan mengkhawatirkan ‘gaya’(style)”. pengalaman batin yang dirasakan dengan Dirundung kekhawatiran ini, kritikus cara-cara menyatakan diri dengan molek bersikap ambivalen terhadap gaya, karena gaya dan teratur”. mencerminkan ketegangan antara pernyataan dan cara pernyataan itu disampaikan. Sastrowardoyo menyambut gaya berpuisi Situmorang, membahasnya dengan sangat “Sesuai dengan hakikat segala antusias, tapi serentak dengan itu menganggapnya sastra, dalam sajak-sajak Sitor, bentuk sebagai sesuatu yang semu dan kenes belaka, tidak dapat dipisahkan dari isi”, kata ―cara-cara menyatakan diri dengan molek”. Sastrowardoyo. Pernyataan yang menolak antitesis antara bentuk (atau gaya) dan Tendensi menganggap gaya puitik personal isi karya sastra, menurut Sontag, lumrah sebagai sekadar aksesori dekoratif juga tersirat di kalangan kritikus masa kini: “Semua dalam kritik Sastrowardoyo tentang kumpulan dengan cepat mengamini bahwa gaya Ballada Orang-Orang Tercinta Rendra. dan isi tak terpisahkan, bahwa gaya yang sangat individual pada masing- masing Interpretasi yang diamalkan penulis penting adalah aspek organis Sastrowardoyo dalam SPdS bertujuan menggali karyanya dan tidak pernah merupakan isi karya yang dibayangkan sebagai pernyataan sesuatu yang sekadar ‘dekoratif ’”. Tetapi jiwa pengarang. Interpretasi semacam ini, di mata Sontag mengingatkan bahwa dalam praktek kritik, antitesis kuno tersebut Sontag, mengindikasikan ketidakpuasan yang sesungguhnya tetap bertahan. “Pada disengaja atau tidak disengaja terhadap karya, kenyataannya,” ujar Sontag, “amat-sangat keinginan untuk menggantikan karya dengan sulit berbicara tentang gaya sebuah novel sesuatu yang lain di luar karya itu sendiri. Sontag atau puisi tertentu sebagai ‘gaya’ semata, tanpa menyiratkan, entah sengaja atau mengecam praktek penafsiran demikian sebagai tidak, bahwa gaya sekadar dekoratif, “menganiaya seni”: “mengubah seni menjadi aksesoris”. barang untuk dipakai, menyusunnya jadi skema kategori-kategori mental”. Sebagai gantinya, ia Sinyalemen Sontag ini cukup mengena mendorong kritikus agar lebih memperhatikan pada kasus Sastrowardoyo. Ketika membedah bentuk karya. Penekanan berlebihan pada isi karya gaya puisi Situmorang, Sastrowardoyo dipandangnya mengundang arogansi penafsiran. berkomentar: Karena itu, yang dibutuhkan adalah kosa bentuk, yakni deskripsi bentuk. “Kritik terbaik, dan “Dalam menyambut soneta dan ini langka, adalah jenis kritik yang melarutkan sajak-sajak yang serupa sebagai bentuk pengucapan, Sitor juga tidak dapat lepas pertimbangan isi ke dalam pertimbangan dari kecenderungan seperti yang tampak bentuk”, kata Sontag. Ia menyebut, antara lain, pada Baudelaire, yakni keinginan hendak buku On Racine karya Roland Barthes sebagai terlalu banyak berceloteh. Karena hendak contoh “kritik terbaik”. memenuhi syarat-syarat panjang baris, rumus sajak, serta variasi bentuk lambang, Menitikberatkan pada bentuk dan tak urung Sitor lantas bermain-main mengangkat Roland Barthes sebagai tauladan, dengan kata di dalam kesempatan yang Sontag dapat dipandang sebagai pendukung diberikan oleh bentuk sajak. Ada semacam kaum kritikus strukturalis/pascastrukturalis. woordcultuur, peradaban kata-kata yang dipupuk oleh cintanya hendak berbicara Memakai kacamata strukturalis/pasca- secara indah. Hal ini telah menjadi ciri strukturalis Sontag untuk menilai SPdS jelas yang negatif pada sajak-sajak Pujangga tidak adil, karena Sastrowardoyo secara Baru karena mengikuti kebiasaan pada eksplisit menyatakan bahwa kajian-kajiannya Gerakan Sastra 80 di Negeri Belanda dan kini melengket lagi pada sajak-sajak dalam buku ini berorientasi ekspresif untuk Sitor. Di dalam soneta dan sejenisnya mencari “sosok pribadi” penyair. Pendekatan ini terdapat terlalu banyak ruang dan kritis Sastrowardoyo ini sama sekali tidak waktu yang tersedia bagi penyair antara menjadi persoalan. Hal ini karena, kritik sastra

