PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PERUBAHAN SOSIAL DAN EKONOMI KAMPUNG PRAWIRATAMAN, 1920-1975

SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun Oleh: Khotifah 064314004

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013

i PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis benar-benar merupakan karya saya sendiri dan tidak diambil dari karya orang lain, kecuali disebutkan dalam kutipan, catatan kaki, dan daftar pustaka.

Yogyakarta, 01 Agustus 2013 Penulis

Khotifah

iv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Motto

“Not All Those Who Wander Are Lost”

J.R.R, Tolkien – The Fellowship of the Ring

vi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Skripsi ini dipersembahkan untuk ibu, bapak, dan adik saya,

In Consideration of Love and Affection

vii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRAK

Skripsi dengan judul Perubahan Sosial dan Ekonomi Kampung Prawirataman Yogyakarta (1920-1975) ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan. Pertama, Mengapa Kampung Prawirataman mengalami perubahan dari pemukiman prajurit menjadi sentra industri batik namun pada akhirnya menekuni bidang pariwisata. Kedua, Bagaimana proses berlangsungnya perubahan-perubahan tersebut dalam rentang waktu 1920 - 1975. Ketiga, Apa saja kah dampak sosial dan ekonomi yang timbul akibat perubahan-perubahan tersebut. Ketiga permasalahan tersebut kemudian akan dijelaskan dalam beberapa bab. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan dalam melakukan penulisan ini adalah dengan studi pustaka, dan juga wawancara dengan warga Prawirataman dan sekitarnya yang mengetahui tentang topik yang menjadi bahasan dalam skripsi ini. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan, mengkaitkan, dan interpretasi terhadap data yang telah berhasil dikumpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi di daerah Prawirataman tidak hanya dipandang sebagai perubahan lokal setempat saja tetapi juga mencerminkan dinamika politik, sosial dan ekonomi yang terjadi pada tingkat nasional.

viii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

ABSTRACT

Thesis titled Social and Economic Changes in Kampung Prawirataman, Yogyakarta (1920 – 1975) aimed to answers three issues. First, Why does Kampung Prawirataman changed from being ’s troop residence to center of batik industry, but ultimately engaged in the tourism industry. Second, How does the process of these changes. Third, What are the social and economic impacts arising from these changes. These three issues will be explained in several chapters. This study is a qualitative research. The method used in conducting this study are literature reviews, as well as interviews with the residents of Kampung Prawirataman and surroundings who know about the topic discussed in this thesis. The analysis were performed by grouping, linking, and interpretation of the data that has been collected. The results showed that the social and economic changes that occurred in the Prawirataman’s area not only seen as a local change, but also reflects the dynamics of political, social and economic at the national level.

ix PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

KATA PENGANTAR

Eindelijk! It’s such a big relief that these years of wander has finally come to its end. Tentunya penulisan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari banyak pihak, karena itu pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan banyak terima kasih to whom who have made the years of writing this thesis fun, miserable, exciting, frustrating, challenging, weird, and most of all legendary:

1. Dosen Pembimbing, Bapak Drs. Silverio R. L. A Sampurno, M. Hum,

terima kasih banyak atas bimbingan, kesediaan waktu, tenaga dan telinga

untuk selalu mendengar, memberikan motivasi serta kesabaran yang telah

diberikan dalam menghadapi kemalasan saya baik saat-saat masih kuliah

atau pun selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Pak Hery Santosa, yang bersedia membuang waktu untuk mendengar dan

memberikan feedback dan saran-saran demi kelancaran penulisan ini.

Banyak terima kasih juga untuk setiap cerita dan pengalaman yang

inspiratif, serta untuk jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan konyol

saya.

3. Pak Sandiwan, Pak Purwanta, Rm. G. Budi Subanar, SJ, Rm. FX. Baskara

T. Wardaya, SJ, terimakasih banyak atas kesabaran, pencerahan, motivasi,

dan waktu-waktu kuliah yang rasanya sudah tidak terhitung berapa

semester banyaknya.

4. Bapak, ibu warga Kampung Prawirataman dan sekitarnya yang telah

bersedia menjadi nara sumber dalam penelitian ini. Kepada Ibu Edi, Ibu

x PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

Lulu, Pak Slamet, Pak Hartono, Pak Prapto, Pak Soegiran, Pak Sarijan,

Pak Ayik, Pak Tri, Mas Aryo, Mas Agung dan Mba Anjar dihaturkan

bnayak terimakasih. Tidak lupa juga miss Betty yang bersedia meluangkan

waktu untuk menemani.

5. My parents, mukke dan babe – for being my number one supporter since

day one, for always believing in me and for allowing me the freedom of

pursuing whatever dreams i have.

6. My sister, Fammy A. and my cousin, Nuzul Dwi – for being the greatest

part of family anyone could ever have. I do appreciate all the support, as

well as the abundance of help from time to time.

7. My mates of the year 2006, Theo, Tati dan Ismi – for all good times, for

the class assignments to the slackers periode, for the the good food and

karaoke moments.

8. My seniors whose helped a lot through this writing process: Mas Darwin

and miss Tanaya - atas kebaikan hati, serta waktu yang dihabiskan untuk

membantu. Maaf selalu merepotkan! Mas Agus, Mas Sempal, Mas Tri di

Sekretariat, Mba Adda - for the willingness and kindness to help.

9. Jeng Vannie, Oom Greg dan keluarga besar Ketjil Bergerak, terima kasih

untuk setiap kesempatan yang diberikan untuk terus belajar bertumbuh,

mempelajari dan mencoba hal-hal yang baru.

10. Those whom i called friends: Lutfi and the Mbak Uuk’s family, Yessi

Widy, Citra Ayu, miss Raita, Ignasia Oyo, Dyah Eko, Lucia Retno, Teguh

Eki, Lee ‘May’ Seung-ju, Cha-cha & Jeng Isti, The Poeloeng Redjo’s

xi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

family and all the great people i met during the guiding experiences – for

the friendship and all the time we have spent together, for the laugh and

the tears, the fun, the weird and crazy moments, for the calmness and

patience in dealing such a weirdos like me. I could thank you all for zillion

things during our friendship.

11. My Xanax: Oskar, Alex, Sebastian, Joren and some other names – for

always being the best isolated bubbles which keeps me in a great distance

from the world around me. Thank you guys for everyday that you have

made my life easier!

12. These unbelievable persons i met the last minutes when i’m about to

giving up, Mba Lisis – for being a great mentor. M. Schlund – especially

for the 17 hours we’ve spent together and those conversation about

nothing and everything. Media Hutabarat – simply for being the coolest

person who happend to be the best partner in crime during all those shitty

times dealing with the so-called ‘hell-stuff.’

13. All the beautiful people who helped, but i couldn’t mention one by one

(believe me, i’m shouting your names by heart).

14. Last but not least: caffeine, confections, yoghurt, movies, Chris Martin,

Arkarna, Silverchair, and many other, P. Coelho, I. Natassa, S. Kinsella,

and friends – for always being the best companion who help me through

all the rough. You’re indeed my best Ritalin.

Karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu feed back, kritikan dan saran sangat diharapkan.

xii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………...……………………….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………… ii

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………… iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...... v

HALAMAN MOTTO...... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………… vii

ABSTRAK…………………………………………………………………. viii

ABSTRACT………………………………………………………………… ix

KATA PENGANTAR……………………………………………………… x

DAFTAR ISI……………………………………………………………….. xiii

DAFTAR TABEL………………………………………………………….. xvi

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. xvii

BAB I PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang...... 1 B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah...... 8 1. Identifikasi Masalah...... 8 2. Pembatasan Masalah...... 10 C. Rumusan Permasalahan...... 10 D. Tujuan Penelitian...... 11 1. Tujuan Akademis...... 11 2. Tujuan Praktis...... 12 E. Manfaat Penelitian...... 12 1. Manfaat Teoretis...... 13

xiii PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

2. Manfaat Praktis...... 13 F. Kerangka Teori...... 14 G. Tinjauan Pustaka...... 21 H. Metode Penelitian...... 24 I. Sistematika Penulisan...... 25

BAB II PRAWIRATAMAN KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT PRAWIRATAMA...... 27 A. Letak Geografis Kampung Prawirataman...... 27 B. Tinjauan Historis Kampung Prawirataman...... 29 1. Menelusuri Riwayat Prajurit Kasultanan Yogyakarta...... 29 2. Prawiratama Sebagai Prajurit Kasultanan Yogyakarta...... 40 3. Prawirataman Sebagai Kampung Pemukiman Prajurit...... 41

BAB III KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT YANG MENEKUNI DUNIA BATIK...... 47 A. Daerah Prawirataman dan Perkenalan dengan Dunia Batik...... 50 B. Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman Tahun 1920- an...... 53 C. Pasca Depresi Ekonomi, Proklamasi, dan Awal Kebangkitan Kembali Usaha Batik...... 58 D. Perkembangan Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman Tahun 1950-an...... 62 E. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Usaha Batik di Daerah Prawirataman...... 68 F. Kemerosotan Usaha Batik dan Perkenalan dengan Dunia Pariwisata..... 72

BAB IV DAMPAK PERUBAHAN SOSIAL DAN EKONOMI DI PRAWIRATAMAN...... 78 A. Proses Perkembangan Industri Pariwisata Terutama Usaha Jasa Penginapan di Kampung Prawirataman...... 80 B. Dampak Ekonomi dari Perubahan di Prawirataman...... 85 C. Dampak Sosial dari Perubahan di Prawirataman...... 93

BAB V PENUTUP...... 99

DAFTAR PUSTAKA...... 103

xiv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Perusahaan dan Pekerja Batik di Wilayah Yogyakarta Pada

Tahun 1920-1924…………………………………………………….. 55

Tabel 2 Jumlah Perusahaan Batik di Yogyakarta dan Sekitarnya Pada Tahun

1927…………………………………………………………………... 57

Tabel 3 Nama Cap Dagang dan Alamat Produsen Batik Daerah Prawirataman

Pada Tahun 1950-an…………………………………………………... 67

xv PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data Narasumber dari Penelitian Lapangan

xvi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Definisi sejarah tidak semata-mata berhenti pada peristiwa yang terjadi pada masa lampau saja, tetapi juga terkandung berbagai dimensi dan kompleksitas di dalamnya, baik dimensi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya.

Bukan hanya umat manusia yang terlibat dalam babakan peristiwa masa lampau itu, akan tetapi juga dinamika dan fenomena-fenomena alam yang terjadi di dalamnya. Iklim, letak geografis atau kondisi lingkungan alam suatu wilayah tertentu juga dapat memberikan pengaruh pada kondisi sosio-kultural suatu kelompok manusia, dan sebaliknya. Keterkaitan-keterkaitan ini tentunya sangat berperan bagi perkembangan sejarah umat manusia.

Salah satu contoh bentuk keterkaitan itu terjadi dalam sejarah persebaran umat manusia. Tuntutan pemenuhan kebutuhan pangan dengan cara berburu binatang telah menuntun manusia purba untuk menjadi nomaden. Aktivitas ini sering kali membuat mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya telah berada di belahan bumi lainnya. Berkurangnya hewan buruan juga memaksa mereka mengkonsumsi bahan pangan yang lain dari tumbuh-tumbuhan. Pola kehidupan yang berpindah-pindah pun akhirnya berubah. Manusia mulai menetap di suatu PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 2

daerah tertentu serta mulai bercocok tanam. Lambat laun, berbagai macam keterampilan dan keahlian serta kehidupan berkelompok juga mulai berkembang.

Selain itu, ketakutan dan kepercayaan akan kekuatan yang lebih besar di alam semesta membawa mereka pada suatu bentuk upacara dan pemujaan- pemujaan. Tanda, gambar, dan simbol-simbol mulai dibuat, huruf-huruf mulai diciptakan, tradisi tulis menulis mulai berkembang. Dari sinilah catatan dan pengetahuan tentang bagaimana mereka memaknai hidup serta dunia yang mereka tinggali ataupun peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan mereka dapat diketahui. Inilah sebuah masa dimana sejarah tercipta. Dan mempelajari sejarah pun menjadi sebuah hal yang signifikan untuk dilakukan agar kita dapat memahami konteks masa kini.

Selain mempelajari sejarah itu sendiri, cara menuangkan peristiwa- peristiwa masa lalu itu secara tertulis juga tidak kalah penting karena dari tulisan- tulisan tersebut dapat diketahui banyak hal, misalnya bagaimana kehidupan para generasi-generasi sebelumnya, peristiwa-peristiwa yang terjadi, apa yang mereka rasakan, bagaimana mereka memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, dan sebagainya. Harus diakui bahwa kehidupan sekarang memang sudah sangat berbeda dengan generasi terdahulu. Akan tetapi, mempelajari kehidupan masa lalu dapat dijadikan sebagai semacam tolak ukur bagi kehidupan yang sekarang, sehingga manusia dapat belajar menyikapi segala sesuatunya dengan lebih bijaksana dan dapat merancang masa depan yang lebih baik.

Seiring bergulirnya waktu, penulisan sejarah di juga mengalami perkembangan. Historiografi Indonesia modern dimulai sekitar tahun 1957, saat PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 3

diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta.

Tahun itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah yang baru dimana nasionalisasi historiografi Indonesia dimulai.1 Selanjutnya, perkembangan penulisan sejarah bukan hanya sejarah naratif yang sekedar menceritakan masa lalu semata tetapi juga penulisan sejarah analitis. Penulisan sejarah analitis ini membutuhkan ilmu-ilmu sosial yang lain sebagai pendekatannya. Dampak yang kemudian muncul adalah bahwa corak penulisan sejarah Indonesia menjadi semakin beragam, bukan hanya sejarah politik, sejarah perang, sejarah tentang peristiwa besar, ataupun sejarah orang-orang besar semata. Akan tetapi juga sejarah sosial, sejarah kebudayaan, sejarah ekonomi, sejarah lokal, sejarah pedesaan, sejarah kota, dan lain sebagainya.

Berbicara mengenai sejarah sosial, Sartono Kartodirdjo mengungkapkan bahwa arti istilah dan konsep yang ditunjukkannya selama perkembangan historiografi sangat beragam. Sejarah sosial ini bisa mencakup segala aspek kehidupan dalam bermasyarakat. Salah satu contoh cakupannya adalah tentang sejarah demografis, yaitu pertumbuhan penduduk, migrasi, urbanisasi dan sebagainya. Tema ini berkaitan erat dengan sejarah kota sebagai pusat pemukiman dengan berbagai kompleksitas di dalamnya.2

Sementara itu, Kuntowijoyo menegaskan bahwa sejarah kota belum banyak mendapat perhatian kalangan sejarawan akademis. Padahal kalau mau

1Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1994, hal. 1

2Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, : PT. Gramedia Pustaka Utama. 1993, hal. 157 - 158. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 4

digali lebih dalam, tata pemukiman kota lahir bukan hanya berdasar alasan ekonomis semata, akan tetapi juga dikarenakan suatu pola sosio-kultural.

Selanjutnya, Sartono juga berpendapat bahwa sejarah kota bertalian erat dengan penampilan golongan sosial yang tinggal di kota: kaum pedagang, pengusaha, kaum buruh, rakyat jelata, serta golongan elite.3 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kota juga menyimpan berbagai macam kekayaan historis yang layak dijadikan bahan pertimbangan dalam penulisan sejarah.

Kota Yogyakarta misalnya, selain terdiri atas pedesaan, perkampungan di dalam kotanya juga menyimpan berbagai fenomena kehidupan dan keunikan tersendiri. Wilayah Yogyakarta memang relatif kecil dibandingkan dengan kota- kota penting lainnya di Indonesia, namun demikian kedudukannya sebagai kota pendidikan, kebudayaan, dan tujuan pariwisata, baik secara nasional maupun internasional tidak bisa dianggap remeh. Selain itu, kota Yogyakarta juga memiliki nilai-nilai historis, serta semangat perjuangan yang bergema dalam skala nasional. Oleh karenanya, mengikuti dinamika perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam kehidupan perkampungan di dalam kota Yogyakarta akan menjadi sangat menarik untuk dilakukan.

Istilah ‘kampung’4 sendiri tentu bukan merupakan sesuatu yang baru dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun seiring dengan

3Sartono Kartodirdjo, Ibid., hal. 158.

4Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Jakarta: Balai Pustaka. 2007. Hal. 498. Istilah kampung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: 1) kelompok rumah yang merupakan bagian kota (biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah); 2) desa; dusun; 3) kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu, terletak PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 5

perkembangan zaman sekarang ini istilah perumahan, apartemen, ataupun rumah susun juga sudah mulai dikenal di kalangan masyarakat luas, namun dari segi jumlah, kampung tetap mendominasi. Artinya bahwa sebagian besar wilayah pemukiman penduduk di Indonesia terdiri atas kampung-kampung. Hal yang sama juga berlaku di kota Yogyakarta.

Di samping tradisi dan budayanya masih kental, Yogyakarta juga mempunyai sebagai pusat kota yang memiliki kedudukan sentral, bahkan sampai sekarang. Kuntowijoyo mengungkapkan bahwa di sekitar Kraton dapat dibangun rumah-rumah para sentana dan abdi dalem, tempat ibadah, dan pasar.5

Hal ini menjadi suatu keistimewaan tersendiri bagi kota Yogyakarta. Keunikan lain yang menyelimuti kota Yogyakarta juga dapat ditilik dari nama-nama kampungnya. Adanya beberapa kesamaan dalam proses penamaan sejumlah kampung menjadi menarik karena dari situ kita bisa mengetahui dan bahkan mencoba membayangkan bagaimana kira-kira kehidupan masyarakatnya pada masa lampau.

Kampung-kampung di kota Yogyakarta dulunya dibagi ke dalam dua wilayah berdasarkan letaknya, yaitu yang berada di dalam kompleks Kraton atau disebut “Jero/Jeron Beteng” (Dalam Benteng) dan “Jaba/Jaban Beteng” (Luar

Benteng). Pemberian nama kampung baik di dalam benteng atapun di luar benteng pada umumnya didasarkan pada profesi yang banyak ditekuni oleh di bawah kecamatan; 4) terkebelakang (belum modern); berkaitan dengan kebiasaan di kampung; kolot.

5 Kuntowijoyo, op. cit., hal. 53 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 6

warganya, keahlian yang dimiliki, kedudukan dalam pemerintahan, hingga nama kesatuan pasukan prajurit. Dalam perkembangan selanjutnya, keberagaman penduduk yang mendiami kota Yogyakarta membawa dampak pada munculnya nama-nama baru pada wilayah luar benteng.

Saat ini kondisi sebagian kampung-kampung tersebut mungkin tidak lagi menunjukkan kesesuaian dengan namanya. Namun demikian, perubahan- perubahan yang terjadi justru menjadi sangat menarik untuk dikaji. Salah satu contohnya adalah Kampung Prawirataman. Pada mulanya, nama kampung tersebut merupakan nama salah satu Kesatuan Pasukan Prajurit Kraton

Ngayogyakarta Hadiningrat. Bregada atau kesatuan prajurit yang dimaksud bernama “Kesatuan Prajurit Prawiratama.”6

Sebagaimana pejabat Kraton lainnya, Kesatuan Prajurit Prawiratama juga mendapatkan tanah lungguh7 yang kemudian digunakan sebagai daerah pemukiman bagi seluruh anggota bregada dan keluarganya. Nama Prawiratama kemudian digunakan sebagai nama daerah pemukiman mereka, yaitu

Prawirataman. Sistem penamaan seperti ini berlaku juga untuk wilayah

6Kata “Prawiratama” dan “Prawirataman” ditulis dengan ejaan dalam bahasa Jawa.

7Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1991. Sistem tanah lungguh atau apanage timbul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Di dalam menjalankan pemerintahannya penguasa dibantu oleh seperangkat pejabat dan keluarganya, dan sebagai imbalannya mereka diberi tanah apanage atau tanah lungguh yang merupakan tanah jabatan sementara, sebagai upah atau gaji seorang priyayi atau bangsawan. Tanah apanage dapat dieksploitasikan sehingga menghasilkan pajak yang berupa uang, barang dan tenaga kerja. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 7

pemukiman Kesatuan Prajurit Kraton yang lain, misalnya Kesatuan Prajurit

Wirabraja kemudian menempati pemukiman yang disebut Wirabrajan, Kesatuan

Prajurit Bugis tinggal di Kampung Bugisan, dan seterusnya.

Sebagai sebuah kampung pemukiman, Kampung Prawirataman tidak hanya berperan sebagai tempat tinggal para anggota Kesatuan Prajurit

Prawiratama semata. Namun juga merupakan kampung yang mengembangkan usaha batik. Pada awalnya batik merupakan kerajinan rumah tangga yang dikembangkan sebagai usaha meningkatkan penghasilan keluarga, lambat laun berubah menjadi industri. Banyaknya jumlah pengrajin serta perusahaan batik yang kemudian muncul, menjadikan Kampung Prawirataman ini terkenal sebagai kampung batik sejajar dengan kampung kota di sekitarnya seperti Karangkajen,

Mantrijeron, Kotagede, dan lain-lain.

