“SEGARA WIDYA”

JURNAL HASIL-HASIL PENELITIAN INSTITUT SENI DENPASAR

ISSN: 2354-7154 Volume 2, Nomor 1, November 2014

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

JURNAL “SEGARA WIDYA” Diterbitkan oleh LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR ISSN: 2354-7154, Volume 2, Nomor 1, November 2014

Pengarah Dr. I Gede Arya Sugiartha, SSKar., M.Hum (Rektor ISI Denpasar). Prof. Dr. Drs. I Nyoman Artayasa, M.Kes. (PR I ISI Denpasar)

Penanggungjawab Dr. Drs. I Gusti Ngurah Ardana, M.Erg. (Ketua LP2M ISI Denpasar)

Redaktur Drs. I Wayan Mudra, M.Sn. (Kepala Pusat Penelitian LP2M ISI Denpasar)

Dewan Redaksi Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, MA. (ISI Denpasar) Prof. Dr. A.A.I.N. Marhaeni, MA. (Undiksha) Prof. Dr. Ir. I Ketut Santriawan, MT. (Unud) Dr. I Komang Sudirga S.Sn., M.Hum. (ISI Denpasar) Drs. I Gusti Ngurah Seramasara, M.Hum. (ISI Denpasar)

Penyunting Bahasa Ni Ketut Dewi Yulianti, S.S., M.Hum. (Bahasa Inggris) Ni Kadek Dwiyani, SS., M.Hum. (Bahasa Indonesia)

Desain Cover Ni Luh Desi In Diana Sari, SSn., M.Sn.

Tata Usaha & Sirkulasi Drs. I Ketut Sudiana. I Gusti Ngurah Putu Ardika, S.Sos. I Putu Agus Junianto, ST. I Wayan Winata Astawa. I Made Parwata.

Jurnal “SEGARA WIDYA” terbit sekali setahun pada bulan November. Alamat Jalan Nusa Indah Denpasar ( (0361) 227316, Fax (0361) 236100 E-mail: [email protected]

JURNAL “SEGARA WIDYA” Diterbitkan oleh LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR ISSN : 2354-7154, Volume 2, Nomor 1, November 2014

DAFTAR ISI

Ida Ayu Gede Artayani, Agus Mulyadi Utomo, Penciptaan Tegel Keramik Stoneware Dengan Penerapan Motif Tradisi Bali……………………………………………………...… 249

Ida Bagus Kt. Trinawindu, Cok Alit Artawan, Ni Luh Desi In Diana Sari, Aktualisasi Lontar Prasi Di Era Global Menggunakan Teknologi Digital………………...... 257

Ni Made Ruastiti, Ni Nyoman Manik Suryani, I Gede Yudarta, Rancang Bangun Model Kesenian Lansia Di Kelurahan Tonja Denpasa……………………………………… 267

I Nyoman Wiwana. I Wayan Sukarya, Kajian Ornamen Kuno Pada Bangunan-Bangunan Puri Di Kabupaten Karangasem Bali…...…………………………………………………… 273

Cok Gd Rai Padmanaba, Made Pande Artadi, Ida Ayu Dyah Maharani, Ungkapan Estetis Sistem Konstruksi Pada Interior Bangunan Tradisional Bali…………………………. 285

I Kadek Dwi Noorwatha, I Nyoman Adi Tiaga, Peciren Bebadungan: Studi Identitas Arsitektur Langgam Denpasar………………………………………………………………... 291

I Nyoman Adi Tiaga, I Kadek Dwi Noorwatha, Kajian Ikonografi Lukisan Pada Plafon Interior Ashram Vrata Wijaya Di Denpasar……………………..…………………………... 298

Ida Ayu Dyah Maharani & Toddy Hendrawan Yupardhi, Arsitektur Tradisional Bali Pada Desain Hybrid Bangunan Retail Di Kuta Bali…………………………………………. 304

I Wayan Agus Eka Cahyadi, Ni Ketut Rini Astuti, Kajian Makna Tanda-Tanda Budaya Bali Pada Baliho Kampanye Calon Anggota DPD RI Dapil Bali Tahun 2014………………… 314

Nyoman Lia Susanthi, Ni Wy. Suratni, Potret Komunikasi Skaa Janger Kolok Di Desa Bengkala Buleleng……………………………………………………………………………………. 322

Arya Pageh Wibawa1, I Wayan Agus Eka Cahyadi, Amoga Lelo Octavianus, Perbandingan Penggunaan Media Buku Dan Video Tutorial Mata Pelajaran Seni Rupa Pada Siswa SMA Dan SMK Negeri Di Denpasar………………………………………………………. 331

Wahyu Sri Wiyati, Kajian Musisi Dalam Industri Musik Di Villa Sanctus Uluwatu Bali…………...……………………………...……………...... 336

I Gede Mawan, Revitalisasi Musik Mandolin Di Desa Pupuan Tabanan Sebagai Perekat Budaya Bangsa…………………...……………………………………………….…………………... 346

Ni Ketut Dewi Yulianti, Rinto Widyarto, Ni Ketut Yuliasih, Eksistensi Tari Bali Dan Jawa Dalam Bahasa Indonesia Dan Inggris ...... 357 Ni Kadek Dwiyani, I Kadek Puriartha, Peran Stasiun Televisi Lokal Di Bali Dalam Upaya Pemertahanan Bahasa Bali Sebagai Bahasa Ibu…………………………………………... 368

Ni Luh Desi In Diana Sari, Alit Kumala Dewi, Identitas Budaya Lokal Pada Desain Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali……………………………………………………………………… 378

I Komang Arba Wirawan, Dari Konflik Desa Ke Layar Kaca: Analisis Wacana Liputanbali TV Berita Bentrok Kemoning-Budaga, Klungkung, Bali………………………...... 388

I Wayan Adnyana, Modal Sosial Institusional Pita Maha (Praktik Sosial Pelukis Bali 1930- An)...... 394

Nyoman Dewi Pebryani, Dewa Ayu Sri Suasmini, Inventarisasi Dan Identifikasi Motif Tenun Endek Di Kabupaten Gianyar……………………………………………………………….. 402

I Wayan Budiarsa, Suminto, Bentuk Pertunjukan Dramatari Genggong Di Desa Batuan Gianyar………………………………………………..……………..………………………………… 412

Ni Ketut Rini Astuti, Cokorda Alit Artawan, Media Promosi Objek Wisata Monkey Forest Ubud Gianyar Bali Sebuah Kajian Semiotika …………………………………………….. 421

I Nyoman Laba, I Made Bayu Pramana, Modifikasi Bentuk dan Ornamen Penjor Di Desa Kapal Di Kabupaten Badung Bali……………………………………………………………. 431

JURNAL “SEGARA WIDYA” Diterbitkan oleh LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR ISSN: 2354-7154, Volume 2, Nomor 1, November 2014

PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL PADA JURNAL”SEGARA WIDYA” Jurnal “Segara Widya” adalah publikasi ilmiah khusus hasil-hasil penelitian dibidang seni rupa, desain dan seni pertunjukan. Naskah artikel yang diterima adalah hasil penelitian yang belum pernah dipublikasikan pada jurnal yang lain. Naskah yang diterima harus memenuhi persyaratan penulisan sebagai berikut:

1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan MS Word pada kertas A4, font Times New Roman 11, spasi 1 termasuk abstrak, daftar pustaka dan tabel. 2. Margin batas atas 2,5 cm, bawah 2,5 cm, tepi kiri 3 cm dan kanan 2,5cm. 3. Jumlah halaman artikel maksimal 12 halaman. 4. Kerangka tulisan berurutan sebagai berikut: a. JUDUL (ukuran huruf 12) b. Nama peneliti (tanpa gelar) c. Nama program studi, fakultas dan institusi. d. Email peneliti (ketua dan anggota). e. Abstrak dalam Bahasa Indonesia maksimal 200 kata, abstrak juga ditulis dalam bahasa Inggris, lengkap dengan kata kunci. Abstrak berisi uraian tujuan penelitian, metode dan hasil penelitian. f. PENDAHULUAN (uraiannya berisi latar belakang, perumusan masalah, teori, hipotesis, tujuan). g. METODE PENELITIAN (berisi uraian waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, metode analisa data) h. HASIL DAN PEMBAHASAN i. SIMPULAN j. DAFTAR PUSTAKA 5. Judul, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan dan daftar pustaka diketik dengan huruf kapital tebal (bold). Judul maksimal 12 kata dan mencerminkan inti tulisan. 6. Jika penulis lebih dari satu orang nama penulis diletakkan di belakang nama sebelumnya. 7. Kata kunci 2 – 5 kata, ditulis italic. 8. Jika menggunakan bahasa daerah atau bahasa Inggris, ditulis dengan huruf miring (italic) 9. Redaksi: editor/penyunting mempunyai kewenangan mengedit dan mengatur pelaksanaan penerbitan sesuai format jurnal “Segara Widya” 10. Naskah dapat dikirim ke LP2M ISI Denpasar dengan alamat Jalan Nusa Indah Denpasar ( (0361) 227316, Fax (0361) 236100. Kontak Person : Pak Mudra (03617889910), atau dikirim melalui email: [email protected]

249

PENCIPTAAN TEGEL KERAMIK STONEWARE DENGAN PENERAPAN MOTIF TRADISI BALI

Ida Ayu Gede Artayani, Agus Mulyadi Utomo Program Studi Kriya Seni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected]

Abstrak Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah penciptaan desain produk berupa pembuatan tegel keramik bakaran tinggi (stoneware) yang bisa dikembangkan dan dipasarkan secara luas, pengembangan desain tegel ini memungkinkan untuk dikembangkan karena mengingat pertumbuhan ekonomi masyarakat semakin bagus, sehingga banyak hunian yang membutuhkan tambahan dekorasi interior ataupun eksterior bangunan, guna menambah eksotisme hunian. Target khusus yang ingin dicapai adalah memberikan pemahaman ke pada masyarakat perajin keramik, untuk mau berinovasi dalam hal pengembangan desain, berupa penciptaan tegel cetak keramik stoneware dengan penerapan unsur tradisi local yang memiliki ciri khas kedaerahan dengan mengombinasikan antara seni tradisi dengan seni modern sehingga membantu para perajin seni kerajinan keramik untuk membuat produk yang memenuhi kebutuhan home accessories rumah modern saat ini. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini Tahun II ini, memperlihatkan bahwa perajin memahami, mau dan mampu membuat suatu trobosan inovasi baru dalam pengembangan produk kerajinan keramik, membuat benda-benda nonpropan khususnya mengembangkan kerajin keramik stoneware dengan pengembangan motif yang lebih bervariatif.

Kata kunci: Penciptaan, tegel, keramik stoneware, motif tradisi

Abstract The long term goal of this research is the creation of a product design specifically the manufacture of high burnt ceramic tiles (stoneware ) which can be developed and widely marketed and commercialized, the development of the design allows the tiles develop sustainably considering the good economic growth nowadays, so there are so many residences or buildings need some additional interior decoration or exterior with artsy touch , in order to expose the building’s exoticism. The Specific targets to be achieved is to give understanding to the community of ceramic artisans is : be innovate to developed design, such as the creation of moulding stoneware ceramic tiles with application of traditional elements that specific combination traditional art with modern art that help the ceramics maker to create products that meet the needs of home accessories modern home today. The results get in this study is , Showed that the artisans understand, willing and able to make a new breakthrough innovation in product development of ceramic crafts, making objects nonprofan particularly developing ceramic stoneware with the development of a more varied motifs.

Keywords : Creation,Tiles, Stoneware Ceramic, Traditional motif

PENDAHULUAN Pengembangan desain dalam dunia seni kerajinan dipandang sangat perlu dan mendesak sekali untuk ditingkatkan, karena dengan pengembangan desain-desain kreatif bisa membantu perajin dalam persaingan pada perdagangan bebas saat ini. Bila dilihat dari hasil penelitian ini nantinya, sangat mendukung program pemerintah dalam pengembangan usaha kerajinan kreatif, karena dalam aplikasi tahapan tahun kedua ini diadakan semacam pendampingan perajin, kegiatan yang dilaksanakan berupa pelatihan pembuatan desain, teknik pembuatan cetakkan berbahan gypsum, pembuatan barang sampai finishing karya. Ada beberapa hal yang nantinya menjadi permasalahan yang akan diteliti pada tahapan lanjutan ini dan menjadi kriteria penilaian berhasil tidaknya uji coba produk yang lebih luas pada penelitian ini adalah: a) sejauh mana kemampuan perajin bisa memahami pengetahuan, keterampilan dan pengalaman dalam pengembangan produk?, b) Apakah produk yang

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

250

diimplementasikan ke masyarakat perajin memiliki nilai ilmu, keindahan dan kepraktisan, c) Sejauh mana produk tersebut dapat dikembangkan dalam jangka waktu yang tersedia. Pada surve yang kami lakukan, dengan mengamati perkembangan kerajinan keramik khususnya kerajinan keramik Bali, yang difokuskan pada hasil-hasil bendanya maka produk yang banyak dikembangkan adalah berupa produk-produk kebutuhan rumah tangga dan keperluan pariwisata. Bila dilihat dari desain benda-benda yang dihasilkan oleh perajin, baik dari segi bentuk, dekorasi dan finishingnya rata-rata memiliki kesamaan, hal ini memperlihatkan kurangnya pengembangan dalam desain yang lebih kreatif. Dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan pada penelitian tahap I, maka didapatkan alasan kenapa kurangnya inovasi dalam perkembangan kerajinan keramik. Alasan yang disampaikan perajin, rata-rata dari mereka mengungkapkan alasan yang sama yaitu karena mereka kurang pemahaman dalam bidang desain, pemanfaatan teknologi dan kurangnya bereksperimen dengan bahan, dan alasan yang paling mendasar perajin tidak mau membuat sesuatu yang baru karena mereka takut nantinya tidak laku terjual, dan akan menanggung kerugian. Sehubungan dengan hal tersebut dan melihat prospek peluang pasar yang ada, timbul pemikiran peneliti untuk mengembangkan seni keramik Bali ke arah yang lebih maju, memiliki kreativitas tinggi dan memiliki ciri khas budaya lokal melalui penerapan ornamen tradisi pada penciptaan tegel keramik ini. Di Indonesia dan khususnya di daerah Bali seni kerajinan dikerjakan pada rumah-rumah produksi (home industry) yang berskala mikro, maupun yang berkelompok sebagai sentra industri seni kerajinan. Mereka memproduksi secara manual dengan alat yang sederhana dan menonjolkan kerja dengan ketrampilan yang turun-temurun, memiliki keunikan dan karakteristik bahan maupun proses pengerjaan.Semakin meluasnya pasar seni kerajinan, ternyata juga menjadikan kompetisi semakin bertambah ketat pula. Seni kerajinan harus berlomba menampilkan produk-produk yang inovatif, original dan up to date, sehingga dapat beriringan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan. Produk baru dengan tampilan baru ternyata dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap keberlangsungan sebuah usaha produksi seni kerajinan. Produk baru itu memberikan semangat baru pada diri kriyawan ataupun pengrajin untuk mempelajari dengan seksama akan sebuah trend produk interior pada saat itu. Masalahnya sekarang kreatifitas seorang pengrajin tampaknya kurang, maka dukungan dari para kriyawan menjadi hal yang sangat diperlukan. Perkembangan seni kriya merupakan salah satu dalam ekonomi kreatif itu, yaitu ide adalah suatu komediti yang dapat dieksplorasi dengan tiada habisnya. Manusia dengan akal budinya disertai kreativitas yang ditempatkan dalam lingkungan yang kondusif akan mampu menghasilkan produk- produk kreatif bernilai ekonomi. Bidang-bidang yang mencangkup dalam koridor ekonomi kreatif terdapat di dalamnya seni kriya. Produk-produk kriya telah menjadi elemen penunjang interior dan eksterior fasilitas kepariwisataan. Melihat potensi kekayaan seni kriya Indonesia yang begitu tinggi menjadi sangat penting untuk dikembangkan menjadi kontributor utama dalam era ekonomi kreatif. Karena dari semua ekonomi kreatif yang ada seni kriya tidak tergantung pada teknologi tinggi baik perangkat keras maupun perangkat lunak yang mahal harganya. Seni kriya sangat sesuai dengan kondisi sosial budaya Indonesia dan dapat mendorong penigkatan ekonomi kerakyatan. Industri kriya dapat dikembangkan secara padat karya sehingga dapat memberikan pekerjaan kepada masyarakat. Produk seni kerajinan memiliki perubahan begitu cepat secepat perubahan mode dunia. Sebagai kebutuhan pelengkap unterior, seni kerajinan bergerak mengikuti life style masa tententu. Dari hasil Penelitian tahap I yang dilakukan pada tahun 2013 menunjukkan bahwa produk-produk kerajinan yang sudah dihasilkan oleh perajin lebih banyak membuat produk-produk untuk kebutuhan rumah tangga, sebagai pelengkap kebutuhan pariwisata dan membuat souvenir. Bantuk dari tampilan benda-benda keramik yang dibuat hamper memiliki kesamaan dan warna glasyir yang diterapkan pada benda keramik relative memiliki kesamaan warna. Hal tersebut menunjukkan bahwa perajin kurang penguasaan pada pengembangan desain, kurang melakukan uji coba bahan, sehingga ada kecendrungan peniruan bentuk pada produksi keramik yang dibuat perajin. Dari hasil studi pada penelitian tahap pertama tersebut terlihat hasil-hasil produksi perajin kurang adanya keunikan, tidak adanya penampilan identitas dan sedikit menampilkan identitas budaya lokal.Bila dilihat pengembangan desain keramik tegel jumlahnya sangat sedikit, itu pun dulunya hanya ada di daerah Pejaten yang pernah berkembang tegel gerabah bakaran rendah dan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

251

sekarang sudah tidak dikembangkan lagi, karena perajin sendiri lebih banyak mengembangkan genteng sebagai atap bangunan.Pengembangan desain pada penelitian tahap II ini difokuskan pada pengembangan desainnya, dibuat pengembangan sesuai dengan wujud prototife yang dibuat pada penelitian tahap I pertama.Pada penelitian tahap II yang dilakukan tahun 2014 ini akan dikembangkan desain-desain tegel stoneware, berdasarkan ide-ide yang lebih inovatif yang desainnya akan dibuat oleh perajin itu sendiri.Tujuan inovasi yang ditargetkan pada penelitian ini adalah penciptaan tegel keramik stoneware dengan motif tradisi bali yang memiliki ciri khas kedaerahan dengan mengombinasikan antara seni tradisi dengan seni modern sehingga membantu para perajin seni kerajinan keramik untuk membuat produk yang memenuhi kebutuhan home accessories rumah modern saat ini. Pengembangan desain tegel cetak keramik bakaran tinggi (stoneware) ini, akan memberikan nuansa yang berbeda dari benda-benda yang dikerjakan para perajin selama ini. Desain tegel cetak keramik yang diwujudkan merupakan benda kerajinan terapan atau fungsi maka dalam pembuatannya harus terpenuhi syarat-syarat sepert: utility atau aspek kegunaan (Security yaitu jaminan tentang keamanan orang menggunakan barang-barang itu), Comfortable, yaitu enaknya digunakan memiliki nilai praktis yang tinggi, dan Flexibility, yaitu keluwesan penggunaan barang yang wujudnya sesuai dengan kegunaan atau terapannya, disamping syarat tersebut dalam penciptaan benda-benda seni perlu dipikirkan mengenai estetika atau syarat suatu keindahan. Dengan pemahaman tersebut diharapkan para perajin sebagai pelaku dalam melakoni pembuatan benda-benda kerajinan bisa bekerjasama dan memiliki kepekaan yang baik dalam membaca pasar dari gejala-gejala yang ada, untuk bisa mengikuti perubahan dan trend pasar yang ada pada bidang kerajinan.

METODE PENELITIAN Motif ornamen yang dikembangkan pada penelitian ini adalah motif Patra Olanda, dipilihnya motif ini karena pada motif terdiri dari bunga, batang, daun, dan sulur-suluran, sehingga memudahkan dalam pengembangan motif dan mendapatkan pengembangan motif yang bervariatif. Motif Patra Olanda pada gambar dibawah:

Sumber Gambar: refro buku ornamen tradisi bali

Penelitian ini direncanakan selama dua tahun, rencana tahun ke dua merupakan langkah pengujian penelitian pada tahap uji yang lebih luas, yang akan dilakukan pada masyarakat perajin. Pada tahun kedua, tahap pertama peneliti merencanakan pendampingan perajin. Pendampingan perajin pada proses ini untuk menguji apakah hasil uji coba yang telah dilakukan pada tahun pertama bisa diterima oleh masyarakat, terutama masyarakat perajin keramik. Karena penelitian ini menggunakan metode Penelitian dan Pengembangan atau (R&D), dan penelitian jenis ini bisa dikatakan berhasil apabila, hasil penelitian tersebut bisa dikembangkan dan bermanfaat bagi masyarakat. Pada penelitian ini bagan alir penelitian (fishbone diagram) dapat dijabarkan sebagai berikut: Langkah 1). menyepakati permasalahan dibuat dalam diagram fishbone, Penciptaan desain tegel keramik stoneware dengan motif tradisi (pengembangan tahap II). Langkah 2). mengidentifikasi kategori-kategori yang mungkin menjadi “cabang” sebab utama dari masalah pada penelitian ini, Langkah 3). menemukan sebab-sebab potensial dengan cara brainstorming, dan langkah ke- 4). dilakukan pengkajian dan menyepakati sebab-sebab yang paling memungkinkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Penciptaan desain tegel keramik stoneware pada penelitian tahap lanjutan ini, merupakan pengembangan hasil dari penelitian tahap I, pengambilan sampel pada penelitian ini dipilihlah salah satu tempat perajin yang dijadikan sebagai objek pada pengembangan desain tegel

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

252

kramik stoneware ini adalah,”Studio Canting Moulding keramik” yang menjadi objek penelitian. Studio ini terletak di Br Kengetan, Singakerta Ubud Gianyar Bali, yang menjadi pertimbangan kami memilih studio ini sebagai objek penelitian dikarenakan beberapa pertimbangan antra lain: Studio keramik ini tergolong baru berkembang. Desain keramik yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan studio-studio keramik yang lain, yaitu membuat benda-benda pakai (perlengkapan rumah tangga), sehingga perlu kiranya dibuka wawasan untuk mengembangkan bentuk-bentuk keramik baru sebagai alternatif pengembangan desain, di samping pertimbangan tersebut kami melihat bahwa pemilik studio canting Keramik ini mau terbuka menerima kedatangan kami untuk bekerjasama, saling bertukar pikiran dan ada keinginan beliau untuk mau berkembang membuat karya-karya baru. Bapak I Made Arta, sebagai pemilik dari Studio Canting Moulding Keramik, pemilik sebelumnya pernah bekerja pada perusahan keramik Jenggala dan Gaya ceramic dan sekarang beliau mandiri membangun usaha kerajinan keramik. Studio ”Canting keramik” ini sudah berjalan empat tahun, Studio milik pak Made ini, biasanya banyak kedatangan tamu (wisatawan asing) yang ingin kursus singkat selama berlibur di Bali. Produk-produk yang dihasilkan merupakan pesanan dari beberapa hotel yang ada di Bali, dan juga menerima pesanan benda-benda keramik untuk kebutuhan perorangan. Desain biasanya dibawa oleh konsumen langsung, perajin hanya mengerjakan apa yang dipesan. Kendala yang dihadapi perajin ini adalah masalah bahan baku yang masih didatangkan dari wilayah luar Bali, dari pengolahan bahan sampai pengolahan warna-warna glasir dilakukan sendiri. Bila banyak order biasanya perajin dalam pemenuhan bahan biasanya membeli dari sesama rekan perajin, dan tidak menutup kemungkinan beberapa pekerjaan disubkan kepada rekan perajin sendiri, untuk memenuhi order. Pada penelitian Hibah Bersaing tahap - II ini, ada beberapa hal yang dikerjakan dalam proses pengerjaannya. Pertama dilakukan pendampingan pada perajin, pendampingan disini dalam arti lebih banyak memberikan pemahaman kepada perajin, akan arti penting sebuah desain dalam proses pengerjaan sebuah produk. Pendampingan disini dilakukan dengan memberikan penjelasan kepada perajin, proses pengerjaan desain dan teknik pembuatannya. Dari proses tersebut akan bisa dilihat kemampuan dari perajin dalam proses pengerjaan produk yang diciptakan. Produk yang berhasil diwujudkan perajin, pada penelitian ini akan dianalis dilakukan tahapan pemilihan desain, dan validasi dari para akhli di bidangnya. Penilaian pada penelitian dilakukan oleh pakar dibidang keramik dan konsultan yang bergerak pada bidang arsitektur dan interior. Analisis data yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah data yang dimunculkan peneliti, data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif peneliti ambil dari awal proses pengerjaan di lapangan yaitu mulai bulan Mei-Agustus 2014. Data yang diambil dari penelitian ini adalah mengamati kemampuan objek penelitian (perajin) dalam proses pembelajarannya. Menurut Denzin dan Lincon (dalam Meleong:2007), menyebutkan data kualitatif mengemukakan latar alamiah yang menggambarkan fenomena yang terjadi. Data yang dimunculkan atau diadakan disini adalah melihat kemampuan perajin dalam hal menerima proses pembelajaran atau pelatihan yang diberikan sebelumnya, yang merupakan penilaian dari proses belajar dengan teknik ceramah pada saat menjelaskan arti penting sebuah desain sebelum pembuatan sebuah benda, dan dilanjutkan dengan praktikum berupa pembuatan desain sampai perwujudan desain dan menjadi barang jadi. Data tersebut bersifat deskriftif karena penggambarannya diungkapkan dengan kata-kata, pada penelitian ini peneliti terfokus pada bagaimana proses penelitian itu berlangsung. Indicator penilaian kemampuan perajin tersebut mengacu kepada tiga jenis ranah penilaian yang ada pada objek peserta yaitu : a). Ranah proses berpikir, b).Ranah nilai atau sikap, c). Ranah ketrampilan. Pada kegiatan penilaian ini, ranah pisikomotorik ini merupakan kepekaan dari kemampuan kognitif peserta (perajin) dalam menerima dan memahami sesuatu, dan pisikomotoriknya adalah kemampuan dan skil yang dimiliki peserta dalam mengerjakan atau membuat tegel keramik dengan motif tradisi. Sedangkan ranah affective terlihat dari sikap dan tingkah laku peserta selama mengikuti kegiatan. Data kuantitatif diperoleh dari lembar penilaian produk oleh pakar di bidang keramik dalam hal ini yang peneliti tunjuk sebagai tim penilai yang lain adalah Consultan Desain Interior ”Wikan Interior”. Bapak Pintara ST. Beliau banyak menangani proyek-proyek arsitektur dan interior. Tujuan ditunjuknya tim penilai dari consultan interior ini adalah bertujuan untuk mengetahui pandangan-pandangannya, mengenai produk yang dihasilkan, mengingat tegel keramik Sotoneware motif ini nantinya difungsikan sebagai pemenuhan kebutuhan pada bidang eksterior dan interior

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

253

dinding ruangan sebagai penambah eksotisme kebutuhan home accessories rumah modern saat ini. Lembar penilaian produk yang dipergunakan dalam penelitian ini, untuk mengetahui kualitas produk yang dibuat, hasil yang diperoleh nantinya untuk mengetahui apakah produk yang telah berhasil diwujudkan oleh perajin, apakah layak untuk diproduksi dan dipasarkan. Untuk mengadakan penilaian terhadap karya seni rupa terapan, dalam hai ini penilaian produk berupa tegel keramik yang dibuat oleh perajin. Berikut adalah beberapa aspek yang bisa dijadikan ukuran atau kriteria sebuah penilaian. Dari aspek atau ukuran penilaian yang akan dibahas nanti, tidak mutlak semua harus digunakan, karena tidak semua karya seni terapan cocok dengan ukuran penilaian tersebut. Menurut Arini, Sri Hermawati Dewi (2008), menyebutkan aspek-aspek atau ukuran penilaian itu adalah : a) Aspek Ide atau Gagasan yaitu: Proses kreatif dalam dunia kesenirupaan merupakan suatu proses yang timbul dari imajinasi menjadi kenyataan. Proses mencipta suatu benda melalui pikiran, dan melaksanakannya melalui proses sehingga masyarakat dapat menikmati dan memanfaatkannya. Pada penelitian ini penilaian akan aspek idea tau gagasan dalam menciptakan produk berupa tegel tersebut, dapat dilihat dari keunikan atau ide-ide kreatif dari pengembangan motif yang dibuat oleh perajin sendiri. b). Aspek penguasaan teknis yaitu: Teknik adalah cara untuk mewujudkan suatu ide menjadi hal-hal yang kongkrit dan punya nilai. Ketidaktrampilan dalam penggunaan teknik akan berdampak pada karya yang dihasilkan. hal pemilihan teknik juga harus menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan karya seni. Kesalahan dalam pemilihan teknik, juga akan berdampak pada karya yang dihasilkan. Itulah sebabnya aspek penguasaan teknik perlu dipertimbangkan dalam penilaian sebuah karya. c). Aspek penguasaan bahan yaitu: Untuk menciptakan sebuah karya penguasaan bahan sangat diperlukan karena setiap bahan mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda, Untuk itu seorang pencipta karya harus tahu betul sifat dan karakter bahan yang digunakan. Kesalahan dalam memilih bahan juga akan berakibat pada hasil karya yang dibuatnya. Untuk itulah aspek penguasaan bahan dalam penilaian karya seni rupa terapan patut dipertimbangkan. d). Asfek kegunaan yaitu: aspek pertimbangan penciptaan karya seni terapan, perlu mempertimbangkan aspek kegunaan (applied), maka dalam penilaian juga perlu mempertimbangkan aspek tersebut. Hal ini sangat penting mengingat fungsi utama dalam seni rupa terapan adalah kegunaan. Segi-segi penilaian yang perlu dipertimbangkan dalam kegunaan adalah segi kenyamanan dalam penggunaan, segi keluwesan/fleksibelitas dan segi keamanan. e) Aspek wujud (form) yaitu: Aspek wujud (form) adalah aspek yang berhubungan erat dengan prinsip-prinsip komposisi. Prinsip-prinsip komposisi itu meliputi proporsi, keseimbangan (balance), irama (ritme), kontras, klimaks, kesatuan (unity). Prinsip itulah yang menjadi ukuran untuk menilai karya seni dari segi wujud atau form. d) Aspek kreativitas yaitu: Kreativitas yang dimaksud di sini adalah kreativitas yang bersangkutan dengan karya. Banyak cara untuk menemukan kreativitas, misalnya dalam penggunaan media, bahan, alat, dan teknik yang berbeda dari yang sebelumnya. Kreativitas juga bisa didapat dengan menampilkan bentuk-bentuk baru atau memadukan unsur baru dengan yang lama. Bila hal- hal di atas dapat dicapai pada penciptaan karya, khususnya karya seni rupa terapan, maka penilaian dari aspek ini menjadi penting untuk dipertimbangkan. e) Aspek tempat Pertimbangan tempat di mana karya itu akan diletakkan harus mendapat perhatian dari seorang perancang karya seni rupa terapan. f) Aspek selera yaitu: Seorang seniman yang ingin membuat karya seni terapan yang dapat digunakan oleh orang banyak, harus dapat menyesuaikan karyanya dengan selera pasar. Dalam hal ini selera harus dipertimbangkan hal-hal yang sedang menjadi tren di masyarakat, misalnya dari segi model/bentuk, warna, ukuran, bahan yang digunakan, hal-hal yang menjadi bahan pertimbangan, misalnya penerapan motif pada karya garapan. Disamping mengacu pada pendapat di atas mengenai penilaian terhadap karya terapan, unsur penting yang perlu mendapatkan perhatian adalah mengenai kreativitas perajin. Pada dasarnya kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Menurut Amabile dalam tulisan Dedi Supriadi (1994), menyebutkan bahwa tanpa ada kejelasan mengenai kriteria kreativitas, suatu kajian kreativitas patut diragukan keabsahannya. Penentuan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

254

kriteria kreativitas menyangkut tiga dimensi yaitu dimensi proses, person dan produk kreatif. Penentuan kriteria kreativitas menyangkut tiga dimensi yaitu dimensi proses, person dan produk kreatif. a). Dengan menggunakan dimensi proses dalam proses kreatif sebagai ciri kreativitas, maka segala produk yang dihasilkan dari proses itu dianggap sebagai produk kreatif dan orangnya disebut sebagai orang kreatif. Menurut konsep kreativitas proses kreatif diartikan bersibuk diri secara kreatif menunjukan kelancaran, fleksibilitas (keluwesan,orisinalitas dalam berfikir dan berperilaku). Dalam proses berpikir keratif sama dengan melakukan pemecahan masalah yang dilakukan manusia, yang melalui empat fase yaitu: a). Persiapan (mencari atau mengumpulkan informasi), b). Inkubasi (pengeraman), c). Iluminasi (memperoleh kunci pemecahan sebagai pemahaman yang tepat). d). Evaluasi atau Verifikasi (mengecek untuk mengetahui apakah pemecahan itu berhasil atau mengalami kendala). b). dengan menggunakan demensi person, pengertian person sebagai criteria kreativitas identik dengan apa yang disebut kepribadian kreatif, orang kreatif memiliki ciri-ciri kepribadian yang secara signifikan berbeda dengan orang yang kurang kreatif. c). dengan menggunakan demensi produk yaitu: produk kreatif menunjuk pada hasil perbuatan kinerja, atau karya seseorang dalam bentuk barang atau gagasan sehingga disebut puncak reativitas, kriteria puncak kreatif dari suatu produk harus memiliki nilai kebaruan yang menggambarkan suatu kemampuan untuk melahirkan idea tau produk baru yang berguna di masyarakat. Pada penelitian ini semua indicator diatas tampak bahwa kualitas produk kreatif ditentukan oleh sejauhmana produk tersebut memiliki kebaruan, bermanfaat dan dapat menyelesaikan masalah. Ini karena produk kreatif secara langsung menggambarkan penampilan actual seseorang dalam kegiatan kreatif. Pengukuran-pengukuran dari kreativitas tersebut dapat dibedakan atas pendekatan-pendekatan yang dipergunakan untuk mengukurnya. Pengukuran kreativitas Pengukuran aktifitas cara dalam proses penilaian terhadap produk kreatif. Analisa obyektif digunakan untuk menilai secara langsung kreativitas suatu produk berupa benda atau karya-karya yang dapat di observasi wujud aslinya, kelemahan menggunakan metode ini dalam pengukuran kreativitas akan sangat sulit mendiskrifsikan secara matematis untuk menilai kualitas instrinsiknya, dan kelebihan ddari pengukuran dengan metode ini adalah secara langsung dapat menilai kreativitas yang melekat pada obyek, yaitu karya kreatif, (Amabile dalam Dedi Supriadi:1994). Penialaian kreativitas dengan menggunakan analisis subyektif secara konseptual suatu produk dinilai kreatif apabila dianggap produk tersebut memiliki criteria penilaian seperti: a) produk tersebut baru, unik, berguna atau bernilai bila dilihat dari segi kebutuhan tertentu, b). lebih bersifat heuristic atau menampilkan metode yang masih belum pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya sehingga dapat dilihat sejauhmana ada kesepakatan untuk mengatakan sebuah produk tersebut kreatif. Pertimbangan kriteria penilaian dengan analisis subyektif bila dilihat secara konsensual menekankan segi produk kreatif yang dinilai kreativitasnya oleh pengamat adalah menekankan dari kesepakatan pengamat, dimensi dari konseptual tercermin pada kriteria kreativitas yaitu : novelty (baru/bersifat orisinal), teable (berlaku), useful (berguna) dan sastisfaying (memuaskan), hal ini sejauh dinilai oleh orang lain dan berdasar pada konsep yang disetujui oleh para ahli. Pengukuran menggunakan analisis ini memiliki kelebihan dalam penilaiannya dimana dapat diterapkan pada berbagai bidang kegiatan kreatif (praktis), dapat menjaring orang-orang atau produk yang sesuai dengan kreativitas yang ditentukan oleh pengukur. Pengukuran dari hasil kreativitas perajin pada penelitian hibah bersaing ini, dapat dinilai dari tahap awal proses kegiatan yang di kerjakan di lapangan sampai karya-karya yang berhasil diwujudkan oleh perajin. Penilaian tersebut menggunakan analisis subyektif karena hasil dari penlitian ini adalah berupa produk kreatif yang merupakan pengembangan desain keramik berupa tegel dengan motif tradisi. Penilaian dilakukan oleh tim peneliti sendiri dengan membandingkan dengan hasil pengerjaan prototife penelitian tahap I, dan penilaian berikutnya dilakukan oleh tim ahli dibidangnya untuk dilakukan validasi terhadap produk.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

255

Dari hasil pengamatan tersebut dan dihubungkan dengan data-data yang ada di lapangan dengan apa yang dihasilkan perajin akan menjadi tolak ukur penilaian mengenai kemampuan perajin dalam berkarya dan berkreativitas membuat produk keramik berupa tegel motif dan kelayakan dari produk yang diciptakan untuk dikembangkan. Selanjutnya dari data yang sudah terkumpul dilakukan penafsiran data. Menurut Moh Nasir (2005), menyebutkan bahwa memberikan penjelasan yang lebih terperinci dari materi yang dipaparkan yang bertujuan : a) menegakkan hasil penelitian dalam artian menghubungkan penelitian yang satu dengan penelitian yang lainnya, b) bertujuan menghasilkan suatu konsep yang bersifat menerangkan atau menjelaskan.

Penjelasan data penilaian pada penelitian ini, adalah sebagai berikut: Ide dan Gagasan, Kreativitas mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan manusia. Melalui kreativitas yang dimilikinya, manusia memberikan bobot dan makna terhadap kehidupanya. Dari bentuk-bentuk motif yang dihasilkan perajin dilihat dari tahap awal proses pengerjaan yaitu pembuatan sketsa pada awalnya perajin mengalami kesulitan dalam menemukan atau menuangkan idenya kedalam kertas gambar, hal ini dapat dimaklumi karena mereka terbiasa bekerja berdasarkan pesanan yang mana desainnya sudah dibawakan oleh sipemesan produk. Untuk memudahkan perajin dalam membuat sketsa, peneliti memberikan gambaran atau contoh dari hasil penelitian tahap I (prototife), bahwa desain yang mereka buat akan diwujudkan seperti prototife tersebut. Perajin diberikan kebebasan dalam pengembangan motif, tiadak harus mengambil motif tradisi secara utuh melainkan dibuat dengan menstilir bentuk-bentuk motif dengan mengambil bagian-bagian yang menarik, motif-motif yang dikembangkan bisa diambil dari motif daun, motif bunga dan batang. Dari beberapa kali pertemuan pada akhirnya mereka bisa memahami mengenai penjelasan materi yang diberikan dan akhirnya berhasil membuat skesa/gambar dengan motif-motif yang bervariatif. Aspek penguasaan teknik, dari hasil pengamatan, perajin sudah menguasai teknik dalam pembuatan keramik, hal ini terbukti dari proses pembuatan moulding tegel cetak ini. Keahlian meraka dalam mengukir sudah sangat bagus, hanya mereka belum memahami bagaimana mencetak lempengan gypsum yang telah diukir tersebut untuk mendapatkan negative cetakkannya dan melepaskannya setelah lempengan gypsum tersebut mongering. Hal ini menunjukkan perajin perlu kiranya lebih banyak melakukan eksperimen untuk menemukan teknik-teknik baru dalam pembuatan keramik. Aspek penguasaan bahan, data yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan, perajin sudah memahami mengenai pengolahan bahan, proses pencampuran sampai proses pengerjaannya dan tahap terakhir berupa finishing. Tetapi ada hal yang perlu diperhatikan adalah dalam proses finishing yaitu penggarapan perlu diperhatikan kerapiannya dan tahap akhir pada saat pemberian lapisan warna glasir, sangat perlu kehati-hatian karena sifat glasir adalah menutup body keramik, sebaiknya permukaan tegel motif ini tidak diberikan lapisan warna secara menyeluruh agar tidak menutup body keramik. Dari hasil produk tersebut terlihat produk yang diberikan lapisan warna secara menyeluruh kelihatan kurang bagus karena motif tertutup oleh warna.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

256

Aspek daya tahan produk yang dihasilkan dari hasil pengamatan yang dilakukan, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa tegel keramik stoneware ini menggunakan tanah keramik Kalimantan (singkawang). Tanah ini telah teruji memiliki kwalitas baik sebagai bahan pembuatan keramik, daya tahan suhu pembakaran bisa mencapai 1250˚C sehingga keramik tegel stoneware ini bila dilihat dari kwalitas bahan dan kekuatannya sudah cukup baik dengan melalui dua kali tahap pembakaran dan sudah diberikan lapisan pewarna glasir. Dengan diberikannya lapsan pewarna ini, ditinjau dari segi kwalitas sudah sangat bagus karena lapisan pewarna dapat menunjang estetika disamping bertujuan membuat keramik tersebut kedap air, anti lumut dan sangat mudah dalam membersihkannya.

SIMPULAN Dari hasil penilaian tersebut maka terlihat bahwa produk yang diciptakan pada penelitian ini, memiliki prospek yang cukup bagus untuk dikembangkan mengingat pesaing yang ada dipasar bisa dikatakan belum ada karena produk-produk tegel keramik yang dijual dipasaraan masih bakaran rendah sejenis gerabah, biasanya difungsikan pada dinding luar bangunan dan difungsikan untuk tegel lantai. Sedangkan produk yang diciptakan pada penelitian ini keunggulannya pada produk sudah bakaran tinggi (sejenis porstlin) dan bisa difungsikan sebagai hisan motif pada dinding interior dan eksteror bangunan dan juga bisa difungsikan sebagai border pada lantai sesuai kebutuhan. Produk-produk yang dihasilkan perajin ini dikembangkan dengan membuat produk dalam jumlah terbatas, sehingga tidak ada kesamaan motif. Produk yang diciptakan kwalitasnya bisa terjaga dan perajin akan lebih kreatif lagi dalam hal pengembangan desain.

Gambar hasil perwujudan penciptaan tegel keramik stoneware dengan motif tradisi

DAFTAR PUSTAKA Sri Herawati, Arini, 2008. Seni Budaya, Jakarta Pusat perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Supriadi, Dedi, 1994. Kretivitas Kebudayaan dan Perkembangan Iptek. Bandung: Alfabeta. Nasir, Moh, 2005. Metode Penelitian, Bogor : Ghalia Indonesia.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

257

AKTUALISASI LONTAR PRASI DI ERA GLOBAL MENGGUNAKAN TEKNOLOGI DIGITAL

Ida Bagus Kt. Trinawindu, Cok Alit Artawan, Ni Luh Desi In Diana Sari Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected], [email protected].

Abstrak Setiap provinsi memiliki ciri khas tersendiri dan kekuatan lokal yang luar biasa. Kesenian daerah merupakan salah satu dari warisan kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Era globalisasi ini merupakan sebuah peluang bagi pengembangan potensi diri. Di sisi lainnya globalisasi dilihat sebagai ancaman terhadap eksistensi budaya lokal dan keberlanjutan budaya lokal itu sendiri. Salah satu hasil maha karya nenek moyang masyarakat Bali adalah Lontar yang sudah berusia ratusan tahun lamanya. Lontar yang ada di Bali biasanya berisi mantra-mantra suci untuk berbagai aktivitas masyarakat Hindu Bali. Didalam Lontar-Lontar tersebut tersurat dan terkandung berbagai macam ilmu pengetahuan tentang agama, filsafat, etika, arsitektur, astronomi, pengobatan dan lain sebagainya. Salah satu contoh adalah Lontar Prasi yang terdapat di Desa Tenganan Pegringsingan yang berada di Karangasem-Bali. Dengan adanya perkembangan teknologi seperti sekarang ini maka diharapkan warisan budaya yang telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lampau ini dapat terekam dalam media digital yang nantinya dapat menjadi sebuah pustaka digital tentang Lontar Prasi dan mampu menjadi pelopor dalam melestarikan warisan budaya yang direkam ke dalam media digital dengan memanfaatkan teknologi komputer sehingga diharapkan agar warisan budaya ini dapat terselamatkan dan dapat dinikmati oleh anak cucu kita di masa yang akan datang.

Kata Kunci : Warisan kebudayaan, Lontar Prasi dan Digitalisasi.

Abstract Each province has its own characteristics and superb local force. Local arts is one of the cultural heritage that owned by Indonesia. This globalization era is an opportunity for self- potential development. On the other side, globalization is seen as a threat to the existence of the local culture and the sustainability of the local culture itself. One of the ancestors of Balinese people masterpiece results’ is lontar which is hundreds years old. Thr Lontar in Bali usually contains sacred mantras for various activities of the Balinese Hindu people. In the lontars various kinds of knowledge about religion, philosophy, ethics, architecture, astronomy, medicine, and so forth are expressed and contained. One example is found in the Lontar Prasi which is located in Tenganan Pegringsingan village, in Karangasem Bali. With the development of technology like today, it is expected that the cultural heritage that has existed since hundreds years ago can be recorded in digital media services and will become a digital library of Lontar Prasi and also can be a pioneer in preserving cultural heritage which is recorded into the digital media using computer technology so that it is expected that this heritage can be saved and can be enjoyed by our children and grandchildren in the future.

Keywords : Cultural Heritage, Lontar Prasi and Digitalization.

PENDAHULUAN Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa berlimpah, baik itu kekayaan alam, sumber daya manusia maupun kekayaan seni dan budaya. Dari sekian banyak pulau yang dimiliki oleh republik ini ternyata semua memendam banyak sumber daya alam, sumber daya manusia dan seni budaya yang adi luhung. Setiap provinsi memiliki ciri khas tersendiri dan kekuatan lokal yang luar biasa. Kesenian daerah merupakan salah satu dari warisan kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Berbagai macam dan ragam budaya menghasilkan berbagai macam cabang budaya seperti kesenian yang akan memperkaya kebudayaan dimasing-masing daerah. Salah satu daerah yang memiliki seni budaya yang sangat terkenal di dunia adalah pulau Bali. Kebudayaan Pulau Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu dalam eksistensinya memiliki ciri yang unik, kaya variasi

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

258

serta mempunyai akar dan perjalanan sejarah yang yang amat panjang. Keanekaragaman unsur budaya yang terdapat di Bali masih banyak yang belum terungkap sehingga sangat potensial dikembangkan sebagai daya tarik pariwisata. Pariwisata budaya yang dikembangkan di daerah Bali, menampilkan kekuatan budaya masyarakat Bali dengan akar budaya tradisi yang kokoh, terbukti mampu melindungi nilai-nilai budaya dimana kesenian religius yang memiliki nilai yang agung untuk kehidupan budaya masyarakat tetap lestari dan berjalan bersamaan serta mampu memberi nilai lebih pada kegiatan kesenian untuk konsumsi pariwisata. Seiring dengan perkembangan pariwisata yang semakin pesat, banyak wisatawan yang datang ke Bali ingin memahami dengan sungguh-sungguh kebudayaan, adat istiadat dan agama yang ada. Mereka tidak hanya mencoba memahami dengan membaca buku atau guide book tetapi mereka juga ada yang langsung melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat Bali baik yang berkaitan dengan adat istiadat, kehidupan sosial yang ada dan hasil local genius yang ada di masyarakat Bali. Salah satu hasil maha karya nenek moyang masyarakat Bali adalah Lontar yang sudah berusia ratusan tahun lamanya.Kehadiran Lontar di Bali tidak dapat terpisahkan dari masyarakat Hindu Bali dan sudah ada sejak jaman dahulu yang menjadi bagian hidup dari masyarakat.Kata Lontar berasal dari ron dan tal. Di dalam bahasa Bali pohon palmyra dinamai tal yang berasal dari tala nama sansekerta untuk pohon palm talipot. Ini tercemin dalam kata Lontar yang berakar dari kata ron(daun) dan tal(pohon). Lontar adalah daun siwalan atau tal (Borassus flabellifer atau palmyra) yang dikeringkan dan dipakai sebagai bahan naskah dan kerajinan. Di Bali, kata Lontar sangat terkenal dan merupakan warisan budaya yang adi luhung dan sangat identik dengan kegiatan keagamaan. Lontar sudah ada dari sejak jaman nenek moyang masyarakat Hindu Bali, sebuah tradisi tua di Bali yang sudah melewati masa keemasan beratus-ratus tahun lamanya. Lontar yang ada di Bali biasanya berisi mantra-mantra suci untuk berbagai aktivitas masyarakat Hindu Bali. Di Bali, Populasi Lontar puluhan ribu jumlahnya tersebar di seluruh Bali, yang tersebar dan tersimpan di rumah-rumah penduduk seperti Geria, Puri, Jero dan ada juga yang dikoleksi di museum-museum yang ada di Bali. Didalam Lontar-Lontar tersebut tersurat dan terkandung berbagai macam ilmu pengetahuan tentang agama, filsafat, etika, arsitektur, astronomi, pengobatan dan lain sebagainya. Lontar hadir dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali sejak lahir sampai mereka meninggal. Pada jaman dulu Lontar berfungsi sebagai buku untuk menuliskan cerita, puisi, pedoman kehidupan masyarakat Bali kuno, serta filsafat kehidupan masyarakat Hindu Bali dan masyarakat sangat mengkramatkan Lontar tersebut sehingga tidak sembarang orang bisa membuka apalagi membacanya. Lontar jenis ini boleh dibuka, dibaca hanya oleh orang tertentu seperti pedanda atau sulinggih dan orang suci atau orang yang disucikan oleh masyarakat Hindu Bali dan biasanya tidak di sembarang tempat bahkan ada yang memang harus dibuka dan dibaca pada saat peristiwa atau upacara khusus. Lontar pada umumnya. Selain Lontar yang disebutkan di atas, ada jenis Lontar yang memuat berbagai cerita yang dituliskan dan digambarkan / divisualisasikan sarat dengan makna dan nilai estetika yang tinggi. Lontar yang dimaksud adalah Lontar Prasi yang terdapat di Desa Tenganan Pegringsingan yang berada di Karangasem, Bali. Seni ini sudah tumbuh dan berkembang sejak agama Hindu mulai merasuki serat-serat kehidupan masyarakat Hindu Bali. Lontar Prasi merupakan salah satu karya seni rupa tradisional masyarakat Hindu Bali, termasuk warisan budaya nenek moyang yang memiliki nilai estetika tinggi dan mempunyai karakteristik tersendiri. Lontar Prasi berasal dari kata amarasi yang berarti ngerajah atau melukis, dengan demikian Lontar Prasi tersebut adalah Rerajahan atau lukisan dapat juga disebut gambar bercerita diatas daun Lontar atau komik Lontar. Lontar Prasi pada awalnya merupakan suatu media yang disucikan, berkembang memenuhi kebutuhan estetis dan ekonomis bahkan lebih lanjut kegiatannya berkembang menjadi usaha industri seni. Lontar Prasi yang ada di Bali terkenal dibuat di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem. Lontar Prasi yang berkembang di desa Tenganan Pegeringsingan merupakan salah satu contoh warisan budaya yang mampu diadaptasi untuk kepentingan pariwisata. Keberadaan Lontar Prasi di desa Tenganan Pegeringsingan umumnya hanya berupa Lontar Prasi Ramayana dan Mahabrata yang hampir sama dengan Lontar Prasi di daerah Sidemen yang perkembangannya lebih dahulu. Masalah yang mucul adalah Lontar Prasi yang ada di Bali akan mengalami kerusakan akibat dari berbagai macam sebab diantaranya adalah rusak akibat cuaca, penempatan yang kurang bagus, bahan Lontar yang digunakan adalah bahan alami yang sudah pasti akan mengalami kerusakan, serta kurang terawatnya Lontar tersebut. Masalah berikutnya adalah tidak pernah

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

259

terdokumentasikannya hasil karya lontar yang sudah pernah dibuat oleh seniman-seniman Prasi yang ada di Desa Tenganan. Keadaan yang demikian dipandang perlu adanya upaya untuk melestarikan warisan budaya ini agar tidak punah sehingga pada suatu saat nanti generasi mendatang masih memahami apa yang dimaksud dengan Lontar Prasi. Dengan adanya perkembangan teknologi seperti sekarang ini maka diharapkan warisan budaya yang telah ada dari sejak beratus-ratus tahun yang lampau ini dapat terekam dalam media digital yang nantinya dapat menjadi sebuah pustaka digital tentang Lontar Prasi dan mampu menjadi pelopor dalam melestarikan warisan budaya yang direkam ke dalam media digital dengan memanfaatkan teknologi komputer sehingga diharapkan agar warisan budaya ini dapat terselamatkan dan dapat dinikmati oleh anak cucu kita di masa yang akan datang.

METODE PENELITIAN Penentuan subyek penelitian ditentukan dengan teknik purposive sampling. Hal ini dilakukan, karena teknik ini lebih mampu menangkap realitas yang tidak tunggal.Teknik sampling ini memberikan kesempatan maksimal pada kemampuan peneliti untuk menyusun teori yang dibentuk di lapangan (grounded theory), dengan sangat memperhatikan kondisi lokal dengan kekhususan ideografis atau nilai-nilainya (Sutopo, 1996: 37). Subyek penelitian ini diambil dari Desa Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem - Bali yang masih memiliki peninggalan karya-karya Lontar Prasi. Subyek yang dipilih sebagai sampel adalah: (1) Karya-karya Lontar Prasi yang ada di Desa Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem - Bali yang representatif; (2) Dikenal oleh masyarakat Bali; (3) Masih dipelihara dan difungsikan dalam aktivitas oleh masyarakat Hindu di Bali. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dan karena terbatasnya waktu, serta dana penelitian, maka subyek yang dipilih sebagai sampel adalah karya-karya Lontar warisan budaya yang masih terjaga keasliannya dan terpelihara keadaannya sehingga dalam perekaman ke dalam tehnik digital nantinya mendapatkan hasil yang maksimal. Data primer diperoleh berdasarkan pengamatan langsung, pemotretan, pengukuran, wawancara dengan beberapa pakar pada bidangnya dan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yang memiliki Lontar Prasi.

PEMBAHASAN

Lontar Prasi Menurut Koentjaraningrat (1990: 109) dalam bukunya “Sejarah Teori Antropologi II” mengatakan bahwa terjadinya inovasi akibat dari penemuan baru dalam bidang teknologi. Koentjaraningrat mengambil pendapat pendapat R. Linton dalam karya tulisnya The Study of Man (1936) menyebutkan “Suatu penemuan baru, baik penemuan berupa alat atau ide baru yang diciptakan seorang individu dalam masyarakat, disebut discovery. Apabila adat atau ide baru itu sudah diakui dan diterima oleh sebagian besar warga dalam masyarakat, maka penemuan baru tadi menjadi apa yang disebut invention. Proses sejak tahap discovery sampai ke tahap invention sering berlangsung lama, dan kadang-kadang tidak hanya menyangkut satu individu, yaitu si pencipta pertama, tetapi serangkaian individu yang terdiri dari beberapa orang pencipta”. Komik bukanlah cergam-cerita bergambar seperti apa yang kita kenal selama ini. Dalam cergam, gambar berperan sebagai ilustrasi, pelengkap, dan sebagainya tanpa hadirnya gambarpun cerita masih bisa dinikmati pembacanya. Dalam komik yang terjadi sebaliknya, teks atau tulisan berperan sebagai pelengkap gambar, misalnya : memberi dialog, narasi, dan sebagainya. Jadi lebih tepatnya komik adalah gambar bercerita (Masdianto, 1998 : 9) Menurut Kirtiningrat, Lontar secara umum dapat diklasifikasikan menjadi berapa jenis, yakni: Kekawin: merupakan kesusastraan Jawa Kuno berbentuk puisi. Parwa: kesusastraan Jawa Kuno berbentuk prosa. Kidung: kesusatraan berbahasa Jawa Tengahan. Geguritan: kesusastraan Bali berbentuk puisi dan berkaitan dengan pupuh. Tutur/tatwa: kesusatraan berbahasa Kawi yang isinya kehidupan praktis di masyarakat yang mengandung tuntunan hidup. Tatwa ini juga dikenal sebagai akar budaya.Usada: berisi cara-cara pengobatan dengan obat tradisional. Wariga: berisi pengetahuan cara-cara mencari hari baik serta keadaannya (padewasan). Babad: berisi sejarah/silsilah keturunan. Pujamantra: berisi langsung tentang mantra-mantra atau weda.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

260

Pembuatan Lontar Prasi pertama-tama dibuat tidak begitu populer karena dibuat oleh orang tertentu yang betul-betul mengetahui tentang ilmu kerohanian. Umumnya dibuat oleh orang-orang dilingkungan kasta Brahmana. Pembuatan Lontar Prasi pada jaman itu disesuaikan dengan fungsinya sebagai lambang atau perlambang dalam hal pengobatan atau ilmu pengobatan dan juga berfungsi sebagai pengijeng atau penjaga diri, dengan lukisan yang mengandung arti tertentu sesuai dengan fungsinya (Sutiari, dkk, 1993 : 12) Ilustrasi berasal bahasa Latin yaitu Ilustrare, menerangkan / menghias, berarti pengiring, pendukung, sebagai penghias guna membantu proses pemahaman terhadap suatu obyek. ; Gambar ilustrasi dapat berarti gambar yang menghias dan membantu pemahaman terhadap sesuatu. Gambar ilustrasi ini bukan hanya yang berbentuk gambar coretan tangan, tetapi dapat juga hasil fotografi, bahkan susunan huruf, komposisi tipografi.Namun yang umum dibicarakan adalah gambar ilustrasi dalam pengertian paling populer yaitu gambar yang diciptakan oleh seniman lewat garis bentuk dan warna.Jika kartun dan karikatur berkembang sejak munculnya teknologi cetak grafis, gambar ilustrasi berkembang sejak masa klasik. Hikayat masyarakat Bali yang dituliskan di daun Lontar sudah menyertakan gambar ilustrasi didalamnya. (Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1989 : 35). Menurut I Nyoman Lodra, Seni lukis yang memanfaatkan media daun Lontar, dengan menggambarkan adegan ceritra pewayangan, tantri, disertai dengan tulisan aksara Bali. Teknik pembuatan dengan memakai benda tajam (pengutik) yang digoreskan sehingga menampakan guratan-guratan sesuai dengan konsep, ide dan gagasan. Hasil goresan tersebut kemudian dilumuri cairan arang yang terbuat dari buah kemiri yang telah dicampur minyak kelapa dan mengelap kembali dengan kain kering. Sisa cairan arang kemiri yang masuk pada bagian goresan akan tetap mengendap sehingga menampakan motif gambar dan tulisan sesuai dengan yang di konsepkan. Karya seni lukis yang dibuat dari daun Lontar yang ditores dengan benda tajam tersebut di atas lazim disebut dengan Seni Lukis Lontar Prasi. Seni lukis Lontar Prasi ini telah ada dan berkembang di abad ke 14, pada zaman kerajaan Bali Kuno.

Desa Tenganan Pegeringsingan Tenganan Pegeringsingan adalah desa adat kuno berbudaya asli yang masih bertahan di pulau Bali. Letak Desa Tenganan Pegringsingan berjarak sekitar 66 kilometer sebelah timur kota Denpasar. Desa ini diapit oleh bukit kangin dibagian timur dan bukit kauh di barat yang bertemu di utara membentuk bentang melingkar seperti tapal kuda. Dikalangan para pengamat memperkirakan bahwa kemungkinan munculnya sebutan Tenganan untuk desa Age ini, karena berada di tengah- tengah bukit (tengahan) yang kemudian sering mengalami ucapan Tenganan (Sulistyawati, 1997 : 72). Dalam prasasti Ujung dari abad IX disebutkan bahwa Desa Tenganan semula bernama Peneges terletek di pinggir pantai dekat Candi Dasa, tetapi karena erosi air laut mereka pindah ketengah ke daerah pedalaman (ngatengahan). Dari kata ngatengahan dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi Tenganan (Korn,1960 : 307). Kehidupan budaya rnasyarakat Tenganan Pegeringsingan agak berbeda dengan masyarakat Bali umumnya perbedaannya antara lain dari sasihnya yang tersendiridimana rerainan purnarna dan tilem berbeda dengan pelaksanaan purnama tilemumumnya di Bali, tata bangimannya tersendiri yaitu keberadaan jarak antara satubangunan sangat dekat dengan bangunan lain pada satu keluarga atau pekurenan, perbedaan itu menjadi bukti kekuatan masyarakat desa Tenganan Pegeringsinganmempetahankan diri sebagai Desa Bali Age dari pengaruh luar yang diperkirakantelah mendapat pengaruh dari Jawa (Majapahit). Munculnya seni lukis wayang dimulai pada waktu kerajaan Gelgel jatuh dan pindah ke Klungkung pada tahun 1686 M. Dalem Klungkung sangat menaruh perhatian dan memberi pengayoman serta pembinaan kepada para pelukis di Kamasan.

Pada waktu itu Dalem Klungkung menugaskan seorang sangging Gambar 1. Lontar Prasi untuk membuat sebuah wayang. Dalem Klungkung sangat puas Kalender Bali Age

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

261

dengan hasil yang dibuat sangging tersebut, ia diberi nama Mahudara. Sangging Mahudara inilah yang dianggap sebagai peloporseni lukis tradisional Kamasan (Kanta, 1996 : 10).

Tinjauan tentang digitalisasi Digitalisasi (bahasa Inggris: digitizing) merupakan sebuah terminologi untuk menjelaskan proses alih media dari bentuk tercetak, audio, maupun video menjadi bentuk digital. Digitalisasi dilakukan untuk membuat arsipdokumen bentuk digital, untuk fungsi fotokopi, dan untuk membuat koleksiperpustakaandigital. Digitalisasi memerlukan peralatan seperti komputer, scanner, operatormediasumber dan software pendukung. Dokumen tercetak dapat dialihkan ke dalam bentuk digital dengan bantuan program pendukung scanning dokumen seperti Adobe Acrobat dan Omnipage. Dokumenaudio dapat dialihkan ke dalam bentuk digital dengan bantuan program pengolah audio seperti CoolEdit dan JetAudio. Dokumen video dapat dialihkan ke dalam bentuk digital dengan bantuan program pengolah video. Tujuan Digitalisasi, tidak lain adalah untuk mendapatkan efisiensi dan optimalisasi dalam banyak hal antara lain efisiensi dan optimalisasi tempat penyimpanan, keamanan dari berbagai bentuk bencana, untuk meningkatkan resolusi, gambar dan suara lebih stabil. (http://id.wikipedia.org/wiki/Digitalisasi)

Prasi di Desa Tenganan Pegeringsingan Prasi pada awalnya merupakan suatu media yang disucikan yang bentuk awalnya banyak terdapat pada usada yaitu Ilmu pengobatan yang berkembang di Bali yang di tulis dan di gambar pada bilahan Lontar, berkembang memenuhi kebutuhan estetis dan ekonomis bahkan lebih lanjut kegiatannya berkembang menjadi usaha industri seni. Prasi yang berkembang di Desa Tenganan Pegeringsingan merupakan salah satu contoh warisan budaya yang mampu diadaptasi untuk kepentingan pariwisata. Adanya prasi secara pasti kapan dan siapa yang pertama membuat tidak diketahui keberadaannya namun berdasarkan bentuk prasi yang ada sekarang ini berupa prasi Ramayana dan Mahabharata pertama kali dibuat oleh I Wayan Mudita Adnana pada tahun 1972. Menurut beliau keahlian menggores daun lontar diperoleh dari orang tuanya dan mulai melukis prasi karena adanya himbauan dari seorang wisatawan asing asal Jerman dimana disarankan menampilkan gambar sebagai ilustrasi suatu cerita sehingga lebih menarik dan mudah dipahami. Prasi di Desa Tenganan Pegeringsingan mulai marak dibuat pada tahun 1975-1980 an sejalan dengan peningkatan jumlah kunjungan wisata yang cukup besar, semenjak itu prasi bernilai ekonomis sebagai benda seni yang dapat dijual kepada wisatawan sebagai cindera mata. Keberadaan prasi di desa Tenganan Pegeringsingan umumnya hanya berupa prasi Ramayana dan Mahabrata karena boleh dikatakan hanya seorang seniman Mudita Adnana yang mampu merancang prasi sekaligus mengerjakannya sedangkan lainnya adalah pengrajin prasi yang membuat hasil tiruan prasi yang sudah ada, sehingga perlu kiranya dilakukan suatu upaya pengembangan untuk menambah keanekaragamannya sekaligus menciptakan ciri khas prasi Tenganan Pegeringsingan.

Proses Berkarya Pembuatan prasi dilakukan oleh Mudita Adnana melalui pendalaman berbagai pengetahuan tentang ilmu sastra Bali menginngat dalam prasi terdapat tiga komponen pokok yang harus diketahui yaitu bahasa, pakem wayang dan cerita. Perkenalannya pada sastra dan wayang dimulai dari masa kecil dimana kecintaannya pada wayang membuatnya sampai mendaki dan melewati bukit untuk sekedar menonton wayang didesa Bugbug sebuah desa tetangga yang terletak diseberang bukit. Obsesinya tersebut menjadikannya menjadi dalang cilik di desanya dengan wayang dari Kloping/pelepah bunga Kelapa, kemudian berkembang sampai wayang karton Kemudian mulai mempelajari tabuh/musik dengan gender wayang. Setelah menguasai semua pakem gender wayang barulah belajar wayang dan mendalang pada kakek Merata seorang dalang yang masih kerabatnya dari Besan Klungkung, selama dua bulan memaksimalkan tikas/gerakan wayang dengan mengendarai sepeda dayung menempuh jarak kira-kira 20 kilometer. Berceritalah kakek dalang di akhir pengajarannnya, sekarang kamu sudah boleh mendalang tapi ada tetapinya tidak boleh mendalang untuk upacara. Setelah diupacarai mulailah mendalang dengan meminjam wayang di desa Pesedahan desa tetangganya sejalan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

262

dengan itu mulailah meniru beberapa wayang dari dalang di Pasedahan dengan wayang yang telah berumur 300 tahun tentunya dengan permohonan ijin terlebih dulu dan selalu dimulai melalui proses upacara. Proses nedunan/meniru dengan melalui upacara khusus pada wayang sehingga diperbolehkan mengeluarkan dari keropak/kotak wayang. Dari sinilah dimulai perkenalannya pada dunia rupa, dengan jalan setiap meniru maksimal menurunkan dua wayang dengan cara ngeblat, menjiplak wayang dengan kertas semen yang dicari hanya bentuk luarnya saja. Setelah sampai memiliki wayang berjumlah 150 karakter mulailah menggunakan wayang sendiri untuk mendalang. Perkenalan dengan seorang wisatawan asal jerman memberikan pencerahan padanya untuk menulis carita diatas daun lontar dengan memvisualkan berbagai karakter dalam ceritanya. Penelitianpun dilakukan sampai ke kabupaten Buleleng mencari bentuk-bentuk wayang mualilah tahun 1972 membuat prasi.

Bahan Dan Alat Sebagai bahan bakunya adalah daun lontar yang serat-seratnya halus dan mulus. Di Bali umumnya dikenal 2 jenis lontar yaitu : Lontar telur (ntal taluh), serat-seratnya halus, daunnya lebih lebar dan panjang. Apabila ditulisi tekanan dari pengrupak sangat sedikit menimbulkan suara karena goresan tidak terlalu keras. Lontar gagak (ntal goak), serat-seratnya agak kasar, daunnya lebar dan panjang. Tekanan dari pengrupak menimbulkan suara karena goresan agak keras.

Bahan yang lainnya yaitu kayu untuk bahan-bahan pengepres, kemiri yang dibakar dicampur minyak kelapa sebagai bahan pewarna, bilahan bambu untuk bingkai, benang atau tali untuk pengikat prasi.

Peralatan yang diperganakan antara lain : Pisau khusus untuk menoreh lontar/pengerupak ada tiga jenis yaitu pengerupak besar, menengah, dan kecil. Alat lainnya adalah serut yang digunakan untuk menghaluskan bagian samping dari daun lontar. Prosesnya dengan cara daun lotar digabungkan jadi satu kemudian dijepit dan dihaluskan dengan menggunakan serut.

Gambar 4. Daun lontar, bahan pembuatan Gambar 5. Pengerupak, alat pembuatan prasi.(sumber gambar: dokumen pribadi) Lontar Prasi (sumber gambar: dokumen pribadi)

Proses Pengerjaan Lontar Prasi Untuk menghasilkan karya seni bermutu dalam proses pembuatan prasi dilakukan tahapan- tahapan sebagai berikut :

Tahap pemilihan bahan. Dalam membuat prasi haruslah memilih daun lontar yang serat-seratnya halus dan mulus, untuk dapat atau tidaknya daun lontar tersebut dipergunakan, terlebih dahulu diperhatikan ujung lontar tersebut. Apabila lontar sudah kering ujungnya kira-kira 2,5 cm, pada waktu itu bisa dipetik dari pohonnya, kemudian dijemur selama satu hari supaya kering Setelah diperoleh daun lontar yang baik kemudian daun lontar diiris untuk menghilangkan lidi-lidinya, kemudian dibentuk segi empat panjang dengan ukuran kira-kira lebar 3,5 cm dan panjang 25 cm proses ini disebut mirip. Kemudian dibuat 3 buah lubang pada setiap daun lontar, setelah itu direndam dalam air, kemudian direbus dengan air disertai rempah-rempah diantaranya kunyit warangan, gambir, daun liligundi untuk pengawetan. Kemudian dikeringkan dan dihaluskan serta dipres. Untuk mencapai kwalitas

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

263

yang baik pengepresan dilakukan antara tiga sampai enam bulan agar lontar rata tidak melengkung, selanjutnya daun lontar siap dibuat prasi atau dilukis.

Tahap pembuatan Dalam tahap pembuatan ini disiapkan peralatan yaitu pengerupak besar, menengah dan kecil. Alat pengerupak tersebut sebagai penggores atau menggambar dalam pembuatan prasi, biasanya pengerajin langsung menggambar di atas daun lontar sesuai keinginan tanpa sket terlebih dahulu ini dilakukan oleh yang telah berpengalaman, berbeda dengan orang yang tidak begitu terampil, sket dengan pensil perlu dilakukan karena kesalahan pada penggambaran tokoh wayang sulit bisa dihilangkan.

Tahap pewarnaan Setelah penggambaran ceritera yang dikehendaki selesai maka tahap selanjutnya pemberian warna. Warna yang dipergunakan terbuat dari buah kemiri yang dibakar kemudian dihancurkan lalu dicampur minyak kelapa, cara pemberian warna dengan memoles atau menggosok dengan tangan diatas daun lontar yang sudah digambar maka gambar akan terlihat jelas.

Tahap penyelesaian/finishing Tahap ini merupakan tahapan menyusun daun lontar sesuai jalan ceritanya dari awal sampai akhir, kemudian diikatkan benang / tali dengan memasukkan benang tersebut kelobang yang telah dibuat, tahap akhir adalah memberikan bingkai pada sisi atas atau bawah pada rangkaian lontar yang dibuat dari belahan bambu, biasanya diberi ukiran atau ornamen tertentu sebagai pemanis atau pelengkap.

Gambar 6. Proses pembuatan Gambar 7. Proses pewarnaan. Gambar 8.Hasil akhir Lontar goresan. (Sumber gambar: (Sumber gambar: dokumen Prasi. (Sumber gambar: dokumen dokumen pribadi) pribadi) pribadi)

Prasi Karya I Wayan Mudita Adnana Prasi hasil karya Mudita Adnana merupakan kelanjutan dari karya-karyanya terlebih dahulu berupa karya sastra tulisan daun lontar yang berisikan kekawin Ramayana dan Mahabharata, dimana kekuatan cerita dan bahasa yang telah dikuasai dengan teknik menggambar diatas daun lontar yang telah terasah melalui latihan panjang menggores berbagai huruf Bali memerlukan ketekunan dan kesabaran yang luar biasa karena proses kesalahan akan sangat kentara dan diperlukan kekuatan tarikan garis yang spontan untuk menghidupkan karakter dalam suatu cerita. Apabila sebuah karya seni dalam proses penggarapannya tidak berdasarkan kepada kepekaan dan ketrampilan yang baik (mumpuni), maka tidak ada kesempatan bagi kita menikmati karya tersebut sebagai karya seni (Bandem, 2002). Prasi Ramayana yang berjudul Prasi berjudul Aranyaka Kanda, karya pengerajin I Wayan Mudita Adnyana, menceritakan keadaan Rama, Sita dan Laksmana di dalam hutan membantu pertapa dari serangan raksasa yang selalu merusak hutan, serta rayuan Surpanaka terhadap Laksmana yang menyebabkan marahnya Laksmana dengan memotong hidung Surpanaka. Dilanjutkan dengan cerita Patih Merica menjelma menjadi kijang, Rahwana menjelma menjadi orang tua yang menculik Dewi Sita, diakhiri dengan nasib yang menimpa Garuda Jatayu hingga tewas. Prasi ini berukuran Lebar 3,5 cm panjang 25 cm, terdiri dari 15 bilah lontar dengan 14 lontar berupa gambar mengikuti uraian atau ringkasan cerita disebelah kanan menggunakan olesan tinta

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

264

hitam dari arang buah kemiri dicampur minyak dan 1 bilah lontar yang berisi keterangan judul dan seniman penciptanya. Prasi Ramayana berjudul Kiskinda Kanda karya pengerajin I Wayan Mudita Adnyana, mengisahkan Sang Rama mendapat sahabat karib yang bernama Sugriwa yang diketemukan saat perang saudara dengan Subali, karena istri Sugriwa di rebut oleh Subali. Sang Rama membantu Sugriwa, berkat panah Sang Rama Subali tewas. Prasi terdiri dari 13 bilah daun lontar dengan ukuran lebar 3,5 cm dan panjang 25 cm, bilah pertama berisikan judul dan keterangan seniman penciptanya, bilah berikutnya sebanyak 12 lembar berisikan gambar bercerita dengan uraian tentang cerita ada disebelah kanan dengan memakai bilasan tinta hitam dari arang kemiri. Berdasarkan hasil pengamatan prasi karya Mudita Adnana di desa Tenganan Pegeringsingan garis yang tegas dimiliki olehnya mengingat pendalamannya terhadap olahan kekuatan tangan dalam menggoreskan pisau pengerupak sehingga garis tegas menjadikan visualisasi cerita menjadi sangat kuat. Ketekunanya menciptakan berbagai karakter sesuai dengan kekuatannya terhadap pengetahuan cerita yang diketahuinya melalui membaca dan mempelajari lontar dengan pendalaman terhadap karakter bahasa, cerita pakem wayang dan teknik menjadikan tangannya sangat pasih dalam memainkan pisau untuk menciptakan komik lontar. Perjuangan kreativitas untuk memunculkan diri dalam usaha mencari pengakuan harus diikutii dengan kekuatan wacana yang merupakan pangkal dasar publikasi dan informasi yang menjembatani antara wujud visual, isi dan makna yang terkandung dalam sebuah karya seni. Teori quantum sangat relevan untuk dimanfaatkan untuk mengkaji hal tersebut dimana menurut teori quantum bahwa sesuatu terdiri dari gelombang dan partikel.Wujud visual merupakan partikel dan wacana merupakan gelombangnya sesuai dengan kaedah prasi berupa gambar dan teks penjelas yangkeduanya selalu terikat dan saling dukung mendukung. Kedudukan partikel dan gelombang tidak tetap, dalam arti dapat berubah-ubah silih berganti yaitu gelombang menjadi partikel dan sebaliknya partikel dapat menjadi gelombang. Suatu karya juga terdiri dari teks dan konteks. Konsep adalah teks dan karya adalah konteks. Namun penguasaannya pada pakem wayang yang ada sedikit memenjarakan nilai kreatifitasnya sehingga prasi yanng dibuatnya hanya berkisar pada cerita Ramayana dan Mahabharata karana hanya karakter wayang inilah yang dianggapnya jelas dan telah terpakem. Kekukuhannya terhadap apa yang dikenalnya membuatnya sedikit takut untuk berekspresi lebih bebas, sehingga dari segi komposisi terlihat hal yang monoton pemanfaatan ruang belum terlihat karena semuanya terlihat penuh sesuai dengan kekuatan tradisi yang lebih banyak terlihat sebagai pengulangan. Menurutnya bahwa apa yang dibikinnya sama sekali tidak boleh membuat orang bingung dan harus jelas disinilah nilai paradoknya bahwa secara tidak sadar kita telah dipatok oleh pengetahuan yang sebenarnya merupakan hasil interpretasi dan pengembangan suasana jaman, namun walaupun semua itu sudah diketahui sebagai ilmu pengetahuan yang terus berkembang, kita terlalu takut untuk disalahkan terhadap apa yang sebenarnya bisa menjadi suatu terobosan baru yang apabila dilakukan dengan pendalaman yang kuat bisa menjadi pengetahuan baru.Suatu gejolak yang tak mungkin ditolak dan semestinya diakui, karena setiap jaman yang ditangkap akan melahirkan teks yang sesuai dengan konteks yaitu konstelasi jaman. Mudita Adnana adalah seorang kreator prasi didesa Tenganan Pegeringsingan yang menciptakan prasi atas interpretasinya terhadap lingkungan budayanya yang masih sangat kental bau tradisinya dengan pendalaman yang benar-benar terhadap suatu penggabunngan berbagai bidang ilmu yang bersinergi menjadi karya yang agung yang walaupun berasal dari anak desa yang putus sekolah namun karena keinginan yang tinggi untuk belajar selain menjalankan adatnya dia berusaha mengembangkan apa yang dimiliki dengan pendobrakan secara halus dijamannya terhadap adat istiadat setempat menyerap budaya luar yang bermanfaat dan berkaitan dengan budayanya dan diterima oleh masyarakat setempat sebagai hal yang tidak tabu untuk dilanjutkan sekaligus sebagai penopang kebudayaan yang bernilai ekonomis dan menjadi inspirasi dari belasan seniman prasi didesanya sejalan dengan perkembangan pariwisata yang dikembangkan Pemerintah Daerah Bali mengingat Tenganan Pegeringsingan sebagai daerah tujuan wisata andalan. Prasi adalah salah satu peninggalan budaya bangsa yang berisikan cerita yang mengandung ajaran-ajaran filsafat sehingga sangat perlu dikemukakan sebagai usaha menggali konsep-konsep ajaran etika dan moral yang tinggi didalamnya untak bahan renungan dalam mengisi pembangunan dewasa ini.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

265

Pengembanganprasisangat mungkin untuk dilakukan menurutbapak I Wayan Mudita Adnana cerita-cerita yang ada di Bali dan Nusantara sangat potensial dikembangkan mengingat cerita yang digarap saat ini hanya berkisar antara Ramayana dan Mahabrata sehingga menjadi monoton dan cerita yang dimiliki hendaknya dimanfaatkan sebagai suatu daya tarik dan nantinyamenambah keanekaragaman prasi di Desa Tenganan Pegeringsingan dengan menampilkan visualisasi yang lebih kreatif sehingga menambahkekayaan budaya Bangsa.

Proses Kerja Digitalisasi Dalam poses digital yang telah dilakukan, ada dua teknik pengerjaan digitalisasi lontarantara lain:

Tehnik Fotografi. Fotografi merupakan sebuah hasil karya foto yang dihasilkan dengan menggunakan alat perekam berupa kamera foto. Fotografi juga dapat diartikan sebagai suatu seni atau proses menghasilkan gambar dengan menggunakan media cahaya. Fotografi adalah kegiatan seni dan jenis fotografi ada bermacam-macam. Untuk itu dibutuhkan seorang fotografer yang Karya yang dihasilkan dalam tehnik fotogrfi ini 100% menyerupai asli. Untukmenghasilkan sebuah karya yang bagus dan menarik ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap hasil karya fotografi ini adalah faktor pencahayaan, tanpa pencahayaan yang baik akan sulit untuk menghasilkan hasil karya yang bagus. Faktoryang kedua adalah fotografer. Disini fotografer akan dituntutdan diuji seni dan kreatifitasnya betul-betul mengerti seni dan jenis fotografi yang ada padadirinya. Dalam berkaryauntuk menghasilkan sebuah foto yang bagus dan menarik. Faktor yang ketiga adalah kamera yang digunakan. Kamera adalah alat pokokdalam fotografi, tentunya didukung oleh lensa, alat bantu pencahayaan, reflektor, tripod dan lain-lain. Dengan menggunakan tehnik fotografi sudah barang tentu akan ada kelebihan dan kelemahan dari hasil yang tercipta. Keunggulan menggunakan tehnik fotografi adalah foto yang dihasilkan lebih cepat dan dapat diambil dengan berulang kali sehingga kita dapat memilih hasil terbaik yang akan disimpan dalam file digital, foto lebih konkrit dan realistis, dapat mengatasi batasan ruang dan waktu, dapat mengatasi keterbatasan pengamatan, dapat memperjelas masalah, murah harganya dan mudah digunakan. Kelemahannya adalah jika mengambil foto lontar dengan jarak yang agak jauh, harus mengambil dua kali pemotretan disebabkan oleh panjang lontar dengan lebar lontar perbandingannya sangat jauh. Kelemahan berikutnya adalah tidak setabilnya pencahayaan yang ada jika kita tidak menggunakan cahaya bantuan berupa lampu studio. Foto lontar akan telihat kurang bagus karena disatu sisi akan terlihat gelap dan disisi yang lain akan terlihat lebih terang, sehingga sangat dibutuhkan pencahayaan yang tepat dalam proses pemotretan ini. Kelemahan berikutnya adalah terjadinya distorsi dalam pemotretan dimana lebar dan panjang antara sisi atas dan bawah terlihat kurang seimbang. Kelemahan fotografi secara umum adalah foto diinterpretasikan secara personal dan subyektif, foto hanya menampilkan persepsi indra mata, foto biasanya disajikan dalam ukuran yang sangat kecil. Dibawah ini adalah karya lontar yang diambildengan menggunakan tehnik fotografi dengan beberapa kelemahannya. Pada foto diatas terlihat gambar lontar prasi dengan distorsi bentuk yang dihasilkan oleh kamera dan cara pengambilan gambar yang kurang sejajar dengan obyek yang difoto. Hasil yang didapatkan dari tehnik fotografi ini mendapatkan resolusi yang berbeda dengan tehnik scanning, sehingga jika nantinya mengubah ke dalam beberapa bentuk media seperti media yang dicetak seperti buku diperlukan kembali untuk melakukan scanning untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam tehnik ini dibutuhkan beberapa peralatan pendukung untuk menghasilkan sebuah foto yang memang benar-benar maksimal baik dari segi bentuk yang dihasilkan maupun dari sisi warna yang dimunculkan oleh obyek yang difoto.

Tehnik Scanning Tehnik yang kedua adalah tehnik scanning. Dalam proses scanning alat yang dibutuhkan adalah scanner. Scanner adalah sebuah alatelectronic yang funsinya mirip dengan mesin fotocopy. Mesin fotocopy hasilnya dapat langsung dilihat pada kertas sedangkan scanner hasilnya ditampilkan pada layar monitor komputer kemudian dapat diubah dan dimodifikasi sehingga tampilan dan hasilnya menjadi lebih bagus dan dapat disimpat dalam format text, dokumen dan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

266

gambar. Fungsi dari scanner adalah perangkat yang digunakan untuk memindai atau memindahkan teks dokument, foto, benda dan lain-lain. Hasilpemindaian akan di simpan ke dalam memori komputer sebagai data digital. Dewasa ini jenis-jenis scanner sudah ada berbagai macam jenisnya, begitu juga fungsinya ada yang dalam satu paket yaitu terdapat fungsi scanner, fotocopi, printer dan fax, sehingga fungsi scanner sekarang ini sudah lebih lengkap lagi karena dengan scanner multifungsi kita sudah dapat memfotocopi dokumen baik dalam model hitam putih maupun berwarna. Kelebihan mengunakan scanner adalah hasil scan lontar lebih bagus dan warna yang akurat, tidak terjadinya distorsi pada bentuk lontar, hasil dapat diedit dikomputer dengan mudah. Sedangkan kelemahannya adalah jika menggunakan scanner multifungsi apabila salah satu perangkat mengalami gangguan maka keleuruhan sistem tidak berfungsi, jika lontar lebih besar dari kertas A4 maka harus dilakukan scanning dua kali agar mendapatkan hasil yang sama dengan lontar aslinya. Pada proses scanning ini, lontar yang berukuran kecil di jejer diatas layar scanner jadi satu kemudian dilakukan pemindaian dengan resolusi tinggi yaiu 300dpi. Pemindaian dilakukan dengan memindai satu persatu lontar yang ada. Dari sekian banyak deretan lontar yang ada yang kira-kira sampai 5 deretan lontar, dilakukan pemindaian per lembar untuk memudahkan dalam pengolahan dan urutan lontar tidak sesuai dengan urutan lotar aslinya. Resolusi tinggi ini dimaksudkan agar gambar yang dihasilkan benar-benar sempurna dan sesuai dengan aslinya. Dengan resolusi ini, file yamg ada bisa digunakan untuk media digital lainnya karena file yang tersimpan sudah merupakan file master sehingga jika diperlukan untuk pembuatan media digital atau media yang dicetak tidak perlu lagi melakukan pemindaian.

SIMPULAN Lontar Prasi merupakan salah satu peninggalan budaya bangsa yang berisikan cerita yang mengandung ajaran-ajaran filsafat sehingga sangat perlu dikemukakan sebagai usaha menggali konsep-konsep ajaran etika dan moral yang tinggi didalamnya untuk bahan renungan dalam diri manusia. Perekaman Lontar Prasi dengan menggunakan teknik digital merupakan sebuah usaha untuk melestarikan warisan budaya yang kita miliki agar tidak mengalami kepunahan di jaman modern. Dengan menyimpan karya lontar prasi kedalam media digital dapat menggugah para seniman untuk berkarya lebih bagus lagi karena hasil karya mereka sudah didokumentasikan yang nantinya dapat dilihat dalam bentuk digital. Kondisi yang ada sekarang ini adalah semua karya- karya seniman ini tidak ada yang didokumentasikan dalam bentuk digital baik itu difoto apalagi discan dengan menggunakan scanner sehingga kita tidak tahu hasil karya seni lontar prasi ini seperti apa. Terciptanya produk baru dari seni prasi dalam bentuk yang berbeda yaitu dalam bentuk digital yang dapat diakses dengan mudah oleh generasi muda sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam prasi tersebut dapat dipahami dan dimaknai oleh pembaca. Kecendrungan prasi dalam bentuk digital jauh lebih mudah diakses dewasa ini karena perkembangan teknologi digital yang semakin modern.

DAFTAR PUSTAKA Ensiklopedia Nasional Indonesia,1989, PT Cipta Adi Pustaka, Indonesia. Kanta, I Made,1977, Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan, Proyek Sasana Budaya Bali. Koentjaraningrat,1990, Sejarah Teori Antropologi II Universitas Indonesia Press, Jakarta. Korn,V.E.,1960. Bali Studies in Life, Throught and Ritual. Lodra, I Nyoman, 2011, Seni Lukis Prasi Dan Peradaban Bali Kuno, http://padma.jurnal.unesa.ac.id - Jurnal Padma, Edisi: Volume 6 No. 2, September 2011 Masdianto, Toni, 1998, 14 Jurus Membuat Komik, Kreativ Media, Jakarta. Sutiari, I Gusti Ayu, Jelada, I Made et.al, 1993, Penelitian Prasi Ramayana di Desa Sidemen, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sutopo, Heribertus B., 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

267

RANCANG BANGUN MODEL KESENIAN LANSIA DI KELURAHAN TONJA DENPASAR

Ni Made Ruastiti, Ni Nyoman Manik Suryani, I Gede Yudarta. Program Studi Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar. [email protected]

Abstrak Rancang Bangun Model Kesenian Lansia adalah sebuah konsep dasar yang berisi tentang kaidah-kaidah dalam mengembangkan Model Kesenian Lansia, yang mencakup ragam gerak, koreografi, struktur pertunjukan, iringan musik tari, dan tata rias busana pertunjukan tersebut. Kelurahan Tonja, Denpasar Timur, memiliki potensi kesenian yang dilakukan oleh para lansia. Para lansia di daerah tersebut sangat berharap dapat terus berkesenian, walaupun mereka telah memasuki usia senja. Untuk memecahkan permasalahan tersebut, para lansia di Kelurahan Tonja dibuatkan sebuah model kesenian yang sesuai dengan kondisi fisik mereka. Metodologi yang digunakan adalah metodologi penelitian kualitatif. Dengan mengembangkan konten kesenian mereka yakni tari Janger, sebuah tari pergaulan bagi muda-mudi menjadi sebuah Model Kesenian Lansia, dengan langkah-langkah penelitian secara bertahap: (1). Membuat Rancang Bangun Model Kesenian Lansia; (2). Implementasi/Penerapan Model; (3).Ujicoba Model/pentas, diseminasi, monitoring, evaluasi, dan revisi model. Dengan menurunkan volume dan kuantitas beberapa variabel dari konten kesenian mereka secara bertahap maka terwujudlah Kesenian Janger Lansia yang lebih fungsional, yang dapat mereka kembangkan secara bekelanjutan

Kata kunci : Pengembangan Model Kesenian Lansia, Lansia di Kelurahan Tonja, Denpasar.

Abstract The Elderly Performing Art Design is a concept that contains the basic rules of developing the performing art of the elderly people, in which it involves a variety of movement, choreography, performance structure, the accompaniment of dance music, and fashion makeup of these performances.Tonja Village of Eastern Denpasar which has numerous elderly people who keen on the performing arts. They hope that they are able to keep on the performing arts despite of their aging lives. To resolve such problems, the elderly people at Tonja Village were provided with performing art model which appropriate with their physical conditions. The methodology used a qualitative research. By developing the contents of their performing art namely the , a social dance for young people, to become a model of the performing art for the elderly by the following steps: (1). Creating the design model of the elderly performing art; (2) Application/implementation of the model; (3). Model testing/show, dissemination, monitoring, evaluation, and model revision. By reducing the volume and quantity of some variables from the content of their performing art, by the following steps it was eventually created the Elderly Janger Performing Art which is more functional, that they will be able to develop in a sustainable manner.

Key words: Development of the Elderly Performing Art Model, Elderly at the Village of Tonja, Denpasar.

PENDAHULUAN Rancang Bangun Model Kesenian Lansia adalah sebuah konsep dasar yang berisi tentang kaidah-kaidah dalam mengembangkan Model Kesenian Lansia, yang mencakup ragam gerak, koreografi, struktur pertunjukan, iringan musik tari, dan tata rias busana pertunjukan tersebut. Kelurahan Tonja termasuk wilayah kecamatan Denpasar Timur, memiliki potensi kesenian yang dilakukan oleh para lansia. Kesenian lansia merupakan sebuah model kesenian yang ditarikan oleh para lansia, kelompok masyarakat berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Darmojo (2004) mengatakan bahwa masyarakat lanjut usia (lansia) pada umumnya dianggap sebagai kelompok masyarakat yang sudah tidak produktif lagi untuk mencari nafkah dalam

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

268

memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, karena menurunnya kemampuan akal dan fisik yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan fisik yang prima sehingga mereka dapat melakukan reproduksi dan melahirkan anak. Namun, seiring bertambahnya usia, maka kondisi fisik manusia itupun berubah. Manusia yang telah lanjut usia akan mulai kehilangan tugas dan fungsi tubuhnya secara perlahan-lahan, satu- persatu, kemudian mati. Namun berbeda halnya dengan para lansia di Kelurahan Tonja. Mereka menganggap bahwa usia lanjut bukan merupakan faktor penghambat untuk berkesenian. Mereka bahkan menganggap bahwa dengan usia lanjut seseorang akan lebih banyak memiliki pengalaman dalam berkesenian, khususnya seni pertunjukan tradisonal. Oleh sebab itu, mereka sangat berharap dapat terus berkesenian, walaupun mereka telah memasuki usia senja. Hasratnya yang begitu tinggi untuk berkesenian itu tampaknya tidak bertepuk sebelah tangan, karena pada perayaan hari jadi pemerintah Kota Denpasar, Para lansia di daerah tersebut pernah memperoleh pembinaan seni, berupa pelatihan tari Janger. Namun karena model kesenian tersebut tidak sesuai dengan kondisi fisik mereka, maka kesenian itu tidak berkelanjutan lagi. Untuk memecahkan permasalahan tersebut kiranya agak sulit diatasi jika hanya mengandalkan kemampuan diri mereka saja. Oleh sebab itu, pemerintah melalui lembaga masyarakat yang terbawah yakni kelurahan Tonja, tempat penelitian ini dilakukan mencari solusi untuk memecahkan persoalan yang dihadapi para lansia itu dengan melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan tersebut. Karena masalah kesenian bukan saja menyangkut kebutuhan jasmani (fisik) saja, tetapi juga menyangkut pemenuhan masalah rohani (hasrat). Perlakuan yang seimbang terhadap pemenuhan kedua hal itu menjadi penting, agar para lansia tersebut dapat menikmati kehidupan yang sehat secara lahir dan batin. Untuk itu, melalui penelitian terapan ini mereka dibuatkan sebuah Model Kesenian Lansia yang sesuai dengan kondisi fisik mereka, dengan tahapan sebagai berikut: (1). Membuat Rancang Bangun Model Kesenian Lansia; (2). Implementasi Rancang Bangun Model; (3). Uji coba model, evaluasi dan penyempurnaan model. Pengetahuan mengenai hal tersebut penting diketahui agar Kesenian Lansia yang sesuai dengan kondisi fisik mereka itu dapat dikembangkan secara berkelanjutan. Tanpa menggunakan metode ini kiranya model kesenian yang akan dihasilkan kurang mengakar pada masyarakat yang bersangkutan, bahkan implemnetasinyapun bisa saja akan dapat menimbulkan konflik di masyarakat, karena sebagaimana dikemukakan oleh Soemardjan (1993), bahwa banyak gagasan pembangunan yang tidak sampai pada tujuan utamanya untuk mensejahterakan masyarakat yang bersangkutan. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena sangat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritisnya, melalui riset ini akan dapat diketahui tentang bagaimana strategi pembuatan model kesenian lansia yang sesuai dengan kondisi fisik mereka, namun juga dapat menarik bagi penonton, serta kendala-kendala yang dihadapi oleh para lansia tersebut dalam berkesenian, serta solusi bagi para lansia agar dapat berkesenian secara berkelanjutan. Sementara, manfaat praktis dari riset ini akan dapat ditemukan strategi yang tepat untuk membuat model kesenian bagi para lansia yang sesuai dengan harapan semua pihak serta menarik bagi masyarakat yang menontonnya. Dengan mendapat apresiasi dari berbagai pihak, maka para lansia itupun akan merasa senang dan lebih bersemangat dalam berkesenian. Hal itu tentunya akan dapat berimplikasi bagi peningkatan kesehatan mereka baik secara lahir maupun batin.

Rancang Bangun Model Kesenian Lansia Yang Sesuai Dengan Kondisi Fisik Lansia Sebagaimana telah diungkapkan bahwa Rancang Bangun Kesenian Lansia adalah sebuah konsep dasar yang berisi tentang kaidah-kaidah dalam mengembangkan kesenian lansia, yang mencakup ragam gerak, koreografi, struktur pertunjukan, iringan musik tari, dan tata rias busana pertunjukan tersebut. Rancang Bangun Model sebuah kesenian sangat penting untuk diwujudkan terlebih dahulu sebelum model kesenian yang dimaksud dibangun dan diterapkan. Hal ini dilakukan mengingat bahwa telah banyak model kesenian tercipta, namun pada akhirnya kesenian tersebut tidak dapat berkembang secara berkelanjutan. Untuk itu, dalam mewujudkan Model Kesenian Lansia yang sesuai dengan kondisi fisik mereka diperlukan pertimbangan dan pemikiran

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

269

yang holistik karena model kesenian tersebut mesti sesuai dengan keinginan, harapan, dan potensi berkesenian mereka, serta kondisi fisik para lansia tersebut, yang sudah tentu tidak bisa maksimal lagi dalam melakukan gerakan tari. Dengan melakukan observasi, wawancara dengan para lansia di Kelurahan Tonja diperoleh kesepakatan untuk menyusun Rancang Bangun Kesenian Lansia yang sesuai dengan harapan dan kondisi fisik mereka. Dengan mengembangkan konten kesenian mereka, yakni tari Janger Muda- mudi melalui beberapa tahapan: pertama, menyeleksi dan menata ragam gerak tari yang disesuaikan dengan kondisi fisik para lansia tersebut, yang tentu saja berbeda jika dibandingkan dengan ragam gerak tari Janger pada umumnya; kedua, menata iringan musik tari atau gamelannya yang ritme dan temponya disesuaikan dengan kondisi fisik para lansia tersebut; ketiga, menata gending-gending yang disesuaikan dengan usia dan fenomena yang sedang terjadi di lingkungan para lansia tersebut. Gending-gending yang dirancang inipun tidak sama dengan gending-gending yang umumnya dinyanyikan oleh tari Janger; keempat, menata struktur pertunjukannya yang tentunya juga disesuaikan dengan kondisi fisik para lansia tersebut, kelima, menata tata rias busananya yang disesuaikan model serta warnanya dengan kondisi fisik para lansia tersebut, agar busana yang dikenakannya itu nyaman dipakai namun juga indah dipandang oleh penonton. Model kesenian yang baru tercipta ini menyerupai kesenian Janger, namun jika diamati koreografi maupun struktur pertunjukannya tidaklah sama, karena kesenian ini memiliki ragam gerak, gending-gending, musik iringan tari, tata rias busana, maupun durasi pertunjukannya ditata baru sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut agar Model Kesenian tersebut lebih mudah dipahami dan mudah diperagakan sehingga Model Kesenian tersebut lebih fungsional dan dapat mereka kembangkan secara berkelanjutan.

Struktur Pertunjukan Kesenian Lansia Struktur pertunjukan merupakan susunan, urut-urutan antar bagian pertunjukan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Struktur pertunjukan terwujud atas kalimat, frase-frase gerak yang mengandung makna tertentu, yang umumnya di setiap peralihannya ditandai oleh peralihan frase gerak dengan perubahan gending-gending tertentu. Dalam konteks itu, untuk menyusun struktur pertunjukan kesenian lansia, kemampuan untuk menggerakan fisik menjadi salah satu faktor penentu volume ragam gerak yang akan digunakan dalam tarian tersebut, yang mudah diperagakan namun juga indah dipandang mata. Selain itu, tempo dan ritme gerak menjadi pertimbangan khusus dalam meyusun struktur pertunjukan kesenian lansia tersebut. Mereka tentunya tidak akan dapat mengikuti gerakan-gerakan tari yang umumnya dilakukan oleh para penari yang masih muda karena kelenturan fisik mereka sudah mulai menurun. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan Rancang Bangun Kesenian ini para lansia tersebut diajak bekerjasama dengan tim peneliti untuk mewujudkan harapan dan tujuan penelitian ini. Para Lansia di kelurahan Tonja yang telah pernah mendapat pembinaan seni dari tim kesenian Kota Denpasar sebagian besar memang telah memiliki pengalaman dalam bidang berkesenian. Namun karena beberapa variabel dari kesenian tersebut kurang sesuai dengan kondisi fisik mereka maka kesenian tersebut tidak berkelanjutan lagi. Berbagai faktor yang menjadi penghambat kelangsungan kesenan lansia sebelumnya ditelusuri agar Model Kesenian yang baru tercipta ini dapat diterima oleh semua pihak dan dapat dikembangkan secara berkelanjutan. Selain unsur gerak, tempo, tata rias busana, iringan musik tarinya, serta tata cara penyajiannya yang kurang disesuaikan dengan kondisi fisik para lansia tersebut. Untuk itu dalam penelitian ini mereka dibuatkan sebuah Model Kesenian Lansia yang struktur maupun tata cara penyajiannya disesuaikan dengan kondisi fisik mereka. Kelurahan Tonja meskipun lokasinya di tengah-tengah kota Denpasar, namun para lansianya tampak belum seluruhnya mampu memelihara kesehatan fisik dan mentalnya sesuai dengan standar kesehatan nasional. Perbedaan kondisi fisik dan mental para lansia di kelurahan Tonja secara tidak langsung akan dapat mempengaruhi daya serap mereka untuk mengingat susunan gerak tari yang terlalu banyak dengan tempo yang terlalu cepat. Oleh sebab itu, struktur pertunjukan yang dibangun dari ragam gerak yang disesuaikan dengan kondisi fisik mereka agar mudah diingat dan lebih mudah memperagakannya.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

Elastisitas otot dan persendian para lansia yang mulai menurun seiring dengan bertambahnya jumlah usia mereka menghendaki model kesenian yang sesuai dengan kondisi mereka. Oleh karena itu Model Kesenian Lansia yang diciptakan ini dibangun oleh ragam gerak, lagu, tempo yang sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut. Selain daya dukung fisik, daya ingat, dan mental diperlukan perhatian khusus dalam mewujudkan Rancang Bangun Model Kesenian Lansia ini, sebagaimana tampak di bawah ini.

