2. Buku Model Literasi Membaca Siswa Madrasah Ibtidaiyah.Pdf
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
PEMBELAJARAN LITERASI MEMBACA DI MADRASAH IBTIDAIYAH NEGERI III BONDOWOSO JAWA TIMUR (INDONESIA) DAN SEKOLAH KEBANGSAAN BUKIT ROKAN UTARA73200 GEMENCHEH NEGERI SEMBILAN (MALAYSIA) PENDAHULUAN Memasuki era teknologi dan informasi yang ditandai dengan persaingan tanpa batas, dalam segala bidang dan berbagai tingkatan sosial. Pada era ini manusia membutuhkan kejelian, ketekunan, kejujuran, tanggung jawab dan keberanian menghadapi risiko dari berbagai tindakan dan profesi yang ditekuni. Tawaran peningkatan sumber daya selalu terpampang di depan mata bagi mereka yang memiliki kemampuan lebih, tekun dan ingin maju melalui literasi1. Realitas lulusan pendidikan di Indonesia masih banyak yang belum mencapai kompetensi minimal pada ranah kognitif , afektif dan psikomotorik. Hal ini bisa ditelusuri pada berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan2 di negeri ini. Output dari sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah masih banyak yang belum lancar baca tulis dan dan berhitung sebagaimana dijelaskan berikut: “Uji literasi membaca mengukur aspek memahami, menggunakan, dan merefleksikan hasil membaca dalam bentuk tulisan. Dalam PIRLS 2011International Results in Reading, Indonesia menduduki peringkat ke-4 dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. Data PIRLS dan PISA, khususnya dalam keterampilan memahami bacaan, menunjukkan bahwa kompetensi peserta didik Indonesia tergolong rendah3. 1 Dirjen PTKI dan Dirjen Pendis Kemenag RI, Beasiswa 5000 Doktor, 2018-2019. 2 UU RI no 20 tentang Sistem Pendidikan nasional. 3 Pangesti Wiedarti Dkk, Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan MenengahKementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016) , i. 1 Padahal seharusnya sudah tuntas dasar-dasarnya setelah ia menempuh kelas I. Yang paling ironis kemampuan akademik masih belum mencapai standar minimal pada lulusan sekolah dasar menengah atas, hal ini bisa dibuktikan pada seluruh output Sekolah Menengah Atas, (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun Madrasah Aliyah (MA)4. Ketidaktuntasan tersebut dapat dibuktikan dengan relitas kompetensi salah satu lulusan dari beberapa sekolah, madrasah bahkan pesantren pada saat penulis menjadi penguji tes masuk di beberapa perguruan tinggi (sejak 2003- 2018) dan kompetensi mahasiswa pada bidang membaca al-Qur’an, menulis Arab, penguasaan teori agama Islam. Dalam kontes Internasional literasi membaca sudah dilakukan sejak 2001, sebagaimana pernyataan berikutL: “pemahaman membaca tingkat sekolah dasar (kelas IV) diuji oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEA-the International Association for the Evaluation of Educational Achievement) dalam Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan setiap lima tahun (sejak tahun 2001). Selain itu, PIRLS berkolaborasi dengan Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) menguji kemampuan matematika dan sains peserta didik sejak tahun 2011. Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik (selain matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD—Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Uji literasi membaca mengukur aspek memahami, menggunakan, dan merefleksikan hasil membaca dalam bentuk tulisan. Dalam PIRLS 2011 International Results in Reading, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428 dari skor rata-rata 500 (IEA, 2012). Sementara itu, uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. Data PIRLS dan PISA, khususnya dalam keterampilan memahami bacaan, menunjukkan bahwa kompetensi peserta didik Indonesia tergolong rendah. PISA 2009 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (skor rata- rata OECD 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013). Sebanyak 65 negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. Dari kedua hasil ini dapat dikatakan bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah belum memperlihatkan fungsi sekolah sebagai 4 Hasil survey tulisan mahsiswa di lima perguruan tinggi negeri dan swasta. 