POLITIK IDENTITAS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH Studi Kasus Pada Pemilihan Gubernur DKI Periode 2017-2022

SKRIPSI

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan, (S.IP.)

Disusun oleh: ANDY PRIMA SAHALATUA NIM. 6670143289

ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu mencurahkan kasih dan anugerah-Nya kepada setiap orang.

Rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis berikan untuk kedua orang tua penulis, Bapak St.Petrus M. Sianipar, S.E. dan Ibu Rosmenderiana Panggabean, S.E. yang tak pernah lelah mendoakan dan memotivasi penulis selama ini dan seterusnya yang selalu sabar merawat dan membimbing penulis, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu menurunkan segala rahmat, ampunan dan surga-Nya untuk mereka di sini (dunia) dan di sana nanti (akhirat). Saudara penulis Revronika Hermina Kristin Sianipar, S.E. dan Daniel Parmonangan Sianipar yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam melaksanakan kewajiban menuntut ilmu.

Secara khusus penulis ucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor UNTIRTA Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat. M.Pd. 2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNTIRTA Bapak Dr. Agus Sjafari, M. Si. 3. Bapak. Abdul Hamid, Ph.D selaku Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan UNTIRTA 4. Dosen Pembimbing Bapak Abdul Hamid, Ph.D dan Bapak M.Dian Hikmawan, M.A atas bimbingannya dalam penyelesaian proposal skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan UNTIRTA yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis. 6. Seluruh teman-teman yang tak pernah lelah untuk membantu dan memotivasi dalam menyelesaikan skrpisi (Martin Pakpahan, Raju Panggabean, Daniel Sirait, Veronica Purba, Fanny Rosye, Janiero Manuhua, Richi Simamora,Bonifancius Mario,Gabriela dll yang tak bisa disebutkan satu per satu)

Semoga segala bentuk bantuan dan kontribusi yang diberikan dapat di balas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Serang, 13 Juli 2018

Andy Prima Sahalatua

ii DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... ii

LEMBAR PENGESAHAN ...... i

KATA PENGANTAR ...... ii

DAFTAR ISI ...... iii

DAFTAR TABEL ...... v

DAFTAR GAMBAR ...... vi

ABSTRAK ...... vii

ABSTRACT ...... viii

BAB I PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang...... 1 B. Identifikasi Masalah...... 15 C. Rumusan Masalah...... 15 D. Tujuan Penelitian...... 16 E. Manfaat Penelitian...... 16 F. Sistematika Penelitian...... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...... 18 A. Kajian Teori...... 18 1. Politik Identitas ...... 18 2. Partisipasi Politik ...... 23 3. Multikulturalisme ...... 27 B. Penelitian Terdahulu...... 34 C. Kerangka Pemikiran...... 37

BAB III PENDEKATAN PENELITIAN...... 40 A. Pendekatan Penelitian...... 40 B. Fokus Penelitian...... 41 C. Teknik Pengumpulan Data...... 42

iii D. Instrumen Penelitian...... 45 E. Lokasi dan Jadwal Penelitian...... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN ...... 48 A. Hasil Penelitian ...... 48 1. Sejarah Provinsi DKI Jakarta ...... 48 2. Kondisi Geografis Dan Demografis DKI Jakarta ...... 49 3. Aspek Budaya Di DKI Jakarta ...... 52 4. Dinamika Kekuasaan Politik Di DKI Jakarta ...... 54 5. Kondisi Sosial Politik DKI Jakarta Menjelang Pilkada ...... 59 6. Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 ...... 64 B. Pembahasan ...... 75 1. Pembentukan Politik Identitas Dalam Pilkada DKI Jakarta .... 75 2. Penggunaan Politik Identitas Dalam Pilkada DKI Jakarta ...... 80 a. Sentimen Etnis Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 ...... 82 1) FPI Dan Politisasi Etnis Dalam Pilkada DKI Jakarta.. 85 b. Sentimen Agama Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 ...... 90 1) Masjid : Politisasi Agama dalam Pilkada DKI Jakarta. 93 2) Gereja : Politisasi Agama dalam Pilgub DKI Jakarta... 99 3. Politik Identitas Ancaman Bagi Multikulturalisme DKI Jakarta. 102

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...... 109 A. Kesimpulan ...... 109 B. Saran ...... 111

DAFTAR PUSTAKA...... 113

BIODATA MAHASISWA...... 117

LAMPIRAN...... 119

iv DAFTAR TABEL

Halaman

TABEL 1 Jumlah Penduduk Menurut Agama Dan Kepercayaan ...... 5

Di DKI Jakarta Tahun 2014

TABEL 2 Jumlah Penduduk Menurut Etnis Di DKI Jakarta ...... 6

Tahun 2010

TABEL 3 Perbandingan Penelitian Ini Dengan Penelitian Terdahulu...... 32

TABEL 4 Informan Penelitian ...... 40

TABEL 5 Jadwal Penelitian ...... 43

TABEL 6 Nama Ketua DPRD DKI Jakarta Semenjak Pemilihan ...... 53

Legislatif Secara langsung tahun 2004

TABEL 7 Daftar Nama dan Pengusung Gubernur DKI Jakarta ...... 55 Dari Tahun 1945 Sampai Dengan Tahun 2017 TABEL 8 Aksi penolakan Ahok Menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017..... 61

TABEL 9 Aksi Penolakan Ahok Yang Bersamaan Dengan Proses ...... 69

Pilkada DKI Jakarta 2017

TABEL 10 Tabel Nama Kandidat dan Perolehan Suara Putaran ...... 71

Pertama Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 (15 Febuari 2017)

TABEL 11 Tabel Nama Kandidat dan Perolehan Suara Putaran ...... 72

Kedua Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 (19 April 2017)

TABEL 12 Perbandingan Perolehan Suara Putaran Satu Dan ...... 72

Putara Dua Di Tingkat Kota Dan Kabupaten

TABEL 13 Nama Pasangan Calon Beserta Suku Atau Etnis Nya ...... 83

v DAFTAR GAMBAR

Halaman

GAMBAR 1 Kerangka Pemikiran ...... 39

GAMBAR 2 Spanduk Ganyang China dalam Aksi Damai 212 ...... 85

GAMBAR 3 Ajakan Memilih Gubernur Muslim ...... 93

GAMBAR 4 Foto Ahok dan Djarot Dalam Ibadah GBI Di ...... 99

Kemayoran Jakarta Barat

vi ABSTRAK Andy Prima Sahalatua (6670143289) Politik Identitas Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Studi Kasus Pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022) Abdul Hamid, Ph.D , M.Dian Hikmawan. M.A Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2018

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam kebudayaan dan agama sehingga identitas dalam diri masyarakat nya begitu sangat penting, pasca reformasi sentimen antar golongan semakin menguat baik golongan agama maupun golongan etnis, sentimen antar golongan tersebut kemudian diakomodir dan dipergunakan para elite politik sebagai senjata dalam pemilihan umum di daerah, termasuk di Jakarta yang merupakan barometer perpolitikan negara, sentimen antar golongan sendiri dalam pemilihan gubernur di DKI Jakarta pertama kali mulai menguat pada pagelaran Pilgub 2012 dan semakin menguat pasca kasus penistaan Agama ang dibuat oleh Basuki selaku Gubernur Petahana pada masa itu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan studi kasus, dalam mencari dan mengumpulkan data peneliti menggunakan cara wawancara,dokumentasi, dan Audio Visual, dalam menentukan Informan peneliti menggunakan teknik sampling Snow Ball yakni memulai dari beberapa narasumber semakin lama semakin banyak sampai pada pengulangan informasi yang didapat . Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah politik identitas, multikulturalisme dan partisipasi politik. Dari hasil analisa menggunakan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa para elite politik dan calon kepala daerah, seolah sengaja memelihara atau memainkan politik identitas itu, untuk kepentingan politik dan hegemoni kekuasaan. Hal ini berdampak pada realitas politik di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Dengan identitas tertentu, calon kandidat bisa melakukan posisi tawar, ini menunjukkan faktor etnis dan agama cukup signifikan untuk mendapatkan dukungan dan mempengaruhi pilihan masyarakat dalam Pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017.

Kata Kunci : Jakarta, Pemilihan Umum, Politik Identitas

vii ABSTRACT Andy Prima Sahalatua (6670143289) Political Identity in the Election of Head of Region (Case Study on Elections Capital City Period 2017-2022) Abdul Hamid, Ph.D, M.Dian Hikmawan. M.A Government Science Faculty of Social and Political Science University of Sultan Ageng Tirtayasa 2018

Indonesia is a country that has a variety of cultures and religions so that the identity in his community is so very important, post-reform sentiment between groups strengthened both religious and ethnic groups, sentiment among groups is then accommodated and used by political elites as a weapon in the election in the region, including in Jakarta which is a barometer of state politics, the sentiment among the groups themselves in the election of governors in Jakarta first began to strengthen in the performance of 2012 governor elections and strengthened after the blasphemy case of religion made by Basuki as Governor at that time. In this research, the researcher uses qualitative method with case study approach, in searching and collecting data of the researcher using interview, documentation, and audio visual, in determining informant of researcher using Snow Ball sampling technique that start from some resource more and more until repetition information obtained . Theories used in this thesis are identity politics, multiculturalism and political participation. From the analysis using the theory can be concluded that the political elite and candidate head of the region, as deliberately maintain or play the identity politics, for political interests and hegemony of power. This has an impact on the political reality in the election of Governor of DKI Jakarta in 2017. With a certain identity, candidates can bargain position, this shows significant ethnic and religious factors to gain support and influence the people's choice in the 2017 Governor Election Jakarta.

Keywords: Jakarta, General Election, Political Identity

viii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbagai isu dalam tatanan kehidupan negara dan masyarakat Indonesia

kini dikaitkan dengan demokrasi. Demokrasi menurut Schumpeter merupakan

kehendak rakyat dan kebaikan bersama. Mayo (dalam Budiarjo, Miriam 2008)

berpendapat bahwa demokrasi adalah ketika kebijakan umum ditentukan atas

dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat dalam pemilihan,

sementara Huntington (dalam Hamid, 2017) mengidentikkan demokrasi

dengan pemilu. Pemilu menurut Huntington merupakan alat serta tujuan

demokrasi. Kebanyakan orang kemudian mengidentikkan demokrasi dengan

pemilu meskipun menurut sebagian kalangan, musyawarah mufakat masih

dianggap sebagai bentuk budaya demokrasi asli masyarakat Indonesia yang

tumbuh sejak lama.

Sejalan dengan teori budaya politik Almond dan Verba (dalam Budiarjo,

Miriam 2008) ada 3 tipe budaya politik. Pertama, adalah budaya politik

parokial, yaitu rendahnya pengharapan dan kepedulian individu-individu

terhadap pemerintah. Kedua, budaya politik subjek di mana individu-individu

peduli dengan keluaran yang dicapai pemerintah namun tidak berpartisipasi

dalam proses. Ketiga, adalah budaya politik partisipan di mana individu -

individu bersikap aktif dan terlibat dengan sistem secara utuh yang

menunjukkan tingkatan tertinggi yang dicapai dalam masyarakat modern.

Masyarakat Indonesia masih berada pada tahap lebih mengutamakan

1

2

formalitas atau prosedur semata. Seperti halnya disampaikan Haynes, demokrasi di kebanyakan negara dunia ketiga lebih memperlihatkan sisi formalitas, yang terpusat pada prosedur dan tata kelembagaan, dan lebih khusus lagi terfokus pada pemilihan umum. Survei Lembaga Survei Indonesia

(2011) menunjukkan bahwa sebagian besar orang Indonesia (77,3%) percaya demokrasi adalah sistem terbaik untuk Indonesia, dan mampu menyelesaikan masalah (67,9%). Lebih lanjut Marcus Mietzner mencatat bahwa demokratisasi di Indonesia lebih menampilkan wajah popularitas figur di hadapan rakyat. Pemaknaan demokrasi jauh dari persoalan kinerja politik, namun mengarah pada performa individu.

Survei yang dilakukan oleh Sharma, et al (2010) yang difasilitasi IFES

(International Foundation for Electoral Systems) mengenai pemilu terhadap masyarakat Indonesia menghasilkan beberapa temuan penting. Terkait dengan pengaruh nilai-nilai dan norma terhadap demokrasi, 62% orang Indonesia mengatakan bahwa agama memiliki pengaruh penting terhadap politik, yang mempengaruhi keputusan sampai batas tertentu (44%) atau terhadap sebagian besar keputusan mereka (18%), dan sisanya 38% mengatakan agama tidak berpengaruh, dari data diatas dapat kita lihat bahwa Identitas sangat berpengaruh di dalam perpolitikan Indonesia, sehingga ada isitilah menarik yang tumbuh subur di Indonesia yaitu Politik Identitas.

Istilah Politik Identitas telah menarik perhatian bagi para akademisi maupun pemerhati masalah sosial politik di Indonesia, bahkan mendapat tempat yang istimewa beberapa tahun terakhir. Merujuk tulisan Muhtar 3

Haboddin (2012), berjudul “Menguatnya Politik Identitas Di Ranah Lokal” menyebutkan bahwa “menguatnya politik identitas di tingkat lokal terjadi bersamaan dengan politik desentralisasi. Pasca penetapan UU No. 22/1999, gerakan politik identitas semakin jelas. Faktanya, banyak aktor baik lokal dan politik nasional menggunakan isu ini secara intens untuk pembagian kekuasaan”. Dalam tulisan Muhtar Haboddin yang juga mengutip beberapa literatur ilmu politik, bahwa politik identitas dibedakan secara tajam antara identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political of identity). Political identity merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik sedangkan political of identity mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik. Beberapa ilmuan juga membedakan antara politik identitas dengan politik etnisitas, meskipun memiliki persamaan yang cenderung menjadikan “perbedaan” sebagai instrumen politik

Dalam konteks politik lokal, politisasi identitas yang dilakukan oleh para elit lokal di berbagai daerah di Indonesia telah dikreasi sedemikian rupa dan diekspresikan dalam bentuk yang bervariasi. Politik identitas dijadikan basis perjuangan elit lokal dalam rangka pemekaran wilayah dan penguatan identitas elit di daerah dengan sebutan Putra Daerah. Politik identitas ditransformasikan ke dalam entitas politik dengan harapan bisa menguasai pemerintahan daerah sampai pergantian pimpinan puncak, dalam istilah Gerry 4

Van Klinken (dalam, Haboddin 2012) disebut elit lokal yang mengambilalih seluruh bangunan institusi politik lokal.

Tentu saja, cara kerja dari politik identitas di daerah-daerah di Indonesia di ekspresikan dalam bentuk yang berkreasi salah satunya adalah Politik

Identitas dipergunakan untuk dipersoalkan antara kami dan mereka , saya dan kamu , sampai pada bentuk nya yang ekstrim pribumi dan non-pribumi, serta

Islam dan Kristen. Dikotomi oposisional semacam ini sengaja dibangun oleh elit politik lokal untuk menghantam musuh ataupun rival politiknya yang notabene kaum pendatang

Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta adalah salah satu daerah strategis di kancah perpolitikan di Indonesia. Realitas bahwa daerah tersebut adalah pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga pusat kegiatan ekonomi di Indonesia semakin menguatkan posisi Jakarta. Dalam kenyataannya, 70% perputaran uang di Indonesia berada di Jakarta seperti yang dikatan oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Suryo Bambang

Sulisto. Dari segi politis, kunci pemenangan Presiden Republik Indonesia selanjutnya juga terletak di daerah ini. Tak dapat dipungkiri lagi Jakarta menjadi idaman bagi banyak orang, mulai dari warga di daerah lain yang ingin merubah nasib, hingga para pejabat publik untuk mendapatkan kursi kekuasaan di Jakarta, termasuk yang paling strategis kursi DKI Jakarta 1.

Sehingga pergantian pemimpin di Jakarta sebagai apresiasi rakyat untuk menyerahkan mandat untuk memimpin suatu daerah sangatlah penting untuk dicermati. Karena itu masyarakat perlu pembelajaran politik dan hal tersebut 5

akan berjalan jika kontestan pemilukada memiliki kedewasaan politik yang

mapan, karena demokrasi sangat menghormati perbedaan dan sangat melarang

pemaksaan dan intimidasi.

Sejatinya pemilihan kepala daerah adalah sarana pendidikan politik bagi

masyarakat agar dapat mengetahui bagaimana memilih pemimpin. Pemimpin

diharapkan selain kharismatik juga harus mempunyai kecakapan, kemampuan,

integritas, pengetahuan kepemimpinan, moralitas yang tinggi dan bertanggung

jawab. Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan salah kota yang memiliki

masyarakat terbanyak di Asia, namun selayaknya daerah megapolitan lainnya

DKI Jakarta masih memilik banyak masalah yang mana penduduk DKI

Jakarta mencapai kurang lebih 10 juta orang.

Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dan salah satu kota terbesar di Asia tentu

memiliki berbagai macam Etnis dan Agama yang dimiliki masyrakat nya,

karena mengingat DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat

perekonomian Negara, berikut adalah tabel jumlah penduduk di DKI Jakarta

berdasarkan Agama dan Etnis yang dimiliki nya :

Tabel. 1 Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kepercayaan,Provinsi DKI Jakarta , Tahun 2014

Agama dan Jumlah Penganut %

Kepercayaan

Islam 8.496.350 83,30

Kristen Protestam 877.174 8,60

Katolik 412.068 4,04 6

Budha 387.589 3,80

Hindu 21.419 0,21

Khonghucu 4.898 0,05

Kepercayaan 202 0,00

Total 10.199.700 100,00

Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta

Tabel.2 Jumlah Penduduk menurut Etnis,Provinsi DKI Jakarta , Tahun 2010 Etnis Jumlah Masyarakat %

Jawa 3.453.448 36,17

Betawi 2.700.722 28,29

Sunda 1.395.025 14,61

Cina 632.372 6,62

Batak 326.645 3,42

Minangkabau 272.018 2,85

Melayu 179.222 1,88

Total 8.959.452 100,00

Sumber : Bada Pusat Statistik (BPS)

Dengan hitungan penduduk diatas sudah menunjukan begitu ragamnya

etnis dan agama yang tumbuh di DKI Jakarta, Provinsi yang menjadi ibu kota

Negara Indonesia ini memanglah selalu menjadi tempat tujuan utama bagi

seluruh rakyat Indonesia yang begitu ragam guna mengadu nasib untuk

memperbaiki hidupnya,sehingga urbanisasi tak dapat terbendung lagi,

sehingga situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya di DKI Jakarta terus 7

bersifat berubah-ubah,namun dibalik keberagaman penduduk di DKI Jakarta seringkali dipergunakan oleh para elit politik tertentu untuk mempolitisasi identitas masyarakat guna kepentingan politik,seperti yang sudah di jelaskan di atas bahwasanya kurang lebih 62% penduduk di Indonesia meyakini bahwa identitas memiliki peran yang besar dalam konstalasi pemilihan umum.

Politik Identitas di Pilgub di DKI Jakarta mulai gencar digunakan semenjak tahun 2012 beberapa gambaran isu sentimen etnis dalam pemilihan

Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2012 ini dalam menjaring pemilih telah diukur dalam berbagai lembaga survei.

Salah satunya exit poll yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and

Cosulting (SMRC) berdasarkan suku, ras, survei yang digelar Saiful Mujani

Research and Consulting pada 20 September 2012 menemukan hanya etnis

Betawi yang mayoritas memilih pasangan -Nachrowi Ramli (75,1 persen), namun etnis-etnis lain sebagian besar memilih pasangan -

Basuki Tjahaja Purnama dan Etnis Jawa, 63,3 persen memilih Jokowi- Ahok.

Kemudian 50,5 persen etnis Sunda juga memilih pasangan yang diusung Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya ini.

Paling tinggi, 92,5 persen etnis China dan 93,1 persen etnis Batak memilih

Jokowi-Ahok kemudian 74,1 persen etnis Minang juga pilih Jokowi-Ahok, sementara mayoritas etnis-etnis lain (76,3 persen) juga memilih pasangan Joko

Wi-Ahok., dan juga masyarakat jakarta yang masih sentimen dengan budaya

China (tiongkok) yang belum pernah redam. Kita ketahui diskriminasi terhadap orang keturunan Tionghoa atau China di Indonesia sangatlah besar seperti yang 8

ditulis oleh Susan Balckburn (2013) dalam bukunya “Jakarta: Sejarah 400

Tahun”, diskriminasi terhadap orang China (Tionghoa) pertama kali tercermin pada tahun 1740, yang mana pada saat itu pemerintahan kolonial Hindia –

Belanda membunuh warga keturunan Tionghoa atau Cina sebanyak 10.000 jiwa dalam peristiwa geger pacinan. Kejadian terburuk terjadi pada tahun 1998 ketika terjadi kerusuhan pada bulan mei tahun itu,banyak sekali warga keturunan Tionghoa di bunuh, dirampas harta bendanya, dan bahkan terjadi pemerkosaan terhadap warga perempuan keturunan Tionghoa .

Salah satu yang harus diperhatikan adalah kekuasaan beberapa orang keturunan Tionghoa yang menguasai bidang ekonomi yang berpengaruh terhadap politik dan masa depan Indonesia khusus nya di ibu kota DKI Jakarta, sebagian besar warga Cina memang tak peduli urusan politik tapi ketidak pedulian nya justru menjadikan mereka leluasa menjadi cukong dan investor politik dari sini lah kekuasaan nya makin menggurita dan membuat segan banyak pihak dan hal itu menjadi sorotan tajam pada pagelaran pilgub DKI

Jakarta 2012 dan 2017.

Pada pagelaran Pilgub 2012 di DKI Jakarta ada fakta yang sangat menarik yakni kemenangan Gubernur Jokowi dan Wakil Gubernur Basuki yang berlatarbelakang bukan dari kalangan militer, sementara jika dilihat dari sejarahnya gubernur pertama yang memimpin DKI Jakarta sampai ke pasangan gubernur tahun 2007 terus diisi dengan komposisi berlatar belakang militer, fakta-fakta menarik lain nya yang ditulis oleh Abdul Hamid (2014) dalam penelitian nya yang berjudul “Jokowi’s Populism in the 2012 Jakarta 9

Gubernatorial Election “ yang di terbitkan oleh German Institute of Global an

Area Studies (GIGA),menjelaskan pengaruh yang sangat kuat di bawa oleh

Jokowi ketika pertama kali datang kejakarta dengan segudang prestasi nya ketika menjabat sebagai Walikota Solo , beberapa prestasi diantara nya adalah

Bung Hatta Anti-Corruption Award tahun 2010 dan menadapat peringkat ketiga sedunia dalam predikat Walikota terbaik yang di keluarkan oleh World

Mayor Foundation, dan dalam survey yang dilakukan oleh Cyrus Network

Jokowi mendapat hasil paling tinggi untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta yang baru tahun 2012 sementara Fauzi Bowo yang merupakan calon petahana pada masa itu jauh tertinggal di bandingkan oleh Jokowi.

Sebelum meledaknya isu kampanye identitas di putaran pertama pasangan

Fauzi Bowo dan Nacrowi Ramli sangat percaya diri dapat memenangkan pilkada DKI Jakarta dengan satu putaran hal ini dikarenakan banyak nya partai politik yang mengusung pasangan calon tersebut yakni Partai Demokrat, Partai

Amanat Nasional, Partai Hanura, dan Partai PKB yang memilik total 41 kursi keterwakilan di legislatif dibandingkan dengan Jokowi dan Basuki yang hanya diusung oleh dua parpol yakni PDIP dan Gerindra yang memiliki 17 kursi keterwakilan di legislatif tentu hal ini sangat berbanding jauh,kedua pasangan ini lah yang bertarung hingga putaran kedua, didalam putaran kedua pilgub

DKI Jakarta 2012 parpol yang tidak lolos pasangan yang di usung nya tersebut berbondong-bondong mendukung pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi, tidak hanya menggandeng parpol Fauzi Bowo juga menggandeng organisasi massa yang besar dari masyrakat DKI Jakarta seperti Forum Betawi Rampug (FBR), 10

Forum Anak Betawi (FORKABI) dan Front Pembela Islam (FPI) untuk bergabung bersama tim yang dia usung, tak mau kalah dengan tim Fauzi,para relawan Jokowi – Ahok juga membuat lingkaran timsukses berdasarkan etnis dengan menggandeng Forum Masyarakat Tionghoa (FORMAT) agar bisa menjadi roda kemenangan di Pilgub DKI Jakarta tahun 2012,.