102 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 yang unggul dan memikat bisa muncul dari dengan karya-karyanya dari asas dan penglihatan pendekatan apa pun. yang lain” [cetak miring oleh saya]. Apakah Kalau dalam tulisan ini mendengungkan “menelaah penyair” bukan sekadar kesilapan Sontag, itu lebih karena kritiknya terhadap redaksional, padahal maksudnya “menelaah golongan kritikus yang menganggap seni puisi”? Mungkin saja. Yang jelas, Sastrowardoyo sebagai pernyataan, dan karena itu mengidap menyejajarkan “kekeramatan kedudukan” atau kekhawatiran atau ambivalensi terhadap “kultus individu” dengan gaya, mengena pada praktek kajian sastra sejumlah tokoh seniman kondang lain, tapi Sastrowardoyo dalam SPdS. Menurut Sontag, terutama dengan Rendra. Tulis Sastrowardoyo: ambivalensi terhadap gaya berakar pada hasrat ingin melindungi dan mempertahankan nilai- “Di zaman kita sekarang, pemujaan tanpa kritik itu berlaku pula terhadap nilai yang secara tradisional dipahami sebagai Rendra. Apapun yang dinyatakannya, berada di luar seni, yakni kebenaran dan moralitas. dalam bentuk sajak atau pun dalam bentuk Yang bersemayam di balik ambivalensi terhadap teater, dipandang umum menakjubkan gaya adalah kerancuan hubungan antara seni dan rupanya telah hilang kepekaan terhadap unsur-unsur sensasi dan dan moralitas, antara estetika dan etika. Itulah pencarian popularitas yang melemahkan tepatnya yang mengganggu pada SPdS: bahwa sajak-sajaknya”. Sastrowardoyo menafsirkan puisi bukan saja untuk menerawang dunia batin penyair, Dengan mengatakan bahwa “unsur-unsur tetapi juga untuk “mengadili”, atau sekurang- sensasi dan pencarian popularitas” melemahkan kurangnya mempertanyakan, moralitas pribadi sajak-sajak Rendra, Sastrowardoyo menunjuk penyair. Terutama dalam esai “Kerancuan kelemahan moralitas pengarang sebagai Pribadi Rendra-Lorca”, terasa betul bahwa sumber kelemahan karya. Ketika diungkapkan pertanyaan perihal moralitas pribadi Rendra dalam konteks penyejajaran dengan Chairil adalah alasan penting, kalau bukan terpenting, Anwar, kasus kelemahan moralitas Rendra dari ditulisnya kajian kritis Sastrowardoyo itu mengisyaratkan kritik terhadap moralitas tentang kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Chairil Anwar—meski yang dimaksud dalam Tercinta. Dengan kadar berbeda-beda, semua esai Sastrowardoyo bukan moralitas dalam esai dalam SPdS merancukan penilaian tentang pengertian perilaku bohemian dan gaya hidup karya sastra dan penilaian tentang moralitas “jalang” Chairil Anwar yang melegenda itu. pengarang. Bukan kebetulan belaka bahwa dalam esai Niat mengkritik moralitas pengarang tersebut, Sastrowardoyo menyinggung kasus sudah terasa sejak paragraf-paragraf awal tuduhan plagiat terhadap Chairil Anwar, yang SPdS. “Ini bukan kecaman terhadap Chairil konon menulis puisi “Krawang-Bekasi” dengan Anwar. Kurang ada keberanian pada saya mencontek puisi “The Young Dead Soldiers” untuk mengutik-utik kedudukan tokoh sastra Archibald Macleish—sebuah kasus pelanggaran kenamaan itu”, tulis Sastrowardoyo dalam moral. paragraf pertama esai “Orientasi Budaya Chairil Dalam esai “Orientasi Budaya Chairil Anwar”. Sasaran tembak Sastrowardoyo jelas Anwar”, Sastrowardoyo mengkritik moralitas Chairil Anwar sebagai pribadi, seorang “tokoh Chairil Anwar yang dinilainya sebagai penyair sastra kenamaan”. Bahwa yang dibidik adalah yang tidak berpijak di bumi sendiri, seorang pribadi Chairil Anwar dan bukan puisinya, lebih sastrawan pribumi yang terkultuskan menjadi eksplisit terbaca pada pernyataan Sastrowardoyo simbol nasional dan nasionalisme Indonesia, selang beberapa paragraf kemudian: “Dukungan tetapi ironisnya justru berselera budaya asing yang begitu luas kepada Chairil sebagai penyair (Eropa). Dengan menafsir sekitar 20 puisi yang terkemuka di dalam sastra Indonesia bisa Anwar, atau kira-kira 30% saja dari total puisi mengecutkan hati yang hendak menelaah penyair

103 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 penyair ini, Sastrowardoyo sudah sanggup “Isa” dianggap membuktikan betapa “Chairil menilai kepribadian Chairil Anwar! Sang mendasarkan pemakaian gatranya pada pola kritikus sampai pada simpulan bahwa “Chairil berpikir yang sudah tersedia di Barat, tetapi tidak setia kepada ke-indo-an budaya manusia yang tidak terangkum di dalam alam cita dan Indonesia modern, yang mendapatkan ilham pikiran Indonesia”, dan itu berarti “Chairil kelahirannya dari dua pusat kerinduan, yang telah memilih masyarakat Budaya Eropa masing-masing mempunyai gairah”. Padahal, sebagai publik pembacanya”. Cukup dengan lanjut Sastrowardoyo (dan inilah inti kritiknya mengajukan petikan tiga puisi itu, Sastrowardoyo terhadap moralitas borjuis-Eropa Chairil berani menarik kesimpulan bahwa “Ia [Chairil Anwar): Anwar] tidak setia kepada dunia angan-angan masyarakat sekelilingnya, sedangkan ia masih “Di dalam upaya menuju modern, berhutang bahasa yang dipergunakannya”. artinya berjalan setingkat dan setapak dengan zaman yang sedang berkembang, Mencengangkan, sama sekali tidak terlintas kita senantiasa harus berbudaya Indo, dalam benak Sastrowardoyo bahwa Chairil tanpa mempunyai darah Indo sendiri, Anwar juga menulis puisi dengan gatra yang seperti waktu kita dirikan kebudayaan dapat dipandang “setia kepada dunia angan- Indonesia-Hindu dan Indonesia- Islam. Jiwa kita tetap berakar di bumi Indonesia angan masyarakat sekelilingnya”. Misalnya, sambil meresapkan garis-garis pribadi puisi “Diponegoro” dan “Persetujuan dengan baru yang diguratkan zaman. Chairil dengan Bung Karno” yang membayangkan gelora sengaja telah mencabut akar kejiwaan itu dan semangat perjuangan bangsa Indonesia, puisi menyangka diri berjiwa Eropa yang dikenalnya dalam abstraksi”. “Di Masjid” dan “Doa” yang memantulkan visi religius beraroma mistik Islam, gatra “Beta Kesimpulan yang menotalkan ini Pattiradjawane” dan gaya atavisme mantra dalam mencengangkan, karena didasarkan pada puisi “Cerita Buat Dien Tamaela”, ungkapan interpretasi atas sebagian khazanah puisi Chairil “Masyumi + Muhammadiyah” dalam puisi Anwar—ya, sebagian kecil saja. Dan sebagian “Sorga” dsb. kecil puisi itu pun lebih sering dibahas Rupanya, tidak terpikir oleh Sastrowardoyo fragmen-fragmennya saja. Sastrowardoyo bahwa kritikus yang sama juga bisa terkesan menyeleksi fragmen- fragmen puisi menghubungkan puisi berjudul “L‘education Anwar yang mendukung tesisnya bahwa penyair Sentimentale”, “salam kepada Heidegger” dan terbesar kita itu “menyangka diri berjiwa “Jenderal Lu Shun” karya penyair bernama Eropa”. Tidak tertutup kemungkinan bahwa Subagio Sastrowardoyo dengan budaya negeri Sastrowardoyo sejak awal sudah berprasangka asing, dan berkesimpulan bahwa si penyair bahwa jiwa Anwar keeropa-eropaan, kemudian “tidak setia kepada dunia angan-angan baru memilih fragmen-fragmen puisi tertentu masyarakat sekelilingnya”. Anggaplah Chairil untuk membuktikan prasangka itu. Anwar menulis puisi dengan membayangkan Salah satu metode Sastrowardoyo untuk “masyarakat Budaya Eropa sebagai publik membuktikan keeropaan jiwa Chairil Anwar pembacanya”, tepatnya pembaca Indonesia adalah dengan mengisolasi sejumlah “gatra yang “terdidik di dalam lingkungan budaya dan puisi” yang dinilai “terlalu jauh dari lingkungan sastra Barat”. Kalau begitu, apa bedanya dengan pengertian budaya yang biasa pada kita di Subagio Sastrowardoyo ketika menulis SPdS yang Indonesia”. Gatra “mengembara serupa Ahasveros” sarat rujukan Barat, atau mengarang sejumlah dalam puisi “Tak Sepadan”, gatra “Thermopylae” puisi yang menyinggung filsafat, sejarah, dalam puisi “Malam”, dan gatra “Itu tubuh / budaya dan situasi mancanegara? Dalam hal ini, mengucur darah / mengucur darah / rubuh / patah Chairil Anwar memakai perbendaharaan Barat / mendampar tanya: aku salah?” dalam puisi sambil membayangkan publik pembaca yang sejenis dengan pembaca karangan-karangan

