Merajut Kemerdekaan D a L a M K a S
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
EdiSi aGUSTUS 2020 MaNNa 26 aGUSTUS 2020 MaKNai FaKTa KUaTKaN jiWa MERAJUT KEMERDEKAAN D A L A M K A S I H REdaKSi Pembimbing M. Lies Endarwati Penanggung Jawab Rosfita Hanis A. Pemimpin Redaksi Agnes Aprillia N. Redaktur Pelaksana Agnes Aprillia N. Virdiana Inggried M. Tirta Cynara F. Maria Vesta W. KONTEN Fokus........................3 Story of Saint............4 Lentera.....................6 Opini........................10 F O K U S MERAJUT KEMERDEKAAN DALAM KASIH Kemerdekaan merupakan situasi yang menjadi cita-cita setiap individu di dunia. Seorang pemikir bernama Hegel pernah berkata: “Sejarah adalah sebuah proses pembebasan”. Dari pendapat seorang tokoh tersebut bahwa merdeka tentunya akan melewati proses sejarah dan tujuan dari proses tersebut adalah mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Gagasan tentang kemerdekaan didasarkan pada ajaran bahwa Allah membuat manusia serupa dengan citra Allah. Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang berdaulat. Makna kemerdekaan dalam Kitab Suci memuat arti yang berbeda dari kata kemerdekaan yakni : merdeka dari perbudakan, merdeka dalam bersikap dan berperilaku, serta merdeka untuk menaati hukum kemerdekaan yang sempurna yaitu warta/kabar gembira Kerajaan Allah. Makna kemerdekaan dalam Kitab Suci tentunya masih relevan pada zaman sekarang, tidak hanya melulu tentang merdeka dalam artian politik namun lebih mengarah pada merdeka dalam artian sempit yakni persoalan individu. Kita sebagai kaum muda tentunya perlu menghayati nilai – nilai merdeka dalam kehidupan ini. Melalui ajaran Tuhan Yesus Kristus tentang Kasih, perlu adanya kesadaran diri dan penghayatan totalitas dalam berelasi baik dengan Tuhan, Manusia maupun dengan Alam. Merajut Kemerdekaan dalam Kasih mengajak kita untuk selalu berupaya diri dalam implementasi kemerdekaan yang berlandaskan kasih, memberikan kebebasan diri dan kebebasan orang lain sesuai dengan nilai – nilai Kasih. Pada Moment Kemerdekaan Indonesia, kita sebagai kaum muda patut memberikan apresiasi dan penghormatan setinggi – tingginya bagi siapa saja yang telah rela dan berkorban demi kemerdekaan bangsa. Nilai – nilai yang perlu kita hayati dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri. Buah – Buah Roh (Galatia 5 : 22-23) menjadi nilai – nilai yang perlu kita hayati dalam kehidupan ini. Maka dari itu, kita para generasi penerus bangsa berperan dalam Merajut Kemerdekaan dalam Kasih, 3 S T O R Y O F S a i N T Santa Joan ( Y o h a n a ) D e l a n o u e Pendiri Kongregasi Suster St.Anna Yohanna dari salib, Jeanne del Croi Delanoue Joan Delanoue dilahirkan pada tahun 1666 sebagai yang bungsu dari dua belas bersaudara. Keluarganya memiliki suatu usaha kecil yang berhasil. Ketika ibunya yang janda meninggal dunia, ibunya mewariskan tokonya kepada Joan. Joan bukan seorang gadis yang jahat, tetapi yang ia pikirkan hanyalah bagaimana mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Ia melakukan banyak dosa kecil untuk itu. Dulu, ia seorang gadis yang saleh, tetapi sekarang hanya tersisa sedikit saja cinta kasih dalam hatinya. Ibunya seorang yang murah hati kepada para pengemis. Sebaliknya, Joan, membeli makanan hanya pada saat menjelang makan malam. Dengan demikian ia dapat mengatakan kepada para pengemis yang mohon belas kasihannya: “Maaf, saya tidak punya apa-apa untukmu.” 