Al -Qadhâ: Vol. 5, No. 1, Juli 2018 Januari – Juni 201 8

PLURALISME HUKUM WARIS DI

Adelina Nasution Dosen Fakultas Syariah IAIN Langsa E-mail. [email protected]

Abstract . Law of inheritance in Indonesia up to now in a pluralistic (diverse). In the territory of the Unitary Republic of Indonesia, various inheritance legal systems apply, namely customary inheritance law, Islamic inheritance law and Western inheritance law listed in Burgerlijk Wetboek (BW). This legal diversity is increasing because customary inheritance laws that apply in reality are not single, but also vary according to the form of society and the family system of Indonesian society. Keywords : Pluralism, inheritance, custom

Abstrak . Hukum waris di Indonesia hingga kini dalam keadaan pluralistik (beragam). Di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Keanekaragaman hukum ini semakin bertambah karena hukum waris adat yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam mengikuti bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia. Kata kunci : Pluralisme, Waris, Adat

Pendahuluan Pluralism hukum di Indonesia sangat dipengaruhi (beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam oleh kebudayaan masyarakat Indonesia yang sangat pemahaman, atau bermacam-macam paham Untuk plural dan beragam. Era kolonialisme corak itu kata ini termasuk kata yang ambigu (bermakna pluralisme hukum di Indonesia lebih didominasi oleh lebih dari satu). Pluralisme hukum secara umum peran hukum Adat dan hukum Agama, namun pada didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua era kemerdekaan Pluralisme hukum di Indonesia atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu lebih dipicu oleh peran Agama dan Negara, Hukum kehidupan sosial. Dipraktikkannya lebih dari satu Adat pada era kemerdekaan tidak begitu hukum oleh masyarakat Indonesia (hukum Adat, mendapatkan legalitas positifistik dari Negara, Agama, dan Barat) inilah yang oleh para ahli hukum namun berbanding terbalik dengan hukum Agama disebut sebagai Pluralisme Hukum. 2 yang menjadi sentral dalam perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Menariknya, meskipun hukum adat tidak mendapatkan legalitas dari Negara, namun tetap hidup atau dipraktikkan secara terus- dijuluki “muhammad Imarah ” sebagai marhalat al-Ijtiyaah menerus oleh masyarakat Adat di Indonesia. (fase pembinasaan). Yaitu sebuah perkembangan yang prinsipnya tergambar jelas dalam upaya Barat yang habis- Secara terminology pluralisme 1 berasal dari habisan guna menjajakan ideologi modernnya yang bahasa Inggris: pluralism , terdiri dari dua kata plural dianggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas dan mengekspornya untuk konsumsi luar guna berbagai kepentingan yang beragam. Lihat, Liza 1 Terminologi pluralisme atau dalam Bahasa Arab “at- Wahyuninto dan Abd. Qadir Muslim, Memburu Akar ta’addudiyyah” tidak dikenal secara popular dan tidak Pluralisme Agama (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal banyak dipakai di kalangan Islam kecuali sejak kurang 7 lebih dua dekade terakhir abad ke-21 yang lalu, yaitu 2Hendra Nurtcahyo, Legal Standing Kesatuan ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan Masyarakat Hukum Adat (Jakarta: Salemba Humanika, insternasional Barat yang baru memasuki sebuah fase yang 2010), hal. 15. Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia |20