Dalam menggaet dukungan Fauzi Bowo banyak menggandeng organisasi masyarakat Etnis Betawi untuk menunjukan dirinya merupakan representatif etnis betawi di DKI Jakarta, etnis Betawi yang ia bawa adalah etnisitas dari sang ibu,posisi ini tentu akan menyulitkan pasangan Jokowi – Basuki yang mana mulai bisa mendapatkan simpati masyrakat akibat dampak populisme

Jokowi yang menggambarkan mewakili rakyat kecil dengan cara blusukan nya, selain dengan menggandeng ormas Etnis, Fauzi juga menggandeng ormas keagamaan seperti FPI untuk bergabung dalam tim nya hal ini di buat untuk menarik penduduk DKI Jakarta yang mayoritas berAgama Islam untuk dapat memilhnya,

Ken Miichi (2014) dalam penelitian nya “The Role of Religion and

Ethnicity in Jakarta’s 2012 Gubernatorial Election” juga menjelaskan bahwa diputaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2012 isu Etnisitas dan Agama mulai sangat bergejolak, penguatan isu identits di putara kedua Pilgub DKI Jakarta tidak lepas dari keterlibatan media dan aktor penggerak, salah satu contohnya adalah yang mengisi ceramah tarawih di masjid Al-Isra Tanjung

Duren,Jakarta Barat ,dalam ceramah tujuh menit tersebut ada indikasi penggunaan isu Agama dan Etnis untuk menyerang pasangan Jokowi-Basuki , 11

mediapun menjadi alat alternatif guna membumikan isu SARA di pilada DKI

Jakarata 2012 ini sebagai alat menyerang antar timses.

Sentimen Agama maupun Etnis merupakan perilaku manusia khusus nya umat beragama dan sangat menjunjung Etnis pribadi (yang diwujudkan dalam kata,tindakan dan kebijakan) yang merendahan membatasi dan meremehkan, agar orang yang berbeda etnis maupun agama tidak mendapatkan hak-haknya serta mampu mengaktualisasi dirinya secara utuh. Hal-hal seperti berikut pastilah akan membuahkan perpecahan diantara warga DKI Jakarta yang begitu majemuk dan multikultur dan efek dari Pilkada 2012 ini menjadi tambah panas di Pilgub DKI Jakarta tahun 2017. Konflik-konflik serta isu SARA pada

Pilgub 2012 telah menjadi penyebab menguatnya isu identitas di Pilgub DKI

Jakarta pada putaran selanjutnya yang mana basuki kembali mencalonkan diri menjadi gubernur DKI Jakarta,

Pada transisi kepemimpinan Jokowi ke Basuki memang banyak menimbulkan polemik di antara nya kepemimpinan yang semakin keras dan ketat sampai ketidak setujuan beberapa golongan atas pelantikan Basuki yang menduduki kursi DKI 1 menggantikan Jokowi yang berhasil naik menjadi presiden Republik Indonesia pada tahun 2014, beberapa golongan yang tidak setuju tersebut di latar belakangi oleh identitas agama dan identitas etnis yang dimilik oleh Basuki yakni beragama Kristen dan beretnis Cina (Tionghoa) golongan ini yakni Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Masyarakat Jakarta

(GMJ) kedua organisasi tersebut merasa Gubernur yang beragama muslim dibutuhkan oleh DKI Jakarta pada saat itu, dengan alasan mayoritas penduduk 12

DKI Jakarta beragama Islam, rekomendasi yang di tawarkan oleh kedua organisasi itu adalah dengan menyuruh PDIP untuk menempatkan kader partai yang beragama Islam untuk menggantikan Basuki sebagai Gubernur,namun usulan ini di tolak oleh Partai, sehingga muncul reaksi oleh FPI dengan melantik Fakhrurozi Ishak sebagai Gubernur tandingan DKI Jakarta hal ini ditujukan sebagai bentuk mosi tidak percaya kepada Basuki selaku Gubernur

DKI Jakarta.

Fenomena Gubernur tandingan yang dibentuk oleh golongan tersebut tidak banyak mempengaruhi penduduk DKI Jakarta terhadap kepercayaan nya kepada Basuki sebagai Gubernur pengganti, namun pada akhir tahun 2016 terjadi gerakan baru yang sangat luar biasa yakni serangkaian aksi massa yang di pusatkan di DKI Jakarta yang menuntut di penjarakannya gubernur aktif pada saat itu yakni Basuki Tjahja Purnama.

Gerakan massa itu terjadi atas reaksi dari kasus penistaan agama oleh

Basuki pada pidato nya di kepulauan seribu pada tanggal 27 September 2016, gerakan massa yang begitu masif di media sosial, spanduk di jalan umum sampai aksi demonstrasi pada 2 dember 2016 atau lebih dikenal dengan aksi

212 untuk menuntut pemerintah memenjarakan Basuki akibat kasus nya tersebut. Serangkaian aksi massa tersebut kembali menimbulkan penguatan identitas di masyarakat DKI Jakarta hal ini dapat dilihat dari hasil Survei dari

Lingkar Survei Indonesia (LSI) yang menyatakan pasca aksi 212 tersebut sentimen Agama di masyarakat DKI Jakarta meningkat menjadi 70,1% yang pada sebelumnya di bulan maret dan oktober LSI mencatat masing-masing 13

40% dan 51% , sehingga dalam penyelengaraan Pilgub DKI Jakarta sentimen identitas sangat berpengaruh, para elit politik,para simpatisan pendukung

,organisasi masa serta tim sukses pendukung berlomba menggunakan isu tersebut untuk meraih suara di pilkada DKI Jakarta.

Dalam upaya menetraslisir isu tersebut sekelompok massa juga membuat aksi Parade Bhineka Tunggal Ika pada tanggal 4 Desember 2016 dua hari setelah aksi damai 212 berlangsung, aksi parade Bhineka Tunggal Ika ini sendiri memiliki tujuan untuk lebih meeratkan ikatan identitas kolektif dibandingkan primordial, agar masyarakat di DKI Jakarta tidak terpengaruh terhadap sentimen identitas tertentu dalm lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan antar golongan.

Tidak dapat dipungkiri identitas adalah sesuatu yang sangat melekat dalam diri manusia, seperti halnya identitas agama yang begitu melekat dan sangat sensitif di masyarakat, sehingga politisasi identitas agama dapat begitu laris di tengah masyarakat, seperti contoh beberapa rumah ibadah di DKI Jakarta dalam ibadah nya seringkali menyinggung dan mengarahkan jemaat atau umat nya untuk memilih berdasarkan identitasnya seperti yang di lakukan oleh

Rhoma Irama, pada dasar nya rumah ibadah harus steril dari proses kampanye seperti yang tertulis dalam UU No 8 Tahun 2015 pasal 69 tentang pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang berisi larangan kampanye di setiap rumah ibadah dalam ceramah ataupun khotbah dalam ibadah.

Berbagai kasus dan peristiwa yang terjadi di tahun 2012 sampai akhir tahun 2016 menjadi serangkaian proses menguatnya identitas di masyarakat 14

DKI Jakarta, dan pada tahun 2017 Identititas sudah menjadi salah satu alat politik utama yang digunakan oleh para elit untuk kepentingan Pilgub yang menyebabkan terjadinya gesekan di masyarakat seperti contohnya adalah, terjadi gesekan di masyarakat DKI Jakarta karena mendukung pasangan calon yang tidak sama identitas nya dengan dirinya, kasus ini dialami oleh Alm.

Nenek Hindun binti W.Raisman di Setia Budi,Jakarta Selatan yang di tolak di sholat kan oleh pihak musholla karena mendukung pasangan calon yang berbeda identitas (http://news.liputan6.com/read/2882270/jenazah-nenek- hindun-ditelantarkan-warga-setelah-pilih-ahok, diakses tanggal 23 maret

2018).

Identitas Agama begitu banyak disoroti dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 ini berbeda dengan Pilkada 2012 dimana isu Etnis menjadi perbincangan yang tak kalah penting, hal ini disebabkan baik Basuki- Djarot dan Anies – Sandi tidak ada yang beretnis betawi tapi isu yang di angkat di Pilgub DKI Jakarta adalah isu pribumi dan non pribumi yang mana pribumi dikategorikan sebagai orang asli Indonesia dan non pribumi adalah keturunan asing yang tinggal di

Indonesia, dalam posisi ini tentu pasangan Basuki - Djarot mepergunakan isu tersebut untuk mempersatukan masyarakat Etnis Tionghoa, seperti survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei dan Poling Indonesia (SPIN) yang menyatakan hampir 90 persen masyarakat keturunan Etnis Chin (Tionghoa) mendukung

Basuki dalam putaran kesatu dan kedua.

Etnisitas dan Agama menjadi isu yang hangat dalam pemilihan gubernur

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2017 karena ada keyakinan di benak 15

para kandidat atau tim suksesnya bahwa cara termudah dan paling efektif

menarik hati orang untuk memilih seorang kandidat adalah dengan cara

membangkitkan ikatan emosional pemilih pada calon. Ikatan emosional mana

yang bisa melebihi kecintaan seseorang pada identitas primordialnya seperti

suku, agama, ras, dan golongan atau komunitas.

Diantara semua identitas ini suku-agama dan ras menjadi identitas yang

paling kuat sehingga mudah menyulut emosi dan dapat dimobilisasi. Dalam

ras, agama dan etnisitas ada stigmatisasi dan pelabelan yang pada akhirnya

akan berujung pada kebencian, kecurigaan, kecemburuan sosial, inklusi dan

eksklusi. Oleh karena itu partisipasi pemilih pada pemilihan gubernur Daerah

Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2017 sangat erat kaitannya dengan identitas

agama dan etnis.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pengamatan dan penilitian masalah yang teridentifikasi adalah:

1. Terdapat sentimen antar Etnis maupun Agama di DKI Jakarta

2. Semenjak tahun 2012 dan 2017 Politik Identitas dipergunakan dalam

pemilihan Gubernur

3. Terjadinya Pembelahan Sosial di masyarakat DKI Jakarta akibat terbentuk

nya poilitik identitas dalam Pilgub DKI Jakarta

4. Aksi Diskriminasi dan Intimidasi dalam Pilgub DKI Jakarta

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan Identifikasi masalah di atas, yang menjadi rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah. Bagaimana Politisasi Identitas digunakan sebagai 16

alat politik terhadap para pemilih untuk dapat meraih simpati publik dalam

pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai

berikut :

Untuk mengetahui Politik Identitas di dalam partisipasi politik di pilgub DKI

Jakarta tahun 2017-2022

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Penilitian ini dapat bermanfaat untuk:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dan

penambahan wawasan dalam kajian ilmu Pemerintahan, serta referensi dalam

penelitian politik identitas tekhusus nya dalam studi kasus partisipasi politik di

dalam pemilihan umum (Pemilu)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan mengenai politik identitas

terkhusus nya dalam studi kasus partisipasi politik di dalam pemilihan umum

(Pemilu),agar masyarakat dapat lebih memahami apa itu politik identitas yan

sering kali di pergunakan dalam studi kasus pemilihan umum.

17

F.Sitematika Penelitian

Untuk memudahkan penulis dalam menyusun skripsi ini, maka penulis

akan menguraikan secara singkat dari sistematika penelitian dalam susunan

penulisan skripsi ini. Sistematika penelitian skripsi ini sebagai berikut :

BAB I Penulisan skripsi ini terdiri dari Latar Belakang Masalah,

Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, dan Sistematika Penelitian

BAB II Penulisan skripsi ini menggunakan kajian teori Politik Identitas

dan Multikulturalisme untuk menganalisa Politik Identitas yang ada di dalam

pilgub DKI Jakarta 2017 dan dampaknya pada partisipasi politik masyarakat

yang ada di DKI Jakarta

BAB III Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif dengan tujuan agar dapat lebih mengetahui lebih dalam isu politik

identitasa yang terjadi di pilgub DKI Jakarta 2017 dengan menggunakan

metode penelitian berupa dokumentasi,studi pustaka dan wawancara

BAB IV Membahas sentimen etnis dan agama di dalam pilgub DKI

Jakarta yang menjadi identitas terkuat dalam mencapai kemenangan

BAB V Membahasa kesimpulan dan saran yang dibutuhkan dalam

penulisan karya ilmiah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori

1. Politik Identitas

Dalam dinamika politik di negeri ini, masalah identitas kerap dijadikan

salah satu cara untuk menjatuhkan lawan politiknya. Identitas muncul ketika

kita lahir. Seorang anak dari bapak Jawa dan Ibu Jawa, maka ia akan

menyandang identitas sebagai suku Jawa. Ketika ia lahir dari seorang ayah

Tionghoa dan ibu Tionghoa, secara otomatis ia akan mendapatkan identitas

sebagai etnis Tionghoa dan ketika seseorang lahir dari ayah dan ibu seorang

pemeluk agama Islam, seorang anak akan langsung mendapat identitas sebagai

pemeluk agama Islam. Sama juga ketika dia lahir dari pasangan Kristen, secara

identitas ia akan menjadi seorang penganut agama Kristen. Dengan kata lain

secara sederhana, yang dimaksud identitas adalah karakteristik esensial yang

menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Ini adalah definisi umum yang

sederhana mengenai identitas.

Politik identitas merupakan konsep baru dalam kajian ilmu politik. Politik

identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan. Biopolitik

mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan tubuh.

Dalam filsafat sebenarnya wacana ini sudah lama muncul, namun

penerapannya dalam kajian ilmu politik mengemuka setelah disimposiumkan

pada suatu pertemuan internasional Asosiasi Ilmuwan Politik Internasional di

Wina pada 1994 (Abdilah, 2002).

18

19

Identitas menurut Jeffrey Week adalah berkaitan dengan belonging mengenai persamaan dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan seseorang dengan yang lain. Pendapat Jeffrey Week tersebut menekankan pentingnya identitas bagi tiap individu maupun bagi suatu kelompok atau komunitas (Widayanti, 2009).

Identitas dalam sosiologi maupun politik biasanya dikategorikan menjadi dua kategori utama, yakni identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan

(citizenship). Identitas sosial menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of bellonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan

(sense of otherness) (Setyaningrum, 2005).

Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan

“politik identitas” (politica of identity). Identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam suatu ikatan komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik (Setyaningrum, 2005).

Secara sederhana, apa yang dimaksud identitas didefinisikan sebagai karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Identitas merupakan karakteristik khusus setiap orang atau komunitas yang menjadi titik masuk bagi orang lain atau komunitas lain untuk mengenalkan mereka 20

(Widayanti, 2009). Ini adalah definisi umum yang sederhana mengenai identitas dan akan kita pakai dalam pembahasan berikutnya mengenai politik identitas.

Menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari „sense

(rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas‟ . Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang memiliki berbagai persamaan dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan otherness (keberbedaan) atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-kategori pembeda (categories of difference) (Setyaningrum, 2005).

Identitas selalu melekat pada setiap individu dan komunitas. Identitas merupakan karekteristik yang membedakan antara orang yang satu dengan orang yang lain supaya orang tersebut dapat dibedakan dengan yang lain.

Identitas adalah pembeda antara suatu komunitas dengan komunitas lain.

Identitas mencitrakan kepribadian seseorang, serta bisa menentukan posisi seseorang.

Ada 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu:

1. Primodialisme. Identitas diperoleh secara alamiah, turun temurun.

2. Konstruktivisme. Identitas sebagai sesuatu yang dibentuk dan hasil dari proses sosial yang kompleks. Identitas dapat terbentuk melalui ikatan-ikatan kultural dalam masyarakat. 21

3. Instrumentalisme. Identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan (Widayanti,

2009).

Sementara Klaus Von Beyme menganalisis karakter gerakan politik identitas dalam beberapa tahap perkembangannya mulai dari tahap:

A. Pramodern: dimana gerakan politik mengalami perpecahan

fundamental, kelompok kelompok kesukuandan kebangsaan

dan memunculkan gerakan politik yang menyeluruh. Dalam

hal ini mobilisasi secara ideologis dipelopori oleh para

pemimpin.

B. B. Modern: gerakan muncul dengan adanya pendekatan

kondisional, keterpecahan membutuhkan sumber sumber

untuk dimobilisasi. Terjadi keseimbangan mobilisasi dari atas

dan partisipasi bawah,peran pemimpin tak lagi dominan dan

tujuan akhirnya adalah pembagian kekuasaan.

C. Post modern: gerakan muncul dari dinamika gerakan itu

sendiri, protes lahir dari atas berbagai macam kesempatan

individual tidak ada satu kelompok yang dominan.

Ketimbang pengorganisasian secara mandiri dalam ruang lingkup ideologi atau afilisasi kepartaian, politik identitas berkepentingan dengan pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi

(keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Dalam hal ini

Cressida Heyes beranggapan jika politik identitas lebih mengarah kepada 22

kepentingan terhadap individu atau kelompok yang terpinggirkan dari pada pengorganisasian.

Agnes Heller mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama (Abdilah S, 2002). Di dalam setiap komunitas, walaupun mereka berideologi dan memiliki tujuan bersama, tidak bisa dipungkiri bahwa di dalamya terdapat berbagai macam individu yang memiliki kepribadian dan identitas masing-masing.

Hal ini dikarenakan kepribadian dan identitas individu yang berbeda dan unik, sangat mungkin terjadi dominasi antar individu yang sama-sama memiliki ego dan tujuan pribadi. Sehingga menyebabkan pergeseran kepentingan terkait dengan perebutan kekuasaan dan persaingan untuk mendapatkan posisi strategis bagi tiap individu di dalam komunitas tersebut.

Selanjutnya Politik Identitas dapat dimaknai sebagai tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, yang berdasar ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Bahasan utama politik identitas adalah ide perbedaan, misal tentang ideologi, ras, agama, kepercayaan, bahasa, dll.

Studi ini mulai diwacanakan pada simposium di Wina, Swiss, 1994.16 Berikut ini dua jenis aliran politik identitas:

Anglophone fokus pada masalah hak dan klaim penduduk asli, pribumi

(indigenous people), penganutnya antara lain negara Australia, New Zealand,

Kanada. 23

Anglo-american fokus pada masalah pembangunan seperti gelombang

imigrasi, keberadaan kelompok-kelompok religius di masyarakat, pengaruh

budaya, sosial akibat munculnya gerakan perempuan, gay perdebatan tentang

kemerosotan civic culture dan bangkitnya anti-politik.

Yang mesti dipahami bahwa politik identitas bukanlah politik dalam

makna tradisional saja. Politik identitas fokus perhatiannya ialah perbedaan

identitas yang meliputi etnik, agama, dan hal lain yang dipakai untuk

menghimpun orang atas dasar kesamaan yang dimiliki.

Politik identitas juga dibangun dalam proses pemilihan kepala daerah yang

dilakukan secara intens dalam bentuk interaksi simbolik untuk memobilisasi

dukungan massa. Penguatan identitas diri dari seorang pasangan calon

dilakukan dengan membangun identitas diri secara intens di masyarakat.

Politik identitas yang berangkat dari base on identity (identitas) dan base on

interest (kelompok kepentingan) dijadikan instrumen untuk memperoleh

simpati dari masyarakat. Selanjutnya perkembangnan politik identitas saat ini

telah mengalami pergeseran makna identitas sesungguhnya karena identitas

digunakan bukan untuk kepentingan identitas itu sendiri tetapi lebih untuk

kepentingan elite itu sendiri. Ini terlihat jelas dalam ajang pemilihan Gubernur

DKI Jakarta tahun 2017.

2. Partisipasi Politik

Huntington dan Nelson dalam Hamid (2017) mendefinisikan Partai

Politik sebagai kegiatan yang dilakukan warga negara preman (private citizen)

atau biasa disebut sebagai masyarakat biasa (sipil) dengan tujuan 24

mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi itu dapat secara spontan, secara sinambung atau sporadic, seacara damai ataua kekerasan, legal atau illegal efektif atau tidak efektif.

Ada beberapa ciri partisipasi politik:

1. Kegiatan yang dapat diamati bukan hanya sekedar sikap

2. Merupakan aktivitas perorangan dalam peranan sebagai warga negara

preman, bukan sebagai aktivitas professional bidang politik.

3. Diarahkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah

baik itu kegiatan legal maupun ilegal.

4. Kegiatan efektif maupun gagal terkategori partisipasi politik.

Dalam menganalisa tingkat – tingkat partisipasi, Huntington dan Nelson membedakan dua sub dimensi:

a. Lingkup

Seberapa besar partisipasi yang dilakukan atau seberapa banyak pihak

yang terlibat dalam partisipasi.

b. Intensitas

Seberapa lama dan seberapa penting partisipasi.

Partisipasi Politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk:

1. Pemilihan Umum

Partisipasi dalam pemilihan umum mungkin merupakan bentuk

partisipasi politik yang paling popular. Namun dalam pemilihan umum

partisipasi politik tak hanya sekedar memilih, namun juga menjadi 25

kandidat, menyumbang untuk kandidat, terlibat dalam kampanye dan

segala bentuk tindakan yang bertujuab mempengaruhi hasil pemilihan.

2. Lobbying (Lobi)

Lobi adalah upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk

menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin- pemimpin

poltik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mengenai

persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.

3. Kegiatan Organisasi

Partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang

tujuan utamanya dan eksplisit adalah mempengaruhi pengambilan

keputusan pemerintah.

4. Mencari Koneksi (contacting)

Merupakan tindakan perorangan yang di tujukan terhadap pejabat-

pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat

bagi hanya satu atau segelintir orang.

5. Merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan

pemerintah dengan jalan menimbulakn kerugian fisik terhadap orang-

orang atau harta benda.

Partisipasi Politik dapat dikategorikan a. Berdasarkan kesadaran politik (Huntington dan Nelson dalam Hamid (2017)): 1. Otonom Partisipasi dilakukan atas dasar keasadaran sendiri 2. Mobilisasi 26

Partisipasi dilakukan berdasarkan anjuran, ajakan atau paksaan pihak lain Namun harus disadari bahwa partisipasi politik otonom maupun di mobilisasi bukanlah sesuatu yang dikotomis, tapi merupakan sebuah spektrum.

Karena banyak sekali bentuk partisipasi yang bersifat arbitter, berada diantara partisipasi politik otonom atau di mobilisasi. Sebagai contoh,sulit untuk mengatakan bahwa peserta kampanye partai politik dalam sebuah pemilu betul- betul otonom atau betul-betul di mobilisasi. Bisa jadi ia ikut berkampanye karena kesadaran namun menerima berbagai atribut dan fasilitas bahkan uang dari partai pelaksana kampanye.

Partisipasi Politik dalam pemilu (Voter turnout) di Indonesia amatlah tinggi, namun menurun ketika reformasi terjadi. Tingginya partisipasi politik dalam pemilu-pemilu orde baru bisa dipahami sebagai kuatnya mobilisasi pemerintah orde baru mendorong partisipasi politik (yang dimobilisasi) dengan memaknai memilih sebagai kewajiban. Namun ketika kebebasan dilindungi dan memilih dipandang sebagai hak, maka banyak warga yang tidak menggunakannya. b. Berdasarkan Saluran Politik

Berdasarkan bentuk dan aturan politik, Almond (dalam, hamid 2017)

membagi partisipasi politik kedalam partisipasi konvensional dan partisipasi

non konvensioanl.

