ISSN: 2477-2771 Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah E-ISSN: 2477-8214 Vol. 5, No. 1 (Mei 2019): 12-22

Sejarah Konflik Partai Persatuan Pembangunan di Masa Orde Baru

Munawir Ariffin Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Al Asyariah Mandar, Polewali Mandar Penulis Korespondensi: [email protected]

Abstract: Since its emerging, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) has often been hit by conflicts, either in the form of individuals or establishing to factions in the internal party. During the New Order period, the conflict and fragmentation of the PPP's elite led the differences opinion. Apart from the differences, the conflict still caused by the institutionalization of parties which tend to be formal in resolving conflict problems. It was including on how to resolve internal problems, thereby allowing external parties (the government) to intervene in the PPP's conflicts.

Keywords: Partai Persatuan Pembangunan; Internal Conflict; New Order.

Abstrak: Sejak kelahiran, Partai Persatuan Pembangunan sering dilanda konflik, baik berbentuk perorangan ataupun melahirkan faksi-faksi dalam konflik internal partai. Masa Orde Baru, konflik dan fragmentasi elit PPP dikarenakan perbedaan pendapat para elitnya. Selain dikarenakan perbedaan pendapat di pihak internal elit, konflik juga disebabkan oleh pelembagaan partai yang cenderung bersifat formal dalam menyelesaikan masalah konflik, termasuk juga ketika PPP seringkali sulit menyelesaikan masalah internal, sehingga memberi peluang pihak ekternal (pemerintah) melakukan campur tangan atau intervensi terhadap konflik PPP.

Kata Kunci: Partai Persatuan Pembangunan; Konflik Internal; Orde Baru

PENDAHULUAN Sastro Amidjojo, sementara Masyumi tampil Sejarah fragmentasi atau perpecahan kekuatan sebagai oposisi.Fragmentasi jadi kian parah di politik hingga menimbulkan konflik baik secara era Demokrasi Terpimpin, dimana Liga Muslim individual maupun kelompok yang membentuk (NU, Perti, PSII) mendukung penuh partai Islam, telah lama terjadi jauh sebelumnya. pemerintahan otoriter Soekarno.Sementara itu, Bahkan, dimasa era Orde Lama (Orla), Masyumi justru memilih politik martir yang kekuatan politik Islam mengalami keterbelahan, berujung pada bubarnya Masyumi pada tahun seperti dalam Partai (PNU), 1960 (Syafi’i Ma’arif, 1996, hal.41). Majelis Syuro Muslim (Masyumi), Jika dicermati kasus diatas, sebenarnya dan kekuatan lain yang lebih kecil, semisal perpecahan dan konflik dalam kelompok umat Persatuan Tarbiah Islamiah (Perti) dan Partai Islam yang terjadi pada umumnya berakar dari Serikat Islam Indonesia (Duroruddin Mashad, persoalan kekuasaan.Menurut pengamatan 2008, hal.2). (Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1993), hal tersebut Dalam sejarahnya, perpecahan antara mengakibatkan rusaknya hubungan komponen politik Islam telah terjadi, baik di era persaudaraan umat yang juga bermula dari pemerintahan sebelum kemerdekaan maupun masalah politik praktis.Di era Demokrasi pasca kemerdekaan. Pada awal kemerdekaan, Terpimpin, posisi umat ditentukan oleh corak sebenarnya semua komponen politik Islam sikap Soekarno dan sistem politiknya dapat bersatu dan membentuk suatu partai dibandingkan dengan ajaran Islam itu sendiri. bernama Masyumi (November 1945).Tetapi Dimasa pemerintahan Orde Baru, akibat daya tarik posisi-posisi politik formal perpecahan juga terjadi dimulai dari adanya dalam negara, Masyumi akhinya pecah. kebijakan paksa fusi partai-partai Islam dalam Dimulaidari keluarnya Syarikat Islam suatu wadah bernama Partai Persatuan (SI) pada Juli 1947 untuk bergabung dalam Pembangunan (PPP). Kebijakan Orde Baru kabinet aliran kiri pimpinan Amir Syarifuddin terkait fusi partai ini, dikarenakan Orde Baru (dalam wujud PSII), selanjutnya diikuti oleh melihat bahwa biang kekacauan yang NU pada Mei 1952. NU akhirnya bergabung mengganggu stabilitas politik, antara lain dalam kabinet kubu nasionalis pimpinan Ali adalah partai-partai. Partai-partai politik

12

ISSN: 2477-2771 Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah E-ISSN: 2477-8214 Vol. 5, No. 1 (Mei 2019): 12-22 dianggap berperan mengganggu stabilitas.Hal memang memiliki latar belakang, prinsip dan ini berdasarkan pengalaman Demokrasi ideologi Islam yang berbeda terutama pada saat Parlementer dimana pemerintah selalu berganti- pemilu 1999. Dhoruroddin melihat bahwa ganti diakibatkan ulah partai-partai politik fenomena jelang pemilu 1999, dimana pada saat (Syafi’i Ma’arif, 1996, hal.99). itu NU telah membentuk partainya sendiri yaitu Setelah Pemilu 1971, tepatnya tahun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 1973, kedua kelompok tersebut harus mengharuskan elit NU dibeberapa daerah yang melakukan fusi.Kelompok pertama, yang terdiri pada awalnya berada di PPP sengaja dari partai-partai Islam, tergabung dalam wadah menggembosi PPP agar Nahdliyin (warga NU) Partai Persatuan Pembangunan memilih PKB. Memang konflik yang terjadi (PPP).Kelompok kedua, yang terdiri dari partai antara elit dalam PPP maupun antara PPP dan Nasionalis dan Kristen, membentuk Partai PKB lebih teraktualisasi dalam wujud konflik Demokrasi Indonesia (PDI).Dengan adanya fusi retorika, dan tidak sampai pada perpecahan fisik. ini partai-partai politik yang ada menjadi tiga, Bahkan simpatisan PKB baik di tingkat yaitu PPP, PDI, dan Golkar. nasional maupun lokal umumnya sempalan PPP, Fusi dimasa Orde Baru sesungguhnya beberapa diantaranya dari Golkar.Mereka yang menguntungkan partai Golkar, sebagai partai dari PPP ditingkat nasional ada Mathori Abdul pemerintah, karena Golkar tidak tergabung Djalil atau Khofifah Indar Parawansa.Politik dalam fusi yang ada. Sehingga bagi golongan loncat pagar seperti ini menyebabkan PPP Islam, adanya fusi tersebut sebenarnya dapat merasa dikhianati, sehingga menumbuhkan menguntungkan juga karena partai-partai Islam benih perseteruan.Sebaliknya sebagian tokoh yang tadinya terpecah-pecah sekarang sekarang NU yang memilih tetap dalam PPP, oleh kaum terintegrasi dalam satu wadah partai, tetapi Nahdliyin PKB dinilai tak memiliki solidaritas secara substansial friksi justru muncul kembali, akibat mendukung partai yang telah yang puncaknya tercermin dari langkah NU memarginalkan NU dan penyokong Orde menggembosi PPP. Baru.Pertentangan internal ini akhirnya kian Argumentasi yang dimunculkan NU terkondisikan oleh sikap politik kyai yang adalah kembali ke Khittah 1926 dengan terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan menampilkan wajah Jam’iyyah. Namun dibalik politik yang berbeda itu (Duroruddin, hal. 200- retorika politik tadi, sebenarnya terdapat alasan 201). mendasar, NU kecewa dengan dominasi unsur Hal tersebut diatas memperlihatkan Muslimin Indonesia (MI) dalam PPP, sehingga bahwa, betapa konflik kepentingan yang terjadi unsur NU merasa dimarjinalkan, termasuk jelang pemilu senantiasa menyebabkan PPP penjatahan kursi legislatif. Menyusul dirundung masalah internal.Terutama konflik fragmentasi itu, akhirnya sebagian “Kyai PPP” antar elit dan terbentuknya faksi baru yang beramai-ramai menjadi “Kyai Golkar”. membentuk partai diluar PPP yang sering Dalam konteks PPP, fenomena terjadi seperti jelang pemilihan umum 1999 fragmentasi politik Islam muncul lagi.Antara untuk memperebutkan suara dan kekuasaan komponen Islam seolah tumbuh crisis of mutual terutama kursi di parlemen. trust, sehingga hanya memiliki sedikit perbedaan visi, tokoh-tokoh Islam membuat METODE PENELITIAN partai sendiri, bahkan meski tak memiliki basis Penelitian ini menggunakan dua metode memadai (Duroruddin, 2003 hal.16.Beberapa pengumpulan data.Pertama, kajian literatur. partai Islam tak memiliki kursi dalam pemilu Penelitian ini akan menggunakan studi tahun 1999 lalu adalah contohnya. Bahkan, kepustakaan (literature review) atau analisis suasana menjelang, dan setelah pemilu 1999 dokumen, yakni mengumpulkan data yang telah menunjukkan banyak bukti betapa politik bersifat sekunder yang diperoleh melalui Islam memperlihatkan keterbelahan yang telah sejumlah literatur kepustakaan seperti buku, mengarah pada konflik dan perpecahan elit majalah, artikel, jurnal maupun berita koran partai, semisal konflik elit dalam tubuh PPP melalui media elektronik maupun non karena memperebutkan jabatan pucuk pimpinan elektronik atau jenis-jenis tulisan lainnya yang partai. memiliki relevansi dengan permasalahan Selain itu, pemilihan umum yang penelitian menuntut partai-partai Islam untuk mendulang suara dan mendudukkan wakilnya di parlemen HASIL DAN PEMBAHASAN mengharuskan elit partai PPP yang didalamnya

13

ISSN: 2477-2771 Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah E-ISSN: 2477-8214 Vol. 5, No. 1 (Mei 2019): 12-22

