KORELASI MATRIKS METALLOPROTEINASE-9, HIGH SENSITIVITY C- REACTIVE PROTEIN DAN GLUTAMAT SERUM DENGAN INTENSITAS NYERI SETELAH PEMBERIAN FLUNARIZIN PADA PENDERITA TENSION-TYPE HEADACHE KRONIK

DISERTASI

KHAIRUL PUTRA SURBAKTI

NIM 128102001

PROGRAM STUDI DOKTOR (S-3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KORELASI MATRIKS METALLOPROTEINASE-9, HIGH SENSITIVITY C- REACTIVE PROTEIN DAN GLUTAMAT SERUM DENGAN INTENSITAS NYERI SETELAH PEMBERIAN FLUNARIZIN PADA PENDERITA TENSION TYPE HEADACHE KRONIK

DISERTASI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran pada Kakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Untuk dipertahankan di hadapan Sidang Ujian Terbuka Program Studi Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

KHAIRUL PUTRA SURBAKTI 128102001

PROGRAM STUDI DOKTOR (S-3) ILMU KEDOKTERAN UNIVERSITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROMOTOR Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) Guru Besar Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

KO-PROMOTOR Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, Sp.PK Staf Pengajar Program Studi Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

KO-PROMOTOR Dr. Ir. Erna Mutiara, MKM Staf Pengajar Biostatistika dan Informasi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Judul Disertasi : Korelasi Matriks Metalloproteinase-9, High Sensitivity C- Reactive Protein dan Glutamat Serum dengan Intensitas Nyeri setelah Pemberian Flunarizin pada Penderita Tension- Type Headache Kronik

Nama Mahasiswa : Khairul Putra Surbakti NIM : 128102001 Program Studi : Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran

Menyetujui:

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)

Promotor

Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, Sp.PK Ko-Promotor I

Dr. Ir. Erna Mutiara, MKM Ko-Promotor II

Ketua Program Studi Doktor (S-3) Dekan Fakultas Kedokteran USU

Prof.Dr.dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K) Dr.dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K)

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Telah diuji pada Ujian Tertutup

Pada tanggal 17 Mei 2017

TIM PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)

Anggota : Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, Sp.PK

Dr. Ir. Erna Mutiara, MKM

Prof. dr. Aznan Lelo, Ph.D, Sp.F(K)

Prof. dr. H. M. Nadjib Dahlan, Sp.PK(K)

Dr. dr. Endang Mutiawati R, Sp.S(K)

Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K)

v

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Ytara, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Khairul Putra Surbakti

N I M : 128102001

Program Studi : Ilmu Kedokteran

Jenis karya : Disertasi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalty Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas disertasi saya yang berjudul :

Korelasi Matriks Metalloproteinase-9, High Sensitivity C- Reactive Protein dan Glutamat Serum dengan Intensitas Nyeri setelah Pemberian Flunarizin pada Penderita Tension-Type Headache Kronik beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalty Non- Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat, dan mempublikasikan disertasi saya tanpa meminta izin dari saya sebagai penulis dan pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya.

Dibuat di Medan

Pada tanggal 9 Desember 2017

Yang menyatakan,

Khairul Putra Surbakti

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, atas segala rahmat dan karunia-Nya, promovendus dapat melaksanakan pendidikan S-3 Ilmu Kedokteran. Alhamdulillah promovendus dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: “Korelasi Matriks Metalloporoteinase-9, High Sensitivity C-Reactive Protein dan Glutamat Serum dengan Intensitas Nyeri setelah Pemberian Flunarizin pada Tension-Type Headache Kronik”. Penelitian dan penulisan desertasi ini mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Dengan hati yang tulus, promovendus mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, Rektor sebelumnya, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) dan Dekan sebelumnya Prof. Dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH, Ketua Departemen Neurologi FK-USU dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K), Mantan Ketua Program Studi doktor (S-3) Ilmu Kedokteran Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K) dan Ketua Program Studi S-3, Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada promovendus untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya promovendus sampaikan kepada Promotor dan Ko-promotor: Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, Sp.PK dan Dr. Ir. Erna Mutiara, MKM yang telah memberikan arahan dan motivasi dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian ini sejak awal hingga selesainya penelitian dan penulisan disertasi ini. Semoga Allah

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SWT selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta kesehatan kepada beliau bertiga.

Selanjutnya, promovendus juga mengucapkan terima kasih dan salam hormat kepada tim penguji disertasi Prof. dr. Aznan Lelo, Ph.D, Sp.F(K), Prof. dr. H.M. Nadjib Dahlan, Sp.PA(K), Dr. dr. Endang Mutiawati R, Sp.S(K), Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) atas segala bimbingan dan koreksi terhadap disertasi ini selama proses persiapan penelitian hingga penulisan disertasi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi tingginya promovendus ucapkan kepada seluruh staf pengajar di lingkungan Program Studi S-3 Ilmu Kedokteran FK-USU:Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), Prof. dr.Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH, Alm. Prof. dr. Iskandar Zulkarnain Lubis, Sp.A(K), Prof. Dr. Ir. Sumono MS, Drs. Sutarman, Msi, PhD, Dr. Drs. Ridwan Siregar, M.Lib, dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc, Prof Dr. Ir. Harmein Nasution, MSIE, Dr. dr. Rosita Juwita Sembiring, Sp.PK saya ucapkan terima kasih atas bimbingan dan diskusinya selama saya mengikuti Program Studi S-3.

Ucapan terima kasih promovendus sampaikan kepada Guru-guru beserta seluruh staf Departemen Neurologi FK-USU, Alm. dr. H. H. Rambe Sp.S(K), Alm. Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K), Alm. dr. Syawaluddin Nasution, Sp.S(K), Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), Alm. dr. Syukri Batubara, Sp.S(K), Alm. dr. L.B.M. Sitorus, Sp.S, dr. Darlan Djali Chan, Sp.S, dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K), dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K), Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), Dr. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K), dr. Puji P.O. Sinurat, SpS(K), dr. Cut Aria Arina, Sp.S, dr. Kiki M Iqbal, Sp.S, dr. Alfansuri Kadri, Sp.S, dr. Aida Fitri, Sp.S(K), dr. Irina Kemala Nasution, Mked(Neu), Sp.S, dr. Haflin S Hutagalung, Mked(Neu), Sp.S, dr. Fasihah Irfani Fitri, Mked(Neu), Sp.S, dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS, dr.R.A. Dwi Pujiastuti, Mked(Neu), Sp.S, dr. Chairil Amin Batubara, Mked(Neu), Sp.S dan dr M. Yusuf, Sp.S, FINS serta seluruh peserta didik PPDS-I dan pegawai

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA administrasi Departemen Neurologi FK-USU atas semua bantuan, pengertian serta dukungan moril sehingga promovendus dapat menyelesaikan program S-3 ini.

Ucapan terima kasih promovendus sampaikan kepada Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Rumkit Putri Hijau Medan, Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan dan Kepala Puskesmas Medan Johor Medan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan disertasi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Pimpinan dan Staf Laboratorium Patologi Klinik RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memfasilitasi pemeriksaan MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum selama penelitian ini.

Ucapan terima kasih semua pihak yang telah bersedia menjadi subjek penelitian ini, semoga budi baik Ibu Bapak mendapat balasan dari Allah SWT.

Ucapan yang sama promovendus sampaikan kepada Drs. Abdul Djalil Amri Amra, M.Kes dan Dr. Ir. Erna Mutiara, MKM atas bimbingan dan bantuan saat penulis mengerjakan statistik penelitian ini.

Promovendus juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. dr. Imam Budi Putra, MHA, Sp.KK dan Sekretaris Program Studi Doktor (S-3) Dr. dr. Iqbal Pahlevi Adeputra Nasution, Sp.BA(K) serta Petty H, SS, Dewi Andani, S.Kom dan Erna Kusuma pegawai administrasi Program Studi Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran atas bantuan dan kerjasama yang diberikan selama ini serta seluruh peserta Program Studi Doktor (S-3) FK-USU baik yang sudah selesai maupun yang sedang mengikuti pendidikan, yang telah membantu dalam proses pendidikan dan hubungan baik yang tercipta selama ini.

Kepada kedua orang tua saya Lettu. Inf. Abdul Rahim Surbakti (alm) dan ibunda Hj Chairiah (alm), yang telah melahirkan, membesarkan dan mengasuh dengan kasih sayang sejak kecil, mendidik serta membimbing dan memberi tauladan dalam bekerja keras, memberikan pendidikan ilmu pengetahuan dan agama islam, saling menyayangi sesama saudara dan umat, bertanggung jawab atas tugas yang

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA diembankan serta tabah dalam menjalani kehidupan, ananda senantiasa mendoakan semoga Allah SWT menempatkan disisi-Nya sebaik-baiknya dan menerima amal baiknya selama hidup didunia. Amin YRA.

Kepada isteriku tercinta Hj. Munawarah Zaitun Lubis, tiada kata yang dapat promovendus ungkapkan selain rasa syukur atas dukungan moril yang telah mendampingi hidup ini dalam suka dan duka. Demikian juga ungkapan rasa cinta kasih sayang kepada anak-anakku: Utama Hadiputra Surbakti, Amalia Nurul Hutami dan Ruby Melinia Hutami yang selalu menjadi motivasi bagi promovendus dan memberikan kebahagiaan meskipun banyak kehilangan perhatian dan waktu kebersamaan selama menjalani pendidikan S-3 ini. Semua ini adalah untuk mencapai cita-cita yang lebih baik lagi. Semoga kalian juga termotivasi untuk meraih pendidikan yang setinggi-tingginya.

Semoga disertasi ini dapat memberi sumbangan yang berharga bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi orang banyak dan Allah SWT senantiasa memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin ya rabbal alamin.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, 24 Januari 2018

x

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI 1. Nama : dr. Khairul Putra Surbakti, Sp.S 2. Tempat, tanggal lahir : Pematang Siantar, 21 Desember 1962 3. Agama : Islam 4. N I P : 19621221 199012 1 001 5. Pangkat / Golongan : Pembina / IVa 6. Jabatan Fungsional : Lektor 7. Pekerjaan : Staf Pengajar Tetap Departemen Neurologi FK-USU Medan 8. Alamat Rumah : Jl. Karya Kasih Kompleks Johor Vista No.5 Medan 9. No. HP : 08163187374 10. E-mail : [email protected] 11. Nama Ayah : Lettu Inf. Abdul Rahim Surbakti (Alm) 12. Nama Ibu : Hj. Chairiah (Alm) 13. Isteri : Munawarah Zaitun Lubis 14. Anak : Utama Hadiputra Surbakti Amalia Nurul Hutami Ruby Melinia Hutami

II. RIWAYAT PENDIDIKAN 1. 1969 - 1974 : SD Negeri 1 Negeri Dolok, Kab. Simalungun 2. 1975 - 1977 : SMP Negeri 1 Tanah Jawa, Kab. Simalungun 3. 1978 - 1981 : SMA Negeri 2 Pematang Siantar 4. 1981 - 1990 : Fakultas Kedokteran UISU Medan 5. 2000 - 2005 : Spesialis Saraf FK USU Medan 6. 2012 - sekarang : Pendidikan Doktor (S-3) FK USU Medan

xi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA III. RIWAYAT PEKERJAAN 1. Staf Bagian Biokimia FK UISU Medan, 10 September 1987 s/d 13 April 1991. 2. Kepala Puskesmas Kampung Mesjid Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu, 7 Maret 1991 s/d 30 Januari 1995. 3. Kepala Puskesmas Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhanbatu, 31 Januari 1995 s/d 18 Juli 1996. 4. Kepala Puskesmas Sigambal Kecamatan Rantau Selatan Kabupaten Labuhanbatu, 19 Juli 1995 s/d 30 Desember 1999. 5. Staf Pengajar Tetap Departemen Neurologi FK-USU, 1 Oktober 2006 s/d sekarang. 6. Staf Pengajar Allianze Collage of Medical Science (ACMS) Kangar, Perlis Malaysia, 2008 s/d 2013 7. Sekretaris Program Studi Neurologi FK-USU, 22 Desember 2010 s/d 10 Maret 2017.

IV. KEGIATAN AKADEMIK 1. Memimpin jurnal, refarat dan laporan kasus untuk PPDS Neurologi FK-USU. 2. Membimbing PPDS Neurologi tentang diagnostik dan terapi kasus- kasus neurologi. 3. Membimbing Penelitian untuk PPDS Neurologi FK-USU. 4. Membimbing Penelitian untuk Program Magister Kedokteran Neurologi FK USU. 5. Penguji OSCE Nasional Uji Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. 6. Fasilitator dalam Tutorial mahasiswa S1 FK USU. 7. Fasilitator dalam Skill Lab mahasiswa S1 FK USU. 8. Membimbing bedside teaching untuk mahasiswa S1 FK USU. 9. Dosen Pembimbing Karya Tulis Ilmiah (KTI) Mahasiswa S-1 Fakultas Kedokteran USU.

xii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 10. Penguji Post Test mahasiswa Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Neurologi FK USU. 11. Penguji OSCE Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Program Pendidikan Dokter (UKMPPD).

V. PUBLIKASI ILMIAH 1. Karakteristik Migren Menstrual pada wanita Indonesia. Neurona, Vol 24, No.4, Juli 2007. (Co-Author). 2. Idiopathic Torsion Dystonia. Majalah Kedokteran Nusantara Vol.42, No.3, September 2009. (Author). 3. Perbandingan Disabilitas Penderita Migren yang terjadi di dalam dan diluar Menstruasi. Neurona Vol. 4 Juli 2011. (Co Author). 4. Relationship between blood pressure, hemoglobin levels and platelets levels with primary headache. Brunei International Medical Journal, Volume 9, Supplement 19 October 2013. (Co-Author). 5. Hubungan Nyeri Kepala Primer dengan Peningkatan Tekanan Darah dalam Kehamilan. Neurona Vol.31, No. 1 Desember 2013. (Co Author). 6. Hubungan antara Profil Lipid dan Gangguan Memori pada Usia Paruh Baya. Neurona Vol.31, No.1 Desember 2013. (Co Author). 7. Hubungan antara Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang dengan , dan Kualitas Tidur. Majalah Kedokteran Nusantara Vol.47, No.3 Desember 2014. (Co Author). 8. Hubungan Kadar Low-Density Lipoprotein Kolesterol dengan Kejadian dan Keparahan Stroke. Neurona Vol.32, No. 3 Juni 2015. (Co Author). 9. Effect of Flunarizine on Serum Glutamate Levels and its Correlation with Headache Intensity in Chronic Tension-Type Headache Patients. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences Vol. 5(6):

xiii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 757-761. DOI: 10.3889/oamjms.2017.172. Online first 7 Oct 2017. (Author).

VI. WORKSHOP DAN PELATIHAN YANG PERNAH DIIKUTI 1. The National Symposium on Parkinson Disease & Other Movement Disorder. PERDOSSI Cabang Medan. Medan, May 19-20, 2007. 2. Evidence-based Medicine Workshop. FK-USU. Medan, May 11-13, 2008. 3. Pain Workshop, Recent Advances: New Paradigm in Pain Management. PERDOSSI Cabang Medan. Medan, 26 Juli 2008. 4. Lipid Workshop, Lipid and Cardiovascular Disease: The Deadly Link. PERDOSSI Cabang Medan. Medan, March 27, 2010. 5. Pelatihan Pemeriksaan Neurobehaviour pada Fit & Proper Test. PERDOSSI. Medan, 2010. 6. Pelatihan Asesor Akreditasi Program Studi Neurologi. Kolegium Neurologi Indonesia. Jakarta 9-11 Desember 2011. 7. Workshop Pain Management. PERDOSSI Cabang Medan. Medan, 14 April 2012. 8. Workshop Integrated ECG Course and Afib Management (ICAM). PERDOSSI Cabang Medan. Medan, June 16th 2012. 9. Pelatihan Resusitasi Jantung Paru (RJP). RSUP H. Adam Malik Medan. Medan, 29 September 2012. 10. Pelatihan Dosen Pembimbing Karya Tulis Ilmiah (KTI) Mahasiswa. Fakultas Kedokteran USU. Medan , 4-5 Februari 2013. 11. Pelatihan Penguji Nasional Objective Structured Clinical Examination (OSCE) Neurologi. Kolegium Neurologi Indonesia. Yogyakarta, 12- 14 Desember 2013. 12. Pelatihan Pembuat Soal OSCE dan MCQ Neurologi. Kolegium Neurologi Indonesia. Yogyakarta 12-13 Desember 2013.

xiv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 13. Workshop Evidence Based Medicine. FK- USU. Medan 9-10 Maret 2013. 14. Lokakarya Pengembangan Kurikulum Neurologi Indonesia. Kolegium Neurologi Indonesia. Surabaya, 13-15 September 2013. 15. Pelatihan Penulisan Publikasi Karya Ilmiah di Jurnal Terakreditasi. Pusat Pengembangan Ilmu Kedokteran Komunitas Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FK-USU. Medan, 26 Maret 2014. 16. Pelatihan Penulisan Proposal Penelitian Hibah Dikti & Dana PNBP USU Bagi Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. FK-USU. Medan, 29 Maret 2014. 17. Pelatihan Cara Uji Klinik yang Baik (Good Clinical Practice). Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Bekerjasama dengan Komisi Etik Penelitian FK-USU/RSUP H. Adam Malik. Medan, 15-17 Oktober 2014. 18. Neurosonology Workshop. PERDOSSI Cabang Medan. Medan, February 20-21, 2015. 19. Lokakarya Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) Dosen USU Angkatan XLVIII Tahun 2015.Unit Pelayanan dan Pengembangan Pendidikan USU. Medan, 9-14 Maret 2015. 20. Lokakarya Applied Approach (AA) Angkatan XXXIX Tahun 2015. Unit Pelayanan dan Pengembangan Pendidikan USU. Medan, 23-27 Maret 2015. 21. Symposium and Workshop Comprehensive Management of Chronic Pain. PERDOSSI Cabang Medan.Medan, 6 Juni 2015. 22. Workshop Peningkatan Mutu Pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. FK-USU. Medan, 10 September 2015. 23. Pelatihan CODE BLUE. RSUP H. Adam Malik. Medan, 14 Maret 2016.

xv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 24. Neurobehaviour Workshop in Medan Neurology Update 2016. PERDOSSI Cabang Medan. Medan 28-30 Juli 2016. 25. ANLS Workshop in Medan Neurology Update 2016. PERDOSSI Cabang Medan. Medan ,28-30 Juli 2016. 26. New Paradigm of Antiplatelet Therapy in The Management of Secondary Stroke Prevention with Small Vessel Diseases (SVD), an update. PERDOSSI Cabang Medan. Medan, 3 September 2016. 27. Workshop Vertigo: From A to Z in Medan Neurology Update 2017. PERDOSSI Cabang Medan. Medan, 25-26 Agustus 2017. 28. Workshop Botox Injection for Neurology Cases in Medan Neurology Update 2017. PERDOSSI Cabang Medan 25-26 Agustus 2017.

VII. SYMPOSIUM YANG PERNAH DIIKUTI 1. The 5th Biennial Asean Neurological Association Convention & 25th Philippine Neurological Association Annual Convention. Cebu City Philippine, November 29 to December 2, 2003. (Oral Presentation). 2. Pertemuan Ilmiah Nasional II Nyeri Kepala, Nyeri & Vertigo. PERDOSSI Cabang Surabaya. Surabaya, 14-16 Juli 2006. 3. KONAS PERDOSSI KE-6. PERDOSSI Yogyakarta, 5-7 Juli 2007. 4. The 7th Biennial Convention of The ASEAN Neurological Association and 47th Annual Meeting of the Neurological Society of Thailand. The Neurological Society of Thailand. Cha-Am, Thailand 6th-9th March 2007. 5. Pertemuan Nasional III Nyeri, Nyeri Kepala dan Vertigo. PERDOSSI Cabang Surakarta. Surakarta, 4-6 Juli 2008. 6. Simposium Penanganan Menyeluruh Nyeri Kepala. PERDOSSI Cabang Banten. Banten, 7 Juni 2008. 7. The 7th Meeting of Indonesia Neurological Association (PERDOSSI). Medan. July 24-26, 2009.

xvi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 8. 2nd Regional Symposium of Thrombosis Hemostasis. Indonesian Society on Thrombosis-Hemostasis. Medan, 5 Juni 2010. 9. The 8th Asian & Oceanian Epilepsy Congress. International League Against Epilepsy. Melbourne, Australia 21st - 24th October 2010. 10. Seminar & Symposium Medan Pain Management 2010 for General Practioner. Indonesian Pain Society. Medan, 13 Februari 2010. (Pembicara). 11. Medan Pain Management for GP 2011. Perkumpulan Nyeri Indonesia Cabang Medan. Medan, 2-3 April 2011. (Pembicara) 12. Seminar Cervical Spondylosis and Myelopathy. Continuing Medical Education Professional Development Unit FK USU. Medan, 30 April 2011. (Pembicara) 13. KONAS PERDOSSI ke-7. PERDOSSI. Manado, 21-23 Juli 2011. 14. 9th Biennial Convention of The ASEAN Neurological Association And National Scientific Meeting of Study Group on Headache and Vertigo. Bali , November 2nd-5th 2011. (Pembicara). 15. Rhinology Update Symposium. PERHATI-KL branch of Sumatera Utara. Medan , December 15th 2012. (Pembicara). 16. Tension-type headache: Recent advances in diagnosis and management. Pertemuan Ilmiah Nasional PERDOSSI Nyeri, Nyeri Kepala, Vertigo, Neuroonkologi. PERDOSSI Cabang Medan. Medan, 9-12 Mei 2013. (Pembicara) 17. Seminar Early Diagnostic and Appropriate Treatment for Best Outcome. PERDOSSI Cabang Medan. Medan, 21-22 September 2013. 18. 10th ASNA Biennial Convention. Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 18th-20th October 2013. 19. 14th Asian & Oceanian Congress of Neurology. Macao. China, 2-5 March 2014.

xvii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 20. 9th World Stroke Congress. World Stroke Organization. Turkey. Istanbul, October 22-25,2014. 21. KONAS PERDOSSI ke- 8. Makassar, 5-9 Agustus 2015. 22. Jakarta Neurology Exhibition Workshop and Symposium (Jaknews). Jakarta, March 17-20th, 2016. (Oral Presentation). 23. International Conference on Medical and Health Sciences. Singapore, 2nd-3rd March 2017. (Oral Presentation). 24. 2nd Indonesian Neurologist Forum: Integrated Care in Stroke & Pain Management. PERDOSSI Cabang Medan. Berastagi 15-16 Juli 2017. (Pembicara). 25. MUKERNAS dan Pertemuan Ilmiah PERDOSSI 2017. The Current and Future Issues of Neurological Disease Management. PERDOSSI. Jogyakarta, 27-30 Juli 2017. 26. Scientific Symposium Jointly organized by University of Sumatera Utara-Singhealth 65th Anniversary of Medical Faculty University of Sumatera Utara. FK USU. Medan, August 12th, 2017. 27. Pertemuan Ilmiah Nasional Pain – Headache - Neuro Otology - Neuro Epidemiology. Better Life Without Pain. PERDOSSI Cabang Pekanbaru. Pekanbaru, 11-14 Oktober 2017. (Pembicara).

VIII. RIWAYAT ORGANISASI 1. Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Medan, 2000 – sekarang. 2. Anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) cabang Medan 2005 – sekarang 3. Ketua Kelompok Studi Nyeri Kepala Cabang Medan, 2011 sampai sekarang. 4. Sekretaris Kelompok Studi Nyeri Kepala Pusat 2011 sampai sekarang 5. Anggota Komisi Pengembangan Kurikulum Kolegium Neurologi Indonesia periode 2015 – 2019.

xviii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 6. Honorary Editorial Advisory Board of MIMS Neurology & Neuropsychiatry Disease Management Guidelines. 5th Edition 2017 Indonesia.

IX. PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT 1. Pelayanan Medis di RSUP H. Adam Malik Medan 2005 s/d sekarang. 2. Sebagai Narasumber “Dialog interaktif kesehatan saraf Bersama PERDOSSI Cabang Medan” di RRI Pro 1 Medan. Medan, 19 Mei 2016. 3. Sebagai Pembicara pada acara Pengabdian Masyarakat yang dilaksanakan oleh Perdossi Cabang Medan berupa SEMINAR AWAM EPILEPSI di RS Pendidikan USU. Medan, 13 September 2014.

X. PENGHARGAAN / PIAGAM 1. Sertifikasi sebagai Dosen Profesional. Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 14 November 2011. 2. Juara III Oral Presentation Jakarta Neurology Exhibition Workshop & Symposium (JAKNEWS). Jakarta 17-20th March, 2015. 3. Piagam dari Komisi Uji Kompetensi Kolegium Neurologi Indonesia sebagai Penguji OSCE Nasional pada Uji Kompetensi Dokter Spesialis Saraf Ke XVIII di FK Universitas Brawijaya. Malang, 7-8 Juni 2014. 4. Piagam dari Komisi Uji Kompetensi Kolegium Neurologi Indonesia sebagai Penguji OSCE Nasional pada Uji Kompetensi Dokter Spesialis Saraf Ke XX di FK Universitas Gajah Mada, Yogyakarta 6- 7 Desember 2014. 5. Piagam dari Komisi Uji Kompetensi Kolegium Neurologi Indonesia sebagai Penguji OSCE Nasional pada Uji Kompetensi Dokter

xix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Spesialis Saraf Ke XXI di FK Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 23-24 Mei 2015. 6. Piagam dari Komisi Uji Kompetensi Kolegium Neurologi Indonesia sebagai Penguji OSCE Nasional pada Uji Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi Ke XXVIII di FK Universitas Diponegoro Semarang, 10-12 November 2017.

Medan, 9 Desember 2017

Khairul Putra Surbakti

xx

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PERNYATAAN ORISINALITAS

KORELASI MATRIKS METALLOPROTEINASE-9, HIGH SENSITIVITY C- REACTIVE PROTEIN DAN GLUTAMAT SERUM DENGAN INTENSITAS NYERI SETELAH PEMBERIAN FLUNARIZIN PADA PENDERITA TENSION- TYPE HEADACHE KRONIK

Promovendus yang bertanda tangan dibawah ini, dengan ini menyatakan bahwa penulisan disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gekar Doktor pada Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang promovendus lakukan pada bagian- bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah promovendus cantumkan sumbernya secara jelas sesuai norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, promovendus bersedia menerima sanksi akademik dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 9 Desember 2018

Khairul Putra Surbakti

xxi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RINGKASAN

Tension-type headache (TTH) merupakan nyeri kepala primer yang paling sering dijumpai dan memiliki dampak sosial yang besar. Berdasarkan klasifikasi nyeri kepala ICHD -II oleh IHS tahun 2004, TTH dibagi atas 3 subtipe berdasarkan frekwensinya yaitu infrequent episodic TTH (nyeri kepala <1 hari perbulan), frequent episodic TTH (nyeri kepala 1-14 hari perbulan) and chronic TTH (nyeri kepala ≥15 hari perbulan). Pemahaman tentang patofisiologi TTH sangat penting untuk pengembangan pengobatan yang efektif dan pencegahan terjadinya TTH kronik. Etiologi TTH kronik belum diketahui sepenuhnya tetapi diyakini melibatkan banyak faktor dan lagi pula bervariasi pada individu. Penelitian sebelumnya telah menyelidiki peran inflamasi pada gangguan nyeri kepala terutama nyeri kepala migren. Beberapa bukti menunjukkan bahwa mediator-mediator proinflamasi mungkin terlibat dalam membangkitkan dan mempertahankan nyeri ketika terjadinya sensitisasi dari struktur neural. Oleh sebab itu dapat di asumsikan bahwa mediator proinflamasi mungkin terlibat dalam patofisiologi nyeri kepala primer. Beberapa neurotransmiter eksitasi dan sitokin proinflamasi diduga terlibat dalam patofisiologi nyeri kepala. Telah dilaporkan pula bahwa Flunarizin dapat digunakan untuk terapi profilaksis migren dan pemantauan kadar Glutamat plasma dapat digunakan sebagai biomarker terhadap respons pengobatan pada penderita migren. Akan tetapi sepanjang pengetahuan peneliti belum ada publikasi tentang efikasi flunarizin untuk pengobatan TTH kronik.

xxii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efek Flunarizin 5 mg, Flunarizin

10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg terhadap kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum pada penderita TTH kronik dan korelasinya dengan intensitas nyeri yang dinilai dengan skor NRS.

Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan disain uji klinis pre dan post test, tersamar ganda dengan randomisasi. Subjek penelitian diambil dari pasien yang datang berobat jalan di RSUP H. Adam Malik, Rumkit Putri Hijau dan

Puskesmas Medan Johor dari April sampai Agustus 2016 setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Untuk Penelitian Bidang Kesehatan FK-USU.

Penelitian ini melibatkan 73 pasien TTH kronik yang didiagnosa berdasarkan kriteria diagnostik International Classification of Headache Disorders, 2nd edition (ICHD-

II, 2004). Subjek yang memenuhi kriteria dirandomisasi kedalam tiga kelompok perlakuan untuk mendapatkan salah satu obat berikut ini selama 15 hari yang berisikan Flunarizin 5 mg/hari atau Flunarizin 10 mg/hari atau Amitriptyline 12,5 mg/hari. Kadar MMP-9, hs-CRP, Glutamat serum dan skor NRS untuk intensitas nyeri diperiksa sebelum dan setelah pemberian obat selama 15 hari. Sebanyak 5 ml darah vena subjek diambil untuk diukur kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum dengan metode ELISA menggunakan ChemWell 2910 analyzer untuk pemeriksaan

MMP-9 dan Glutamat sedangkan kadar hs-CRP serum diperiksa dengan menggunakan Cobass 6000 analyzer (Roche Diagnostics, Hitachi) di Laboratorium

Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan.

xxiii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dari 73 penderita TTH kronik sebahagian besar subjek adalah wanita

(82.8%), sudah menikah (78,1%). Mayoritas subjek ( 71,2%) berada pada kelompok usia (31-60) tahun, Suku Jawa (30,1%), ibu rumah tangga (54.8%), pendidikan SMA

(30.1%) tidak memiliki riwayat menderita hipertensi (79,5%), tidak menderita diabetes mellitus (90,4%) dan tidak merokok (93,2%). Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan dari faktor-faktor demografis tersebut antara ketiga (p > 0,05).

Sebelum pemberian obat, tidak dijumpai korelasi yang signifikan antara intensitas nyeri dengan kadar MMP-9 serum (r=0,063; p=0,299), dengan kadar hs-

CRP serum (r=0,180; p=0,064) dan dengan kadar Glutamat serum (r=0,004; p=0,488). Dijumpai perbedaan yang signifikan rerata kadar MMP-9 antara sebelum dan setelah pemberian obat Flunarizin 5 mg (p < 0,001), Flunarizin 10 mg ( p <

0,001) dan Amitriptilin 12,5 mg (p < 0,001). Dijumpai perbedaan yang signifikan rerata kadar Glutamat serum antara sebelum dan setelah pemberian obat Flunarizin 5 mg (p < 0,001), Flunarizin 10 mg ( p < 0.001) dan Amitriptilin 12,5 mg (p < 0,001).

Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan rerata kadar hs-CRP antara sebelum dan setelah pemberian obat pada kelompok Flunarizin 5 mg (p = 0,207) dan kelompok

Flunarizin 10 mg (p = 0,299). Akan tetapi dijumpai perbedaan yang signifikan ( p=

0,009) rerata kadar hs-CRP serum sebelum dan setelah pemberian obat pada kelompok Amitriptilin 12,5 mg.

Setelah pemberian obat pada pada kelompok Flunarizin 5 mg didapati hubungan negatif lemah yang tidak signifikan (r = -0,245; p= 0,119), didapati hubungan positif sangat lemah dan tidak signifikan ( r = 0,091; p = 0,333) dengan

xxiv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kadar hs-CRP serum, juga didapati hubungan negatif sangat lemah yang tidak signifikan ( r = -0,062; p = 0,385) dengan kadar Glutamat serum. Pada kelompok

Flunarizin 10 mg setelah pemberian obat didapati hubungan positif sangat lemah yang tidak signifikan (r = 0,008; p = 0,485) dengan kadar MMP-9 serum, didapati hubungan negatif sedang yang signifikan (r = -0,506; p = 0,005) antara intensitas nyeri dengan kadar hs-CRP serum dan antara intensitas nyeri dengan kadar Glutamat serum dijumpai hubungan negatif sangat lemah yang tidak signifikan (r = - 0,007; p

= 0,488). Setelah pemberian obat amitriptilin 12,5 mg, intensitas nyeri memiliki hubungan negatif sangat lemah yang tidak signifikan (r = - 0,026; p = 0,453) dengan kadar MMP-9 serum , didapati hubungan negatif lemah dan tidak signifikan (r = -

0,236; p = 0,139) antara intensitas nyeri dengan kadar hs-CRP serum dan antara intensitas nyeri dengan kadar glutamat serum dijumpai hubungan positif sedang yang signifikan (r = 0,508; p = 0,007).

Dijumpai perbedaan yang signifikan (p<0.001) rerata penurunan kadar

Glutamat serum setelah perlakuan antara kelompok Flunarizin 5 mg (1,19 ± 1,13),

Flunarizin 10 mg (0,75 ± 0,60) dan Amitriptilin 12,5 mg (0,20 ± 0,23). Pada ketiga kelompok ini dijumpai perbedaan rerata penurunan intensitas nyeri yang signifikan

(p< 0,001), tidak dijumpai perbedaan yang signifikan pada rerata penurunan kadar

MMP-9 (p = 0,673) dan juga tidak dijumpai perbedaan yang signifikan pada rerata penurunan hs-CRP serum (p = 0,845). Amitriptilin 12,5 mg lebih efektif secara signifikan (p<0,001) menurunkan intensitas nyeri dari pada Flunarizin 5 mg dan juga lebih efektif secara signifikan (p<0,001) dari pada Flunarizin 10 mg, sedangkan

xxv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Flunarizin 10 mg lebih efektif secara signifikan (p=0.001)dari pada Flunarizin 5 mg.

Flunarizin 5 mg lebih efektif secara signifikan (p<0,001) dari pada Amitriptilin 12,5 mg dalam menurunkan kadar Glutamat serum. Flunarizin 10 mg lebih efektif secara signifikan (p=0,004) menurunkan kadar Glutamat serum dari pada Amitriptilin 12,5 mg sedangkan Flunarizin 5 mg lebih efektif menurunkan kadar Glutamat serum dari pada Flunarizin 10 mg namun secara statistik tidak signifikan (p=0,266).

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pada penderita TTH kronik. Amitriptilin 12,5 mg merupakan obat paling efektif dalam menurunkan intensitas nyeri sedangkan Flunarizin 5 mg paling efektif menurunkan kadar Glutamat serum. Sebelum perlakuan dijumpai korelasi yang tidak signifikan antara intensitas nyeri dengan kadar MMP-9 serum (r = 0,063 ; p = 0,299), dengan kadar hs-CRP serum (r = 0,180; p =0,064) dan dengan kadar Glutamat serum (r =

0,004; p= 0,488). Didapati hubungan negatif sedang dan signifikan (r = -0,506; p =

0,005) antara intensitas nyeri dengan kadar hs-CRP serum setelah pemberian

Flunarizin 10 mg . Dijumpai hubungan positif sedang dan signifikan ( r = 0,508; p =

0,007) antara intensitas nyeri dengan kadar Glutamat serum setelah pemberian

Amitriptilin 12,5 mg. Pada kelompok Flunarizin 5 mg sebelum dan setelah pemberian obat dijumpai perbedaan rerata kadar MMP-9 serum yang signifikan (p<

0,001) dan perbedaan rerata kadar Glutamat serum (p < 0,001) sedangkan perbedaan rerata kadar hs-CRP serum tidak signifikan (0,207). Pada kelompok Flunarizin 10 mg dijumpai perbedaan rerata kadar MMP-9 serum (p < 0,001) dan perbedaan rerata

xxvi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kadar Glutamat (p<0.001), sedangkan perbedaan rerata kadar hs-CRP tidak signifikan (p = 0,299). Pada kelompok Amitriptilin12,5 mg dijumpai perbedaan yang signifikan rerata kadar MMP-9 serum (p < 0,001) dan perbedaan rerata kadar

Glutamat serum (p<0,001), juga perbedaan rerata kadar hs-CRP serum (p = 0, 009).

xxvii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SUMMARY

Tension-type headache (TTH) is the most common primary headache disorder and has a large impact on the society. Based on the second edition of the International Classification of Headache Disorders by International Headache Society 2004, TTH is classified into three subtypes according to headache frequency: infrequent episodic TTH (<1 day of headache per month), frequent episodic TTH (1–14 days of headache per month) and chronic TTH (>15 days per month). Understanding of pathophysiology of TTH is important for development of effective treatments and prevention of chronification of TTH. The etiology of chronic tension-type headache (CTTH) is not well understood, but is believed to be multifactorial and to vary among individuals. Previous studies have evaluated the role of inflammation in primary headache disorders, particularly in migraine. The role of inflammation has also been investigated in TTH. Several pieces of evidence show that pro-inflammatory mediators may be implicated in generating and maintaining pain while contributing to sensitization of neural structures; therefore it is reasonable to assume that they may be implicated in primary headaches pathophysiology. Some of exitatory neurotransmitters and pro-inflammatory cytokines have been suggested to involve in headache pathophysiology. Previous study found that flunarizine can be used for migraine prophylactic treatment and plasma glutamate level monitoring in migraine patients might serve as a biomarker of response to treatment. However, to our knowledge there is no publication about its efficacy in CTTH treatment. The purpose of this study was to see the effect of Flunarizine 5 mg, Flunarizine 10 mg and Amiriptyline 12.5 mg to serum levels of MMP-9, hs-CRP and Glutamate in CTTH patients and its correlation with pain intensity based on NRS scores. This was a randomized, double blind, clinical trial with pre and post test design, done in H. Adam Malik General Hospital Medan, Putri Hijau Hospital and Medan Johor Primary Health Center. This study was approved by the Ethical

xxviii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Committee for Health Research Faculty of Medicine University of Sumatera Utara. This study included 73 patients with diagnosis of CTTH according to International Classification of Headache Disorders, 2nd edition 2004 criteria. Eligible subjects were randomized into three interventional groups (Flunarizine 5 mg/day, twenty five patients; Flunarizine 10 mg/day, twenty five patients; Amitriptyline 12.5 mg/day, twenty three patients). The serum level of serum MMP-9, hs-CRP, Glutamate and Numeric Rating Scale (NRS) score for pain intensity were measured before and after 15-day treatment. Five milliliters venous blood were taken for measurements of MMP-9, hs-CRP and Glutamate serum levels by ELISA method using ChemWell 2910 analyzer for MMP-9 and Glutamate, whereas for hs-CRP using Cobass 6000 analyzer (Roche Diagnostics, Hitachi) at the Clinical Pathology Laboratory H. Adam Malik Hospital Medan.

