KEADILAN BAGI YANG BERBEDA PAHAM: REKONSILIASI DAN KEADILAN BAGI KORBAN TRAGEDI 1965

Manunggal Kusuma Wardaya*

Abstract Abstrak Human rights enforcement is one impro­ Penegakan HAM merupakan salah satu perly-accomplished agenda in this post-1998 agenda demokratisasi yang belum sepenuh- democratisation. Severe human rights viola- nya tercapai. Pelanggaran-pelanggaran tions such as 1965 Tragedy remain obscure, HAM berat seperti Tragedi 1965 masih nonlitigation resolution (e.g. recognition and belum jelas sehingga penyelesaian nonliti- compensation) is considered the best solu- gasi (pengakuan dan kompensasi), dianggap tion. Recognition also is a form of respect to sebagai solusi yang terbaik. Pengakuan human rights and a stepping stone to resolve tersebut merupakan bentuk tanggungjawab other tragedies. untuk menghormati HAM dan menjadi batu loncatan untuk mengungkap tragedi HAM lainnya.

Kata Kunci: hak asasi manusia, tragedi 1965, keadilan, pelanggaran HAM berat.

A. Pendahuluan mengaturnya. Kesemua pembaruan yang Lebih dari satu dasawarsa reformasi hingga kini masih berjalan secara evolutif telah dijalani oleh bangsa didesain secara sadar menuju tercapainya setidaknya hingga tulisan ini dibuat. Selama kehidupan bernegara dan berbangsa yang kurun waktu tersebut, berbagai perubahan demokratis-berkeadilan sosial. Pengalaman dilakukan mulai dari perombakan secara berkonstitusi tanpa internalisasi paham mendasar hukum dasar tertulis (written konstitusionalisme yang membawa berbagai constitution) Undang-undang Dasar Negara opresi dan pengingkaran hak dasar manusia Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya: membangkitkan kesadaran pada bangsa UUD 1945) hingga penataan kembali baik ini akan satu hal utama pentingnya suatu infra- maupun suprastruktur politik melalui sistem yang meniscayakan akuntabilitas perubahan berbagai piranti hukum yang dan limitasi kekuasaan negara serta jaminan

* Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto (e-mail: [email protected]). Wardaya, Keadilan Bagi yang Berbeda Paham 97 akan penghormatan dan pemenuhan hak era pembaharuan, penegakan HAM sebagai asasi manusia. salah satu agenda reformasi masih belum Segenap perubahan yang dilakukan sepenuhnya dicapai. Meskipun Indonesia itu harus diakui telah banyak membawa telah memiliki Undang-undang Hak Asasi bangsa ke arah yang lebih baik. Perubahan Manusia2 dan Undang-undang Pengadilan undang-undang dasar misalnya, memberikan HAM3, hingga kini berbagai pelanggaran jaminan yang lebih tegas dan sempurna hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu baik hak konstitusional maupun hak asasi masih saja tak terungkap dan bahkan tak ada manusia, sekaligus menegaskan batas- kejelasan terkait dengan penyelesaiannya. batas kekuasaaan negara. Berbagai hak Sekalipun Orde Baru telah tumbang, asasi manusia yang dahulu terkekang dan tak satupun rezim pengganti (successor dirumuskan secara sumir seperti hak untuk regimes) yang mempunyai kemauan politik berserikat dan berkumpul, berpendapat, serta memanfaatkan momen peralihan (trans­ kebebasan pers kini lebih dapat dinikmati1. itional period) guna memberi keadilan Reformasi dan modernisasi birokrasi kepada para korban pelanggaran hak asasi menjadikan administrasi negara lebih efektif manusia. yang pada gilirannya tak saja berujung Salah satu persoalan masa lalu yang pada penghematan anggaran namun pula masih tak juga terselesaikan hingga kini pada pelayanan masyarakat yang lebih baik adalah berbagai tragedi kemanusiaan sebagai majikan yang sesungguhnya dalam dalam skala besar yang menimpa massa negara demokrasi. Desentralisasi yang dan simpatisan Partai Komunis Indonesia diwujudkan otonomi daerah menjadikan (PKI) maupun mereka yang dikaitkan daerah lebih leluasa untuk mengatur dirinya dengan PKI dan atau komunisme menyusul sendiri dan lebih terlibat dalam proses terbunuhnya beberapa perwira militer pembangunan. Berbagai piranti hukum yang dan seorang ajudan pada 1 Oktober 1965. bertentangan dengan hak asasi manusia dan Berlainan dengan peristiwa 1 Oktober yang atau tak relevan dengan atmosfer demokrasi terus diperingati sebagai Hari Kesaktian kini dapat dicabar keberlakuannya dan Pancasila, berbagai tragedi itu hingga kini bahkan dapat digugurkan melalui institusi terkesan dibiarkan tetap menjadi misteri Mahkamah Konstitusi. dan dijauhkan dari ingatan dan pengetahuan Namun demikian, di antara sekian publik. Membicarakan peristiwa 1965, orang banyak pembenahan yang telah dilakukan di akan lebih berpikir akan terbunuhnya para