1. Partisipasi Konvensional

Partisipasi ini dilakukan dengan saluran resmi dan dalam bentuk yang

normal dalam demokrasi modern. 27

2. Non Konvensioanl

Partisipasi ini dilakukan memaluli sarana tidak resmi dan dalam

bentuk yang tidak normal.

3. Multikulturalisme

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,

multikulturalisme dibentuk dari kata multi yang artinya banyak atau beragam,

kultural yang berarti budaya atau kebudayaan dan isme yang berarti aliran atau

paham. Singkatnya, multikulturalisme adalah sebuah ideologi (pandangan)

yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan atas

perbedaan kebudayaan. Multikulturalisme bertujuan untuk kerjasama,

kesederajatan, dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak

monokultur lagi (Ardhana, 2011).

Pandangan Will Kymlicka atas multikulturalisme bisa kita lihat pada buku

karangannya, Multicultural Citizenship (2002). Dalam tulisannya ia mencoba

memaparkan bahwa pendekatan lama dalam melihat multikulturalisme sudah

tidak begitu relevan dalam menjawab masalah dalam isu kontemporer. Itu

disebabkan karena solusi dari masalah-masalah multikultural kerap kali

berujung pada sudut pandang pihak mayoritas semata.

Will Kymlicka cenderung tidak ingin menggunakan kata

multikulturalisme dalam menjelaskan fenomena yang terjadi di dunia saat ini.

Ia cenderung lebih suka menggunakan konsep multination dan polyethnic.

Konsep bangsa (nation) yang digunakannya lebih disamaartikan sebagai

sebuah masyarakat atau pun kebudayaan tertentu yang sudah memiliki sejarah 28

dan teritorial tempat mereka tinggal. Bangsa tadi didasarkan pada kesamaan historis serta adat istiadat yang sama. Di dunia banyak sekali negara yang memiliki banyak bangsa yang menghasilkan bentuk negara multination. Ia cenderung tidak menggunakan konsep culture dalam pembahasan negara karena konsep ini dianggap masih cenderung abstrak dan biasa digunakan hanya untuk membedakan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.

Dengan demikian culture lingkupnya lebih luas.

Ia mencontohkan dengan melihat pada bangsa Eropa. Kita bisa saja mengatakan bahwa negara Eropa berasal dari culture yang sama karena memiliki kesamaan-kesamaan dalam masyarakatnya, meskipun sebenarnya dalam tiap negara berasal dari bangsa yang berbeda. Ia juga mencontohkan pada orang-orang homoseksual yang memiliki culture yang sama. Sehingga ia melihat konsep nation atau bangsa dalam hal ini bisa lebih spesifik dalam menjelaskan fenomena dalam suatu negara karena ada unsur historis serta teritorinya. Dalam keadaan dimana tiap-tiap bangsa yang ada di dalam suatu negara menerima dengan sukarela persatuan sebagai sebuah kebutuhan bersama, terbentuklah multination state. Selain bangsa yang memang telah berada di teritorial negara tersebut dari awal, ada juga imigran yang datang sebagai penduduk di sebuah negara. Mereka datang tanpa adanya basis tempat dan keturunan dari bangsa di negara tersebut. Negara yang memiliki kelompok imigran inilah yang disebut Will Kymlicka sebagai Polyethnic.

Akhir abad 20 adalah masa yang disebutnya sebagai „the age of migration‟. Pada masa ini banyak sekali negara-negara yang kedatangan 29

migran-migran. Ini menyebabkan tantangan baru pada tiap negara yang menghadapinya karena akan semakin banyak permasalahan etnik yang muncul.

Pembahasan terhadap hak-hak kaum migran dan etnik minoritas juga semakin gencar setelah Cold War berakhir. Pembelahan antara multination dan polyethnic dari Willkymlicka ini dengan demikian bisa membantu kita menganalisa kelompok imigran tersebut.

Will Kymlicka menggunakan apa yang terjadi di Canada sebagai contoh bagaimana kita melihat bahwa sebuah negara sebenarnya bisa menjadi multination sekaligus polyethnic. Sebelum imigran datang, Canada telah memiliki keberagaman bangsa, baik itu orang-orang lokal, Inggris maupun

Prancis. Namun kondisi itu ditambah dengan kehadiran banyak migran asing yang menetap disana. Yang menarik adalah bahwa pemerintah Canada memberikan perhatian kepada kedua kelompok tersebut. Tidak hanya hak-hak bangsa yang telah berada lebih dahulu di negara tersebut, namun pemerintah juga memberikan akomodasi kebijakan kepada para migran-migran.

Sering terjadi para migran yang datang ke suatu negara dipaksa untuk melakukan asimilasi. Mereka dipaksa untuk bisa mempergunakan budaya yang telah ada di negara tersebut dari unsur mayoritas. Kebanyakan migran-migran di berbagai negara tidak mempersoalkan itu dan turut belajar kebudayaan, termasuk paling penting bahasa, dari negara yang mereka datangi dan tinggali untuk seterusnya. Tetapi ada pula migran yang menolak untuk melakukan asimilasi dan tetap mempergunakan kebudayaan aslinya. Bahkan ada yang menolak untuk mengganti bahasa mereka. 30

Dalam pandangan Will Kymlicka para migran ini tidak masuk dalam kategori bangsa di negara yang mereka datangi. Bahkan mereka itu berbeda dengan kelompok minoritas. Minoritas diartikan sebagai kelompok bangsa yang telah terpinggirkan karena adanya bangsa lain yang lebih mendominasi.

Mereka bukan pendatang namun merupakan penduduk asli di tanah mereka.

Contoh paling mudah adalah suku Indian yang justru menjadi kelompok minoritas di tanah Amerika. Kelompok ini kebanyakan akan tetap diakomodir kepentingannya oleh pemerintah. Para imigran yang datang ke sebuah negara bisa berkembang menjadi sebuah kelompok minoritas. Itu bisa berubah ketika ada keadaan dimana mereka telah memiliki kekuatan untuk berpolitik dan mengatur hidup mereka sendiri (self-governing), atau setidaknya ada tuntutan untuk hal-hal tersebut.

Baik unsur minoritas maupun kelompok migran menjadi fokus dalam membahas keberagaman di negara modern. Salah satu hal pentingnya adalah bagaimana Will Kymlicka ingin memberikan perspektif baru bagaimana memperjuangkan hak mereka, dalam sebuah sistem demokrasi liberal, bercermin dari apa yang telah dilakukan di Canada. Ada tiga hal pokok yang menurutnya penting untuk diperjuangkan dalam budaya demokrasi terhadap kelompok-kelompok di atas. Pertama, self–government rights. Masyarakat minoritas bisa memperjuangkan haknya untuk bisa mengatur diri mereka sendiri. Kymlicka melihat bahwa sistem federal bisa menjadi salah satu solusi karena kelompok minoritas dapat mengatur diri mereka tanpa dipengaruhi oleh kelompok yang lebih besar. Kedua, polyethnic rights. Disini fokusnya adalah 31

bagaimana pemerintah memberikan kebebasan kepada para migran untuk menggunakan kebudayaan mereka yang berbeda dengan kebudayaan lokal atau pun mayoritas. Termasuk didalamnya adalah menggunakan atribut agama yang menjadi minoritas di negara tersebut serta simbol-simbol lainnya tanpa mempengaruhi hak ekonomi dan sosial-politik mereka di masyarakat. Yang terakhir adalah special representation rights. Dimana pada akhirnya kelompok minoritas, baik secara budaya, gender, keterbatasan fisik, agama, memerlukan hak untuk mengikutsertakan representasi dari kelompoknya dalam parlemen.

Dengan demikian kelompok tersebut bisa secara langsung memperjuangkan hak mereka secara politik.

Hal menarik lainnya dari pandangan Will Kymlicka adalah penilaiannya bahwa perjuangannya terhadap kaum minoritas bisa berhasil hanya ketika masyarakatnya mengerti nilai dari liberalisme. Karena menurutnya perjuangan akan kebebasan hak dari kaum minoritas ini adalah buah dari pemikiran liberal.

Kemudian kita bisa melihat apakah masyarakat Indonesia sendiri sudah siap dengan konsep „liberal‟ itu sendiri. Seperti kita ketahui banyak negara , termasuk Indonesia, yang masih cenderung anti terhadap isu yang berkaitan dengan liberalisme karena takut dan tidak mau menjadi Barat. Padahal nilai- nilai kebebasan yang bisa diperjuangkan tersebut ada pada paham liberal.

Menurut Will Kymlicka yang harus dilakukan adalah sosialisasi nilai tersebut secara halus ke masyarakat.

Yang harus melakukannya adalah kelompok-kelompok dalam negara tersebut yang memang telah sadar akan kepentingan minoritas dan nilai 32

kebebasan tadi. Tidak bisa dengan intervensi dari negara Barat yang serta merta langsung ingin memasukkan liberalisme pada negara lain. Bila kita mengutip dari tokoh liberal seperti John Locke, masyarakat demokratis bisa tercapai hanya ketika masyarakat tersebut telah mengetahui hak-hak mereka sebagai warga negara. Dalam akhir buku Multicultural Citizenship Will

Kymlicka berargumen bahwa liberalisme harus bisa memastikan adanya keadilan antar kelompok , serta kebebasan dan keadilan di dalam kelompok.

Sedangkan Bagi Charles Taylor (2012) filsafat politik Hegel adalah dasar bagi seluruh wacana politik pengakuan dan multikulturalisme, terutama pandangan Hegel soal dialektika tuan dan budak (dialectic of master and slave). Di samping itu wacana tentang identitas dan pengakuan juga muncul, karena disebabkan oleh faktor-faktor historis politis tertentu. Taylor menuliskan satu hal yang kiranya sangat penting, yakni hancurnya tatanan hirarki sosial yang lama, yang bersifat feodalistik. Dahulu di Eropa maupun di

Indonesia, orang yang lahir dari keluarga bangsawan memiliki kedudukan yang terhormat di dalam masyarakat. Dasar dari kedudukan tersebut adalah darah bangsawan, atau yang banyak disebut orang Indonesia sebagai keturunan darah biru.

Di dalam masyarakat semacam itu, ketidaksetaraan adalah fakta dunia yang diterima begitu saja. Orang yang berasal dari keluarga biasa memiliki status yang lebih rendah dari pada orang yang berasal dari keluarga bangsawan.

Tentu saja pandangan tersebut sudah menghilang. Di dalam masyarakat modern, kehormatan bukanlah sesuatu yang didapat melaluidarah keturunan 33

bangsawan, melainkan sesuatu melekat di dalam kemanusiaan setiap orang.

“Sebagai lawan dari konsep kehormatan yang lama,” demikian tulis Taylor,

“kita memiliki konsep modern seperti harkat dan martabat manusia, yang digunakan dalam arti yang egaliter dan universal, di mana kita berbicara tentang martabat manusia yang bersifat inheren, atau martabat warga negara.”

Karena bersifat inheren, egaliter,dan universal, maka setiap manusia, lepas dari suku, ras, ataupun agama,memilikinya.Pandangan terakhir ini hanya bisa hidup dan berkembang di dalam masyarakat demokratis. Setiap orang memiliki harkat dan martabat yang bersifat inheren di dalam dirinya, lepas dari suku, ras, agama, ataupun kelas sosial-ekonomi. Inilah pandangan tentang manusia yang menempati peran sangat penting di dalam masyarakat demokratis.

“Demokrasi,” demikian Taylor, “telah mengantarkan kita memasuki politik pengakuan, yang telah mengambil bermacam-macam bentuk sekarang ini, dan sekarang kembali dalam bentuk tuntutan untuk status yang setara dalam bidang budaya dan gender.”Dengan kata lain inti terdalam dari demokrasi dan politik pengakuan sebenarnya sama, yakni tuntutan untuk kesetaraan kultur dan gender.

Menurut Taylor esensi atau inti terdalam dari wacana multikulturalisme adalah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan (struggle for recognition).

Perjuangan inilah yang menjadi dorongan dasar dari begitu banyak gerakan politik yang muncul pada pertengahan sampai akhir abad ke-20, seperti feminisme, gerakan kaum gay, dan sebagainya. Tidak hanya itu gerakan tersebut juga muncul di dalam perjuangan kelompok minoritas untuk 34

mempertahankan identitas mereka dari penjajahan kelompok mayoritas, baik

dalam hal agama maupun etnis.

Di dalam politik pengakuan, orang-orang yang berasal dari budaya yang

berbeda dari budaya minoritas ingin mempertahankan identitasnya yang unik.

Mereka tidak hanya ingin supaya identitasnya ada, tetapi supaya identitas

tersebut bisa berkembang secara dinamis dengan identitas-identitas lainnya di

dalam masyarakat. Dalam arti ini identitas diri seseorang adalah sesuatu yang

sangat penting, karena di dalamnya terdapat pemahaman tentang siapa dan dari

mana mereka. Dapat juga dikatakan bahwa identitas adalah hakikat

fundamental dari manusia itu sendiri sehingga Identitas tidak dapat dipisahkan

dari manusia namun bila berbicara pada konteks Pemilihan umum seperti yang

terjadi DKI Jakarta konteks pengakuan Identitas kelompok tertentu sangat

menguat dan tentu akan mengganggu iklim demokrasi yang di bangun

sehingga Identitas yang tidak memiliki jumlah yang besar dikhawatirkan tidak

dapat terwakilkan.

B. Penelitian Terdahulu

Untuk menelaah yang lebih komprehensif, maka penyusun berusaha untuk

melakukan kajian-kajian terhadap penelitian terdahulu yang mempunyai

relevan terhadap topik yang diteliti oleh peneliti, dan juga menggunakan

sumber yang relevan termasuk menggunakan literatur guna memperkuat

penelitian.

35

Tabel.3 Perbandingan Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu

Peneliti Judul Penelitian Pembahasan No.

1. Fikri Adrian Identitas Etnis Dalam Pemilihan Menjelaskan mengenai

(Skripsi S-1, UIN Kepala Daerah (Studi Pemilihan isu identitas etnis yang

Jakarta) Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012 menguat di pilkada DKI

Jakarta kepada salah satu

pasangan calon Gubernur

dan Wakil Gubernur DKI

Jakarta.

2. Arif Sofianto Peran Agama Terhadap Perilaku Dalam jurnal penelitian

(Peneliti Balai Litbang Pemilih Dalam Pemilu Legislatif nya, banyak membahas

Semarang, Jawa 2014 Di Jawa Tengah tentang bagaimana politik

Tengah) identitas dibentuk dan

bagaimana politik

identitas digunakan dan

punya pengaruh kuat

serta menjadi salah satu

strategi pemilu legislatif

di jawa tengah pada

tahun 2014.

3. Andy Sianipar Politik Identitas Dalam Pemilihan Dalam penelitian ini

(mahasiswa Ilmu Kepala Daerah (Studi Kasus Pada penulis membahas 36

Pemerintahan Unirtra) Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tentang politik identitas

Periode 2017-2022) yang dibentuk dan

digunakan dalam pilgub

DKI Jakarta tahun 2017

yang mana pada tahun

sebelumnya politik

Identitas kian menguat, di

tandai dengan fenomena

unjuk rasa yang mengatas

nama kan agama pada

akhir tahun 2016 inilah

yang menjadi salah satu

pemicu menguatnya

politik identitas dalam

pilgub DKI Jakarta 2017

dan identitas digunakan

sebagai senjata

menyerang antar

pasangan calon baik

identitas agama maupun

identitas etnis.

37

C. Kerangka Pemikiran

Pemilihan kepala daerah selalu menyajikan pertunjukan yang menarik

mulai dari strategi politik sampai pembasisan masa,dalam hal ini peneliti

tertarik dengan iklim politik di pilgub DKI Jakarta,kita ketahui Jakarta

merupakan kota megapolitan sekaligus ibu kota negara Indonesia sehingga

berbagai macam kepentingan politik ada di dalam nya, dan yang menambah

dinamika arus politik pilgub DKI Jakarta antara lain adalah keberagaman

masyarakat nya mulai dari perbedaan suku hingga perbedaan agama, jadi tidak

lah heran agama maupun suku di jadikan bahan kampanye atapun strategi

politik guna kemenangan pasangan calon Gubenur DKI Jakarta,dalam

penelitian ini penulis lebih terfokuskan pada pengaruh agama,karena banyak

sekali kasus yang bersangkutan tentang agama yang di jadikan salah satu faktor

penting dalam pilgub DKI Jakarta.

Isu tentang penggunaan faktor agama ini sebenar nya bukan lah hal yang

baru lagi,akan tetapi masih sangat menarik untuk di bahas khusus nya dalam

kasus pilgub DKI Jakarta yang merupakan barometer daerah lain nya,agama di

jadikan senjata paling strategis kepada masyarakat DKI Jakarta di karenakan

adanya kesamaan agama maupun kurang nya pemahaman masyarakat akan

multikulturalisme , sehingga sangat gampang untuk mempropaganda kan nya

kepada masyarakat DKI Jakarta,menurut teori politik identitas individu akan

cenderung mempertahankan sesuatu yang melekat padanya sehingga

masyarakat dapat dengan mudah di giring opini nya untuk memilih salah satu

pasang calon dengan faktor agama tadi. 38

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh faktor agama di dalam perilaku pemilih di pilgub DKI Jakarta. Dari paparan di atas dapat digambarkan suatu bagan guna mempermudah pemahaman kerangka pemikiran dalam penulisan ini, yaitu sebagai berikut:

39

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Pilkada DKI Jakarta 2017 1. Terdapat sentimen antar Etnis maupun Agama di DKI

Jakarta 2. Semenjak tahun 2012 dan 2017 Politik Identitas dipergunakan dalam pemilihan kepala daerah 3. Terjadinya Pembelahan Sosial di masyarakat DKI Jakarta

4. Aksi Diskriminasi dan Intimidasi dalam Pilkada DKI Jakarta

Partisipasi Politik Partisipasi Politik (Huntington dan Nelson) (Almond)

1. Partisipasi Otonom 1. Partisipasi Konvensional 2. Partisipasi Mobilisasi 2. Partisipasi Non Konvensional

Terbentuknya Poltik Identitas (Stuart Hall)

1. Primordialisme 2. Konstruktivisme 3. Instrumentalisme

Realitas Politik masyarakat Jakarta di dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 BAB III PENDEKATAN PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif (qualitative research). Bogdan dan Taylor

(Moleong,2011) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini

diarahkan pada latar dari individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi dalam hal

ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau

hipotesis, tapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Menurut Nasution (2003) penelitian kualitatif adalah mengamati orang

dalam lingkungan, berinteraksi dengan mereka dan menafsirkan pendapat

mereka tentang dunia sekitar, kemudian Nana Syaodih Sukmadinata (2005)

menyatakan bahwa penelitian kualitatif (qualitative research) adalah suatu

penelitian yang ditujukan untuk mendiskripsikan danmenganalisis fenomena,

peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara

individu maupun kelompok.

Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada penggunaan

metode studi kasus. Sebagaimana pendapat Lincoln dan Guba (Sayekti

Pujosuwarno, 1992) yang menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dapat juga

disebut dengan case study ataupun qualitative, yaitu penelitian yang mendalam

dan mendetail tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan subjek

penelitian. Lebih lanjut Sayekti Pujosuwarno mengemukakan pendapat dari

40

41

Moh. Surya dan Djumhur yang menyatakan bahwa studi kasus dapat diartikan

sebagai suatu teknik mempelajari seseorang individu secara mendalam untuk

membantunya memperoleh penyesuaian diri yang baik.

Menururt Lincoln dan Guba ( dalam Mulyana, 2004) penggunaan studi kasus

sebagai suatu metode penelitian kualitatif memiliki beberapa keuntungan,

yaitu:

1. Studi kasus dapat menyajikan pandangan dari subjek yang diteliti.

2. Studi kasus menyajikan uraian yang menyeluruh yang mirip dengan apa

yang dialami pembaca kehidupan sehari-hari.

3. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan

antara peneliti dan responden.

4. Studi kasus dapat memberikan uraian yang mendalam yang diperlukan

bagi penilaian atau transferabilitas.

Pada dasarnya penelitian dengan jenis studi kasus bertujuan untuk

mengetahui tentang sesuatu hal secara mendalam. Maka dalam penelitian ini,

peneliti akan menggunakan metode studi kasus untuk mengungkap tentang

konsep dan faktor yang melatarbelakangi menguatnya Politik Identitas didalam

Pilkada DKI Jakarta 2017,. Pemilihan metode ini didasari pada fakta bahwa

tema dalam penelitian ini termasuk unik.

B. Fokus Penelitian

Menurut (Moleong, 2011) menyatakan bahwa focus penelitian merupakan

masalah pokok yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui

pengetahuan yang diperolehnya melalui kepustakaan ilmiah ataupun

42

kepustakaan lainnya. Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa penelitian

kualitatif tidak dimulai dari sesuatu yang kosong melainkan dimulai

berdasarkan persepsi individu terhadap suatu masalah. Dalam penelitian ini,

peneliti mempunyai fokus dalam penelitian yaitu Partisipasi Politik masyarakat

dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

C. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang benar dan akurat, sehingga mampu

menjawab permasalahan dalam penelitian, maka diperlukan teknik

pengumpulan data. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

1.Dokumentasi

Pengumpulan data dengan teknik dokumentasi dilakukan dengan cara

mencari dan mengumpulkan dokumen-dokumen tertulis yang berkaitan dengan

masalah penelitian. Dokumen yang digunakan pada penelitian ini adalah:

1. Data kependudukan yang dirilis oleh Bada Pusat Statistik DKI Jakarta

2. Dokumen – dokumen KPUD DKI Jakarta

3. Dokumen – dokumen BAWASLU DKI Jakarta

2.Audio Visual

Teknik pengumpulan data dengan cara memperoleh atau mengumpulkan

data dari berbagai referensi. Dalam penelitian ini Audio Visual meliputi

kumpulan rekaman video yang berhubungan dengan Politik Identitas di dalam

Pilkada DKI Jakarta 2017 , dimana data yang diperoleh dari Audio Visual

berasal dari kumpulan video-video mengenai kampanye atau ceramah yang

berunsur kebencian kepada etnis atau agama tertentu , yang merupakan salah

43

satu faktor menguatnya Politik Identitas di DKI Jakarta pada tahun 2017 di berbagai media sosial.

3. Wawancara

Wawancara adalah suatu teknik pengambilan data menggunakan format pertanyaan yang terencana dan diajukan secara lisan kepada responden dengan tujuan-tujuan tertentu. Wawancara bisa dilakukan secara tatap muka di antara peneliti dengan responden dan bisa juga melalui telepon,pada Wawancara ini peneliti mewawancarai para perwakilan Tim sukses para pasangan calon dan juga perwakilan alumni aksi damai 212 yang memiliki pengaruh menguatnya politik identitas menjelang pilkada DKI Jakarta 2017,serta mewawancarai

KPUD DKI Jakarta dan Bawaslu DKI Jakarta sebagai penyelenggara dan pengawa pilkada DKI Jakarta

4.Informan Penelitian

Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Moleong 2011).