Of 73 subjects in this study, most (82.8%) were female. Majority of subjects were married (78.1%), in the age group 31-60 years old (71.2%), Java tribe (30.1%), working as housewife (54.8%), graduated from senior high school (30.1%), had no history of hypertension (79.5%) nor diabetes mellitus (90.4%) and not smoking (93.2%). There was no significant difference among these demografic factors (p>0.05).

Before drug administration, there was no significant correlation between NRS score and serum MMP-9 (r = 0.063; p= 0.299), hs-CRP (r = 0.180; p= 0.064) and Glutamate (r = 0.004; p= 0.488). There were found significant difference of mean serum level of MMP-9 between baseline and after treament with Flunarizine 5 mg (p < 0.001), Flunarizine 10 mg (p = 0.001) and Amitriptyline 12.5 mg (p=0.001). There were found significant difference of mean serum level of Glutamate between baseline and after treament with Flunarizine 5 mg (p < 0.001), Flunarizine 10 mg (p < 0.001) and Amitriptyline 12.5 mg (p < 0.001). There were no significant difference of mean serum hs-CRP between baseline and after treatment in the Flunarizine 5 mg (p = 0.207) and Flunarizine 10 mg (p=0.299) groups. However,

xxix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA there was a significant difference (p=0.009) of mean serum hs-CRP between baseline and after treatment in Amitriptyline 12.5 mg group.

After drug administration, there were found non significant weak negative correlation (r = -0.245; p= 0.119) between NRS scores and serum MMP-9, non significant very weak correlation (r= 0.091; p= 0.333) between NRS scores and serum hs-CRP levels and non significant very weak negative correlation (r = -0.062; p= 0.385) between pain intensity and Glutamate after treatment with Flunarizine 5 mg. There were found a non significant very weak positive correlation (r = 0.008; p= 0.485 ) between pain intensity and serum MMP-9, a significant moderate negative correlation (r = -0.506; p=0.005) between pain intensity and serum hs-CRP levels and non significant very weak negative correlation (r = -0.007; p=0.488 ) between pain intensity and Glutamate after treatment with Flunarizine 10 mg. There were found a non significant very weak negative correlation (r = - 0.026; p=0.453) between NRS scores and serum MMP-9, a non significant weak negative correlation (r = - 0.236; p= 0.139 ) between pain intensity and serum hs-CRP levels and a significant moderate positive correlation (r = 0.508; p=0.007) between pain intensity and serum Glutamate levels after treatment with Amitriptilyne 12.5 mg.There were significant difference (p<0.001) of mean serum Glutamate levels decrement after drug administration among Flunarizine 5 mg group (1.19±1.13), Flunarizine 10 mg group ( 0.75±0.60) and Amitriptyline 12.5 group (0.20±0.23). In the three interventional groups, there were found significant decrement of mean pain intensity (p<0.001), no significant decrement of mean serum MMP-9 levels (p=0.673) and no significant decrement of mean serum hs-CRP (p=0.845) after 15- day treatment. Amitriptyline 12.5 mg was more effective significantly (p<0.001) than Flunarizine 5 mg in reducing pain intensity , and also more effective significantly (p<0.001) than Flunarizine 10 mg, whereas Flunarizine 10 mg was more effective than Flunarizine 5 mg. Flunarizine 5 mg was more effective significantly (p<0.001) than Amitriptyline 12.5 mg in reducing serum Glutamate concentration, Flunarizine 10 mg was more effective significantly (p=0.004) than Amitriptyline 12.5 mg,

xxx

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA whereas Flunarizine 5 mg was more effective than Flunarizin 10 mg but not significantly difference (p=0.266)

Based on findings in this study, all three drugs were found effective in reducing pain intensity in CTTH patients and Amitriptyline 12.5 mg was the most effective drug, whereas Flunarizine 5 mg was the most effective drug in reducing serum Glutamate concentration. At baseline, there were a non significant correlation between pain intensity and MMP-9 (r=0.063; p=0.299), hs-CRP (r=0.180) or Glutamate (r=0.004; p=0,488) serum levels. After Flunarizine 5 mg administration, pain intensity had non significant correlations with MMP-9, hs-CRP and Glutamate serum levels. There was found a significant moderate negative correlation (r = - 0.506; p=0.005) between pain intensity and serum hs-CRP level after Flunarizine 10 mg administration. There was found a significant moderate positive correlation (r = 0.508; p=0.007) between pain intensity and serum Glutamate after Amitriptyline 12.5 mg administration. In the Flunarizine 5 mg group, there were significant differences of mean serum level from baseline for MMP-9 (p=0.001), and for Glutamate (p<0.001) serum levels, whereas for hs-CRP no significant difference (p=0.207). In the Flunarizine 10 mg group, there were significant difference of mean serum level from baseline for MMP-9 (p<0.001) and Glutamate (p<0.001) serum levels, whereas for hs-CRP there was no significant differences (p=0.299). In the Amitriptyline 12.5 group, there were significant differences of mean serum level for MMP-9 (p<0.001), and for Glutamate (p<0.001), as well as for hs-CRP (p=0.009).

xxxi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KORELASI MATRIKS METALLOPROTEINASE-9, HIGH SENSITIVITY C- REACTIVE PROTEIN DAN GLUTAMAT SERUM DENGAN INTENSITAS NYERI SETELAH PEMBERIAN FLUNARIZIN PADA PENDERITA TENSION TYPE HEADACHE KRONIK

ABSTRAK

Latar Belakang : Meski kemajuan penelitian dasar dan klinis berkembang akhir akhir ini namun asal timbulnya nyeri pada TTH masih belum dikeketahui. Peran inflamasi juga telah diselidiki pada TTH. Beberapa bukti menunjukkan bahwa mediator proinflamasi mungkin terlibat dalam patifisiologi nyeri kepala primer. Beberapa neurotransmiter eksitasi dan sitokin proinflamasi diduga terlibat terlibat dalam patofisiologi nyeri kepala. Penelitian terdahulu menemukan bahwa flunarizin dapat digunakan sebagai terapi profilaksis pada penderita migren dan pemantauan kadar Glutamat pada pasien migren dapat digunakan sebagai biomarker terhadap respons pengobatan. Akan tetapi sepanjang pengetahuan peneliti belum ada publikasi yang melaporkan efikasi flunarizin untuk pengobatan TTH. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum pada penderita TTH kronik dan korelasinya dengan intensitas nyeri yang dinilai dengan skor NRS. Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan disain uji klinis pre dan post test, tersamar ganda dengan randomisasi. Diagnosa TTH kronik dibuat menurut kriteria diagnostik International Classification of Headache Disorders, 2nd edition (ICHD-II, 2004). Subjek penelitian diambil dari pasien yang datang berobat jalan di RSUP H. Adam Malik, Rumkit Putri Hijau dan Puskesmas Medan Johor dari April sampai Agustus 2016 setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Untuk Penelitian Bidang Kesehatan FK-USU. Subjek yang memenuhi kriteria dirandomisasi kedalam tiga kelompok perlakuan untuk mendapatkan salah satu obat berikut ini selama 15 hari yang berisikan Flunarizin 5 mg/hari atau Flunarizin 10

xxxii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mg/hari atau Amitriptyline 12,5 mg/hari. Kadar MMP-9, hs-CRP, Glutamat serum dan skor NRS untuk intensitas nyeri diperiksa sebelum dan setelah pemberian obat selama 15 hari. Hasil : Tujuh puluh tiga penderita TTH kronik mengikuti protokol penelitian ini sampai selesai. Sebahagian besar subjek adalah wanita (82,8%), sudah menikah (78,1%), pada kelompok usia 31-60 tahun (71,2%), Suku Jawa (30,1%), ibu rumah tangga (54,8%), pendidikan SMA (30,1%) tidak memiliki riwayat menderita hipertensi (79,5%), tidak menderita diabetes mellitus (90,4%) dan tidak merokok (93,2%). Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan dari faktor-faktor demografis tersebut antara ketiga kelompok perlakuan (p > 0,05). Dibandingkan dengan sebelum perlakuan, setelah 15 hari pengobatan nilai rerata kadar MMP-9 serum lebih rendah secara signifikan pada kelompok Flunarizin 5 mg (12,04 ± 3,02 vs. 10,86 ± 2,89; p<0,001), lebih rendah pada kelompok Flunarizin 10 mg (11,60 ± 2,38 vs. 10,86 ± 2,49; p<0,001) dan juga lebih rendah pada kelompok Amitriptyline 12.5 mg (11,89 ± 1,76 vs. 11,69 ± 1,81; p<0,001). Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan rerata kadar hs-CRP serum antara sebelum dan setelah pemberian obat pada kelompok Flunarizin 5 mg (p=0.207) dan kelompok Flunarizin 10 mg (p=0.299), sedangkan pada kelompok Amitriptilin12,5 mg dijumpai perbedaan yang signifikan (p=0.009). Sebelum perlakuan, dijumpai korelasi yang tidak signifikan antara nilai skor NRS dengan kadar MMP-9 serum (r = 0,063; p = 0,299), kadar hs-CRP serum (r = 0,180; p =0,064) dan kadar Glutamat serum (r = 0,004; p= 0,488). Setelah pemberian obat Flunarizin 10 mg, dijumpai korelasi negatif sedang yang signifikan (r = - 0,506; p = 0.005) antara skor intensitas nyeri dengan kadar hs-CRP serum. Dijumpai korelasi positip sedang yang signifikan (r = 0,508; p < 0,007) antara intensitas nyeri dengan kadar Glutamat serum setelah pemberian Amitriptilin12,5 mg. Akan tetapi tidak dijumpai korelasi yang signifikan antara intensitas nyeri dengan kadar MMP-9 serum (r = 0,245; p = 0,119), antara intensitas nyeri dengan kadar hs-CRP serum (r = 0,091; p = 0,333) dan antara intensitas nyeri dengan kadar Glutamat serum (r = - 0,062 ; p = 0,385) setelah pemberian Flunarizin 5 mg. Dijumpai perbedaan yang signifikan (p<0,001) rerata penurunan kadar Glutamat

xxxiii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA serum setelah perlakuan antara kelompok Flunarizin 5 mg (1,19 ± 1,13), Flunarizin 10 mg (0,75 ± 0,60) dan Amitriptilin 12,5 mg (0,20 ± 0,23). Pada ketiga kelompok ini dijumpai perbedaan rerata penurunan intensitas nyeri yang signifikan (p<0,001), tidak dijumpai perbedaan yang signifikan pada rerata penurunan kadar MMP-9 (p = 0,673) dan juga tidak dijumpai perbedaan yang signifikan pada rerata penurunan hs- CRP serum (p = 0,845) setelah 15 hari pemberian obat. Amitriptilin 12,5 mg lebih efektif secara signifikan (p<0,001) menurunkan intensitas nyeri dari pada Flunarizin 5 mg, juga Amitriptilin 12,5 mg lebih efektif secara signifikan (p<0,001) dari pada Flunarizin 10 mg, sedangkan Flunarizin 10 mg lebih efektif secara signifikan (p < 0,001) dari pada Flunarizin 5 mg. Flunarizin 5 mg lebih efektif secara signifikan (p=0,001) menurunkan kadar Glutamat serum dari pada Amitriptilin 12,5 mg. Flunarizin 10 mg lebih efektif secara signifikan (p=0,004) menurunkan kadar Glutamat serum dari pada Amitriptilin 12,5 mg. Flunarizin 5 mg lebih efektif menurunkan kadar Glutamat serum dari pada Flunarizin 10 mg namun secara statistik tidak signifikan (p=0,266). Kesimpulan : Ketiga obat baik Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg maupun Amitriptilin 12,5 mg efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pada penderita TTH kronik. Amitriptilin 12,5 mg merupakan obat yang paling efektif menurunkan inten sitas nyeri, sedangkan Flunarizin 5 mg paling efektif dalam menurunkan kadar Glutamat serum. Setelah pemberian obat Flunarizin 5 mg, tidak dijumpai korelasi yang signifikan antara skor NRS dengan kadar MMP-9 serum , dengan kadar hs-CRP serum dan dengan kadar Glutamate serum. Setelah pemberian obat Flunarizin 10 mg dijumpai korelasi negatif sedang yang signifikan (r = - 0,506; p= 0,005) antara intensitas nyeri dengan kadar hs-CRP serum. Setelah pemberian obat Amitriptilin 12,5 mg, dijumpai korelasi negatif sedang yang signifikan (r = 0,508; p= 0,007) antara intensitas nyeri dengan kadar Glutamat serum. Kata Kunci: tension-type headache kronik, MMP-9, hs-CRP, Glutamate, intensitas nyeri, Flunarizin

xxxiv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA CORRELATION OF SERUM MATRIX METALLOPROTEINASE-9, HIGH SENSITIVITY C-REACTIVE PROTEIN AND GLUTAMATE WITH PAIN INTENSITY AFTER TREATMENT WITH FLUNARIZINE IN TENSION TYPE HEADACHE PATIENTS

ABSTRACT

Background: Despite the progress in basic and clinical research in recent years, the origin of pain in TTH is unknown. The role of inflammation has also been investigated in TTH. Several pieces of evidence show that pro-inflammatory mediators may be implicated in generating and maintaining pain while contributing to sensitization of neural structures; therefore it is reasonable to assume that they may be implicated in primary headaches pathophysiology. Some of exitatory neurotransmitters and pro-inflammatory cytokines have been suggested to involve in headache pathophysiology. Previous study found that flunarizine can be used for migraine prophylactic treatment and plasma glutamate level monitoring in migraine patients might serve as a biomarker of response to treatment. However, to our knowledge there is no publication about its efficacy in CTTH treatment. Aims: This study was aimed to see the effect of Flunarizine and Amitriptyline to serum levels of MMP-9, hs-CRP and Glutamate in CTTH patients and its correlation with pain intensity based on NRS scores. Method: This experimental study is a randomized, double blind, clinical trial with pre and post test design. Diagnosis of CTTH was based on the International Classification of Headache Disorders, 2nd edition (ICHD-II, 2004) diagnostic criteria. Chronic tension-type headache patients were recruited among those attended during April and August 2016in the out-patient clinic of the H. Adam Malik General Hospital Medan, Puteri Hijau Hospital and Medan Johor Primary Health Center.Eligible subjects were randomized into three interventional groups to receive

xxxv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA one of the following drugs for 15 days that contained Flunarizine 5 mg/day or Flunarizine 10 mg/day or Amitriptyline 12.5 mg/day. The serum level of MMP-9, hs-CRP, Glutamate and Numeric Rating scale (NRS) score for pain intensity were measured before and after 15-day treatment. Results: Seventy-three CTTH patients had completed the study protocol until the end of the study. Most of them were female (82.8%), married (78.1), in the age group of 31-60 years old (71.2%), Java tribe (30.1%), housewife (54.8%), senior high school graduated (30.1%) , and wihout any history of hypertension (79.5%), no diabetes mellitus (90.4%) and not smoking (93.2%). There was no significant difference among these demographic factors (p>0.05). Compared to baseline, after 15 days of treatment the mean serum MMP-9 and mean serum Glutamate were significantly lower in the Flunarizine 5 mg group (12.04 ± 3.02 vs. 10.86 ± 2.89; p<0.001), significantly lower in the Flunarizine 10 mg group (11.60 ± 2.38 vs. 10.86 ± 2.49; p<0.001) and also significantly lower in the Amitriptyline 12.5 mg group (11.89 ± 1.76 vs. 11.69 ± 1.81; p<0.001).There were no significant difference of mean serum hs-CRP between baseline and after treatment in the Flunarizine 5 mg group (p=0.207) and Flunarizine 10 mg group (p=0.299), whereas in Amitriptyline group there was found a significant difference (p=0.009).At baseline, there was a non significant correlation between NRS scores and MMP-9(r = 0,063; p = 0,299), hs-CRP(r = 0,180; p =0,064) and Glutamate (r = 0,004; p= 0,488)serum levels. After Flunarizine 10 mg administration, there was found a significant (p=0.005) moderate negative correlation (r = - 0.506) between pain intensity and serum hs-CRP level and there was found a significant (p =0.007) moderate positive correlation (r = 0.508) between pain intensity and serum Glutamate levels after Amitriptyline 12.5 mg administration. However, there was no significant correlation between pain intensityand MMP-9(r = 0,245; p = 0,119), between pain intensity and hs-CRP and between pain intensity and Glutamate(r = 0,091; p = 0,333) serum level after Flunarizine 5 mg administration. There were significant differences (p<0.001) of serum Glutamate levels decrement after drug administration among Flunarizine 5 mg group (1.19±1.13), Flunarizine 10 mg group ( 0.75±0.60) and Amitriptyline 12.5

xxxvi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA group (0.20±0.23). In the three interventional groups, there were significant difference of mean pain intensity decrement (p<0.001) , no significant difference of serum MMP-9 levels decrement (p=0.673) and no significant difference of serum hs- CRP decrement (p=0.845) after 15-day treatment. Amitriptyline 12.5 mg was more effective significantly (p<0.001) than Flunarizine 5 mg in reducing pain intensity , and also more effective significantly (p<0.001) than Flunarizine 10 mg, whereas Flunarizine 10 mg was more effective significantly (p<0.001) than Flunarizine 5 mg. Flunarizine 5 mg was more effective significantly (p<0.001) than Amitriptilyne 12.5 mg in reducing serum Glutamate concentration, Flunarizine 10 mg was more effective significantly (p=0.004) than Amitriptyline 12.5 mg, whereas Flunarizine 5 mg was more effective than Flunarizin 10 mg but not significantly difference (p=0.266). Conclusion: The all three drugs were found effective in reducing pain intensity in CTTH patients and Amitriptyline 12.5 mg was the most effective drug among them, whereas Flunarizine 5 mg was the most effective drug in reducing serum Glutamate concentration. At baseline, there was a non significant correlation between pain intensity and MMP-9, hs-CRP or Glutamate serum levels. After Flunarizine 5 mg administration, pain intensity had non significant correlations with MMP-9, hs-CRP and Glutamate serum levels. There was found a significant (p=0.005) moderate negative correlation (r = - 0.506) between pain intensity and serum hs-CRP level. There was found a significant (p=0.007) moderate positive correlation (r = 0.508) between NRS and serum Glutamate after Amitriptyline 12.5 mg administration. Key words: chronic tension-type headache, MMP-9, hs-CRP, Glutamate, pain intensity, Flunarizine

xxxvii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL ...... i LEMBAR PRASYARAT GELAR ...... ii LEMBAR PROMOTOR DAN KO-PROMOTOR ...... iii LEMBAR PERSETUJUAN ...... iv LEMBAR PENGUJI ...... v PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI AKADEMIS ...... vi UCAPAN TERIMA KASIH ...... vii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...... xi PERNYATAAN ORISINALITAS ...... xxi RINGKASAN ...... xxii SUMMARY ...... xxviii ABSTRACT ...... xxxii ABSTRAK ...... xxxv DAFTAR ISI ...... xxxviii DAFTAR TABEL ...... xli DAFTAR GAMBAR ...... xlii DAFTAR SINGKATAN ...... xliii DAFTAR LAMPIRAN ...... xlvi

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 8 1.3 Tujuan Penelitian ...... 9 1.3.1 Tujuan umum ...... 9 1.3.2 Tujuan khusus ...... 10 1.4 Pertanyaan Penelitian ...... 11 1.5 Manfaat Penelitian ...... 12 1.5.1 Manfaat teoritis ...... 12 1.5.2 Manfaat aplikatif ...... 13 1.5.3 Manfaat untuk masyarakat...... 13 1.6 Orisinalitas ...... 13 1.7 Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) ...... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 14 2.1 Tension-Type Headache ...... 14 2.2 Tension-Type Headache Kronik ...... 14 2.3 Patofisiologi Tension-Type Headache ...... 15 2.4 Flunarizin ...... 22 2.5 Peranan Flunarizin pada Nyeri Kepala Tension-Type Headache ...... 25 2.6 Amitriptilin ...... 27 2.7 Matriks Metalloproteinase-9 (MMP-9)...... 28

xxxviii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.8 HighSensitivity- C ReactiveProtein (hs-CRP) ...... 35 2.9 Glutamat ...... 37 2.10 Kerangka Teori ...... 39 2.11 Hipotesa ...... 40 2.12 Kerangka Konsep ...... 41

BAB III METODE PENELITIAN ...... 42 3.1 Disain Penelitian ...... 42 3.2 Waktu dan Tempat ...... 42 3.3 Populasi Target dan Populasi Terjangkau ...... 42 3.3.1 Populasi sasaran ...... 42 3.3.2 Populasi terjangkau ...... 42 3.4 Jumlah Subjek ...... 43 3.5 Kriteria Subjek Penelitian ...... 46 3.5.1 Kriteria inklusi ...... 46 3.5.2 Kriteria eksklusi ...... 47 3.6 Batasan Operasional ...... 47 3.7 Instrumen Penelitian ...... 51 3.8 Cara Pengambilan Subjek ...... 52 3.9 Alur Penelitian ...... 54 3.10 Pelaksanaan Penelitian ...... 55 3.10.1 Pengambilan sampel ...... 55 3.10.2 Prosedur kerja MMP-9 human ELISA assay kit ...... 55 3.10.2.1 Pengambilan dan persiapan sampel ...... 55 3.10.2.2 Persiapan reagensia ...... 56 3.10.2.3 Protokol umum pemeriksaan ELISA ...... 57 3.10.3 Prosedur kerja glutamate ELISA kit, abnova, KA 1090 ...... 58 3.10.3.1 Prosedur ekstraksi sampel ...... 58 3.10.3.2 Prosedur derivatisasi ...... 59 3.10.3.3 Prosedur glutamat ELISA ...... 59 3.10.4 Prosedur kerja pemeriksaan hs-CRP ...... 60 3.10.5 Variabel yang diamati ...... 61 3.11 Analisa Statistik ...... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN ...... 63 4.1 Karakteristik Demografik Subjek Penelitian...... 63 4.2 Data kadar MMP-9, kadar hs-CRP, kadarglutamat serum dan skor NRS sebelum dan sesudah perlakuan...... 66 4.3 Hubungan kadar serum MMP-9, hs-CRP dan Glutamat dengan nilai NRS sebelum perlakuan...... 67 4.4 Perbandingan nilai skor NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP dan kadar Glutamat serumsebelum dan sesudah pemberian flunarizin 5 mg ...... 68 4.5 Perbandingan skor NRS, kadar MMP-9,kadar hs-CRP serum

xxxix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sebelum dan sesudah pemberian Flunarizin 10 mg ...... 70 4.6 Perbandingan skor NRS, kadar MMP-9,kadar hs-CRP serum sebelum dan sesudah pemberian Amitriptilin 12,5 mg ...... 71 4.7 Perbedaan selisih skor NRS, kadar MMP-9,hs-CRP dan Glutamat serum sesudah pemberianflunarizin 5 mg, flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg ...... 73 4.8 Hubungan skor NRSdengan kadar MMP-9,hs-CRP dan Glutamat serum setelahpemberian Flunarizin 5 mg ...... 78 4.9 Hubungan skor NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum setelah pemberian Flunarizin 10 mg ...... 79 4.10 Hubungan skor NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum setelahpemberian Amitriptilin 12,5 mg ...... 80

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Metode Penetitian...... 82 5.2 Data demografi dan faktor resiko ...... 84 5.2.1 Jenis kelamin dan nyeri ...... 85 5.2.2 Suku bangsa, faktor resiko penyakit dan nyeri ...... 87 5.3 Komparasi nilai NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRPdan kadar glutamat serum sebelum dan setelah pemberian flunarizin 5 mg ...... 89 5.3.1 Nilai NRS sebelum dan setelah pemberian flunarizin 5 mg ... 89 5.3.2 Kadar MMP-9 sebelum dan setelah pemberian flunafizin 5 mg ...... 90 5.3.3 Kadar hs-CRP sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 5 mg ...... 92 5.3.4 Kadar glutamat sebelum dan setelah pemberian flunarizin 5 mg ...... 94 5.4 Komparasi nilai NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP, kadar glutamat serum sebelum dansesudah pemberian flunarizin 10 mg .... 96 5.4.1 Nilai NRS sebelum dan setelah pemberian flunarizin 10 mg ...... 96 5.4.2 Kadar MMP-9 sebelum dan setelahpemberian flunarizin 10 mg ...... 97 5.4.3 Kadar hs-CRP sebelum dan setelahpemberian flunarizin 10 mg ...... 97 5.4.4 Kadar glutamat sebelum dan setelahpemberian flunarizin 10 mg ...... 98 5.5 Komparasi nilai NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP, kadar glutamat serum sebelum dansesudah pemberian amitriptilin 12,5 mg...... 99 5.5.1 Nilai NRS sebelum dan setelahpemberian amitriptilin 12,5 mg ...... 99 5.5.2 Kadar MMP-9 sebelum dan setelahpemberian

xl

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA amitriptilin 12,5 mg ...... 99 5.5.3 Kadar hs-CRP sebelum dan setelah pemberian amitriptilin 12,5 mg ...... 101 5.5.4 Kadar glutamat sebelum dan setelahpemberian amitriptilin 12,5 mg ...... 101 5.6 Korelasi nilai NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP ,glutamat serum setelah pemberian flunarizin 5 mg ...... 102 5.6.1 Korelasi nilai NRS dengan kadar MMP-9serum setelah pemberian flunarizin 5 mg ...... 102 5.6.2 Korelasi nilai NRS dengan kadar hs-CRPserum setelah pemberian flunarizin 5 mg ...... 103 5.6.3 Korelasi nilai NRS dengan kadar glutamatserum setelah pemberian flunarizin 5 mg ...... 105 5.7 Korelasi nilai NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRPdan glutamat serum setelah pemberian flunarizin 10 mg ...... 106 5.7.1 Korelasi nilai NRS dengan kadar MMP-9setelah pemberian flunarizin 10 mg ...... 107 5.7.2 Korelasi nilai NRS dengan kadar hs-CRPsetelah pemberian flunarizin 10 mg ...... 107 5.7.3 Korelasi nilai NRS dengan kadar glutamat setelah pemberian flunarizin 10 mg ...... 108 5.8 Korelasi nilai NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRPdan glutamat serum setelah pemberian amitriptilin 12,5 mg ...... 109 5.8.1 Korelasi nilai NRS dengan kadar MMP-9setelah pemberian amitriptilin 12,5 mg...... 109 5.8.2 Korelasi nilai NRS dengan kadar hs-CRPsetelah pemberian amitriptilin 12,5 mg...... 110 5.8.3 Korelasi nilai NRS dengan kadar glutamatsetelah pemberian amitriptilin 12,5 mg...... 111 5.9 Perbedaan selisih skor NRS, kadar MMP-9, hs-CRP dan glutamat serum sesudah pemberian flunarizin 5 mg, flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg ...... 112

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...... 116 6.1 Kesimpulan...... 116 6.2 Saran ...... 119

DAFTAR PUSTAKA ...... 120

LAMPIRAN ...... 133

xli

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR TABEL No. Judul Halaman Tabel 4.1 Karakteristik Demografik Subjek Penelitian ...... 65 Tabel 4.2 Glutamat Data kadar MMP-9, kadar hs-CRP, kadar serum dan skor NRS sebelum dan sesudah perlakuan ...... 66 Tabel 4.3 Hubungan kadar serum MMP-9, hs-CRP dan Glutamat dengan nilai NRS sebelum perlakuan...... 67 Tabel 4.4 Perbandingan nilai skor NRS, kadar MMP-9 kadar hs-CRP dan kadar Glutamat serum sebelum dan sesudah pemberian flunarizin 5 mg ...... 69 Tabel 4.5 Perbandingan skor NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP serum sebelum dan sesudah pemberian Flunarizin 10 mg ...... 70 Tabel 4.6 Perbandingan skor NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP serum sebelum dan sesudah pemberian Amitriptilin 12,5 mg ..... 72 Tabel 4.7.1 Perbedaan selisih skor NRS, kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum sesudah pemberian flunarizin 5 mg, flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg ...... 73 Tabel 4.7.2 Analisa komparasi ganda antar kelompok flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg...... 78 Tabel 4.8 Hubungan skor NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum setelah pemberian Flunarizin 5 mg ...... 79 Tabel 4.9 Hubungan skor NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum setelah pemberian Flunarizin 10 mg ...... 80 Tabel 4.10 Hubungan skor NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg ...... 81

xlii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR GAMBAR No. Judul Halaman Gambar 1 Patofisiologi tension-type headache (TTH) ...... 18 Gambar 2 Gambaran continuum antara migren dan TTH ...... 20 Gambar 3 Patofisiologi TTH kronik evolusi dari TTH episodik ...... 21 Gambar 4 Struktur kimia flunarizin dan cinnarizin ...... 26 Gambar 5 Skema sintesa dan aktivasi MMP-9 ...... 30 Gambar 6 Inflamasi dan mekanisme sensitisasi perifer ...... 33 Gambar 7 Inflamasi dan mekanisme sensistisasi sentral ...... 35 Gambar 8 Transportasi Glutamate & Glutamine diantara neuron, astrosit, sel- sel endotel dari sawar darah otak...... 38 Gambar 9 Skema Kerangka Teori ...... 39 Gambar 10 Skema Kerangka Konsep ...... 41 Gambar 11 Skema Alur Penelitian ...... 54 Gambar 12 Grafik Rerata Selisih Nilai Skor NRS ...... 74 Gambar 13 Grafik Rerata Selisih Kadar MMP-9 Serum...... 75 Gambar 14 Grafik Rerata Selisih Kadar hs-CRP Serum ...... 76 Gambar 15 Grafik Rerata Selisih Kadar Glutamat Serum ...... 76

xliii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR SINGKATAN ADHD : Attention Deficit Hyperactivity Disorder AMPAR : α-amino-4-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid receptor ASIC : Acid-sensing ion channel ATP : Adenosine tri phosphate BI : Brain stem interneuron BDNF : Brain-derived nurotrophic factor bFGF : Basic fibroblast growth factor CaMK : Calcium/calmodulin-dependent protein kinase CCL2 : CC-chemokine ligand 2 CGRP : Calcitonin gene-related factor COPD : Chronic Obstructive Pulmonary Disease COX : Cyclo-oxygenase CNS : Central Nervous System CRP : C-reactive protein CTTH : Chronic tension-type headache CXCL1 : CXC-chemokine ligand 1 CXCL5 : CXC-chemokine ligand 5 DHN : Dorsal horn neuron DRG : Dorsal root ganglion EAAT : Exitatory amino acid transporter EDTA : Ethylene diamine tetra acetic acid 5,6 EET : 5,6-epohoxyeicosatrienoic ELISA : Enzyme- linked immunosobent assay ERK : Extracellular signal-regulated protein kinase ETTH : Episodic tension-type headache

xliv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FP : N-formulated peptide FPR1 : Formyl peptide receptor 1 GABAR : Gamma amino butiric acid receptor GlyR : Glycine receptor GPRC : G protein-coupled receptor HMGB1 : High mobility group protein B1 hs-CRP : High sensitivity C-reactive Protein IFN-ɣ : Interferon-ɣ α-HL : α-Hemolisin 4-HNE : 4-hydroxynonenal 5-HT : 5-Hydroxy tryptamine ICHD : International Classification of Headache Disorders IHS : International Headache Society IL-6 : Interleukin-6 JNK : JUN N- terminal kinase iNOS :Inducible Nitric Oxide Synthase MAPK : Mitogen-activated protein kinase MMP : Matrix metalloproteinase MN : Motor nuclei MT-MMP : Membrane type matrix metalloproteinase NFkB : Nucleus factor kappa B NGF : Nerve growth factor NMDA : N-Methyl-D-Aspartate NMDAR : N-Methyl-D-Aspartate Receptor NRS : Numeric Rating Scale PAG : Periaquaductal gray

xlv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pch : Phosphocholine PCR : Polymerase chain reaction PI3K : Phosphoinositide 3-kinase PGE2 : Prostaglandin E2 PKA : Protein kinase A PKC : Protein kinase C PMT : Pericranial Myofascial Tissue PRLM : Pro-resolution lipid mediator P2X3 : P2X purinergic receptor 3 RNA : Ribonucleic acid RTK : Receptor tyrosine kinase RVM : Rostro ventro medial SH : Spinal horn TCA : Tricyclic antidepressant TGF-β : Transforming growth factor - β TGN : Trigeminal nucleus TIMP : Tissue inhibitory matrix metalloproteinase TNF : Tumour necrosis factor TLR : Toll-like receptor tPA : Tissue-type plasminogen activator TRPA1 : Transient receptor potential cation channel subfamily A member

xlvi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

Lampiran 1 Surat Persetujuan Komite Etik Penelitian ...... 133 Lampiran 2 Surat Keterangan Selesai Melaksanakan Penelitian di RSUP. H. Adam Malik Medan ...... 134 Lampiran 3 Surat Keterangan Selesai Melaksanakan Penelitian di Rumkit Putri Hijau Medan...... 135 Lampiran 4 Surat Keterangan Selesai Melaksanakan Penelitian di Puskesmas Medan Johor Medan ...... 136 Lampiran 5 Data Subjek Penelitian ...... 137 Lampiran 6 Publikasi Internasional ...... 139

xlvii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari. Keluhan nyeri kepala seringkali diabaikan oleh penderitanya di dalam masyarakat. Hampir 50% dari populasi dewasa didunia merupakan penderita nyeri kepala aktif. Kebanyakan penderita nyeri kepala tersebut tidak berobat ke dokter meskipun gangguan nyeri kepala tersebut seringkali membuat penderitanya lemah dan merasakan sangat nyeri (Stovner et al. 2007).

Tension-type headache (TTH) yang dikenal juga sebagai tension headache atau muscle contraction headache merupakan keluhan nyeri kepala yang paling sering dijumpai (Zwart et al. 2004). Studi epidemiologis menunjukkan bahwa prevalensi TTH pada populasi dewasa didunia adalah 42% dan hampir 20-30% populasi dewasa di menderita TTH (Stovner et al. 2007).

Diperkirakan 0,5 - 4,8% dari populasi didunia mengalami nyeri kepala TTH kronik (Yu & Han 2015). Pada suatu penelitian epidemiologis yang dilakukan di

Turki melaporkan prevalensi TTH yaitu 62,6% (Ertas et al. 2012). Di Indonesia berdasarkan hasil penelitian berbasis rumah sakit pada 5 rumah sakit dilaporkan prevalensi TTH episodik 31 % dan TTH kronik 24% (Sjahrir 2004).

Istilah ‘tension-type’ dipilih oleh komite International Headache Society

(IHS) pada tahun 1988 untuk menamakan nyeri kepala dengan patogenesis yang belum pasti namun menunjukkan tegangan otot dan mental yang mungkin berperan sebagai penyebabnya (Fumal & Schoenen 2008). Oleh karena patogenesisnya yang pasti belum diketahui maka istilah ini masih dipertahankan

1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2

pada klasifikasi International Classification of Headache Disorders (ICHD) edisi kedua pada tahun 2004 dan juga didalam klasifikasi ICHD-III Beta Version tahun

2013.

Tension type headache kronik merupakan nyeri kepala yang berasal dari

TTH episodik, dengan serangan setiap hari atau serangan episodik nyeri yang lebih sering berlangsung beberapa menit sampai beberapa hari. Nyeri kepala bersifat bilateral, menekan atau mengikat dalam kualitas dan intensitas ringan atau sedang, dan nyeri tidak memberat dengan aktifitas fisik yang rutin. Kemungkinan terdapat mual, fotofobia atau fonofobia ringan (Sjahrir et al. 2013).

Meski penyebab pasti TTH masih belum diketahui namun mekanisme miofasial perifer dan disregulasi sentral dari struktur pada proses terjadinya nyeri keduanya diduga berperan. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang bersifat diagnostik pada nyeri kepala tension-type headache ini sehingga diagnosanya bergantung sepenuhnya kepada simtomatologi saja (Bendsten & Jensen, 2011;

Kaniecki, 2012). Xuelian et al. (2012) di China melaporkan masih banyak pasien pada klinik neurologi yang semestinya didiagnosa sebagai TTH namun tidak terdiagnosa dan mereka menyarankan perlunya edukasi bagi klinisi untuk meningkatkan kemampuannya dalam mendiagnosa dan pengobatan TTH.

Patofisiologi TTH diduga multifaktorial yang melibatkan faktor-faktor dari sistem saraf pusat dan susunan saraf tepi termasuk faktor lingkungan, genetik dan psikologik (Yu &Han 2015). Dijumpainya peningkatan kadar IL-1β pada

TTH kronik sehingga diduga bahwa inflamasi neurovaskuler kemungkinan berperan potensial dalam patogenesis TTH kronik (Vedova et al. 2013). Kocer et

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3

al.(2010) dalam suatu studi melaporkan bahwa pada penderita CTTH dan ETTH dijumpai peningkatan IL-6 serum dibandingkan kelompok kontrol individu sehat.

Oleh sebab itu diyakini bahwa IL-6 mungkin terlibat dalam induksi nyeri ataupun dalam mekanisme inflammasi pada TTH.

Penelitian-penelitian terdahulu tentang penanda biologis untuk nyeri kepala kebanyakan memusatkan perhatiannya pada nyeri migren, sedangkan untuk nyeri kepala jenis lainnya seperti TTH, nyeri kepala post traumatik dan nyeri kepala klaster sangat jarang, padahal jenis nyeri kepala non migren tersebut juga layak mendapat perhatian. Sebagai akibatnya data penelitian nyeri kepala sebelumnya kebanyakan data tentang migren (Loder & Rizzoli 2007; Rosen

2012). Namun demikian teknologi pemeriksaan yang digunakan untuk penelitian penanda biologis pada migren dapat juga digunakan untuk nyeri kepala lainnya

(Loder & Rizzoli 2006). Salah satu penelitian terdahulu yang mengukur kadar

Tumor Necrosis Factor-α (TNF- α, Interleukin-1 (IL-1) dan Interleukin-6 (IL-6) didalam serum setelah pemberian amitriptilin serta melihat hubungannya dengan keparahan nyeri pada penderita TTH kronik melaporkan bahwa amitriptilin tidak memiliki efek terhadap kadar IL-1 dan IL-6 serum tetapi amitriptilin dapat menurunkan kadar TNF-α serum namun tidak signifikan secara statistik (Rambe,

Sjahrir & Machfoed 2015).

Penelitian sebelumnya telah meneliti kemungkinan adanya biomarker yang dihubungkan dengan nyeri kepala migren. Dalam satu penelitian telah dilaporkan bahwa pemantauan glutamat plasma pada penderita migren dapat berguna sebagai penanda biologis untuk mengetahui respons terhadap pengobatan yang diberikan dan sebagai pemeriksaan yang objektif dari status penyakit migren

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4

(Ferrari et al. 2008). Glutamat merupakan neurotransmiter eksitasi yang paling banyak dijumpai pada susunan saraf pusat. Peningkatan konsentrasi neurotransmiter eksitasi asam amino ini dapat mengakibatkan aktivitas reseptor subtipe NMDA glutamat yang dapat memperbesar dan memperkuat transmisi nyeri pada migren dan jenis nyeri kepala lainnya. Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat telah diduga memainkan peranan dalam patofisiologi penyakit-penyakit nyeri kepala primer. Dengan memblokir reseptor NMDA akan menginhibisi jalur ini diduga memantine dapat mencegah nyeri kepala primer (Huang et al. 2014).