Pasang surut perjalanan industri batik di kota Yogyakarta turut memberi pengaruuh pada Kampung Prawirataman. Industri batik yang sangat berkembang pada tahun 1920-an, tiba-tiba mengalami penurunan sekitar tahun 1930, baik karena krisis ekonomi dunia. Akan tetapi, berbagai usaha yang kemudian dilakukan salah satunya dengan mendirikan koperasi untuk para pengusaha batik, memberikan dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan industri batik, sehingga pada kisaran tahun 1950-an, Prawirataman kembali menjadi sentra industri batik.

Namun sangat disayangkan, kebangkitan kembali industri batik tersebut sekali lagi harus dihadapkan pada berbagai hambatan. Ketatnya persaingan dalam PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 8

industri perbatikan dan munculnya teknologi baru, seperti teknik printing disinyalir sebagai penyebab yang mulai menggeser kedudukan batik tradisional.

Di Kampung Prawirataman sendiri, masa kejayaan industri batik ini mulai mengalami titik kemunduran pada kisaran tahun 1960-an. Meredupnya industri batik itu, memberikan dampak yang besar. Para pengusaha batik mulai gulung tikar dan banting setir ke bidang usaha yang lain. Di lain pihak, sektor pariwisata yang mulai berkembang di Indonesia pada saat itu membawa peluang baru bagi para pengusaha batik tersebut. Jasa-jasa penginapan bagi wisatawan mulai banyak dibuka. Banyak dari pengusaha batik itu yang mulai beralih profesi dengan menjadi pengusaha jasa hotel dan penginapan. Berawal dari situlah di masa kini

Kampung Prawirataman mulai dikenal luas sebagai kampung turis.

Berdasarkan uraian di atas, kiranya penelitian tentang perubahan sosial masyarakat di Kampung Prawirataman pada tahun 1920-1975 menjadi menarik untuk dilakukan. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana sejarah

Kampung Prawirataman dan dinamika perubahan yang terjadi di dalamnya, perkembangan atau kemunduran yang dialami, serta dampak-dampaknya bagi masyarakat, terutama dalam ranah sosial dan ekonomi pada kurun waktu 1920-

1975.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Prawirataman merupakan salah satu daerah perkampungan yang ada di dalam wilayah kota Yogyakarta. Kampung ini terletak sekitar 3 kilometer di PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 9

sebelah tenggara Kraton Yogyakarta. Awalnya kampung ini merupakan suatu tanah pemberian dari Kraton sebagai pemukiman Kesatuan Prajurit Prawiratama.

Pemberian nama Prawirataman untuk kampung pemukiman tersebut mengacu pada nama kesatuan prajurit itu.

Sebagaimana kampung lain di Yogyakarta, Kampung Prawirataman ini juga mempunyai berbagai peran penting dalam membela Kraton Yogyakarta, salah satunya adalah turut berperan dalam perang kemerdekaan. Tidak hanya mengandalkan profesi sebagai prajurit Kraton, usaha-usaha yang lain untuk pemenuhan kebutuhan hidup mulai dikembangkan. Industri batik dipilih sebagai sasaran sumber penghasilan. Industri batik ini sangat berkembang dan pada tahun

1920-an Kampung Prawirataman menjadi salah satu sentra industri batik di

Yogyakarta.

Namun sayangnya pada rentangan tahun tahun 1960 – 1970-an, usaha batik mereka mulai mengalami kemunduran karena ketatnya persaingan. Untuk itu usaha-usaha lain yang dapat meningkatkan perekonomian mulai dikembangkan. Meningkatnya sektor pariwisata Indonesia berimbas besar pada kota Yogyakarta. Banyaknya jumlah wisatawan yang datang berkunjung ke

Yogyakarta dimanfaatkan sebagai peluang usaha yang baru. Besar dan luasnya rumah-rumah para pengusaha batik menjadi aset penting yang kemudian dimanfaatkan sebagai lahan penginapan, sehingga sampai sekarang banyak terdapat penginapan dan hotel di kawasan ini.

Terdapat empat gang di kawasan Kampung Prawirataman ini. Gang-gang tersebut terkenal dengan sebutan Prawirataman I, II, III, dan IV. Namun demikian, PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 10

hanya Prawirataman I dan II saja yang masih banyak mengembangkan usaha jasa pariwisata. Terdapat banyak penginapan, hotel, restoran serta biro pariwisata baik di Prawirataman I dan II. Sementara itu, meskipun masih terdapat satu atau dua hotel ataupun restoran di Prawirataman III dan IV, namun kawasan ini lebih banyak dikenal sebagai perkampungan penduduk saja.

2. Pembatasan Masalah

Dengan berbagai kompleksitas dan perubahan-perubahan yang terdapat di

Kampung Prawirataman tersebut, serta rentangan waktu yang cukup panjang yakni antara tahun 1920 - 1975, maka agar penelitian ini lebih fokus, permasalahannya akan dibatasi pada:

a. Tinjauan historis Kesatuan Prajurit Prawiratama yang bermukim di

Kampung Prawirataman.

b. Proses perubahan yang berlangsung di dalam kampung tersebut. Suatu

perkampungan yang awalnya merupakan pemukiman prajurit, kemudian

dikenal sebagai sentra usaha batik namun dalam perkembangannya justru

menjadi kampung wisata.

c. Dampak sosial dan ekonomi di Kampung Prawirataman setelah terjadinya

perubahan.

C. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang dan setelah dilakukan identifikasi serta pembatasan permasalahan, terdapat beberapa pertanyaan yang kemudian muncul. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 11

suatu rangkaian permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perubahan sosial dan ekonomi yang

terjadi di Kampung Prawirataman dalam rentang waktu 1920 - 1975?

2. Bagaimanakah proses perubahan yang terjadi pada kampung tersebut,

yaitu dari pemukiman prajurit, menjadi sentra industri batik dan pada

akhirnya mengembangkan usaha pariwisata?

3. Bagaimanakah dampak sosial dan ekonomi yang timbul sebagai akibat

dari perubahan tersebut?

D. Tujuan Penelitian

Sebagaimana permasalahan yang telah dijabarkan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penulisan tentang Perubahan Sosial dan ekonomi di

Kampung Prawirataman Yogyakarta Tahun 1920-1975 adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Akademis

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisa dan menguraikan sejarah serta perubahan sosial ekonomi yang terjadi di Kampung

Prawirataman. Kampung yang pada awalnya merupakan pemukiman prajurit

Kraton Yogyakarta yang mengembangkan industri batik dan sangat berhasil dalam bidang yang digeluti tersebut, namun pada akhirnya justru dikenal sebagai kampung wisatawan.

Penulisan ini juga ingin melihat dampak yang kemudian timbul dari perubahan yang terjadi di Kampung Prawirataman. Dampak yang timbul tentu PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 12

akan sangat beragam dan melingkupi berbagai bidang. Namun demikian, agar pembahasannya tidak terlalu melebar, maka fokus penulisannya hanya akan dibatasi pada lingkup sosial dan ekonomi saja.

2. Tujuan Praktis

Perubahan sosial yang terjadi di Kampung Prawirataman, termasuk berbagai faktor baik yang memperlancar atau menghambat terjadinya perubahan tersebut, setidaknya dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang kesejarahan. Sebagaimana diketahui bahwa kajian sejarah yang berkembang lebih banyak berbicara tentang politik, tentang peristiwa-peristiwa atau orang besar.

Maka dari itu penulisan tentang sejarah dan perubahan sosial yang terjadi di

Kampung Prawirataman diharapkan dapat menyuguhkan pelajaran dan variasi baru dalam penulisan sejarah. Lebih jauh lagi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesadaran baru bagi masyarakat, bahwa tiap-tiap daerah baik kampung kota atau pedesaan memiliki banyak keunikan dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya, baik manfaat akademis ataupun praktis yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Donald G. MacLeod (1977) mengatakan bahwa terdapat tiga sektor yang terlibat langsung dalam pemanfaatan hasil penelitian, yaitu akademisi, PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 13

pemerintah, dan masyarakat. Selain itu, manfaat hasil penelitian juga dapat ditujukan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.8 Oleh karena itu, manfaat teoretis dari penulisan ini terkait dengan pemberian informasi, pengetahuan dan gambaran yang lebih jelas tentang perubahan-perubahan sosial dalam suatu masyarakat khususnya di

Kampung Prawirataman Yogyakarta. Selanjutnya, dari informasi-informasi tersebut diharapkan dapat menambah dan memberi sumbangan baru pada ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sejarah, terutama sejarah kampung.

Sumbangan yang dimaksud berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Kampung Prawirataman dalam kurun waktu 1920-1975.

2. Manfaat Praktis

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang perubahan sosial yang terjadi di Kampung Prawirataman tahun 1920-1975. Dari hasil penelitian ini diharapkan bahwa nantinya dapat memberikan masukan tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, terutama yang terkait dengan terjadinya suatu perubahan. Perkembangan atau kemunduran yang terjadi dalam suatu lingkup pemukiman masyarakat tentu membawa dampak yang tidak sedikit.

Pengetahuan akan perubahan, hambatan dan dampak yang ditimbulkan tersebut dapat menjadi pengetahuan dan pelajaran agar para masyarakat atau instansi yang terkait menjadi lebih sadar akan pola-pola yang ada, sehingga nantinya dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang lebih baik bagi kampungnya.

8 Mohammad Chawari, “Bangunan Tradisional Jawa Di Kampung Kauman Yogyakarta Sebuah Model Pengelolaan”. Tesis: Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.2008. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 14

F. Kerangka Teori

Sejarah yang analitis bukan sekedar memaparkan suatu peristiwa masa lalu dan hanya bersifat naratif yang hanya mengandalkan common sense semata, tetapi juga membutuhkan pendekatan dari ilmu-ilmu sosial yang lain.9 Dengan demikian penelitian suatu peristiwa sejarah yang dihasilkan nantinya merupakan suatu penjelasan yang analitis dan mendalam.

Pendekatan ilmu-ilmu sosial sangat dibutuhkan dalam penulisan sejarah.

Rapproachement atau proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu lain salah satunya disebabkan karena penulisan sejarah deskriptif-naratif sudah tidak lagi memuaskan untuk menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks.10 Ilmu-ilmu sosial yang dimaksud dapat berupa Ilmu Politik, Sosiologi,

Antropologi, Psikologi, Geografi, Ekonomi, dan lain sebagainya. Selain untuk memperkaya khasanah pemikiran, ilmu bantu dari cabang-cabang ilmu sosial yang lain tersebut juga dapat membantu dalam memberikan eksplanasi dan penjelasan yang lebih mendalam atas suatu peristiwa sejarah yang sedang menjadi

9 Sartono Kartodirjo, op. cit. hal. 121

10 Ibid,. hal. 120- 121. Terkait dengan proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial yang lain itu, Sartono memaparkan bahwa penyebab yang lainnya antara lain; (1) pendekatan multidimensional atau social scientific adalah yang paling tepat untuk dipergunakan sebagai cara menggarap permasalahan atau gejala yang ada. (2) ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan pesat, sehingga dapat menyediakan teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan sekali untuk keperluan analisis historis, (3) Lagi pula, studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informatif tentang apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana, tetapi juga ingin melacak pelbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam pelbagai bidang, dan lain-lain. Kesemuanya itu menuntut adanya alat analitis yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola, dan sebagainya. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 15

bahan kajian. Sehingga pada akhirnya tulisan sejarah yang akan dihasilkan pun lebih bersifat analitis dan ilmiah.

Terkait dengan masalah di atas, maka tulisan ini juga mencoba untuk menggunakan pendekatan dari ilmu sosial yang lain. Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa tema besar yang diambil sebagai fokus dalam penelitian ini adalah tentang perubahan sosial. Oleh karena itu, pendekatan yang akan digunakan adalah teori-teori yang relevan dengan perubahan sosial.

Ada begitu banyak teori yang telah dihasilkan oleh para ahli baik dari dalam atau luar negeri sehubungan dengan perubahan sosial. Sebagaimana diungkapkan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa perubahan sosial merupakan tema yang luas cakupannya. Kedatangan agama Islam beserta sistem politiknya ke wilayah Indonesia, masuknya bangsa Barat dengan proses modernisasi

(westernisasi); dan peningkatan proses modernisasi sejak abad ke-19 merupakan peristiwa-peristiwa yang sarat akan perubahan sosial. Hal ini berdampak pada berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, dan budaya.11

Salah satu lapisan kehidupan masyarakat yang terkena dampak dari proses modernisasi yang melanda bangsa Indonesia sejak abad ke-19 tersebut adalah kampung. Kata kampung sendiri tentu saja tidak asing dan sudah sangat lazim digunakan. Dalam penulisan karya ini pun subyek yang menjadi obyek penelitian adalah Kampung Prawirataman di Yogyakarta, dalam kurun waktu 1920-1975.

Oleh karena itu, terlebih dahulu akan diuraikan tentang definisi kampung itu sendiri.

11 Ibid., hal. 145. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 16

Sebagaimana dipaparkan oleh Sullivan dan Murray dalam Hans-Dieter

Evers Urbanisme di Asia Tenggara, bahwa istilah kampung setidaknya memperlihatkan sesuatu yang terkait dengan desa dan komunitas-komunitas.

Namun istilah tersebut sebenarnya tidak bisa didefinisikan sebagai komunitas usaha (corporate community) karena ikatan sosial yang ada umumnya adalah antar tetangga saja. Aspek komunitas dalam kampung itu telah ditunjukkan dengan baik, yaitu dalam urusan bertetangga atau neighbourship. Sullivan juga menyatakan bahwa terdapat tekanan kuat pada orang kampung agar menjadi tetangga yang baik. Tetangga yang baik (neighbourliness) persisnya ditetapkan dalam kampung, begitu juga sanksi-sanksi berat yang berfungsi untuk membuat anggota komunitas berperilaku sejalan dengan konvensi-konvensi yang berlaku.

Sedangkan Murray dalam Evers berpendapat bahwa kampung bukanlah suatu entitas yang mampu merencanakan strategi, tetapi suatu komunitas dari orang perorang yang menyesuaikan diri mereka dengan situasi perkotaan dan kian hari kian banyak orang yang datang untuk bekerja sama dan bersaing.12

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa corak kehidupan kampung kota juga memiliki suatu kekhasan tersendiri yang tentu berbeda dengan pedesaan. Lebih lanjut lagi hal ini juga akan berpengaruh pada ciri dan karakteristik masyarakat di dalamnya. Oleh karena itulah masyarakat yang berdiam di perkampungan kota dikenal dengan istilah masyarakat kota. Namun demikian, terlepas dari berbagai perbedaan yang ada, perubahan sosial merupakan

12 Hans-Dieter Evers dan Rudiger Korff, Urbanisme Di Asia Tenggara Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002. Hal. 408 – 409. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 17

suatu proses yang terjadi baik di desa ataupun di kota. Berbagai pengaruh yang masuk dalam suatu komunitas pemukiman baik di desa ataupun di kota juga turut mendorong terjadinya perubahan, baik yang sifatnya kemajuan (progress) ataupun kemunduran (regress).

Perubahan sosial tersebut biasanya terjadi tidak dalam jangka waktu yang singkat. Sebagaimana dipaparkan oleh Darwis Khudori bahwa homogenitas penduduk kampung mulai terkikis, baik dari segi agama, suku bangsa, aliran politik, mata pencaharian maupun tingkat pendapatan. Keterikatan terhadap kampung dan kehidupan pertetanggaan bagi sebagian penduduk juga berkurang seiring dengan tuntutan modernisasi. Namun ada dua kenyataan yang belum akan berubah dalam jangka waktu yang lama, yaitu pertama, bahwa kampung merupakan satu-satunya jenis pemukiman yang bisa menampung golongan penduduk Indonesia yang tingkat perekonomian dan pendidikannya paling rendah, meskipun tidak tertutup bagi penduduk dengan penghasilan dan tingkat pendidikan yang tinggi. Kedua, bahwa terdapat organisasi sosial di setiap kampung yang mengatur dan mengawasi tata tertib kehidupan kemasyarakatan warga kampung yang bersangkutan.13

Lebih jauh lagi, Sartono berpendapat bahwa apabila dipandang dari perspektif sejarah sosial, proses sejarah dalam keseluruhannya merupakan proses

13 Darwis Khudori, Menuju Kampung Pemerdekaan Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-akarnya Belajar dari Romo Mangun di Pinggiran Kali Code. Yogyakarta: Yayasan Podok Rakyat. 2002. Hal. 7-8. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 18

perubahan sosial dalam berbagai dimensi. Dipandang sebagai proses modernisasi, perubahan sosial mencakup permasalahan-permasalahan sebagai berikut:14

1. Proses akulturasi, artinya proses yang mencakup usaha masyarakat

menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mencari bentuk

penyesuaian berdasarkan kondisi, disposisi, dan referensi kultural yang

menentukan sikap terhadap pengaruh baru.

2. Berkaitan dengan proses akulturasi itu kemudian muncul adanya proses

seleksi dan diferensiasi berdasarkan lokasi sosiohistoris pelbagai golongan

sosial. Variasi sikap kultural dan heterogenitas baik yang sifatnya

penolakan atau penerimaan mulai muncul. Di sini konflik sosial

merupakan dampak yang menyertai terjadinya perubahan sosial.

3. Perubahan dari heterogenitas yang inkoheren ke heterogenitas yang

koheren.

4. Proses modernisasi yang merupakan proses pokok dalam transformasi

struktural.

5. Adanya proses integrasi dan desintegrasi, atau disorganisasi dan

reorganisasi yang silih berganti sebagai bentuk transformasi sosial.

6. Munculnya jaringan sosial yang mencakup interdependensi antara

pelbagai sektor atau fungsi masyarakat yang dalam keseluruhannya

mewujudkan suatu sistem sebagai akibat dari kompleksitas stukturasi

hubungan sosial masyarakat.

14 Sartono Kartodirjo, op. cit. hal.160. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 19

7. Perubahan sosial adalah gejala yang inheren dalam setiap perkembangan

atau pertumbuhan (development). Penting diketahui bahwa proses

perkembangan itu tidak dengan sendirinya menunjukkan arah

pertumbuhan serta tujuan. Berdasarkan kerangka teoretisnya,

evolusionisme, fungsionalisme, positivisme, pelbagai paradigma

menunjukkan bahwa masing-masing memandang arah dan tujuan

perkembangan secara berbeda-beda.15

Teori perubahan sosial lain yang turut mendukung datang dari Selo

Soemardjan yang berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.16

Masih menurut Selo Soemardjan, bahwa jenis dari perubahan sosial penting untuk diketahui agar dapat mengetahui pelopor perubahannya. Pelopor perubahan adalah seseorang atau sekelompok orang yang dipercayai oleh masyarakat sebagai pemimpin dalam salah satu atau beberapa lembaga sosial.

Orang atau kelompok itu mempelopori jalan meninggalkan masa lampau menuju zaman baru, yakni menetapkan kaidah sistem sosial baru atau yang diperbaharui.

Perubahan-perubahan yang terjadi di Yogyakarta sendiri sejak akhir masa penjajahan Belanda dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu perubahan yang

15 Ibid., hal. 160-162

16 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Jakarta: Komunitas Bambu. 2009. Hal. 147. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 20

disengaja/direncanakan sebelumnya (intended) dan perubahan yang tidak disengaja/tidak diketahui dan direncanakan (unintended). Proses perubahan yang disengaja dan tidak disengaja tersebut memiliki kecenderungan untuk saling memperkuat satu dengan yang lainnya.17

Dengan demikian, perubahan yang terjadi di Kampung Prawirataman, yaitu yang pada awalnya merupakan kampung pemukiman prajurit, kemudian mengembangkan usaha batik dan berhasil menjadi salah satu sentra industri batik di Yogyakarta, namun pada akhirnya justru bergerak dalam sektor pariwisata dengan mengembangkan usaha penginapan, dapat digolongkan pada jenis perubahan yang tidak disengaja dan tidak direncanakan. Situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungan sekitar didukung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah membawa dampak terjadinya perubahan tanpa direncanakan sebelumnya.

G. Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa penelitian dan tulisan yang telah dibuat oleh beberapa orang sebelumnya. Tulisan-tulisan tersebut antara lain:

“Sejarah Kauman Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah” karya

Ahmad Adaby Darban. Merupakan buku yang membahas tentang sejarah lokal dan perubahan sosial suatu daerah tertentu, yaitu Kampung Kauman. Kampung

Kauman Yogyakarta sendiri dulunya juga merupakan salah satu kompleks hunian bagi para abdi dalem pamethakan, yang bertugas dalam bidang keagamaan, khususnya urusan kemasjidan. Di dalam buku tersebut diungkapkan bahwa terjadi

17 Ibid., hal. 448 – 449. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 21

banyak perubahan di kampung tersebut dalam kurun waktu 1900 – 1950. Namun demikian perubahan yang terjadi bukan pada tatanan nilai tetapi lebih banyak pada ranah tatanan norma kehidupan masyarakat. Daerah yang menjadi obyek penelitian dalam buku tersebut memang bukan Kampung Prawirataman melainkan Kampung Kauman, namun demikian obyek pembahasan yang fokus pada satu wilayah tertentu merupakan referensi yang bagus dan berguna dalam tulisan ini.