104 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

Sastrowardoyo sendiri, yakni kaum cerdik- Timur sebagai “kesatuan2 peradaban jang cendekia pribumi, yang sejak zaman Pujangga bersifat homogeen dan tertutup rapat2 batas Baru sudah biasa mengunyah pemikiran Barat. pemisahannja”, “dua kesatuan peradaban jang Rasanya terlalu berlebihan kalau ia dijatuhi berbeda dan terpisah dengan mutlak”. Kompleks vonis moral “dengan sengaja telah mencabut pandangan esensialis tentang kepribadian akar kejiwaan itu dan menyangka diri berjiwa bangsa, dunia Barat dan dunia Timur inilah yang Eropa”. menurut Sastrowardoyo telah menimbulkan Dengan mengatakan bahwa Chairil Anwar pertanyaan-pertanyaan yang menyangsikan “dengan sengaja telah mencabut akar kejiwaan kedudukan dan kewajaran seni(man) modern di itu dan menyangka diri berjiwa Eropa” tengah masyarakat Indonesia, seperti: serta “tidak setia kepada dunia angan- angan masyarakat sekelilingnya”, Sastrowardoyo praktis “Kalau kita membuat sadjak dengan bentuk dan semangat jang meneruskan menempatkan Chairil Anwar di barisan seniman persadjakan dunia Barat, adakah kita modern Indonesia yang karyanya dianggap tidak mengusahakan kesusasteraan Indonesia?” mencerminkan kepribadian bangsa. Padahal, dalam esai “Adakah Perkembangan Seni Modern “Mengapakah berpuluh dan beratus seniman kita dewasa ini dapat Wadjar” (Bakat Alam dan Intelektualisme) yang melaksanakan seni, jang dinamakan ditulis pada akhir 1950-an, Sastrowardoyo tegas modern, dengan wadjar saja seakan-akan mengatakan “…[K]ita tidaklah amat adil dan tidak ada tjara lain jang mereka kenal benar kalau kita menjangka bahwa seniman daripada jang mereka dapat dari dunia seni Barat? Adakah hal itu disebabkan modern dari berbagai usia dan angkatan hanja karena mereka kurang menginsjafi tersesat pandangannja dan tidak sadar akan kepribadian bangsa sendiri atau mereka kepribadian bangsa sendiri…”. Disadari atau kurang djudjur terhadap kenjataan djiwa tidak, selang dua puluh tahunan setelah menulis sendiri dengan meniru-niru tjorak serta esai itu, sikap Sastrowardoyo berbalik 180˚, pernilaian seni Barat?” sehingga merasa “amat adil dan benar” ketika mengkritik seniman modern bernama Chairil Bagi sang penulis Bakat Alam dan Anwar berdasarkan teori “kepribadian bangsa”. Intelektualisme, pertanyaan-pertanyaan seperti Dalam esai “Adakah Perkembangan Seni itu anakronistis. Ia yakin eksistensi seni(man) Modern Wadjar”, menanggapi antitesis antara modern Indonesia yang berorientasi Barat seni modern dan seni lama dalam konteks adalah sepenuhnya wajar, tidak boleh dikecam kedudukannya di tengah masyarakat Indonesia, sebagai “kurang menginsyafi kepribadian bangsa Sastrowardoyo menganut paham anti-esensialis sendiri” atau “kurang jujur terhadap kenyataan yang melihat “kepribadian bangsa” secara jiwa sendiri”, karena mencerminkan semangat dinamis: zaman dan besarnya pengaruh kebudayaan Barat pada situasi aktual kehidupan masyarakat. “Memang kita harus menilai dan Dalam esai “Unsur-Unsur Tidak Sadar Di Balik mempertimbangkan kewadjaran seni dari Teater Rendra”, sang kritikus juga menyambut sudut kepribadian bangsa sendiri, tetapi positif pertunjukan teater “Bip-Bop” Rendra kepribadian itu harus kita bajangkan sebagai struktur tjita2 jang bersifat dinamis, jang selalu yang diasosiasikannya dengan gerakan sastra, berubah. Struktur tjita2 itu mempunjai pola teater dan seni rupa modern Barat. Sebaliknya, jang tetap, tetapi pola itu mengalami kedjiwaan bagi sang penulis SPdS di kelak kemudian hari, dan tanggapan jang berbeda-beda dan berubah- seni(man) modern Indonesia yang kebarat- ubah melalui perkembangan zaman”. baratan justru patut dikritik dari segi moralitas sebagai tercerabut dari jiwa/kepribadian bangsa Sastrowardoyo juga menolak “penglihatan sendiri (Chairil Anwar), atau sebagai lagak sok statis” yang memandang dunia Barat dan dunia belaka (Sitor Situmorang).