Al -Qadhâ: Vol. 5, No. 1, Juli 2018 Januari – Juni 201 8

Pluralisme hukum adalah sesuatu yang ada di Perjanjian lintas primordial dituangkan dalam segala situasi, merupakan sesuatu yang berlaku sebuah dokumen yang dikenal dengan Piagam umum dalam kehidupan masyarakat, dimana setiap Madinah. Dokumen ini sebagai bukti diakuinya hukum dan institusi hukum yang berlaku dalam paham pluralisme hukum guna mengakomodir suatu masyarakat tidak tergabung dalam atau hukum-hukum yang hidup dan masih dianut oleh bersumber pada satu sistem tetapi bersumber pada komunitas suku-suku masyarakat Arab. Demikian tiap aktivitas pengaturan diri sendiri yang ada pada pula di kalangan intenal muslim Anshar dan muslim berbagai wilayah sosial yang beragam. Aktivitas Muhajirin senantiasa mengesampingkan paham tersebut dapat saling mendukung, melengkapi, primordialisme sebagai cikal bakal lahirnya mengabaikan atau mengacaukan satu dengan yang masyarakat Madinah. Padahal sebelumnya kaum lain, sehingga “hukum” yang efektif secara nyata Muhajirin dan Anshar berasal dari beragam suku dalam masyarakat adalah hasil dari proses kompetisi, atau kabilah sering terjadi pertikaian dan selalu interaksi, negosiasi dan isolasi yang bersifat menampakkan sikap “ego” sektoral, primordial, kompleks dan tidak dapat diprediksi teritorial kesukuan, kehormatan suku dengan mengandalkan kekuatan fisik. Sejarah Pluralisme Hukum di Indonesia Realitas sejarah lainnya menunjukkan bahwa Pada masa Nabi Muhammad, ajaran syariah yang masyarakat Madinah adalah masyarakat plural, yang bersumber dari al-Qur’an dijadikan sebagai pondasi dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai sentral untuk diterapkan kepada semua warga negara penguasa sekaligus pemimpin warga negara Madinah yang terdiri dari beragam etnis, warna kulit Madinah memberi kebebasan kepada warganya dan suku. Masyarakat Madinah pada saat iti adalah melaksanakan sistem nilai yang telah berjalan dan masyarakat plural dan hukum yang berlaku adalah melekat pada setiap warga. Keberhasilan Nabi hukum yang bersifat universal, seperti keadilan, menyatukan sejumlah kepentingan suku-suku Arab, persamaan, kebebasan, dan persaudaraan. tanpa memarjinalisasikan kepentingan kelompok Berdasarkan catatan sejarah, konsep pluralisme atau suku tertentu saja, serta melahirkan masyarakat hukum telah dipraktekkan Nabi saw. sebagai berperadaban atau masyarakat ideal menjadi penguasa masyarakat plural, masing-masing mereka inspirasi pemikir Barat untuk menggagas kembali melekat hukum-hukum yang berlaku dalam tradisi peradaban masyarakat modern, yang dikenal dengan Arab jahiliyah. Pluralisme hukum tidak hanya istilah civil society .4 Konsep ini selanjutnya sebatas wacana akademik dipandang sebagai sesuatu berkembang di abad modern yang dikemas dalam yang baru di zaman modern, paling tidak pendekatan bentuk pluralisme, demokrasi, reformasi, dan dan sistem sosial masyarakat turut membedakan penguatan masyarakat sipil. ajaran pluralisme hukum pada masa Nabi dengan konsep pluralisme hukum di abad modern. Pluralisme hukum di Indonesia mulai disadari sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. 5 Fakta Fakta sejarah membuktikan adanya sebuah masyarakat pribumi yang mempraktikkan beragam dokumen resmi yang memuat ajaran pluralisme hukum, menuntut pemerintahan Hindia Belanda hukum yang dijadikan pegangan dan dasar oleh Nabi untuk memberlakukan hukum yang sama bagi semua untuk menggambarkan bekerjanya sistem hukum masyarkat Pribumi. Isu mengenai kebijakan yang hidup pada saat itu. Pada masa ini sistem hukum yang berlaku tidak terbatas pada hukum al- Qur’an (Islam), akan tetapi sistem hukum agama yang diakomodir ke dalam prinsip ‘urf adalah budaya yang selain Islam, termasuk hukum adat keberadaannya tidak bertentangan dengan Alqur’an dan Hadis. Lihat, Amir Syarifuddim, Ushul Fiqh , Jilid I (Jakarta: Kencana, diakui dan dijamin oleh Nabi sebagai kepala negara.3 2010), hal. 89. 4A. Ubaidillah dkk, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani (Jakarta: IAIN 3‘Urf sebagai sebuah metode penemuan hukum dapat Jakarta Press, 2000), hal. 137. dijadikan kerangka analisis dalam mengkaji keragaman 5Suhrawati K dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris budaya atau adat istiadat. Keragaman budaya atau ‘urf Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 8. Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia |21