Karya tulis yang membahas tentang Kampung Prawirataman sendiri memang tidak sedikit. Salah satunya adalah makalah hasil penelitian terhadap kampung wisata Prawirataman yang pernah dilakukan oleh Retno Kumolohadi,

Nugroho Dwi Priyohadi, dan Th. Agung M. Harsiwi dengan judul “Studi

Terhadap Kampung Wisata Prawirotaman Yogyakarta.” Studi tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaruh sosial budaya dan ekonomi serta perilaku akibat pariwisata di Kampung Prawirataman. Di dalam makalah hasil penelitian itu dipaparkan bahwa perubahan dari kampung batik menjadi kampung pariwisata yang mengalami perkembangan pesat membawa dampak positif maupun negatif.

Dampak positifnya terjadi dalam bidang ekonomi dengan berkembangnya berbagai bidang usaha yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakatnya baik secara formal maupun informal, misalnya dalam bidang jasa. Sedangkan dampak negatifnya dirasakan dari segi sosial budaya dan perilaku yaitu timbulnya sikap individualistis, pragmatis dan profit oriented. Selain itu juga sikap dan perilaku yang cenderung lebih mengagung-agungkan wisatawan mancanegara dan perilaku konsumtif. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 22

Hasil penelitian tentang Prawirataman di atas baik, akan tetapi titik berat penelitiannya lebih pada bidang kepariwisataan. Bagaimana pariwisata di

Kampung Prawirataman memberi dampak pada bidang ekonomi juga terhadap perilaku masyarakat di Prawirataman. Namun demikian, belum banyak aspek- aspek historis yang diungkapkan.

Lebih spesifik lagi tesis dari Chiyo Inui Kawamura yang berjudul

“Peralihan Usaha dan Perubahan Sosial di Prawirotaman, Yogyakarta 1950 –

1900-an.” Di dalam karya tulisnya tersebut Chiyo Inui Kawamura merekonstruksikan perubahan sosial dan proses peralihan usaha dari industri batik tradisional ke industri pariwisata yang bersifat modern masyarakat Prawirataman pasca kemerdekaan Republik Indonesia.

Fokus penulisan yang diambil Kawamura lebih pada proses peralihan usaha yang terjadi di daerah Prawirataman, yaitu dari usaha batik yang berkembang pesat pada tahun 1950-an menjadi usaha pariwisata pada tahun 1990- an. Kawamura menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu 1950 – 1990-an telah terjadi perubahan drastis di daerah Prawirataman, dimana “zaman batik” yang berlangsung pada tahun 1950-an mengalami kemerosotan karena perubahan- perubahan yang terjadi di tingkat nasional maupun di dalam lingkungan kampung sejak awal tahun 1960. Dan karena pengaruh dari kebijakan pemerintah industri pariwisata kemudian berkembang di Prawirataman sehingga tidak terdapat lagi rumah industri batik di jalan Prawirataman pada tahun 1990-an.

Penelitian Kawamura tersebut memberikan cukup banyak informasi dan dapat digunakan sebagai sumber referensi yang baik. Meskipin topik bahasan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 23

yang menjadi subyek penelitian hampir sama, akan tetapi periode penelitiannya berbeda. Melalui pendekatan sosial-ekonomi, penelitian ini bermaksud melihat sedikit lebih jauh ke belakang, yaitu pada tahun 1920-an dimana pada saat itu usaha batik telah begitu berkembang di Jawa termasuk di Prawirataman.

Kedudukan Kampung Prawirataman yang pada mulanya merupakan kampung pemukiman prajurit, dan hubungannya dengan perkembangan usaha batik di daerah tersebut.

Kemudian titik akhir yang diambil dalam penelitian ini adalah pada tahun

1975, dimana pada kisaran tahun 1970-an itu merupakan masa-masa transisi bagi

Kampung Prawirataman. Dengan kata lain, apabila penelitian Chiyo Inui

Kawamura dilakukan dalam kurun waktu dimana usaha yang berkembang di

Prawirataman sudah matang dan mantap, maka dalam tulisan ini ingin melihat kembali masa awal perkembangan usahanya, berbagai dinamika dan perubahan sosial di Kampung Prawirataman sendiri, baik dari pemukiman prajurit yang merupakan akar dan cikal bakal munculnya masyarakat Prawirataman, proses serta usaha-usaha yang dilakukan sampai kemudian menjadi salah satu sentra industri batik, namun pada akhirnya justru merintis dan mulai mengembangkan usaha pariwisata.

H. Metode Penelitian

Dalam penulisan sejarah yang bersifat deskriptif-analisis diperlukan suatu metode penelitian sejarah. Demikian halnya dalam penelitian tentang perubahan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 24

sosial di Kampung Prawirataman ini. Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan ini adalah studi pustaka dan studi lapangan.

Dalam meneliti melalui studi pustaka, menggunakan sumber tertulis dari buku-buku, artikel-artikel, laporan dan hasil penelitian, juga melalui situs-situs di internet yang relevan dengan topik yang akan dibahas. Sumber yang akan dicari sebisa mungkin adalah sumber primer yang dapat menerangkan dinamika sejarah yang terkait dengan sejarah Kampung Prawirataman sebagai topik pembahasan.

Sumber primer memaparkan kata-kata yang sebenarnya dari seseorang yang berpartisipasi atau menyaksikan peristiwa-peristiwa yang digambarkan atau dari seseorang yang memperoleh informasi dari yang ikut berpartisipasi. Sedangkan sumber sekunder mencatat penemuan dari seseorang yang tidak mengamati peristiwa tetapi menyelidiki bukti-bukti primer.18

Proses pengumpulan data lain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi lapangan dengan melakukan wawancara. Wawancara akan dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: penduduk asli Prawirataman ataupun pendatang, baik laki-laki ataupun perempuan yang sekiranya mengetahui dan dapat menjelaskan tentang sejarah daerahnya, pemilik penginapan atau usaha perjalanan pariwisata, karyawan, tukang becak dan atau orang-orang yang telah berkecimpung di wilayah Prawirataman dan tahu banyak tentang perkembangan kampung tersebut. Studi lapangan ini sebenarnya bersifat terbuka, dalam artian bahwa peneliti tidak akan membatasi pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan,

18 Jules R. Benjamin, A Student’s Guide to History, Boston: Bedford Books. 1994. Hal. 6-9 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 25

akan tetapi tetap harus bisa memenuhi tuntutan jawaban yang diperlukan, sehubungan dengan perubahan yang terjadi di Kampung Prawirataman.

Setelah data-data diperoleh, langkah selanjutnya adalah menganalisa dan mengolahnya. Pada tahapan ini, penafsiran dan pemberian tanggapan atas data dilakukan sesuai dengan persoalan yang dibahas. Hal ini dilakukan agar subjektivitasnya dapat dikurangi. Sehingga tulisan yang dihasilkan walaupun bersifat ilmiah dan analitis tetapi hendaknya dapat dipahami berbagai kalangan.

I. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini rencananya akan dibagi kedalam 5 bab yang sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab I berisi Pendahuluan yang memuat sembilan subbab. Subbab itu terdiri atas: Latar Belakang, Identifikasi dan Pembatasan Masalah, Rumusan

Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Tinjauan

Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Inti dari Bab I adalah latar belakang penelitian dan permasalahan yang mendorong untuk mengadakan penelitian dan penyusunan tulisan ini.

Bab II akan menguraikan tentang latar belakang Kampung Prawirataman.

Latar belakang yang dimaksud disini adalah tinjauan historis Kesatuan Prajurit

Prawiratama yang bermukim di Kampung Prawirataman.

Bab III akan membahas tentang faktor-faktor dan proses terjadinya perubahan sosial dan ekonomi di Kampung Prawirataman dalam kurun waktu

1920 – 1975. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 26

Bab IV merupakan paparan yang berisi tentang dampak sosial dan ekonomi yang muncul sebagai akibat dari perubahan yang terjadi di Kampung

Prawirataman.

Bab V merupakan bagian akhir atau penutup dari tulisan ini. Bab ini berisi

Kesimpulan yang merupakan jawaban dan pernyataan penulis mengenai hasil penelitian sekaligus jawaban atas rumusan permasalahan yang diuraikan pada bagian pendahuluan. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB II PRAWIRATAMAN KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT PRAWIRATAMA

A. Letak Geografis Kampung Prawirataman

Kampung Prawirataman merupakan satu dari lima kampung yang berada dalam wilayah Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, Kota

Yogyakarta.1 Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, Kampung

Prawirataman terletak sekitar 3 km di sebelah tenggara Kraton Yogyakarta dan kurang lebih 600 meter dari Pojok Beteng Wetan. Kampung ini diapit oleh dua ruas jalan besar yang keduanya merupakan akses menuju wilayah Kabupaten

Bantul, yaitu Jalan Parangtritis yang berada di sebelah barat dan Jalan

Sisingamangaraja yang terletak di sebelah timur.

1 Djoko Suryo Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990 dalam Freek Colombijn, dkk. (Ed). Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-kota Di Indonesia Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2005. Hal. 32. Kedudukan Kota Yogyakarta sejak kemerdekaan hingga masa kini ialah menjadi Ibu Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin oleh Gubernur, dan saat ini dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono X. Selain itu Kota Yogyakarta masa kini juga menjadi Ibu Kota Pemerintah Kota Yogyakarta yang dipimpin oleh seorang Wali Kota. Wilayah Pemerintah Kota Yogyakarta terbagi atas 14 Wilayah Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW (Rukun Warga) dan 2.532 RT (Rukun Tetangga). PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 28

Secara umum, Kampung Prawirataman dibagi menjadi empat kawasan berdasarkan ruas jalan utama yang kemudian juga disebut dengan gang. Keempat jalan atau gang utama yang terdapat di dalam kampung tersebut dikenal dengan istilah Prawirataman I, II, III dan IV.

Di sepanjang gang I terdapat banyak fasilitas akomodasi dan penginapan baik yang berbintang ataupun melati, restoran dan kafe, kantor biro perjalanan pariwisata, persewaan sepeda, sepeda motor serta mobil, ATM, art shop/gallery, salon kecantikan, jasa penukaran mata uang asing, dan berbagai fasilitas penunjang kegiatan pariwisata yang lainnya. Hal itulah yang menjadikan kawasan ini jauh lebih ramai dikunjungi oleh wisatawan dibandingkan dengan tiga gang lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya nama Prawirataman I ini lebih banyak dikenal sebagai Jalan Prawirataman atau sering disebut sebagai Prawirataman saja.

Beberapa fasilitas yang berhubungan dengan pariwisata juga dapat dijumpai di Prawirataman II yang terletak di sebelah selatan Prawirataman I.

Sebuah pasar tradisional yang sering disebut sebagai Pasar Prawirataman berada di ujung barat gang ini tepatnya di ruas Jalan Parangtritis. Namun demikian, dalam kaitannya dengan wisatawan kawasan ini masih belum seramai Jalan

Prawirataman I. Sementara itu, di kawasan Prawirataman III dan Prawirataman IV juga terdapat beberapa penginapan dan restoran, tetapi jumlahnya tidak banyak sehingga kawasan ini lebih dikenal sebagai perkampungan penduduk saja. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 29

B.Tinjauan Historis Kampung Prawirataman

1. Menelusuri Riwayat Prajurit Kasultanan Yogyakarta

Latar belakang dan perjalanan sejarah keberadaan prajurit Kraton sudah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, bahkan cikal bakalnya telah ada sebelum berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada waktu itu,

Pangeran Mangkubumi yang merupakan adik dari Paku Buwana II menentang perjanjian yang disepakati oleh kakaknya tersebut dengan VOC. Protes akan ketidaksetujuan tersebut dilakukan dengan meninggalkan istana dan kemudian melakukan pemberontakan.2

Pemberontakan tersebut dilakukan dengan menyusun kekuatan prajurit yang beranggotakan baik dari kalangan bangsawan (Tumenggung, Pangeran,

Bupati) ataupun rakyat biasa. Pasukan itu kemudian melakukan penyerangan ke berbagai daerah. Serangan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi beserta pasukannya itu membawa dampak pada bertambah besarnya jumlah kekuatan prajuritnya.

2 Alamsyah, Kajian Arkeomusikologi Terhadap Alat Musik Prajurit Kraton Yogyakarta, Skripsi: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2005. Pangeran Mangkubumi adalah putra dari Amangkurat IV (1719-1796) yaitu generasi keempat dari Sultan Agung raja pertama kerajaan Mataram Islam, dan dilahirkan oleh Mas Ayu Tedjowati yang merupakan permaisuri kedua. Khairuddin H, Filsafat Kota Yogyakarta Yogyakarta: Penerbit Liberti. 1995. Hal.21. menambahkan bahwa Pangeran Mangkubumi terlahir dengan nama Raden Mas Sujono. Selain sebagai ahli strategi perang, ahli tirakat, juga merupakan arsitek yang handal. Karena jasa- jasanya dalam ikut serta di bidang pemerintahan, kemudian diberi gelar Kanjeng Pangeran Harya Mangkubumi. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 30

Prajurit Pangeran Mangkubumi berjumlah 13.000 yang terdiri dari 2.000 pasukan kavaleri dan sisanya merupakan pasukan infantri. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari gabungan antara prajurit Mangkubumi sendiri dan prajurit dari Raden Mas Said. Desa Ayogya yang terletak di antara Kraton

Kotagede dan Plered dijadikan sebagai markas/basis dalam menyusun strategi perang.3

Bertambahnya jumlah kekuatan pasukan Pangeran Mangkubumi serta keberhasilannya menaklukkan berbagai daerah, menimbulkan kekhawatiran yang besar di pihak VOC. Upaya perundingan pun dilakukan. Akhirnya kesepakatan dicapai dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari

1755 oleh Sunan Paku Buwana III dan Pangeran Mangkubumi. Kesepakatan dalam perjanjian tersebut diantaranya adalah tentang Palihan Nagari atau

Pembagian Dua Kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan

Ngayogyakarta.

Setelah perjanjian tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian mendirikan

Kota Istana atau Kota Kraton. Pendirian pusat pemukiman dilakukan dengan konsep “Babad Alas” atau membuka hutan dan kemudian menempatkan istana sebagai pusat pemerintahan kerajaan.4 Kota Istana tersebut kemudian diberi nama

Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan ibukota Ngayogyakarta yang berarti baik dan

3Ibid., hal 17.

4 Djoko Suryo, op.cit. hal. 33 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 31

rahayu. Dengan artian yang lebih dalam yaitu masyarakat yang tinggal di

Ngayogyakarta ini sebagai orang yang berakhlak baik dan berhati tulus.5

Pangeran Mangkubumi kemudian bertahta sebagai raja yang pertama.

Gelar yang digunakan adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun

Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati Ing Ngalaga, Abdurrahman Sayidin

Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping I ing Ngayogyakarta

Hadiningrat,6 atau kemudian lebih dikenal dengan Sri Sultan Hamengku Buwana

I. Gelar tersebut menunjukkan bahwa raja Kasultanan Yogyakarta secara simbolis dan filosofis mencerminkan kerangka konseptual tentang raja, kerajaan, sifat keilahian dalam pandangan Islam.7

Dalam hubungannya dengan masalah keprajuritan, Sri Sultan Hamengku

Buwana I ini tidak begitu saja membubarkan pasukan prajurit bersenjata yang turut berjuang bersamanya. Akan tetapi, merupakan pilar penting berdirinya

5 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk Yogyakarta: Dari Hutan Beringan Ke Ibukota Daerah Istimewa, Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. 2002. Hal. 9. Pembahasan yang lain terdapat dalam Tim Penyusun, “Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” Yogyakarta: Tim Penyusun Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 1990. Hal. 62. Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa Yogyakarta berarti (kota) Yogya yang “karta” atau kota Yogya yang makmur. Sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat maksudnya adalah kota yang makmur dan yang paling utama atau yang merupakan keindahan di bumi.

6 Tim Penulis, Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya Yang Terkandung di Dalamnya, Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta.2009. Hal. 6.

7 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. op cit. hal. 9. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 32

Kasultanan Ngayogyakarta yang menjadi perangkat strategis dan taktik pertahanan kerajaan, serta representasi dari kekuatan politik seorang raja.

Selain sebagai pasukan pertahanan dan pengamanan Kraton, pasukan- pasukan prajurit yang ada dibagi ke dalam kesatuan (bregada) yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Misalnya, terdapat pasukan khusus yang sangat handal dalam berperang, kemudian selain mengamankan kerajaan, terdapat juga pasukan prajurit yang bertanggung jawab sebagai pengawal raja pada saat melakukan kegiatan dan tugas-tugas di luar istana, berburu, dan lain-lain.

Sebagai pasukan militer kerajaan, sarana dan prasarana prajurit serta persenjataan yang dimiliki menjadi sangat penting. Persenjataan prajurit terdiri atas beberapa jenis senjata api, serta senjata tradisional, seperti tombak, keris, panah, pedang dan alat pelindung badan berupa tameng. Selain itu juga beberapa alat musik (unen-unen) yang dibunyikan sebagai pertanda dimulainya kegiatan keprajuritan.8

Namun demikian, pada masa pemerintahan Hamengku Buwana II (1792 –

1811), perubahan yang besar terjadi. Kekuatan asing yang menguasai wilayah

Nusantara bukan lagi kongsi dagang (VOC), akan tetapi berada langsung di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.9 Perubahan tersebut juga turut memberikan pengaruh yang tidak sedikit bagi perjalanan sejarah Kraton

Kasultanan Yogyakarta dan seluruh elemen yang terkandung di dalamnya.

8 Tim Penulis, op cit. hal. 8 - 9

9 Tim Penyusun, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Tim Penyusun Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 1990. Hal. 63. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 33

Saat Pemerintah Kolonial Belanda menggantikan kedudukan VOC di

Yogyakarta, mereka juga terus berusaha menciptakan persekongkolan untuk mendapatkan peluang serta melancarkan campur tangannya di dalam pemerintahan kerajaan. Salah satunya, melalui campur tangan Daendels, Sultan

Hamengku Buwana II dipaksa untuk menyerahkan tahtanya kepada putra mahkota. Putra mahkota kemudian bertahta sebagai Hamengku Buwana III (1810-

1811). Hamengku Buwana III juga dikenal sebagai Sultan Raja.10

Sultan Hamengku Buwana II sendiri masih diperbolehkan tinggal di dalam

Kraton meskipun tidak lagi memerintah. Dengan demikian ada dua raja di dalam istana, yaitu Sultan Raja dan Sultan Sepuh. Selain itu, meskipun resminya sudah mengundurkan diri, tetapi Sultan Sepuh masih memiliki banyak pengaruh.

Melalui pengaruhnya, Sultan Sepuh berhasil merebut kembali tahta kerajaan dan berkuasa.

Pada saat yang bersamaan, pemerintah Inggris telah berhasil menguasai pulau Jawa. Kebijakan Kraton yang menentang kekuasaan Inggris, membawa akibat pada serangan pasukan Inggris ke dalam kerajaan. Pihak Kraton mengalami kekalahan. Hamengku Buwana II diasingkan dan putra mahkota atau

Hamengku Buwana III kembali naik tahta (1812-1814). Selain itu, Inggris juga menyita harta kekayaan Kraton.11

10 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1994. Hal. 16.

11 Sutrisno Kutoyo, dkk Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat Direktorat dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1997. Hal 118-119. Raja PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 34

Tidak hanya itu, Inggris juga melakukan pengurangan jumlah prajurit

Kraton. Sebagaimana tertuang dalam perjanjian yang ditandatangani Hamengku

Buwono III dengan Rafless, prajurit Kraton tidak boleh lagi berada dalam format sebagai angkatan perang dan pasukan militer yang kuat sebagaimana sebelumnya.

Kualitas kesatuan prajurit Kraton itu diperlemah sehingga tidak mungkin lagi menjadi kekuatan militer, dan selanjutnya fungsi prajurit hanya sebatas pengawal

Sultan dan penjaga Kraton. Tidak berhenti sampai di situ saja, para prajurit ini juga mendapatkan pengawasan yang ketat dari pasukan Inggris.12

Ketentuan tersebut juga masih berlaku ketika Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya atas wilayah Nusantara ke tangan Pemerintah Kolonial

Hindia Belanda tahun 1816. Praktek sewa tanah yang mulai diberlakukan Inggris pada masa pemerintahan Hamengku Buwana IV (1814-1822) masih tetap dipertahankan. Akan tetapi, karena pihak swastalah yang lebih diuntungkan, maka kemudian pada tahun 1823, larangan atas usaha tersebut mulai diberlakukan.

Surakarta yang juga dianggap bersalah mendapatkan hukuman yang sama dari pihak Inggris. Kedua kerajaan tersebut diharuskan menyerahkan tanah-tanah kerajaan yang kemudian disebut sebagai Karesidenan Kedu, dan sebagian dari Karesidenan Semarang, Rembang, dan Surabaya. Menurut ketentuan-ketentuan lain sebagaimana tertuang dalam perjanjian yang tertanggal 1 Agustus 1812, raja Surakarta dan Yogyakarta berkewajiban mendirikan pos-pos polisi yang permanen dan mengadili kawula Gubernur yang berdasar hukum yang benar. Kedua orang raja itu harus mengakui kekuasaan tertinggi orang Eropa atas Pulau Jawa, menyerahkan hutan-hutan jati, menyerahkan sarang burung, menyerahkan pasar dan rumah-rumah cukai, menghilangkan semua hukuman siksaan dan menurut nasehat-nasehat. Perlu dicatat bahwa dalam hal penyerahan rumah-rumah cukai, raja mendapat ganti rugi berupa uang. Maka sejak itu kekuasaan tertinggi Eropa di atas kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dikokohkan. Kalau dua kerajaan Jawa itu melanggar perjanjian yang ada, dapat ditindak dengan kekuatan senjata.

