Semiotik Dalam Puisi Sufistik
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Dr. Hj. Ida Nursida, MA Hj. Merry Choironi, M.Ag SEMIOTIK DALAM PUISI SUFISTIK i Hak cipta Dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Isi diluar tanggung jawab percetakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Fungsi dan Sifat Hak Cipta Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan hak eksekutif bagi pencipta dan pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak Terkait Pasal 49: 1. Pelaku memiliki hak eksekutif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya. Sanksi Pelanggaran Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00,- (lima milyar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama lima (5) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah) ii Dr. Hj. Ida Nursida, MA Hj. Merry Choironi, M.Ag SEMIOTIK DALAM PUISI SUFISTIK MEDIA MADANI iii SEMIOTIK DALAM PUISI SUFISTIK Penulis: Dr. Hj. Ida Nursida, MA Hj. Merry Choironi, M.Ag Lay Out & Design Sampul Media Madani Cetakan 1, Desember 2020 Hak Cipta 2020, Pada Penulis Isi diluar tanggung jawab percetakan Copyright@ 2020 by Media Madani Publisher All Right Reserved Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, mengutip, menggandakan, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit Penerbit & Percetakan Media Madani Jl. Syekh Nawawi KP3B Palima Curug Serang-Banten email: [email protected] & [email protected] Telp. (0254) 7932066; Hp (087771333388) Katalog Dalam Terbitan (KDT) Dr. Hj. Ida Nursida, MA & Hj. Merry Choironi, M.Ag/SEMIOTIK DALAM PUISI SUFISTIK Cet.1 Serang: Media Madani, Desember 2020. 14 x 21 cm, xiv + 230 hlm ISBN. 978-623-6849-76-7 1. Semiotik 1. Judul iv PROLOG Sastra adalah catatan sebuah kesaksian atas satu atau serangkaian peristiwa yang terjadi pada saat dan zaman tertentu1, Bahkan para Sejarawan sepakat bahwa sastra adalah cermin, pelukisan masyarakat dan mimesis2 kejadian historis3. Bagi bangsa Arab, sastra gendre puisi dikatakan dapat mengungkapkan gambaran hidup masyarakat dalam berbagai aspek dan mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Puisi catatan kehidupan”.4 “ديوان الحياة " bagi mereka merupakan 1 Maman S.Mahayana, Kitab Kritik Sastra, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015, h. 3 2 Mimesis adalah sebuah proses peniruan, mimesis ada dalam diri setiap manusia sehinga proses penruan ini juga menjadi proses terciptanya budaya. Secara sisematis proses mimesis terjadi karena kita menjadikan orang lain sebagai model. (Wikipedia). Secara mimetik dalam proses penciptaan karya sastra, sastrawan haruslah sudah melakukan pengamanan terhadap prilaku manusia di dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan semacam ini berangkat dari pemikiran bahwa karya sastra (seni) merupakan refleksi dari kehidupan nyata, refleksi ini terwujud karena adanya peniruan dan dipadukan dengan imajinasi pengarang terhadap realitas alam atau kehidupan manusia (Gendaomaryhara.wordpress.com). 3 Maman S.Mahayana, Kitab Kritik Sastra,h.xxi 4 Salah satu fungsi puisi tradisional Arab adalah adalah sebagai “daftar catatan, register (dīwan) bagi orang Arab, perekam atau pencatat perang- perang mereka dan kesaksian atas penilaian-penilaian yang mereka berikan.” Lihat Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Iqd al-Farīd, (Kairo: t.tp, 1965), Jilid V, h. 269. Kesukaan akan bahasa yang singkat, tepat dan puitis, yang selama berabad- abad biasa digubah sebagai bentuk sastra lisan dituangkan dalam beberapa perangkat matra yang bersajak tunggal (monorhymed) dan selanjutnya dikembangkan sebagai bagian dari sejarah syair Arab. Hartojo Andangdjaja, Puisi Arab Modern, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), h. 72. v Sudut pandang lain menyatakan bahwa puisi adalah ekspresi seni sastra yang paling tinggi,5 bahkan ada pula yang mengatakan bahwa puisi adalah seni sastra yang menggambarkan kehidupan seperti yang dirasakan oleh penyair yang bersandar sentimental ,( المق ّفى ) keharmonisan ,( الموزون) pada keselarasan (الخيالي) dan imajinasi6 ( العاطفي ) Puisi adalah salah satu seni agung yang diangkat dari ‘Arabīa pra Islam – bahkan ia dianggap sebagai satu-satunya seni halus yang utama. Sejak dahulu, puisi Arab sudah dikenal oleh masyarakat di seluruh belahan dunia karena puisi adalah bagian dari seni sastra Arab, bahkan dipandang sebagai peninggalan sastra manusia yang paling terdahulu dibandingkan dengan prosa. Jika kesusastraan merupakan seni puncak bagi orang Arab, maka dalam sastra itu sendiri puisi menempati posisi yang paling utama. Puisi merupakan sebuah warisan utama 5 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 23-24. 6 Seperti dikutip oleh Pradopo, Worstwort berpendapat bahwa puisi merupakan ungkapan perasaan yang imajinatif. Hal tersebut ditegaskan lagi oleh Pradopo bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan kalimat yang berirama, sesuatu yang dianggap penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Lihat Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987), h. 4-7. Juga dijelaskan oleh Ibn Tabā-Tabā, bahwa puisi adalah sebuah ungkapan yang mengandung imajinasi tinggi, meski dalam hal mendasar ini ia menyanggah dengan demikian tidak ada perbedaan antara puisi dan prosa. Jābir ‘Usfūr, Al-Naqd al-Adabī: al-Sūrah al-Fanniyyah fī al-Turāts al-Naqdī wa al-Balāghī ‘inda al-‘Arab, (Kairo: Dār al-Kuttāb al-Misrī, 2003), Jilid 1, h. 30. vi tradisi kultural Arab Kuno, yang telah meletakkan norma- normanya di atas bahasa Arab Mudhari sebagai wahana literer. Di ‘Arabīa pra Islam, gaya-gaya (genres) dengan mana puisi digunakan relatif sedikit – utamanya puisi pujian yang memuji- muji secara berlebihan suku seseorang atau dirinya sendiri; puisi celaan yang dibacakan terhadap suku yang saling bertentangan; atau ratapan bagi yang meninggal dunia, yang umumnya dihasilkan oleh wanita. Gaya-gaya ini secara sadar dibiarkan terpisah; tiap gaya diemban sebagai sebuah tradisi yang khas, yang memiliki momen-momennya sendiri dalam penciptaan (invention) dan perbaikan (improvement) yang dapat dimanfaatklan oleh penyair yang datang kemudian, begitu publik telah belajar untuk menerima mereka. Kedatangan Islam di Dunia Arab dan masuk ke negara- negara belahan dunia lain nya pun mewarnai sastra puisi, genre ghazal pada puisi Arab klasik dan puisi Indonesia yang sebelum nya bernuansa seronok beralih kepada puji-pujian terhadap Rasul, kecintaan pada Allah serta kebersatuan dengan-Nya dalam balutan sufistik. Demikian juga hal nya kemunculan tasawuf di Indonesia beberapa dekade terakhir sebagai sebuah ajaran yang diteliti dan dipelajari sebagian kalangan saja cukup mewarnai para sastrawan yang menciptakan karya puisi di hidupnya dalam nuansa sufistik. Tasawuf atau mistisisme dalam Islam tak bisa dilepaskan dari warisan puitis Timur. Para sufi tidak meminjam tema-tema puitis mengenai kekasih yang hilang, mabuk anggur atau “kebinasaan” karena cinta kepada sang kekasih sebagai bentuk ekspresi gagasan dan perasaan yang dikembangkan secara vii bebas, Akan tetapi justru kehalusan tema, mood, emosi, dan diksi di dalam puisi-puisi tasawuf itu merupakan bagian integral dari sensibilitas mistis. Cara para sufi bermain dalam tradisi ini terkesan meneruskan dan mengembangkan suatu tradisi liris dan puitik yang berlanjut terus hingga hari ini dalam kebanyakan wilayah Islam 7. Tiga orang tokoh sufi yang kemudian kami pilih untuk dikupas tuntas gaya bahasa dan serta pemikiran mereka, adalah Ibn al-Fārid, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono. Jika Ibn al-Fārid merupakan salah seorang penyair sufi Arab (w. 1235 M) disebut-sebut sebagai masternya pujangga cinta beraliran sufi, maka Abdul Hadi Wijhi Muthari adalah seorang sastrawan, budayawan dan ahli filsafat Indonesia yang dikenal melalui karya-karyanya yang bernafaskan sufistik, penelitian-penelitiannya dalam bidang kesusastraan Melayu Nusantara dan pandangan-pandangannya tentang Islam dan pluralisme. Sedangkan Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka, yang dikenal lewat berbagai puisi-puisinya, yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat popular. Untuk mengungkap kiprah ketiganya di dalam mengemas pemikiran sufistik dalam balutan bahasa puisinya, maka peneliti dirasakan perlu untuk menggunakan pisaunya Michael Riffatere –melalui analisis semiotik- dengan 7 Michel A. Sells, Terbakar cinta Tuhan, Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal, (pentj. Alfatri), Bandung: Mizan, 2004, h. 85 viii pembacaan heuristik dan hermeneutik, matriks, model, dan varian serta hipogram. ix x KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Ilahi Rabbi atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, cucuran kasih sayang dan maghfirahNya.