Al -Qadhâ: Vol. 5, No. 1, Juli 2018 Januari – Juni 201 8

pemerintahan Hindia Belanda untuk memberlakukan pegangan para hakim, seperti Mogharrer Code pada satu hukum yang tepat bagi masyarakat pribumi, tahun 1747, Compendium Freijer pada tahun 1761. 8 mendorong beberapa Ahli untuk mencari formulasi Kedua, teori receptio. Teori receptio adalah hukum yang tepat bagi masyarakat Pribumi. bantahan Snouck Hurgronje (1857-1936) terhadap Ada tiga teori hukum pada masa penjajahna teori receptio in complexu yang pada saat itu ia Belanda yaitu: menjadi penasehat pemerintahan Hindia Belanda urusan agama Islam dan bumi putra. 9 Menurut Pertama, Teori Receptio in complexu yang Snouck, hukum yang diberlaku bagi orang Islam diperkenalkan oleh Christian Van den Berg (1845- adalah hukum adat. Hukum Islam berlaku jika telah 1927), Ia seorang ahli hukum Islam yang pernah diterima hukum adat. Teori ini menjadi terkenal tinggal di Indonesia pada tahun 1870-1887, Pendapat setelah disistematisasikan dan dikembangkan oleh ini diperkuat oleh L.W. Christian van den Berg Cornelis van Vollenhoven dan ter Haar dan para dengan pernyataan bahwa hukum mengikuti agama pengikutnya. Teori ini sangat sistematis yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk mengerdilkan bahkan menghapuskan keberlakuan agama Islam maka hukum Islamlah yang berlaku hukum Islam di Indonesia. Keberlakukan hukum baginya. Menurut Berg orang Islam Indonesia telah Islam (dalam arti materil) maupun dalam proses melakukan resepsi hukum Islam dalam peradilan (dalam arti formil) dihapus. Pada saat teori keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan yang ini berlaku, politik hukum Islam benar-benar berada disebut dengan receptio in complexu. 6 Ungkapan pada kemunduran bahkan dalam jurang kehancuran Van den Berg ini didasari oleh pernyatakaan yang mengatakan hukum Islam telah berlaku pada Ketiga , teori receptie exit pada masa awal masyarakat asli Indonesia sejak 1883 yang diperkuat kemerdekaan terjadi pertarungan antara teori receptie dengan adanya Regeering Reglement, dan dengan teori receptie exit . Teori receptio secara Compendium freijer tahun 1706 tentang hukum formal maupun secara tidak formal telah berlaku di perkawinan dan kewarisan Islam. 7 Indonesia. Para ahli hukum Islam menentang teori ini, misalnya mengatakan teori yang Materi teori receptio in complexu dimuat dalam dikemukakan oleh Snouck Hurgronje adalah teori pasal 75 RR (Regeeringsreglement) tahun 1855. iblis (teori Syetan). Teori ini hendak mematikan Pasal 75 ayat 3 RR berbunyi: “oleh hakim Indonesia hukum Islam yang telah diterima oleh masyarakat itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama Indonesia dan merupakan suatu ajakan kepada umat (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Islam untuk tidak patuh dalam melaksanakan Indonesia itu”. Hukum Islam berlaku bagi orang perintah Allah dan Rasulnya. Hazairin mengatakan; Islam dengan istilah godsdienstige wetten . Pada masa teori ini terdapat Stbl. 1888 Nomor 152 tentang “Bahwa teori receptie , baik sebagai teori pembentukan Pengadilan Agama (Priesterrad) maupun sebagai ketetapan dalam pasal 134 disamping Pengadilan Negeri (landraad) , yang ayat 2 Indische Staatsregeling sebagai konstitusi Balanda telah lama mati, yaitu sebelumnya didahului dengan penyusunan kitab terhapus dengan berlakunya UUD 1945, yang berisi himpunan hukum Islam sebagai sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia.” 10 Pemahaman inilah yang dimaksud dengan 6 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu matinya atau hapusnya teori receptie atau keluarnya Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), hal. 241; Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai 8Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Waris ..., hal.73- Indonesia) (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hal 311. 74; Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dan 7Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 28 ; A. Rosyadi Indonesia (Jakarta : Gaya Media Prata, 2001), hal. 112. dan Rais Ahmad ed., Formalisasi Syari’at Islam dalam 9 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam... hal. 242. Perspektif Tata Hukum di Indonesia (Bogor: Ghalia 10 Hazairin, Hukum Keluarga Nasional (Jakarta : Indonesia, 2006), hal. 73-74. Tintamas, 1982), hal. 7-8. Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia |22

Al -Qadhâ: Vol. 5, No. 1, Juli 2018 Januari – Juni 201 8

dari teori receptio yang disebut dengan Receptie exit . Berlakunya teori receptio exit diawali pengesahkan UUD 1945 oleh PPKI pada tanggal 17 Agustus Pluralisme Hukum Waris di Indonesia 1945. Bagian pembukaannya merupakan Piagam Pengaruh dari teori receptie pada zaman Belanda Jakarta yang merupakan keberhasilan dari tokoh di Indonesia di mana sampai saat ini hukum waris tokoh kebangsaan yang selalu memperjuangkan masih bersifat pluralisme, setidaknya terdapat tiga berlakuya hukum Islam, Walaupun dalam piagam sistem hukum yang hidup dan berkembang serta tersebut telah dihapuskan tujuh kata (“dengan diakui keberadaannya, yakni sistem Hukum Adat, kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk- sistem Hukum Islam dan sistem Hukum Barat. 13 pemeluknya”) namun di dalamnya terdapat landasan filosofis adalah Pancasila sebagaimana rumusannya Pada prinsipnya ketiga hukum waris ini sama terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD yaitu sama-sama mengatur peralihan hak atas harta 1945 dan landasan yuridis yang terdapat dalam pasal benda pewaris kepada ahli waris dari si-pewaris. 29 UUD 1945 tentang kebebasan pemberlakuan Walaupun dalam prakteknya terjadi perbedaan hukum agama bagi pemeluknya. karena hukum Islam dan hukum waris barat (BW) menentukan syarat adanya kematian, sedangkan Keberlakuan hukum Islam akhirnya dimasukkan hukum adat berdasarkan sistem keturunan. Dalam dalam rumusan dasar negara Republik Indonesia hukum Islam dan hukum waris barat (BW) yang dikenal dengan Piagam Jakara yang berbunyi: pembagian harta warisan dapat dilakukan setelah Negara berdasarkan kepada Ketuhanan dengan pewaris meninggal dunia, sedangkan hukum adat, kewajiban menjalankan syaria Islam bagi pembagian harta warisan dapat dilakukan selagi pemeluknya.” Tujuh kata terakhir ini yang semula pewaris masih hidup. tercantum dalam Piagam Jakarta di hapus oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Di sisi lain seiring dengan adanya budaya unifikasi, hukum-hukum adat masih mengakar dan Namun melalui dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli mempunyai pengaruh kuat di dalam masyarakat. 1959 yang menyatakan kembali ke UUD 1945, Bahkan di beberapa di daerah di Indonesia hukum Soekarno mengatakan bahwa “kita percaya bahwa Islam telah hidup dan menjadi dasar dari hukum piagam Jakarta yang ditulis tanggal 22 Juni 1945 adat. Seperti halnya kata pepatah adat bersendi adalah inspirasi dibelakang UUD 1945, dan adalah syarak, syarak bersendi kitabullah yang bagian yang integral dari konstitusi ini.” 11 Dalam menunjukkan arti bahwa hukum Islam telah sejarah pembentukan dasar negara bahwa sila mengakar pada masyarakat minangkabau jauh pertama berasal dari piagam Jakarta yang berbunyi sebelum terbentuknya negara Indonesia. 3 Jadi hingga “negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa, saat ini meskipun ada unifikasi hukum perkawinan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pada kenyataanya masih banyak masyarakat yang pemeluknya.12 masih menggunakan hukum perkawinan adat. Tidak hanya nikah sirri tapi juga ada cerai sirri atau cerai 11 Rifyal Ka’bah, The Jakarta Charter and The Dynamic yg tidak melalui lembaga peradilan agama. of Islamic Syariah in the History of Indonesian Law (Jakarta: University of Indonesia School of Law Post Graduate Studies Program, 2006), hal.7. Lihat juga Muhammad Hatta, Sekitar Proklamasi (Jakarta: Tintamas, 1971), hal. 57-59. kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- 12 Dalam sejarah pembentukan Pancasila sebagai dasar pemeluknya” (kemudian dikenal dengan istilah “tujuh negara, semula golongan Islam menghendaki Islam sebagai kata”). Lihat, Yudi Latif, Negara Paripurna (Historitas, dasar negara, namun dalam perdebatan dan kompromi, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila) (Jakarta: PT. Islam tidak dijadikan dasar negara (dan agama negara), Gramedia Pustaka Utama, 2011). hal. 24. tetapi terjadi perubahan dalam tata urut Pancasila dari 13 Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di susunan yang dikemukakan Soekarno pada tanggal 1 Juni. Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 312. ; Hilman Prinsip “Ketuhanan” dipindah dari sila terakhir ke sila Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia pertama, ditambah dengan anak kalimat “dengan (Bandung: Mandar Maju, 1992), hal. 15. Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia |23