1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebelum perubahan dikenal memuat klausul hak asasi manusia secara tidak lengkap dan tidak jelas. Hal ini tak bisa dilepaskan dari sifat temporer konstitusi tertulis tersebut sebagai hasil dari kompromi dari para framers terkait daruratnya situasi guna segera terben- tuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengenai hal ini bacalah antara lain Todung M. Lubis, In Search of Human Rights: Legal-Politics Dillemas of Indonesia’s New Order 1966-1990, Gramedia, 1993, . 2 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. 3 UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 98 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200 jenderal, daripada hilangnya ribuan bahkan Sebagai karya akademik, tulisan ini jutaan manusia tanpa peradilan. berpijak pada etika dan rambu-rambu aka- Kendati telah lama berlalu, hilangnya demis, yang oleh karenanya melalui se- nyawa begitu banyak warga yang terbunuh rangkaian prosedur dalam penelitian ilmi- serta ratusan ribu lainnya yang menjadi ah. Kerangka berpikir ilmiah dalam hal ini korban pengasingan dan pembuangan hukum hak asasi manusia perlu ditegaskan hingga kerja paksa di berbagai penjara dan sebagai disclaimer untuk menghindari­ skep- kamp penahanan sungguh bukan persoalan tisisme atau bahkan tuduhan bahwa tulisan sederhana yang boleh dilupakan dan ini adalah bentuk pembelaan terhadap ko- terhapus begitu saja. Mereka yang terlibat munisme dan atau Partai Komunis Indone- baik langsung maupun tidak langsung sia, suatu paham dan organisasi yang dila- dengan berbagai tragedi itu (entah sebagai rang di Indonesia. Dalam konteks demikian, pelaku, entah sebagai korban) memang telah berbagai peristiwa yang melatarbelakangi banyak yang berkurang (baca: meninggal Tragedi 1965 akan dipaparkan, walau tak dunia), namun kebenaran dan keadilan secara detail dan terperinci, sebagai latarbe- bukan persoalan masih hidup atau telah lakang artikel ini. Adapun istilah “Tragedi matinya seseorang. Demi tegaknya keadilan 1965” dalam tulisan ini digunakan sebagai dan untuk mencegah terjadinya impunitas istilah payung (umbrella term) pelanggaran dan terulangnya kembali berbagai peristiwa hak asasi manusia terhadap massa yang di- serupa, berbagai pelanggaran HAM itu tetap identifikasi sebagai anggota Partai Komunis harus diungkapkan dan diselesaikan. Indonesia dan atau simpatisannya. Dalam arah mencapai penyelesaian permasalahan yang pelik namun mendesak B. Tragedi Kemanusiaan 1965: Sejarah untuk diselesaikan inilah, tulisan ini hendak Singkat melakukan kajian dalam perspektif hukum Sebagaimana luas diketahui, pada hak asasi manusia (human rights law) atas 30 September 1965, terjadi serangkaian pembiaran pelanggaran HAM sebagai aksi penculikan terhadap beberapa pejabat akibat peristiwa 1965 tersebut. Tulisan ini tinggi dalam tubuh Angkatan Bersenjata berpijak pada kerangka berpikir hukum Republik Indonesia (ABRI) di berbagai hak asasi manusia serta ajaran hak asasi titik di ibukota Jakarta. Di bawah gerakan manusia untuk kemudian melakukan analisa yang menamai dirinya Gerakan Tiga atas berbagai kasus yang terjadi. Pada Puluh September (G30S) pimpinan Letnan gilirannya, berbagai pelanggaran tersebut Kolonel Untung dari Batalyon Cakrabirawa, akan dianalisa dengan teori-teori dan ajaran kelompok ini menjemput sejumlah perwira hukum hak asasi manusia terkhusus dalam untuk dihadapkan pada Presiden Soekarno. bidang transitional justice. Pada akhirnya, Keenam jenderal dan satu ajudan itu pada tulisan ini menawarkan peyelesaian atas akhirnya ditemukan tewas di sebuah sumur permasalahan bangsa yang telah sekian lama tua di kawasan , Jakarta4. mengendap dan terkubur ini. Tak lama berselang setelah dilancarkannya Wardaya, Keadilan Bagi yang Berbeda Paham 99 gerakan tersebut, angkatan bersenjata kemudian dibiarkan saja di pinggir jalan di di bawah pimpinan Panglima Komando bawah pohon, dihanyutkan dan tidak ada Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) orang yang mengurusnya”.7 Mayjen Soeharto secara efektif berhasil Spekulasi berbagai pengamat menye- menguasai keadaan, sekaligus secara de but angka mereka yang tewas akibat pem- facto menguasai kekuasaan. Ia kemudian bantaian tersebut berkisar ratusan ribu hingga melakukan serangkaian penangkapan dan jutaan jiwa. Versi yang paling banyak diper- penertiban dalam kapastitasnya sebagai caya menyebut angka di atas 1,5 juta jiwa.8 Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Meskipun jumlah korban yang ditimbulkan Ketertiban.5 teramat besar, pembantaian massa komunis Sebagai respon atas aksi G30S tersebut, di Indonesia seolah tak ada dalam catatan muncul semacam aksi balasan berupa resmi sejarah bangsa ini. Locus peristiwa di pembantaian umat manusia (massacre) Indonesia, sebuah negara Dunia Ketiga yang yang diduga anggota, simpatisan, maupun kala itu dekat dengan Blok komunis (Soviet mempunyai kaitan (entah yang dekat entah Russia dan China) dan dalam konteks cold jauh) dengan PKI. Dilancarkan oleh unsur war antara kapitalisme melawan komunisme angkatan bersenjata dan massa rakyat menjadikan pembantaian manusia anasir ko- terutama yang berafiliasi dengan organisasi munis menjadi hal yang tak banyak menim- kemasyarakatan anti komunis6, pembunuhan bulkan kritik dan kecaman dari perhatian­ massal yang terjadi pada medio 1965-66 dunia. dilakukan terhadap mereka di berbagai Penangkapan, pembantaian, dan pe­ titik terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, nyik­saan tak pelak terutama menimpa Bali, dan Sumatera Utara. Soekarno dalam mereka yang menjadi anggota PKI maupun pidatonya tertanggal 18 Desember 1965 organisasi di bawahnya. Anggota Gerakan mengatakan “Jenazah-jenazah anggota dari Wanita Indonesia (Gerwani) misalnya, Pemuda Rakyat, BTI, orang-orang PKI, mengalami penyiksaan, pelecehan seksual atau simpatisan PKI disembelih, dibunuh, dan penistaan.9 Hal yang sama juga menimpa

4 Satu ajudan yang dimaksud adalah Lettu Pierre Tendean, yang menjadi ajudan Jenderal A.H. Nasution. Nasu- tion sendiri berhasil lolos dari penculikan tersebut. 5 Pengangkatan Mayjen Soeharto sebagai Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini diberikan dengan sebuah Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia No. 142/ KOTI/1965. 6 Lihat Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, Cornell University Press, 1978, hlm. 135. Ditu- liskan oleh Crouch, “The Crucial Condition for the army’s increasing dominance was the elimination of the PKI.” 7 Alex Dinuth (ed), Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI, 1997, Intermasa, Jakarta. 8 M.C Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c.1300, Second Edition, MacMillan, 1991. Angka 1.500.000 jiwa ini juga diyakini oleh sejarawan Australia Robert Cribb dalam buku The Indonesian Killing 1965-66, Clayton: Monash University South East Asian Studies, 1990. 9 Mengenai hal ini bacalah Annie Pohlman, “Women and The Indonesian Killing 1965-1966: Gender Variables and Possible Directions of Research”, makalah dipresentasikan pada 15th Biennial Conference of Asian Studies Asoociation of Australia, Canberra, 29 Juni-2 Juli 2004. 100 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200 anggota maupun simpatisan PKI yang Banyak di antara mereka yang ditangkap tergabung Pemuda Rakyat (PR), Lembaga secara sewenang-wenang dan mengalami Kesenian Rakyat (Lekra), Barisan Tani penyiksaan itu kemudian terbunuh. Sebagai Indonesia (BTI), maupun siapa saja yang ilustrasi dapat digambarkan dalam tabel diduga sebagai anggota dan simpatisan PKI. berikut.

Tabel 1. Perkiraan Jumlah Korban Jiwa Era 1965-66 Institusi Jumlah Angkatan Bersenjata 78.000-1.000.000 Ben Anderson 500.000-1.000.000 PKI 2.000.000

Sumber: Wikipedia, Indonesian Killings of 1965-66, http://en.wikipedia.org/wiki/Indonesian_ killings_of_1965%E2%80%9366, diakses pada 12 Juli 2009

Pelanggaran HAM 1965 tak terbatas dalam kamp kerjapaksa ini, warga negara pada pembunuhan massal saja. Ditahan juga tewas karena mengalami siksaan akibat dan atau dibuangnya mereka yang diduga tekanan fisik dan mental.11 tersangkut paut dengan PKI ke berbagai Sementara itu, nasib yang ‘lebih penjara dan tempat penahanan di tanah air baik’ dialami oleh mereka yang pada saat adalah catatan kelam tindakan sewenang- terjadinya peristiwa itu berada di luar wenang negara terhadap warganya. Tempat negeri. Mereka umumnya adalah mahasiswa pembuangan paling dikenal adalah tempat tugas belajar yang dikirimkan pemerintah Pulau Buru, sebuah pulau tandus di ke negara-negara seperti Uni Soviet dan kepulauan Maluku yang dijadikan rezim Republik Rakyat Cina. Beberapa di antara militer sebagai pembuangan mereka yang mereka yang tak bisa pulang itu juga disangka terlibat dengan PKI. Sebagaimana adalah para pejabat, diplomat dan tentara dikisahkan oleh sastrawan Pramoedya dari unsur PKI maupun mereka yang Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang diafiliasikan dengan Soekarno. Tak lama Bisu, di pulau tersebut ribuan tahanan politik setelah G30S meletus, mereka kehilangan dipaksa untuk mengolah lahan sabana kewarganegaraan hingga terpisah dari sanak menjadi areal pertanian dengan tanpa dasar keluarga di Indonesia yang bisa jadi kala itu putusan peradilan dan lagi tanpa upah.10 Di