Pada penelitian ini salah satu penanda biologis yang akan dilakukan pengukuran adalah kadar glutamat serum karena diduga bahwa pada penderita TTH kronik terjadi sensitisasi sentral yang mengakibatkan peningkatan glutamat melalui reseptor NMDA (Prescot et al. 2009).

High sensitivity-C reactive (hs-CRP) protein adalah penanda biologis adanya suatu inflamasi ringan didalam tubuh dan merupakan sitokin yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh non-spesifik dalam merespons terhadap kerusakan jaringan ataupun infeksi. Sintesa CRP terutama di hati dan aktivitasnya distimulasi oleh sitokin lainnya khususnya IL-6, IL-1β dan TNF-α

(El-Shorbagi & Ghoname, 2010). Banyak penelitian membuktikan bahwa hs-CRP juga dijumpai didalam makrofag dari plak ateromatous dan merupakan faktor resiko baru pada penyakit kardiovaskular. Akan tetapi belum ditemukan publikasi penelitian yang menghubungkan hs-CRP dengan TTH yang mana diduga faktor inflamasi turut berperan pada patofisiologinya. Oleh sebab itu hs-CRP salah satu penanda biologis yang akan diteliti pada penelitian ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5

Telah pula dilaporkan bahwa dijumpai peningkatan kadar matriks metalloproteinase-9 (MMP-9) didalam plasma pada saat serangan nyeri kepala migren (Leira et al. 2007). Hubungan yang terbalik dijumpai antara tekanan darah sistolik maupun diastolik dengan kadar MMP-9 serum (Paczek, Michalsa &

Bartlomiejczyk 2009). Zervoudaki et al. (2003) dalam suatu penelitian kasus- kontrol yang mengukur kadar MMP-2 dan MMP-9 plasma sebelum dan setelah pemberian anti hipertensi calcium channel blocker amlodipin selama 6 bulan menyatakan bahwa obat amlodipin dapat menormalkan kadar MMP-9 tetapi tidak pada MMP-2 (Zervoudaki et al. 2003). Satu studi melaporkan bahwa dijumpai peningkatan kadar MMP-9 plasma pada penderita migren selama periode bebas serangan nyeri kepala dan menduga bahwa peningkatan kadar MMP-9 pada pasien migren mungkin berhubungan dengan permiabilitas pembuluh darah mereka yang abnormal (Imamura et al. 2008).

Matriks metalloproteinase-9 disebut juga gelatinase B merupakan matriks metalloproteinase yang domain katalitiknya mengandung Zn2+ tempat berikatannya dengan gelatin sebagai substrat utamanya. Matriks metalloproteinase-9 ini biasanya diinduksi oleh berbagai faktor proinflamasi seperti sitokin, endotoksin ataupun stres oksidatif didalam sel-saraf ataupun sel- sel neuroglia . Pada penderita TTH timbulnya nyeri kepala dapat terjadi karena sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Sensitisasi perifer akan menghasilkan serotonin yang kemudian akan mengaktivasi NMDA reseptor 2nd order neuron di

DHN dan TGN sehingga terjadi kalsium influks, peningkatan aksi potensial yang mengakibatkan terjadinya eksitabilitas meninggi diikuti penurunan ambang nyeri sehingga timbul nyeri kepala (Chen 2009; Cathcart et al. 2010). Jalur lain yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 6

diduga dapat mengaktivasi reseptor NMDA yaitu apabila terpacu NFkB yang diikuti peninggian MMP-9 sehingga menimbulkan eksitabilitas DHN dan TGN dan mengakibatkan menurunnya ambang nyeri sehingga timbul nyeri kepala TTH.

Hingga kini belum ada jenis obat profilaksis yang efektif mencegah serangan nyeri kepala TTH baik dari golongan antidepresan, muscle relaxant, benzodiazepine, gabapentin, depomedrol maupun obat vasodilator pada penelitian-penelitian terdahulu (Anttila, 2006; Verhagen et al. 2010; Asadi et al.

2012). Penggunaan flunarizin sebagai terapi profilaksis telah banyak dilakukan pada nyeri kepala migren tetapi penggunaannya sebagai terapi pada TTH kronik belum ada dipublikasikan.

Obat yang paling banyak digunakan untuk terapi profilaksis TTH kronik saat ini adalah amitriptilin. Dosis amitriptilin untuk profilaksis TTH kronik pada penelitian sebelumnya bervariasi antara 10-75 mg (Bendtsen & Jensen 2009).

Pada penelitian ini dosis amitriptilin yang digunakan adalah 12,5 mg per hari untuk memberikan kenyamanan pada subjek penelitian sehingga menjaga kepatuhan subjek mengkonsumsi obat yang akan diberikan selama 15 hari masa penelitian. Penggunaan obat amitriptilin ini seringkali dikeluhkan oleh pasien karena efek samping yang sering timbul terutama efek sedasi yang membuat pasien mengantuk sehingga mengganggu aktivitasnya sehari-hari.

Flunarizin adalah suatu long-acting calcium channel blocker yang pada mulanya diperkenalkan pada tahun 1970-an untuk mengobati penyakit-penyakit vaskular oklusif. Dari suatu observasi, telah diketahui bahwa kerusakan sel yang disebabkan oleh peningkatan Ca++ selama hipoksia telah mengarahkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 7

penggunaan selective Ca++ modulators sebagai profilaksis terhadap nyeri kepala migren. Obat calcium channel blocker yang paling sering digunakan pada nyeri kepala migren yaitu flunarizin. Efek inhibisi yang kuat dari flunarizin terhadap aliran kalsium kedalam sel-sel otot polos pembuluh darah akan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah (Mohammed, Goadsby & Prabhakar 2011).

Flunarizin diduga dapat mengakibatkan aktivasi NMDA menurun yang menimbulkan eksitabilitas di DHN dan TGN menurun sehingga nyeri kepala berkurang. Apakah flunarizin hanya bekerja di NMDA reseptor atau bisa menghambat MMP-9 belum pernah dilaporkan. Calcium channel blocker yang lain yaitu amlodipin dilaporkan dapat meningkatkan MMP-9, ada yang tidak mempengaruhi contohnya felodipin dan diltiazem dan ada pula yang menurunkan kadar MMP-9 plasma yaitu lercanidipin (Zervoudaki et al. 2004; Martinez, Lopes

& Coelho 2006). Penelitian ini akan membuktikan bahwa flunarizin dapat digunakan untuk terapi pada TTH dan melihat apakah terjadi perubahan kadar

MMP-9 serum penderita TTH sebelum dan setelah pemberian flunarizin. Dosis flunarizin 5-10 mg/hari dilaporkan efektif untuk profilaksis migren (Gursoy &

Ertas 2013).

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa patogenesis TTH yang pasti hingga kini masih belum diketahui namun diduga melibatkan multifaktorial yang meliputi sensitisasi perifer, sensitisasi sentral, faktor genetik, faktor psikologik., faktor lingkungan dan kemungkinan faktor inflamasi neurovaskuler juga berperan. Penelitian ini akan melihat peran faktor inflamasi dalam patogenesis TTH yaitu dengan mengukur perubahan kadar MMP-9, hs-

CRP serum sebagai penanda biologis inflamasi. Disamping itu akan dilakukan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 8

juga pengukuran kadar glutamat serum untuk melihat apakah terjadi perubahan kadarnya didalam serum penderita TTH yang mana sensitisasi sentral yang melibatkan glutamat juga diduga merupakan salah satu faktor yang berperan pada patogenesis TTH.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat perubahan kadar serum MMP-9, hs-CRP dan Glutamat pada kelompok yang diberikan Flunarizin dan kelompok yang diberikan Amitriptilin serta korelasinya dengan tingkat intensitas nyeri yang dinilai dengan skor Numeric Rating Scale (NRS) pada TTH kronik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang seperti yang diuraikan di atas, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan penurunan rerata kadar MMP-9, hs-CRP dan

Glutamat pada serum penderita TTH kronik sebelum dan setelah

pemberian Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan kelompok yang

mendapat terapi Amitriptilin 12,5 mg?

2. Berapakah rerata kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum penderita

TTH kronik?

3. Apakah terdapat penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat pada

serum penderita TTH kronik setelah pemberian Flunarizin 5 mg?

4. Apakah terdapat penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat pada

serum penderita TTH kronik setelah pemberian Flunarizin 10 mg?

5. Apakah terdapat penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat pada

serum penderita TTH kronik setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 9

6. Apakah terdapat penurunan intensitas nyeri berdasarkkan skor NRS pada

kelompok yang diberikan Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan

Amitriptilin 12,5 mg pada penderita TTH kronik?

7. Apakah terdapat hubungan antara intensitas nyeri berdasarkan skor NRS

dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum sebelum pemberian

obat pada penderita TTH kronik?

8. Apakah terdapat hubungan antara intensitas nyeri berdasarakan skor NRS

dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum setelah pemberian

Flunarizin 5 mg?

9. Apakah terdapat hubungan antara intensitas nyeri berdasarakan skor NRS

dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat setelah pemberian

Flunarizin 10 mg?

10. Apakah terdapat hubungan antara intensitas nyeri berdasarakan skor NRS

dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat setelah pemberian

Amitriptilin 12,5 mg?

11. Obat manakah yang paling efektif dalam penurunan intensitas nyeri

antara Flunarizne 5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui korelasi penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan

Glutamat setelah pemberian Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg, atau

Amitriptilin 12,5 mg serta hubungannya dengan tingkat intensitas nyeri

pada TTH kronik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 10

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui perbedaan penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan

Glutamat serum pada TTH kronik pada kelompok yang mendapat terapi

Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan kelompok yang mendapat terapi

Amitriptilin 12,5 mg.

2. Untuk mengetahui rerata kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum

pada penderita nyeri kepala TTH kronik.

3. Untuk mengetahui penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

serum sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 5 mg pada penderita

nyeri kepala TTH kronik.

4. Untuk mengetahui penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

serum sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 10 mg pada penderita

nyeri kepala TTH kronik.

5. Untuk mengetahui penurunan kadar MMP-9 , hs-CRP dan Glutamat

serum sebelum dan setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg pada

penderita nyeri kepala TTH kronik.

6. Untuk mengetahui penurunan intensitas nyeri berdasarkkan skor NRS

pada kelompok yang diberikan Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan

Amitriptilin 12,5 mg pada penderita TTH kronik?

7. Untuk mengetahui hubungan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum

dengan intensitas nyeri yang berdasarkan skor NRS sebelum pemberian

obat Flunarizin 5 Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg pada TTH

kronik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 11

8. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara intensitas nyeri

berdasarkan skor NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

serum setelah pemberian Flunarizin 5 mg?

9. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara intensitas nyeri

berdasarkan skor NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

setelah pemberian Flunarizin 10 mg?

10. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara intensitas nyeri

berdasarkan skor NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg?

1.4 Pertanyaan Penelitian

1. Apakah terdapat perbedaan penurunan rerata kadar MMP-9, hs-CRP dan

Glutamat pada serum penderita TTH kronik sebelum dan setelah

pemberian obat Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan kelompok yang

mendapat terapi Amitriptilin 12,5 mg?rapakah rerata kadar MMP-9, hs-

CRP dan Glutamat serum penderita TTH kronik?

2. Berapakah rerata kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum penderita

TTH kronik?

3. Apakah terdapat penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat pada

serum penderita TTH kronik setelah pemberian Flunarizin 5 mg?

4. Apakah terdapat penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat pada

serum penderita TTH kronik setelah pemberian Flunarizin 10 mg?

5. Apakah terdapat penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat pada

serum penderita TTH kronik setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 12

6. Apakah terdapat penurunan intensitas nyeri berdasarkkan skor NRS pada

kelompok yang diberikan Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan

Amitriptilin 12,5 mg pada penderita TTH kronik?

7. Apakah terdapat hubungan antara intensitas nyeri berdasarkan skor NRS

dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum sebelum pemberian

obat pada penderita TTH kronik?

8. Apakah terdapat hubungan antara intensitas nyeri berdasarkan skor NRS

dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum setelah pemberian

Flunarizin 5 mg?

9. Apakah terdapat hubungan antara intensitas nyeri berdasarkan skor NRS

dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat setelah pemberian

Flunarizin 10 mg?

10. Apakah terdapat hubungan antara intensitas nyeri berdasarkan skor NRS

dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat setelah pemberian

Amitriptilin 12,5 mg?

11. Obat manakah yang paling efektif dalam penurunan intensitas nyeri

antara Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg?

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis:

Untuk menambah pemahaman tentang dasar patofisiologi, pada penyakit

TTH kronik dan mengetahui apakah Flunarizin bermanfaat untuk

pengobatan pada penyakit ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 13

1.5.2. Manfaat aplikatif:

Bagi klinisi dapat menambah pemahaman tentang patofisiologi TTH

kronik sehingga dapat memberikan terapi yang lebih baik pada penderita

TTH kronik.

1.5.3. Manfaat untuk masyarakat: Masyarakat dapat mendapatkan manfaat

terapi penyakit TTH kronik yang lebih baik.

1.6 Orsinalitas

Berdasarkan penelusuran kepustakaan diketahui bahwa belum ditemukan penelitian tentang perbedaan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat secara bersama-sama didalam serum pada penderita TTH kronik.

1.7 Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)

1. Ditemukannya manfaat lain pemberian flunarizin yaitu dapat digunakan

untuk pengobatan pada pasien TTH kronik.

2. Diketahuinya hubungan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum

dengan tingkat intensitas nyeri yang dinilai dengan Skor NRS pada

penderita TTH kronik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tension-Type Headache

Tension-type headache merupakan salah satu nyeri kepala primer yang paling sering dijumpai dan menimbulkan dampak sosioekonomi yang besar di masyarakat. Dari berbagai penelitian prevalensi lifetime tension-type headache bervariasi 30-78% pada populasi umum. Meskipun jenis nyeri kepala ini pada mulanya dianggap terutama disebabkan psikogenik namun sejumlah penelitian telah muncul setelah diterbitkannya ICHD-I yang menduga dan melaporkan adanya peristiwa neurobiologis yang mendasarinya setidaknya terjadi pada subtipe TTH yang lebih berat. (International Classification of Headache

Disorder, third edition Beta version, 2013).

2.2 Tension Type Headache Kronik

Tension-type headache kronik adalah nyeri kepala yang berasal dari

ETTH dengan serangan tiap hari atau serangan episodik nyeri kepala yang lebih sering berlangsung beberapa menit sampai beberapa hari. Nyeri kepala bersifat bilateral, menekan atau mengikat dalam kualitas dan intensitas ringan atau sedangn dan nyeri tidak bertambah memberat dengan aktivitas fisik yang rutin.

Kemungkinan terdapat mual, fotofobia atau fonofobia ringan (Sjahrir et al. 2013).

Untuk menegakkan diagnose TTH kronik digunakan kriteria diagnostik berdasarkan Klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi ke-2 dan Kode ICD-

10NA2004 dengan kode IHS(2.3) dan kode ICD-10 (G44.2) adalah sebagai berikut : (Sjahrir et al. 2013)

14 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 15

A. Nyeri kepala timbul ≥ 15 hari/bulan berlangsung > 3 bulan (≥ 180

hari/tahun) dan juga memenuhi criteria B–D.

B. Nyeri kepala berlangsung beberapa jam atau terus menerus

C. Nyeri kepala yang memiliki paling tidak 2 karakteristik berikut:

1. Lokasinya bilateral

2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut)

3. Intensitasnya ringan atau sedang

4. Tidak memberat dengan akitivitas fisik yang rutin

D. Tidak didapatkan :

1. Lebih dari satu: fotofobia, fonofobia atau mual yang ringan

2. Mual yang sedang atau berat, maupun muntah

E. Tidak berkaitan dengan penyakit lain

2.3 Patofisiologi Tension-Type Headache

Patofisiologi TTH belum sepenuhnya diketahui. Faktor perifer yang terdiri dari nosisepsi jaringan miofasial perikranial dan faktor sentral yaitu peningkatan eksitabilitas sistem saraf pusat keduanya berperan besar dalam patofisiologi TTH (Bendsten , 2000 ; Green, 2007; Hankey & Warlaw, 2008).

Nyeri pada palpasi yang dijumpai pada otot miofasial penderita TTH diduga karena impuls nosiseptif dari otot-otot perikranial dikirim ke kepala dan dirasakan sebagai nyeri kepala sehingga jaringan miofasial memainkan peranan penting pada nyeri kepala TTH (Silberstein, Lipton & Dalessio 2001 ; Ashina et al. 2009 ; Bana & Maloney 2009). Mekanisme yang mendasari terjadinya TTH sangat dinamis karena gambaran klinisnya sangat bervariasi baik frekwensi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 16

maupun intensitas pada penderitanya (Jensen 2001). Stres mental dan motorik, pelepasan zat iritant pada miofasial lokal ataupun kombinasi keduanya dapat memulai proses timbulnya nyeri kepala TTH (Cathcart et al. 2010). Telah dikemukakan model patofisiologi dari CTTH yang mengatakan bahwa masalah utama pada CTTH adalah sensitisasi sentral pada tingkat nukleus dorsalis medulla spinalis dan nukleus trigeminalis karena input nosiseptif berkepanjangan dari jaringan miofasial perikranial (Anttila 2006 ; Ailani 2009; Bendtsen &

Fernandez-de-la-Penas 2011). Peningkatan input nosiseptif ini ke struktur supraspinal pada gilirannya dapat mengakibatkan sensitisasi supraspinal (Milanov

& Bogdanova 2004 ;Biller 2009; de Tommaso et al. 2012).

Buchgreitz et al. (2009) mengemukakan bahwa terjadi respons supraspinal yang abnormal terhadap nyeri otot pada penderita TTH kronik.

Trigger points merupakan zona hiperalgesia primer yang bertanggung jawab untuk terjadinya sensitisasi sentral pada TTH kronik (Fernández-de-las-Peñas et al. 2007; Schmidt-Hansen et al.2007). Penyuntikan lidokain kedalam trigger points miofasial pada otot-otot perikranial dapat menjadi terapi alternatif yang efektif untuk TTH episodik (Karadaş, Gül & İnan 2013). Asadi et al. (2012) menemukan dalam satu studi bahwa penyuntikan depomedrol pada tiap trigger points dengan dosis total 40 mg lebih bagus perbaikannya dibandingkan dengan pemberian oral gabapentin setiap hari dengan dosis 300-600 mg untuk terapi profilaksis.

Perubahan-perubahan neuroplastisitas sentral dapat mempengaruhi regulasi mekanisme periferal dengan demikian mengakibatkan peningkatan aktivitas otot perikranial atau neurotransmiter didalam jaringan miofasial. Oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 17

sebab itu dapat bertahan bahkan setelah faktor-faktor yang membangkitkannya telah normal yang mengakibatkan konversi dari tension-type headache episodik menjadi TTH kronik. ( Bendsten 2000 ; Chowdry 2012).

Pada pasien-pasien TTH dapat juga mengalami alodinia mungkin hal ini disebabkan oleh peninggian aktivitas nosiseptor supra spinal dan nosiseptor spinal

(Chen 2009; Costigan, Scholz & Wolf 2009; Kielman, 2011). Ellis & Bennet

(2013) melaporkan bahwa mediator-mediator inflamasi perifer dapat mensensitisasi sistem saraf tepi dan pusat serta semakin banyak bukti bahwa proses inflamasi berperan dalam terjadinya nyeri neuropatik. Faktor lokal didalam jaringan otot dapat memprovokasi impuls neural lokal sehingga dimulainya suatu respons refleks pada tingkat medula spinalis yang mengakibatkan kontraksi otot kemudian menuju suatu relay polisinaptik dari stimulus tersebut ke tingkat talamus dan kortikal. Otak mengaktivasi sistem retokulospinal untuk mengirimkan impuls melalui traktus aferen ini ke serabut-serabut eferen gamma pada tingkat medula spinalis yang mengakibatkan aktivasi muscle spindle untuk membentuk refleks monosinaptik melalui ventral cord ke saraf eferen perifer sehingga menimbulkan konktraksi otot. Bila faktor-faktor lokal terus menerus berlanjut yang menimbulkan aktivasi jaras-jaras aferen ini atau bila terjadi perubahan-perubahan aktivitas kortikal maka hal ini akan meningkatkan transmisi eferen retikulospinal jaringan otot tersebut sehingga terjadi peningkatan tonus otot pada tempat terjadinya spasme tersebut dan menimbulkan nyeri (Bezov et al.

2010; Freitag 2013; Aaseth et al. 2014). Sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL-

1β, IL-6 dan sitokin anti inflamasi seperti IL-10 dilaporkan berperan signifikan dalam modulasi ambang nyeri dan berkontribusi pada sensitisasi serabut-serabut

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 18

trigeminal (Uzar et al. 2011). Ditemukannya peningkatan kadar IL-1β serum pada penderita TTH kronik maka di duga bahwa inflamasi neurovaskular mungkin potensial berperan dalam pathogenesis TTH kronik (Vedova et al. 2013).

Gambar 1 Model Patofisiologi Tension Type Headache kronik Dikutip dari: Fumal & Schoenen (2008)

Peranan faktor genetik pada tension TTH belum banyak dilaporkan.

Epigenetik diduga berperan dalam patofisiologi terjadinya nyeri kepala primer

(Montagna 2008). Pada TTH episodik yang frequent dan TTH kronik disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan sedangkan TTH episodik yang infrequent terutama disebabkan oleh faktor lingkungan. Penelitian-penelitian genetika telah membuktikan bahwa migren, TTH dan nyeri kepala klaster memiliki komponen heritable yang signifikan (Russel 2007 ; Rainero et al. 2012).

Meskipun ada beberapa data yang menduga adanya hubungan antara perubahan hormonal dengan TTH namun hingga kini belum ada konsensus yang dicapai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 19

tentang peranan hormon seks dalam patofisiologi TTH (Sjaastad 2011 ; Karli et al.

2012).

Persamaan dan perbedaan-perbedaan antara migren dan TTH telah menjadi perdebatan panjang apakah suatu gangguan tersendiri ataukah merupakan manifestasi dari gangguan penyakit yang sama. Suatu konsep yang mengatakan bahwa migren dan TTH merupakan continuum pertama kali disampaikan pada tahun 1973 dan menjadi perdebatan lebih dari dua dekade. Konsep ini penting untuk memahami kemungkinan adanya jembatan antara migren dan TTH. Pada konsep ini nyeri kepala migren ditempatkan pada satu kutub yaitu dengan karakteristik nyeri kepala berdenyut, lokasi unilateral, intensitas sedang sampai berat dan berhubungan dengan gejala mual, muntah, fotofobia dan fonofobia sedangkan pada kutub lainnya ditempatkan nyeri kepala TTH dengan gambaran nyeri kepala tumpul, lokasi bilateral , kwalitasnya seperti tertekan atau terikat, intensitasnya ringan sampai sedang dan jarang disertai gejala mual, muntah, fotofobia ataupun fonofobia (Peres, Gonçalves & Krymchantowski 2007;

Kaniecki 2012).

Gambar 2 memperlihatkan secara skematis suatu continuum migren dengan TTH.

Sebaliknya hipotesa yang memandang bahwa migren dan TTH merupakan gangguan yang terpisah dan berbeda dimana nyeri kepala TTH diduga berasal dari aktivitas otot yang abnormal atau distres emosional (Gambar 3), sedangkan pada nyeri kepala migren yang mendasarinya adalah mekanisme neurovaskular (

Jensen 2001; Sacco 2008; Blumenfeld, Schim & Brower 2010). Haque et al.(2012) melaporkan bahwa faktor pencetus nyeri kepala pada migren dan TTH adalah sama yaitu stress, cemas membaca, cuaca dingin dan panas. Turkdogan et

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 20

al. (2006) menemukan gejala klinis migren sering timbul bersamaan dengan TTH sehingga diduga keduanya memiliki patogenesis yang sama.

Gambar 2 Gambaran continuum antara migren dan TTH Dikutip dari: Peres , Gonçalves & Krymchantowski (2007).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 21

Gambar 3 Patofisiologi TTH kronik, evolusi dari TTH episodik. Dikutip dari: Chen (2009).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 22

2.4 Flunarizin

Calcium-channel blocker adalah sekelompok senyawa heterogen yang bekerja pada berbagai kondisi patologis. World Health Organization mengklasifikasikan calcium- channel blocker atas 2 jenis:

1.Senyawa yang bekerja pada slow channel secara selektif

2. Senyawa yang bekerja pada slow channel secara non selektif

Senyawa flunarizin termasuk kedalam Ca-antagonist non selektif yang mana struktur kimiawi dan profil farmakologisnya mirip dengan senyawa cinnarizin. Akan tetapi berbeda halnya dengan cinnarizin, senyawa flunarizin memiliki waktu paruh yang panjang dan hanya perlu diberikan sekali sehari.

Flunarizin memiliki diphenylperazin moiety dan sangat selektif terhadap pembuluh-pembuluh darah otak (Clauhan, Devi & Nidhi 2014).

Flunarizin menurunkan aliran kalsium transmembran pada keadaan dimana kalsium terstimulasi memasuki sel secara berlebihan sehingga mencegah terjadinya akibat buruk dari calcium overload didalam sel. Flunarizin juga menyebabkan inhibisi kalsium secara bermakna dan berlangsung lama pada kontraksi otot polos pembuluh darah. Flunarizin juga dapat mempertahankan sel- sel otak setelah mengalami hipoksia atau anoksia akut maupun kronik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa flunarizin memiliki efek penekanan pada vestibular, antihistamin, antiserotonin pada penelitian hewan dan manusia.

Flunarizin memiliki sedikit efek inotropik negatif terhadap otot jantung dan tidak memiliki pengaruh terhadap tonus otot pembuluh darah (Clauhan, Devi & Nidhi

2014).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 23

Flunarizin merupakan suatu senyawa yang memiliki sifat lipofilik yang kuat dan sangat kurang larut dalam air. Flunarizin terutama terdistribusi kedalam jaringan lemak, terikat erat dengan plasma dan jaringan protein serta dengan cepat melewati sawar darah otak. Kadar obat ini dalam darah adalah rendah sedangkan kadarnya diadalam jaringan jauh lebih tinggi. Obat ini diabsorbsi didalam saluran cerna dengan cepat dan memiliki first pass metabolism yang tinggi. Konsentrasi puncak didalam plasma dicapai setelah 2-4 jam setelah pemberian oral pada orang sehat. Dengan pemberian 10 mg perhari konsentrasinya meningkat secara perlahan dan mencapai konsentrasi steady state setelah pemberian obat 5-6 minggu. Flunarizin memiliki waktu paruh 7-10 hari dan degradasi metabolik terjadi dengan aromatic hydroxylation dan oxidative dealkylation (Clauhan, Devi

& Nidhi 2014)

Flunarizin dipandang sebagai salah satu obat profilaksis yang paling penting pada migren. Pada mulanya diketahui bahwa flunarizin menurunkan influks ion kalsium pada otot polos vaskuler dan dapat menstabilkan vasomotor dengan demikian menghindari ataupun mengurangi nyeri. Tetapi penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa flunarizin memiliki sifat-sifat tambahan yaitu dapat melindungi sel-sel otak dari kerusakan akibat hipoksia pada migren, flunarizin tidak menimbulkan efek miogenik pada pembuluh darah dan ternyata tidak menimbulkan vasodilatasi ataupun perubahan-perubahan tekanan arterial.

Flunarizin dapat pula mempengaruhi pelepasan neurotransmitter seperti dopamine dan met-enkefalin yang mana mungkin terkait dalam pathogenesis migren.

Flunarizin dapat menyebabkan inhibisi transmisi disepanjang sistem trigeminovaskuler. Semua mekanisme flunarizin ini mungkin bertanggung jawab

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 24

terhadap khasiatnya sebagai anti migren (Clauhan, Devi & Nidhi 2014).

Flunarizin merupakan obat yang popular digunakan sebagai profilaksis migren secara luas meski di Amerika serikat penggunaannya tidak disetujui (Luo et al.

2012). Dosis flunarizin 5-10 mg/hari dilaporkan efektif untuk profilaksis migren

(Gursoy & Ertas 2013)

Efek yang tidak diinginkan dari flunarizin terutama adalah drowsiness, yang mana dapat dihindari dengan mengkonsumsi obat ini pada malam hari.

Disamping itu bertambahnya berat badan dapat terjadi. Efek lainnya yang jarang terjadi meliputi gangguan gastrointestinal, efek muskarinik dan gejala ekstrapiramidal dan galactorhoe.

Sebagai zat yang digunakan untuk mengobati penyakit , calcium antagonist telah mendapatkan perhatian besar akhir-akhir ini. Calcium antagonist memiliki spesifitas yang bervariasi untuk aktivitas perifer dan jantung (Singh

1986). Berdasarkan mekanisme kerja tersebut maka senyawa-senyawa calcium antagonist ini dikelompokkan menjadi 4 kategori:

1. Ca-antagonist type I yang terdiri dari verapamil, tiapamil dan

gallopamil serta diltiazem. Obat-obat ini diperkirakan bekerja langsung

sebagai anti-aritmia.

2. Ca-antagonist type II yaitu nifedipine dan dihydropyridine lainnya. Obat-

obat ini merupakan vasodilator perifer yang kuat dengan beberapa kerja

selektif untuk vascular beds yang berbeda. Secara keseluruhan efek

hemodinamik didominasi oleh vasodilatasi perifer dan augmentasi refleks

simpatetik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 25

3. Ca-antagonist type III yang termasuk kelompok ini adalah flunarizine

dan cinnarizine (derivat piperazine) yang mana secara in vitro dan in vivo

merupakan vasodilator kuat pada pembuluh darah perifer tanpa

berhubungan dengan calcium blocking action pada jantung.

4. Ca-antagonist type IV yang terdiri dari obat dengan profil farmakologis

yang lebih luas (perhexiline, lidoflazine dan bepridil). Obat-obat ini

memblokir influks kalsium didalam jantung, pembuluh darah perifer

ataupun keduanya. Obat-obat ini dapat menghambat fast channel di

jantung dan memiliki kerja elektrofisiologik lainnya.

2.5 Peranan Flunarizin pada Nyeri Kepala TTH

Berdasarkan pengelompokan Ca-antagonist tersebut diatas maka flunarizin termasuk Ca-antagonist type III. Sifat-sifat senyawa ini adalah selektifitasnya tinggi terhadap calcium channel pada otot polos vaskuler dan relatif terhadap otot jantung. Flunarizin memiliki waktu paruh eliminasi plasma jauh lebih panjang dari pada cinnarizin. Kebanyakan penelitian-penelitian terapeutik yang menggunakan flunarizin yaitu untuk profilaksis migren, penyakit vaskuler perifer oklusif, serta vertigo sentral dan perifer.

Flunarizin adalah turunan diphenyl piperazin yang bersifat lipofilik.

Gambar 4 memperlihatkan struktur kimiawi flunarizin dan cinnarizin . Flunarizin merupakan suatu non selective voltage-dependent calcium blocker yang memiliki kemampuan melewati sawar darah otak, antagonis calcium influx dan mempengaruhi sistem neurotransmiter. Dengan demikian flunarizin dapat menekan hipereksitabilitas neuron, menimbulkan aktivitas antiepileptogenik dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 26

merubah kerja neurotransmiter. Flunarizin juga diketahui memiliki efek neuroprotektif, efek vasodilatasi, efek antiserotonergik dan anti vertigo (Kataki,

Kumar & Rajkumari 2010).

Berdasarkan penelusuran kepustakaan penggunaan flunarizin untuk nyeri kepala TTH sepanjang pengetahuan peneliti belum ada dipublikasikan. Oleh karena salah satu teori mengenai patofisiologi terjadinya nyeri kepala TTH diakibatkan hipersensitivitas pada second order neuron di kornu dorsalis medula spinalis dan nukleus trigeminalis di batang otak maka pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui apakah flunarizin juga dapat digunakan untuk pengobatan nyeri kepala TTH dan untuk melihat apakah terjadi perubahan kadar MMP-9, hs-

CRP dan glutamat serum serta korelasinya dengan tingkat intensitas nyeri setelah pemberian flunarizin selama 15 hari.

Gambar 4 Struktur kimia Flunarizin & Cinnarizin. Dikutip dari: Singh (1986).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 27

2.6 Amitriptilin

Amitriptilin adalah salah satu antidepresan trisiklik yang sudah banyak digunakan dalam klinis selama 4 dekade (Lenaerts 2005). Oleh karena strukturnya memiliki 3 cincin nukleus maka disebut trisiklik (Katzung 2006). Amitriptilin merupakan obat pilihan pertama untuk terapi profilaksis TTH kronik meskipun efektifitasnya terbatas akibat efek sampingnya (Bendtsen et al. 2010).

Amitriptilin memiliki suatu efek analgesik, oleh sebab itu diberikan pada nyeri kronik. Akan tetapi mekanisme efek analgesiknya belum diketahui dengan pasti.

Kemungkinan menginhibisi reuptake serotonin (5-HT) dan noradrenalin dari CNS memainkan peranan yang mendasar dalam mengontrol nyeri ( Castells, Delgado

& Escoda 2008). Berkurangnya nyeri tekan miofasial selama pengobatan dengan amitriptilin mungkin disebabkan karena penurunan sensitisasi sentral segmental bersama dengan peningkatan efikasi dari inhibisi noradrenergik atau serotonergik desendens (Bendsten & Jensen 2009; Vadalouca et al. 2006). Couch (2010) dalam suatu studi melaporkan bahwa amitriptilin 25 mg lebih unggul daripada plasebo sebagai terapi profilaksis pada migren selama 8 minggu.

Dosis harian amitriptilin yang direkomendasikan adalah 25-200 mg/hari.

Dosis hampir selau ditentukan secara empiris dan penggunaanya sering kali sering kali terbatas oleh adanya efek samping. Efek samping yang timbul pada pemberian antidepresan ini terjadi karena adanya interaksi dengan reseptor lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan efek terapeutik primernya seperti reseptor asetilkolin muskarinik, reseptor H-1 serta reseptor α-1 dan α-2

(Rammes & Rupprecht 2007). Toleransi terhadap beberapa efek dapat terjadi, oleh karena itu pola terapi sebaiknya dimulai dengan dosis kecil kemudian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 28

ditingkatkan perlahan-lahan sampai dosis maksimum dapat ditoleransi (Katzung

2006). Efek samping antidepresan trisiklik dapat timbul berupa: sedasi

(mengantuk, efek aditif dengan obat sedatif lain), gejala simpatomimetik (tremor, insomnia), efek muskarinik (pandangan kabur, konstipasi, gangguan berkemih, kebingungan), efek kardiovaskuler (hipotensi ortostatik, defek konduksi, aritmia), gejala psikiatrik (perburukan psikosis, sindroma withdrawal), gejala neurologik

(kejang), dan gangguan metabolik-endokrin berupa peningkatan berat badan dan gangguan fungsi seksual (Katzung 2006; Berilgen et al. 2005).

2.7 Matriks Metalloproteinase-9 (MMP-9)

Matriks metalloproteinase merupakan sekumpulan zinc-dependent protease dengan rentang substrat yang luas meliputi komponen matriks ekstraseluler, sitokin, reseptor dan faktor-faktor motilitas sel. Matriks metalloproteinase ini dikenal sebagai kelompok enzim proteolitik utama yang terlibat dalam merombak matriks ekstraseluler dan merubah sel-sel serta merubah interaksi antara matriks sel. Matriks metalloproteinase memainkan peranan penting dalam mengatur perkembangan organ termasuk otot dan saraf, memelihara faal tubuh normal pada dewasa dan juga ambil bagian dalam memperbaiki sel yang rusak pada system saraf setelah trauma (Gursoy-Ozdemir et al. 2007; Hsieh & Yang 2014). Akhir-akhir ini metalloproteinase diduga berperan sebagai modulator kunci pada nyeri neuropatik dimana MMP-9 bertindak sebagai suatu inisiator dari kaskade neuropatik (Lakhan & Avramut 2012). Banyak jenis matriks metalloproteinase yang telah diketahui pada manusia. Berdasarkan struktur dan fungsinya matriks metalloproteinase dapat dibagi atas 5 kelompok:

(Romi, Helgeland &Gilhus 2012)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 29

1. Kolagenase (MMP-1, MMP-8, MMP13)

2. Gelatinase A dan B (MMP-2 dan MMP-9)

3. Stromelisin-1 dan stromelisin-2 (MMP-3 dan MMP-10)

4. Kelompok yang lebih heterogen mengandung matrilisin (MMP-7,

enamelisin (MMP-20, MMP-12, MMP-19)

5. Membran-type MMP ( MT-MMP 1-4 , MT-MMP dan stromelisin-3,

MMP-11.

Matriks metalloproteinase disintesa sebagai zymogen yang inaktif. Ion

Zn2+ pada active site dari enzim metalloproteinase ini berikatan dengan residu sistein dalam propeptida. Ketika interaksi antara sistein dan Zn2+ terputus terutama oleh pembelahan propeptida tersebut maka proenzim ini menjadi aktif.

Aktivasi ini dikontrol oleh suatu tahapan serial yang melibatkan matriks metalloproteinase lainnya dan sistem plasmin. Radikal bebas , protease serin dan matriks metalloproteinase aktif lainnya merupakan faktor-faktor yang merubah pro MMP menjadi enzim aktif (Cauwe & Opdenaker 2010). Rullman et al. (2013) melaporkan adanya peningkatan kadar MMP-9 setelah berolah raga. Apabila

MMP sudah aktif ia dapat dihambat oleh inhibitor jaringannya sendiri yaitu Tissue

Inhibitor of Matrix metalloproteinase (TIMP). Tissue Inhibitor of Matrix metalloproteinase terdiri dari 4 jenis yaitu TIMP 1-4 . Tissue Inhibitor of metalloproteinase ini memiliki peran penghambatan dan juga menyerupai faktor pertumbuhan serta memiliki aktivitas angiogenik. Matriks metalloproteinase memiliki sifat-sifat katalitik. Degradasi aktivitas katalitik dari MMP diatur oleh

TIMP kearah keseimbangan yang mana hal ini penting untuk fungsi biologik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 30

normal dari enzim-enzim ini (Stawarski, Stevaniuk & Wloderczyk 2014;

Chaturvedi & Kaczmarek 2014).

Meskipun lebih dari 20 jenis MMP yang telah diketahui namun kelompok enzim gelatinase yaitu MMP-9 dan MMP-2 yang paling banyak diteliti pada studi-studi sebelumnya (Ji et al.2009; Rosenberg 2009). Setelah disekresikan

MMP-9 dan MMP-2 dapat ditemukan didalam cairan serebrospinal dan di dalam serum. Kelompok enzim gelatinase yang terdiri dari MMP-2 dan MMP-9 ini secara tradisional dapat dideteksi dengan menggunakan gelatin zymography.

