GAYA BAHASA KUMPULAN PUISI HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Tri Windusari NIM 1811013000015

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

GAYA BAHASA KUMPULAN PUISI HUJAN BUL, N JANI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAII MENENGAH PERTAMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarj ana Pendidikan

Oleh

Tri Windusari NIM 1811013000015

bimbinsan

NIP. 197601 18200912 1002

JURUSAN PENDIDIKAI\ BAIIASA DAN SASTRA INDOI\'ESIA F'AKULTAS ILMU TARBIYAH DAII KEGURUAI\ UNTVERSTTAS rSLAM r\-EGERT (UrN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi berjudul Gaya Bahasa Kumpulan Pruisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Pertama disusun oleh Tri Windusari, NIM 1811013000015, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.

Jakarta, Desember 2014

Yang mengesahkan.

NIP. 197601 182009121002 LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul Gaya Bahasa Kumpulan Puisi Huian Bulan tluni Karya Sapardi Djoi

Panitia Uj ian Munaqosah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi) Tanggal

Dra. Hindun. M.Pd. NIP 1 970 1 2 152009122001

Sekretaris ( Sekretaris JurusarVProgram Studi) n. 1anu,rfl zDt! Dona Aii Karunia Putra. M.A. NIP 19840409201101101

Penguji I 20t5 Dra. Hindun. M.Pd.

NrP 1 970 12 152009122001

Penguji II

Dra. Mahmudah FitriYah ZA.. M.Pd. /2-/-a)K NrP 1 96402121997 032001 Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Nurlena Rifa/(, M.A-- Ih.D. NIP 1 959 [020] 986032001 SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini.

Nama Tri S/indusari

Tempat/Tanggal lahir Jakafta, 2l September 1978 NIM l8t 1013000015 Jurusan/Prod i Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Judul Skripsi Ga1'a Bahasa Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Pertama.

Dosen Pembimbing Ahmad Bahtiar. NI.Hurn. dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya turis. Pernl'ataan ini dibuat sebagai sarah satu syarat menempuh ujian munaqosah.

Jakarta, Desember 2014

Tri Windusari 181r01300001s

DALAM DIRIKU

Because the sky is blue It makes me cry

(The Beatles) dalam diriku mengalir sungai panjang, darah namanya; dalam diriku menggenang telaga darah, sukma namanya; dalam diriku meriak gelombang sukma, hidup namanya; dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya

1980 (Dalam Hujan Bulan Juni-Sapardi Djoko Damono-) ABSTRAK

TRI WINDUSARI, 1811013000015, “Gaya Bahasa Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Pertama”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M.Hum., Desember 2014. Tujuan penelitian adalah untuk; 1) menganalisis gaya bahasa dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono; 2) mendeskripsikan implikasi penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono terhadap pembelajaran sastra di sekolah menengah pertama. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis melalui pendekatan stilistika. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi dan dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah model analisis data mengalir. Hasil penelitian menunjukkan gaya bahasa yang sering muncul dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono adalah gaya bahasa perbandingan yang mencakup gaya bahasa personifikasi, metafora, dan alegori. Efek yang ditimbulkan dari penggunaan gaya bahasa tersebut adalah membuat gagasan dan emosi lebih nyata. Selanjutnya, gaya bahasa perulangan juga banyak ditemukan yang meliputi gaya bahasa aliterasi, mesodiplosis, dan anafora. Secara keseluruhan gaya bahasa yang digunakan sebanyak sembilan belas gaya bahasa, yaitu metafora, personifikasi, alegori, hiperbola, litotes, paradoks, klimaks, antiklimaks, hipalase, erotesis, elipsis, sinekdoke, aliterasi, asonansi, epizeukis, anafora, mesodiplosis, dan epanalepsis. Implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah adalah membantu siswa untuk mengerti dan memahami penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra khususnya puisi sehingga dapat memudahkan siswa untuk mampu menganalisis struktur fisik maupun batin puisi dan mampu menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang tepat.

Kata Kunci: Hujan Bulan Juni, gaya bahasa, pembelajaran sastra

i

ABSTRACT

TRI WINDUSARI, 1811013000015, "Language Style set of rains in June Poetry Works Sapardi Djoko Damono and Its Implications Of Learning Literature in Secondary Schools", Education Department of Indonesian Language and Literature, Faculty of Tarbiyah and Teaching, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M.Hum., December 2014 . The purpose of the study is to; 1) analyze the language style of poetry Rain In June works Sapardi Djoko Damono; 2) describe the implications of the use of a style that is contained in a collection of poetry Rain In June Sapardi Djoko Damono work towards learning literature in secondary schools. Methods This study used a descriptive method of analysis through stilistika approach. Data collection techniques in this study using observation and documentation. Analysis of the data used is a model of data flow analysis. The results showed a style that often appears in a collection of poetry Rain In June works Sapardi Djoko Damono comparison is a style that includes style personification , metaphors , and allegories. The effects of the use of the language style is made more real ideas and emotions. Furthermore, looping style is also found that the style of language includes alliteration, mesodiplosis , and anaphora. Overall the style of language used as language style nineteen, namely metaphor, personification, allegory, hyperbole, litotes, paradox, climax, anticlimax, hipalase, erotesis, ellipsis, sinekdoke, alliteration, assonance, epizeukis, anaphora, mesodiplosis, and epanalepsis. Implications for the learning of literature in school is to help students to understand the language and understand the use of force contained in the literature, especially poetry so as to facilitate the students to be able to analyze the physical structure and inner poetry and be able to write poetry with right diction .

Keywords : Rain In June , the style of language , learning literature

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmatnya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah menjauhkan kita dari zaman kebodohan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar sarjana pendidikan pada program Dual Mode System Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Tanpa bantuan dan peran dari berbagai pihak, skripsi ini tidak dapat terwujud. Apresiasi dan terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan skripsi ini. Secara khusus, apresiasi dan terimakasih tersebut, penulis sampaikan kepada,

1. Dra. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan sehingga memperlancar penyelesaian skripsi ini; 2. Dra. Hindun, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu memberikan perhatian, dan dukungan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini; 3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing skripsi yang sangat berpengaruh dalam penyelesaian skripsi ini serta telah mengenalkan dan menumbuhkan kecintaan penulis terhadap dunia sastra; 4. Dona Aji Karunia Putra, M.A., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan bantuan sehingga penulis mendapat kemudahan untuk menyelesaikan skripsi ini; 5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan;

iii

6. Yayasan Pendidikan Islam Ar-Rasyidiyyah yang telah mendukung penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 7. Seluruh keluarga untuk cinta dan kasih yang diberikan kepada penulis sehingga penulis terus semangat untuk menyelesaikan skripsi ini; 8. Teman-teman seperjuangan mahasiswa program Dual Mode System Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah berjuang bersama dan saling menguatkan selama belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga Allah merahmati dan mencatat semua bentuk bantuan yang diberikan kepada penulis sebagai amal kebaikan. Aamiin.

Jakarta, Desember 2014

Tri Windusari

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQOSAH SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK...... i KATA PENGANTAR...... iii DAFTAR ISI...... ……..v DAFTAR LAMPIRAN...... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Identifikasi Masalah...... 5 C. Pembatasan Masalah ...... 5 D. Perumusan Masalah...... 6 E. Tujuan Penelitian ...... 6 F. Manfaat Penelitian ...... 6 BAB II KAJIAN TEORETIS...... 7 A. Acuan Teori ...... 7 1. Hakikat Puisi ...... …....……………...7 a. Pengertian Puisi...... 7 b. Jenis-jenis Puisi...... 8 2. Hakikat Gaya Bahasa...... 16 a. Pengertian Gaya Bahasa...... 16 b. Jenis-jenis Gaya Bahasa………………………………....…………...... 18 c. Manfaat Gaya Bahasa………………………………...... ….…...25 3. Pengajaran Apresiasi Puisi di Sekolah…………...………...... ……..….....26 B. Hasil Penelitian yang Relevan...... 32 BAB III METODE PENELITIAN...... 34 A. Metode Penelitian ...... 34

v

B. Sumber Data ...... 35 C. Teknik Pengambilan Sampel...... 36 D. Teknik Pengumpulan Data ...... 39 E. Teknik Analisis Data...... 40 BAB IV PEMBAHASAN A. Deskripsi Temuan Penelitian...... 43 B. Hasil Analisis Data...... 55 C. Penafsiran dan Uraian Penelitian...... 56 D. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah...... 64 BAB V PENUTUP A. Simpulan ...... 67 B. Saran...... 68 DAFTAR PUSTAKA LEMBAR UJI REFERENSI LAMPIRAN

vi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) 2. Lembar kerja siswa (LKS) 3. Surat bimbingan skripsi 4. Sampul buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni 5. 25 naskah puisi Hujan Bulan Juni 6. Riwayat hidup penulis

vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran sastra di sekolah merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Banyak manfaat yang dipetik dengan mempelajari sastra, seperti yang dikatakan oleh Horatius ‘Dulce et Utile’. Ungkapan yang berarti menyenangkan dan bermanfaat ini, berkaitan dengan segala aspek hiburan yang diberikan dan segala pengalaman hidup yang ditawarkan oleh sastra. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan–tangan kreatif yang merupakan penjabaran kehidupan yang terjadi di muka bumi ini baik masa lalu maupun kini. Karya sastra pada dasarnya adalah hasil renungan sastrawan untuk mengungkapkan apa yang dilihat, dirasa, dipikirkan, didengar, disentuh ataupun yang dicium secara imajinatif dengan menggunakan medium bahasa. Dalam konteks ini sastra adalah hasil imajinatif kreatif yang tidak terlepas dari kenyataan empirik pengarangnya.1 Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya tidak saja merupakan suatu media untuk menampung dan menyampaikan ide, teori atau sistem berpikir, tetapi juga harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Di samping itu, sastra harus pula mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia.2 Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa bahasa adalah media sastra. Sebagai media, fungsi bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya yaitu fungsi komunikasi. Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada bahasa,

1Ahmad Bahtiar, Metode Penelitian Sastra, (Jakarta: Pustaka Mandiri, 2011), h. 35. 2M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 8.

1 2

deretan kata, namun unsur “kelebihan”nya itu pun hanya dapat diungkap dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa.3 Dasar penggunaan bahasa dalam sastra bukan sekedar paham, tetapi yang lebih penting adalah keberdayaan pilihan kata itu mengusik dan meninggalkan kesan kepada sensitifitas pembaca.4 Salah satu genre sastra yang sangat menitikberatkan pada persoalan pilihan kata adalah puisi. Karya sastra puisi merupakan ungkapan perasaan penyair yang diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan tepat sehingga bernilai estetis. Para penyair memilih kata-kata yang bermakna kias atau menggunakan makna lambang. Kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair karena itulah kata-kata dalam puisi seringkali mengandung makna lain dari makna sebenarnya. Dalam menulis puisi, penyair sangat cermat ketika memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu.5 Oleh sebab itu, di samping memilih kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan kata dan kekuatan yang ditimbulkannya. Cara menyusun urutan kata-kata itu bersifat khas karena penyair yang satu berbeda caranya dengan penyair yang lain. Kekhasan tersebut sangat penting untuk kekuatan ekspresi juga menunjukkan ciri khas. Masalah pemilihan kata dalam puisi tidak terlepas dari struktur kebahasaan puisi yang memanfaatkan gaya bahasa untuk memperjelas apa yang ingin dikemukakan. Penggunaan stile, (style, gaya bahasa, majas) dalam puisi akan memengaruhi gaya dan keindahan bahasa karya tersebut. Majas secara tradisional dapat disamakan dengan gaya bahasa. Sebaliknya, menurut teori sastra

3 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (: Press, 2005), h. 272. 4Semi, op. cit., h. 13. 5Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1995), h. 72.

3

kontemporer majas hanyalah sebagian kecil dari gaya bahasa.6 Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa gaya bahasa lebih luas dari majas. Penggunaan gaya bahasa menyebabkan puisi menjadi prismatis yang artinya memancarkan banyak makna. Selain itu, gaya bahasa juga digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa sehingga akan memberikan kesan kemurnian, kelembutan, keindahan, kadang-kadang bahkan mengejutkan. Kesan yang demikian, misalnya dapat kita rasakan ketika membaca kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Hujan Bulan Juni pertama kali diterbitkan oleh Grasindo, tahun 1994, berisi sepilihan sajak yang ditulis pada rentang waktu tahun 1964 sampai 1994. Sajak- sajak itu berasal dari beberapa buku puisi, yakni Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1984). Di samping itu ada sejumlah sajak yang belum pernah dimuat dalam buku puisi Sapardi sebelumnya. Hujan Bulan Juni sudah dicetak ulang beberapa kali, dan setiap kali cetak ulang ada sedikit perubahan yang berupa koreksi, penambahan atau pengurangan sajak. Buku cetakan kedua terbitan PT Gramedia ini pun mengalami perubahan, terutama yang menyangkut jumlah dan waktu penulisannya. Secara keseluruhan, kumpulan puisi ini berisi 102 judul puisi. Membaca Hujan Bulan Juni tentu tidak terlepas dari pengarangnya, yaitu Sapardi Djoko Damon. Sapardi dilahirkan di Solo sebagai anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah, 20 Maret 1940. Ia tinggal di Ngadijayan, kira- kira 500 meter dari rumah Rendra.7 Pendidikan yang dijalaninya adalah SR Kraton “Kasatriyan”, Baluwarti, Solo. Setelah tamat SR, Sapardi melanjutkan ke SMPN II Solo. Kemudian lanjut ke SMA dan kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan, UGM, Jurusan Sastra Inggris. Dia juga pernah memperdalam pengetahuan tentang humanities di University of Hawaii tahun 1970-1971.8

6Nyoman Kutha Ratna, Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 164. 7 Bakdi Soemanto, Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2006), h. 1. 8 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 225.

4

Sapardi menulis puisi sejak tahun 1957 ketika masih menjadi murid SMA tetapi baru menerbitkan buku puisi pertama, Duka-Mu Abadi, tahun 1969. Beberapa buku puisinya yang kemudian terbit adalah Mata Pisau, Akuarium, Perahu Kertas, Sihir Hujan, hujan Bulan Juni, Arloji, Ayat-ayat Api, Mata Jendela, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Kolam, Namaku Sita, dan Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita. Buku fiksi yang telah dibukukan adalah Pengarang Telah Mati, Pengarang Belum Mati, dan Pengarang Tak Pernah Mati; ketiga cerita itu kemudian disatukan dalam Trilogi Soekram. Sejak tahun 1978 Sapardi telah menerbitkan sejumlah buku nonfiksi. Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Sejumlah sajak dan esainya dibukukan dalam bahasa Jepang di Tokyo tahun 1986. Pada 1998 sampai dengan 2012 terjemahan sejumlah sajaknya dalam bahasa Inggris terbit.9 Sapardi juga menerjemahkan karya sastra dunia. Sejumlah penghargaan telah diterima Sapardi, salah satunya adalah penghargaan dari Akademi Jakarta untuk pencapaiannya di bidang kebudayaan pada tahun 2012. Sapardi dikenal sebagai tokoh imajis dengan puisi-puisi naratif. Puisinya menskemakan imaji-imaji manusia secara simbolis atau alegoris.10 Menikmati puisi Sapardi akan membawa pembaca kepada pengalaman bertualang di dalam jagat kata yang sulit dicarikan tandingannya.11 Terkait dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah memahami gaya bahasa tidak hanya membuat siswa terampil berbahasa tetapi juga dapat memudahkan siswa untuk memahami dan menghayati karya sastra, khususnya puisi. Dengan demikian diharapkan siswa dapat lebih mengenal, memeroleh kenikmatan menggauli puisi, bahkan memeroleh kesadaran yang lebih baik terhadap diri sendiri, orang lain, serta kehidupan sebagai upaya pembentukan watak baik. Namun kenyataannya, pembelajaran mengenai gaya bahasa ini masih kurang mendapat perhatian, guru biasanya hanya menyisipkan

9 Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 119. 10 Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta (ed.). Membaca Sapardi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 56. 11Soemanto, op. cit., h.96.

5

dan mengenalkan materi ini sekedarnya, tidak menjadikan pembelajaran ini sebagai salah satu kompetensi yang harus dikuasai siswa, sementara itu dalam kurikulum pembelajaran apresiasi puisi, siswa diminta untuk dapat menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai dan dengan memerhatikan unsur persajakan, mampu mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi, mampu menganalisis unsur-unsur syair dan mampu menjawab soal ujian nasional yang terkait dengan gaya bahasa. Hasilnya, ketercapaian mereka dalam pembelajaran apresiasi puisi kurang memuaskan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman siswa tentang gaya bahasa. Berdasarkan latar belakang itulah, penulis ingin mendeskripsikan gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. B. Identifikasi Masalah Mengacu pada latar belakang yang telah dituliskan, maka masalah penelitian yang muncul sebagai berikut. 1. Lemahnya pengajaran puisi di sekolah terkait dengan gaya bahasa. 2. Kurangnya pengetahuan siswa tentang macam-macam gaya bahasa. 3. Kurangnya pemahaman siswa tentang gaya bahasa dalam puisi. C. Pembatasan Masalah Setelah mengidentifikasi masalah, penulis akan membatasi permasalahan pada dua hal berikut. 1. Penelitian ini akan mendeskripsikan gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. 2. Penelitian ini akan mendeskripsikan implikasi penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono terhadap pembelajaran sastra di SMP.

6

D. Perumusan Masalah Adapun perumusan masalahnya sebagai berikut. 1. Bagaimana deskripsi gaya bahasa dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono? 2. Bagaimana implikasi penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono terhadap pembelajaran sastra di SMP? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan gaya bahasa dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. 2. Mendeskripsikan implikasi penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono terhadap pembelajaran sastra di SMP. F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan bidang bahasa dan sastra Indonesia sehingga dapat menjadi acuan dalam pembelajaran yang bertujuan untuk pembentukan karakter. 2. Manfaat praktis Hasil analisis ini diharapkan berguna bagi. a. Guru, sebagai bahan pengajaran puisi dan gaya bahasa. b. Penulis, untuk menambah khasanah pengetahuan tentang puisi karya Sapardi Djoko Damono dan gaya bahasa yang digunakannya.

