MAKNA SIMBOLIK DALAM TARI BLENGGO DI CIGANJUR

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh Saadah NIM: 1113022000103

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 1439 H/2018 M

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Mahasiswa : Saadah NIM : 1113022000103 Program Studi : Sejarah dan Peradaban Islam Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan merupakan replikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang lain. Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat atau replikasi maka skripsi dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan. Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian hari menjadi tanggung jawab saya.

Ciputat, 12 Januari 2018

Saadah

i

MAKNA SIMBOLIK DALAM TARI BLENGGO DI CIGANJUR

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)

Oleh Saadah NIM: 11130220000103

Pembimbing,

Dr. H. Abdul Chair, M.A. NIP: 195412311983031030

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul MAKNA SIMBOLIK DALAM TARI BLENGGO DI CIGANJUR ini telah diujikan dalam sidang skripsi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Januari 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.

Ciputat, 12 Januari 2018

iii

DEDIKASI

Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua penulis, Muhammad Afandi (alm.) dan Ibu Rosyidah, dan kakak-kakak dari penulis yaitu Qudniah dan Yuyun Maghfiroh, serta adik-adik dari penulis yaitu Ismi Hamdunah dan Hilwatunnisa. Kalianlah yang menjadi penyemangat bagi penulis untuk terus berjuang menyelesaikan skripsi ini.

iv

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang makna simbolik dalam tari Blenggo di Ciganjur. Tari Blenggo merupakan salah satu kesenian tradisional Betawi yang dinyatakan hampir punah, hal ini dapat dilihat dari satu-satunya sanggar yang masih mempertahankan tari Blenggo adalah “Sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur” yang didirikan pada tahun 1986. Pada penelitian terdahulu seperti karya Fitri (2014) yang membahas tentang tari Blenggo dari segi sosiologisnya. Ruchiat (2000) yang membahas tari Blenggo dari segi sejarah, perkembangan dan persebarannya. Berdasarkan penelitian yang ada sebelumnya, maka pada penelitian kali ini akan membahas tentang makna-makna dari simbol yang terdapat dalam tari Blenggo di Ciganjur. Berdasarkan penelitian yang ada sebelumnya terdapat pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini yaitu, bagaimana makna simbol yang terdapat dalam tari Blenggo di Ciganjur? Untuk menjawab pertanyaan tersebut menggunakan metode deskriptif-analitis dengan pendekatan antropologi yang menggunakan teori Clifford Geertz Interpretasi Simbolik. Temuan penelitian ini adalah pertama, penyebutan Blenggo sebagai sebuah tari dan penyebutan Terbang Gede sebagai Rebana Biang, berdasarkan saran dari Gubernur Ali Sadikin. Kedua, sebelum pementasan tari blenggo, diwajibkan untuk berdoa‟a bagi para leluhur yang telah melestarikan kesenian tersebut. Ketiga, lagu-lagu yang digunakan setelah generasi ke-3 (1985) ditambahi dengan lagu-lagu rakyat, seperti Anak Ayam, Sangrah, dan Kangaji. Keempat, gerakan tari Blenggo di Ciganjur mengambil pola gerakan silat Koplek dari “Sanggar/Padepokan Akal dan Takwa Ciganjur”. Kelima, dalam tarian Blenggo memiliki makna yang dalam untuk kehidupan sehari-hari, karena di dalam gerakannya yang seluruhnya merunduk dan merendahkan kaki serta badan memberikan arti bahwa dalam hidup ini kita tidak boleh sombong atau membanggakan diri, bahkan kita harus selalu sopan dan rendah hati.

Kata Kunci: Simbol, Tari Blenggo, Rebana Biang, Ciganjur.

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Makna Simbolik Dalam Tari Blenggo Di Ciganjur Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman, amin. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan sebab keterbatasan kemampuan penulis, namun berkat bimbingan, bantuan, nasihat, dan saran serta kerja sama dari berbagai pihak, khususnya pembimbing, kekurangan tersebut dapat sedikit demi sedikit diperbaiki. Dalam kesempatan ini pula, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Kedua orangtuaku, Muhammad Afandi (alm) dan Rosyidah, yang telah begitu banyak memberikan kasih sayang serta didikan yang amat luar biasa, sehingga menjadikan penulis wanita yang lebih kuat. Serta Kakek Bunayan (alm) yang selalu memotivasi penulis untuk tidak lelah dalam berusaha. Tak lupa kakak-kakakku, Qudniah dan Yuyun Maghfiroh yang selalu membantu penulis baik itu materi atau dukungan moril untuk segera menyelesaikan skripsi, juga adik-adikku, Ismi Hamdunah dan Hilwatunnisa yang selalu memberi keceriaan dan kebahagiaan bagi penulis 2. Kyaiku, KH. Syukron Ma‟mun sebagai pengasuh Pondok Pesantren Daarul Rahman, terimakasih atas segala ilmu yang diberikan kepada penulis, semoga bisa terus dimanfaatkan oleh penulis dengan sebaik-baiknya 3. Bapak H. Nurhasan, M.A. Selaku Ketua Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswi dalam beberapa hal yang berhubungan dengan Universitas sehingga segalanya menjadi lebih mudah. 4. Ibu Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulis saat menjadi mahasiswi di Prodi SPI ini, baik yang berkenaan dengan surat menyurat ataupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

vi vii

5. Bapak Dr. H. Abdul Chair, M.A. Selaku dosen pembimbing skripsi yang memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus mencari sumber dalam penulisan ini, serta selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi. 6. Bapak Dr. H. Saidun Derani, M.A dan Bapak Drs. Imam Subchi, M.A selaku dosen penguji, yang telah banyak membantu penulis untuk memperbaiki isi skripsi agar menjadi lebih baik. 7. H. Abdurrahman, Drs. Abdurrachem, Bapak Abdul Khalid, Bapak Soni dan Bapak Abdul Hamid selaku narasumber yang telah menyempatkan waktunya untuk membantu penulis dalam melengkapi informasi terkait tema penelitian. Tak lupa anak-anak sanggar Akal dan Takwa yang bersedia membantu penulis untuk mendapatkan dokumentasi terkait tema penelitian 8. Bapak Yahya Andi Saputra yang membantu penulis untuk mendapatkan solusi terbaik terkait tema penelitian 9. Siti Uswatun Chasanah S. Hum dan Tati Rohayati S. Hum yang telah membantu penulis untuk mendapatkan solusi dan perbaikaan-perbaikan terkait tema penelitian 10. Sahabatku Tia Supriani dan Farah Awalia Nurdini yang senantiasa menemani penulis untuk mencari sumber data di berbagai perpustakaan dan menemani dalam melaksanakan penelitian di lokasi penelitian 11. Teman-teman dari komunitas Anak Panah yaitu;, Intan Permata Islami, Irma Rahmawati, Faridah Andriani, Farah awalia, Septi Nurizkiyani, Yulia Kartika, Rizka Azizah, Mutia Saadah, Rizka Putri, Sartika, Sufiyati, Widiawati, Achmad Taufiq, Mahbub Haikal, Faisal Ma‟arif, Juliawan, Imam Wahyudi, Abudzar, M. Muhaimin, Ilham Edlian, Maulana Fauzi, Fikri Widantomo, Mulyadi, Sofyan Hadi. Kalianlah yang menjadi salah satu penyemangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini, dan menjadi sahabat yang selalu ada untuk penulis 12. Teman-teman alumni Pondok Pesantren Daarul Rahman angkatan 33 yaitu, Husnul Khotimah, Najahatul A‟laliyah, Chairunnisa Aziz, Ratna Zulfa, Chairunnisa ZA, Viya Mauridah, Nur Mahmudah, Siti Mahfudzoh, Siti

viii

Fatimah, Supriyani, Qonita Aulia, Isna Husniati, Afifah, Khulud Samira, yang banyak memotivasi penulis untuk terus menjadi orang yang lebih baik 13. Teman-teman KKN Sampoerna 26 yaitu, Desi Hestika, Destri Nuraini, Fazriah Afriani, M. Nasrullah, Fahmi Hasan, Syafiq Naufal, Muhajjalul Muna, Yasser, M. Dzikri, dan Aryajaya Alamsyah Semoga Allah SWT selalu memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya. Demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis serahkan segalanya, mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis, umumnya bagi kita semua.

Jakarta, 12 Januari 2018

Saadah

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... i LEMBAR PERSETUJUAN ...... ii LEMBAR PENGESAHAN ...... iii DEDIKASI ...... iv ABSTRAK ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... ix BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Permasalahan ...... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 7 D. Tinjauan Pustaka ...... 8 E. Landasan Teori ...... 9 F. Metode Penelitian ...... 10 G. Sistematika Penulisan ...... 11 BAB II GAMBARAN UMUM TRADISI BUDAYA MASYARAKAT CIGANJUR ...... 13 A. Gambaran Umum Jakarta Selatan ...... 13 B. Sejarah dan Gambaran Umum Ciganjur...... 14 C. Latar Belakang Sosial Budaya...... 22 BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN TARI BLENGGO ...... 27 A. ...... 27 B. Sejarah Perkembangan Tari Blenggo di Betawi ...... 29 C. Sejarah dan Perkembangan Tari Blenggo di Ciganjur ...... 32 BAB IV MAKNA SIMBOL DALAM TARI BLENGGO DI CIGANJUR ... 37 A. Makna Simbol Dalam Tari Blenggo di Ciganjur ...... 37 1. Nilai Religiusitas ...... 37 2. Makna Simbolik Dalam Tari Blenggo ...... 38 B. Respon Masyarakat Terhadap Tari Blenggo di Ciganjur ...... 44

ix x

BAB V PENUTUP ...... 46 A. Kesimpulan ...... 46 B. Saran ...... 47 DAFTAR PUSTAKA ...... 48 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 52

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan. Kebudayaan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, baik itu daerah pelosok desa ataupun masyarakat kota. Bukan hanya kebudayaan yang berbeda tetapi ras, suku dan agama juga berbeda, yang menjadi wujud dari kebudayaan tersebut. Keberagaman ini bukan berarti sebagai ketidakjelasan Indonesia, melainkan sebagai simbol dari kekayaan budaya dan simbol persatuan dari Indonesia. Jakarta yang merupakan ibukota dari Indonesia, menjadi tempat tujuan berbagai suku di Indonesia, salah satunya adalah Sunda, Madura, Jawa, bahkan ada pula dari berbagai bangsa seperti Arab dan Cina. Perbauran ini sudah terjadi jauh pada abad-abad sebelumnya. Suku asli di Jakarta yaitu Betawi memiliki karakteristik yang terpengaruh dari berbagai suku dan bangsa yang ada di Jakarta. Menurut garis besarnya wilayah budaya Betawi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu Betawi Tengah atau Betawi Kota dan Betawi Ora atau Betawi Pinggir. Mereka yang termasuk Betawi Tengah adalah mereka yang dalam sejarah perkembangan Betawi awal menetap di bagian Kota Jakarta yang dulu dinamakan keresidenan Batavia dan sekarang termasuk Jakata Pusat. Ada dua tipe Betawi Udik atau Pinggir, tipe pertama adalah mereka yang tinggal di daerah bagian utara Jakarta, bagian barat Jakarta dan juga Tangerang. Mereka sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Tipe kedua adalah mereka yang tinggal di sebelah timur dan selatan Jakarta, bekasi dan bogor. Mereka sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan adat istiadat Sunda. Mereka yang tergolong Betawi udik adalah penduduk asli sekitar Jakarta termasuk Botabek. Dahulu daerah ini termasuk daerah administrasi Batavia, tetapi kini termasuk daerah administrasi Jawa Barat. Karena itu secara kultural mereka adalah orang Betawi, tetapi karena perubahan batas administratif,

1 2

mereka sekarang termasuk orang yang tinggal di daerah administratif Jawa Barat.1 Masyarakat Betawi memiliki ciri-ciri adat istiadat yang khas, dan mereka terikat dengan adat istiadat itu, disamping itu terikat pula pada etika agama Islam. Identitas ini ternyata tidak hanya menyangkut etik agama Islam tetapi mengandung unsur solidaritas dan perlindungan. Keunikan yang dimiliki oleh suku Betawi adalah sifat “kelenturannya” dalam menghadapi pengaruh dari berbagai suku bahkan bangsa lain. Ciri kelenturan ini jelas terlihat pada bentuk- bentuk kesenian Betawi seperti, seni drama, seni tari, dan seni musik.2 Kebudayaan masyarakat Betawi juga memiliki keunikan, salah satunya adalah seni tari. Bila dilihat dari pengertian tari sebagai berikut:

“Tari adalah gerak dari seluruh anggota tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu.”3 Ternyata, di dalam tari terdapat pula gerak yang tidak mempunyai arti sama sekali, yang semata-mata demi keindahan saja. Gerak yang mengandung arti lazim disebut gerak maknawi, sedangkan yang tidak mengandung arti lazim disebut gerak murni. Indonesia dengan berbagai etnis yang ada, memiliki banyak perbedaan, seperti bahasa, adat-istiadat, kesenian salah satunya adalah tari, yang memiliki wujud serta latar belakang pembentukkan yang berbeda. 4 Secara luas, tari dapat berfungsi bermacam-macam dalam kehidupan manusia. Ia dapat berfungsi sebagai sarana dalam upacara-upacara keagamaan, sebagai sarana dalam upacara adat, ia dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengungkapkan kegembiraan atau untuk pergaulan, dan yang terakhir ia dapat berfungsi sebagai seni tontonan. Seorang ahli sosiologi dari Inggris Frances Rust yang pernah mengadakan penelitian tentang peranan tari di dalam masyarakat. Dari sudut pandang sosiologis, tari-tarian pada kebudayaan tradisonal memiliki fungsi sosial dan religius-magis. Tari-tarian yang berfungsi soial adalah tari-tarian

1 Eni Setiati dkk, Ensiklopedia Jakarta, Jakarta tempo doeloe, kini & esok, (Jakarta: PT Lentera Abadi, 2009), h. 60 2 S. Budhisantoso dkk, Alat Penjaja Tradisional Daerah Khusus Ibukota Jakarta, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), h. 12-13 3 R. M. Soedarsono, Pengantar Apresiasi Seni, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992), h. 81 4 Soedarsono, Pengantar Apresiasi Seni, h. 82

3

untuk upacara kelahiran, perkawinan, perang dan sebagianya, sedangkan yang berfungsi religus-magis ialah tari-tarian untuk penyembahan, untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir roh-roh jahat dan untuk upacara kematian.5 Menurut Edi Sedyawati6, perkembangan kesenian di Indonesia, salah satunya adalah tari terutama pasca kemerdekaan dapat dibagi kedalam beberapa periode yang menjadi masa perkembangan kesenian di Indonesia. Pada tahun 1951-1961 konsolidasi politik luar negeri RI melibatkan pengiriman misi-misi kesenian, dari Indonesia ke negara-negara lain maupun dari negara-negara lain ke Indonesia, hal itu bisa dilihat pada tahun 1954, tiga orang penari Indonesia dikirim ke Amerika Serikat untuk mempelajari tarian Modern. Pada tahun 1960 an merupakan titik penting dalam perkembangan teater tari di Indonesia. Pada waktu itulah dicetuskan gagasan untuk membuat suatu pertunjukan teater tari tanpa dialog, sehingga akan dapat dengan mudah dipahami oleh penonton asing. Pada tahun 1970-1980 an adalah masa puncak peranan TIM (Taman Ismail Marzuki) yang didirikan pada tahun 1968 sebagai semacam acuan puncak mutu karya seni dalam berbagai cabangnya. Hal ini bisa dilihat dengan diselenggarakannya lomba tari yang secara umum tanpa batasan gaya tari dan penciptaan tari, serta diselenggarakan pula Seminar Kritik Tari oleh DKJ (Dewan Kesenian Jakarta).7 Seni tari yang ada di Jakarta ini identik dengan suku yang mayoritas mendiaminya yaitu suku Betawi. Sebagian besar tari Betawi adalah tari rakyat yang bersifat improvisatoris. Kebanyakan tariannya merupakan hiburan yang menitik beratkan kepada segi humor. Kesenian yang bernapaskan Islam di Betawi berupa rebana, gambus dan qasidahan. Di kalangan masyarakat yang teguh memeluk agama Islam penampilan seorang penari wanita memang kurang mendapat simpati. Di kalangan seniman Islam Betawi, kegiatan tari bukan tidak ada, bahkan cukup banyak ragamnya, dengan catatan bahwa seluruh pemainnya

5 Sudarsono, Tari-Tarian Indonesia I, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta) , h. 21-22 6 Edi Sedyawati adalah seorang arkeolog, penari dalam tradisi Jawa Klasik, Professor di Universitas Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan (1993-1999), serta ia juga ikut mengembangkan studi tari di Institut Kesenian Jakarta. 7 Edi Sedyawati, Tari di Indonesia 1951-2000, dalam “Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan: Perubahan dalam Pelaksanaan, Isi, dan Profesi, (Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, 2006), h. 166-169

4

(pemain musik maupun penari) terdiri dari kaum pria. Di luar kalangan itulah penari wanita diperkenanakan untuk tampil.8 Di pinggiran Jakarta bagian selatan, ada sejenis musik rakyat yang disebut Rebana Biang, yakni tiga buah rebana berukuran 30, 60 dan 90 cm, masing- masing dinamakan Kotek, Gendung dan Biang. Rebana Biang ini mengiringi tarian gagah menyerupai pencak silat. Watak gerak yang khas dari tari Blenggo ini ini adalah ditarikan dengan sikap agak membungkuk, langkah-langkah kaki yang pendek, dengan gerak-gerak tangan yang sedikit ada kemiripannya dengan gerakan tangan pada tari piring.9 Bentuk-bentuk tari lama yang ditemukan di Betawi, mendapat pengaruh yang cukup kuat dari daerah Sunda. Pengaruh tersebut dapat kita lihat antara lain tari-tarian yang biasa dibawakan dalam pertunjukkan Topeng Betawi, tari Blenggo; baik Blenggo Rebana ataupun Blenggo Ajeng, tari Uncul yang biasa diselipkan pada pertunjukkan Ujungan Betawi dan lain-lain. Namun, untuk seni tari Blenggo, khususnya Belengggo Rebana merupakan kesenian yang identik dengan nuansa Islam, perkembangannya pun tersentralisasi pada masyarakat Betawi yang mayoritas muslim. Sebagaimana umumnya tarian rakyat, tari Blenggo tidak memiliki pola yang tetap. Pada umumnya tariannya diambil dari gerak-gerak pencak silat. Gerakan-gerakan dalam tari Blenggo tergntung pada perbendaharaan gerak pencak silat yang dimiliki penari yang bersangkutan. Ada dua macam Blenggo, berdasarkan musik pengiringnya yaitu Belenggo yang diiringi orkes Rebana Biang, untuk mudahnya disebut Blenggo Rebana, dan Blenggo yang diiringi gamelan Ajeng, untuk mudahnya disebut Belenggo Ajeng.10 Kata Blenggo sama artinya dengan tari, karena ada ungkapan “diblenggoin” yang artinya disertai dengan tarian. Adapula yang menyebutkan kata belenggo berasal dari “lenggang lenggok”, gerakan yang lazim dalam suatu tarian. Sebelumnya seni musik Rebana Biang yang diiringi dengan tari Blenggo

8 Srijono Sispardjo, Macam-Macam Tari Rakyat Betawi, (Sinar Harapan, Rabu 24 Mei 1978), h. 10, kol 1 9 Sispardjo, Macam-Macam Tari Rakyat Betawi, h. 10, kol 1 10 Rachmat Ruchiat, dkk, Ikhtisar Kesenian Betawi, (Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 2000), h. 79

