Sekelumit Kisah Perjalanan Pers Nasional Realitarakyat.com – Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh setiap tanggal 9 Februari, diambil dari tanggal lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946. Hari Pers Nasional ditetapkan Presiden Suharto pada 1985 melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional. Terlepas dari penolakan sejumlah organisasi pers non-PWI terhadap hari tersebut, pelaksanaan Hari Pers Nasional tetap berlangsung meriah setiap tahun. Pers Awal Indonesia Dilaporkan Kantor Berita Antara, Pers di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Menurut Maskun Iskandar dalam “Panduan Jurnalistik Praktis”, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen adalah yang pertama kali memprakarsai penerbitan sebuah “newsletter” yang bernama “Memorie der Nouvelles” pada 1615. “Memorie der Nouvelles” merupakan surat yang ditulis tangan berisi berita-berita dari Belanda dan disebarkan dari untuk kalangan pejabat Perkumpulan Dagang Hindia Timur (VOC) hingga Ambon. Hanya orang-orang tertentu yang dianggap penting yang menerima “newsletter” tersebut karena hanya dibuat terbatas 30 eksemplar. “Waktu itu di Indonesia belum ada mesin cetak, mesin stensil, apalagi mesin fotokopi dan faks, sehingga salinan harus ditulis tangan. Jadi, ya, pegal, dong, kalau menulis lebih banyak dari itu,” tulis Maskun. Keinginan menerbitkan surat kabar di Hindia Belanda saat itu sebenarnya sudah sangat lama, tetapi selalu dihambat oleh pemerintah VOC. Baru setelah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff menjabat, terbitlah surat kabar “Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen” yang artinya “Berita dan Penalaran Politik Batavia” pada 7 Agustus 1744. Surat kabar yang diterbitkan Jan Erdmans Jordens itu memperoleh izin untuk masa kontrak tiga tahun. Penerbitan pertama langsung dikirim ke Belanda menggunakan kapal yang memerlukan perjalanan selama tujuh bulan. Setelah menerima salinannya, pimpinan VOC di Belanda, yaitu De Heeren Zeventien, seketika melarang penerbitan surat kabar tersebut. Surat larangan dikirim dari Belanda pada November 1745 dan baru sampai di Batavia 20 Juni 1746. “Dengan demikian, seraya menunggu izin, surat kabar tersebut sempat beredar selama dua tahunan,” tulis Maskun. Demikian dilaporkan Kantor Berita Antara. Asep Saeful Muhtadi dalam “Pengantar Ilmu Jurnalistik” menulis surat kabar terbit silih berganti pada abad ke-19 pada masa penjajahan Inggris dan Belanda. Ketika Inggris menguasai wilayah Hindia Timur pada 1811, terbit surat kabar berbahasa Inggris “ Government Gazzete” pada 1812. Ketika Belanda kembali menguasai kawasan tersebut, surat kabar berbahasa Inggris tersebut dihentikan dan terbit “Bataviasche Courant” yang memuat berita-berita harian dan artikel-artikel pengetahuan. “Bataviasche Courant” kemudian diganti menjadi “Javasche Courant” yang terbit tiga kali seminggu pada 1829 yang memuat pengumuman-pengumuman resmi, peraturan-peraturan dan keputusan- keputusan pemerintah. Tahun yang sama, terbit pula sejumlah surat kabar di berbagai kota di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Pada 1851, “De Locomotief” terbit di Semarang. Surat kabar ini memiliki semangat kritis terhadap pemerintahan kolonial dan pengaruh yang cukup besar. Salah satu wartawannya adalah Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, yang setelah kemerdekaan berganti nama menjadi Danudirja Setiabudhi. Cucu keponakan dari penulis kritis Belanda Eduard Douwes Dekker atau Multatuli itu, bahkan ikut mendorong kebangkitan nasional karena