Gending dan Musik Iringan Kesenian Lansia Tari Janger merupakan kesenian rakyat yang menggabungkan tiga komponen seni yaitu gerak tari, lagu dan instrumen (gamelan) yang mengirinya. Kesenian Janger dikenal sebagai kesenian yang dibawakan oleh sekelompok penari laiki-laki () dan penari perempuan (janger). Lagu-lagu (gending) yang dinyanyikan oleh para penarinya pada umumnya adalah gending-gending yang irama, nadanya bernuansa gembira dan terkadang juga bernuansa kecewa. Kecak dan janger bernyanyi dengan berbalas pantun yang pada intinya seperti layaknya laki-laki yang ingin menyampaikan isi hatinya kepada perempuan pasangannya. Gerak tari dan lagu yang dibawakan ini sering mengundang tawa para penontonnya karena pantun lagu yang dinyanyikan lucu dan menghibur itu dibarengi gerakan yang sesuai dengan pantun lagu tersebut. Gending atau lagu-lagu yang dinyanyikan berisi tentang pantun pergaulan laki-laki dan perempuan itu mengandung makna kriktik sosial dan kekecewaan yang dialami oleh masyarakat. Kritik sosial yang disampaikan melalui pantun oleh para Janger dan Kecak tersebut dikaitkan dengan situasi politik dan ekonomi sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, gending yang dibawakan itupun berisi tentang pesan program- program pembangunan yang akan dan sedang dilakukan pemerintah. Terkait dengan gending Kesenian Lansia di kelurahan Tonja sudah tentu pantun lagunya disesuaikan dengan usia para penarinya, agar tampilan kesenian tersebut tidak tampak terlalu menyimpang dari norma-norma budaya setempat. Gending Janger Lansia yang baru diciptakan ini akan lebih mengedapankan kegembiraan kelompok masyarakat yang sudah lanjut usia yang tentu saja akan berbeda dibandingkan dengan gending Janger yang pada umumnya dibawakan oleh muda-mudi. Mengingat bahwa usia para penari Janger Lansia di kelurahan Tonja sudah lanjut usia, maka lagu (gending) yang akan dinyanyikan itu ditata tidak terlalu rumit agar mereka mudah mengingatnya sesuai dengan usia para lansia tersebut. Musik iringan tari Janger yang pada umumnya ditata dengan suasana gembira, tidak jauh berbeda dengan tari Janger Lansia di kelurahan Tonja. Kesenian tersebut juga menggunakan musik iringan yang tidak jauh berbeda dengan musik iringan tari Janger yang pada umumnya dibawakan oleh muda-mudi. Hanya saja pada penampilan tari Janger Lansia tersebut dimainkan oleh lansia laki-laki dengan tempo yang tidak terlalu cepat.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154 271

Agar iringan musik tari Janger Lansia ini sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut, maka temponya dirancang lebih lambat dibandingkan dengan iringan musik tari Janger muda-mudi. Oleh sebab itu, gamelan tari Janger Lansia ini ditata lebih lambat sesuai dengan kemampuan gerak para lansia tersebut. Hal itu sengaja dilakukan agar Kesenian Lansia ini betul-betul sesuai dengan kemampuan fisik para lansia tersebut. Terwujudnya Kesenian Lansia di kelurahan Tonja diharapkan selain dapat menghibur semua pihak, para lansia itupun diharapkan menjadi lebih sehat. Seringnya mereka menarikan kesenian tersebut akan berimplikasi bagi pelestarian kesenian Janger itu sendiri.

Tata Rias Busana Kesenian Lansia Di Bali pada umumnya jenis seni tari mempunyai tata rias busana yang khas, sehingga penonton akan cepat mengetahui tari apa yang sedang tampil pada sebuah pementasan. Demikian juga kesenian lansia di kelurahan Tonja. Agar kesenian yang akan dibawakan oleh para lansia tersebut menarik untuk ditonton, maka tata rias busana yang digunakannyapun dirancang sesuai dengan kondisi fisik dan usia mereka yang sudah tidak muda lagi. Pada waktu mereka menarikan tari Janger remaja sebelumnya, para lansia tersebut masih menggunakan tata rias busana sama seperti tata rias busana yang digunakan oleh tari Janger remaja pada umumnya. Namun tata rias busana yang digunakan itu dirasakan kurang sesuai dengan kodisi fisik para lansia tersebut. Dengan menggunakan tata rias busana seperti itu, mereka merasa kurang leluasa melakukan gerakan ketika menari. Kekurang-leluasaan para lansia tersebut menggunakan tata rias busana seperti tari Janger remaja tersebut, disikapi dalam penelitian ini, dengan menata tata rias busana yang sesuai dengan usia dan kondisi fisik mereka yang sudah tidak kuat lagi menggunakan tata rias busana sempit dan kaku sebagaimana ketika mereka muda dulu. Oleh sebab itu, maka tata rias busana kesenian lansia itu ditata lebih sederhana, lebih ergonomis dan tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya. Tata rias busana kesenian lansia dalam penelitian ini dirancang lebih sederhana dan lebih elastis. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam merancang tata rias busana kesenian lansia di kelurahan Tonja yaitu pertama, pemilihan bahan (kain). Kain yang digunakan untuk tata rias busana akan digunakan kain yang sejuk dan gampang menyerap keringat. Hal itu bertujuan untuk menjaga suhu tubuh dan kulit para penari yang sudah tidak elastis lagi; Kedua, ukuran tata rias busana akan dirancang lebih longgar, dalam arti tidak ketat seperti tata rias busana penari remaja; dan ketiga, pemilihan warna. Warna tata rias busana akan dirancang lebih lembut sehingga tidak membuat penari kesenian lansia tersebut tampil terlalu mencolok. Secara keselurahan tata rias busana Kesenian Janger Lansia di kelurahan Tonja akan tampak berbeda dibandingkan dengan tari Janger Remaja pada umumnya, tapi tetap akan tampil sebagai sebuah kesenian yang mengedepankan etika dan estetika sebuah garapan seni pertunjukan. Rancangan tata rias busana Kesenian Lansia di kelurahan Tonja sudah tentu dibuat berdasarkan berbagai pertimbangan. Selain model, bahan, warna yang harus disesuaikan dengan kondisi fisik para lansia tersebut, faktor keindahan juga tetap menjadi perhatian karena tata rias busana tari selain harus membuat si pemakai merasa nyaman, namun juga harus dapat membuat senang baik bagi si pemakai maupun yang melihatnya. Terlebih lokasi penelitian ini yakni di kelurahan Tonja tidak terlalu jauh dari kota Denpasar, maka rancangan tata rias busananya juga akan dibuat sesuai dengan keinginan dan harapan dari berbagai pihak. Untuk penyempurnaannya, tentu masukan atau informasi yang diperoleh selama melakukan penelitian ini akan menjadi pertimbangan khusus bagi tim peneliti.

Durasi Pertunjukan Kesenian Lansia Penyajian kesenian lansia di kelurahan Tonja tetap akan berpedoman pada etika dan estetika tari Janger. Etika dan estetika sebuah garapan tari sering dikaitkan dengan pakem. Secara umum, struktur pertunjukan kesenian lansia di kelurahan Tonja tetap akan dibagi mejadi tiga bagian yaitu papeson (awal), pengawak (inti), pakaad (akhir). Ketiga pembagian struktur pertunjukan kesenian lansia di kelurahan Tonja akan ditampilkan dalam waktu yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan tari Janger Remaja pada umumnya. Ketiga bagian dari struktur pertunjukan kesenian lansia tersebut, pada masing-masing bagiannya akan menyajikan gerak tari dan gending (lagu-lagu) yang ditata baru. Ragam Gerak yang ditata menyatu dengan musik iringannya itu ditampilkan tidak terlalu lama durasinya agar sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut. Agar penyajian

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

272

Kesenian Lansia di kelurahan Tonja tidak terlalu lama, maka ragam gerak tari dan lagu atau gending-gending yang dibawakan dirancang lebih singkat tetapi tidak mengurangi makna dari sebuah seni pertunjukan.

Kesenian Lansia Sebagai Penguat Karakter Bangsa Kesenian Lansia yang dirancang sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut diharapkan dapat berkembang secara berkelanjutan, karena dikembangkan dari konten kesenian mereka, sehingga hal ini akan berimplikasi bagi peningkatan kesehatan mereka baik secara lahir maupun batin. Kesenian Lansia yang sesuai dengan kondisi fisik para lansia tersebut akan membuat para lansia tersebut senang, dan merekapun akan semakin sehat karena dapat bergerak dan bergembira. Melalui kesenian ini para lansia itupun akan semakin senang dan bangga dengan kemampuannya berkesenian. Rasa bangga itu akan berkembang menjadi kebanggaan nasional, karena pada dasarnya representasi kebudayaan daerah yang semakin menguat itu merupakan unsur dari kebudayaan nasional Indonesia. Berkembangnya rasa bangga yang diiringi menguatnya posisi Kesenian Lansia yang baru tercipta tersebut akan mendorong para lansia itu untuk mengidentifikasikan dirinya dengan kesenian tersebut. Dengan demikian, merekapun akan semakin semangat untuk mempelajari dan mengaktualisasikan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian tersebut. Pengaktualisasiannya inilah yang berpotensi besar bagi penguatan karakter bangsa, baik di kalangan orang di daerah itu sendiri maupun orang-orang dari luar daerah tersebut. Sebab karakter suatu bangsa terbangun atas dasar konfigurasi nilai budaya yang ada di dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan (Danandjaja, 1988). Kesenian Lansia yang diwujudkan ini bermanfaat untuk menguatkan karakter bangsa di kalangan para partisipan dalam pengembangan seni pertujukan tradisional Bali yang berbasis masyarakat tersebut. Karakter bangsa itu tercermin dalam sikap dan perilaku masyarakatnya yang secara sadar mengutamakan nilai-nilai seni pertunjukan tradisional daerah Bali, karena Kesenian Lansia yang dikembangkan dari seni pertunjukan tradisional ini menjadi Kesenian Lansia yang mampu memberikan kesenangan bagi para partisipannya dan mampu meningkatkan kesehatan pisik para lansia tersebut, yang sekaligusberimplikasi bagi pelestarian seni pertunjukan tradisional tersebut. Ini artinya bahwa pelestarian seni pertunjukan tradisional yang dilakukan dengan cara mengembangkannya menjadi Kesenian Lansia yang sesuai dengan kondisi fisik mereka itu bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan para pelakunya. Masyarakat yang bersangkutanpun akan semakin mencintai keseniannya yang merupakan kearifan lokal. Apresiasi dan kontribusi yang memadai dari masyarakat akan membuat para lansia itu senang membawakan kesenian tersebut. Sehingga melalui kesenian ini para lansia itu akan lebih mudah bersosialisasi di masyarakat, dan masyarakat lainnya itupun akan turut menarikannya. Kesenian Lansia yang dirancang sesuai dengan kondisi fisik mereka itupun akan semakin diminati pelakunya karena bermanfaat bagi yang bersangkutan. Oleh sebab itu merekapun akan turut mengembangkan kesenian tersebut secara berkelanjutan, yang merupakan konfigurasi nilai kesenian tradisional daerah setempat, yang merupakan kearifan lokal yang secara tidak langsung akan dapat membangun karakter para lansia tersebut.

SIMPULAN Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Rancang Bangun Model Kesenian Lansia adalah sebuah konsep dasar yang berisi tentang kaidah-kaidah dalam mengembangkan kesenian lansia, yang mencakup ragam gerak, koreografi, struktur pertunjukan, iringan musik tari, dan tata rias busana pertunjukan tersebut. Rancang Bangun Kesenian Lansia merupakan tahap awal dari tahapan riset Pengembangan Model Kesenian Lansia yang berlokasi di Kelurahan Tonja, Denpasar. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Kelurahan Tonja, Denpasar Timur memiliki potensi kesenian yang dilakukan oleh para lansia. Para lansia di daerah tersebut sangat senang dan berharap dapat terus berkesenian, walaupun mereka telah memasuki usia senja. Mereka menganggap bahwa usia lanjut bukan merupakan faktor penghambat untuk berkesenian. Hasratnya yang begitu tinggi untuk berkesenian itu tampak tidak bertepuk sebelah tangan, karena pada perayaan hari jadi pemerintah Kota Denpasar, mereka pernah

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

273

diberikan pembinaan seni berupa pelatihan tari Janger. Namun karena model kesenian tersebut tidak sesuai dengan kondisi fisik mereka, maka kesenian itu tidak berkelanjutan lagi. Untuk memecahkan permasalahan tersebut, melalui penelitian terapan ini para lansia tersebut dibuatkan sebuah model kesenian yang sesuai dengan kondisi fisik mereka. Dengan mengembangkan konten kesenian mereka yakni tari Janger, sebuah tari pergaulan bagi muda-mudi menjadi sebuah Model Kesenian Lansia yang sesuai dengan kondisi fisik mereka. Dengan menurunkan volume dan kuantitas ragam gerak, struktur pertunjukan, gending-gending, iringan musik tari dan tata rias busana kesenian mereka, yakni tari Janger bagi muda-mudi tersebut maka terciptalah Model Kesenian Lansia, yang lebih fungsional sehingga akan lebih mudah mereka kembangkan secara berkelanjutan demi peningkatan kualitas hidup mereka baik lahir maupun batin.

DAFTAR PUSTAKA Darmojo,B.2004.“TuaTidak HarusRenta”.www.Suara Merdeka.com/harian/04.06/15 ked 07.htm. Hardywinoto dan Setiabudhi. 1999. Panduan Gerontologi-Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia. Jakarta: Gramedia Pustaka.

KAJIAN ORNAMEN KUNO PADA BANGUNAN-BANGUNAN PURI DI KABUPATEN KARANGASEM BALI

I Nyoman Wiwana. I Wayan Sukarya. Program Studi Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected]

Abstrak Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengkaji ornamen kuno pada bangunan puri di Kabupaten Karangasem. Teknik pengambilan datanya observasi, wawancara dan dokumentasi. Sumber data penelitian adalah ornamen-ornamen kuno pada bangunan puri yang melekat pada ukiran pintu, jendela, gapura, dan lain-lain. Sebagai informan kunci adalah penglingsir puri keturunanan raja di puri tersebut. Hasil yang diperoleh adalah Puri Agung Karangasem merupakan salah satu puri di Kabupaten Karangasem yang masih memiliki ornamen kuno. Jenis-jenis ornamen yang terdapat di Puri Agung Karangasem dapat dibedakan menjadi dua yaitu ornamen dengan gaya Cina dan Bali. Teknik pembuatan ornamen yaitu teknik ukir dan teknik cetak. Pengaruh gaya Eropa (Belanda) dan gaya Cina sangat kental terlihat penampilan ornamen di puri tersebut. Visualisasi ornamen puri tersebut dapat bermakna bahwa kerajaan di Karangasem pada zaman dahulu telah menjalin hubungan dengan dunia luar, kesenian dan teknologi seni cetak telah berkembang dengan baik. Sejarah terwujudnya ornamen di puri tersebut sangat sulit dianalisis karena tidak ditemukan dokumen-dokumen yang mendukung sejarah pembuatannya. Kondisi fisik ornamen beberapa telah mengalami kerusakan.

Kata kunci: ornamen, kuno, bangunan, puri.

Abstract The general purpose of this study is to examine ancient ornaments on castle building in Karangasem regency. Data retrieval techniques of observation, interviews. The data source is study of ancient ornaments on castle building attached to the carved door, window, gate, and others. Oldest’s generation castle king of the castle as the key informant.The result is Puri Agung Karangasem is one of the castle in Karangasem regency which still has the old-fashioned ornaments. The types of ornaments contained in Karangasem Puri Agung can be divided into two ornaments with Chinese style and Bali. manufacture technic of ornaments that carving techniques and printing techniques. The influence of European style (the Netherlands) and a very thick Chinese style ornaments visible appearance in the castle. Visual ornament of the castle can mean

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

274

that the Karangasem kingdom in many years ago, have a relationship with the outside world, the arts and the art of printing technology has been well developed. History realization of ornaments in the castle is very difficult to analyze because it can not find the documents that support the making of history. The physical condition of some of the ornaments have been damaged.

Key word: ornaments, ancient, building, castle.

PENDAHULUAN Beberapa tahun belakangan ini pembangunan di Bali terus berkembang sesuai dengan zamannya, disisi yang lain terjadi pergeseran-pergeseran dalam berbagai bidang. Pergeseran dalam bidang budaya dapat dilihat dari perubahan-perubahan seperti mengganti bangunan model lama dengan bangunan-bangunan model baru (post structural), misalnya dalam gaya/style, teknik, bahan dan termasuk dalam ornamen yang digunakan. Masa-masa pembangunan seperti itu sering disebut model-model pembangunan poststruktural, suatu masa yang telah bergeser menuju suatu hal baru yang masih menampakkan karakter sebelumnya maupun tidak (Piliang, 2010: xvii). Dalam pergeseran style, pembangunan sekarang cendrung polos, simple, tanpa ornamen ukiran, walaupun masih berkarakter Bali. Contoh untuk ini bisa dilihat dari pembangunan gapura, bale kulkul, tembok penyengker dan sebagainya. Jika pergeseran-pergeseran itu terus berlanjut maka peradaban-peradaban lama/kuno, suka atau tidak suka berangsur-angsur akan hilang. Salah satu yang kami khawatirkan adalah ornamen kuno pada bangunan-bangunan bekas raja-raja tempo dulu yang ada di beberapa puri di Bali saat ini. Salah satu misalnya yang ada di Kabupaten Karangasem Bali. Di Kabupaten Karangasem terdapat beberapa puri yang sampai saat ini masih meninggalkan bangunan-bangunan kuno bekas raja-raja tempo dulu dan perlu untuk diberi apresiasi supaya tetap bisa dipertahankan. Walaupun demikian peneliti merasa khawatir dengan keberadaannya pada masa-masa mendatang, karena pada beberapa puri lain di Bali sudah mulai terjadi pemugaran-pemugaran bangunan mengganti dengan baru baik style maupun materialnya termasuk ornamennya. Maka dari itu penelitian ini dirasakan sangat penting untuk dilakukan karena merupakan bagian dari rasa kepedulian budaya masa lalu, sebagai pelestarian bahkan bila memungkinkan merekonstruksinya kembali jika ditemukan kerusakan-kerusakan.

METODE PENELITIAN Pengambilan sampel dilakukan secara porposive sampling. Teori ini diterapkan dalam menentukan sumber data jenis-jenis ornamen yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan teori snowballing yaitu pengambilan sampel dengan bantuan key-informan (Iskandar, 2009: 114-115). Diawali dengan menetapkan beberapa informan kunci, kemudian dari informan kunci tersebut berkembang keinforman-informan yang lainnya. Pada proses pengumpulan data peneliti dibantu oleh satu orang pembantu peneliti, tenaga lapangan satu orang mahasiswa sebagai pencatat dan pengambilan foto. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Sumber data yang ditetapkan pada penelitian ini adalah ornamen-ornamen kuno pada bangunan-bangunan puri seperti yang terlihat pada ukiran pintu, jendela, gapura, dan lain-lain. Sumber data lain sebagai informan ditentukan adalah para tetua/penglingsir puri/keturunan raja-raja di Kabupaten Karangasem dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk memperoleh hasil penelitian yang masksimal dilakukan proses triangulasi, atau proses pengumpulan, pengolahan dan proses verifikasi serta berulang-ulang.

HASIL DAN PEMBAHASAN Puri adalah sebuah nama yang dipakai untuk menyebut tempat tinggal para kaum penguasa (raja) pada zaman dahulu di Pulau Bali dan nama tersebut masih digunakan sampai saat ini oleh para keturunan raja dan keluarga dekat yang masih memiliki hubungan darah dengan raja. Berdasarkan sistem pembagian triwangsa atau kasta, maka puri ditempati oleh berwangsa ksatria. Pemimpin puri yang umumnya sekaligus pemimpin lembaga kekerabatan puri, biasanya disebut sebagai Penglingsir atau Pemucuk. Para keturunan raja tersebut dapat dikenali melalui gelar yang ada pada nama mereka, misalnya Ida I Gusti, Cokorda, Anak Agung Ngurah,

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

275

Dewa Agung, Ratu Agung, Ratu Bagus dan lain-lain untuk pria; serta Cokorda Istri, Anak Agung Istri, Dewa Ayu, dan lain-lain untuk wanita (Wikipedia, 2014). Hampir semua kabupaten dan kota di Bali memiliki puri, karena masing-masing tempat tersebut pernah diperintah oleh raja. Uniknya lagi adalah masing-masing kabupaten dan kota tersebut memiliki peninggalan puri lebih dari satu. Seperti misalnya di Kabupaten Karangasem, ditemukan beberapa puri dan raja yang pernah berstana di puri tersebut antara lain: Puri Agung Karangasem: AA Gde Putra Agung, Puri Kelodan: I Gusti Agung Putu Agung, Puri Kaleran: AA Arya Mataram, Puri Kanginan, Puri Kauhan: Ratu Agung Krishna Bagoes Oka, Puri Batu Aya: Ida I Dewa Gede Batuaya, Puri Celuk Negara: I Gusti Agung Ngurah Agung, Puri Kaler Kauh: dr I Gusti Bagus Ngurah (Wikipedia, 2014). Komplek bangunan puri di Kabupaten Karangasem yang paling mudah diingat adalah bangunan Puri Agung Karangasem. Puri tersebut terletak di sebelah timur jalan dan berhadapan dengan puri yang ada di sebelah barat jalan. Puri Agung Karangasem dibangun pada abad ke-19 oleh Anak Agung Gede Jelantik, raja pertama Kerajaan Karangasem, yang pada waktu itu menjabat sebagai Stedehouder (wakil pemerintah Belanda). Puri Agung Karangasem terletak sekitar 80 kilometer dari Denpasar. Puri Agung Karangasem adalah salah satu bangunan kuno di Bali. Puri Agung Karangasem saat ini dikelola sebagai objek wisata. Biaya masuk pengunjung tidak ditentukan secara pasti, cukup dikenakan sumbangan sukarela untuk dapat berkeliling dan menikmati kemegahan puri. Puri Agung Karangasem masih dilestarikan kondisinya seperti jaman kerajaan tempo dulu, tetapi tidak digunakan sebagai tempat aktifitas sehari-hari keluarga keturunan raja. Hasil dari aktifitas wisata pada puri ini digunakan untuk biaya pemeliharaan puri tersebut. Pada saat pengambilan data penelitian ini dilakukan, kami disapa oleh dua orang penjaga wanita yang memberikan penjelasan tentang keberadaan puri, walaupun dengan penjelasan yang terbatas tanpa panduan. Kondisi kunjungan wisatawan waktu itu tidak ramai, hanya beberapa orang wisatawan melintas ketika kami mengumpulkan data penelitian. Kemungkinan karena kunjungan wisatawan yang masih jarang proses penjagaannya tidak seperti objek-objek wisata lainnya yang ada di Bali yang semuanya tertata rapi bertujuan memberikan kepuasan maksimal kepada kunjungan wisatawan. Berbeda dengan penjagaan di Puri Agung Karangasem, penjagaan tidak ketat, penjaga tidak mengenakan kostum seragam, tidak disertai panduan yang berisi informasi tentang Puri Agung Karangasem dan sebagainya. Bahkan penjaga dalam melakukan tugasnya, masih kelihatan sibuk melakukan pekerjaan lainnya, seperti membuat canang. Istana Puri Agung Karangasem mempunyai keunikan terutama dalam bidang arsitektur dan juga pola menetapnya. Dilihat dari denah puri, Puri Agung Karangasem mempunyai dua tipe, yaitu tipe tradisional dan tipe modern. Pada bagian selatan wilayah puri tersebut mencerminkan denah dan tipe bangunan tradisional Bali. Wilayah puri bagian selatan ini merupakan puri yang lebih tua yang lebih dahulu dibangun oleh para raja di Puri Agung Karangasem yaitu sekitar tahun 1875. Denah pada bagian yang kuno masih mengikuti pola tradisional puri, mulai dari pintu masuk bagian selatan melalui sebuah bagian yang di sebut bacingah atau ancak saji, kemudian masuk ke jaba tengah, petandakan, pamengkang dan terkahir disebut loji, yaitu tempat tinggal raja. Tipe atau bentuk bangunannya masih tradisional dengan tiang-tiang berukir. Sedangkan di bagian utara wilayah puri memiliki ciri yang lebih modern dibandingkan dengan wilayah bagian selatan dan dibuat tahun 1900. Unsur modern tersebut dapat dilihat dari bentuk bangunan, ornamen yang digunakan dan nama-nama bangunan yang digunakan. Pada wilayah modern tersebut terlihat pengaruh asing dalam perwujudan arsitektur/bangunan tersebut, terutama yang kental terlihat adalah pengaruh Belanda dan Tiongkok. Dari segi arsitektur, baik bangunan maupun hiasannya banyak kena pengaruh Tiongkok, seperti pada hiasan pintu ada ornamen sai, ornamen pahatan pada daun pintu banyak bercorak Tiongkok.

Puri-puri di Kabupaten Karangasem yang masih memiliki ornamen kuno Hampir sebagain besar puri-puri di kabupaten Karangasem memiliki ornamen kuno. Puri- puri tersebut adalah Puri Agung Karangasem, Puri Kelodan, Puri Kaleran, Puri Kanginan, Puri Kauhan, Puri Batu Aya, Puri Celuk Negara dan Puri Kaler Kauh.

Jenis-jenis bangunan yang masih memiliki ornamen kuno di Puri Agung Karangasem.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

276

Secara keseluruhan Puri Agung di Kabupaten Karangsem masih menerapkan ornamen kuno, yaitu ornamen yang ada saat ini merupakan ornamen yang telah ada pada saat zaman kerajaan. Bangunan-bangunan di Puri Agung Karangamem yang masih tetap dengan ornamen kuno tersebut adalah Candi Kurung , ada dua Candi Kurung yaitu Candi Kurung pertama sebagai pintu masuk pertama dan Candi Kurung kedua berada di bagian dalam yang merupakan pintu masuk menuju bangunan utama. Selanjutnya ada bangunan Bale Kambang, Bale Maskerdam, Bale Pawedan dan Bale Pemandesan.

Jenis-jenis / Motif Ornamen pada bangunan-bangunan di Puri Agung Karangasem Jenis atau motif ornamen yang ada pada bagunan-bangunan di Puri Agung Karangasem dapat ditelusuri melalui pembagian denah puri tersebut mulai dari Candi Kurung pertama yang menjulang tinggai sebagai pintu masuk dari jalan raya, selajutnya masuk kewilayah bencingah, jabe tengah, di dalamnya ada pohon leci besar yang konon merupakan tanaman yang dibawa dari Cina, dan taman dilengkapi kolam; Kemudian masuk keareal utama (tempat raja). Masing-masing wilayah tersebut memiliki bangunan dilengkapi ornamen yang masih asli dibuat pada masa lalu yaitu:

Ornamen pada Bangunan di wilayah Bencingah\ Bencingah adalah sebutan untuk wilayah depan dari pembagian sebuah kerajaan. Wilayah Bencingah ini sampai saat ini dapat dijumpai di berbagai puri lainnya di Bali, seperti Puri Kesiman, dan Puri Kesatria di Kota Denpasar, Puri Ubud di Kabupaten Gianyar, Puri Kerambitan di Kabupaten Tabanan, Puri Kaba-kaba di Desa Kediri Kabupaten Tabanan, Puri Mengwi di Kabupaten Badung dan lain-lainnya. Pada kondisi saat ini banyak wilayah bencingah ini berubah fungsi menjadi bangunan-bangunan untuk melaksanakan kegiatan aktifitas ekonomi, bukan lagi difungsikan untuk melakukan aktifitas budaya dan agama seperti fungsi pada zaman kerajaan. Namun beberapa puri seperti halnya Puri Agung Karangasem, kondisi zaman dulu masih dipertahankan sebagaimana aslinya, walaupun di tempat tersebut tidak lagi dilakukan aktifitas kemanusiaan, terlihat hanya sebagai bangunan tua tidak dihuni dan halamannya dilengkapi dengan taman. Fungsi awal bencingah umumnya dipakai sebagai tempat melaksanakan berbagai aktifitas kerajaan seperti kesenian, kegiatan adat, dan sebagainya. Untuk masuk wilayah Bencingah Puri Agung Karangasem ini, pengunjung akan dihadapkan pada sebuah Candi sebagai pintu masuk yang menjulang tinggi terbuat dari bata merah seperti gambar di bawah ini. Candi ini dihiasi patra punggel pada masing- masing sudut atap candi yang dibuat dengan teknik cetak. Candi ini memiliki ciri berbeda dengan candi kurung pada umumnya di Bali. Candi Bentar atau Candi Kurung di Bali umumnya didominasi oleh penerapan ornamen motif pepatran dan kekarangan yang terkesan meriah. Namun Candi Kurung di Puri Agung Karangasem tampil dengan bentuk yang berbeda, tinggi, minim ornamen dan berkesan sederhana, tetapi kelihatan agung dan megah. Ornamen yang ditampilkan berbeda dengan ornamen pada candi bentar atau candi kurung pada umumnya di Bali. Ornamennya terdiri dari ornamen cetakan dari bahan campuran pasir, semen dan kawat jaring yang dipasang dengan teknik tempel. Objek yang ditampilkan pada ornamen tersebut adalah berbagai tokoh dalam pewayangan Mahabrata dan Ramayana. Karena telah berumur tua, beberapa ornamen cetakan ini sudah mengalami kerusakan pada bagian-bagian tetentu, dan terlihat kurang ada perawatan. Demikian juga pada bagian Gambar 1. Bagian depan tembok candi kurung yang terbuat dari bata merah, beberapa bagian candi Puri Agung sudah terlihat keropos, bagian-bagian batanya ada yang terlepas Karangasem dihiasi ornamen cetak, patung sehingga memunculkan cekungan-cekungan pada dinding candi. singa dan patung Disatu sisi kondisi seperti ini mungkin bagi beberapa pengunjung pewayangan yang memakai dipandang dapat menimbulkan rasa prihatin, tetapi di sisi yang lain kain poleng (kotak-kotak mungkin dapat menimbulkan rasa kekaguman juga, karena candi hitam dan putih) tersebut memperlihatkan kondisi aslinya yang kuno, usianya yang kuno

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

277

maka wajarlah kondisinya sudah mulai rapuh. Untuk menjaga keaslian kondisi puri tersebut dan mempertahankan dari kerapuhan diperlukan ahli-ahli revitalisasi bangunan untuk mengembalikan ke- keadaan semula. Karena saat ini sangat banyak peninggalan-peninggalan kuno di Bali dihilangkan diganti dengan yang baru. Dari visualisasi ornamen ini belum terlihat ada pengaruh budaya dari luar Bali. Namun kemungkinan teknik cetak yang digunakan dalam pembuatan ornamen tersebut didapatkan dari hubungan dengan pihak-pihak luar yang menjalin hubungan dengan raja Karangasem. Pada jaman kerajaan dulu sudah dikenal oleh para raja teknik cetak karena berhubungan dengan berbagai bangsa luar yang lebih dulu maju dalam teknologi. Salah satu penglingsir puri A.A. Putra Jelantik mengatakan teknik cetak yang diterapkan pada pembuatan ornamen tersebut lebih dahulu dikenal dari teknik cetak yang dipakai dalam pembuatan sanggah di Desa Kapal Mengwi Badung (wawancara Mei 2014). Visualisasi ornamen pada candi di atas, menampilkan tokoh-tokoh bentuk pewayangan dan bentuk lainnya dengan indentitas lokal Balinya. Unsur-unsur pengaruh dari luar dilihat dari teknis maupun bentuk belum dapat dilihat dengan jelas. Karakter wayang Bali yang ditampilkan masih jelas terlihat walaupun dibuat dengan dengan teknik cetak. Ornamen pada dinding penyengker ini terlihat kurang ada kesatuan dengan temboknya, karena penampilan warna yang kurang menyatu. Ornamen cetakan berwarna putih dan tembok bata dengan warna merah, dari pewarnaan ini terkesan terlihat lepas. Alas patung yang berisi ornamen singa berdiri membawa bendara pada keempat sisinya, dibuat dengan teknik cetak dengan satu jenis cetakan. Keempat cetakan digabungkan membentuk sebuah kotak yang berfungsi sebagai alas patung di depan candi. Memasuki candi pertama pengunjung akan masuk areal yang disebut bencingah. Pada wilayah ini terdapat dua buah bangunan yang terletak di sebelah selatan menghadap ke utara dan sisi sebelah utara yang menghadap ke selatan. Bangunan-bangunan ini pada masa pemerintahan raja difungsikan sebagai tempat peristirahatan para tamu raja. Bangunan tua di sebelah selatan ini sudah tidak ditempati oleh keluarga raja atau tidak difungsikan lagi untuk melakukan aktifitas sehari-hari, kondisinya terlihat kurang terawat. Dibandingkan dengan banguna-bangunan pada umumnya sekarang, bangunan tersebut lebih rendah. Bangunan tersebut terdiri dari beberapa ruang dalam bentuk kamar-kamar. Sedangkan bangunan di sebelah utara sampai penelitian ini dilakukan, masih terlihat dihuni untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Pada bangunan di sebelah utara areal bencingah ini terlihat lebih terawat dan lebih bersih. Namun peneliti belum memastikan penghuninya tersebut masih kerabat keturunan raja atau para penjaga puri. Pada bagian jendela bangunan di sebelah selatan terlihat dilengkapi ornamen dalam bentuk tumbuh-tumbuhan yang dibuat dengan teknik ukir. Pada dinding bawah bangunan tersebut dipenuhi dengan ornamen menggambarkan kisah Mahabrata dan juga Ramayana namun kisahnya tidak dihadirkan secara runtut, seperti terlihat pada ornamen pada bangunan sebelah selatan di bawah ini. Bangunan asli yang terlihat sederhana untuk ukuran saat ini, pada bagian jendelanya juga sedikit menggunakan ornamen. Karena obyek dan dasarnya ornamen ini warnanya putih, sehingga detailnya tidak terlihat dengan jelas mulai dari jarak kira-kira 5m. Penempatan ornamen pada bangunan ini tidak menyesuaikan dengan fungsi bangunan. Sehingga antara ornamen yang satu dengan yang lainnya tidak ada hubungannya baik dari segi cerita maupun pesan yang ingin disampaikan. Berikut ditampilkan beberapa detail ornamen tersebut :

Gambar 2 dan 3 Detail ornamen pada bangunan di bencingah sebelah selatan.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

278

Ornamen di atas mengambil obyek seekor burung garuda (paksi) ditunggangi oleh sang Rama (Garuda Wisnu) dalam posisi vertikal. Hasil cetakannya cukup tajam dan halus namun dangkal sehingga hasil cetakannya tipis. Pada bagian pinggir dibuat seolah-olah bingkai dengan ornamen mas-masan. Sedangkan gambar singa bersayap dengan leher tegap dilengkapi latar belakang burung dan kupu-kupu yang membuat singa tersebut seolah-olah terbang diangkasa. Pada tiap sudut ornamen Singa ini dilengkapi ornamen yang sama, berupa ornamen stiliran dedaunan namun tidak memperlihatkan ciri khas Bali yang kental. Penampilan ornamen ini terkesan tidak merujuk pada kekhasan suatu daerah tertentu. Mungkin ini merupakan akibat dari adanya pengaruh asing terhadap ornamen yang ada di Puri Karangasem Bali. Ornamen tersebut lebih bersifat umum dibuat dengan perpaduan garis lengkung dengan motif dedaunan yang telah disetilir atau digubah, dikomposisikan secara teratur. Ornamen Singa bersayap terbang diapit kanan dan kiri oleh ornamen Garuda Wisnu. Pada relief yang lain diungkapkan kisah peperangan Mahabrata pada saat Sang Arjuna di atas kereta melepaskan panah-panahnya dan Sang Kresna sebagai kusir. Penggambaran suasana perang diperkuat dengan panah-panah Arjuna memunculkan api dan binatang naga dari senjata musuh. Ornamen ini hanya memberikan gambaran sepenggal tentang kisah perang Mahabrata dan penempatannya pun pada dinding bagian bawah tembok menyentuh lantai, sehingga kurang enak dilihat dari sisi yang penikmat seninya. Untuk dapat mengapresiasi dengan baik ornamen ini harus dilakukan posisi jongkok. Karena usia ornamen ini sudah tua, dan keasliannya masih utuh maka warnanya kelihatan coklat kusam. Dalam ornamen ini belum terlihat nampak secara jelas pengaruh asing yang masuk di dalamnya.

Ornamen pada Bangunan di Wilayah Jabe Tengah Ornamen selanjutnya dapat diamati dari ornamen-ornamen yang ada pada bangunan- bangunan di areal kawasan jabe tengah dari Puri Agung Karangasem. Areal yang cukup indah menampilkan identitas kekunoan, peristiwa masa lalu, pada masanya difungsikan sebagai areal bersenang-senang, penjamuan tamu raja dan pementasan kesenian. Jaba Tengah dibatasi dengan sebuah tembok dan candi (gate) sebagai pintu masuk dengan empat undagan atap. Ornamen dan bentuknya sama dengan candi pintu masuk di Bencingah atau candi yang pertma. Candi ini juga diiasi ornamen tempel yang sama seperti candi di Bencingah. Namun candi ini dilengkapi dengan patung yang dipasang pada bagian tengah candi yang dibuat ruang yang bagian atasnya dibuat seperti kubah. Bentuk-bentuk kubah seperti ini biasanya diterapkan oleh bangunan Belanda baik untuk pintu maupun untuk jendela. Maka dari itu kemungkinan besar bentuk kubah tersebut merupakan adopsi dari bangunan Belanda. Namun setelah dikonfirmasi kepada pihak keluarga keturunan raja hal tersebut tidak dapat dipastikan. Pada candi ditengah ini di depannya juga dilengkapi sepasang patung harimau duduk dan patung lainnya. Candi pada bagian depan dan belakang di jabe tengah ini memiliki ornamen yang sama, pada bagian bawah candi pada setiap sudut diisi ornamen motif karang asti, di atasnya ditempel cetakan persegi dengan ornamen singa bersayap. Pada setiap bagian tingkatan ke atas juga diisi ornamen dengan ornamen bermotif tokoh pewayangan. Beberapa dari motif ornamen tersebut kondisinya sudah rapuh, ada bagian-bagian tertentu yang terlepas atau terkelupas, sehingga dapat mengurangi keindahan bangunan tersebut. Kondisi ini nampaknya sudah terjadi cukup lama, karena terlihat dari visualnya yang terkesan lama, sehingga perlu diadakan perbaikan untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Jika diamati kondisi ornamen candi tersebut, perlu ada restorasi untuk mengembalikan kekondisi semula untuk menjaga peninggalan sejarah tetap dapat diwariskan pada generasi berikutnya. Karena warisan dengan style seperti ini hanya ada di Puri Agung Karangasem. Untuk merestorasi kondisi memerlukan kesadaran dan kebijakan dari pihak puri maupun kepedulian dari pemerintah daerah setempat, sebagai penghargaan terhadap nilai-nilai sejarah yang bernilai tinggi. Jika hal tersebut tidak dilakukan kehancuran akan terus berjalan seiring dengan perguliran waktu. Pada wilayah jabe tengah terdapat pohon leci (leechee) yang sudah tua sebagai salah satu ciri khasnya. Pohon leci tersebut tanaman yang sudah tua, hal tersebut terlihat dari kar-akarnya menyebar melebar dibawah pohonnya. Keberadaan pohon tersebut membuat kondisi di Jaba Tengah menjadi teduh dan sejuk pada siang hari.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

279

Pada wilayah Jaba Tengah, identitas utama ditandai dengan adanya kolam yang posisinya di sebelah selatan wilayah utama Maskerdam. Di tengah-tengah kolam tersebut berdiri sebuah bangunan yang disebut Bale Kambang atau Gili. Bale kambang tersebut difungsikan sebagai tempat raja melakukan pertemuan, penjamuan dengan tamu-tamu penting dan termasuk untuk melakukan kegitan hiburan. Bangunan persegi ini, terbuka, materialnya masih tetap memperlihatkan keasliannya dan memiliki tiang 18 buah.

Gambar 4. Bale Kambang tampak dari barat dan selatan.

Pada Bale Kambang ini tidak banyak ornamen yang bisa ditemukan, atapnya menggunakan material genteng, terkesan sederhana dan tidak menggunakan hiasan pemucu, seperti bangunan beridentitas Bali pada umumnya. Pada ruang dalam bangunan ini terdapat lampu hias yang tergantung di tengah-tengah ruangan tersebut. Lantai bangunan menggunakan tegel yang terbuat dari semen dan bagian tengahnya dipasang keramik lantai berwarna dan bermotif geometris. Menurut sumber puri, keramik tersebut memang telah ada semasa pemerintahan raja terdahulu. Ornamen lain yang terlihat pada bangunan Bale Kambang tersebut adalah ornamen pada alas tiang bangunan (sendi) yang terbuat dari semen cetakan. Pada pojok barat laut dari bangunan Bale Kambang tersebut terdapat sebuah bangunan kecil, segi empat yang posisinya terletak di pinggir kolam. Kemungkinan bangunan tersebut fungsinya terkait dengan aktifitas di kolam atau aktifitas lainnya pada jaman dulu. Dari sumber data kelurga raja tidak mampu menjelaskan secara detail fungsi yang sebenarnya dari bangunan tersebut. Pada bagian dalam bangunan tersebut yaitu dipojok bagian atas dinding tembok terdapat lukisan keramik yang bergaya China. Sumber dari keluarga raja menyebutkan bahwa ornamen tersebut merupakan benda keramik yang dibuat oleh orang China. Namun kondisinya saat penelitian ini dilakukan kurang terawat, terlihat kotor dan kusam. Pada ornamen tersebut diperlihatkan gambar vas bunga dipadukan dengan ornamen dedaunan gaya khas China yang dibuat dengan teknik lukis. Bangunan yang mirip seperti ruang tunggu tersebut berdekatan dengan bangunan di pojok selatan bagian barat yang diperkirakan sebagai dapur istana yang keadaannya juga kurang terawat terkesan dibiarkan.

Ornamen pada Bangunan Utama Pada wilayah bangunan utama ini merupakan wilayah ketiga setelah memasuki wilayah bencingah dan jaba tengah. Untuk memasuki wilayah utama ini harus melewati pintu masuk yang disebut dengan Candi Kurung yang menghadap ke barat. Ukuran dan bentuk candi kurung ini berbeda dengan dua candi sebelumnya, yaitu ukurannya lebih rendah dan bentuknya hampir sama dengan Candi Kurung seperti pada umumnya yang ada di Bali. Candi tersebut juga dilengkapi dengan ornamen tempel seperti candi yang lainnya. Bangunan sebagai pintu masuk ini dibuat dari bahan bata merah, terkesan polos seperti candi kurung atau sering disebut kori atau gapura pada bangunan-bangunan Bali di pedesaan dan memiliki kemiripan dengan candi-candi yang ada di masyarakat Bali pada umumnya. Ornamen dari candi tersebut dapat dilihat dari hiasan pada puncak bangunan tersebut yang sering disebut dengan mudra. Ornamen tersebut juga dibuat dengan teknik cetak menggunakan bahan semen seperti yang terdapat pada candi yang pertama dan kedua. Di depan candi tersebut dipasang 2 patung raksasa dengan style patung yang berkembang saat ini, dibalut dengan kain poleng (kain kotak-kotak hitam putih) serta dibelakangnya dipasang tedung. Nampaknya patung tersebut merupakan karya baru yang tujuannya hanya untuk menghias. Di lingkungan yang termasuk wilayah utama dari Puri Agung Kerangasem terdiri dari tiga bangunan, yaitu gedung Maskerdam (bangunan utama), Bale Pemandesan, dan Bale Pawedan. Penamaan gedung Maskerdam merupakan adopsi dari nama kota di Belanda yaitu Amsterdam. Bangunan tersebut memiliki banjah (teras depan yang luas) seperti bangunan bale daja pada perumahan di Bali jaman dahulu yang memiliki teras yang luas. Bangunan ini terdiri dari tiga pintu

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

280

utama, pada pintu paling barat saat ini sebagai tempat masuk keruang yang memiliki pajangan kursi raja. Pintu timur saat ini sebagai tempat masuk menuju ruang peristirahatan raja ditandai dengan sebuah tempat tidur dilengkapi dengan kelambu. Sedangkan pintu tengah sebagai tempat masuk keruang tengah yang menghubungkan kamar-kamar dibelakang lainnya termasuk untuk menuju ruang dapur kerajaan yang berada dibagian belakang bangunan Maskerdam tersebut. Pada bangunan Maskerdam ini tempat menerima tamu penting raja pada jaman kolonial.

Gambar 5. Bangunan Maskerdam Gambar 6. Teras depan bangunan Gambar 7. Hiasan dinding bagian dari arah selatan Maskerdam bawah bangunan

Pada bangunan utama ini ditemukan ornamen yang menampilkan gaya China seperti yang terdapat pada ornamen pintu dan jendela bangunan tersebut. Motif-motif yang ditampilkan serta style ukiran pada daun pintu tersebut menceritakan kehidupan alam dengan gaya Cina, sehingga tampilannya menjadi berbeda dibandingkan dengan ornamen daun pintu pada umumnya di Bali. Namun perbedaan ini sepintas tidak akan terlihat jelas, karena tampilannya memiliki kemiripan dengan daun pintu pada umumnya di Bali. Sebaliknya jika diamati secara teliti perbedaan tersebut akan nampak dengan jelas. Ukiran tersebut menceritakan kisah-kisah dari negeri China dengan style yang khas beridentitas China dengan kualitas garapan sangat baik, rapi dan kerumitannya sangat tinggi. Sehingga secara keseluruhan ornamen tersebut mampu menampilkan kesan unik karena menampilkan perbedaan dengan style ornamen pintu pada umumnya di Bali. Pada dinding tembok bangunan Maskerdam tersebut dipajang gambar-gambar keturunan raja yang pernah memerintah di Puri Agung Kerangasem. Elemen penghias lain yang dapat ditemukan di bangunan Maskerdam tersebut adalah dua buah patung yang dipasang di beranda depan bangunan tersebut seperti terlihat pada gambar 5 di atas. Namun tidak dapat dipastikan apakah patung tersebut merupakan patung lama/kuno yang seumur dengan bangunan tersebut atau sebaliknya. Dari key informan dan sumber lain, kami belum menemukan data yang dapat menjelaskan hal tersebut. Namun perkiraan peneliti, patung tersebut seumur dengan ornamen yang dipasang pada beberapa bangunan lain yang menjadi ciri khas Puri Agung Karangasem dan dibuat dengan menggunakan teknik cetak pula. Hal tersebut dapat dikenali dari kesimetrisan patung tersebut dan memiliki kesamaan antara patung yang pertama dengan patung yang kedua. Patung tersebut sepertinya menggambarkan seorang pendeta berdiri tegak, pada tangan kanannya membawa simbol berbentuk kendi bersayap. Patung yang sama juga terlihat terpasang di depan candi/gapura pertama. Menurut beberapa sumber dari para keturunan raja, memperkirakan ornamen cetak termasuk patung tersebut yang ada pada bangunan ini dibuat setelah jaman Belanda namun masih dalam bentuk kerajaan. Patung tersebut dihias dengan kain merah dan poleng seperti patung-patung yang ada di depan candi bentar sebelumnya. Patung tersebut dapat dimaknai bermacam-macam, misalnya sebagai simbol penjaga raja, simbol kemakmuran, dan lain- lain. Ornamen patung ini dapat dilihat dari visualisasi gelung dan hiasan badannya, menunjukkan karakter Bali. Ornamen lain yang dapat dilihat pada teras bangunan ini adalah ornamen pada tiang bangunan yang menunjukkan pengaruh Belanda. Hal tersebut ditunjukkan dengan motif-motif daun dan bunga realis, dikomposisikan simetris. Ornamen lain yang menunjukkan pengaruh Belanda adalah ornamen hiasan di bawah atap (ringring), ornamen di bawah atap di atas tiang besi, ornamen pada pagar pada sisi kiri dan kanan teras Maskerdam, ornamen pada meja, ornamen pada bingkai foto raja dan lain-lain. Visualisasi motif ornamen ini mengutamakan garis lengkung, motif daun dan bunga dengan warna-warna lembut. Motif model seperti ini, di Bali kini dikenal dengan nama patra bancih. Maksudnya adalah gabungan dari patra ulanda dan patra sari. Motif dedaunan dan bunga ini kemudian divariasikan dan dikembangkan sesuai dengan imajinasi pembuat karya tersebut.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

281

Pengaruh asing yang paling dominan kelihatan adalah pada ornamen ukiran ketiga pintu gedung Maskerdam ini. Pengaruh Cina sangat kental terlihat dari gaya dan motif yang ditampilkan. Informasi yang kami dapatkan dari para keturunan raja bahwa pada pemerintahan Raja Kerangasem, ukiran tersebut dibuat orang China yang diundang datang ke Bali untuk membuat karya tersebut walaupun hal tersebut masih bisa diperdebatkan. Karena belum ada data atau dokumen yang menunjukkan hal tersebut. Ornamen pada daun pintu pada bangunan Maskerdam, secara umum mulai dari atas ke bawah menampilkan kehidupan binatang dengan tumbuhannya seperti binatang kesayangan dengan pepohonannya, di bawahnya terlihat motif bunga lambang matahari. Pada ornamen pintu juga diungkapkan kehidupan burung dengan alamnya. Pohon bambu menjadi motif pepatran pada pintu ini dipadukan dengan motif burung bangau, menjadi suatu keserasian seperti yang ditampilkan pada lukisan cina. Ornamen style cina dicirikan dengan pola vertikal seperti pohon bambu serta pohon yang lainnya. Ornamen pintu dibuat simetris yaitu ornamen pintu sebelah kanan sama dengan ornamen sebelah kiri, baik bagian atas maupun bagaian bawah. Ornamen ini memperlihatkan ketrampilan yang sangat tinggi dari pembuatnya, ukirannya metelek (tajam), rapi, dengan komposisi dan proporsi yang baik. Style Bali dari ornamen pintu ini dapat dilihat dari pola perwujudan motif ornamen dari tumbuh-tumbuhan pada pinggir pintu yang memperlihatkan pola pengulangan secara teratur dan simetris. Walaupun motif ornamen yang secara umum dipergunakan di Bali seperti patra sari atau patra punggel tidak nampak pada ornamen pintu tersebut. Pintu tersebut terlihat difinishing dengan prada gede dan latar belakangnya warna biru, terkesan antik karena beberapa bagian prada terlihat sudah terlepas dan kusam. Pada bingkai pintu ditampilkan ornamen dari motif tumbuhan anggur lengkap dengan buahnya, dikomposisikan seperti patra ulanda. Ornamen pada tiang pintu memperlihatkan gabungan motif dari Cina dan patra mesir. Patra mesir memberlihatkan karakter perbaduan beberapa garis lurus dikombinasikan dengan motif tumbuhan seperti terlihat pada gambar berikut. Jika dilihat lurus dari depan ornamen ini tidak nampak, karena posisinya pada samping pintu. Ornamen pada pintu utama (tengah) memiliki bentuk pintu bagian atas dibuat seperti kubah, bentuk ini tidak dimiliki oleh 2 bentuk pintu yang lainnya. Nampaknya pembuatan pintu yang di tengah ini diberikan penekanan lebih sesuai dengan fungsi pintu tersebut. Ornamen pada bagian atas sebagai penutup pintu dapat dilihat tema yang diungkapkan adalah naga/ular gaya cina dilengkapi dengan motif ikan. Menurut Chendra Ling pada media on line menyebutkan naga Tiongkok adalah figur kebaikan yang melambangkan kejantanan & kesuburan. Naga atau Long (Liong dalam dialek Hokkian), adalah salah satu obyek hiasan yang paling disukai. Binatang mithologi ini sesungguhnya adalah lambang keberagaman yang melahirkan suatu harmoni. Lambang kejayaan atau kemakmuran karena persatuan berbagai unsur yang ada. Sebab itu Long dirancang berdasarkan gabungan anggota badan bermacam-macam binatang seperti: kepala- unta, mata-kelinci, tanduk-rusa, sisik-ikan, badan-ular, paha-harimau, cakar-elang. Semula “long” merupakan totem salah satu suku Huaxia, kemudian pada jaman Dinasti Han mulai dijadikan lambang kekaisaran. Singgasana Kaisar berukir naga sembilan, jubah kaisar juga bersulam naga. Pemakaian hiasan naga untuk keluarga kerajaan di bawah kaisar pun dibagi menurut tingkatnya. Jadi ornamen naga berjari 5 ini hanya boleh untuk yang berhubungan dengan kaisar, seperti jubah kaisar, kursi tahta kaisar dan istana kaisar. Tiang- tiang istana dan atap juga dihiasi dengan ukiran naga. Gambar 8. Ornamen pintu bangunan Maskerdam yang di tengah. Sesuai kosmologi Tiongkok, naga merupakan salah satu

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

282

dari empat lambang mata angin, naga melambangkan arah Timur identik dengan kesuburan, musim semi & hujan, dalam hal ini disebut naga hijau (qing long). Ornamen dua ekor naga sedang bermain dengan bola api, melambangkan kesuburan, karena dipercaya hal ini menimbulkan hujan. Hujan sangat penting bagi masyarakat Tiongkok yg agraris. Makhluk naga, terutamanya yang berwarna kuning atau emas dan bercakar lima pada setiap kaki, merupakan lambang bagi maharaja pada kebanyakan dinasti Cina; nyata sekali pada pakaian kebesaran maharaja pasti ada lukisan atau sulaman naga. Seperti telah dijelaskan di atas, pada sumber yang lain juga menyebutkan di dalam mitologi Cina, naga memiliki kaitan yang sangat erat dengan angka "9". Misalnya, Naga Cina sesungguhnya memiliki 9 karakteristik yang merupakan kombinasi dari makhluk-makhluk lainnya, yaitu 1. ia memiliki kepala seperti unta, 2. Sisiknya seperti ikan, 3. Tanduknya seperti rusa, 4. Matanya seperti siluman, 5. Telinganya seperti lembu, 6. Lehernya seperti ular, 7. Perutnya seperti tiram, 8. Telapak kakinya seperti harimau, 9. Dan cakarnya seperti rajawali (xfile-enigma.blogspot.com, 2014) Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa penggunaan motif naga pada ornamen pintu tersebut sangat terkait dengan kerajaan dan kesejahteraannya. Dengan ornamen tersebut diharapkan kerajaan selalu diberkahi kesuburan, kebaikan, ketentraman dan dapat hidup dengan damai. Hal ini menjadi hal utama karena ornamen tersebut diletakkan paling atas dari pintu bagian tengah tersebut. Analisis tersebut masih bisa diperdebatkan karena peneliti mengiterpreatsikan dengan menghubungkan symbol-simbol yang ditemukan pada ornamen tersebut. Finishing objek dengan prada gede dengan warna dasar biru, membuat objek ukiran menjadi menonjol. Kami belum menemukan maksud mengapa tema yang diungkapkan pada bagian atas penutup pintu itu dibuat ornamen seperti itu. Dari tiang sampai daun pintu dapat dilihat dalam 4 bagian, mulai dari tiang pintu/kusen dengan ornamen yang telah dijelaskan sebelumnya. Bagian kedua adalah termasuk bingkai pintu kedua yang dipasang menjorok kedalam sekitar 5cm dari tiang pintu. Sedangkan yang termasuk bingkai pintu ketiga bingkai yang bersentuhan langsung dengan daun pintu, dengan ornamen tumbuh-tumbuhan dan binatang. Komposisi ornamen bagian atas daun pintu tengah lebih padat, lebih rapat dibandingkan dengan ornamen pintu sebelumnya. Pada ornamen masih tetap memperlihatkan motif binantang dan tumbuhan seperti detail gambar berikut. Pada ornamen ini terlihat para pembuatnya ingin menceritakan suatu kehidupan manusia di alam ini. Motif-motif yang digunakan antara lain seperti manusia dalam bentuk seorang kaesar, pedagang dan rakyat. Sedangkan motif binatang yang diungkapkan untuk mendukung suatu kisah kehidupan tersebut adalah kambing, singa, kuda dan binatang lainnya. Ornamen di atas tidak simetris antara ornamen daun pintu kanan dan kiri. Namun keduanya menunjukkan satu kesatuan cerita. Finishing yang digunakan adalah prada gede dengan warna dasar biru. Sedangkan ornamen pinggir daun pintu adalah patra mesir digabungkan dengan setiliran dedaunan. Pada ornamen daun pintu bagian bawah dibuat simetris antara daun pintu kiri dan kanan. Pada ornamen ini digambarkan kehidupan burung bangau dan angsa, dengan berbagai macam geraknya di atas tanaman. Beberapa objek burung digambarkan sedang menangkap ikan. Pengungkapan burung dengan teknik realis, namun dengan penggambaran tanaman air dan pohon yang digambarkan dengan mengubah bentuk aslinya kedalam bentuk yang imajinatif. Pengubahan itu tentu disesuaikan dengan style ornamen cina. Tegel yang digunakan pada bangunan Maskerdam adalah tegel yang terbuat dari semen dan batu kerikil hitam dengan permukaan halus dibuat dalam berbentuk tegel. Tegel tersebut juga digunakan pada dinding bagian bawah tembok teras. Teknik pembuatan tegel seperti itu saat ini dikenal dengan teknik pemasangan batu sikat. Tegel lantai ini juga digunakan pada bangunan Balai Kambang. Sedangkan tegel yang digunakan pada lorong tengah bangunan (ruang dalam) Maskerdam memiliki motif bunga pada bagian tengahnya. Pemasangan motif bunga tersebut dilakukan setelah sebelumnya dipasang tegel lantai seperti tegel pada lantai teras. Motif tersebut dibuat dengan semen yang permukaannya dihaluskan.

Teknik Pembuatan, Teknik Finishing, Perawatan Ornamen dan Bahan Ornamen-ornamen yang ada di Puri Agung Karangasem bahannya dapat dibedakan menjadi 3 yaitu berbahan kayu, besi, dan beton cetak. Ornamen berbahan kayu khususnya kayu jati dapat dilihat pada ukiran daun pintu, jendela, plapon dan perlengkapan ruang pada bangunan-bangunan yang ada di di areal bangunan utama seperti bangunan Maskerdam, Bale Pawedan dan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

283

Pemandesan. Ornamen berbahan kayu tersebut dikerjakan dengan teknik ukir dengan kualitas yang sangat baik, tidak kalah kalau dibandingkan dengan jenis-jenis ukiran yang ada saat ini. Finishing ornamen ukiran kayu tersebut umumnya menerapkan warna-warna gelap pada latar belakang seperti warna biru, sedangkan objek utamanya dilapisi menggunakan prada gede. Hal ini bisa dipahami karena ornamen-ornamen tersebut merupakan ornamen yang ada pada puri yang memiliki kekuasaan sangat tinggi pada jamannya. Namun belum dapat dijelaskan secara pasti jenis bahan cat dan prada yang digunakan, tetapi dapat diperkikan bahan-bahan finishing tersebut didatangkan dari Tiongkok (Cina). Ornamen berbahan besi dapat dilihat pada ringring bangunan Maskerdam dan hiasan tiang bagian atas pada bangunan Pemandesan. Finishing ornamen berbahan besi ini menggunakan cat minyak warna warni. Ornamen yang yang dibuat dengan bahan semen, pasir dan besi kawat dibuat menggunakan teknik cetak. Ornamen-ornemen tersebut terpasang pada bangunan-bangunan candi, bangunan- bangunan di bencinga dan lantai bangunan, dengan berbagai motif pewayangan dan binatang. Finishing ornamen tersebut dipulas dengan cat putih, namun beberapa tanpa menggunakan finishing karena masih memperlihatkan bahan cetakannya.

Pengaruh Asing pada Ornamen di Puri Agung Karangasem Pengaruh asing yang paling nampak pada ornamen bangunan Puri Agung Karangasem adalah pengaruh style ukiran Cina yang terdapat pada bangunan-bangunan di wilayah utama puri tersebut. Sedangkan pengaruh Eropa terutama Belanda dapat dilihat juga dari bentuk bangunan utama yaitu Maskerdam dan dari sisi ornamennya dapat dilihat dari bentuk ornamen cetak yang dipergunakan untuk hiasan bentala (hiasan paling atas candi/pintu masung masing-masing areal puri. Bentuknya yang menyerupai simbol-simbol kerajaan pada kerajaan di Eropa.

Makna dari Ornamen di Puri Agung Karangasem. Makna hubungan dengan Negara-negara Eropa dan Cina. Hal ini dapat dilihat dari visual ornamen yang dipengaruhi oleh kedua negara tersebut. Pengaruh asing tersebut sangat kuat waktu itu karena raja-raja tersebut ada dibawah pengaruh kuat asing, mereka memiliki kekuatan- kekekuatan lebih dibandingkan kekuatan kerajaan, bukan saja dalam kekuatan kemeliteran namun dalam kekuatan ekonomi. Sehingga wajarlah pengaruh-pengaruh asing dapat masuk mempengaruhi kekuasaan raja. Kekuatan asing dapat menghegemoni raja-raja jaman dulu karena mereka memiliki modal ekonomi dan keamanan yang lebih baik, sehingga proses penguasaan dapat dilakukan dengan mudah. Makna lain yang dapat dibaca dari keberadaan ornamen di Puri Agung Karangasem tersebut adalah pada jaman kerajaan tersebut kesenian khususnya seni rupa di dalamnya termasuk seni kriya dan teknologi yang menyertai sudah berkembang sangat baik. Berkaitan dengan teknologi yang menyertai bahwa pada jaman tersebut telah dikenal teknik cetak yang kemungkinan juga didapat dari adanya hubungan dengan negara asing baik Belanda maupun Cina. Teknik cetak dalam pembuatan ornamen tersebut dapat ditemui dalam pembuatan benda-benda kriya dan benda seni lainnya saat ini.

Sejarah Pembuatan Ornamen di Puri Agung Karangasem Peneliti tidak menemukan dokumen dan informasi yang valid mengenai sejarah pembuatan ornamen di puri. Peneliti mencoba mencari dari beberapa sumber online yang kebenarnnya masih bisa diperdebatkan. Sebenarnya sejarah pembuatan ornamen tersebut dapat ditelusuri dari sejarah berdirinya kerajaan tersebut yang dari satu generasi ke generasi berikutnya memiliki kegemaran yang berbeda yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesenian dilingkungan puri. Anak Agung Putra Jelantik (75 tahun), yang merupakan salah satu keturunan raja (Wawancara Juni 2014) menjelaskan bahwa Puri Agung Karangasem ini didirikan di akhir abad ke-19 oleh Anak Agung Gede Djelantik yang merupakan raja Karangasem yang pertama yang juga merupakan pendiri puri tersebut. Saat itu beliau adalah seorang Stedehouder atau bisa di artikan sebagai wakil pemerintah kolonial Belanda yang pertama di antara tahun 1896 dan 1908. Lalu semenjak tahun 1909, Anak Agung Gede Djelantik digantikan oleh keponakannya yakni I Gusti Bagus Djelantik, dan merupakan Anak Agung Bagus Djelantik. I Gusti Bagus Djelantik inilah yang merupakan raja terakhir yang meninggal di Puri Agung tersebut pada tahun 1966. I Gusti Bagus Djelantik yang juga memiliki nama Ida Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem juga tidak kalah berjasanya bagi

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

284

Puri Agung Karangasem. Karya dari berbagai bidang telah beliau tinggalkan selama menjadi raja Puri Agung Karangasem, juga atas perindah beliau di.ciptakan Kuri Agung atau gapura istana. Sampai saat ini peninggalannya masih terjaga. Selain itu dua buah taman, yakni Taman Sukadasa yang didirikan pada tahun 1919 dan Taman Tirta Gangga yang didirikan pada tahun 1948 juga merupakan rancangannya.

Kondisi pisik Ornamen Kuno di Puri Agung Karangasem saat ini. Pada saat penelitian ini dilakukan Juni-September 2014, kondisi fisik beberapa ornamen yang ada di Puri Agung Karangasem telah mengalami kerusakan. Ornamen yang masih dalam keadaan utuh namun tampilan warnanya sudah kusam, karena nampaknya tanpa terlalu banyak sentuhan pembaharuan. Hal ini dipertahankan karena untuk menjaga kelestariannya dan dibalik tampilan yang masih asli tersebut justru mampu menimbulkan kesan antik, kuno, dan rasa kagum bagi orang-orang yang menyukai sejarah dan menghargai peninggalan-peninggalan masa lalu. Karena iklim globalisasi yang tidak bisa dibendung dicirikan dengan pertukaran informasi yang semakin cepat, dunia terkesan sempit dan sikap manusia yang hedonis, menyebabkan manusia ingn bersikap praktis demi kemajuan, sehingga dapat mengurangi penghargaan terhadap budaya-budaya masa lalu. Namun nampaknya di Puri Agung Karangasem tersebut, kondisi ini sangat disadari sehingga upaya-upaya pelestarian puri tetap dilakukan walaupun dengan pendanaan swadaya. Untuk mengantisifasi kerusakan ornamen-ornamen tersebut pihak puri telah melakukan pencetakan kembali terhadap ornamen-ornamen cetak yang rusak atau rapuh dimakan usia.

SIMPULAN Puri yang masih mempertahankan ornamen kuno di Kabupaten Karangasem adalah Puri Agung Kerangasem. Wilayah Puri Agung Karangasem dapat dibagi menjadi tiga areal yaitu wilayah bencingah, jaba tengah, dan wilayah utama. Bangunan yang memiliki ornamen kuno di puri tersebut terlihat di masing-masing wilayah tersebut. Jenis-jenis ornamen yang terdapat di Puri Agung Karangasem adalah dapat dibedakan menjadi dua jenis ornamen yaitu adalah ornamen dengan gaya Cina seperti pada ukiran-ukiran pintu dan jendela pada ruang utama terutama pada bangunan Maskerdam dan Bale Pemandesan. Sedangkan yang kedua adalah ornamen dengan gaya Bali seperti ornamen cetakan yang menampilkan motif kekarangan dan pewayangan yang dipasang pada bangunan candi/gapura dan bangunan-bangunan di wilayah bencingah.Teknik pembuatan ornamen dilakukan dengan teknik ukir dan teknik cetak. Pengaruh gaya Eropa (Belanda) dan gaya Cina sangat kental terlihat pada penampilan ornamen di Puri Agung Karangasem.Visualisasi dari oramen puri tersebut dapat dimaknai sebagai hubungan yang telah terjadi pada jaman kerajaan dengan dunia luar. Disamping itu pada jaman kerajaan di puri tersebut telah berkembang kesenian dan teknologi yang mendukung kesenian tersebut, walaupun ornamen Bali kurang terlihat maksimal jika dibandingkan dengan ornamen-ornamen puri lainnya di Bali. Sejarah terwujudnya ornamen di puri tersebut sangat sulit dianalisis karena tidak ditemukan dokumen-dokumen yang mendukung sejarah pembuatannya. Namun demikian sejarah pembuatan ornamen tersebut sebetulnya dapat ditelusuri dari sejarah kerajaan Puri Agung Karangasem yang menaruh perhatian lebih terhadap kesenian yaitu Anak Ida Agung Anglurah Ketut Karagasem. Kondisi fisik ornamen puri tersebut, saat ini beberapa telah mengalami kerusakan, maka diperlukan restorasi untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Sehingga kelestarian puri tersebut dapat dipertahankan dan diinformasikan kepada generasi berikutnya sebagai suatu fakta sejarah dan budaya yang tidak ternilai harganya.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2014 Legenda Naga China dan Penampakannya dalam Sejarah. http://xfile-enigma. blogspot.com (diakses tangga 28 Juli 2014). Iskandar. 2009. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press. Piliang, Yasraf Amir. 2010. Post Realitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Post Metafisika. Yogyakarta: Jalasutra. Puri Agung Karangasem (online), http://www.karangasemtourism.com diakses 18 Feb 2013. Website Dinas Pariwisata Kabupaten Karangasem, diakses 14 Maret 2013. Wikipedia, 2014

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

285

UNGKAPAN ESTETIS SISTEM KONSTRUKSI PADA INTERIOR BANGUNAN TRADISIONAL BALI

Cok Gd Rai Padmanaba, Made Pande Artadi, Ida Ayu Dyah Maharani Program Studi Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected]

Abstrak Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali terkenal dengan keelokan bentuknya. Konstruksi yang dipakai adalah sistem konstruksi yang tidak kaku, melainkan bisa bergerak dengan fleksibel dan terkenal dengan konstruksi tahan gempa yang sudah diakui secara internasional. Sistem stuktur dan konstruksi pada interior bangunan Bali sangat jelas dan jujur. Dalam penelitian ini akan mengambil lima kabupaten/ kota yang ada di Bali sebagai populasi, dengan mengambil sampel secara acak, untuk mengetahui penerapan konstruksi bangunan dan unsur estetis yang diterapkan. Bangunan yang akan dipakai sampel dibatasi hanya pada bale dangin saja, karena konstruksi pada bale dangin paling mudah terlihat secara menyeluruh, dengan ruang terbuka, hanya dilengkapi dinding pada dua sisi luarnya saja. Penilaian didasari atas kondisi bale dangin, menyangkut bagaimana sistem konstruksi yang diterapkan, bagaimana cara memperindah sistem konstruksi dengan berbagai unsur-unsur estetis dan pengaruh perkembangan bahan dan teknologi, terhadap nilai estetisnya. Hasil penelitian, menunjukkan bahwa bale dangin yang difungsikan sebagai tempat mengadakan upacara manusa yadnya dan pitra yadnya, umumnya masih menunjukkan keasliannya pada sistem konstruksinya, dengan masih mempertahankan sistem bongkar pasang pada tiang dan kap bangunannya.

Kata kunci : Estetis, Sistem konstruksi, Interior, Tradisional Bali

Abstract Traditional Balinese house is well known with its elegance shape. Construction used is not a rigid construction, but it can be flexible; and it well known with earthquake-resistant construction that has been recognized internationally. System structure and construction on the interior of the Balinese traditional building is very clear and honest. This research take five regencies/ cities in Bali as population, by taking random samplein, to determine the application of building construction as well as aesthetic elements that applied. The building to be used is limited on Bale Dangin, because Bale Dangin construction is the most visible over all, with open space and only equipped with two sidewalls on the outside. Assessment is based on the condition of Bale Dangin, regarding how the beautify of construction system with various aesthetic elements influence with the development of materials and technology. The research process, its indicating that the Bale Dangin which functioned as a place to hold a ceremony of Manusa Yadnya and Pitra yadnya, is generally still showing the originality of construction system, which maintains knockdown on the pole and the hood of the building.

Keywords: Aesthetic, Construction system, Interior, Traditional Bali

PENDAHULUAN Bangunan rumah tinggal tradisional Bali yang terkenal dengan keelokan bentuknya. Konstruksi yang dipakai pada berbagai sambungan elemen-elemen pembentuknya adalah sistem konstruksinya yang tidak kaku, melainkan bisa bergerak dengan fleksibel pada saat gempa, dan ditunjang dengan sistem sambungan yang knock down. Konstruksi ini juga terkenal dengan konstruksi tahan gempa yang sudah diakui secara internasional. Bali sebagai daerah yang terkenal dengan seninya juga tercermin pada kemampuan menampilkan nilai estetika pada bangunan tradisional, sehingga beberapa konstruksi yang diterapkan pada bangunan tidak nampak kaku, melainkan menjadi suatu unsur estetika yang menarik dan menutupi sambungan elemen-elemen yang membentuk bangunan. Sistem struktur dan konstruksi bangunan Bali diperlihatkan dengan jujur dan apa adanya, karena selain sebagai penguat dan pengokoh juga sebagai unsur estetika

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

286

bangunan.(Dwijendra, 2009) Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan tri angga, yaitu kaki, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi atau bataran sebagai penyangga bangunan diatasnya. Badan, yang diwujudkan dalam bangunan dinding, tiang, jendela dan pintu. Sedangkan “kepala” adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap. Pada ketiga unsur Tri Angga ini, baik pada kaki(pondasi), badan (tiang) maupun kepala(atap) dihubungkan dengan sistem konstruksi yang kadangkala disamarkan dengan berbagai bentuk-bentuk elemen yang mengandung nilai estetis, sehingga menampilkan sesuatu wujud yang bisa memperindah penampilan sambungan konstruksinya. . Penelitian terhadap 30 tukang dan perusahaan dibidang bangunan tradisional Bali di Gianyar, Denpasar, Badung dan Tabanan menunjukkan bahwa 100% tahu tentang Arsitektur Tradisional Bali (ATB) namun 50% tidak memiliki refrensi mengenai ATB.Kurang dari 25% yang menyatakan menerapkan rumusan ATB pada order yang diterima (Adimastra 2004 ). Ruang lingkup penelitian yang akan dilakukan adalah mengenai pengaplikasian unsur-unsur estetis pada konstruksi bagian kaki, badan maupun kepala bangunan bale dangin, karena bale dangin merupakan bale yang berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan upacara manusa yadnya dan pitra yadnya yang sangat erat hubungannya dengan agama Hindu.. Dengan fungsinya sebagai tempat melakukan upacara manusa yadnya dan pitra yadnya, maka bale dangin biasanya jarang difungsikan dalam kehidupan sehari- hari, melainkan hanya pada saat-saat tertentu saja, sehingga biasanya tidak banyak mengalami perubahan interiornya. Disamping itu bale dangin adalah bale yang mempunyai interior paling terbuka karena hanya mempunyai dinding pada sisi tertentu saja, tanpa adanya pintu, sehingga paling banyak memperlihatkan sistem konstruksi yang diterapkan. Berdasarkan uraian di atas akhirnya penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang penerapan sistem konstruksi tahan gempa pada bale dangin, dan cara mengemasnya menjadi suatu unsur estetika yang bisa memperindah desain interiornya

METODE PENELITIAN Metode dan teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan suatu kesatuan metode dan teknik penelitian deskriptif kualitatif, dengan memaparkan obyek penelitian, yaitu berupa penerapan unsur-unsur estetika pada konstruksi pada bangunan tradisional Bali Bale dangin yang ada di daerah Bali. Objek penelitian dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu bale dangin yang tergolong sederhana, sedang dan mewah, berdasarkan pemilihan bahan, dan tingkat penyelesaian elemen-elemen bangunan. Sumber data primer didapat dari pemngamatan langsung, pemotretan dan melalui wawancara. Sebagai responden adalah para pemilik bangunan dan orang- orang yang berkompeten dalam bidang arsitektur tradisional Bali. Selanjutnya data sekunder diperoleh melalui buku-buku literatur dan hasil penelitian. Oleh karena itu data penelitian ini didapatkan melalui observasi, wawancara, studi pustaka. Data-data yang didapat kemudian dianalisis secara kualitatif dengan memberi penilaian berdasarkan penerapan konstruksi tahan gempa pada bale dangin serta nilai estetika yang diterapkan pada konstruksi yang membentuk bangunan. Sample penelitian diambil secara acak dari bangunan bale dangin yang mempunyai tiang enam (sakanem) hingga yang bertiang dua belas (saka roras) pada perumahan yang tergolong sederhana hingga yang tergolong mewah dengan populasi pada daerah yang lebih banyak mendapat pengaruh pariwisata yaitu Kabupaten Gianyar, Tabanan, Badung, Buleleng dan Kota Denpasar, dengan target 9 buah bale dangin pada masing-masing populasi dengan pertimbangan bale dangin umumnya paling sedikit mendapat sentuhan modifikasi karena hanya difungsikan sewaktu-waktu pada saat ada upacara manusa yadnya,. sampel yang diambil secara acak yang mewakili perumahan yang tergolong sederhana, menengah hingga yang tergolong mewah. jenis sampel diasumsikan termasuk homogen sehingga diharapkan sudah dapat mewakili populasi penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil survei data lapangan, menunjukkan bahwa Bale dangin yang difungsikan sebagai tempat mengadakan upacara manusa yadnya dan pitra yadnya, umumnya masih menunjukkan keasliannya pada sistem konstruksinya, dengan masih mempertahankan sistem bongkar pasang ( akit-akitan) pada tiang dan kap bangunannya. Penelitian di lima kabupaten/ kota di Bali yaitu

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

287

Badung, Gianyar, Tabanan Buleleng dan Kodya Denpasar mendapatkan beberapa bentuk bale dangin baik yang bertiang enam maupun dua belas, seperti di bawah ini.

Gambar 1-4 . Bale Dangin (Bale Gede) bertiang duabelas, (sumber: hasil observasi penulis)

Gambar 5-6 . Bale dangin bertiang delapan Gambar 7-8 . Bale dangin bertiang enam (sumber: hasil (sumber: hasil observasi penulis) observasi penulis)

Dominasi penggunaan kayu umumnya terlihat di bagian badan dan kepala bangunan, sedangkan di kaki menggunakan bahan tanah, cadas, batu. Ada beberapa sampel sudah menggunakan keramik pada bagian bebaturan dan lantainya, seperti contoh gambar di atas. Dengan wujud bangunan seperti terlihat di atas, maka sistem konstruksi yang terkenal tahan gempa masih dipertahankan, dimana beban struktur rangka disalurkan secara merata pada sineb dan lambang ke tiang (saka) dan selanjutnya ke sendi dan akhirnya diteruskan ke jongkok asu. Beban dinding pengisi diterima fondasi keliling yang berfungsi sebagai batur (bataran). Pertemuan antara tiang dan sendi dibuat tidak rigrid, tetapi diperlakukan sebagai sendi sehingga jika ada pergerakan horizontal atau vertikal, tiang akan bergerak mengikuti arah gerakan, sehingga bangunan tidak roboh. Pengaku dirancang di ujung tiang bagian atas yang menghubungkan tiang dengan lambang sineb.Kekuatan konstrruksi juga diperkuat oleh sunduk yang ada pada bale-bale dengan sistem pasak yang bisa bertambah kendor jika terjadi goyangan gempa

Penerapan nilai estetika pada konstruksi agar interior bangunan tradisional Bali tampil lebih indah. Untuk mendapat nilai estetis yang lebih tinggi, bangunan tradisional Bali umumnya diberikan sentuhan-sentuhan unsur estetika yang diterapkan pada berbagai elemen interiornya sebagai berikut.

Unsur Estetiks pada bagian kepala bangunan ( interior plafond ekspos)

Gambar 9. Hiasan pada pasak konstruksi apit-apit dan Gambar 10. Dedeleg dengan hiasan ukiran pemade. (Sumber: hasil observasi penulis) sebagai penutup konstruksi sambungan ujung atas iga-iga. (Sumber: hasil observasi penulis)

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

288

Pada bagian kepala bangunan unsur estetika umumnya diterapkan pada Pertemuan tugeh dengan pementang yang dibuat berbentuk sendi yang berukir atau patung sebagai sendinya. Hiasan juga dibuat sebagai penutup pasak yang menempati pertemuan antara apit-apit dan pemucu ataupun pemade hiasan pada dedeleg atau petaka yang berfungsi sebagai konstruksi sambungan ujung atas iga-iga. Dari hasil survey menunjukkan bahwa yang paling dominan adalah hiasan pada petaka atau dedeleg, yang diberikan ornamen berupa ukiran pepatran. Hal ini disebabkan puncak bangunan yang berupa petaka atau dedeleg bisa menjadi pusat perhatian pada interior, karena semua ujung atas iga-iga mengarah pada elemen tersebut. Tugeh yang dilandasi dengan sendi patung maupun ukiran lainnya, tidak banyak diterapkan, hanya pada beberapa bale gede yang mempunyai dihias secara menyeluruh pada setiap elemen bangunannya. Yang paling sedikit mendapat sentuhan estetika pada konstruksinya adalah pertemuan antara apit-apit dengan pemade atau pemucu, yang berupa ukiran sebagai penutup pasaknya. Kebanyakan dari sampel yang disurvei membiarkan konstruksi tersebut berupa pasak atau paku yang ditancapkan dari apit-apit ke pemade maupun pemucunya seperti gambar berikut.

Gambar. 11. Konstruksi pada apit-apit dan iga-iga, serta pemade yang tidak mendapatkan sentuhan bentuk-bentuk estetis. (Sumber: hasil observasi penulis)

Unsur Estetika Pada Bagian Badan Tiang (saka) sebagai badan bangunan berperan penting pada struktur konstruksi sebagai penyangga bagian kepala(atas) bangunan tersebut. Pada tiang terdapat dua sambungan, karena berperan sebagai penghubung kaki dengan badan, dan badan dengan kepala. Pada sambungan antara kaki dan badan, saka ditopang oleh sendi yang kududukannya di atas jongkok asu yang berperan sebagai pondasi bangunan. Unsur estetis biasanya diterapkan pada pertemuan antara sendi dengan saka bagian bawah dengan berbagai variasinya, baik terpisah dengan sendi maupun menjadi kesatuan yang utuh, seperti gambar berikut.

Gambar 12-14 . Penerapan unsur estetis pada konstruksi saka dan sendi

Penambahan elemen-elemen estetetis pada gambar di atas mampu mengurangi kekakuan bentuk pertemuan segi empat pada sendi dan garis vertikal pada tiang dengan memperbanyak garis- garis dengan arah yang horizontal. Sehingga bisa menyamarkan sambungan konstruksi yang tidak mendapat sentuhan estetis seperti gambar di bawah ini.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

289

Gambar 15. Konstruksi hubungan saka dan sendi

Sedangkan pada bagian atas, konstruksi terdapat pada pertemuan saka dengan lambang dan sineb yang menopang beban atap bangunan. Pada bagian pertemuan dua elemen ini umumnya tidak diberikan tambahan unsur-unsur estetika sebagai penutup, melainkan secara langsung dibuat berupa permainan bidan dan ornamenn, baik pada tiang maupun pada lambang dan sineb. Penambahan unsur estetis hanya berupa penambahan bentuk kencut pada saka (tiang) yang tidak menopang beban bangunan, seperti misalnya pada saka yang tidak menopang lambang pada bagian sisi bangunan, melainkan hanya menopang pementang di bagian tengan bangunan, seperti gambar di bawah ini.

Gambar 16 Gambar 17 Konstruksi saka dan Saka dengan kencut lambang pada bagian sisi pada sudut bangunan bangunan dan bagian tengah bangunan

Beberapa bangunan yang memenpatkan saka dengan kencut pada saka yang posisinya di bagian sisi luar bangunan, memberikan beban atap kepada kencut yang bentuknya dibuat mengecil dari ukuran penampang tiang. Hal ini akan sangat rawan jika terjadi goncangan gempa yang memungkinkan menyebabkan kencut patah dan mengakibatkan bangunan roboh.

Unsur Estetis pada bagian kaki Bagian kaki bangunan (bataran) yang berfungsi sebagai lantai dan sekaligus menutup konstruksi pondasi jongkok asu yang ada di dalamnya merupakan bentuk bidang yang cukup luas yang bisa dipakai sebagai tempat untuk berkreasi, sehingga pada bagian ini sering dimanfatkan untuk menampilkan berbagai bentuk kreasi baik yang sederhana maupun yang dilengkapi dengan berbagai bentuk-bentuk ornamen, sepereti gambar berikut.

Gambar 18-19 . Bentuk-bentuk ornamen pada bataran (bagian kaki) (sumber: hasil observasi penulis)

Penerapan unsur estetis berdasarkan pertimbangan kemudahan dalam beraktifitas untuk naik turun dari halaman ke lantai sehingga tangga, seperti di gambar di bawah ini.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

290

Gambar 20-21. Bataran yang didominasi dengan tangga (sumber: hasil observasi penulis)

Dampak perkembangan kehidupan modern, terhadap sistem konstruksi dan estetika pada bangunan tradisional Bali. Kehidupan modern tidak tampak banyak berpengaruh pada wujud Bale Dangin, sehingga secara umum masih tetap dipertahankan wujudnya yang asli. Konstruksinya masih mempertahankan kayu dan bambu yang menunjukkan wujud bangunan yang dekat dengan alam. Pengaruh pemikiran modern yang mengutamakan kepraktisan terlihat dari perubahan pemilihan bahan, yang dahulunya berbahan tanah, bata ataupun batu paras, sekarang berbahan semen ataupun keramik, baik sebagai lantai maupun sebagai bataran. Dari hasil survei di lapangan didapatkan hasil perkembangan wujud bataran seperti di bawah ini.

Gambar 22-23. Bataran denagan material batu bata Gambar 24-25. Pemakaian Keramik sebagai lantai dan paras (sumber: hasil observasi penulis) dan bataran (sumber: hasil observasi penulis)

SIMPULAN Pertama; Sistem konstruksi akit-akitan (knock down) arsitektur tradisional Bali yang terkenal tahan gempa, sampai saat ini masih tetap dipertahankan untuk konstruksi bangunan bale dangin, karena bangunan ini merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan upacara manusa yadnya dan pitra yadnya, sehingga kedudukannya sangat dihormati untuk tetap dipertahankan tanpa banyak membuat pengembangan seperti halnya bangunan yang lainnya. Dengan pemakaian yang tidak terlalu sering, memungkinkan bangunan ini tidak menuntut penambahan ataupun perubahan interiornya, sehinggga diantara bangunan yang ada dalam suatu pekarangan, umumnya bale dangin yang paling dipertahankan bentuknya. Kedua; Penerapan unsur estetika pada bale dangin untuk memperindah sambungan konstruksinya terdapat di seluruh bagian, baik pada bagian kepala, badan maupun kakinya. Penerapan estetika ini paling terlihat menonjol pada bagian kaki yaitu pada bagian bebaturan dengan berbagai variasi bentuk dan bahan yang dipergunakan. Pada bagian ba danb hanya terlihat pada pertemuan antara saka dan sendi serta saka dan lambang. Pertemuan antara saka dan sendi diselesaikan dengan menanbahkan elemen ulam sebagai garis horizontal untuk menambahkan garis horizontal bagian atas sendi. Dengan demikian sambungan sendi dan saka tidak nampak kaku, namun bisa menampilkan suatu bentuk yang menarik. Sedangkan pada bagian kepala tdak banyak yang menerapkan unsur estetika, tetapi dibiarkan sebagai konstruksi pembentuk atap. Hanya ada beberapa sampel yang menerapkan hiasan pada bagian bawah tugeh, pertemuan apit-apit dan pemade atau pemucu serta hiasan pada dedeleg.

DAFTAR PUSTAKA Adhimastra, I K. 2004 Penerapan Sistem Matrik Dalam Satuan Gegulak untuk Ukuran Bangunan Rumah Tinggal Tradisional Bali. (Tesis), Denpasar Universitas Udayana Budiarjo, Eko, 1988, Architectural Conservation in Bali, Yogyakarta: Gajahmada University Press, Dwijendra. N K A. 2009. Arsitektur Rumah Tradisional Bali, Denpasar, Udayana University Press Eaton.M M, 2010, Persoalan-persoalan Dasar Estetika. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

291

Kusmiati, A . 2004, Dimensi Estetika Pada Karya Arsitektur dan Disain Moloeng, Lexy, J.1995, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Roskarya, Parwata, I W 2009, Humanisasi Kearifan &Harmoni Ruang Masyarakat Bali, Denpasar,Penerbit, Yayasan Tri Hita Karana Bali. Suardana, Nyoman Gde, Bali Post Minggu Paing, 11 Januari 200. Sulistyawati, 1996, Berbagai Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Wujud Arsitektur, Studi Kasus Rumah Tinggal Tradisional di Desa Adat Kuta. Tesis UI Jakarta. Tim Universitas Udayana, 1980. Pengaruh Mass Tourism Terhadap Tata Kehidupan Masyarakat Bali. Denpasar, Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian dan Pengembangan.

PECIREN BEBADUNGAN: STUDI IDENTITAS ARSITEKTUR LANGGAM DENPASAR

I Kadek Dwi Noorwatha, I Nyoman Adi Tiaga Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected]. [email protected]

Abstrak Tujuan penelitian untuk merumuskan ciri khas arsitektur langgam Denpasar (ALD) sebagai patokan dalam memahami keanekaragaman elemen-elemen arsitektur tradisional Bali (ATB). Penelitian ini juga tidak berhenti pada tahap perumusan identitas yang bersifat romantic- retrospektif semata, namun melihat fenomena aplikasi identitas tersebut dalam arsitektur kekinian yang bersifat critical-prospektif. Dengan pemahaman tersebut maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif yang secara induksi mengamati, mengklasifikasikan dan menginterpretasi elemen-elemen arsitektural sehingga dapat merumuskan suatu identitas ALD yang disebut peciren bebadungan. Hasil penelitian menunjukkanbahwa identitas ALD ditandai dengan pemakaian batu bata sebagai unsur utama dan modulasi bangunan. ALD lebih adaptif terhadap perpaduan dengan budaya asing dan proporsi bangunan ALD tampak lebih lebih lebar yang memberikan karakter kokoh dan tegas, mencerminkan karakter masyarakat Denpasar. Unsur-unsur yang menjadi pembentuk peciren bebadunganadalah: Unsur Kreatifitas yaitu unsur pengembangan elemen yang disesuaikan dengan aspek fungsi namun tetap mempertahankan karakter Bali. Unsur Akseptabilitas yaitu unsur keterbukaan terhadap akulturasi dengan budaya asing tanpa menghilangkan karakter dan jati diri. Unsur Komformitas yaitu kesesuaian peruntukan dan visualisasi bangunan untuk mengakomodasi kebutuhan dan gaya hidup Modern.

Kata kunci: Peciren Bebadungan, Identitas Arsitektur, Langgam Arsitektur Denpasar

Abstract The goal of this research is to formulate the characteristic of Denpasar architectural style (DAS) as a benchmark in understanding the diversity of the elements of traditional Balinese architecture. The study also does not stop at the stage of formulation of romantic-retrospective perspective identity alone, but also to look at the phenomenon of the application of the identity in contemporary architecture that is critical–prospective. With this understanding , this study is a descriptive - qualitative research which inductively observes, classifies and interprets architectural elements so as to formulate an identity of DAS called Peciren Bebadungan. The findings of this research shows that the identity of the DAS which is characterized by the use of brick as the main elements and the modulation of the building. DAS is more adaptive to the combination with other foreign culture and the proportions of the building looks wider that shows strong and firm characters, reflecting the character of Denpasar community. The elements that form peciren bebadungan are: the elements of creativity that is to say elements of the

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

292

development which are customized with the element of function but still retaining the character of Balinese architecture. The element of acceptability namely the element of “openness” towards acculturation with the foreign culture without eliminating the character and identity as Balinese. The elements of comformity i.e. conformance designation and visualization of buildings to accomodates modern needs and modern lifestyle.

Keywords : Peciren Bebadungan , Architecture Identity , Denpasar Architectural Style

PENDAHULUAN Menggeliatnya gerakan untuk merekontruksi kembali arsitektur tradisional untuk mengakomodasi kehidupan modern menjadi suatu fenomena tersendiri dalam kalangan arsitek dan desainer Indonesia. Seluruh kota-kota besar di Indonesia sekarang semakin giat dalam menata, menggali dan bahkan meneguhkan warisan budaya khususnya arsitektur tradisionalnya untuk memperkuat karakter, jati diri dan identitas daerah; salah satunya adalah Kotamadya Denpasar. Dalam konteks arsitektur, proses pelestarian bangunan pusaka (heritage) tidak semata-mata melestarikan secara fisikal namun juga yang non fisikal seperti nilai budaya, filosofis dan estetis. Kedua unsur tersebut (fisikal maupun non fisikal) membangun satu kesatuan wujud fisik bangunan yang mencitrakan identitas suatu kota. Jati diri dengan landasan kebudayaan Bali ini menjadi kata kunci bagi keberhasilan pembangunan Kota Denpasar. Jati diri tidak sekadar identitas dan pembeda satu kelompok masyarakat dengan yang lain. Jati diri pun sekaligus menjadi pencitraan yang sangat dibutuhkan dalam persaingan global. Apakah arsitektur langgam Denpasar (ALD) tersebut? Arsitekturlanggam Denpasar atau lebih dikenal dengan Peciren Bebadungan (wawancara dengan AA Gde Kusuma Wardana (Penglingsir Puri Kesiman) dan Kadek Wahyudita (kelihan Penggak Men Mersi Puri Agung Kesiman 2013). Dalam prakteknya, ALD masih tenggelam akan hegemoni Arsitektur tradisional Bali (ATB). Dalam realitas lapangan, seluruh Kabupaten di Bali memiliki ciri khas arsitektur tradisional tersendiri baik dari pemanfaatan material, tata letak, arah orientasi, proporsi dan karakteristik dekorasi. Eksplorasi tentang peciren bebadungan sebagai jatidiri ALD menarik untuk digali selanjutnya, sebagai penguatan citra kota Denpasar sebagai Kota Kreatif Berbasis Budaya Unggulan yang nantinya dijadikan acuan pengembangan kota lainnya di Bali. Dari pemaparan di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: Apakah identitas peciren bebadungan sebagai jatidiri arsitektur langgam Denpasar? Unsur- unsur apa sajakah yang menjadi pembentuk peciren bebadungan sebagai identitas langgam arsitektur Denpasar? Eksplorasi peciren bebadungan sebagai identitas arsitektur langgam Denpasar merupakan suatu usaha untuk melihat artefak budaya arsitektur sebagai media simbolisasi yang menggambarkan sisi historis, sosial, budaya dan teknologi yang berkembang pada jamannya. Dengan eksplorasi tersebut dapat diimplementasikan kedalam beragam jenis visualisasi desain arsitektural maupun interior kekinian, namun tetap mempertahankan jiwa peciren bebadungan yang masih relevan dengan konteks kehidupan modern. Proses eksplorasi tersebut juga menghindarkan desainer dari penggunaan ornamen, material, proporsi, tata letak yang bersifat tempelan dalam bangunan modern sebagai inti dari gerakan regionalisme; dan juga dapat menguatkan citra jati diri kota Denpasar sebagai kota “metropolitan” yang berwawasan budaya. Identitas kota adalah ciri khas yang membedakan kota tersebut dengan kota lainnya. Karakter sebuah kota muncul dari banyak hal. Sejarah kota, kosmologi kota, kepercayaan masyarakatnya dan seterusnya (Kusuma, 2013).Dalam konteks struktur pembentuk arsitektur, Frick dan Purwanto (1998: 13-15) mengemukakan bahwa bentuk dan gaya arsitektur selalu berhubungan erat dengan cara kontruksi dan bahan bangunan yang laku pada jaman itu (terbangunnya). Di samping fungsi statis dalam pembentukan arsitektur sebagai penguat bangunan dan menyalurkan segala beban maupun tekanan ke dalam tanah, di Asia sering pengaruh simbol dan mistik lebih diutamakan. Hiasan yang sejak dahulu kala digunakan untuk menyampaikan gagasan kosmologis dan metafisis dalam bentuk simbol dan bukan melambangkan alam sebagai sumber fungsi statis. Pada jaman dahulu kebanyakan bentuk struktur yang autotonos sangat terbatas menurut pengalaman dan teknik pertukangan maupun oleh faktor-faktor metafisis (adat, primbon, tantangan agama, dsb) menurut bentuk, lebar bentang, serta bahan bangunan yang digunakan secara

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

293

tradisional, seperti misalnya pendopo dan saka guru di Jawa atau struktur rumah Toba Batak. Pada jaman dahulu sistem bentuk struktur merupakan faktor kecil pada keindahan sebuah gedung. Struktur bangunan yang tidak diselimuti sering dianggap kasar dan belum selesai, dibandingkan dengan masa kini yang menilai keindahan makin lama makin lebih baik dibandingkan dengan sekedar logika sistem bentuk struktur yang berhubungan dengan bentuk arsitektur.Dalam konteks penelitian identitas arsitektur langgam daerah tertentu, Edi Sedyawati, 1990 (dalam Munandar, 2005: 11) mengemukakan bahwa karya arsitektur yang termasuk dalam bentuk kebudayaan materi sehingga mudah diamati dan diobservasi. Dalam mengkaji karya arsitektur terdapat tiga aspek besar yang dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya: (1) aspek struktur (2) aspek makna simbolis, dan (3) aspek fungsi sosial. Ketiganya memang berkaitan satu sama lain, tetapi masih mungkin dibahas secara terpisah. Dalam penelitian ini diarahkan pada kajian terhadap aspek struktur dalam arsitektur langgam Denpasar yang dikaitkan dengan khasnya dan kedua adalah aspek makna simbolis dari masing-masing struktur pembentuk tersebut.Jika merujuk pengertian identitas dalam perspektif cultural studies khususnya dalam cultural identity, identitas dapat didefinisikan dalam istilah persamaan (sameness) dan perbedaan (difference). Lebih spesifik, perbedaan (masih dalam koridor differance (keliyanan)) selalu terdapat identitas yang tampak sama; meskipun fixity (perpotongan, pemutusan hubungan positioning) secara temporer diperlukan pada proses identitifikasinya, “selalu ada sesuatu yang ditinggalkan (Hall dalam Rutherford, 1990: 55). Penerapan identitas budaya dalam konteks arsitektur dalam suatu kawasan membuat suatu citra kota yang khas sesuai dengan budaya yang direpresentasi tersebut. Berbagai desain arsitektural yang menjadi elemen kota (gedung, monumen, lapangan, kawasan permukiman etnis, kawasan kota lama, pantai dan lain-lainya), akan memberikan ciri karateristik atau identitas pada kota. Objek-objek kota tersebut memberikan ciri khas pada kota terhadap sejarah perkembangan suatu kota. Identitas kota timbul dari pandangan seseorang terhadap suatu elemen atau objek yang ada pada suatu kota. Pandangan seseorang terhadap suatu elemen kota akan dikenang selamanya olehnya dan menjadi ikatan terhadap kota tempat tinggalnya (Heryanto dkk, 2012).

METODE PENELITIAN Lokasi penelitian di Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar Provinsi Bali, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif (descriptive research methods) (Nazir, 2003) yang bersifat kualitatif. Untuk pemilihan objek penelitian dilaksanakan dengan purpossive sampling dengan memilih sampel yang dipilih yang dianggap mewakili identitas arsitektur langgam Denpasar dengan sebelumnya disesuaikan dengan literature (Sugiyono, 2011). Sampel yang dipilih berdasarkan kriteria: (1) Bangunan berumur diatas 50 tahun Selain merupakan fasad dari suatu bangunan tradisional bangunan tersebut harus berumur 50 tahun dari sejak penelitian ini dilakukan (dibangun di atas tahun 1970 an). (2) Material menggunakan bahan lokal Denpasar yaitu menggunakan batu bata merah, tanah pol-polan dll. Sebagai variabel dalam penelitian ini dan disesuaikan dengan literatur dan narasumber, maka variabel dalam penelitian ini adalah: Struktur: dapat diartikan sebagai struktur bentuk pemesuan dibagi menjadi angkul-angkul cacadian dan atau makakerep. Material: dapat diartikan material adalah seluruh bahan bangunan mentah sebagai bahan penyusun wujud fisik bangunan. Proporsi: dapat diartikansebagai perbandingan tinggi dan lebar pemesuan (secara tampak depan) dan dihitung berdasarkan jumlah batu batanya. Dekorasi: dapat diartikan sebagaielemen dekorasi pada arsitektur tradisional Bali yaitu pepalihan, kekarangan, bebaturan, elemen patung dan lain-lain. Pengumpulan data dilakukan dengan cara: observasi, wawancara (interview) interview yang digunakan dalam penelitian ini adalah structured interview dan dokumentasi. analisis data adalah kualitatif adalah bersifat induktif. Data ditabulasikan untuk kemudahan pembacaan dan proses perumusan suatu kesimpulan-kesimpulan awal yang kemudian disusun menjadi suatu kesimpulan akhir.

HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah diadakannya survey pada kecamatan Denpasar Timur, maka didapat gambaran mengenai penerapan identitas arsitektur langgam Denpasar di berbagai tempat. Untuk

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

294

mempermudah tahap analisis data maka data dimasukan ke dalam tabel seperti yang tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.2. Sebaran Data Objek Penelitian Berdasarkan Lokasi No. Lokasi Penelitian Jumlah Total Umah Puri Pura 1. Kelurahan Kesiman 18 5 6 7 2. Desa Kesiman Petilan 39 4 3 32 3. Desa Kesiman Kertalangu 11 7 0 4 4. Desa Penatih Dangin Puri 33 8 0 25 5. Kelurahan Penatih 15 3 0 12 6. Desa Dangin Puri Kelod 2 0 0 2 7. Desa Sumerta Kauh 1 0 0 1 8. Kelurahan Sumerta 16 3 0 13 9. Desa Sumerta Kaja 3 0 0 3 10. Desa Sumerta Kelod 11 1 10 Jumlah Objek Penelitian 31 9 109 Jumlah total Objek Penelitian 149 Sumber: Hasil Survey 2014

Dari tabel dapat dilihat masing-masing objek penelitian dari lokasi penelitian yang spesifik. Tampak pada tabel di atas dari total 149 buah objek, objek penelitian berupa pura mempunyai jumlah yang paling besar yaitu 109 buah atau 73 % dari jumlah seluruh objek. Objek penelitian berupa umah berjumlah 31 buah atau sekitar 20,8 % dan Objek penelitian puri berjumlah 9 buah atau sekitar 6,04 %. Dari data tersebut dapat ditarik suatu pemahaman awal bahwa arsitektur tradisional yang masih dipertahankan tersebut adalah suatu arsitektur yang mencirikan identitas Denpasar atau menggunakan peciren Bebadungan. Dari data tersebut dapat ditarik suatu pemahaman awal bahwa arsitektur tradisional yang masih dipertahankan tersebut adalah suatu arsitektur yang mencirikan identitas Denpasar atau menggunakan peciren Bebadungan. Sehingga dapat dipastikanbahwa objek yang telah terpilih merupakan arsitektur asli Denpasar yang selanjutnya akan dianalisis berdasarkan variabel penelitian (struktur, material, proporsi dan dekorasi) sehingga didapatkan suatu rumusan identitas langgam arsitektur Denpasar sebagai kesimpulan akhir. Alasan dibalik masih dipertahankannya arsitektur asli Denpasar tersebut menurut beberapa narasumber terdapat beragam alasan yang melatarbelakanginya antara lain: Alasan Warisan leluhur, bahwa arsitektur asli yang dianggap sebagai representasi peciren bebadungan sampai saat ini dilestarikan karena beberapa hal yaitu: Pertama adalah masih adanya kepercayaan bahwa peninggalan leluhur tersebut wajib dilestarikan akibat dari mitos kutukan (tulah, kepongor dll); pun jika mengubah diwajibkan tidak menggunakan bahan yang jauh berbeda dan memperhatikan wujud, proporsi dan elemen pembentuknya terutama dimensi (sikut) dan peletakannya. Kedua, material batu bata menurut beberapa narasumber merupakan representasi dari arsitektur Majapahit. Dari pemahaman tersebut dalam konteks pura kawitan, masih dipertahankannya wujud arsitektural tersebut sebagai penanda pemilik atau pengempon pura tersebut adalah keturunan Dalem (Majapahit) sebagai peletak dasar kebudayaan Bali Madya atau Bali Arya di Bali. Alasan Ekonomis, pengempon mengaku tidak adanya dana untuk pembangunan baik secara renovasi ataupun membangun yang baru. Alasan Durabilitas, dimana para pengempon masih mengakui bahwa material dan struktur bangunan masih layak dipertahankan karena dirasakan masih kokoh dan layak ditempati. Alasan Konservasi, dimana para pemilik bangunan yang sadar bahwa wujud bangunan tersebut merupakan warisan leluhur dan jikalau terjadi kerusakan parah baik akibat bencana alam, manusia maupun korosi. Alasan konservasi ini telah dilakukan oleh Puri Agung Kesiman (Wawancara dengan AA. Gde Kusuma Wardana dan I Kadek Wahyudita tahun 2013) untuk merestorasi Beberapa bangunan purinya. Diperlukan dedikasi yang tinggi, kesadaran akan sejarah dan ekonomi untuk mempertahankan arsitektur “asli” Denpasar ini. Jadi dapat dijelaskan bahwa identitas langgam asitektur Denpasar adalah karakteristik yang khas dalam wujud arsitektural heritage (warisan) yang berlokasi di Denpasar; dengan menggunakan material, ungkapan estetis dan struktur yang mencitrakan tipikal (stereotype)

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

295

masyarakat Denpasar dalam konteks sosial budaya. Langgam arsitektur Denpasar dikenal dengan istilah beblakasan yaitu visual langgam arsitektur yang minim dekorasi, hanya menggunakan pepalihan (permainan pasangan batu bata), mayoritas batu bata, ukirannya tidak mendetail cenderung besar-besar, struktur yang lebih lebar, tebal dan tinggi. Sedangkan arsitektur Gianyar yang agak “monyer” yaitu dekorasi yang agak rumit, mendetail, kecil-kecil, memenuhi bidang, biasanya ukiran diwarnai mencolok dipadukan cat emas (prada); struktur lebih ramping (kurus) dan lengkap menempatkan elemen dekorasi seperti pepalihan, kekarangan, pepatran, keketusan, bebaturan dll.

Analisis Struktur Tampak pada objek penelitian fasad arsitektural rumah tinggal mayoritas menggunakan angkul-angkul cacadian pada bagian “kepala”angkul-angkul. Tampaknya para penghuni mementingkan aspek fungsi dan durabilitas. Pemilihan material juga dipilih berdasarkan kekuatannya kecuali pada batu bata yang menurut narasumber merupakan identitas khas Denpasar atau Badung. Para pemilik rumah tinggal yang mempertahankan angkul-angkul batu bata pada umumnya “takut” mengubah struktur dasar dari angkul-angkul warisan pendahulunya;meskipun menurut para pemilik bahan batu bata mempunyai kelemahan terhadap cuaca dan cepat korosi dibandingkan dengan material yang lain.Struktur pemesuan dalam arsitektur Denpasar 53 objek (85,4%) menggunakan struktur lengkap dan 9 objek (14,5%) menggunakan struktur belum lengkap. Ketidaklengkapan tersebut tampak pada tidak diterapkannya unsur lelengen. Hal tersebut membuktikan bahwa (1) dalam arsitektur Denpasar masih mengacu pada struktur pemesuan arsitektur tradisional Bali (2) terjadi penyederhanaan bentuk dari struktur lengkap pemesuan tradisional Bali. Aspek fungsional kembali menjadi faktor dominan dalam visualisasi bentuk arsitektur Denpasar dibandingkan sisi kelengkapan secara tradisional. Dapat disimpulkan sementara dari segi struktur, arsitektur berlanggam Denpasar masih mempertahankan struktur kelengkapan bentuk dari pemesuan namun untuk beberapa kasus telah memodifikasi berdasarkan aspek fungsional. Aspek fungsional kembali menjadi faktor dominan dalam visualisasi bentuk arsitektur Denpasar dibandingkan sisi kelengkapan secara tradisional. Dapat disimpulkan sementara dari segi struktur, arsitektur berlanggam Denpasar masih mempertahankan struktur kelengkapan bentuk dari pemesuan namun telah mengadakan modifikasi berdasarkan aspek fungsional semata dan tetap mempertahankan karakter aslinya yaitu penggunaan batu bata.

Analisis Proporsi Dalam proses tabulasi selanjutnya dalam konteks proporsi, dengan jalan menganalisis hasil dokumentasi berupa foto yang didapat pada survey penelitian. Untuk penghitungan proporsi akan dihitung jumlah batu bata baik untuk lebar maupun tinggi bangunan dengan memakai standar batu bata: lebar 8 cm, panjang 24 cm dan tebal 5 cm. Berdasarkan data lapangan dapat dilihat perbandingan proporsi pemesuan berlanggam Denpasar secara umum yang berkisar pada proporsi antara tinggi berbanding dengan lebar pemesuan adalah: 1:1 (sejumlah 13buah), 2:1 (sejumlah 1 buah), 3:2 (sejumlah 4 buah), 5:6 (sejumlah 1 buah) , 6:5 (sejumlah 14 buah), 7:5 (sejumlah 8 bah), 8:5 (sejumlah 3 buah), 9:5 (sejumlah 1 buah), 11:10 (sejumlah 8 buah), 12:5 (sejumlah 1 buah) dan 17:10 (sejumlah 2 buah). Proporsi 6:5 paling banyak diterapkan pada bangunan arsitektur Denpasar, diikuti dengan proporsi 1:1, selanjutnya 11:10 dan 7:5. Dapat diketahui bahwa perbandingan antara tinggi dan lebar yang membentuk proporsi arsitektur Denpasar mendekati 1:1. Jadi dapat disimpulkan sementara, bahwa dari segi proporsi langgam arsitektur Denpasar menggunakan proporsi 1:1. Citra langgam arsitektur Denpasar dibangun melalui proporsi bangunan yang mengesankan bangunan yang kuat dan kokoh dengan menampilkan kelebaran bentuk fasad. Aspek kuat dan kokoh tersebut didukung dengan aspek dekorasi yang terkesan minimalis, tanpa ukiran yang menjelimet dan menggunakan permainan pasangan batu bata sebagai elemen dekorasinya. Kejelasan struktur dan material sangat diperlihatkan yang menambah kesan penyederhanaan bentuk arsitektur tradisional Bali dalam wujud langgam arsitektur Denpasar.

Analisis Material Dari 149 objek penelitian dapat ditabulasikan penggunaan material pada bangunan arsitektural yang nantinya memberikan suatu gambaran material bangunan yang mencirikan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

296

arsitektur berlanggam Denpasar, seperti yang tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.3 Penerapan Material Pada Objek Penelitian No. Material Jumlah Presentase 1. Tanah Citakan/Pol-Polan 2 1,34 % 2. Kombinasi Tanah Citakan dan Batu Bata 1 0,67 % 3. Batu Bata Kasar 62 41,61% 4. Batu Bata dengan Finishing 2 1,34 % 5. Batu Bata Kombinasi Paras 26 17,44 % 6. Paras 3 2,01 % 7. Batu Bata dengan Atap Genteng 18 12,08 % 8. Batu Bata dengan Atap Beton 35 23,74 % Jumlah 149 100 % Sumber: Hasil Survey 2014

Mayoritas objek pada tabel di atas menggunakan batu bata kasar yaitu bata bata tanpa finishing tambahan yaitu berjumlah 62 buah yaitu 41,61 %. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan narasumber yang menyebutkan arsitektur tradisional Denpasar menggunakan material utama batu bata kasar. Bahkan dengan tegas narasumber mengemukakan bahwa material batu bata memang mencirikan arsitektur Denpasar sebagai penanda bangunan Majapahit. Pada urutan berikutnya adalah batu bata dengan beratap beton berjumlah 35 buah yaitu 23,74 % dan batu bata beratap genteng berjumlah 18 buah yaitu 12,08%. Kedua material tersebut yaitu beratap genteng dan beton menurut narasumber penerapannya dimulai setelah Belanda memerintah di Denpasar. Aspek material selain menggunakan material lokal yang dekat dekat lokasi pembangunan, juga menjadi semacam penanda langgam arsitektur tertentu (Majapahit). Jadi dapat disimpulkan sementara bahwa material yang digunakan lebih kepada penanda suatu citra tertentudibandingkan aspek durabilitas semata.

Analisis Dekorasi Untuk mencari kekhususan dekorasi arsitektur langgam Denpasar maka akan dibahas beberapa dekorasi yang unik, terutama yang menurut beberapa narasumber mencitrakan langgam arsitektur Denpasar; seperti yang tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.6 Penggunaan Dekorasi Pada Arsitektur Berlanggam Denpasar No. Objek Image Keterangan Dekorasi 1. Ornamen Ornamen diterapkan pada bagian gidat pemesuan merajan Kolonial kauhan Puri Penatih. Visual estetis menggunakan estetika Bali yaitu dengan motif pepatran. Menunjukkan perpaduan antara ornamen asing dengan ekspresi estetis Bali mengesankan kesatuan. 2. Kekarangan 1 Penerapan ornamen yang merupakan simplifikasi dari motif kekarangan khususnya karang sae atau karang boma yang ditempatkan di gidat pemesuan. Bentuk ornamen tersebut dibentuk dari permainan susunan batu bata yang membentuk motif kekarangan.

3. Kekarangan 2 Penempatan elemen dekorasi kekarangan yang dibentuk dari susunan batu bata. Meskipun tata urutannya mengikuti pakem tradisional, namun secara visualisasi bentuknya menjadi minimalis karena dibentuk dari susunan batu bata yang menyerupai bentuk kekarangan tertentu. Tampak ada usaha meminimalisasi bentuk ornamen namun tetap mempertahankan karakternya.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

297

4. Penerapan penerapan tempelan piring keramik China sebagai unsur Piring China penambah estetika dalam bangunan. Piring keramik China dianggap sebagai barang mewah pada masanya untuk menambah prestise dan status sosial pemilik bangunan. Tempelan piring keramik tersebut ditempatkan pada permainan pasangan batu bata, sehingga terkesan terintegral dengan keseluruhan bangunan.

5.. Pepalihan 1 Permainan pasangan bata dengan penjorokan dan cerukan yang menimbulkan bentuk-bentuk tertentu. Bentuk tersebut adalah bentuk dasar dari kekarangan dalam keseluruhan bebaturan bangunan Bali. Pepalihan ini adalah salah satu ciri khas arsitektur berlanggam Denpasar.

6. Pepalihan 2 Permainan pasangan batu bata yang menghiasi lobang pintu masuk yang membentuk bentuk tertentu. Dekorasi ini biasanya digunakan pada kori agung pada bangunan Pura yang besar. Pepalihan ini juga menjadi salah satu ciri khas pada arsitektur berlanggam Denpasar namun jarang digunakan secara umum, khususnya untuk bangunan pura dan puri semata. 7. Pepalihan 3 Permainan pasangan bata dengan penjorokan dan cerukan yang menimbulkan bentuk-bentuk tertentu. Dekorasi ini menghiasi lobang angin disamping lobang pintu masuk. Di sampingnya dihiasi bentuk ornamen yang melengkung yang membentuk telinga atau sayap. Pepalihan ini adalah salah satu ciri khas arsitektur berlanggam Denpasar. Sumber: Hasil Survey 2014

Dari segi dekorasi ada beberapa hal penting yang dapat disimpulkan sementara yaitu: Permainan pasangan batu bata baik penjorokan atau cerukan yang biasa disebut pepalihan yang mencirikan arsitektur berlanggam Denpasar. Pasangan batu bata tersebut selain menjadi bagian dari konstruksi bangunan juga sekaligus menjadi elemen dekorasi bangunan.. Pada pepalihan tersebut juga terdapat penyederhanaan bentuk kekarangan ataupun pepatran menyebabkan arsitektur berlanggam Denpasar selain berkesan lebih minimalis dibandingkan arsitektur daerah Bali lainnya namun tetap mempertahankan karakter bangunan Bali tersebut. Terdapat suatu kreatifitas pengembangan dekorasi bangunan tradisional Bali yang merupakan sebuah keberanian untuk keluar dari pakem arsitek tradisional Bali. Kreatifitas tersebut masih dalam koridor konsep dekorasi arsitektur tradisional Bali.Adanya akulturasi budaya luar yang diadopsi dalam arsitektur berlanggam Denpasar menegaskan bahwa arsitektur berlanggam Denpasar terbuka untuk dimasukan unsur-unsur budaya lainnya; namun tetap mempertahankan karakter bangunan, ungkapan estetik dan gaya pengerjaan yang mengacu kepada arsitektur tradisional Bali. Dari ketiga kesimpulan sementara tersebut bahwa bangunan berlanggam Denpasar terbukti mampu mengakomodasi perkembangan jaman.

SIMPULAN Berdasarkan pemaparan pada bab-bab sebelumnya maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Identitas peciren bebadungan sebagai jatidiri arsitektur langgam Denpasar dapat dijabarkan sebagai berikut: Pemakaian Batu bata merah sebagai unsur utama dan modulasi bangunan. Batu bata merah tersebut di satu sisi merupakan penanda arsitektur Majapahit di sisi lain warna merah pada batu bata juga menyiratkan karakter atau watak Denpasar yang berani, tegas, beblakasan dan to the point. Karakter arsitektur langgam Denpasar juga lebih mementingkan aspek kejelasan struktur pasangan batu bata sebagai elemen dekorasi dengan menerapkan aspek repetisi dan permainan pemasangannya (rhythm). Langgam Arsitektur Denpasar lebih adaptif terhadap perpaduan dengan budaya asing, ditandai banyaknya perpaduan gaya Eropa dan China pada wujud fasad tanpa menghilangkan karakter bangunan Bali itu sendiri. Proporsi bangunan arsitektur langgam Denpasar tampak lebih tinggi dan lebih lebar dengan proporsi yang memakai

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

298

perbandingan 1:1, 2:1, 3:2, 5:6, 6:5, 7:5, 8:5, 9:5, 11:10, 12:5 dan 17:10. Proporsi tersebut memberikan karakter kokoh dan tegas mencerminkan karakter masyarakat Denpasar.Unsur-unsur yang menjadi pembentuk peciren bebadungan sebagai identitas langgam arsitektur Denpasar adalah:Unsur Kreatifitas yaitu unsur pengembangan elemen arsitektur tradisional Bali yang disesuaikan dengan aspek fungsi namun tetap mempertahankan karakter dari bangunan tradisional Bali.Unsur Akseptabilitas yaitu unsur keterbukaan terhadap akulturasi dengan budaya asing yang dengan “damai” melebur pada artefak budaya lokal tanpa menghilangkan karakter dan jati diri arsitektur tradisional Bali. Unsur Komformitas yaitu kesesuaian peruntukan dan visualisasi bangunan berlanggam Denpasar untuk mengakomodadi kebutuhan dan gaya hidup Modern.

DAFTAR PUSTAKA Frick, Heinz dan Purwanto, LMF, 1998, Sistem Bentuk Struktur Bangunan: Dasar-Dasar Konstruksi Dalam Arsitektur, Seri Konstruksi Arsitektur 1, Semarang: Kanisius Heryanto, Bambang dan Ihsan dan Venny Veronica Natalia, 2012, Identitas Kota dan Keterikatan Pada Tempat, Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik Volume 6 Desember 2012, Makassar: Universitas Hasanudin Kusuma, Dewa, 2013, Arsitektur Kota Denpasar Berbasis Kearifan Budaya Lokal, makalah dalam Sarasehan Arsitektur “Arsitektur Kreatif Berbasis Budayaan Unggulan di Kota Denpasar, yang dilangsungkan di Ruang Pertemuan Sewaka Dharma, Kantor Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Denpasar, 13 Desember 2013. Munandar, Agus Aris, 2005, Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad ke 14-19, Depok: Komunitas Bambu Nazir, Moh., 2003, Metode Penelitian, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia Rutherford, Jonathan Eds., 1990, Identity: Community, Culture, difference, London: Lawrence & Wishart Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Penerbit Alfabeta

KAJIAN IKONOGRAFI LUKISAN PADA PLAFON INTERIOR ASHRAM VRATA WIJAYA DI DENPASAR

I Nyoman Adi Tiaga, I Kadek Dwi Noorwatha Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar Art [email protected]

Abstrak Ashram Vrata Wijaya merupakan sebuah bangunan arsitektur Ashram yang berusaha menyelaraskan diri dengan lokasi dan lingkungannya. Ashram Vrata Wijaya dengan bentuk interior plafon dengan lukisannya yang unik menjadi daya tarik bagi pemakai ruang dan mereka yang memasuki ruangan, menjadi bahan pertanyaan, apa maksud dan makna dari lukisan plafon tersebut? Sehingga untuk itu agar menghindari terjadinya kesalahan informasi maka penelitian ini sangat diharapkan nantinya sebagai sumber yang akurat mengenai makna yang terkandung dari lukisan plafon pada interior Ashram Vrata Wijaya. Ashram Vrata Wijaya dibangun sebagai tempat memperdalam ilmu spiritual khususnya kesiwaan. Arsitektur dan interiornya bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan fungsi sebagai tempat suci untuk menaungi kebutuhan aktivitas para bhakta (umat) namun juga sebagai usaha penyelasaran hubungan manusia dengan alam. Lukis pada plafon interior banyak dibuat dalam bentuk dan motif karya dua dimensi lukis bercorak lukis wayang kamasan dilihat dari teknik pengerjaan dan bahan-bahan yang digunakan sebagai usaha memunculkan makna dan keindahan dimasa proses pebangunan arsitektur dan interiornya jika dieksplor secara mendalam makna yang terkandung dalam lukisan plafon ashram ini ingin mengabadikan semangat pengabdian yang tulus yang lahir dari dalam diri bakta untuk menjadi bakta yang baik dan berbakti pada ajaran jnana buda siwa.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

299

Kata kunci : lukisan plafon interior Ashram Vrata Wijaya, ikonografi, wujud, makna.

Abstract Ashram Vrata Wijaya is an architectural building of Ashram which tries to align themselves with the location and its surroundings. The building is unique in the shape of the building, especially the interior of its ceiling which has a shape whose form is full with a variety of symbols and their meanings. Ashram Vrata Wijaya with the interior of ceiling with unique paintings, becomes interesting for the user space and those who enter the room, becomes the subject of the question, what is the purpose and meaning of the painting in the ceiling? So in order to avoid misinformation, this study is expected as an accurate source of meaning contained in the interior of the ceiling painting in Ashram Vrata Wijaya. Ashram Vrata Wijaya was built as a place of learning spiritual knowledge, especially kesiwaan deepen. Architecture and interior are not only to meet the needs of the function as a shrine to protect the need of activities of devotees (people) but also as an attempt to harmonize the relationship between man and the nature. The painting on the ceiling interior are made in many shapes and motifs of two-dimensional works of painting with puppet painting Kamasan seen from the construction techniques and materials that are used, as an attempt to bring meaning and beauty in the process of building the architecture and interior. If explored deeply the meaning contained in the ceiling painting of this ashram is that to capture the spirit of sincere devotion born from the devotees to be good devotees at the teachings of jnana buda Siwa.

Keywords: the ceiling painting of Ashram Vrata Wijaya interior, iconography, form, meaning

PENDAHULUAN Setiap kegiatan masyarakat Bali sangat terkait dengan kesenian dan yadnya. R.M Soedarsono menegaskan, Bali sebagai pulau dewata tidak lepas dari sifat masyarakat Bali itu sendiri, yakni masyarakat yang terbuka dan sangat kreatif. Pengaruh dari luar seperti apapun setelah jatuh ke tangan seniman Bali selalu berciri Bali. Walaupun di bawah kekuasaan Jawa (Majapait) kesenian Hindu Bali mempunyai sifat dan corak tersendiri. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Vickers dalam Bukunya berjudul Bali Paradise diketemukanya Bali itu berarti pembukaan tabir yang meliputi suatu keindahan dan kemolekan yang mempesonakan. Pulau Bali taman firdaus, kata Houtman. Keindahan yang tidak lepas dari aktifitas ritual sebagai pengisi aktifitas masyarakat Bali yang menyatu dalam olah seni.(Vickers,1989: 242). Pada setiap cabang kesenian di Bali bisa ditemukan beberapa ikon yang memiliki referensi berupa benda nyata maupun benda abstrak, dari cerita-cerita mitologi. Seperti pada lukisan di langit-langit (plafon) bale kambang Kertagosa (Klungkung) yang merupakan ikon dengan mengambil referensi cerita perjalanan hidup manusia sejak mulai dilahirkan hingga kematiannya, yang secara implisit mengandung ajaran-ajaran moral yang harus dipatuhi sehingga bisa dipertanggungjawabkan di dunia akhirat nantinya. Demikian juga dengan arsitektur tradisional Bali yang memiliki ciri khas sangat spesifik Pembagian ruang luar, jenis dan bentuk bangunan, serta interior pada arsitektur disesuaikan dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing di dalam suatu tatanan adat tertentu. Seperti pada bangunan yang difungsikan untuk melakukan upacara keagamaan (ibadah) bangunan Ashram salah satunya yang saat ini sudah mulai berkembang di Bali. Ashram Vrata Wijaya yang dibangun pada daerah perkotaan tepatnya di Tohpati Denpasar Timur adalah salah satu bangunan Ashram yang dibangun menyesuaikan kondisi lingkungan dengan memanfaatkan lahan yang sangat terbatas seluas 5,5 are atau 550 M² ini merupakan suatu arsitektur Ashram yang berusaha menyelaraskan diri dengan lokasi dan lingkungannya. Memiliki keunikan tersendiri. Pada bangunanya baik arsitektur dan interiornya memiliki bentuk yang sarat dengan simbol-simbol dan berbagai makna terkandung didalamnya, salah satunya pada bagian interior desain plafonnya menggunakan lukisan yang sangat unik sehingga menarik untuk diungkap sebagai topik dalam penelitian ini.

METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat kualitatif sehingga analisa yang relevan adalah analisis deskriptif

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

300

kualitatif. Metode ini dilakukan dalam proses penyusunan, pengkategorian, pencarian tema atau pola dengan tujuan memahami maknanya, dengan langkah deskripsi data, reduksi data, interpretasi data dari unsur –unsur bentuk lukis plafon interior Ashram Vrata Wijaya dengan menggunakan analisis metode ikonografi Erwin Panofsky yang menerapkan tiga langkah dalam menganalisa yaitu (1) pre-ikonografi, (2) ikonografis dan (3) ikonologi. Ketiga langkah pokok pembahasan ini menurut Erwin Panofsky (1955), oleh peneliti untuk memahami atau mengkaji makna elemen bentuk dan tema lukis plafon interior Ashram Vrata Wijaya sebagai sebuah karya seni, Panofsky memberi tiga tahapan atau tingkatan dalam menganalisis, tahapan tersebut dijelaskan dalam bukunya berjudul “Meaning in The Visual Arts” yaitu: tahapan deskripsi pra-ikonografi (pre- iconographical description), analisis ikonografis (iconographical analysis) dan interpretasi ikonologis (iconological interpretation) (Panofsky, 1955: 26-40)

Deskripsi Pra-ikonografi (makna primer) Berisi tanggapan awal terhadap aspek tekstual yang berada dalam batasan dunia motif artistik. Dunia motif artistik merupakan makna primer yang terbentuk dari makna faktual dan ekspresional. Makna faktual dipahami dengan cara mengidentifikasikan bentuk yang tampak dengan obyek tertentu dan mengidentifikasi perubahannya dengan aksi atau peristiwa tertentu. Makna ekspresional dipahami dengan cara “empati”, dimana si pengamat mampu mengartikan sesuatu yang diamatinya, berdasarkan rasa familier yang dimiliki terhadap obyek dan peristiwa. Makna primer wujud dab tema lukis plafon Interior Ashram Vrata Wijaya Denpasar dapat dipahami dengan mengidentifikasikan bentuk murni yaitu, konfigurasi tertentu dari garis, warna, bentuk, dan juga teknik, dan material yang digunakan dalam pembuatan lukisan pada plafon interior Ashram Vrata Wijaya, sebagai representasi dari objek alami seperti, manusia, binatang, tanaman, peralatan dan sebagainya, dengan mengidentifikasikan hubungan dari keduanya sebagai peristiwa-peristiwa dan merasakan kualitas ekspresional sebagai karakter dari pose atau bahasa tubuh dari objek (Panofsky, 1955: 33-34). Alat yang digunakan dalam deskripsi pra-ikonografi adalah selain pengalaman praktis dan rasa familier terhadap objek dan peristiwa juga perlu dihubungkan dengan prinsip korektif terhadap kondisi historis yang bervariasi yang disebut dengan sejarah gaya / style. Maka untuk melihat sejarah gaya / style lukis plafon interior Ashram Vrata Wijaya Denpasar dapat ditinjau dari perkembangan karakteristik lukis wayang tradisional Bali yaitu gambar Wayang Kamasan yang ada di Klungkung, Bali.

Analisis ikonografi (Makna sekunder) Analisis Ikonografis merupakan tahapan untuk mengidentifikasi makna sekunder, dengan melihat hubungan antara motif sebuah karya seni lukis plafon dari tema dan konsep, yang dimanifestasikan dalam gambar, cerita, dan motif. Hal ini menunjukan sesuatu yang lebih dari rasa familier terhadap objek dan peristiwa yang diperoleh dari pengalaman praktis. Sesuatu yang lebih dari rasa familier tersebut mengisyaratkan rasa familier terhadap tema dan konsep dari suatu karya seni, seperti yang dikirimkan melalui sumber literatur, apakah didapatkan melalui membaca atau melalui tradisi mulut ke mulut atau narasumber pembuatnya, (Panofsky, 1955: 35).

Interpretasi ikonologis (Makna intrinsik) Interpretasi ikonologis merupakan tahapan yang paling hakiki dan mendasar (esensial) untuk memahami isi dari sebuah karya seni. Interpretasi yang mendalam dari makna instrinsik dapat dipahami dengan menegaskan prinsip dasar yang memaparkan perilaku dari suatu bangsa atau kelompok, zaman, kelas, persuasi filosofis dan religiusitas yang dapat memenuhi syarat kepribadian dan dipadatkan ke dalam satu karya. Untuk mendapatkan prinsip dasar yang mendasari pilihan dan interpretasi dari gambar, cerita, dan alegori, yang dapat memberikan makna pada susunan formal dan prosedur teknis yang digunakan, menurut Panofsky sangat diperlukan kemampuan mental, yang disebut dengan “intuisi sintesis”, (Panofsky, 1955: 38). Namun semakin subyektif dan irasionalnya sumber interpretasi tersebut, maka semakin diperlukan aplikasi dari korektif, seperti halnya pengalaman praktis yang harus dikoreksi oleh suatu pandangan ke dalam cara di mana proses penggalian makna, menurut kondisi sejarah yang bervariasi, obyek dan peristiwa dinyatakan oleh bentuk (sejarah gaya), tema dan konsep dinyatakan melalui obyek dan peristiwa, maka intuisi sintetis yang dimiliki juga harus

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

dikoreksi oleh pandangan ke dalam cara di mana interior Ashram itu dibentuk, di bawah kondisi sejarah yang bervariasi, tendensi umum dan esensial dari pikiran manusia dinyatakan melalui tema dan konsep khusus, yang disebut dengan sejarah gejala cultural atau “simbol” dalam makna Ernst Cassirer. Sejarah gejala cultural dalam penelitian ini akan ditinjau berdasarkan budaya masyarakat Bali di mana objek lukis plafon tentunya ada fungsi dan pesan yang ingin disampaikan. Pada penelitian ini peneliti akan menerapkan tiga langkah proses analisa yang didapat dari metode ikonografi Erwin Panofsky yang akan di analisis berurutan dan akan diperkuat dengan teori-teori bantu yang dianggap relevan yaitu teori dari Edmund Burke Feldmen, terkait dengan struktur dan gaya/style seni yang dijelaskan dalam bukunya berjudul “Art as Image and Idea”. Teori ini nantinya akan digunakan untuk mengkaji aspek dan unsur-unsur bentuk garis dan warna lukis plafon interior Ashram Vrata Wijaya pada tahap deskripsi pra-ikonografi. Kelebihan metode ikonografi ini dari metode yang lain menurut penulis menganggap kemampuannya dalam membongkar bentuk dan makna yang dipakai untuk memahami secara kritis bahasa rupa yang terselubung secara idiologi yang direproduksi oleh suatu sistem petanda. Sebagai kasus dalam penelitian ini adalah lukis plafon pada interior Ashram Vrata Wijaya yang sarat dengan muatan simbol pada setiap elemen lukis plafonya interiornya. untuk mengungkap makna isi dibalik semua unsur lukisan plafon pada interior Ashram Vrata Wijaya tersebut dapat diurai dengan analisis pre-ikonografi, ikonografis, yang telah dipaparkan pada di atas.

HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang diperoleh di lapangan akan dianalisis dengan pendekatan ikonografi Panofsky, yang merupakan salah satu pendekatan sejarah yang sangat komperhensif untuk bisa melihat fenomena penelitian dalam bidang seni rupa, yaitu lukis plafon pada interior Ashram Vrata Wijaya dengan data-data yang dijumpai di lapangan antara lain Ashram Vrata Wijaya terletak di jalan Siulan gang Nusa Indah no 4, Tohpati, Denpasar Timur. Bangunan ini memiliki daya tampung 250 hingga 300 orang. Arsitekturnya terbagi dalam tiga zona yaitu zona bawah, zona tengah dan zona atas. Ada pun lokasi Ashram Vrata Wijaya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Pera Pulau Bali, (Sumber : www, Gambar 2. Site Plan Ashram Vrata Wijaya google earth.com, Th 2014) (Sumber : www, google earth.com, Th 2014)

Kondisi Bangunan Ashram Vrata Wijaya menurut fungsi dan aktifitas spiritualnya, terdiri dari tiga zona yaitu: zona atas yang berfungsi sebagai tempat pemujaan yang ditempati khusus untuk Maha Guru sebagai pemimpin jalannya ritual upacara, zona tengah adalah area persiapan untuk melakukan persembahyangan dalam mengiringi prosesi ritual dan sebagai tempat bhakta melakukan doa atau pemujaan. Zona bawah merupakan area paling bawah sebagai ruang terbuka yang terdapat beberapa lingga seperti Lingga Sri Karnath, Lingga Nandini, Lingga Guru.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154 302

Pembagian zona pada Ashram Vrata Wijaya digambarkan pada gambar 2a denah zona dengan perbedaan zona antar zona yang lain dengan perbedaan warna. Zona atas digambarkan dengan warna merah, zona tengah digambarkan dengan warna biru dan zona bawah digambarkan dengan warna hijau. Sedangkan Lay out Ashram Vrata Wijaya pada gambar 2b dijelaskan dengan area bawah atau area ruang luar yang terdiri dari beberapa Lingga yaitu: A) Sri Karnath, B) Lembu Nandini, C) Lingga Guru, D)Beji Agung, Area tengah yang di tempati oleh : E) Graha Guru, F) Graha Tapa, G) area Pemujaan, H) Area Altar Shiva sebagai sentra pemujaan utama, I) Ruang Persiapan, J) Kori Agung, K) Kori Samping.

Gambar 3. Pembagaian zona (area) Pada Ashram Vrata Gambar 4. Lay out Ashram Vrata Wijaya Wijaya, (Sumber : Dokumen Penulis 27 Maret 2013) ( Sumber : Dokumen Penulis 27 Maret 2013)

Lukisan plafon pada Ashram Vrata Wijaya terletak pada bangunan wantilan yang terbagai dalam sebelas prim adegan yang masing- masing adegan memiliki cerita yang saling terkait di pasang mengelilingi semua plafon pada wantilan Ashram ini merupakan tempat pemujaan siwa yang di lakukan setiap tanggal 10 dan tangal 13 setiap bulannya atau pada hari purnama dan tilem.

Bentuk plafon Bentuk plafon pada bangunan wantilan dibuat dengan plafon ekspos berbahan kayu dan penutup anyaman bambu untuk memunculkan kesan tradisi, pada plafon dipasang lukisan yang akan di bahas sebagai onbyek penelitian pada kasus ini.

Gambar 5. Banguan wantilan Ashram Vrata Wijaya ( Sumber : Dokumen Penulis 20 mei 2014)

Gambar 6. Letak lukisan plafon pada Ashram Vrata Wijaya. (Sumber: Dokumen Penulis 20 Mei 2014)

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

303

Pre-Ikonografi lukisan pada plafon interior arsitektur ashram vrata wijaya. Ashram Vrata Wijaya dibangun sebagai tempat memperdalam ilmu spiritual yang berlandaskan ajaran kesiwaan. Arsitektur dan interiornya bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan fungsi akan tempat untuk menaungi kebutuhan aktivitas para bhakta (umat) namun juga sebagai usaha penyelasaran hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan tuhan (siwa). Arsitektur dan interior banyak dibuat dalam bentuk dan motif hias yang memunculkan makna dan keindahan salahsatunya lukisan pada plafonya memiliki pesan dan tujuan tertentu tidak hanya sekedar penutup atap jika dieksplor secara mendalam. Lukis pada plafon interior pada arsitektur Ashram Vrata Wijaya yang difokuskan dalam penelitian ini hanya akan mengupas bentuk, fungsi dan makna lukisan plafonya yang memiliki bentuk sangat unik yang tidak anya sekedar sebagai unsure pembentuk ruang semata. Berdasarkan analisa awal dari paparan diatas dapat diputuskan bahwa lukisan pada plafon yang ada pada ashram vrata wijaya ini terinfirasi dari bentuk plafon lukis wayang yang ada pada bangunan balai kambang kerta gosa Kelungkung. Namun keunikan dan perbedaan yang membedakan lukis plafon yang di ashram dengan di kerta gosa Kelungkung, berbeda pada bentuk dan cerita yang menjadi tema lukisan pada masing plafon tersebut. Bentuk Lukisan yang dibuat pada plafon interior nya memiliki bentuk yang menunjukkan usaha untuk menceritakan semua proses perjuangan bakta dalam melaksanakan darma kewajibannya sebagai bakta dalam mebangun tenpat pemujaan yang sekarang diberi nama Ashram Vrata Wijaya. Lukisan plafon pada ashram terbentuk dalam sebelas prin yang saling berkaitan antar prim yang ada. Lukisan plafon dalam Ashram ini terpampang pada plafon wantilan yang merupakan tempat pemujaan dalam Ashram Vrata Wijaya, Bangunan Wantilan mengambil bentuk bangunan wantilan pada umumnya di Bali namun fungsinya yang berbeda. Wantilan pada umumnya berfungsi sebagai fasilitas umum kegiatan masyarakat warga banjar (Dwijendra, 2009:24). Berbeda dengan di Ashram Vrata Wijaya bangunan Wantilan sebagai fasilitas kegiatan ritual dan aktifitas pembelajaran dalam Ashram. Lukisan plafon Ashram mengambil bentuk dasar lukisan tradisi yang bercorak teknik lukis wayang kamasan begitu juga pewarnaan dan material yang di gunakan. Bentuk-bentuk yang di gambarkan menceritakan jalan cerita proses pembuatan ashram , di munculkan gambaran pigur-pigur manusia tidak berupa gambar wayang sehinga hal ini yang membedakan lukisan kamasan dengan lukis plafon pada Ashram Vrata Wijaya. Setiap prim dari sebelas prim menceritakan kejadian peristiwa demi peristiwa dengan adegan sesuai dengan peoses yang terjadi saat pembangunan arsitektur dan interior ashram itu sendiri.

Ikonografi Arsitektur dan Interior Ashram Vrata Wijaya Pada tahapan ikonografi lukisan plafon pada interior Ashram Vrata Wijaya dikaji berdasarkan tempat pemujaan siwa yang saat ini di beri nama Ashram Vrata Wijaya seperti yang sudah dijelaskan diatas terdiri dari sebelas prim dengan adegan dan menggambarkan peristiwa kejadian menjadi satu deretan peristiwa yang terjadi saat proses terbentuknya arsitektur ashran ini: prim satu mengisahkan kejadian turunya pada dewa memberikan restu untuk membangun tempat suci yaitu Ashram, prim dua mengisahkan bakta memohon petunjuk pada mahaguru mengenai keinginan bakta akan membangun ashram, prim tiga mengisahkan bakta mendapat restu langung saat bermeditasi yaitu restu tembat lahan untuk membangun ashram, prim empar menceritakan bakta melakukan meditasi dilahan rencana tempat membangun ashram dan meyaksikan lingga yoni tegak dihadapanya, prim lima menggambarkan bakta bergotong royong di tenpat lahan yang akan di bangun ashram, prim enam masi menyambung cerita prim lima, prim tujuh menggambarkan prosesi peletakan batu pertama pembangunan ashram, prim delapan menceritakan kejadian demi kejadian hadirnya sosok naga dan empas saat proses pembangunan ashram, prim sembilan menggambarkan semangat para bakta saat menempatkan batu sebagai lingga guru, prim sepuluh menggambarkan proses pembentukan patung siwa, ganesa dan hanoman, serta prim sebelas sebagai prim terahir menceritakan proses ditemukanya batu lingga nandini di pantai batu kelotok kelungkung, saat ini menjadi lingga nandini yang di tempatkan diarea Asheram Vrata Wijaya, terlihat pada gambar 4 diatas.

Interpretasi Ikonologi Kori Agung Ashram Vrata Wijaya

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

304

Tahapan ikonologi merupakan pemahaman mengenai makna intrinsik yang terdapat dalam objek lukisan plafon dengan mengungkapkan prinsip-prinsip dasar yang kemudian dapat menunjukkan perilaku sikap dasar dari sebuah bangsa atau masyarakat tertentu dalam hal ini bakta ashram yang masih memegang teguh tatanan tradisi yang memperlakukan semua benda sebagai mahluk hidup seperti arsitektur atau bangunan bukan sekedar benda mati semata, Keindahan bentuk yang menghadirkan nilai-nilai merupakan wujud simbolisasi perjuangan dan pengorbanan bakta saat membangun tempat suci ashram, Tentunya kerelijiusan dan kesakralan yang tersirat pada lukisan plafon bangunan arsitektur dan interior Ashram Vrata Wijaya merupakan usaha sebagai upaya menggambarkan kemahakuasaan dan kekuatan Shiva serta sifat-sifatnya sebagai jalan untuk mempertebal keyakinan dan kepercayaan pemakai ruang atau umat (bhakta).

SIMPULAN Ashram Vrata Wijaya dibangun sebagai tempat memperdalam ilmu spiritual khususnya kesiwaan. Arsitektur dan interiornya bukan semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan fungsi akan tempat untuk menaungi kebutuhan aktivitas para bhakta (umat) namun juga sebagai usaha penyelasaran hubungan manusia dengan alam. Lukis pada plafon interior banyak dibuat dalam bentuk dan motif karya dua dimensi lukis bercorak lukis wayang kamasan dilihat dari teknik pengerjaan dan bahan-bahan yang di gunakan sebagai usaha memunculkan makna dan keindahan dimasa proses pebangunan arsitektur dan interiornya jika dieksplor secara mendalam makna yang terkandung dalam lukisan plafon ashram ini ingin mengabadikan semangat pengabdian yang tulus yang lahir dari dalam diri bakra untuk menjadi bakta yang baik dan berbakti pada ajaran jenana bunda siwa.

DAFTAR PUSTAKA Dwijendra, Ketut Acwin.(2008), Arsitektur Bangunan Suci Hindu berdasarkan Asta Kosala-kosali. Penerbit CV. Bali Media Adhikarsa dan Udayana University Press, Denpasar Bali Feldmen, Edmund Burke. (1967), Art As Image And Idea, Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Lauraen, Jaice Marcella. (2004), Arsitektur & Perilaku Manusia. Penerbit Grasindo Jakarta Moleong, Lexy J. (2010), Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya. Bandung Panofsky, Erwin, Meaning In The Visual Art, The Uneversity Of Chicago Press (1979), The Meaning of art, Washington, Praeger Publ. Inc., New York Sudana, I Nyoman Gede, (2005), Arsitektur Bertutur, Yayasan Pustaka Bali

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI PADA DESAIN HYBRID BANGUNAN RETAIL DI KUTA BALI

Ida Ayu Dyah Maharani & Toddy Hendrawan Yupardhi Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain,Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected], [email protected].

Abstrak Arsitektur di Bali berkembang dengan pesatnya. Pengaruh-pengaruh dari luar Bali membawa perubahan terhadap bentuk arsitektur Bali. Fenomena kebebasan dalam mengekpresikan nilai-nilai estetika mendapatkan porsi lebih besar dan menekan unsur-unsur budaya lokal. Permasalahan muncul ketika sesuatu yang sifatnya masih kokoh bertahan dengan sifat provan (tradisional) bertemu dengan bentuk-bentuk profit (modern). Seolah-olah menghilangkan regionalisme dan menampilkan internasionalisme (Prijotomo, 2008:17).

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

305

Penelitian ini bersifat deskriptif, pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling di kompleks pertokoan Kuta Galeria-Bali. Pada komples bangunan retail ini, terdapat banyak jenis bangunan hybrid yang unsur-unsur lokal Bali hanya sekedar menjadi tempelan yang ditunjukkan melalui pemanfaatan ornamen-ornamen arsitektur tradisional Bali. Hasil penelitian ini adalah bahwa bangunan retail pada obyek terpilih mayoritas “merasa kesulitan” untuk menampilkan arsitektur lokal Bali dalam upayanya mewujudkan konsep hybrid, berpadu dengan arsitektur modernnya. Pada bagian akhir penelitian disertai rekomendasi tentang pertimbangan dalam mendesain bangunan retail dengan konsep hybrid yang menyatukan arsitektur modern dengan arsitektur tradisional Bali.

Kata Kunci: arsitektur Bali, arsitektur modern, desain hybrid, bangunan retail

Abstract In this era of globalization, architecture in Bali has grown rapidly. Influences from outside Bali brings changes toward the form of Balinese architecture. A freedom phenomenon in expressing aesthetic value gets a bigger portions and presses the elements of the local culture. Problem arises when something that is still firm holding the natural (traditional) character meets with other forms of profit (modern). As if eliminating the regionalism and displaying the internationalism (Prijotomo, 2008:17). This research is a descriptive research, taking several samples based on purposive sampling in the shopping complex Galeria Kuta-Bali. In this retail building complex, there are many kinds of hybrid building whose local Balinese elements are only stickers that are shown through the use of Balinese architecture ornaments. This research lead to the conclusion that the retail building on the selected objects "feels difficulty" in majority to display the local Balinese architecture in its efforts to realize the concept of hybrid, combined with modern architecture. This research finding formulation of recommendation about a consideration in designing a retail building with a hybrid concept that unifies the modern architecture and the traditional one.

Key words: Balinese architecture, modern architecture, hybrid design, retail building

PENDAHULUAN Pada dasarnya arsitektur Bali merupakan bangunan-bangunan yang selalu berupaya berselaras dengan lingkungannya, dengan tetap mengikuti pedoman tradisi religius lokal. Arsitektur Bali seolah menyatu dengan alam sebagai tempat tinggal makrokosmosnya yang tertuang dalam konsep Tri Hita Karana dimana terdapat tiga unsur penghubung antara alam dan manusia untuk membentuk kesempurnaan hidup yaitu jiwa, raga dan tenaga (Arrafiani, 2012:17), agama Hindu, adat istiadat, kebudayaan serta kepercayaan dalam masyarakat, dimana hal ini disebabkan masyarakat Bali yang selalu memegang teguh budaya adat istiadat. Arsitektur Bali juga selalu berupaya berselaras dengan manusia sebagai alam mikrokosmos, seperti dengan adanya beberapa aturan yang mengharuskan adanya penyesuaian antara ukuran detail-detail bangunan dengan manusia penghuninya atau yang sering disebut dengan istilah asta kosala kosali.Namun akhir-akhir ini dapat dilihat bahwa arsitektur Bali berkembang dengan pesat. Pengaruh-pengaruh dari luar Bali yang memang tidak bisa dihindari membawa perubahan pada bentuk arsitektur Bali, yang bisa dilihat terutama pada unsur-unsur yang terkait dengan budayanya atau kebiasaan turun- menurun yang telah berlangsung sejak lama, bentuk, warna bangunan yang bisa diperoleh dari warna asli bahan bangunan yang digunakan, cat atau bahkan dari unsur dekorasinya (Darmaprawira, 2002:125), bahan bangunan dan teknologi modern dari luar. Hal ini melahirkan fenomena baru dimana nilai-nilai kebebasan dalam mengekpresikan estetika lebih mendapatkan porsi besar dan menekan unsur-unsur budaya lokal. Desain arsitektur Bali dan juga interiornya, pun berkembang semakin kreatif dan inovatif. Walaupun mendapat pengaruh dari kebudayaan luar Bali sebagai wujud akulturasi budaya, namun pada akhirnya rangkuman arsitektur Bali tersebut memiliki gaya tersendiri. Muncullah permasalahan ketika sesuatu yang sifatnya masih kokoh bertahan dengan sifat provan (tradisional) bertemu dengan bentuk-bentuk profit (modern), dimana masyarakat Bali masih sangat percaya dengan kosmologi bertemu dengan bentuk-bentuk yang mengikuti form follows function. Teori-

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

306

teori fungsionalisme dalam arsitektur terus berkembang, sejalan dengan perkembangan budaya modern dan industri, yang lebih memberi penekanan pada fungsi dan teknologi (Sumalyo, 1997:65). Di abad ke-19 ketika pengaruh arsitektur Barat mulai aktif di tanah air, manusia nusantara juga mulai menganggap karya seni (termasuk juga arsitektur) sebagai jawaban terhadap pembebasan dari tantangan yang dilancarkan oleh alam. Padahal konsep asli yang dimiliki Indonesia adalah penyesuaian dan pelarasan diri dengan alam (Mangunwijaya, 1995:150). Sehingga terkadang menyebabkan terjadinya gap budaya. Ikhwanuddin (2005) dalam bukunya Menggali Pemikiran Postmodern Dalam Arsitektur, mengemukakan pemikiran adanya sebuah konsep arsitektur yang dapat dipergunakan untuk menciptakan karya arsitektur berkarakter budaya lokal, yaitu konsep desain hybrid. Gagasan pokok konsep desain hybrid adalah mencampur atau menggabungkan dua atau lebih kode arsitektur untuk kemudian dapat menghasilkan kode arsitektur yang baru. Kode arsitektur yang dimaksud dapat berupa karakter, elemen atau pola, serta bisa berasal dari sejarah, memori, tradisi atau masa kini. Pengertian hybrid sendiri adalah penggabungan dua unsur yang berlawanan tetapi tetap mempertahankan karakter unsur-unsur tersebut. Konsep hybrid telah diterapkan di berbagai negara maju di berbagai belahan dunia ini. Dalam desain arsitektur perlu memperhatikan karakter budaya lokal, agar karya-karya arsitektur tidak asing berada di suatu tempat dan agar suatu tempat memiliki karakternya yang unik. Salah satu cara untuk mendesain karya-karya berkarakter lokal adalah dengan menggunakan konsep desain yang tepat dan diantaranya adalah konsep hybrid. Sehingga konsep desain hybrid, dengan gagasan pokoknya mencampur atau menggabungkan dua hal yang berbeda untuk menghasilkan sesuatu yang baru, menjadi hal yang menarik untuk diangkat sebagai topik penelitian ini. Perkembangan hybrid di Indonesia merupakan bagian perkembangan desain postmodern yang mulai menggejala dari akhir tahun 80-an hingga kini (Sachari, 2001:163). Desain postmodern sendiri membawa nilai-nilai baru, terutama mengakui adanya pluralitas, perlunya menggali kekayaan sejarah dan ekspresi bentuknya, melahirkan bentuk-bentuk yang lebih kompleks dan model kerja kolektif (Widagdo, 2000:214). Upaya kreatif para arsitek untuk dapat mengawinkan suatu konsep desain dari luar yang dalam hal ini adalah konsep desain modern dan budaya lokal nyatanya menghasilkan karya hybrid yang masih lebih memunculkan karakter desain modern dan menenggelamkan karakter desain lokalnya, dikarenakan masih banyak yang belum dapat diterapkan dalam komposisi yang tepat. Investor asing yang mempekerjakan arsitek lokal, seringkali menjadi dominan membawa pengaruh gaya desain-desain arsitektur di negara asalnya. Penyebab lainnya, adanya arsitek lokal yang berkolaborasi dengan arsitek asing mencoba menghadirkan unsur modern dalam desain yang bercita rasa lokal, namun justru menghasilkan desain hybrid yang “tanggung” karena kurangnya pemahaman atas desain modern dan lokal itu sendiri. Seharusnya pada bangunan hybrid, unsur-unsur lokal juga masih bisa terlihat atau tidak hilang dari kehadiran modernitas itu sendiri. Namun kenyataannya, bangunan-bangunan hybrid tersebut terlalu menonjolkan ”kemodernannya” dan menenggelamkan unsur lokalnya. Tidak adanya suatu Peraturan Daerah setempat yang dapat mengatur batas-batas sejauh mana modernitas dapat hadir dalam sebuah bangunan, juga dapat memperparah tenggelamnya unsur-unsur arsitektur lokal. Seperti misalnya pada bangunan-bangunan retail yang terdapat di sepanjang jalan Cihampelas - Bandung, yang dipilih sebagai obyek perbandingan desain hybrid dalam penelitian ini, untuk menunjukkan kasus-kasus yang akan terjadi jika sebuah daerah tidak memiliki suatu peraturan tentang wajah arsitekturnya yang diharapkan dapat mengcounter atau membatasi sejauh mana arsitektur modern bisa tampil dalam sebuah desain hybrid bangunan retail. Dengan tidak adanya peraturan ini, memang seorang arsitek atau desainer bisa mengeksplorasi ide- idenya dengan lebih bebas dan menjadi sangat kreatif, namun yang terjadi justru menjadi berlebihan, liar dan tanpa makna. Daerah yang berada pada Bandung kota ini, pada awalnya terkenal dengan adanya toko-toko jeans. Dalam perkembangannya, di daerah ini juga muncul dan mulai menjamur dengan keberadaan Factory Outlet, seperti halnya di sepanjang jalan Dago (Ir. H. Juanda) Bandung. Hampir sama dengan kompleks pertokoan Kuta Galeria, toko-toko di Cihampelas juga mayoritas menggunakan bentuk-bentuk analogi namun dengan tema superhero barat seperti superman dan spyderman, dan tokoh-tokoh kartun dongeng lainnya seperti aladin dan pinokio. Tokoh-tokoh ini ditampilkan sesuai dengan nama tokonya, seperti toko jeans Aladin yang kemudian menampilkan bentuk analogi tokoh Aladin lengkap bersama putri Jasmine dan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

307

permadani ajaibnya. Di sebuah mal besar di Cihampelas, yaitu Cihampelas Walk (Ciwalk), juga terdapat konsep analogi yang digunakan pada bangunan KFC (Kentucky Fried Chicken) pada kompleks pertokoan tersebut yang menggunakan bentuk ember yang sering digunakan KFC untuk mewadahi pembelian ayam goreng dalam jumlah yang banyak.

Gambar 1 Penerapan tema analogi di daerah Cihampelas

Sedangkan di Bali, walaupun sudah memiliki Peraturan Daerah Provinsi Bali no.5 tahun 2005 salah satunya disebutkan tentang wajah bangunan di Bali yang diharuskan bernafaskan pakem- pakem Arsitektur Tradisional Bali, namun dalam pelaksanaannya di lapangan terutama pada bangunan-bangunan retail, unsur lokal hanya dijadikan sekedar tempelan saja, tanpa memahami falsafah dan karakter yang terkandung dalam detail-detail tersebut. Hal ini bisa dilihat pada contoh kasus yang diangkat pada penelitian ini yaitu bangunan-bangunan retail di kompleks pertokoan Kuta Galeria. Ppada komplek bangunan retail ini banyak terdapat jenis bangunan hybrid yang unsur-unsur lokal Bali hanya sekedar menjadi tempelan (terutama pada pemanfaatan ornamen- ornamen arsitektur tradisional Bali). Beda halnya dengan desain hybrid pada bangunan tempat tinggal, sebagian besar penerapan konsep desain hybrid pada bangunan retail tidak berhasil dengan baik. Padahal sebagai bangunan retail yang merupakan public space, justru bisa menjadi media promosi tetap memperkenalkan bentuk arsitektur lokal Bali di dalam upayanya untuk selalu beradaptasi dengan kemajuan jaman melalui desain modern.

Gambar 2. Pada bangunan (1) yang menggunakan bentuk kolom Yunani, bangunan (2) dan (4) yang menampilkan ukiran Bali, bangunan (3) berupaya menampilkan ornamen-ornamen khas Bali, bangunan (5) menampilkan atap berbentuk meru

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Adapun jenis penelitian dapat dikategorikan sebagai fenomenologi yaitu mengamati fenomena yang terjadi di bidang arsitektur, khususnya arsitektur bangunan retail di Kuta-Bali. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah onbservasi, wawancara, dokumentasi dan kepustakaan. Data-data disajikan dalam bentuk teks dan gambar hasil AutoCad dan diagram. Metode analisisnya adalah metode deskriptif dengan memaparkan segala gambaran yang terkait dengan obyek penelitian. Teori pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling yaitu difokuskan di kompleks pertokoan Kuta Galeria-Bali. Pada kompleks pertokoan tersebut terbagi menjadi beberapa tema yang diterapkan pada masing-masing blok bangunan, sehingga sample diambil dari masing-masing pembagian tema tersebut. . HASIL DAN PEMBAHASAN Berbagai pemikiran tentang desain hybrid, seperti pemikiran Charles Jencks yang menganggap desain hybrid sebagai salah satu karakter arsitektur postmodern yang merupakan campuran atau turunan elemen-elemen yang saling bertentangan dan Kisho Kurokawa yang memberi nama lain konsep hybrid sebagai konsep simbiosis yang menggabungkan atau mencampur berbagai unsur terbaik dari budaya yang berbeda, baik antara budaya masa kini dengan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

308

masa lalu (diakronik), atau antar budaya masa kini (sinkronik), maka dapat ditarik suatu kesamaan bahwa desain hybrid pada dasarnya merupakan penggabungan dua hal atau lebih yang sebenarnya memiliki karakter yang berbeda, dalam proporsi keberadaan yang sama, sehingga karakter masing- masing pembentuknya masih terlihat seimbang keberadaannya. Jadi dalam desain hybrid tidak ada salah satu bagiannya yang terlihat dominan. Penjelasan tahapan terbentuknya desain hybrid pada bangunan retail di Bali adalah sebagai berikut : Tahap pertama: eklektik atau quotation, dengan menelusuri dan memilih perbendaharaan bentuk dan elemen arsitektur tradisional Bali dari jaman Bali madya yang dianggap potensial untuk diangkat kembali. Asumsi dasar penggunaan elemen-elemen arsitektur tradisional Bali madya adalah karena telah mapannya kode dan makna yang dimiliki sehingga mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat. Tahap kedua: manipulasi dan modifikasi, dengan cara-cara yang dapat menggeser, mengubah dan atau memutarbalikan makna yang telah ada. Dari beberapa teknik manipulasi yang ada, yang digunakan yaitu : Reduksi atau simplifikasi : penyederhanaan dengan mengurangi bagian-bagian yang dianggap tidak penting. Hal ini dilakukan dengan dikuranginya penggunaan ornamen-ornamen dari arsitektur Bali yang berlebih pada bangunan. Seperti yang dikatakan oleh Robert Venturi : less is not more, less is a bore (Trachtenberg, 2002:534), maka ornamen yang digunakan bisa dalam bentuk yang sudah distilir (berupa outline) dengan tetap memperhatikan makna-makna simbolik yang dimiliki masing-masing ornamen tersebut. Distorsi bentuk : perubahan dari bentuk asalnya dengan cara misalnya dipuntir (rotasi), ditekuk, dicembungkan, dicekungkan dan diganti bentuk geometrinya. Pada beberapa bangunan retail di Bali, hal ini ada yang dilakukan pada bagian bebaturan (kaki bangunan) yang diubah bentuknya menjadi tangga selebar bangunan itu sendiri yang berfungsi untuk tempat bersantai sejenak bagi pengunjung yang ingin beristirahat. Pada bagian badan bangunan juga ada yang menggunakan bentuk lengkung seperti di Beachwalk Kuta, yang juga menggunakan atap dengan bentuk dasar lingkaran berbahan ijuk. Bangunan dengan bentuk dasar lengkung tersebut bukan merupakan bentuk dasar arsitektur Bali, dan ini meminjam bentuk-bentuk dari post-modern. Disporsisi : perubahan proporsi tidak mengikuti sistem proporsi referensi (model). Pada bangunan retail di Bali, teknik manipulasi ini yang paling sering digunakan. Misalnya dengan membuat bagian bebaturan yang lebih tinggi dari proporsi semestinya dan saka (tiang atau kolom penyangga) yang dibuat out of scale. Tahap ketiga : penggabungan (kombinasi atau unifikasi), penyatuan beberapa elemen yang telah dimanipulasi atau dimodifikasi ke dalam desain yang telah ditetapkan ordernya. Elemen-elemen arsitektur Bali yang dimanipulasi atau dimodifikasi tersebut pada dasarnya melahirkan bentuk-bentuk baru yang mengadopsi dari bentuk-bentuk arsitektur modern.

Desain Hybrid Pada Obyek Terpilih: Kompleks Pertokoan Kuta Galeria Kompleks Pertokoan Kuta Galeria sebagai obyek dalam penelitian ini berada Kuta Central Park di jalan Patih Jelantik-Kuta, sekitar 15 km dari pusat kota Denpasar dengan jarak tempuh sekitar 30 menit. Fasade kompleks pertokoan ini menghadap ke utara (ke arah jalan Patih Jelantik- Kuta). Entrance utama juga berada di sisi utara dari site. Sedangkan side entrance berada pada sisi timur site, langsung menuju ke arah peralihan jalan Imam Bonjol menuju jalan raya Kuta. Kompleks pertokoan ini terdiri dari 260 unit, dibangun sejak tahun 2002. PT Kuta Galeri Gemilang sebagai pemilik sekaligus pengelolanya merupakan anak perusahaan Istana Group Bandung. Luas per unitnya adalah 60m2 yang terdiri dari tiga lantai dengan ukuran per lantainya adalah 5x12m2. Pada lantai keempat yaitu roof top, diijinkan oleh pihak pengelola untuk dimanfaatkan sebagai lahan bangunan semi permanen. Kompleks ini terdiri dari beberapa tenant (penyewa), dimana jenis-jenisnya adalah berupa hotel, salon, restoran, travel agent, model agency, toko kain, toko pakaian dan aksesoris, toko furniture, toko peralatan rumah tangga, kantor pengacara, kantor asuransi, kantor property, bank, tempat kursus hingga gereja. Para tenant ini ada yang berstatus sebagai penyewa langsung ke pihak pengelola dan sebagai pemilik (namun beberapa di antaranya ada yang menyewakannya lagi ke pihak berikutnya). Oleh pihak pengelola, penempatan tenant berada pada beberapa blok bangunan yang dibedakan menjadi enam jenis tema yaitu valet, broadway, promenade, etnik, techno dan ring. Pemilihan tipe dan bentuk bangunan bergantung

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

pada kondisi-kondisi publik yang bersifat khusus, lebih dari sekedar mengatasi kebutuhan civitas bangunan dan kemungkinan-kemungkinan arsitekturnya di masa depan (Krier, 2001:163). Maka jika tenant ingin melakukan perubahan fasade pada bangunan yang disewa atau dibelinya, masih diperbolehkan sepanjang masih mengikuti tema yang sudah diatur pembagiannya per blok bangunan.

PROMENADE

TECHNO ETNIK

PROMENADE RING VALET

PROMENADE BROADWAY

Gambar 3 Pembagian tema pada setiap blok bangunan Tema Valet Valet, menurut devinisinya adalah pelayan pria atau yang sering disebut sebagai kacung. Tema ini diaplikasikan pada bangunan-bangunan di sisi utara kompleks pertokoan, karena pada sisi utara terdapat lahan parkir yang dimanfaatkan untuk area loading dock (bongkar muat barang). Jenis usaha yang berada di sisi utara memang merupakan jenis yang memerlukan area ini, seperti circleK, toko alat-alat dan aksesoris lighting, toko kitchen set, toko pakaian, laundry yang memiliki akses kerjasama ke hotel-hotel dan sebagainya Selain itu, pada sisi ini terdapat main lobby Kuta Central Parking Hotel, sehingga area parkir ini pun digunakan sebagai drop area maupun parkir kendaraan pengunjung hotel. Dari penjabaran tersebut, penentuan tema valet untuk area tersebut tidak berhubungan dengan fasade bangunannya. Bentuk bangunan-bangunannya cenderung bernuansa modern, dengan bentuk deretan jendela kotak berbahan modern seperti kaca, beratap plat beton (karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pihak pengelola masih mengijinkan pemanfaatan roof top untuk bangunan semi permanen). Nafas arsitektur Bali hanya bisa didapatkan dari adanya karang boma pada bagian atas bangunan (yang tentu saja sangat berbeda dengan kehadiran karang boma pada bagian atas pintu masuk ke pekarangan rumah yang memiliki arti untuk mencegah masuknya niat jahat dan menjaga penghuni rumah) dan adanya patung penari Bali () pada bagian depan main lobby Kuta Central Parking Hotel). Sedangkan ornamen lainnya cenderung mengambil analogi bentuk-bentuk alam seperti bentuk sinar matahari. Warna-warna yang digunakan berimbang antara warna-warna lokal yang berasal dari warna bahan-bahan lokal yang digunakan tanpa difinishing, dengan warna-warna hasil campuran seperti violet. Dalam hal teknologi, lebih dominan menggunakan teknologi modern seperti yang terlihat pada struktur bangunan yang digunakan untuk bangunan berlantai tiga. Jadi disini desain hybridnya masih terlihat bahwa antara arsitektur lokal, dalam hal ini arsitektur Bali, masih terlepas dengan bentuk- bentuk arsitektur modernnya.

Gambar 4 Penentuan tema valet yang dilatarbelakangi adanya fungsi parkir

Tema Broadway Broadway merupakan nama sebuah jalan raya di New York City yang membentang sepanjang pulau Manhattan dan berlanjut hingga wilayah utara Westchester County, Amerika. Broadway menjadi terkenal setelah adanya teater Broadway yang merupakan teater profesional paling dikenal oleh publik Amerika dan yang paling banyak menghasilkan uang bagi para pemeran,

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154 teknisi dan pihak lainnya.Bersama dengan teater West End dari London, teater ini menjadi rujukan utama dari teater komersial kelas tinggi di negara-negara lainnya. Teater Broadway merujuk pada sebuah pertunjukan, biasanya sebuah drama musikal, yang tampil di gedung dengan kapasitas sekitar 500 tempat duduk. Pertunjukan-pertunjukan yang hadir di Broadway biasanya sukses secara historis dan dianggap sebagai karya-karya yang pantas dikonsumsi khalayak ramai dan bukan karya-karya yang “mendalam” secara artistik seperti yang diproduksi oleh teater-teater lain. Pada kompleks pertokoan ini tema broadway diterapkan pada blok bangunan di sisi timur dan barat dari main entrance. Dapat dijumpai kesamaan keberadaan signage yang mendominasi di sepanjang jalan masuk Pertokoan Kuta Galeria ini menuju ke central parking yang berada di sisi selatan kompleks. Signage sebagian besar berupa petunjuk arah menuju masing-masing tenant atau toko yang dimaksud. Sedangkan untuk fasade bangunan, sama seperti fasade bangunan-bangunan yang bertema valet, juga lebih didominasi dengan gaya dan teknologi arsitektur modern yang menenggelamkan gaya arsitektur lokalnya. Terdapat beberapa bentuk analogi pada area ini seperti payung besar yang lebih menyerupai jamur, bentuk bunga hingga patung setengah badan yang menyerupai patung oscar (hal ini terkait dengan tema broadway yang berujung kepada pemberian penghargaan oscar sebagai penghargaan tertinggi dalam dunia perfilman Amerika).

Gambar 5 Penerapan tema broadway pada area entrance pertokoan

Tema Promenade Arti kata promenade itu sendiri adalah tempat untuk berjalan-jalan. Istilah ini memiliki pengertian yang sama dengan esplanade (istilah dari Spanyol). Area ini biasanya merupakan area pedestrian yang cukup lebar dan berada di tepi perairan seperti sungai, danau atau laut, namun bisa juga berada di tengah perkotaan. Aktitivitas yang diwadahi tidak melulu berjalan kaki namun kini lebih bervariasi seperti duduk-duduk, berekreasi, membeli dan menikmati es krim dan sebagainya. Pada kompleks pertokoan ini, tema promenade diaplikasikan pada beberapa blok bangunan bagian tengah. Sesuai pengertiannya, maka pada area ini kendaraan tidak bisa masuk dengan cara meninggikan level pedestriannya beberapa centimeter jauh lebih tinggi daripada jalan utamanya, dan juga menggunakan bahan yang berbeda yaitu paving. Sehingga, pengunjung pertokoan pada area ini harus memarkir kendaraannya terlebih dahulu di sisi selatan kompleks pertokoan dan kemudian berjalan kaki. Namun promenade di kompleks pertokoan ini tidak dijumpai adanya fasilitas untuk duduk-duduk ataupun kegiatan rekreasi lainnya. Sehingga promenade di sini hanya digunakan sebagai area berjalan kaki saja menuju tenant atau toko. Fasade bangunan tidak jauh berbeda dengan dua tema sebelumnya, masih berupaya menampilkan bentuk arsitektur hybrid, namun keberadaan antara arsitektur lokal dan modernnya masih terpisah. Arsitektur modern masih mendominasi, sedangkan arsitektur lokal dalam hal ini arsitektur Bali masih dijadikan tempelan.

Gambar 6 Sesuai pengertiannya maka area promenade didominasi keberadaan pedestrian way

Tema Etnik Pengertian etnik sendiri merujuk pada kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang yang berada di dalam kelompok tersebut. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154 mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, adat istiadat dan tradisi. Keberadaan etnik hingga kini tetap diperlukan terkait dengan kebutuhan akan identitas-identitas. Meskipun terdapat kesamaan-kesamaan dengan etnik lainnya, hal tersebut tidak menghalangi untuk tetap merasa berbeda. Identitas etnik yang diperkuat , dimana identitas etnik makin kerap ditonjolkan dalam kehidupan sosial seperti yang terjadi belakangan ini, menjadi kontradiktif dengan keberadaan penjunjung globalisasi. Justru perkuatan identitas etnik lahir sebagai bentuk perlawanan atas globalisasi. Di kompleks pertokoan ini, menurut pembagian temanya maka tema etnik diterapkan pada area tengah (Everyday Smart Hotel). Sebagai budaya lokal, semestinya area ini mengangkat tema etnik Bali. Namun disini tidak terlihat keberadaan pengaplikasian tema tersebut, kecuali pada unsur-unsur dekorasi yang digunakan pada Everyday Smart Hotel seperti lukisan dindingnya, lukisan taplak meja dan juga patung-patung penari Bali. Sehingga pada konsep hybrid area ini juga masih dapat dilihat unsur-unsur pembentuknya yaitu arsitektur modern dan lokal Bali masih berjalan sendiri-sendiri, dan arsitektur lokal masih sangat mendominasi keberadaannya, mengalahkan arsitektur lokal Bali yang hanya dijadikan tempelan saja.

Tema Techno Kata techno merupakan istilah singkat atau populer dari kata teknologi yang merupakan pengetahuan terhadap penggunaan alat dan kerajinan, dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi kemampuan untuk mengontrol dan beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Pengertian teknologi yang tertua, sangat sederhana dan paling umum dikenal orang lain adalah sebagai barang buatan manusia untuk membantu mempermudah kehidupannya. Maka teknologi memiliki tiga ragam dasar yang sekaligus menunjukkan perkembangan historis yang berlainan. Ragam dasar tersebut adalah alat, mesin dan automaton. Tema techno pada kompleks pertokoan Kuta Galeria ini diaplikasikan pada blok sisi barat daya dari kompleks pertokoan. Pengaplikasian tema techno itu sendiri lebih terlihat pada pemanfaatan bahan-bahan hasil teknologi itu sendiri seperti kaca yang dimanfaatkan sebagai dinding penerima beban atap. Selain itu, terdapat bentuk-bentuk lengkung yang pembuatannya juga memerlukan teknologi yang tidak biasa. Bentuk arsitektur lokal Bali hanya terlihat pada ragam hiasnya, sehingga keberadaan konsep hybrid tidak berhasil.

Gambar 7 Penerapan tema techno dengan memanfaatkan bahan-bahan hasil teknologi

Tema Ring Ring, secara harfiah berarti cincin dan dering. Namun tema ini lebih merujuk pada bentuk ring yaitu lingkaran. Aplikasi tema ini hanya terlihat pada bentuk blok yang melingkar, namun menjadi tidak konsisten karena di sisi selatan menggunakan bentuk lurus (jadi bisa dikatakan lebih tepat jika area ini menggunakan tema ”setengah lingkaran” karena bentuknya yang tidak berupa lingkaran penuh). Sedangkan fasade bangunan, masih didominasi dengan bentuk modern dengan bentuk-bentuk detail arsitektur lokal Bali yang hanya sebagai tempelan, walaupun sudah terlihat adanya upaya penempatan yang lebih tepat seperti penempatan karang boma di atas pintu masuk AceHardware. Warna-warna yang digunakan lebih pada warna yang sudah menjadi ciri khas tenant, seperti dominasi penggunaan warna merah yang memang merupakan warna ciri dari AceHardware.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

Gambar 8 (1) Penerapan tema ring dengan menggunakan bentuk lingkaran pada bloknya, 2) Menggunakan bentuk lurus pada bagian belakangnya/selatan blok

Perbandingan Desain Hybrid Bangunan Retail Di Bali Kedua bangunan retail di bawah ini (Mal Bali Galeria dan Ramayana Mal Bali) diangkat sebagai pembanding dalam penelitian desain hybrid ini, untuk menunjukkan bagaimana sebaiknya desain hybrid untuk bangunan retail di Bali diterapkan sesuai yang dimaksud dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali no. 5 tahun 2005 dengan tetap menampilkan wajah arsitektur lokalnya.

Mal Bali Galeria-Simpang Siur Dewa Ruci, Kuta Kompleks pertokoan di Kuta ini berdiri sekitar tahun 1995, Terdiri dari tiga bangunan yaitu Duty Free Shop, bioskop Galeria 21 dan malnya itu sendiri. Sebagai pemilik dan pengelola, PT Inti Dufree Promosindo Jakarta, berupaya tetap menghadirkan nuansa arsitektur Bali pada bangunan berlantai dua ini. Dalam hal bahan, mal ini lebih banyak menggunakan bahan lokal seperti bata, paras, genteng hingga ijuk bagi penutup atapnya. Namun juga tidak tertutup terhadap penggunaan bahan hasil olahan teknologi modern, yaitu adanya penggunaan kaca terutama pada daerah etalase. Dalam hal tata ruang, mal ini memiliki ruang terbuka di bagian tengahnya, sehingga sebut saja ruang ini menyerupai natah. Dalam hal proporsi, bangunan ini juga memenuhi tatanan Tri Angga yang memiliki tiga bagian tubuh yakni kepala (atap), badan (dinding) dan kaki (bebaturan). Bangunan retail ini masih menggunakan warna-warna asli dari bahan-bahan lokalnya. Teknologi yang digunakan dalam bangunan ini jelas menggunakan teknologi modern untuk bangunan berlantai dua dengan bentang yang sangat lebar.

bahan ijuk menyerupai natah

(a) Gambar 9 Mal Bali Galeria - Simpang Siur Kuta. Sumber (a) Wijaya, 2002: hal.81

Ramayana Mal Bali - Denpasar Kompleks pertokoan di jalan Diponegoro, Denpasar ini terdiri dari tiga lantai. Sama halnya dengan Mal Bali Galeria, bangunan ini juga menghadirkan nuansa arsitektur Bali. Dalam hal bahan, mal ini banyak menggunakan bahan lokal seperti bata, paras hingga genteng bagi penutup atapnya. Dalam hal tata ruang, mal ini memiliki ruang semi terbuka di bagian tengah yang berupa void. Dalam hal proporsi, bangunan ini juga memenuhi tatanan Tri Angga yang memiliki tiga bagian tubuh yakni kepala (atap), badan (dinding) dan kaki (bebaturan).

Gambar 10 Ramayana Mal Bali - Denpasar

Bangunan retail sebagai public space, dituntut untuk selalu bersifat mengikuti globalisasi, yang berarti menghilangkan batas-batas nasionalnya. Namun di Bali, bangunan jenis ini dituntut

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154 313

untuk tetap bisa menampilkan wajah lokalnya terkait dengan apa yang sudah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali no.5 tahun 2005. Hal ini memunculkan semacam dilema pada desain sebuah bangunan retail, apakah akan memenuhi tuntutan globalisasi yang dapat diterima oleh semua kalangan tanpa batas atau mempertahankan arsitektur tradisional Bali yang sarat akan nilai-nilai tradisinya. Sehingga disinilah kemudian konsep hybrid pada bangunan retail dilahirkan. Namun pada desain hybrid bangunan retail di Bali nyatanya ada yang berhasil menyeimbangkan keberadaan unsur pembentuknya dan ada yang masih terlihat didominasi salah satu unsur pembentuknya, yaitu arsitektur modern. Beberapa penyebab terjadinya dominasi salah satu pembentuk desain hybrid bangunan retail di Bali sebagai berikut: Khususnya pada obyek yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini yaitu Kompleks Pertokoan Kuta Galeria, hal ini disebabkan dengan terikatnya tema yang telah ditetapkan pada masing-masing blok, di mana beberapa di antara tema-tema tersebut sebenarnya masih bisa dikaitkan ke arsitektur Bali. Promenade yang bisa diterjemahkan ke dalam bahasa natah. Valet yang bisa diterjemahkan sebagai area pelayanan atau service area. Tema etnik bisa diterjemahkan sebagai bentuk-bentuk kearifan lokal Bali. Namun juga terdapat beberapa tema yang tidak bisa dikaitkan ke arsitektur Bali, seperti tema techno, broadway dan ring, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa arsitektur modern. Namun sayangnya, keseluruhan tema masih dominan diterjemahkan ke dalam bahasa arsitektur modern. Sifat bangunan retail yang pada dasarnya merupakan public space, selalu dituntut untuk mengikuti arus globalisasi. Apa yang menjadi kebutuhan fungsi aktifitas di dalamnya menjadi hal yang selalu diutamakan (form follows function). Diikuti dengan apa yang menjadi trend bentuk- bentuk bangunan retail, apakah dalam hal interiornya, teknologi maupun bahan yang digunakan pada bangunan retail tersebut. Sehingga disini, arsitektur lokal Bali hanyalah menjadi pelengkap atau tempelan saja demi memenuhi kaidah-kaidah dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali no.5 tahun 2005.

SIMPULAN Penelitian yang telah berjalan selama ini menghasilkan kesimpulan bahwa pada bangunan retail pada obyek terpilih yaitu kompleks pertokoan Kuta Galeria ini mayoritas “merasa kesulitan” untuk menampilkan arsitektur lokal Bali dalam upayanya mewujudkan konsep hybrid, berpadu dengan arsitektur modernnya (walaupun ada beberapa bangunan retail lainnya di Bali yang dianggap telah berhasil mengaplikasikan konsep hybrid). Adanya Peraturan Daerah Provinsi Bali no.5 tahun 2005 dimana salah satunya disebutkan tentang wajah bangunan di Bali yang diharuskan bernafaskan pakem-pakem Arsitektur Tradisional Bali, sangatlah sulit untuk diterapkan sepenuhnya pada sebuah bangunan retail, yang sangat berbanding terbalik dengan bangunan rumah tinggal dan sejenisnya.Bangunan retail sebagai public space, dituntut untuk selalu bersifat mengikuti globalisasi, yang berarti menghilangkan batas-batas nasionalnya. Namun di Bali, bangunan jenis ini dituntut untuk tetap bisa menampilkan wajah lokalnya. Hal ini memunculkan semacam dilema pada saat membuat desain hybrid sebuah bangunan retail, apakah akan memenuhi tuntutan globalisasi atau mempertahankan tradisi seperti halnya memilih antara profit ataukah provan. Sehingga banyak sekali bangunan retail yang menampilkan konsep hybrid “banci”. Berkonsep dominan arsitektur modern, namun menggunakan arsitektur lokal Bali sebagai polesan dalam upayanya menyelamatkan diri dari ditolaknya rancangan atau desain bangunan karena tidak mematuhi Peraturan Daerah Provinsi Bali no.5 tahun 2005, yang salah satunya berujung pada tidak dikeluarkannya IMB. Sesuai dengan tujuan akhir penelitian ini dan dengan telah dibandingkannya obyek penelitian yang diangkat menjadi kasus penelitian tentang desain hybrid pada bangunan retail di Bali (kompleks pertokoan Kuta Galeria) dengan beberapa bangunan retail lainnya yang dianggap lebih berhasil dalam mewujudkan konsep hybrid, maka dapat dilakukan perumusan sebuah rekomendasi, khususnya dalam hal bentuk bangunan, warna bangunan, bahan dan teknologi yang digunakan, pola ruang yang diterapkan dan pemakaian unsur ornamen, yang dapat menjadi pertimbangan dalam mendesain bangunan retail dengan konsep hybrid yang baik dimana desain luar dalam hal ini arsitektur modern bisa menyatu dengan desain lokalnya yaitu arsitektur tradisional Bali.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

314

DAFTAR PUSTAKA Arrafiani, 2012. Rumah Etnik Bali. Griya Kreasi. Jakarta Darmaprawira, Sulasmi, 2002. Warna Teori dan Kreatifitas Penggunaannya. Penerbit ITB. Bandung Krier Rob, 2001. Komposisi Arsitektur. Penerbit Erlangga. Jakarta Mangunwijaya YB, 1995. Wastu Citra. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Prijotomo Josef, 2008. Pasang Surut Arsitektur Indonesia. Wastu Lanas Grafika. Surabaya Sachari Agus & Sunarya Yanyan, 2001. Desain dan Dunia Kesenirupaan Indonesia dalam Wacana Transformasi Budaya. Penerbit ITB. Bandung Sumalyo Yulianto, 1997. Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Trachtenberg Marvin, Hyman Isabelle, 2002. Architecture from Prehistory to Postmodernity. Harry N. Abrams Inc. New York Widagdo, 2000. Desain dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta Wijaya Made, 2002. Architecture of Bali. Archipelago Press. Singapore & Wijaya Words. Bali -, 2011. Architectural Theory from the Renaissance to the Present. Taschen. USA

KAJIAN MAKNA TANDA-TANDA BUDAYA BALI PADA BALIHO KAMPANYE CALON ANGGOTA DPD RI DAPIL BALI TAHUN 2014

I Wayan Agus Eka Cahyadi, Ni Ketut Rini Astuti Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar. [email protected]

Abstrak Penelitian ini berusaha memberikan penjelasan secara ilmiah mengenai fenomena penggunaan tanda-tanda budaya Bali pada baliho kampanye calon anggota DPD RI di daerah pemilihan propinsi Bali. Pada kampanye pemilu legislatif tahun 2014, baliho tetap banyak dipilih para caleg sebagai media kampanye. Berbagai cara dan strategi dilakukan untuk menarik perhatian para pemilik suara. Salah satunya dengan memanfatkan tanda-tanda budaya Bali pada tampilan baliho.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tanda-tanda budaya Bali ditampilkan pada baliho, dan makna dari tanda-tanda budaya Bali tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, objek penelitian adalah baliho kampanye para caleg DPD RI di daerah pemilihan Bali. Pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi dan studi pustaka. Tahapan analisis: pertama data yang berhasil dihimpun dikelompokkan dan diidentifikasi untuk memberikan penjelasan terhadap tanda-tanda budaya Bali yang ditampilkan. Kedua, dengan menggunakan analisis semiotika untuk mengetahui makna yang terkandung dari penggunaan tanda- tanda budaya itu. Kesimpulan yang dihasilkan bahwa tanda-tanda budaya Bali tampil dalam ilustrasi, teks dan warna baliho. Makna yang muncul dari penggunaan tanda-tanda budaya tersebut adalah sebagai pencitraan diri para caleg sebagai orang Bali dengan identitas serta mitos yang menyertai tanda-tanda itu.

Kata kunci: Baliho, makna, budaya bali

Abstract This study provides a scientific explanation of the phenomenon of the use of signs of Balinese culture on the campaign billboard of the candidate of Region Candidate Council (DPD)Republic of Indonesia (RI) in the electoral province of Bali. In the 2014 legislative election campaigns, many billboards were still chosen by the candidates as a media of campaign. Various ways and strategies were conducted to attract the attention of voters. One of them is by using the

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

315

signs of Balinese culture on the display of the billboards. The purpose of this study is to determine how the signs of Balinese culture displayed on the billboards and their meaning. This research is a descriptive qualitative research, and the object is the billboard campaign of Region Candidate Council (DPD) candidates in the electoral district of Bali. Data collection was conducted by documentation and library research. Stages of analysis: first, the collected data were grouped and identified to provide an explanation of the signs of Balinese culture displayed. Secondly, by using semiotic analysis to determine the meaning of cultural signs. The conclusion is that the signs of Balinese culture appear in the illustrations, text and color of the billboards. Meaning that arises from the use of the signs is that a self-image of the the candidates as a Balinese with the identity and myths that accompany these signs.

Keywords: Billboards, meaning, Balinese culture

PENDAHULUAN Bergantinya orde Baru ke Era reformasi menjadikan bangsa Indonesia berada dalam kondisi yang sangat dinamis. Kemerdekaan berpendapat, berkumpul dan mengekpresikan diri adalah suatu hal yang menjadi perhatian masyarakat. Sebagai negara yang dibentuk dari keberagaman, negara ini menyadari akan perbedaan potensi dan masalah yang dimiliki setiap daerah yang ada di Indonesia. Kebijakan otonomi daerah dianggap mampu menjawab pemerataan pembangunan di daerah. Di tengah kebijakan tersebut, terjadi fenomena di mana kuatnya keinginan tiap daerah menonjolkan identitas kedaerahan. Pada era reformasi tiap-tiap daerah berlomba-lomba membangkitkan identitas regional mereka. Di Bali cetusan-cetusan ‘Bali merdeka’, gerakan ‘ajeg Bali’ perjuangan otonomi khusus Bali, penguatan desa pekraman, dan seterusnya adalah contoh-contoh bangkitnya identitas kedaerahan di Bali. Serangan teroris yang dahsyat berturut-turut tahun 12 Oktober 2002 dan oktober 2005 telah menimbulkan semacam krisis yang mendorong menguatnya identitas kolektif masyarakat Bali untuk mengajegkan Bali. Menguatnya identitas kedaerahan juga terasa pada ajang pertarungan politik pemilihan calon anggota legislatif khususnya anggota Dewan Perwakilan Daerah di Bali. Sebagai wakil rakyat yang berasal dari daerah, anggota DPD tentu merupakan perwakilan daerah dimana dia berasal. Mereka bukan diusung oleh partai politik, sehingga tidak menuntut penggunaan atribut partai politik. Yang mengemuka kemudian adalah para calon anggota DPD RI asal Bali banyak yang menampilkan atribut atau tanda-tanda yang diambil dari budaya Bali. Tampilan caleg DPD RI akan dapat menjadi cerminan kecendrungan karakter budaya masyarakat Bali. Pemilihan caleg pada era sekarang yang dilakukan secara langsung, menuntut seorang caleg mengenal identitas budaya masyarakat yang akan menjadi pemilihnya. Sistem “pemilihan langsung” memberikan kesempatan yang luas kepada setiap warga negara yang memiliki hak suara untuk menentukan wakilnya yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sehingga efektivitas komunikasi budaya sangat penting untuk diperhatikan. Bagaimana caleg harus mampu menarik perhatian dan juga mampu menarik simpati para pemilik suara yang berasal dari budaya yang khas. Berbagai cara dan strategi kampanye dilakukan para kandidat untuk mensosialisasikan diri kepada masyarakat. Kampanye dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung (Sanyoto, 2009:11), langsung dengan turun langsung, blusukan, dari pintu ke pintu berdialog dengan masyarakat pemegang hak suara atau tidak langsung yaitu melalui perantara media. Saat ini, terdapat banyak alternatif pilihan media yang bisa digunakan para caleg. Salah satu media kampanye yang banyak dipilih caleg adalah melalui media baliho. Pada pemilu tahun 2014, media baliho masih merupakan media sosialisasi yang paling digemari para calon legislatif. Menurut mereka, baliho merupakan media yang cukup efektif serta efisien dibandingkan media komunikasi massa yang lain (detik news, 11-02-2014). Pujirianto (2005: 24) mendefinisikan baliho sebagai media komunikasi grafis yang terbuat dari material yang cukup sederhana, dengan format relatif besar berkontruksi kayu atau bambu. Pembuatan baliho bisa dibilang cukup ekonomis, dengan jangkauan target sasaran yang sangat luas.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

316

Maraknya pemasangan baliho di sepanjang jalan, seakan menjadi penanda datangnya pemilu. Suasana pemilu dapat dirasakan di hampir seluruh daerah di Indonesia. Tidak terkecuali di provinsi Bali. Tebaran baliho-baliho kampanye politik menghiasi sudut-sudut kota hingga pedesaan. Di tempat-tempat strategis, di persimpangan jalan dan tempat keramaian menjadi sasaran pemasangan baliho. Berbagai strategi kreatif dalam penampilan visual baliho dilakukan untuk mencuri perhatian. Di Bali ditemui adanya kecendrungan media baliho calon legislatif khususnya calon anggota DPD, menampilkan tanda-tanda budaya Bali. Misalnya, penampilan potret diri dengan mengenakan busana tradisional Bali, dan kadang disertai dengan sikap mencakupkan kedua tangan di dada, dan masih banyak penggunaan tanda-tanda budaya Bali lainnya yang ditampilkan dalam baliho kampanye para caleg di Bali. Fenomena penggunaan tanda-tanda budaya Bali pada baliho kampanye ini tentu sangat menarik ditelusuri untuk ditemui penjelasan secara ilmiah, mengenai tanda-tanda budaya yang tampil pada baliho kampanye dan apa makna dari tampilnya tanda-tanda budaya pada baliho kampanye calon anggota DPD RI di dapil Bali.

Identitas Chris Barker dalam Cultural Studies: Teori dan Praktik (2000) menyebutkan bahwa identitas diri bertalian dengan konsepsi yang kita yakini tentang diri kita, sementara harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial. Berger dan Luckmann (1990) menyebutkan bahwa identitas lahir melalui proses sosialisasi dan identifikasi yang terus menerus. Samovor, Porter dan McDaniel (2010: 187) Identitas etnik mengacu kepada sekelompok orang yang memiliki kesamaan sejarah, tradisi nilai, prilaku, asal daerah, dan bahasa yang didapat melalui warisan. Bahwa identitas etnik lebih banyak mengacu kepada penanda kebudayaan. Identitas etnik bisa menyatu dengan identitas budaya. Setiap etnik menempati lokalitas tertentu sebagai ruang hidupnya. Akibatnya lokalitas sering dipakai label dan atau disatukan dengan nama etnik. Dengan demikian etnik memiliki karakteristik budaya yang khas dan lokalitas tersendiri sebagai ruang hidupnya. Karakteristik ini tidak saja untuk membedakan dirinya dengan etnik lain, tetapi juga untuk menunjukkan orang kita, kelompok atau in-group. Sebalik diluar itu adalah orang luar, kelompok atau out-group. Pembedanya adalah karakteristik budaya etnik dan asal kedaerahan. Penguatan identitas etnik yang menyatu dengan identitas budaya dan lokalitas secara mudah bisa memunculkan faham kekitaan dan kemerekaan (Atmadja, 2010)

Identitas Bali Identitas suatu bangsa pada umumnya terbentuk karena karakteristik dan ciri khas kebudayaannya (Sachari,1986, 65). Etnik Bali merupakan salah satu etnik yang tercakup di dalam negara kesatuan indonesia. etnik Bali memiliki identitas, yakni kesamaan-kesamaan budaya dan teritorialitas, yakni Pulau Bali. Bagus (2007:286) menggambarkan etnik Bali adalah sekelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, baik budaya lokal Bali maupun kebudayaan nasional. Rasa kesadaran akan kesatuan kebudayaan Bali ini diperkuat oleh kesatuan bahasa, yakni bahasa Bali, agama Hindu, dan kesatuan perjalanan sejarah dan kebudayaannya. Supatra (2006: 92) menyebutkan bahwa identitas orang Bali yang paling mendasar adalah keyakinan yang menjadi pedoman dan landasan hidup orang Bali, yakni agama Hindu. Keyakinan terhadap agama Hindu inilah yang melahirkan berbagai macam tradisi, adat, budaya, kesenian, dan lain sebagainya yang memiliki karakteristik yang khas, yang merupakan perpaduan antara tradisi dan agama. Dalam kehidupan sehari-hari, karakteristik identitas kebudayaan Bali mewujudkan diri dalam berbagai konsepsi, aktivitas sosial maupun karya fisik artefaktual orang Bali, termasuk di dalamnya penataan ruang dan lingkungan tempat tinggal (Supatra, 2006) Menunjukkan perbedaan kebudayaan adalah suatu strategi dalam menunjukkan identitas. Rupa identitas Bali paralel dengan perubahan sosial politik di Indonesia sepanjang abad ke 20. Secara umum perubahan sosial politik di Indonesia dibagi menjadi empat fase besar, yaitu era kolonialisme (1848-1945), era kemerdekaan atau revolusi nasional atau era orde lama (1945-1965), era orde baru (1966-1998) dan era reformasi (1998-sekarang). Pada zaman kolonial, identitas kedaerahan atau kebalian sangat menonjol. Pada zaman kemerdekaan atau revolusi nasional semangat nasionalisme berkobar kuat, membuat identitas kebalian tergeser ke belakang. Semangat kebangsaan ini dipertahankan secara otoriter oleh

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

317

pemerintahan orde baru, akibatnya pada era reformasi yang ditandai dengan kebijakan otonomi daerah membuat semangat kedaerahan mencuat secara radikal. (Putra, 2011, 34-35). Pada era reformasi tiap-tiap daerah berlomba-lomba membangkitkan identitas regional mereka. Di Bali cetusan-cetusan ‘Bali merdeka’, gerakan ‘ajeg Bali’ perjuangan otonomi khusus Bali, penguatan desa pekraman, dan seterusnya adalah contoh-contoh bangkitnya identitas kedaerahan di Bali. Serangan teroris yang dahsyat berturut-turut tahun 12 Oktober 2002 dan oktober 2005 telah menimbulkan semacam krisis yang mendorong menguatnya identitas kolektif masyarakat Bali untuk mengajegkan Bali. Menurut Darma Putra, 2011, menguatnya kembali identitas etnik Bali mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada zaman kolonial namun mencuatnya identitas kebalian pada zaman reformasi ini ditandai dengan multiple identitas, dimana walaupun mereka menonjolkan identitas etnik, kebalian, orang Bali pada saat yang bersamaan adalah orang Indonesia.

Komunikasi Nonverbal Secara sederhana, komunikasi non verbal didefinisikan sebagai komunikasi tanpa kata-kata atau selain dari kata-kata yang kita pergunakan (Dedy Mulyana, 2005: 308). Paul Elman menjelaskan bahwa fungsi dari lambang-lambang verbal maupun non verbal adalah untuk memproduksi makna yang komunikatif. Secara historis, kode non verbal sebagai suatu multi saluran akan mengubah pesan verbal melalui enam fungsi yaitu repetition, contradiction, subtitution, regulation, accentuation, complementation (Sandjaja, 31-33). Jalaluddin Rahmat mengelompokkan pesan-pesan non verbal menjadi : pesan kinesik, merupakan bentuk komunikasi non verbal yang menggunakan gerakan tubuh, dan pesan Proksemik, merupakan pesan yang disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Dari berbagai literatur yang dipelajari, komunikasi non verbal dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk (Deddy Mulyana, 2005: 316-380) antara lain Eye Geze (gerakan Mata), Touching (sentuhan), Paralanguage, Diam, Postur Tubuh, Kedekatan dan Ruang, Artifak dan Visualisasi, Warna, waktu, Bunyi, Bau

Konsep Semiotika Menurut Piliang (1998: 262) dalam Tinarbuko (2009:11) semiotika berasal dari kata Yunani yaitu semeion, yang artinya tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua itu dapat disebut dengan tanda. Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) dalam Tinarbuko pula (2009: 12) tanda adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda, disana ada sistem. Artinya sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk. Asfek lainnya disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama, selain itu dikatakan pula bahwa penanda terletak tingkatan ungkapan dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek dan sebagainya.

Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos Spradley (1997: 122) menyebutkan bahwa makna denotatif adalah hal-hal yang ditunjukkan oleh kata-kata (makna refrensial). Piliang (1998: 14) mengartikan makna denotatif sebagai hubungan ekplisit antara tanda dengan refrensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif. Sedangkan makna konotasi menurut Spradley (1997:123) adalah semua signifikasi sugesti dari simbol yang lebih dari arti refrensialnya. Menurut Pilliang (1998:17), makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. Sementara itu Roland Barthes dalam Noviani (2002:78) menyebutkan bahwa sign itu memiliki makna denotatif, dan memiliki makna tambahan yang disebut makna konotatif. Denotatif

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

318

dan konotatif ini sebetulnya adalah istilah yang digunakan untuk mendiskripsikan hubungan antara penanda dan petanda atau refrensinya. Denotasi digunakan untuk mendeskripsikan makna definisional, literal, gamblang, atau common sense dari sebuah tanda. Sedangkan konotasi mengacu pada asosiasi-asosiasi sosial budaya dan personal (ideologi, emosional, dan sebagainya) sementara itu Stuart Hall dalam Noviani (2002: 78) pula, mengatakan bahwa makna denotasi adalah makna literal dari sebuah tanda, karena makna literal tersebut dikenal secara umum, apalagi diskursus visual diikutsertakan. Oleh karena itu makn adenotasi ini tidak melibatkan intervensi kode. Konotasi di sisi lain mengacu pada sesuatu yang kurang pasti dan oleh karenanya maknanya bisa berubah, dikonvensionalisasikan dan bersifat asosiatif. Mitos dalam pemahaman Barthes adalah pengkodean makna dan niali-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah (Tommy Christomy, 2004: 94). Ferdinand Comte membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional dan mitos modern. Mitos modern ini dibentuk oleh dan mengenai gejala-gejala politik, oleahraga, sinema, televisi, dan pers. Mitos adalah suatu jenis tuturan, sesutau yang hampir mirip dengan ‘re-presen- tasi kolektif’ di dalam sosiologi Durkheim. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka itu mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun gagasan, melainkan suatu cara signifikasi suatu bentuk (Alex Sobur, 2004: 224).

Baliho Baliho merupakan salah satu jenis media komunikasi grafis luar ruang (outdor). Media outdor merupakan media yang dapat ditemukan dalam berabagai ukuran baik berupa poster, dan papan-papan bercat, entah itu terbuat dari besi, kayu atau bambu, serta dihias dan dipajang di jalan jalan dan atau pada tempat-tempat yang terbuka yang sekiranya cukup strategis untuk dilihat sebanyak mungkin orang yang lewat. (Jetkins, 1997: 127). Istilah baliho digunakan untuk menyebutkan jenis poster yang memiliki ukuran besar (billboard) yang menggunakan kontruksi kayu atau bambu, yang bersifat temporer atau tidak untuk jangka waktu lama. (Pujirianto, 2005, 24). Ukuran Baliho yang digunakan dewasa ini sangat bervariasi tergantung pada ruang dimana media ini dipajang. Karakteristik baliho antara lain (1) ukuran dan dominasi; ukuran yang cukup besar, iklan ini mampu mendominasi pemandangan dan mudah menarik perhatian, (2) warna, (3) pesan-pesan singkat; karena dimaksudkan untuk menarik perhatian orang-orang yang bergerak, dan dilihat dari kejauhan, maka kalimat atau pesan-pesan tertulis biasanya terbatas pada slogan singkat atau sekedar satu nama yang dicetak dengan huruf-huruf besar dan mencolok, (4) zoning; diorganisir dalam suatu daerah atau kota tertentu, (5) efek mencolok ; kemampuannya dalam menciptakan kesan ingatan pemirsa melalui penebalan warna, ukuran, dan pengulangan (Jetkins, 1997: 128- 129). Pujirianto menyebutkan terdapat tiga unsur komunikasi grafis yang terdapat pada Baliho seperti teks, ilustrasi dan warna (Pujirianto, 2005: 24).

METODE PENELITIAN Penelitian ini mengambil objek baliho-baliho kampanye para calon anggota DPD RI dapil Bali, yang didokumentasikan pada masa kampanye pemilu legislatif tahun 2014. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis deskriptif-kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan dan studi pustaka. Analisis data diawali dengan pengumpulan data yang berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian, kemudian dianalisis lewat teori yang dipilih dalam penelitian, lalu diperoleh kesimpulan yang menerangkan masalah. Dalam kajian ini data tersebut berupa baliho-baliho calon anggota DPD RI dapil Bali, yang dipasang di seputar Bali. Selanjutnya data tersebut diidentifikasi untuk menemukan tanda-tanda budaya Bali yang digunakan pada baliho. Kemudian dengan pendekatan semiotika untuk menemukan makna dari tanda-tanda budaya Bali pada media kampanye baliho calon anggota DPD RI dapil Bali.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data calon tetap (DCT) yang diperoleh dari KPU (dct.kpu.go.id, 2013), pada pemilu legislatif tahun 2014 di propinsi Bali terdapat 41 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Para kandidat berasal dari pelbagai kalangan dan berdomisili dari kabupaten-kabupaten di Bali dan juga berasal dari luar Bali. Dari observasi lapangan terhadap baliho yang menjadi media kampanye

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

319

para caleg DPD RI dapil Bali, berhasil didokumentasikan sebanyak 25 baliho. Baliho-baliho ini ditemui tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Bali. Sebelum pelaksanaan kampanye yang dijadwalkan KPU, baliho-baliho mereka sudah mulai dipasang. Umumnya setiap caleg memiliki satu desain baliho yang disebar di daerah-daerah di Bali, tetapi ada juga beberapa kandidat yang memiliki dua atau lebih desain yang berbeda. Pemasangan dilakukan di tempat-tempat keramaian, seperti di pinggir jalan protokol, bypass Ida Bagus Mantra, di persimpangan jalan, di pinggir- pinggir jalan perkotaan hingga pedesaan. Dari 41 kandidat calon anggota DPD RI, yang menggunakan media kampanye berupa baliho sebanyak 25 kandidat.

Gambar 1. Baliho kampanye calon anggota DPD RI Dapil Bali pada pemilu 2014

Tanda-tanda Budaya Bali Pada Baliho Kampanye Calon Anggota DPD RI Dari data-data dokumentasi Baliho calon anggota DPD RI dapil Bali hampir semua baliho menampilkan tanda-tanda budaya Bali. tanda-tanda budaya Bali dapat dilihat pada unsur-unsur komunikasi grafis yaitu pada ilustrasi, teks dan warna.