8 Boedi Harsono, 2006, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djam- batan, Jakarta, hlm. 408. 9 Wawancara dengan Camat Depok Tanggal 17 Oktober 2006. 11 Catatan nama-nama mereka yang meninggal maupun tewas di Pulau Buru didokumentasikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Hasta Mitra, Jakarta, 1985. Wardaya, Keadilan Bagi yang Berbeda Paham 101 mengalami perampasan berbagai hak dasar disebarluaskan dalam pendidikan formal di tanah air. bangsa, dirayakan sebagai kemenangan Ironisnya, segala bentuk penyimpang­ Pancasila, disimbolkan dengan monumen an dan penistaan hak asasi manusia tersebut Pancasila Sakti dan Hari Kesaktian tidak didasarkan atas suatu produk hukum Pancasila,14 berbagai tragedi kemanusiaan sama sekali, melainkan kepada kesewenang- yang terjadi setelah 1 Oktober 1965 sampai wenangan dan tindakan diskresi yang sekarang dihilangkan dari pengetahuan berlebihan di tangan penguasa darurat. publik, tak diajarkan dalam pelajaran sejarah Untuk menentukan bahwa seseorang adalah di sekolah sebagai kenyataan pahit sejarah aktivis PKI dan atau simpatisannya, cukuplah perjalanan bangsa yang tak boleh terulang. dengan keterangan tetangga maupun orang Hal ini cukup ironis mengingat jumlah yang mengetahui seperti ketua rukun tetangga korban yang lebih besar, dan bahkan konon (RT). Mereka yang tertangkap dengan hanya lebih besar dari pemusnahan etnis Yahudi dasar laporan tersebut kemudian akan oleh Nazi Hitler dan tak kalah dahsyat jika diklasifikasikan dalam beberapa kategori. dibandingkan dengan kekejaman rezim Pol Kategori A adalah mereka yang dinyatakan Pot di Kamboja. cukup bukti sebagai angggota aktif PKI Era reformasi di mana kondisi objek­ untuk diajukan ke pengadilan. Kategori tif membuat keterbukaan lebih bebas B adalah mereka yang cukup bukti namun dinikmati nyatanya tak berpengaruh signi­ indikasi keterlibatan dengan G30S kurang fikan terhadap pengungkapan maupun sehingga dikarantina di Pulau Buru. Adapun penuntasan peristiwa 1965 dengan serius. Kategori C adalah anggota biasa dan partisan. Sementara spekulasi pelaku malam kelabu Data Kementerian Dalam Negeri pada 1988 1 Oktober di luar PKI mendapatkan ruang menyebutkan bahwa total keseluruhan ketiga yang lebih longgar tanpa campur tangan kategori tersebut adalah 1.410.444 jiwa.12 berarti dari negara, tak ada penyelesaian Melalui Ketetapan MPRS No. XXV signifikan dari negara untuk mengakui telah Tahun 1966, PKI secara resmi dibubarkan terjadi berbagai pelanggaran HAM tersebut. dan dinyatakan sebagai partai terlarang Tak ada permohonan maaf atas tindakan di seluruh wilayah negara Republik sewenang-wenang berupa pembunuhan Indonesia.13 Namun kalau 1 Oktober 1965 dan pembantaian di luar peradilan. Tak ada

12 “Geger Sekitar Tap MPRS XXV/1966”, Media Indonesia, 9 April 2000. 13 Kendati demikian, apa mengapa dan siapa terkait pembunuhan para jenderal tersebut hingga kini masih men- jadi debat akademik. Negara, melalui buku putih yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto, seorang sejarawan yang pernah menjadi menteri pendidikan di era Orde Baru menyatakan bahwa PKI adalah dalang peristiwa G30S. Sementara itu, berbagai studi menyebut spekulasi yang berbeda mengenai siapa di balik peristiwa terse- but. Ada yang menyimpulkan bahwa Soekarno adalah otak di belakang G30S. Pendapat lain menyebutkan bahwa G30S (sebagaimana dinyatakan dalam rilis Dewan Revolusi pimpinan Letkol Untung) adalah murni konflik internal Angkatan Darat. Sejarawan Belanda seperti Wertheim dalam bukunya Soeharto and The Un- tung Coup? The Missing Link (1970) misalnya meragukan bahwa PKI ada di belakang peristiwa tersebut. 14 Ditetapkan dengan Surat Ketetapan Menteri Panglima Angkatan Darat tertanggal 17 September 1966 No. Kep-977/9/1966. 102 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200 permohonan maaf yang disampaikan oleh dasar manusia seharusnya menimbulkan negara terhadap mereka yang pernah ditahan kewajiban hukum internasional bagi rezim dan mengalami penyiksaan, terhadap mereka pelaku maupun penerus untuk menegakkan yang mengalami kerjapaksa, yang kehilangan kebenaran dan memberikan keadilan bagi kewarganegaraan dan harus tinggal jauh dari para korban. Di bawah ini akan diuraikan negerinya sendiri. berbagai klausul hak asasi manusia dalam Kendati telah lama berlalu, dan bahkan level baik internasional maupun nasional generasi yang mengalami secara langsung yang berkaitan dengan pelanggaran hak asa- peristiwa tersebut secara alamiah telah mulai si terkait Tragedi 1965. menyusut, luka lama tersebut bukannya sama sekali hilang. Hingga kini, baik mereka 1. Pelanggaran Atas Hak Hidup yang menjadi korban maupun keluarganya Sebagaimana telah dipaparkan dalam masih tetap menderita kalaupun tidak secara uraian di atas, pembunuhan masal masa fisik, secara mental. Mereka mengalami PKI dan atau komunis adalah salah satu alienasi, terampas atas haknya yang hakiki, hal besar yang dilupakan oleh bangsa ini. dipersalahkan tanpa peradilan yang adil Ribuan bahkan jutaan manusia telah dihabisi dan fair. Permasalahan seputar 1965 ini nyawanya secara sewenang-wenang oleh bagaimanapun adalah permasalahan bangsa unsur negara dan masyarakat. Para anggota tak saja mengingat masifnya jumlah mereka PKI dan atau simpatisan maupun mereka yang yang terlibat entah sebagai pelaku maupun diduga PKI terampas hak hidupnya secara sebagai korban, namun juga sebagai catatan sewenang-wenang, artinya tanpa melalui sejarah bangsa yang harus diluruskan. proses peradilan yang fair. Perampasan nyawa secara sewenang-wenang seperti C. Berbagai Isu Hukum HAM dalam ini tak mempunyai dasar pembenar apapun Tragedi 1965-1966 dalam konteks negara demokrasi; terlebih Berbagai tindak penyiksaan, pembu­ yang mengklaim sebagai negara hukum di nuhan, dan pembuangan terhadap masa PKI mana segala tindakan negara hanya bisa dan atau simpatisannya terkait peristiwa dilakukan dengan justifikasi hukum dan 1965 sebagaimana diuraikan secara sing- keadilan, bukannya kemauan kekuasaan kat di atas tak pelak adalah peristiwa yang belaka. Berapa pun derajat keterlibatan PKI memiliki dimensi hukum publik, khususnya dalam G30S, hal tersebut tidak bisa menjadi hukum hak asasi manusia. Betapapun dalam dasar pembenar adanya pembantaian ataupun berat kesalahan dan keterlibatan sewenang-wenang dan pengingkaran hak anggota, simpatisan maupun siapapun orang hidup. Pelanggaran hak asasi manusia tak warga negara dalam G30S, maka hal itu bu- bisa dibalas dengan pelanggaran hak asasi kanlah sekali-sekali merupakan pembenar manusia lainnya. (justification) atas perampasan dan penging- Hak hidup (the right to life) merupakan karan hak asasi manusia terhadap mereka. hak asasi manusia. Hak ini terpatri dalam Oleh karenanya, berbagai pelanggaran hak The Universal Declaration of Human Rights Wardaya, Keadilan Bagi yang Berbeda Paham 103