Kelahiran Partai Persatuan Pembangunan Partai Tarbiyah Indonesia (Perti), dan Partai (PPP) Muslimin Indonesia (). Pasca jatuhnya rezim Orde Lama, maka kelahiran Orde Baru disambut dengan penuh Fusi dan Deideologisasi PPP harapan oleh kalangan Islam. Dengan jatuhnya Dalam perspektif politik historis, fusi keempat Orde Lama dan munculnya Orde Baru, umat partai Islam dalam PPP dapat dinilai sebagai Islam berharap kekuatan Islam kembali ke awal persatuan parpol Islam dalam sejarah panggung politik nasional. Dalam konteks ini Indonesia.Sebab, ketika Masyumi terbentuk kalangan, kalangan Islam modernis ada diawal kemerdekaan, masih ada Perti yang tidak keinginan untuk merehabilitasi Masyumi, yang mau bergabung didalamnya.Sehingga upaya pada demokrasi terpimpin dibubarkan oleh fusi terhadap parpol Islam dalam PPP sebagai Soekarno. Dalam rangka itu, kemudian pada unsur pemaksaan oleh rezim Orba. Menurut tanggal 16 Desermber 1965 dibentuk Badan (Syamsuddin Haris, 1991, hal. 48), kelahiran Koordinasi Muslimin (BKM) yang terdiri dari PPP dimasa Orba karena faktor ekternal dimana 16 organisasi Islam. Maka mereka melakukan rezim Orba saat itu menginginkan penerapan lobbying ke pemerintah dan mengeluarkan model massa menggambang (floating mass). pernyataan tentang perlunya rehabilitasi Upaya fusi partai-partai yang dilakukan Masyumi. oleh pemerintahan Soeharto tentulah Tentunya keinginan untuk melakukan berdampak pada kondisi internal termasuk rehabilitasi Masyumi mendapat pelarangan dari ideologi dan asas dari partai-partai Islam yang pemerintah.Hal ini tentu mengecewakan tergabung dalam fusi, terkhusus juga pada PPP. kalangan Islam, terutama kalangan Islam Awalnya PPP menggunakan asas Islam, tetapi Modernis.Dengan adanya pelarangan tersebut, dalam perjalanannya tahun 1984 akibat tekanan para Pemrakarsanya lalu berusaha membentuk politik pemerintah Orde Baru, PPP partai politik Islam lainnya, maka terbentuklah menanggalkan asas Islamnya menggunakan Partai Muslimin Indonesia asas Pancasila, serta mengganti gambar Ka’bah (Parmusi).Pemerintah mengizinkan berdirinya dengan bintang segi lima, salah satu gambar Parmusi tersebut. Hal ini karena pemerintah yang terdapat dalam burung Garuda. melihat bahwa partai-partai Islam yang ada (NU, Selain itu kehadiran dan eksistensi PPP PSII, dan Perti) belum mewadahai kalangan sebagai partai politik Islam dimasa Orde Baru modernis, karena NU dan Perti berorientasi dipandang sebagai salah satu upaya tradisional dan PSII meskipun berorientasi penghapusan politik aliran yang begitu kuat di modernis tetapi kurang dikenal. masa Orde Lama. Menurut (Fachry Ali, 1996, Dengan berdirinya sejumlah partai- Hal. 34), eksistensi Partai Persatuan partai Islam tersebut, dan dalam sejumlah Pembangunan (PPP) memberikan pratanda kebijaksanaan politik, pemerintah Orde Baru keunikan dunia politik Indonesia: berlanjutnya melakukan reorganisasi dan refunsionalisasi, dunia politik “aliran” pra-Orde Baru. Partai- baik pada tingkat suprastruktur politik maupun partai politik tegak lebih pada persamaan kultur infrastruktur politik.Kebijaksanaan ini politik dan bukan pada program-program yang dimaksudkan sebagai usaha untuk menciptakan jelas, yang mengikat pengikut secara lintas stabilitas politik sebagai landasan terlaksananya kultural. pembangunan ekonomi. Bagi Orde Baru, Sejak awal Orde Baru, usaha-usaha stabilitas politik merupakan prasyarat serius menghapus dunia politik “aliran” ini terlaksananya pembangunan. Pembangunan sudah dilakukan. Dalam beberapa hal, bisa dilaksanakan, menurut Orde Baru, apabila kehadiran Golkar ditujukan untuk adanya stabilitas politik.Sehubungan dengan itu, menghancurkan struktur dan dunia politik maka langkah yang dilakukan Orde Baru adalah “aliran” itu. Didukung kaum sekuler, Golkar penyederhanaan (fusi) partai politik, sehingga pada mulanya tampil sebagai parpol pasca- Partai Persatuan Pembangunan lahir. aliran, dengan mengesampingkan sentiment Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ideologi dan kultur. Sebagai partai tanpa adalah partai politik Islam di Indonesia, partai ideologi, dengan slogan-slogan pragmatisme, ini dideklarasikan pada tanggal 5 Januari 1973 Golkar sekaligus menunjukkan dirinya sebagai di . PPP merupakan hasil gabungan diskontinuitas dari elemen-elemen struktur dan (fusi) dari empat partai politik Islam warisan dunia politik “aliran”. Selama lebih dari satu pemerintah Orde Lama: Partai Nahdlatul Ulama dekade, usaha mengikis pengaruh dunia politik (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), “aliran” ini tampaknya efektif dan panggung

14

ISSN: 2477-2771 Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah E-ISSN: 2477-8214 Vol. 5, No. 1 (Mei 2019): 12-22 politik Orde Baru hampir sepenuhnya sering terjadi. Padahal, sejatinya fusi ini didominasi tokoh-tokoh politik “modernis- diharapkan menjadikan partai Islam menjadi sekuler”. partai transideologi, yang terdiri dari sayap Diawal fusi yang idealnya memiliki Islam modernis dan tradisionalis, dengan makna peleburan tuntas, tanpa mempersoalkan kebijakan ini fragmentasi tidak akan terjadi. unsur, dalam realitas politiknya masih Memang, pada era Orde baru mengidentifikasikan diri dalam unsur asal, fragmentasi politik Islam tidaklah seakut masa termasuk pertentangan tokoh baik sebelumnya. Namun, harapan tidak terjadinya mengidentifikasikan diri sebagai unsur fragmentasi golongan ternyata sulit, fenomena tradisional maupun moderen.Ini dapat dilihat ini bukan diakibatkan oleh tumbuhnya dari pertentangan antara tokoh NU yang kesadaran inklusivisme yang berkembang mayoritas berada di Majelis Syuro, sementara dalam lingkungan politik Islam, tetapi lebih tokoh Parmusi (setelah fusi berubah menjadi diakibatkan langsung dari dikembangkan MI) duduk dikursi ekeskutif. politik deideologisasi dan floating mass policy Namun, dalam perkembangannya Orde Baru, sehingga dapat memarjinalisasi terjadi rivalitas dalam internal dan terkait terjadinya konflik aliran. dengan pucuk pimpinan partai, yang mencapai Salah satu kebijakan Orde Baru dalam puncaknya pada era H.J. Naro, yang melaksanakan deideologisasi adalah menyingkirkan banyak tokoh NU dari jajaran menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal pengurus partai.Sehingga konflik antar faksi partai politik.Pemerintah menjadikan Pancasila dan elit di internal PPP tetap berlangsung sebagai asas tunggal berdasarkan pengalaman ditengah upaya dan rekayasa politik Orba politik masa pemilu sebelumnya.Pada pemilu terhadap penyederhanaan parpol Islam itu 1977, misalnya, terjadi pertarungan sendiri. “Pemerintah vs Islam”, karena Golkar dianggap Hal ini juga berdampak pada sebagai partai pemerintah harus berhadapan pencapaian kursi PPP dalam setiap pemilu yang dengan Islam. cenderung stagnan, seperti halnya semisal pada Sedangkan pada pemilu 1982, terjadi pemilu tahun 1997 dan 1999 diawal reformasi. peristiwa Lapangan Banteng, dimana massa Perolehan kursi yang relatif dan upaya fusi Golkar yang sedang menghadiri kampanye dalam rangka penyatuan kelompok Islam dalam dikejar-kejar oleh massa PPP. Dengan demikian, PPP hanyalah bersifat kelompok semu (unsur- pemerintah pemerintah merasa perlu unsur PPP), ini dapat dijelaskan menurut melakukan penataan ke arah kesatuan orientasi (Nasikun, 1991, Hal 9-23), bahwa karena dengan menerapkan asas tunggal. Dengan asas didalamnya berkembang kelompok tunggal juga diharapkan identitas yang bersifat kepentingan karena faktor ideologi, faktor primordial akan pudar pada partai-partai dan politis suatu organisasi, dan faktor sosial suatu ormas. organisasi. Melihat bahwa (1) asas tunggal partai Setelah tumbangnya Orde Baru yang menafikan kebhinekaan masyarakat yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto, memang berkembang menurut keyakinan PPP kembali menggunakan asas Islam dan masing-masing. Keyakinan ini bisa bersumber Lambang Ka’bah melalui Muktamar IV di akhir pada ajaran agama dan pemahaman lain; (2) tahun 1998. Kemudian pada Muktamar V tahun asas tunggal partai menghalangi orang-orang 2003 disebutkan dalam Anggaran Dasar (AD), yang sama keyakinan untuk mengelompokkan PPP bertujuan mewujudkan masyarakat adil, sesamanya serta bertukar pikiran sesamanya makmur, sejahtera lahir batin dan demokratis berdasarkan keyakinan, termasuk agama, yang dalam wadah Negara Kesatuan Republik dianut masing-masing; (3) asas tunggal partai Indonesia (NKRI) yang dibawah ridho Allah menafikan hubungan antara agama dan politik; Subhana Wata’ala (Zuly Qodir,Hal. 246-247). (4) asas tunggal partai mengandung Sebagaimana diketahui bahwa PPP kecendrungan ke arah sistem partai tunggal; (5) lahir dari faktor ekternal dan sejarah masa lalu, asas tunggal partai menghalangi kemungkinan dimana politik Islam dan Islam Politik pengembangan faham-faham, seperti yang mengalami pergesekan, baik secara ekternal bersumber dari agama, yang mungkin terhadap ideologi lain diluar Islam, maupun memperkuat Pancasila (Deliar Noer 1983, hal. internal kelompok Islam politik (partai).Ketika 60-61). lahir pada masa Orde Baru, tak heran Bagaimana dengan PPP? Menurut perpecahan dan konflik faksi elit di internal PPP Deliar Noer, bila PPP menerima gagasan asas

15

ISSN: 2477-2771 Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah E-ISSN: 2477-8214 Vol. 5, No. 1 (Mei 2019): 12-22 tunggal seakan-akan PPP mengakui: (1) bahwa Hal ini dipicu oleh persaingan antarunsur, dalam Islam ada pemisahan antara agama dan khususnya unsur NU yang mewakili kelompok politik; (2) bahwa Islam sekan-akan tidak sesuai tradisionalis dan Parmusi yang mewakili dengan tuntutan zaman, sekurang-kurangnya kelompok modernis(Syamsuddin Haris, dalam bidang politik; dan (4) bahwa kekacauan 1991).Kedua unsur sama-sama ingin dalam kampanye pemilu disebabkan karena mengembangkan pengaruhnya dalam partai dan PPP masih menggunakan asas Islam, selain memperoleh semaksimal mungkin jabatan- Pancasila. Ternyata dalam perkembangannya jabatan strategis dan khususnya memperoleh PPP menerima asas tunggal Pancasila. lebih banyak kursi di parlemen. Penerimaan PPP terhadap asas Walaupun NU adalah unsur terbesar di Pancasila tidak lepas dari keberadaan Tap MPR PPP, namun Parmusi dalam waktu cukup lama tahun 1983. Maka, setiap kekuatan partai politik mampu memimpin partai dan membuat kondisi harus berasaskan Pancasila, dan tidak boleh ada NU kurang berpengaruh.Setelah munculnya asas lain. Dalam Muktamarnya PPP kemudian serangkaian kebijakan yang tidak adil, yang mengganti asas Islam menjadi asas didukung oleh Parmusi, pada tahun 1982 NU Pancasila.Disamping itu, lambang PPP yang memutuskan keluar dari PPP.Meski demikian, tadinya Ka’bah diganti menjadi NU masih membolehkan anggotanya sebagai Bintang.Penggantian asas dan lambang PPP individu aktif dan berkiprah dalam PPP. tersebut menimbulkan pro dan kontra yang Pada tahun 1985, PPP dipaksa oleh cukup hangat. Ada yang mengatakan bahwa ini Rezim Orde Baru untuk menjadikan Pancasila merupakan proses deislamisasi politik dan sebagai asas partai dan mengganti Ka’bah depolitisasi Islam. Tetapi ada juga yang dengan Bintang sebagai simbolnya. Situasi ini menggunakan istilah lebih lunak: deformalisasi mereduksi citra PPP sebagai sebuah partai Islam, yaitu proses penanggalan bentuk-bentuk Islam dan di saat yang sama memberikan formal (Deliar Noer 1983, hal.55). Golkar peluang menjadi kompetitor serius Deideologisasi dan deformalisasi Islam untuk menarik banyak pemilih muslim. Seriring yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dengan berjalannya waktu, peran PPP di kancah melalui asas tunggal Pancasila, juga berdampak perpolitikan nasional cenderung kurang pada perkembangan golongan atau kelompok signifikan dan tampak semata sebagai unsur Islam yang ada dalam PPP, terutama NU. pelengkap di dalam sistem politik nasional Sehubungan dengan penerapan asas tunggal (Firman Noor, hal. 71-72). yang diharuskan bagi partai maupun ormas, NU Menurut Syamsuddin Haris (1991), akhirnya menerima asas tunggal Pancasila dan PPP baru mengalami konflik internal yang menanggalkan asas Islam melalui Munas Alim serius ketika menjelang pemilu 1982, unsur NU Ulama di Situbondo pada tahun 1983 dan dalam Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR mengukuhkan asas tunggal Pancasila yang melakukan walk out pada sidang pengesahan dicantumkan dalam AD ART NU melalui UU Pemilu di DPR karena menolak materi Muktamar NU di tahun 1984. Sekaligus NU RUU yang disetujui oleh unsur MI, SI dan Perti. menyatakan diri keluar dari PPP dan kembali ke Konflik internal PPP mencapai puncaknya Khittah 1926.Artinya NU kembali kefitrahnya ketika akhirnya kaum nahdliyin memutuskan semula yaitu sebagai Jam’iyah Diniyah keluar dari PPP dan kembali ke khittah 1926 (organisasi sosial keagamaan) yang tidak lagi melalui Muktamar NU di Situbondo, Jawa terkait secara organisatoris dengan PPP. Timur pada tahun 1984. Sumber utama konflik tampaknya Konflik di Internal PPP Masa Orde Baru. adalah kekecewaan kalangan NU terhadap Pasca fusi PPP yang didalamnya 1973, susunan daftar Caleg DPR dari PPP menjelang seluruh partai politik dengan latar belakang Pemilu 1987 yang mencoret sejumlah tokoh ideologi islam, yaitu NU, PSII, Perti dan Partai nahdliyin.Kepemimpinan J. Naro yang Muslimin Indonesia (Parmusi) telah melebur cenderung akomodatif terhadap kekuasaan didalam PPP. Sekali lagi, partai Islam menjadi Orde Baru, menjadi salah satu faktor penting partai transideologi, yang terdiri dari sayap dibalik konflik internal PPP selain campur Islam modernis dan tradisionalis.Dengan tangan pemerintah dalam melembagakan kebijakan ini, fragmentasi tidak mungkin terjadi. konflik, sehingga pamor partai Islam ini pun Meski demikian, PPP, kususnya berangsur-angsur merosot. Akibatnya, menjelang pemilu 1970-an dan awal 1980-an, perolehan suara PPP merosot tajam dari 27,11 mengalami konflik internal berkepanjangan. persen pada pemilu 1977 dan 19,29 persen

16

ISSN: 2477-2771 Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah E-ISSN: 2477-8214 Vol. 5, No. 1 (Mei 2019): 12-22

(1982), menjadi 15,97 persen pada pemilu 1987, Materi Kasus Pihak Konflik kendati kemudian sedikit naik menjadi 17 Konflik persen pada 1992, dan 22,43 pada pemilu 1997 tentang (Syamsuddin Haris, 2014, hal. 71). tugas ABRI Selain itu, sesungguhnya fusi dan yang sangat intervensi pemerintah dalam konflik PPP, penting masa Orde menurut Sudirman Tebba(2001, hal. 12), agar Baru. rezim Orde Baru ini dapat mengontrol dengan - Pihak MI mudah situasi politik di dalam partai-partai yang tersebut (PPP dan PDI, Golkar). Serta adanya disuarakan penggabungan partai-partai tersebut merupakan oleh taktik rezim Orde Baru menjadikan ketiga Soedardji partai ini PPP, PDI dan Golkar untuk dijadikan mengecam sebagai kenderaan politik yang berfungsi isi memperkokoh kekuasaanyya serta menarik pernyataan massa. tersebut Perebutan NU dan MI - NU Dan MI Dalam sejarah kepemimpinan PPP, Kursi Ketua Ingin baru kali ini Partai Ka’bah mengalami konflik Komisi VII Menempati hingga membuat faksi terbelah dua hingga di DPR pada Kursi Ketua parlemen. Selama kepemimpinan Mohammad 1980 Komisi VII. Syafa’at Mintaredja (1973-1978), Djailanni Sebelumnya Naro (1978-1989), Ismail Hassan Metareum pada 1979, (1989-1999), dan (1998-2007). MI minta PPP belum pernah pecah dan bertarung hebat kursi ketua hingga di parlemen, walau tak bisa di pungkiri Komisi VII juga bahwa di masa Orde Baru konflik internal dan bersedia melepas juga melanda PPP (Jurnal Nasional, 2014). kursi Ketua Dalam catatan Syamsuddin Haris (1991), Komisi VII setidaknya PPP dimasa Orde Baru konflik dan Wakil tersebut dapat dilihat dalam kolom peta konflik Ketua internal PPP dibawah ini: Komisi APBN yang Tabel 1. Peta Konflik Internal PPP selama dipegangnya Orde Baru . Permintaan Materi ini Kasus Pihak Konflik Konflik dikabulkan Pernyataan NU dan MI - Rahmat dan keprihatinan Muljomisen disepakati 50 tokoh o dan untuk masyarakat Nuddin “dikembalik yang Lubis dari an” setahun disampaikan NU berikutnya. di DPR “mendukun Pengajuan NU dan MI Ketua (Petisi 50) g dan dapat DCS PPP Umum PPP, pada tahun memahami” untuk Pemilu J. Naro, 1980. pernyataan 1982 mengajukan 50 tokoh DCS PPP mengenai untuk keprihatinan Pemilu 1982 mereka tanpa dengan sepengetahu pidato tanpa an orang teks dari DPP yang Presiden lain, Soeharto di terutama Ria dan kalangan Cijantung, NU. Jakarta

17

ISSN: 2477-2771 Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah E-ISSN: 2477-8214 Vol. 5, No. 1 (Mei 2019): 12-22