Ilustrasi Memperhatikan ilustrasi pada baliho calon anggota DPD RI dapil Bali dapat diketahui semua baliho menampilkan foto diri caleg. Foto diri ditampilkan dengan pose close up dan medium close up. Sikap badan menghadap ke depan, dengan pandangan lurus ke depan, wajah mengumbar senyum tipis atau lebar, yang terkadang disertai dengan sikap kedua tangan dicakupkan di depan dada atau melambaikan tangan kanan. Ada juga yang menampilkan mimik wajah serius dengan tangan diam atau mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Penggunaan busana adat Bali menjadi tanda yang paling banyak dipilih para caleg. Secara umum, busana adat Bali dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu busana adat agung, busana adat madya dan busana adat nista. Pembedaan jenis busana adat Bali ini berdasarkan kelengkapan atribut serta fungsinya dalam kegiatan adat di Bali. Pada potret diri caleg, busana adat madya paling banyak. busana adat madya dapat diidentifikasi dari penggunaan ikat kepala yang disebut udeng bagi pria dan mengenakan sanggul untuk yang perempuan. Orang Bali mengenakan busana ini untuk tujuan melakukan persembahyangan ke pura atau menghadiri acara atau upacara adat. Udeng yang digunakan ada yang terbuat dari kain dengan motif batik, kain putih dan kain tenun songket. Selain mengenakan busana adat Bali ada juga caleg yang memilih mengenakan busana formal, dengan mengenakan jas dan kemeja yang dilengkapi dengan dasi. Kemudian ada juga yang menggunakan baju seragam kerja. Ada juga caleg yang menggunakan busana ala funk dengan rambut berdiri kaku yang dikombinasikan dengan makeup tebal ala seniman pertunjukan rakyat Bali. Pemilihan jenis busana yang dipakai caleg sangat penting untuk memudahkan calon pemilih ketika menentukan pilihannya di bilik suara. Pada format surat suara KPU untuk pemilihan anggota

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

320

DPD RI, foto diri calon akan termuat di dalamnya. Sehingga foto diri adalah hal utama yang mudah diingat oleh calon pemilih. Disamping penampilan potret diri dengan pelbagai pilihan busana, banyak juga baliho yang menampilkan tanda-tanda yang lain seperti sekuntum atau dua kuntum bunga jepun putih, bangunan pura yang ditampilkan secara ikonik, grafis dengan motif kotak-kotak berwarna hitam dan putih (poleng rwabineda) maupun kotak-kotak berwarna hitam, abu-abu dan putih (poleng sudamala), dan grafis bermotif kotak atau garis-garis berwarna merah, putih, dan hitam (poleng tridatu). Ada juga baliho yang menampilkan seekor ayam jago. Di samping penggunaan tanda-tanda budaya Bali yang banyak ditampilkan pada baliho, terdapat juga tanda-tanda dipakai secara umum seperti bendera merah putih, format surat suara KPU, gambar paku sebagai alat coblos pada saat pemilihan atau gambar tangan kanan menancapkan paku.

Teks Pada teks, tanda-tanda budaya Bali tampil melalui penulisan nama caleg. Nama ditulis lengkap berikut gelar akademis. Dalam tradisi Bali, ada istilah-istilah nama untuk mengidentifikasi seseorang apakah dia golongan atau kasta brahmana, ksatria, wesiya, atau sudra. Seperti misalnya, nama Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Nengah, Putu dll., untuk nama bagi orang dari keluarga sudra. Kemudian nama dari keluarga brahmana seperti Ida Bagus, ida Ayu, serta gelar nama dari keluarga kesatria seperti Cokorda, Anak Agung, dan nama dari keluarga wesiya seperti I Gusti dll. Pada baliho sering ditemui penulisan kalimat dengan menggunakan bahasa Bali. misalnya “coblos sane me-udeng poleng”, “nunas doa lan dukungan semeton Bali sareng sami”. Penggunaan istilah-istilah dan konsep-konsep tradisi Bali juga sering dijumpai, seperti: Tri Hita Karana, Desa Pekraman, Poleng, dsb.

Warna Pada Baliho caleg warna yang dominan dipakai adalah warna merah, hitam dan putih. Ketiga warna ini dalam tradisi Bali dikenal dengan sebutan warna Tridatu. Warna tridatu dianggap sebagai simbol tiga kekuatan dewa trimurti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa.

Makna Tanda-Tanda Budaya Bali berdasarkan pendekatan Semiotika

TANDA-TANDA MAKNA BUDAYA BALI DENOTASI KONOTASI MITOS Caleg memakai baju Busana adat madya Citra dan Identitas caleg sebagai Spirit anak muda kemeja/safari dengan ikat untuk kegiatan orang Bali yang menghargai dan dinamis kepala “udeng motif batik” agama dan tradisi warisan agama dan tradisi daerahnya Caleg memakai baju kemeja Busana adat madya Citra dan identitas caleg sebagai Spirit wibawa dengan ikat kepala “udeng untuk kegiatan adat orang Bali yang menjaga dan raja dan berbahan kain songket” melestarikan warisan tradisi bangsawan Caleg mengenakan baju Busana adat madya Citra dan identitas caleg sebagai religius safari putih dengan ikat untuk kegiatan orang Bali yang taat kepala “udeng putih” keagamaan melaksanakan agama Caleg mengenakan kemeja Busana formal Citra caleg nasionalis-modern Karakter pejabat dan dasi serta dilengkapi jas nasional negara Grafis motif kotak-kotak Kain poleng rwa Sebagai identitas etnik Bali Bali yang sakral, berwarna hitam-putih bineda dan memiliki energi spiritual Grafis motif kotak-kotak Kain poleng Identitas etnik Bali Bali yang sakral, berwarna hitam, putih dan sudamala memiliki energi abu-abu spiritual dan harmonis Grafis motif kotak-kotak Kain poleng tridatu Identitas etnik Bali Bali yang sakral, berwarna merah putih dan dan memiliki hitam energi spiritual Bunga jepun berwarna Bunga jepun Bunga yang identik dengan Bali Bali yang indah

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

321

putih dan harmonis Pura Gambar bangunan Identitas religi orang Bali Bali tempat yang pura yang sebagai umat hindu Bali suci, indah dan dilengkapi meru damai bertingkat 11 Peta pulau Bali Gambar peta pulau Identitas wilayah Bali Pulau tempat Bali wisata Caleg berbusana ala punk Caleg dengan gaya Citra/identitas caleg sebagai Orang Bali yang rambut berdiri orang Bali yang terbuka kokoh dan dengan baju kaos terhadap pengaruh budaya asing dinamis serta make-up tradisioanal Bali Foto caleg mengenakan Caleg mengenakan Citra/identitas diri caleg dengan Orang Bali kemeja dan peci busana pejuang semangat nasionalisme memiliki kemerdekaan semangat perjuangan Teks berbahasa Bali Ungkapan Identitas sebagai etnik Bali “Ajeg” Bali berbahasa bali Teks, “I Wayan, I Made, Nama khas Bali Identitas etnik Bali “Ajeg” Bali Nyoman dll. Warna merah, putih dan Warna tridatu Identitas warna Bali Kesakralan hitam Tabel 1. Makna tanda-tanda budaya Bali

SIMPULAN Tanda-tanda budaya Bali pada Baliho caleg DPD RI dapil Bali terdapat pada unsur-unsur komunikasi grafis baliho yaitu pada ilustrasi seperti foto diri dengan busana adat madya, busana modern jas dan dasi, busana kerja, gaya punk, gambar bunga jepun, bangunan pura, grafis poleng rwabineda, sudamala, dan tridatu. Pada teks, seperti penggunaan kalimat berbahasa Bali, penggunaan nama khas Bali dan konsep-konsep Bali. Pada warna adalah penggunaan warna Hitam, putih dan merah yang dalam tradisi Bali disebut warna tridatu. Makna tanda-tanda budaya Bali pada Baliho memiliki makna denotasi sebagai tanda untuk menunjukkan kondisi para caleg sebagai orang Bali. Makna konotasinya, dengan penampilan tanda-tanda tersebut adalah sebagai pencitraan caleg yang memanfaatkan makna tanda-tanda budaya Bali sebagai citra dan identitas orang Bali Mitos, menegaskan mitos tentang citra Bali sebagai tempat yang damai, harmonis, indah, sakral. Dengan para penghuninya yang taat menjalankan warisan leluhur, berwibawa, memiliki jiwa pengabdian, pejuang dan dinamis terhadap pengaruh luar. Penggunaan tanda-tanda budaya ini merupakan suatu strategi komunikasi dari para caleg dalam menunjukkan citra diri sebagai caleg yang berasal dari Bali.

DAFTAR PUSTAKA Atmadja, N.B. 2010. Ajeg Bali: Gerakan Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS Bagus, I.G.N. 1985. “Hubungan Patronase dalam Masyarakat Bali Dewasa ini, Sebuah Catatan Kecil”. dalam Bahasa Sastra Budaya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana. Berger, P.L. dan Luckmann, T. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Sebuah Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta:LP3ES Christomy, Tommy.2004. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia H. Hoed, Benny. 2011. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu. Jetkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta: Erlangga Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Piliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang milenium ketiga dan Matinya Posmodernisme.Bandung: Penerbit Mizan Pujiriyanto. 2005. Desain Grafis Komputer. Yogyakarta: Andi Offset

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

322

Putra, I Nyoman Darma. 2011. “Metamorfose Identitas Bali Abad ke-20 dan Kontribusinya dalam Pembentukan Kebudayaan Bangsa”, dalam I Nyoman Darma Putra dan I Gde Pitana (ed.) Bali dalam Proses Pembentukan Karakter Bangsa. Denpasar: Pustaka Larasan. Sandjaja, Sasa Djuarsa. 2005. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Sachari, Agus.1986. “Humanisme Desain”, dalam Agus Sachari (ed.) Seni Desain dan Teknologi. Bandung: Penerbit Pustaka. Samovar, L.A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. 2010. Comunication between Cultures (7th Edition ed). Boston, USA: Wadsworth Cengage Learning Sanyoto, Sadjiman Ebdi. 2009. Metode Perancangan Komunikasi Visual Periklanan. Yogyakarta: dimensi Press. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda Spradly, James P. 1997. Metode Etnografi. Penerjemah Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Supatra, I.N.K. 2006. Sigug, Karakter Bali Modern & Pudarnya Identitas Orang Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post. Tinarbuko, Sumbo, 2009, “Semiotika Iklan Visual” dalam Widyatmoko ed., Irama Visual Dari Tukang Reklame Sampai Komunikator Visual, Yogyakarta: Jalasutra).

POTRET KOMUNIKASI SKAA JANGER KOLOK DI DESA BENGKALA BULELENG

Nyoman Lia Susanthi, Ni Wy. Suratni Program Studi TV dan Film, FSRD, Program Studi Seni Pedalangan FSP Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected]

Abstrak Unsur utama tari Janger adalah menari dan bernyanyi mengikuti irama. Namun di Desa Bengkala, Buleleng Bali, tari Janger dibawakan oleh warga tuna rungu (kolok). Mereka tergabung dalam kelompok kesenian (skaa) Janger Kolok. Keunikan komunikasi nonverbal tersebut menarik peneliti untuk mengamati bagaimana teknik komunikasi nonverbal serta ingin mengetahui misrepresentasi yang timbul dari komunikasi nonverbal tersebut. Membedah rumusan masalah tersebut, maka peneliti menggunakna teori Kinesik dan teori Simbolik dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan etnografi. Dari metode penelitian tersebut ditemukan bahwa simbol bahasa isyarat desa Bengkala merupakan ciptaan warga kolok yang tersusun lama, menjadi kesepakatan warga desa setempat dan digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Teknik komunikasi saat latihan menggunakan model peraga dan teknik melempar batu oleh pelatih sebagai tanda “salah” yang telah menjadi kesepakatan bersama (legisigns). Dari proses latihan hingga pementasan, pesan kinesik penari kolok adalah sikap bahagia, berminat, dan responsif.Saat pementasan,penari berpatokan pada arahan dari pemain kendang yang memberikan aba-aba tangan kanan ke atas. Dari tiga babak, penanda (signifier) dilihat dari aba-aba tangan kanan ke atas, sedangkan pertanda (signified) berarti "mulai". Dalam garapan tari janger kolok terdapat kontinuitas adegan. Setiap adegan 1 adalah tanda untuk bersiap-siap dan akhir adegan ditandai dengan gerakan laki-laki menunduk dan menghembuskan nafas.

Kata kunci: Janger Kolok, Komunikasi, Bahasa Nonverbal, Bengkala

Abstract The main elements of Janger dance is dancing and singing to the rhythm. But in the Bengkala village, Buleleng, Bali, Janger dance is performed by deaf people or in Bali known as kolok. They are members of the art group (skaa) Janger Kolok. The uniqueness of nonverbal communication is attracting researchers to observe how nonverbal communication techniques and

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

323

want to know misrepresentation of the non-verbal communication. According to the problem, the researcherused the symbolic theory, kinesik theory and qualitative and ethnographic approaches. From these studies it was found that sign language symbols in Bengkala village was created by deaf peoplein Bengkala village, into an agreement of local villagers and has been used as an dialy language. Communication techniques to train kolok dancers used visual models and stone throwing techniques by coaches as the symbol "wrong" who had been a mutual agreement (legisigns). According to the practice process of kinesik message that reflected the attitude of kolok dancers was happy, interested, and responsive. In the performance process, the dancers based on the direction of drum players who always gave the upper right hand cue. Of the three rounds, markers (signifier) seen from the upper right-hand cue, while the sign (signified) which means "start". In Janger kolok dance there was continuity scene. Each first scene was a sign to get ready and the final scene was marked by the movement of men head down and exhalation.

Keywords: Janger Kolok, Communication, Nonverbal Language, Bengkala

PENDAHULUAN Tari Janger merupakan tari pergaulan masyarakat Bali yang berawal dari budaya agraris sebagai hiburan setelah lelah bekerja. Sambil menari mereka melantunkan lagu yang di Bali dikenal dengan nama gending dari ritual tari sakral sebagai gending penolak bala. Gending Janger pun berkembang menjadi gending kerakyatan. Sifat tari yang lincah dan ceria menjadikan tari ini sebagai tari berpasangan yang dibawakan oleh para truna-truni (pemuda- pemudi) Bali. Materi inti tari Janger adalah menari dan menyanyi yang mengikuti irama gamelan (Suartaya, 2011). Menurut Sukraka (2009) nama Janger muncul dari peniruan bunyi (anomatope) yang berasal dari lagu penari yang dinyanyikan berulang-ulang. Namun uniknya tari Janger yang unsur utamanya adalah menari dan menyanyi mengikuti irama ini mampu ditarikan oleh kelompok atau skaa Janger yang memiliki keterbatasan fisik yaitu tuna rungu. Mereka tergabung dalam kelompok seni (skaa) Janger Kolok. Kolok merupakan bahasa Bali yang berarti tidak bisa bicara. Skaa Janger Kolok ini berasal dari desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, tepatnya di utara Pulau Bali. Jumlah penduduk di Desa Bengkala mencapai 2.135 jiwa yang terdiri dari 1.041 laki-laki dan 1.094 pesempuan. Penduduk Desa Bengkala sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani. Cikal bakal terbentuknya skaa Janger Kolok ini sama dengan awal mulanya lairnya tari Janger. Penduduk Bengkala yang waktu ini haus akan hiburan menjadikan mejangeran sebagai hiburan meraka setelah lelah bekerja. Pendiri skaa Janger Kolok pada tahun 1969 sampai 1970-an oleh Wayan Nedeng (Almarhum). Beliau adalah penduduk asli Desa Bengkala yang memiliki kondisi fisik normal. Keunikan tari Janger Kolok adalah menari dengan menggunakan bahasa isyarat (Pertiwi, 2011). Keberhasilan yang dapat diambil dari skaa janger ini adalah mampu menarikan tari Janger walaupun memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi. Komunikasi menjadi media yang sangat ampuh untuk menyampaikan pesan dan infromasi dalam menjalankan kehidupan sosial. Tanpa komunikasi manusia akan mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan yang lainnya. Bagi penderita tuna rungu mereka lebih menggunakan cara komunikasi yang berbeda dengan manusia normal. Jenis komunikasi yang digunakan adalah komunikasi non verbal, yaitu komunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat. Dari fenomena tersebut maka menarik peneliti untuk mengamati metode komunikasi yang digunakan anggota skaa Janger Kolok dalam proses berkesenian. Sehingga dapat mendeskripsikan keunikan bahasa isyarat yang berlaku bagi kelompok ini. Penelitian ini penting dilakukan agar memberi kontribusi ilmu bagi penderita tuna rungu yang ingin belajar tari Janger, bisa mengikuti metode yang diterapkan di Desa Bengkala. Selain itu dengan melakukan penelitian ini dapat sebagai pengayaaan bahan ajar untuk mata kuliah ilmu komunikasi yang mana salah satu sub bahasannya adalah bahasa non verbal. Melalui penelitian ini makan dapat menjadi gambaran kasus sebagai bahan contoh dari komunikasi non verbal dalam kehidupan sosial. Khususnya bagi pengajar di perguruan tinggi seni, contoh nyata dari hasil penelitian ini akan menjadi sumbangan besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang komunikasi. Untuk mengetahui bagaimana potret komunikasi skaa Janger Kolok di Desa Bengkala, Buleleng, maka peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Teknik

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

324

pengumpulan data sebagain besar akan diperoleh dari wawancara mendalam dengan informan kunci. Pengamatan penting lainnya adalah peneliti memperhatikan lingkungan, bahasa tubuh, mimik dan suasana wawancara. Dengan konsep komunikasi yaitu teori Kinesik dan teori Semiotika. Kedua teori ini akan mampu mengungkapkan teknik-teknik komunikasi yang digunakan skaa Janger Kolok. Pertama diamati terlebih dahulu kinesik dari para seniman Janger Kolok setelah itu dengan teori Semiotik maka menganalisis tanda/simbul yang muncul selama proses berkesenian. simbul-simbul kunci ini bisa menjadi acuan untuk merumuskan penanda dari tari Janger Kolok ini. Hasil analisis akan mampu sebagai pegangan bagi para tuna rungu yang ingin belajar tari Janger untuk mempelajarinya. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan teknik-teknik komunikasi nonverbal skaa Janger Kolok di Desa Bengkala Buleleng dan mengetahui hambatan yang dihadapi. Keterbatasan fisik dalam berkesenian bagi penderita tuna rungu akan menemuni beberapa hambatan.

METODE PENELITIAN Untuk mendeskripsikan komunikasi yang digunakan Skaa Janger Kolok ini maka peneliti akan menggunakan metodologi kualitatif. Fenomena sosial yang terjadi di Desa Bengkala tidak bisa diukur dengan kuantifikasi, peneliti memerlukan strategi untuk dapat mengungkapkan makna- makna yang tersembunyi hingga bisa muncul dalam peristiwa tersebut. Penelitian ini dilakukan di Desa Bengkala Kabupaten Buleleng, Bali. Proses pengumpulan data, peneliti secara langsung terjun kelapangan, karena mengamati keberagaman dan kemajemukan budaya yang melingkupinya. Dalam memecahkan rumusan masalah tersebut digunakan pendekatan etnografi. Metode ini dianggap sangat tepat untuk dapat memberi gambaran lebih alamiah pada saat proses berkesenian para seniman kolok ini. Pemahamman terhadap fenomena tidak cukup hanya menarik kesimpulan terhadap sebab akibat suatu peristiwa tanpa memperhatikan aspek internal individu sehingga kita akan bisa memahami alam pikiran individu dalam menjalankan kehidupannya (Have, 2004). Etnografi memposisikan peneliti bertugas menyimak dan melukiskan realitas tanpa harus mengintervensi realitas tersebut, sehingga akan mendapatkan data senatural mungkin terhadap realitas tersebut. Untuk itu penerapan metode ini memang membutuhkan waktu lama untuk menyerap keseharian objek yang diteliti, namun dengan asumsi bahwa peneliti tinggal di Bali dan juga pernah menetap di wilayah Kabupaten Buleleng, maka pengalaman peneliti dapat juga digunakan preresearch. Peneliti bertugas menangkap nuasa, konteks dan temuan non verbal. Etnografi sesungguhnya berasal dari ilmu antropologi yang ingin melihat suatu kejadian secara holistik. Begitupula metode etnografi komunikasi juga ingin mengamati dengan baik keseluruhan realitas sosial yang terjadi.

HASIL DAN PEMBAHASAN\

Bengkala Memiliki Satu-satunya Sekolah Inklusi di Asia Tingkat pendidikan masyarakat Desa Bengkala sudah meningkat baik karena Desa Bengkala sudah memiliki sarana pendidikan yaitu 1 Taman Kanak-Kanak (TK) dan 2 Sekolah Dasar (SD). Dari 2 SD yang ada di Bengkala, yaitu SD N 1 Bengkala dan SD N 2 Bengkala, SD N 2 Bengkala merupakan satu-satunya sekolah inklusi di Asia dan salah satu dari 3 sekolah inklusi yang ada di dunia. Inklusi merupakan konsep pendidikan yang dirancang sangat efektif dengan tujuan memberikan hak kepada setiap orang tanpa terkecuali untuk mengeyam pendidikan. Termasuk anak dengan kebutuhan khusus (ABK) seperti bisu tuli di Desa Bengkala berhak bersekolah yang sama dengan anak-anak normal. SD N 2 Bengkala dijadikan sekolah inklusi (khusus) pada 19 Juli 2007. Sejak saat itu SD N 2 Bengkala yang merupakan sekolah reguler (biasa) mulai menerima anak dengan kebutuhan khusus serta menyediakan sistem layanan pendidikan yang juga menyesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK). ABK melakukan penyesuaian terhadap kurikulum, pembelajaran, penilaian serta sanara prasarana (Sumber: Wawancara Kepala Desa Bengkala dan I Ketut Kanta).

Bengkala Memiliki Bahasa Isyarat Ciptaan Sendiri

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

325

Desa Bengkala dengan jumlah penduduk 2819 jiwa yang terdiri dari 43 jiwa kolok, memiliki keunikan dalam penggunaan bahasa isyarat. Bahasa-bahasa isyarat yang beredar dan digunakan untuk berkomunikasi antara masyarakat sesama kolok atau masyarakat kolok dengan yang normal adalah menggunakan bahasa isyarat lokal. Tanda-tanda bahasa isyarat di Desa Bengkala tercipta dari penduduk kolok. Tanda-tanda ini tidak sama dengan ini Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan American Sign Languge (ASL), karena SIBI dan ASL merupakan hasil rekayasa orang normal yang menciptakan tanda-tanda kedalam bahasa isyarat. Sementara bahasa isyarat Bengkala dikembangkan oleh penduduk bisu tuli Bengkala itu sendiri (Sumber: Wawancara Kepala Desa Bengkala dan I Ketut Kanta). Bahasa isyarat lokal desa Bengkala sangat sederhana, sehingga sangat mudah dipelajari dalam waaktu singkat. Sehingga dalam komunikasi sehari-hari, penduduk kolok tidak kesulitan menggunakan bahasa isyarat untuk berkomuniksai, karena uniknya warga yang tidak kolok fasih berkomunikasi dengan bahasa isyarat lokal Bengkala. Mereka lebih suka dan sering menggunakan bahasa isyarat lokal untuk berkomunikasi. Delapan puluh persen masyarakat Bengkala sudah menguasai bahasa isyarat lokal.

Janger Kolok Desa Bengkala: Dulu dan Sekarang Cikal bakal lahirnya paguyuban Janger Kolok di Desa Bengkala tidak terlepas dari banyaknya jumlah penduduk kolok di desa bengkala. Dari sekitar 2000 penduduk sebanyak sekitar 2 persen penduduk bisu tuli (kolok). Hal inilah yang melatarbelakangi seorang seniman lokal Bengkala bernama I Wayan Nedeng (almarhum) mendirikan kelompok tari (skaa) Janger Kolok di era tahun 70an. I Wayan Nedeng belajar seni secara otodidak, karena tidak pernah mengenyam pendidikan seni secara formal sebelumnya. Beliau belajar lewat mengikuti perkumpulan gamelan (skaa gong) yang ada di sekitar desa. I Wayan Nedeng saat itu adalah penjual nasi di kampung Bengkala. Sementara Bengkala yang pada waktu itu belum teraliri air, mengharuskan penduduknya mencari air ke suangai atau membeli air dari penjual air. Dari beberapa warga penjual air terdapat 2-3 orang adalah warga tuli bisu. I Wayan Nedeng yang berprofesi sebagai pedagang juga tidak luput untuk membeli air dari warga tuli bisu. Keseharian berinteraksi dengan tuli bisu memunculkan ide kreatif dari I Wayan Nedeng untuk mendirikan skaa janger kolok (Sumber: Wawancara I Ketut Kanta). Namun Skaa Janger Kolok ini sempat vakum beberapa tahun karena banyak hambatan. Hingga saat I Ketut Kanta yang pada saat itu sebagai Kepala Dusun, tahun 1994 I Wayan Nedeng menawari Kepala Dusun untuk menghidupkan kembali skaa janger kolok ini. Tahun 1988 selain I Wayan Nedeng skaa janger ini juga pernah dilatih oleh salah satu sanggar yang dipimpin oleh Durpa, di Buleleng dibawah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng. Dibawah binaan Durpa, gerakan tari dan jalan cerita skaa janger kolok mulai bervariasi. Sebagai pelatih beliau tidak sekedar menambahkan gerakan tapi juga menggali bakat- bakat yang dimiliki penari kolok, dengan memunculkan bakat bela diri dalam garapan tari janger. Salah seorang dari penari Janger mengusai ilmu bela diri, dan ilmu tersebut telah meluas dipelajari oleh generasi muda Bengkala khsusunya warga kolok. Selain itu penampilan skaa janger kolok ini juga sudah semakin baik. Berkat bantuan dari pemerintah daerah mereka sudah mulai menggunakan pakaian janger. (Sumber: Wawancara Kepala Desa Bengkala dan I Ketut Kanta). Paguyuban Janger Kolok terdiri dari satu ketua paguyuban, dua asisten dan beranggotakan 13 penari yaitu: Ketua (I Ketut Kanta), Assisten (I Made Wisnu Giri, Mangku Mandra), Anggota penari laki-laki (Getar, Punda, Pindi, Narda, Sudarma, Riana, Santya, Subentar, Subentir, Suarayasa dan Arta) dan penari perempuam (Sukasti dan Pundu). Janger kolok hingga saat ini masih tetap eksis dan banyak tamu baik lokal maupun internasional datang ke Bengkala untuk menyaksikan garapan janger kolok. Selain tampil di desa sendiri, skaa janger kolok ini sering juga diminta tampil baik di luar desa yaitu di kecamatan, di kabupaten, di provinsi hingga di luar negeri. Setiap bulan sudah dipastikan mereka selalu tampil. Adapun agenda tampil mereka yaitu sebagai berikut. (Sumber: Wawancara Kepala Desa Bengkala). Nominal upah mereka tampil juga ditentukan oleh jauh dekatnya tempat pementasan. Jika pentas di desa Bengkala maka biayanya sekitar Rp 1.500.000 hingga Rp. 2.000.000. Apabila keluar kecamatan biayanya Rp. 3.000.000 dan bila di provinsi biayanya diatas Rp 3.000.000. Sebagian dari upah mereka simpan untuk beberapa kegiatan upacara agama. (Sumber: Wawancara Kepala Desa Bengkala).

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

326

Mereka dikoordinir dalam sebuah paguyuban yang dipantau oleh desa dan kedepan akan dikembangkan dalam bentuk yayasan. Jika sudah terbentuk yayasan, maka kesejahteraan warga kolok dapat ditingkatkan. Saat ini ada beberapa dari mereka masih bekerja di luar desa, sehingga jika ada upah untuk tampil perlu waktu untuk mengumpulkan mereka. Apabila sudah menjadi yayasan maka mereka tampil secara rutin dan profesi menari bisa menjadi pegangan hidup mereka, tanpa harus bekerja di luar desa. Potensi ini juga membawa desa pada rencana program desa kedepan untuk menjadi desa wisata. Kreativitas warga kolok selain menari tapi juga keahlian lainnya seperti karya cindramata dapat dijual unutk mendukung desa Bengkala sebagai desa wisata. (Sumber: Wawancara Kepala Desa Bengkala).

Pembabakan Tari Janger Kolok Garapan tari janger kolok desa Bengkala berdurasi 66 menit atau 1 jam 6 menit. Garapan ini diawali dengan keluarnya seorang pemain kendang yang akan mengiringi seluruh tarian hingga akhir. Instrumen tari janger kolok ini hanya menggunakan satu kendang saja. Pemain kendang keluar sambil menari, kemudian mencari posisi di depan sebagai pemandu garapan. Jalan cerita garapan ini diciptakan oleh pelatih tari janger kolok yaitu Durpa. Dalam satu garapan tari janger yang mengambil konsep “Arjuna Metapa” terdiri dari 3 babak, dengan cuplikan babak sebagai berikut: Babak I adalah pepeson yang berarti prolog atau introduction, yang terdiri dari 7 adegan, setiap pergantian adegan ditandai dengan satu tangan pemain kendang dinaikkan keatas.

Gambar 1. Adegan 1. Penari laki-laki keluar Gambar 2. Adegan 2. Penari laki-laki hormat dengan beriringan, terbagi dalam dua baris mencakupkan kedua tangan dan menunduk

Gambar 3. Adegan 3. Gambar 4. Adengan 4. Selesai hormat Penari laki-laki menari tampil kedepan

Gambar 5. Adegan 5. Penari lak-laki yang Gambar 6. Adegan 6 terbagi dalam 2 baris berbalik saling berhadapan Penari laki-laki duduk saling berhadapan

Gambar 7. Adegan 7. Penari laki-laki selesai menari, masuklah dua penari perempuan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

327

Makna penghormatan diawal tarian memiliki makna permohonan dengan sembahyang mencakupkan kedua tangan agar para penari semua dapat menari dengan baik dan selamat. Babak II adalah pengawak atau isi dari garapan. Pada babak ini mulai masuk pada inti dari garapan tari yang terdiri dari 14 bagian pengawak. Setiap bagaian dari pengawak terdiri dari beberapa adegan, dan setiap pergantian adegan ditandai dengan satu tangan pemain kendang dinaikkan keatas.

Pengawak I

Gambar 8. Adegan 1. Gambar 9. Adegan 2. Penari perempuan melakukan penghormatan dengan Penari perempuan tampil kedepan sambil menari mencakupkan kedua tangan, sementara penari laki- dengan media bantu kipas. Penari perempuan tampil laki bersiap-siap kedepan sambil menari dengan media bantu kipas.

Gambar 10. Adegan 3. Gambar 11. Adegan 4. Sampai di depan penari perempuan berbalik mencari Penari laki-laki menari menggerakkan tangan kanan, pasangannya dan duduk saling berhadapan dengan kekanan dan ke kiri, sementara penari perempuan penari laki-laki menari duduk bersimpuh sambil menggerak- gerakkan badannya kekanan dan kekiri.

Gambar 12. Adegan 5. Gambar 13. Adegan 6. Perubahan gerakan penari laki-laki yaitu menunjuk Penari perempuan merespon penari laki-laki dengan dengan tangan kanan ke arah penari perempuan. gerakan tangan kanan menyentuh dada yang berarti Sementara penari perempuan masih pada gerakan saya, gerakan telunjuk tangan kanan dan kiri yang sama disantukan berarti tresna atau suka, dilanjutkan dengan menyentuh dagu penari laki-laki berarti bli atau kamu. Keseluruhan artinya tiang tresna tekan bli atau saya suka dengan anda.

Gambar 15. Adegan 9 Gambar 14. Adegan 7 Selesai. Penari laki-laki menunduk sambil Penari perempuan berdiri, sedangkan penari laki-laki menghembuskan nafas masih duduk bersila. Adegan 8 Penari perempuan kembang ke belakang dan penari laki-laki menari dengan kedua tangan diletakkan di tumit

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

328

Gambar di atas adalah aalah satu adegan babak 2 Tari Janger Kolok Desa Bengkala, Buleleng. Dalam pengawak I ini ketika penari laki-laki dan perempuan bertemu merupakan cerita tentang kisah percintaan. Awalnya penari laki-laki ingin melamar penari perempuan. Kemudia penari perempuan merespon yang menyatakan juga bahwa dia juga mencintai sang laki-laki dan mau menikah. Babak III adalah pekaad atau penutup yang terdiri dari 5 adegan setiap pergantian adegan ditandai dengan satu tangan pemain kendang dinaikkan keatas.

Gambar 16. Adegan 1 Penari laki-laki maupun Gambar 17. Adegan 2 Penari laki-laki berdiri dan perempuan bersiap-siap penari perempuan menari didepan

Gambar 18. Adegan 3 Penari laki-laki membentuk 2 Gambar 19. Adegan 5 Semua penari hormat, dan baris Adegan 4 Perempuan tampil di barisan pementasan selesai terdepan setalah 2 baris penari laki-laki

Potret Komunikasi Skaa Janger Kolok Pola komunikasi penari janger kolok dalam studi semiotik yaitu pertama tanda atau simbol bahasa isyarat di desa Bengkala merupakan ciptaan dari warga kolok desa Bengkala yang hanya dimengerti oleh kalangan penduduk desa Bengkala. Kedua yaitu kode-kode bahasa isyarat yang tersusun telah terbentuk lama dan sudah menjadi kesepakatan warga desa setempat. Kode kode tersebut dibentuk untuk menyatukan persepsi dalam kebudayaan di masyarakat Bengkala. Ketiga kode bahasa isyarat teresebut telah digunakan sebagai bahasa sehari-hari warga kolok termasuk para penari janger kolok dalam berkomunikasi, sehingga kode tersebut menjadi sebuah kebudayaan. Teknik komunikasi untuk melatih penari janger kolok memerlukan teknik spesial. Setiap gerakan harus menggunakan model untuk dilihat oleh para penari kolok, kemudian baru ditiru. Cara menyajian dengan contoh atau model peraga ditambahkan dengan bahasa isyarat lokal. Karena pelatih tidak menguasai bahasa isyarat baik lokal maupun nasional dengan baik, maka proses komunikasi melewati penterjemah bahasa isyarat lokal terlebih dahulu, sebelum sampai ke penari. Pola komunikasi skaa janger kolok dengan pelatih dapat digambarkan dalam elemen makna milik Peirce, yang terdiri dari tanda (sign), objek (object) dan interpretant (interpretan). Selain menggunakan model peraga, teknik mengajar lainnya dengan teknik melempar batu. Jika diamati dari jalur logika, hubungan penandanya dengan jenis penandanya, maka bentuk lemparan batu sebagai tanda yang memiliki sifat legisigns. Tanda melempar batu jika diartikan dalam tanda kenyataan, adalah tindakan kasar atau tidak suka. Namun dalam prilaku komunikasi pelatih janger kolok dengan penari janger kolok hal itu adalah tanda. Tanda lemparan batu telah menjadi kesepakatan (legisigns) dikalangan Skaa janger Kolok. Pola komunikasi yang terjadi dari interaksi kelompok penari janger kolok desa Bengkala adalah para penari tidak bisa menyembunyikan rasa dan emosi selama interaksi. Dalam mengungkapkan rasa dan emosi penari kolok ini jarang dapat diatur secara sadar, sehingga dalam menyampaikan makna dan maksud relatif lebih bebas. Untuk itu pola komunikasi skaa janger kolok desa Bengkala masuk dalam pesan nonverbal dengan kategori kinesik atau gerak tubuh. Pesan kinesik yang menggunakan tiga komponen gerakan tubuh yaitu pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural, diterapkan semua oleh penari kolok. Dari proses latihan hingga pementasan pesan kinesik umumnya mencerminkan sikap bahagia, berminat, dan responsif.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

329

Pesan fasial atau wajah yang dimunculkan dari penari kolok selama proses latihan mengandung beberapa makna diantaranya kebahagiaan, berminat, dan bingung. Pesan wajah juga diikuti oleh gerak anggota badan seperti mata, tangan dan kaki rata rata penari kolok ini selama proses latihan menunjukkan pesan menyesuaikan, responsif, perasaan positif, memperhatikan, melancarkan dan menyetujui. Berikut beberapa ekspresi wajah yang muncul dalam keterlibatan mereka selama proses latihan.

Gambar 20, 21. Fasial: bahagia Gestural: menyesuaikan, responsif, perasaanpositif, memperhatikandanmeyetujui Postural: immediacy ungkapan kesukaan terhadap individu lain; (2) Power mengungkapkan status sama dengan komunikator; (3) responsiveness berekasi secara emosional pada lingkungan secara positif

Gambar 22, 23. Fasial: Minat Gestural: menyesuaikan, responsif, perasaanpositif, memperhatikan Postural: immediacy ungkapan kesukaan terhadap individu lain; (2) Power mengungkapkan status sama dengan komunikator; (3) responsiveness berekasi secara emosional pada lingkungan secara positif

Gambar 24. Fasial: Tekad Gestural: menyesuaikan, responsif, perasaanpositif, memperhatikan. Postural: immediacy ungkapan kesukaan terhadap individu lain; (2) Power mengungkapkan status sama dengan komunikator; (3) responsiveness berekasi secara emosional pada lingkungan secara positif

Gambar di atas menunjukkan pesan kinesik penari Janger Kolok Desa Bengkala, Buleleng

Dalam proses pementasan tari janger kolokdibawakan oleh 13 penari dan satu penabuh. Tari janger kolok diiringi oleh instrumen yaitu kendang yang juga dimainkan oleh salah seorang warga kolok. Sehingga para penari berpatokan pada arahan dari pemain kendang. Tanda yang digunakan pemain kendang untuk memberikan aba-aba adalah tangan kanan ke atas. Dari tiga babak, setiap ada pergantian gerakkan (adegan) ditandai dengan aba-aba tangan kanan ke atas.

Gambar 25. Pemain kendang memberi aba-aba tangan kanan ke atas sebagai tanda “mulai”

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

330

Dikaitkan dengan teori semiotik yang membagi menjadi dua bagian yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat dari bentuk atau wujud bahasa nonverbal yaitu aba aba tangan kanan ke atas, sedangkan pertanda dilihat dari makna dari bahasa nonverbal dari tanda tangan pemain kendang naik ke atas yang memiliki arti "mulai". Hubungan keduanya dinamakan signification (upaya dalam memberi makna bahasa nonverbal tersebut. Tanda tersebut telah berdasarkan kesepakatan dari seluruh penari dan penabuh. Selain itu dalam garapan tari janger kolok yang berdurasi 66 menit, terdapat kontinuitas adegan. Setiap adegan 1 adalah tanda untuk bersiap-siap. Dan akhir dari setiap adegan ditandai dengan gerakan laki-laki menunduk dan menghembuskan nafas. Pola tanda tersebut sudah merupakan kesepakatan bersama antara penari dan penabuh.

SIMPULAN Pola komunikasi penari janger kolok dalam studi semiotik yaitu pertama tanda atau simbol bahasa isyarat di desa Bengkala merupakan ciptaan dari warga kolok desa Bengkala yang hanya dimengerti oleh kalangan penduduk desa Bengkala. Kode-kode bahasa isyarat yang tersusun telah terbentuk lama dan sudah menjadi kesepakatan warga desa setempat. Kode kode tersebut dibentuk untuk menyatukan persepsi dalam kebudayaan di masyarakat Bengkala. Kode bahasa isyarat teresebut telah digunakan sebagai bahasa sehari-hari warga kolok termasuk para penari janger kolok dalam berkomunikasi, sehingga kode tersebut menjadi sebuah kebudayaan. Teknik komunikasi untuk melatih penari janger kolok memerlukan teknik spesial. Setiap gerakan harus menggunakan model untuk dilihat oleh para penari kolok, kemudian baru ditiru. Cara menyajian dengan contoh atau model peraga ditambahkan dengan bahasa isyarat lokal. Karena pelatih tidak menguasai bahasa isyarat baik lokal maupun nasional dengan baik, maka proses komunikasi melewati penterjemah bahasa isyarat lokal terlebih dahulu, sebelum sampai ke penari. Selain menggunakan model peraga, teknik mengajar lainnya dengan teknik melempar batu. Jika diamati dari jalur logika, hubungan penandanya dengan jenis penandanya, maka bentuk lemparan batu sebagai tanda yang memiliki sifat legisigns. Tanda melempar batu jika diartikan dalam tanda kenyataan, adalah tindakan kasar atau tidak suka. Namun dalam prilaku komunikasi pelatih janger kolok dengan penari janger kolok hal itu adalah tanda. Tanda lemparan batu telah menjadi kesepakatan (legisigns) dikalangan Skaa janger Kolok. Pola komunikasi yang terjadi dari interaksi kelompok penari janger kolok desa Bengkala adalah para penari tidak bisa menyembunyikan rasa dan emosi selama interaksi. Dalam mengungkapkan rasa dan emosi penari kolok ini jarang dapat diatur secara sadar, sehingga dalam menyampaikan makna dan maksud relatif lebih bebas. Untuk itu pola komunikasi skaa janger kolok desa Bengkala masuk dalam pesan nonverbal dengan kategori kinesik atau gerak tubuh. Pesan kinesik yang menggunakan tiga komponen gerakan tubuh yaitu pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural, diterapkan semua oleh penari kolok. Dari proses latihan hingga pementasan pesan kinesik umumnya mencerminkan sikap bahagia, berminat, dan responsif. Dalam proses pementasan tari janger kolok dibawakan oleh 13 penari dan satu penabuh. Tari janger kolok diiringi oleh instrumen yaitu kendang yang juga dimainkan oleh salah seorang warga kolok. Penari berpatokan pada arahan dari pemain kendang. Tanda yang digunakan pemain kendang untuk memberikan aba-aba adalah tangan kanan ke atas. Dari tiga babak, setiap ada pergantian gerakkan (adegan) ditandai dengan aba-aba tangan kanan ke atas. Dikaitkan dengan teori semiotik yang membagi menjadi dua bagian yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat dari bentuk atau wujud bahasa nonverbal yaitu aba aba tangan kanan ke atas, sedangkan pertanda dilihat dari makna dari bahasa nonverbal dari tanda tangan pemain kendang naik ke atas yang memiliki arti "mulai". Hubungan keduanya dinamakan signification (upaya dalam memberi makna bahasa nonverbal tersebut. Tanda tersebut telah berdasarkan kesepakatan dari seluruh penari dan penabuh. Selain itu dalam garapan tari janger kolok yang berdurasi 66 menit, terdapat kontinuitas adegan.

DAFTAR PUSTAKA Have, Paul Ten. 2004. Understanding Qualitative Researchand Ethnomethodology, London: Sage Publications

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

331

Pertiwi, Murni Ari. 2013. Perkembangan Skaa Janger Kolok di Desa Bengkala, Kubutambahan, Buleleng Periode 1998-2011. Singarja: Candra Sangkala, Jurnal Jurusan Pendidikan Profil Bengkala. Diunggahtanggal 4 Agustus 2014, http://kubutambahan.bulelengkab.go.id. Sukraka, I Gde. 1999. PerkembanganTari Janger di Bali, Jurnal Mudra. Denpasar: Upt. Penerbitan ISI Denpasar Suartaya, I Kadek. 2011. Janger Bergirang CeriaPasca Trauma G30S/PKI. Diunggahpada 10 Desember 2013, jurnal.isi-dps.ac.id

PERBANDINGAN PENGGUNAAN MEDIA BUKU DAN VIDEO TUTORIAL MATA PELAJARAN SENI RUPA PADA SISWA SMA DAN SMK NEGERI DI DENPASAR

Arya Pageh Wibawa1, I Wayan Agus Eka Cahyadi2, Amoga Lelo Octavianus3. Program Studi Desain Komunikasi Visual1,2., Program Studi Fotografi3, Fakutas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar

Abstrak Pendidikan sebagai sebuah aktivitas penting dalam mempertahankan kelangsungan hidup manusia mengalami perkembangan yang begitu pesat. Pendidikan sebagai sebuah aktivitas penting tentunya memiliki sebuah proses yang disebut dengan proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar merupakan proses belajar yang terjadi baik secara langsung dengan menggunakan tutor maupun secara tidak langsung dengan memanfaatkan media. Media yang umum digunakan dalam proses belajar adalah buku. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh BPS (Biro Pusat Statistik) didapatkan hasil bahwa minat baca cukup rendah terutama dikalangan siswa. Dengan demikian, tentu perlu adanya alternatif media untuk terus meningkatkan minat baca dikalangan siswa. Alternatif media yang saat ini banyak dikembangkan adalah video tutorial. Pengembangan media alternatif ini perlu diujikan untuk melihat dampak yang terjadi dikalangan siswa. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif deskriptif dengan menyebarkan kuesioner. Populasi yang digunakan adalah siswa SMA dan SMK Negeri yang ada di kota Denpasar. Hasil yang diperoleh adalah penggunaan media berbasis audio video lebih menarik dibandingkan dengan media yang berbasis teks.

Keywords: Media pembelajaran, Buku, Video Tutorial

Abstract Education as an important activity in maintaining the viability of human experiences a rapid development. Education as an important activity must have a process called teaching- learning process. Teaching and learning process is a learning process that occurs either directly by using a tutor or indirectly by utilizing the media. Media commonly used in the learning process is the book. According to the survey conducted by BPS (Biro Pusat Statistik /Central Bureau of Statistics)it showed that interest in reading is quite low, especially among students. Therefore, this is certainly a need for an alternative media to continue to increase interest in reading among students. Alternative media which is currently widely developed is video tutorials. The development of this alternative media needs to be tested to see the effects that occur among students. The tests are carried out by using descriptive quantitative method to distribute questionnaires. The populations used werethe students of senior high school and vocational high schools in Denpasar. The result is the use of audio-video based media is more interesting than the use of text-based media.

Keywords: Media of learning, Book, Tutorial video

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

332

PENDAHULUAN Pendidikan sebagai sarana manusia dalam mengembangkan potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia dan juga merupakan wadah untuk lebih meningkatkan keterampilan dan membentuk pola pikir intelektual agar manusia dapat menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang serta mampu membangun sikap yang positif sesuai dengan karakter budaya yang dianut oleh lingkungan dan masyarakatnya. Menurut Tirtarahardja & La Sulo (2008:51), unsur-unsur yang terlibat didalam pendidikan sebagai proses pendidikan yaitu : subyek yang dibimbing (peserta didik), orang yang membimbing (pendidik), interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif), kearah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan), pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan), dan cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode), serta tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan). Keseluruhan unsur-unsur tersebut memiliki keterkaitan satu dengan lainnya sehingga tidak mungkin untuk dipisahkan. Dalam aktivitasnya, pendidikan mengenal proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar hendaknya diartikan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan secara langsung dengan menggunakan tutor atau guru dan secara tidak langsung dengan menggunakan media sebagai perantara dari proses tersebut. Media yang umum digunakan dalam proses belajar mengajar adalah buku. Tiap siswa tentunya sangat mengenal media buku ini. Buku-buku teks sudah sangat mudah didapat bahkan dengan harga yang sangat kompetitif. Walaupun begitu permasalahan yang terjadi dikalangan masyarakat adalah rendahnya minat baca yang dimiliki oleh siswa. Menurut survey yang dilakukan oleh BPS (Biro Pusat Statistik) tahun 2006 menyatakan bahwa di Indonesia, aktivitas membaca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton televisi 85,9% dan mendengarkan radio 40,3%. Data tersebut juga memberikan catatan bahwa penduduk dengan usia diatas 10 tahun yang menonton televisi berjumlah 85,86% dan membaca surat kabar 23,46%. Pada tahun 2009 menurut BPS, penduduk yang menonton televisi mencapai 90,27% dan membaca surat kabar 18,94%. Tahun 2012 yang lalu menurut BPS menunjukkan penduduk yang menonton televisi terjadi peningkatan menjadi sebesar 91,68% dan yang membaca surat kabar berjumlah 17,66% (http://bktp.dikpora, diakses tanggal 29/08/2013). Jumlah pembaca ini tentunya akan terus merosot dari tahun ke tahun dengan semakin menariknya acara-acara yang disiarkan televisi. Sehingga perlu adanya pengembangan media alternatif dalam meningkatkan minat baca. Media alternatif dalam proses belajar mengajar yang saat ini cukup banyak beredar adalah video tutorial. Pengembangan media baru itu cukup pesat dan beragam mengikuti kebutuhan masyarakat akan informasi pendidikan. Hal ini cukup menarik mengingat masih kurangnya penelitian-penelitian terhadap pengujian media pada tingkat efektifitas media dikalangan siswa.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskripti. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner pada siswa SMA dan SMK Negeri yang ada di Denpasar. Metode sampling yang digunakan adalah purposive dengan responden adalah dari siswa SMA Negeri 1 Denpasar, SMA Negeri 3 Denpasar, SMA Negeri 7 Denpasar, SMK Negeri 1 Denpasar dan SMK Negeri 5 Denpasar. Pemilihan responden adalah bersifat random untuk siswa SMA dan SMK Negeri 1 adalah siswa jurusan multimedia dan non multimedia serta siswa jurusan akomodasi perhotelan untuk SMK Negeri 5 Denpasar. Analisa yang digunakan adalah menggunakan statistik deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah responden yang diperoleh pada penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : (1) Siswa SMA Negeri 1 Denpasar sebanyak 99 orang; (2) Siswa SMA Negeri 3 Denpasar sebanyak 180 orang; (3) Siswa SMA Negeri 7 Denpasar sebanyak 163 orang; (4) SMK Negeri 1 Denpasar jurusan multimedia sebanyak 25 orang dan jurusan selain multimedia sebanyak 236 orang; (5) SMK Negeri 5 Denpasar jurusan akomodasi perhotelan sebanyak 40 orang. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

Gambar 1. Perbandingan Strategi persuasi antara buku dan video tutorial dikalangan siswa SMA Negeri 1,3,dan 7

Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa secara strategi persuasi maka siswa SMA Negeri merasa bahwa informasi yang disajikan dalam video tutorial memiliki ketertarikan yang tinggi dibandingkan dengan buku. Hal ini disebabkan oleh sajian pada video tutorial berbasis audio video dimana menurut Lynn O’Brien (dalam Rose dan Nicholl, 2003:131), direktur studi diagnostic spesifik Rockville, Maryland, menyatakan dalam sebuah studi terhadap 5000 siswa di Amerika Serikat, Hongkong, dan Jepang, kelas 5 hingga 12 menunjukkan kecenderungan belajar sebagai berikut : menggunakan visual sebesar 29%, auditori 34%, dan kinestetik sebesar 37% tetapi pada saat usia dewasa, kelebihsukaan pada gaya belajar visual ternyata lebih mendominasi. Kenyataan ini membuktikan bahwa pembelajaran menggunakan audio visual lebih efektif digunakan bagi siswa SMA. Nilai rata-rata terendah yang diberikan adalah ketersediaan media video tutorial yang ada dipasaran. Hal ini terkait dengan hasil yang diberikan pada gambar 1 yang menunjukkan rendahnya nilai rata-rata yang diberikan pada koleksi video tutorial yang diberikan. Sehingga peneliti menyimpulkan bahwa penyebab rendahnya angka rata-rata kepemilikan koleksi video tutorial adalah ketersediaan video tutorial dipasaran yang rendah.

Gambar 2. Perbandingan strategi interaksi antara buku dan video tutorial dikalangan siswa SMA Negeri 1,3,dan 7

Berdasarkan data diatas didapatkan hasil bahwa secara strategi interaksi, video tutorial memiliki rata-rata ketertarikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan buku. Nilai rata-rata yang diperoleh sangat signifikan secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan video tutorial memberikan dampak yang signifikan pada strategi interaksi. Siswa SMA memberikan respon yang sangat positif pada strategi interaksi yang berarti bahwa media pembelajaran video tutorial memiliki banyak kemudahan secara interaksi bagi mereka.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

Gambar 3. Perbandingan strategi hiburan antara buku dan video tutorial dikalangan siswa SMA Negeri 1,3,dan 7

Berdasarkan data yang diberikan oleh siswa SMA diperoleh hasil bahwa pada strategi hiburan secara umum dapat dikatakan belum memberikan dampak hiburan yang sangat signifikan bagi siswa. Hal ini dapat dilihat pada nilai rata-rata yang diberikan dimana pada tampilan visual dan desain media tidak memberikan perbedaan yang sangat signifikan. Menurut siswa, tampilan visual yang disajikan buku dan video tutorial secara umum memiliki perbedaan yang sangat kecil bahkan bisa dianggap sama. Hal yang sama juga terjadi pada desain media tersebut. Hanya nilai kesenangan saja yang memberikan perbedaan yang sangat signifikan antara buku dan video tutorial.

a. Strategi persuasi

b. Strategi interaksi

c. Strategi hiburan Gambar 4. Perbandingan strategi antara buku dan video tutorial dikalangan siswa SMK Negeri 1 dan 5

Berdasarkan data yang diperoleh didapatkan hasil bahwa pada strategi persuasi memiliki karakteristik yang berbeda antara siswa SMK Negeri 1 dan 5. Menurut siswa SMK Negeri 1, secara persuasi buku memiliki kelebihan yaitu lebih mudah mendapatkan dan kemudahan membaca dibandingkan dengan video. Berbeda dengan SMK Negeri 5 yang tetap mengganggap bahwa

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154 335

media video tutorial lebih memiliki keunggulan secara umum dibandingkan dengan media buku. Hanya memiliki selisih perbedaan nilai rata-rata yang sangat kecil yaitu pada informasi yang disajikan dan juga keterbacaan media. Pada strategi interaksi, nilai rata-rata secara keseluruhan tertinggi diberikan oleh SMK Negeri 1 terhadap media video tutorial dibandingkan dengan media buku. Selisih perbedaan nilai rata-rata yang kecil terjadi pada kenyaman mengunakan media dan kemudahan operasional antara video tutorial dengan buku. Sedangkan untuk strategi hiburan, media video tutorial secara umum SMK Negeri 1 memiliki nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan SMK Negeri 5. Selisih nilai rata-rata terkecil terjadi pada bagian desain media dimana SMK Negeri 1 mengasumsikan bahwa media buku lebih menarik dari sisi desain media dibandingkan dengan video tutorial. Hal yang sama juga diberikan oleh SMK Negeri 5 yang memberikan nilai rata-rata tinggi pada sisi desain media untuk buku dibandingkan dengan video tutorial. Pada kedua hasil yang disajikan dapatlah secara umum dikatakan bahwa karakteristik dari kedua siswa ini memiliki kesamaan dalam menilai media pembelajaran. Hal ini mungkin disebabkan karena pengaruh internal dan eksternal. Pengaruh internal terjadi yaitu berdasarkan pengalaman pribadi yang dimiliki oleh siswa dalam proses belajar menggunakan media tersebut. Disamping itu, faktor kebiasaan yang dimiliki siswa dalam pembelajaran. Siswa mungkin merasa nyaman menggunakan media yang berbasis audio video dibandingkan dengan media yang berbasis teks. Hal ini mungkin disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat terjadi dikalangan siswa. Siswa sudah terbiasa berinteraksi dengan media iPad, iPhone dan internet yang banyak dijumpai dimana-mana. Kebiasaan ini yang menyebabkan adanya ketertarikan siswa dalam memilih media untuk proses belajar yang dilakukan. Faktor eksternal terjadi pada diri siswa ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan, baik lingkungan sekolah maupun lingkungan tempat siswa tersebut tinggal. Pengaruh lingkungan sekolah dimulai dari guru pembimbing mata pelajaran serta kurikulum yang ada di sekolah. Kedua hal ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan pada diri siswa tersebut secara langsung maupun tidak langsung. Hal lain yang juga memberikan pengaruh adalah lingkungan tempat siswa tersebut yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulan siswa. Lingkungan keluarga dapat dilihat dari keseharian keluarga tersebut dominan menggunakan media. Sedangkan lingkungan pergaulan siswa dimulai dari pergaulan siswa tersebut dengan saudara, kerabat dan teman pergaulan sehari- hari. Kebiasaan penggunaan media ketika mereka berkomunikasi satu dengan yang lainnya sangat berpengaruh pada kebiasaan belajar siswa tersebut. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa kedua hal ini memberikan pengaruh yang cukup besar pada siswa untuk memilih media pembelajaran yang disenanginya.

SIMPULAN Perbandingan media buku dan video tutorial dari sisi strategi persuasi memberikan hasil bahwa media video tutorial sebagai pembelajaran diasumsikan lebih persuasif dibandingkan dengan media buku. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata yang diberikan oleh siswa terhadap media tersebut.Perbandingan media buku dan video tutorial dari sisi strategi interaksi memberikan hasil bahwa media video tutorial lebih interaktif dibandingkan dengan media buku. Perbandingan media buku dan video tutorial dari sisi strategi hiburan memberikan hasil bahwa media video tutorial lebih menghibur dibandingkan dengan media buku.

DAFTAR PUSTAKA Rose, C. dan Nicholl, M.(2003). Accelerated Learning for the 21st Century (translate by Dedy). Bandung:Penerbit Nuansa Tirtarahardja, U. & La Sulo, S.L.(2008).Pengantar Pendidikan (Edisi Revisi).Jakarta: PT. Rineka Cipta. http://bktp.dikpora, diakses tanggal 29/08/2013

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

336

KAJIAN MUSISI DALAM INDUSTRI MUSIK DI VILLA SANCTUS ULUWATU BALI

Wahyu Sri Wiyati Program Seni Musik, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesi Denpasar [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meneliti musisi dalam industri musik live performance di Villa Sanctus Bali. Pertunjukan tersebut bertujuan untuk memberikan pelayanan dan hiburan kepada tamu. Pengamatan awal menunjukan bahwa para musisi di sana dapat memberi suasana hikmat pada acara wedding ceremony dan suasana santai di acara hiburan. Para musisi berasal dari latar belakang pendidikan formal dan otodidak. Walaupun dengan latar belakang yang berbeda tetapi mereka bisa bermain dengan kompak. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk menyingkap fenomena musisi berpendidikan formal dan musisi otodidak, dengan mengadakan studi kasus pada musisi yang bekerja di Villa Sanctus Bali. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan jawaban yaitu; pertama bagaimana bentuk industri musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali, kedua bagaimana metode musisi dalam bermain musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali, ketiga bagaimana pengembangan musikalitas dari musisi yang ada di Villa Sanctus Uluwatu Bali.

Kata kunci: musisi, industri musik, live musik.

Abstract This study is intended to examine the musicians especially in live performance industry at Villa Sanctus Bali. The performance aims to provide services and entertainments for the guests. The initial observations showed that the musicians can give a solemn atmosphere at the wedding ceremony and a relaxed atmosphere on the entertainment events. The musicians have a formal educational background and autodidac one. Although they are from different backgrounds, but they can play the music cohesivelly. Therefore, this study tries to reveal the phenomenon of formally educated musician and autodidac musician, by conducting a case study on the musicians who worked at the Sanctus Villa, Uluwatu, Bali.This research is to find the answer of; firstly What are the forms of the music industry at the Sanctus Villa , Uluwatu, Bali, secondly how is the musicians’ method in playing music, and thirdly is regarding the development of musicality of the existing musicians at the Sanctus Villa , Uluwatu, Bali.

Key words: musicians, music industry, live music.

PENDAHULUAN Bali dikenal dengan pariwisata yang termasyur di Indonesia sehingga banyak bermunculan usaha seperti hotel, villa, restoran, dan lain sebagainya. Dari perkembangan sektor wisata salah satunya menawarkan beragam jenis musik baik untuk keperluan ceremony maupun party. Pertunjukan live music yang semua itu menjadi lahan basah bagi para musisi. Namun demikian, sebelum hubungan yang saling menguntungkan antara musisi dengan dunia pariwisata dijelaskan lebih jauh, maka penting diuraikan hakekat musisi. Sebenarnya yang dimaksud musisi seseorang bekerja dengan cara bermain musik dalam hal ini Pono Banoe mengatakan musisi adalah seorang pelaku musik (Banoe. 2003:288). Kajian musisi atau entertainer (penghibur) bekerja dengan cara bermain musik yang terdiri dari beberapa jenis musik antara lain musik klasik, jazz, rock, musik pop Indonesia dan pop Barat. Proses dalam memainkan musik melalui tahapan latihan-latihan dan pembelajaran untuk bisa menguasai lagu dengan baik. Musik adalah karya seni yang media atau wujud hasil karyanya berupa bunyi atau nada-nada. Karya musik lazimnya berupa nada-nada yang disusun dengan mempertimbangkan unsur ritme, melodi dan harmoni Pono Banoe mengenai musik

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

337

menyatakan: Cabang seni yang membahas dan menetapkan berbagai suara kedalam pola- pola yang dapat dimengerti dan dipahami manusia.(Banoe. 2003:288) Industri musik sebagai dunia bisnis dalam dunia musik lahir dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan zamannya. Dalam hal ini Ben Pasaribu menyatakan dalam dunia bisnis belantika musik, segala perangkat entertainment merupakan suatu komoditas penting dalam industri budaya. Jaringan industri meliputi perekaman, pertunjukan, penjualan aksesoris dan atribut, penciptaan dan aransemen musik serta hak cipta, pengadaan pemain musik dan urusan penerbitan buku notasi lagu-lagu, buku tentang musik dan pemusik (Pasaribu.2006:138). Transisi zaman dan revolusi-revolusi dunia seperti revolusi industri, telah menimbulkan banyak perubahan kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek. Demikian juga dalam bidang seni musik. Industri musik berkembang sangat pesat dengan mengemas produknya dalam berbagai format selaras dengan kemajuan zaman. Secara garis besar terdapat dua macam bentuk penyajian musik yakni dalam rekaman dan dalam bentuk pertunjukan langsung (live performance). Representasi musik dalam bentuk rekaman dilakukan oleh musisi dengan cara merekam lagu-lagu mereka selain itu mereka juga merekam performance atau penampilannya yang berupa media audio dan audio-visual. Industri musik dalam bentuk pertunjukan langsung (live performance), pada prinsipnya adalah pertunjukan langsung pementasan musik yang dikelola secara terorganisasi. Di Bali khususnya di villa-villa daerah Uluwatu salah satunya di Villa Sanctus kegiatan wedding ceremony dan acara- acara hiburan sangat diminati karena menjual paket dengan kemasan yang menarik salah satunya menggunakan live music. Dalam perkembangannya pertunjukan musik melibatkan berbagai macam pekerjaan yang harus ditangani. Hal itu menuntut suatu pertunjukan ceremony maupun hiburan khususnya live music dikelola dengan manajemen yang bagus. Dengan demikian selain sebagai tempat untuk menginap para tamu, villa atau hotel juga menjadi penyelenggara industri seperti wedding ceremony maupun acara hiburan. Dengan adanya industri musik wedding ceremony maupun hiburan, muncul musisi-musisi yang bekerja sesuai dengan permintaan industri. Musisi adalah musisi yang melayani kebutuhan orang lain atau kepentingan kebanyakan orang. Melalui industri mereka menjual jasa, dan berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya. Mereka mempunyai beberapa fleksibilitas dan menafsirkan harapan dari pelanggan mereka secara langsung. Penyelenggaraan musik langsung (live music) merupakan fasilitas standart salah satunya di villa dengan menyuguhkan musik-musik yang menghibur seperti pop, klasik, country, jazzy, dll sekaligus untuk kemasan seperti wedding ceremony. Dalam penelitian ini akan diamati bentuk-bentuk musik yang ditampilkan di Villa Sanctus. Penelitian ini akan mengambil subjek musisi dalam industri musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali. Berdasarkan data penelitian di atas fenomena tersebut dapat dikatakan bahwa banyak musisi (entertainer) yang bermain di hotel, villa, bar, cafe sekalipun tanpa pendidikan musik formal bisa mencapai sukses dalam pekerjaannya. Hal itu menimbulkan beberapa dugaan dan pertanyaan yang menarik untuk dapat diketahui dan diungkapkan melalui suatu penelitian yang mendalam guna mengetahui proses atau cara mereka beradaptasi mempelajari materi pekerjaannya. Proses belajar musik secara umum meliputi penguasaan materi-materi teknik bermain instrument musik, pengembangan musikalitas, dan penguasaan repertoar. Penguasaan materi-materi tersebut juga berlaku pada pembelajaran musik klasik maupun musik popular. Proses belajar musik yang dilakukan oleh musisi menarik untuk diamati, karena diperkirakan mempunyai hal-hal yang berkaitan dengan penguasaan materi-materi belajar musik tersebut. Oleh karena itu musisi live music di Villa Sanctus dipandang tepat untuk dijadikan subjek pengamatan pada penelitian kasus ini di karenakan musisi yang ada memiliki latar belakang pendidikan formal dan otodidak. Dalam dunia pendidikan musik formal banyak dikenal metode-metode belajar, antara lain Metode Suzuki untuk biola, Metode Yamaha untuk keyboard, gitar, bass gitar, drum, dan lain-lain. Metode-metode itu telah dikenal luas karena sistematis dan materinya

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

338

terstruktur dari tingkat pengenalan awal hingga tingkat mahir. Proses pembelajaran musik semua diatur dalam tingkat-tingkat keterampilan (grade) yang menunjukkan tingkat-tingkat kesulitan yang harus ditempuh siswa sehingga tingkat keterampilannya dapat terukur dengan jelas.Pengamatan sekilas menunjukkan adanya kenyataan khusus musisi otodidak kurang memahami metode belajar musik. Hal itu dikarenakan para musisi otodidak hanya belajar sendiri mengandalkan pendengaran dan rasa terhadap lagu yang mereka pelajari selanjutnya dihafalkan. Persepsi masyarakat tentang pentingnya pendidikan terkait dengan dunia kesenimanan dan pekerjaannya juga belum dipahami dengan baik. Selain itu terdapat fakta bawah musisi maupun umum yang meyakini bahwa secara material musik ceremony dan hiburan tidak harus dipelajari melalui pendidikan formal yang ilmiah. Banyak musisi belajar sendiri berbekal kemauan yang keras. Otodidak adalah proses bagi orang yang belajar dengan menggunakan cara-caranya sendiri. Persoalan cara belajar itu akan menjadi bahan kajian utama pada penelitian kasus ini. Dalam perspektif belajar sendiri, bisa dipastikan segala daya upaya digunakan untuk dapat mengetahui hal yang ingin dipelajari. Dengan segala daya upaya inilah orang akan menggali atau mengeksplorasi segala kemungkinan dan potensi diri dalam rangka memecahkan persoalan atau masalah-masalah yang dihadapinya. Musisi-musisi otodidak kebanyakan menghadapi banyak masalah tentang belajar musik. Pertama, mereka tidak paham tentang notasi musik, terutama notasi balok. Bebrapa kasus ada yang mampu membaca notasi angka, tetapi kebanyakan hanya mampu menuliskan atau mencatat symbol-simbol akor tanpa bisa menuliskan melodinya. Kedua, oleh karena mereka hanya bisa menghapal lagu-lagu yang dimainkan, maka mereka tidak mampu mempelajari lagu secara cepat apalagi lagu yang panjang. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini penting untuk dikaji secara mendalam mengenai bentuk industri musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali, metode musisi dalam bermain musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali, dan pengembangan musikalitas dari musisi yang ada di Villa Sanctus Uluwatu Bali.

METODE PENELITIAN Penelitian yang bersifat ilmiah memerlukan suatu metode untuk memecahkan masalah penelitian yang dihadapi. Disamping itu, metode penelitian berguna untuk memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Metode adalah suatu syarat mutlak dan selalu disesuaikan dengan objek studi. Jadi metode adalah suatu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan dan dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek studi yang menjadi sasaran penelitian. Penyusunan penelitian ini dirancang sebagai penelitian tentang kajian musisi dalam industri musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali metode pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuannya diperoleh melalui prosedur pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara, dan dokumentasi dari dunia empiris. Sesuai dengan topik dan judul penelitian ini sebagai penelitian kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN The Sanctus adalah diambil dari bahasa latin yang berarti Holly atau Kudus, atau Suci. Villa Sanctus termasuk dalam katagory Luxury Private Villa. Villa Sanctus Uluwatu Bali beralamat Jalan Batu Bunggul, Nyang Nyang, Uluwatu Bali, Indonesia www.thesanctus.com. Villa Sanctus pertama dipergunakan untuk acara wedding pada tanggal 14 April 2012. Live music yang ditampilkan di Villa sanctus terdiri dari musik untuk kepentingan ceremony dan musik untuk hiburan, musik yang digunakan untuk ceremony biasanya adalah jenis musik klasik, dan lagu-lagu yang digunakan untuk keperluan acara hiburan atau party mayoritas adalah lagu pop,baik Pop Barat ataupun Pop Indonesia. Live music di butuhkan di Villa Sanctus untuk keperluan acara wedding ceremony dan hiburan. Penggunaan live music digemari oleh kebanyakan orang karena bisa ada interaksi atara pemain dan penikmatnya sehingga kelihatan hidup. Karena banyak

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

339

digemari, banyak pemilik modal memanfaatkan daya tarik live music untuk kepentingan bisnisnya untuk meraih banyak keuntungan. Mereka sangat cermat dan hati-hati mengembangkan produk seni musik tersebut. Bisnis villa tidak luput juga memanfaatkan daya tarik live music. Villa Sanctus Uluwatu Bali memanfaatkan live music untuk kepentingan menarik minat tamuya. Salah satu live music yang dimanfaatkan adalah musik untuk wedding ceremony dan hiburan. Villa tersebut menyelengarakan live music entertainment setiap ada permintaan dari tamu sebagai pelayanannya. Hiburan live music di Villa Sanctus Uluwatu Bali diselenggarakan untuk memenuhi kelengkapan fasilitas bagi villa, namun tujuan utamanya adalah meraih keuntungan atau pemasukan uang dari penjualan tempat. Villa Sanctus sengaja dibuat dengan konsep terbuka supaya bisa di lihat dari segala arah. Hal itu dibuat dengan tujuan agar setiap orang yang masuk akan segera melihat segala fasilitas yang ada di sekitar lobi termasuk villa. Suasana sekitar villa menjadi lebih hidup setiap sore pukul 16.30 sampai dengan 18.00 saat acara wedding ceremony dengan live music disajikan di villa. Bagi tamu yang hadir dalam acara wedding ceremony bisa menikmati prosesi baik dari acara pemberkatan, musik dan suasana sunset yang ada di Villa Sanctus Uluwatu Bali yang sangat indah. Dengan berpedoman kepada hal tersebut di atas Villa Sanctus Uluwatu Bali mengelola penyajian musik pada villa. Walaupun tujuan utamanya bukan menjual produk seni dalam hal ini musik, tetapi selera musik kebanyakan orang menjadi pertimbangan. Sajian musik yang ditampilkan di Villa Sanctus Uluwatu Bali bertujuan untuk memberikan kepuasan selera kebanyakan orang khususnya pengunjungnya. Live music secara langsung baik acara wedding ceremony maupun hiburan masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda untuk dapat dipentaskan pada suatu tempat.

Berdasarkan pengamatan, berikut ini adalah beberapa hal mengapa live music ditampilkan di Villa Sanctus Uluwatu Bali: a. Suasana villa. Live music sangat mendukung dalam setiap suasana acara baik wedding ceremony maupun hiburan, sehingga musik itu tepat untuk ditampilkan di Villa Sanctus. Suasana hikmat dan nyaman bagi para pengunjung menjadi perhatian utama pengelola villa, termasuk musik yang disajikan yakni musik yang dapat membuat suasana villa menjadi nyaman. Pada pementasan di villa dalam acara hiburan, repertoar demi repertoar ditampilkan dalam suasana yang sangat santai. Musisi selain memainkan repertoar yang sudah disiapkan, juga melayani request atau permintaan para tamu. Selain itu musisi setiap saat siap untuk diminta mengiringi tamu menyanyi. Sedangkan untuk acara wedding ceremony repertoar yang sudah disiapkan disesuaikan dengan acara prosesi. Suasana wedding terasa hikmat dengan adanya live music. Para musisi Villa Sanctus pada umumnya datang sekitar 15 menit sebelum bermain. Setelah melakukan persiapan penggunaan peralatan atau instrumen musik, mereka mulai bermain on time sesuai jadwal acara layaknya musisi profesional. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mereka untuk menentukan urutan lagu yang akan dibawakan, Pada umumnya mereka mempertimbangkan tempo yakni slow, medium atau fast. Menurut mereka untuk mendapatkan penampilan yang baik, urutan lagu yang disajikan harus disusun dengan baik. Mereka membuat urutan beberapa lagu yang bertempo lambat diselingi lagu bertempo cepat, serta mempertimbangkan irama yang dipakai lagu-lagu tersebut. Hal itu dilakukan untuk dapat menyajikan musik secara variatif, agar tidak monoton dan tidak membosankan. b. Kreativitas musisi. Musisi dalam bermain, dituntut untuk dapat membuat variasi- variasi tertentu sesuai dengan kreativitas masing-masing. Kondisi atau situasi sangat berperan untuk menentukan kreativitas permainan mereka. Musisi juga dituntut untuk dapat bermain dengan suasana hati yang baik. Selain itu juga harus dapat mengembangkan permainan musik dan berimprovisasi dengan baik. Tino, seorang pemain solo piano atau keyboard yang sudah cukup lama bekerja sebagai musisi di Villa Sanctus, selalu berusaha

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

340

untuk dapat tampil sebaik-baiknya dengan membaca situasi audiens. Apabila ada tamu yang sudah dikenal akan dimainkan repertoar atau lagu-lagu kesukaan tamu tersebut. Apabila belum dikenal akan menanyakan terlebih dahulu lagu-lagu apa yang menjadi kesukaannya. Dalam bermain musisi tersebut selalu berusaha memunculkan kreativitas teknis tertentu misalnya memperkaya harmonisasi suatu lagu yang semula hanya menggunakan akor sederhana, dimainkan dengan pengembangan-pengembangan akor yang lebih variatif. Demikian juga irama atau pola ritme yang digunakan apabila memungkinkan akan dibuat variasi yang lebih kaya sesuai dengan suasana hati saat bermain. Misalnya lagu yang biasanya dimainkan dengan irama 8 beat, dimainkan dengan irama yang lebih dinamis. Musisi yang tampil di Villa Sanctus, selalu berusaha bermain dengan sebaik- baiknya. Mereka latihan dua atau tiga hari sebelum pentas sebab reportoar yang dimainkan sama dengan reportuar yang dipakai sebelumnya sehingga lagu-lagunya sudah dikuwasai kecuali ada lagu baru melatih lebih lama lagi. Kekompakan bermain selalu diutamakan dalam grup itu. Dengan segala kemampuan dan pengalamannya, mereka selalu berusaha memenuhi permintaan lagu para tamu. Dalam memenuhi permintaan para tamu baik untuk menyanyikan lagu yang diminta maupun mengiringi para tamu, mereka berusaha sebaik mungkin. Permintaan lagu yang belum dikenal, akan diusahakan untuk dibawakan sedapat mungkin. c. Efektif dan efisien. Musik ringan ditampilkan di villa juga dengan pertimbangan efektivitas dan efisiensi, Efisien, ditinjau dari penggunaan peralatan atau instrumen musik. Musik yang ditampilkan di villa hanya menggunakan beberapa peralatan sederhana untuk ukuran pementasan musik. Efektif karena sudah dapat menjangkau tujuan utamanya yakni memainkan berupa lagu-lagu musik untuk kebutuhan baik wedding ceremony maupun hiburan.Dari pengamatan yang dilakukan didapatkan data peralatan musik yang digunakan di Villa Sanctus sangat sederhana. Peralatan itu antara lain, biola 1 biola 2 biola alto dan cello. Keyboard yang dipergunakan adalah Roland BK-3, dengan pertimbangan untuk mengganti instrument piano yang berfungsi sebagai pengiring laguehingga selain digunakan untuk mengeringi band, dapat juga digunakan untuk solo keyboard ketika format musik yang harus ditampilkan adalah solo keyboard. Masyarakat penggemar musik mempunyai selera berbagai macam jenis musik. Jenis musik yang banyak digemari antara lain klasik, jazzy, sweet memories, back to sixties, oldies, dan lain-lain. Untuk lebih meningkatkan daya tarik tamu. Pihak pengelola villa menyusun secara variatif. Hal itu bertujuan untuk memberikan kepuasan customer dengan menyesuaikan selera jenis musik yang digemarinya. Tujuan pengelolaan villa oleh pihak villa Sanctus untuk menarik banyak costumer adalah senada dengan teori tentang popular art yang dikemukakan oleh Arnold Hauser dan pernyataan tentang musik musik oleh Dieter Mack. Pengamatan tentang penyajian musik di Villa Sanctus menunjukkan adanya kesamaan dengan teori di atas, yakni mementingkan selera kebanyakan orang. Villa Sanctus Uluwatu Bali dengan sangat hati-hati mengelola penyajian live music dalam hal ini wedding ceremony dan hiburan, untuk menarik minat banyak orang. Kepuasan dan selera banyak orang menjadi tolok ukur keberhasihan penampilan musik musik yang ditandai dengan banyaknya tamu yang memanfaatkan program di villa ini. Pengelolaan villa dengan melibatkan musik musik sebagai daya tarik tersebut apabila digambarkan dengan bagan atau alur adalah sebagai berikut:

Pengunjung/ tamu Villa Sanctus Dampak/Tujuan Uluwatu Bali utama Event Tingkat hunian villa

Fasilitas Musik

Bagan 1. Musik sebagai sarana villa mencapai tujuan utama

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

341

Repertoar Repertoar musik yang secara rutin ditampilkan musisi untuk acara wedding ceremony antara lain lagu-lagu klasik yang terdiri dari canon in D, wedding mars, ave maria, spring, winter dan lain-lain. Sedangkan untuk acara party atau hiburan lagunya tidak dibatasi kebanyakan lagu lagu pop atau lagu kenangan lama seperti Autumn Leaves, Monalisa, When I Fall in Love, dan lain-lain. Lagu-lagu itu menjadi semacam standart yang dimainkan dalam penampilan musisi. Lagu ini dimainkan dengan formasi trio yaitu instrument biola 1 memainkan melodi pokok, instrument biola 2 memainkan suara 2 dan cello sebagai pelengkap harmoni yang memperindah lagu. Lagu ini bawakan dalam acara wedding ceremony, dimainkan ketika kedua pengantin datang dan berjalan memasuki capel. Jadi fungsi lagu ini untuk mengiringi perjalanan penganten menuju capel. Panjang dan pendek lagu ini di sesuaikan dengan lamanya jalanya pengantin, jadi bisa dimainkan utuh dan bisa juga dimainkan sebagian.

Formasi musik yang disajikan di Villa Sanctus Ada bermacam-macam formasi musik yang di Villa Sanctus, sesuai dari permintaan para tamu. Pertunjukan live music terdiri dari 5 bentuk yaitu: a. Kuartet.Terdiri dari 4 pemain, biasanya diisi dengan instrument biola 1, biola 2, biola alto, cello. Bentuk kuartet ini paling sering di mainkan di acara ceremony. Biola 1 memainkan suara 1, biola 2 memainkan suara 2, biola alto memainkan suara 3 dan cello sebagai pengiring, sehingga harmoninya menjadi lengkap. b. Trio. Terdiri dari 3 pemain, instrumenya terdiri dari: biola 1, biola 2 dan cello, tetapi terkadang bentuk formasinya terdiri dari biola,cello, keyboard atau piano. Biola memaikan melodi pokok atau suara satu, keyboard atau piano sebagai pengiring, dan cello sebagai pengisi atau pemanis melodi. Bentuk trio ini sering di minta dalan acara ceremony dan acara hiburan. c. Duet. Terdiri dari 2 pemain, instrumenya terdiri dari biola 1 dan biola 2, bentuk duet ini juga sering di mainkan di acara ceremony, Biola 1 memainkan suara 1, biola 2 memainkan suara 2. d. Solo. Terdiri dari 1 pemain, instrumenya piano atau keyboard. Kebanyakan lagu yang dimainkan adalah lagu pop dalam acara hiburan. e. Campuran. Campuran ini terdiri dari beberapa instrument yang pemainya lebih dari 4 orang. Instrumenya terdiri dari: biola 1, biola 2, cello, piano dan vocal. Bentuk campuran ini sering di pakai untuk acara non ceremony atau dalam acara hiburan atau party. Lagu yang di mainkan terdiri dari lagu klasik dan pop. Vocal: menyanyikan melody pokok. Biola 1: memainkan melody pokok yang bergantian dengan vocal. Biola 2: sebagai pemanis, memainkan suara 2 dan mengisi kekosongan. Cello: sebagai pemanis dan penguat harmoni. Piano: sebagai pengiring.

Latar Belakang Musisi di Villa Sanctus Musisi di Villa Sanctus Uluwatu Bali terdiri dari musisi berlatar belakang pendidikan formal dan musisi otodidak. Pada musisi berpendidikan formal tidak lepas dari faktor lingkungan seperti kebanyakan berasal dari keluarga musisi, sehingga keinginan untuk belajar musik terprogram dari awal. Sedangkan musisi otodidak pada umumnya menekuni dunia musik diawali dengan hoby dengan belajar sendiri. Untuk lebih jelasnya berikut adalah uraianya ;

Musisi berlatar belakang pendidikan formal Musisi berlatar belakang pendidikan formal ini belajar musik bukan hanya sekedar hoby saja,tetapi mereka memang bernar-benar merencanakan untuk menjadi musisi melalui pendidikan formal, seperti Sekolah Menengah Musik, Institute Seni Indonesia. Mereka belajar secara detail baik teori musik, sejarah musik, praktek instrument dan ilmu-ilmu yang ada hubunganya dengan musik. Dalam keseharian mereka berkecimpung di bidang musik, sekitar 75% ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu musik, terutama praktek. Konser- konser selalu mereka lakukan baik dikampus maupun luar kampus. Tetapi konser yang

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

342

mereka lakukan adalah konser klasik, dengan membaca partitur, semua yang mereka mainkan berdasarkan part yang tertulis baku, tanpa mengurangi dan menambah. Partitur yang sudah ada, yaitu karya-karya komponis besar seperti:Bach, Mozart, bethoven, vivaldi, dan lain- lain. Mereka belajar dengan kurikulum yang sudah terprogram dengan baik. Dan ketika mereka lulus nanti akan jadi musisi yang profesional. Musisi berlatar belakang otodidak Musisi pada umumnya menekuni dunia musik diawali dengan hoby, diawali ketika musik menjadi suatu hobi untuk menyalurkan kesenangan. Pada mulanya mereka bermain musik dengan teman-teman sebaya di keluarga, sekolah, atau kawan permainan, Pada tahap itu mereka belum berpikir untuk mengembangkan dunia musik secara profesional. Mereka sudah cukup senang dan puas dapat tampil di atas pentas panggung-panggung kesenian kampung dan sekolah seperti event perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, atau perayaan tutup tahun sekolah. Karena hanya bersifat menyalurkan kesenangan atau hobi, tidak terpikir untuk mendapatkan bayaran sebagai imbalan dari bermain musik tersebut. Dibeberapa event tertentu mereka mendapatkan honor tetapi belum menjadi tujuan utamanya. Musik sebagai syarat kelengkapan fasilitas dan daya tarik pengunjung. Dengan bermain hanya untuk menyalurkan hoby membuat mereka tidak berpikir akan perlunya pendidikan musik formal. Pendidikan formal mereka tetap pada sekolah umum, dalam arti bukan sekolah seni khususnya musik. Setelah mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi mereka harus menempuh pendidikan sesuai keinginan dan cita-citanya. Sambil menekuni pendidikan formal umum, mereka tetap menyalurkan bakat dan minatnya pada musik. Dengan pergaulan yang semakin luas, tempat pementasan mereka tidak terbatas hanya di sekolah tempat mereka belajar, tetapi meningkat pada event lain seperti pesta pernikahan, ulang tahun, dan lain-lain. Pada tahap ini selain menyalurkan hobi, mereka sudah mempunyai tujuan lain yakni mendapatkan imbalan uang. Bali merupakan daerah pariwisata, sebagai penunjang industri pariwisata musik sangat diperlukan. Villa, hotel, bar banyak dibangun di kota ini. Sebagai kelengkapan fasilitas pada umumnya. villa berstandar internasional kebanyakan menyelenggarakan pementasan live demikian banyak dibutuhkan tenaga musisi bermain pada villa, hotel dan bar di Bali. Setelah banyak bermain pada event-event pengalaman mereka semakin banyak, jam terbang mereka semakin banyak, dan mereka mengembangkan hoby bermain musik menjadi profesi, dan tawaran-tawaranpun mulai berdatangan dari villa, hotel, bar di Bali, musik bukan lagi sebagai penyaluran kesenangan atau hoby, tetapi bekerja untuk mencari uang. Mereka dituntut untuk dapat memberikan pelayanan musik atau entertainment bagi tamu pengunjung. Pengalaman dan belajar sendiri dari lingkungan adalah cara untuk meningkatkan kompetensi teknis bermain .musik maupun kompetensi yang lain seperti performance, berkomunikasi dengan audiens, dan kemampuan lain dalam bidang entertainment. Dengan demikian jalan mereka sebagai musisi tidak dilakukan melalui metode pendidikan musik formal.

Metode yang di gunakan oleh musisi di Villa Sanctus Musisi di Villa Sanctus Uluwatu Bali terdiri dari musisi otodidak dan musisi berlatar belakang formal. Metode yang di gunakan berbeda antara lain:

Metode yang digunakan musisi otodidak Metode yang digunakan musisi otodidak adalah, belajar instrumen musik sendiri tanpa guru, atau belajar dari lingkungannya, tanpa melalui sekolah musik formal.Proses belajar musik sendiri tanpa guru sangat unik, karena dapat dikatakan belajar bermain musik tanpa belajar teori musik. Ada beberapa teknik yang diketahuinya, tetapi hanya sebagian kecil saja. Beberapa hal atau kemampuan yang mereka miliki antara lain:

Musikalitas. Secara umum musikalitas mereka sangat bagus, menonjol pada kemampuan mendengarkan. Mereka menyebut kemampuan mendengarkan adalah feeling atau perasaan,

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

343

yakni kemampuan menebak nada-nada lagu dengan tepat. Kemampuan inilah yang dijadikan modal utama mereka mengembangkan kompetensi musiknya. 1) Cara membaca notasi. Sebagian besar musisi otodidak membaca notasi angka, sedangkan notasi balok hanya yang mudah-mudah saja. Karena mereka masih asing dengan not balok, tetapi tetap berusaha membaca dari yang paling mudah. Mereka juga membaca simbul-simbul akord yang dikembangkan sendiri. 2) Teknik bermain instrument musik. Teknik memegang instrument banyak yang masih belum benar, misalkan pada biola tangan kiri terlalu turun, kurang tegap. Dan teknik posisi juga banyak yang masih asal, dalam instrument biola misalnya teknik posisi yang benar sudah diatur sesuai kebutuhan, namun musisi otodidak hanya mengutamakan suara yang dihasilkan, jadi posisi sering tidak diperhatikan, hal ini disebabkan kurangnya belajar teknik posisi dari metode klasik. 3) Ilmu harmoni. Pengetahuan tentang ilmu harmoni pada umumnya hanya sedikit, namun mereka paham tentang akord untuk mengiringi sebuah lagu. Mereka dapat mengetahui tepat atau tidaknya sebuah akord diterapkan, karena terbiasa mempelajari lagu yang sudah ada unsur harmoninya atau iringannya.mereka mengetahui unsur-unsur nada yang ada dalam akord, sehingga mereka mengembangkanya sesuai keinginannya masing- masing 4) Kreatifitas. Tingkat kreatifitas dan kemandirian dari musisi otodidak sangat tinggi, kondisi tanpa guru menuntut mereka untuk lebih mandiri dan kreatif. Sehingga mereka mempunyai kemampuan improvisasi yang bagus, kepekaan feeling yang kuat, dan tidak tergantung pada notasi.

Mendengarkan Mengingat-ingat/ Memainkan menghafal

Bagan 2 Proses pembelajaran musisi otodidak

Metode yang digunakan musisi pendidikan formal Metode yang digunakan musisi pendidikan formal adalah, belajar instrumen musik secara formal di sekolah formal, dengan menggunakan metode-metode klasik yang sudah ada. Dalam proses belajar musik klasik ini selalu didampingi guru minimal satu kali dalam seminggu. Jadi guru mengontrol perkembangan muridnya setiap seminggu sekali, dan murid wajib belajar sendiri atau berlatih sekurang-kurangnya 2 jam setiap hari. Hal-hal yang harus dipelajari dalam metode klasik yaitu scale dan arpeggios, teknik, etude, lagu- lagu sesuai grade.saja. Beberapa hal atau kemampuan yang mereka miliki antara lain: 1) Musikalitas. Selain bakat musikalitas yang bagus, ketekunan dalam berlatih adalah modal utama mereka dalam bermusik. musisi berpendidikan formal menonjol pada kemampuan permainan teknik, sight reading, permainan scale dan arpeggios, penguasaan repertoar klasik yang banyak. 2) Cara membaca notasi. Musisi ini belajar membaca notasi dari dasar, dari not yang paling dasar, dibutuhkan konsentrasi, kesabaran, dan kemauan untuk bisa membaca notasi balok. Dengan bertahap dari dasar ke tingkat yang lebih susah dan seterusnya, hingga grade paling tinggi.sehingga kemampuan membaca notasi balok mereka sangat bagus, karena sudah terlatih setiap hari. Bahkan lebih bagus dari pada penguasaan dalam membaca not angka. Sight reading sangat bagus, dengan part yang baru dan grade tinggi mereka tidak ada masalah dalam membaca, dan langsung bias tanpa harus mempelajarinya terlebih dahulu. Hal ini akan mempermudah mereka untuk mempelajari lagu-lagu baru dan teknik yang udah ada di buku. Sehingga tak ada kendala dalam memperkaya atau memperdalam ilmu musik. 3) Tekhnik bermain instrumen musik. Teknik bermain instrument musik mereka sangat bagus, berbagai macam teknik mereka pelajari, baik teknik fingering, posisi, dan teknik lainnya. Kebayakan dipelajari dari guru dan membaca buku-buku tehnik yang udah ada. Seperti pada buku zuzuki, hohman heim, kaesyer, wolhfat, violin metode, dalam buku tersebut memuat teknik, scale arpeggios, dan lagu klasik sesuai grade dan kebutuhan.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

344

4) Ilmu harmoni. Pengetahuan tentang ilmu harmoni pada umumnya sudah mereka kuasai, karena mereka mendapatkan pelajaran atau mata kuliah ilmu harmoni, baik secara teori maupun praktek, sehingga bisa dijadikan modal untuk mengaransemen lagu-lagu bila diperlukan. Hal tersebut mereka lakukan dengan cara mengaransemen yang ditulis dahulu berupa notasi-notasi baru yang nantinya akan dimainkan. 5) Kreatifitas. Musisi ini sangat tergantung dengan notasi balok, sehingga kreatifitas mereka kurang, mereka hanya bisa bermain dengan lancar dan bagus ketika bermain dengan membaca notasi balok. Tanpa notasi balok mereka akan tersendat-sendat dalam bermain, dalam hal improvisasi, kepekaan feeling mereka sangat kurang.

Pengembangan musikalitas musisi di Villa Sanctus Musisi di Villa Sanctus Uluwatu Bali terdiri dari musisi otodidak dan musisi berlatar belakang formal. Pengembangan yang di gunakan dengan saling melengkapi antara lain

Pengembangan pemain musik otodidak Pemain musik otodidak memiliki bakat musikalitas yang luar biasa dalam dirinya, hanya saja mereka tidak mendapatkan kesempatan belajar dengan guru musik di pendidikan formal. Mereka belajar sendiri dengan melihat video-vidio, you tube, dan melihat dan mencuri ilmu dari musisi yang mereka jumpai. Dengan modal kemauan dan bakat yang tinggi mereka bisa menjadi musisi yang bisa disetarakan dengan musisi yang dari pendididkan formal. Tetapi tentu saja mereka mempunyai banyak keterbatasan baik secara tekhnik dan dalam membaca notasi. Dengan bertemunya mereka dengan musisi yang berpendidikan formal mereka bisa mengembangkan musikalitas mereka dengan saling bertukar ilmu sehingga kekurangan mereka bisa terlengkapi,sehingga ilmu mereka tidak mengalami stagnasi. Adapun unsur-unsur musikalitas yang menjadi kekurangan musisi otodidak yang harus di latih dan dikembangkan adalah : 1) Teknik bermain scale. Teknik tangga nada yaitu permainan nada-nada yang berurutan seperti 1, 2, 3, 4, 5, 6,7, i (do, re, mi, fa, sol, la, si, do) terdiri dari satu oktaf sampe 3 oktaf, tangga nada ini bisa dimulai dari beberapa kunci seperti G, A, Bes, C, D dan lain- lain. Tapi ini yang paling basic. 2) Teknik arpeggios. Teknik tri suara atau tiga nada yang melompat seperti 1, 3, 5, I (do, mi, sol, do ) teknik ini dimainkan pada setiap tangga nada. 3) Teknik bermain etude. Merupakan latihan penjarian dengan memainkan bermacam- macam teknik sperti staccato, legato, spicato, pzicato, dan lain-lain. 4) Teknik membaca notasi. Belajar membaca not balok memerlukan suatu ketekunan, kesabaran, kedisiplinan dan konsentrasi. Karena dalam membaca not balok ada perpaduan antara ilmu matematika dengan logika yang di padukan dengan rasa. Apa yang sudah tertulis dengan baku harus dimainkan sesuai tulisan, dalam belajar membaca notasi tempo harus lambat dulu tetapi harus teratur, tidak boleh berubah-ubah, kalau sudah lancar tempo bisa di percepat lagi. Belajar not balok memerlukan proses tidak bisa instant.

Pengembangan musisi berpendidikan formal Selain bakat musik yang tinggi, kebanyakan latar belakang musisi berpendidikan formal dari keluarga musisi juga. Jadi lingkungan mereka sudah terbisaa dengan musik, bahkan sejak kecil mereka sudah diajari musik oleh orang tuanya sehingga mereka memang sudah mempersiapkan belajar musik dari usia dini. Mereka belajar musik dengan metode klasik, sehingga penguasaan teori musik dan teknik-teknik seperti: scale dan arpeggios, etude, teknik posisi, membaca repertoar sangat mereka kuasai. Namun mereka sangat tergantung dengan notasi balok, tanpa notasi mereka tidak akan lancer dalam bermain music. Hal ini merupaka kekurangan dari musisi berpendidikan formal. Supaya kekurangan tersebut bisa terlengkapi perlu adanya pengembangan musikalitas yang harus mereka latih dan gali seperti : 1) Kepekaan feeling. Kepekaan feeling selain memang bakat dari lahir, muncul juga karena kebisaaan latihan tiap hari, dengan cara mendengarkan lagu tanpa melihat

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

345

notasinya, sehingga apa yang di dengar berusaha di cari dengan memainkan instrumen tersebut seperti apa yang telah didengar. Dengan sering berlatih seperti itu feeling akan terlatih dengan baik. 2) Improvisasi. Improvisasi merupakan penuangan ide-ide secara spontan dari seorang musisi yang mengalir begitu saja. Dengan mengembangkan lagu pokok dengan menambahkan filler, cengkok, sehingga lagu akan terdengar sedikit berbeda, bahkan lebih manis karena tambahan sentuhan dari pemain. Improvisasi bila diulang tidak akan sama,terdengar berbeda karena pemain benar-benar bebas menuangkan kreatifitas dalam permainanya. Improvisasi juga bisa dilatih pelan-pelan dengan memainkan lagu secara utuh dulu, jika lagu pokok sudah dihafal, maka bisa menambahkan beberapa nada yang masih dalam satu unsur harmoni. 3) Cara cepat menghafal lagu (memorizing). Teknik menghafal lagu sebenarnya bukanlah hal yang susah, merupakan suatu kebisaaan saja. Bisaanya musisi yang tidak bisa lepas dengan part atau notasi akan kesusahan dalam menghafal lagu. Jadi cara yang mudah ialah sesekali harus bermain tanpa melihat notasi, supaya tidak terlalu tergantung dengan notasi, dan akan cepat dalam mengahafal lagu. 4) Penjiwaan lagu. Musisi klasik bisaanya bermain musik dalam formasi orkes, semua diatur oleh kondakter, dari dinamika, tempo dan lain-lain. Berbeda dengan musisi otodidak yang kebanyakan bermain dalam formasi yang lebih kecil, sperti kwartet, trio, duet, solo. Jadi mereka bermain tanpa kondakter, mereka harus menuangkan interprestasi mereka dalam permaianannya tanpa panduan dari kondakter. Sentuhan- sentuhan ekspresi harus murni mereka munculkan tanpa aba-aba dari kondakter, terutama pada pemain solo mereka akan lebih bisa menjiwai lagu penuh dengan ekspresi tanpa terpaku dengan adanya notasi, jadi konsentrasi dalam menjiwai lagu akan lebih muncul. Dengan cara berlatih tiap hari dan juga sering memainkan lagu-lagu tanpa notasi.

Kompetensi Non Teknis Musik Dalam pengamatan dan wawancara didapatkan kenyataan bahwa musisi harus menguasai materi pokok yakni teknis bermain musik atau membawakan lagu. Di samping itu, mereka dituntut juga untuk mempunyai kompetensi penunjang yang lain. Kompetensi penunjang diperlukan untuk mendukung penampilannya pada waktu bekerja melaksanakan tugasnya menghibur tamu. Kompetensi non teknis mereka adalah menghibur tamu yang harus didukung dengan hal-hal berikut: a. Komunikasi. Kemampuan berkomunikasi yang baik kepada penonton sangat diperlukan ketika berada di atas pentas. Kemampuan berbahasa asing juga penting karena tuntutan tamu yang datang banyak dari luar negri. Sesuai dengan tujuan seni musik adalah memberikan rasa senang kepada penggemarnya.Untuk dapat memberikan kepuasan pengunjung villa, maka musisi Villa Sanctus Uluwatu Bali harus dapat membuat para tamu benar-benar nyaman. Mereka tidak hanya sekedar memainkan musik, tetapi juga membuat suasana menjadi lebih hidup. Suasana yang lebih hidup diciptakan dengan cara melakukan komunikasi yang baik kepada pengunjung. b. Penggunaan kostum. Musisi Villa Sanctus Uluwatu Bali pada waktu bertugas, bagaimanapun juga adalah sosok yang tampil di atas pentas dan ditonton oleh audiens. Mereka dituntut untuk dapat tampil sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang sedang dijalaninya. Mereka menggunakan kostum yang menarik tetapi sesuai dengan etika, dan tata rias yang baik yang disesuaikan dengan acaranya . c. Bersikap sopan. Dalam penampilannya dipanggung, musisi Villa Sanctus Uluwatu Bali diharapkan dapat menggunakan bahasa tubuh serta sikap yang baik dan sopan untuk mendukung gaya dan performance mereka. Selain itu di sela-sela bermain musik atau menyanyi kadang tamu meminta mereka untuk menemani berdansa atau sekedar mengajak berbincang. Hal itu menuntut mereka untuk dapat bersikap yang baik, selalu menjaga etika dan sopan santun.

SIMPULAN Musik di Villa Sanctus Uluwatu Bali ditampilkan sebagai kelengkapan fasilitas

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

346

villa standar internasional. Musik tersebut dikemas dalam bentuk live music atau musik langsung untuk prosesi wedding ceremony dan hiburan. Adapun formasinya bisa kwartet, trio, duo,solo dan campuran akan tetapi dalam acara didominasi dengan formasi kwartet. Selain sebagai fasilitas villa, terdapat beberapa faktor terkait yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap kemajuan bisnis villa dalam hal ini, antara lain: Live music memberikan kenyamanan untuk dinikmati, sehingga musik itu dianggap tepat untuk ditampilkan di Villa Sanctus sebagai salah satu vasilitas. Suasana acara di villa memungkinkan para pengunjung menikmati musik dalam suasana hikmat dan menghibur. Pekerjaan musisi sangat spesifik yakni bermain musik untuk prosesi wedding ceremony dan hiburan.Musisi selain menyajikan lagu-lagu yang sudah disiapkan dengan hikmat khususnya untuk wedding ceremony, untuk hiburan juga melayani request atau permintaan para tamu, dan siap mengiringi para tamu menyanyi atau berdansa. Segala sesuatu yang dilakukan musisi pada saat bermain atau bekerja adalah untuk memberikan kepuasan bagi para pengunjung villa. . Musik dianggap efisien ditampilkan di villa karena ditinjau dari peralatan atau instrumen musik yang digunakan hanya sederhana, namun efektif. Metode yang digunakan musisi dalam bermain musik di villa ini, adalah: metode klasik dan metode otodidak. Musisi yang ada pada umumnya belajar dengan cara saling melengkapi. Dengan bertemunya para musisi yang berpendidikan formal dan non formal, mereka bisa mengembangkan musikalitas diri dengan saling bertukar ilmu sehingga kekuranganny terlengkapi. Kekurangan musisi otodidak yang harus dilatih dan dikembangkan adalah teknik bermain scale. teknik arpeggios, teknik bermain etude, teknik bermain posisi dan teknik membaca notasi.

DAFTAR PUSTAKA Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta. Kanisius. Pasaribu,Ben M, 2006. MusikMusik. Jakarta:Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.

REVITALISASI MUSIK MANDOLIN DI DESA PUPUAN TABANAN SEBAGAI PEREKAT BUDAYA BANGSA

I Gede Mawan Program Studi Pendidikan Sendratasik,Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected]

Abstrak Ragam bentuk gamelan yang diwarisi oleh masyarakat Bali, merupakan peninggalan budaya daerah yang sangat penting artinya dalam sejarah perkembangan kesenian Bali. Musik Mandolin yang merupakan musik golongan baru, dalam perkembangannya mengalami pasang surut yang biasa dialami oleh semua jenis kesenian yang berkembang di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor, bentuk, dan persepsi masyarakat tentang musik Mandolin di desa Pupuan Kabupaten Tabanan. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian studi kasus tentang revitalisasi musik mandolin dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh dari hasil penelitiaan ini menunjukkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya musik Mandolin di masyarakat. Faktor internalnya antara lain; kurangnya bakat dan kemampuan, kurangnya sikap terbuka, kurang kreatif dalam memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada. Sedangkan faktor eksternalnya antara lain; faktor ekonomi, teknologi, serta media yang menjadi penyebar informasi. Eksistensi sebuah kesenian yang berkembang di masyarakat tidak terlepas dari peranan masyarakat pendukungnya. Revitalisasi dan regenerasi merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk menyelamatkan sebuah seni pertunjukan. Masyarakat beranggapan bahwa betapa pentingnya melakukan revitalisasi terhadap berbagai jenis

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

347

kesenian yang berkembang di masyarakat, agar keberadaannya tetap lestari sebagai warisan budaya yang adiluhung dan sekaligus sebagai identitas daerah dalam merekatkan budaya bangsa.

Kata kunci: Revitalisasi, Musik Mandolin, Perekat Budaya Bangsa.

Abstract Various forms of gamelan which are inherited by the people of Bali is a local cultural heritage that is very important in the history of Balinese art. Mandolin music which is a new class of music, in its development has tide that commonly experienced by all types of art developing in the community. This study aimed to describe factors, shape, and public perception of the music in the village Mandolin Pupuan Tabanan. This study was designed as a case study on the revitalization of mandolin music by using a qualitative approach. Data obtained from the research results indicate that there are two factors that cause of underdevelopment Mandolin music in the community. The internal factors are; lack of talent and ability, lack of openness, lack of creativity in exploiting opportunities and opportunities. While the external factors are ; economic factors, technology, and media that spreading the information. The existence of arts which are developing in the community is inseparable from the role of community supporters. Revitalization and regeneration are absolute and must be done to protect a performance art. People assume the importance of revitalizing the various types of art that developed in the community, in order to sustain as a valuable cultural heritage and also regional identity in unifying the culture of the nation.

Keywords: Revitalization, Music Mandolin, Adhesives Culture Nation.

PENDAHULUAN Di Bali, saat ini seni pertunjukan masih memiliki tempat yang sangat istimewa khususnya di kalangan masyarakat Hindu Bali. Hal ini tiada lain karena begitu pentingnya peranan seni pertunjukan dalam berbagai aspek kegiatan sosial dan keagamaan pada masyarakat setempat. Seni pertunjukan adalah seni yang ekspresinya dilakukan dengan jalan dipertunjukkan, karenanya seni ini bergerak dalam ruang dan waktu. Oleh sebab itu, seni pertunjukan merupakan seni yang sesaat, seni yang tidak awet dan hilang berlalu setelah seni itu dipentaskan. Seni pertunjukan meliputi seni tari, seni musik, dan seni drama (teater). Masyarakat Bali percaya bahwa upacara keagamaan bisa terlaksana dengan baik dan sempurna setelah kehadiran pagelaran seni pertunjukan (tari, karawitan, wayang) baik sebagai pengiring upacara maupun pelaksana suatu upacara agama. Sebagai salah satu sarana upacara yang mengandung nilai-nilai satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keindahan) dalam agama Hindu-Bali, Seni Karawitan Bali sangat dibutuhkan keberadaannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan spiritual keagamaan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena fungsinya yang begitu kompleks dalam berbagai kegiatan upacara sehingga Seni Karawitan Bali (gamelan) mendapat porsi yang cukup istimewa di kalangan masyarakat Hindu-Bali. Ketiga domain gejala manusiawi itu sebenarnya berada di wilayahnya sendiri-sendiri. Keindahan berada dalam cakupan tangkapan indrawi, sementara kesucian ditangkap melalui moral atau hati nurani , dan kebenaran bersangkutan dengan tangkapan rasio (Hadi, 2006 :20). Keindahan seni yang sering dihubung-hubungkan dengan kebenaran dan bahkan kesucian, karena seni dapat dilihat pula sebagai lencana bagi kebenaran moral maupun etika kebaikan pada umumnya, dapat pula diibaratkan maksud etis yang diselimuti bentuk inderawi. Karakteristik masyarakat Bali umumnya mempunyai fleksibelitas adaptasi yang tinggi. Sesuai dengan sifat itu, masyarakat Bali pada umumnya masih mempertahankan kesenian tradisional yang telah ada sejak zaman lampau dengan cara mendekatkan seni mereka dengan konteks kehidupan masyarakat secara fungsional. Dalam konteks ini, seni di samping diperlakukan sebagai hiburan juga diperlakukan sebagai tujuan ritual, sehingga aktivitas keseharian masyarakat seakan-akan tidak pernah ada jarak dengan kehidupan seni. Walaupun mereka sangat fanatik menempatkan seni tradisi dalam berbagai upacara ritual, namun mereka sangat terbuka dan antusias terhadap hasil karya seni yang bernafas baru (Dibia, 1999 : 9).

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

348

Hadirnya globalisasi telah secara perlahan-lahan membuat dunia tempat manusia hidup menjadi satu dengan yang lain, batas-batas politik, budaya, ekonomis yang tadinya jelas, dimasa sekarang menjadi semakin kabur serta tampak kesalingberhubungan. Zaman terus berubah, dunia terus bergerak, dan teknologi komunikasi semakin canggih sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi mobilitas sosial. Pada saat ini di Bali, kenyataannya bahwa tidak saja berdomisili orang Bali, tetapi bertempat tinggal juga berbagai etnis dengan agamanya yang berbeda-beda pula, sesuai dengan tugas, fungsi, dan kebutuhannya. Kehadiran globalisasi juga bertujuan untuk meningkatkan hubungan-hubungan global multiarah di bidang ekonomi, sosial, kultural dan politik di seluruh dunia serta membuka kesadaran kita betapa pentingnya membuka hubungan yang seluas-luasnya dengan negara lain. Dengan kata lain globalisasi merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk mengekspresikan produk global dan hal-hal lokal atau produk lokal dan hal-hal global (Barker, 2008: 126). Hadirnya beragam jenis kesenian yang ada di Bali juga tidak terlepas dari pengaruh budaya global tersebut yang telah lama kita rasakan. Selain memang merupakan budaya asli daerah Bali ada juga yang mendapat pengaruh dari budaya luar yang dibawa oleh penduduk pendatang yang datang ke daerah Bali. Pengaruh ini pada umumnya dibawa oleh orang-orang asing yang datang ke daerah Bali yang tujuannya utamanya untuk berdagang serta mencari rempah-rempah yang kaya di bumi Nusantara ini. Sambil berdagang mereka juga membawa budaya termasuk juga kesenain yang mereka miliki. Di antara bangsa-bangsa yang datang ke daerah Bali, yang paling menonjol dan membawa pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan kesenian Bali adalah Bangsa Tionghoa. Kedatangan orang-orang Tionghoa (Cina) di Bali juga tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan perdagangan. Putrawan (2008 : 23-24) dalam tulisannya menyatakan hal sebagai berikut. “Sebagai bukti, bahwa hubungan dengan orang-orang Cina sudah berlangsung sejak lama adalah adanya barang-barang dagangan dari Cina seperti mangkok, piring, guci, dan alat tukar berupa uang kepeng. Kedatangan orang-orang Cina ini pada mulanya hanya terdiri dari kaum laki-laki saja. Setelah situasi membaik, yakni setelah perang dunia pertama, maka para migran Cina membawa serta wanita dan keluarganya. Sejak itu banyak orang-orang Cina yang datang ke Indonesia dan juga sampai ke Bali. Kebanyakan mereka berasal dari Fukien dan Kwantung”.

Di lain pihak (Sulistyawati, 2011:1) mengatakan bahwa hubungan komunitas Tionghoa dengan masyarakat Bali memiliki sejarah yang cukup panjang. Bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa hubungan Bali dengan Tionghoa tampaknya telah dimulai sekurang-kurangnya sejak awal abad pertama Masehi. Temuan cermin perunggu yang berasal dari zaman dinasti Han dalam sarkopagus di desa Pangkung Paruk, kecamatan Seririt, Buleleng dapat dikatakan sebagai awal hubungan Bali dengan Tionghoa. Berdasarkan kenyataan tersebut, ternyata di Bali sampai saat ini banyak pengaruh budaya bangsa Tionghoa dapat dirasakan dan terperlihara dengan baik, yang meliputi ke tujuh unsur kebudayaan yaitu: (1) Sistem Religi dan upacara keagamaan; (2) Sistem organisasi kemasyarakatan; (3) Sistem pengetahuan; (4) Bahasa; (5) Kesenian; (6) Sistem mata pencaharian hidup; (7) Sistem teknologi dan peralatan. Dalam bidang kesenian kiranya budaya Tionghoa mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberadaan kesenian yang ada di Bali. Dalam bidang kesenian pengaruh budaya Tionghoa tersebut dapat dilihat seperti : dikenalnya pertunjukan tari sakral Barong Landung sejenis ondel- ondel Betawi, Tari Baris Cina sejenis Rodat, termasuk iringannya gong Bheri, cerita Sam Pik Ing Tay, (baik dalam bentuk geguritan ataupun seni pertunjukan) (Sulistyawati, 2011 : 29). Musik Mandolin diduga merupakan alat musik Tionghoa yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa yang merantau ke daerah Bali pada zaman yang lampau hingga akhirnya berakulturasi dengan kesenian daerah yang ikut memperkaya keberadaan kesenian yang ada di Bali. yang keberadaannya kini hanya ada di beberapa desa yang ada di Bali. Sejalan dengan modernisasi dan perkembangan zaman, yang ditandai dengan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan terjadinya hubungan yang sangat intens antarbudaya, sehingga tercipta perkembangan maupun pembaharuan dalam segala aspek kehidupan terutama dalam bidang seni budaya. Pesta Kesenian Bali (PKB) yang dilaksanakan tiap tahun oleh

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

349

pemerintah provinsi Bali ternyata belum mampu untuk mensejajarkan perkembangan jenis kesenian yang ada di seluruh Bali. Seakan-akan kesenian yang ada di Bali hanya didominasi oleh kesenian-kesenian yang besar seperti: Gong Kebyar, Semar Pagulingan, Gong Gede, dan yang sejenisnya. Masyarakat lebih cenderung menikmati kesenian yang berbau kekinian, kontemporer, megah, dan yang memberikan nuansa meriah. Akan tetapi kesenian-kesenian yang kecil dan langka seperti musik Mandolin ini kurang mendapat respon dan apresiasi yang baik dari masyarakat sehingga keberadaannya menjadi terpinggirkan. tolak dari dasar-dasar pemikiran di atas maka dipandang sangat penting untuk mengadakan penelitian ini, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat memotivasi generasi muda, merasa terpanggil untuk mempelajari dan mengembangkan, yang dapat dijadikan sumbangan pemikiran dalam rangka penggalian, pelestarian, dan pengembangan seni karawitan Bali yang keberadaannya sangat dibutuhkan dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuannya diperoleh melalui prosedur pengumpulan data melalui pengamatan, wawancara, dan dokumentasi dari dunia empiris. Tujuan penelitian ini adalah pertama, merumuskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kurang berkembangnya musik Mandolin di desa Pupuan, kedua bentuk revitalisasi yang dilakukan terhadap musik Mandolin, dan ketiga, merumuskan tentang persepsi masyarakat terhadap revitalisasi musik Mandolin. Lokasi penelitian ini difokuskan di desa Pupuan kecamatan Pupuan kabupaten Tabanan, dengan fokus penelitian pada musik Mandolin. Sumber data dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data skunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari informan dan data hasil observasi langsung di lapangan, berbentuk catatan dan rekaman hasil wawancara, pengamatan langsung baik dari pemain gamelan atau pelaku seni itu sendiri, komposer, budayawan, tokoh masyarakat di mana obyek penelitian tersebut dilaksanakan. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi pustaka (library research) melalui buku-buku yang ada relevansinya dengan penelitian yang dilakukan seperti buku, berita koran, rekaman pertunjukan (rekaman kaset, CD dan VCD), notulen hasil diskusi/seminar, dan jurnal- jurnal ilmiah yang berkaitan dengan objek penelitian dan fenomena budaya di masyarakat. Dalam konteks penelitian ini, ditetapkan empat buah teknik pengumpulan data yakni: observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi kepustakaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kurang Berkembangnya Musik Mandolin Di Desa Pupuan Kabupaten Tabanan Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau keberadaan kesenian rakyat berada pada titik yang terendah dan mengalami berbagai tantangan dan tekanan-tekanan baik dari pengaruh luar maupun dari dalam. Tekanan dari pengaruh luar terhadap kesenian rakyat ini dapat dilihat dari pengaruh berbagai karya-karya kesenian populer dan juga karya-karya kesenian yang lebih modern lagi yang dikenal dengan budaya pop. Kesenian-kesenian populer tersebut lebih mempunyai keleluasan dan kemudahan-kemudahan dalam berbagai komunikasi baik secara alamiah maupun teknologi, sehingga hal ini memberikan pengaruh terhadap masyarakat. Selain itu, aparat pemerintah nampaknya lebih mengutamakan atau memprioritaskan segi keuntungan ekonomi (bisnis) ketimbang segi budayanya, sehingga kesenian rakyat semakin tertekan. Segi komersialisasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah ini tentu saja didasarkan atas pemikiran yang pragmatis dan cenderung mengikuti perkembangan-perkembangan dan perubahan- perubahan yang ada. Dengan demikian, pengaruh ini jelas-jelas mempunyai dampak yang besar terhadap perkembangan dan kreativitas kesenian rakyat itu sendiri. Di pihak lain, adanya masyarakat yang masih setia kepada tradisinya perlahan-lahan mengikuti perkembangan pembangunan.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

350

Kebanyakan hal tersebut (kesenian tradisional) tidak dapat bangun lagi karena kerasnya daya saing dengan kesenian-kesenian yang sangat modern. Sementara itu pemerintah hampir tidak peduli lagi dengan keadaan kesenian tradisional di daerah. Hal ini bisa saja disebabkan oleh adanya asumsi-asumsi yang dikaitkan dengan konsep-konsep dasar pembangunan di bidang kesenian yang penekanan dan intinya melestarikan dan mengembangkan kesenian yang bertaraf dengan kecenderungan universal. Sehingga kesenian-kesenian yang ada sekarang ini dapat dianggap tidak sesuai dengan objek-objek dan tujuan dari pembangunan yang sedang dijalankannya. Dengan kata lain, bahwa keaslian dari suatu kesenian dipandang belum dapat dibanggakan sebagai bukti keberhasilan suatu pembangunan di daerahnya. Musik tradisional, yakni oleh masyarakat Bali sering disebut-sebut sebagai seni klasik, adiluhung, dan fungsional, dianggap musik ideal yang mencerminkan nilai-nilai luhur kebudayaan Bali sehingga perlu dilestarikan melalui kontrol sosial secara internal dengan bentuk keyakinan pada norma yang berlaku (Sugiartha, 2012: 170). Kontrol sosial secara internal untuk mempertahankan eksistensi musik tradisional Bali membentuk sistem dan gagasan-gagasan yang bersifat menguasai, yakni oleh Gramsci disebut dengan hegemoni (dalam Atmaja, 2010:203, Barker, 2008:13). Dalam hal ini terkait dengan situasi dan tempat di mana kelompok yang berkuasa mendapatkan kewenangan dan kepemimpinan atas kelompok-kelompok subordinat dengan cara memenangi kesadaran. Kesadaran yang dibangun dilakukan dengan memenangkan pergulatan wacana secara terus menerus, bahwa budaya popular dianggap budaya modern yang telah mapan dan mampu beradaptasi dengan budaya global. Hal ini dilakukan secara terus menerus melalui berbagai media massa sehingga menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menirunya. Perkembangan, kemajuan, dan eksistensi sebuah seni pertunjukan tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang bisa berasal dari dalam ataupun pengaruh dari luar. Soedarsono, ( 2002 :1) mengatakan, penyebab dari hidup-matinya sebuah seni pertunjukan ada bermacam-macam. Ada yang disebabkan oleh perubahan yang terjadi di bidang politik, ada yang disebabkan oleh masalah ekonomi, ada yang karena terjadi perubahan selera masyarakat penikmat, dan ada pula yang karena tidak mampu bersaing dengan bentuk-bentuk pertunjukan yang lain. Selain itu, perkembangan seni pertunjukan bisa pula dilihat dari siapa yang menjadi penyandang dana produksinya. Ada dua faktor pokok yang mempengaruhi perkembangan musik mandolin di Desa Pupuan Kabupaten Tabanan.

Faktor Internal Kurangnya Bakat dan Kemampuan Bakat adalah salah satu bekal di antara bekal-bekal lainnya yang dikaruniai oleh Sang Pencipta untuk mengarungi hidup di dunia.Kalau diibaratkan, bakat bagaikan cairan kental/jel yang akan berubah bentuk sepanjang usia manusia yang sangat membutuhkan wadah pembentuk. Di mana material wadah pembentuk bersumber dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Bakat ini akan berkembang dengan baik bila didukung oleh kondisi lingkungan. Pembentukan bakat dan karakter berkesenian juga sangat ditentukan oleh tradisi lingkungan keluarga. Kebiasaan orang tua memberikan apresiasi terhadap berbagai bentuk kesenian sejak usia dini melalui sistem oral, imaginatif dan imitatif merupakan akumulasi pembentukan karakter anak sejak balita. Seperti halnya berdongeng sebelum tidur, membuai si anak dengan melantunkan tembang, dan menyanyikan lagu-lagu gamelan sambil menggerak-gerakkan anggota badannya, sungguh merupakan kenangan masa kecil yang tak dapat dilupakan. Jika kemudian ia tumbuh menjadi seorang seniman yang berbakat, tentu di samping secara biologis dari faktor genetika alamiah, tampaknya proses pembentukan watak sejak usia dini melalui peran lingkungan keluarga dan lingkungan sekitar juga tak dapat diabaikan. Masyarakat Pupuan adalah masyarakat agraris yang mayoritas penduduknya sebagai petani. Kehidupan keseharian masyarakatnya disibukkan dengan kegiatan pertanian. Di samping sebagai petani sebagian masyarakatnya juga sebagai buruh tani, pedagang, wiraswasta, pegawai negeri, dan lain sebagainya. Melihat kondisi seperti ini hampir setiap hari baik orang tua, remaja, maupun anak-anak selalu disibukkan dengan rutinitas

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

351 kesehariannya masing-masing. Sehingga keterampilan dan kemampuan yang dimiliki dalam bidang olah seni hanya sebatas hiburan belaka untuk mengisi waktu luang. Mereka melakukan kegiatan kesenian sebagai dorongan nurani untuk melestarikan kesenian daerah yang mereka miliki.

Kurangnya Motif Berprestasi Sebagai seorang seniman yang kreatif sangat terdorong oleh berbagai situasi dan motivasi yang memberikan stimulasi dan rangsangan untuk mengekspresikan dalam sebuah karya. Inspirasi-ispirasi yang menarik ditorehkan dalam berbagai media sesuai kapasitasnya sebagai seniman. Apa yang diangan-angankan terkadang disimpan dulu dalam sebuah file notasi, sampai tiba saatnya pada sebuah moment yang tepat untuk menuangkannya. Untuk mengasah kemampuannya seorang seniman tidak jarang melakukan pelatihan secara mendalam, bahkan dengan semangat yang tinggi pantang menyerah, mencari dan mendatangi guru untuk belajar segala sesuatu yang diinginkan. Ini merupakan langkah yang prestisius dilakukan untuk meningkatkan bakat dan kemampuan guna menuju prestasi yang lebih tinggi. Di Bali, bahkan juga mungkin di daerah lain, tentu para seniman tidak ingin membiarkan kesenian tradisinya menjadi beku, terpuruk, bahkan tenggelam digilas zaman. Oleh karena itu setiap generasi muda sudah seharusnya mempunyai sikap kreatif dengan melakukan inovasi-inovasi terhadap kesenian tradisi yang mereka warisi. Para seniman muda harus sadar dan kreatif memberi ide-ide yang segar guna memberi sentuhan nafas baru yang dapat mendekatkan kesenian tradisi dengan konteks kehidupan masyarakat. Para seniman muda hendaknya terus berinovasi guna menunjukkan jati diri sehingga dapat meraih prestasi yang unggul. Semangat berprestasi ini tidak cukup dalam pikiran saja, namun harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Kehidupan dan keberlanjutan sebuah seni tradisi di masyarakat tidak terlepas dari prestasi yang pernah diraih oleh seni tersebut. Kehadirannya di masyarakat akan selalu ditunggu-tunggu apabila seni tersebut dapat menunjukkan ciri dan identitasnya serta dapat melakukan inovasi-inovasi yang kreatif tanpa meninggalkan ketradisiannya. Sebuah seni akan ditinggalkan oleh masyarakatnya apabila tidak adanya sikap kreatif dan motif berprestasi dari pendukungnya.

Kurangnya Sikap Terbuka Dalam menghadapi akselerasi ilmu pengetahuan dan teknologi, transportasi dan komunikasi yang begitu canggih, tentunya kurang bijaksana bila menutup diri terhadap perkembangan dunia. Sedyawati (1999:2), mengatakan dalam perkembangan seni pertunjukan di Indonesia telah banyak terjadi hubungan lintasbudaya, baik di antara suku-suku bangsa di Indonesia sendiri maupun antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain. Pelaku yang tampak lebih aktif dalam hal ini adalah yang berasal dari ”sisi pentas”. Para seniman ”pentas umum” yang melakukan anjangsana budaya itu pada dasarnya telah mempunyai kesiapan untuk membuka diri dan menyibak sumber-sumber baru yang di hadapannya merupakan suatu misteri ataupun tantangan. Pendapat tersebut di atas mengindikasikan bahwa betapa pentingnya melakukan hubungan dengan dunia luar dalam hal ini adalah berkomunikasi dengan seniman-seniman luar baik dari luar daerah maupun dari luar negeri. Hal ini penting dilakukan untuk mengukur sejauh mana perkembangan seni tradisi yang kita miliki, serta mengukur kemampuan kita dalam mengembangkan, melestarikan, serta melakukan inovasi terhadap kesenian yang kita miliki. Untuk dapat menghasilkan sebuah bentuk seni yang ideal seniman pendukung, seniman pelaku, dan pimpinan organisasi harus terbuka dalam menerima kritikan, saran, dan masukan yang nantinya dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk melangkah kedepan sebagai bahan pijakan dan landasan untuk tetap bisa menjaga eksistensi sebuah bentuk seni tradisi di masyarakat. Hariyati Soebadio (1991: 62), mengatakan sebagai bangsa yang berusaha mengembangkan diri supaya menjadi setaraf dengan bangsa-bangsa maju, bangsa Indonesia mutlak harus mengikuti

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

352

perkembangan zaman dengan menyesuaikan diri terhadapnya. Lebih jauh dikatakan bahwa bangsa-bangsa yang hidup tertutup atau dalam daerah terpencil, seni bersama dengan seluruh kebudayaannya, tetap statis pada taraf tradisional yang sama, serta tampak sulit berkembang sepanjang zaman.

Kurangnya Sikap Kreatif Sikap kreatif seorang seniman muncul karena dorongan naluri untuk berkarya sebagai luapan emosi yang meledak-ledak; sedangkan dorongan untuk maju (Bali : rasa jengah) merupakan etos berkesenian (competitive pride) yang mendorong untuk menghasilkan karya bermutu. Sebagai seorang seniman kreatif sangat terdorong oleh berbagai situasi dan motivasi yang memberikan stimulasi untuk mengekspresikan dalam sebuah karya. Inspirasi-inspirasi yang menarik tersebut ditorehkan dalam berbagai media sesuai kapasitasnya selaku seniman. Sebagai seorang seniman karawitan maka apa yang diangan-angankan terkadang disimpan dulu dalam sebuah file, sampai suatu saat ada kesempatan yang tepat untuk menuangkannya. Memang secara realitas sangat jarang ditemukan seniman yang berkarya secara idealisme. Artinya tanpa ada peluang dan pesanan ia tetap berkarya dan berkarya, namun umumnya seniman kita berkarya apabila ada permintaan, pesanan atau ditugaskan dari atasan. Kendatipun demikian tidak semuanya sebagai produk seni. Oleh karena di dalam proses karyanya tidak selamanya ada campur tangan dari yang memesan. Tidak jarang sebuah karya memang murni merupakan ungkapan dari kegelisahan senimannya, hanya karena faktor investasi (finansial) yang menyebabkan ia harus menunda ekspresi emosionalnya. Seorang seniman pada dasarnya bersifat kreatif, ia mampu melahirkan atau mewujudkan karya yang baru, sesuatu yang belum pernah terwujud dan dilakukan oleh orang lain sebelumnya. Apabila seseorang aktifis seni hanya baru mewujudkan sesuatu seperti apa yang telah ada sebelumnya, maka ia hanya dikatakan pengrajin, dan apabila ia melakukan atas apa yang dianjurkan atau diajarkan orang kepadanya, bukan lahir dari gagasan atau idenya sendiri, maka ia disebut pekerja atau pelaku seni. Dari sisi kreatifitas itulah terlihat perbedaan antara seniman dan pengrajin atau pelaku seni, serta pikiran ini pula yang menunjukkan bahwa seniman itu adalah seseorang yang idealis dan kreatif. Mengkaji pendapat di atas dan dengan melihat kenyataan di lapangan bahwa musik Mandolin di desa Pupuan dalam realitanya kurang mendapat respon dan apresiasi dari masyarakat, disebabkan kurang adanya pembaharuan, baik dalam bentuk instrumen maupun dalam pola repertoarnya. Lagu-lagu yang dimainkan masih terpola pada lagu-lagu tradisi yang telah ada. Tidak ada lagu-lagu/karya-karya baru yang lebih inovatif yang dimiliki oleh sekaa ini. Seniman pendukungnya kurang kreatif dan jeli dalam melihat pelung-peluang ke depan. Untuk mendapatkan apresiasi yang baik dari masyarakat seharusnya dilakukan pembaharuan-pembaharuan dalam musik tersebut, ditandai dengan masuknya gagasan-gagasan baru, untuk mencapai keadaan mantap yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat masa kini. Di Bali misalnya, tentu para seniman tidak ingin membiarkan kesenian tradisinya menjadi beku, terpuruk bahkan tenggelam digilas zaman. Karena itu setiap seniman terus berupaya untuk melakukan inovasi-inovasi. Para seniman secara sadar kreatif dan selektif memberi ide-ide yang segar guna memberi ‘nafas’ baru yang dapat mendekatkan kesenian mereka dengan konteks kehidupan masyarakat masa kini. Kesadaran seperti itu kiranya menjadi landasan pijak bagi para seniman di dalam mengolah seni sebagaimana seorang komposer memberikan sentuhan nafas yang baru pada hasil karya karawitan yang digarapnya. Keterpinggiran dan keterpurukan musik Mandolin selama ini disebabkan oleh kuarng kreatifnya seniman pendukung untuk mengubah keadaan. Misalnya menciptakan garapan-garapan baru guna membangkitkan kembali gaerah berkeseniannya, melakukan inovasi-inovasi terhadap bentuk pertunjukan, komposisi dan strukur lagu, tanpa menghilangkan ciri khas dan identitas dari musik Mandolin itu sendiri.

Faktor eksternal

Ekonomi Ekonomi merupakan barbagai usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran kehidupan atau taraf kehidupan yang lebih baik dan tinggi. Gaya dan taraf kehidupan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

353

suatu masyarakat mempunyai hubungan dan keterkaitan yang erat dengan gaya dan taraf kehidupan keseniannya. Faktor ekonomi akan berpengaruh terhadap kehidupan kesenian suatu komunitas. Ekonomi merupakan bagian penting dalam pengkajian sosial budaya, termasuk untuk pengkajian kesenian. Ekonomi menempati posisi yang besar dalam aktivitas kehidupan manusia. Satu sisi akan menjadi subjek aktivitas, dan disisi lainnya akan menjadi objek aktivitas. Sebagai subjek aktivitas ekonomi menjadi motor penggerak. Aktivitas terlaksana karena faktor ekonomi, besar atau kecilnya aktivitas tergantung pada ekonomi. Sebagai objek aktivitas ekonomi akan menjadi tujuan atau sasaran aktivitas, dengan kata lain aktivitas bertujuan untuk meraih ekonomi dan mendapatkan kesejahteraan atau taraf kehidupan yang lebih baik. Kehidupan sebuah kesenian di lingkungan masyarakat tradisional pada dasarnya adalah sebagai solidaritas sosial. Seniman (komposer, koreografer) tidak mengharapkan imbalan materi atas kesenian yang ia tampilkan. Meraka akan merasa bangga dan senang ketika karyanya diterima dan dipergunakan dalam kehidupan komunitas sosialnya, mereka akan menjadi orang terpandang dan dihormati di lingkungan sosial tersebut. Itulah imbalan yang tidak ternilai harganya oleh seniman tradisional. Namun walaupun demikian bukan berarti faktor ekonomi tidak berpengaruh terhadap kesenian tradisional. Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, sektor ekonomi akan mempengaruhi seluruh bidang kehidupan secara umum. Demikian juga halnya dengan masyarakat Pupuan juga terkena pengaruh dari globalisasi tersebut yang dapat mempengaruhi faktor ekonomi ke dalam kehidupan berkeseniannya. Aktivitas berkesenian masyarakat akan berjalan dengan baik jika didukung oleh faktor ekonomi yang baik pula. Sebagai sebuah seni pertunjukan, seni tradisi memerlukan ivent atau acara tertentu sebagai wadah dalam pelaksanaannya agar dapat terus hidup dan bekembang. Kehidupan berkesenian di Bali biasanya selalu dikaitkan dengan upacara keagamaan. Aktivitas upacara dapat terlaksana dan berjalan dengan baik jika perekonomian masyarakatnya baik pula. Demikian pula dalam pelaksanaan upacara akan terasa meriah apa bila disertai dengan aktivitas kesenian. Suatu upacara akan bisa semarak dan meriah kalau didukung oleh perekonomian masyarakat yang baik. Jika perkonomian masyarakat tidak baik, maka kehidupan keseniannya juga tidak akan bisa hidup dan berkembang dengan baik. Masyarakat desa Pupuan adalah masyarakat agraris yang mana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dan sektor informal lainnya. Selain menggeluti pekerjaan seperti tersebut di atas, sebagian lagi masyarakat desa Pupuan bekerja sebagai pegawai swasta, pengusaha, Pegawai Negeri Sipil, dan sebagian lagi ada yang bekerja di luar desa Pupuan yakni merantau ke kota.

Teknologi Saat ini, dunia berubah demikian cepat dan menyeluruh sehingga apa yang dianggap mukjizat kemarin, hari ini menjadi hal biasa. Perubahan-perubahan terus berlangsung terutama dimotori oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informatika. Akibatnya, tidak hanya komoditas fisik yang leluasa diangkut keseluruh pelosok, tetapi juga terjadi kemudahan mobilitas manusia ke seluruh penjuru dunia. Yang tidak kalah menarik ialah penyebaran informasi. Berkat kecanggihan perangkat keras dan perangkat lunak, maka dapat dikatakan penyebaran informasi semakin menjagat, serentak dan secara terus-menerus mengunjungi khalayak di seluruh lapisan dunia. Terkait dengan itu, salah satu contoh pengaruh teknologi informasi dalam bentuk berbagai alat rekam media canggih juga sangat mewarnai perkembangan seni pertunjukan Indonesia, terutama melalui televisi, Compact Disc (CD), Video Compact Disc (VCD), beserta antena parabolanya. Secara positif teknologi informasi telah memungkinkan bangsa Indonesia menikmati berbagai bentuk seni pertunjukan (tari, musik, dan teater), baik yang disajikan secara langsung maupun yang ditayangkan lewat media rekam canggih, sehingga dapat memperkaya wawasan dan informasi yang lebih luas lagi. Namun bila media rekam itu dipergunakan secara negatif, seperti dengan sengaja menonton VCD porno, penggunaan obat- obatan terlarang, tawuran, terorisme maka semakin merosotlah etika dan moral bangsa ini. Bersamaan dengan kemajuan teknologi, masyarakat pada umumnya mempunyai kecendrungan untuk meniru. Misalnya dalam cara berpakaian, cara berhias, selera makan, selera musik maupun selera tari. Sejalan dengan adanya fenomena seperti itu, terdapat kecendrungan setiap individu semakin bebas untuk memilih selera yang ia inginkan. Hal ini terjadi dalam dunia

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

354

kesenian, yang sekarang masyarakat khususnya kaum muda sudah mulai terpengaruh oleh musik- musik dari luar Indonesia seperti break dance, disco, flamengko, dan lain-lain. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat desa Pupuan khususnya, anak-anak muda yang ada di sana lebih menyukai kesenian dari luar (budaya populer; musik, tari telenovela, film, dan lain-lain) dibandingkan dengan kesenian daerahnya sendiri.

Media Kemajuan teknologi dan komunikasi memberi kemungkinan berkembangnya berbagai media, dari print media yang bersifat tunggal dan linier hingga elektronik media yang bersifat multimedia dan interaktif. Kemajuan tersebut tentu saja memberikan kekuatan yang berlipat ganda pada media untuk semakin mudah mempengaruhi manusia. Media diciptakan oleh manusia dalam rangka memudahkan terjadinya suatu proses komunikasi atau menciptakan komunikasi antar manusia dalam rangka semakin meningkatkan kualitas hidupnya. Namun kemudian kehebatan media ternyata justru sering menjadikan manusia terikat oleh kemampuan media. Keterikatan ini menimbulkan bahaya ketika media dikuasai oleh suatu kepentingan. Media merupakan sarana komunikasi dalam memberikan informasi dan pesan kepada khalayak. Media yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan agen pemberitaan atau publikasi baik secara visual maupun tertulis, misalnya buku, majalah, brosur, iklan, radio, televisi, dan situs internet. Pada awalnya penyajian seni pertunjukan apapun seperti pementasan tari, karawitan, dan pakeliran (pedalangan/wayang) dilakukan pada tempat-tempat tertentu, misalnya di kalangan jaba pura, wantilan, dan tempat-tempat tertentu lainnya yang biasanya selalu dikaitkan dengan upacara yadnya. Masyarakat mengetahui adanya pertunjukan tersebut melalui berita dari mulut ke mulut atau apabila di suatu tempat ada upacara keagamaan biasanya selalu dikaitkan dengan seni pertunjukan. Dengan adanya perkembangan teknologi dan informasi, bermunculanlah berbagai macam bentuk media. Pertunjukan yang disajikan oleh para seniman diliput oleh media seperti: untuk dokumentasi pribadi, dokumen penyelenggara acara/panitia, televisi, juga tidak ketinggalan para wartawan dan media cetak lainnya. Pertunjukan yang awalnya hanya bisa kita lihat di wantilan atau arena jaba pura pada saat- saat tertentu saja, akan tetapi berkat media seperti televisi yang tersebar di seluruh pelosok negeri, pertunjukan seni dapat ditonton oleh masyarakat luas. Media televisi sangat bermanfaat sekali terutama dalam pemberian informasi-informasi kepada masyarakat. Dengan masuknya arus globalisasi menempatkan media sebagai salah atu faktor penting dalam dimensi perubahan sosial budaya dalam masyarakat.

Bentuk Revitalisasi Musik Mandolin Di Desa Pupuan ] Rekonstruksi Seni tradisi adalah gudang penyimpanan makna-makna kebudayaan masyarakat pendukungnya, memiliki kontribusi penting membangun karakter bangsa di tengah era globalisasi. Secara bentuk dan isi, seni tradisi merupakan media komunikasi spesifik yang mengandung nilai- nilai estetik dan moral yang merefleksikan kebeningan nurani dan pencerahan budhi, dua pondasi utama dari kualitas konstruksi karakter bangsa. Untuk tampil sebagai budaya tanding globalisasi, seni tradisi sudah seharusnya mencari posisi strategis atau reposisi kultural yang merepresentasikan dirinya sebagai modal budaya jati diri bangsa. Aktualisasi seni tradisi dalam konteks membangun karakter bangsa dalam pengejawantahan jati diri bangsa di tengah transformasi budaya dan hegemoni budaya massa, memerlukan idealisme berkesenian yang konstrukstif-prospektif. Ekspresi artistik dalam seni tradisi harus direkonstruksi secara kreatif. Nilai-nilai estetik yang mengendap pada seni tradisi tak ditabukan didekonstruksi secara kritis. Dahsyatnya gempuran arus globalisasi, tampaknya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keterdesakan sejumlah kesenian tradisional Bali. Tidak sedikit dari kesenian tradisional tersebut terancam punah lantaran sudah sangat jarang dipentaskan. Bahkan ada diantaranya sudah lenyap tanpa bekas. Kekawatiran terjadinya sejumah kematian masal jenis-jenis kesenian tradisional pun menyeruak. Jika upaya merekonstruksi kesenian- kesenian tradisional tersebut tidak dilakukan secepatnya niscaya seni tradisi yang ada di Bali akan lenyap keberadaannya.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

355

Merekontruksi bukan hanya terhadap alat-alat musiknya saja, akan tetapi juga terhadap lagu-lagu/tabuh-tabuh yang dimainkan. Hal ini penting dilakukan agar lagu-lagu yang dimiliki yang kemungkinan hamper hilang dapat dibangkitkan kembali melalui rekonstruksi ini. Merokonstruksi berarti menggali dan menghidupkan kembali hal-hal yang dulunya pernah ada, yang sekarang hampir hilang dan terlupakan. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah membangkitkan kembali musik Mandolin dari keterpinggiran dan keterdesakan akibat arus globalisasi yang melanda seluruh dunia. Hal ini dilakukan agar keberadaannya dapat terus dipertahankan di tengah-tengah masyarakat yang plural ini. Merekonstruksi juga berarti menata ulang, dalam hal ini musik Mandolin yang ada di desa Pupuan perlu ditata ulang apakah dalam hal instrumentasinya, jenis repertoarnya, ataupun bentuk penyajiannya.

Regenerasi Lahirnya berbagai bentuk dan jenis kesenian di masyarakat tidak terlepas dari peran aktif masyarakat, seniman, organisasi-organisasi seni (sekaa), serta dukungan dari pemerintah. Sebagai landasan utama orang Bali berkarya khususnya dalam bidang seni karawitan adalah sebagai wujud persembahan kepada Tuhan melalui yadnya (persembahan). Musik dalam hal ini musik tradisi (karawitan Bali) menduduki peranan yang sangat penting di masyarakat jika dikaitkan dengan fungsinya dalam berbagai jenis upacara yang ada di Bali. Dalam setiap upacara yang dilangsungkan oleh umat Hindu khususnya upacara-upacara yang berlangsung baik lingkungan sanggah, mrajan, dadia, maupun di pura tidak luput dari hadirnya suara gamelan. Umat Hindu (teristimewa umat Hindu di Bali dan umat Hindu asal Bali) di manapun mereka berada, dalam melaksanakan kegiatan ritual tidak pernah terlepas dengan penggunaan bunyi gamelan. Ritual dalam agama Hindu merupakan bentuk implementasi dari filsafat dan etika (Donder, 2005 : 3). Begitu pentingnya fungsi gamelan dimata masyarakat, sampai saat ini gamelan Bali khususnya masih sangat eksis berkembang di masyarakat baik di dalam maupun di luar Bali. Gamelan pada saat ini di dalam masyarakat Jawa hanya dianggap sebagai sarana seni, sedangkan di Bali (Hindu) gamelan memiliki sifat, fungsi, dan kedudukan ganda. Gamelan di Bali selain sebagai sarana seni pertunjukan, tetapi yang paling penting adalah bahwa gamelan juga sebagai sarana untuk mengiringi berbagai macam ritual (Donder, 2005 : 2). Pertumbuhan dan perkembangan gamelan di Bali dewasa ini sangatlah pesat. Hal ini dapat dibuktikan dengan hadirnya berbagai jenis gamelan yang tersebar di seluruh pelosok pulau Bali. Bali dikenal sangat terbuka dengan hadirnya budaya luar hanya saja masyarakat sudah semakin pintar untuk menyeleksi mana yang baik dan mana yang tidak baik dan tidak sesuai dengan budaya daerah sendiri. Keberadaan musik mandolin di desa Pupuan sampai saat sangatlah menggembirakan, hal ini dikarenakan anggota/sekaa ini keseluruhan merupakan generasi muda yang tergabung dalam sekaa “bungsil Gading” di bawah pimpinan I Made Ardana. Regenerasi sangat penting diperlukan sebagai upaya penyegaran kembali dan sebagai pelanjut generasi yang sudah tua.

Persepsi Masyarakat Desa Pupuan Kabupaten Tabanan Terhadap Revitalisasi Musik Mandolin Banyak faktor diera globalisasi ini yang memberikan kontribusi bagi pembentukan budaya generasi muda seperti keberadaan musik barat yang makin digandrungi oleh generasi muda. Dengan kemajuan teknologi, proses komunikasi antar manusia bukan lagi merupakan masalah. Dalam praktiknya, seringkali nilai-nilai budaya disirnakan oleh kekuatan yang menampak dalam masyarakat yang cenderung belum semua memahami artinya budaya. Artinya sering terlihat dalam praktik, adanya hegemoni budaya global yang berdampak secara perlahan-lahan terhadap budaya lokal dalam masyarakat yang menjadikan budaya lokal semakin terpinggirkan. Hal tersebut memerlukan transformasi nilai-nilai budaya lokal secara efektif guna menyiapkan mental masyarakat dalam menghadapi dampak globalisasi. Selama ini, mungkin budaya lokal dari peran remaja Bali lebih dipandang berada pada wilayah ‘ketradisian” bagi masyarakatnya harus mengikuti yang kemudian secara ideal, masyarakat menjadi tertib sosial, kultural maupun religious sehingga terciptalah masyarakat yang bermental positif dan berperadaban tinggi (Siraj dalam Shirmuhammad, 2003:7 dalam Wahyu 2013).

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

356

Bermacam budaya ditawarkan pada masyarakat dengan kelebihan dan kekurangannya, kalau kurang cermat menyeleksi membawa dampak kepada budaya setempat yang mungkin bisa berdampak pada penurunan minat bagi masyarakat pendukungnya. Tingkat penurunan yang paling dikhawatirkan terutama bagi kalangan generasi muda, adalah kurangnya minat terhadap budaya lokal yang dikarenakan adanya pengaruh budaya luar tersebut. Masyarakat desa Pupuan tergolong masyarakat yang heterogen. Ini dapat kita lihat dari jenis agama dan kelompok masyarakat yang hidup di daerah ini. Hampir semua agama ada di desa ini dan hidup berdampingan dari sejak lama dan berbaur dengan masyarakat penduduk asli daerah ini. Kehadiran musik Mandolin pun ditengarai di bawa oleh orang-orang Cina yang merantau ke daerah ini pada zaman yang lampau, dan sekarang menjadi kesenian rakyat yang tumbuh di desa Pupuan. Masyarakat sangat apresiatif dan senang apabila kesenian yang ada di lingkungannya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kita sadari bersama bahwa keberadaan seni tradisi di masyarakat akan terus hidup dan berkembang apabila mereka diberikan ruang untuk mengekspresikan diri. Kita sangat sering mendengar suatu kesenian hilang setelah tidak pernah dipentaskan lagi. Setiap kesenian mempunyai pendukung dan penggemar tersendiri sesuai dengan kapabelitias dari kesenian tersebut. Suatu kesenian akan surut perkembangannya setelah muncul kesenian baru yang lebih menarik dari sebelumnya. Sekarang tergantung selera masyarakat yang memilihnya. Kesenian di masyarakat akan tetap lestari dan berkembang tertgantung apresiasi dan selera masyarakat. Apalagi kesenian yang tumbuh dan berkembang di masyarakat bukan merupakan budaya sendiri. Keberadaan kebudayaan tidak mungkin berkembang sendiri tanpa bersinggungan dengan kebudayaan lain. Jika masyarakat pendukung kebudayaan itu aktif dan bersikap selektif, maka dalam memilih segala sesuatu yang ada di dalam kebudayaan lain mendapatkan manfaat untuk melengkapi budaya yang dimiliki. Akan tetapi ada pandangan lain yang membuat budaya itu sendiri tidak berkembang seperti sikap etnosentris dan primordial. Etnosentrisme menurut Piliang (2004:18) adalah sikap dikalangan para anggota suku bangsa atau Negara (atau ilmuwan) yang secara tidak kritis menganggap adanya superioritas kelompok atau kebudayaan sendiri atas kebudayaan-kebudayaan lain. Sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan apabila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya. Masyarakat Pupuan sangat bersyukur bahwa mereka dapat menerima budaya luar yang masuk ke daerahnya asalkan sesuai dengan kepribadian masyarakatnya.

SIMPULAN Pertama, kehadiran sebuah seni pertunjukan di masyarakat tidak terlepas dari peran serta masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang konsisten dalam mempertahankan keberadaan seni tradisinya akan berdampak terhadap keberlanjutan seni tersebut. Musik Mandolin adalah sebuah fenomena, yang mana kehadirannya di masyarakat selalu diharapkan, akan tetapi di sisi lain mengalami tantangan dan hambatan yang begitu besar, dan harus bersaing dengan kesenian- kensenian yang lain yang mempunyai fungsi dan kualitas relatif lebih tinggi di mata masyarakat. Kedua, ada dua factor yang menyebabkan musik Mandolin kurang berkembang di desa Pupuan. Dari faktor internal dapat dilihat dari bakat dan kemampuan seniman pendukungnya, kurang motif berprestasi dari seniman pendukungnya, kurangnya sikap kreatif, dan terbuka menerima kritikan dan masukan yang bisa membangun kembali musik Mandolin di tengah-tengah keterpurukannya. Hadirnya kesenian-kesenian yang baru sebagai tantangan untuk tetap melestarikan kesenian tradisi, merupakan tantangan yang harus dihadapi dan disikapi dengan arif dan bijaksana, dipakai sebagai acuan untuk dapat terus memotivasi diri. Ketiga, Faktor eksternal dapat dilihat dari segi ekonomi, teknologi, dan media. Keberadaan perekonomian masyarakat akan dapat mempengaruhi segala sektor dalam kehidupannya, termasuk juga dalam bidang kesenian. Demikian juga bagi masyarakat Pupuan yang masyarakatnya sebagian besar bekerja di bidang pertanian, yang menyebabkan kurangnya waktu untuk bersosialisasi dengan anggota masyarakat lain, menyebabkan kurangnya perhatian terhadap keberadaan musik mandolin itu sendiri. Kehadiran teknologi bagi masyarakat Pupuan merupakan peluang yang sekaligus

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

357

tantangan. Peluang yang dimaksud adalah dengan adanya teknologi yang semakin canggih memungkinkan mengakses informasi lebih mudah, transportasi lebih mudah dan lain sebagainya. Keempat, generasi muda merasa tertantang untuk membangkitkan kembali keberadaan musik mandolin yang keberadaannya sekian lama tak terdengar. Berkat dorongan dan semangat yang tinggi ahkirnya musik Mandolin yang ada di desa Pupuan dapat direkonstruksi kembali sehingga dapat berfungsi kembali di masyarakat sebagai hiburan. Rekonstruksi dan revitalisasi ini dilakukan dalam berbagai hal mulai instrument, repertoar, dan lain sebagainya. Masyarakat sangat apresiatif terhadap adanya upaya untuk membangkitkan kembali kesenian Mandolin ini. Mereka berharap besar agar keberadaannya tetap dilestarikan bahkan dikembangkan kembali agar dapat dikenal oleh masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA Atmaja, Nengah Bawa 2010. Komodifikasi Tubuh Perempuan, Joged “Ngebor” Bali. Denpasar: Pustaka Larasan. Barker, Chris. 2008. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Kreasi Wacana, Yogyakarta. Dibia, I Wayan. 1999. Selayang Pandang Seni Pertunjukkan Bali. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia. Donder, I Ketut. 2005. Esensi Bunyi Gamelan Dalam Prosesi Ritual Hindu:Perspektif Filosofis- teologis, Psikologis dan Sains. Surabaya : Paramita. Hadi, Y. Sumandiyo. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta : Pustaka. Paliang, Yasraf Amir. 2003. Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. ------, 2006. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra. Putrawan. Nyoman.2008.Babad Bali Baru.Denpasar: Pustaka Manik Geni. Sedyawati, Edi. 1999. “Multikultural Dalam Ranah Tatap Muka Dan Perantaraan Media”, (Makalah disampaikan dalam rangka Vestival dan Temu Ilmiah Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia di Karangasem, Bali 9-14 September 1999). Soebadio, Haryati. 1991. “Menghadapi Globalisasi Seni” dalam Seni Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, No.I/01, BP.ISI Yogyakarta. Soedarsono, R. M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Sugiartha, I Gede Arya. 2008. Gamelan Pegambuhan Tambang Emas Karawitan Bali. Denpasar: Sari Kahyangan. ------. 2012. ”Kreativitas Musik Bali garapan Baru di Kota Denpasar”. Disertasi (tidak diterbitkan) Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Sulistyawati. (editor). 2011. Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam Budaya Bali dan Indonesia. Denpasar: Universitas Udayana.

EKSISTENSI TARI BALI DAN JAWA DALAM BAHASA INDONESIA DAN INGGRIS

Ni Ketut Dewi Yulianti, Rinto Widyarto, Ni Ketut Yuliasih Program Studi Seni Karawitan, Program Studi Pendidikan Sendratasik Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected]

Abstrak Ide awal dari penelitian ini terinspirasi dari visi ISI Denpasar untuk menjadi centre of excellence. Untuk menjadi pusat unggulan dan menghasilkan lulusan yang unggul, kemampuan berbahasa Inggris memegang peranan yang sangat penting. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris baik mahasiswa maupun dosen yang ada di lingkungan ISI Denpasar adalah dengan membuat inovasi dalam pengajaran tari Bali dan Jawa dengan menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris bagi mahasiswa ISI Denpasar, yang dikemas dalam buku dwi-bahasa

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

358

(Indonesia-Inggris). Selain sebagai sarana peningkatan kemampuan berbahasa Inggris, hasil penelitian ini juga dapat mendukung persebaran kebudayaan Bali dan Jawa ke dunia internasional. Pengajaran tari bagi mahasiswa asing di ISI Denpasar dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sementara ini tidak dilengkapi buku panduan berbahasa Indonesia-Inggris (bilingual) sebagai acuan mahasiswa asing maupun dosennya. Dengan buku panduan yang merupakan luaran dari penelitian ini, kiranya mahasiswa dapat lebih cepat dalam mendalami pemahaman tentang eksistensi tari Bali dan Jawa. Metode yang ditempuh dalam penelitian ini adalah metode penelitian penerjemahan bahasa yang dikombinasikan dengan metode penelitian seni tari, yang diawali dengan mengumpulkan informasi tentang eksistensi tari Bali dan Jawa, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hasil penerjemahan tersebut diujicobakan dalam pengajaran tari bagi mahasiswa jurusan tari ISI Denpasar. Hasil penelitian ini berupa deskripsi eksistensi tari Bali dan Jawa dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, yang kemudian dicetak berupa buku teks berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris ber-ISBN yang dapat dijadikan referensi dan panduan bagi dosen pengajar dan mahasiswa ISI Denpasar yang sedang belajar tari Bali dan Jawa, dan juga bagi sanggar tari Bali dan Jawa yang memiliki siswa asing.

Key words: inovasi, eksistensi, tari Bali dan Jawa, dan dua bahasa.

Abstract The initial idea of this research is inspired by the vision of ISI Denpasar for being the centre of excellence. In order to be the centre of excellence and producing great scholars, the ability of speaking English plays an important role. One of the ways of improving the ability of speaking English of both students and lecturers of ISI Denpasar is by making an innovation in teacing Balinese and Javanese dances by using Indonesian and English for the students which is presented in a bilingual book (Indonesian-English). Besides being a means of enhancing the ability of speaking English, the result of this research can also support the spread of Balinese and Javanese cultures internationally. The teaching of dance for the international students of ISI Denpasar by using both English and Indonesian is not completed with an Indonesian-English book (bilingual) as the reference for the students and the lecturers. By using this book which is the result of this research, the students are hoped to understand the existence of Balinese and Javanese dances more quickly. The method adopted in this research is the translation research methods combined with dance research method, which is started with collecting information about the existence of Balinese and Javanese dances, then translated into English. The translation results are tested in teaching dance to students of dance department at ISI Denpasar. The results of the research in the form of description of the existence of Balinese and Javanese dances, which is then printed in the form of bilingual textbook with ISBN as a reference and guidance for the lecturers and students at ISI Denpasar who are studying Balinese and Javanese dances, and also for sangar (clubs) of Balinese and that have international students.

Key words : innovation, existence, Balinese and Javanese dance, and two languages

PENDAHULUAN Visi Institut Seni Indoensia (ISI) Denpasar adalah untuk menjadi pusat unggulan (centre of excellence) dalam bidang penciptaan, pengkajian, dan penyaji serta pembina kesenian baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Meningkatkan kemampuan bahasa Inggris dosen dan mahasiswa dengan menyiapkan buku panduan dalam bahasa Indonesia-Inggris yang berisi tentang eksistensi tari Bali dan Jawa merupakan salah satu upaya yang dapat mendukung tercapainya visi tersebut. Buku panduan pengajaran tari Bali dan Jawa dalam bahasa Inggris akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi dosen pengajar maupun mahasiswa terutama mahasiswa asing yang belajar seni tari. Para dosen pengajar akan secara langsung dapat meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka. Hasil penelitian ini tidak hanya bermanfaat bagi dosen pengajar dan mahasiswa ISI Denpasar, namun juga bagi semua pihak yang berkecimpung dalam dunia seni, khususnya seni tari,

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

359

mengingat pulau Bali yang merupakan daerah kunjungan wisata yang sangat terkenal di dunia, yang selalu dikunjungi oleh wisatawan mancanegara dengan tujuan tidak hanya berwisata atau berbinis, namun juga untuk mempelajari seni budaya Bali dan Jawa. Sanggar-sanggar seni yang tersebar diseluruh Bali juga dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai acuan yang baku dalam mengajarkan tari kepada orang asing, sehingga hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk memperkenalkan budaya Bali dan Jawa ke dunia Internasional. Tulisan ini membahas eksistensi tari Bali dan Jawa serta terjemahannya dalam Bahasa Inggris dengan menggunakan teori penerjemaha, dengan penyajian hasil penelitian secara deskriptif. .

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap yaitu dengan menyiapkan buku panduan pengajaran tari Bali dan Jawa ber-ISBN sebagai lanjutan dari penelitian tahun pertama, serta membuat DVD rekaman pembelajaran tari Bali dan Jawa dalam bahasa Inggris. Lokasi penelitian ini adalah di Denpasar. Publikasi hasil penelitian melalui seminar internasional dan jurnal terakreditasi Mudra.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksistensi Tari Bali 1 Aspek Tari dan Kepenarian Tari Bali yang terdiri dari bermacam-macam bentuk baik tari tunggal (solo), duet (berpasangan) dan tarian kelompok tidak terlepas dari empat aspek yang ada di dalamnya, untuk dapat menentukan kwalitas kepenariannya. Aspek-aspek tersebut antara lain: agem, tandang, tangkis dan tangkep. Agem dalam tarian Bali merupakan gerakan pokok yang dilakukan dalam posisi di tempat (non-lokomotif). Contoh agem antara lain: mungkah lawang, ngembat, ngelung, dan butangwesari. Tandang adalah gerakan tari yang dilakukan secara berpindah tempat (lokomotif). Yang termasuk gerak tandang seperti: ngumpal, malpal, milpil, seregseg, gandang- gandang. Tangkis adalah gerak tari yang dilakukan dalam posisi diam di tempat, tapi terdapat lebih banyak variasi dibandingkan agem yang biasanya untuk mendukung pendramaan seperti: ulap- ulap, nabdab geleng, nabdab urangke, nabdab gelangkana. Sedangkan tangkep adalah menyangkut masalah penjiwaan atau penyertaan rasa gerak dari dalam seperti: ekspresi marah, sedih, terkejut, dan takut. Di samping aspek-aspek tersebut ada pula istilah-istilah yang berkaitan dengan kualitas gerak yang dibawakan serta penjiwaannya seperti adung, pangus dan lengut. Istilah adung digunakan untuk menyebutkan seorang penari yang oleh penonton dirasakan sangat cocok, sesuai, atau tepat dalam membawakan suatu peran atau tarian (baik yang memakai lakon maupun tanpa lakon) berdasarkan bentuk postur tubuhnya (wiraga misalnya: seorang penari oleg tamulilingan akan dikatakan tubuh yang semampai, berperangai lemah lembut, berwajah cantik yang postur tubuhnya sama, berwatak halus dan dengan penari pria dengan rupa yang tampan). Pasangan penari oleg tamulilingan seperti ini akan dikatakan pasangan adung yang berarti cocok. Kalau terjadi sebaliknya dikatakan tusing adung (tidak cocok), atau matah (mentah). Pangus, adalah istilah yang diperuntukan kepada seorang penari, biasanya dalam sebuah dramatari, yang berhasil membawakan suatu peran sekalipun tidak memiliki persyaratan yang ideal untuk peran yang dibawakan. Contohnya: seorang penari bertubuh agak kurus, tidak terlalu tinggi, tidak begitu gagah, dengan wajah yang tidak terlalu tampan, namun ketika membawakan tokoh Gatutkaca dalam dramatari Parwa atau Patih Prebangsa dalam dramatari ternyata ia berhasil membawakan penjiwaannya yang matang di atas panggung. Ketidak tepatan postur, dan wajah tidak menjadi kendala bagi penari ini untuk membawa tokoh Gatutkaca atau Prebangsa. Lengut, hampir sama pengertiannya dengan pangus, yaitu seorang penari tepat membawakan suatu karakter namun lebih menonjolkan kelucuannya. Misalnya: seorang penari dengan tubuh yang kurus, sedikit tinggi mampu membawakan tokoh dalam dramatari dengan ciri khas dan karakter tokoh yang dibawakan. Abra dalam bahasa Indonesia berarti gagah dan berwibawa, istilah ini diperuntukkan bagi seorang penari yang gagah dan tampan serta berwibawa yang cocok membawakan tokoh raja

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

360

dalam suatu tarian baik yang berlakon maupun tanpa lakon dalam bentuk dramatari, ataupun sendratari. Kalau yang terjadi sebaliknya dikatakan tengal atau tidak punya wibawa. Taksu, atau kekuatan dalam yang bersifat spiritual, adalah salah satu faktor yang sangat menentukan bagi suatu penyajian tari Bali. Walaupun seorang seniman secara teknis sudah menguasai, bila dilihat tanpa disertai taksu, maka penampilannya hambar tanpa daya tarik. Oleh sebab itu seorang penari Bali sering kali melakukan berbagai upaya spiritual agar bisa metaksu.

2 Karakterisasi Tari Berdasarkan karakternya tarian-tarian Bali dapat dibedakan menjadi dua yaitu tari putra yang meliputi semua jenis tari yang menampilkan watak laki-laki baik ditarikan oleh penari putra maupun putri, dan tari putri yang meliputi semua jenis tarian yang menampilkan watak wanita, walaupun dibawakan oleh penari putra. Tarian putra selanjutnya masih bisa dibedakan menjadi tari putra keras/gagah yang meliputi: tari Baris, Jauk Keras, Trunajaya, Wiranta,dan tari putra manis/alus seperti Topeng Dalem, , Panji dalam Gambuh. Dalam tari putri juga terlihat tari-tarian yang dapat dikategorikan tari putri keras yaitu: Lenggong, Kakan- Kakan Gambuh, Limbur, Desak dan Liku (dalam ). Tari-tarian yang mempunyai watak campuran atau putri dan putra, atau keras dan halus seperti : Panji Sumirang, Margapati, Tenun dan lain-lain yang biasa disebut tari bebancihan (Dibia, 1999:8). Atas dasar bentuk koreografinya tari-tarian dapat diklafisikasikan menjadi beberapa bentuk yakni tarian tunggal/tarian yang dibawakan oleh satu orang penari (solo). Contohnya : tari Baris Tunggal, tari Margapati, tari Wiranata, tari Panji Semirang, tari Taruna Jaya, tari duet (berpasangan) atau tarian yang dibawakan oleh 2 orang penari, contohnya: tari Oleg Tamulilingan, tari Cendrawasih dan tari kelompok/tarian, misalnya : tari Wirayuda, tari Puspawresti dan tari Ciwanataraja.

3 Fungsi Tari Bali Tarian-tarian Indonesia ditinjau dari fungsinya dibagi menjadi tiga yaitu: tari-tarian upacara, tari-tarian hiburan, dan tari-tarian pertunjukan. Yang termasuk dalam tari-tarian upacara adalah tari-tarian magis yang biasanya dipakai oleh masyarakat primitif untuk mempengaruhi alam, tari-tarian ritual yang diadakan oleh masyarakat pada waktu ada upacara. Adapun yang termasuk tari-tarian hiburan adalah tari-tarian dimana titik berat tarian tersebut bukanlah keindahan tetapi lebih pada segi hiburan dan umumnya merupakan tari pergaulan seperti: tarian Joged dari Bali, tari Ledek dari Jawa dan tarian dari Sumatra. Sedangkan tari pertunjukan adalah tari klasik, tari romantik dan tari kreasi baru. Tari pertunjukan ini nilai seninya sangat diutamakan. Sedangkan fungsi tari Bali berdasarkan ritual dan sosial, sesuai keputusan seminar seni sakral dan profane bidang tarian tahun 1971 di Denpasar dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: a.Tari Wali yaitu tari-tarian yang ditarikan di pura-pura yang memiliki nilai-nilai religius, sangat disakralkan (disucikan dan dikramatkan) karena melibatkan benda-benda sakral. Pementasan kesenian ini tidak boleh sembarangan melainkan harus pada waktu dan tempat tertentu berkaitan dengan pelaksanaan upacara ritual misalnya: tari Rejang, tari Sanghyang, tari Baris Gede, dan lain- lain. b.Tari Bebali yaitu tarian yang berfungsi sebagai pengiring upacara, umumnya tarian ini memakai lakon (ceritera) seperti tari Gambuh, Wayang Wong, Wayang Sudamala. c.Tari Balih-balihan meliputi jenis-jenis tari yang lebih menonjolkan nilai-nilai entertaimen dan estetis, yang pertunjukannya lebih bersifat dan bersuasana sekuler. Kesenian ini dapat dipentaskan kapan dan dimana saja tanpa ada batasan waktu, tempat serta peristiwa-peristiwa yang terlalu mengikat. Tarian balih-balihan ini sangat banyak jenisnya seperti: tari Joged, tari Janger, tari Tenun, tari Margapati dan tari Kekebyaran lainnya.

4 Tari dan Unsur-Unsur Dasarnya

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

361

Gerak Materi baku dari tari adalah gerak. Gerak tari hanyalah gerakan-gerakan dari bagian tubuh manusia yang telah diolah dari gerak wantah menjadi suatu bentuk gerak tertentu, dalam istilah kesenian, gerak yang telah mengalami stilisasi atau distorsi. Dari gerak yang mengalami stilisasi inilah lahir dua jenis gerak tari yaitu gerak tari yang bersifat murni dan gerak yang bersifat maknawi. Gerak murni adalah gerak tari dari hasil penciptaan gerak wantah yang dalam pengungkapan tidak mempertimbangkan suatu pengertian tetapi lebih mementingkan faktor nilai keindahan dari gerak tarinya saja, misalnya seregseg, angsel dan lain-lain. Sedangkan gerak maknawi adalah gerak wantah yang telah diolah menjadi suatu gerak tari dalam pengungkapannya mengandung suatu pengertian atau maksud disamping keindahannya, misalnya: menggambarkan nelayan yang sedang mendayung dalam tari nelayan.

Ruang Berbicara masalah ruang, ruang dapat dibagi menjadi dua yaitu ruang dari gerakan tubuh penari dan ruang pentas. Suatu tempat dimana tarian itu ditampilkan atau dipentaskan. Ruang dari gerakan tubuh manusia seperti: desain simetri dan asimetri; dimana simetri menghadirkan perasaan yang kokoh, sedangkan asimetri menghadirkan perasaan yang aktif, dinamis dan riang. Desain garis menimbulkan berbagai macam kesan seperti: garis lurus memberi kesan sederhana dan kuat, garis lengkung memberi kesan lembut, sedangkan garis tegak lurus memberikan kesan tenang, seimbang dan garis melingkar memberi kesan manis, sedang garis menyilang diagonal memberi kesan dinamis (Sedyawati, 1986: 24-25) Selain ruang dalam gerakan tubuh penari, ada ruang yang lain yaitu ruang pentas, dimana ruang pentas ini adalah tempat dimana suatu pertunjukan ditampilkan. Kemudian ada juga ruang arena dimana penonton bisa melihat/ menonton pertunjukan dengan jarak yang lebih dekat sehingga menghadirkan suasana yang lebih akrab.

Iringan Secara tradisional musik dan tari erat sekali hubungannya satu sama lain, keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu dorongan dari naluri ritmis manusia. Iringan tari ada dua yaitu iringan tari secara internal dan eksternal. Iringan internal adalah iringan tari yang datang atau dimainkan oleh penari sendiri seperti: tepukan tangan, hentakan kaki atau krincingan gelang-gelang dari logam. Sedangkan iringan eksternal yaitu iringan yang datangnya dari luar tubuh penarinya seperti: alat musik tradisional gambelan, gambelan Gong Kebyar, Semarpegulingan, gambelan Gong Gede dan lain-lain. Iringan tari dibutuhkan sesuai dengan tema tarinya hingga nantinya dapat memberi ritme, tempo, dan pencipta suasana dalam suatu tarian.

Tata Rias dan Busana Busana adalah segala perlengkapan yang dikenakan diatas pentas oleh penari. Busana tari memberikan ciri khas suatu bangsa atau daerah. Busana pentas meliputi semua pakaian dan accessories yang dikenakan para penari dengan segala perlengkapan baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat oleh penonton. Demikian pula halnya dengan tata rias. Busana yang dipakai oleh penari, harus dipahami dan disesuaikan dengan kebutuhan penari supaya tidak mengganggu gerak tari. Di samping itu pemakaian warna dari busana disesuaikan dengan tokoh atau karakter yang dibawakan di atas pentas karena warna-warna itu bersifat simbolis. Seperti: warna putih berarti suci, warna merah berarti berani, dan sebagainya. Sedangkan tata rias akan menentukan wajah dan perwatakan serta memperkuat ekspresi. Tata rias harus dibedakan, mana tata rias untuk sehari-hari mana tata rias untuk pangung, karena kalau salah memberikan warna, hasilnya akan fatal sehingga tidak sesuai dengan karakter yang dibawakan karena fungsi tata rias disamping memperindah juga untuk memperkuat perwatakan.

Tema Tema dalam suatu tarian dapat dibagi menjadi dua yaitu tema literer dan non literer. Tema literer adalah tari yang digarap untuk menyampaikan pesan-pesan seperti; cerita panji, pengalaman pribadi, kehidupan alam, kehidupan binatang, legenda, sejarah dan lain-lain. Sedangkan non literer adalah tarian yang digarap berdasarkan penjelajahan gerak, ruang, waktu dan tenaga, eksplorasi

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

362

permainan suara dan unsur-unsur estetis lainnya. Tema-tema literer contohnya dapat diambil dari epos Ramayana dan Mahabarata, tema yang diangkat dari flora dan fauna seperti: tari Cendrawasih, tari Kijang Kencana, tari Tani, tari Sekar Jempiring dan lain-lain.

The Existence Of

1 Aspects of Dance and the Dance Balinese dance, which consists of a variety of dance forms both single and pair dances is inseparable from the four aspects in it in order to be able to determine the quality of the dance. These aspects include agem, tandang, tangkis and tangkep. Agem in Balinese dance is a basic movement that is performed at the same place (non-locomotive). The examples of agem are mungkah lawang, ngembat, ngelung, and butangwesari. Tandang is how to move from one basic movement to another so it becomes one flow of movements that connects to each other. Tandang includes ngumpal, malpal, milpil, seregseg, gandang-gandang. Tangkis is a dance performed when the dancer remains quiescent, but there are more variations than agem which usually supports theatrical performance (pendramaan) like ulap-ulap, nabdab geleng, nabdab urangke, nabdab gelangkana. While tangkep is the facial expresion that reflects the soul of the dance such as the expression of anger, sadness, surprise and fear. Besides these aspects, there are also some terms related to the quality of movement and the soul reflection such as adung, pangus and lengut. Adung is the term used by the audience to describe the best dancer, the most suitable, or the dancer who is appropriate to play a character in a dance (either taking the story or not) based on body posture (wiraga, for example: a dancer of Oleg Tamulilingan with slim body, gentle mannered, beautiful face and the same posture, with such a mild-mannered and handsome). Oleg Tamulilingan dancers like this are called adung which means suitable. If the opposite occurs, it is called tusing adung (not suitable) or weird. Pangus is a term given to a dancer who usually performs in a theatrical dance (dramatari) and is successful to perform the character although they do not have ideal qualification for the charácter he/she performs. For example, although a dancer is very thin, not so tall, strong, and very good-looking, when he/she performs the character of Gatutkaca in a dramatari Parwa or Patih Prebangsa and Gambuh, he/she manages to bring great performance on the stage. The inaccuracy of posture and face is not an obstacle for the dancer to bring the figure Gatutkaca or Prebangsa. Lengut, almost has the same meaning with pangus that is a dancer who is more appropriate for a humorous character. For example a dancer with a thin body, a bit tall and is able to bring a high figure in dramatari Wayang Wong with the uniqueness and the character of the figure he performs. Abra (gagah) means manly and authoritative. This term is used for a dancer who is strong, handsome and has authoritative figures who is appropriate to perform the king figure in a dance which is performed both in a play and without a play in the form of dramatari, or sendratari. If the opposite happens, it is called weird or having no power. Taksu or the inner spiritual force is one of the most determining factors for performing Balinese dance. Although, technically an artist has mastered the dance which can be seen from the perfection but if it is not accompanied with taksu, it will not look special, without no attraction. Therefore, a Balinese dancer often performs a variety of spiritual effort in order to get the inner spiritual force.

2 Dance Characterization Based on their characters, Balinese dances can be divided into two categories. First, the male dance that includes all types of dance featuring the character of good men that can be danced by both male and female dancers including all types of dance featuring the character of a woman, even if it is performed by male dancers. Male dances can still be divided into strong dance that includes , Jauk Keras, Trunajaya, Wiranta, and refined male dance such as Topeng Dalem, Kebyar Duduk, Panji in Gambuh. Second, female dance also has strong character such as Condong Lenggong, Kakan-kakan Gambuh, Limbur, Desak dan Liku (in Arja). Dances that have a mixed character or male and female, or strong and refined dances such as: Panji Semirang dance, Mergapati dance, Tenun dance, etc which are called Bebancihan dance (Dibia, 1999:8).

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

363

Based on the form of its choreography dance can be classified into some forms namely solo dance, performed by one dancer, for example: Baris Tunggal dance, Margapati dance, Wiranata dance, Panji Semirang dance, Teruna Jaya. Partner dance is a dance performed by two dancers, for examples Oleg Tamulilingan dance, Cendrawasih dance, and dance group which is performed in a group, for example: Wirayuda dance, Puspawresti dance, and Ciwanataraja dance.

3 Function of Balinese Dance Based on its function, Indonesian dances are divided into three categories namely ceremonial dance, entertainment dance, and performing dance. Ceremonial dance includes magical dance that is usually used by primitive societies to influence nature, ritual dances held by the society when they have ceremonies. Entertainment dance includes the dances aiming at entertaining and is usually categorised into social dance such as Joged dance from Bali, Ledek dance from Java, and Ronggeng dance from Sumatra. While performing dance includes classical dance, romantic dance, and new creation dance. These dances have their own primary art characteristic.Meanwhile, the function of Balinese dance should be based on ritual and social aspects. This is in accordance with the decision of sacred and profane art seminar on dance in Denpasar in 1971. This can be divided into three parts: a.Wali dance is the dance performed at the temples that have religious values, highly sacred (being purified and sacred) because they involve sacred objects. Wali dance should be performed in a certain time and certain place in relation to the implementation of such rituals. For example, , Trance Dance, Baris Gede dance, etc. b.Bebali dance fucntions as accompaniment of ceremony, and the dance generally use the play such as Gambuh dance, Wayang Wong, Puppet Sudamala. c.Balih-Balihan dance includes the types of dance that highlight entertaiment and aesthetic values, whose show is more secular. This art can be performed anytime and anywhere regardless of time limit, place and events that are too binding. There are various kinds of Balih- Balihan dance, such as Joged dance, Janger dance, Tenun dance, Margapati dance and other Kekebyaran dances.

4 Dance and Its Basic Elements

Movement Basic material of dance is movement. Dance movements are the movements of parts of human body that have been processed from basic movement into a particular form of movement, in terms of art, which has been stylized or distorted. From the style of movement there are two types of dance emerge namely pure dance movements and meaningful dance movements. Pure movement is the movement of dance that results in the creation of basic movement that does not consider a meaning or sense but is more concerned only with the aesthetics of the movement factor such as seregseg, angsel, etc. But the meaningful movement is the basic movements that have been processed into a dance and they contain a meaning or intention in addition to its beauty, for example describing the fishermen who were paddling in the Nelayan dance.

Space Space is divided into two types namely spaces of movement of the dancers and stage space. It is the place where the dance is performed. Space of human body movement such as symmetrical and asymmetrical designs. A symmetrical design presents a strong feeling, while the asymmetrical one brings an active, dynamic and cheerful feeling. Line design causes various impressions such as straight lines give the impression of simple and robust, curved lines give the impression of a softness, while the vertical line gives the impression of calm, balanced, and circular lines give the impression of sweetness, while crossed diagonal lines giving a dynamic impression (Edy Sedyawati, 1986:24-25)

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

364

In addition to space in a dancer body movement, there is another space where a dance is performed. There is also a space where spectators can see/watch the show with a shorter distance so as to present a more intimate atmosphere.

Accompaniment Traditionally, music and dance are closely related to each other i.e. both come from the same source, namely the encouragement of rhythmic of human instinct. There are two types of dance accompaniment namely internal and external accompaniments. Internal accompaniment is a dance accompaniment played by the dancers themselves such as clapping, pounding feet or the sound of bracelets which are made from metal. While the external accompaniment is accompaniment which comes from outside such as gambelan traditional musical instrument, gambelan Gong Kebyar, Semar-pegulingan, gambelan Gong Gede, etc. Dance accompaniment is required in accordance with the theme of the dance so that it can give rhythm, tempo, and creates a good mood in a dance. Makeup and Costume Costume is all the equipments worn by the dancers on stage. Dance costume gives typical characteristic of a nation or region. Costume for performance includes all costume and accessories worn by the dancers with all their equipments both visible and invisible to the audience. Costume worn by the dancers must be understood and adapted to the needs of dancers in order not to disturb the dance movement. In addition, the use of the colour of costume is adapted to the character who performed on the stage because the colour is symbolic. For example, white means pure or holy, red means bold, and so on. The makeup will determine the facial expression and the characters and also strengthen the expression. Makeup must be distinguished into makeup for everyday life and makeup for performance because if one gives the inappropriate color, the result will be fatal. It will not fit with the performance since the function of makeup is not only for beauty but also for strengthening the characters.

Theme Theme in a dance can be divided into two namely literary and non-literary themes. Literary theme is a dance that is created in order to convey messages such as the story of Panji, personal experience, natural life, animal life, legends, history, etc. While non-literary is a dance that is choreographed based on the exploration of movement, space, time and energy, exploration of sound elaboration and other aesthetic elements. The examples of literary themes can be taken from the epics of Ramayana and Mahabharata, the theme of flora and fauna such as Cendrawasih dance, Kijang Kencana dance, Tani dance, Sekar Jempiring dance, etc.

Eksistensi Tari Jawa Seni tari memiliki dampak perkembangan yang positif. Tari-tarian yang merupakan puncak-puncak kebudayaan tari yang ada di seluruh tanah air, antara lain tari-tarian Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Munculnya puncak-puncak kebudayaan tari berasal dari kesenian-kesenian gaya lokal yang diakui oleh masyarakat pendukungnya sebagai hasil kesenian tari yang konvensional dengan gaya atau ciri khas dari daerah masing-masing. Sudah barang tentu seperti tari Jawa khususnya, terdapat berbagai gaya lokal. Jawa Barat terbagi dalam gaya Betawi, Sunda, Banyumas. Jawa Tengah terbagi dua, yakni gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta, sedangkan Jawa Timur antara lain terdapat gaya Madura dan Banyuwangi. Adanya berbagai gaya dari tari Jawa sendiri, maka penetapan dan pemilihan obyek dalam penelitian ini adalah tari Jawa gaya Yogyakarta, untuk tari putri dan putra gagah. Pada umumnya seni tari merupakan suatu ekspresi secara sadar, sebagai ungkapan untuk menanggapi alam sekeliling dengan melalui bahasa gerak. Melalui gerak tubuhnya seorang penari merasakan suasana dan ritme-ritme alam sekitar. Sebagai media komunikasi ia mengekspresikan perasaannya, sehingga dapat berhubungan dengan sesama dan dunianya. Demikian pula halnya dengan tari tradisi yang tumbuh dari kehidupan, merefleksikan kehidupan, dan merupakan kehidupan itu sendiri. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila perkembangan seni tradisi itu

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

365

tetap dapat dimengerti dan dihayati. Edi Sedyawati menyatakan, bahwa jika seni tradisi sebagai kesenian yang memiliki sejumlah norma yang menetap, maka dapat dilihat bahwa tujuannya ialah untuk mengembangkan rasa keindahan, dengan pengolahan teknik melalui jalur tertentu yang dianggap paling efektif.1 Seni tari sebagai bentuk aktivitas budaya tidak bisa lepas dari seluruh kompleksitas yang ada di dalam lembaga budaya tersebut. Seluruh imajinasi tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan dari pengaruh sosial yang ada ketika karya itu tercipta. Seluruh aktivitas sosial senantiasa kait mengait, saling tergantung secara integral mencerminkan suatu kosmos, dalam hal ini dunia kraton.2 Tari klasik gaya Yogyakarta yang terdiri dari tari putri, tari putra halus, dan tari putra gagah adalah juga produk seni tradisi yang merupakan salah satu bentuk aktivitas budaya yang cukup populer di kalangan masyarakat seni Yogyakarta. Tari klasik gaya Yogyakarta yang semula dikembangkan oleh dan di lingkungan kraton ini kemudian semakin berkembang luas, sehingga masyarakatpun juga merasa memiliki dan aktif mengambil bagian dalam pelestarian dan pengembangannya. Tari Jawa klasik gaya Yogyakarta sering juga disebut sebagai Joged Mataram. Kecuali lebih singkat untuk ditulis dan diucapkan, nama ini juga lebih tepat dipakai untuk merangkum pengertian tari yang bersifat kedaerahan dan memiliki nilai seni budaya yang tinggi, sebagaimana kebesaran yang dimiliki oleh Kerajaan Mataram.3 Di dalam tari klasik gaya Yogyakarta dikenal pula istilah anjoged dan jogedan. Anjoged berarti menari dengan penuh keyakinan disertai gerak- gerak mantap, berisi, dan indah dilihat, sedangkan jogedan hanyalah menggerakkan bagian-bagian tubuh tanpa makna dan keyakinan. Dalam peng-hayatannya, seorang penari harus berbekal ilmu Joged Mataram, karena teknik tari merupakan unsur lahiriah atau wadahnya, sedangkan ilmu Joged Mataram adalah isinya. Ilmu Joged Mataram itu sendiri terdiri dari 4 (empat) unsur, yaitu: 1. Sawiji (konsentrasi) 2. Greged (dinamik/ semangat) 3. Sengguh (percaya diri) 4. Ora Mingkuh (tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran).4 Mempelajari suatu bentuk tarian, apalagi tari klasik, sebenarnya menyangkut beberapa hal yang tidak dapat diabaikan. Aspek tersebut antara lain menyangkut masalah bakat, minat, ketekunan, dan kesungguhan. Semua aspek tersebut saling terkait dan sangat perlu, agar dapat dengan mudah menguasai tarian tersebut. Mengingat bahwa tingkat kesulitan teknik tari Jawa klasik ini cukup tinggi, maka dipandang perlu untuk menulis secara jelas tentang teknik tari Jawa. Hal ini dimungkinkan untuk memperlancar dan mempermudah bagi mahasiswa untuk mempelajari teknik tari Jawa. Setiap karya seni sangat perlu dikomunikasikan kepada masyarakat, dengan alasan bahwa komunikasi itu sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas kesenian. Di dalam seni tari orang berkomunikasi lewat gerak-gerak tubuh yang diatur dengan irama, dan dalam komposisi tertentu. Semakin baik teknik yang dimiliki oleh seorang penari, maka penari tersebut akan semakin yakin akan dirinya dalam berkomunikasi pada penonton. Sal Murgiyanto menyatakan bahwa teknik tari bagi penari adalah vokabuler, dengan apa ia berbicara. Lebih menguasai teknik berarti banyak yang bisa dibicarakan dengan lebih menarik. Kemahiran dan keahlian akan teknik adalah sangat mutlak, agar kita dapat berbicara secara bebas dan meyakinkan.5 Untuk meningkatkan kemampuan teknik tari, seorang penari tidak saja hanya dituntut untuk terus berlatih dan menari, akan tetapi kewajiban lain seorang penari adalah menonton saat latihan-latihan maupun pementasan pertunjukan tari. Dengan cara itu seorang penari akan dapat mengetahui bagaimana teknik yang baik dan benar dalam melakukan gerak tari tersebut.

1 Edi Sedyawati. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Seri Esni 4. Jakarta: Sinar Harapan, 1981: 119. 2 Y.Sumandiyo Hadi. “Perkembangan Tari Tradisional: Usaha Pemeliharaan Kehidupan Budaya.” Dalam Beberapa Cattan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Editor Soedarso SP. Yogyakarta: BP ISI, 1991: 100. 3 Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengenal Ta-ri Klasik Gaya Yogyakarta: Proyek Pengembanagn Kesenian DIY, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981:34. 4 Ibid., 1981: 88 – 93 5 Sal Murgiyanto. Ketika Cahaya Merah Memudar (Sebuah Kritik Tari).Jakarta: Deviri Ganan,1993: 38.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

366

Tari terdiri atas unsur-unsur dasar wiraga, wirama dan wirasa. Penulisan ini lebih mengarah pada wiraga saja. Unsur dasar lainnya wirama akan dapat dimengerti setelah penguasaan terhadap wiraga sudah betul-betul jelas dan mapan. Setelah itu baru mengarah pada unsur dasar wirasa secara bertahap melaui proses rasa sedikit demi sedikit dan secara kontinyu lewat penghayatan gerak tersebut, sehingga wiraga di sini akan lebih dianggap sebagai hal yag paling penting dalam pengenalan bentuk tari putra gagah Jawa gaya Yogyakarta. Untuk lebih jelasnya pengertian dari ketiga unsur tersebut adalah : - Wiraga, merupakan keseluruhan dari unsur gerak tari, baik berupa sikap, gerak dan penggunaan tenaga serta proses geraknya penari, ataupun kesatuan seluruh unsur dan motif gerak tari yang terdapat dalam satu teks tari. - Wirama, adalah berkaitan dengan pengertian irama gendhing, irama gerak dan ritme gerak. Seluruh gerak dari tubuh harus selaras dengan wiramanya, baik dari ketukan hitungan tari, kecepatan pukulan balungan dalam suatu gendhing, maupun suasana gendhingnya. Unsur wirama inilah yang nantinya akan membuat panjang-pendeknya suatu frase gerak. - Wirasa, akan lebih banyak berkaitan erat dengan “isi” dari suatu tari. Dalam studi tari Jawa tentang “isi” ini akan berkaitan dengan pengertian dalam filsafat joged Mataram, Hasta Sawanda untuk Surakarta dan kalau di Bali dikenal dengan nama “Taksu”, sehingga dalam hal ini penjiwaan seorang penari harus lebuh dulu menerapkan wiraga dan wirama tarinya sesuai dengan arti, makna dan tujuan dari tari tersebut yang akhirnya akan tercermin penjiwaan yang utuh. Dengan demikian ketiganya betul-betul merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan serta berurutan dan tidak bisa dibolak-balik. Semuanya selaras dengan simbol gerak yang diterapkannya.

The Existence Of Javanese Dance Dances have a positive developmental impact. The dances, which are the peak of the culture come from the regions in Indonesia namely Sumatra, Java, Kalimantan, Sulawesi, and Irian Jaya. The peak of dance culture is from the local art that is recognized by the local community as a result of conventional dance style or the characteristic of each area. Of course, for the Javanese dance, in particular, there are a variety of local styles. West Javanese dance style is divided into Betawi, Sunda, Banyumas. Central Javanese dance is divided into two namely the style of Yogyakarta and Surakarta style, while East Java, among others, there are Madura and Banyuwangi styles. Since there are various styles of Javanese dance, this study focuses on Yogyakartan style dance, namely male and female dances. In general, the art of dance is an expression of the conscious respond to the surrounding through language of movement. Through the gestures of the dancers, the atmosphere and rhythms of nature can be felt. As a medium of communication, the dancers express their feelings in the dance so that they can relate to each other and their world. Similarly, the dance tradition emerges from life, reflects on the life, and it is life itself. Therefore, it is not surprising that the development of traditional art can still be understood and internalized. Edi Sedyawati states that the traditional art which has a number of norms that can be seen from its aim that is to develop a sense of beauty. It is processed through certain techniques that are considered the most effective medium. The art of dance as a form of cultural activity cannot be separated from all of the complexities involved in the cultural institutions. The whole imagination cannot be released and separated from social influence that exists when the work was created. The whole social activities are always related, interdependent and integrated. It reflects the cosmos, in this case, the royal life. Yogyakarta classical dance style consists of female dance, refined male dance, and strong male dance are also a traditional art products, which is quite popular among the people of Yogyakarta. Classical dance style of Yogyakarta which was originally developed by and in the palace was then increasingly widespread. Thus, the community also have the sense of belonging and take an active part in the preservation and development. The Yogyakarta style Javanese classical dance is often called as Joged Mataram. Besides being shorter to be written and said the name, it is also used to represent a more precise understanding of dance that is regional and has a high value of art and culture, as well as the

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

367

greatness that is owned by the Kingdom of Mataram. In the classical dance style of Yogyakarta, there are also two terms namely anjoged and jogedan. Anjoged means dancing with confidence with steady motions, strong and wonderful views, while jogedan means just moving the body parts without meaning and belief. In understanding a dance, a dancer must have the knowledge of Joged Mataram, because the dance techniques are the physical elements, whereas the knowledge of Joged Mataram is the content. The knowledge of Joged Mataram itself consists of 4 (four) elements, namely: 1. Sawiji (concentration) 2. Greged (dynamism/spirit) 3. Sengguh (confidence) 4. Ora Mingkuh (brave to face obstacles) Learning a form of dance, especially classical dance, is actually about a few things that cannot be ignored. This includes several aspects regarding the problem of talent, interest, perseverance, and sincerity. All these aspects are interrelated and very necessary in order to be able to easily master the dance. Given that the technical difficulty of classical Javanese dance is quite high, it is necessary to write clearly about Javanese dance techniques. It is possible to expedite and make it easier for students to learn the techniques of the Javanese dance. Each work of art is very important to be communicated to the community with a reason that the communication itself is an integral part of art activities. In the art of dance people communicate through dance movements which are arranged into the rhythm of the body, particularly composition. The better technique which is owned by a dancer is that the more they will be sure of himself in communicating with the audience. Sal Murgiyanto stated that the dance technique for a dancer is their vocabularies with what they speak. The more they master the technique, the more they can talk and communicate interestingly and excitingly. Proficiency and ability will be very absolute techniques so they can speak freely and convincingly. To improve the technical skills of dance, a dancer is not just simply required to keep practicing and dancing, but other obligations as a dancer is to watch the exercises and dance performances. Through this way, a dancer will be able to know good and true technique of performing the dance. Dance consists of the three basic elements namely wiraga, wirama and wirasa. This study is more directed at wiraga. The other basic element, wirama is understood after mastering the wiraga clearly and firmly. After that, wirasa will be gradually mastered through the a bit-by-bit process and continuously through the understanding and appreciation of the motion, so wiraga will be considered as the most important thing in the introduction form of Yogyakarta style Javanese strong male dance. The detail explanation of these three elements are as follows: - Wiraga is an element of the overall motion of the dance, both in the form of attitude, movement and the use of energy and the dancers’ movement processes, or the unity of all elements of dance movements and patterns contained in the text of the dances. - Wirama is associated with a sense of the rhythm of the song called gendhing, and rhythm of motion. The entire motion of the body must be in harmony with the wirama, both of the beats of the dance, the speed of balungan in a gamelan, and the atmosphere. This element of Wirama which will make the length of a movement. - Wirasa, is more closely related to the "contents" of a dance. In a study of Javanese dance about "content" it would be relevant for understanding the philosophy of Joged Mataram, Hasta Sawanda for Surakarta and in Bali it is known as "Taksu", so in this case the inspiration of a dancer must first apply wiraga and dance wirama in accordance with the complete meaning, significance and purpose. The complete union of these aspects cannot be separated and cannot be inverted. Everything is in harmony with the symbols used in it.

SIMPULAN Menerjemahkan eksistensi tari Bali dan Jawa dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris dalam penelitian ini telah melibatkan penari dan dosen tari Bali dan Jawa, yang sangat siginifikan dalam memberikan masukan untuk pemilihan kata sehingga menghasilkan penerjemahan yang sepadan dengan bahasa sumbernya.Masih ada begitu banyak informasi terkait

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

368

tari Bali dan Jawa dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Namun dengan adanya keterbatasan dalam berbagai hal, penyajian dalam paper ini masih sangat terbatas, sehingga masih terbuka peluang bagi peneliti lainnya untuk mengembangkan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 1981. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta: Proyek Pengembanagn Kesenian DIY, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dibia, I Wayan. 1999. Selayang Pandang, Seni Pertunjukan Bali, Masyarakat Seni Pertunjuklan Indonesia. Murgiyanto, Sal. 1993. Ketika Cahaya Merah Memudar (Sebuah Kritik Tari). Jakarta: Deviri Ganan. Sal Murgiyanto. 1993. Ketika Cahaya Merah Memudar (Sebuah Kritik Tari).Jakarta: Deviri Ganan, Sedyawati, Edi. (ed) 1986. Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari . Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ______1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Seri Esni 4. Jakarta: Sinar Harapan Y.Sumandiyo Hadi. 1991. “Perkembangan Tari Tradisional: Usaha Pemeliharaan Kehidupan Budaya.” Dalam Beberapa Cattan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Editor Soedarso SP. Yogyakarta: BP ISI

PERAN STASIUN TELEVISI LOKAL DI BALI DALAM UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA BALI SEBAGAI BAHASA IBU

Ni Kadek Dwiyani, I Kadek Puriartha Program Studi Televisi dan Film, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected]

Abstrak Di Bali khususnya, sampai saat ini telah muncul 4 stasiun televisi lokal yaitu TVRI Bali, Bali TV, Dewata TV, dan BMCTV. Secara keseluruhan, keempat stasiun televisi lokal ini memberikan berbagai pilihan acara yang menampilkan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali dari berbagai aspek kehidupan dari segi isi dan visualnya.Namun jika ditinjau dari pemakaian bahasa Ibu, yaitu Bahasa Bali, program acara yang ditampilkan oleh keempat stasiun ini masih bisa dihitung dengan jari. Ruang lingkup penulisan ini akan difokuskan untuk menganalisis profil 4 televisi lokal di Bali, program acara yang menggunakan bahasa Bali, nilai –nilai sosial yang terkandung pada program acara yang menggunakan bahasa Bali sekaligus untuk mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kiprah televisi dalam pemertahanan Bahasa Ibu, dimana metode yang digunakan adalah metode deskriprif kualitatif. Simpulan dari penelitian adalah gambaran umum setiap televisi lokal dapat ditinjau dari profil yang mereka miliki; program acara yang menggunakan Bahasa Bali terdiri dari 4 kategori yaitu: Berita, Religi, Seni Tradisional dan Hiburan; Nilai-nilai sosial yang terkandung pada program acara yang menggunakan Bahasa Bali yaitu reativitas, pelestarian, edukasi, religi dan hiburan; Faktor yang mempengaruhi program acara menggunakan Bahasa Bali adalah kebijakan pemerintah, idelogi, kreativitas, masyarakat dan globalisasi.

Kata Kunci:Stasiun Televisi lokal, Pemertahanan , Bahasa Ibu

Abstract Particularly in Bali, there are 4 local stations television such as TVRI Bali, Bali TV, Kompas TV Dewata, and BMCTV. Overall, those four local television stations provide a wide selection of programs that are dominated by programs of social and cultural life of the Balinese

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

369

people from different aspects of life in terms of content and visual. But, it seems so difficult for us to see the offered program, which used Balinese language as main language within the program. Based on the fact, this research is focused to analyze profiles of local TV stations in Bali, programs with Balinese language as it main language, social values within the programs using Balinese language as it main language and also to discover factors which influenced the program with Balinese language as main language, and those analyzed by using descriptive qualitative method. The conclusion stated that general information of each local stations television is represented by their profile; program using Balinese language can be categorized into four groups such as: News, Religi, Tradisional Art and Entertainment; Social values found within program using Balinese language are creativity, preservation, education, religi and entertainment; Factor influenced towards program using Balinese language are government policy, ideology, creativity, community and globalization.

Keywords: Local Stations Television, Prevention, Mother Tongue

PENDAHULUAN Dengan tugas pokok sebagai media yang harus menyiarkan program acara yang bermuatan pendidikan, penerangan, hiburan dan promosi, stasiun televisi lokal khususnya, harus dapat memberikan warna baru pilihan program acara pada pemirsanya dengan lebih mengutamakan tugas utamanya dengan mengesampingkan muatan komersialisasi sebagai tujuan utama penyiaran (Istanto, 1999: 22). Stasiun televisi lokal harus mampu mengakomodasi dan merepresentasikan segala bentuk kehidupan sosial budaya yang mencerminkankan masyarakat tempat televisi tersebut mengudara. Hal ini sangatlah penting untuk dapat diminati pemirsa yang merupakan orang daerah, karakteristik daerah semestinya dapat diangkat, baik dari segi tampilan visual dan tentunya bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tayangan program tersebut. Seiring dengan semakin bergesernya penggunaan Bahasa Bali dalam kehidupan bermasyarakat di Bali , maka sudah menjadi tugas utama bagi lembaga penyiaran seperti media televisi lokal di Bali untuk turut serta dalam upaya pemertahanan Bahasa Bali sebagai Bahas Ibu di Bali.

METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kualitatif deskriptif yang menekankan pada pemaparan hasil observasi dan dokumentasi dari hasil pengambilan data (Bogdan, 1992:34) yang diambil dari empat stasiun televisi lokal yang ada di Denpasar. Proses analisis dilakukan terhadap data jenis-jenis program acara yang ditayangkan oleh masing-masing stasiun televisi lokal yang muatannya mewakili kehidupan sosial budaya masyarakat di Bali yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar. Tujuan program acara terkait juga akan ditelaah sehingga nantinya dapat diketahui upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak stasiun televisi lokal dalam pemertahanan bahasa Bali sebagai bahasa Ibu.

HAIL DAN PEMBAHASAN

Profil Stasiun Televisi Lokal Di Bali

Tvri Stasiun Bali Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia Stasiun Bali adalah stasiun televisi bersiaran lokal yang didirikan pada tanggal hari Sabtu, 16 Juli 1978 di Denpasar merupakan salah satu stasiun televisi bersiaran lokal yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Bali yang berkantor di Jalan Kapten Cokorda Agung Tresna dari lingkungan Jayagiri, kelurahan Dangin Puri Klod, kecamatan Denpasar Timur, kota Denpasar (merupakan ibu kota provinsi Bali). TVRI Bali me- relay 92% Siaran TVRI Nasional dan 8% Acara TVRI Bali membuat program daerah provinsi Bali yang ditayangkan setiap hari Senin hingga Minggu menjelang siaran waktu sore hingga malam mulai pada pukul 16:00 sampai dengan 20:00 WITA dengan siaran waktu selama 4-jam untuk kekuatan daya pancar saat ini adalah 20-kilowatt yang dipancarkan dari kawasan Bukit Bakung, kelurahan Jimbaran, kecamatan Kuta Selatan, kabupaten Badung pada channel 29 UHF.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

370

BALI TV TV lokal bernama Bali TV di bawah bendera PT Bali Ranadha Televisi mulai resmi mengudara pada 26 Mei 2002. Kehadiran Bali TV bisa dikatakan sebagai salah satu tonggak bersejarah bagi Bali. Sebab sebagai TV lokal, Bali TV sangat mengedepankan siaran-siaran budaya Bali maupun agama Hindu di Bali. Sementara sebelumnya, pemirsa TV di Bali hanya “dipaksa” menerima siaran-siaran TV nasional.Dengan motto Matahari Dari Bali, Bali TV hadir sebagai program yang memfokuskan terhadap kebudayaan, adat istiadat, dan keunikan yang khas dari Pulau Bali. Selain itu, motto Matahari dari Bali ini juga berasal dari nama perusahaan tersebut, yaitu "Rhanada". Jika dijabarkan, arti "Rha" adalah bahasa Yunani yang berarti Matahari, sementara "Nadha" dalam bahasa sansakerta berarti mencerahkan. Dengan motto Matahari Dari Bali dan Visi Bali TV diharapkan dapat mewujudkan visi misi awal yaitu untuk tetap mewujudkan ajeg Bali. Saat ini Bali TV melakukan siaran dari pukul 05.52 hingga 24.00 wita dengan program yang sebagian besar produksi sendiri. Untuk mendukung siarannya, Bali TV punya dua pemancar yaitu 599,25 MHz dan 615,25 MHz. Pemancar pertama menjangkau hampir seluruh wilayah Bali selatan dan bermain di frekuensi 37 UHF. Sedangkan pemancar lain yang bermain di frekuensi 39 UHF menjangkau Bali utara dan sebagian Bali barat.

KOMPAS TV DEWATA Kompas TV Dewata (sebelumnya bernama Dewata TV) merupakan Stasiun televisi swasta lokal yang berdiri dan mengudara di Denpasar, Bali. Mengudara resmi tgl 25 November 2007, Kompas TV Dewata pun memiliki slogan Inspirasi Bali. Kompas TV Dewata lebih fokus terhadap kearifan lokal budaya Bali dengan acara utama Pentas Dewata yang diminati masyarakat pedesaan. Selain menayangkan acara budaya TV ini juga menayangkan acara berita lokal berbahasa Indonesia. Stasiun TV ini sejak 9 September 2011 menayangkan program acara dari Kompas TV. Kompas TV Dewata mengudara di kanal 23 UHF dapat diterima hampir diseluruh Bali kecuali Singaraja. Desain logo yang dimiliki dengan berbagai variasi warna merepresentasikan pilihan acara yang bervariatif yang ditawarkan kepada pemirsa.

BMCTV Bali Bali Music Channel atau lebih dikenal oleh masyarakat Bali, "BMC" adalah salah satu dari empat TV lokal swasta di Bali. BMC sendiri mengusung tema News & Entertainment dengan program andalan berita dan hiburan. BMC mengudara selama 17 Jam dari Pk. 07.00 Wita-00.00 Wita, dimana acara unggulannya antara lain Klip Bali By Request, Bali News, Gumi Bali, Dharma Gita Wacana dan lain-lain. BMC sendiri berada pada kanal 53 UHF. Area Coveragenya sudah mencakup seluruh wilayah Bali. Desain logo yang dipergunakan oleh BMCTV merupakan desain minimalis dengan menampilkan huruf BMCTV sehingga lebih mudah diingat oleh pemirsa.

