KATA PENGANTAR

Faktor-faktor demografis merupakan bagian penting dalam strategi pencalonan kepala daerah dan memobilisasi dukungan politik untuk memenangi kompetisi politik di tingkat lokal. Menurut Kuskridho, isu yang berkaitan dengan status migran, agama, kesukuan, dan kedaerahan adalah isu yang kerap dieksplorasi dan dieksploitasi. Isu-isu primordial lebih banyak tampil di gelanggang pilkada ketimbang isu-isu kebijakan. Dalam jangka pendek, pemetaan politik konvensional yang berbasis pada klasifikasi demografi akan terus berjalan. Namun, untuk jangka panjang, pemetaan dan analisis post-demographic akan menjadi saingan dalam bisnis jasa pemetaan politik di pilkada. Masih tentang isu pilkada, Aulia Hadi dan Riwanto Tirtosudarmo meneliti interaksi antara migrasi, etnisitas, dan politik lokal di DKI dari tahun 1960-an sampai dengan tahun 2000-an. Fokusnya terletak pada perkembangan terakhir, yaitu fenomena ‘Ahok’, julukan , seorang Cina-Kristen dari kota kecil Belitung, yang menjadi Gubernur Jakarta dengan popularitasnya yang melesat. Mereka berpendapat bahwa perkembangan terkini menunjukkan kondisi politik Jakarta yang lebih bersifat kewargaan daripada politik etnik. Kondisi Jakarta sebagai sebuah kota migran yang terus berkembang mengubah identitas budaya yang sempit dan partai politik yang konvensional menjadi politik kewargaan yang semakin aktif dengan meluasnya penggunaan media sosial. Selain isu pilkada seperti di atas, Muhadjir tertarik menyoroti isu yang menyoroti pembangunan daerah supaya lebih partisipatif sebagai jaminan bahwa hak warga negara sepenuhnya. Dalam hal ini, akuntabilitas sosial adalah kunci yang harus diperbaiki dari sisi penawaran dan permintaan secara bersamaan. Dari sisi penawaran, perlu adanya reformasi tata pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan kualitas peraturan daerah, perencanaan daerah, penganggaran daerah, dan penyediaan layanan publik daerah. Sementara itu, dari sisi permintaan, ada kebutuhan untuk memberdayakan warga setempat sehingga mereka terlibat dalam lima aspek pembangunan daerah: perumusan peraturan daerah, perencanaan pembangunan daerah, penganggaran daerah, pengembangan berbasis masyarakat, dan penyediaan layanan publik. Lebih lanjut, Lely Indrawati, Dwi Hapsari, dan Olwin Nainggolan menyatakan bahwa TFR (Total Fertility Rate) merupakan salah satu indikator ukuran kemajuan kesehatan, khususnya kesehatan ibu dalam satu negara. Oleh karenanya, target RPJMN 2015-2019 adalah menurunkan angka kelahiran. Hasil perhitungan Lely, dkk. menggunakan Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa TFR di Indonesia lebih tinggi (3,2) dibandingkan dengan hasil perhitungan dengan sumber data yang lain. Jika dilihat dari pola ASFR (Age Specific Fertility Rate), angka kelahiran tertinggi tercatat pada usia 20-24 kemudian usia 15-19. Oleh karena itu, fokus program keluarga berencana harus diberikan pada kelompok umur tersebut, salah satunya adalah dengan peningkatan usia kawin pertama. Artikel terakhir dari Heryanah meneliti kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat tahun 2012 dengan data Susenas dan menggunakan regresi order logistik. Heryanah juga mencoba mencari faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Jawa Barat dengan sepuluh variabel independen (dummy perkotaan, dummy jenis kelamin, dummy status perkawinan, umur kepala rumah tangga, banyaknya jumlah anggota rumah tangga, rata-rata lama sekolah dari kepala rumah tangga, dummy kerja atau tidak, pengeluaran per kapita rumah tangga, dummy kelayakan sanitasi, dan dummy kondisi kumuh). Kesepuluh variabel independen tersebut secara statistik signifikan memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Jawa Barat.

Muhadjir Darwin Populasi

Volume 24 Nomor 2 2016 Halaman 1-22

FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN

Kuskridho Ambardi

Departemen Ilmu Komunikasi dan Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol, Universitas Gadjah Mada dan Lembaga Survei Indonesia

Korespondensi: Kuskridho Ambardi (e-mail: [email protected])

Abstrak

Di tengah merebaknya analisis post-demographics lima tahun terakhir di Indonesia, analisis demografi tetap menjadi potongan penting untuk memahami politik pilkada. Artikel ini akan mendemonstrasikan bahwa di gelanggang pilkada, para kandidat secara intuitif memanfaatkan faktor-faktor demografis dalam strategi pencalonan kepala daerah dan memobilisasi dukungan politik untuk memenangi kompetisi politik di tingkat lokal. Namun, tidak semua faktor demografi dan isu-isu yang berbasis demografi dimanfaatkan dalam penyusunan strategi elektoral tersebut. Isu yang berkaitan dengan status migran, agama, kesukuan, dan kedaerahan adalah isu yang kerap dieksplorasi dan dieksploitasi. Untuk memobilisasi kelompok-kelompok demografis ini, para kandidat lebih banyak melakukan kampanye yang tidak berbasis isu kebijakan. Akibatnya, isu-isu primordial lebih banyak tampil di gelanggang pilkada ketimbang isu-isu kebijakan. Dalam jangka pendek, pemetaan politik konvensional yang berbasis pada klasifikasi demografi akan tetap berjalan. Akan tetapi, untuk jangka panjang, pemetaan dan analisis post-demographic akan menjadi saingan dalam bisnis jasa pemetaan politik di pilkada.

Kata kunci: demografi, strategi kampanye, primordialisme

DEMOGRAPHIC ANALYSIS IN INDONESIAN LOCAL ELECTIONS: A VIEW FROM THE BATTLEFIELDS

Abstract

Demographic analysis is an important part of electoral strategies. This paper will show that electoral candidates in Indonesian local elections intituitively make use of demographic mapping for formulating their electoral strategies to win the elections. However, they purposefully and selectively target only a set of particular demographic groups that provide them electoral gains while ignoring others. Religious, ethnic, and migrant divisions are seen as more important electorally than gender and rural-urban divisions. To mobilize these groups, they tend to develop non-policy-based or symbolic campaigns instead of formulating policy-based campaigns. As a result, in local elections, primordial issues are more prominent than policy issues. In the short run, demographic analysisis will stay as the main strategic electoral tool for these candidates. In the long run, however, this mode of analysis will have to compete against post-demographic modes of analysis that have started to gain traction among national and local politicians.

Keywords: demography, campaign strategy, primordialism

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 1 Kuskridho Ambardi

Pengantar Bagaimana mereka mengidentifikasi target kampanye untuk menggali peta permasalahan Data demografi adalah jantung pemilu dan sosial yang menjadi perhatian berbagai pilkada. Dari sudut penyelenggara pemilu, kelompok sosial dan untuk merumuskan data demografi tentang jumlah populasi dan isu-isu kebijakan spesifik yang berbasis jumlah pemilik hak suara adalah isu yang kepentingan kolektif kelompok-kelompok sangat penting, sebab perhitungan jumlah demografis? Bagaimana implikasi teoretis populasi itu akan menjadi basis pendataan dari strategi elektoral dan taktik kampanye administrasi dan perencanaan logistik yang dijalankan para kandidat di gelanggang penyelenggaraan sebuah pemilu. Selain itu, pilkada? Tidak kalah penting, pola-pola apa isu demografi juga memiliki nilai strategis saja yang muncul dalam strategi kampanye secara politik. Data demografi yang akurat yang berbasis demografi di pilkada-pilkada dan terpercaya akan memberikan legitimasi itu dan bagaimana implikasi etisnya terhadap politik yang kuat pada para pemimpin politik kualitas praktik demokrasi di tingkat lokal? yang memenangkan kompetisi politik melalui Terakhir, sejauh mana analisis demografis pemilu.1 ini tetap bermanfaat di tengah-tengan Dari sudut para peserta pemilu, data munculnya faddism baru, yakni analisis post- demografis memiliki nilai strategis lain. demographics? Informasi demografis akan memberikan basis Artikel ini akan mengeksplorasi jawaban pemetaan politik dalam merancang strategi atas sejumlah pertanyaan di atas dengan elektoral untuk memenangi pemilu. Tanpa mendemonstrasikan beberapa hal. Pertama, data komposisi demografi pemilih, partai isu demografis masih menyisakan pekerjaan politik dan para kandidat peserta pemilu rumah bagi Pemerintah Indonesia meskipun akan memboroskan dana karena kesulitan sensus kependudukan telah dilakukan mengidentifikasi target kampanye secara secara reguler dalam siklus sepuluh tahunan. efisien. Tanpa tersedianya data komposisi Kedua, banyak elite lokal memiliki kesadaran demografis pemilih, para peserta pemilu dan kepekaan untuk memanfaatkan data- akan gagal menggali isu-isu permasalahan data demografis dalam merancang strategi sosial yang dihadapi berbagai kelompok elektoralnya. Ketiga, dengan cerdik, sejumlah sosial yang ada dalam masyarakat. Tanpa elite lokal memanfaatkan dan memilih isu-isu data-data tersebut, mustahil bagi mereka berbasis demografi yang memiliki dampak merumuskan isu-isu kebijakan spesifik yang elektoral lebih besar dalam kampanye cocok untuk berbagai kelompok pemilih yang mereka, sedangkan pada saat yang sama akan memberikan suara dalam pilkada. mereka mengabaikan isu-isu demografis Di lapangan, sejauh mana isu-isu yang yang kecil efek elektoralnya atau bahkan berbasis demografi menjadi isu penting dalam mengabaikannya sama sekali. Keempat, pertarungan di politik pemilu Indonesia? mode pemanfaatan isu-isu demografis secara Bagaimana para kandidat dan tim kampanye selektif tidak selalu membawa efek yang di berbagai gelanggang pilkada menggunakan bagus bagi peningkatan kualitas demokrasi data demografis untuk memenangi pilkada? di tingkat lokal, khususnya dalam upaya meluaskan jumlah pemilih rasional di berbagai 1 Permasalahan yang bersumber dari rendahnya wilayah. kualitas DPT yang disediakan KPU atau KPUD sering memunculkan gugatan dari kandidat dan publik. Contoh Sebuah catatan perlu disampaikan di penting muncul pada kasus DPT Pemilu Presiden sini. Artikel ini tidak menyajikan dan menguji 2009 ketika dua pasangan kandidat yang kalah pemilu serangkaian tesis tentang efek faktor mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas demografi terhadap preferensi politik pemilih tuduhan keteledoran KPU dalam menyiapkan DPT. Lihat bagian selanjutnya. dalam pilkada meskipun isu-isu ini tidak

2 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN dapat dihindari dalam diskusi nanti. Artikel Petugas sensus membawa sebuah daftar ini memberikan tinjauan dari lapangan, yakni yang berisi jenis suku di Myanmar yang sebuah upaya untuk memahami cara kerja terdiri atas 135 kelompok suku dan meminta faktor-faktor demografis dari sudut pandang setiap wajib sensus untuk memilih satu para aktor politik dalam gelanggang riil kategori identifikasi keanggotan kesukuan. pilkada. Kemudian pada bagian epilog artikel Daftar ini bermasalah karena tidak melewati ini akan menimbang implikasi teoretis dan etis proses konsultasi dengan suku-suku dari strategi elektoral para kandidat di pilkada minoritas yang totalnya mencapai proporsi terhadap peningkatan atau penurunan 40 persen dan mereka merasa dirugikan kualitas demokrasi di tingkat lokal. (The Economist, http://www.economist. com/news/asia/21599404-ill-considered- headcount-stirs-anger-and-mistrust-too- Politik Demografi much-information). Suku Chin, misalnya, dibelah dalam sejumlah subetnis yang lebih kecil sehingga secara numerik, kelak suku Secara umum, studi demografi sering ini akan lemah ketika melakukan tekanan didefinisikan sebagai studi tentang ukuran, politik karena suku itu menjadi terpecah struktur, dan distribusi populasi di sebuah dalam jumlah yang kecil-kecil. Sementara wilayah serta perubahan-perubahannya yang itu, pertanyaan tentang identitas suku ini disebabkan oleh peristiwa kelahiran dan membawa permasalahannya tersendiri dalam kematian, proses penuaan, dan peristiwa konteks politik etnis di Myanmar. Sejumlah 2 migrasi. Metode yang digunakan untuk warga tidak merasa nyaman untuk membuka melakukan pengukuran dan analisis pun identitas kesukuannya karena takut kelak melibatkan istilah dan kerja teknis yang rumit hak-hak politik mereka akan terpangkas yang dan kompleks. Jika melihat definisi standar disebabkan oleh status mereka yang minoritas tersebut, demografi memberikan sebuah (The Economist, http://www.economist. anasir yang netral dan terkesan teknokratis com/news/asia/21599404-ill-considered- yang jauh dari hingar-bingar politik. headcount-stirs-anger-and-mistrust-too- Gambaran sebaliknya justru tampak much-information). Lebih jauh lagi, bahkan pada ilustrasi kasus Myanmar. Sensus mereka mengkhawatirkan akan diperlakukan kependudukan Myanmar tahun 2014 yang sebagai “orang asing” yang tidak memiliki penyelenggaraannya ditopang UN Population hak suara karena jenis etnisitas mereka tidak Fund dan memakan dana besar sarat dengan berada dalam daftar sensus. Ini terjadi pada bobot politik. Sensus tersebut memperbarui para warga Myanmar keturunan Asia Selatan. data kependudukan Myanmar yang telah Eksklusivitas ini pun dialami oleh kelompok kedaluwarsa sejak sensus terakhir pada 1983. etnis Rohingya yang tinggal di wilayah yang Untuk satu hal, sensus tersebut memperbaiki berdekatan dengan Bangladesh. akurasi jumlah populasi Myanmar. Semula Problem ini bertemu dengan praktik mal- populasi Myanmar diperkirakan dapat apportionment atau praktik penjatahan mencapai 70 juta, tetapi setelah sensus kursi yang diperebutkan untuk memasuki dilakukan, jumlah tersebut terkoreksi menjadi majelis rendah parlemen (lower house) 51,5 juta penduduk saja. Dalam proses melalui pemilu. Penjatahan kursi di majelis pelaksanaan sensus, kontroversi berputar itu didasarkan pada unit township atau unit pada pertanyaan yang berkaitan dengan kota ketimbang unit populasi. Akibatnya, identitas kesukuan para warga. pemilih yang tinggal jauh dari perkotaan 2 Lihat, antara lain, Dudley Poston Jr, Dudley and Leon mengalami proses penghilangan hak suara - Bouvier. 2010. Population and Society: An Introduction mereka tidak dapat menggunakan suaranya. to Demography. New York: Camridge University Press.

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 3 Kuskridho Ambardi

Celakanya, banyak etnis minoritas yang noda-tercecer-di-pemilu-2009). Kalau pasal tinggal di daerah-daerah pinggiran sehingga ini tidak dihapus atau direvisi, maka banyak mereka tidak mendapatkan kursi perwakilan pemilih yang akan kehilangan hak suaranya di majelis rendah parlemen.3 karena waktu perbaikan DPT terlalu pendek. Dalam perbandingan, Indonesia tidaklah Setelah pilpres, Megawati Soekarnoputri memiliki dan mengalami problem seburuk dan Prabowo Subianto mengajukan gugatan Myanmar dalam urusan data demografi. berikutnya ke MK. Isi gugatannya terhadap Hal ini mengingat sensus kependudukan KPU merujuk pada problem kualitas DPT di Indonesia dijalankan secara reguler yang sama, yakni menganggap KPU secara setiap sepuluh tahun. Pemutakhiran data “sengaja atau setidak-tidaknya lalai dalam pemilih yang berbasis populasi dilakukan penyusunan DPT” dan KPU “sengaja atau setiap menjelang pemilu, bahkan proses setidak-tidaknya lalai menindaklanjuti temuan ini dijalankan di tingkat lokal menjelang pasangan calon ataupun masyarakat, bahkan berlangsungnya pilkada. Namun, sejumlah Banwaslu terkait penyusunan DPT.”4 Dua persoalan yang mirip juga bermunculan di poin gugatan ini masih ditambah dengan Indonesia, baik pemilu nasional maupun gugatan lain, yakni KPU dianggap sengaja pemilihan kepala daerah (pilkada). menghilangkan 69 ribu TPS yang berpotensi Tahun 2009 gugatan publik dan peserta pula menghilangkan sekitar 34,5 juta suara pemilu presiden menjadi tajuk berita di pemilih. Dengan itu, pemohon atau pihak media massa untuk waktu yang panjang, penggugat mengimplikasikan bahwa hasil bahkan sebelum dan sesudah pilpres penghitungan suara Pemilu Presiden 2009 diselenggarakan. Inti gugatannya adalah tidak sah. kualitas Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang Untuk gugatan yang pertama, MK disusun oleh Komisi Pemilihan Umum mengabulkan sebagian dengan mengeluarkan menjelang pemilu presiden dianggap begitu putusan bahwa para pemilih dapat dan boleh buruk sehingga banyak pemilih (berpotensi) menggunakan kartu identitas pribadi ketika kehilangan hak suaranya. Lebih spesifik lagi, memberikan suaranya di TPS. Dengan gugatan publik yang dikirimkan ke Mahkamah demikian, para pemilih tidak lagi semata Konstitusi menyoal banyaknya pemilih yang tergantung pada DPT untuk memberikan tercatat dua kali dalam DPT, sedangkan suaranya. Sementara itu, untuk gugatan masih banyak yang tidak tercantum di kedua, MK membuat putusan yang bersisi daftar tersebut. Untuk itu, pihak penggugat ganda. Di satu sisi, MK menyatakan bahwa memohon kepada MK agar membatalkan hasil penghitungan KPU adalah sah, tetapi Pasal 111 (1) UU No. 42/2008 tentang Pemilu pada saat yang sama MK juga menyatakan Presiden yang menyatakan bahwa pemilih perlunya perbaikan DPT dan perbaikan yang berhak mengikuti pemungutan suara regulasi yang menjadi dasar penyusunan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah DPT. (Putusan MK Nomor 108-109/PHPU.B- pemilih yang terdaftar di DPT asli dan/atau VII/2009). Implikasi dari kontroversi DPT dan DPT tambahan (http://www.hukumonline. putusan MK yang menyertainya secara tidak com/berita/baca/lt4b3c5d4990d94/kisruh-dpt- langsung membenarkan adanya problem DPT dan sedikit mengoyak legitimasi hasil Pilpres 3 Lihat,http://foreignaffairsreview.co.uk/2015/11/ democracy-in-myanmar/. Lihat juga sumber domestik di 4 Gugatan terhadap KPU ini tercantum dalam Putusan Myanmar di http://www.irrawaddy.com/election/feature/ MK Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009. Tiga poin in-burma-not-all-votes-are-created-equal. Judul analisis gugatan terhadap KPU ini masih ditambah dengan yang tajam “In Myanmar, Not All Votes Are Created gugatan keempat yang tidak berkaitan dengan data Equal” merefleksikan cacat bawaan data demografis DPT yang berbasis data demografi, yakni soal campur dan pilihan sistem elektoral Myanmar yang sulit diterima tangannya pihak asing (IFES) dalam proses tabulasi untuk sebuah kualitas praktik demokrasi yang standar. nasional penghitungan suara Pemilu Presiden 2009.

4 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN

2009. Kenyataannya, isu perekayasaan dan wilayah yang mengalami ketidakberesan politisasi DPT tetap hidup jauh setelah pemilu DPT di Jawa Tengah, antara lain, adalah usai.5 Kabupaten Boyolali, Semarang, Banyumas, dan Kota Salatiga (http://nasional.kompas. Kedua gugatan tersebut pada com/read/2009/04/01/20572617/puluhan. permukaannya terlihat bersifat teknis dan ribu.dpt.bermasalah.di.jateng.). keputusan yang dihasilkan MK dapat dianggap menyelesaikan masalah. Akan tetapi, ketika Tahun 2014 kasus-kasus yang sama juga berbicara tentang DPT, sesungguhnya yang muncul di tingkat nasional dan lokal sehingga dibahas adalah pemenuhan dan penghilangan KPU menunda pengumuman DPT ke publik hak suara sekaligus. Hanya saja, bungkus (http://www.bbc.com/indonesia/berita_ bahasa hukum dalam gugatan, sidang, dan indonesia/2013/10/131023_kpu_tunda_ putusan MK tidak memberikan informasi penetapan_dpt). yang lebih spesifik untuk sebuah pertanyaan: Belajar dari pengalaman ini, persoalan sejauh mana potensi disenfranchisement lama tentang DPT itu dapat muncul lagi itu memiliki bias pada kelompok demografis pada pilkada yang diselenggarakan secara tertentu? serentak tahun 2013 dan 2017. Jika di tingkat Pertanyaan ini hampir mustahil untuk nasional besaran ketidakberesan DPT dapat dijawab, sebab berbagai pemberitaan media mencapai akumulasi jutaan pemilih, maka di maupun berkas perkara gugatan yang tingkat provinsi besaran itu lazimnya menurun diajukan ke MK tersebut tidak memuat profil dan hanya melibatkan ratusan atau puluhan demografis para pemilih yang tidak terdaftar ribu saja. Demikian juga besaran masalahnya di DPT. Tidak tersedianya data demografis menurun lagi di tingkat kabupaten dan kota yang tersusun secara sistematis tentang yang hanya sampai jumlah ribuan atau bahkan potensi disenfranchisement ini menutup ratusan saja. Namun, dari perspektif yang kemungkinan studi perbandingan problem berbeda, bilangan ribuan, bahkan ratusan Indonesia dengan Myanmar atau negara- dapat menjadi penting dalam proses pilkada, negara lain. Namun, jika melihat luasnya terutama di wilayah-wilayah yang perolehan liputan media massa tentang ketidakberesan suara para kandidat hanya berselisih ribuan penyusunan DPT di tingkat nasional, provinsi, atau ratusan. Selisih suara yang tipis yang kabupaten, dan kota pada pemilu 2009, hanya berkisar ratusan suara ini terjadi, besaran masalahnya terasa sangat luas. misalnya, di Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Kuantan Sengginggi, Kota Binjai, Di tingkat provinsi, misalnya, problem dan Konnawe Utara (http://nasional.kompas. ketidakberesan DPT ini ditemui di lima belas com/read/2015/12/15/17023981/Selisih. provinsi, seperti Sumatera Utara, Banten, Jawa Tipis.Hasil.Pilkada.di.13.Daerah.Berpotensi. Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (https:// Sengketa). koran.tempo.co/konten/2009/06/03/166937/ Daftar-Pemilih-Bermasalah-di-15-Provinsi.). Dengan melihat dua kasus tersebut, yakni Demikian juga kasus-kasus yang sama terjadi kasus gugatan ke MK dan ketidakberesan muncul di tingkat kabupaten/kota di provinsi- DPT di pilkada, nilai akurasi DPT menjadi provinsi tersebut. Sebagai contoh adalah penting dalam dua konteks. Pertama, kecilnya jumlah populasi sebuah wilayah pilkada dan 5 Sebagian kalangan masih meyakini sampai beberapa tahun setelahnya bahwa kemenangan pasangan capres semakin kecilnya jumlah pemilih di wilayah dan cawapres Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono tersebut akan semakin penting pula akurasi dalam Pemilu Presiden 2009 dengan melalui rekayasa dalam menentukan pemenang pilkada. DPT. Lihat misalnya, Pan Mohamad Faiz (2016), “Dimensions of Judicial Activism in the Constitutional Kedua, semakin kompetitif sebuah pilkada Decisions,” https://ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id/ – dengan dua pasangan atau lebih hanya index.php/jk/issue/download/32/62.

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 5 Kuskridho Ambardi memiliki selisih suara sedikit – akan semakin karakteristik demografi itu sama di setiap penting pula tingkat keakurasian DPT. Jamak wilayah dan dianggap memiliki bobot politik bahwa para kandidat dan partai pengusung yang sama bagi para kandidat, khususnya pasangan kandidat kepala daerah selalu ketika dikaitkan dengan tujuan pemenangan mempersoalkan keakurasian DPT.6 pemilu. Sampai di sini terlihat bahwa isu demografi Misalnya, pembedaan lokasi tempat dan DPT tidak hanya penting dalam urusan tinggal desa-kota tidak berlaku untuk Provinsi legitimasi dan penerimaan hasil pemilu, tetapi DKI Jakarta, sebab seluruh wilayah Jakarta isu-isu tersebut juga penting dilihat dari nilai termasuk kategori perkotaan. Di Kota strategis elektoralnya. Pada akhirnya, pilkada Bontang, proporsi penduduk yang tinggal di harus berjalan dan DPT mau tidak mau perdesaan hanya 2,2 persen. Sementara para kandidat di gelanggang pilkada harus itu, untuk sejumlah kabupaten lain, proporsi segera menyiapkan strategi elektoralnya pemilih yang tinggal di perkotaan terlalu untuk memenangi pilkada dengan kualitas sedikit sehingga pengelompokan desa-kota DPT yang ada. Peta dukungan pemilih yang menjadi kurang penting secara elektoral. berbasis analisis demografis harus dilakukan. Strategi pesan kampanye yang khusus dirancang untuk pemilih perkotaan hanya akan menyumbangkan sedikit saja pertambahan Parameter Demografi: suara dukungan. Mana yang Lebih Penting? Hal yang sama juga terjadi pada bobot suara pemilih perempuan. Data sensus Di berbagai literatur standar yang terakhir BPS tahun 2010 menunjukkan menyajikan panduan kampanye, analisis bahwa proporsi laki-laki perempuan di 8 demografis menjadi basis dalam merancang Indonesia mendekati seimbang 50:50. strategi pemenangan pemilu.7 Analisis Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, demografis yang memilah pemilih dalam variasinya sangat minimal. Oleh karena itu, berbagai pengelompokan sosial menjadi basis secara numerik, jumlah 50 persen pemilih penentuan target pemilih dan perumusan perempuan itu dapat mengantarkan seorang pesan kampanye. kandidat kepala daerah untuk memenangkan pilkada. Sebagaimana diketahui, ambang Lazimnya pengelompokan dengan batas pemenangan pilkada dalam satu basis karakteristik demografi didasarkan putaran hanyalah 30 persen, kecuali untuk pada sejumlah kriteria: jenis kelamin, usia, DKI Jakarta yang memiliki threshold 50 suku, agama, tingkat pendidikan, lokasi persen. Persoalannya adalah kandidat tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan tingkat perempuan dan isu-isu perempuan ternyata penghasilan. Sensus BPS mencatat semua tidak menjamin kemenangan dalam pemilu, komposisi demografis di tingkat nasional, baik pemilu presiden maupun pilkada. provinsi, dan kabupaten atau kota. Akan tetapi, dalam konteks pilkada, tidak semua Pemilu Presiden 2004 dan 2009 diikuti oleh kandidat presiden perempuan, yakni 6 Antara lain, contohnya, protes yang dilakukan oleh Megawati Soekarnoputri. Namun, di dua Malkan Amin dalam pilkada 2010 di Kabupaten Barru pilpres tersebut, Megawati dan pasangan yang mempersoalkan keakuratan DPT sejak awal cawapresnya hanya mampu meraih proporsi sebelum pilkada dilakukan (lihat http://www.tribunnews. com/election/2010/06/21/kisruh-dpt-di-samalewa). 8 Secara makro, komposisi laki-perempuan ini tidak 7 Lihat misalnya, Michael Burton and Daniel Shea berubah banyak sejak sensus 2000. Tercatat perubahan (2010, 4th edition), Campaign Craft: The Stretgies, kecil, tetapi perubahan ini dapat diabaikan. Lihat data Tactics, and Art of Political Management. Santa Barbara, BPS dalam Penduduk Indonesia Hasil SP 2010 (BPS, California: Praeger. 2010).

6 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN suara sebesar 26,6 persen dan 26,8 persen dalamnya, beberapa kelompok suku yang saja, yang jauh di bawah proporsi jumlah sebenarnya merupakan penggabungan dari perempuan yang sebesar 50 persen, bahkan beberapa suku dan subsuku. Papua, Maluku, jumlah pemilih perempuan yang memberikan dan Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, suara pada kandidat perempuan jauh lebih merangkum semua kelompok suku atau kecil lagi. Sementara itu, dalam pilkada subsuku di setiap wilayah tersebut. serentak yang diselenggarakan tahun Secara nasional, suku Jawa menyumbang 2015, dari 123 calon kepala daerah atau sebesar sebesar 40,2 persen dari seluruh wakil kepala daerah, terdapat 123 kandidat populasi Indonesia diikuti oleh suku Sunda perempuan. Akan tetapi, hanya 35 calon 15,5 persen, Batak 3,8 persen, dan Madura 3 yang terpilih atau hanya 28 persen saja persen. Meskipun nama suku-suku lain cukup dari jumlah keseluruhan calon (http://www. populer, sesungguhnya secara numerik rappler.com/indonesia/115543-perempuan- jumlah mereka tidaklah besar karena berada menang-di-pilkada-2015). Alasan terpilihnya di bawah ambang 3 persen. Suku-suku yang mereka bukan karena mereka mengusung termasuk di sini adalah Minang, Melayu, isu-isu perempuan dalam kampanye, tetapi Aceh, Bugis, dan Betawi. Di luar suku-suku karena mereka adalah bagian dari dinasti ini, jumlah suku lain secara tersendiri jauh politik atau yang kuat sumber dananya. Pada lebih sedikit lagi. Namun, jika semuanya pilkada serentak 2017, jumlah calon kepala dijumlahkan, berbagai suku selain yang telah daerah atau wakil kepala daerah perempuan disebutkan itu mencapai jumlah cukup besar, hanya mencapai proporsi 7 persen saja. yaitu 27,1 persen dari total populasi. (http://perludem.org/2016/11/30/keterlibatan- perempuan-di-pilkada-menurun/). Gambaran komposisi suku di tingkat nasional tidaklah paralel dengan komposisi Dengan demikian, meskipun secara di tingkat lokal. Di tingkat lokal, suku Jawa etis, kampanye afirmasi terhadap kandidat hanya dominan di dua provinsi: Jawa Tengah perempuan dilakukan, kenyataan keras di dan Jawa Timur. Di DKI Jakarta, suku Jawa lapangan tidak memberi bukti kokoh bahwa tidaklah dominan, tetapi Jawa adalah suku kandidat perempuan dan isu-isu perempuan yang jumlahnya paling besar, yakni 36,2 dapat mendongkrak dukungan elektoral. Dari persen, dan jumlah itu melampaui suku Betawi berbagai kriteria pengelompokan demografis, yang berada di urutan kedua dengan proporsi dalam kasus-kasus pilkada, tampaknya 28,4 persen. Di provinsi-provinsi lainnya, suku kriteria status suku, kedaerahan, agama, dan Jawa adalah minoritas yang secara elektoral migran/transmigran jauh lebih memiliki nilai tidak penting. strategis secara elektoral – setidaknya di mata para elite politik nasional, terlebih lagi elite Nilai strategis suku dan isu kesukuan politik lokal. Berikut adalah penjelasannya dalam politik elektoral dapat muncul dalam satu per satu. tiga situasi. Pertama, hanya jika ketika komposisi kesukuan di sebuah unit atau Suku. Populasi Indonesia tersusun dari wilayah elektoral bersifat heterogen. Kedua, banyak suku, tetapi komposisi sukunya secara numerik, ukuran populasi suku di tidaklah seimbang. Sensus Indonesia luar suku mayoritas cukup besar. Ketiga, tahun 2010 mencatat 31 kategori suku jika kompetisi pilkada berlangsung ketat, atau etnis yang ada di Indonesia9 dan ini yakni ketika selisih suara dukungan antara adalah pengelompokan yang besar saja. Di sensus baru, BPS melakukan pengelompokan lagi 9 “Kewarganegaraan, Bangsa, Agama, dan Bahasa sehingga keluar profil suku yang jumlahnya lebih kecil. Sehari-hari Penduduk Indonesia” (BPS, 2011). Sebenarnya masih terbuka bagi para peneliti untuk Dalam kerjanya mengoleksi data, para surveyor BPS membuat pengelompokkan yang dimungkinkan oleh sesungguhnya memegang kode 1.331 kategori suku, BPS. Lihat di https://www.bps.go.id/KegiatanLain/view/ subsuku, dan sub-subsuku di Indonesia. Setelah id/127. Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 7 Kuskridho Ambardi pasangan kandidat yang bersaing tidak menyempit dan tersisa 24 persen. Kompetisi terlalu besar, terutama antara pasangan yang di antara kedua pasangan ini semakin ketat mendapat dukungan suara terbanyak dengan sebagaimana terekam dalam survei Januari pesaing terdekatnya. Contoh penting yang 2010 ketika jarak dukungan elektoral mereka disebutkan di sini adalah Provinsi Kalimantan tinggal satu digit, yaitu 7 persen. Rangkaian Selatan (Kalsel) yang merupakan contoh survei ini memberikan informasi bahwa tren kasus yang mendemonstrasikan bekerjanya dukungan pada pasangan Rudy Arifin–Rudy faktor kesukuan pada pilkada 2010. Resnawan terus menurun, sedangkan tren dukungan suara untuk pasangan Zairullah– Populasi Kalsel relatif heterogen jika Aboe Bakar Al-habsyi terus meningkat. komposisi populasi dilihat dari segi suku Jika rerata kenaikan dukungan pasangan yang berdiam di sana. Jumlah mayoritas penantang setiap bulan adalah 9 persen, tetap dipegang suku Banjar yang proporsinya maka dalam rentang lima bulan menuju hari-H mencapai 76 persen kemudian suku Jawa pilkada dapat diperkirakan bahwa pasangan berada di urutan kedua dengan proporsi 13 penantang ini akan memenangi Pilkada persen dan Bugis 2,5 persen, sedangkan Kalsel 2010. Informasi tentang penurunan dan sisanya adalah berbagai suku lain yang kenaikan ini telah beredar di kalangan elite kecil secara numerik. Kasus pilkada Kalsel politik Kalsel saat itu. Dalam situasi seperti memenuhi kriteria pertama yang telah ini, opsi strategis apa saja yang tersedia bagi disebutkan di atas. Ada derajat heterogenitas pasangan inkumben dalam upaya memenangi suku, yaitu proporsi Jawa cukup memiliki pemilu: mengangkat isu agama, isu etnis, harga elektoral, begitu juga dengan Bugis atau isu migran dan migrasi dalam kampanye meskipun dengan harga elektoral yang demi mendongkrak dukungan? minimal. Namun, isu kesukuan tidak muncul pada lima bulan sebelum hari-H pemilihan. Opsi isu agama relatif sulit dimainkan oleh pasangan inkumben karena semua pasangan Sembilan bulan sebelum pilkada kandidat beragama sama, yakni Islam, agama berlangsung, calon atau pasangan inkumben yang dipeluk oleh mayoritas pemilih. Salah jauh mengungguli dibandingkan dengan satu pasangan penantang, bahkan terlihat empat pasangan penantang. Gubernur memiliki kredensial Islam yang lebih tebal. inkumben adalah Rudy Arifin yang Zairullah berasal dari Bugis dan Aboe Bakar berpasangan dengan Rudy Resnawan. Al-Habsyi adalah keturunan Arab dengan Sementara itu, penantangnya adalah Zairullah afiliasi ke Parai Keadilan Sejahtera (PKS). Azhar-Aboe Bakar Al-Habsyi, Rosehan NB– Dengan latar belakang penantang seperti ini, Saiful Rasyid, Sjachrani Mataja–Gusti Farid pemanfaatan isu agama justru dapat menjadi Hasan Aman, serta Khairil Wahyuni–Alwi bumerang secara elektoral bagi pasangan Syahlan. Sejak awal terlihat bahwa salah satu inkumben. Oleh karena itu, pilihan strategi penantang adalah pasangan Zairullah–Aboe elektoral Rudy Arifin dan Rudy Resnawan Bakar Al-Habsyi. Jarak jumlah dukungan hanyalah memanfaatkan dua opsi sisanya, dua pasangan ini pada Agustus 2009 atau yakni isu etnis atau isu migran, atau kombinasi delapan bulan menjelang hari-H pilkada keduanya. lebih dari 30 persen.10 Pada survei Oktober 2009, jarak dukungan elektoral keduanya Memasuki Januari 2010, pasangan inkumben telah memilih opsinya. Rudy Arifin 10 Data survei ini diambil dari laporan lima rangkaian survei yang dijalankan oleh Lembaga Survei dan Rudy Resnawan adalah suku Banjar asli, Indonesia sejak Agustus 2009 sampai dengan April sedangkan pasangan penantangnya jelas 2010. Catatannya adalah pada survei Agustus 2009, bukan asli Banjar. Zairullah adalah orang penantang terkuat sesungguhnya adalah pasangan Rosehan NB dan Saiful Rasyid. Akan tetapi, pada survei- Bugis, sedangkan Aboe Bakar Al-Habsyi survei setelahnya, pasangan ini semakin tertinggal adalah keturunan Arab. Bagaimana pasangan dalam jajak pendapat di tingkat pemilih. 8 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN inkumben memanfaatkan perbedaan suku pasangan penantang terus naik. Jarak ini? Kemudian mereka mengangkat isu elektoral yang lebar di antara kedua pasangan etnis dan mulai menyebarkan slogan dalam tersebut menyempit hanya 7 persen saat itu. kampanye bertema etnis: Asli Banua dan Asli Namun, setelah Januari dan setelah slogan Urang Banua, yang berarti asli suku Banjar. Asli Banua merambah publik pemilih, jarak elektoral keduanya melebar lagi dan tren yang Seberapa efektif mobilisasi elektoral berkebalikan berlangsung sampai pada hari-H berbasis etnis ini? Seorang surveyor dari pilkada. Pendeknya, isu etnisitas ternyata Jaringan Suara Indonesia (JSI) dan Rizal berperan besar dalam kasus Pilkada Kalsel. Mallarangeng dari Fox Indonesia selaku Oleh karena itu, bukan hal yang mustahil konsultan politik mengatakan bahwa jika di beberapa pilkada lain, isu etnis juga kampanye berisu etnis itulah yang menjadi memiliki efek yang sama. Berikut ini adalah modal pemulihan dukungan politik pemilih peran isu demografis lainnya dalam pilkada. terhadap pasangan inkumben dan kunci pemenangan pilkada.11 AR Ansyari, Direktur Putra Daerah. Ini adalah salah satu isu Eksekutif Lembaga Kajian Pembangunan yang kerap muncul dalam gelanggang pilkada. Banua (LKPB), secara retrospektif Dalam derajat tertentu, istilah ini merujuk pada mengevaluasi, “Kita tahu dahulu Rudy Arifin etnisitas. Namun, isu putra daerah masih bisa mengalahkan Zairullah Azhar karena dapat dibedakan dengan etnisitas ketika yang mendorong isu asli Urang Banua (asli dari dibicarakan adalah penyelenggaraan sebuah Kalsel). Zairullah Azhar yang asli pilkada di wilayah yang berkarakter multietnis: bersama pasangannnya, Habib Aboebakar sebagian adalah suku asli dan sebagian Alhabsyi dari Jakarta, kalah telak.” (http:// lainnya adalah suku pendatang. Isu putra politik.rmol.co/read/2015/07/19/210463/ daerah dapat melampaui sekat kelompok Pengusaha-Tambang-Versus-Urang- etnis lokal yang asli dan mampu menyatukan Banua-). Hasil pilkada gubernur tersebut etnis-etnis asli yang lokal. Akan tetapi, pada diumumkan pada Juni 2010. Pasangan saat yang sama isu ini membelah populasi inkumben Rudy Arifin dan Rudy Resnawan pemilih ke dalam kubu etnis-etnis lokal dan mendapatkan 46,8 persen suara, sedangkan pendatang. Mobilisasi pemilih melalui isu pasangan Zairullah dan Aboe Bakar Al- putra daerah ini memuat kontroversi. Habsyi sebagai pesaing terdekatnya meraih Secara formal, undang-undang tentang 22,7 persen suara. Sisa suara terbagi untuk pemilu dan undang-undang tentang otonomi tiga pasangan lainnya. daerah tidak memberikan basis normatif Titik balik redistribusi dukungan suara yang memberikan keistimewaan bagi putra terjadi menjelang Januari 2010 setelah daerah untuk menjadi kepala daerah. Hal ini pasangan inkumben memobilisasi isu etnis juga dinyatakan oleh mantan Ketua Pansus melalui slogan dan kampanye politik mereka. RUU Pemilu DPR RI, Ferry Mursyidan Melalui rekaman data survei, terlihat jelas Baldan: “Tidak ada satu pun norma yang bahwa sebelum Januari 2010 dukungan mengatur hanya putra daerah yang boleh suara terhadap pasangan inkumben terus mencalonkan diri sebagai kepala daerah.” menurun, sedangkan dukungan suara pada (http://www.antaranews.com/berita/177697/ isu-putra-daerah-dalam-pilkada-koyak- 11 Lihat, http://www.antarakalsel.com/berita/88/asli- kebangsaan). Di waktu yang sama, saat urang-banua-dongkrak-suara. Surveyor dari Jaringan Suara Indonesia (JSI) dalam berita tersebut dikesankan memberikan penjelasan itu pada wartawan, sebagai surveyor yang merangkap sebagai konsultan politikus Golkar yang kemudian berpindah politik salah satu pasangan calon. Sementara itu, ke Nasdem tersebut melanjutkan bahwa “[p] pendapat dari Rizal Mallarangeng dinyatakannya dalam diskusi informal dengan penulis pada September 2010 engaturan tentang norma yang kemudian ketika menceritakan pengalamannya sebagai konsultan diartikan keliru sebagai “Putra Daerah” politik pasangan penantang dalam pilkada tersebut. Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 9 Kuskridho Ambardi sebenarnya dalam konteks affirmative Dengan sekitar 538 pilkada di seluruh policy’.” (http://www.hukumonline.com/klinik/ Indonesia yang mencakup pilkada provinsi, detail/lt4f7b13d0c46aa/apakah-calon-kepala- kabupaten, dan kota, kemunculan isu putra daerah-harus-putra-asli-daerah-pemilihan-) daerah pastilah akan bervariasi. Di provinsi baru Kalimantan Utara (Kaltara), misalnya, Konteks politik di sini adalah ketika undang- sekitar separuh pemilih mengatakan bahwa undang sedang dirumuskan. Ketika undang- mereka menginginkan putra daerah yang undang tentang pemilu didiskusikan, tuntutan menjadi gubernur.12 Dengan kata lain, satu dari keadilan disuarakan dari berbagai daerah yang dua pemilih Kaltara menganggap bahwa isu merasa kecilnya kesempatan politik mereka putra daerah adalah isu penting. Sementara untuk menjadi kepala daerah. Sepanjang itu, dalam derajat yang lebih rendah, di era Orde Baru banyak kepala daerah yang Kabupaten Malinau dan Bontang, isu putra ditunjuk dari Jakarta dan calon yang ditunjuk daerah juga menjadi alasan sebagian pemilih umumnya bukan berasal dari daerah yang memberikan suaranya kepada kandidat yang bersangkutan. Jika pun ada mekanisme asli warga di wilayah tersebut.13 pemilihan di level DPRD, sesungguhnya paket kepala daerah dan wakilnya telah lebih Di Lampung, isu putra daerah jelas dulu ditentukan, sedangkan proses pemilihan dianggap penting, setidaknya di tingkat elite. di DPRD hanyalah bersifat seremonial belaka. Pakem politik yang berkembang di sana Dalam konteks ini, sebagaimana dinyatakan adalah pakem memasangkan calon dengan oleh Ferry Mursyidan Baldan, isu putra daerah latar belakang pendatang dengan putra bermakna terbukanya kesempatan setara daerah.14 Demografi etnis di Lampung yang bagi putra daerah untuk menjadi kepala berpenduduk 7,6 juta jiwa terdiri atas tiga daerah. Dengan kata lain, basis penentuannya suku besar: Jawa 61 persen, penduduk asli bukan berdasarkan pada loyalitas politik atau 25 persen, dan Sunda 11 persen. Sisanya asal/suku daerah, tetapi atas dasar kualitas terbagi dalam berbagai suku lainnya. Dalam dan prestasi sama atau lebih baik. Dengan percakapan populer, dominasi Jawa membuat penyetaraan peluang politik itu, para putra Lampung sering dijuluki sebagai “Jawa daerah memiliki kesempatan yang sama Utara”. Komposisi seperti itu pada gilirannya dengan kandidat yang nonputra daerah. membangkitkan sentimen kedaerahan di kalangan warga asli. Namun, di lapangan konteks normatif tersebut tidak otomatis berjalan serta menjadi Sentimen kedaerahan mulai merebak di pedoman perilaku elite dan pemilih di kalangan warga Lampung sejak era otonomi gelanggang pilkada. Oleh karena itu, isu putra daerah, yaitu ketika sejumlah tokoh asli daerah di pemilu lokal dapat memiliki empat daerah, seperti Sjachrudin ZP dan Dianis kemungkinan berikut. (1) Isu putra daerah Thabrani, mulai tampil dalam gelanggang dianggap penting oleh elite politik lokal dan 12 publik pemilih. (2) Isu ini dianggap penting Survei Indikator Politik Indonesia, Mei 2015 untuk Provinsi Kaltara. oleh elite, tetapi tidak dianggap penting oleh pemilih. (3) Sebaliknya, elite tidak 13 Survei Indikator Politik Indonesia, Mei 2015 untuk menganggapnya penting, sedangkan publik Kabupaten Malinau dan Bontang. menganggapnya penting. (4) Keduanya, 14 Pemilu kepala daerah (pilkada) 30 Juni 2010 baik elite maupun publik, tidak menganggap yang berlangsung serentak di lima kabupaten/kota isu putra daerah sebagai isu penting dalam di Lampung banyak memakai pakem kombinasi Jawa-Lampung. Ini terjadi di Bandarlampung, pilkada. Lampung Timur, Metro, Lampung Selatan, dan Pesawaran. Lihat di http://bisniskeuangan.kompas. com/read/2010/10/29/03123960/putra.daerah.dan. aristokrasi.politik