Al -Qadhâ: Vol. 5, No. 1, Juli 2018 Januari – Juni 201 8

Hukum Waris Adat atau kepada maknya, tergantung kepada bentuk perkawinan orang tuannya itu, dan karena itu Di Indonesia Hukum Waris Adat 14 bersifat termasuk ke dalam clan ayahnya ataupun ke pluralisme hal ini mengikuti ketentuan hukum adat dalam clan ibunya yakni dalam system pada suku-suku atau kelompok-kelompok etnik yang patrilineal yang beralih-alih, seperti di Lampung ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem dan Rejang. garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku-suku atau kelompok- 2. Matrilineal, yang juga menimbulkan kesatuan- kelompok etnik. 15 Hukum Waris Adat memuat kesatuan kekeluargaan yang besar-besar, seperti peraturan-peraturan yang mengatur proses clan , suku, di mana setiap orang itu selalu meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta menghubungkan dirinya hanya kepada maknya benda dan barang-barang yang tidak berwujud atau ibunya, dan karena itu termasuk ke dalam (Immatereriele goederen ) dari suatu angkatan clan dan suku; manusia ( Generatie ) kepada turunannya. 16 3. Parental atau Bilateral, yang mungkin Hukum Waris Adat di Indonesia tidak lepas dari menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang yang besar-besar, seperti tribe, rumpun, dimana berbeda. Hukum Waris Adat mempunyai corak setiap orang itu menghubungkan dirinya dalam tersendiri dari Hukum Waris lainnya. hal keturunan baik kepada maknya maupun Berkembangnya Hukum Islam ataupun Hukum Barat kepada ayahnya. tentunya ikut mempengaruhi Waris Adat, hal ini Bentuk masyarakat dengan hubungan kekerabatan tentu juga akan mempengaruh Masyarakat Adat di patrilinel, matrilineal, dan parental atau bilateral Indonesia. Adapun sistem hukum warisan adat di tersebut di atas, banyak dijumpai di dalam Indonesia dipengaruhi oleh prinsip garis masyarakat Indonesia, seperti dalam bentuk kekerabatan. Ada tiga prinsip pokok garis masyarakat kekerabatan patrilineal dalam kekerabatan atau keturunan, yaitu: 17 masyarakat Batak, Bali, Tanah Gayo, Timor, 1. Patrilineal, yang menimbulkan kesatuan Ambon, dan Papua. Sedangkan bentuk masyarakat kekeluargaan yang besar-besar, seperti clan, dengan hubungan kekerabatan matrilineal adalah di marga, dimana setiap orang itu selalu Minangkabau. Adapun bentuk masyarakat menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya. kekerabatan parental atau bilateral dapat dilihat di Oleh karena itu, termasuk ke dalam clan Jawa, Kalimantan, seluruh Sulawesi, Riau, dan ayahnya, yakni dalam sistem patrilineal murni Lombok. seperti di tanah Batak atau dimana setiap orang Dasar hukum berlakunya Hukum Waris Adat itu menghubungkan dirinya kepada ayahnya terdapat dalam pasal 131 I.S ( Indische Staatssregeling) ayat 2 b ( Staateblad 1925 14 Menurut hukum adat waris memuat Nomor.415 juncto . 577), termasuk juga berlakunya peraturan peraturan yang mengatur proses meneruskan hukum waris adat yaitu : “Bagi golongan Indonesia serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang- asli (Bumi putra), golongan timur asing dan bagian- barang yang tidak berwujud benda (immateriale goederen ) dari suatu angkatan manusia (geberatie) kepada bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku turunannya. Lihat, Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum peraturan hukum yang didasarkan atas agama dan Waris di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 1. kebiasaan mereka.” 18 15 Soerjon Soekanto, Kamus HukumAdat (Bandung: Alumni 1978), hal. 8. Adapun sifat Hukum Waris Adat dapat 16 R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat (Jakarta: diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum Prandya Paramita, 2007), hal. 20. 17 Al-Yasa’ Abu Bakar, Rekonstruksi Fikih Kewarisan: Reposisi Hak-hak Perempuan (Banda Aceh: LKAS, 2012), hal. 21-25; Moh. Muhibbuddin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam: Sebagai Pembaruan Hukum Positif di 18 Pasal 137 IS (Indische Staatssregeling ) ayat 2 b Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 41. (Staateblad 1925 Nomor. 415 Juncto . 577). Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia |24