Antibodi untuk kedua gelatinase tersebut dan enzim-enzim lainnya telah dikembangkan sehingga jauh lebih mudah dideteksi dengan menggunakan

ELISA. Analisa RNA berguna untuk menentukan ekspresi MMP karena primernya tersedia untuk kebanyakan MMP. Dengan menggunakan real-time

PCR pada umumnya jenis-jenis MMP ini dapat dideteksi. Matriks metalloproteinase dapat juga dideteksi pada individu normal (Romi, Helgeland &

Gilhus 2012). Gambar 5 memperlihatkan skema sintesa dan aktivasi MMP-9.

Gambar 5 Skema sintesa dan aktivasi MMP-9. Dikutip dari: Romi, Helgeland, & Gilhus (2012).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 31

Sekresi MMP-9 biasanya dapat terinduksi oleh berbagai faktor pro inflamasi ketika terjadi inflamasi. Didalam susunan saraf pusat MMP-9 menunjukkan berbagai respons fisiologis seperti pembentukan neurit dan perbaikan cedera (van der Kooij et al. 2014). Up-regulasi MMP-9 dapat terjadi oleh berbagai stimuli meliputi sitokin proinflamasi, peptide, patogen dan stres lainnya didalam sel-sel saraf ataupun sel-sel neuroglia (Pearce et al. 2008;

Bernecker et al. 2011; Hsieh & Yang 2014). Peningkatan MMP-9 dalam serum penderita hipertensi yang mengalami stroke iskemik merupakan prediktor independen terjadinya serangan kardiovaskuler setelah 1 tahun (Lisovaya 2014).

Kadziela-Olech et al.(2014) menemukan adanya korelasi antara peningkatan

MMP-9 serum dengan keparahan simtom pada attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Zheng et al. (2013) melaporkan bahwa MMP dan TIMP dijumpai meningkat dalam cairan serebrospinal dan plasma penderita trauma kapitis dan TIMP-1 berkorelasi positip dengan MMP-9.

Cedera jaringan dan infeksi menyebabkan inflamasi melalui ekstravasasi dan infiltrasi sel-sel imun seperti makrofag, sel T dan netrofil kedalam jaringan yang rusak. Infilltrasi sel-sel imun dan resident cells termasuk sel mast, makrofag dan keratinosit melepaskan beberapa mediator inflamasi seperti bradikinin, prostaglandin, H+, ATP, NGF, sitokin pro inflamasi (TNF, IL-1β dan kemokin pro inflamasi (CCL2, CXCL1 dan CXCL5). Neuron-neuron nosiseptor mengekspresikan reseptor-reseptor untuk semua mediator inflamasi ini yang mana bekerja pada masing-masing reseptornya pada serabut saraf nosiseptor perifer.

Reseptor-reseptor ini meliputi GPRC, reseptor ionotropik, reseptor tirosin kinase

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 32

dan aktivasi reseptor-reseptor ini mengaktifkan second messenger seperti Ca2+ dan siklik AMP yang mana pada gilirannya mengaktivasi beberapa kinase seperti

PKA, PFC, CaMK, PI3K dan MAPK, ERK, P38MAPK dan JNK. Aktivasi dari enzim kinase-kinase ini menyebabkan hipersensitivitas dan hipereksitabilitas pada neuron-neuron nosiseptor (dikenal sebagai sensitisasi perifer) melalui modulasi dari molekul transduksi kunci sebagai chnnel kation potensial reseptor transient subfamily A member 1 (TRPA1), TRPV1 dan Piezo (a strech-activated ion channel), juga molekul-molekul konduksi kunci seperti voltage-gated sodium channel NaV1.7, NaV1.8 dan NaV1.9. Neuron-neuron nosiseptor juga mengekspresikan Toll-like receptors (khususnya TLR3, TLR4 dan TLR7) yang mana dapat diaktivasi oleh ligand eksogen (dikenal sebagai pathogen-active molecular patterns termasuk komponen virus dan bakteri) dan ligand endogen

(dikenal sebagai danger-activated molecular patterns, seperti RNA). Mikro RNA tertentu (contohnya let-7b) berperan sebagai mediator nyeri yang baru untuk mengaktivasi nosiseptor melalui TLR7 yang terikat berpasangan dengan TRPA1

(pasangan ini kemudian diperkuat ketika TLR7 diaktivasi oleh let-7b). Infeksi bakterial staphylococcus juga secara langsung mengaktivasi nosiseptor dan menginduksi hipereksitabilitas neuronal dengan melepaskan FP dan pembentukan pore-forming toxin α-HL. Aktivasi dari nosiseptor juga melepaskan substansi P dan CGRP yang juga terlibat dalam pembentukan inflamasi neurogenik.

Calcitonin gen- related peptide secara negatif juga mengatur lymphadenopathy setelah inflamasi. Skema mekanisme inflamasi dan sensitisasi perifer dapat dilihat pada Gambar 6. Pada nyeri kronik yaitu nyeri neuropatik dan nyeri iflamasi,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 33

neuroinflamasi sering terjadi akibat kerusakan perifer dan aktivitas neuronal yang berlebihan dari neuron sensorik primer (Ji, Xu, & Gao, 2014).

Gambar 6 Inflamasi menimbulkan nyeri melalui mediator inflamasi

dan sensitisasi perifer. (Ji, Xu, & Gao, 2014).

Nyeri kronik termasuk nyeri neuropatik yang diinduksi oleh cedera saraf dan cedera medula spinalis, nyeri inflamasi yang diinduksi oleh artritis, nyeri kanker dan nyeri yang diinduksi oleh obat berasal dari neuro inflamasi didala medula spinalis. Neuroinflamasi ini dicetuskan oleh activity-dependent release of glial activators (yaitu neurotransmiter, kemokin dan protease serta WNT ligand)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 34

dari terminal sentral neuron aferen primer dan atau oleh disrupsi sawar darah otak.

Neuroinflamasi ditandai oleh aktivasi mikroglia dan astrosit, infiltrasi sel-sel imun ke sistem saraf tepi (misalnya DRG ) dan sistem saraf pusat (misalnya medula spinalis) serta produksi mediator glial dan inflamasi seperti sitokin pro inflamasi dan kemokin pro inflamasi juga growth factors dan gliotransmiter (yaitu glutamat dan ATP). Mediator-mediator glial ini dapat memodulasi transmisi sinaps eksitasi dan inhibisi dengan kuat yang menimbulkan sensitisasi sentral dan memperberat kondisi nyeri kronik. Mediator glial selanjutnya dapat bekerja pada sel-sel glial dan sel-sel imun untuk memfasilitasi neuroinflamasi melalui jalur autokrin dan parakrin. Kemudian neuroinflamasi menghasilkan sitokin anti inflamasi dan

PRLM untuk menormalkan neuroinflamasi, plastisitas sinaptik dan nyeri kronik abnormal.

Semakin banyak bukti yang menduga bahwa protease seperti MMP, cathepsin S dan caspase terlibat dalam mekanisme sensitisai nyeri yaitu dengan cara mengatur neuroinflamasi didalam sistem saraf pusat. Cedera saraf menginduksi suatu transient upregulation dari MMP-9 didalam neuron DRG pada percobaan hewan tikus. Telah dibuktikan bahwa kadar MMP berubah ketika mengalami nyeri pada manusia, misalnya kadar MMP-2 meningkat didalam cairan serebrospinalis pada pasien usia lanjut dengan nyeri artritis kronik (Guo et al. 2014). Skema mekanisme inflamasi dan sensitisasi sentral dapat dilihat pada

Gambar 7.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 35

Gambar 7 Neuroinflamasi didalam medula spinalis menimbulkan nyeri kronik melalui interaksi neuron dengan glia dan sensitisasi sentral (Ji, Xu, & Gao, 2014).

2.8 High sensitivity- C Reactive Protein (hs-CRP)

C-reactive protein merupakan protein fase akut yang diproduksi oleh hati sebagai respons terhadap adanya proses inflamasi sehingga ia dianggap sebagai penanda biologis yang terkenal adanya inflamasi didalam tubuh

(Taheraghdam et al. 2013). Aterosklerosis dianggap suatu respons inflamasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 36

kronis oleh endothelium pembuluh darah arteri (Vanmolkot & de Hoon, 2007 ;

Welch et al. 2006). Peran CRP sebagai prediktor terjadinya sindroma koroner akut telah banyak diteliti (Gudmundsson et al. 2009 ; Black, Kusher & Samols 2004 ;

Kurth, Ridker & Buring 2008). Demikian pula telah banyak dibuktikan bahwa respons inflamasi ikut mengambil bagian pada perjalanan penyakit stroke. Kadar hs-CRP lebih tinggi secara signifikan pada penderita migren dibandingkan kelompok kontrol individu sehat (Silva et al. 2007; Avci et al. 2015). Inflamasi vaskuler merupakan suatu akibat lanjutan dari disfungsi endotel yang diduga berperan penting dalam proses migren akut. Telah diketahui bahwa hs-CRP adalah penanda biologis inflamasi non spesifik yang memperkuat ekspresi endotel dari matriks metalloproteinase dan kadarnya meningkat pada penderita migren

(Tietjen et al. 2009). Ammar et al.(2013) menemukan peningkatan kadar MMP-9 dan hs-CRP pada coronary artery ectasia dan mendapatkan korelasi antara kadar

MMP-9 dengan tingkat keparahan coronary artery ectasia. Choi et al. (2016) menemukan adanya hubungan antara kadar serum hs-CRP dengan fungsi kognitif pada penyakit Parkinson.

C-reactive protein merupakan protein fase akut dengan struktur homopentametric dan ikatan kalsium yang spesifik untuk phosphocholine (PCh).

C-reactive protein merupakan bagian dari family pentraxin nonglikosilasi yang termasuk dalam “lectin fold superfamily”. Molekul human CRP terdiri dari 5 subunit polipeptida nonglikosilasi (promoter) yang berkeliling nonkovalen, tersusun secara cyclic pentametric simetris dan dirakit keliling dengan sebuah poros sentral dengan konfigurasi seperti sebuah piringan. Setiap subunit mempunyai massa 23,027 Da (terdiri dari 206 asam amino residu dan secara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 37

keseluruhan massa human CRP adalah 115,135 Da (Pepys 1995 ; Hirschfield &

Pepys 2003; Lippi et al. 2010). Metode pemeriksaan CRP dengan sensitivitas tinggi yang mampu mengukur konsentrasi CRP dengan kadar rendah pada range normal pada individu sehat disebut juga hs-CRP assay. Metode ini dapat mendeteksi CRP pada kadar < 4 mg/L dengan kadar terendah 0,1 mg/L. Pada individu sehat kadar CRP umumnya < 3 mg/L, inflamasi tingkat rendah dapat menghasilkan peningkatan sedikit kadar CRP dalam range 3-10 mg/L dan kadar

CRP > 10 mg/L dapat diduga adanya suatu penyakit inflamasi yang mendasarinya

(Windgassen 2013). Sejumlah penelitian telah mengkonfirmasi bahwa hs-CRP pada individu sehat merupakan prediktor kejadian kardiovaskuler di kemudian hari (Jialal & De Varaj 2001 ; Di Napoli et al. 2011). Kadar hs-CRP <1 mg/L digolongkan resiko rendah untuk kejadian kardio vaskuler, kadar 1-3 mg/L resiko sedang dan kadar >3 mg/L adalah resiko tinggi (Windgassen 2013).

2.9 Glutamat

Glutamat adalah asam amino non- esensial yang paling banyak dijumpai didalam otak. Pada sistem saraf glutamat berfungsi sebagai neurotransmiter eksitasi (Meldrum 2000). Konsentrasi glutamat didalam plasma manusia berkisar antara 50-100 μmol/L. Diseluruh otak diperkirakan mengandung glutamat 10.000-

12.000μmol/L, tetapi hanya 0,5-2μmol/L berada didalam cairan ekstraseluler.

Konsentrasi yang rendah pada cairan ekstraseluler adalah penting untuk fungsi otak optimal yang mana dijaga oleh neuron-neuron, astrosit dan sawar darah otak

(Gambar 8) .

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 38

Gambar 8 Transportasi Glutamate & Glutamine diantara neuron, astrosit, sel- sel endotel dari sawar darah otak. Dikutip dari: Hawkins (2009)

Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa sawar darah otak adalah impermiabel terhadap glutamat bahkan pada konsentrasi tinggi kecuali pada beberapa daerah otak yang memiliki fenestrated capillaries (circumventricular organs). Bahkan apabila diberikan monosodium glutamat dalam jumlah besar pada makanan tikus, monyet dan manusia ternyata hanya terjadi perubahan yang sangat kecil konsentrasinya didalam plasma. Hal ini terjadi karena mukosa usus lebih cenderung memetabolisme glutamat didalam lumen usus dan menggunakan rangka karbonnya sebagai sumber energy (Hawkins, 2009).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

34 39

2.10 Kerangka teori Myofascial trigger Faktor lingkungan Aktivasi ujung points (Postur,suhu) 7,9 saraf perikranial 1 1,2 1 1 Substansi P Serotonin Stress 2,5 Glutamat ↑ 3 NFkB Bradikinin ↑ ↑ (via NMDA) 10 8 Amitriptilin 2 3 X Genetik 10 1 IL-1β ,IL-6 COX-2 ↑, Aktivasi reseptor NMDA NO↑ nd 3 ↑ 10 membran post sinaptik 2 4,6 order neuron di DHN&TGN Vasodilatasi hs-CRP ↑ 11 3 ↑ Flunarizin MMP-9 2,3 X PAG Risiko 2,1 -3,9 Ca-Channel terbuka ↑ kali lipat terkena RVM (-) 2,3 TTH 3 Ca-influx Keterangan: (+) 3 (1) Fernandez-de-las-penas et al. 2,3 (2007) Aksi potensial ↑↑ 3 (2) Bendsten (2000) (3) Chen (2009) 2,3 Ambang nyeri ↓↓ (4) Montagna (2008) Nyeri (5) Cathcart et al.(2010) Eksitabilitas sel DHN 2,3 2,3 Kepala (6) Russel et al.(1999) & TGN ↑↑ (7) Haque et al. (2012) TTH (8) Raneiro et al. (2012) (9) Freitag (2013) (10) Hsieh & Yang (2014) (11) Garvin et al. (2008) Gambar 9 Skema Kerangka Teori - - - - > = Faktor resiko X = Blokade ( Modifikasi dari Chen, 2009) = Hub kausalitas UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4041

2.11 Hipotesis

1. Terdapat perbedaan penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

serum pada penderita TTH kronik antara yang mendapat terapi Flunarizin

5 mg, Flunarizin 10 mg dan yang mendapat terapi Amitriptilin 12,5 mg.

2. Terdapat penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat pada penderita

TTH kronik pada kelompok yang mendapat Flunarizin 5 mg.

3. Terdapat penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat pada penderita

TTH kronik pada kelompok yang mendapat Flunarizin 10 mg .

4. Terdapat penurunan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat pada penderita

TTH kronik pada kelompok yang mendapat Amitriptilin 12,5 mg.

5. Terdapat penurunan intensitas nyeri berdasarkkan skor NRS pada

kelompok yang diberikan Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan

Amitriptilin 12,5 mg pada penderita TTH kronik?

6. Terdapat hubungan antara intensitas nyeri dengan kadar MMP-9, hs-CRP

dan Glutamat serum sebelum pemberian obat pada penderita TTH kronik?

7. Semakin tinggi kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum maka semakin

tinggi intensitas nyeri pada TTH kronik setelah pemberian Flunarizin 5

mg.

8. Semakin tinggi kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum maka semakin

tinggi intensitas nyeri pada TTH kronik setelah pemberian Flunarizin 10

mg.

9. Semakin tinggi kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum maka semakin

tinggi intensitas nyeri pada TTH kronik setelah pemberian Amitriptilin

12,5 mg.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

42 41

2.12 Kerangka Konsep

Kadar MMP-9 serum Flunarizin Kadar hs-CRP serum Skor NRS Kadar Glutamat serum Amitriptilin

Gambar 10. Skema Kerangka Konsep

Variabel bebas : - Flunarizin , Amitriptilin

Variabel terikat : - MMP-9

- hs-CRP

- Glutamat

- Skor NRS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Disain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan disain uji klinis pre dan post test, tersamar ganda dengan randomisasi.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H. Adam

Malik Medan, Rumkit Putri Hijau Medan dan Puskesmas Medan Johor sejak 1

April 2016 sampai 31 Agustus 2016.

3.3 Populasi Target dan Populasi Terjangkau

3.3.1 Populasi target penelitian adalah semua penderita nyeri kepala TTH yang ditegakkan berdasarkan anamnese, pemeriksaan klinis, menurut kriteria diagnostik dari Klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi ke-2 Kode ICD-

10NA2004 dengan kode IHS (2.3) dan (G44.2) pada kode ICD-10 (Sjahrir et al.

2013).

3.3.2 Populasi terjangkau adalah semua penderita nyeri kepala TTH yang datang berobat jalan di poliklinik Sefalgia Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H.

Adam Malik Medan, Rumkit Putri Hijau Medan dan Puskesmas Medan Johor.

42 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 43

3.4 Jumlah Subjek

Jumlah subjek yang dibutuhkan untuk mengetahui hubungan antara kadar

MMP-9 (skala pengukuran numerik), hs-CRP (skala pengukuran numerik), dan glutamat serum (skala pengukuran numerik) dengan skor NRS (skala pengukuran numerik) digunakan rumus besar sampel untuk analisis korelasi (Sastroasmoro &

Ismael 2011).

2 푍훼 + 푍훽 푛 = [ ] + 3 1 + 푟 0.5 푙푛 1 − 푟

n = besar sampel

α = kesalahan tipe 1, ditetapkan 10%, hipotesis satu arah, sehingga Zα

=1,28

Zβ = kesalahan tipe 2, ditetapkan sebesar 20% hipotesis satu arah sehingga

Zβ = 0,842

r = koefisien korelasi minimal antara kadar MMP-9 ,hs-CRP dan glutamat

serum dengan intensitas nyeri yang dianggap valid, ditetapkan sebesar

0,5.

Nilai r=0,5 ditetapkan oleh peneliti (Dahlan, 2010)

2 1,28 + 0,842 푛 = [ ] + 3 = 18 1 + 0.5 0.5 푙푛 1 − 0.5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 44

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan besar sampel diatas maka diperoleh besar sampel total minimal 18 orang. Oleh karena penelitian ini terbagi menjadi 3 kelompok perlakuan, maka besar sampel minimal untuk masing - masing kelompok adalah 18 orang.

Hasil perhitungan selengkapnya disajikan dalam table berikut:

No. Hubungan α β r n

1. MMP-9 dengan intensitas nyeri 10% 20% 0,5 18

2. hs-CRP dengan intensitas nyeri 10% 20% 0,5 18

3. Glutamat dengan intensitas nyeri 10% 20% 0,5 18

Besar sampel yang diperlukan untuk mengetahui perubahan kadar glutamat serum sebelum dan setelah pemberian obat flunarizin 5 mg, flunarizin 10 mg atau amitriptilin 12,5 mg digunakan rumus besar sampel dependen berikut:

2 (푍훼 + 푍훽)푆 푛1 = 푛2 = [ ] 푥1 − x2 n = besar sampel

α = kesalahan tipe 1, ditetapkan 10%, hipotesis satu arah, sehingga

Zα =1,28.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 45

β = kesalahan tipe 2, ditetapkan sebesar 20% sehingga Zβ = 0,842 x1-x2 = selisih minimal rerata kadar glutamat serum yang dianggap bermakna

=1,00

S = Simpang baku gabungan

Rumus simpangan baku gabungan:

[푆12 × (푛1 − 1) + 푆22 × (푛2 − 1)] (푆)2 = 푛1 + 푛2 − 2

[(0,92)2 × (7 − 1) + (1,70)2 × (7 − 1)] (푆)2 = 7 + 7 − 2

[5,07 + 17,34] (푆)2 = 12

(푆) = √1,87 = 1,37

S = simpangan baku gabungan

(S)2 = varian gabungan

S1 = simpangan baku rerata kadar glutamat serum pada kelompok flunarizin 5 mg pada studi pendahuluan n1 = besar sampel kelompok flunarizin 5 mg pada studi pendahuluan

S2 = simpangan baku rerata kadar glutamat serum kelompok plasebo pada studi pendahuluan n2 = besar sampel kelompok plasebo pada studi pendahulua

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 46

(1,28 + 0,842)1,37 2 푛1 = 푛2 = [ ] 1,00

n1=n2 = 8,4 dibulatkan 8

Besar sampel yang diperlukan untuk mengetahui perubahan kadar MMP-9, hs-

CRP, glutamat serum pada kelompok yang mendapat terapi flunarizin 5 mg, flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg besar sampel independent:

2 (푍훼 + 푍훽)푆 푛1 = 푛2 = 2 [ ] 푥1 − x2

(1,28 + 0,842)1,37 2 푛1 = 푛2 = 2 [ ] 1,00

n1=n2 = 16

Dari perhitungan dengan menggunakan ketiga rumus diatas maka besar sampel yang dibutuhkan untuk tiap kelompok penelitian diambil besar sampel yang terbesar yaitu 18 sampel.

3.5 Kriteria Subjek Penelitian

3.5.1 Kriteria inklusi

1. Semua penderita nyeri kepala TTH kronik yang ditegakkan berdasarkan

anamnesa, pemeriksaan klinis dengan menggunakan kriteria diagnostik

berdasarkan Klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi ke-2 Kode

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 47

ICD-10NA2004 dengan kode IHS (2.3) dan kode ICD-10 (G44.2) yang

berobat jalan ke Poliklinik Sefalgia Departemen Neurologi FK-

USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Berusia 18 – 65 tahun. (Bendsten et al. 2009)

3. Setidaknya setelah 3 bulan menghentikan obat-obat profilaksis TTH.

4. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini.

3.5.2 Kriteria eksklusi

1. Ditemukan defisit neurologi fokal yang berkaitan dengan nyeri kepalanya.

2. Riwayat depresi, gangguan ekstrapiramidal, COPD, asthma , gagal jantung

3. Kehamilan, masa laktasi.

4. Riwayat alergi obat flunarizin dan amitriptilin.

5. Penderita yang menggunakan obat anti epilepsi.

6. Penderita yang menggunakan obat anti inflamasi rutin

7. Dijumpai gejala-gejala serta tanda inflamasi dan tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan fisik, kadar lekosit dan laju endap darah.

8. Pasien yang tidak mengikuti seluruh prosedur penelitian sampai selesai.

3.6 Batasan Operasional 1. Tension-type headache kronik adalah nyeri kepala yang terjadi

sedikitnya 15 hari dalam 1 bulan, selama 6 bulan, biasanya terjadi setiap

hari atau hampir setiap hari, dengan karakteristik nyeri kepala bilateral,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 48

bersifat menekan atau mengikat dengan intensitas ringan sampai sedang,

tidak diperberat oleh aktivitas fisik, dan tidak disertai muntah (Sjahrir et

al. 2013).

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kriteria diagnostik berdasarkan Klasifikasi Internasional

Nyeri Kepala Edisi ke-2 Kode ICD-10NA2004 dengan kode

IHS (2.3) dan kode ICD-10 (G44.2)

Skala ukur : Nominal

Hasil Ukur : TTH kronik / Bukan TTH kronik

2. Defisit neurologi fokal adalah sejumlah simtom ataupun tanda yang mana

penyebabnya terletak terlokalisir pada suatu lokasi anatomi didalam

susunan saraf pusat (Wippold II, 2008).

Cara ukur : Anamnesa, Pemeriksaan Fisik, Pemeriksaan Neurologis

Alat ukur : Lembar pengumpul data

Slaka ukur : Nominal

Hasil ukur : Ada / Tidak ada defisit neurologi fokal

3. Flunarizin adalah suatu senyawa kimia derivat piperazine yang memiliki

sifat Ca-antagonist dengan selektifitas tinggi terhadap otot polos

vaskuker dan selektivitasnya relatif pada otot jantung (Singh, 1986).

Cara ukur : Menimbang berat obat menggunakan timbangan digital.

Alat ukur : Timbangan obat Electronic Pocket Scale, Merek Camry,

Model EHA401, Max Capacity 200 g, d = 0,02 g.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 49

Skala ukur : Numerik (Rasio)

Hasil ukur : miligram (mg)

4. Amitriptilin adalah salah satu antidepresan trisiklik yang strukturnya

memiliki 3 cincin nukleus sehingga disebut trisiklik (Katzung 2006).

Cara ukur : Menimbang berat obat menggunakan timbangan digital.

Alat ukur : Timbangan obat Electronic Pocket Scale, Merek Camry,

Model EHA401, Max Capacity 200 g, d = 0,02 g.

Skala ukur : Numerik (Rasio)

Hasil ukur : miligram (mg)

5. Matriks metalloproteinase-9 adalah sekumpulan enzim zinc-dependent

endopeptidase yang memainkan peranan penting dalam berbagai proses

yang berkaitan dengan pemecahan protein (Cauwe & Opdenakker 2010).

Cara ukur : Mengukur kadar MMP-9 serum

Alat ukur : ChemWell 2910 Analyzer

Skala ukur : Numerik (Rasio)

Hasil ukur : nanogram/liter (ng/L)

6. C-reactive protein merupakan protein fase akut yang diproduksi oleh

hati sebagai respons terhadap adanya proses inflamasi sehingga ia

dianggap sebagai marker yang terkenal adanya inflamasi didalam tubuh

(Taheraghdam et al. 2013).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 50

Kadar hs-CRP pada penelitian ini dikategorikan atas 3 kategori: rendah

(<1 mg/L), sedang (1-3 mg/L) dan tinggi (>3 mg/L). (Windgassen 2011)

Cara ukur : Mengukur kadar hs-CRP serum.

Alat ukur : Cobass 6000 analyzer (Roche Diagnostics, Hitachi)

Slala ukur : Numerik (Rasio)

Hasil ukur : miligram/liter (mg/L)

7. Glutamat adalah asam amino non- esensial yang paling banyak dijumpai

didalam otak. Pada sistem saraf glutamat berfungsi sebagai

neurotransmiter eksitasi (Meldrum 2000).

Cara ukur : Mengukur kadar Glutamat serum

Alat ukur : ChemWell 2910 Analyzer

Skala ukur : Numerik (Rasio)

Hasil ukur : mikrogram/liter (µg/L)

8. Yang dimaksud dengan intensitas nyeri kepala pada penelitian ini adalah

derajat nyeri kepala yang dirasakan pasien diukur dengan skala NRS

dimana skor =0 menunjukkan tidak nyeri dan skor=10 paling nyeri

(Hjermstad et al. 2011).

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kwesioner Headache diary

Skala ukur : Numerik (Rasio)

Hasil ukur : 1-10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 51

9. Yang dimaksud dengan frekuensi serangan pada penelitian ini adalah

jumlah hari nyeri kepala per 4 minggu.

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kwesioner Headache diary

Skala ukur : Numerik (Rasio)

Hasil ukur : Jumlah hari nyeri kepala per 4 minggu

10. Yang dimaksud dengan durasi pada penelitian ini adalah jumlah jam

nyeri kepala perhari.

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kwesioner Headache diary

Skala ukur : Numerik (Rasio)

Hasil ukur : Jumlah jam nyeri kepala / hari

3.7 Instrumen Penelitian

1. Pemeriksaan kadar MMP-9 dilakukan dengan menggunakan Human

MMP-9 ELISA Assay Kit.

2. Pemeriksaan kadar hs-CRP dilakukan dengan menggunakan alat

COBASS 6000 analyzer (Roche Diagnostics, Hitachi). Batas kemampuan

mendeteksi 0,15 mg/dL untuk hs-CRP. Within run Coefficient of

variation alat ini adalah <2% dan 3,6% untuk total Coefficient of

variation.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 52

3. Alat ChemWell 2910 Analyzer digunakan untuk prosedur derivatisasi

dan Glutamate ELISA pada pemeriksaan kadar glutamat serum.

4. Diagnosa tension-type headache kronik dilakukan dengan menggunakan

dan kriteria diagnostik Klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi ke-

2 Kode ICD-10NA2004 dengan kode IHS (2.3) dan kode ICD-10

(G44.2)

5. Headache diary untuk mencatat frekuensi serangan nyeri kepala dan

intensitas nyeri kepala selama subjek mengikuti protokol penelitian.

3.8 Cara Pengambilan Subjek Penelitian

Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi serta memberikan persetujuan tertulis akan dirandomisasi dengan menggunakan Tabel

Angka Random (Sastroasmoro & Ismael 2011) kedalam 3 kelompok perlakuan yaitu:

1. Kelompok Flunarizin 5 mg

2. Kelompok Flunarizin 10 mg

3. Kelompok Amitriptilin 12,5 mg

Selama penelitian berlangsung subjek diperkenankan untuk menggunakan obat-obat acute rescue untuk menanggulangi serangan nyeri kepala yaitu parasetamol 500 mg dan mereka diminta untuk mencatatnya pada headache diary.

Prosedur penelitian:

1. Sebelum penelitian dimulai, peneliti meminta ethical clearance kepada

komite etik penelitian FK USU

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 53

2. Membuatkan surat informed consent

3. Penegakan diagnosis TTH berdasarkan Klasifikasi Internasional Nyeri

Kepala Edisi ke-2 Kode ICD-10NA2004 dengan kode IHS (2.3) dan

kode ICD-10 (G44.2)

4. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi eksklusi diukur kadar MMP-9,

hs-CRP dan Glutamat serumnya sebagai data baseline. Pasien

diberikan obat untuk selama 15 hari. Selanjutnya dilakukan

pengukuran kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum ulang sebagai

end point.

5. Untuk mengevaluasi efikasi obat, kepada pasien diminta mengisi

headache diary.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 54

3.9 Alur Penelitian

Penderita Nyeri Kepala

Anamnese

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Neurologi

Tension-type headache

Klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi ke-2 Kode ICD- 10NA2004

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Persetujuan ikut penelitian

Pemeriksaan pertama kadar MMP-9, hsCRP & Glutamat , NRS score Pem. Kadar MMP-9, hsCRP & Glutamat ke 1

kekeplasma ke-1 Randomisasi

I. Flunarizine tablet 5 mg II. Flunarizine tablet 10 III. Amitriptilin 12,5 mg

selama 15 hari mg selama 15 hari selama 15 hari

Pemeriksaan kedua kadar MMP-9, hs-CRP & Glutamat serum, skor NRS

Analisa Data sebelum dan Analisa data Kelompok sesudah tiap kelompok I vs II vs III

Gambar 11. Skema Alur Penelitian UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 55

3.10 Pelaksanaan Penelitian

3.10.1 Pengambilan sampel

Semua penderita nyeri kepala tension-type headache kronik yang telah ditegakkan dengan anamnese, pemeriksaan klinis dengan menggunakan kriteria diagnostik berdasarkan Klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi ke-2 Kode

ICD-10NA2004 dengan kode IHS (2.3) dan kode ICD-10 (G44.2) yang berobat jalan di Poliklinik Sefalgia Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H. Adam

Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pengukuran kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serumnya kemudian dilakukan randomisasi untuk menentukan subjek yang akan mendapat terapi obat tablet flunarizin 5 mg , flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg masing-masing selama 15 hari.

Selanjutnya setelah subjek mengkonsumsi obat selama 15 hari akan dilakukan pengukuran ulang kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serumnya.

3.10.2 Prosedur kerja MMP-9 human ELISA assay kit

3.10.2.1 Pengambilan dan persiapan sampel

a. Untuk mempersiapkan sampel serum gunakan serum separator tube

(SST) dan biarkan sampel menggumpal selama 30 menit sebelum

disentrifugasi. Lakukan sentrigugasi selama 15 menit pada 1000xg

dalam 30 menit pertama setelah pengambilan darah

b. Periksa segera atau masukkan kedalam aliquot lalu simpan dalam

suhu -200C. Hindari terjadinya siklus mencair-beku yang berulang.

c. Lakukan pengenceran sampel dengan perkalian yang sesuai

(dianjurkan melakukan pre-test untuk menentukan faktor

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 56

pengenceran). Serum atau plasma normal dianjurkan membuat

pengenceran 1:400.

3.10.2.2 Persiapan reagensia

a. Bawa seluruh reagensia Human MMP-9 ELISA Assay Kit kedalam

temperatur ruangan sebelum digunakan.

b. Wash Buffer.

Larutkan 10 mL wash buffer konsentrat kedalam air suling untuk

mempersiapkan 200 ml wash buffer. Jika kristal sudah terbentuk

didalam konsentrat wash buffer tersebut, dengan , hangatkan

kedalam temperature ruangan dan campur dengan hati-hati sampai

kristal-kristal tersebut larut seluruhnya.

c. Larutan Standar.

Bentuk kembali larutan standar dengan 1,0 ml standar/sampel

diluent. Pengenceran ini menghasilkan suatu larutan stok 4000

pg/ml. Biarkan larutan standar tegak selama minimum 15 menit

sebelum membuat larutan.

d. Pipet 500 µLlarutan standar/sampel diluent kedalam tube 2000 pg/ml

dan tube-tube lainnya. Gunakan larutan stok untuk menghasilkan

suatu serial pengenceran 2 kali lipat.

e. Campurkan masing-masing tabung dengan hati-hati dan tukarlah

ujung pipet ketika memindahkan kedua larutan. Larutan 4000 pg/ml

menjadi larutan standar tertinggi dan campuran larutan

standar/sampel diluents sebagai standar 0 (0 pg/ml).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 57

f. Working solution yang berisikan Biotin-Conjugate anti human

MMP-9 antibody. Buatlah pengenceran 1:100 dengan

mencampurkan Biotin-Conjugate solution dengan Biotin-Conjugate

antibody diluents dalam tabung plastik yang bersih.

g. Working solution dari Streptavidin HRP:

Buatlah pengenceran 1:100 dari larutan Streptavidin HRP dengan

larutan Streptavidin HRP diluent dalam tabung plastik yang bersih.

Working solution harus digunakan dalam sehari setelah

pengenceran

3.10.2.3 Protokol umum pemeriksaan ELISA

a. Persiapkan semua reagensia dan standar-standar kerja yang tersedia.

b. Tentukan jumlah microwell strips yang dibutuhkan untuk penelitian.

Pindahkanlah microwell strip yang tak digunakan dan simpan dalam

foil bag pada suhu 2-80C dan bungkuslah dengan erat.

c. Tambahkan 100 µL larutan standar, control ataupun sampel pada

setiap well. Tutuplah dengan strip adhesif yang tersedia. Inkubasi

selama 1,5 jam pada suhu 370C.

d. Aspirasi masing-masing well dan cuci, ulangi proses ini tiga kali

untuk empat kali pencucian. Cucilah dengan mengisi masing masing

well dengan wash buffer (350 µL) menggunakan botol semprot,

manifold dispenser ataupun auto-washer. Setelah pencucian terakhir

buanglah sisa-sia wash buffer dengan cara aspirasi. Balikkanlah plat

tersebut dan ketukkanlah diatas kertas handuk yang bersih.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 58

e. Tambahkan 100 µL larutan kerja dari Biotin-Conjugate pada

masing-masing well. Tutup dengan adhesive yang baru dan inkubasi

selama 1 jam pada suhu 370C.

f. Ulangi aspirasi dan pencucian.

g. Tambahkan 100 µL larutan kerja Streptavidin HRP kedalam masing-

masing well. Tutuplah dengan strip adhesive yang baru. Inkubasi

selama 30 menit pada suhu 370C . Hindari meletakkan plat dari

cahaya langsung.

h. Ulangi aspirasi dan pencucian.

i. Tambahkan larutan substrat kedalam masing-masing well. Inkubasi

10-20 menit pada suhu 370C. Hindari meletakkan plat dari cahaya

langsung.

j. Tambahkan 100 µL larutan Stop kealam masing masing well. Ketuk

plat dengan hati-hati untuk memastikan pencampuran sudah

sempurna.

k. Tentukan optical density (OD) dari masing-masing well segera.

Gunakan microplate reader dan atur pada 450 nm.

Sensitifitas Human MMP-9 Kit, Merek Origene EA 100106 ini dapat mendeteksi

MMP-9 hingga 31 pg/ml.

3.10.3 Prosedur kerja glutamate ELISA kit, abnova, KA 1090

3.10.3.1 Prosedur ekstraksi sampel

a. Pipet 100 ul Standards, kontrol, dan sampel (serum yang diencerkan

1:5) kedalam well untuk reaksi ekstraksi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 59

b. Tambahkan 100 ul diluent ke dalam masing-masing well. Tutup

dengan Adhesive Foil dan Inkubasi selama 10 menit pada suhu ruang

pada shaker (sekitar 600 rpm).

c. Ambil 25 ul standard, control dan sampel yang telah di ekstraksi untuk

prosedur derivatisasi

3.10.3.2 Prosedur derivatisasi

a. Pipet 25 ul Standards, kontrol, dan sampel yang telah diekstraksi

kedalam well untuk reaksi derivatisasi.

b. Pipet 10 ul NaOH kedalam masing-masing well.

c. Pipet 50 ul Equalizing Reagent kedalam masing-masing well.

d. Pipet 10 ul D-Reagent kedalam masing-masing well.

e. Tutup plate dengan Adhesive Foil dan Inkubasi selama 2 jam pada

suhu ruang pada shaker (sekitar 600 rpm).

f. Pipet 75 ul Q-Buffer ke dalam masing-masing well.

g. Inkubasi selama 10 menit pada suhu ruang pada shaker (sekitar 600

rpm).

h. Ambil 25 ul standard, control dan sampel yang telah di preparasi

untuk prosedur glutamate ELISA.

3.10.3.3 Prosedur glutamate ELISA

a. Pipet 25 ul standard, kontrol dan sampel yang telah dipreparasi ke

dalam well

b. Pipet 50 ul reagen Glutamate Antiserum ke dalam seluruh well dan

campur dengan segera, tutup plate dengan adhesive foil.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 60

c. Inkubasi selama 2 jam pada suhu ruangan (20-25oC) pada shaker

(sekitar 600 rpm).

d. Buanglah penutupnya. Cuci well menggunakan 300 ul wash buffer.

Ulangi pencucian sehingga total pencucian 3x. Keringkan dengan

membalikkan plate pada kertas penyerap.

e. Pipet 100 ul larutan Enzyme Conjugate ke dalam masing-masing well.

f. Inkubasi selama 30 menit di suhu ruang pada shaker (sekitar 600 rpm)

g. Cuci well menggunakan 300 ul wash buffer. Ulangi pencucian

sehingga total pencucian 3x Keringkan dengan membalikkan plate

pada kertas penyerap.

h. Pipet 100 ul larutan substrat ke dalam masing-masing well. Inkubasi

selama 20 - 30 menit suhu ruang pada shaker (sekitar 600 rpm).

Hindari kontak dengan cahaya langsung.

i. Pipet 100 ul Larutan Stop ke dalam masing-masing well dan shake

plate untuk memastikan larutan terdistribusi homogen.

j. Baca absorban larutan masing-masing well dalam waktu 10 menit,

menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm dan

panjang gelombang koreksi antara 620-650 nm.

Limit of detection alat Glutamate Elisa Kit, merk Abnova KA 1909 ini adalah Glutamate 0,3 µg/ml atau sama dengan 2,04 µmol/L.