105 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

Dalam esai “Manusia Terasing di Balik “Perjuangan batin yang terjadi Simbolisme Sitor”, Sastrowardoyo berulang kali di dalam diri Sitor tidak saja bersifat perseorangan dan kebudayaan, tetapi menisbahkan kekuatan puisi Sitor Situmorang juga bersifat kerohanian. Ia menggapai pada krisis batin sang penyair. Berikut kutip kekasih di seberang lautan, menggapai sebagian di antaranya: tanah air di mana ia sudah merasa terkucil, dan menggapai Tuhan yang tidak lagi “Kesadaran akan kegagalan memberi keyakinan yang penuh. Setiap diri dalam bertubi-tubi berusaha kali ia merasa terasing bila menyadari berkomunikasi dari dunianya yang asing kegagalannya hendak menambatkan diri”. itu justru memberi suasana estetik yang “Kemelut yang rupanya dialami menarik pada karya- karyanya. Setiap sajak Sitor tersamar di balik wajah tenang sajak- yang keluar dari tangannya adalah buah sajaknya. Kemelut itu terjadi dalam alam dari pergulatannya dengan nasib […] kejiwaan Sitor, yang ingin membukakan diri dan lepas dari keterasingan diri. “Pengembaraan Sitor tidak boleh Nada kebingungan yang terkekang dipandang sebagai kecenderungan selalu menyertai keinsyafannya akan individual dan romantis, yang terdorong kegagalannya hendak mencapai pertalian oleh ketidakpuasan dengan kenyataan- diri yang sepenuhnya dengan dunia luar”. kenyataan yang terjadi pada tempat ini dan saat ini lalu hendak mencapai ruang dan “Inilah tragedi batin yang terkandung dalam sajak-sajak Sitor. waktu yang jauh, yang tampaknya lebih Kesepian yang timbul dari keterasingan menyenangkan. Alasan pengembaraan diri itu mendatangkan kedukaan dan Sitor bukanlah ketidakpuasan itu, kenanaran. Akan tetapi, keterasingan melainkan kegagalannya dalam itu justru membuahkan karya- karya mempertalikan diri dengan dunia luar. sajaknya karena kesadaran diri terasing Tanggapannya mengenai gapaian rindu itu mendorong Sitor menggapai ke tersia-sia yang menimbulkan keresahan luar sekalipun terasa sia-sia. Keinginan serta petualangannya dari kekosongan mengungkap diri dalam sajak adalah usaha ke kekosongan adalah tanggapan nasib untuk mengatasi keterasingan itu”. kemanusiaan yang universal, yang melibatkannya di tengahnya. Sitor telah Pernyataan semacam ini bertebaran melihat esensi kemanusiaan dengan di sekujur esai Sastrowardoyo tentang puisi bercermin pada nasib sendiri. Dengan Situmorang. Terlihat jelas bahwa Sastrowardoyo mengalihkan perhatiannya dari masalah cinta asmara ke perkawinannya, ia telah meyakini adanya pergulatan batin atau kemelut meningkatkan lirik keakuan pada lirik kejiwaan pada diri Situmorang. Sebagai kekitaan, perkembangan persajakan yang konsekuensi dari paham romantik yang membawa kerja sastranya pada tahap mendasari kritik sastranya bahwa puisi adalah filosofis”. pernyataan jiwa penyair, Sastrowardoyo memang harus meyakini itu. Dapat dikatakan bahwa tesis “Yang menyebabkan sajak-sajak Sitor menarik di dalam penelaahan “manusia terasing di balik simbolisme Sitor” adalah dramatik kejiwaan yang kita sepenuhnya bersandar pada keyakinan tentang lihat menapasinya, tetapi yang pada adanya sosok “manusia terasing”—yakni pribadi waktu sekali baca tidak tampak. Di balik yang mengalami krisis batin hebat akibat didera permukaan yang hampir cermat, tenang, keterasingan diri—bernama Sitor Situmorang, dan bersih rupanya ada lubuk yang resah yang menulis puisi untuk mengungkapkan dan meronta-ronta. Dibanding dengan keterasingannya itu. Dalam kerangka orientasi sajak Chairil Anwar, sajak-sajak Sitor itu berkesan lebih diam dan menahan ekspresif Sastrowardoyo, keyakinan ini bukan diri sekalipun pergulatan batin yang saja sah, tetapi wajib hukumnya. dialaminya tidak kalah tegang”. Masalahnya, setelah menghubungkan keterasingan Situmorang yang menimbulkan

106 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 krisis batin hebat itu dengan filsafat Sastrowardoyo untuk menjatuhkan vonis moral eksistensialisme, Sastrowardoyo justru kepada Situmorang sebagai penyair yang, menyangsikan, bahkan cenderung tidak percaya, kurang-lebih, munafik. Hal ini dapat dikatakan bahwa sang penyair betul-betul mengalami “vonis”, karena berondongan pertanyaan di tragedi batin sebagaimana yang terbayang pada atas sebetulnya retoris saja, dan sudah jelas puisi-puisinya: jawabannya bagi Sastrowardoyo. Kita baca komentarnya tentang Situmorang dalam esai “Mungkinkah pandangan dan sikap “Hati Sabar Toto Sudarto Bachtiar”: “Tentang Sitor yang berwatak eksistensialisme Sitor Situmorang, kita dapat mengatakan bahwa itu hanya pose belaka, hanya tampang gagasan serta sikapnya, yang sering terasa kefilsafatan yang dibuat-buat saja? Benarkah keterasingan diri dan tragedi sebagai pose belaka, sikap yang dibuat-buat, batin itu sungguh-sungguh dialami oleh berpangkal pada filsafat eksistensialisme”. Sitor atau adakah semua itu hanya angan- Vonis serupa juga kita baca dalam angan filsafat yang bermain di dalam esai “Kecendekiaan Du Perron dalam benak penyairnya saja? Pertanyaan- Roman Tanah Asal” (SHBdK), meski mungkin pertanyaan ini bisa timbul pada kita, menyangkut karangan di luar puisi: kalau kita menginsafi bagaimana mungkin kegelisahan dan keresahan jiwa itu dapat “Di dalam hal ini saya teringat diacu dan disalut di dalam bentuk cermat akan segi lain di dalam karangan- dan teratur seperti sajak-sajak bergaya karangan Angkatan 45, yakni gaya soneta, pantun, dan syair. Bagaimana upayanya, khususnya yang ditulis oleh keresahan batin yang melejat- lejat itu Sitor Situmorang, Iwan Simatupang disalurkan dalam bentuk ucapan yang dan Wiratmo Sukito. Upaya- upayanya tertib dan mengekang itulah yang menjadi mengenai sastra, budaya atau politik yang soal di sini. Adakah pengalaman batin itu berkesan kabur-kabur dengan sejumput hanya pose belaka atau permukaan bentuk kesombongan serba tahu adalah hasil ucapan sajak itu yang merupakan gaya dari pendekatan persoalan secara umum yang pura-pura, yang menyembunyikan dan abstrak. Bukankah ini pengikut gaya tenaga batin yang sebenarnya? cendekia Du Perron dan bukankah dengan demikian pengarang-pengarang Angkatan 45 itu juga sekedar ―bermain bola dengan Betul-betulkah dialami kesadaran tanggapan-tanggapan umum” saja seperti filsafat eksistensialisme itu oleh Sitor, Du Perron?” dengan keterasingan dirinya, kesepiannya, keterlontarannya di dunia, nihilismenya, putusnya hubungan dengan Tuhan, Baiklah kita ingat kembali bahwa di mata pengembaraannya mencari nilai, dan Sastrowardoyo, Du Perron adalah pengarang kedukaannya, atau sekadar hanya hendak yang menulis dengan gaya “sok cendekia yang mengikuti aliran pikiran modern yang berlebih-lebihan” serta “sikap pura-pura dan berpengaruh pada zamannya? Dengan dibuat-buat”. kata- kata lain, adakah krisis batin yang Mencengangkan bahwa Sastrowardoyo terbayang dari sajak-sajaknya sungguh- sungguh dialami Sitor, krisis yang harus seperti meremehkan goyahnya atau bahkan dilalui dalam menyadari akan sia-sianya hilangnya keyakinannya terhadap kebenaran usaha untuk mempertalikan diri dengan krisis batin Situmorang. Seperti tanpa beban, ia dunia di luar dirinya?” menulis:

Kekhawatiran dan/atau ambivalensi “Pertanyaan-pertanyaan yang terhadap “bentuk ucapan yang tertib dan muncul dan masih menggantung pada mengekang”, yang dipandang bertentangan pembicaraan sajak Sitor ini sebenarnya bertalian dengan masalah kritik mengenai dengan isi puisi yang menyuarakan “keresahan hal kesungguhan pengalaman, hal batin yang melejat-lejat”, telah mendorong sincerity, di dalam karya sastra. Di dalam

107 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

kritik sastra, masalah tentang apakah yang tenang, terpikir, terpelihara, dan hampir kesungguhan pengalaman di balik berkesan serba resmi”, ketidakharmonisan penciptaan merupakan unsur yang tidak antara “kenanaran dan kegelisahan” dan boleh atau sebaliknya harus terpisahkan “tampang yang cermat dan tertib”, mestinya dalam pertimbangan sastra, masih menjadi perbincangan yang belum habis. sang kritikus mempertanyakan seni Situmorang Akan tetapi, tidak dapat saya sangkal - bukan mempersoalkan moralitas Situmorang, kenyataan, dalam membahas sajak-sajak memperkarakan kesungguhan atau kepura- Sitor ini, pertanyaan-pertanyaan mengenai puraan sang penyair. Di sinilah Sastrowardoyo sincerity Sitor ini selalu timbul dalam benak merancukan penilaian estetika dan penilaian saya”. etika. Esai “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca” Sesungguhnya, memang hanya Tuhan bahkan nyaris bukan lagi kritik seni, melainkan dan Situmorang sendiri yang tahu apakah ia kritik moralitas terhadap Rendra, khususnya benar- benar mengalami krisis batin. Tetapi, selaku pengarang Ballada Orang- Orang Tercinta. dalam konteks esai “Manusia Terasing di Dalam esai ini, penilaian etika jauh lebih Balik Simbolisme Sitor”, Sastrowardoyo tidak dominan daripada penilaian estetika. Tanpa dapat meragukan atau menyangkal krisis batin tedeng aling-aling, Sastrowardoyo menuding Sitomurang yang melandasi interpretasinya Rendra munafik, sejak permulaan esai ini: dalam esai tersebut. Sekurang-kurangnya, sang kritikus harus tetap berasumsi bahwa Situmorang “Kalau ada sastrawan yang memang benar mengalami krisis batin, sebab cenderung silap untuk membedakan jika asumsi ini dibatalkan, maka bangunan tesis sungguh-sungguh dengan pura-pura, itu adalah Rendra.[…] Akibatnya, kita melihat “manusia terasing di balik simbolisme Sitor” pada balada- baladanya yang terkumpul di nan canggih dan anggun itu akan runtuh. dalam Ballada Orang-Orang Tercinta yang Konsekuensi logis ini jelas tidak disadari mengandung kerancuan pribadi Rendra- oleh Sastrowardoyo. Dengan mantap ia Lorca. […] Dalam membaca balada- balada Rendra, orang akan repot menerka mengatakan: “Lepas dari soal kesungguhan siapa yang berbicara, Rendra atau Lorca”. kesadaran filsafat eksistensialismenya dan ada tidaknya krisis batin dalam dirinya, karya sajak- Setelah dirasa cukup membuktikan sajak Sitor sendiri memberi persaksian akan hasil kemunafikan Rendra dalam menulis Ballada Orang-Orang Tercinta, Sastrowardoyo pengungkapan sastra yang pelik dan menarik”. menutup makalahnya dengan simpulan Secara umum, saya sepakat bahwa puisi yang menyiratkan bahwa Rendra, lebih Situmorang memang bermutu. Tapi secara dari seorang munafikin, adalah sejenis khusus, dalam kerangka tesis Sastrowardoyo penipu – persisnya penipu yang gagal memperdaya sang kritikus: tentang “manusia terasing di balik simbolisme Sitor”, adanya krisis batin sang penyair “Bagaimanapun juga, yang sudah dan kesadaran filsafat eksistensialismenya terang bagi saya ialah bahwa setidak- itulah yang menentukan mutu, kekuatan tidaknya di dalam Ballada Orang-Orang Tercinta Rendra terlalu banyak berpulas dan keunggulan puisi Situmorang. Dengan dan berjingkrak- jingkrak di atas Pentas menyangsikan kesungguhan pengalaman Sastra, di hadapan publik yang sangkanya krisis batin Situmorang, Sastrowardoyo seperti terlalu dungu untuk bisa membedakan mengisyaratkan bahwa krisis batin tersebut antara permukaan dan gerak-gerik yang hanya terjadi di dalam teks, sebatas terbayang bersungguh-sungguh dan yang berpura- pura”. pada puisi di mata sang penafsir. Tetapi kalau demikian, ketika melihat kontradiksi antara isi dan Dalam menyelenggarakan kritik moralitas bentuk puisi, ketidakcocokan antara “keresahan terhadap Rendra, Sastrowardoyo pertama- dan ketegangan batin” dan “cara bersajak