10 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN politik lokal Lampung. Sjachroedin ZP yang pencalonan diri seperti yang terjadi di menjabat sebagai Gubernur Lampung tahun Kabupaten Pringsewu (http://harianlampung. 2004–2008 membuat sejumlah langkah com/index.php?k=politik&i=20151-golkar- “pribumisasi”. Nama bangunan dan ruang- usung-tiga-petahana-pada-pilkada-2017). Hal ruang kantor dinas yang semula bernuansa yang sama juga terjadi untuk calon-calon di Jawa diubah dan diganti menjadi nama-nama Kabupaten Tubabar (https://www.harianfokus. Lampung. Pendapa gubernuran, misalnya, com/2016/05/08/pkb-target-wakil-di-pilkada- sejak saat itu disebut dengan mahan tubabar/), Lampung Barat (http://www. agung (http://bisniskeuangan.kompas.com/ haluanlampung.com/index.php/politik/10507- read/2010/10/29/03123960/putra.daerah. parosil-mabsus-serahkan-berkas), Lambar dan.aristokrasi.politik). Saat itu gubernur (http://www.jpnn.com/news/kakak-andi-arief- belum dipilih langsung, tetapi dipilih melalui siap-maju), dan kabupaten/kota lainnya. DPRD dan saat itu citra Sjachroedin yang Sejumlah ilustrasi ini tidak secara langsung mantan perwira polisi telah dikenal sebagai memberikan bukti dan gambaran perilaku seorang putra daerah.15 Dengan demikian, pemilih. Namun, dapat ditafsirkan bahwa terpilihnya Sjachroedin ZP tahun 2004 hanya penonjolan atribut putra daerah oleh elite dapat membuka perilaku elite DPRD, bukan politik mengimplikasikan sebagian pemilih perilaku pemilih. Baru pada 2009 putra juga menganggap faktor kedaerahan tersebut daerah ini terpilih kembali melalui pemilihan sebagai hal penting. Yang pasti, di tingkat langsung gubernur. Pertanyaannya adalah elite lokal, isu kedaerahan atau putra daerah sejauh mana isu putra daerah ini penting bagi menjadi faktor penting dalam berstrategi pemilih Lampung? mencari kombinasi pasangan kepala daerah Beberapa ilustrasi kualitatif memberikan dan wakil kepala daerah yang cocok, yaitu informasi bahwa isu putra daerah ini penting salah satunya haruslah putra daerah. bagi warga asli Lampung. Pertama, kalau Agama. Selain isu etnis dan kedaerahan, pasangan kombinasi sebagai pakem politik isu agama adalah isu demografis yang juga lokal di Lampung itu dapat dijadikan indikasi, sering menjadi faktor penting dalam berbagai dalam derajat tertentu dapat ditafsirkan bahwa pilkada. Akan tetapi, komposisi demografi pembelahan dan penonjolan isu putra daerah penduduk Indonesia berdasarkan pemelukan memiliki resonansi di tingkat pemilih, baik di agama ini perlu dicermati dengan seksama. tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/ kota, pada pemilu serentak di enam Proporsi pemeluk agama Islam di Indonesia, kabupaten/kota tahun 2010. Kedua, isu putra menurut Sensus BPS 2010, mencapai 87,3 daerah ini masih bertahan sampai sekarang persen, sedangkan gabungan antara pemeluk ketika gelombang pemilu serentak tahun 2017 agama Kristen Protestan dan Katolik sebesar juga akan berlangsung di kabupaten/kota 9,8 persen. Selebihnya, gabungan pemeluk di wilayah Provinsi Lampung. Partai politik agama Budha, Hindu, dan Konfusianisme pengusung kandidat, selain memperhitungkan hanya sebesar 3 persen. Dengan melihat peluang kandidat yang diajukannya, mereka komposisi populasi yang bermayoritas Islam juga menimbang atribut putra daerah tersebut, isu agama mestinya bukanlah isu sebagai kriteria pemberian dukungan atau penting secara elektoral setidaknya di tingkat nasional. Karena pemilu adalah soal jumlah, 15 Ketika bursa menteri sedang ramai di media setelah dan Jusuf Kalla memenangi maka jumlah pemeluk agama terbesar Pemilu Presiden 2014, bahkan Sjachroedin akan selalu memenangkan pemilu. Namun, disorongkan Seknas Jokowi-JK Lampung sebagai telah menjadi pengetahuan umum bahwa salah seorang calon menteri dengan emblem putra kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks. daerah. Lihat, http://bisniskeuangan.kompas.com/ read/2010/10/29/03123960/putra.daerah.dan. aristokrasi.politik

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 11 Kuskridho Ambardi

Clifford Geertz (1976) adalah seorang dan majelis-majelis taklim di kalangan kelas antropologis yang sejak awal melihat nuansa menengah.18 Sementara itu, konservatisme perbedaan di antara pemeluk agama Islam yang memuat kekerasan adalah, seperti di sebuah kota kecil di Jawa Timur: Mojokuto ekspresi dalam bentuk penyegelan gereja, (Pare). Secara formal, mereka adalah muslim, pembubaran diskusi-diskusi yang bertema tetapi Geertz membedakan mereka menjadi kiri, bahkan sampai pada peledakan bom yang menjalankan rukun Islam (santri) terorisme. Di banyak provinsi atau kabupaten/ dan yang tidak menjalankannya (abangan kota, syariah diadopsi menjadi peraturan atau priayi). Sejumlah ahli politik kemudian daerah sebagai basis kebijakan dan tindakan memakai kategorisasi kelompok keagamaan aparat pemerintahan lokal. Pertanyaannya ini untuk memprediksi perilaku dan preferensi adalah sejauh mana perubahan di tingkat politik para muslim ini.16 individu dan sosial ini diterjemahan di wilayah politik? Dirumuskan secara berbeda, Untuk masa sekarang, kategorisasi sejauh mana isu dan tren konservatisme muslim sebagaimana dilakukan Geerzt perlu ini dimobilisasi oleh para elite lokal dalam dimodifikasi. Basis idenya sama bahwa muslim pilkada dan sejauh mana pula konservatisme bukanlah sebuah kelompok homogen, tetapi ini membentuk pilihan politik pemilih? ekspresi dan implikasinya terhadap preferensi politik mereka yang perlu dimodifikasi. Isu-isu Pengadopsian perda syariah adalah tentang Islam transnasional, terorisme, dan sebuah cerminan konservatisme dalam pendidikan terpadu belum muncul saat Geertz keberagamaan meskipun konservatisme mempublikasikan hasil studinya. Namun, kini agama tidak secara otomatis akan isu-isu itu membelah muslim dalam sejumlah diterjemahkan ke dunia politik. Dapat saja kubu. Demikian juga ekspresi-ekspresi politik terjadi, konservatisme dalam arti kesalehan dan preferensi politik mereka. meningkat memang membentuk pilihan politik. Namun, dapat juga terjadi bahwa Sejumlah media merekam yang disebut konservatisme itu hanya terekspresikan di sebagai conservative turn atau titik belok ruang pribadi atau sosial, tidak membentuk konservatisme di kalangan Muslim di pilihan politik. Dengan kata lain, sikap Indonesia.17 Konservatisme ini mengambil individual dan sikap sosial pemilih berkarakter bentuk yang bervariasi mulai dari yang lunak konservatif, tetapi sikap politiknya tetap sampai dengan ekspresi yang memuat sekuler. Contoh menarik yang dapat kekerasan. Contoh konservatisme lunak ditampilkan di sini adalah kasus Pilkada adalah ekspresi perubahan cara berpakaian Jakarta 2012. yang ditandai dengan merebaknya pemakaian jilbab dan baju koko, pendirian sekolah-sekolah Pada putaran pertama, semua isu muncul Islam terpadu, serta ramainya pengajian secara serentak, mulai dari isu kebijakan dan kinerja inkumben dalam menangani berbagai 16 Lihat, antara lain, Afan Gaffar (1992), Javanese permasalahan sosial ekonomi Jakarta, isu Voters: A Study of Election Under a Hegemonic Party System, : Gadjah Mada University Press etnis, dan agama. Isu agama berkembang dan Dwight King (2003), Half-hearted Reform: Electoral menjadi isu prominen di putaran kedua yang Institutions and the Struggle for Democracy in Indonesia. mempertandingkan dua pasangan teratas: Westport, CT: Praeger. Foke-Nara ( dan Nachrowi Ramli) 17 Lihat, misalnya, di Rappler http://www.rappler.com/ dan Jokowi-Ahok (Joko Widodo dan Basuki world/regions/asia-pacific/indonesia/english/155485- Tjahaja Purnama). conservatives-muslims-ahok-opinion atau The Wall Street Journal http://www.wsj.com/articles/hard-line- 18 Sebuah gambaran riil di lapangan yang mencerminkan strain-of-islam-gains-ground-in-worlds-largest-muslim- meningkatnya konservatisme di kalangan elite dapat country-1478248172 dan The Jakarta Post, http:// dibaca pada artikel penelitian yang ditulis oleh Colm www.thejakartapost.com/news/2015/11/05/rising- Fox dan Jeremy Menchik, yang dipresentasikan pada conservatism-asia.html. pertemuan tahunan APSA 2011. 12 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN

Dalam kampanye, sejumlah selebritas dan politik pemilih. Bersama dengan faktor-faktor tokoh masyarakat mengangkat isu agama lainnya, agama membentuk preferensi politik untuk membantu peningkatan elektabilitas pemilih. Pertanyaan yang secara teknis dan pasangan Foke-Nara. Rhoma Irama, misalnya, strategis lebih relevan adalah seberapa menyuarakan potongan ayat kitab suci yang besar kontribusi faktor itu menentukan melarang pemilih memilih pemimpin kafir proses pemberian suara pemilih kepada pada awal Agustus 2012 (http://fokus.news. para kandidat di pilkada dan seberapa besar viva.co.id/news/read/343144-pertarungan- variasi yang dapat dijelaskan oleh sebuah pilkada-dki-putaran-ii-memanas). Jelas model statistik regresi ketika variabel agama kampanye ini dialamatkan ke pasangan dimasukkan di dalamnya. Jokowi-Ahok karena Ahok bukanlah seorang Akan tetapi, di luar isu teknis uji statistik, muslim. Seruan yang sama dilakukan oleh secara intuitif dapat diidentifikasikan peran Habib Abdurrahman Al Habsyi untuk jemaat faktor dan isu agama dalam Pilkada Jakarta. majelis taklim di Islamic Center Kwitang, Sampai hari ini pun, bahkan dalam Pilkada Jakarta Pusat pada 13 Agustus 2012 (http:// Jakarta tahun 2017, isu yang sama muncul www.beritasatu.com/megapolitan/65942- lagi dengan desakan yang jauh lebih kuat. lagi-isu-sara-diangkat-supaya-dukung-foke. Tuduhan bahwa Basuki Tjahaja Purnama, html). Yang menjadi masalahnya adalah sang petahana yang berlaga kembali pada kedua tokoh ini, menurut Tim Advokasi Foke- Pilkada Jakarta kali ini, melakukan penistaan Nara, bukanlah bagian dari tim kampanye agama dalam kunjungan dan pertemuannya resmi pasangan tersebut (http://fokus.news. dengan warga Kepulauan Seribu telah viva.co.id/news/read/343144-pertarungan- menyulut demonstrasi besar-besaran di pilkada-dki-putaran-ii-memanas). Namun, Jakarta pada 4 November dan 2 Desember dalam kampanye putaran kedua di Kuningan 2016. Efek faktor dan isu agama ini direkam Barat, Fauzi Bowo juga memanfaatkan isu dengan baik dalam survei opini publik yang agama untuk memobilisasi pemilih agar dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia mendongkrak suara di putara kedua pilkada sepanjang tahun 2016. Jika pada paruh awal (http://www.antaranews.com/berita/333023/ 2016 dukungan publik terhadap petahana foke-kampanye-di-kuningan-barat). Sampai sangat tinggi karena alasan kinerjanya yang di sini jelas bahwa isu agama diaktivasi oleh bagus, dukungan itu secara drastis melorot elite pada Pilkada Jakarta 2012. Sejauh mana pada akhir tahun. Salah satu alasan yang aktivasi isu agama ini membawa efek pada disebut pemilih dalam memberikan suaranya pilihan politik pemilih di Jakarta? adalah alasan agama.20 Dari analisis data survei yang dikerjakan Sampai di sini kasus Pilkada Jakarta oleh Lembaga Survei Indonesia (bekerja membuktikan bahwa faktor agama adalah sama dengan majalah Tempo), efek faktor penting dalam pilkada. Letak penting kampanye berbasis agama terhadap pilihan faktor ini berada di dua level, yakni level politik pemilih adalah signifikan.19 Dalam elite dan level pemilih. Elite dapat memilih dunia sosial riil yang jauh lebih kompleks, untuk mengaktivasi isu-sisu agama dalam efek agama atas pilihan politik pemilih pilkada atau membiarkannya dormant atau tentunya tidak bekerja sendirian sebagai terpendam. Demikian juga pemilih dapat faktor tunggal untuk memformat pilihan merespons aktivasi tersebut dengan dua cara, 19 Faktor lain yang diukur dan dimasukkan dalam yaitu merespons aktivasi isu agama sebagai analisis multivariat LSI adalah kinerja petahana, dasar untuk memilih atau membiarkan persepsi pemilih terhadap kondisi ekonomi, etnisitas, saja proses aktivasi itu dan memilih secara tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, jenis kelamin dan usia (Laporan Survei DKI Jakarta, LSI-Tempo, 20 Rilis survei LSI “Likeability is Electability?” Laporan September 2012). Survei 3-11 Desember 2016.

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 13 Kuskridho Ambardi mandiri. Variasi kemungkinan ini dapat terjadi sejumlah kasus pilkada yang di dalamnya di berbagai pilkada. kelompok transmigran dan isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan transmigran Transmigrasi dan transmigran. Ini adalah menjadi isu penting dalam pilkada. pengelompokan demografis lain lagi yang dapat menjadi faktor penting dalam pilkada. Sebuah pernyataan yang dikeluarkan Faktor ini dengan sendirinya hanya akan tahun 2012 oleh Menteri Tenaga Kerja dan muncul dan berdampak di wilayah-wilayah Transmigrasi saat itu, Muhaimin Iskandar, yang terdapat transmigran dalam jumlah berisi imbauan agar para kandidat yang yang cukup signifikan. Di wilayah-wilayah bertarung dalam pilkada tidak membawa yang tidak terkena atau tidak menjadi daerah isu transmigrasi dan transmigran dalam tujuan transmigrasi, isu ini sama sekali tidak kampanye mereka (http://www.republika. relevan dalam pembicaraan tentang strategi co.id/berita/nasional/politik/12/11/26/me3hcn- elektoral di pilkada. politik-pilkada-jangan-dibawa-ke-kawasan- transmigrasi). Pernyataan ini merefleksikan Data tentang program transmigrasi yang besaran transmigrasi (dari segi jumlah dan dikeluarkan tahun 2015 oleh BPS yang keluasan cakupan wilayah), sebab sang memberikan sedikit gambaran tentang menteri memerlukan diri untuk membuat persebarannya. Pada 2013 dari 25 provinsi sebuah pernyataan. Namun, sebagaimana yang menjadi tujuan transmigrasi, hanya terjadi pada isu kesukuan dan agama, para 7 provinsi yang tidak menjadi daerah kandidat yang bertarung di gelanggang penempatan, yakni Sumatera Utara, pilkada memiliki pertimbangan sendiri. Sejauh Sumatera Barat, Riau, Jambi, Lampung, perhitungan mereka, isu transmigrasi dapat Bangka-Belitung, dan Kalimantan Selatan. memberikan tambahan dukungan elektoral, Dalam hitungan jumlah kartu keluarga (KK), bahkan mungkin menentukan sehingga Provinsi Sulawesi Utara dan Maluku Utara peran transmigran dan isu transmigrasi ini menerima jumlah yang paling sedikit, yakni menyelinap dalam beberapa format. 10 KK. Sementara itu, penerima transmigran paling banyak adalah Kalimantan Utara (449 Di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, para KK). transmigran memiliki organisasi PATRI (Perhimpunan Anak Transmigran Republik Untuk jumlah transmigran yang terbesar Indonesia) yang cukup aktif. Tahun 2015 pun, angka itu tidak penting secara elektoral, organisasi ini sempat akan mencalonkan ketua tetapi angka itu hanyalah untuk satu tahun. organisasinya untuk maju dalam kandidasi Kenyataannya, program transmigrasi telah bupati di sana. Berdasarkan perkiraan berlangsung sejak zaman kolonial dan mereka, proporsi warga transmigran di Rokan berlanjut sampai sekarang. Sebagaimana Hulu mencapai 67 persen. Namun, sang contoh Provinsi Lampung, sekitar 60 persen ketua batal mencalonkan diri dan memilih warga Lampung adalah warga keturunan untuk menyalurkan kepentingan kolektif para Jawa yang merupakan sumber transmigran transmigran kepada kandidat bupati yang terbesar. Dari 60 persen ini, sebagian besar akan berlaga (http://riaumandiri.co/mobile/ mereka adalah para transmigran yang detailberita/15858/warga-eks-transmigrasi- didatangkan melalui program pemerintah. diperhatikan.html). Model pencalonan diri Jumlah transmigran yang besar ini pasti atau kanalisisasi kepentingan kelompok memiliki efek pada politik pilkada. Variasi transmigran melalui kandidat lain di pilkada- jumlah transmigran ini memerlukan pilkada juga terjadi di daerah-daerah lainnya. pengolahan tersendiri sebelum peran Warga Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, transmigran dalam politik pilkada dilihat. Akan juga menggunakan kedua cara ini. Bupati tetapi, artikel ini membatasi diri hanya pada petahana, Mathius Awaitouw, mengambil

14 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN pasangan yang berlatar belakang transmigran, target pemilih, bahkan untuk calon yang Giri Wijayantoro. Sementara itu, sejumlah memiliki sumber daya finansial besar. Kedua, warga transmigran di Distrik Namblong dan arti penting pemetaan politik berkaitan dengan Distrik Nimbokrang (dua distrik di Kabupaten isi dan format pesan kampanye yang hendak Jayapura) menyampaikan keluhan secara disampaikan ke publik pemilih. Percuma publik tentang kesulitan mereka menggarap belaka jika tim kampanye merancang dan lahan pertanian karena tanah mereka diblok membuat sebuah pesan kampanye tanpa warga asli yang mengklaim tanah garapan mengetahui target pemilihnya. Pendeknya, transmigran sebagai tanah ulayat (http://news. pemetaan dan pengelompokan demografis okezone.com/read/2016/10/25/340/1523611/ bersifat wajib dalam setiap perumusan transmigran-minta-paslon-peserta-pilkada- strategi pemenangan elektoral bagi kandidat kabupaten-jayapura-tak-umbar-janji). Oleh di pilkada. Sebelumnya akan dilihat tautan karena itu, mereka ingin para kandidat antara faktor-faktor demografis dengan bupati yang berlaga di Pilkada Kabupaten pilihan politik. Jayapura tidak hanya mengumbar janji, tetapi Kampanye adalah dasar yang menangani persoalan warga transmigran menghubungkan faktor demografis dengan dengan kebijakan. Pendeknya, isu-isu pilihan politik. Akan tetapi, model tautan identitas dan kebijakan yang menyangkut melalui kampanye ini terbagi dalam dua jenis: kepentingan transmigran kerap muncul di tautan programatik atau tautan substantif yang berbagai pilkada. berbasis isu kebijakan dan tautan primordial Dengan melihat sejumlah kasus ilustratif atau simbolis yang berbasis kesamaan atribut ini, maka pembelahan demografis antara demografis. Kasus terakhir yang menyajikan warga pendatang (transmigrasi dan/atau pembelahan dan pengelompokan yang migran) dengan warga asli adalah isu politik membagi warga transmigran (pendatang) yang dapat menentukan hasil sebuah pilkada. dengan warga asli dapat adalah contoh tautan Selanjutnya akan dilihat hubungan antara kedua yang berbasis pada kesamaan atribut pembelahan dan pengelompokan demografis demografis yang bersifat primordia. Ketika ini dengan pilihan politik pemilih pada bagian warga transmigran memilih calon gubernur berikut ini. atau bupati/wali kota karena melihat kesamaan atribut sebagai sesama transmigran (seperti kasus di kabupaten di Jayapura) sebagai Kampanye dan Target Demografi titik tolak menentukan pilihan kandidatnya, yang berkembang atau dikembangkan adalah tautan simbolis. Baik pemilih maupun Pembelahan dan pengelompokan kandidat, keduanya tidak membicarakan demografis dalam pilkada – dan pemilu program. Pemilih tidak mengajukan tuntutan pada umumnya – memiliki dua tujuan. agar kepentingan kolektifnya dapat dipenuhi Pertama adalah efisiensi dalam manajemen melalui kebijakan, sedangkan kandidat pemenangan pilkada. Tanpa pemetaan tidak menawarkan kebijakan apapun untuk politik dan penentuan target pemilih yang menjawab tuntutan tersebut. Hal ini dapat diprioritaskan, kegiatan kampanye hanya akan terjadi dan berlaku untuk pengelompokan berujung pada pemborosan sumber daya sang demografis lainnya. kandidat, mulai dari sumber daya keuangan, waktu, dan personel. Semakin besar ukuran Slogan “jangan memilih calon kepala populasi akan semakin luas sebaran daerah pemimpin kafir”, misalnya, tidak populasi. Semakin heterogen populasinya menuntut kandidat untuk membuat program akan semakin penting dan mendesak pula dan merumuskan sebuah kebijakan publik. kebutuhan pemetaan politik dan menentukan Slogan ini mengimplikasikan kepada pemilih

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 15 Kuskridho Ambardi bahwa alasan kesamaan agama antara Kuansing, Riau (http://www.riauterkini.com/ kandidat dan pemilih adalah alasan yang cukup politik.php?arr=99404&judul=Pilkada%20 bagi pemilih untuk memberikan suara mereka Kuansing,%20Warga%20eks%20 tanpa perlu sang kandidat merumuskan Transmigran%20Yaman%20dengan%20 sebuah program kebijakan. Secara visual, Kepemimpinan%20MH). untuk memperoleh dukungan politik dengan Dari sisi transmigran sebagai kelompok cara ini, kandidat caleg dan kepala daerah kolektif dan sebagai pemilik hak suara dalam tampil dalam fotonya dengan baju religius pilkada, mereka dapat mengembangkan atau baju daerah. Jika kandidatnya laki- tautan simbolis maupun maupun tautan laki, maka ia memakai peci atau sorban substantif dengan para kandidat. Pada dan memakai baju koko; sedangan kandidat sisi lainnya, kandidat dapat pula memilih perempuan memakai penutup kepala longgar melakukan aktivasi isu identitas transmigran atau jilbab. Dengan penampilan seperti itu, sehingga ia mengembangkan tautan simbolis. pesan yang mereka sampaikan melalui media Namun, dapat juga sang kandidat memilih kampanyenya adalah pesan simbolis bahwa mengaktivasi isu-isu kepentingan kolektif pemilih yang seagama akan memilih kandidat dari kelompok pemilih transmigran dengan yang seagama (atau sesama orang saleh) menawarkan kebijakan yang yang bersifat dan pemilih yang memiliki latar belakang etnis substantif. memilih kandidat yang berlatar belakang etnis yang sama. Kesamaan identitas agama dan Kemungkinan-kemungkinan yang sama etnisitas ini justru jauh lebih kuat ketimbang juga berlaku untuk kelompok-kelompok kesamaan status transmigran. demografis yang berbasis agama, etnisitas, dan kedaerahan. Kedua belah pihak dapat Tautan programatik lebih bersifat substantif memilih mengembangkan tautan simbolis karena hubungan antara pemilih dengan atau memilih mengembangkan tautan kandidat dibangun melalui program dan isu substantif. kebijakan publik. Kelompok pemilih yang memiliki kesamaan karakteristik demografis Berbagai kebijakan afirmatif di tingkat lokal mengajukan tuntutan agar permasalahan yang berbasis pengelompokan demografis yang mereka hadapi dijawab dengan sebuah yang dipraktikkan di daerah-daerah dapat tawaran kebijakan oleh (para) kandidat. Secara dijadikan contoh kasus. Kebijakan afirmatif bersama, para anggota kelompok demografis adalah kebijakan pemerintah (daerah) yang ini memiliki kepentingan kolektif yang sama. bersifat emansipatoris dengan tujuan untuk Dalam kasus empiris, para transmigran di memajukan kehidupan ekonomi atau politik Kabupaten Jayapura yang dikutip di bagian kelompok demografis tertentu. Misalnya, sebelumnya memiliki kepentingan kolektif kebijakan yang diberi slogan Bela-beli berupa hak pemilikan tanah garapan dan Kulon Progo, Yogyakarta, bertujuan untuk keleluasaan untuk membudidayakannya. memajukan kehidupan ekonomi warga Kulon Klaim para transmigran ini bertabrakan Progo saja dengan menganjurkan penduduk dengan klaim tanah ulayat yang diajukan di sana membeli produk-produk Kulonprogo penduduk lokal. Para kandidat yang sedang sendiri – terutama produk pertanian (http:// berlaga di pilkada diminta untuk memberikan news.detik.com/berita/3102031/bela-beli- opsi penyelesaian sebagai janji yang kelak kulonprogo-spirit-dan-sukses-bupati-hasto- akan dipenuhinya jika memenangkan angkat-produk-lokal). Sekadar perbandingan, pilkada. Pada kasus lain, kepentingan prinsip kebijakan ini mirip dengan, misalnya, kolektif para transmigran berbentuk tuntutan kebijakan afirmatif di sektor pendidikan di agar anak-anak mereka diberi peluang Amerika Serikat yang ditujukan pada suku- untuk menjadi pegawai – kontrak atau PNS suku minoritas yang secara sosial ekonomi – di kawasan pemekaran di Kabupaten tertinggal dibandingkan dengan kelompok- 16 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN kelompok etnis lainnya (Anderson, 2005). berkembang dan mendapatkan penguatan Kebijakan afirmatif juga lazim juga terjadi dalam praktik kampanye dengan hadirnya pada daerah-daerah yang perkembangan lembaga-lembaga survei dan bisnis-bisnis sosial ekonominya dibandingkan dengan konsultasi politik yang menjangkau seluruh daerah lainnya. Contoh lain lagi adalah wilayah Indonesia. Dalam praktiknya, strategi perkreditan syariah mungkin dapat juga elektoral para kandidat menyasar kelompok- dijadikan contoh eksperimen untuk sebuah kelompok sosial yang diprioritaskan dan kebijakan afirmatif yang dapat ditawarkan memobilisasi mereka melalui pembangkitan untuk mengembangkan tautan substantif sentimen primordial dan/atau pembangkitan pada kelompok muslim. rasionalitas mereka. Dari serangkaian faktor- faktor demografis yang dianggap berpengaruh, Dalam banyak kasus pilkada, contoh- para kandidat lebih mengutamakan sejumlah contoh empiris yang muncul sebagaimana faktor demografi ketimbang yang lainnya. dikutip pada bagian sebelumnya lebih Faktor demografis agama, suku, dan menunjukkan maraknya kampanye yang kedaerahan lebih sering dieksploitasi para bersifat simbolis ketimbang substantif. kandidat dalam kampanye pilkada ketimbang Namun, pada titik ini tidak dapat digambarkan faktor jenis kelamin, usia, dan kelas sosial. seberapa ekstensif mode kampanye simbolis ini terjadi di berbagai pilkada, sebab ini Sesungguhnya, ini adalah praktik lazim, memerlukan penelitian dan data tersendiri. baik di negara-negara demokrasi maju maupun negara-negara demokrasi baru.21 Dalam literatur tentang perilaku pemilih, Epilog efek faktor-faktor demografis yang dipercaya membentuk preferensi politik pemilih dikenal dalam model sosiologis perilaku pemilih, Artikel ini telah memberikan gambaran yakni model penjelasan perilaku pemilih yang empiris tentang bekerjanya faktor-faktor paling awal muncul dalam studi di wilayah ini demografis dalam pilkada dan penilaian (Dalton, 2013). Pertanyaan empirisnya adalah normatif yang berkaitan dengan penggunaan sejauh mana model ini ditopang bukti empiris isu-isu simbolis. Penekanan pada isu-isu serta faktor-faktor demografis itu berpengaruh simbolis ini pada gilirannya membangkitkan dan membentuk pilihan politik para pemilih? sentimen primordial dalam kampanye Tanpa topangan pembuktian empiris, efek pilkada serta efeknya terhadap kualitas faktor demografis terhadap preferensi politik praktik demokrasi di tingkat lokal. Bagian ini hanyalah sekadar mitos. mendiskusikan implikasi teoretis dan normatif dari berbagai kasus yang disampaikan di atas. Pada kenyataannya, dunia nyata panggung politik pilkada tidak memberikan kemewahan Gambaran empiris itu mendedahkan dan keleluasaan untuk semua proses informasi tentang cara para elite lokal – atau pengujian secara akademis yang lebih rinci lebih spesifik lagi para kandidat di pilkada dan lebih dapat dipertanggungjawabkan, baik – memanfaatkan pemetaan politik yang karena alasan ketersediaan waktu maupun bertumpu pada pengklasifikasian pemilih ke karena alasan kepraktisan belaka. Hal ini dalam kelompok-kelompok demografis dan karena klien-klien politik calon kepala daerah pengidentifikasian kecenderungan preferensi jarang memiliki pengetahuan dan menguasai politik yang muncul pada tiap-tiap kelompok teknik uji statistik regresi, misalnya. Oleh sosial. Secara intuitif, para kandidat tersebut meyakini bahwa kesamaan atribut sosial 21 Misalnya, Russell Dalton (2013), Citizen Politics: yang dimiliki para pemilih membentuk pilihan Public Opinion and Political Parties in Advanced Industrial Democracies. Los Angeles: CQ Press (atau politik mereka. Pengetahuan intuitif tersebut edisi-edisi sebelumnya).