3.10.4 Prosedur kerja pemeriksaan hs-CRP

Pemeriksaan kadar hs-CRP dilakukan dengan menggunakan alat

Cobas 6000 Analyzer, Roche, Hitachi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 61

3.10.5 Variabel yang diamati

Variabel bebas : Flunarizine dan amitriptilin

Variabel terikat : MMP-9, hs-CRP, Glutamat dan skor NRS.

3.11 Analisis Statistik

Data hasil penelitian dianalisa secara statistik dengan bantuan program komputer. Analisis dan penyajian data dilakukan sebagai berikut:

1. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat gambaran karakteristik subjek

penelitian. Variabel MMP-9, hs-CRP , glutamat dan intensitas nyeri

disajikan dalam rerata dan simpangan baku.

2. Bivariat

a. Hubungan antara MMP-9, hs-CRP, Glutamat serum (skala numerik)

dengan intensitas nyeri (skala numerik) sebelum pemberian obat, diuji

dengan uji Korelasi Spearman karena data tidak berdistribusi normal.

b. Hubungan antara MMP-9, hs-CRP , Glutamat serum (skala numerik)

dengan intensitas nyeri (skala numerik) setelah pemberian obat Flunarizin

5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg diuji dengan uji korelasi

Sparman karena data tidak berdistribusi normal.

3. Analisa Komparatif

a. Untuk melihat perbedaan penurunan kadar MMP-9 dan Glutamat serum

sebelum dan sesudah pemberian obat flunarizin 5 mg digunakan uji T

berpasangan, sedangkan untuk skor NRS dan kadar hs-CRP serum

digunakan uji Wilcoxon. Untuk melihat perbedaan kadar MMP-9 dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 62

Glutamat serum sebelum dan sesudah pemberian obat flunarizin 10 mg

digunakan uji T berpasangan, sedangkan untuk skor NRS dan kadar hs-

CRP serum digunakan uji Wilcoxon. Untuk melihat perbedaan kadar

MMP-9 dan Glutamat serum sebelum dan sesudah pemberian obat

amitriptilin 12,5 mg digunakan uji T berpasangan, sedangkan untuk skor

NRS dan kadar hs-CRP serum digunakan uji Wilcoxon. b. Untuk melihat perbedaan selisih rerata nilai skor NRS, kadar MMP-9

(ng/mL), hs-CRP (mg/L) dan Glutamat (µg/L) serum digunakan uji

Kruskal-Wallis. c. Untuk melihat kelompok obat mana yang paling efektif dalam

menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kadar MMP-9 (ng/mL), hs-

CRP (mg/L) dan Glutamat (µg/L) serum digunakan uji Mann-Whitney.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

42 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini merupakan studi uji klinis yang bertujuan untuk melihat perubahan kadar MMP-9, hs-CRP dan glutamat dalam serum setelah pemberian

Flunarizin 5mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg serta hubungannya dengan tingkat intensitas nyeri pada penderita TTH kronik. Pengumpulan data dilakukan mulai bulan April 2016 sampai Agustus 2016 di Poliklinik Neurologi

RSUP H. Adam Malik, Rumkit Tingkat II Putri Hijau dan Puskesmas Medan

Johor. Pada awalnya sebanyak 95 orang penderita TTH kronik yang memenuhi syarat dan bersedia menjadi subjek penelitian ini. Sebanyak 22 orang dikeluarkan dari penelitian karena tidak datang untuk pemeriksaan darah kedua setelah perlakuan. Jumlah subjek penelitian yang mengkuti prosedur penelitian sampai selesai sebanyak 73 orang yaitu sebanyak 11 orang dari Poliklinik Sefalgia RSUP

H. Adam Malik, 4 orang berasal dari Poliklinik Neurologi Rumkit Tingkat II Putri

Hijau dan 58 orang berasal dari Puskesmas Medan Johor. Data dari 73 subjek yang mengikuti seluruh prosedur penelitian dianalisa lebih lanjut yaitu terdiri dari

25 orang kelompok Flunarizin 5 mg, 25 orang kelompok Flunarizin 10 mg dan 23 orang kelompok Amitriptilin 12,5 mg. Karakteristik subjek yang mengikuti penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tujuh puluh tiga penderita TTH kronik berpartisipasi dalam penelitian ini, terdiri dari 13 orang laki-laki (17,8%) dan 60 orang perempuan (82,3%).

Penegakan diagnosis TTH kronik dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik

63 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 64

dan pemeriksaan neurologis serta berdasarkan kepada kriteria diagnostik yang tercantum pada Klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi ke-2 Kode ICD-

10NA2004 dengan kode IHS (2.3) dan (G44.2) pada kode ICD-10. Selanjutnya sampel yang potensial dmasukkan sebagai sampel penelitian dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi.

Mayoritas (57 orang) subjek penelitian sudah menikah (78,1%), 9 orang belum menikah (12,3%) dan Janda/Duda (9,6%). Dua puluh dua (30,1%) subjek penelitian berasal dari suku Jawa dan masing-masing 1 orang (1,4%) dari suku

Aceh, India dan Nias. Sebahagian besar subjek penelitian (54,8%) bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga dan kelompok terkecil (8,2%) memiiliki pekerjaan yang dikelompokkan sebagai lain-lain. Dua puluh dua subjek (30,1%) memiliki latar belakang pendidikan SMA dan masing-masing orang (12,4%) subjek berpendidikan akademi dan sarjana. Sebagian besar subjek tidak memiliki riwayat menderita hipertensi (79,5%), tidak diabetes mellitus (90,4%) dan tidak merokok

(93,2%).

Selanjutnya dari 73 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibagi secara acak menjadi tiga kelompok dengan menggunakan Tabel

Angka Random untuk mendapatkan 15 butir obat kapsul dengan bentuk, ukuran dan warna sama yang berisikan salah satu dari obat berikut ini : Flunarizin 5 mg,

Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 65

Tabel 4.1 Karakteristik Demografik Subjek Penelitian Variabel Total Flunarizin 5 Flunarizin Amitriptilin p mg 10 mg 12,5 mg n (%) 73 (100) 25 (34,2) 25(34,2) 23(31,5) Jenis Kelamin (%) Laki-laki 13(17,8) 4(16) 5(20) 4(17,4) 0,932* Perempuan 60(82,8) 21(84) 20(80) 19(82,6) Rerata Umur ± SD 44,60 ± 13,47 41,56 ± 14,90 45,12 ±12,17 47,35 ± 13,06 0,268* Status Perkawinan (%) Kawin 57(78,1) 17(68) 22(88) 18(78,3) 0,446* Belum Kawin 9(12,3) 5(20) 2(8) 2(8,7) Janda/Duda 7(9,6) 3(12) 1(4) 3(13) Suku (%) Batak toba 7(9,6) 2(8) 3(12) 2(8,7) 0,684** Mandailing 12(16,4) 5(20) 5(20) 2(8,7) Karo 7(9,6) 2(8) 1(4) 4(17,4) Jawa 22(30,1) 6(24) 7(28) 9(39,1) Aceh 1(1,4) 0(0) 0(0) 1(4,3) Melayu 6(8,2) 3(12) 3(12) 0(0) Nias 1(1,4) 0(0) 1(4) 0(0) Minang 16(21,9) 5(24) 5(20) 5(21,7) India 1(1,4) 1(4) 0(0) 0(0) Pekerjaan (%) PNS 10(13,7) 2(8) 6(24) 2(8,7) 0,253* Wiraswasta 17(23,2) 6(24) 6(24) 5(21,7) IRT 40(54,8) 14(56) 11(44) 15(65,2) Lain-lain 6(8,2) 3(12) 2(8) 1(4,3) Pendidikan (%) SD 13(17,8) 6(24) 3(12) 4(17,4) 0,639* SLTP 20(27,3) 4(16) 8(32) 8(34,8) SLTA 22(30,1) 10(40) 7(28) 5(21,7) Akademi 9(12,4) 2(8) 3(12) 4(17,3) Sarjana 9(12,4) 3(12) 4(16) 2(8,7) Riwayat Hipertensi Ya 15(20,5) 5(20) 6(24) 4(17,4) 0,849* Tidak 58(79,5) 20(80) 19(76) 19(82,6) Riwayat Diabetes Ya 7(9,6) 3(12) 3(12) 1(4) 0,587* Tidak 66(90,4) 22(88) 22(88) 22(96) Riwayat Merokok Ya 5(6,8) 1(4) 2(8) 2(8,7) 0,782* Tidak 68(93,2) 24(96) 23(92) 21(91,3) Riwayat Narkoba Ya 0(0,0) 0(0,0) 0(0,0) 0(0,0) NA Tidak 73(100) 25(34,2) 25(34,2) 23(31,5) * Chi Square test ; ** Fisher Exact Test; NA = not available

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 66

4.2 Data kadar Glutamat MMP-9, kadar hs-CRP, kadar serum dan skor

NRS sebelum dan sesudah perlakuan.

Sebelum diberikan obat sebanyak 73 subjek penelitian terlebih dahulu dilakukan pengukuran kadar serum MMP-9, hs-CRP, Glutamat dan pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skor NRS. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Data kadar MMP-9 (ng/mL), hs-CRP (mg/L), Glutamat (µg/L) dan nilai skor NRS sebelum dan sesudah perlakuan.

n Minimum Maksimum Rerata SD

NRS (sebelum) 73 4,00 6,00 4,88 0,59 NRS (sesudah) 73 1,00 5,00 2,59 0,97 MMP-9 73 0,63 6,24 4,34 1,06 (ng/L)(Sebelum) MMP-9 73 0,64 5,58 4,04 1,03 (ng/L)(sesudah) hs-CRP (mg/L) 73 0,00 13,00 2,04 2,08 (sebelum) hs-CRP 73 0,00 7,00 2,03 1,49 (mg/L)(sesudah) Glutamat (ug/L) 73 6,44 19,27 11,85 2,43 (sebelum) Glutamat (ug/L) 73 5,33 18,35 11,12 2,45 (sesudah) SD = standar deviasi; n = besar sampel; ng/L = nanogram/Liter; mg/L = milligram/Liter; µg/L = microgram/Liter; NRS= Numeric Rating Scale for Pain; MMP-9 = Matriks metalloprotein-9; hs-CRP = high sensitivity-C Reactive Protein.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 67

Nlai rerata NRS sebelum perlakuan adalah (4,88±0,59) dan NRS setelah perlakuan adalah (2,59±0,97). Nilai rerata kadar MMP-9 sebelum perlakuan adalah (4,34±1,06) ng/mL sedangkan nilai rerata kadar MMP-9 setelah perlakuan adalah (4,04±1,03) ng/mL. Kadar rerata hs-CRP sebelum perlakuan adalah (2,04±

2,08)mg/L, sedangkan setelah perlakuan adalah (2,03 ± 1,49) mg/L. Untuk

Glutamat, nilai rerata sebelum perlakuan adalah (11,85 ± 2,43) µg/L dan setelah perlakuan adalah (11,12 ± 2,45) µg/L.

4.3 Hubungan kadar serum MMP-9, hs-CRP dan Glutamat dengan nilai

NRS sebelum perlakuan.

Sebelum seluruh 73 subjek penelitian dibagi menjadi 3 kelompok terlebih dahulu dilakukan uji korelasi Pearson pada kelompok data yang berdistribusi normal dan uji korelasi Spearman pada kelompok data yang tidak berdistribusi normal antara skor NRS dengan kadar MMP-9 (ng/L), kadar hs-CRP mg/L dan kadar Glutamat µg/L serum (Tabel 4. 3)

Tabel 4.3 Korelasi nilai skor NRS dengan kadar MMP-9 (ng/L), kadar hs-CRP ( mg/L) dan kadar Glutamat (µg/L) serum sebelum perlakuan.

MMP-9 hs-CRP Glutamat

(ng/L)* (mg/L)* (µg/L)*

r 0,063 0,180 0,004

NRS p 0,299 0,064 0,488

n 73 73 73

*Uji Korelasi Spearman; r=korelasi; n= besar sampel; Nilai p signifikan ≤ 0,05, ng/L= nanogram/Liter; mg/L= milligram/Liter; µg/L = microgram/Liter; NRS= Numeric Rating Scale for Pain; MMP-9 = Matriks metalloprotein-9; hs-CRP = high sensitivity-C Reactive Protein

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 68

Dari hasil uji korelasi ini didapati adanya hubungan positif sangat lemah (r

= 0,063) dan tidak signifikan (p = 0,299) antara NRS dengan kadar MMP-9

(ng/L). Antara skor NRS dengan kadar hs-CRP (mg/L) didapati adanya hubungan positif yang lemah (r = 0,180) dan tidak signifikan (p = 0,064). Skor NRS mempunyai hubungan yang sangat lemah (r = 0,004) yang juga tidak signifikan

(p=0,488) dengan kadar Glutamat (µg/L) serum.

4.4 Perbandingan nilai skor NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP dan kadar

Glutamat serum sebelum dan sesudah pemberian Flunarizin 5 mg.

Dua puluh lima subjek yang termasuk ke dalam kelompok yang diberi

Flunarizin 5 mg per hari (kelompok 1) menjalani pengukuran skor intensitas nyeri, kadar MMP-9 (ng/L), kadar hs-CRP (mg/L) dan kadar Glutamat (µg/L) serum sebelum dan sesudah perlakuan. Dilakukan uji T berpasangan dengan nilai p signifikan ≤ 0,05 untuk melihat apakah ada perbedaan skor kadar MMP-9 dan kadar Glutamat serum sebelum dan sesudah memperoleh Flunarizin 5 mg.

Sedangkan untuk skor NRS dan kadar hs-CRP serum digunakan uji Wilcoxon

(Tabel 4.4).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 69

Tabel 4.4 Perbandingan nilai skor NRS, kadar MMP-9 (ng/mL), kadar hs-CRP (mg/L) dan kadar Glutamat (µg/L) serum sebelum dan sesudah pemberian Flunarizin 5 mg.

Flunarizin 5 mg

Variabel Sebelum (n, ± SD) Sesudah (n, ± SD) p

NRS 25 ; 4,64 ± 0,64 25 ; 3,52 ± 0,65 <0,001**

MMP-9 (ng/mL) 25 ; 4,25 ± 0,93 25 ; 3,92 ± 0,85 <0,001* hs-CRP(mg/L) 25 ; 2,08 ± 2,55 25 ; 2,08 ± 1,55 0,207**

Glutamat(µg/L) 25 ; 12,04 ± 3,02 25 ; 10,86 ± 2,89 <0,001*

*Uji T berpasangan, ** Uji Wilcoxon, n= Besar sampel, = nilai rerata, SD = standar deviasi, Nilai p signifikan ≤ 0,05, ng/L= nanogram/Liter, mg/L= milligram/Liter; µg/L = microgram/Liter, NRS= Numeric Rating Scale for Pain; MMP-9 = Matriks metalloprotein-9, hs-CRP = high sensitivity-C Reactive Protein.

Pada kelompok yang diberi Flunarizin 5 mg, didapati perbedaan yang signifikan (p < 0,001) antara skor NRS sebelum (4,64 ± 0,64) dengan skor NRS sesudah (3,52 ± 0,65). Antara kadar MMP-9 sebelum (4,25 ± 0,93) ng/L dengan

MMP-9 sesudah (3,92 ± 0,85) ng/L didapati perbedaan yang signifikan (p <

0,001). Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan (p = 0,207) antara kadar hs-

CRP sebelum (2,08 ± 2,55) mg/L dengan kadar hs-CRP sesudah ( 2,08 ± 1,55) mg/L. Didapati juga perbedaan yang signifikan (p < 0,001) antara kadar Glutamat sebelum (12,04 ± 3,02) µg/L dengan kadar Glutamat sesudah (10,86 ± 2,89 )

µg/L.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 70

4.5 Perbandingan skor NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP serum sebelum

dan sesudah pemberian Flunarizin 10 mg.

Sebanyak 25 subjek yang termasuk ke dalam kelompok yang diberi

Flunarizin 10 mg per hari (kelompok 2) menjalani pengukuran skor intensitas nyeri, kadar MMP-9, kadar hs-CRP dan kadar Glutamat serum sebelum dan sesudah perlakuan. Dilakukan uji T berpasangan dengan nilai p signifikan ≤ 0,05 untuk melihat apakah ada kadar MMP-9 dan kadar Glutamat serum sebelum dan sesudah memperoleh Flunarizin 10 mg. Sedangkan untuk skor NRS dan kadar hs-

CRP serum digunakan uji Wilcoxon (Tabel 4.5)

Tabel 4.5 Perbandingan nilai skor NRS, kadar MMP-9 (ng/mL), kadar hs-CRP (mg/L) dan kadar Glutamat (µg/L) serum sebelum dan sesudah pemberian Flunarizin 10 mg.

Flunarizin 10 mg

Variabel Sebelum (n, ± SD) Sesudah (n, ± SD) p

NRS 25 ; 4,92 ± 0,57 25 ; 2,44 ± 0,65 <0,001**

MMP-9(ng/mL) 25 ; 4,25 ± 1,39 25 ; 3,94 ± 1,38 < 0,001* hs-CRP(mg/L) 25 ; 1,84 ± 1,70 25 ; 1,96 ± 1,62 0,299**

Glutamat(µg/L) 25 ; 11,60 ± 2,38 25 ; 10,86 ± 2,49 <0,001*

*Uji T berpasangan; **Uji Wilcoxon, Nilai p signifikan ≤ 0,05, n= besar sampel; = nilai rerata; SD = standar deviasi, ng/L= nanogram/Liter, mg/L= milligram/Liter; µg/L = microgram/Liter, NRS= Numeric Rating Scale for Pain; MMP-9 = Matriks metalloprotein-9, hs-CRP = high sensitivity-C Reactive Protein.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 71

Pada kelompok yang diberi Flunarizin 10 mg, dijumpai perbedaan yang signifikan (p < 0,001) antara skor NRS sebelum (4,92 ± 0,57) dengan skor NRS sesudah (2,44 ± 0,65). Kadar MMP-9 sebelum( 4,25 ± 1,39) ng/L dengan MMP-9 sesudah (3,94 ± 1,38) ng/L didapati perbedaan yang signifikan (p < 0,001).

Didapati juga perbedaan yang signifikan (p < 0,001) antara kadar Glutamat sebelum (11,60 ± 2,38)µg/L dengan kadar Glutamat sesudah (10,86 ± 2,49)µg/L.

Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan (p = 0,299) antara kadar hs-CRP sebelum (1,84 ± 1,70) mg/L dengan kadar hs-CRP sesudah (10,86 ± 2,49) mg/L.

4.6 Perbandingan skor NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP serum sebelum

dan sesudah pemberian Amitriptilin 12,5 mg.

Dua puluh tiga subjek yang termasuk ke dalam kelompok yang diberi

Amitriptilin 12,5 mg per hari (kelompok 3) menjalani pengukuran skor intensitas nyeri, kadar MMP-9, kadar hs-CRP dan kadar Glutamat serum sebelum dan sesudah perlakuan. Kemudian dilakukan uji T berpasangan dengan nilai p signifikan ≤ 0,05 untuk melihat apakah ada perbedaan skor kadar MMP-9 (ng/L), kadar hs-CRP (mg/L) dan Glutamat (µg/L) serum sebelum dan sesudah memperoleh Amitriptilin 12,5 mg. Sedangkan untuk skor NRS digunakan uji

Wilcoxon karena data tidak berdistribusi normal setelah dilakukan uji normalitas data. (Tabel 4.6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 72

Tabel 4.6 Perbandingan nilai skor NRS, kadar MMP-9 (ng/mL), kadar hs-CRP (mg/L) dan kadar Glutamat (µg/L) serum sebelum dan sesudah pemberian Amitriptilin 12,5 mg.

Amitriptilin 12,5 mg

Variabel Sebelum (n, ± SD) Sesudah (n, ± SD) p

NRS 23 ; 5,09 ± 0,51 23 ; 1,74 ± 0,62 <0,001**

MMP-9(ng/mL) 23 ; 4,55 ± 0,74 23 ; 4,29 ± 0,71 <0,001* hs-CRP(mg/L) 23 ; 2,22 ± 1,98 23 ; 2,04 ± 1,33 0,009*

Glutamat(µg/L) 23 ; 11,60 ± 2,38 23 ; 10,86 ± 2,49 <0,001*

*Uji T berpasangan; ** Uji Wilcoxon; Nilai p signifikan ≤ 0,05; n=Besar sampel; = nilai rerata; SD = standar deviasi, ng/L= nanogram/Liter; mg/L= milligram/Liter; µg/L = microgram/Liter; NRS= Numeric Rating Scale for Pain; MMP-9 = Matriks metalloprotein-9; hs-CRP = high sensitivity-C Reactive Protein.

Didapati perbedaan yang signifikan (p < 0,001) pada kelompok yang diberi

Amitriptilin 12,5 mg, antara skor NRS sebelum (5,09 ± 0,51) dengan skor NRS sesudah (1,74 ± 0,62 ). Kadar MMP-9 sebelum (4,55 ± 0,74) ng/L dengan MMP-9 sesudah (4,29 ± 0,71) ng/L didapati perbedaan yang signifikan (p < 0,001).

Didapati juga perbedaan yang signifikan (p <0,001) antara kadar Glutamat sebelum (11,60 ± 2,38)µg/L dengan kadar Glutamat sesudah (10,86 ± 2,49)µg/L.

Dijumpai perbedaan yang signifikan (p = 0,009) antara kadar hs-CRP sebelum

(2,22 ± 1,98) mg/L dengan kadar hs-CRP sesudah (2,04 ± 1,33) mg/L.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 73

4.7 Perbedaan selisih skor NRS, kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

serum sesudah pemberian Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan

Amitriptilin 12,5 mg.

Setelah perlakuan dilakukan uji Kruskal-Wallis untuk melihat apakah terdapat perbedaan selisih nilai skor NRS , kadar MMP-9 , kadar hs-CRP dan kadar Glutamat serum antar ketiga kelompok perlakuan. Data yang digunakan adalah data selisih sebelum dan setelah perlakuan (Tabel 4.7.1).

Tabel 4.7.1 Perbedaan selisih nilai skor NRS, kadar MMP-9 (ng/mL), hs-CRP (mg/L) dan Glutamat (µg/L) serum sesudah pemberian Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg.

Variabel Flunarizin 5 mg Flunarizin 10 mg Amitriptilin12,5 mg p*

(n; ± SD) (n; ± SD) (n; ± SD)

∆ NRS 25 ; 1,12 ± 0,78 25 ; 2,48 ± 0,65 23 ; 3,35 ± 0,71 <0,001

∆ MMP-9 25 ; 0,33 ± 0,41 25 ; 0,31 ± 0,42 23 ; 0,26 ± 0,31 0,673

(ng/L)

∆ hs-CRP 25 ; -0,04 ± 2,49 25 ; -0.12 ± 1,33 23 ; 0,09 ± 1,53 0,845

(mg/L)

∆ Glutamat 25 ; 1,19 ± 1,13 25 ; 0,75 ± 0,60 23 ; 0,20 ± 0,23 <0,001

(µg/L)

* Uji Kruskal-Wallis; Nilai p signifikan ≤ 0,05; n=Besar sampel; = rerata selisih nilai sebelum dan sesudah perlakuan; SD = standar deviasi; ng/L= nanogram/Liter; mg/L= milligram/Liter; µg/L = microgram/Liter; NRS= Numeric Rating Scale for Pain; MMP-9 = Matriks metalloprotein-9; hs-CRP = high sensitivity-C Reactive Protein.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 74

Setelah pemberian obat penurunan rerata skor NRS paling tinggi dijumpai pada kelompok yang diberi obat amitriptilin 12,5 mg . Grafik rerata selisih nilai

NRS antara kelompok yang diberi Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Grafik Rerata Selisih Nilai NRS. Obat A=Flunarizin 5 mg; Obat B= Flunarizin 10 mg; Obat C= Amitriptilin 12,5 mg.

Setelah pemberian obat tidak dijumpai perbedaan yang signifikan penurunan rerata kadar MMP-9 antara kelompok yang diberi flunarizin 5 mg, flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg. Grafik rerata selisih kadar MMP-9 serum antara kelompok yang diberi Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg dapat dilihat pada Gambar 13.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 75

Gambar 13 Grafik Rerata Selisih Kadar MMP-9 serum (ng/mL). Obat A=Flunarizin 5 mg; Obat B= Flunarizin 10 mg; Obat C= Amitriptilin 12,5 mg.

Setelah pemberian obat tidak dijumpai penurunan rerata kadar hs-CRP antara kelompok yang diberi flunarizin 5 mg, flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg. Grafik rerata selisih kadar hs-CRP serum antara kelompok yang diberi Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg dapat dilihat pada Gambar 14.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 76

Gambar 14 Grafik Rerata Selisih Kadar hs-CRP Serum (mg/L). Obat A=Flunarizin 5 mg; Obat B= Flunarizin 10 mg; Obat C= Amitriptilin 12,5 mg.

Setelah pemberian obat dijumpai penurunan rerata kadar glutamat serum yang paling tinggi pada kelompok yang diberi obat flunarizin 5 mg. Grafik rerata selisih kadar glutamat serum antara kelompok yang diberi Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan amitriptilin 12,5 mg dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Grafik Rerata Selisih Kadar Glutamat Serum (µg/L). Obat A=Flunarizin 5 mg; Obat B= Flunarizin 10 mg; Obat C= Amitriptilin 12,5 mg.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 77

Didapati perbedaan bermakna (p < 0,001) rerata selisih skor NRS setelah perlakuan antara kelompok Flunarizin 5 mg (1,12 ± 0,78), Flunarizin 10 mg (2,48

± 0,65) dan Amitriptilin 12,5 mg (3,35 ± 0,71). Didapati perbedaan yang signifikan (p <0,001) rerata selisih kadar Glutamat pada kelompok Flunarizin 5 mg (1,19 ± 1,13)µg/L, Flunarizin 10 mg (0,75 ± 0,60)µg/L dan Amitriptilin 12,5 mg (0,20 ± 0,23)µg/L. Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan rerata selisih kadar MMP-9 (p = 0,673) ng/L dan kadar hs-CRP (p = 0,845) mg/L antar ketiga kelompok perlakuan.

Setelah dilanjutkan dengan analisa komparasi ganda menggunakan uji post hoc Mann-Whithney dijumpai perbedaan yang signifikan (p < 0,001) selisih rerata NRS antara kelompok Flunarizin 5 mg dengan kelompok Flunarizin 10 mg, tetapi tidak dijumpai perbedaan yang signifikan (p = 0,266) pada selisih rerata kadar Glutamat serum. Dijumpai perbedaan yang signifikan (p<0,001) selisih rerata NRS antara kelompok Flunarizin 5 mg dengan kelompok Amitriptilin 12,5 mg dan juga dijumpai perbedaan yang signifikan (p <0,001) selisih rerata kadar

Glutamat serum antara kelompok Flunarizin 5 mg dengan kelompok Amitriptilin

12,5 mg. Dijumpai perbedaan yang signifikan (p < 0,001) antara selisih rerata

NRS antara kelompok Flunarizin 10 mg dengan kelompok Amitriptilin 12,5 mg, demikian pula dijumpai perbedaan yang signifikan (p = 0,004) selisih rerata kadar

Glutamat serum antara kelompok Flunarizin 10 mg dengan kelompok Amitriptilin

12,5 mg. (Tabel 4.7.2).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 78

Tabel 4.7.2 Analisis komparasi ganda antar kelompok Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg.

Variabel Antar kelompok obat p*

(n; Mean Rank)

∆ NRS Flun 5 mg (25; 15,64) Flun 10 mg (25; 35,86) <0,001

Flun 5 mg (25; 13,78) Ami 12,5 mg (23; 36,15) <0,001

Flun 10 mg (25; 17,72) Ami 12,5 mg (23; 31,87) <0,001

∆ Glutamat Flun 5 mg (25; 27,64) Flun 10 mg (25; 23,36) 0,266

(µg/L) Flun 5 mg (25; 30,80) Ami 12,5 mg (23; 17,65) 0,001

Flun 10 mg (25; 29,26) Ami 12,5 mg (23; 19,33) 0,004

* Uji post hoc Mann-Whitney; N= besar sampel; Nilai p signifikan ≤ 0,05; µg/L = microgram/Liter; NRS= Numeric Rating Scale for Pain. Flun= Flunarizin; Ami= Amitriptilin.

4.8 Hubungan skor NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

serum setelah pemberian Flunarizin 5 mg.

Pada kelompok yang diberi Flunarizin 5 mg dilakukan uji korelasi untuk melihat apakah ada hubungan antara skor NRS dengan kadar MMP-9 (ng/L), hs-

CRP (mg/L) dan Glutamat (µ/L) setelah perlakuan (Tabel 4.8)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 79

Tabel 4.8. Hubungan skor NRS dengan kadar MMP-9 (ng/L), hs-CRP mg/L dan Glutamat (µ/L) serum setelah pemberian Flunarizin 5 mg.

MMP-9 hs-CRP Glutamat

(ng/L)* (mg/L)* (µg/L)*

NRS setelah r 0,245 0,091 -0,062

Pemberian P 0,119 0,333 0,385

Funarizin 5 mg n 25 25 25

*Uji Korelasi Spearman; R=korelasi; N= besar sampel; Nilai p signifikan ≤ 0,05, ng/L= nanogram/Liter; mg/L= milligram/Liter; µg/L = microgram/Liter; NRS= Numeric Rating Scale for Pain; MMP-9 = Matriks metalloprotein-9; hs-CRP = high sensitivity-C Reactive Protein.

Dari hasil uji korelasi uji korelasi Spearman, setelah minum obat

Flunarizin 5 mg didapati skor NRS memiliki hubungan positif lemah (r = 0,245) yang tidak signifikan dengan kadar MMP-9 (p = 0,119). Pada kelompok ini juga didapati hubungan positif sangat lemah (r = 0,091) dan tidak signifikan (p=

0,333) antara skor NRS dengan hs-CRP. Skor NRS juga hubungan negatif sangat lemah (r = - 0,062) yang tidak signifikan (p = 0,385) dengan kadar Glutamat serum.

4.9 Hubungan skor NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

serum setelah pemberian Flunarizin 10 mg.

Pada kelompok yang diberi Flunarizin 10 mg dilakukan uji korelasi untuk melihat apakah ada hubungan antara skor NRS dengan kadar MMP-9 (ng/L), hs-

CRP (mg/L) dan Glutamat (µ/L) setelah perlakuan (Tabel 4.9)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 80

Tabel 4.9 Hubungan skor NRS dengan kadar MMP-9 (ng/L), hs-CRP (mg/L) dan Glutamat (µ/L) serum setelah pemberian Flunarizin 10 mg.

MMP-9 hs-CRP Glutamat

(ng/L)* (mg/L)* (µg/L)*

NRS setelah r 0,008 - 0,506 -0,007 Pemberian Flunarizin 10 p 0,485 0,005 0,488 mg n 25 25 25

*Uji Korelasi Spearman; R=korelasi; N= besar sampel; Nilai p signifikan ≤ 0,05, ng/L= nanogram/Liter; mg/L= milligram/Liter; µg/L = microgram/Liter; NRS= Numeric Rating Scale for Pain; MMP-9 = Matriks metalloprotein-9; hs-CRP = high sensitivity-C Reactive Protein.

Dari hasil uji korelasi uji Korelasi Spearman, setelah minum obat

Flunarizin 10 mg didapati skor NRS memiliki hubungan positif sangat lemah (r =

0,008) yang tidak signifikan dengan kadar MMP-9 (p = 0,485). Pada kelompok ini juga didapati hubungan negatif sedang (r = -0,506) dan signifikan (p = 0,005) antara skor NRS dengan kadar hs-CRP serum. Skor NRS juga hubungan negatif sangat lemah (r = -0,007) yang tidak signifikan (p = 0,488) dengan kadar

Glutamat serum.

4.10 Hubungan skor NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

serum setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg.

Pada kelompok yang diberi Amitriptilin 12,5 mg seperti pada kelompok

Flunarizin 5 mg dan kelompok Flunarizin10 mg juga dilakukan uji korelasi untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 81

melihat apakah ada hubungan antara skor NRS dengan kadar MMP-9 (ng/L), hs-

CRP (mg/L) dan Glutamat (µ/L) setelah perlakuan (Tabel 4.10).

Tabel 4.10 Hubungan skor NRS dengan kadar MMP-9 (ng/L), hs-CRP (mg/L) dan Glutamat (µg/L) serum setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg.

MMP-9 hs-CRP Glutamat

(ng/L)* (mg/L)* (µg/L)*

NRS setelah r - 0,026 -0,236 0,508 Pemberian Amitriptilin p 0,453 0,139 0,007 12,5 mg n 23 23 23

*Uji Korelasi Spearman; R=korelasi; N= besar sampel; Nilai p signifikan ≤ 0,05, ng/L= nanogram/Liter; mg/L= milligram/Liter; µg/L = microgram/Liter; NRS= Numeric Rating Scale for Pain; MMP-9 = Matriks metalloprotein-9; hs-CRP = high sensitivity-C Reactive Protein.

Dari hasil uji korelasi Spearman, setelah minum obat Amitriptilin 12,5 mg didapati skor NRS memiliki hubungan negatif sangat lemah (r = -0,026) yang tidak signifikan dengan kadar MMP-9 (p = 0,453). Pada kelompok ini juga didapati hubungan negatif lemah (r = - 0,236) dan tidak signifikan (p = 0,139) antara skor NRS dengan hs-CRP. Didapati hubungan positif sedang (r = 0,508) yang signifikan (p = 0,007) antara skor NRS dengan kadar Glutamat serum.

Semakin tinggi kadar glutamate serum maka semakin tinggi intensitas nyeri dengan kekuatan korelasi sedang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi intervensional dengan rancangan penelitian uji klinis pre dan post test acak tersamar ganda yang dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan penurunan skor intensitas nyeri, kadar MMP-9, kadar hs-

CRP dan kadar glutamat serum setelah masing-masing kelompok penelitian diberikan obat Flunarizin 5 mg atau Flunarizin 10 mg ataupun Amitriptilin 12,5 mg.

Subjek penelitian secara acak dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan dengan menggunakan Tabel Angka Random (Sastroasmoro & Ismael 2011).

Subjek penelitian yang mendapat angka 1 sampai 3 pada Tabel Angka Random dimasukkan pada kelompok obat A, angka 4 sampai 6 kelompok obat B dan angka 7 sampai 9 kelompok obat C sedangkan angka 0 diabaikan. Obat A, B dan

C adalah kapsul dengan bentuk, ukuran dan warna yang sama berisikan salah satu dari berikut ini: Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg yang dibuat oleh seorang apoteker di apotek dan diberi kode A, B dan C pada plastik obat dan juga pada tabung obat yang hanya diketahui oleh apoteker tersebut. Kode obat dibuka dan diberitahukan kepada peneliti setelah analisa data selesai. Setiap subjek mengambil satu bungkusan plastik obat yang berisikan 15 kapsul yang dikonsumsi 1 butir sehari dari tabung obat A,B atau C sesuai angka yang didapatnya pada tabel angka random. Pemilihan Flunarizin sebagai variabel bebas penelitian didasarkan kepada mekanisme kerja obat tersebut sebagai antagonis

82 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 83

calcium influx sehingga dapat menekan hipereksitabilitas neuron pada second order neuron didalam dorsal horn medula spinalis dan nukleus trigeminalis di batang otak yang pada gilirannya menurunkan intensitas nyeri pada nyeri kepala

CTTH (Chen, 2009). Pemilihan obat Amitriptilin sebagai variabel bebas didasarkan kepada obat tersebut merupakan terapi pilihan pertama untuk terapi profilaksis TTH. Mekanisme kerja obat ini kemungkinan menginhibisi reuptake serotonin (5-HT) dan noradrenalin dari CNS yang memainkan peranan yang mendasar dalam mengontrol nyeri (Castells, Delgado & Escoda 2008).

Diagnosa TTH kronik dibuat berdasarkan paada klasifikasi IHS tahun

2004. Intensitas nyeri diukur dengan skala nyeri numerik (Numeric Rating Scale for pain). Pengukuran intensitas nyeri menggunakan NRS karena instrumen ini praktis dan sering digunakan dalam praktek klinik sehari-hari (Hawker et al. 2011;

Hjermstad et al. 2011).

Pemilihan MMP-9, hs-CRP dan Glutamat sebagai variabel terikat didasarkan pada respon inflamasi sebagai salah satu mekanisme patogenesis terjadinya TTH kronik (Fumal& Schoenen 2008). Pemeriksaan kadar serum

MMP-9, hs-CRP dan Glutamat plasma dilakukan secara quantitative immunoassay sesuai standard yang berlaku.

Beberapa uji statistik digunakan untuk mencapai tujuan penelitian dan membuktikan hipotesis antara lain : Uji Chi Square, Uji korelasi Pearson, Uji

Spearman’s Rho, Uji T-berpasangan, Uji Wilcoxon, Uji Kruskal Wallis dan Uji post hoc Mann-Whitney.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 84

5.2 Data Demografi dan faktor risiko

Data demografi dalam penelitian ini meliputi: jenis kelamin, status perkawinan, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan. Faktor risiko yang dicantumkan pada pemelitian ini yaitu: riwayat hipertensi, diabetes, merokok dan penggunaan narkoba. Data deskriptif subjek penelitian adalah sebagai berikut:

A. Setelah dilakukan penetuan subjek secara acak dengan menggunakan tabel

angka random maka diperoleh 3 kelompok subjek penelitian yang terdiri

dari 25 orang kelompok Flunarizin 5 mg , 25 orang kelompok Flunarizin

10 mg dan 23 orang kelompok Amitriptilin 12,5 mg.

B. Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek sebanyak 73 orang

didapati pria 13 orang dan wanita 60 orang.

C. Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek 73 orang, didapati yang

kawin 57 orang, belum kawin 9 orang dan janda/duda 7 orang.

D. Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek 73 orang didapati suku

bangsa antara Batak Toba 7 orang, Mandailing 12 orang, Karo 7 orang,

Jawa 22 orang, Aceh 1 orang, Melayu 6 orang, Nias 1 orang, Minang 16

0rang dan India 1 orang.

E. Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek 73 orang , didapati

pendidikan SD 13 orang, SLTP 20 orang, SLTA 22 orang, Akademi 9

orang dan Sarjana 9 orang.

F. Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek 73 orang, didapati PNS

10 orang, Wiraswasta 17 orang, IRT 40 orang dan lainnya 6 orang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 85

G. Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek 73 orang, didapati yang

memiliki riwayat hipertensi 15 orang dan yang tidak hipertensi 58 orang.

H. Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek 73 orang , didapati yang

memiliki riwayat diabetes 5 orang dan yang tidak diabetes mellitus 68

orang.

I. Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek 73 orang, didapati 5

orang yang merokok dan tidak merokok 8 orang.

J. Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek 73 orang, tidak satupun

subjek yang mengkonsumsi narkoba.

K. Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek 73 orang , didapati yang

berobat di RS Haji Adam Malik 11 orang , Rumkit Putri Hijau Medan 4

orang dan Puskesmas Medan Johor 58 orang.