Content Program Acara Stasiun Televisi Lokal di Bali yang Menggunakan Bahasa Bali Sebagai Bahasa Pengantar Stasiun televisi lokal yang ada di Bali pada dasarnya memiliki visi dan misi yang hampir sama satu lainnya, dimana pada intinya mereka ingin melestarikan unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Bali pada umumnya, termasuk salah satu satunya adalah penggunaan Bahasa Ibu masayarakat Bali, yaitu Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dalam berbagai content acara yang mereka tayangan. Dari hasil pengamatan dana analisa awal yang dilakukan, maka content program acara stasiun televisi lokal yang ada di Bali yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu:

Berita. Content berita yang ditayangkan oleh stasiun TV lokal yang ada di Bali mengusung konsep untuk menyampaikan berita yang terjadi di dalam kehidupam masyarakat Bali, yang tidak hanya terbatas pada berita terkait kegiatan agama dan budaya, melainkan juga meliputi berita terkait dengan politik, sosial, hukum dan pendidikan. Target audience yang ingin dijangkau adalah kelompok dewasa yang tentunya sudah bisa mencerna dan memahami informasi yang diberikan pada setiap tayangan berita. Hal ini ditunjukkan dengan pemilihan jam tayang yang berkisar antara pukul 18.00-20.00, dimana anak-anak menggunakan waktu mereka untuk belajar. Ada baiknya jika

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

371

anak-anak memiliki kesempatan untuk menonton content program acara ini, maka orang tua wajib untuk mendampingi dan mampu memberikan penjelasan sejelas-jelasnya kepada anak-anak mereka karena kompleksitas pengunaan bahasa Bali tidak dipahami dengan mudah oleh sembarang orang walaupun orang Bali asli. Kompleksitas penggunaan bahasa Bali dalam program berita disebabkan dengan pemilihan tingkat bahasa yang digunakan biasanya cenderung menggunakan bahasa Bali dengan tingkat kesopanan level atas. Artinya penggunaan bahasa Bali yang dipilih biasanya hanya akan dimengerti oleh sebagian masyarakat Bali yang memang mengerti dengan aturan bahasa Bali (Sor Singgih). Jika dicermati dengan baik, biasanya akan muncul penggunaan kata-kata yang biasanya digunakan dalam program acara tersebut yang kurang pantas didengarkan oleh anak-anak, terutama biasanya jika terkait dengan berita hukum dan kriminal. Sehingga untuk menghindari hal- hal yang tidak diinginkan biasanya stasiun televise terkait akan menayangkan running text dan deskripsi singkat terkait berita yang ditayangkan dengan menggunakan bahasa Indonesia sehingga informasi yang ingin disampaikan dapat dipahami dengan mudah oleh para pemirsa. Secara ringkas kelompok content program acara ini dapat dirangkum sebagai berikut:

No. Nama Program Acara Stasiun TV yang Menayangkan 1. Gatra Bali TVRI BALI 2. Orti Bali BALI TV 3. Gatra Dewata KOMPAS TV DEWATA 4. Bali News BMCTV Tabel 1. Daftar Content Program Berita Menggunakan Bahasa Bali Pada Televisi Lokal Di Bali

Dari pemilihan judul program Berita yang diatas, identitas Bali langsung dapat dikenali dengan penggunaan kata-kata yang sangat identik dengan bahasa Bali, seperti penggunaan kata Gatra, Orti dan Bali. Namun satu judul yang mungkin bisa menggiring target audience pada persepsi yang berlawanan, yaitu program berita yang ditayangkan oleh BMCTV yang menggunakan judul campuran antara unsur kata bahasa Bali (Bali) dan bahasa Inggris (News). Namun walaupun demikian, dalam hal ini BMCTV tetap menggunakan bahasa Bali sebagai pengantar dalam program berita yang mereka tayangkan ini. Dengan fakta bahwa penggunaan Bahasa Bali sebagi bahasa pengantar membuktikan bahwa peran dari stasiun televisi lokal yang ada di Bali sangat memberikan kontribusi dalam proses pemertahanan Bahasa Bali sebagai (bahasa Ibu yang memberikan andil besar pada pengenalan bahasa Ibu kepada seluruh lapisan masyarakat Bali melalui program berita. Hal ini tentu saja senada dengan apa yang dikemukan oleh Aron (2010: 45) dalam kajian strategi pemertahanan Bahasa-Bahasa Nusantara yang tentunya dapat dilakukan melalui media penyiaran.

Religi Informasi yang diberikan oleh stasiun televisi yang ada di Bali saat ini tidak hanya terbatas pada berita yang telah, sedang dan akan terjadi di dalam kehidupan masyarakat Bali, melainkan juga informasi yang tidak kalah pentingnya untuk dibagikan kepada masyarakat Bali khususnya, yaitu content program acara religi. Dalam hal ini, keempat stasiun televisi lokal yang ada di Bali memilih untuk merepresentasikan content acara mereka dalam bentuk ceramah dengan pendekatan diskusi dengan melibatkan masyarakat Bali sebagai target yang tentunya diharapkan mampu mendapatkan manfaat dari ceramah religi yang mereka peroleh. Berikut adalah kelompok program acara yang ditayangkan oleh keempat stasiun televisi lokal yang ada di Bali dengan content religi:

No. Nama Program Acara Stasiun TV yang Menayangkan 1. Siraman Rohani Hindu TVRI BALI 2. Dharma Wacana BALI TV 3. Dharma Upadesa Kompas TV Dewata 4. Dharma Gita Wacana BMCTV Tabel 2. Daftar Content Program Religi Menggunakan Bahasa Bali Pada Televisi Lokal Di Bali

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

372

Pengunaan bahasa Bali dalam program acara dengan content religi pada stasiun televisi di Bali mungkin bisa dikatakan lebih bisa merangkul pemirsa baik dari anak-anak sampai dewasa, karena hampir semua program tersebut diatas mengkolaborasikan pendekatan ceramah dan diskusi dengan penggunaan bahasa Bali yang lebih sederhana dan mudah dimengerti oleh pemirsa bail yang terlibat langsung dalam acara tersebut ataupun pemirsa yang menyaksikan dari rumah. Bahasa yang digunakan jauh lebih lugas dan santai, dikondisikan dengan kondisi masyarakat yang terlibat sehingga tahapan diskusi berjalan dengan baik. Semakin banyak munculnya pertanyaan yang disampaikan oleh pemirsa yang terlibat dalam acara tersebut diatas menandakan bahwa proses komunikasi antara yang memberikan ceramah dengan masyarakat yang terlibat langsung mendengarkan ceramah yang diberikan berjalan dengan baik. Pendekatan ceramah yang terkadang diselipkan dengan gaya bahasa lelucon semakin menambah minat masayarakat yang terlibat untuk terus mendengarkan ceramah keagamaan yang diberikan. Salah satu tokoh agama yang bisa dikatakan sebagai pioneer pemberi ceramah yang mampu membuka wawasan keagamaan dengan pendekatan beliau yang santai dan terkesan lucu adalah Peranda Gunung yang memiliki karisma dan andil yang sangat besar bagi perubahan paradigm penyampaian ceramah keagamaan, yang kemudian banyak diikuti oleh tokoh-tokoh agama, khususnya yang ada di Bali. Pemaparan diatas menunjukkan bahwa proses pemertahanan bahasa Ibu terjadi karena terjadinya alur timbal balik antara komunikan dan komunikator dapat terjaga dengan baik dimana kedua belah pihak menggunakan Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar. Hal ini mencirikan bahwa dimana suatu bahasa dapat dipertahankan dan diakui sebagai bahasa Ibu maka bahasa tersebut adalah identitas budaya dari daerah yang dimaksud, dan tidak terkecuali bahasa Bali yang tentunya merupakan identitas Budaya dari Bali (Suastra, 2009: 25)

Seni Tradisional Eksistensi Seni Tradisional Bali saat ini tidak dapat dipungkiri telah memasuki fase yang bisa dikatakan mulai mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan jaman yang muali menggerus kreativitas seniman Bali untuk menciptakan karya seni yang akan dapat diingat oleh orang lain sepanjang masa. Generasi muda Bali mulai memalingkan hati pada seni modern yang bisa mewakili ego mereka sebagai remaja yang ingin selalu menjadi trend setter. Jika tidak mulai diantisipasi oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan untuk selalu mencintai seni tradisional yang ada di Bali maka tidak mungkin seni tradisional Bali akan tergeser kedudukannya oleh seni modern. Bertitik berat pada fenomena ini, stasiun TV lokal yang ada di Bali rupanya telah memberikan kontribusi yang tidak bisa dikatakan sedikit dalam menayangkan berbagai bentuk seni tradisional yang ada di Bali, khususnya yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya. Bentuk seni tradisional Bali yang sangat bervariasi menjadi pilihan yang mampu membuat para pemirsa di rumah dengan antusias tetap memilih untuk menonton tayangan terkait. Adapun kelompok program acara yang ditayangkan oleh stasiun TV lokal yang ada di Bali dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

No. Nama Program Acara Stasiun TV yang Menayangkan 1. Gegirang TVRI BALI 2. Geguntangan TVRI BALI 2. Gita Shanti BALI TV 3. Lila Cita BALI TV 4. Dharma Gita Wacana BMCTV 5. Pentas Seni (Arja, Bondres, Drama TVRI BALI, BALI TV, KOMPAS Gong, Wayang) TV DEWATA, BMCTV Tabel 3.Daftar Content Program Seni Tradisional Menggunakan Bahasa Bali Pada Televisi Lokal Di Bali

Melalui content acara seni tradisional, stasiun televisi lokal di Bali mampu menyajikan acara dengan format yang lebih bervariatif. Sebut saja misalnya program acara gegirang, geguntangan dan gita shanti yang menggunakan format interaktif dengan melibatkan pemirsa yang ada di rumah menggunakan saluran telepon. Masyarakat yang memiliki minat yang sama dalam

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

373

menembangkan gegendingan tradisional Bali dapat perparstisipasi aktif menyumbangkan suara mereka dan dapat didengarkan dan ditonton oleh masyarakat luas. Berbeda halnya dengan program acara lila cita dan pentas seni yang tentunya memiliki format yang berbeda pula, penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar juga sama-sama memiliki potensi yang kurang baik, jika tidak dipahami dengan baik oleh pemirsa yang ada di rumah. Tidak dapat dipungkuri bahwa para seniman yang biasnya terlibat dalam pentas seni bondres, drama gong, arja atau wayang, biasanya akan memberikan guyonan supaya mampu membuat pemirsa tertawa. Namun dari hasil observasi yang diperoleh dari hasil penayangan program pentas seni, para seniman cenderung menggunakan kata kata lucu yang mengindikasikan hal-hal berbau cabul, mengejek orang lain atau bahkan memaki orang. Biasanya pemilihan kata- kata yang kurang pantas ini digunakan oleh mereka yang memerankan tokoh punakawan. Pemakaian bahasa Bali untuk menciptakan guyonan lucu yang tidak mendidik inilah yang harus diperhatikan oleh orang tua, paling tidak kita sebagai orang mampu menjadi mesin seleksi untuk anak-anak kita sehingga mereka tidak akan terpengaruh atau menguunakan kata-kata yang tidak baik itu dalam proses mereka berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan untuk seniman yang berperan sebagai ksatria atau putri yang bersifat protagonis, cenderung akan menggunakan kata- kata dalam bahasa Bali yang tingkat kesopanannya lebih tinggi daripada mereka yang berperan sebagai punakawan. Proses pemertahanan melalui sen tradisional yang ditayangkan oleh stasiun televisi lokal yang ada di Bali tentunya merupakan strategi yang sangat baik untuk lebih bisa mendekatkan diri pada masyarakat multikultural yang ada di Bali, tak pelak menyangkut kota Denpasar sebagai tempat mayoritas masyarakat multikultural yang ada di Bali. Analisa ini memiliki keterkaitan dengan yang disampaikan oleh Merti (2010: 67) dalam tesisnya yang dimana dalam kehidupan masyarakat multicultural yang ada di Bali, khususnya di Denpasar, media penyiaran televisi telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mempertahankan keberadaaan Bahasa Bali sebagai bahasa Ibu.

Hiburan Tidak lengkap rasanya jika tayangan televisi tidak dibuat dalam bentuk hiburan, karena bagaimanapun juga masyarakat yang harus menghabiskan waktu mereka berkutat dengan segala pekerjaan yang harus mereka selesaikan. Oleh karena itu, untuk mengurangi kepenatan mereka, biasanya mereka akan mencari hiburan, dan hiburan termurah yang bisa memberikan pilihan yang lebih bervariasi adalah program acara hiburan yang ditayangkan oleh stasiun televisi. Demikian pula halnya dengan stasiun televisi lokal yang ada di Bali, jenis pilihan hiburan yang mereka tayangkan sangat bervariasi, dimulai dari acara musik, interaktif karaoke, sinetron dan hiburan untuk anak-anak. Adapun daftar program acara dengan content hiburan dapat dikelompokan sebagai berikut:

No. Nama Program Acara Stasiun TV yang Menayangkan 1. Dedalu TVRI BALI 2. Bali Metembang TVRI BALI 2. Sinetron Bali BALI TV 3. Tembang Bali BALI TV 4. Video Musik Bali KOMPAS TV DEWATA 4. Sinema Dewata KOMPAS TV DEWATA 5. Rare Anggon: Melajah KOMPAS TV BALI 6. Rare Anggon: Mesatua KOMPAS TV BALI Tabel 4. Daftar Content Program Hiburan Menggunakan Bahasa Bali Pada Televisi Lokal Di Bali

Penggunaan bahasa Bali dalam program acara hiburan yang terangkum diatas memiliki paradigma yang tidak jauh berbeda dengan penggunaan bahasa Bali pada program acara yang sudah dibahas sebelumnya. Dimana terkadang orang-orang terlibat langsung dalam acara seperti dedalu, Bali metembang, tembang Bali, video musik Bali, sinema dewata dan sinetron Bali cenderung menggunakan pilihan bahasa Bali yang sederhana, yang mudah untuk dipahami oleh semua kalangan umur, namun ada beberapa kemungkinan akan muncul penggunaan kata-kata yang

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

374

seharusnya belum didengarkan atau diketahui oleh anak-anak kecil. Contohnya pada acara dedalu yang merupakan acara musik interaktif, dimana pemirsa di rumah dapat berpartisipasi aktif dalam acara karaoke ini, biasanya baik pembawa acara ataupun pemirsa yang mengadakan kontak telepon, kelepasan bercanda dengan pilihan kata-kata yang mengandung makna tidak sopan. Demikian juga halnya dengan Bali metembang, tembang Bali, video musik Bali, sinetron Dewata dan Sinetron. Kebanyakan bahasa Bali yang diadaptasi adalah pilihan bahasa Bali sehari-hari yang tujuannya agar masyarakat dapat menerima pesan yang ingin disampaikan dalam program acara terkait. Penyampaian bahasa yang jauh lebih sederhana akan sangat mempengaruhi minat pemirsa untuk menjadikan program acara hiburan yang diberikan oleh stasiun televisi terkait. Berbeda halnya dengan dengan program acara Rare anggon (melali dan mesatua) yang merupakan program acara dengan content hiburan yang memang diperuntukkan bagi kalangan anak-anak. Pembawa acara yang digunakan pada program acara melali merupakan anak-anak yang secara lugas mempu berbahasa Bali dengan sopan, walaupun bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali dalam tingkatan aturan bahasa Bali menengah (bahasa Bali madya). Pembawa acara mesatua, yang juga melibatkan orang dewasa mampu menggunakan bahasa Bali dengan pilihan kata sopan yang tetap bisa dipahami oleh kalangan anak-anak.

Nilai-Nilai Sosial pada Program Acara Stasiun Televisi Lokal di Bali yang Menggunakan Bahasa Bali Sebagai Bahasa Pengantar Berdasarkan pada visi dan misi dari masing-masing stasiun televisi lokal yang ada di Bali, yang selalu berupaya untuk merepresentasikan Ajeg Bali dalam stiap program acara yang ditayangkan. Ajeg Bali berarti tidak hanya menunjukkan perannya dalam mempertahankan bahsa Bali sebagai bahasa Ibu, namun kontribusi lain yang mampu memberikan manfaat positif bagi masyarakat Bali. Hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan visi misi itu adalah melalui program acara dengan content yang harus memiliki nilai-nilai sosial yang berguna dalam pembentukan karakter masyarakat Bali untuk diarahkan menuju kondisi yang lebih baik. Berkaitan dengan hal ini, maka pada pembahasan ini, akan dibahas mengenai nilai-nilai sosial yang terkandung dalam program acara yang menggunakan bahasa Bali sebagai pengantar, sehingga diketahui sejauh mana pihak stasiun televisi lokal mampu berkontribusi lebih bagi upaya pelestarian bahasa Bali sekaligus mampu turut serta membangun mental dan karakter masyarakat Bali. Adapun nilai-nilai sosial yang terkadung dalam program acara televisi lokal yang ada di Bali dengan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya meliputi nilai kreativitas, nilai pelestarian, religius dan hiburan.

Nilai Kreativitas Adanya nilai kreativitas yang bisa dilihat pada setiap program acara yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya, dapat dilihat berdasarkan format acara yang dibuat oleh pihak stasiun televisi lokal di Bali. Berikut adalah nilai-nilai kreativitas yang dilakukan oleh pihak stasiun televisi lokal untuk terus berupaya dalam memberikan pilihan program acara yang dapat memuaskan pemirsa di rumah:

Sistim alih bahasa Pada content program acara berita, walaupun menggunakan tingkatan bahasa yang dimengerti oleh beberapa kalangan orang, namun pihak stasiun televisi memberikan solusi melalui running text yang berisikan alih bahasa dari bahasa Bali yang digunakan ke dalam bahasa Indonesia sehingga pemirsa di rumah akan bisa memahami pesan yang disampaikan.

Format acara Format acara yang dimaksud disini konsep acara dan ide. Format acara interaktif ini dapat melibatkan pemirsa di rumah sebagai pengisi acara secara langsung tanpa dipungut biaya apapum pemirsa di rumah hanya cukup melakukan panggilan telepon pada saat acara sedang berlangsung. Format acara ini dapat kita lihat pada program acara dengan content seni tradisional seperti gegirang dan geguntangan (TVRI Bali), gita shanti (Bali TV), content hiburan seperti dedalu dan Bali metembang (TVRI Bali), Tembang Bali dan video musik Bali (Bali TV). Ide acara yang melatarbelakangi suatu acara juga semakin bervariasi. Kita dapat menemukan berbagai content

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

375

acara yang tidak kalah menariknya dengan televise nasional yang ada di Indonesia, seperti program acara berita, religi, seni tradisional, hiburan dan dan kuliner.

Format Rerun atau siaran tunda Berbagai peristiwa terkait kesenian besar seringkali dilaksanakan di Bali, namun sayangnya masyarakat yang seharusnya menikmati hal tersebut tidak dapat menikmati disebabkan oleh kesibukan mereka dalam bekerja dan bermasyarakat. Misalnya pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang diadakan setahun sekali, namun tidak semua kalangan masyarakat mampu menikmati dengan utuh pilihan pentas kesenian yang dipertunjukkan selama PKB berlangsung. Dengan membaca situasi ini maka stasiun televisi lokal yang ada di Bali memberikan pilihan siaran tunda, dimana masyarakat mampu menyaksikan kembali berbagai pilihan pertunjukan kesenian yang mereka tidak dapat dapat saksikan secara langsung.

Nilai Pelestarian Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa terkait dengan visi dan misi yang dimiliki oleh stasiun televisi lokal yang ada di Bali seluruhnya mengacu pada prinsip Ajeg Bali maka sudah seharusnya secara kontinyu mereka harus menggagas dan menghasilkan program acara yang mampu mendorong dan memberikan motivasi bagi masyarakat Bali untuk lebih hal-hal yang terkait dengan Bali. Adapun nilai pelestarian yang direpesentasikan dalam program acara menggunakan bahasa Bali dapat kita lihat melalui:

Pelestarian Bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu Pelestarian bahasa Bali sebagai bahasa Ibu dapat kita lihat dengan penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar pada beberapa tayangan program acara yang diberikan oleh stasiun televisi lokal (sesuai dengan pembahasan sebelumnya). Hal ini dilakukan untuk memperkenalkan keberadaan bahasa Bali kepada kalangan anak, remaja dan dewasa yang belum mengenal dan memahami bagaimana menggunakan bahasa Bli dengan baik dan benar, sehingga nantinya mereka mampu turut aktif menggunakan bahasa Bali secara katif dalam berbagi aktivitas bermasyarakat.

Pelestarian Seni Tradisional Berbagai program acara seni tradisional ditampilkan oleh stassiun televisi lokal seperti drama gong, arja bondres, sendratari. Hal ini disebabkan mulai terherusnya keberadaan kesenian tradisional, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Dengan menayangkan program acara seni tradisional ini, diharapkan kepada generasi muda untuk lebih mengenal dan bahkan mulai termotivasi untuk mempelajari seni tradisional yang di Bali, sehingga kedepannya mampu lebih berinovasi dalam menghasilkan karya seni tradisional yang lebih menumental.

Pelestarian Kuliner Bali Seperti yang telah dibahas pada sub bab 5.2.5 mengenai kuliner, disini dapat kita lihat bahwa dengan memperkenalkan kuliner tradisional yang ada di Bali, BMCTV telah turut memberikan kontribusi untuk melestarikan keberadaan kuliner Bali kepada masyarakat Bali sehingga eksistensinya dapat terus dipertahankan.

Nilai Edukasi Layaknya hak untuk mendapatkan pendidikan secara formal, masyarakat atau pemirsa televisi, khususnya masyarakat Bali berhak untuk mendapatkan informasi dari program acara yang memiliki nilai edukasi yang tentunya bermanfaat bagi pembentukan karakter dan moral masyarakat Bali. Informasi edukasi ini bisa diperoleh melalui program acara yang ditayangkan, misalnya melalui program berita yang informatif masyarakat dapat memiliki wawasan tentang kondisi berbagai aspek kehidupan yang sedang terjadi dalam kehidupan. Berbagai pesan moral juga dapat ditemukan dalam seni tradisional yang biasanya diselipkan pada dialog dengan cara menyampaikan beberapa petuah yang ditujukan kepada pemirsa yang menonton. Dengan menyimak dan memilah nilai-nilai edukasi yang ditransfer melalui penayangan program acara yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya akan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

376

lebih memberikan edukasi kepada masyarakat Bali untuk lebih mencintai dan aktif menggunakan bahasa Bali dalam berbagai kesempatan.

Nilai Religius Melalui program siaran rohani, masyarakat Bali akan memperoleh banyak pencerahan untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama. Dengan menyaksikan dan mendengar langsung dari narasumber yang memang berkompeten di bidang keagamaan, tentunya akan menggiring persepsi yang awalnya salah menjadi benar dan yang sudah memiliki prinsip beragama yang sudah baik akan lebih ditingkatkan dan dipertahankan.

Nilai Hiburan Nilai hiburan yang bisa diperoleh oleh pemirsa telivisi akan sangat berbeda antara yang satu dengan yang lain, karena tentunya akan dipengaruhi oleh minat seseorang terhadap satu tayangan program acara, namun satu hal yang pasti ketika seseorang mampu mendapatkan suatu tingkat kepuasan tersendiri terhadap suatu tayangan program acara, maka setidaknya hal itu dapat mewakili perasaan terhibur yang mereka peroleh setelah menyaksikan suatu program acara. Dengan berbagai variasi format acara yang diberikan oleh stasiun televisi lokal yang ada di Bali, paling tidak hal tersebut mampu memberikan hiburan yang bermanfaat kepada pemirsanya sesuai dengan pilihan mereka masing-masing.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Program Acara Stasiun Televisi Lokal di Bali yang Menggunakan Bahasa Bali Sebagai Bahasa Pengantar Dalam pembuatan suatu program acara, pihak stasiun televisi lokal akan mempertimbangan berbagai macam kemungkinan sehingga nantinya program acara yang mereka buat akan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Terkait dengan hal ini maka ada beberapa faktor yang telah mempengaruhi produksi program acara yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar sebagai berikut:

Faktor Kebijakan Pemerintah Terkait dengan UU No.32 Th. 2002 Tentang Penyiaran, disebutkan pada Bab II ayat 2-4 bahwa: a. Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. b. Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. c. Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, dan dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud, penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan. Mengacu pada hal tersebut maka sudah jelas bahwa dengan menayangkan program acara menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar maka stasiun televise lokal yang ada di Bali telah mengikuti aturan sebagaimana mestinya untuk memberikan edukasi dan dorongan kepada masyarakat untuk lebih mencintai dan aktif menggunakan bahasa Bali dengan baik dan benar.

Faktor Ideologi Faktor ideologi merupakan prinsip dasar yang dituangkan oleh stasiun televisi lokal tentunya dalam menghasilkan program acara yang berkualitas. Prinsip dasar yang dituangkan dalam misi visi yang dimiliki oleh masing masing stasiun televisi lokal di Bali yang seluruhnya tetap berpedoman pada keinginan untuk mewujudkan ajeg Bali tentunya sudag dapat kita saksikan dari berbagai pilihan program acara terkait dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang ditayangkan dengan menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya.

Faktor Kreativitas

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

377

Dengan berbagai format acara menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar yang ditayangkan oleh stasiun televisi lokal yang ada di Bali seperti program berita, seni tradisional, hiburan, kuliner dan sebagainya, membuktikan bahwa sejumlah tayangan sejenis yang juga ditampilkan oleh stasiun televisi nasional bahkan bisa dikemas dengan unik dan lebih menarik oleh stasiun televisi lokal yang ada di Bali. Dengan mengedepankan content acara dengan menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar, stasiun televisi lokal dapat memberikan nuansa tayangan yang beridentitas Bali namun tidak monoton sehingga masyarakat atau pemirsa tidak akan pernah bosan untuk menyaksikan tayangan tersebut. Dengan format acara interaktif juga telah menujukkan kreativitas yang disambut baik oleh pemirsa dengan tingginya minat pemirsa yang ingin terlibat melalui saluran telepon. Dengan faktor kreativitas ini maka kedepannya program-program acara menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar akan memperoleh tempat di hati pemirsa televisi, karena dengan kreativitas yang terus ditingkatkan maka content acara tentunya akan lebih bervariasi.

Faktor Masyarakat Eksistensi program acara yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar tentunya sedikit banyak akan sangat berpengaruh pada minat pemirsa untuk menikmati siaran program acara terkait. Seperti yang telah disampaikan pada awal pembahasan, bahwa kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa minat untuk mempelajari dan menggunakan bahasa Bali yang baik dan benar sudah mulai tergeser, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Jika masyarakat mampu memahami dengan benar penggunaan bahasa Bali dalam setiap tayangan program acara yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantarnya, maka udah sangat jelas bahwa program acara yang dimaksud dapat terus bertahan sehingga nantinya dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat, khususnya terkait pembelajaran untuk menggunakan bahasa Bali yang baik dan benar.

Faktor Globalisasi Indikasi ketergeseran bahasa Bali sebagai bahasa Bali dalam masyarakat Bali mau tidak mau sangat dipengaruhi oleh perkembangan globalisasi yang membawa masuknya budaya luar dengan mudahnya sehingga bersaing dengan keberadaan bahasa Bali. Era global mengahruskan paling tidak seorang individu mampu berkomunikasi tidak hanya dengan bahasa Ibu dan bahasa Nasional, melainkan juga yang sangat penting adalah seseorang harus mampu berkomunikasi dengan baik dengan menggunakan bahasa Internasional. Jika tidak mampu menempatkan bahasa Bali sebagai bahasa Ibu dalam kehidupan bersosialisasi, maka akan muncul kemungkinan bahasa Bali sebagai bahasa Ibu akan semakin tergerus oleh jaman. Dengan mengacu pada kemungkinan- kemungkinan ini, stasiun televisi lokal yang ada di Bali telah memberikan kontribusinya dengan menayangkan program acara menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar, sehingga misi untuk mempertahankan ideologi ajeg Bali akan dapat tersampaikan dan dijaga bersama-sama dengan masyarakat Bali sebagai pemirsa televisi.

SIMPULAN Profil dari masing-masing televisi yang terdiri dari visi misi, motto dan logo merupakan satu kesatuan yang sangat penting sebagai dasar dalam pembuatan dan penayangan suatu program acara, sehingga content program acara akan sesuai dengan ideologi untuk mewujudkan konsep ajeg Bali dalam kehidupan masyarakat di Bali pada khususnya. Content program acara yang menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar yang ditayangkan oleh 4 stasiun televisi lokal di Bali terdiri dari; content berita (Gatra Bali (TVRI Bali), Orti Bali (Bali TV), Gatra Dewata (Kompas TV Bali) dan Bali News (BMCTV); content Religi (Siraman Rohani Hindu (TVRI Bali), Dharma Wacana (Bali TV), Dharma Upadesa (Kompas TV Bali) dan Dharma Gita Wacana (BMCTV); content Seni Tradisional (Gegirang, Pentas Seni (TVRI Bali), Gita Shanti, Lila Cita (Bali TV), Pentas Seni (Kompas Dewata TV); content hiburan (Dedalu, Bali metembang (TVRI Bali), Tembang Bali, Sinetron Bali, Video Musik Bali (Bali TV), Sinema Dewata, Rare Anggon Melali, Rare Anggon Mesatua (Kompas TV Dewata). Nilai-nilai yang terkandung pada program acara menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar terdiri dari nilai kreativitas, nilai pelestarian, nilai edukasi, religius dan hiburan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penayangan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

378

program acara menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar adalah sebagai berikut; faktor kebijakan pemerintah, faktor ideologi, faktor kreativitas, faktor masyarakat dan faktor globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA Aron, Meko Mbete. 2010. Strategi Pemertahanan Bahasa-Bahasa Nusantara. Makalah pada Seminar Internasional Bahasa Ibu oleh Magister Linguistik Pps. Undip pada tanggal 6 Mei 2010. Semarang. Abroro, Nisa. Profil Televisi Lokal di Bali. 2009. Sosiologi Budaya Wordpress. Com. (diakses pada tanggal 24 Mei 2014) Bogdan, R and Biklen SK. 1992.Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon. Field, John. Psycholinguistics: a resource book for students. New York: Routledge. 2003. Istanto,Freddy H. Peran Televisi Dalam Masyarakat Citraan Dewasa Ini Sejarah, Perkembangan Dan Pengaruhnya. NIRMANA Vol. 1, No. 2. 1999. Jurnal Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra Merti, Ni Made. 2010. Pemertahanan Bahasa Bali Dalam Masyarakat Multikultural di Kota Denpasar. (Tesis). Universitas Udayana. Denpasar Bali Suastra, I Made. 2009. Bahasa Bali Sebagai Identitas Budaya.Jurnal Linguistika Vol.16. No 01. Fakultas Sastra. Universitas Udayana Wijana, Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2006. SOSIOLINGUISTIK Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

IDENTITAS BUDAYA LOKAL PADA DESAIN KEMASAN OLEH-OLEH KOPI BALI

Ni Luh Desi In Diana Sari, Alit Kumala Dewi Program Studi Desain Komuikasi Visual Fakultas Seni Rupa Dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected], [email protected]

Abstrak Desain kemasan dengan identitas budaya lokal sangat diminati oleh wisatawan akan tetapi masih perlu dikembangkan, karena Bali memiliki keaneka ragaman warisan budaya adiluhung yang belum banyak diperkenalkan. Kaidah-kaidah dalam pengemasan dan perancangan aspek-aspek grafis kemasan masih belum digarap secara maksimal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai identitas budaya lokal sebagai daya tarik pada desain kemasan oleh - oleh kopi Bali yang dijual di pasar oleh - oleh. Fokus penelitian ini adalah mengidentifikasi identitas budaya lokal yang terdapat pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali berdasarkan prinsip desain komunikasi visual dengan metode deskriftif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa identitas budaya lokal yang paling dominan ditonjolkan sebagai identitas kemasan oleh-oleh kopi Bali adalah kesenian, arsitektur dan upacara ritual dengan tampilan kemasan yang bervariasi. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pijakan bagi sektor IKM dalam merancang daya tarik desain kemasan dengan menampilkan identitas budaya lokal, agar memiliki perbedaan dengan produk lain sejenis. Sehingga identitas budaya lokal Bali yang beraneka ragam dapat dihadirkan dengan konsep berbeda dan produk IKM mampu bersaing dengan produk kompetitor yang telah memiliki nama dibenak konsumen.

Kata kunci : Identitas Budaya, Desain Kemasan, Kopi Bali

Abstract Design packaging with a local culture very popular by travelers but still needs to develop, because Bali having variousity cultural heritage which is not widely introduced. Norms in

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

379

packaging and design of graphic aspects packaging still not uncultivated maximally. The focus of this research is identify a local culture that are found on design packaging Bali coffee, that is based on the principles of visual communication design by a method of descriptive-qualitative. This research result indicates that a local culture the most dominant highlighted as packaging identity are, local art, architectural and ritual ceremony with various appearance styles of design. This research result can be used as a reference for small and medium enterprises sector of industry in designing the attractiveness design of souvenirs packaging, by displaying cultural identity local--a so as to have the difference with other products of a kind. Packaging design is able to present the various identity of the Bali culture through various creative concept of packaging design. So that, the products of small and medium enterprises able to compete with the competitors that has been popular

Key Words : Culture Identity, Packaging Design, Bali Coffe

PENDAHULUAN Kebutuhan wisatawan akan oleh-oleh khas dengan identitas budaya lokal pada desain kemasan, memberikan dampak positif bagi peningkatan perekonomian sektor industri kecil menengah yang memproduksi kopi Bali. Peluang ini melahirkan berbagai ide dan kreatifitas dalam mengemas kopi Bali sebagai oleh-oleh khas dengan menonjolkan identitas budaya lokal pada desain kemasannya. Desain kemasan yang mampu menciptakan perbedaan dan daya tarik, menjadi strategi yang dikembangkan produsen oleh-oleh kopi Bali untuk dapat bersaing dengan produk sejenis di pasaran. Ikon identitas budaya lokal sebagai daya tarik pada desain kemasan kopi Bali yang familiar ditampilkan terdiri dari tarian, kesenian, bangunan pura, dan panorama alam. Ikon ini dijadikan sebagai simbol untuk mewakili identitas Bali, sekaligus mempertegas bahwa produk ini merupakan oleh-oleh kopi khas Bali dan dikemas khusus. Upaya ini dilakukan produsen untuk meningkatkan citra produk lokal daerah sebagai oleh-oleh khas Bali, sekaligus memperkenalkan berbagai keunikan budaya lokal khususnya Bali kepada wisatawan. Desain kemasan oleh-oleh kopi Bali dengan identitas budaya lokal masih perlu dikembangkan, karena Bali memiliki keaneka ragaman warisan budaya adiluhung yang belum banyak diperkenalkan. Selain itu kaidah-kaidah dalam pengemasan dan perancangan aspek-aspek grafis kemasan masih belum digarap secara maksimal. Sebagai langkah awal untuk mengetahui berbagai identitas budaya lokal yang telah ada dan digunakan sebagai identitas pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali, maka fokus penelitian ini dilakukan di toko oleh-oleh daerah Denpasar dan Badung yang menjual oleh-oleh kopi Bali dengan menampilkan identitas budaya lokal pada desain kemasannya. Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi desainer komunikasi visual, sektor IKM dan mahasiswa dalam merancang desain kemasan dengan identitas budaya lokal yang memiliki ciri khas dan karakter yang berbeda serta mampu bersaing. Desain kemasan dan elemen visual yang terdapat didalamnya, terdiri dari logo sebagai identitas merek, bentuk kemasan, ilustrasi, warna, huruf, dan tata letak (layout), merupakan unsur yang memegang peranan dalam proses penyampaian pesan kemasan secara visual. Desain kemasan meliputi segala aspek grafis terdiri dari logo sebagai identitas merek, ilustrasi, warna, huruf dan tata letak (layout), serta berperan penting dalam menciptakan daya tarik produk dibenak konsumen, sehingga dapat mempengaruhi keputusan pembelian ditempat penjualan. Berdasarkan atas uraian pada latar belakang di atas, maka masalah pokok yang menarik untuk dikaji pada penelitian ini adalah a). Identitas budaya lokal apa yang dihadirkan pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali ? b). Bagaimana identitas budaya lokal tersebut dihadirkan pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali ?. Dari perumusan masalah tersebut tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui berbagai identitas budaya lokal sebagai daya tarik pada desain kemasan oleh- oleh kopi Bali yang dijual di pusat penjualan oleh-oleh khas Bali di daerah Denpasar dan Badung. Selain itu tujuan penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui penerapan identitas budaya lokal pada desain kemasan sebagai identitas dan ciri khas produk oleh-oleh kopi Bali dilihat dari sudut pandang desain kemasan sebagai salah satu rumpun ilmu desain komunikasi visual.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

380

METODE PENELITIAN Deskriftif kualitatif pada penelitian ini digunakan untuk meneliti berbagai identitas budaya lokal yang dijadikan sebagai daya tarik pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali. Identitas budaya lokal tersebut kemudian diobservasi, diidentifikasi hal-hal yang bersifat fisik pada obyek untuk selanjutnya diinterpretasi berdasarkan sudut pandang peneliti. Sumber data pada penelitian ini diperoleh melalui metode prosedur kuota dianggap juga sebagai jenis prosedur purposif yaitu menentukan sample berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Kriteria yang telah ditentukan memungkinkan penulis untuk fokus pada obyek penelitian dan memudahkan dalam mengumpulkan sample penelitian (Bungin, 2011:108). Adapun kriteria dalam memilih sample kemasan yang diteliti diasarkan pada kemasan oleh-oleh kopi Bali dengan menonjolkan identitas budaya Bali berupa kesenian, bangunan, motif tekstil, ragam hias, kerajinan dll. Memiliki keunikan, cirikhas, dengan konten informasi yang lengkap dan diambil dari beberapa toko oleh-oleh yang banyak dikunjungi wisatawan yaitu Denpasar dan Badung. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui metode survey lapangan guna membatasi populasi wilayah pengumpulan sample. Popolasi sample dilakukan dipusat penjualan oleh-oleh khas Bali yang berada di daerah Denpasar dan Badung. Populasi tempat pengambilan sample ditentukan karena wilayah ini, merupakan barometer pariwisata di Bali dan banyak dikunjungi oleh wisatawan. Hal ini diperkuat dengan banyaknya sarana akomodasi penunjang kegiatan pariwisata seperti hotel, restoran, club malam, spa dan sarana hiburan lainnya berada di lokasi ini. Mengacu pada metode prosedur kuota, pengumpulan sample dilakukan melalui metode observasi. Observasi dilakukan dengan mengamati beberapa sample desain kemasan oleh-oleh kopi Bali, yang representatif mewakili identitas budaya lokal pada desain kemasannya. Berdasarkan hasil observasi ini didapatkan beberapa sample desain kemasan kopi Bali dari berbagai merek dengan identitas budaya lokal sebagai daya tarik pada tampilan desain kemasannya. Sampel ini kemudian dijadikan sebagai data untuk diidentifikasi dan dianalisis lebih lanjut untuk menjawab rumusan masalah pada bab pendahuluan. Selain menggunakan metode observasi, pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan sumber data tertulis bersumber dari buku bacaan, jurnal terkait dengan obyek penelitian. Sumber data yang juga dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah foto, untuk menunjang keabsahan data. Sumber data berupa foto dihasilkan oleh penulis sendiri dan sumber foto dari orang lain. Adapun variabel yang dikaji pada penelitian ini meliputi desain kemasan dan elemen visual yang terdapat pada sample oleh-oleh kopi Bali. Terdiri dari logo sebagai identitas merek, ilustrasi, warna, huruf dan layout. Variabel ini akan dianalisis menggunakan teori desain kemasan terkait fungsi, informasi dan tampilan visual kemasan. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pertama, menentukan masalah penelitian dengan merumuskan permasalahan. Kedua, teknik sampling dilakukan untuk memfokuskan objek penelitian dalam hal ini desain kemasan kopi yang dijadikan sebagai oleh-oleh khas Bali, dengan identitas budaya lokal sebagai daya tarik desain kemasan. Ke-tiga menentukan jenis data sebagai tahapan penting dalam penelitian untuk mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang ditentukan. Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Tahap ke-empat menentukan alat pengambilan data yang dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil observasi dan pengumpulan data dilapangan. Desain kemasan oleh-oleh kopi Bali yang teridentifikasi menggunakan identitas budaya lokal di toko oleh-oleh daerah Denpasar dan Badung terdiri dari beberapa merek. Merek tersebut ada yang diproduksi di Bali maupun di luar Bali. Desain kemasan oleh-oleh kopi Bali yang telah terkumpul kemudian diklasifikasikan dan dianalisis. Tahapan analisis meliputi analisis konteks budaya dalam hal ini identitas budaya lokal, tampilan kemasan meliputi elemen visual kemasan sebagai daya tarik, identitas kemasan dan aspek informasi. Dibawah ini akan diuraikan desain kemasan oleh-oleh kopi Bali berdasarkan wilayah pengumpulan sampel. Dari hasil pengumpulan data, terdapat empat jenis identitas budaya lokal yang banyak digunakan sebagai daya tarik pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali. Identitas budaya tersebut terdiri dari kesenian, kerajinan, upacara ritual dan arsitektur. Berikut beberapa desain kemasan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

381

oleh-oleh kopi Bali dengan identitas budaya lokal yang didapat dari toko oleh-oleh di daerah Denpasar dan Badung. Identitas budaya lokal pada tampilan kemasan dibawah ini telah diklasifikasikan berdasarkan empat jenis diantaranya kesenian, kerajinan, upacara ritual dan arsitektur.

Identitas Budaya Lokal Pada Desain Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali Dalam Bentuk Kesenian Kesenian merupakan salah satu ikon identitas budaya lokal yang paling banyak digunakan pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali. Kesenian bagi masyarakat Bali merupakan wujud budaya yang sangat lekat dengan kehidupan beragama umat Hindu di Bali. Seni dipergunakan sebagai sarana upacara keagamaan umat Hindu. Berikut beberapa identitas budaya lokal dalam bentuk kesenian yang dijadikan daya tarik pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali.

Desain Kemasan “Bali Supremo Gourmet Coffe” Merek : Kopi Bali (The Butterfly Globe Brand) Nama Produk : Bali Supremo Gourmet Coffe Rasa : Arabica Roasted Bean (Kopi dalam bentuk biji) Berat : 100gr

Gambar 1 Desain bagian depan, Gambar 2. Desain bagian belakang. Sumber : Foto penulis

Konteks identitas budaya local Indentitas budaya lokal pada desain kemasan Bali Supremo Gourmet Coffe merek The Butterfly Globe Brand, menggunakan ikon penari Baris dengan latar belakang ornamen patra Bali motif Mas-Masan (Gb 1.1 Kiri). Secara visual ikon penari baris digambarkan tidak utuh, hanya nampak setengah badan. Tari Baris merupakan seni tari yang menggambarkan tarian ritual peperangan dimainkan oleh penari laki-laki. Bagian khas dari kostum tari baris adalah hiasan kepala dengan segitiga tinggi (udeng-udengan). Kata baris berarti “bebaris” di dalam formasi militer (Covarubias, 2013:259). Tari Baris merupakan tarian yang sering digunakan dalam mengiringi upacara keagamaan umat Hindu di Bali. Penggunaan ikon penari Baris pada desain kemasan produk ini dimaksudkan untuk menginformasikan tarian khas daerah Bali yang telah tersohor dan memiliki nilai religius dengan tampilan yang lebih menarik menggunakan ilustrasi vektor. Akan tetapi informasi mengenai Tarian Baris di Bali tidak dicantumkan dalam desain kemasan. Sehingga konsumen tidak mendapat pengetahuan mengenai apa itu tari Baris sebagai salah satu identitas budaya lokal Bali.

Tampilan Desain Kemasan Bentuk fisik kemasan luar (kemasan sekunder) berbentuk kantong mengambil gagasan dari bentuk karung goni yang diperkecil (Gb 1.1 Kiri & Gb 1.2 Kanan). Karung goni umumnya digunakan untuk menyimpan kopi dalam jumlah banyak. Gagasan ini kemudian menginspirasi produsen untuk membuat desain kemasan berbahan Goni. Penggunaan Goni pada kemasan sekunder bertujuan untuk mengkomunikasikan originalitas produk, dengan tetap konsisten menjaga nilai-nilai tradisi dalam mengolah kopi, sehingga menghasilkan kopi yang berkualitas. Kemasan primer bersentuhan dengan produk kopi, menggunakan bahan plastik alumunium kedap udara, bertujuan agar aroma kopi tetap terjaga kualitasnya. Produk berupa biji kopi yang

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

382

telah disangrai (roasted bean) dikemas terlebih dahulu menggunakan plastik alumunium foil kemudian dimasukkan kedalam kantong yg terbuat dari Goni, dan diberi label pada bagian atas dengan teknik dijarit. Label berfungsi sebagai segel pengaman dan juga memberikan informasi produk kepada konsumen. Label yang dijaritkan pada bagian atas kemasan merupakan PDU (panel display utama) untuk menempatkan identitas merek dan elemen-elemen komunikasi utama, berfungsi sebagai sarana informasi produk. Elemen-elemen pada PDU yang diperlukan pada umumnya meliputi : tanda merek, nama merek, nama produk, keterangan komposisi, (ingredient), berat bersih, informasi nilai gizi, tanggal kadaluarsa, peringatan bahaya, arahan penggunaan, dosis, intruksi, ragam, barcode. Sedangkan elemen yang diatur dengan desain meliputi : warna, citra, huruf, ilustrasi, sarana grafis, foto (non informasi), simbol (non informasi), ikon, hirarki visual (Klimchuck dan Krasovec,2007:84,85). Pada desain kemasan produk “Bali Supremo Gourmet Coffe” Informasi yang disyaratkan ada pada PDU telah memenuhi syarat, informasi tersebut terdiri dari nama produk, jenis produk, berat bersih, diletakkan pada bagian depan label berwarna hitam berbentuk persegi panjang (Gb 1.1 Kiri). Elemen visual kemasan terdiri dari ilustrasi, warna, huruf dan teks dilayout simetris memenuhi bidang PDU (panel display utama) berbentuk persegi panjang. Ilustrasi berupa ikon penari Baris diletakkan pada sisi sebelah kiri, dibuat memenuhi sebagian bidang kotak dengan background patra Bali dibelakangnya. Informasi mengenai nama produk “Bali Supremo Gourmet Coffe” diletakkan disebelah ikon penari Baris. Komposisi berkesan seimbang. Hirarki penempatan informasi dan ukuran huruf menuntun pembaca dalam memahami informasi yang disampaikan. Dimana urutan informasi dibuat sistematis mulai dari nama produk “Bali Supremo” diikuti jenis produk “Gourmet Coffe” dengan ukuran huruf yang lebih kecil. Urutan informasi yang terakhir adalah teks berat isi. Pemilihan jenis huruf untuk teks informasi dominan menggunakan jenis huruf sanserif. Huruf ini memiliki tingkat readability yang cukup baik, sehingga informasi yang tertera pada label mudah dibaca, terlebih bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Legibility berhubungan dengan kemudahan mengenali dan membedakan masing-masing huruf, karakter. Legibility menyangkut desain, bentuk huruf yang digunakan. Suatu jenis huruf atau karakter-karakternya mudah dikenali dan dibedakan dengan jelas satu sama lain (Rustan 2010:74). Ada bagian teks berbunyi “ Kopi Bali 100% Pure Bali Coffe” menggunakan jenis huruf serif dengan ukuran yang cukup besar. Hal ini dimaksudkan untuk menginformasikan dengan tegas kepada konsumen bahwa produk ini mengandung 100% kopi murni tanpa bahan campuran. Jumlah huruf yang dipakai ada 4 tipe. Warna yang digunakan pada label menggunakan warna-warna bernuansa sunset yaitu dominan warna hitam oranye, dan kuning (Gb 1.1 Kiri). Informasi penjelasan produk, tanggal kadaluarsa, kode produksi, identitas produsen dan logo The Butterfly Globe Brand diletakkan pada bagian belakang (Gb 1.2). Layout dibuat simetris dimana hirarki urutan pembacaan informasi dimulai dari bagian kiri ke kanan. Urutan pembacaan teks bagian kiri berisi informasi mengenai produk Bali Supremo, diikuti teks penjelasan mengenai dibawahnya. Urutan pembacaan teks bagian kanan berisi informasi identitas produsen. Hirarki semacam ini sudah menjadi konvensi dan berlaku di Indonesia. Terdapat enam butir pertimbangan dalam menyusun hirarki elemen-elemen visual desain diantaranya; keseimbangan, fokus, kontras, proporsi, urutan (squence), dan kesatuan (unity) (Wirya,1999:35). Hal ini dikenal sebagai prinsip dasar layout. Desain kemasan produk “Bali Supremo Gourmet Coffe” telah memenuhi pertimbangan dalam menyusun hirarki elemen-elemen visual desain. Desain kemasan ini secara visual tampak menarik, akan tetapi konsumen tidak mempunyai bayangan mengenai isi, bentuk, dan warna dari produk tersebut, karena pada kemasan tidak dilengkapi gambar produk atau jendela yang memudahkan konsumen untuk melihat isi. Untuk mengetahui isi produk, konsumen dapat membaca informasi yang tertera pada label kemasan. Secara keseluruhan informasi pada label cukup jelas terbaca, akan tetapi pada label bagian depan (Gb 1.1 Kiri) fokus informasi yang disampaikan kurang, karena dihalangi oleh latar belakang motif yang juga menonjol. Informasi mengenai cara simpan, cara pembuatan, kandungan isi produk tidak tertera. Informasi mengenai penjelasan produk dan kadaluarsa cukup memadai. Penggunaan goni pada kemasan sekunder memberikan daya tarik unik bagi konsumen sehingga mampu membangkitkan hasrat untuk membeli. Goni secara tradisional berbentuk karung menjadi modern ketika dibentuk menjadi sebuah kantong kecil, dan dapat mengingatkan kembali

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

383

akan wadah masa lalu. Kemasan sekunder ini juga dapat digunakan kembali untuk mewadahi sesuatu dan mudah dibawa karena ukurannya kecil. Secara keseluruahan antara kemasan dengan label sudah serasi. Bahan alumunium sebagai kemasan primer memberikan kesan higienis dan tahan lama.

Aspek Informasi Secara keseluruhan aspek informasi yang dibutuhkan oleh konsumen telah tercantum pada label. Merujuk pada aturan ketentuan Undang-Undang Label dan Pangan RI tahun 1999 yang dikeluarkan oleh Badan POM menyatakan “bahwa pada label sekurang-kurangnya memuat nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi, atau memasukkan pangan ke wilayah indonesia keterangan tentang halal, serta tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa (pasal 30 ayat 1)” (Fardiaz dkk, 2003:16). Maka desain kemasan “Bali Supremo Gourmet Coffe” telah memenuhi aspek hukum dengan memuat informasi yang harus dicantumkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Secara keseluruhan desain kemasan “Bali Supremo Gourmet Coffe” telah memenuhi enam fungsi untuk menciptakan kemasan ideal sebagai strategi untuk menarik perhatian target audiens. Menurut Steven Dupuis & John Silva dalam Package Design Work Book, (2008:106), enam fungsi tersebut terdiri dari : 1). Fungsi kemudahan fisik, dimana bentuk kemasan mampu melindungi produk dengan menggunakan kemasan alumunium, 2). Fungsi keamanan, penggunaan bahan aluminium dan karung goni tidak berpengaruh terhadap isi produk. 3) Fungsi Proteksi, kemasan harus mampu memberikan perlindungan fisik terhadap isi produk, penggunaan label sebagai segel pada kemasan ini telah memberikan perlindungan secara fisik terhadap isi produk. 4) Fungsi Kemudahan dalam Pengelompokkan, Penempatan, Penyimpanan. Kemasan “Bali Supremo Gourmet Coffe” sangat mudah dikelompokkan dan ditata di rak display. 5) Fungsi Informasi, memberikan informasi yang sesuai dan dibutuhkan kepada khalayaknya, baik secara verbal maupun visual. 6). Fungsi Marketing, kemasan yang baik adalah yang bisa memvisualisasikan “brand” alias membantu branding sebuah produk.

Identitas Budaya Lokal Pada Desain Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali Dalam Bentuk Kerajinan Kerajinan merupakan salah satu identitas budaya lokal yang dijadikan sebagai ikon untuk mengemas oleh-oleh kopi Bali. Kerajinan merupakan wujud budaya yang dihasilkan melalui ketrampilan tangan yang dimiliki oleh masyarakat Bali, menghasilkan berbagai produk untuk keperluan upacara agama Hindu. Kerajinan yang dihasilkan terbuat dari besi, kayu, bambu. Berikut desain kemasan oleh-oleh kopi Bali yang mengadopsi bentuk kerajinan untuk mengemas oleh-oleh kopi Bali.

Desain Kemasan “Bali Coffe Gift Pack Keben” Merek : Bali Coffe Nama Produk : Bali Coffe Gift Pack Keben Rasa : Kopi Bubuk Berat : 40 gr

Gambar 3. Desain Kemasan Oleh – Oleh Kopi Bali Merek “Bali Coffe” Sumber : Foto penulis

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

384

Konteks identitas budaya lokal Identitas budaya lokal pada desain kemasan ini mengambil inspirasi keben yang dijadikan sebagai wadah bagi umat Hindu di Bali untuk membawa sara upakara. Wujud fisik keben dihadirkan dengan ukuran yang diperkecil berbahan dasar plat alumunium dengan ukiran ornamen sebagai hiasan (Gb.2). Selain itu identitas budaya lokal yang bisa dilihat pada desain kemasan ini adalah bunga jepun dan ikon penari legong sebagai elemen visual desain pada label kemasan.

Tampilan Desain Kemasan Bentuk fisik kemasan mengadopsi keben sebagai wadah sarana upakara umat Hindu. Kemasan sekunder terbuat dari alumunium. Label yang terdapat pada kemasan berfungsi sebagai PDU (Panel Display Utama) untuk menempatkan segala informasi tentang produk. Kemasan primer yang bersentuhan langsung dengan produk dibuat dari bahan plastik kedap udara. Kemasan sekunder kemasan primer kemudian dibungkus lagi dengan plastik agar pada saat dipajang kemasan sekunder tidak rusak, kemudian pada bagian atas disematkan bunga jepun yang menjadi ciri khas Bali. Informasi mengenai nama produk, jenis produk, berat isi dan ijin sanitasi diletakkan pada bidang persegi panjang yang ditempel pada sisi depan kemasan sekunder. Informasi yang disajikan dilayout memenuhi bidang label, berkesan statis, dan kaku. Urutan informasi yang disajikan cukup baik. Hirarki urutan informasi yang disampaikan mampu menuntun pembaca untuk membaca informasi yang disampaikan. Urutan informasi jelas mana yang dibaca terlebih dahulu kemudian teks selanjutnya. Logo merek “Bali Coffe” digolongkan kedalam Letter mark, didominasi oleh tulisan, bisa berupa atau mengandung : kata, huruf, singkatan, angka, tanda baca, foto, gambar kongkrit, gambar abstrak, disederhanakan (Rustan, 2009:21), menggunakan jenis font serif. Akan tetapi keterbacaan logo kurang terlihat jelas karena antara warna logo dan latar belakang dibuat senada hanya dengan menambahkan outline yang berkesan berat. Tipe huruf pada teks informasi menggunakan jenis sanserif dengan tingkat keterbacaan yang cukup baik. Secara keseluruhan tampilan desain kemasan ini cukup unik, akan tetapi informasi mengenai produk secara detail tidak terlihat. Konsumen tidak memiliki gambaran mengenai isi di dalam kemasan. Tidak ada ruang untuk memperlihatkan isi dalam kemasan. Dari segi informasi masih relatif belum informatif, oleh karena informasi yang disajikan kurang lengkap hanya berisi informasi mengenai produk, berat isi, dan ijin sanitasi. Warna berkesan monoton tidak ada daya tarik.

Aspek Informasi Aspek informasi masih belum memenuhi standar yang merujuk pada peraturan Undang- Undang Label dan Pangan RI tahun 1999 yang dikeluarkan oleh Badan POM. Masih belum terdapat teks informasi mengenai identitas produsen, keterangan tentang halal dan tanggal kadaluarsa produk.

Identitas Budaya Lokal Pada Desain Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali Dalam Bentuk Upacara Ritual. Upacara ritual umat Hindu di Bali memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Daya tarik tersebut terlihat dari sarana upacara yang digunakan berupa sajen yang terbuat dari buah, bunga, janur yang dirangkai membentuk karya seni yang indah. Tradisi ritualnya pun unik melibatkan hampir seluruh masyarakat dalam pelaksanaannya. Hal ini kemudian menginspirasi produsen oleh-oleh kopi Bali untuk menjadikan upacara ritual sebagai ikon identitas budaya Bali pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali. Berikut beberapa desain kemasan yang mengambil ide upacara ritual.

Desain Kemasan “Kopi Bali” Merek : Kupu-Kupu Bola Dunia (The Butterfly Globe Brand) Nama Produk : Kopi Bali Rasa : Kopi Bali Original, Bali Sunrise, Bali Gold Special Berat : 80 gr

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

385

Gambar 4 dan 5 Desain Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali Merek “Kupu – Kupu Bola Dunia”Sumber : Foto penulis

Konteks identitas budaya lokal Pada desain kemasan ini, ikon identitas budaya lokal Bali yang menonjol adalah ilustrasi gambar tangan sosok wanita Bali yang membawa sesajen (Gebogan) yang menjulang tinggi diatas kepalanya. Ritual ini hanya ada di Bali dan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Informasi mengenai ritual ini tidak dijelaskan secara detail pada kemasan hanya dijadikan sebagai elemen estetis dengan cirikhas Bali.

Tampilan Desain Kemasan Kemasan sekunder terbuat dari kotak mika tebal bening memuat tiga jenis produk berbeda yang dibungkus dengan plastik alumunium sebagai kemasan primer. Tiap jenis diberikan warna yang berbeda, misalnya warna hitam untuk jenis Bali Coffe Original, warna krem untuk Bali Sunrise dan warna gold untuk Bali Gold Special. Penggunaan bahan plastik pada kemasan memberikan kesan higienis dan kualitas produk terjaga dengan baik. PDU yang memuat elemen visual desain sebagai sarana informasi produk terdapat tidak hanya pada kemasan sekunder melainkan pada kemasan primer. Pada kemasan sekunder elemen visual kemasan terdiri dari ilustrasi, teks, huruf dan warna dilayout horisontal dengan tiga bagian untuk menjelaskan produk yang berbeda (Gb 3.1 atas). Pemilihan jenis huruf cukup baik, dimana huruf yang digunakan dipilih dari jenis huruf serif dan sanserif, yang memudahkan konsumen membaca teks informasi yang disajikan dengan ukuran kecil dan banyak. Pemilihan warna tidak terlalu banyak sehingga mudah dikenali dan memiliki karakter. Warna pada kemasan sekunder terdiri dari dua yaitu warna coklat dan krem memberikan kesan klasik dan vintage.

Aspek Informasi Secara keseluruhan informasi pada kemasan sudah memenuhi standar sebagaimana tertuang dalam aturan ketentuan Undang-Undang Label dan Pangan RI tahun 1999 dari BPOM.

Identitas Budaya Lokal Pada Desain Kemasan Oleh-Oleh Kopi Bali Dalam Bentuk Arsitektur Arsitektur Bali menjadi salah satu ikon identitas budaya lokal yang banyak menginspirasi produsen untuk mengemas oleh-oleh kopi Bali. Berbagai bentuk dan ukiran yang terdapat didalam

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

386

bangunan arsitektur masyarakat Bali memiliki nilai seni dan mencerminkan masyarakat Bali adalah seorang seniman yang dapat menghasilkan karya-karya berkualitas tinggi. Berikut beberapa desain kemasan oleh-oleh kopi Bali yang mengadopsi arsitektur Bali sebagai daya tarik desain kemasan oleh-oleh kopi Bali.

Desain Kemasan “Kopi Bali 100% Pure Bali Coffe” Merek : Kopi Bali Cap Kupu-Kupu Bola Dunia (The Butterfly Globe Brand) Nama Produk : Kopi Bali 100% Pure Bali Coffe Rasa : Ground Coffe Berat : 250 gr

Gambar 6.7. Desain Kemasan Oleh – Oleh Kopi Bali Merek “Kupu – Kupu Bola Dunia” Sumber : Foto penulis

Konteks identitas budaya lokal Identitas budaya lokal bali pada desain kemasan ini dapat dikenali lewat ilustrasi yang digunakan yakni ilustrasi yang menggambarkan suasana masyarakat Bali yang sedang melaksanakan upacara tradisi di Pura. Gambar yang menjadi cirikhas pada ilustrasi kemasan produk ini adalah gambar Pura dengan atap (meru) yang bertingkat-tingkat. Pura di Bali merupakan bangunan arsitektur yang difungsikan untuk memuja Ida Sang Hyang Widi Wasa yang berstana disetiap wilayah Desa di Bali. Penjelasan mengenai keberadaan Pura di Bali tidak dijelaskan pada kemasan, hanya memenuhi fungsi estetis saja.

Tampilan Desain Kemasan Tampilan desain kemasan sangat menarik dengan penggunaan bahan Goni sebagai kemasan sekunder. Bahan Goni yang digunakan sebagai kemasan sekunder memberikan kesan segar dan alami. Sedangkan kemasan primer yang mengemas produk secara langsung terbuat dari bahan plastik aluminium kedap udara bertujuan agar kualitas kopi tetap terjaga sampai ke tangan konsumen. Secara visual tampilan desain kemasan ini sama dengan kemasan kopi Bali Supremo pada (Gb 1.1 kiri) dan (Gb 1.2 kanan), yang membedakan adalah elemen visual kemasan pada label. Posisi label dijaritkan pada bagian atas kemasan selain berfungsi sebagai segel produk, juga difungsikan sebagai Panel Display Utama memuat segala informasi mengenai isi produk. Elemen visual kemasn sebagai sara informasi produk terdiri dari ilustrasi, teks, huruf, warna dan layout. Ilustrasi aktifitas masyarakat Bali yang sedang melaksanakan upacara di Pura dilayout memenuhi bidang PDU (4.1 kiri). Ilustrasi dibuat dengan teknik gambar tangan menerapkan warna-warna pastel pada keseluruhan ilustrasi dan berkesan lembut. Informasi mengenai nama produk “100% Pure Bali Coffe” dan “Kopi Bali’ diletakkan pada bidang kosong dari ilustrasi sehingga antara ilustrasi dan teks tidak saling tumpang tindih. Urutan keterbacaan informasi sangat sistematis. Pada

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

387

bagian belakang teks penjelas mengenai produk, saran penyajian, penyimpanan dibuat dengan teks berwarna putih, hal ini sangat memudahkan konsumen membaca informasi yang disampaikan. Pemilihan jenis huruf sangat baik menggunakan jenis huruf serif dan sanserif dengan tingkat keterbacaan baik. Identitas produk tidak terlihat sehingga konsumen tidak mendapat gambaran mengenai isi, bentuk dan warna kopi didalam kemasan.

Aspek Informasi Secara keseluruhan informasi pada kemasan telah memenuhi standar sebagaimana tertuang dalam aturan ketentuan Undang-Undang Label dan Pangan RI tahun 1999 dari BPOM, akan tetapi ada beberapa informasi yang belum dicantumkan diantaranya kandungan bahan dan logo halal.

SIMPULAN Identitas budaya lokal pada desain kemasan oleh-oleh kopi Bali yang menjadi obyek penelitian dan telah teridentifikasi terdiri dari kesenian diantaranya seni tari, seni patung, seni lukis, kerajinan, arsitektur dan upacara ritual umat Hindu di Bali. Penggunaan ikon identitas budaya lokal ini memiliki persamaan antara satu merek dengan merek yang lain. Ada beberapa desain kemasan yang menggunakan nama merek dengan bahasa lokal seperti Kopi Nini, Legong Kraton, Saraswati, Dewi Seri dan Banyuatis. Kesemua identitas ini memberikan ciri khas dan karakter terhadap produk kopi yang dijadikan sebagai oleh-oleh khas Bali. Elemen visual desain kemasan pada PDU (Panel Display Utama) ada yang dikreasikan dengan label, dan ada pula yang langsung dicantumkan pada kemasan sekunder. Bentuk kemasan antara merek satu dengan merek yang lain memiliki persamaan, kebanyakan menggunakan bentuk kemasan tas dengan tali yang mudah dibawa. Ada satu kemasan paling beda menggunakan bahan goni sebagai kemasan sekunder. Informasi yang ditampilkan pada kemasan belum sepenuhnya memenuhi aturan yang disyaratkan oleh BPOM. Warna kemasan kecenderungan memiliki nuansa yang sama. Pemilihan huruf sudah cukup baik, dimana jenis huruf yang digunakan tidak terlalu banyak. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa, desainer, dan produsen yang mengemas produk oleh-oleh khas Bali dengan identitas budaya lokal pada desain kemasannya. Melalui penelitian ini banyak aspek penting dalam desain kemasan yang belum mendapat perhatian dari desainer kemasan. Sebaiknya desainer sebelum merancang desain kemasan hendaknya memperhatikan aturan dibidang pangan yang dikeluarkan oleh BPOM, karena informasi tersebut sangat membantu sebuah produk untuk bisa bersaing dengan produk sejeni, terlebih produk ini dijadikan sebagai produk oleh-oleh khas Bali.

DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, Yogyakarta : Kencana DuPuis, Steven & Silva John. 2008. Package Design Work Book, USA :Rockport Publishers, Inc Klimchuk, Rosner & Krasovec. A. Sandra. 2006. Packaging Design Successful Product Branding From Concept to Shelf atau Desain Kemasan Perencanaan Merek Produk yang Berhasil Mulai dari Konsep Sampai Penjualan, terjemahan Bob Sabran. 2007, Jakarta : Erlangga Miguel Covarrubias. 1937. Island of Bali atau Pulau Bali yang Menakjubkan, terjemahan Sunaryo Basuki Ks. 2013, Denpasar : Udayana University Press Rustan, Surianto. 2008. Layout Dasar dan Penerapannya, Jakarta: PT. Gramedia _____. 2009. Mendesain Logo, Jakarta: PT. Gramedia _____. 2010. Hurufonttipografi, Jakarta : PT. Gramedia Wirya, Iwan. 1999. Kemasan yang Menjual, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

388

DARI KONFLIK DESA KE LAYAR KACA: ANALISIS WACANA LIPUTANBALI TV BERITA BENTROK KEMONING-BUDAGA, KLUNGKUNG, BALI

I Komang Arba Wirawan Program Studi Televisi dan Film, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis wacana liputan Bali TV Berita Kemoning- Budaga, Klungkung, Bali. Wacana pemberitaan pembubaran desa pakraman pascabentrok Kemoning-Budaga oleh Bali Post edisi Senin, 19 September 2011 yang dikembangkan, di-setting, dan di-framing dalam berita Bali TV. Pertama dalam sejarah pers di Bali, Bali Post berkonflik dengan Gubernur Bali Made Mangku Pastika menjadi permasalahan hukum perdata dan menarik untuk dianalisis. Teori analisis yang digunakan dalam penelitian meliputi teori wacana (Michel Foucault), agenda setting (Weber), framing (Todd Gitlin), semiotika (Ferdinand de Saussure) dan Komodifikasi (Mosco). Temuan penelitian ini adalah analisis wacana berita Bali TV dengan angel wacana berita “pembubaran desa pakraman”, pasca bentrok Kemoning-Budaga, Klungkung, Bali berkaitan dengan agenda setting, komodifikasi, kapitalisme media, disinformasi media dan konflik kepentingan media dalam memproduksi, mendistribusi, mereproduksi berita sebagai wacana dalam komodifikasi media. Simpulan penelitian ini adalah wacana liputan Bali TV dan wacana tanding Gubernur Bali Made Mangku Pastika masing-masing memiliki kepentingan ekonomi, politik dan ideologi dalam komodifikasi media untuk memperebutkan opini khalayak sebagai konsumsi atas produksi, reproduksi dan distribusi media. Saran hasil penelitian di pihak pemerintah, dewan pers, organisasi pers, dan wartawan agar memberikan manfaat bagi kehidupan dan pembangunan sehingga dapat berperan menjadi literasi media.

Kata kunci: konplik, wacana, berita, liputan, televisi

Abstract The research aimed at the analysis of reporting discourse by Bali TV on the case of Kemoning-Budaga, Klungkung, Bali, a conflict which exploded in September 19, 2011. This case pushed the Governor of Bali, I Made Pastika in a difficult situation, since he wanted to disperse pekraman villages in Bali. Meanwhile, Bali TV and other mass media, especially those under Bali Post Media Group keep exploit the dispersed of pekraman Village issue subjectively. Mangku Pastika did not accept this situation and even offered an accusation and claimed civil law to Bali TV. The good relationship between Mangku Pastika and Bali TV previously then turned into a very serious conflict. The reporting discourse by Bali TV which affected the conflict even more serious is interested to be observed to expose subjective agenda behind the politic of news broadcast The main data used in this research was the reporting discourse of Bali TV on the case of KemoningBudaga in a form of documentation of broadcast news material. Supporting data which used were related news on printed media and interview with reporters and editors of related mass media and also community figures who involved during the case of Kemoning-Budaga was handled. Theories used in analyzing the reporting discourse by Bali TV on the case of Kemoning- Budaga, Klungkung Bali consist of discourse theory (Michel Foucault), setting agenda (Weber), framing (Todd Gitlin), dan semiotics (Ferdinand de Saussure). Those 4 theories was applied eclectically. This research applied critical discourse paradigm using fenomenalogic approach and qualitatif method.The result of this result showed that the reporting discourse on the case of Kemoning-Budaga by Bali TV was the prolongation of Bali Post printed media discourse which manage using a clearly setting agenda to fullfill social, politic and ideology needs.

Keywords: discourse, setting agenda,framing, television news production

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

389

PENDAHULUAN Tonggak reformasi yang bermula tahun 1998 memberikan sekurang-kurangnya dua hal penting dalam dunia pertelevisian di Indonesia. Pertama, izin mendirikan televisi dipermudah dengan program menjadi “luar biasa” karena terkait pemilihan tema peliputan dan teknik pengemasan yang berbeda dibandingkan TVRI. Realita-realitas yang sebelumnya tidak dijamah program-program berita TVRI justru menjadi agenda setting. Saat itu khalayak pun seakan dibangunkan dari tidurnya untuk menyaksikan wacana dan petanda-petanda lain yang disuguhkan media televisi RCTI dan SCTV sebelum reformasi. Bukan hanya tema peliputan dan teknik pengemasan, tetapi juga gaya news presenter muncul dibanyak televisi tidak hanya di ibu kota, tetapi juga di daerah. Setelah reformasi stasiun televisi di Indonesia berjumlah dua belas stasiun televisi nasional, yaitu ANTV, Global TV, Indosiar, Metro TV, MNCTV, RCTI, SCTV, Trans TV, Trans7, TVONE, Kompas TV, dan NET TV. Kemunculan stasiun televisi swasta tidak hanya di pusat melainkan juga di daerah-daerah seperti di Bali ada empat stasiun televisi lokal Bali yang berizin, yaitu Bali TV, Dewata TV, ATV, BMC TV, berdirinya setelah reformasi. Dan satu lembaga penyiaran publik jasa penyiaran televisi TVRI Bali, yang berdiri sebelum reformasi dan siaran televisi berlangganan berbayar di antaranya Indovision (PT MNC Sky Vision Tbk), Telkomvision (PT Telkom Tbk) dan banyak televisi berjaringan dan berbayar sedang mohon izin di Bali (KPID Bali, 2012). Kedua, stasiun televisi sebagai lembaga penyiaran dapat memproduksi berita-berita kritis sebagai informasi di mata khalayak. Pada zaman Orde Baru (Orba) hanya ada TVRI yang boleh memproduksi dan menyiarkan berita walaupun RCTI (Seputar Indonesia) dan SCTV (Liputan 6), sebagai stasiun televisi swasta siaran sebelum reformasi telah memproduksi berita namun tidak sebebas setting berita-berta televisi setelah reformasi. Kini stasiun televisi nasional dan lokal menjadikan berita sebagai salah satu acara unggulan untuk meningkatkan rating atau menonjolkan jati dirinya. Televisi-televisi lokal, seperti Bali TV dan Dewata TV sangat mengutamakan berita daerah dan mengungkap liputan sosial politik dan budaya untuk memperkuat jati dirinya sebagai media informasi bagi khalayak Bali. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis wacana berita ”pembubaran desa pakraman” dalam liputan Bali TV pascabentrok Kemoning-Budaga, Klungkung, Bali. Pemberitaan pembubaran desa pakraman pascabentrok Kemoning-Budaga oleh Bali Post edisi Senin, 19 September 2011 yang selanjutnya dikembangkan, di-setting, dan di-framing dalam berita Bali TV sehingga menjadi permasalahan melalui pengadilan perdata. Gugatan penguasa atau masyarakat kepada media massa atau Bali Post yang selama ini jarang terjadi menjadi perhatian menarik bagi khalayak. Menariknya gugatan ini dilakukan oleh Made Mangku Pastika Gubernur Bali yang sedang berkuasa. Made Mangku Pastika beralasan gugatannya kepada Bali Post di samping berupaya memperoleh keadilan juga bermaksud memberikan pembelajaran kepada masyarakat tentang jalur hukum yang elegan. Jalur ini yang semestinya ditempuh ketika merasakan ketidakadilan akibat sajian produk informasi pers, khususnya dalam bentuk berita (Wahidin, 2012: 133). Wacana berita Bali TV diproduksi dan didistribusi tidak hanya dalam berita Seputar Bali Pagi tentang kasus pascabentrok Kemoning-Budaga juga acara lainnya, seperti Seputar Bali Petang6 dan Giliran Anda7. Berita yang didistribusi tersebut secara mendasar seharusnya didasari teknik pencarian, pengumpulan, penulisan, dan pelaporan beritanya bersifat objektif, faktual, dan profesional. Namun, masih dianggap belum memenuhi kriteria jurnalistik yang profesional oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Kajian budaya (cultural studies) telah lama bertautan dan memiliki hubungan yang erat dengan kajian media (media studies). Hubungan yang erat antara kajian budaya dan media tersebut terjadi terutama pada media televisi. Karena televisi dalam sejarahnya merupakan media informasi utama di sebagian besar masyarakat Barat dan menjadi pokok perhatian kajian media selama kurun

6 Lihat Berita - berita terkini yang terjadi di Bali dan sekitarnya, ditayangkan setiap hari mulai pukul 18.05, http://balitv.tv/btv2/index.php, diakses, 2 Juni 2013. 7 Lihat Program dialog interaktif dengan penonton membahas isu-isu terkini seputar Bali, ditayangkan setiap pukul 19.00, http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid= 29&id=6302 2, diakses, 2 Juni 2013.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

390

waktu yang cukup lama. Hal ini menyebabkan tidak ada media lain yang dapat menandingi televisi dalam hal volume teks budaya pop yang diproduksi dan banyaknya penonton (Barker, 2004: 271). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut; Bagaimanakah proses pembentukan wacana “pembubaran desa pakraman” dalam liputan Bali TV pascabentrok Kemoning-Budaga?, Faktor-faktor apakah yang mendukung proses pembentukan wacana “pembubaran desa pakraman” dalam liputan Bali TV pascabentrok Kemoning-Budaga?, Bagaimanakah wacana tanding “pembubaran desa pakraman” pascabentrok Kemoning-Budaga?. Ada beberapa teori yang diperlukan untuk membahas analisis wacana berita media Bali TV pascabentrok Kemoning-Budaga. Tujuannya agar permasalahan yang telah dirumuskan dapat dijawab sesuai dengan kenyataan dan temuan di lapangan yang dapat dibuktikan dengan teori- teori. Teori yang digunakan dalam penelitian ini bersifat eklektik yang meliputi: Teori wacana (Michel Foucault), wacana atau diskursus dipahami sebagai penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran tentang orang, pengetahuan, dan sistem abstrak pemikiran—yang menurutnya semuanya itu tidak terlepas dari relasi kekuasaan melalui mekanisme-mekanisme selektif yang negatif (Foucault, 2002: 228)., agenda setting (Weber), Teori agenda setting adalah teori yang menyatakan bahwa media massa berlaku merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa. Teori framing, adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Analisis framing dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media (Mulyana, 2002: 3). Teori semiotika adalah teori yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia (Hoed, 2011: 3). Artinya, apa yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Semiotika adalah teori untuk mempelajari segala sesuatu yang digunakan dalam komunikasi, seperti kata, gambar, tanda lalu lintas, bunga, musik, gejala, atau tanda berkenaan dengan ilmu kedokteran, dan banyak lagi yang lainnya (Seiter, 1992: 31) dan Teori komodifikasi merupakan kata kunci yang dikemukakan oleh Karl Marx sebagai ’ideologi’ yang bersemayam di balik media. Proses berlasungnya industrialisasi di media massa yang sangat industrialis pada media cetak menyebabkan adanya komodifikasi. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis wacana, agenda setting, dan framing pemberitaan Bali TV. Di samping itu itu, juga menganalisis tanda-tanda visual dalam liputan Bali TV yang digunakan untuk menyampaikan wacana tertentu. Untuk memahami proses pembentukan wacana atas “pembubaran desa pakraman” dalam liputan Bali TV pascabentrok Kemoning-Budaga. Untuk mengetahui faktor-faktor pembentukan wacana atas “pembubaran desa pakraman” dalam liputan Bali TV pascabentrok Kemoning-Budaga. Untuk mengungkap wacana tanding atas “pembubaran desa pakraman”.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan paradigma wacana kritis dengan pendekatan fenomenologis dan metode kualitatif. Berbagai langkah konkret dirancang untuk memungkinkan proses penelitian dapat dilakukan yaitu: metode kualitatif, penetapan jenis sumber data, penentuan informan, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik penyajian hasil penelitian. Sumber data dokumentasi Bali TV oleh KPID Bali, internet (website) youtube, berupa berita Bali TV dan berita-berita online yang diunggah oleh berbagai media dan masyarakat. Data yang diperoleh berjumlah tiga puluh rekaman berita Bali TV dan satu rekaman siaran satu hari penuh. Data yang diambil sepuluh rekaman siaran berita Bali TV dari tanggal 19 September- Nopember 2011, dan sepuluh rekaman berita Bali TV rangkaian sidang Februari-April 2012 Gubernur Bali Made Mangku Pastika melawan Bali Post. Data yang diambil dirasa cukup karena data rekaman tersebut saat terjadinya peristiwa dan sidang di pengadilan Negeri Denpasar dimana opini dan pemberitaan dengan itensitas wacana sangat tinggi. Sesuai dengan metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini, maka analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretatif mempergunakan analisis wacana Eriyanto (2005). Analisis wacana untuk mencari mengetahui isi teks berita, dan pesan yang disampaikan. Analisis data merupakan proses mencari dan menyususn secara sistematis hasil wawancara, observasi, dan bahan-bahan dokumen. Data

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

391

yang berkaitan dengan sejarah perkembangan televisi lokal, yang menjadikan berita media Bali TV sebagai produk televisi sebagai wacana dalam menyebarkan ideologinya. Data penelitian ini dianalisis dalam empat tahap. Tahap pertama, analisis dilakukan untuk memeroleh gambaran umum dan menyeluruh tentang situasi sosial yang diteliti yang merupakan objek penelitian. Pada tahap kedua, analisis dilakukan terhadap keseluruhan data yang terkumpul secara lebih terperinci dan mendalam. Data yang dianalisis pada tahap kedua ini meliputi berbagai fenomena wacana media massa dan keterlibatan atau partisipasi para ahli media massa di Kota Denpasar dan Provinsi Bali. Tahap ketiga meliputi keterlibatan lembaga penyiaran dalam memproduksi, mereproduksi, dam mendistribusikan siaran beritannya. Tahap keempat, yaitu analisis wacana berita media Bali TV oleh para ahli media massa terhadap wacana dan makna ideologi yang ditawarkan. Artinya relasi kekuasaan media dan pemerintah dalam hal ini Gubernur Made Mangku Pastika melawan Bali Post.

HASIL DAN PEMBAHASAN Media massa kontemporer tidak saja menjadi media masyarakat yang merefleksi kepentingan masyarakat secara luas, namun terpenting adalah media massa menjadi bagian dari institusi kapitalistik yang menyuarakan kepentingan pemilik kapital tertentu. Dengan demikian, selain media massa memiliki visi untuk mencerdaskan masyarakat, namun juga pencerahan yang dilakukan oleh media massa terkadang sangat tendesius dan memihak pada para pemilik modal. Posisi ambivalen ini sering menyulitkan media massa sendiri, karena ternyata visi kapitalisme menjadi model produksi media massa dengan dalih ’revitalisasi institusional’ padahal dalih ini hanya sebagai langkah ambil untung dalam model produksi kapitalis. Jadi, ketika alasan revitalisasi institusional ini digunakan sebagai alasan liberalisasi pemberitaan dan informasi, maka terkadang media massa tidak lagi mempertimbangkan moral sebagai satu-satunya alat mengontrol langkah mereka. Dari sini kita dapat memahami mengapa model pemberitaan media massa kapitalis begitu mengabaikan kepentingan masyarakat, karena dominasi aksi ambil untung (komodifikasi) menjadi kiblat mereka dalam setiap langkah dan model produksi yang mereka terapkan. Salah satu model produksi media kapitalis dimaksud adalah selalu merefleksi realitas sosial yang sangat ekstrem di masyarakat. Ada tiga isu abadi dalam dunia jurnalisme kapitalis Indonesia, yaitu harta, tahta, dan wanita. Ketiga isu ini menjadi realitas sosial yang dikontruksi secara bergantian menjadi realitas media. Ada semacam dialektika dalam model produksi media kapitalis, bahwa media senantiasa merefleksi kepentingan kapitalis dengan berbagai cara dan argumentasi mereka untuk mempertahankan hidup, sedangkan kapitalisme senantiasa merefleksi masyarakat itu sendiri. Jadi proses ini saling menghidupkan, di mana media dihidupkan kapitalis, sedangkan kapitalisme mencari keuntungan dari sisi buruk kebutuhan masyarakat (Bungin, 2005: 110). Kapitalisme pers pada awalnya bukan motivasi awal kelahiran pers di Bali (1924), dengan terbitnya Newsletter Santi Adnyana. Motivasi awalnya adalah semangat untuk mencerdaskan masyarakat, mendorong mereka untuk berpikir dan berbuat maju sesuai dengan keadaan. Unsur pendidikan jauh lebih menonjol dari pada aspek bisnisnya. Media massa diterbitkan organisasi sosial dengan missi sosial. Dalam perjalanan berikutnya, sejarah juga mencatat betapa pers di Bali terlibat langsung dalam gerakan perjuangan bangsa baik pada masa penjajahan maupun dalam masa kemerdekaan, terutama untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih bangsa Indonesia. Komitmen kebangsaan, pengabdian dan itikad untuk mencerdaskan bangsa begitu kental menjiwai perjalanan pers di Bali. Namun seiring dengan perkembangan jaman, pers pun mengalami dinamika internal dan eksternal. Teknologi informasi yang demikian pesat dan bersifat padat modal telah memaksa pers kembali berhitung menyangkut aspek-aspek bisnis yang menyertainya. Secara yuridis diundangkannya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers pun kembali memberi legitimasi yuridis. Dalam pasal 2 UU tersebut amat jelas disebutkan selain sebagai lembaga sosial juga lembaga ekonomi. Berangkat dari sinilah sejumlah pengelola media seakan-akan memperolah pengesahan yuridis untuk menonjolkan aspek bisnisnya dalam pengelolaan pers, termasuk di Bali.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

392

Terkait dengan sumber daya manusia, ada semacam kegelisahan di kalangan jajaran pers bahwa begitu gampangnya orang mendirikan perusahaan pers hingga komitmen, kompetisi, dan kapabilitas para jurnalis yang dipekerjakan acap kali menjadi sorotan. Dengan mendirikan perusahaan pers maka dengan sekejap seorang mantan tukang ojek, pedagang dan bahkan pengangguran bisa menjadi wartawan. Potret semacam ini pada gilirannya merusak citra wartawan dan pers itu sendiri. Di sisi lain, tumbuh dan berkembangnya perusahaan pers tanpa kendali meyebabkan masing-masing perusahaan pers dengan segala daya berupaya mempertahankan eksisitensi kehidupan lembaganya. Tak pelak tingkat persaingan untuk memperebutkan pendapatan dari sektor periklanan pun begitu ketat. Padahal, justru dari sektor inilah sejatinya kontribusi terbesar pendapatan media massa. Dari sinilah konflik kepentingan antara pengelola media yang bermisi sosial dengan bermisi bisnis mulai terjadi. Tarik-menarik kepentingan itu begitu ketat, terlebih lagi ketika menyangkut kelangsungan hidup media tersebut. Pada akhirnya, realitas tersebut yang mendorong pengelola media mulai berpikir pragmatis dengan memasuki wilayah-wilayah yang sebelumnya sama sekali tidak tersentuh. Dalam persoalan pemberitaan politik misalnya, sebelumnya tidak pernah terjadi kebijakan media untuk memperlakukan informasi politik sebagai komoditas yang daripadanya diharapkan diperoleh sejumlah pendapatan. Namun fakta kini menunjukkan lain. Dalam perhelatan politik, sejumlah media cetak tanpa canggung mengenakan tarif terhadap pemuatan politik terutama berkaitan dengan kegiatan kampanye kandidat bersangkutan. Implikasi dari kebijakan ini amat jelas. Hak publik untuk memperoleh informasi yang jernih, kritis dan bermakna diabaikan oleh media. Ruang publik yang seharusnya netral dikelola oleh media menjadi terkontaminasi. Media begitu melakukan “perselingkuhan” politik dengan para tokoh politik hingga media sekadar berfungsi menjadi corong alat propaganda para politisi. Dalam kondisi ini terjadi hegemoni oleh media sedemikian rupa hingga publik secara sadar menerima informasi yang dikemas media oleh karena tidak ada pilihan informasi lain. Hegemoni ini terjadi begitu halus dengan kemasan produk informasi sedemikian rupa. Realitas semacam ini sungguh-sungguh memuculkan kegelisahan dan kecemasan akan nasib media, hak publik, dan proses pendidikan politik yang semestinya terus diupayakan. Kegelisahan akan nasib media terjadi dalam bentuk kekhawatiran bahwa media massa akan makin terseret dalam aroma kepentingan bisnisnya hingga akhirnya melupakan akar sejarahnya, jati dirinya dan sisi sosial dan idealismenya. Ada kekhawatiran bahwa produk informasi yang dimiliki berdampak amat besar dalam berbagai kehidupan, akan disamakan dengan produk material lainnya yang dijual di berbagai mall dan supermarket. Jika itu yang terjadi, maka informasi niscaya makin tak punya makna, makin banal dan tidak mampu meningkatkan kualitas peradaban dan kehidupan manusia. Begitu pula hak publik untuk memperoleh informasi yang luas, berimbang, jujur, jernih dan mencerdaskan akan makin jauh dari harapan. Implikasinya, proses pendidikan politik bangsa akan makin mandeg atau jalan ditempat. Kekhawatiran paling dalam adalah bahwa fenomena yang menyeret berbiaknya kapitalisme media akan menyebabkan perkembangan media yang keropos di satu sisi dan kualitas kehidupan demokrasi yang stagnan di sisi lain. Berangkat dari kenyataan ini kiranya sejumlah penataan yang melembaga seyogyanya mulai dilakukan jajaran pers di seluruh tanah air. Penataan dimaksudkan agar kebebasan pers yang telah diraih saat ini tidak berubah menjadi bumerang yang justru akan merusak tatanan pers di satu sisi dan sendi-sendi peradaban dan kemanusiaan di sisi lain. Oleh karena itu, beberapa rekomendasi berikut patut dijadikan bahan pemikiran. Pertama, penataan kualitas dan standar kelembagaan hendaknya terus didorong dan diwujudnyatakan. Jika saat ini Dewan Pers telah melakukan verifikasi terhadap organisasi wartawan maka tahap selanjutnya verifikasi juga mutlak perlu dilakukan terhadap perusahaan pers. Entah lembaga mana yang melakukan yang jelas publilk wajib tahu dan dibuatkan standard perusahaan pers mana yang dinyatakan sehat dan tidak sehat. Pada tahap selanjutnya standar verifikasi itu digunakan sebagai acuan jika seseorang hendak mendirikan perusahaan pers. Kedua, penataan kualitas standar kompetensi kewartawanan juga mutlak perlu dilakukan. Wartawan sebagai profesi mesti ditempatkan secara terhormat dan untuk memperoleh predikat tersebut tidaklah mudah. Entah lembaga mana yang menyelenggarakan standard kompetensi menjadi seorang wartawan haruslah diwujudkan. Jika seseorang hendak bekerja sebagai wartawan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

393

pada sebuah perusahaan pers, yang bersangkutan mestilah memiliki semacam sertifikat bukti kelulusan sesuai standard kompetensi yang diatur. Dengan demikian dapat diyakinkan mereka benar-benar terjamin integritas, kualitas intelektual, dan menjadi wartawan terampil. Ketiga, Dewan Pers seyogyanya mulai memikirkan regulasi dan soal patut/tidaknya sebuah informasi dikomodifikasikan. Kalau memag patut, regulasi dan sanksi yang tegas perlu diberlakukan agar publik tidak menjadi korban hegemoni oleh media yang menjadi agen produksi wacana. Yang juga jauh lebih penting adalah, Dewan Pers agar mendorong revisi UU 40 Tahun 1999, dengan mengatur secara tegas bahwa pemilik media tidak boleh langsung terjun ke ranah politik, dengan menjadikan medianya sebagai alat propaganda politik. Jika terjun ke politik, yang bersangkutan seharusnya keluar dari pengelolaan dan pemilikan media. Dengan upaya-upaya itu, tentu diharapkan media masa memerankan fungsinya secara tepat dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi pengembangan kualitas dan peradaban umat manusia dan kualitas kehidupan secara keseluruhan. Jika demikian, media dapat menempatkan dirinya sebagai literasi media sehingga keluhan Frank Miller Jr. menjadi benar “Ketika Anda menulis untuk menyenangkan orang lain, Anda tidak lagi berada di dunia jurnalistik tetapi Anda berada di dunia pertunjukan.

SIMPULAN Pertama, proses produksi, reproduksi, distribusi dan konsumsi berita pascabentrok Kemoning-Budaga, Gubernur: “Bubarkan Saja Desa Pakraman”. Sebagai wacana dari Bali Post dalam teks berita tersebut secara berkelanjutan, berkembang ceritanya berdasarkan kondisi yang memengaruhinya dan ideologi dominan dari media dan didistribusikan kepada pemirsa. Bagaimana sebuah berita juga merupakan sebuah narasi. Hal itu berarti bahwa berita mengikuti atau memenuhi syarat-syarat sebagai suatu narasi proses konstruksi realitas. Di mana berita merupakan sebuah rangkaian peristiwa pascabentrok Kemoning-Budaga dirangkai dengan kunjungan gubernur, yang dilanjutkan dengan berita pada sidang paripurna DPRD Provinsi Bali. Jurnalis tidak mungkin hanya meliput satu peristiwa sebab bila hanya meliput satu peristiwa yang diangkat, maka peristiwa tersebut menjadi tidak bermakna. Selanjutnya konsumsi wacana Bali TV didasarkan pada pasar, uang dan keuntungan sebagai konsekuensi kapitalisme media. Kapitalisme media merupakan segala wacana yang dikonsumsi harus menghasilkan capital. Seperti wacana ‘pembubaran desa pakraman’ juga terdapat running text yang menyertai opini tersebut. Ini menandakan bahwa wacana yang dibangun Bali TV tidak mengorbankan unsur bisnis yang menyertainya. Karakter pengusaha Bali TV secara kasat mata telah ‘terlibat’ ke dalam dunia politik dan menjadi alat kepentingan pemiliknya. Seperti konflik Bali Post dan Gubernur Bali Made Mangku Pastika, Bali TV menproduksi wacana ‘pembubaran desa pakraman’ beritanya disetting dan diframing menghasilkan wacana berita yang tidak berimbang (memiliki kepentingan politis) dan tanpa dikonfirmasi, sehingga Bali Post dapat dikatakan melanggar Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik. Kedua, faktor-faktor yang mendukung proses pembentukan wacana atas “pembubaran desa pakraman” dalam liputan Bali TV pascabentrok Kemoning-Budaga, sebagai angel berita Bali TV secara kritis membangun wacana yang cukup progresif, sehingga wacana ini memberi efek mengagetkan masyarakat umum apakah benar gubernur Bali membubarkan desa pakraman. Berikutnya yang mendukung pembentukan wacana adalah pertikaian atau konflik sosial merupakan wacana yang menjadi perhatian khalayak sebagai produk wacana budaya media. Hubungan kekuasaan budaya media merupakan pergulatan antara kelompok, termasuk pergulatan KMB dengan Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Ketiga, wacana tanding atas “pembubaran desa pakraman” dalam liputan Bali TV, pascabentrok Kemoning-Budaga, gubernur melakukan mobilisasi dengan pengumpulan tokoh- tokoh masyarakat, pers dan agamawan untuk memberikan klarifikasi secara langsung. Dengan klarifikasi tersebut gubernur melayangkan somasi sebagai wacana perihal pemberitaan “pembubaran desa pakraman”. Agenda setting Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengirimkan somasi ke Bali Post sebagai wacana tanding yang subtansinya hak jawab prihal pemberitaan ‘pembubaran desa pakraman’. Tidak hanya sampai pada somasi gubernur juga mengadukan prihalnya kepada Dewan Pers, institusi yang mengurusi kinerja jurnalistik. Dewan Pers kemudian mengeluarkan pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR) Dewan Pers No. 09/PPR-DP/XI/2011 tentang pengaduan Gubernur Bali Made Mangku Pastika terhadap Bali Post. Interpretasi secara

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

394

akademik atas wacana yang berkembang menjadi wacana tanding gubernur dengan diterbitkannya buku karya Samsul Wahidin, dengan judul “Dimensi Etika dan Hukum Profesionalisme Pers”. Berikut nya bedah buku, seminar di UNWAR dan UNUD secara akademik membahas wacana media yang berkembang. Beberapa pernyataan yang mengkritisi Bali Post dan Bali TV, serta pemilik media ini diunggah oleh Humas Pemerintah Provinsi Bali di berita online YouTube sebagai wacana tanding dari gubernur.

DAFTAR PUSTAKA Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan Dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Barker Chris and Dariusz Galasiñski. 2001. Cultural Studies and Discourse Analysis: A dialogue on Language and Identity. Sage Publication: London. Thousand Oaks. New Delhi. Barker, Chris. 2004. Culture Studies, Teori dan Praktek. SAGE Publicatio Bungin Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Kencana: Jakarta. Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jalasutra: Yogyakarta. Foucault Michel. 1978. Arkeologi Pengetahuan. IRCiSoD: Jogjakarta. Mosco Vincent. 2010. The Political Economy of Communication. SAG Wahidin Samsul. 2012. Dimensi Etika Dan Hukum Profesionalisme Pers. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

MODAL SOSIAL INSTITUSIONAL PITA MAHA (PRAKTIK SOSIAL PELUKIS BALI 1930-AN)

I Wayan Adnyana Prgram Studi Sei Rupa Murni. Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni ndonesia Denpasar [email protected]

Abstrak Seni lukis yang merupakan pengembangan mutakhir dari seni lukis klasik wayang Kamasan. Pola pengembangan tidak saja tentang teknik artistik, tetapi juga menyangkut paradigma estetik. Penciptaan dan penyebaran paham seni lukis yang berjarak dari pola stilistik moyang wayang Kamasan, berikut membiakkan seni lukis sebagai media ekspresi personal. Para pelaku seni dan patronis mengonsolidasi praktik seni dalam lintasan fungsi yang tertata dan profesional. Agen baik itu puri, pelukis Bali, pelukis negeri manca, maupun kolektor dan dealer bersatu dalam gerakan sosial seni bernama lembaga Pita Maha. Sesungguhnya Pita Maha juga memayungi genre seni patung, tetapi penelitian ini lebih memfokuskan pada tilas seni lukis saja. Penggunaan metode sosio-sejarah akan menggali lebih jauh karakteristik dan model modal sosial-institusional yang melahirkan sekaligus mempopulerkan ideologi seni lukis generasi Pita Maha. Topik ini juga menjadi bagian penting dari penelitian disertasi penulis yang berjudul Pita Maha: Gerakan Sosial Seni Lukis Bali 1930-an. Pembahasan menyangkut modal sosial-institusional meniscayakan pendalaman dan eksplorasi lebih utuh tentang konstruksi sosio-historis kelahiran lembaga Pita Maha. Berikut penelusuran aspek-aspek modal sosial yang mewujudkan kelahiran Lembaga Pita Maha, sehingga seni lukis Bali mengalami perkembangan luar biasa, baik dari segi “ideologi” estetik, maupun dari kecakapan institusional para pelukis.

Kata kunci : modal sosial-institusional, pita maha

Abtracts The artwork is considered to be the latest development of classical paintings of Kamasan puppet. The pattern of development is not just on artistic technique, but also on aesthetic paradigm. Yet, the invention and development of painting concept, which were previously adopted from stylistic pattern of puppet Kamasan has successfully disseminated paintings as a medium of

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

395

personal expression. The artist and patron consolidated art practice in the art function, which was well ordered and professional. Agents including palaces, Balinese and foreign painters as well as collectors and dealers were united in arts social movement, named Pita Maha. Despite the fact that Pita Maha also encompassed the sculpture, this research focuses more on the path of paintings. Socio-historical method is applied to explore the characteristics and models of social capital- institutional ideology that brought forth and commercialized paintings on Pita Maha generation. This topic is also an important part of the writer’s dissertation entitled Pita Maha: Social Movement on Balinese Paintings in 1930s. The discussion on social-institutional capital enables expansion and exploration of a more complete socio-historical construction on Pita Maha existence. The study on social capital aspects, which embodies the initiation of Pita Maha, has constructed a tremendous growth of Balinese paintings, both in terms of aesthetic "ideology", and institutional competence of the painters.

Keywords: Pita Maha, Social-Institutional Capital

PENDAHULUAN Citra artistik seni lukis Bali tahun 1930-an memang jauh berbeda dengan apa yang penulis saksikan di masa kecil di desa yang lebih mengakrabi seni lukis wayang Kamasan. Setiap pura, seperti pada papan kayu yang menjadi dinding bale-bale pura (parbe), juga pada berbagai perangkat ritual, diantaranya: umbul-umbul, bendera (kober), seni lukis rerajahan (gambar bersifat magis yang dipakai dalam ritual Ngaben) dan kain korden (langse) selalu dihias seni lukis wayang Kamasan dengan beragam narasi mitologis. Bahkan sampai sekarang pun seni lukis wayang yang telah populer di masa raja Dalem Waturenggong memerintah Bali (abad XIV) itu, lengkap dengan tema naratif epos Mahabrata, Ramayana, dan juga ajaran mistis tradisional tetap tidak tergantikan sebagai bagian properti ritual keagamaan di Bali. Ketika lebih seksama melihat riwayat para pelukis Bali era ’30-an, ternyata mereka telah memiliki kemampuan melukis wayang Kamasan dengan sangat canggih jauh sebelum Pita Maha secara kelembagaan dibentuk. Anak Agung Sobrat telah memerlihatkan kecakapan dan daya serap dalam melukis sosok imajiner dunia wayang secara proporsional dalam karyanya tahun 1930, koleksi Museum Puri Lukisan. Karya tersebut memerlihatkan bagaimana kisah wayang dengan tokoh-tokoh satria, seperti Rama, Laksamana, Sugriwa, Hanoman dari petikan epos Ramayana dengan capaian proporsi wayang secara tepat dan pola komposisi memenuhi bidang kertas berukuran 46,3X59,1 Cm), ini secara visual telah mulai berjarak dari pola komposisi wayang Kamasan. Begitu juga pelukis lain, seperti Ida Bagus Made Poleng, I Ngendon, dan lain-lain karya- karya usia mudanya telah memerlihatkan kecakapan baik teknis maupun penguasaan atas mitos di balik tema wayang itu. Bakat melukis sejak usia anak-anak ini bahkan semakin tumbuh mekar dan menemukan ketegasan kreativitas bersifat profesional justru sejak aktifnya lembaga Pita Maha melakukan proses sosialisasi dan juga pembelajaran kreativitas bersama. Aktivitas saling menyambut antara lembaga Pita Maha dan para anggota pelukis yang bernaung di dalamnya, telah mencipta etos kreatif sehingga berhasil menelorkan karakter estetika seni lukis Bali yang baru. Keberadaan seni lukis Bali baru ini sangat berkait dengan suasana kolaboratif pelukis Bali dengan pelukis negeri manca, terutama Walter Spies dan Rudolf Bonnet ketika itu. Dua pelukis Barat ini dengan fasilitas punggawa puri Ubud, yakni Tjokorda Gde Raka Sukawati dan adiknya Tjokorda Gde Agung Sukawati, membuka ruang bergaul yang sangat luas dengan pelukis-pelukis setempat. Di samping juga peran para seniman Bali senior saat itu, seperti Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Gelgel, dan Ida Bagus Kembeng. Pendirian Pita Maha tahun 1936, dan Museum Puri Lukisan (diresmikan 1956) menjadi “jalan raya” dan muara dari arena pergerakan sosial seni yang berlangsung dekade ’30-an. Termasuk tentu saja berkait genome manusia Bali yang memiliki bakat seni sejak lahir, menjadikan suasana berkesenian tumbuh dan mekar justru pada era yang sesungguhnya dalam peta geo-politik dunia yang sedang kacau karena perang. Terkait dengan kompleksitas kelahiran seni lukis Pita Maha, peneliti ingin mengetahui dan menguraikan pemahaman modal sosial-institusional Pita Maha 1930-an, menjelaskan secara komprehensif peran modal-institusional dalam memayungi praktik sosial pelukis Bali 1930-an dan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

396

menjelaskan peran modal-institusional Pita Maha dalam merumuskan “ideologi” estetika seni lukis Bali 1930-an. Berdasar kepentingan untuk memeroleh hasil analisis yang komprehensif dari topik Modal Sosial-Institusional Pita Maha (Praktik Sosial Pelukis Bali 1930-an), dipergunakan landasan teori sosiologi Bourdieu yang kontekstual dengan bidang kajian seni dan juga sosio-budaya, yakni konsep Arena (fields), Modal (capital), Habitus dan Praktik (practice). Konsep Arena menurut Bourdieu, dirumuskan sebagai serangkaian manifestasi struktur agen-agen sosial yang terlibat dalam arena seni yang di dalamnya terdapat perjuangan dan pergulatan untuk memeroleh posisi oleh kepemilikan modal spesifik dalam jumlah tertentu sekaligus oleh posisi yang sudah kokoh di dalam struktur modal spesifik (1993: 30). Menjadi beralasan kemudian konsep ini lebih diposisikan sebagai “arena kekuatan (a field of Forces)” dan “arena pergulatan yang menantang (a field of struggles). Arena dalam semua waktu merupakan suatu sistem relasi objektif dari kekuatan antara posisi sosial dengan poin-poin simbolik: karya seni, manifesto artistik, deklarasi politik, dan seterusnya. Pemahaman konsep Arena dalam konteks lembaga Pita Maha, tentu saja secara komprehensif menelusuri struktur dari agen-agen dalam lingkaran ruang produksi seni lukis tahun 1930-an yang berkembang di Ubud dan desa sekitar. Berikut mengurai pergulatan dan pola relasi antar agen untuk mengakses sebuah nilai ideal yang dicita-citakan bersama dalam lembaga Pita Maha. Dalam praktek kreatif antara agen berlomba dengan modal kreativitas dan modal relasi yang dimiliki. Sementara konsep praktik yang dilakukan agen dilahirkan dalam lingkup habitus spesifik. Bourdieu mengajukan teori tentang Habitus, sebagai sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah pribadi. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang ada dalam suatu arena, dan berimplikasi kepada penyesuaian subjektif atas posisi tersebut. Secara singkat, habitus, merupakan produk dari sejarah, individu yang menghasilkan, dan juga kolektif, dengan demikian sejarah sesuai skema dilahirkan oleh sejarah (Bourdieu, 1977: 82). Menyangkut modal, Bourdieu mendefinisikannya dengan begitu majemuk, yakni menyangkut hal-hal material yang memiliki nilai simbolis, atribut “yang tidak tersentuh” tetapi memiliki signifikansi secara budaya, dan juga terkait dengan modal budaya yang di dalamnya termasuk selera dan pola-pola konsumsi (Harker, Mahar & Wilkes, 1990: 13). Dalam konteks lembaga Pita Maha, atau lebih khusus menyangkut kondisi arena seni pra-Pita Maha, sangat jelas bagaimana agen dengan kepemilikan modal budaya dan juga atribut sosial menjadi penentu keberlangsungan sirkuit praktekn kreatif, seperti hadirnya tokoh puri Tjokorda Raka Sukawati, dan juga pelukis pribumi senior seperti Gusti Nyoman Lempad yang tampil sebagai patron sosial. “the theory of the mode of generation of practice, which is the precondition for establishing an experimental science of the dialectic of the internalization of externality and the externalization of internality, or more simply, of incorporation and objectification” (Bourdieu, 1977 :72).