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 17 Kuskridho Ambardi karena itu, laporan-laporan standar dalam pada level lokal, mungkin muncul sebuah survei-survei pilkada dan rekomendasi yang variasi, yaitu di wilayah-wilayah tertentu diberikan pada klien umumnya sebatas faktor-faktor demografi memiliki peran penting menampilkan tabulasi silang antara berbagai dalam mendefinisikan pilihan politik pemilih variabel demografi dengan preferensi politik dalam pilkada. Variasi itu juga dapat muncul pemilih. Di sana tidak terpampang analisis dalam bentuk lain, yakni di daerah yang satu bivariat dan analisis multivariat yang dapat efek faktor demografi terhadap pilihan politik memberikan informasi yang lebih meyakinkan pemilih lebih kuat dibandingkan dengan di bahwa efek faktor demografi terhadap pilihan daerah-daerah lainnya. politik pemilih di pilkada adalah riil atau Ilustrasi yang disampaikan pada bagian spurious – efek sebuah variabel menghilang sebelumnya menunjukkan bahwa di Provinsi ketika variabel lain dimasukkan dalam model. Kalimantan dan Provinsi DKI, faktor etnisitas Sejauh ini sebuah studi sistematis yang dan agama sangatlah prominen. Secara pernah dilakukan oleh Saiful Mujani, R. kualitatif, dua faktor ini dapat menjelaskan William Liddle, dan Kuskridho Ambardi bahwa faktor-faktor demografi tersebut bekerja serta dipublikasikan empat tahun lalu dapat pada tingkat lokal. Yang perlu dilakukan dalam dijadikan sebagai perbandingan atau pijakan studi-studi selanjutnya adalah spesifikasi (Mujani, Liddle, Ambardi, 2012). Studi yang model untuk menguji secara empirik efek- didasarkan pada data survei nasional ini efek tersebut dalam format tesis yang dapat menguji sejumlah model perilaku pemilih yang dioperasionalkan. salah satu di antaranya adalah pengujian Implikasi normatif dari berbagai kasus model sosiologis. pilkada yang telah digambarkan sebelumnya Melalui analisis bivariat, mereka juga tidak kalah penting: sejauh mana aktivasi menemukan bahwa faktor suku memiliki isu-isu demografis yang memuat warna pengaruh signifikan pada perilaku pemilih primordial menunjukkan kualitas praktik di pemilu legislatif dan pemilu presiden. demokrasi di tingkat lokal. Dua mekanisme Akan tetapi, ketika faktor suku ini dikontrol kausal yang menghubungkan faktor oleh faktor demografis lain, faktor psikologis demografis dengan preferensi politik pemilih (kualitas tokoh dan identitas kepartaian), dikanalisasi dalam dua jenis kampanye. dan faktor ekonomi politik, maka efek suku Kampanye jenis pertama menghubungkan melemah dan menghilang. Dengan kata lain, publik pemilih melalui isu-isu simbolis, faktor demografis tersebut ternyata hanya sedangkan kampanye kedua menghubungkan bersifat spurious atau tidak nyata. publik pemilih dan preferensi politik melalui isu-isu kebijakan. Isu kebijakan yang Sebagai sebuah isu akademis, tentulah ditawarkan oleh para kandidat di atas kertas kesimpulan ini bukanlah hasil final. Ia harus dapat beresonansi dengan kepentingan terus-menerus diuji dan model perilaku kolektif kelompok-kelompok sosial yang pemilih masih membuka sebuah ruang untuk menjadi target kampanye. Dengan demikian, perbaikan. Namun, sebuah catatan penting mobilisasi melalui kampanye berpotensi harus segera dikemukakan di sini: model untuk menghasilkan pemilih yang kurang dan data yang disajikan dalam studi itu lebih rasional. adalah model perilaku pemilih pada pemilu level nasional. Untuk satu kemungkinan, Idealnya, jenis kampanye kedualah kesimpulan itu dapat berlaku juga di tingkat yang secara normatif dan etis dianggap lokal – dalam berbagai pilkada. Untuk lebih superior. Oleh karena itu, harapan etis kemungkinan lainnya, kesimpulan itu belum yang dapat dituntut kepada para kandidat tentu berlaku pada level lokal. Setidaknya adalah kemauan mereka untuk bergerak

18 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN melampui penggunaan isu-isu simbolik yang merasuk juga ke gelanggang politik. Logika memobilisasi sentimen primordial pemilih dasar dari analisis ini tidak berbeda dengan ke isu-isu kebijakan yang menghidupkan analisis demografis, yakni mengorganisasikan rasionalitas pemilih. Dalam literatur voting individu yang memiliki atribut sama ke dalam behavior, aktivasi isu-isu kepentingan kolektif kelompok yang sama pula. Hanya saja, sesuai ini akan menghasilkan bloc voting (Dalton, dengan labelnya, basis pengelompokan 2013). Problem pokoknya adalah ambisi untuk individu tersebut tidak berdasar parameter memenangi pemilu kadang mengalahkan demografis, tetapi berdasar parameter yang dan mematikan tumbuhnya kebajikan berkembang di dunia digital, khususnya normatif untuk jangka panjang. Kenyataan di jagat media sosial. Pengelompokan itu keras di gelanggang-gelanggang pilkada bertolak dari kesamaan hobi, buku favorit, film juga mengabarkan bahwa sebagian besar favorit, selera atau gaya hidup, atau rekaman pemilih justru lebih mudah dan lebih tercekam pencarian informasi yang kemudian data- dengan isu-isu primordial. Akibatnya adalah data ini dapat diekstrasikan dari profil para logika politik kalah-menang lebih dominan pengguna media sosial dan preferensi politik muncul di kalangan kandidat ketimbang mereka diekstraksikan dari status (Facebook) panduan normatif tentang cara mobilisasi dan cuitan (Twitter) mereka, serta dari pemilih dan pendukung yang lebih ideal.22 percakapan yang muncul di berbagai aplikasi Untuk situasi ini, harapan etis itu sangat media sosial lainnya.23 tergantung pada kemunculan principled Melalui mesin pelacak yang berbasis leaders di tingkat lokal yang secara personal algoritma, periset mengoleksi data digital memiliki standar normatif tentang kampanye dalam volume raksasa. Analisis yang yang etis dan politis. Selain itu, dalam jangka dilakukan terhadap percakapan ini lazimnya panjang, harapan itu juga tergantung dari dikategorikan ke dalam percakapan yang perkembangan kualitas pemilih. Pertumbuhan bernada positif dan negatif diperlakukan jenis pemilih yang rasional akan mendorong sebagai proksi untuk menebak preferensi pemakaian teknik mobilisasi yang berbasis politik para pengguna media sosial. kebijakan. Sebaliknya, pertumbuhan lambat Percakapan positif diartikan sebagai jumlah pemilih rasional di tingkat lokal juga dukungan suara, sedangkan yang negatif menghambat meluasnya teknik mobilisasi adalah sebaliknya. Dengan cara ini, preferensi jenis ini dan kampanye yang digulirkan politik dapat diperkirakan atau diprediksi, adalah issue-based campaign – kampanye termasuk dalam pilkada.24 Untuk keperluan yang memasarkan dari isu-isu kebijakan yang strategi elektoral, kombinasi data digital ditujukan pada kelompok-kelompok sosial profiling para periset dapat merancang pesan yang memiliki kepentingan kolektif. kampanye digital untuk kelompok-kelompok Isu terakhir yang perlu disinggung di yang spesifik. Dari kacamata para kandidat, sini adalah kehadiran model analisis post- demographics yang kini merebak untuk 23 Untuk sebuah paparan ringkas tentang post- tujuan pemetaan politik dan perancangan demografi ini, lihat, Richard Rogers (2009) “Post- democraphic machines”, In A. Dekker, & A. Wolfsberger strategi elektoral sejalan dengan terjadinya (Eds.), Walled garden. (pp. 29-39). [Amsterdam]: revolusi digital dan revolusi media sosial yang Virtueel Platform.

24 22 Belajar dari pengalaman personal sebagai surveyor, Laporan utama Majalah Tempo tentang Hoax pada harapan ini kadang tampak terlalu tinggi. Sering terjadi, edisi 2-8 Januari dapat dijadikan sebagian ilustrasi meskipun data survei memuat informasi tentang analisis post-demographics. Dalam infografis selebar kepedulian publik terhadap permasalah sosial yang dua halaman, Tempo menyajikan tren conversation penting untuk dijawab melalui kebijakan, para kandidat yang bernada positif dan negatif di Twitter dalam rentang lebih sering mengabaikan kepedulian publik tentang waktu sebulan. Jumlah cuitan yang dianalisis mencapai masalah kemasyarakatan yang menuntut sebuah 50.936 cuitan. Dari jumlah ini, mayoritas percakapan kebijakan untuk penyelesaiannya. atau sebanyak 44.546 bernada negatif, dan sisanya sebanyak 6.390 percakapan bernada positif. Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 19 Kuskridho Ambardi riset-riset dan analisis post-demographics BBC. 2013. “KPU tunda penetapan Daftar ini dapat dimanfaatkan untuk merancang Pemilih Tetap” (23 Oktober 2013), strategi kampanye dan mengeksekusinya. Di http://www.bbc.com/indonesia/berita_ tengah tren mutakhir yang terus berkembang indonesia/2013/10/131023_kpu_tunda_ ini, pemetaan politik yang berbasis demografi penetapan_dpt. mendapatkan saingan baru dalam merebut klien di pilkada-pilkada di masa mendatang. Beritasatu. 2012. “Lagi, Isu SARA Diangkat Kelak dapat saja terjadi analisis demografis Supaya Dukung Foke (13 Agustus semakin surut relevansinya dalam pilkada- 2012)”, http://www.beritasatu.com/ pilkada. megapolitan/65942-lagi-isu-sara-diangkat- supaya-dukung-foke.html. Namun, yang perlu dicatat, tidak peduli apakah pemetaan politik memakai model Burton, Michael and Daniel Shea. 2010. demografis atau post-demographics, Campaign Craft: The Stretgies, Tactics, kenyataan di lapangan tidaklah selalu and Art of Political Management. Santa th edition). mengikuti imbauan etis atau normatif yang Barbara, California: Praeger. (4 didedahkan para pejabat dan akademisi. Dalton, Russell. 2013. Citizen Politics: Public Praktik kualitas demokrasi justru banyak Opinion and Political Parties in Advanced ditentukan dalam pertempuran di gelanggang Industrial Democracies. Los Angeles: CQ riil pilkada. Press Economist, The. 2014. “A census in Myanmar: Too much information”, 22 March Daftar Pustaka 2014, http://www.economist.com/news/ asia/21599404-ill-considered-headcount- Andarningtyas Natisha. 2012. “Foke stirs-anger-and-mistrust-too-much- kampanye di Kuningan Barat” (14 information. September 2012), http://www.antaranews. Faiz. Pan Mohamad. 2016. “Dimensions com/berita/333023/foke-kampanye-di- of Judicial Activism in the Constitutional kuningan-barat. Decisions,” di Jurnal Konstitusi, Volume Anderson, Terry. 2005. The Pursuit of 13, No. 2, 2016. Fairness: A History of Affirmative Action. Firdaus, Febriana. 2015. “35 calon kepala New York: Oxford University Press. daerah perempuan menang di Pilkada Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk 2015” (December 10, 2015), http:// Indonesia Hasil SP 2010. Jakarta: Badan www.rappler.com/indonesia/115543- Pusat Statistik. perempuan-menang-di-pilkada-2015. Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Fox, Colm and Jeremy Menchik. 2011. “The “Metodologi”, https://www.bps.go.id/ Politics of Identity in Indonesia: Results KegiatanLain/view/id/127. from Campaign Advertisements”. APSA 2011 Annual Meeting Paper. Available at Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Mobilitas SSRN: https://ssrn.com/abstract=1901782 Penduduk 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Haluan Lampung. 2016. “Parosil Mabsus Serahkan Berkas” (18 Februari 2016), Barley, Tasa Nugraza. 2016. “The rise http://www.haluanlampung.com/index.php/ of the Indonesian conservatives” (14 politik/10507-parosil-mabsus-serahkan- December 2016), http://www.rappler. berkas. com/world/regions/asia-pacific/indonesia/ english/155485-conservatives-muslims- ahok-opinion. 20 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 FAKTOR DEMOGRAFI DALAM STRATEGI ELEKTORAL PILKADA: PERSPEKTIF DARI LAPANGAN

Harian Fokus. 2016. “PKB Target Wakil di Race, Ethnicity and Language in National Pilkada Tubabar”, (8 Mei 2016), https:// Censuses. New York: Camridge University www.harianfokus.com/2016/05/08/pkb- Press. target-wakil-di-pilkada-tubabar/. Kompas. 2009. “ Puluhan Ribu DPT Bermasa­ ­ Harian Lampung. 2016. “Golkar Usung Tiga lah di Jateng” (1 April 2009), http://nasional. Petahana pada Pilkada 2017” (5 Februari kompas.com/read/2009/04/01/20572617/ 2016), http://harianlampung.com/index. puluhan.ribu.dpt.bermasalah.di.jateng. php?k=politik&i=20151-golkar-usung-tiga- Kompas. 2015. “Selisih Tipis, Hasil Pilkada petahana-pada-pilkada-2017. di 13 Daerah Berpotensi Sengketa” Harjono Yulvianus dan Fajar Marta. 2010. (15 Desember 2015), http://nasional. “Putra Daerah dan Aristokrasi Politik” (29 kompas.com/read/2015/12/15/17023981/ Oktober), http://bisniskeuangan.kompas. Selisih.Tipis.Hasil.Pilkada.di.13.Daerah. com/read/2010/10/29/03123960/putra. Berpotensi.Sengketa. daerah.dan.aristokrasi.politik. Koran Tempo. 2009. “Daftar Pemilih Hukum Online. 2009, “Kisruh DPT, Noda Bermasalah di 15 Provinsi” (6 Maret Tercecer di Pemilu 2009” (31 Desember 2009), https://koran.tempo.co/ 2009), http://www.hukumonline.com/ konten/2009/06/03/166937/Daftar- berita/baca/lt4b3c5d4990d94/kisruh-dpt- Pemilih-Bermasalah-di-15-Provinsi. noda-tercecer-di-pemilu-2009. Kusumadewi, Anggi dan Desy Afrianti. 2012. Hukum Online. “Apakah Calon Kepala Daerah “Jelang Putaran Kedua, Foke vs Jokowi Harus Putra Asli Daerah Pemilihan?”, (6 Memanas”, 10 Agustus 2012, http:// April 2012) http://www.hukumonline.com/ fokus.news.viva.co.id/news/read/343144- klinik/detail/lt4f7b13d0c46aa/apakah- pertarungan-pilkada-dki-putaran-ii- calon-kepala-daerah-harus-putra-asli- memanas. daerah-pemilihan-. Lembaga Survei Indonesia. 2012. Laporan Indikator Politik Indonesia. 2015. “Laporan Survei “Pilkada DKI Jakarta, Protes Survei untuk Provinsi Kalimantan Utara Kelas Menengah”. Laporan Survei, 2-7 (Kaltara), Bulan Mei 2015. September 2012. Indikator Politik Indonesia. 2015. “Laporan Lembaga Survei Indonesia. 2016. Laporan Survei Pilkada untuk Kota Bontang,” Bulan Survei “Pilkada Jakarta Likeability is Mei 2015. Electability?” Desember 2016. Indikator Politik Indonesia. 2015. “Laporan Muhiddin, Abdul Hakim. 2010. “’Asli Urang Survei untuk Pilkada Kabupaten Malinau,” Banua’ Dongkrak Suara” (4 Juni 2010), Bulan Mei 2015. http://www.antarakalsel.com/berita/88/asli- urang-banua-dongkrak-suara. Jafar. 2010. “Isu Putra Daerah dalam Pilkada Koyak Kebangsaan” (14 Maret 2010), http:// Mujani, Saiful, R. William Liddle, Kuskridho www.antaranews.com/berita/177697/ Ambardi. 2012. Kuasa Rakyat: Analisis isu-putra-daerah-dalam-pilkada-koyak- tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan kebangsaan. Legislatif dan Presiden Indonesia pasca- Orde Baru. Bandung: Mizan. JPNN. 2016. (13 Februari 2016), “Kakak Andi Arief Siap Maju”, http://www.jpnn.com/ Okezone. 2015. “Transmigran Minta news/kakak-andi-arief-siap-maju. Paslon Peserta Pilkada Kabupaten Jayapura Tak Umbar Janji” (25 Kertzer, David and Dominique Arel (eds). Oktober 2015), http://news.okezone. Census and Identity: The Politics of

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 21 Kuskridho Ambardi

com/read/2016/10/25/340/1523611/ nasional/politik/12/11/26/me3hcn-politik- transmigran-minta-paslon-peserta- pilkada-jangan-dibawa-ke-kawasan- pilkada-kabupaten-jayapura-tak-umbar- transmigrasi. janji. Rustan, Mario. 2015. “Rising conservatism Otto, Ben and Anita Rachman. 2016. “Hard- in Asia”, (5 November 2015), http://www. Line Strain of Islam Gains Ground in thejakartapost.com/news/2015/11/05/ Indonesia, World’s Largest Muslim Country”, rising-conservatism-asia.html. http://www.wsj.com/articles/hard-line- Sunardi. 2015. “Warga Eks Transmigrasi strain-of-islam-gains-ground-in-worlds- Diperhatikan” (29 Juli 2015), http:// largest-muslim-country-1478248172. riaumandiri.co/mobile/detailberita/15858/ Poston Jr, Dudley and Leon Bouvier. 2010. warga-eks-transmigrasi-diperhatikan.html. Population and Society: An Introduction Tribun News. 2010. “Kisruh DPT di Samalewa” to Demography. New York: Camridge (21 Juni 2010) http://www.tribunnews. University Press. com/election/2010/06/21/kisruh-dpt-di- Perludem. 2016. “Keterlibatan Perempuan samalewa. di Pilkada Menurun” (30 November Victoria, Widya. 2015. “Pengusaha Tambang 2016), http://perludem.org/2016/11/30/ Versus Urang Banua” (19 Juli 2015), http:// keterlibatan-perempuan-di-pilkada- politik.rmol.co/read/2015/07/19/210463/ menurun/. Pengusaha-Tambang-Versus-Urang- Petit, Veronique. 2013. Counting Population, Banua-. Understanding Society: Toward an Win, Thin Lei. 2015. “In Burma, Not All Votes Interpretative Demography. New York: Are Created Equal (5 November 2015), Springer. http://www.irrawaddy.com/election/feature/ Riau Terkini. 2015. “Pilkada Kuansing, in-burma-not-all-votes-are-created-equal. Warga eks Transmigran Yaman dengan Kepemimpinan MH” (20 Oktober 2015), http://www.riauterkini.com/politik. php?arr=99404&judul=Pilkada%20 Kuansing,%20Warga%20eks%20 Transmigran%20Yaman%20dengan%20 Kepemimpinan%20MH. Ribar, Matthew. 2015. “Democracy in Myanmar?” (26 November 2015), http:// foreignaffairsreview.co.uk/2015/11/ democracy-in-myanmar/. Rogers, Richard. 2009. “Post-democraphic machines”. In A. Dekker, & A. Wolfsberger (Eds.), Walled garden. (pp. 29-39). [Amsterdam]: Virtueel Platform. Rostanti, Qomarria dan Irwan Ariefyanto. 2012. “Politik Pilkada Jangan Dibawa ke Kawasan Transmigrasi (26 November 2012), http://www.republika.co.id/berita/

22 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 Populasi

Volume 24 Nomor 2 2016 Halaman 23-36

MIGRATION, ETHNICITY AND LOCAL POLITICS: THE CASE OF JAKARTA, INDONESIA

Aulia Hadi and Riwanto Tirtosudarmo Research Center for Society and Culture, Indonesian Institute of Sciences Correspondence: Aulia Hadi (email: [email protected])

Abstract

As the capital city of a country with the world’s fourth largest population, Jakarta, like many other big cities in the developing economies, for example, Mexico City or New Delhi, hosts migrants from all regions of the country. Without a doubt, Jakarta has increasingly become the major core of the agglomeration processes transforming it and its satellite cities into a Mega Urban Region (MUR). This paper traces historically the interactions between migration, ethnicities and local politics in Jakarta from the 1960s to the 2000s focusing on the latest development, in which the phenomenon ‘Ahok’, the nickname of Basuki Tjahaja Purnama, a Chinese-Christian from the small district of Belitung, has become an increasingly popular . The paper argues that through the recent developments in Jakarta the politics have apparently been transformed into more civic, rather than ethnic politics. The nature of Jakarta as a proliferating migrant city transcends narrow cultural identities as well as conventional party politics into a more active citizenry through the widespread use of social media.

Keywords: migration, ethnicity, local politics, new media

Introduction had already started in the 17th century. Because of the low number of inhabitants, the Government of the The interconnection between migration, encouraged people to move to Batavia1 to ethnicity and politics has been thoroughly meet its labour needs. The migrants were not studied, among others, by Fearon and Laitin only from Java’s hinterland (such as Javanese (2011). In the case of Indonesia, the recent and Sundanese ethnic groups) or outside of study by Barter and Cote (2015) clearly shows Java (such as Balinese, Bugis, Batak and that local political conflicts closely related Ambonese), but also from the Far East (such with the increasing number of migrants are as Japanese and Chinese people) and South perceived by the locals as a threat to their Asia (such as Arabs and Indians) (Castles, livelihoods. As the capital city of the world’s 1967 and Abeyasekere, 1987). Those ethnic fourth largest population country, Jakarta, groups then merged into what was called like many other big cities in the developing 1 economies, for example, Mexico City or New Batavia was the name of the Dutch East Indies’ capital city. At that time, it became the center of the Dutch East Delhi; hosts migrants from all the regions of Indies trading network in Asia, including black pepper, the country. The arrival of migrants to Jakarta cloves and cinnamon. Now the area corresponds to the city of Jakarta. Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 23 Aulia Hadi and Riwanto Tirtosudarmo

Source: http://www.inspired-bali.com/wp1/50-years-in-indonesia/, in which the grey colour, the red dot and the insert of Jakarta are modified by the authors Picture 1 Map of Indonesia with Jakarta Insert

Batavian or Betawi or Djakarta Asli (Castles, Betawi Muslims. Since the end of the New 1967). With Jakarta as the capital, the number Order regime in 1998, the decentralization of migrants has increased significantly since governance system has provided greater the Independence of Indonesia in 1945. ‘power’ for both the regional governments Without a doubt, Jakarta has developed as the and the people to manage their city or region, major core of the agglomeration processes including by participating in direct regional transforming the city and its satellite cities into elections. In fact, local politicians in many a Mega Urban Region (MUR).2 The migrants areas are mostly reliant on the support of disperse to the satellite cities, therefore, the religious leaders considered able to get number in Jakarta has decreased since the large numbers of votes (Kloos & Berenschot, mid1990s. However, Jakarta has the most 2016). This certainly put a heavy burden on diverse ethnic mix in Indonesia with 9,607,787 Jokowi, a Muslim Javanese from Solo and inhabitants (Population Census of Indonesia, Ahok, a Christian Chinese-Indonesian from 2010). the small district of Belitung, who both are migrants to Jakarta. Despite negative ethno- In September 2012, surprisingly Jokowi religious campaigns against them, Miichi (Joko Widodo) and his running mate Ahok (2014) describes their victory as a triumph of (Basuki Tjahaja Purnama) won victory in democracy, particularly for the Jakartans. Jakarta’s 2012 Gubernatorial Elections. With 54% of votes, these candidates successfully In 2014, since Jokowi was elected beat the incumbent, Foke (Fauzi Bowo) and president in October, Ahok was inaugurated as Nara (Nachrowi Ramli) who are both native Jakarta’s new governor in November, amidst protests from the supporters of the losing 2 In this article, we consider Jakarta as a city. In fact, we should note that administratively since the 1950s Jakarta presidential candidate, Prabowo Subianto, has been governed not as a city, but as a province called and hard-line Islamic groups. In his early days Daerah Khusus Ibukota Jakarta or the Special Capital as the Governor of Jakarta, Ahok experienced Territory of Jakarta, comprising five cities and one district (Bunnell & Miller, 2012). Furthermore, since the 1970s opposition from the House of Representatives during the centralized New Order regime emphasizing in terms of contravening the gubernatorial economic growth, Jakarta has been developed into appointment rules as well as budget a MUR called Jabodetabekjur incorporating Bogor, transparency. Ahok pays great attention to Depok, Tangerang, Bekasi and Cianjur (Firman, 2008 and 2009; Windarsih and Hadi, 2014). managing the governance system, including

24 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 MIGRATION, ETHNICITY AND LOCAL POLITICS: THE CASE OF JAKARTA, INDONESIA planning the dismissal of underachieving city of migrants from various ethnic groups. civil servants and introducing e-budgeting Then, we draw the dynamics of ethnicity and for transparency, as well as asking property provincial leadership in Jakarta from 1945 to owners to pay fines enabling him to conduct the present. In the third part, we describe the various projects in a short period of time. recent Jakarta local politics with an emphasis Therefore, with the bureaucracy of Jakarta on Ahok and his political manoeuvers, becoming much less cumbersome, Ahok including the establishment of ‘Teman Ahok’ is gaining popularity among the Jakartans (Friend{s} of Ahok) as the social media political despite his harsh attitudes. Banking on this campaign platform. Later, we discuss the popularity, Ahok is certain to run in the next political contestation for the upcoming Jakarta Jakarta Gubernatorial Elections in 2017. Gubernatorial Elections. The conclusion This article discusses the changing role highlights to what extend the civic politics is of ethnicity in Jakartans’ public life as well likely to work in Jakarta. as its consequences to the local politics. To some extent the democracy of Indonesia might be a paradox between freer and fairer Ethnic Composition of Jakarta public space and patronage democracy (Berenschot, Nordholt & Bakker, 2016). As Since its establishment in 1619 by Jan highlighted by Berenschot, Nordholt and Pieterszoon Coen, Jakarta has become a very Bakker (2016), a weakly institutionalized state attractive city (Abeyasekere, 1987). At that and mediated access to the state in most of time, the economic activities of Jakarta were the postcolonial states, including Indonesia, extensive and included farming, plantations, encourage client centered and often identity- the sugarcane industry as well as brick and roof based relationships with politicians and other tile production (Kanumoyoso, 2007) attracting power holders. Therefore organizations, such people to move to Jakarta because of the as ethnic or faith based ones, can be useful numerous job opportunities. As mentioned, lubricants for the client centered exchanges. these migrants were from Java’s hinterland However, we argue that the recent political and various parts of the Archipelago, as developments in Jakarta have apparently well as from East and South Asia. According been transformed into more civic rather than to Kanumoyoso (2007), the ethnic identity ethnic politics. The nature of Jakarta as a of migrants in Batavia was getting blurred proliferating migrant city transcends narrow because of (a) socio-economic interests and cultural identities as well as conventional party geographical proximity, (b) intermarriage politics into a more active citizenry through among various ethnic groups, (c) common the widespread use of social media. In the experiences in the military service of the heat of Jakarta’s 2017 Gubernatorial Election, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), for the first time in history, the front-runner is a (d) religious identity, and (e) slavery institutions Christian Chinese-Indonesian. Since Jakarta enabling migrants to work in a multi-ethnic is the center of national politics, this new environment. The presence of various ethnic kind of local politics will exemplify substantial groups created Batavia and then Jakarta as a democracy for other cities in Indonesia. multi-ethnic city. The aim of this article is to comprehend Since the Independence of Indonesia in the ways migration and ethnic diversity have 1945, the composition of the ethnic groups transformed Jakarta as a city of migrants in Jakarta as a host city of migrants has and the consequences to the local politics. changed tremendously. While previously, We start by providing some historical context Jakarta welcomed migrants from Europe as to interpret the nature of Jakarta as a host well as East and South Asia, their number has

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 25 Aulia Hadi and Riwanto Tirtosudarmo significantly decreased in the post-colonial on the birth place of migrants in Jakarta. He period. In the period from 1945 onwards, the also assumed that everyone in Jakarta in migrants to Jakarta have been from various 1961 was either (a) a survivor or descendant ethnic groups in the Indonesian Archipelago. of the 1930 population or (b) an immigrant This was firstly shown in the data of the 1961 since 1930 or a descendant of such an Population Census when no ethnic group immigrant (pp. 154). From his calculation, question was asked explicitly. However, within the main ethnic groups forming Jakarta were this, Castles (1967) made a calculation based Sundanese, Javanese, and Madurese, Betawi

Table 1 Ethnic Composition of Jakarta

Population Census Ethnic Group 19613 2000 2010 Number (%) Number (%) Number (%) Betawi 655,400 22.9 2,301,582 27.65 2,700,722 28.29 Sundanese 952,500 32.8 1,271,531 15.27 1,395,240 14.61 Javanese & Madurese 737,700 25.4 - - - - Javanese - - 2,927,340 35.16 3,452,168 36.16 Madurese - - 47,055 0.57 79,925 0.84 Bantenese - - 20,582 0.25 - - Acehnese 5,200 0.2 - - - - Batak 28,900 1.0 300,562 3.61 326,645 3.42 Minangkabau 60,100 2.1 264,639 3.18 272,018 2.85 South Sumatran 34,900 1.2 - - - - Palembangnese - - - - 63,333 0.66 Banjarnese 4,800 0.2 7,977 0.10 - - South Sulawesianese 17,200 0.6 - - - - Bugis - - 49,426 0.59 68,366 0.72 North Sulawesianese 21,000 0.7 - - - - Mollucan & Irianese 11,800 0.4 - - - - East Nusa 4,800 0.2 - - - - Tenggaranese West Nusa 1,300 0.0 - - - - Tenggaranese Balinese 1,900 0.1 - - - - Malay and from other 19,800 0.7 134,477 1.62 111,125 1.16 islands Unknown 38,600 1.3 - - - - Chinese 294,000 10.1 460,002 5.53 632,372 6.62 Others 16,500 0.6 539,529 6.48 445,627 4.67 Total 2,906,500 100.0 8,324,707 100.00 9,547,541 100.00 Source: Castles (1967: 185), Suryadinata, Arifin & Ananta (2003: 19), Ananta, Arifin, Hasbullah, Handayani & Pramono (2015: 106).

3 In his calculation, Castles (1967) distinguished non-indigenous people into two categories, namely (a) hybrid or citizenship replacement people and (b) foreigners. On his data, he calculates that there were around 102,000 Chi- nese foreigners among 294,000 Chinese in Indonesia. He also adds that of the 16,500 from other ethnic groups in the 1961 Population Census, there were at least 10,200 foreigners.

26 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 MIGRATION, ETHNICITY AND LOCAL POLITICS: THE CASE OF JAKARTA, INDONESIA and Chinese consecutively as presented in representatives of Indonesia.4 Castles (1967: Table 1. In 1971, 1980 and 1990 population 153) even claimed Jakarta as the ‘melting pot’ censuses, the question of ethnicity was for various ethnic groups as well as ‘the most- erased from the questionnaire due to the New even the only-Indonesian city’, where ‘God is Order Government perception that statistics making the Indonesians!’ Since the Jakartans on ethnicity could be divisive for national are mostly cosmopolite migrants, we argue integration. that civic rather than ethnic politics is getting popular among them as discussed in the While data on ethnic groups was considered following parts. politically taboo by the New Order regime, this question is reinstated in the Population Census in the reformasi period. Indonesia Ethnicity and the Provincial Leadership of consists of various ethnic groups and local Jakarta languages; therefore, understanding those diversities is part of establishing Bhinneka Tunggal Ika or Unity in Diversity in our nation. The leadership of Jakarta is crucial for From Population Censuses in 2000 and 2010, Indonesia as it is the capital city of the country. we can observe that the four major ethnic The political situation of Jakarta will always be groups in Jakarta remain Betawi, Sundanese, a reference for other cities in Indonesia and Javanese and Chinese followed by Batak, a barometer for the national politics. Ethnic Minangkabau and Malay (Table 1). However, politics seem to have never been in favour the number of Sundanese is decreasing if for most Jakartans, particularly in the current compared with the 1961 Population Census. democracy era. These are at least reflected This puts Sundanese only in the third rank in three political regimes of Indonesia, namely following Javanese and Betawi. Meanwhile, Old Order, New Order and reformasi. the number of people of Chinese ethnicity consistently stays in the fourth place. The During the Old Order regime (1945-1965), other sizable ethnic groups in recent Jakarta Jakarta was mostly governed by national are Bugis, Madurese, Palembangnese, political figures. Soekarno as the first President Bantenese and Banjarnese. We can observe of Indonesia, who was also a national some homogeneous areas with a big number of leader for the Independence of Indonesia, concentrated ethnic groups, such as Chinese 4 in the Glodok and Mangga Dua areas, Bugis “… Eeh Nok, lu pan jelek-jelek anak Jakarte, masa segala neken aje nggak becus? Malu-maluin gue aja lu in the Tanjung Priok area and (previously) ah!” kata bang Amat serenta cabut kartu penduduknya Betawi in the Condet area. In fact, Betawi dari kantong atas, “Nih kaye gue, kalo ude punye pan at the present time mostly live dispersed in enak!”… “Nama… Amat bin Conat,” untuk kesekian kalinya bang Amat membaca kartu penduduknya the fringe suburban areas around Jakarta in kencang-kencang, “Bangsa … Indonesia! Agama keeping with their socio-economic status. … Selam eh Islam!” (Muntaco, 2006: 251-252). [“… Nok, you are Jakartan. How can’t you make your own The trends of the 1961, 2000 and 2010 signature? That’s a shame,” bang Amat said to his wife Population Censuses show the contribution while taking out the ID card from his pocket. “It’s nice of migration to the ethnic composition of when we’ve had it, just like me!” …. “Name … Amat bin Conat,” for the umpteenth time bang Amat read his ID Jakarta. The presence of migrants in Jakarta card loudly, “Nation … Indonesia! Religion … Selam emphasizing socio-economic relationships eh Islam!”]. This dialogue narrates the typical language makes the ethnic identity vaguely create a spoken by the Jakartans combining Bahasa Betawi as the language of the “indigenous people” and Bahasa multi-ethnic city. In recent days, Jakartans Indonesia. Not only multi-ethnic, but also the Jakartans mostly prefer to speak Bahasa Indonesia perceive themselves as the centre of Indonesia, in their own style rather than their mother therefore, they need to be foremost in everything, such languages and perceive themselves as the as being literate and active in civic participation as in the above story.

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 27 Aulia Hadi and Riwanto Tirtosudarmo encouraged the growth of nationalism for Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) Indonesians, especially Jakartans. He not only (Council of Indonesian Muslim Associations) built national projects, such as the National incorporating Nahdlatul Ulama (NU) and Monument in the centre of Merdeka Square, Muhammadiyah as the two biggest Islamic Central Jakarta, but also appointed national mass organizations in Indonesia. political figures as mayors of Jakarta. Only All governors of Jakarta in the New Order two out of the six mayors of Jakarta in this regime (1965-1998) were from the military, period were non-Javanese. They were Daan which reflects the authoritarian character of Jahja, from Padang and , the New Order regime. Under the leadership from the Minahasa ethnic group. Rather of President Suharto, the second president, than ethnicity, most of these mayors were who led Indonesia for 32 years, the governors appointed because of their political affiliation of Jakarta were only those having proximity and credibility. The mayors of Jakarta during as well as following his rules. The most the Old Order regime were affiliated with the popular governor in this time was , winning parties in national elections, both the only non-Javanese. This Sundanese was Partai Nasional Indonesia (PNI) (Indonesian the longest serving governor of Jakarta, from National Party) led by Soekarno and Partai

Table 2 Governors of Jakarta: 1945-Present5

No. Name Year Ethnic Group Affiliation 1. Soewirjo 1945-1947 Javanese Partai Nasional Indonesia (PNI) 2. 1948-1950 Padang Military 3. Soewirjo 1950-1951 Javanese Partai Nasional Indonesia (PNI) 4. 1951-1953 Javanese Masyumi 5. 1953-1960 Javanese Government Appointment 6. Soemarno 1960-1964 Javanese Military Sosroatmodjo 7. Henk Ngantung 1964-1965 Minahasa Government Appointment 8. Soemarno 1965-1966 Javanese Military Sosroatmodjo 9. Ali Sadikin 1966-1977 Sundanese Military 10. 1977-1982 Javanese Military 11. 1982-1987 Javanese Military 12. Wiyogo 1987-1992 Javanese Military Atmodarminto 13. Soerjadi Soedirdja 1992-1997 Javanese Military 14. 1997-2007 Javanese Military 15. Fauzi Bowo 2007-2012 Betawi Partai Demokrat 16. Joko Widodo 2012-2014 Javanese Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) 17. Basuki Tjahaja 2014-present Chinese- Government Appointment Purnama Belitung

Source: Compiled by the authors, based on the data provided by Panitia Penulisan Gubernur Jakarta, 2011.

5 Jakarta was firstly governed as a city in the period of 1945-1960 by the Mayor Soewirjo, Mayor Daan Jahja, Mayor Sjamsuridjal and Mayor Soediro. Since then, Jakarta has been governed as a province.

28 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 MIGRATION, ETHNICITY AND LOCAL POLITICS: THE CASE OF JAKARTA, INDONESIA

1966 to 1977. He is considered a modernist, (2014), the four factors enabling the rise of who transformed Jakarta into a modern city Jokowi’s popularity are (1) social breakdown through various programs, such as improving and declining capability of the government; public services, banning becak (cycle (2) corruption, draining political traditions and rickshaw), clearing out the slum dwellers, the negative image of political parties; (3) kampungisasi, encouraging urban dwellers societal changes; and (4) the emergences to reinvest in the traditional value of gotong of forms of political representation outside of royong (mutual cooperation) with modern traditional political institutions. As Jokowi was ones, creating Jakarta Fair -a month long voted in to be the President of Indonesia in peoples’ bazaar (continued until now) as well the 2014 Presidential Elections, Ahok was as building mega projects, such as Taman appointed as Jakarta’s Governor in the same Ismail Marzuki, Ragunan Zoo and the Ancol year. Following his predecessor Jokowi, Amusement Park. Although Jakarta had one of Ahok has continuously reformed the city its greatest governors in this period, the strong governance making him the most popular, yet power of the New Order regime through their controversial Governor of Jakarta as will be military governors reproduced the ‘patron- discussed in the next part. client relationship’ in Jakarta rooted to other cities in Indonesia. The relationships between the patron or the collusion between politicians, Jakarta’s Recent Local Politics: Ahok and bureaucrats and business dominated the His Political Manoeuvers networks and distributed large sums of money in exchange for loyalty from the clients or what is called by Berenschot, Nordholt & Bakker As widely reported, in 2016 Ahok was (2016) ‘clientilistic exchange relations.’ the most searched person on Google in Indonesia. This Christian Chinese-Indonesian Democracy is the strongest attribute of Governor of Jakarta has not only been reformasi (1998-present). In this regime, popular among his adherents, but also with Indonesians insist on the decentralization of the opposition since he has led the city from government. Based on Law No. 32 Year 2004 November 2014. His popularity seems to on Regional Autonomy, the citizens have the result from his ‘double-minority status’ as well right to manage their own regional government as his blunt communications style. Firstly, as well as voting for their regional leader Ahok is a Chinese-Indonesian migrant from directly. While in the beginning of reformasi Manggar, East Belitung, who first moved to Jakarta was still governed by Sutiyoso for Jakarta to study for his senior high school ten years, afterwards the Jakartans voted accreditation then his bachelor degree at the for their governor directly. At the first Jakarta end of the 1980s. Although the Chinese ethnic Gubernatorial Election, it was Fauzi Bowo, a group stays in the fourth place of Jakarta’s native Betawi Muslim, who gained the majority ethnic composition, this ethnic group remains of votes. Rather than ethnicity reasons, we politically discriminated against. Secondly, assume his victory was a form of proximity he is a Christian in Muslim-majority Jakarta. and affiliation with the ruling regime, President Furthermore, Ahok frequently criticizes and Susilo Bambang Yudhoyono, who is also the scolds not only his subordinates of assorted chairman of Partai Demokrat (Democratic wrongdoing, but also expresses his stance, Party). In the context of democracy, the particularly any disagreement, directly to the dynamics of Jakarta’s local politics have public in general. heated up since Jakarta’s 2012 Gubernatorial Elections bringing ‘a new hope to politics’. Ahok started his political career since Jokowi’s victory is evidence of populism reformasi. At first he was affiliated with a new politics in Jakarta. As highlighted by Hamid party: Partai Perhimpunan Indonesia Baru Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 29 Aulia Hadi and Riwanto Tirtosudarmo

Source: www.thejakartapost.com

Picture 2 A Peaceful Rally to Support Ahok against the City Councils

Table 3 Online Activities of Teman Ahok

No. New Media Followers 1. Website temanahok.com - 2. Twitter @temanAhok 97,330 followers; 22,325 tweets 3. Facebook page @temanahok 400,203 likes 4. Youtube Teman Ahok 17,489 subscribers; 2,969,996 views 5. Instragram temanahokofficial 154,000 followers Source: Compiled by the authors, based on the data provided on social media accounts of Teman Ahok.

(PPIB) and became a member of the Regional therefore, he acts as a politically independent Legislative Council of East Belitung District governor of Jakarta. This political manoeuvre for 2004-2009. Only seven months later, he enabled him to separate himself from the gained huge support to run for regent of the oligarchic powerful national elites in the same district. He won with 37.13% votes in political parties. He can carry out a lot of the politically based area of Masyumi and development projects relatively quickly by became the Regent of East Belitung for 2005- asking, mostly property owners, to pay ‘fines’, 2010. In 2009, he was elected as the Member for such as the Semanggi interchange as well of the House of Representatives in Jakarta, as Northern Jakarta’s coast reclamation. representing Golongan Karya (Golkar). Implementing budget transparency was He then resigned to be the running mate the second manoeuver of Ahok. In the of Jokowi in Jakarta’s 2012 Gubernatorial beginning of 2015, the use of e-budgeting, Elections as a member of Gerakan Indonesia namely kawalapbd.org, allowed Ahok to find Raya (Gerindra). When his predecessor, an irregularity or misuse in Jakarta’s regional Jokowi, was elected President of Indonesia, budget, which cost the nation around Rp12 Ahok resigned from Gerindra in September trillion (Pradita, 2015). Ahok became entangled 2014 or before his inauguration as governor;

30 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 MIGRATION, ETHNICITY AND LOCAL POLITICS: THE CASE OF JAKARTA, INDONESIA in argument with the City Councils receiving to provide information about Ahok, including many attacks from the elites, including that personals, performances and achievements. It involving the case of land acquisition in West also counts down the total update of collected Jakarta from the Sumber Waras Hospital by Jakartan ID cards. Meanwhile, the massive the city administration (The Jakarta Post, 14 use of the social media is effective to gain the June 2016), at the same time people came public’s attentions; mostly of the young and up with various social media hashtags and the middle class. They then interconnect the movements supporting him (Dwifatma, 2015). online and the offline spaces through posts, Rather than shrinking, Ahok is perceived booths built in several malls, such as Mall as ‘clean’; an honest, strong leader fighting Kelapa Gading and Kuningan City, as well corruption, therefore, his popularity has as other public gathering places. This can be soared rapidly. categorized as digital activism that is internet Ahok’s third manoeuver was announcing supported with a low threshold (Van Laer and his plan to join the Jakarta 2017 Gubernatorial Van Aelst, 2010). The internet or new media Elections through an independent path only supports the movement. The public is distanced from political parties. This certainly required to participate directly by handing over creates empathy among his adherents who their ID cards and giving signatures as support endorse his position with no political party agreements. This certainly has lower risks for affiliations. First, during the Car Free Day at the most participants. Starting on 15 June 2015, Hotel Indonesia traffic circle in Central Jakarta, they eventually were able to collect 1 million on 1 March 2015, a group of people wore masks vote pledges a year after. Ahok’s decision to of Ahok to support him over the draft 2015 city jump to a political party leads this movement budget (Picture 2). This was the inception of as Tetap Ahok. Teman Ahok (Friend{s} of Ahok) movement The last manoeuver of Ahok was leaving established on 16 June 2015, by five young the independent path and jumping on a people, namely Aditya Yogi Prabowo, Richard political party bandwagon at the end of July Saerang, Singgih Widiyastono, Amalia 2016. Towards the candidate registration 6 Ayuningtyas and Muhammad Fathony. The period, Ahok received political parties’ support, main activity of this movement was primarily including from the Indonesian Democratic to collect Jakartans’ ID cards as a way of Party of Struggle (PDI-P), the Golkar Party, supporting Ahok’s independent candidacy in the People Conscience Party (Hanura) and the next gubernatorial elections, when at least the National Democratic Party (Nasdem). 750,000 ID cards are needed. Initiated by Ahok emphasizes that his volunteers at the young, Teman Ahok combines traditional Teman Ahok have agreed with and support media (including posts, booths, hotlines and his decision. gatherings) and new media (including website temanahok.com, Twitter, Facebook, Youtube Ahok’s political manoeuvers have always and Instagram) on their movement (Table 3). been controversial. His steps of being an independent governor, having a clash with the New media is the first tool for Teman Ahok to City Council on the budget draft and prioritizing attract public engagement. The website is used an independent path in gubernatorial elections certainly have ‘shaken’ the country’s political 6 This movement firstly received assistance from political consultancy institutions, particularly the CEO establishment. The voluntarism of Teman of the Cyrus Network, Hasan Nasbi, who works in Ahok to some extent shows Ahok’s strategy to collaboration with Sunny Tanuwidjaja, an unpaid political demonstrate his mass support to the political staffer for Ahok. Hasan trained them in campaign strategy, provided a building as a post and gave Rp500 parties. The decentralization in reformasi has million for initial preparations (Purnomo, Aprianto & further enhanced oligarchy in Indonesia, with Ernis 2016). Later, they started to sell merchandise to local and national politicians cooperating with finance their movement. Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 31 Aulia Hadi and Riwanto Tirtosudarmo bureaucrats and business, to implement as controversial blasphemy case. The case well as manipulate policies and laws to their began when Ahok delivered a speech during needs (Hadiz, 2010 and Berenschot, Nordholt a visit to the Kepulauan Seribu Regency citing & Bakker, 2016). Ahok’s manoeuvers certainly Surah al-Maidah, verse 51 of the Quran. It brought ‘trouble’ to those oligarchic national states that Muslims should not vote for non- political elites. Just like Bersih in Malaysia Muslims as leaders. A short clip portraying (Lim, 2016), these manoeuvers encourage Ahok as joking and telling the locals not to be the public, particularly the youth in Teman lied to by political leaders using that surah went Ahok, to engage in wide civic politics. viral after it was edited and a comment added. Alas, the Indonesian Ulema Council (MUI) considers it to be blasphemy and has urged Political Contest for the Upcoming the police to handle this case. Furthermore, Jakarta 2017 Gubernatorial Elections the hard-line group, Islamic Defenders Front (FPI) has filed a complaint against Ahok with the police. At the beginning of 2016, Ahok was topping the electability survey for Jakarta’s Protest and support abounded in response 2017 Gubernatorial Elections. From the to Ahok’s blasphemy. Spearheaded by the FPI poll conducted by the Indonesia Survey leader, Habib Rizieq, the National Movement Institute (LSI) for example, on March 2016 to Safeguard the Indonesian Ulema Council’s his electability reached 59.3% leaving other Fatwa (GNPF MUI) organized three rallies candidates behind (Tempo, 21-27 November to demand the arrest of Ahok. The rallies on 2016: 34-35). As reported by Tempo, his 14 October, 4 November and 2 December electability decreased slightly to 49.1% when consecutively aimed to urge the police to he decided to jump on the political party investigate, prosecute and incarcerate Ahok. bandwagon at the end of July 2016. In fact, During the movement, people wearing white Ahok enjoyed a comfortable gap in most flocked downtown. The second rally even surveys until he registered as gubernatorial ended with a riot. The movement abated when candidate with as his the National Police Criminal Investigation running mate. Department named Ahok a suspect in a blasphemy case on 16 November. Meanwhile, The political contestation heated up at the Ahok’s adherents held a Bhinneka Tunggal end of September 2016 because of Ahok’s Ika parade, citing the national motto meaning

Source: www.thejakartapost.com Picture 3 The 4th November Rally against Ahok’s Blasphemy

32 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 MIGRATION, ETHNICITY AND LOCAL POLITICS: THE CASE OF JAKARTA, INDONESIA

Table 4 Examples of Hate Speech on #DoaUntukAhok (#Pray for Ahok) Anti-Ahok Pro-Ahok nahhh kalo alesan dia gusur karna itu bukan Ngoceh comberan? Lo bs gak belajar tanah milik warga, ngapain si ahok ngoceh bahasa indonesia yg baik dan benar dlu. comberan tentang ayat dari kitab suci yang Ngomong aja kyk org gak sekolah mau bukan “milik dia” yg dalam hal ini enggak dia komentarin org lain. Manusia tolol kyk lo imani?!!! Lu tuh yg bego!!! Hahaha bego lu!!! ini ni yg hrs nya musnah dr ina. Perusak [If Ahok evicted the people living not on moral dan penghasut tnpa tau apa2. Alias their lands, then why he delivered wanton tong kosong, gunain dlu hidup lo bt org speech using Quran that is not belong to lain deh.. berguna jg enggak lu him? Such an idiot!!! …] [Delivered wanton speech? Can you speak Bahasa Indonesia in good and right ways? You speak as if you aren’t educated, but deserve to criticize others. Such stupid person like you should be annihilated from Indonesia. You are moral destroyer and provoker. …] Haha emang nya anda tau saya demo Kalian mengatakan kami kafir, kalian atau tidak demo nya?? Lebih baik saya mengais rejeki dari kami, memakai barang demo walaupun berkata seperti demikian. pun made in china semua, agan tidak Setidaknya allah liat perjuangan kita malu dgn perkataan anda, bisa diliat anda bahwasanya kami ini ada pergerakan ketika pendidikan rendah, makan ciki dl gan islam di injak2. Dari pada anda yg tidak demo [You named us as infidel. You work for us. sok ikut komentar. Dasar cina kafir ! You use made in China products. Don’t [… At least Allah saw my struggle in you feel ashamed with your words? It defending Islam. In fact, you didn’t join the seems that you are low-educated one. rally and only commented. Such an infidel …. ] Chinese.] Source: Compiled by the authors from Instagram of temanahokofficial. unity in diversity, on 19 November and 4 Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama-Djarot Saiful December. Rather than supporting Ahok Hidayat and -Sandiaga Uno. explicitly, the goal of this parade was to call While Agus-Sylviana has political support on the nation to maintain unity amidst recent from the Cikeas Coalition consisting of the tensions. People wearing red and white clothes Democratic Party, the National Mandate Party and traditional attire gathered around Thamrin (PAN), the United Development Party (PPP) Boulevard to hold interfaith prayers as well as and the National Awakening Party (PKB), music and traditional performances. Not only Anies-Sandiaga receives it from Gerindra in the offline space, particularly in the city of and the Prosperous Justice Party (PKS). The Jakarta, but also the online space has violent next Jakarta Gubernatorial Elections between tension broken out. The widespread use of those three pairs reflects national political social media enables people to distribute hate contestation with three main patrons, namely speeches as shown in the following Table. the preceding President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (Cikeas Coalition), a On 24 October, the Jakarta General previous President Megawati Soekarno Putri Elections Commission (KPU) determined (PDI-P) and the losing presidential candidate the serial numbers for the three pairs of Prabowo Subianto (Gerindra). candidates running for the Jakarta 2017 Gubernatorial Elections. The serial numbers Regardless of Ahok’s blasphemy case, of 1, 2 and 3 were obtained consecutively by the events show the increasingly heated Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, political contestation for the next Jakarta

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 33 Aulia Hadi and Riwanto Tirtosudarmo

Gubernatorial Elections. The contestation not sees the texts as direct messages from God only involves political patrons, but also the and demands Islamic purification. These militant grassroots. This certainly supports scripturalist networks are becoming popular the argument of Berenscholt, Nordholt and control religious institutions, such as and Bakker (2016) on the dominance of mosques, schools and even the Indonesian oligarchic elites and patronage politics in Ulema Council (MUI) (Kloos & Berenschot, the democratization of Southeast Asia, 2016). Meanwhile, the advocates of pluralism including Indonesia. However, we believe are the minority migrants, including Christians that migration and ethnicities transforming and Chinese-Indonesians, as well as Jakarta into a cosmopolitan city will also moderate Muslims. The moderate Muslims contribute to enhance the deepening civic or substantialists argue for a more flexible politics of Jakartans. The recent movements interpretation according to modern needs and and debate in the civic space, both offline and circumstances (Kloos & Berenschot, 2017), online, between hard-line Muslims, moderate including voting for non-Muslim leaders. The Muslims and other pluralist groups provide widespread use of social media speeds up the great opportunities for most Indonesians, distribution of hate speech among them and especially Jakartans, to learn and participate speech may actually reflect the underlying in various forms of civic politics. problem of inequality in economic distribution as well as the stratification gap of different social classes within Indonesian society. Conclusion: Civic or Sectarian Politics? Concurrently, migration and ethnicities have brought changes to the political The story of Jakarta provides an example landscape of Jakarta. For the first time, there of the ways migration and ethnicities influence is public engagement in political movements local politics, both in political discourse and to support their candidate in the next in political systems. Rather than glorifying gubernatorial elections on an independent the widespread use of social media in recent path with no political party affiliations. While political life, we believe the current political the young people are mostly assumed to developments are a result of many factors be disconnected from traditional electoral along the historical processes. The fact of politics (Bennett, et.al., 2009; Levine, 2007; Jakarta as a ‘host city’ of migrants since the Zukin, et.al., 2006 in Lim, 2016), Teman Ahok colonial time and even after independence narrates a contradictory story. The young do has created a multi-ethnic city with a not hate politics. They are willing to participate relatively plural identity. While the Old Order in the ‘white’ political practices, which they introduced diversity and the New Order describe as clean and relatively free from the forced a military line in terms of Jakarta’s oligarchic elites, including political parties, leadership, the democratic atmosphere of therefore, they struggle to collect support recent local politics encourages more plurality for their independent candidate. Rather than and multiculturalism. Thus, for the first time focusing on narrow identity, they put plurality in history, a Christian Chinese-Indonesian is and socio-economic welfare issues at the top. standing in the Jakarta 2017 Gubernatorial Overall, these provide space for all Elections. Jakartans to comprehend their citizenship The political discourse in the recent and the civic political culture. Migration Jakarta local politics highlights conservatism and ethnicities have transformed Jakarta versus pluralism as the core of heated into a cosmopolitan city and brought deep discursive debate. The conservatism, which consequences to the dynamics of local is mostly from hard-line Muslim groups, politics. Will civic politics gain victory in a

34 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 MIGRATION, ETHNICITY AND LOCAL POLITICS: THE CASE OF JAKARTA, INDONESIA proliferating migrant city, like Jakarta? This Berenschot, Ward, Henk Schulte Nordholt remains questionable as the gubernatorial and Laurens Bakker. 2016. “Introduction: elections will be held on 15 February 2017 Citizenship and Democratization in and the time of Ahok’s blasphemy case has Postcolonial Southeast Asia.” Citizenship not been decided yet by the court. Surely, and Democratization in Southeast Asia, these are great tests for the plurality of edited by Ward Berenschot, Henk Schulte Jakarta, particularly in terms of ethnicities and Nordholt and Laurens Bakker, pp. 1-30. religions, as well as the government in terms Leiden: Brill. of economic redistribution among Jakartans. Bunnell, Tim and Michelle Ann Miller. 2012. “Jakarta in Post-Suharto Indonesia: References Decentralization, Neoliberalism and Global City Aspiration.” Space and Polity, pp. 35- 48. Abeyasekere, Susan. 1987. Jakarta: A History. Castles, Lance. 1967. “The Ethnic Profile of Singapore: Oxford University Press. Djakarta.” Indonesia, Vol. 23, pp. 153-204. Ananta, Aris, Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Dwifatma, Andina. 2015. “Ahok: Another Hasbullah, Nur Budi Handayani and new hope?” The Jakarta Post (28 March). Agus Pramono. 2015. Demography of Retrieved from http://www.thejakartapost. Indonesia’s Ethnicity. Singapore: ISEAS com/news/2015/03/28/ahok-another-new- Publishing. hope.html. Aprianto, Anton, Muhamad Rizki, Larissa Elyda, Corry. 2015. “Residents support Ahok Huda, Prihandoko and Muhammad during Car Free Day.” The Jakarta Post Kurnianto. 2016. “Dari Pantai Mutiara ke (2 March). Retrieved from http://www. Teras Balai Kota.” Tempo, 20-26 June, pp. thejakartapost.com/news/ 2015/03/02/ 30-37. residents-support-ahok-during-car-free- Aprianto, Anton, Dewi Suci and Indri Maulidar. day.html. 2016. “Dari Kepulauan Seribu, Berakhir di Fearon, James D. and David D. Laitin. 2011. Trunojoyo.” Tempo, 21-27 November, pp. “Sons of the Soil, migrants and civil war”. 30-33. World Development, Volume 39, No. 2, pp. Aspinall, Edward. 2011. “Democratization and 199-211. Ethnic Politics in Indonesia: Nine Theses.” Firman, Tommy. 2008. “In Search of a Journal of East Asian Studies,11, pp. 289- Governance Institution Model for Jakarta 319. Metropolitan Area (JMA) under Indonesia’s Bakker, Laurens. 2016. “Militias, Security New Decentralisation Policy: Old Problems, and Citizenship in Indonesia.” Citizenship New Challenges.” Public Administration and Democratization in Southeast Asia, Development 28, pp. 280-290. edited by Ward Berenschot, Henk Schulte ____. 2009. “The Continuity and Change Nordholt and Laurens Bakker, pp. 125- in Mega-Urbanization in Indonesia: A 154. Leiden: Brill. Survey of the Jakarta-Bandung (JBR) Barter, Shane Joshua and Isabelle Cote. 2015. Development.” Habitat International, 33, 4, “Strife of the soil? Unsettling transmigrant pp. 327-39. conflicts in Indonesia”. Journal of Southeast Hadiz, Vedi. 2010. Localizing Power in Post- Asian Studies, Volume, 46, Issue 1, pp. 60- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia 85. Perspective. Stanford: Stanford University Press. Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 35 Aulia Hadi and Riwanto Tirtosudarmo

Hamid, Abdul. 2014. “Jokowi’s Populism in Nurhasim and Moerat Sitompul. 2016. the 2012 Jakarta Gubernatorial Election.” “Setelah jadi Tersangka.” Tempo, 21-27 Journal of Current Southeast Asian Affairs, November, pp. 34-35. 33, 1, pp. 85–109. Panitia Penulisan Gubernur Jakarta. 2011. Handoko, Dian Triyuli. 2016. “Basuki Tjahaja Kepala Pemerintahan Daerah Jakarta. Purnama: Lebih Baik Masuk Penjara Prihandoko. 2016. “Parade Pendukung Ketimbang Mundur,” Tempo, 21-27 Basuki.” Tempo, 21-27 November, pp. 40. November, pp. 42. Purnomo, Wayan Agus, Anton Aprianto Heriyanto, Devina. 2016. “Q&A: Indonesia at and Devy Ernis. 2016. “Proposal Dahulu Stake in November 4 anti-Ahok Rally?,” Relawan Kemudian.” Tempo, 20-26 June, The Jakarta Post, 3 November. Retrived pp. 39-40. from http://www.thejakartapost.com/ academia/2016/ 11/03/qa-is-indonesia-at- Sunudyantoro, Ahmad Faiz, Rezki stake-in-nov-4-anti-ahok-rally.html. Alvionitasari, Arkhelaus W. and Nofika Dian Nugroho. 2016. “Ancaman Kedua setelah Kanumoyoso, Bondan. 2007. “Pengantar: Tersangka.” Tempo, 21-27 November, pp. Perubahan Identitas Penduduk Jakarta.” 38-39. Profil Etnik Jakarta, Lance Castles, pp. xi- xxxi. Jakarta: Masup. Suryadinata, Leo, Evi Nurvidya Arifin and Aris Ananta. 2003. Indonesia’s Population: Kloos, David and Ward Berenschot. 2016. Ethnicity and Religion in a Changing “Citizenship and Islam in Malaysia Political Landscape. Singapore: ISEAS. and Indonesia.” Citizenship and Democratization in Southeast Asia, Teresia, Ananda, Raymundus Rikang and edited by Ward Berenschot, Henk Schulte Istman M.P. 2016. “Blusukan Mencari Nordholt, and Laurens Bakker, pp. 178- Ulama.” Tempo, 21-27 November, pp. 36- 210. Leiden: Brill. 37. Lim, Merlyna. 2016. “Digital Media and The Jakarta Post. 2016. “No Corruption in Malaysia’s Electoral Reform Movement.” Sumber Waras Land Acquisition: KPK.” Citizenship and Democratization The Jakarta Post (14 June). Retrieved in Southeast Asia, edited by Ward from http://www.thejakartapost.com/news/ Berenschot, Henk Schulte Nordholt and 2016/06/14/no-corruption-in-sumber- Laurens Bakker, pp. 211-237. Leiden: Brill. waras-land-acquisition-kpk.html. Miichi, Ken. 2014. “The Role of Religion and Van Laer, J. and P. Van Aelst. 2010. “Internet Ethnicity in Jakarta’s 2012 Gubernatorial and Social Movement Action Repertoires.” Election.” Journal of Current Southeast Information, Communication and Society, Asian Affairs, 33, 1, pp. 55-83. 13, 8, pp. 1147-1171. Muntaco, Firman. 2006. Gambang Jakarte. Windarsih, Ana and Aulia Hadi. 2014. Jakarta: Masup. “Aglomerasi Jakarta: Konsep, Problematika, dan Perkembangan Aspek Murtadho, Roy. 2016. “Aksi Bela Islam: Kelembagaannya.” Dinamika Sosial di Antara Bela Agama dan Bela Oligarki.” Kawasan Pusat Aglomerasi Pantura Indoprogress, 2 December. Retrieved from (JABODETABEK, KEDUNGSEPUR, http://indoprogress.com/2016/12/aksi- GERBANGKERTOSUSILA: Kasus Kota bela-islam-antara-bela-agama-dan-bela- Jakarta, Semarang, dan Surabaya, edited oligarki/. by Aulia Hadi, Jakarta: PMB-LIPI and PT Gading Inti Prima, pp. 23-48.

36 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 Populasi

Volume 24 Nomor 2 2016 Halaman 37-66

HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT

Muhadjir Darwin

Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada

Correspondence: Muhadjir Darwin (e-mail: [email protected])

Abstract

This article elaborates citizens’ participation in shaping local development in the Indonesian context. The main question is how to make local development more participatory as a guarantee that citizens’ rights are fully realized. In that respects, social accountability is a key that should be improved from supply and demand sides simultaneously. From the supply side, there is a need to reform local governance, in order to improve the quality of local regulations, local planning, local budgeting, and local public service provision. While from the demand side, there is a need to empower local citizens so that they are engaged in five forms or local development efforts: local regulation formulation, local development planning, local budgeting, community driven development, and public service provision.

Keywords: local development, social accountability, local citizens

State should encourage popular participation in all spheres as an important factor in development and in the full realization of all human rights.

(United Nations, The Declaration on the Right to Development [2000], the second clause of Article 8)

Introduction In the context of fulfilling the people aspiration, local developments must be The success of national development lies participatory. People are not object but subject on the effectiveness of local development since of development. Concurrently the meaning of most implementation of national development their participation should not be reduced as policies are in the hand of local governments. a legitimating factor of top-down government Likewise, in this current era of decentralization decisions but as strategic stakeholders in all local governments play strategic roles not stages of government planning and public only as implementers of policies designed policy processes. Indonesia has ratified the by the central government, but also as policy United Nations’ Declaration of the Right to makers on local development. The policies Development (2000); an article 8 states “State they make should be in accordance with should encourage popular participation in all national development goals but at the same spheres as an important factor in development time, it ought to be in line with the aspirations and in the full realization of all human rights”. of their citizens.

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 37 Muhadjir Darwin

Indonesia has also ratified Millennium Why Participation? Development Goals as a standard of the national development achievement. This global commitment emphasizes a special First, we are now in time in which the concern on poverty alleviation for seven out of waves of democracy, decentralization and eight goals address poverty related issues. In governance flow to all parts of the globe almost the same time it highlights MDGs requirement inescapably. In the last two decades, Indonesia for citizen participation, especially the poor, has been a part of this global movement. It in development processes. “Empowering seems difficult, if not impossible, to return poor people and marginalized communities, the clock back to the obsolete authoritarian improving local governance, providing and centralist system. There is a strong adequate public infrastructure and services, argument to maintain it. Decentralization and and enabling dynamic, equitable private sector democratic local governance have a greater growth are all required to meet the MDGs. vitality to achieve the social welfare; one of These results cannot be achieved by fiat from them is through delivering accountable and above; they must be produced by effort from responsive public services. Decentralization below supported by enabling policies and can effectively shortens the “long route” of partnerships” (Helling, et.al., 2005: i). accountability by creating opportunities for more meaningful and more effective contact In addition, Indonesian Government has between public officials and citizen influence also ratified National Poverty Alleviation over public management (UNDP, 2004). Strategies (SNPK) which adopted the right- based approach of development stated in The key term, which identifies such type the United Nations’ Declaration of the Right of promising system, is citizen participation. to Development. The SNPK mentions that There will be no real democracy, effective “The State respect, protect, and fulfill poor decentralization and good governance people rights, men and women” (Bappenas, without real people participation. With no 2005: 123) and “Poverty alleviation is carried genuine participation democracy is artificial. out with the active involvement of all parties, In the absence of people participation, including the poor, men as well as women” decentralization only moves centralization (Menko Kesra, 2005: 125 and Darwin, 2005: and corruption from the center to the local 56). areas. Good governance requires several key

Box 1 Four Types of States’ Obligation to People

Respect: The state should not to interfere; it has to respect the political rights of its people, also to respect property rights to enable people to provide for themselves. Protect: The state has to stop other people abusing the rights of their fellow citizens—by enacting and enforcing appropriate legislation. Facilitate: The state should do in a more positive form of intervention—such as building infrastructure, running public health campaigns—so as to improve people’s capacity to raise their own standards of human development. Fulfill: If all else fails, in the case of some people, the elderly, the disabled, or the disadvantageous groups are genuinely unable to meet their own needs, then the ultimately the government should step in as the provider of last resort.

Source: Stalker & Mishra, 2003: 9

38 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT

Box 2 Key Attributes of Good Governance

1. Full protection and promotion of civil, political, economic, social and cultural rights for all 2. Practices of democracy and respect for human rights, including minority rights 3. Inclusive political processes, allowing genuine participation by all citizens in all our countries 4. Freedom of the media to perform their essential role and the right of public to have access to information.

Source: DESA, 2005: 5 attributes; one of them is inclusive political resources are used to meet service users’ process, which allow all citizens to participate. priorities. Participation can also improve communication and building trust, reduce Second, participation is needed to make conflict and discord, and smooth the process development process more accountable. of policy implementation freedom of the media Accountability is the synthesis of two to perform their essential role and the right of concepts: answerability—“the tight to receive public to have access to information. information and the corresponding obligations to release details”—and enforcement—“the Third, participation is needed because idea that accounting actors do not just ‘call into this is the only way for governments to gain question’ but also ‘eventually punish’ improper legitimacy when the trust in governments is behavior (Schedler, 1999: 13). In other words low. This is particularly important in the context A is accountable to B if B can (1) know A’s of an increasing number of devolved service behavior, and (2) exert pressure on A to agencies and partnerships, whose indirect influence that behavior (Hale, 2008: 76). The relationships with a local government have answerability is a matter of transparency—the led to accusations of ‘democratic deficit’. Here availability of information for the citizens to participation may be seen as a way to help access. Only when citizens have capacity and draw a balance between the desire of devoted willingness to receive information from the agencies for autonomy and the need for them governments and use this information to call to maintain their credibility and legitimacy into question the public officials’ wrongdoing with the public for managing public services or to punish their improper behavior, the (Simmons and Bichal, 2005: 262). government will be accountable. In many developing countries governments In other words, using their right to fail to deliver key essential services to participate, people are able to control local their citizens because of problems such government budget such as DAU, DAK, or as misallocation of resources, leakages/ revenue sharing to make utilization of the corruption, weak incentives or lack of funds go to the programs which give real articulated demand. Similarly, governments benefits to local people, particularly the poor. often formulate policies in a discretionary and Participation is also necessary in public non-transparent manner that goes against service deliveries. To improve the quality of the interests and actual priorities of the poor. public services, people can provide policy These problems are perpetuated because makers with a variety of ideas, perspectives the three groups of actors in public policy and suggestions than traditional policy advice and service delivery chain—policy makers, can offer. Participation is therefore have a service providers and citizens—have different practical value; it improves the performance (sometimes conflicting) goals and incentives, of key public services by shaping better- compounded by information asymmetries informed decisions and ensuring that limited and lack of communication. By enhancing

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 39 Muhadjir Darwin the availability of information, strengthening This happens when a religious radical group citizen voice, promoting dialogue and went to the street to support the bill on anti- consultation between the three groups of pornography, the bill which basically limits the actors and creating incentives for improved freedom of people to express, or when such performances, social accountability can go a a group acted violently to the other mass who long way toward improving the effectiveness demonstrate peacefully in the public place of service delivery and making public decision to demand government to protect people making more transparent, participatory and freedom to believe.1 pro-poor. Since poor people are most reliant Likewise, general elections (pemilu), on government services and least equipped president elections (pilpres), or local head to hold government officials to account, they elections (pilkada) political candidates often have most to gain from social accountability brought their fanatic followers (sometimes initiatives (Malena, et.al., 2004: 4). using money politics) into violent and bloody Nevertheless, participation is a nice word conflicts with their opponent fanatic followers that anyone likes to say. Even authoritarian that keeps the democratic political election far regimes often use the term, not so much to from peace and fail to make people wiser by empower people or to meet people’s demand acknowledging difference and accepting lose. but rather to gain public acceptance or to This violent and bloody election happens in obtain political legitimacy. The Soeharto’s many elections in the country; the extreme regime always argued about the importance of cases were in Poso, , also people participation in development. However, in Maluku and North Maluku. Likewise, the what they really wanted was not genuine decentralization law which allows local areas citizen involvement but people mobilization to form new provinces or districts, often to support the ruler’s political agenda. Six used by local politicians to mobilize local times of general election during 30 years of residents to gain approval of their pemekaran the New Order Era, more than 90% of eligible (expansion) proposal in the sake of their own citizens voted, yet this high participation level interests, sometimes through bloody violence did not represent a real participation since the as happened in the case of Tapanuli, North government socialized the concept of voting Sumatra. as people obligation rather than right. This is not participation we expect to Participation is not socialization in which extend. Rather, we have to develop people the government socializes their top-down participation that admires the values of policies to get people acceptance and democracy, pluralism, humanism, and support, sometimes coercively. Participation inclusiveness. The success of participatory is the genuine involvement of people, local development does not rely on whether regardless of their political affiliation, gender or not we are able to prevent the state from identities, economic and social status in the authoritarianism but also to avoid chaos, whole policy processes or in the provision violence, and brutalism by the crowds in the of public services. In order to get genuine name democracy or participation. people participation, government should People give their participation in two acknowledge, respect, facilitate, and fulfill the ways: first is to participate as voters in public people rights to express their will. elections (representative democracy); and In the current democratic system, elites or certain social groups sometimes use the 1 The instance of it is the Monas incident on June 1, term of participation for the political agendas, 2008, between Moslem Defender Front (Front Pembela Islam/FPI) and the National Alliance for Religious and which are against the values of democracy, Belief Freedom (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan pluralism, freedom, transparency, or tolerance. Beragama dan Berkeyakinan/AKKBB).

40 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT second is to involve more directly in all stages Social accountability is an approach of policy making processes or in public service towards building accountability that relies on mechanism (deliberative democracy). In this civic engagement, i.e., in which it is ordinary context, the democracy we promote to shape citizens and/or civil society organizations that local development is not only representative participate directly or indirectly in exacting but also deliberative one. To make local accountability. The indirect mechanism of government accountable to its people, the social accountability in democratic states existence of the later is a necessity. is elections. This indirect participation is a very blunt instrument with which to hold accountable. Even if citizens were fully and Social Accountability in accurately informed of the views and actions Local Development of every political candidate (which of course far from the case), elections still only allow citizens to select among a limited number of Accountability is a fundamental principle individuals or political parties. They do not of democracy and crucial to make local offer citizens to express their preferences on development meets the will of the citizens. In specific issues, to contribute in a meaningful a democratic country, citizens have the right way to public decision making or to hold public to demand accountability and public actors actors accountable for specific decisions or have an obligation to account. “Those calling behaviors. for an account are asserting rights of superior authority over those who are accountable” To gain better social accountability, citizens (Ackerman, 2005: 12). Accountability is the should be able to participate more directly in obligation of power holders to account for or policy making process as well as in service take responsibility for their actions. Power delivery mechanisms. There is a broad range holders refer to those who hold political, of actions and mechanisms (beyond voting) financial or other forms of power and include that citizens, communities, civil society officials in governments, private corporations, organizations (CSOs) and independent media international financial institutions and civil can use to hold public officials and servants society organizations (Malena, et.al., 2004: 2). accountable. Traditionally, these have included a variety of citizen or civil society- To develop more accountable local led actions such as public demonstrations, governance, citizens’ participation is the protests, advocacy campaigns, investigative key point. Citizens are the target of local journalism and public interest lawsuits. Such governance improvement efforts. They need traditional social accountability is often seen to be empowered to make them more aware of to be closer to the punishment than to the their rights as citizens and to make them more reward side of spectrum; tends to associate capable to voice their interests, to complain social mobilization with anger and protest. the service providers when they receive unfair treatments or when they see certain In more recent years, the expanded use of government wrongdoings, or to propose participatory data collection and analysis tools particular development programs. But at combined with (in many country contexts) the same time, the citizens as individuals enhanced space and opportunity for citizen/ or as parts of citizen organizations or non- civil society engagement with the state, had government organizations can play strategic led to a new generation of social accountability roles to push the government to reform their practices that emphasize a solid evidence regulations, planning, budgeting and public base and direct interaction with government service mechanisms to meet the citizens’ counterparts. These include, for example, demand. participatory budgeting, public expenditure

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 41 Muhadjir Darwin tracking, citizen monitoring and evaluation favorable climate at international, national, as of public service delivery. They also include well as local levels that works as an enabling efforts to enhance citizen knowledge and use factor of participatory local development. In of conventional mechanisms of accountability this instance, Indonesia have built global (Malena, et.al., 2004: 13). Such new type of partnership with other nations, received aids social accountability grounded in constructive and advocacy from many international donor partnership between civil society and the agencies, has ratified the United Nations’ state. Citizens are mobilizing, often locally, Declaration on the Right to Development to demand better services, not by shouting, Millennium Development Goals, and enacted but by counting, making sure that their laws which provide a legal basis for carrying government spend effectively, and keep their out participatory local development efforts. promises. Shouting is often effective. Indeed, Second, to make local development it is the only resource civil services are left more participatory, there must be efforts to with. Nevertheless, setting up arrangement of improve social accountability from supply “state-society synergy” which lead to rewards as well as demand side simultaneously. for both side of equation can even be more From the demand side citizens must be fruitful (Ackerman, 2005: 13). empowered, particularly the poor as to make Graphic 1 shows how participation shapes them acknowledge their right as citizens to local development. First, there must be a participate in local development efforts, to

Source: Primary data Notes: BOs = Business Organizations CSOs = Civil Society Organizations LGs = Local Governments

Graphic 1 Two Sides of Participatory Local Development towards Accountable Local Governance

42 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT increase their capacity to participate, and due to the public mandate it gets from to use the opportunity they have to give citizens. Business sector is also significant full participation in the local development factor of local development. Enabling local processes. In the meantime, from the private sector growth contributes to the supply side is to reform local governance economic basis for local development, both through the enactment regulations, which in urban settings where industry and services promote government transparency and the provide the economic base and in rural areas enhancement participatory policymaking, where agriculture and agribusiness provide planning and budgeting, and service economic base (Helling, et.al., 2005: 6). provision mechanisms. These two side efforts Moreover, business sector though its primary require partnership among local governance motive is profit, it also assumes to have social stakeholders that includes local governments, responsibilities. Private businesses take a business organizations (private sectors) part in public service provision so that clients and civil society organizations (mass media, have more alternatives to choose. Many big universities, NGOs or citizen organizations). corporations deliver social responsibility This partnership are built either to empower programs which to a certain degree favor poor civil society or to participate in local or marginalized people. governance reforms. The enhancement of citizens’ participation requires local governance mechanisms reforms toward more transparent, inclusive and The Supply Side: participatory. We can list a number of efforts to Local Governance Reforms make such reforms. LGSP (Local Governance Support Program), which is supported by Local governance is the way decisions USAID, builds collaboration among the central are made and implemented by and on behalf government, local governments and civil of people in a local area. It includes the society organizations to improve participatory, allocation of authority to decision makers; the effective and accountable governance in a authorization to use collective financial and number of selected provinces in Indonesia. natural resources, provision of public goods The program that was started in 2005 worked and services, and holding accountable those in 60 districts and municipalities to provide to whom authority is entrusted. In addition to technical advocacy and training to improve local governments and other local public sector the capacity of local governments, citizen agencies, local government encompasses a organizations and media. The advocacy variety of civil society institutions, including was provided on integrated planning and resource users groups and citizen oversight budgeting, management of local government, bodies linked to public service delivery public service provision and participatory networks. Local governance institutions also governance through local council and civil include community development committees, society. indigenous institutions and traditional World Bank promote three comprehensive authorities, voluntary associations, and programs: ILGR (Initiative Local Governance nongovernmental self-help organizations Reform), USDRP (Urban Sector Development (Helling, et.al., 2005: 6). Reform Project) and SPADA (Support for Poor The three elements of local governance— and Disadvantaged Areas). ILGR is a program local government, business sector and that attempts to enhance the transparency, civil society—plays important roles in accountability and public participation in local development efforts. Indeed, local the process of decision making to make government remains central in these efforts development more concerned on poverty

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 43 Muhadjir Darwin reduction efforts. UNDRP is the program rural assessment, participatory local or to assist governments in implementing the village planning, participatory local or village Urban Institutional development Program budgeting, and self help community programs (UIDP) and in the formulation of the national on housing, small enterprises, health, policy on urban development, particularly environment, etc. Third, NGOs can work on urban development finance, poverty from the reverse that is to improve the supply alleviation through the development of local side of accountability. In this instance, NGOs economy and the improvement of public may collaborate with citizens’ organization or service provision. residents to push the local government to do certain governance reforms (to construct new USDRP is a program to assist central regulations, to develop new mechanisms of government and local government to improve policy making or public service provision), or the quality of governance. In the central to control governments’ programs and public level, the program helps the government service provisions. in implementing project management. While in the regency level, it helps district CSOs are apparently not new institutions in and municipality government to carryout the history of Indonesian politics. Even during reformation of basic governance, to formulate the era of Dutch occupation we have already capacity building and institutional development had them (Muhammadiyah, NU, Tamansiswa, strategies. etc.), also during the Soekarno’s or Soeharto’s eras we have already had a number of In the meantime, SPADA help the NGOs which work in various public issues, Indonesian government to address problems such as family planning, gender, poverty, or of governance and poverty in the 100 poorest environment. But the rate of growth in the last districts of the country. It draws on the 10 years is amazing. Nowadays the number new government’s commitment to poverty of CSOs all over the country is around 2,000 reduction and to the priority assigned to (see Graphic 2) but spread unequally among promoting development in the poor districts regions. The rapid growth of NGOs may be now entering post-conflict reconstruction. due to euphoria of democracy after the fall of Soeharto’s power but probably also because of The Role of NGOs the international pressure. Most international aids require the recipient governments to collaborate with NGOs in conducting public In regards to participation and people programs. empowerment, the role of civil society SMERU’s figure that was collected in 2004 organizations, particularly the non- is much higher compared to LP3ES data that government self-help organizations (NGOs) was collected three years earlier (2001). The needs to get special attention. NGOs’ role reason of this big difference may be because is unique in shaping local development. of time difference in data collection but it could First, NGOs grow from within the society so be also because they define CSOs differently. that their existence may indicate the life of SMERU’s definition is wider that includes all civil society. Second, NGOs are partners of non-state organizations, such as religious governments to improve the demand side of based student organizations. This graphic accountability. In this case, NGOs may work shows that CSOs in Indonesia is quite large independently or collaboratively with the in number, at least if we compare with the governments to empower citizens through previous decades. The booming momentum training, advocacy or public actions. They happened from the 1980s to the 1998 advocate local residents to do participatory reformation period.

44 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT

of regency governments. In West Java, for instance, Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) Akatiga Foundation was established. Indonesian Partnership on Local Governance Initiative (IPGI) was established in , Bandung and Dumai Municipalities while Parwi Foundation emerged in Yogyakarta (S2-PLOD, 2008: 13).

The Demand Side: Empowerment of Local Citizens

Empowerment is the starting point for local development. Empowerment is the process of enhancing the real possibility that an individual or a group can make and express choices, and transform their choices into desired actions and outcome. Individuals, households, and communities need both opportunity (the availability of options for meaningful decisions and actions) and capability (the ability to make meaningful choices and act on them and express them through institutions open to popular “voice”) in order to be truly empowered (Helling, et.al., 2005: 6). The outcome of citizen empowerment efforts is citizen engagement: a citizenry actively engaged in civic life—taking responsibility for building communities, solving community problems and participating in the electoral Source: drawn from Table 1, S2-PLOD (2008: and political process. Civic engagement is an 13) individual and collective actions designed to identify and address issues of public concern. Grapic 2 CSO Densities in Indonesia per The engagement is not only shown on citizens’ Province actions and efforts but also on a feeling of belonging, an experience of investment and ownership in the local, regional, national, and/ The analysis made by PLOD UGM or international political communities to which indicates an orientation shift of CSOs toward citizens belong. It works to make a difference government reform related issues. During in the civic life of our communities and the Orde Baru era, the main issues were developing the combination of knowledge, human rights, democracy and development. skills, values and motivation to make that Nowadays, CSOs concern on more specific difference (MOCS Website and Wikipedia). government reform issues, such as policy advocacy for governance reform, which includes rural development or reformation

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 45 Muhadjir Darwin

Citizen organizations together with local government bodies and NGOs discuss programs or projects, which will be funded by the local government in the coming budget year. They may give a response to a planning document published in a media, to involve in a public debate on a planning draft prior to ratification, or to monitor and evaluate local development implementation. The third kind of local development processes is budgeting. Citizens’ delegates may involve in budget formulation process in musrenbang or public consultation. They may present their budget version as an alternative Source: Primary data on the budget formulation process in a local Graphic 3 Civic engagement in Five Forms of council. After the budget document has been Local Development Efforts endorsed, they may work in partnership with other stakeholders to do analysis on the budget allocation and its impact on people. After the ratification of Law No.22/1999, a lot of efforts have been made to reform local The fourth citizens’ participation is on governance to give citizens more access to community driven development (CDD) participate. In many local areas, people are programs. CDD is an approach that transfers empowered as to make them acknowledge control over resources and decision making their own rights as citizens and have capacity to local communities. CDD programs provide to voice and involve in local development grants for scale investments that are chosen, processes. Having opportunity and capacity designed and implemented by communities. to voice and make a choice, civil society The investments could be for the development is engaged at least five forms of local of basic infrastructures such as water supply development processes (see Graphic 3). and road, social services including health and education intervention and productive The first form is in the formulation, investments in areas like small-scale irrigation, implementation and monitoring of local agricultural production or development of regulation to build local governance informal sector activities. In such programs, transparency. In this instance, NGOs and partnership is developed among stakeholders residents (warga) act as a team to influence who include CBOs, local governments, NGOs local regulation (perda) or to propose an and private firms. alternative draft of local regulation. They may also work in partnership to express their The fifth form of local development in objection toward a certain local regulation which people are able to participate is public or to report violence against a certain local service provision. Citizens’ organization may regulation or violence against a higher-level negotiate with service providers to develop regulation. standards of access, coverage and quality of services through citizen charter; or they The second form of development process, may monitor access, quality and people which demands for citizens’ participation satisfaction to public services through Citizen is local development planning mechanism. Report Card.

46 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT

Table 1 Forms of Participation on Number of Coverage Issues Coverage of Form of Character Cases Issues Participation Local Citizen proposal/ NGO and residents (warga) Jeneponto, Jatim, Regulation alternative draft work together to mobilize Alor, themselves to influence local regulation (perda) Public consultation, Government, NGOs, Citizen Alor Lebak, Jepara, constituent Organization (organisasi Palu, Madiun, Kediri, meeting, Public warga) communicate to Mojokerto Hearing (Rapat discuss local regulation. Dengar Pendapat Umum) Objection to a NGOs and citizen Syariat local Local Regulation organization work together regulation (Padang, and mobilize them to dll), Manokwari, Perda express their objection Jakarta toward a certain local regulation. Reporting Local NGOs and Citizen Bandung Municipality Regulation violation Organizations work together (Zoning), the Local to report violence against Regulation on Zakat a certain local regulation or Obligation for Public violence against a higher Officials level regulation. Planning Development Government, NGOs and Almost in all districts Planning Citizen Organization discuss and municipalities in Discussion programs and projects Indonesia (musrenbang) which will be funded by the government in the coming budget year. Information through Government, NGOs, and Bandung mass media the Press work together Municipalities to publish a planning document in mass media Public Debate Government, NGOs, and Almost in all districts (workshop) Citizen Organization Work and municipalities together to discuss a planning draft—space and program—which will be ratified by the government. Monitoring and NGOs and citizen Lebak, Sumedang evaluation of organization work together development to mobilize themselves to implementation monitor the implementation of a certain development program Budgeting The involvement Citizen delegation involve Sumedang, Lebak of musrenbang in a budget formulation delegation on KUA, process PPAS, RKA,

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 47 Muhadjir Darwin

Public Consultation Governments, NGOs, Bandung and and Citizen Organization Sumedang Districts communicate to discuss policy planning and budget draft Analysis and NGOs and Citizen Bandung District presentation of a Organizations do analysis budget alternative works and present their budget version as an alternative on the budget formulation process in a local council Publication and Government, NGOs, and Bandung District analysis of Budget Citizen Organization publish Order Draft (DPA: the budget document that Dokumen Perintah has been endorsed— Anggaran) either in the form of poster or mass media—and do analysis on the budget allocation and its impacts on people Public Citizen’ Charter Government, NGOs, and Bima District and a Service Citizen Organization agree number of districts on standard—access, and municipalities coverage and quality of facilitated by the public services will be given Center for Population to the people and Policy Studies, Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta Municipality, Semarang District and, Blitar Municipality) Citizen Report NGOs and Citizen Lebak, Magelang Card Organization monitor and Ngawi access, quality and people Districts, Bandung satisfaction to public and Semarang services Municipalities, East java, etc.) Semarang Complaint Governments develop Mechanism mechanism to patch citizen complaints toward public services and to mediate conflicts between citizens and public service providers Source: Suhirman, 2005: 3

48 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT

Civic Engagement in Local Regulation Takalar District enacted Local Regulation Processes No. 13/ 2002 on the Supporting System (SISDUK) and the Regent Circular Letter no. 415.4/453/ BAPPEDA/2001. This Elements of local governance collaborate regulation encourages societies to plan to strengthen civil engagement through two and execute their own program with budget main strategies. The first strategy is the sharing between government—using local establishment of citizen forums. In Blitar government budget—and societies/NGOs. Municipality, they form the Stakeholders In Probolinggo Municipality, Local Regulation Teamwork (TKS); in Bangkalan Stakeholders No. 5/2003 regulates citizen participation Communication Forum (FOKUS); in Kediri on development planning through the Municipality Communication Forum for Urban establishment Participatory Planning Forum Development (FKPP); in Surabaya City Communication Forum for Development Council; and in Majalaya (Bandung) Majalaya Dialogue and by providing participatory Society Forum for Welfare (FMMS). These budget stimulus. Similarly, in Kupang District forums facilitate the citizen involvement through Local Regulation No. 18/2000 on on local public policy processes and at the Mechanism Pattern for the Empowerment of same time pool the citizen energy into a solid Local Societies. Solok Municipality has Local network for joint actions. In this instance, the Regulation No. 5/2004 on the Transparency NGOs’ instinct to put local government as of Government Execution. This regulation their “common enemy” seems remain strong. regulates clearly and operationally public information access mechanism. A comparable The second strategy is to advocate regulation that guarantees citizens’ access to governments in the process of local get information is in Gorontalo Municipality government formulation in order to have (Local Regulation No. 3/2002) which gives participatory local regulations. In this instance, sanction to public officials who consciously they propose the institutionalization of citizen hide information of the local government participation space on local policy processes, activities. Another instance of participation so that the citizen participation has legal institutionalization is in East Java where the basis. This second strategy does not put the province government enacted local regulation NGOs and citizens to stand opposite to the on public services in which the process government, instead they call for collaboration involves CSOs, academicians, and citizen and partnership. As a result, a number of organizations (S2-PLOD, 2008: 16). districts and municipalities have passed participatory local regulations.

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 49 Muhadjir Darwin

Table 2 List of Regencies and Municipalities which have Regulation on Clean Government Execution Transparency (Transparansi Penyelenggaran Pemerintahan yang Bersih)

Name of Regency/ Local Regulation/Circular Letter/Decision Letter Municipality Takalar Regency Local Regulation No. 13/2002 on Supporting System (SISDUK). This regulation encourages people to plan and carry out their own program, the cost is shared with the local government using APBD, society and CSO The Regent Circular Letter No. 415.4/453/BAPPEDA/2001 on Local Government Support to the involvement of the third sector or societal groups on the formulation and implementation of government programs Solok Regency Local Regulation No. 5/2004 on The Transparency of Government Execution and Community Participation (Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat). This regulation regulate clearly and operationally the public information access mechanism. Gorontalo Municipality Local Government No. 3/2002 on Information Freedom

Probolinggo Municipality Local Regulation No. 5/2003 on Participation Kupang Regency Local Regulation No. 18/2000 on the Local Community Empowerment Mechanism Pattern (Pola Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat Daerah) Sidoarjo Regency Regent Decision Letter No. 68 on the establishment of Medical Committee for Local General Hospitals (RSUD) with the community membership element. The purpose is to control the quality of health services Gowa Regency Local Regulation No. 04/2004 on the People Participation in the execution of Gowa Regency Government. Local Regulation No. 22/2003 on General Urban Regional Planning Tombolo Municipality. Tombolopao Sub-district 2003- 2013 Bandar Lampung Local Regulation No. 13/2002 on People Participation in the Municipality formulation of Local Income and Expenditure Budget (APBD) East Lampung Regency Local Regulation No. 5/2003 on Community Based Development Planning (P2BM) West Lampung Regency Local Regulation No. 18/2004 on Community Based Natural and Environment Utilization Lebak Regency, Banten Local Regulation No. 6 Th. 2004 on Transparency and Participation in Government Execution and Development Management (Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah dan Pengelolaan Pembangunan) in Lebak District Wonosobo District, Local Regulation No. 22/2001 on Commmunity Based Forestry Central Java Resource Management (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat) (PSDHBM) Source: S2-PLOD, 2008

50 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT

Participatory Planning outcome, the head of Bappeda formulates the last draft of RKPD. The RKPD is ratified as the Discourses on a participatory development Regulation of District/Municipality Head and planning discourse has apparently begun since to be a guidance of the Local Development 1990s, a few years before the reformation. Revenue and Expenditure Planning (RAPBD) However the state has successfully enacted formulation. laws that are corresponding to these ideals throughout this decade. Participatory planning In this scheme, the development planning and budgeting has got legal recognition in the system exercises four types of processes. Law no.22/1999. The law adopts decentralist The first is a political process. The Local planning approach. Local governments have Middle Term Development Planning (RPJMD) a wide authority and get proportional fund is reduction of the vision and mission of the (dana perimbangan) so they should also have elected district/municipality head. Another an authority to formulate local planning even political process is the requirement of though not absolute for the local planning communication and dialogue between the should be compliant with central government executive (lead by the district/municipality planning. In the meantime, Law No. 17/2004 head) and the legislature (local council on Public Finance, Law No. 25/2004 on or DPRD). The second is a technocratic National Development Planning, Law No. process. Professional planners or the 32/2004 on Local Government, and Law No. government institutions that have a functional 33/2004 on Finance Balance between Central role on planning prepare the planning. In and Local Governments regulate national as accordance with Law No. 28/2005, Bappeda well as local annual planning and budgeting. and SKPD do the technocratic process. The As a technical guidance to local planning, third is participatory process. Planning involve Department of Home Affairs and National societies or citizens through musrenbang Development Planning Board (Bappenas) started at the village level. The forth is a update Joint Circular Letter annually on mix of top-down and bottom-up processes. musrenbangda (Local Development Planning Top-down means that the local plan should Dialogue). be in accordance with the national plan and correspondingly the regents or municipals Based on Law No. 25/2004 and Law No. should conform to the president. Meanwhile, 32/2004, the formulation of Local Government the bottom-up process is the process of Work Plan (RKPD) starts with Bappeda’s formulating annual plan which start with activities which originate the first draft of musrenbang at a village level, goes up to sub- RKPD. Then the heads of Local Apparatus district, regency/municipality, province, and Working Unit (SKPD) prepare RKPD work plan central levels. (renja) in accordance with their main tasks and functions and refer to the original draft Musrenbang, in 1980s called rakorbang of RKPD and based on the SKPD’s strategic (the Development Coordination Meeting), Plan (renstra-SKPD). After the Renja SKPD is a forum to implement bottom-up up or created, the head of Bappeda coordinates participatory model of local development the construction of the RKPD draft using planning. The process begins at countryside Renja SKPD. The RKPD draft is prepared by (dusun) level called musrenbangdus. Its Bappeda used as an input on the Development output is brought to a village level into Planning Dialogue (musrenbang) to formulate musrenbangda then goes up to a sub- RKPD which includes elements of societies district level called the Inter-Village Dialogue and government bodies. The musrenbang (musyawarah antardesa), previously called to formulate RKPD is organized by Bappeda UDKP. It finally goes to musrenbangda. The no later than March. Based on musrenbang process of aggregation happens in the form of

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 51 Muhadjir Darwin

Box 3

Margono, the Village Head of Burat, Kepil Sub-District: “We start development planning from empowerment; we start the empowerment by giving the poor citizens to speak and tell the problems they face. My job is just to facilitate their aspiration. Due to the empowerment, they become more critical and recognize the problem and the potential they have.”

Source: Eko, 2008:15

selecting the priorities among all inputs from Wonosobo District has already had SKPD the lower level dialogue. The village, through which was drafted based on the Participatory the LPMD (previously LKMD) forum, selects Poverty Assessment (PPA) in all villages. Even proposals from the countryside; similarly the the RPJMD paper the development priority dialogue at sub-district level decide the priority in Wonosobo has been focused on poverty by selecting proposals come from the village alleviation through the provision of the basic level, so does in the district level. At least needs services, small economy (ekonomi officially, this participatory process includes all rakyat), empowerment and infrastructures relevant stakeholders (Eko, 2008: 20). (roads and electricity), the process started earlier to focus its policy on poverty alleviation Eko’s study notes that some musrenbang through the rehabilitation of basic services process in the village and sub-district level (housing, poor families, health insurance, and has followed consistently the Joint Circular pro-poor growth). Letter on Participatory Development Planning Dialogue (ESB Musrenbang). The dialogues A micro data from villages in Kepil Sub- have involved all elements of societies, District, Wonosobo shows a growing progress including women. Yet the documents have of community empowerment. The village failed to insert in-depth poverty vulnerability government and its citizens has been more map, and tend to prose more on physical familiar with pro-poor budgeting and gender infrastructure. The dialogues in sub-district budgeting and its benefit to the poor in the level have already been attended by all village (see Box 3). relevant stakeholders, including villages’ Eko’s study also found that planning delegates; Bappeda team, SKPD and DPRD, process from societies does not determine but the time used more for delivering speech the final formulation of the local planning. instead of discussing in-depth the village People said, “The bottom up planning process delegate proposals (Eko, 2008: 14). is only in paper, in reality it is “mboten up” The question is how good the musrenbang (does not go up)”. Year after year, people in works? Eko (2008: 15) reported in his study Purbalingga and Wonosobo Villages have that most districts have practiced participatory informed their proposal to rehabilitate broken planning and pro-poor budgeting. All districts streets but they found no realization. The have had a document of the Middle Term Local local government often argues that they have Plan (RPJMD) and Local Poverty Reduction limited amount of budget to meet the people Strategy (SPKD) which guide the formulation demand. Wonosobo as well as Purbalingga of an annual planning. This document refers Districts need about Rp11 billons to allocate to the national plan and involves all elements while in fact the APBD is only Rp1 billion so of the society. In collaboration with NGOs, only 8 percent of this demand they can realize.

52 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT

Source: GDS Survey, 2002:20. Graphic 4 Sources of Informations that the Local Council Members Use to Acquire Information from Citizens

Source: GDS Survey, 2002:20. Graphic 5 Source of Information the Regents Use to Get People Aspiration

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 53 Muhadjir Darwin

Data from Governance Decentralization Pro-Poor Budgeting and Gender Budgeting Survey (GDS) 20022 shows that the local council members use musrenbang as a facility to acquire aspiration from citizens Budgeting reformation toward pro-poor on many issues, i.e., local budget drafting, and gender oriented is closely related to the implementation of development project, and issues of inequality, gender bias, poverty local regulation drafting, and implementation and backwardness, and parallel to poverty of local regulation. But musrenbang is not reduction efforts. Poverty is a paradox of the most important source of information. To Indonesia’s development, which is highly gather aspiration from the citizens, they rely concentrated on economic growth. There more on site visits or community meetings. is s strong empirical evidence that the high The comparable finding is found in GDS2. economic growth during three decades of The This survey explores units of organizations New Era government has positive correlation that local governments have developed to with the reduction of people living under the receive citizens’ aspiration by asking regents poverty line. The poverty number declined and mayors as respondents (see Graphic 4). from 40.1 percent in 1976 to 11.34 percent in The GDS 2007 findings show that ten out of 1996 (before the crisis). But that high growth 13 ILGR districts have had an organization was apparently a bubble that lies above unit which receive such aspiration. Six vulnerable economic foundation. Economic districts (Solok, Lamongan, Bandung, crisis in 1987/8 has made the proportion of Kebumen, Magelang, Gowa) put this unit into poor people went up to 23, 4 percent in 1999. the Information and Communication Office or The number then declined into 15.97 percent other offices. Ngawi and Boalemo Districts in 2000 and 15.97 percent in 2005. But the oil put this into a certain complain unit, while the price increase that was accompanied by the two other districts use other medias such as 33 percent increase of rice price on February mass media or complaint SMS. Data from 2005 to March 2006 due to the government regent respondents also available on types of rice import ban have contributed to increase media and instruments the local governments poverty number from 16 percent in February use to explore people aspirations. As much as 2005 to 17.75 percent on March 2006. 11 regents said that the source of information Budget is an annual formal government is mass media; six regents got information statement on revenue and expenditure directly from field workers and four regents estimation. Hence, it is financial planning got societal aspirations from complaint and which represent public policy choices to suggestion (see Graphic 5). overcome public problems or to achieve public goals. According to Musgrave (1959), 2 This survey is a World Bank project in which the data budget has three basic functions, namely is collected by the Center for Population and Policy allocation (to control directly or indirectly Studies, Universitas Gadjah Mada. GDS has been done the provision of goods and services in many three times up to recently. GDS1 (2002), GDS1+ (2002), and GDS2 (2006). GDS is a survey that measures the sectors, i.e. education, health, food, housing, impacts of regional autonomy on the quality of public etc.), distribution (to distribute resources services. The GDS focuses on three major stakeholders: and their utilization to reach all segments household (as users of public service provision), health and education facilities (as service providers) and of the people equally), and stabilization (to bureaucrats (as regulator/ administrator of the public stabilize macro economy, keep inflation and service). This is the most comprehensive survey in unemployment low). These three functions of Indonesia that measure the impacts of decentralization budget have multidimensional character, not on the quality of public services in terms of topic coverage, sampling techniques, survey area coverage, only economic, accounting, administrative, and number of sample. For more detail explanation, see but also political. Pattinasarani and Surya (2007).

54 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT

Budget is an economic document, an raise, and spend their resources. Budgets are instrument to balance the distribution of the central tool for planning and managing income, to stimulate the economic growth, resources. Integrating a pro-poor, participatory to enhance job opportunities, or to stabilize perspective can have profound implications macro economy. As an accounting document, for service delivery and poverty reduction budget is guidance or ceiling for government outcomes. The requirement to produce an expenditures. Budget is also a managerial SPKD provides an opportunity for districts or administrative document, an instrument and provinces to ensure that budgets fund to manage and direct the provision of public investments with poverty-reducing outcomes. services. But, more than that, budget is It supports the MTDP 2004–2009 call “to a political document, allocation of scare mainstream poverty reduction efforts in the resources to people that have complex, national economic agenda.” Experiences competitive and even conflicting interest in Brazil, South Africa, and elsewhere (Hyde, 1992). For the reason that budget is demonstrate that budgets based on increased a political document and contains “citizens’ participation, transparency, and accountability money” there must be a transparency in have real development results. Indonesia has managing the budget. “If the budget is to begun to introduce participatory planning at become pro-poor (i.e. its expenditure and various local levels through the musrenbang revenue decisions are more sensitive to the process, but the meetings focus more on local interests of the poor) it is important that the leaders’ priorities than on enabling debate poor themselves participate in its formulation, between community members and local implementation and monitoring in a manner governments. It is important to be realistic; that is equal, inclusive and collegial” (United when project affordability is not taken into Nations, 2005: 14). account, the process results in little more than unrealistic, unfunded wish lists. SPKDs should While most local governments in Indonesia be seen as action plans that are guided by are committed to improving service delivery, national-level and provincial-level strategies, there remains a gap between such statements and budgets are a way to operationalize the and the way in which local governments plan, plans (ADB, 2005: 2).

Source: GDS Survey, 2002: 20. Graphic 6 Budget Policies in Selected Sectors of Local Development

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 55 Muhadjir Darwin

The implementation of pro-poor budgeting held power to make a change, he revitalized varies among districts and municipalities. the institutions and reformed the budgeting Some districts took a lead in innovation. system: rationalized bureaucracy, to cut down Jembrana District has adopted the new the bureaucratic structure, restructured the budgeting model since 2001. This innovation mechanism of goods provision and control was started from Regent I Gde Wisena the provision tightly, shaped the budget to who wanted to change the old paradigm of be more efficient and reallocated it in order “politics as commander” into “management to improve people access on education as commander”. His innovative ideas and health services, and to move the local to reform the government, including the economy (Eko, 2008: 16). Other districts and budgeting system got tough resistance from municipalities have also made an innovation the bureaucrats and politicians in the local on budget and public service provisions. To council. While the technocrats were working name a few are Sragen, Sinjai, Purbalingga, on budget calculation, he approached Bandung, East Belitung, Blitar, Lamongan, politicians, took the leadership of DPC PDIP, Gorontalo, Yogyakarta, and many others. and struggled to get political supports from Graphic 6 shows a number of districts and minority groups and the grassroots. It took municipalities that have already adopted pro- almost a year to get political supports and after poor budgeting. he gained a conducive political climate and

Box 4 Poverty Reduction and Allocation of DKI Province Budget

Local Revenue and Expenditure Budget of DKI Province year 2001 earned a lot of criticism because of two reasons. First, the ratification process by the local council was claimed as illegitimate, and second, the expenditure allocation was claimed to prioritize the interests of bureaucrats (also the council members) rather than public interests. The amount of routine expenditures (as representation of expenditures for bureaucrats) reached 67% while expenditures for development (as representation of expenditures for public services) only 33%. As a consequence, the coalition of eleven NGOs had sued to the DKI Province Government and the DKI Council. The indications of expenditure inequalities are as follows. 1. Number of poor residents in DKI is 284,709 people, while the budget expenditure allocation that goes directly for the poor interests was only Rp130.5 billion (5.2% of development expenditure or 1.7 percent of the total budget. This means that 1 person receive Rp458 thousands a year. 2. The budget allocation for the council member welfare (85 persons) was Rp67 billion a year (for representation, packet, allowance, and official dresses). To add with expenditure allocation for the council secretariat that reached Rp78 billion, so the total budget routine was Rp145.9 billion. The amount of budget allocation to support the interests of 85 persons was higher than for 284.7 thousand people. In other words, “people money” used to support the interest of their “representative” reached Rp1.7 billion per person, or 3,742 times compare to the budget for a poor resident. 3. The routine budget for head of executive (governor and four vice governors), was Rp18.2 billion, or each person used budget Rp3.6 billion.

Based on that data, the question is should the “price” of a “people representative” and “people leader” was that high in comparison to the “price” of the citizens that they represent or lead?

Source: BKBK and SMERU, 2001, Paket Informasi Dasar Penanggulangan Kemiskinan

56 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT

How much pro-poor budgeting the local Civic Engagement in Community Driven governments have applied? Jasmina, et.al. Development (2001) analyzes the allocation of local development budget in 268 districts and municipalities, whether it is pro-poor, neutral, Top-down, centralized and government or pro-rich. The public expenditure is a) driven models of community development pro-poor (progressive) if the poor get larger programs have be the past. To name a few of proportion of benefits than the rich; b) pro-rich the past top down, centralist and government (regressive) if the benefit proportion for the driven development programs which result poor is less than the rich gain and c) neutral in controversy and people resistance were if the proportion of benefit for both is relatively the dam-building project at Kedung Ombo, equal. The sample of development sectors coercive methods of national family planning are agricultural and forestry, transportation, program, and the massive transmigration education, health, and housing and settlement. program. The results of the analysis are as follows. In the current era of governance, democracy, 1. Among the five sectors, average and decentralization, community development expenditures for agriculture, education, programs tend to be bottom-up, decentralized and housing spent more for the 20% and community driven. In this model of poorest and 14 percent spent for the development, poor people are prime actors 20% richest while for transportation in the development process, not targets of and health both groups receive almost externally designed poverty reduction efforts. equal. But, using binary variable, the Control of decisions and resources rests with poor receive benefits less than the community groups, who may often work in rich. In other words, expenditures partnership with demand-responsive support for transportation and health are organizations and service providers, including between neutral and regressive while elected local governments, the private sector, on the other three sectors are clearly non-governmental organizations (NGOs), progressive. and central government agencies (Gillespie, 2004: 12). 2. The overall analysis by merging the calculation output of sectoral Experience had shown that, given clear development expenditures with the rules of the game, access to information, and output of incidence analysis for the five appropriate support, poor man and women sectors shows that out of 268 districts can effectively organize to provide goods and and municipalities, only 93 percent services that meet their immediate priorities. of them adopted pro-poor budgeting Not only the poor communities have greater policies. Box 4 provides a case of a capacity than generally recognized, they also budgeting allocation policy performed have the most to gain from making good use by DKI Province. of resources targeted at poverty reduction (Gillespie, 2004: 18). 3. Despite quantitative analysis, this study also applies qualitative analysis. The According to the World Bank’s Voice of indicators are the existence of a poverty the Poor, based on interview with 60,000 reduction program, participatory poor people in 60 countries, poor people budgeting, process and implementation demand a development process driven by of poverty reduction programs done their communities. When the poor were asked by the local governments. Out of 40 to indicate what might make the greatest districts and municipalities, only 18 of difference in their lives, they responded (1) them have carried out pro-poor policies. organizations of their own so they can negotiate

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 57 Muhadjir Darwin with government, traders, and NGOs; (2) siaga), micro enterprise and finance direct assistance through community-driven (Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro programs so they can shape their own (LKM) dan Kelompok Usaha Bersama destinies; and (3) local ownership of funds, (KUBE) or Development of Micro Finance so they can end corruption. They want NGOs Institution and Collective Enterprise Group), and governments to be accountable to them settlement (Kampung Improvement Programs (Narayan & Petesch, 2002: 1). and Pembangunan Perubahan Bertumpu pada Kelompok (P2BPK) or Development of CDD model of development has been Change Based on Group), village development applied in many sectors of development, (Kecamatan Development Project), and education (education boards and school poverty alleviation (Urban Poverty Alleviation committees), health (posyandu and desa Program).

Box 5 Interview with Chris Banes

From 1975 until 1977 Chris Banes lived in Jakarta and worked for the Kampung Improvement Program (KIP). The KIP started as an Indonesian initiative in 1969. Five years later, the Bank began to get involved in the KIP through the Jakarta Urban Development Project. Since then, the Bank has financed KIP through 15 integrated projects covering some 200 communities. Chris Banes worked on Urban I and II, before he joined the local consulting team in central Java, implementing Urban-III. Between 1978 and 1982, he was also part of the Bank team that prepared and appraised Urban–IV. The KIP is one of the world’s largest urban programs and ranks among the best urban poverty relief efforts ever. Mr. Banes attributes the success of this program to the fact that the KIP was implemented exclusively by local staff. In particular, Chris Banes stresses the strict planning, engineering, design, construction, and cost standards. In addition to that, since the beginning KIP was designed to be sufficiently low-cost to permit rapid expansion throughout the country in a limited time frame. Mr. Banes mentions as another contribution to KIP’s success Indonesia’s well-organized communities. Indonesia has a long history of self-help at the village level which was actively encouraged through the KIP. The improvements motivated the population to invest resources and efforts to further upgrade their housing and infrastructure. According to Chris Banes, never has any other slum upgrading project been as successful as the KIP and improved the quality of life of such a large part of the population. Residents are now better educated, household size has declined, and more residents are employed. KIP also contributed to a healthier environment. Access to piped water and public information on sanitary practices reduced intestinal and water borne diseases, with a particular impact on infant and child mortality. As Chris Banes points out, these impressive results could be attained only thanks to the existence of two indispensable conditions: (a) political commitment of the government and (b) the creation of strictly organized and multidisciplinary KIP-units. Concerning the first, Chris Banes underlines political commitment to support the KIP has been there right from the beginning, since it started as an Indonesian initiative. Banes mentions the former Governor Ali Sadikin who promoted a multisector approach for the KIP. Sadikin was convinced that his staff had to go out into the kampungs, talk to the people through the existing political structures, and attain basic improvements in a short period of time and at a minimum cost. The strong political support laid the foundation for the building of local KIP-units to implement the upgrading program. These multidisciplinary agencies with selected staff from the respective local governments and infrastructure sector departments were responsible for detailed planning and implementation of the physical works. The emphasis of this organizational structure was on wide and rapid coverage of the target areas by an integrated package of improvements across the sectors.

58 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT

Despite the overall positive output of the KIP, it also raised some criticism. As Chris Banes says, neither the local governments, nor the KIP-units focused enough on maintenance. Since KIP lacked a proper routine maintenance program, soon after the upgrading was accomplished, new problems appeared, such as the disintegration of roads, solid waste filling the drainage channels, and the clogging of drainage ditches which exacerbated more problems. Banes stresses that maintenance programs and their fundings should be considered as an integral part of a project. According to him, appropriate maintenance is absolutely necessary to guarantee the sustainability of an upgrading project. Ad-hoc maintenance programs, driven and funded by the communities themselves, may not be a final solution. Banes thinks that in the long term the bodies legally charged with the task should be responsible for maintenance. At the same time municipal maintenance is a way to create employment opportunities. Chris Banes, a municipal engineer from Great Britain, an outstanding professional experience in upgrading slums in Asia and Africa. He was involved in urban projects in Indonesia, Malaysia, India, Pakistan, Nepal, Nigeria, Malawi, Tanzania, Zambia, Zimbabwe, Ethiopia, South Africa, Swaziland and Ghana.

Source: Chavez, Gattoni and Zipperer, 2000: 10

Kampung Improvement Program (KIP) has been implemented in over 28,000 villages is a community based development effort in throughout the country. The centerpiece of which the community plans, implements and the KDP is the sub-district council, consisting monitors the project based on its needs and of the government-appointed sub-district priorities, indeed with the support of local administrator and elected representatives of government and supporting institutions. These the villages within the sub-district. programmes are concerned with upgrading To prevent from corruption, the initial the physical infrastructure: roads, footpaths, regulations attached to the loans focused drainage canals, water supply, sanitation, on procedures that would help ensure solid waste disposal, schools and clinics. transparency in the decision-making process Kampungs are the informal or unplanned, and formal accounting for the use of project usually crowded and slummy, settlements funds. For instance, project regulation required where most Indonesian urban live. Governor the establishment of a formal monitoring and Ali Sadikin initiated KIP in Jakarta in 1969. complaints mechanism by which community Through the World Bank loan, the programme member could file a complaint directly with has upgraded some 7,700 hectares of the national KDP secretariat via a special post kampung and improved conditions for some office box. Local communities implementing three million people. Since 1976, a similar projects funded through the KDP were programme has been operating in Surabaya. required to contract with independent NGOs Now, KIP has been implemented in many to monitor and report on implementation. The cities in a country and that according to Chris KDP rules also made provision for cross- Banes is considered to be the world’s largest audits between sub-districts, the publication of urban programs and ranks among the best audit reports, and the public costing of project urban poverty relief efforts ever (see Box 5). budgets. To ensure a high level of community Kecamatan Development Project participation in the decision making process, (KDP) was started in 1996, the last years of any village within the sub-district could submit The Soeharto’s Administration. By 2003 the a funding proposal to the council, provided program was operational in 25% of villages in that the submission conformed to the World the entire country. It is now in its third phase and Bank regulations. Each proposal was required

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 59 Muhadjir Darwin to be presented to the sub-district council by processes may create collective awareness a village delegation composed of at least two and constructive knowledge, attitude, values women and one man, each of whom had to and behavior to make them release from be elected by secret ballots cast by all eligible poverty. members of the village (Rawski, 2006: 929). Second, UPAP integrate three aspects Urban Poverty Alleviation Program (UPAP) of empowerment—physical, economic, and or Program Penanggulangan Kemiskinan social—in a concept called Tridaya. Such Perkotaan (P2KP) is a community-based empowerment efforts attempt to build a new program in urban areas that applies integrative culture—a new way of thinking, attitude, and approach by improving physical, economic, behavior—of the poor in dealing with poverty and social capacities (Tridaya) of urban poor issues. In other words, poverty alleviation communities. First, this program attempts efforts do not only rely on the availability to eradicate poverty through community of economic resources in the form of the empowerment by generating collective actions availability of rotated funds for the poor families, among community members. The members but more importantly the institutionalization are advocated to commit in a collective of local consensus as foundation for the rise learning process through self-mapping, of partnership among community members. the establishment of Badan Keswadayaan UPAP attempts to utilize and empower social Masyarakat (BKM), and utilization of Bantuan capital as local wisdom to eradicate poverty. Langsung Masyarakat (BLM). These

Box 6 Evaluation of Urban Poverty Alleviation Program (UPAP)

Center for Population and Policy Studies in 2005 carried out an evaluation study to evaluate the implementation of UPAP in 12 districts/municipalities: Pandeglang, Cirebon, and Bantul Districts, Tangerang, Center Jakarta, East Jakarta, Bandung, Tegal, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, and Malang Municipalities. This study found that UPAP implementation in targeted kelurahan has shown a dynamic interaction and learning process among local stakeholders. There is an improvement of community members’ participation on the formulation of poverty reduction programs. They involve in mapping the local capacity and in formulating Middle Term Development of poverty alleviation program. There is strong evidence that a collaborative learning process to formulate and voice the community needs works in this instance. The process to choose the coordinator of BKM is done transparently and democratically. However the community members tend to choose local elites which are popular or come from better social and economic status. The poor do not have enough courage to nominate or to be nominated as a coordinator. They realize that the purpose of establishing BKM is as a tool to facilitate the development of economic productive efforts collaboratively; it also an instrument to learn how to organize, develop self-capacity and empowerment of groups. Yet, their concentration remains on the rotation of fund aids, not on the capacity to develop collaborative and integrated planning for improving their productive activities. The program implementation on the improvement of physical facilities is the most successful one. The program is able to generate residents’ participation either financial as well as social supports. But, still very few efforts have been made to create economic activities that can improve job opportunities among the KSM members, particularly the marginalized or unemployed group. The least success is on social aspect of empowerment. The scale of assistance if not enough to the reduce number of poor people significantly and self-sufficiency has not also well developed. Source: CPPS UGM, 2007: 55-56).

60 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT

Third, the empowerment program offered to accomplish. Studies by CPPS UGM provide by UPAP is treated as a community learning a picture on how this program works in the process and will strengthen the critical fields (see Box 6). consciousness of the community. This is not a short term of instant poverty alleviation program; rather it needs long term and Civic Engagement in Public Services sustainable processes. This program avoids the use of charity approach in helping the poor. The fund provided by the program is Good governance requires the state used for productive activities and stimulants capacity to deliver good public services to make the poor more powerful, developed, (Anderson, 1999; Batley, 2004; Andrews & and prosper together with other community Shah, 2003). In the meantime, the quality of members. But such ideal goals are not easy public services in Indonesia is still far from

Source: CPPS UGM (2006), Governance Assessment Survey

Graphic 7 Societal Perception on Public Services

Source: CPPS UGM (2006), Governance Assessment Survey

Graphic 8 Giving ‘Extra Money’ to Obtain Public Services Judged as Common or Fair

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 61 Muhadjir Darwin the expectation. Political and Economic pressure on elected officials by demonstrating Risk Consultancy (PERC) put Indonesia as the extent of public dissatisfaction and areas a country with worst bureaucracy in Asia. In in need of improvement, that hope that this will Thailand businessmen should go through four result in greater responsiveness on the part types of procedures and take around a week of public servants responsible for services. to accomplish; in Vietnam seven procedures The surveys are also use to educate the for average 50 days; while in Indonesia, media, the public interest groups, and citizens businessmen should undergo 12 procedures (Ackerman, 2005: 14). for 151 days (Kumorotomo, 2007: 2). The report card has seven phases: (1) Data of Governance Assessment Survey identification of scope, actors, and purpose; by CPPS UGM in 2006 in ten provinces of (2) design of questionnaires; (3) sampling; Indonesia shows that societal perception on (4) execution of survey; (5) data analysis; (6) public services is quite bad, because (1) the dissemination; and (7) institutionalization. The services has not pro-people or pro-poor yet unit analysis is the household or individual, and (2) bureaucratic corruption has spread and the method relies on stratified sampling down to the operational level of public services to ensure that the data from a survey in the forms of bribery. Graphic 7 show the low questionnaire are representative of the access of the poor to receive public services, underlying population. The intent is to uncover and Graphic 8 demonstrate bribery practices problem areas in relation to service delivery. in a number of districts/municipalities. The dimensions probed include access, quality, affordability, willingness to pay, staff behavior, efficiency, reliability, adequacy of Citizen Report Card supplies, and overall user satisfaction (Arroyo & Sirker, 2005: 13).

One of the solutions to make public service The report card methodology was developed provision meet the societal needs and provide in order to expose government agencies to more access to the poor is by involving the consumer feedback they are lacking. societies in the service delivery processes. The guiding idea behind the methodology There are a number of methods to engage is to introduce market type initiatives to the citizens in public service provision. One of functioning of government. Through the report them is citizen report card. CRC is formal, card methodology, agencies can see how their quantitative surveys of client satisfaction performance changes from year to year as with public services have been conducted well as compare themselves to other agencies by nongovernmental organizations (NGOs) in a comparative, competitive dynamic similar in several Indian cities. It was initiated in to that imposed by the market. And all of this Bangalore, India, then it was replicated in occurs through the independent action of civil other Indian cities (such as Mumbai and society and the power of information. Calcutta) and worldwide (e.g., Ukraine, the Philippines, and Washington, DC). A number Community Score Card (CSC) of local governments in Indonesia have also adopted this new method, such as Lebak, Magelang and Ngawi Districts, Bandung and Close to CRC is Community Score Card Semarang Municipalities, East java Province. (CSC). CSC permits tracking inputs and The surveys generate “report cards” on expenditures, monitoring the quality of the perceived quality and responsiveness of a services and projects, generating benchmark range of urban services. They are used to put performance criteria that can be used in

62 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT resource allocation and budget decisions, and the German Agency for Technical comparing performance across facilities and Development (GTZ) funded a Regional districts, and generating a direct feedback Technical Assistance program (RETA) to test mechanism between providers and users. the use of CIB techniques as a means of The community score card process is a improving the delivery of municipal services. community-based monitoring tool that uses This RETA also intended to create an active the community as its unit of analysis and network of municipalities to exchange focuses on monitoring at the local or facility information on successful change efforts and level. It employs a methodology for soliciting good practices. users’ perceptions on quality, efficiency, and This project was tested in ten cities transparency, similar to that used by citizen across Asia, including Pakistan, India, Sri report cards. In Sri Lanka, the Community Lanka, China, Malaysia, the Philippines and Development and Livelihood Improvement Indonesia. One of the pilots in Indonesia is Project apply this model. The project is collaboration between CPPS UGM and two designed to target poor communities in the local governments; a range of services in project area and improve their livelihood these cities was improved to verify that the CIB and quality of life by enabling them to build techniques would yield results. The improved accountable institutions and to manage services included: solid waste collection, sustainable investments. The project uses customer service counter and complaint CSC to list the criteria for evaluating the handling, property tax assessment and performance of village organizations, and collection, venue parking, and street vendors. communities grade their performance every CPPS UGM has successfully piloted CIB in month or six months. In addition, the village collaboration with two local governments, organizations evaluate themselves and Sleman District and Yogyakarta Municipality present their findings to the villages (Arroyo & on solid waste collection (ADBI, 2005). Sirker, 2005: 14). In a number of countries The CRC method is combined with another participatory method, Continues Improvement and Benchmarking called Continues Improvement Benchmarking (CIB) (CIB). The Center for Population and Policy Studies, Universitas Gadjah Mada advocated the application of these new methods in Continues Improvement is a systematic Yogyakarta Municipality and Sleman Regency method to improve service delivery for access, in 2006. CRC is a survey of public and timeliness, quality, cost, community satisfaction social services that affect the poor and give and affordability while is comparing services service recipients and opportunity to grade with others to improve your own service the agencies that provide the services, while delivery. Benchmarking is done by comparing CIB is a continues process in which a service performance and sharing information about provision unit seek to challenge of their service practices, to find the ‘best’ practices practices by comparing the practice it does and increase service standards. Continues with the others’ practices. In this instance, Improvement and Benchmarking have the organizations evaluate various aspects enabled service delivery improvements in of their processes in relation to best practice, many organizations, government and private, usually within their own sector. This then in numerous countries around the world. allows organizations to develop plans on how The Asian Development Bank (ADB), the to make improvements or adopt best practice, Asian Development Bank Institute (ADBI), usually with the aim of increasing some aspect of performance.

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 63 Muhadjir Darwin

Citizen Charter The pilot projects in several districts/ municipalities have successfully transformed the paradigm of public service provision into Another participatory model of service a new culture of serving people. CPPS UGM provision, which is now widely adopted in reports that its pilot project has improved Indonesia, is Citizen’s Charter (CC). CC is the customers’ awareness of their rights and model of service delivery processes, which put responsibilities in the process of service the clients and society at large as the proactive delivery. The mindset of the providers has stakeholders. The charter expresses the also changes to more clients oriented and understanding between citizens and a public leaves their arrogant attitude. The high service provider on the quantity and quality of concern given by regents and mayors in services citizens receive in exchange for their supporting the institutionalization of the taxes. It is a written, voluntary declaration by citizens’ charter has in fact accelerated the a service provider about its service standards, process change. Kumorotomo also reported accessibility, transparency, and accountability. positive impacts of the CC adoption. The The Citizen’s Charter was apparently a British implementation of CC in Bogor has improved political initiative launched by the then Prime the effectiveness of population services. The Minister, John Major, on 22 July 1991. It use of CC on garbage services in Mataram is aimed to improve public services in the UK also considered effective. by (1) making administration accountable and citizen friendly. Ensuring transparency and the right to information; (2) taking measures Conclusion to cleanse and motivate civil service; and (3) adopting a stakeholder approach (Wikipedia, the free encyclopedia). We are in the era of democracy, governance and decentralization in which CC is not only applied in Anglo-Saxon citizens’ participation is an unavoidable countries (United Kingdom and Irlandia), but requirement to make the systems work also being an important part of The Charter effectively and as a strategic tool to assure of Fundamental Rights in European Union. that local development efforts will meet the Nowadays CC has been applied worldwide, citizens’ demand and yield better results for including in Indonesia. The first initiation of all citizens, particularly the poor. To develop CC in the country is in Yogyakarta and Blitar an accountable local development, there Municipalities and in Semarang District. These are two basic approaches available to adopt three local governments collaborate with at the same time. From the supply side is CPPS UGM to pilot this new method. Each local governance reform to restructure local local area applies this method in a certain government institutions and mechanisms, to sector of public service. Blitar focuses on public reform local regulations as a legal basis to health services; Semarang applies in certain develop transparent and accountable local sub-districts on Residents’ Identification governments, to develop participatory model Card (KTP), Hindrance Ordinance, Business of local development planning, budgeting, Location Permits) while Yogyakarta choose to and public service delivery mechanisms. In focus on Birth Certificate services. Nowadays the meantime, from the demand side is to we can name more local governments that empower citizens through the improvement of have applied CC, such as Bogor Municipality, citizens’ capacity and opportunity to participate Mataram Municipality, Lemboto District, Binjai in the whole processes of local development. Municipality, Asahan District and Lamongan To make such integrative local development, District (Kumorotomo, 2007: 8). collaboration among local governance—

64 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 HOW PARTICIPATION SHAPES LOCAL DEVELOPMENT local government, business sector, and civil “Participation Popular” Secure Participation society—is undoubtedly needed. of the Rural Bolivian Population”, CDR Working Paper 99.6, October. There are strong evidences that Indonesia has been on the right tract to develop Andrews, Matthew and Anwar Shah. 2003. participatory models of local development. Voice and Local Governance in the Many local governments have enacted new Developing World: What is done, to what regulations that give legal foundation to effect, and why? World Bank. reform the local development mechanisms. Arroyo, Dennis, and Karen Sirker. 2005. Participatory mechanisms have also been Stocktaking of Social Accountability made in planning, budgeting and service Initiatives in the Asia and Pacific provision. In the last decade of implementing Region. Washington, DC: Community this new model of development we note a lot of Empowerment and Social Inclusion (CESI), success story as well as fail story. We should World Bank. use successful practices as a benchmark for us to learn and follow, while the fail practice Batley, Richard. 2004. “The Politics of Service is also a good learning for others to avoid. Delivery Reform.” Development and But, the point is that we should not make Change, 35, 1, January. some of those failures as a reason to leave Bichal, Johnston. 2005. “A Joined-up the democratic and decentralist model the Approach to User Participation in Public nation has chosen. Indonesia has been on Services: Strengthening the ‘Participation the right tract and there is no reason to turn Chain”, Social Policy & Administration. Vol. the clock back to the obsolete centralist and 39, No.3, June. authoritarian system. What we have to do is to continue the process, to learn wisely and BKBK and SMERU. 2001. Basic Information properly either the successes as well as from Package for Poverty Alleviation. the failures we made, so that we are able to CPPS UGM (Center for Population and build better efforts in order to achieve better Policy Studies, Universitas Gadjah Mada). future for all. 2003. The Institutionalization of Citizens’ Charter on Public Service in Yogyakarta Municipality, Semarang District and Blitar References Municipality. Yogyakarta: CPPS UGM and Ford Foundation.

Ackerman, John M. 2005. Social Accountability CPPS UGM (Center for Population and in the Public Sector: A Conceptual Policy Studies, Universitas Gadjah Mada). Discussion and Learning Module. World 2007. Building Poverty Alleviation through Bank Institute. Society Empowerment. ADB (Asian Development Bank). 2005. Chavez, Roberto, George Gattoni, and “Republic of Indonesia: Pro-Poor Planning Melanie Zipperer. 2000. “INDONESIA and Budgeting (Co-financed by the The Kampung Improvement Program Government of the United Kingdom),” (KIP) - Successful Upgrading with Local Technical Assistance Report, pp. 2. Commitment Chris Banes Talks About His Experiences”. Urban Services to the ADBI (Asian Development Bank Institute). Poor, Thematic Group, World Bank Group, 2005. Continuous Improvement and January 12. Benchmarking Handbook. Darwin, Muhadjir. 2005. Humanizing People: Andersson, Vibeke 1999. “Popular Poverty Alleviation as a Mainstream of Participation in Bolivia: Does the law Development. Yogyakarta: Benang Merah. Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 65 Muhadjir Darwin

Department of Economic and Social Affairs Services in P2TPD regencies, Findings (DESA), Division for Public Administration GDS 2006”, Jakarta: World Bank, DSF and Development Management, United Working Paper, December. Nations. 2005. Citizen Participation and Rawski, Frederick. 2006. “World Bank Pro-Poor Budgeting. New York. Community Driven Development Eko, Sutoro. 2008. Pro-poor Budgeting: The Programming in Indonesia and East New Politics of Local Budgeting Reformation Timor: Implications for The Study of Global for Poverty Alleviation - Working paper - Administrative Law,” \\server05\productn\ IRE: Yogyakarta, Indonesia. NYI\37-4\NY1407.txt, 1 November. Gillespie, Stuart. 2004. “Scaling Up Community S2-PLOD (Master Program on Local Politics Driven Development: A Synthesis of and Local Autonomy), Gadjah Mada Experience”. FCND Discussion Paper No. Univeristy. 2008. Public Involvement in 181. Washington D.C.: International Food Decentralization of Governance: A Study Policy Research Institute (IFPRI). on Problems, Dynamics, and the Prospects of Civil Society Organizations in Indonesia. Hale, Thomas N. 2008. “Transparency, Collaboration among PLOD-UGM with Accountability and Global Governance”, BRIDGE, Bappenas, and UNDP. Global Governance, 14, Lynne Reinner Publishers. Schedler, Andreas. 1999. “Conceptualizing Accountability,” in Andreas Schedler, Larry Louis Helling, Rodgigo Serraro, David Warren. Diamond, Marc Plattner, (eds.), The Self 2005. “Linking Community Empowerment, Restraining State: power and Accountability Decentralized Governance, and Public in New Democracies, pp.13. Service Provision Through a Local Development Framework. Community Simmons, Richard and Johnston Bichal. 2005. Driven Development and Social Protection”, “A Joined-up Approach to User Participation The World Bank, SP Discussion Paper, in Public Services: Strengthening the No.0535, September. ‘Participation Chain’”, in Social Policy & Administration. Vol. 39, No.3, June. Malena, Carmen, Reiner Forster, and Janmejay Singh. 2004. “Social Accountability: An Stalker, Peter and Satish Mishra. 2003. Introduction to the Concept and Emerging “The Right to Development in Indonesia”, Practice.” Social Development Papers, Working Paper Series, No.03/01. Jakarta: Participation and Civic Engagement. Paper UNSFIR. No. 76, World Bank, December, Suhirman. 2005. “The New Trends and Menko Kesra (The Coordinating Minister Practice in Societal Members’ Participation for Social Welfare). 2005. the National in Indonesia”, Executive Board of Societal Strategies for Poverty Alleviation. Jakarta. Participation Forum (FPPM). MOCS (Montana Office of Community UNDP. 2004. The 2004 World Development Service). Montana’s Official State Website. Report: Making Service Work for the Poor. http://mt.gov/. United Nations. 2005. Citizen Participation Narayan, D and P. Petesch (eds.). 2002. and Pro-poor Budgeting, Department of Voices of the Poor: From many lands. New Economic and Social Affairs Division for York: World Bank and Oxford University Public Administration and Development Press. Management. United Nations: New York. Pattinasarani, Daan and Candra Surya. 2007. Wikipedia, https://en.wikipedia.org/wiki/ “Transparency, Participation and Public Wikipedia:Free_encyclopedia.

66 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 Populasi

Volume 24 Nomor 2 2016 Halaman 67-79

PERHITUNGAN FERTILITAS MENGGUNAKAN METODE ANAK KANDUNG: ANALISIS LANJUT DATA RISKESDAS 2013

Lely Indrawati, Dwi Hapsari, dan Olwin Nainggolan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes Kemenkes Republik Indonesia

Korespondensi: Lely Indrawati (e-mail: [email protected])

Abstrak

Total Fertility Rate (TFR) merupakan jumlah rata-rata anak yang akan dilahirkan hidup oleh seorang perempuan pada akhir masa reproduksinya. TFR merupakan salah satu indikator ukuran kemajuan kesehatan, khususnya kesehatan ibu dalam satu negara. Oleh karenanya, target RPJMN 2015-2019 adalah menurunkan angka kelahiran. Penghitungan TFR yang tepat menggunakan metode tidak langsung, salah satunya adalah Own-Method Children (metode anak kandung). Populasi dalam penelitian ini adalah semua perempuan dan anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya. Sampel dalam analisis perhitungan ini adalah wanita usia subur (WUS) umur 15 hingga 49 tahun dan anak balita yang tinggal bersama orang tuanya. Anak balita dalam perhitungan ini adalah anak kandung, sedangkan anak berstatus bukan anak kandung dilibatkan dalam penghitungan guna menambah jumlah anak yang berada dalam rumah tangga ibu. Hasil perhitungan menggunakan Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa TFR di Indonesia lebih tinggi (3,2) dibandingkan dengan hasil perhitungan dengan sumber data yang lain. Jika dilihat dari pola ASFR (Age Specific Fertility Rate), angka kelahiran tertinggi tercatat pada usia 20-24 kemudian usia 15-19. Implikasi pentingnya adalah fokus program keluarga berencana harus diberikan pada kelompok umur tersebut, salah satunya adalah dengan peningkatan usia kawin pertama.

Kata kunci: fertilitas, metode anak kandung, age specific fertility rate (ASFR)

ASSESING FERITILITY RATE USING OWN-CHILDREN METHOD: FURTHER ANALYSIS OF RISKESDAS 2013

Abstract

Total Fertility Rate (TFR) is the average number of children born alive by a number of women at the end of their reproductive period. TFR is one indicator of health development, especially maternal health in the country. Therefore, target of reducing the birth rate is still prioritized in RPJMN 2015-2019. Indirect method is more appropriate to calculate TFR, such as own-method children. Population of this study is women and their children in the same househoold with women of childbearing aged 15-49 years and children under five who live with their parents as sampling unit. Children under five in this analysis are the biological children while step children will be included in order to enhance the number children. The calculation based on 2013 Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) shows higher TFR compared to 2012 DHS (Demographic and Health Survey) which was 3.2 at national level. ASFR (Age Specific Fertility Rate) pattern shows highest fertility rate for age of 20-24, while it was second for age 15-19. The important implication is that family planning program has to concentrate on this age groups, such as by increasing age of the first marriage.

Keywords: fertility, own-children method, age specific fertility rate (ASFR)

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 67 Lely Indrawati, Dwi Hapsari, dan Olwin Nainggolan

Pendahuluan Pelayanan kesehatan adalah hak asasi manusia, sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Oleh karenanya, pembangunan kesehatan Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, September 2000, sebanyak 189 negara kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi anggota PBB, termasuk Indonesia, sepakat setiap orang agar terwujud derajat kesehatan untuk mengadopsi Deklarasi Milenium masyarakat setinggi-tingginya. Undang- yang kemudian dijabarkan dalam kerangka Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana praktis Tujuan Pembangunan Milenium Pembangunan Jangka Panjang Nasional (Millenium Developments Goals/MDGs). (RPJPN) menetapkan salah satu tujuan MDGs menempatkan pembangunan manusia pembangunan yang ingin dicapai adalah sebagai fokus utama dengan tenggat waktu mewujudkan daya saing bangsa. Untuk hingga 2015. MDGs juga merupakan komitmen itu, pembangunan kesehatan merupakan nasional untuk lebih menyejahterakan komponen penting dalam pembangunan masyarakat melalui pengurangan kemiskinan manusia demi menuju manusia Indonesia dan kelaparan, pendidikan, pemberdayaan yang berdaya saing tinggi ini. Dalam perempuan, kesehatan, serta lingkungan. pelaksanaannya, pembangunan jangka MDGs memiliki delapan tujuan yang panjang dilakukan secara bertahap dalam harus dilaksanakan oleh setiap negara yang pembangunan jangka menengah yang mendeklarasikannya sebagai berikut. 1) mengacu pada Rencana Pembangunan Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, Jangka Menengah Nasional (Bappenas, 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, 2009). serta 3) mendorong kesetaraan gender Secara umum, pencapaian sasaran dan pemberdayaan perempuan. Kemudian pembangunan kesehatan masih kurang 4) menurunkan angka kematian anak, 5) menggembirakan. Dalam RPJMN 2010- meningkatkan kesehatan ibu, 6) memerangi 2014, sasaran pembangunan kesehatan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular adalah meningkatnya Umur Harapan Hidup lainnya, 7) memastikan kelestarian lingkungan (UHH), menurunnya Angka Kematian Ibu hidup, serta 8) mengembangkan kemitraan (AKI) melahirkan, menurunnya Angka global untuk pembangunan. Sementara Kematian Bayi (AKB), menurunnya prevalensi itu, dari delapan tujuan MDGs tersebut, kekurangan gizi pada anak balita, dan yang menjadi tanggung jawab Kementerian menurunnya angka kelahiran total (Total Kesehatan adalah tujuan 1, 4, 5, 6, dan 7. Fertility Rate/TFR). Hingga tahun 2012, Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa seluruh capaian indikator pembangunan target beserta indikatornya (Depkes, 2011). kesehatan diperkirakan memerlukan upaya Upaya percepatan pencapaian target keras atau dengan kata lain, tidak dapat MDGs menjadi prioritas pembangunan memenuhi target yang ditetapkan dalam nasional. Oleh karena itu, diperlukan sinergi RPJMN 2010-2014. Dengan demikian, dapat kebijakan perencanaan di tingkat nasional dikatakan bahwa sasaran pembangunan dan tingkat provinsi maupun kabupaten/ kesehatan masih memerlukan kerja keras kota. Di tingkat nasional, target-target MDGs untuk mencapai target yang ditetapkan. telah diintegrasikan ke dalam Rencana Bappenas melansir hasil perkiraan capaian Pembangunan Jangka Menengah Nasional 14 Prioritas Nasional (PN) termasuk PN 3 (RPJMN) 2010-2014 dalam bentuk program, kesehatan yang sebagian besar pembuktian indikator maupun target yang terukur pencapaiannya menggunakan data hasil serta indikasi dukungan pembiayaannya Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012 (Bappenas, 2010). 68 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 PERHITUNGAN FERTILITAS MENGGUNAKAN METODE ANAK KANDUNG: ANALISIS LANJUT DATA RISKESDAS 2013 dan Sensus Penduduk 2010. Hasil capaian kealpaan/lupa jumlah anak, kesalahan PN kesehatan tersebut diukur melalui 12 pelaporan umur, dan kelebihan/kekurangan indikator, yakni Usia Harapan Hidup (UHH), pencatatan anak maupun ibunya. Selain itu, Angka Kematian Ibu (AKI), cakupan persalinan mortalitas terutama mortalitas anak dapat nakes, Angka Kematian Bayi (AKB), cakupan memengaruhi hasil perkiraan fertilitas. Oleh imunisasi dasar, prevalensi kekurangan gizi, karenanya, metode anak kandung digunakan persentase timbang balita, Total Fertility Rate dengan penyesuaian (adjusted) untuk (TFR), prevalensi tuberkulosis, prevalensi menutupi kelemahan-kelemahan yang ada. kasus HIV, Annual Parasite Index (API), dan persentase jangkauan akses sumber air Perhitungan dengan metode ini bersih (Bappenas, 2013). Sementara itu, Riset menggunakan sumber data survei nasional Kesehatan Dasar (Riskesdas) merupakan belum banyak dilakukan. Data Survei survei kesehatan secara nasional yang Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyediakan data-data khusus kesehatan tahun 2012 melakukan penghitungan TFR, secara lengkap. Termasuk data kesehatan tetapi menggunakan metode estimasi ibu dan anak guna menghitung indikator langsung dengan angka TFR yang dihasilkan Total Fertility Rate (TFR) yang nantinya dapat sebesar 2,6. Perhitungan dengan metode melengkapi membuktikan indikator dalam yang sama pernah dilakukan untuk Data Prioritas Nasional nomor 3 dalam RPJMN Susenas 2010 dengan TFR sebesar 2,3 untuk 2010-2014. nasional (BKKBN, 2013). Belum banyaknya penghitungan berbasis data survei nasional TFR merupakan ukuran estimasi untuk menghitung angka TFR dengan metode kelahiran. Estimasi fertilitas dapat dilakukan tidak langsung menjadi alasan tulisan ini menggunakan metode langsung dan tidak disusun. langsung. Penghitungan dengan metode langsung dapat digunakan jika didukung beberapa hal. Dua di antaranya adalah sistem Metode registrasi vital yang ada dapat menghasilkan data statistik vital yang akurat dan jika survei atau sensus yang diadakan dapat Penelitian ini menggunakan data survei menghasilkan data kelahiran yang dapat kesehatan, yakni data Riset Kesehatan langsung digunakan untuk mengestimasi Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Riskesdas angka fertilitas. Sayangnya, sistem registrasi adalah sebuah survei dengan desain cross vital yang ada di Indonesia belum begitu baik sectional. Riskesdas 2013 dimaksudkan sehingga statistik vital yang valid dan reliabel untuk menggambarkan masalah kesehatan tidak dapat dihasilkan. penduduk di seluruh pelosok Indonesia, yang terwakili oleh penduduk di tingkat nasional, Sementara itu, penghitungan fertilitas provinsi, dan kabupaten/kota (Balitbangkes, dengan cara tidak langsung (indirect 2013). Karena menggunakan data survei, estimation), antara lain, menggunakan maka perhitungan TFR dilakukan dengan metode anak kandung. Metode ini memiliki metode penghitungan secara tidak langsung. beberapa keunggulan, seperti perkiraan angka kelahiran (Age Specific Fertility Rate- Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah ASFR) dapat dirinci menurut umur tahunan seluruh rumah tangga biasa yang mewakili dan tidak memerlukan banyak informasi/ 33 provinsi. Sampel rumah tangga dalam data. Informasi pokok yang diperlukan adalah Riskesdas 2013 dipilih berdasarkan listing jumlah anak yang tinggal bersama ibunya Sensus Penduduk (SP) 2010. Sementara itu, menurut umur. Namun, metode ini juga proses pemilihan rumah tangga ditentukan mempunyai beberapa kelemahan, seperti oleh BPS yang memberikan daftar bangunan

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 69 Lely Indrawati, Dwi Hapsari, dan Olwin Nainggolan sensus terpilih yang berasal dari Blok Sensus Perhitungan estimasi tidak langsung (BS) terpilih. Dari 12.000 BS terpilih untuk menggunakan metode anak kandung sampel Riskesdas 2013, berhasil ditemukan digunakan untuk ukuran fertilitas pada data dan dikunjungi 11.986 BS (99,9 persen) yang Susenas di tingkat nasional hingga kabupaten tersebar di 33 provinsi dan 497 kabupaten/ (BKKBN, 2013). Sementara itu, analisis data kota. Adapun jumlah rumah tangganya adalah Survei Demografi Kesehatan Indonesia juga 294.959 dari 300.000 RT yang ditargetkan menggunakan perhitungan estimasi tidak (98,3 persen) dengan jumlah anggota rumah langsung meskipun tidak dijelaskan metode tangga (ART) 1.027.763 orang (93 persen). perhitungan yang digunakannya (BPS, 2002- Namun, 14 BS dengan rincian 12 BS di 2007). Untuk perhitungan TFR dalam analisis Papua, 1 BS di Papua Barat, dan 1 BS di ini, digunakan metode anak kandung atau DKI Jakarta tidak berhasil dikunjungi karena dikenal dengan own children method (OCM), sulit dijangkau dan ada penolakan warga yang merupakan perbaikan metode reverse setempat. survival ratio. Keunggulan dari OCM adalah perkiraan angka kelahiran (ASFR) dapat dirinci Populasi dalam penelitian ini adalah semua menurut umur tahunan dan tidak memerlukan perempuan dan anak-anak yang tinggal banyak informasi/data. Informasi pokok yang bersama orang tuanya. Kemudian sampel diperlukan adalah jumlah anak yang tinggal dalam analisis perhitungan ini adalah wanita bersama ibunya menurut kelompok umur usia subur (WUS) umur 15 hingga 49 tahun ibunya (BPS, 2012). Estimasi perhitungan dan anak balita yang tinggal bersama orang dengan memperkirakan angka fertilitas tuanya. Anak-anak balita dalam perhitungan sebelum survei dilakukan atas dasar tabulasi ini adalah anak kandung, sedangkan anak dari anak-anak yang tinggal bersama ibunya dengan status bukan anak kandung dilibatkan saat pencacahan atau pendataan dilakukan. dalam perhitungan guna menambah jumlah anak yang berada dalam rumah tangga ibu. Data perempuan dan balita didapat dari Hasil daftar seluruh individu yang tinggal dalam satu rumah tangga. Data set perempuan usia subur dibuat berdasarkan variabel A. Karakteristik hubungan dengan Kepala Rumah Tangga (KRT) berkode 1 atau 2 dan berjenis kelamin perempuan yang berumur 15-49 tahun. Data Distribusi hasil analisis data sampel jika anak dibuat berdasarkan variabel hubungan dilihat berdasarkan umur, jenis kelamin, dan dengan KRT berkode 3 (anak kandung) dan status perkawinan dapat dilihat pada Tabel 4 (anak angkat/tiri) yang berumur 0-59 bulan. 1. Berdasarkan Tabel 1, jumlah laki-laki yang belum kawin tidak berbeda jauh dengan laki- Perhitungan akan dilakukan dengan data laki yang kawin atau pernah kawin. Sementara set perempuan dan anak berumur di bawah 15 itu, pada perempuan, jumlah yang pernah tahun sehingga dihasilkan beberapa indikator kawin lebih besar dibandingkan dengan fertilitas. Untuk melakukan perhitungan perempuan belum kawin. Yang menarik pada fertilitas data survei, digunakan metode penduduk laki-laki umur 5-14 tahun adalah estimasi tidak langsung (indirect estimation). jumlah yang telah kawin sebesar 22,8 persen Estimasi tidak langsung ini banyak digunakan serta pada perempuan di kelompok umur di berbagai negara yang belum melaksanakan yang sama dan telah kawin berjumlah 20 pencatatan registrasi kelahiran dan kematian persen. Untuk lebih lengkapnya, dapat dilihat pada penduduknya. pada Tabel 1.

70 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 PERHITUNGAN FERTILITAS MENGGUNAKAN METODE ANAK KANDUNG: ANALISIS LANJUT DATA RISKESDAS 2013

Tabel 1 Distribusi Penduduk menurut Umur, Jenis Kelamin, dan Status Perkawinan, Riskesdas 2013

Belum Kawin Kawin Total n % n % n % Laki-laki 0-4 Tahun 42.227 16,7 0 0,0 42.227 8,4 5-14 Tahun 114.625 45,3 734 0,3 115.359 22,8 15-49 Tahun 95.325 37,6 154.789 61,4 250.114 49,5 50+ Tahun 1.034 0,4 96.675 38,3 97.709 19,3 Total Laki-laki 253.211 100 252.198 100 505.409 100 Perempuan 0-4 Tahun 40.439 18,5 0 0,0 40.439 7,7 5-14 Tahun 107.298 49,2 111 0,0 107.409 20,6 15-49 Tahun 68.640 31,5 203.916 67 272.556 52,2 50+ Tahun 1.736 0,8 100.214 32,9 101.950 19,5 Total Perempuan 218.113 100 304.241 100 522.354 100 Σ laki & perempuan 471.324 100 556.439 100 1.027.763 100

Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013, diolah

Anak kandung didapat dari keterangan jumlah anak balita kandung di setiap kategori Anggota Rumah Tangga (ART), yakni variabel umur ibu. Untuk penyesuaian jumlah anak, B4K3 yang berkode 3. Pada subset anak dihitung juga jumlah anak bukan kandung balita, awalnya dilakukan pengecekan umur yang ada di rumah tangga ibu pada setiap untuk melihat umur bulan anak tidak melebihi kategori umur ibu. Tabel 2 menunjukkan 59 bulan. Kemudian data set anak digabung gabungan anak balita dan ibu. (merged) dengan data ibu agar didapatkan

Tabel 2 Jumlah Anak Balita dan Jumlah Perempuan berdasarkan Kategori Umur Ibu, Riskesdas 2013

Umur Ibu Anak di Tahun 2013 Perempuan di Tahun 2013 (Tahun) Jumlah % Jumlah % 15-19 684 1,0 1.353 0,7 20-24 7.031 10,3 9.172 5,0 25-29 16.928 24,7 24.040 13,0 30-34 20.877 30,4 36.711 19,8 35-39 14.721 21,5 39.485 21,3 40-44 6.922 10,1 39.785 21,5 45-49 1,429 2,1 34.694 18,7 Total Anak 68.592 100 185.240 100 Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013, diolah

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 71 Lely Indrawati, Dwi Hapsari, dan Olwin Nainggolan

Tabel 3 Umur Riwayat Fertilitas Wanita Usia Subur, Riskesdas 2013

Umur (tahun) Pertama Kali Menikah/Hidup Pertama Kali Hamil (%) Bersama (%) < 15 3,3 1,5 15-19 40,1 33,1 20-24 39,8 45,0 25-29 13,9 16,4 30-34 2,2 3,1 35-39 0,4 0,6 40-44 0,0 0,1 45-49 0,0 0,0 > 50 0,2 0,2 Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013, diolah

Berdasarkan Tabel 2, jumlah anak balita Pada Tabel 3 umur pertama kali menikah terbanyak ada pada kelompok umur ibu pada WUS terbanyak adalah pada rentang berusia 30-34 tahun, yakni 20.877 anak atau 15-19 tahun sebanyak 40,1 persen. Kemudian 30,4 persen. Pada kelompok perempuan diikuti pada rentang umur 20-24 tahun, yakni umur 25-29 tahun, jumlah anak sebesar sebesar 39,8 persen. Sementara itu, WUS 15- 16.928 anak atau 24,7 persen. Kemudian 49 tahun memiliki riwayat pertama kali hamil untuk jumlah perempuan terbanyak, ada pada pada usia 20-24 tahun dengan persentase kelompok umur 40-44 tahun, yakni 39.785 45 persen yang diikuti rentang 15-19 tahun orang atau 21,5 persen. sebesar 33,1 persen. Semakin muda umur WUS menikah dan hamil akan berpengaruh Dari keseluruhan WUS tersebut yang potensi/risiko melahirkan/memiliki anak. Hal telah dikelompokkan, dapat diketahui riwayat ini berarti bahwa semakin muda seorang fertilitasnya secara lebih mendalam, yakni perempuan menikah/hamil akan semakin mengenai umur ketika menikah atau hidup besar potensi melahirkan dan memiliki anak bersama pertama kali (variabel Ib01) dan jika tidak dicegah. Hal ini tergambar dalam umur ketika pertama kali hamil (variabel Ib06). Tabel 4 dan 5 berikut ini.

Tabel 4 Hubungan antara Umur WUS Pertama Kali Menikah dan Jumlah Anak, Riskesdas 2013

Umur saat Menikah/Hidup Frekuensi (N=68.592) Persentase Bersama Pertama Kali < 15 tahun 1.821 2,7 15-19 tahun 25.659 37,4 20-24 tahun 28.080 40,9 25-29 tahun 10.699 15,6 30-34 tahun 1.791 2,6 35-39 tahun 382 0,6 40-44 tahun 28 0,0 45-49 tahun 0 0 > 50 tahun 132 0,2 Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013, diolah

72 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 PERHITUNGAN FERTILITAS MENGGUNAKAN METODE ANAK KANDUNG: ANALISIS LANJUT DATA RISKESDAS 2013

Tabel 5 Hubungan antara Umur Hamil Pertama Kali dan Jumlah Anak, Riskesdas 2013

Umur saat Hamil Pertama Kali Frekuensi Persentase (tahun) < 15 780 1,1 15-19 20.848 30,7 20-24 30.741 45,2 25-29 12.361 18,2 30-34 2.439 3,6 35-39 567 0,8 40-44 74 0,1 45-49 5 0,0 > 50 121 0,2 Total 67.936 100 Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013, diolah

Pada Tabel 5 terlihat bahwa umur saat Sementara itu, metode anak kandung menikah/hidup bersama pertama kali atau lebih dikenal dengan Own Children terbanyak ada pada kelompok umur < 19 tahun diperkenalkan pertama kali oleh W.H. dan 20-24 atau umur muda, yakni masing- Grabill yang kemudian diperbaiki bersama masing 40,1 persen dan 40,9 persen. Angka Lee Jay Cho pada awal 1960-an. Dasar yang lebih rendah berada pada kelompok asumsi perkiraan fertilitas ini menggunakan umur 25-29 tahun sebesar 15,6 persen. metode survival ratio yanga memperkirakan angka fertilitas sebelum sensus atau survei kependudukan dilakukan atas dasar tabulasi B. Hasil Penghitungan TFR Nasional dari anak-anak yang tinggal bersama ibunya saat pencacahan atau pendataan dilakukan.

Perhitungan Total Fertility Rate (TFR) Tahapan perhitungan TFR menggunakan dan Age Specific Fertility Rate (ASFR) data yang merupakan hasil survei dilakukan secara nasional dilakukan menggunakan pembobotan nilai sampel terhadap jumlah metode anak kandung (OCM) dasar yang penduduk guna melihat jumlah data pada telah disesuaikan (adjusted). Metode populasi penduduk yang sebenarnya. Dengan perhitungan fertilitas ini merupakan salah demikian, perhitungan TFR ini mampu satu metode estimasi secara tidak langsung. menggambarkan keadaan yang sebenarnya Yang dimaksudkan dengan TFR adalah di masyarakat secara statistik. Berikut ini jumlah rata-rata anak yang akan dilahirkan adalah tahapan ketika menghitung TFR oleh seorang perempuan pada akhir masa yang telah dijustifikasi dengan total jumlah reproduksinya apabila perempuan tersebut anak. Pertama, pada subset data gabungan mengikuti pola fertilitas saat TFR dihitung antara WUS 15-49 tahun dengan anak balita (Kasto, 1995). TFR menyatakan fertilitas dilakukan analisis frekuensi jumlah anak pada akhir masa reproduksi dari suatu kohor kandung berdasarkan umur ibu yang telah hipotesis perempuan. TFR dihitung dengan dikategorisasi dengan melakukan inflate cara menjumlahkan angka kelahiran menurut jumlah anak sebelumnya. Perhitungan yang umur (ASFR) dikalikan dengan interval sama dilakukan untuk mendapat jumlah anak kelompok umur (biasanya lima tahun). bukan kandung. Kemudian dua perhitungan tersebut dijumlahkan untuk mendapatkan total

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 73 Lely Indrawati, Dwi Hapsari, dan Olwin Nainggolan

Tabel 6 Perhitungan Jumlah Penduduk Anak dan Jumlah Penduduk Perempuan, Riskesdas 2013

Umur Ibu Anak Anak Bukan Total Anak Penduduk (thn) Kandung Kandung Perempuan (kolom 1) (kolom 2) (kolom 3) (kolom 4) 15-19 218.280 1.119 219.399 415.932 20-24 2.628.506 4.741 2.633.247 3.516.676 25-29 5.815.585 9.154 5.824.739 8.582.453 30-34 4.929.438 3.409 4.932.847 8.790.850 35-39 3.476.157 5.405 3.481.607 9.465.323 40-44 1.344.621 3.503 1.348.124 8.122.411 45-49 274.705 1.416 276.121 7.213.274 Jumlah 18.687.292 28.792 18.716.084 46.106.919 Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013, diolah jumlah anak di setiap kategori umur ibu. Untuk (UHH/life expectacion at birth) tahun 2010- mendapatkan jumlah penduduk perempuan di 2011, yakni 71-72 (Tim, 2011). Perhitungan tahun survei, dilakukan analisis frekuensi per jumlah penduduk perempuan WUS 15-49 kategori umur ibu dengan melakukan inflate tahun pada 2008 dilakukan berdasarkan tabel jumlah ibu sebelumnya. Hasil perhitungan Five Years Life Tables Survival Ratio General tahap pertama dapat dilihat pada Tabel 6. Pattern-Female (BPS, 2011). Berdasarkan tabel tersebut, didapat survival rate di setiap Tahap perhitungan selanjutnya adalah kategori umurnya. Sebagai contoh, pada melakukan estimasi/perkiraan jumlah kelompok umur perempuan 15-19 tahun, penduduk perempuan dan jumlah anak balita angka survival rate di UHH 71 dan 72 adalah pada lima tahun sebelum survei menggunakan 0,9974 dan 0,9977. Kemudian berdasarkan pola life table yang tersedia. Untuk menetapkan angka tersebut, diperoleh rata-rata survival level of mortality pada life table, digunakan rate perempuan umur 15-19 tahun dengan patokan umur harapan hidup pada waktu lahir

Tabel 7 Hasil Estimasi Jumlah Balita dan Perempuan di Indonesia

Umur Ibu Total Anak Perempuan Survival Kelahiran Estimasi (tahun) di Thn 2013 Rate 2008-2013 Perempuan Perempuan Thn 2008 (kolom 3) (kolom 4) (kolom 5) (kolom 6) (kolom 7) 15-19 219.399 415.932 0,99755 229.030 416.954 20-24 2.633.247 3.516.676 0,99655 2.748.836 3.528.851 25-29 5.824.739 8.582.453 0,9954 6.080.421 8.622.115 30-34 4.932.847 8.790.850 0,9941 5.149.378 8.843.024 35-39 3.481.607 9.465.323 0,99215 3.634.435 9.540.214 40-44 1.348.124 8.122.411 0,98905 1.407.301 8.212.336 45-49 276.121 7.213.274 0,98415 288.242 7.329.446 Jumlah 18.716.084 46.106.919 19.537.642 46.492.938 Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013, diolah

74 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 PERHITUNGAN FERTILITAS MENGGUNAKAN METODE ANAK KANDUNG: ANALISIS LANJUT DATA RISKESDAS 2013

Tabel 8 Estimasi Angka Fertlitas Metode Anak Kandung di Indonesia

Umur Ibu Penduduk Kelahiran per 1.000 ASFR Perempuan 2008- perempuan 2013 (kolom 8) (kolom 9) (kolom 10) 15-19 416.443 550,0 149 20-24 3.522.763 780,3 195 25-29 8.602.284 706,8 130 30-34 8.816.937 584,0 99 35-39 9.502.768 382,5 54 40-44 8.167.374 172,3 18 45-49 7.271.360 39,6 2 Sumber : Riset Kesehatan Dasar 2013, diolah perhitungan (0,9974 + 0,9977) : 2 = 0,99755. Angka fertilitas menurut umur (ASFR) Jumlah penduduk perempuan tahun 2008 diperkirakan dengan cara membagi jumlah dihitung dengan membagi jumlah penduduk kelahiran selama periode 2008-2013 perempuan tahun 2013 dengan hasil dengan jumlah penduduk perempuan pada perhitungan angka survival rate tersebut. pertengahan 2008-2013. Namun, angka fertilitas per 1.000 penduduk perempuan Estimasi jumlah kelahiran balita untuk menurut umur yang dihasilkan ini hanya periode lima tahun (2008-2013) juga dihitung menunjuk pada tengah umur, yakni 17,5; berdasarkan life table, yakni survival rate 22,5; 27,5; 32,5; 37,5; 42,5; dan 47,5 tahun. untuk bayi yang dapat bertahan sampai Oleh karenanya, diperlukan distribusi angka empat tahun. Pada Tabel 7 tertera survival fertilitas menurut umur yang konvensional, rate pada bayi sejak lahir hingga empat tahun yakni 15-19; 20-24; 25-29; 30-34; 35-39; 40- dengan UHH 71 dan 72 adalah 0,9562 dan 44; dan 45-49 tahun. Distribusi angka fertilitas 0,9597. Perkiraan jumlah balita dilakukan yang konvensional ini dapat diperoleh dengan membagi jumlah anak balita tahun menggunakan formula Spraque Multiplier 2013 dengan survival rate masing-masing. (UN, 1982). Hasil perhitungan tercantum Perhitungan estimasi tersebut dapat dilihat pada kolom 10 Tabel 8. pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 8, maka dapat diperoleh Berdasarkan data jumlah penduduk ukuran TFR dengan menjumlahkan angka perempuan tahun 2013 (hasil survei, kolom fertilitas menurut umur yang dikalikan lima. 4) dan jumlah estimasi penduduk perempuan Hasilnya adalah 3.235 per 1.000 perempuan tahun 2008 (kolom 7), maka dapat diperoleh atau 3,2 per perempuan. Dengan kata lain, jumlah penduduk perempuan pertengahan setiap perempuan pada masa usia suburnya tahun 2008-2013. Hal itu dilakukan dengan rata-rata melahirkan tiga anak. menambahkan kolom 4 dan kolom 7 kemudian dibagi dua. Langkah selanjutnya Angka fertilitas menurut umur (ASFR) adalah menghitung jumlah kelahiran per merupakan gambaran banyaknya kelahiran 1.000 perempuan dengan membagi jumlah perempuan suatu kelompok umur pada kelahiran selama tahun 2008-2013 terhadap suatu tahun tertentu per 1.000 perempuan jumlah penduduk perempuan di periode di pertengahan tahun yang sama. Jumlah tahun yang sama dikalikan seribu pada setiap kelahiran terbanyak ada pada ibu di kelompok kategori umur ibu. umur 20-24 tahun, yakni 195 anak. Terbanyak kedua diikuti pada kelompok umur 15-

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 75 Lely Indrawati, Dwi Hapsari, dan Olwin Nainggolan

19 tahun sebesar 149 anak. Hal ini cukup daerah perkotaan dan perdesaan. Dengan mengejutkan mengingat kelompok umur 15- demikian, sampel SDKI lebih banyak untuk 19 tahun merupakan kelompok umur masih mengestimasi WUS sehingga kemungkinan muda untuk melahirkan. hasil generalisasi lebih presisi. Selanjutnya penghitungan TFR pada SDKI menggunakan metode full birth history (FBH), sedangkan Pembahasan untuk data Riskesdas ini, TFR dihitung menggunakan Own-children method (OCM). Hasil perhitungan TFR nasional di Secara umum, penggunaan teknik Indonesia berdasarkan Riskesdas 2013 penghitungan OCM lebih akurat dibandingkan adalah 3,2. Hal ini berarti setiap perempuan dengan menggunakan FBH (Christopher, usia subur rata–rata melahirkan tiga anak 2013). Setidaknya ada beberapa hal yang (pembulatan ke bawah) sampai dengan akhir menyebabkan metode penghitungan OCM masa reproduksinya. Angka ini terlihat lebih lebih akurat, misalnya karena metode tinggi jika dibandingkan dengan data SDKI penghitungan FBH cenderung inkonsistensi (Survei Demografi Kesehatan Indonesia) dalam melakukan pengodean umur. Hal tahun 2012 yang menghitung angka TFR ini menyebabkan perbedaan estimasi sebesar 2,6 (CI SE : 2,5-2,7) (Iskandar, 1977). terlalu besar ketika menggunakan FBH. Terlepas dari persoalan perbedaan sumber Hal lainnya adalah terdapat bias seleksi data, hasil perhitungan ini menunjukkan yang cukup besar ketika menghitung anak bahwa TFR Indonesia masih tinggi. Jika dalam metode FBH. Oleh karenanya, angka ini digunakan patokan, akan sangat secara keseluruhan, penghitungan TFR sulit untuk mencapai TFR 2,1 pada 2015 dipengaruhi dengan asumsi kematian anak, seperti yang dimandatkan oleh RPJMN. yaitu jika salah menghitung umur anak, maka itu akan memengaruhi kesalahan dalam Sementara itu, metode penghitungan pencocokkan kepada ibunya. Kesalahan ini angka TFR yang digunakan dalam SDKI makin besar pada penggunaan metode FBH. dan perhitungan analis/tulisan ini memiliki Hal lainnya yang memengaruhi perbedaan perbedaan. Perhitungan menggunakan angka TFR Riskesdas dengan SDKI lainnya sumber data SDKI dilakukan dengan teknik adalah fertilitas di SDKI dihitung untuk perhitungan secara langsung (direct method). periode tiga tahun terakhir sebelum data Sementara itu, perhitungan pada tulisan diambil dan dihitung secara langsung dari ini yang memanfaatkan data Riskesdas data riwayat kelahiran. Dengan demikian, menggunakan teknik perhitungan tidak anak yang dihitung adalah anak berumur di langsung (indirect method), khususnya bawah 3 tahun. Sementara itu, fertilitas di metode anak kandung yang telah disesuaikan Riskesdas untuk perhitungan TFR ini dihitung atau own-children method (adjusted). berdasarkan jumlah anak yang berumur Kemungkinan lain adanya perbedaan kurang dari 5 tahun yang dikelompokkan angka TFR yang dihasilkan oleh SDKI adalah berdasarkan kelompok umur ibunya. karena perbedaan estimasi sampel yang Perhitungan TFR lainnya yang digunakan. Sampel Riskesdas bertujuan menggunakan metode sama dilakukan melakukan estimasi terhadap masalah pada data Susenas 2010, yakni metode kesehatan di tingkat kabupaten/kota, perhitungan tidak langsung anak kandung provinsi, dan nasional. Sementara itu, SDKI (BKKBN, 2013). Hanya secara waktu, melakukan estimasi karakteristik penting Susenas 2010 menghitung fertilitas 5 tahun dari WUS 15-49 tahun dan pria kawin 15-54 ke belakang (2005-2010), sedangkan data tahun di tingkat provinsi dan nasional di setiap fertilitas Riskesdas 2013 dihitung mulai tahun

76 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 PERHITUNGAN FERTILITAS MENGGUNAKAN METODE ANAK KANDUNG: ANALISIS LANJUT DATA RISKESDAS 2013

2008 hingga 2013. Hasil perhitungan TFR kelahiran terbanyak per 1.000 perempuan menggunakan Susenas tahun 2010 adalah di kelompok umur 25-29 juga muncul sebesar 2,3. pada perhitungan ASFR menggunakan data Susenas 2010. Untuk lebih jelasnya, Hasil perhitungan fertilitas di setiap perbandingan jumlah kelahiran di setiap kelompok umur perempuan (ASFR) terlihat kelompok pada hasil perhitungan data linier berkurang dengan bertambahnya umur, Riskesdas 2013, SDKI 2012, dan Susenas kecuali pada kelompok 20-24 tahun (lihat Tabel 2010 terdapat pada Grafik 1 berikut ini. 8). Hal ini terjadi, salah satunya, karena umur menikah/hidup bersama terbanyak berada di Perbandingan di setiap kelompok umur umur WUS masih muda, yaitu rentang umur (Grafik 1), Jumlah kelahiran spesifik pada <19 tahun dan 20-24 tahun (lihat Tabel 7). Ini kelompok umur perempuan 15-19 tahun dan berarti ketika seorang perempuan menikah/ 20-24 tahun berdasarkan Riskesdas (RKD) hidup bersama pertama kali pada umur belia, 2013 paling tinggi dibandingkan dengan rentang waktu reproduksinya lebih panjang jumlah kelahiran SDKI 2012 dan Susenas jika tidak diatur/dibatasi. Jika tidak dilakukan 2010 di kelompok umur yang sama. Ini terjadi pengaturan kehamilan, maka potensi/risiko karena pernikahan/hidup bersama pada usia memiliki total anak yang dilahirkan akan muda semakin meningkat jumlahnya. Pada semakin banyak (Tabel 8). kelompok umur 25-29 tahun, hitungan data SDKI sedikit lebih besar dibandingkan dengan Pola ini agak berbeda dengan pola data data lainnya. Sementara itu, hitungan ASFR SDKI 2012 karena jumlah kelahiran terbesar menggunakan data Susenas 2010 sedikit ada pada kelompok umur 25-29 tahun. Jumlah

Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013, diolah Grafik 1 Perbandingan Hitungan Age Specific Fertilitas Rate (ASFR) antara data Riskesdas 2013, SDKI 2012 dan Susenas 2010

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 77 Lely Indrawati, Dwi Hapsari, dan Olwin Nainggolan lebih besar jika dibandingkan dengan pada kecenderungan bahwa TFR Indonesia kelompok umur ibu usia 30-34 tahun, 35-39 mengalami stagnasi. Jika pembatasan tidak tahun, dan 40-44 tahun. digiatkan kembali, dikhawatirkan jumlah penduduk Indonesia akan semakin meningkat

di tahun-tahun mendatang. Kelompok umur Kesimpulan WUS sangat muda (di bawah 19 tahun) memerlukan perhatian yang lebih khusus dalam program kesehatan reproduksi terkait Hasil perhitungan TFR di Indonesia dengan pengaturan waktu kehamilan untuk adalah 3.235 per 1.000 perempuan atau 3,2 menghindari risiko kesehatan dalam masa per perempuan. Dengan kata lain, setiap hamil dan melahirkan. Perlu dilakukan perempuan pada masa usia suburnya rata- analisis lebih lanjut tentang hubungan umur rata melahirkan tiga anak. Metode yang menikah muda dengan jumlah anak yang digunakan untuk mendapatkan perhitungan dilahirkan serta dampak kesehatan anak ini menggunakan metode anak kandung (own yang dilahirkan. children method) dengan dasar yang telah disesuaikan (adjusted). Hasil hitungan TFR 3,2 menandakan Prioritas Nasional nomor 3 Ucapan Terima Kasih untuk indikator penurunan TFR tahun 2014 sebesar 2,1 masih jauh di bawah target. Analisis lanjut data Riskesdas 2013 untuk Hasil perhitungan fertilitas di setiap penghitungan Total Fertilitas Rate (TFR) kelompok umur perempuan (ASFR) terlihat menggunakan own-children method ini bahwa kelompok umur perempuan 20- merupakan kerja sama tim penulis. Ucapan 24 tahun memiliki potensi terbanyak terima kasih juga disampaikan kepada Dr. dr. melahirkan anak, yaitu 195 kelahiran per Trihono selaku ‘teman’ sekaligus pimpinan 1.000 perempuan. Kemudian diikuti oleh kami yang di tengah kesibukannya telah kelompok umur lebih muda, yakni 15-19 memberi saran dan masukan yang sangat tahun, dengan 149 kelahiran per 1.000 berarti dalam analisis dan tulisan kami ini. perempuan dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih tua (di atas 24 tahun). Ini berarti perempuan muda umur 15-19 tahun Daftar Pustaka telah menikah atau berhubungan badan sebelum rentang umur tersebut. Jika seorang perempuan telah menikah dalam umur belia, Badan Kependudukan Keluarga Berencana maka potensi/risiko untuk memiliki anak lebih Nasional. 2013. Penyajian TFR Kabupaten besar jika tanpa pembatasan kelahiran. dan Kota: Data Susenas 2010. Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Saran Kesehatan RI. 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Tahun 2013. Berdasarkan perhitungan, TFR di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/ Indonesia tahun 2008-2013 sebesar 3,2. Ini Kementerian Perencanaan Pembangunan berarti program pembatasan jumlah anak Nasional. 2009. Pembangunan Kesehatan yang diharapkan oleh pemerintah, yakni dan Gizi di Indonesia: Overview dan Arah Dua Anak Lebih Baik dalam satu keluarga, ke Depan. rata-rata belum tercapai. Jika dibandingkan dengan hasil perhitungan yang lain, ada

78 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 PERHITUNGAN FERTILITAS MENGGUNAKAN METODE ANAK KANDUNG: ANALISIS LANJUT DATA RISKESDAS 2013

-----. 2010. Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Percepatan Pencapaian Tujuan MDGs di Daerah (RAD MDGs). -----. 2013. Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014. Badan Pusat Statistik dan ORC Macro. 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003. Calverton, Maryland, USA: ORC Macro. Badan Pusat Statistik dan Makro Internasional. 2007. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Calverton, Maryland, USA: BPS dan Macro Internasional. Badan Pusat Statistik. 2011. Indeks Pembangunan Manusia 2010-2011. Badan Pusat Statistik dan ICF Internasional. 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Christopher Avery, et.al. 2013. “The Own Children Fertility Estimation Procedure: A Reappraisal”. Population Studies: A Journal of Demography, Vol. 67, Issue 2, Pp. 171-183. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku Saku MDGs di bidang Kesehatan Tahun 2011-2015. Kasto. 1995. “Hand Out Tehnik Demografi PND 111”. Program Studi Kependudukan Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Iskandar, N. 1977. Teknik Demografi. Jakarta: Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Tim Penulis Lembaga Demografi UI, Oetomo SM & Samosir. (eds.). 2011. Dasar-Dasar Demografi. Jakarta: Penernit Salemba Empat. United Nations. 1982. Models Life Tables for Developing Countries. New York: Departement of International Economic and Social Affairs.

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 79 Populasi

Volume 24 Nomor 2 2016 Halaman 80-99

KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT: ANALISIS DATA SUSENAS 20121

Heryanah

Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi

Korespondensi: Heryanah (e-mail: [email protected])

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Jawa Barat tahun 2012 dengan data Susenas dan menggunakan regresi order logistik. Selain itu, penelitian ini juga mencoba mencari faktor-faktor yang memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Jawa Barat dengan sepuluh variabel independen (dummy perkotaan, dummy jenis kelamin, dummy status perkawinan, umur kepala rumah tangga, banyaknya jumlah anggota rumah tangga, rata-rata lama sekolah dari kepala rumah tangga, dummy kerja atau tidak, pengeluaran per kapita rumah tangga, dummy kelayakan sanitasi, dan dummy kondisi kumuh). Dari hasil penelitian diketahui bahwa tahun 2012 sebanyak 34 persen rumah tangga di Jawa Barat tergolong rumah tangga tahan pangan. Proporsi dari rumah tangga yang rawan pangan juga masih tinggi di provinsi ini, yaitu 15 persen dari total populasi. Selain itu, kesepuluh independen variabel secara statistik signifikan memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Jawa Barat.

Kata kunci: ketahanan pangan, rumah tangga, data Susenas

HOUSEHOLD FOOD SECURITY IN WEST JAVA: ANALYSIS BY USING SUSENAS DATA 2012

Abstract

The objective of this research is to illustrate the condition of food security of household level in West Java Province in 2012 by using Susenas data and employing order logistics regression. Moreover, this research tries to explore the factors that affect the household food secure with using 10 independent variables (city dummy, sex dummy, marriage status dummy, age of the household head, the number household, mean years of school of the household head, work dummy, per capita mean expenditure, sanitation dummy, and slum area dummy). In 2002, the number of household in West Java Province with the level of food secure is about 34 percent of total population, however, the number of household with the level of food insecure still high, is about 15 percent of the total population. The output of the regression shows that all the independent variables are statistically significant influence the household food secure.

Keywords: food security, household, Susenas data

1 Tulisan ini merupakan revisi dari karya tulis ilmiah diklat fungsional (Heryanah, 2014).

80 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT: ANALISIS DATA SUSENAS 2012

Pendahuluan tetapi juga masalah daya beli dari rumah tangga. Hal ini karena peningkatan derajat ketahanan pangan yang tinggi akan sulit Masalah pangan bukan hanya menjadi dicapai walaupun jumlah pangan melimpah pokok perhatian pemerintah pusat, tetapi dan pengadaannya di suatu daerah stabil jika juga bagi Pemerintah Daerah Jawa Barat rumah tangga tidak mampu mengaksesnya yang terkenal sebagai salah satu provinsi karena minimnya daya beli. dengan potensi agrarianya. Berdasarkan Penelitian ini fokus pada penelitian data dari Badan Ketahanan Pangan Daerah ketahanan pangan rumah tangga. Oleh karena (BKPD) Provinsi Jawa Barat, masih terdapat itu, ketahanan pangan wilayah dan daerah beberapa daerah kabupaten/kota di provinsi tidak akan dibahas di sini. Secara umum, ini yang berstatus rawan, bahkan sangat tujuan penelitian ini adalah menggambarkan rawan pangan. kondisi ketahanan pangan rumah tangga Sebagai kebalikan dari rawan pangan di Jawa Barat. Secara khususnya, tulisan (food insecure), tahan pangan (food security) ini ingin mengeksplorasi faktor-faktor sosial merupakan kondisi yang diartikan sebagai ekonomi yang memengaruhi ketahanan tersedianya pangan dalam jumlah yang pangan rumah tangga di Jawa Barat dengan cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, data Susenas tahun 2012 dan metode order dan aman dikonsumsi bagi setiap warga logistic regression. untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan adalah Kajian Literatur konsep yang integratif antara keberadaan, distribusi, dan konsumsi pangan. Sementara itu, akan timbul kerawanan pangan ketika Pangan merupakan salah satu masalah kondisi pangan yang dialami daerah, krusial yang pengadaannya harus masyarakat, atau rumah tangga pada mengikutsertakan pemerintah secara aktif. waktu tertentu tidak cukup untuk memenuhi Dengan terbitnya UU No. 7 Tahun 1996 kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan tentang Pangan, pemerintah berusaha kesehatan masyarakat. Kerawanan pangan mengatur semua masalah yang berhubungan tersebut dapat terjadi berulang-ulang setiap dengan pangan, termasuk di dalamnya waktu (kronis) dan dapat pula terjadi akibat masalah ketahanan pangan. keadaan darurat, seperti bencana alam Konsep ketahanan pangan di dalam maupun bencana sosial. UU tersebut didefinisikan sebagai kondisi Walaupun program peningkatan produksi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah pangan menunjukkan keberhasilan, jaminan tangga, yang tercermin dari tersedianya tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup, pangan yang cukup baik jumlah maupun distribusi dan stabilitas pengadaan tentu mutunya, aman, merata, dan terjangkau. menjadi permasalahan lain yang harus diatasi. Konsep ketahanan pangan ini mengadopsi Selain itu, pola konsumsi dari masyarakat definisi yang dikeluarkan oleh Food and juga tentu perlu terus ditingkatkan. Agriculture Organization (FAO) yang tahun 1996 menjabarkan adanya empat unsur Pembahasan ketahanan pangan tidak yang harus dipenuhi dalam rangka mencapai hanya terkonsentrasi pada ketahanan kondisi ketahanan pangan. Keempat unsur pangan daerah dan wilayah, tetapi juga itu adalah cukupnya ketersediaan pangan, mencakup ketahanan pangan rumah tangga. stabilitas ketersediaan pangan, akses Ketahanan pangan rumah tangga tidak hanya terhadap pangan, dan kualitas pangan. menyangkut masalah ketersedian pangan,

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 81 Heryanah

Selain FAO, beberapa lembaga juga 2. AHFSI (Aggregate Household Food memberikan definisi ketahanan pangan, Security Index) yang dikembangkan oleh seperti World Bank (1996) yang menyatakan FAO tahun 1996 dan pengukurannya bahwa ketahanan pangan adalah akses berdasarkan konsumsi kalori rumah oleh semua orang pada segala waktu atas tangga. pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif. Kemudian Oxfam (2001) AHFSI didapat berdasarkan rumus: menjelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi ketika setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas 100-[H (G+(1-G)Ip) + ½ s{1-H(G+(1-G) jumlah pangan yang cukup dan kualitas yang Ip)}]100 baik demi hidup yang aktif dan sehat. FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems, 2005) menjabarkan Keterangan: konsep ketahanan pangan sebagai kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara H = Nilai Head Count Ratio, yaitu fisik, sosial, dan ekonomi memiliki akses pada proporsi penduduk yang mempunyai pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk konsumsi kalori kurang dari standar pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary kecukupan kalori nasional needs) dan pilihan pangan (food preference) G = Food Gap, yaitu proporsi gap demi kehidupan yang aktif dan sehat. antara konsumsi kalori rumah tangga Kondisi ketahanan pangan rumah tangga terhadap standar kecukupan kalori ditentukan oleh kemampuan rumah tangga nasional untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Ip = Ukuran ketimpangan pada Masalah kemampuan ini berhubungan distribusi food gap juga dengan masalah kemiskinan. s = Koefisien variasi dari konsumsi Ketidakmampuan rumah tangga dalam kalori rumah tangga. pemenuhan pangan tidak hanya dilihat dari pemenuhan secara kuantitas, tetapi juga 3. Pangsa pangan, yaitu indikator ketahanan termasuk masalah kualitas pangan. pangan pada tingkat rumah tangga yang Sehubungan dengan pentingnya masalah diukur dengan klasifikasi silang dua ketahanan pangan rumah tangga ini, indikator ketahanan pangan, yaitu pangsa ada beberapa ahli maupun institusi yang pengeluaran pangan dan kecukupan mengembangkan indikator untuk mengukur konsumsi energi (Kkal) (Jonsson & Toole, tingkat ketahanan atau kerawanan pangan 1991). Berikut adalah empat kategori rumah tangga. Secara umum, terdapat tiga rumah tangga menurut tingkat ketahanan pengukuran ketahanan pangan rumah tangga pangan. yang banyak digunakan untuk tujuan tersebut. a. Tahan pangan (pangsa pangan < 60 Berikut adalah penjelasan tentang ketiganya. %, kecukupan energi >80 %) 1. Pola pangan harapan, yaitu metode b. Rentan pangan (pangsa pangan >= 60 yang utamanya digunakan sebagai %, kecukupan energi >80 %) perencanaan konsumsi, kebutuhan, dan c. Kurang pangan (pangsa pangan < 60 ketersediaan pangan di suatu wilayah. %, kecukupan energi <=80 %) Metode ini berdasarkan pada konsumsi energi dan zat gizi total, persentase d. Rawan pangan (pangsa pangan >= 60 energi dan gizi aktual, serta skor kedua %, kecukupan energi <=80 %). variabel tersebut.

82 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT: ANALISIS DATA SUSENAS 2012

Data dan Metode Penelitian orang lain tersebut diperkirakan nilainya berdasarkan harga pada umumnya. Pada penelitian ini, data Susenas yang 1. Data digunakan hanya Susenas Provinsi Jawa Barat saja. Jumlah sampel Susenas untuk Studi ini menggunakan data Susenas tahun Provinsi Jawa Barat tahun 2012 adalah 2012. Susenas adalah data sosial ekonomi 22.470 rumah tangga. nasional yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) secara periodik sejak tahun 2. Metode Penelitian 1963. Jika dilihat dari sejarah perkembangan Susenas, pada awalnya survei ini hanya mencakup 5 provinsi di Pulau Jawa dengan Dalam statistik, tujuan dasar dari regresi jumlah sampel hanya sebanyak 16.000 adalah melihat suatu hubungan antara rumah tangga. Sejalan dengan meningkatnya satu variabel dengan variabel-variabel kesadaran terhadap pentingnya data ini, lainnya dan mencari model yang terbaik yang digunakan juga untuk menghitung data untuk menjelaskan hubungan tersebut. kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia, Metode regresi berdasarkan jenis variabel sejak tahun 1982 Susenas mencakup seluruh dependennya dapat dibedakan menjadi provinsi (termasuk Provinsi Timor Timur saat regresi linier dan regresi logistik. Jika masih bergabung dengan Indonesia) dan dalam regresi linier, variabel dependennya jumlah sampelnya juga mengalami kenaikan diasumsikan bersifat kontinu, sedangkan tiap tahunnya. dalam regresi logistik, variabel dependennya Susenas mengumpulkan 2 jenis data, yaitu bersifat diskrit (Gujarati, 2003). data KOR dan Modul. Yang dimaksudkan Pada penelitian ini, variabel dependennya dengan KOR adalah kumpulan pertanyaan- bersifat diskrit/kategorikal berskala ordinal pertanyaan yang bersifat umum yang sehingga model regresi logistik merupakan selalu ditanyakan setiap tahun, sedangkan metode yang paling sesuai digunakan. Modul adalah pertanyaan-pertanyan khusus Regresi logistik atau kadang disebut yang sesuai dengan topiknya dan lebih model logit merupakan salah satu analisis rinci yang dilakukan 3 tahun sekali untuk regresi yang digunakan untuk menganalisis setiap topik, yaitu Modul Konsumsi, Modul hubungan antara variabel dependen dengan Sosial Budaya dan Pendidikan, serta Modul variabel independen. Dalam hal ini, variabel Perumahan dan Kesehatan. Susenas dependen bersifat polikotomus dengan KOR dilaksanakan setiap tahun untuk skala ordinal digunakan untuk memprediksi mengumpulkan data individu dan rumah probabilitas kejadian suatu peristiwa dengan tangga terkait dengan kesehatan, pendidikan, mencocokkan data pada fungsi logit kurva pekerjaan, dan pengeluaran. Pengeluaran logistik (Praptono, 2009). yang dicakup di dalam data pengeluaran x) dinyatakan׀konsumsi diklasifikasikan ke dalam kelompok Dalam regresi linier nilai E (Y makanan dan nonmakanan. Konsumsi dalam bentuk berikut. pengeluaran juga merekam apakah konsumsi x) = β0 + β1 x׀E (Y itu melalui pembelian, produksi sendiri, x) untuk sembarang nilai x terletak׀atau pemberian dari pihak lain. Barang dan Nilai E (Y ∞ > (x׀jasa yang bersumber dari produksi sendiri pada selang - ∞ < E (Y x) berada׀ataupun dari pihak lain direkam dengan Dalam regresi logistik, nilai E (Y cara mengimputasi, artinya barang/jasa dalam selang [0,1]. hasil produksi sendiri atau pemberian dari

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 83 Heryanah

Bentuk model regresi logistik adalah sebagai b). Pengujian Parameter berikut. Model yang telah diperoleh perlu diuji signifikansi pada koefisien β terhadap variabel dependen, yaitu dengan uji serentak dan uji parsial.

Uji Serentak Pengujian ini dilakukan umtuk Di bawah ini adalah bentuk khusus model memeriksa kemaknaan koefisien β regresi logistik dengan satu variabel bebas x. terhadap variabel dependen secara bersama-sama. Hipotesis:

Persamaan di atas dapat ditulis sebagai H0 : β1 = β2 = …= βk = 0 berikut. H1 : paling sedikit ada satu βk ≠ 0; k = 1, 2,…, p

Kendala dalam model peluang linier Likelihood Ratio Test (LR) merupakan seperti pada persamaan di atas adalah pengganti F-stat (uji serentak pada nilai peluangnya dibatasi pada 0 dan 1. regresi linear) yang berfungsi untuk Pemecahan terhadap masalah tersebut menguji apakah semua slope koefisien adalah mentransformasikan peluang menjadi regresi variabel independen secara odds yang akan menghilangkan batas atasnya. bersama-sama memengaruhi variabel Mengambil nilai logaritma dari odds akan dependen. menghilangkan batas bawahnya. Dengan Statistik uji yang digunakan adalah demikian, untuk intepretasi regresi logistik, statistik uji Wald. digunakanlah odd ratio atau kemungkinan. Transformasi ini ditulis dalam bentuk π (x) dan didefinisikan sebagai berikut. Uji Statistik Daerah penolakan H0 adalah atau W2 > X2 (α,y) dengan derajat bebas v atau nilai p-value< α Uji statistik yang dilakukan pada penelitian ketahanan pangan rumah tangga ini terdiri Uji Parsial atas hal-hal berikut ini. Pengujian ini dilakukan untuk a). Uji Multikolinieritas memeriksa kemaknaan koefisien β Uji multikolinieritas adalah pengujian secara parsial menggunakan statistik untuk mengetahui ada tidaknya uji. hubungan yang linier atau korelasi H : β = 0 antara variabel independen yang 0 k

signifikan pada model regresi. H1 : βk ≠ 0 ; k = 1, 2,…, p

84 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT: ANALISIS DATA SUSENAS 2012

Uji parsial untuk setiap variabel Pseudo R2, yaitu R-square tiruan independen dilakukan dengan yang digunakan karena tidak adanya melihat Prob>chi2 dari tiap variabel padanan yang dapat mengganti independen. R-square OLS pada model logit.

c). Uji Goodness of Fit 3. Variabel Penelitian Uji ini dilakukan untuk melihat seberapa baik suatu model dapat menjelaskan Penelitian ketahanan pangan rumah hubungan antara variabel dependen tangga di Jawa Barat ini terdiri atas satu dengan variabel independennya. Pada variabel dependen dan sepuluh variabel regresi logistik, parameter yang dilihat independen. Tabel dan deskripsi dari variabel- untuk menguji Goodness of Fit adalah variabel tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 1 Variabel yang Dipergunakan dalam Penelitan beserta Keterangannya

No Variabel Sebagai Jenis Keterangan 1 Ketahanan Pangan Dependen Kategorikal 0 = Rawan Pangan 1 = Kurang Pangan 2 = Rentan Pangan 3 = Tahan Pangan 2 Tipe Daerah Independen Kategorikal 0 = Perdesaan 1 = Perkotaan 3 Jenis Kelamin KRT Independen Kategorikal 0 = Perempuan 1 = Laki-laki 0 = KRT tidak berstatus 4 Status Perkawinan KRT Independen Kategorikal menikah 1 = KRT berstatus menikah 5 Usia KRT Independen Kontinu - Jumlah Anggota Rumah - 6 Tangga Independen Kontinu Rata-rata lama sekolah - 7 KRT Independen Kontinu 8 Status Bekerja dari KRT Independen Kategorikal 0 = Tidak Bekerja 1 = Bekerja 9 Pengeluaran per Kapita Independen Kontinu - Kondisi Sanitasi Rumah 10 Tangga Independen Kategorikal 0 = Sanitasi tidak layak 1 = Sanitasi layak Kondisi Kumuh Rumah 0 = Rumah Tangga tidak 11 Tangga Independen Kategorikal kumuh 1 = RumahTangga kumuh Sumber: Susenas 2012 (diolah)

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 85 Heryanah

Tabel 2 Pembentukan Variabel Ketahanan Pangan Rumah Tangga berdasarkan Data Kalori dan Proporsi Pengeluaran Makanan

Pangsa pengeluaran pangan Kategori kecukupan konsumsi energi per unit ekuivalen dewasa ≤ 60% pengeluaran total > 60% pengeluaran (RENDAH) total (TINGGI) > 80% kecukupan energi (CUKUP) Tahan pangan Rentan pangan ≤ 80% kecukupan energi (KURANG) Kurang pangan Rawan pangan Sumber: Jonsson dan Toole (1991) a. Variabel Dependen Kategori daerah Kategori daerah merupakan tipe dari daerah tempat tinggal rumah tangga sampel Yang menjadi variabel dependen dalam penelitian. Pada penelitian ini akan dilihat penelitian ini adalah ketahanan pangan rumah apakah tempat tinggal merupakan faktor yang tangga. Data yang dipakai untuk membentuk dapat digunakan untuk mengukur ketahanan variabel ketahanan pangan rumah tangga pangan rumah tangga. Oleh karena itu, adalah data kalori yang dikonsumi rumah dibentuk dummy variabel sebagai berikut. tangga dan data proporsi pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran rumah tangga sebagaimana didefinisikan oleh X1 = 1 jika daerah perkotaan Jonsson dan Toole (1991). 0 jika daerah perdesaan Dengan kategori ketahanan pangan rumah tangga seperti di atas, variabel dependen pada penelitian ini merupakan variabel kategorikal Jenis kelamin dari kepala rumah tangga sehingga dibentuk ketentuan sebagai berikut. Pada penelitian ini akan dilihat apakah ada pengaruh antara jenis kelamin dari Kepala Y = 0 jika rumah tangga rawan pangan Rumah Tangga (KRT) terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Oleh karena itu, Y = 1 jika rumah tangga kurang pangan dibentuk dummy variable sebagai berikut. Y = 2 jika rumah tangga rentan pangan Y = 3 jika rumah tangga tahan pangan. X2 = 1 jika KRT berjenis kelamin laki-laki 0 jika KRT berjenis kelamin b. Variabel Independen perempuan

Status perkawinan dari kepala rumah tangga Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas hal-hal berikut Variabel status perkawinan digunakan ini. untuk melihat apakah ada pengaruh status perkawinan dari KRT terhadap ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan. Kemudian dummy variabel dibentuk sebagai berikut.

86 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT: ANALISIS DATA SUSENAS 2012

X3 = 1 jika KRT berstatus kawin Kondisi ‘kumuh’ dari rumah tangga 0 jika tidak Ini merupakan variabel dummy dengan ketentuan sebagai berikut.

Usia dari kepala rumah tangga X10 = 1 jika kondisi rumah tangga sampel Variabel ini merupakan variabel kontinu kumuh untuk melihat apakah usia dari KRT merupakan 0 jika tidak faktor yang memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga. Hasil dan Pembahasan Banyaknya anggota rumah tangga Ini merupakan variabel kontinu. Apakah Analisis Deskriptif jumlah anggota rumah tangga merupakan salah satu faktor penentu kondisi ketahanan pangan rumah tangga? Badan Ketahanan Pangan Daerah Provinsi Jawa Barat yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 22 Rata-rata lama sekolah dari kepala rumah Tahun 2008 menerbitkan Peta Ketahanan tangga dan Kerentanan Pangan Indonesia atau Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Ini merupakan variabel kontinu. Apakah provinsi tahun 2011. FSVA mengacu pada tiga lamanya tahun pendidikan dari KRT memiliki pilar ketahanan pangan yang berdasarkan andil terhadap kondisi ketahanan pangan Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan rumah tangga? Gizi, yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan pangan. Status bekerja dari kepala rumah tangga FSVA mengindikasikan bahwa dalam hal X7 = 1 jika KRT berstatus bekerja ketersedian pangan, Provinsi Jawa Barat secara umum termasuk dalam kategori 0 jika tidak daerah swasembada pangan. Akan tetapi, jika ditinjau dari akses terhadap pangan, Provinsi Jawa Barat termasuk ke dalam lima Pengeluaran per kapita rumah tangga provinsi (bersama dengan Provinsi Sulawesi Pengeluaran per kapita rumah tangga Utara, Papua, DKI Jakarta, dan Sumatera adalah rata-rata pengeluaran per orang Barat) dengan kondisi tingkat kemiskinan yang harus dikeluarkan rumah tangga dalam yang tidak mengalami perbaikan sejak tahun sebulan (dalam 00.000 rupiah). 2003. Masalah kondisi tingkat kemiskinan yang stagnan ini memengaruhi rumah tangga dalam mengakses kebutuhan pangan mereka. Kondisi sanitasi dari rumah tangga Berikut ini adalah deskripsi mengenai Ini merupakan variabel dummy dengan kondisi ketahanan pangan rumah tangga di ketentuan sebagai berikut. Provinsi Jawa Barat berdasarkan perhitungan pangsa pangan dari Maxwel dan AHFSI (FAO, 1996) menggunakan data Susenas X9 = 1 jika kondisi sanitasi dari rumah tahun 2012. tangga sampel layak 0 jika tidak Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 87 Heryanah

1. Pangsa Pangan Jika dilihat berdasarkan kabupaten dan kota, secara umum proporsi terbanyak dari rumah tangga di kabupaten/kota tergolong Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pada rentan pangan. Kota Cimahi dan Kota Depok 2012 sepertiga rumah tangga di Jawa Barat merupakan wilayah tingkat II dengan proporsi termasuk kategori rumah tangga yang rumah tangga tahan pangannya terbanyak. tahan pangan. Namun, di sisi lain proporsi Lebih dari setengah total rumah tangga di dari mereka yang termasuk kategori rawan Kota Cimahi dan Depok termasuk kategori pangan dan kurang pangan masih tergolong tahan pangan. Sementara itu, Kabupaten cukup tinggi, yaitu masing-masing sekitar Tasikmalaya dan Kabupaten Bandung Barat 15 persen dari total rumah tangga di Jawa merupakan kabupaten dengan proporsi Barat. Sementara itu, proporsi terbesar di rumah tangga yang tergolong rawan pangan Jawa Barat adalah rumah tangga yang rentan terbanyak. pangan dengan proporsi sebesar 36 persen.

Sumber: Susenas (diolah) Gambar 1 Persentase Rumah Tangga dengan Kategori Ketahanan Pangan di Jawa Barat Tahun 2012

88 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT: ANALISIS DATA SUSENAS 2012

Tabel 3 Persentase Rumah Tangga dengan Kategori Ketahanan Pangan di Jawa Barat berdasarkan Kabupaten/Kota Tahun 2012

Rawan Kurang Rentan Tahan Kabupaten/Kota Total Pangan Pangan Pangan Pangan Kab. Bogor 14,63 16,90 26,48 41,99 100 Kab. Sukabumi 16,63 10,83 44,49 28,05 100 Kab. Cianjur 20,22 9,72 47,11 22,96 100 Kab. Bandung 12,11 17,34 33,67 36,88 100 Kab. Garut 26,97 15,13 37,78 20,11 100 Kab. Tasikmalaya 31,12 15,08 37,87 15,93 100 Kab. Ciamis 12,65 6,33 54,08 26,94 100 Kab. Kuningan 12,84 4,72 54,65 27,79 100 Kab. Cirebon 15,15 10,99 47,52 26,34 100 Kab. Majalengka 13,10 6,55 51,03 29,31 100 Kab. Sumedang 9,93 4,02 49,76 36,29 100 Kab. Indramayu 12,13 3,39 61,05 23,43 100 Kab. Subang 13,44 7,72 39,47 39,37 100 Kab. Purwakarta 7,84 8,24 44,32 39,59 100 Kab. Karawang 13,23 10,51 35,70 40,56 100 Kab. Bekasi 9.75 18.74 24.74 46.77 100 Kab. Bandung Barat 28,62 20,35 29,49 21,55 100 Kota Bogor 13,27 24,49 24,21 38,03 100 Kota Sukabumi 15,52 20,00 30,17 34,31 100 Kota Bandung 8,73 29,32 17,77 44,18 100 Kota Cirebon 15,41 39,61 13,62 31,36 100 Kota Bekasi 7,60 26,20 19,60 46,60 100 Kota Depok 7,73 25,32 16,31 50,64 100 Kota Cimahi 7,51 20,52 19,65 52,31 100 Kota Tasikmalaya 18,18 23,18 28,18 30,45 100 Kota Banjar 12,30 9,72 43,25 34,72 100 Jawa Barat 14,64 15,20 36,16 34,00 100 Sumber: Susenas 2012 (diolah)

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 89 Heryanah

Sumber: Susenas 2012 (diolah) Gambar 2 Persentase Rumah Tangga dengan Kategori Ketahanan Pangan di Jawa Barat berdasarkan Kategori Wilayah Tahun 2012

Berdasarkan kategori perkotaan dan 2. AHFSI FAO perdesaan, di daerah perkotaan di Jawa Barat proporsi terbanyak adalah rumah tangga yang tahan pangan (39,19 persen) dan Berdasarkan aggregate household food rumah tangga dengan kategori rawan pangan security index (AHFSI), Provinsi Jawa Barat merupakan rumah tangga dengan proporsi tahun 2012 termasuk kategori dengan terendah (12,57 persen). Sementara itu, untuk ketahanan pangan yang rendah dengan indeks daerah perdesaan, rumah tangga yang tahan sebesar 70,16. Tidak jauh berbeda dengan pangan tidak sampai mencapai seperempat gambaran secara umum, AHFSI berdasarkan dari populasi rumah tangga perdesaan. Akan perkotaan dan perdesaan juga menunjukkan tetapi, proporsi dari rumah tangga yang rentan bahwa baik di perkotaan maupun perdesaan pangannya mencapai setengah dari populasi di Jawa Barat, level ketahanan pangannya rumah tangga di perdesaan. berada di level rendah. Jika dilihat secara umum, kondisi Berdasarkan AHFSI, tidak ada satu pun ketahanan pangan di perdesaan di Provinsi kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2012 Jawa Barat masih lebih baik jika dibandingkan yang mempunyai indeks ketahanan pangan dengan perkotaan karena proporsi dari rumah yang tinggi karena mayoritas berada pada tangga tahan dan rentan pangan mencapai ketahanan pangan dengan level yang rendah. 75 persen dari populasi, sedangkan yang Sementara itu, Kabupaten Tasikmalaya, kurang dan rawan pangan hanya mencapai Kabupaten Bandung Barat, Kota Cirebon, seperempatnya. Sementara itu, di perkotaan, dan Kota Tasikmalaya mempunyai indeks walaupun proporsi terbesarnya adalah rumah ketahanan pangan yang berada pada level tangga yang tahan pangan, proporsi dari kritis. Selain itu, terdapat tujuh kabupaten/ mereka yang kurang dan rawan pangan kota dengan level cukup, yaitu Kabupaten mencapai 32 persen. Ciamis, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Purwakarta.

90 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT: ANALISIS DATA SUSENAS 2012

Tabel 4 AHFSI di Jawa Barat Tahun 2012 berdasarkan Kategori Kabupaten/Kota

Kabupaten/Kota AHFSI Keterangan Kab. Bogor 69,72 Level Rendah Kab. Sukabumi 72,37 Level Rendah Kab. Cianjur 70,61 Level Rendah Kab. Bandung 71,16 Level Rendah Kab. Garut 67,06 Level Rendah Kab. Tasikmalaya 64,14 Level Kritis Kab. Ciamis 77,36 Level Cukup Kab. Kuningan 77,55 Level Cukup Kab. Cirebon 73,67 Level Rendah Kab. Majalengka 75,04 Level Cukup Kab. Sumedang 77,70 Level Cukup Kab. Indramayu 76,47 Level Cukup Kab. Subang 75,09 Level Cukup Kab. Purwakarta 77,15 Level Cukup Kab. Karawang 73,87 Level Rendah Kab. Bekasi 71,51 Level Rendah Kab. Bandung Barat 61,49 Level Kritis Kota Bogor 65,93 Level Rendah Kota Sukabumi 65,97 Level Rendah Kota Bandung 65,04 Level Rendah Kota Cirebon 59,88 Level Kritis Kota Bekasi 65,57 Level Rendah Kota Depok 67,12 Level Rendah Kota Cimahi 70,09 Level Rendah Kota Tasikmalaya 63,76 Level Kritis Kota Banjar 73,56 Level Rendah Jawa Barat 70,16 Level Rendah Sumber: Susenas 2012 (diolah)

Tabel 5 AHFSI di Jawa Barat Tahun 2012 berdasarkan Kategori Perkotaan/Perdesaaan

Kabupaten/Kota AHFSI Keterangan Perkotaan 69,12 Level Rendah Pedesaan 72,06 Level Rendah Sumber: Susenas 2012 (diolah)

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 91 Heryanah

Analisis Order Logistic Regression bahwa rumah tangga tersebut tergolong rawan pangan, 1 untuk rumah tangga yang kurang pangan, 2 untuk rumah tangga yang Subbagian ini menampilkan dan rentan pangan, dan 3 adalah kode untuk membahas hasil regresi dengan metode rumah tangga yang tahan pangan. ordered logistic regression seperti yang telah Kemudian sepuluh variabel lainnya dijelaskan pada bagian sebelumnya. Variabel merupakan variabel independen. Dari statistik dependen adalah ketahanan pangan rumah data di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata tangga yang terbagi menjadi empat kategori, umur kepala rumah tangga di Jawa Barat yaitu rawan pangan, rentan pangan, kurang tahun 2012 adalah 47 tahun. Rata-rata jumlah pangan, dan tahan pangan. Sementara itu, anggota rumah tangga di Jawa Barat antara variabel independennya adalah dummy 3 dan 4 orang. Sementara itu, rata-rata lama perkotaan, dummy jenis kelamin dari kepala pendidikan dari kepala rumah tangga adalah rumah tangga, dummy status perkawinan 7,6 tahun. dari kepala rumah tangga, umur dari kepala rumah tangga, banyaknya anggota di rumah tangga, rata-rata lama sekolah dari kepala Analisis Model rumah tangga, dummy apakah kepala rumah tangga bekerja atau tidak, rata-rata pengeluaran per kapita dari rumah tangga Tabel 7 menampilkan keluaran dari regresi tersebut (dalam Rp100.000,00), dummy metode order logistic dengan software Stata kondisi sanitasi rumah tangga, dan dummy 12. Dari hasil keluaran tersebut, dapat dilihat dari kategori kumuh atau tidak. Deskripsi data bahwa sampel dari penelitian ini adalah selengkapnya ditampilkan pada Tabel 6. 23.079 rumah tangga. Nilai dari Wald chi2 (10) Dari Tabel 6 diketahui bahwa jumlah sampel adalah 2661.44 dengan nilai p-value sebesar dari data Susenas tahun 2012 untuk Provinsi 0.0000 yang mengindikasikan bahwa secara Jawa Barat adalah 23.079 rumah tangga. keseluruhan, model yang digunakan dalam Data yang digunakan sebagai dependen penelitian ini signifikan secara statistik. variabel dari penelitian ini adalah variabel Di dalam tabel hasil regresi tersebut, Kpangan yang merupakan variabel yang terdapat nilai koefisien, robust standard error bersifat kategori karena 0 mengategorikan (nilai standar eror yang telah dibersihkan dari

Tabel 6 Statistik Data

Variable Obs Mean Std. Dev. Min Max Kpangan 23079 1.895273 1.03274 0 3 Kota 23079 0.0497422 0.2174165 0 1 Dumjk 23079 0.859656 0.3473511 0 1 Dumkawin 23079 0.0182417 0.1338272 0 1 Umur 23079 47.82538 13.72982 14 98 Art 23079 3.594913 1.523907 1 13 mys1 23079 7.63092 4.329335 0 22 Dumkerja 23079 0.8341783 0.3719286 0 1 capita100000 23079 7.518995 8.382449 0.93062 235.6278 Dumsanitasi 23079 0.5682222 0.4953346 0 1 Dumkumuh 23079 0.1312015 0.3376279 0 1 Sumber: Susenas 2012 (diolah)

92 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT: ANALISIS DATA SUSENAS 2012 masalah heterokedastisitas), z-test, p-value Tes Signifikansi dan 95% confidence interval dari setiap variabel, cutpoint 1, cutpoint 2 dan cutpoint 3. Uji Multikolinearitas Pada regresi logistik tidak terdapat intercept (konstanta) seperti yang biasa terdapat pada regresi biasa. Akan tetapi, di sini terdapat Dalam pengujian multikolinearitas, nilai cupoints yang merupakan pembatas nilai korelasi di atas 0,8 mengisyaratkan adanya antartiap variabel dependen. korelasi yang kuat antar variabel independen. Semua variabel independen (dummy Tabel 8 di bawah adalah keluaran uji korelasi perkotaan, dummy jenis kelamin, dummy dari data yang digunakan pada penelitian ini. status perkawinan, umur kepala rumah Dari tabel tersebut terlihat bahwa korelasi tangga, banyaknya jumlah anggota rumah antarvariabel independen tidak ada yang tangga, rata-rata lama sekolah dari kepala bernilai di atas 0,8. Oleh karena itu, dapat rumah tangga, dummy kerja atau tidak, ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat pengeluaran per kapita rumah tangga, masalah multikolinearitas pada variabel- dummy kelayakan sanitasi, dan dummy variabel di dalam model. kondisi kumuh) mengindikasikan signifikan secara statistik.

Tabel 7 Output Regresi Ordered Logit

. ologit kpangan dumkota dumjk dumkawin umur art mys1 dumkerja capita100000 dumsanitasi dumkumuh, robust

Iteration 0: log pseudolikelihood = -30054.274 Iteration 1: log pseudolikelihood = -27440.061 Iteration 2: log pseudolikelihood = -27050.893 Iteration 3: log pseudolikelihood = -27042.701 Iteration 4: log pseudolikelihood = -27042.689 Iteration 5: log pseudolikelihood = -27042.689

Ordered logistic regression Number of obs = 23079 Wald chi2(10) = 2661.44 Prob > chi2 = 0.0000 Log pseudolikelihood = -27042.689 Pseudo R2 = 0.1002

Robust kpangan Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

dumkota -.1252689 .0270274 -4.63 0.000 -.1782416 -.0722962 dumjk -.7829468 .0665733 -11.76 0.000 -.9134281 -.6524656 dumkawin .7154815 .0630488 11.35 0.000 .5919081 .8390548 umur .0113398 .0010604 10.69 0.000 .0092614 .0134182 art -.2170797 .0099537 -21.81 0.000 -.2365886 -.1975708 mys1 .0101207 .0040788 2.48 0.013 .0021264 .018115 dumkerja .1838811 .0393592 4.67 0.000 .1067386 .2610237 capita100000 .1673051 .0073465 22.77 0.000 .1529063 .1817039 dumsanitasi .1984996 .0263694 7.53 0.000 .1468166 .2501826 dumkumuh -.3985551 .0357734 -11.14 0.000 -.4686696 -.3284406

/cut1 -1.034759 .0934859 -1.217988 -.8515303 /cut2 -.0040381 .0916012 -.1835732 .175497 /cut3 1.818644 .0949044 1.632635 2.004653

Note: 24 observations completely determined. Standard errors questionable. Sumber: Pengolahan Susenas 2012 dengan menggunakan Stata12

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 93 Heryanah

Tabel 8 Output Pengujian Multikolinearitas

ART Kota Umur kapita kelamin sekolah jam kerja dummy jenis dummy kawin rata-rata lama dummy kumuh dummy sanitasi pengeluaran per

1 Kota

Art 0,072 1

0,0192 0,2577 1 jenis dummy kelamin

-0,0094 -0,189 -0,1069 1 kawin dummy

-0,0317 -0,0458 -0,1376 -0,1513 1 umur

-0,0115 0,0886 0,1255 0,0975 -0,3312 1 lama sekolah rata-rata

0,0161 0,0791 0,0836 0,0147 -0,1984 0,1259 1 jam kerja

0,0246 -0,1726 -0,0314 0,1674 -0,0333 0,378 0,056 1 per kapita pengeluaran

0,0462 0,0125 -0,0191 -0,035 0,036 -0,2752 -0,076 -0,234 1 dummy sanitasi

0,0192 0,2005 0,0289 -0,0157 -0,0615 -0,1132 -0,0018 -0,1445 0,2199 1 kumuh dummy

Sumber: Pengolahan Susenas 2012 dengan menggunakan Stata12

94 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT: ANALISIS DATA SUSENAS 2012

1. Uji Serentak independen dengan variabel dependennya. Dengan kata lain, uji goodness of fit digunakan untuk melihat seberapa besar variasi dari Likelihood Ratio (LR) merupakan variabel dependen dapat dijelaskan oleh pengganti F-statistik yang berfungsi untuk model. Pada regresi logistik, uji goodness menguji apakah semua variabel independen of fit dapat dilihat dari nilai Pseudo R2. Dari secara bersama-sama memengaruhi hasil regresi didapat nilai Pseudo R2 sebesar variabel dependen. Pada Tabel 7 diketahui 0.1002. Hal ini berarti variabel dependen bahwa nilai Wald chi2 test sebesar 2661.44 hanya mampu dijelaskan oleh variabel dengan Prob>chi2 sebesar 0.000 yang dependen sebesar 10 persen saja. Diduga mengindikasikan bahwa variabel independen ada beberapa variabel penting lain yang di dalam model secara serentak dapat harus disertakan di dalam model. menjelaskan variabel ketahanan pangan rumah tangga. Analisis Koefisien dan Odds Ratio

2. Uji Parsial Koefisien hasil regresi yang ditampilkan pada Tabel 7 menunjukkan arah pengaruh Uji parsial untuk setiap variabel dari variabel indepeden terhadap variabel independen dapat dilakukan dengan dua dependen. Koefisien yang bertanda negatif cara. Pertama, dengan melihat hasil regresi menunjukkan bahwa variabel independen dan membandingkan nilai z dengan z berhubungan negatif dengan variabel tabel (atau dengan melihat nilai p-value dependen dan sebaliknya. Koefisien tersebut dibandingkan dengan alpha 005). Kedua, tidak dapat langsung diintepretasikan dengan menjalankan tes pada setiap variabel seperti pada regresi biasa, tetapi harus independen dan melihat nilai Prob>chi. Jika ditransformasikan menjadi odds ratio. Pada nilai tersebut lebih kecil dari alpha 0.05, penelitian ini, koefisien yang bertanda negatif maka Ho ditolak dan berkesimpulan bahwa adalah variabel dummy perkotaan, dummy variabel tersebut secara statistik signifikan jenis kelamin, banyaknya anggota rumah memengaruhi variabel dependen. Hasil dari tangga, dan dummy kumuh. Sementara itu, uji parsial dalam penelitian ini adalah sebagai variabel yang bertanda positif adalah dummy berikut. kawin, umur KRT, rata-rata lama sekolah, dummy bekerja, pengeluaran per kapita Dari semua hasil uji parsial setiap variabel rumah tangga, dan dummy sanitasi. Tabel 9 independen, dapat disimpulkan untuk adalah hasil transformasi koefisien regresi menolak H (dimana nilai Prob>chi2 lebih 0 menjadi odds ratio dari penelitian ini. kecil dibandingkan dengan alpha 0.05) artinya bahwa setiap variabel independen secara signifikan memengaruhi ketahanan pangan Analisis Antarvariabel rumah tangga.

Dari hasil regresi didapat bahwa 3. Uji Goodness of Fit daerah dengan tipe perkotaan cenderung menunjukkan ketahanan pangan rumah tangganya yang lebih rendah (lebih rawan Uji goodness of fit dimaksudkan untuk pangan) 0.88 kali daripada rumah tangga melihat seberapa tepat suatu model dapat di daerah perdesaan. Pada bagian analisis menjelaskan hubungan antara variabel deskripsi sebelumnya, telah disebutkan

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 95 Heryanah bahwa proporsi rumah tangga yang tahan sebagai kepala rumah tangga di Provinsi Jawa pangan di daerah perkotaan di Jawa Barat Barat tahun 2012 hanya sebesar 13,5 persen, lebih banyak dibandingkan dengan di sedangkan sebagian besarnya (86,5 persen) perdesaan. Tetapi jika digabungkan, proporsi dari kepala rumah tangga berjenis kelamin rumah tangga dengan tingkat tahan dan laki-laki. Ketahanan pangan berhubungan erat rentan pangan di pedesaan di Provinsi Jawa dengan pengetahuan terhadap pentingnya Barat masih lebih besar jika dibanding dengan pangan dan gizi. Temuan penelitian ini perkotaan. Total dari gabungan 2 kategori menunjukkan bahwa perempuan memegang tersebut mencapai 75 persen dari total rumah peran penting dalam memperkuat ketahanan tangga pedesaan. Sementara itu, di daerah pangan rumah tangganya. Perempuan perkotaan, walaupun proporsi terbesarnya dapat mengatur perekonomian keluarganya adalah rumah tangga yang tahan pangan, dengan lebih bijak melalui membelanjakan proporsi dari mereka yang kurang dan rawan keuangan keluarga sesuai dengan kebutuhan pangan juga banyak hingga mencapai 32 dan kecukupan gizi yang cukup. Di samping persen. Dari hasil regresi ini, Pemerintah itu, perempuan juga dianggap lebih mampu Daerah Provinsi Jawa Barat harus lebih memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk memperhatikan kondisi di perkotaan. Selain ditanam berbagai tanaman. Perempuan juga lebih memperhatikan ketersedian pangan mampu melakukan diversifikasi pangan untuk yang baik untuk warganya, hal lain yang harus keluarganya (Mubarok, 2012). diperhatikan adalah daya beli masyarakat Dari hasil regresi didapat bahwa rumah untuk ketersediaan pangan. tangga yang kepala rumah tangganya berstatus Dari hasil regresi didapat bahwa rumah menikah cenderung lebih tahan pangan 2,05 tangga dengan kepala rumah tangga laki- kali dibandingkan dengan rumah tangga yang laki cenderung memiliki ketahanan panganan KRT-nya berstatus tidak menikah. Selain itu, yang lebih rendah (lebih rawan pangan) 0,46 juga didapat bahwa semakin tua umur kepala kali daripada rumah tangga yang dikepalai rumah tangga, rumah tangga lebih cenderung oleh perempuan. Jika dilihat dari jenis kelamin untuk tahan pangan 1,01 kali. Kedua hal ini kepala rumah tangga, proporsi perempuan berhubungan dengan tingkat kematangan

Tabel 9 Output Odds Ratio dari Regresi Ordered Logit

Robust Variabel Odds Ratio Standard Error Kota 0.882 0.024*** Jenis Kelamin 0.457 0.03*** Kawin 2.045 0.129*** Umur 1.011 0.001*** Banyaknya Anggota RT 0.805 0.008*** Rata-rata Lama Sekolah 1.01 0.004*** Kerja 1.202 0.047*** Pengeluaran per kapita 1.182 0.009*** Sanitasi 1.219 0.032*** Kumuh 0.671 0.024*** Sumber: Pengolahan SUSENAS 2012 dengan menggunakan Stata12 Keterangan: *** Signifikan di 1%

96 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT: ANALISIS DATA SUSENAS 2012 dan kedewasaan kepala rumah tangga. Jawa Barat, mayoritas kepala rumah Kepala rumah tangga yang menikah dan tangga bekerja di sektor perdagangan. usianya semakin matang diduga mempunyai Proporsi rumah tangga tahan pangan yang tingkat kedewasaan dan kematangan yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor lebih baik sehingga mereka dapat lebih bijak perdagangan mencapai 24,03 persen dan dalam mengatur perekonomian, terutama mayoritas rumah tangga yang rawan pangan mengatur pola konsumsi dan gizi bagi anggota juga bekerja di sektor perdagangan dengan keluarganya. Oleh karena itu, kedua variabel proporsi sebesar 19,58 persen. Sementara ini berpengaruh positif terhadap kategori itu, di wilayah perdesaan, mayoritas bekerja ketahanan pangan dari rumah tangga. di sektor pertanian. Proporsi rumah tangga rawan pangan yang bekerja di sektor pertanian Hasil lain dari hasil regresi adalah ada mencapai sepertiga dari total rumah tangga kecenderungan ketahanan pangan rumah rawan pangan di perdesaan. Diduga mereka tangga menurun sebesar 0,8 kali setiap jumlah yang bekerja di sektor pertanian adalah anggota rumah tangga tersebut bertambah. bukan para pemilik lahan pertanian, tetapi Hal ini sejalan dengan banyak analisis yang banyak dari mereka adalah penyewa lahan mengatakan bahwa banyaknya orang di untuk digarap dan juga kuli penggarap yang dalam rumah tangga akan memengaruhi bekerja pada musim-musim tertentu dengan tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. sistem penggajian sesuai dengan banyaknya Semakin banyak jumlah anggota rumah hari kerja. tangga yang harus ditanggung kepala rumah tangga menyebabkan adanya penyesuaian Rumah tangga yang kepala rumah beberapa kebutuhan. Jumlah kenaikan tangganya bekerja cenderung akan tahan penghasilan yang tidak seimbang dengan pangan sebesar 1,2 kali dibandingkan dengan banyaknya rumah tangga tentu menyebabkan jika kepala rumah tangganya tidak bekerja. beberapa kebutuhan tidak dapat terpenuhi Di sini terlihat bahwa masalah ketahanan dengan baik. pangan rumah tangga sangat berhubungan erat dengan daya beli rumah tangga tersebut. Kecenderungan rumah tangga untuk Kepala rumah tangga yang bekerja akan tahan pangan akan naik sebesar 1,01 kali meningkatkan daya beli dari rumah tangga dengan bertambahnya rata-rata lama sekolah tersebut untuk memenuhi kebutuhan pangan dari kepala rumah tangganya. Pendidikan mereka tidak hanya dari segi kuantitas, tetapi diyakini merupakan salah satu jalan untuk juga dari segi kualitas pangan mereka. Pada mendapatkan pengetahuan dan keterampilan. akhirnya rumah tangga dengan kepala rumah Pada akhirnya mereka dengan pendidikan tangga yang bekerja akan lebih tahan pangan yang memadai dapat memasuki dunia kerja dibandingkan dengan rumah tangga yang yang baik dan mendapatkan penghasilan kepala rumah tangganya tidak bekerja. Selain yang memadai. Sementara itu, kepala rumah itu, dari hasil penelitian ini didapat bahwa tangga yang tidak mempunyai pendidikan kecenderungan rumah tangga untuk tahan yang memadai akan memiliki peluang yang pangan akan naik sebesar 1,2 kali dengan kecil untuk mendapat pekerjaan yang baik. setiap kali bertambahnya pengeluaran per Mereka pada akhirnya menerima pekerjaan kapita rumah tangga tersebut. apa saja guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak kepala rumah tangga yang Rumah tangga dengan kondisi sanitasi pada akhirnya hanya dapat tertampung pada yang layak juga memiliki kecenderungan pekerjaan di sektor informal. tahan pangan sebesar 1,2 kali dibandingkan dengan rumah tangga dengan kondisi Hasil tabulasi data Susenas tahun 2012 sanitasi tidak layak. Rumah tangga dengan menunjukkan bahwa di wilayah perkotaan

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 97 Heryanah kondisi status rumah tempat tinggal kumuh Hasil regresi ini menguatkan temuan bahwa memiliki kecenderungan tidak tahan pangan rumah tangga dengan ketahanan pangan (cenderung rawan pangan) sebesar 0,7 kali yang tinggi atau rendah dapat terlihat juga dibandingkan dengan rumah tangga dengan dari kondisi lingkungan dan sanitasi yang kondisi rumah tangga yang tidak kumuh. kumuh.

Tabel 10 Persentase Lapangan Pekerjaan dari Kepala Rumah Tangga di Provinsi Jawa Barat berdasarkan Wilayah dan Status Ketahanan Pangannya

Perkotaan Pedesaan Lapangan Pekerjaan tahan tahan rawan rawan kurang kurang pangan pangan pangan pangan pangan pangan pangan pangan rentang rentang pertanian tanaman padi dan 11,50 5,41 13,32 5,15 36,04 25,03 37,24 24,30 palawija holtikultura 1,34 0,70 1,78 0,81 3,24 2,00 3,55 2,44 perkebunan 0,70 0,50 1,21 0,72 3,24 3,86 2,70 2,37 perikanan 1,16 0,42 1,12 0,65 0,88 2,84 1,60 1,42 peternakan 0,86 0,69 1,24 0,69 1,33 1,39 2,97 297 kehutanan dan 0,33 0,11 0,14 0,18 1,62 0,61 0,99 1,04 pertanian lainnya pertambangan 1,57 0,77 1,25 1,25 2,28 1,48 1,70 1,52 dan penggalian industri 16,55 18,74 17,94 20,80 8,26 9,26 9,04 11,09 pengolahan listrik dan gas 0,32 0,70 0,43 0,78 0,38 0,20 0,14 0,27 konstruksi/ 14,43 8,48 11,75 7,09 14,72 11,76 9,61 8,63 bangunan perdagangan 19,58 24,06 21,52 24,03 13,67 20,07 13,65 19,83 hotel dan rumah 2,33 2,07 2,01 2,38 0,64 2,24 0,94 0,84 makan transportasi dan 10,90 8,97 8,84 6,05 5,49 7,59 6,32 4,91 pergudangan informasi dan 0,20 1,34 0,43 1,21 0,07 0,18 0,10 0,28 komunikasi keuangan dan 0,63 1,60 0,53 2,24 0,20 0,30 0,17 0,63 asuransi jasa pendidikan 1,03 3,60 1,96 4,39 0,64 2,52 1,15 4,84 jasa kesehatan 0,22 1,00 0,59 1,46 0,12 0,30 0,23 0,51 jasa kemasyarakatan, 14,80 18,93 12,37 18,42 6,16 8,39 7,31 10,99 pemerintahan dan perorangan Lainnya 1,55 1,91 1,59 1,72 1,02 0,00 0,59 1,12 Sumber: Susenas 2012 (diolah)

98 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI JAWA BARAT: ANALISIS DATA SUSENAS 2012

Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka

Dari hasil olahan data Susenas tahun FAO. 1996. World Food Summit, 13-17 2012 diketahui bahwa kondisi ketahanan November 1996. Rome, Italy: Food and pangan rumah tangga masih harus menjadi Agriculture Organization of the United pokok perhatian Pemerintah Daerah Provinsi Nations. Jawa Barat. Rumah tangga dengan kategori Gujarati, Damodar N. 2003. Basic tahan pangan hanya mencapai 34 persen dari Econometrics. McGroe-Hill education. populasi penduduk Jawa Barat, sedanngkan Fourth Edition. sebagian besar rumah tangga di Jawa Barat masih dalam kategori rentan pangan. Yang Heryanah. 2014. “Ketahanan Pangan Rumah lebih mengkhawatirkan adalah, bahkan 15 Tangga di Provinsi Jawa Barat: Analisa persen rumah tangga di Jawa Barat berada Faktor yang Mempengaruhinya”. Paper dalam kondisi rawan pangan. Diklat Fungsional (tidak diterbitkan). Jika dianalisis berdasarkan kabupaten dan Jonsson, U. and D. Toole. 1991. Household kota, Kota Cimahi dan Kota Depok merupakan Food Security and Nutrition: A Conceptual wilayah tingkat II di Jawa Barat dengan Analysis. New York: United Nations proporsi rumah tangga tahan pangannya Children’s Fund. terbanyak. Kemudian Kabupaten Tasikmalaya Mubarok. 2012, “Perempuan dan Katahanan dan Kabupaten Bandung Barat merupakan Pangan Keluarga, ”http://www.kompasiana. kabupaten dengan proporsi rumah tangga com/mubarokkom01/perempuan-dan- tergolong rawan pangan terbanyak. ketahanan-pangan-keluarga_551803b4a Selanjutnya jika dianalisis berdasarkan 333117d07b6621f. Diunduh pada 30 April daerah perkotaan dan perdesaan, kondisi 2017, pukul 11.00 WIB. ketahanan pangan di perdesaan di Provinsi Oxfam. 2001. The Impact of Rice Trade Jawa Barat masih lebih baik jika dibandingkan Liberalization on Food Security in dengan perkotaan. Hal ini karena proporsi Indonesia. A study conducted for Oxfam- dari rumah tangga tahan dan rentan pangan Great Britain. mencapai 75 persen dari populasi, sedangkan yang kurang dan rawan pangan hanya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor mencapai seperempatnya. Sementara itu, di 22 Tahun 2008, “Organisasi dan Tata perkotaan, walaupun proporsi terbesarnya Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan adalah rumah tangga yang tahan pangan, Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis proporsi dari mereka yang kurang dan rawan Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja pangan mencapai 32 persen. Provinsi Jawa Barat” Dari kesepuluh faktor-faktor yang diduga Praptono, A. 2009. “Penerapan Metode memengaruhi ketahanan pangan rumah Regresi Logistik pada Sampling Kompleks”. tangga di Jawa Barat, ditemukan bahwa Tesis Program Pascasarjana Universitas semua faktor ini secara bersama-sama Padjadjaran. (simultan) maupun secara parsial signifikan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. memengaruhi ketahanan pangan rumah tangga.

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 99 Populasi

Volume 24 Nomor 2 2016 Halaman 100-103

ANTAGONISME DAN AGONISME DALAM POLITIK: PERSPEKTIF POST-FONDASIONALISME

Hakimul Ikhwan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada

Korespondensi: Hakimul Ikhwan (e-mail: [email protected])

Judul : Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy, Lefort, Badiou and Laclau Penulis : Oliver Marchart Penerbit : Edinburgh University Press Cetakan : Pertama, 2007 Tebal : 198 halaman

Apakah demokrasi Indonesia pasca Untuk menjawab pertanyaan di atas, buku Orde Baru semakin terkonsolidasi atau Post-Foundational Political Thought dari para sebaliknya: rapuh dan suram? Pertanyaan ini pemikir post-fondasionalis, seperti Nancy, relevan diajukan mengingat perkembangan Lefort, Badiou, dan Laclau, ini menarik dibaca demokrasi Indonesia akhir-akhir ini ditandai (Marchant, 2007). Menarik karena buku ini dengan menguatnya identitas primordial, mengajak pembaca memahami kontestasi terutama agama dan etnisitas. Dalam politik secara tidak biasa (out of the box). kontestasi politik Pemilihan Kepala Daerah Pertama, berbeda dengan kecenderungan di DKI Jakarta 2017, misalnya, ruang publik umum yang melihat kontestasi politik antara konvensional dan virtual (media sosial) dijejali yang pro maupun kontra Ahok dalam nalar banyak ujaran kebencian (hate speech), antagonistik: either-or, buku ini menolak bahkan tindak kriminal bermotif kebencian fiksasi identitas yang dilekatkan oleh salah agama dan etnisitas. satu pihak kepada pihak lainnya. Kedua, para

100 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 ANTAGONISME DAN AGONISME DALAM POLITIK: PERSPEKTIF POST-FONDASIONALISME pemikir post-fondasionalis dalam buku ini kategori tersendiri yang berbeda dengan memaknai kontestasi politik dan demokrasi domain lain, seperti agama, ekonomi, dan berlangsung dalam konstruksi makna dan etnisitas. Oleh karena itu, ketika kategori lain simbolisme yang terbuka, relasional, dan dimasuki oleh dimensi politik, muncul istilah contingent. Cara pandang ini berbeda politisasi agama, politik uang, dan politisasi dengan para pemikir liberal yang cenderung etnis untuk menggambarkan kenyataan menyederhanakan identitas politik dalam politik memasuki dimensi lain di luar politik. kategorisasi yang permanen. Oleh para pemikir liberal, bahkan politik telah disederhanakan semata ritual lima tahunan pemilu (Schumpeter, 2012; Dahl, 1989; Rose, Politik sebagai Antagonisme 2009; Lipset, 1959). Mereka berpandangan bahwa politik — termasuk mobilisasi sentimen identitas — akan berakhir dan selesai seiring Para pemikir post-fondasionalis ingin berakhirnya proses pemilu. mengembalikan hakikat politik yang political. Politik (le politique) dan political (la politique) Para pemikir post-fondasionalis menolak secara etimologi berbeda, tetapi keduanya cara pandang liberal tersebut. Menurut tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat mereka, pemilu penting sebagai instrumen dua sisi koin yang sama. Dalam pandangan demokrasi, tetapi bukan satu-satunya sumber Schmittians—pengikut Karl Schmitt—political legitimasi untuk menjalankan kekuasaan dipahami sebagai ruang kekuasaan, konflik, politik. Pemilu hanya menghasilkan legitimasi dan pertentangan. Laclau menyebut political formal. Pasca pemilu, legitimasi tersebut sebagai dimensi yang pasti ada dalam akan terus dikontestasikan (contested) dalam semua relasi manusia, yaitu antagonisme. proses hari ke hari yang sarat persaingan Antagonisme merupakan sifat dasar dari (adversarial) (Laclau and Mouffe, 2001; semua hubungan politik, sedangkan politik Laclau, 2005; 1989; 1993; Mouffe, 1993; adalah keterampilan untuk menata dan 1999). mengorganisasi kebersamaan manusia. Post-fondasionalisme memandang Dalam pengertian yang political inilah, perbedaan dan kontestasi harus mendapat maka politik—termasuk identitas politik— tempat dalam politik, termasuk daily politics. tidak dapat dipahami secara permanen. Hanya dengan mengakui adanya perbedaan Sebaliknya, politik secara terus-menerus dan kontestasi tersebut, maka masyarakat dibentuk dan membentuk dalam ruang sosial dan peradaban manusia terbentuk dan yang terbuka, bahkan contingent. Oleh mengalami kemajuan. Dalam pengertian ini, karenanya, hegemoni yang utuh dari satu masyarakat (society)—tempat politik menjadi ideologi tidak akan pernah ada (Laclau, 1996 bagian yang tidak terpisahkan—didefinisikan dan 1990). Represi rezim politik dapat saja sebagai sesuatu yang terbuka dan parsial. melemahkan ekspresi identitas dan ideologi Keterbukaan inilah yang akan membentuk tertentu, tetapi dengan karakteristiknya yang masyarakat (dan politik) secara terus- political, maka identitas dan ideologi tersebut menerus dan tidak pernah secara sempurna tidak akan hilang sepenuhnya. Suatu saat selesai (fully institutionalized). hal itu dapat aktif kembali seiring hadirnya momentum politik. Agonistik Politik Selama ini politik telah tercerabut dari hakikatnya yang political. Akibatnya, politik telah dinetralisasi dan disublimasikan ke dalam Cara pandang post-strukturalisme yang domain-domain nonpolitik. Politik menjadi memaknai politik tidak terpisahkan dari

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 101 Hakimul Ikhwan dimensi political memberi tantangan tersendiri sosial. Dalam pengertian ini, persaingan dalam kajian politik dan demokrasi Indonesia antarkelompok SARA tidak selalu dipahami pasca Orde Baru. Tantangan pertama dan secara negatif—merusak dan destruktif— utama tentu berkaitan dengan karakter tetapi juga positif dalam membentuk masyarakat Indonesia yang beragam identitas masyarakat. Melalui persaingan dan konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). terbentuk identitas sosial dalam poros inside Sistem demokrasi yang berkembang di era dan outside. Poros inside terbentuk dengan reformasi memberi ruang artikulasi politik cara menarik diri (alienasi) dan eksternalisasi dan agregasi kepentingan kelompok SARA diri terhadap yang liyan (the others). Tidak yang sering kali menimbulkan gesekan tajam, ada identitas tanpa eksternalisasi dari bahkan konflik. Namun, dalam perspektif post- other (outside). Outside bukan merupakan fondasionalis, hal itu tidak berarti kelompok kehidupan yang independen pada dirinya SARA tersebut akan terperangkap dalam sendiri, melainkan sesuatu yang dihadirkan antagonisme berkepanjangan. bagi inside. Dengan demikian, outside adalah kondisi yang mungkin bagi inside. Dengan mengadopsi cara berpikir yang Seseorang menghubungkan identitas menempatkan politik dan demokrasi sebagai tertentu pada dirinya dalam suatu ruang dan sesuatu yang terbuka, maka keragaman arena kekuasaan yang disignifikansi sebagai SARA dapat ditransformasikan menjadi outside. pluralisme agonistik (Mouffe, 1999). Agonistik terjadi jika demokrasi membuka ruang Agonistik politik era demokrasi Indonesia artikulasi simbolisme yang berfungsi sebagai menyajikan gejala yang menjanjikan tercermin signifier yang berguna bagi para pihak untuk dalam relasi Islam(isme) dan demokrasi. membangun aliansi politik. Dalam konteks Perkembangan demokrasi pasca Soeharto ini, Lefort menekankan pentingnya melihat menunjukkan bahwa demokrasi dapat panggung kekuasaan sebagai sesuatu tumbuh bersamaan dengan menguatnya yang kosong yang memberi kesempatan simbol-simbol dan ekspresi politik identitas, kepada para pihak untuk berkontesasi termasuk Islam(isme) dan etnisitas. Proses dan memengaruhi kekuasaan. Momentum demokrasi dan simbolisme identitas pengosongan panggung kekuasaan inilah berhasil membangun konvergensi yang yang disebut oleh Lefort sebagai momen mempertukarkan pemaknaan atas simbol yang politis. Melalui momen politis inilah, dan agenda politik. Perkembangan ini tentu demokrasi mengalami proses pembentukan bertolak belakang dengan keyakinan para yang sesuai dengan yang diinginkan oleh ilmuan politik liberal (Huntington, 1997; Lewis, masyarakat. Demokrasi dapat menjadi “the 2004; 2001) yang melihat relasi oposisi biner only political system […] that accepts its Islam dan demokrasi. own historicity, that is, its own future, which Contoh lain adalah perda zakat yang accepts its self-criticism, which accepts its dikeluarkan oleh beberapa pemerintah perfectibility” (Derrida, 2008: xix). Demokrasi daerah yang tidak hanya merepresentasikan menjadi sistem politik yang memiliki akar simbolisme dan agenda politik kelompok dan relevansi historis dalam masyarakat Islamis, tetapi juga kelompok nasionalis tempatnya tumbuh. Demokrasi sekaligus (sekuler) (lihat Buehler, 2013; 2011). Perda mengalami proses perkembangan terus- zakat telah menjadi nodal point yang menerus menuju kesempurnaan sekalipun mempertemukan kepentingan para pihak pada akhirnya kesempurnaan tersebut tidak berbeda dengan memberi ruang pemaknaan akan pernah tercapai. terbuka bagi para pihak tersebut sesuai Lefort menyebutkan bahwa konflik akan dengan interpretasi dan kepentingan setiap membantu manusia mencapai kohesi pihak. Melalui perda zakat, bahkan tiap

102 Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 ANTAGONISME DAN AGONISME DALAM POLITIK: PERSPEKTIF POST-FONDASIONALISME pihak yang terlibat berusaha menarik lawan com/world/2001/oct/11/afghanistan. untuk menjadi bagian sekutu politik di tingkat terrorism30. Diunduh 31 Maret 2014. lokal. Dalam relasi saling memberi makna Huntington, Samuel P. 1997. The Clash of secara terbuka inilah, simbolisme syariah Civilizations and the Remaking of World tidak selalu bermakna agama, tetapi juga Order. Simon & Schuster pbk. ed. New politik kepentingan. Tidak semata digerakkan York: Simon & Schuster Paperbacks. oleh semangat kesalehan (piety), tetapi juga rasionalistas instrumental dalam politik Laclau, Ernesto. 1989. “Politics and the Limits praktis. of Modernity.” Social Text, no. 21 (January): 63–82. doi:10.2307/827809. Akhirnya, dengan memaknai politik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari ———. 1990. New reflections on the revolution dimensi political, antagonisme para pihak— of our time / Ernesto Laclau. London; New bahkan dengan ekspresi identitas yang York: Verso. masif dan intensif—adalah bagian yang tidak ———. 1993. “Power and Representation.” terpisahkan dari proses konsolidasi demokrasi In Politics, Theory, and Contemporary tersebut. Tentu, pada saat yang sama elemen Culture, edited by Mark Poster, 277–96. masyarakat sipil dan pemerintah perlu terus USA: Columbia University Press. mengasah keterampilan politik (le politique) dalam mengelola perbedaan. Beberapa ———. 1996. Emancipation(s). Verso. indikasi praktik politik agonistik di era ———. 2005. On Populist Reason. Verso. demokrasi Indonesia dapat menjadi energi Laclau, Ernesto, and Chantal Mouffe. 2001. positif untuk menatap masa depan konsolidasi Hegemony and Socialist Strategy: Towards demokrasi Indonesia. a Radical Democratic Politics. Verso. Lewis, Bernard. 2004. The Crisis of Islam: Daftar Pustaka Holy War and Unholy Terror. New York: Random House Trade Paperbacks.

Buehler, Michael. 2011. “Whodunit? Politicians Lipset, Seymour Martin. 1959. “Some Social Affiliated with Secular Parties Implement Requisites of Democracy: Economic Most Sharia Regulations.” Tempo: Special Development and Political Legitimacy.” Edition 10 Years of Sharia, September 6 The American Political Science Review 53 edition. (1): 69–105. doi:10.2307/1951731. ———. 2013. “Subnational Islamization Mouffe, Chantal. 1993. The Return of the through Secular Parties: Comparing Shari’a Political. Phronesis. London ; New York: Politics in Two Indonesian Provinces.” Verso. Comparative Politics 46 (1): 63–82. ———. 1999. “Deliberative Democracy or doi:10.5129/001041513807709347. Agonistic Pluralism?” Social Research 66 Dahl, Robert Alan. 1989. Democracy and Its (3): 745–58. Critics. Yale University Press. Rose, R. 2009. “Democratic and Undemocratic Derrida, Jacques. 2008. Islam and the West: States.” In Democratization, edited by A Conversation with Jacques Derrida. Christian Haerpfer, Patrick Bernhagen, Chicago: The University of Chicago Press. Ronald F. Inglehart, and Christian Welzel. Oxford: OUP Oxford. Fukuyama, Francis. 2001. “The West Has Won.” The Guardian, October 10, sec. Schumpeter, Joseph A. 2012. Capitalism, World news. http://www.theguardian. Socialism, and Democracy.Radford, VA : Wilder Publications Limited.

Populasi Volume 24 Nomor 2 2016 103