Al -Qadhâ: Vol. 5, No. 1, Juli 2018 Januari – Juni 201 8

waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah termuda (Batak) atau perempuasn termuda atau : anak laki-laki saja. 1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak Dalam hukum waris adat dikenal beberapa merupakan kesatuan yang dapat dinilai prinsip yaitu : harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak 1. Prinsip azas umum yang menyatakan ”Jika dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut pewarisan tidak dapat dilaksanakan berdasarkan jenis macamnya dan kepentingan para ahli ketentuan yang berlaku, maka warisan ini waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dilakukan secara keatas atau kesamping. dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama- kesatuan yang dapat dinilai dengan uang; tama anak laki atau perempuan dan keturunan 2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas mereka. Kalau tidak ada anak atau keturunan legitieme portie atau bagian mutlak, secara menurun, maka warisan itu jatuh pada sebagaimana diatur dalam hukum waris barat ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini dan hukum waris Islam; juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara- saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka 3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak yaitu keluarga sedarah menurut garis bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga agar harta warisan segera dibagikan. yang terdekat mengecualikan keluarga yang Di Indonesia dijumpai tiga sistem kewarisan jauh “. hukum adat sebagai berkut: 19 2. Prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling) 1. Sistem Kewarisan Individual: Berdasarkan yang menyatakan bahwa jika seorang anak prinsip ini, maka setiap hali waris mendapatka sebagai ahli waris dari ayahnya, dan anak atau memiliki harta warisan menurut bagiannya tersebut meninggal dunia maka tempat dari anak masing-masing. Pada umumnya sistem ini itu digantikan oleh anak-anak dari yang dijalankan di masyarakat yang menganut sistem meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal kemasyarakatan Bilateral di Jawa. harta) Dan warisan dari cucu ini adalah sama 2. Sistem Kewarisan Kolektif: Menurut sistem ini, dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai ahli waris menerima penerusan dan pengalihan bagian warisan yang diterimanya. Dikenal harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai dimana hak dan kedudukan juga bisa seperti hak untuk menggunakan atau mendapat hasil anak sendiri (Kandung) “. dari harta tersebut. Dalam hukum Adat pada umumnya perbedaan 3. Sistem Kewarisan Mayorat: Menurut sistem ini agama tidaklah masalah karena tidak menjadi harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan penghalang mewarisi. Ketika hukum Adat yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilaksanakan maka tidak didapatkan kepastian dilimoahkan kepada anak tertentu saja. hukum karena setiap adat berbeda aturannya, maka Misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, akan terjadi banyak hukum yang berbeda. Dan jika Teluk ) atau perempuan tertua dilakukan hukum Adat dalam pembagian warisan (Semendo/Sumatera Selatan), anak laki-laki maka ada dua hal yang menjadikan ketidakadilan serta merugikan salah satu pihak yaitu: pertama, masyarakat patrilinial (kebapaan) seperti masayarakat suku Batak pada umumnya yang 19 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam memberikan harta warisan jauh lebih banyak kepada Kajian kepustakaan) (Bandung: Alfabeta, 2008), h.,285 ; Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kewarisan menurut Hukum pihak laki-laki. Kedua, masyarakat matrilinial Adat, dan Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, (keibuan) seperti masyarakat suku Minang pada 1993), hal. 36. Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia |25