Informan merupakan orang yang benar-benar mengetahui permasalahan yang akan diteliti. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik sampling Snow

Ball yakni proses penentuan informan berdasarkan informan sebelumnya tanpa menentukan jumlahnya secara pasti dengan menggali informasi terkait topik penelitian yang diperlukan. Pencarian informan akan dihentikan setelah informasi penelitian dianggap sudah memadai. Dalam penelitian ini menjadi informan penelitian adalah orang- orang pilihan peneliti yang dianggap terbaik

44

dalam memberikan informasi yang dibutukan kepada peneliti. (Moleong, 2011)

terdapat beberapa informan kunci dan pendukung, sebagai berikut :

Tabel.4 Informan Penelitian

No. Nama Status Keterangan

Informan

1. Richad Fernando Tim Sukses Pasangan Calon Informan Kunci

Simanjuntak Basuki – Djarot

2. Ichwan Ridwan Tim Sukses Pasangan Calon Informan Kunci

Agus – Sylvi

3. Angga Pradipta Tim Sukses Pasangan Calon Infroman

Agus – Sylvi Pendukung

4. Suriyadi Alif Tim Sukses Pasangan Calon Informan Kunci

Anies – Sandi

5. Rizqi Aprila Tim Sukses Pasangan Calon Infroman

Anies – Sandi Pendukung

6. Muhammad Rizaldi Alumni Aksi Damai 212 Informan Kunci

7. Januardi Aditya Alumni Aksi Damai 212 Infroman

Pendukung

8. Herman Wicaksono Alumni Aksi Damai 212 Infroman

Pendukung

9. Muhammad KPUD DKI Jakarta Informan Kunci

Douglas

10. Binsar Siagian KPUD DKI Jakarta Informan

45

Pendukung

11. Muhammad Jufri Bawaslu DKI Jakarta Informan Kunci

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian menurut Arikunto (2006) merupakan alat bantu bagi

peneliti dalam mengumpulkan data. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto

dalam edisi sebelumnya adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti

dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih

baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis, sehingga mudah diolah.

Instrumen yang digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah instrumen

pokok dan instrumen penunjang. Instrumen pokok adalah manusia itu sendiri

sedangkan instrumen penunjang adalah studi kepustakaan , dokumentasi dan

juga wawancara. Instrumen pokok dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri.

Peneliti sebagai instrumen dapat memahami serta menilai berbagai bentuk dari

interaksi di lapangan. Menurut Moleong (2011) Kedudukan peneliti dalam

penelitian kualitatif adalah ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana,

pengumpulan data, analisis, penafsir data, pada akhirnya ia menjadi pelapor

hasil penelitiannya.

E. Lokasi Penelitian dan Jadwal Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti melakukan penelitian

dalam melihat fenomena atau pristiwa yang sebenarnya terjadi dari obejek

46

yang diteliti dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat.

Lokasi penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah DKI Jakarta.

Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan dalam proses penelitian. Karena DKI Jakarta merupakan Ibu kota Negara Indonesia yang pastinya menjadi barometer ataupun pusat perhatian daerah lain nya sebagai pedoman perilaku dalam konteks disini adalah partisipasi politik dalam pemilihan kepala daerah.

2. Jadwal Penelitian

Dibuat jadwal kegiatan penelitian yang meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan laporan penelitian Hal ini memberikan rincian kegiatan dan jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut. Jadwal pelaksanaan mengacu pada Metode Penelitian.

47

Tabel.5 Jadwal Penelitian

Kegiatan Bulan Agustus September Oktober November Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli Pengajuan Judul Pembuatan Proposal Seminar Proposal Perbaikan Proposal Pengumpulan Data Analisis Data Penyusunan Laporan Sidang Skripsi

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A.Hasil Penelitian

1. Sejarah Provinsi DKI Jakarta

Sejarah Jakarta dimulai sekitar 500 tahun yang lalu, berawal dari sebuah bandar kecil di daerah sungai Ciliwung. Kota ini belum bernama Jakarta saat itu, namun sudah dikenal selama berabad-abad sebagai pusat perdagangan lokal dan internasional yang sangat ramai. Menurut laporan penulis Eropa, pada abad-16 ketika orang eropa (Portugis) datang ke nusantara ini menyebutkan, ada sebuah kota bernama Kalapa, yang menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, yang beribukota Padjajaran dan terletak sekitar 40 kilometer di kota sekarang ini. (http://www.jakarta.go.id/web/news/1970/01/Sejarah-

Jakarta, Diakses pada 25 Juni 2018) Ketika pertama kali datang ke kota kalapa ini, rombongan besar orang-orang eropa (Portugis) diserang oleh seorang pemuda yang bernama Fatahillah. Pemuda ini berasal dari kerajaan yang berkuasa didaerah Kalapa kemudian merubah sebutan Sunda dan Kalapa (Sunda Kelapa) menjadi Jayakarta yang mempunyai arti, “Kemenangan yang tercapai” pada tanggal 22 Juni 1527. Peristiwa tersebut yang pada akhirnya menjadi sejarah kelahiran kota jakarta setiap tahunnya.

Sehingga nama Jayakarta diubah menjadi Batavia. Pemberian nama

Batavia oleh orang belanda didasari dengan adanya kemiripan di negeri Belanda yang pada masa itu masih terdapat banyak rawa-rawa. Orang belanda mulai membangun kanal - kanal, bendungan dan pengairan untuk melindungi Batavia

48

49

dari bencana banjir. Mereka juga membangun balai kota sebagai pusat kota mereka saat itu.

Ketika Jepang masuk ke Indonesia dan menduduki nusantara pada tahun

1942 – 1945, nama Batavia diubah oleh orang Jepang menjadi Jakarta. Kota ini akhirnya menjadi tempat pertama dibacakan proklamasi kemerdekaan RI dengan pengibaran bendera merah putih oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Jepang menyerah tanpa syarat, karena kota Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh sekutu dan Indonesia mendapatkan kedaulatan secara resmi pada tahun

1949 sekaligus menjadi anggota Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) pada tahun

1966 dengan memasukkan Jakarta sebagai ibukota resmi.

2. Kondisi Geografis dan Demografis DKI Jakarta

Letak DKI Jakarta adalah di bagian barat laut dari Pulau Jawa. Sebagai

Ibukota Negara Indonesia, Jakarta merupakan Kota Metropolitan terbesar di

Indonesia dan menjadi kota metropolitan ke-6 di dunia. DKI Jakarta secara geografis terletak di dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 8 meter diatas permukaan laut (dpl). Dimana, dengan ketinggian ini Jakarta sering dilanda banjir.

Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota administrasi dan satu

Kabupaten administratif, 44 kecamatan, 267 kelurahan. Kota administrasi Jakarta

Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta

Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kota administrasi Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten

Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2 50

(https://jakarta.go.id/artikel/konten/55/geografis-jakarta diakses pada 25 Juni

2018).

Jakarta berbatasan dengan beberapa wilayah-wilayah disekitarnya, adapun batas-batas wilayah meliputi, sebelah utara membentang pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota dan Kabupaten

Tangerang, serta di sebelah utara DKI Jakarta berbatasan dengan Laut Jawa

(https://jakarta.go.id/artikel/konten/55/geografis-jakarta diakses pada 25 Juni

2018).

Demografi atau komposisi penduduk warga DKI Jakarta yang terdiri dari multi etnik bisa dianggap mewakili suku-suku bangsa Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan DKI Jakarta sebagai miniatur Indonesia. Dalam

Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah(RT/RW) 2030, ditetapkan penduduk DKI Jakarta hanya mencapai 12,5 juta orang. Sensus penduduk 2014 menunjukkan angka pertumbuhan penduduk DKI Jakarta meningkat dari 0,78 persen pada tahun 2009 menjadi 1,4 persen pada tahun 2010.

Sehingga jumlah total penduduk Jakarta tahun 2014 mencapai 10.199.700 jiwa.

Dan ditambah warga luar yang beraktivitas di Jakarta pada siang hari sebanyak

2,5 juta.(Dokumen Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI

Jakarta)

Komposisi etnis penduduk Jakarta tahun 2010, tercatat setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta, terdiri dari orang Jawa sebanyak 36,17 51

%, Betawi (28,29 %), Sunda (14,61 %), Cina (6,62 %), Batak (3,42 %),

Minangkabau (2,85 %) dan Melayu (1,88 %). Dari data tersebut, tampak terjadi peningkatan prosentase pada suku Jawa, Betawi, Cina dan Melayu. Namun terjadi penurunan prosentase pada suku Sunda, Batak dan Minangkabau (Dokumen

Badan Pusat Statistik DKI Jakarta).

Dari sisi kepercayaan, Agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam. Menurut data pemerintah DKI pada tahun 2005, komposisi penganut agama di kota ini adalah Islam (84,4%), Kristen Protestan (6,2 %), Katolik (5,7

%), Hindu (1,2 %), dan Buddha (3,5 %).5 Jumlah umat Buddha terlihat lebih banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, dimana umat Islam berjumlah

84,4%; diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Buddha (5,7%), serta Tidak beragama (0,3%) (Dokumen Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Provinsi DKI Jakarta),.

Dan menurut data pemerintah DKI pada tahun 2014, komposisi penganut agama di kota ini adalah Islam (82,93 %), Kristen Protestan (8,74 %), Katolik

(4,13 %), Hindu (0,20 %), dan Buddha (3,99 %) dan Konghucu (0,01 %). Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 2005, dimana umat Islam berjumlah 84,4%; diikuti oleh Protestan (6,2 %), Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %) dan Buddha (3,5 %), Jumlah umat Buddha terlihat lebih sedikit meski ummat

Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Sejak tahun 1980 (Dokumen Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta), sensus penduduk tidak mencatat agama yang dianut selain keenam agama yang diakui pemerintah. 52

3. Aspek Budaya Di DKI Jakarta

Abdul Chaer (2012) Menjelaskan di dalam bukunya “Folklor Betawi:

Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi” Keragaman penduduk Ibu Kota membuat Pemprov DKI Jakarta memberikan ruang bagi seluruh masyarakatnya untuk mengembangkan kesenian tradisional. Kesenian tradisional menjadi daya tarik Jakarta untuk mengundang para wisatawan. Dalam kehidupan sehari-harinya penduduk asli DKI Jakarta (orang betawi) berada dalam anekaragam lingkungan sosial dengan berbagai latar belakang budaya yang beranekaragam dari berbagai penjuru nusantara.

Jakarta merupakan provinsi yang terbuka untuk seluruh masyarakat

Indonesia. Maka dari itu pemerintah DKI Jakarta merawat dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada penggiat seni tradisional untuk beraktivitas.

Jakarta memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengembangkan kesenian tradisional daerah masing-masing. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya sanggar seni yang membina generasi muda untuk mengembangkan budaya tradisional. Di antaranya di bidang seni tari, vokal, dan seni pertunjukan. Dari sanggar itu, penggiat seni ini mengembangkan bakat anak muda mengenali kesenian tradisional. Peserta yang mempelajari kesenian tradisional ini tidak hanya dari orang satu daerah tapi dari daerah lain.

Sebagai suatu daerah yang berawal dari sebuah bandar maka wajar bila masyarakat Jakarta berasal dari kumpulan berbagai etnis dan bahkan berbagai bangsa, dengan latar belakang yang berbeda-beda pula, namun pergaulan dan 53

pembauran antar mereka akhirnya berhasil membentuk masyarakat baru, yang berkebudayaan baru pula. Masyarakat ini dikenal sebagai Masyarakat Betawi yang yang anggotanya adalah Orang Betawi. Karena itulah dalam Budaya

Betawi tersirat juga unsur budaya lain. Dari segi bahasa, sekilas seperti bahasa

Indonesia dengan dialek khusus. Mungkin bahasa Melayu pernah berperan sebagai lingua franca yang kata- katanya kemudian diperkaya dengan unsur-unsur kata kata bahasa dari berbagai etnis yang ada waktu itu.

Dalam kehidupan sehari-hari penduduk asli DKI Jakarta (orang betawi) berada dalam lingkungan sosial dengan latar belakang budaya yang beranekaragam dari berbagai penjuru nusantara. Dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, misalnya dalam penarikan garis keturunan, mereka mengikuti prinsip bilineal yaitu menarik garis keturunan dari pihak ayah dan pihak ibu. Orang betawi mengenal bermacam-macam upacara adat, mulai sejak bayi dalam kandungan sampai kepada kematian dan sesudah kematian itu sendiri seperti selamatan nuju bulanin atau kekeba, upacara kerik tangan dalam rangka kelahiran, khitanan (pengantin sunat), khatam Qur‟ an (pengantin tamat), adat berpacaran bagi kaum remaja (ngelancong), upacara perkawinan dan lain sebagainya.

Sesuai dengan latar belakang suku betawi ini, maka DKI Jakarta menjadi tempat bercampurnya berbagai budaya, akan tetapi kemudian muncul budaya yang bisa disebut sebagai sesuatu yang khas seperti tarian betawi yang memiliki ciri khas kebudayaan Melayu. 54

4. Dinamika Kekuasaan Politik Di DKI Jakarta

DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara pastilah menjadi tolak ukur keberhasilan di berbagai bidang baik bidang ekonomi, pendidikan, tata pelayanan publik, maupn sampai kegiatan sosial politik, dalam hal ini tentu pula dapat disadari bahwasannya pemimipin yang menjabat di Ibu Kota pasti selalu menjadi perhatian tersendiri apalagi dinamika yang terjadi dalam perebutan kursi nomor satu di Provinsi DKI Jakarta baik kursi DPRD maupun kursi Gubernur DKI

Jakarta.

Untuk kursi di Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta dari tahun 1926 –

1950 anggota DPRD dominan diisi oleh kalangan militer sampai pada akhirnya pada maret 1950 mulailah peran partai politik dipergunakan di dalam keanggotaan dewan DPRD DKI Jakarta (http://dprd-dkijakartaprov.go.id/sejarah, diakses pada

1 Juli 2018), pemilihan umum legislatif di Indonesia digelar pertama kali pasca reformasi pada tahun 1999 untuk memilih anggota dewan daerah maupun pusat secara langsung,berikut adalah tabel ketua DPRD DKI Jakarta setelah dilakukan nya pemilihan umum secara langsung.

Tabel 6. Nama Ketua DPRD DKI Jakarta Semenjak Pemilihan Legislatif Secara langsung tahun 2004

Nama Mulai menjabat Jabatan Partai berakhir

Ade Surapriatna 4 Oktober 2004 25 Partai Golongan Karya Agustus 2009

Ferrial Sofyan 11 25 Partai Demokrat September 2009 Agustus 2014 55

Prasetyo Edi 26 Petahana Partai Demokrasi

Marsudi September 2014 Indonesia Perjuangan

Sumber: dprd-dkijakartaprov.go.id

Pada pemilu legislatif pertama ini pada tahun 2004 sukses mendominasi keanggotaan DPRD DKI Jakarta dan menunjuk Ade Surapriatna sebagai Ketua DPRD DKI Jakarta tahun 2004-2009,pada pemilihan selanjutnya periode 2009-2014 Demokrat berhasil merebut suara terbanyak dengan memasukan kadernya sebanyak 32 orang menjadi anggota dewan daerah dan menunjuk Ferrial Sofyan sebagai Ketua DPRD DKI Jakarta periode 2009-

2014,dan pemilu legilatif terakhir di DKI Jakarta dimenangkan oleh Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan memperoleh 28 suara dan menunjuk sebagai ketua DPRD DKI Jakarta periode 2014-

2019(https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Daerah_Provinsi_

Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta, diakses pada 1 Juli 2018).

Sedangkan untuk Gubernur DKI Jakarta sendiri dari Tahun 1945 sampai dengan Tahun 2017 DKI Jakarta Sudah memiliki 17 Gubernur dengan latar yang beraneka ragam baik dari kalangan militer, tokoh agama, sampai tentu saja dari kalangan partai politik pengusung shingga proses perebutan kekuasaan yang terjadi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta berlangsung dengan sengit berikut daftar nya .

56

Tabel 7. Daftar Nama dan Pengusung Gubernur DKI Jakarta Dari Tahun 1945 Sampai Dengan Tahun 2017

No Gubernur Mulai jabatan Akhir jabatan Pengusung

1 Soewirjo 23 September 1945 November 1947 PNI

Daan Jahja Militer 2 (Gubernur Militer 1948 1950 Jakarta)

(1) Soewirjo 17 Februari 1950 2 Mei 1951 PNI

9 November Masyumi

3 2 Mei 1951 1953

Non Partai maupun non militer,

4 Sudiro 9 November 1953 29 Januari 1960 diangkat oleh pemerintah

Soemarno Militer 5 29 Januari 1960 26 Agustus 1964

Sosroatmodjo

Non Partai maupun non militer,

6 26 Agustus 1964 15 Juli 1965 diangkat oleh pemerintah

Soemarno Militer (5) 15 Juli 1965 28 April 1966

Sosroatmodjo

28 April 1966 28 April 1971 Militer

7 28 April 1971 Juli 1977 Militer 57

8 1977 1982 Militer

9 1982 1987 Militer

Wiyogo Militer 10 1987 1992

Atmodarminto

Soerjadi Militer 11 1992 1997

Soedirdja

6 Oktober 1997 6 Oktober 2002 Militer

12 6 Oktober 2002 7 Oktober 2007 Militer

13 Fauzi Bowo 7 Oktober 2007 7 Oktober 2012 Demokrat

14 Joko Widodo 15 Oktober 2012 16 Oktober 2014 PDIP

19 November — 16 Oktober 2014 2014 Basuki Tjahaja Menggantikan

Purnama posisi Jokowi (PDIP) 15 19 November 2014 9 Mei 2017

— 9 Mei 2017 15 Juni 2017 Menggantikan Djarot Saiful posisi Basuki (PDIP) Hidayat 16 15 Juni 2017 15 Oktober 2017

Calon yang Anies Rasyid 17 16 Oktober 2017 Petahana diusung oleh PKS

Baswedan

Sumber : Wikipedia.com dan damniloveindonesia.com 58

Gubernur pertama kali yang juga sebagai kerabat dekat Presiden Ir

Soekarno adalah Raden (1945-1947 dan 1950-1951) yang merupakan kader Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan juga pernah menjabat sebagai ketua umum PNI namun kepemimpinan pada saat awal menjabat tidak berlangsung lama karena Suwiryo diasingkan oleh NICA mulai dari tahun 1948 sampai 1950 dengan begitu posisi Gubernur atau Walikota Jakarta pada saat itu disi oleh Daan

Jahja yang berlatar belakang militer, setelah (1948-1950) Gubernur

DKI Jakarta lebih banyak di dominasi oleh kalangan militer diantar nya Soemarno

Sosroatmodjo (1960-1964 dan 1965-1966), Ali Sadikin (1966-1971 dan 1971-

1977), Tjokropranolo (1977-1982), Soeprapto (1982-1987), Wiyogo

Admindarminto (1987-1992), Soerdaji Soerdidja (1992-1997), dan terakhir

Sutiyoso (1997-2002 dan 2002-2007).

Dari kalangan non militer dan partai politik, DKI Jakarta pernah juga di pimpin oleh seorang guru yaitu Sudiro (1953-1960) dan seorang seniman Henk

Ngantung (1964-1965) unik nya Henk Ngantung atau yang bernama asli Hendrik

Hermanus Joel Ngantung adalah Gubernur non muslim pertama di DKI Jakarta memang pada tahun tersebut isu politisasi Identitas tidak lah kuat dan tidak terlalu laris di masyarakat yang sedang berjuang bertumbuh dari pasca penjajahan dan sedang membangun jati diri bangsa sehingga kemejemukan di DKI Jakarta dapat berjalan dengan baik tanpa adanya singgungan atau sentimen terhadap etnis maupun agama.

Sedangkan Dari kalangan Partai Politik tercatat ada 5 partai pemenang beserta koalisi nya yang berhasil mennduduki kursi Gubernur DKI Jakarta yaitu, 59

Raden Suwiryo dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Sjamsuridjal (1951-1953) dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI), Fauzi Bowo (2007-2012) dari Partai Demokrat, Jokowidodo (2012-2017) dari Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (PDI-P), dan (2017-2022) dari Partai Keadilan

Sejahtera (PKS) (http://www.damniloveindonesia.com/explore/2-culture- heritage/detail/1204/gubernur-jakarta-dari-masa-ke-masa, diakses pada 25 juni

2018),

Baik pemilihan Guberbur maupun pemilihan legislatif daerah tidak ada satupun partai politik yang dapat mendominasi DKI Jakarta, ini menandakan DKI

Jakarta selaku Ibu Kota Negara begitu dinamis dan selalu berubah-ubah, yang menyebabkan perebutan kursi kekuasaan di DKI Jakarta sangatlah sulit dan rawan potensi konflik sehingga politisasi SARA pun menjadi salah satu alat guna memenangkan kursi terebut.

5. Kondisi Sosial Politik DKI Jakarta Menjelang Pilgub 2017

Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia, mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan dengan provinsi lainnya. Kompleksitas Jakarta selalu berkaitan erat dengan keberadaan sebagai pusat pemerintahan, faktor luas wilayah yang terbatas dan kepadatan penduduk yang tinggi.

Krisis multi dimensi yang begitu rumit sekarang ini, membawa konsekuensi pada kondisi masyarakat Jakarta yang rentan terhadap munculnya gejolak sosial yang disertai dengan kekerasan, sehingga masyarakat cenderung 60

mencari jalan pintas dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi, kondisi sosial tersebut seringkali terjadi tindak pelanggaran diluar koridor hukum yang ada, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok masyarakat.

Oleh karena itu, upaya menanggulangi masalah tersebut diperlukan penanganan melalui kelembagaan secara tepat dan terencana dengan baik.

Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom tidak hanya dihadapkan pada permasalahan sosial di Jakarta, tetapi lebih banyak muncul permasalahan yang berskala nasional yang dilakukan oleh para elit politik, individu, golongan, atau kelompok yang tentunya mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat Jakarta, sehingga diperlukan fasilitasi untuk mencapai keharmonisan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan masyarakat Jakarta.

Suhu politik di Jakarta semakin meningkat. Karena Febuari tahun lalu,

Jakarta melaksanakan Pilkada langsung untuk yang ketiga kalinya. Jika menggunakan pendekatan teori survei yang hanya mengambil sampel dari sejumlah populasi tertentu, maka sikap dan pilihan warga DKI dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta juga dapat menjadi sampel secara nasional atas kecenderungan sikap pemilih pada pemilihan Presiden tahun 2019. Ada beberapa daerah di Pulau Jawa yang merepresentasikan pemilih di Indonesia. Namun, DKI

Jakarta merupakan daerah yang paling merepresentasikan pemilih di Indonesia.

Jakarta sangat mendekati profil Indonesia. Dilihat dari berbagai segi dan jumlah suku yang ada di Indonesia, Jakarta memang terdiri dari banyak suku sehingga

Jakarta bisa merepresentasikan pemilih Pemilu di Indonesia. 61

Sehingga isu Identitas menjadi salah satu senjata yang paling ampuh di pergunakan pasangan calon maupun tim sukses pasangan calon guna menarik simpati masyarakat DKI Jakarta yang begitu beragam, berkembang nya isu identitas di DKI Jakarta pertama kali digunakan pada pemilihan Gubernur DKI

Jakarta pada periode 2012-2017 yang mempertemukan dua kandidat terkuat yakni

Jokowi-Basuki dan Fauzi Bowo-Ramli. Politik Identitas di Pilkada di DKI Jakarta tahun 2012 memilika beberapa gambaran isu seperti isu sentimen agama dalam pemilihan kepala daerah Daerah sampai isu sentimen etnis, dalam menjaring pemilih telah diukur dalam berbagai lembaga survei.

Salah satunya exit poll yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and

Cosulting (SMRC) berdasarkan suku, ras, survei yang digelar Saiful Mujani

Research and Consulting pada 20 September 2012 menemukan hanya etnis

Betawi yang mayoritas memilih pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (75,1 persen), namun etnis-etnis lain sebagian besar memilih pasangan Joko Widodo-

Basuki Tjahaja Purnama dan Etnis Jawa, 63,3 persen memilih Jokowi- Ahok.