(UDHR), suatu pernyataan moral yang si yang didasarkan atas perbedaan pendapat kendati dalam perspektif legal bukanlah politik sebagaimana dicantumkan dalam IC- hukum positif akan tetapi mempunyai daya CPR. Indonesia sebagai negara peserta PBB dorong moral yang kuat terhadap negara- memiliki kewajiban untuk menghormati hak negara. Hak hidup juga menjadi norma hidup warga negara termasuk tanpa adanya hukum dalam Article 6 (1) The International pembedaan. Covenant on Civil and Political Rights Pada tataran domestik, jaminan yang (ICCPR)15, yang tidak saja merupakan teramat kuat terhadap hak hidup juga ter- perjanjian internasional, akan tetapi pula juga dapat dalam UUD 1945. Disebutkan dalam suatu international customary law karena Pembukaan bahwa tujuan didirikannya penerimaannya yang begitu luas. Dalam Nega­ra Republik Indonesia adalah untuk ICCPR disebutkan bahwa tak seorang pun melindungi­ segenap tumpah darah Indone- boleh dirampas nyawanya secara sewenang- sia. Hak ini tercantum dalam Pasal 28A yang wenang (no one shall be arbitrarily deprived menyebutkan hak setiap orang untuk hidup of his life). Nampak di sini bahwa negara dan untuk mempertahankan hidup serta ke- tak mempunyai justifikasi untuk merampas hidupannya. Sebagaimana Deklarasi Uni- nyawa seseorang, melainkan harus me­ versal Hak Asasi Manusia, konstitusi tertulis lindungi, menghormati, dan memenuhi hak kita tersebut menghormati hak hidup sebagai setiap orang untuk hidup. Kendati pidana hak yang agung, yang tak dapat dikurang- mati tidak dilarang, Article 6 (2) ICCPR kan meskipun dalam keadaan apapun. Hak memberi sinyal diterapkannya pidana mati hidup dalam konstitusi tertulis kita dianggap ini hanya pada perbuatan yang memang sebagai hak yang tak dapat dialihkan sama benar-benar serius. Lebih jauh, bahkan sekali. pidana perampasan nyawa telah menjadi sesuatu yang diinginkan untuk dihapuskan 2. Pelanggaran Hak untuk Tidak dari sistem peradilan pidana negara-negara Ditahan Secara Sewenang-Wenang di dunia sesuai dengan Second Optional Penahanan yang dilakukan terhadap Protocol to The International Covenant on ratusan ribuan massa komunis dilakukan Civil and Political Rights (ICCPR).16 dengan sewenang-wenang adalah pelang­ Dijaminnya hak hidup dalam De­klarasi garan hak asasi manusia yang amat serius. Universal Hak Asasi Manusia PBB dan Dalam hal ini, tidak ada keputusan hukum Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik mencer- yang mendasari penahanan tersebut. Negara minkan pengakuan masyarakat internasional­­ menjalankan kebijakan yang sama dengan akan pentingnya hak yang amat mendasar kebijakan kolonial di mana Gubernur ini. Penghormatan ini harus dilakukan tanpa Jenderal mempunya exorbitant rechten untuk mengenal diskriminasi, termasuk diskrimina- menangkap setiap orang yang mengganggu

15 Ayat 1 dari article ini menyebutkan “Every human being has the inherent right to life. This right shal be pro- tected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.” 16 Diadopsi dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 44/128 tanggal 15 Desember 1989. 104 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200 ketertiban. Ditahannya mereka ke dalam mendasari penangkapannya. Penangkapan berbagai penjara yang banyak kemudian yang sewenang-wenang akan mendatang- berujung pada penyiksaan, perampasan kan penahanan yang sewenang-wenang pula kehormatan, bahkan hilangnya nyawa lebih yang kemudian akan berekor dengan serang- karena kepentingan politik yang sedang kaian tindak pelanggaran hak asasi manusia berkuasa. lainnya. Jika suatu penangkapan tidak me- Praktik penahanan sewenang-wenang menuhi rasa keadilan, melainkan hanya di- hanya melembaga dalam rezim yang meng­ dasarkan atas keinginan politik belaka, maka anut absolutisme sebagaimana dicontohkan sudah bisa dipastikan proses yang mengikuti di Perancis dalam masa Ancient Regime. di belakangnya akan jauh dari adil. Jikalau De­ngan bermodal lettres de cachet, setiap penangkapan itu berujung pada peradilan, warga Perancis bisa ditangkap hanya ber- maka peradilan yang akan digelar hanyalah dasarkan alasan politik belaka untuk kemu- desain untuk melegitimasi perampasan hak. dian dimasukkan ke dalam penjara Bastille. Sejarah menunjukkan bahwa penangkapan 3. Diabaikannya Hak Atas Peradilan model ini cenderung memuaskan hasrat poli- yang Fair tik daripada guna memenuhi nilai dan rasa Hak lain yang terampas dalam kasus keadilan. Praktik penangkapan untuk mem- tragedi 1965 adalah diabaikannya hak bungkam lawan politik ini juga diintroduksi untuk diadili di depan peradilan yang fair. pemerintah kolonial untuk menangkap tokoh Perampasan hak, baik hak hidup, hak untuk perge­rakan Indonesia di era kebangkitan na- bergerak dan kembali ke negerinya, ataupun sional. hak untuk tidak mengalami kematian perdata Article 9 UDHR menegaskan terla­ jelas tidak melalui proses pengadilan yang rangnya penahanan sewenang-wenang ini adil, di mana mereka yang mengalaminya dengan menyebutkan “No one shall be sub- tak memiliki kesempatan untuk melakukan jected to arbitrary arrest, detention, or ex- pembelaan. Pula mereka yang mengalami ile.” Sementara itu, ICCPR dalam Article 9 pembuangan dan kerjapaksa sebagai (1)17 juga menyatakan hal yang kurang lebih hukuman yang dijatuhkan akibat G30S sama dengan UDHR dengan mewanti bahwa sesungguhnya mengalami penghukuman penahanan dan perampasan kemerdekaan tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld, hanya bisa dilakukan sesuai prosedur yang noela poena sine praevia lege poenali), suatu telah ditentukan oleh hukum. ICCPR bah- prinsip universal dalam hukum pidana. kan menentukan bahwa segera setelah di- Hak untuk diadili dalam suatu per­ lakukan penangkapan, maka si tertangkap adilan yang fair ini dikenal pula dalam harus diberitahukan alasan penangkapan UDHR dan ICCPR, dan merupakan suatu beserta alasan-alasan ataupun tuduhan yang fitur wajib dalam negara hukum. Article 10