5

penyebutannya bukanlah tari Blenggo, melainkan hanya “Blenggoin” namun berdasarkan saran Gubernur Ali Sadikin penyebutannya menjadi “tari Blenggo” untuk membedakan dengan tari-tarian Betawi lainnya seperti tari Topeng, tari Cokek dan lain-lain.11 Menurut Abdurrachem12 tari Blenggo awalnya berkembang di Ciganjur dari empat keturunan terdahulu atau sekitar tahun 1800-an. Yang pertama kali mengajarkan tari Blenggo adalah orang yang datang ke Ciganjur untuk mengajar mengaji dan Rebana Biang, yaitu Pak Haji Kumis. Ia adalah seorang patwakandang Banten tahun 1800-an. Pertama kali yang diajarkan adalah rebana, karena rebana digunakan sebagai pengiring gerakan-gerakan pencak silat. Namanya pun bukan Rebana biang, tetapi terbangan.13 Apabila kita melihat perkembangannya, tari Blenggo terdapat di beberapa daerah kawasan Betawi yaitu; Belenggo yang ada di daerah Ciganjur berbeda dengan Blenggo yang ada di daerah Ciseeng Parung, dan berbeda pula dengan Blenggo yang ada di daerah Citayam. Di daerah Ciganjur instrument terbatas pada instrument dasar berupa Rebana Biang, kotek dan Gendung. Dan penari terdiri dari penari pria. Gerakan tari berangkat dari unsur silat Betawi. Sedangkan dari daerah Ciseeng sudah berkembang dengan menampilakn penari-penari wanita bersama-sama penari pria tampil bersama. Gerakannya sudah menyerupai ketuk tilu, dan dari daerah Citayam penambahan instrument berupa kecrek , kenong dan rebab, penari yang tampil hanya penari wanita. Gerakannya tidak berangkat dari silat tetapi sudah menjadi semacam bimbingan.14 Melihat perkembangan tari Belenggo di beberapa daerah, tentunya tidak lepas dari individu-individu dan kelompok yang melestarikannya, salah satunya adalah telah berdirinya sebuah sanggar yaitu Sanggar Rebana Biang Pusaka, sanggar ini ini dipimpin oleh H. Abdurrachman (maestro Belenggo Rebana

11 Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Ciganjur, 12 Oktober 2017, Pukul 10.00 12 Abdurrachem adalah pengamat tari Blenggo sekaligus menjadi pelaku seninya 13 Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI, Ragam Seni Budaya Betawi, (Jakarta: fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2012), h. 70 14 S. Rahadjo Rais, Blenggo sebagai Tari Rakyat Betawi, (Surat Kabar Pelita, Selasa 28 November 1978), h. 5

6

Biang) yang tentunya hingga kini masih melestarikan tari Belenggo. Adapun seniman Belenggo yang terkenal adalah Haji Saaba, Haji Dulgani (Abdulgani), Haji Jaeni, Abdurrachem dan Maksum dari Ciganjur, yang tentunya mereka memiliki jasa yang besar dalam mengembangkan tarian ini pada generasi muda. 15 Namun saat ini satu-satunya sanggar yang masih bertahan di Betawi untuk melestarikan Kesenian Rebana Biang dan tari Blenggo adalah Sanggar Rebana Biang Pusaka Ciganjur saja. Gerak tari Blenggo yang mengambil dari pola gerak silat, yang keseluruhannya membungkuk, dan hampir tidak mengangkat kakinya adalah mengambil pola gerak silat koplek16, dari sanggar silat Akal dan Takwa Ciganjur, yang didirikan pada tahun 1965, yang dipimpin atau diketuai oleh ustad Abdul Hamid. Pola gerak silatnya yang memang banyak merendah dan merunduk memiliki maksud agar kita sebagai manusia tidak menyombongkan diri, karena masih ada Tuhan yang Maha Esa.17 Proses simbolis merupakan kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari. Proses simbolis meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos dan bahasa.18 Dalam penelitian ini, penulis ingin memaparkan makna-makna dari simbol yang terdapat dalam tari Blenggo di Ciganjur. Simbol-simbol yang terdapat dalam tari Blenggo ini, penulis membaginya menjadi beberapa komponen yaitu, simbol gerak, simbol instrument tari (lagu dan musik), dan simbol kostum yang digunakan dalam tari Blenggo di Ciganjur.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah

15 Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI, Langgam Budaya Betawi, (Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2011), h. 128 16 Koplek adalah nama gerakan silat pada padepokan Akal dan Takwa 17 Wawancara pribadi dengan Ustad Hamid, Padepokan Silat Akal dan Takwa, 25 Oktober 2017, Pukul 12.30 18 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1987), h. 3

7

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis ingin menguraikan tentang tarian Blenggo yang didalamnya terdapat makna-makna, terutama makna dengan corak ke-Islaman. Dalam tarian Blenggo ada hal yang berbeda yaitu yang biasanya dalam sebuah seni tari yang diiringi oleh musik lain halnya dengan yang ada dalam tarian Blenggo, yaitu tari mengiringi musik. Sanggar yang masih melestarikan kesenian Rebana Biang dan tari Blenggonya hanya satu-satunya di Ciganjur. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan utama adalah bagaimana makna simbol dalam tari Blenggo di Ciganjur. 2. Pembatasan masalah Terkait judul penulisan penelitian : “Makna Simbolik dalam Tari Blenggo di Ciganjur”, penulis membatasi masalah pada batasan tempat, yaitu hanya pada wilayah Kampung Ciganjur, Jakarta Selatan. Selanjutnya, tema ini hanya terfokus kepada makna simbolik dalam tari Blenggo tersebut. 3. Rumusan masalah Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: a. Bagaimana tradisi budaya masyarakat Ciganjur? b. Bagaimana sejarah dan perkembangan tari Blenggo? c. Bagaiman makna simbol yang terdapat dalam tari Blenggo di Ciganjur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengemukakan makna simbolik dalam tari Blenggo khususnya Blenggo Rebana Biang. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi tentang makna simbolik dalam tari Blenggo khususnya Blenggo Rebana Biang Ciganjur 2. Memberikan karya tulis sejarah yang berupa skripsi kepada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Adab dan Humaniora, Prodi Sejarah dan Peradaban Islam, terkait kajian kebudayaan. 3. Menjadi motivasi bagi akademisi sejarah untuk mengkaji tema sejarah yang terkait dengan sosial budaya.

8

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana tradisi budaya masyarakat Ciganjur 2. Agar mengetahui bagaimana sejarah dan perkembangan tari Blenggo 3. Agar mengetahui bagaimana makna dari simbol yang terdapat dalam tari Blenggo

D. Tinjauan Pustaka Penulis telah mencari berbagai referensi yang terkait dengan makna simbolik yang terdapat dalam tari Blenggo, walaupun belum ada rujukan yang secara spesifik membahas terkait tema tersebut. Buku rujukan pertama adalah karya dari Rachmat Ruchiat, dkk, dengan judul Ikhtisar Kesenian Betawi, yang memberikan gambaran kepada penulis tentang kesenian Blenggo, baik tentang pengaruh agama Islam yang terdapat didalamnya serta perkembangan dari tari Blenggo itu sendiri.19 Salah satu buku lainnya adalah karya Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta yaitu Rebana Burdah dan Biang, yang banyak memberikan gambaran tentang sejarah Rebana Biang serta perkembangan dan cara memainkan alat musik Rebana Biang. Dalam buku ini juga menjelaskan persebaran musik Rebana Biang.20 Ada juga buku karya Abdul Chaer dengan judul Betawi Tempo Doeloe, Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, dalam buku ini banyak menjelaskan tentang tradisi kebudayaan Betawi, diantaranya tentang upacara daur hidup masyarakat Betawi, kesenian Betawi (seni musik, seni tari, dan seni teater), kuliner Betawi, dan beberapa ciri khas dari tradisi Betawi.21 Ada pula salah satu jurnal yang digunakan penulis dalam tema ini yaitu, karya Nur Mahmudah, dalam jurnal Penamas, dengan judul Pertunjukkan Seni Rebana Biang Di Jakarta Sebagai Seni Bernuansa Keagamaan, yang

19 Ruchiat, dkk, Ikhtisar Kesenian Betawi, h. 79-81 20 Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Rebana Burdah dan Biang, (Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisional Betawi, 2000), h. 45-50 21 Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe, Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, (Depok: Masup Jakarta, 2015), h. 320-335

9

menggambarkan tentang kesenian Rebana Biang sebagai salah satu musik yang Islami, eksistensi Rebana Biang, serta faktor-faktor dari pasang surutnya perkembangan Rebana Biang.22 Adapun skripsi yang membahas tentang tari Blenggo adalahk Kajian Sosiologis Kesenian Blenggo di Kelurahan Cipedak, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta, yang memaparkan tari Blenggo dari segi sosiologisnya, jadi segala aspek yang ada dalam tari Blenggo dikaitkan dengan keadaan sosial dan peristiwa yang ada pada masyarakatnya.23

E. Landasan Teori Dalam sebuah tari, terdapat dua elemen penting yaitu gerak dan ritme. Seperti yang dikemukakan oleh John Martin24 dalam bukunya yang berjudul The Modern Dance, bahwa substansi baku dari tari adalah gerak. Selain itu dia juga mengemukakan bahwa gerak merupakan pengalaman fisik dari kehidupan manusia yang paling elementer, dan gerak bukan hanya terdapat pada bagian bagian tubuh melainkan gerak juga terdapat pada ekspresi dari segala emosionil manusia.25 Manusia dalam hidupnya selalu berkaitan dengan simbol-simbol yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, dan simbol-simbol tersebut tentunya memiliki makna yang akan mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakatnya. Simbolisme merupakan langkah awal untuk memahami kebudayaan dalam ruang otentiknya (nilai). Clifford Geertz mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem simbol yang mana dari makna dan simbol individu dapat mendefinisikan dunia, mengekspresikan perasaan dan membuat penilaian. Interpretasi simbolik (sistem makna) menekankan pada setiap yang berkaitan dengan kebudayaan, perubahan kebudayaan dan studi tentang kebudayaan. Maka

22 Nur Mahmudah, Pertunjukkan Seni Rebana Biang Di Jakarta Sebagai Seni Bernuansa Keagamaan, Volume 28, (Jurnal Penamas, Nomor 2, Juli-September 2015), h. 296-298 23 Fitri Purnami, Kajian Sosiologis Kesenian Blenggo di Kelurahan Cipedak, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta, (Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014), h. 3-4 24John Martin adalah Seorang penulis dan kritikus tari dari Amerika Serikat 25 Sudarsono, Tari-Tarian Indonesia I, h. 15

10

proses kebudayaan yang di dalamnya termasuk kesenian harus dipahami, diterjemahkan serta diinterpretasi.26

F. Metode Penelitian Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian deskriptif-analitis, dengan pendekatan Antropologi untuk merekonstruksi peristiwa masa lampau yang bersifat komperhensif.27Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi 4 tahapan yaitu:28 1. Heuristik Heuristik yang berarti menemukan atau mengumpulkan sumber. Adapun sumber yang penulis gunakan adalah sumber data primer berupa arsip sezaman, dan sumber sekunder berupa buku-buku terkait, majalah,dan jurnal. Penulis juga melakukan obeservasi ke lokasi penelitian, dengan datang ke sanggar Rebana Biang Pusaka Ciganjur serta wawancara kepada narasumber terkait, yaitu dengan ketua Sanggar Rebana Biang dan ketua Sanggar atau Padepokan Silat Akal dan Takwa. Pengumpulan sumber-sumber yang dilakukan penulis dengan menggunakan metode penelusuran kepustakaan, yakni mengunjungi perpustakaan atau lembaga yang memiliki koleksi buku ataupun arsip yang terkait dengan tema penelitian ini, seperti, Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin, untuk memperoleh dokumentasi terkait tema penelitian ini, Perpustakaan Umum Provinsi DKI Jakarta yang lokasinya terdapat didaerah Cikini dan Kuningan, untuk mendapatkan sumer yang berupa buku-buku terkait tema penelitian, Lembaga Kebudayaan Betawi, untuk mendapatkan sumber buku dan informasi terkait dari staf-staf di lembaga tersebut, , Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), untuk mendapat sumber buku dan arsip terkait tema penelitian. 2. Kritik Sumber Tahapan selanjutnya setelah mengumpulkan sumber adalah kritik sumber, yang terbagi menjadi dua yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Penulis berusaha

26 Syaiful Arif, Refilosofi Kebudayaan, Kebudayaan Pascastruktural, (Yogyakarta: Ar- Ruzz Media, 2010), h. 84 & 111 27 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 4-5 & 152-156 28 M. Dien Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah, (UIN Jakarta Press, 2013), h. 105-131

11

menganalisis dan membandingkan sumber-sumber yang telah didapat baik berupa buku, jurnal, tesis, dan surat kabar. 3. Interpretasi Tahapan selanjutnya adalah interpretasi, dalam tahapan ini penulis melakukan analisa sejarah terhadap sumber-sumber yang terkait dengan makna- makna dalam tari Blenggo, sehingga dapat memecahkan masalah yang ada, dengan menggunakan pendekatan ilmu Antropologi. 4. Penulisan Sejarah Tahapan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan sejarah), dalam tahapan ini penulis menuliskan hasil pemikiran dari penelitian serta hasil dari penelitian sumber sejarah secara sistematik seperti yang telah diatur dalan pedoman penulisan skripsi.

G. Sistematika Penulisan Dalam penelitian ini penulis membagi bahasan menjadi lima bab, berikut dituliskan uraian singkat bab I sampai bab V: BAB I, terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah da nada rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian serta sistematika penulisan. BAB II, terdapat pembahasan tentang gambaran umum dari tradisi budaya yang ada di wilyah Ciganjur, baik dari segi mata pencaharian, pola pendidikan, serta tradisi kemasyarakatan yang ada di Ciganjur. Pengaruh agama Islam dapat banyak ditemukan di dalam berbagai tradisi atau upacara daur hidup yang ada pada masyarakatnya. BAB III, terdapat pembahasan tentang pencak silat di Ciganjur, dan ada pula pembahasan tentang sejarah awal mula terciptanya tari Blenggo, dan perkembangannya di Ciganjur. BAB IV, terdiri dari pembahasan tentang makna simbol dalam tari Blenggo di Ciganjur yang terbagi dalam beberapa komponen, yaitu gerakkan, instrumentnya yaitu musik dan lagu, serta makna-makna dari kostum yang

12

digunakan dalam pementasan tari Blenggo. Ada pula respon dari masyarakat akan eksistensi tari Blenggo di Ciganjur. BAB V, merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. penulis menguraikan tentang kesimpulan yang merujuk pada permasalahan inti dalam penelitian ini. Saran yang menjadi masukan untuk penelitian berikutnya.

BAB II GAMBARAN UMUM TRADISI BUDAYA MASYARAKAT CIGANJUR

A. Gambaran Umum Jakarta Selatan Wilayah DKI Jakarta terletak diantara 6֯ .8”.11”.45” lintang Selatan dan Bujur Timur. Tingginya dari permukaan laut kira-kira 7 m. Luas 05 94֯ daratannya pada akhir tahun 1974 adalah 577 km² dan luas lautnya adalah 61.997.55 km² atau 12 kali luas daratannya. Setelah adanya peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 4 tahun 1974, maka terjadi perubahan. Sebagian dari wilayah Kabupaten dan Kabupaten Bekasi dimasukkan ke dalam wilayah DKI Jakarta. Sedangkan wilayah DKI dikurangi dengan desa Benda yang semula termasuk kecamatan Cengkareng, tetapi kemudian dimasukkan ke dalam Kabupaten Tangerang. Dengan demikian luas wilayah DKI pada tahun 1974 bertambah menjadi 587 ,62 km².29 (Sensus dan Statistik DKI Jakarta tahun 1974) Pada tahun 1966, presiden Soekarno melantik Mayjen KKO Ali Sadikin (dikenal dengan sebutan Bang Ali), yang ketika itu masih berusia 39 tahun sebagai Gubernur DKI menggantikan Dr. Sumarno. Pada masa awal tugasnya sebagai gubernur, Ali Sadikin membagi Jakarta menjadi lima wilayah administrative, yaitu Jakarta timur, Jakarta barat, Jakarta utara, Jakarta selatan, dan Jakarta pusat. Kelima wilayah itu dibagi lagi menjadi 22 kecamatan da 204 kelurahan di samping satu wilayah kepulauan, yakni kepulauan seribu yang terletak di teluk Jakarta menjadi sebuah kecamatan. Selama masa pemerintahan gubernur Sumarno, wilayah Jakarta dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan. Masing-masing wilayah dikuasai oleh seorang patih.30 Salah satu kota di Provinsi DKI Jakarta adalah Jakarta Selatan, wilayah kota ini terletak di bagian selatan DKI Jakarta dengan batas-batas sebagai berikut: di

29 Rifai Abu, ed, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 9 30 Eni Setiati dkk, Ensiklopedi Jakarta, (Profil Kota Jakarta, Doeloe, Kini dan Esok) “7”, (Jakarta: PT Lentera Abadi Jakarta, (anggota IKAPI), 2009), h. 39

13 14

sebelah utara berbatasan dengan wilayah kota Jakarta Pusat, di sebelah timur berbatasan dengan wilayah kota Jakarta Timur, di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Bogor-Jawa Barat dan di sebelah barat dengan kabupaten Tangerang–Jawa Barat. Berbeda dengan empat wilayah kota lainnya, yang bertumbuh pesat sebagai daerah perdagangan dan industri, wilayah ini lebih menarik untuk dikembangkan sebagai daerah pemukiman dan pendidikan. Ini menyebabkan luas lahan untuk pertanian terus menyusut, meskipun sektor pertanian masih cukup produktif dan bernilai ekonomi bagi penduduknya.31 Wilayah ini mencakup areal seluas 14.498,12 hektare, terdiri dari tujuh kecamatan dan 61 kelurahan, 497 rukun warga (RW) dan 5.761 rukun tetangga (RT). Sensus penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di wilayah ini kurang lebih 1.905.004 orang. Dibandingkan dengan tahun 1980 dimana jumlah penduduk Jakarta selatan baru mencapai 1.532.495 orang, maka dalam kurun sepuluh tahun tersebut, terdapat pertambahan penduduk sebanyak 372.509 orang atau dengan Laju pertumbuhan sekitar 2,20 persen per tahun.32 Gambaran umum kependudukan Propinsi DKI Jakarta segera terlihat bahwa gambarannya berbeda secara cukup tajam dengan gambaran umum secara nasional. Dalam kurun 1971-1990, sebagai contoh, jumlah penduudk DKI Jakarta bertambah hampir mrnjadi dua kali lipat yaitu dari sekitar 4,6 juta pada tahun 1971 menjadi 8,3 juta orang pada tahun 1990, sementara penduduk Indonesia dalam kurun yang sama bertambah hanya sekitar 20 persen yaitu dari 119 juta menjadi 179 juta.33

B. Sejarah dan Gambaran Umum Ciganjur Ciganjur adalah sebuah kawasan yang saat ini merupakan kelurahan di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Wilayahnya berbatasan dengan Cilandak di sebelah utara, Kebagusan dan Ragunan di sebelah barat, Cinere di sebelah timur, dan Depok di sebelah selatan. Nama Ciganjur sempat populer ke tingkat nasional

31 Rudini, Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, (Jakarta; PT Intermasa), h. 143 32 Rudini, Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, h. 144 33 Rudini, Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, h. 63

15

karena di sini ada kediaman Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Presiden ke-4 Republik Indonesia. Mengapa namanya Ciganjur? Menurut sejarah, nama ini sudah ada sejak tahun 1650. Berasal dari nama kerajaan atau Kadipaten Ciganjur, adalah Raden Bagus Jagakarsa Surobinangun, panglima perang Kerajaan Mataram Yogyakarta, pernah tinggal di Batavia. Ia menikah dengan putri Pajajaran yang berkedudukan di wilayah yang kini disebut Ragunan. Ia dikarunia dua orang anak yakni: Raden Mas Mohammad Kahfi dan Raden Mas Aria Kemang Yudhanegara.34 Raden Mas Mohammad Kahfi diberi tanah di sekitar wilayah Ciganjur yang dimulai dari: Kampung Kandang (dulu istal kuda miliknya) dan di selatannya berbatasan sampai ke Tanah Baru Depok. Keraton Mohammad Kahfi terletak di Kampus ISTN di dekat danau sampai di Kebon Sancang (sekarang wilayah itu jadi kampus Universitas Indonesia). Raden Mas Mohammad Kahfi memerintah Ciganjur antara tahun 1650-1685.35 1. Penduduk Kampung Ciganjur adalah salah satu dari wilayah yang mengalami beberapa kali pemekaran atau perluasan wilayah, yang dapat dilihat dalam laporan tahunan dari Badan Pusat Statistik wilayah Jakarta Selatan:36 Tabel : 1 Jumlah Penduduk Ciganjur Tahun 1984-1990 NO Tahun Banyaknya Banyaknya Luas Jumlah Kecamatan kelurahan Wilayah Penduduk (km²) 1. 1984 7 61 146,20 1.476.262 2. 1986 7 61 144,98 1.580.639 3. 1987 10 64 146,16 1.690.084 4. 1990 10 65 145,34 1.779.861 Sumber: Kantor Statistik Jakarta Selatan (Jakarta Selatan dalam Angka 1984-1990)

34 Zaenuddin HM, 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe, (Jakarta: UFUK PRESS, 2012), h. 251-252 35 Zaenuddin HM, 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe, h. 252 36 Badan Pusat Statistik, Jakarta Selatan dalam Angka 1984-1990, (Jakarta: Kantor Statistik Jakarta Selatan).