Kemudian 50,5 persen etnis Sunda juga memilih pasangan yang diusung Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya ini. Paling tinggi, 92,5 persen etnis China dan 93,1 persen etnis Batak memilih Jokowi-Ahok kemudian 74,1 persen etnis Minang juga pilih Jokowi-Ahok, sementara mayoritas etnis-etnis lain (76,3 persen) juga memilih pasangan Joko Wi-Ahok., dan juga masyarakat jakarta yang masih sentimen dengan budaya China (tiongkok) yang belum pernah redam (https://www.viva.co.id/berita/metro/353712-exit-poll- pemilih-foke-dan-jokowi-berdasar-etnis diakses pada tanggal 9 Juli 2018). 62

Namun pada pilgub DKI Jakarta 2012 tahun lalu tersebut hasilnya dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Basuki, walaupun dalam proses kampanyenya Jokowi-Basuki selalu mendapatkan isu identitas, baik sentimen etnis maupun sentimen agama pasangan tersebut berhasil menepis dan memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2012. Tidak sampai disitu saja isu sentimen antar golongan justru tetap menguat pasca menangnya pasangan Jokowi-Basuki, terjadi beberapa gelombang aksi protes terhadap Basuki yang beragama non- muslim diantara nya.

Tabel 8. Aksi penolakan Ahok Menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017

NO Tanggal Penggerak Aksi Tuntutan Aksi 1 9 Oktober 2012 FPI dan GMJ Menuntut pencabutan status Wakil Gubernur DKI Jakarta (Ahok) jika tidak masa aksi menuntut agar wakil Gubernur DKI Jakarta mau pindah agama menjadi Islam. 2 3 Oktober 2014 FPI Menolak pelantikan Gubernur DKI Jakarta yakni Basuki Tjahja Purnama yang menggantikan Joko Widodo karena tidak beragama Islam dan beretnis Tionghoa. 3 10 November FPI dan GMJ Menolak pelantikan Gubernur baru 2014 jakarta (ahok) karena alasan berbeda agama dan melantik gubernur baru tandingan untuk melawan ahok. Sumber: kompas.com, cnnindonesia.com, tempo.com

Ada dua organisasi masyarakat yang begitu masive melaksanakan aksi penolakan terhadap Basuki Tjahja Purnama yakni FPI dan GMJ, Front Pembela

Islam (FPI) sendiri dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani

1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Selatan

Jakarta oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan 63

disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Pendirian organisasi ini hanya empat bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, karena pada saat pemerintahan orde baru presiden tidak mentoleransi tindakan ekstrimis dalam bentuk apapun. FPI pun berdiri dengan tujuan untuk menegakkan hukum

Islam di negara sekuler.

Dan selanjutnya Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) adalah sebuah organisasi masa yang memiliki tujuan untuk menegakan hukum Islam di DKI

Jakarta gerakan ini pertama kali muncul kepermukaan pada saat tahun 2012 dimana pada saat itu GMJ menolak calon wakil gubernur yang tidak beragama islam.

Aksi penolakan Ahok oleh ormas GMJ dan FPI selain didasari oleh perbedaan identitas yang ada pada diri Ahok, didasari pula oleh serangkaian kebijakan yang Ahok buat yang kemudian dituding menyalahi aturan agama diantara nya kebijakan Ahok berupa memperbolehkan minuman beralkohol untuk dijual bebas di supermarket sampai melegalisasi lokalisasi tempat prostitusi, perbedaan identitas dan kebijakan yang Ahok buat menuai kontroversi sehingga

GMJ dan FPI sepakat untuk melantik anggota FPI yakni Fahrurrozi Ishaq dengan maksud memberikan alternatif pemimpin muslim kepada umat muslim di DKI

Jakarta. Aksi penolakan GMJ maupun FPI tidak hanya berlangsung dari tahun

2012-2014 justru semakin menguat ketika menjelang waktu Pilkada DKI Jakarta

2017.

Sentimen Agama maupun Etnis merupakan perilaku manusia khusus nya umat beragama dan sangat menjunjung Etnis pribadi (yang diwujudkan dalam 64

kata,tindakan dan kebijakan) yang merendahkan membatasi dan meremehkan, agar orang yang berbeda etnis maupun agama tidak mendapatkan hak-haknya serta mampu mengaktualisasi dirinya secara utuh. Hal-hal seperti berikut pastilah akan membuahkan perpecahan diantara warga DKI Jakarta yang begitu majemuk dan multikultur dan efek dari Pilkada 2012 ini menjadi tambah panas di Pilkada

DKI Jakarta tahun 2017. Konflik-konflik serta isu SARA pada Pilkada 2012 telah menjadi penyebab menguatnya isu identitas di pilkada DKI Jakarta pada putaran selanjutnya yang mana basuki kembali mencalonkan diri menjadi gubernur DKI

Jakarta,

Momentum pemilihan kepala daerah ini tidak hanya penting bagi proses demokrasi, tetapi juga proses pemerintahan yaitu bagaimana masing- masing komponen pemerintahan bersinergi mencapai tujuan bersama. Salah satu tugas pemerintah dalam proses politik adalah menciptakan ruang yang kondusif dan fasilitatif bagi warganya agar dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingannya secara aman, damai dan toleran. Di sisi lain masyarakat bertindak proaktif dengan melakukan pengawasan dan memberikan masukan terhadap proses tersebut agar tidak terjadinya gesekan di masyarakat.

6. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017

Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta kali ini mempunyai kedudukan strategis secara nasional, baik dari sisi sosial, budaya dan politik. Jakarta adalah pusat pemerintahan, memiliki bentuk otonomi yang khusus, jumlah penduduk yang besar, stratifikasi sosial dan prularitas yang tinggi, tingkat pertumbuhan ekonomi juga sangat tinggi dan berbagai masalah kompleks lainnya. Kedudukan 65

strategis ini bukan semata karena Pilkada 2017, karena setiap event politik besar yang terjadi di Jakarta selalu bersifat strategis secara nasional dan internasional.

Pilkada DKI merupakan barometer demokrasi nasional dan diamati banyak pihak, tidak saja masyarakat Indonesia, tetapi juga dunia internasional.

Karena itu, diharapkan pesta rakyat ini dapat berjalan dengan lancar, aman, tertib, jujur, adil, dan demokratis. Tentu jumlah kelas menengah yang besar di DKI akan memberikan dampak positif bagi terselenggaranya pilkada yang lancar. Pemilih

Jakarta merupakan pemilih dengan tingkat sadar media yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Karena itu dari berbagai hasil survei, kecenderungan pilihan warga Jakarta lebih digerakkan faktor figur: integritas, moralitas, komitmen, konsistensi, rekam jejak, keberpihakannya kepada rakyat, dan kemampuan komunikasi politik. Warga di harapkan dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik agar Pilkada DKI dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain. Para elite yang bertarung maupun tim sukses di belakangnya juga harus mempunyai kesadaran politik yang tinggi agar kompetisi ini dapat berlangsung elegan dan demokratis tanpa adanya penyimpangan- penyimpangan. Karena, masa depan demokrasi Indonesia ditentukan di Jakarta. Pasalnya Jakarta adalah pusat dinamika politik, pusat aktivitas ekonomi, dan pusat gerakan sosial dan budaya.

Pilkada DKI Jakarta secara sosiologis politik dapat juga berpotensi menjadi barometer pemilihan Presiden tahun 2019 hal ini terbukti dengan berhasilnya Joko Widodo memenangkan kursi Presiden Indonesia pada tahun

2014 yang lalu. Pertimbangannya, sebagai ibu kota negara, DKI Jakarta adalah barometer politik nasional karena posisinya sebagai pusat pemerintahan dan pusat 66

bisnis. Secara umum pemilihan kepala daerah ( Pilkada ) secara langsung merupakan babak baru dalam tatanan politik dan sekaligus tatanan ketatanegaraan di Indonesia. Mekanisme politik demokratis ini merupakan terobosan besar setelah sekian lama, sejak zaman kemerdekaan pemilihan kepala daerah dilakukan dengan sistem perwakilan yang dinilai manipulatif terhadap prinsip-prinsip demokrasi.

Melalui Pilkada langsung ini diharapkan prosesnya semakin partisipatif yang sekaligus diharapkan dapat menjadi acuan resolusi konflik. Secara yuridis,

Pilkada langsung diatur dalam pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004.13

Pilkada langsung ini merupakan kelanjutan proses reformasi politik dan kelembagaan pemerintahan yang bergulir kencang sejak lengsernya Soeharto.

Sejak itu terjadi berbagai reformasi di berbagai bidang, misalnya lahirnya UU

No22/1999 kemudian diubah menjadi UU No32/2004, yang disusul oleh PP

No6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (selanjutnya PP No6/2005) dan beberapa pasal diubah melalui Peraturan Pemerintah No17/2005 (selanjutnya PP

No17/2005) dan juga peraturan khusus DKI Jakarta yang tertuang dalamUndang-

Undang Nomor 29 Tahun 2007 yang didalamnya berisi tentang mekanisme pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernu DKI Jakarta, salah satu pasal yang menarik dari peraturan khusus tersebut yakni Pasal 11 yang mengatur bahwa hanya pasangan dengan suara lebih dari 50% yang bisa langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Kalau tidak ada yang mencapai

50%, pasangan dengan suara terbanyak pertama dan kedua harus bertarung lagi di 67

putaran kedua, aturan inilah yang dituduh sebagai biang lama dan mahalnya

Pilkada Ibu Kota DKI Jakarta..

Dan jika terjadi konflik Pilkada, maka Mahkamah Agung diberikan hak untuk memberikan putusan. Sebagaimana dalam Pasal 106 UU Pemerintah

Daerah disebutkan Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutus sengketa hasil penetapan perhitungan suara Pilkada &

Pilwakada dan KPUD.

Pada Tanggal 21 September 2016 KPUD DKI Jakarta resmi membuka pendaftaran bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-

2022, warga DKI Jakarta akan memilih gubernur dan wakil gubernur yang memimpin Ibu Kota selama lima tahun ke depan. Berdasarkan daftar pemilih tetap terakhir, tercatat 7.108.589 orang berhak memberikan suara. Pemberian suara akan dilakukan di tempat pemungutan suara yang tersebar di 267 kelurahan, mulai dari pukul 07.00 hingga 13.00. Ada tiga pasang calon gubernur-wakil gubernur

DKI Jakarta yang akan dipilih. Mereka adalah :

1. Pasangan nomor urut satu dan Sylviana

Murni adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta

yang diusung oleh Partai Demokrat; Partai Kebangkitan Bangsa (PKB);

Partai Persatuan Pembangunan (PPP); dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Agus sebelumnya merupakan anggota TNI AD berpangkat mayor,

sebelum memutuskan menjadi calon gubernur DKI Jakarta. Lahir pada 10

Agustus 1978, ia adalah putra pertama dari

(SBY), Presiden ke–6 Republik Indonesia. 68

Sementara Sylviana adalah seorang birokrat yang lama berkarier di

lingkungan pemerintahan DKI Jakarta. Lahir di Jakarta pada 11 Oktober

1958, Sylviana merupakan None Jakarta 1981. Ia juga pernah pernah

menjadi Wali Kota Jakarta Pusat periode 2008–2010.

2. Pasangan nomor urut dua Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful

Hidayat adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta

petahana. Pasangan ini diusung oleh koalisi empat partai, yaitu: Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP); Partai Golongan Karya

(Golkar); Partai Nasional Demokrat (Nasdem); dan Partai Hati Nurani

Rakyat (Hanura).

Basuki merupakan calon gubernur petahana. Pada 14 November 2014, ia

diumumkan secara resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan

Joko Widodo yang terpilih menjadi presiden. Ia sebelumnya maju sebagai

calon wakil gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi dalam Pilkada

2012. Lahir pada 29 Juni 1966 di Belitung Timur, Basuki merupakan

sulung dari empat bersaudara. Ia merupakan sarjana teknik geologi dari

Fakultas Teknik Universitas Trisakti, dan memperoleh gelar master

manajemen di Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya.

Sementara adalah politisi Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI

Jakarta sejak 17 Desember 2014. Lahir di Magelang pada 06 Juli 1962, ia

sebelumnya adalah anggota DPR RI periode 2014–2019 dan Wali Kota

Blitar periode 2000 hingga 2010. 69

3. Dan yang terakhir pasangan nomor urut tiga Anies Baswedan dan

Sandiaga Uno adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI

Jakarta yang diusung oleh koalisi dua partai, yaitu: Partai Gerakan

Indonesia Raya (Gerindra); dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Anies adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ke–

26 di Kabinet Kerja yang menjabat sejak 26 Oktober 2014 sampai 27 Juli

2016. Lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada 7 Mei 1969, Anies merupakan

cucu dari pejuang kemerdekaan Abdurrahman Baswedan. Ia menginisiasi

gerakan Indonesia Mengajar dan menjadi rektor termuda yang pernah

dilantik oleh sebuah perguruan tinggi di Indonesia pada 2007. Saat

menjadi Rektor Universitas Paramadina usianya baru 38 tahun.

Sementara Sandiaga adalah seorang pengusaha muda lulusan Wichita State

University, Amerika Serikat, dengan predikat summa cum laude. Lahir di

Rumbai, Pekanbaru, 28 Juni 1969, Sandiaga merupakan Ketua Umum

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) periode 2005-2008.

(Sumber Dokumen KPUD DKI Jakarta).

Dalam pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 isu identitas menjadi sangat hangat di perbincangkan hal ini bermula dari pidato Basuki

(Ahok) dalam kunjungan kerja nya di pulau pramuka, kepulauan seribu pada tanggal 27 september 2016 pidato Ahok yang berbunyi :

“Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa- apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu," (bbc.com/indonesia) 70

Pidato tersebut ramai di perbincangkan masyarakat ketika pada tanggal 6 oktober 2016 buni yani mengupload ulang video pidato Ahok kejejaring sosial

Facebook dengan memberi tulisan :

“Penistaan terhadap agama? Bapak-ibu (pemilih muslim)...dibohongi Surat Al Maidah...(dan) masuk neraka (juga bapak-ibu) dibodohi, Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini."(cnn.com/indonesia) Sebenarnya video pidato Ahok di pulau pramuka sudah terlebih dahulu di upload oleh laman akun youtube resmi Pemprov DKI Jakarta dan tidak ada masalah apapun dengan video tersebut, barulah ketika Buni Yani mengupload ulang penggalan video tersebut dengan kata-kata provokatif menimbulkan perdebatan di masyarakat DKI Jakarta dan beberap hari selanjutnya setalah video tersebut menjadi sangat viral di media sosial beberapa ormas islam seperti FPI dan MUI mulai melaporkan ahok ke polisi dengan tuntutan penistaan Agama, dalam proses hukum yang sedang berlangsung ada beberapa aksi yang dilakukan oleh ormas islam seperti FPI,GMJ,dan FUI guna mempercepat tuntutan mereka terlaksana aksi tersebut diantara nya adalah :

Tabel. 9 Aksi Penolakan Ahok Yang Bersamaan Dengan Proses Pilgub DKI Jakarta 2017

NO Tanggal Penggerak Aksi Tuntutan Aksi 1 4 November FPI,FORKABI,FBB,HTI, dan Menuntut dipenjarakan nya 2016 GMJ Gubernur Aktif DKI Jakarta (Ahok) karena dugaan penistaan agama yang ahok perbuat dalam pidatonya di kepulauan seribu. 2 2 Desember FPI,HTI,FUI,FORKABI,FBB,HMI Aksi yang disebut sebagai aksi 2016 MPO,KAMMI, dan GMJ 212 bela agam dan bela ulama menuntut dipenjarakan nya ahok dan juga menyuarakan untuk memilih pemimpin berdasarkan Agama nya aksi ini 71

adalah aksi terbesar dalam tuntutan penolakan ahok. 3 21 Febuari FUI Mendesak Kemendagri untuk 2017 mencabut status Gubernur Ahok dan menuntut pembebasan mahasiswa yang tertangkap dalam aksi sebelum nya. 4 31 Maret 2017 FPI,FUI,dan HTI Menuntut untuk segera dipenjarakan nya saudara Basuki karena menurut nya kasus penistaan Agama oleh basuki terkesan begitu lama,dalam aksi ini juga terdapat dugaan makar dan berujung pada penangkapan 5 orang yang diantaranya adalah sekjen FUI. Sumber: cnnindonesia.com kompas.com bbc.com/indonesia

Aksi yang berlangsung guna menekan aparat dan pemerintah untuk segera memenjarakan Ahok terkait kasus penistaan Agama berbau sangan politis, karena bersamaan dengan proses pencalonan dan proses kampanye calon Gubernur dan

Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 hal ini semakin kuat dengan fatwa MUI yang kembali disuarakan ormas Islam mengenai larangan seorang muslim untuk memilih pemimpin kafir (non-muslim) karena dianggap haram hukumnya (https://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/03/21/n2siql- mui-muslim-jangan-memilih-pemimpin-nonmuslim diakses pada 7 Juli 2018), aksi tersebut pada akhirnya melahirkan suatu opini bahwa DKI Jakarta membutuhkan Gubernur yang dapat membela dan mengayomi umat Islam secara menyeluruh nuansa Identitas menjelang pencalonan dan kampanye menjadi sangat menengangkan banyak aktor politik yang mencoba memanfaatkan situasi tersebut. 72

Putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2017 diselenggarakan pada tanggal

15 Febuari 2017 dan menghasilkan perolehan suara pada tabel dibawah berikut:

Tabel 10. Tabel Nama Kandidat dan Perolehan Suara Putaran Pertama Pilgub DKI Jakarta Tahun 2017 (15 Febuari 2017)

No Kandidat dan Partai pengusung Perolehan Suara 1 Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviani Murni 17,05% (Partai Demokrat, PPP,PAN, dan PKB) 2 Basuki Tjahja Purnama – Djarot Syaiful Hidayat 42.99% (PDI-P,Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Nasdem) 3 Anies Basweda – (PKS dan Partai 39,95% Gerindra) Sumber : Dokumen KPUD DKI Jakarta

Pada putaran pertama pasangan Basuki – Djarot berhasil unggul dengan perolehan suara 42,99% namum merujuk pada regulasi peraturan khusus DKI

Jakarta yang tertuang dalamUndang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 yang didalamnya berisi tentang mekanisme pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

DKI Jakarta, pada Pasal 11 mengatur bahwa hanya pasangan dengan suara lebih dari 50% yang bisa langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Kalau tidak ada yang mencapai 50%, pasangan dengan suara terbanyak pertama dan kedua harus bertarung lagi di putaran kedua, dengan begitu pasangan

Basuki – Djarot harus menghadapi Anies – Sandi pada putaran kedua sedangkan

Agus – Sylvi tereleminasi.

Hasil dari perolehan suara putaran kedua Pilkada DKI Jakarta adalah sebagai berikut: 73

Tabel 11. Tabel Nama Kandidat dan Perolehan Suara Putaran Kedua Pilgub DKI Jakarta Tahun 2017 (19 April 2017)

No Kandidat dan Partai pengusung Perolehan Suara 1 Basuki Tjahja Purnama – Djarot Syaiful Hidayat 42.04% (PDI-P,Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Nasdem) 2 Anies Basweda – Sandiaga Uno (PKS dan Partai 57,96% Gerindra) Sumber : Dokumen KPUD DKI Jakarta

Putaran kedua pilkada DKI Jakarta dimenangkan oleh pasangan Anies –

Sandi, pada putaran kedua ini pasangan Basuki – Djarot tidak mengalami penambahan suara berbanding sebalik nya dengan Anies-Sandi yang berhasil menggandeng pendukung Agus – Sylvi seperti pada tabel berikut:

Tabel 12. Perbandingan Perolehan Suara Putaran Satu Dan Putara Dua Di Tingkat Kota Dan Kabupaten Kepulauan Seribu

NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2 1 Agus - Sylvi 3.891 (27,8%) - 2 Basuki – Djarot 5.532 (38,8%) 5.391 (38%) 3 Anies – Sandi 4.851 (34%) 8.796 (62%)

Jakarta Utara

NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2 1 Agus - Sylvi 142.142 (15,5%) - 2 Basuki – Djarot 416.720 (48.4%) 418.096 (47.3%) 3 Anies – Sandi 301.256 (35,1%) 466.568 (52.7%)

Jakarta Barat

NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2 1 Agus - Sylvi 203.107 (16,1%) - 74

2 Basuki – Djarot 613.194 (48,6) 611.180 (47,2%) 3 Anies – Sandi 444.743 (35,3%) 685.079 (52.8%)

Jakarta Pusat

NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2 1 Agus - Sylvi 101.744 (17,8%) - 2 Basuki – Djarot 244.727 (43%) 243.574 (42,3%) 3 Anies – Sandi 222.814 (39,2%) 332.803 (57,7%)

Jakarta Selatan

NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2 1 Agus - Sylvi 177.363 (14,8%) - 2 Basuki – Djarot 465.524 (38.7%) 459.753 (37,9%) 3 Anies – Sandi 557.767 (46,5%) 754.140 (62,1%)

Jakarta Timur

NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2 1 Agus - Sylvi 309.708 (19,4%) - 2 Basuki – Djarot 618.880 (38,8%) 612.630 (38,2%) 3 Anies – Sandi 665.902 (41,8%) 992.946 (61,6%) Sumber : Dokumen KPUD DKI Jakarta

Pada data diatas dapat dilihat bahwa pada putaran ke dua pasangan Ahok-

Djarot tidak mendapatkan peningkatan suara sama sekali cenderung terjadi penurunan suara di beberapa daerah, berbanding terbalik dengan perolehan suara

Anies – Sandi di putaran dua sukses naik dengan pesat bila di jumlahkan pada putaran kedua para pemilih Agus-Sylvi cenderung memberikan suaran nya kepada

Anies – Sandi.

Kekalahan Ahok-Djarot di semua daerah DKI Jakarta membuktikan adanya sentimen identitas baik etnis maupun agama yang ikut mempengaruhi pilihan masyarakat DKI Jakarta seperti hasil exitpoll yang dilakukan oleh Lingkar 75

Survei Indonesia (LSI) yang merilis peningkatan sentimen Agama pada pesta demokrasi di DKI Jakarta tahun 2017, dari data yang ada LSI mencatat sentimen agama warga DKI Jakarta meningkat mencapai 71,4 persen. Angka itu melonjak dari hasil survei maret dan oktober 2016, yang masing-masing menyatakan 40 dan

55 persen responden menganggap sentimen agama sangat penting. Hal ini disebabkan oleh 65,7 persen warga muslim DKI Jakarta percaya Ahok menista agama. Adapun jumlah pemilih muslim di Jakarta mencapai 85 persen dari total pemilih ini menyebabkan merosotnya dukungan kepada Ahok dari 49,1 persen pada maret 2016 menjadi 27,1 persen pada desember 2016 dan berujung pada kekalahan ahok di segala kota dan kabupaten DKI Jakarta, angka ini menjadi menarik karena survei kepuasan terhadap kinerja Ahok yang dilakukan oleh LSI mencatat mencapai angka 73 persen namun orientasi identitas Agama nampaknya lebih subur dibandingkan adu gagasan sehingga sentimen terhadap golongan tertentu dapat tumbuh subur di DKI Jakarta sebagai kunci kemenangan Pemilihan

Umum.(https://fokus.tempo.co/read/1001145/survei-pilkada-sentimen-agama- meningkat-di-jakarta diakses pada tanggal 9 Juli 2018).

B. Pembahasan

1. Pembentukan Politik Identitas Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017

Menurut Stuart Hall, pembentukan identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari, sense (rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas‟ . Dari pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang memiliki berbagai persamaan dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan otherness (keberbedaan) 76

atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori- kategori pembeda (categories of difference) (Setyaningrum, 2005).

Ada 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu:

1. Primordialisme : Identitas diperoleh secara turun temurun seperti

halnya agama maupun etnis dengan pendekatan ini aspek

primordialisme dijadikan sumber utama dalam pendekatan kepada

seseorang untuk menentukan pilihan nya apakah orang tersebut

memiliki Agama yang sama atau Etnis yang sama dengan dirinya.