12 Tim Penulis, op. cit. hal 10. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 35

Kebijakan ini yang kemudian menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya

Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830).

Meskipun kemenangan ada di pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, namun perang yang berlangsung selama 5 tahun tersebut membawa ketakutan yang besar bagi pihak Belanda. Ketakutan akan munculnya pemberontakan serupa, berakibat pada berkurangnya sebagian besar wilayah kekuasaan

Kasultanan.

Berbagai tekanan politik yang terjadi di dalam kerajaan tersebut, juga turut memberi dampak dalam bidang keprajuritan. Berdasarkan kesepakatan dengan pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, terjadi pengurangan prajurit secara besar-besaran. Kesatuan prajurit Kraton yang awalnya berjumlah 26, dipangkas dan hanya tersisa setengahnya saja. Pada setiap kesatuan diperkirakan terjadi pelucutan kekuatan bersenjata sampai 75%, sehingga hanya menyisakan sekitar

1625-3250 dengan asumsi setiap kesatuan terdiri dari 125-250 orang.13

13 Alamsyah, op. cit., hal. 24. Kesatuan prajurit yang berjumlah 26 tersebut terdiri dari Kesatuan Prajurit Mantri Lebet, Mantri Panilih, Ketanggel, Sumatmaja, Blambangan, Bugis, Daeng, Demang, Jagakarya, Nyutra, Mandhung, Miji Pranakan, Anirmala, Suranggama, Kawandasa, dan Wirabraja. Kemudian prajurit di Kadipaten yang terdiri dari Prawiratama, Jayengastra, Langenastra, Pancasura dan Surakarsa. Selanjutnya adalah Prajurit Pangrembe yaitu, Suranata, Sesela, Juru Sabin, Ngasrama, dan Arahan. Kemudian berdasarkan kesepakatan demiliterasi dengan pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pada masa pemerintahan Hamengku Buwana V terjadi pengurangan pasukan prajurit sehingga hanya tersisa 13 kesatuan yang terdiri atas, Mantri Lebet/Mantri Jero, Ketanggel/Ketanggung, Nyutra, Miji Pranakan, Prawitratama, Patangpuluh, Jagakarya, Daeng, Wirabraja, Suranata, Bugis, Surakarsa, dan Arahan. Dalam buku Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 36

Tidak hanya berkurang dalam hal jumlah, fungsi dan pemaknaan prajurit

Kraton pun ikut mengalami perubahan. Dalam fungsinya, prajurit Kraton bukan lagi prajurit perang, tetapi lebih merupakan prajurit pasif (tidak berperang) yang aktivitasnya hanya sebagai obyek simbol politis dalam beberapa upacara seremonial, tugas pengawalan, dan penjagaan benteng Kraton.14 Hal ini terus berlangsung sampai masa pemerintahan sultan selanjutnya.

Pada masa pemerintahan GRM Dorojatun yang bergelar Sultan Hamengku

Buwana IX (1940-1988), perubahan dalam bidang keprajuritan kembali terjadi.

Sebelum dilantik, GRM Dorojatun sudah dihadapkan pada tiga pokok masalah yang menjadi kebuntuan dalam perundingan dengan Gubernur Jendral Belanda yang saat itu dijabat oleh Dr. Lucian Adam. Ketiga pokok permasalahan tersebut yaitu:

1. Jabatan Patih berdasarkan keinginan Belanda yaitu mengemban Dwi

Kesetiaan yang dalam tugasnya memiliki dua tanggung jawab yaitu,

kepada pihak Belanda dan Kesultanan Yogyakarta, yang digambarkan

dalam topi yang digunakan Patih. Dua lambang menjadi satu, yaitu

lambang Singa dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dan lambang

Lar Praba (sayap bersinar) milik Kasultanan. Hal ini tidak disepakati

oleh GRM Dorojatun karena alasan politis bahwa akan sangat sulit

mendapatkan loyalitas dari dua majikan dalam satu jabatan.

Dalamnya, ditambahkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII dan VIII, jumlah pasukan tinggal 12 bregada.

14 Alamsyah, op. cit., hal. 25. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 37

2. Dewan Penasihat menurut Belanda adalah sepenuhnya atas persetujuan

pihak Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jendral Belanda dan tidak

lagi mempunyai kebebasan bicara, walaupun pada prakteknya Sultan

diberi kebebasan untuk mengajukkan separuh dari jumlah anggota

dewan dari pihak Kasultanan Yogyakarta. GRM Dorojatun tidak

menyetujui kesepakatan ini karena monopoli Belanda terhadap

keputusan Dewan Penasihat mengakibatkan kebuntuan aspirasi rakyat.

3. Prajurit Kraton menurut keinginan Belanda adalah legiun di bawah

komand KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Legere/Tentara

Kerajaan Hindia Belanda) yang tidak dapat diperintah oleh Kasultanan

Yogyakarta, akan tetapi di lain sisi Kasultanan Yogyakarta

bertanggung jawab atas perekrutan dan gaji prajurit kraton. Dalam hal

ini GRM Dorojatun menyetujui asalkan langsung berada di bawah

komandonya.

Perundingan tersebut berjalan sangat alot dan berlangsung sekitar 4 bulan.

Kesepakatan atas ketiga permasalahan tersebut akhirnya tercapai dengan pertimbangan-pertimbangan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Untuk permasalahan Patih disepakati sesuai dengan permintaan pihak Pemerintah

Kolonial Hindia Belanda, akan tetapi dua permintaan lain yang berhubungan dengan Dewan Penasihat dan Prajurit Kraton Yogyakarta berhasil digagalkan. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 38

Kesepakatan ini secara resmi dicapai pada tanggal 18 Maret 1940 bersamaan dengan penobatan GRM Dorojatun sebagai Sultan ke IX.15

Dalam dua tahun masa kepemimpinanya, Jepang datang ke wilayah

Nusantara dan berhasil menaklukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Masa pendudukan Jepang ini berlangsung sekitar 3 tahun (1942-1945). Namun demikian dampak yang ditimbulkan sangat besar dan mencakup berbagai aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan sebagainya.

Dampak yang timbul di wilayah pemerintahan Kasultanan Yogyakarta sendiri juga tidak sedikit. Berbagai macam perubahan, efisiensi, dan penghematan dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengatasi bencana kekurangan pangan yang timbul pada masa pendudukan Jepang itu. Berbagai macam kebiasaan dan formalitas disederhanakan, salah satunya pelaksanaan upacara dan ritus yang mahal dan rumit tanpa mengurangi makna kultural, keagamaan dan nilai magisnya. Selain itu, fungsi patih juga dihapuskan dan prajurit Kraton dibubarkan sesuai dengan perjanjian dengan pihak Jepang yang tidak memperbolehkan adanya prajurit di dalam Kraton Kasultanan Yogyakarta.16 Pembubaran ini juga dilakukan Sultan Hamengku Buwana IX untuk menghindarkan keterlibatan para prajurit dalam Perang Asia Timur Raya.

Masa vakum dalam bidang keprajuritan terus berlangsung hingga masa kemerdekaan, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Namun kemudian pada tanggal

15 Alamsyah, op. cit, hal. 27-28

16 Ibid. hal. 28 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 39

7 Oktober 1956, prajurit Kraton kembali dimunculkan atas prakarsa Camat

Mantrijero dan KRT. Brajanegara serta disetujui oleh Sultan Hamengku Buwana

IX. Satu bregada atau kompi prajurit Daeng turut dalam acara karnaval untuk menyemarakkan HUT Kota Yogyakarta yang ke-200. Hal itu memicu munculnya gagasan akan revitalisasi. Selanjutnya, atas prakarsa kerabat Sultan (warga RK

Ngasem) dan seorang putera Hamengku Buwana IX yaitu BRM Harjuno Dalpito

(sekarang Sri Sultan Hamengku Buwana X), RM. Mudjanat Tistomo, serta RM.

Tirun Marwito, revitalisasi prajurit kraton diadakan.

Pada awal revitalisasi, prajurit Kraton hanya terdiri dari Kesatuan

Wirabraja, Daeng, Nyutra, dan Ketanggung. Namun demikian revitalisasi terus berlangsung hingga kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Jumlah total anggota prajurit pada tahun 1994 sekitar 700-an orang dengan perincian sebagai berikut: Prajurit Wirabraja 86 orang, Prajurit Daeng 85 orang, Prajurit

Patangpuluh 83 orang, Prajurit Jagakarya 85 orang, Prajurit Prawiratama 81 orang, Prajurit Nyutra 64 orang, Prajurit Ketanggung 83 orang, Prajurit gabungan

Mantrijero-Langenastra 83 orang, Prajurit Bugis 65 orang dan Prajurit Surakarsa

55 orang.17

Revitalisasi tersebut juga dilakukan untuk melengkapi fungsi berbagai upacara adat dan seremonial serta atraksi budaya bagi kepentingan pariwisata budaya. Prajurit Kraton dilibatkan dan berfungsi pada upacara Gerebeg Syawal

17 Alamsyah, op. cit, hal. 30. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 40

(Idul Fitri), Gerebeg Besar (Idul Adha), dan Gerebeg Mulud (Rabi'ulawal) serta acara-acara budaya lainnya.18

Saat ini, bregada atau kesatuan prajurit yang masih ada berjumlah sepuluh, antara lain prajurit Wirabraja, Jagakarya, Daeng, Patangputuh,

Prawiratama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis dan Surakarsa. Kesatuan prajurit tersebut berada di bawah Pengageng Tepas Keprajuritan.19 Saat Upacara

Gerebeg atau acara adat dan seremonial Kraton yang lain sedang berlangsung, bregada-bregada Prajurit ini selalu tampil dengan urutan dan formasi tertentu sesuai peran dan fungsi masing-masing. Sama halnya dengan kesatuan Prajurit

Prawiratama.

2. Prawiratama Sebagai Prajurit Kasultanan Yogyakarta

Secara etimologis, nama Prawiratama berasal dari kata “prawira” dan

“tama.” Kata “prawira” berasal dari bahasa Kawi yang berarti “berani,”

“perwira,” “prajurit,” sedangkan “tama” atau “utama” merupakan kata dari bahasa Sansekerta yang berarti “utama,” “lebih” dan dalam bahasa Kawi berarti

“ahli,” “pandai.” Jadi secara filosofis Prawiratama bermakna pasukan yang pemberani dan pandai dalam setiap tindakan, selalu bijak walau dalam suasana perang.20

Struktur prajuritnya terdiri atas 2 orang Panji, 2 orang Sersan, seorang pembwa panji-panji, serta prajurit yang membawa senapan serta tombak yang

18 Tim Penulis, op. cit, hal. 11

19 Ibid. hal. 14

20 Ibid. hal. 51. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 41

disebut dengan nama Kangjeng Kyai Trisula. Sedangkan istrumen yang dipergunakan terdiri atas Slompret, Tambur dan Seruling.21

Panji/benderanya berwarna dasar hitam dengan bulatan berwarna merah tepat di tengah. Bendera itu disebut Geniroga. Geniroga terdiri atas dua kata yaitu

“geni” yang berarti “api” dan “roga” yang merupakan kata dari bahasa

Sansekerta yang berarti “sakti.” Secara filosofis bermakna pasukan yang diharapkan dapat selalu mengalahkan musuh dengan mudah.22 Masing-masing bregada memiliki bendera sendiri dan seorang Kapten sebagai pemimpin, yang kekuasaannya di bawah komandan prajurit yang bertanggungjawab langsung kepada Sultan.23

3. Prawirataman Sebagai Kampung Pemukiman Prajurit Kasultanan

Yogyakarta

Pasca Perjanjian Giyanti, proses membuka hutan, pembangunan Kraton serta pembangunan fisik kota berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan. Sebagai kota kerajaan, Kraton dibangun dengan konsep tata ruang berdasarkan aspek kosmologis yang memadukan makrokosmos- mikrokosmos, dengan wujud tata ruang sumbu filosofis Kraton, yaitu Gunung

Merapi – Tugu – Kraton – Panggung Krapyak – Laut Selatan. Kemudian aspek ekologis yang diwujudkan dengan berbagai tanaman bernilai filosofis di sekitar

21 Ibid. hal. 33

22 Ibid, hal 51.

23 Sutrisno Kutoyo, dkk., op.cit, hal 171. Pada hari besar kraton (misalnya Grebeg, penobatan Sri Sultan) prajurit keluar dan sebelumnya diadakan persiapan selama 10 hari di Alun-alun Selatan. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 42

Kraton, di sepanjang garis atau sumbu filosofis Kraton. Terakhir adalah aspek konsentris yang dapat diketahui dari keberadaan tata letak wilayah maupun toponim yang mengacu, berorientasi dan memiliki koherensi dengan Kraton.24

Aspek strategis, dan keamanan juga tidak luput dari perhatian. Belajar dari pengalaman Kraton Surakarta yang dengan mudah dapat jatuh ke tangan musuh karena tidak memiliki benteng pertahanan, maka Pangeran Mangkubumi merancang pembangunan Kraton ini dengan seksama. Cepuri kedathon merupakan ring pertahanan utama. Kemudian sebagai ring pertahanan pertama dibangun benteng (baluwarti) beserta parit yang mengelilingi benteng tersebut.

Sungai Code dan Sungai Winongo menjadi pertahanan yang kedua. Ring pertahanan ketiga adalah Sungai Gajah Uwong dan Sungai Bedhog, sedangkan

Sungai Opak serta Sungai Progo merupakan ring pertahanan keempat.25

Sebagai strategi pertahanan yang lain juga dibangun sebuah taman rekreasi yang berada di tengah-tengah danau buatan juga dibangun. Pembangunan taman

24 Aditya Kusumawan, Dari Kampung Menjadi Kelurahan: Patehan 1940- an – 1970-an, Skripsi: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2009.

25 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, op. cit, hal 11. Sementara itu, Tim Penulis buku Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya, juga ditambahkan bahwa benteng Kraton tersebut dibangun pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I oleh Putra Mahkota (kelak naik tahta menjadi Hamengku Buwono II) pada tahun Jimakir, 1706 Jw. Benteng itu didirikan dengan candrasengkala "Rasa Sunyo Lenggahing Panunggal" atau tahun 1782 M dengan suryasengkala "Paningaling Kawicaksanan Salingga Bathara". Sebagai penanggungjawab kegiatan pembangunan benteng adalah patih putra mahkota, yaitu Tumenggung Wiraguna. Keberadaan benteng dalam strategi pertahanan merupakan salah satu fasilitas penting yang menyatu dengan tugas-tugas keprajuritan untuk perlindungan. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 43

yang dikenal dengan nama Tamansari tersebut dilengkapi dengan lorong-lorong bawah tanah yang merupakan jalan rahasia ketika Kraton tiba-tiba diserang musuh. Taman ini dilengkapi dengan pintu air yang dapat dibuka dan ditutup.

Di samping itu, struktur dan tata ruang Kraton yang sarat akan makna simbolis juga turut mewarnai perkembangan dan pertumbuhan pemukiman di

Yogyakarta. Berdasarkan kajian mengenai toponim atau nama tempat dan asal usulnya dapat diketahui bahwa pemukiman-pemukiman yang nantinya akan membentuk suatu perkampungan tersebut menunjukkan keberagaman kelompok- kelompok sosial masyarakat, jabatan dan kedudukan maupun profesi yang digeluti. Dari kajian tentang toponim tersebut juga kemudian dapat diketahui nama-nama kampung yang memiliki keterkaitan erat dengan Kraton.

Prawirataman menjadi salah satu dari sekian banyak kampung yang memiliki keterkaitan dengan Kraton meskipun letaknya berada di luar benteng istana (Jaba/Jaban Benteng).26 Secara historis, kampung ini merupakan salah satu

26 Djoko Suryo, op. cit., hal. 35-36. Istana atau Kraton yang terletak di pusat kota dikelilingi oleh bangunan benteng dan wilayah yang ada di dalamnya dikenal sebagai daerah “Jero/Jeron Benteng” atau “Dalam Benteng.” Daerah ini terdiri atas Alun-alun Utara, Tratag, Pagelaran, Sitihinggil, Prabayaksa, Keraton Kilen, tempat tinggal raja, dan Alun-alun Kidul. Selain keluarga kerajaan serta kerabatnya, juga terdapat sejumlah kampung tempat tinggal para abdi dalem yang bertugas melayani kebutuhan sehari-hari kraton, misalnya Kampung Kemitbumen merupakan tempat tinggal abdi dalem kemit bumi yang bertugas membersihkan kraton, Kampung Patehan, menjadi tempat tingal abdi dalem yang bertugas menyiapkan minuman di kraton, dll. Sedangkan kampung yang tumbuh di daerah luar benteng (Jaba/Jaban Benteng) kebanyakan merupakan tempat tinggal hamba istana lainnya, kelompok profesional seperti petugas dalam bidang administrasi pemerintahan, prajurit, tukang, pengrajin, serta kaum bangsawan. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut; Kampung Pajeksan merupakan tempat tinggal PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 44

pemukiman anggota prajurit Kraton Yogyakarta yang bernama Prawiratama. Pada awalnya Sri Sultan memang menghendaki agar para prajurit dapat bertempat tinggal di dalam benteng istana, namun karena wilayah serta situasi pada saat itu dipandang kurang memadai, maka hanya mereka yang dianggap sangat penting saja yang tinggal di dalam benteng.27

Penempatan pemukiman prajurit di luar benteng istana itu terjadi bukan tanpa sebab dan latar belakang. Setelah serbuan besar-besaran yang dilakukan oleh Inggris pada tahun 1812, tata ruang Kraton juga mengalami perombakan.

Penataan pemukiman di dalam benteng pertahanan dibenahi. Kedudukan strategis

Kesatuan Prajurit di dalam benteng mulai dipindah. Hal ini dilakukan untuk melindungi intervensi dan kepentingan pihak Inggris dan menghindarkannya dari kemungkinan pemberontakan. Selanjutnya, pemukiman kesatuan prajurit dipindah keluar benteng atau berada di sekeliling benteng.

Sebagaimana terpapar dalam Serat Rerenggan, Sinom, Pupuh XXIV disebutkan sebagai berikut:

"Ya ta ingkang winurcita, karsa dalem Sri Bupati, kang jumeneng ping sekawan, byantu lan pamrentah nagri, ing mangke ngewahi, pemahan jron beteng agung, prajurit wismanira, gelondhong dadya satunggil, mantrijero, ketanggung, nyutra disuda". "Pra prajurit wismanira, tancep lama kanan kering, sakilen sawetan pura, samangke dadya sawiji, reh niyaka jro jawi, byantu ngusung griyanipun, weneh ngulon mangetan, ler ngidul pundi den broki, pan gumerah swaranya wong ngusung griya." para jaksa, Kampung Dagen adalah tempat kediaman petugas tukang kayu, Kampung Wirabrajan, Patangpuluhan, Daengan, Jogokaryan, Ketanggungan, Bugisan, Nyutran, Mantrijeron, Surakarsan serta Prawirataman merupakan tempat tinggal para anggota prajurit kraton.

27 Aditya Kusumawan, op. cit., hal 20. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 45

(Sebagaimana dikisahkan, atas kehendak Sri Bupati yang keempat (Sultan Hamengku Buwono IV), dibantu penguasa negeri, terjadi perubahan penting menyangkut prajurit yang bermukim di dalam benteng rumahnya dipindah jadi satu di luar benteng, jumlah Prajurit Mantrijero, Ketanggung, Nyutra dikurangi. Terjadi gerakan pemindahan rumah para prajurit dari dalam benteng menuju ke segala arah di luar benteng. Ramai sekali suara orang memindahkan rumah-rumah prajurit ini. Beberapa kesatuan prajurit bersama perumahan mereka dipindahkan ke bagian sisi sebelah barat, selatan, dan timur benteng Kraton. Kesatuan prajurit yang ditempatkan di sisi sebelah barat benteng Kraton dari arah paling utara ke selatan adalah Prajurit Wirabraja, Ketanggung, Patang Puluh, Bugis, dan Suranggama. Kesatuan Prajurit yang ditempatkan di sisi sebelah selatan benteng Kraton dari arah barat ke timur adalah Prajurit Dhaeng, Jagakarya, Mantrijero, Prawiratama, dan kesatuan Prajurit yang ditempatkan di sisi sebelah timur benteng dari arah utara ke selatan adalah Prajurit Surakarsa dan Nyutra.”)28

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa alasan pemberian tanah lungguh atau apanage bagi para prajurit Kraton yang juga merupakan abdi dalem tersebut, bukan hanya sebagai upah atau gaji semata. Pemindahan kampung prajurit di luar istana dengan penempatan di berbagai arah yang berbeda, dapat dilihat sebagai suatu bentuk pertahanan kerajaan dari serangan musuh. Namun demikian, pemindahan tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan unsur-unsur politis. Dalam artian bahwa di dalam konsep dan struktur kebudayaan

Jawa yang menempatkan Kota Istana Kerajaan sebagai pusat politik pemerintahan dengan raja sebagai penguasa tertinggi, ternyata juga mengalami berbagai bentuk intervensi, pengaruh, tekanan dan campur tangan kekuatan asing, baik dari

Inggris, Pemerintah Kolonial Belanda ataupun Jepang sekalipun, dan pengaruh tersebut memberikan dampak yang tidak sedikit bagi perkembangan kota istana tersebut.