5.2.1 Jenis kelamin dan nyeri

Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek 73 orang didapati pria

13(17,8%) dan wanita 60(82,8%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya dimana TTH lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan dengan pria (Li et al. 2012; Bayraktutan et al. 2014)

Satu penelitian yang meneliti tentang karakteristik klinis TTH di China menemukan perbandingan antara wanita dengan pria adalah 66,9% : 31,9% (Li et al. 2012). Bayraktutan et al. (2014) dalam suatu penelitian mengenai prevalensi nyeri kepala di Turki mendapati perbandingan wanita dengan pria pada CTTH yaitu 3,5% : 2%. Meski beberapa penelitian menemukan hasil yang berbeda-beda

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 86

namun dapat disimpulkan bahwa angka kejadian TTH pada wanita lebih tinggi dari pria ( Li et al. 2012; Bayraktutan et al. 2014). Beberapa penelitian meta- analisis berbasis populasi menunjukkan bahwa prevalensi antara wanita : pria =

1,3 : 1 (Rasmussen et al. 2000).

Beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi TTH lebih tinggi pada wanita antara lain: (1) perbedaan perilaku, (2) pengaruh hormonal, (3) perbedaan trait kepribadian dan psikologis, (4) perbedaan persepsi dari gejala dan sensasi terhadap nyeri. (Rasmussen, et al. 2000).

Beberapa studi laboratorium percobaan nyeri mengenai persepsi nyeri menunjukkan bahwa stimuli nyeri dipersepsikan lebih nyeri oleh wanita sehat dari pada pria sehat (Wise et al. 2002; Wiesenfeld-Hallin 2005; Bartley &

Fillingim 2013;). Wiesenfeld-Halin (2005), melaporkan bahwa wanita memiliki ambang nyeri lebih rendah (p < 0,001), toleransi nyeri rendah (p < 0,001) dan rasa ketidaknyamanan terhadap nyeri lebih besar (p < 0,005). Bishop, Holm &

Borowiak (2001), melaporkan bahwa rendahnya toleransi terhadap nyeri berkorelasi dengan frekuensi nyeri kepala. Peran faktor hormonal juga ikut ambil bagian terhadap terjadinya nyeri kepala (Karli, et al. 2012). Chu, et al.(2013) melaporkan bahwa pengaruh status sosio-ekonomi pada migren dan TTH berbeda berdasarkan jenis kelamin , dimana wanita lebih rentan terhadap pengaruh sosio- ekonomi dibandingkan dengan pria. Pada pasien-pasien migren jenis kelamin ternyata memiliki suatu pengaruh terhadap karakteristik nyeri kepala dimana wanita dengan serangan migren memiliki durasi lebih lama dengan intensitas serangan yang lebih berat dari pada pasien migren pria (Bolay et al. 2014).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 87

Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa pada kelompok Flunarizin 5 mg didapati pria 4 orang dan wanita 21 orang, pada kelompok Flunarizin 10 mg didapati pria 5 orang dan wanita 20 orang, serta padakelompok Amitriptilin 12,5 mg didapati pria 4 orang dan wanita 19 orang. Setelah dilakukan uji Chisquare didapatkan p = 0,932 yang menunjukkan tidak ada perbedaan frekuensi yang siginifikan antara pria dan wanita pada kelompok Flunarizin 5 mg, kelompok Flunarizin 10 mg dan kelompok Amitriptlin 12,5 mg.

5.2.2 Suku bangsa, faktor risiko penyakit dan nyeri.

Dari 3 kelompok penelitian dengan jumlah subjek sebanyak 73 orang, didapati suku bangsa antara Batak Toba 7 orang, Mandailing 12 orang, Karo 7 orang, Jawa 22 orang, Aceh 1 orang, Melayu 6 orang, Nias 1 orang, Minang 16 orang, India 1 orang. Dengan uji Chi square didapatkan p = 0,626 yang berarti tidak ada perbedaan frekwensi yang signifikan antara distribusi suku bangsa pada kelompok Flunarizin 5 mg , kelompok Flunarizin 10 mg dan kelompok

Amitriptilin 12,5 mg.

Penelitian yang menghubungkan nyeri dengan suku bangsa (etnis) tidak banyak dijumpai. Plesh, Adams & Gansky (2011) dalam suatu penelitian tentang prevalensi ras/etnis dan jenis kelamin dalam kaitannya dengan nyeri umum menyimpulkan bahwa pola terjadinya nyeri sangat bervariasi diantara ras/etnis dan jenis kelamin, dimana setiap nyeri memiliki karakteristik tersendiri (Plesh,

Adams & Gansky 2011).

Pada penelitian ini didapati nilai rerata skor NRS sebelum perlakuan adalah (4,88±0,60) dengan nilai tertinggi 6 dan terandah 4, sedangkan setelah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 88

perlakuan adalah (2,59±0,97) dengan nilai tertinggi 5 dan terendah 1. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas nyeri pada penelitian ini didapati ringan sampai sedang sesuai kriteria diagnostik nyeri kepala TTH menurut Klasifikasi Nyeri

Kepala Edisi II oleh IHS tahun 2004. (Sjahrir et al. 2013)

Faktor risiko yang bisa dianalisa dengan uji Chi square adalah riwayat hipertensi, diabetes dan merokok. Pada kelompok Flunarizin 5 mg didapati yang hipertensi 5 orang dan tidak hipertensi 20 orang; yang diabetes 3 orang dan tidak diabetes 22 orang; yang merokok 1 orang dan tidak merokok 24 orang. Pada kelompok Flunarizin 10 mg didapati yang hipertensi 6 orang dan tidak hipertensi

19 orang; yang diabetes 3 orang dan tidak diabetes 22 orang; yang merokok 2 orang dan tidak merokok 23 orang. Pada kelompok Amitriptilin 12,5 mg didapati yang hipertensi 4 orang dan tidak hipertensi 19 orang; yang diabetes 1 orang dan tidak diabetes 22 orang; yang merokok 2 orang dan tidak merokok 21 orang.

Distribusi ketiga faktor risiko tersebut pada kelompok Flunarizin 5 mg, Flunarizin

10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg adalah tidak signifikan. Untuk riwayat hipertensi p = 0,849; diabetes p = 0,857 dan merokok p = 0,782. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara subjek TTH kronis dengan hipertensi maupun tanpa hipertensi, tidak ada perbedaan subjek dengan diabetes maupun tanpa diabetes dan tidak ada perbedaan subjek yang merokok dengan yang tidak merokok. Maknanya bahwa distribusi subjek penelitian ini adalah sama baik pada kelompok Flunarizin

5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg.

Hubungan antara hipertensi dengan nyeri kepala masih menjadi perdebatan. Kebanyakan penelitian telah menunjukkan bahwa hipertensi ringan tidak berhubungan dengan nyeri kepala. Fuchs et al. (2003) dalam suatu penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 89

melaporkan bahwa hipertensi sedang dan hipertensi berat juga tidak berhubungan dengan nyeri kepala. Khan, Usman & Abbas (2012), melaporkan bahwa kebanyakan pasien dengan nyeri kepala ternyata tekanan darahnya normal, oleh sebab itu sebaiknya nyeri kepala tidak dimasukkan kedalam gejala yang sangat penting dari hipertensi.

Hubungan nyeri kepala dengan diabetes mellitus juga masih belum jelas.

Suatu penelitian berbasis populasi yang menyelidiki hubungan antara nyeri kepala dengan diabetes mellitus melaporkan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara nyeri kepala non-migren dengan diabetes mellitus (Aamodt et al. 2007).

5.3 Komparasi nilai NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP dan kadar

Glutamat serum sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 5 mg

Komparasi nilai NRS dan kadar MMP-9, hs-CRP, Glutamat serum sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 5 mg dapat dilihat pada Tabel 4.4. Dengan menggunakan uji Wilcoxon untuk skor NRS dan kadar hs-CRP dan Uji T berpasangan untuk kadar MMP-9 dan kadar Glutamat didapatkan nilai p sebagai berikut: NRS <0,001; MMP-9 <0,001; hs-CRP = 0,207; Glutamat <0,001.

5.3.1 Nilai NRS sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 5 mg

Sebelum diberi Flunarizin 5 mg, nilai NRS didapati (4,64 ± 0,64) dan setelah pemberian nilainya menjadi (3,52 ± 0,65). Terdapat penurunan nilai NRS yang signifikan dengan p< 0,001 sesudah pemberian Flunarizin 5 mg. Hal ini menunjukkan bahwa Flunarizin 5 mg dapat menurunkan intensitas nyeri pada penderita TTH kronis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 90

Mekanisme kerja Flunarizin menurunkan intensitas nyeri menekan hipereksitabilitas neuron merupakan efeknya sebagai antagonis calcium influx.

(Kataki, Kumar & Rajkumari 2010). Salah satu teori mengenai patofisiologi terjadinya nyeri kepala TTH adalah akibat hipersensitivitas pada second order neuron di kornu dorsalis medula spinalis dan nukleus trigeminalis di batang otak, flunarizin menurunkan calcium influx sehingga menurunkan potensial aksi pada membran post sinaptik dan menurunkan eksitabilitas sel DHN & TGN serta menaikkan ambang nyeri akibatnya nyeri berkurang (Chen, 2009). Suatu penelitian hewan percobaan pada tikus dilaporkan bahwa Flunarizin menimbulkan efek analgesik baik di tingkat spinal maupun supraspinal (Weizman et al. 1999).

Telah dilaporkan bahwa obat-obat yang mengurangi masuknya ion kalsium kedalam neuron dapat diindikasikan sebagai analgesik alternatif opioid (Prado

2001).

5.3.2 Kadar MMP-9 sebelum dan setelah pemberian flunafizin 5 mg

Sebelum pemberian Flunarizin 5 mg, kadar MMP-9 didapati (4,25 ± 0,93) ng/L dan setelah pemberian nilainya menjadi (3,92 ± 0,85) ng/L. Terdapat penurunan kadar MMP-9 yang signifikan dengan p< 0,001 sesudah pemberian

Flunarizin 5 mg. Interpretasi klinis dari fakta ini menunjukkan bahwa kadar

MMP-9 menurunkan secara signifikan intensitas nyeri sebagai akibat pemberian

Flunarizin 5 mg pada penderita TTH kronis.

Matriksmetalloproteinase-9 adalah sekumpulan enzim endopeptidase yang banyak terlibat dalam proses fisiologis dan patologis termasuk patogenesis berbagai malignansi. Selain itu, MMP-9 mengkatalisis aktivasi post translasional

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 91

dari sitokin seperti IL-1β, TNF-α, TGF-β dan chemokine (Paczek, Michalska &

Bartlomiejczyk, 2008).

Peran MMP dalam berbagai kondisi neurologis telah banyak diteliti diantaranya: myastenia gravis, multiple sclerosis, stroke, Alzheimer disease, epilepsi dan migren. Imamura et al. (2008), melaporkan adanya peningkatan kadar

MMP-9 plasma pasien migren dan menduga bahwa MMP-9 kemungkinan ikut berperan pada patofisiologi migren. Hingga kini sebanyak 24 jenis MMP pada manusia telah kelompokkan dimana substrat spesifiknya sebahagian tumpang tindih. Matriks metalloproteinase dianggap menjadi kunci penentu dari degradasi matriks ekstra seluler dan penting untuk berbagai proses seperti remodelling matriks, migrasi sel dan angiogenesis dimana ekspresi MMP diatur secara ketat

(Paczek, Michalska & Bartlomiejczyk 2008). Matriks metalloproteinase-9 merupakan faktor prediktor independent untuk serangan baru pada pasien dengan penyakit koroner yang stabil. Sintesa dan sekresi MMP-9 terinduksi selama terjadi respons inflamasi terutama oleh sitokin pro-inflamasi IL-1β atau jalur inflamasi lainnya (Garvin et al. 2008). Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa dijumpai korelasi signifikan antara MMP-9 dengan CRP tetapi relatif rendah (r = 0,2; p<0,001) sehingga diduga bahwa CRP dan MMP-9 setidaknya adalah bagian atau mungkin merupakan marker pada jalur fisiologis yang berbeda ataupun pada tahapan yang berbeda dalam suatu proses inflamasi (Garvin et al. 2008).

Suatu penelitian terdahulu yang mengukur kadar MMP-9 pada pasien dengan serangan migren akut menemukan peningkatan kadar MMP-9 dan menduga adanya peran inflamasi ataupun disrupsi sawar darah otak ketika terjadinya serangan migren ( Leira et al. 2007).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 92

Pada penelitian ini didapati nilai NRS sebelum dan setelah pemberian

Flunarizin 5 mg berbeda secara signfikan dengan nilai p< 0,001. Kadar MMP-9 serum sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 5 mg juga berbeda secara signifikan dengan nilai p <0,001. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian

Flunarizin 5 mg dapat menurunkan kadar MMP-9 yang diikuti dengan penurunan intensitas nyeri pada pasien TTH kronik. Mekanisme pemberian Flunarizin dapat menurunkan kadar MMP-9 belum diketahui dengan pasti. Telah diketahui kalsium dapat meningkatkan ekspresi MMP-9 melalui pro-inflammatory factors-derived signaling pathways (Hsieh, & Yang, 2014). Flunarizin sebagai antagonis kalsium diduga menginhibisi jalur ini.

5.3.3 Kadar hs-CRP sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 5 mg

Sebelum diberi Flunarizin 5 mg kadar hs-CRP didapati (2,08 ± 2,55) mg/L dan setelah pemberian nilainya menjadi (2,08 ± 1,55) mg/L. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dengan p = 0,207 sesudah pemberian Flunarizin 5 mg.

Makna klinis dari nilai ini menunjukkan bahwa kadar hs-CRP tidak menurunkan secara signifikan intensitas nyeri sebagai akibat pemberian Flunarizin 5 mg pada

TTH kronis.

High-sensitivity C-reactive protein merupakan suatu penanda adanya suatu inflamasi derajat rendah. C-reactive protein berfungsi sebagai mekanisme pertahanan non-spesifik dalam merespons trauma jaringan ataupun infeksi.

Sintesa CRP terutama didalam hati. Aktifitas CRP distimulasi oleh sitokin khususnya IL-6, IL-1β dan TNF-α. (El-Shorbagy & Ghoname, 2010). Telah diketahui bahwa faktor inflamasi merupakan faktor kunci dalam patogenesis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 93

berbagai penyakit (Gurger et al. 2011). Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai kadar hs-CRP pada pasien migren melaporkan hasil yang kontroversial.

Ada penelitian yang menemukan kadar hs-CRP lebih tinggi pada pasien migren dari pada kelompok kontrol. Ada pula yang tidak menemukan perbedaan signifikan kadar hs-CRP dibanding dengan kontrol. Avci et al. (2015) menemukan peningkatan kadar hs-CRP serum secara signifikan pada pasien-pasien migren dibanding kelompok kontrol. Tietjen et al.(2009) menjumpai kadar hs-CRP lebih tinggi pada pasien-pasien migren dibandingkan dengan kelompok kontrol dan menyatakan bahwa kadar hs-CRP yang lebih tinggi pada pasien migren menunjukkan kemungkinan adanya peran hs-CRP dalam inflamasi pada migren.

Lippi et al. (2014), melakukan studi meta-analisis terhadap 17 penelitian tentang kadar hs-CRP pada migren dan melaporkan bahwa kadar hs-CRP lebih tinggi secara signifikan pada pada pasien migren dibandingkan dengan kontrol. Salehi et al. (2014), menjumpai kadar hs-CRP lebih tinggi pada migren dibanding kelompok kontrol. Gurger et al. (2015) dalam suatu penelitian menemukan kadar hs-CRP dan galactin-3 lebih tinggi pada penderita migren dibanding dengan kelompok kontrol individu sehat tetapi tidak menemukan hubungan yang signifikan antara kadar hs-CRP serum dengan frekuensi serangan. Tanik et al.

(2011) mendapati kadar retinol-binding protein 4 (RBP4) lebih rendah secara signifikan pada pasien migren dibanding kontrol , sedangkan kadar hs-CRP serum lebih tinggi secara signifikan. Guldiken et al. (2011) dalam suatu penelitian terhadap 50 pasien-pasien migren tidak menemukan peningkatan yang signifikan kadar hs-CRP serum dibanding kelompok kontrol dan tidak menemukan hubungan signifikan antara kadar hs-CRP serum dengan frekwensi serangan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 94

Pada penelitian ini terdapat ketidakcocokan hasil penelitian antara nilai

NRS dan kadar hs-CRP serum sebelum dan sesudah pemberian Flunarizin 5 mg.

Dengan p<0,001 berarti Flunarizin 5 mg efektif menurunkan intensitas nyeri. Pada sisi lain, p=0,207 sesudah pemberian Flunarizin 5 mg, menunjukkan bahwa kadar hs-CRP tidak menurun secara signifikan sebagai akibat pemberian Flunarizin 5 mg. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan intensitas nyeri karena pemberian

Flunarizin 5 mg terjadi bukan melalui mekanisme penurunan kadar hs-CRP.

5.3.4 Kadar glutamat sebelum dan setelah pemberian flunarizin 5 mg

Sebelum diberikan Flunarizin 5 mg, kadar glutamat didapati (12,04 ± 3,02)

µg/L dan setelah pemberian nilainya menjadi (10,86 ± 2,89) µg/L. Dijumpai perbedaan yang signifikan dengan p< 0,001 setelah pemberian Flunarizin 5 mg.

Makna klinis dari nilai ini menunjukkan bahwa kadar glutamat menurun secara signifikan intensitas nyeri sebagai akibat pemberian Flunarizin 5 mg pada TTH kronis.

Glutamat seperti halnya serotonin dan dopamin merupakan suatu neurotransmiter utama didalam sistem saraf pusat yang memperantarai neurotransmisi sinaps eksitasi cepat melalui reseptor ionotropik dan metabotropik

(Lau & Tymianski, 2010). Reseptor glutamatergik adalah mediator molekuler melalui mana glutamat bekerja dan ditemukan didalam sistem trigeminovaskuler dan struktur-strukturnya. Glutamat disimpan didalam vesikel sinaptik dimana konsentrasinya diperkirakan 100 milimolar dalam bentuk inaktif sampai nantinya dilepaskan kedalam sinaps.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 95

Glutamat diyakini diperlukan dalam cortical spreading depression dan untuk mengaktivasi sistem trigeminovaskuler serta sensitisasi sentral. Glutamat juga merupakan suatu substrat untuk berbagai enzim dalam sinaps (Charles &

Baca, 2013)

Ada dua jalur sintesa glutamat yang pertama dimana sebahagian besar disintesa dari deaminasi glutamin melalui enzim glutaminase dan yang kedua sebahagian kecil yaitu sepertiganya berasal dari glukosa melalui TCA cycle intermediates (α-ketoglutarate) dan deaminasi GABA. Selain itu enzim glutamate synthase berfungsi mengontrol kadar glutamat intraseluler yaitu melalui konversi glutamat menjadi glutamin.

Selama tiga puluh tahun terakhir ini penelitian biokimiawi yang mengukur kadar glutamat dalam plasma, platelet, CSF dan urin pasien migren telah banyak melaporkan bahwa kadar glutamat lebih tinggi secara signifikan terutama pada pasien-pasien migren dengan . Sumber utama Glutamat adalah berasal dari neuron, akan tetapi diperifer Glutamat plasma kebanyakan berasal dari platelet yang bersirkulasi bebas didalam darah (Zhou & Danbolt, 2014).

Pada penelitian ini dari analisa statistik didapatkan nilai NRS sebelum dan sesudah pemberian Flunarizin 5 mg berbeda secara signifikan dengan nilai p <

0,001. Kadar Glutamat serum sebelum dan sesudah pemberian Flunarizin 5 mg juga berbeda secara signifikan dengan nilai p< 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian Flunarizin 5 mg dapat menurunkan kadar Glutamat yang diikuti dengan penurunan intensitas nyeri pada pasien TTH kronik.

Bagaimana mekanisme pemberian Flunarizin dapat menurunkan kadar

Glutamat belum diketahui dengan pasti. Flunarizin dilaporkan dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 96

mengakibatkan inhibisi dari transmisi disepanjang sistem trigeminovaskular dimana neurotransmiter yang berperan adalah glutamat dan dalam patofisiologi timbulnya nyeri TTH kronis melibatkan sistem trigeminovaskular ini sehingga dengan inhibisi sistem trigeminovaskuler intensitas nyeri akan berkurang

(Clauhan, Devi & Nidhi 2014).

5.4 Komparasi nilai NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP, kadar glutamat

serum sebelum dan sesudah pemberian flunarizin 10 mg

Komparasi nilai NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP dan kadar Glutamat serum dapat dilihat pada tabel 4.5. Dengan menggunakan uji T berpasangan untuk skor NRS dan kadar hs-CRP, uji T berpasangan untuk kadar MMP-9 dan kadar

Glutamat maka didapatkan nilai signifikansi (p) sebagai berikut: NRS = <0,001;

MMP-9 < 0,001; hs-CRP = 0,299; <0,001.

5.4.1 Nilai NRS sebelum dan setelah pemberian flunarizin 10 mg

Sebelum diberi Flunarizin 10 mg, nilai NRS didapati (4,92 ± 0,57) dan setelah pemberian nilainya menjadi (2,44 ± 0,65) . Dijumpai perbedaan yang signifikan dengan p<0,001 sesudah pemberian Flunarizin 10 mg. Makna klinis dari nilai tersebut menunjukkan bahwa pemberian Flunarizin 10 mg dapat menurunkan intensitas nyeri secara signifikan pada penderita TTH kronis.

Pemberian Flunarizin 5 mg dan Flunarizin 10 mg sama-sama menurunkan intensitas nyeri secara signifikan pada TTH kronik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 97

5.4.2 Kadar MMP-9 sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 10 mg

Sebelum diberi Flunarizin 10 mg , kadar MMP-9 didapati (4,25 ± 1,39) ng/L dan setelah pemberian obat nilainya menjadi (3,90 ± 1,38) ng/L. Dijumpai penurunan kadar MMP-9 secara signifikan dengan p < 0,001 sesudah pemberian

Flunarizin 10 mg. Makna klinis dari data ini adalah bahwa kadar MMP-9 menurunkan secara signifikan intensitas nyeri sebagai akibat pemberian flunarizin

10 mg.

Pada penelitian ini didapati nilai NRS sebelum dan setelah pemberian

Flunarizin 10 mg berbeda secara signfikan dengan nilai p< 0,001. Kadar MMP-9 serum sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 10 mg juga berbeda secara signifikan dengan nilai p < 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian

Flunarizin 10 mg dapat menurunkan kadar MMP-9 yang diikuti dengan penurunan intensitas nyeri pada pasien TTH kronik. Pemberian Flunarizin 5 mg dan Flunarizin 10 mg sama-sama menurunkan kadar MMP-9 serum secara signifikan pada TTH kronik.

5.4.3 Kadar hs-CRP sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 10 mg.

Sebelum diberi Flunarizin 10 mg kadar hs-CRP didapati (1,84 ± 1,70) mg/L dan setelah pemberian kadarnya menjadi (1,96 ± 1,62) mg/L. Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan dengan p = 0,299 sesudah pemberian

Flunarizin 10 mg. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa kadar hs-CRP tidak menurunkan secara signifikan intensitas nyeri sebagai akibat pemberian

Flunarizin pada TTH kronis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 98

Pada penelitian ini didapati nilai NRS sebelum dan setelah pemberian

Flunarizin 10 mg berbeda secara signfikan dengan nilai p < 0,001. Kadar hs-CRP-

9 serum sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 10 mg tidak berbeda secara signifikan dengan nilai p = 0,299. Pada penelitian ini terdapat ketidakcocokan hasil penelitian antara nilai NRS dan kadar hs-CRP serum sebelum dan sesudah pemberian Flunarizin 10 mg. Dengan p < 0,001 berarti Flunarizin 10 mg efektif menurunkan intensitas nyeri. Disisi lain, p=0,299 sesudah pemberian Flunarizin

10 mg, menunjukkan bahwa kadar hs-CRP tidak menurun secara signifikan sebagai akibat pemberian Flunarizin 10 mg. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan intensitas nyeri karena pemberian Flunarizin 10 mg terjadi bukan melalui mekanisme penurunan kadar hs-CRP.

5.4.4 Kadar Glutamat sebelum dan setelah pemberian Flunarizin 10 mg.

Sebelum diberi Flunarizin 10 mg kadar Glutamat didapati (11,60 ± 2,38)

µg/L dan setelah pemberian menjadi (10,86 ± 2,49) µ/L. Dijumpai perbedaan yang signifikan dengan nilai p<0,001 sesudah pemberian Flunarizin 10 mg.

Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa kadar glutamat menurunkan iintensitas nyeri secara signifikan pada TTH kronis.

Pada penelitian ini dari analisis statistik didapatkan nilai NRS sebelum dan sesudah pemberian Flunarizin 10 mg berbeda secara signifikan dengan nilai p<

0,001. Kadar Glutamat serum sebelum dan sesudah pemberian Flunarizin 10 mg juga berbeda secara signifikan dengan nilai p< 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian Flunarizin 10 mg dapat menurunkan kadar Glutamat yang diikuti dengan penurunan intensitas nyeri pada pasien TTH kronik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 99

5.5. Komparasi nilai NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP, kadar Glutamat

serum sebelum dan sesudah pemberian Amitriptilin 12,5 mg

Komparasi nilai NRS, kadar MMP-9, kadar hs-CRP dan kadar Glutamat serum sebelum dan sesudah pemberian Amitriptilin 12,5 mg dapat dilihat pada

Tabel 4.6. Dengan menggunakan uji Wilcoxon untuk skor NRS, uji T- berpasangan untuk kadar MMP-9, kadar hs-CRP dan kadar Glutamat maka didapatkan nilai signifikansi (p) sebagai berikut: NRS <0,001; MMP-9 <0,001; hs-CRP = 0,009; Glutamat <0,001.

5.5.1 Nilai NRS sebelum dan setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg

Sebelum diberi Amitriptilin 12,5 mg , nilai NRS didapati(5,09 ± 0,51) dan setelah pemberian nilainya menjadi (1,74 ± 0,62). Dijumpai perbedaan yang signifikan dengan p<0,001 sesudah pemberian Amitriptilin 12,5 mg. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa Amitriptilin dapat menurunkan intensitas nyeri pada TTH kronis.

5.5.2 Kadar MMP-9 sebelum dan setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg.

Sebelum pemberian Amitriptilin 12,5 mg kadar MMP-9 didapati (4,55 ±

0,74) ng/L dan setelah pemberian kadarnya menjadi (4,29 ± 0,71) ng/L. Dijumpai perbedaan yang signifikan dengan p < 0,001 setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa kadar MMP-9 menurunkan intensitas nyeri secara signifikan sebagai akibat pemberian amitriptilin 12,5 mg pada TTH kronis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 100

Amitriptilin adalah suatu tricyclic antidepressant (TCA) yang memiliki suatu efek analgesik, oleh sebab itu sering diresepkan untuk berbagai nyeri kronis.

Sifat analgesiknya adalah independen dari efek antidepresannya, akan tetapi mekanisme efek analgesiknya belum diketahui dengan pasti. Amitriptilin bekerja pada banyak reseptor neurotransmiter serotonin, norepineprin, histamin, dan asetilkolin seperti HT2, 5-HT3, 5HT-6, α1-adrenergik, H1, H2, dan mAch.

Mekanisme utamanya adalah sebagai serotonin/nor epinephrine re-uptake inhibitor. Efeknya kuat pada transporter serotonin dan moderat pada transporter norepinefrin. Selain itu, Amitriptilin juga menghambat natrium, kalium dan kalsium (Sawynok, Esser & Reid 2001). Amitriptilin juga memperkuat efek opioid endogen. Telah diketahui bahwa Amitriptilin dapat bekerja sebagai antagonis reseptor NMDA dan diduga bahwa efek analgesik Amitriptilin pada nyeri kronis akibat dari efek ini yaitu mengurangi sensitisasi sentral

(Vandenheede& Schoenen 2002). Berbagai mekanisme kerja dari Amitriptilin tersebut diatas memiliki kontribusi dalam menurunkan intensitas nyeri dari berbagai kondisi termasuk TTH kronik. Amitriptilin telah dilaporkan efektif untuk terapi profilaksis baik pada pasien-pasien migren maupun TTH (Jackson, et al.

2010). Dharmshaktu, Tayal, & Kalra, (2012), melaporkan bahwa Amitriptilin terbukti efektif baik pada nyeri neuropatik maupun non-neuropatik. Amitriptilin juga merupakan satu-satunya antidepresan yang terbukti efektif secara konsisten untuk tetapi profilaksis pada migren dan TTH. Namun oleh karena profil efek sampingnya yang kurang menguntungkan maka penggunaannya sebagai terapi profilaksis terbatas (Smitherman, et al. 2011; Colombo, Annovazzi & Comi,

2004).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 101

5.5.3 Kadar hs-CRP sebelum dan setelah pemberian amitriptilin 12,5 mg.

Sebelum pemberian Amitriptilin 12,5 mg kadar hs-CRP didapati(2,22 ±

1,98) dan setelah pemberian kadarnya menjadi (2,04 ± 1,33) ng/L. Dijumpai perbedaan yang signifikan dengan p = 0,009 setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa kadar hs-CRP menurunkan secara signifikan intensitas nyeri sebagai akibat pemberian Amitriptilin 12,5 mg pada TTH kronis.

Pada penelitian ini didapati nilai NRS sebelum dan setelah pemberian

Amitriptilin 12,5 mg berbeda secara signfikan dengan nilai p < 0,001. Kadar hs-

CRP serum sebelum dan sesudah pemberian Amitriptilin 12,5 mg juga berbeda secara signifikan dengan nilai p < 0,009. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian

Amitriptilin 12,5 mg dapat menurunkan kadar hs-CRP yang diikuti dengan penurunan intensitas nyeri pada pasien TTH kronik.

5.5.4 Kadar Glutamat sebelum dan setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg.

Sebelum pemberian Amitriptilin 12,5 mg kadar Glutamat didapati (11,89 ±

1,76) µ/Ldan setelah pemberian menjadi (11,69 ± 1,81) ng/L. Dijumpai perbedaan yang signifikan dengan p<0,001 setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa kadar Glutamat menurunkan secara signifikan intensitas nyeri pada penderita TTH kronis.

Pada penelitian ini dari analisis statistik didapatkan nilai NRS sebelum dan sesudah pemberian Amitriptilin 12,5 mg berbeda secara signifikan dengan nilai p< 0,001. Kadar Glutamat serum sebelum dan sesudah pemberian Amitriptilin

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 102

12,5 mg juga berbeda secara signifikan dengan nilai p < 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian Amitriptilin 12,5 mg dapat menurunkan kadar

Glutamat yang diikuti dengan penurunan intensitas nyeri pada pasien TTH kronik.

5.6 Korelasi Nilai NRS dengan Kadar MMP-9, hs-CRP , Glutamat Serum

setelah Pemberian Flunarizin 5 mg

Korelasi antara nilai NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum setelah pemberian Flunarizin 5 mg dapat dilihat pada Tabel 4.8. Untuk melihat korelasi antara nilai NRS dengan kadar MMP-9 serum, antara nilai NRS dengan kadar hs-CRP serum dan antara nilai NRS dengan kadar Glutamat serum digunakan uji korelasi Spearman karena datanya tidak berdistribusi normal setelah dilakukan uji normalitas data. Dari uji korelasi tersebut didapatkan koefisien korelasi (r) / nilai signifikansi (p) sebagai berikut: MMP-9 = 0,245 / 0,119; hs-

CRP = 0,091 / 0,333; Glutamat = -0,062 / 0,385.

5.6.1 Korelasi nilai NRS dengan kadar MMP-9 serum setelah pemberian

Flunarizin 5 mg

Setelah diberi Flunarizin 5 mg, maka diperoleh koefisien korelasi (r) / nilai signifikansi (p) untuk MMP-9 sebagai berikut: 0,245 / 0,119. Terdapat korelasi positif lemah dan korelasinya tidak signifikan. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa: (1) terdapat korelasi positif lemah antara nilai NRS dengan kadar MMP-9 ; (2) tidak ada korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar

MMP-9. Pembahasan dari hasil penelitian dijelaskan sebagai berikut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 103

Secara teoritis ada korelasi positip antara nilai NRS dengan kadar MMP-9.

Semakin tinggi intensitas nyeri maka nilai NRS dan kadar MMP-9 juga akan semakin tinggi. Korelasi positif dalam penelitian ini tidak disertai dengan korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar MMP-9. Hal ini terjadi kemungkinan karena penurunan intensitas nyeri pada pemberian Flunarizin 5 mg bukan melalui jalur mekanisme penurunan MMP-9.

5.6.2 Korelasi nilai NRS dengan kadar hs-CRP serum setelah pemberian

Flunarizin 5 mg

Setelah diberi Flunarizin 5 mg , maka diperoleh koefisien korelasi (r) / nilai signifikansi (p) untuk hs-CRP adalah = 0,091 / 0,333. Terdapat korelasi positif lemah dan korelasi tidak signifikan. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa: (1) terdapat korelasi positif sangat lemah antara nilai NRS dengan kadar hs-CRP; (2) tidak ada korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar hs-CRP .

Secara teoritis ada korelasi positif antara nilai NRS dengan kadar hs-CRP.

Semakin tinggi intensitas nyeri maka semakin tinggi kadar hs-CRP. Korelasi positif dalam penelitian ini tidak disertai dengan korelasi signifikan antara nilai

NRS dengan kadar hs-CRP. Telah diketahui bahwa inflamasi merupakan faktor kunci pada berbagai penyakit. Dari penelusuran kepustakaan banyak studi yang menghubungkan inflamasi dengan patogenesis nyeri kepala migren. Namun peneliti belum menemukan studi yang menghubungkan kadar hs-CRP dengan intensitas nyeri kepala pada TTH. Tanik et al. (2015) meneliti hubungan antara keparahan nyeri, frekwensi dan durasinya dengan kadar hs-CRP serum tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 104

menunjukkan korelasi yang signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Gurger et al. (2015) yang bertujuan untuk menentukan peran diagnostik kadar hs-CRP dan galactin-3 pada pasien-pasien dengan serangan migren di unit gawat darurat yang melibatkan 70 pasien migren dan 70 kontrol melaporkan nilai rerata kadar hs-CRP pada pasien migren lebih tinggi secara signifikan pada pasien migren dari pada kontrol. Mereka tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara frekwensi serangan dengan kadar hs-CRP, tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kasus migren dengan aura dan tanpa aura, serta tidak menjumpai korelasi durasi penyakit dengan hs-CRP (r=0,189, p=0,12). Dalam suatu studi yang dilakukan oleh Tjetjen et al. (2009) terhadap 125 penderita migren wanita menemukan bahwa kadar hs-CRP pada pasien migren lebih tinggi dibanding kontrol dan pasien migren dengan aura lebih tinggi daripada tanpa aura namun tidak signifikan. Vanmolkot & Hoon (2007) melaporkan kadar hs-CRP lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol dan menyatakan bahwa nilai hs-CRP yang lebih tinggi tersebut menunjukkan adanya peran inflamasi pada migren. Avci et al. (2015) menemukan bahwa kadar hs-CRP pada pasien migren lebih tinggi dibanding kontrol. Meta-analisis dari 17 studi oleh Lippi et al. (2014) menemukan bahwa kadar hs-CRP dapat berubah menurut populasi yang diteliti dan menyatakan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh kriteria inklusi dan eksklusi yang digunakan. Guldiken et al. (2011) yang meneliti 50 pasien migren tidak menemukan penigkatan hs-CRP yang signifikan dibanding kelompok kontrol dan tidak menemukan hubungan kadar hs-CRP dengan frekwensi serangan.

Dari uraian diatas diketahui bahwa hasil penelitian yang menghubungkan hs-CRP serum sebagai petanda biologis inflamasi pada patogenesis nyeri kepala

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 105

migren masih kontroversial, ada peneliti menemukan peningkatan kadar hs-CRP serum dan ada pula yang tidak menemukan peningkatan yang signifikan. Pada penelitian ini subjek penelitian yang digunakan adalah pasien dengan CTTH dimana peran faktor inflamasi pada patogenesisnya juga masih kontroversial.

Jensen, Bendsten & Olesen (1998) melaporkan bahwa dijumpainya nyeri tekan miofasial pada pasien-pasein CTTH diduga bahwa tender points pada otot-otot perikranial mungkin merupakan lokasi dari hiperalgesia dan impuls nyeri dari lokasi tersebut dapat disebarkan ke kepala dan dirasakan oleh pasien sebagai suatu

TTH. Hipotesis ini bertentangan dengan studi yang dilakukan oleh Ashina et al.

(2003) yang meneliti konsentrasi PGE, ATP dan glutamat serta berbagai metabolit lainnya pada otot yang nyeri pada saat istirahat dan selama olah raga statis pada pasien CTTH dan kontrol. Mereka melaporkan bahwa kadar mediator inflamatori dan metabolit pada otot trapezius yang nyeri tekan pada CTTH adalah normal baik pada saat istirahat maupun saat olah raga statis. Oleh sebab itu mereka menduga bahwa tender points pada pasien-pasien CTTH bukanlah lokasi inflamasi yang sedang berlangsung.

5.6.3 Korelasi nilai NRS dengan kadar Glutamat serum setelah pemberian

Flunarizin 5 mg

Setelah diberi Flunarizin 10 mg diperoleh koefisien korelasi (r) / nilai signifikansi (p) untuk Glutamat adalah = -0,062 / 0,385. Terdapat korelasi negatif sangat lemah dan korelasi tidak signifikan. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa: (1) terdapat korelasi negatif sangat lemah antara nilai NRS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 106

dengan kadar Glutamat; (2) tidak ada korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar Glutamat.

Secara teoritis ada korelasi positif antara nilai NRS dengan kadar

Glutamat. Semakin tinggi intensitas nyeri maka semakin tinggi kadar Glutamat.

Dengan perkataan lain, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada.

Disamping adanya korelasi negatif, juga tidak dijumpai korelasi yang signifikan antara nilai NRS dengan kadar Glutamat. Hal ini kemungkinan terjadi karena penurunan intensitas nyeri pada pemberian Flunarizin 5 mg bukan melalui jalur mekanisme penurunan Glutamat.

5.7 Korelasi Nilai NRS dengan Kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

Serum setelah Pemberian Flunarizin 10 mg

Korelasi antara nilai NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan glutamat setelah pemberian Flunarizin 10 mg dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Untuk melihat korelasi antara nilai NRS dengan kadar MMP-9 serum,antara nilai

NRS dengan kadar hs-CRP danantara nilai NRS dengan kadar Glutamat serum digunakan uji korelasi Spearman karena datanya tidak berdistribusi normal setelah dilakukan uji normalitas data. Dari uji korelasi tersebut didapatkan koefisien korelasi (r) / nilai signifikansi (p) sebagai berikut: MMP-9 = 0,008 / 0,485 ; hs-

CRP = - 0,506 / 0,005; Glutamat = -0,007 / 0,488.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 107

5.7.1 Korelasi nilai NRS dengan kadar MMP-9 setelah pemberian Flunarizin

10 mg

Setelah diberi Flunarizin 10 mg, maka diperoleh koefisien korelasi (r) / nilai signifikansi (p) untuk MMP-9 adalah = 0,008 / 0,485. Terdapat korelasi positif sangat lemah dan korelasi tidak signifikan. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa: (1) terdapat korelasi sangat lemah antara nilai NRS dengan kadar MMP-9; (2) tidak ada korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar

MMP-9 serum.