2 organisasi pembelajaran yang berupaya menjadikan semua warganya menjadi terampil membaca untuk mendukung mereka sebagai pembelajar sepanjang hayat.5. Kondisi di Malaysia juga tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia, kebiasaan membaca masyarakat Malaysia telah diberikan peringkat ke-53. Posisi tersebut setingkat dengan negara sedang berkemban seperti Albania (54), Panama (55), Indonesia (60) dan Botswana (61). Diantara alasan berlakunya skenario di atas disebabkan tahap buta huruf di kalangan anak-anak adalah tinggi. Secara terperinci, penelitian yang dilakukan oleh peneliti Malaysia menemukan kebenaran dengan hasil yang dilaporkan di atas. Misalnya. penelitian oleh Malaysian National Literacy Survey (1982) memperoleh rata-rata anak-anak Malaysia membaca hanya dua halaman setahun. Empat belas tahun kemudian penelitian dilakukan oleh agensi yang sama mendapatkan penambahan jumlah buku yang dibaca oleh anak-anak Malaysia telah meningkat menjadi dua buah buku setahun. Namun, membaca bukan merupakan suatu aktivitas harian anak-anak Malaysia yang dikaitkan dengan sikap dan minat6. Selanjutnya, penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2016 oleh Kementerian Seni, Budayadan Warisan dengan penglibatan peserta penelitian dalam kalangan anak- anak yang berusia kurang dari 10 tahun sebanyak 60.441 orang. Penelitian tersebut menemukan tidak ada penambahan jumlah buku yang dibaca oleh anak belia Malaysia. Rata-rata, mereka masih membaca dua unit buku setahun. Alasan yang diberikan mereka adalah membaca bukan aktivitas yang menarik dengan persentase 60,4 peserta penelitian yang setuju, tidak ada waktu luang untuk membaca (15.2%), tidak ada minat untuk membaca (13.5%) dan lain-lain termasuk buta huruf (10.9%). Sedangkan, jenis bahan bacaan yang digemari mereka adalah koran (77.4%), majalah (3%) dan buku (3%) unsur hiburan dan komik (1.6%). Jika merujuk kepada penelitian yang dilakukan di kalangan belia di Lembaga Kemajuan Tanah Persekutuan (FELDA), telah menemukan bahwa melek huruf peserta penelitian adalah pada tahap sederhana. Penelitian yang dilakukan di kalangan 20 orang anak-anak yang berusia kurang dari 10 tahun turut menemukan faktor 5 Dewi Utama Faizah DKK, Panduan Literasi ( Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016), iii. 6 Malaysian National Literacy Survey, 1996 3 lingkungan internal seperti sikap serta minat anak-anak dan lingkungan eksternal seperti iklim sekolah misalnya kesungguhan guru untuk mengajar sangat mempengaruhi tahap melek huruf anak-anak FELDA7. Sedangkan, penelitian 8mengenai tingkat buta huruf anak-anak FELDA adalah agak tinggi. Penelitian yang dilakukan terhadap 25 orang murid sekolah kebangsaan di FELDA semuanya menemukan faktor luar sekolah seperti orang tua dan teman sebaya sangat mempengaruhi persentase buta huruf di FELDA tersebut. Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah menyebabkan mereka mempunyai tanggapan rendah terhadap kepentingan pendidikan anak mereka adalah faktor penyumbang utama buta huruf di FELDA. Begitu juga dengan pandangan bahwa kebanyakan penelitian mengenai subjek di kawasan pedalaman lebih kepada mengetahui status sesuatu fenomena dibanding stategi penyelesaian fenomena tersebut9. Salah satu indikator penyebab ketidaktuntasan mereka untuk mencapai kompetensi minimal atau rendahnya pencapaian, dapat diasumsikan dari berbagai keterbatasan kompetensi sumber daya manusia, ketersediaan sarana yang dimiliki, krisis keteladanan dan rendahnya penghargaan dari berbagai pihak terhadap profesi, kontribusi dan prestasi. Keterbatasan sumber daya dapat dilihat dari uji kompetensi guru pada masing-masing mata pelajaran yang diampu, indikasi tersebut pernah dibuktikan dari tulisan guru pada pelatihan baca tulis al-Qur’an bagi guru pendidikan agama Islam pada salah satu kabupaten, ternyata masih lebih dari lima puluh persen dari delapan puluh guru yang tulisnanya belum baik dan belum sesuai dengan kaidah penulisan10, masih belum diketahui tindak lanjut dari pelatihan tersebut dan kemampuan guru, akan tetapi belum ada keberanian dari dari pihak terkait untuk mengadakan pembinaan kemampuan baca tulis al-Qur’an bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan melalui kompetisi baca tulis al-Qur’an bagi pengawas, kepala sekolah atau madrasah, guru dan tenaga kependidikan, sebagaimana telah dilakukan kompetisi membaca khutbah nikah bagi kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten 7 Siti Sukainah Che Mat dan Melor Md. Yunus (2014) 8 Rahimah Abd. Wahab, Mohd Sahar Sawiran, Fozilah Abd Hamid dan Hamidah Ayub (2017) 9 Saedah Siraj, Zaharah Hussin, Melati Sumari, Habib Mat Som dan Kamaliah Siraj (2010) 10 Pelatihan