2. Konstruktivisme : Identitas sebagai sesuatu yang dibentuk dan hasil

dari proses sosial yang kompleks. Identitas dapat terbentuk melalui

ikatan-ikatan kultural dalam masyarakat seperti pembentukan identitas

bangsa yang lahir dari proses sosial yang begitu kompleks, sehingga

melahirkan identitas kolektif di dalam masyarakat, dalam

penbemtukan ini Identitas lahir dari penggalian dan penanaman nilai

sosial di masyrakat itu sendiri seperti halnya Bhineka Tunggal Ika

yang merupakan identitas kolektif bangsa dengan upaya untuk

mempersatukan golongan –golongan yang ada di Indonesia baik

Agama maupun Etnis nya.

3. Instrumentalisme. : Identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan

untuk kepentingan elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan

pembentukan identitas, biasa nya pembentukan identitas ini digunakan

dalam pemilihan umum untuk memposisikan calon sebagai orang yang 77

sama dengan masyarakat luas, seperti contoh kasus penistaan agama

yang terjadi oleh Basuki menjadi momentum bagi para elit parpol atau

tim sukses calon untuk menyatukan persepsi masyarakat muslim di

Jakarta , bahwa mereka pun ikut ternistakan dan turut ingin membela

agama nya, yang pada akhirnya hanya untuk mengambil simpati publik

dan memobilisasi nya.

Dari tiga pembentukan Identitas yang ada penulis menggunakan pendekatan Instrumentalisme karena pada pendekatan ini menjelaskan bahwa identitas dapat digunakan sebagai salah satu kekuatan dalam meraih kursi kekuasaan, penggunaan pendekatan ini dengan cara memanfaatkan kondisi yang sedang terjadi kemudian mengkreasikan nya dalam berbagai bentuk, sehingga dapat menjadi instrumen kekuatan dalam merebut kursi kekuasaan, dalam konteks

Pilkada DKI Jakarta aksi bela islam dan penolakan kepada Ahok menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi para elit politk untuk membentuk instrumen kekuatan masyarakat muslim yang kemudian di salurkan dalam bentuk politik praktis.

Politik identitas menjadi sangat subur dibangun dalam proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara intens dalam bentuk interaksi simbolik untuk memobilisasi dukungan massa. Penguatan identitas diri dari seorang pasangan calon dilakukan dengan membangun identitas diri secara intens di masyarakat.

Politik identitas yang berangkat dari base on identity (identitas) dan base on interest (kelompok kepentingan) dijadikan instrumen untuk memperoleh simpati dari masyarakat. Selanjutnya perkembangnan politik identitas saat ini telah 78

mengalami pergeseran makna identitas sesungguhnya, karena identitas digunakan bukan untuk kepentingan pengenal atau ciri khas dari individu itu sendiri tetapi lebih untuk kepentingan elite politik. Ini terlihat jelas dalam ajang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2017.

Gerakan pembentukan Politik Identitas di DKI Jakarta muncul dengan adanya pendekatan kondisional, keterpecahan membutuhkan sumber sumber untuk dimobilisasi, sebelum terselenggaranya pilgub DKI Jakarta 2017 beberapa kelompok Islam seperti FPI dan GMJ memanfaatkan kondisi dari remuknya kepercayaan masyarakat muslim Jakarta terhadap Ahok karena diduga menistakan

Agama islam, kelompok lawan kemudian mencoba mecari sumber sumber golongan yang mudah dimobilisasi untuk kemudian membuat perpecahan dan meraup suara pemilih yang telah di mobilisasi oleh sumber sumber tersebut.

Terjadi keseimbangan mobilisasi dari atas dan partisipasi bawah membuat gerakan ini kian lama kian menguat sehingga dapat memecah suara dari Ahok-

Djarot.

Adapun pembentukan politik Identitas di Pilgub DKI Jakarta 2017 sebagai berikut:

1. Media Sosial : peran media sosial sangat berarti dalam proses

pembentukan politik identitas di masyarakat DKI Jakarta, terutama

masyarakat muslim yang merupakan kelompok dominan di Jakarta, hal ini

didasari banyak nya konten konten yang bernuansa SARA yang terus giat

di publish untuk mempengaruhi orientasi politik masyarakat DKI Jakarta. 79

2. Aksi Massa : Salah satu aksi massa yang memiliki pengaruh yang luar

biasa adalah aksi bela Islam yang dilakukan secara berkala, tujuan aksi ini

mencoba menyatukan persepsi masyarakat muslim Jakarta bahwa Ahok

adalah musuh Islam dan haram mendukung nya.

3. Penggunaan Tempat Ibadah : penggunaan tempat Ibadah sebagai sarana

kampanye tentu sangat dilarang, tempat ibadah seharusnya netral dalam

urusan perpolitikan, namun disalah satu sisi tempat ibadah adalah ladang

yang sangat subur untuk menanamkan buah pikir kepada masyarakat

karena ceramah yang dilakukan ditempat ibadah akan bersifat dogma

sehingga mengikat jemaat atau umat nya.

4. Intimidasi : kuatnya pengaruh sosial media disertai dengan dogma dalam

tempat ibadah yang bernuansa sentimen terhadap golongan tertentu

membuat beberapa masyarakat muslim di DKI Jakarta menganggap Pilgub

DKI Jakarta 2017 adalah peperangan terhadap penista Agama Islam

sehingga siapapun Gubernur DKI Jakarta yang akan datang harus

beragama Islam tidak boleh diluar daripada itu, hal ini membuat para

pendukung pasangan Ahok yang beragama muslim di beri label sebagai

pendukung dan pelindung penista Agama, mereka mengalami tekanan dan

intimidasi dari masyarakat muslim di daerah nya seperti contoh jenazah

nenek hindun yang tidak dapat di sholatkan karena keluarga mendukung

pasangan Ahok – Djarot.

80

2. Penggunaan Politik Identitas Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017

Politik Identitas adalah suatu kajian untuk menjelaskan situasi yang ditandai dengan kebangkitan kelompok-kelompok identitas sebagai tanggapan untuk represi yang memarjinalisasikan mereka di masa lalu. Identitas berubah menjadi politik identitas ketika menjadi basis perjuangan aspirasi kelompok

(Bagir, 2011).

Identitas bukan hanya persoalan sosio-psikologis, tetapi juga politis. Ada politisasi atas identitas. Identitas yang dalam konteks kebangsaan seharusnya digunakan untuk merangkum kebinekaan bangsa ini, justru mulai tampak pengunaan identitas-identitas sektarian, baik dalam agama suku, daerah, dan lain- lain.

Identitas yang menjadi salah satu dasar konsep kewarganegaraan

(citizenship) adalah kesadaran atas kesetaraan manusia sebagai warganegara.

Identitas sebagai warganegara ini menjadi bingkai politik untuk semua orang, terlepas dari identitas lain apapun yang dimilikinya seperti identitas agama, etnis, daerah dan lain-lain (Bagir, 2011)

Politik identitas bisa bersifat positif maupun negatif. Bersifat positif berarti menjadi dorongan untuk mengakui dan mengakomodasi adanya perbedaan, bahkan sampai pada tingkat mengakui predikat keistimewaan suatu daerah terhadap daerah lain karena alasan yang dapat dipahami secara historis dan logis.

Bersifat negatif ketika terjadi diskriminasi antar kelompok satu dengan yang lain, misalnya dominasi mayoritas atas minoritas. Dominasi bisa lahir dari perjuangan kelompok tersebut, dan lebih berbahaya apabila dilegitimasi oleh negara. Negara 81

bersifat mengatasi setiap kelompok dengan segala kebutuhan dan kepentingannya serta mengatur dan membuat regulasi untuk menciptakan suatu harmoni (Bagir,

2011).

Dalam konteks Pilgub DKI Jakarta, tidak dapat dipungkiri kasus penistaan agama dan penggunaan politik identitas membuat elektabilitas Ahok terjun bebas.

Berawal dari pernyataan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan seribu yang mengutip surat Al Maidah 51 yang kemudian potongan pernyataan itu diunggah ke Facebook oleh Buni Yani dan menjadi bola panas di media sosial, penggunaan media sosial sebagai media baru yang tidak memiliki batasan memang menjadi tidak terkendali manakala dijadikan sebagai sarana untuk kepentingan politik dan kampanye.

Unggahan di Facebook itupun menjadi ramai dan dijadikan entry point bagi lawan lawan politik Ahok untuk melancarkan serangan terhadap Ahok yang popularitasnya tidak terbendung. Pascapernyataan Ahok itu, berbagai elemen masyarakat yang didominasi oleh ormas-ormas Islam termasuk FPI yang sejak awal anti-Ahok mulai bergerak dan melakukan aksi berjilid secara sistematis yang tujuannya adalah memenjarakan Basuki karena dianggap sebagai penista agama.

Lebih dari itu, kelompok massa juga meneriakkan pemilih muslim wajib memilih pemimpin muslim hal ini didukung pula oleh Fatwa MUI yang menyuarakan haram memilih pemimpin Kafir (non-muslim), isu identitas tersebut ditujukan untuk menyerang Ahok, Ahok yang notabene keturunan Tionghoa dan beragama Kristen kemudian dipersepsikan sebagai pemimpin yang tidak layak dipilih oleh umat muslim di ibu kota. Isu SARA dan politik Identitas terus 82

dimainkan, dunia maya dipenuhi dengan cyber army yang membentuk opini dan ditambah dengan masuknya mesin politik kelompok Islam yang menjadi lawan

Ahok ke masjid dan mushala dengan khotbah bahwa haram hukumnya memilih pemimpin nonmuslim.

Masyarakat ibu kota pun terpolarisasi dan terpecah menjadi dua kubu yang berlawanan dan rawan terjadi nya konflik, hal ini terjadi oleh alm. nenek hindun di Jakarta Selatan yang tidak bisa di sholatkan di masjid dekat rumahnya karena beliau dan keluarga nya mendukung pasangan Ahoh-Djarot yang tidak sesuai dengan ajaran atau ajakan dari masyarakat sekitar nya untuk tidak memilih pemimpin non-muslim.

Penggunaan Identitas sebagi senjata dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 sudah terbukti lumayan ampuh dalam menggoyang pasangan calon lain yang tidak memiliki persamaan Identitas dengan masyarakat dominan Jakarta dan mobilisasi masa yang begitu sangat kuat dilakukan oleh aktor politik dan tim sukses kemenangan calon yang mengarahkan partisipasi politik individu untuk berorientasi terhadap identitas calon yang akan dipilih dibandingakan program dan gagasan yang ditawarkan, penggunaan dua isu sentimen identitas tersbut adalah sebagai berikut. a. Sentimen Etnis Dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017

Sentimen etnis seringkali dinilai sebagai salah satu kekuatan sekaligus problematika dalam arena demokrasi. Tak terkecuali pada kontestasi Pemilu dan

Pilkada di Indonesia. Etnisitas sebagai salah satu kategori dalam sosiologi politik berkembang seiring dengan perubahan pola politik identitas. Dalam tatanan rezim 83

politik yang bersifat tertutup, etnisitas secara sengaja dicoba untuk dieliminasi dari panggung arena politik. Kendati demikian, etnisitas dalam kadar tertentu terus bermain dalam politik identitas dalam panggung kekuasaan secara laten.

Sementara itu, dalam tatanan rezim politik yang bersifat terbuka, etnisitas justru nampak terus mengalami penguatan, mendapatkan ruang ekspresi yang semakin luas. Bahkan etnisitas seringkali menjadi dasar legitimasi sejarah sosial politik struktur politik pada level lokal atau daerah (Marzuki, 2010).

Identifikasi identitas etnis sebagaimana lazim terjadi pada masyarakat yang multietnis senantiasa tergantung pada situasi dan konteks dimana seseorang berada. Dalam konteks politik di wilayah yang multietnis, terutama pada daerah

DKI Jakarta, identifikasi identitas etnis menjadi kemestian. Mengidentifikasi seseorang berdasarkan etnik adalah bagian dari perilaku dan tindakan komunikasi baik dalam aktifitas dan peran politik maupun dalam kehidupan sosial secara umum, terutama dalam rangka menarik simpati calon pemilih, meningkatkan popularitas dan tujuan politik lainnya. Keadaan ini jika dicermati relevan dengan asumsi Fredrik Barth (dalam Mulyana, 2001) yang menyebutnya sebagai

“situational ethnicity”.

Sentimen Etnis menjadi salah satu faktor penting di dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah di Indonesia terutama pemilihan

Gubernur di DKI Jakarta yang menjadi barometer politik Indonesia, didalam

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta sentimen etnis bukan lah hal yang baru, sentimen etnis pada pilgub DKI Jakarta pertama kali terjadi di tahun 2012, pada pilgub DKI Jakarta tahun 2012 sentimen etnis menjadi salah satu kekuatan untuk 84

menyerang salah satu pasangan calon yakni Jokowi – Ahok, karena Ahok yang memiliki etnis keturunan China (Tionghoa), faktor ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Fauzi Bowo yang memiliki Etnis keturunan Betawi sebagai etnis asli Jakarta yang didapatkan dari ibunya (Hamid,2014). Dalam Pilgub DKI

Jakarta 2017 terdapat tiga pasangan calon yang memiliki etnis yang berbeda-beda seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 13. Nama Pasangan Calon Beserta Suku / Etnis Nya

No Nama Pasangan Calon Suku / Etnis 1 Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Jawa - Betawi

Murni

2 Basuki Tjahja Purnama – Djarot Syaiful Tionghoa (China) - Jawa

Hidayat

3 Anies Baswedan – Sandiaga Uno Jawa - Padang

Sumber : bbc.com

Dari ketiga pasangan calon diatas terdapat salah satu pasangan calon yang beretnis betawi yakni Slviana yang menjadi calon wakil gubernur bersama Agus

Harimurti Yudhoyono, walaupun Slyviana merupakan Etnis Betawi nyatanya etnis betawi yang dimiliki Slyviana tidak terlalu kuat untuk mengambil simpati pemilih di DKI Jakarta, ini dibuktikan bahwa Agus-Slyvi hanya mengantongi suara sebanyak 17,05 persen (KPUD DKI Jakarta) yang membuatnya menduduki peringkat terakhir dalam putaran pertama Pilgub DKI Jakarta. 85

Yang menjadi perhatian utama dalam sentimen etnis di pilgub Dki jakarta

2017 adalah sentimen pribumi dan non-pribumi (orang keturunan bangsa asing), pembentukan identitas pribumi dapat dilihat melalui teori pembentukan identitas oleh Stuart Hall (dalam Widayanti, 2009) melalui pendekatan Konstruktivisme yang memandang identitas sebagai suatu hasil dari proses sosial yang komples yang terbentuk dari ikatan-ikatan kultural dalam masyarakat yang dibangun berdasarkan pengalaman masa lampau melalui pendekatan ini para elite politik di

DKI Jakarta mencoba memobilisasi nya menjadi kekuatan politik dalam pilgub.

1) FPI Dan Politisasi Etnis Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017

Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi massa yang muncul ketika rezim soeharto tumbang, FPI berdiri dengan tujuan menegakan hukum islam di Indonesia, dalam buku Susan Blackburn (2013) yang berjudul Jakarta : sejarah 400 tahun dituliskan FPI menjadi salah satu motor penggerak massa pada saat penjarahan dan intimidasi terhadap etnis china (tionghoa) karena dianggap sebagi orang kafir dan berlawan dengan ajaran Islam. Sentimen terhadap masyarakat keturunan China bukan pertama kali terjadi di massa orde baru menuju reformasi namun sejarah mencatat pada tahun 1740 terjadi pembunuhan masal terhadap masyarakat etnis china yang dikenal dengan nama geger pacinan atau dalam bahasa belanda Chinezenmoord peristiwa ini terjadi karena dipicu oleh represi pemerintah kolonial belanda dan kurang nya pendapatan akibat jatuhnya harga gula, peristiwa ini membunuh kurang lebih 10.000 masyarakat etnis china.

86

Gambar .2 Spanduk Ganyang China dalam Aksi Damai 212

Sumber : www.medium.com Fornt Pembela Islam (FPI) menjadi salah satu aktor penting dalam Pilgub

DKI Jakarta 2017, FPI selalu aktif menyuarakan mengenai penolakan terahadap

Basuki dari tahun 2012, pada tahun tersebut FPI belum mampu memobilisasi masa yang sangat besar karena masyarakat muslim Jakarta tidak menganggap

Basuki sebagai musuh umat Islam, FPI baru mampu memasifkan massa ketika basuki teridinkasi kasus penistaan agama, pada saat momentum tersebut FPI mengambil peran penting untuk menyatukan persepsi masyarakat muslim Jakarta bahwa Basuki adalah musuh bersama umat islam (common enemy) dengan memanfaatkan kondisi yang sedang kacau akibat pidato Basuki tersebut.

Pasca pidato ahok tersebut sentimen terhadap etnis golongan keturunan

China meningkat dan masuk dalam 5 besar golongan yang tidak disukai warga

DKI Jakarta seperti yang dirilis oleh Saiful Mujani Research and Consulting 87

(SMRC) pada November 2016. Sehingga aksi penolakan Ahok yang dimotori oleh Front Pembela Islam dapat memobilisasi massa aksi yang sangat besar pada

2 desember 2016, slogan “ganyang cina” menjadi bukti belum memudarnya sentimen antar etnis di DKI Jakarta.

Hal ini terjadi karena Identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari sense

(rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas, dari pernyataan tersebut maka ketika identitas di formulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang memiliki berbagai persamaan dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan otherness (Keberbedaan) (widayanti, 2009) pada contoh ini FPI berhasil membuat kesadaran kolektif akan bahaya nya etnis China di Jakarta sehingga masyrakat muslim DKI Jakarta membenci dan menjauhi golongan etnis Cina.

Aksi penolakan ahok yang berlangsung bertepatan dengan agenda pemilahan kepala daerah DKI Jakarta 2017 dimanfaatkan oleh elite politik sebagai instrumen kekuatan, banyak slogan provokatif yang bermunculan di DKI Jakarta sebagai upaya penolakan terhadap non-pribumi menjadi Gubernur DKI Jakarta, keberadaan sentimen etnis dalam kontestasi politik ini disebut sebagai retorika etnosentrisme. Yakni retorika yang paling mudah mengaduk emosi publik meskipun tidak sekuat dulu, tetapi tetap penting dan menjadi salah satu hal yang harus disoroti. Hal ini terbukti dengan beberapa aktivitas sejumlah pasangan calon yang berupaya mendekatkan sentimen etnosentrik tersebut. 88

Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017 para elite politik memanfaatkan kondisi sentimen etnis yang sangat berkembang, dalam geraka pembentukan nya menurut Stuart hall (dalam Widayanti, 2009) hal tersebut dapat di kategorikan sebagai Instrumentalisme yakni memanfaatkan kondisi yang terjadi di akar rumput untuk dipergunakan sebagai senjata kekuatan elite politik dalam pemilihan umum untuk merebut kekuasaan, dalam hal ini memanfaatkan kondisi masyarakat

Jakarta yang masih menaruh sentimen terhadap etnis China dengan ditambah lagi oleh organisasi massa yang terus aktif menjaga sentimen itu agar tidak pudar di masyarakat jakarta, bila dilihat dari gambar yang ada diatas dapat dilihat bentuk upaya memobilisasi massa untuk tidak mimilih pemimpin yang bertenis China atau di kategorikan sebagai non-pribumi.

Bila dilihat dari serangkaian kampanye dan aksi tersebut tim sukses ataupun golongan tertentu mencoba memobilisasi masa dengan melempar keresahan ke masyarakat dengan ancaman Keturunan etnis China (tionghoa) yang bukan asli pribumi Indonesia dapat menguasai Indonesia dengan cara merebut

DKI Jakarta terlebih dahulu yang nanti akan menyengsarakan penduduk asli

Indonesia yang ada di DKI Jakarta, Huntington dan Nelson (dalam Hamid, 2017) mengartikan pola seperti ini sebagai partisipasi politik mobilisasi yang yang melempar argumentasi guna mengajak, menganjurkan atau bahkan memaksa masa untuk mengikuti arah politiknya dan bisa jadi kesadaran kolektif yang timbul akibat termobiliasi tersebut , dapat pula menjadikan indiviu menjadi partisipan otonom yang sudah yakin dengan isu tersebut. 89

Kuatnya mobilisasi massa yang dilakukan oleh para tim sukses maupun kampanye penolakan terhadap Etnis Cina oleh Front Pembela Islam (FPI) membuat suara Basuki di Pilgub DKI Jakarta 2017 tidak ada peningkatan sama sekali dari putaran satu ke putaran kedua.

“ isu etnis cina memang terasa sekali ya, apalagi di daerah ciracas ini,

banyak banget selebaran yang hasut orang buat jangan milih Ahok

karena dia Cina lah, antek pki lah, kafir lah pokok nya segala yang jelek

pasti Ahok kena ( wawancara dengan Richad Fernando salah satu tim

sukses Basuki – Djarot pada tanggal 20 Juni 2018)”

Namun disisi lain Ahok juga memanfaatkan kondisi sentimen Etnis yang berkembang untuk menyatukan dukungan masyrakat keturunan China (tionghoa).

Seperti survei yang dilansir oleh Lembaga Survei dan Poling Indonesia (SPIN)

Ahok berhasil menggaet 90 persen suara masyarakat keturunan China di Jakarta yang menjadi kekuatan alternatif Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, pola ini sempat di pakai Ahok juga pada saat Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 bersama

Joko widodo, dengan memanfaatkan tekanan dan sentimen etnis kedaerahan yang kuat pasangan ini menarik simpati masyarakat keturunan China dengan membentuk Forum Masyarakat Tionghoa (FORMAT) sebagai kekuatan tambahan dalam Pilgub DKI Jakarta.

Sentimen etnis acap kali menjadi komoditas politik dan dipakai saat memilih para calon gubernur. Isu etnis untuk sementara diperlukan untuk mendulang suara, bila ini dilakukan, justru akan memberikan pendidikan politik buruk bagi masyarakat. Isu etnis yang digulirkan ini sebetulnya bukan secara 90

langsung dari publik, tapi digulirkan oleh elit-elit politik. Konstruksi elit ini kemudian diartikan oleh konsultan-konsultan politik di belakang para cagub ini.

Melalui penelitian berkala yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen

(AJI) Jakarta terkait pilkada DKI Jakarta, diketahui setelah putaran pertama pilkada DKI, pemberitaan yang menyangkut suku, agama, ras, antargolongan

(SARA) mendominasi. Dengan kata lain isu SARA itu digunakan untuk mengkondisikan pilihan masyarakat pemilih terhadap kandidat yang sedang bertarung.

Pemberitaan yang cukup dominan pada periode ini adalah menyangkut

SARA, yaitu pemberitaan yang menggambarkan serangan atas identitas dari calon Gubernur Basuki. Perkembangan isu SARA memang tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab media, media berpotensi ikut dalam upaya mengedepankan salah satu kandidat dan hal tersebut tidak memberikan informasi yang baik bagi publik. Hal tersebut, sering digunakan oleh kandidat agar mendapat suara dari kelompok dominan. b. Sentimen Agama Dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017

Sentimen agama merupakan perilaku manusia, khususnya umat beragama

(yang diwujudkan melalui kata, tindakan, kebijakan, keputusan) yang merendahkan, membatasi, dan meremehkan golongan agama lain yang tidak sejalan dengan nilai-nilai agama yang dianut nya, agar orang yang berbeda agama tersebut tidak mendapatkan hak-haknya serta tidak mampu mengaktualisasi dirinya secara utuh (Munir, 2018). 91

Pada umumnya, faktor utama yang menunjang sentimen Agama adalah dorongan dorongan dari pihak luar kepada seseorang. Pihak luar yang dimaksud antara lain, para tokoh-tokoh atau pemimpin Agama, politik, penguasa, pengusaha, pemerintah, kepala suku. Mereka adalah orang-orang yang ingin meraih keuntungan dari suatu perbedaan. Bagi mereka, perbedaan merupakan suatu kesalahan dan ketimpangan sosial, sehingga perlu diperbaiki melalui pemurnian dengan cara menghilangkan atau menghancurkan semua hal yang berbeda.