17 Article ini selengkapnya berbunyi “Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shallbe deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.” Wardaya, Keadilan Bagi yang Berbeda Paham 105

UDHR menyebutkan everyone is entitled in umumnya adalah mahasiswa tugas belajar full equality to a fair and public hearing by dan atau tokoh politik, pejabat, diplomat an independent and impartial tribunal, in yang sedang bertugas di luar negeri. Paspor the determination of his rights and obliga- mereka dicabut secara sewenang-wenang se- tions and of any criminal charge against hingga menyebabkan mereka menjadi orang him. Sementara itu ICCPR menegaskan hal tanpa kewarganegaraan. Konsekuensi logis ini dalam Article 9 (4) yang mengatur bahwa dari dicabutnya kewarganegaraan ini begitu siapa pun yang ditahan harus segera diha- berat karena mereka tak dapat kembali ke dapkan di muka pengadilan. Pentingnya sese­ tanah airnya, menjalani pembuangan, suatu orang untuk sesegera mungkin diajukan ke hukuman yang menurut adalah muka pengadilan tak lama setelah penang- terberat kedua setelah hukuman mati.19 kapannya ditujukan agar tidak ada manusia Setelah sekian lama tak diakui sebagai yang terkatung-katung dan menderita lahir warga negara Indonesia, banyak di antara dan batin akibat penangkapan dan penahan- mereka yang terpaksa menjadi warga negara an. Peradilan yang fair juga memungkinkan lain seperti yang jamak dijumpai di Belanda seseorang untuk membela diri dari tuduhan dan Perancis. Mereka yang berada di luar yang disangkalkan, sehingga jika seorang negeri tidak menginginkan untuk selamanya memang bersalah, ia akan dihukum sesuai ada di luar negeri dan tak menginginkan dengan kadar kesalahan yang diperbuatnya, status kewarganegaraan di luar Indonesia.20 bukan menurut selera dan keinginan pihak Bagi mereka, kerinduan akan kampung yang menangkapnya. halaman tak bisa ditukar dengan apapun, termasuk kemudahan dan fasilitas hidup 4. Terampasnya Hak untuk Kembali ke di luar negeri.21 Keluarga dan teman serta Negeri Asal sanak saudara yang ditinggalkan dengan ICCPR melarang perampasan hak ­un­tuk tanpa kabar adalah penderitaan yang harus kembali ke negerinya sendiri dalam Article ditanggung oleh mereka yang terbuang. 12 (4).18 Menyusul tragedi berdarah Lubang Keinginan untuk kembali hanya menjadi Buaya, tidak saja terjadi pembantaian massa impian ketika prosedur formal mereka tak komunis yang berakibat hilangnya ratusan punyai lagi. Banyak dari mereka warga bahkan jutaan nyawa, namun juga hilangnya negara yang terpaksa harus tinggal di kewarganegaraan banyak orang Indonesia luar negeri tak dapat pulang sampai akhir yang kala itu berada di luar negeri. Mereka hayatnya.

18 Selengkapnya rumusan pasal ini berbunyi “No one shall be arbitrarily deprived of the right to enter his own country.” 19 Tan Malaka, 2008, Dari Penjara Ke Penjara, Narasi, Cetakan Pertama, Yogyakarta. 20 Wawancara dengan Sarmadji alias Wardjo dari Pusat Dokumentasi Indonesia, Amsterdam, The Netherlands. 21 Wawancara dengan J.Tahzin, putera mantan duta besar RI di Afrika dan mantan pemimpin redaksi Bintang Timur. Ketika meninggalkan Indonesia ia baru berusia sekitar 10 tahun. Wawancara dilakukan di Woerden, The Netherlands, 16 Mei 2009. 106 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200

5. Terlanggarnya Hak untuk Tidak D. Faktor-Faktor yang Menghambat Disiksa Keadilan Tindak kekerasan yang dialami oleh Identifikasi mengenai berbagai pe­ para korban tragedi 1965 adalah penyiksaan langgaran HAM sebagaimana disebutkan yang merupakan bentuk pelanggaran hak di atas hanyalah sekedar beberapa contoh asasi yang tak dapat ditoleransi dalam saja dari sekian banyak pelanggaran HAM hukum hak asasi manusia. Penyiksaan adalah terkait Tragedi 1965. Jika diinventarisasikan, salah satu hak yang dikategorikan sebagai akan lebih banyak lagi pelanggaran dan non-derogable rights,22 suatu hak yang tak perampasan hak asasi manusia lain yang bisa dikurangkan penikmatannya dalam belum diidentifikasi, misalnya hak atas kondisi apa pun. Negara tidak punya pilihan martabat dan kedudukan yang sama di depan lain kecuali melakukan politik hands-off, hukum, hak untuk mendapatkan kompensasi meniadakan sama sekali praktik penyiksaan atas pelanggaran HAM dan lain sebagainya. ini dan mengupayakan supaya penyiksaan Pendeknya, semua pelanggaran HAM ter­ tidak lagi ada dalam praktik penyelenggaraan sebut akan menjadi tidak adil jika dibiarkan negara. Dijamin dalam Article 523 Universal begitu saja dengan melembagakan impunitas. Declaration of Human Rights serta Article Namun demikian, diakui bahwa penegakan 7 ICCPR, hak untuk tidak disiksa ini adalah HAM – terutama dalam sebuah negara yang elemen wajib setiap negara kesejahteraan. masih relatif berada dalam suasana peralihan Dalam tataran nasional, jaminan – tidaklah mudah. Kekuasaan, orang- untuk tidak disiksa ini terdapat dalam Pasal orang yang pernah berkuasa, yang pernah 28G ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan terlibat dalam pelanggaran masih ada dan bahwa setiap orang berhak untuk bebas mempunyai kekuasaan yang berpengaruh dari penyiksaan atau perlakuan yang dalam kehidupan bernegara.24 Sekian lama merendahkan derajat martabat manusia. dengan kebenaran yang diproduksi oleh Dicantumkannya hak untuk bebas dari segala negara juga turut menyumbang mindset/pola bentuk penyiksaan ini merupakan refleksi pikir masyarakat akan suatu ‘kebenaran’ atas dasar fundamen didirikannya Negara yang dengan mudah akan menolak usulan Republik Indonesia yang berkesesuaian kebenaran versi lain. dengan cita-cita negara sesuai dengan yang Sejak dinyatakan sebagai partai ter­ tercantum dalam preambule. Negara tidak larang dengan instrumen Ketetapan Majelis didirikan untuk merepresi dan menyakiti Permusyawaratan Rakyat Sementara No. warganya melainkan untuk mengayomi dan XXV/MPRS/1966, Partai Komunis Indo- menentramkan. nesia dan komunisme menjadi dua hal yang