16

Dari tabel di atas menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun di wilayah Jakarta Selatan mengalami beberapa perubahan terutama dalam jumlah kecamatan dan kelurahan. Salah satu yang mengalami perubahan adalah kawasan Ciganjur yang akan dijelaskan dalam tabel berikut:37 Tabel : 2 Jumlah Kecamatan dan Kelurahan di Jakarta Selatan Tahun 1984 No Tahun Kecamatan Kelurahan 1. 1984 Kebayoran Lama Bintaro, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Pesanggrahan, Petukangan Selatan, Petukangan Utara, Ulujami, Cipulir, Grogol Selatan dan Grogol Utara 2. Pasar Minggu Ciganjur, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Lenteng Agung, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Jatipadang, Ragunan, Cilandak Pejaten 3. Mampang Prapatan Bangka, Kalibata, Rawajati, Duren Tiga, Pengadegan, Cikoko, Pancoran, Tegal Parang, Pela Mampang, Mampang Prapatan, Kuningan Barat 4. Kebayoran Baru Gandaria utara, Cipete Utara, Pulo, Petogogan, Melawai, Kramat Pela, Gunung, Selong, Rawa Barat, Senayan 5. Setia Budi Karet Semanggi, Kuningan Timur, Karet Kuningan, Karet, Menteng Dalam, Pasar Manggis, Guntur, Setia Budi 6. Tebet Menteng Dalam, Tebet Barat, Tebet Timur, Kebon Baru, Bukit Duri,

37 Badan Pusat Statistik, Jakarta Selatan dalam Angka Tahun 1984, (Jakarta: Kantor Statistik Jakarta Selatan), h. 26-28

17

Manggarai Selatan, Manggarai 7. Cilandak Lebak Bulus, Pondok Labu, Cilandak, Gandaria Selatan, Cipete Selatan Sumber: Kantor Statistik Jakarta Selatan tahun 1984 Pada tabel di atas menjelaskan bahwa pada tahun 1984 banyaknya kecamatan di wilayah Jakarta Selatan adalah 7 dengan 61 kelurahan. Apabila memperhatikan pada kolom kecamatan Pasar Minggu, terdapat kelurahan Ciganjur yang masih masuk ke dalam wilayah kecamatan Pasar Minggu, sedangkan saat ini kelurahan Ciganjur berada dalam kawasan Jagakarsa. Seperti yang akan dijelaskan dalam tabel berikut:38 Tabel: 3 Jumlah Kecamatan dan Kelurahan di Jakarta Selatan Tahun 1987 No Tahun Kecamatan Kelurahan 1. 1987 Kebayoran Lama Pondok Pinang, Keby. Lama Utara, Cipulir, Grogol Selatan, Grogol Utara, Keby. Lama Selatan 2. Pesanggrahan Petukangan Utara, Ulujami, Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Bintaro 3. Pasar Minggu Pasar Minggu, Jati Padang, ragunan, Cilandak Timur, Pejaten Barat, Pejaten Timur, Kebagusan 4. Jagakarsa Jagakarsa, Lenteng Agung, Srengseng Sawah, Ciganjur, Tanjung Barat 5. Mampang Prapatan Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Pela Mampang, Tegal Parang, Bangka 6. Pancoran Pancoran Cikoko, Pengadegan,

38 Badan Pusat Statistik, Jakarta Selatan dalam Angka Tahun 1987, (Jakarta: Kantor Statistik Jakarta Selatan), h. 22-24

18

Duren Tiga, Rawajati, Kalibata 7. Kebayoran Baru Gandaria Utara, Cipete Utara, Pulo, Petogogan, Melawai, Kramat Pela, Gunung, Selong, Rawa Barat, Senayan 8. Setiabudi Karet Semanggi, Kuningan Timur, Karet Kuningan, Karet, Menteng Atas, pasar Manggis, Guntur, Setiabudi 9. Tebet Menteng Dalam, Tebet Barat, Tebet Timur, Kobon Baru, Bukit Duri, Manggarai Selatan, Manggarai 10. Cilandak Lebak Bulus, Pondok Labu, Cilandak Barat, Gandaria Selatan, Cipete Selatan Sumber: Kantor Statistik Jakarta Selatan tahun 1987 Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa kelurahan Ciganjur sudah masuk dalam kawasan kecamatan Jagakarsa hingga saat ini. Namun Kelurahan Ciganjur juga mengalami pemekaran wilayah, sebagaimana Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor : 1746 tahun 1987 Tanggal 10 September 1987 ditetapkan bahwa Kelurahan Ciganjur dipecah menjadi Kelurahan Ciganjur dan Kelurahan Cipedak.39 Berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986 tanggal 29 Juli 1986 menyatakan bahwa wilayah Ciganjur memiliki luas Wilayah 748,70 Ha, dengan batas-batas sebagai berikut: 40  Batas wilayah kampung Ciganjur, kecamatan Pasar Minggu pada tahun 1986: Sebelah Utara : Jalan Arteri/Kali Krukut Sebelah Timur : Jalan Kahpi II – Jalan Pal Merah TNI AU

39 Data arsip yang penulis dapatkan dari bagian Tata Pemerintahan Walikota Jakarta Selatan 40 Biro Hukum Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Himpunan Lembaran Daerah Khusus Ibukota Jak arta Tahun 1986. h. 369

19

Sebelah Selatan : Jalan Desa Tanah Baru Sebelah Barat : Kali Krukut  Batas wilayah kampung Ciganjur, yang saat ini telah menjadi bagian dari kelurahan Cipedak, kecamatan Jagakarsa pada tahun 2017:41 Sebelah Utara : Jl. Brigif, Jl. Warung Sila Kelurahan Ciganjur Sebelah Timur : Jl. Moh. Kahfi II Kelurahan Srengseng Sawah Sebelah Selatan : Kelurahan Tanah Baru, Kota Depok Sebelah Barat : Kali Krukut, Kelurahan Gandul, Limo Kota Depok 2. Mata Pencaharian Menurut sejarahnya, orang Betawi yang ada di kampung Ciganjur ini mayoritasnya bermata pencaharian bertani, berkebun dan berdagang. Mayoritas penduduknya berkebun buah-buahan, dan mata pencaharian ini merupakan khas dari kawasan Pasar Minggu yang termasuk pula wilayah Ciganjur, bahkan kawasan ini sudah terkenal sebagai penghasil buah-buahan jauh ketika tahun 1920 an.42Kawasan Ciganjur ini termasuk ke dalam kawasan agraris, masih banyak sawah yang terdapat di wilayah ini, kebanyakan masyarakat Ciganjur yang yang berdagang adalah berdagang buah-buahan hasil dari berkebun yang dijual ke pasar Minggu, pasar Manggarai, dan bahkan pada tahun 1970 dan 1980 an itu hasil bumi mereka juga dibawa sampai ke Tanah Abang. Hasil bumi mereka merupakan berbagai macam buah-buahan seperti, jambu, pepaya, rambutan.43 Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan dalam buku Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia yang menyatakan bahwa pada saat itu orang Betawi umumnya hidup sebagai petani buah-buahan, untuk mereka yang masih memiliki tanah luas. Sedangkan yang lain ada yang bekerja sebagai pedagang kecil, berjualan buah-buahan atau makanan keliling, membuka warung, menjadi tukang kayu, tukang batu, makelar tanah dan rumah, menjahit, jadi buruh, pamong desa,

41 Laporan bulanan kelurahan Cipedak, kecamatan Jagakarsa, laporan bulan Juli 2017 42 Asep Suryana, Pasar Minggu Tempo Doeloe: Dinamika Sosial Ekonomi Petani Buah 1921-1966, (Jakarta: LIPI Press, 2012), h. 129 43 Wawancara pribadi dengan Bapak Soni, Jl. H. Montong/Komplek BBD Ciganjur, 22 Agustus 2017, Pukul 11.30

20

dan sebagainya.44 Namun untuk sekarang ini lahan untuk bertani sudah semakin sedikit, karena semakin bertambahnya penduduk yang mendiami wilayah Ciganjur ini, yang akhirnya menjadikan lahan-lahannya dibangun sebagai pemukiman warga. Pola pikir masyarakat Ciganjur yang didasari dengan nilai-nilai Islami, juga mempengaruhi terhadap mata pencahariannya yaitu, dahulu masyarakat Ciganjur tidak terlalu bersemangat untuk berbisnis, atau ingin menjadi orang yang kaya, karena mereka memiliki istilah “udah, dunia sekedarnya aja”, jadi jarang masyarakatnya yang menjadi pegawai negeri, karena dengan salah satu alasannya yaitu apabila menjadi pegawai negeri, sebagian pasti akan di pindah tugaskan ke daerah lain, dengan tradisi masyarakat Betawi yang suka berkumpul, maka tidak mengizinkan anak atau sanak keluarganya untuk pergi jauh dari kampungnya.45 3. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan yang ada di Kampung Ciganjur ini tidak patrilineal dan tidak pula matrilineal, keduanya sama, tidak ada yang lebih unggul antara laki-laki laki dan wanita. Prinsip keturunan orang Betawi pada umumnya pun adalah bilateral, di mana keluarga-keluarga inti suka bergabung dengan keluarga asalnya membentuk keluarga luas terbatas yang bersifat virilokal46, terkadang uksorilokal47 untuk tempat tinggal sesudah menikah.48 Ada panggilan yang khas untuk kekerabatannya yaitu, bapak (baba), kakek (uwa atau engkong), (buyut laki) itu untuk yang laki-laki, kalau yang perempuan ibu itu (nyak), mpeng (nenek), buyut perempuan, kalau kakaknya dari ibu panggilannya (baba gede) dan (nyak gede), kalau adiknya dari bapak atau ibu, yang perempuan dipanggil (ncek) kalau yang laki-laki (mamang) atau paman, untuk sepupu penyebutannya (misanan), dan anak-anak dari masing masing

44 Zulyani Hidayah, Ensiklopedia suku bangsa di Indonesia, (Jakarta: yayasan pustaka obor Indonesia, 2015), h. 79 45 Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, Jl. Keranji, Kel Ciganjur, 22 Agustus 2017, Pukul 15.00 46 Virilokal adalah antara adat bertempat tinggal atau dekat dengan hubungan laki-laki 47 Uksorilokal adalah adat menetap seseudah menikah 48 Hidayah, Ensiklopedia suku bangsa di Indonesia, hal 79-80

21

sepupu itu sebutannya (mindon).49 Adapun penjelasannya akan dijelaskan dalam skema berikut ini. Skema Istilah Kerabatan Betawi Di Ciganjur

Ay Ax Ay Ax

By Bx By Bx

Cy Cx Dx Dy Cy Cx Dx Dy Ey Ex

Fy Fx Ego Fx Fx Fy

Gy Gy Gx Gx Gy Gx Gy

Sumber: wawancara dengan salah satu tokoh agama di Ciganjur, Bapak Kholid

Keterangan Skema: 1. Ego adalah kata Latin untuk “aku” 2. Ey: Baba (Bapak), Ex: Nyak (Ibu) 3. By: Uwa atau Engkong (Kakek), Bx: Mpeng (Nenek) 4. Ay: Uyut (Buyut Laki-Laki), Ax: Uyut (Buyut Perempuan)

49 Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, 12 Oktober 2017

22

5. Cy: Baba Gede (Kakak dari Bapak/Ibu) Cx: Nyak Gede (Istri Kakak dari Bapak/Ibu) 6. Dx: Mamang (Adik dari Bapak/Ibu) Dy: Ncek (Istri Adik dari Bapak/Ibu) 7. Fy, Fx dan Ego : Misanan (Sepupu) 8. Gy dan Gx : Mindon (dua pupu)

4. Pola pemukiman Secara umum masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang agraris, begitu pula dengan masyarakat Ciganjur. Hal ini berkaitan dengan kondisi pemukiman Betawi yang pada umumnya memiliki suasana pedesaan , pertanian kebun yang sangat terasa dengan tapak yang didominasi oleh lahan kebun dan hunian dengan pekarangan yang ditumbuhi oleh pohon buah-buahan sehingga masyarakat Betawi mengandalkan hasil kebun dan pekarangannya sebagai sumber pencaharian ekonomi keluarga.50 Pola pemukiman di kampung Ciganjur ini masih menggunakan rumah- rumah dengan gaya adat Betawi. Salah satu contoh rumah dengan gaya Betawi itu adalah dengan kamar yang minim, seperti hanya dua kamar, satu untuk orang tua dan yang satu lagi untuk anak yang sudah dewasa tetapi memiliki ruang tamu yang luas dengan falsafah untuk kumpul-kumpul keluarga. Rumahnya besar- besar, dengan ruang-ruang yang sedikit, dan dengan halaman rumah yang luas. Biasanya pola pemukimannya itu dari satu blok rumah itu milik satu keluarga, karena apabila ada anaknya yang menikah, maka dibuatkan rumah di sampingnya, begitulah seterusnya.51

C. Latar Belakang Sosial Budaya Ada tiga prinsip yang ditaati secara umum oleh etnis Betawi, yaitu bisa ngaji, bisa beladiri dan bisa pergi haji. Ketiga prinsip yang tampaknya sederhana, tetapi mempunyai dampak yang luas dalam kehidupan sejak kecil, dewasa, sampai

50 Ismet B. Harun, Rumah Tradisional Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Khusus Ibukota Jakarta, 1991), h. 14 51 Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017

23

tua.52 Betawi terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu Betawi Religi dan Betawi Jawara. Kebetulan Betawi di daerah Ciganjur ini merupakan Betawi Religi, dialek yang digunakan adalah dialeh a bukan e, contoh gua atau saya, bukan gue.53 Unsur Islam dari para pendatang Arab, dan unsur Melayu yang kuat, mempengaruhi pula falsafah etik orang Betawi yang menempatkan seseorang yang memiliki pengetahuan agama (Islam) sebagai “orang yang disegani dan dianggap mengetahui ilmu menjalankan hidup dunia dan akhirat”. Dengan demikian, mereka yang telah berhasil menunaikan Rukun Islam yang ke-lima, akan dengan sendirinya memasuki status lapisan atas. Bagi orang Betawi, sebutan “haji” merupakan gelar tertentu yang menjadi identitas diri. Hal ini dikarenakan sebutan “haji”, “guru agama” dan “kyai” menunjukkan, bahwa mereka berbeda dari “orang kebanyakan”.54 Bagi masyarakat Ciganjur pergi haji merupakan tolak ukur prestise atau keimanan, dengan kata lain pergi haji merupakan cita-cita luhur bagi masyarakat Ciganjur. Ada beberapa efek yang mendalam bagi seseorang yang telah menunaikan ibadah haji, dengan lebih menjaga segala prilaku dan tata kramanya, salah satunya adalah dari segi pakaian, tidak mungkin orang yang sudah pergi haji, memakai celana pendek, bahkan bagi orang yang sudah pergi haji harus selalu memakai peci, itu merupakan tata kramanya. Perubahan- perubahan banyak terjadi pada orang yang sudah pergi haji, baik itu dari segi pakaian ataupun akhlak. Bahkan ada sebagian orang yang apabila ditanyakan soal “sudahkah menunaikan haji?” sebagian orang menjawab “belum, belum bisa ngejaganya”, maksud dari belum bisa menjaga itu adalah belum siap dengan aturan-aturan setelah menunaikan ibadah haji.55 Bisa ngaji dilakukan sejak kecil dengan belajar membaca Al-Qur‟an, belajar shalat, belajar aqidah dan belajar adabul insan. Dalam belajar membaca Al-Qur‟an pada usia tertentu sudah harus hafal Juz „Amma. Saat selesai menghafal Juz Amma biasanya ditandai dengan acara Namatin. Dalam acara ini si anak “dites”

52 Abdul Chaer, Folklor Betawi, Kebudayaan da Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012), h. 6 53 Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017 54 Anhar Gonggong, ed. dkk, Sejarah Sosial di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984), h. 69 55 Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017

24

dengan disuruh membaca secara hafalan sejumlah surat dari Juz Amma itu. Acara ini juga menandai si anak kini boleh pindah ngaji dari Juz Amma ke Qur‟an Gede, yakni Qur‟an 30 Juz yang dimulai dengan Juz Alif Lam Mim. Pelajaran agama yang ditekankan pula adalah bidang akhlak yaitu dengan mempelajari kitab Adabul Insan. Dalam kitab ini diajarkan bagaimana seharusnya sikap santun seorang anak kepada kedua orangtuanya, kepada gurunya, kepada saudara- saudaranya dan kepada orang-orang lain di sekitarnya. Prinsip bisa ngaji ini seringkali menyebabkan para orang tua lebih sering mengirim anak-anaknya ke madrasah atau pesantren dibanding ke sekolah umum.56 Sama halnya dengan keadaan di Ciganjur pengaruh agama Islam juga ada pada bidang pendidikan, yaitu banyaknya para orang tua yang tidak hanya menyekolahkan anak-anaknya di sekolah umum tapi juga di madrasah. Anak-anak biasanya bersekolah di SD dari pagi sampai siang hari, dan di siang harinya dilanjutkan untuk mengaji di madrasah sampai jam empat sore, setelah itu makan, mandi, sholat ashar kemudian berangkat lagi ke masjid atau musholla untu mengaji sampai waktu Isya‟. Melihat kegiatan pendidikan anak-anak di Ciganjur hampir mirip dengan pola pesantren.57 Gambaran tentang aspek religi atau keagamaan orang Betawi jelas diwarnai oleh ajaran Islam. Gambaran itu bisa dilihat dari sistem keyakinan dan tindakan yang mereka wujudkan, bahwa kebudayaan Betawi sebagai suatu subkultur hampir tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Kebanyakan dari upacara daur hidup dan adat istiadat masyarakat Betawi tidak pernah lepas dari norma-norma Islam, baik hukum formalnya maupun tradisi yang turun-temurun.58 Budaya masyarakatnya yang merupakan Betawi religius dan merupakan Betawi yang murni, kesenian yang ada di daerah Ciganjur pun juga terpengaruh, beberapa kesenian yang berkembang di Ciganjur adalah Rebana (Rebana Biang, Rebana ketimpring), Qosidah, dan Gambus.