108 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 tama menyarankan bahwa bentuk atau gaya kemampuannya mengarang setinggi puisi Rendra hanyalah aksesori dekoratif untuk mungkin. Cerita kejadian lahir yang sederhana tanpa mengandung penglihatan mewadahi isi yang tidak berbobot. Balada hidup yang dalam sudah cukup memberi Rendra ibarat baju yang meriah dan menor bagi nilai pada jenis karya balada ini. Kedataran tema yang dangkal dan kekanak- kanakan: peristiwa di dalam kisah balada Rendra tersebut mendapat imbangan yang “[S]ajak-sajak Rendra di dalam mengesankan dari pemakaian citra sajak kumpulannya yang pertama ini berkesan yang belum pernah dijumpai di dalam sebagai penggambaran alam khayal kesusastraan Indonesia”. yang meliputi pikiran pemuda yang baru meningkat dewasa. Pokok perhatiannya Pada tahap kedua, yang merupakan menyangkut soal-soal remeh, tetapi yang masih dirasa gawat oleh orang yang inti tesis “kerancuan pribadi Rendra-Lorca”, berumur sekitar dua puluh tahun […] Sastrowardoyo menyerang moralitas Rendra yang ditudingnya membangun citra-citra yang Balada-balada Rendra memang tidak memikat dalam baladanya dengan cara meniru memberi kesempatan kepada pembaca untuk citra-citra dalam puisi Lorca. Dalam pandangan berhenti berpikir dan merenung di dalam saat- Sastrowardoyo, kegiatan memproduksi karya saat hening. Yang penting ditangkap adalah sendiri berdasarkan apa yang disebutnya sebagai kesan-kesan permukaan dari adegan- adegan ―alih bahasa atau sekurang-kurangnya saduran” menggemparkan di dalam peristiwa perkosaan dari karya orang lain adalah pelanggaran kode perempuan, adu otot, pembunuhan keji, etik berat bagi seorang pengarang, semacam dan pamer kejantanan. Melodrama dengan tindakan kriminal yang layak diganjar hukuman penekanan pada perbuatan-perbuatan lahir serta moral: pencarian efek emosi yang dilebih-lebihkan di dalam sajak-sajak ini pada pembacaan pertama “Pokok yang dibicarakan di dalam sajak atau roman dapat saja bersifat umum tidaklah terasa karena pembaca cenderung dan dapat terjadi di mana saja, seperti terhanyut dalam retorik yang ramai gemuruh perkosaan, pergolakan nafsu birahi, dan dan terpesona oleh kemanisan citra (imagery) perkelahian sehingga boleh dikatakan sajak. milik pengalaman manusiawi. […] Akan Kalau kita sangkutkan dengan permainan tetapi, pengolahan tema itu, di dalam wayang, balada-balada Rendra baru sampai penanggapan citra serta perwujudannya di pada pertikaian yang ramai antara tokoh-tokoh dalam kesatuan bentuk karya adalah segi subjektif yang menjadi milik perseorangan kesatria yang bertanding dan belum mencapai pengarang, yang tidak boleh diambil-alih tingkat perenungan hidup yang disarankan ki oleh pengarang lain tanpa menanggung dalang”. akibatnya, yakni merendahkan nilai karya Pada tahap ini, kritik Sastrowardoyo sendiri. Rendra telah rela merendahkan terhadap Rendra terdengar mirip kritiknya martabat ciptaan baladanya dengan terhadap Du Perron. Seperti Du Perron yang meniru berbagai segi subjektif itu pada balada-balada penyair Spanyol, Federico moralitas sok cendekianya menghasilkan Garcia Lorca (1899-1936)”. bentuk roman yang menarik, moralitas kekanak- kanakan Rendra membuahkan gaya pengucapan Berikut ini sebagian bukti yang diajukan yang memikat: Sastrowardoyo untuk “mengadili” moralitas “Dramatik kejadian yang berlaku Rendra dalam kasus “pencurian” balada Lorca: di permukaan hidup di dalam balada- baladanya merupakan segi kekuatan Rendra karena dengan selera serta bakat itu penyair ini telah berhasil menaikkan

109 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

BALADA LORCA BALADA RENDRA Half-way on the journey Begitu ia masuk ke he picked round lemons, dalam Her breasts of hard tin Tersisa jantung dan hati throwing them into the kali, perawan dengan dari timah water until he turned it dadadada They have skulls of Gagak-gagak dilekati to gold; you weep drops pepaya; Si dara lead timah pada mata- of lemon, sour with menatap bulan di air matanya waiting and sour to the didengarnya bisik arus The fig-tree rubs its air Bulan berkhianat mouth gaib/Begitu ia masuk with the sandpaper of gosokgosokkan ke its tubuhnya di When Soledad dalam kali leaves pucuk-pucuk ara Montoya descends the dark The child signs mountain… Her in the womb Anak lonceng breasts of startled menggeliat like smoky anvis, wail Annunciacion enam kali di perut around songs; Down ibunya below the river sings: Angin tergantung terkecap flounce of sky and The full wind left in the pahitnya tembakau; pada leaves mount a strange taste mulut terkunyah duka; of gall of mint, and angin bau karat tembaga; sweet- basil semalam kucicip sudah Melihat bukti-bukti yang disodorkan betapa lezatnya madu Sastrowardoyo, andaikata memang benar Ballada Green, green, I love darah Orang-Orang Tercinta ditulis berdasarkan balada you Lorca, tampaknya Rendra hanya melakukan green, Green wind. Green Branches. Bulan jingga, telaga “apropriasi”. Dalam seni apropriasi, seniman The kepundan jingga/ berkarya dengan mengacu pada karya orang lain ship upon the sea rantingranting yang sudah ada, biasanya secara ironis. Inilah and the pokok ara/ praktek kreatif yang sah dan lumrah serta sudah horse on the terbencana darahku mountain. segala lama berlangsung dan kini makin signifikan, With the shadow at jingga terutama di lapangan seni rupa (bidang seni her yang pernah digeluti Sastrowardoyo dan sering waist she dreams on dirujuk dalam esai-esainya), lebih khususnya lagi her Bulan limau balcony, green flesh, seni rupa kontemporer/pascamodernis. Karya green hair, and eyes seni apropriasi adalah milik sah seniman of O kuntum-kuntum pelaku apropriasi, bukan lagi milik seniman cold silver delima pencipta karya orisinil yang diapropriasi. Dalam ditebas belati Silence of lime and kasus Rendra, barangkali masalahnya “hasil myrtle; ah, what a Mama, betapa tegak apropriasi” itu tidak ironis dan tidak secara jelas lemon, lemon of the ia./Buah asam gugur di menunjuk sumbernya, sehingga terkesan seperti lemon-girl jalan/ia pungut dengan “pencurian”. Tapi kalau pun dianggap sebagai tangan -/Oi! Betapa His body laden with disuka kasus ―pencurian”, balada Rendra jelas bukan lilies and a kecutnya! karya inferior. Sastrowardoyo sendiri mengakui: pomegranate “Pada waktu kumpulan balada itu terbit, saya on his brow pun turut terpesona membacanya”. Saya tidak tahu reaksi Rendra terhadap esai “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca”. Yang saya tahu, tetap ada kemungkinan bahwa kemiripan balada Rendra dan balada Lorca adalah “ciptaan” Sastrowardoyo sendiri, produk