Materi Materi Kasus Pihak Konflik Kasus Pihak Konflik Konflik Konflik Sikap NU Idham Chalid- - J. Naro gambar pada berjumlah yang Sjaifuddin melakukan tahun 1985 18 orang. menuntut Zuhri/Imam Sofyan perubahan Kelompok Naro agar dan J. Naro DPP tanpa 18 ini menegakkan sepengetahu membentuk prinsip- an Presiden DPP prinsip Partai, tandingan musyawarah Idham dengan partai pada Chalid, dan Syahmanaf tahun 1983 anggota sebagai DPP yang Ketua lain. Umum dan Pembentuka Idham Chalid dan J. - Idham Syarifuddin n Panitia Naro Chalid dan Harahap Muktamar I J. naro sebagai pada 1984 membentuk Sekjen. Panitia Perubahan Soedardji dkk dan - Guna Muktamar Pimpinan J. Naro memperkuat dengan FPP di DPR kelompokny ketua, tanpa a lalu Darussamin, sepengetahu Seodardji tanpa an DPP pada mengadakan sepengetahu 1985. perubahan an Idham susunan Chalid pimpinan selaku FPP secara Presiden sepihak. Partai - Mereka sehingga yang panitia itu tergeser dianggap (Imam tidak sah. Sofyan, Pembahasan Soedardji/Syarifud - Kelompok Nurhasan Pasal 18 ayat din H/B. Taman Soedardji Ibnu Hajar, 1 RUU Achda dan J. naro Berpendapat Lukman Pemilu Bila PPP Hakim, mengenai Sudah Djafar tanda Menerima Siddiq) gambar orpol Asas dibantu J. (1984-1985) Tunggal Naro Maka Tanda membentuk Gambar FPP Ka’bah tandingan Yang berkantor di Berbau DPP. Islam Harus Isu Ridwan Saidi dan J. - Ridwan Diganti. “Momernisa Naro Berpendapat - J. Naro si “ Formula- menganggap Formula tanda Islam gambar itu Dalam PPP sudah Harus menjadi Dibuang keputusan Bila PPP muktamar. Menerima Kegagalan “Kelompok 18” - Soedardji Asas menggeser (Soedardji dkk dan menyusun Tunggal. Isi Naro dengan Naro) kekuatan Pernyataan isu tanda hingga

18

ISSN: 2477-2771 Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah E-ISSN: 2477-8214 Vol. 5, No. 1 (Mei 2019): 12-22

Materi yang idealnya memiliki makna peleburan tuntas Kasus Pihak Konflik Konflik tanpa mempersoalkan unsur, dalam realitas Itu Diprotes politiknya masih mengidentifikasi diri dengan J. Naro. unsur asal.Melalui penggembosan politik oleh Pengajuan Soedardji dkk dan - J. Naro NU, dan diikuti oleh lahirnya fenomena kyai- DCS PP J. Naro mengajukan untuk Pemilu DCS PPP Golkar, secara politis telah memberi arti bahwa 1987 pada untuk PPP menjadi tak terlalu kuat untuk mengklaim 1986 Pemilu 1987 dirinya sebagai wakil suara Islam. dengan Di tengah kian marginalnya legitimasi menggeser ideologis-politis bagi PPP itulah, pemerintah kelompok melahirkan scenario politik baru untuk Soedardji mengakhiri eksistensi partai Islam secara dari daftar. tuntas.Melalui UU No. 5/1985 pemerintah - Soedardji secara legalistik mengharuskan adanya membuat penyeragaman asas Pancasila. Dengan daftar yang lain tetapi di keputusan ini, terjadilah apa yang disebut tolak oleh desakralisasi PPP, dengan mengganti lambang Mendagri. Ka’bah menjadi Bintang. Langkah ini secara Surat DPW Soedardji Dkk Dan - Soedardji formal menandai tidak ada lagi partai politik Sumatera Mardinsyah/J. Naro berkesimpul yang mengklaim sebagai partai Islam, yang Utara Ke an bahwa berarti pula akhir dari politik Islam secara FPP Bahwa Mardinsyah formal. Dalam konteks ini kiranya benar apa Mertua tentu berbau yang dikatakan Suryadinata bahwa dengan Mardinsyah, PKI juga. mengajukan Pancasila, pemerintah dapat Sekjen DPP Karena itu, mematikan ideologi Islam (Suryadhinata, 1982, PPP, ‘berbau Soedardji hal. 105). PKI’. selaku ketua FPP me- Secara substantif, deideologisasi Islam recall yang dialami PPP dan organisasi Mardinsyah kemasyarakatan tidak serta merta dari menghilangkan kegairahan politik umat keanggotaan Islam.paling tidak kepedulian terhadap DPR. kebijakan pemerintah terkait dengan posisi Sumber: Haris, 1991: 171-174. umat Islam tetap menjadi bagian yang diperjuangkan melalui partai politik. Karena Pada masa Orde Baru sebenarnya PPP merupakan satu-satunya partai yang secara sempat muncul romantisme politik Islam, yang historis lahir dari partai-partai Islam, maka telah mati suri di era Demokrasi terpimpin. dalam kondisi asas tunggal Pamcasila sekalipun, Harapan baru ini terutama dilandaskan pada PPP tetap menjadi tumpuan dalam fakta tentang jasa-jasa mereka ketika bersama memperjuangkan aspirasinya.Bahkan, dengan ABRI menumbangkan Orde Lama dan asas tunggal, PPP tidak lagi berdiri secara kekuatan PKI. Bahkan, isu-isu atas nama Islam eksklusif-simbolik sebagai partai Islam, namun kala itu menjadi semangat penumbangan Orde dalam perjuangannya ruh Islam tetap menjadi Lama, sehingga kemenangan Orde Baru bagian.Terjadi substansialisasi perjuangan dari akhirnya dianggap sebagai kemenangan Islam. ranah simbolik ke ranah yang lebih Dapat dipahami jika isu ideologi Islam inklusifBakir Ihsan, 2016, hal.117). setidaknya Piagam Jakarta sempat kembali Dalam konteks yang hampir sama, PPP mengemuka, disamping keinginan walaupun sudah “sekuler” secara ideologi, menghidupkan kembali Masyumi ataupun namun nilai-nilai agama (Islam) tetap menjadi Partai Islam Indonesia.Bahkan sempat pula bagian di dalamnya. Hal ini merupakan gejala muncul keinginan mendirikan Partai Islam baru, umum dalam demokrasi modern yang Partai Demokrasi Islam Indonesia yang menempatkan agama lebih sebagai nilai dari diintrodusir oleh (B.J Bolan, pada simbol dalam perjuangan politik. Agama 1985, hal. 148). sebagaimana terjadi di negara-negara Menurut Dhuroruddin (2008), terkait demokrasi seperti Amerika, menjadi kekuatan fusi PPP, merupakan hasil rekayasa Orde Baru, pendorong bagi keaktifan warga dalam proses akhirnya melahirkan fragmentasi internal. Fusi partisipasi politik bagi kepentingan publik

19

ISSN: 2477-2771 Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah E-ISSN: 2477-8214 Vol. 5, No. 1 (Mei 2019): 12-22

(David C. Leege & Lyman A. Kellstedt (ed) di bawa ke sidang DPR. Kali ini bukan masalah 2006, hal. 24). yang bersifat agama yang dipertaruhkan, tetapi prinsip kekuasaan yang demokratis. Partai- Konflik Faksi NU dan MI partai (PPP dan PDI) menginginkan agar Sumber utama konflik elit PPP di masa undang-undang tersebut memuat jaminan- Orde Baru bisa dikatakan sifatnya kelompok jaminan ketakberpihakan pemerintah dalam dalam unsur PPP, terutama adalah NU dan proses pemilu, tetapi pemerintah tidak bersedia Parmusi.Dan konflik yang terjadi akibat memberikannya. Pimpinan PPP yakni Naro, perbedaan pendapat tentang jatah kursi atau mengalah dan memerintahkan anggotanya reppresentasi pencalonan dalam setiap pemilu untuk menyetujui undang-undang yang ada, terutama jelang pemilu tahun tersebut.Namun, NU tetap tak mau menyerah, 1997.Selain itu konflik dalam memperebutkan semua anggotanya secara terang-terangan tidak kursi pimpinan PPP antar elit satu dan lainnya mau masuk ke ruang sidang ketika undang- juga menjadi penyebab betapa PPP di masa undang tersebut disahkan (Umaidi Radi, 1984, Orde Baru tidak lepas dari konflik sehingga hal. 163). berdampak pada kondisi internal dan perolehan Reaksi NU terhadap pemerintah suara pada pemilu di masa Orde Baru. dengan bersikap konfrontatif berdampak pada Bagi NU, peleburan PPP ini seperti PPP.Reaksi yang pertama adalah pergantian kembali ke masa dimana ia menjadi bagian dari Ketua Umum PPP, Mintaredja dengan Djaelani Masyumi. Dapat diramalkan, sebagian problem (John) Naro yang telah diatur rapi melalui dan konflik lama muncul kembali ke manipulasi politik yang dijalankan Ali permukaan, kecuali seandainya ketimpangan Murtopo.Bahkan tanpa ada undangan rapat antara kekuatan massa pendukung yang besar pengurus, apalagi Muktamar, Naro dan jumlah politisi yang berkeahlian dapat mengumumkan dirinya sebagai ketua yang diatasi dengan baik. Namun posisi awal NU baru.Naiknya Naro sebagai pucuk pimpinan lebih baik sekarang, karena NU mulai sebagai PPP yang bisa dikatakan akomodatif terhadap kelompok dominan didalam PPP.Anggota NU pemerintah dan juga dari Fraksi Parmusi mendapatkan jatah yang adil dalam jabatan menjadikan sebuah upaya pelemahan peranan pengurus. Ketua Umum PBNU, Idham Chalid NU di PPP (Maksoem Machfoedz, 1983.Hal. diberi kedudukan bergengsi, tetapi tidak sangat 248). berpengaruh, sebagai presiden partai. Jabatan Walaupun sebenarnya, pelemahan yang lebih berpengaruh sebagai ketua eksekutif peranan NU didalam PPP sudah berlangsung diberikan kepada Mintaredja dari Parmusi sebelumnya. Pada Muktamar partai ini ditahun (Martin Van Bruinessen, 1994, hal. 158). 1975, sudah disetujui bahwa jumlah kursi NU, Pengaruh konflik internal antara Faksi MI, SI dan Perti dalam pemilu 1971 dijadikan NU dan Parmusi, juga disebabkan karena Kiyai sebagai ukuran tetap dari kekuatan masing- NU yang duduk dalam jabatan startegis PPP masing. Pada pemilu berikutnya, para calon semisal Rais Aam NU KH.Bisri Syansuri sangat dalam daftar PPP harus dibagi adil bagi keras dan lantang melakukan penolakan- keempat komponen ini dalam proporsi penolakan terhadap kebijakan pemerintah Orde berdasarkan hasil pemilu 1971, dengan Baru, apalagi yang berkaitan dengan beberapa penyesuaian untuk membantu partner agama.Misalnya konfrontasi terhadap rencana lebih kecil. Perolehan pemilu 1977 UU Perkawinan yang disusun pemerintah pada menunjukkan adanya peningkatan bagi PPP, sidang DPR 1973.Termasuk konfrontasi ulama tetapi karena redistribusi kursi NU kurang NU di PPP terhadap pemerintah yang sedikit, dari 58 kursi menjadi 56 kursi. melakukan tekanan melalui militer dan Selain itu, menurut Maksoem penguasa sipil kepada calon pemilih untuk Machfoedz (1983), pukulan telak bagi NU memilih Golkar jelang pemilu 1977.Dan ketika Naro secara sepihak mempersiapkan terakhir konfrontasi yang paling serius adalah daftar calon untuk pemilu 1982 di mana pada Sidang Umum MPR tahun 1978, dimana proporsi anggota NU menurun drastis, dan para anggota NU dan kelompok lainnya di PPP kebanyakan anggota NU yang vokal seperti meninggalkan tempat sidang (walk out). Yusuf Hasjim, Syaifuddin Zuhri, dan Imam Sekali lagi NU melancarkan protesnya Rosjadi diletakkan di urutan sangat bawah dengan (walk out) ketika sebuah undang- dalam daftar tersebut sehingga mereka tidak undang baru yang mengatur proses pemilu, mungkin terpilih. Walaupun ada protes keras, setelah terjadi perdebatan panjang dan terbuka, pemerintah menerima daftar Naro sebagai satu-