kedekatannya dengan pemuda-pemuda yang kelak mendirikan Budi Utomo. Kemunculan Pers Pribumi Pada paruh kedua abad ke-19, untuk menandingi surat kabar-surat kabar berbahasa Belanda, muncul surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa meskipun para redakturnya masih orang-orang Belanda, seperti “Bintang Timoer” (Surabaya, 1850), “Bromartani” (, 1855), “Bianglala” (Batavia, 1867), dan “Berita Betawie” (Batavia, 1874). Pada 1907, terbit “” di yang dianggap sebagai pelopor pers nasional karena diterbitkan oleh pengusaha pribumi untuk pertama kali, yaitu Tirto Adhi Soerjo. “Adhi Soerjo dikenal pula sebagai wartawan Indonesia yang pertama kali menggunakan surat kabar sebagai alat untuk membentuk pendapat umum,” tulis Asep Saeful Muhtadi dalam “Pengantar Ilmu Jurnalistik”. Pers pribumi semakin tumbuh seiring dengan pergerakan nasional. Beberapa surat kabar yang bersifat nasional dan dinilai radikal, antara lain “Oetoesan Hindia” (Surabaya, 1914) di bawah , “Neratja” (Batavia, 1917), “Boedi Oetomo” (Yogyakarta, 1920), “Sri Djojobojo” (Kediri, 1920), “Tjaja Soematra” (Padang, 1914), “Benih Merdeka” (Medan, 1919), “Hindia Sepakat” (Sibolga, 1920), “Oetoesan Islam” (Gorontalo, 1927), dan “Oetoesan Borneo” (Pontianak, 1927). “Pers di Indonesia pada dasarnya terus berkembang dan digunakan sebagai alat perjuangan,” tulis Asep. Seiring dengan peningkatan gerakan-gerakan politik radikal di Indonesia, terutama setelah 1920, jumlah surat kabar nasional semakin meningkat pesat dengan daerah penyebaran mencapai kota- kota kecil. Di Bandung terbit “Sora Mardika” (1920), di Tasikmalaya terbit “Sipatahoenan” (1924), di Padang terbit “Soematra Bergerak” (1922), di Sibolga terbit “Tapanoeli” (1925), di Malang terbit “Soeara Kita” (1921), di Purworejo terbit “Soeara Kaoem Boeroeh” (1921), di Banjarmasin terbit “Soeara Borneo” (1926), dan di Garut terbit surat kabar berbahasa Sunda “Sora Ra’jat Merdika” (1931). Pers Islam pun mulai tumbuh dengan penerbitan surat kabar “Pedoman Masjarakat” (Medan, 1935), “Pandji Islam” (Medan, 1934), “Perasaan Kita” (Samarinda, 1928), “Ra’jat Bergerak” (Yogyakarta, 1923). Beberapa tokoh yang bisa dianggap berjasa merintis dunia pers Indonesia sekitar awal abad ke-20, antara lain Parada Harahap, Sanusi Pane, Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, , dan Haji . Beberapa tokoh pergerakan nasional Indonesia juga memanfaatkan surat kabar-surat kabar untuk memublikasikan tulisan-tulisannya yang mengarah pada kemerdekaan, seperti Muhammad Hatta, yang banyak menulis di “Daulat Ra’jat” terbitan Jakarta sekaligus menjadi pemimpin redaksi “Oetoesan Indonesia” terbitan Yogyakarta, dan yang banyak menulis dan terlibat dalam penerbitan “Fikiran Ra’jat” di Bandung. Pada masa kependudukan Jepang di Indonesia, pers mengalami penahanan terkait koordinasi dengan pemerintah Jepang. Karena, badan sensor Jepang secara ketat memeriksa dan mengurus setiap gambar atau berita yang akan dimuat dengan sangat teliti. Sedangkan, surat kabar milik swasta gak diperbolehkan lagi terbit. Sekitar 8 surat kabar milik Jepang yang resmi terbit di Indonesia yaitu: Dajawa Sjinbun, Asia Raya, Kung Jung Pao, Tjahaya, Sinar-Baroe, Sinar-Matahari, dan Soera-Asia. Kemudian, diterapkan undang-undang no.16 buat wilayah Jawa dan Madura terkait pemberlakuan sistem lisensi dan sensor yang bersifat preventif. Intinya, setiap penerbitan diharuskan punya izin dan dilarang menyebarkan permusuhan terjadap pemerintah Jepang. Hal tersebut ditambah dengan ditempatkannya shidooin atau penasehat sebagai staf redaksi setiap surat kabar