110 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 utak-atik interpretasi sang kritikus. Bisa juga kamera batin, saya telah memotret halaman- balada Rendra memang meniru balada Lorca, halaman buku ini, dan selama berpuluh-puluh namun peniruan ini terjadi di luar kesengajaan/ tahun, gambaran lembar- lembar beracun ini kesadaran Rendra. tersimpan di lubuk terdalam jiwa saya, sampai Dalam kuliah di Universitas Cambridge, saatnya muncul kembali (entah karena alasan Inggris, pada tahun 1990 (Eco,2002), Umberto apa), dan saya percaya telah menciptakannya”, Eco mengungkapkan betapa sering pembaca/ kata Eco. Bercermin pada anekdot Eco ini, kritikus menemukan “sumber” penulisan novel bukan mustahil Rendra pernah membaca Eco – berbagai “sumber” yang justru tidak dan dipesona balada Lorca, dan bacaan ini diketahui oleh sang penulis novel itu sendiri! terekam di bawah-sadarnya, lalu di kemudian Contohnya, Helena Costiucovich, penerjemah hari menyeruak kembali sebagai “ilham” yang The Name of the Rose ke dalam bahasa Rusia, menuntun penulisan Ballada Orang-Orang Tercinta. menulis esai bahwa novel terkenal Eco Esai “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca” tersebut mirip novel La rose de Bratislava karya memberikan kesaksian terang-benderang Emile Henroit, yang terbit lebih dulu daripada tentang ideologi modernis Sastrowardoyo, novel Eco. Judul novel Eco dan novel Henroit yang menempatkan individualitas, kreativitas, sama-sama mengandung kata “mawar”, dan jenialitas, dan terutama orisinalitas, di puncak sama-sama pula menceritakan perburuan kriteria penilaian seni. Betapa kuatnya naskah misterius dan berakhir dengan ideologi ini merasuki sang kritikus terlihat kebakaran di perpustakaan. Kisah dalam novel dari upayanya yang nyaris obsesif untuk Henroit berlangsung di Praha, kota yang juga membongkar ketidakorisinalan balada Rendra, disebut pada permulaan novel Eco. Salah satu bahkan ketidakorisinalan pribadi Rendra. Tanpa pustakawan rekaan Eco bernama Berengar, dan merasa risi, Sastrowardoyo sampai- sampai dalam karya Henroit ada pustakawan bernama mempersoalkan hal-hal minor yang sebetulnya Berngard Marre. Kata Eco: “Percuma saja tidak substansial dan bahkan tidak relevan mengatakan bahwa, selaku pengarang empiris, diajukan sebagai bahan pertimbangan untuk saya tidak pernah membaca novel Henroit dan menilai balada Rendra sebagai seni. Nama tokoh tidak pernah tahu ada novel itu”. Seandainya Atmo Karpo dalam balada Rendra dikatakan ditulis oleh Sastrowardoyo, mungkin esai “terdengar asing bagi telinga orang Jawa”, dan Costiucovich akan berjudul “Kerancuan Pribadi diasosiasikan dengan nama tokoh Antonito el Eco- Henroit”. Camborio dalam balada Lorca. Judul “Ballada Contoh kasus lain, dalam The Name of The Terbunuhnya Atmo Karpo” dipandangnya Rose, diceritakan tentang naskah misterius yang meniru judul “Muertede Antonito el Camborio” berisi jilid kedua yang hilang dari kitab Poetics karya Lorca. Seruan “Lala! Nana! tembang malam karya Aristoteles, halaman-halamannya diolesi dan duka cita!” dalam puisi “Ballada Gadisnya racun, beberapa halamannya lengket di dekat Jamil, Si Jagoan” juga dikatakan “amat asing sudut atas dan sepanjang bagian atas kertas. bagi telinga Indonesia”, serta mirip nyanyian Buku ini imajiner, rekaan Eco belaka. Tapi pada kanak-kanak yang amat disukai Lorca, yang suatu hari, bertahun-tahun setelah menulis The berbunyi: “A la nana, nana nana/a la nanita de Name of The Rose, Eco tak sengaja menemukan aquel/que llove el caballo al agua/y lo dejo sin beber…” buku Poetics Aristoteles edisi tahun 1587, yang Paling parah, sang kritikus sempat-sempatnya kondisinya nyaris sama dengan buku imajiner menulis catatan kaki: dalam novelnya, terselip dalam koleksi buku tua di perpustakaannya. Padahal, sebelumnya “Saya tidak dapat menghindarkan dugaan bahwa singkatan nama Wilibrordus Eco sama sekali sudah lupa memiliki buku Surendra menjadi W.S. Rendra (singkatan ini, yang puluhan tahun silam dibelinya dan nama yang ganjil di dalam bahasa Jawa) digeletakkannya begitu saja. “Dengan semacam tidak lain adalah hasil identifikasi dirinya