Praktik, sebagaimana konsep Bourdieu di atas jelas mengurai sebagai hasil dinamika dialektis antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior atau dinamika dialektis antara internalisasi segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial dengan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi menjadi bagian dari diri pelaku sosial (Rusdiarti, 2003 : 33). Teori praktik ini dipakai untuk menganalisis dinamika kreativitas pelukis Bali di tahun 1930-an, dalam hal menunjuk karya yang dihasilkan, akan terlihat ulang-alik antara dinamika internalisasi dan eksternalisasi tersebut. Adapun pola analisis yang dapat dikembangkan adalah, bahwa modal sosial-institusional Pita Maha, adalah [(habitus)(modal)]+arena=praktek, di mana praktek dihasilkan karena ada akumulasi antara arena, habitus dan modal. Bourdieu menolak pemahaman rumusan ini sebagai objektivikasi, bahkan diharapkan untuk melakukan upaya dinamis untuk membacanya.Terhadap subjek penelitian Modal Sosial-Institusional Pita Maha (Praktik Sosial Pelukis Bali 1930-an), rumusan ini lebih dipakai untuk membangun artikulasi dan analisis atas kondisi dan fakta yang dapat dirajut sebagai kompleksitas lintasan modalitas, arena, habitus, dan juga praktik seni.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

397

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan sejarah sosial seni, menggunakan teori sosiologi Bourdieu, dan kajian estetika berupa perspektif hermeneutika mendalam (depth-hermeneutical) oleh Thompson. Penelitian kualitatif, menurut Kirk dan Muller penelitian yang bersumber pada pengamatan kualitatif, lebih menekankan pada segi kualitas secara alamiah karena menyangkut pengertian, konsep, nilai serta ciri-ciri yang melekat pada objek penelitian (Kaelan, 2005: 5). Penulis memakai metode purposive sampling, yaitu menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal (Arikunto, 2002: 15). Sumber data penelitian karya seni lukis Bali ’30-an, notulensi wawancara, dan dokumen berupa katalog pameran Pita Maha dan majalah Djawa (terbitan Java Instituut) seputaran ’30-an dan ’40-an yang memuat publikasi Pita Maha.Data diperoleh dengan teknik observasi langsung, dokumen photo, wawancara, dan studi kepustakaan. Sementara instrumen pengambilan data meliputi tape recorder, daftar pertanyaan, dan kamera foto. Teknik analisis data dilakukan merujuk pada pendekatan sosiologi Bourdieu, dalam konteks penelitian ini menekankan pada analisis modal sosial-institusional seni, dan sejarah diakronik praktek seni lukis di Bali pada pra-Pita Maha, Pita Maha, dan pasca Pita Maha. Konsep praktik sosial seni menyangkut habitus, modal, dan arena. Karena praktik para agen diyakini hadir oleh peran habitus, kepemilikan modal majemuk, dan kondisi arena.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sejarah Mula: Warisan dan Tradisi Sejarah seni lukis Bali identik dengan rangkaian panjang pergerakan sosio-budaya manusia Bali dalam membangun pemetaan-perumusan konsep estetika dan capaian artistik visual. Evolusi konsep estetika berlangsung sejak adanya pengakuan resmi tentang profesi seni oleh raja Bali kuno, kisaran awal abad ke-11. Konsep estetika juga muncul pada mitos-mitos yang tersebar di Bali seperti terkisah dalam tutur dan cerita rakyat. Sementara capaian artistik yang dapat dinikmati sebagai bukti perjalanan panjang seni lukis Bali hingga kini, telah melahirkan beberapa langgam evolutif, dari tradisi seni gambar yang bersifat magis-sakral, seni relief di dinding gua pertapaan, mazab seni lukis klasik wayang Kamasan, Klungkung, hingga kemudian langgam Pita Maha tahun ’30-an. Konsep estetika visual dan teknik artistik seni lukis memang harus disebut mengalami pergerakan progresif di akhir tahun 1920-an hingga 1930-an lewat kelahiran langgam seni lukis baru yang kemudian lazim dikenal sebagai seni lukis Pita Maha. Namun, sebelum menyoal capaian artistik dan konsep estetika seni lukis Bali baru ini, menjadi penting untuk menelusuri konsep seni yang dirumuskan oleh raja Bali Kuno tentang pengakuan sah profesi seni lukis, yang tentu saja menjadi fondasi pergerakan seni di masa berikutnya. Raja Bali kuno, yakni Marakata kisaran tahun caka 944 (1022 Masehi), menatah di prasasti Batuan adanya profesi citrakara (sebuah profesi bagi empu-empu yang piawai menggambar- melukis), istilah culpika (empu-empu di bidang pemahat/patung), dan istilah-istilah profesi seni lain (Gorris, 1954: 97). Citrakara adalah sebutan untuk profesi seniman lukis, senada dengan istilah “artist” dalam terminologi Barat yang merujuk pada pengertian “painter”. Raja merumuskan istilah “Citrakara” jelas sebagai bukti pengakuan legal bagi kelangsungan masyarakat pengusung profesi ahli seni lukis. Tersurat dalam lontar Tantu Panggelaran, Usana Jawa dan Niti Praja, menyatakan bahwa, Dewa Khayangan yang turun ke dunia untuk mengajarkan manusia keterampilan hidup. Karena para Dewa risau melihat manusia tidak ubah segerombolan binatang yang hanya tidur dan memakan makanan yang telah ada. Seni dan keterampilan belum dikenal oleh manusia. Maka para Dewa berinisiatif turun ke dunia untuk mengajarkan manusia berbagai bidang seni: Brahma mengajar soal teknik pembuatan senjata dengan bahan logam; Mahadewa mengajar teknik tempa emas dan perak; Citra Gotra untuk spesialis perhiasan; Bhagawan Ciptagupta mengajarkan seni lukis; Bhagawan Wiswakarma mengajarkan arsitektur (Sura dan tim, 2003: 109; Ramseyer, 2002: 60). Oleh para Dewa inilah tersurat dalam mitos profesi seni diajarkan kepada manusia. Sehingga

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

398

seni menjadi entitas sakral sekaligus kebanggaan komunitas, dan sebaliknya tabu jika melakukan kegiatan penodaan atas profesi seni, karena seni melekat dalam praktek kehidupan masyarakat Bali. Hubungan terintegrasi antara titah raja dan perangkat mitos ini, menempatkan akhlak profesi menjadi begitu tinggi. Seniman sebagai subyek; pemilik sah atas hak otonom seni, menjunjung profesi itu sebagai martabat kehidupan. Seni menubuh dalam nafas kehidupan; melekat sebagai ideologi, keyakinan spiritis, juga sebagai jalan dan laku sehari-hari. Saking melekatnya seni sebagai nafas hidup, terkadang manusia Bali di masa lalu tidak merasa perlu untuk mendefinisikan seni secara khusus. Andaikan pun ada upaya untuk mengkonstruksi soal pengertian-pengertian seni, secara epistemologi tentu akan berhadapan dengan bahasan seni yang berbaur-padu dengan kehidupan sehari-hari manusia Bali. Sebagaimana istilah yang berhubungan dengan seni yang terwarisi hingga kini-setidaknya dari literatur yang saya akses-hanyalah pada pemahaman seni sebagai profesi, seperti istilah-istilah: citrakara, culpika, dan lain-lain adalah semata untuk menunjuk pada profesi/kerja, bukan pada benda-benda seni yang dihasilkan. Berdasar otoritas yang dimiliki kaum Citrakara tersebut, terbukti di setiap generasinya memunculkan kebangkitan baru. Taruhlah pada generasi Sangging Modhara (pelukis tersohor di Kamasan pada akhir abad ke-19) menjejakkan pencapaian seni lukis wayang Kamasan, sebagaimana kita bisa lihat di langit-langit Gedong Kertagosa, Klungkung. Sementara generasi Ida Bagus Gelgel, Ida Bagus Kembeng awal tahun ’30-an mengorbitkan cara penalaran baru yang membumi dalam bertutur soal wiracerita. Berikut generasi Anak Agung Sobrat, Ida Bagus Made Poleng mengobarkan struktur gambar lebih realistik, dan mulai ada tanda-tanda pembongkaran mitos-mitos. Lihat misalnya Ida Bagus Made berani melukiskan barong sedang menuju sungai. Tentu cara pandang yang tak lazim di zamannya, di mana barong merupakan benda sakral. Sebuah ringkasan sederhana dapat dirangkai bahwa pada awal dekade kedua melinium ke- 2, Bali telah mengakui profesi seniman sebagai ruang otonom setiap individu pengusung profesi tersebut untuk berkarya sesuai garis profesinya. Sebagaimana citrakara sebagai label profesi, maka dapat dimaknai pula bahwa bagi masyarakat Bali berkesenian adalah totalitas pilihan hidup. Berkesenian bukanlah sekedar pengisi waktu luang. Seni menyatu dalam laku pikir dan totalitas kerja sehari-hari. Sementara teks seni lukis, yakni sebuah torehan bersubyek wayang pada lempeng tembaga ditemukan di Pura Kehen, Bangli, berangka tahun 1126 caka, atau 1204 masehi. Pada prasasti ini diterangkan Bhatara Guru Adikunti bertangan empat dengan lingkaran cahaya (prabha). Model prabha yang di Jawa baru mulai muncul zaman Majapahit. Banyak sumber menyebut torehan gambar pada prasasti yang indah ini menjadi tonggak evidensi seni lukis Bali. Kemudian baru berkaitan dengan panji-panji kejayaan raja Waturenggong, Klungkung abad ke-15, dengan warisan seni lukis wayang, lazim disebut dengan gaya klasik Kamasan. Kemunculan seni lukis wayang ini mencapai puncak keemasan (hampir bersamaan dengan Renaisance di Eropa) yaitu, ketika mazab seni lukis Kamasan, dengan citra wayang menjadi bagian integeral dengan riwayat ritual suci di seantero Bali, sampai abad ke-19. Secara teknik, lukisan wayang Kamasan mengutamakan pola pewarnaan sigarmangsi (pola penyusunan warna secara gradatif sepanjang garis limit subjek gambar), dan pewarnaannya dengan memanfaatkan warna-warna alam yang diolah secara tradisional. Warna dominan, adalah ocher, hitam, merah, biru dan putih. Secara visual, lukisan wayang Kamasan menekankan penuturan hierarkis wiracerita. Seni lukis Bali mengalami revolusi modernitas, yakni di era ’30-an dengan kemunculan mazab Pita Maha. Kehadirannya dimotori pelukis-pelukis yang tergabung dalam organisasi Pita Maha tahun 1936 di Ubud. Kemunculan mazab seni lukis baru ini boleh dikata lahir dari pusaran tiga induk artefak seni Bali tadi, yakni: gambar-gambar rajah yang sakral dan magis (bercitra surealistik), gestur naturalistik relief dinding pertapaan Yeh Pulu, dan citra wayang pada lukisan Kamasan. Selain oleh artefak tradisi lampau, kelahiran seni lukis baru tahun 1930-an juga muncul oleh kondisi Bali sebagai entitas kultural yang terbuka; berdenyut dalam etos penciptaan kultural yang berkesinambungan. Perjalanan tiap generasi pelukis Bali seperti menyintesakan warisan estetika masa lalu dengan eksplorasi yang bersifat personal. Mereka meramu estetika masa lalu dan melahirkan capaian baru yang otentik.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

399

Pendek kata, hampir seribu tahun seni rupa Bali telah berevolusi. Bermetamorfosa dari sosoknya yang “aristokrat” diamini oleh raja dalam fungsi sebagai bakti para empu kepada Yang Widhi (Maha Pencipta), berikut ke lingkup lebih sekuler agraris-pedesaan, hingga ke wujud terkininya sebagai ekspresi-eksperimental kreatif yang soliter.

Interaksi dan Modal Sosial-Institusional Baru Tradisi berkumpul dalam sebuah komunitas di Bali telah berlangsung turun-temurun, baik itu berbasis wilayah seperti organisasi banjar, berdasar geneologi/klan (dadia), atau pun solidaritas antar pemilik bakat-bakat khusus (sekaa) tertentu. Ketiga model organisasi ini harus dicatat sebagai modal sosial bagaimana generasi seniman Bali di tahun 1930-an merintis berdirinya komunitas seniman seni rupa. Norma dan nilai yang tumbuh dalam kemasyarakat manusia Bali sangat tegas mengurai sikap-sikap toleran dan terbuka, yang tentu saja merangkum prinsip-prinsip kejujuran dan kepercayaan dalam pergaulan. Terbukti bagaimana mereka hidup berdampingan bersama Walter Spies dan Bonnet dalam membangun suasana interaksi sosial-budaya yang intensif. Modal sosial yang terwarisi dari tradisi berkumpul dan berorganisasi memunculkan sikap terbuka dan adaptif terhadap pengaruh budaya luar. Bali secara kultural bersentuhan dengan Barat, tentu ketika pariwisata pertama rintisan pemerintah Hindia-Belanda tahun 1914 mulai dirintis; dimana Bali adalah salah satu destinasi yang harus dituju. Termasuk pula oleh ekspansi kolonial Belanda atas Bali pada akhir abad ke-19, dengan peristiwa perang di Jagaraga Buleleng, dan juga tahun pertama abad ke-20 pada perang Puputan Badung dan Klungkung. Dengan kekalahan Bali dalam perang inilah, praktis urusan administrasi pemerintahan dikontrol langsung oleh Hindia-Belanda di Batavia. Oleh pariwisata pertama untuk Bali ini pula, pemerintah kolonial menghendaki agar keunikan kebudayaan Bali; tentang pola laku keseharian masyarakat Bali yang agraris-religius untuk tetap dipertahankan. Tetapi visi pariwisata Hindia-Belanda yang berkeinginan atas kelestarian (lebih tepatnya isolasi) atas kebudayaan Bali, jelas sebuah jebakan untuk menjadikan Bali sebagai ruang kebudayaan yang tak berubah. Tentu sebuah strategi yang ahistoris; kalau berkaca bagaimana Bali berdenyut oleh berbagai perbauran kebudayaan luar (Cina, India, dan Jawa) di masa lalu. Ihwal pengaruh seni lukis Barat di Bali memang berjalan lewat sentuhan interaktif langsung. Sebagaimana pada akhir dasawarsa ‘20-an, serta pada seluruh dasarwarsa ’30-an di Bali ditengarai terjadi fenomena unik, yaitu ‘’intervensi’’ langsung dari seniman Barat, yang akan memberikan corak tersendiri pada perkembangan seni pedesaan Bali selanjutnya. Seniman Barat itu adalah Walter Spies dan Rudolf Bonnet, yang bersama-sama patron Puri Ubud, Cokorde Gde Raka Sukawati, mengayuh perkembangan ke arah pergerakan seni rupa Bali yang baru. Oleh Spies dan Bonnet pelukis-pelukis Ubud, seperti Ida Bagus Made Poleng, Anak Agung Sobrat, Dewa Putu Bedil dan lain-lainnya, dapat diduga memang diperkenalkan pada pandangan- pandangan artistik seni lukis Barat, entah menyangkut pola komposisi, plastisitas kebentukan atau pun menyangkut tema. Namun oleh sikap artistik yang terbuka-lintasan pengetahuan Barat dan keyakinan artistik leluhur-oleh para pelukis Bali disintesakan ke arah model kreatif baru seni lukis Bali moderen. Memang ada peran Bonnet dan Spies dalam penampilan seni lukis Bali ke arah seni lukis yang baru ini. Tetapi sepuluh Bonnet dan Sepuluh Pita Maha tidak akan dengan sendirinya menumbuhkan seni lukis baru Bali jika tidak terdapat kelentural jiwa pelukis Bali sendiri untuk menempatkan hal-hal baru dan kesiapan mereka untuk berubah (Yuliman, 2001:301). 29 Januari 1936, Pita Maha, organisasi seniman Bali diproklamasikan dengan prakarsa Tjokorde Raka Sukawati, Tjokorde Gde Agung Sukawati, Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Gusti Nyoman Lempad. Nama Pita Maha diambil dari bahasa kawi (Jawa Kuno), yang berarti leluhur yang agung; menunjuk kepada sakti dari Brahma yakni Saraswati, dewi ilmu pengetahuan. Sebagai ketua dipilih Ida Bagus Putu, dengan sekretaris Tjokorde Gde Rai (punggawa puri Peliatan). Rolf Neuhaus pemilik galeri dan juga tempat hiburan berupa akuarium ikan di Sanur, ditunjuk juga sebagai sekretaris di tahun 1936. Berikut dipindahkan kepada Marianne van Wessem, di tahun 1938. Kepengurusan dan anggota sepertinya telah mengakomodasi semua tingkatan sosial di Bali, termasuk komponen penyangga seni seperti galeri. Selain membawahi pelukis, anggota Pita Maha juga dari kalangan pematung dan pemahat. Total jumlah seniman yang tergabung antara 120-150 orang (Couteau, 1999: 30-31).

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

400

Aktivitas Pita Maha sangatlah padat, sehingga dengan cepat bisa populer. Couteau (1999) juga menerangkan bahwa pameran pertama di gedung Sesono Budoyo Yogyakarta, 1936, atas dukungan kunstkring. Pada giliran berikut, dilangsungkan di Kunstkring Batavia (1936, 1937,1939), di Bandung (1936, 1938), di Tegal (1938), Medan, Palembang dan Surabaya (1939). Di luar negeri, pameran dilangsungkan di tempat-tempat prestisius, seperti Koninklijk Kolonial Instituut, Belanda, juga di Paris, New York, dan Nagoya. Selain itu juga di galeri privat di beberapa negara seperti India, Eropa, dan Amerika. Terlebih Bonnet juga berinisiatif untuk memamerkan karya-karya pelukis Pita Maha ke mana-mana, terutama dengan mengadakan hubungan dengan Nyonya J. de Loos-Haaxman, komisaris dari Bon van Kunstkring dan dengan Ver v. Vrienden van Aziatische Kunst (Perkumpulan Pencinta Seni Asia) di Negeri Belanda. Dengan terjalinnya hubungan ini, hasil karya anggota Pita Maha bisa dipamerkan di Museum Aziatische Kunst-Amsterdam, di Kunstzal van Lier-Amsterdam, di Pulchri Studio-Den Haag, dan di Calman Gallery-London (Dermawan T, 2006: 30-31). Selain menjalin hubungan dengan para kolektor dan pencipta seni, seni lukis Pita Maha juga direspon dengan sangat baik oleh kalangan kritikus seni. Birnbaum membandingkan lukisan Batuan dengan karya Douanier Rousseu dan lukisan Ubud dengan Beardsley-pelukis yang dikagumi Bonnet, di mana karya awal Bonnet banyak terinspirasi dari pelukis ini. Bahkan tahun 1940, kritikus seni terkenal Jo de Gruyter menulis keindahan patung Bali dengan keistimewaan dalam hal keseimbangan atas alam, dan juga gaya stilistiknya, sementara seni gambarnya ditulis sebagai sesuatu yang simbolik dan naturalistik (Hinzler dalam Couteau, 1999: 31) Nama-nama anggota Pita Maha pun mulai dikenal dan kemudian populer, seperti Anak Agung Sobrat, Anak Agung Meregeg, Ida Bagus Made Poleng, Gusti Ketut Kobot, Anak Agung Raka Puja, Nengah Madia, Ketut Tungeh, Dewa Putu Bedil, Wayan Tohjiwa, dan lain-lain. Karya- karya mereka selain mengobarkan identitas kolektif dengan karakter Bali yang khas, juga mengajukan pencapaian pribadi yang memukau.

Pita Maha: Praktik Sosial Seni Lukis Bali Lembaga Pita Maha merupakan organisasi seniman yang gemilang dengan prestasi. Keanggotaannya meliputi berbagai profesi seni rupa di Bali. Kegemilangan tersebut dapat dicatat selain karena berhasil merumuskan konsep stilistik perupaan baru pada seni lukis Bali, juga sukses mempopulerkan puluhan pelukis dengan bakat-bakat genial. Generasi pertama Pita Maha inilah yang menemukan teknik seni lukis Bali, dengan tahapan-tahapan proses yang sistemik. Tidak lagi menganut pola pewarnaan sigarmangsi; warna disusun gradatif dari terang ke gelap, dengan menggunakan warna alam, seperti dalam lukisan wayang Kamasan, melainkan diolah semakin rumit, berlapis, dan memakan waktu relatif lama. Secara umum teknik seni lukis Pita Maha diawali proses sketsa (ngorten), biasanya untuk merangkai narasi dan komposisi dalam pola-pola gambar yang kasar. Kemudian membuat karakter gambar (nampad) untuk membubuhi ketegasan batas limit juga membuat karakter subjek gambar, biasanya dengan garis tinta china. Berikutnya memoles terang-gelap (ngabur) juga dengan tinta china yang diencerkan. Setelah terang gelap, kemudian diberi aksen warna putih untuk membuat kesan volume (nyelah). Tahap selanjutnya pewarnaan (ngewarnain) dengan warna tempera yang sangat encer. Kemudian baru membuat detail (nyawi) dengan membuat garis tegas pada bagian ornamen dan lain-lain. Terakhir memberi aksen warna pada bagian yang menonjol untuk memberi ketegasan plastis dan drama penyinaran (nyenter). Sangat panjang tahapan proses yang dilalui sehingga kerumitan dan kedalaman warna dalam karya seni lukis ini dapat dirasakan. Selain soal teknik melukis, revolusi paling fundamental yakni munculnya kesadaran untuk mengajukan subjek figurasi manusia dalam tema-tema keseharian sebagai tema karya. Termasuk di dalamnya terkait kisah tentang aktivitas ritual di pura, suasana panen padi di sawah, prosesi festival tradisional di sebuah desa, suasana keramaian pasar, dan juga kehidupan binatang. Andaikan pun figurasi wayang dan narasi dunia pewayangan sesekali tetap menjadi tema lukisan, namun secara citra figurasi dan komposisi telah mengalami perkembangan ke arah lebih naturalistik. Ada penggarapan unsur volume, dan juga mulai masuknya perspektif dalam seni lukis. Secara ringkas dapat dijelaskan, bahwa capaian pelukis Pita Maha tidak lagi secara utuh dan bulat melanggengkan langgam seni lukis wayang klasik Kamasan. Baik dari segi tema yang telah

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

401

berkembang, juga pelukisan detail figurasi manusia mengalami perombakan luar biasa; figur wayang yang pipih tetap menjadi mata air pijakan kreatif, kemudian dinaturalisasi untuk semakin mendekati kebenaran objektif proporsi manusia biasa. Teknik melukis juga dikembangkan semakin rumit demi mencapai plastisitas objektif figurasi dan juga keriuhan suasana pemandangan. Begitu juga komposisi subjek gambar pada seni lukis baru ini, begitu memenuhi bidang gambar, nyaris tidak menyisakan ruang kosong. Sementara seni lukis wayang Kamasan, ruang kosong dihargai sebagai ruang langit, hanya dibubuhi beberapa motif ragam hias bercitra awan, selebihnya dibiarkan tetap putih. Seni lukis Pita Maha yang kemudian tetap dirayakan sampai kini, membiarkan kerumitan dan ruang yang penuh itu sebagai ruang bertutur tentang keutuhan alam Bali, di mana kehidupan manusia berpadu utuh dengan elok suasana alam. Sangat banyak pragmen kehidupan yang ditawarkan dalam sebuah karya. Sehingga tidak mungkin menemukan fokus tunggal dalam sebuah lukisan. Keberadaan seni lukis Pita Maha boleh dibilang telah mencapai usia lebih dari 80 tahun, yang dalam perjalanannya selalu mengalami proses keberlanjutan dan transformasi tanpa henti hingga kini. Tiap lapis generasi baru muncul dengan tabiat kreatif anyar. Mereka melanggengkan langgam Pita Maha lebih ke arah perluasan konsep artistik, yakni upaya tiap generasi untuk merawat sekaligus menyebarkan warisan teknik melukis ala tahun ’30-an tersebut kepada komunitas sekitar dan juga murid-murid informal. Konsep pewarisan dan penyebaran inilah yang melahirkan tradisi pengempu keahlian melukis nan rumit ini. Dalam pandangan sosiologi, di sinilah habitus lahir dan bekerja. Seperti yang digariskan Bourdieu, habitus sebagai sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah pribadi. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang ada dalam suatu arena, dan berimplikasi kepada penyesuaian subjektif atas posisi tersebut (Harker, Mahar & Wilkes, 1990: 10). Secara singkat, habitus adalah produk dari sejarah, individu yang menghasilkan, dan juga kolektif, dengan demikian sejarah sesuai skema dilahirkan oleh sejarah (Bourdieu, 1977: 82). Dari sini dapat dianalisis bahwa lintasan gagasan kreatif dan juga kode-kode artistik yang dicipta tiap individu (generasi) pelukis Bali yang mana di dalamnya tetap menawarkan kode artistik langgam Pita Maha bisa dipandang sebagai disposisi habitus, baik itu disebabkan oleh sejarah pribadi (keluarga dan lingkungan tempat tinggal para pelukis) maupun kondisi bawah sadar.

SIMPULAN Modal sosial-institusional Pita Maha tahun 1930-an merupakan muara dari perjalanan panjang sejarah seni lukis Bali. Sejarah yang identik dengan rangkaian panjang pergerakan sosio- budaya manusia Bali dalam membangun pemetaan-perumusan konsep estetika dan capaian artistik visual. Evolusi konsep estetika berlangsung sejak adanya pengakuan resmi tentang profesi seni oleh raja Bali kuno, kisaran awal abad ke-11. Konsep estetika juga muncul pada mitos-mitos yang tersebar di Bali seperti terkisah dalam tutur dan cerita rakyat. Sementara capaian artistik yang dapat dinikmati sebagai bukti perjalanan panjang seni lukis Bali hingga kini, telah melahirkan beberapa langgam evolutif, dari tradisi seni gambar yang bersifat magis-sakral, seni relief di dinding gua pertapaan, mazab seni lukis klasik wayang Kamasan, Klungkung, hingga kemudian langgam Pita Maha tahun ’30-an. Konsep estetika visual dan teknik artistik seni lukis memang harus disebut mengalami pergerakan progresif di akhir tahun 1920-an hingga 1930-an lewat kelahiran langgam seni lukis baru yang kemudian lazim dikenal sebagai seni lukis Pita Maha. Pergerakan progresif organisasi Pita Maha menjadi modal sosial-institusional, modal yang berangkat dari kekuatan spirit kebersamaan antara pelukis, maesenas seni, dan kritikus dalam memperjuangkan ideologi estetika. Lembaga Pita Maha berhasil tumbuh menjadi organisasi seniman yang gemilang dengan prestasi karena modal sosial yang melekat pada organisasi ini. Kegemilangan tersebut dapat dicatat selain karena berhasil merumuskan konsep stilistik perupaan baru pada seni lukis Bali, juga sukses mempopulerkan puluhan pelukis dengan bakat-bakat genial. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2002), Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

402

Bourdieu, Pierre., (1977), Outline Of A Theory of Practice, Cambridge University Press, Cambridge. ______, (1993), The Field of Cultural Production, Colombia University Press, Colombia US. Couteau, Jean. 1999, Museum Puri Lukisan, Yayasan Ratna Warta, Ubud. DermawanT, Agus. (2006), Bali Bravo: Leksikon Pelukis Tradisional Bali 200 Tahun, Panitia Bali Bangkit, Jakarta. Gorris, Roelof. (1954), Prasasti Bali I, Lembaga Bahasa dan Budaya Universitas Indonesia, Jakarta. Gorris, Roelof, dan P.L. Dronkers. (1954), Bali Atlas Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta. Kaelan, MS. (2005), Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Paradigma, Yogyakarta. Rusdiarti, Suma Riella. (2003), “Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan”, dalam majalah Basis, No. 11-12, November-Desember 2003. Sura, I Gede., dan tim., (2003), Alih Aksara dan Terjemahan: Tutur Rare Angon, Siwa Guru, dan Tantu Panggelaran, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Denpasar. Yuliman, Sanento. (2001), Dua Seni Rupa (Sepilihan Tulisan), Ed. Asikin Hasan, Yayasan Kalam, Jakarta

INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MOTIF TENUN ENDEK DI KABUPATEN GIANYAR

Nyoman Dewi Pebryani, Dewa Ayu Sri Suasmini. Program Studi Desain Fashion, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected]

Abstrak Kain tenun endek merupakan kain khas Bali yang merupakan tenun ikat dengan tambahan teknik coletan atau nyantri pada benang yang diikat. Kain endek memiliki keragaman jenis dan motif yang perlu dikaji perkembangannya pada sebuah wilayah, khususnya kabupaten Gianyar sebagai salah satu tempat berkembangnya tenun endek sejak dahulu, serta memiliki banyak sentra pertenunan yang telah berdiri sejak tahun delapan puluhan. Penelitian diawali dengan inventarisasi motif tenun endek yang ada di lima pertenunan di Kabupaten Gianyar, kemudian dari motif-motif yang terkumpul diidentifikasi untuk mengetahui perkembangan motif tenun endek di Kabupaten Gianyar. Perkembangan motif tenun Endek secara garis besar diklasifikasikan dalam lima jenis ragam hias, yakni ragam hias bangun berulang, ragam hias patra, ragam hias karang, ragam hias manusia, dan ragam hias prembon.

Kata kunci: inventarisasi, identifikasi, motif tenun endek, Gianyar

Abstract Endek is a Balinese ikat woven with additional coletan or nyantri technique on the thread that tied. Endek woven cloth has diverse types and patterns that need to be identified and inventoried its development in a region, especially Gianyar Regency as one place which the development of endek woven cloth has been existed long time ago, and has a lot of weaving centers that have been established since the eighties. The research begins with inventory process of endek weaving motifs that exist in five weaving place in Gianyar regency, then from the collected motifs, its identified to determine the development endek woven motifs Gianyar regency. The development of endek weaving cloth broadly classified into five types of ornamentation types, namely ragam hias bangun berulang (repeated ornament), ragam hias patra (plants ornament), ragam hias karang (animal ornament), ragam hias manusia (human ornamentation), and ragam hias prembon (mix ornament). Keywords: inventory, identify, endek weaving motifs, Gianya.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

403

PENDAHULUAN Keragaman kain-kain tradisional dihasilkan oleh perbedaan geografis yang mempengaruhi corak hidup setiap suku bangsa di Nusantara. Perbedaan sumber kehidupan masyarakat turut mempengaruhi keragaman jenis kain dan ragam hiasnya. Unsur lingkungan telah menghasilkan keragaman teknik, jenis-jenis bahan, serta penciptaan peralatan yang pada akhirnya turut pula mempengaruhi hasil akhir sehelai kain. Aktivitas masyarakat yang berbeda-beda di setiap wilayah mempengaruhi nilai budaya dan adat istiadat yang diciptakan oleh leluhur atau pendahulunya. Filosofi kehidupan tertuang dan tercermin dalam adat, serta terjalin dengan kepercayaan dan agama yang dianutnya. Dalam kaitan dengan nilai-nilai kepercayaan, unsur-unsur ragam hias pada kain merupakan salah satu bentuk ekspresi pengakuan terhadap keberadaan, keagungan, dan kebesaran Tuhan, Sang Maha Pencipta kehidupan semua mahluk di dunia, hal mana tersirat pada sehelai kain yang mengandung makna tentang arti kehidupan, serta dalam selembar kain pula mampu mengungkapkan perjalanan sejarah sebuah bangsa. Pulau Bali sebagai salah satu pulau yang kaya akan artefak kebudayaan, memiliki peninggalan beragam tenun tradisional khususnya tenun ikat endek. Kain tenun khas Bali yakni endek merupakan tenun ikat yang ditenun dari helaian benang pakan yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna alami. Alat tenun yang dipakai adalah alat tenun bukan mesin. Ada satu teknik ikat yang berkembang khususnya di Bali yaitu pada penyempurnaan ragam hias ikat pada kain di bagian-bagian tertentu yang ditambah dengan coletan yang disebut nyantri. Nyantri adalah penambahan warna dengan goresan kuas dari bambu seperti orang yang melukis. Keindahan ragam hias pola nyantri ini ditekankan pada penyempurnaan warna hiasan berbentuk flora dan fauna serta motif-motif yang diambil dari mitologi Bali dan wayang. Motif-motif inilah yang menjadi ciri khas kain endek. Menurut Suwarti Kartiwa, (1993:10) dalam bukunya yang berjudul Ragam Kain Tradisional Indonesia mengungkapkan bahwa menurut para ahli suatu teknik menenun yang relatif baru berpengaruh di kepulauan Indonesia adalah teknik ikat pakan. Masuknya kain dengan teknik ikat pakan ini pada periode yang sama dengan dikenalnya benang sutera dalam perdanganan sekitar abad XIV dan XV. Gittinger dalam (Kartiwa, 1993:11), mengungkapkan bahwa daerah yang menghasilkan tenunan dengan desain benang emas dan perak terdapat di daerah-daerah yang sama dengan daerah yang membuat desain ikat pakan dan mempergunakan benang sutera, daerah itu adalah Sumatera, Jawa, dan Bali. Hal ini menunjukkan bahwa kain ikat pakan khususnya endek telah berkembang di Bali pada abad ke-15 dan masih terus berkembang hingga saat ini, oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mengetahui perkembangan motif tenun endek tradisional Bali melalui proses inventarisasi atau pengumpulan data hingga identifikasi mengenai perkembangan motif endek tradisional Bali yang telah berkembang selama ini. Berdasarkan data yang diperoleh dari Disperindag Propinsi Bali, sentra pertenunan endek di pulau Bali banyak berkembang di pulau Bali bagian timur, khususnya kabupaten Gianyar. Kabupaten Gianyar telah memiliki beberapa sentra pertenunan besar di tahun 1980-an yang masih bertahan dan berkembang hingga saat ini. Hal inilah yang membedakan Kabupaten Gianyar dengan kabupaten lainnya di Pulau Bali, sehingga proses identifikasi dan inventarisasi motif tenun endek tradisional Bali pada penelitian ini dilakukan di kabupaten Gianyar, disamping juga karena memiliki unsur historis dalam perkembangan endek di Bali. Kain tenun endek memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat Bali, sehingga diperlukan usaha untuk mengetahui perkembangan motif tenun endek melalui proses inventarisasi dan identifikasi jenis dan motif tenun endek di kabupaten Gianyar.

METODE PENELITIAN Pengumpulan data terbagi dua yakni data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer terdiri dari observasi yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan objek untuk mengidentifikasi jenis dan motif tenun endek tradisional Bali. Wawancara atau interview dilakukan kepada beberapa pengrajin serta pengamat endek untuk mengumpulkan data historikal atau sejarah tenun endek tradisional Bali. Selanjutnya pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

404

dokumentasi berupa buku harian, rekaman kaset, video, dan foto untuk menginventarisasi motif- motif tenun endek tradisional Bali. Analisis data dilakukan dengan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, kemudian melakukan sintesa dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungannya dengan kajian historis dari motif-motif yang didapat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Perkembangan Tenun Endek di Kabupaten Gianyar Kesadaran berkesenian dalam masyarakat Bali sudah mulai sejak dahulu, tradisi itu turun temurun hingga kini, demikian juga tradisi menenun kain di Bali. Menurut Lontar Purana Bali, menenun sebagai aktivitas seni dalam kehidupan masyarakat Bali dan kegiatan menenun merupakan kiat seni yang tinggi bagi gadis-gadis Bali pada zaman dahulu. Mulai tahun 1966, perkembangan kesenian Bali termasuk menenun cukup menonjol. Disamping motivasi yang kuat dari agama, kehidupan berkesenian Bali didukung oleh program pemerintah untuk menggali, melestarikan, dan mengembangkan kesenian Bali. Perkembangan ragam hias tenun Bali tidak terpisah dengan perkembangan ragam hias di daerah lain di Indonesia. Hal ini dapat dicermati melalui banyaknya ragam hias pola wayang yang tema pusatnya diambil dari Ramayana dan Mahabharata, pengaruh Cina berupa Barong Sae atau singa barong, pengaruh ragam hias Barat didominasi oleh ragam hias bangun berulang, kuta Mesir (Arab), dan Patra Welanda, semua ragam hias asing yang mempengaruhi ragam hias Bali dipadukan secara serasi oleh para perancang seni kain tenun Bali sehingga muncul ragam-ragam hias khas sebagai milik orang Bali. Keberadaan penenun tekstil tradisional Bali saat ini telah berkurang jauh, hal ini dikarenakan berbagai faktor penyebab, namun di beberapa daerah yang menjadi sentra-sentra tenun endek para pengrajin masih mempertahankan budaya menenun sebagai pekerjaan utama. Kerumitan pembuatan tekstil tradisional Bali yakni kain endek dan keunikannya yang merupakan warisan budaya turun temurun dari leluhur sudah seharusnya dipertahankan, terlebih pelestarian budaya yang memiliki nilai ekonomi seperti ini bisa dikemas dalam ekonomi kreatif, hal ini telah disadari oleh pemerintah selaku pendukung usaha daerah. Pemerintah Provinsi Bali telah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap keberadaan penenun tradisional Bali, menurut data yang didapat dari dinas perindustrian dan perdagangan Propinsi Bali menyebutkan beberapa kabupaten di Pulau Bali memiliki sentra kerajinan pertenunan endek, namun jumlahnya yang paling banyak terdapat di Kabupaten Gianyar. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam memberdayakan penenun tekstil tradisional Bali telah mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya seiring dengan pengenalan konsep ekonomi kreatif. Kabupaten Gianyar memiliki sentra-sentra pertenunan besar yang telah berkembang sejak tahun 1980-an seperti pertenunan Togog yang terletak di jalan besar Astina Utara, sentra-sentra pertenunan ini dulunya mampu memasok produksi hingga 3000m per bulan dan mampu mengekspor ke berbagai negara di Eropa, namun pada tahun-tahun berikutnya kemampuan produksinya semakin menurun dengan alasan berbagai hal.

Inventarisasi Motif tenun Endek di Kabupaten Gianyar Proses inventarisasi motif tenun endek dilakukan dengan mengunjungi 5 sentra pertenunan Endek di Kabupaten Gianyar untuk mendapatkan data-data mengenai motif yang telah diciptakan dan dibuat oleh masing-masing pertenunan sepanjang sejarah berdirinya pertenunan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan proses identifikasi dari proses inventarisasi motif tenun endek yang telah dilakukan sebelumnya.

Pertenunan Togog di Kota Gianyar Pertenunan Togog terletak di Kabupaten Gianyar, telah berdiri sejak tahun 1980-an, adapun karya endek yang telah dimiliki oleh pertenunan Togog adalah sebagai berikut:

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

405

Gambar 2. Motif tenun Endek Pepatran - Pertenunan Togog Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Togog

Gambar 3. Motif tenun Endek Pepatran 2 Gambar 4. Motif tenun Endek Pengulangan - - Pertenunan Togog. Sumber : Dokumentasi Pertenunan Togog. Sumber: Dokumentasi Pribadi Pribadi diambil dari Pertenunan Togog diambil dari Pertenunan Togog

Adapun sumber yang didapat pada pertenunan Togog di Kota Gianyar yang dahulunya sempat berjaya sebagai pertenunan terbesar di Pulau Bali ini hanya sebagian koleksi kain yang dimiliki oleh pemilik pertenunan Togog, tanpa dilengkapi mengenai asal-usul tahun pembuatan kain. Menurut Tude Togog, putra pemilik pertenunan Togog yang juga merupakan designer, mengungkapkan bahwa motif tenun endek yang dibuat pada pertenunan ini saat ini cenderung mengikuti trend dan permintaan pasar, yang sebagian besar merupakan perulangan serta gabungan dari motif baru dengan motif lama dan tidak memiliki nama khusus.

Pertenunan Setia cap Cili di Kota Gianyar Pertenunan Setia Cap Cili terletak di Kota Gianyar, tepatnya di Jalan Ciung Wanara no.7, pertenunan ini telah berdiri sekitar tahun 1980-an, dan merupakan salah satu pertenunan terbesar di masanya yang mampu menghasilkan ribuan meter kain perbulannya berdasarkan data dari Disperindag kota Gianyar. Namun hal tersebut tidak terlalu tampak saat ini, dimana keadaannya berbanding terbalik dengan jumlah tenaga pengrajin yang jauh berkurang serta hasil produksi yang tidak terlalu banyak.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

406

Gambar 1. Motif Simetris 1 - Pertenunan Setia Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Setia

Pertenunan Setia cap Cili, memiliki areal butik yang menampilkan hasil karya berupa lembaran kain tenun, hingga kain tenun yang telah diolah menjadi pakaian dewasa maupun anak- anak, serta beberapa diolah menjadi aksesoris, tas, taplak meja, hingga sarung bantal. Adapun motif-motif yang masih disimpan dan masih dibuat hingga saat ini dapat dilihat pada contoh- contoh kain dibawah ini.

Gambar 2. Motif Simetris 2 - Pertenunan Setia Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Setia

Pertenunan Putri Ayu di Kecamatan Blahbatuh Putri Ayu berdiri pada tahun 1991 dengan lokasi di jalan Lapangan Astina Jaya, Blahbatuh-Gianyar. Awal berdirinya, Putri Ayu hanya memiliki lima buah alat tenun, kemudian berkembang memiliki 30 alat songket pada tahun 1995. Tahun 1997 di Putri Ayu inilah berkembang ide pembuatan kain tenun tehnik air brush dengan ide penggunaan warna alam. Pada tahun 2000 Putri Ayu membuat show room untuk menyajikan ragam kain tenun hasil karya pertenunan Putri Ayu. Motif geringsing yang diambil oleh pertenunan Putri Ayu ini diberikan sentuhan tambahan dengan mengkolaborasikan berbagai motif lainnya dalam satu lembar kain. Selain itu, pertenunan Putri Ayu juga menghasilkan motif geringsing dengan teknik doby yang menggunakan mesin khusus, sehingga menimbulkan efek tiga dimensi.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

407

Gambar 3. Motif Geringsing 1- Pertenunan Putri Ayu Sumber: Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Putri Ayu

Gambar 4. Motif Tenun Pepatran teknik Air Brush- Pertenunan Putri Ayu Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Putri Ayu

Pertenunan Dewi Karya di Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh Pertenuna Dewi Karya berada di Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh, berdiri pada tahun 1990-an, diprakarsai oleh Gusti Karya. Beliau berkecimpung dalam dunia pertenunan semenjak tahun 1980-an dengan kelebihan di bidang pembuatan motif. Adapun keahlian pembuatan motif telah diturunkan dari orang tuanya, beliau juga merupakan salah satu pembuat motif untuk seragam pemerintahan yang didesain khusus olehnya serta telah memiliki Hak paten untuk karyanya tersebut.

Gambar 5. Motif Pemda – Pertenunan Gambar 6. Motif patra rapat – patra jarang - simetris berulang. Dewi Karya. Sumber : Dokumentasi Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Dewi Pribadi diambil dari Pertenunan Dewi Karya Karya

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

408

Pertenunan Ananta Kusuma di Desa Bona, Blahbatuh Pertenunan Ananta Kusuma terletak di Desa Bona, merupakan sebuah pertenunan yang telah berdiri sejak tahun 1990-an.

Gambar 7. Motif Manusia dalam berbagai warna Gambar 8. Motif Pepatran Bali Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Sumber : Dokumentasi Pribadi diambil dari Pertenunan Ananta Kusuma Pertenunan Ananta Kusuma

Identifikasi motif Tenun Endek di Kabupaten Gianyar Menurut I Made Bandem (1993:19) dalam bukunya Wastra Bali: Makna Simbolis Kain Bali, mengungkapkan bahwa ragam hias yang terdapat pada kain-kain tenun Bali dapat dibagi menjadi lima kelompok, untuk itu dalam mengidentifikasi motif-motif tenun endek yang telah didapat dari pertenunan di Kabupaten Gianyar, menggunakan lima kelompok ragam hias bagun berulang tersebut, yakni:

Kelompok ragam hias bangun berulang Ragam hias berulang berupa garis lurus, garis putus-putus, garis lengkung, lingkaran, poleng, jajaran genjang, berbiku-biku, bebintangan, tumpal (segitiga), gigin barong, ganggongan, meander, kuta mesir, dan tapak dara.

Gambar di sebelah Pada gambar merupakan proses regenerasi di regenerasi yang sebelah yang dilakukan oleh diambil dari peneliti guna contoh motif di menemukan motif pertenunan sesungguhnya Togog, terlihat dalam warna hitam bentuk awal putih atau tanpa berupa bidang warna. Terlihat origami yang bahwa motif kemudian disusun awalnya berbentuk berulang, serta lonjong dan diselingi tanda terinspirasi dari tambah yang kulit kayu. mengelilingi bidang. Gambar 9. Regenerasi dari motif tenun endek motif Gambar 10. Regenerasi motif origami. Sumber : kulit kayu. Sumber: Nyoman Dewi Pebryani, 2014 Nyoman Dewi Pebryani, 2014

Kelompok ragam hias patra Ragam hias tumbuhan meliputi berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan, daun- daunan, dan buah-buahan, yang distilisasikan sedemikian rupa sehingga memancarkan keindahan dan keanggunan.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

409

Regenerasi motif pada gambar sebelah menunjukkan motif bunga dalam wujud pepatran yang digabungkan dengan mahkota Bunga sebagai inti, perkembangan motif patra bunga-bungaan saat ini telah mengalami inovasi.

Gambar 11. Regenerasi motif Bunga dalam wujud pepatran. Sumber : Nyoman Dewi Pebryani, 2014

Kelompok ragam hias karang (binatang) Beberapa jenis binatang juga menjadi ragam hias yang popular dalam kain bali, seperti lembu, singa, menjangan, anjing, gajah, burung merak, burung cendrawasih, burung merpati, burung murai, kalajengking, ular, kupu-kupu, capung, lebah, ikan, dan udang.

Gambar 12. Regenerasi motif penyu atau kura-kura Sumber : Nyoman Dewi Pebryani, 2014

Motif Regenerasi yang diambil dari kain tenun yang dimiliki oleh pertenunan Togog, dilakukan regenerasi oleh peneliti untuk menemukan motif yang sesungguhnya tanpa adanya warna, sehingga terlihat wujud kura-kura atau penyu yang ada dalam motif tenun endek tersebut. Motif ini termasuk dalam kelompok ragam hias karang (binatang).

Kelompok ragam hias manusia Ada beberapa jenis ragam hias manusia yang sering digunakan dalam kain tenun Bali, seperti cili, wayang, dan muka kedok (topeng) manusia sederhana.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

410

Gambar 13. Regenerasi motif ragam hias manusia Sumber : Nyoman Dewi Pebryani, 2014

Regenerasi motif ragam hias manusia seperti terlihat diatas berwujud ragam hias manusia yang diwujudkan dalam bentuk garis –garis tanpa lengkungan pepatran, ragam hias ini serupa dengan bentukan cili dan masuk dalam jenis kelompok ragam hias manusia.

Kelompok ragam hias prembon Kata prembon berarti perpaduan atau kombinasi. Ragam hias prembon dimaksudkan sebagai ragam hias perpaduan atau kombinasi dari berbagai ragam hias yang telah disebutkan diatas. Regenerasi motif pada gambar sebelah menunjukkan gabungan motif antara patra mesir, kemudian perwujudan lambang Kabupaten Gianyar dan patra bunga-bungaan, adapun karya tenun endek ini digunakan oleh pegawai Pemda Kabupaten Gianyar dan masuk dalam kelompok ragam hias prembon, karena memiliki banyak kombinasi atau perpaduan ragam hias.

Gambar 14. Regenerasi motif lambang kabupaten Gianyar Sumber : Nyoman Dewi Pebryani, 2014

Pengaruh kain tenun endek dalam aspek sosial, ekonomi, religi, dan estetika masyarakat Kabupaten Gianyar Kain tenun endek memiliki fungsi dan makna sosial dalam kehidupan terutama untuk menunjukkan dan menunjang status sosial anggota masyarakat dari kelompok-kelompok sosial

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

411

masyarakatnya. Menurut A.A.Muter dalam bukunya Puspawarna Wastra Bali mengungkapkan bahwa busana bayi, baik laki-laki maupun perempuan pada upacara nelubulanin, upacara paweton, upacara nutug kelih, upacara potong gigi, serta pawiwahan, untuk golongan triwangsa – yakni kasta brahmana, ksatria, dan wesya - menggunakan skordi atau songket dan prada, sedangkan untuk kasta sudra berupa kamben endek maupun songket. Dalam hal ini terlihat bahwa kasta kain endek lebih cenderung dipakai oleh kalangan dari kasta bawah. Dalam hal aspek ekonomi, kain merupakan salah satu yang dipertukarkan untuk memenuhi kebutuhan yang lain yang diperlukan. Tujuan pertukaran ini merupakan salah satu gerak dinamis masyarakat untuk berkomunikasi dengan kelompok lain di sekitarnya. Di dalam upacara-upacara keagamaan kain tenun khusus dipergunakan untuk melengkapi acara, yang biasanya digunakan oleh pelaksana upacara. Aspek religi atau kepercayaan ini terjalin dengan seluruh kegiatan yang berhubungan dengan upacara-upacara sekitar lingkaran kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal. Aspek estetika tampak bahwa ketrampilan, ketelitian, ketekunan di dalam menciptakan suatu karya yang dikerjakan dengan mengambil sebagian waktunya dari hari ke hari, berminggu- minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun akan melahirkan suatu karya yang indah dan mempesona. Baik dalam komposisi jalur, garis, bentuk motif dengan warna dan keserasian dari seluruh komponen-komponennya melahirkan bentuk estetika yang tinggi. Keharmonisan dan keserasian dalam ragam hias pada kain-kain tenun terlihat pada bentuk-bentuk kain yang dipakai sebagai kain sarung, kamen, baju, udeng, saput maupun senteng atau selendang.

SIMPULAN Pertenunan yang ada di Kabupaten Gianyar menghadapi banyak tantangan berkaitan dengan mahalnya bahan baku hingga berkurangnya tenaga ahli yang mampu mengerjakan tenun namun kreatifitas pengrajin pembuat motif tidak berhenti pada satu titik melainkan berusaha untuk mengenal trend yang berkembang di pasaran. Perkembangan motif tenun endek yang berada di Kabupaten Gianyar memiliki banyak pengaruh, hal ini terlihat dari penggunaan bermacam-macam kelompok ragam hias dalam sebuah kain tenun endek. Dilihat dari sisi historis kain tenun endek yang merupakan kain tenun ikat pakan telah berkembang di kabupaten Gianyar pada abad ke 18, hal ini terus berkembang hingga saat ini. Saat ini ada lima kelompok ragam hias yang mewarnai motif tenun endek, yakni kelompok ragam hias bangun berulang, kelompok ragam hias patra, kelompok ragam hias karang, kelompok ragam hias manusia, dan kelompok ragam hias prembon. Perkembangan motif tenun endek telah melalui proses inventarisasi dari lima pertenunan yang ada di kabupaten Gianyar, kemudian seluruh koleksi motif tenun endek tersebut diidentifikasi berdasarkan motif atau kelompok ragam hiasnya. Proses identifikasi juga dilanjutkan dengan mendigitalisasi motif-motif yang ada agar terarsip dengan baik untuk kepentingan penelitian selanjutnya atau dijadikan sebagai bahan literature.

DAFTAR PUSTAKA Bandem, I Made. 1996. Wastra Bali: Makna Simbolis Kain Bali. Denpasar: Brinkgreve, Francine, 2010. Bali Art, Ritual, Performance. Asian Art Museum. San Francisco. Disperindag Kabupaten Klungkung. Data UMKM Kabupatern Klungkung 2013. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Gianyar. Data UMKM Kabupatern Gianyar 2013. Eiseman, Fred B, 1990. Bali: Sekala & Niskala. Singapore: Periplus Edition. Gunawan, Belinda. 2012. Fashion Pro: Kenali Tekstil. Jakatrta:Dian Rakyat. Kartiwa, Suwarti. 2007. Ragam Kain Tradisional Indonesia:Tenun Ikat. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. Kartiwa, Suwarti. 1996. Kain Songket Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan. Kartiwa, Suwarti. 1993. Tenun Ikat Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. KreatifMoeleong, Lexy. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung : Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Prasetyo, Bambang, 2005. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakartta:Raja Grafindo Persada. Sachari, Agus. 2002. Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Jakarta:Penerbit Erlangga. Suprayitna, Sunarti, 2000. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta: Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

412

BENTUK PERTUNJUKAN DRAMATARI GENGGONG DI DESA BATUAN GIANYAR

I Wayan Budiarsa, Suminto. Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected]

Abstrak Dramatari genggong merupakan jenis kesenian rakyat (seni hiburan) di Bali, yang salah satunya terdapat di Desa Batuan, Gianyar. Penyajiannya menggunakan cerita Panji (Malat), tokoh utamanya adalah Raden Panji (godogan), dan Galuh Candrakirana (putri). Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini; Bagaimanakah bentuk pertunjukan dramatari genggong di Desa Batuan, Gianyar?, apa fungsinya, serta bagaimanakah tata rias dan busananya. Penelitian ini menerapakan metode kualitatif, pengumpulan data secara observasi, wawancara, studi kepustakaan, studi dokumen, dilanjutkan dengan analisis data secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Hasilnya diuraiakan secara deskriptif yang diolah dari para informan. Menerapkan teori estetika dan teori fungsional untuk membedah dari rumusan masalah yang diangkat. Penelitian difokuskan pada bentuk, fungsi, tata rias dan busana dari seni pertunjukan dramatari genggong di Desa Batuan Gianyar. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa bentuk pertunjukan dramatari gengong di Desa Batuan Gianyar didukung oleh elemen-elemen seperti cerita, penari, struktur pementasan, ragam gerak, musik iringan, dan tempat pementasan (kalangan). Fungsinya, berfungsi sebagai sosial/ hiburan, ekonomi dan pengenalan pariwisata, serta tata rias dan busananya dapat dibagi menjadi rias kepala, badan, dan kaki, disesuaikan dengan peranan tokoh yang dibawakan, seperti tari-tarian tradisi Bali pada umumnya.

Kata Kunci; dramatari genggong, Desa Batuan

Abstract Dance drama genggong is a type of folk art (arts and entertainment) in Bali, one of which is located in the village of Batuan, Gianyar regency. The presentation uses the story of Panji (malat), the main character is Raden Panji (frog/Godogan), and Galuh Candrakirana (daughter). The formulation of the issues raised in this study; How does the shape show dance drama genggong in Batuan Village, Gianyar ?, what does it do, and how the makeup and clothing. This research applying the methods of qualitative, observational data collection, interviews, literature study, study documents, followed by a descriptive analysis of qualitative data and interpretive. The results were processed by descriptive of the informants. Applying the theory of aesthetic and functional theory to dissect from the formulation of the issues raised. The study focused on the form, function, and fashion makeup of performing arts dance drama genggong in Batuan Village, Gianyar regency. From the results of this study found that the shape of the show dance drama genggong in the village of Batuan Gianyar supported by elements such as story, dancers, staging structure, the range of motion, musical accompaniment, and the staging (circles). Function, serves as a social / entertainment, economy and the introduction of tourism, as well as makeup and fashion makeup can be divided into head, body, and legs, adapted to the role of figures presented, such as traditional Balinese dance in general.

Keywords; dramatari genggong, Batuan Village

Pendahuluan Beberapa daerah/ desa di Kabupaten Gianyar memiliki berbagai jenis seni pertunjukan tari yang khas, dengan corak dan gaya yang berbeda dengan daerah lainnya seperti Desa Saba, Peliatan, Bedulu, terkenal dengan tari legongnya. Singapadu, Keramas terkenal dengan tarian arjanya, Desa Bona, Teges dengan tari cak-nya, Batubulan dengan barong-nya, Desa Ketewel terkenal dengan topeng legong, Desa Tampak Siring dan Sebatu terkenal dengan gudangnya tari baris gede, dan Desa Batuan terkenal dengan jenis tarian gambuh, topeng, calonarang, sutri, barong, dan genggong.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

413

Desa Batuan sebagai salah satu desa di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar banyak memiliki kekayaan seni budaya yang sampai kini masih tetap lestari walaupun dalam pengaruh globalisasi. Salah satu kekayaan seni budayanya adalah berupa tarian genggong. Seni pertunjukan genggong merupakan jenis kesenian hiburan yang selama ini dikenal dengan sebutan “Frog Dance” (brosur di hotel-hotel). Jenis kesenian genggong sangat unik, telah dikenal oleh masyarakat umum dan bentuk kesenian ini terutama intrumennya hampir terdapat di seluruh daerah Bal. Sekaa genggong yang ada di Desa Batuan diantaranya; sekaa genggong Batur Sari, Satriya Lelana, Tri Pusaka Sakti, Kakul Mas, Tri Suari, dan Dana Swara. Di Desa Batuan Gianyar, jenis kesenian ini adakalanya dipentaskan saat adanya upacara di pura-pura setempat yang disesuaikan dari konteks jalannya upacara di sebuah pura, dan untuk para wisatawan sebagai wahana seni hiburan. Alur pertunjukannya dibingkai oleh cerita Panji (malat) dan didominasi oleh peran binatang kodok (godogan) dan katak. Tokoh/ peran inilah yang sering mengundang gelak tawa penonton, karena terkadang tokoh ini dapat langsung berinteraksi dengan penonton. Rai (2001:72-73) menyatakan bahwa genggong sebagai alat musik sering dimainkan oleh para petani di sawah dan juga sebagai alat untuk menarik perhatian wanita (kekasihnya) dan dalam perkembangannya dari alat musik solo menjadi sebuah barungan gamelan, kemudian menjadi iringan tari genggong. Perkembangan ini tak terlepas dari faktor internal, yakni motivasi/ keinginan dari sekaa (organisasi) agar memperoleh dampak tertentu, dan dari faktor eksternal, yakni adanya motivasi dari masyarakat luar. Senada dengan itu Soedarsono & Tati Narawati (2011:343) menyebutkan genggong merupakan sebuah instrumen musik yang khas dalam memainkan diletakkan di atas mulut sebagai resonator, yang di Jawa disebut rinding, yang dalam bahasa inggris disebut jaw harp. Bahan kajian penelitian ini adalah seni pertunjukan tari genggong yang ada di Desa Batuan Gianyar, dengan studi kasusnya pada sekaa genggong Batur Sari dan sekaa genggong Satriya Lelana. Ketertarikan peneliti untuk meneliti jenis kesenian ini karena selama ini belum ada yang meneliti mengenai tata rias dan busana, fungsi, dan bentuk pertunjukannya secara keseluruhan. Bahan kajian penelitian ini adalah seni pertunjukan tari genggong yang ada di Desa Batuan Gianyar, dengan studi kasusnya pada sekaa genggong Batur Sari dan sekaa genggong Satriya Lelana. Ketertarikan peneliti untuk meneliti jenis kesenian ini karena selama ini belum ada yang meneliti mengenai tata rias dan busana, fungsi, dan bentuk pertunjukannya secara keseluruhan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah bentuk pertunjukan dramatari Genggong di Desa Batuan Gianyar? 2) Apa fungsi dramatari Genggong di Desa Batuan Gianyar? 3) Bagaimanakah tata rias dan busana dramatari Genggong di Desa Batuan Gianyar? Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk, fungsi, tata rias dan busana dramatari genggong di Desa Batuan Gianyar. Dari hasil penelitian ini yang diharapkan adalah menambah pengayaan informasi guna pengembangan wawasan seni dan ilmu pengetahuan khususnya di lingkungan lembaga ISI Denpasar, serta pada masyarakat umumnya. Penelitian ini penting untuk memberikan rangsangan, pemahaman, motivasi positif bagi proses perkuliahan mahasiswa di Prodi/ Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Denpas. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi proses belajar mengajar dalam perkuliahan di lingkungan ISI Denpasar, dan pada akhirnya mahasiswa mengetahui serta memahami dalam konteks seni pertunjukan. Memperkaya data tertulis sehingga memudahkan bagi mahasiswa untuk belajar berbagai seni hiburan di Bali. Luaran hasil penelitian ini berupa laporan hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi kepada masyarakat luas. Publikasi ilmiah melalui jurnal lokal yang mempunyai ISSN atau jurnal Nasional yang terakreditasi guna pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Penelitian ini menerapkan teori Estetika Djelantik dan teori fungsionalnya Soedarsono, yakni seni pertunjukan dapat dilihat sebagai fungsi primer dan sekunder.

METODE PENELITIAN Penelitian tentang bentuk pertunjukan dramatari Genggong di Desa Batuan Gianyar menerapkan metode kualitatif interpretatif, serta metode kuantitatif sebagai pendukung data dalam penelitian ini. Lokasinya di Desa Batuan, Sukawati Gianyar, karena kesenian dramatari genggong Batuan dapat dibedakan dengan daerah lainnya di Bali. Studi kasusnya pada sekaa genggong Batur Sari dan sanggar seni Satriya Lelana, Banjar Pekandelan, Batuan, Gianyar.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

414

Penelitian ini berdasarkan jenis dan sumber data yakni berdasarkan jenis data kualitatif yaitu data yang diperoleh di lapangan tidak berupa angka-angka, melainkan berupa deskripsi bentuk pertunjukan tari genggong di Desa Batuan Gianyar. Selain itu, sumber data penelitian ini berupa data primer yaitu pertunjukan genggong di Desa Batuan Gianyar sebagai pusat observasi dan para informan, serta sumber data sekunder yaitu sumber-sumber yang berasal dari buku-buku, laporan hasil penelitian, jurnal, dan lain sebagainya. Mengenai penentuan informan akan dipilih orang-orang yang mengetahui secara detail, dan mengetahui secara jelas tentang seni tari genggong. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, serta pedoman wawancara, alat tulis, tape kmera, dan video recorder. Pengumpulan data melalui Observasi; pengamatan langsung, Wawancara; dengan informan yang telah dipilih, studi kepustakaan; menelaah beberapa buku-buku yang relevan dengan penelitian ini, serta melalui studi dokumen dengan jalan mengkaji beberapa dokumen penting yang terkait dengan penelitian ini (foto-foto, Audio Visual, dan lain-lain). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan interpretatif, yaitu data yang terkumpul dari hasil observasi, wawancara, studi kepustakaan, dan studi dokumen diolah secara deskriptif dan interpretatif. Sebagaimana Strauss dan Corbin (dalam Ratna,2010:309) menyebutkan bahwa analisis data adalah proses pengkodean (coding) yaitu menguraikan, mengkonsepkan, dan menyusun kembali dengan cara baru. Terdapat tiga proses pengkodean yaitu pengkodean terbuka (open coding), berporos (axial coding), dan pengkodean terpilih (selective coding). Selanjutnya penyajian hasil analisis data dilakukan secara formal dan informal, sajian formal yakni mencakup penggunaan bagan, foto dan bentuk yang sesuai aturan penyajian formal, sedangkan secara informal berupa uraian narasi yang jelas untuk melengkapi keperluan penulisan ilmiah.

HASIL DAN DAN PEMBAHASAN

Bentuk Pertunjukan Dramatari Genggong Di Desa Batuan Gianyar Berbagai bentuk seni pertunjukan tradisional yang terdapat di daerah Bali sampai kini masih terpelihara dengan baik oleh masyarakat pendukungnya, baik berupa seni tari, pewayangan, karawitan, drama dan lain sebagainya, dibingkai oleh kegiatan upacara keagamaan sehingga keberadaanya mampu dipertahankan. Tak dipungkiri dari kegiatan berkesenian oleh para senimannya tersebut mampu melahirkan gaya/style, corak tersendiri, dan merupakan kekayaan lokal yang mencerminkan identitas daerahnya. Hal tersebut merupakan daya kreativitas, inovatif, pengembangan imajinasi yang mampu mewujudkan kebaruan dalam bentuk kreasi. Bandem (1996:33) menyatakan kesenian tercipta secara konsepsional dan berakar pada sistem nilai budaya setempat. Kesenian Bali, nilai budaya merupakan satu kesatuan bulat yang tidak dapat dipisahkan. Sistem nilai budaya merupakan hal yang vital untuk mewujudkan kesenian dan memberi corak terhadap kesenian yang diciptakan. Tak terkecuali dengan keberadaan seni pertunjukan dramatari genggong yang terdapat di Desa Batuan Gianyar, yang merupakan pengembangan atau pola-polanya mengikuti kesenian klasik gambuh dan pecalonarangan,serta patopengan. Hal mana gambuh dan topeng identik dengan Batuan, karena sudah menjadi ciri khas/ identitas Desa Batuan. Baik dari segi struktur papeson maupun jenis/ ragam gerak tariannya bersumber pada kesenian tersebut. Kemunculan kesenian ini tak terlepas dari kebiasaan masyarakat setempat yang senang memainkan alat musik genggong diwaktu senggang, tetrutama seusai bekerja di sawah, atau disaat mereka berkumpul di balai banjar. Konon pada jaman dahulu para lelaki memainkan alat musik genggong digunakan untuk merayu para gadis pujaannya. Sebagai desa yang banyak mempunyai seniman tari tergerak hatinya untuk mengembangkan genggong menjadi sebuah seni pertunjukan yang membawakan sebuah lakon. Awal dari kemunculan dramatari genggong tak terlepas dari peranan besar para seniman Desa Batuan kala itu di era 1930-an yakni; Dewa Putu Kebes, I Nyoman Kakul, Jero Mangku Desa/Puseh (Nurada), Anak Agung Raka, dan yang lainnya. Sebagai bentuk seni pertunjukan genggong, musik lebih awal muncul dari tariannya, namun berkat keahlian I Nyoman Kakul terciptalah tarian "Onang Ocing" yang struktur tariannya mengikuti lagu iringannya. Maestro I Nyoman Kakul menciptakan tarian tersebut mengikuti lagu yang sudah ada dengan menambahkan atau mengemasnya agar terwujud keharmonisan antara tarian dengan musik iringannya. Beberapa seniman Batuan menyatakan bahwasanya perkembangan dramatari genggong

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

415

Desa Batuan tak terlepas dari peran serta, sentuhan kreativitas sang seniman I Nyoman Kakul. Berkat kreatifitasnya genggong menjadi lebih dikenal oleh masyarakat luas dan menjadi tontonan rakyat yang sangat digemari. Kemunculan dramatari genggong tak terlepas dari pengaruh lingkungan yang memegang teguh adat tradisi terutama kesenian wali yang diwarisi secara turun temurun, yakni di Desa Batuan saat menjelang sasih ke-enem sampai ke-sanga (bulan ke enam sampai bulan ke sembilan) menyelenggarakan pertunjukan seni sakral berupa tari Rejang Sutri setiap hari, yang dimulai pukul 19.00 Wita sampai selesai. Dari sinilah ide terbentuknya pertunjukan dramatari genggong yang oleh masyarakat Desa Batuan digunakan untuk mengisi acara sebelum pertunjukan Rejang Sutri dimulai. Bahkan kelompok-kelompok kesenian dari luar desa Batuan sesekali ikut aktif untuk mengadakan pertunjukan, baik secara ditanggap maupun secara suka rela. Kegiatan semacam ini ternyata sangat efektif untuk menjalin interaksi komunikasi secara positif. Jenis kesenian ini muncul sejaman dengan baris melampahan, baris kembar, arja godogan, dan lain sebagainya. Djelantik (2004:15-20) menyatakan bahwa semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek dasar, yakni: wujud atau rupa (appearance), bobot atau isi (content), dan penampilan atau penyajian (presentation). Wujud adalah terdiri dari bentuk, susunan atau struktur. Wujud terdiri dari bentuk (form) atau unsur yang mendasar, dan susunan atau struktur (structure). Wujud mengacu pada kenyataan yang nampak secara kongkrit dan yang tidak. Terkait dengan karya seni tari didalam wujud ditemukan wujud-wujud khusus yang detail, seperti wujud kain, gelungan, hiasan, dan sebagainya. Senada dengan itu Timbul Haryono (2009:133) menyatakan struktur pada hakekatnya merupakan susunan dari bahan-bahan yang diolah, ditata, diatur sedemikian rupa sehingga menjadi bentuk yang bermakna. Sebagai bentuk/ wujud pertunjukan dramatari Genggong tentunya didukung oleh beberapa elemen-elemen/ komponen diantaranya adalah cerita, penari, tata rias dan busana, struktur pementasan, ragam gerak, musik iringan, tempat pementasan, dan sebagainya. Elemen-elemen yang dimaksud ditata sedemikian rupa sehingga terbentuk menjadi sebuah kesenian yang bermakna. Adapun kandungan unsur-unsur yang terdapat pada dramatari Genggong di Desa Batuan Gianyar akan diuraikan sebagai berikut.

Cerita Bandem dan Sal Murgiyanto (1996:50) menyatakan bahwa cerita atau lakon merupakan salah satu unsur penting dalam teater. Dari kisah-kisah kehebatan para leluhur, tema diperluas dengan cerita rakyat, legenda, mite, babad, sejarah, epos, dan cerita kepahlawanan. Sumber-sumber cerita tersebut diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya secara lisan, sehingga sumber yang sama cukup beragam dari daerah masing-masing. Di daerah Bali seni pertunjukan (tari) memang cukup banyak memakai lakon/ cerita yang bersumber dari epos Ramayana (wayang kulit, sendratari, dramatari, dan lain-lainnya), Mahabaratha (wayang kulit, dramatari, sendratari dan lainnya), Tantri (wayang kulit, arja, drama gong, sendratari, dan lainnya), Malat (wayang gambuh, dramatari gambuh, arja, drama gong, dan lainnya), cerita rakyat seperti cerita Ni Bawang teken Ni Kesuna, Pan Balang Tamak, Basur, dan lainnya. Akibat berkembangnya beberapa cerita/ epos dalam masyarakat sehingga berpengaruh kepada hasil-hasil bentuk garapan baru seeranya sebagai sumber inspirasi bagi para seniman, tak terkecuali genggong tersebut. Cerita yang digunakan dalam pertunjukan genggong adalah cerita/ epos Panji (malat) yang merupakan sumber cerita dramatari gambuh, namun dalam penyajiannya telah dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pertunjukannya. Adapun ringkas ceritanya adalah; "tersebutlah di hutan Pemagetan hidup satu keluarga I Godogan, Ayahnya, Ibunya, dan para katak. Suatu ketika I Godogan mengutarakan keinginannya untuk mempersunting putri Daha, namun hasratnya ditentang oleh orang tuanya, karena tidak mungkin seekor binatang memperistri manusia. Dengan tekad yang mantap dan merupakan jelmaan Raden Inu, I Godogan akhirnya dapat memperistri Diah Galuh. Untuk menunjukkan jati diri yang sebenarnya, selanjutnya I Godogan melakukan tapa yoga semadhi untuk memperoleh anugrah dari Dewa Siwa, yakni anugrah dapat dikembalikan wujudnya seperti semula sebagai Raden Inu. Berkat anugrah (sesupatan) Dewa Siwa akhirnya I Godogan menjelma kembali sebagai putra Kahuripan yang tampan, dan mereka dapat hidup berdampingan.

Penari

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

416

Dibia (2004:4-5) mengungkapkan bahwa seni pertunjukan adalah kesenian yang lahir dari kolaborasi sejumlah seniman dan pelaku seperti; penyusun naskah atau lakon, sutradara, pemain musik, penari, aktor dan aktris, penata dekorasi, penata lampu, dan sebagainya. Dalam pementasannya mereka bekerja sama sesuai bakat dan ketrampilan yang dimiliki oleh masing- masing individu. Lebih lanjut Dibia menyatakan bahwa dikalangan masyarakat Bali sebutan pragina dapat diberikan kepada setiap penari atau aktor. Terdapat dua pengertian mengenai pragina. Pertama, pragina adalah seniman/seniwati pelaku seni pentas (penari/aktor). Kedua, pragina berasal dari kata “para” yang berarti banyak, dan “gina” yang berarti profesi. Jadi pragina mengandung pengertian orang yang memiliki berbagai macam keahlian seni (2004:12-13). Pernyataan ini mengindikasikan bahwa peranan penari dalam suatu pertunjukan tari sangat penting sebagai media penyampaian lakon yang disampaikan dengan keahlian seninya (tari) yang mereka miliki. Penari-penari dalam dramatari Genggong di Desa Batuan sebagaimana struktur pementasan dalam penelitian ini terdiri dari; 4-6 penari perempuan sebagai peran sisia bunga, 1 orang laki-laki sebagai penari topeng keras, 1 orang laki-laki/ perempuan sebagai penari Onang-Ocing sekaligus sebagai penari Raden Inu, 4-6 penari laki-laki sebagai penari katak, 1 orang penari laki-laki sebagai peran Godogan, dan 1 orang penari laki-laki sebagai tokoh rangda.

Struktur Pementasan Djelantik (2004:39) menyatakan struktur atau susunan dari suatu karya seni adalah aspek yang menyangkut keseluruhan dari karya itu serta meliputi peranan masing-masing bagian dalam keseluruhannya. Struktur dalam karya seni mengandung pengertian bahwa dalam karya seni tersebut terdapat suatu pengorganisasian, penataan, sehingga ada hubungan antara bagian-bagian terususun itu. Tiga unsur estetik mendasar dalam struktur setiap karya seni adalah; 1) keutuhan atau kebersatuan (unity), 2) penonjolan atau penekanan (dominance), dan keseimbangan (balance). Berdasarkan uraian di atas, struktur pementasan dramatari genggong di Desa Batuan Gianyar telah disusun sedemikian rupa untuk memperoleh nilai estetik yang diinginkan sesuai dengan unsur keutuhan, penonjolan dan keseimbangan. Antara struktur bagian satu dengan yang lainnya terdapat hubungan tak terpisahkan yang terwujud melalui perpaduan unsur-unsur estetik yang saling mengisi, baik dari segi gerak, tata rias busana, papeson, musik iringan, dan pendukung lainnya. Adapaun struktur pementasan dramatari genggong di Desa Batuan Gianyar adalah; diawali dengan tabuh pategak, 1) tabuh telu, 2) Gong-gongan, 3) Angklung Dentiyis, 4) Angklung Sayan, 5) Angklung Kuta, 6) Kecipir, 7) Tabuh Gruda, dan 8) Tabuh Menda. Setelah beberapa tabuh pategak dibawakan, selanjutnya memasuki bagian pertunjukan dramatari Genggong. Diawali pemunculan peran sisia bunga (ngelembar) sebagai tarian pembuka/ pangeleb dengan diiringi gending/ tabuh pangeleb. Kedua, tarian topeng keras (ngelembar) sebagai tarian tambahan dengan diiringi gending kekebyaran sebagai tarian tambahan adakalanya tarian topeng keras diganti dengan tari baris tunggal atau yang lainnya. Ketiga, tarian "onang-ocing" (ngelembar) dengan diiringi gending glagah puun. Keempat, penampilan tarian katak (ngelembar) dan Godogan (ngelembar) dengan diiringi gending katak ngongkek. Selanjutnya, muncul putri Daha (galuh) diiringi dengan gending jogor bawa, adegan roman (aras-arasan) antara sang putri dengan I Godogan (gending ipuk-ipuk), kesedihan godogan diiringi gending tangis. Kelima, muncul Rangda (ngelembar) sebagai perwujudan Dewa Siwa (ngelembar) diiringi dengan gending durgha. Adegan ini merupakan gambaran Dewa Siwa berkenan memberkati Godogan untuk bisa kembali kewujudnya yang semula, yaitu Raden Inu. Perubahan godogan menjadi Raden Inu diperankan oleh penari "Onang-ocing". Selanjutnya Raden Inu mendatangi sang putri, mengatakan dialah suaminya (godogan), namun sang putri tidak dipercaya begitu saja. Munculah Dewa Siwa di hadapan mereka berdua, dan menjelaskan kepada sang putri bahwa orang tampan di hadapannya itu merupakan Raden Inu jelmaan dari Godogan. Diakhiri aras-arasan (roman) antara Raden Inu dengan Putri Daha, diiringi gending ipuk-ipuk.

Ragam Gerak Djelantik (2004:25) menyatakan gerak merupakan unsur penunjang yang paling besar peranannya dalam seni tari. Dengan gerak terjadinya perubahan tempat, perubahan posisi dari benda, tubuh penari atau sebagian dari tubuh. Semua gerak melibatkan ruang dan waktu, ruang sesuatu yang bergerak menempuh jarak tertentu, dan jarak dalam waktu tertentu ditentukan oleh

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

417

kecepatan gerak. Senada dengan hal tersebut Timbul Haryono (penyunting, 2009:141) menyatakan bahwa gerak merupakan substansi dasar baku tari, dan menonton tari pada dasarnya adalah menonton gerak. Tari adalah ekspresi jiwa manusia yang terungkap lewat gerak-gerak yang indah. Dipertegas lagi oleh Dibia bahwa tari Bali yang lincah, dinamis, ekspresif, dan dramatik, lahir dari perpaduan empat jenis gerak, yaitu: agem, tandang, tangkis, dan tangkep. Keempat jenis gerak ini dapat dibedakan melalui posisi poros tubuh, ruang yang digunakannya, fungsi gerak, serta jenis gerak ini bisa terjadi secara terpisah maupun secara simultan (2013:64). Dari uraian ini, bahwa gerak sebagai unsur media vital dalam tari Bali dapat ditonton dan melibatkan ruang dan waktu yang mengandung unsur agem, tandang, tangkis, dan tangkep. Beberapa macam gerak yang dapat ditemukan dari masing-masing tokoh dalam dramatari genggong Desa Batuan Gianyar adalah; agem kiwa dan tengen, Ngeseh, Luk nerudut, Ngumbang (ombak segara dan luk penyalin), Seledet, Ngenjet, Nabdab oncer/ selendang, Ngelung, Ngembat, Ngeregah, Ngumad, Ngeteb, Durgha, Seregseg, Nyakup bawa, Mungkah lawang, Kipekan, Kirig udang, Ulap-ulap, Ngalih pajeng, Nguliang pajeng, Kecas-kecos, megaang, Ngonang, Ngambig kereb, ngelayak, dan lain sebagainya.

Musik Iringan Tari dan musik tidak dapat dipisahkan karena musik sebagai pengiring suatu tarian merupakan elemen penting sebagai pemberi suasana adegan di atas pentas. Sebagaimana Timbul Haryono (penyunting, 2009:134) menyatakan bahwa iringan pada dasarnya memiliki kekuatan pendukung yang handal, terutama untuk membangun imajinasi dramatikalnya sekaligus memperkuat ekspresi gerak laku di atas pentas. Musik iringan Genggong berupa seperangkat gamelan yang terdiri dari; kendang 1 buah, jir, tawa-tawa (kempung tiing), klenang, cengceng, kentit, suling 4 buah (besar dan kecil), genggong dan enggung 4-6 pasang yang merupakan elemen penting dalam pertunjukan genggong, yang dalam permainannya ada yang disebut molosin dan nyangsihin. Musik iringan sangat diperlukan dalam pementasan dramatari Genggong, karena bagian tak terpisahkan dari tari, sebagaimana Dibia (2013:116) menyatakan bahwa musik (tabuh) adalah elemen terpenting dalam tari Bali, karena selain memberikan landasan bagi struktur koreografi, memperkuat identitas suatu tarian, musik memberikan kehidupan bagi tari secara keseluruhan, sekaligus musik sebagai pegangan maupun pedoman bagi penari. Dramatari Genggong namanya menunjuk pada jenis alat musik iringannya yakni genggong, yang terbuat dari pelepah pohon enau yang sudah tua ( pupug jake ane wayah).

Tempat Pementasan Dibia (2013:95) menyatakan bahwa tempat atau arena pentas disebut dengan kalangan, merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan penyajian tari Bali. Tempat pementasan bisa dibangun di sembarang tempat seperti jalanan, tanah lapang, halaman depan pura, dan lain-lain, berdasarkan kebutuhan. Dalam masyarakat tradisional, tempat-tempat pertunjukan itu sering berfungsi ganda, sebagai tempat upacara, pertemuan, rumah kediaman, tempat beribadah, dan sebagainya (Bandem & Murgiyanto,1996:52). Pada pertunjukan Genggong di Desa Batuan tidak adanya aturan baku dalam penggunaan jenis kalangan-nya, namun yang lebih sering dalam pementasannya menggunakan bentuk tapal kuda dan arena. Ini disebabkan jenis pertunjukan tersebut bersifat tradisi kerakyatan, dan penonton dapat dengan mudah menonton dari segala arah, sehingga memunculkan suasana keakraban. Tempat pementasan Genggong selain mempertunjukan di panggung wantilan pura desa (jaba sisi/ nista mandala), juga dipentaskan di halaman tengah pura dan di halaman luar pura/puri. Bilsa pentas di hotel-hotel, biasanya dari pihak hotel telah menyediakan panggung pertunjukan sesuai dengan keinginan dari pihak pengelola pertunjukannya.

Genggong berfungsi sebagai sosial, hiburan Secara umum sesuai kesepakatan seminar seni sakral dan profan pada tahun 1971 memutuskan fungsi tarian Bali sesuai dengan klasifikasinya antara lain: 1) tari wali adalah tarian yang dipentaskan sebagai bagian dari jalannya upacara agama dan bersifat sakral, dan biasanya dipentaskan pada bagian halaman utama sebuah pura (jeroan/ utama mandala). Tarian wali ini sangat terikat oleh adat tradisi desa setempat atau ruang dan waktu pementasannya ditentukan oleh masyarakat pendukungnya. 2) tari bebali adalah tarian yang dipentaskan sebagai pengiring jalannya suatu upacara keagamaan Hindu di Bali, biasanya dipertunjukan pada bagian halaman tengah

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

418

sebuah pura (jaba tengah/ madya mandala). 3) tari balih-balihan adalah tarian yang diperuntukan khusus sebagai tontonan atau hiburan, biasanya dipertunjukan pada bagain paling luar sebuah pura (jaba sisi/ nista mandala). Memfungsikan sebuah kesenian dalam suatu kegiatan keagamaan di Bali sesuai dengan klasifikasi di atas menandakan masyarakat Bali menempatkan antara seni dan agama (Hindu) adalah saling terkait, saling mendukung, bahkan sebagai pelengkap suatu jalannya upacara keagamaan, dan kegiatan tersebut merupakan suatu budaya yang terwarisi sampai sekarang. Sebagaimana Dibia (2012:54) menyatakan dalam tradisi Bali, seni dan agama adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hampir semua upacara keagamaan (Hindu) memerlukan sajian seni dan dalam kegiatan seni melibatkan berbagai ritual dan persembahan. Kegiatan seni dan ritual dilakukan dengan penuh rasa cinta, seni merupakan sesuatu yang istimewa karena kemunculannya memadukan hasil karya cipta manusia dengan adanya anugrah Tuhan, sehingga para seniman beranggapan berkesenian merupakan sebuah ritual atau yadnya. Masyarakat Hindu Bali dalam berkesian selalu memegang konsep bahwa kegiatan berkesenian adalah salah satu jalan yadnya, sehingga keberadaan kesenian (tari) di Bali sangatlah dipentingkan dalam siklus kehidupan manusia di bumi, dan merupakan bagian dari hidupnya. Ini ditandakan bagaimana hampir pada setiap kegiatan upacara keagamaan (piodalan di sebuah pura), baik tingkat pura banjar, keluarga/ dadia, kahyangan tiga, dang khayangan, kahyangan jagat, dan sebagainya selalu dipentaskan jenis kesenian (tari) sebagai wujud rasa bhakti sekaligus tarian sebagai sarana ritual dan hiburan. Sejalan dengan perkembangan jaman yang dipengaruhi oleh era globalisasi, lebih-lebih Bali menjadi tujuan wisata beberapa jenis kesenian yang terdapat di daerah Bali mengalami pergeseran fungsi sesuai dengan teks dan konteks dari kesenian tersebut dipentaskan, baik yang awalnya berfungsi sakral/ wali, dan bebali sebagai pengiring jalannya upacara keagamaan Hindu Bali. Ataupun kesenian yang terwujud setelah maraknya pariwisata akibat tuntutan atau pesanan dari para wisatawan yang berkunjung ke Bali. Sebagaimana teori yang diungkapkan oleh Soedarsono, bahwa seni pertunjukan pada setiap lingkungan masyarakat memiliki fungsi primer dan sekunder. Dengan menilik teori ini maka dramatari genggong dapat dikelompokan menjadi fungsi primer sebagai hiburan pribadi dan sebagai presentasi estetis, sedangkan dalam kapsitasnya sebagai fungsi sekunder, genggong dapat sebagai pengikat solidaritas kelompok masyarakat dan bangsa, media komunikasi, media propaganda keagamaan, politik, program-program pemerintah, media meditasi, sarana terapi, dan sebagai perangsang produktivitas. Pada tahun 2009, Desa Pakraman Batuan Gianyar telah menyelenggarakan upacara besar ngusaba desa lan nini, padudusan agung, mupuk pedagingan, mamungkah, tawur agung di pura Desa lan Puseh dengan tingkatan utaming utama yang dirayakan selama sebelas hari. Ketika itu, mempertunjukan tari-tarian wali dan bebali seperti topeng pajegan, rejang sutri, baris gede, gambuh, wayang wong, telek, sendratari, dan lain-lainnya. Sebagai penyajian tarian balih-balihan, di sela-sela acara hiburannya dipentaskan salah satunya berupa kesenian dramatari genggong oleh kumpulan seniman Batuan yang diprakarsai oleh I Wayan Pageh (alm), serta beberapa seniman dari sanggar Pondok Pekak-Ubud. Dalam penyajiannya sanggar ini secara berturut-turut menampilkan tarian barong bangkal (barong babi), selanjutnya menampilkan struktur pertunjukan dramatari genggong sebagaimana biasanya. Dari penyajian tersebut dapat dikatakan genggong memiliki fungsi hiburan. Dikatakan demikian karena dalam konteks pertunjukannya memang diadakan untuk menghibur para penonton yang berada di areal pura. Juga berfungsi sosial karena para penyaji tidak mendapat bayaran atau upah, dan kegiatan ini dapat memberikan nilai kekrabatan atau bertujuan mempererat hubungan antar individu-individu, khususnya dalam dunia berkesenian. Di Desa Batuan genggong memang sangat jarang dipentaskan dalam konteks upacara di pura-pura di sekitar Batuan sebagai hiburan, namun keberadaannya masih eksis sampai sekarang. Sebagaimana Hadi (dalam Parmi, Mudra, 2006:13) menyatakan bahwa seni mengandung sifat sosial yaitu bersifat manusiawi, karena hakekat seni adalah untuk dikomunikasikan, untuk dinikmati, ditonton, diperdengarkan atau diresapi. Kehadiran seni mencakup ketiga faktor yang saling berhubungan yakni si pencipta, hasil karya seni, dan pengamat atau penonton, ketiganya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan atau menjadi sebuah lingkaran setan yang satu menunjuk yang lain. Soedarsono menyatakan bahwa seni pertunjukan yang berfungsi sekunder akan memberikan dampak sebagai pengikat solidaritas sekelompok masyarakat, sebagai pembangkit solidaritas bangsa, sebagai media komunikasi massa, sebagai media propaganda keagamaan, sebagai media propaganda politik, sebagai media propaganda program-program

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

419

pemerintah, sebagai media meditasi, sebagai sarana terapi, dan sebagai perangsang produktivitas (1999:169). Jadi, kesenian dikatakan sosial atau sebagai hiburan karena berkesenian tersebut mengutamakan kegiatan/ aktivitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan, sehingga memunculkan rasa solidaritas dalam skala kelompok masyarakat dan bangsa.

Genggong berfungsi ekonomi dan pengenalan pariwisata Setelah masuknya pengaruh pariwisata dan Bali sebagai tujuan wisata domestik maupun mancanegara berdampak pula pada fungsi seni pertunjukan Bali yang awalnya hanya bersifat sosial (ngayah) berubah menjadi sebagai komersial atau pertunjukan yang mementingan keuntungan uang (dibayar) yang tidak terikat lagi oleh ruang dan waktu. Pelipatan bentuk penyajiannya juga terjadi guna memenuhi kepentingan pariwisata, yakni pementasan yang secara tradisi dengan durasi pertunjukannya yang semula 2-3 jam, dikemas durasi pertunjukannya menjadi 45 menit atau sampai 1 jam. Fenomena ini tiada lain karena penyajian pertunjukannya mengikuti selera pasar, yang dalam hal ini para turis yang tidak memiliki waktu panjang selama liburan tetapi berkeinginan menonton seni pertunjukan Bali yang kaya ragamnya. Dari kegiatan pertunjukan tersebut para sekaa sebagai penyaji mendapatkan upah/ bayaran dari pihak hotel sesuai kesepakatan harga, tentunya bayaran tersebut merupakan hasil dari penjualan tiket atau paket perjalanan yang ditawarkan oleh agen wisata yang memasukan jenis kesenian Bali (genggong) yang dapat disaksikan oleh wisatawannya. Sekaa-sekaa yang mengadakan pertunjukan di hotel-hotel walaupun secara sadar tidak dapat mendukung perekonomian keluarganya secara penuh, namun sangat dirasakan berdampak positif bagi perputaran perekonimannya dengan jalan pementasan secara reguler. Bali sebagai tujuan wisata yang mengunggulkan pariwisata budaya, yang salah satunya seni pertunjukan tari secara tidak langsung berdampak terhadap beberapa kelompok-kelompok kesenian yang ada di Bali/ di sekitar berkembangnya daerah tujuan wisata. Sebagaimana Muljadi (dalam Budiarsa, 2012:162) menyatakan jenis-jenis keuntungan pariwisata jika dikembangkan dengan sebaik-baiknya memperoleh keuntungan ekonomi yang mencakup ; 1) memberikan pekerjaan dan penghasilan kepada masyarakat daerah setempat di lokasi pariwisata yang dikembangkan, 2) menghasilkan devisa negara yang bersangkutan, 3) sebagai perangsang pengembangan aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya (pertanian, pengrajin, dan lain-lain), 4) dapat membantu membiayai pembangunan prasarana yang mempunyai manfaat serba guna. Dari pengamatan penulis semenjak tahun 1980-an hingga sekarang (2014), Genggong lebih sering dipentaskan di hotel-hotel untuk menghibur para wisatawan yang berkunjung ke daerah Bali, atau pada acara pesanan (ditanggap) oleh masyarakat lokal untuk kegiatan resepsi perkawinan, upacara di pura lingkungan keluarga sebagai hiburan, dan lain-lainnya. Di antara sekian sekaa Genggong yang ada di Batuan, salah satunya adalah sekaa Batur Sari (terbentuk tahun 1971) selain pentas ke hotel-hotel daerah Sanur dan Nusa Dua, pada awalnya sering mengadakan pementasan sesuai pesanan untuk wisatawan asing yang datang ke daerah Batuan, pementasannya dilaksanakan di rumah Jero Mangku Desa baik pada malam hari maupun pagi hari, ini sekitar tahun 1970-an. Di sisi lain, dipentaskannya dramatari Genggong untuk pariwisata di beberapa hotel-hotel di Bali, mengisi acara Pesta Kesenian Bali, dan ke luar negeri oleh beberapa sekaa kesenian di Batuan, di antaranya oleh sekaa Bapak I Ketut Kantor, Bapak I Made Djimat mempunyai andil/ konstribusi besar terhadap perkembangan kesenian ini,disamping sebagai promosi budaya daerah Bali khususnya, serta secara nasional, sebagai tujuan wisata. Apalagi group bapak I Made Djimat (yayasan Tri Pusaka Sakti) yang secara rutin menyelenggarakan pementasan pariwisata setiap tanggal 1 dan 15 setiap bulannya sesekali mementaskan jenis kesenian dramatari genggong tersebut, bertempat di stage rumahnya (rumah kodok stage) di desa Batuan Gianyar. Dramatari Genggong dalam kedudukannya sebagai fungsi sosial, hiburan, ekonomi, dan pengenalan pariwisata sebagaimana tersebut di atas, merupakan daya kreativitas, perkembangan daripada masyarakat pendukungnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soedarsono bahwa seni pertunjukan dapat berfungsi primer jika seni tersebut jelas siapa penikmatnya, bahwa seni pertunjukan dipertunjukan kepada penikmat, dan apabila seni pertunjukan tersebut bertujuan bukan sekedar untuk dinikmati tetapi untuk kepentingan yang lain berarti fungsinya adalah sekunder (1999:167).

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

420

Tata Rias dan Busana Dramatari Genggong Dibia (2013: 66-69) menyatakan bahwa tata rias dan busana adalah elemen penting dan menentukan dalam tari Bali, yakni untuk merubah wajah penari dan menutupi tubuh penari sesuai dengan karakter. Berdasarkan fungsinya tata rias tari Bali dapat dibedakan menjadi rias natural (sehari-hari) yang berfungsi untuk mempercantik wajah penari, dan rias teatrikal (rias watak) digunakan untuk membentuk karakter atau penokohan yang digambarkan dalam sebuah tarian atau dramatari. Tata rias tari Bali terkait erat dengan tiga hal yakni jenis kelamin, perwatakan, dan jenis tari. Ketiga hal ini tidak saja menentukan penggunaan warna melainkan juga intensitas garis dan arah goresannya pada muka penari. Tata rias digunakan untuk mempertegas perbedaan perwatakan tari terutama antara yang keras dengan yang halus. Lebih lanjut Dibia (2013:81) menyatakan tata busana digunakan untuk menunjukan identitas gender, status sosial, karakter, dan genre tarian, selain untuk menambah daya tarik pertunjukan. Dari penataan busana penonton sudah bisa mengetahui jenis kelamin (pria atau wanita), peran atau kedudukan, perwatakan, genre dari tarian yang mereka saksikan. Berdasarkan pernyataan ini, bahwa tata rias dan busana berfungsi mempertegas peranan tokoh yang dibawakan di atas pentas oleh penari, dan dari penggunaanya dapat digolongkan menjadi rias bagian kepala, rias bagian badan, dan rias bagian kaki. Dalam penggunaan rias dan busana disesuaikan dengan karakter penokohan yang ditampilkan, karena rias serta busana akan memberikan identitas suatu tarian/ tokoh yang akan ditampilkan, serta memberikan perbedaan dari genre suatu tarian. Tata Rias dan Busana Penari Sisia Bunga; Dasar bedak, bedak, merah pipi, alis-alis, aye shadow, caling kidang, gecek putih. Bagian kepala; bunga imitasi 5-8 buah, bunga merah, bunga kamboja, semanggi 1 buah, atin sasak, antol/ cemara. Bagian badan; gelang kana (atas-bawah), badong manis, tutup dada, sabuk prada, oncer, ampok-ampok, dan kamen/ kain. Tata Busana Tari Topeng Keras; gelungan tipe keklopingan, topeng/ tapel, bunga kuping diisi daun girang, wig, badong besar, baju, gelang kana, angkeb pala, angkeb bulet, saput, semayut, kamen putih, sabuk/ ikat pinggang, jaler, stewel, dan keris. Tata Rias dan Busana Onang-Ocing dan Raden Inu; Gelungan tipe jejonteran, bunga imitasi 1 buah, bunga kuping, badong manis, gelang kana (atas – bawah), tutup dada, sabuk prada, ampok-ampok, kamen/ kain. Properti; pengonangan (alat untuk menagkap capung). Tata Busana Tari Katak dan Godogan; Tapel katak dan tapel godogan, baju warna hijau motif loreng, selop tangan dan kaki. Tata Rias dan Busana Putri/ Galuh; Gelungan, bunga imitasi 10 buah, bunga kamboja, semanggi, bunga merah, antol/ cemara, badong kulit lenter, gelang kana (atas-bawah), tutup dada, sapuk prada, selendang, ampok-ampok, kamen/ kain lelancingan. Tata Busana Rangda; Tapel rangda, badong kulit diisi bulu-bulu di pinggirnya, baju dan jaler loreng (merah putih), usus-ususan, tapih (endek/ gringsing), ampok-ampok, selop tangan yang berisi kuku, kekereb warna putih.