BAB II KAJIAN TEORETIS

A. Acuan Teori 1. Hakikat Puisi a. Pengertian puisi Poerwadarminta mengartikan puisi sebagai karangan kesusastraan yang berbentuk sajak (syair, pantun, dsb).1 Damono dalam Soemanto memberikan pandangan tentang puisi, yaitu “Puisi, bagi saya adalah hasil upaya manusia untuk menciptakan dunia kecil dan sepele dalam kata, yang bisa dimanfaatkan untuk membayangkan, memahami, dan menghayati dunia yang lebih besar dan lebih dalam.”2 Mulyana dalam Semi menyatakan bahwa puisi adalah sintesis dari pelbagai peristiwa bahasa yang telah tersaring semurni-murninya dan pelbagai proses jiwa yang mencari hakikat pengalamannya, tersusun dengan sistem korespondensi dalam salah satu bentuk.3 Lain halnya dengan Reeves dalam Waluyo memberikan batasan yang berhubungan dengan struktur fisik puisi dengan menyatakan bahwa puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh pikat.4 Tarigan dalam Djojosuroto memberikan definisi lain tentang puisi, menurutnya puisi adalah hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dari kata- kata.5 Kemudian dalam buku yang sama Dickenson mengatakan kalau aku

1W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 105. 2Bakdi Soemanto, Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2006), h. 50. 3M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 93. 4Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1995), h. 72. 5Kinayati Djojosuroto dan Noldy Pelenkahu, Teori dan Pemahaman Apresiasi Puisi, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), h. 21.

7

8

membaca sesuatu dan dia membuat tubuhku begitu sejuk, sehingga tiada api yang bisa memanaskan aku, maka aku tahu bahwa itu adalah puisi.6 Pendapat lain dari Ralph Waldo Emerson mengatakan bahwa puisi merupakan upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan dan alasan yang menyebabkannya ada.7 Dari beberapa pengertian tersebut maka interpretasi penulis tentang puisi adalah salah satu hasil seni sastra yang merupakan ekspresi jiwa pengarangnya dengan menggunakan bahasa yang indah. b. Jenis-jenis puisi 1) Berdasarkan periodisasi puisi, yaitu.8 a) Puisi Lama Jenis-jenis puisi lama antara lain. (1) Mantra Mantra merupakan puisi tertua di Indonesia yang kata- katanya mengandung kekuatan gaib. Hal ini dianggap dapat mempermudah untuk berhubungan dengan Tuhan, dewa-dewi ataupun penguasa alam. Mantra hanya boleh diucapkan oleh orang tertentu, pada waktu dan tempat yang tertentu pula karena mantra sering dianggap sakral. Contoh. Mantra yang diucapkan pada masa menabur benih. Sri Dongamala, Sri Dongamala Hendak kirim anak sembilan bulan, Segala inang, segala pengasuh, Jangan beri sakit, jangan beri demam, Jangan beri ngilu dan pening Kecil menjadi besar, Tua menjadi muda Yang tak kejap diperkejap Yang tak sama dipersama Yang tak hijau diperhijau

6Ibid., h. 22. 7Ibid. 8Ibid., h. 153. 9

Yang tak tinggi dipertinggi, Hijau seperti air laut, Tinggi seperti bukit kap

(2) Bidal Bidal adalah susunan kalimat puisi singkat yang mengandung kiasan. Dipergunakan untuk menyatakan sesuatu tidak secara berterus terang, melainkan melalui sindiran ataupun perlambang. Jenis bidal mencakup peribahasa, pepatah, tamsil, perumpamaan, ibarat, serta pemeo. Seluruh jenis tersebut dinyatakan dalam kalimat-kalimat singkat. Contoh bidal yang termasuk jenis tamsil. Ada ubi ada talas, ada budi ada balas (3) Pantun dan Karmina Pantun memiliki syarat-syarat sebagai berikut, terdiri atas 8-12 suku kata, tiap bait terdiri atas 4 larik, 2 larik pertama merupakan sampiran, sedangkan 2 larik berikutnya merupakan isi, dan bersajak sengkelang a-b-a-b. Contoh. Lihatlah semut sedang berbaris Mengangkat nasi bergotong-royong Marilah adik jangan menangis Mendekat sini abang’kan tolong (4) Talibun Talibun termasuk jenis pantun yang jumlah lariknya selalu genap, dengan jumlah minimal 6 larik dalam 1 bait. Seperti layaknya pantun, talibun juga terdiri atas sampiran dan isi yang masing-masing setengah bagian. Apabila sebuah talibun terdiri atas 6 larik, maka 3 larik pertama merupakan sampiran. Talibun bersajak selang a-b-c-a-b-c atau a-b-c-d-a-b-c-d.

10

Contoh. Di kala katak tersepak pelita Menarilah kuda di batu akik Dikejar teledu terkena pahat Jika hendak anak sempurna Carilah di guru cerdik Mengajar ilmu dunia akhirat (5) Seloka Seloka adalah puisi yang susunan kalimatnya berisi nasihat, sindiran ataupun seloroh. Tiap bait seloka terdiri atas 4 larik. Perbedaannya dengan pantun adalah seloka bersajak akhir sama a- a-a-a. Ada sebagian pakar yang berpendapat bahwa seloka merupakan pantun berkait. Contoh. Taman melatih di rumah-rumah Ubur-ubur sampingan dua Kalau mati kita bersama Satu kubur kita berdua

Ubur-ubur sampingan dua Taman melatih bersusun tangkai Satu kubur kita berdua Kalau boleh bersusun bangkai

(6) Gurindam Gurindam adalah susunan kalimat yang berisi nasihat atau petuah, yang setiap baitnya terdiri dari 2 larik. Larik pertama merupakan sebab, sedangkan larik kedua merupakan akibat. Biasanya gurindam terdiri dari kalimat majemuk yang kemudian dibagi menjadi 2 larik bersajak induk kalimat dan anak kalimat. Kebanyakan gurindam bersajak sempurna a-a, namun ada pula yang bersajak paruh a-b. Penyair gurindam yang sangat terkenal adalah Raja Ali Haji, dengan karyanya yang berjudul Gurindam XII.

11

Contoh. Apabila terpelihara mata, sedikitlah cita-cita. (7) Syair Syair adalah susunan kalimat yang dipergunakan untuk melukiskan atau menceritakan sesuatu yang mengandung unsur mitos ataupun sejarah. Ciri sebuah syair terdiri atas 4 larik, yang setiap lariknya terdiri atas 8-12 suku kata. Bersajak sama a-a-a-a, serta tidak memiliki sampiran. Keempat larik syair merupakan suatu rangkaian cerita yang utuh yang menggambarkan isi. Biasanya syair tidak hanya terdiri atas 1 bait karena syair berbentuk cerita. Penggubah syair yang terkenal di Indonesia diantaranya bernama Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dengan Syair Perihal Singapura Dimakan Api dan Hamzah Fansuri dengan Syair Perahu, dan Syair si Burung Pingai. b) Puisi Baru (1) Berdasarkan bentuk ada 8 jenis, yaitu.9 (a) Distichon, puisi yang terdiri atas 2 larik dalam 1 bait atau sajak 2 seuntai. Contoh. Hang Tuah

Bay berpuput alun digulung Banyu direbut buih dibubung

Selat Malaka ombaknya memecah Pukul-pukul belah membelah

Dan seterusnya (Amir Hamzah)

9Ibid., h. 170. 12

(b) Terzina, sajak 3 seuntai. Contoh. Di mana tempat cinta sejati....?

Bukan di rimba lebat dan sunyi Bukan di puncak bukit yang tinggi Bukan di pinggir samudera yang sepi Jangan dicari di tempat memuja Di kuil tempat membakar dupa Di dalam gua tempat bertapa

(c) Quatrain, sajak 4 seuntai. Contoh. Kemuning

Kubuka jendela kutinjau ke luar Hawa sejuk masuk ke dalam Lega hatiku sukmaku segar Menghirup udara merenung alam Pohon kemuning sedang berkembang Memutih bunganya bergerak di tanah, Ada yang rontok ada yang kembang Semerbak wangi mengharum tanah

Dan seterusnya (Karim Halim) (d) Quint, sajak 5 seuntai. Contoh. Hanya Kepada Tuan Satu-satunya perasaan Yang saya rasakan Hanya dapat saya katakana Kepada Tuan

Yang pernah merasakan Satu-satunya kegelisahan Yang saya resahkan Hanya dapat saya kisahkan Kepada Tuan, Yang pernah diresah kegelisahan

Dan seterusnya (Omar Mandank)

13

(e) Sextet, sajak 6 seuntai. Contoh. Tanah Air

Tersenyumlah Tuan tanah airku Fajar tersingit di tepi langit Alamat surya terang cuaca Inilah kami bersusun bahu Rela berjuang menempuh sulit Menjunjung Tuan ke puncak jaya (M.Moh. Yamin) (f) Septima, sajak 7 seuntai. Contoh. Langit

Terang cuaca langit lazuardi Biru jernih bagai tak berisi Meninggi jauh, menurun dalam Melawas melingkungi alam Meskipun tak tampak, tahulah kita Langit menyimpan bintang berjuta Bergerak dinamis, getar senantiasa (Intojo) (g) Stanza, sajak 8 seuntai. Contoh. Pertanyaan anak kecil

Hai kayu-kayuan dan daun-daunan! Mengapakah kamu bersenang-senang? Tertawa-tawa bersuka-sukaan Oleh angin dan terbang, senang Adakah angin tertawa dengan kamu? Bercerita bagus menyenangkan hati? Aku tidak mengerti kesukaan kamu Mengapa kamu tertawa-tawa? (M.R. Dajoh)

14

(h) Soneta, sajak 14 larik yang biasanya dibagi menjadi 4 bait. Contoh. Menyesal

Pagiku hilang sudah melayang Hari mudaku sudah pergi Sekarang petang datang membayang Batang usiaku sudah tinggi Aku lalai di hari pagi Beta lengah di masa muda Kini hidup meracun hati Miskin ilmu, miskin harta Ah, apa gunanya kusesalkan Menyesal tua tiada berguna Hanya menambah luka sukma Kepada yang muda kuharapkan

Atur barisan dihari pagi Menuju ke arah padang baktil (Ali Hasymi) (2) Berdasarkan ekspresi, antara lain. (a) Puisi Naratif adalah puisi yang mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair. (b) Puisi Lirik adalah puisi yang mengandung curahan rasa dan suasana hati, sebagai cetusan isi hati penyairnya. Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono termasuk ke dalam jenis puisi lirik. (c) Puisi Deskriptif adalah puisi yang memaparkan suatu keadaan atau peristiwa yang menarik minat penyair. (d) Puisi Kamar adalah puisi yang cocok dibaca sendirian di dalam kama r. (e) Puisi Auditorium adalah puisi yang cocok dibaca di pentas, memerlukan banyak orang pendengar. (f) Puisi Epik adalah puisi yang mengandung unsur-unsur epik, cerita kepahlawanan, legenda, dan sejarah. 15

(3) Berdasarkan isi, antara lain. (a) Balada adalah puisi cerita yang berakhir dengan kesedihan. (b) Romans adalah puisi romantik, percintaan. (c) Elegi adalah puisi ratapan. (d) Himne adalah puisi pujian untuk menghormati dewa, Tuhan, pahlawan atau almamater. (e) Ode adalah puisi yang mengandung pujian terhadap seseorang atau sesuatu yang dianggap luhur. (f) Satire adalah puisi yang mengandung sindiran tajam terhadap situasi masyarakat. (g) Serenada adalah puisi percintaan yang bisa dinyanyikan. (4) Puisi Kontemporer, yaitu. (a) Puisi Mantra adalah puisi yang menggunakan unsur- unsur pokok kekuatan mantra.. Puisi mantra bukanlah mantra, namun puisi kontemporer yang mengambil sifat-sifat mantra seperti pada puisi Sutardji Calzoum Bachri. (b) Puisi Mbeling adalah puisi yang berciri utama kelakar. Tipografi sangat dimanfaatkan untuk mencapai suatu efek yang diharapkan. Kebanyakan puisi mbeling sekedar mengajak pembaca berkelakar. Ada pula yang berisi kritik terhadap kehidupan masyarakat, tetapi disampaikan dengan cara berkelakar pula. (c) Puisi Konkret dinamai pula puisi gambar. Puisi konkret menggunakan komunikasi nonverbal, tanpa adanya usaha penyair agar pembaca atau penikmat mampu memahaminya. 16

2) Berdasarkan gaya penulisan, yaitu. a) Puisi Diafan adalah puisi yang mudah ditangkap, mudah dicerna maknanya. b) Puisi Prismatis adalah puisi yang kelihatannya sulit dipahami tapi setelah dibaca berulang-ulang, akhirnya bisa ditangkap maknanya. c) Puisi Hernetis adalah puisi yang sulit dipahami maknanya. 2. Hakikat Gaya Bahasa a. Pengertian Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan atau membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum.10 Gaya bahasa dalam sastra dapat disebut dengan istilah stilistika.11 Secara etimologis stylistics berhubungan dengan kata style, artinya gaya, sedangkan stylistics dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya.12 Stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra.13 Gaya bahasa menurut Enkvist dalam Endaswara memiliki enam pengertian, yaitu: (a) Bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya, (b) pilihan di antara beragam pernyataan yang mungkin, (c) sekumpulan ciri kolektif, (d) penyimpangan norma atau kaidah, (e) sekumpulan cirri pribadi, dan (f) hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada kalimat. Yang penting harus dipahami, gaya bahasa adalah sebuah style as choise, style as meaning, and style as tension between meaning and form.14

Gaya merupakan cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Dalam kreasi penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya pemerkayaan

10Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa Bandung, 2009), h. 4. 11Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 93. 12Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: MedPress, 2008), h. 71.

13Ibid. 14Ibid. 17

makna, penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun pemberian efek emotif tertentu bagi pembacanya.15 Hal senada diungkapkan oleh Abrams dalam Nurgiyantoro bahwa stile, (style, gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.16 Secara ringkas Sukada dalam Djojosuroto telah merangkum sejumlah pendapat dalam kaitannya dengan gaya bahasa. Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat yang secara khas berkaitan dengan Stilistika. Stilistika, dari stilus (Latin), secara leksikal berarti: a) suatu alat berujung runcing untuk menulis di atas bidang atau kertas yang berlapis lilin, b) hal-hal yang berkaitan dengan karang-mengarang, c) karya sastra, d) gaya bahasa. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai style, lebih banyak mengacu pada gaya sebagaimana dimaksudkan dalam bidang linguistik, sedangkan stilistika diartikan sebagai ilmu tentang gaya bahasa, yang secara khusus dikaitkan dengan karya sastra. Melalui etimologi di atas timbul beberapa definisi stilistika, yaitu: a) ilmu tentang gaya bahasa, b) ilmu interdispliner antara linguistik dan kesusatraan, c) penerapan kaidah- kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa, d) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dan e) ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek keindahannya. Dalam pembicaraan ini pengertian dan definisi terakhirlah yang dianggap relevan sebab gaya bahasa terutama dikaitkan dengan aspek keindahan yang terkandung dalam karya sastra.17

Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah yang berjiwa yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan sesuatu dalam karyanya baik itu dalam prosa maupun puisi dengan membandingkan sesuatu hal dengan sesuatu yang lain sehingga menimbulkan atau meningkatkan efek tertentu.

15Aminuddin, Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra, (: IKIP Semarang Press, 1995), h. v. 16Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 276. 17 Djojosuroto. op. cit., h. 310. 18

b. Jenis-jenis Gaya Bahasa Gaya bahasa dapat dikategorikan dalam berbagai cara. Lain penulis lain pula klasifikasi yang dibuatnya. Tarigan membagi ragam gaya bahasa menjadi empat kelompok yaitu gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.18 Lain lagi dengan Fananie yang membagi gaya bahasa dengan berdasarkan struktur kalimat, retoris, dan kiasan atau perbandingan.19 Berikut adalah klasifikasi berdasarkan Tarigan. 1) Gaya Bahasa Perbandingan Yang termasuk ke dalam gaya bahasa perbandingan antara lain. a) Perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Contoh: Seperti air di daun keladi. b) Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Dalam metafora tidak dipakai kata-kata seperti, bagai, dan laksana. Contoh: Gadis itu adalah bunga yang sedang mekar. c) Personifikasi adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insan kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Contoh: Pepohonan tersenyum riang. d) Depersonifikasi adalah gaya bahasa yang membendakan manusia dan biasanya terdapat dalam kalimat pengandaian yang secara eksplisit memanfaatkan kata kalau dan sejenisnya sebagai penjelas gagasan. Contoh: Kalau dikau samudra, daku bahtera. e) Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang; merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan. Fabel dan parabel merupakan alegori-alegori singkat. Contoh: Kancil dengan kura-kura dan cerita Yusuf.