Secara teoritis ada korelasi positif antara nilai NRS dengan kadar MMP-9.

Semakin tinggi intensitas nyeri maka semakin tinggi kadar MMP-9. Dengan perkataan lain, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada. Tidak dijumpai korelasi yang signifikan antara nilai NRS dengan kadar MMP-9. Hal ini terjadi kemungkinan karena penurunan intensitas nyeri pada pemberian Flunarizin

10 mg bukan melalui jalur mekanisme penurunan MMP-9.

5.7.2 Korelasi nilai NRS dengan kadar hs-CRP setelah pemberian Flunarizin

10 mg

Setelah diberi Flunarizin 10 mg, maka diperoleh koefisien korelasi (r) / nilai signifikansi (p) untuk hs-CRP adalah = -0,506 / 0,005. Terdapat korelasi negatif sedang dan korelasi signifikan. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa: (1) terdapat korelasi negatif sedang antara nilai NRS dengan kadar hs-

CRP; (2) ada korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar hs-CRP serum.

Secara teoritis ada korelasi positif antara nilai NRS dengan kadar hs-CRP.

Semakin tinggi intensitas nyeri maka semakin tinggi kadar hs-CRP. Pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 108

penelitian ini dijumpai korelasi negatif yang maknanya semakin tinggi kadar hs-

CRP maka intensitas nyeri semakin rendah. Dengan perkataan lain, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori ada. Hal ini terjadi kemungkinan karena penurunan intensitas nyeri pada pemberian Flunarizin 10 mg bukan melalui jalur mekanisme penurunan hs-CRP. Jadi tidak terdapat hubungan kausal antara kadar hs-CRP serum dengan intensitas nyeri pada pasien TTH kronik.

5.7.3 Korelasi nilai NRS dengan kadar Glutamat setelah pemberian

Flunarizin 10 mg

Setelah diberi Flunarizin 10 mg, maka diperoleh koefisien korelasi (R) / nilai signifikansi (p) untuk glutamat adalah = -0,007 / 0,488. Terdapat korelasi negatif sangat lemah dan korelasi tidak signifikan. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa: (1) terdapat korelasi negatif sangat lemah antara nilai NRS dengan kadar Glutamat; (2) tidak ada korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar Glutamat serum.

Secara teoritis ada korelasi positif antara nilai NRS dengan kadar

Glutamat. Semakin tinggi intensitas nyeri maka semakin tinggi kadar Glutamat.

Korelasi positif dalam penelitian ini tidak disertai dengan korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar Glutamat. Hal ini terjadi kemungkinan karena penurunan intensitas nyeri pada pemberian Flunarizin 10 mg bukan melalui jalur mekanisme penurunan Glutamat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 109

5.8 Korelasi Nilai NRS dengan Kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

Serum setelah Pemberian Amitriptilin 12,5 mg

Korelasi antara nilai NRS dengan kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg dapat dilihat pada Tabel 4.10. Untuk melihat korelasi antara nilai NRS dengan kadar MMP-9 serum, antara nilai NRS dengan kadar hs-CRP serum dan antara nilai NRS dengan kadar Glutamat serum digunakan uji korelasi Spearman karena datanya tidak berdistribusi normal setelah dilakukan uji normalitas data. Dari uji korelasi tersebut didapatkan koefisien korelasi (r) / nilai signifikansi (p) sebagai berikut: MMP-9 = - 0,026 / 0,453 ; hs-

CRP = - 0,236 /0,139 ; Glutamat = 0,508 / 0,007.

5.8.1 Korelasi nilai NRS dengan kadar MMP-9 setelah pemberian

Amitriptilin 12,5 mg

Setelah diberi Amitriptilin 12,5 mg, maka diperoleh koefisien korelasi (r) / nilai signifikansi (p) untuk MMP-9 adalah = - 0,026 / 0,453. Terdapat korelasi negatif sangat lemah dan korelasi tidak signifikan. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa: (1) terdapat korelasi negatif sangat lemah antara nilai NRS dengan kadar MMP-9; (2) tidak ada korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar MMP-9 serum.

Secara teoritis ada korelasi positif antara nilai NRS dengan kadar MMP-9.

Semakin tinggi intensitas nyeri maka semakin tinggi kadar MMP-9. Dengan perkataan lain, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada. Disamping adanya korelasi negatif, juga tidak dijumpai korelasi yang signifikan antara nilai

NRS dengan kadar MMP-9. Hal ini terjadi kemungkinan karena penurunan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 110

intensitas nyeri pada pemberian Amitriptilin 12,5 mg bukan melalui jalur mekanisme penurunan MMP-9.

5.8.2 Korelasi nilai NRS dengan kadar hs-CRP setelah pemberian

Amitriptilin 12,5 mg

Setelah diberi Flunarizin 10 mg, maka diperoleh koefisien korelasi (r) / nilai signifikansi (p) untuk hs-CRP adalah = -0,236 / 0,139. Terdapat korelasi negatif lemah dan korelasi tidak signifikan. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa: (1) terdapat korelasi negatif lemah antara nilai NRS dengan kadar hs-CRP; (2) tidak ada korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar hs-

CRP serum.

Secara teoritis ada korelasi positif antara nilai NRS dengan kadar hs-CRP.

Semakin tinggi intensitas nyeri maka semakin tinggi kadar hs-CRP. Dengan perkataan lain, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada. Disamping adanya korelasi negatif, juga tidak dijumpai korelasi yang signifikan antara nilai

NRS dengan kadar hs-CRP. Hal ini terjadi kemungkinan karena penurunan intensitas nyeri pada pemberian Amitriptilin 12,5 mg bukan melalui jalur mekanisme penurunan hs-CRP. Ashina, Bendtsen & Jensen (2004) dalam suatu studi yang menyelidiki apakah efek analgesik Amitriptilin terutama melalui inhibisi langsung terhadap re-uptake serotonin. Mereka melaporkan bahwa efek analgesik amitriptilin tidak berhubungan langsung dengan inhibisi re-uptake serotonin tetapi melalui mekanisme kerja lainnya. Kemungkinan mekanisme kerja

Amitriptilin lainnya meliputi: efek potensiasi terhadap opioid, blokadereseptor-

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 111

reseptor muskarinik kolinergik, reseptor H1-histamin, α-adrenergik, beberapa reseptor 5-HT, Na+ channel, Ca2+channel dan K+ channel.

Pada reseptor NMDA Amitriptilin memblokir induksi long-term potentiation yaitu suatu bentuk synaps plasticity yang diyakini paralel dengan sensitisasi sentral dalam jaras nosiseptif dan memainkan peranan penting pada nyeri kronik. Mekanisme kerja ini penting pada CTTH karena sensitisasi sentral pada kornu dorsalis medula spinalis dan nukleus trigeminalis sudah terbukti pada pasien pasien CTTH (Ashina, Bendtsen & Jensen 2004). Mekanisme kerja amitriptilin pada sistem saraf tepi juga telah diketahui. Amitriptilin adalah suatu

5-HT2 antagonist yang kuat. Kemungkinan efek analgesik pada nyeri kronik oleh amitriptilin melalui blokade reseptor 5-HT2 perifer (Blier & Abbott 2001).

Penelitian terdahulu melaporkan bahwa Amitriptilin menimbulkan efek analgesik pada CTTH dengan menurunkan stimuli nyeri di jaringan miofasial perikranial dan diduga bahwa efek ini kemungkinan oleh penurunan sensitisasi sentral bersama sama dengan suatu anti nosiseftif perifer (Bendtsen & Jensen 2000).

5.8.3 Korelasi nilai NRS dengan kadar Glutamat setelah pemberian

Amitriptilin 12,5 mg

Setelah diberi Amitriptilin 12,5 mg, maka diperoleh koefisien korelasi (r) / nilai signifikansi (p) untuk Glutamat adalah = 0,508 / 0,007. Terdapat korelasi positif sedang dan korelasi signifikan. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa: (1) terdapat korelasi positif sedang antara nilai NRS dengan kadar glutamat; (2) ada korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar Glutamat serum.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 112

Secara teoritis ada korelasi positif antara nilai NRS dengan kadar

Glutamat. Semakin tinggi intensitas nyeri maka semakin tinggi kadar Glutamat.

Pada penelitian ini dijumpai korelasi positif disertai dengan korelasi signifikan antara nilai NRS dengan kadar glutamat setelah pemberian Amitriptilin 12,5 mg.

Hal ini sejalan dengan teori yang ada namun kekuatan korelasinya tingkat sedang.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahw pemberian Amitriptilin 12,5 mg dapat menurunkan kadar Glutamat serum yang diikuti dengan penurunan intensitas nyeri pada TTH kronik. Bagaimana mekanisme pemberian Amitriptilin dapat menurunkan kadar Glutamat serum belun diketahui dengan pasti. Amitriptilin telah diketahui dapat bekerja sebagai antagonis reseptor NMDA dan diduga bahwa efek analgesik Amitriptilin pada nyeri kronik akibat dari efek ini yaitu mengurangi sensitisasi sentral (Vandenheede & Schoenen 2002). Kemungkinan penurunan kadar Glutamat serum setelah pemberian Amitriptilin pada penelitian ini akibat blokade reseptor NMDA. Pada TTH kronik terjadi peningkatan

Glutamat melalui reseptor NMDA yang menimbulkan sensitisasi sentral dan nyeri kronik. Pemberian Amitriptilin akan mengakibatkan aktivitas reseptor NMDA menurun dan intensitas nyeri akan berkurang yang diduga diikuti penurunan kadar

Glutamat di sistem saraf pusat dan serum.

5.9 Perbedaan selisih skor NRS, kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat

serum sesudah pemberian Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan

Amitriptilin 12,5 mg

Perbedaan selisih skor NRS, kadar MMP-9, hs-CRP dan Glutamat serum sesudah pemberian Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 113

dapat dilihat pada Tabel 4.7.1. Dengan menggunakan uji Kruskal Wallis, maka didapatkan nilai signifikansi (p) sebagai berikut: ∆ NRS <0,001; ∆ MMP-9 =

0,673; ∆ hs-CRP = 0,845; ∆ Glutamat = 0,001. Makna klinis dari data ini menunjukkan bahwa: (1) didapati perbedaan bermakna (p < 0,001) rerata selisih skor NRS setelah pemberian obat antara kelompok Flunarizin 5 mg , Flunarizin

10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg; (2) tidak dijumpai perbedaan yang signifikan rerata selisih kadar MMP-9 (p = 0,673) antar ketiga kelompok Flunarizin 5 mg,

Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg; (3) tidak dijumpai perbedaan yang signifikan rerata selisih kadar kadar hs-CRP (p = 0,845) antar ketiga kelompok

Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg; (4) didapati perbedaan yang signifikan (p = 0,001) rerata selisih kadar Glutamat pada kelompok Flunarizin 5 mg , Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg.

Untuk mengetahui antar kelompok obat mana saja yang dijumpai perbedaan kemudian dilanjutkan dengan analisa post hoc menggunakan uji Mann-

Whitney, maka diperoleh nilai signifikansi (p) sebagai berikut:

(1) Dijumpai perbedaan yang signifikan (p < 0,001) selisih nilai NRS antara kelompok Flunarizin 5 mg dengan kelompok Flunarizin 10 mg. Makna klinis dari data ini adalah bahwa pemberian Flunarizin 5 mg berbeda secara signifikan dengan pemberian Flunarizin 10 mg dalam menurunkan intensitas nyeri pada

TTH kronis dan Flunarizin 10 mg (Mean Rank = 35,86) lebih efektif dari pada

Flunarizin 5 mg (Mean Rank = 15,64).

(2) Dijumpai perbedaan yang signifikan (p < 0,001) selisih NRS antara kelompok

Flunarizin 5 mg dengan kelompok Amitriptilin 12,5 mg. Makna klinis dari data ini adalah bahwa pemberian Flunarizin 5 mg berbeda secara signifikan dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 114

pemberian Amitriptilin 12,5 mg dalam menurunkan intensitas nyeri pada TTH kronis dan Amitriptilin 12,5 mg (Mean Rank = 36,15) lebih efektif dari pada

Flunarizin 5 mg (Mean Rank = 13,78)

(3) Dijumpai perbedaan signifikan (p < 0,001) selisih nilai NRS antara kelompok

Flunarizin 10 mg dengan Amitriptilin 12,5 mg. Makna klinis dari data ini adalah bahwa pemberian Flunarizin 10 mg berbeda secara signifikan dengan pemberian

Amitriptilin 12,5 mg dalam menurunkan intensitas nyeri pada TTH kronis dan

Amitriptilin 12,5 mg (Mean Rank = 31,87) lebih efektif dari pada Flunarizin 10 mg (Mean Rank = 17,72).

(4) Dijumpai perbedaan yang tidak signifikan (p = 0,266) selisih kadar Glutamat serum antara pasien TTH kronis yang diberi Flunarizin 5 mg dengan yang diberi

Flunarizin 10 mg. Makna klinis dari data ini adalah bahwa pemberian Flunarizin 5 mg berbeda secara tidak signifikan dengan pemberian Flunarizin 10 mg dalam menurunkan intensitas kadar glutamat serum pada TTH kronis dan Flunarizin 5 mg (Mean Rank = 27,64) lebih efektif dari pada Flunarizin 10 mg (Mean Rank =

23,36).

(5) Dijumpai perbedaan yang signifikan (p = 0,001) selisih kadar Glutamat serum antara pasien TTH kronis yang diberi Flunarizin 5 mg dengan yang diberi

Amitriptilin 12,5 mg mg. Makna klinis dari data ini adalah bahwa pemberian

Flunarizin 5 mg berbeda secara signifikan dengan pemberian Amitriptilin 12,5 mg dalam menurunkan kadar glutamat serum pada TTH kronis dan Flunarizin 5 mg

(Mean Rank = 30,80) lebih efektif dari pada Amitriptilin 12,5 mg (Mean Rank =

17,65)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 115

(6) Dijumpai perbedaan yang signifikan (p = 0,001) selisih kadar Glutamat serum antara pasien TTH kronis yang diberi Flunarizin 10 mg dengan yang diberi

Amitriptilin 12,5 mg. Makna klinis dari data ini adalah bahwa pemberian

Flunarizin 10 mg berbeda secara signifikan dengan pemberian Amitriptilin 12,5 mg dalam menurunkan kadar Glutamat serum pada TTH kronis dan Flunarizin 10 mg (Mean Rank = 29,26) lebih efektif dari pada Amitriptilin 12,5 mg (Mean Rank

= 19,33). Data hasil analisa post hoc dengan menggunakan uji Mann-Whitney dapat dilihat pada Tabel 4.7.2.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Didapati perbedaan yang signifikan penurunan kadar Glutamat serum

setelah perlakuan antara kelompok Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan

Amitriptilin 12,5 mg. Pada ketiga kelompok ini dijumpai perbedaan

penurunan intensitas nyeri yang signifikan, tidak dijumpai perbedaan yang

signifikan pada rerata penurunan kadar MMP-9 dan juga tidak dijumpai

perbedaan yang signifikan pada rerata penurunan hs-CRP serum.

2. Pada penderita TTH kronik yang menjadi subjek penelitian ini, nilai kadar

MMP-9 serum adalah (4,34±1,06), rerata kadar hs-CRP serum adalah

(2,04±2,08) dan nilai rerata kadar glutamat serum adalah (11,85±2,43).

3. Pada kelompok yang diberikan Flunarizin 5 mg, dijumpai penurunan yang

signifikan kadar rerata MMP-9 dan kadar Glutamat serum. Sedangkan

untuk kadar hs-CRP tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara

sebelum dan sesudah pemberian obat.

4. Pada kelompok yang diberikan flunarizin 10 mg, dijumpai penurunan

yang signifikan kadar MMP-9 dan kadar Glutamat serum antara sebelum

dan setelah pemberian obat. Sedangkan untuk kadar hs-CRP tidak

dijumpai perbedaan yang signifikan.

5. Pada kelompok yang diberikan Amitriptilin 12,5 mg, dijumpai penurunan

yang signifikan kadar MMP-9 serum, kadar Glutamat serum dan kadar hs-

CRP serum antara sebelum dan setelah pemberian obat.

116 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 117

6. Terdapat penurunan intensitas nyeri berdasarkan skor NRS yang signifikan

pada kelompok Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5

mg antara sebelum dan sesudah pemberian obat.

7. Sebelum diberikan obat didapati hubungan positif sangat lemah yang tidak

signifikan antara intensitas nyeri dengan kadar MMP-9 serum, didapati

hubungan positif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara intensitas

nyeri dengan kadar hs-CRP serum dan didapati hubungan positif yang

sangat lemah dan tidak signifikan antara intensitas nyeri dan kadar

glutamat serum.

8. Setelah minum obat flunarizin 5 mg , intensitas nyeri memiliki hubungan

positif lemah yang tidak signifikan dengan kadar MMP-9 serum, didapati

hubungan positif sangat lemah dan tidak signifikan antara intensitas nyeri

dengan kadar hs-CRP serum dan antara intensitas nyeri dengan kadar

glutamat serum dijumpai hubungan negatif sangat lemah yang tidak

signifikan.

9. Setelah minum obat flunarizin 10 mg, intensitas nyeri memiliki hubungan

positif sangat lemah yang tidak signifikan dengan kadar MMP-9 serum,

didapati hubungan negatif sedang dan signifikan antara intensitas nyeri

dengan kadar hs-CRP serum dan antara intensitas nyeri dengan kadar

Glutamat serum dijumpai hubungan negatif sangat lemah yang tidak

signifikan.

10. Setelah minum obat amitriptilin 12,5 mg, intensitas nyeri memiliki

hubungan negatif sangat lemah yang tidak signifikan dengan kadar MMP-

9 serum, didapati hubungan negatif lemah dan tidak signifikan antara

intensitas nyeri dengan kadar hs-CRP serum dan antara intensitas nyeri

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 118

dengan kadar glutamat serum dijumpai hubungan positif sedang yang

signifikan.

11. Amitriptilin 12,5 mg lebih efektif secara signifikan dalam menurunkan

intensitas nyeri dari pada Flunarizin 5 mg. Flunarizin 10 mg lebih efektif

secara signifikan dari pada Flunarizin 5 mg. Amitriptilin 12,5 mg lebih

efektif secara signifikan dari pada Flunarizin 10 mg.

12. Flunarizin 5 mg lebih efektif secara signifikan menurunkan kadar

Glutamat serum dari pada Amitriptilin 12,5 mg. Flunarizin 10 mg lebih

efektif secara signifikan menurunkan kadar Glutamat serum dari pada

Amitriptilin 12,5 mg. Flunarizin 5 mg lebih efektif menurunkan kadar

Glutamat serum dari pada Flunarizin 10 mg namun secara statistik tidak

signifikan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 119

6.2 Saran

1. Data yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara klinis

Flunarizin 5 mg , Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg dapat

menurunkan intensitas nyeri secara signifikan dan didapati bahwa

Amitriptilin 12,5 mg lebih efektif dari pada Flunarizin 5 mg dan Fluarizin

10 mg sehingga dapat digunakan sebagai dasar pemilihan obat pada

penatalaksanaan TTH kronik.

2. Data penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada selisih

rerata kadar Glutamat serum setelah perlakuan antara ketiga kelompok

Flunarizin 5 mg, Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg. Didapati

bahwa Flunarizin 5 mg lebih efektif menurunkan kadar Glutamat serum

dari pada Flunarizin 10 mg dan Amitriptilin 12,5 mg. Data hasil penelitian

ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan

sampel yang lebih besar.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 120

DAFTAR PUSTAKA

Aamodt, AH, Stovner, LJ, Midthjell, K, Hagen, K & Zwart, J-A 2007, ‘Headache prevalence related to diabetes mellitus. The Head-HUNT Study’, European Journal of Neurology, vol.14, pp.738-44.

Aaseth, K, Grande, RB, Lundqvist, C, Russel, MB 2014,‘Pericranial tenderness in chronic tension-type headache: the Akershus population-based study of chronic headache’, The Journal of Headache and Pain,15:58

Ailani, J, 2009, ‘Chronic Tension-type Headache. Current Pain & Headache Reports’, vol.13, pp.479-83.

Ammar, W, Kappary, M, Baghdady, Y & Shehata, M 2013, ‘Mtrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) and high sensitivity C-Reactive protein (hs- CRP) in coronary artery ectasia’, The Egyptyan Heart Journal, vol.65, pp.289-93.

Anttila, P 2006, ‘Tension-type headache in childhood and adolescence’, Lancet Neurol, vol.5, pp. 264-74. Asadi, B, Khorvash, F, Mehrabi, F, Najjaran, A, Ghasemi, Mousavi, SA 2012, ‘Prophylactic treatment of chronic tension-type headache with trigger points: Comparison of oral gabapentin and local injection of depomedrol, J Res Med Sci, vol. 17(Spec 1), pp. S93-S96.

Ashina, S, Bendtsen, L & Jensen R 2004, ‘Analgesic effect of amitriptyline in chronic tension-type headacheis not directly related to serotonin reuptake inhibition’, Pain, vol.108, pp.108–114’

Ashina, M, Tvedskov, JF,Lipka, K, Bilello, J, Penkowa, M, Olesen, J 2009, ‘Matrix metalloproteinases during and outside of migraine attacks without aura’ Cephalalgia, pp.1-9.

Ashina, M, Stallknecht, B, Bendtsen L, Pedersen JF, Schifter S, Galbo H, et al. 2003, ‘ Tender points are not sites of ongoing inflammation- invivo evidence in patients with chronic tension-type headache’, Cephalalgia, vol.23, pp.109-16.

Avci, AY, Lakadanyali, H, Arikan, S, Benli, US, Klininc, M 2015, ‘High sensitivity C-reactive protein and cerebral white matter hyperintensities on magnetic resonance imaging in migraine patients’, The Journal of Headache and Pain; vol.16, pp.9.

Bana, DS & Maloney, GE 2009, ‘Tension type headache and myofascial pain, in ‘Mehta NR, Maloney, GE, Bana, DS, Scrivani, SJ (Eds.), Head, Face, and neck pain: Science, evaluation, and management An Interdiciplinary approach, Willey-Blackwell, New Jersey, pp.131-49.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 121

Bartley EJ & Fillingim RB, 2013. ‘Sex differences in pain: a brief review of clinical and experimental findings’ British Journal of Anaesthesia’, vol.111 (1), pp.52–8.

Bayraktutan OF, Demir R, Ozel L, Ozdemir G & Ertekin A, 2014, ‘Prevalence of Tension-Type Headache in Individuals Aged between 18-65 Years in the Eastern Parts of Turkey, Eurasian J Med .vol.46, pp. 78-83.

Bendtsen L, Bigal ME, Cerbo R, Diener HC, Holroyd K, Lampl C, et al, 2009, ‘Guidelines for controlled trials of drugs in tension-type headache: second edition’, Cephalalgia, pp.1-17.

Bendtsen, L & Jensen, R 2000, ‘Amitriptyline reduces myofascial tenderness in patients with chronic tension-type headache’, Cephalalgia, vol. 20. No.6, pp. 603-10.

Bendtsen L & Jensen R, 2011, ’Treating tension-typeheadache - an expert opinion’,Expert Opin. Pharmacother. Vol.12(7), pp.1099-1109

Bendtsen, L 2000, ‘Central sensitization in tension-type headache - possible pathophysiological mechanisms’, Cephalalgia, vol.20, pp.486-508.

Bendtsen, L, & Jensen, L 2009, ‘Tension-type headache’, Neuro Clin, vol.27, pp.525-35.

Bendtsen, L, Evers, S, Linde, M, Mitsikostas, DD, Sandrini, G, Schoenen, J, et al. 2010, ‘EFNS guideline on the treatment of tension-type headache-Report of an EFNS task force. European Journal of Neurology’, vol.17, pp. 1318- 25.

Bendtsen, L & Fernandez-de-la- Penas, 2011, ‘The role of muscle in tension-type headache, Curr Pain Headache Rep, vol.15, pp. 45-8.

Berilgen, MS, Bulut, S, Gonen, M, Tekatas, A, Dag, E & Mungen, B 2005, ‘Comparison of the effects of amitriptyline and flunarizine on weight gain and serum leptin, C peptide and insulin levels when used as migraine preventive treatment, Cephalalgia, vol.25, pp. 1048-53.

Bernecker, CS, Pailer, S, Kieslinger, P, Horejsib, R, Mo¨ ller, RA, Lechner, A, et al. 2011, ‘Increased matrix metalloproteinase activity is associated with migraine and migraine-related metabolic dysfunctions’,European Journal of Neurology, vol.18, pp. 571-6.

Bezov, D, Ashina, S, Jensen, & Bendtsen, L 2010, ‘Pain Perception Studies in Tension-Type Headache, Headache, vol.5, pp. 262-71.

Biller, J 2009, ‘Practical Neurology’, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 122

Bishop, KL, Holm, JE, & Borowiak, DM, 2001, ‘ Perception of pain in woman with Headache: a laboratory investigation of the influence of pain- related anxiety and fear’, Headache, vol.41(5), pp.494-9.

Black, S, Kusher, I, & Samols, D 2004, ‘Minireview : C-reactive protein, J. Biol. Chem, vol.279, pp.48487-90.

Blier P, Abbott F 2001,’Putative mechanisms of action of antidepressant drugs in affective and anxiety disorders and pain’, J Psychiatry Neurosci, vol.26, pp.37-43.

Blumenfeld, A, Schim, J & Brower, J, 2010, ‘Pure Tension-type Headache Versus Tension-type Headache in the Migraineur’, Curr Pain Headache Rep, vol.14, pp.465-9.

Bolay, H, Ozge, A, Saginic, P, Orekici, G, Uluduz, D, Yalin, O 2004, ‘Gender influences with increasing age in migrane patients’, Cephalalgia, vol.0(0), pp.1-9.

Buchgreitz, L, Egsgaard, LL, Jensen, R, Arendt-Nielsen,L & L. Bendtsen, L 2009,‘Abnormal pain processing in chronic tension-type headache: a high- density EEG brain mapping study’, Brain, vol.131, pp.3232-8.

Castells, ET, Delgado, EV, & Escoda, CG. 2008, ‘Use of amitriptyline for the treatment of chronic tension-type headache Review of the literature’, Med Oral Patol Oral Cir Bucal, vol.13, No.9, pp. E567-72.

Cathcart, S, Winefield, AH, Lushington, K, & Rolan, P. 2010, ‘Stress and tension- type headache mechanisms’, Cephalalgia, vol.30, No.10, pp. 1250-67. Cauwe, B, & Opdenakker, G 2010, ‘Intracellular substrate cleavage: a novel dimension in the biochemistry, biology and pathology of matrix Metalloproteinases’, Critical Reviews in Biochemistry and Molecular Biology; vol.45, No.5, pp. 351-423.

Charles, AC & Baca, SM 2013, ‘Cortical spreading depression and migraine’, Nat Rev Neurol, vol. 9, pp. 637-644 Chaturvedi, M & Kaczmarek, L 2014, ‘MMP-9 Inhibition: a Therapeutic Strategy in Ischemic Stroke’, Mol Neurobiol, vol.49. pp. 563-73.

Chen, Y 2009, ‘Advances in the Pathophysiology of Tension-type Headache: From Stress to Central Sensitization, Current Pain & Headache Reports, vol.13, pp. 484-94. Choi, SM, Kim, BC, Kang, KW, Choi, KH, Nam, TS, Kim, JT et al. 2016. ‘Relationship between serum high-sensitivity C-reactive protein levels and cognitive function in patients with Parkinson’s disease’, Neurology Asia, vol.21(14), pp.349-56.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 123

Chowdhury, D 2012, ‘Tension type headache’, Ann Indian Acad Neurol, vol.15, pp. 83-8.

Chu, MK, Kim, DW, Kim, BK, Kim, JM, Jang, TW, & Park, JW, et al. 2013, ‘Gender-specific influence of socioeconomic status on the prevalence of migraine and tension-type headache: the results from the Korean headache survey’, The Journal of Headache and Pain, vol.14, pp.82.

Clauhan, S, Devi, P, & Nidhi, 2014, ‘Pharmacological profile of flunarizine: A calcium channel blocker’, International Journal of Innovative Pharmaceutical Sciencies and Research, vol.2, No.6, pp.1260-69.

Colombo, B, Annovazzi, POL & Comi, G 2004,‘Therapy of primary headaches: the role of antidepressants’, Neurol Sci , vol.25, pp.S171–S175.

Costigan, M, Sholz & Wolf, CJ 2009, ‘Neuropatic pain: A Maladaptive Response of the nervous system to damage’, Annu Rev Neuro Sci, vol.32, pp.1-32.

Couch, JR 2010, ‘Amitriptyline in the Prophylactic Treatment of Migraine and Chronic Daily Headache’,Headache, vol.51, pp.33-51. de Tommaso, M, Ceci, E, Pica, C, Trojano, M, Delussi, M, Franco, G, et al. 2012, ‘Serum levels of N-acetyl-aspartate in migraine and tension-type headache’, J Headache Pain, vol.13, pp.389-94.

Dahlan, MS, 2010, ‘Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 3, Penerbit Salemba Medika, Jakarta.

Dharmshaktu, P, Tayal, V, & Kalra, BS 2012, ‘Efficacy of Antidepressants as Analgesics: A Review’, Journal of Clinical Pharmacology, vol.52, pp.6- 17

Di Napoli, M, Elkind, MS, Godoy, DA, Singh, P, Papa, F, & Popa-Wagner, A 2011 , ‘Role of C-reactive Protein in Cerebrovascular Disease’, Expert Rev Cardiovasc Ther; vol. 9, No.12, pp. 1565-84.

Ellis, A & Bennett, DLH 2013, ‘Neuroinflammation and the generation of neuropathic pain’, British Journal of Anaesthesia, vol.111(1), pp.26-37.

El-Shorbagy, HH & Ghoname IA, 2010, ‘High sensitivity C-reactive protein as a marker of cardiovascular risk in obese children and adolescents’, Health, vol.2, pp.1078-84 Ertas, M, Baykan, B, Orhan, EK, Zarifoglu M, Karli, M, Saip, S, et al. 2012, ‘One-year prevalence and impact of migraine and tension-type headache in Turkey: a nationwide home-based study in adults’, J Headache Pain, vol.13, No.2, pp. 147-57.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 124

Fernández-de-las-Peñas, C, Cuadrado, ML, Arendt-Nielsen, L, Simons, DG, & Pareja, JA, 2007, ‘Myofascial trigger points and sensitization: an updated pain model for tension-type headache’, Cephalalgia, vol. 27, pp. 383-93.

Ferrari, A, Spaccapelo, L, Pinetti, D, Tacchi, R, & Bertolini, A, 2008, ‘Effective prophylactic treatments of migraine lower plasma glutamate levels’, Cephalalgia, vol.29, pp. 423-29.

Freitag, F 2013, ‘Managing and treating tension-type headache, Med Clin N Am, 281-92.

Fuchs, FD, Gus, M, Moreira, LB, Moreira, WD, Gonc¸alves, SC& Nunes, G 2003, ‘Headache is not more frequent among patients with moderate to severe hypertension’, Journal of Human Hypertension, vol.17, pp. 787- 790

Fumal, A & Schoenen, J 2008, ‘Tension-type headache: current research and clinical Management’, Lancet Neurol, vol.7, pp. 70-83.

Garvin, P, Nilsson, L, Carstensen, J, Jonasson, L & Kristenson, M, 2008‘Circulating Matrix Metalloproteinase-9 Is Associated with Cardiovascular Risk Factors in a Middle-Aged Normal Population. PLoS ONE, vol. 3, pp. e1774.

Green, MW 2007, ‘Headache and Facial Pain, in ‘Brust, JCM (Ed.), ‘Current Diagnosis and Treatment in Neurology’, Lange Medical Books/ McGraw- Hill, New York, pp. 64-77.

Gudmundsson, LS, Aspelund, T, Scher, AI, Thorgeirsson, G, Johannsson, M, Launer, LJ, et al. 2009, ‘C-reactive protein in migraine sufferers similar to that of non-migraineurs: the Reykjavik Study’, Cephalalgia, vol. 29, pp. 1301-10.

Guldiken, S, Guldiken, B, Demir, M, Kabayal, L, Ozkan, H, Turgut, N, et al. 2011, ‘Soluble CD40 ligand and prolactin levels in migraine patients during interictal period’, J Headache Pain, vol. 12, pp.355-60.

Guo, SL, Han, CT, Jung, JL, Chen, WJ, Mei, JJ, Lee, HC 2014, ‘Cystatin C in cerebrospinal fluid is upregulated in elderly patients with chronic osteoarthritis pain and modulated through matrix-metalloproteinase 9 - specific pathway’, Clin J Pain, vol.30, pp.331-9.

Gürger, M, Atescelik, M, Yilmaz M, Yildiz, M, Kalayci, H, Kobat, et al, 2015, ‘Can we define migraine patients with blood high-sensitivity C- reactive protein and galectin-3 levels in the emergency department?’, Arch Med Sci, DOI: 10.5114/aoms.2016.60984.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 125

Gursoy, AE & Ertas, M 2013, ‘Prophylactic Treatment of Migraine’, Archives of Neuropsychiatry, vol. 50, No. Supplement 1, pp. 30-35.

Gursoy-Ozdemir, Y, Qiu, J, Matsuoka, N, Bolay, H, Bermpohl, D, Jin, H, et al. 2004, ‘Cortical spreading depression activates and upregulates MMP-9’, J. Clin. Invest, vol.113, pp.1447-55.

Hankey, GJ & Wardlaw, JM 2008, ‘Clinical Neurology’, Manson Publishing Ltd.London.

Hawker GA, Milan S, Kendzerska T, & French M, 2011, ‘Measures of Adults Pain Visual Analog Scale for Pain (VAS Pain), Numeric Rating Scale for Pain (NRS Pain), McGill Pain Questionaire (MPQ), Short-Form McGill Questionaire (SF-MPQ), Chronic Pain Grade Scale (CPGS), Short Form- 36 Bodily Pain Scale (SF-36 BPS), and Measure of Intermittent and Constant Osteoarthritis Pain (ICOAP)’, Arthritis Care & Research, vol.63(s11), pp.S240-S252.

Hawkins, RA 2009, ‘The blood brain barrier and glutamate’, Am J Clin Nutr, vol. 90, No.30, pp. 8867S-874S.

Haque, B, Rahman, KM, Haque, A, Hasan, ATMH, Chowdury, RN, Khan, SU et al. 2012, ‘Precipipitating and relirving factors of migraine versus tension type headache’,BMC Neurology,vol.12, pp.82.

Headache Classification Committee of the International Headache Society, 2013, ‘The International Classification of Headache Disorders: 3rd edition, Cephalalgia, vol.33(9), pp.629-808.

Hirschfield, GM & Pepys, MB, 2003, ‘C-Reactive Protein and Cardiovascular disease: New Insight from an Old Molecule’, QJ Med, vol.96, pp. 793- 807.

Hjermstad, MJ, Fayers, PM, Haugen, DF, Caraceni, A, Hanks, G W, Fainsinger, R et al. 2011, ‘Studies Comparing Numerical Rating Scales, Verbal Rating Scales, and Visual Analogue Scales for Assessment of Pain Intensity in Adults: A Systematic Literature Review’, Journal of Pain and Symptom Management, vol.41, pp.1073-93.

Hsieh, HL & Yang, CM 2014, ‘The role of matrix metalloproteinase-9 in pro- inflammatory factors-induced brain inflammation and neurodegenerative diseases’, Inflammmation & Cell Signaling, vol.1pp. e124.

Huang, L, Bocek, M, Jordan, JK, & Sheehan, AH 2014, ‘Memantine for the Prevention of Primary Headache Disorders’, Annals of Pharmacotherapy, pp.1-5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 126

Imamura, K, Takeshima, T, Fusayasu, E, & Nakashima, K 2008, ‘Increased Plasma Matrix Metalloproteinase-9 Levels in Migraineurs’, Headache, vol.48, pp.135-9.

Jackson, JL, Shimeall, W, Sessums, L, DeZee, KJ, Becher, D, Diemer, M, et al 2010, ‘ Tricyclic antidepressants and headaches: systematic review and meta-analysis’, BMJ, vol.341, pp.c5222.

Jensen, R 2001, ‘Peripheral and central mechanisms in tension-type headache: an update’, Cephalalgia, vol. 23[Suppl], pp.49-52.

Jensen, R, Bendtsen, L &Olesen J 1998, ‘Muscular Factors are of Importance in Tension-Type Headache’, Headache, vol.38, pp.10-17.

Jialal, I & Devaraj, S 2001, ‘Inflammation and Atherosclerosis: The value of the high-sensitivity C-Reactive protein assay as a risk marker’, Am J Clin Pathol, vo.116, No.Suppl.1, pp. S108-15.

Ji, RR, Xu, ZZ & Gao, YJ 2014, ‘Emerging targets in neuroinflammation-driven chronic pain’, Nature Reviews Drug Discovery, Doi:10.1038/nrd4334.

Ji, RR, Xu, ZZ, Wang, X & Lo, EH 2009, ‘Matrix metalloprotease regulation of neuropathic pain’, Trends in Pharmacological Sciencies, vol.30(7), pp.336-40.

Kadziela-Olech, H, Cihocki, P, Chwiesko, J, Konstantynowicz, J & Braszko, JJ 2014, ‘Serum matrix metalloproteinase-9 levels and severity of symptoms in boys with attention deficit hyperactivity disorder ADHD/hyperkinetic disorder KKD’, Eur Child Adolesc Psychiatry, Doi: 10.1007/s00787-014-0533-z.

Kaniecki, RG 2012, ‘Tension–type headache’, Continuum Lifelong Learning Neurol, vol.18, No.4, pp.823-34.

Karadaş, Ö, Gül, HL, & İnan, LE, 2013, ‘Lidocaine injection of pericranial myofascial trigger points in the treatment of frequent episodic tension-type headache’,The Journal of Headache and Pain ; 14:44

Karli, N, Baykan, BI, Ertas, M, Zarifoglu, M, Siva, A, Saip, S, et al. 2012, ‘Impact of sex hormonal changes on tension-type headache and migraine: a cross-sectional population-based survey in 2,600 women’ J Headache Pain, vol. 13:557-65.

Kataki, MS, Kumar, KTMS, Rajkumari, A 2010, ‘Neuropsycho-pharmacological Profiling of Flunarizine: A Calcium Channel Blocker’, Int.J. PharmTech Res, vol. 2, No.3. pp.1703-13.