20

ISSN: 2477-2771 Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah E-ISSN: 2477-8214 Vol. 5, No. 1 (Mei 2019): 12-22 satunya daftar sah.Jelang dan saat pemilu 1982 modernis yang diwakili oleh MI maupun dari dimana 29 orang calon NU tergusur dari kalangan tradisionalis NU tidak dapat dielakkan nominasi calon terpilih mewakili karena berbagai kepentingan, baik itu jatah PPP.Akibatnya, banyak tokoh NU yang kecewa kursi kekuasaan di parlemen ataupun factor dan mencabut dukungan kepada PPP (Andree ideology, politik dan faktor sosial organisasi Feillard, 1995, hal. 133). yang ada dimasing-masing internal MI dan NU. Kejadian ini memperburuk konfik antara faksi NU dan faksi Muslimin Indonesia Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa faktor (MI) di dalam PPP, dan di dalam NU sendiri, penyebab konflik PPP dimasa Orde Baru adalah kejadian ini menimbulkan perdebatan panas perbedaan pandangan dan pendapat dari para tentang kegunaan ikut serta dalam politik elit dan golongan partai PPP yang ada parlementer. Para politisi yang dibersihkan didalamya, termasuk pelembagaan PPP sebagai menyatukan suaranya dengan para tokoh yang wadah deideologisasi yang dilakukan lain, karena berbagai alasan, mengusulkan NU pemerintah Soeharto untuk mencegah konflik keluar dari PPP dan meninggalkan politik internal di dalam kelompok Islam yang telah praktis. lama terjadi tidak dapat berjalan sebagaimana Pada 1989, Ismail Hasan Metareum mestinya, dikarenakan perbedaan kepentingan terpilih sebagai ketua Umum PPP.Itu pun tidak politik dari pemerintah, maupun kepentingan melalui pemilihan yang mulus. Orde Baru yang golongan dalam tubuh PPP. saat itu sudah tak lagi mesra dengan Naro karena pengajuan dirinya sebagai wakil DAFTAR PUSTAKA presiden di Sidang Umum MPR 1988, berusaha Ali, Fachry, Golongan Agama dan Etika memasukkan calon yang diajukan Soeharto, Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi Mahdi Tjokroaminoto, namun ia ditolak peserta dalam Islam Indonesia, 1996 muktamar. Bolan, B.J, Pergumulan Islam di Indonesia, Tak ingin Naro atau orang-orangnya Jakarta; LP3ES, 1985, hal. 148 kembali menguasai PPP, sebagai jalan tengah Bruinessen, Martin Van, NU: Tradisi, Relasi- terpilihlah Ismail Hasan Metareum. Sebenarnya Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, saat itu ada calon lain, Hartono Mardjono, yang Yogjakarta: LKIS, 1994 sering dipersepsikan memiliki garis ideologis Haris, Syamsuddin, PPP dan Politik Orde Masyumi. Tapi tentu saja mustahil dia direstui Baru, Jakarta, Grasindo, 1991, hal. 48 pemerintah saat itu.Akhirnya ketika Metareum Haris, Syamsudin, Partai, Pemilu dan menjabat sebagai ketua umum PPP, kedekatan Parlemen: Era Reformasi, Jakarta: termasuk pencalonan Soeharto dalam pemilu Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014. tahun 1993-1998 senantiasa mendapat Ihsan, Bakir, 2016, Ideologi Islam dan Partai dukungan dari PPP (Burhan Magenda (ed), Politik: Strategi PPP dalam 1992, hal. 173-174). Memasukkan Nilai-Nilai Islam ke dalam Rancangan UU di Era Reformasi, KESIMPULAN Jakarta: Orbit Publishing Sebagaimana diketahui bahwa premis umum Kellstedt, David C. Leege dan Lyman A. (ed), yang dapat kita kehaui dari kelahiran PPP dan Agama dalam Politik Amerika, Jakarta: konflik internal dimasa Orde Baru terjadi Yayasan Obor Indonesia, 2006 karena faktor eksternal dan sejarah masa lalu, Ma’arif, Ahmad Syafi’i dalam Islam dan dimana politik Islam dan Islam Politik Politik: Teori Belah Bambu Masa mengalami pergesekan baik terhadap ideologi Demokrasi Terpimpin (1959-1965), di luar Islam, maupun di internal kelompok Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Islam politik (partai) itu sendiri. Selain itu, Magenda, Burhan (ed), Sikap Politik Tiga upaya fusi partai yang dilakukan oleh Kontestan, Jakarta: PT. Penebar Pemerintahan Orde Baru Soeharto berupaya Swadaya, 1992 agar dapat menjadikan PPP sebagai partai Islam Mashad, Duroruddin, Akar Konflik Politik transideologi, yang terdiri dari sayap Islam Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al- modernis dan tradisionalis, dengan kebijakan Kautsar, 2008 ini fragmentasi tidak akan terjadi. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, 1991, Tetapi benturanterhadap kepentingan Jakarta, Rajawali Press individu dan kelompok-kelompok Islam yang berlatar belakang berbeda, baik dari kalangan

21

ISSN: 2477-2771 Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah E-ISSN: 2477-8214 Vol. 5, No. 1 (Mei 2019): 12-22

Noer, Deliar, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983 Noor, Firman, Perpecahan dan Solidaritas Partai Islam di Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Dekade Awal Reformasi, Jakarta: LIPI Press Qodir, Zuly, 2012, Sosiologi Politik Islam: Kontestasi Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka Pelajar Romli , Lili, Islam Yes, Partai Islam Yes, Jakarta: Pustaka Pelajar dan Pusat Penelitian Ilmu Politik- LIPI, 2006 Suryadhinata, Political Parties and The 1982 General Election in Indonesia, Singapore: Institute of South East Asian Studies, 1982 Tebba, Sudirman, Islam menuju Era Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana

22