SIMPULAN Penelitian bentuk pertunjukan dramatari genggong di Desa Batuan Gianyar ini dapat disimpulkan sebagai berikut; 1) Bahwa bentuk pertunjukan dramatari Genggong di Desa Batuan Gianyar terwujud dari beberapa elemen/ unsur-unsur, seperti cerita/ lakon yang bersumber dari cerita Malat atau cerita Panji, penari (pria dan wanita), struktur pementasan, ragam gerak, musik iringan, dan tempat pementasan (kalangan). 2) Fungsi dramatari genggong adalah berfungsi sosial/ hiburan (balih-balihan) yakni pertunjukannya bersentuhan langsung dengan kegiatan kemasyarakatan pendukungnya seperti upacara piodalan di sebuah pura, halmana dalam penyajian tersebut murni sebagai rasa yadnya/ ngayah, tanpa memperoleh imbalan berupa uang. Sedangkan berfungsi ekonomi, genggong dalam pertunjukannya (di hotel-hotel) murni untuk ditonton oleh para wisatawan (orang yang menanggap), dan kelompok tersebut mendapat bayaran melalui hasil penjualan tiket. Pengenalan pariwisata khususnya di tingkat daerah Bali memberikan imbas besar melalui pementasan ke luar negeri oleh beberapa sekaa genggong di Desa Batuan, karena dapat mempromosikan kekayaan seni budaya daerah setempat. 3) Mengenai tata rias dan busana dramatari genggong dapat digolongkan menjadi rias kepala, badan, dan kaki, yang pada intinya masih berpedoman pada rias dan busana tari-tarian tradisi Bali pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA Bandem, I Made. 1996. Etnologi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

421

Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Budiarsa, I Wayan. 2012. "Komodifikasi Dramatari Gambuh di Desa Batuan Gianyar" sebuah Tesis (S2) Kajian Budaya, Universitas Udayana Denpasar. Dibia, I Wayan. 2004. Pragina: Penari, Aktor, dan Pelaku Seni Pertunjukan Bali. Malang: Sava Media. ______. 2012. Taksu Dalam Seni dan Kehidupan Bali. Denpasar: Bali Mangsi. ______. 2012. Geliat Seni Pertunjukan Bali. Denpasar: Buku Arti. ______. 2013. Puspasari Seni Tari Bali. Denpasar: UPT. Penerbitan ISI Denpasar. Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Haryono, Timbul (penyunting). 2009. Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang, Dan Waktu. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Rai S., I Wayan, 2001. Gong Antologi Pemikiran. Denpasar:Bali Mangsi Press. Ratna, Kutha I Nyoman, 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soedarsono, R.M. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ______1999. Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. ______1999. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan Dan Seni Rupa. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Soedarsono dan Tati Narawati. 2011. Dramatari di Indonesia Kontinuitas dan Perubahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

MEDIA PROMOSI OBJEK WISATA MONKEY FOREST UBUD GIANYAR BALI SEBUAH KAJIAN SEMIOTIKA

Ni Ketut Rini Astuti, Cokorda Alit Artawan Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa Dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar [email protected], [email protected]

Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan, mengidentifikasikan tanda verbal dan visual sebagai elemen pembentuk media komunikasi visual, serta menerjemahkan makna di balik tanda verbal maupun non verbal pada media promosi objek wisata Monkey Forest Ubud Gianyar Bali sebuah kajian semiotika, sehingga dapat diketahui citra dan nilai budaya yang ada di masyarakat, khususnya desa Padangtegal Ubud Gianyar Bali. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan analisis komunikasi visual yang dilakukan dalam pemahaman dan pembacaan terhadap tanda. Penelitian ini mengacu pada teori semiotika yang membahas tanda visual dan tanda verbal dalam memahami sistem tanda dan makna yang tersimpan pada Media Promosi Objek Wisata Monkey Forest Ubud, Gianyar, Bali. Hasil dari penelitian ini melalui analisis semiotika dapat dimaknai bahwa pada hakekatnya Media Promosi Objek Wisata Monkey Forest Ubud Gianyar Bali memakai konsep ajaran Tri Hita Karana berdasarkan filosofi agama Hindu di Bali, damai dan kemerdekaan menjadi satu dalam hidup kita. Dengan menghadirkan ilustrasi pura, hutan, dan monyet sebagai objek utamanya, yang memiliki makna sakral, keagungan dan kesucian. Dengan menunjukkan gambar visual seperti ini, tentunya untuk dapat mempromosikan objek wisata monkey forest dengan memperlihatkan keunikan, keindahan seni budaya melalui media promosi sebagai pemeliharaan dan pelestarian nilai-nilai kebudayaan setempat, menjadi kekayaan budaya Hindu.

Kata Kunci : Media Promosi Objek Wisata Monkey Forest

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

422

Abstract The purpose of this study to describe, identify signs of verbal and visual as constituent elements of visual communication media, as well as translating the meaning behind the verbal and non-verbal signs in the media campaign attractions Monkey Forest Ubud Gianyar Bali a study of semiotics, so it can be seen the image and cultural value in the community, especially the village of Ubud Gianyar Bali Padangtegal. The method used in this research is descriptive qualitative, visual communication with the analysis carried out in the understanding and reading of the sign. This study refers to the semiotic theory that addresses the visual sign and verbal sign in understanding a system of signs and meanings that are stored on the Media Campaign Attractions Monkey Forest Ubud, Gianyar, Bali. The results of this research through semiotic analysis can be interpreted that the essence of the Media Campaign Attractions Monkey Forest Ubud Gianyar Bali using the concept of Tri Hita Karana teachings based on the philosophy of Hinduism in Bali, peace and freedom become one in our lives. By presenting illustrations temples, forests, and monkeys as its main object, which has a sacred meaning, majesty and holiness. By showing visual images like this, of course, to be able to promote the attraction monkey forest to show the uniqueness, the beauty of art and culture through the medium of promotion as the maintenance and preservation of local cultural values, to be a wealth of Hindu culture.

Keywords: Media Promotion Attractions Monkey Forest

PENDAHULUAN Objek Wisata Monkey Forest (The Sacred Monkey Forest Sanctuary) merupakan wisata alam yang menawarkan keindahan hutan dengan 300 kera di dalamnya, serta kultur Bali yang masih sangat kuat. Dari kejauhan wisatawan dapat melihat dua patung kera Bali berukuran besar di kanan dan kiri jalan sebelum pintu masuk. Di dalam hutan juga terdapat tiga pura suci, yakni: Pura Dalem Agung, Pura Mandi Suci, dan Pura Prajapati, dengan 3 (tiga) konsep; pertama adalah utama mandala, yaitu tempat pemandian para Dewa; kedua adalah madia mandala, dimana terdapat sebuah kolam suci; dan yang ketiga adalah nista mandala sebagai tempat pemandian untuk umum. Tempat ini sangat mudah dicapai dengan menyusuri jalan Monkey Forest di Ubud Gianyar Bali atau cukup dengan berjalan kaki hanya sekitar 15 menit dari Jalan Raya Ubud. Tarif masuk ke objek wisata Monkey Forest ini, baik tamu wisatawan mancanegara, domestik, maupun lokal adalah sama yaitu Rp. 30.000 untuk dewasa dan Rp. 20.000 untuk anak-anak. Ubud terletak 25 km dari timur laut kota Denpasar. Ubud merupakan pusat suatu puri yang amat kuat, dan kini menjadi salah satu kelurahan dari kabupaten Gianyar yang terbagi dalam enam desa adat (Picard M, 2006:120). Di antara desa Padangtegal dan Nyuh Kuning, kecamatan Ubud, kabupaten Gianyar, terdapat sebuah hutan kecil yang dihuni oleh ratusan Kera Bali yang cukup jinak dan dapat diajak bermain-main saat para wisatawan menikmati liburan di kawasan wisata. Hutan kecil itulah yang disebut dengan "Monkey Forest", karena di dalam hutan terdapat ratusan kera. Para wisatawan yang datang ke tempat ini, selain dapat bermain dengan kera, juga dapat melihat kuburan dengan arsitektur Balinya. Mereka juga dapat menyaksikan lengkap dengan upacara di pura (odalan) maupun upacara pembakaran mayat (ngaben) jika waktu kunjungannya kebetulan bertepatan dengan hari upacara di pura tersebut. Daerah ini adalah daerah keramat dan terdapat peninggalan purbakala di dalamnya. Kawasan ini berada di jalan utama kota Ubud mengarah ke arah Selatan berada di kaki sebuah bukit, dan luas hutan 8 hektar ini adalah salah satu pusat penangkaran monyet di Bali. Objek wisata Monkey Forest, terletak di Desa Padangtegal, Ubud, Gianyar, Bali. Objek ini diupayakan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan tujuan pengelolaan yang lebih baik dalam menjaga integritas suci dari hutan monyet, sebagai situs yang terbuka untuk pengunjung dari seluruh dunia. Manajemen pengelolaan diupayakan agar memenuhi kriteria syarat pariwisata yang baik yakni sangat menarik dan unik, mudah diakses setiap saat dan selalu produktif, mudah dipahami sehingga banyak pengunjung yang datang ke tempat ini. Oleh karena itu, kesakralan objek yang masih terdapat hutan ditengah-tengah pemukiman penduduk, dan dalam proses upacara ritual menjadi agenda wisata yang sakral, sehingga upacara ritual menjadi daya tarik pengunjung karena kesenian dan budaya Bali, seperti tarian, kecak dan dance, Ramayana, patung-patung, ukiran dan cerita-cerita rakyat dapat dinikmati.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

423

Encyclopedia of Britanica yang dikutip Pirous (2006: 96), menyatakan bahwa media adalah bentuk pengumuman yang dicetak, ditulis atau digambar dan disampaikan kepada umum secara terbuka. Ruang lingkup yang dibawa media adalah pesan-pesan visual dan tekstual dari manusia kepada manusia lain. Karena memiliki fungsi untuk menyampaikan pesan, maka media harus memiliki penampilan yang menarik perhatian bagi khalayak. Media komunikasi visual memiliki peranan yang sangat penting dalam objek wisata Monkey Forest karena kehadiran dan keberadaannya sangat diperlukan sebagai media promosi. Media merupakan cerminan realitas sosial dalam budaya masyarakat Bali, juga dapat menjadi salah satu cara mempelajari realitas sosial budaya masyarakat dengan mempertemukan tanda-tanda dalam media dengan berbagai teori maupun data temuan di lapangan. Berbagai media komunikasi visual yang digunakan sebagai media promosi, seperti: media brosur, t-shirt, website, facebook, tiket, papan nama, dan iklan di Bali Travel News. Mengungkap makna yang ada di balik tanda visual maupun verbal, dapat diketahui citra dan nilai-nilai budaya objek wisata monkey forest, melalui media promosi. Selain itu dapat pula dipelajari budaya yang terbentuk maupun norma sosial yang ada dalam masyarakat yang mempengaruhi penciptaan media. Analisis secara semiotik terhadap tanda-tanda visual dan verbal media promosi objek wisata Monkey Forest, yaitu pada budaya tradisional yang mengarah pada kesenian dan budaya tradisi Bali khususnya desa Padangtegal Ubud. Keunikan dan karakteristiknya mengandung muatan nilai-nilai yang kompleks dan mendalam, sehingga keberadaannya memiliki peranan sangat penting bagi keberlangsungan pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya Bali, khususnya di desa Padangtegal, Ubud, Gianyar. Berdasarkan latar belakang di atas, memang memunculkan semangat untuk mengkaji lebih jauh tentang pentingnya media komunikasi visual sebagai media promosi pada objek wisata Monkey Forest Ubud Gianyar Bali, dan ada beberapa masalah yang dirumuskan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1). Apakah tanda verbal dan visual yang ditampilkan dalam media-media komunikasi visual objek wisata monkey forest Ubud Gianyar Bali? 2). Bagaimana makna konotasi yang terbangun di balik tanda verbal maupun visual pada Media Promosi Objek Wisata Monkey Forest Ubud Gianyar Bali? Media komunikasi visual yang berisi tulisan dan gambar dalam satu lembaran kertas atau kain dengan tujuan untuk mempromosikan sesuatu. Teks/tulisan dan gambar ini sering disebut verbal dan visual. Media sebagai media informasi/penyampaian pesan, memiliki berbagai fungsi seperti, remainder, menggugah kesadaran, membentuk suatu citra maupun menumbuhkan minat pada pemirsanya. Media pada umumnya dirancang berdasarkan kombinasi antara tipografi/verbal dengan visual. Keberhasilan dalam merancang desain media, perancang harus mampu mengkombinasikan antara teks (verbal), dan gambar (visual). Media merupakan bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi visual. Untuk dapat menjangkau khalayak sasarannya, komunikasi visual memerlukan media yang sesuai dengan khalayak sasarannya. Pemilihan media disesuaikan dengan gaya hidup konsumen, tingkat pendidikan, sosial dan ekonomi, kebiasaan, pekerjaan, tempat tinggal konsumen, dan sebagainya. Dalam suatu promosi, biasanya terdapat media primer dan media sekunder yang digunakan. Media primer merupakan media utama untuk mengkomunikasikan pesan pada khalayak sasaran. Media primer ini didukung oleh media sekunder sehingga dapat lebih menguatkan pesan yang disampaikan ataupun menjangkau khalayak sasarannya. Kekuatan pesan media juga turut ditentukan oleh media yang digunakan. Media, visualisasi dan pesan media berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat. Media dapat membawa budaya yang ada dalam suatu masyarakat, namun dapat juga menciptakan budaya baru di dalam masyarakat. Media dapat dibagi menjadi media cetak, elektronik, luar dan dalam ruangan. Media cetak misalnya surat kabar, majalah dan tabloid. Media elektronik contohnya: radio, televisi dan internet, media dalam ruangan seperti: brosur, folder, poster, sedangkan media luar ruangan adalah segala media massa yang berada di luar ruangan yang pada umumnya berukuran sangat besar seperti; poster, baliho dan billboard. Salah satu media yang cukup menarik dan jelas adalah poster. Media promosi objek wisata Monkey Forest, Ubud, Gianyar, Bali sebuah kajian semiotika dalam bahasan ini adalah media-media promosi yang dibuat oleh Desa Padangtegal yang berisi gambaran tentang Monkey Forest, kebudayaan, dan keindahan alam.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

424

Komunikasi secara umum diartikan sebagai suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak ke pihak lain agar terjadi saling memengaruhi di antara keduanya. Adapun penyampaiannya bisa bersifat nyata, simbolis, ekspresif dan juga bisa bernuansa promosi/ propaganda, protes, himbauan, estetis, didaktis. Cara penyampaian komunikasi bisa berupa komunikasi verbal, bila itu disampaikan dengan kata-kata, baik oral maupun tertulis, bisa juga komunikasi non-verbal yang disampaikan dengan cara visual melalui gambar atau gerak. Tampilannya bisa berupa hal yang realis, ekspresif, naturalis, maupun dekoratif. Desain Komunikasi Visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi dan layout (Tinarbuko, 2009: 24). Media-media promosi sebagai bagian dari desain komunikasi visual memiliki elemen desain grafis tersebut. Berbicara ilustrasi dalam konteks komunikasi visual, sama dengan memperbincangkan gambar dalam bingkai fungsi. Sisi fungsional sangat melekat dalam kata `ilustrasi. Ilustrasi adalah area khusus dari seni yang menggunakan gambar berupa representasi atau ekspresi untuk membuat sebuah pernyataan visual. Ilustrasi dapat berupa grafik, animasi, gambar dan lukisan. Ilustrasi menjadi hal penting dalam desain terutama dalam desain cetak sebelum fotografi banyak digunakan. Ilustrasi digunakan untuk membantu mengkomunikasikan pesan dengan tepat, cepat, serta tegas 'clan merupakan terjemahan dari sebuah judul. Ilustrasi diharapkan mampu untuk membentuk suatu suasana penuh emosi, dan menjadikan gagasan-gagasan seakan-akan nyata. Dengan ilustrasi maka pesan menjadi lebih berkesan, karena pembaca akan lebih mudah mengingat gambar daripada kata-kata. Pada perkembangannya, ilustrasi banyak digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang bersifat teks meskipun terkadang ilustrasi berdiri sendiri. Huruf merupakan bagian terkecil dari struktur bahasa tulis dan merupakam elemen dasar untuk membangun sebuah kata atau kalimat. Rangkaian huruf dalam sebuah kata atau kalimat bukan saja memberikan suatu makna yang mengacu pada sebuah objek ataupun gagasan, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk menyuarakan suatu citra ataupun kesan secara visual. Huruf memiliki paduan nilai fungsional dan nilai estetik. Pengetahuan mengenai huruf dapat dipelajari dalam sebuah disiplin seni yang disebuf tipografi (Sihombing, 2001: 2-3). Huruf sendiri merupakan tanda, dan tanda-tanda yang disusun akan memunculkan tanda baru. Sehingga dalam memaknai sebuah teks tanda berupa huruf, tidak sekedar memaknai bunyi teks itu semata, namun juga memaknai penyusunannya, pemilihan bentuk dan besar huruf satu dengan yang lainnya. Pemilihan huruf yang tepat tentu memiliki teknik tersendiri, karena huruf memiliki keragaman bentuk yang masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Karakter- karakter tersebut akan berpengaruh terhadap pesan yang akan disampaikan. Hal ini karena karakter huruf memberikan sebuah citra dan pesan yang ingin disampaikan. Tipografi biasanya menjadi elemen utama dalam halaman cetak. Tipografi menjadi penekanan dalam sebuah konsep sehingga menjadi perhatian dalam sebuah desain informasi. Tinarbuko (2009:26) menjelaskan bahwa tipografi dalam konteks desain komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf, besar huruf, cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersil) yang ingin disampaikan, sehingga tipografi memiliki peranan penting dalam komunikasi tanda. Warna menjadi elemen yang penting dalam desain, lebih lanjut Danesi (2010: 97-104), mengungkapkan bahwa kemampuan untuk mempersepsikan warna dalam berbagai wujud merupakan dasar dari banyak aktivitas pembuatan dalam penggunaan tanda di seluruh dunia. Dalam semiotika, istilah warna adalah penanda verbal yang mendorong orang untuk cendrung memerhatikan terutama rona-rona yang disandikan penanda. Dalam tingkat denotasi, penafsiran tanda berupa warna sebagai gradasi rona pada spektrum cahaya. Rona merupakan ciri penuntun penyebutan warna atau pemberian warna seperti merah, biru, kuning dan sebagainya. Warna juga digunakan untuk tujuan konotasi. Penggunaan warna secara konotasi tersebut tersebar lebih luas dibandingkan dengan denotasi warna itu sendiri sehingga warna menjadi penting dalam wilayah simbolisme. Kata komposisi berasal dari bahasa inggris composition, dari kata kerja to compose yang berarti mengarang, menyusun atau menggubah. Menyusun, mengarang atau menggubah biasanya digunakan dalam kegiatan seni termasuk seni rupa (Darmaprawira, 2002: 65). Jadi kegiatan yang

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

425

berhubungan dengan keindahan. Tentu saja bentuk susunan, karangan atau gubahan itu berdasarkan aturan-aturan atau kaedah yang berlaku bagi masing-masing cabang seni. Komposisi pada media promosi ini berarti penyusunan tanda verbal dan tanda visual dalam bidang gambar yang membentuk keseimbangan statis/kaku atau dinamis/tidak resmi. Layout dijabarkan oleh Rustan (2009: hal..) sebagai tata letak elemen-elemen desain terhadap sesuatu bidang dalam media tertentu untuk mendukung konsep atau pesan yang dibawanya. Tampilan layout yang tampak merupakan proses perjalanan eksplorasi kreasi manusia yang tiada henti dari masa lalu. Tampilan layout dapat menjadi penanda kapan layout itu dibuat. Layout memiliki banyak elemen yang masing-masing mempunyai peran yang berbeda dalam membangun keseluruhan layout. Lebih lanjut Rustan menyebutkan pengelompokan elemen layout terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu elemen teks, elemen visual dan invisible element. Untuk elemen teks antara lain: judul/ headline, deck/standfirst, byline, body teks, subjudul, caption, callout, kickers, initial caps, indent, lead line, spasi, header & footer, running heat, catatan kaki, nomor halaman, sugnature, jumps, nameplate, masthead. Elemen visual layout dapat terdiri dari foto, artworks, infographic, garis, kotak, inzet dan point. Sedangkan yang termasuk pada invisible element adalah margin dan grid. Pendekatan semiotika digunakan untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah tersebut. Semiotika sebagai metode penelitian dilakukan dengan pemahaman dan pembacaan (decoding) terhadap sebuah karya desain komunikasi visual karena terjadi suatu proses penyandian (encoding) pesan menjadi tanda visual (visual sign) dan tanda verbal. Untuk mengalihsandikan (decoding) tanda visual dan tanda verbal tersebut dalam rangka memahami sistem tanda dan makna yang tersimpan dalam media-media promosi objek wisata Monkey Forest maka membutuhkan metode yang berangkat dari ilmu tanda. Tanda adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda, di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata tulisan atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut signifier, bidang penanda atau bentuk. Aspek lainnya disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang yaitu bidang penanda untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan petanda untuk menjelaskan konsep atau makna. Merujuk teori Pierce, tanda-tanda dalam media dapat dilihat sebagai ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat juga dikatakan ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksud. Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan atau perjanjian yang telah disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Dalam penelitian ini, teks verbal (tulisan) dan teks visual (gambar) yang dihadirkan dalam media dipandang sebagai tanda. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1). Untuk dapat mendeskripsikan dan mengidentifikasikan tanda verbal dan visual sebagai elemen pembentuk media komunikasi visual objek wisata Monkey Forest Ubud, Gianyar Bali. 2). Untuk dapat menerjemahkan makna konotasi dibalik tanda verbal maupun non verbal pada media komunikasi visual objek wisata monkey forest sehingga dapat diketahui citra dan nilai budaya yang ada di masyarakat Ubud Bali.

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriftif-kualitatif, adapun tahapan-tahapannya dilakukan dengan proasedur sebagai berikut. Pertama, menentukan masalah penelitian dengan merumuskan masalah yang akan diteliti. Kedua, teknik sampling dilakukan untuk memfokuskan objek penelitian dalam hal ini media promosi objek wisata Monkey Forest, Ubud, Gianyar, Bali. Ketiga, menentukan jenis data sebagai tahapan penting dalam penelitian untuk mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang ditentukan. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Keempat, menentukan alat pengambilan data yang dilakukan dengan metode survey, observasi, wawancara, dokumentasi, dan kajian pustaka. Kelima, menentukan teknik analisis menggunakan pendekatan kajian semiotika. Penelitian ini lokasinya di Desa Padangtegal Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali. Jangka waktu penelitian ini dilakukan selama 1 (satu) tahun dari bulan Januari sampai bulan Desember 2014.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

426

HASIL DAN PEMBAHASAN Media adalah sarana komunikasi untuk menyebarluaskan pesan melalui ruang dan waktu untuk menjangkau banyak orang yang dikelompokkan ke dalam tatanan media massa atau biasa disebut media. Promosi penjualan merupakan salah satu bentuk sistem komunikasi pemasaran di samping iklan. Promosi penjualan terdiri atas berbagai kegiatan atau “alat” yang didesain untuk merangsang pasar, agar meningkatkan pembelian produk yang dipromosikan. Objek wisata Monkey Forest berada di Desa Padangtegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Propvinsi Bali, dikelola oleh Desa Padangtegal, yang diritualkan pada objek ini adalah pura, kuburan, tempat permandian, kera dan hutan. Upacaranya berdasarkan filosofi agama Hindu di Bali, dalam ajaran Tri Hita Karana adalah damai dan kemerdekaan menjadi satu dalam hidup, apabila kita menghargai dan menjaga ketiga keharmonisan dan kebersamaan yang terdapat pada ajaran Tri Hita Karana yaitu: Tuhan Yang Maha Esa memberkati hidup dan segala ciptaannya di dunia ini, alam memberikan kehidupan, keharmonisan yang dibutuhkan dalam setiap aktivitas mahluk hidup, dan mahluk hidup mempunyai peraturan yang ditetapkan sebagai dasar struktur kehidupan tradisional. Membangun candi sebagai tempat melaksanakan ibadah, upacara adat keagamaan, serta sebagai tempat bermusyawarah dan menyelesaikan masalah bersama-sama. Bagi umat Hindu di Bali harmonisasi terhadap alam dilakukan dengan upacara ritual yang disebut dengan Tumpek Kandang dan Tumpek Uduh. Tumpek Kandang jatuh setiap hari Sabtu Kliwon wuku Uye, adalah upacara utuk segala jenis hewan piaraan dalam hal ini ditujukan kepada kera- kera yang ada di hutan Maonkey Forest. Sementara Tumpek Uduh jatuh setiap hari Sabtu Kliwon wuku Wariga upacara difokuskan untuk tumbuh-tumbuhan yang ada di sana. Pada hari-hari tersebut masyarakat setempat membuat sesaji istimewa untuk hutan dan kepada semua binatang. Fungsinya dipeluas yang tadinya dipakai atau disajikan untuk upacara ritual keagamaan (sembahyang) yang tertutup untuk umum, namun saat ini dikomodifikasi melalui berbagai media promosi. Makna dari objek wisata ini bagi masyarakat sekitar merupakan situs hutan suci yang sakral dan dikeramatkan sebagai tempat upacara ritual yang tadinya disakralkan kemudian dikomodifikasi. Sejak dibukanya objek wisata Monkey Forest sebagai tempat pariwisata, mampu menopang kehidupan ekonomi masyarakatnya. Dulu masyarakat Padangtegal mata pencahariannya adalah bercocok tanam (petani) dan dalam karya seni yang dihasilkan hanya dimanfaatkan untuk mendukung aktifitas atau kegiatan ritual keagamaan, seperti tarian kecak dan dance dalam cerita epos Ramayana yang ditarikan pada saat ritual saja. Dengan meningkatnya wisatawan yang berkunjung ke Bali, khususnya ke Padangtegal-Ubud-Gianyar-Bali telah mengubah objek-objek di Monkey Forest untuk dijadikan komoditas dengan memodifikasi kesakralan tempat dan ritual menjadi sesuatu yang profan, kemudian dikemas untuk dapat dipertunjukkan secara umum, yang tentunya tidak melanggar aturan atau norma-norma yang berlaku di daerah tersebut.

Jenis Media-Media Promosi Objek Wisata Monkey Forest

Media Brosur Media promosi yang dipakai pada objek wisata Monkey Forest berupa brosur yang menampilkan ilustrasi monyet, pura, hutan dan lain-lain dengan teks yang menjelaskan secara rinci keindahan dan daya tarik di tempat tersebut. Tipografinya memakai huruf grotesque sans serif, dan warna hijau yang digunakan sangat dominan pada media brosur, yang mewakili keasrian dari hutan tersebut. Fungsi dan manfaat dari media brosur sangat efektif dan komunikatif dalam menginformasikan objek wisata Monkey Forest-Ubu-Gianyar-Bali.

Gambar 1. Media Brosur Tampak Depan dan Tampak Belakang Sumber : Dokumen Penulis, 2014

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

427

Analisis Desain Komunikasi Visual Desain Komunikasi Visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam berbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf atau tipografi, warna, komposisi, dan layout (Tinarbuko, 2009: 24). Unsur Verbal yang terdiri dari “Selamat Datang Mandala Suci Wenara Wana (The Sacred Monkey Forest Sanctuary) Padangtegal Ubud Bali” menggunakan jenis huruf grotesque sans serif, dengan memakai warna putih yaitu sans serif yang muncul sebelum abad ke-20 masuk dalam golongan grotesque (Rustam, 2010: 49). Unsur visual yang ditampilkan pada lipatan depan adalah ilustrasi dengan teknik fotografi yaitu berupa wajah kera yang dijadikan ilustrasi merupakan karya dua dimensional dengan bahan art paper dan cat yang berukuran panjang 42 cm x 12 cm. Visualisasinya menggambarkan ilustrasi wajah kera yang melihat ke atas, kera yang duduk, serta beberapa anak kera yang sedang menikmati makanan, menampilkan pura, meru, dan hutan. Background yang ditampilkan pada media brosur ini menampilkan suasana hutan dengan warna hijau, pura dan kera-kera sesuai warna aslinya. Dilihat dari prinsip-prinsip desain media brosur ini menggunakan keseimbangan asimetris, keserasian kurang dibentuk dari kesatupaduan unsur warna. Dari segi proporsi terlihat dari unsur visual yang lebih mendominasi dibandingkan unsur verbal. Skala pada media brosur ini terlihat kurang seimbang terutama perbandingan antara tipografi dengan ilustrasi. Kesan irama juga kurang terbentuk dari besar kecil huruf yang semua hampir sama, sehingga kurang memiliki dominasi baik dari pusat perhatian (centre of interest), titik pusat (focal point), ataupun penarik pandang (eye catcher). Dari segi warna didominasi warna hijau, putih, menggunakan layout informal balance. Tipografi yang digunakan yaitu jenis huruf grotesque sans serif yang muncul sebelum abad ke-20 masuk dalam golongan grotesque yang artinya lucu/aneh. Komposisi yang diterapkan asimetris dengan gaya desain surealis. Warna yang lebih dominan ditampilkan adalah warna hijau, putih, dan hitam.

Analisis Semiotika Brosur Ikon wajah kera, hutan, pura, denah lokasi serta logo, indeks pandangan mata kera, dengan ekspresi wajah memandang ke atas, simbol kera, hutan, meru, dan pura. Makna “Selamat Datang Mandala Suci Wenara Wana (The Sacred Monkey Forest Sanctuary) Padangtegal Ubud Bali”. Tanda ikon dan indeks pada media promosi ini dijadikan sebagai simbol identitas dari objek wisata Monkey Forest dan sebagai citra budaya tradisi bagi para pengunjung. Media brosur sebagai media informasi atau penyampaian pesan yang memiliki berbagai fungsi menggugah kesadaran, membentuk citra maupun menumbuhkan minat pada pemirsanya atau masyarakat yang melihatnya, dibuat berdasarkan kombinasi antara teks (verbal) dan gambar (visual). Media brosur pada objek wisata Monkey Forest-Ubud-Gianyar-Bali ini dibuat di atas kertas dengan teknik cetak offset, gaya desain surealis. Komposisi yang dihadirkan menampilkan gambar visual pada bidang sebelah kiri dan dilengkapi dengan tulisan (verbal) pada bagian kanan bidang gambar (visual). Media brosur objek wisata Monkey Forest-Ubud-Gianyar-Bali, menampilkan wajah kera dimana kera-kera yang hidup di dalam tempat yang aman dan damai ini dinamakan kera Bali, yang juga dikenal dengan nama kera ekor panjang, nama ilmiahnya adalah macaca fascicularis. Hutan adalah tempat tinggal kera, sangat penting untuk memperlakukan kera dengan baik. Berdasarkan analisa dari Pura Purana (buku suci terbuat dari lontar yang merupakan barang bersejarah dari pura setempat). Pura kera suci ini dibangun sekitar pertengahan abad ke-11, saat itu kerajaan dikuasai oleh dinasti Pejeng, sekitar awal dinasti Gelgel. Maka media brosur objek wisata Monkey Forest- Ubud-Gianyar-Bali dari tampilan visual secara keseluruhan sudah sesuai konsep yaitu Tri Hita Karana yang berarti tiga penyebab kebahagiaan. Masyarakat Bali masih konsisten menjalankan tata aturan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Sebagai pemeluk agama Hindu, masyarakat Bali memiliki pandangan bahwa kehidupan ini akan berjalan harmonis didasarkan atas keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alamnya (Wiana, 2004: 124). Dengan azas berbakti kepada Tuhan Hyang Maha Esa menumbuhkan loyalitas untuk mengabdi. Sesuai dengan keyakinan masyarakat Bali, bahwa rasa bakti itu diwujudkan dalam bentuk yadnya yang ditujukan kepada Tuhan/ Hyang Widhi Wasa. Simbol yadnya ini bisa dilihat dari berbagai sesajen yang dibuat seperti canang sari , kwangen, gebogan (susunan berbagai macam buah dan janur/daun kelapa yang dibentuk) yang

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

428

dihaturkan sebagai rasa syukur dan bakti kehadapan Tuhan. Tidak hanya itu, dalam setiap upacara keagamaan, selalu dihadirkan kegiatan kesenian seperti seni tabuh, seni tari dan seni karawitan sebagai bagian dari yadnya. Pelaksanaan azas kebersamaan dengan sesama manusia mendorong manusia untuk berorientasi kepada sesamanya untuk saling menghormati, dan menjaga hubungan baik dengan semua umat manusia. Manusia adalah mahluk sosial yang religius, tidak akan bisa hidup menyendiri, melainkan saling memerlukan bantuan sesamanya yang disebut tat twam asi (dia adalah engkau). Hal ini yang menjadi landasan tata kehidupan didalam menuju harmonisasi yang dilakukan oleh masyarakat Bali, untuk menyikapi pergaulan antar umat manusia, baik secara individu maupun secara berkelompok. Kemudian peghormatan terhadap alam, orang Bali menerapkannya dengan tidak menebang pohon/kayu sembarangan. Salah satu contoh, saat memotong pohon bambu tidak boleh hari sembarangan, tapi harus sesuai dengan hari baik. Pada hari tumpek wariga, orang Bali menghaturkan sesajen pada setiap tumbuhan sebagai rasa syukurnya yang telah memberikan kesejukan dan sangat bermanfaat dalam kehidupan. Konsep ini merupakan filsafat Tri Hita Karana tersebut, artinya dalam kehidupan ini manusia tidak hidup sendiri, melainkan dikelilingi oleh komunitinya yang disebut dengan sistem makrokosmos, dimana manusia merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsur kecil saja yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar. Jadi media brosur yang dibuat oleh Desa Padangtegal untuk mempromosikan objek wisata Monkey Forest sudah memenuhi konsep Tri Hita Karana dalam wujud visualnya yakni warna hijau melambangkan perenungan, kepercayaan (agama), dan keabadian, kesegaran, petumbuhan, dan kesuburan yang telah ditampilkan pada hutan yag tumbuh dengan subur sebagai implementasi aspek palemahan.

Media T-shirt Media T-shirt atau kaos oblong adalah busana yang bentuknya menyerupai hurup T, leher bulat tidak berkerah dan berlengan pendek, yang terbuat dari kain tipis yang agak jarang-jarang tenunannya, serta terbuat dari bahan katun ataupun katun dicampur rayon atau nilon, dengan berbagai ukuran S (Small), M (Medium) L (Large), dan XL (Extra Large), yang bisa dipakai oleh siapa saja. Fungsi t-shirt secara umum tidak hanya digunakan sebagai baju dalam, akan tetapi telah dikembangkan menjadi trend pakaian santai yang memiliki kelebihan-kelebihan khususnya bagi kaum muda disamping difungsikan sebagai pakaian olah raga. T-shirt, disamping sebagai benda souvenir dan cindera mata baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara, juga dapat berfungsi sebagai media komunikasi visual.

Gambar 2. Desain T-Shirt Tampak Depan dan Belakang. Sumber : Dokumen Penulis, 2014

Analisis Unsur Desain Komunikasi Visual Unsur verbal “save the forest” menggunakan jenis huruf script dan cursive bentuknya didesain menyerupai tulisan tangan, ada yang seperti goresan kuas atau pena kaligrafi. Kalau script huruf-huruf kecilnya saling menyambung, sedangkan cursive tidak. Script maupun curcive didesain untuk digunakan dalam teks yang memadukan huruf besar-kecil, bukan huruf besar semua, (Rustam, 2010: 50), dengan warna merah, putih, coklat, hijau dan kuning. Tipografi Mandala Wisata Wenara Wana (Sacred Monkey Forest Sanctuary) Padangtegal - Ubud - Bali”, menggunakan jenis huruf grotesque sans serif yaitu sans serif yang muncul sebelum abad ke-20 masuk dalam golongan grotesque, dengan memakai warna hitam. Sedangkan pada desain belakang

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

429

t-shirt berisi teks save the planet, www.monkeyforestubud.com, menggunakan jenis huruf script dan cursive bentuknya didesain menyerupai tulisan tangan, ada yang seperti goresan kuas atau pena kaligrafi dengan warna hijau. Unsur visual menggunakan keseimbangan simetris yang tujuh puluh persen dipenuhi ilustrasi, dengan menghadirkan ilustrasi 4 kera dan warna abu-abu, ilustrasi rumput hijau, dan buah pisang warna kuning. Keseimbangan dari t-shirt ini adalah asimetris dengan gaya desain surealis. Dari segi proporsi terlihat pada perbandingan besar gambar dengan tipografi yang berada di bawah member kesan kurang seimbang. Lebih dominan warna yang dipakai abu- abu, hijau, coklat, putih, dan hitam, menggunakan Quadran layout.

Analisis Semiotika T-shirt Ikon pada media t-shirt ini adalah beberapa ekor kera, rumput, dan buah pisang, indeksnya pandangan kera yang saling bertatapan, simbolnya kera, rumput, dan pisang. Tanda ikon dan indeks pada media promosi ini dijadikan sebagai simbol identitas dari objek wisata monkey forest dan sebagai citra budaya tradisi bagi para pengunjung. Dalam media t-shirt ini menampilkan beberapa kera-kera yang hidup di dalam tempat yang aman dan damai yang dinamakan kera Bali, juga dikenal dengan nama kera ekor panjang. Ilustrasinya juga berupa rumput hijau yang tumbuh di dalam hutan, dan buah pisang yang merupakan makanan dari kera, yang melambangkan mahluk hidup dan alamnya saling memberikan kehidupan, keharmonisan yang dibutuhkan dalam setiap aktivitas mahluk hidup. Makna dari media t-shirt pada objek wisata Monkey Forest, Ubud, Gianyar, Bali, ini sesuai dengan konsepnya yaitu keseimbangan antara hubungan mahluk hidup dengan alamnya seperti pohon, tumbuhan, binatang serta struktur lain diperlakukan dengan baik saling melindungi, menghargai, dan menghormati kehidupan di dalamnya. Kawasan Monkey Forest yang merupakan tempat suci memiliki keindahan dan keajaiban, karena kera merupakan hewan yang penting dalam kebudayaan masyarakat Bali.

Media Tiket Tiket merupakan suatu alat/media yang digunakan oleh perusahaan tertentu sebagai pengganti uang langsung. Tiket biasanya berupa kertas yang di dalamnya terdapat item-item tertentu yang menunjukkan suatu nilai. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan tiket adalah sesuatu yang dianggap sebagai alat pembayaran yang digunakan oleh suatu alat transportasi yang ada. Media tiket objek wisata Monkey Forest menggunakan jenis huruf grotesque sans serif yaitu sans serif yang muncul sebelum abad ke-20 masuk dalam golongan grotesque dengan warna kuning, putih dan hitam. Ilustrasi yang ditampilkan wajah kera, candi, lingkungan hutan, dan air pancuran yang suci.

Gambar 3. Desain Tiket Dewasa dan Anak-anak Sumber : Dokumen Penulis, 2014

Gambar 4. Desain Tiket Tampak Belakang. Sumber : Dokumen Penulis, 2014

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

430

Analisis Desain Komunikasi Visual Unsur verbal pada headline “Mandala Suci Wenara Wana” menggunakan jenis huruf grotesque sans serif yaitu sans serif yang muncul sebelum abad ke-20 masuk dalam golongan grotesque (Rustam, 2010: 49), dengan menggunakan warna kuning, sub-headline teks “Sacred Monkey Forest Sanctuary Padangtegal - Ubud – Bali, Phone: +62-361-971304, 972774 Email : [email protected] Website : www.monkeyforestubud.com”, Body copy Padangtegal Clean & Green warna kuning, Opening Hours : daily 8.30 am -6 pm menggunakan warna putih, ilustrasi yang ditampilkan dengan teknik fotografi yaitu berupa foto wajah kera, candi, permandian suci, dari unsur garis terlihat dari rangkaian tipografi membentuk garis-garis lurus horizontal. Tipografi menggunakan bentuk huruf grotesque sans serif, besar huruf yang digunakan bervariasi seperti pada teks. Unsur bentuk pada media tiket ini, menggunakan bentuk-bentuk simetris berupa bentuk- bentuk persegi. Dari segi tekstur, media tiket ini menggunakan tekstur kasar semu. Unsur ruang pada media tiket ini, berupa kesan ruang kedalaman dengan penggambaran gelap terang warna. Dilihat dari prinsip-prinsip desain, komposisi pada tiket ini menggunakan keseimbangan simetris, dan keserasian dibentuk dari kesatu paduan unsur warna. Dari segi proporsi terlihat dari unsur visual yang lebih mendominasi dari pada unsur verbal. Skala pada media tiket ini terlihat perbandingan kurang seimbang antara tipografi dan ilustrasi, dan kesan irama kurang terbentuk dari besar kecil huruf. Segi warna didominasi warna hijau, kuning, putih, dan hitam, serta menggunakan layout Multi Panel layout. Media tiket ini dalam tampilannya hanya mengutamakan foto-foto kepala kera, candi, tempat permandian suci yang terkesan ramai namun tidak memperhatikan elemen-elemen lain seperti tipografi, warna, layout maupun komposisi, sehingga belum tampak unsur-unsur kesederhanaan (simplicity), kesatuan (unity), kejutan (surprise) antara elemen-elemen visual dan verbal.

Analisis Semiotika Tiket Tanda ikon dan indeks pada media promosi ini dijadikan sebagai simbol identitas dari objek wisata monkey forest dan sebagai citra budaya tradisi bagi para pengunjung. Kehadiran logo dan teks dari Mandala Suci Wenara Wana yang berbentuk huruf T terbalik yang merupakan tanda dari hutan monyet yang berarti sangat penting untuk memperlakukan kera suci dengan baik dimana hutan adalah tempat tinggal mereka. Makna pada media tiket memiliki makna yang merupakan rangkaian huruf yang memiliki pesan bahwa dengan Mandala Suci Wenara Wana yang artinya hutan suci kera yang dilindungi sarat nilai dan kaya makna, ini sudah sesuai dari konsep ajaran agama Hindu yaitu Tri Hita Karana, keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alamnya. Dalam penerapannya sudah dapat dilihat dari pengertian teksnya, ilustrasi, warna serta dalam layout-nya sudah sesuai dari konsep. Dan juga merupakan sebuah informasi bagi masyarakat lokal, domestik, maupun mancanegara untuk bisa berkunjung atau dapat menyaksikan seni dan budaya pada acara atau moment tertentu, dimana pada pemukiman penduduk masih ada hutan suci dan kera ekor panjang.

SIMPULAN Setiap tanda yang dihadirkan dalam Media Promosi Objek Wisata Monkey Forest Ubud Gianyar Bali memiliki makna konotasinya yang mempresentasikan Monkey Forest, dan setiap tanda memberikan citra khas terhadap seni dan kebudayaan Bali, serta hadirnya media-media promosi objek wisata monkey forest ini, bisa dikonotasikan sebagai penggalian kreativitas, dan pelestarian terhadap hutan dan monyet. Objek wisata Monkey Forest yang unik dan menarik yang syarat dengan konsep Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan) yaitu masyarakat Bali masih konsisten menjalankan tata aturan dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Sebagai pemeluk agama Hindu, masyarakat Bali memiliki pandangan bahwa kehidupan ini akan berjalan harmonis didasarkan atas keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan yaitu Tuhan Yang Maha Esa memberkati hidup dan segala ciptaan-Nya di dunia ini, antara manusia dengan manusia yaitu mahluk hidup mempunyai peraturan yang ditetapkan sebagai dasar struktur kehidupan tradisional. Membangun candi sebagai tempat melaksanakan ibadah, upacara adat keagamaan, serta sebagai tempat bermusyawarah dan menyelesaikan masalah bersama-sama, dan antara manusia dengan alamnya yaitu alam memberikan kehidupan, keharmonisan yang dibutuhkan dalam setiap aktivitas mahluk hidup.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

431

Tanda Visual media promosi objek wisata Monkey Forest memiliki makna konotasi yaitu: masyarakat Bali memiliki hutan dengan kera sucinya. Pemaknaan-pemaknaan yang muncul dari tanda-tanda yang dihadirkan dalam objek wisata Monkey Forest memberikan gambaran di dalam pemukiman masih terdapat hutan dan kera suci yang dikelola oleh Desa Padangtegal. Dalam kaitan ini Desa Padangtegal bertujuan dalam upaya memfungsionalisasikan objek wisata Monkey Forest sebagai promosi pariwisata dalam meningkatkan pendapatan ekonomi, menggali kreativitas, serta menjaga kelestarian hutan dan kera-kera Bali yang menjadi komponen penting dalam spiritual dan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.

DAFTAR PUSTAKA Picard, Michel. (2006), Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Piliang, Yasraf Amir (2009) Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika Yogyakarta:Jalasutra. ______(2003). Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta:Jalasutra. Rustam, Surianto. (2009) Layout Dasar & Penerapan. Jakarta:Gramedia. Tinarbuko, Sumbo (2009) Semiotika Komunikasi Visual (edisi revisi). Yogyakarta:Jalasutra Wiana, I Ketut. (2007), Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita.

MODIFIKASI BENTUK DAN ORNAMEN PENJOR DI DESA KAPAL DI KABUPATEN BADUNG BALI

I Nyoman Laba, I Made Bayu Pramana Program Studi Kriya Seni dan Program Studi Fotografi, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar

Abstrak Penjor merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan upacara keagamaan di Bali, dimana penjor merupakan lambang dari wujud rasa terima kasih manusia kehadapan-Nya. Dalam perkembangan selanjutnya penjor banyak digunakan sebagai hiasan untuk lomba, pesta seni atau perayaan hari besar lainnya. Berbagai bentuk penjor telah banyak dijumpai dan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal itu tidak terlepas dari perkembangan era globalisasi yang membawa dampak signifikan bagi alam pikiran manusia Bali dalam menghaturkan persembahan kehadapan-Nya. Penelitian yang dilakukan menggunakan penelitian kualitatif, dan permasalahan yang diangkat adalah bagaimana terjadinya modifikasi penjor di Desa Kapal serta apa dampak yang ditimbulkan dari adanya modifikasi. Dari hasil penelitian diketahui, bahwa penjor sebagai salah satu bentuk artefak budaya tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara, namun penjor kini juga dipakai sebagai sebuah simbol representasi seseorang dalam struktur masyarakat Hindu di Bali. Orang yang memiliki status ekonomi yang tinggi cenderung membuat penjor sangat megah dan mewah serta hiasannya siap pasang dan mudah di beli. Hal ini membawa dampak positif bagi para perajin penjor di Desa Kapal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi imformasi positif bagi masyarakat Bali tentang perkembangan Seni Budaya Bali dan posisi penjor dalam ritus budaya Bali sehingga pembuatan penjor tidak menyimpang dari tujuan pokoknya.

Kata Kunci: Penjor, Modifikasi, Gaya Hidup

Abstract Penjor is an unseparated part of religion activities in Bali where penjor has an emblem of thanksgiving of human to the supreme God. In a further development, penjor is used a lot as decoration for competitions, art’s parties or other big evens. Many penjor shapes has been seen and has significant development. This development is because of globalization movement that has

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

432

crucial effect for human thinking of Balinese people when making an offering to God. Research had done is used qualitative method and how penjor modification happen in Kapal village and its effect as a problem of this research. From the research’s result is known that penjor as one of cultural artifact is not only has function as complement of ceremony but nowadays penjor has been used also as representation symbol of someone in Balinese Hindu community structural in Bali. A person who has wealthy economy status mostly makes very stately and elegant penjor with ready for installation and easy to buy penjor’s garnish. This situation gives a positive impact for penjor craftsperson in Kapal Village. The research’s result is hoped that giving positive information for Balinese society about Balinese culture development and penjor position on Balinese Cultural rite so when making the penjor. It is not out of its main purpose.

Key words: Penjor, Modification, Life Style.

PENDAHULUAN Penjor merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan upacara keagamaan di Bali, seperti upacara galungan dan kuningan serta piodalan di pura-pura, dimana penjor merupakan lambang dari wujud rasa terima kasih manusia kehadapan-Nya. Dalam perkembangan selanjutnya penjor juga banyak digunakan sebagai hiasan untuk lomba, pesta seni atau perayaan hari besar lainnya. Berbagai bentuk penjor telah banyak dijumpai dan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan selera seni yang tinggi. Masyarakat dengan ekonomi kelas atas cenderung akan membuat penjor yang besar dan terkesan mewah. Widiastuti (2013) memberikan pandangannya bahwa perkembangan penjor di era masyarakat pasca modern dan pasca industri cenderung mengarah pada ajang kontestasi. Penjor sebagai sarana upacara agama Hindu kini telah mengalami pergeseran, yakni menunjukkan kemewahan, bahkan hiperpakem. Bentuk-bentuk penjor yang mewah dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni hiperpakem polos, hiperpakem dengan simbol binatang mitologi, dan hiperpakem dengan simbol dewa-dewi. Penjor-penjor hiperpakem ini lebih difungsikan sebagai pemuasan hasrat gaya hidup manusia. Tumbuh suburnya penjor-penjor hiperpakem ini merupakan jawaban atas kebutuhan hasrat gaya hidup manusia Bali yang semakin tinggi, yang terbingkai dalam menghaturkan persembahan kehadapan Tuhan. Adian (2005; 65-78) dalam pemikiran postmodernnya tentang gaya hidup, mengkondisikan bahwa postmodernisme adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi dan reproduksi informasi, dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan yaitu masyarakat. Adalah masyarakat konsumen yang bekerja tidak lagi demi memenuhi kebutuhan pokoknya, melainkan demi memenuhi hasrat gaya hidupnya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Pilliang (2004 ) yang banyak memberi kita pandangan betapa manusia kini hidup dalam kesemuan yang bertujuan hanya untuk memenuhi hasratnya, sehingga manusia akan terseret pada ideologi pasar dan konsumerisme yang menggila. Dengan demikian ketika konsumerisme masyarakat terhadap hiasan penjor terus meningkat, maka produsen (kapitalis) akan terus berkreativitas dan memodifikasi untuk menghasilkan bentuk dan ornamen penjor yang dapat diterima oleh masyarakat luas sebagai pemenuhan hasrat gaya hidupnya dan pengukuhan status sosial yang disandangnya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sejauh mana perkembangan kerajinan hiasan penjor di Desa Kapal yang telah mengalami modifikasi serta dampak yang ditimbulkan dari adanya modifikasi penjor. Dari hasil penelitian diketahui, bahwa penjor sebagai salah satu bentuk artefak budaya tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara, namun penjor kini juga dipakai sebagai sebuah simbol representasi seseorang dalam struktur masyarakat Hindu di Bali. Orang yang memiliki status ekonomi yang tinggi cenderung membuat penjor sangat megah dan mewah serta menghabiskan biaya yang tidak sedikit, dimana sebagian besar hiasannya siap pasang dan bisa dibeli di sentra pembuatan penjor. Tumbuh kembangnya penjor tidak terlepas dari kemampuan para pengerajin yang terampil memodifikasi penjor dan menjadi peluang bisnis bagi para kapitalis di bidang industri budaya yang mampu mengambil peluang atas penomena masyarakat yang menjungjung tinggi agama pasar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi positif bagi masyarakat Bali tentang perkembangan Seni Budaya Bali dan posisi penjor dalam ritus budaya Bali sehingga pembuatan penjor tidak menyimpang dari tujuan pokoknya.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

433

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan teknik pendekatan kualitatif yang diarahkan pada kondisi asli objek penelitian. Objek penelitian tidak ditentukan dengan teknik pemilihan sampling (cuplikan) yang bersifat acak (random sampling), tetapi lebih bersifat purposive sampling. Hal ini dilakukan, karena teknik ini lebih mampu menangkap realitas yang tidak tunggal dengan sangat memperhatikan kondisi lokal dengan kekhususan ideografis atau nilai-nilainya (Sutopo, 1996: 37). Alokasi waktu penelitian dipilih bulan Mei 2014 bertepatan dengan perayaan hari besar umat Hindu Bali yaitu hari raya Galungan dan Kuningan, sehingga data yang diperoleh di lapangan lebih valid. Objek penelitian ini adalah bentuk-bentuk penjor yang telah mengalami modifikasi baik bentuk maupun ornamennya serta para perajin hiasan penjor di Desa Kapal, Mengwi, Badung Bali Dalam penelitian ini pengumpulan data akan dilakukan secara observasi, wawancara dan studi pustaka. Data yang diperoleh berupa data primer dan skunder akan dianalisis, sehingga hasil data yang diperoleh dari lapangan merupakan pedoman atau konsep dasar dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Data yang telah terkumpul dipilih terlebih dahulu, kemudian dibandingkan untuk mencari kemiripan, selanjutnya dikaitkan dengan fenomena yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Hiasan Penjor di Desa Kapal Penjor adalah salah satu sarana upakara dalam merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan, dan merupakan simbul Gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Bagi masyarakat Bali yang beragama Hindu, menjadi suatu kewajiban untuk mendirikan penjor baik di pintu gerbang (angkul-angkul) rumahnya (Sudiana, 2014). Berbagai bentuk penjor telah banyak dijumpai dan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat baik bentuk maupun struktur penjor tersebut. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan era globalisasi yang membawa dampak signifikan bagi alam pikiran manusia Bali dalam menghaturkan persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Saat ini penjor telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan keagamaan di Bali baik upacara Rsi Yadnya maupun Manusia Yadnya. Begitu pesatnya perkembangan bentuk penjor tersebut membuka peluang bisnis bagi sebagian masyarakat Bali terutama di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Berbagai sarana penjor yang dihasilkan di Desa Kapal sudah sangat dikenal oleh masyarakat Bali. Terlebih lagi bagi masyarakat Bali dengan penghasilan ekonomi menengah ke atas yang notabene ingin membuat segala sesuatunya dengan mudah dan cepat, cenderung akan membuat penjor yang megah dan mengarah pada kesan kemewahan, dimana sebagian besar asessorisnya siap pasang dan mudah dibeli. Mereka tidak akan merasa segan untuk mengeluarkan biaya yang tidak sedikit “jor-joran” demi sebuah pengakuan dan sebagai sebuah simbol representasi seseorang dalam struktur masyarakat Hindu di Bali. Penjor sebagai salah satu bentuk artefak budaya tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara, namun penjor kini juga dipakai sebagai sebuah simbol representasi seseorang dalam struktur masyarakat Hindu di Bali. Perkembangan ekonomi masyarakat Bali yang terus meningkat membuat produk hiasan penjor ikut mengalami perkembangan. Hal itu terlihat dari berbagai bentuk varian ornamen penjor yang kreatif dan inovatif, dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit dan mewah. Hal itu tidak terlepas dari kemampuan para pengerajin yang sangat terampil memodifikasi berbagai bentuk sarana penjor tersebut sesuai dengan tuntutan pasar dengan kemasan yang sangat menarik. Pasar sebagai penentu sebuah produk diterima atau tidak senantiasa mengalami perubahan yang diakibatkan oleh gaya hidup. Gaya hidup yang pada akhirnya menjadi sebuah identitas seseorang (Aldin, 2009), mengakibatkan perubahan terhadap produk-produk yang dihasilkan, termasuk pada berbagai bentuk hiasan dan model penjor yang diproduksi dan dijual oleh masyarakat yang ada di Desa Kapal. Perubahan yang terjadi diantaranya perubahan bentuk hingga perubahan bahan baku. Kondisi tersebut sejalan dengan pemikiran SP. Gustami (Berata, 2009: 29) yang mengatakan bahwa sebuah perkembangan tidak terlepas dari adanya perubahan. Perubahan dapat berarti bergerak dari satu titik ke titik lainnya, bergerak dan mengalir dengan arus yang semakin meningkat. Perubahan bukan sekedar berubah, tetapi perubahan haruslah memberi berbagai

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

434

peningkatan dari berbagai aspek. Seperti halnya perubahan bentuk dan ornamen penjor yang berkembang di Desa Kapal, Mengwi, badung Bali. Perubahan tersebut tidak terlepas dari terampilnya para pengerajin memodifikasi berbagai bentuk hiasan penjor, sehingga permintaan akan sarana penjor terus mengalami peningkatan sesuai tuntutan pasar. Agus Eka salah seorang pemilik toko Dharma Yadnya di Pasar Desa Kapal. mengungkapkan bahwa, perkembangan hiasan penjor saat ini terus meningkat dan berubah tiap 6 (enam) bulan sekali atau setiap menjelang perayaan hari raya Galungan. Hal ini dikarenakan permintaan akan kreasi baru dari para pembeli menuntutnya selalu kreatif dalam menciptakan hiasan penjor walaupun bentuk polanya sama. Secara umum pola dasar yang dijadikan acuan dalam membuat hiasan penjor adalah Karang Waluh. Bentuk-bentuk janur tersebut banyak terinspirasi dari alam sekitar dan kekarangan serta pepatraan khas Bali, seperti bentuk tunjung, bentuk kelopak, bentuk kotak, segi delapan, bentuk burung, karang manuk, bentuk canang sari dan bentuk sanggah (merajan). Ornamen dan reringgitan yang diterapkan pada hiasan janur banyak memakai motif mas-masan yang telah distilir lebih sederhana dan juga menerapkan motif patra samblung dan motif kuta mesir (wawancara, 12 Mei 2014).

Gambar: 1, 2, 3, 4 Bentuk sampyan Gempong penjor yang telah mengalami modifikasi, terinspirasi dari bentuk burung, kotak, kelopak, tunjung dan mengambil motif karang Manuk.

Dengan semakin banyaknya permintaan yang datang membuat kreativitas para pengerajin terus meningkat untuk menciptakan kreasi baru guna menarik setiap pembeli agar kerajinan yang dihasilkan selalu diminati. Desain Penjor pun beragam, mulai dari yang bergaya tradisional (standar) hingga yang lebih modern (kreasi baru). Mulai dari desain yang sederhana seharga ratusan ribu, hingga desain yang sophisticated dengan harga jutaan rupiah. Hal inilah yang menjadi pendorong utama perkembangan bentuk-bentuk hiasan penjor yang terus tumbuh di Desa Kapal sesuai perkembangan jaman dan permintaan konsumen. Budaya konsumerisme yang menjadi trend di kalangan masyarakat saat ini membawa dampak yang positif tidak saja peningkatan pendapatan para kapitalis tetapi juga bagi perkembangan seni penjor di Bali.

Perubahan Bentuk dan Ornamen Penjor Perkembangan bentuk dan ornamen penjor di Desa Kapal menghasilkan perubahan hiasan yang beraneka ragam. Perubahan bentuk dan ornamen penjor tersebut dengan mudah dijumpai di berbagai daerah di Bali utamanya di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Dari segi bentuk, penjor telah mengalami berbagai perubahan baik struktur, isian penjor maupun ornamen pendukungnya. Jaman dulu penjor seluruhnya dibuat dengan sederhana. Perubahannya kini, bentuk penjor telah mengalami perubahan yang sangat pesat. Dari segi struktur penjor tidak banyak yang berubah karena memang secara umum penjor terbagi menjadi 3 yaitu bagian pangkal, tengah dan atas, namun dari segi isian penjor dapat terlihat jelas perubahannya terutama penggunaan Pala Bungkah dan Pala Gantung hampir tidak terlihat atau diisi hanya sekedarnya. Hal ini dilakukan demi memenuhi hasrat estetika pemiliknya sehingga makna penjor sesungguhnya menjadi bias.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

435

Bangunan penjor umumnya dihias menggunakan bahan daun lontar, namun saat ini penggunaan bahan-bahan lainnya seperti penggunaan bahan stayform menjadi mutlak dilakukan. Penggunaan bahan stayform untuk bahan awal rangkaian janur dan untuk bahan pembuatan patung dewa-dewi dan binatang mitologi Hindu yang peruntukannya hanya sebagai pelengkap hiasan untuk memenuhi unsur keindahannya. Hal ini dikarenakan selera seni dan tarap hidup masyarakat Bali terus meningkat sehingga perubahan-perubahan tersebut menjadi suatu kewajaran dan seolah- olah menjadi tuntutan di kalangan masyarakat Bali. Terlebih lagi dengan budaya latah (ikut-ikutan) dan budaya konsumerisme serta gaya hidup masyarakat Bali yang cenderung ingin memenuhi hasrat dari pada kebutuhannya. Perubahan tersebut terlihat terutama dari kemewahan, kemegahan dan kemeriahan asessoris penjor yang dipakai.

Gambar: 5 & 6 Bangunan penjor jaman dahulu yang masih sangat sederhana dengan isian yang masih sangat lengkap. (Sumber: Foto Repro. Penulis

Gambar: 7, 8, 9 Bangunan penjor saat ini dengan variasi hiasan yang rumit dan terkesan mewah, namun minim isian seperti Pala Bungkah dan Pala Gantung, sehingga penjor terkesan sebagai penjor hiasan semata. (sumber: Dokumen Penulis)

Bentuk dan Struktur Penjor Penjor adalah salah satu sarana Upakara dalam merayakan Hari Raya Galungan, dan merupakan simbul Gunung yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan, seperti halnya Gunung Agung. Menurut Atmaja, dkk (2008:49), secara umum penjor memiliki dua jenis yaitu penjor sakral dan penjor profan. Bentuk penjor sakral adalah penjor yang dibangun untuk upacara keagamaan dan isiannya lengkap berupa pala bungkah dan pala gantung. Sedangkan penjor profan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

436

adalah penjor yang dibuat sifatnya sebagai dekorasi pada perayaan event-event tertentu dan boleh dibuat tidak lengkap dalam artian hanya mengejar keindahan semata. Bahan baku penjor adalah bambu yang ujungnya melengkung, kain putih, kelapa, janur dan ambu (daun enau muda), Daun- daunan (daun endongan, daun beringin, dan daun plawa), pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (mentimun), pala wija (biji-bijian seperti jagung dan padi-padian), jajan, tebu, dan uang kepeng. Pada ujung penjor digantungkan sampyan penjor lengkap dengan porosan (sirih, kapur, pinang) dan bunga. Struktur penjor dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian pangkal, bagian tengah, dan bagian atas. Bagian pangkal dihiasi dengan berbagai daun-daunan (janur, ambu) plawa, kelapa dan dipasang sanggah penjor. Bagian tengah dihiasi tebu, pala bungkah, pala gantung dan dihiasi bakang-bakang dari daun enau muda (ambu) atau janur. Dan pada bagian atas atau pada pucuk bambuyang melengkung dipasang kober putih kuning. Dekat dengan kober digantung jajan gina dan jajan uli. Terakhir pada ujung bambu digantung sampian penjor. Masing-masing bahan baku tersebut merupakan simbol Ista Dewata menurut Teologi Hindu. Selain bentuk-bentuk hiasan penjor seperti pada umumnya, bentuk-bentuk hiasan penjor saat ini banyak mengambil bentuk-bentuk simbol binatang mitologi Hindu dan simbol dewa-dewi dengan dicat warna-warni sehingga penjor terlihat lebih indah dan meriah. Bambu penjor dibungkus dengan kertas aneka warna. Bahkan ada juga yang membungkus dengan kain beludru. Dilengkapi lagi dengan padi serta berbagai jenis pala bungkah dan pala gantung serta sampian penjor yang berukuran jumbo, penuh warna. Masyarakat banyak yang menyebut penjor- penjor tersebut dengan istilah paenjorin ( jor-joran) Hal ini juga dilakukan oleh I Ketut Yuliarta salah seorang warga dari Desa Dalung (wawancara: 19 Mei 2014), menurutnya mengeluarkan biaya yang banyak hingga jutaan rupiah dalam pembuatan penjor tidak menjadi soal baginya, yang terpenting adalah mendapatkan kepuasan batin ketika melihat bangunan penjor yang didirikannya. Dari fenomena tersebut, dapat diasumsikan bahwa selain mengejar kepuasan batiniah, penjor juga dipakai sebagai pemenuhan hasrat gaya hidup sebuah simbol representasi seseorang dalam struktur masyarakat Hindu di Bali.

Dampak Sosial dan Ekonomi Dalam penataan rumah tempat tinggal masyarakat Bali, satu pekarangan rumah bisa diisi oleh dua atau lebih kepala keluarga. Oleh karena itu, pada hari raya galungan satu pekarangan tersebut akan membuat hanya satu penjor Galungan. Seperti yang terjadi pada keluarga I Made Padma Winata salah seorang warga Desa Dalung, Kuta Selatan (wawancara: 19 Mei 2014), satu pekarangan rumahnya dimiliki oleh empat kepala keluarga. Oleh karenanya mereka hanya membuat satu penjor Galungan. Mereka akan bergotong royong baik pendanaan maupun pembuatan penjor tersebut. Dalam pembuatan penjor tersebut mereka aktif berinteraksi satu sama lain. Dan dari situ terjalin suatu kerukunan antar keluarga sehingga masing-masing individu melakukan kewajiban dan fungsinya dengan baik. Dengan adanya pembuatan penjor Galungan tersebut, mereka melakukan interaksi sosial dan terjadi dalam kegiatan religius, sehingga hubungan tersebut ada dalam suasana kekeluargaan, kesucian dan kedamaian. Selain dampak sosial, dampak ekonomi yang ditimbulkan dari adanya modifikasi penjor di Desa Kapal memberi dampak positif terutama para perajin penjor di Desa Kapal dan desa-desa sekitarnya. Salah satunya adalah semakin meningkatnya tarap hidup para perajin penjor, penjual hiasan penjor dan penjual bahan baku pembuatan penjor. Hal itu disebabkan dalam proses pembuatan penjor banyak bahan yang harus didatangkan dari berbagai tempat. Dari kasus tersebut tercermin bahwa pembuatan penjor tersebut, dalam proses pembuatan penjor hingga menjadi bangunan penjor terdapat alur distribusi barang dan jasa, maka dari situ banyak pihak yang bisa diuntungkan dan mendapat penghasilan lebih. Suatu siklus roda perekonomian yang tidak pernah putus antara fungsi ekonomi dan fungsi religius yang selalu sejalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

Makna Keindahan dan Pendakian Spiritual Secara filosofis, penjor merupakan simbul Gunung yang memberikan keselamatan serta kesejahteraan. Penjor juga merupakan simbul dari rasa terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa) (Atmaja, 2007). Selain pemaknaan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

437

filosofisnya, dewasa ini penjor telah mengalami pergeseran makna walaupun makna dasar dari penjor tersebut masih dapat dibaca. Makna tersebut dapat dirasakan ketika melihat berbagai bentuk dan ornamen penjor yang megah dan indah serta terkesan mewah yang berkembang di masyarakat Bali. Hadirnya penjor-penjor yang megah dan mewah menunjukkan adanya perubahan budaya gaya hidup masyarakat Bali. Awalnya pembuatan penjor murni untuk persembahan dan rasa syukur manusia kehadapan Tuhan, namun kini penekanannya lebih pada pemenuhan hasrat semata. Hal ini terjadi karena masyarakat Bali pada umumnya masih suka akan sanjungan dan kemewahan. Seperti yang diungkapkan oleh Chaney (2009), bahwa jika seseorang mampu tampil bergaya maka dia akan diakui keberadaannya. Bergaya mengikuti gaya hidup yang beredar di masyarakat tidak lepas dari budaya ikut-ikutan. Penjor sebagai salah satu bentuk artefak budaya tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara, namun penjor kini juga dipakai sebagai sebuah simbol representasi seseorang dalam struktur masyarakat Hindu di Bali. Orang yang memiliki status ekonomi yang tinggi cenderung membuat penjor sangat megah dan mewah serta menghabiskan biaya yang tidak sedikit untuk mengukuhkan status sosial yang disandangnya. Keindahan yang terpancar dari bangunan penjor dapat terlihat secara kasat mata. Bentuk lengkungan bambu menjuntai ke bawah yang dipakai sebagai bahan utama bangunan penjor memancarkan keindahan. Keindahan itu terasa alami, yang didapatkan dari anugerah Tuhan. Alam merupakan pengungkapan dari sang pencipta, sedangkan keindahan alam mencerminkan karya kreatif dari Devine Artist (Seniman Sempurna). Keindahan alam adalah God’s Handiwork (pekerjaan tangan Tuhan) yang diciptakan untuk kesenangan dan pendidikan makhluk-makhluk- Nya di dunia (Hunter Mead dalam Gie, 2004: 55) Dari bentuk dan struktur penjor juga mengandung makna spiritual yang bisa dijadikan pijakan atau penghayatan bagi masyarakat Bali. Dari bawah penjor dihias dengan sangat mewah, kemudian makin ke atas semakin sederhana dan pada ujungnya digantung sampyan penjor. Bentuk dan materi bahan penjor tersebut bisa ditafsirkan maknanya dalam pendakian spiritual. Semakin tinggi tingkat religiusitas dan spiritualitas seseorang, semakin sederhanalah mereka dan keinginan mereka pun semakin sederhana serta semakin tidak terikat akan kemewahan duniawi. Pada bagian pangkal penjor di buat dengan hiasan yang sangat mewah. Hal ini merupakan simbul dari kemewahan duniawi, yang tingkat spiritualitasnya masih rendah yang pada umumnya masih menggandrungi kemewahan duniawi. Namun setelah melakukan pendakian spiritual semakin tinggi akan semakin melepaskan keterikatan tersebut, sehingga pada akhirnya menyatu dengan Tuhan.

SIMPULAN Perkembangan bentuk dan ornamen penjor di Desa Kapal menghasilkan bentuk dan ornamen penjor yang beraneka ragam. Perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari selera seni masyarakat Bali serta daya kreativitas para pengerajin dan kepekaan mereka akan peluang bisnis dan daya kreasi yang dimilikinya. Perkembangan hiasan penjor telah mengalami perubahan yang sangat pesat baik bentuk, ukuran, ornamen, isian, reringgitan maupun kerumitannya. Pola dasar yang dijadikan acuan dalam membuat hiasan penjor adalah Karang Waluh. Bentuk-bentuk janur tersebut banyak terinspirasi dari alam sekitar dan kekarangan serta pepatraan khas Bali sedangkan ornamennya banyak memakai motif mas-masan yang telah distilir lebih sederhana dan juga motif patra samblung dan motif kuta mesir. Struktur penjor dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian pangkal, bagian tengah, dan bagian atas. Masing-masing bagian dihias dengan berbagai ornamen yang indah dan terkesan mewah. Dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan dari adanya modifikasi penjor sangat beragam. Salah satunya adalah semakin meningkatnya tarap hidup para perajin dan penjual hiasan dan penjual bahan-bahan penjor tersebut. Dampak sosialnya adalah terjalinnya suatu kerukunan antar keluarga sehingga masing-masing individu melakukan kewajiban dan fungsinya dengan baik. Makna keindahan penjor dapat dirasakan ketika melihat berbagai bentuk dan ornamen penjor di masyarakat. Penjor sebagai salah satu bentuk artefak budaya tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara, namun penjor kini juga dipakai sebagai sebuah simbol representasi seseorang dalam struktur masyarakat Hindu di Bali. Dari bentuk dan struktur penjor mengandung makna yang bisa dijadikan penghayatan bagi masyarakat Bali. Bagian bawah penjor dihias dengan mewahnya, kemudian makin ke atas semakin sederhana. Bentuk dan materi bahan penjor tersebut bisa ditafsirkan maknanya, bahwa dalam pendakian spiritual semakin tinggi tingkat spiritualitas

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

438

seseorang, semakin sederhanalah mereka, begitu sebaliknya ketika melihat hiasan penjor yang dibuat sangat mewah pada bagian pangkal dapat ditafsirkan masih lemahnya tingkat spiritualitas seseorang sehingga masih memikirkan hal-hal yang bersifat keduniawian.

DAFTAR PUSTAKA Adian, Donny Gahral, 2005, Percik Pemikiran Kontemporer Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta Atmaja, I Made Nada, 2007, Nilai Filosofis Penjor Galungan dan Kuningan, Surabaya: Paramita Surabaya. Berata, I Made, 2009, “Perkembangan Seni Kerajinan Ukir Batu Padas di Desa Singapadu Kaler, Gianyar, Bali”, Jurnal Prabangkara, Volume 12 Nomor 15. Halm 29 Chaney, David, 2009, Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Bandung Gie, The Liang, 2014, Filsafat Keindahan, Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB), Yogyakarta Pilliang, Yasraf A., 2004, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra Sudiana, I Gusti ngurah, 2014, “Penjor Merupakan Simbul Gunung dan Merupakan Sarana Upakara yang Dipersembahkan untuk Ida Bhatara yang Berstana di Gunung Agung Merupakan Pemberi Kesuburan” dalam Tribun Bali, Buda Kliwon Dunggulan, Caka 1936, No. 49/ Tahun 1, Rabu 21 Mei 2014. Sutopo, Heribertus B., 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta. Suwanto, Adrian, 2014, “Penjor Siap Antar-Tancap Banjir Pesanan”, dalam Metro Denpasar, Rabu 21 Mei 2014.

PENGKEMASAN MODEL KESENIAN TRADISIONAL NUSA TENGGARA BARAT SEBAGAI SARANA PENUNJANG DAYA TARIK WISATAWAN DI KOTA MATARAM

Ida Ayu Trisnawati, Antonia Indrawati, I Gusti Lanang Oka Ardika Program Studi Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar

Abstrak Pulau Lombok merupakan daerah tujuan wisata setelah Bali, maka kajian tentang pengkemasan model kesenian yang ada di kota Mataram khususnya perlu dilakukan dengan baik. Hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa pulau Bali dan Lombok khususnya kota Mataram mempunyai banyak kemiripan. Sejak kedua masyarakat saling berinteraksi satu sama lain, tidak saja dalam perdagangan (ekonomi) dan kepolitikan tetapi juga dalam aspek sosial serta seni budaya. Keanekaragaman seni budaya merupakan aset atau sumber daya tarik tersendiri untuk dikemas, dikelola dan ditawarkan sebagai suatu produk yang menarik. Oleh karena itu, dalam mengingkatkan daya saing sebagai daerah destinasi pariwisata Lombok khususnya kota Mataram, perlu melakukan pengkemasan model-model kesenian tradisional sebagai sarana penunjang pariwisata kota Mataram.

Kata kunci : Kesenian Tradisional, Penunjang Daya Tarik Wisata, Kota Mataram

Abstrct Lombok Island is tourism destination site after Bali, furthermore the study of arts packaging in Mataram city, should be done well. It can be denied that Bali and Lombok particularly Mataram have a lot of commons. Since both communities interact with one another, not only in a way of trade but also in political and cultural aspects. Cultural diversity constitutes valuable asset or source for the attraction to be packaged, managed and offered as a fascinating product. Therefore, in order to improve the competitiveness

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

439

of Lombok or Mataram as a tourism destination, it needs to do some packaging upon traditional arts as a means of supporting factors to tourism in Mataram.

Keyword : tradisional art, supporting tourism attraction, the city of mataram

PENDAHULUAN Suku terbesar di Pulau Lombok adalah Sasak sebagai penduduk asli. Islam merupakan agama yang paling banyak penganutnya. Suku Sasak dikenal memiliki keyakinan waktu telu, yaitu kepercayaan yang memiliki unsur-unsur Hindu, Budha, dan kepercayaan tradisional kuno lainnya. Desa Sasak paling kuno adalah Desa Bayan di dekat kaki Gunung Rinjani yang merupakan kubu waktu telu. Kota Mataram memiliki letak yang sangat strategis dan menjadi pusat berbagai aktivitas, di antaranya pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat perdagangan dan jasa, pusat perbelanjaan, jalur transportasi antar kabupaten dan propinsi. Pintu masuk sebelah Barat adalah daerah Ampenan Pasar KebonRoek, sebelah Timur Pelabuhan Kayangan Labuan Lombok yang datang dari Pulau Sumbawa, sebelah Utara Kecamatan Gunung Sari dan Desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat, dan sebelah Selatan Pelabuhan Lembar yang datang dari Padang Bai (Bali). Tidak dapat dipungkiri juga bahwa Pulau Bali dan Pulau Lombok adalah dua pulau berbeda di satu kesatuan kepulauan Nusa Tenggara (NUSRA) dan tanah air Indonesia. Sejak dahulu, kedua masyarakat saling berinteraksi satu sama lain, tidak saja dalam perdagangan (ekonomi) dan kepolitikan tetapi juga dalam aspek sosial serta seni dan budaya. Pulau Lombok baru memulai pengalamannya sebagai daerah tujuan wisata. Pembangunan pariwisata ini menjadi semakin penting, karena pariwisata nampaknya semakin memberikan kontribusi nyata terhadap kehidupan ekonomi, sosial, budaya, serta kesempatan kerja dan kesempatan usaha. Digelarnya berbagai event nasional peluang emas bagi kota Mataram untuk menjual berbagai potensi wisata dan kekhasannya di antaranya; Kecamatan Ampenan mempunyai objek taman rekreasi dengan wisata bahari, pantai Ampenan dengan sunsetnya, Taman Bumi Gora dengan wisata kuliner, Kecamatan Cakranegara dengan Pura Meru, Kecamatan Sandubaya dengan Pasar Mandalika, Makam Van Ham, Kecamatan Mataram dengan Taman Sangkareang, Kecamatan Sekarbela dengan pantai bangsal, wisata sejarah, wisata budaya, wisata religi, dan pusat accesoris dan souvenir. Pun juga ada berbagai Festival baik festival budaya maupun festival kesenian. Melihat sumber potensi yang dimiliki Kota Mataram terdapat juga beberapa peluang yang sayang kalau tidak di perhatikan. Keanekaragaman seni budaya merupakan aset atau sumber daya tarik tersendiri untuk dikemas, dikelola dan ditawarkan sebagai suatu produk yang menarik. Oleh karena itu, dalam meningkatkan daya saing objek maupun seni budaya sebagai daya tarik wisatawan berkunjung ke Lombok khususnya Kota Mataram, perlu melakukan Pengkemasan model–model kesenian tradisional sebagai sarana penunjang daya tarik wisatawan di Kota Mataram.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif: sumber data dalam penelitian ini sudah dikenal oleh masyarakat Lombok, peneliti sebagai instrumen penelitian, secara langsung mengadakan pengamatan, wawancara dan pengamatan di lapangan. Data-data yang digunakan bersifat deskriptif, tidak menggunakan angka-angka atau statistik (kuantitatif). Sesuai dengan sumbernya, teknik pengumpulan data dilakukan secara interaktif dan non- interaktif. Pengumpulan data berdasarkan teknik interaktif dilakukan dalam bentuk pengamatan intensif, wawancara dan non-interaktif seperti penyeleksian dokumentasi. Motode observasi adalah cara yang dilakukan dalam memperoleh data dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Melalui teknik tersebut, peneliti langsung datang ke lokasi penelitian dan melakukan pengamatan dengan melaksanakan pencatatan segala gejala yang ditemui. Wawancara menjadi perangkat yang demikian penting. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Dalam hal ini, wawancara (interview) merupakan suatu proses tanya jawab antara peneliti dengan informan, dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan-keterangan secara lisan, yang berkaitan dengan permasalahan. Di

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

440

samping wawancara dan observasi, penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi. Dokumentasi merupakan pengumpulan data yang dilakukan terkait dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen, gambar, buku, koran, dan majalah. Tahapan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan, maka diperlukan empat tahap, yaitu persiapan, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, penyusunan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengkemasan Model Kesenian Tradisional Nusa Tenggara Barat sebagai Sarana Penunjang Daya tarik Wisatawan di Kota Mataram.

Kota Mataram salah satu wilayah yang masyarakatnya plural dengan berbagai etnik masyarakat, sehingga menyimpan dan mempunyai potensi budaya yang sangat beragam. Selain mempunyai potensi di bidang pariwisata, kota Mataram juga menonjol di bidang kesenian. Di samping kesenian Sasak juga terdapat, beberapa jenis seni etnik lainnya seperti Bali, Jawa, Tionghoa. Keragaman suku atau etnik yang mendiami wilayah tersebut masing-masing hidup dengan tradisi dan budaya masing-masing sehingga menjadikan Kota Mataram sebagai wilayah yang multikultur. Masyarakat yang multikultur ini secara tidak langsung akan memunculkan Kota Mataram sebagai wilayah dengan budaya yang multikultur termasuk salah satunya adalah di bidang keseniannya Berbagai jenis kesenian Bali hidup dan berkembang di kalangan orang-orang Bali yang menetap di Kota Mataram. Keberadaan kesenian tersebut terhimpun dalam sanggar-sanggar seni atau sekaa-sekaa yang tersebar di beberapa wilayah Kota Mataram. Memperhatikan catatan kesenian di atas, Kota Mataram menyimpan potensi budaya yang sangat tinggi dan beragam khususnya di bidang kesenian. Potensi budaya tersebut merupakan modal budaya yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seperti halnya pertunjukan tahunan yang diadakan di Senggigi menampilkan bebagai jenis kesenian. Mulai dari kesenian asli masyarakat sasak, masyarakat pendatang (hindu Bali) dan kesenian alkulturasi dari berbagai budaya.

Foto 1. Pengkemasan Seni Pertunjukan Dalam Festival Senggigi 2013 (Dok. Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata NTB)

Kesenian ini di kemas dengan baik hanya pada event-event tertentu saja, sedangkan pada hari biasa seni pertunjukan ini akan terlupakan, kadang di dalam kalangan masyarakat pendukung sendiri jarang yang menggunakan kesenian tersebut sebagai hiburan. Masyarakat lebih sering menggunakan musik pop, karena itu lebih dianggap modern. Terkait dengan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya di daerah Lombok, pemerintah NTB telah mengambil satu langkah kebijakan yaitu dengan mengembangkan kepariwisataan di wilayah NTB termasuk di Kota Mataram. Keberadaan berbagai jenis kesenian sebagaimana diuraikan di atas tentunya menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi para wisatawan dan bisa dijadikan komoditas dalam industri pariwisata dan sebagai penunjang

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

441

perkembangan pariwisata yang bertaraf internasional dan bersaing dengan pulau Bali yang telah duluan mengembangakan sektor pariwisata sebagai penunjang sektor perekonomian masyarakat.

Kesenian Tradisi Masyarakat Sasak Kesenian tradisional Sasak adalah kesenian yang dilandasi oleh nilai tradisi dan budaya masyarakat Sasak. Masyarakat Sasak memiliki nilai-nilai tradisi yang telah lama diwarisi secara turun-temurun di mana nilai-nilai tersebut masih terdapat dalam kehidupan masyarakat yang menganut tradisi wetu telu yang juga dikenal dengan Islam Wetu Telu di mana kehidupannya terpadu antara nilai-nilai tradisi, adat istiadat dengan keagamaan. Di samping itu juga terdapat masyarakat yang menganut tradisi Waktu Lima, yaitu masyarakat Sasak yang kehidupannya di landasi dengan nilai-nilai agama Islam yang sifatnya fundamentalis atau Islam murni. Kedua paham ini akhirnya memunculkan tradisi kesenian yang berbeda, di mana terdapat kesenian tradisional yang masih kental dengan budaya tradisionalnya dan kesenian yang dilandasi nilai-nilai keagamaan. Adapun kesenian-kesenian yang dilandasi nilai-nilai tradisional diantaranya:, gendang bele/ oncer, tambur, tawaq-tawaq, barong tengkoq, klentangan, tembang pesasakan beberapa jenis tarian seperti , prisean, barong girang, batek baris, tandang mendet, topeng pengarad, drama tari cupak grantang, wayang Sasak dan berbagai bentuk lainnya.

Oncer/gendang bele’/kecodak suatu jenis seni tari yang dibawakan sambil memainkan/memukul instrument. Jenis seni tari ini adalah melukiskan gerak-gerak peperangan. Menurut sejarahnya konon Gendang Beleq dipertunjukkan pada pesta kerajaan mengiringi pasukan yang berangkat perang atau datang dari medan perang dan untuk mengisi keramaian-keramaian dan upacara adat. Namun perkembangan dewasa ini Gendang Beleq dijadikan sebagai tari penyambutan tamu yang datang ke NTB. Hampir di seluruh kecamatan di Lombok Tari Gendang Beleq ini masih ada, karena tarian ini merupakan warisan dari seniman Gendang Beleq yang ada di daerah tersebut.

Foto 2 Pertunjukan Gendang Beleq (Dok. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB)

Presean Suatu jenis tari yang menggunakan/membawa perisai dari kulit sapi. Jenis ini dilakukan oleh dua orang dengan saling pukul memukul. Penggunaannya untuk mengisi keramaian- keramaian. Prisean merupakan tari kreasi daerah Lombok. Peresean semula adalah sebuah permainan rakyat di daerah Lombok yang merupakan ekspresi sifat kesatria, sportivitas dari masyarakat Lombok. Ditarikan oleh 2 orang pepadu (yang bertarung) dan 1 orang pakembar (wasit). Presean sendiri pada awalnya adalah sebuah latihan pedang dan perisai oleh prajurit kerajaan di Lombok sebelum mereka menghadapi perang yang sesungguhnya di medan perang.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

442

Foto 3 Prisean (Dok. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB)

Rudat Satu jenis kesenian yang sampai sekarang masih terdapat di Lombok adalah Rudat. Rudat suatu jenis seni tari yang dibawakan oleh satu pasukan orang-orang dengan berbaris yang melukiskan ketangkasan angkatan perang, ini terlihat pada gerak tari, formsi, pakaian, dan juga dari sejarah perkembangannya (tari ini pengaruh dari turki). Penggunaannya untuk mengisi keramaian- keramaian dan upacara adat. Ditarikan sambil menyanyi, tariannya seperti pencak silat. Sedang nyanyiannya berirama Timut Tengah. Lagu-lagunya dalam bahasa Arab yang ucapannya kebanyakan sudah tidak jelas lagi bahasa aslinya, karena sudah terpengaruh lidah Indonesia. Ada juga satu dua syair yang berbahasa Indonesia, tetapi iramanya tetap irama padang pasir. Para pemain rudat seluruhnya menggunakan pakaian ala angkatan perang turki, terdiri atas: Kopiah tarbus berwarna merah darah terbuat dari belundru dengan jambul benang sutra di atasnya sepanjang ±15 cm dan pinggiran songkok diberi hiasan renda; Baju jas tutup berwarna hitam atau biru hitam dengan hiasan kancing pada bagian dada, terdapat renda pada leher dan ujung lengan; Celana panjang tiga perempat (sampai di bawah lutut) warna hitam/biru hitam diberi hiasan renda pada bagian ujung kaki celana; Sepatu hitam berlaras tinggi atau sepatu biasa dengan kaos kaki panjang sehingga menutup kaki sampai lutut.

Foto 4 Rudat (Dok. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB)

Selain mengunakan pakaian ala perang tari Rudat ini juga menggunakan hiasan atau atribut-atribut untuk mendukung tarian seperti : Tanda pangkat pada kedua bahu, misalnya komandan berbintang lima, sedang yang lain berbintang tiga; Selempang, dari bahu kiri kanan ke pinggang selebar kira-kira 10 cm warna hitam dengan pinggiran ada renda; Sabuk (ikat pinggang) dengan bahan dan warna yang sama dengan selempang.

Gandrung Tari gandrung adalah sebuah tarian rakyat di Lombok dari kalangan suku sasak, tarian ini tidak diketahui dengan jelas siapa penciptanya. Tari Gandrung Berkembang di Lombok dan Bali, diduga kuat tari gandrung di Lombok pada awalnya juga dibawakan oleh kaum pria tetapi sekarang talah dibawakan oleh kaum wanita. Seperti pemeran (penari gandrung yang biasa disebut “gandrung” saja) dilakukan oleh seorang wanita yang menjadi penari utama. Tidak jelas bagaimana dan kapan terjadi perubahan ini. Tetapi seorang penari gandrung (wanita) sekarang ini pada setiap penampilannya selalu memperkenalkan diri dengan kata: “tiang lanang (saya laki-laki)” dan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

443

seterusnya yang dibawakan dengan cara menanyi yang disebut “Basandaran” atau “Bedede”. Dalam “besandaran“ selalu memperkenalkan diri dengan istilah “taing lanang”. Pola tarinya tampak luar biasa, dikatakan luar biasa karena tidak mengikuti pola gerak serta iringan lagu yang sesuai dengan patokan yang lazim, geraknya masih tradisi.

Foto 5. Tari Gandrung Pementasan Tradisional Penari dan Pengibing Pria Menari (Dok. Dayu 2013)

Foto 6. Tari Gandrung dalam Kemasan Pariwisata di Taman Budaya dan Para Penari Menepek Para Pengibing Asing (Dok. Dayu 2013)

Pertunjukan tari gandrung dipentas jauh berbeda dengan pementasan secara tradisional. Secara tradisonal para pengibing sebelum menari harus mengikuti musik kapan harus menari dengan panari gandrung, sedangkan pertunjukan di atas pentas, para pengibing langsung saja menari tanpa mengikuti nada dari musik pengiring tarian tersebut.

Tandang Mendet Tandang Mendet merupakan tarian perang. Tari ini telah ada sejak zaman kejayaan Kerajaan Selaparang yang menggambarkan keprajuritan. Tarian ini dimainkan oleh belasan orang yang berpakaian lengkap dengan membawa tombak, tameng, kelewang (pedang bersisi tajam satu), dan diiringi dengan gendang beleq serta syair-syair yang menceritakan tentang keperkasaan dan perjuangan. Tandang Mendet seni pertunjukan rakyat yang hidup dan berkembang di daerah Lombok bagian timur yang terletak di Lereng Gunung Rinjani. Mendet dari kata pendet istilah yang dipakai untuk penyebutan bunga. Penyajian tandang mendet mempunyai waktu yang cukup panjang bisa sanpai 1 jam dengan gerak yang diulang-ulang dan improvisasi.

Foto 7. Pementasan Tandang Mendet di Festival Singgingi 2013 (Dok. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB)

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

444

Pada awalnya tari tandang mendet ini hanya dipertunjukan satu kali dalam 3 tahun pada upacara Ngayu-Ayu, dan berfungsi sebagai ucapan rasa sukur atas kekuatan yang telah melindungi dan membinan kelestarian tradisi dalam rangka menciptakan dan mendorong rasa kebersamaan warga.

Wayang sasak Wayang adalah salah satu jenis seni pedalangan, Wayang Sasak adalah pemberian nama terhadap wayang kulit yang berkembang di Lombok Nusa Tenggara Barat. Wayang kulit di Lombok diperkirakan masuk bersamaan dengan penyebaran agama Islam. Sedang Agama Islam masuk Lombok pada abad 16 yang dibawa oleh Sunan Prapen putra dari Sunan Giri. Ada juga yang berpendapat bahwa wayang di Lombok diciptakan oleh pangeran Sangupati. Ia adalah seorang mubalig Islam. Sedangkan Sunan Giri juga dikenal sebagai penggubah wayang gedog dan konon juga beliau bersama Pengeran Trenggono (Sunan Kudus) menciptakan wayang "Kidang kencana" pada tahun 1477 sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa Sunan Prapen membawa wayang ke Lombok.

Foto 8. Wayang Sasak

Cerita wayang di Lombok pada dasarnya mengambil cerita Menak (Sasak) yang berasal dari Persia yang masuk ke Indonesia melalui tanah Melayu lalu masuk ke Jawa dan tersebar sampai ke Lombok. Cerita-cerita ini ditulis di atas daun lontar dalam bahasa Jawa dengan huruf Jejawan (huruf Sasak). Cerita Menak ini ditulis sesuai dengan peristiwanya seperti: Bangbari, Gendit Birayung, Bidara Kawitan, Selandir, Dewi Rengganis dan sebagainya.

Foto 9 Naskah Wayang Kulit Lombok (Dok. Dayu 2013)

Masyarakat Sasak Mataram juga tidak terlepas dari kesenian-kesenian sebagaimana telah diuraikan di atas juga terdapat seni suara seperti cepung, tambur, tawaq-tawaq, barong tengkoq, klentangan, tembang pesasakan, rebana, gambus, kasidah, hadrah, zikir zaman dan Slober. Dan dari hasil kreativitas para seniman saat ini banyak bermunculan kesenian yang bernuansa modern seperti kecimol dan ale-ale yang cukup populer di kalangan generasi muda Sasak. Sedangkan kesenian yang dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan diantaranya: rebana, gambus, kasidah, hadrah, zikir zaman.

Kesenian Tradisi Masyarakat Pendatang Pendatang/Hindu Bali

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

445

Kesenian Bali adalah kesenian yang dilandasi oleh nilai-nilai tradisi dan budaya Bali. Di dalam kehidupan orang-orang di Kota Mataram terdapat berbagai jenis kesenian di mana kesenian tersebut dapat digolongkan seni wali, bebali dan balih-balihan. Seni wali adalah kesenian yang erat kaitannya dengan upacara keagamaan. Terdapat beberapa bentuk seni wali dalam kehidupan orang- orang Bali di Kota Mataram di antaranya: sanghyang jaran, sanghyang dedari, barong, telek, tari canang sari, topeng sidakarya dan beberapa bentuk lainnya. Kesenian-kesenian ini senantiasa ditampilkan sebagai bagian dari ritual keagamaan umat Hindu di Kota Mataram. Seperti tari canang sari dan topeng sidakarya, kesenian ini senantiasa disajikan dalam setiap upacara di pura- pura yang terdapat di sekitar wilayah Kota Mataram, bahkan di seluruh Lombok. Dalam tradisi orang-orang Bali di Kota Mataram, di samping menyajikan tari canang sari, rejang dan topeng sidakarya sebagai wali, juga sering ditampilkan beberapa jenis tarian yang sifatnya aturan ayah yang disajikan oleh para penari. Tari-tarian yang disajikan sebagian besar merupakan tari-tari tradisi atau tari kreasi yang populer di masyarakat, diantaranya: wayang Bali, puspanjali, sekar jagat, selat segara, pendet, , oleh tamulilingan, cendrawasih, trunajaya dan berbagai jenis tari kreasi baru lainnya. Tari-tarian tersebut di samping sebagai pengiring upacara juga berfungsi sebagai balih-balihan tontonan untuk menghibur masyarakat yang ada saat dilaksanakannya upacara keagamaan.

Wayang Bali Suatu jenis seni pedalangan yang melakonkan ceritera petikan dari baratha yuda. Penggunaannya untuk mengisi acara adat dan keramaian-keramaian. Perkembangannya meliputi sekitar cakranegara.

Pelegongan Suatu jenis tari yang melukiskan gerak-gerak kehidupan sesuatu atau melukiskan perasaan dengan menggunakan gerak-gerik tari, mimik, action, yang diiringi dengan instrument gong gebyar. Penggunaannya untuk mengisi keramaian-keramaian, dan acara adat. Perkembangannya di sekitar masyarakat penganut hindu dharma di Lombok Barat.

Arja Suatu jenis tari yang membawakan suatu lakon dengan menggunakan tari, lagu, action dan iringan instrument kendang, suling dan gong. Penggunaannya untuk mengisi acara-acara adat dan keramaian lainnya. Perkembangannya meliputi masyarakat umat hindu dharma di Lombok Barat.

Kesenian Akulturasi. Interaksi budaya dalam masyarakat multikultur sangat memungkinkan munculnya budaya hibrid yaitu budaya baru yang merupakan hasil perpaduan antara dua atau lebih budaya yang berinteraksi secara intens. Dalam proses interaksi tersebut, yang berinteraksi tidak hanya individu- individu atau kelompok-kelompok tertentu, akan tetapi ikon-ikon budaya pun berinteraksi sehingga sangat memungkinkan munculnya budaya baru. Mengacu pada teori interaksi simbolik sebagai sebuah proyek multidisiplin dalam rangka studi kultural, teori interaksi simbolik dikaitkan dengan masalah pokok yaitu bagaimana individu yang saling berinteraksi dapat mengaitkan berbagai pengalaman hidupnya dengan representasi cultural. Interaksi yang terjadi tidak hanya dalam bentuk komunikasi antar individu, namun lebih jauh juga terjadi interaksi budaya di mana simbol-simbol budaya masyarakat pendatang berinteraksi dengan simbol-simbol budaya lokal. Interaksi simbol-simbol budaya antara dua masyarakat yang berbeda secara positif menghasilkan sebuah akulturasi budaya sehingga membentuk sebuah budaya baru. Akulturasi budaya sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat (1990:91) adalah suatu proses sosial yang terjadi apabila manusia dalam suatu masyarakat, dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing terintegrasikan ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan kepribadian dari kebudayaan setempat. Akulturasi sebagai perubahan budaya ditandai dengan hubungan antar dua kebudayaan, keduanya saling mempengaruhi memberi dan menerima. Shorter (dalam Hadi, 2000:34) menyatakan hal ini sebagai the encounter between two cultures (pertemuan antar dua budaya). Terjadinya interaksi mutualistik saling memberi dan

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

446

menerima di antara budaya Bali dengan Sasak muncul tradisi budaya baru yang tentunya mencerminkan diantara kedua budaya tersebut. Seperti dua warna primer dicampurkan maka muncul warna sekunder yang merupakan hasil dari percampuran tersebut. Apabila warna yang tercampur memiliki intensitas yang sama maka tidak ada warna yang dominan dan warna sekunder tersebut tampak harmonis dan seimbang, akan tetapi apabila intensitas warna yang dicampur berbeda, maka warna sekunder yang muncul akan didominasi oleh warna yang dominan. Selama kurang lebih 150 tahun kekuasaan Bali (kerajaan Karangasem) atas Lombok, berimplikasi terhadap terjadinya akulturasi budaya antara orang-orang Bali dengan masyarakat setempat. Terjadinya interaksi budaya dalam kurun waktu tersebut banyak memunculkan hal-hal baru yang bersifat hybrid terutama dalam bidang seni pertunjukan. Hibriditas seni pertunjukan secara umum di Lombok dapat dilihat pada kesenian gendang beliq, gandrung, cepung, barong tengkoq, batek baris, drama cupak grantang dan beberapa kesenian lainnya. Dari konsep pakaian, jenis instrument atau gamelan yang digunakan, teknik permainan serta motifnya dan nuansa estetiknya tampak jelas adanya persenyawaan antara budaya Bali dengan Sasak.

Kemasan Seni Pertunjukan Akulturasi Seni kemasan dalam konteks dunia kepariwisataan dapat dipahami sebagai keseluruhan sajian seni pertunjukan yang tampilkan sebagai hiburan kepada wisatawan. Struktur dari karya seni adalah aspek yang menyangkut keseluruhan dari karya itu dan meliputi juga peranan masing- masing bagian dalam keseluruhan itu. Seni kemasan wisata adalah merupakan pengkemasan beberapa bentuk ke dalam sebuah paket yang mampu memberikan hiburan dan rasa indah kepada wisatawan. Keindahan itu muncul dari teknik penataan, penyusunan dan menghubungkan bagian- bagian yang ada di dalamnya. Dari berbagai bentuk paket seni wisata sebagaimana telah digarap oleh seniman di Lombok, dalam penampilannya terdapat struktur penyajian atau susunan yang ditata sedemikian rupa sehingga paket tersebut menarik untuk disaksikan dan tidak menimbulkan kebosanan. Di beberapa hotel struktur pertunjukannya terdiri atas 4 materi tari-tarian yang terdiri atasGendang Beleq, Briuk Tinjal, Presian dan ditutup dengan Gandrung. Untuk memberikan variasi dalam struktur tersebut beberapa tarian juga disajikan secara bergantian. Namun demikian tarian Gandrung masih tetap disajikan sebagai tarian penutup untuk memberikan kepada para wisatawan yang menyaksikan pagelaran tersebut terlibat secara aktif dengan ikut berjoged dengan para penari Gandrung. Sama halnya dengan penyajian paket di atas, paket Bali juga terdiri atas 4 tarian yang terdiri atas tari penyambutan selanjutnya diikuti dengan 3 tarian lainnya. Tari penyambutan yang dipergunakan diantaranya: Pendet, Puspanjali, Sekar Jagat dan setelah itu dilanjutkan dengan penyajian 3 tarian lainnya yaitu: Cendrawasih, Oleg dan Gopala. Memperhatikan paket-paket sajian seni pertunjukan di atas hal tersebut menunjukkan bahwa sajian paket seni wisata masih menunjukkan identitas kedaerahan tanpa melihat fakta yang ada di masyarakat. Untuk memberikan keragaman budaya sebagai “nilai tambah” lebih menarik paket seni wisata disajikan dengan menampilkan keragaman etnik yang ada dalam masyarakat multikultur. Seni kemasan wisata sebagai sebuah kesatuan dari unsur-unsur seni yang terdapat di dalamnya, memiliki tiga unsur estetik mendasar dalam struktur penyajiannya. Adapun tiga unsur estetik tersebut adalah keutuhan atau kebersatuan (unity); penonjolan atau penekanan (dominance); dan keseimbangan (balance). Pengkemasan seni pertunjukan dalam sebuah paket seni wisata tentunya memiliki tujuan untuk memberikan rasa senang atau hiburan kepada wisatawan. Bahwa di Lombok dan Kota Mataram khususnya memiliki beraneka ragam budaya dari berbagai etnik, hal ini dapat ditampilkan dan disajikan kepada para wisatawan dalam format kemasan seni pertunjukan. Kolaborasi antara seniman Sasak dengan seniman Bali juga banyak menghasilkan karya- karya baru yang mencerminkan ada perpaduan budaya. Beberapa tarian seperti Putri Mandalika, Beriuk Tinjal, Presian dan yang lainnya, merupakan hasil kolaborasi antara seniman Sasak dan seniman Bali yang telah menetap di Lombok. Pada proses akulturasi dan kolaborasi tersebut masing-masing identitas melebur dan unsur-unsur seni yang terdapat di dalamnya bercampur membentuk kesenian yang baru. Seni yang bersifat hibrid yang muncul dari proses akulturasi budaya merupakan salah satu fenomena yang sangat menarik untuk disaksikan dan dicermati,

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154

447

karena hal tersebut merupakan salah satu proses terbentuknya budaya baru dari perpaduan antara dua budaya dengan latar belakang yang berbeda. Terjadinya akulturasi sehingga terbentuknya budaya baru hal ini menunjukkan adanya komunikasi yang harmonis antara dua budaya. Dalam kata lain komunikasi antar budaya yang terjalin dengan harmonis merupakan sebuah proses akulturasi yang menyebabkan timbulnya budaya baru.

DAFTAR PUSTAKA Anonym. 2002. Sejarah Daerah Nusa Tengggara Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Propinsi Nusa Tenggara Barat. Anonym. 2011. Multikulturalisme dan Intergrisi Bangsa: Memperkuat Karakter Masyarakat Multikultural. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Direktorat Seni Pertunjukan Tari Tradisional, 1999. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) Bekerja Sama Dengan Arti-Line. Hadi, Sutrisno. 2000. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Yogyakarta. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta. Moleong, L. J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Nawawi. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Safi’I, Lalu. 1999. Suku Sasak dalam Dekapan Budaya Cetakan Pertama. Jakarta: PT Ardadizya. Soedarsono, RM. 1997. Buku Tari-Tarian Indonesia 1: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Media Pengembangan Kebudayaan. Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif, Dilengkapi Contoh Proposal Dan Laporan Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta. Widyarto, Rinto. 2009. “Dokumentasi Dan Inventarisasi Seni Pertunjukan Tari Nusa Tenggara Barat”. Laporan Penelitian. Dibiayai Oleh Progam Hibah Kompetisi Unggulan Bidang Seni (PHK B-Seni) Batch IV ISI Denpasar Tahun Anggaran 2009. Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar.

Jurnal “Segara Widya”. Volume 2. Nomor 1. 2014. ISSN: 2354-7154