28 Tim Penulis, op.cit. hal. 10-11 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 46

Di samping itu, asal usul munculnya Kampung Prawirataman juga ikut terkuak. Berdasarkan keputusan dan perintah raja, Kesatuan Prajurit Prawiratama ditempatkan di selatan benteng Kraton. Sebagaimana tetap diakui oleh masyarakat di daerah tersebut bahwa asal muasal tanah yang mereka tinggali merupakan pemberian raja kepada nenek moyang mereka yang bekerja sebagai prajurit

Kraton. Kemudian daerah yang ditinggali oleh Kesatuan Prajurit Prawiratama tersebut kemudian diberi nama berdasarkan nama kesatuan mereka. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Prajurit Prawiratama menempati suatu kampung yang bernama Prawirataman.29

Hal dan ketentuan yang sama juga berlaku untuk Kesatuan-kesatuan prajurit

Kraton yang lainnya seperti misalnya, Kesatuan Prajurit Wirabraja kemudian menempati kampung yang disebut sebagai Wirabrajan, Kesatuan Prajurit

Ketanggung bertempat di kampung yang disebut Ketanggungan, kemudian

Kesatuan Prajurit Bugis tinggal di Kampung Bugisan, dan seterusnya.

29 Chiyo Inui Kawamura, Peralihan Usaha dan Perubahan Sosial di Prawirotaman, Yogyakarta 1950 - 1900-an, Tesis: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2004. Hal: 34. Disebutkan bahwa terdapat dua pembahasan yang berbeda mengenai nama daerah Prawirataman ini. Pembahasan pertama menyebutkan bahwa nama Prawirataman terdiri dari dua unsur kata, yaitu Prawira dan Utama yang merupakan nama bregada prajurit Kraton Yogyakarta, dan ditambahkan akhiran “-an” yang dalam bahasa Jawa bermakna daerah. Pembahasan kedua mengungkapkan bahwa nama Prawirataman berasal dari kata Prawira dan Taman. Prawira berarti prajurit Kraton, sedangkan kata Taman berarti tempat. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB III KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT YANG MENEKUNI DUNIA BATIK

Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang adiluhung atau bernilai tinggi.1 Terdapat banyak perdebatan di kalangan para ilmuwan mengenai asal usul batik ini. Beberapa dari mereka berpendapat bahwa seni batik berasal dari India atau Srilanka, namun demikian seorang arkeolog Belanda, J.L.A

Brandes membantah pendapat tersebut. Brandes mengatakan bahwa batik sudah dikenal sejak jaman prasejarah, dan bahkan menjadi salah satu kemampuan asli

Indonesia sebelum masuknya budaya asing.2

Sejarah batik di Yogyakarta sendiri sudah dikenal sejak kerajaan Mataram, dan desa Plered merupakan daerah pembatikan pertama.3 Saat itu, kegiatan dan ketrampilan membatik terbatas dalam lingkungan keluarga Kraton yang

1 Ila Keller, Batik: The Art and Craft Japan: Charles E. Tuttle Company Co., Inc. 1966. Hal.14. Kata Batik berasal dari kata ambatik, yang artinya kain dari bintik atau titik-titik kecil. Kata tik-nya sendiri menyerupai kata tritik atau taritik dalam bahasa Jawa.

2 Hafda Zuraida, “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935 – 1942”, Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta. 2010. Hal. 1.

3 Siska Narulita, “Sejarah Koperasi Batik PPBI Yogyakarta 1950 – 1980”, Skripsi: Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 2004. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 48

dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Kegiatan membatik ini juga banyak dilakukan oleh putri-putri Kraton sebagai kegiatan yang membutuhkan konsentrasi, kesabaran dan pembersihan pikiran melalui doa-doa. Putri Kraton tersebut melakukan pekerjaan membatik dengan cara menutup permukaan kain dengan lilin, sedang proses pewarnaan dan finishing dilakukan oleh abdi dalem.4

Keterampilan membatik tersebut, lambat laun meluas ke kerabat istana yang lain. Pengetahuan dan ketrampilan abdi dalem istana juga tidak lagi hanya sebatas pada proses pewarnaan semata. Istri para abdi dalem yang tinggal di sekitar kerajaan, tentara kerajaan, juga mulai mengenal ketrampilan membatik.

Kemudian saat keluarga kerajaan sedang menghadiri upacara-upacara resmi kerajaan, kain batik sering kali dipergunakan. Rakyat yang berkesempatan

4 Chusnul Hayati, Gender dan Perubahan Ekonomi: Peranan Perempuan Dalam Industri Batik di Yogyakarta 1900-1965, Pdf file: http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/chusnul_hayati.htm. Diakases pada 10 Oktober 2011. Menurut sejarahnya, batik merupakan barang seni yang memiliki nilai-nilai kultural yang unik. Di Jawa ada beberapa motif batik yang berhubungan dengan pemakai dan pengaruh lingkngan sosial budaya yaitu Batik Kraton, batik Sudagaran, Batik Petani, Batik Belanda, dan Batik Cina. Batik Kraton berasal dari kerajaan-kerajaan di Jawa yang berakar dari Kerajaan Mataram dan telah berkembang sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma pada awal abad ke-17. Batik Kraton secara eksklusif digunakan untuk keluarga kerajaan dan berkembang di Kesunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunegara, Pura Pakulaman, Kraton Cirebon, dan Kraton Sumenep. Di tiap kerajaaan tersebut masing-masing batik mempunyai ciri khas tersendiri. Batik sudagaran adalah batik untuk kaum pedagang yang mendapat pengaruh dari cita rasa masyarakat pedagang. Sementara itu batik pertani merupakan hasil adaptasi dari desain tradisional yang dipadu dengan lingkungan desa. Batik Belanda baik pola maupun warna mendapat pengaruh kuat dari bangsa Belanda dengan ciri khas buket, sedang batik Cina merupakan refleksi dari pengaruh budaya Cina. Batik kemudian berkembang secara luas dan digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 49

mengunjungi upacara dan perayaan-perayaan tersebut mulai tertarik, dan kegiatan ini mulai dikenal luas oleh kalangan di luar istana.5

Batik yang awalnya dikerjakan dan dikenakan keluarga Kraton dan bangsawan kemudian berkembang menjadi industri rumah tangga yang banyak dikelola baik oleh kerabat kerajaan ataupun abdi dalem. Namun demikian industri kerajinan rumah tangga itu tidak serta merta berjalan dengan lancar dan mulus.

Situasi politik dan perekonomian yang terjadi pada saat itu memiliki andil besar dalam perjalanan perkembangan batik ini. Terlebih lagi saat kekuatan asing mulai menunjukkan campur tangan serta monopoli mereka di dalam kerajaan. Kekangan dan belenggu penjajahan yang berdampak buruk bagi kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat juga dirasakan oleh para pejabat dan abdi dalem

Kraton. Sumber penghasilan yang lain harus diciptakan agar dapat mencukupi ekonomi keluarga. Dari situlah kemudian para istri abdi dalem semakin giat menekuni ketrampilan membatik dan membatu mencukupi kebutuhan keluarga.

Lambat laun kegiatan membatik tersebut menjadi semakin berkembang dan perkampungan di Kota Yogyakarta yang mengembangkan usaha batik, seperti

Prawirataman, Karangkajen, Kotagede, Kauman, dan lain sebagainya berubah menjadi sentra industri batik. Bahkan kemudian daerah-daerah pedesaan seperti di

Bantul dan Kulon Progo juga mulai menekuni ketrampilan membatik sebagai

5 Siska Narulita, op. cit. hal. 3. Pada abad ke-18 persebaran batik ini meluas sampai ke daerah-daerah yang lain, sebagai akibat dari pernikahan ataupun peperangan antar kerajaan serta serangan Belanda yang mengharuskan keluarga- keluarga raja mengungsi dan menetap di daerah baru, seperti Banyumas, Pekalongan, Tulungagung, dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, daerah-daerah tersebut kemudian juga menjadi sentra-sentra industri batik. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 50

sumber penghasilan tambahan. Di samping itu, kain batik yang dihasilkan bukan hanya untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan Kraton semata, tetapi menjadi komoditi dagang yang pasarannya meluas ke berbagai daerah.

Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan batik sebagai komoditi dagang di wilayah Yogyakarta, dimulai dari kampung- kampung para abdi dalem Kraton atau orang-orang yang pekerjaannya berhubungan erat dengan Kasultanan Yogyakarta. Pembuatan batik tersebut pada awalnya dilakukan sebagai pekerjaan sambilan untuk menambah penghasilan, di samping pekerjaan utama mereka sebagai abdi dalem Kraton. Lambat laun pekerjaan sambilan tersebut merambat menjadi sumber penghasilan utama sehingga banyak pengusaha batik yang bermunculan.

A. Daerah Prawirataman dan Perkenalan dengan Dunia Batik

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa kegiatan membatik pada awalnya dikerjakan terbatas pada lingkungan istana, kemudian usaha batik tersebut menyebar ke luar istana dengan dipelopori oleh orang-orang yang pekerjaannya masih berhubungan dengan Kraton. Demikian halnya dengan daerah Prawirataman, perkenalan dengan dunia batik di kampung Prawirataman juga terkait erat dengan usaha-usaha istri abdi dalem prajurit Kraton yang tinggal dan menempati kawasan tersebut.6

6 Wawancara dengan Ibu Sri Fitriyati, 52 tahun, tanggal 11 Maret 2013. Di Prawirataman. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 51

Sehubungan dengan perkembangan batik di daerah Prawirataman tersebut,

Chiyo Inui Kawamura mengungkapkan bahwa salah satu faktor pendorong usaha dan perkembangan industri batik di Prawirataman tidak dapat dilepaskan dari peran kelompok kekerabatan yang tergabung dalam trah keluarga. Trah keluarga tersebut merupakan pemilik tanah besar di daerah Prawirataman. Lima trah keluarga tersebut adalah Suraprawira, Werdajaprawira, Mangunprawira,

Pideksaprawira dan Gandaprawira.7

Ki Ng. Suraprawira yang ayahnya merupakan anak dari seorang pembuat cap batik yang berasal dari daerah Pleret dan kemudian membuat batik di daerah

Karangkajen, merupakan pelopor usaha batik di daerah Prawirataman. Tidak jauh dari tempat tinggalnya, merupakan kediaman adiknya yang bernama Ki

Werdajaprawira dan pamannya Ki Mangunprawira, yang juga mengembangkan usaha batik. Ketiga orang tersebut juga tergabung dalam kesatuan Prajurit

Prawiratama dan bekerja untuk Kraton. Selain ketiga orang tersebut, anggota keluarga lain yang juga ikut mengembangkan usaha batik adalah Nyi

Pideksaprawira. Nyi Pideksaprawira merupakan sepupu dari Ki Ng. Suraprawira.

Dan selanjutnya, Nyi Hendrawerdaja yang merupakan anak dari Ki

Werdajaprawira, dan merupakan cikal bakal trah Gandaprawira ikut

7Chiyo Inui Kawamura, op. cit. hal. 35. Trah Gandaprawira merupakan cabang keluarga/branch family keluarga trah Werdajaprawira. Selain kelima trah besar tersebut, terdapat pula beberapa trah lain pada sosial masyarakat Prawirataman, yaitu trah Atmohantolo, Muchtarom, dan Sukartono (Mertaprawira). PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 52

mengembangkan usaha batik di ujung barat jalan yang pada masa kini dikenal sebagai Jalan Prawirataman.8

Ki Ng. Suraprawira menikah dengan anak pertama dari Mas Ng. Lurah

Natadinama yang tinggal di daerah Kumendaman. Dari pernikahan ini lahir sebelas anak, namun empat diantaranya meninggal dunia. Ketujuh anak Ki Ng.

Suraprawira ini kemudian mengikuti jejak orang tuanya sebagai pengusaha batik.

Usaha batik yang mereka kembangkan tersebut terus berlangsung ke generasi berikutnya meskipun tidak semua keturunan dari Ki Suraprawira itu tinggal di daerah Prawirataman.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperluas jaringan usaha batik ini adalah dengan ikatan perkawinan. Pada saat itu, ikatan perkawinan yang terjadi di kalangan pengusaha batik merupakan suatu jaminan untuk mempertahankan status sosial dan kekayaan, menjaga kemajuan usaha, serta memperluas perkembangan usaha batiknya. Oleh karena itu, ikatan perkawinan terjadi tidak hanya antar anggota kekerabatan trah-trah yang berasal dari Prawirataman saja, akan tetapi juga dari kalangan pengusaha batik yang berada di daerah yang lain.

Jadi, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa semakin luas ikatan perkawinan dan pertalian darah yang terjadi sama artinya dengan semakin berkembangnya usaha batik mereka.9

8 Ibid., hal. 40 - 41

9 Ibid., hal 43. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 53

B. Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman Tahun 1920-an

Kegiatan membatik mengalami perkembangan yang sangat pesat pada awal abad ke-20. Teknik baru pada proses pembuatan batik yang mulai dikenal pada kisaran tahun 1910 menjadi salah satu pemicu perkembangan ini. Tidak lama setelah munculnya teknik cap ini, kain mori batik yang hasil produksi dari Inggris dan Belanda, serta zat-zat pewarna kimia yang diimpor dari Inggris dan Jerman mulai banyak beredar.10 Kemajuan ini menjadi memberikan dampak yang besar bagi pengusaha batik. Batik tulis yang dalam pembuatannya memakan waktu yang lama, dapat dipersingkat dengan teknik cap ini, selain itu produksinya juga dapat ditingkatkan secara massal. Produksi massal ini juga berakibat pada penurunan biaya produksi yang artinya harga pasaran batik juga ikut turun, sehingga permintaan batik di pasaran menjadi semakin meningkat.

Itu berarti bahwa batik yang mulai dikenal luas oleh masyarakat kemudian menjadi semacam komoditi massal. Tingginya permintaan pasar memunculkan kelompok masyarakat baru yang disebut sebagai pengusaha atau juragan-juragan batik. Di samping itu, kebutuhan tenaga kerja yang semakin banyak, berdampak pada perluasan lapangan pekerjaan. Selain mempekerjakan perajin atau buruh

10 Siska Narulita. op. cit, hal. 21-22. Pada awalnya pengusaha batik di Yogyakarta menggunakan zat pewarna lokal yang berasal dari nila, tinggi dan soga. Kain putihnya juga merupakan hasil tenunan sendiri. Obat pewarna yang dikenalkan dari luar negeri adalah indigo dan ergansoga. Obat-obat kimiawi dari luar negeri tersebut lebih mudah dan cepat meresap ke dalam kain sehingga lebih banyak dipilih dan dipergunakan oleh kalangan pengusaha batik di Yogyakarta. Akibatnya, obat dan zat pewarna lokal sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 54

batik, para juragan tersebut juga memborongkan sebagian dari proses pembuatan batiknya kepada penduduk sekitar, bahkan sampai ke pelosok desa. Para juragan tersebut yang bertanggung jawab dalam mengatur pembagian kerja, menetapkan upah serta mengatur penjualan hasil penduduk desa yang mengerjakan batik.11

Lambat laun industri rumah tangga ini menjadi semakin besar. Sehingga terdapat banyak daerah di kota Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi sentra industri batik. Berdasarkan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa pada tahun 1920-an merupakan masa-masa gemilang bagi industri batik di Yogyakarta.

Adapun gambaran tentang jumlah perusahaan dan pekerja batik pada tahun 1920- an tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Jumlah Perusahaan Dan Pekerja Batik Di Wilayah Yogyakarta Pada Tahun 1920 - 1924 Tahun Jumlah Perusahaan Jumlah Pekerja 1920 212 3.428 1921 207 2.289 1922 166 1.539 1923 129 979 1924 147 1.634 Sumber: Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880 – 1930: Sejarah Perkembangan Sosial, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000. Hal. 39.

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dari tahun pertama ke tahun-tahun berikutnya, terjadi penurunan jumlah perusahaan yang tentu saja juga berdampak pada turunnya jumlah perekrutan tenaga kerja. Namun pada tahun

1924 jumlah perusahaan dan tenaga kerjanya kembali mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Keadaan itu juga dipengaruhi

11 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880 – 1930: Sejarah Perkembangan Sosial, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000. Hal. 38. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 55

berbagai faktor, seperti kondisi fluktuatif harga dan situasi pasar perdagangan bahan baku saat itu. Kemunduran batik tulis tradisional, dan berkembang pesatnya teknik batik cap, secara tidak langsung memberi pengaruh pada ketergantungan para pengusaha batik pada bahan baku impor.

Di samping itu juga karena kebijakan dan anjuran Pemerintah Kolonial

Belanda untuk menggunakan kain mori sebagai upaya meningkatkan kualitas batik. Kebijakan itu diwujudkan dengan mendirikan Cambric and Grey

Covenants, yaitu semacam sistem impor oligopoli untuk kain mori dan obat pewarna batik, dengan sistem penyalurannya mempergunakan para pedagang Cina dan Arab.12 Dengan kata lain, pengusaha batik harus membeli segala kebutuhannya dari para pengecer Cina setempat yang merupakan distributor tunggal perusahaan-perusahan Belanda. Sistem pengaturan ini membuat pengusaha batik menjadi sangat tergantung pada pedagang Cina dan Arab yang telah ditunjuk sebagai perantara. Hal ini sangat merugikan pengusaha batik karena pedagang perantara tersebut banyak melakukan permainan harga.

Monopoli dan permainan harga yang dilakukan oleh pedagang Cina dan

Arab atas bahan baku pembuatan batik, lemahnya permodalan, serta pengetahuan akan perdagangan dari para pengusaha batik yang bisa dibilang masih tertinggal dibandingkan dengan pedagang Cina ataupun Arab, membuat para pengusaha batik itu terlilit hutang. Kemudian karena hutang yang semakin menumpuk, pengusaha batik yang pada awalnya merupakan produsen, jatuh dan menjadi

12 Siska Narulita, op. cit, hal. 26 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 56

buruh batik atau pengorganisir tenaga buruh batik, bahkan tidak sedikit yang akhirnya menjadi bangkrut dan menghentikan kegiatan usahanya.

Pada tahun 1927, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Pusat

Penelitian Batik di Yogyakarta. Badan ini melakukan penelitian mengenai proses produksi batik dengan tujuan untuk meningkatkan mutu dan kualitas batik, sehingga kemudian mampu bersaing dan memperluas pasaran batik baik di dalam ataupun di luar negeri. Selain itu, fasilitas kredit juga diberikan oleh Pemerintah

Kolonial Belanda kepada para pengusaha batik.13

Pada tahun yang sama, 1927, P. de Kat Angelino melakukan penelitian dengan menghitung kembali jumlah perusahaan batik di kota Yogyakarta dan desa-desa terdekat dan di Kota Gede. Berdasarkan penelitian tersebut, tercatat ada

169 perusahaan, yang 20 diantaranya merupakan tempat kerja milik orang Cina.14

Rincian dari pencatatan tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Jumlah Perusahaan Batik Di Yogyakarta dan Sekitarnya Tahun 1927 Nama Kampung Jumlah Perusahaan Kauman 26 Prawirataman 10 Karangkajen 14 Brantakusuman 5 Mantrijeron 11 Tugu 32 Tempat lain di kota 57 Kota Gede (Yogyakarta) 11 Kota Gede (Sala) 3 Jumlah 169 Sumber: Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880 – 1930: Sejarah Perkembangan Sosial, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000. Hal. 39.

13 Ibid.

14 Abdurrachman Surjomihardjo, loc. cit, hal. 39 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 57

Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa Kampung

Prawirataman sendiri telah menjadi salah satu sentra industri batik pada tahun

1927, dan sudah terdapat 10 perusahaan batik di daerah tersebut. Hasil laporan tersebut menjadi semacam bukti bahwa kegiatan usaha batik yang pada awalnya dipelopori oleh kelompok kekerabatan, dan dikerjakan sebagai pekerjaan sambilan bagi para abdi dalem, telah berkembang menjadi industri yang juga mampu memberikan penghasilan bagi para masyarakat sekitarnya.

Namun demikian, maraknya impor bahan baku pembuatan batik yang dilakukan oleh pengusaha batik, secara tidak langsung meletakkan keberadaan industri batik di Yogyakarta pada titik ketergantungan pada situasi perekonomian dunia. Dalam artian bahwa ketika terjadi suatu kegoncangan dan perubahan situasi di luar negeri, juga akan turut memberikan dampak pada keberlangsungan industri batik di dalam negeri. Jadi ketika terjadi krisis ekonomi dunia pada sekitar tahun 1930, impor bahan-bahan baku pembuatan batik menjadi turun drastis sehingga banyak pengusaha batik yang terpaksa gulung tikar dan menghentikan kegiatan usahanya.