yang tugasnya melakukan pengontrolan dan penyensoran. Segala bidang usaha pers harus disesuaikan dengan rencana-rencana atau tujuan-tujuan tentara Jepang yaitu buat memenangkan Perang Asia Timur Raya. Pers diperebutkan Zikri Fachrul Nurhadi dalam “Teori Komunikasi Kontemporer” menulis salah satu hal yang diperebutkan beberapa saat setelah Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah pers. Yang direbut terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan itu terjadi di perusahaan surat kabar milik Jepang, seperti “Soeara Asia” (Surabaya), “Tjahaja” (Bandung) dan “Sinar Baroe” (Semarang). Hingga 19 Agustus 1945, 2605 surat kabar telah terbit dengan pemberitaan utama seputar proklamasi dan kemerdekaan Indonesia. September hingga akhir 1945, pers nasional semakin kuat ditandai dengan penerbitan “Soeara Merdeka” di Bandung dan “Berita Indonesia” di Jakarta, serta beberapa surat kabar lain, seperti “Merdeka”, “Independent”, “Indonesian News Bulletin”, “Warta Indonesia”, dan “The Voice of Free Indonesia”. “Di masa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Meskipun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya,” tulis Zikri Fachrul Nurhadi dalam “Teori Komunikasi Kontemporer”. Pers Awal Kemerdekaan Setelah teks Proklamasi dicetak di Koran, besoknya penduduk mulai memburu surat kabar. Karena, minat baca dan kesadaran akan kebutuhan pers meningkat, rakyat Indonesia ingin tahu perkembangan negaranya yang baru merdeka ini lewat pers. Perkembangan pers setelah proklamasi sangat pesat, meskipun tetap mendapat tekanan dari penguasa peralihan Jepang dan Sekutu. Wartawan dan penyiar radio Indonesia giat melakukan penyebarluasan, jadi pada bulan September seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar udah mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Di tanggal 6 September 1945 terbit “berita Indonesia” yaitu surat kabar republik pertama. Surat kabar ini, disebut sebagai cikal bakal pers nasional sejak proklamasi. Lalu tanggal 8-9 September 1946, kalangan pers Indonesia mengadakan kongres di Solo dan membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). PWI merupakan wadah buat mempersatukan pendapat dan aspirasi. Saat itu PWI diketuai oleh Mr. Sumanang. Pada masa ini, media massa menyebarkan berita tentang pertempuran, perundingan, pembangunan, dan peristiwa bahagia atau duka yang terjadi. Pada tahun 1948, media massa mulai diwarnai berita perpecahan antara golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrim kiri (komunis-Front Demokrasi Rakyat). Dan, pertamakalinya terjadi pembredelan Koran dalam sejarah pers Republik Indonesia. Kemudian 15 Maret 1950, dibentuk panitia Pers buat mempererat hubungan pemerintah dan pers, tapi tanpa ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Lalu 14 September 1956, kepala Staff Angkatan Darat mengeluarkan peraturan no. PKM/001/0/1956 yang menegaskan larangan buat menerbitkan/ menyebarkan informasi yang mengandung kecaman/ penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Di tanggal 14 Maret 1957, pemberlakukan situasi darurat perang (SOB) banyak terjadi pembredelan pers dan penahanan wartawan di masa ini. Selanjutnya, di tanggal 1 oktober 1958, Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan Ketentuan Ijin Terbit. Pers Masa Demokrasi Terpimpin Saat ini, di Jakarta berlaku larangan buat berpolitik dalam segala bentuk, termasuk juga pers. Karena, kegiatan politik bisa mempengaruhi haluan negara secara langsung atau yang gak bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang. Makanya, kalo ada orang