Katzung, BG 2006, ‘Basic & Clinical Pharmacology’, 9th ed. The Mc Graw-Hill Companies, Philadelphia.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 127

Khan, SJ, Usman, M & Abbass, Y, 2012, ‘Relationship of headache to hypertension, Rawal Medical Journal, vol. 37(3), pp.264-267.

Kielman, L 2011, ‘The biological basis of headache, Expert Rev. Neurother; vol. 11, No.3, pp. 363-78.

Kocer, A, Kocer, E, Memi, R, Memisogulları, R,Domaç FM & Yuksel, H 2010, ‘Interleukin-6 Levels in Tension Headache Patients’, Clin J Pain ,Vol.26, pp.690-3.

Kurth, T, Ridker, PM, Buring, JE 2008, ‘Migraine and biomarkers of cardiovascular disease in women’, Cephalalgia, vol.28, pp.49-56.

Lau, A & Tymiansky, M 2010, ‘Glutamate receptors, neurotoxicity and neurodegeneration’, Pflugers Arch, vol.460, pp.525-542.

Lenaerts, ME 2005, ‘Pharmacoprophylaxis of Tension-type Headache’,Current Pain and Headache Reports, vol.9, pp.442-47.

Lakhan, SE, & Avramut, M 2012, ‘Matrix Metalloproteinases in Neuropathic Pain and Migraine: Friends, Enemies, and Therapeutic Targets’, Pain Research and Treatment, pp. 1-10.

Leira, R, Sobrino, T, Rodrıguez-Yanez, M, Blanco, M, Arias, S, & Castillo, J 2007, ‘MMP-9 Immunoreactivity in Acute Migraine’,Headache, vol.47, pp.698-702.

Li X, Zhou J, Tan G,Wang Y, Ran L, Chen L, 2012, ‘Clinical characteristics of tension-type headache in the neurological clinic of a university hospital in China’, Neurol Sci, vol.33, pp.283–287.

Lippi, G, Favaloro, EJ, Montagnana, M, Franchini, M 2010, ‘C-reactive protein and venous thromboembolism: causal or casual association?’, Clin Chem Lab Med, vol.48, No.12, pp.1693-1701.

Lippi, G, Mattiuzzi, C & Cervellin, G 2014, ‘C-reactive protein and migraine. Facts or speculation?’, Clin Chem Lab Med, vol.52(9), pp.1265-72.

Lisovaya, OA 2014, ‘Predicted Value of Circulating Matrix Metalloproteinase-9 in Arteria Hypertension Patients after Acute Ischemic Stroke’,Biological Markers and Guided Therapy, vol.1 No. 1, pp.1-9.

Loder, E &Rizzoli, P 2006, ‘Biomarkers in Migraine: Their Promise, Problems, and Practical Applications’, Headache, vol.46, pp.1046-58.

Luo, N, Di, W, Zhang, A, Wang, Y, Ding, M, Qi, W, et. al. 2012, ‘A Randomized, One-Year Clinical Trial Comparing the Efficacy of

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 128

Topiramate, Flunarizine, and a Combination of Flunarizine and Topiramate in Migraine Prophylaxis’,Pain Medicine, vol.13, pp. 80-6.

Martinez, ML, Lopes, LF, & Coelho, EB 2006, ‘Lercanidipine reduces matrix metalloproteinase-9 activity in patients with hypertension, J Cardiovasc Pharmacol, vol.47, pp.117-22.

Meldrum, BS 2000, ‘Glutamate as a neurotransmitter in the brain: Review of Physiology and pathology’, J Nutr, vol.130, pp. 1007S-1015S.

Milanov, I & Bogdanova, D 2004, ‘Pain and tension-type headache: a review of the possible pathophysiological mechanisms’, J Headache Pain, vol. 5,pp.4-11.

Mohammed, BP, Goadsby, PJ, & Prabhakar, P 2011, ‘Safety and efficacy of flunarizine in childhood migraine: 11 years experience with emphasis on its hemiplegic migraine’, Available from: http://dx.doi.org/10.1111/J.1469-8749.2011.04152.x Montagna, P 2008, ‘The primary headaches: genetics, epigenetics and a behavioural genetic model, J Headache Pain, vol.9, pp.57-69.

Paczek, L, Michalska, W, & Bartlomiejczyk, I 2008, ‘Trypsin, elastase, plasmin and MMP-9 activity in the serum during the human ageing process’, Age and Ageing, vol.37, pp.318-23.

Pearce, SM, Ramsey, MA, Miranpuri, GS, & Resnick, DK 2008, ‘Regulation and function of Matrix metalloproteinases in nervous system injury and neuropathic pain’, Annals of Neurosciences, vol.8, pp.94-105.

Peres, MFP, Gonçalves, AL & Krymchantowski, A 2007, ‘Migraine, Tension- type Headache, and Transformed Migraine’,Current Pain and Headache Reports, vol.11, pp.449-53.

Pepys, MB 1995, ‘The acute phase response and C-Reactive Protein’. Oxford Textbook of Medicine. 2nd ed. Oxford, UK: Oxford University Press, pp.1527-33.

Plesh, O, Adams, SH & Gansky, SA, 2011, ‘Racial/Ethnic and Gender Prevalences in Reported Common Pains in a National Sample, JOrofac Pain, vol.25(1), pp. 25–31.

Prado, WA 2001, ‘Involvement of calcium in pain and antinociception’, Brazilian Journal of Medical and Biological Research, vol.34, pp. 449-61.

Prescot, A, Becerra, L, Pendse G, Tully, S, Jensen, E & Hargreaves, R 2009, ‘Exitatory neurotransmitter in brain regions in interictal migraine patients’, Molecular Pain, pp.5-34.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 129

Rainero, I, Rubino, E, Paemeleire, K, Gai, A, Vacca, A, De Martino P, et al. 2012, ‘Genes and Primary Headache: discovering new potential therapeutic target’,The Journal of Headache and Pain, vol. 14, pp.61-8.

Rambe, AS, Sjahrir, H & Machfoed MH 2015, ‘ Amitriptiline Effect on Tumor Necrosis Factor-α, Interleukin-1 and Interleukin-6 Serum Level and its Correlation with Pain Severity in Chronic Tension-Type Headache Patients’, International Journal of Scientific and Research Publications, vol.5(2), pp.1-4.

Rammes, G & Rupprecht, R 2007, ‘Modulation of Ligand-gated Ion Channels by Antidepressants and Antipsychotics’, Mol Neurobiol, vol.35, pp.160-174.

Rasmussen, BK & Lipton, RB 2000, ‘Epidemiology of Tension-Typr Headache’, in : Oleson J, Hansen, PT & Welch KMA, (eds), ‘The Headache’, Lippincott William & Wilkins, pp. 545-50.

Romi, F, Helgeland, G, & Gilhus, NE 2012, ‘Serum Level of Matrix Metalloproteinases: Implication in Clinical Neurology’, Eur Neurol, vol. 67, pp.121-8.

Rosen NL 2012, ‘Psychological issues in the evaluation and treatment of tension- type headache’, Curr Pain Headache Rep, vol.16, pp.545-53.

Rosenberg, GA 2009, ‘Matrix metalloproteinases and their roles in neurodegenerative diseases’, Lancet Neurol, vol.8, pp.205-16.

Rullman, E, Olsson, K, Wa°gsa¨ter, D, & Gustafsson, T,2013, ‘Circulating MMP- 9 during exercise in humans’, Eur J Appl Physiol, vol. 113, pp.1249-55.

Russell, MB, Ostergaard, S, Bendtsen, L & Olesen J, 1999, ‘Familial occurrence of chronic tension-type headache’,Cephalalgia, vol.19, pp.207-10.

Russell, MB 2007, ‘Genetics in primary headaches’ J Headache Pain, vol. 8, pp.190-5.

Sacco, S, 2008, ‘Diagnostic Issues in Tension-Type Headache’, Current Pain and Headache Reports’, vol.12, pp.437-41.

Salehi, H, Aminianfar, M, Ranjbar-Naeeni, A, Saidi, A & Rastgoo, F, 2014, ‘Comparison of Serum CRP in Migraine Sufferers and Normal Population’,Zahedan J Res Med Sci, vol. 16(1), pp. 13-16.

Sastroasmoro, S & Ismael, S 2011, ‘Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis’, Edisi ke 4. Penerbit Sagung Seto. Jakarta

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 130

Sawynok, J, Esser, MJ, & Reid, AR 2001, ‘Antidepressants as analgesics: an overview of central and peripheral mechanisms of action’, Journal of Psychiatry & Neuroscience, vol.26, pp.21-9.

Schmidt-Hansen, P, Svensson, P, Bendtsen, L, Graven-Nielsen, T, & Bach, FW 2007, ‘Increasedmuscle pain sensitivity in patients with tension-type headache’, Pain, vol.129, pp.113-21. Silberstein, SD, Lipton, RB, & Dalessio, DJ 2001, ‘Overview, diagnosis and classification of headache. In: Silberstein, RD, Lipton, RB, Dalessio, DJ,editors, ‘Wolf’s headache and other head pain’, 7th ed. pp.6-26. Oxford University Press. New York.

Silva, FA, Rueda-Clausen, CF, Silva, SY, Zarruk, JG. Guzman, JC, Morillo, CA, et al. 2007, ‘Endothelial function in patients with migraine during the interictal period’, Headache, vol. 47, pp.45-51.

Singh, BN, 1986, ‘The mechanisms of action of calcium antagonist relative to their clinical applications’, Br. J.Clin. Pharmac, vol. 21, pp. 109s-121s.

Sjaastad, O 2011,’Tension-type headache: one or more headaches?’, Fuctional Neurology, vol.26, pp.165-70.

Sjahrir, H 2004, ‘Nyeri Kepala 1. Kelompok Studi Nyeri Kepala’, USU Press. Medan. Sjahrir, H, Machfoed, MH, Suharjanti I, Basir H, & Adnyana MO, editor. 2013, ‘Konsensus Nasional IV. Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala’, Kelompok Studi Nyeri Kepala Perdossi. Surabaya: Airlangga University Press. Smitherman, TA, Walters, AB, Maizel, M & Penzien, DB, 2011, ‘The Use of Antidepressants for Headache Prophylaxis’,CNS Neuroscience & Therapeutics, vol. 17, pp. 462-9. Stawarski, M, Stefaniuk, M & Wloderczyk, J 2014,’ Matrix metalloproteinase-9 involvement in the structure plasticity of dendritic spines’, Frontiers in Neuroanatomy, vol.8, pp.1-15. Stovner, LJ, Hagen, K, Jensen, R, Katsarava, Z,Lipton, RB, Scher, A, et.al. 2007, ‘The global burden of headache: a documentation of headache prevalence and disability worldwide’, Cephalalgia, vol.27, pp.193-210.

Taheraghdam, A, Aminnejad, S ,Pashapour, A, Rikhtegar, R, & Ghabili, K 2013, ‘Is there a correlation between hs-CRP levels and functional outcome of Ischemic Stroke?’, Pak J Med Sci, vol. 29(1), pp.166-9.

Tanik, N, Celikbilek, A, Metin, A, Gocmen, AY & Inan, LE 2015, ‘Retinol- binding protein-4 and hs-CRP levels in patients with migraine’, Neurol Sci, vol.36, pp.1823–1827.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 131

Tietjen, GE 2009, ‘Migraine as a systemic vasculopathy’, Cephalalgia,vol. 29, pp. 989-96.

Tietjen GE, Herial NA, White L, Utley C, Kosmyna, JM, & Khuder, SA 2009,’ Migraine and biomarkers of endothelial activation in young women’, Stroke, vol. 40, pp. 2977-82.

Turkdogan, D, Cagirici, S, Soylemez, D, Sur, H, Bilge, C, & Turk, U 2006, ‘Characteristic and Overlapping Features of Migraine and Tension-Type Headache’, Headache, vol.46, pp.461-8.

Uzar, E, Evliyaoglu, O, Yucel, Y, Cevik, MU, Acar, A, Guzel, I 2011, ‘ Serum cytokine and pro-brain natriuretic peptide (BNP) levels in patients with migraine’, European Review for Medical and Phrmacological Sciencies’, vol.15, pp.1111-16.

Vadalouca, A, Siafaka, I, Argyra, E, Vrachnou, E, & Moka, E 2006, ‘Therapeutic management of chronic neuropathic pain: an examination of pharmacologic treatment’, Ann N Y Acad Sci, vol.1088, pp.164-186.

Vandenheede, M & Schoenen, J 2002, ‘Central Mechanisms in Tension-type Headaches’,Current Pain and Headache Reports, vol.6, pp.392-400. van der Kooij, MA, Fantin, M, Rejmak, E, Grosse, J, Zanoletti, O, Fournier, C, et al, 2014, ‘Role for MMP-9 in stress-induced downregulation of nectin-3 in hippocampal CA1 and associated behavioural alterations’, Nature Communication, Available from: 5:4995 | DOI: 10.1038/ncomms5995 |www.nature.com/naturecommunications.

Vanmolkot, FH & de Hoon, JN 2007, ‘Increased C-reactive protein in young adult patients with migraine’, Cephalalgia, vol. 27, pp.843-6.

Vedova, CD, Cathcart, S, Dohnalek, A, Lee,V, Hutchinson, MR, Maarten A, et al. 2013, ‘Peripheral interleukin-1β levels are elevated in chronic tension-type headache patients’,Pain Res Manag , vol.18(6), pp.301-6. Pathogenic mechanisms Verhagen, AP, Damen, L, Berger MY, Passchier J, Koes, BW 2010, ‘Lack of benefit for prophylactic drugs of tension-type headache in adults: a systematic review’, Family Practice, vol. 27, pp.151-65.

Weizman, R, Getslev, V, Pankova, IA, Schrieber, S & Pick, CG 1999, ‘Pharmacological interaction of the calcium channel blockers verapamil and flunarizine with the opioid system’,Brain Research, vol. 818, pp.187– 195.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 132

Welch, KM, Brandes, AW, Salerno, L, & Brandes, JL 2006, ‘C-reactive protein may be increased in migraine patients who present with complex clinical features’, Headache. Vol.46, pp.197-9.

Wiesenfeld-Hallin Z, 2005, ‘Sex Differences in Pain Perception’, Gend Med. 2005, vol.2, pp.137-145.

Windgassen, EB, Funtowicz, L, Lunsford, TN, Harris, LA, Mulvah, SL 2013, ‘C- Reactive Protein and High-Sensitivity C-Reactive Protein: An Update for Clinicians’, Postgraduate Medicine, Vol.123, pp.114-9.

Wise EA, Price DD, Myers CD, Heftb, MW, & Robinsonet, ME, 2002. ‘Gender role expectations of pain: Relationship to experimental pain perception’, Pain,vol.96, pp.335-342.

Wippold, II 2008, ‘Focal Neurological Deficit. American Journal of Neuroradiology’, vol. 29, pp.1998-2000.

Xuelian, L, Jiying, Z, Ge, T, Yunfeng, W, Rain, L & Chen, L 2012, ‘Clinical characteristics of tension-type headache in the neurological clinic a university hospital in China’, Neurol Sci, vol.33, pp.283-7.

Yu, S & Han, X 2015, ‘Update of Chronic Tension-Type Headache’,CurrPain Headache Rep, vol.19, pp.469.s

Zervoudaki, A, Economou, E, Stefanadis, C, Pitsavos, C, Tsioufis, K, Aggeli, C, et al. 2003, ‘Plasma levels of active extracellular matrix metalloproteinases 2 and 9 in patients with essential hypertension before and after antihypertensive treatment’, J Hum Hypertens, vol. 17, pp.119–24.

Zervoudaki A, Economou, E, Pitsavos C, Vasiliadou, K, Aggeli, C, Tsioufis, K, et al. 2004, ‘The effect of Ca2+ channel antagonists on plasma concentrations of matrix metalloproteinase-2 and -9 in essential hypertension’, Am J Hypertens, vol.17, pp.273–6.

Zheng, K, Li, C, Shan, X, Liu, H, Fan, W, Wang, Z, et. al. 2013, ‘Matrix metalloproteinases and their tissue inhibitors in serum and cerebrospinal fluid of patients with moderate and severe traumatic brain injury’, Neurology India, vol.60, pp.606-9.

Zhou, Y & Danbolt, NC 2014, ‘Glutamate as a neurotransmitter in the healthy brain’, J Neural Transm, vol.121, pp.799–817

Zwart, J-A, Dyb, G, Holmen, TL & Stovner, LJ 2004, ‘The prevalence of migraine and tension-type headache among adolescents in Norway.( Head- HUNT-Youth), a large population-based epidemiological study’, Cephalalgia, vol.24 pp.: 372-4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

ID Design 2012/DOOEL Skopje, Republic of Macedonia Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences. 2017 Oct 15; 5(6):757-761. https://doi.org/10.3889/oamjms.2017.172 eISSN: 1857-9655 Clinical Science

Effect of Flunarizine on Serum Glutamate Levels and its Correlation with Headache Intensity in Chronic Tension-Type Headache Patients

1* 1 2 3 Khairul Putra Surbakti , Hasan Sjahrir , Rosita Juwita-Sembiring , Erna Mutiara

1 2 Department of Neurology, Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia; Faculty of Medicine, 3 Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia; Department of Biostatistics and Health Information, Faculty of Public Health, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia

Abstract

Citation: Surbakti KP, Sjahrir H, Juwita-Sembiring R, BACKGROUND: Some of the excitatory neurotransmitters including glutamate have been suggested to be Mutiara E. Effect of Flunarizine on Serum Glutamate Levels and its Correlation with Headache Intensity in involved in headache pathophysiology. To our knowledge, there is a lack of publication about flunarizine efficacy Chronic Tension-Type Headache Patients. Open Access in chronic tension-type headache (CTTH) treatments and the roles of glutamate in CTTH pathophysiology. Maced J Med Sci. 2017 Oct 15; 5(6):757-761. https://doi.org/10.3889/oamjms.2017.172 AIM: This study aimed to investigate the flunarizine effect on serum levels of glutamate and its correlation with Keywords: flunarizine; glutamate; headache intensity; headache intensity based on the Numeric Rating Scale for pain (NRS) scores in CTTH patients. chronic tension-type headache. *Correspondence: Khairul Putra Surbakti. Department of METHOD: In a prospective randomised, double-blind study with pre and post-test design, seventy-three CTTH Neurology, Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia. E-mail: patients were randomly allocated with flunarizine 5 mg, flunarizine 10 mg and amitriptyline 12.5 mg groups. The [email protected] serum levels of glutamate and NRS scores were measured before and after 15-day treatment. Received: 21-Jun-2017; Revised: 10-Aug-2017; Accepted: 11-Aug-2017; Online first: 07-Oct-2017 RESULTS: Flunarizine 5 mg was more effective than flunarizine 10 mg and amitriptyline 12.5 mg in reducing Copyright: © 2017 Khairul Putra Surbakti, Hasan Sjahrir, serum glutamate levels, whereas amitriptyline 12.5 mg was the most effective in reducing headache intensity. Rosita Juwita-Sembiring, Erna Mutiara. This is an open- There was found nonsignificant, but very weak negative correlation between headache intensity and serum access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International glutamate levels after flunarizine 5 mg administration (r = -0.062; P = 0.385), nonsignificant very weak negative License (CC BY-NC 4.0). correlation after flunarizine 10 mg administration (r = -0.007; P = 0.488) and there was found a significant Funding: This research did not receive any financial moderate positive correlation (r = 0.508; P = 0.007) between headache intensity and serum glutamate levels after support. amitriptyline 12.5 mg administration. Competing Interests: The authors have declared that no competing interests exist. CONCLUSION: Since there was no significant correlation found between serum glutamate and headache intensity after treatment with flunarizine, it is suggested that decreasing of headache intensity after flunarizine treatment occurred not through glutamate pathways in CTTH patients.

Introduction and chronic tension-type headache (CTTH) to be 31% and 24% respectively [2]. There are no helpful investigations in diagnosing TTH so that the definition Headache disorders are one of the most relies exclusively on clinical symptoms [3]. According common problems seen in the medical practice. to the International Classification of Headache Among all types of headache disorders, tension-type Disorders, third edition beta version (ICHD-3 beta), headache (TTH) is the most frequent in adults. CTTH is defined as the occurrence of TTH at a Epidemiological studies reveal that 20–30% of the frequency of ≥15 days per month, with typically Asian population suffer from TTH and the global bilateral, pressing, or tightening in quality, and of mild prevalence of TTH in the adult population is 42% [1]. to moderate intensity, lasting hours to days, or A hospital-based study in Indonesia reported the unremitting. The pain does not worsen with routine prevalence of episodic tension-type headache (ETTH) physical activity but may be associated with mild

______Open Access Maced J Med Sci. 2017 Oct 15; 5(6):757-761. 757

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Clinical Science ______nausea, photophobia, or phonophobia [4]. Despite its Classification of Headache Disorders, 2nd edition high prevalence and socioeconomic impact, our (ICHD-II) criteria [12]. Chronic tension-type headache understanding of TTH pathogenesis is surprisingly patients were recruited among those attended the limited. One proposed hypothesis is that nociception outpatient clinic of the Adam Malik General Hospital from pericranial muscles, sensitisation of pain Medan, Puteri Hijau Hospital and Medan Johor transmission circuits at the trigeminal nucleus/dorsal Primary Health Center Medan, Indonesia, during April horn, and dysregulation of central pain modulation and August 2016. Seventy-three patients out of have each been postulated to play a significant role in ninety-five initially recruited had completed the study the pathophysiology of CTTH [5, 6]. protocol until the end of the study and 22 drop out. Of 22 subjects drop out, one female patient discontinued Glutamate, like serotonin and dopamine, is a consuming the prophylactic drug given due to an prominent neurotransmitter in the CNS that mediates allergic reaction; twenty-one of them did not come fast excitatory synaptic neurotransmission via back for the second blood samples. They were ionotropic and metabotropic receptors [7]. Glutamate randomly allocated into three interventional groups to is stored intracellularly inside synaptic vesicles where receive one of the following drugs for 15 days the concentration may be as high as 100 millimolar (flunarizine 5 mg/day, flunarizine 10 mg/day and and is inactive until released into the synapse. amitriptyline12.5 mg/day). We included both male and Glutamate is believed to be required to activate the female patients, between 18-65 years old. We trigeminovascular system and central sensitisation. excluded CTTH patients receiving or having received Glutamatergic receptors are the molecular mediators a prophylactic treatment in the previous 4-weeks, through which glutamate acts and are found in the patients with neurological deficits related to his/her trigeminovascular system and its structures. The headache, serious somatic or psychiatric diseases activation of NMDA receptors by glutamate has been including depression, extrapyramidal disorders, hypothesised to play a role in primary headache chronic obstructive pulmonary disease (COPD), disorders. Pain perception in CTTH as one of primary bronchial asthma, heart failure, diabetes mellitus, headache disorders might be activated through these cardiovascular disease, malignancy, pregnancy, pathways. By blocking NMDA receptors and, lactation and hypersensitive to flunarizine or therefore, inhibiting these pathways, memantine could amitriptyline. prevent primary headaches [8]. Previous studies reported that plasma glutamate levels monitoring in Table 1: Chronic tension-type headache patient characteristics migraine patients might serve as a biomarker of Characteristics All Patients Flunarizine 5 mg Flunarizine 10 Amitriptyline response to treatments and as an objective measure group (N = 25) mg 12.5 mg group of disease status [9]. group (N=25) (N=23) N (%) 73 (100) 25(34.2) 25(34.2) 23(31.5) Gender Flunarizine, a long-acting calcium channel Male (%) 13 (17.8) 4 (16) 5 (20) 4 (17.4) blocker, was originally introduced in the 1970s for the Female (%) 60 (82.2) 21 (84) 20 (80) 19 (82.6) Mean age ± treatment of occlusive vascular diseases. The S.D. (years) 44.6 ± 13.47 41.56 ± 14.90 45.12 ± 12.17 47.35 ± 13.06 mechanism of action of flunarizine in a migraine is Marital Status Married N(%) 57 (78.1) 17 (68) 22 (88) 18 (78.3) unclear, although its calcium and dopaminergic Single N(%) 16 (21.9) 8 (32) 3 (12) 5 (21.7) History of CTTH antagonism may offer some insights into possible (years, mean ± 4.78 ± 2.29 4.76 ± 2.33 4.80 ± 2.08 4.78 ± 2.56 subcortical brain targets. It has been reported that S.D) Psychiatric None None None None flunarizine can also cause inhibition of transmission disorders along the trigeminovascular system [10]. Several N= number of patients; S.D = standard deviation; CTTH= chronic tension-type headache. studies have demonstrated its efficacy in migraine prophylaxis in adults [11]. However, to our knowledge, there is lack of publications about its efficacy in CTTH All subjects agreed to participate and signed treatment. informed consent voluntarily after receiving a detailed We aim to see the flunarizine effect on serum description of the study procedures and purposes. levels of glutamate and its correlation with headache The study was approved by the Health Research intensity based on the Numeric Rating Scale for pain Ethical Committee of North Sumatera/RSUP H Adam (NRS) scores in CTTH patients. Malik Medan, c/o Medical School, Universitas Sumatera Utara. Patients’ characteristics were recorded by medical examination, and headache intensity was measured using the Numeric Rating Scale for Pain (NRS) scores. The NRS scores consist Materials and Methods of 4 levels of pain perception (0 = no pain, 1-3 = mild pain, 4-7 = moderate pain and 8-10 = severe pain). Chronic tension-type headache patients were studied Subjects and procedures before and after 15-day treatment. Venous blood samples for the assay of glutamate concentration We studied 73 subjects (Table 1) suffering were taken after data collection completed. from CTTH according to the International

______

758 https://www.mjms.mk/ https://www.id-press.eu/mjms/

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Surbakti et al. Effect of Flunarizine on Serum Glutamate Levels and its Correlation with Headache Intensity ______Assay of glutamate Table 2: Serum concentration (Mean ± S.D.) of glutamate (µg/L) and NRS score

Blood samples were collected in vacutainer Drugs Serum Glutamate P NRS Score P tubes. Serum separation was isolated by Before After Before After Flunarizine centrifugation at 1000 g over 15 minutes. The serum 5 mg 12.04 ± 10.86 ± <0.001 4.64 ± 3.52 ± <0.001 3.02 2.89 0.64 0.65 samples should always be pre-diluted 1:5 (100 µl Flunarizine serum + 400 µl water) and stored at 2-80C until the 10 mg 11.60 ± 10.86 ± <0.001 4.92 ± 2.44 ± <0.001 2.38 2.49 0.57 0.65 time of analysis. Amitriptyline 12.5 mg 11.89 ± 11.69 ± <0.001 5.09 ± 1.74 ± <0.001 1.76 1.81 0.51 0.62 Glutamate concentrations in serum samples were analysed using Glutamate ELISA Kit (KA1909- Before vs. after 15-day treatment: P < 0.05 (t - test for paired data) Abnova) according to manufacturers’ instructions and Chemwell 2910 analyser. There are three steps of the glutamate assay procedures: extraction, derivatisation The most significant decrement of NRS was and ELISA. Extraction procedures were performed found in amitriptyline 12.5 mg group, whereas the manually, whereas derivatisation and ELISA were most decrement of serum glutamate concentration done robotically using Chemwell 2910 analyser. Limit was found in flunarizine 5 mg group. (Figure 1 and of detection of Glutamate Elisa Kit (KA1909-Abnova) Figure 2). is 0.3 µg/ml or equals 2.04 µmol/L.

Data analysis

Serum glutamate levels and NRS scores before and after 15-days treatment were analysed by using T-test for paired data. Kruskal-Wallis test followed by post hoc analysis with Mann-Whitney test was used to determine the most significant treatment effects between groups. All data were expressed as mean ± S.D. P < 0.05 was considered to be significant

Figure 1: Serum concentration decrement (Mean ± S.D.) of Results glutamate (µg/L) in CTTH patients, before and after 15-day of treatment

Characteristics of CTTH patients in this study are based on sociodemographic characteristics that After flunarizine 5 mg administration the NRS include gender, age, history of CTTH and psychiatric scores showed very weak negative and non- evaluation. Majority of patients were female, married significant correlation (R = - 0.062; P = 0.385) with and the mean history of CTTH (4.78 ± 2.29) years. serum glutamate concentration. None of the patients has a psychiatric disorder.

Both serum glutamate levels and NRS scores were significantly lower after 15 days treatment with 5 mg and 10 mg flunarizine as well as with 12.5 mg amitriptyline. Serum glutamate decrement levels continued to be significantly higher in flunarizine 5 mg group (1.19 ± 1.13 µg/L) than in flunarizine 10 mg group ( 0.75 ± 0.60 µg/L) and amitriptyline 12.5 mg group (0.20 ± 0.23 µg/L) (P < 0.001, Kruskal-Wallis test followed by Mann-Whitney post hoc testing). Decreased NRS score was found significantly in all three groups (flunarizine 5 mg, 1.12 ± 0.78 µg/L; flunarizine 10 mg, 2.48 ± 0.65 µg/L and amitriptyline

12.5 mg, 3.35 ± 0.71 µg/L) (P < 0.001, Kruskal-Wallis test followed by Mann-Whitney post hoc testing) compared before and after treatment (Table 2). Figure 2: Numeric Rating Scale for Pain (NRS Scores) decrement (mean ± S.D.) in CTTH patients, before and after 15-day treatment

______

Open Access Maced J Med Sci. 2017 Oct 15; 5(6):757-761. 759

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Clinical Science ______The NRS scores also showed very weak significant reductions of serum glutamate levels negative and non-significant correlation (R = - 0.007; followed by decreased headache intensity. There was P = 0.488) after flunarizine 10 mg administration. also found moderate positive correlations (r = 0.508; P Moderate positive correlation (R = 0.508; P = 0.007) = 0.007) between serum glutamate and headache was found between NRS scores and serum glutamate intensity. It revealed that the decreased headache concentration after amitriptyline 12.5 mg intensity after amitriptyline treatment might be related administration (Table 3). to serum glutamate reduction. Amitriptyline blocks the neuronal reuptake of serotonin and noradrenaline, Table 3: Correlation between NRS scores and serum Glutamate although this is not the only mode of action of its concentration (µg/L) after treatment with Flunarizine 5 mg, antinociceptive properties. N-methyl- D-aspartate Flunarizine 10 mg and Amitriptyline 12.5 mg (NMDA) receptor antagonism and blockade of NRS SCORE AFTER TREATMENT muscarinic receptors and ion channels may play a Flunarizine 5 mg Flunarizine 10 mg Amitriptyline 12.5 role as well [15, 16]. mg R P N R P N R P N Accumulated evidence has demonstrated that Glutamate - 0.062 0.385 25 - 0.007 0.488 25 0.508 0.007 23 amitriptyline likely affects multiple receptors (µg/L) associated with pain modulation. For example, amitriptyline has been found to interact with opioids NRS = Numeric Rating Scale for pain (Headache Intensity); r = correlation; P = significance; N = number of patients. receptors, to inhibit the cellular uptake of adenosine, and to block N-methyl-D-aspartate (NMDA) receptors [15].

The reduction of serum glutamate levels after 15-day flunarizine treatment reveals that flunarizine influence the glutamatergic transmission in the Discussion pathogenesis of a tension-type headache. Although glutamate is thought not to readily cross the blood- brain barrier, the levels of glutamate in the blood are In this study, the administration of flunarizine positively correlated with the cerebrospinal fluid (CSF) for 15 days was followed by a significant reduction of levels of glutamate in humans. McGale et al. 1977 serum glutamate levels and headache intensity in reported that the concentration of 13 amino acids in CTTH patients. The relationship between the CSF had been shown to be directly related to the reduction of serum glutamate concentration and plasma concentration [17]. Alfredsson et.al. 1988 headache intensity after treatment with flunarizine in found that the serum and CSF levels of glutamate the present study was more likely an association than were positively correlated (R = 0.67, P < 0.05) [18]. a causal one since there was no significant correlation Thus, the peripheral glutamate levels can be found between serum glutamate levels and headache postulated to reflect the glutamate levels in the brain intensity in CTTH patients. per se. In fact, increased plasma levels of glutamate The mechanism which makes most have been reported in some neuropsychiatric prophylactic drugs effective in CTTH is not completely disorders, such as epilepsy, Alzheimer’s disease and understood. Our results support the hypothesis that amyotrophic lateral sclerosis, in which glutamate there might be a commonality or overlap of a signal excitotoxicity is thought to play a role in the pathophysiology [19-21]. barrage to the spinal or brainstem in chronic pain or chronic headache states. The glutamate system might Our results have shown that decreased serum be the point of amplification or reinforcement of the glutamate levels followed by reduction of headache pain transmission cascade in these clinical conditions. intensity in the treatment with amitriptyline in CTTH Flunarizine, a calcium channel blocker, can cross patients. It is suggested that the reduction of blood brain barrier and could inhibit the release of headache intensity in CTTH patients after amitriptyline glutamate just blocking the voltage-dependent calcium administration occurs through the pathway of channel. It blocks calcium influx so that suppression of decreasing serum glutamate since there was neuron hyper-excitability results in reducing headache significant correlation found between serum glutamate intensity [6, 13, 14]. In this study, there were found levels and pain intensity in CTTH patients. significant reductions of serum glutamate levels Conversely, since there was no significant correlation followed by decreased headache intensity after found between serum glutamate and headache flunarizine treatment. However, there was found non- intensity after treatments with flunarizine, it is significant very weak negative correlation (r = -0.062; suggested that decreasing of headache intensity P = 0.385) between serum glutamate and headache occur not through glutamate pathways. However, our intensity. It revealed that decrease headache intensity data must be interpreted cautiously, considering the after flunarizine treatment occurred not through the limited size of the sample. reduction of serum glutamate levels in CTTH patients. After amitriptyline treatment, there were found

______

760 https://www.mjms.mk/ https://www.id-press.eu/mjms/

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Surbakti et al. Effect of Flunarizine on Serum Glutamate Levels and its Correlation with Headache Intensity ______

References 12. Headache Classification Subcommittee of the International Headache Society. The International Classification of headache Disorders. Cephalalgia. 2004; 24(Suppl. 1): 1–160. 1. Stovner, LJ, Hagen, K, Jensen, R, Katsarava, Z,Lipton, RB, Scher, A, et.al. The global burden of headache: a documentation of 13. Cousin MD, Nicholls DG, Pocock JM. Flunarizine inhibits both headache prevalence and disability worldwide. Cephalalgia. calcium- dependent and -independent release of glutamate from 2007;27: 193-210. https://doi.org/10.1111/j.1468- synaptosomes and cultured neurones. Brain Research. 1993; 2982.2007.01288.x PMid:17381554 606:227-236. https://doi.org/10.1016/0006-8993(93)90989-Z

2. Sjahrir, H. Nyeri Kepala 1. USU Press. Medan; 2004. 14. Kataki, MS, Kumar, KTMS, Rajkumari, A. Neuropsycho- 3. Sacco S, Ricci S, Carolei A. Tension-type Headache and pharmacological Profiling of Flunarizine: A Calcium Channel Blocker. Int.J. PharmTech Res. 2010; 2(3):1703-11713. Systemic Medical Disorders. Curr Pain Headache Rep. 2011; 15: 438-443. https://doi.org/10.1007/s11916-011-0222-2 15. Su M, Liang L and Yu S. Amitriptyline Therapy in Chronic PMid:21861098 Pain. Int Arch Clin Pharmacol. 2015;1(1):1-5. https://doi.org/10.23937/2572-3987.1510001 4. Headache Classification Committee of the International Headache Society. The International Classification of Headache 16. Tomkins GE, Jackson JL, O'Malley PG, Balden E, Santoro Disorders: 3rd edition. Cephalalgia. 2013; 33(9):629-808. JE. Treatment of Chronic Headache with Antidepressants: A 5. Bendtsen, L. Central sensitization in tension-type headache Meta-analysis. Am J Med. 2001; 111:54-63. https://doi.org/10.1016/S0002-9343(01)00762-8 - possible pathophysiological mechanisms. Cephalalgia. 2000; 20:486–508. https://doi.org/10.1046/j.1468-2982.2000.00070.x 17. McGale EH, Pye IF, Stonier C, Hutchinson EC, Aber GM. PMid:11037746 Studies of the inter- relationship between cerebrospinal fluid and 6. Chen, Y. Advances in the Pathophysiology of Tension-type plasma amino acid concentrations in normal individuals. J Headache: From Stress to Central Sensitization. Current Pain & Neurochem. 1977; 29: 291–297. https://doi.org/10.1111/j.1471- 4159.1977.tb09621.x PMid:886334 Headache Reports. 2009; 13:484-494. https://doi.org/10.1007/s11916-009-0078-x 18. Alfredsson G, Wiesel FA, Tylec A. Relationships between 7. Gasparini CF, Smith RA and Griffiths LR. Biochemical Studies glutamate and monoamine metabolites in cerebrospinal fluid of the Neurotransmitter Glutamate: A Key Player in Migraine. and serum in healthy volunteers. Biol Psychiatry. 1988; 23: 689– Austin J Clin Neurol. 2015; 2(9):1079. 697. https://doi.org/10.1016/0006-3223(88)90052-2

8. Huang L, Bocek M, Jordan JK, Sheehan AH. Memantine for 19. Martinez M, Frank A, Diez-Tejedar E, Hernanz A. Amino acids the Prevention of Primary Headache Disorders. Annals of concentration in cerebrospinal fluid and serum in Alzheimer Pharmacotherapy. 2014;1-5. disease and vascular dementia. J Neural Transm [P-D Sect]. 1993; https://doi.org/10.1177/1060028014548872 6: 1-9. https://doi.org/10.1007/BF02252617

9. Ferrari A, Spaccapelo, L, Pinetti, D, Tacchi, R, Bertolini, A. 20. Rainesalo S, Keränen T, Palmio J, Peltola J, Oja SS, Effective prophylactic treatments of migraine lower plasma glutamate Saransaari P. Plasma and Cerebrospinal Fluid Amino Acids in levels. Cephalalgia. 2008; 29:423-429. https://doi.org/10.1111/j.1468- Epileptic Patients. Neurochemical Research. 2004 ;29(1): 319– 2982.2008.01749.x PMid:19170689 324. https://doi.org/10.1023/B:NERE.0000010461.34920.0c PMid:14992292 10. Clauhan S, Devi P & Nidhi. Pharmacological profile of flunarizine: A calcium channel blocker. International Journal 21. Ilzecka J, Stelmasiak Z, Solski J, Wawrzycki S, Szpetnar M. of Innovative Pharmaceutical Sciences and Research. 2014; Plasma amino acids concentration in amyotrophic lateral 2(6):1260-1269. sclerosis patients. Amino Acids. 2003; 25: 69–73. https://doi.org/10.1007/s00726-002-0352-2 PMid:12836061 11. Mohammed BP, Goadsby PJ, Prabhakar P. Safety and efficacy of flunarizine in childhood migraine: 11-year experience with emphasis on its hemiplegic migraine. 2011. Available from: http://dx.doi.org/10.1111/J.1469- 8749.2011.04152.x

______

Open Access Maced J Med Sci. 2017 Oct 15; 5(6):757-761. 761

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA