<<

ISSN: 1858-3989 VOLUME: 3 NO.: 1 MEI 2012

JURNAL SENI TARI

ISSN: 1858-3989 VOLUME: 3 NO.: 1 MEI 2012

JURNAL SENI TARI

Jurnal Joged merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.

Redaktur menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain, format penulisan berada di halaman belakang. Naskah yang masuk akan disunting format, istilah dan tata cara lainnya.

Pemimpin Umum: Ketua Jurusan Tari (ex-officio)

Pemimpin Redaksi: Dr. Sumaryono, MA.

Wakil Pemimpin Redaksi: Dr. Hendro Martono, M.Sn.

Sekretaris Redaksi: Dra. Supriyanti, M. Hum.

Staf Redaksi: 1. Drs. Raja Alfirafindra, M.Hum. 2. Bekti Budi Hastuti, SST., M. Sn.

Anggota Redaksi: 1. Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi. SST. SU. 2. Dr. Hersapandi, SST., M.S. 3. Dr. Rina Martiara, M. Hum. 4. Dra. M. Heni Winahyuningsih, M. Hum. 5. Dra. Daruni, M.Hum. 6. Dra. Budi Astuti, M.Hum. 7. Dra. Siti Sularini

Desain Sampul: Dr. Hendro Martono, M.Sn.

Alamat Redaksi dan Penerbit: Jurusan Tari Fak. Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta, Jl. Parangtritis km 6,5 Yogyakarta 55188 Telp. 08121561257

Naskah dapat dikirim melalui salah satu alamat email di bawah ini: Email: [email protected], [email protected], [email protected]

Dicetak oleh: Multi Grafindo, Ruko Perumahan Candi Gebang Permai I/4 Sleman Yogyakarta 55584, Telp. (0274) 7499863, Fax.( 0274)888027 Email: [email protected]

Apabila mengutip atau menyalin naskah yang terdapat dalam jurnal ini, maka harus ada ijin dari penulis langsung atau mencantumkan dalam referensi sesuai dengan tata tulis akademis yang berlaku. Iklan yang berhubungan dengan pengetahuan dan penciptaan seni dapat dimuat di jurnal ini.

iii

ISSN: 1858-3989 VOLUME: 3 NO.: 1 MEI 2012

JURNAL SENI TARI

Judul Tulisan Nama Penulis Halaman

Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged Supriyanto 1-16 Mataram

Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap Pembentukan Kuswarsantyo 17-23 Karakter Anak

Sistem Pewarisan Penari Rol dalam Wayang Orang Panggung Dr. Hersapandi,Sst., Ms. 24-35

Reog Obyogan Sebagai Profesi Hendro Martono 36-48

Tari Terob Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Rina Martiara dan Arie 49-56 Banyuwangi Yulia Wijaya

Sistem Transmisi Gaya Yogyakarta : Studi Kasus Sarjiwo 57-69 Karakteristik Pocapan

Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo Sebuah Kajian Surojo 70-77 Gaya Wayang Wong Pedesaan

Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Raja Alfirafindra 78-86 Singapura dalam Festival Tari Serumpun

v

Petunjuk Penulisan ISSN: 1858-3989

PETUNJUK UMUM BAGI PENULIS

1. Terbit 2x setahun (Mei dan November) 14. Kutipan lebih dari empat baris diketik dengan 2. Penulis artikel: satu, dua atau tiga penulis spasi tunggal dan diberi baris baru. Kutipan (maksimal). kurang dari empat baris dituliskan sebagai 3. Mahasiswa dikenakan beaya terbit Rp. sambungan kalimat dan dimasukkan dalam 150.000,00 (sekali terbit) teks memakai tanda petik. 4. Bagi penulis umum beaya penerbitan Rp. 15. Daftar Pustaka diurut secara alfabetis dengan 300.000,00 dan bagi pelanggan Rp. nama belakang lebih dulu baik untuk nama 200.000,00 penulis maupun dari luar negeri. 5. Semua penulis mendapat bukti penerbitan 4 Daftar Pustaka hanya memuat literatur yang eksemplar dirujuk di dalam naskah saja. Penulisan 6. Harga satuan Jurnal Rp. 30.000,00 per- referensi sebagai contoh berikut: nama eksemplar belakang penulis, tahun terbit, diikuti dengan 7. Beaya langganan untuk satu tahun dengan 2x judul buku dicetak miring dan judul artikel penerbitan Rp. 50.000,00. ditulis di dalam tanda petik diikuti dengan 8. Artikel yang dimuat merupakan hasil judul jurnal atau majalah atau judul buku penelitian/pemikiran atau perancangan seni. bunga rampai yang dicetak miring, baru nama 9. Artikel bersifat ilmiah dengan dukungan kota penerbit, dan terakhir nama penerbitnya. sumber-sumber pustaka, dan diskografi bila Lihat contoh di bawah ini: diperlukan. Kutipan dengan sistem catatan perut. Catatan kaki bisa ditambahkan Book, Peter. 2003. Percikan Pemikiran bilamana perlu. tentang Teater, Film, dan Opera. 10 . Artikel terdiri 15 s/d 20 halaman kwarto, satu Terjemahan: Max Arif n. Jakarta: setengah spasi, huruf Times New Roman font MSPI. 12 dengan lampiran biodata penulis. 11. Menyerahkan soft dan hard copy, abstrak K.M., Saini. 2002. Kaleidoskop Teater bahasa Indonesia dan Inggris. Indonesia. Bandung: STSI Press. 12. Artikel belum pernah dimuat di media cetak apapun. Leahy, Louis. 2005 . “Sains dan Pencarian 13. Sistematika penulisan artikel ilmiah: Makna”. Diskursus Jurnal Filsafat Pendahuluan yang di dalamnya mencakup dan Teologi. Vol. 4 No. 1, April. uraian Latar Belakang Masalah, Permasalahan, Kerangka Pemikiran/Landasan Wartika, Enok. 2004. Proses Tradisi Lisan Teori, Metode Penelitian, Tujuan Penelitian dalam Melestarikan Legenda dan yang ditulis bukan sebagai sub judul Mitos Situ Lengkong Panjalu tersendiri; Isi berupa Pembahasan yang Ciamis. Tesis Program Studi Ilmu bersifat analitis-kritis dan telaah; Penutup Sosial Bidang Kajian Komunikasi. yang mengemukakan jawaban atas Bandung: Pascasarjana Universitas permasalahan yang dijadikan fokus kajian; Padjadjaran. Catatan Akhir; dan terakhir Daftar Pustaka.

vii

Volume 3 No. 1 Mei 2012 ISSN: 1858-3989 p. 1-16

TARI KLANA ALUS SRI SUWELA GAYA YOGYAKARTA PERSPEKTIF JOGED MATARAM

Oleh: Supriyanto Dosen Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta

ABSTRAK Tari Klana Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta yang dikenal sampai sekarang ini merupakan tipe tari putra dengan karakter halus, dan hal ini dapat dilihat dari volume gerak serta visualisasi karakternya. Tari Klana Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta merupakan salah satu dari beberapa bentuk tari yang bersumber dari wayang wong di Keraton Yogyakarta. Tari ini menggambarkan seorang raja atau kesatria yang sedang jatuh cinta kepada seorang wanita yang menjadi kekasihnya. Di dalam adegan jejeran wayang wong lakon Sri Suwela di Keraton Yogyakarta terdapat komposisi tari nglana, kemudian dilepas tersendiri menjadi bentuk tari tunggal. Penulisan ini untuk mengetahui pengaruh wayang wong di Keraton Yogyakarta terhadap tari Klana Sri Suwela, dan membahas penerapan konsep jogèd Mataram dalam tari Klana Sri Suwela. Penulisan ini menggunakan dua pendekatan yang melatarbelakanginya, yaitu pendekatan tekstual dan pendekatan konstektual. Secara tekstual pemberlakuan tari berkaitan dengan bentuk, struktur, dan gaya tarinya. Secara kontekstual pemberlakuan tari sebagai teks kebudayaan, dapat ditelaah melalui kedudukannya di masa sekarang kaitannya dengan catatan yang ada di masa lampau. Pencermatan tari Klana Alus Sri Suwela melibatkan unsur-unsur yang mendasari penjelasan tentang konsep tari Jawa gaya Yogyakarta. Unsur- unsur wiraga, wirama, dan wirasa merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam menjelaskan konsep tari Jawa. Di dalam pelaksanaan menari unsur wiraga, wirama, dan wirasa harus dibekali suatu ilmu yang disebut jogèd Mataram. Jogèd Mataram sekarang ini dikenal dengan konsep jogèd Mataram, terdiri dari empat unsur yaitu, sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh. Bentuk dan struktur tari mengacu pada tata hubungan dalam struktur tari, sistem pelaksanaan teknik dan cara bergerak dalam bagian-bagian tubuh penari sebagai perwujudan tari yang utuh.

Kata Kunci: Konsep Joged Mataram

ABSTRACT The Yogyakarta style of Klana Alus Sri Suwela dance is recognized the refined male character dances which can be observed through the movement volume and its character visualization. The Yogyanese style of Klana Alus Sri Suwela dance is one of several dances which were based on Wayang Wong in Yogyakarta Palace. The dance illustrates a king who falling in love with his beloved woman. In the jejeran scene of wayang wong episode in Sri Suwela in Yogyakarta Palace, there is a nglana dance composition, which later being performed separately to a solo dance. The object of the study is to find the influence of Yogyakarta Palace’s Wayang Wong on Klana Alus Sri Suwela dance, and discussing the application of jogèd Mataram concept in Klana Alus Sri Suwela dance. The study used textual and contextual approach. In textual approach, the conduct of the dance is being studied concerning the type, structure, and style of the dance. In contextual approach, the dance taken as a cultural reading is being studied in its present position in relation with the past documentation. Klana Alus Sri Suwela dance is a ; therefore the observation on the dance concerns the elements which become the basic in describing the concept of Yogyakarta style of Javanese dance. Wiraga, wirama, and wirasa are important elements in describing Javanese dance concept. In the dance performing, those elements must be supported by a skill known as jogèd Mataram. Jogèd Mataram, which is now being recognized as jogèd Mataram concept, consists of four elements, sawiji, greged, sengguh, and ora mingkuh. The form and structure of dance are referring to the relationship in dancing structure, dancing technique and how the movements of the dancer's body as a realization of the whole of dance. Accordingly, the tri wira (wiraga, wirama, wirasa) concept serves as the technique and outline, and the jogèd Mataram serve as the

1 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram) content. Therefore, in order to perform a dance and play the role well, a dancer should master the three elements of the tri wira concept infused by jogèd Mataram concept.

I. Latar Belakang Masalah gaya Mangkunegaran, dan Pura Pakualaman dengan gaya Pakualaman. Beberapa bentuk tari tradisi gaya Robert Redfield membedakan Yogyakarta, yang sampai dewasa ini kebudayaan menjadi dua, yaitu tradisi besar mendapat pemeliharaan cukup baik di dan tradisi kecil. Ungkapan ini untuk lingkungan istana maupun di luar istana menyebut kebudayaan tinggi dan kebudayaan Yogyakarta adalah wayang wong gaya rendah, atau kebudayaan klasik dan rakyat. Yogyakarta. Bentuk penyajian yang lain dapat Tradisi besar secara sadar diolah dan disebut antara lain beksan Lawung, Guntur diwariskan di dalam istana, sedangkan tradisi Segara, Eteng, beberapa genre Bedaya dan kecil sebagian besar diterima sebagaimana . Hampir semua jenis penyajian di atas apa adanya dan tidak terlalu cermat merupakan cabang-cabang seni pertunjukan dipertimbangkan pembaharuannya. Kedua yang hidup dan berkembang di lingkungan tradisi itu saling ketergantungan, tradisi besar istana Yogyakarta (Edi Sedyawati, 1981:1). dan kecil dipikirkan sebagai dua aliran pikiran Lingkungan istana merupakan salah satu atau tindakan yang bisa dibedakan, namun faktor yang cukup kuat untuk mempengaruhi saling mempengaruhi pada yang lain (Robert bentuk-bentuk keseniannya. Oleh sebab itu, Redfield, 1985:57-59). Tari Klana gaya keberadaan kesenian dan perkembangan Yogyakarta dapat dikatakan sebagai refleksi selalu terikat adat dan norma-norma dari dari konsep di atas. Tari Klana memang lahir lingkungan istana itu sendiri. Hal itulah yang di dalam istana, tetapi berkembang di luar menjadikan tari tradisi istana selalu dipegang tembok istana, dan mendapat perkembangan kuat, baik dalam penggarapan pola-pola tari tari yang lain seperti tari tlèdhèk yang terdapat yang lahir kemudian di lingkungan istana pada vokabuler gerak tlèdhèkan pada irama maupun bentuk-bentuk tari yang lahir di luar tiga gending pengiringnya. istana tetapi mengacu pada gaya istana. Tari Klana Alus Sri Suwela gaya Perumusannya menjadi begitu melekat dengan Yogyakarta yang dikenal sampai sekarang ini pola-pola baku yang mendasari struktur dan merupakan tipe tari putra dengan karakter bentuk gerak yang berorientasi pada ciri-ciri halus. Penyebutan yang demikian ini, dapat kraton sentris (R.M. Wisnoe Wardhana, dilihat dari volume gerak dan visualisasi 1981:36). karakternya. Soedarsono menjelaskan tentang Tari Klana adalah salah satu bentuk seni Klana sebagai berikut: tunggal putra yang terdapat di istana-istana Jawa, dalam hal ini Kasultanan Yogyakarta, “Komposisi tari putra tunggal, gaya Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran, dan Surakarta dan gaya Yogyakarta yang Pura Pakualaman. Telah diketahui bahwa, menggambarkan seorang kesatria sedang keempat kerajaan itu bermula dari satu jatuh cinta” (R.M. Soedarsono, 1977- sumber yaitu kerajaan Mataram. Karena 1978:93). adanya intrik politik pada waktu penjajahan Belanda, Kerajaan Mataram terpecah menjadi Mengacu pada pendapat tersebut, empat. Empat istana tersebut semuanya komposisi tari ini penuh dengan gerak yang mempunyai bentuk tari Klana. Bentuk tari menggambarkan seorang pria yang sedang Klana dari masing-masing istana memiliki ciri berdandan, merayu kekasihnya yang seolah- sendiri-sendiri, baik pada gaya, kualitas gerak olah berada di hadapannya dan sebagainya. maupun pembentukannya (masing-masing Tari ini dapat ditarikan dengan tipe tari putra istana memiliki gaya tari yang berlainan). halus atau gagah, dapat pula bertopeng atau Kasultanan Yogyakarta disebut gaya tidak memakai topeng. Dalam penjelasan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta disebut yang terinci, Soedarsono menjelaskan tentang gaya Surakarta, Pura Mangkunegara dengan tipe Klana Alus sebagai berikut:

2 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

“Jenis tari Klana Alus yang ditarikan hal yang memberi ciri perbedaan wayang dengan tipe tari putra halus gaya wong Kraton Yogyakarta dengan wayang Yogyakarta, menggambarkan seorang wong komersial adalah, segi formalitas kesatria sabrangan (seberang) yang penyajiannya, pada aspek tari, busana, skala sedang jatuh cinta” (Soedarsono 1977- pertunjukan, dan struktur dramatik yang 1978:94). mendekati pada pertunjukan wayang kulit (Lindsay, 1991:89). Sampai dengan Sesuai dengan pandangan di atas, maka pandangan ini, suatu pengantar dari sebuah visualisasi tokoh pada tipe tari Klana Alus pertunjukan wayang wong di Kraton merupakan penggambaran keagungan seorang Yogyakarta diharapkan mampu memperjelas raja atau kesatria dari negeri seberang yang terbentuknya tari Klana Alus Sri Suwela gaya bersumber pada cerita epos Mahabarata. Figur Yogyakarta. raja adalah manifestasi penguasaan mayapada Wayang wong gaya Yogyakarta dan alam astral yang hadir. Sebutan Klana diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana adalah tokoh besar pengelana yang datang I (1756–1796) dan mengalami era keemasan dari luar, yang dapat berkonotasi pada pada masa pemerintahan Sri Sultan manusia, bercita-cita tinggi/kadang-kadang Hamengku Buwana VIII (1921–1939). Pada berasosiasi pada romantisme, suatu masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII kegandrungan, yang tidak mesti bersifat erotis hampir setiap pertunjukan wayang wong atau cenderung seksi, melainkan pada memakan waktu berhari-hari. Pertunjukan idealisme yang estetis (Wisnoe Wardhana, yang diselenggarakan di Tratag Bangsal 1981:36). Kencana dari pagi hari sampai sore hari. Salah Tari Klana Alus Sri Suwela bersumber satu pertunjukan wayang wong dengan durasi pada wayang wong di Kraton Yogyakarta. waktu agak panjang terjadi di tahun 1923, Wayang wong secara umum sebagai yakni mengetengahkan cerita Jaya Semedi dramatari yang berarti pertunjukan wayang kemudian dilanjutkan dengan cerita Sri yang ditarikan oleh aktor manusia (Jeennifer Suwela. Pertunjukan ini memakan waktu Lindsay, 1991:897). Istilah wayang wong dari empat hari, dari tanggal 3 sampai 6 September segi genre dapat mengacu pada semua 1923 (Soedarsono, 2000:19). Cerita Sri dramatari, tetapi kini biasanya khusus Suwela merupakan cerita carangan dari dramatari tanpa topeng yang bersumber dari wiracarita Mahabarata. Cerita ini wiracarita Ramayana dan Mahabarata, dengan menggambarkan tentang Dewi Pertalawati, dialog di dalamnya dibawakan sendiri oleh istri Werkudara yang mencari suaminya para penari dan mengikuti rancangan dengan menyamar sebagai seorang raja pertunjukan wayang kulit. Soedarsono tampan dari negeri Parangretna bernama Sri menyebutkan bahwa wayang wong Suwela. Di dalam penyamarannya Sri Suwela merupakan sebuah genre tari yang dapat ingin meminang Werkudara atau Bima, dikategorikan sebagai pertunjukan total (total seorang kesatria gagah perkasa yang dianggap theatre) yang di dalamnya tercakup seni tari, seorang putri sangat cantik dengan sebutan seni drama, seni sastra, seni musik, dan seni Mas Ayu Werkudara. Hal ini merupakan rupa (Soedarsono, 2003:3). suatu yang tidak wajar, maka lamaran Sri Mengacu pandangan di atas, istilah Suwela ditolak oleh raja Amarta Prabu wayang wong dapat ditunjukkan pada dua Puntadewa. Terjadilah peperangan, para jenis wayang wong yang sampai sekarang Pandawa tidak ada yang dapat mengalahkan hidup, yakni wayang wong hiburan yang Sri Suwela. Setelah melihat Prabu Kresna raja komersial dan wayang wong Kraton dari Dwarawati membawa senjata Cakra, Sri Yogyakarta. Wayang hiburan yang komersial Suwela menjadi lemas dan akhirnya berubah hidup dan berkembang di Surakarta seperti ke wujud aslinya yaitu Dewi Pertalawati. wayang wong Sriwedari. Adapun wayang Tari Klana Sri Suwela, bersumber pada wong Kraton Yogyakarta hidup dan wayang wong gaya Yogyakarta dengan lakon berkembang di Kraton Yogyakarta dan di Sri Suwela. Dalam salah satu adegan jejeran beberapa organisasi tari atau sanggar tari wayang wong Sri Suwela ini terdapat bentuk besar di lingkungan Kraton Yogyakarta. Satu tari Klana Alus Sri Suwela. Bentuk tarinya

3 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

masih sangat lengkap, yang memuat unsur- II. Dasar Konsep Joged Mataram unsur kandha, pocapan, dan ngrungruman (Kagungan Dalem Serat Kandha Ringgit A. Tiga Unsur Tari Tiyang Lampahan Sri Suwela, 1923). Bentuk tari Klana dalam adegan jejeran wayang wong Tari adalah suatu bentuk pernyataan itulah kemudian diambil dijadikan bentuk tari imajinatif yang tertuang melalui kesatuan tunggal dengan nama tari Klana Alus Sri simbol-simbol gerak, ruang, dan waktu Suwela. Setelah menjadi bentuk tari tunggal (Bambang Pudjasworo, 1982:61). Tari ada perubahan-perubahan yang terjadi antara dalam perwujudannya senantiasa harus lain unsur-unsur kandha, pocapan, dan dihayati sebagai bentuk kemanunggalan ngrungruman sudah tidak dikemukakan lagi. dari suatu pola imajinatif gerak, ruang, Informasi tentang latar belakang dan waktu yang dapat dilihat dengan terbentuknya tari Klana Alus gaya Yogyakarta kasat mata. Bentuk kemanunggalan menyebutkan bahwa tokoh Sri Suwela antara pola imajinatif dengan pola kasat merupakan sosok raja besar yang mengilhami mata itu dapat dikatakan bahwa tari karakter tari Klana Alus gaya Yogyakarta. Di merupakan suatu bentuk pernyataan samping itu, bentuk-bentuk kandha, pocapan, ekspresi (jiwani), bentuk pernyataan dan ngrungruman yang sudah tidak ilusi, dan sekaligus merupakan bentuk diketemukan pada bentuk tari Klana Alus pernyataan rasional manusia. Gerak, sekarang, lebih merupakan penerjemahan ruang, dan waktu dihadirkan sebagai yang digantikan dalam bentuk simbol gerak. sebuah satu kesatuan yang utuh yang Komposisi gerak (sekaran) akan dapat mewakilinya. membuktikan kesejajaran pada bentuk tari Konsep dasar dalam tari secara Klana Alus Sri Suwela mampu mempengaruhi universal adalah gerak, ruang, dan waktu. bentuk tari Klana Alus gaya Yogyakarta Tari Jawa gaya Yogyakarta juga dewasa ini (Wisnoe Wardhana, 1981:79). mempunyai konsep dasar yang relatif Berkenaan dengan cerita (lakon) Sri universal pula. Perlu diungkapkan Suwela dalam wayang wong di Kraton pernyataan salah satu tokoh tari gaya Yogyakarta, maka kehadiran tokoh Sri Suwela Yogyakarta, yakni B.P.H. dalam pertunjukan wayang wong mempunyai Suryodiningrat. Dalam salah satu keistimewaan tertentu. Seorang yang akan uraiannya dinyatakan: memerankan tokoh Sri Suwela harus menguasai teknik gerak tari putra halus dan Ingkang dipoen wastani djogèt tari putri. Selain itu karakternya sebagai punika ébahing sadaja seorang raja yang agung tetapi memiliki sifat sarandoening badan, kasarengan keputri-putrian. Peneliti sangat tergoda untuk oengeling gangsa, katata pikantoek mengkaji lebih jauh tentang Klana Alus Sri wiramaning gendhing, Suwela hubungannya dengan wayang wong djoemboehing pasemoen, kaliyan Yogyakarta dan sebagai tari tunggal. Hal yang pikadjenging djogèt. penting mendasari pemahaman peneliti adalah melihat proses identifikasi diri Dewi (yang dimaksud tari adalah gerak Pertalawati sebagai tokoh Sri Suwela raja seluruh anggota badan, yang diiringi seberang dari negeri Parangretna dalam sajian dengan musik () pertunjukan wayang orang di kraton dikoordinasikan menurut irama Yogyakarta, telah mengalami perubahan- gamelan, kesesuaian dengan sifat perubahan dalam proses perilaku sebagai tari pembawaan tari serta maksud tunggal, termasuk pemerannya. tarinya (B.P.H. Suryodiningrat, 1934:3).

Menurut batasan tari di atas, maka secara konsepsional yang dimaksud tari (tari Jawa), senantiasa harus berpijak

4 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

pada tiga aspek pokok ialah wiraga, kaidah tidak baku atau pathokan wirama, dan wirasa. Wiraga adalah tidak baku yang nanti akan konsep gerak, wirama merupakan konsep dijelaskan secara rinci di bagian irama, dan wirasa adalah konsep berikutnya. penjiwaan. Konsep wiraga, wirama, dan Wiraga dalam tari Klana Alus wirasa (3 w) masih terdapat lagi konsep Sri Suwela gaya Yogyakarta pada yang lebih berupa aturan-aturan dan prinsipnya tetap mengacu pada kaidah yang terangkum dalam pathokan aturan atau pathokan tari putra alus baku dan pathokan tidak baku. gaya Yogyakarta. Pelaksanaannya dalam sebuah tari Klana dapat 1. Wiraga dibedakan menjadi 3 bagian. Bagian Wiraga adalah seluruh aspek pertama maju gendhing merupakan gerak tari, baik berupa sikap gerak, bagian yang memiliki kesan agung, pengulangan tenaga serta proses dan berwibawa. Wiraga yang gerak yang dilakukan penari, dimaksud pada bagian ini ialah maupun seluruh kesatuan unsur dan ragam gerak tari yang dipakai penuh motif gerak (ragam gerak) tari yang dengan kekuatan, ketegasan, dan terdapat di dalam suatu tari. Wiraga kedinamisan. Di bagaian kedua pada merupakan konsep gerak dalam tari muryani busana memiliki kesan gaya Yogyakarta. Konsep wiraga ini prenèsan, sengsem, keceriaan, ada beberapa kaidah atau aturan kegembiraan, dan percaya diri. yang harus betul-betul dipatuhi oleh Wiraga di bagian ini apabila penari dalam melakukan gerak tari. dikaitkan dengan ragam gerak tari Hal ini dikarenakan di dalam tari penuh dengan daya pikat atau daya gaya Yogyakarta ada faham benar tarik kelembutan, penuh tekanan, dan salah yang diukur dengan keluwesan, kelenturan, dan kemampuan penari dalam kedinamisan. Oleh sebab itu dalam menerapkan kaidah-kaidah atau sekaran muryani busana banyak aturan-aturan yang ada. Hal ini wiraga tari putri gaya Yogyakarta bertolak belakang dengan sisi dipakai dalam tari Klana Alus Sri batinnya tari gaya Yogyakarta, Suwela. Contoh nglèrèg, kicat karena faham yang ada adalah sudah ridhong, usap suryan, kicat ulap- mampu dan belum mampu atau ulap, kicat tawing, kengser, sudah bisa dan belum bisa. lèmbèhan asta, dan lain-lain. Keindahan dari sebuah tari Wiraga tari putri tersebut telah hanya dapat dipandang ketika tari itu mengalami distorsi dan stilisasi ditarikan atau saat tarian itu sehingga diterapkan di dalam tari berlangsung lewat penarinya. putra alus tetap kelihatan wiraga tari Keindahan itu dapat dipandang dari putra alus. Penerapatan wiraga tari dua aspek yang saling terkait yaitu putri dalam muryani busana pelaku atau penari dengan desain merupakan pengaruh tari Tledhek geraknya. Keindahan dari seorang dari tradisi kerakyatan. Berbagai penari dapat dikatakan indah apabila ragam tari putri yang diterapkan seorang penari secara optimal telah dalam tari Klana Alus Sri Suwela mampu menerapkan kaidah-kaidah ialah nglèrèk, srimpet nglawé, atau aturan-aturan yang ada. Kaidah- lampah sekar, lèmbèhan kicat, kicat kaidah yang ada merupakan ridhong, ulap-ulap kicat, ukel landasan utama dalam teknik tari tawing kicat, usap suryan kicat, gaya Yogyakarta. Kaidah-kaidah pacak gulu trap tawing dan lain- atau aturan-aturan dalam tari klasik lain. Oleh karena itu penari Klana gaya Yogyakarta dapat Alus Sri Suwela yang baik harus dikelompokkan menjadi dua, yaitu menguasai wiraga tari putra alus dan kaidah baku atau pathokan baku dan wiraga tari putri gaya Yogyakarta.

5 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

2. Wirama kelipatan empat atau delapan. Wirama di sini menyangkut Sesuai dengan tradisi tari dalam pengertian tentang irama gending, tari Jawa baik gaya Yogyakarta irama gerak, dan ritme gerak. maupun gaya Surakarta. Untuk Seluruh gerak (wiraga) harus memudahkan hitungan gending senantiasa dilakukan selaras dengan kaitannya dengan hitungan wiramanya (ketukan-ketukan gerak tari maka digunakan hitungan tarinya, kecepatan pukulan ketentuan hitungan satu sampai balungan suatu gending, dan suasana delapan (1-8). gendingnya). Unsur wirama ini b). Kepekaan irama dalam selanjutnya akan mengatur irama hubungannya dengan gerak, yang harus dimiliki oleh seorang yaitu ketajaman rasa untuk penari. Tari Klana Alus Sri Suwela dapat mengorganisasi anggota menggunakan musik gendhing tubuh dengan tempo, seperti ladrang Sumyar laras pelog pathet yang dihasilkan oleh musik. barang. Untuk menumbuhkan kesan Keteraturan dalam bergerak agung dan berwibawa menggunakan akan menghasilkan kesan gerak irama dua yang satu gongnya yang mengalir (mbanyu mili). apabila dikaitkan dengan hitungan Seorang penari harus terlebih tari ada tigapuluh tiga hitungan. dulu menguasai irama gerak Irama ini digunakan pada saat maju yang disesuaikan dengan tempo gendhing dan mundur gendhing. yang ditimbulkan oleh gending Pada waktu muryani busana yang pengiringnya. menunjukkan kegembiraan c). Kepekaan terhadap irama digunakan irama satu atau lancar hubungannya dengan apabila dikaitkan dengan hitungan kemampuan penari tari satu gongnya ada 16 hitungan. mengorganisasikan tubuhnya, Ada tiga aspek kepekaan dalam untuk digerakkan sesuai dengan wirama yaitu: kaidah-kaidah dan motif gerak yang ada. Kepekaan ini a). Kepekaan irama gending menuntut adanya ketajaman Gending dalam konteks rasa dalam mengambil jarak sebagai musik tari merupakan antara anggota tubuh. Kaidah- unsur yang sangat penting dan kaidah yang ada, dimaksudkan cenderung mendominasi. untuk mendapatkan suatu Gending sangat berpengaruh pertunjukan tari yang sekali dalam pembangun dibawakan penarinya dengan pembentuk karakter tari. Penari kesan pantes, luwes, resik, harus mempunyai kepekaan dan mungguh, dan mrabu. ketajaman untuk dapat selaras Pantes adalah serasi, dengan irama gending sebagai sesuai dengan proposi. Ada dua musik tarinya. Penari harus kriteria untuk dapat disebut dapat mengikuti dinamika yang pantes dalam tari putra halus dihasilkan oleh gending gaya Yogyakarta. Pertama, pengiringnya. Ada beberapa pantes dalam tari putra halus bagian pada gending yang harus gaya Yogyakarta sangat terkait diketahui oleh seorang penari, dengan kemampuan penari. pada bagian ini biasanya Terkait dengan adanya istilah sebagai pathokan untuk dimulai pantes dan sebagainya di dan diakhirinya sebuah motif keraton Yogyakarta terdapat gerak. Titik-titik tekanan itu istilah penari wiraga dadi. adalah kenong, kempul, kethuk Istilah itu untuk menyebut dan . Hitungan merupakan penari yang dianggap terampil.

6 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

Pada tingkatan ini penari diberi dengan baik dan mempunyai kebebasan untuk menyimpang kepekaan akan rasa gending, dari pathokan-pathokan baku irama dan gerak yang telah gaya Yogyakarta untuk dijelaskan sebelumnya. kemudian disesuaikan dengan Mungguh adalah kesan yang interpretasinya. Hal ini didapatkan dari seorang penari dilakukan oleh seorang penari yang membawakan tariannya untuk mendapatkan kesan (perannya) dengan penuh pantes. Kedua, pantes dikaitkan penghayatan. Bagi penari yang dengan karakter yang sudah tidak berfikir tentang diperankan atau dibawakan. teknik tari atau hafalan, maka Perwatakan tari gaya penari akan dapat lebih Yogyakarta dikenal dengan konsentrasi pada penghayatan istilah wanda, yang diambil karakter geraknya dan pada dari peristilahan wayang kulit, giliranya dapat meningkatkan yang berarti bentuk raut muka rasa percaya diri. Mungguh dan bentuk tubuh yang juga dapat berarti penari dapat menggambarkan dengan tepat dan cermat perwatakan/karakter tertentu. membawakan perannya atau Kaitannya dengan pantes tariannya. adalah pemeranan penari Mrabu adalah kesan berdasarkan kesesuaian bentuk berwibawa, agung, dan tubuh dan karakter penari berkarisma. Kesan seperti itu dengan wanda peran yang akan sifatnya agak khusus, karena dibawakan. Ketrampilan tidak semua peran dapat menjadi kurang penting karena mengisyaratkan kesan ini. yang dipentingkan adalah Kesan ini hanya dapat diperoleh kesesuaian bentuk tubuh dari peran/tokoh yang relatif dengan raut muka penari baik, misalnya seorang raja, dengan wanda wayang yang seperti tari Klana Alus Sri akan dibawakan. Suwela gaya Yogyakarta yang Luwes adalah suatu sifat mengisahkan seorang Raja pembawaan yang tidak mudah Parang Retna yang sedang jatuh diajarkan. Penari dapat cinta. Banyaknya tuntutan dikatakan luwes apabila dalam dalam aspek teknik dan menari ia nampak wajar, tidak penjiwaan dalam tari klasik kaku, geraknya enak dilihat, gaya Yogyakarta, untuk dapat lancar, mengalir sesuai dengan tampil dengan sempurna dalam irama gamelan, tidak ada kesan sebuah pertunjukan dibutuhkan dipaksakan, geraknya serius seorang penari yang dan sungguh-sungguh tetapi mempunyai kemampuan teknik tidak kelihatan tegang. Resik dan penguasaan karakter yang adalah bisa diartikan bersih. baik. Untuk mendapatkan kesan bersih, seorang penari harus 3. Wirasa selalu mengontrol dengan Wirasa adalah hal lain banyak cermat pada setiap geraknya. bersangkut paut dengan masalah isi Gerakan harus dilakukan dari suatu tari. Masalah isi selalu dengan rinci, dan cermat serta banyak berhubungan dengan mengetahui kaidah-kaidah yang pengertian-pengertian yang terdapat berlaku, hasil ini bisa dalam jogèd Mataram untuk tari didapatkan bila seorang penari gaya Yogyakarta dan Hasta sudah mengetahui teknik tari Sawanda untuk tari gaya Surakarta.

7 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

Pada dasarnya penerapan wiraga Jeng sultan tindak saksana, dan wirama tarinya harus selalu Kulup mèluwa mami, mengingat akan arti, maksud, dan Tumut manjing prabayasa, tujuan dari tarian tersebut, sehingga Mangalèring jamban prapti, seorang penari akan tampil dengan Payu lekasa kedhik, penjiwaan secara utuh yang sawiji, Nembang sigra beksanipun, greged, sengguh, dan ora mingkuh. Lagyantuk tigang gongan, Wirasa merupakan aspek penjiwaan Ya uwis iku nak mami, dalam tari gaya Yogyakarta. Aspek Isih wutuh iya beksanmu penjiwaan ini tidak terlepas dari mataram, wiraga, wirama, wirasa yang nantinya akan terakumulasikan Aja murukaken sira, menjadi satu konsep yang disebut Ing beksa mataram iki, jogèd Mataram yang terdiri dari Tur sembah Tirtakusuma, sawiji, greged, sengguh, dan ora Putra dalem Sri Bupati, mingkuh. Semula konsep jogèd Kados paduka meling, Mataram disampaikan secara lisan Arungit mèsem ngendika, oleh guru tari ketika mengajarkan Iya pada lawan mami, tari. Konsep jogèd Mataram mulai Sareng mijil Sultan lan tersebar kepada masyarakat para Tirtakusuma penari semenjak tari gaya (Soedarsono, 2000:109). Yogyakarta dapat keluar dari tembok istana, yaitu semenjak (Sri Sultan bersabda, berdirinya organisasi tari Kridha Putraku Tirtakusuma, Beksa Wirama (K.B.W.) pada tahun Itu tarimu madura, 1918. Konsep jogèd Mataram ini Ia kurang galak sedikit, dipopulerkan oleh G.B.P.H. Tarimu mataram, Soeryobronto, seorang pangeran dan Apa telah kau miliki, penari andal Keraton Yogyakarta. Menjawab Tirtakusuma, Konsep jogèd Mataram sekarang Ya putra baginda raja, telah sangat memasyarakat di Yang mengajak hamba tidak komunitas tari. Sungguhpun, pada tahu benar tidaknya, awalnya konsep ini merupakan sesuatu yang rahasia, yang tidak Sri sultan berjalan cepat, boleh diajarkan kepada sembarang Putraku ikutilah saya, orang dan hanya yang boleh Ikut masuk ke prabayasa, diajarkan kepada penari yang telah Ke utara smapai ke dipandang oleh guru menguasai permandian, tentang seni kebatinan. Hal ini Marilah cepat sedikit, tersurat dalam tembang sinom yang Menyanyi segera menari, terdapat dalam Babad Prayud, Baru dapat tiga gongan, sebagai berikut: Ya sudahlah itu putraku, Masih utuh tarianmu mataram. Jeng sultan malih ngendika, Kulup Tirtakusumèki, Janganlah kau mengajarkan, Iku beksanmu madura, Tirtakusuma ini, Iya kurang sereng kedhik, Bersembahlah Tirtakusuma, Beksanira mentawis, Putranda Sri Bupati, Apa wis duwe sirèku, Seperti yang paduka katakan, Nembah Tirtakusuma, Sangat sukar tari mataram, Inggih putra padukaji, Sultan tersenyum bersabda, Ingkang mulang leres lepatipun Ya sama dengan saya, kilap,

8 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

Bersama keluar sultan dan dibawakan atau dijalani. Konsentrasi Tirtakusuma). penari tidak terikat oleh perasaan- perasaan yang aktual. Penari bebas Cuplikan tembang sinom di dari kesadaran objektif yang aktual atas tersirat bahwa, jogèd Mataram atau praktik perbuatan sehari-hari. adalah sesuatu yang rahasia, yang Penari tidak mengekspresikan tidak boleh diketahui atau diajarkan dirinya, tetapi mengkomunikasikan kepada sembarang orang. Konsep ini bentuk-bentuk perasaan melalui menjadi sesuatu yang sangat penyajian simbolis. Konsentrasi dirahasiakan sampai kurang lebih total bukan berarti penari menjadi tahun 1918, bersamaan berdirinya tidak sadarkan diri, namun suatu organisasi tari di luar keraton. peleburan seorang penari dengan Seperti diungkapkan oleh G.B.P.H. karakter tari yang harus dibawakan. Soeryobrongto bahwa jogèd Sawiji dalam tari Klana Alus Mataram adalah kewajiban atau seni Sri Suwela dimengerti bahwa penari penjiwaan dari tari klasik gaya sudah tidak memikirkan tentang Yogyakarta (Soeryobrongto, hafalan maupun yang lain. Pikiran 1981:88). Konsep jogèd Mataram dan perasaan sudah memahami apa sering juga disebut ilmu jogèd yang harus dilakukan dan apa saja Mataram yang diciptakan oleh Sri yang akan dilakukan penari di atas Sultan H.B I (1755-1792). Pada pentas. Mulai penari berjalan masuk waktu itu tidak semua guru arena pentas, maka bukan dirinya mengetahui mengenai konsep jogèd lagi tetapi peran apa yang Mataram, sehingga tidak dibawakan. Semuanya itu dari dalam mengherankan apabila banyak murid jiwa mengalir, apalagi dengan tidak mengetahuinya. Namun adanya bunyi instrumen atau musik, demikian murid yang betul-betul maka kepekaan penari terhadap memiliki bakat dan sudah peran yang dibawakan akan semakin memperoleh kematangan lahir batin, meningkat. oleh guru yang terpercaya dapat diperkenankan mendalami ilmu b). Greged jogèd Mataram. Greged adalah suatu semangat yang membara yang ada pada jiwa B. Filosofi Joged Mataram seorang penari di atas pentas. Semangat yang dikerahkan itu tidak Ilmu jogèd Mataram terdiri dari 4 boleh dilepaskan begitu saja, tetapi (empat) unsur yaitu: sawiji, greged, harus ditekan atau diarahkan pada sengguh, dan ora mingkuh dengan suatu yang normal atau wajar. penjelasan sebagai berikut: Semangat seorang penari harus dikendalikan, yang pada gilirannya a). Sawiji tidak akan berkesan atau kelihatan Sawiji adalah suatu konsentrasi kasar. Greged merupakan penuh atau total dari seorang penari pembawaan dari seorang penari. di atas pentas, akan tetapi Unsur ini tidak dapat konsentrasi tersebut tidak sampai diajarkan/dilatih oleh orang lain atau menimbulkan ketegangan jiwa. guru. Guru yang baik harus dapat Konsentrasi adalah suatu mengetahui bila murid memiliki kemampuan seseorang penari untuk greged atau tidak. Apabila seorang mengerahkan semua kekuatan penari mempunyai greged, maka pikiran pada suatu sasaran yang guru tinggal mengarahkan ke arah jelas. Penari harus dapat atau yang benar. Penari yang baik harus mampu mentransformasikan dirinya memiliki greged, apabila ia tidak pada suatu peran yang harus memiliki greged akan mengalami

9 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

kesulitan dalam menyalurkan merasa mampu, merasa tampan, dinamika dalam diri karakter tari merasa gumagus, merasa lebih dari yang dibawakan. Penari yang yang lain atau dirinya tak ada yang memiliki greged yang baik, menyamai. Ada rasa sedikit kongas, walaupun dalam keadaan sikap diam tetapi semua itu tetap terkendali telah menimbulkan kesan adanya sehingga antara gerak yang gerak di dalam jiwa dan karakter dilakukan dengan rasa gerak dari yang dibawakan (Soeryobrongto, dalam diri penari akan mengalir 1981:91). sejalan dengan nalurinya. Greged dalam tari Klana Alus Sri Suwela agak dikurangi terutama d). Ora Mingkuh pada waktu sekaran muryani Ora mingkuh adalah pantang busana. Greged di dalam muryani mundur atau tidak takut menghadapi busana memiliki rasa prenèsan, kesukaran-kesukaran. Penari harus tetapi masih di dalam batas aturan- memiliki keberanian dalam aturan tari putra alus yang berlaku. menghadapi apa saja waktu pentas. Penonjolan pada waktu melakukan Penari harus menepati janji atau sekaran muryani busana adalah kesanggupan dengan penuh tekanan-tekanan atau aksi-aksi agar tanggung jawab. Suatu keteguhan memiliki daya tarik atau daya pikat hati dalam menarikan suatu tarian terhadap apa yang dilakukan penari atau memainkan suatu peran. Klana Sri Suwela. Keteguhan hati dapat berarti kesetiaan dan keberanian untuk c). Sengguh menghadapi situasi apa saja dengan Sengguh adalah percaya pada suatu pengorbanan penuh. Suatu diri sendiri yang tidak mengarah contoh apabila seorang penari telah pada kesombongan penari di atas menyanggupi untuk menari, maka pentas. Percaya diri sendiri sangat walaupun ia dalam keadaan sakit penting bagi seorang penari. Penari apabila masih dapat menari, ia harus yang telah tampil di atas pentas, melakukan dengan penuh tanggung harus percaya dengan sepenuh hati jawab. Ora mingkuh diri seorang bahwa apa yang ditampilkan atau penari meskipun dalam perjalanan ditarikan adalah baik, dan orang lain untuk menuju tujuan yang luhur atau penonton dapat menikmati banyak menghadapi rintangan- dengan baik juga. Jadi seorang rintangan, akan tetapi seorang penari penari harus menjadi satu kesatuan tidak akan mundur setapakpun. dengan tarinya. Seorang penari Ora mingkuh dalam tampil di atas pentas bukan sebagai pembawaan tari Klana Alus Sri dirinya sendiri, tetapi ia Suwela penari di atas pentas tanpa membawakan misi untuk pantang mundur dalam menghadapi menyampaikan sesuatu kepada segala rintangan, tantangan, penonton atau penikmatnya. Sikap kesulitan demi tercapainya cita-cita semacam ini harus diyakini, yang diinginkan. Dalam cerita ini sehingga ia memiliki kepercayaan digambarkan untuk mencapai tujuan pada diri penari. Kepercayaan ini Sri Suwela harus mengembara dan dapat menimbulkan sikap yang pantang menyerah menghadapi meyakinkan, pasti, dan tidak ragu- segala musuhnya. ragu dalam bahasa Jawa mbedhedheg (perasaan yang III. Dasar Pathokan Baku atau Tidak Baku meluap-luap tetapi terkendali) (Soeryobrongto, 1981:92). Tari gaya Yogyakarta ada dua pathokan Sengguh dalam pembawaan tari atau aturan yang harus ditaati oleh seorang Klana Alus Sri Suwela adalah penari dalam melakukan sebuah tarian.

10 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

Pathokan itu adalah pathokan baku dan - pupu mlumah/tungkai atas pathokan tidak baku. (femur) terentang - dhengkul megar/lutut (patella) A. Pathokan baku membuka - suku malang/kaki (metatarsus) Pathokan baku adalah suatu aturan melintang tari gaya Yogyakarta yang mutlak harus - driji nylekenthing/jari-jari kaki ditaati (dilakukan) bagi seorang penari, (phalanges) diangkat ke atas baik putra maupun putri yang ingin mencapai tingkat optimal dalam seni 3. Mendhak tarinya. Berikut ini akan dikemukakan Mendhak adalah posisi tungkai penjelasan terperinci mengenai pathokan (femur dan patella) yang merendah baku. dengan tekukan lutut (patella). Tekukan lutut (patella) ini dilakukan 1. Sikap badan (deg) dalam keadaan tungkai atas (femur) Sikap badan penari ketika menari terbuka. Mendhak yang mapan harus selalu kelihatan baik apabila memungkinkan gerakan tungkai dipandang dari segala arah. Badan (femur, patella, tibia, fibula, ossa penari harus selalu tegap (ndegèg). tarsalia, ossa metatarsalia, dan Sikap tegap yang dimaksud adalah phalanges) lebih hidup sehingga tulang belakang (columna vertebrae) tarinya kelihatan ébrah (besar). berdiri tegak, tulang belikat Ruang geraknya menjadi luas atau (scapula) datar (rata), bahu (humeri) dapat dikatakan mengisi ruang. membuka, tulang rusuk (costae) Posisi mendhak walaupun yang diangkat, dada (thorax) merendah tungkai atas (femur dan dibusungkan, dan perut (abdomen) patella), namun sebenarnya dikempiskan. Langkah yang harus kekuatan atau tekanan gerak terletak diambil oleh seorang penari untuk pada cethik (pelvis), jadi tekukan mendapatkan sikap dan gerak badan lutut (patella) sebagai akibat cethik seperti di atas adalah dengan jalan (pelvis) ditekan ke bawah. Tidak ada menarik napas panjang sampai ukuran yang pasti seberapa rendah badan dalam posisi seperti yang tekukan femur dan patella itu, dimaksud, kemudian napas namun yang jelas tidak terlalu dikembalikan, akan tetapi tidak rendah sekali dan tidak terlalu boleh mengubah posisi sikap badan. kelihatan tidak merendah. Ukuran Selanjutnya seorang penari bernafas untuk mendhak setiap penari seperti biasa. Sikap badan semacam berbeda-beda tergantung pada tinggi ini harus dipertahankan selama rendahnya tubuh penari, akan tetapi menari, walaupun penari di atas sikap mendhak itu kelihatan luwes pentas dalam keadaan diam, tidak dan tanpa mengganggu dalam bergerak. Sikap badan seperti itu melakukan gerak. Posisi mendhak harus dilakukan dari awal masuk lutut (patella) harus tetap terbuka. pentas sampai selesai menari dan Posisi mendhak demikian itu gerak meninggalkan tempat pentas. akan lebih nampak kuat. Apabila penari tidak mendhak intensitas 2. Sikap dan gerak kaki gerakan akan kosong dan akan Bagian kaki (metatarsus) penari kelihatan lemah. Namun demikian ini dapat dibagi menjadi dua bagian apabila penari terlalu mendhak akan yaitu bagian tungkai atas (femur) menghasilkan tari yang nampak dan jari-jari kaki (phalanges). Posisi dipaksakan (ngaya) dan membuang kaki dengan ketentuan sebagai tenaga. Mendhak harus dilakukan berikut: tidak kendor, tetapi juga tidak tegang. Jadi mendhak yang benar

11 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

adalah mendhak cethik (pelvis) yaitu 2. Tolèhan kanan dan kiri (dexter- merendah sehingga memusatkan sinester) gerak pada cethik (pelvis) bukan 3. Coklèkan kanan dan kiri pada tekukan lututnya (patella). (dexter-sinester) 4. Gedheg khusus untuk tari putra 4. Sikap tangan gagah kanan dan kiri (dexter- Lebar tangan (jarak tangan sinester). dengan badan) untuk tari putra berbeda dengan tari putri. Untuk tari 6. Gerak cethik (pelvis) putra masih dibedakan lagi putra Cethik atau pangkal tungkai halus dan putra gagah. Untuk tari atas (pelvis) merupakan bagian yang putra halus jarak tangan dengan sangat penting dalam gerak tubuh badan kurang lebih satu penari baik ke arah samping maupun pethènthèngan. Mengukurnya ke bawah atau mendhak. Gerak dengan cara menempelkan kedua tubuh ke samping baik ke kanan telapak tangan (ossa metacarpalia) maupun ke kiri (dexter-sinester) pada pinggang. Ukuran lebar tangan yang benar dalam tari gaya (humerus, ulna-radius, carpalia, Yogyakarta harus dilakukan dengan metacarpalia, ossa metacarpalia, pemusatan gerak pada pangkal dan phalanges) ini dipakai semua tungkai atas atau cethik (pelvis). standar tari halus apapun. Bentuk tangan (humerus, ulna-radius, 7. Pandangan mata (pandengan) carpalia, metacarpalia, ossa Pandangan mata dalam tari metacarpalia, dan phalanges) gaya Yogyakarta dengan ketentuan apabila menekuk adalah siku-siku kelopak mata terbuka, bola mata dengan pusat atau tekanan pada lurus ke depan menurut arah hadap pergelangan tangan (capalia). Gerak muka, dan pandangan tajam, dengan tangan selalu dipusatkan pada jarak kurang lebih 3 kali tinggi pergelangan tangan (carpalia) badan. Mata seorang penari tidak sedangkan lengan (humerus, ulna- boleh berkedip-kedip karena akan radius) hanyalah mengikuti. kelihatan rongeh dan kurang Pemusatan gerak tangan (humerus, konsentrasi. ulna-radius, carpalia, metacarpalia, ossa metacarpalia, dan phalanges) B. Pathokan tidak baku pada pergelangan tangan (carpalia) ini dimaksudkan agar posisi tangan Pathokan-pathokan baku merupakan dan siku dapat stabil tidak pegangan dasar penari pada umumnya mengembang maupun menguncup yang memiliki keadaan fisik normal atau (megar-mingkup). wajar, serasi, dan bagus. Sering terjadi ada seorang penari yang memiliki 5. Pacak gulu/gerak leher (cervical beberapa kekurangan dalam fisiknya. vertebrae) Para penari yang memiliki kekurangan- Gerak leher (cervical kekurangan fisik, mereka harus vertebrae) dipusatkan pada tekukan menggunakan pathokan tidak baku atau (coklèkan) jiling (cervic), yaitu khusus untuk menutupi kekurangan- persendian kepala (cranium) dengan kekurangan tersebut. Pathokan tidak leher (cervical vertebrae) baik untuk baku ini bukan merupakan pegangan tolehan maupun pacak gulu. Gerak yang dapat dijalankan oleh setiap orang demikian itu adalah tidak Dalam atau penari. Pathokan ini sering disebut gaya Yogyakarta terdapat empat (4) pathokan khusus atau pathokan tidak macam pacak gulu yaitu: baku atau juga sering disebut pathokan 1. Pacak gulu baku (pokok) kanan penyesuaian diri. dan kiri (dexter-sinester)

12 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

1. Luwes sehingga dilakukan dengan tepat dan Luwes merupakan sifat cermat. pembawaan dari seorang penari. Penari dikatakan luwes apabila C. Sistem Penguasaan Teknik Tari kelihatan wajar dan tidak kaku dalam membawakan tariannya. Penguasaan teknik bagi para penari Gerak yang dilakukan tampak pada masa lampau dapat ditempuh lancar, mengalir sesuai dengan melalui tiga sistem, yaitu: 1) sistem irama yang digunakan dan enak menirukan; 2) sistem bimbingan guru; 3) dinikmati, tak ada kesan dipaksakan, sistem mandiri. Ketiga sistem tersebut geraknya serius dan sungguh- merupakan cara untuk belajar menari sungguh tetapi tidak kelihatan sampai kini. tegang (kenceng nanging ora 1. Penguasaan teknik menirukan ngecenceng). Sistem ini merupakan latihan tahap elementer/dasar, biasanya 2. Patut sering disebut tayungan. Dengan Patut adalah serasi dan sesuai. tayungan penari bisa menirukan Mengingat adanya kekurangan- penari lain yang ada di depan kekurangan fisik penari maupun disampingnya. diperbolehkan melakukan gerak yang sedikit agak menyimpang dari 2. Sistem bimbingan guru pathokan ragam tarinya, menurut Sistem ini lebih menekankan selera dan interpretasinya sendiri. adanya bimbingan yang cermat dan Penyimpangan itu diperbolehkan rinci, meliputi kemantapan asal guru tari yang bertanggung pembentukan sikap (deg); jawab sudah menilainya patut. penggalan-penggalan gerak yang Kepatutan ini di dalam wayang benar menurut aturan, dan wong Kraton Yogyakarta erat sekali peningkatan penghayatan karakter hubungannya dengan “wanda” gerak melalui penggalan-penggalan seorang penari. Wanda adalah raut gerak menuju keutuhan. muka yang menggambarkan perwatakan/karakter. 3. Sistem mandiri Hasrat untuk selalu 3. Resik meningkatkan kemampuan teknik Resik dalam tari dapat diartikan secara mandiri para penari bersih atau cermat dalam melakukan umumnya sangat kuat. Hal ini gerak. Penari dapat dikatakan bersih adanya pengakuan para nara sumber apabila dapat menguasai tiga macam yang tergolong wayang sabet. kepekaan irama, yaitu kepekaan irama gending, kepekaan irama D. Dasar Pola Baku Gerak Tari gerak, dan kepekaan irama jarak. Kepekaan penari terhadap irama ini Menurut G.B.P.H. Soeryobronto, akan selalu memperhitungkan ragam tari putra gaya Yogyakarta dibagi ketepatan gerak tarinya. Gerakan menjadi empat, yaitu: harus dilakukan dengan cermat 1. Impur: untuk karakter putra halus, dengan mematuhi keharusan- menggambarkan watak, sederhana, keharusan yang berlaku. Hal ini tidak banyak tingkah dan percaya dapat dilaksanakan apabila penari diri. telah menguasai teknik tari dengan 2. Kambeng: untuk karakter putra baik. Kecermatan ini merupakan gagah berwatak jujur, sederhana, perwujudan tari yang tidak tidak banyak tingkah dan percaya berlebihan tetapi juga tidak kurang, diri.

13 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

3. Kalang kinantang: untuk karakter khusus untuk karakter raksasa. putra alus dan gagah, yang memiliki Secara prinsip setiap akhir dari suatu watak keras, banyak tingkah, agak bentuk motif gerak tari yang sombong, angkuh, dan dinamis. berirama gerak kebo manggah, 4. Bapang: untuk karakter putra gagah senantiasa harus dilakukan tepat yang berwatak kasar, sombong, pada sabetan balungan pada akhir banyak tingkah, dan kasar tingkah gatra dari gending pengiring tarinya. lakunya (Soeryobrongto, 1981:83- Berdasarkan penjabaran di atas, 88). kirannya pola irama gerak yang sangat mungkin mendekati pola Keempat ragam pokok tersebut irama pada tari Klana Sri Suwela masih memiliki variasi lebih rumit lagi gaya Yogyakarta adalah pola irama yang berkembang menjadi dua puluh satu prenjak tinaji. Irama gerak prenjak ragam tari pada masa pemerintahan HB tinaji, penggunaan tempo dalam VIII. setiap ketukan berjarak tetap, akan terasa lebih konsisten (ajeg) dari E. Dasar Pola Irama dan Ritme Gerak pada yang dipergunakan dalam Tari irama gerak ganggeng kanyut. Sehubungan dengan hal itu, maka Ada empat pola pokok irama yang dalam irama prenjak tinaji, sering digunakan dalam tari Jawa, yaitu: penggunaan irama gerak pribadi 1) Ganggeng kanyut, adalah irama akan nampak terbatas. Kecepatan gerak yang diterapkan untuk tari gerak dan penggunaan energi pun Bedaya, tari Srimpi, dan tari Luruh akan menjadi lebih teratur dan alus gaya Surakata. Dalam hal ini, konsisten. Kesan yang dilahirkan maka akhir dari setiap bentuk motif dari cara melakukan gerak irama gerak tarinya secara prinsip harus ganggeng kanyut lebih jelas berbeda dilakukan dengan sedikit dengan irama gerak prenjak tinaji, membelakangi sabetan (pukulan) sehingga tari menghadirkan kesan balungan pada akhir gatra dari suatu mengalir tetapi tegas. gending. 2) Prenjak Tinaji, adalah irama gerak IV. PENUTUP yang diterapkan pada tari alus lanyapan gaya Surakarta. Irama Pengkajian dasar-dasar konsep jogèd gerak Prenjak Tinaji ini, setiap akhir Mataram secara utuh dapat dari suatu bentuk motif gerak tari diimplementasikan melalui struktur, bentuk harus dilakukan tepat pada sabetan gerak, dan teknik menari, serta penjiwaan (pukulan) balungan pada akhir gatra dalam membawakan sebuah bentuk tari. dari suatu gending pengiringnya. Pengkajian konsep jogèd Mataram dalam tari 3) Banyak Slulup, adalah irama gerak gaya Yogyakarta sebenarnya dapat dipandang yang diterapkan pada tari gagah sebagai sebuah pemahaman kognitif dan dugangan gaya Surakarta. normatif. Untuk itu, beberapa aspek yang Penggunaan irama gerak ini dalam melatarbelakanginya dapat ditelusuri dari tari, yaitu setiap akhir dari suatu kaitan tarian tersebut dengan sumber-sumber motif gerak tarinya harus dilakukan tertulis di masa lampau, dan bentuk-bentuk dengan sedikit mendahului dari perkembangannya. Komposisi tari nglana Sri sabetan (pukulan) balungan pada Suwela yang ada di bagian adegan jejeran akhir gatra dari gending dalam wayang wong lakon Sri Suwela itu pengiringnya. merupakan latar belakang yang terkait 4) Kebo manggah, adalah pola irama langsung dengan perwujudan seni tari Klana gerak tari yang pada lazimnya Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta. Struktur diterapkan untuk tari gagah, namun dan bentuk gerak pada peran tokoh Prabu Sri

14 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta Perspektif Joged Mataram) ISSN: 1858-3989

Suwela menjadi dasar konsepsi pada tarian DAFTAR RUJUKAN tersebut. Kesimpulan dari pengkajian ini bahwa Dewan Ahli Yayasan Siswa Among Beksa. 1981. secara konseptual kehadiran bentuk tari dapat Kawruh Joged Mataram. Dewan Ahli dilihat dari wiraga, wirama, dan wirasa yang Yayasan Siswa Among Beksa, Yogyakarta. semuanya terakumulasikan di dalam konsep jogèd Mataram. Jalinan struktur tari Klana Kagungan Dalem Serat Kandha Ringgi Tiyang Alus Sri Suwela dipengaruhi oleh adegan Lampahan Jaya Semedi Kalajengaken Sri jejeran nglana pada pertunjukan wayang Suwela. K.H.P. Kridha Mardawa Kraton wong gaya Yogyakarta lakon Sri Suwela. Yogyakarta. M.S.W. A4. Jalinan keselarasan hubungan itu menyangkut motif gerak dengan pola lantainya, bentuk Kagungan Dalem Serat Kandha Ringgi Tiyang gerak dengan musik tari, dan irama gerak Lampahan Jaya Semedi Kalajengaken Sri serta ritme gerak dengan musik tarinya. Suwela. K.H.P. Kridha Mardawa Kraton Pengkajian jogèd Mataram tari Klana Alus Sri Yogyakarta. M.S.W. A5. Suwela juga bersinggungan dengan keindahan bentuk yang berpola. Hal ini sangat Lindsay, Jennifer. 1991. Klasik, Kitsch, dimungkinkan dari pencermatan total atau Kontemporer: Sebuah Studi Tentang wujud unity pada suatu penyajian berupa tari. Pertunjukan Jawa. Gadjah Mada University Pandangan semacam ini dapat disimpulkan Press, Yogyakarta pula bahwa tata hubungan yang terdapat di antara pola lantai dengan makna gerak tari, Meri, La. 1975. Komposisi Tari: Elemen-elemen antar elemen-elemen dasar tari yang Dasar. Terjemahan Soedarsono. Yogyakarta: mendasari konsep jogèd Mataram. Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta. Pengkajian sebuah konsep jogèd Mataram, dalam tari dengan demikian harus Pudjasworo, Bambang. 1982. Dasar-dasar ditekankan pada aspek apa saja yang dilihat, Pengetahuan Gerak Tari Alus Gaya dinikmati, dinilai, dan dipahami sebagai suatu Yogyakarta. Akademi Seni Tari Indonesia keutuhan atau unity tarian tersebut. Yogyakarta, Yogyakarta. Pemahaman itu tercipta meliputi wiraga, wirama, dan wirasa yang dijiwai oleh sawiji, ______. 1982. Studi Analisis Konsep greged, sengguh, dan ora mingkuh. Hal ini Estetik Koreografis Tari Bedaya dapat terlihat pada pola baku gerak tari, pola Lambangsari. Akademi Seni Tari Indonesia lantai, urutan gerak, musik tari, tata rias, dan Yogyakarta, Yogyakarta. tata busana, serta pola-pola tata hubungan yang melatarbelakangi suatu genre tari. Sedyawati, Edi. ed. 1986. Pengetahuan Elementer Berdasarkan uraian di atas, pengkajian Tari dan Beberapa Masalah Tari. Direktorat tari Klana Alus Sri Suwela gaya Yogyakarta Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian dapat dipahami secara kognitif maupun Jakarta, Departemen Pendidikan dan normatif. Secara normatif, menjelaskan Kebudayaan, Jakarta. kehadiran tari Klana Alus Sri Suwela tersebut melalui penentuan dan penerapan pola-pola Soedarsono, [R.M] ed. al. 1977. Kamus Istilah yang diacu sebagai aspek pertunjukan tari. Tari dan Karawitan Jawa. Proyek Penelitian Secara kognitif karena kaitan catatan masa Bahasan dan Sastra Indonesia, Jakarta. lampau tari Klana Alus Sri Suwela yang melatarbelakangi pembentukan tari tersebut ______.2000. Masa Gemilang dan sebagai genre tari tunggal. Memudar Wayang Wong Gaya Yogyakarta. Terawang Press, Yogyakarta

______.2003. Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

15 Supriyanto (Tari Klana Alus Sri Suwela Gaya Yogyakarta ISSN: 1858-3989 Perspektif Joged Mataram)

Soeryobrongto, G.B.P.H. 1981. “Wayang Orang ______. 1981. “Ragam Tari Klasik Gagrag Mataram”, dalam Fred Wibowo (ed), Gaya Yogyakarta”, dalam Fred Wibowo (ed), Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Dewan Kesenian Propinsi DIY, Yogyakarta. Dewan Kesenian Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta. Sumaryono. 2003. Restorasi Seni Tari dan Transformasi Budaya. Lembaga Kajian ______. 1981. “Penjelasan Tentang Pendidikan dan Humaniora Indonesia, Pathokan Baku dan Penyesuaian Diri”, dalam Yogyakarta. Fred Wibowo (ed), Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Dewan Kesenian Daerah Wardhana, Wisnoe. R.M., 1981. “Tari Tunggal, Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta. Beksan dan Tarian Sakral Gaya Yogyakarta”, dalam Fred Wibowo (ed), Mengenal Tari Wibowo, Fred. 2002. Tari Klasik Gaya Klasik Gaya Yogyakarta. Dewan Kesenian Yogyakarta. Yayasan Bentang, Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta.

16 Volume 3 No. 1 Mei 2012 ISSN: 1858-3989 p. 17-23

PELAJARAN TARI : IMAGE DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK

Oleh : Kuswarsantyo Dosen Juruan Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta

Tari adalah salah satu cabang seni yang dalam ungkapannya menggunakan bahasa gerak tubuh. Untuk mencapai kualitas kepenarian yang bagus, seorang penari dituntut penguasaan aspek wiraga, wirama dan wirasa. Namun ternyata tidak hanya cukup penguasaan tiga aspek tersebut agar pemahaman tari secara utuh dipahami. Aspek di luar teknis sebenarnya lebih banyak manfaat yang bisa kita peroleh jika kita mempelajari tari secara kontekstual. Permasalahan seputar pelajaran tari di sekolah umum (baca : SD, SMP, dan SMA) sebenarnya berkutat pada masalah image orang terhadap pelajaran tari yang dipandang sebelah mata. Pertanyaan yang pantas kita ajukan kepada para pelaku dan pendidik seni tari adalah : mampukah kita merubah image tari dari pemahaman tekstual menjadi kontekstual? Manfaat yang dapat kita peroleh dari pemahaman secara konteksualitas tentang tari sebenarnya akan memberikan kontribusi yang signifikas terhadap pembetukan karakter siswa yang mempelajari. Kedalaman isi dan makna di balik pelajaran tari inilah yang selama ini belum banyak dikupas pendidik seni tari di sekolah umum. Dengan pemahaman kontekstualitas itu maka anggapan tari sebagai pelajaran praktik ansich akan terkikis. Tari adalah pelajaran yang memiliki kompleksitas permasalahan terkait dengan masalah sosial, budaya, antropologi, politik hingga permasalahan global. Untuk itulah belajar tari yang benar adalah belajar secara kontekstual dengan mempertimbangkan apa yang ada dalam tari itu secara utuh, sehingga kita tidak hanya terpancang pada aspek teknik dalam olah wiraga saja. Pemahaman nilai-nilai filosofi joged mataram menjadi penting artinya, karena akan memberikan manfaat untuk pembentukan karakter bagi anak yang mempelajarinya Konsep sawiji, greget, sengguh dan ora mingkuh dapat diterapkan dalam kehidupan sehari- hari, karena prinsip tersebut merupakan dasar untuk melaksanakan kehidupan yang oleh Suryobrongto disebut dengan way of life.

I. PENGANTAR proporsional. Pelajaran tari di sekolah umum yang diberikan sejak Sekolah Dasar hingga Belum banyaknya masyarakat yang Sekolah Menengah Atas, masih berstatus paham tentang nilai-nilai di balik pelajaran sebagai pelajaran ekstra di sebagian besar tari adalah salah satu penyebab mengapa sekolah. Kalaupun ada sekolah yang pelajaran tari di sekolah umum (baca: SD, menerapkan pelajaran tari sebagai bagian SMP, dan SMA) masih dipandang sebelah pelajaran wajib tempuh, ini karena kepala mata. Hal ini ditambah dengan persepsi sekolah yang menjabat sangat peduli dengan mayoritas guru di sekolah terhadap seni tari seni. Ironisnya belum banyak kepala sekolah masih sebatas pada pelajaran praktik yang di wilayah kota Yogyakarta atau DIY hanya bermodalkan sampur dan kaset. umumnya yang peduli dengan pelajaran seni Dampaknya, pelajaran tari dianggap tidak tari. penting dan hanya dijadikan pelajaran Kenyataan ini menjadi keprihatinan kita ekstrakurikuler yang sifatnya tidak wajib bersama, khususnya guru-guru tari yang (pilihan). Sungguh memprihatinkan jika kita mayoitas telah lulus sertifikasi. Dengan melihat perlakuan tersebut di sekolah umum persyaratan administratif yang mewajibkan yang mendiskreditkan pelajaran tari. seorang guru harus mampu mengajar tiap Permasalahan ini telah berlangsung sejak minggu minimal 24 jam, menjadikan guru tari lama, dan hingga kini masih belum muncul kalang kabut. Kebijakan sekolah untuk adanya tanda-tanda pelajaran tari di sekolah memanfaatkan guru tari mengajar bidang lain umum mendapatkan tempat yang adalah alternatif yang “dipaksakan”, karena

17 Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap ISSN: 1858-3989 Pembentukan Karakter Anak)

tidak sesuai dengan kompetensi keahliannya. II. SENI TARI Bagaimana dengan hasil yang dicapai oleh guru tari ketika harus mengajar bahasa Jawa Berkaitan dengan upaya untuk atau bahasa Indonesia? Ini tentu saja akan menjadikan tari sebagai media untuk menimbulkan masalah baru di dunia membentuk jatidiri, perlu kiranya kita paham pendidikan kita. Namun itu adalah urusan terlebih dulu dengan apa yang dimaksud tari bidang kurikulum untuk bisa mengatasinya. dalam konteks ini. Ada tiga kategori tari yang Tugas berat yang harus mampu dikenal masyarakat berdasarkan latar dibuktikan oleh guru tari di sekolah yang belakang penciptaanya. Ada tiga kategori mayoritas ditempati alumni UNY dan ISI, yang bisa disebutkan di sini yakni, tari klasik adalah bagaimana meyakinkan minimal yang berbasis di kraton. Kedua tari kepada sesama guru di sekolah itu, Kepala kerakyatan, adalah tari yang berkembang di Sekolah, dan pada masyarakat umumnya wilayah pedesaan. Dan ketiga, tari modern tentang hakikat pelajaran seni tari. Ada kontemporer yang menjadi konsumsi beberapa hal yang terlupakan di mata guru tari masyarakat di perkotaan dengan gaya atau di sekolah yang hingga saat ini masih “malas” trend kekinian. Dalam konteks pembahasan untuk mengembangkan kemampuan dirinya di ini kita akan mengambil seni tari klasik yang luar masalah psikomotorik. Dua aspek lain berbasis di kraton. Mengapa tari klasik yang yakni kognitif dan afektif belum optimal kita jadikan rujukan? Ini terkait dengan nilai- diterapkan. Apalagi setelah menerima nilai yang ada di dalam tari klasik yang secara sertifikasi, bukan untuk kepentingan universal sebenarnya memiliki muatan peningkatan kemampuan profesional, tetapi edukatif yang sangat luar biasa dan dapat justru untuk merubah gaya hidup yang tidak diterapkan untuk berbagai kepentingan. Tidak ada relevansinya dengan kompetensi bidang bermaksud mengenyampingkan dua kategori keilmuannya. Ini adalah satu ironi yang tari lain, tari klasik dipilih karena memiliki sebenarnya bisa menjadi bumerang bagi guru kedekatan dengan prinsip dan pola hidup yang akan memunculkan image buruk manusia yang oleh Suryobrongto disebut terhadap pelajaran tari ke depan. sebagai way of life (Suryobrongto, 1981 : 23) Permasalahan ini tentu saja berpulang pada Tari Klasik Gaya Yogyakarta sering juga nurani guru tari yang selama ini sudah disebut dengan joged méataram. Hal ini mengikrarkan dirinya menjadi pendidik karena latar belakang historis, di mana professional. penciptaan tari klasik gaya Yogyakarta lebih Bagaimana langkah ke depan untuk dapat dekat dengan Kraton sebagai pusat memaksimalkan pelajaran tari di sekolah, Kebudayaan yang ketika itu merupakan sehingga tidak lagi dianggap sebelah mata patronase seni istana. Tari klasik gaya sebagai pelajaran praktik ansich. Mengingat Yogyakarta merupakan tarian yang bersifat pentingnya misi di balik pelajaran tari, abstrak dan simbolik, yang mengandung sebenarnya guru-guru tari masih harus banyak maksud tertentu. Tari klasik merupakan belajar tentang nilai-nilai filofosi dan edukasi permainan garis atau lijnenspel yang sekilas yang terkait dengan karya tari yang diajarkan. jika dilihat tidak ada artinya, akan tetapi Pemahaman guru tari terhadap makna di balik setelah di stilering ternyata terdapat pelajaran tari ini yang perlu digali sebagai simbolisasi dari karakter yang dikandung upaya untuk meyakinkan pada steakholder dalam ragam-ragam tari. Kompleksitas ragam minimal di tingkat sekolah, sesama guru, dan dan unsur yang ada dalam tari klasik gaya masyarakat secara umum. Upaya yang harus Yogyakarta itu memberikan daya tarik bagi dilakukan guru-guru tari untuk memberikan orang yang ingin belajar tari secara holistik. penyadaran kepada masyarakat bahwa Pemahaman tari klasik secara utuh belum pelajaran tari dapat dijadikan media untuk banyak diketahui masyarakat, termasuk membentuk jatidiri menuju insan yang sebagian guru tari yang baru belajar pada berkarakter, adalah satu tuntutan yang tataran teknik saja. Namun kedalaman nilai- mendesak segera ditemukan solusinya. nilai filosofi yang ada di balik tari klasik gaya Yogyakarta, belum banyak orang paham. Ada beberapa hal yang penting dipahami secara

18 Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap Pembentukan Karakter Anak) ISSN: 1858-3989

keilmuan tentang tari klasik gaya Yogyakarta. yang bernilai dengan yang baik. Nilai pada Secara teknik tari gaya Yogyakarta memiliki dasarnya berhubungan dengan kebaikan yang aturan baku yang harus dipenuhi seperti terdapat pada inti sesuatu hal. Dengan wiraga, wirama, dan wirasa. Sedangkan demikian nilai itu merupakan kadar relasi untuk pemaknaan dari sudut pandang positif antara sesuatu hal dengan orang semiotik, tari memiliki beberapa simbol yang tertentu. Beberapa nilai itu antara lain nilai jika dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan praktis, nilai sosial, nilai religius, nilai susila akan menjadi lebih bermakna seperti tersirat atau norma, nilai kultural, nilai estetis, dan dalam gerak pucang kanginan, ngenceng nilai yang bersifat konsepsional. Nilai dapat encot, lénggot raga, dan sebagainya. saling berkaitan membentuk suatu sistem dan Dari makna di balik tari klasik gaya antara satu dengan lain koheren serta Yogyakarta ini, sebenarnya secara fungsional mempengaruhi segi kehidupan manusia. tari gaya Yogyakata memiliki fungsi dan tujuan sebagai media untuk mengembangkan IV. Terwujudnya Jatidiri Melalui sikap dan kemampuan agar siswa mampu Pendidikan Tari berkreasi dan peka dalam berkesenian. Oleh karenanya, secara rasional pelajaran Konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan seni di sekolah didasarkan pada kebudayaan melatarbelakangi konsepsinya di hal-hal sebagai berikut : bidang pendidikan, yang antara lain 1. Pendidikan seni memiliki sifat mendefinisikan pendidikan sebagai berikut: multilingual, multidimensional, dan “Pendidikan adalah usaha kebudayaan yang multikultural bermaksud memberi bimbingan dalam hidup 2. Pendidikan seni memiliki peranan dalam tumbuhnya jiwa raga anak, agar dalam garis pembentukan pribadi siswa yang kodrat pribadinya serta pengaruh harmonis dalam logika, rasa estetis dan lingkungannya mereka memperoleh kemajuan artistiknya serta etikanya dengan lahir-batin menuju kearah adab kemanusiaan” memperhatikan kebutuhan dan (Ki Hadjar Dewantara I, 2004, 342). Lebih perkembangan anak untuk mencapai lanjut Ki Hajar Dewantara mengemukakan kecerdasan (EQ), kecerdasan intelektual nilai-nilai kehidupan yang berbunyi “Ing (IQ), kecerdasan adversitas (AQ), dan Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun kreativitas (CQ), serta kecerdasan Karso, Tut Wuri Handayani”. Apa yang spiritual dan moral. terkandung dalam nilai-nilai tersebut adalah 3. Pendidikan seni memiliki peranan dalam keteladanan, berkarya, dan dukungan. Dengan pengembangan kreativitas, kepekaan demikian, nilai-nilai universal ini berlaku di rasa, dan inderawi serta terampil dalam mana pun dan bagi siapapun, tidak dibatasi berkesenian melalui pendekatan belajar oleh Barat dan Timur. Instruksi Presiden dengan, belajar melalui seni, dan belajar (Inpres) Republik Indonesia No. 1 Tahun tentang seni (Depdiknas, 2001 :7) 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional, berisi III. Konsep Nilai dalam Tari Klasik penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif yang didasarkan pada Nilai adalah suatu penghargaan atau nilai-nilai budaya bangsa. Perubahan kualitas terhadap sesuatu hal yang dapat kurikulum di Perguruan Tinggi dan di Sekolah menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang. harus memperhatikan instruksi presiden ini. Sesuatu itu dianggap bernilai bagi seseorang Bagaimana memasukan nilai-nilai dalam karena sesuatu itu menyenangkan (pleasant), kurikulum atau pada pembelajarannya. Ini memuaskan (satisfying), menarik (interest), adalah kesempatan para guru kesenian di berguna (useful), menguntungkan (profitable) sekolah untuk menerapkan sistem atau merupakan satu keyakinan (bilief) pembelajaran secara kontekstual. (Daroeso, 1988 : 20). Pendapat lain Berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan dikemukakan Mardiatmaja (1986 ; 54), nilai dalam belajar seni, Ki Hajar Dewantara menunjuk satu sikap orang terhadap sesuatu (1937 : 173) mengatakan bahwa: hal yang baik. Ada kaitan yang erat antara

19 Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap ISSN: 1858-3989 Pembentukan Karakter Anak)

pengajaran gendhing itu tidak saja untuk V. Mengimplementasikan Filososi Joged memperoleh pengetahuan dan sebagai sarana membentuk karakter kepandaian hal gendhing, namun perlu anak juga bagi tumbuhnya rasa kebatinan, karena selalu menuntun ke arah rasa Untuk mengimplementasikan filosofi kewiramaan (perasaan ritmis)… rasa joged mataram sebagai sarana pembentuk keindahan (perasaan estetis)…rasa karakter anak, terlebih dahulu diperlukan kesusilaan (perasaan etis) (p. 173). pemahaman mendasar terkait dengan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku tersebut Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah ; kejujuran, keberanian, hormat, rasa kebatinan ini dapat diperumpamakan para tanggung jawab dan adil merupakan nilai-nilai pemimpin agama serta gereja yang dalam kehidupan yang harus dimiliki oleh menggunakan musik untuk membuka rasa setiap manusia. Dengan kata lain, pendidikan keagamaan dan juga sebagai pengasah budi karakter identik dengan pendidikan nilai-nilai (pembentukan watak). Selain itu, Dewantara yang telah berlangsung setiap hari. menjelaskan bahwa tari dapat mengajarkan Black seperti dikutip Masunah (2005:31) pangkal kesopanan dan keadaban (moral), berpendapat bahwa pendidikan karakter berisi serta keteraturan. Dengan kata lain, musik dan tiga elemen yaitu: tari sangat berkaitan dengan keteraturan ritme 1. A common core of shared or universal atau wirama yang akan berdampak pada suatu values keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan, 2. The belief that there are rational, perasaan senang, dan bahagia. Dewantara juga objectively valid, universally accepted berpendapat bahwa pengajaran gendhing qualities to which people of all nations, (musik) atau seni adalah suatu upaya creeds, races, socio-economic statuses, penanaman rasa bangga akan kekayaan and ethnicity subscribe budaya bangsa yang indah dan luhur. 3. The belief that traits (qualities) transcend Pembelajaran nilai yang dikemukakan oleh political persuasions as well as religious Dewantara tersebut merupakan dampak atau and ethnic differences. manfaat belajar seni, nilai-nilai sendiri yang tidak secara langsung direncanakan untuk Tiga elemen di atas menekankan pada diajarkan. nilai-nilai universal dan kepercayaan terhadap Juju Masunah (2011 : 31) mencontohkan keragaman dan keberbedaan. Lebih jauh pendekatan pembelajaran nilai-nilai yang diungkapkan bahwa untuk memasukkan sekaligus belajar seni pada mata kuliah Tari pendidikan karakter ke sekolah, kewajiban Pendidikan. Dalam konteks ini, seni sebagai pertama sekolah adalah mengidentifikasi alatnya dan metode adalah cara mencapai nilai-nilai universal yang akan menjadi fokus tujuannya. Tari pendidikan bukanlah Tari pada program dan membuat sebuah komitmen Bentuk atau Tari Kreatif, akan tetapi sebuah untuk mengajarkan nilai-nilai tersebut. Jika pendekatan pembelajaran tari yang dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada dalam mengutamakan kreasi dan apresiasi. Seperti tari semua aspek tersebut dapat menjadi halnya standar kompetensi yang dirumuskan rujukan. Misalnya keberanian ini akan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan berhubungan dengan rasa percaya diri ketika (KTSP) tahun 2006, yaitu ekspresi dan seorang akan menari. Kedua saling percaya apresiasi. ini identik dengan sengguh yang merupakan Dengan membawakan sebuah tarian, bagian inti dari prinsip joged mataram. siswa telah dididik untuk berbuat sesuatu Selanjutnya untuk menjabarkan dengan penghayatan penuh. Kedua, terkait bagaimana penerapan nilai-nilai filosofis dengan apresiasi terhadap karya orang lain joged mataram sebagai media untuk yang harus dilakukan untuk menanamkan membentuk karakter anak dapat diawali dari sikap menghargai karya orang lain dapat pemahaman non teknis ketika orang sedang diterapkan ketika materi sebuah tarian akan atau akan belajar menari. Dari sisi inilah nilai- diajarkan kepada siswa. nilai mendasar dari sebuah proses untuk

20 Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap Pembentukan Karakter Anak) ISSN: 1858-3989

membentuk budi pekerti itu mulai dapat yang dimaksud adalah kehalusan budi pekerti disisipkan, termasuk cara penyampaian yang yang meliputi cara berikir, pandangn hidup sesuai dengan karakteristik materi tari yang dalam kaitannya dengan kepercayaan terhadap akan disampaikan. Proses berjalan menuju ke Tuhan Yang Maha Esa. Keteraturan tempat pertunjukan, tata cara naik ke atas melaksanakan kedisiplinan yang ketat pasti pentas, dan bagaimana bersikap terhadap guru akan berakibat seseorang percaya diri. Dengan yang sedang mengajar, adalah bagian dari bekal percaya diri inilah, jika mampu proses pembentukan karakter sebelum diperdalam seseorang melalui pelajaran tari memasuki materi tari yang diajarkan. Dari gaya Yogyakarta, maka orang akan lebih materi tari yang diajarkanpun dapat dijadikan banyak mendapatkan ilmu dari nilai-nilai di media untuk membentuk perilaku siswa, balik tari itu dari pada sekedar teknik menari ketika materi itu diberikan deskripsi, makna yang benar. simbolik, serta nilai-nilai yang terkandung di Tahap berikut adalah menerapkan nilai- dalamnya. nilai filosofis joged mataram dalam Semua aspek tersebut dapat diuraikan membentuk karakter anak, dapat dijabarkan sebagai media untuk membentuk karakter dari prinsip sawiji, greget, sengguh dan ora anak, karena makna di balik sebuah tarian itu mingkuh yang secara lengkap dapat dilihat sendiri merupakan pendidikan batin yang dalam tabel berikut ini. tertuju pada kehalusan jiwa. Pendidikan batin

No Aspek Joged Deskripsi Prinsip perilaku Keterkaitan dengan Mataram karakter anak 1 Sawiji Wujud untuk selalu Pemahaman, Orang dituntut untuk konsentrasi dalam konsentrasi, konsentrasi penuh dalam menghadapi segala kesungguhan, menghadapi segala hl kegiatan ketekunan agar tidak melakukan kesalahan. 2. Greget Ungkapan dinamika dalam Kesungguhan, Dinamika dalam kehidupan yang harus kemauan, ketekunan kehidupan harus menjadi dilalui manusia dasar untuk memahami sesuatu 3. Sengguh Kepercayaan diri manusia Pemahaman, Sikap yang harus dalam segala situasi anpa kesungguhan, dikedepankan oleh setiap harus menyongbongkan ketekunan manusia dalam diri menghadapi segala situasi. Jangan cepat puas sebelum apa yang diperoleh itu jelas. Jangan merasan bias padahal tidak bias. Jangan merasa lebih baik dari pada teman lainnya 4. Ora mingkuh Sikap pantang menyerah Kemauan, Jangan menyerah untuk menggapai sebuah kesungguhan, sebelum dicoba. cita cita ketekunan Mempelajari sesuatu tentu akan menghadapi cobaan

Dari tabel di atas memberikan keyakinan menanamkan nilai-nilai edukatif, dalam bahwa apa yang ada di dalam joged mataram, rangka pembentukan budi pekerti anak. Dari ternyata dapat diimplementasikan ke dalam hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya kehidupan sehari hari sebagai media untuk keterkaitan yang signifikan yang mampu

21 Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap ISSN: 1858-3989 Pembentukan Karakter Anak)

memberi keyakinan kita bahwa aspek filosofis kehidupan yang tidak terlihat seperti hormat, joged mataram dapat diterapkan sebagai peduli, tanggungjawab, cinta kasih, kejujuran, media pembentukan karakter anak. keadilan dan demokrasi. Selain itu konsep filosofis joged Untuk itulah belajar tari yang benar mataram dapat dipahami sebagai dasar adalah belajar secara kontekstual dengan pendidikan yang penerapannya dapat mempertimbangkan apa yang ada dalam tari digunakan untuk membentuk karakter anak. itu secara utuh, sehingga kita tidak hanya Hal tersebut terdapat di dalam konsep dasar terpancang pada aspek aspek teknik praktis yang tertuang dalam prinsip wirasa sebagai dalam olah wiraga saja. Pemahaman nilai- syarat belajar tari. Pengolahan rasa di sini nilai filosofi joged mataram menjadi penting lebih banyak menekankan pada aspek mental, artinya, karena akan memberikan manfaat di mana rasa percaya diri harus untuk pembentukan karakter bagi anak yang ditumbuhkembangkan sejak dini. Berolah rasa mempelajarinya Konsep sawiji, greget, dalam konteks umum tidak hanya dipahami sengguh dan ora mingkuh dapat diterapkan sebagai penguasaan atau penjiwaan karakter dalam kehidupan sehari-hari, karena prinsip seperti ketika menari. Namun penguasaan rasa tersebut merupakan dasar untuk melaksanakan lebih memiliki makna yang universal dan kehidupan yang oleh Suryobrongto disebut dapat diterapkan dalam pendidikan karakter dengan way of life. anak. Dengan pemahaman secara kontekstual Sal Murgiyanto dalam bukunya Tradisi itu maka image tentang pelajaran tari yang dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di selama ini dipandang hanya sebagai pelajaran Indonesia menjelaskan bahwa, pendidikan praktik akan terkikis. Kini sudah saatnya kesenian sangat penting sebagai pembentuk dibuktikan bahwa di balik pelajaran tari watak dan mental anak. Pendidikan dan terdapat nilai-nilai yang dapat diterapkan pengalaman tari memberikan manfaat secara dalam kehidupan sebagai sarana membentuk pribadi, sosial, kebudayaan, maupun jatidiri. Oleh karena itu perlu dibangun sistem kreativitas. Seni tari seperti cabang seni pendidikan yang dapat mengarahkan guru lainnya, memberikan kesenangan dan untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan kegembiraan pada pelakunya. Gerakan tari melalui pelajaran tari. dilakukan oleh seluruh tubuh secara intelektual, emosional, fisikal,tari merupakan DAFTAR RUJUKAN sarana ideal untuk menumbuhkan kesadaran diri, perkembangan diri pada anak anak (Sal Black, F.B., 2005. Democratic Practices as Murgiyanto, 2004 : 152). Merunut dari Manifested through Character Education. In pendapat Murgiyanto, kini semakin jelas Pearl, Art & Pryor, Caroline R. Democratic. bahwa tari klasik gaya Yogyakarta dapat Eds. Practices in Education: Implication for menjadi media untuk pendidikan anak. Teacher Education. A Division of Rowman & Litlefield Publishers, Inc., Maryland, U.S.A. VI. Kesimpulan Daroeso, 1988. Konsep Nilai dalam Pendidikan. Berdasarkan pada uraian tentang Kanisius, Yogyakarta. pemanfaatan nilai-nilai filosofis joged mataram sebagai media untuk membentuk Depdiknas, 2001, Kurikulum Berbasis Kompetensi karakter anak. Pendidikan karakter adalah Mata Pelajaran Pendidikan Seni SLTP. pendidikan nilai-nilai. Untuk membangun Depdiknas, Jakarta. bangsa yang berkarakter di tengah pluralitas budaya diperlukan guru yang memahami, ______, 2002, Pendidikan Kontekstual mendalami, menghayati, dan (CTL). Depdiknas, Jakarta. mengimplementasikan nilai-nilai kehidupan, sehingga guru dapat mengajarkan nilai-nilai Kussudiardja, Bagong, 1992. Dari Klasik hingga bersamaan dengan mengajarkan materi seni Kontemporer. Padepokan Press, Yogyakarta. kepada siswa. Nilai dalam seni tidak hanya nilai estetis yang terlihat, tetapi nilai-nilai

22 Kuswarsantyo (Pelajaran Tari : Image dan Kontribusinya Terhadap Pembentukan Karakter Anak) ISSN: 1858-3989

Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1994. Karya ______, 2010. “Pendidikan Multikultural Ki Hadjar Dewantara. Percetakan Offset dan Demokrasi”, dalam Narawati dan Tamansiswa, Jogjakarta Masunah, J. Eds. Quo Vadis Seni Tradisional V: Meningkatkan Masunah Juju, 2012. “ Peranan Pendidikan Seni Dalam Konteks Pluralitas Budaya Untuk Murgiyanto, Sal, 1993. Tradisi dan Inovasi : Membangun Bangsa Yang Berkarakter” Beberapa Permasalahan Tari di Indonesia. dalam Kuswarsantyo, ed.al. Greget Institut Kesenian Jakarta, Jakarta. Jogja. Bale Seni Condroradono, Yogyakarta. Suryobrongto, 1981. Mengenal Tari Klasik gaya ______, 2011. “Konsep dan Praktik Yogyakarta, Editor Fred Wibowo. Dinas Pendidikan Multikultural di Amerika Serikat Kebudayaan Propinsi DIY, Yogyakarta. dan Indonesia” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan. pp. 298-306. Jilid 17, Nomor 4, Februari 2011.

23 Volume 3 No. 1 Mei 2012 ISSN: 1858-3989 p. 24-35

SISTEM PEWARISAN PENARI ROL DALAM WAYANG ORANG PANGGUNG

Dr. Hersapandi,SST.,MS. Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta Email: hersapandi.17@gmail,com

ABSTRACT The system of inheritance in the puppet stage appears to face a popular issue on the values of professionalism that demands self-discipline and commitment to wrestle in total. Inheritance takes place in two categories, namely: the first category that the inheritance according to the direct lineage or a child of the dancer roller. The second category, the inheritance of acquired dancer roller which is not the biological parent, but as a senior where he played the puppet people. Although they were aware that the dancer roller is never created because it is considered as a replacement actor rivalry. A top dancer is an individual who has a mastery of knowledge and the quality of the high technical skills, and be able to incarnate into a figure that was delivered. The top dancer transmission regeneration in the context of the puppet stage is a must propesional profession in building a public figure image as an iconic of audience appeal.

Keywords: top dancer, professional, icons appeal, inheritance

ABSTRAK Sistem pewarisan dalam wayang orang panggung populer tampaknya dihadapkan suatu permasalahan tentang nilai-nilai profesionalisme yang menuntut adanya disiplin diri dan komitmen untuk menggeluti secara total. Pewarisan berlangsung dalam dua kategori, yaitu: kategori pertama bahwa pewarisan menurut garis keturunan langsung atau anak kandung penari rol. Kategori kedua, yaitu pewarisan yang didapatkan dari penari rol yang bukan orang tua kandung, tetapi sebagai seniornya di tempat ia bermain wayang orang. Meskipun disadari bahwa penari rol tidak pernah menciptakan aktor pengganti karena dianggap sebagai rivalitas. Seorang penari rol adalah individu yang memiliki kualitas penguasan pengetahuan dan keterampilan teknik yang tinggi, serta mampu menjelma ke dalam tokoh yang dibawakan. Transmisi kaderisasi penari rol dalam konteks wayang orang panggung propesional adalah suatu keharusan profesi dalam membangun pencitraan figur publik sebagai ikon daya tarik penonton.

Kata kunci: penari rol, profesional, ikon daya tarik, pewarisan

I. Latar Belakang Masalah meniru sama sekali tergantung dalam konteks sosial atau sesuai ' pedagogis alami‟. Berbicara tentang sistem pewarisan Selektifitas tindakan mereka yang cenderung manusia, maka pertanyaan pokok adalah meniru, mereka muncul untuk menunjukkan apakah manusia memiliki sistem-tiruan apresiasi terhadap sifat disengaja model berbasis mekanisme warisan yang berfungsi tindakan dan struktur kausal dari masalah evolusi transmisi fenotipe perilaku andal dari yang itu diterapkan. generasi ke generasi. Untuk memiliki (http://rstb.royalsocietypublishing.org/content/ kekuatan evolusioner dari sistem warisan, 364/1528/2429.full). Sifat meniru bawaan dan mekanisme berbasis imititasi harus memenuhi unik pada manusia dalam konteks sosial berbagai tuntutan persyaratan. Mungkin adalah suatu mekanisme pembelajaran dengan kekayaan budaya manusia karena kemampuan menyerap berbagai informasi tentang meniru bawaan dan unik? Kualitas manusia pengetahuan dan keterampilan teknik yang

24 Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

pada gilirannya membentuk karakter pribadi grup itu dapat hancur karena arogansi penari individu. Ia sebagai individu yang memiliki rol (ahersapandi, 2011: 143). Dominasi intelejensi dan integritas kualitasnya otoritas ini tentu memiliki kekuatan yang ditentukan oleh seperangkat tata nilai dari melahirkan suatu kharisma karena potensi diri yang berproses dan dibesarkan ketokohannya. Menurut Weber, keberhasilan oleh lingkungannya. agen menjadi faktor penentu hal-hal yang ia Fenomena penari rol sebagai agen adalah kehendaki (Weber, 1946: 295). Suatu individu aktor yang memiliki kharisma yang keberhasilan aktor merupakan dasar dibangun dari profesionalisme kesenimanan pembentukan kekuatan yang berujung pada yang sempurna, baik secara fisik atau lahir kharisma dalam menjaga nilai-nilai yang menyangkut kualitas keterampilan profesionalisme berkesenian. Menurut teknik maupun secara psikis atau batin yang Waters, variasi kekuatan itu mencakup: (1) menyangkut kualitas spiritualitas. daya tarik yang dimiliki aktor; (2) sejumlah Keseimbangan kualitas kepenarian penari rol distribusi kekuatan yang tersebar atau adalah sosok seniman yang memiliki tingkat terpusat; (3) lingkup kekuatan yang dibatasi kemampuan pengetahuan dan keterampilan aktivitas khusus, dan (4) daerah kekuatan yang tinggi dengan dibekali ilmu kebatinan yang dibatasi oleh kelompok yang yang memadahi untuk membentengi diri subordinatif (Waters, 1994: 242). Kekuatan untuk menghadapi medan pergolakan sosial aktor dalam tradisi pemain wayang orang atau seperti adanya pengaruh jahat yang bersifat seniman tradisi lain, tampaknya harus gaib. Hal ini dilatarbelakangi fenomena penari diimbangi dengan laku ritual sebagai upaya rol tempo dulu yang cenderung mendapat penangkal pengaruh jahat dari luar. persaingan yang tidak sehat melalui kekuatan Laku ritual penari rol sebagai agen ialah gaib, sehingga yang bersangkut tiba-tiba tidak tindakan praktis sosial yang terkait dengan dapat menari dan berbicara di atas pentas kebutuhan spiritual aktor untuk mempertebal (Kies Slamet, wawancara tanggal 19 Juli rasa percaya diri dalam menjaga 2009). Dominasi otoritas dan kharisma penari kelangsungan hidup berkesenian. Di rol sebagai agen mendorong para juragan lingkungan seniman wayang orang, seorang wayang orang panggung populer berlomba- pemain secara individual cenderung lomba mendapatkan mereka guna kepentingan mengelola diri dengan memadukan bisnisnya. Oleh karena itu, maka dengan kemampuan keterampilan teknik dengan segala cara bahkan kurang terpuji juragan- kemampuan keterampilan spiritual, sehingga juragan wayang orang itu merekrut penari rol keseimbangan potensi diri itu diharapkan melalui janji tawaran bayaran lebih tinggi dan mampu menjaga profesionalisme. Penguasaan mendapatkan fasilitas yang lebih baik. olah batin ini merupakan bagian dari strategi Persaingan tidak sehat ini merupakan hal yang aktor dalam menjaga pencitraan diri, sehingga biasa terjadi, dan bagi seniman gejala ini yang bersangkutan memancarkan aura yang dimanfaatkan untuk memperbaiki mampu menggetarkan penonton. Di era kesejahteraan hidup keluarga dan sekaligus Rusman, tampaknya laku ritual dibutuhkan untuk mencari pengalaman baru berkesenian. oleh penari untuk menjaga keseimbangan Dominasi otoritas penari rol wayang lahir (fisik) dan batin (spiritual). Seperti orang melekat dalam diri aktor, yaitu dijelaskan oleh Slamet Wiyono (adik Rusman kualifikasi aktor yang memiliki kewenangan nomor 10 dari 11 bersaudara), bahwa Rusman dalam menentukan kebijakan artistik, ukuran belum begitu mantap dengan kemampuan dan kualitas estetis untuk kepentingan keterampilan tekniknya, sehingga secara perkembangan karya seni. Dominasi otoritas spiritual ia melakukan laku ritual di makam penari rol adalah kewenangannya dalam grup, Balakan di Langenharjo Sukoharjo untuk bahkan manager dan sutradara pun tidak mendapatkan pelarisan (Hresapandi, 2011: mutlak mempunyai kebijakan terhadap penari 179-180). Keterpaduan antara teknis dan rol. Spiritnya dapat memotivasi grup dan spiritual adalah kesempurnaan seorang penonton, sehingga tindakannya kalau tidak seniman wayang orang dalam menjual “adol terkendali menjadi kendala kekompakan kabisan”, terutama dalam menjaga stabilitas kelompok itu sendiri, yang memungkinkan berkesenian. Seperti diketahui, bahwa

25 Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)

persaingan antar penari rol merupakan Sistem pewarisan sebenarnya tidak hanya fenomena zamannya sebab ketika itu tidak terbatas pada pengetahuan dan keterampilan jarang mereka mencelakakan seniman lain teknik yang tinggi serta kemampuan dengan cara menjatuhkan lewat kekuatan membalikkan karakter tokoh yang dibwakan, gaib. Misalnya, penari rol tiba-tiba tidak tetapi juga pemakaian nama tokoh senior yang mampu bersuara ketika sedang berdialog atau mewarisi. Misalnya, pemakaian nama nembang, dan penari rol secara mendadak Harjowibaksa merupakan bentuk tidak mampu menari di atas pentas yang nunggaksemi1 dari nama penari rol pemeran berakibat fatal pada penampilannya (Ibid.) tokoh Gathutkaca wayang orang Sriwedari Dalam sistem pewarisan penari rol yaitu Harjowugu Wibaksa. Hal yang menarik wayang orang tampaknya berlaku sistem dari nunggaksemi ini adalah suatu bentuk magang, yaitu proses transmisi secara longgar transmisi kader penari senior kepada penari bagi penari yang dipandang memiliki junior sebagai aktualisasi nilai-nilai kualifikasi kemampuan keterampilan teknik kesenimanan dan pencitraan aktor. gerak dan vokal untuk memerankan tokoh Sayangnya, dalam wayang orang Sriwedari tertentu dalam wayang. Sistem magang dalam tradisi nunggaksemi hanya berjalan sekali wayang orang secara tradisi melakukan suatu dalam rentang waktu 101 tahun, sehingga metode pendidikan yang didasarkan pada ketiadaan transmisi ini berdampak pada aktivitas individu untuk melihat secara menurunnya kualitas aktor, terutama penari langsung suatu pertunjukan dan secara detail rol sebagai daya tarik dan ikon penonton. Hal mencatat. Kemudian aktor itu menirukan apa ini disebabkan oleh dua sebab, yaitu (1) yang dilakukan oleh penari senior dan kurang harmonisnya hubungan dengan menguasai semua perbendaharaan gerak, institusi keraton Kasunanan Surakarta sejalan vokal, dan tembang. Tahap paripurna adalah dengan kehilangan pamornya, dan (2) sifat aktivitas mengembangkan materi dominasi otoritas Rusman sebagai penari rol perbendaharaan gerak sesuai dengan yang mempertahan reputasinya sampai akhir membangun gaya pribadi aktor. hayatnya (Hersapandi, 2011: 5). Kesempurnaan penari rol ketika ia mampu Ironisnya, dalam wayang orang penari rol menampilkan gaya pribadi yang tidak menciptakan aktor pengganti karena dikembangkan berdasarkan pengalaman dianggap sebagai rivalitas. Artinya, secara belajar pada seniornya. Pola pewarisan dalam sistematik ia tidak mentrasmisikan sistem magang dipandang strategis dalam keahliannya secara langsung kepada mentransfer seluruh kemampuan aktor, yuniornya, sehingga ia mampu sehingga memungkinkan terjadinya mempertahankan superioritasnya sebagai kesinambungan regenerasi aktor. Substansi penari rol tak tertandingi di zamannya. Oleh sistem pembeljaran ini sesungguhnya mirip karena itu, intensitas proses pewarisan dalam dengan metode 3 N Ki Hadjar Dewantara, wayang orang sangat tergantung dari sikap yaitu Niteni, Nirokake, dan Nambahi. Niteni proaktif individu aktor, intelejensi dan adalah selalu memperhatikan sampai hal-hal integritas aktor sebagai pewaris aktif dalam detail, Nirokake adalah selalu mencontoh hal- lingkungan aktor. Di samping itu juga, hal yang dianggap bagus/hebat dsb, dan kualitas pewarisan ditentukan oleh bekal Nambahi yaitu menambah hal-hal yang pengetahuan dan keterampilan teknik aktor. dipandang bagus, sehingga menjadi the best. Misalnya, Rusman belajar menari dari guru (http://husnimuarif.wordpress.com/tag/eman- dan empu tari Kadipaten Mangkunegaran dan eman/). Belajar seni tradisi dan keterampilan Kasunanan Surakarta, antara lain guru Darmo kerajinan seperti batik, ukir, anyam dapat yang mengawali nelajar menari Rusman, dilakukan dengan menggunakan metode 3 N Demang Poncosewaka empu tari dari Pura atau 3 M yaitu Mengamati, Meniru, dan Mangkunegara (Rusini, 2003: 45-46). Mengembangkan yang digunakan dalam Pengalaman berkesenian menjadi faktor pembelajaran di Tamasiswa oleh Ki Hajar Dewantoro. Metode 3 N 1Dalam tradisi Jawa, pengertian nunggaksemi biasanya (http://eprints.uny.ac.id/3767/1/08Martono.pd dikenakan pada orang yang menggunakan nama ayahnya atau nama tokoh senior yang memiliki nilai karismatik, (lihat Rustopo, 2008: f). 292).

26 Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

penentu keberhasilan aktor dalam proses diperankan Harjowugu Wibaksa. Seperti pewarisan tradisi yang berdampak popularitas dikemukakan oleh Soemardjo Hardjoprasonto, sebagai figur publik yang menjadi daya tarik bahwa penampilan Rusman ketika dan ikon wayang orang. menggantikan Wugu Harjawibaksa memiliki Dalam berbagai kasus, bahwa munculnya kualitas yang mirif, terutama „gregetnya‟, penari rol baru datangnya terkadang tidak namun Rusman mampu menciptakan dirinya terduga-duga. Ia menggantikan seniornya sebagai Rusman, bukan Harjowugu. ketika berhalangan hadir karena berbagai Akhirnya, penampilannya sudah Gathutkaca alasan teknis seperti sakit, karena suatu tugas Rusman yang utuh yang sama sekali berbeda pribadi, atau alasan lain yang menyebabkan dengan Gathutkaca Harjowugu yang bersangkutan absen. Ketidakhadiran (Hardjoprasonto, 1997: 132). Kualitas seniornya ini tentu menjadi kesempatan yang kepenarian yang luar biasa ini, merupakan harus dimanfaatkan untuk membuktikan pencitraan aktor yang diidolakan para kualitas kesenimannya. Pembuktian kualitas penggemarnya, bahkan mampu menjadi idola kepenarian ini merupakan kondisi objetif yang Presiden Soekarno dan penari rol legendaris di memungkinkan dirinya benar-benar membuat zamannya. detak kagum penonton. Ukuran keberhasilan Fenomena pewarisan penari rol secara penari rol pengganti adalah apabila ia mampu garis besar dipilahkan menjadi dua, yaitu (1) merepresentasikan dirinya sebanding dengan penari rol yang berasal dari keturunan atau penari rol yang digantikan. Bahkan jika anak penari rol, (2) penari rol yang bukan memungkinkan, ia dapat mengungguli aktor berasal dari keturunan atau anak penari rol, seniornya dalam membawakan tokoh yang tetapi memiliki kelebihan secara pengetahuan dibawakan. Kesan yang ditangkap adalah dan keterampilan teknik yang tinggi, sehingga kualitas penampilan, baik aspek kualiats ia layak memiliki kualifikasi penari rol. keterampilan teknik gerak dan vokal maupun Pewarisan penari rol merupakan faktor penguasaan dramatikalnya. determinan yang menjadi dasar pembentukan kualitas aktor dalam rangka menjaga II. Sistem Pewarisan Penari Rol Wayang pencitraan dan reputasi pertunjukan. Bahkan, Orang kebijakan manajemen wayang orang panggung populer tempo dulu senantiasa Tiadanya penari rol yang handal dalam bergantung pada penampilan penari rol. wayang orang panggung populer masa kini Menurutnya, tanpa penari rol, maka sebenarnya dilatarbelakangi oleh lemahnya pertunjukan tidak laku dijual. Artinya, sistem pewarisan penari rol. Hal ini superior penari rol menjadi kata kunci disebabkan oleh dominasi otoritas penari rol keberhasilan sebuah pertunjukan profesional. yang tidak menciptakan aktor pengganti Oleh karena itu, pewarisan penari rol karena dianggap sebagai rivalitasnya. dipandang penting untuk mempertahankan Menariknya, penari rol baru muncul secara reputasi sebuah grup kesenian komersial. Di mendadak karena kekosongan atau Jepang salah satu negara modern yang masih ketidakhadiran penari rol. Sebagai pemeran menghargai seni tradisinya, tampaknya pengganti ada dua kemungkinan yang terjadi, memiliki tradisi sistem pewarisan pemain yaitu: kemungkinan ia berhasil dan bahkan bintangnya sebagai bentuk pencitraan aktor. kualitasnya melebihi aktor yang Misalnya, teater Kabuki yang masih digantikannya, atau kemungkinan ia gagal mempertahankan tradisi transmisi pemain karena tidak cukup memiliki kualitas bintang secara ketat, yakni (1) Ia harus kesenimanan yang mampu menciptakan daya keturunan pemain bintang, (2) Ia menjadi tarik penonton. Misalnya, kasus munculnya menantu anak pemain bintang, dan (3) Ia Rusman sebagai penari rol yang menjadi idola diangkat menjadi anak angkat pemain bintang penggemar wayang orang Sriwedari, (Himiko, wawancara pada tanggal 30 Januari sebenarnya merupakan faktor kebetulan yang 2010). Tradisi transmisi dari tokoh tua ke ketika itu ada kesempatan untuk main tokoh muda di lingkungan teater Kabuki menggantikan tokoh Gathutkaca yang merupakan strategi untuk menjaga spirit berkesenian terkait upaya pencitraan kesenian

27 Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)

itu dengan penonton sebagai basis sosial. individu yang mendukungnya tidak kuat Bentuk pencitraan itu dicerminkan oleh sikap (Soekanto, 1986: 258). maestro Kabuki dalam menciptakan pola tari Koesseno Brojo Kuncoro lahir 4 Juli dan akting yang khas, yang kemudian 1952 di Semarang adalah anak pertama dari diwariskan kepada keturunan-keturunannya seniman kondang wayang orang Ngesthi (Tati Narawati dan Soedarsono, 2005: 237). Pandawa Semarang, yaitu Koesni. Koesni Penciptaan tradisi pewarisan ini dipandang adalah penari rol dan sutradara terkenal penting dan terbukti menjadi kunci sukses wayang orang Ngesthi Pandawa Semarang. Ia pertunjukan teater Kabuki dan dicintai adalah anak tobong yang setiap hari bergelut masyarakat modern Jepang mutakhir. dengan seniman wayang orang, sehingga secara alami ia belajar dari lingkungan III. Penari Rol yang berasal dari budayanya, baik menyangkut pengetahuan Keturunan atau Anak Penari Rol tentang dunia pewayangan maupun keterampilan teknik gerak dan suara. Sebagai Fenomena anak tobong merupakan anak tobong ia demikian dekat dengan dunia peristiwa proses kesenimanan yang didapat pemanggungan wayang orang. Koesseno oleh para pemain wayang orang sebagai Brojo Kuncoro dikenal penari rol tahun 1970- keturunan atau anak penari rol. Dominasi an yang memiliki kualifikasi keaktoran baik otoritas penari rol melekat dalam diri aktor dan mumpuni. Ia lahir dan dibesarkan di yang diposisikan sebagai pemimpin budaya. lingkungan wayang orang Ngesthi Pandawa Dominasi otoritas dan kharisma yang melekat Semarang ketika masa pertumbuhannya di era pada individu aktor adalah mencerminan kebesaran nama Rusman Harjowibaksa parameter keunggulan kompetetif agen sebagai penari Gathutkaca. Kualitas sebagai seniman di papan atas. Predikat anak keaktorannya dibentuk oleh spirit berkesenian penari rol tentu memiliki kesempatan lebih di lingkungan seniman wayang orang Ngesthi untuk menyerap pengetahuan dan Pandawa Semarang, sehingga tidak keterampilan teknik dari orang tuanya. Sejak mengherankan apabila ia merupakan pewaris usia dini, anak, dewasa, dan orang tua dari aktif dari struktur dominasi otoritas dan aspek waktu senantiasa dapat belajar langsung kharisma Koesni. Duet permainan di atas dengan orang tuanya. Mulai bangun tidur, panggung selalu menjadi tontonan yang pagi, siang dan malam hari ia mendapat menarik dan ditunggu-tunggu oleh para kesempatan untuk berinteraksi dengan orang penggemarnya. Oleh karena itu, tidak tuanya. Proses perjalanan berkesenian ini mengherankan apabila BUMN Pertamina Unit membentuk karakter aktor sebagai individu IV Semarang secara rutin memborong kursi yang mampu menjadikan dirinya sebagai figur pertunjukan wayang orang Ngesthi Pandawa publik yang populer di zamannya. dengan catatan harus melibatkan pemain Pembentukan karakter penari rol sangat favoritnya, yaitu Koesni dan Koesseno. tergantung dari kualitas individu, intejensi, Misalnya untuk lakon ”Kikis Tunggarana”, dan integritas agen sebagai penari yang pemeran tokoh Boma harus Koesni dan tokoh memiliki keunggulan kompetetif. Bahkan, Gathutkaca dimainkan Koeseno. Apabila pada tingkat tertentu ia harus mendapatkan kedua penari rol itu tidak main, biasanya pulung melalui laku spiritual yang berat. Oleh pentas dibatalkan dengan diganti hari lain karena itu, menuju predikat penari rol bukan asalnya kedua pemain itu tampil sebagai permasalahan yang mudah bagi aktor, tetapi pemainnya (Hersapandi, dkk, 1998: 92). membutuhkan kerja keras lahir dan batin Koeseno sebagai pewaris aktif struktur untuk mencapai impiannya sebagai penari dominasi otoritas dan kharisma penari rol kesayangan penonton. Dominasi otoritas dan Koesni adalah pengagum Rusman sebagai kharisma penari rol dapat berkurang atau seniman besar wayang orang Sriwedari. bahkan hilang apabila individu yang Ekspresi kekaguman itu ia buktikan ketika memilikinya berbuat kesalahan-kesalahan menjadi juara I Gathutkaca mirip Rusman yang merugikan masyarakat atau mental dalam lomba tari tahun 1972 di mana Rusman sebagai salah satu anggota Dewan Juri (Hersapandi, 2011: 254) Hal ini menunjukkan

28 Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

bahwa Koesseno memiliki kualifikasi Gathutkaca, bukanlah suatu pekerjaan yang kepenarian yang baik dengan kualitas gerak di mudah, namun dibutuhkan kontinuitas atas rata-rata peserta lomba. Pengakuan berkesenian dengan memerankan tokoh kualitas kepenarian itu dibuktikan ketika ia Gathutkaca secara terus-menerus dengan main bareng tiga kali dengan Rusman pada dilambari laku spiritual yang mendalam dan tahun 1980-an sebagai pemeran tokoh kepasrahan dalam sebuah pengabdian pada Gathutkaca asli dan Rusman pemeran tokoh profesinya. Gathutkaca palsu dalam lakon yang Disiplin berkesenian ia terapkan ketika menghadirkan dua peran tokoh Gathutkaca. menjadi sutradara di wayang orang Ngesthi Baginya, bermain bersama Rusman adalah Pandawa mewarisi ayahnya, Koesni. kebanggaan tersendiri seorang seniman Penguasaan pengetahuan dan keterampilan wayang orang dalam menjaga nilai-nilai teknik gerak atau suara yang bagus dan profesionalisme. Untuk menjadi penari yang mantab tampaknya membawa Koeseno baik dibutuhkan sikap profesional dengan sebagai aktor yang mampu menciptakan penguasaan pengetahuan dan keterampilan kreativitas dan inovasi dalam upaya seni yang tinggi. Ia harus menjaga menjawab tantangan jaman. Oleh karena itu, ketubuhannya dengan terus berlatih dan ia tidak banyak menemui hambatan yang meningkatkan kualitas keaktorannya. Di berarti ketika menciptakan koreografi wayang samping itu, ia harus mampu menciptakan orang garap baru. Bahkan sebagai seniman kreativitas yang membuat penonton terkesima muda wayang orang Ngesthi Pandawa, ia dengan atraksinya di atas pentas. Dengan mendirikan komunitas generasi muda wayang potensi diri diharapkan mampu orang Ngesthi Pandawa. Berdirinya mengembangkan kualitas gaya pribadi sebagai komunitas generasi muda Ngesthi Pandawa modal untuk membangun pencitraan sebagai ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan aktor, bukan meniru orang lain, bahkan aktor menurunnya minat dan kualitas pemain muda idolanya. Kesadaran ini merupakan sikap sebagai dampak perubahan gaya hidup proaktif untuk mengembangkan potensi diri masyarakat pendukungnya sebagai akibat agar menjadi idola penonton. pengaruh kehidupan global. Koordinasi tata urutan gerak dengan Kehidupan kesenimanan Koesseno teknik mengolah suara ketika berdialog dan sebagai pemain wayang orang Ngesthi bertembang serta penghayatan karakter tokoh Pandawa memang tidak berjalan mulus, sebab yang dibawakan merupakan kekuatan ia harus mengorbankan profesinya untuk Rusman, sehingga ia mampu mengeluarkan mengikuti kepindahan istrinya yang bekerja suara secara keras dan lantang di ruangan sebagai staf pengajar pada Akademi Seni Tari yang luas dengan kualitas suara yang mantab Indonesia Yogyakarta pada tahun 1976 dan indah tanpa terkesan ngoyo (dipaksakan). (sekarang Jurusan Tari Fakultas Seni Elaborasi teknik gerak dan teknik suara yang Pertunjukan Institut Seni Indonesia sempurna dan didukung pemahaman tentang Yogyakarta). Meskipun demikian, ia masih struktur gending iringannya menjadi kekuatan wira-wiri (pulang-pergi) ke Semarang- tersendiri bagi keaktoran Rusman. Di sini Yogyakarta untuk pentas, bahkan tahun 1980- Koesseno mencoba mendalami karakter tokoh an ia mendirikan komunitas generasi muda Gathutkaca yang ditampilkan Rusman, Ngesthi Pandawa. Wadah ini merupakan sehingga kemampuan mengadaptasi tempat menuangkan ide-ide baru menggarap ketubuhan dan keaktoran Rusman membawa format baru wayang orang, termasuk garap konsekuensi logis terpilihnya ia menjadi wayang orang dengan memanfaatkan pemeran tokoh Gathutkaca di mana Rusman multimedia. Namun sayangnya, peran juga sebagai patner bermain. Hal ini Koesseno menjadi fasilitator kerja kreatif menunjukkan bahwa Koesseno memiliki untuk generasi muda wayang orang Ngesthi kualitas keaktoran yang mampu mengimbangi Pandawa terhenti karena faktor jarak dan keaktoran Rusman dalam membawakan peran waktu serta kesibukan dalam keluarganya. Gathutkaca. Ia menyadari untuk dapat memahami gaya pribadi Rusman sebagai penari ulung dalam memerankan tokoh

29 Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)

IV. Penari Rol yang Bukan berasal dari sebagai penari Gathutkaca pada tahun Keturunan atau Anak Penari Rol 1930-an. Rusman demikian terinspirasi dengan ketokohan Harjowugu Wibaksa 1. Pewarisan Rusman dari sebagai penari Gathutkaca yang ketika Harjowugu Wibaksa menjadi idola para penggemar wayang orang Sriwedari, terutama - Dalam mendapatkan pewarisan atau tembangannya. Tanda-tanda penerusan dominasi otoritas dan ketertarikan dengan wayang wong kharisma penari rol yang berupa ternyata telah tampak ketika masih usia pengetahuan dan keterampilan seni, anak-anak. Oleh karena itu, tidak seorang pewaris atau penerus dapat mengherankan jika pada masa kanak- menempuh melalui dua cara, yaitu (1) kanak Rusman bersama-sama teman dengan cara berguru langsung kepada sebayanya sering melihat pertunjukan seorang penari rol, (2) secara tidak wayang orang Sriwedari, terutama langsung dengan jalan menonton terkesan dengan penampilan Harjowugu pertunjukan di mana penari rol itu Wibaksa ketika memainkan tokoh sebagai bintangnya. Dalam proses Gathutkaca. Bagi Rusman, melihat pembelajaran itu seorang siswa didik pertunjukan wayang orang Sriwedari harus mengikuti sistem pendidikan yang adalah cara belajar pasif secara langsung berlaku, seperti latihan menari, ujian dan kepada seniman idolanya. Bahkan pentas kenaikan peringkat sesuai dengan bersama teman–teman sebayanya, suatu tingkat kesulitan materi ajar. Metode hari bermain wayang-wayangan di pembelajaran yang mengutamakan halaman sekolah dekat rumahnya. Saat penyampaian dan transfer pengetahuan mereka bermain itu, diketahui oleh dan keterampilan seni melalui interaksi seorang guru di sekolah itu, bahwa guru dengan murid secara individual dan Rusman adalah salah seorang anak yang intensif disebut ”magang”. Tidak jarang dianggapnya mempunyai bakat menari. calon penari rol itu menetap tinggal di Guru Darmo adalah orang pertama yang rumah dan mengabdi pada seorang guru menjadi guru tari Rusman di masa kanak- atau empu seni. Aktor calon penari rol kanak (Rusini, 2003: 44), sebelum menjadi anggota keluarga baru dari sang Rusman menjadi murid dari R.Ng. guru, ikut mengambil pekerjaan sehari- Wiryopradhata dan Demang hari, dan acap kali menjadi pembantu Poncosewaka. Bakat seni yang dimiliki atau pengikut dari sang empu seni. Rusman menempatkan ia sebagai seorang Harapannya, aktor tidak saja terikat akan murid cerdas dan menonjol, sehingga kebutuhan untuk mendapatkan dalam berbagai kesempatan pentas ia pengetahuan dan keterampilan seni, lebih ditunjuk sebagai pemeran tokoh kunci jauh lagi untuk meneruskan kehidupan yang membuat detik kagum penonton. suatu jenis kesenian. Untuk Kekaguman pada sang tokoh idola menyempurnakan pengetahuan dan itu mendorong Rusman untuk mencoba keterampilan seni, seorang aktor biasanya mendekat dengan belajar secara langsung memperkaya pengalaman berkesenian kepada Harjowugu Wibaksa sebagai dengan rajin datang ke tempat-tempat penari Gathutkaca. Masyarakat pencinta pertunjukan untuk menonton penampilan wayang orang Sriwedari kecanduan para empu tari atau seniman-seniman penampilannya Gathutkaca Harjowugu. yang sudah berpengalaman (lihat Dibia, Mereka kagum suara dan - 2004: 121-122). urannya, sehingga dulu menjadi Bagi Rusman, posisi penari rol omongan dan menjadi model - merupakan hasil perjuangan Harjowugu. Menurut R.Ng. kesenimanannya sebagai relasi Wiryopradhata selaku manajer wayang kharismatik seorang penari rol orang Sriwedari, bahwa ia mendapatkan Harjowugu Wibaksa yang populer kembali Harjowugu, bahkan suaranya lebih bagus, gayanya pun mirip. Seperti

30 Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

Harjowugu terutama ”gregetnya”, namun memberi kekuatan pada seseorang yang akhirnya Rusman menciptakan dirinya mendapatkan bimbingan seorang guru sebagai Rusman, bukan Harjowugu. spiritual. Disadari bahwa pulung sudah Gathutkaca Rusman yang utuh menjadi barang tentu tidak dapat diberikan kepada lain sama sekali berbeda dengan setiap orang, tetapi hanya diberikan Gathutkaca Harjowugu (Hardjoprasonto, kepada mereka yang benar-benar 1997: 132). Nama Rusman Harjowibaksa memiliki kualifikasi untuk sesungguhnya nunggaksemi dari nama mendapatkannya. Keseimbangan Harjowugu Wibaksa, artinya adaptasi kekuatan lahir dan batin ikut menentukan nama penari rol seniornya merupakan apakah seseorang itu akan memperoleh bentuk pewarisan atau transmisi suatu pulung, termasuk niat baik dalam keaktoran sebagai penerus pemain diri seseorang juga menentukan untuk wayang orang Sriwedari. mendapatkan pulung. Di sini sebenarnya Sebagai pewaris aktif dominasi dukungan ayahnya yang ikut membantu otoritas dan kharisma Harjowugu, dalam melakukan beberapa laku tirakat Rusman bukannya duplikasi atau kopian berat, sehingga menjadi seorang penari Harjowugu, tetapi gaya pribadi Rusman rol legendaris di zamannya. merupakan pencerminan keaktoran yang Surono sebagai pewaris aktif dari berbeda dengan pendahulunya. Sastra Dirun pemeran tokoh Petruk Fenomena ini adalah bentuk spirit legendaris wayang orang Sriwedari zamannya yang dibangun oleh rasional sebelumnya, atau Ranto Edi Gudel yang tindakan aktor untuk mendapatkan tampil terlebih dulu sebagai pemeran pengakuan masyarakat penggemarnya. tokoh Petruk sebelum Surono. Kehebatan Ekspresi individual yang dibangun aktor Surono adalah perjalanan berkesenian sudah barang tentu cenderung bersumber telah ia tempuh dengan belajar terlebih pada bentuk-bentuk koreografi yang dulu dengan tokoh seniman tari dan sudah ada, kemudian dengan karawitan dari Kadipaten diinterpretasikan kedalam nilai-nilai Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan spirit baru sesuai dengan semangat Surakarta, seperti Demang Poncosewaka, zamannya, yang melahirkan gaya pribadi RM.Ng. Wignya Hambeksa, dan R.T. aktor. Kehebatan Rusman adalah ketika Koesoemokesawa. Sikap keras sang ia mampu belajar dari Harjowugu dan guiru itu, tampaknya membentuk kualitas kemudian memberi penafsiran yang lebih Surono sebagai penari rol yang mumpuni pop dari Harjowugu, yang disadari betul di bidang tari dan karawitan, sehingga oleh Rusman bahwa hal inilah yang wajar ia dipercaya untuk menjadi dibutuhkan oleh penonton (Rusini, 2003: sutradara wayang orang Sriwedari. x). Bahkan karya fragmen wayang orang Kehebatan Rusman adalah dalam bentuk garapan humor laku kears kemampuan menafsirkan kemapanan dipasaran. Akhirnya, Surono bergabung struktur tari ke dalam paradigma baru dalam komunitas sempalan wayang sesuai dengan semangat zamannya. orang Sriwedari untuk keperluan Keliaran berkesenian diyakini akan tanggapan yang terkenal dengan sebutan melahirkan kejutan-kejutan baru dalam “Trio DRS” (Darsi, Rusman, Surono). koreografinya dan memunculkan gaya Melalui kelompok “Trio DRS” ini pribadi. Nilai kharismatik keberhasilan sebenarnya mereka mendapatkan Rusman adalah disiplin dan totalitas menghasilan finansial yang mampu penghayatan terhadap tokoh wayang meningkatkan kesejahteraan keluarganya. yang dibawakan. Wewenang kharismatik merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus (wahyu, pulung) yang ada pada diri seseorang. Kedudukan pulung tampaknya irasional, namun pulung akan

31 Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)

2. Pewarisan Zamrud dari Rusman Indonesia (SMKI) Surakarta. Secara Harjowibaksa informal ia memperdalam seni tari dan wayang orang kepada Tan Guan Him Pewaris aktif Rusman di lingkungan pelatih wayang orang Persatuan internal wayang orang Sriwedari adalah Masyarakat Surakarta (PMS) dan Witoyo Zamrud Haryo Yekti Wirutomo (42 pelatih tari dan wayang orang di Keraton tahun). Dalam perjalanan berkesenian Kasunanan Surakarta. Selama kurun sebagai penari wayang orang Sriwedari, waktu tahun 1985-tahun 1995, ia ia belum pernah memainkan tokoh berkenalan dan banyak belajar dengan Gathutkaca ketika Rusman masih aktif empu tari Solo yaitu S. Maridi, Rusman sebagai pemain tokoh Gathutkaca. dan Surono. Bahkan masuk menjadi Namun sebagai penari yunior, ia banyak pemain wayang orang Sriwedari sejak belajar secara tidak langsung dengan tahun 1990 atas rekomendasi Rusman Rusman dalam setiap kali pertunjukan. dan Surono dengan status sebagai Wiyata Proses pembelajaran seni panggung ini Bakti tanpa menerima gaji selama 4 memiliki keunikan karena faktor tahun dan pada tahun 1994 ia diangkat interaksi yang berulang-ulang dalam menjadi pegawai honorer dengan gaji Rp konteks ruang dan waktu dalam struktur 60.000,- per-bulan. Pada bulan Juni tahun sosial seni pertunjukan. Seorang seniman 1993 ia mengikuti misi kesenian Keraton pada dasarnya adalah peniru, sehingga Kasunanan Surakarta selama 1 bulan di untuk dapat bertahan dibutuhkan 12 negara Eropa, yaitu menjadi penari komitmen untuk memiliki kemampuan tokoh Indrajit dan Jatayu dalam meniru. Kemampuan meniru ini bukan sendratari Ramayana. Pada tahun 2000 hanya berlaku untuk seorang seniman secara resmi ia diangkat menjadi pegawai pop, melainkan juga untuk para seniman negeri sipil (PNS) dengan golongan II-a, elit (Sunardi, 2007: 5). Oleh karena itu, sehingga status ini menjadikan ia sebagai spesifikasi peniru ini menempatkan seniman birokrat yang secara rutin Zamrud sebagai pewaris aktif Rusman, bekerja menjadi penari wayang orang meskipun demikian ia memiliki Sriwedari, kacuali hari Minggu malam kebebasan kreatif sebagai aktualisasi libur dan Senin (hari Senin sekarang aktor yang mandiri dan produktif. diberlakukan libur tidak ada Zamrud adalah anak bungsu dari 7 pertunjukan). bersaudara, ia lahir di Karanganyar Riwayat peran dapukan sebagai tanggal 1 Oktober 1970 dari pasangan penari wayang orang Sriwedari, yaitu Subanto Citroyudana-Srisuyekti. Ibunya periode tahun 1990-1991 masih langsung meninggal dunia tahun 1970 mendapat peran prajurit atau bala dupak, setelah melahirkan dirinya, ayahnya tahun 1991-1992 sering berperan raksasa seorang kepala Sekolah Menengah Cakil, dan 1992-1994 selama 1 minggu 3 Pertama yang juga sebagai seniman serba kali berlatih peran antagonis (brantak), bisa. Bakat seni Zamrud terlihat sejak ia perang, olah suara untuk dialog vokal dan berumur 6 tahun yaitu seni tari, teater dan nembang ura-ura atau palaran. menyanyi, yang kebolehannya Kepiawaian dalam menari dan bekal ditampilkan pada acara peringatan hari suara yang baik, ia mulai dipercaya kemerdekaan Republik Indonesia, acara peran-peran tertentu, terutama tokoh penikahan, dan sebagainya. Hargiyanto, dugangan seperti Gathutkaca, Burisrawa, Paimin dan Anjrah Sri Paramita adalah Baladewa, Bomanarakasura, Rahwana, guru pemimbing seni tari, teater dan dan sebagainya. Sebagai pemeran tokoh menyanyi ketika masih usia anak-anak. Gathutkaca baru dipercayakan kepada Secara formal mulai mengenal wayang Zamrud setelah Rusman Harjowibakso orang secara dekat pada tahun 1987 meninggal dunia 19 Oktober 1990, sebab ketika ia mengikuti mata pelajaran di dominasi otoritas dan kharisma Rusman kelas 2 Sekolah Menengah Kesenian begitu kuat yang tidak memungkinkan ia tampil sebagai pemerankan tokoh

32 Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

Gathutkaca. Pemilihan Zamrud sebagai Enthus Susmono seorang dalang wayang pengganti Rusman karena pertimbangan kulit kontemporer. Kritikan yang muncul kualitas artistik, bahwa ia memiliki gaya adalah garapan masih tampak penampilannya mirip Rusman, meskipun konvensional, belum ada upaya kualitas kesenimanannya belum mampu pembaharuan yang menjadi magnit menyamai Rusman. Seperti kualifikasi membuat penonton tertawa dan terhibur. keaktoran Rusman sebagai penari rol, Kemudian muncul kemasan tari Zamrud masuk pada kategori pola Gathutkaca-Pregiwa lintas jenis kelamin perjalanan berkesenian “tegak lurus‟, (cross gender) yang dielaborasikan artinya bahwa sejak awal Zamrud dengan jenis musik pop, dangdut dan menekuni jenis kesenian wayang orang campursari, serta kental dengan nuansa gaya Surakarta, yang terbatas pada satu humor, tampaknya mampu menjawab jenis karakter tokoh pewayangan putra selera dan kebutuhan penonton. Karya gagah dugangan seperti Gathutkaca, tari ini memberikan sentuhan estetis Bomanarasura, Baladewa, Burisrawa, kontemporer tokoh Gathutkaca dan Rahwana, Indrajit dan sebagainya. Pregiwa kepada penontonnya. Fenomena Zamrud menyadari, bahwa ini menunjukkan bahwa penonton masa menduplikasi Rusman bukan pekerjaan kini membutuhkan sajian baru dan yang mudah, tetapi membutuhkan penafsiran baru terhadap tokoh komitmen dan kerja keras untuk Gathutkaca dan Pregiwa. Penonton tidak meningkatkan kualitas pengetahuan dan lagi mendengarkan tembang keterampilan seni wayang orang secara dhandhangula atau pangkur, tetapi optimal, sehingga ia mampu mendengarkan lagu pop nasional atau membawakan karakter Gathutkaca secara asing, dangdut, dan campursari yang baik. Keyakinan atas dominasi otoritas akrab di telinga mereka. Sentuhan estetis dan kharisma Rusman belum tergugurkan ini tampaknya mampu menyentuh hati oleh penari-penari yang pernah lahir penonton masa kini, sehingga tidak kemudian. Hal ini menunjukkan, bahwa mengherankan apabila tarian ini semakin dominasi otoritas dan kharisma Rusman populer di kalangan masyarakat sebagai penari rol hanya lahir sekali. pendukungnya. Sebagai anak zaman, ia lahir dengan Popularitas tari “Gathutkaca- kriteria estetika yang berlaku di Pregiwa” lintas jenis kelamin adalah zamannya dan didukung oleh fenomena zamannya, yang khas dan penggemarnya yang memiliki acuan eksotik. Hal ini sesuai dengan latar normatif dengan standar artistik baku belakang kebudayaan populer yang menurut estetika keraton. Kehebatan menawarkan suatu gaya hidup yang khas Rusman adalah kualitas tubuh dan suara dan eksotik (Siregar, 1997: 219). Karya yang ideal, sehingga muncul pendapat tari ini membawa Zamrud mencapai bahwa Rusman adalah Gathutkaca dan popularitas di masa kini dan banyak Gathutkaca adalah Rusman. Kondisi menerima tanggapan para penggemarnya ideal ini tidak berlaku bagi Zamrud dari berbagai kota di Jawa Tengah seperti sebagai pemeran tokoh Gahutkaca Semarang, Surakarta, bahkan sampai ke pengganti Rusman, ia belum memenuhi Bandung (Zamrud, wawancara 14 Juli kriteria ideal pemeran tokoh Gathutkaca, 2010). sebab predikat itu sudah menjadi monopoli Rusman. V. KESIMPULAN Konsep kemasan kontemporer ini diawali ketika Zamrud ditanggap main di Sistem pewarisan dalam wayang orang kantor Gubernur Jawa Tengah pada tahun panggung populer tampaknya dihadapkan 1999, ia diminta oleh G.P.H. Heruwasta suatu permasalahan tentang nilai-nilai pimpinan Suryasumirat Mangkunegaran profesionalisme yang menuntut adanya Surakarta untuk menari Gathutkaca disiplin diri dan komitmen untuk menggeluti Gandrung berkolaborasi dengan Ki secara total. Pewarisan berlangsung dalam dua

33 Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol ISSN: 1858-3989 dalam Wayang Orang Panggung)

kategori, yaitu kategori pewarisan keturunan DAFTAR RUJUKAN langsung atau anak kandung sanga penari rol, sehingga ia dibesarkan oleh lingkungannya A. Sumber Tercetak berkesenian. Dalam kasus wayang orang panggung populer, biasanya ia anak tobong Clara van Groenendel, Victoria M. (1987), yang memungkinkannya dapat melihat Dalang Di Balik Wayang, terjemahan. langsung proses kreatif orang tuanya, baik Pustaka Utama Grafiti, Pustaka Grafiti, dalam setiap pertunjukan maupun dalam Jakarta setiap kegiatan latihan. Uniknya, pada prakteknya tidak semua anak penari rol Dibia, I Wayan, (2004), Pragina: Penari, tertarik untuk mendapatkan warisan orang Aktor dan Perilaku Seni Pertunjukan tuanya mengikuti profesinya. Hal ini Bali. Sava Media, Malang. disebabkan oleh faktor internalnya dengan berbagai alasan yang sifatnya subjektif. Hardjoprasonto, Soemardjo,(1997), Bunga Kategori kedua, yaitu pewarisan yang Rampai Seni Tari Solo. Taman Mini didapatkan dari penari rol yang bukan orang Indonesia Indah, Jakarta. tua kandung, tetapi sebagai seniornya di tempat ia bermain wayang orang. Misalnya, Hersapandi, dkk, (1998), “Krisis Wayang Rusman yang mendapat pewarisan aktif dari Orang di Era Orde Baru”. Penelitian Pada Harjowugu Wibaksa, demikian juga Zamrud Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta, yang mewarisi Rusman Harjowibaksa. Spirit Yogyakarta. integritas kategori kedua ini tentu karena pertimbangan ekonomi semata agar ia ______, (1994), “Etnis Cina dan mendapatkan kharisma dari pencitraan Wayang Orang Komersial: Suatu Kajian seniornya. Meskipun disadari bahwa peanri Sosio-Historits”, dalam Jurnal Seni rol tidak pernah menciptakan aktor pengganti Pertunjukan Indonesia. PT. Gramedia karena dianggap rivalitas. Fenomena jarak Widiasarana Indonesia., Jakarta. status sosial ini menyebabkan lahirnya penari rol secara tiba-tiba karena seniornya ______, (1999), Wayang Wong berhalangan datang akibat sakit atau ada Sriwedari: Dari Seni Istana Menjadi Seni keperluan lain yang dianggap penting. Di sini, Komersial. Yayasan Untuk Indonesia, kategori penari rol biasanya telah memiliki Yogyakarta. kepandaian dalam bermain wayang orang yang ia pelajari dari tokoh-tokoh seniman tari Rusini, 2003, Gathuitkaca di Panggung dan karawitan yang mumpuni di bidangnya. Soekarno. STSI Press, Surakarta. Dalam mencari solusi tentang sistem pewarisan penari rol dalam wayang orang, Siregar, Ashadi, (1997), “Budaya Massa: tampaknya kita patut bercermin dan Catatan Konseptual tentang Produk beradaptasi dengan sistem pewarisan yang Budaya dan Hiburan Massa”, dalam berlaku di teater Kabuki di Jepang, seorang Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop pemain bintang merupakan andalan pencitraan dalam Masyarakat Komoditas bagi kepentingan bisnis hiburan seni Indonesia” editor Idi Subandy Ibrahim. pertunjukan tradisional, yaitu (1) ia harus Jalasutra, Yogyakarta. keturunan langsung dari pemain bintang,)\(2) ia harus menjadi menantu anak pemain Soekanto, Soerjono, (1986), Sosiologi Sutau bintang; (3) ia harus diambil anak angkat PengantarRajawali, Jakarta. pemain bintang. Transmisi kaderisasi pemain bintang itu disahkan dalam suatu upacara Sriyadi, (2003), “Surono: „Petruk‟ Wayang yang diadakan untuk kepentingan itu, yaitu Wong Sriwedari, Sebuah Biografi”. Tesis pencitraan pemain bintang sebagai ikon daya untuk memperoleh Derajat Sarjana S-2 tarik penonton. pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Yogyakarta.

34 Dr. Hersapandi,Sst.,Ms. (Sistem Pewarisan Penari Rol dalam Wayang Orang Panggung) ISSN: 1858-3989

Sunardi, 2007, Fenomena Bintang, B. Sumber Internett Universitas: Sanata Dharma, Yogyakarta. http://rstb.royalsocietypublishing.org/content/ 364/1528/2429.full.

http://husnimuarif.wordpress.com/tag/eman- eman/

http://eprints.uny.ac.id/3767/1/08Martono.pdf

35 Volume 3 No. 1 Mei 2012 ISSN: 1858-3989 p. 36-48

REOG OBYOGAN SEBAGAI PROFESI

Oleh: Hendro Martono Dosen Jurusan Tari Fak. Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta Email: [email protected]

Abstrak Zaman telah berubah, penari seni rakyat tidak lagi dilirik orang karena tidak dapat menjadi profesi yang menguntungkan dalam mengais uang. Tidak demikian di reog Obyogan yang hidup di desa-desa sekitar kota Ponorogo Jawa Timur, penari Obyogan bisa menjadi profesi yang lumayan mendatangkan rejeki bagi para gadis remaja. Profesi penari Obyogan bersifat sementara sampai kondisi fisik penari tidak menarik lagi atau sudah menikah. Obyogan berbeda dengan reog Festivalan yang sudah dikenal masyarakat luas, justru penari Obyog menjadi penari utama dengan bergerak goyang pinggul sensual, mirip goyang ngebor dan gergaji di dangdut. Peran Jathil ditransformasikan menjadi peran wanita yang seksi, peran lain dihilangkan. Pemain Dadak Merak masih dipertahankan sebagai ikon reog. Tulisan ini menyoroti upaya-upaya dan manajemen penari Obyog yang terdiri dari: berlatih tari Obyog, mengubah karakter tari, pencitraan, strategi persaingan, pendapatan, pengeluaran dan pemasaran. Profesi penari Obyog yang temporer tetap harus dihargai sebagai pelaku pelestari dan pengembang seni tradisional. Penari Obyog juga membuka lapangan kerja non formal dan mengurangi urbanisasi serta migrasi. Pemerintah wajib memberi penghargaan berupa pelatihan kerja untuk masa datang, dan beasiswa sekolah hingga perguruan tinggi.

Keyword: reog, obyog, profesi

Abstract Times have changed, folk art dancers are no longer a desirable profession because it isn’t profitable in day to day struggle to make ends meet. This isn’t the case with reog Obyogan which persists in villages around Ponorogo city in East Java, Obyogan dancer is a lucrative job for teenage girls. The profession of Obyogan dancers is temporary until the dancers are no longer physically attractive or are married. Obyogan is different from reog Festivalan which is already widely known in that the Obyog dancers are the main dancers with their sensual hips movements, like the drill-like or saw-like dance in dangdut. The role of Jathil is transformed into a sexy woman, other roles are removed. Dadak Merak player is still maintained as the icon of reog. This paper highlights the efforts and management of Obyog dancers which consist of: practicing Obyog dance, changing the characterization of the dance, imaging, competitive strategy, revenue, expenses, and marketing. The temporary profession of Obyog dancers must be respected as the conservators and developers of traditional arts. Obyog dancers also opened non formal job vacancy and reduce urbanization and migration. The government must give appreciation in the form of work training in the future and scholarship to college level.

Keyword: reog, obyog, profession

I. Penari Rakyat Sebagai Profesi menjaga asap dapur terus mengepul. Para penari seni reog dan Jathilan yang banyak di Di zaman sekarang masih adakah daerah Yogyakarta, tidak menggantungkan beberapa seniman tari yang hidup dari profesi hidupnya dari keseniannya. Mereka pada sebagai penari tradisional? Di Sragen yang umumnya para petani yang tergabung dalam terkenal seni Tayub, di Indramayu dan kelompok kesenian rakyat. Kondisi demikian Cirebon yang terkenal dengan tarian topeng. juga terjadi di kelompok kesenian topeng Para pelakunya adalah penari profesional dan Malang yang berada di Kepanjen Malang hanya menggantungkan hidup sebagai penari, Selatan dan di Tumpang Malang Timur. Para walaupun tetap didukung usaha lain untuk pelaku kesenian topeng adalah para petani,

36 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

tukang ojek dan profesi lainnya. Para pemain reog tidak puas kalau hanya pentasnya 1 kali wayang wong Sri Wedari di Surakarta sudah setahun, maka untuk memenuhi hasrat diangkat menjadi pegawai negeri. Apalagi kesenimanannya pada tahun 1984/1985 para penari di tempat wisata sudah memiliki dibentuklah reog Obyogan oleh tokoh reog profesi lain di luar profesi pelaku kesenian yaitu pak Upal yang berasal dari suatu desa tradisional. Sangat jarang orang yang hidup Ponorogo (wawancara dengan pak Yuni dan dari kesenian tradisi. pak Bambang Wibisono diijinkan dikutib, Penulis memiliki teman baik sejak 2008). Tarian garapan baru tersebut remaja hingga sekarang yang hidup dari berkembang dan dikembangkan sendiri oleh kegiatan tari-menari, yaitu Chattam AR. Dari masyarakat sampai mencapai formatnya Malang, yang dulunya sebagai penari , seperti sekarang ini, yang hanya dikenal di sebuah seni pertunjukan tradisional dari kalangan masyarakat pedesaan. Surabaya. Kemudian berpindah menjadi Reog Obyog sangat berbeda pelatih tari gaya Malangan. Hingga saat ini koreografinya dengan reog Festivalan yang bukan pegawai negeri. Ternyata dapat hidup telah dikenal oleh masyarakat luas. Walaupun layak di kota yang kering kesenian tarinya. tetap menggunakan unsur-unsur yang sama Sesuatu yang terjadi di Ponorogo, sebuah kota dengan reog Festivalan, seperti tetap kabupaten yang tersembunyi di antara menggunakan penari jathil namun wujudnya perbukitan Seribu yang membentang di Jawa berbeda, tetap menggunakan Dadak Merak bagian Selatan. Ternyata ada satu lahan hidup sebagai ikon reog, serta komposisi musik yaitu: sebagai penari reog Obyog. Pada tarinya berbeda dengan instrumen musik yang kenyataannya, para pelaku bisa hidup layak sama. dan berkecukupan. Bukan penari reog kawak Perbedaan utama dengan reog festival atau festivalan yang telah banyak dikenal adalah hanya ada dua peran, yaitu: Jathil masyarakat. Namun sebagai penari reog tanpa membawa kuda kepang dan Barongan Obyog yang merupakan kreativitas seniman (Dadak Merak), peran Bujang Ganong kadang rakyat. Kalau di Sragen dan Indramayu ada dimainkan anak-anak, sedang Klana maupun Cirebon, penarinya adalah wanita Sewandono dan Warok dihilangkan. Sehingga yang sudah matang usia dan pengalaman. koreografi berbeda sangat jauh dengan reog Beda dengan penari reog Obyog yang yang dikenal oleh masyarakat luas. dominan para gadis remaja yang masih lajang Koreografinya berubah menjadi tari pergaulan bahkan ada yang baru lulus sekolah menengah yang menghadirkan gerak lemah gemulai nan pertama (SMP). Ada beberapa yang sudah seksi dari penari jathil yang berdandan menor, menikah muda asal masih cantik, menarik dan seronok dan seksi bak penyanyi dangdut. kualitas teknik tarinya bagus, tetap menjalani Pemerintah tidak terlalu banyak turut penari Obyog sebagai profesi yang campur, dibiarkan masyarakat melestarikan mendatangkan uang yang lumayan. Profesi Obyogan sendiri yang pada kenyataannya penari Obyogan di desa pinggiran kota mendapat sambutan antusias yang luar biasa Ponorogo menarik diamati dan disosialisasi dari masyarakat sampai sekarang. Dimanapun sebagai satu kenyataan hidup di sudut ruang ada pentas reog Obyogan yang biasanya untuk kesenian yang jauh dari hingar bingar hajatan pernikahan, khitanan dan perayaan kehidupan urban. hari besar serta peresmian suatu acara, penonton akan berdatangan dari seluruh II. Reog Obyog penjuru pedesaan Ponorogo, apalagi bila penarinya merupakan primadona. Tari reog Ponorogo sudah terkenal di Walaupun demikian terkenalnya reog seantero nusantara dan sudah banyak yang Obyog di pedesaan Ponorogo, banyak juga menuliskan secara tektual maupun warga Ponorogo kota maupun desa yang tidak kontekstual, tetapi yang ditulis adalah reog mengetahui keberadaan Obyogan. tradisional atau sering disebut reog Festivalan Pemerintah melalui dinas terkait pernah atau reog Kawak (lama/kuno), karena hanya mengadakan pembakuan gerak tari khususnya dipentaskan saat ada festival reog setahun tarian Jathil sekitar tahun 1993 dan terus sekali menjelang bulan Suro. Para seniman berkembang sampai sekarang ini (wawancara

37 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

dengan Bambang Wibisono diijinkan dikutib, (wawancara dengan pembarong, 2005). 2005). Kelahiran reog Obyog membangunkan Selanjutnya saat berjalan menuju lokasi gairah baru terutama dari sisi penari Jathil dan hajatan, beberapa kali berhenti di tempat pembarong yang semakin meningkat taraf strategis untuk memperagakan tarian. penari hidupnya. Bagi penari Klana, Bujang Ganong, wanita menjadi tokoh utama menari bebas ala Warok justru musibah karena jarang pentas yang erotis diikuti yang karena hanya pentas saat ada festival reog mirip Jaipongan pula, tidak ada lagi gerak yang diadakan setahun sekali atau pentas loncat-loncat naik kuda, perang-perangan apresiasi seni sebulan sekali setiap bulan yang heroik. Kadangkala penari wanita purnama di panggung permanen alun-alun menari dengan . Nuansa yang hadir Ponorogo. justru erotisme mirip pertunjukan dangdut, Kata obyog bisa diambil dari salah satu goyang gerjaji, goyang ngebor, serta gerak- permainan atau komposisi musik tari gerak erotis dangdut banyak diadapatasi oleh Barongan (Dadak Merak) atau tabuhan penari Obyog. Penonton yang mengikuti menjelang pentas reog juga disebut Obyog. prosesi kebanyakan laki-laki muda yang Ada juga istilah Obyog dari kata byok byog sedikit mabuk karena minum putihan sebuah kosa kata dialektika Ponorogo yang beralkohol cukup tinggi. Mereka memberikan diucapkan dengan berulang maka respon dengan teriakan dan ikut menari menimbulkan arti kacau, meriah seperti dengan penari wanitanya, beberapa di suasana reog Obyog yang hingar-bingar antaranya menggantikan penari Barong yang (Tugas Kumorohadi, 2004: 94). Menurut menggigit Dadak Merak. Para penonton pendapat penulis sendiri kata Obyog sesuai datang dari berbagai daerah yang fanatik dengan komposisi gerak tarinya yang terhadap reog gaya baru tersebut. Ada satu dominan bergoyang pinggul serta liukan aturan yang ditaati bersama antar penonton badan sensual yang menggetarkan atau dan penari, yaitu penonton tidak boleh mengobyog-obyog iman para lelaki. Perlu menyentuh sedikitpun anggota tubuh penari diketahui struktur Obyog terdiri dari bagian 1 wanita walaupun hanya tangan, niscaya akan disebut tari Massal 1995, bagian 2 dipukuli oleh sesama penonton (Pantja, 2008: gambyongan, bagian 3 edrek, menari dengan 1-4). Bujang Ganong dan Dadak Merak Masih di tahun 2005 saat bulan puasa, (Kumorohadi, 2004:224-227 di Erlina Pantja, selama satu minggu penulis bersama-sama 2005: 66). grup reog dari Ponorogo menghadiri festival Penulis pada tahun 2005 berkesempatan tari di Taipei dan I-lan. Di kesempatan itu melihat dari dekat seni reog Obyog yang penulis manfaatkan untuk mengorek secara berkembang dan beredar di wilayah pinggiran mendalam baik dari penari Obyog, maupun dan pedesaan sekitar kota Ponorogo. Pada seniman reog lainnya, untuk mencari waktu itu sedang ada perhelatan pernikahan informasi tentang kehidupan para penari reog salah satu warga desa di Barat kota Ponorogo. Obyog saat itu dan perkembangan reog ke Para seniman reog menyiapkan diri di salah depannya. rumah warga yang jaraknya sekitar 1 km dari Pada hari Minggu tanggal 9 November rumah hajatan. Setelah menampilkan diri pada 2008, berkesempatan lagi melihat reog acara pembukaan di rumah warga, rombongan Obyogan kembali di sebuah desa Selatan berjalan sambil diiringi tetabuhan gamelan Ponorogo yang dipertontonkan untuk acara reog yang menimbulkan suasana riang peresmian kolam renang di desa tersebut. gembira dan semangat. Tidak ketinggalan Sayang sekali hujan terus menerus jadi tidak diikuti ratusan penonton yang setia menjadi bisa menikmati reog Obyog dengan nyaman, penggembira dengan kadangkala menari justru banyak informasi tambahan yang dengan irama reog. Ada beberapa orang yang didapat dari seniman reog yang melihat dan menggantikan penari Barong dengan yang sedang pentas reog. menggenakan Dadak Merak yang beratnya Pemaparan ini akan mengupas sekitar 50 kg. Ternyata menjadi penari Barong manejemen reog masa kini yang disebut reog yang menggigit Dadak Merak tidak melalui Obyog ada yang menyebut Obyogan. Sebagai ritual sakral namun karena latihan yang lama penari Obyogan yang dilakukan oleh remaja

38 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

putri ternyata dapat menjadi mata pencaharian yang lumayan walau hanya untuk beberapa tahun. Eksistensi penari Obyogan ditentukan oleh usia serta keunggulan fisik atau keelokan wajah maupun tubuh, teknik tari bukan utama. Penari utama Obyog adalah penari wanita dengan tata rias dan busana: a. Baju Kebayak (bisa warna apapun yang menyolok) berlengan longgar. b. Imbar semacam kacih besar yang menutup hingga bahu dan dada, ciri khas Obyog. c. Berkain panjang batik motif parang, dimodel prajuritan. d. Rambut terurai lepas, mengenakan ikat kepala model Jawa Timuran yang cara pemasangannya kain dalam keadaan basah. e. Celana panji di atas lutut hampir seperti Gambar 1: Kostum penari Obyog lebih feminin celana pendek yang ketat, warna hitam daripada Jathil, diperankan oleh Nurul penari dengan hiasan payet di tepinya. Obyog yang laris (koleksi pribadi, 2009) f. Stagen hitam, kamus timang (sabuk). g. Boro samir dan sampur dua helai, yang Dampak ekonomis bagi penari wanita depan gendala giri, yang belakang polos sangat menguntungkan, bila sekali pentas dan lebih pendek untuk menambah efek dibayar sekitar Rp. 200.000,- dalam musim gerak pinggul. perkawinan satu penari bisa tampil lebih dari h. stocking warna kulit dan berkaos kaki 2 kali seminggunya, bila sebulan bisa jutaan putih serta sepatu vantoufel 3-5 cm warna yang diraup. Tidak heran bila penari wanita hitam (Pantja, 2005: 45-46). yang terdiri dari para gadis remaja itu mempunyai handphone dan sepeda motor Tidak berkuda kepang/Eblek. Selama ini keluaran terbaru. Bila menjadi penari Jathil yang diketahui penari Jathil berdandan saja sangat jarang pentas. prajurit berkuda kepang tanpa sepatu. Tidak Satu hal yang menarik untuk diamati ada peran Warok, Klana Sewandana dan adalah terjadinya pergeseran nilai pada reog Bujang Ganong, tinggal penari Barong yang Obyog yaitu: peran wanita yang lebih mengenakan Dadak Merak. Menurut dominan dari pada peran putra, padahal di informasi, penari wanita dapat menjadi hadiah dalam reog tradisional justru peran-peran dari seseorang kepada yang punya hajat bisa putra yang menonjol, peran putri hanya lebih dari satu dan yang membayar si sebagai pemanis. Kehadiran Obyogan di kota penyumbang. Makanya penari wanitanya bisa santri yang memiliki pondok Gontor, menjadi banyak dan menarinya berbeda-beda. Kelak fenomena yang menarik. Pemerintah bila orang yang menyumbang punya hajat, kabupaten sengaja membiarkan eksistensi harus dibalas juga dengan mengirim penari Obyogan yang semakin berkibar, melalui Obyogan dalam jumlah yang sama atau lebih. Obyogan para seniman dapat mendapatkan nafkah yang lumayan bila dibandingkan saat pentas reog Festival.

39 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

Gambar 4: Antusias penonton Obyogan di pinggiran kota Ponorogo (koleksi pribadi, 2005)

Peranan pemerintah Kabupaten Ponorogo sangat besar dalam pendidikan pelestarian dan pengembangan seni reog Festivalan, karena Gambar 2: Penari Obyogan yang mengenakan merupakan identitas dan kebanggaan sepatu dan tidak menggunakan kuda kepang lagi masyarakat Ponorogo. Peranan tersebut (koleksi pribadi, 2005) terlihat dari upaya-upaya sebagai berikut:

1. Pemerintah Ponorogo sudah puluhan tahun (lebih dari 20 tahun) menggelar festival reog yang diadakan setiap tahun menjelang bulan Suro, memiliki ketentuan koreografi yang harus ditaati oleh peserta dari manapun. Meluasnya kesenian reog Ponorogo hingga ke luar Jawa seperti Sumatra, Kalimantan bahkan sampai ke dikarenakan terjadinya urbanisasi dari sebagian masyarakat Ponorogo dan sekitarnya ke daerah-daerah tersebut di atas. Jadi pelaku penyebaran adalah warga Ponorogo sendiri, bukan orang Sumatra Gambar 3: Penari Obyogan menari dengan goyang atau Kalimantan yang belajar reog. pinggul tidak lagi menari prajurit berkuda, lebih Termasuk yang di Malaysia, para disukai masyarakat pedesaan kabupaten Ponorogo keturunan orang Ponorogo atau Jawa (koleksi pribadi, 2005) yang urban di sana sejak sekian puluh tahun yang lalu, membawa kesenian daerahnya. 2. Sektor keuangan dengan menganggarkan dana milyaran Rupiah setiap tahunnya untuk penyelenggaraan Festival Reog selama 5 hari menjelang bulan Suro. Peserta dari berbagai daerah seperti Surabaya, Jember, Lampung, Kalimantan Timur, Jakarta, Yogyakarta, Magelang, Wonogiri, dan setiap kecamatan di

40 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

Kabupaten Ponorogo diharuskan kecamatan atau independen yang diberi mengirimkan minimal satu kelompok anggaran oleh pemerintah Rp.1.000.000,- reog dan diberi bantuan biaya produksi disamping dibantu peralatan tata cahaya, Rp. 5.000.000,- (tahun 2005) tata suara serta promosinya. kekurangannya disuruh mengupayakan 7. Pemerintah juga gencar promosi melalui sendiri. internet dengan memiliki website khusus 3. Pemerintah Kabupaten Ponorogo tentang seni reog festival dan membangun panggung permanen yang kesejarahannya. ukurannya sangat luas dan tanpa atap, di alun-alun kota, bila pentas akan dilengkapi tata dekorasi, tata cahaya dan tata suara yang mampu mengangkat prestise sebuah perhelatan besar yang bertaraf Nasional. Penontonnya setiap malam selama lima hari selalu ribuan dengan membayar karcis Rp.3000- Rp.10.000,- (tergantung duduk di depan, di tengah dan dibelakang). Di sekitarnya ada pasar malam yang jualan perlengkapan pakaian reog, vcd reog dan kaos reog. Jadi nuansa yang hadir betul- betul nuansa reog,

4. Penulis yang pernah berkesempatan menjadi Juri Festival Reog, kagum Gambar 5: Reog Festival terdiri dari peran melihat upaya pemerintah untuk Sewandana (depan), Ganong di tengah, jathil dan menanamkan kecintaan masyarakat barong serta warok di latar belakang (koleksi terhadap reog. Salah satunya pribadi, 2005) mengharuskan semua para pria pegawai negeri mengenakan pakaian tradisional Situasi berbalik 180 drajad dengan reog reog selama 1 minggu saat Festival Reog Obyogan, pemerintah tidak memberikan digelar, baik saat bekerja maupun saat bantuan terhadap Obyogan, karena tidak bekerja, jadinya sehari-sehari dan pemerintah tidak mendukung keberadaaannya, dimanapun menjumpai masyarakat yang tetapi juga tidak bisa melarangnya mengenakan pakaian reog. Belum lagi disebabkan: para peserta festival juga mengenakan pakaian demikian, maka semakin 1. Tarian itu berkembang dimasyarakat mereogkan kota Ponorogo. Ditambahkan pedesaan saja atau di pinggiran kota dan pula patung-patung reog di setiap lebih disenangi masyarakat, maka perempatan, di panggung alun-alun serta Obyogan berkembang sendiri tanpa di empat sudut alun-alun terdapat patung- bantuan pemerintah berkat intensitas patung singa (kenapa bukan Harimau), permentasan yang sangat sering. juga di halaman kantor Kabupaten ada 2. Tarian erotis tersebut dianggap patung singa serta dewi Sanggalangit, menyalahi identitas Ponorogo sebagai satu putri dari Kediri yang diperebutan kota santri, yang memiliki pondok oleh Klana Sewandana dengan pesantren terbesar dan terkenal, yakni Singabarong. Pondok Gontor. 5. Program pelatihan di sanggar-sanggar, di 3. Sebagai lapangan kerja, para penari sekolahan dan di kecamatan juga Obyogan keadaan ekonominya lebih baik difasilitasi pemerintah. dan bisa hidup layak di usia remaja. 6. Program pementasan reog yang terjadwal 4. Obyogan adalah seni warna lokal yang rutin setiap bulan purnama di panggung hanya berkembang di pedesaan Ponorogo permanen di alun-alun Ponorogo, yang saja, belum pernah ada Obyogan dari diisi oleh kelompok-kelompok reog dari

41 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

daerah lain. Sehingga tidak perlu ada yang baik sehingga semakin laris dan banyak festival Nasional. Kalau Lomba penari pemasukan uangnya. Obyogan pernah ada, hanya sekali. Upaya-upaya yang dilakukan oleh penari Jathil yang ingin menjadi penari Obyogan, Tarian Obyog sangat berbeda jauh yaitu melalui beberapa tahapan: dengan tarian Jathil, Jathil berkarakter gagah karena sebagai prajurit berkuda (jaman dulu 1. Belajar Tari Obyog dibawakan oleh laki-laki). Sedangkan a. Kebanyakan awal mulanya Obyogan berkarakter wanita yang genit, berangkat dari kesadaran sendiri geraknya lemah gemulai dan gerak setelah melihat bahwa menjadi pinggulnya yang seronok. Maka sangat penari Obyogan dipuja-puja dan bisa diperlukan pelatihan bila akan menari Obyog. mendatangkan uang yang tidak Penari Obyog hampir semuanya bisa menari sedikit. Walaupun sebagian Jathil, sebaliknya penari Jathil banyak yang masyarakat menilai negatif, dalam tidak bisa menari Obyog. (wawancara dengan situasi serba sulit begini menjadi Bambang Wibisono diijinkan dikutib, 2005) penari Obyogan adalah pilihan yang menggiurkan. Motivasi terjun III. Menuju Tari Sebagai Profesi menjadi penari Obyogan bukan sebagai pelestari budaya, namun Sebagai penari bayaran, para penari berdasarkan pertimbangan ekonomi Obyogan telah berupaya meningkatkan semata, jadi terpisah antara kualitas teknik tari serta memperluas berkesenian dengan bekerja di pergaulannya dengan kelompok-kelompok sektor seni. (wawancara dengan reog agar mendapat kesempatan pentas yang Wiwid dan diijinkan dikutib, 2005) berkali-kali. Penari adalah manusia juga yang b. Dilanjutkan belajar tari Obyog memerlukan beberapa kebutuhan hidup, melalui pengamatan, menirukan, menurut Abraham Maslow, ada hirarki mengembangkan dengan ciri kebutuhan manusia, yaitu: pribadi. Tidak ada sanggar maupun kelompok reog yang memberi 1. Kebutuhan fisiologis (makan, sex, pelatihan tari Obyog, ada juga yang hunian). belatih dari penari senior secara 2. Kebutuhan keselamatan (keamanan diri, individual. Disebabkan Obyogan keluarga dan asetnya). bersifat individual tidak 3. Kebutuhan milik dan kecintaan (puas berkelompok seperti reog Festival, sebagai anggota kelompok, berhubungan penari Obyogan bisa bergabung dengan orang lain, kesenangan serta dengan kelompok reog mana saja. pengakuan dari pihak lain). Keluwesan teknik tari menjadi 4. Kebutuhan atas penghargaan (reputasi, modal utama, maka harus berlatih prestasi, kedudukan atau status dll). giat selama beberapa bulan dengan 5. Kebutuhan akan kenyataan diri uji coba dalam beberapa pentas. (pengembangan diri semaksimal c. Berlatih ekspresi wajah yang selalu mungkin, kreativitas, ekspresi diri). tersenyum genit diperkuat lirikan mata yang menggoda. Hal ini Kebutuhan awal merupakan kebutuhan penting karena selama menari penari pokok, setelah terpenuhi akan berlanjut harus mampu menampilkan wajah kebutuhan selanjutnya hingga kebutuhan ke yang semringah, murah senyum lima (Dharmmesta, 2000: 48). tetapi tidak boleh tertawa lebar Selaras dengan upaya penari reog Obyog nilainya akan turun karena dianggap dalam meraih prestasi agar laris manis, maka kurang sopan. mencapai tahapan kebutuhan ke 3 hingga ke 4. Kebutuhan milik dan kecintaan, diraih 2. Mengubah Karakter Tari dengan upaya bergabung dengan kelompok Penari Obyog menggambarkan seni reog yang terkenal dan menjadi penari wanita dalam arti sesungguhnya, menurut

42 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

sejarah penari Jathil dilakukan oleh laki- c. Datang ke lokasi biasanya sudah laki yang menjadi simpanan para Warok, berhias dan mengenakan kostum jadi ada yang berkarakter banci ada juga tarinya yang merupakan milik yang tetap laki-laki normal. Seiring pribadi, dengan demikian terjadi perubahan jaman, seni reog menjadi seni perubahan sikap dengan membuat hiburan dan adanya pelarangan jarak dengan penonton atau sering homoseksual secara agamis, maka penari disebut ”jaim” (jaga imej), yaitu Jathil diganti menjadi wanita semua dengan bersikap anggun tidak sampai sekarang agar lebih menarik. mengacuhkan pada ratusan pasang Tarian Obyog memperkuat peran mata penonton yang melototinya. wanitanya tidak sekedar jadi prajurit Seolah-olah penari tersebut selebriti namun menjadi wanita yang seksi yang bukan dari kalangan masyarakat menggoda iman para lelaki. Jadi ada biasa. transisi karakter dalam penari Jathil, d. Penari Obyogan bisa sebagai hadiah maka diperlukan penampilan berbeda dari seseorang teman kepada yang mendukung kodrati kewanitaannya. temannya yang mengundang reog Perubahan penampilan adalah meliputi: Obyog untuk hajatan penikahan a. Gerak tari lemah gemulai, banyak misalnya. Bila yang punya hajat gerak goyang pinggul bahkan orang terpandang, maka penari memasukkan gerak dangdut yang Obyogan bisa banyak sekali karena sensual, semakin pandai bergoyang beberapa diantaranya adalah pinggul semakin disenangi penonton sumbangan dari teman-temannya. yang kebanyakan para pemuda. Hal itu harus diketahui dan dicatat b. Kostum tidak begitu seronok, hanya bila kelak temannya punya hajatan, kebayaknya yang transparan dia harus ganti menyumbang penari sehingga memperlihatkan perangkat Obyog. Hadiah penari Obyogan baju dalam yang berupa kaos diartikan hanya sebatas menari tidak singlet, serta celana pendeknya yang ada unsur seksualitas. di atas lutut namun tertutup e. Mengubah penampilan dan stocking. Penggunaan ikat kepala Perlakuan eksklusif tersebut perlu dan sampur serta kain panjang dicapai oleh penari Obyog bertujuan adalah sebagai upaya adanya benang untuk menimbulkan psikologis rasa merah atau hubungan dengan aman, menjaga harga diri dan kesenian tradisional. aktualisasi diri atau merepresentasikan diri sebagai 3. Pencitraan penari yang terhormat. Sesuai a. Mengubah citra dengan menjaga dengan hirarki kebutuhan manusia jarak dengan penonton, tidak boleh (Dharmmesta, 2000: 48). akrab dan selalu bersikap anggun sebagai seorang wanita terhormat. 4. Strategi Persaingan b. Perlakuan yang eksklusif, penari Persaingan sangat ketat dan profesi Obyog selalu dijemput mobil yang penari Obyog berusia pendek, bila sudah bagus dan diantar sampai tujuan tidak menarik lagi penampilannya akan bahkan di depan masyarakat yang tergeser oleh pendatang baru yang lebih sudah berkumpul. Datangnya sering segar dan cantik. Budaya populer sangat kali terakhir daripada anggota kental dalam keberlangsungan tari kelompok lainnya. Kesan eksklusif Obyog, yang harus dituntut menjaga didapatkan dengan cara demikian. tubuh penari, kecantikan dan keluwesan Penjemputnya yang menggunakan tariannya. Senantiasa mengikuti mode mobil bisa yang punya hajat atau atau trend tarian dangdut yang menjadi pihak keluarga atau panitia yang acuannya. sudah mengetrahui persyaratan bila Ada kesadaran bahwa menjadi antar-jemput Obyog. penari Obyog hanya bersifat sementara.

43 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

Maka mereka berusaha tetap menarik bagi para gadis-gadis remaja menjadi serta mencari peluang pentas sesering penari Obyug. mungkin untuk meneguk Rupiah yang Honorarium sekali menari Obyog banyak. Setelah tidak laku lagi karena adalah sekitar 100.000–200.000, bayaran dianggap tidak menarik lagi atau usianya tertinggi diterima oleh: pengendang, sudah di atas 25 tahun, banyak yang penari Obyok, penari Barong, pemusik beralih menjadi ibu rumah tangga dan dan pawang, kru. bekerja disektor lain. Tidak ada yang Namun penari Obyog bisa pentas 2 berusaha menjadi pengelola penari kali dalam sehari di tempat lain dengan Obyogan dengan mencari bibit-bibit kelengkapan yang sama, tanpa harus baru, dilatih dan dipentaskan di bawah ganti rias dan kostum, sebab penari naungan kelompoknya. Sehingga tetap Obyog berposisi individual tidak terikat ada keterikatan dirinya dengan kesenian kelompok tertentu, sehingga bebas reog Obyog. Selama ini yang terjadi bergabung dengan kelompok lain. Sudah terjadi pemutusan hubungan dengan reog hal umum bila suatu kelompok reog yang begitu seseorang penari mengundurkan terdiri dari pemusik, pembarong, pawang diri sebagai penari Obyogan, jadi reog adalah anggota komunitas, tetapi penari dianggap sebagai lahan kerja temporer. Obyognya datang dari luar kelompok. Tidak berpikir idealistis bahwa reog Dengan posisi Obyog yang independen sebagai kesenian warisan leluhur yang berdampak pada pemasukan perlu dilestarikan dan dikembangkan. keuangannya lebih banyak daripada Untuk itu penari Obyog berupaya pemusik, pembarong dan pawang yang mencapai: terikat dalam satu kelompok. Memiliki keunggulan fisik dan Sebagai contoh pendapatan saat ketrampilan teknis menari dan merias bulan Agustus yang dianggap bulan diri. Memperluas hubungan dengan paling baik dan laris manis, satu penari sesama penari Obyogan dan seniman atau Obyogan senior seperti Wiwid, dalam kelompok reog, agar ada jejaring kerja satu minggu rata-rata menari 3 kali x Rp. yang solid dan saling menguntungkan. 200.000,- = Rp. 600.000,- x 4 minggu= Melengkapi diri dengan handphone agar Rp. 2.400.000,- Uang sejumlah itu mudah dihubungi dan sepeda motor tentunya sangat besar bagi orang desa, untuk mobilitas yang cepat dan luas. makanya banyak remaja putri yang Melengkapi diri dengan koleksi kebayak tetarik dengan profesi penari Obyogan yang bagus dan selalu baru setiap ada dan memang semakin meningkat jumlah pentas besar. penari Obyogan dari tahun ke tahun. Mempromosikan diri saat tampil dengan Bulan paling sepi adalah bulan Suro, sebaik-baiknya pada setiap pentas, hampir tidak ada tanggapan pentas. penonton akan memperhatikan dirinya Dapat dikatakan penari Obyog dan akan mencatat nama maupun nomor sebagai bintang tamu yang selalu teleponnya. ditunggu-tunggu masyarakat, mereka datang dari puluhan kilometer dari desa 5. Pendapatan lain hanya untuk melihat dan menari Reog Obyog sangat laris, apabila bersama Obyog, bila penari Obyognya musim hajatan perkawinan, nadar, bersih terkenal seperti Wiwid, Kus dan Utami desa, sunatan dan tujuh belasan, hari maka semakin ramai penontonnya. Raya dan lain-lain yaitu pada bulan Strata sosial penari Obyogan Agustus Penari-penari panen duit. Reog berbeda dengan masyarakat umum, Obyog sebagai seni profan, telah karena pendapatannya lumayan besar mengubah paradigma lama tentang dibandingkan pendapatan masyarakat fungsi reog tradisional untuk sarana ritual desa umumnya. Namun ada yang komunitas, bukan untuk mencari nafkah. mencibir karena dianggap penari Obyog Diubah oleh reog Obyogan menjadi sebagai penggoda iman laki-laki, sarana untuk mencari nafkah terutama memang ada beberapa kasus yang

44 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

melibatkan hubungan terlarang antara tanggungan orang tuanya. Walaupun penari Obyog dengan penggemarnya, ada penari yang menjadi tulang menjadi istri simpanan. Semua profesi punggung keluarga dalam bisa berbuah hal yang negatif, tergantung perekonomian, karena sudah dari dua individu yang terlibat. menikah dan punya anak seperti yang dialami oleh penari Utami, 6. Pengeluaran yang saat ini menjadi primadona Sebagai penari Obyogan harus karena kecantikannya serta mengeluarkan uamg untuk: keluwesannya yang berhasil a. Membeli kosmetika seharga Rp. menobatkan dirinya sebagai juara 2 200.000,- untuk beberapa bulan ke dalam lomba penari Obyogan, di depan. Biasanya belanja saat bawah Wiwid yang juara 1. kosmetikanya sudah habis, tidak setiap saat beli kecuali yang dipakai Bila dihitung-hitung dalam satu untuk sehari-hari. tahun, penari yang laris tetap meneguk b. Membeli kain untuk kebayak dan keuntungan yang lumayan banyak, bisa ongkos jahitnya, sekitar Rp. membeli kesenangan yang diimpikan 200.000,- sepotong dan bisa oleh para remaja pada umumnya yaitu digunakan untuk beberapa tahun ke makan minum di restoran, membeli hp depan dengan bergantian dengan produk terbaru, membeli pakaian sehari- koleksinya yang sudah dimiliki hari yang modis. Namun tidak ada sebelumnnya. Ukuran harus pas dan pengeluaran yang ditujukan untuk ketat melekat di badan, jadi harus meningkatkan kualitas teknik tari dan memiliki sendiri beberapa kebayak teknik tata rias, yang akan berguna di dengan warna-warna yang disukai. masa mendatang saat sudah tidak laris Pada umumnya sudah bisa menjadi penari, berganti menjadi pelatih menyesuaikan diri antara warna tari dan membuka salon kecantikan. kulit dengan warna kain Belum ada penari Obyogan yang kebayaknya. Seperti Wiwid yang memikirkan masa depan secara bisnis berkulit gelap tidak akan mau atau menanamkan modal, masih mengenakan warna-warna merah berpikiran pendek untuk bersenang- muda dan kuning, lebih senang senang saja. mengenakan warna biru sedang Menurut teori manajemen bahwa dengan model kebayak dan kain pelaku harus memiliki standartisasi yang berbeda-beda. Paling sering profesional, apakah penari Obyog membeli stocking yang tipis karena memiliki ciri profesional?: mudah robek, namun harganya yang a. Memiliki standar unjuk kerja yang murah tidak menjadikan beban. baku dan jelas tentang hal-hal yang c. Membeli hand phone, ada yang dikerjakannya. Sesuai kadarnya seharga di atas Rp. 1.500.000,- memang demikian halnya di dalam terutama bagi penari yang laris. penari Obyog, sangat jelas Setiap saat harus membeli pulsa. peranannya sebagai penari serta Hubungan bisnisnya sering melalui penghibur. sms atau telepon, maka alat b. Anggota profesi memperoleh komunikasi tersebut sata penting. pendidikan tinggi yang memberikan d. Membeli sepeda motor untuk dasar pengetahuan yang mobilitas dan menunjukan bertanggungjawab. Bila diukur keberhasilannya. secara akademis justru penari Obyog e. Mencukupi kebutuhan sekunder lebih banyak para gadis remaja yang sehari-hari, para penari yang remaja lulus SMP atau SMA saja, tidak masih ikut orang tua, maka berpendidikan akademi seni. Namun kebutuhan primernya seperti: makan alam dan lingkungan yang dan tempat tinggal masih menjadi membentuknya, bahkan

45 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

pengetahuan itu tidak akan didapat dengan harapan sarana itu sebagai di bangku akademi. promosi yang ampuh. Apabila dalam c. Memiliki lembaga pendidikan perkembangannya ada orang yang khusus yang menghasilkan tenaga tertarik dan memanggil untuk pentas profesi yang dibutuhkan. Lembaga secara independen, merupakan debutnya atau sanggar tidak ada yang melatih memasuki arena kompetitif dalam Obyogan, mereka tumbuh sendiri kesenian rakyat yang terlihat lembut secara independen dan tidak ada namun sesungguhnya sangat keras latihan yang intensif, bahkan penari persaingannya, sangat dimungkinkan Obyog yang sudah laris tidak mau menggunakan jasa paranormal (dukun) lagi berlatih meningkatkan kualitas untuk mendongkrak popularitas. Dunia teknik tarinya, sudah puas dengan reog identik dengan dunia mistis. kondisinya dan itupun sudah dapat Pemasaran masih menggunakan duit yang cukup. gaya tradisional yaitu secara lisan atau d. Memiliki organisasi profesi yang dari mulut ke mulut. Biasanya untuk memperjuangkan hak-hak penari Obyogan yang belum dikenal, anggotanya, serta bertangungjawab pemasarannya melalui pihak ke dua yaitu untuk meningkatkan profesi yang ajakan dari penari Obyogan senior, bersangkutan. Tidak ada organisasi ajakan dari kelompok reog atau profesi yang menangani, hanya rekomendasi dari orang yang pernah organisasi kesenian atau organisasi melihat. Sedangkan penari Obyogan yang kemasyaratan yang mencintai reog sudah terkenal biasanya mendapat job Obyog namun tidak jelas bentuknya. kerja langsung dari pihak pertama, Sebab dari kalangan inilah reog melalui sms, telepon atau bertemu Obyog menjadi bertahan hidup. langsung setelah pentas atau di e. Adanya pengakuan yang layak dari kesempatan lain (wawancara dengan masyarakat. Nampak jelas Wibisono diijinkan dikutib, 2008). pengakuan dari masyarakat dengan Biasanya konsumen jarang banyaknya undangan pentas bagi menanyakan berapa harga kontraknya, penari Obyog. karena sudah mengetahui kisaran harga f. Adanya sistem imbalan yang dari keterangan orang lain yang pernah memadai, sehingga anggota profesi memanggilnya. dapat hidup dari profesi. Belum Kontrak itu sudah termasuk sewa merata, namun penari Obyog dapat kostum dan tata rias, tidak termasuk hidup layak. Anggota lain tidak bisa transportasi dan konsumsi. Konsumen hidup hanya dari reog, maka harus menyediakan mobil untuk mencari pekerjaan lain seperti menjemput dan mengantar kembali pegawai negeri, pengrajin pulang. perlengkapan reog, jadi guru dan Pemasaran hanya untuk wilayah sebagainya. Kabupaten Ponorogo, masih sangat g. Memiliki kode etik yang mengatur jarang Obyogan dipentaskan di luar setiap anggota profesi. Jelas Ponorogo, dikarenakan Obyogan memiliki kode etik yang terwujud merupakan ekspresi warna lokal asli yang dari masing-masing peran. berkarakter khas Ponorogo. Penulis sudah berupaya untuk mementaskan 7. Pemasaran Obyogan di Taipei dalam suatu festival Walaupun tidak bernaung pada Tari, sebenarnya yang dipentaskan hanya suatu grup reog, penari Obyogan reog Festivalan, tetapi untuk variasi bergabung dengan sesama penari diselipkan Obyogan karena pentasnya Obyogan terutama yang senior, guna perhari 3 kali selama 5 hari. Terlihat mendapat kesempatan ajakan pentas Penarinya lebih antusias saat menari meski tanpa bayaran, yang terpenting Obyogan daripada menari Jathil, berlatih tampil di depan masyarakat luas mungkin merupakan luapan emosinya

46 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

yang sebenarnya dan kalau menari festivalan sudah dimiliki banyak daerah. Jathilan harus mengeluarkan tenaga Maka sikap pemerintah diam pura-pura tidak ekstra kuat sedangkan menari Obyogan tahu tentang keberadaannya. lebih santai dan hemat tenaga. Diperlukan turun tangan pemerintah Surut sebagai penari biasanya untuk memberikan wawasan mengelola disebabkan oleh: keuangan bagi penari Obyogan yang a. Sudah menikah dan tidak diijinkan umumnya para remaja putri, untuk bekal masa oleh suami. mendatang, agar tidak menjadi pengangguran b. Usia sudah masuk dewasa dan tidak setelah tidak laku lagi menjadi penari. menarik lagi secara fisik. Program tersebut justru membantu pemerintah c. Tidak lagi menjadi anggota untuk mengentaskan kemiskinan dan kelompok reog (wawancara dengan mengurangi pengangguran dengan membuka Bambang Wibisono dan diijinkan lapangan kerja secara mandiri. dikutib, 2008). Keberadaan penari reog Obyogan perlu dilestarikan keberadaannya, juga akan berefek IV. Kesimpulan pada pelestarian budaya tradisi kerakyatan. Juga sebagai salah satu penghalang terjadinya Manajemen Obyog masih tradisional, urbanisasi dan migrasi bila tecipta peluang hanya berjalan secara alami, artinya tidak kerja mandiri, tidak tergantung pemerintah. memiliki ketentuan seperti di dalam Perlu dicatat Ponorogo merupakan salah satu manajemen profesional: daerah pensuplai tenaga kerja ke luar negeri. Penari Obyog tidak memiliki manager Partisipasi para remaja putri sebagai penari yang bisa mengurusi semua kebutuhan Obyogan juga perlu diberi penghargaan, saat perlengkapan menari, mengurusi kontrak ini sangat jarang anak muda mau kerja, mencarikan peluang-peluang pentas dan berkecimpung di kesenian tradisional. menentukan nilai honorariumnya secara Penghargaan bisa berupa pelatihan kerja, bea kompetitif. Masih menggunakan manajemen siswa sekolah lanjutan atas bahkan kalau bisa tradisional yaitu semua ditangani sendiri dan sampai perguruan tinggi. Niscaya akan hanya mengandalkan nilai kepercayaan. bermanfaat membangun kesenian rakyat Tidak ada standart nilai kontrak secara Obyogan agar tidak dipandang sebelah mata jelas, hanya kisaran harga Rp. 200.000,- sekali oleh sebagian orang. pentas. Penari Obyog banyak yang tidak mau DAFTAR RUJUKAN meningkatkan kualitas teknik tarinya dengan berlatih terus menerus guna meningkatkan Dharmmesta, Basu Swastha, T. Hani Handoko nilai jual, karena dengan kondisi seperti itu (2000). Manajemen Pemasara: Abalisa saja mereka sudah dapat uang. Uang adalah Perilaku Konsumen. BPEE, Yogyakarta segalanya. Memandang menari Obyogan sebagai Hartono. 1980. Reog Ponorogo. Proyek Penulisan suatu pekerjaan yang mendatangkan Rupiah dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan semata, bukan sebagai pahlawan pelestari Umum dan Profesi-Departemen Pendidikan kebudayaan. dan Kebudayaan: tanpa kota Ada unsur-unsur yang merusak nama baik Obyogan, yaitu setiap pentas beredar Indrawijaya, Adam (2000). Perilaku Organisasi. minuman keras yang dibawa sendiri oleh Sinar Baru Algensindo, Bandung. penonton dan adanya oknum penari yang bisa dibawa tidur dengan bayaran tertentu, bahkan Kotler, Philip. 1980. Manajemen Pemasaran: ada beberapa penari yang menjadi istri Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan simpanan dari oknum tokoh masyarakat. Kontrol. Terjemahan Hendra Teguh tahun Pemerintah Ponorogo mengalami dilematis, 1997 dkk. PT. Prenhallindo, Jakarta. tidak bisa melarang kesenian rakyat yang dicintai masyarakatnya, disisi lain Obyog Kumorohadi, Tugas. 2004. ”Reog Obyogan: menjadi identitas asli Ponorogo, karena reog Perubagan dan Keberlanjutan Cara penyajian

47 Hendro Martono (Reog Obyogan Sebagai Profesi) ISSN: 1858-3989

dalam Pertunjukan Reog Ponorogo”. Tesis S2 Sumber Lisan: Pengkajian Sekolah Tinggi Seni Indonesi Surakarta 1. Bambang Wibisono (45 tahunan), sarjana tari lulusan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Maryaeni, 2005, Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya yang menjadi pegawai di kantor PT. Bumi Aksara, Jakarta. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ponorogo, dan menjadi pengurus organisasi reog Probo Pantja, Erlina dan Hendro Martono (2009). Wengker milik pemerintah Kabupaten ”Perancangan Koreografi Reog Obyog: Upaya Ponorogo. Pengembangan Seni Rakyat Ponorogo”. Laporan Penelitian Hibah Bersaing DP2M 2. Yuni (40 tahunan), sarjana tari lulusan IKIP DIKTI Surabaya, sekarang mengajar di sebuah SMP di Kabupaten Ponorogo dan menjadi pelaku Permas, Achsan dkk. 2003. Manajemen Organisasi serta pengurus grup reog Probo Wengker Seni Pertunjukan. PPM, Jakarta milik pemerintah.

3. Wiwid (25 tahunan) penari Obyogan pernah meraih juara 1, eksis sebagai penari Obyogan terlaris di tahun 2005.

48 Volume 3 No. 1 Mei 2012 ISSN: 1858-3989 p. 49-56

Tari Gandrung Terob Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi

RINA MARTIARA* dan ARIE YULIA WIJAYA** Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Jalan Parangtritis KM 6,5 Sewon, Bantul, tlp. 0274-375380, email:[email protected]

Abstract Tari Gandrung Terob sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi. Gandrung Terob merupakan objek yang dikaji guna mengupas pola pikir masyarakat Using Banyuwangi. Sudut pandang yang dipakai adalah Strukturalisme Levi-Strauss. Struktur merupakan susunan bagian-bagian dari suatu sistem yang saling terkait. Segala sesuatu yang memiliki bentuk diyakini memiliki struktur. Struktur kalimat dalam bahasa yang terdiri atas susunan huruf, fonem, dan kata, tidak akan memiliki arti apabila tidak terdapat relasi-relasi yang menghubungkannya untuk mendapatkan struktur yang bermakna. Keberadaan tari Gandrung Terob dilihat secara menyeluruh, tidak saja sebatas teks dan keterkaitan antar teks saja, melainkan pada konteks sosial budaya masyarakatnya. Melalui cara pandang holistik ini akan ditemukan pola pikir masyarakat Using sebagai pemilik tari Gandrung Terob. Hal yang paling mendasar dalam melihat pola pikir adalah melihat konsep, sehingga Gandrung Terob tidak hanya dilihat sebagai artefak semata melainkan sebagai pandangan hidup atau ideologi masyarakat Using sebagai penyangganya.

Key Words: Gandrung Terob, Using, Identitas Kultural

Pendahuluan gawe. Untuk itu ada perbedaan antara pertunjukan Gandrung yang dipakai sebagai tarian Gandrung Terob merupakan salah satu bentuk penyambutan tamu dengan Gandrung Terob yang kesenian tradisional masyarakat Using dilaksanakan berkaitan dengan sebuat gawe yang Banyuwangi. Kata Ganrung sangat lekat dengan dilakukan oleh seseorang. seorang wanita yang berbusana basahan, kain Bentuk pertunjukan Gandrung Terob panjang, sampur, kaos kaki berwarna putih, Banyuwangi dipahami sebagai seni yang omprog serta membawa properti kipas. Omprog menghadirkan tari dan vokal, dengan dua orang adalah hiasan kepala seperti mahkota yang dibuat atau lebih penari puteri yang disebut Gandrung. dari kulit lembu dengan berbagai ragam pahatan, Pada saat pertunjukan, akan terjadi interaksi antara yang di bagian bawahnya diberi rumbai berwarna penari Gandrung, pengrawit, pemaju1 dengan kuning emas, sedangkan bagian atasnya dihiasi penonton. Instrumen pengiring yang digunakan kembang goyang berwarna emas pula, dengan yaitu seperangkat gamelan Banyuwangi yang bentuk kelompok bunga masing-masing berjumlah terdiri dari dua buah biola, kethuk, dua buah empat buah yang terbuat dari kulit atau logam, dan kendhang, gong, dan kluncing (triangle). Suara ditopang dengan pegas, sehingga saat penari instrumen musik yang digunakan dalam Gandrung bergerak, hiasan pada omprog dapat pertunjukan Gandrung Terob terbilang unik dan bergoyang-goyang. Di dalam pandangan khas yang ditandai dengan suara biola yang masyarakat Banyuwangi, Gandrung dimaknai melengking disertai vokal penari Gandrung yang dalam beragam arti; yakni dapat berarti sebagai melengking pula. keseluruhan bentuk pertunjukan, sebagai sebutan Tulisan ini memandang tari Gandrung Terob untuk si penari putri, bahkan wanita yang memakai sebagai identitas kultural masyarakat Using busana dan tata rias untuk event-event tertentu Banyuwangi guna mengupas humand mind dengan (misal dalam karnaval) juga disebut Gandrung menggunakan analisis struktural Lévi-Strauss. walaupun ia tidak menari. Adapun terob berarti Fokus strukturalisme Lévi-Strauss bertolak pada tenda, yaitu satu bangunan yang dibuat non permanen ketika seseorang memiliki hajat atau 1Pemaju adalah penari laki-laki yang menari bersama penari gandrung saat babak paju dalam pertunjukan Gandrung Terob.

49 Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi) linguistik, akan tetapi penekanannya bukan pada upacara perkawinan terdiri dari 3 rangkaian yaitu: makna kata, melainkan pada bentuk kata. Prinsip Giro, Topengan, dan Gandrung. fundamentalnya adalah bahwa pengertian (atau istilah) struktur sosial tidak berkaitan dengan Giro realitas empiris, melainkan dengan model-model Sebelum pertunjukan tari Gandrung dimulai, yang dibangun menurut realitas empiris tersebut akan selalu diawali dengan memainkan gendhing (2009:378). Bangunan dari model-model yang disebut Giro. Giro adalah bentuk gendhing tersebutlah yang akan membentuk struktur sosial. yang lazim digunakan di wilayah Jawa Timur pada Melalui Gandrung Terob sebagai teks sekaligus umumnya. Bentuk gendhing giro yang sebagai model akan digali struktur sosial berkembang di wilayah Jawa Timur ini dapat masyarakat Using yang berkaitan dengan nilai- disetarakan dengan gendhing Lancaran yang nilai budaya, pola pikir maupun gejala sosial dikenal di daerah Yogyakarta dan Surakarta, yaitu budaya. Lévi-Strauss memandang bahwa apa yang bentuk gendhing yang dalam satu gongannya ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia terdiri dari 8 ketukan.2 Gendhing Giro merupakan tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan bentuk musik instrumental yang memiliki beberapa dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, fungsi, antara lain: untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu a. Sebagai tanda bahwa akan ada pertunjukan masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa. Gandrung di tempat tersebut, yang bagi Struktur kalimat dalam bahasa yang terdiri atas masyarakat sekitar merupakan undangan susunan huruf, fonem, dan kata tidak akan untuk turut hadir berpartisipasi di dalam memiliki arti apabila tidak terdapat relasi-relasi kegiatan tersebut. yang menghubungkannya. Berkaitan dengan b. Sebagai pengawal pertunjukan Gandrung. Gandrung Terob yang tersusun dari beberapa c. Sebagai musik pengiring kehadiran tamu- unsur, dalam mendeskripsikannya harus dipilah tamu undangan yang merupakan wujud unsur-unsur tersebut beserta penghubungnya untuk penghormatan tuan rumah kepada tamu-tamu mendapatkan struktur yang bermakna. yang menghadiri acara. Penentuan Gandrung Terob sebagai identitas d. Sebagai pengisi waktu kosong sebelum kultural yang dapat mengungkapkan humand mind pertunjukan dimulai, saat menunggu penari masyarakat Using Banyuwangi didasarkan pada Gandrung berdandan. dua alasan, pertama Gandrung merupakan seni tradisi yang bisa dikatakan paling tua yang ada di Topengan Banyuwangi sebagaimana tertulis dalam Serat Di beberapa kelompok kesenian Gandrung Bayu yang menyatakan bahwa Gandrung pertama Terob, pada bagian pertunjukan diawali dengan kali muncul, pada saat terjadinya Perang Puputan tari yang disebut dengan Topengan. Topengan ini Bayu. Alasan kedua karena dalam setiap upacara- merupakan tari yang menggambarkan kesatria upacara penting di masyarakat Using, seperti Petik yang dilakukan sebelum pertunjukan tari Gandrung Laut dan perkawinan, selalu menampilkan Terob dimulai. Topengan dilakukan oleh salah pertunjukan Gandrung Terob. seorang penari Gandrung yang memakai kostum celana panji dan kemben (bukan menggunakan Struktur Pertunjukan Gandrung Terob kostum tari Gandrung). Menurut cerita turun temurun, penari Gandrung yang pertama kali Struktur pertunjukan adalah keseluruhan menarikan Topengan sebelum pertunjukan peristiwa yang merangkai kehadiran tari di Gandrung Terob dimulai bernama Awiyah, pada dalamnya. Gandrung Terob sangat lekat dengan sekitar tahun 1930-an.3 Urutan pertunjukan upacara perkawinan, dan khususnya hanya dipertunjukkan pada pesta perkawinan. Pemilihan 2 Wawancara dengan Untung Muljono pada tanggal 4 tari Gandrung Terob dan rangkaian urut-urutan Desember 2010. pada pesta perkawinan masyarakat Using menjadi 3 Menurut Fatrah Abal, Awiyah merupakan penari Gandrung bermakna dan bisa dimengerti dalam totalitas yang berasal dari daerah Mangir, tetapi Awiyah menarikan tari Topengan pertama kali di Desa Bakungan. Pernah dijumpai pula konteks masyarakat Using, dan setiap urutannya pertunjukan Gandrung yang diawali dengan tari Bondan pada tahun tidak akan memberikan penjelasan yang berarti 1950-an. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh Jawa Kulonan pada kesenian Gandrung saat itu. Jawa Kulonan merupakan istilah yang bila dilihat sebagai peristiwa terpisah. Adapun digunakan masyarakat Using terhadap orang-orang Jawa yang berasal struktur pertunjukan Gandrung Terob dalam dari Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya.

50 Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi) ISSN: 1858-3989 selanjutnya adalah Gandrung yang merupakan inti Pemendekan delapan bait lirik Padha Nonton dari keseluruhan pertunjukan Gandrung Terob. menjadi hanya 2 bait saja, dikarenakan pada sekitar Untuk itu struktur tari Gandrung Terob diuraikan tahun 90-an para peminat kesenian Gandrung dalam deskripsi yang lebih terperinci. mulai terpengaruh adanya ekses minuman keras saat pertunjukan.5 Hal ini seringkali menyebabkan Struktur Tari Gandrung Terob kegaduhan dan keadaan yang kurang menyenangkan yang diakibatkan ulah sebagian Tari merupakan salah satu bentuk seni penonton yang mulai kehilangan kendali kesadaran pertunjukan yang kompleks. Ia tidak hanya diri akibat pengaruh minuman keras tersebut. Oleh dipahami sebagai wujud dari gerak semata, karena itu dengan tujuan agar tidak menimbulkan melainkan keseluruhan peristiwa yang merangkai hal yang tidak diinginkan tersebut maka waktu hadirnya wujud itu di dalam masyarakat. Dalam dipersingkat dengan cara memotong delapan bait pertunjukan tari terdapat banyak unsur-unsur yang lirik lagu menjadi hanya dua bait saja. mendukung seperti musik, properti, kostum, tata rias, setting, tata cahaya, dan tubuh penari itu Paju sendiri. Tari juga dapat dikatakan sebagai media Pada babak paju penari Gandrung akan komunikasi, karena gerak yang ada dalam tari memberi kesempatan kepada para penontonnya adalah bahasa tubuh. Bahasa tubuh yang muncul untuk maju bersama dalam kalangan (arena merupakan ungkapan perasaan dari masyarakat pertunjukan) guna menunjukkan kemampuan pemiliknya. Berkaitan dengan tari yang merupakan mereka dalam bidang seni tari atau seni bela diri. ungkapan perasaan dari masyarakat pemiliknya, Gendhing-gendhing yang digunakan sebagai tari Gandrung merupakan bentuk ungkapan yang pengiring dalam babak ini sangat beraneka ragam jujur mengenai perasaan dan pengalaman dan bisa disesuaikan dengan permintaan penonton. masyarakat Using yang mencerminkan nilai-nilai Dalam pengaturan urutan penonton yang menari humand mind (nalar kemanusiaan) di balik bentuk bersama Gandrung, diatur oleh seorang laki-laki pertunjukan. Struktur tari Gandrung Terob terdiri pengatur acara yang disebut Pramugari atau dari 3 babak, yaitu Jejer, Paju, dan Seblang- Gedhog. seblang. Pertunjukannya biasanya dimulai pada pukul 21.00 dan berakhir pukul 04.00 dini hari, berlangsung sekitar 7 jam.

Jejer Pada babak ini penari Gandrung memulai pertunjukan dengan berdiri di tengah-tengah kalangan (arena pertunjukan) dengan melantunkan Gendhing Padha Nonton. Saat menyanyi, ia menutupi wajahnya dengan membentangkan kipas di depan mulutnya. Sebelum melantunkan gendhing Padha Nonton, penari Gandrung menari sesuai dengan ketukan musik pengiringnya. Tarian ini disebut Jejer4 dan berlangsung sekitar 15 sampai 20 menit. Gendhing Padha Nonton wajib dilantunkan pada babak ini, terdiri dari delapan bait dan setiap baitnya terdiri dari empat lirik. 5 Dari sudut pandang ajaran agama Islam, minuman beralkohol Delapan bait dalam lirik ini menggunakan bahasa haram hukumnya untuk dikonsumsi. Hal ini berbeda dengan konsep Using Cara Besiki. Satu bait dalam tembang Jawa minuman beralkohol yang tidak jarang ditemui dalam seni tradisi rakyat. Minuman beralkohol dalam seni tradisi rakyat dianggap disebut juga sak pada. Pada perkembangan memberikan efek keberanian agar penari menari lebih bebas, spontan, sekarang ini Gending Padha Nonton dalam dan tanpa beban. Ketika penari dalam keadaan tidak sadar dipercaya praktiknya hanya dilantunkan dua bait pertama. mampu untuk berhubungan atau melakukan kontak dengan dunia magis yang berhubungan dengan para leluhur. Tujuan meminum minuman beralkohol diasumsikan juga bahwa si penari bukan lagi 4 Jejer berarti berjajar, dalam bahasa Jawa disebut jéjér. Istilah „mejadi dirinya sendiri‟, melainkan menjadi sosok lain yang nantinya jejer digunakan sebagai nama babak pertama dalam pertunjukan tari akan menjadi wadah atau sarana pertemuan antara yang ghaib, yang Gandrung Terob Banyuwangi, karena pada babak pertama penari diharapkan dapat mempengaruhi manusia dalam hubungannya dengan Gandrung memulai atraksinya dengan berjajar. yang di atas.

51 Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi)

1. Pelaku Pertunjukan

Pelaku pertunjukan adalah semua orang yang turut berpartisipasi dalam sebuah pertunjukan. Pelaku pertunjukan dalam Gandrung Terob terdiri dari penari Gandrung, pemaju, pemusik, pengudang, dan gedhog. Penari Gandrung ada dua macam, yaitu penari Gandrung keturunan dan bukan keturunan. Penari Gandrung keturunan yaitu penari Gandrung yang memiliki darah keturunan dari seorang penari Gandrung, bisa diperoleh dari ibu atau nenek. Penari Gandrung bukan Gambar 1: Pertunjukan Gandrung dalam babak keturunan adalah penari Gandrung yang paju berasal dari masyarakat biasa yang tidak (sumber:Dariharto, 2009, Kesenian Gandrung memiliki garis keturunan dari seorang Banyuwangi, Dinas kebudayaan dan Pariwisata Gandrung. Pemaju adalah orang yang menari Banyuwangi, p. 44. bersama penari Gandrung saat babak Paju.

Pemaju berasal dari tamu dan penonton yang Seblang-seblang hadir dalam pertunjukan Gandrung Terob. Dalam babak ketiga penari Gandrung wajib Pemusik dalam pertunjukan Gandrung melantunkan gendhing sebanyak lima buah antara Terob biasanya berasal dari masyarakat Using lain gendhing Seblang Lokinta, Sekar Jenang, yang senang akan kesenian. Ada pemusik Kembang Pepe, Sondreng-sondreng, dan Kembang yang memiliki latar belakang pekerjaan Dirma. Seblang-seblang berasal dari kata seblang6 sebagai petani, pegawai, buruh, dan pedagang. yang berarti trance yaitu keadaan seseorang yang Ada pula yang berprofesi sebagai pemusik sedang terputus dengan sekelilingnya, seperti untuk mata pencahariannya. Pemusik dalam orang meditasi.7 Seblang juga diartikan keadaan pertunjukan Gandrung Terob pada umumnya orang yang sedang kesurupan atau kemasukan roh tidak mengenal notasi musik secara formal, halus sebangsa jin atau arwah orang yang sudah mereka bisa memainkan alat musik secara meninggal dunia. Ketika penari Gandrung otodidak. Mereka mengandalkan indera melantunkan gendhing-gendhing wajib di babak pendengaran dan mengasah kepekaan rasa ini dengan penuh penghayatan, maka penari terhadap musik yang mereka mainkan. Gandrung bisa kesurupan atau dalam keadaan tidak Pengudang yaitu seorang panjak atau sadar. Hal tersebut menyebabkan babak akhir wiyaga8 yang bertanggung jawab memandu pertunjukan Gandrung disebut dengan babak penari Gandrung selama pertunjukan Seblang-seblang. berlangsung. Pengudang disebut juga Tukang

Kudang karena selama pertunjukan selalu Analisis Teks Pertunjukan melontarkan celotehan-celotehan yang lucu atau bersifat komedi. Gedhog adalah seorang Memandang tari dari sisi bentuk atau teks, yang bertugas sebagai pengatur acara dalam dapat diuraikan antara lain: pelaku pertunjukan, pertunjukan Gandrung Terob. Gedhog tata busana dan tata rias, waktu dan tempat mengatur giliran para pemaju untuk menari pertunjukan, pola lantai, dan gerak tari. bersama penari Gandrung.

6 Di Banyuwangi, daerah Oleh Sari dan Bakungan terdapat pula upacara sakral yang disebut Seblang. Seblang merupakan upacara sakral yang berkaitan dengan upacara magis untuk mendatangkan roh halus, roh leluhur atau Sang Hyang. 8 Panjak atau wiyaga yaitu pemain musik tradisional. Dalam 7 Wawancara dengan Hasnan Singodimayan pada tanggal 27 pertunjukan Gandrung Terob, panjak digunakan sebagai sebutan Februari 2010 untuk pemusik.

52 Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi) ISSN: 1858-3989

2. Tata Busana dan Tata Rias Pelaku Kesenian Gandrung Terob

Busana penari Gandrung terdiri dari omprog, basahan, sampur, kain panjang, kaos kaki berwarna putih, dan membawa properti kipas. Basahan, yaitu busana penari Gandrung yang terdiri dari kemben, kelat bahu, ilat-ilat, pending, semong, dan oncer. Tata rias yang digunakan oleh penari Gandrung yaitu rias korektif atau riasan yang bertujuan mempercantik wajah penari. Tidak terdapat pakem atau aturan khusus dalam tata rias yang dikenakan, akan tetapi penari Gandrung wajib menggunakan lulur yang diusapkan merata ke seluruh bagian tubuh. Lulur yang digunakan biasa disebut dengan boreh. Boreh yang digunakan berwarna kuning emas yang dipercaya memiliki unsur magis sebagaimana warna kuning emas yang merupakan lambang dari keagungan dan menolak bala. Kostum yang dikenakan oleh wiyaga atau pemusik yaitu atasan lengan panjang dan Gambar 2: Seorang penari Gandrung (Foto: Arie celana panjang yang diseragamkan warnanya. Yulia Wijaya) Tidak terdapat ketentuan khusus untuk

kostum pemusik. Aksesoris yang dikenakan pemusik adalah udeng, yaitu hiasan dari kain 3. Waktu dan Tempat Pertunjukan

khas Banyuwangi yang dikenakan di kepala. Pertunjukan Gandrung dilaksanakan pada malam hari, beberapa saat setelah waktu Sholat Isya‟ hingga menjelang waktu Subuh atau sekitar pukul 21.00 sampai 04.00. Tempat pelaksanaan pertunjukan Gandrung Terob yaitu di halaman rumah, di dalam tenda hajatan atau terob. Arena pertunjukannya disebut dengan kalangan. Gandrung Terob diselenggarakan setelah acara inti dari hajatan dilaksanakan. Apabila dalam pernikahan, maka Gandrung Terob dipertunjukkan setelah acara akad nikah berlangsung dan apabila dalam acara khitanan, si anak lelaki sudah dikhitan. Pada umumnya kelompok kesenian Gandrung Terob memiliki pembagian waktu dalam pertunjukannya. Hal ini bertujuan untuk menyiasati agar pertunjukan Gandrung Terob dapat selesai tepat waktu, tidak sampai melampaui setelah waktu Subuh, walaupun tamu yang datang banyak jumlahnya. Pembagian waktu dalam pertunjukan Gandrung Terob:

53 Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi)

Babak dalam Pukul Pertunjukan Gandrung Jumlah tamu banyak Jumlah tamu sedikit Giro 20.30-21.00 20.30-21.00 Jejer 21.00-21.30 21.00-21.30

21.30-03.30 21.30-01.30

Paju (setelah babak ini kelompok (setelah babak ini biasanya kesenian Gandrung istirahat penari Gandrung istirahat sekitar hingga waktu Sholat Subuh 30 menit) selesai) Seblang-seblang 04.00-05.00 02.00-03.00

4. Pola Lantai melantunkan gending Padha Nonton. Ada kelompok kesenian Gandrung yang Pola lantai penari Gandrung sebagian memasukkan unsur gerak tari jaipongan, besar berbentuk lintasan yang melingkar atau kuntulan, jaranan, bahkan goyang pinggul mengitari arena pertunjukan. Pada babak dengan berbagai variasinya. Jejer, penari Gandrung baris berjajar di arena Menurut Bapak Serade, yang perlu pertunjukan dan di bagian akhir yakni babak dijadikan pegangan oleh penari dalam Jejer penari Gandrung melakukan gerak tari pertunjukan Gandrung yaitu bunyi gong cilik langkah nyiji9 dengan melintasi arena harus jatuh pada kaki kiri sedangkan bunyi pertunjukan. Pada saat babak Paju, penari gong gedhe jatuh pada kaki kanan. Dalam Gandrung mengawali babak dengan menari pertunjukan Gandrung, penari laki-laki tidak dan melantunkan gendhing permintaan tuan boleh mengangkat kaki terlalu tinggi, hanya di rumah di atas pelaminan. Setelah semua bawah lutut untuk ukuran angkatan kakinya, permintaan gendhing dari tuan rumah berbeda dengan gerak kaki dalam tari Jawa dilantunkan, penari Gandrung mulai turun ke yang disebut dengan junjungan. Menurut arena penonton dan kemudian menyanyi serta masyarakat Using, gerak mengangkat kaki menari bersama tamu. Tamu dan penonton yang terlalu tinggi dianggap kurang sopan yang menari bersama penari Gandrung (bengkak). disebut pemaju. Pada babak terakhir yaitu Instrumen pengiring yang digunakan babak Seblang-seblang, penari Gandrung yaitu seperangkat gamelan Banyuwangi yang menari dan melantunkan gendhing terdiri dari dua buah biola, kethuk, dua buah penutupnya di tengah-tengah arena kendhang, gong, dan kluncing (triangle). pertunjukan. Suara instrumen musik yang digunakan dalam pertunjukan Gandrung Terob yang merupakan 5. Gerak Tari dan Instrumen Pengiring khas Banyuwangi adalah suara biola yang melengking, disertai vokal penari Gandrung Tidak terdapat pakem atau aturan khusus yang melengking pula. mengenai motif-motif gerak yang ada dalam pertunjukan Gandrung, namun tiap gerakan Struktur Pola Pikir Masyarakat Using harus sesuai dengan ketukan pada musik Banyuwangi pengiringnya. Saat ini motif gerak dalam Gandrung mengalami perkembangan karena Berbagai penanda dalam pertunjukan tari telah banyak dikreasikan oleh para pelakunya. Gandrung Terob adalah sebuah struktur. Struktur Motif gerak yang banyak dikreasikan ada merupakan unsur-unsur pembangun yang saling pada bagian Jejer, sebelum penari Gandrung berkaitan dalam sebuah karya seni, oleh karena itu setiap karya seni selalu memiliki struktur.

9 Langkah nyiji yaitu gerak tari dengan langkah kaki melangkah Memaknai struktur tari Gandrung Terob berarti seperti orang berjalan yang disesuaikan dengan tempo musik memaknai unsur-unsur yang terdapat dalam tari pengirngnya.

54 Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi) ISSN: 1858-3989 tersebut. Dalam tulisan ini pemaknaan struktur tari membersihkan diri dan lingkungannya, yaitu Gandrung Terob hanya dibatasi pada unsur menyapu hati dan keluarganya dari berbagai dramatik, bentuk gerak, koreografi, dan jenis perbuatan dosa. kelamin penari. Pemilihan tersebut didasarkan atas Jenis kelamin penari menjadi penanda yang relasinya tari Gandrung Terob dengan konsep penting dalam melihat makna yang terkandung di kesuburan. sebuah tarian. Hal tersebut juga terlihat dalam tari Babak jejer menjadi penanda bahwa Gandrung Terob, semua penarinya adalah wanita pertunjukan tari telah dimulai dan mengajak orang- dan pada saat adegan tertentu (paju) melibatkan orang untuk bersama-sama menonton pertunjukan. laki-laki untuk diajak menari bersama. Pada fase Hal itu dibuktikan dengan gendhing wajib yang inilah sebetulnya menjadi kunci sebagai petanda harus dimainkan dalam babak ini yaitu gendhing fertility dance, yaitu bertemunya antara laki-laki Padha Nonton. Babak paju berlangsung tengah dan perempuan. Penari wanita melambangakan malam sampai menjelang pagi, hal ini bumi dan penari laki-laki adalah benih yang dimaksudkan memberikan ruang khusus kepada nantinya akan bertemu dalam babak paju. Salah laki-laki dewasa untuk berekspresi, menunjukkan satu penanda koreografis yang ditunjukkan dalam kemampuannya dalam bidang seni tari. pertunjukan tari Gandrung Terob adalah Sebagaimana Toer dalam Mangir (2000:14) penggunaan pola lantai yang melingkar. Dalam mengatakan, kehebatan seorang laki-laki Jawa pertunjukan Gandrung Terob penggunaan pola dapat diukur dari “ketangkasannya di medan lantai melingkar dimaknai sebagai wujud rasa perang dan kelincahannya di medan tari”. kebersamaan masyarakat Using dalam mensyukuri Dalam upacara perkawinan, pemaju yang berkah kesuburan dari Dewi Padi.10 Berbagai pertama kali dipersilakan untuk menari adalah bentuk lingkaran yang ada menyiratkan sebuah pengantin laki-laki. Hal itu menjadi semacam makna kesatuan atau keutuhan antara diri manusia petanda ritual bukak kelambu atau malam pertama. dengan alam. Melalui kesatuan atau keutuhan Babak seblang-seblang berlangsung menjelang tersebut akan menghasilkan pertemuan yang subuh oleh karena itu disebut juga seblang subuh. diharapkan mencapai „kesuburan‟, baik bagi benih Kata seblang juga berarti „keadaan seseorang pada padi yang ditanam maupun bagi pasangan kondisi kosong‟, hal itu menjadi petanda berserah pengantin. diri kepada Yang Maha Kuasa. Rangkaian struktur Perkawinan dalam masyarakat Using di dramatik tari Gandrung Terob tersebut seakan Banyuwangi selalu menyertakan pertunjukan tari menjadi petanda siklus hidup manusia, yaitu lahir Gandrung Terob, sehingga dalam upacara tersebut atau anak-anak melalui babak jejer, kemudian terjadi dua peristiwa yaitu, peristiwa perkawinan dewasa dan mengenal pasangan sampai akhirnya dan peristiwa tari. Kedua peristiwa tersebut tidak menikah melalui babak paju, dan yang terakhir bisa dipisahkan, karena Gandrung Terob babak seblang-seblang sebagai siklus manusia tua diperlukan sebagai sarana upacara perkawinan, yang harus lebih mendekatkan diri kepada Sang sedangkan perkawinan itu sendiri tempat di mana Pencipta. tari Gandrung Terob dilangsungkan. Fungsi Berbagai bentuk gerak yang tampak dari Gandrung Terob dalam upacara perkawinan ketiga babak yaitu jejer, paju, dan seblang-seblang masyarakat Using di Banyuwangi selain sebagai menjadi petanda bahwa, gerak pada babak jejer kekuatan magi dan doa untuk kesuburan, juga adalah gerakan awal atau pertama, dapat juga berisi petuah atau nasihat-nasihat dalam dimaknai sebagai gerakan anak-anak yang baru mempersiapkan hubungan berumah tangga. belajar, sehingga gerakan tersebut terlihat lebih Misalnya saja bagaimana seorang suami dan isteri rapi dan seirama dengan musik. Sebagaimana harus bersikap. Tarian tersebut juga memberikan seorang anak-anak yang masih polos dan jujur. Hal gambaran sebuah rumah tangga yang harmonis, tersebut tentu saja berbeda dengan gerak pada berjalan dalam keseimbangan, dengan peran dan babak paju yang lebih „liar‟ dan mengandalkan tanggung jawab masing-masing orang pada improvisasi. Seakan mengingatkan pada masa posisinya. Seorang suami sebagai kepala rumah remaja yang bebas dalam mencari eksistensi diri. tangga bertanggung jawab pada urusan „luar‟ Semakin tambah usia maka seseorang juga akan sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga semakin tenang dan merunduk, sebagaimana bertanggung jawab pada urusan „dalam‟. terlihat dalam gerak pada babak seblang-seblang. Seorang yang sudah tua diharapkan lebih 10 Wawancara dengan Cak Wan pada tanggal 6 Oktober 2010

55 Rina Martiara dan Arie Yulia Wijaya (Tari Gandrung Terob ISSN: 1858-3989 Sebagai Identitas Kultural Masyarakat Using Banyuwangi)

Pertunjukan Gandrung Terob dalam upacara saling menyentuh (kontagius) antara Gandrung dan perkawinan masyarakat Using di Banyuwangi sarat pemaju merupakan unsur dari kesuburan. Urutan dengan posisi berpasangan, seperti laki-laki dan periode, lahir-hidu-mati, dianggap juga perempuan, ordinat dan subordinat, luar dan melambangkan akhir dari tujuan setiap manusia. dalam, keras dan lembut, menguasai dan dikuasai, dan lain sebagainya. Dalam pertunjukan Gandrung Penutup Terob, berbagai posisi berpasangan tersebut saling berelasi, sehingga menciptakan sebuah posisi baru. Nalar manusia (humand mind) masyarakat Posisi baru inilah yang dalam pandangan Victor Using Banyuwangi yang pertama adalah, Turner disebut sebagai liminal, yaitu posisi menganut struktur patriarki yaitu garis keturunan ambang yang berada dalam dua posisi yang dari pihak laki-laki, oleh karena itu laki-laki dalam berbeda. Liminalitas berarti tahap atau periode masyarakat Using di Banyuwangi memiliki peran waktu di mana subjek ritual mengalami keadaan yang penting yaitu, peran memimpin dan yang ambigu yaitu “tidak di sana dan tidak di sini”. mencukupi kebutuhan rumah tangga dan peran Liminal sering diartikan sebagai peraliha. dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Kedua, (Winangun, 1990:31). Posisi-posisi berpasangan masyarakat Using di Banyuwangi meskipun dalam setiap fenomena kebudayaan selalu terjadi, mayoritas beragama Islam namun tetap hal itu sesungguhnya menunjukkan bahwa sebuah menghargai keberadaan para leluhur dan berperan kehidupan telah terjadi. Persinggungan dari kedua dalam pelestarian seni budaya daerah. Ketiga, posisi berpasangan tersebut yang dianalisis dalam masyarakat Using di Banyuwangi kebanyakan tulisan ini. adalah bertani, hal ini dibuktikan dengan Berbagai posisi berpasangan dalam tari penghargaan yang tinggi terhadap keberadaan Gandrung Terob menunjukkan bahwa penari Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Keempat, posisi berada dalam kawasan liminal, baik di dalam liminal penari Gandrung Terob di atas justru peristiwa tari maupun dalam kehidupan sosial. menunjukkan bahwa penari Gandrung berada Dalam peristiwa tari, posisi penari Gandrung dalam posisi yang sangat penting yaitu, posisi di Terob adalah pemain yang sedang berhadapan tengah, sebuah posisi yang menyatukan, langsung dengan penonton. Jarak antara penonton menyelaraskan, menjaga kesinambungan, dan dan ruang permainan telah terbagi, namun seorang menyeimbangkan kehidupan masyarakat Using di penari Gandrung harus sesekali memecah jarak Banyuwangi. Posisi di tengah, di pusat, adalah tersebut, sehingga memungkinkan terjadinya sebuah posisi yang tenang, diam, hening, dan juga interaksi yang akrab antara pemain dan penonton. abadi (Ahimsa-Putra, 2001:304). Seni pertunjukan kerakyatan seperti halnya tari Gandrung Terob, tampaknya menyadari bahwa DAFTAR RUJUKAN meleburnya antara ruang permainan dan penonton, mampu menyatukan energi atau kekuatan untuk Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2000), Strukturalisme mempengaruhi alam. Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Galang Posisi berpasangan yang lain tampak juga Press, Yogyakarta. dalam pertunjukan tari Gandrung Terob. Pertunjukan Gandrung Terob yang dibagi menjadi Lévi-Strauss, Claude (2009), Antropologi tiga babak yaitu jejer, paju, dan seblang-seblang Struktural, terj. Ninik Rochani Sjams, Kreasi berpasangan dengan anak-anak, dewasa, dan tua. Wacana, Yogyakarta. Jejer sebagai babak pembuka berpasangan dengan anak-anak, paju sebagai bagian klimaks Toer, Pramodya Ananta (2000), Mangir, berpasangan dengan dewasa, dan seblang-seblang Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. sebagai babak penutup berpasangan dengan tua. Masa anak-anak adalah masa meniru (imitatif), Winangun, Wartaya Y.W., 1990, Masyarakat setiap gerakan dan ucapan orang lain ditirukan. Bebas Struktur, Liminalitas dan Komunitas Masa dewasa adalah masa pencarian identitas diri Menurut Victor Turner, Kanisius, Yogyakarta. dan saling mempengaruhi (simpatetis), ada saatnya

56 Volume 3 No. 1 Mei 2012 ISSN: 1858-3989 p. 57-69

SISTEM TRANSMISI WAYANG WONG GAYA YOGYAKARTA: STUDI KASUS KARAKTERISTIK POCAPAN

Oleh: Sarjiwo Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. Telp. 0274 8337 889/0815 7888 7707. Email: [email protected]

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan sistem transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta: Studi kasus karakteristik pocapan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Observasi dilakukan dengan melihat serta mengikuti aktivitas latihan dan pementasan yang dilakukan di sanggar-sanggar atau paguyuban, wawancara dilakukan secara terstruktur dengan panduan pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan agar proses penjaringan data dapat lebih terfokus dan terarah, dan studi dokumentasi dilakukan dengan melihat hasil rekaman pementasan Wayang Wong Gaya Yogyakarta. Data yang berhasil dikumpulkan dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sistem transmisi pocapan Wayang Wong Gaya Yogyakarta terjadi dalam dua sistem. Pertama dari sisi para penari atau pelaku generasi sebelumnya dan dari sisi generasi berikutnya. Sementara karakteristik di dalam Wayang Wong Gaya Yogyakarta dapat didapat pada karakter suara, nada suara, irama pocapan, dan kemampuan pengaturan volume suara. Karakter suara di dalam Wayang Wong Gaya Yogyakarta tidak dapat lepas dari karakter yang ada dalam Wayang Kulit Purwa, karena pada dasarnya wayang wong merupakan personifikasi dari wayang kulit purwa. Nada suara setiap pemeran harus memperhatikan suasana gamelan yang diatur dalam pathet yang sedang berlangsung. Irama pocapan sangat berkaitan dengan karakter tokoh dalam pewayangan yang merujuk pada lagak, lagu, lageane.

Kata kunci: Sistem transmisi, Wayang Wong, karakteristik pocapan.

ABSTRACK This research purpose was to lay open the transmission system of Yogyakarta Style of Wayang Wong: Case study was characteristic of pocapan (dialogue). Data collecting techniques that used are by observation, interview and documentation study. Observation done not only by seeing and doing the practice of activity but also by staging that done in gallery and society, interview done structurally with the interview guidelines that prepared before so the data network process can be more focused and directional, and documentation study done by watched the staging record of Yogyakarta Style of Wayang Wong. After that, collected data analyzed done with qualitative description analyze technique. Result research indicated that, pocapan (dialogue) transmission system of Yogyakarta Style of Wayang Wong happened in two systems. The first is come from dancers or previous generation side and the second was come from next generation side. For a while, in the characteristic of Yogyakarta Style of Wayang Wong there are voice characteristic, voice tone, rhythm of pocapan and the ability of voice volume control. Voice characteristic that appear in the Yogyakarta Style of Wayang Wong in not far away from the existing of characteristic in the Purwa Shadow Play, because basically Wayang Wong was Purwa Shadow Play characterization. Every character voice tone must to pay their attention to the atmosphere of gamelan that arranged in the happening pathet. Pocapan rhythm has a very close relation with the figure character in the Puppet, which was refers to lagak, lagu, lageane.

Key words: Transmission system, Wayang Wong, pocapan characteristic

57 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

I. Pendahuluan punya idiom yang berlaku terhadap seorang penari yang belum terisi jiwanya dengan Melihat dan mengikuti dari beberapa istilah “isa njoged nanging durung ngerti pementasan Wayang Wong Gaya Yogyakarta joged” sehingga belum mampu melihat yang dilaksanakan di beberapa tempat yang nuansa antara “anjoged” (menari) dan berbeda yaitu di Pendhapa nDalem “jogedan” (menari-nari). (Fred Wibowo, Yudaningratan (ruang pentas yang secara 1981: 105-107). Pernyataan ini dapat tradisi sebagai tempat pentas Wayang Wong dimaknai sebagai satu kesatuan yang utuh di Yogyakarta), Monumen Serangan Umum 1 dalam memerankan tokoh. Pocapan atau Maret di jalan Malioboro (ruang publik yang dialog merupakan hal pokok dalam penyajian lebih terbuka), dan di gedung Societet Taman Wayang Wong Gaya Yogyakarta. Oleh karena Budaya Yogyakarta (ruang pentas dalam itu setiap pemeran harus menempatkan gedung tertutup), dalam hal teknik tari pada pocapan sebagai bagian yang tak terpisahkan umumnya penari telah mampu menunjukkan dari diri pemeran. Namun demikian, kemampuan kepenariannya secara baik. penguasan pocapan masih belum dapat Sebagian besar penari dari kalangan generasi dikuasai dengan baik oleh sebagian besar muda yang sangat potensial berkembang. pemeran. Indikator belum dikuasainya Namun demikian, yang perlu mendapat pocapan dalam Wayang Wong Gaya perhatian adalah kemampuan pocapan atau Yogyakarta adalah, karena pocapan atau dialog bagi penari masih belum dialog yang diucapkan para pemeran belum menampakkan hasil yang optimal. Hal ini mampu tersampaikan ke penonton dengan dilandasi oleh komentar beberapa penonton baik. Beberapa permasalahan yang terjadi yang menyaksikan pergelaran tersebut yang dapat diidentifikasi antara lain: Pocapan mengatakan bahwa pocapan terdengar lamat- untuk pemeran putri luruh tidak terdengar lamat, tidak jelas, dialog perlu bantuan clip oleh penonton, Pocapan pada pemeran tokoh on, pocapan ora cetha yang kesemuanya alusan luruh dengan nada rendah tidak tersebut menandakan adanya pocapan yang terdengar oleh penonton, Pemeran tokoh tidak sampai ke telinga penonton dengan baik. alusan lanyap dengan nada tinggi dapat Sementara kejelasan pocapan yang mampu terdengar dari arah penonton, akan tetapi tidak didengar penonton, akan berakibat pada jelas suku kata dan kalimat yang diucapkan, jalinan cerita dan informasi yang disampaikan Pemeraran putra gagah walaupun volume pemeran dapat diikuti oleh penonton. Padahal suara dapat keras, akan tetapi artikulasi dan dimensi pokok dalam Wayang Wong adalah kejelasan suku kata mapun kalimat yang aspek gerak dan aspek pocapan atau dialog. diucapkan tidak jelas, Pemeran yang Keduanya harus menjadi bagian yang harus menggunakan topeng tidak jelas pocapan dikuasai oleh penari agar karakter yang yang diucapkan, Pemahaman dan penguasaan dimainkan menjadi utuh sesuai tuntutan peran pocapan dalam karakter masih kurang, yang dibawakan. Penguasaan nada suara belum dikuasai Kekurangan dalam hal kemampuan dengan baik, Karakter suara belum dikuasai pocapan atau dialog semestinya tidak terjadi dengan baik. apabila sistem transmisi terhadap karakteristik pocapan Wayang Wong Gaya Yogyakarta II. Metode Penelitian berlangsung dengan baik. Dengan demikian, adanya kontinyuitas latihan akan berakibat A. Tempat dan Waktu Penelitian pada kualitas pocapan akan meningkat lebih baik. Sebab kemampuan pocapan diperlukan Penelitian ini bertempat di yayasan untuk memperkuat karakter yang diperankan. dan paguyuban tari di wilayah Dengan demikian, terjadi transformasi Yogyakarta yang masih melestarikan karakter secara utuh. Seorang penari menurut Wayang Wong Gaya Yogyakarta. para guru tari di Kraton Yogyakarta adalah, Yayasan dan paguyuban tersebut adalah seseorang dianggap sudah “njoged” (menari) Krida Beksa Wirama Yogyakarta, apabila dia menari dengan penuh disiplin, Paguyuban Kesenian Irama Citra konsentrasi, motivasi dan dedikasi. Mereka

58 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

Yogyakarta, Yayasan Siswa Among C. Pendekatan Penelitian Beksa Yogyakarta, Yayasan Pamulangan Penelitian ini menggunakan Beksa Sasminta Mardawa Yogyakarta, pendekatan kualitatif. Peneliti berusaha dan Perkumpulan Kesenian Surya untuk mengungkap berbagai fenomena Kencana Yogyakarta. Kelima yayasan dan permasalahan sistem transmisi serta dan perkumpulan tersebut selama ini karakteristik pocapan Wayang Wong berkiprah pada pembelajaran Tari Klasik Gaya Yogyakarta secara alami dan Gaya Yogyakarta khususnya serta masih mendalam. Permasalahan tersebut mulai melestarikan Wayang Wong Gaya dari sistem transmisi, karakteristik Yogyakarta. pocapan yang meliputi karakter suara, Waktu penelitian dilaksanakan nada suara, irama pocapan, volume suara mulai bulan April–Nopember 2009. dalam pemeranan Wayang Wong Gaya Secara kebetulan pada tanggal 12, 13, 14 Yogyakarta. Nopember 2009 dilaksanakan Festival Wayang Wong Gaya Yogyakarta untuk D. Teknik Pengumpulan Data yang ketiga kalinya. Penulis sebagai salah satu panitia (salah satu nara Teknik pengumpulan data yang sumber) sangat berkepentingan untuk digunakan dalam penelitian ini mengikuti berbagai proses yang menggunkan beberapa cara agar data dilaksanakan. Walaupun proses yang dapat diperoleh dapat mengungkap penelitian dilakukan mulai bulan April permasalahan dari tujuan penelitian. 2009 dengan melakukan studi pustaka, Teknik pengumpulan data yang observasi dan wawancara dengan para digunakan adalah wawancara, studi informan biasa dan informan terpilih (key dokumen dan pengamatan (observasi). informant), akan tetapi proses latihan dan Wawancara adalah metode untuk pementasan pada saat festival menjadi mendapatkan data melalui tanya jawab bagian dalam melengkapi data agar langsung dan tatap muka langsung antara mempunyai validitas yang tinggi. Dari peneliti dengan informan. Di dalam peristiwa festival tersebut akan banyak wawancara, pewawancara/peneliti data yang sangat dibutuhkan dalam mempunyai peran penting agar mampu kelengkapan laporan. mendapatkan berbagai informasi (data) yang sesuai dengan tujuan penelitian. B. Penentuan Informan Oleh karena itu sebelum mengadakan wawancara pewawancara/peneliti perlu Informan dalam penelitian ini terdiri melakukan persiapan antara lain; dari informan terpilih (key informant) dan menentukan responden, menyiapknan informan biasa yang merupakan bagian dan menyusun daftar pertanyaan, dari komunitas. Informan terpilih (key menyiapkan berbagai peralatan yang informant) terdiri dari para empu tari tari diperlukan misalnya buku catatan, alat klasik Gaya Yogyakarta, pimpinan tulis, alat perekam dan sebagainya. yayasan dan perkumpulan serta Dalang Teknik wawancara dilakukan dengan Wayang Kulit Purwa. Sementara wawancara terstruktur dan wawancara informan biasa terdiri dari sutradara, tidak terstruktur. Wawancara terstruktur penulis naskah wayang, guru tari klasik, pewawancara/peneliti telah menyiapkan pemerhati wayang dan para penari atau daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan pelaku yang sering menjadi peran dalam sebelumnya. Sedangkan wawancara tidak pergelaran Wayang Wong Gaya terstruktur yaitu wawancara dilakukan Yogyakarta. Pemilihan dan penentuan dengan tidak menyiapkan daftar informan dilakukan dengan proses pertanyaan. Di dalam penelitian ini penjajakan terlebih dahulu agar tidak peneliti menerapkan kedua teknik terjadi kekeliruan dalam memilih wawancara tersebut agar data penelitian informan. dapat saling melengkapi. Pelaksanaan wawancara dilakukan dalam situasi

59 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

serileks mungkin agar berbagai informasi dianalisis dengan teknik analisis dapat terjaring lebih alami. Untuk deskriptif kualitatif. Untuk mendapatkan pelaksanaa wawancara dengan key tingkat validitas yang tinggi dilakukan informan atau informan terpilih analisis triangulasi data diantara pada dipergunakan alat perekam, sementara nara sumber dan para anggota. Sementara wawancara yang ditujukan pada agar reliabilitas data terpenuhi dilakukan responden spontan informasi hasil wawancara secara mendalam (indeph wawancara disalin ke dalam buku interview) di antara sumber apabila ada catatan. sesuatu yang kurang jelas serta untuk Studi dokumen dalam penelitian ini mengetahui tingkat keajegan (reliabilitas) dilakukan dengan melihat beberapa jawaban. rekaman audio visual tentang pementasan Wayang Wong Gaya Yogyakrta. Hal ini III. Hasil Penelitian dan Pembahasan dilakukan untuk memahami serta mendalami tentang karakter pocapan A. Sistem transmisi pocapan Wayang Wayang Wong Gaya Yogyakarta yang Wong Gaya Yogyakarta mempunyai kekhasan tersendiri. Dari rekaman audio visual tersebut akan Sistem transmisi pocapan Wayang diperoleh gambaran tentang Wong Gaya Yogyakarta terjadi dalam implementasi pocapan dalam unjuk kerja dua sistem.Pertama dari sisi para penari yang sesungguhnya yang diujudkan atau pelaku generasi sebelumnya dan dari dalam pementasan. Studi dokumen ini sisi generasi berikutnya. Generasi akan melengkapi di dalam analisis sebelumnya adalah para penari atau pocapan yang telah dipraktekkan oleh pelaku yang lebih dahulu belajar dan para pelaku/pemeran Wayang Wong melakukan tugas pemeranan dalam Gaya Yogyakarta. wayang wong. Sementara generasi Observasi dilakukan dengan berikutnya adalah para penari atau pelaku melihat aktivitas latihan serta yang masih dalam proses belajar untuk pertunjukan yang dilaksanakan. melakukan tugas pemeranan maupun Observasi dilakukan dengan mendatangi teknik pocapan dalam Wayang Wong tempat-tempat pelaksanaan latihan dan Gaya Yogyakarta. Apabila sistem pementasan dengan mencatat gejala- transmisi pocapan Wayang Wong Gaya gejala yang tampak pada objek Yogyakarta ditinjau dari para pelaku penelitian. Oleh karena peneliti generasi sebelumnya, dapat terjadi karena merupakan salah sorang pelaku yang adanya kegiatan latihan untuk sering berperan dalam pementasan mempersiapkan sebuah pergelaran wayang wong, maka peneliti dapat lebih wayang wong. Secara alami proses membaur dalam lingkungan objek transmisi pocapan terjadi pada saat penelitian. Dengan demikian, data yang pemaos kandha atau pembaca narasi terkumpul dapat lebih alami dan sesuai menuntun pocapan bagi para pemeran dengan kebutuhan penelitian. dalam suatu adegan. Pada saat proses latihan pemaos kandha atau pembaca E. Teknik Analisis Data narasi akan menuntun kata atau kalimat pocapan yang tertulis pada naskah Proses analisis data dalam penelitian kepada penari atau pemeran. Selanjutnya kualitatif dilakukan bersamaan dengan penari atau pemeran akan menirukan kata proses pengumpulan data. Oleh karena atau kalimat pocapan sebagaimana yang itu setelah pengambilan data dari diucapkan oleh pemaos kandha. Peniruan lapangan lalu mendeskripsikan data hasil ini dilakukan penari atau pemeran persis wawancara dalam bentuk catatan sama sebagaimana yang diucapkan lapangan, mengedit, mengklasifikasi pemaos kandha. Baik diksi, intonasi, untuk dijadikan bahan laporan penelitian. nada suara, irama suara, karakter suara Data yang berhasil dikumpulkan

60 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

atau warna suara, panjang pendeknya mengembangkan sikap untuk berhasil, kata atau kalimat, seorang pemeran akan menyenangi kehidupan dan keinginan menirukan pocapan yang diucapkan oleh diterima oleh orang lain. Sementara pemaos kandha sebagaimana adanya. motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang Dengan demikian, sistem transmisi disebabkan oleh faktor-faktor dari luar. pocapan bagi pemeran generasi (Oemar Hamalik, 2001: 2). Dalam hal berikutnya bersifat transformatif. Pelaku motivasi intrinsik tersebut sangat atau penari tidak mempunyai kesempatan tergantung pada diri individu di dalam untuk bertanya, berinteraksi secara meningkatkan diri, sementara motivasi langsung dengan pemaos kandha apabila ekstrinsik peran berbagai pengadaan di dalam melakukan pemeranan masih aktivitas latihan ataupun pertunjukan kurang atau belum optimal di dalam wayang wong sangat membantu membawakan perannya. Namun merangsang timbulnya motivasi demikian tidak semua pemaos kandha ekstrinsik. Di dalam tari klasik melakukan proses yang demikian. Yogyakarta pada aspek penjiwaan yang Adanya pemaos kandha yang hanya dinamakan dengan Kawruh Joged membacakan teks pocapan tanpa disertai Mataram yang diciptakan Sri Sultan dengan karakter suara, nada suara dan Hamengkubuwono I (1755-1792), dapat irama suara yang didasarkan oleh dipahami sebagai motivasi intrinsik yang karakter tokoh yang sedang diperankan berasal dalam diri penari. Kawruh Joged menimbulkan kesulitan bagi para penari Mataram (Ilmu Joged Mataram) ini atau pemeran di dalam pocapan. terdiri dari 4 unsur yaitu: (1) Sawiji Apabila ditinjau dari sisi para penari (konsentrasi), (2) Greged (semangat), (3) atau pelaku generasi berikutnya, maka Sengguh (percaya diri), dan Ora mingkuh motivasi setiap individu di dalam (pantang menyerah) (Fred Wibowo, ed., peningkatan kualitas kepenarian atau 1981: 90- 92). Untuk mencapai tataran pemeranan sangat berperan. Banyak ahli kualitas kepenarian yang lebih baik perpendapat bahwa motivasi dibedakan sangat diperlukan Sawiji (konsentrasi) menjadi dua yaitu motivasi ekstrinsik dan agar apa yang menjadi tujuan dan motivasi intrinsik. Menurut Woolfolk dua tuntutan setiap melakukan tugas demensi tersebut adalah: pemeranan dapat dilakukan dengan baik. Oleh karena itu diperlukan Greget …Motivation caused by external (semangat yang tinggi) agar peningkatan events or outside rewards that have kualitas tersebut dapat setapak demi nothing to do with the learning setapak meningkat. Selanjutnya Sengguh situation itself generaly is called atau percaya diri merupakan sikap yang extrinsik motivation. … In contras to bertolak pada dorongan dari dirinya the behavioral view, the cognitive sendiri berupa hasrat dan keinginan untuk view emphasizes intrinsik (internal) berhasil. Agar sesuatunya dapat berhasil sources of mativation, such as the diperlukan sikap Ora mingkuh atau satisfaction learning or pantang menyerah, adalah sebuah kinerja accomplishment (Woolfolk, 1984 : yang dilandasi oleh usaha yang terus 272-273). menerus dan tidak takut menghadap kesukaran-kesukaran. Pendapat tersebut sejalan dengan Bagi individu yang greteh atau suka pernyataan Oemar Hamalik bahwa pada bertanya, peningkatan kualitas pokoknya motivasi dibagi menjadi dua kepenarian atau pemeranan dapat lebih jenis yaitu motivasi instrinsik dan cepat meningkat. Hal tersebut tampak motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik pada seringnya mereka terlibat di dalam adalah motivasi yang hidup dalam diri, suatu pementasan tari klasik Gaya misalnya keinginan untuk mendapatkan Yogyakarta khususnya. Keterlibatan ini ketrampilan tertentu, memperoleh secara alami akan memberi kontribusi informasi dan pengertian, terhadap peningkatan kualitas bagi

61 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

mereka yang terlibat. Seringnya terlibat B. Karakter dalam Wayang Kulit dalam pertunjukan tari tersebut secara Purwa Gaya Yogyakarta alami maka frekuensi latihan akan semakin sering dilakukan. Seringnya Menurut Mas Lurah Cermosutejo melakukan latihan maka proses adaptasi seorang dhalang wayang kulit dan abdi otot untuk melakukan berbagai macam dalem Kraton Yogyakarta, perbedaan gerak akan lebih fleksibel. Demikian juga karakter di dalam wayang kulit dapat keterlibatan pertunjukan yang diketahui pada wanda wayang. menggunakan dialog, maka kemampuan Pengertian wanda pada wayang kulit vokalpun akan dapat meningkat pula. adalah gambaran air muka atau pasemon Dengan demikian, proses adaptasi diri suatu tokoh yang merupakan perwujudan terhadap berbagai gaya tari di luar yang kasat mata dari suasana hati tokoh tradisinya akan semakin cepat dalam tersebut, misalnya keadaan tenang, proses adaptasi. keadaan marah atau sedang dimabuk Usaha yang dilakukan para penari asmara (Soedarso, 1986: 61). Karakter atau pelaku generasi berikutnya untuk atau watak sebagian besar terwujud meningkatkan diri dilakukan dengan dalam bentuk raut muka, yaitu dalam berlatih di luar dari latihan yang bentuk sikap dan warnanya. Perwujudan dilakukan paguyuban. Bagi mereka yang watak dasar dilukiskan dalam pola mempunyai motivasi tinggi untuk bentuk dan warna raut muka atau wajah; meningkatkan diri dengan melakukan yaitu pada pola, bentuk mata, bentuk latihan secara mandiri. Untuk latihan hidung, bentuk mulut, warna muka, vokal dan pocapan mereka melakukan posisi muka dan posisi dan perbandingan latihan di tempat-tempat terbuka tubuh (Soekanto, 1992: 23). Berdasar misalnya di pantai, tepi sungai, grojogan dari karakter tersebut akan mendasari di (air terjun) bahkan di makampun dalam karakter suara dari masing-masing dilakukan. Di samping itu latihan yang tokoh. Menurut Mas Lurah Cermosutejo dilakukan tidak semata-mata untuk ada tiga karakter suara dalam wayang persiapan menjelang pentas saja, akan kulit yaitu luruh, magak, lanyap. Untuk tetapi mereka berlatih sendiri dengan karakter suara luruhpun ada luruh menirukan beberapa tokoh senior dalam tanggung seperti Puntodewa, berbagai peran dan karakter yang Abimanyau, Irawan, Sumitra dan berbeda. Sebagaimana banyak diketahui Bambangan lainnya. Sementara untuk bahwa para tokoh atau empu terdahulu luruh mardawa seperti Janaka, Rama dan mempunyai spesifikasi dalam Lesmana. Untuk suara magak adalah memerankan tokoh dalam pewayangan. karakter suara diantara karakter suara Oleh karena itu beberapa tokoh atau alus dan katakter suara lanyap seperti empu yang mempunyai spesifikasi dalam tokoh Karno, Dewabrata, untuk suara peran-peran tertentu tersebut perilakunya lanyap suara terkesan nyengka atau kadang berpengaruh dalam kehidupan bersuara seperti dipaksakan, nyentak, sehari-hari. Bagi penari generasi emosi masuk dalam titi laras barang cilik berikutnya hal tersebut dapat menjadi (Wawancara, tanggal 25 Agustus 2009). nara sumber di dalam mendalami tokoh- Sejalan dengan penggolongan dalam tiga tokoh tertentu dalam pewayangan. karakter tersebut di atas, Soekanto juga Dengan demikian, motivasi instrinsik membagi dalam tiga posisi muka dalam dapat menghasilkan kualitas kepenarian wayang kulit purwa yaitu posisi luruh dan pocapan yang lebih baik. Hal ini yang berarti menunduk ke bawah, posisi disebabkan bahwa latihan secara mandiri longok yang berarti memandang ke depan tidak dibatasi oleh ruang maupun waktu. dan posisi langak agak menengadah, Dimanapun dan kapanpun mereka memandang agak ke atas. Luruh menginginkan latihan dapat dilakukan mempunyai karakter tenang, sabar, tak tanpa dibingkai oleh karakter tertentu. tergesa-gesa segala tindakannya.

62 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

Kebalikannya adalah posisi langak, D. Nada suara dalam Wayang Wong sementara longok mempunyai karakter Gaya Yogyakarta antara luruh dan langak (Soekanto, 1992: 31). Nada mengandung unsur-unsur tinggi rendahnya suara atau bunyi. Besar C. Karakter suara dalam Wayang kecilnya suara adalah kodrat lahiriah, Wong Gaya Yogyakarta tetapi nada suara dapat dirubah dengan latihan secara teratur serta adanya Karakter suara di dalam Wayang kesadaran untuk membentuk pribadi dari Wong Gaya Yogyakarta tidak dapat lepas pribadi orang itu sendiri (Djoddy, Tt. 22). dari karakter yang ada dalam Wayang Nada suara diperlukan agar pocapan atau Kulit Purwa. Karena pada dasarnya dialog tidak monoton sehingga terjadi Wayang Wong merupakan personifikasi dinamika dalam pocapan. Nada suara dari wayang kulit. Di dalam wayang kulit setiap pemeran harus memperhatikan purwa tipe karakter tokoh secara visual suasana gamelan yang diatur dalam dapat dilihat pada bentuk muka wayang, pathet yang sedang berlangsung. Dengan wanda wayang dan bentuk tubuh kata lain, nada suara penari kawengku ing wayang. Banyak macam bentuk tubuh pathet atau dibingkai oleh pathet. yang ada pada wayang kulit purwa Menurut RMT Djojodipura pathet adalah dengan karakter suara yang berbeda- tempat duduk gending. Sementara Jakub beda. Secara garis besar karakter suara dan Wignyarumeksa menyatakan “Pathet dapat dikelompokkan menjadi swara kuwi kanggo nglungguhake gendhing“ weteng/padharan (suara perut), swara (Yudoyono, 1984: 53). Oleh karena dhadha (suara dada), swara pergelaran wayang wong menggunakan jangga/gulu/tenggak (suara leher) sampai iringan gamelan yang didasarkan oleh swara metu (suara keluar yang berada penyajian wayang kulit, maka urutan pada rongga mulut). Ketiga karakter pathet adalah (1) Slendro pathet 6, Pelog suara tersebut pada dasarnya merupakan pathet 5, (2) Slendro pathet 9, Pelog karakter suara alami setiap manusia. Sifat pathet 5, (3) Slendro pathet Manyura, suara alami manusia ini dalam keseharian Pelog pathet Barang (Yudoyono, 1984: dapat dijumpai pada saat kita berbicara 54). Masing-masing pathet tersebut yang bersifat rahasia akan menggunakan membawa suasana atau atmosfir nada suara bisik-bisik yang mempunyai yang berbeda tinggi rendahnya. Misalnya kecenderungan bernada rendah besar, hal sama-sama nada dasar suara enam dalam demikian dihasilkan dari jangga andhap Laras Slendro pathet enem atau Pelog (leher bagian bawah), di dalam kebiasaan pathet lima, akan berbeda ketinggiannya berbicara keseharian banyak apabila berada pada Laras Slendro pathet menggunakan jangga tengah (leher sanga atau Pelog pathet enem, dan akan bagian tengah) dan untuk marah, teriak, jauh berbeda lagi dalam suasana Slendro nyentak terdapat pada jangga inggil pathet Manyura atau Pelog pathet (leher bagian atas) yang bernada tinggi Barang. Oleh karena itu setiap penari (barang cilik). Swara weteng/padharan atau pemeran dalam Wayang Wong Gaya (suara perut) akan menghasilkan suara Yogyakarta harus dapat beradaptasi yang berat, besar dan terkesan menahan, dengan suasana gending yang swara dhadha untuk suara yang besar, mengiringinya. Apabila tidak, maka anteb dan untuk mbengok (teriak), swara pocapan yang disampaikan terasa jangga sampai swara metu untuk suara hambar dan tidak sesuai dengan tinggi sedang sampai tinggi dalam tokoh alus rendahnya laras gamelan. lanyapan. 1. Nada suara bagi peran putri Pada umumnya seorang wanita mempunyai nada suara tinggi. Dasar

63 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

suara ini tidak jauh berbeda dengan harus lebih rendah daripada Larasati nada suara untuk peran-peran putri atau Dewi Wara Srikandi. Sebab dalam Wayang Wong Yogyakarta. apabila nada dasarnya menggunakan Untuk peran putri dapat nada dasar terlampu tinggi menggunakan nada dasar barang, kemungkinan Larasati atau Dewi satu dan jangga alit atau dua tinggi. Wara Srikandi tidak akan dapat Nada dasar inipun tidak selalu lebih tinggi dari nada yang mengikat apabila beberapa peran digunakan Dewi Wara Sembadra. putri berada pada satu adegan yang Demikian juga apabila Dewi Wara secara bersamaan dengan nada dasar Srikandi melakukan pocapan yang sama. Untuk itu seorang pemeran pertama kali, maka nada dasar untuk putri yang melakukan pocapan yang pocapan tidak boleh lebih rendah pertama kali, akan dijadikan dasar dari Dewi Wara Sembadra. Aturan untuk pocapan peran putri yang lain. pengambilan nada dasar untuk Oleh karena itu bagi pemeran putri peran-peran putri berada pada nada yang melakukan pocapan pertama dasar barang atau bem untuk putri kali harus tahu betul nada dasar luruh dan untuk karakter putri yang harus dipakai untuk mengawali branyak pada jangga alit atau dua pocapan. Misalnya pada adegan tinggi. Ini semua tergantung dari yang sama ada peran Dewi Wara karakter yang dimainkan, nada suara Sembadra, Larasati dan Dewi patokannya pada ambah-ambahan Srikandi, maka pada saat Dewi gamelan yang mengiringinya pada Wara Sembadra yang melakukan saat pocapan berlangsung. pocapan pertama kali nada dasarnya

Tabel: 1 Nada suara peran putri

No Karakter tokoh Contoh tokoh Nada suara 1 Luruh Dewi Wara Sembadra, Dewi Barang alit atau Sinta, Larasati, bem 2 Lanyap atau Branyak Wara Srikandi Jangga alit

2. Nada suara bagi peran putra alus dalam pewayangan. Artinya nada Nada suara untuk karakter alus suara dapat disesuaikan dengan dibedakan menjadi dua yaitu putra situasi atau suasana hati tokoh alus luruh dan putra alus mbranyak sedang dalam kondisi apa. atau lanyap. Untuk putra alus luruh Permasalahan ini sering tidak menggunakan nada dasar lima atau dipahami oleh para pemeran. Proses enem ageng. sementara untuk nada adaptasi tersebut diperlukan agar dasar mbranyak dapat menggunakan diantara tokoh dengan nada dasar nada dasar enem atau barang alit (titi laras) yang sama, dapat untuk tokoh yang di dalam wayang menyesuaikan kembali dengan kulitnya tergolong dalam karakter menurunkan atau menaikkan nada muka longok, untuk tokoh yang yang disesuaikan dengan karakter tergolong dalam karakter langak tokoh. Misalnya dalam suatu adegan dapat menggunakan barang alit dan secara bersamaan terdapat peran loro inggil. Namun demikian apabila Janaka, Putadewa dan Abimanyu, dalam suatu adegan terdapat maka nada suara ketiganya harus beberapa tokoh dengan karakter disesuaikan kembali dengan situasi yang sama, maka pemeran harus yang terjadi. Karena pocapan ketiga memperhatikan karakter tokoh tokoh tersebut tinggi rendahnya

64 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

nada dasar yang digunakan berbeda Wayang Wong Gaya Yogyakarta antara wayang kulit dan wayang Janaka menggunakan nada dasar wong. Di dalam wayang kulit lebih tinggi dari Abimanyu Janaka lebih rendah dengan nada disebabkan karakter Janaka yang dasar lima atau enem ageng lebih mempunyai sifat ada kongasnya dan rendah dari Puntadewa atau sifat pocapan yang romantis. Abimanya. Akan tetapi di dalam

Tabel: 2 Nada Suara Peran Putra Alus

No Karakter tokoh Contoh tokoh Nada suara 1 Alus luruh Arjuna, Rama, Lima, atau enem Lesmana, ageng Angkawijaya 2 Alus Lanyap atau branyak Nakula, Sadewa, Barang alit atau Wibisana, Prabu loro inggil Jungkung Mardeya, Prabu Sri Suwela dan Para Raja Alusan yang berada di pihak yang kalah Samba, Wisanggeni Loro inggil

3. Nada suara bagi peran putra gagah yang biasa digunakan untuk karakter Nada suara di dalam peran gagah dan swara jangga (leher) putra gagah dapat dilihat dan untuk menghasilkan suara kecil dibedakan oleh ragam tari yang (Wawancara dengan KRT digunakan. Untuk penggunaan Pujaningrat, 25 Agustus 2009). ragam tari gagah Kambeng lebih Misalnya untuk Gatutkaca besar dari yang menggunakan ragam menggunakan suara dari swara tari Kalangkinantang. Di dalam dhadha, untuk raksasa ragam Kalangkinantangpun tidak menggunakan suara dari swara semua tokoh mempunyai nada dasar weteng, Dasamuka lebih berat atau yang sama tergantung dari mambeg yang berada pada swara karakternya. Untuk Werkudara weteng sampai swara dhadha, Setija misalnya dapat menggunakan nada berat dan magak dari swara dhadha dasar dhadha ageng, lima ageng karena mempunyai karakter atau enem ageng tergantung dari setengah Kambeng disebabkan kemampuan suaranya, lebih tegas, dalam wayang kulitnya bermata nugel atau getas, Gatutkaca dengan thelengan, Prabu Baladewa dari nada dasar enem ageng, dan untuk swara jangga sampai pada swara peran-peran dengan ragam metu tidak berat. Hal yang tidak Kalangkinantang menggunakan boleh dilupakan adalah, bahwa nada dasar jangga atau enem, yang pocapan harus jelas, keras, anteb tinggi rendahnya disesuaikan dengan dan manteb, suku katanya tidak karakter pada wayang kulitnya. tertelan dan tidak ada yang hilang. Prinsipnya harus menguasai swara Untuk keperluan itu sering dijumpai weteng (perut) untuk jenis suara pada saat membaca dan yang berat dan besar, swara dhadha menyuarakan huruf a disuarakan (dada) untuk menghasilkan swara jadi ha, d disuarakan jadi dha, k angglung (suara yang menggema) disuarakan jadi g, misalnya

65 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

“Prajurit sapa aranmu, maju sura “Prajurit sapha haranmu, maju sura ngadilaga” akan disuarakan menjadi ngadilaga” dan sebagainya.