22 Selengkapnya mengenai pembatasan hak asasi manusia yang bersangkut paut dengan non-derogable rights ini bisa dilihat pada Article 4 ICCPR. 23 Article ini menyebutkan “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.” 24 Lihat Manunggal K. Wardaya, “Menanti Keadilan: Urgensi Penyelesaian Masalah Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Ujung Masa Transisi,” dalam Artidjo Alkostar (ed), 2007, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, Pusham-UII, Yogyakarta. Wardaya, Keadilan Bagi yang Berbeda Paham 107 dalam derajat tertentu menjadi sensitif untuk Pada 2009, produksi sebuah film berjudul dibicarakan dalam wacana publik di Indo- “Lastri” yang dibintangi Marcelia Zalianty nesia. Pasal 2 dan 3 Ketetapan MPRS itu mendapat tentangan dari masyarakat karena yang berisi larangan penyebarluaskan ajaran kekhawatiran bahwa film itu adalah propa- Marxisme-Leninisme, serta kriminalisasi ganda komunisme. Rapat yang diadakan se- berbagai ekspresi maupun kegiatan publik buah badan hukum Yayasan Penelitian Kor- yang mewacanakan komunisme dalam im- ban Pembunuhan 1965/1966 di Tangerang plementasinya diinterpretasi begitu luas dan dibubarkan pihak kepolisian.25 Sementara menggurita, menjadikan wacana mengenai itu ketika ada upaya untuk melakukan peng- apa pun yang berkaitan dengan komunisme galian makam mereka yang menjadi korban menjadi tabu dan dihindari. pembunuhan massal di Kaloran Temang- Wacana mengenai komunisme dan gung, Jawa Tengah pada 23-24 Maret 2001 PKI berikut tragedi yang meliputinya di justru mendapat tentangan dari masyarakat Indonesia kemudian lebih didominasi oleh sipil untuk menolak dan membatalkannya. negara. Orde Baru mencatatkan sejarah be- Ilustrasi singkat di atas adalah gambaran tapa represifnya rezim ini terhadap apa-apa betapa sensitifnya masalah komunisme di saja yang diklaimnya sebagai komunisme Indonesia dan seolah menjadi justifikasi dan atau Partai Komunis Indonesia. Le- tindakan negara untuk mengabaikan hak mahnya jaminan konstitusi kala itu menjadi- asasi manusia mereka yang diduga atau kan berbagai hak asasi warga seperti hak un- disangkutpautkan dengan Partai Komunis tuk berserikat, berkumpul, dan berpendapat Indonesia dan paham komunisme. Mindset menjadi terbatas dan dapat dirampas kapan Orde Baru yang menempatkan massa saja. Diskusi buku karya Pramoedya Ananta komunis sebagai bukan manusia dan wajar Toer oleh mahasiswa UGM pada dekade 90- serta layak untuk dihabisi ternyata masih an misalnya, berakhir dengan pemenjaraan bercokol dan hidup di benak sanubari baik para mahasiswa, karena Pramoedya dilekat- penyelenggaran negara maupun masyarakat. kan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat Hal ini menimbulkan hambatan tersendiri (Lekra), yang merupakan suatu organisasi bagi berbagai kalangan untuk membicarakan kesenian Partai Komunis Indonesia. secara lebih terbuka dan kritikal tragedi Era Reformasi yang seharusnya me- kemanusiaan 1965 sekalipun dalam ruang mungkinkan kebebasan berpendapat dan akademik. Keadilan dan kebenaran serta berekspresi ternyata belum mampu mengi- rekonsiliasi yang diharapkan akan semakin kis kekhawatiran sosial untuk kembali mem- tergapai seiring demokratisnya masyarakat bicarakan masalah bangsa seputar G30S nampak masih jauh. berikut tragedi yang mengikutinya dengan Kejadian dan peristiwa masa lalu lebih terbuka dan dengan kepala dingin. dilengkapi dengan mitos dan legenda buatan

25 Lihat Yoseph Tugio Taher, “Teror Masyarakat oleh Oknum Aparat Kepolisian”, http://www.kabarindone- sia.com/berita.php?pil=20&jd=Teror-Masyarakat-oleh-Oknum-Aparat-Kepolisian&dn=20090210085507, diakses pada 6 Juli 2009. 108 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200

Orde Baru tentang PKI melalui media film, ayat (1) UU 39/1999 tentang Hak Asasi Ma- buku sejarah semakin menjadikan mereka nusia mengamanatkan dibentuk­nya sebuah yang pernah atau diklaim pernah terkait de­ Pengadilan HAM yang kemudian segera ngan komunisme digeneralisasikan seba­gai ditindaklanjuti dengan UU 26/2000 tentang manusia yang memiliki hak dasar yang pula Pengadilan HAM. Pasal 47 UU Pengadilan harus dihormati dan dilindungi. Penyiksaan, HAM menyebutkan bahwa terhadap pelang- pembasmian, pembantaian, pemenjaraan garan hak asasi manusia berat masa lalu ter­hadap manusia yang kebetulan berpa- terbuka penyelesaian dengan suatu Komisi ham komunis secara sadar dicobakesankan Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Di- sebagai kelumrahan. Segala penderitaan­ perkenalkannya pendekatan non-legal ke dan pelanggaran hukum dianggap layak dalam UU Pengadilan HAM adalah harapan diterima oleh mereka yang terkait atau di- yang cerah bagi para korban pelanggaran kaitkan dengan komunisme dan PKI seba­ HAM masa lalu khususnya korban Tragedi gai akibat pembunuhan berdarah 1 Oktober 1965 untuk mendapatkan keadilan. 1965. Segenap kesewenangan terhadap me­ Kendati terlambat, hadirnya UU reka yang disinyalir sebagai simpatisan atau 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan anggota PKI semakin diperkental dengan Rekonsiliasi untuk menguak dan mencari antagonisme komunisme dan agama, yang kebenaran masa lalu dengan suatu komisi akhirnya menggiring kepada situasi dan kebenaran sebagaimana pernah dipraktikkan asumsi masyarakat untuk menindas sesama antara lain di Afrika Selatan menjadikan UU warga negara yang berkelainan pandangan ini di satu sisi menjadi produk hukum yang dan keyakinan politiknya. progresif karena menampung realita adanya pelanggaran hak asasi berat masa lalu se- E. Alternatif Pemulihan belum UU tersebut diundangkan. Namun Di awal era reformasi, upaya untuk demikian, harapan para korban akhirnya menguak kebenaran dan keadilan terkait harus dikubur karena tak lama setelah diun- pelanggaran hak asasi manusia masa lalu se- dangkan UU ini dibatalkan oleh Mahkamah benarnya mulai mendapat titik cerah. Majelis Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor Permusyawaratan Rakyat dalam Ketetapan 006/PUU-IV/2006.26 MK berpendapat bahwa MPR-RI Nomor V/MPR/2000 menegaskan isi UU ini justru mencederai penegakan hak pentingnya dibentuk sebuah Komisi Ke- asasi manusia karena pemberian kompensasi benaran dan Rekonsiliasi guna tercapainya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU ini persatuan nasional. Sebelumnya, Pasal 104 digantungkan pada pemberian maaf korban.