18Tarigan, op. cit., h. 6. 19Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (: Muhammadiyah University Press, 2002), h. 29. 19

f) Antitesis adalah gaya bahasa yang mengadakan komparasi antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Contoh: Kecantikannyalah yang mencelakakannya. g) Pleonasme atau Tautologi adalah pemakaian kata yang mubazir, yang sebenarnya tidak perlu. Contoh: Mereka mendengar fitnahan itu dengan telinga mereka sendiri. h) Koreksi atau Epanortosis adalah gaya bahasa yang berupa penegasan sesuatu tapi kemudian diperbaiki atau dikoreksi. Contoh: Kepala sekolah baru pulang dari Sulawesi Utara, maaf bukan, dari Sumatera Utara. 2) Gaya Bahasa Pertentangan a) Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Contoh: Sempurna sekali, tiada kekurangan sesuatu apa pun buat pengganti baik atau cantik. b) Litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikurangi dari kenyataan yang sebenarnya, misalnya untuk merendahkan diri. Contoh: Anak itu sama sekali tidak bodoh. c) Ironi adalah gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata yang berbeda, bahkan seringkali yang bertentangan dengan yang sebenarnya. Contoh: Bagusnya rapot si Andi ini, banyak benar angka merahnya. d) Paronomasia adalah gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata yang berbunyi sama tetapi bermakna lain. 20

Contoh: Oh adinda sayang, akan kutanam bunga tanjung di pantai tanjung hatimu. e) Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Contoh: Fridolin Ukur “ cerita kosong” f) Paradox adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Contoh: Dia kedinginan di tengah kota Jakarta yang panas. g) Klimaks adalah urutan pikiran yang semakin lama semakin mengandung penekanan. Contoh: Setiap guru yang berdiri di depan kelas harus mengetahui, memahami, serta menguasai bahan yang diajarkannya. h) Antiklimaks adalah gaya bahasa yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Contoh: Dia memang raja uang di daerah ini, seorang budak hawa nafsu dan keserakahan. i) Histeron proteron adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar. Contoh: Dia membaca cerita itu dengan cepat dengan cara mengejanya kata demi kata. j) Hipalase adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari suatu hubungan alamiah antara dua komponen gagasan. Contoh: Ia duduk pada sebuah bangku yang gelisah (yang gelisah adalah ia, bukan bangku). k) Sinisme adalah gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Contoh: Tidak dapat disangkal lagi bahwa bapaklah orangnya, sehingga keamanan dan ketentraman di daerah ini akan ludes bersamamu. l) Sarkasme adalah gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau 21

sindiran pedas dan menyakiti hati. Contoh: Mulutmu harimaumu. 3) Gaya Bahasa Pertautan a) Metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal sebagai penggantinya. Contoh: Dalam pertandingan kemarin saya hanya mendapat perunggu sedangkan teman saya emas. b) Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan, hal ini disebut pars prototo, atau menggunakan keseluruhan untuk sebagian, yang disebut totem pro parte. Contoh: Setiap tahun semakin banyak mulut yang harus diberi makan di tanah air kita ini. c) Eufimisme adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Contoh: Tuna aksara pengganti buta huruf. d) Eponim adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama dipakai untuk menyatakan sifat itu. Contoh: Hercules menyatakan kekuatan. e) Epitet adalah gaya bahasa yang mengandung haluan yang menyatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang atau suatu hal. Contoh: Lonceng pagi bersahut-sahutan di desa terpencil ini menyongsong mentari bersinar menerangi alam. (lonceng pagi = ayam jantan). f) Antonomasia adalah gaya bahasa yang menggunakan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri. Contoh: Rakyat mengharapkan agar Yang Mulia dapat menghadiri upacara itu. 22

g) Erotesis adalah gaya yang berupa pertanyaan yang dipergunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menuntun suatu jawaban. Contoh: Apakah sudah wajar bila kesalahan atau kegagalan itu ditimpakan seluruhnya kepada guru. h) Paralelism adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Contoh: Baik kaum pria maupun wanita mempunyai kewajiban dan hak yang sama secara hukum. i) Elipsis adalah gaya bahasa yang di dalamnya terjadi penghilangan salah satu atau beberapa unsur penting dalam kontruksi sintaksis yang lengkap. Contoh: Mereka ke Jakarta minggu yang lalu (penghilangan predikat: pergi atau berangkat). j) Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan paling sedikit tiga kata atau istilah yang secara sintaksis mempunyai suatu atau beberapa ciri semantik secara umum dan yang diantaranya paling sedkit satu cari diulang-ulang dengan perubahan-perubahan yang bersifat kuantiatif. Contoh: Kami berjuang dengan tekad; tekad harus maju; maju dalam kehidupan; kehidupan yang layak dan baik; baik secara jasmani dan rohani; jasmani dan rohani yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. k) Asindeton adalah gaya bahasa yang berupa acuan dimana beberapa kata, frase atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.

23

Contoh: Hasil utama tanah karo adalah jeruk, nanas, kentang, kol, tomat, bawang, sayur putih, jagung, padi. (seharusnya ada kata dan sebelum kata padi). l) Polisindeton adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari asindeton yang berupa acuan dimana beberapa kata, frase atau klausa yang berurutan dihubungkan sama lain dengan kata-kata sambung. Contoh: Harga padi dan jagung dan sayur-mayur sangat menggembirakan para petani tahun lalu. 4) Gaya Bahasa Perulangan a) Aliterasi adalah gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Contoh: Dara damba daku dan duka dua duka. b) Asonansi adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Contoh: Tiada siaga tiada biasa. c) Antanaklasis adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata yang sama bunyi dengan makna yang berbeda. Contoh: Karena buah penanya itu dia pun menjadi buah bibir masyarakat. d) Kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus merupakan inverse antara dua kata dalam satu kalimat. Contoh: Yang kaya merasa dirinya miskin, sedangkan yang miskin justru merasa dirinya kaya. e) Epizeukis adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan langsung atas kata yang dipentingkan beberapa kali berturut-turut. Contoh: Ingat, kamu harus bertobat, bertobat, sekali lagi bertobat agar dosa-dosamu diampuni oleh Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih. 24

f) Tantoes adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan atas sebuah kata dalam sebuah kontruksi. Contoh: Aku menuduh kamu, kamu menuduh aku, aku dan kamu saling menuduh, kamu dan aku berseteru. g) Anafora adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat. Contoh: Tanpa iman yang teguh engkau akan mudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Tanpa iman yang teguh engkau akan mudah tergoda wanita cantik di sekelilingmu. Tanpa iman yang teguh engkau akan mudah tergoda oleh uang dan harta. Tanpa iman yang teguh hidupmu tidak akan tentram dan damai lahir batin. h) Epistrofa adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frase pada akhir baris atau kalimat berurutan. Contoh: Kemarin adalah hari ini Besok adalah hari ini Hidup adalah hari ini Segala sesuatu buat hari ini i) Simploke adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berurut urut. Contoh: Kau katakan aku wanita pelacur. Aku katakan biarlah. Kau katakan aku wanita mesum. Aku katakan biarlah Kau katakan aku penuh dosa. Aku katakan biarlah. j) Mesodilopsis adalah sejenis gaya bahasa repetesi yang berwujud perulangan kata atau frase di tengah baris atau beberapa kalimat beruntun.

25

Contoh: Para pendidik harus menigkatkan kecerdasan bangsa Para dokter harus meningkatkan kesehatan masyarakat Para petani harus meningkatkan hasil sawah lading Polisi R.1 harus meningkatkan keamanan umum Seluruh rakyat harus meningkatkan pembangunan di segala bidang

k) Epanalepsis adalah semacam gaya bahasa repitisi yang berupa perulangan kata pertama menjadi terakhir dalam kluasa atau kalimat. Contoh: Saya akan tetap berusaha mencapai cita-cita saya. l) Anadiplosis adalah sejenis gaya bahasa repitisi dimana kata atau frase terakhir dari suatu kluasa atau kalimat menjadi frase pertama dari kluasa atau kalimat berikutnya. Contoh: Dalam raga ada darah Dalam darah ada tenaga Dalam tenaga ada daya Dalam daya ada segala

c. Manfaat Gaya Bahasa Manfaat penggunaan bahasa figuratif (majas, gaya bahasa) dalam puisi, antara lain. (1) bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif; (2) bahasa figuratif adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi; (3) bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair; (4) bahasa figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat.20

20Waluyo, op. cit., h. 83. 26

3. Pengajaran Apresiasi Puisi di Sekolah Apresiasi melibatkan 3 aspek, yaitu: (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, serta (3) aspek evaluatif. Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelektual pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur sastra yang bersifat objektif. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca, dalam upaya memahami unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibacanya, serta berperan memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Aspek evaluatif berkaitan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap indah-tidak indah, baik-buruk, karya sastra yang dibaca.21 Pada tingkat awal apresiasi puisi barulah berupa penikmatan, yang hanya akan menghasilkan rasa senang. Misalnya, siswa baru mulai menyenangi menonton atau mendengarkan pembacaan puisi. Itu sebabnya kegiatan berpuisi di kelas VII diawali dengan mendengarkan pembacaan puisi, kemudian siswa diminta untuk memahami puisi melalui identifikasi unsur-unsur bentuk puisi dan mengungkapkan isi puisi yang didengarnya. Berikut akan dibahas mengenai pengajaran apresiasi puisi di sekolah mulai dari materi, proses sampai pada penilaian. a. Materi Cakupan materi atau kegiatan apresiasi puisi meliputi 3 kegiatan yaitu. 1) Kegiatan langsung, yang terdiri dari: menanggapi cara pembacaan puisi (KD. 13.1), merefleksi isi puisi yang dibacakan (KD. 13.2), membaca indah puisi (KD. 15.1), mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi (KD. 15. 2), dan menganalisis unsur-unsur syair yang diperdengarkan (KD. 5.1) 2) Kegiatan yang tak langsung yaitu dengan mempelajari teori sastra. 3) Kegiatan kreatif meliputi: menulis pantun (KD. 8.1), puisi (KD.16.1) dan musikalisasi puisi (KD. 6.2).

21 Tim Penyusun: Jurusan Bahasa Indonesia UNJ, Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Rayon 9 UNJ, (Jakarta: UNJ, 2011), h. 281. 27

b. Proses Apresiasi Puisi 1) Kegiatan ekspresi lisan a) Membaca puisi Proses apresiasi diawali dengan membaca puisi. Pembacaan yang dilakukan berulang kali, bertujuan agar dapat memahami isi puisi, memang tidak semua puisi mudah dipahami. Dalam prosesnya di kelas bila siswa mendapat kesulitan menangkap isi puisi, biasanya guru akan memberi contoh pemaknaan dengan menerapkan parafrase pada puisi tersebut. Parafrase adalah menyisipkan kata atau kelompok kata diantara kata-kata yang telah ada, dengan tujuan mempermudah pemaknaan dan untuk membedakan puisi asli dengan parafrase, maka parafrase ditempatkan di dalam kurung, seperti contoh berikut. Kemanakah (aku harus) pergi (untuk) mencari (sirna) matahari Ketika salju (mulai) turun (sehingga) pepohonan (seperti) kehilangan daun (-daun) Pendekatan parafrase ini memang merupakan cara termudah, sehingga sering dipergunakan oleh guru sebagai alat bantu memahami puisi. Cara lain untuk dapat memahami puisi dapat dijelaskan sebagai berikut. (1) Perhatikan judul puisi, pada banyak puisi, judul merupakan tema sentral yang menggambarkan keseluruhan makna puisi tersebut. Contohnya puisi PadaMu Jua karya Amir Hamzah, Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya karya Hartoyo Andang Jaya, dan Doa karya Chairil Anwar. (2) Perhatikan kata yang berulang kali di munculkan pada puisi itu, karena dapat membantu menggambarkan isi puisi. (3) Berusaha mengetahui siapa akulirik dalam puisi tersebut. (4) Berusaha mengetahui siapa yang dimaksud dengan kata ganti orang yang ada di dalamnya. 28

(5) Jangan memulai penafsiran isi puisi secara terpenggal-penggal dahulu misalnya kata demi kata, larik demi larik, tetapi bacalah secara utuh dan di tafsirkan, baru kemudian memahami perbait, larik, bahkan mungkin kata demi kata. (6) Mengetahui latar belakang kehidupan penyair sangat membantu memahami puisi. Untuk lebih memahami sebuah puisi agar dapat dibaca dengan penuh penjiwaaan, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain. (1) Bacalah puisi berulang kali dengan bersuara. Pembacaan puisi untuk dibacakan tentu berbeda dengan jika hanya untuk ditelaah. (2) Berlatih membaca puisi tanpa suara atau membacanya dalam hati, merupakan pekerjaan yang salah. Jika tempat dan situasi tidak memungkinkan bersuara keras, bacalah minimal dengan menggunakan bibir. (3) Gunakan kamus untuk memahami kata sulit yang terdapat dalam puisi. (4) Lakukan pembacaan puisi pertama kali dengan nada mendatar, tanpa tekanan, tanpa emosi. Sambil membaca dengarkan suara anda sendiri, perhatikan sesuatu yang ingin disampaikan puisi tersebut. (5) Kenali peran pembaca dalam puisi tersebut. (6) Bacalah kembali puisi dengan penuh perasaan dan takaran emosi yang tepat. Puisi dibaca kata demi kata dengan perlahan agar dapat melahirkan makna yang sarat. Perlu diingat, tidak semua puisi dicipta untuk dibacakan. Puisi kontemporer, terutama yang berbentuk puisi konkret, diciptakan untuk dihayati pembaca bukan dibacakan di depan umum. Pada pembacaan puisi kontemporer hendaknya dapat melihat sesuatu yang mengesankan, mendengar suatu yang menarik, dan merasakan sesuatu ynag menggelitik dalam proses membaca puisi tersebut. 29

b) Berbalas Pantun Kegiatan berpantun dapat dilakukan oleh satu orang saja atapun oleh kelompok berupa berbalas pantun. Kegiatan berpantun yang dilakukan secara perseorangan biasanya berupa pantun nasihat, pantun adat, pantun agama, serta pantun dagang. Untuk kegiatan berbalas pantun dapat menggunakan jenis pantun teka-teki, pantun muda-mudi, dan lain-lain. Agar kreavitas siswa semakin tinggi, siswa dilatih untuk sering berpantun secara spontanis. Yang harus mendapat perhatian ialah perbedaan intonasi pada waktu membaca puisi dengan pada saat berpantun c) Musikalisasi Puisi Untuk menjadi penikmat puisi, dapat dilakukan berbagai bentuk ekspresi lisan misalnya: membacakan puisi, mendengar pembacaan puisi, dramatisasi puisi, atau musikalisasi puisi. Musikalisasi merupakan apresiasi sastra yang berawal dari puisi sebagai ekspresi tulis, kemudian dibawakan dalam bentuk ekspresi lisan, berlagu pada seluruh puisi atau hanya sebagian dari puisi tersebut yang dilagukan. Faktor yang sangat berperan dalam memperindah penyampaian antara seni musik dengan seni sastra, dalam hal ini puisi. Kelompok musikalisasi puisi cenderung menggunakan alat musik petik dan perkusi. Kerja musikalisasi puisi berawal dari teks puisi, yang dicipta oleh seorang penyair. Teks puisi tersebut berusaha dipahami hakikatnya, yang terdiri dari tema, amanat, nada dan perasaan penyair. Setelah itu barulah unsur musik dimasukkan dan dipadukan dengan puisi, agar menimbulkan harmoni yang selaras. Unsur musik harus seperti ini jangan dibalik, dengan lebih dahulu menciptakan nada dan irama musik kemudian menggabungkannya dengan puisi. Musikalisasi puisi merupakan kerja kolektif yang menghimpun banyak orang, terdiri dari seorang atau beberaspa penyanyi, penggubah, pemusik, dan lain-lain.