56 Chaer, Folklor Betawi, Kebudayaan da Kehidupan Orang Betawi, h. 6

57 Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, 12 Oktober 2017 58 Rosyadi ed., Profil Budaya Betawi, (Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Niali Tradisional, 2006), h. 221-222

25

Masyarakat Ciganjur yang mayoritasnya muslim masih sangat kental tradisi keagamaan yang dibarengi dengan ke-tradisioanalannya. Agama Islam dengan segala sistem keyakinan, nilai-nilai, dan kaidah-kaidahnya telah memberi pengaruh yang kuat terhadap budaya Betawi. Sehingga dalam bertindak dan melaksanakan upacara adat, orang Betawi biasanya mengacu pada nilai dan norma budaya Islam.59 Di Ciganjur ada beberapa tradisi ketika tahun 70 sampai 90 an masih sangat berkembang, yaitu tradisi khataman Al-Qur‟an bagi mempelai wanita sebelum melaksanakan pernikahan. Tradisi pernikahan biasanya dilaksanakan selama 2 hari 2 malam, dan untuk mengundang para tetangga, biasanya dua atau tiga orang ibu-ibu dari pihak keluarga keliling kampung mendatangi tiap-tiap rumah dengan maksud mengundang, undangannya pun bukan hanya untuk sekedar datang tapi untuk menginap. Jadi ada sebutan kalau mengundang pernikahan yaitu “mau ngajak nginep”.60 Ada juga tradisi yang menjadi khas disana yaitu pada saat khitanan (sunnatan) semua teman-teman laki-lakinya mengarak atau mengiring anak yang mau di khitan itu untuk berendam di kali pada pagi hari, dan teman-temannya itu masing-masing membawa berbagai macam kue, pisang dan lain-lain, yang digunakan untuk melempari si anak itu apabila dia keluar dari air, karena anak yang akan di khitan tadi di suruh untuk menyelam supaya kedinginan yang akhirnya memudahkan proses khitanan nanti, hal itu dikarenakan dahulu belum ada obat bius, dan tradisi ini dimaksudkan sebagai pengganti obat bius.61 Pada perayaan maulid ada juga beberapa tradisi yang menjadikan kebersamaan antar masyarakat Ciganjur ini menjadi erat, karena kesemarakan yang dilakukakan masyarakatnya, beberapa hari sebelum dilakasnakannya maulid Nabi Muhammad SAW, yaitu dengan memasang pajangan-pajangan, pohon-

59 Yahya Andi Saputra dkk, Siklus Betawi, Upacara dan Adat Istiadat, (Jakarta: Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 2000), h. 5 60 Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017 61 Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017

26

pohonan hias dan obor-obor dari bambu yang dipasang di sekitar masjid serta sebagian jalan, karena dulu masih belum banyak penggunaan listrik.62

62 Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid, 22 Agustus 2017

BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN TARI BLENGGO

A. Pencak Silat Menurut para pendekar, istilah pencak silat dibagi dalam dua arti yang berbeda. Menurut guru pencak silat Bawean, Abdus Syukur menyatakan sebagai berikut:63

“Pencak adalah gerakan langkah keindahan dengan menghindar, yang disertakan gerakan yang berunsur komedi. Pencak dapat dipetontonkan sebagai sarana hiburan, sedangkan silat adalah unsur teknik bela diri menangkis, menyerang, dan mengunci yang tidak dapat diperagakan di depan umum.” Pernyataan yang sama juga dikemukakan Mr. Wongsonegoro sebagai ketua IPSI64 yang pertama mengatakan bahwa pencak adalah gerakan serang bela yang berupa tari dan berirama dengan peraturan adat kesopanana tertentu yang bisa dipertunjukkan di depan umum. Silat adalah inti sari dari pencak, ilmu untuk perkelahian atau membela diri mati-matian yang tidak dapat dipertunjukkan di depan umum. Selanjutnya dalam rangka mempersatukan perguruan pencak dan perguruan silat maka PB IPSI65 beserta BAKIN pada tahun 1975 mendefinisikan sebagai berikut:66

“Pencak silat adalah hasil budaya manusia Indonesia untuk membela, mempertahankan eksistensi (kemandiriannya), dan integritasnya terhadap lingkungan hidup/alam sekitarnya untuk mencapai keselarasan hidup guna meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.” Pencak silat memiliki empat aspek yaitu; aspek mental spiritual, aspek seni, aspek bela diri dan aspek olahraga. Salah satunya adalah aspek seni yang memiliki memiliki arti budaya dan permainan “seni” pencak silat ialah salah satu aspek yang sangat penting. Istilah pencak pada umumnya menggambarkan bentuk seni

63 Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, Membangun Jati Diri dan Karakter Bangsa, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h. 85 64 IPSI adalah Ikatan Pencak Silat Indonesia 65 PB IPSI adalah Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia 66 Mulyana, Pendidikan Pencak Silat, Membangun Jati Diri dan Karakter Bangsa, h. 86

27 28

tarian pencak silat, dengan musik dan busana tradisioanl. Aspek seni dari pencak silat merupakan wujud kebudayaan dalam bentuk kaidah gerak dan irama, sehingga perwujudan taktik ditekaknkan kepada keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara raga, irama, dan rasa.67 Membahas pencak dan tari dalam satu napas adalah membuka suatu masalah, apakah keduanya memiliki hubungan? Atau bahkan dapat dibandingkan? dibandingkan? Pencak dan tari mempunyai dua ciri dasar yang sama. Pertama, keduanya mempunyai aspek olah tubuh yang kuat, dan Kedua, keduanya dibentuk atau diwarnai oleh kebudayaan yang melingkupinya. Persamaan ini mungkin keduanya mengandung unsur gerak yang indah dan dalam pernyataan geraknya memperlihatkan adanya struktur. Selain adanya persamaan dari keduanya terdapat pula banyak perbedaan. Sebagai landasan untuk memahami pencak dan tari haruslah dipahami terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan tari dan pencak, yang dimaksud tari adalah cakupan kegiatan olah fisik yang tujuan akhirnya adalah ekspresi keindahan, sedang pencak adalah cakupan kegiatan olah fisik yang tujuan akhirnya adalah bela diri dan kemenangan terhadap lawan.68 Sebagai kegiatan olah fisik, maka pencak dan tari mengembangkan metode- metode latihan tubuh tertentu. Pada keduanya kemampuan gerak tubuh dikembangkan sejauh mungkin, terutama ysng berupa kekuatan tubuh dan kecepatan gerak. Bedanya adalah bahwa pada pencak ditambahkan latihan-latihan untuk mendapatkan kelebihan atau kekuatan yang luar biasa dari tubuh, serta untuk memiliki kecepatan reaksi. Pada tari, yang ditambahkan adalah latihan- latihan untuk mengembangkan kepekaan akan rasa gerak dan rasa irama. Penekanan kepada rasa yang diarahkan pada penghayatan keindahan ini, jelas berbeda dengan penekanan pencak kepada efektivitas serangan, tangkisan, elakan, tangkapan dan sebagainya, disertai dengan kemampuan gerak tipu dan inteligensi menggunakan situasi, yang semua itu diarahkan pada kemenangan terhadap lawan.69

67 Erwin Setyo Kriswanto, Pencak Silat, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2015), h. 21 68 Edi Sediawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, (Jakarta : Sinar Harapan, 1991), h. 68- 69 69 Edi Sediawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, h. 70

29

Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Seni tidak dapat dipisahkan dari pertunjukkan yang menjadi ciri khasnya, entah itu seni musik, tari, silat atau maen pukulan dan sebagainya. Ada hubungan timbal balik antara kesenian dan maen pukulan. Dua unsur itu menjadi satu, saling terkait, saling menopang, membutuhkan, melengkapi, dan menghidupi (simbiosis mutualisme Seni pertunjukkan Betawi berperan besar dalam kelangsungan hidup maen pukulan, sebaliknya, unsur-unsur gerakan maen pukulan juga mempengaruhi bentuk- bentuk kesenian Betawi.70 ). Pada pencak silat terdapat unsur-unsur gerak tari, yang biasa dinamakan Ibing-Pencak.71 Sanggar silat Akta (Akal dan takwa) di Ciganjur memiliki pola gerak silat yang merendah dan membungkuk, gerak tari Blenggo di Ciganjur mengambil dasar gerak silat akal dan Takwa yang disebut Koplek. Sanggar Akal dan Takwa didirikan pada tahun 1965 dengan izin sang guru H. Sa‟amin setelah kelompok silatnya memenangkan turnamen atau festival silat pada tahun 1965-an tersebut. Nama Akal dan Takwa mengambil arti filosofi dari kita sebagai manusia harus menggunakan akal kita, karena akal lah yang membedakan manusia dengan binatang, dan takwa adalah memiliki arti supaya dalam menjalani kehidupan ini senantiasa bertakwa kepada Allah SWT. Dalam kegiatan silat di sanggar ini selalu didahului dengan berdo‟a untuk orang tua, guru-guru serta para leluhur dari sanggar silat Akal dan Takwa ini. Sebelum melakukan kegiatan silat diwajibkan untuk berwudhu dan harus sudah menunaikan sholat „isya karena latihan silat dilakukan di malam hari.72

B. Sejarah Perkembangan Tari Blenggo di Betawi Blenggo merupakan suatu pementasan tari dan musik khas Betawi. Seni tari ini telah dikenal di Batavia sejak zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya seniman Blenggo ini adalah petani. Kata Blenggo sama artinya dengan tari, sebab

70 G. J. Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), h. 239-240 71 Atik Sopandi dkk, Pencak Silat, (Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 1992), h. 47 72 Wawancara Pribadi dengan Ustad Hamid, 25 oktober 2017

30

ada ungkapan “dibelenggoin” yang artinya disertai dengan tarian. Ada pula yang menyebutkan kata Blenggo berasal dari “lenggang lenggok”, gerakan yang lazim dalam suatu tarian.73 Berdasarkan musik pengiringnya, tari Blenggo dibagi menjadi dua yaitu:74 1. Blenggo Rebana, yang dimainkan oleh anggota Group Rebana Biang secara bergantian. 2. Blenggo Ajeng, yang dimainkan dengan iringan musik Gamelan Ajeng, yang tidak hanya dimainkan oleh grup rombongan ajeng tetapi juga bagi orang lain yang berminat terutama orang yang bermaksud membayar kaul.75 Blenggo Ajeng yang dimainkan dalam upacara pernikahan biasanya dilaksanakan setelah nyapun.76 Di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya terdapat bermacam-macam ukuran rebana dengan nama dan penggunaan yang berbeda- beda, yang paling kecil disebut rebana ketimpring, kurang lebih sebesar piring makan. Ada juga jenis lain dengan ukuran yang hampir sama yang disebut marawis, yang bentuknya menyerupai tambur cina. Rebana yang agak besar disebut rebana hadrah dan rebana kasidah. Perbedaan rebana hadrah dan rebana kasidah terletak pada pasangan kepingan logam pada bagian kayunya. Pada rebana hadrah terdapat tiga pasang kepingan pada bagian sisinya, berjarak simetris, sedangkan pada rebana kasidah tidak ada kepingan-kepingan logam itu. Jenis rebana yang paling besar disebut rebana biang. Kelompok rebana biang ini terdiri dari tiga macam : yang terbesar dan yang berfungsi sebagai gong disebut biang atau salun; kemudian yang agak kecil disebut kotek dan yang terkecil disebut gendung.77 Setiap grup Rebana Biang mempunyai perbendaharaan lagu yang berbeda- beda, meskipun judul lagunya sama namun cara membawakannya sangat berbeda.

73 Ruchiat, dkk, Ikhtisar Kesenian Betawi, h.79 74 Tim Peneliti FIB UI, Langgam Budaya Betawi, h. 90 75 Kaul adalah nazar 76 Nyapun adalah menaburi kedua mempelai dengan beras kuning, uang dan bunga- bunga, diiringi lagu khusus semacam kidung. 77 Mus K. Wirya, Bermain Rebana, (Jakarta: C. V. Yasaguna, Anggota IKAPI, 1981), h. 7

31

Lagu Rebana Biang ada dua macam; pertama berirama cepat yang disebut lagu Arab, kedua berirama lambat disebut lagu rebana atau lagu Melayu. Jenis lagu pertama antara lain berjudul: Rabbuna Salun, Allahuah, Allah Aisa, Allahu Sailillah, Hadro Zikir. Sedangkan jenis lagu kedua: Alfasah, Sholawat Badar, Alaik Soleh, Dul Sayyidina, Dul Laila, Yulaela, dan Sollu „Ala Madinil Iman.78 Gamelan Ajeng berasal dari kebudayaan Sunda, dan penyebarannya di bumi Betawi adalah di daerah-daearah yang berbatasan dengan masyarakat Sunda. Gamelan Ajeng terdapat di daerah Kelapa Dua Wetan, Gandaria, Cirendeu, Tambun dan Karanggan (Pondok Gede). Peralatan musikanya adalah sebuah keromong sepuluh pencon, sebuah terompet, gendang (terdiri dari dua buah gendang besar dan kulantir), dua buah saron, sebuah bende, sebuah cempres (semacam cecempres), sebuah kecrek. Kadang-kadang ditambah dengan dua buah gong (gong laki dan gong perempuan).79 Gamelan Ajeng biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan keluarga, seperti pernikahan, khitanan, dan sebagainya. Pada awalnya tidak biasa digunakan untuk mengiringi tarian, tetapi dalam perkembangannya kemudian digunakan pula sebagai pengiring tarian yang disebut Blenggo Ajeng. Selanjutnya Gamelan Ajeng dengan selera masyarakat dan pendukungnya, maka beberapa Gamelan Ajeng menambah repertoarnya80 dengan lagu-lagu Sunda pop. Bahkan ada pula digunakan untuk mengiringi tari yapong yang mulai popular sejak era 80-an. Pendukung atau pemain gamelan ajeng ini adalah petani di daerah pinggiran, yang tidak mengandalkan kehidupannya dari aktivitas gamelan ajeng, melainkan dari pekerjaanya bercocok tanam itu. Namun kehidupan mereka kini juga sulit setelah bumi Betawi dibongkar habis untuk pembangunan dan perluasan kota.81 Di kalangan masyarakat Betawi yang teguh menjalankan syariat agama Islam, yang untuk mudahnya disini disebut golongan Santri, penampilan penari perempuan kurang dikehendaki. Blenggo Rebana Biang ditarikan dengan

78 Rubingat, Rebana (Musik dan Lagu Tradisional Islami), (Jurnal Jantra, Vol VIII, No 2. Desember 2012), h, 151 79 Chaer, Betawi Tempo Doeloe, Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, h. 330-331 80 Repertoar adalah persediaan nyanyian, lakon, dan opera yang yang dimiliki seseorang atau kelompok seni yang siap untuk dimainkan 81 Chaer, Betawi Tempo Doeloe, Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, h. 331

32

menggerak-gerakkan tangannya sambil berjongkok dan gerak tarian mengambil pola gerak silat. Oleh karena itu, langkah kaki agak pendek hampir tidak diangkat dan sikap badan agak membungkuk, kemudian berputar dalam lingkaran sempit ke arah kiri. Penari merupakan anggota dari kelompok yang memainkan musik pengiring Rebana Biang sendiri dengan menari secara bergantian. Demikianlah maka tari-tari , Samrah dan Blenggo yang didukung umumnya oleh golongan santri tidak biasa dilakukan oleh kaum perempuan.82

C. Sejarah dan Perkembangan Tari Blenggo di Ciganjur Sejarah awal dari tari Blenggo adalah dari alat musik Rebana Biang yang dibawa dari Banten ke Ciganjur sekitar abad 19, oleh pak Haji Tua Kumis. Awal mulanya pak Haji Tua Kumis ini mengajar mengaji. Seiring berkembangnya agama Islam maka dikenalkan pula alat musik Rebana Biang ini, proses pengenalannya adalah dengan cara selepas mengajari ngaji, pak Haji Tua Kumis memainkan Rebana Biang, dan biasanya dalam pengajian orang Betawi selalu terdapat pelatihan silat di dalamnya. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa dahulu belajar ngaji tidak dapat di pisahkan dengan belajar maen pukulan atau belajar silat, dan pada umumnya guru ngaji juga merupakan seorang yang mahir maen pukulan.83 Akhirnya dengan bersamaannya permainan rebana ini dengan latihan silat, digunakan untuk mengiringi gerak silat, dengan istilah ketika memainkan Rebana Biang adalah “diblenggoin” yang artinya ditarikan atau digerakkin. 84 Lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu Islami yang diambil dari Sharaf Al-Anam (Barzanji) berupa syair-syair yang menceritakan tentang sejarah kelahiran Nabi Muhammad Saw yang isinya juga menyebarkan ajaran moral Islam, dan menganjurkan umat untuk berbuat baik dengan mencontoh apa yang dikatakan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, dalam bentuk qosidah.85

82 Ruchiat, dkk, Ikhtisar Kesenian Betawi, h. 79 83 Saputra dkk, Siklus Betawi, Upacara dan Adat Istiadat, h. 22-23 84 Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Pusaka Ciganjur, 12 Oktober 2017, Pukul 10.00 85 Zulkarnain Yani, Seni Sharaf Al-Anam dan Rodat di Palembang sebagai Seni Bernuansa Keagamaan, ( Penamas, Jurnal Penelitian Keagamaan dan Kemasyarakatan , volume 28, nomor 3, oktober-desember 2015, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, akreditasi LIPI), h. 429

33

Pada tahun 70-an semasa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, yang mana mulai bangkit kembali kesenian Betawi, terutama pada acara pembukaan pralokakarya penggalian dan pengembangan seni-budaya Betawi tahun 1976, untuk peresmian acara tersebut Gubernur Ali Sadikin menggunakan Rebana Biang, yang sebelumnya bernama “Terbang Gede”, Gubernur Ali Sadikin menyebutnya “itu ambil biangnya, rebana yang biangnya” dengan maksud rebana yang paling besar. Penyebutan tari Blenggo sebagai sebuah tari juga disarankan oleh Gubernur Ali Sadikin karena untuk membedakan dengan tari-tarian Betawi yang lainnya, seperti topeng, cokek dan lain-lain.86 Rebana adalah alat musik berkulit yang bernafaskan Islam, yang dipergunakan sebagai sarana upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, pernikahan, khitanan dan sebagainya. Salah satu dari macam- macam rebana itu adalah Rebana Biang yang merupakan musik Betawi yang berukuran besar, bernafaskan Islam, dengan instrument pokok 3 buah rebana yaitu Gendung, Kotek dan Biang. Biasanya pertunjukkan Rebana Biang ini diadakan pada upacara pernikahan, khitanan, Maulid Nabi Muhammad SAW dan acara syukuran lainnya.87 Ukuran-ukuran Rebana Biang di Ciganjur:88 Rebana Gendung: - Diameter atas : 32 cm - Diameter bawah : 21 cm - Tinggi badan : 10 cm - Tebal badan : 2 cm - Berat badan : 1 Kg

Rebana Kotek:

86 Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Pusaka Ciganjur, 12 Oktober 2017, Pukul 10.00 87 Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Rebana Burdah dan Biang, (Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisional Betawi, 2000), h. 90 88 Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Rebana Burdah dan Biang, (Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Proyek Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisional Betawi), h. 58-59

34

- Diameter atas : 42 cm - Diameter bawah : 22 cm - Tinggi badan : 10 cm - Diameter Wengku : 50 cm - Tebal badan : 2,5 cm - Berat badan : 1,5 Kg Rebana Biang: - Diameter atas : 80 cm - Diameter bawah : 27 cm - Tinggi badan : 16 cm - Diameter Wengku : 88 cm - Tebal badan : 3 cm - Berat badan : 2,5 Kg Berikut cara memainkan Rebana Biang:89 1. Gendung ada tiga suara teng, dung, pak, untuk memainkan rebana gendung yaitu posisi kaki ditekuk, dengkul di atas dan Rebana disandarkan di kaki, setelah itu rebana di cagah dengan jari-jari kaki, supaya tidak goyang pada saat di pukul. 2. Bunyi suara rebana kotek adalah teng, dung, pak, rebana koteg ini berfungsi sebagai melodi. Untuk cara bermainnya sama seperti rebana gendung. 3. Rebana Biang memiliki bunyi teng, piung, dung, untuk cara bermainnya dengan posisi kaki ditekuk lalu telapak kaki dipertemukan dan Rebana Biang dijepit di antara telapak kaki supaya suaranya yang keluar bagus. Tetapi berdasarkan gambar berikut tidak menggunakan cara tersebut melainkan dengan cara kaki di tekuk dan kaki kiri sbegai penyanggah rebana. H. Damong adalah orang Ciganjur pertama yang belajar Rebana Biang dari bapak Kumis. Melalui H. Damong inilah kemudian kesenian Rebana Biang makin populer, sehingga melahirkan generasi penerus seperti H. Bitong, H.