Tabel: 3 Nada suara peran putra Gagah

No Karakter Tokoh Contoh Tokoh Nada Suara 1 Gagah Kambeng Werkudara, Telu,lima atau enem ageng 2 Gagah Kinantang Setija Jangga 3 Gagah Bapang Dursasana, Burisrawa Jangga 4 Gagah Impur Duryudana Enem ageng

4. Irama pocapan dalam Wayang Wong perlu bantuan clip on, pocapan ora cetha Gaya Yogyakarta yang kesemuanya tersebut menandakan Irama pocapan adalah cepat adanya pocapan yang tidak sampai ke lambatnya pocapan yang diucapkan oleh telinga penonton dengan baik Padahal setiap pemeran menurut karakter tokoh pocapan yang mampu didengar pewayangan yang diperankan. Irama penonton, akan berakibat pada jalinan pocapan diperlukan agar di dalam cerita dan informasi yang disampaikan pocapan tidak sekedar menyampaikan pemeran dapat diikuti oleh penonton. Hal teks pocapan tanpa dilandasi oleh tersebut dapat terjadi apabila kemampuan karakter tokoh, suasana serta makna teks pemeran di dalam mengatur volume pocapan. Terlebih lagi bahwa pocapan suara dapat jelas terdengar dari arah Wayang Wong Gaya Yogyakarta penonton. Tantangan bagi para pemeran mempunyai gaya yang berbeda dengan dengan nada rendah untuk meningkatkan antawecana Wayang Wong Gaya kemampuan vokalnya agar volume Surakarta maupun gaya pakeliran. Irama pocapan dapat lebih keras. pocapan diperlukan agar pocapan menjadi tidak terkesan monoton. Kesan IV. Kesimpulan dan Saran ini dapat muncul disebabkan oleh ketidakmampuan seorang penari/pemeran A. Sistem transmisi pocapan Wayang di dalam memahami karakter ataupun Wong Gaya Yogyakarta makna teks pocapan. Tidak jarang ditemukan seorang penari/pemeran pada 1. Sistem transmisi pocapan Wayang saat pocapan seakan sedang membaca Wong Gaya Yogyakarta terjadi teks, padahal dia tidak sedang membaca dalam dua sistem. Pertama dari sisi teks. Hal ini terjadi karena para penari atau pelaku generasi penari/pemeran tidak mengatur cepat sebelumnya dan dari sisi generasi lambatnya pocapan yang didasarkan berikutnya. Secara alami proses pada karakter atau suasana adegan. transmisi pocapan terjadi pada saat pemaos kandha atau pembaca narasi 5. Volume suara dalam pemeranan menuntun pocapan bagi para Sebagaimana telah dijabarkan pada pemeran dalam suatu adegan. bab terdahulu bahwa banyak komentar 2. Apabila ditinjau dari sisi para penari dari para penonton yang mengatakan atau pelaku generasi berikutnya, bahwa kemampuan pocapan atau dialog maka motivasi setiap individu di bagi penari masih belum menampakan dalam peningkatan kualitas hasil yang optimal. Sebagian besar kepenarian atau pemeranan sangat penonton mengatakan bahwa volume berperan. Bagi mereka yang suara dalam pocapan para pemeran mempunyai motivasi tinggi untuk terdengar lamat-lamat, tidak jelas, dialog

66 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

meningkatkan diri dengan peran-peran putri berada pada melakukan latihan secara mandiri. nada dasar barang atau bem 3. Karakteristik pocapan Wayang untuk putri luruh dan untuk Wong Gaya Yogyakarta karakter putri branyak pada a. Karakter suara jangga alit. Ini semua Karakter suara di dalam tergantung dari karakter yang Wayang Wong Gaya dimainkan, nada suara Yogyakarta tidak dapat lepas patokannya pada ambah- dari karakter yang ada dalam ambahan gamelan yang Wayang Kulit Purwa. Karena mengiringinya pada saat pada dasarnya Wayang Wong pocapan berlangsung. Untuk merupakan personifikasi dari putra alus luruh menggunakan wayang kulit. Secara garis nada dasar lima atau enem besar karakter suara dapat ageng sementara untuk nada dikelompokkan menjadi swara dasar mbranyak dapat weteng/padharan (suara perut), menggunakan nada dasar enem swara dhadha (suara dada), atau untuk tokoh yang di dalam swara jangga/gulu/tenggak wayang kulitnya tergolong (suara leher) sampai swara dalam karakter muka longok, metu (suara keluar yang berada untuk tokoh yang tergolong pada rongga mulut). Ketiga dalam karakter langak dapat karakter suara tersebut pada menggunakan barang alit dan dasarnya merupakan karakter loro inggil. Nada suara di suara alami setiap manusia. dalam peran putra gagah dapat Pemeran putri mempunyai dilihat dan dibedakan oleh karakter suara yang cenderung ragam tari yang digunakan. terletak pada tenggorokan Untuk penggunaan ragam tari bagian atas (swara jangga dan gagah Kambeng lebih besar dari swara metu). Untuk karakter yang menggunakan ragam tari suara alus luruh menggunakan Kalangkinantang. suara dari swara dhadha, untuk Kalangkinantangpun tidak karakter suara alus branyak semua tokoh mempunyai nada atau lanyapan menggunakan dasar yang sama tergantung swara jangga/gulu/tenggak dari karakternya. Hal yang atau leher bagaian atas sampai tidak boleh dilupakan adalah, pada swara metu. Sedangkan bahwa pocapan harus jelas, karakter suara untuk peran keras, anteb dan manteb, suku putra gagah secara garis besar katanya tidak tertelan dan tidak dapat digolongkan dalam ada yang hilang. karakter suara berat dan besar, suara angglung atau c. Irama pocapan menggema, untuk gagah Irama pocapan adalah magak, dan suara kecil cepat lambatnya pocapan yang melengking untuk raksasa diucapkan oleh setiap pemeran seperti Cakil. menurut karakter tokoh pewayangan yang diperankan. b. Nada suara Irama pocapan sangat berkaitan Nada suara setiap pemeran dengan karakter tokoh dalam harus memperhatikan suasana pewayangan yang merujuk gamelan yang diatur dalam pada lagak, lagu, lageane. pathet yang sedang Lagak adalah pembawaan atau berlangsung. Aturan sikap dari tokoh yang satu pengambilan nada dasar untuk dengan lainnya berbeda, lagu

67 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : ISSN: 1858-3989 Studi Kasus Karakteristik Pocapan)

adalah tinggi rendahnya 3. Pemeran tokoh alusan lanyap dengan intonasi suara diantara wayang nada tinggi dapat terdengar dari arah satu dengan lainnya, dan lagean penonton, akan tetapi tidak jelas adalah watak atau karakter dan suku kata dan kalimat yang kebiasaan dari tokoh dalam diucapkan. Oleh karena itu perlu wayang yang satu dengan banyak latihan vokal untuk lainnya berbeda. memperjelas artikulasinya. 4. Pemeraran putra gagah kambeng d. Volume suara dengan nada rendah harus banyak Kemampuan terhadap latihan vokal agar volume suara volume suara dalam pocapan dapat keras, dan kejelasan suku kata bagi para pemeran masih belum maupun kalimat yang diucapkan optimal, sebagian besar kalimat dapat di dengar penonton. pocapan tidak sampai ke 5. Bagi pemeran yang menggunakan telinga penonton dengan baik topeng harus beradaptasi dengan Untuk keperluan itu topeng yang dikenakan, dan banyak kemampuan pemeran di dalam melakukan latihan mengoptimalkan mengatur volume suara harus kemampuan volume suara. Hal ditingkatkan agar kemampuan tersebut diperlukan karena pocapan dapat jelas terdengar pengaturan nafas kadang terganggu dari arah penonton. Terlebih dengan adanya topeng yang lagi bagi para pemeran dengan dikenakan. nada rendah untuk 6. Oleh karena pemahaman dan meningkatkan kemampuan penguasaan pocapan dalam karakter vokalnya agar volume pocapan masih kurang, maka setiap pemeran dapat lebih keras. harus banyak bertanya pada para guru atau dhalang agar transformasi B. Saran karakter dapat luluh menyatu. 7. Adanya temuan bhwa tidak semua 1. Lembaga-lembaga yang pemeran mengetahui titi laras atau berkompeten menyelenggarakan nada suara bagi tokoh yang pertunjukan Wayang Wong Gaya diperankan, maka setiap pemeran Yogyakarta sebaiknya harus mengetahuinya. Hal tersebut meningkatkan frekuensi pertunjukan diperlukan agar pada saat Wayang Wong Gaya Yogyakarta mengawali untuk pocapan, langsung agar sistem transmisi Wayang Wong dapat memasuki wilayah tranformasi Gaya Yogyakarta dapat terjadi. karakter tokoh yang diperankan. 2. Oleh karena terikat oleh karakter, untuk pocapan pemeran putri luruh DAFTAR RUJUKAN kadang tidak terdengar oleh penonton. Oleh sebab itu para B.P.A. Soerjadiningrat, 1934, Babad lan Mekaring pemeran putri luruh harus Djoged Djawi. Kolf Buning, Jogjakarta. membiasakan diri untuk berlatih vokal dengan volume yang keras. Dewan Ahli Yayasan Siswo Among Bekso, 1981, 3. Untuk pemeran tokoh alus luruh Kawruh Joged Mataram. Yayasan Siswo dengan nada rendah kadang Among Bekso, Yogyakarta. pocapan tidak terdengar dari arah penonton. Oleh sebab itu Djoddy, M., Tt, Mengenal Permainan Seni Drama. sebagaiman pada pemeran putrid Arena Ilmu, Jakarta-Surabaya. luruh, para pemeran putra alus luruh harus membiasakan diri untuk Hamzah, A. Adjib, 1985, Pengantar Bermain berlatih vokal dengan volume yang Drama. CV Rosda, Bandung. keras.

68 Sarjiwo (Sistem Transmisi Wayang Wong Gaya Yogyakarta : Studi Kasus Karakteristik Pocapan) ISSN: 1858-3989

Hardjowirogo, 1982, Sejarah Wayang Purwo. PN Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Balai Pustaka, Jakarta. Jersey.

Herman, J. Waluyo, 2001, Drama: Teori dan Yudoyono, Bambang, 1984, Gamelan Jawa: Awal Pengajarannya. PT Hanindita Graha Widya, Mula, Makna Masa Depannya. PT Karya Yogyakarta. Unipres, Jakarta.

Sumaatmadja, Nursid. 1998, Manusia dalam Nara Sumber: Kontek Sosisal, Budaya dan Lingkungan Hidup. CV Alvabeta, Bandung. Drs. H. GBPH Yudaningrat, MM., Pengageng Kawedanan Hageng Kraton Yogyakarta. Rendra, 1982, Tentang Bermain Drama. PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta. Drs. Yudono, Penari dan Pembina Kesenian Tradisi Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta Oemar Hamalik, 2003, Proses Belajar Mengajar. PT Bumi Akasara, Jakarta. Kanjeng Raden Tumenggung Pujaningrat (RM Dinusatomo), Ketua Yayasan Siswo Among Samuel Soeitoe, 1982, Psikologi Pendidikan. Bekso Yogyakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Kanjeng Mas Tumenggung Widyowinoto, Guru SMK I Kasihan Bantul, abdi dalem Kraton Siagian, Sondang. P., 1995, Teori Motivasi dan Yogyakarta Aplikasinya. PT. Rineka, Jakarta. Kenthus, Sutradara dan pemain Wayang Wong Slameto, 2003, Belajar dan Faktor-faktor yang Gaya Surakarta anggota Sekar Budaya Mempengaruhinya. PT Rineka Cipta, Jakarta. Nusantara Jakarta.

Soedarso, SP., 1986, “Wanda Suatu Studi tentan L. Danis Subroto, Penari Wayang Wong Gaya Resep Pembuatan Wanda-wanda Wayang Yogyakarta. Kulit Purwo dan Hubungannya dengan Presentasi Realistik”, (Laporan Penelitian), Mas Lurah Cermosutejo, 53 tahun, Seorang dalang Proyek Penelitian dan pengkajian Kebudayaan wayang kulit Gaya Yogyakarta, abdi dalem Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kraton Yogyakarta. Kebudayaan Depdikbud. RM. Ibnu Mutarto, Penari senior sesepuh Yayasan Soekatno, 1992, Mengenal Wayang Kulit Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa PurwaAneka Ilmu, Semarang. Yogyakarta.

Suharto, Ben, 1991, “Tari dalam Pandangan RM. Krisyadi, Penari, Sutradara Wayang Wong Kebudayaan”, dalam Jurnal SENI Edisi Gaya Yogyakarta. Perdana, BP. ISI, Yogyakarta. Siti Sutiyah Sasminta Mardawa, Ketua Yayasan Tjondroradono, Soenartomo, 1996, “Pengetahuan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa. Tari Gaya Yogyakarta: Jenis dan Perwatakannya”, (Diktat), Sekolah Menengah Undung Wiyono, Penulis naskah Wayang Wong Karawitan Indonesia, Yogyakarta. Gaya Surakarta di Sekar Budaya Nusantara Jakarta. Wibowo, Fred. (Ed), 1981, Mengenal tari Klasik Gaya Yogyakarta. Dewan Kesenian Propinsi Widodo Pujobintoro, Guru SMK I Kasihan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta. Penari Wayang Wong Gaya Yogyakarta.

Woolfolk, Anita E. & Nicolich, Lorraine McCune, 1984, Educational Psychology for Teacher,

69 Volume 3 No. 1 Mei 2012 ISSN: 1858-3989 p. 70-77

WAYANG WONG LANGEN LESTARI BUDOYO DONOMULYO SEBUAH KAJIAN GAYA WAYANG WONG PEDESAAN

Surojo Jurusan Tari, Fak. Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta

ABSTRACT Wayang wong Lestari Budaya Donomulyo who was born and developed in rural communities Donomulyo an individual and collective expression of the rural art style. This Wayang wong was founded in 1932 by R. Sanghadi as a palace of Yogyakarta Sultanate courtiers.This transformation and culture of palace formality was a cultural diffusion of the cultural center of the (palace) to a small cultural center (rural), thus giving birth to an art style that is different from the original. This diffusion certainly related to the role Kridha Beksa Wirama in 1918 as an arts institution devoted to the general public, including people from the countryside The rural of wayang wong is a rustic contemporary art form of the distribution and development of the foregoing, where the elements that influence complex either in a linear kesejarahannya of Kridha Beksa Wirama and social culture. That is, in the process of formation of wayang wong arable quality, especially choreography has a unique claim as the expression of which is produced by the artist that is a blend of rustic palace of art with the art of rural tradition "ndeso". This traditional art is an art form that originates and stems as well have been perceived as belonging to the arts community. Hasil accepted as tradition, the inheritance devolved from the older to the younger generation.

Keyword : wayang wong, traditional, rural style, the diffusion

ABSTRAK Wayang wong Lestari Budaya Donomulyo yang lahir dan berkembang di komunitas masyarakat desa Donomulyo merupakan ekspresi individu dan kolektif sebagai gaya seni pedesaan. Wayang wong ini didirikan pada tahun 1932 oleh R. Sanghadi sebagai seorang abdi dalem keraton Kasultanan Yogyakarta. Transformasi dan formalitas budaya keraton ini adalah suatu difusi budaya dari pusat budaya besar (keraton) ke pusat budaya kecil (pedesaan), sehingga melahirkan suatu gaya seni yang berbeda dari aslinya. Persebaran ini tentu terkait dengan peran Kridha Beksa Wirama pada tahun 1918 sebagai lembaga kesenian yang disediakan untuk masyarakat umum, termasuk orang-ortang yang berasal dari pedesaan. Wayang wong pedesaan adalah sebuah bentuk kesenian kontemporer dari hasil persebaran dan perkembangan sebelumnya, di mana unsur-unsur yang turut mempengaruhi sangat kompleks, terutama sejarah secara linier dari Kridha Beksa Wirama. Artinya, dalam proses pembentukan kualitas garapan wayang wong, terutama garapan koreografi memiliki keunikan sebagai ekspresi yang diproduksi oleh seniman pedesaan yakni perpaduan antara seni keraton dengan seni tradisi pedesaan yang ”ndeso”. Kesenian tradisional ini adalah bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik masyarakat..Hasil kesenian diterima sebagai tradisi, yang pewarisannya dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan muda.

Kata kunci : wayang wong, tradisi, gaya pedesaan, difusi

Latar Belakang Masalah sebagai seorang guru dan abdi dalem keraton. Transformasi dan formalitas budaya istana ini Keberadaan wayang wong Langen Budaya mencerminkan kuatnya pengaruh budaya elit atau Donomulyo yang didirikan pada tahun 1932 keraton terhadap budaya rakyat atau kecil. Seperti sebenarnya tidak bisa lepas dari peran R. Sanghadi dikemukakan oleh Kuntowijoyo, bahwa dualisme

70 Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989 budaya Jawa menempatkan budaya besar (elit) yang menyangkut kaum kerabat dan nenek yang dikuasai kerajaan adalah sebagai pusat moyang tadi, dengan pertanyaan-pertanyaan kreativitas yang sah, sehingga kebudayaan keraton yang bersifat konkret (Koentjaraningrat, memancarkan sinarnya ke kebudayaan desa. 1987:118) Sebaliknya, desa hanya diakui daerah pinggiran budaya dan kreativitasnya hanya dianggap sebagai Pernyataan ini tampaknya dapat dipahami karya yang belum selesai dan mentah. dalam konteks menelusuri sejarah perkembangan Perkembangan budaya tradisional hanya bersifat wayang wong Lestari Budaya Donomulyo, perkembangan sintagmatis, yaitu pluralisme terutama melacak dari keturunan R. Sanghadi dan budaya ditampakkan lebih dalam perbedaan variasi para kerabat atau para murid-muridnya yang atau cengkok semata-mata dan tidak mengubah dewasa ini sebagai pelestari wayang wong polanya (Kuntowijoyo, 1987: 24-25). Oleh karena pedesaan itu. Keberadaan grup wayang wong itu, maka tidak mengherankan apabila muncullah Lestari Budaya ini merupakan bukti bahwa gaya wayang wong pedesaan sebagai ekspresi kesenian tradisi itu tumbuh dan berkembang kolektif mereka yang „ndeso‟. Peniruan genre sebagai warisan budaya nenek moyangnya. wayang wong gaya Yogyakarta oleh seniman desa Proses persebaran itu tentu diwarnai adanya Donomulyo sebenarnya dilatarbelakangi oleh spirit dialektika budaya antara budaya besar (keraton) komunal yang menganggap seni keraton sebagai dengan budaya kecil (desa) sebagai proses seni keramat, sehingga kesadaran mereka semata- pembentukan jatidiri budaya lokal. Secara umum mata ditujukan untuk menjaga kepentingan desa dialektika berarti sebuah proses pelik konflik sebagai kesatuan sistem kenegaraan kerajaaan konseptual atau sosial, interkoneksi dan perubahan, Kasultanan Yogyakarta dalam konteks terutama penciptaan, interpenetrasi, dan keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos. pertentangan yang menghasilkan mode pemikiran Transformasi dan formalitas budaya keraton atau bentuk kehidupan yang cenderung memainkan ke dalam budaya rakyat pedesaan ini peran penting (William Outhwaite,editor, 2008 sesungguhnya merupakan bentuk difusi budaya :211). Proses tawar-menawar atau tarik-menarik yang dibawa oleh seorang abdi dalem keraton merupakan bagian penting untuk mendapatkan Kasultanan Yogyakarta yang bernama R. Sanghadi format baru dalam bentuk kesenian, yang akhirnya ke dalam lingkungan budaya pedesaan sebagai diperoleh suatu kesepakatan atau persamaan tempat tinggalnya. Menurut teori difusi, bahwa persepsi terhadap gaya seni yang disajikan. Gaya gejala persamaan unsur-unsur kebudayaan di wayang wong pedesaan ini dijadikan fokus kajian, berbagai tempat di dunia disebabkan karena sehingga diperoleh suatu gambaran menyeluruh persebaran atau difusi dari unsur-unsur itu ke tentang koreografi sebagai sintesis dari proses tempat-tempat lain. Untuk melacak adanya difusi budaya. kesamaan unsur-unsur, maka sebagian besar dari R. Sanghadi sebagai guru Kawula Kasultanan keterangannya akan diperolehnya dari para yang memiliki separangkat gamelan memberikan informan, dengan berbagai macam metode kesempatan kepada masyarakat Klangon, Sedayu wawancara. dan Moyudan untuk melakukan kegiatan uyon- uyon, sehingga kegiatan ini menjadi faktor penting Rivers mengalami bahwa banyak bahan perkembangan wayang wong gaya Yogyakarta di keterangan mengenasi kehidupan sesuatu wilayah perbatasan antara D.I.Y. dengan Jawa masyarakat dapat dianalisis dari daftar-daftar Tengah. Di samping itu, status R. Sanghadi sebagai asal-usul, atau genealogi, dari para informan abdi dalem keraton Kasultanan Yogyakarta adalah itu. Dengan demikian seorang peneliti harus faktor penentu tumbuh dan perkembangan genre mengumpulkan sebanyakmungkin daftar asal- wayang wong di Kabupaten Kulonprogo. Hal ini usul individu-individu dalam masyarakat menunjukkan seni pertunjukan ini yang semula obyek penelitian penelitiannya itu. Dengan lahir, tumbuh dan berkembang di dalam keraton, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai kemudian berkembang dan tersebar di luar tembok kaum kerabat dan nenek moyang para keraton, sampai di pedesaan. Wayang wong di individu tadi sebagai pangkal, seorang peneliti Yogyakarta berkembang dan mengalami dapat menembangkan (baca: persebaran sejak pemerintahan Hamengku Buwana mengembangkan) suatu wawancara yang luas I dengan lakon Gandawardaya sekitar akhir tahun sekali, mengenai bermacam-macam peristiwa 1750-an dan mencapai puncak kejayaan pada masa

71 Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo ISSN: 1858-3989 Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) pemerintahan HB VIII (1921-1939) yang ketika itu mengacu pada wayang wong gaya Yogyakarta. memproduksi wayang wong untuk waktu berhari- Grup kesenian ini adalah sebuah bentuk kesenian hari (Soedarsono, 1990: 19 dan 29). Dengan yang aktual sebagai hasil persebaran dan demikian, perkembangan wayang wong gaya perkembangan sebelumnya, di mana unsur-unsur Yogyakarta di luar tembok keraton, tampaknya yang turut mempengaruhi sangat kompleks, baik berada pada masa pemerintahan Sultan Hamengku aspek kesejarahannya secara linier dari Kridha Buwana VIII yang ketika itu R. Sanghadi sebagai Beksa Wirama maupun aspek sosial budaya abdi dalem keratoan. masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan Fenomena persebaran seni tradisi keraton sesuai spirit zamannya.. sebenarnya sudah terjadi pada masa pemerintahan HB VII, tepatnya pada tahun 1918, atas restu Proses Pembentukan Sultan di Yogyakarta berdiri sebuah lembaga kesenian bernama Kridha Beksa Wirama. Lembaga Proses pembentukan wayang wong Lestari ini diprakarsai Pangeran Soerjodiningrat dan Budaya erat kaitannya dengan pertemuan dua Pangeran Tejakusuma. Murid-murid KBW budaya yaitu budaya besar (istana) dan budaya sebagian besar terdiri dari para pelajar Yogyakarta kecil (rakyat). Hal ini merupakan bentuk yang bergabung dalam Jong Java. Semenjak itu persebaran budaya yaitu berangkat dari keraton kesenian keraton termasuk wayang wong dapat Kasultanan Yogyakarta yang berfungsi sebagai dipelajari oleh masyarakat luas dan berkembang salah satu pusat kebudayaan Jawa yang dikenal pesat, bahkan Krida Beksa Wirama pernah seni tradisi klasik menuju ke pedesaan sebagai mementaskan wayang wong di Bandung yang salah satu pusat kebudayan yang dikenal seni diselenggarakan oleh Java Instituut pada tahun tradisi rakyat. Proses pembentukannya ditandai 1921 (Soedarsono, 1990: 29). Pertunjukan wayang oleh kuatnya pengaruh seni tradisi keraton wong gaya Yogyakarta ini kemungkinan memberi terhadap seni tradisi rakyat, sehingga inspirasi seniman local untuk diadaptasi, meskipun menghasilkan bentuk gaya seni ysng khas di wilayah Priangan (Bandung) sebenarnya sudah pedesaan sebagai formalitas budaya keraton yang berkembang wayang wong pada awal abad ke -20, “ndeso”. Seperti dikemukakan oleh D.H. Burger: sebab kesenian ini sangat digemari oleh khalayak umum, yang diduga merupakan awal lahirnya Gaya hidup Jawa ini berakar dalam khazanah wayang wong gaya Priangan (Iyus Rusliana, 2002: kebudayaan yang terhimpun dalam 28). Pengaruh kebudataan Mataram terjadi pada kesusasteraan kuno dan dalam wayang masa pemerintahan Sultan Agung dan dilanjutkan (pertunjukan pemainan bayangan yang pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat I pada diiringi musik dan seni tari). Wayang tahun 1645 yang ditandaio perkawinan antara mempunyai makna keagamaan. Pertunjukan Sunan Amangkurat I dengan cucu Panembahan wayang diadakan pada saat-saat terpenting Ratu Alit yang bernama Panembahan Girilaya dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, (Ibid.,: 48). Persebaran budaya keraton Mataram perkawinan dan khitanan, juga untuk dan Kasultanan Yogyakarta tampaknya sudah mengelakkan mala petaka atau menghalau berlangsung sangat lama, termasuk pesrevaran penyakit, dan segala pengaruh lain yang wayang wong gaya Yogyakarta ke desa merusak. Pertunjukan wayang merupakan Dopnomulyo Kulonprogo. tontonan suci. Karena leluhur yang didewakan Fenomena perkembangan wayang wong gaya muncul di atas pentas. Terutama kaum Yogyakarta di luar tembok istana ini tentunya menganggap tokoh-tokoh wayang berkembang menurut spirit komunal yang selaras itu nenek moyang mereka (Burger, 1983: 43- dengan kebutuhan dan kualitas seniman 44) pendukungnya, terutama pengetahuan dan kemampuan keterampilan tekniknya. Oleh karena Latar belakang ini sebenarnya mengilhami itu, tulisan kali ini lebih difokuskan pada garap, keberadaan wayang wong Lestari Budaya di Desa dan berbagai pengaruh yang turut membentuk Donomulyo, yakni formalitas budaya keraton garap tersebut, baik social budaya maupun dari sebagai khazanah penghayatan terhadap dunia pemngaruh kesenian lainnya. Fenomena wayang spiritualitas orang Jawa yang ”ndeso”. Persamaan wong pedesaan di Donomulyo Nanggulan Kulon persepsi bangsawan keraton dengan rakyat kecil Progo adalah produk seniman pedesaan yang yang ”ndeso” terhadap budaya wayang, bahwa seni

72 Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989 kuno adalah satu ungkapan dari pandangan hidup Peterson Royce. Gaya tersusun dari simbol, Jawa yang kuno, yang didukung oleh ”rasa bentuk, dan orientasi nilai yang mendasarinya. kerukunan alam semesta (Ibid.,: 75) Bentuk dan simbol terang-terangan memasukkan Pemaknaan budaya keraton dalam konteks pakaian, bahasa, musik, tari, tipe rumah, dan budaya pedesaan tentu diyakini sebagai unsur agama (Royce, 2007: 171). Transformasi tata rias– pembentuk karakter masyarakat pedesaan dalam busana tentu disesuaikan dengan ketersediaan dan pengukuhan jatidiri mereka sebagai bentuk media kualitas bahan yang didasarkan pada kemampuan legitimasi komunal yang ”ndeso”. Masyarakat daya beli mereka serta kemampuan pedesaan Jawa dalam menentukan identitas menginterpretasinya. Di samping itu, pengalaman kebudayaan cenderung menerima pancaran budaya mereka ketika melihat pertunjukan tertentu yang keraton yang diaktualisasikan dalam spirit memberi inspirasi variasi warna dan desain tata komunal sebagai pernyataan yang menyatukan tata busana. Transformasi gerak tari sangat jelas nilai kawula-gusti. Pernyataan seni tradisi dilatarbelakangi oleh kekurang sempurnaan pedesaan ini merupakan pencerminan dari penguasaan pengetahuan dan keterampilan teknik kesederhaaan dasn kepolosan berpikir fan ketika mereka menjadi murid KBW, sehingga bertindak dalam dunia kesenian yang diukur kesederhanaan bentuk gerak dan cara menurut kemampuan mereka, sehingga ekspresi pengungkapannya menjadi unik yang menandai individual dan kolektif lokalitas memberi gaya „ndeso”. Tipe rumah atau panggung gambaran tentang keseimbangan dunia manusia pertunjukan juga sangat tergantung dari fasilitas dan alam semesta. ruang pentas yang disebut pendopo atau panggung Pada awal keberadaan Kridha Beksa Wirama yang dibuat untuk kepentingan pertunjukan. sebenarnya dilatarbelakangi oleh antusias dan Keseluruhan unsur pembentuk gaya itu ditunjang peminat para peserta didik yang mayoritas dari oleh nilai-nilai etika, moral dan spirit yang ada kalangan umum atau mereka yang berasal dari dalam wayang sebagai media pendidikan budi desa-desa, sehingga tidak mustahil tari keraton pekerti orang Jawa tempo dulu, dan mungkin (baca wayang wong) berkembang secara luas di masih berlaku di masa kini dan masa yang akan luar tembok keraton.. Namun karena belum datang. tuntasnya pengusaan materi tari yang dipelajari di Jennifer Liindsay dalam penelitiannya melihat Kridha Beksa Wirama, maka perkembangan tarian sebuah perjalanan panjang wayang wong sendiri di keraton di pedesaan cenderung mengalami keraton dikategorikan menjadi klasik, kitch dan penurunan kualitas penguasaan dan keterampilan kontemporer. Dengan batasan ketiga istilah ini teknik gerak. Akibat dari proses pembentukan ditemukan perbandingan dan tolok ukur pada yang kurang optimal itu diyakini akan berdampak “waktu pertunjukannya”. Pertunjukan di masa pada kualitas pengembangan wayang wong dari Hamengku Buwana I hingga masa Hamengku waktu ke waktu sejalan dengan perubahan zaman. Bubawa VIII telah mengalami perbedaan bentuk. Bercampuran dari berbagai gaya dan potensi seni Artinya, bahwa aspek “waktu” yang bersifat di desa, merupakan fenomena sosial budaya diakronis dalam tempat yang sama cenderung sebagai proses pembentukan karakter identitas mengalami perubahan bentuk sejalan dengan spirit masyarakat pemilik kesenian itu. masyarakat pendukungnya sebagai kreator dan Gaya wayang wong pedesaan ini adalah innovator karya seni. Persebaran ke arah luar realitas kreativitas seniman pedesaan yang keraton di mana lingkungan masyarakat memiliki pemahaman dan interpretasi yang unik. pendukung budaya tidak sama dengan masyarakat Keunikan yang dimaksud adalah kesederhaaan dan keraton tentu interpretasi akan mengalami kepolosan dalam menginterpretasikan seni tradisi penyesuaian dengan potensi budayanya, sehingga istana dengan kemampuan apa adanya. Oleh produk budaya yang diciptakan akan memiliki karena itu, maka wayang wong gaya pedesaan ini kualitas sendiri, termasuk ukuran estetiknya. Hal memiliki ciri khas, versi dan gaya yang berbeda ini sesuai dengan pemahaman teori difusi yang menurut atmosfir budaya di pedesaan yang menunjuk adanya pusat budaya dan luar pusat sederhana, apa adanya, “bentuk tari tampak belum budaya, yakni seni tradisi keraton yang dibawa selesai” dan unik bila dilihat dari sisi pandang oleh individu yang berstatus abdi dalem untuk kesenian keraton. Seluruh ciri-ciri kompleks ini dikembangkan di daerah asalnya. Unsur-unsur sebenarnya merupakan unsur pembentuk suatu yang membentuk wayang wong pedesaan ini gaya seni sebagai dikemukakan oleh Anya cenderung dikolaborasikan menurut

73 Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo ISSN: 1858-3989 Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) kemampuan dan selera seniman menjaga keseimbangan mikrokosmos dan pendukungnya. Kasus pembentukan koreografi makrokosmos. Sistem pengetahuan tentang wayang wong Lestari Budaya ini lebih wayang secara tersirat dan tersurat merupakan mencerminkan suatu proses kreatif dengan simbol kehidupan manusia yang mewakili tentang memadukan unsur-unsur wayang wong gaya sifat baik dan buruk, sehingga simbol-simbol itu Yogyakarta, unsur-unsur seni tradisi lokal, atau memiliki sistem nilai yang dipakain acuan normatif unsur lain seni lainnya sebagai pengalaman untuk diimplementasikan dalam berinteraksi dan berkesenian mereka, sehingga kesan kepolosan berkomunikasi dengan sesama manusia dan dan kesederhanaan berpikir mereka serta lingkungan. keterbatasan kemampuan penguasaan dan Jika melihat teks koreografi wayang wong keterampilan teknik tentu berakibat pada Lestari Budaya sebenarnya transformasi kualitas bentuk koreografi. koreografi wayang wong pedesaan ini dapat Kesenian tradisional ini adalah sebuah bentuk dikategorikan merupakan bentuk kitch atau seni yang bersumber dan berakat serta telah kontemporer dari sebuah daya kreatifitas seniman dirasakan sebagai miliki sendiri oleh masyarakat pemangkunya (lihat Jeniffer Liindasy). Menurut lingkungannya. Penciptaan karya seni ini Hersapandi, wayang wong gaya Surakarta telah didasarkan atas cita-rasa masyarakat mengalami perubahan status dan fungsi yaitu dari pendukungnya. Cita-rasa menunjuk pada seni istana menjadi seni komersial. Komersialisasi pemahaman pengertian yang luas, termasuk nilai wayang wong yang dibarengi kualitas bentuk kehidupan tradisi, pandangan hidup, pendekatan menjadikan seni wayang wong yang berkembang falsafah, rasa etis dan estetis serta ungkapan di daerah Surakarta menjadi meluas dan disukai budaya lingkungan (Jennifer Lindsay, 1991). masyarakat urban di kota-kota besar di Jawa Totalitas keseluruhan ungkapan budaya ini (Hersapandi, 1999). Kemasan wayang wong merupakan pencerminan integritas individu dan komersial dibarengi dengan penggunaan teknologi kelompok terhadap tata nilai yang diyakini menjadi canggih dalam pertunjukannya, misalnya: tata sumber inspirasi untuk menjaga tertib sosial dalam panggung, tata suara, tata lampu dan segi-segi lain upaya mencapai cita-cita bersama sebagai kearifan (trik-trik) yang dapat menarik penonton. Namnun budaya lokal. Ketika kesenian tradisional itu karena wayang wong Lestari Budaya bukan mengalami perubahan sesuai dengan spirit merupakan seni peruntjukan yang bersifat zamannya, maka kesenian itu bersifat kontemporer komersial, tetapi sebagai pertunjukan yang bersifat atau seni kitsch yang ditujukan untuk kepentingan komunal, maka kegiatan pentasnya disposori oleh dan kebutuhan estetis dan hiburan masyarakat masyarakat dan masyarakat sebagai basis sosial pendukungnya. Pertunjukan kitch bagi wayang diberi kesempatan menonton secara gratis. Artinya, wong di luar keraton dipahami adanya pergeseran bahwa masyarakat sebagai konsumen dan fungsi pertunjukan dan tempat pertunjukan. Ketika sekaligus sebagai pelindung kesenian di pedesaan. wayang wong berada di luar keraton dan beralih Proses pembentukan wayang wong Lestari fungsi sebagai hiburan, maka seni pertunjukan itu Budaya tentu tidak dapt dipisahkan dengan peran merupakan genre yang dikemas untuk kepentingan organisasi kesenian yang dibentuk untuk komunal dan suatu pernyataan ekspresi kolektivtas kepentingan ituy. Menurut Y. Sumandiyo Hadi, mereka sebagai rakyat pedesaan. Seni kitch dan bahwa kelembagaan kesenian atau organisasi bukan kitch dapat dibedakan hanya karena fungsi kesenioan dimaknai sebagai agen of change di pertunjukan, sedang pandangan klasik dan bukan mana actor di dalamnya merupakan agen yang klasik tergantung dari menyimpang atau tidaknya mampu menggerakkan roda organisasi untuk dari kaidah-kaidah tari klasiknya. (Jennifer mencapai tujuan. Misalnya, KBW pada saat tahun Lindsay, 1991). 50-an menjadi kancah pembelajaran penari-penari Keseluruhan hasil interpretasi dan kreativitas desa dan kemudian setelah kembali ke desa baik kolektif seperti tercermin pada gaya wayang wong belajarnya tuntas maupun belum tuntas, mereka pedesaan merupakan suatu pernyataan budaya dari berkarya di desanya. Dengan modal dan sistem pengetahuan masyarakat terhadap wayang kemampuan yang terbatas itu, tampaknya spirit wong tentang kehidupan manusia sebagai media untuk mendirikan organisasi kesenian merupakan pendidikan dan komunikasi untuk meningkatkan tekad dan cita-cita mereka sebagai kawula kerajaan kualitas manusia dalam memahami tata nilai etika Kasultanan Yogyakarta untuk berperan serta dalam dan moral serta spiritual agar manusia mampu mengaktualisasikan pencitraan seni keraton di

74 Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989 wilayah pedesaan. Komunitas atau lembaga baru di Sarjono murid tari dari Suwardi yang tinggal di desa itu berfungsi sebagai perwakilan seni keraton Donomulyo mengatakan : di pedesaan, yang implementasinya merupakan sebuah pernyataan social dari suatu komunitas “ kula angsal kapinteran joged menika pedesaaan. sangking Pak Wardi ing Banaran Banguncipto. Griyanipun wiyar lan kangge Wayang Wong Donomulyo Sebagai Bentuk gladhen wayang wong. Piyambakipun menika Seni Gaya Pedesaan ingkang langsung nate sinau dhateng Kridha (KBW), menawi kula dereng nate. Kula sak Keberadaan wayang wong di desa kanca kalih Mudiharjo angsal latihan saking Donomulyo tidak bisa lepas dari sejarah Pak Wardi kemawon. Kula dereng nate sinau pembentukannya. Pada tahun 1932 seorang guru joged wonten kridha, namung mireng sekolah Kawula Kasultanan bernama R. Sanghadi kemawon”. memiliki seperangkat gamelan. Oleh masyarakat Klangon, Sedayu dan Moyudan sering digunakan (saya bisa menari dari Pak Wardi di Banaran uyon-uyon. R. Sanghadi sendiri selain sebagai guru Banguncipto, rumahnya luas dan untuk juga merupakan abdi dalem keraton yang aktif. wayang wong. Dia (Pak Wardi) yang pernah Menurut Sumanggakarso guru karawitan di belajar dari kridha, kalau saya belum pernah. Klangon menceritakan keadaan Klangon wilayah Saya dengan teman-teman termasuk perbatasan dengan kabupaten Kulon Progo, Mudiharjo mendapat pelajaran dari Pak Wardi merupakan daerah strategis untuk pengembangan saja). kesenian. Di rumah R. Sanghadi sendiri telah digunakan latihan Langen Mandra Wanara dengan Berbekal 13 jenis motif gerak yang lakon Sugriwa-Subali. Menurut surat kekancingan dikuasainya, Sarjono dan Mudiharjo mendirikan nomor 9726 tertanggal 4 April 1932 R. Sanghadi kelompok wayang wong di Donomerto ditetapkan sebagai putra Mangkusentana diberi Donomulyo. Namun kelompok ini tidak terlalu tanggung jawab dari pihak keraton untuk membuka lama berlangsung. Berkat kegigihan Harjo Sukirno sekolah Kasultanan di Moyudan. ayah Siswo Prajono, kemudian latihan dipusatkan Pada tahun 1945 hingga tahun 1950 peran di dusun Jambon hingga sekarang. Siswa Prajono KBW semakain nyata dengan melibatkan warga yang menjadi pimpinan wayang generasi sekarang masyarakat dari berbagai daerah, terutama kegiatan mengakui bahwa wayang wong di Jambon adalah tari yang mermunculkan banyak tokoh penari, kelanjutan dari wayang wong Donomerto, bahkan seperti muncullah generasi Sumanggakarso yang setiap akan mengadakan pergelaran melibatkan menghimpun penari-penari di rumahnya di pengasuh terdahulu yaitu Sumidi, Sastyradiwiryo Klangon. Kesungguhan belajar menari generasi dan Sarjono. Siswa Prajono sendiri dalam hal muda Klangon dibuktikan pernah datangnya guru- penyutradaraannya banyak dibimbing oleh seorang guru dari KBW meresmikan Balai Kesenian dalang Sastra Sencaka. Klangon seperti K.R.T. Kusumabrata, K.R.T. Sarjono sebagai nara sumber wayang wong Pringgabrata dan K.R.T. Jagabrata. Hal ini Jambon ini mengatakan : menunjukkan bahwa persebaran budaya dari pusatnya ke daerah berjalan secara baik dan “ Lare-lare Jambon sakmenika remen berkesinambungan melalui pewarisan menurut dhateng kesenian lan majeng, nanging garis hubungan petemanan dan kaderisasi seniman sampun mboten disiplin anggenipun sinau lokal. Wilayah pengembangan Balai Kesenian joged. Kalang kinantang rojo menika Klangon terdiri dari penduduk Kulon Progo hingga kedahipun angklung-angklung mekaten, daerah pelosok di kaki pegunungan Menoreh. mboten ngepel kados kambeng”. Singkat kata wayang wong di tahun-tahun berikutnya telah berkembang di daerah Sentolo dan (Anak-anak Jambon sekarang senang terhadap Donomulyo. Di rumah Suwardi di Banguncipto kesenian, dan maju tetapi sudah tidak begitu Sentolo Kulon Progo merupakan tempat disiplin dalam belajar menarinya. Kalang berkembangnya wayang wong yang sangat berarti kinantang rojo itu seharusnya melingkar bagi perkembangan wayang wong di Donomulyo. demikian (sambil memperagakan), tidak ngepel seperti kambeng saja).