30

2) Kegiatan ekspresi tulis Merupakan kegiatan mencipta ataupun berkreasi menghasilkan sebuah karya kreatif berupa puisi, pantun ataupun syair. a) Cipta pantun Dalam mencipta pantun siswa diminta untuk menulis pantun sesuai dengan syarat-syarat terbentuknya sebuah pantun. Pantun dibuat berbait-bait yang setiap baitnya terdiri atas 4 larik. Setiap larik terdiri atas 8 sampai 12 suku kata. Rima akhir sebait pantun berumus a-b-a-b disebut bersajak sengekelang/sajak selang. Selain itu perlu diperhatikan kedua larik pertama merupakan sampiran, sedangkan kedua larik terakhir yaitu hari ke-3 dan ke-4 merupakan isi pantun. Nah, syarat-syarat ini haruslah mendapat perhatian utama bagi pencipta pantun. Dalam pantun bagian sampiran dengan isi ada yang berhubungan namun ada pula yang tidak berhubungan sama sekali. Yang menghubungkan keempat larik tersebut justru terletak pada rima akhirnya. Sampiran dibuat berdasarkan pengamatan pencipta pantun terhadap kehidupan maupun keajaiban-keajaiban yang dilihat, dirasakan, atau yang dihayatinya. Misalnya dalam kehidupan sehari- hari siswa sering melihat barisan semut mengangkut sisa-sisa makanan atau remah-remah yang mereka temukan, lalu siswa dapat menetapkan objek sampiran ialah semut. Ciptakanlah larik pantun mulai dengan sampiran, berdasarkan fenomena yang dilihat itu, misalnya sebagai berikut: Lihatlah semut sedang berbaris Mengangkat nasi bergotong royong Atau boleh juga dalam bentuk lain, seperti: Barisan semut Nampak menjulur Sedari pagi membawa remah Kedua pantun yang masing-masing terdiri atas 2 larik merupakan sampiran, sekarang siswa harus membuat 2 larik yang merupakan isi pantun yang sesuai dengan jenis pantun yang akan dibuat. 31

b) Cipta puisi Pelajaran pertama untuk mencipta puisi adalah siswa diminta untuk mengamati objek dan mendata objek yang akan dijadikan bahan menulis puisi dari gambar peristiwa atau berdasarkan peristiwa yang pernah dialaminya sendiri. Kemudian siswa mendeskripsikan objek dalam larik- larik yang bersifat puitis dengan menggunakan pilihan kata yang tepat. Selanjutnya siswa diminta untuk menyunting sendiri puisi yang telah dibuatnya. c) Cipta Musikalisasi Puisi Penciptaan musikalisasi puisi harus berawal dari puisi. tidak sama halnya dengan lagu, yang dapat diciptakan musiknya dahulu baru kemudian diisi dengan syairnya. Mencipta musikalisasi puisi dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: (1) Tentukan puisi yang hendak dimusikalisasi. (2) Bacalah puisi tersebut berulang kali, sebagai upaya memahami hakikat dan makna puisi. (3) Tafsirkan makna puisi tersebut secara utuh dahulu, jangan terpenggal- penggal. (4) Jangan ragu untuk membacanya berulang kali. (5) Tentukan di mana puncak puisi, klimaks-klimaks kecil, klimaks puisi, bagian yang hendak dibaca, serta bagian yang hendak dilagukan. Jika ada yang perlu diperjelas atau ditekankan dapat dilakukan pengulangan-pengulangan atau mengambil nada tinggi. (6) Mulailah menetapkan irama atau notasi pada puisi. (7) Lakukan pengisian vokal, bunyi, dan penyelarasan atau harmoni ke semua bunyi tersebut. c. Penilaian Penilaian terhadap ekspresi lisan puisi mencakup penilaian terhadap kegiatan membaca puisi, berbalas pantun, dan musikalisasi puisi. Beberapa aspek yang dapat dijadikan pedoman bagi penilaian ketiga ekspresi lisan puisi tersebut yakni sebagai berikut. 32

1) Baca puisi Upaya pembaca untuk memahami puisi serta menguasai teknik pembacaannya harus terlebih dahulu dilakukan. Jika pembaca telah mengenal, mengetahui, kemudian memahami makna puisi yang akan dibacanya, maka dapat diharapkan pada saat pembacaan ia akan menjiwai isi puisi. Penilaian terhadap baca puisi, memberi bobot yang besar pada unsur penjiwaan. Unsur lain yang juga dapat dinilai yaitu vokal serta gerak penunjang. 2) Berbalas Pantun Penilaian dalam berbalas pantun harus memperhitungkan aspek adanya hubungan yang logis antara pantun yang dilemparkan oleh satu kelompok dengan kelompok yang lain, ketangkasan dalam menjawab pantun, dan adanya kerjasama kelompok. 3) Musikalisasi Puisi Aspek yang dinilai mencakup: pemahaman isi puisi, penghayatan yang menilai tentang penghayatan gerak dan ekspresi, penampilan, dan harmoni yang mencakup keselarasan musik dan bunyi. 4) Cipta Puisi Penilaian cipta puisi meliputi: kesesuaian tema dengan isi puisi, kedalaman isi, ketepatan diksi, serta kesesuaian tipografi. B. Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian yang relevan dengan topik yang penulis teliti antara lain ditulis oleh beberapa orang sebagai berikut. Pertama, buku yang berjudul Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya yang ditulis oleh Bakdi Soemanto. Buku tersebut berisi tentang fase perkembangan kepenyairan Sapardi, juga tentang bagaimana cara menikmati karya-karyanya termasuk di dalamnya ada beberapa penjelasan mengenai gaya bahasa yang digunakan oleh Sapardi dalam beberapa karyanya. Di samping itu juga menjelaskan bahwa kekuatan kepenyairan Sapardi adalah pada kepiawaiannya memainkan kata dan makna sehingga menjadi suatu ungkapan yang-meminjam istilah Rendra-otentik, yakni khas Sapardi. Kedua, penelitian yang berjudul Kajian Unsur Intrinsik Puisi dalam Antologi Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono untuk dijadikan Bahan 33

Musikalisasi Puisi yang ditulis oleh Usman Nurdiansyah. Penelitian tersebut menganalisis puisi-puisi yang sudah dimusikalisasi. Kesimpulan yang bisa diambil mengenai gaya bahasa yang banyak digunakan pada puisi Hujan Bulan Juni adalah anafora. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian penulis yaitu menggunakan sumber data primer yang sama yaitu kumpulan puisi Hujan Bulan Juni dan juga mendeskripsikan gaya bahasa namun memiliki perbedaan sampel dan tujuan. Ketiga, skripsi yang berjudul Peristiwa Pembakaran 13-15 Mei 1998 dalam Sajak Ayat-ayat Api Karya Sapardi Djoko Damono (Sebuah Pendekatan Semiotik) yang ditulis oleh Tri Darmanto. Hasil penelitian sajak Ayat-ayat Api diperoleh kesimpulan bahwa pembacaan semiotik terhadap sajak Ayat-ayat Api menghasilkan tema mengenai peristiwa pembakaran pada tanggal 13-15 Mei 1998 terhadap kota Jakarta dan Surakarta. Adapun amanatnya adalah menjadi penguasa harus amanah dan bermoral, menyelesaikan permasalahan dengan kejahatan (membakar) tidak memberikan solusi agar masyarakat Indonesia memiliki pendirian kuat dan tidak mudah terhasut dan segera mungkin bangkit untuk memperbaiki semua yang hancur. Persamaan dengan penelitian penulis yaitu terletak pada penyairnya saja, sedangkan perbedaan ada pada objek dan pendekatan yang digunakan.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian Penelitian kualitatif ini menggunakan metode deskriptif analisis. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Secara etimologis deskripsi dan analisis berarti menguraikan.1 Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein (‘ana’=atas, ‘lyein’=lepas,urai), telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.2 Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan stilistika dengan fokus hanya pada bahasa figuratif (gaya bahasa). Pada umumnya pendekatan itu sendiri, disamakan dengan metode.3 Dalam pembicaraan ini pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, pendekatan lebih dekat dengan bidang studi tertentu, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data.4 Metode digunakan untuk efisiensi, dengan cara menyederhanakan sedangkan tujuan pendekatan adalah pengakuan terhadap hakikat ilmiah objek ilmu pengetahuan itu sendiri.5 Pendekatan stilistika bertumpu dari asumsi dasar bahwa fungsi bahasa berperan utama dalam mewujudkan keberadaan sebuah teks sastra. Sebagai media utama, keberadaan bahasa tidak dapat direnggut dari teks sastra. Bahasa sastra memiliki pesan keindahan dan sekaligus membawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan karya sastra juga sekaligus akan

1Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 53. 2Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: MedPress, 2008), h. 71. 3Ratna, op.cit., h.53. 4Ibid., h. 53-54. 5Ibid.

34 35

memberikan bobot karya tersebut. Bahkan menurut Pradopo dalam Endaswara bahwa nilai sastra ditentukan oleh gaya bahasanya.6 Berikut ini merupakan cakupan kriteria pendekatan stilistika.7 1. Pendekatan stilistika berpatokan bahwa kedigdayaan sastrawan mengekspresikan pengolahan bahasa adalah sebuah prestasi kreativitas yang agung. Oleh sebab itu, apresiasi yang paling mulia disandang sastrawan yang mampu mengeksplorasi bahasa dengan gaya yang memukau dan mencengangkan; 2. Dengan penitikberatan pada penelaahan aneka variasi penggunaan bahasa dan gayanya dalam teks sastra; 3. Berbeda dengan penelaahan pendekatan struktural, pengkajian bahasa lebih fokus dan mendalam sehingga mampu mengungkapkan simbol- simbol, dasar-dasar pilihan kata, dan pencapaian kemungkinan aneka penafsiran; 4. Juga penelaahan berfokus ke arah pembukaan tabir keabstrakan makna yang tampak dalam teks sastra yang kabur, absurd, dan eksperimental. Hal ini tentu saja akan memberikan manfaat yang besar untuk membantu para pembaca dalam mengapresiasikan secara tepat teks sastra; 5. Penelaahan dapat pula mengarah pada gaya khas bersifat individual sastrawan berupa gaya bahasa yang betul-betul mencerminkan keberadaan dirinya sendiri; 6. Penelaahan gaya bahasa pengarang tidak hanya menyangkut individual pengarang, melainkan dapat juga penelaahan gaya kelompok pengarang yang umum berlaku dalam periode tertentu seperti gaya bahasa khas pada sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Penelaahan dapat pula mengacu kepada gejala pergeseran gaya bahasa yang terjadi pada sosok pengarang tertentu karena proses pematangan diri atau perubahan aliran sastra yang dianut; 7. Penelaahan juga dapat mengarah pada variasi penggunaan kata dalam struktur kalimat, kalimat dalam paragraf, dan paragraf dalam wacana yang semuanya itu terjalin dengan utuh sehingga mampu menggugah dan memukau, dan; 8. Penelaahan stilistika dapat juga mengacu pada pemahaman para pembaca terhadap teks sastra.

B. Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.8 Penelitian ini

6Endaswara, op.cit., h. 72. 7Zulfa Hanum, Metode Penelitian Kesusastraan, (Tangerang: PT Pustaka Mandiri, 2012), h. 95-97.

36

menggunakan dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen.9 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono cetakan kedua Oktober 2013 terbitan PT Gramedia. Adapun sumber data sekunder diperoleh dari buku referensi, karya ilmiah, dan situs internet yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Hujan Bulan Juni pertama kali diterbitkan oleh Grasindo, tahun 1994, berisi sepilihan sajak yang ditulis pada rentang waktu tahun 1964 sampai 1994. Sajak- sajak itu berasal dari beberapa buku puisi, yakni Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1984). Di samping itu ada sejumlah sajak yang belum pernah dimuat dalam buku puisi Sapardi sebelumnya. Hujan Bulan Juni sudah dicetak ulang beberapa kali, dan setiap kali cetak ulang ada sedikit perubahan yang berupa koreksi, penambahan atau pengurangan sajak. Buku cetakan kedua terbitan PT Gramedia ini pun mengalami perubahan, terutama yang menyangkut jumlah dan waktu penulisannya. Secara keseluruhan, kumpulan puisi ini berisi 102 judul puisi. C. Teknik Pengambilan Sampel Masalah pemilihan sampel dalam penelitian sastra dengan metode kualitatif cenderung menggunakan istilah “theoritical sampling”. Karakteristik utama dalam pengambilan sampel teoretis ini dikendalikan oleh pemahaman-pemahaman teoretis yang muncul dan berkembang sejalan dengan pengambilan data itu sendiri.10 Jumlah sampel dalam penelitian ini pun tidak dapat ditentukan secara tegas sejak awal penelitian. Berikut adalah prosedur pengambilan sampel menurut Sarantokos dalam Hanum.

8Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 157. 9Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 225. 10Hanum, op.cit., h. 49.

37

1. Tidak mengacu pada jumlah sampel yang banyak, melainkan mengarahkan kepada kasus-kasus tipikal sesuai dengan kekhususan masalah penelitian; 2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi tergantung pada jumlah dan karakteristik sampel sesuai dengan pemahaman konseptual berkembang dalam penelitian; dan 3. Tidak diarahkan pada keterwakilan, melainkan pada kecocokan konteks.11

Selain, menggunakan prosedur pengambilan sampel, penulis juga menggunakan panduan teknik pengambilan sampel seperti berikut ini. 1. Pengambilan sampel ekstrim atau menyimpang. Teknik ini memfokuskan pada kasus-kasus yang banyak mengandung informasi berdasarkan keunikan dan penampilan karakteristik yang khas dalam aspek-aspek tertentu. 2. Pengambilan sampel berfokus pada intensitas. Logika yang digunakan dalam teknik ini sama dengan pengambilan sampel ekstrim, berupa data yang berintensitas penuh dengan informasi yang berfokus pada intensitas masalah penelitian. 3. Pengambilan sampel dengan variasi maksimum. Teknik ini berorientasi pada sasaran penelitian yang menampilkan penuh aneka variasi dengan tujuan untuk mengungkap tema sentral yang terungkap sebagai akibat keluasan cakupan partisipan. 4. Pengambilan sampel homogen. Teknik ini mengacu kepada kasus yang memiliki kesamaan fenomena. 5. Pengambilan sampel kasus tipikal. Teknik ini mengacu kepada kasus yang mewakili individu/kelompok. 6. Pengambilan sampel yang terstratafikasi. Teknik ini mengacu kepada kasus-kasus yang mampu mengungkap kondisi rata-rata sehingga mampu membeberkan kondisi di atas atau di bawah rata-rata dari suatu fenomena. 7. Pengambilan sampel secara kritikal. Teknik ini mengarah kepada penyeleksian suatu individu/kelompok kritis yang mampu menjamin pemerolehan data yang sesuai dengan topik penelitian. 8. Pengambilan sampel secara “snowball” atau berantai.Teknik ini menggali informasi dari satu responden dan perolehan informasi itu akan mengacu kepada responden lain serta berlanjut kepada responden berikutnya sehingga mata rantainya semakin lama semakin panjang bagaikan bola salju. 9. Pengambilan sampel berdasarkan kriteria tertentu. Logika dasar yang mendasari teknik ini adalah peneliti meninjau kembali dan mengkaji ulang semua kasus yang memenuhi kriteria tertentu berdasarkan penetapan sebelumnya.

11Ibid., h. 50.

38

10. Pengambilan sampel berdasarkan “theory-based/operational construct sampling”. Teknik ini mengacu kepada teori sesuai dengan penelitian yang berlangsung sebelumnya.12

Dalam penelitian ini, penulis mengambil sampel dengan prosedur mengacu kepada kasus yang memiliki kesamaan fenomena juga berdasarkan kriteria tertentu. Berdasarkan sumber data yang diperoleh, penulis menemukan ada beberapa kesamaan fenomena dalam buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni terbitan PT Gramedia, di antaranya adalah hujan, matahari, pewayangan, cermin, malam, bunga, dan lain-lain. Dari kesamaan fenomena tersebut kemudian penulis menggunakan kriteria tertentu untuk menetapkan sampel. Dalam hal ini, kriteria yang diambil adalah yang paling dominan, yaitu hujan. Hal ini sejalan dengan pendapat Aspahani, dalam buku Membaca Sapardi, Aspahani mengatakan bahwa Sapardi banyak menggunakan hujan sebagai objek puisinya. Berikut kutipannya. Sapardi, bagi penikmat sajak dianggap sebagai “hantu” penggemar hujan. Dalam buku pertamanya hanya ada lima sajak yang kebanyakan menampilkan hujan hanya sebagai latar. Di buku keduanya, sebagaimana kecenderungan sikapnya terhadap objek sajaknya, hujan digarap lebih detail.13Aspahani menghitung ada sepuluh sajak yang basah kuyup kehujanan, di mana di sajak ini, hujan tak lagi hanya menjadi latar, tetapi menjadi objek sajak, menjadi metafor utama.14

Dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni terbitan PT Gramedia, penulis menghitung ada 25 puisi yang menjadikan hujan sebagai objek dan latar, yaitu Sajak Desember; Sehabis Mengantar Jenazah; Hujan Turun Sepanjang Jalan; Dalam Doa: I; Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang; Kupandang Kelam yang Merapat Ke Sisi Kita; Pertemuan; Hujan dalam Komposisi, 1; Hujan dalam komposisi, 2; Hujan dalam Komposisi, 3; Di Beranda Waktu Hujan; Kartu Pos Bergambar: Jembatan Golden Gate, San Fransisco; Cahaya Bulan Tengah Malam; Catatan Masa Kecil 2; Sajak, I; Percakapan Malam Hujan; Kuhentikan Hujan; Sihir Hujan; Hujan Bulan Juni; Sepasang Sepatu Tua; Pada Suatu Pagi

12Ibid., h. 52. 13Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta, Membaca sapardi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 254-255. 14Ibid.

39

Hari: Puisi Cat Air untuk Rizki; Lirik untuk Lagu Pop; Dalam Doaku; Hujan, Jalak, dan Daun Jambu. Dengan demikian sampel penelitian ini difokuskan pada analisis gaya bahasa yang terdapat pada 25 puisi tersebut. D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.15 Dalam penelitian kualitatif, pengambilan data dan analisis data berdekatan satu dengan yang lainnya dan bahkan saling bertumpuk atau mungkin saja berawal dari pengambilan data yang sedang berlangsung dan disaat yang sama juga dilakukan analisis data, bahkan mungkin juga terjadi pengambilan data lainnya.16 Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi, interview, dokumentasi, dan triangulasi. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan dokumentasi. Observasi dilakukan dengan mengamati dan mencatat fenomena yang ada pada buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono yang merupakan data primer dalam penelitian ini. Dokumentasi digunakan karena data yang diperoleh berupa teks atau karya seseorang. Teknik ini dilakukan dengan cara menelusuri otobiografi, majalah, dan data-data lain yang mendukung penelitian.Berikut adalah langkah-langkah dalam pengumpulan data. 1. Membaca buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono secara berulang. 2. Mempelajari kata-kata kunci dan berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari data. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah puisi-puisi yang bicara tentang hujan.

15Sugiyono, op.cit., h. 224. 16Hanum, loc.cit.

40

3. Menganalisa data yang terdapat dalam tiap puisi dengan menerapkan pendekatan stilistika. 4. Mencatat larik-larik yang menyatakan penggunaan gaya bahasa. D. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun oranglain.17 Nasution menyatakan bahwa analisis data dalam penelitian kualitatif telah dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian.18Adapun proses analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model analisis data mengalir.19Sejumlah langkah analisis terdapat dalam model ini, yakni. 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.20Pengumpulan data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Data tersebut kemudian dibaca, dipelajari, dicatat dan ditelaah. 2. Reduksi Data Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.21Reduksi data dilakukan selama penelitian berlangsung, bahkan dilakukan sebelum data benar-benar

17Sugiyono, op.cit., h. 244. 18Ibid., h. 245. 19FITK UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h. 69. 20Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 21. 21Sugiyono, op.cit., h. 247.

41

dikumpulkan. Dalam reduksi data ini, data-data yang dipilih adalah hanya data yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis, yaitu gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono yang kata kuncinya adalah hujan. 3. Penyajian Data Penyajian data dalam penelitian kualitatif bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.22Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian adalah dengan teks yang bersifat naratif.23Namun, untuk teks naratif tertentu ada yang dialihkan menjadi bentuk gambar, bagan, dan tabel guna memperkuat data deskriptif dan mempermudah pembaca dalam memahami isi penelitian. Dengan penyajian data akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menyajikan data dalam bentuk teks yang bersifat naratif. Setiap puisi yang dipilih sebagai sampel akan dianalisis gaya bahasa yang terdapat di dalamnya. 4. Penarikan Kesimpulan Langkah terakhir dalam menganalisis data adalah menarik kesimpulan atau verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.24

22Ibid., h. 249. 23Ibid. 24Ibid., h. 252.

42

Apabila dikaitkan dengan penelitian stilistika, langkah-langkah analisis yang perlu dilakukan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Pertama, bisa menetapkan unit analisis,misalkan berupa bunyi, kata, frase, kalimat, bait, dan sebagainya. 2. Dalam puisi memang analisis dapat berhubungan dengan pemakaian aliterasi, asonansi, rima,dan variasi bunyi yang digunakan untuk mencapai efek estetika. 3. Analisis diksi memang sangat penting karena ini tergolong wilayah kesastraan yang sangat mendukung makna dan keindahan bahasa. Kata dalam pandangan simbolis tentu akan memuat lapis-lapis makna. Kata akan memberikan efek tertentu dan menggerakkan pembaca. 4. Analisis kalimat ditekankan pada variasi pemakaian kalimat dalam setiap kondisi. 5. Kajian makna gaya bahasa juga perlu mendapat tekanan tersendiri. Kajian makna hendaknya sampai pada tingkat majas, yaitu sebuah figuratif language yang memiliki makna bermacam-macam.25

25Endaswara, op.cit., h. 75.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Deskripsi Temuan Penelitian Pada 25 puisi yang dipilih sebagai objek penelitian ini, ditemukan penggunaan beberapa macam gaya bahasa. Berikut adalah temuan penelitian yang penulis peroleh. 1. Gaya Bahasa Perbandingan a. Perumpamaan 1) sendiri, “Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan/tak pernah kaulihat, yang menjelmasemacam nyanyian,/ semacam keheningan) terbang; ke mana pula suit daun yang berayun jatuh dalam setiap impian?”//1 2) lembut bagai bianglala//2 3) Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur//3 Larik-larik tersebut termasuk ke dalam gaya bahasa perumpamaan karena membandingkan dua hal yang padahakikatnya berlainan tapi dianggap sama. Kata yang digunakan untuk membandingkan dalam larik-larik tersebut adalah kata semacam yang memiliki kesamaan arti dengan seperti atau bagaikan. b.Metafora 1) perempuan mengirim air matanya/ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan/ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal/4 2) Sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap/ 3) kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;/5

1Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 47. 2Ibid., h. 32. 3Ibid., h. 36. 4Ibid., h. 32. 5Ibid., h. 30.

43 44

4) Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari/6 5) yang pelahan mengendap di udara) kausebut cintamu/penghujanpanjang, yang tak habis-habisnya/7 6) bahkan dalam igauanku?” Dan kausebut/hidupmu sore hari(dan bukan siang/8 7) ada yang berdenyut//dalam diriku:/menembus tanah basah,/9 8) “Dimanakah sorgaku itu: nyanyian/10 9) Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga/11 10) Terjatuh di lantai; di tengah malam itu ia nampak begitu dingin/dan fana/12 11) Pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri/mawar (begitu nyaring?”); swaramu adalah kertap bulu/burung yang gugur (begitu hening?)//13 12) Berkilauan serbuk dalam kabut-nafasmu adalah goyang anggrek/hutan yang mengelopak (begitu tajam?)14 13) dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman/15 14) doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau/16 15) dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang/17 16) magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat/18 17) dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang/19

6Ibid., h. 47. 7Ibid. 8Ibid., h.47-48. 9Ibid., h. 91. 10Ibid., h. 47. 11Ibid., h. 59. 12Ibid., h. 56. 13Ibid., h. 47. 14Ibid., h. 80. 15Ibid. 16Ibid., h. 109. 17Ibid. 18Ibid. 19Ibid.. 45

18) Tak bisa kutolak matahari/memaksaku menciptakan bunga- bunga//20 Larik-larik tersebut dikategorikan ke dalam gaya bahasa metafora karena menggunakan kata-kata yang bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. c. Personifikasi 1) Sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap/ di bawah bunga-bunga menua, matahari yang senja//21 2) Alangkah angkuhnya langit/alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita/22 3) “Apakah yang kau tangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela?23 4) “Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu.Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.24 5) Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan, dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi.25 6) Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil,

20Ibid., h. 91. 21Ibid., h. 16. 22Ibid. 23Ibid., h. 36 24Ibid. 25Ibid., h. 37. 46

mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan.26 7) Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari yangmenerbitkan debu jalanan, yang menajamkanwarna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapus jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang27 8) (Dan bukan kemarau yang membersihkan langit,yang pelahan mengendap di udara) kausebutcintamupenghujan panjang, yang tak habis-habisnyamembersihkan debu, yang bernyanyi di halaman.28 9) hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan//29 10) hidupmu sore hari (dan bukan siang yang bernafas dengan sengit/30 11) matahari menggeliat/berpusing dipedih lautan//31 12) Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi pelahan/dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya matahari.//32 13) Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa/menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin/33 14) Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuhsekuntum/bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawasampai/ 15) Hujan, yang mengenakan mantel,sepatu panjang, dan lampu jalan,/“Tutup matamu dan tidurlah.//Biar kujagamalam.”//34

26Ibid. 27Ibid., h. 47. 28Ibid. 29Ibid., h. 18. 30Ibid., h. 48. 31Ibid., h. 52. 32Ibid., h.91. 33Ibid., h. 59. 34Ibid., h. 65. 47

16) “Kau hujan memang sukaserba kelamserbagaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah,/janganmenggodaku tidur./Aku sahabat manusia./35 17) sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu//yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta,/sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua//36 18) angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, “aku rindu, aku ingin mempermainkanmu?”//37 19) kabel telpon memperingatkan anginyang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, “jangan brisik, mengganggu hujan?”//38 20) hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, “lepaskan daun itu?”//39 21) Hujan mengenal baik pohon,/Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan,/menyihirmu/40 22) tak ada yang lebih tabah/dari hujan bulan juni/dirahasiakan rintik rindunya/41 23) tak ada yang lebih bijak/dari hujan bulan juni/dihapusnya jejak-jejak kakinya/yang ragu-ragu di jalan itu//42

35Ibid. 36Ibid., h.70. 37Ibid., h.79. 38Ibid. 39Ibid. 40Ibid., h.97. 41Ibid., h. 104. 42Ibid. 48

24) tak ada yang lebih arif/dari hujan bulan juni/dibiarkannya yang tak terucapkan/diserap akar pohon bunga itu//43 25) Hujan turun semalaman.Paginya/ jalak berkicau dan daun jambu bersemi;/mereka tidak mengenal gurindam/dan peribahasa,tapi menghayati/adat kita yang purba,/ tahu kapan harus berbuat sesuatu. Mereka/tidak pernah bisa menguraikan/hakikat kata- kata mutiara,tapi tahu/kapan harus berbuat sesuatu,agar kita/44 26) terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara//45 27) kemudian daun bertahan pada tangkainya//46 28) kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;/ 29) kenalkah ia padamu, desakmu (kemudian sepi/terbata-bata menghardik berulang kali)47 30) nanti hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita dan/ menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci/pintu kamar ini?”//48 Larik-larik tersebut mengandung gaya bahasa personifikasi karena menyamakan benda-benda tak bernyawa dengan manusia. Benda mati seolah-olah mempunyai kegiatan, maksud dan nafsu seperti manusia. Personifikasi memberikan kejelasan gambaran atau memberikan bayangan agar konkrit sehingga membuat puisi lebih hidup. d. Alegori 1) membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan,/membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.//49 2) Apakah yang kita harapkan dari hujan?50

43Ibid 44Ibid., h.116. 45Ibid., h. 24. 46Ibid 47Ibid. 48Ibid., h. 62. 49Ibid., h.36. 50Ibid., h. 37. 49

3) dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya/terpisah dari hujan//51 4) sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu52 5) Kuhentikan hujan53 6) Hujan bulan juni54 7) perempuan mengirim air matanya/ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan/ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal/lembut bagai bianglala//55 8) lelaki tak pernah menoleh/dan di setiap jejaknya: melebat hutan- hutan,/hibuk pelabuhan-pelabuhan;/di pelupuknya sepasang matahari/keras dan fana//56 9) dan serbuk-serbuk hujan/tiba dari arah mana saja (cadar/bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh)/ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini//57 Larik-larik di atas mengandung metafora yang diperluas atau dapat juga disebut sebagai alegori karena menggunakan simbol-simbol atau lambang. 2. Gaya Bahasa Pertentangan a. Hiperbola 1) itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang- rahang/bunga terkam-menerkam.58 2) Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk/memecahkan cermin membakar tempat tidur.59

51Ibid., h. 38. 52Ibid., h. 70. 53Ibid., h. 91. 54Ibid., h. 104. 55Ibid., h. 32. 56Ibid. 57Ibid. 58Ibid., h. 59. 50

Dalam larik tersebut mengandung gaya bahasa hiperbola karena menyatakan sesuatu yang berlebihan. b. Litotes 1) Masih patutkah kuhitung segala milikku/selembar celana dan selembar baju/60 Larik di atas melukiskan sesuatu secara berlawanan dengan maksud untuk memperhalus. c. Paradox 1) Hujan bulan juni 2) Kuhentikan hujan. Kini matahari/ 3) Masih patutkah kuhitung segala milikku/selembar celana dan selembar baju/ 4) Tak bisa kutolak matahari/memaksaku menciptakan bunga- bunga//61 5) tiada apa pun di antara Kita: dingin/semakin membara sewaktu berhembus angin/62 Gaya bahasa paradoks terdapat dalam larik-larik tersebut karena mengandung suatu pernyataan yang bertentangan. d. Klimaks 1) Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk/memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin/ Kedua larik tersebut memberikan gambaran urutan pikiran yang semakin lama semakin memberikan penekanan yang disebut sebagai gaya bahasa klimaks. e. Antiklimaks 1) Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambilberjalan/ tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu

59Ibid., h. 75. 60Ibid., h. 2. 61Ibid., h.91. 62Ibid.,h. 24. 51

hujan turun/ rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja/ sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.// Larik-larik tersebut disebut antiklimaks karena berisi gagasan- gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. f. Hipalase l) hidupmu sore hari (dan bukan siang/ yang bernafas dengan sengit/ Pada larik di atas menggunakan gaya bahasa yang merupakan kebalikan darisuatu hubungan alamiah antara dua komponen gagasan. Larik tersebut menjelaskan bahwa yang bernafas dengan sengit adalah “hidupmu” bukan “sore hari (dan bukan siang”. Inilah yang disebut sebagai gaya bahasa hipalase. Selain itu, larik ini juga mengandung gaya bahasa personifikasi. 3. Gaya Bahasa Pertautan a. Sinekdoke totum pro parte 1) sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap/ Larik tersebut adalah bagian dari puisi yang berjudul Sehabis Mengantar jenazah, “dunia” yang dimaksud dalam larik tersebut adalah jenazah yang telah dikubur, artinya “dunia”menyebut keseluruhan untuk menegaskan sebagian, yang dalam hal ini jenazah.Dalam stilistika ini disebut sinekdoke totum pro parte. Sinekdoke pars prototo 1) sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebuyang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu// Larik tersebut merupakan bagian dari puisi yang berjudul “Sepasang Sepatu Tua” yang menjelaskan bahwa telah “jatuh cinta 52

kepada sepasang telapak kaki” telapak kaki dalam larik tersebut menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan. b. Erotesis l) Apakah yang kita harapkan dari hujan?/Apakah yang kitaharapkan?/Apakah?// 2) sendiri, Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan/tak pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian,/semacam keheningan) terbang; ke mana pula suit daun/yang berayun jatuh dalam setiap impian?”// 3) sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,/menghindar dari pandangku; di mana pula/(ah, tidak!) rinduku yang dahulu?” Gaya bahasa yang terkandung dalam larik-larik tersebut adalah erotesis karena berupa pertanyaan-pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban dan bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar. d. Elipsis 1) masih adakah? 2) Apakah yang kita harapkan?/Apakah?// 3) dan menyesakkan udara dan ...”// 63 Larik-larik tersebut memiliki kontruksi sintaksis yang tidak lengkap sehingga masuk ke dalam kategori elipsis. 4. Gaya Bahasa Perulangan a. Aliterasi 1) kabut yang likat dan kabut yang pupur/64 2) pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri/65 3) Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari/yangmenerbitkan debu jalanan, yangmenajamkan/

63Ibid., h. 62. 64Ibid., h. 52. 65Ibid., h. 80. 53

Larik-larik tersebut mengulang wujud konsonan yang sama sehingga disebut sebagai gaya bahasa aliterasi. b. Asonansi 1) kupandang kelam yang merapat ke sisi kita/ 2) aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari/66 Larik-larik tersebut mengulang wujud vokal yang sama sehingga disebut sebagai gaya bahasa asonansi. c. Epizeukis 1) alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita/seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan/ Larik tersebut termasuk ke dalam epizeukis karena mengulang langsung kata yang dianggap penting secara berturut-turut. d. Anafora 1) Apakah yang kita harapkan dari hujan?/Apakah yang kita harapkan?/Apakah?// 2) seperti engkau berbicara diujung jalan/seperti engkau memanggil-manggil di kelokan itu/seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu,/67 3) tat kala angin basah tak ada bermuat debu/tat kala tak ada yang merasa diburu-buru.68 4) Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan/tak pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian,/semacam keheningan) terbang; ke mana pula suit daun/yang berayun jatuh dalam setiap impian?” 5) sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,/menghindar dari pandangku; di mana pula(ah, tidak!) rinduku yang dahulu?”69

66Ibid., h. 56 . 67Ibid., h. 29. 68Ibid., h. 18. 69Ibid., h. 47. 54

6) yang bernafas dengan sengit/yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari) yang basah/yang meleleh dalam senandung hujan/yang larut./70 7) kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya/kupandang semesta/71 Dalam setiap larik tersebut mengulang kata pertama pada setiap barisnya. e. Mesodilopsis 1) tak ada yang menolaknya./tat kala angin basah tak ada bermuat debu/tat kala tak ada yang merasa diburu-buru//72 2) yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan/ warna-warni bunga yang dirangkaikan)yang menghapus/jejak-jejak kaki,yang senantiasa berulang dalam hujan. Kau di beranda,/73 3) Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik/pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan,/memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari/daun dekat jendela itu./Atau memimpikan semacam suku kata/ yang akan mengantarmu tidur.”// 4) Kau hujan memang suka serba kelamserbagaib serba suara desis;/74 5) Alangkah angkuhnya langit/alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita/ 6) (malam berkabut seketika); barangkali menjemputku/barangkali berkabar penghujan itu//75 Larik-larik tersebut mengulang kata atau frase di tengah baris atau beberapa kalimat beruntun sehingga disebut gaya bahasa mesodiplosis.

70Ibid., h. 48. 71Ibid., h. 24. 72Ibid., h. 18. 73Ibid., h. 47. 74Ibid.,h. 65. 75Ibid., h. 30. 55

f. Epanalepsis 1) dan menyesakkan udara dan ...”/ 2) jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis-/pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri/…/jangan pejamkan matamu://76 Kata pertama larik-larik tersebut juga menjadi kata terakhir, ini berarti larik-larik tersebut mengandung gaya bahasa epanalepsis. B. Hasil Analisis Data Berdasarkan analisis data, diperoleh hasil sebagai berikut. 1. Gaya bahasa perbandingan yang ditemukan dalam objek penelitian ini sebanyak 60 gaya bahasa atau 60% dari jumlah keseluruhan sebanyak 100 gaya bahasa, dengan rincian: 3 gaya bahasa perumpamaan, 18 gaya bahasa metafora, 30 gaya bahasa personifikasi, dan 9 gaya bahasa alegori. 2. Gaya bahasa pertentangan ditemukan sebanyak 11 gaya bahasa atau 11% dari jumlah keseluruhan dengan rincian: 2 gaya bahasa hiperbola, 1 gaya bahasa litotes, 5 gaya bahasa paradoks, 1 gaya bahasa klimaks, 1 gaya bahasa antiklimaks,dan 1 gaya bahasa hipalase. 3. Gaya bahasa pertautan ditemukan sebanyak 8 gaya bahasa atau 8% dari jumlah keseluruhan dengan rincian: 3 gaya bahasa erotesis, 1 gaya bahasa sinekdoke totem pro parte,1 gaya bahasa sinekdoke pars prototo dan 3 gaya bahasa ellipsis. 4. Gaya bahasa perulangan ditemukan sebanyak 21 gaya bahasa atau 21% dari jumlah keseluruhan dengan rincian: 3 gaya bahasa aliterasi, 2 gaya bahasa asonansi, 1 gaya bahasa epizeukis, 7 gaya bahasa anafora, 6 gaya bahasa mesodiplosis, dan 2 gaya bahasa epanalepsis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa yang paling sering muncul dalam objek penelitian ini adalah gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa tersebut didominasi oleh gaya bahasa personifikasi dan metafora. Selanjutnya, gaya bahasa perulangan juga banyak ditemukan dari pada gaya bahasa pertentangan dan pertautan.

76Ibid., h.80. 56

C. Penafsiran dan Uraian Penelitian Objek penelitian ini memiliki kecenderungan menggunakan gaya bahasa perbandingan dengan persentase sebanyak 60%, yang didominasi oleh gaya bahasa personifikasi, metafora, dan alegori. Gaya bahasa perbandingan atau Fananie menyebutnya sebagai gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang digunakan untuk menyatakan ungkapan yang berisi perbandingan atau persamaan.77Perbandingan dan persamaan tersebut umumya didasarkan pada ciri- ciri yang dipunyai oleh sesuatu yang dibandingkan atau disamakan. Perbandingan itu sendiri merupakan salah satu cara dalam memahami sekaligus menampilkan aspek-aspek kehidupan secara berbeda. Selain itu juga dapat menjadikan puisi memiliki rasa bahasa yang kuat dan lebih hidup. Sajak-sajak Sapardi merupakan sajak yang lembut dan sederhana. Kekuatannya terletak dalam kesederhanaan liris dalam menyajikan masalah manusia yang universal. Kata-kata biasa, sehari-hari, ditangan Sapardi menghasilkan metafor baru, juga imaji lembut dan indah. Inilah yang menjadi kekhasan Sapardi, dengan gaya bahasa yang digunakannya Sapardi mampu menyajikan adegan-adegan dramatis karena benda-benda yang biasa kita pandang sebagai benda mati bisa melakukan dialog dan tindakan. Seperti yang terdapat dalam puisinya yang berjudul Percakapan Malam Hujan. Gaya bahasa personifikasi yang digunakan dalam puisi ini sangat menarik. Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Soemanto, yaitu.

Puisi lain yang menarik itu, antara lain, berjudul Percakapan Malam Hujan.Larik pertama sajak ini sangat menarik: “Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik”. Tampak sekali di sini Sapardi bermain-main dengan makna, yang menjadikan puisi ini tidak masuk akal”.Bagaimana mungkin hujan mengenakan mantel, sepatu, dan bahkan, membawa payung.Bukankah barang-barang itu seharusnya digunakan oleh manusia untuk menghadapi hujan dan bukan hujan yang malah memakainya?Gaya personifikasi ini aneh dan tidak biasa.Akan tetapi, justru di sini letak daya pikat dan kekuatan puisi ini.Ini yang menempatkan Sapardi dipandang sebagai penyair terkemuka papan atas. Dengan kata lain, puisi-puisi dengan

77Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), h. 37. 57

gayabahasa aneh seperti ini menjadikannya suatu dunia tersendiri, yang memberikan pengalaman batin secara unik kepada pembacanya.78 Gaya bahasa personifikasi yang menimbulkan efek lebih hidup juga terdapat dalam puisi yang berjudul Puisi Cat Air untuk Rizki. Secara keseluruhan larik yang terdapat dalam puisi ini menggunakan gaya bahasa personifikasi yangsangat menarik dan memberikan efek emotif. Pada larik pertama dikatakan “angin berbisik kepada daun jatuh” kemudian “kabel telepon yang memperingatkan angin yang sedang memungut/daun itu dengan jari-jarinya gemas,”Jangan brisik mengganggu hujan!’’ dan diakhiri dengan larik “ hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, “lepaskan daun itu!” Hujan Bulan Juni merupakan kumpulan puisi yang banyak mengolah hujan. Bagi Sapardi, hujan merupakan fenomena alam yang luar biasa. Aspahani mengatakan bahwa bagi para penikmat sajak harus mengakui bahwa Sapardi adalah “hantu” penggemar hujan.79Hujan kerap dijadikan metafor utama dalam sajak-sajaknya. Dalam menciptakan metafora, penyair dipengaruhi oleh lingkungannya karena persepsi penyair terhadap gejala alam dan gejala sosial tidak dapat lepas dari lingkungannya juga. Berikut adalah beberapa judul puisi yang menjadikan hujan sebagai metafor utama, yaitu: Hujan Dalam Komposisi,1, Hujan Dalam Komposisi, 2, Hujan Dalam Komposisi, 3, Percakapan Malam Hujan, dan Puisi Cat Air untuk Rizki. Hujan Dalam Komposisi,1, Hujan Dalam Komposisi, 2, dan Hujan Dalam Komposisi,3 merupakan puisi-puisi yang menggunakan gaya bahasa perbandingan seperti alegori, metafora, dan personifikasi. Metafora yang digunakan dalam ketiga puisi tersebut adalah metafora yang diperluas sehingga menjadi bentuk alegori. Hujan digunakan sebagai simbol atau lambang untuk mendeskripsikan sebuah proses atau siklus kehidupan. Secara denotatif puisi-puisi tersebut membicarakan tentang hujan itu sendiri akan tetapi hujan ini juga memiliki makna konotatif yang menjadikannya terasa sangat dalam.

78Bakdi Soemanto, Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2006), h.120. 79Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta, Membaca sapardi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 255. 58

Berikut adalah interpretasi penulis untuk puisi Hujan Dalam Komposisi,1. Hujan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa hujan adalah sebuah proses atau dalam ilmu pengetahuan alam hujan dijelaskan sebagai sebuah siklus. Penulis mencoba menerjemahkan puisi ini dengan menghubungkan makna dari hujan yang berarti siklus dengan sebuah siklus yang lain yang memiliki kesamaan esensi. Kalau hujan adalah sebuah siklus yang diawali dari proses penguapan di bumi akibat panas matahari, sehingga uap terkumpul di udara lalu mengalami pemadatan kemudian membentuk awan lalu bergerak akibat hembusan angin dan selanjutnya membeku hingga pada akhirnya mengalami presipitasi yang disebut jatuhnya air ke bumi dan terjadi hujan. Maka penulis menghubungkan siklus tersebut dengan siklus kehidupan yang seperti roda berputar.Kadang posisinya di atas kadang di bawah.Sama halnya dengan hujan yang berawal dari bumi kemudian mengudara dan kembali lagi ke bumi.Jadi pokok persoalan dari puisi ini sebenarnya adalah hujan itu sendiri yang kemudian penulis hubungkan dengan kehidupan atau dengan kata lain hujan di sini adalah simbol dari kehidupan. Kehidupan yang dimaksud di sini adalah kehidupan yang teratur atau mapan seperti yang tersirat dalam larik yang berbunyi “daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela.”Larik selanjutnya yang berbunyi “Apakah yang kau tangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan?” mengandung makna lapisan masyarakat karena tanah itu sendiri dalam KBBI berarti permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali maka boleh jadi tanah di sini berarti lapisan masyarakat.ricik air yang turun di selokan melambangkan sebuah keadaan yang mengalir mungkin maksudnya adalah aliran kehidupan yang awalnya berada di atas namun karena sesuatu hal air/hujan (kehidupan) tersebut mengalir sampai ke selokan atau jatuh sampai pada tempat yang paling rendah. “Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang” maksud dari larik tersebut adalah “ia” membayangkan atau memikirkan tentang adanya campur tangan dari yang gaib (Tuhan) terhadap kehidupan manusia baik susah ataupun senang.”Ia” juga 59

membayangkan sebuah kehidupan yang teratur. “Tak ada. Kecuali bayang- bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.” Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya. Larik tersebut bermakna bahwa sebenarnya “ia yang memiliki harapan-harapan dalam hidupnya.Berharap hidup yang teratur dan berharap adanya petunjuk atau semacam nasihat yang dapat menguatkan agar “ia” bisa tenang dan terus berharap. Tapi pada akhirnya “ia” merasa lelah dengan harapan- harapan tersebut karena keadaan yang juga tak kunjung berubah. Demikian hujan diolah dan dijadikan simbol oleh Sapardi dalam puisi- puisinya. Simbol menurut kamus Webster adalah “sesuatu yang berarti atau mengacu pada sesuatu yang berdasarkan hubungan nalar, asosiasi, konvensi, kebetulan ada kemiripan... tanda yang dapat dilihat dari sesuatu yang tak terlihat.80 Simbol digunakan untuk menampilkan gagasan dan emosi agar tampak nyata. Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca.81Bentuk gaya bahasa perbandingan lainnya yang juga menggunakan simbol dapat ditemukan dalam puisi-puisi yang berjudul Sehabis Mengantar Jenazah, Hujan Turun Sepanjang Jalan, Sepasang Sepatu Tua, Kuhentikan Hujan, danKupandang Kelam yang Merapat Kesisi Kita. Dalam “Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita” “kelam” dipersonifikasi hingga mengemukakan suatu gagasan metafor. Bait pertama puisi tersebut berbunyi “kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;/ siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba/(malam berkabut seketika); barangkali menjemputku/ barangkali berjabar penghujan itu//.” “Kelam” di sini merujuk pada maksud kematian. Kematian yang disambut dengan ketenangan atau kepasrahan seperti yang dijelaskan pada bait berikutnya, “bayang-bayangnya pun hampir sampai di sini; jangan/ ucapkan selamat malam; undurlah pelahan/ (pastilah sudah gugur hujan/ di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku//.”

80Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 54. 81Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 64. 60

Begitu pula dengan “Sepasang Sepatu Tua”, larik-lariknya banyak mengandung personifikasi, seperti “sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu/ yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan/ berlumpur sehabis hujan---keduanya telah jatuh cinta/ kepada sepasang telapak kaki itu//yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta,/sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua//”.Selain itu, “Sepasang Sepatu Tua” juga mengandung alegori. Simbol untuk sepasang kekasih yang menua bersama. Mereka melalui pahit manisnya hidup dengan rasa syukur bukan dengan keluhan. Keduanya teringat akan masa lalunya yang penuh perjuangan dan kegetiran seperti yang terdapat dalam larik-larik “yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan/ berlumpur sehabis hujan” sepasang sepatu tua juga telah jatuh cinta kepada “sepasang telapak kaki”yang telah menjadikannya bermakna. “sepasang telapak kaki” ini mengandung gaya bahasa sinekdoke pars prototo yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan. Telapak kaki adalah bagian dari anggota tubuh manusia. Manusia di sini dimetaforkan sebagai kehidupan yang telah memberikan hidup kepada sepasang sepatu sampai tua. Di masa tuanya “Sepasang Sepatu Tua” berserah diri kepada “sepasang telapak kaki” mereka mencoba menerka nasib, akan berujung seperti apakah nasib mereka nanti, apakah akan berakhir dengan kematian yang begitu cepat dengan membawa amal kebaikan yang dimetaforkan sebagai “surat cinta” atau berakhir dengan kematian yang pelahan dan keduanya saling menguatkan dengan saling berbisik seperti yang terdapat dalam larik “yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan/mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu/dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa/ sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua//.” Selain gaya bahasa perbandingan, pemakaian gaya bahasa repetisi dalam puisi Sapardi juga menduduki persentase yang tinggi dibanding dengan yang lainnya. Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 21% penggunaan gaya bahasa repetisi. 61

Perulangan atau repetisi adalah gaya bahasa yang mengandung perulangan bunyi, suku kata, kata atau frase, ataupun bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.82 Berikut adalah beberapa puisi yang menggunakan gaya bahasa repetisi, yaitu: Kartu Pos Bergambar: Jembatan Golden Gate, San Fransisco; Di Beranda Waktu Hujan; Hujan dalam Komposisi, 1; Hujan dalam komposisi, 2; Percakapan Malam Hujan; dan Lirik untuk Lagu Pop. Aliterasi ditemukan dalam larik-larik berikut “kabut yang likat dan kabut yang pupur/”, “pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri/” dan “Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari/yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan”.Gaya bahasa repetisi lain yang dominan yaitu anafora dan mesodiplosis. Anafora ditemukan dalam larik-larik berikut “Apakahyang kita harapkan dari hujan?/Apakah yang kita harapkan?/Apakah?//”, “seperti engkau berbicara di ujung jalan/seperti engkau memanggil-manggil di kelokan itu/seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu,/”, “tat kala angin basah tak ada bermuat debu/tat kala tak ada yang merasa diburu-buru.//”, “Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan/tak pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian,/semacam keheningan) terbang; ke mana pula suit daun/yang berayun jatuh dalam setiap impian?”, “sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,/menghindar dari pandangku; di mana pula(ah, tidak!) rinduku yang dahulu?”, “yang bernafas dengan sengit/yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari) yang basah/yang meleleh dalam senandung hujan/yang larut./”, “kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya/kupandang semesta/”. Mesodiplosis terdapat dalam larik-larik “tak ada yang menolaknya./tat kala angin basah tak ada bermuat debu/tat kala tak ada yang merasa diburu-buru//”, “yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan/ warna-warni bunga yang dirangkaikan)yang menghapus/jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang dalam hujan. Kau di beranda,/” “Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik/pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan,/ memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari/daun dekat jendela itu./Atau

82Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa Bandung, 2009), h.175.l 62

memimpikan semacam suku kata/ yang akan mengantarmu tidur.”//” “Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desis;/” “Alangkah angkuhnya langit/alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita/” “(malam berkabut seketika); barangkali menjemputku/barangkali berkabar penghujan itu//” Gaya bahasa pertentangan juga digunakan oleh Sapardi, meskipun jumlahnya tidak banyak. Dalam penelitian ini, penulis menemukan 11% penggunaan gaya bahasa pertentangan. Adapun efek yang ditimbulkan dari penggunaan gaya bahasa ini adalah memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Seperti yang terdapat dalam puisi yang berjudul Pada Suatu Pagi Hari, dalam lariknya yang kelima dan keenam dikatakan “Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk/memecahkan cermin membakar tempat tidur.../. Begitu pula yang terdapat dalam puisi Hujan Bulan Juni yang juga menjadi judul dari kumpulan puisi ini. Hujan Bulan Juni dapat dipandang sebagai isyarat bahwa pertentangan atau paradoks bagi Sapardi Djoko Damono juga menjadi kekuatannya yang khas. Hal ini tercermin dari pemakaian kata-katanya yang begitu sederhana, namun menyimpan makna yang begitu mendalam. Dalam puisi ini, makna denotatif dan konotatif mempunyai kualitas sejajar dengan peranan yang sama pentingnya. Hujan Bulan Juni adalah sebuah paradoks. Mengapa demikian? Berikut adalah tafsiran sederhana makna denotatifnya. Secara tekstual hujan bulan Juni adalah hujan yang turun di bulan Juni. Di Indonesia, bulan Juni adalah bukan musim penghujan, melainkan musim kemarau (meskipun untuk saat ini, hal ini bisa saja terjadi karena adanya efek global warming), tapi mengapa bulan yang tidak produktif dengan hujan malah disebut Hujan Bulan Juni? Inilah letak paradoks itu, di mana terdapat pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Secara konotatif, Hujan Bulan Juni adalah simbol, penggunaan gaya bahasa semacam itu dalam stilistika disebut sebagai alegori. Alegori yaitu gambaran secara kias tentang satu pengertian atau dapat juga dikatakan semacam metafora tetapi ungkapannya hanya sebagai simbol. Hujan Bulan Juni dapat ditafsirkan 63

sebagai sebuah kerinduan seseorang terhadap seseorang atau sesuatu. Mengenai hal ini Mahayana menerjemahkannya sebagai berikut. “Hujan Bulan Juni,” “rintik rindu,” “pohon berbunga,” adalah kata- kata simbolik. Di dalamnya, mendekam sejumlah makna. Kini, coba bayangkanlah, ketika kita dilanda perasaan cinta atau rindu atau perasaan lain yang ingin ditumpahkan. Dengan segala kesabaran (tabah), kita menunggu saat yang tepat untuk menumpahkannya.Ternyata, seringkali kita merasakannya tidaklah mudah sebagaimana yang dibayangkan. Selalu ada perasaan lain yang mengganggu: cemas, takut, khawatir, was-was, dan entah perasaan apalagi. Begitulah, ketika kita menyentuh makna konotatif, ternyata puisi itu tidaklah sederhana, bahkan sangat problematik dan melibatkan persoalan psikologis yang rumit dan kompleks. Kerinduan hujan sesungguhnya merupakan problem kita, problem kemanusiaan yang paling fundamental.Maka rindu hujan pada pohon, boleh dimaknai dengan berbagai penafsiran.Boleh jadi itu simbolisasi perasaan cinta antar-dua manusia, rindu pada masa lalu, atau rindu pada negeri leluhur ketika kita berada entah di mana, jauh dari sanak keluarga.83

Paradoks lain ditemukan dalam puisi “Sajak Desember” yang terdapat dalam larik “masih patutkah kuhitung segala milikku/selembar celana dan selembar baju/’’ larik tersebut juga menunjukkan gaya bahasa litotes karena mempertentangkan sesuatu dengan tujuan untuk memperhalus. Larik “tiada apa pun di antara Kita: dingin/semakin membara sewaktu berhembus angin/” dalam puisi “Dalam Doa”. Larik “Kuhentikan hujan. Kini matahari/” dan “Tak bisa kutolak matahari/memaksaku menciptakan bunga-bunga/” dalam “Kuhentikan Hujan”. Di samping paradoks juga terdapat gaya bahasa hipalase yang terkandung dalam larik “hidupmu sore hari (dan bukan siang/ yang bernafas dengan sengit/”. Larik tersebut menjelaskan bahwa yang bernafas dengan sengit adalah “hidupmu” bukan “sore hari (dan bukan siang”. Gaya bahasa pertautan juga penulis temukan dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 8%. Gaya bahasa tersebut terdapat dalam puisi Sehabis Mengantar Jenazah,Hujan Dalam Komposisi, 2, dan Di Beranda Waktu Hujan. Gaya bahasa yang sering muncul adalah erotesis. Ada pula penggunaan gaya bahasa sinekdoke totem pro parte seperti yang terdapat dalam bait pertama puisi yang berjudul