26 Sebelum dibatalkan oleh MK, UU KKR sendiri sudah mengundang skeptisme dari kalangan pemerhati hak asasi manusia karena begitu lambatnya Komisi Kebenaran terbentuk. Jika dihitung dengan tahun, UU ini dapat dikatakan amat terlambat, karena baru terbentuk enam (6) tahun setelah tergulingnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Dalam perspektif transitional justice, pembentukan suatu komisi kebenaran ini menjadi semakin tak strategis, karena situasi sosial dan politik suatu negara akan semakin berangsur demokratik dan kehilangan momen peralihan dimana penyelesaian ekstra-judicial akan lebih besar untuk diterima daripada penyelesaian yang legal-formal sifatnya. Wardaya, Keadilan Bagi yang Berbeda Paham 109

Namun demikian, MK juga menyatakan ke- dilakukannya, terlebih Indonesia adalah ne­ seluruhan muatan UU KKR tersebut tidak gara peserta ICCPR. Terungkap dan terse- mempunyai kekuatan mengikat karena pem- lesaikannya kasus ini akan membawa citra batalan Pasal 27 akan berimplikasi pada se- positif negara yang berparadigma hak asasi luruh isi UU, sehingga UU KKR tidak akan manusia dan menjunjung tinggi kedaulatan bisa dilaksanakan. Harapan akan adanya rakyat. Akan ada garis pemisah yang jelas kerangka formal untuk menguak kebenaran antara rezim yang berkuasa sekarang de­ masa lalu akhirnya harus dikubur. ngan rezim pendahulu termasuk rezim yang Sudah barang tentu, upaya untuk me­ melakukan pelanggaran di tahun 1965. Se- negakkan kebenaran dan keadilan tak boleh lesainya permasalahan 1965 akan kembali padam hanya karena persoalan hilangnya merekatkan komponen bangsa yang bertikai kerangka legal semata. Semua pihak baik dan berseteru sehingga akan sinergik dalam negara maupun masyarakat khususnya para melanjutkan agenda bangsa dalam melaku- korban harus menyadari bahwa Tragedi kan pembangunan menuju masyarakat Indo- 1965 bukanlah semata persoalan mereka nesia yang dicita-citakan Pembukaan UUD yang menjadi pelaku dan korban pada tahun 1945. 1965, namun telah menjadi permasalah- Setidaknya ada dua hal terkait pelang- an bangsa Indonesia. Tidak dituntaskannya garan HAM 1965 yang mendesak untuk kasus ini tidak saja akan menjadi api dalam segera mendapatkan perhatian dan keserius- sekam yang sewaktu-waktu bisa menyala, an dari negara. Pertama, adalah pengakuan namun bisa jadi akan diikuti kembali pada negara akan terjadinya berbagai peristiwa suatu ketika. Generasi penerus bangsa ha- pelanggaran HAM dalam berbagai ragam rus mengetahui dan menyadari bahwa per- format. Negara harus mengakui telah ter- nah terjadi penyelewengan kekuasaan oleh jadi berbagai perampasan hak asasi manusia negara dan juga konflik horizontal yang di- berupa penyiksaan (torture), perampasan endorse oleh negara. Pengalaman masa lalu nyawa sewenang-wenang (extrajudicial kill- itu harus diungkap dan diketahui secara luas ings) terhadap ribuan hingga jutaan warga agar menjadi pelajaran yang tak boleh teru- negara, penahanan sewenang-wenang (ex- lang lagi,sebagaimana dunia telah belajar trajudicial detention) terhadap mereka yang dari kekejaman Nazi Hitler dan keganasan diduga massa dan simpatisan PKI dan juga rezim Pol Pot di Kamboja. penghilangan status kewarganegaraan yang Negara harus memahami bahwa peng- dialami oleh ribuan warga negara. Penga­ ­ ungkapan kasus Tragedi 1965 juga meru- kuan telah terjadinya pelanggaran HAM ini pakan kepentingannya dan bahkan lebih penting karena pengakuan adalah titik awal jauh kepentingan kemanusiaan yang univer- dimungkinkannya penyelesaian ber­bagai ka- sal. Pengungkapan ini juga merupakan kewa­ sus tersebut. Pengakuan ini menjadi penting jiban negara menurut hukum internasional pula karena akan mendatangkan kepastian untuk memberikan kompensasi dan pemuli- adanya pihak yang bertanggung jawab atas han atas pelanggaran hak asasi manusia yang semua penderitaan yang dialami korban. 110 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200

Justru karena sekian lama kasus ini dibiar- dah banyak yang telah tiada. Jikalau upaya kan tanpa ada pengakuan resmi dari negara, peradilan ini dipaksakan untuk dilakukan, hingga kini ribuan orang masih menang- keadilan dan kelegaan di hati para korban gung derita dan bahkan stigma negatif. Jus- justru tidak akan tercapai kepada dan hanya tru karena tidak ada yang mengaku bersalah, akan membawa luka lama. Para pelaku jus- maka korban selamanya akan menemui ke- tru akan mampu menghindarkan diri dari sukaran untuk memaafkan. tuduhan dengan kelemahan-kelemahan alat Kedua adalah menyangkut pemulihan bukti yang tak pelak akan dihadapi oleh pi- hak dan rehabilitasi mereka yang dilanggar hak korban. HAM-nya. Negara harus memulihkan hak- Manakala penyelesaian dengan jalur hak mereka yang dilanggar, serta memberi- hukum tidak memungkinkan tercapainya kan kompensasi atas terlanggarnya hak asasi keadilan dan justru menjanjikan masalah warga negara. Pemulihan ini penting guna yang lebih besar, penyelesaian dengan membersihkan dan melenyapkan beban melalui jalur extra-judicial akan lebih sosial yang dipikul bahkan oleh berbagai mengena dan memungkinkan penyelesaian generasi yang tak bersangkut paut dan yang melegakan. Penyelesaian di luar jalur mengalami alienasi sosial. Pemulihan ini hukum ini adalah dengan suatu pernyataan adalah suatu konsekuensi logis, suatu tang- pemerintah yang menyatakan telah terjadinya gung jawab negara di bawah hukum inter- pelanggaran hak asasi manusia pada tahun nasional atas pelanggaran hak asasi ma- 1965 yang menyangkut ribuan bahkan nusia yang pernah dilakukannya. Dengan jutaan manusia. Negara harus mengakui pemulihan (reparasi), semua stigma akan secara terbuka telah terjadi pelanggaran hak dihilangkan dan para korban akan kembali asasi secara sistematik berupa penyiksaan, mendapatkan hak-haknya. penculikan, dan pembunuhan terhadap Upaya pro justitia (trial-court model) orang-orang warga negara yang dianggap untuk mengusut kasus 65 untuk dibawa ke sebagai massa komunis. proses peradilan melalui peradilan ad-hoc Harus diingat dan dipahami bahwa selain tidak lagi dimungkinkan juga tidak pengakuan ini tidak dilakukan atas desak­an akan membawa keadilan bagi para korban. masyarakat saja, akan tetapi dengan ke- Hal ini karena setelah lampaunya waktu mauan politik negara. Negara harus meman- sejak 1965 hingga kini, berbagai saksi dan dang permohonan maaf ini sebagai sebuah pelaku sudah sukar kembali untuk dikumpul- kebutuhan, sebagai sebuah kewajiban yang kan. Soeharto sebagai orang yang paling ber- harus dipenuhi tidak saja terhadap para kor­ tanggungjawab atas peristiwa dan rangkaian ban namun pula kepada segenap bangsa tragedi itu telah meninggal dunia. Demikian Indonesia bahkan kepada dunia, atas terjadi­ pula dengan beberapa tokoh angkatan ber- nya berbagai perampasan hak asasi manusia senjata yang kala itu yang memegang kunci tersebut. Hal ini penting agar jelas diketahui kendali pembantaian serta pucuk pimpinan oleh masyarakat, bahwa segenap tindakan gerakan keagamaan yang membantunya su- perampasan hak warga adalah suatu kesalah- Wardaya, Keadilan Bagi yang Berbeda Paham 111 an, adalah suatu pelanggaran oleh negara, menghidupkan seusuatu paham yang dianut sebagai hal yang sama sekali tak boleh di- oleh warga negara yang dirampas haknya. lakukan oleh negara. Permohonan ini pen- Negara berkewajiban – menurut hukum ting pula dilakukan untuk memberikan ke- internasional dan konstitusi – untuk memohon jelasan adanya siapa yang bersalah dan siapa maaf dan memulihkan hak-hak warganya yang menjadi korban, hal kunci penyebab yang telah menjadi korban tindakan negara. berbagai penderitaan dan perlakuan tidak Lebih lanjut, permohonan maaf ini menjadi adil terhadap sebagian warga negara. tonggak penting tercapainya rekonsiliasi Permohonan maaf kepada korban antara pelaku dan korban serta perwujudan terkait kasus Tragedi 1965 disadari bukannya tanggung jawab negara. Justru di sini lepas dari keberatan dan protes anggota peran negara dan unsur-unsur masyarakat masyarakat dan elite politik. Skeptisisme sipil terutama dari kalangan korban dan yang kemungkinan besar akan muncul adalah masyarakat yang terlibat amat diperlukan adanya kekhawatiran bahwa permohonan guna menyosialisasikan hal ini agar tidak maaf dari negara terhadap korban Tragedi disalahartikan oleh masyarakat dan kemudian 1965 akan menimbulkan gejolak dan menjadi konsumsi politik pihak-pihak yang memunculkan gerakan komunisme dan ingin memancing di air keruh dan atau yang bangkitnya Partai Komunis Indonesia. tak beritikad baik mencapai perdamaian. Akan dikhawatirkan bahwa munculnya Terkait dengan korban dan pelaku kembali PKI dan paham komunisme akan yang melibatkan unsur negara dan sesama memecah belah dan membawa Indonesia masyarakat sipil, maka baik korban dan kembali kepada konflik horizontal. Namun pelaku harus dilibatkan dalam upaya penye­ demikian, kekhawatiran ini sesungguhnya lesaian ini. Baik korban maupun pelaku ha- tak beralasan mengingat Partai Komunis rus berdialog dalam upaya rekonsiliasi dan Indonesia tetap dilarang untuk berdiri di perdamaian. Negara bersama dengan Komi- seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik si Nasional Hak Asasi Manusia dapat bahu Indonesia. Ideologi komunisme yang dianut membahu dengan unsur masyarakat meng­ oleh Partai Komunis Indonesia, tak sesuai upayakan suatu forum silaturahmi yang ber- dengan Pancasila dan oleh karenanya tujuan untuk perdamaian. Pengakuan dan pelarangan Partai Komunis Indonesia adalah testimoni para korban dan pelaku dapat di- hal yang final. lakukan baik di level nasional maupun dae- Negara harus membedakan antara rah. Pendekatan model seperti ini memang memohon maaf atas pelanggaran hak asasi tidak menjanjikan penghukuman dalam ka­ manusia yang wajib dilakukannya dengan camata legal seperti prisonisasi, namun lebih menghidupkan paham komunisme dan berpijak pada konteks real politics yang ada atau menghidupkan PKI. Memohon maaf dengan tujuan memulihkan dan memberikan dan mengakui kesalahan masa lalu atas kelegaan pada korban sekaligus mengubur pelanggaran HAM bukanlah identik dengan luka lama yang pernah ada 112 MIMBAR HUKUM Volume 22, Nomor 1, Februari 2010, Halaman 1 - 200