4 Joan tidak bahagia dengan cara hidupnya itu. Ketika usianya duapuluh tujuh tahun, seorang imam yang baik dengan penuh kasih membantunya untuk hidup sesuai dengan imannya. Akhirnya, Joan menyadari bahwa “usaha-nya” adalah untuk mengamalkan uangnya, bukan menumpuknya bagi diri sendiri. Joan mulai memberikan perhatian kepada keluarga-keluarga yang miskin dan juga anak-anak yatim piatu. Di kemudian hari, ia malahan menutup tokonya sama sekali agar dapat mempergunakan seluruh waktunya bagi mereka. Orang menyebut rumahnya yang penuh dengan anak- anak yatim piatu sebagai “Rumah Penyelenggaraan Ilahi”. Ia mempengaruhi para wanita muda lainnya untuk membantu. Mereka membentuk kelompok Suster-suster St. Anna dari Penyelenggaraan Ilahi di Saumur, Perancis, kota tempat tinggal Joan. Joan hidup dengan mati raga yang keras. Ia juga melakukan tapa silih yang berat. St. Grignon de Montfort bertemu dengan Joan. Pada mulanya ia menyangka bahwa kesombongan hati yang menyebabkan Joan bersikap keras terhadap dirinya sendiri. Tetapi kemudian, St. Montfort segera menyadari bahwa hati Joan sungguh penuh dengan cinta kasih kepada Tuhan. St. Montfort menasehatinya: “Teruskanlah apa yang telah engkau mulai. Roh Tuhan ada padamu. Ikuti suara-Nya dan jangan lagi khawatir.” Joan wafat dalam damai pada tanggal 17 Agustus 1736. Usianya tujuhpuluh tahun. Penduduk Saumur mengatakan, “Pemilik toko kecil itu melakukan jauh lebih banyak bagi kaum miskin papa di Saumur daripada seluruh dewan kota. Sungguh seorang wanita yang luar biasa! Dan sungguh seorang yang kudus!” Joan dinyatakan sebagai 'beata' oleh Paus Pius XII pada tahun 1947, tahun yang sama St. Grignon de Montfort dinyatakan kudus. Pada tahun 1982, B. Joan Delanoue dinyatakan kudus oleh Paus Yohanes Paulus II. 5 A g u s t i n u s A d i s u t j i p t o Agustinus Adisutjipto dilahirkan di Salatiga pada tanggal 4 Juli 1916. Tjip adalah putra sulung di antara empat bersaudara yang kesemuanya adalah laki-laki. Ayah beliau Roewidodarmo seorang pensiunan Penilik Sekolah di Salatiga. Keluarganya adalah keluarga Katolik yang taat sekali pada agamanya. Tjip mempunyai hobi membaca buku filsafat kemiliteran, juga filosofi, olahraga seperti sepakbola, mendaki gunung, tennis dan tidak ketinggalan main catur. Teman-teman Tjip mengenalnya sebagai seorang pendiam, tetapi tidak ragu-ragu menghadapi bahaya. Sejak lulus dari MULO (Meer Uitgebried Lager Onderwijs/setingkat SMP), Tjip berhasrat mengikuti test penerimaan Sekolah Penerbangan di Kalijati. Ia menyatakan keinginannya kepada ayahnya, tetapi ayahnya tidak setuju. 