89“Tutorial Bermain Alat Musik Rebana Biang”, https://www.youtube.com/watch?v=dXovOjxh6Fg, diakses pada tanggal 15 November 2017

35

Amsir, H. Abdullah dan lain-lain. Kepopuleran H. Damong yang melestarikan Rebana Biang sehingga namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di kawasan Ciganjur yang bernama gang H. Damong. H. Sa‟aba menjadi generasi ketiga yang meneruskannya kepada generasi keempat yaitu H. Abdurrahman, Engkos, H. Mursidi dan lain-lain. H. Abdurrahman meneruskan dan mengembangan kesenian Rebana Biang ini, yang kemudian pada tahun 1986 mendirikan Grup Rebana Biang Pusaka. Kata “pusaka” yang diambil sebagai makna yang mengacu kepada makna peninggalan atau warisan dari orang tua.90 Menurut H. Abdurrahman kesenian Rebana Biang ini harus di lestarikan karena untuk menghibur masyarakat dan menjadi alat dakwah. Berdasarkan pesan dari leluhur H. Abdurrahman, bahwa kesenian ini harus di jaga, karena suatu saat kesenian ini akan timbul kembali, yang akhirnya terbukti pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, dengan diangkatnya kembali kesenian Rebana Biang ini. Dalam pementasan tari Blenggo hampir keseluruhan pemainnya adalah laki-laki, tetapi berdasarkan pengakuan dari H. Abdurrahman, sekitar tahun 2016 ada beberapa siswa dari SMK 57 yang belajar kesenian Rebana Biang dan tari Blenggo, terdiri dari lima perempuan dan dua laki-laki. Pementasan tari Blenggo yaitu setelah permainan musik Rebana Biang dimainkan untuk beberapa lagu, baru setalah di tengah-tengan permainan musik dipentaskanlah tari Blenggo.91 Seni pertunjukkan Rebana Biang merupakan sebuah kesenin ritual yang diajarkan setelah pengajian. Dalam perkembangannya seni Rebana Biang ini bergeser menjadi sebuah hiburan yang mengiringi teater dan tari, yaitu teater Blantek dan tari Blenggo, memeriahkan berbagai perayaan seperti pernikahan, khitanan, dan lain-lain. Pergeseran dari sarana ritual ke sarana hiburan disebabkan oleh beberapa faktor: 1) faktor ekonomi, dikarenakan para pemain rebana biang tidak mempunyai pekerjaan tetap, 2) pemahaman audiens, karena pertunjukkan Rebana Biang dahulunya hanya untuk ritual setelah pengajian yang isinya hanya shalawat, susah dipahami dan membosankan kemudian berkembang dengan

90 Sylviana Murni, ed, Database Orang Betawi, (Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2012), h. 87-88 91 Wawancara Pribadi dengan H. Abdurrahman, 12 Oktober 2017

36

menambahkan lagu-lagu rakyat seperti “Anak Ayam” agar pertunjukkan Rebana Biang lebih menarik dan dipahami oleh penonton.92

Adapun kostum yang dikenakan dalam penyajian Rebana Biang adalah:93 a. Pakaian Kepala Para pemain rebana biasanya memakai peci. Ada yang mengenakan peci hitam, peci merah, dana ada pula yang memakai kopiah haji. Untuk peci yang biasa digunakan di Ciganjur adalah peci dengan warna hitam polos. b. Pakaian Badan Kemeja yang dikenakan para penggarap rebana disesuaikan dengan pakaian adat Betawi dan pakaian Islam, terutama tentang warna yaitu warna putih atau warna hitam. Ada pula diantara para pemain rebana yang mengenakan jas atau jas tong, serta ada yang mengenakan gamis putih atau Takwa. c. Celana Celana yang dipakai para pemain rebana adalah: Pantalon (celana panjang), celana pangsi putih atau pangsi hitam. Ada pula yang memakai celana batik. d. Kain sarung Di samping celana, secara tradisi Betawi para pemain rebana mengenakan kain sarung poleng. Pemakaian kain sarung itu ada yang diselendangkan pada bahu, ada pula yang dibelitkan pada pinggangnya masing-masing menutupi sebgaian celana pangsi.

92 Mahmudah, Pertunjukkan Seni Rebana Biang Di Jakarta Sebagai Seni Bernuansa Keagamaan, h. 303-304 93 Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, Rebana Burdah dan Biang, h. 70-71

BAB IV MAKNA SIMBOL DALAM TARI BLENGGO DI CIGANJUR

A. Makna Simbol Dalam Tari Blenggo di Ciganjur 1. Nilai Religiusitas Dalam kelompok sosial keagamaan di masyarakat terdapat komunikasi religius. Suatu komunikasi dikatakan bersifat religius apabila memiliki salah satu ciri sebagai berikut, 1) terjadi antara komunikan dengan komunikatornya, seperti antara Tuhan dan Rasul-Nya, antara nabi dan pengikutnya, antara imam dan jamaahnya, 2) isinya merupakan pesan-pesan ajaran suatu agama, ada yang langsung ayat dan ada pula yang berupa interpretasi dari yang menyampaikan atau, 3) kemasan dan cara menyampaikan bersifat religius,seperti dimulai dan disudahi dengan doa oleh pemuka agama, dikuatkan dengan dalil-dalil dari kitab suci, dengan gaya menyampaikan ajaran agama, seperti dnegan pendekatan keyakinan, dan lain sebagainya.94 Keberagaman masyarakat Betawi dapat terlihat pula dalam musik-musik Betawi yang mendapat pengaruh dari berbagai bangsa, seperti musik Keroncong Tugu mendapat pengaruh dari Portugis, Gambang Kromong memiliki pengaruh dari Cina, sementara musik Samrah dan Rebana mendapat pengaruh dari Arab. Ada pula beberapa alat musik yang memiliki nilai religiusitas, salah satunya adalah rebana, karena musik Betawi tidak hanya sebagai hiburan saja, berbagai macam rebana dengan lagu-lagunya yang khas merupakan musik Betawi yang bernafaskan nilai-nilai ajaran Islam. Lirik-lirik lagu rebana merupakan lirik yang berbahasa Arab, lirik lagu tersebut berisi doa-doa.95 Nilai religius dapat dilihat pula dalam kegiatan sebelum pementasan tari Blenggo. Berdasarkan keterangan dari H. Abdurrahman, ada kewajiban yang harus dilakukan sebelum mementaskan seni musik Rebana Biang dan tari Blenggo yaitu memanjatkan doa untuk para sesepuh yang telah meneruskan untuk melestarikan seni Rebana Biang, karena jika sebelum pementasan para pemainnya

94 Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2006, h. 256 95 Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI, Langgam Budaya Betawi, h. 41-42

37 38

tidak berdo‟a terlebih dahulu, maka pementasan musik dan tarinya akan berantakan. Dahulu permainan alat musik Rebana Biang ditampilkan sehabis isya‟ dengan bermaksud untuk menarik minat masyarakat untuk mengaji dan bermain Rebana Biang, karena pada waktu setelah sholat isya itu kebanyakan masyarakat sudah terlepas dari akivitas kehidupannya sehari-hari. Bagi para senimannya pun diharuskan untu taat menjalankan ibadah sholat lima waktu, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Dalam kostum yang dikenakan oleh penari Blenggo yaitu memakai pakaian sehari hari masayarakat Betawi seperti baju koko putih dan celana batik, juga kebanyakan memakai baju silat yang serba berwarna hitam. Dua warna antara hitam dan putih ini menunjukkan perbedaan warna yang mencerminkan dua sisi yang berbeda namun bisa tetap satu dan berpadu.96 2. Makna Simbolik Dalam Tari Blenggo a. Makna dalam gerakan Tari Blenggo Tari Blenggo tidak sama dengan tarian tradisioanal Betawi lainnya yang memiliki pola gerak, seperti pola lantai, gerakan pertama gerakan inti atau gerakan penutup. Tari Blenggo tidak memiliki pola gerak tarian yang tetap, karena karena apabila dilihat dari sejarah terciptanya tari Blenggo seperti yang telah penulis jelaskan bahwa tari Blenggo merupakan pengiring dari Rebana Biang yang dimainkan seusai mengaji, jadi gerakan dalam tari Blenggo tergantung dari perbendaharaan silat si penari, karena tarian Blenggo ini setengah dari silat atau mengambil pola silat. Dalam bidang tari, yang menyebabkan suatu tarian dianggap bersifat Islam atau tidak adalah kandungan pesannya, dan bukan pada pertamanya gaya atau tekniknya. Berdasarkan wawancara dengan pelaku seni tari Blenggo di Ciganjur yaitu H. Abdurrahman yang juga merupakan ketua dari sanggar Rebana Biang Pusaka mengemukakan bahwa gerak dalam tari Blenggo sebagai berikut:97

96 Wawancara Pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Pusaka, 12 Oktober 2017 97 Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Pusaka,12 Oktober 2017

39

1. Gerakan pertama adalah gerakan salam, Secara bahasa salam artinya keselamatan, kedamaian, ketenterama dan keamanan.98 Gerakan salam ini dengan tubuh setengah membungkuk ke depan seperti salah satu gerakan dalam sholat yaitu ruku, dengan kedua tangan disatukan. Dalam gerakan tersebut merupakan gerakan salam pembuka sebagai simbol penghormatan. 2. Gerakan kedua masih dengan sikap tubuh yang membungkuk dan merendah dengan gerakan kaki yang diangkat agak pendek, sambil kedua tangan digerak-gerakan bergantian. Dengan sikap gerak tubuh yang membungkuk dan merendah merupakan simbol kesopanan 3. Gerakan ketiga adalah berputar dalam lingkaran sempit ke arah kiri, masih dengan sikap tubuh yang sama serta gerakan tangan dan kaki yang sama. Gerakan tari yang “memutar ke kiri dalam” dapat dimaknai sebagai thawaf bagi orang Islam pada saat naik haji mengitari Ka‟bah.99 4. Gerakan keempat adalah salam penutup. Bentuk gerakannya sama dengan gerakan salam pembuka Tari Blenggo ditarikan dengan menggerak-gerakkan tangannya sambil berjongkok dan gerak tarian mengambil pola gerak silat. Gerak tarian yang mengambil pola gerak silat sesungguhnya memiliki nilai etis yang bersiap untuk melindungi. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdurrachem sebagai seniman Betawi yang juga sebagai pengamat tari Blenggo serta menjadi pelaku seninya juga, mengatakan bahwa keseluruhan gerak dalam tari Blenggo hampir semua gerakannya membungkuk atau merunduk dan gerak tari yang mengambil pola silat gerak kakinya kebanyakan menghimpit ke dalam serta dalam gerakannya tidak ada yang mengangkat kaki melebihi dari paha, hal itu mencerminkan sopan santun dan agar kita selalu berbudi luhur.100 Keseluruhan gerakan tari Blenggo di Ciganjur yang merupakan setengah silat, diambil dari pola gerak silat yang dinamakan Koplek yang juga memiliki

98 Abdul halim Fathani, Ensiklopedi hikmah: Memetik Buah Kehidupan di Kebun Hikmah, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008), h. 462 99 Tim Peneliti FIB UI, Ragam Seni Budaya Betawi, h. 67

100 Wawancara pribadi dengan Bapak Abdurrachem, Dinas Pendidikan Jakarta, 01 November 2017

40

pola gerak silat dengan sikap gerak tubuh merunduk serta merendah. Gerakan tersebut memiliki arti agar kita sebagai manusia tidak sombong dan selalu rendah hati. 101 Sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat ke-18: َو ََل تُ َص ِّع ْر َخ َّد َك لِلنَّاسِ َو ََل تَ ْمشِ فِي ا ْْلَ ْرضِ َم َر ًحا ۖ إِ َّن ََّّللاَ ََل يُ ِح ُّب كُ َّل ُم ْختَا ٍل فَ ُخورٍ “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” Berdasarkan wawancara dengan ustad Hamid, selaku ketua Sanggar silat Akal dan Takwa, inti dari makna gerakan-gerakan silat Koplek adalah sikap sopan dan ramah dalam berseni, jangan angkuh dan punya sifat sombong dalam seni bela diri, harus rendah dalam wibawa, tinggi di dalam kebaikan.102 b. Makna dalam Instrumen Tari Blenggo Rebana merupakan alat musik yang bernuansa keagamaan dapat dilihat pula dari kata rebana itu sendiri yaitu rebana berasal dari kata robbana artinya adalah wahai tuhan kami (suatu doa dan pujian terhadap Tuhan).103 Rebana juga dijadikan sebagai media hiburan, pergaulan sosial, dan sebagai alat upacara keislaman. Kemudian bila ditinjau dari fungsinya, rebana merupakan instrument musik pukul (perkusi) yang berguna sebagai pengiring lagu dan tari-tarian yang bernuansa Islami.104 Berdasarkan wawancara dengan H. Abdurrahman bahwa dalam pemeliharaannya, rebana ini tidak boleh dilangkahi, karena ini merupakan pusaka orang tua, jadi kita harus menghormati leluhur. Rebana Biang juga menjadi simbol seni musik khas Betawi, yang pada bagian lingkaran rebananya

101 Wawancara pribadi dengan Ustad Hamid, Padepokan Akal dan Takwa, 25 Oktober 2017 102 Wawancara pribadi dengan Ustad Hamid, 25 Oktober 2017 103 Rubingat, Rebana; Musik dan Lagu Tradisional Islami, h. 146 104 Hasmawi, Seni Musik Rebana, (Aceh: CV. Sepakat Baru, Darussalam, 1995), h. 3

41

masih menggunakan pasak (sejenis paku berbahan kayu atau bambu), yang digunakan sebagai penyanggah di bagian lingkaran rebana.105 Instrument dalam tari Blenggo di Ciganjur adalah Rebana Biang, seperti yang telah dijelaskan di atas, Rebana Biang terdiri dari tiga Rebana yang dinamakan gendung, kotek dan biang. Menurut kebiasaan setiap jenis rebana selalu dimainkan secara berkelompok, yang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang atau lebih, hal ini merupakan keharusan karena prinsip permainan rebana pada dasarnya harus bersahut-sahutan, demikian dengan nyanyiannya.106 Alat musik rebana dianggap menjadi instrumen khas Islam karena memang sebagain besar nyanyian-nyanyian yang diiringi oleh rebana mengandung pesan-pesan keislaman, seperti puji-pujian untuk atau riwayat dari Nabi Muhammad Saw. Ada beberapa lagu Islami yang dibawakan dalam pementasan Blenggo Rebana adalah Allahuah, Allah-Allah, Shollu „ala madanil iman, An-Nabi ya man hadhor, Shollu Robbuna, Alfa Shollu, Sholawat Badar, serta ada pula lagu rakyat lain yang dibawakan seperti Anak Ayam, Sangrah, Sirih Kuning, Jali-Jali dan Ondel-Ondel. Salah satu lagunya adalah Sholawat Badar yang berisikan tentang puji-pujian kepada Rasulullah SAW, dan berisikan do‟a-do‟a kepada Allah SWT.107 c. Makna simbolik pada busana dalam Tari Blenggo Dilihat dari kostum yang digunakan oleh pemain Rebana Biang, berdasarkan pernyataan bapak Haji Abdurrahman dahulu menggunakan baju berwarna hitam, karena zaman dahulu banyak sekali kejahatan di jalanan dan pertunjukkan Rebana Biang dilakukan semalam suntuk sekitar dari jam 19.00 sampai jam 04.00 pagi, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, makanya digunakanlah kostum berwarna hitam. Bila dilihat pertunjukkan Rebana Biang dahulu dan sekarang, tampak perbedaan yang mencolok yaitu, dahulu pertunjukkan Rebana Biang dilakukan semalam suntuk dengan beberapa lagu,

105 Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, Sanggar Rebana Biang Pusaka, 12 Oktober 2017 106 Wirya, Bermain Rebana, h. 7-8 107 Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, 12 Oktober 2017

42

namun untuk prtunjukkan yang sekarang hanya dua atau tiga lagu yang dibawkan. Hal ini dipengaruhi oleh para pemaian Rebana Biang yang sudah lanjut usia.108

1) Peci Hitam dan Sarung Pemakaian peci merupakan bagian dari identitas ke-Betawian dan tren bagi laki-laki Betawi. Biasanya peci juga digunakan oleh para pendekar, jawara, dan jagoan maen pukulan (pencak silat), bagi orang Betawi yang tidak memakai peci dianggap gundul. Peci yang digunakan sebagai identitas orang Betawi umumnya berwarna hitam polos tanpa motif dan berbahan beludru. Posisi peci harus tepat saat digunakan, yaitu sudutnya terletak didepan dan dibelakang. Peci menjadi simbol perlawanan nasional seiring lahirnya ide nasionalisme. Soekarno juga menetapkan bahwa peci dan sarung sebagai simbol dari perlawanan terhadap kolonialisme. Peci juga sering dipadankan dengan jas 109 peci hitam yang khas bagi orang Betawi adalah yang berbahan Beludru dan berwarna hitam polos tanpa ada motif atau corak apapun.110 Bagi masyarakat Betawi sarung juga merupakan identitas dari ke-Betawian, selain digunakan untuk ibadah sholat, sarung juga digunkan oleh para jawara dan jago maen pukulan yang terkadang bisa dijadikan pula sebagai senjata, terutama bagi mereka yang dari pesantren dan berlatar belakang agama yang kuat. Ada dua gaya pemakaian sarung, peletakan sarung di pundak sebagai identitas bahwa mereka memiliki kemampuan maen pukulan, sedangkan apabila sarung tidak dijadikan sebagai senjata maka akan diikatkan ke pinggang, digulung-gulung sebagai ikat pinggang.111 Peletakkan posisis sarung disinyalir diadaptasi dari cukin (syal putih) yang dikenakan jago-jago Tionghoa peranakan di Betawi. Bagi masyarakat Betawi yang agamis, penggunaan sarung di pundak merupakan transformasi ekspresi kebudayaan yang digambarkan dalam “shalat dan silat / hablum minallah dan hablum minannas”.112

108 Mahmudah, Pertunjukkan Rebana Biang Di Jakarta Sebagai Seni Bernuansa Keagamaan, h. 304 109 Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 266- 268 110 Wawancara pribadi dengan H. Abdurrahman, 12 Oktober 2017 111 Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 271 112 Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 289

43

2) Baju Tikim dan Celana Pangsi Baju Tikim dan celana Pangsi merupakan pakaian yang pada umumnya dipakai oleh para pemain pencak silat. Belakangan ini baju tikim yang m erupakan pakaian tradisonal Betawi sering juga disebut baju sadariah dan baju koko. Baju tikim pada umumnya tidak berkerah karena diadaptasi dari kebanyakan orang Tionghoa di Batavia, dan memiliki lima kancing yang awalnya bahan kancing terbuat dari bahan yang dipilin. Baentuk kancing yang jantan menyerupai kepala capung113, sehingga disebut kancing kepala capung.114 Pada umumnya pakaian mereka adalah baju kampret berwarna hitam dengan kancing jepret model baju sadariah model leher tali sepatu, atau lebih dikenal dengan daun tikim. Memakai celana pangsi hitam yang dilipat serta digulung sebagaimana memakai kain, karena celana ini bentuk atasnya tidak memakai tali atau karet sebagaimana celana kolor. Celana pangsi ini berasal dari daratan Cina, semua pesilat akan memakai celana ini bila sedang mengadakan latihan. Bagian atas celana ditutup dengan ban pinggang besar dari kulit dan berkantung model tutup silang. Ban ini berguna pula sebagai tempat untuk menyelipkan golok mereka yang biasanya berada di pinggang kiri.115 Celana pangsi yang biasnya digunakan oleh pesilat berukuran lebar, dan wrana yang pada umumnya digunakan adalah hitam, putih, kuning gading, biru tua dan abu-abu. Pada zaman dulu pewarna yang digunakan berasal dari alam, seperti hitam dari pembakaran arang, kuning gading dari kunyit dan biru tua dari olahan pohon nila. Cara memakai celana pangsi ini dililitkan di pinggang seperti sarung, agar tidak melorot diikat dengan angkin atau kain. Penggunaan angkin digantikan dengan gesper kulit atau gesper haji. Sedangkan untuk sekarang ini celana pangsi dibuatkan tali di tengah untuk mempermudah pemakainya.116 3) Baju koko putih dan celana batik

113 Bagi masyarakat Cina, capung sebagai simbol kemakmuran dan keberuntungan 114 Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 269-270 115 Yasmine Zaki Shahab, dkk, Busana Betawi, Sejarah & Prospek Pengembangan, (Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; Dinas Museum dan Pemugaran, 2000), h. 82-83 116 Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 270