yang melanggar atau membangkang pada Demokrasi Terpimpin ini harus menyingkir atau disingkirkan. Ditahun 1960, penerbit bukan cuma wajib mengajukan Surat Ijin Terbit (SIT) sebagai pengesahan dilakukannya kegiatan penyiaran, tapi juga wajib mengajukan Surat Ijin Cetak (SIC). Nah buat mendapatkan SIT ini, penerbit harus menyetujui pernyataan kalo penerbit akan mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman dari penguasa. Persyaratan tersebut dipakai sebagai alat buat menekan surat kabar oleh pemerintah. Sekarang, surat kabar yang beredar cuma bersumber dari satu suara yaitu PKI. Sebagai usaha buat mengimbanginya didirikan BPS (Badan Penyebar Soekarnoisme), buat menghindari bahaya yang terjadi kalo masyarakat cuma punya pegangan dari satu sumber aja. Pers Masa Orde Baru Di masa orde baru ini, aturan yang menindas pers tetap dilestarikan. Karena, banyak terjadi pembredelan Koran yang dianggap bertentangan dengan pemerintah, diantaranya seperti: Majalah Sendi (1972), Sinar Harapan (1973), pada tahun 1974 ada 12 penerbitan di brendel, setelah peristiwa Malari meledak. Lalu, di tahun 1978 Kompas Sinar Harapan, Merdeka, The Indonesian Times, Sinar Pagi, Pos Sore, dan Pelita dibekukan sementara waktu. Karena, akibat maraknya aksi mahasiswa yang menentang pencalonan Soeharto sebagai Presiden. Seperti Majalah Tempo (1982) dan Jurnal Ekuin (1983). Kemudian, di tahun 1970 sampai 1998, pers yang berlaku adalah pers Pancasila. Pers semata-mata cuma buat alat pemerintah, pers kehilangan independensi dan juga fungsi kontrolnya. Ada sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), dan PWI itu adalah satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia yang palah jadi operator pemerintah dalam menekan pers. Selanjutnya, tanggal 7 Agustus terbentuk (AJI), sebagai wujud sikap menolak wadah tunggal wartawan (PWI). Tapi keberadaan (AJI) ditentang, wartawan yang tergabung menjadi anggota (AJI) akan diberhentikan dan gak boleh dipekerjakan kembali sebagai wartawan. Setelah itu, di tahun 1995 penyebaran informasi melalui internet mulai marak, informasi-informasi yang sulit disebarkan melalui media cetak juga beredar luas di internet. Pers Era Reformasi Di era reformasi ini, kebebasan pers (kebebasan berekspresi dan berpendapat) tersebut dijamin. Akhirnya, pers bisa lepas dari sistem yang membungkam pers dimasa orde baru. Hal ini ditandai dengan adanya perombakan UU Pers No.21 Tahun 1982. Tapi meskipun udah punya UU sendiri, tetap aja pers gak benar-benar bebas. Jadi, yang menjamin perlindungan hukum dan kebebasan dari paksaan serta campur tangan pihak manapun, pers masih bisa dijerat dengan pasal-pasal KUHP dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Contohnya: Kasus antara pemimpin redaksi majalah Tempo-Harry Mukti dengan Tommy Winata di tahun 2004 lalu. Dilain pihak, era reformasi yang membuka kebebasan buat berekspresi ini palah membuat media dieksploitasi. Media menyebarkan informasi yang bernilai jual tinggi, mngumbar sensasi, bahkan menyebarkan informasi yang cuma berkualifikasi isu, rumor atau dugaan. Pers diterbitkan buat tujuan politis. Dengan mempengaruhi pembaca buat menerima ideologi calon tertentu dan menyerang lawannya. Hal tersebut mengakibatkan “publik” menjalankan aksi menghukum pers dengan tolak ukur menurut mereka sendiri. Padahal, teror massa jauh lebih kongkrit atau besar dampaknya. Contohnya: Kasus penduduk media oleh kelompok tertentu, akibat beredarnya karikatur Nabi Muhammad. Itulah penjelasan lengkap mengenai Perkembangan Pers di Indonesia yang perlu kita semua ketahui.[prs]