6 Karena desakan ayahnya, maka Tjip masuk AMS (Algemeene Middelbare School) bagian B di Semarang. Tjip lulus dari AMS pada tahun 1936 dengan angka-angka yang baik sekali. Sekali lagi ia memohon kepada ayahnya, agar diperbolehkan mengikuti pendidikan sekolah militer Breda (Negeri Belanda). Namun hal ini tidak mungkin, karena Tjip bukan keturunan bangsawan, dan juga bukan golongan Eropa. Ayahnya membujuk, “Jadilah seorang dokter, Tjip. Berilah contoh yang baik kepada adik-adikmu”. Karena jalan buntu, maka Tjip mengikuti saran ayahnya dan kuliah di Genneskundige Hooge School (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta. Meskipun tercatat sebagai seorang mahasiswa yang rajin mengikuti kuliah, namun ada saja mata kuliah yang harus ditempuhnya dua kali. Perhatianya tidak ditujukan 100% kepada pelajaran, karena angan-angannya tetap mengawang di “udara”. Ia tetap berharap cita- citanya akan tercapai. Dengan diam-diam ia mengikuti test penerimaan Militaire Luchtvaart Opleidings School (Sekolah Pendidikan Penerbangan Militer) di Kalijati. Ia lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Untuk itu ia minta bantuan Asisten Residen di Salatiga. Sekali ini sang ayah meluluskan hasrat putranya yang keras hati itu. Kini Tjip mencurahkan segenap perhatiannya kepada lapangan idamannya. Tingkat pertama ia lulus, dan Tjip diterima sebagai kadet penerbang. Tjip dipuji karena budi pekertinya yang halus, tidak banyak bicara, cermat, penuh disiplin dan pemberani. Lagi pula ia pandai. Masa pendidikan yang seharusnya ditempuh dalam waktu 3 (tiga) tahun, dapat diselesaikannya dalam waktu 2 (dua) tahun. Bersama-sama dengan 9 (sembilan) siswa Indonesia lainnya, Tjip mencapai tingkat Vaandrig Kortverband Vlieger atau Letnan Muda calon penerbang Ikatan Pendek. Namun tingkatan pendek ini belumlah bersifat professional. Tetapi karena selalu ada diskriminasi antara orang-orang Belanda dan Indonesia, maka dari 10 siswa yang mengikuti pendidikan itu hanya 5 (lima) orang yang lulus dan mencapai tingkat Klein Militaire Brevet atau Brevet Penerbang Tingkat Pertama. Dan 5 (lima) orang itu hanya dua orang yang mencapai tingkat Groot Militaire Brevet atau Brevet Penerbang Tingkat Atas, yaitu Sambudjo Hurip dan Agistinus Adisutjipto. 7 Di Kalijati, Tjip berkenalan dengan S. Suryadarma seprang perwira lulusan Akademi Militer di Breda. Pada saat itu Suryadarma sedang mengikuti pendidikan Penerbangan Militer Angkatan Udara (Militaire Luchtrvaart). Antara Suryadarma dan pemuda Tjip terjalin suatu persahabatan dan berlanjut waktu bekerjasama membangun Angkatan Udara Republik Indonesia, yang didasarkan atas kemampuan bangsa Indonesia sendiri. Sejak mencapai tingkatan Penerbang Ata situ, mulailah karier pemuda Adisutjipto sebagai penerbang yang sebenarnya. Pada tahun 1939 Tjip ditempatkan pada Skadron Pengintai, Tjip diangkat menjadi Ajudan Kapitein (Kolonel) Clason, pejabat Angkatan Udara KNIL di jawa. Jabatan ini dipegangnya sampai waktu pendaratan Jepang pada tahun 1942. Pada waktu itu Tjip tergabung pada pasukan KNIL di Tuban, sedangkan Suryadarma berada di Tarakan. Kesempatan untuk melarikan diri ke Australia telah digunakan oleh beberapa penerbang tetapi Tjip memilih tetap tinggal di Jawa. Dalam jaman pendudukan Jepang, semua bekas penerbang KNIL dibebaskan dari tugasnya. Mereka hidup sebagai orang-orang biasa. Tjip kembali ke rumah orang tuanya di Salatiga. Di sana ia memperolah pekerjaan sebagai jurutulis di sebuah Perusahaan Angkutan Bis (Jidosya Jimukyoku). Karena sikapnya yang selalu korek dan tegas itu, Tjip disenangi oleh rekan-rekannya maupun pimpinan perusahaan tersebut. Tjip selalu menjadi pemimpin rekan-rekan sekerjanya.