Sebagaimana hasil penelitian P. de Kat Angelino tentang industri batik di wilayah Indonesia. P. de Kat Angelino mengindikasikan bahwa hal yang menjadi faktor penyebab bangkrutnya perusahaan batik di wilayah Indonesia pada umumnya adalah ketidakmampuan para pengusaha batik membayar hutang kepada pedagang-pedagang Cina dan Arab yang ditunjuk oleh Pemerintah

Kolonial Belanda sebagai pedagang perantara. Meskipun demikian, masih ada beberapa pengusaha batik di Yogyakarta yang tetap dapat bertahan dan menjadi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 58

pedagang “tangan pertama” dalam penjualan kain-kain batik karena memiliki ketersediaan modal yang kuat.15

C. Pasca Depresi Ekonomi, Proklamasi dan Awal Kebangkitan Kembali Usaha Batik

Depresi ekonomi yang melanda dunia turut berimbas besar pada industri batik di Yogyakarta. Pasca krisis tersebut, Jepang mulai memasukkan produk morinya ke pasaran Indonesia melalui sistem dumping.16 Akibatnya, Pemerintah

Kolonial Belanda mengalami kesulitan dalam membendung pesatnya produk

Jepang tersebut, sehingga kemudian pada tanggal 1 Maret 1934, Pemerintah

Kolonial Belanda mulai memberlakukan Undang-undang Contingenteering yang membatasi masuknya mori impor dari Jepang. Harga kain mori melambung sangat tinggi sehingga bahan-bahan baku pembuatan batik menjadi sulit didapatkan. Keadaan ini semakin memperburuk kondisi industri batik di

Yogyakarta.17

15 Siska Narulita, op. cit, hal. 27

16 Sistem dumping merupakan suatu strategi pemasaran dimana suatu negara eksportir menjual barangnya lebih murah daripada di dalam negeri bahkan lebih murah daripada biaya produksinya sendiri. Hal ini dilakukan untuk memenuhi target pemasaran, atau untuk menguasai pangsa pasar atau kawasan tertentu di luar negeri. Sistem ini diciptakan untuk menciptakan ketergantunan akan suatu produk, sehingga kemudian ketika suatu negara sudah sangat tergantung pada produk tersebut, maka negara produsen akan mulai melakukan berbagai trik politik yang pada akhirnya menguntungkan negaranya. Jepang merupakan salah satu pencetus politik dumping ini, dan politik dumping tersebut merupakan salah satu bagian dari politik penjajahan Jepang di Asia.

17 Ibid., hal. 29 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 59

Diberlakukannya peraturan dalam Undang-undang Contingenteering tersebut tidak disambut secara antusias oleh para pengusaha batik di Yogyakarta.

Para pengusaha batik tersebut merasa bahwa mereka lah yang terancam mengalami kerugian sangat besar akibat perubahan kualitas kain yang digunakan.

Oleh karena itu, aksi protes mulai dilancarkan. Pertemuan demi pertemuan diadakan baik dari delegasi Jepang, Pemerintah Kolonial Belanda dan perwakilan dari pengusaha batik. Sebagai jawabannya, didirikanlah suatu organisasai sebagai wadah dan alat perjuangan yang dinamakan “Persatuan Perusahaan Batik Bumi

Putera (PPBBP).”18 Pada mulanya jumlah anggota koperasi batik PPBBP terdiri dari 74 pengusaha batik, dan seiring berjalannya waktu anggotanya mulai betambah banyak dan diikuti dengan pendirian koperasi sejenis di berbagai daerah yang lain, seperti Solo, Cirebon, dll.

Tujuan didirikannya batik PPBBP antara lain adalah untuk mendapatkan bahan baku batik, baik kain mori ataupun bahan pewarna batik tanpa melalui perantara, mendirikan badan kredit untuk menolong dan melindungi anggotanya dari jeratan lintah darat, serta untuk mencari pemasaran batik dan penjualan bersama. Namun demikian, kendala yang ditemui koperasi batik PPBBP dalam praktek dan pelaksanaannya masih banyak, salah satunya dalam hal harga,

18 Ibid. hal. 32. Organisasi Persatuan Perusahaan Batik Bumi Putera tersebut berjiwa koperasi dan didasarkan pada Undang-undang No. 91/1927 yaitu Reglement Voor de Oprichting Van Inlandse Cooperative (Peraturan Pendirian Perkumpulan Koperasi Bumiputera). Pelopor berdirinya koperasi PPBBP ini antara lain, M. Djajengkarso, H. Bilal, M. Mangunprawira, Zarkasi, H. Abubakar, Saebani, Ronosentiko, ramelan, H. Muchadi, H. Romowiruno dan M. Ng. Suraprawira. M. Djajengkarso dan M. Mangunprawira kemudian diangkat sebagai Ketua I dan II. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 60

pedagang Cina menjual bahan baku batik dengan lebih murah daripada koperasi.

Kemudian keharusan membeli secara kontan di koperasi, padahal selama ini para pengusaha batik tersebut melakukan pembelian secara kredit melalui pedagang

Cina. Sehingga pembelian melalui pedagang Cina masih lebih disukai, dan hal ini berdampak pada kurang lancarnya pertumbuhan koperasi batik PPBBP itu.19

Meskipun demikian, koperasi batik PPBBP ini masih tetap bertahan.

Pada waktu pemerintah militer Jepang masuk dan menduduki wilayah

Jawa pada tahun 1942, perkembangan koperasi batik PPBBP ini semakin memburuk dan mengalami berbagai kemunduran karena Jepang membekukan seluruh kegiatan koperasi, dan menganjurkan jenis koperasi yang baru yang disebut Kumiai. Namun sayangnya koperasi ini hanya merupakan alat bagi pemerintah militer Jepang untuk mengumpulkan hasil-hasil produksi rakyat bagi pemenuhan kebutuhan logistik mereka.20

Kekurangan bahan baku batik juga berlangsung selama masa perjuangan dan revolusi. Berbagai usaha dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan usaha batik. Salah satunya dengan menyembunyikan kain batik setengah jadi.

Selain itu, ada pula penjual batik yang menjual kain batik bekas yang dibatik ulang dan dikenal dengan sebutan batik lawasan/sengguhan.21

19 Ibid., hal 34 - 36

20 Ibid., hal. 37.

21 Chiyo Inui Kawamura, op. Cit. Hal. 49 - 50. Sebutan itu berasal dari kata sengguh dan maksudnya batik yang disengguhke dalam Bahasa Jawa. Artinya sama dengan batik yang dianyarke yang dalam Bahasa Jawa bermakna diperbaharui. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 61

Kemudian setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia perubahan kembali terjadi. Proklamasi Kemerdekaan tersebut secara politis membawa banyak dampak positif dalam berbagai bidang, termasuk dalam sektor ekonomi dan perkembangan industri batik. Pemerintah berupaya untuk menciptakan sistem perekonomian yang dimaksudkan untuk menumbuhkan nasionalisme ekonomi.

Sehingga kebijakan yang kemudian muncul lebih mengarah kepada pembangunan perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia.

Selain itu, pemerintah juga turut memberikan dukungan dalam perkembangan usaha perkoperasian. Namun demikian agresi militer yang dilancarkan Pemerintah Kolonial Belanda menyulitkan perkembangan gerakan koperasi tersebut. Terlebih lagi dengan dilakukannya blokade ekonomi oleh

Pemerintah Kolonial Belanda, kesulitan untuk mendapatkan bahan baku pembuatan batik menjadi semakin meningkat. Melihat situasi yang demikian, semangat dan antusiasme berkoperasi muncul kembali. Koperasi-koperasi kemudian mengambil peran sebagai distributor barang-barang kebutuhan rakyat, termasuk koperasi batik PPBBP yang ikut berjuang untuk mendatangkan kain mori dari luar negeri.

Besarnya antusiasme dan semangat perjuangan koperasi batik PPBBP itu juga diikuti dengan perubahan namanya karena nama Bumi Putera tidak sesuai lagi dengan semangat dan jiwa nasionalisme Indonesia yang sedang berkobar pada saat itu. Sebagai gantinya kemudian didirikan Persatuan Pengusaha batik

Indonesia atau PPBI.22

22 Ibid., hal. 39 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 62

Perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh PPBI di kemudian hari, memberikan andil besar terhadap berdirinya sebuah organisasi gabungan yang bersifat nasional. Tujuannya adalah sebagai wadah untuk mengorganisasi koperasi-koperasi batik di seluruh wilayah Indonesia yang telah berdiri pada tahun-tahun sebelumnya. Organisasi tersebut diberi nama Gabungan Koperasi

Batik Indonesia (GKBI) dan didirikan pada tanggal 18 September 1948 bertempat di kantor Kementrian Kemakmuran, Jalan Malioboro no. 85 Yogyakarta.23 Sejalan dengan pemindahan kembali ibu kota RI dari Yogyakarta ke Jakarta, kantor pusat

GKBI juga ikut dipindahkan ke Jakarta. Dengan berdirinya GKBI tersebut, seluruh koperasi batik yang berada pada tingkat lokal menjadi berstatus koperasi batik primer yang digabungkan pada GKBI. Organisasi ini juga yang kemudian akan menjadi wadah dan basis bagi kejayaan industri batik pada masa-masa berikutnya.24

D. Perkembangan Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman Tahun 1950-an

Pasca kemerdekaan RI, pemerintah mencoba menumbuhkan semangat nasionalisme dalam berbagai bidang. Salah satu kebijakan utama yang dibuat pada saat itu dikenal dengan istilah “Indonesianisasi” yang tujuan pentingnya adalah untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia, dari sistem ekonomi kolonial ke sistem ekonomi nasional. Pelaksanaan perubahan sistem ekonomi tersebut

23 Ibid., hal. 40 – 42.

24 Chiyo Inui Kawamura, op. cit, hal. 51. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 63

dilakukan dengan jalan membantu dan membina para pengusaha dalam negeri.

Salah satu yang termasuk di dalamnya adalah perlindungan terhadap usaha batik tradisional.

Dalam pelaksanaan “Indonesianisasi” terutama yang bertalian dengan masalah batik, pada tahun 1951, pemerintah membuat kebijakan yang membebaskan para pengusaha batik dari pajak penjualan dan melarang impor tekstil yang bermotif batik serta kain batik imitasi.25 Satu tahun kemudian, atau pada tahun 1952, pemerintah mulai mengontrol impor dan distribusi kain mori yang pada saat itu masih didatangkan dari luar negeri. Tahun berikutnya, dibentuk

JPP atau Jajasan (Yayasan) Perbekalan Bahan-bahan Perindustrian yang merupakan importir tunggal kain mori dengan harga murah dan mendistribusikannya kepada para pengusaha batik melalui GKBI dan koperasi- koperasi primer lokal di masing-masing daerah. Hak monopoli untuk mengimpor

25 Ibid. hal. 53 -54. Kain batik imitasi merupakan kain bermotif batik. Siska Narulita dalam Sejarah Koperasi Batik PPBI Yogyakarta 1950 – 1980, Skripsi: Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 2004, menambahkan bahwa kain batik imitasi ini diproduksi oleh perusahaan percetakan tekstil di Inggris dengan menggunakan zat pewarna sintetis. Tujuan pembuatan batik imitasi ini adalah untuk menyediakan dan menawarkan kain batik buatan pabrik dengan harga yang murah dan mutu yang rendah untuk pasaran Jawa. Ketika Pemerintah Kolonial Belanda berhasil mengambil alih kekuasaan atas Jawa dari tangan Inggris, produksi batik imitasi ini pun diambil alih oleh perusahaan Belanda. Tidak lama kemudian beberapa perusahaan batik imitasi yang lain juga didirikan di berbagai kota di Belanda, yang selanjutnya menyebar dan diikuti oleh negara-negara Eropa yang lainnya, salah satunya Swiss. Perusahaan-perusahaan tersebut kemudian mengekspor hasil produksi mereka ke Jawa. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 64

kain mori tersebut kemudian diserahkan kepada GKBI setelah JPP dibubarkan pada tahun 1955.26

Kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah tersebut berdampak pada meningkatnya jumlah permintaan akan kain batik, yang artinya produksi kain batik juga meningkat. Jumlah anggota koperasi batik di Jawa juga mengalami peningkatan, termasuk jumlah anggota PPBI di Yogyakarta. Jumlah anggota PPBI

Yogyakarta pada tahun 1950 mencapai 522 pengusaha batik, dan dari jumlah tersebut 46 orang diantaranya tinggal di daerah Prawirataman.27 Jumlah anggota

PPBI tersebut tersebar di seluruh wilayah Yogyakarta dan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya.

Mengingat jumlah anggota koperasi yang terus mengalami peningkatan, maka kemudian dibentuk lima unit koperasi yang berada di bawah naungan GKBI sebagai koperasi batik primer di wilayah kota Yogyakarta. Lima unit koperasi batik tersebut dibentuk berdasarkan lima blok (blok I – V) yang telah ada dan dibuat pada tahun sebelumnya.28

Tujuan dibentuknya koperasi-koperasi primer ini adalah untuk mendukung kelancaran penyaluran bahan baku pembuatan batik, dan memberikan pelayanan

26 Ibid. hal. 53.

27 Ibid. hal. 60

28 Blok I - V yang ada pada saat itu dibentuk dan diatur berdasarkan letak wilayah atau daerah pengembang usaha batik, yang kemudian digabungkan ke dalam suatu blok tertentu. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mendekatkan hubungan koperasi PPBI dengan jumlah anggotanya yang sangat banyak dengan letaknya yang tersebar di berbagai wilayah kota Yogyakarta. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, didirikan sebuah koperasi yang menjadi koperasi primer di tiap-tiap blok yang ada. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 65

yang lebih baik kepada seluruh anggotanya. Kelima koperasi primer tersebut antara lain, Koperasi Batik Mataram, Koperasi Batik Senopati, Koperasi Batik

Baratha yang kemudian berganti nama menjadi Koperasi Batik PPBI, Koperasi

Batik Tamtama, dan Koperasi Batik Karang Tunggal.29

Koperasi Batik Tamtama yang menaungi para pengusaha batik daerah

Prawirataman dan sekitarnya didirikan pada tahun 1964. Saat itu jumlah anggotanya tercatat 158 orang, dan 68 di antaranya merupakan pengusaha batik yang berasal dari daerah Prawirataman.30

Dalam mengembangkan usaha batiknya, para pengusaha batik

Prawirataman juga membuat cap dagang batik yang menggambarkan ciri khas perusahaannya. Cap dagang batik ini merupakan merek dagang atau tanda yang dipakai dalam perdagangan batik. Di daerah Prawirataman sendiri paling tidak

29 Siska Narulita, op. cit. hal. 60 – 61. Blok I merupakan Koperasi Batik Mataram yang daerah kerjanya meliputi Wirabrajan, Nataprajan, Kauman, Gandamanan (Kecamatan Wirabrajan, Ngampilan, Kraton dan Gandamanan) dan berkantor di Jl. P. Tendean Yogyakarta. Sementara itu Blok II beralih menjadi Koperasi Batik Senopati yang wilayah kerjanya meliputi Panembahan, Siliran, Langenarjan, Suryoputran, Gamelan (Kecamatan Kraton dan Gandakusuman). Kemudian Blok III menjadi Koperasi Batik PPBI, yang semula berkantor di Jl. Bridgen Katamso 59 Yogyakarta, namun kemudian pindah ke Jl. Suryadiningratan 39 Yogyakarta. Wilayah kerjanya meliputi Tirtodipuran, Mangkuyudan, Jagakaryan, Suryadiningratan, Pugeran (Kecamatan Mantrijeron). Blok IV merupakan Koperasi Batik Tamtama, yang berkantor di Jl. Kolonel Sugiyono Yogyakarta, dan daerah kerjanya meliputi Prawirataman, Brantakusuman, Timuran, Pujakusuman (Kecamatan Mergangsan bagian utara). Blok yang terakhir, yaitu Blok V kemudian beralih menjadi Koperasi Batik Karang Tunggal yang daerah kerjanya meliputi Karangkajen, Karangkunti, Karanganyar (Kecamatan Mergangsan bagian selatan), dan berkantor di Jl. Karangkajen Yogyakarta.

30 Chiyo Inui Kawamura, op.cit, hal. 62 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 66

terdapat 38 cap dagang batik yang dihasilkan dan dipasarkan tahun 1950-an.31

Adapun perincian dari 38 cap dagang batik tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 3. Nama Cap Dagang dan Alamat Produsen Batik Daerah Prawirataman Pada Tahun 1950-an No Nama Cap Dagang Batik Alamat Produksi Batik 1 Cap Abimanyu Prawirataman 9A 2 Cap Anak Prawirataman 24B 3 Cap Baji Prawirataman 28, 68 4 Cap Baji Kembar Prawirataman 34 5 Cap Berlian Prawirataman 22 6 Cap Betet Prawirataman 31 7 Cap Bintang Prawirataman 30 8 Cap Bunga Anggrek Prawirataman 8, 9 9 Cap Bunga Mawar Prawirataman 74 10 Cap Dea Prawirataman 68 11 Cap Dewi Sinto Prawirataman 98 12 Cap Garuda Prawirataman 6-8 13 Cap Gunting Prawirataman 7 14 Cap Jatayu Prawirataman 26 15 Cap Jeep Prawirataman 5 16 Cap Kemonggo Prawirataman 24B 17 Cap Kidang Mas Prawirataman 55 18 Cap Kupu Prawirataman 26 19 Cap Menjangan Prawirataman 26 20 Cap Murni Prawirataman 44 21 Cap Mustika Prawirataman 633 22 Cap Narodo Prawirataman 9A 23 Cap Oenta Prawirataman 56 24 Cap Onta Mas Prawirataman 613 25 Cap Parikesit Prawirataman 24B 25 Cap Payung Prawirataman 6-8 27 Cap Permadi Prawirataman 29 28 Cap Prabu Romo Prawirataman 68

31 Ibid. hal. 62. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 67

29 Cap Puntodewo Prawirataman 107 30 Cap Ringin Prawirataman 16 31 Cap Shinta Prawirataman 5 32 Cap Songsong Emas Prawirataman 68 33 Cap Sri Wisnoe Prawirataman 108 34 Cap Subali Prawirataman 98 35 Cap Tjiptoning Prawirataman 10B 36 Cap Traju Mas Prawirataman 22 37 Cap Tuti Prawirataman 4 38 Cap Werkudoro Prawirataman 34 Sumber: Chiyo Inui Kawamura, “Peralihan Usaha dan Perubahan Sosial di Prawirotaman, Yogyakarta 1950 – 1900-an”, Tesis: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2004. Hal. 64.

Masing-masing cap dagang batik yang tertera dalam tabel di atas mewakili seorang pengusaha batik. Jumlah pengrajin batik dan buruh borongan yang dipekerjakan oleh masing-masing pengusaha atau juragan batik bisa sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Jumlah tersebut tidak dapat dibayangkan hanya dengan melihat jumlah cap dagang batik yang ada di daerah tersebut. Oleh karenanya Chiyo Inui Kawamura menggambarkan strukturnya seperti sebuah piramida. Dalam piramida tersebut para buruh dan pengrajin batik berada pada tingkat yang bawah, juragan penerima borongan batik berada pada tingkat menengah, dan kemudian sang pengusaha batik berada dipuncaknya.32

Berdasarkan jumlah anggota Koperasi Tamtama yang khususnya berasal dari daerah Prawirataman, serta jumlah cap dagang batik sebagaimana diuraikan dalam tabel di atas dapat dilihat bahwa usaha batik di daerah Prawirataman pada tahun 1950-an mengalami perkembangan yang cukup pesat. Usaha batik yang dirintis sebagai kegiatan rumah tangga itu berkembang menjadi suatu industri

32 Ibid. hal 62. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 68

yang menguntungkan. Dalam situasi seperti itu lah daerah Prawirataman kemudian berkembang kembali menjadi salah satu sentra usaha dan industri batik di kota Yogyakarta.

E. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Usaha Batik di Daerah Prawirataman

Keberhasilan kembali daerah Prawirataman menjadi salah satu sentra usaha batik di Yogyakarta pada tahun 1950-an sangat didukung oleh berbagai faktor. Selain faktor-faktor eksternal seperti kebijakan-kebijakan pemerintah baik pusat ataupun daerah yang cenderung memberikan perlindungan terhadap perkembangan industri batik, faktor internal seperti orang-orang yang terlibat langsung dalam proses pembuatan dan produksi batik juga memegang perananan yang sangat penting.

Tentunya terdapat banyak pihak yang terlibat dalam proses produksi kain batik di daerah Prawirataman ini. Mulai dari proses pembelian bahan baku pembuatan batik sampai dengan proses pendistribusian kain batik yang siap pakai.

Kain mori sebagai bahan baku pembuatan batik dapat diperoleh dari Koperasi

Batik Tamtama dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan yang beredar di pasaran karena subsidi dari pemerintah. Namun ketika stok kain mori di Koperasi Tamtama atau koperasi primer yang lain sedang mengalami kekurangan atau keterlambatan pasokan, para pengusaha batik di Prawirataman juga bisa membelinya di tempat yang lain seperti misalnya Pasar Beringharjo.

Sama halnya dengan bahan baku batik yang lainnya seperti zat pewarna, malam PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 69

atau parafin. Selain itu masih ada tenaga yang terlibat secara langsung dalam proses pembuatan batik, yaitu para pengrajin dan buruh batik, serta para pemborong batik.