F. Penutup kompensasi dan rehabilitasi terhadap semua Penyelesaian kasus 1965 yang begitu saja warga negara yang pernah menjadi masif, baik dalam skala korban maupun lu- korban berbagai pelanggaran HAM 1965. asnya persoalan akan lebih tepat menggu- Klaim rezim pengganti sebagai bersih dari nakan sarana non-legal dengan mengupaya­ pelanggaran HAM tidak berarti banyak kan semua pihak yang pernah bersengketa manakala rezim pengganti tak mampu untuk duduk bersama dan saling memaaf- menyelesaikan persoalan HAM masa lalu kan untuk menuju hari depan yang lebih dan hanya berhenti pada tataran wacana. baik. Mengingat­ pendekatan yang ditempuh Diselesaikannya kasus Tragedi 1965 adalah win-win solution, masyarakat terma- memiliki nilai strategis yang begitu penting suk korban dan pelaku harus menyadari ke- dan merupakan batu ujian bagi negara untuk pentingan yang lebih besar dengan tidak me- menyelesaikan kasus pelanggaran HAM maksakan keinginan satu pihak saja, namun lain yang hingga kini belum terselesaikan. kepentingan bangsa yang lebih luas. Jika rekonsiliasi bisa tercapai dan korban Penyelesaian kasus pelanggaran hak dan pelaku bisa saling memaafkan, maka asasi manusia masa lalu berupa pengakuan berbagai pelanggaran HAM masa lalu adanya Tragedi 1965 harus dilakukan tak seperti Tragedi 27 Juli 1996, Penculikan hanya dalam fungsinya yang simbolik sebagai aktivis dan lain-lain yang masih diselimuti ekspresi rekonsiliasi dan dihormatinya misteri akan terungkap. Pada gilirannya hak asasi manusia namun juga sebagai semua akan berimbas positif dan semakin bentuk konkret kewajiban negara untuk mengokohkan persatuan nasional dalam menghormati hak asasi manusia. Pengakuan menghadapi tantangan pergaulan dunia yang ini harus ditindaklanjuti dengan pemberian semakin mengglobal.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Cribb, Robert, 1990, the Indonesian Killing Toer, Pramoedya A., 1985, Nyanyi Sunyi 1965-66, Monash University South Se­orang Bisu, Penerbit Hasta Mitra, East Asian Studies, Clayton. Jakarta. Crouch, Harold, 1978, The Army and Politics Wardaya, Manunggal K., “Menanti Keadil­ in Indonesia, Cornell University Press. an: Urgensi Penyelesaian Masalah Dinuth, Alex (ed), 1997, Dokumen Terpilih Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Sekitar G30S/PKI, Intermasa, Jakarta. Ujung Masa Transisi”, dalam Artidjo Malaka, Tan, 2008, Dari Penjara Ke Alkostar (ed), 2007, Mengurai Kom- Penjara, Narasi, Jakarta. pleksitas Hak Asasi Manusia, Pusat Ricklefs, M.C, 1991, A History of Modern Studi Hak Asasi Manusia. Indonesia Since c.1300, MacMillan. Wardaya, Keadilan Bagi yang Berbeda Paham 113

B. Artikel/Internet 20090210085507, diakses pada 6 Juli “Geger Sekitar Tap MPRS XXV/1966”, 2009. Media Indonesia, 9 April 2000. McGregor, Kate, “Forty Years on”, http:// C. Peraturan Perundangan www.insideindonesia.org/content/ Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi view/139/29/, diakses pada 25 Juni Angkatan Bersenjata Republik Indo­ 2009. nesia No.142/KOTI/1965. Pohlman, Annie, “Women and The Indo­ Surat Ketetapan Menteri Panglima Angkatan nesian Killing 1965-1966: Gender Darat tertanggal 17 September 1966 Variables and Possible Directions of No. Kep-977/9/1966. Research”, makalah dipresentasikan The International Covenant on Civil and pada 15th Biennial Conference of Asian Political Rights. Studies Asoociation of Australia, The Universal Declaration of Human Canberra, 29 Juni-2 Juli 2004. Rights. Taher, Yoseph Y., “Teror Masyarakat oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Oknum Aparat Kepolisian”, http:// Indonesia Tahun 1945. www.kabarindonesia.com/berita. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. php?pil=20&jd=Teror-Masyarakat- UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi oleh-Oknum-Aparat-Kepolisian&dn= Manusia.