Muhadjir Darwin Populasi
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
KATA PENGANTAR Faktor-faktor demografis merupakan bagian penting dalam strategi pencalonan kepala daerah dan memobilisasi dukungan politik untuk memenangi kompetisi politik di tingkat lokal. Menurut Kuskridho, isu yang berkaitan dengan status migran, agama, kesukuan, dan kedaerahan adalah isu yang kerap dieksplorasi dan dieksploitasi. Isu-isu primordial lebih banyak tampil di gelanggang pilkada ketimbang isu-isu kebijakan. Dalam jangka pendek, pemetaan politik konvensional yang berbasis pada klasifikasi demografi akan terus berjalan. Namun, untuk jangka panjang, pemetaan dan analisis post-demographic akan menjadi saingan dalam bisnis jasa pemetaan politik di pilkada. Masih tentang isu pilkada, Aulia Hadi dan Riwanto Tirtosudarmo meneliti interaksi antara migrasi, etnisitas, dan politik lokal di DKI Jakarta dari tahun 1960-an sampai dengan tahun 2000-an. Fokusnya terletak pada perkembangan terakhir, yaitu fenomena ‘Ahok’, julukan Basuki Tjahaja Purnama, seorang Cina-Kristen dari kota kecil Belitung, yang menjadi Gubernur Jakarta dengan popularitasnya yang melesat. Mereka berpendapat bahwa perkembangan terkini menunjukkan kondisi politik Jakarta yang lebih bersifat kewargaan daripada politik etnik. Kondisi Jakarta sebagai sebuah kota migran yang terus berkembang mengubah identitas budaya yang sempit dan partai politik yang konvensional menjadi politik kewargaan yang semakin aktif dengan meluasnya penggunaan media sosial. Selain isu pilkada seperti di atas, Muhadjir tertarik menyoroti isu yang menyoroti pembangunan daerah supaya lebih partisipatif sebagai jaminan bahwa hak warga negara sepenuhnya. Dalam hal ini, akuntabilitas sosial adalah kunci yang harus diperbaiki dari sisi penawaran dan permintaan secara bersamaan. Dari sisi penawaran, perlu adanya reformasi tata pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan kualitas peraturan daerah, perencanaan daerah, penganggaran daerah, dan penyediaan layanan publik daerah. Sementara itu, dari sisi permintaan, ada kebutuhan untuk memberdayakan warga setempat sehingga mereka terlibat dalam lima aspek pembangunan daerah: perumusan peraturan daerah, perencanaan pembangunan daerah, penganggaran daerah, pengembangan berbasis masyarakat, dan penyediaan layanan publik. Lebih lanjut, Lely Indrawati, Dwi Hapsari, dan Olwin Nainggolan menyatakan bahwa TFR (Total Fertility Rate) merupakan salah satu indikator ukuran kemajuan kesehatan, khususnya kesehatan ibu dalam satu negara. Oleh karenanya, target RPJMN 2015-2019 adalah menurunkan angka kelahiran. Hasil perhitungan Lely, dkk. menggunakan Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa TFR di Indonesia lebih tinggi (3,2) dibandingkan dengan hasil perhitungan dengan sumber data yang lain. Jika dilihat dari pola ASFR (Age Specific Fertility Rate), angka kelahiran tertinggi tercatat pada usia 20-24 kemudian usia 15-19. Oleh karena itu, fokus program keluarga berencana harus diberikan pada kelompok umur tersebut, salah satunya adalah dengan peningkatan usia kawin pertama. Artikel terakhir dari Heryanah meneliti kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat tahun 2012 dengan data Susenas dan menggunakan regresi order logistik. Heryanah juga mencoba mencari faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Jawa Barat dengan sepuluh variabel independen (dummy perkotaan, dummy jenis kelamin, dummy status perkawinan, umur kepala rumah tangga, banyaknya jumlah anggota rumah tangga, rata-rata lama sekolah dari kepala rumah tangga, dummy kerja atau tidak, pengeluaran per kapita rumah tangga, dummy kelayakan sanitasi, dan dummy kondisi kumuh). Kesepuluh variabel independen tersebut secara statistik signifikan memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Jawa Barat. Muhadjir Darwin Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 Halaman 1-22 FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN Kuskridho Ambardi Departemen Ilmu Komunikasi dan Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol, Universitas Gadjah Mada dan Lembaga Survei Indonesia Korespondensi: Kuskridho Ambardi (e-mail: [email protected]) Abstrak Di tengah merebaknya analisis post-demographics lima tahun terakhir di Indonesia, analisis demografi tetap menjadi potongan penting untuk memahami politik pilkada. Artikel ini akan mendemonstrasikan bahwa di gelanggang pilkada, para kandidat secara intuitif memanfaatkan faktor-faktor demografis dalam strategi pencalonan kepala daerah dan memobilisasi dukungan politik untuk memenangi kompetisi politik di tingkat lokal. Namun, tidak semua faktor demografi dan isu-isu yang berbasis demografi dimanfaatkan dalam penyusunan strategi elektoral tersebut. Isu yang berkaitan dengan status migran, agama, kesukuan, dan kedaerahan adalah isu yang kerap dieksplorasi dan dieksploitasi. Untuk