Di daerah Prawirataman sendiri, proses produksi batiknya masih banyak dikerjakan secara manual. Produk batik tersebut dapat digolongkan ke dalam tiga kategori sesuai dengan teknik pembuatannya, yaitu teknik batik tulis, teknik batik cap dan kombinasi. Teknik batik kombinasi merupakan perpaduan antara teknik batik tulis dan cap. Di antara ketiga kategori tersebut, batik cap menduduki tempat pertama dalam skala prioritas produksi batik atau dengan kata lain yang paling banyak dibuat dan diproduksi di daerah Prawirataman.33 Dalam proses produksi batik cap ini diperlukan alat-alat khusus, antara lain meja cap serta berbagai macam cap. Pekerjaan mereka ini biasanya dilakukan di rumah para juragan atau pengusaha batik. Proses produksi batik cap yang karena pekerjaannya dikategorikan sebagai pekerjaan berat, maka lebih banyak dikerjakan oleh laki- laki.34

Sementara untuk pekerja yang mengerjakan proses produksi batik tulis lebih banyak perempuan. Pada umumnya mereka berasal dari desa-desa dari daerah Imogiri dan beberapa daerah lain di Kabupaten Bantul. Mereka datang

33Wawancara dengan Ibu Sri Fitriyati, 52 tahun, tanggal 11 Maret 2013 dan Ibu Dalulu Wanisa, 50 tahun, tanggal 12 Juni 2013. Sebagaimana dipaparkan pada halaman 67 dalam tesisnya Chiyo Inui Kawamura, menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan yang khusus memproduksi batik cap di daerah Prawirataman, antara lain perusahaan batik Cap Anggrek, Cap Betet, dan Cap Baji Kembar.

34 Wawancara dengan Ibu Sri Fitriyati, 52 tahun, tanggal 11 Maret 2013 dan Ibu Dalulu Wanisa, 50 tahun, tanggal 12 Juni 2013, di Prawirataman. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 70

pada pagi hari dan berbondong-bondong pulang pada sore harinya, baik dengan menggunakan sepeda atau berjalan kaki.35 Selain pekerja tetap yang memang bekerja untuk rumah produksi batik, buruh batik sambilan juga memiliki peranan yang sangat penting. Buruh batik tersebut membatik hanya sebagai pekerjaan sambilan untuk menambah penghasilan keluarga, pekerjaannya dilakukan pada waktu luang di rumah masing-masing. Jumlah pekerja sambilan ini sangat banyak, pada tahun 1958 diperkirakan terdapat 25.000 orang pekerja sambilan di seluruh rumah industri batik di daerah Yogyakarta. Sedangkan orang yang menjadi pekerja tetap di rumah para pengusaha batik hanya sekitar 9.000 orang.36

Pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh buruh sambilan tersebut antara lain ngerok, mbironi,37 atau membatik tulis kain mori yang telah didesain oleh para juragan batik yang tinggal di Prawirataman. Membatik menjadi pekerjaan sambilan karena bagi mereka sektor pertanian adalah bidang pekerjaan utama yang mereka geluti. Jadi, para pekerja sambilan ini hanya membatik ketika sedang tidak memiliki kesibukan pada sektor pertanian. Pekerjaan membatik tersebut dikerjakan di rumah masing-masing, kemudian setelah selesai diantarkan kembali ke tempat juragan batik di Prawirataman, sekaligus mengambil upah yang

35 Wawancara dengan Ibu Dalulu Wanisa, 50 tahun, tanggal 12 Juni 2013, di Prawirataman.

36 Chiyo Inui Kawamura, op. cit. hal 68.

37 Ibid. hal. 69. Istilah pada proses pembuatan batik. Ngerok adalah kegiatan menghilangkan lilin, terutama lilin klowong pada bagian-bagian yang kemudian dikehendaki berwarna merah (coklat pada waktu disoga). Sedangkan mbironi bermaksud menutup dengan lilin bagian yang berwarna biru agar warnanya tetap biru ketika disoga; karena kalo tidak demikian, warna biru tersebut akan berubah menjadi hitam ketika disoga. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 71

diperhitungkan sesuai dengan jumlah helai kain yang telah diselesaikan, serta mengambil bahan lagi untuk dikerjakan di rumah. Hasil pekerjaan dari para pekerja sambilan ini biasanya masih berupa batik yang setengah jadi.

Pada tahap selanjutnya, yaitu penyelesaian atau finishing seperti pemberian warna dan proses menghilangkan lilin yang melekat pada kain batik dengan cara mencelupkannya ke dalam air panas secara berulang-ulang, biasanya dikerjakan oleh para pekerja tetap yang bekerja di rumah pengusaha batik.

Dengan demikian, proses produksi batik tradisional yang rumit dan memakan waktu cukup lama itu dilakukan melalui kerjasama antara para pengusaha dengan pekerja tetapnya serta pekerja sambilan dari daerah pedesaan yang bekerja dengan sistem kontrak.38

Kemudian pada tahap pemasaran dan distribusinya, para pengusaha batik tersebut melakukannya dengan berbagai macam cara. Baik dengan menjualnya secara langsung kepada konsumen yang datang ke rumah, menjual produknya melalui koperasi-koperasi primer, menjual atau menitipkannya kepada toko-toko atau pedagang di pasar, serta memasarkan dan menjual produknya ke daerah- daerah lain, baik di Jawa ataupun di luar Jawa seperti , Sumatera, dan

Kalimantan, baik dikirim langsung kepada pemesan ataupun melalui pedagang perantara. Sejumlah kecil pengusaha juga mempunyai pasar di luar negeri, terutama di Belanda.39

38 Ibid. Hal. 70.

39 Ibid. hal 72. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 72

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pasca Proklamasi Kemerdekaan

RI, daerah Prawirataman menjadi salah satu sentra industri batik yang cukup penting di Yogyakarta. Kegiatan para juragan atau pengusaha batik di daerah

Prawirataman tersebut juga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan usaha batik di Indonesia pada tahun 1950-an. Jaringan produksi dan distribusi batik Prawirataman tidak hanya terbatas pada tingkatan lokal setempat tetapi juga pada skala nasional bahkan internasional.

F. Kemerosotan Usaha Batik dan Perkenalan dengan Dunia Pariwisata

Kesuksesan yang dicapai dalam industri batik di daerah Prawirataman tidak berlangsung lama. Usaha batik yang berhasil bangkit kembali dan mengalami perkembangan yang pesat pada tahun 1950-an tersebut, sekali lagi harus menghadapi tekanan pada kisaran awal tahun 1960-an. Tekanan yang dimaksud di sini adalah kesiapan dan kesigapan para pengusaha batik untuk mempertahankan kelangsungan usahanya. Inflasi ekonomi yang terjadi di

Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an, dan berlangsung terus menerus sampai akhir masa kepemimpinan Presiden Soekarno, membawa pengaruh yang tidak sedikit pula. Oleh karena itu, dalam subbab ini akan diuraikan faktor-faktor yang menjadi penyebab dari kemerosotan usaha batik di Prawirataman.

Berdasarkan hasil studi lapangan yang telah dilakukan, hampir semua dari responden yang diwawancarai mengatakan bahwa perkembangan dan ekspansi batik printing dipandang sebagai penyebab utama runtuhnya usaha batik di daerah PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 73

Prawirataman.40 Batik printing adalah batik yang proses pembuatannya menggunakan sistem sablon, atau hand-print dan bukan tekstil bermotif batik yang dibuat dengan mesin. Walaupun proses pembuatannya dikerjakan dengan tangan, tetapi kain tersebut dapat diproduksi secara besar-besaran dalam waktu singkat, sehingga harganya menjadi lebih murah dibandingkan dengan batik tradisional yang berupa batik tulis dan batik cap.41

Batik printing ini pertama kali muncul pada tahun 1960-an, dengan mutu printing dan motif yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan batik tradisional.

Tetapi kemudian dengan bantuan teknologi dan bahan pewarna baru, mutunya dapat ditingkatkan hingga menyamai kualitas batik tradisional. Hal ini menjadi ancaman bagi batik tradisional karena meskipun kualitasnya sama, tetapi harga batik printing jauh lebih rendah. Oleh karena itu, lambat laun pasar industri batik tradisional menjadi semakin sempit.

Situasi sosial dan kebiasaan masyarakat yang pada saat itu lebih banyak menggunakan pakaian modern dan bukan batik sebagai pakaian sehari-hari, menjadi salah satu faktor pendorong pesatnya perkembangan batik printing ini.

Sama halnya dengan masyarakat di daerah Prawirataman. ‘Modernisasi’ dalam hal berpakain menjadi semacam alasan bagi keengganan menggunakan pakaian batik tradisional yang terkesan lebih ribet, sehingga akhirnya batik menjadi tidak

40 Wawancara dengan Ibu Sri Fitriyati, 52 tahun, tanggal 11 Maret 2013, Ibu Dalulu Wanisa, 50 tahun, tanggal 12 Juni 2013, Bapak Suprapto, 65 tahun, tanggal 13 Juli 2013 di Prawirataman.

41 Ibid. hal. 84. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 74

laku.42 Perkembangan batik printing juga didukung dengan kebijakan pemerintah yang mengharuskan kalangan pegawai negeri untuk mengenakan seragam batik pada hari-hari tertentu, akibatnya jumlah permintaan batik printing meningkat, sementara pemasaran batik tradisional menjadi semakin sulit.

Pada saat Soeharto resmi menjadi presiden pada tahun 1968, kebijakan- kebijakan perekonomian yang diberlakukan pada masa pemerintahannya juga turut memberi pengaruh pada perkembangan usaha batik printing ini. Di bawah bendera pemulihan dan rehabilitasi perekonomian Indonesia pasca inflasi, kebijakan ekonomi yang melindungi pengusaha lokal dicabut dan subsidi kain mori melalui koperasi batik dihentikan. Selain itu peraturan yang sebelumnya membatasi kegiatan perekonomian dan perusahaan milik orang asing juga dicabut, akibatnya tekstil buatan luar negeri dan bahan tekstil lain yang sebelumnya dilarang masuk ke Indonesia, mulai banyak beredar di pasaran. Maraknya tekstil impor ini semakin memperparah posisi batik tradisional.

Dengan dihapuskannya berbagai program nasionalisasi yang telah dikembangkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, maka dengan sendirinya industri batik tradisional menjadi kehilangan pelindungnya. Industri batik tradisional harus berjuang sendiri dalam melawan derasnya arus persaingan dengan industri batik printing pada khususnya dan bahan-bahan tekstil baru pada umumnya, sehingga kemunduran dan kemerosotan pasar batik tradisional menjadi tidak dapat dihindarkan.

42 Wawancara dengan Bapak Heriyadi Ayik, 54 tahun, tanggal 17 Juli 2013, di Prawirataman. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 75

Meredup dan merosotnya usaha batik tradisional yang melanda sentra- sentra industri batik di Jawa dan seluruh Indonesia pada umumnya, tentunya juga terjadi di daerah Prawirataman. Namun demikian, kemerosotan usaha batik di

Prawirataman ini tidak terjadi serentak secara bersamaan, maksudnya dari 38 perusahaan batik yang ada, tidak semuanya menutup usahanya secara bersamaan.

Pengusaha berskala besar yang memiliki jaringan serta modal yang kuat dapat bertahan sampai sekitar tahun 1970. Namun demikan, banyak di antara pengusaha batik yang sudah gulung tikar tersebut mulai menjajaki dan mencoba peruntungannya dengan mengembangkan usaha yang lain. Banyak usaha-usaha baru yang dikembangkan, misalnya art shop yang menjual lukisan-lukisan batik, peternakan ayam, rumah kos-kosan, rumah penginapan, dan lain sebagainya.

Di lain pihak, Pemerintah Indonesia mulai giat mengembangkan sektor pariwisata. Perkembangan sektor pariwisata itu mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah dengan dikeluarkannya kebijakan yang secara formal menempatkan sektor pariwisata dalam Rencana Pembangunan Semesta 8 tahun dari tahun 1960 – 1968, serta dalam REPELITA I pada tahun 1969.43 Daerah

Yogyakarta menjadi terkenal sebagai daerah tujuan wisata selain karena obyek- obyek wisatanya yang memang menarik untuk dikunjungi, juga didukung oleh akses yang mudah, baik melalui transportasi darat, ataupun udara sehingga kemudian Yogyakarta terkenal sebagai daerah tujuan wisata kedua setelah Bali.

Semakin banyaknya jumlah wisatawan yang datang berkunjung ke Yogyakarta,

43 Ibid., hal. 103-105. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 76

artinya semakin membuka jalan bagi perkembangan usaha yang baru dalam bidang hotel dan penginapan.

Bagi sebagian pengusaha batik di Prawirataman, perkembangan industri pariwisata tersebut juga dimaknai sebagai peluang usaha yang baru. Letak daerah

Prawirataman yang strategis, dan tidak begitu jauh dari Kraton Yogyakarta sebagai pusat kota memudahkan akses bagi para wisatawan yang datang berkunjung. Selain itu, salah satu modal besar yang sangat mendukung dan dimiliki oleh para pengusaha batik Prawirataman adalah rumah dengan ukurannya sangat besar dan bagus, ditambah dengan tanah pekarangan yang luas. Oleh karena itu, dari berbagai bidang usaha yang coba dikembangkan pasca industri batik meredup, jasa penginapan menjadi salah satu pilihan.

Usaha jasa penginapan di daerah Prawirataman itu dimulai dari salah seorang pengusaha batik yang menyewakan kamarnya kepada wisatawan yang tertarik dengan batik. Saat itu hanya terdapat beberapa perusahaan batik yang bertahan, juga beberapa art shop yang menjual lukisan batik. Dari mulut ke mulut berita tentang Prawirataman tersebar sehingga jumlah wisatawan yang datang bertambah. Pengusaha batik yang pada awalnya hanya menyewakan kamar di rumahnya, kemudian mulai membangun penginapan yang bersifat homestay44 pada sekitar tahun 1968, di Prawirataman sebelah barat, dekat dengan Jalan

Parangtritis.

44 Chiyo Inui Kawamura, op. cit. hal. 102. Homestay adalah rumah keluarga yang digunakan untuk menerima tamu atau wisatawan yang ingin menginap. Hubungan antara keluarga di rumah itu dengan tamunya tidak bersifat komersial semata, tetapi juga bersifat kekeluargaan. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 77

Usaha jasa penginapan tersebut berjalan sangat baik dan banyak peminatnya. Melihat potensi tinggi yang dimiliki sektor pariwisata Yogyakarta, dan jumlah wisatawan yang terus bertambah, banyak pengusaha batik lain yang kemudian tertarik dan ikut merintis usaha yang sama. Beberapa dari mereka yang pada awalnya memanfaatkan rumah mereka sebagai kos-kosan dan dikontrakkan, mulai banting setir mengalihkan usaha mereka. Bangunan rumah kos-kosan tersebut kemudian di renovasi menjadi kamar-kamar dengan fasilitas yang lebih baik dan layak disewakan kepada para wisatawan. Berawal dari sinilah usaha akomodasi dan penginapan di daerah Prawirataman mulai berkembang, dan menjadi sangat ramai dan pesat pada tahun-tahun selanjutnya. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB IV DAMPAK PERUBAHAN SOSIAL DAN EKONOMI DI PRAWIRATAMAN

Setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik yang disengaja atau pun tidak disengaja, secara langsung atau tidak langsung, sebagian atau menyeluruh, tentu membawa konsekuensi, dampak, dan pengaruh bagi masyarakatnya. Ketika berbicara mengenai dampak, tentu tidak dapat lepas dari dampak yang sifatnya primer dan sekunder. Dampak yang bersifat primer disini maksudnya adalah perubahan suatu lingkungan tertentu yang disebabkan secara langsung oleh suatu kegiatan. Sedangkan dampak sekunder merupakan perubahan yang terjadi secara tidak langsung dari suatu kegiatan, artinya perubahan yang terjadi sebagai kelanjutan dari dampak yang sifatnya primer.

Dampak yang timbul baik primer maupun sekunder tersebut dapat bersifat negatif maupun negatif.1

Cepat atau lambat dan besar kecilnya pengaruh yang kemudian timbul dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat suatu tempat, akan sangat tergantung

1 Sudarmo Ali Murtopo, dkk, Dampak Pembangunan Ekonomi (Pasar) Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi Kasus Pertanian Salak Pondoh Desa Bangunkerto). Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995/1996. Hal. 87-88. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 79

pada keadaan dan kesiapan masyarakat tersebut. Meskipun demikian, dorongan dan tekanan dari luar, juga dapat memberikan pengaruh yang tidak terduga. Satu hal yang perlu dijadikan catatan bahwa perubahan yang terjadi itu tidak selamanya memberikan dampak yang sifatnya kemajuan (progress), namun juga dapat mengakibatkan kemunduran (regress).

Sama halnya dengan perubahan yang terjadi di Prawirataman. Berbagai perubahan yang terjadi di daerah tersebut, sampai kemudian industri pariwisata masuk sebagai alternatif baru yang dipilih sebagai usaha perekonomian masyarakat setelah industri batik mengalami kemunduran, disadari atau pun tidak, pasti akan membawa pengaruh bagi masyarakat yang tinggal di Prawirataman sendiri dan juga masyarakat yang tinggal lingkungan di daerah sekitar. Lambat laun perubahan tersebut sedikit banyak juga akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan usaha pariwisata di wilayah Yogyakarta.

Oleh karena itu, dalam bab ini akan coba dibahas tentang dampak dan akibat yang ditimbulkan oleh perubahan yang terjadi di daerah Prawirataman, dalam hubungannya dengan perkembangan industri pariwisata terutama dalam bidang usaha jasa penginapan sebagai solusi yang dipilih akibat merosotnya usaha batik di daerah tersebut. Dampak-dampak yang muncul sudah tentu dapat melanda berbagai bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, ataupun budaya. Namun demikian agar pembahasannya tidak melebar kemana-mana, maka dalam penelitian ini dampak yang akan dilihat akan lebih banyak berfokus pada bidang sosial dan ekonomi. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 80

Untuk memberi gambaran terperinci tentang awal mula usaha jasa penginapan di daerah Prawirataman dan dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari perkembangan usaha jasa penginapan yang menggantikan merosotnya usaha batik tersebut, pembahasan dalam bab ini akan dibagi ke dalam tiga subbab, yaitu proses muncul dan berkembangannya usaha jasa penginapan di Prawirataman, dampak ekonomi yang timbul sebagai akibat dari berbagai perubahan yang terjadi, dan kemudian pengaruh dan dampak sosial yang muncul di Kampung

Prawirataman.

A. Proses Perkembangan Industri Pariwisata Terutama Usaha Jasa Penginapan di Kampung Prawirataman

Industri pariwisata dapat dilihat sebagai salah satu upaya pemerintah dalam memperkenalkan nilai-nilai baru kepada masyarakat. Upaya tersebut merupakan suatu proses mempertemukan dan saling penyesuaian antara nilai-nilai baru dengan nilai-nilai yang selama ini menjadi pedoman hidup masyarakat. Oleh karena itu, sikap masyarakat yang bakal timbul nantinya, dapat diprediksi menjadi

(1) menerima nilai-nilai baru tersebut dan menghilangkan nilai yang lama, (2) nilai baru dan nilai-nilai lama berjalan seiring, (3) menolak nilai-nilai baru dan mempertahankan nilai-nilai yang lama. Jadi, keikutsertaan masyarakat pada pembangunan pariwisata dipandang turut memsukseskan program pemerintah, namun bisa jadi keterlibatan tersebut justru membawa pengaruh terhadap nilai- nilai yang selama ini dipertahankan. Dengan kata lain, konsekuensi logis dari PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 81

pengembangan pariwisata, cepat atau atau lambat dapat membawa dampak bagi masyarakat.2

Produk yang dihasilkan dari industri pariwisata tersebut dapat dikatakan memang bukan merupakan produk nyata yang berupa benda, akan tetapi merupakan rangkaian jasa yang tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga memiliki segi-segi yang bersifat sosial, psikologis, dan lain sebagainya. Jadi, ketika berbicara tentang kata ‘industri’ dalam pengertian industri pariwisata artinya adalah suatu rangkaian perusahaan-perusahaan yang menghasilkan produk jasa.3 Rangkaian perusahaan yang termasuk dalam industri wisata tersebut antara lain, penginapan, restoran, agen perjalanan wisata, perusahaan penukaran uang, perusahaan penyewaan sarana transportasi, dan lain sebagainya. Perusahaan- perusahaan tersebut kemudian saling bekerjasama satu dengan lainnya untuk menghasilkan produk wisata.

Sejalan dengan proyek pembangunan pariwisata Yogyakarta yang diawali dengan proyek seni drama tari Ramayana di Candi Prambanan pada tahun 1961, jumlah kunjungan wisatawan baik domestik ataupun asing ke wilayah Yogyakarta mengalami peningkatan. Walaupun sempat mengalami penurunan pada sekitar tahun 1965/1966 karena kerusuhan politik yang terjadi pada masa itu, namun pada tahun-tahun berikutnya jumlahnya terus mengalami peningkatan. Misalnya pada

2 Zulyani Hidayat, ed. Dampak Pariwisata Terhadap Pola Pemukiman Penduduk Cipanas Garut, Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994/1995. Hal. 46.

3 Spillane, James J. Pariwisata Indonesia: sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius. 1987. Hal. 88-89 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 82

tahun 1968, jumlah wisatawan asing yang mengunjungi Kraton Yogyakarta mencapai 2.191 orang, dan 28.961 orang wisatawan domestik.4 Proyek pembangunan pariwisata di Yogyakarta itu kemudian dikaitkan dengan pembangunan berbagai sarana dan prasarana penunjang kegiatan pariwisata yang lain termasuk akomodasi perhotelan.