Al -Qadhâ: Vol. 5, No. 1, Juli 2018 Januari – Juni 201 8

umumnya yang memberikan harta warisan jauh lebih 2. Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut banyak kepada pihak perempuan. ashabah yaitu golongan ahli waris yang mendapat bagian terbuka atau sisa. Jadi, bagian Hukum adat tidak mengenal cara pembagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluakan dengan perhitungan matematika (angka), tetapi adalah dzul farâ’idh , setelah itu sisanya selalu didasarkan atau pertimbangan mengingat diberikan kepada ashabah . wujud banda dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi walau hukum waris adat 3. Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul mengenal azas kesamaan hak, tidak berarti bahwa arhâm. Golongan ini baru akan mewaris jika setiap ahli waris akan mendapat bagian warisan sudah tidak ada dzul farâ’idh dan tidak ada pula dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang ashabah . sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah Di antara ahli waris, ada yang tidak patut dan ditentukan. tidak berhak mendapat bagian waris dari Hukum Waris Islam pewarisnya karena beberapa penyebab, yaitu: 21 Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum 1. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh. “ berhak mendapat warisan dari keluarga yang Faraidh menurut istilah bahasa ialah takdir/qadar/ dibunuhnya; ketentuan dan pada syara adalah bagian yang 2. Budak (ar-Riq) diqadarkan/ditentukan bagi ahli waris. 3. Berbeda agama Harta warisan menurut Hukum Islam yaitu “sejumlah harta benda serta segala hak dari Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7 yang meninggal dunia dalam keadaan bersih”. Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dimana Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, para ahli waris adalah sejumlah harta benda mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris serta segala hak, “setelah dikurangi dengan dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta oleh wafatnya si peninggal waris” sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak. Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi atau dasar untuk mendapatkan bagian harta Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan peninggalan menurut Al-Qur’an, yaitu: 20 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tanggal 10 1. Karena hubungan darah; Juni 1991. 2. Hubungan semenda atau pernikahan; Hukum kewarisan menurut Instruksi Presiden No. 3. Hubungan persaudaraan, karena agama yang 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang ditentukan oleh Al-Qur’an bagiannya tidak selanjutnya disebut INPRES No. 1/1991 tentang lebih dari sepertiga harta pewaris; KHI adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan Ahli waris dalam hukum Islam secara garis besar (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu: berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya 1. Ahli waris menurut Al-Qur’an atau yang sudah masing-masing (Pasal 171 huruf a). ditentukan di dalam Al-Qur’an disebut dzul Hukum Waris Barat farâ’idh sehingga bagian mereka selamanya

tetap tertentu dan tidak berubah-ubah. 21 Muhamamd Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam , terj., A.M. Basalamah (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 41 ; Amir Syarifuddin, Hukum 20 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid Kewarisan Islam (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011), (Kairo: Al-Istiqomah: tt), hal. 333. hal. 204. Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia |26

Al -Qadhâ: Vol. 5, No. 1, Juli 2018 Januari – Juni 201 8

Hukum waris barat yang dimaksud adalah Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) yang sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris menganut sistem individual, dimana harta BW ada dua cara, yaitu: 22 peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan 1. Menurut ketentuan undang-undang ( ab pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada intestato ); Undang-undang berprinsip bahwa warga negara Indonesia keturunan asing seperti seseorang bebas menentukan kehendaknya eropah, cina, bahkan keturunan arab yang tidak lagi tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal berpegang teguh pada ajaran agamanya. Dalam dunia, namun bila ternyata orang tersebut tidak hukum waris barat terdapat dua unsur penting yaitu : menentukan sendiri ketika masih hidup maka 1. Unsur individual (menyangkut diri pribadi undang-undang kembali akan menentukan seseorang). Pada prinsipnya seseorang pemilik perihal pengaturan harta yang ditinggalkan atas suatu benda mempunyai kebebasan yang seseorang tersebut. seluas-luasnya sebagai individu untuk berbuat 2. Ditunjuk dalam surat wasiat ( testamen ); Surat apa saja atas benda yang dimilikinya termasuk wasiat ( testamen ) merupakan suatu pernyataan harta kekayaannya menurut kehendaknya. tentang apa yang dikehendaki setelah ia 2. Unsur sosial (menyangkut kepentingan meninggal dunia. Sifat utama surat wasiat bersama). Perbuatan yang dilakukan pemilik adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah harta kekayaan sebagaimana dijelaskan dalam pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak unsur individual dapat mengakibatkan kerugian dapat ditarik kembali. Ahli waris menurut surat pada ahli waris sehingga Undang-undang wasiat jumlahnya tidak tentu sebab bergantung memberikan pembatasan-pembatasan terhadap pada kehendak si pembuat wasiat. kebebasan pewaris demi kepentingan ahli waris. Dari kedua macam ahli waris tersebut, ahli waris Pembatasan tersebut dalam kewarisan perdata yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang- disebut dengan istilah Legitieme Portie yang artinya undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang bagian tertentu/ mutlak dari ahli waris tertentu. Oleh membatasi kebebasan seseorang untuk membuat karena bagian mutlak tersebut erat kaitannya dengan surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya, yaitu pemberian/hibah yang diberikan pewaris, yaitu dala Pasal 881 ayat (2), yaitu ” Dengan sesuatu pembatasan atas kebebasan pewaris dalam membuat pengangkatan waris atau pemberian hibah , pihak wasiat, maka Legitieme Portie diatur di dalam yang mewariskan atau pewaris tidak boleh bagian yang mengatur mengenani wasiat atau merugikan para ahli warisnya yang berhak atas testament . sesuatu bagian mutlak ”. Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga asal maupun harta gono-gini” atau harta yang yang menjadi ahli waris yaitu: 23 diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta 1. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus warisan dalam BW dari siapapun juga merupakan ke bawah meliputi anak-anak beserta keturunan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam mereka beserta suami atau isteri yang keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal ditinggalkan atau yang hiduppaling lama. warisan/pewaris ke ahli warisnya. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 849 BW, yaitu “ Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk 22 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Bandung: mengatur pewarisan. ” Intermesa, 1997), hal. 95. 23 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat adan BW (Bandung: PT Refika Aditama, 2013), hal. 30 ; Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 261. Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia |27

