Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September Dan Kudeta Suharto
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
DALIH PEMBUNUHAN MASSAL GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO JOHN ROOSA Jakarta, 2008 Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto Buku ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Pretext for Mass Murder: Th e September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia ©2006 Th e University of Wisconsin Press, Madison, USA Pertama kali diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia seizin penerbit asli oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia bekerjasama dengan Hasta Mitra pada Januari 2008. Penerjemah : Hersri Setiawan Penyunting: Ayu Ratih dan Hilmar Farid Penyelaras bahasa: M. Fauzi dan Th . J. Erlijna Desain sampul dan tata letak: Alit Ambara Foto sampul: Corbis Institut Sejarah Sosial Indonesia Jalan Pinang Ranti No. 3 Jakarta 13560 Email: [email protected] Hasta Mitra Jalan Duren Tiga Selatan No. 36 Jakarta Selatan Email: [email protected] Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Cetakan 1 Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008 xxiv+392 hlm; 16 cm x 23 cm ISBN: 978-979-17579-0-4 untuk orangtua saya DAFTAR ISI Daftar Ilustrasi vii Sekapur Sirih xi Kata Pengantar edisi Bahasa Indonesia xv Pendahuluan 3 I. Kesemrawutan Fakta-Fakta 52 II. Penjelasan tentang G-30-S 90 III. Dokumen Supardjo 122 IV. Sjam dan Biro Chusus 169 V. Aidit, PKI, dan G-30-S 199 VI. Suharto, Angkatan Darat, dan Amerika Serikat 250 VII. Menjalin Cerita Baru 291 Lampiran-lampiran 1. Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja “G-30-S” Dipandang dari Sudut Militer (1966), oleh Brigadir Jenderal Supardjo 323 2. Kesaksian Sjam (1967) 344 Daftar Pustaka 362 Indeks 375 v DAFTAR ILUSTRASI PETA 1. Jakarta, 1965 2. Lapangan Merdeka 3. Pangkalan Angkatan Udara Halim dan Lubang Buaya FOTO DAN KARTUN 1. Monumen Pancasila Sakti 2. Detil relief pada Monumen Pancasila Sakti 3. Museum Pengkhianatan PKI 4. Detil relief pada Monumen Pancasila Sakti 5. Supardjo dan Ibu Supardjo, ca. 1962 6. Kartun memperingati 20 tahun kemerdekaan nasional 7. Kartun mendukung Gerakan 30 September 8. Kartun: “Film minggu ini” 9. Kartun anti-PKI TABEL DAN FIGUR 1. Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) 2. Personil Militer dan Sipil dalam Gerakan 30 September 3. Struktur Organisasi PKI vii DALIH PEMBUNUHAN MASSAL SEKAPUR SIRIH aya mulai menulis tentang Gerakan 30 September saat menjadi penerima beasiswa pascadoktoral Rockefeller Foundation di Institute Sof International Studies di University of California-Berkeley, sebagai bagian dari Communities in Contention Program pada 2001-2002. Terima kasih kepada direktur lembaga, Michael Watts, yang telah memberikan saya suasana yang demikian hidup untuk belajar. Joseph Nevins adalah pembaca rumusan-rumusan awal pandangan saya. Kritiknya yang tajam pada saat makan siang di kafe-kafe di Berkeley menyadarkan saya bahwa menulis tentang Gerakan 30 September dalam bentuk karangan jurnal singkat tidak memadai untuk mengurai keruwetan-keruwetannya. Ulasan-ulasannya terhadap rancangan buku yang muncul belakangan sangat membantu saya dalam berpikir tentang penyajian argumen saya. Untuk berbagai-bagai bentuk bantuan di Bay Area, saya berterimakasih kepada Iain Boal, Nancy Peluso, Silvia Tiwon, Jeff Hadler, Hala Nassar, Mizue Aizeki, dan Mary Letterii. Sidang pendengar di Center for Southeast Asian Studies di Univer- sity of Wisconsin, Madison, pada akhir 2001 telah mendengarkan uraian versi awal yang masih mentah dari buku ini. Saya ucapkan terima kasih kepada semua yang hadir di sana, dan untuk ulasan-ulasan mereka yang mendalam. Terima kasih juga untuk Alfred McCoy, yang bertahun-tahun lalu pernah mengajar saya tentang bagaimana mempelajari masalah- masalah kemiliteran dan kudeta, karena sudah mengundang saya memberi ceramah dan mendorong saya menulis buku ini. xi SEKAPUR SIRIH Sesudah naskah awal saya diamkan selama dua tahun agar dapat menyelesaikan pekerjaan saya yang berkaitan dengan pengalaman para korban kekerasan massal 1965-66 di Indonesia, pada awal 2004 saat di University of British Columbia saya kembali ke naskah tersebut. Saya menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di jurusan sejarah, Steven Lee yang memberikan ulasan terhadap rancangan keseluruhan buku, dan Erik Kwakkel untuk bantuannya dalam hal kata-kata Belanda. Terima kasih pula kepada Brad Simpson dari University of Maryland, yang membagikan pengetahuannya tentang dokumen-dokumen resmi pemerintah Amerika Serikat mengenai Indonesia; dan David Webster, lulusan program doktoral dari University of British Columbia, yang membagikan pengetahuannya tentang dokumen-dokumen resmi pe- merintah Kanada. Saya sangat berutang budi kepada dua pengulas tanpa nama yang dengan murah hati telah memberikan