44

Baju koko putih yang seringkali disebut dengan sadariah merupakan baju keseharian orang Betawi yang erat dengan warna pengaruh Islam. Biasanya dikenakan bersamaan dengan celana batik komprang atau disebut dengan celana boim, celana ini merupakan celana yang baisa digunakan oleh pria Betawi untuk mengaji.117 Batik Betawi boleh dikatakan. Betawi atau Jakarta adalah kota niaga. Batik dibuat untuk diperdagangkan, jadi sifatnya komersial. Motif batik dibuat berdasarkan pesanan konsumen. Karena itulah kita bisa menemukan motif seperti sawat/gurdo atau garuda yang merupakan ciri batik Solo-Yogya (tapi di Betawi namanya Gajah Mada atau Tapak Kebo). Tetapi batik Betawi mengalami perkembangan yaitu pada tahun-tahun terakhir ini yang banyak dibuat ialah kain yang menggambarkan ciri Jakarta seperti ondel-ondel, Monumen Naional, dan flora fauna yang didapati di Jakarta umpanyanya saja elang bondol atau ulung- ulung. Kain-kain itu diberi kepala bermotif pucuk rebung, dan warna pada batik Betawi biasanya menggunakan warna yang mencolok.118 4) Sabuk atau Gesper Haji Bagi jawara dan jago maen pukulan gesper haji digunakan sebagai penahan perut agar organ tubuh bagian bawah tidak mengalami gangguan ketika melakukan beberapa jurus silat, selain itu gesper haji memang juga digunakan sebgai ikat pinggang agar celana tidak melorot. Gesper haji disebarluaskan oleh ulama, guru, serta orang-orang Betawi sepulang menunaikan ibadah haji di Mekkah.119

B. Respon Masyarakat Terhadap Tari Blenggo di Ciganjur Seni (kesenian) adalah sebagian dari kebudayaan, sedangkan kebudayaan meliputi seluruh kehidupan manusia dalam bermasyarakat, baik lahir maupun batin. Kebudayaan adalah usaha manusia untuk melengkapi dan meningkatkan taraf hidupnya. Oleh sebab itu kebudayaan adalah ciptaan manusia, dan seni

117 Tim Peneliti FIB UI, Ragam Seni Budaya Betawi, h. 118 & 120 118 Hartono Sumarsono dkk, Batik Betawi, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), h. 61 119 Nawi, Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, h. 274

45

adalah merupakan salah satu aspeknya. Sebagai aspek kebudayan, seni adalah juga hasil ciptaan manusia. Kesenian itu melekat pada kehidupan manusia. Di mana ada manusia, disitu ada keindahan (estetik) yang merupakan aspek atau hakikat dai seni.120 Pada tahun 70-an adalah masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin. Pada masa itu terjadi banyak sekali perkembangan baik itu di bidang pendidikan, agama, kebudayaan/kesenian, pariwisata dan lain-lain. Pada tahun- tahun itulah salah satunya seniman mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah untuk terus mengembangkan kesenian dengan berbagai program yang telah direncakan oleh Gubernur sebagai wadah para seniman berkreatifitas. Dengan kembali dilestarikannya kesenian Betawi semakin semaraklah para penikmat seni Betawi untuk terus melestarikan dan selalu menyaksikan segala bentuk kesenian dari Betawi. Untuk seni Rebana Biang yang diiringi dengan tari Blenggo masih menjadi salah satu seni yang disukai oleh masyaarakat setempat. Hal itu bisa dilihat dari beberapa orang yang telah penulis wawancarai, yang penulis dapat menyebutkannya dalam beberapa hal: Pertama, masyarakat masih berminat dengan seni Rebana Biang karena latar belakang sosial kebudayaan masyarakatnya adalah Betawi Religius, sehingga kesenian rebana sudah tentu menjadi kesenian yang diutamakan. Kedua, belum adanya beragam musik lain yang ada, sehingga Rebana Biang menjadi salah satu kesenian yang sering tampil di daerah Ciganjur. Namun setelah masuknya beberapa hiburan lain menjadikan kesenian ini mengalami pasang surut.

120 H. D. Mangemba, Masyarakat dan Kesenian Indonesia, (Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar, 1992), h. 2-3

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Tari Blenggo yang merupakan seni tari tradisioanal khas Betawi menjadi salah satu kesenian yang dapat dikatakan hampir punah untuk saat ini. Dengan beberapa penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Ciganjur merupakan salah satu wilayah tempat berkembangnya seni musik Rebana Biang dengan tari Blenggonya, dan yang menjadi satu-satunya saat ini wilayah yang masih berkembang kesenian tersebut dengan nama sanggar “Rebana Biang Pusaka”. Mayoritas masyarakatnya yang merupakan etnis Betawi religi menjadikan salah satu faktor tetap berkembangnya seni musik Rebana Biang dengan tari Blenggonya. Mayoritas masyarakatnya bahkan hampir keseluruhannya beragama Islam, menjadikan pengaruh besar dalam kehidupan dan segala tradisi pada masyarakatnya. 2. Sejarah dan perkembangan tari Blenggo di Ciganjur diawali dengan Pak Haji Tua Kumis yang datang ke Ciganjur untuk mengajar mengaji dan belajar Rebna Biang, dan biasanya dalam pengajian selalu ada juga seni bela diri seilat, sehingga seni musik Rebana Biang digunakan untuk mengiringi latihan silat. Akhirnya ada istilah bermain Rebana Biang sambil diblenggoin yang artinya digerakkin. Pak H. Damonglah yang pertama belajar dengan pak H. Tua Kumis sehingga diturunkan kepada generassi-generasi keturunan selanjutnya. 3. Makna-makna simbol yang terdapat dalam tari Blenggo salah satunya adalah gerakan tariannya yang mengambil pola dasar silat yang serba membungkuk dan merendah mencerminkan kesopanan, berbudi luhur dan tidak sombong atau meninggikan hati. Dalam instrument musik dan lagunya yaitu menggunakan alat musik Rebana Biang yang merupakan musik yang bernuansa keagamaan serta lagu-lagunya yang kebanyakaan mengungkapkan akan keagungan Tuhan dan Rasul Nya. Dari kostum yang digunakan adalah pakaian kesharian khas Betawi dan pakaian silat yang

46 47

mencerminkan kesedehanaan serta ada corak keagamaan yang terdapat dalam kedua kostum tersebut adalah peci hitam yang menjadi simbol umat muslim yang taat kepada agama.

B. Saran Dalam penulisan tentang makna simbol dalam kesenian tari Blenggo di Ciganjur, penulis berharap dapat memberi sedikit pengetahuan tentang makna- makna yang banyak terkandung nilai-nilai Islami, juga nilai-nilai luhur di dalamnya. Penulis berharap lebih banyak lagi peminat baik itu anak-anak ataupun remaja, baik itu dari masyarakat Ciganjur ataupun masyarakat di luar wilayah Ciganjur yang akan terus melestarikan kesenian yang memang hanya satu-satunya di tanah Betawi ini. Untuk pemerintah baik itu tingkat kelurahan, kecamatan ataupun Provinsi dapat lebih memperhatikan kelestarian dari kesenian Blenggo Rebana ini.

DAFTAR PUSTAKA

Buku: Abu, Rifai, ed. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977. Agus, Bustanuddin. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Andi Saputra, Yahya dkk. Siklus Betawi, Upacara dan Adat Istiadat. Jakarta: Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 2000. Arif, Syaiful. Refilosofi Kebudayaan, Kebudayaan Pascastruktural. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. Chaer, Abdul. Folklor Betawi, Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi. Jakarta: Masup Jakarta, 2012. Chaer, Abdul. Betawi Tempo Doeloe, Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi. Depok: Masup Jakarta, 2015. Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta. Rebana Burdah dan Biang. (Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta. Proyek Pelestarian dan Pengembangan Kesenian Tradisional Betawi). Setiati, Eni dkk. Ensiklopedia Jakarta, Jakarta tempo doeloe, kini & esok. Jakarta: PT Lentera Abadi, 2009. Gonggong, Anhar dkk, ed. Sejarah Sosial di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984. Halim Fathani, Abdul. Ensiklopedi hikmah: Memetik Buah Kehidupan di Kebun Hikmah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2008. Hasmawi. Seni Musik Rebana. Aceh: CV. Sepakat Baru, Darussalam, 1995. Harun, Ismet B. Rumah Tradisional Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan Khusus Ibukota Jakarta, 1991. Hidayah, Zulyani. Ensiklopedia suku bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015. HM, Zaenuddin. 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe. Jakarta: Ufuk Press, 2012. Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1987. Madjid, M. Dien. Pengantar Ilmu Sejarah. UIN Jakarta Press, 2013.

48 49

Mangemba, H. D. Masyarakat dan Kesenian Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar, 1992. Mulyana. Pendidikan Pencak Silat, Membangun Jati Diri dan Karakter Bangsa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Murni, Sylviana, ed. Database Orang Betawi. Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2012. Nawi, G. J. Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016. Rosyadi, ed. Profil Budaya Betawi. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Niali Tradisional, 2006. Rudini. Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta; PT Intermasa. Ruchiat, Rachmat dkk. Ikhtisar Kesenian Betawi. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 2000. Sediawati, Edi. Pertumbuhan Seni Pertunjukkan. Jakarta : Sinar Harapan, 1991. Setyo Kriswanto, Erwin. Pencak Silat. Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2015. Sopandi Atik, dkk. Pencak Silat. Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 1992. Soedarsono, R. M. Pengantar Apresiasi Seni. Jakarta : Balai Pustaka, 1992. Sudarsono. “Tari-Tarian Indonesia I”. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Sumarsono, Hartono dkk. Batik Betawi. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia, 2017. Suryana, Asep. Pasar Minggu Tempo Doeloe: Dinamika Sosial Ekonomi Petani Buah 1921-1966. Jakarta: LIPI Press, 2012. Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Ragam Seni Budaya Betawi. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2012. Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Langgam Budaya Betawi. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2011. Wirya, Mus K. Bermain Rebana. Jakarta: C. V. Yasaguna, Anggota IKAPI, 1981. Zaki Shahab, Yasmine, dkk. Busana Betawi, Sejarah & Prospek Pengembangan, Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; Dinas Museum dan Pemugaran, 2000. Artikel Jurnal: Mahmudah, Nur. Pertunjukkan Seni Rebana Biang Di Jakarta Sebagai Seni Bernuansa Keagamaan. Jurnal: Penamas, Volume 28, Nomor 2, Juli- September 2015.

50

Rubingat. Rebana (Musik dan Lagu Tradisional Islami). Jurnal Jantra, Vol VIII, No 2. Desember 2012. Yani, Zulkarnain. Seni Sharaf Al-Anam dan Rodat di Palembang sebagai Seni Bernuansa Keagamaan. Penamas, Jurnal Penelitian Keagamaan dan Kemasyarakatan, Volume 28, Nomor 3, Oktober-Desember 2015. Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, Akreditasi LIPI.

Skripsi: Fitri Fitri Purnami. Kajian Sosiologis Kesenian Blenggo di Kelurahan Cipedak, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014.

Surat Kabar: Rais, S. Rahadjo. Surat Kabar Pelita. Selasa 28 November 1978. Sispardjo, Srijono. Macam-Macam Tari Rakyat Betawi. Sinar Harapan, Rabu 24 Mei 1978, Kol 1.

Arsip Cetak: Badan Pusat Statistik. Jakarta Selatan dalam Angka 1987. Jakarta: Kantor Statistik Jakarta Selatan. Badan Pusat Statistik. Jakarta Selatan dalam Angka Tahun 1984. Jakarta: Kantor Statistik Jakarta Selatan. Biro Hukum Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Himpunan Lembaran Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1986.

Sumber Elektronik: Tutorial Bermain Alat Musik Rebana Biang. https://www.youtube.com/watch?v=dXovOjxh6Fg, diakses pada tanggal 15 November 2017

Wawancara: Wawancara pribadi dengan Pak H. Abdurrahman. Ketua Sanggar Rebana Biang Pusaka Ciganjur. 12 Oktober 2017 Wawancara pribadi dengan Ustad Hamid. Ketua Sanggar/Padepokan Akal dan Takwa. 25 Oktober 2017 Wawancara pribadi dengan Bapak Soni. Tokoh Masyarakat Ciganjur. 22 Agustus 2017

51

Wawancara pribadi dengan Bapak Kholid. Tokoh Agama Ciganjur. 22 Agustus 2017, Pukul 15.00. Wawancara pribadi dengan Bapak Abdurrachem. Seniman dan Pengamat Tari Blenggo. 01 November 2017

LAMPIRAN-LAMPIRAN

52 53

Lampiran 1: Foto-foto

Gambar 1: gerakkan salam pembuka dan penutup

Gambar 2: gerakkan inti dari tari Blenggo (Sumber : dokumentasi pribadi, 2017)

54

Gambar 3: gerakkan silat Koplek Gambar 4: gerakkan salam pembuka

Gambar 5: gerakkan silat dasar (Sumber : dokumentasi pribadi,2017)

55

Gambar 6 : alat musik Rebana Biang, Gendung dan Kotek

Gambar 7 : cara memainkan Gendung (Sumber: dokumentasi pribadi)

56

Gambar 8 : cara memainkan Kotek

Gambar 9 : cara memainkan Rebana Biang (Sumber: dokumentasi pribadi,2017)

57

Gambar 10 : lirik lagu Rebana Biang

Gambar 11 : sarung yang diletakkan di pundak Gambar 12 : peci sebagai ciri khas dari tari Blenggo (Sumber : dokumentasi pribadi,2017)

58

Gambar 13 : Baju Tikim Gambar 14 : celana pangsi

Gambar 15 : baju koko putih dan celana batik komprang (Sumber: dokumentasi pribadi)

59

Gambar 16 : gesper Haji

Gambar 17: H. Saaba, Generasi ke-3 dari Rebana Biang (Sumber : dokumentasi pribadi,2017)

60

Gambar 18: sertifikat peresmian Sanggar Pusaka Rebana Biang Ciganjur (Sumber:dokumtasi pribadi, 2017)

Gambar 19: Pembukaan Pralokakarya Penggalian dan Pengembangan Seni-Budaya Betawi Tahun 1976 (Sumber: buku Seni-Budaya Betawi Pralokakarya Penggalian dan Pengembangannya, 2000 )

61

Lampiran 2: Transkip Wawancara

 Wawancara dengan tokoh Agama di Ciganjur, (Ustad Abdul Kholid) P: Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh N: waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh P: Saya Saadah pak, mahasiswi UIN yang sedang menulis skripsi tentang “Unsur- unsur Islam dalam kesenian Blenggo di Ciganjur tahun 1970 sampai 1990” P: kalau latar belakang sosial budaya masyarakatnya itu bagaimana pak? P: kalau ya tahun 70 an muslim semua sekampung inj muslim semua, jadi ya sebagian besar ini Islam, sedikit minim ya minim sampai sekarang pun juga gak banyak, terus Betawi. Keakrabnnya ya keakrabannya budaya keakraban masyarakat Betawi, ya yang terbuka suka kumpul suka bareng barengan apa itu kebersamaan dan tahun 70 an itu masih banyak sawah-sawah, jadi masih banyak yang bertani, berkebun tahun 70 an sampai 90 an tu masih banyak sawah bertani berkebun ya ada sebagian kecil yang berdagang karna lahan masih luas P: sistem kekerabatannya disini bagaimana tu pak? N: Kekerabatannya ya Betawi, masih segala macem kekerabatan, jadi tidak cenderung ke patrilineal tidak ke matrilineal juga nggak, guyub aja itu nyampur aja.. eee apa ya orang Betawi kan terbuka ya, gak ada wanita lebih apa lelaki lebih apa gitu gak ada terbuka aja lepas aja P: kalau sistem Religinya disini kayak ada tradisi keagamaan yang khusus gak yang pada tahun 70 an sampai 90 an tuh menjadi khas? N: masih..apa tahun tahun itu suasana Religinya, ya sebenernya sama ininya, misalnya ada kegiatan khataman Qur‟an, khataman Qur‟an bagia anak yang mau nikah, terus sunnatan perayaan sunnatan, terus aqeqahan, kawinan. Cuman sekarang ini lebih dikemas dengan bentuk yang lain gak begitu khas lagi, ya kalau dulu misalnya ana mau sunnatan, tu rame rame diantar anak laki, kalau perempuan kan masih kecil sunnatnya, sekitar umur 8 tahun 10 tahun bahkan ada yang umur 14 tahun, itu temen temennya digiring ke kali, di kali mandinya, kan pagi tu biar dingin, waktu itu kan belom ada obat bius, rame-rame tu temen temennya bawa kue, bawa pisang, yang mandi tu disuruh nyelem gitu, kalau dia

62

bangun dilemparin kepalanya, kenapa supaya kedinginan, sehinga ketika dipotong nanti gak keluar darah banyak, itu tradisi begitu masih ada, sama mauled di masjid, dua tiga hari sebelum mauled pasang pajangan, pasang apa, nyari nyari pohon gitu, kesederhanaanny, kesemarakaannya itu masih ada. Malem kan belom ada listrik, pasang obor pake bamboo di sekitar masjid, jalan jalan, wah semarak sekali, itu kayak aqeqahan, suasana religi dan tradisionalnya masih terasa. Sekarang ini dilaksanain tapi religinya masih kebawa tapi tradisinya udah cari simple simple aja, tahun itu masih bagus. Kawinan, kawinan masih dua hari dua malam, misalnya pesta hari minggu, itu dari malam minggu sudah repot itu di rumah, bahkan dari sabtu, dari sabtu sudah nerima tamu, keluarga apa disitu, malem sabtunya, malem minggunya sampe malem senin, itu pesta pernkahan kayak gitu sampe dua hari dua malem, kumpul keluarga nginep, dan dulu ketika orang ngundang pesta perkawinan itu kan gak pake suarat, dua tiga orang keluarga ibu ibu keliling kampong ngasih tau dating satu satu ke rumah tuh, jadi dipastikan semua kenal dan nyebutnya nanti nginep, ngundangnya bukan dateng tapi nginep, “hari sabtu malem minggu nginep mau pesta perayaan perkawinan” itu mau kemana mau ngajak nginep, nah itu ngundang namanya P: kalo tadi kan bapak bilang mayoritas muslim ya, nah kalo pengaruh agamanya ke pendidikannya tu ada gak pak ? N: ya otomastis, misalnya sekolah, sekolah waktu tahun 70 itu udah ada eee didini ada SD tahun 62, sebelumnya SR ada tiga kelas itu, saya ngalamin SR, nah pagi saya sekolah SD, siang saya sekolah madrosah sampe jam empat, pulang mandi sholat ashar, berangkat lagi ngaji, ke masjid atau ke musholla, pulang ntar isya, jadi belajarnya itu pagi sore malem, dan di dua sekolah, sekolah SD atau SR dan madrosah, hampir mirip pola pesantren sebenernya, penuh belajarnya. P: kalo sistem religinya berpengaruh ke mata pencaharian masyarakat sini gak pak? N: oh ya.. otomatis..otomatiss..jadi gini, dengan pola pikir yang dibentengi dengan religi, orang kita tu gak terlalu bersemangat untuk bisnis, yang supaya nanti berhasil, yang supaya nanti jadi orang kaya gitu, bahkan falsafahnya “yaa..dunia sekedarnya ajalah” dunia sekedarnya aja, makanya Betawi dulu jarang