75 Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo ISSN: 1858-3989 Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan)

Sesuai dengan tuntutan zaman yang sekarang masyarakat lebih tertarik untuk menggunakan tata sudah berubah ke masyarakat industri modern, busana gaya Suraikarta yang tampak gebyar dan yang dalam kehidupannya tidak lepas dari sarana mewah. hiburan dari media elektronik. Media elektronik Slamet tampaknya tertarik untuk memadukan seperti televisi, radio, VCD dan bentuk yang lain kedua gaya tersebut mulai dengan karya miliknya telah menawarkan berbagai pilihan dalam dalam persewaan tata busana wayang. Sifat acaranya. Namun demikian masyarakat yang sederhana dan tanpa banyak warna pada kostum terhimpun dalam kelompok wayang wong masih gaya Yogyakarta, tetapi Slamet tertarik desainnya setia untuk latihan dan mengadakan pergelaran terutama irah-irahan. Maka Slamet memberi warna tatkala dibutuhkan pentas. Wayang wong sunggingan seperti gaya Surakarta sehingga Donomulyo di samping tetap memelihara sekuat terwujud perpaduan gaya yang disebutnya gaya tenaga untuk bertahan dengan sajian klasik tradisi, prayungan itu. Dalam hal gerak tari, karakter dan juga menerima trend budaya yang sedang semarak tata laku, wayang wong pedesaan termasuk di misalnya campursari. Pada limbukan dan gara- Donomulyo ini umumnya berbekal tari dari KBW. gara trend budaya campursari menjadi favorit dan Namun tata busana tidak sama sekali mengacu dinanti-natikan oleh penggemarnya. Tidak bisa wayang keraton. Hal yang demikian disebabkan tidak wayang wong Donomulyo sesuai fungsinya sulitnya di desa mendapatkan kostum gaya sebagai sarana hiburan masyarakat, bentuk keraton, karena yang memiliki busana wayang sajiannya mengalami perubahan dan keraton adalah keraton sendiri. Di samping busana perkembangan. wayang keraton tidak diperbolehkan keluar keraton, juga pengadaan kostum tari harus dengan Wayang Wong Pedesaan sebagai Gaya cara memesan kepada pembuatnya serta dengan Prayungan waktu yang lama dan relatif mahal harganya. Perpaduan dua gaya yang muncul di wayang Hasil dari persebaran wayang wong dari wong pedesaan lainnya adalah pada gerak tarinya. keraton ke luar keraton sesuai denga teori difusi Gerak tari yang dilakukan oleh Slamet nampak menyebabkan adanya bentuk baru yang berbeda menunjukkan gaya yang spesifik. Gerak kaki dengan sumber aslinya. Wayang wong pedesaan jujungan (genjot dan jomplang) menggunakan yang telah mengalami sejarah panjang, akhirnya teknik gaya Yogyakarta sedang posisi tangan membentuk gaya tersendiri yang disebut menggunakan pola gaya Surakarta. Teknik menari prayungan. Prayungan menurut Slamet seorang dengan pola gaya Yogyakarta yang kuat dalang dan penari wayang wong yang kini disebabkan pada umumnya bekas siswa KBW menekuni tata rias dan busana khusus wayang selalu mengikuti latihan dasar yang dikenal dengan wong, mengatakan bahwa perpaduan antara gaya “tayungan”. Dalam tayungan ini ditekankan pada Yogyakarta dan Surakarta terutama dalam hal tata pentingnya gerak kaki di dalam mendasari tarian gerak dan tata busana wayang tidak dapat berkarakter apapun, sedangkan gerak tangan, leher dihindari. Hal ini disebabkan adanya permintaan dan lainnya menjadi prioritas kemudian. Seorang masyarakat peminat wayang wong di pedesaan. penari klasik diwajibkan memiliki “deg” yang Di Yogyakarta pertunjukan wayang wong benar, walau belum melakukan gerak sekalipun. klasik keraton yang berkembang di luar keraton Gendhing pengiring pada wayang wong masioh terbatas pada perkembangan tarinya. pedesaan lebih longgar, bahkan gendhing- Sedang di luar keraton juga sudah berkembang gendhing pedalangan gaya Yogyakarta menjadi wayang wong panggung (komersial) gaya pilihan utama dari pada gendhing-gendhing gaya Surakarta. Dalam pertunjukan di panggung sajian Surakarta. Namun dalam hal kandha dan wayang telah dikemas dengan bantuan tata busana antawecana, wayang wong ini lebih mengacu pada dan tata teknik pentas yang sudah barang tentu gaya Surakarta. Kandha dan pocapan atau lebih menarik, sedangkan wayang wong hasil antawecana gaya keraton merasa kesulitan, sebab perkembangan gaya Yogyakarta berkembang artikulasinya telah ditentukan dengan standart dengan sajian “pendapan” dan kelengkapan busana klasik yang ada, sedang gaya Surakarta lebih klasik yang bersifat sederhana sangat terbatas serta santai, longgar, tidak sulit dan komunikatif tidak belum dibantu dengan tata busana dan tata jauh dari pola keseharian. Kandha dan pocapan panggung yang lebih menarik. Akibat dari itu gaya Surakarta dapat dilakukan secara spontan dan

76 Surojo (Wayang Wong Langen Lestari Budoyo Donomulyo Sebuah Kajian Gaya Wayang Wong Pedesaan) ISSN: 1858-3989 boleh dikembangkan sendiri, sedang gaya keraton terpinggirkan seni tradisi rakyat pedesaan sebagai Yogyakarta telah terstruktur dalam teks. akibat perkembangan budaya global yang Kemampuan dan kemauan untuk belajar mendominasi kehidupan masyarakat, terutama seni membaca dan mempelajari teks wayang wong gaya pop yang difasiitasi oleh media elektronik televisi. keraton merupakan beban tersendiri dan tidak semua penari dari desa ketika belajar di KBW DAFTAR RUJUKAN sampai pada pelajaran kandha dan pocapannya. Kesenjangan inilah menjadikan wayang wong Burger, D.H., 1983, Perubahan-Perubahan pedesaan tidak tuntas dalam menstranfer seluruh Struktur Dalam Masyarakat Jawa, terjemahan materi wayang wong keraton, sehingga yang terjadi adalah intrepretasi penari dari desa itu Dewan Redaksi, Bhratara Karya Aksara, Jakarta. sendiri yang muncul dalam kreasinya serta mengadopsi dari gaya Surakarta dan gaya Hersapandi, 1999, Wayang Wong Sriwedari: Dari pedalangan. Seni Istana Menjadi Seni Komersial, Yayasan

Penutup Untuk Indonesia, Yogyakarta.

Wayang wong Lestari Budaya Donomulyo Koentkaraningrat, 197, Sejarah Teori Antropologi, adalah produk budaya seniman pedesaan yang Universitas Indonesia Press, Jakarta. mengacu pada wayang wong gaya Yogyakarta. Hal ini merupakan bentuk persebaran budaya yaitu Kuntowijoyo, 1987, Budaya dan Masyarakat, berangkat dari keraton Kasultanan Yogyakarta Taiara Macana, Yogyakarta. yang berfungsi sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa yang dikenal seni tradisi klasik Liindsay, Jenifer, 1991, Klasik Kitsch menuju ke pedesaan sebagai salah satu pusat Kontemporer, Sebuah Studi Tentang Seni kebudayan yang dikenal seni tradisi rakyat. Proses Pertunjukan pembentukannya ditandai oleh kuatnya pengaruh seni tradisi keraton terhadap seni tradisi rakyat, Jawa, terjemahan Nin Bakdi Sumanto, Gadjah sehingga menghasilkan bentuk gaya seni ysng khas Mada University Press, Yogyakarta. pedesaan sebagai formalitas budaya keraton yang “ndeso”. Outhwaite, William,editor, 2008, Ensiklopedi Wayang wong gaya pedesaaan ini Pemikiran Sosial Modern, edisi kedua, mencerminkan ekspresi individu dan kolektif terjemahan seniman desa yang mencoba untuk mendistribusikan seni istana menjadi seni rakyat Tri Wibowo, Kencana Predana Media Gourp, pedesaan. Kualitas pengetahuan dan kemampuan Jakarta. keterampilan teknik gerak wayang wong cenderung rendah atau belum tuntas, sehingga Royce, Anya Peterson, 2007, Antropologi Tari, gaya seni pedesaan ini justru melahirkan keunikan terjemahan F.X. Widaryanto, Sunan Ampu yang khas ”ndeso” yang sederhana dan polos yang Press, Bandung. didukung oleh spirit komunal pedesaan untuk kepentingan media komunikasi pendidikan dan Rusliana, Iyus, 2002, Wayang Wong Priangan: ritual. Kajian Mengenai Pertunjukan Dramatari Ekspresi kreativitas individu dan kolektif ini Tradisional di Jawa Barat, Kiblat Buku tentu diwariskan dari satu generasi ke generasi Utama, Bandung. berikutnya dengan tingkat pemahaman artistik yang berbeda, sehingga bentuk pewarisan tradisi Soedarsono, 1999, Wayang Wong: The State Ritual ini cenderung mengalami dinamika perkembangan Dance Drama in The Court of Yogyakarta, sejalan dengan prubahan sosial budaya masyarakat Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. pedesaan di zamannya. Hal ini diwarnai semakin

77 Volume 3 No. 1 Mei 2012 ISSN: 1858-3989 p. 78-86

PERAN MAJLIS PUSAT PERTUBUHAN-PERTUBUHAN BUDAYA MELAYU SINGAPURA DALAM FESTIVAL TARI SERUMPUN

Oleh : RAJA ALFIRAFINDRA

ABSTRACT Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura, merupakan satu di antara badan-badan Budaya Melayu yang tertua di Singapura. Sebelumnya dikenal Sriwana yang telah membuktikan dan memainkan peran dalam mengetengahkan warisan budaya Melayu di Singapura dari tahun 1955 sampai sekarang. Kedua badan ini berjalan seirama sesuai dengan peran masing-masing guna mengangkat martabat masyarakat Melayu di Singapura. Sriwana dalam kehadirannya lebih memokuskan pada kesenian baik tari, musik, dan teater, sedangkan Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura lebih menekankan pada pelestarian kegiatan keagamaan, kebangsaan, dan kebudayaan yang merupakan identitas budaya Melayu.

Pendahuluan usaha melestarikan budaya Melayu serta nilai-nilai nuraninya dalam konteks masyarakat Singapura Perpisahan Singapura dari salah satu anggota yang berbilang kaum yang majemuk sekaligus persekutuan Malaysia pada tanggal 9 Agusttus menyumbang ke arah pembangunan negara. 1965 telah mencetuskan keadaan yang kurang Terbentuknya Majlis Pusat Pertubuhan- stabil pada kehidupan masyarakat Melayu Pertubuhan Budaya Melayu Singapura pada tahun Singapura. Perpisahan ini menyebabkan 1969, memberi angin segar bagi perkumpulan- masyarakat Melayu Singapura harus mampu untuk perkumpulan Melayu yang berada di seluruh menentukan masa depan mereka yang tinggal di wilayah Singapura dengan kegiatan yang utuh dan dalam sebuah negara yang secara mayoritas bukan menyatu di bawah naungan Majlis Pusat. Seluruh dari bangsa mereka. Masyarakat Melayu Singapura kegiatan masyarakat Melayu Singapura yang harus mencari jalan dengan upaya sendiri agar dikoordinir oleh Majlis Pusat lebih ditekankan dapat menghidupkan agama Islam, kebangsaan, kepada pendidikan, kemasyarakatan, keagamaan, dan kebudayaan Melayu agar tidak hilang ditelan olahraga, kesenian, kepemudaan dan kebudayaan arus perubahan masyarakat di negara yang Melayu pada khususnya (wawancara dengan metropolis itu. Cekgu Hisam). Pada perkembangan selanjutnya, Tahun 1967, muncul upaya untuk menyatukan muncul perkumpulan yang mengembangkan pada langkah-langkah guna melestarikan kegiatan kegiatan kebudayaan dan kesenian. Perkumpulan keagamaan, kebangsaan, dan kebudayaan Melayu Persatuan Kemuning dan perkumpulan Seni Kedua Singapura. Pada tanggal 12 April 1969, yang pertama terbentuk, kedua perkumpulan ini terbentuklah Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan sangat aktif dalam bidang tari, musik, dan teater Budaya Melayu Singapura yang menjadi yang menitikberatkan pada kesenian Melayu di penggerak utama dalam upaya pelestarian dan Singapura, sehingga menjadi duta kesenian Majlis pengembangan budaya melayu Singapura. Dalam Pusat pada masa itu. Pada perkembangan perkembangannya Majlis Pusat Pertubuhan- selanjutnya, kedua perkumpulan ini memisahkan Pertubuhan Budaya Melayu Singapura ini lebih diri dari Majlis Pusat, sehingga Majlis Pusat dikenal dengan sebutan Majlis Pusat. Visi Majlis mendirikan perkumpulan yang diberi nama Kirana Pusat ini menekankan pada kepimpinan mandiri Seni yang khusus menekankan pada tari Melayu. dalam persatuan bangsa, memelihara serta membangun budaya Melayu dan negara. Adapun misi Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura memainkan peran utama bagi

78 Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989

Peran Negara dalam Perkembangan berupa emas dan perak sebagai hadiahnya. Budaya Melayu Sedangkan materi pertandingan tari lebih difokuskan pada tari kreasi yang berdasarkan Singapura merupakan sebuah negara kecil konsep tradisional dan kontemporer Melayu. yang luasnya lebih kurang 704 km2, dengan Fasilitas dalam pengembangan tari Melayu di jumlah penduduk ras Melayu lebih kurang 659.000 Singapura dari pihak Majlis Pusat dan Taman orang. Dalam hal pelestarian budaya Melayu, Warisan Melayu beberapa kali mengadakan negara memelihara banyak kumpulan tari, baik pelatihan tari Melayu untuk pelajar dengan kumpulan yang sudah mapan, sekolah-sekolah, dan mendapat bantuan dari Majlis Seni Kebangsaan, perorangan di bawah kelompok-kelompok dengan mengundang beberapa koreografer tari masyarakat yang biasa disebut kelab-kelab Melayu dari Indonesia salah satunya adalah penulis masyarakat sesuai lokasi daerah masing masing. (Raja Alfirafindra). Beberapa kumpulan tari Kehadiran mereka dibantu oleh negara dalam Melayu yang sudah mapan banyak juga bidang keuangan dan fasilitas, melalui Majlis Seni mengirimkan penari, dan pemusik untuk belajar di Kebangsaan, sesuai kebutuhan masing-masing Indonesia. kumpulan. Majlis Pusat dalam perkembangannya dekade Kementrian Pendidikan Singapura setiap 2 sekarang ini, lebih memberikan ruang pada (dua) tahun sekali mengadakan pertandingan tari kumpulan-kumpulan seni yang menekankan pada yang diikuti seluruh sekolah rendah, menengah, seni pertunjukan Melayu Singapura. Hal ini dapat dan mahtab rendah. Pertandingan Singapore Youth dilihat dari struktur organisasi yang Festival ini, ternyata sangat diminati seluruh mengetengahkan seni Melayu Singapura antara pelajar Singapura guna memperebutkan anugerah lain:

MAJLIS PUSAT ARTS & PERFORMANCES SECRETARIAT

Majlis Pusat Kirana Seni Majlis Pusat Orkes Mutiara (Traditional Malay Dance Group) (Traditional Malay Musik Ansamble)

Majlis Pusat Darma Pusaka Majlis Pusat Paluan Gempita (Malay Martial Art Performance) (Kobapang Group)

Karaoke and Entertainment for D’Astir Wedding (Wedding Banquet Service Team)

PERSATUAN PECINTA WARISAN TEMASEK (PPWT) (KERIS & MALAY WEAPON CONNOISSEURS)

Perkembangan Budaya Melayu Singapura Singapura seperti artis, aktor, penari, pemusik, sutradara, dan tenaga lainnya yang terlibat dalam Sejarah tari Melayu Singapura sedikit banyak pertunjukan teater Bangsawan. Sutradara Melayu dipengaruhi oleh industri perfilman yang yang terkenal pada masa itu adalah P.Ramlee, mengangkat tari Melayu dalam cerita-cerita sejarah mengangkat film Melayu dengan pertunjukan tari Melayu serantau. Pertunjukan teater Bangsawan, dan lagu Melayu, sebagai citarasa keMelayuan. banyak terlibat dalam pembuatan perfilman di Pada film-film Melayu yang disutradarai oleh

79 Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)

P.Ramlee, tari dan lagu Melayu menjadi identitasnya. Selain P.Ramlee, adalah Omar Rojik dan Jamil Sulong yang berkecimpung di dalam studio Malay Film Production di jalan Ampas, dan sutradara lainnya seperti S.Roomai Noor, M.Amin dan Salleh Ghani di bawah naungan studio Chatay- Keris selalu menggunakan tari dan lagu Melayu sebagai identitas mereka. Industri perfilman Melayu di Singapura lahir pada tahun 1933 hingga 1972, telah melahirkan pula penata tari yang terkenal pada masa itu. Di Shaw Malay Production penata tari seperti Osman Gumanti yaitu penari dan aktor dalam pertunjukan yang berasal dari Sumatera-Indonesia, Habsah Buang, Normadiah dan Rahmah Rahmat. Penata tari Habsah Buang dan Normadiah mendapat tempat yang terhormat dengan karya tari mereka yang dikuti oleh penata tari di luar perfilman seperti tari Gambar 1: “Semerah Padi”, tari “Tudung Periuk”, tari Osman Gumanti bersama Dato’ Maria Menado “Tualang Tiga” ciptaaan Normadiah. Karya karya dalam Film Pulau Mutiara, 1951 tari yang diciptakan oleh Normadiah dan Habsah (sumber: dokumentasi pribadi Cekgu Hisam) Buang menjadi tolok ukur dalam perkembangan tari Melayu di Singapura sampai sekarang ini. Nama Habsah Buang dan Normadiah Memang ada perbedaan tari yang dipertunjukkan mendapat tempat sebagai penata tari terkenal untuk film dengan tari yang dipertunjukkan pada setelah karya tari mereka menjadi acuan para pentas Sandiwara Bangsawan. Film-film yang penari di luar studio perfilman. Karya tari mengetengahkan tari Melayu dari Studio Chatay- Normadiah adalah tari “Semerah Padi”, tari Keris Film Production adalah tari “Lancang “Tudung Periuk” dan tari “Tualang Tiga”. Tarian- Kuning”, tari “Selendang Delima”, tari “Cucu tarian tersebut merupakan karya baru yang Datok Merah” dan tari “Bawang Putih Bawang berlandaskan tari tradisional yang diwarisi Merah”. Perkembangan film Melayu yang tumbuh masyarakat Melayu Singapura dengan subur pada saat itu, menyebabkan kehadiran penata memasukkan unsur-unsur baru. tari bertambah regenerasi seperti: Suryati Arifin dengan karya tari “Sirih Pinang”, Fatimah Syarif dengan karya tari “Bentan Telani”, dan Norsiah Yem dengan karya tari “Nuri Bertuah”.

Gambar 2. Habsah Buang (koleksi: Cekgu Hisam)

80 Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989

Gambar 5. Tarian Bentan Telani dalam Film Lancang Kuning (sumber: dokumentasi pribadi Cekgu Hisam)

Gambar 3. Normadiah (koleksi Cekgu Hisam)

Gambar 6. Tari Sirih Pinang dari Film Bawang Putih Bawang Merah (sumber: dokumentasi pribadi Cekgu Hisam)

Gambar 4: Peran Majlis Pusat dalam Perkembangan Tari Nurih Bertuah dalam Film Cucu Datuk Budaya Melayu Merah (sumber: dokumentasi pibadi Cekgu Hisam) Majlis Pusat merupakan salah satu penggerak utama dalam perkembangan seni tari Melayu di Singapura. Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura merupakan satu di antara lembaga budaya Melayu yang tertua di Singapura yang telah banyak memberikan perkembangan budaya Melayu baik di dalam muapun di luar dengan tidak meninggalkan identitas Melayu itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kegiatan yang pernah dilaksanakan oleh lembaga ini dalam mengetengahkan seni pertunjukan dalam hal ini tari Melayu yaitu:

81 Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)

1. Festival Tari Serumpun dengan latar belakang bentuk Joget yang diberi nama Festival Dangkong. Dari sini Pertama kali dilaksanakan pada tanggal Majlis Pusat mencoba untuk memberi ruang 19 September 2004 di Singapura. Pada bentuk joget dalam Festival Melayu Festival Tari Serumpun mengetengahkan Serumpun. Salah satu koreografer bentuk Joget sebagai materi dalam didatangkan dari Kabupaten Karimun yaitu penyajiannya. Hal ini disebabkan kesepakatan Suryaminsyah untuk membantu mengemas dari Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan acara tersebut dengan mengadakan pelatihan, Budaya Melayu Singapura untuk dan kolaborasi dengan sanggar Awang mengembangkan bentuk Joget sebagai ikon Sambang yang dipimpin Suryaminsyah Majlis Pusat dalam penyelenggaraaan Festival dengan Kirana Seni Majlis Pusat (wawancara Tari Serumpun. Menurut salah satu dengan Cekgu Norlie Ismail). Malaysia, dan koreografer Kirana Seni, Cekgu Norlie Ismail, Indonesia terlibat dalam acara ini. Dari Festival Tari Serumpun dengan Indonesia peserta didatangkan antara lain dari mengetengahkan bentuk Joget terinspirasi dari Kabupaten Bengkalis Riau, Kabupaten beberapa lawatan dan mengikuti festival di Indragiri Hilir Riau, Kabupaten Karimun Indonesia terutama di Kepulauan Riau. Di Kepulauan Riau. daerah Riau banyak sekali bentuk bentuk Festival Tari Serumpun kedua joget yang berkembang antara lain: Joget Mak dilaksanakan pada tahun 2006, Festival Tari Dare, Joget Kak Long, Joget Mak Cik Norma, Serumpun ketiga dilaksanakan pada tahun Joget Mantang, yang dulunya cukup terkenal 2008 dan pada tahun 2011 dilaksanakan di Singapura dan banyak dipelajari dalam Festival Serumpun keempat dengan jangkauan kumpulan Sriwana pada masa itu, namun lebih luas dengan mengundang Brunei sekarang koreografer-koreografer muda Darussalam, Pattani , Malaysia, Singapura tidak lagi memahami secara Singapura, dan Indonesia. Pada acara lain matang konsep Joget tersebut. Kirana Seni seringkali mengikuti beberapa Di Indonesia terutama di Kepulauan Riau festival tari melayu di Indonesia antara lain di bentuk Joget masih hidup dengan pola-pola Pekanbaru, Karimun, Bengkalis, dan koreografi aslinya. Pemerintah Kabupaten Tembilahan. Karimun mengetengahkan sebuah festival

Gambar 7. Festival Tari Serumpun yang diselenggarakan oleh Majlis Pusat Singapura (dokumentasi: Majlis Pusat Singapura)

2. Rewang Nak Tari kumpulan-kumpulan tari Melayu Singapura. Pertunjukan pertama digelar pada tanggal 8 Rewang Nak Tari merupakan usaha awal Juli 2007 untuk menyatukan rasa dari Majlis Pusat untuk mengetengahkan kebersamaan dalam perkembangan seni tari

82 Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989

Melayu di Singapura, melalui sanggar- sanggar tari Melayu. Keberhasilan Majlis Pusat dalam mengadakan produksi tari Rewang Nak Tari, memberi motivasi kepada sanggar-sanggar tari Melayu Singapura untuk membuat produksi tari dengan kesamaan yang dilakukan oleh Majlis Pusat. Sanggar tari Melayu Singapura yang menjadi acuan dari karya-karya tari Melayu yang berkembang di Singapura antara lain: Sri Warisan, koreografer Som Said; Sriwana, koreografer Fauziah Hanun; Era Dance Theatre, koreografer Osman Hamid; Aspirasi Gambar 8. Penari Kirana Seni dan koreografer koreografer Azmi Johari; Attri Dance Cikgu Norlie Ismail Foundation, koreografer Rizal Yusuf; Dian (dokumentasi: Majlis Pusat Singapura) Dancer dengan koreografer M. Yazid; Artis Budaya Tepak Sirih, koreografer Rizman; 3. Ristari Zaman Atrika Dancer, koreografer Mazlina Buang Kasim; Perkumpulan Seni, koreografer Kama Ristari Zaman adalah pertunjukan untuk Ridzuan; Dharma, koreografer Faturahman mempringati berdirinya Kirana Seni yang ke 6 Said; Kirana Seni koreografer Norlie Ismail. pada tahun 2007. Kegiatan ini dianggap Acara Rewang Nak Tari merupakan salah satu berhasil dalam perkembangan tari Melayu di perwujudan keberhasilan Majlis Pusat dalam Singapura yang diwadahi dari Majlis Pusat. memberikan peluang bagi kelompok tari yang Ini dapat dilihat dari beberapa pejabat dibentuk oleh Majlis Pusat yang diberi nama pemerintahan Singapura yang menghadiri Kirana Seni. Kelompok Kirana Seni terbentuk acara tersebut, yaitu Hawazi Daipi, Senior pada tanggal 4 April 2003 dengan koreografer Parliamentary Secretary Ministry of Health Cikgu Norlie Ismail yang cukup terkenal dan and Ministry of Manpower & Chairman, sudah lama berkecimpung di dunia tari Malay Language Council, Singapore; Melayu sejak tahun 1974. Sebelumnya ia Edmund Cheng, Chairman National Arts adalah seorang penari di Sriwana yaitu sebuah Council; Osman Abdul Hamid, Teater Tari kumpulan kesenian yang terbentuk pada tahun Era, Lisatari (CFA NUS), PA Talens-Malay 1950 yang dipimpin oleh Nong Chik Ghani. Dance; Fauziah Hanom Yusof, Sriwana boleh dikatakan sebagai tempat Presiden/Pengarah Artistik Sriwana; Som mencetak penari dan koreografer Melayu di Mohammed Said PBM, Pengasas & Pengarah Singapura. Sekarang ini sebagian besar Artistik Sri Warisan Som Said Performing Art kumpulan tari Melayu di Singapura, Ltd, memberikan dukungan moral dalam koreografernya pada umumnya pernah belajar perkembangan budaya Melayu Singapura. di Sriwana sebagai cikal bakal mencetak Pertunjukan yang dilaksanakan pada penari penari Melayu yang handal. Dalam dasarnya kelompok-kelompok tari Melayu acara Rewang Nak Tari sebagian besar Singapura bersatu dalam mewujudkan Ristari koreografi yang ditampilkan kebanyakan lebih Zaman Kirana Seni, dengan karya terbaru kepada bentuk joget. masing masing kelompok tari Melayu yang ada di Singapura. Keberhasilan Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Melayu Singapura dalam mengembangkan seni tari Melayu tidak lepas dari beberapa koreografer Indonesia yang telah memberi kontribusi yang besar dalam perkembangan tari Melayu di Singapura antara lain: Tom Ibnur, Suryamsyah, Raja Alfirafindra, yang banyak memberikan masukan lewat workshop tari Melayu, maupun pementasan yang

83 Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)

dilaksanakan di Singapura maupun di Pekajang, Bunian, Zapin Johor, Zapin Putar Indonesia. Alam, dan banyak lagi Zapin yang dikembangkan di Johor Malaysia. Ajang festival Zapin juga dilaksanakan oleh Yayasan Warisan Johor dengan mengundang sebagian besar peserta dari Indonesia seperti dari Provinsi Kepulauan Riau dengan Zapin Pulau Penyengat, Provinsi Riau dengan Zapin Siak, Provinsi Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara,

Aceh Darussalam, Kalimantan Barat, Kalimantan Gambar 9. Para penari Ristari Zaman Kirana Seni Timur, Kalimatan Selatan, Sulawesi Selatan, 4 April 2009 di Republik Politeknik TRCC Teater Ambon, Ternate, DKI, Jawa Timur, Kalimantan Singapura Tengah, Sulawesi Selatan, Singapura, dan Brunai (dokumentasi: Majlis Pusat Singapura) Darussalam.Intrumen gambus untuk mengiringi tari Zapin yang berkembang di seluruh masyarakat Tari Melayu yang Berkembang di Negara Melayu serumpun menggunakan Gambus Serumpun (Indonesia, Malaysia, dan Selodang atau menggunakan gambus Arab atau U’d.Ciri ciri genre Gambus seperti berikut ini : Singapura) 1. Tiga hingga empat Marwas (hand-drum)

2. Bentuk musikal terbagi (musical form) dalam Tari Melayu pada dasarnya mengetengahkan tiga sekmen; pada bentuk Senandung atau Langgam, bentuk a. Introduksi (taksim) melalui permainan Inang, bentuk Joget, bentuk Zapin dan bentuk gambus a (ad.Lib) Silat. Beberapa bentuk tari yang berkembang di b. Pola marwas bersahut-sahutan (beraksen) Indonesia, juga dikenal di Singapura, sebagai dasar menandai atau akhir bait pantun tari Melayu antara lain Tari Lenggang Patah (guatrain) Sembilan, Tari Mainang Pulau Kampai, Tari c. Syair lagu terdiri dari empat baris Tanjong Katong, Tari Anak Kala, Tari Gunung (guatrain)umumnya dinyanyikan dalam Banang, Tari Serampang 12, Tari Hitam Manis, bentuk pantun sampiran dan isi. Tari Mainang Kayangan, Tari Rentak 106 dan d. Melodi menggunakan ornamentasi khas lainnya. Melayu yang disebut Grenek (Musmal, Tari-tarian ini merupakan tari dasar yang 2010:24-25). cukup dikenal di Singapura dan di Indonesia terutama di Sumatera Utara (Medan) tempat tarian- Keberadaan tari di Malaysia banyak tarian ini bermula. Tari-tarian ini sangat dikenal di dipengaruhi dari beberapa daerah Indonesia, hal ini Singapura pada tahun 60-an, dengan banyak dapat dilihat dalam maskot tari Malaysia, Negeri seniman-seniman Tari Melayu dan pemusik- Perlis dengan tarian Canggung dan ; Negeri pemusik Melayu dari Medan memberikan dengan tarian Hadrah, Ayam Didik, Gazal pembelajaran musik dan tari Melayu di Singapura Parti, Cinta Sayang; Negeri Perak dengan tari salah satunya Sauti yang menciptakan Tari dan Lenggok; Negeri Pulau Pinang dengan Serampang 12. persembahan Chinggay dan ; Negeri Begitu juga keberadaan Tari Zapin yang Selangor dengan Gendang Silat dan Tarian berkembang di Johor Malaysia, berawal dari Bugis;Wilayah Persekutuan dengan persembahan mempelajari Zapin Riau dan Zapin Siak, lalu dengan berbagai bentuk repertoar berbagai berkembang luas di Johor, Malaysia dikarenakan etnik;Negeri Sembilan dengan tari Rantak Kudo, Menteri Besar Johor memberi ruang kepada Piring, dan Tumbuk Kalang; Negeri Malaka Yayasan Warisan Johor untuk mengembangkan dengan , dan Joget Zapin di negerinya dan sekarang ini berbicara Lambak; Negeri Johor dengan Zapin dan Kuda Zapin di Malaysia tidak lepas peranan dari Kepang; Negeri dengan Persembahan Yayasan Warisan Johor dengan koreografer On. Makyong, dan ; Negeri Rekonstruksi Zapin yang berkembang di Johor persembahan dan Joget sekarang ini dapat dilihat dari Zapin Tenglu, Zapin Gamelan; Negeri Pahang dengan Joget Pahang,

84 Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun) ISSN: 1858-3989 dan tarian Labi Labi;Negeri Sabah dengan tarian nantinya tidak sesuai dengan apa yang Mangilok dan Mangunatip;Negeri Serawak dengan diharapkan dari pihak yang mengundang. tari Ngajat, Ajat atau Kanjet (Imran, 2011: 81). Menurut sebagaian besar masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Riau Kepulauan Riau, ketika lagu Betabek pada setiap acara festival Melayu baik tingkat dimainkan, anak anak muda dan laki-laki nasional maupun internasional selalu mengundang yang baru menikah dilarang memandang negara Melayu serumpun Singapura, Malaysia, wajah penari, dikarenakan nantinya akan Brunai dan Indonesia dalam hal ini Kepulauan tergila-gila dengan penari Joget tersebut lewat Riau dan Riau, Festival yang pernah mantra mantra yang disampaikan oleh pawang diselenggarakan seperti: Festival Melayu sedunia atau dukun kelompok Joget tersebut. Mantra di Pekanbaru Riau, Festival Melayu di Tanjung mantra yang disampaikan akan memberikan Pinang, Festival Zapin di Tanjung Pinang, Kenduri aura kecantikan dan kemerduan penari dan Melayu di Batam, Festival Dangkong di Karimun, penyanyi selama pertunjukan berlangsung. Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjung Pinang, Rampai Budaya Melayu di Pelalawan, Festival 2. Lagu Dondang Sayang, Siak Bermadah di Siak Sri Indrapura, Festival Sri Seluruh penari wanita menarikan dalam Gemilag di Tembilahan. satu repertoar tari sebagai tari selamat datang, Festival-festival tari melayu yang dengan rentak langgam atau senandung diselenggarakan oleh beberapa daerah di Indonesia (lambat) beberapa kelompok tari dari Singapura selalu mengikuti antara lain Kirana Seni Majlis Pusat 3. Lagu Serampang Laut, pertubuhan-pertubuhan Budaya Melayu Singapura Seluruh penari wanita sudah bisa menari koreografer Norlie Ismail, Sri Warisan dengan dengan pasangan penari putra, dengan syarat koreografer Som Said, Sriwana dengan koreografer penari putera terlebih dulu membeli karcis Fauziah Hawai, Era Dance Theatre koreografer sesuai kesepakatan dari pimpinan joget. Osman Hamid, Aspirasi koreografer Azmi Johari, Rentak dalam lagu Serampang Laut dengan Dharma koreografer Faturahman Said. bentuk Joget (cepat). Koreografi kelompok-kelompok tari Melayu di Singapura kebanyakan karyanya 4. Lagu Patam Patam, mengetengahkan bentuk joget yang telah Seluruh penari menarikan dengan rentak dikembangkan. Namun dapat dirasakan joget yang sangat cepat dengan langkah dua. kebanyakan koreografer pemula di Singapura yang Lagu patam patam sangat berkembang di berpijak pada konsep Melayu tidak memahami arti Melayu Deli, Medan Sumatera Utara. Setelah joget yang susungguhnya. Lain halnya dengan itu baru dilakukan dengan selingan lagu lagu joget yang berkembang di Kepulauan Riau, yang bertempo sedang seperti rentak Inang, terorganisir dalam suatu kumpulan yang disebut rentak Langgam, rentak Joget, dan rentak Pasok. Setiap Pasok Joget terdiri dari Pemimpin zapin semuanya sesuai permintaan dari para Joget yang disebut Wak Joget, dan istri Wak Joget pengunjung dan pengibing. disebut juga Mak Joget; Panjak Joget terdiri dari 1 Joget yang berkembang di Kapulauan orang pemukul Tambur, 1 orang Penggesek Biola, Riau adalah: Joget Duara, Joget Sekanak, 1 orang pemukul kecapak; dan penari joget terdiri Joget Tanjung Biru, Joget Teluk Tangku, dari 4 sampai 10 penari sekaligus sebagai penyanyi Joget Bakong, Joget Posek, Joget Sugi atau dan berpantun. Dalam pertunjukan Joget biasanya Joget Moro, Joget Tembeling, Joget Mantang dilakukan beberapa lagu yang memberikan tahapan Arang, Joget Sawang, dan Joget Kasu. Di proses pertunjukan Joget antara lain : Kabupaten Bengkalis disebut dengan Joget Bontek, dan di Rupat disebut Joget Hutan. Di 1. Lagu Betabek Kabupaten Indragirihilir disebut dengan Joget Disebut juga dengan pembuka tanah yang Belaras, Joget Bogong, dan Joget Bontaian. memberi pesan kepada penonton sebagai Keberadaaan letak geografis Singapura pemula dalam pertunjukan Joget. Syair yang dengan Provinsi Kepulauan Riau, Malaysia dilantunkan oleh penyanyi Joget mengandung dan Provinsi Riau, sangat mempengaruhi makna selamat datang kepada penonton dan keberadaaan dan perkembangan joget, ini meminta maaf jika dalam pertunjukan Joget dapat dilihat dari tokoh Joget yang terkenal di

85 Raja Alfirafindra (Peran Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan ISSN: 1858-3989 Budaya Melayu Singapura dalam Festival Tari Serumpun)

Riau pada masa lalu bernama Kencong berskala besar seperti: Festival Melayu Serumpun, berasal dari Moro Kepulauan Riau, adalah Rewang Nak Tari, dan Ristari Zaman.Festival pemain biola yang terkenal sampai ke Melayu Serumpun salah satu kegiatan yang Singapura dan Malaysia. Kencong adalah menghadirkan beberapa kelompok tari dari negara guru dari Dolmat ayah dari Hamzah Dolmat, Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand, dan seorang pemain biola terkenal di Singapura Brunai Darussalam. dan Malaysia. Dolmat berasal dari Mantang Dalam kegiatan ini pihak Majlis Pusat Arang, kecamatan Bintan Timur Kepulauan memberikan pembelajaran kepada kelompok- Riau (Kadir, 1994: 2-16). kelompok tari Melayu Singapura untuk melihat Dalam pengamatan penulis yang telah secara langsung koreografi tari Melayu yang beberapa kali terlibat dalam Festival Tari berkembang di masing-masing negara, sehingga Serumpun, festival tari Melayu di Nusantara, hal ini menjadi motivasi untuk kelompok tari kehadiran delegasi Singapura umumnya karya Melayu Singapura. Majlis Pusat dalam tarinya masih bersifat tari-tari Melayu yang penyelenggaraan Festival Tari Serumpun dalam berkembang pada masa lalu, seperti Langgam, manajemen pertunjukan dan fasilatas pertunjukan Inang, Joget, Zapin dan Silat. Terasa sekali sangat modern, berbeda dengan Indonesia yang konsep garapan tari Melayu Singapura jauh sekali dalam fasiltas pertunjukannya. berbeda dengan karya karya tari Melayu masa Pembelajaran yang dapat dihasilkan dalam Festival kini. Hal serupa juga dirasakan beberapa Melayu Serumpun yang dilaksanakan oleh Majlis tokoh tari di Singapura. Kelebihan karya tari Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Melayu Melayu Singapura ada pada busana yang Singapura, merupakan langkah awal untuk dikenakan yang dibuat begitu semarak dan memberikan wacana baru dalam perkembangan mewah, namun kadangkala tidak sesuai Tari Melayu dengan kekinian dengan tidak dengan tema yang diangkat. Hal ini menjadi meninggalkan esensi dari tari melayu pada inspirasi sebagian seniman tari di Kepulauan umumnya Riau dan Riau, yang mengikuti jejak seperti Singapura yang mengandalkan busana Melayu DAFTAR RUJUKAN lengkap tetapi tidak sesuai dengan tema garapan. Andalan karya tari Melayu Imran, Mhd. Nefi, 2011, Tari Melayu Malaysia: Singapura juga pada permainan komposisi Satu Kajian Berdasarkan Festival Tari pola lantai penari yang sangat Kebangsaan, Kuala Lumpur:Akademi Seni memperhitungkan ke luar masuk penari, tetapi Budaya dan Warisan Kebangsaan Kementrian tema dan konsep sebagian besar hanya sebatas Penerangan, Konunikasi dan Kebudayaan. repertoar dalam rentak Langgam, Inang, Joget, Zapin, dan Silat. Hal ini disadari Kadir, Mohd. Daut, 1994, Lagu-lagu Joget sebagian seniman tari di Singapura sangat Tradisional Daerah Riau, Pekanbaru: Dewan sulit untuk mengatasi hal serupa dikarenakan Kesenian Daerah Riau. Singapura lebih bersifat modern dengan segala aspek sehingga bentuk bentuk repertoar Musmal, 2010, Gambus Citra Budaya masih dalam lingkup tari Melayu Cantik, Melayu,Yogyakarta: Media Kreativa. sedangkan bentuk, teknik, dan isi, hanya sebatas yang mereka kenal sekarang ini, dan Sumber Lisan: makna dari gerak sebagian besar mereka tidak mengerti hakikat dari tari Melayu itu sendiri. Cekgu Hisam, Pengajar Bahasa Melayu di Singapura dan Pernah Aktif Sebagai Staf Kesimpulan Majlis Pusat.

Majlis Pusat Pertubuhan-Pertubuhan Budaya Cikgu Norlie Ismail Melayu Singapura adalah suatu badan yang telah menyatukan keberadaannya dalam menjunjung harkat dan martabat masyarakat melayu Singapura pada khususnya. Ini dapat dilihat bagaimana Majlis Pusat dalam melakukan beberapa kegiatan yang

86