Al -Qadhâ: Vol. 5, No. 1, Juli 2018 Januari – Juni 201 8

2. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke Tujuan utama penyusunan KHI adalah untuk atas, meliputi orang tu dan saudara, baik laki- mempersatukan persepsi, pola pikir dan pola laki maupun perempuan, serta keturunan pandang para hakim pada Peradilam Agama dalam mereka. rangka penyelesaian perkara di antara orang-orang Islam agar para hakim tidak lagi merujuk kepada 3. Golongan ketiga, meliputi kakaek, nenek dan kitab-kitab fiqih dari berbagai mazhab fiqih, yang leluhur selanjutnya ke atsa dari pewaris hanya akan mengakibatkan terjadinya disparsitas 4. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga produk hakim untuk perkara yang sama, dan persepsi dalam garis ke sampin dan sanak keluarga yang tidak seragam tentang hukum waris Islam. lainnya sampai derajat keenam. Namun fakta penegakan hukum di lembaga Hukum waris barat atau hukum waris BW atau pengadilan maupun praktik hukum kewarisan Islam KUHPer yang menganut sistem individual, dimana di masayarakat tetap saja lebih mengedepankan peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan hukum adat daripada hukum Islam. pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada Sebagai salah satu produk pemikiran hukum warga negara Indonesia keturunan asing seperti Islam khususnya buku II tentang kewarisan sejak eropa, cina, bahkan keturunan arab & lainnya yang awal telah menimbulkan koontradiksi baik teks pasal tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya. yang diangap bertentangan dengan nash, maupun Sampai saat ini, aturan tentang hukum waris barat penghapusan hukum-hukum, seperti ashabah, beda tetap dipertahankan, walaupun beberapa peraturan agama, hajib mahjub dan lain-lai yang turut yang terdapat di dalam KUH Perdata dinyatakan berimplikasi terhadap munculnya disparsitas putusan tidak berlaku lagi, seperti hukum perkawainan hakim pengadilan agama. menurut BW telah dicabut dengan berlakunya UU Apabila diperhatikan isi KHI tentang kewarisan No. 1 /1974, tentang perkawinan yang secara tersebut seolah-olah menerima teori receptie dengan unifikasi berlaku bagi semua warga negara. mendudukan Hazairin sebagai mujtahid yamg Pluralisme Hukum Waris di Indonesia mengungguli kalangan mujtahid sebelumnya, di mana Hazairin mengadopsi pendapat-pendapat Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7 hukumnya tersebut dari hukum adat. Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, Gerakan perubahan hukum di Indonesia dengan mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris menggunakan pluralisme hukum sebagai pijakan, dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap telah melangkah cukup jauh. Salah satunya adalah hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta dengan diakuinya hak-hak masyarakat adat, sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam termasuk hukumnya dalam konstitusi. Berikut di Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak. antara peraturan yang mengabsahkan berlakunya Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi hukum adat : Peraturan Mendagri No.3 tahun 1997 Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan tentang Pemberdayaan dan Pelestarian Serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tanggal 10 Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Juni 1991. Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah. Undang- undang Dasar 1945 Amandemen, hukum adat diakui Ketentuan Hukum kewarisan menurut Pasal 171 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18B ayat (2) huruf (a) dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 yang menyatakan: Tentang Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disebut INPRES No. 1/1991 Tentang KHI adalah Negara mengakui dan menghormati kesatuan- hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, waris dan berapa bagiannya masing-masing. yang diatur dalam undang-undang. Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia |28