Sentimen negatif yang berkaitan dengan Agama bisa terjadi akibat kemunculan aliran-aliran yang bersifat sekterian pada agama-agama. Pada umumnya, sekte atau mazhab tersebut mempunyai karakteristik yang hampir sama. Yaitu, bersifat sempalan atau skismatik dari arus utama agama; adanya tokoh kharismatik yang menguasai bagian-bagian tertentu dari ajaran agamanya, kemudian mengklaim diri sebagai pemegang ajaran yang benar, sang tokoh mewariskan ajaran-ajaran kepada para pengikutnya, sangat menekankan satu atau dua ajaran agama, sambil mengkesampingkan yang lain jika mendapat nasehat atau masukan untuk perbaikan, maka dianggap sebagai perlawan terhadap ajaran agama, dan oleh sebab itu patut dilawan, bila perlu dengan kekerasan. Dengan situasi seperti itu, maka biasanya, umat beragama yang mempunyai sifat sentimen keagamaan, muncul dari sekte-sekte atau mazhab-mazhab keagamaan.

Dan hampir semua agama di dunia, mempunyai sekte atau mazhab seperti itu.

Mereka biasanya mempunyai corak keberagamaan yang tertutup dan mempunyai militansi keagamaan sangat tinggi. Peran elite elite agama di sana sangat jelas 92

menempatkan agama sebagai salah satu pendorong munculnya konflik.

(https://www.kompasiana.com/opajappy/552914c06ea8343a3c8b45d6/sentimen- sara diakses pada 10 Juli 2018).

Sentimen Agama di DKI jakarta sendiri mulai menguat pada pilgub DKI

Jakarta di tahun 2012, pada saat itu Front Pembela Islam dan Gerakan Masyrakat

Jakarta menolak kehadiran Basuki untuk memimpin DKI Jakarta, penolakan ini didasari oleh perbedaan identitas Agama yang dimiliki oleh Basuki, Stuart Hall

(dalam Widayanti, 2009), menjelaskan pembentukan identitas seperti pada kasus basuki dapat di jawab melalui pendekatan primordialisme pendekatan ini melihat fenomena tersebut dalam sosio-biologis. Pendekatan ini umumnya beranggapan bahwa kelompok-kelompok sosial dikarakteristikan oleh gambaran seperti etnis maupun agama yang disadari merupakan pemberian sejak lahir dan tidak bisa terbantahkan. Pendekatan ini terbukti memberikan pengaruh yang besar terhadap masyarakat, seperti yang dialami Basuki ditolak karena beragama kristen yang tidak sesuai dengan apa yang dianut oleh FPI maupun GMJ.

Menjelang pilgub DKI Jakarta 2017 sentimen Agama meningkat cukup tajam, seperti survei yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia (LSI) pada saat sebelum dan sesudah aksi 212 terhadap pengaruh agama dalam pilgub DKI

Jakarta 2017, hasil nya pada bulan maret dan oktober tahun 2016, yang masing- masing 40 dan 55 persen responden menganggap sentimen agama sangat penting, dan pasca aksi 212 LSI mencatat sentimen agama warga Jakarta meningkat mencapai 71,4 persen. 93

Meningkatnya isu sentimen Agama di Pilgub DKI Jakarta tak lepas dari pengaruh pidato ahok di kepualaun seribu yang menjadi alasan umat muslim untuk bergerak menjatuhkan Ahok, sebelum aksi 212 maupun aksi sebelumnya

411, surat Al-Maidah ayat 51 tidak terlalu berpengaruh dalam popularitas Ahok di

DKI Jakarta hal ini terlihat dari berbagai aksi penolakan dirinya dari tahun 2012-

2014 tidak menimbulkan dampak yang signifikan, barulah ketika Ahok mempergunakan surat Al-Maidah ayat 51 di pulau pramuka dampak yang besar terjadi dan menurunkan kepercayaan umat muslim terhadap Ahok.

Tidak bisa dibantah oleh siapapun, bahwa sentimen Agama adalah hal yang menakutkan pada situasi dan lingkungan pergaulan sosial, hubungan antar umat agama, pengangkatan dan pemilihan pemimpin, khususnya dalam pemilihan

Gubernur di DKI Jakarta tahun 2017.

1) Masjid : Politisasi Agama Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017

Politisasi Agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan atau kepercayaan dengan menggunakan cara propaganda,

Indoktrinasi, kampanye, disebarluaskan, sosialisasi dalam wilayah publik dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan, kemudian, dilakukan tekanan untuk memengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan sesuatu kedalam sebuah agenda politik, menurut Agnes Heller gerakan politik identitas baik didalam nya politisasi etnis maupun politisasi agama semua nya di dasari oleh 94

satu fokus perhatian utama yaitu difference (perbedaan) (dalam Ubed,Abdillah

2002).

Dengan memanfaatkan kondisi sentimen Agama yang sedang menguat pada akhir tahun 2016 para elite partai politik maupun tim sukses para pasangan calon berlomba menggunakan nya menjadi sebuah instrumen kekuatan seperti yang dikatan oleh Stuart Hall (dalam Widayanti, 2009) dengan pendekatan instumentalisme dalam gerakan politik identitas bahwa Identitas dipergunakan dan dikonstruksikan untuk kepentingan elite guna meraih kekuasaan.

Gambar.3 Ajakan Memilih Gubernur Muslim

Sumber : eramuslim.com

Penggunaan Sentimen Agama sebagai kekuatan politik dilakukan melalui beberapa cara seperti pemasangan poster, spanduk bahkan sampai ceramah di tempat ibadah, tempat ibadah seperti masjid dinilai menjadi bangunan gerakan politik yang ampuh karena sifat dogma yang terkandung dalam setiap ceramah di 95

masjid dapat mempermudah memobilisasi massa sehingga para elite politik tidak harus bersusah payah untuk membentuk instrumen kekuatan dalam pemilihan umum, cara ini lebih praktis dan ampuh dibandingkan dengan melakukan mobilisasi massa dengan menggunakan proses kampanye konvensional berupa kampanye di media sosial, spanduk ataupun orasi politik.

Masjid digunakan sebagai bangunan politik sudah pernah diterapkan oleh partai FIS di Aljazair menggunakan masjid sebagai tempat menggaungkan seruan politik untuk meraih suara dalam pemilihan umum, di Indonesia sendiri Masjid juga menjadi bangunan politik yang sangat berpengaruh seperti tulisan

Muhhamad Afdillah (2016) dalam bukunya yang berjudul “Dari Masjid Ke

Panggung Politik” menjelaskan bagaimana Kyai Tajul mampu membangun basis kelompok Syiah di Sampang, Jawa Timur dengan sangat pesat, Kyai Tajul menggunakan masjid sebagai media dakwah sosial nya untuk meyakini masyrakat sampang bahwa ajaran Syiah yang diajarkan olehnya adalah ajaran yang benar, hal ini berdampak pada sepi nya masjid-masjid kelompok Sunni akibat para Santri nya pergi untuk ibdaha ke masjid-masid yang dipimpin Kyai Tajul, konflik Syiah dan Sunni di Sampang menunjukan mobilisasi yang dilakukan di dalam masjid sangatlah ampuh dan memiliki dampak yang besar.

Dalam Pilgub DKI Jakarta Masjid menjadi tempat yang subur untuk menanamkan sentimen agama sebagai alat pemersatu jemaat atau umat nya, dapat dilihat beberapa pasangan calon dan tim sukseknya mencoba meraup suara dari dalam masjid diantaranya seperti Amien Rais, Prabowo dan Anies yang menggunakan masjid Al-Azhar sebagai bangunan politik untuk meraih simpati 96

masyarakat muslim DKI Jakarta, para elite politik dan calon Gubernur tersebut mengadakan acara gerakan shalat subuh berjamaah di masjid Al-Azhar pada tanggal 15 januari 2017 Tema yang diangkat pada acara ini adalah “Tabaligh

Akbar Politik Islam: Berbeda dalam Mazhab Bersatu Dalam Politik” secara keseluruhan acara dalam kegiatan tersebut mencoba menyatukan umat islam untuk tidak memilih pemimipin non-muslim, acara inipun mendapat sanksi dari

Bawaslu DKI Jakarta berdasarkan nomor registrasi 026/LP/Prov-

DKI/I/2017.(Dokumen Bawaslu DKI Jakarta) karena diduga melakukan kampanya bernuansa SARA dalam lingkungan tempat ibadah yang seharusnya bersih dari kampanye politik seperti yang tertera dalam PKPU 12 Tahun 2016 yang merupakan perubahan PKPU 7 Tahun 2015 Pasal 66 ayat 1 huruf j yang berisi tentang larangan kampanye di tempat ibadah dan institusi pendidikan.

Selain Masjid Al-Azhar Anies juga melakukan aksi kampanye di lingkungan Masjid Agung Al-Furqon pada 9 maret 2017, dalam acaranya ini anies menghadiri deklarasi dukungan dan meminta doa restu dari Forum Ustazah Bela

Negeri untuk memimpin DKI Jakarta dan Anies juga menghimbau umat muslim harus bersatu dalam Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2017

(http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/03/09/dianggap-lingkungan- masjid-panitia-pengawas-kecamatan-senen-minta-kampanye-anies-dihentikan diakses pada tanggal 13 Juli 2018),.

Kampanye dilingkungan masjid juga dilakukan oleh pasangan Agus –

Slyvi, pasangan tersebut melakukan peresmian dan ceramah yang bernuansa politik di Masjid Nurul Ikhsan Grogol, Jakarta Barat di tanggal 15 Januari 2017 97

dalam kedatangannya dimasjid tersbut agus menjanjikan kepada warga jakarta untuk memberikan dana 1 miliyar untuk satu RW agar pertumbuhan ekonomi masyarakat DKI Jakarta bisa cepat bertumbuh, Agus juga menghimbau agar masyarakat muslim bersatu. (https://kumparan.com/@kumparannews/agus- resmikan-masjid-di-jelambar-sambil-kampanye diakses pada tanggal 13 Juli

2018).

Berbeda dengan dua pasangan tersebut posisi yang tidak menguntungkan dialami oleh pasangan Basuki – Djarot, pasangan ini juga ingin mengambil simpati publik dari dalam masjid namun sentimen Agama akibat kasus penistaan yang dilakukan oleh basuki menjadikan pasangan tersebut mendapatkan penolakan dari berbagai masjid yang ada seperti Masjid Al-Inayah Kali Deres,

Jakarta Barat, Masjid Nurul Falah Tanjung Duren, Jakarta Barat, dan Masjid AT-

Taqwa Kapuk Muara, Jakarta Utara. (https://www.nahimunkar.org/usai-kalideres- dan-grogol-kedatangan-ahok-penjaringan-ditolak-warga-dki/ diakses pada 13 Juli

2018)

Masjid merupakan tempat mobilisasi massa yang penting di dalam Pilgub

DKI Jakarta 2018 mengingat 83,30 persen penduduk DKI Jakarta beragama islam

(Dinas kependudukan dan pencatata sipil DKI Jakarta tahun 2014) peran masjid menjadi sangat disoroti karena memberikan efek yang luar biasa apalagi pada momentum Pilgub 2017 sentimen Agama menjadi isu yang laris, hampir disemua masjid di Jakarta selalu membicarakan nya.

“....Maaf ini ya,saya rasa masyarakat Jakarta tidak pintar,hemm, ya karena

gampang termakan hasutan orang untuk miih berdasarkan agama nya, ini 98

seperti yang dilakukan oleh masjid di UI sana depan pas gedung kita,

engga tau sengaja atau apa selalu saja tiap shalat jumat, cermahin nya

soal haram memilih pemipin kafir melulu... Wawancara dengan

Muhhamad Douglas selaku kasubag teknis pemilu KPUD DKI Jakarta

pada tanggal 12 Juni 2018 “

Huntington dan Nelson (dalam Hamid,2017) menilai pola seperti tersebut dapat dikatakan sebagai partisipasi politik mobilisasi yaitu dengan dilakukan berdasarkan anjuran, ajakan atau bahkan pemaksaan dengan bentuk non- konvensional dilakukan melalui saluran tidak resmi, tekanan yang dimaksudkan dalam proses mobilisasi tersebut dapat dilihat dari bentuk Intimidasi di Jakarta selatan terjadi penolakan untuk menyolatkan jenazah nenek hindun pada maret

2016 dikarenakan keluarga nenek hindun mendukung pasangan Ahok-Djarot yang memiliki Identitas berbeda, keluarga nenek hindun dipaksa untuk mendukung pasangan yang seiman dengan nya baru jenazah akan di Sholatkan.

“Ya saya juga dengar persoalan mengenai nenek hindun itu,hemm

menurut saya masyarakat Jakarta harus bisa menghargai pilihan orang

lain tanpa harus mengintimidasi sejauh itu, itu sih sudah keterlaluan.. (

wawancara oleh Muhammad Jufri Komisioner Bawaslu DKI Jakarta

pada 5 Juni 2018)”

Masjid terbukti menjadi bangunan politik yang paling ampuh dalam menggaet pemilih di DKI Jakarta ketiga pasangan calon Gubernur DKI Jakarta memanfaatkan Masjid sebagai sarana mobilisasi massa.

99

2.) Gereja: Politisasi Agama dalam Pilgub DKI Jakarta

Selain Masjid Gereja menjadi bangunan politik yang cukup ampuh untuk menggaet simpati masyarakat terutama masyarakat Kristen di DKI Jakarta yang menempati urutan kedua masyarakat terbanyak di Jakarta yang berjumlah kurang lebih 800.000 jiwa.

Gambar.4 Foto Ahok dan Djarot Dalam Ibadah GBI Di Kemayoran Jakarta Barat

Sumber : tirto.id

Politik dan kekuasaan bukanlah barang baru di dalam gereja. Dalam sejarahnya, gereja selalu dekat dengan kekuasaan dan politik. Pada abad ketiga,

Kaisar Konstantinus I menetapkan Kristen sebagai agama resmi kerajaan

Romawi. Sejak itu, gereja menjadi alat legitimasi politik bagi para raja penerus.

Bahkan setelah kekaisaran Romawi jatuh, kerajaan-kerajaan di Eropa masih melanggengkan tradisi itu.

Seperti yang terlihat pada gambar diatas terdapat foto pasangan Ahok-

Djarot dalam ibadah Gereja Bethel Indonesia (GBI) di kemayoran pada tanggal 26 100

febuari 2017, dalam sesi ibadah tersebut Pendeta mengajak jemaat untuk berdoa bersama agar Ahok-Djarot sukses memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2017, tidak hanya GBI, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) juga melakukan hal yang sama dalam ibadah nya pada tanggal 10 Febuari 2017 mendoakan Ahok agar sukses dalam Pilgub Jakarta 2017 (https://tirto.id/pesan-politik-terselubung- di-gereja-dalam-pilkada-dki-ckVl diakses pada 22 Juli 2017), Ahok memanfaatkan identitas nya sebagai seorang Kristen untuk meraup suara masyarakat Kristen sebagai kekuatan alternatif dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Tak hanya Ahok yang memanfaatkan Gereja sebagai bangunan politik alternatif di samping Masjid, tetapi Anies dan Agus pun menggunakan nya sebagai bentuk simbolik bahwa kedua pasangan tersebut adalah seorang yang mencintai keberagaman, Sandiaga didoakan pendeta saat menghadiri undangan dari Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subiato, untuk bertemu dengan warga Gereja pada akhir Desember 2016 di salah satu gereja di Rawamangun.

Sandi menuturkan, saat itu pendeta mendoakan agar ia sukses dalam pertarungan

Pilgub Jakarta. Sementara foto Agus bersama pendeta tidak diketahui di mana dan kapan foto itu diambil. (https://tirto.id/pesan-politik-terselubung-di-gereja-dalam- pilkada-dki-ckVl diakses pada 22 Juli 2017).

Legitimasi itu pula yang kini diperebutkan di Pilkada Jakarta.

Dokumentasi foto atau video saat para kandidat didoakan oleh gereja menjadi alat untuk menunjukkan ada kedekatan si calon dengan gereja. Sehingga warga gereja diharapkan mendukung salah satu calon yang dekat dengan gereja. 101

Sama seperti Masjid pembentukan dan penggunaan politisasi identitas di

Gereja dapat dilihat melalui teori Stuart Hall (dalam Widayanti, 2009) melalui pendekatan Instrumentalisme yakni memanfaatkan kondisi sentimen antar Agama yang berkembang pada saat kasus penistaan Ahok, kemudian para elite politik menggunakan kesempatan itu untuk menempatkan pasangan calon nya untuk berada dekat dengan Gereja sebagai simbolik ketiga pasangan calon ini pun mencintai keberagaman dan terutama jemaat Kristen, Ahok memiliki keuntungan yang lebih besar dibandingkan Anies maupun Agus, karena Ahok satu-satunya calon yang beragama Kristen, gereja menjadi kekuatan alternatif bagi ahok dalam memobilisasi suara untuk mengembalikan suara yang tergerus akibat penolakan nya di berbagai masjid.

Agama merupakan sesuatu yang fundamental dalam masyarakat. Agama selalu adaa di dalam tubuh masyarakat. Kekuatan di dalam agama itu mengalahkan kekuatan yang lainnya. Bayangkan saja, banyak perang yang membunuh orang serta kejahatan-kejahatan lainnya atas dasar agama. Agama tidak dapat di pisahkan dari kehidupan manusia. Seperti apa yang diungkapkan

Geertz (dalam Puspitasari, Elis,2010) bahwa adanya pengaruh agama dalam setiap pojok kehidupan masyarakat Indonesia. Pendapat ini membuktikan bahwa agama tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, agama sering kali dibawa oleh para aktor politik untuk melegitimasi kekuasaannya sehingga terkesan mempolitisir agama.

Model kerja politisasi (identitas) agama dalam praktik politik adalah tindakan yang mencederai demokrasi sebuah mekanisme yang seharusnya bekerja 102

pada arena rasional. Indonesia dengan demokrasinya memperlakukan siapa pun warga secara setara di muka hukum dan pemerintahan. Dengan demokrasi pula, siapa pun, tanpa melihat agama, etnis, dan ras, memiliki kesempatan sama untuk menduduki jabatan apa pun dalam sistem politik dan pemerintahan.

Sifat buruk yang melekat dalam praktik politisasi agama adalah stigma berdasar cara pandang dan sikap diskriminatif terhadap personal maupun golongan, yang nantinya terjadi penghapusan hak-haknya untuk diperlakukan setara.

3. Politik Identitas Ancaman Bagi Multikutralisme DKI Jakarta

Maraknya penggunaan Politisasi etnis maupun agama yang memanfaatkan faktor sentimen yang timbul di masyarakat merupakan ancaman yang serius bagi

Multikulturalisme di DKI Jakarta, Will Kymlicka (2002) menjelaskan bahwa

Multikulturalisme adalah sebuah gagasan atau pandangan yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan untuk menjamin keadilan antar kelompok. Namun dalam praktek Pilgub DKI Jakarta 2017 sentimen etnis dan agama terbukti berhasil di pakai sebagai senjata ampuh memenangkan pilkada

DKI Jakarta.

Salah satu bukti pemakaian sentimen etnis berhasil di Pilgub DKI Jakarta dapat dilihat dari isi pidato kemenangan Anies – Sandi yang berisi :

"Di tempat lain mungkin penjajahan terasa jauh tapi di Jakarta bagi orang Jakarta

yang namanya kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari hari. Karena itu

bila kita merdeka maka janji janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta," 103

“Dulu semua kita pribumi dan dikalahkan, kini telah merdeka, kini saatnya kita

jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang

dituliskan pepatah Madura. 'etek se atellor ajam se ngeremme', itik yang bertelur

ayam yang mengerami, kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan. Kita

yang bekerja keras untuk mengusir kolonialisme. Kita semua harus merasakan

manfaat kemerdekaan di ibu kota ini” (Detik.com)

Dalam pidatonya tersebut Anies mengungkapkan dua kata penting yakni

Kolonialisme dan Pribumi penggunaan dua kata tersebut dapat disebutkan sebagai penggunaan “dog-whistle politics”, ketika sebuah pesan politik menggunakan bahasa berkode yang tampaknya berarti satu hal bagi satu kelompok masyarakat, namun memiliki makna berbeda dan lebih spesifik pada kelompok tertentu dalam hal ini dapat dilihat Anies berpendapat bahwa dirinya berhasi merebut Jakarta dari tangan asing, isi pidato tersebut yang menganologikan etnis keturunan China

(tionghoa) adalah penjajah (kolonialisme) dan bukan warga asli negara Indonesia

(pribumi) dapat mengancam multikuturalisme Indonesia, karena menggap ketidak bolehan warga negara keturunan asing untuk memimpin di kursi pemerintahan,

Will Kymlica (2002) berpendapat multikulturalisme dapat berjalan dengan baik jika negara dapat menjamin hak minoritas untuk menjadi bagian dari kursi pemerintahan untuk mengikutsertakan representasi dari kelompoknya (Special

Representation Rights) sebab negara harus menjamin keadilan antar kelompok.

Representasi kelompok seperti yang disebutkan oleh Kymlica menjadi sangat penting di Indonesia karena dengan begitu negara memberikan penghargaan kepada masyarakatnya minoritas dan menghargai hak nya untuk 104

meperjuangkan kepentingan kelompoknya di ranah politik, namun yang terjadi di dalam Pilgub DKI Jakarta sebaliknya terdapat penyekatan atau pembatasan hak minoritas dalam perpolitikan daerah, dengan mengatakan bahwa kaum muslim hanya wajib memilih pemimpin muslim, maka secara tidak langsung masyarakat non-muslim merasa telah dilucuti hak politik nya untuk menjadi seorang pemimpin karena masyarakat DKI Jakarta mayoritas adalah muslim, jika mayoritas masyarakat muslim jakarta menyuarakan "haram" untuk memilih pemimpin non-muslim, maka otomatis masyarakat non- muslim tidak akan pernah mendapatkan posisi sebagai pemimpin.

Charles Taylor (dalam madung, 2012) mengatakan, dalam multikulturalisme pembentukan identitas individu maupun kelompok separuhnya terbentuk dari rekognisi (pengakuan) atau tidak adanya rekognisi, bahkan sering juga lewat pengakuan yang keliru dari sesama, sehingga menimbulkan kerugian bagi individu maupun kelompok, tidak adanya pengakuan dan memberikan gambaran yang salah terhadap individu maupun kelompok dapat menyebabkan pelecehan, pengekangan bahkan penindaasan terhadap individu maupun kelompok tersebut.

Pelecehan, pengekangan, dan penindasan terhadap individu atau kelompok tertentu dapat dipandang sebagai bentuk represi dari budaya mayoritas, pelecehan pengekangan dan penindasan yang dilakukan menyebabkan subjek yang bersangkutan menginternalisasi perasaan rendah diri serta mengungkapkan kembali lewat perilaku nya. 105

Bila melihat dari keadaan Indonesia saat ini dimensi rekognisi tidak bertumbuh dengan baik karena masih adanya penggambaran yang salah akan individu atau kelompok tertentu, mengingat Indonesia sendiri terdiri dari begitu banyak golongan etnis maupun agama, sehingga menyebabkan adanya ketegangan antara hak-hak kolektif yang menimbulkan konflik di masyarakat, seperti kasus kerusuhan Agama di Ambon,Sulawesi Utara antara golongan Islam dan Kristen yang terjadi kesalah pahaman yang menyebabkan kerusakan dan korban yang begitu besar, kasus pembakaran Gereja di Singkil, Aceh terjadi karena penduduk Islam di Singkil menaruh rasa curiga kepada golongan Kristen, kelompok golongan Kristen diduga akan melakukan kristenisasi di Aceh, dan juga kasus tragedi Sampit di Kalimantan Tengah antara Etnis dayak dengan Etnis

Madura terjadi karena ketidaksukaan etnis asli kalimantan yaitu Dayak atas kesuksesan etnis pendatang Madura yang berakhir pada konflik pembunuhan.