111 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013

dengan nama F.G. Lorca”. sukar dipahami dalam puisi modern—dalam kasus ini puisi Situmorang. Rupanya, bagi Sastrowardoyo, apa Dari empat surat-upaya dalam SPdS, esai pun layak dipakai untuk menelanjangi “Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor” ketidakorisinalan Rendra—karya maupun memang paling banyak memberikan perhatian pribadinya. Praktek penelanjangan “total” pada aspek bentuk karya. Tetapi, secara semacam ini tentu sulit diterima sebagai dasar keseluruhan, SPdS ditulis dengan orientasi penilaian mutu seni, tetapi sungguh efektif ekspresif yang mengutamakan interpretasi sebagai metode penilaian mutu moralitas seniman. tentang dunia batin, kejiwaan atau “sosok Bahwa esai “Kerancuan Pribadi Rendra-Lorca” pribadi” pengarang sebagaimana yang terbayang bukanlah kritik estetika, melainkan kritik etika, pada isi karyanya. Penekanan kuat pada isi, tercermin pula pada keengganan Sastrowardoyo disertai kuatnya paham romantik dan modernis untuk menanggapi puisi Rendra sesudah Ballada yang menempatkan seniman di pusat penciptaan Orang-Orang Tercinta—karena khawatir tertipu seni, telah mendorong Sastrowardoyo untuk lagi oleh kemolekan tarian Sang Burung Merak: merancukan penilaian mutu karya dan penilaian kualitas pribadi pengarang, mengaburkan “Alasan lain kekhawatiran saya perbedaan antara kritik seni dan kritik moralitas, adalah perubahan tanggapan yang mungkin akan saya alami dalam mencampuradukkan persoalan estetika dan mempertimbangkan sajak- sajak Rendra perkara etika. Ketajaman, kecermatan dan yang baru, termasuk “Nyanyian Angsa” ketekunan analisis Sastrowardoyo seringkali dan “Khotbah” dari kumpulan Blues untuk diredupkan atau dipiuhkan oleh hasrat Bonnie, yang telah menaikkan gelombang perhatian terhadap penyairnya pada saat melakukan semacam “inkuisisi suci” terhadap terbitnya. Pada diri saya, pertimbangan pengarang. Di satu sisi, hal ini dapat sajak-sajak Rendra memerlukan jarak dipandang sebagai kelemahan. Namun di sisi tinjauan yang lebih jauh dari karya-karya lain, juga menjadi kekuatan yang memberikan pengarang lain karena jangan-jangan pesona pertama yang diterbitkan penyair nada polemis khas pada SPdS, sehingga esai- yang sudah telanjur populer ini tidak esai di dalamnya menjadi lebih “seksi” dan menjanjikan nilai yang kita sangka semula. “abadi”, lebih dikenang pembaca daripada Hal itu telah terjadi di dalam diri saya esai-esai Sastrowardoyo dalam buku lain, atau ketika menghadapi Ballada Orang- Orang Tercinta. Setelah lewat beberapa waktu bahkan dibanding kebanyakan telaah sastra oleh saja, pada penglihatan saya pesona itu kritikus sastra Indonesia lainnya. telah menjadi pudar, sedangkan di dalam Meski masih harus dibuktikan dengan kerja sastra, yang kita tuju terutama adalah analisis terhadap puisi Sastrowardoyo, nilai-nilai yang kekal”. kritisisme tentang puisi dalam SPdS boleh jadi merefleksikan pendirian dan ideal Sastrowardoyo Epilog selaku penyair dalam memandang puisi dan Teeuw (1984) memuji Subagio kepenyairan. Kita tentu boleh berspekulasi Sastrowardoyo sebagai salah seorang kritikus bahwa Sastrowardoyo selaku penyair mencita- sastra Indonesia yang menghasilkan analisis citakan puisi yang berpijak di bumi sendiri (lawan struktur yang bagus dalam sejumlah kajian dari Chairil Anwar yang berjiwa Eropa), orisinal sastranya. Ia tidak menyebut kajian mana saja dan jujur dan dalam (lawan dari Rendra yang yang dianggapnya berhasil itu. Tetapi salah tidak orisinal dan berpura-pura dan dangkal), satunya tentu kajian Sastrowardoyo tentang berbobot filosofis dan didasari kesungguhan puisi Sitor Situmorang dalam SPdS. Esai pengalaman (seperti Sitor Situmorang, minus tersebut diajukan Teeuw “sebagai contoh dan sikapnya yang dibuat-buat), serta lembut dan pembicaraan yang sangat tepat” tentang ikhtiar kaya warna (seperti Toto Sudarto Bachtiar, minus mencari kebulatan makna yang tersembunyi dan keluguannya). Keberanian melontarkan kritik,

112 Jurnal Poetika Vol. I No. 2, Desember 2013 dengan argumen yang kaya dan berwawasan Daftar Pustaka luas, terhadap karya dan sosok penyair populer Korrie Layun Rampan. 2000 Leksikon Susastra yang telah nyaris menjadi “mitos” dalam sejarah Indonesia. : Balai Pustaka. sastra modern Indonesia adalah poin berharga Pamusuk Eneste. 2001. Buku Pintar Sastra yang ikut mengerek kewibawaan dan ketokohan Indonesia. Jakarta: Kompas. Sastrowardoyo sebagai salah satu kritikus sastra Yudiono K.S, 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia terpenting. Indonesia. Jakarta: Grasindo. Dalam SHBdK, Sastrowardoyo bergeser Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar menjauhi kutub ekspresif dan mendekati kutub Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. struktural, meski tidak pernah kehilangan Eco, Umberto. 2002. Interpretation and minat kepada―sosok pribadi” pengarang. Overinterpretation. Cambridge: Cambridge Hasilnya adalah serangkaian telaah sastra yang University Press, terasa lebih obyektif, lebih berjarak, lebih Susan Sontag, 1990. Against Interpretation. New dingin, tapi sekaligus kurang memikat dibanding York: Dobleday SPdS. Keterlibatan personal sang kritikus dengan obyek kajiannya dalam SHBdK tidak sekuat dalam SPdS. Patut diduga, hal ini karena SPdS membicarakan puisi, genre sastra yang digeluti Sastrowardoyo sendiri dengan intens sebagai penyair, sementara SHBdK membahas roman, terlebih lagi roman Hindia-Belanda. Namun demikian, SHBdK dalam arti tertentu lebih penting kedudukannya daripada SPdS, mengingat langkanya kajian dan kurangnya pengetahuan kita tentang khazanah sastra Hindia-Belanda yang, betapa pun, telah ikut membentuk kesadaran historis tentang negeri dan bangsa Indonesia. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Subagio Sastrowardoyo adalah sosok kritikus sastra yang bukan saja cerdas dan tekun, tapi juga berani dan bertanggung-jawab. Ia telaten mengkaji, piawai membedah, dan punya nyali menilai. Kualitas yang selamanya langka di dunia sastra kita.

113