83Sarumpaet, op. cit., h. 160-161. 64

Sehabis Mengantar Jenazah. Pada larik kedua bait pertama disebut “Hujan pun sudah selesai”. Hujan, yang merupakan fenomena alam yang sangat berpengaruh pada hidup kepenyairan Sapardi, telah berhenti persis saat penguburan itu rampung. Pada bait ini, jenazah, yang disebut pada judul sajak tidak lagi disebut pada larik ketiga, tetapi diganti dengan “dunia yang tak habisnya/bercakap.” Cara pengucapan demikian ini dalam stilistika disebut sebagai sinekdoke totem pro parte. Maksudnya menyebut keseluruhan, dalam hal ini dunia, untuk menegaskan sebagian, yang dalam hal ini jenazah. Secara tidak langsung ini juga menunjukkan gejala penggunaan gaya bahasa metafora karena kata “jenazah” disamakan artinya dengan “dunia”. Interpretasi lebih luas dijelaskan oleh Soemanto sebagai berikut. Gaya bahasa sinekdoke tampaknya cocok untuk Sapardi yang memandang puisi sebagai alat ucap kecil dalam rangka meraih penyajian pengalaman yang lebih besar. Sebaliknya, dalam puisi juga bisa dihadirkan gambaran besar untuk menegaskan yang kecil. Dengan kata lain, jenazah tidak hanya bisa kita pandang sebagai jenazah seseorang, tetapi merupakan wakil dari suatu kehidupan yang berangkat tua dan mati. Pada bait kedua, si aku diminta untuk pulang “dengan payung di tangan, tertutup’. Anak- anak pun beriang-ria, “bermain di jalanan basah”, suatu pertanda bahwa hidup kembali normal. Bahkan, seperti dikatakan Teeuw, gairah hidup pun mulai tumbuh setelah terdengar “kuda-kuda meringkik di bukit-bukit yang jauh”. Dalam situasi yang demikian ini, “tak perlu tua dalam tanda tanya”. Namun, seperti diungkapkan pada bait ketiga, pertanyaan-pertanyaan itu terus saja bermunculan pertanyaan “masih adakah?” Hal ini sesuai dengan salah satu konsep puisi seperti yang dikatakan oleh Sapardisendiri, yakni bahwa sajak merupakan pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan pula. Pertanyaan itu muncul karena hidup ternyata berhadapan dengan “Alangkah angkuhnya langit/ angkuhnya pintu yang akan menerima kita/ seluruhnya, seluruhnya...”, yakni bahwa maut, ternyata tidak terlalu akrab. Di samping itu, seperti ditegaskan pada baris terakhir bait ketiga itu, akhirnya manusia mengalami kesendirian lagi: “pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba”.84

D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra Pengajaran sastra di sekolah menengah pada dasarnya bertujuan agar siswa memliki rasa peka terhadap karya sastra yang berharga sehingga merasa terdorong dan tertarik untuk membacanya. Dengan membaca karya sastra diharapkan siswa memperoleh pengertian yang baik tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal

84Soemanto, op. cit., h. 105- 106. 65

nilai-nilai, dan mendapatkan ide-ide baru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pokok pengajaran sastra adalah untuk memcapai kemampuan apresiasi kreatif. Apresiasi kreatif menurut J.Grace adalah berupa respon sastra.85Respon ini menyangkut aspek kejiwaan, terutama berupa perasaan, imajinasi, dan daya kritis. Dengan memiliki respon sastra, siswa diharapkan mempunyai bekal untuk mampu merespon kehidupan ini secara artistik imajinatif, karena sastra itu sendiri muncul dari pengolahan tentang kehidupan ini secara artistik dan imajinatif dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dalam pembelajaran sastra di sekolah khususnya puisi, siswa diminta untuk dapat mengapresiasi puisi. Mengapresiasi puisi berarti kesanggupan dalam mengenal, memahami, menghargai, menilai, dan memberi makna terhadap puisi yang dibaca. Mengenai tingkatan apresiasi puisi Djojosuroto membaginya dalam lima tingkatan yaitu: penikmatan, penghargaan, pamahaman, panghayatan, dan aplikasi.86 Pada tingkatan awal apresiasi puisi di sekolah, barulah berupa pengenalan dengan mendengarkan pembacaan puisi. Misalnya, siswa diminta untuk mendengarkan pembacaan puisi baik itu dibacakan langsung oleh guru maupun penyair melalui tayangan video. Hal ini ditujukan agar siswa mengenal, senang dan tertarik untuk dapat menikmati puisi. Pada tingkatan kedua siswa diminta untuk menanggapi pembacaan puisi (KD. 13.1). Tingkatan ini disebut sebagai tingkat penghargaan. Selanjutnya untuk sampai ditingkat pemahaman siswa diminta untuk memahami puisi melalui identifikasi unsur-unsur bentuk puisi, baik fisik maupun batin (KD. 5.1 dan KD. 15.2). Setelah itu, berlanjut pada tingkat penghayatan, pada tahap ini siswa diminta untuk merefleksikan isi puisi (KD. 13.2). Kemudian sebagai tingkatan akhir, yaitu tingkat aplikasi siswa diharapkan mampu menulis puisi dengan pilihan kata yang sesuai dan juga memperhatikan unsur persajakan (KD.16.1).

85M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa & Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1989), h.152- 153. 86Kinayati Djojosuroto dan Noldy Pelenkahu, Teori dan Pemahaman Apresiasi Puisi, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), h. 102.

66

Setiap tingkatan dalam apresiasi puisi tersebut hanya dapat dicapai bila guru yang mengajarkan dapat menumbuhkan kecintaan siswa kepada karya sastra khususnya puisi. Untuk menumbuhkan kecintaan tersebut guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan menarik. Selain itu, penguasaan guru terhadap materi yang diajarkan juga mutlak diperlukan. Hal ini tentu tidak terlepas dari pemilihan bahan ajar yang tepat untuk digunakan dalam proses pembelajaran. Jika dikaitkan dengan kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, guru dapat menjadikan buku ini sebagai bahan ajar. Puisi-puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi ini kaya akan penggunaan gaya bahasa. Dengan demikian diharapkan siswa mampu mengerti dan memahami penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra khususnya puisi sehingga dapat memudahkan siswa untuk bisa sampai pada tingkatan apresiasi yang berupa aplikasi seperti mampu menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai (KD. 16.1) dan menganalisis struktur fisik maupun batin puisi pada materi mengenali ciri-ciri umum puisi dari buku antologi puisi (KD. 15.2).

BAB V PENUTUP

A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis penggunaan gaya bahasa pada 25 puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni, dapat diambil simpulan sebagai berikut. 1. Gaya bahasa yang sering muncul dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono adalah gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa tersebut didominasi oleh gaya bahasa personifikasi dan metafora. Efek yang ditimbulkan dari penggunaan gaya bahasa tersebut adalah membuat gagasan dan emosi lebih nyata. Selanjutnya, gaya bahasa perulangan juga banyak ditemukan dari pada gaya bahasa pertentangan dan pertautan. Secara keseluruhan gaya bahasa yang digunakan sebanyak sembilan belas gaya bahasa, yaitu metafora, personifikasi, alegori, hiperbola, litotes, paradoks, klimaks, antiklimaks, hipalase, erotesis, elipsis, sinekdoke, aliterasi, asonansi, epizeukis, anafora, mesodiplosis, dan epanalepsis. 2. Gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono memiliki implikasi terhadap pembelajaran sastra. Kumpulan puisi ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan rujukan bagi pembelajaran apresiasi puisi di sekolah karena kaya akan penggunaan gaya bahasa. Dengan demikian diharapkan siswa mampu mengerti dan memahami penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra khususnya puisi sehingga dapat memudahkan siswa untuk bisa sampai pada tingkatan apresiasi yang berupa aplikasi seperti mampu menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai (KD.16.1) dan menganalisis struktur fisik maupun batin puisi pada materi mengenali ciri- ciri umum puisi dari buku antologi puisi (KD. 15.2)

67 68

B. Saran Berdasarkan simpulan yang telah dijelaskan, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut. 1. Diharapkan kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran apresiasi puisi di sekolah. 2. Guru sebaiknya memberikan materi khusus mengenai gaya bahasa dengan menambahkan indikator pada salah satu kompetensi dasar. Indikator dapat berupa ketercapaian siswa untuk mampu mengerti dan memahami tentang berbagai macam gaya bahasa dan penggunaanya dalam pembelajaran maupun kehidupan sehari-hari. 3. Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono ini hendaknya menjadi salah satu buku yang harus ada di perpustakaan sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press. 1995. Atmazaki. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. 1990.

Bahtiar, Ahmad. Metode Penelitian Sastra. Jakarta: Pustaka Mandiri. 2011.

Damono, Sapardi Djoko. Hujan Bulan Juni, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2013.

Djojosuroto, Kinayati dan Noldy Pelenkahu. Teori Pemahaman dan Apresiasi Puisi. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2009.

______dan M.L.A. Sumaryati. Prinsip-prinsip Dasar Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung: Nuansa. 2010

Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress. 2008. Fananie, Zainuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. 2002.

FITK UIN Syarif Hidayatullah. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. 2013. Hanum, Zulfa. Metode Penelitian Kesusastraan. Tangerang: PT Pustaka Mandiri. 2012. Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2010. Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1988. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005. Poerwadarminta, W.J.S.. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1995. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. ______, Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. Sarumpaet, Riris K. Toha dan Melani Budianta (ed.). Membaca Sapardi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2010. Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. 1998.

Skripsi. Fakultas Sastra UNS Surakarta. 2004. Soemanto, Bakdi. Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo. 2006. Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2009. Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa Bandung. 2009. Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. 1995. Tim Penyusun: Jurusan Bahasa Indonesia UNJ, Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Rayon 9 UNJ, Jakarta: UNJ. 2011.

LEMBAR UJI REFERENSI

Nama : TRI WINDUSARI

NIM :1811013000015 Indonesia Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra

Fakultas : Ilmu Keguruan dan TarbiYah Hujan Bulan Juni Karya Judul Skripsi '. "Gaya Bahasa Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Pertama'"

Bahasa dalam ' Memahami Karya Sastra. Semarang: IKIP SemarangPress' 1995' aon TeraPan' Padang: Angkasa

Raya. 1990. Penelitian Sastra' Jakarta:

Pujangga Rabani Press. 2012. an Bulan Juni, Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. 2013 @aun Noldy pelenkahu. Teori Book Pemahaman dan Apresiasi Puisi' Yogyakarta: Pustaka Publisher.2009 D--tojosoroto,rinuyuti dan M'L.A. Sumaryati' Prinsip- prinsip Dasar Penelitian Bahasa dan Sastra' Bandung: Nuansa. 2010. Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. YogYakarta: MedPress.2008. 8. Fananie, Zanuddin. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. 2002. 3 9. FITK UIN Syarif Hidayatullah. Pedoman Penulisan Slvipsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah- 2013. x 10. Hanum, Zulfa. Metode Penelitian Kesusqstraqn Tangerang: a") PT Pustaka Mandiri. 2012. 4 ll Minderop, Albertine. Metode Karalderisasi Telaah Fil$i. 9-, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005. /) t2. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi ? Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.2010. /)

13. Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia lndonesia. 1988. 3 14. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005. x 15. Poerwadarminta" W-J-S.. Kamus Umum Bahasa Indonesiq- Jakarta: Balai Pustaka. 1995. 4 16. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Sastra Indonesia Modern. Bandung: PT Remaja & Rosdakarya.2AD9. 17. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Struhuralisme Hingga Postrukturalisme Perspeloif Wacano Naratif, Yogyakarta: L Pustaka Pelajar. 2009.

18. Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastrq, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. 4 19. Sarumpaet, Riris K. Toha dan Melani Budianta. Membaca Sapardi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2010. E 20. Semi, M. Atar. Anqtomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. 1998. \ 27. Skipsi. Fakultas Sastra IINS Surakarta.2004. 4 22. Soemanto, Bakdi. Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo. 2006. /1 23. Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. fr 24. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitotif Kualitatd dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2009. E 25. Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa Bandung. 2009. A 26. Tim Penyusun: Jurusan Bahasa Indonesia IJNJ, Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Rayon 9 UNJ, Jakarta: uNJ.201l. \ 27. Waluyo, Herman J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. 1995. \

Mengetahui, Pembimbing skripsi

NrP. 1 9760 1182009121002

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Nama sekolah : MTs.Ar-Rasyidiyyah Mata pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas : VIII (Delapan) Semester : 1I (Dua) Aspek : Menulis

A. STANDAR KOMPETENSI 16. Mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas. B. KOMPETENSI DASAR 16.1 Menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang tepat. C. INDIKATOR 1. Kognitif a. Produk: menulis puisi b. Proses: 1) Mengamati gambar atau objek, kemudian mendaftar topik/objek yang akan diangkat sebagai puisi. 2) Mendeskripsikan objek dalam larik-larik yang bersifat puitis. 3) Menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai. 4) Menulis puisi dengan menggunakan gaya bahasa. 5) Menyunting sendiri pilihan kata yang terdapat di dalam puisi yang ditulis agar bersifat puitis. 2. Psikomotor 1) Menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai berdasarkan objek yang didata. 2) Menulis puisi dengan gaya bahasa. 3) Menyunting pilihan kata puisi yang ditulis.

3. Afektif a. Perilaku berkarakter 1) Rasa hormat dan perhatian 2) Tekun 3) Mandiri b. Keterampilan sosial 1) Bertanya dengan bahasa yang baik dan benar. 2) Menyumbang ide 3) Membantu teman yang mengalami kesulitan D. TUJUAN PEMBELAJARAN 1. Kognitif a. Produk Siswa dapat menulis puisi b. Proses: 1) Siswa dapat mengamati objek dan mendata objek yang akan dijadikan bahan menulis puisi dari gambar atau pengamatan langsung. 2) Siswa dapat mendaftar topik/objek yang akan diangkat sebagai puisi. 3) Siswa dapat mendeskripsikan objek dalam larik-larik yang bersifat puitis dari puisi yang ditulis. 4) Siswa dapat menyunting sendiri pilihan kata yang terdapat di dalam puisi yang ditulis agar bersifat puitis. 5) Siswa dapat mendeskripsikan objek dalam larik-larik yang bersifat puitis. 6) Siswa dapat menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai. 7) Siswa dapat menulis puisi dengan menggunakan gaya bahasa. 8) Siswa dapat menyunting sendiri pilihan kata yang terdapat di dalam puisi yang ditulis agar bersifat puitis.

2. Psikomotor 1) Siswa dapat menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai berdasarkan objek yang didata. 2) Siswa dapat menulis puisi dengan menggunakan gaya bahasa. 3) Siswa dapat menyunting pilihan kata puisi yang ditulis. 4) Siswa dapat memberikan tanggapan atau penilaian dari puisi yang ditulis teman 3. Afektif a. Perilaku berkarakter Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperhatikan kemajuan dan berperilaku seperti, 1) Rasa hormat dan perhatian 2) Tekun 3) Mandiri b. Keterampilan sosial Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memerhatikan kemajuan seperti, 1) Bertanya dengan bahasa yang baik dan benar. 2) Menyumbang ide. 3) Membantu teman yang mengalami kesulitan. E. MATERI PEMBELAJARAN a. Gambar peristiwa b. Unsur intrinsik puisi c. contoh-contoh puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni F. ALOKASI WAKTU : 2 X 40 menit G. PENDEKATAN DAN METODE PEMBELAJARAN a. Pendekatan : CTL b. Model pembelajaran : Pemodelan dan koperatif c. Metode pembelajaran : Diskusi, penugasan, ceramah

H. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN 1. Kegiatan awal (10 menit) a. Mempersiapkan siswa belajar. b. Guru melakukan apersepsi dengan meminta siswa untuk melihat gambar peristiwa/tayangan yang mengharukan. c. Guru dan siswa bertanya jawab tentang proses penyusunan puisi yang pernah dialami atau dikenal siswa. d. Menyampaikan tujuan pembeljaran yang akan dicapai. e. Memotivasi siswa bahwa menulis puisi itu mudah dan dapat dilakukan oleh siapapun. f. Memberikan keterangan tentang pilihan kata yang sesuai pada puisi. 2. Kegiatan inti (60 menit) a. Guru dan siswa bertanya jawab tentang pengalaman siswa menulis puisi. (eksplorasi) b. Guru memfasilitasi siswa mengamati berbagai penulisan puisi berdasarkan pada gambar atau yang dilihat berdasarkan pilihan kata yang tepat. (eksplorasi) c. Guru melibatkan siswa mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari. (eksplorasi) d. Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antara siswa serta antara siswa dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya. e. Siswa berkelompok menjadi dua kelompok, kelompok satu menyusun puisi dari gambar, kelompok menyusun puisi dengan pengamatan lingkungan sekolah. (elaborasi) f. Setiap kelompok menyajikan puisinya di papan tulis. Kelompok yang lain mengomentari puisis dari segi kesesuaian dengan gambar/obyek yang diamati. (elaborasi) g. Guru memberikan format penilaian kinerja, siswa mengacu format asesmen kinerja pada LP 2 untuk digunakan membahas hasil kerja kelompok. h. Beberapa orang siswa dari perwakilan kelompok membahas hasil kerja kelompok. (konfirmasi) i. Siswa membahas hasil kerja kelompok melalui kegiatan tanya jawab dengna menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ketika ada anggota kelompok sedang mempresentasikan hasil kerja kelompok, siswa lain mendengarkan dengan penuh apresiasi. (konfirmasi) j. Siswa lain menanggapi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar selanjutnya mereka saling bertukar saran dengan bahasa yang santun (konfirmasi) k. Secara individual siswa menulis puisi dengan mengamati gambar atau lingkungan sekolah dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai dalam lembar kerja siswa yang dapat dijadikan penilaian akhir kemampuan siswa. (elaborasi). l. Siswa menampilkan hasilnya di papan tulis/ dinding kelas. (elaborasi) m. Siswa lain memberikan komentar. n. Siswa mengambil hasil karya yang ditempelkan di papan tulis/dinding kelas dan menyunting puisi berdasarkan komentar yang diterimanya. (elaborasi) o. Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa. (konfirmasi) 3. Kegiatan akhir (10 menit) a. Siswa membuat rumusan simpulan terhadap butir-butir pembelajaran yang sudah diikutinya. b. Siswa menyampaikan kesan dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar terhadap pembelajaran yang dilaksanakan secara konsisten sebagai kegiatan refleksi. c. Guru memberikan penguatan terhadap simpulan oleh para siswa untuk menumbuhkan kebanggaan oleh rasa percaya diri siswa. d. Guru memberikan motivasi kepada siswa yang kurang atau belum berpartisipasi aktif. I. MEDIA/ ALAT/ BAHAN/ SUMBER BELAJAR 1. Laptop, LCD 2. Lembar kerja siswa 3. Gambar 4. Contoh-contoh puisi dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni 5. Buku bahasa Indonesia untuk SMP/MTs kelas VIII, penerbit Erlangga 6. Pengajaran gaya bahasa Henry Guntur Tarigan J. PENILAIAN 1. Lembar Penilaian 1 (LP 1) = Kognitif (penilaian produk) 2. Lembar Penilaian 2 (LP 2) = Kognitif (penilaian proses) 3. Lembar Penilaian 3 (LP 3) = Psikomotor 4. Lembar Penilaian 4 (LP 4) = Afektif (penilaian perilaku berkarakter) 5. Lembar Penilaian 5 (LP 5) = Afektif (penilaian perlaku sosial) Jenis tagihan: 1. Tugas individu : menggunakan LP 1, LP 4, dan LP 5 2. Tugas kelompok : menggunakan LP 2, dan LP 3 Bentuk instrumen 1. Uraian bebas 2. Jawaban singkat 3. Lembar pengamatan

Mengetahui, Jakarta, Desember 2014 Kepala sekolah Guru mata pelajaran bahasa Indonesia

H. Achmad Habibi HR., S.Pd. Tri windusari, S.Pd

Lembar Penilaian 1 Tulislah beberapa obyek yang kalian amati dari gambar yang disediakan !