63

yang jadi pegawai negeri, jarang yang jadi ABRI, jadi TNI jarang, gak usah gitu gitu amat, emang lapar apa, yang penting bisa ngurusin sawah ama ank ama istri, apalagi kalo ada yang jadi pegawai atau TNI trus harus dioper, suruh berenti itu bisa, “berenti aja lu, emang laper lu, ngumpul aja sini dengan keluarga” jadi salah satunya ada, “ngejar dunia gitu gitu amat” jadi itu ada falsafahnya begitu, udah secukupnya aja, makan juga perutnya Cuma segitu kok, itu kita karna terbentengi dengan image religi itu tadi, dunia d kejar-kejar amat P: itu kalo pergi Haji, jadi tolak ukur gak buat masyarakat muslim disini N: oo iya Haji itu menjadi tolak ukur prestise, keimanan, artinya suatu cita cita luhur kalau bisa berangkat Haji, tapi emang ada efek pada kehidupannya, ketika orang itu sudah Haji dia ini banget protektif, gaka orang Betawi yang Haji itu makan di warung, kayak warteg gitu gak sopan dianggapnya, makan itu di rumah, jangan makan di warung, kayak gak ada yang ngurus kalo makan di warung, trus misalnya ada tontonan, trus nonton di depan, ketika dia Haji, gak ada tu dia pake celana pendek, pasti pake celana pangsi, kaos oblong, bahkan kepala pasti pake peci, itu termasuk tatakramanya kalau sudah Haji ya, pakaian lebih rapi, akhlaknya ya gak sembarangan, kenapa, itu tadi Haji itu sesuatu yang sangat sacral, prestis, sehingga ada sebagian orang yang ketika ditanya” Haji belom” “ah.. belom bisa jaga”, nah belom bisa jaga berarti belom siap tu, kalo udah Haji kan gak boleh ini gak boleh ini, ada yang begitu jadinya, menurut dia kalau sudah Haji, harus lebih ini, lebih ini gitu. P: kalo struktur pola pemukima disini tu gimana pak, tahun 70? N: pemukiman itu..rumah ya rumah adat Betawi, ya… kayak begini ini ni, Rumah adat Betawi itu biasanya kamr minim tetapi punya ruang tamu yang luas, kenapa? Falsafahnya kumpul keluarga, nah itu tadi ada kegiatan, ada selametan, kawinan, aqeqahan, yang butuh apa ruang yang luas, jadi rumah dulu ya tidak berkamar kamar, paling kamarnya dua, buat orang tua sama anak yang sudah dewasa, sama yang laennya gelaran rame-rame, terus, rumahnya besar-besar, tapi ruangnya dikit dan ruang depannya itu pasti luas, karna untuk kumpul-kumpul keluarga, nah terus pola pemukimannya ya dulu ya ngelompong biasanya karna tanah masih luas, misalnya si bapak punya tanah disini, dia punya anak dinikahkan, dibikinin

64

rumah di sebelaahnya, jadi ketika ada satu blok itu, itu pasti anknya cucu cucunya gitu, baru belakangan ada orang dari daerah dateg, terselip dia bikin rumah disitu gitu, jadi kayak gang ini ya itu satu gang ya ada anaknya cycynya semuanta dibikinin rumah disitu P: kalo penyebutan kekerabatn ke yang atas atas tu yang khusus gak pak? N: Ada, kalo saya ya, bapak: baba, uwa, atau engkong itu yang laki, kalo yang perempuan: nyak, terus mpeng, mpeng itu nenek, nah ke atsnya baru buyut, kalo buyut sama, buyut laki, buyut perempuan, tapi itu di atas kakek tu,cuman kakek itu engkong, uwa, atau yang laki itu kalo yang perempuan mpeng sebutannya , kalo ke samping eee ayah atau ibu saya, kalo kakaknya ibu saya panggilannya baba gede, misalnya bapak saya punya kakak itu baba gede, nyak gede, kalo di bawah bapak saya atau di bawah ibu saya kalo yang perempuan ence‟ kalo yang laki mamang, mamang tu paman, nah terus bapak saya punya saudara, nah anaknya kalo bahasa indonesianya kan sepupu, kalo saya sebutnya misanan, misanan itu artinya sama sama satu kakek, anak anak misanan namanya mindon, pak Ali punya anak Ahmad dengan Fatimah, Fatimah punya anak dan Ahmad punya anak, Fatimah dan ahmad kan saudara, anak atimah adan ahmad tu sepupu misanan, anaknya dia tu , cucunya ahmad dan cucunya Fatimah itu yang namanya mindon, jadi levelnya di bawah cucu, di bawah eee misanan, nah kebawah nya udah umum dah tu semuanya dibilang saudara aja P: kalo kita ngomongin kesenian ni pak, tadi kan katanya khas sini itu rebana N: rebana, qasidah, gambus juga ada, eee ya itu rebana biang kayak gitu, kalo kesenian yang berbentuk gamelan gak ada disini, karna itu tadi, Betawi didini itu lingkungan Betawi yang Religius, kalo jagakarsa nah ada Betawi gamelan disitu, tanjung priuk nah itu ada cokek campur China, disini gak ada disini Betawinya murni, gak kecampuran Cina gak kecampuran Belanda P: kalo berdasarkan klasifikasi Betawi disini masuknya betawi pinggir atau tengah N: Betawi pinggir disini

65

 Wawancara dengan Seniman Rebana Biang dan Tari Blenggo di Ciganjur (H. Abdurrahman) P: Assalamu‟alaikum warahatullahi wa barakatuh N: Wa‟alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh P: Saya Saadah, salah satu mahasiswi UIN yang sedang menuliskan skripsi tentang “Nilai-Nilai Islam dalam kesenian Blenggo di Ciganjur tahun 1970-1990”. Nah yang ingin saya tanyakan disini adalah yang pertama, bagaimana sejarah terciptanya kesenian tari Blenggo di Ciganjur ini? N: Kita gali dari awal, yang namanya tari Blenggo cuma Rebana Biang yang punya, tari Blenggo tu musiknya Rebana Biang. Sejarahnya Rebana Biang ini kurang lebih tahun 1825 itu Rebana Biang di bawa dari Banten ke Ciganjur, itu yang bawa namanya Pak Tua Kumis, dia sambil ngajar ngaji bermainlah Rebana Biang, kurang lebih tahun 1825. Nah setelah berkembangnya Agama Islam, dikembangkan juga music yang namanya Rebana Biang dengan tariannya tari Blenggo dan musiknya itu diambil dari rawi Syarafal Anam dan Barzanji, pokoknya bahasa Arab dah, nah akhirnya setelah pak Haji Damong dan kawan- kawannya itu minimal lima orang karna yang main music tiga dan yang nari dua orang, nah setelah beliau meninggal turun kepada keturunannya pak Haji BitonG, setelah beliau meninggal turun ke bapak saya Haji Saaba bin H. Amsir, bapak saya paman saya termasuk juga H. Abdulgani itu masih sepupu tu dan H. Marzuki. Setelah bapak saya wafat turun ke H. Abdurrahman yaitu saya sebagai anaknya. Kenapa Rebana Biang sanggarnya ini dibuat Rebana Biang Pusaka, sebab ini merupakan pusaka dari orang tua gitu. Dari situlah berkembangnya agama Islam, dan berkembangnya juga agama Islam. Trus selanjutnya makam pak H. Tua Kumis tu ada di perumahan pondok Aren, Jombang Ciputat. P: nah tadi kan mengajar ngaji samba ada permainan Rebana Biang ya pak, nah kalau terciptamya tar Blenggo itu dari mana pak? N: nah begitu bunyi musiknya Rebana Biang diiringilah dengan tari Blenggo, bareng itu, nah nanti kalau kamu liat pertunjukkan Rebana Biang itu da yang lagu yang ditariin da nada juga yang enggak gitu. Kalo lagu awal tu gak diiringi Blenggo tapi lagu selanjutnyalah baru diiringi tari Blenggo

66

P: kenapa disebutnya tari Blenggo pak? N: nah itu sebelumnya Gubernur Ali Sadikin jadi Gubernur, itu namanya bukan tari Blenggo tapi Blenggo aja gitu, nah setelah diangkat ke permukaan barulah disebut tari Blenggo, untuk membedakan dengan tari topeng dan tari-tarian lainnya. Gerakkannya setengah silat, kalau bukan dari orangnya sendiri tu jarang yang bisa. Dan rata-rata orang dulu tu semuanya punya silat, karna ad istilah “kalo lu macem-macem gua gedig lu” begitu istilahnya. Kalau dikasih nama Blenggo itu karna artinya gerakan ya. P: kalau gerakan umum pada Blenggo tu ada apa aja pak, pembagiannya tu bagaimana pak? N: gak ada, tari Blenggo tu gak sama dengan tari-tari lain yang ada pembagiannya, tapi bukan sembarangan ya, pokoknya semuanya apa adanyalah, yang penting dia bisa silat gitu P: kalau dari gerakan-gerakannya tu pak ada makna atau arti yang khusus gitu gak pak? N: gak ada, kalau kata ahli tari ni misalnya tari topeng, itu ada maknanya tapi kalau tari Blenggo gak ada makna yang khusus gitu, pokoknya gerak-gerak aja gitu P: paling kita kalau mau cari artinya ya dari aliran silatnya ya pak N: iya itu aja P: kalau dari buku yang saya baca pak, instrumen yang mengiringi tari Blenggo tu kan ada Rebana Biang dan Gamelan Ajeng ya pak, nah itu gimana ya pak N: nah kalau Gamelan Ajeng itu yang udah campuran, kalau Rebana Biang yang asli ya Cuma tiga ini aja ni, nah kalau sekarang ada tambahannya tamborin namanya P: kalau pada tahun 70-80 an tu tetap ada tiga aja atau udah ada tambahannya pak? N: gak ada, tetap Cuma tiga aja, pernah dulu waktu bapak saya masih ada tahun 80 an, itu disarankan sama salah satu dosen IKJ, “pak Haji, ini kalau musiknya di tambahin nanti aslinya ilang”, jadi ya tetep tiga aja gitu, cuman yang aslinya yang

67

pusakanya tu ada di rumah paman saya, ini duplikatnya, itu kayu nangka pahatan bukan bubut. P: maap pak Haji, kalau untuk nama-namanya apa aja ni pak haji? N: kalau yang gede namanya Rebana Biang, diameternya 55 cm, yang ini tengah namanya Rebana Koteg itu diameternya 45 cm, nah yang paling kecil namanya Rebana Gendung, diameternya 30 atau 35 cm. jadi Gendung, Kotek, Biang, ini kalau suara saling mengisi dia, tiga gitu. P: oh jadi walaupun tahun dulu-dulu, di Ciganjur ini tetep gak ada Gamelan Ajeng ya pak Haji? N: Gak ada, pokoknya dari dulu sampe sekarang tetp pake Rebana Biang, cuman kalo dulu dulu kan pake lagu Arab semua, tapi kalau sekarang saya tambah pake lagu-lagu Betawi, pantun-pantun Betawi gitu untuk meramaikan panggung, jadi untuk menarik peminatnya gitu P: tapi kalau tahun 70, 80 tu masih pake lagu bahasa Arab semua tu ya pak N: nah iya, dulu kan 85 an ayah saya meninggal, nah sebelumnya saya udah ikut- ikut maen itu, nah baru setlah beliau meninggal baru saya diriin sanggar Pusaka, karena dari DKI harus bikin sanggar, makanya saya bikin P: tahun berapa tu kira-kira pak Haji? N: itu tahun 74 kira-kira diangkat, baru tahun 85 atau 86 gitu bapak saya meninggal baru saya bikin sanggar, itu sampai dilengkapi dnegan sertifikat tanggal P: biasanya lagu yang khas dari Blenggo ini lagu apa aja pak? N: lagu dulu ni ya, lagu yang pertama allahuah itu berapa kali pindah tu musiknya, trus lagu keduanya Allah-Allah nah di tengahnya tu kita sisipin pantun, nah yang di blenggoin tu lagu anak ayam, udah kita kombinasiin itu sedikit pantun gitu P: selain Allahuah tu ada apalagi pak Haji, lagu lagu Arabnya? N: Shollu „ala madanil iman, An-Nabi ya man hadhor, Shollu Robbuna, Alfa Shollu, Sholawat Badar itu juga, nah Alfa Shollu tu yang penutup itu P: kalau untuk komposisi penarinya tu gimana pak Haji?, maksudnya penarinya berapa orang gitu, formasinya bagaimana gitu

68

N: oh.. jadi gini kita, kalau manggung-manggung biasa, kita gentian maju seorang-seorang gitu nari, kadang dua-duanya narinya berdua aja gitu P: kalau dari kostumnya ni pak Haji, biasanya kalau Blenggo ni pake baju apa? N: Pertama, item-item, celana pangsi, celana silat gitu, kadang ganti biru, ijo gitu, sama sarung, sama peci, nah kalau peci Betawi tu item polos, gak ada kembang- kembangnya, jadi kalau khas Betawi itu pake peci item polos, baju koko putih, celna kain atau celana boim namanya, pokoknya kostumnya silat udah. P: jadi pake kostum khas Betawi atau pake kostum silat gitu ya, kalau atributnya selain pake selendang sarung tu pake apa, gesper Haji ya pak? N: ada sabuk ijo, itu kadang-kadang pake, kadang-kadang kagak, nah kalau kita diminta untuk pake pakaian lengkap itu ada kita pake, kalau kita pake jas itu pake kuku macan namanya, tapi kita lebih sering pake pakaian khas Betawi gitu P: kalau tata panggung tu gimana ya pak Haji, apa harus berundak di atas gitu tinggi atau gimana? N: kalau kita dimana aja gitu, kalau acara ada panggungnya ya di panggung, tapi kalau gak ada yang gak apa-apa, jadi gak ada tata panggung yang khusus gitu P: biasanya pementasan Blenggo ini dilaksanain pas kapan ni pak Haji, kan sipentaskan dalam acara keagamaan seperti maulid, penikahan juga ada gitu, nah itu waktunya kapan? dari yang saya baca di buku, katanya Blenggo ini di mainkan ketika waktu sudah larut malam ya? N: nah dulu itu, Rebana Biang maen mulai dari jam 8 malem, abis isya ampe jam 4 pagi, karena dulu pernikahan itu biasanya dilaksanain 3 hari 3 malem atau 2 hari 2 malem, dan kenapa bisa semaleman suntuk, karena musik-musik yang laen belom ada, dan belom banyak listrik juga gitu. Dan saya ingat dengan pesan bapak saya dari pak Haji Damong, “ini rebana jangan di kemana-manain, nanti suatu saat akan timbul”, nah ternyata bener, waktu jaman Gubernur Ali Sadikin mulai diangkat P: kalau fungsi dari Blenggo ini apa pak Haji? N: nah karna dulu awalnya Rebana Biang ini dimainkan setelah mengaji, ya jadi kesenian sambil untuk menarik minat masyarakat untuk mengaji dan sambil menyebarkan agama Islam

69

P: setelah tahun 70 an itu rebana biang diangkat tru perkembangan selanjutnya gimana pak Haji? N: dikata mati enggak, dikata lancar juga nggak, dulu waktu berdiri Taman Mini tu, maen disana bisa setahun 3 kali, tapi setelah masuk musik-musik lain marawis, gambus, jadi Cuma sethaun 2 kali dan akhirnya nggak sama sekali karna dananya gak ada P: kira-kira mulai agak redup atau berkurang tu tahun berapa pak Haji? N: setelah timbulnya marawis, hadroh, nah itu agak berkurang, kira-kira tahun 2000 an lah P: nah kalau dulu tahun 70-80 an itu kira kira respon masyarakatnya gimana pak haji? N: ya kalo dulu yang demen mah demen, yang kagak mah kagak, tapi dulu masih lumayan banyak yang antusias masyarakatnya P: kalau untuk lokasi sekarang ini disebutnya kelurahan Cipedak ya, tapi dulu masuknya ke kampung Ciganjur ya pak Haji? N: iya karna ini ciganjur bagian selatan dan keluarahan Cipedak yang sesungguhnya sebagian masuk ke srengseng, jadi yang Ciganjur ini sebagian juga terseret masuk ke kelurahan Cipedak, hampir gak terima itu masyarakatnya P: kalau mata pencaharian masyarakat sininya tu dulu apa pak Haji? N: bertani, berdangang, bertani buah-buahan, sperti papaya, rambutan, durian masih banyak yang lainnya, trus di jual ke pasar manggarai P: jadi Rebana Biang yang ada Tari Blenggonya tu masih bercirikan agama Islam ya pak Haji. Baik terimakasih ya pak Haji atas waktunya P: melanjutkan wawancara yang kemarin pak, masih tentang Blenggo. Nah kemarin kan pak Haji bilang kalau lagu-lagunya tu kayak Allahu ah, trus kalau lagu Betawinya tu apa aja pak Haji? N: lagu Sirih Kuning, Ondel-ondel, kalau pak Haji Saaba mah lagunya Arab semua dah

70

 Wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Ciganjur, (Bpk Soni) P: assalamu‟alaikum bapak Soni, saya Saadah salah satu mahasiswi Uin yang ingin menanyakan tentang sejarah Ciganjur dan latar belakang sosial budaya masyarakatnya karena penelitian saya mengenai tari Blenggo yang berkembang di Ciganjur N: Wa‟alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh P: bagaimana sejarah dari Ciganjur ini pak? N: kalau sejarahnya Ciganjur itu si kita gak tau spesifiknya gimana, tapi kalau karakteristik masyarakatnya memiliki budaya religius, itu bisa dilihat dari keseniannya, dulu gak ada yang namanya gamelan, gambang atau topeng dari Ciganjur, adanya rebana, qasidah gitu, karena mayoritas masyarakatnya muslim, dan dulu keseniannya belum ada selain rebana, baru sekitar tahun 2000 an baru masuk orkes dangdut gitu, bahkan orang tu dulu ada yang ngomong “jangan sampe masuk seni musik yang berbau gong” gitu, jadi hampir smeuanya seni yang islami seperti rebana, qasidah dan gambus. P: bagaimana dengan mata pencaharian masyarakat Ciganjur pak? N: bisa dikatakan bahwa di atas 50 % masyarakatnya bertani dan berdagang, pedagang buah yang suka dibawa ke Pasar Minggu, pasar Manggarai, bahkan dulu skeitar tahun 70-80 an lah itu sampai di bawa ke Tanah Abang. Yang didagangkan itu hasil buminya sperti, jambu, papaya, rambutan. Namun sekarang telah bergeser karena kekurangan lahan P: kalau tradisi keagamaan disini bagaimana pak? N: ngaji lekar yaitu ngaji yang dituntun sesuai dengan apa yang dia bisa, waktu pelaksanaanya itu ada yang setiap malam da nada juga yang seminggu tiga kali P: kalau pola pendidikan masyarakat ciganjur seperti apa pak? N: kalau pola pendidikannya sih tergantung dari biaya ekonomi yang sanggup dibayarkan oleh orang tuanya, misalnya kalau cuma sanggup sampai SD yasudah, tapi kalau bisa sampai pesantren ya ke pesantren, tapi disini kita juga kental dengan kegiatan religinya seperti ada pengajian-pengajian, ada TPA juga P: kembali lagi ke tradisi ni pak, nah kalau tradisi pernikahannya ada sesuatu yang khas gak pak?

71

N: ada tradisi yang dulu biasanya dilakukan sebelum pernikahan adalah khataman Al-Qur‟an, jadi mempelai wanita sebelum melaksanakan prosesi pernikahan harus melaksanakan khataman Al-Qur‟an, nah itu adanya di era 70-80 an P: bagaimana pola pemukiman dari masyarakat Ciganjur ini pak? N: kalau pola pemukimannya tu dulu skeitar tahun 60-70 an itu masih rumah panggung ya, yang paling kamarnya cuma ada dua aja, selain dari itu kamarnya ngablak aja gitu bareng-bareng, jadi kamarnya tu cuma sedikit, kamar mandinya itu dulu di luar, masih pake sumur gitu , dulu ada yang namanya sumur senggot, jadi sumurnya bukan di kerek tapi ngambilnya pake bamboo, jadi ujung bambunya diiket dan dibebani dengan karet ban , trus satunya lagi dengan ember, jadi pas mau ambil air turunin aja embernya, pas sudah keiisi air baru deh embernya naik.