pujian mereka bahkan sesudah mereka mungkin menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengoreksi sangat banyak kesalahan dalam naskah saya dan mengajukan bantahan terhadap uraian-uraian saya. Saya harap kesabaran mereka ketika menulis- kan ulasan-ulasan yang sedemikian kritis dan rinci itu telah saya imbangi dengan perbaikan-perbaikan yang akan mereka temukan dalam buku ini. Sejak awal 2000 saya melakukan penelitian tentang peristiwa 1965- 66 dengan sekelompok peneliti yang tergabung dalam Jaringan Kerja Budaya di Jakarta. Buku ini tumbuh dari penelitian kami bersama dan pendirian lembaga kami, Institut Sejarah Sosial Indonesia. Ucapan terima kasih kepada rekan-rekan berikut ini kiranya tidak layak, oleh karena buku ini sebagian merupakan milik mereka, yaitu: Hilmar Farid, Agung Putri, Razif, Muhammad Fauzi, Rinto Tri Hasworo, Andre Liem, Grace Leksana, Th .J. Erlijna, Yayan Wiludiharto, Alit Ambara, B.I. Purwantari, dan Pitono Adhi. Dua penggembala para budayawan muda di Garuda, Dolorosa Sinaga dan Arjuna Hutagalung, telah memberikan ruang kerja untuk penelitian kami dan ruang terbuka yang teduh di tengah-tengah megalopolis yang hiruk-pikuk sebagai tempat kami bersantai. Johan Abe dan Maryatun terus memberi bantuan tanpa kenal lelah. Pasangan hidup saya selama tiga belas tahun terakhir, Ayu Ratih, telah memandu saya dalam menulis sejarah Indonesia, sekaligus mene- xii DALIH PEMBUNUHAN MASSAL: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO gaskan bahwa penulisan sejarah hanyalah satu bagian dari kehidupan aktif yang berjalinan erat dengan kehidupan banyak orang lain. Saya beruntung sudah berada sangat dekat dengan suri teladan sikap kritis dan hangat dalam berhubungan dengan dunia ini. xiii KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA aya mengantar terjemahan buku saya dengan sedikit kebimbangan. Mengacu kepada surat keputusan Jaksa Agung setahun lalu, buku- Sbuku teks sejarah yang tidak mencantumkan akhiran “/PKI” setelah singkatan G-30-S harus dibakar. Buku ini tidak menggunakan akhiran tersebut. Tak akan ada gunanya menulis buku ini seandainya saya me- nambahkan “/PKI.” Akhiran tersebut mencerminkan jawaban terhadap pertanyaan tentang siapa yang mendalangi gerakan itu. Ia adalah simbol pernyataan: “PKI mendalangi G-30-S.” Apabila jawaban itu didukung oleh bukti-bukti tak tersangkal dan secara luas diterima sebagai fakta historis maka kita tidak perlu mengajukan pertanyaan tentang dalang lagi. Kita bisa tutup buku dengan G-30-S. Tapi banyak sejarawan yang belum menerima jawaban tersebut, atau jawaban lain, sebagai sesuatu yang fi nal, karena terdapat begitu banyak aspek yang aneh, tak terjelaskan tentang G-30-S. Banyak orang Indonesia bingung dengan G-30-S dan berharap menemukan lebih banyak informasi tentangnya. Pemerintah dapat mencoba menulis sejarah dengan keputusan resmi. Tetapi me- mastikan bahwa setiap penyebutan G-30-S harus diikuti dengan “/PKI” tidak akan mencegah orang untuk bertanya-tanya tentang arti kedua istilah yang harus mereka kaitkan itu: Apa itu G-30-S? Apa itu PKI? Dan bentuk hubungan seperti apa antara kedua istilah yang ditandai dengan garis miring tersebut? Ketika Suharto jatuh dari kekuasaannya pada 1998 saya tidak mem- xv KATA PENGANTAR EDISI BAHASA INDONESIA bayangkan bahwa satu dekade kemudian pemerintah akan terus melarang buku-buku yang tidak sesuai dengan propaganda rezim yang lalu. Rezim Suharto mengklaim bahwa PKI bertanggung jawab atas G-30-S; partai itu memimpin atau mengorganisasikan G-30-S. Klaim serupa itu dapat diterima sebagai sebuah hipotesa tetapi kita seharusnya berharap diberi sejumlah bukti sebelum kita menerimanya sebagai kesimpulan. Kita juga harus berharap ada rumusan yang lebih persis. PKI adalah sebuah partai dengan anggota kurang lebih tiga juta orang. Kalau pemerintah berniat bersikukuh bahwa “PKI” mengorganisasikan G-30-S, maka pemerintah harus mampu menjelaskan siapa di dalam PKI yang mengorganisasikan gerakan tersebut. Apakah tiga juta anggota partai secara keseluruhan bertanggung jawab? Atau kah sebagian? Atau hanya pimpinan partai? Apakah pihak pimpinan itu Central Comite atau Politbiro? Sepanjang masa kepemimpinan Suharto pemerintah tidak pernah dengan telak mengidentifi kasi siapa di dalam PKI yang bertanggung jawab. Malahan, dengan secara terus-menerus menggunakan istilah “PKI” masyarakat digiring untuk percaya bahwa bukan hanya seluruh tiga juta anggota partai yang bertanggung jawab, tetapi juga siapa pun yang berhubungan dengan partai, seperti para anggota organisasi-organisasi sealiran (seperti Lekra), bertanggung jawab. Dokumen-dokumen internal rezim Suharto lebih terus terang. Kebetulan saya menemukan buku yang ditulis Lemhanas pada 1968 untuk pejabat-pejabat pemerintah yang persis mengajukan pertanyaan- pertanyaan di atas. Buku 80 halaman ini ditulis dalam bentuk tanya- jawab. Berikut satu bagian tentang