Lembar Penilaian 2 Tulislah sebuah puisi berdasarkan obyek yang telah ditulis dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai!

Rubrik penilaian: No. Aspek Skor Nilai 1. Keunikan puisi 2 2. Keindahan kata 3 3. Gaya bahasa 2 4. Kesesuaian isi puisi 3

Jumlah skor maksimum 10

Hari/ tanggal : Siswa, Paraf guru,

Lembar Penilaian 3 1. Suntinglah puisi kalian agar menjadi lebih puitis! 2. Cermatilah komentar gurumu atau temanmu untuk perbaikan puisi yang kamu hasilkan!

Rubrik penilaian: No. Aspek Skor Nilai 1. Keunikan puisi 2 2. Keindahan kata 3 3. Gaya bahasa 2 4. Kesesuaian isi puisi 3

Jumlah skor maksimum 10

Hari/ tanggal : Siswa, Paraf guru,

Lembar penilaian 4 Petunjuk: Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa dengan menggunakan skala berikut: A= sangat baik B= memuaskan C= menunjukkan kemajuan D= memerlukan perbaikan

Format pengamatan perilaku berkarakter No. Rincian Memerlukan Menunjukkan Memuaskan Sangat Tugas perbaikan kemajuan (B) Baik Kinerja (D) (C) (A) (RTK) 1. Cermat

2. Sungguh- sungguh 3. Mandiri

Hari/ tanggal : Siswa, Paraf guru,

Lembar Penilaian 5

Petunjuk: Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa dengan menggunakan skala berikut: A= sangat baik B= memuaskan C= menunjukkan kemajuan D= memerlukan perbaikan

Format pengamatan keterampilan sosial No. Rincian Tugas Memerlukan Menunjukkan Memuaskan Sangat Kinerja perbaikan kemajuan (B) Baik (RTK) (D) (C) (A) 1. Menyumbang kan ide

2. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar 3. Membantu teman yang mengalami kesulitan

Hari/ tanggal : Siswa, Paraf guru,

LEMBAR KERJA SISWA

Nama siswa :…………………………………………………………….. Kelas :……………………………………………………………..

A. Standar Kompetensi : Menulis 16. Mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas.

B. Kompetensi Dasar 16.2 Menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang tepat.

C. Tujuan Pembelajaran 1. Siswa dapat mendata objek yang akan dijadikan bahan menulis puisi. 2. Siswa dapat menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai. 3. Siswa dapat menulis puisi bebas dengan menggunakan gaya bahasa. 4. Siswa dapat menyunting sendiri puisi yang ditulisnya

BERPUISI YUK! Pada pembelajaran sebelumnya kalian sudah memelajari karya sastra berbentuk puisi. Tentunya kalian sudah mengenali ciri-ciri umum sebuah puisi. Sekarang, mari kita berlatih menulis sebuah puisi dengan terlebih dahulu mendata dan memilih/menentukan objek yang akan kalian jadikan bahan menulis puisi bebas! 1. Lakukan pengamatan terhadap suatu objek yang menarik di lingkungan sekolahmu, hasil pengamatan dapat ditulis dalam kolom seperti contoh berikut: Objek pengamatan Pembatasan waktu Fokus pengamatan Kantin sekolah Pagi hari Suasana kantin di sekolah waktu jam istirahat pagi hari 2. Daftarlah beberapa objek yang menarik di lingkungan sekolah kalian yang dapat dipilih sebagai objek penulisan puisi! 3. Amatilah salah satu objek yang sudah disepakati oleh semua siswa dan tetapkan fokus pengamatan kalian! 4. Tulislah kalimat-kalimat puitis berdasarkan objek yang kalian amati! 5. Susunlah kalimat-kalimat yang puitis tersebut menjadi puisi dengan memerhatikan pilihan kata yang sesuai dan menggunakan gaya bahasa! 6. Suntinglah sendiri pilihna kata yang kurang tepat dan kurang puitis dalam puisi yang ditulis tersebut! 7. Tukarkan puisimu dengan hasil puisi temanmu dan berikan penilaian dengan format berikut!

Rubrik penilaian

No. Aspek penilaian indikator skor Nilai 1. Pengembangan pilihan kata dan Kekreativitasan gaya bahasa pengembangan dari kata ke kata yang dipilih: Kreatif 5 Kurang kreatif 4 Tidak kreatif 3 2. Keutuhan makna puisi dengan Kesinambungan memerhatikan pilihan kata antar bait atau lirik: yang sesuai Semua 5 berkesinambungan Sebagian ada yang 4 tidak berkesinambungan Banyak yang tidak 3 berkesinambungan Jumlah skor 10

8. Perbaikilah puisi kalian, tulis kembali atau ketik dengan rapi, kemudian tempelkan di dinding kelas!

D. Tanggapan pengajar ..……………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………

Hari/ tanggal : Skor Paraf guru, Paraf orang tua,

MATERI PUISI

Puisi adalah hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat- syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dari kata-kata. Keindahan puisi terlihat dari pilihan kata-kata yang sarat makna. Sebelum memahami sebuah puisi, kita harus mengenal dahulu unsur intrinsik yang terdapat dalam puisi. Unsur-unsur tersebut meliputi:

1. Tema Merupakan gagasan pikiran yang dikemukakan oleh penyair. 2. Suasana Merupakan ungkapan perasaan dan pemikiran penyair terhadap suatu hal atau masalah. 3. Nada Merupakan cara penyair mengungkapkan puisinya baik dengan cara menyindir, memuja, merayu, dan sebagainya. 4. Amanat Merupakan pesan yang disampaikan penyair melalui puisinya baik secara tersirat atau tersurat yang dapat dipetik oleh pembaca. 5. Diksi Merupakan pilihan kata untuk menyampaikan gagasan, situasi, dan perasaan penyair secara tepat yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dapat menimbulkan efek keindahan dan menghidupkan imajinasi pembaca. 6. Citraan Merupakan gambaran angan yang muncul di benak pembaca puisi. Wujud gambaran atau citraan terdiri atas: a. Citraan penglihatan b. Citraan pendengaran c. Citraan penciuman

7. Gaya bahasa Gaya bahasa digunakan untuk menghasilkan puisi yang indah, hidup, dan bernilai seni. Macam-macam gaya bahasa antara lain: perbandingan, pertentangan, pertautan, perulangan. Jenis-jenis dari macam-macam gaya bahasa tersebut dapat dilihat dibuku Henry Guntur Tarigan. 8. Irama Irama dalam puisi tergantung dari banyaknya bunyi suku kata, baik pada kata, frasa maupun kalimat dalam tiap baris. Contoh-contoh puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni dan gaya bahasa yang digunakannya. Puisi I HUJAN DALAM KOMPOSISI, 2

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan, dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi. Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan. Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. Selamat tidur.

(1969)

Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi tersebut antara lain. a. Personifikasi Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan, dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah dan kembali ke bumi.

Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan. b. Erotesis, terdapat dalam larik. Apakah yang kita harapkan dari hujan?/Apakah yang kita harapkan?/Apakah?// Puisi II

SEPASANG SEPATU TUA

sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan bersama makanan sisa sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua

Puisi III PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI

angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, "aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!" kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, "jangan brisik, mengganggu hujan!" hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, 'lepaskan daun itu!"

SAJAK DESEMBER kutanggalkan mantel serta topiku yang tua ketika daun penanggalan gugur lewat tengah malam. kemudian kuhitung hutang-hutangku pada-Mu mendadak terasa: betapa miskinnya diriku; di luar hujan pun masih kudengar dari celah-celah jendela. ada yang terbaring di kursi letih sekali masih patutkah kuhitung segala milikku selembar celana dan selembar baju ketika kusebut berulang nama-Mu; taram temaram bayang, bianglala itu

(1961)

SEHABIS MENGANTAR JENAZAH masih adakah yang akan kautanyakan tentang hal itu? hujan pun sudah selesai sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap di bawah bunga-bunga menua, matahari yang senja pulanglah dengan payung di tangan, tertutup anak-anak kembali bermain di jalanan basah seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh barangkali kita tak perlu tua dalam tanda tanya masih adakah? alangkah angkuhnya langit alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba. (1967)

HUJAN TURUN SEPANJANG JALAN hujan turun sepanjang jalan hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan kembali bernama sunyi kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali tak ada yang menolaknya. Kita pun mengerti, tiba-tiba atas pesan yang rahasia tat kala angin basah tak ada bermuat debu tat kala tak ada yang merasa diburu-buru

(1967)

DALAM DOA: 1 kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya kupandang semesta ketika Engkau seketika memijar dalam Kata terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara kemudian daun bertahan pada tangkainya ketika hujan tiba. Kudengar bumi sediakala tiada apa pun di antara Kita: dingin semakin membara sewaktu berhembus angin

(1968)

GERIMIS KECIL DI JALAN JAKARTA MALANG seperti engkau berbicara diujung jalan (waktu dingin, sepigrimis tiba-tiba seperti engkau memanggil-manggil di kelokan itu untuk kembali berduka) untuk kembali kepada rindu panjang dan cemas seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu supaya menyahutmu, Mu

(1968)

KUPANDANG KELAM YANG MERAPAT KE SISI KITA kupandang kelam yang merapat ke sisi kita; siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba (malam berkabut seketika); barangkali menjemputku barangkali berkabar penghujan itu kita terdiam saja di pintu, menunggu atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu; kenalkah ia padamu, desakmu (kemudian sepi terbata-bata menghardik berulang kali) bayang-bayangnya pun hampir sampai di sini; jangan ucapkan selamat malam; undurlah pelahan (pastilah sudah gugur hujan di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku: bunuhlah ia, suamiku (kutatap kelam itu bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)

(1968)

PERTEMUAN perempuan mengirim air matanya ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal lembut bagai bianglala lelaki tak pernah menoleh dan di setiap jejaknya: melebat hutan-hutan, hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari keras dan fana dan serbuk-serbuk hujan tiba dari arah mana saja (cadar bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh) ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini

(1968)

HUJAN DALAM KOMPOSISI, 1

“Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan?” “Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang. “Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.” “Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya.

(1969)

HUJAN DALAM KOMPOSISI, 2

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan, dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi. Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan. Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. Selamat tidur.

(1969)

HUJAN DALAM KOMPOSISI, 3 dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya terpisah dari hujan

(1969) DI BERANDA WAKTU HUJAN

Kausebut kenanganmu nyanyian (dan bukan matahari yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan warna-warni bunga yang dirangkaikan) yang menghapus jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang dalam hujan. Kau di beranda, sendiri, “Ke mana pula burung-burung itu (yang bahkan tak pernah kaulihat, yang menjelma semacam nyanyian, semacam keheningan) terbang; ke mana pula suit daun yang berayun jatuh dalam setiap impian?”

(Dan bukan kemarau yang membersihkan langit, yang pelahan mengendap di udara) kausebut cintamu penghujan panjang, yang tak habis-habisnya membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman. Di beranda kau duduk, Sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu, menghindar dari pandangku; di mana pula (ah, tidak!) rinduku yang dahulu?”

Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar kepada hujan, sendiri, “Di manakah sorga itu: nyanyian yang pernah mereka ajarkan padaku dahulu kata demi kata yang pernah kuhafal bahkan dalam igauanku?” Dan kausebut hidupmu sore hari (dan bukan siang yang bernafas dengan sengit yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari yang basah, yang meleleh dalam senandung hujan, yang larut. Amin.

(1970)

KARTU POS BERGAMBAR: JEMBATAN GOLDEN GATE, SAN FRANCISCO kabut yang likat dan kabut yang pupur lekat dan grimis pada tiang-tiang jembatan matahari menggeliat dan kembali gugur tak lagi di langit! Berpusing di pedih lautan

(1971) CAHAYA BULAN TENGAH MALAM aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari genting kaca adakah hujan sudah reda sejak lama? masih terbuka koran yang tadi belum selesai kubaca terjatuh di lantai; di tengah malam itu ia nampak begitu dingin dan fana

(1971)

CATATAN MASA KECIL 2

Ia mengambil jalan lintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkah-langkahnya. Langit belum berubah juga. ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berpikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam-menerkam. Langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil. Ada yang terpekik di balik semak. Ia tak mendengarnya. Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tak mendengarnya dan i a membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji menemuinya ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Ia memperhatikan ekor srigunting yang senantiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya ke seberang sungai belum jug a tiba lalu menyaksikan butir-butir hujan mulai jatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaran-lingkaranitu melebar dan ia membayangkan mereka tiba-tiba mengepungnya dan melemparkannya ke air. Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tak melihatnya. Ada.

(1971)

SAJAK, 1

Begitulah, kami bercakap sepanjang malam; berdiang pada suku kata yang gosos-menggosok dan membara. “Jangan diam, nanti hujan yang mengepung kita akan menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini” Baiklah kami pun bercakapa sepanjang malam: “Tetapi begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai beterbangan dan menyesakkan udara dan...”

(1973)

PERCAKAPAN MALAM HUJAN

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.”

“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang.”

(1973)

SEPASANG SEPATU TUA sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan bersama makanan sisa sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua

(1973)

PADA SUATU PAGI HARI

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa. Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik- rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

(1973)

PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, "aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!" kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, "jangan brisik, mengganggu hujan!" hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, 'lepaskan daun itu!"

(1975)

LIRIK UNTUK LAGU POP jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis--- pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring); swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening) aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut--- nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam) aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek---ketika hutan mendadak gaib jangan pejamkan matamu:

(1975)

KUHENTIKAN HUJAN

Kuhentikan hujan. Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi pelahan ada yang berdenyut dalam diriku: menembus tanah basah, dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya matahari.

Tak bisa kutolak matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga.

(1980)

SIHIR HUJAN

Hujan mengenal baik pohon,jalan, dan selokan – swaranya bisa dibeda-bedakan; kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela. Meskipun sudah kaumatikan lampu.

Hujan yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan – menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan.

(1981)

HUJAN BULAN JUNI tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

(1989)

HUJAN, JALAK, DAN DAUN JAMBU

Hujan turun semalaman. Paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi; mereka tidak mengenal gurindam dan peribahasa, tapi menghayati adat kita yang purba, tahu kapan harus berbuat sesuatu agar kita manusia, merasa bahagia. Mereka tidak pernah bisa menguraikan hakikat kata-kata mutiara, tapi tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita merasa tidak sepenuhnya sia-sia.

(1992)

DALAM DOAKU dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung heningkarena akan menerima suara-suara ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat pelahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan kecil itu, menyusup dicelah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh- nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bu lu mataku dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu

(1989)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis lahir di Jakarta, 21 September 1978 dengan nama lengkap Tri Windusari, mengawali pendidikan formal di TK Aisiyah kemudian melanjutkan studi di SDN 24 petang, lalu SMPN 23I, dan menamatkan pendidikan di SMAN 83 Jakarta Utara pada tahun 1996. Ibu dari dua anak perempuan yang bernama Salma Mernissie dan Naialya Khanza Batuta ini sangat menyukai senja, petualangan, dan juga mencintai dunia yang ditekuni saat ini yakni menjadi seorang guru. Bagi penulis menjadi guru adalah panggilan jiwa dan merupakan cita-cita sejak kecil. Profesi tersebut ditekuni sejak tahun 2006. Saat itu, penulis mendapatkan kesempatan untuk menjadi guru pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia. Inilah yang menjadi awal kecintaan penulis kepada dunia bahasa dan sastra, hingga akhirnya tertarik untuk mendalaminya. Seperti peribahasa hendak ulam pucuk menjulai, pada tahun 2011 penulis mendapat beasiswa dari kantor Kementrian Agama untuk mengikuti pendidikan di UIN Syarif Hidayatulah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

Menapaki dunia yang baru ini membuat penulis merasa tersesat di jalan yang benar. Meskipun mangalami kendala, namun tetap bersyukur karena bisa mengenal sastra lebih jauh dan menganggap ini adalah sebuah keberuntungan. Bagi penulis mengenal sastra memberikan banyak manfaat, tidak hanya menghibur tetapi juga membuatnya merasa lebih dekat dengan Tuhan.

Salah satu keinginan penulis saat ini adalah ingin menjadi guru yang professional dan berharap bisa menginspirasi anak didik serta menularkan kegemaran membaca karya sastra karena di dalam karya sastra banyak terkandung nilai kemanusiaan yang sangat penting diketahui oleh peserta didik sebagai upaya pembentukan watak baik.