Al -Qadhâ: Vol. 5, No. 1, Juli 2018 Januari – Juni 201 8

Dengan kenyataan bahwa Hukum Waris di Penutup Indonesia bersifat pluralis, sudah barang tentu Dalam sejarahnya ketiga sistem hukum waris membuat pencari keadilan bertanya-tanya, hukum tersebut (Hukum waris Adat, Hukum waris Islam waris manakah yang paling tepat digunakan apabila dan Hukum waris Barat) mengalami perkembangan terjadi persoalan dalam pewarisan. Pada umumnya dan proses pelembagaan yang berlain-lainan. Hukum orang lalu akan mencari keadilan di lembaga waris Barat relatif tidak mengalami perubahan, yakni peradilan yang disediakan oleh negara. Pada bersumber pada BW dan karenanya tetap keluarga non Muslim, atau dalam keluarga Muslim sebagaimana pada masa penjajahan dulu. Hukum yang tidak mau menggunakan hukum waris Islam waris adat berkembang melalui berbagai macam mereka menggunakan hukum waris Barat atau yurisprudensi ( judge made law ). Yang agaknya hukum positif yang bersumber dari BW. Bagi berbeda adalah proses pelembagaan hukum waris masyarakat yang memegang teguh hukum adat Islam. Pelembagaan dan pengembangan hukum mereka dapat menggunakan Hukum Waris Adat, waris Islam ditempuh melalui legislasi nasional. Hal sedangkan orang Islam menggunakan Hukum Waris ini dapat dilihat dengan diundangkannya UU No. 7 Islam yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Islam (KHI). Hukum apapun yang akan diambil hal diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang yang paling penting dikedepankan adalah dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pemenuhan rasa keadilan dan musyawarah. Meskipun hukum waris sudah dimasukkan ke Meskipun pluralisme hukum waris sampai dalam hukum nasional, Pluralisme hukum waris sekarang masih ada, tetapi bagi umat Islam yang tetap mengalami banyak kendala dalam realitanya di diberlakukan adalah hukum waris sesuai dengan mana seseorang cenderung menggunakan hukum hukum waris Islam karena pembaharuan hukum waris yang menguntungkan bagi dirinya, dan tetap Islam seperti yang digagas oleh Munawir Zadhzali menggunakan hukum adat, karena KHI sendiri pun yang mengatakan warisan itu 1:1 antara laki-laki dan banyak mengadopsi hukum adat dalam hal kewarisan perempuan berdasarkan kepada kejadian yang beliau sebagai pengaruh dari teori receptie pada zaman lihat dalam keluarganya atau berdasarkan kepada Belanda. adat atau budaya Indonesia, hal ini bertentangan dengan apa yang telah disebutkan dalam al-Qur’an yang jelas mengatakan bahwa bagian laki-laki dan perempuan itu 2:1. Jadi, dijadikannya adat sebagai hukum sesuai dengan Ushul Fiqh apabila adat itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang sudah qath’i dalam Nash.

Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia |29

Al -Qadhâ: Vol. 5, No. 1, Juli 2018 Januari – Juni 201 8

DAFTAR PUSTAKA R. Soepomo. Bab-bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Prandya Paramita, 2007. Abu Bakar, Al-Yasa’. Rekonstruksi Fikih Kewarisan: Reposisi Hak-hak Perempuan. Banda Aceh: LKAS, Rosyadi dan Rais Ahmad ed. Formalisasi 2012. Syari’at Islam dalam Perspektif Tata Hukum di Indonesia . Bogor: Ghalia Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Indonesia, 2006. Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1998. Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam Kajian kepustakaan). Bandung: Ali, Zainuddin. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia . Alfabeta, 2008. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007. Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. ------, Kamus HukumAdat. Bandung: Alumni 1978. ash-Shabuni, Muhamamd Ali. Pembagian Waris Menurut Islam, terj., A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Press, 1995. Bandung: Intermesa, 1997. Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Kewarisan menurut Hukum Suhrawati K dan Komis Simanjuntak. Hukum Adat , dan Hukum Islam. Jakarta: Departemen Agama Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika, RI, 1993. 2008. Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia Habiburrahman. Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di dalam Perspektif Islam, Adat adan BW. Indonesia. Jakarta: Kencana, 2011. Bandung: PT Refika Aditama, 2013. Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Supriyadi, Dedi. Sejarah Hukum Islam (Dari Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1992. Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia). Hatta, Muhammad. Sekitar Proklamasi. Jakarta: Tintamas, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010. 1971. Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Hazairin. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta : Tintamas, Jakarta; Prenadamedia Group, 2011. 1982. ------, Ushul Fiqh , Jilid I. Jakarta: Ibn Rusyd. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. Kencana, 2010. Kairo: Al-Istiqomah: tt. Ubaidillah dkk. Pendidikan Kewarganegaraan: Ka’bah, Rifyal. The Jakarta Charter and The Dynamic of Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Islamic Syariah in the History of Indonesian Law. Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000. Jakarta: University of Indonesia School of Law Post Usman, Suparman. Hukum Islam Asas-Asas dan Graduate Studies Program, 2006. Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Latif, Yudi. Negara Paripurna (Historitas, Rasionalitas, Hukum Indonesia. Jakarta : Gaya Media dan Aktualitas Pancasila). Jakarta: PT. Gramedia Prata, 2001. Pustaka Utama, 2011. Wahid ,Moh. Muhibbuddin dan Abdul. Hukum Manan, Abdul. Masalah Hukum Perdata Islam di Kewarisan Islam: Sebagai Pembaruan Indonesia . Jakarta: Kencana, 2008. Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Nurtcahyo, Hendra. Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Jakarta: Salemba Humanika, 2010. Wahyuninto, Liza dan Abd. Qadir Muslim. Memburu Akar Pluralisme Agama. Malang: UIN Maliki Press, 2010 Pluralisme Hukum Waris Di Indonesia |30