 Wawancara dengan ketua sanggar/padepokan silat Akal dan Takwa Ciganjur P: Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh N: Wa‟alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh P: saya saadah ustad, salah satu mahasiswi UIN yang sedang menuliskan skripsi tentang makna simbol dalam tari Blenggo di Ciganjur sekitar tahun 1970-1987, berdasarkan wawancara dengan pak Haji Abdurrahman, tari Blenggo yang gerakannya setengah silat itu dari padepokan akal dan takwa, sebelum saya menanyakan tentang gerakan jurus silatnya, saya mau menanyakan tentang padepokannya dulu, kalau untuk sejarah berdirinya tu bagaimana pak? N: ya sejarahnya akal dan takwa ini berdirinya di tahun 1965, dulu itu saya punya guru almarhum namnaya Haji Sa‟amin bin patwa udin, nah beliau ini berguru dengan yang biasa dikenal namanya Pak Tua Kapuk, nah akhirnya dibukanya khusus di tanah ganjur, kan awalnya di kampung gandul tu pak Tua sama abah Muhiyar, nah akhirnya dengan izin beliau kita bikin disini sanggarnya dengan nama akal dan takwa P: kalau pak Tua Kapuk dengan pak Tua Kumis tu ada hubungannya gak pak?

72

N: sejalan si, karena pak Tua Kumis ketika dia mengembara dari tanah Banten ke tanah Ganjur, sempet mungkin beliau bertemu sejarahnya itu dia main terbang, pak Tua Kapuk dan pak Tua kumis tu pernah bertemu, dan mungkin dulu sejarahnya pernah memainkan dengan terbangan itu di silatnya, kalau dulu kan belom ada gendang rampak tu, itu zama itu, karna saya tau itu dari sebuah cerita- cerita, akhirnya kemariin samoai tahun 2000 an ini, Alhamdulillah peminatnya tu masih banyak P: kan pak Tua Kumis dan Pak Tua Kapuk tu datang sekitar tahun 1800 an ya, nah kenapa pendiriannya baru tahun 1965 itu ustad? N: jadi dulu kan gini, sanggar silat tu adanya di tanah gandul, pak Tua Kapuk itu memang ngajarnya di Gandul dan dimana-mana juga ada, dan slaah satu murid pak Tua Kapuk tu H. Sa‟amin, waktu itu ada bahasanya tu festival atau tunamen di pamulang itu di tahun 65 an juga, akhirnya menanglah sanggar kita disini, nah akhirnya yaudah khusus Ganjur kita bikin juga sendiri, jadi kita di Ganjur ini berdirilah sanggar akal dan takwa P: kalau tujuan dari pendirian sanggar akal dan takwa ini apa ustad? N: kalau pendirian sanggar ini memang gak lepas dari pesen almarhum bahwa ini budaya kudu dilestariin, itu beliau pesen sebelum beliau meninggal di hari rabu, saya jum‟at sebelumnya dateng, ngobrol di depan itu beliau Cuma pesen ama saya “tolong jaga anak-anak, jangan sampai mati obor, dan terus tanem kebaean ” artinya kita harus terus memeprmudah orang lain jangan mepersulit gitu P: kalau visi-misinya tu apa ustad? N: visi untuk membentuk jiwa atau akhlak yang baik, kalau misi untuk membangun generasi muda jangan sampai terbawa arus yang gak baik P: ada struktur organisasinya gak disini ustad? N: struktur itu kan memang pernah kita buat, tetapi memang gak terlalu baku, kalau seandainya ada maulid nih, kita ada ketua abah makmur itu kan masuknya pembimbing, penasehat kita kalau ketua sanggarnya saya sndiri trus nanti anggota-anggotanya tu ada siapa siapa gitu P: kalau tadi ustad bilang sehabis silat tu ada pengajian, nah konsep pengajiannya tu seperti apa ustad?

73

N: ya.. ngaji kuping, artinya ngajinya gini setelah selesai uah rapi, nah kenapa tadi kita harus berwudhu? Kalau saya kan mau latihan tu harus berwudhu dari selesai wudhu, udah sholat atau belum, kalau belum ya harus sholat dulu, kalau sudah sholat tu kan masih punya wudhu, kita tawasshulan dulu karna ilmu ini kana da yang punya, kita fatihah in dulu kepada guru-guru kita, orang tua kita, leluhur-leluhur kita , karn akita mau belajar ilmu beliau, meski bagaimana kita harus minta berkah gitu dari orang-orang yang sholeh. Selepas dari itu baru kita bergerak, dan alhamdulillahnya anak-anak gak ada yang ampe patah tulang atau terkilir gitu , itu mungkin keajaiban, itu fungsinya kita berdoa ya itu, selepas dari itu baru kita buka, kenapa tu tadi lu mukul harus begitu harus begini gak bengkok begini, gak ke atas, kalau lurus artinya mudah-mudahan jalan kita selalu lurus seperti alif, lu kasih alif yang artinya jalan lurus jangan bengkok, bengkok, nah kajian seperti itu yang kita bahas, nah misalnya lagi lu dikasi pukulan dal seperti ii, kenapa dal yak an bengkok ni, liat kanan kiri kita gitu, jadi ada filosofinya sendiri P: nah kalau jurus yang ada disini tu apa alirannya stad namanya? N: kalau aliran itu maen maenan koplek P: kan kalau di Betawi yang terkenal itu kan , cingkrik N: iya betul, beksi, cingkrik, cibitik, troktok, jalan lima, jalan enam, itu Betawi punya makanya udah banyak sanggar-sanggar itu, kalau saya mainnya di koplek dan nama sanggarnya akal dan takwa P: kalau seperti pengakuan H. Abdurrahman tu kan beksi, cingkrik tu silatnya agak diri ya ustad, nah kalau koplek ini agak merunduk ya ustad, jadi terkait dengan gerakan Blenggo yang semua merunduk gitu ustad? N: ya betul, karna Blenggo itu kan nunduk gitu tu bahkan sampe ngengser bangat ni kaki sampai gak boleh di angkat, nah itu memang kita kalu smaa anak-anak latihan tu, turun, turun, turun gitu jadi ada tahapannya ada yang segini, segini, segini, bahkan walaupun udah rendah tu masih tetep bisa maen, artinya merunduk tu apa, kita jalan di dunia ini tu jangan sombong, ada dalilnya “innallaha laa yuhibbu kulla mukhtalin fakhurin” karna jangan sampai tu sombong jadi orang, tunduk sama yang tua sama yang lebih „alim tu jadi kita harus tunduk. Artinya

74

dari gerakan-gerakan itu kan di Blenggo bener bener merendah merunduk gitu gerakannya begitu P: kalau bisa dirinciin gerakannya, step nya tu bagaimana ustad? N: kalau tahapannya itu kan, dari awal kita belajar pertama adalah dasar, kalau dia sudah punya dasar yang kokoh, baru kita kasih bahan artinya semacem dia bisa terus berdiri semacem batang yang kuat, kalau dia udah punya bahan yang kuat baru kita kasih, istilah kata kembang ya kembang kan beda ama buah kalau pohon kan berkembang baru berbuah, terus berkembang kasih buah dah, buahnya apa ya itu jurus. Kalau dia dasarnya udah bagus, bahannya udah cakep, kembanganya juga cakep baru jurus yaitu mendapatkan buah, nah bagaimana supaya buah itu jatuh, itu harus pake akal dan kaalu bauhnya sudah dapet bungkus dengan rapi maksudnya apa, aklau sudah punya ilmu bungkuslah dengan takwa P: kalau makna dari tiap-tiap gerak dasarnya tu bisa dijabarkan gak ustad? N: ya maknanya setiap gerakkan Blenggo, ya tadi itu apa kenapa harus merunduk, maknanya jadi orang tu harus legowo, jangan sombong, trus merunduk tapi kaki ini gak akan roboh artinya gak akan jatoh, kenapa karna fondasinya itu sudah kuat, istiahnya kalau orang menjalani kehidupan ini dengan dasar yang bagus atau akhlak dan iman yang cakep, gak akan goyah walaupun ada badai nanti, nah Blenggo itu walaupun rendah begitu gak akan jatoh P: kalau ustda lihat respon msayarakat terhadap seni rebana biang dan Blnggo ini bagaimana ustad? N: responnya pasti kalau orang ditanya bisa tari Blenggo, bisa, karna itu tarian silat, maaf kalau buat orang yang kentel Betawi asli sini ya, karna kalau Blenggo itu gak harus bisa silat karna itu kan seni gitu, tapi kalau udah bisa silat pasti di Blenggo otomatis bisa, kalau untuk Blenggo seenggaknya dasarnya tau gitu, jadi ketukan musiknya tu ada yang smaa antara silat kita dan Blenggo P: oh ya kalau dulu penampilan Blenggo itu sampai semalaman suntuk itu karna factor apa ya ustad? N: karna gini, maaf dulu kan kesenian atau hiburan yang orang tua kita rasain kan cuma topeng Betawi, dan kaalu bahasa dulu tu ada orkes kalau sekarang ini kan dangdut, nah artinya hiburan tu dikit dulu, maaf ni orang aja dulu yang punya tivi

75

tu cuma ada di kelurahan, dulu saya juga masih ngerasai tivi item putih sekitar tahun 80 an, nah kalau makin terkikis hiburan rebana biang ini karna sudah mulai masuk hiburan-hiburan lain P: kalau kayak silat itu kan itu kana da kostum khusus nya gitu ya ustad, dan kalau filososfinya misalnya kenapa harus berwarna hitam tu bagaimana ustad? N: jadi gini kalau say menanggapi dari perbincangan saya sma almarhum guru saya, kenapa warna bajunya hitam hitam, waktu zamannya VOC atau colonial Belanda itu, jangankan kita sloyorna begini, karna apa nanti kita akan di tembak, nah kenapa harus warna hitam, dan memang dulu wan itu memang belajarnya malem, gak ada gak pernah pagi, sore memang malem karna dulu waktu belajar silat tu ngumpet-ngumpet makanya malem dan orang pasti sudah tidur, karna apa dulu centeng, orang Blenada tu pada nyari-nyari orang kita, makanya pakenya bajunya item-item biar nyaru, nah kalau sekarang ini kan banyak pangsi warna merah, ijo, biru, nah itu mah seni aja , kalau dulu hitam karna untuk mengecoh pasukan-pasukan Belanda P: kalau silat-silat Betawi tu pasti pakai peci ya ustad? N: ya siapa aja kan sebenernya bisa pakai peci, dan Islam itu kan identic dari pecinya , ya memang peci itu memang identic Betawi, orang-orang dulu tu map jawara-jawara tu ada yang gak pake peci, kalau jawara alim itu pasti pakai peci, tapi kalau jawara yang memang bener-bener tukang pukul itu gak pake peci

 Wawancara dengan seniman Betawi dan pengamat tari Blenggo (Abdurrachem) P: assalamu‟alaikum warahmatullahiwabarakatuh, saya saadah pak, salah satu dari mahasiswi UIN yang sedang mnuliskan Skripsi yang berjudul n makna simbolik dalam tari Blenggo di Ciganjur dari tahun 1970-1990, nah yang ingin saya tanyakan pak sejarah terciptanya kesenian Blenggo ini bagaimana pak? N: ya.. kalau Blenggo itu kan tarian, dari Rebana Biang dulu, Rebana Biang musik baru diblenggoin, dilenggoin, digerakin, ditariin, sama dengan orkes Melayu didangdutin ada jogged naah itu, bukan tarinya dulu, karna kana da strukturnya mana yang harus digerakkin mana yang nggak, misalnya Allahuah

76

gak boleh, karna Allah kan gak bisa gak boleh, tapi kayak lagu-lagu misalnya lagu Sunda Gunung nah itu yang udah boleh, lagu-lagu sayur namanya, yang boleh ditarikan, sangreh apa gitu, tapi ketika kesini kan ada sesuatu, saya melihat ya karna saya sebagai pengamatlah, apresiator dari kreasilah, ada satu makna-makna kalau Blenggo itu adalah dari aspek tekstual itu dia membelenggu, makanya mohon maaf ini kajian saya dalam tesis saya yang tidak jadi gitu, dan pemaknaan dari arti bahasa “Blenggo” blenggo itu kan artinya belenggu pemaknaan saya ya, belenggu, orang bilang misalnya, karna apa saya melihat dari teks, teks itu adalah postur, ini gerakannya gini (narasumber mencontohkan gerakan Blenggo) dia akan nekuk ke dalam membelenggukan diri, ini sudah bisa saja bagian dari tipologi dari gerak-gerak dimana wilayahnya terkait dengan aspek sosiologi, lingkungan, karna bisa saja orang-orang dulu ini, ini penafsiran saya ini gerakkannya merendah,rendah mendek cindek gitu, merendah trus dia kan membelenggu, wah ini ada kaitannya blenggo, ada yang mengatakan Blenggo itu adalah “bleng” terbuka, gak ada, gak ada gerakan-gerakan terbuka semuanya membelenggu ke dalam dan itu sifat-sifat dari gerak Betawi pun, karna apa tariannya pun kan diambil dari gerak-gerak silat Betawi, apalah orang yang bisa maen silat,bisa.. boleh… nah itu kan, silat Betawi tu kan tertutup, kalo misalnya silat Jawa, tapi misalnya kuda-kuda ini kaki pasti ke dalam, nah itu ada sesuatu yaitu konteks sosialnya dulu memang tarian orang-orang rakyat, dan di adat kesopanan, dia sopan banget, dia harus merendah, tidak boleh yang namanya kaki tu mengangkat melebihi dari paha, tidak boleh… ini etikanya, etika di dalam gerak-gerak dia selalu begini, saya masih punya sedikit video kecil, tentang masalah yang namanya pak Saaba jadi bapaknya pak Abdurrahman itu saya masih ada, walaupun hanya beberapa menit tapi, itu yang menjadikan saya modal di dalam eeee tesis saya gitu, jadi begitu.. P: kalau yang sejarahnya di bawa dari Banten pak Tua Kumis tu bener ya pak? N: nah itu kan pengakuan dia, dalam penelitian saya di tahun 90 itu kan gini, orang yang mengatakan bahwa Blenggo itu eee dari Nusa Tenggara Barat yak an ada gitu, di bukunya ada, saya itu menolak memang disitu karna apa, di bukunya yap kunst di halaman “Music of Java” di tesis saya ada itu, yaa calon tesis itu di

77

tulisan saya ada, jadi Lenggo, namanya Lenggo Orkestra dan fotonya adalah, dia satu orang menari itu ada di yap kunst di Music Of Java itu ada, nah saya lihat, say tanyakan di Nusa Tenggara Barat, gak ada kesenian itu, tetapi ada yang namanya kesenian Lenggo, jadi disana ada kesenian yang namanya Lenggo, ada Lenggo Mone ada Lenggo Slewe artinya perempuan atau laki, nah itu menari, kalau di Jawa tu tari lah maknanya, tapi alatnya bukan Rebana, nah disitu saya yakin kalau ini bukan produk sana, ini adalah produk, produk orang Betawi, saya juga penelitian ke Banten tentang dari apa, dilihat dari aspek musiknya karna apa yang dilihat, saya ke Banten, saya ke Serang, itu di Serang, ada namanya Terbang Gede, nah itu saya lihat bahwa wan Haji Tua Kumis seorang patwakandang dari Banten, artinya disitu kan dari banten, nah dari situ saya coba menelusuri ke Banten, nah memang dalam ensiklopedi itu kan ada bahwa ini dari Banten Terbang Gede, nah Rebana Biang itu dulu sesungguhnya bukan Rebana Biang namanya, dia adalah Terbang, pada tahun berapa pada masanya pak Ali Sadikin “luh tu ambil yang gede, biangnya, coba rebana yang biang itu”, nah artinya besar, sesungguhnya waktu saya kesana itu gaka ada, nah karna rebana itu ada dua, ada rebana yang polainisis ada yang rebana continental. Polainisis itu rebana yang seperti sekarang yang ada di Ciganjur, kalau rebana continental itu seperti rebana seperti cina, ada pakunya dibuat paku aaa itu namanya continental. Nah sekarang yang ada di Banten itu tidak ada yang polainisis tapi adanya yang continental, akhirnya pada tahapan kedua saya kesana membawa rebana, “pak dulu ada gak rebana yang kayak gini?”, “wah dulu rebana kakek saya tu kayak gini, nah saya liat ooooh mulai tersulut oeh ternyata disini juga ada, ini kan karna perkembangan orang udah gak mau repot, untuk memakai pasak tetapi akhirnya pake paku, ini analisa saya. Analisa historis, yang namanya wan haji Tua Kumis, itu kan makamnya ada di Bintaro, nah itu dijadikan leluhur orang-orang itu karna dia yang membawa, kenapa wan Haji Kumis saya telusuri, pada saat itu saya waktu membuat tesis kedua saya di IKJ, nah akhirnya apa, saya membuat karya. Nah jadi saya telusuri, saya lihat dari silsilah dari pak Engkos trus ke kakaknya pak Haji Bitong . P: kalau ada yang bilang pengaruh dari Cina tu bagaimana pak?

78

N: pengaruh Cina itu karna apa, pengaruh Cina itu dari alat musik, karna di fotonya itu ada 3 rebana, biang, gendung, kotek lalu ada dua biola dan satu gitar, dan gitar itu mon Chinese gitar , itu bisa jadi seperti itu, karna memang dulu cina itu adalah orang yang apresiasi terhadap seni. Itu penafsiran saya, karna gak mungkinlah karna hanya dilihat dari alat musik P: dan maksud dari arti Blenggo itu benar ya pak diambil dari blenggu itu? N: ya memang, karna kalau orang Betawi itu kan mislanya “eh lo dari mana”, kan tulisannya giman lu L U kan tapi bacanya LO kan gitu, belenggu sebenernya dibacanya belenggo, ini penafsiran saya, sesungguhnya apa itu dari gerakan yang membelenggu ini penafsiran saya, wlapun ada yang mengakatakan berangkat dari kata “Lenggo, Lenggang, dilenggoin, lenggak-lenggok ” itu juga merupakan penafsiran seseorang dari lenggak lenggok, tapi ketika belenggu itu artinya gerakan yang membelenggu menurut penafsiran saya P: kalau dari gerakan Blenggo ini seperti apa pak, menurut buku-buku yang say abaca tu tergantung perbendaharaan silatnya ya, dan apaka ada pola tetapnya? N: oh tidak ada, semuanya juga bisa dan ya tergantung dari perbendaharaan silatnya, kalau di standartkan kan misalnya sama dengan tari-tari lain, misalnya topeng ada kewer ada apa, nah kalo yang ini saya belom sempat mendeskripsikan motif gerak-pergeraknya, dia lebih kepada improvisasi tetapi style, gaya itu dia merendah dan dia masuk ke dalam membelenggu P: klau dalam musik rebaa biang itu memang cuma ada tiga ya pak? N: ya memang cuma ada tiga, rebana biang, kotek dan gendung P: kalau kostum dari pemain musik dan penarinya tu pakai kostum silat aja ya pak? N: ya, pakaian biasa aja, pakain sehari-hari Betawi, gak harus silat P: kalau pementasan blenggo yang katanya baru dimainkan pas larut malam tu bagaimana pak? N: nah ya makanya ini hanya tengah malam, karna yang sebelumnya itu sholawatan, jadi lagu-lagu tentang lafadz-lafadz Allah, zikir, pas sudah kesana itu kan ya sudah, lagu-lagu sanggreh ya apa gitu, tapi wajibnya itu dulu musiknya itu,

79

nah selanjutnya hiburan, setelah capek, nah hayo siapa yang mau tampil gitu, dan lagunya juga diubah, ada sanggreh ada anak ayam dan masih banyak lagi P: kalau tata panggungnya iu harus ada yang khusus gak pak? N: gak ada P: kalau fungsi tari blenggo untuk ritual keagamaan itu bagaimana pak? N: kalau blenggo ini ya hiburan, karna ada musik ya dilenggoin, digerakin gitu, kalau yang biasa di pentaskan untuk maulid itu karna ada hubungannay dengan keagamaan dan lagunya sholawat menyebut nama Allah, nama Rasul P: kalau dari seni Blenggo ini, bapak melihat nilai-nilai Islam yang terdapat di dalamnya itu seperti apa pak? N: kalau nilai-nilai Islamnya itu ya itu dari lagu-lagunya, gini saya tidak mau berbicara soal Islam, karna ada pendapat bahwa menari itu dilarang, jadi kalau Islam itu adalah agama, seni adalah kebudayaan gitu, kalau islami itu baru, islam itu kan agama kalau islami itu sifat, islami itu bukan berarti islam, tetapi secara prilaku dia Islami gitu, itu pemahaman saya ya

80

81

82

83

84