Kasus-kasus tersebut menandakan upaya rekognisi terhadap etnis dan agama di Indonesia masih sangat jauh untuk berkembang karakteristik kewarganegaraan yang memiliki salah satu tujuan yaitu memberikan rasa hormat dan tanggung jawab terhadap sesama warganegara yang pluralistik baik suku, agama, ras, bahasa, ideologi politik (Ananda, 2012) gagal untuk di praktekkan di

Indonesia sehingga kelompok minoritas yang mendapatkan represi dari golongan mayoritas cenderung akan merendahkan diri nya dan tidak berani mengaktualisasikan diri nya sebagai representatif kelompok nya, sehingga proses perjuangan untuk pengakuan dianggap membahayakan. 106

Begitu juga yang terjadi dalam kasus Pilgub DKI Jakarta 2017 ketegangan antar etnis maupun agama membuat dimensi rekognisi di Jakarta tidak berkembang dengan baik sepeti contoh kasus penjarahan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Etnis keturunan China yang dianggap sebagai penjajah menandakan ada kekeliruan dalam penggambaran subjek. Situasi tidak berkembang nya rekognisi di Jakarta membuat masyarakat muslim Jakarta mudah untuk di mobilisasi dengan contoh aksi 4 november 2016 dan 2 desember 2016 yang menyuarakan anti cina dan anti kafir (kelompok non-muslim) sehingga dapat disimpulkan kurang bertumbuhnya dimensi rekognisi di Jakarta membuat

Politisasi Identitas di Pilgub DKI Jakarta dapat di pergunakan dengan baik, hal ini dikarenakan kurangnya pengakuan dan penggambaran yang salah akan kelompok tertentu yang memudahkan para elite politik untuk langsung memobilisasi nya dengan melempar isu semtimen identitas sebagai insturmen kekuatan dalam

Pilkada DKI Jakarta.

Charles Taylor (dalam, madung 2012) menjelaskan wacana inti dari multikulturalisme adalah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan (Strugle For

Recognition) teori ini muncul atas analisa gerakan kelompok minoritas pada abad ke 20 baik dalam hal agama maupun etnis, Strugle For Recognition dapat juga diartikan sebagai perjuangan untuk melindungi dan mempertahankan identitas kelompok atau individu yang memiliki keunikan tersendiri baik ajaran maupun perbuatan, dalam penjelasan diatas kaum mayoritas merasa terancam dengan kehadiran minoritas karena dianggap bisa melunturkan atau menggantikan posisi 107

kelompok mayoritas, timbulnya persepsi buruk tersebut membuat mayoritas melakukan tindak kan represi yang bisa berujung pada konflik.

Ketegangan antar Etnis maupun Agama di Indonesia sesungguhnya dapat teratasi bila setiap Etnis maupun Agama mau membangun dimensi rekognisi antar golongan yang berbeda, hal ini diupayakan sebagai salah satu contoh bentuk penyelesaian ketegangan antar masyarakat multikultur dengan mengedepankan pengakuan dan dialog antar golongan, rekognisi penting dalam relasi kewarganegaraan dalam memenuhi haknya karena jika rekognisi dapat berjalan dengan baik tidak ada hambatan bagi golongan minoritas yang juga merupakan warga negara untuk memenuhi haknya seperti hak politik maupun hak ekonomi.

Namun dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 proses rekognisi yang seharusnya berjalan dengan baik guna sebagai salah satu syarat untuk mencapai pemenuhan hak warga negara tidak berjalan dengan mulus, karena tidak ada pengakuan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas di tambah lagi dengan politisasi identitas yang tumbuh subur dalam Pilkada menyulitkan golongan minoritas untuk mendapatkan hak nya terutama hak politik.

Sehingga realitas yang tumbuh di masyarakat DKI Jakarta lebih mengedepankan faktor Identitas pasangan calon dibandingkan dengan adu gagasan para pasangan calon, orientasi pemilih di DKI Jakarta akan lebih tertuju pada kecenderungan memilih pemimpin sesuai identitas yang dimilikinya baik identitas etnis maupun identitas agama, faktor tersebut lahir karena kegagalan dalam proses rekognisi golongan di Jakarta, sehingga prasangka buruk selalu muncul kepada setiap golongan yang ada, terlebih dalam pertarungan antara Agus, 108

Anies dan Basuki. Banyak umat muslim di Jakarta cenderung menggangp Basuki adalah ancaman bagi islam, walaupun tingkat kepuasan publik terhadap pelayanan

Basuki selama memimpin Jakarta besar yakni 72,2 persen (survei litbang Kompas tahun 2017) nyatanya hal tersebut tidak berpengaruh terhadap peningkatan suara

Basuki, banyak masyarakat muslim yang sudah terlanjur menganggap Basuki adalah ancaman dan lebih memilih pasangan agus ataupun anies karena memiliki identitas golongan yang sama.

Jika elite politik di Jakarta menggunakan isu sentimen Agama dan Etnis sebagai senjata dalam meraih suara, maka bukannya tidak mungkin daerah lain akan mengikuti cara tersebut, yang mana hal tersebut sangat berbahaya bagi kedamaian dan keutuhan negara . Model mobilisasi politik yang mengeksploitasi agama dan etnis akan merambat dengan sangat cepat, apalagi di daerah-daerah yang sentimen keagamaann dan etnisnya masih sangat kuat seperti Ambon,

Maluku, Aceh, Papua dan lain sebagainya. Agama dan Etnis hanyalah sebuah atribut, dia bukan substansi.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam Pemilihan Kepala

Daerah DKI Jakarta 2017 menjadi bukti berhasilnya Identitas menjadi basis kekuatan penting. Politik identitas menjadi sangat subur dibangun dalam proses pemilihan kepala daerah karena dilakukan secara intens dalam bentuk interaksi simbolik untuk memobilisasi dukungan massa. Politik identitas berangkat dari base on identity (identitas) dan base on interest (kelompok kepentingan) dua faktor ini dijadikan instrumen untuk memperoleh simpati dari masyarakat.

Pembentukan dan Penggunaan Politik Identitas dalam Pilkada DKI Jakarta

2017 muncul dengan adanya pendekatan Instrumentalisme yang memanfaatkan kondisi yang terjadi di akar rumput untuk kemudian dipergunakan sebagai instrumen kekuatan dalam merebut kekuasaan, pemebentukan ini diawali dengan serangkaian aksi atas reaksi penistaan Agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahja

Purnama selaku Gubernur DKI Jakarta menjelang Pilkada, mulai dari aksi demonstrasi massa pada tanggal 4 november 2016 dan 2 desember 2016 sampai pada bentuk intimidasi terhadap golongan yang mendukung pasangan Basuki –

Djarot yang di label kan sebagai Kafir dan Haram jika memilih pasangan tersebut.

Merebaknya sentimen politik identitas di ranah publik dalam perhelatan demokrasi seperti pilkada DKI Jakarta merupakan ulah dari sekelompok elite.

Baik itu elite partai politik yang haus akan kekuasaan maupun pemimpin organisasi massa yang selama ini merasa terpinggirkan, mereka saling

109

110

berkepentingan lalu memanfaatkan sentimen tersebut untuk melempengkan jalan masing-masing.

Elite politik menjadi penting dalam pemilihan umum karena elite politik merupakan individu yang menduduki posisi komando pada pranata-pranata utama dalam masyarakat. Dengan kedudukan tersebut para elite politik bisa mengambil keputusan keputusan yang membawa akibat yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan mengandalkan posisinya tersebut para elite politik bisa sangat mudah untuk menggunakan sentimen identitas dalam pemilihan umum termasuk

Pilkada DKI Jakarta, tumbuh subur nya sentimen tersebut di masyarakat Jakarta, menjadi bukti masyrakat Jakarta masih mudah termakan isu-isu seputar sentimen

Agama maupun Etnis dibandingkan melihat adu gagasan atau prospek kinerja calon pemimpin nya.

Kajian ini menjadi menarik mengingat Jakarta merupakan Ibu Kota

Negara yang menjadi barometer bagi daerah lain nya di Indonesia, Politisasi identitas sebagai agenda politik utama dalam pemilihan umum daerah yang terjadi dijakarta bisa saja akan ditiru oleh elite politik daerah lain nya yang daerahnya masih sangat kuat sentimen identitasnya seperti Aceh, Ambon, maupun Papua.

Hal ini berdampak akan mundurnya demokrasi di Indonesia karena orientasi pemilih akan beralih kepada kesamaan Identitas, dan bukan tak mungkin jika hal ini berlanjut akan terjadi konflik di sekala daerah maupun nasional karena kelompok minoritas yang juga warganegara terlucuti hak politik nya karena tidak dapat merepresentasikan kelompok nya dalam lingkup pemerintahan maupun 111

tidak adanya kesempatan untuk menjadi pemimpin selama sentimen identitas di jadikan agenda politik utama dalam pemilihan umum.

Selain peran besar elite politik maupun organisasi massa dalam menumbuhkan Sentimen Identitas di masyarakat, kemungkinan ada juga keterlibatan Lembaga Agama yang menjadi salah satu aktor politik penggerak suara masyarakat, mengingat dalam meraih simpati publik pasangan calon banyak mengunjungi tempat ibadah ataupun Lembaga Agama untuk menggaet suara pemilih hal ini lah yang belum bisa peneliti bongkar lebih lanjut di dalam penelitian ini,

Dimensi rekognisi yang tidak mengalami pertumbuhan merupakan alasan mengapa politik identitas menjadi sangat tumbuh pesat dalam pemilihan umum, selama tidak adanya rekognisi antar golongan politisasi identitas menjadi bahaya laten yang dapat merusak multikuturalisme Indonesia. Inilah yang menjadi tantangan kedepan bagi pemerintah, partai politik maupun masyrakat untuk dapat mengembangkan dimensi rekognisi melalui dialog antar golongan, agar politisasi identitas tidak dapat tumbuh di masyarakat dan menjaga keutuhan perstuan bangsa.

B. Saran

Adapun saran dalam penelitian ini adalah untuk bisa menjadi masukan terhadap pemerintah, partai politik dan masyrakat jakarta, agar lebih bisa memperhatikan lagi bahaya penggunaan politik identitas yang mengancam multikulturalisme di Indonesia pada umum nya dan Jakarta terkhususnya: 112

1. Riset tentang multikulturalisme politik menarik untuk dilakukan karena

keberagaman di Indonesia, maka harus dikembangkan serta harus adanya

kebijkan-kebijakan yang mengakomodasi multikulturalisme di masyarakat.

2. Politisasi Identitas di dalam Pemilihan umum harus dihentikan karena

menunjukan adanya kemunduran dalam iklim demokrasi di Indonesia,

politisasi identitas membuat masyrakat tidak perduli lagi dengan adu

gagasan calon pemimipin nya tetapi lebih kepada kesamaan identitas calon

pemimpin nya.

3. Partai Politik dan Pemerintah harus membangun kerjasama strategis guna

memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar isu sentimen dan

politisasi identitas tidak lagi menjadi kekhawatiran dalam kontestasi

Pemilihan Umum ditingkat nasional atu daerah.

113

Daftar Pustaka

Buku

Abdillah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: Indonesia Tera. Afillah, Muhammad. 2016. Dari Masjid Ke Panggung Politik : Melacak Akar-akar Kekerasan Agama Antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang, Jawa Timur, Penerbit CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies) Progam Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada Ardhana, Ketut. 2011. “Etnisitas dan Identitas: Integrasi Etnis dan Identitas dalam Terwujudnya Masyarakat Multibudaya di Bali”, dalam Masyarakat Multikultursl Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan Integrasi. Denpasar: Larasan dan Faksas. Arikunto , S. 2006. Prosedur Penelitian Suatau Pendekatan Praktik . Rineka Cipta Bagir, Zainal Abidin. 2011. Pluralisme Kewarganegaraan, Arah Baru Politik Keragaman Di Indonesia. Bandung- : Mizan dan CRCS Blackburn, Susan. 2013. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Komunitas Bambu Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Chaer, Abdul. 2012. Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi. Jakarta: Masup Jakarta. Hamid, Abdul 2017. Studi Ilmu Politik. Sebuah Pengantar. Serang: Untirta Press Kymlicka, Will. 2002. Kewargaan Multikulural: Teori Liberal Mengenai Hak-hak Minoritas.LP3ES Moleong, Lexy.J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu. Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Remaja Rosdakarya. ------2001. Mengapa dan Untuk Apa Kita Mempelajari Komunikasi Antar Budaya, Dalam: Komunikasi Antar Budaya, Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Oang Berbeda Budaya, Editor: Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasution S. 2003. Metode penelitian naturalistik – kualitatif. Bandung: Tarsito. 114

Sayekti Pujosuwarno. 1992. Penulisan Usulan dan Laporan Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Lemlit IKIP Yogyakarta Syaodih Sukmadinata, Nana, 2005, Metode Penelitian Pendidikan, Badung : Remaja Rosda Karya Widayanti, Titik. 2009. Politik Subalter: Pergulatan Identitas Waria. UGM. Yogyakarta Sumber Lain Data KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) DKI Jakarta Data BPS (Badan Pusat Statistik) DKI Jakarta Data BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu) DKI Jakarta

Jurnal/ Tesis: Fikri, Adrian. 2013 Identitas etnis dalam pemilihan kepala daerah 2012. UIN Jakarta Haboddin, Muhtar. 2012 “Menguatnya Politik Identitas Diranah Lokal” Jurnal Studi Ilmu Pemerintahan UMY Hamid, Abdul. 2014. “Jokowi’s Populism in the 2012 Jakarta Gubernatorial Election” in: Journal of Current Southeast Asian Affairs, 33, 1, 85–109. Kaliwarang, Harry. 1998 Peranan Agama Dalam Percaturan Politik Madung, Otto. 2012 “Politik Diferensasi : Memahami Konsep Multikulturalisme Charles Taylor” Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero Marzuki, Muhammad. 2010 “Perspektif Etnik Situasional Dalam Komunikasi Politik Anggota Dprd Pada Wilayah Multi Etnik” Jurnal Academica Fisip Untad Vol.2 No.2 Miichi, Ken. 2014. “ The Role of Religion and Ethnicity in Jakarta’s 2012 Gubernatorial Election”, in: Journal of Current Southeast Asian Affairs, 33, 1, 55 – 83. Munir, Asep. 2018 “Agama, Politik Dan Fundamentalisme” Jurnal For Islamic Studies vol.1 Puspitasari, Elis. 2010 “Politisasi Agama: Kajian Tentang Politisasi Agama oleh Para Caleg pada Pemilu Legislatif 2009 di Banyumas” Setyaningrum, Arie. 2005. “Memetakan Lokasi bagi „Politik Identitas‟ dalam Wacana Politik Poskolonial”. Jurnal Mandatory Politik Perlawanan. Edisi 2/ Tahun 2/ 2005 hal 19 115

Sofianto, Arif. 2007 Stanford Encyclopedia of Philosophy, The Role of Religion in Voters’ Preference During General Election 2014 in Central . Internet Muslim (2017) “Jenazah Nenek Hindun Ditelantarkan warga setelah memilih Ahok” Diakses melalui http://news.liputan6.com/read/2882270/jenazah-nenek-hindun- ditelantarkan-warga-setelah-pilih-ahok, pada hari Jumat 23 maret 2018 pukul 17:00 WIB. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta “ Geografis Jakarta” Diakses melalui https://jakarta.go.id/artikel/konten/55/geografis-jakarta pada hari Senin, 25 Juni 2018 Pukul 10:00 WIB DPRD DKI Jakarta “Sejarah DPRD DKI Jakarta “ Diakses melalui http://dprd-dkijakartaprov.go.id/sejarah pada hari Minggu, 1 Juli 2018 pukul 13:00 WIB Wikipedia “DPRD DKI Jakarta” Diakses melalui https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Daerah_Pro vinsi_Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta pada hari Minggu, 1 Juli 2018 Pukul 13:05 WIB Wijaya, Natalya (2017). “Gubernur Jakarta Dari Masa Ke Masa” Diakses melalui http://www.damniloveindonesia.com/explore/2-culture- heritage/detail/1204/gubernur-jakarta-dari-masa-ke-masa Senin, 25 Juni 2018 pukul 14:00 WIB Amri, Arfi (2012). “Exit Poll Pemilih Foke Dan Jokowi Berdasarkan Etnis” Diakses melalui http://metro.news.viva.co.id-exit-poll–pemilih- foke-dan-jokowi-berdasar-etnis pada hari Senin, 9 Juli 2018 Pikul 15:20 WIB Republika (2015). “MUI : Muslim Jangan Pilih Pemimpin Non-Muslim” Diakses melalui https://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot- politic/14/03/21/n2siql-mui-muslim-jangan-memilih-pemimpin- nonmuslim pada hari Sabtu, 7 Juli 2018 Pukul 19:00 WIB Tempo (2017). “Survei Pilkada, Sentimen Agama Meningkat di Jakarta” Diakses melalui https://fokus.tempo.co/read/1001145/survei-pilkada- sentimen-agama-meningkat-di-jakarta pada hari Senin, 9 Juli 2018 Pukul 16:00 WIB BBC Indonesia (2017) “Anies-Sandi 'gunakan masjid' untuk kalahkan Ahok-Djarot?” Diakses melalui http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39494240 pada hari Minggu, 8 Juli 2018 Pukul 12:20 WIB 116

CNN Indonesia (2017) “Menyimak Isis Khotbah Jumat Di Masjid Tamsya Al-Maidah” Diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20170421163211-516- 209318/menyimak-isi-khotbah-jumat-di-masjid-tamasya-al-maidah/ pada hari Minggu, 8 Juli 2018 Pukul 13:40 WIB Jappy (2013) “Sentimen SARA” Diakses melalui https://www.kompasiana.com/opajappy/552914c06ea8343a3c8b45d6/ sentimen-sara pada hari Selasa, 10 Juli 2018 pukul 13:00 WIB Ismail, Taufik (2017) “Dianggap Lingkungan Masjid, Panitia Pengawas Kecamatan Senen Minta Kampanye Anies Dihentikan” Diakses melalui http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/03/09/dianggap- lingkungan-masjid-panitia-pengawas-kecamatan-senen-minta- kampanye-anies-dihentikan pada hari Jumat, 13 Juli 2018 pukul 09:00 WIB Kumpara (2017) “Agus Resmikan Masjid di Jelambar Sambil Kampanye” Diakses melalui https://kumparan.com/@kumparannews/agus- resmikan-masjid-di-jelambar-sambil-kampanye pada hari Jumat, 13 Juli 2018 Pukul 09:10 WIB Nahimunkar (2016) “Usai di Kalideres dan Grogol, Kedatangan Ahok ke Penjaringan Juga Ditolak Warga DKI” Diakses melalui https://www.nahimunkar.org/usai-kalideres-dan-grogol-kedatangan- ahok-penjaringan-ditolak-warga-dki/ pada hari Jumat, 13 Juli 2018 Pukul 09:30 WIB

Identitas Personal

Nama : Andy Prima Sahalatua

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Kristen Protestan

Status : Single

Tempat Lahir : Jakarta

Tanggal Lahir : 14 Agustus 1996

Berat / Tinggi Badan : 68 kg / 178 cm

Alamat : Jl. H. Baping Gg. Asam No. 95, Ciracas, Jakarta Timur

No. Hp. : 0821-2033-7301

Alamat Email : [email protected]

Pendidikan Formal

Pendidikan Tertinggi : S1 Ilmu Pemerintahan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa - Banten

Sekolah Menegah Atas : SMA.N 105 – Jakarta 2014

Sekolah Menengah Pertama : SMP.N 106 – Jakarta 2011

Sekolah Dasar : SD.K Ignatius Slamet Riyadi – Jakarta 2002-2008

Taman Kanak-Kanak : TK Marsudi Luhur – Jakarta 2000-2001

Pendidikan Non Formal

2013 : Petrof Piano House

2009 - 2012 :Wadokai Karatedo Indonesia

Penghargaan

2012 : Siswa Berprestasi DKI Jakarta

2016 :Youth Governance Ambassador OJK RI

+62 821 2033 7301

Pengalaman Organisasi

• OSIS SMP.N 106 Jakarta

• OSIS SMA.N 105 Jakarta

• Kepala Departemen Minat Dan Bakat HIMA IP FISP UNTIRTA

• Kepala Departemen Kajian Strategis Dan Advokasi BEM FISIP UNTIRTA

• Languages Skill (Bahasa, English, Korea Basic)

• Sekretaris Fungsi Perguruan Tinggi GMKI Cabang Serang

• Ikatan Lemabaga Mahasiswa Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Seluruh Indonesia

+62 821 2033 7301 Lampiran Sistematika Bab Jenis Sumber Data Pedoman Wawancara

Data

A. Menguatnya Data - Tim sukses - Menurut

identitas di Primer pasangan Saudara

masyarakat calon adakah

pasca aksi pengaruh

damai 212 kasus

menjelang penistaan

Pilkada DKI Agama salah

Jakarta tahun satu calon

2017 Gubernur DKI

Jakarta

terhadap

perilaku

pemilih?

- Alumni - Apakah aksi

aksi damai damai 212

212 pada akhir

tahun 2016

ada kaitan nya

dengan

pilkada DKI

1

2

Jakarta 2017?

- Menurut

saudara

adakah

indikasi

politisasi

Identitas

dalam aksi

damai 212

tersebut?

B. Penggunaan isu Data - Tim sukses - Apakah ada

Agama dan Primer pasangan penggunaan

Etnis dalam dan calon isu Agama

pilkada 2017 Sekunder maupun etnis

yang

menyerang

pasangan yang

saudara

dukung?

- Adakah

saudara

3

beserta timses

lain nya

menggunakan

isu Agama

atau Etnis

unutk

menggaet

simpati

pemilih?

- Bagaimana

cara saudara

mengatasi Isu

Identitas yang

menyerang

pasangan

calon yang

saudara

dukung?

- Bagaimana

- Alumni tanggapan

aksi damai saudara

212 mengenai

menguatnya

4

isu identitas

Agama dan

Etnis dalam

pilkada DKI

Jakarta?

- Apa Pendapat

saudara

mengenai

- Bawaslu menguatnya

DKI isu identitas

Jakarta dan Agama dan

KPUD Etnis dalam

DKI pilkada DKI

Jakarta Jakarta?

- Apa

tanggapan

saudara

mengenai

adanya

kampanye

C. Kampanye Data yang berunsur

politik yang Primer - Tim sukses SARA baik

mengandung isu dan pasangan dalam bentuk

5

SARA Sekunder calon media cetak

maupun di

media elektro

nik?

- Bawaslu - Adakah

DKI pelanggaran

Jakarta kampanye

politik yang

dilakukan

timses atau

simpatisan

pasangan

- KPUD calon yang

DKI mengandung

Jakarta isu SARA?

- Bagaimana

cara Bawaslu

mengatasi

Kampanye

politik yang

mengandung

unsur SARA?

- Bagaimana

6

cara KPUD

- Tim sukses DKI Jakarta

pasangan dalam

calon mensosialisasi

kan pemilu

- Alumni yang bebas

Aksi damai dari isu

212 SARA?

- Apa pendapat

- Bawaslu saudara

DKI mengenai

Jakarta fenomena

kasus yang

- KPUD terjadi di

DKI Setiabudi

Jakarta Jakarta

D. Pembelahan Data Selatan yang

Sosial di Primer dialami oleh

masyarakat alm.nenek

akibat Hindun yang

menguatnya tidak boleh di

politik Identitas shallat kan di

di Pilkada DKI salah satu

7

Jakarta masjid karena

mendukung

pasangan

calon yang

berbeda

agama?