memobilisasi kelompok-kelompok demografis ini, para kandidat lebih banyak melakukan kampanye yang tidak berbasis isu kebijakan. Akibatnya, isu-isu primordial lebih banyak tampil di gelanggang pilkada ketimbang isu-isu kebijakan. Dalam jangka pendek, pemetaan politik konvensional yang berbasis pada klasifikasi demografi akan tetap berjalan. Akan tetapi, untuk jangka panjang, pemetaan dan analisis post-demographic akan menjadi saingan dalam bisnis jasa pemetaan politik di pilkada. Kata kunci: demografi, strategi kampanye, primordialisme DEMOGRAPHIC ANALYSIS IN INDONESIAN LOCAL ELECTIONS: A VIEW FROM THE BATTLEFIELDS Abstract Demographic analysis is an important part of electoral strategies. This paper will show that electoral candidates in Indonesian local elections intituitively make use of demographic mapping for formulating their electoral strategies to win the elections. However, they purposefully and selectively target only a set of particular demographic groups that provide them electoral gains while ignoring others. Religious, ethnic, and migrant divisions are seen as more important electorally than gender and rural-urban divisions. To mobilize these groups, they tend to develop non-policy-based or symbolic campaigns instead of formulating policy-based campaigns. As a result, in local elections, primordial issues are more prominent than policy issues. In the short run, demographic analysisis will stay as the main strategic electoral tool for these candidates. In the long run, however, this mode of analysis will have to compete against post-demographic modes of analysis that have started to gain traction among national and local politicians. Keywords: demography, campaign strategy, primordialism Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 1 Kuskridho Ambardi Pengantar Bagaimana mereka mengidentifikasi target kampanye untuk menggali peta permasalahan Data demografi adalah jantung pemilu dan sosial yang menjadi perhatian berbagai pilkada. Dari sudut penyelenggara pemilu, kelompok sosial dan untuk merumuskan data demografi tentang jumlah populasi dan isu-isu kebijakan spesifik yang berbasis jumlah pemilik hak suara adalah isu yang kepentingan kolektif kelompok-kelompok sangat penting, sebab perhitungan jumlah demografis? Bagaimana implikasi teoretis populasi itu akan menjadi basis pendataan dari strategi elektoral dan taktik kampanye administrasi dan perencanaan logistik yang dijalankan para kandidat di gelanggang penyelenggaraan sebuah pemilu. Selain itu, pilkada? Tidak kalah penting, pola-pola apa isu demografi juga memiliki nilai strategis saja yang muncul dalam strategi kampanye secara politik. Data demografi yang akurat yang berbasis demografi di pilkada-pilkada dan terpercaya akan memberikan legitimasi itu dan bagaimana implikasi etisnya terhadap politik yang kuat pada para pemimpin politik kualitas praktik demokrasi di tingkat lokal? yang memenangkan kompetisi politik melalui Terakhir, sejauh mana analisis demografis pemilu.1 ini tetap bermanfaat di tengah-tengan Dari sudut para peserta pemilu, data munculnya faddism baru, yakni analisis post- demografis memiliki nilai strategis lain. demographics? Informasi demografis akan memberikan basis Artikel ini akan mengeksplorasi jawaban pemetaan politik dalam merancang strategi atas sejumlah pertanyaan di atas dengan elektoral untuk memenangi pemilu. Tanpa mendemonstrasikan beberapa hal. Pertama, data komposisi demografi pemilih, partai isu demografis masih menyisakan pekerjaan politik dan para kandidat peserta pemilu rumah bagi Pemerintah Indonesia meskipun akan memboroskan dana karena kesulitan sensus kependudukan telah dilakukan mengidentifikasi target kampanye secara secara reguler dalam siklus sepuluh tahunan. efisien. Tanpa tersedianya data komposisi Kedua, banyak elite lokal memiliki kesadaran demografis pemilih, para peserta pemilu dan kepekaan untuk memanfaatkan data- akan gagal menggali isu-isu permasalahan data demografis dalam merancang strategi sosial yang dihadapi berbagai kelompok elektoralnya. Ketiga, dengan cerdik, sejumlah sosial yang ada dalam masyarakat. Tanpa elite lokal memanfaatkan dan memilih isu-isu data-data tersebut, mustahil bagi mereka berbasis demografi yang memiliki dampak merumuskan isu-isu kebijakan spesifik yang elektoral lebih besar dalam kampanye cocok untuk berbagai kelompok pemilih yang mereka, sedangkan pada saat yang sama akan memberikan suara dalam pilkada. mereka mengabaikan isu-isu demografis Di lapangan, sejauh mana isu-isu yang yang kecil efek elektoralnya atau bahkan berbasis demografi menjadi isu penting dalam mengabaikannya sama sekali. Keempat, pertarungan di politik pemilu Indonesia? mode pemanfaatan isu-isu demografis secara Bagaimana para kandidat dan tim kampanye selektif tidak selalu membawa efek yang di berbagai gelanggang pilkada menggunakan bagus bagi peningkatan