Bagi banyak kalangan termasuk sejumlah anggota masyarakat di

Kampung Prawirataman, hal itu dipandang sebagai kesempatan yang menguntungkan karena pada saat itu usaha batik yang mereka tekuni juga sedang mengalami masa suram. Sehingga kemudian kesempatan yang ada itu dimanfaatkan sebagai alternatif untuk mengembangkan usaha yang baru. Dan batik printing yang walaupun pada saat itu sedang mengalami perkembangan pesat namun justru tidak dipilih sebagai alternatif usaha.5

Di samping itu, para pengusaha batik tersebut juga memiliki modal berupa tanah yang luas dan rumah besar yang dilengkapi dengan tempat produksi dan pembuatan batik serta kamar-kamar untuk pegawai tetap di pekarangan belakang rumahnya. Terlebih lagi, uang dan kekayaan yang diperoleh dari usaha sebelumnya, serta lokasi yang cukup strategis karena dekat dengan tempat-tempat

4 Chiyo Inui Kawamura, op. cit. hal. 104 – 106.

5 Wawancara dengan Bapak H.R. Suhartono, tanggal 19 Juli 2013 di Prawirataman. Bapak Suhartono juga mengungkapkan bahwa “faktor permodalan besar yang bila para pengusaha waktu itu akan mengikuti dengan proses printing, maka akan mengalami kesulitan di dalam finansialnya. Dan juga faktor alih peralatan dari tradisional menjadi modern, akan berubah sistem dan proses-proses selanjutnya. Juga perlu diingat, para pengrajin batik waktu itu adalah turun temurun dari para kakek dan neneknya, juga faktor pendidikannya tidak terlalu tinggi.” PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 83

wisata di Kota Yogyakarta. Jadi secara fisik, dapat dikatakan bahwa semua modal yang dibutuhkan sudah tersedia.

Kemudian pada tahun 1968, salah satu juragan batik di Prawirataman mengalihfungsikan rumahnya dan mulai merintis usaha penginapan dengan menyewakan kamar-kamarnya kepada wisatawan yang datang. Usaha tersebut dipandang menguntungkan, dan karena jumlah wisatawan yang datang semakin banyak namun fasilitas penginapan yang ada masih terlalu sedikit, maka kemudian sejumlah orang lainnya yang berasal dari kelima trah keluarga besar

Prawirataman mulai ikut mengembangkan usaha yang sama.

Kesempatan yang baik untuk mengembangkan usaha pariwisata dan lebih spesifiknya usaha jasa penginapan tersebut juga diungkapkan oleh Bapak H.R.

Suhartono yang merupakan salah satu keturunan dari trah keluarga tersebut, sebagai berikut:

“Pada waktu pemerintahan Orde Baru/Soeharto sebagai Presiden RI ke-2, mempunyai program-program pemerintah dibidang kepariwisataan, digalakkan karena bidang kepariwisataan bisa mendatangkan devisa yang besar. Jadi pada waktu kami mulai merintis usaha jasa perhotelan itu, dipermudah mencari ijin-ijin pariwisata.”6

Berdasarkan pernyataan Bapak Suhartono tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat Prawirataman juga memandang bahwa dukungan yang diberikan pemerintah dalam bidang kepariwisataan memang besar. Sebagaimana diuraikan oleh Selo Soemardjan bahwa pariwisata terutama pariwisata internasional termasuk dalam program pembangunan nasional Indonesia sebagai salah satu

6 Wawancara dengan Bapak H.R Suhartono, tanggal 19 Juli 2013, di Prawirataman. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 84

sektor pembangunan ekonomi. Dari pariwisata diharapkan dapat diperoleh devisa, baik dari pengeluaran para wisatawan di negara kita, maupun sebagai penanaman modal asing dalam industri pariwisata. Secara garis besar inti dari peranan pariwisata dalam pembangunan negara dapat dikategorikan menjadi tiga segi, yaitu segi ekonomis sebagai sumber devisa dan pajak-pajak, segi sosial yang berupa penciptaan lapangan kerja, dan segi kebudayaan yang memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada wisatawan asing yang datang berkunjung.7

Oleh karena itu perkembangan usaha-usaha pariwisata di Indonesia dan

Yogyakarta pada khususnya mendapatkan perhatian dan dukungan penuh dari pemerintah. Keikutsertaan daerah Prawirataman dalam industri pariwisata ini ditandai dengan banyaknya penginapan yang bersifat homestay atau guest house di daerah tersebut. Sebagian besar dari penginapan tersebut adalah milik perorangan yang berskala kecil sehingga banyak yang belum terdaftar dalam statistik pemerintah.8

Namun demikian, usaha jasa penginapan tersebut terus berkembang secara luas. Potensi dalam bidang kepariwisataan yang dipandang sangat potensial membukakan jalan baru bagi para mantan pengusaha batik di Prawirataman serta kerabat keluarga dari kelima trah Prawirataman yang tinggal di daerah lain, misalnya di Dagen, dan Taman Siswa. Sehingga kemudian mereka juga turut mengembangkan usaha jasa penginapan di daerah masing-masing.

7 Gatut Murniatmo dan Tshadi, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Budaya daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Hal 78-78

8 Chiyo Inui Kawamura, op. cit. hal. 107 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 85

Dengan demikian, faktor-faktor yang mendorong perkembangan usaha jasa penginapan di daerah Prawirataman setelah usaha batiknya mengalami kemerosotan tidak hanya datang dari kondisi pengusaha batik sendiri, akan tetapi juga turut didukung oleh kebijakan pemerintah sehubungan dengan pembangunan pariwisata. Usaha jasa penginapan di daerah Prawirataman yang pada mulanya diawali oleh trah keluarga besar mantan pengusaha batik, berangsur-angsur diikuti banyak kalangan dan berkembang luas sehingga pada masa kini Kampung

Prawirataman dikenal sebagai kampung turis.

B. Dampak Ekonomi dari Perubahan di Prawirataman

Dalam kurun waktu 1920 – 1975, masyarakat Prawirataman telah mengalami berbagai perubahan bidang perekonomian. Kelompok masyarakat yang pada awalnya merupakan abdi dalem keprajuritan Kraton yang mengembangkan usaha batik untuk memenuhi kebutuhan batik di kalangan istana, kemudian berkembang menjadi komoditi dagang dengan pangsa pasar yang lebih luas, mengalami masa kejayaan dalam bidangnya pada tahun 1920-an, dan sempat mengalami kemunduran usaha pada tahun 1930-an karena depresi ekonomi yang melanda dunia, namun pada akhirnya berhasil meraih kesuksesannya kembali pada tahun 1950-an. Sekitar sepuluh tahun kemudian, industri batik tersebut kembali collapse yang salah satu penyebabnya adalah terjadinya ekspansi dan perkembangan batik printing. Berbagai macam potensi kegiatan perekonomian yang baru coba dikembangkan, misalnya peternakan ayam, rumah kos-kosan, galeri lukisan batik, dll. Namun sekitar tahun 1968, salah seorang juragan batik PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 86

membuka penginapan untuk wisatawan. Usaha baru tersebut mendapatkan sambutan yang baik sehingga kemudian pada tahun 1970-an, usaha penginapan- penginapan yang lain mulai bermunculan. Pada saat yang bersamaan, pemerintah sedang gencar-gencarnya menggalakkan program pariwisata sebagai penghasil devisa negara, sehingga usaha penginapan di daerah Prawirataman juga ikut berkembang dan lambat laun menjadi kegiatan perekonomian yang utama.

Dari segi ekonomi, kegiatan perekonomian utama di daerah Prawirataman itu telah mengalami suatu perubahan, yaitu dari industri sekunder yang memproduksi batik menjadi industri tersier yang menyediakan jasa terutama dalam bidang pariwisata. Perubahan tersebut praktis membawa pengaruh pada cara hidup warga masyarakat setempat, yang secara pasti ditunjukkan dengan alih profesi para juragan batik menjadi pengusaha penginapan, guesthouse atau homestay dengan memfungsikan rumahnya sebagai tempat penginapan.

Selanjutnya, perubahan dan alih profesi yang dilakukan oleh para juragan batik tersebut juga akan menimbulkan konsekuensi dan pengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat Prawirataman pada umumnya.

Alih profesi yang dilakukan oleh juragan batik tersebut kemudian diikuti oleh beberapa perubahan yang lain, antara lain dalam bidang ketenagakerjaan.

Sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya bahwa pada saat

Prawirataman menjadi sentra industri batik, masyarakat yang tinggal di di

Prawirataman, dan lingkungan sekitarnya bahkan di daerah pedesaan juga turut terlibat sebagai tenaga kerja, baik yang tetap ataupun musiman (borongan). Dan kemudian ketika industri tersebut berubah menjadi penginapan, tidak semua PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 87

tenaga kerjanya mendapatkan keuntungan yang sama sebagaimana dirasakan oleh para juragan batik.

Akibat yang paling dirasakan dari sikap para juragan batik tersebut adalah timbulnya pengangguran. Memang ada beberapa dari mantan perajin batik yang kemudian juga ikut beralih menekuni bidang jasa penginapan di bawah juragan yang sama. Bahkan agar dapat mendukung kelancaran usahanya, ada juragan batik yang memberikan kesempatan kepada para bekas perajin batik tersebut untuk belajar bahasa asing, terutama Bahasa Inggris. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan pelayanan yang baik kepada tamu-tamu asing yang menginap.9 Namun bagi sebagian dari perajin batik yang kurang beruntung, mereka mulai menekuni bidang pekerjaan yang lain, misalnya sebagai tukang becak, buruh bangunan, dan lain sebagainya.

Perkembangan usaha jasa penginapan pada khususnya dan pariwisata pada umumnya, juga merupakan faktor pendorong berubahnya pola mata pencaharian penduduk. Hal itu berjalan beriringan dengan perubahan lingkungan kegiatan perekonomian di daerah Prawirataman sendiri. Maksudnya, sejalan dengan berkembangnya usaha jasa penginapan di daerah itu, tumbuh pula berbagai usaha penunjang pariwisata lainnya, antara lain restoran dan rumah makan, money changer, tempat penyewaan moda transportasi, biro perjalanan wisata, toko

9 Wawancara dengan Bapak Heriyadi Ayik, 54 tahun, tanggal 17 Juli 2013, dan Bapak Suprapto, 65 tahun, tanggal 13 Juli 2013, di Prawirataman. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 88

kerajinan tangan dan suvenir, toko yang menjual barang keperluan pribadi, dan lain sebagainya.

Namun demikian, pemilik usaha-usaha tersebut tidak semuanya berasal dari Kampung Prawirataman, walaupun tanah dan bangunan yang mereka tempati disewa dari orang setempat. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan situasi ketika usaha batik sedang sangat berkembang. Pada masa kejayaan industri batik, kegiatan usaha batik merupakan bisnis rumah tangga yang dimiliki dan dijalankan oleh penduduk Prawirataman sendiri, meskipun tenaga kerjanya berasal dari berbagai daerah. Sedangkan yang terjadi kemudian terutama pada saat usaha penginapan berkembang, para pengusaha dari luar Prawirataman datang dan membuka suatu bisnis tertentu yang berhubungan dengan kegiatan kepariwisataan dengan menyewa tanah dan bangunan dari mantan pengusaha batik dan penduduk setempat.

Perubahan pada lingkungan kegiatan perekonomian tersebut merupakan suatu hubungan yang saling menguntungkan. Artinya bukan hanya pemilik usaha penunjang pariwisata yang mendapatkan keuntungan, akan tetapi juga sebagian anggota masyarakat di Prawirataman karena mereka dapat menyewakan tanah kosong atau bangunan rumahnya kepada para pengusaha tersebut, sehingga secara teratur mendapatkan uang sewa dari pihak penyewa.

Selain itu, sebagian dari penduduk Prawirataman yang letak rumahnya agak masuk ke dalam dan tidak berada di sepanjang utama atau Jalan

Prawirataman menjalankan usaha kos-kosan dan kontrakan. Kamar-kamar kosong di rumah mereka disewakan kepada para karyawan yang bekerja di guest house, PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 89

restoran, biro perjalanan wisata serta usaha-usaha penunjang pariwisata lainnya yang berasal dari daerah pedesaan atau luar kota.

Perkembangan usaha jasa penginapan tersebut juga memberi dampak dan manfaat bagi sebagian dari masyarakat setempat yang ingin turut ambil bagian dalam mencari celah yang diperkirakan dapat dimanfaatkan sebagai usaha untuk memperbaiki taraf perekonomiannya. Hal ini dapat dipandang sebagai salah satu bentuk perluasan kesempatan kerja. Kesempatan kerja yang tidak hanya diperuntukkan bagi penduduk setempat, tetapi juga dapat menarik pendatang- pendatang baru dari luar daerah.

Sebagai salah satu contohnya adalah tukang becak. Ketika usaha penginapan mulai berkembang dan banyak wisatawan yang datang untuk menginap di daerah Prawirataman, pekerjaan sebagai penarik becak menjadi sangat populer. Banyak warga sekitar Prawirataman dan dari pedesaan yang berbondong-bondong mengadu peruntungan sebagai tukang becak di

Prawirataman.

Pekerjaan sebagai penarik becak secara fisik memang tidaklah ringan.

Namun demikian, pekerjaan ini dirasa sangat menguntungkan terutama ketika mereka mendapat pelanggan wisatawan asing. Harga yang dipatok untuk wisatawan asing biasanya lebih tinggi, sehingga mereka mendapatkan penghasilan lebih. Selain mengantarkan para wisatawan ke obyek-obyek wisata terdekat, para tukang becak tersebut juga akan menawarkan program belanja batik atau suvenir ke toko-toko yang menawarkan sistem komisi. Artinya, ketika wisatawan yang dibawa tukang becak tersebut membeli sesuatu, pihak toko akan memberikan PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 90

sekian persen dari total pembeliannya kepada tukang becak sebagai komisi. Dari situlah para tukang becak tersebut akan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar.

Oleh karena itu lah, banyak sekali orang yang datang untuk mengadu nasib sebagai tukang becak di Prawirataman. Sehingga untuk mendata jumlah tukang becak dan menghindari konflik dibentuk suatu paguyuban. Paguyuban atau perkumpulan yang disebut P2BPJ atau Perkumpulan Pengemudi Becak

Prawirataman Jogjakarta itu bertujuan untuk memberikan pelayanan transportasi lokal bagi para wisatawan. Melalui perkumpulan tersebut, para tukang becak tersebut mendapatkan pembagian tempat ‘mangkal’ untuk menunggu kedatangan tamu. Mereka juga membuat sistem pengaturan agar setiap tukang becak mendapatkan jatah penumpang secara bergiliran. Dari perkumpulan tersebut para tukang becak juga mendapatkan pelatihan Bahasa Inggris, baik dari wisatawan asing yang sering datang ke Prawirataman ataupun petugas-petugas dari Dinas

Pariwisata.10

Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan, tidak sedikit cerita tentang tukang becak yang mendapatkan bantuan secara finansial dari para turis dan wisatawan asing yang datang berkunjung. Bapak Sarijan, salah satu tukang becak, sudah menjalankan pekerjaannya selama lebih dari 35 tahun di

Prawirataman. Setelah mencoba berbagai macam pekerjaan akhirnya memutuskan untuk menjadi tukang becak karena banyaknya jumlah wisatawan yang datang

10 Wawancara dengan Bapak Sarijan, 67 tahun, dan Bapak Soegiran, 62 tahun, di Prawirataman. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 91

berkunjung di Yogyakarta. Prawirataman dipilih karena letaknya dekat dengan tempat tinggalnya. Pada saat menarik becak dan mengantarkan wisatawan asing, tidak sedikit dari wisatawan itu yang berbelanja batik ataupun kerajinan perak sehingga selain ongkos becak, Bapak sarijan sering mendapatkan komisi. Di samping itu, berdasarkan pengalamnnya hampir setiap wisatawan yang datang dari Belanda dan naik becaknya selalu memberikan pakaian sebagai tanda terima kasih. Ketika sedang beruntung, tidak jarang pula wisatawan asing yang memberikan uang tambahan atau tip dalam jumlah besar. Selain itu, tidak jarang pula wisatawan yang menawarkan bantuan finansial kepada para tukang becak.

Salah satu bantuan besar yang diterima Bapak sarijan datang dari turis asal

Amerika yang membantu biaya sekolah anak-anaknya. Bapak Sarijan memiliki tujuh orang anak, dan berhasil menyekolahkan ketujuh anaknya. Salah satu dari ketujuh anaknya, yaitu anak perempuan yang nomer tiga mendapatkan kesempatan untuk sekolah di Amerika berkat bantuan salah satu pelanggan becaknya. Saat ini anaknya tersebut bekerja di sebuah bank, sudah berkeluarga dan menetap di Amerika. Meskipun mendapatkan kiriman uang dari sang anak setipa bulannya, tetapi Bapak Sarijan masih mencintai pekerjaannya sebagai tukang becak.11

Kasus seperti Bapak Sarijan di atas cukup sering terjadi dan dialami oleh beberapa tukang becak. Terdapat banyak cerita tentang tukang becak

Prawirataman yang mendapatkan berbagai bantuan finansial dari wisatawan asing

11 Wawancara dengan Bapak Sarijan, 67 tahun, pada tanggal 16 Juli 2013, di Prawirataman. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 92

yang datang menginap di daerah tersebut. Ada yang dibelikan tanah, rumah, uang sebagai modal usaha, dibelikan becak dan kemudian menjadi juragan becak di

Prawirataman, dan lain sebagainya. Cerita tentang kesuksesan para tukang becak tersebut juga diakui oleh penduduk setempat.12

Selain pemilik penginapan dan usaha-usaha penunjang pariwisata, serta tukang becak seperti telah disebutkan di atas, perluasan lapangan pekerjaan juga terjadi dengan bertambahnya jumlah orang yang menekuni profesi guide atau pemandu wisata. Kehadiran pemandu wisata lokal berguna karena selain memandu wisatawan ke obyek-obyek wisata, juga mengantarkan wisatawan ke tempat penginapan milik orang yang dikenal baik. Sama halnya dengan toko-toko cinderamata, tidak jarang pula para pemandu wisata yang meminta komisi sebagai balas jasa karena telah membawa tamu menginap ke penginapan tersebut.

Sebagian pemuda dari Prawirataman dan daerah-daerah sekitarnya juga turut merasakan keuntungan dari pesatnya perkembangan industri pariwisata di

Prawirataman sebagai pemandu wisata tersebut.13

Perubahan dalam bidang ekonomi tersebut, pada satu sisi memang memberikan keuntungan bagi sebagian anggota masyarakat Prawirataman dan daerah sekitarnya. Namun demikian, kecenderungan para tukang becak dan pemandu wisata untuk membawa wisatawan ke toko-toko suvenir dimana mereka

12 Wawancara dengan Ibu Sri Fitriyati, 52 tahun, tanggal 11 Maret 2013, Ibu Dalulu Wanisa, 50 tahun, tanggal 12 Juni 2013, Bapak Sarijan, 67 tahun, dan Bapak Soegiran, 62 tahun, pada tanggal 16 Juli 2013 di Prawirataman.

13 Wawancara dengan Bapak Aryo, 55 tahun, tanggal 7 Juli 2013, di Prawirataman. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 93

mendapatkan komisi, bisa menjadi hal yang sangat merugikan pihak wisatawan.

Lambat laun, hal semacam ini akan sangat berpengaruh pada pencitraan dunia pariwisata di Yogyakarta pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

C. Dampak Sosial dari Perubahan di Prawirataman

Selain dampak-dampak dalam bidang ekonomi sebagaimana telah diuraikan di atas, berbagai perubahan dan pergantian bidang usaha yang ditekuni juga menimbulkan pengaruh pada bidang kehidupan yang lain. Persinggungan dengan dunia pariwisata dan pertemuan dengan kebudayaan-kebudayaan yang baru yang dibawa oleh wisatawan asing yang datang berkunjung dan menginap di

Prawirataman, sedikit banyak turut memberikan pengaruh dan pergeseran pada kehidupan masyarakat setempat. Daerah Prawirataman yang kemudian menjadi salah satu pusat penginapan dapat dikategorikan sebagai daerah yang intensitas hubungan antara wisatawan dan penduduk lokal relatif tinggi. Jika berlangsung terus menerus, hal itu tentu saja akan memunculkan pergeseran-pergeseran yang pada akhirnya akan mendorong timbulnya perubahan sosial pada masyarakat.

Perubahan yang terjadi di daerah Prawirataman, khususnya setelah terjadi alih profesi dari juragan batik menjadi pengusaha dalam bidang penginapan dan pariwisata, juga membawa pengaruh pada kebiasaan dan adat yang dulunya dikembangkan. Salah satunya adalah dalam hal pernikahan. Terdapat perubahan pada pola pernikahan yang terjadi di kalangan para pengusaha penginapan yang dulunya merupakan mantan juragan batik yang menjalankan usahanya secara turun-temurun. Runtuhnya usaha batik, membawa perubahan pada jenis usaha PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 94

yang mereka kembangkan, sehingga ikatan pernikahan yang didasarkan pada jaringan usaha batik tidak lagi terjadi.

Pada masa lalu sering terjadi pernikahan antar individu yang masih memiliki hubungan kekerabatan, dalam hal ini adalah anggota kekerabatan pengusaha batik di daerah Prawirataman. Hal ini merupakan suatu ekspresi yang dilakukan dengan harapan untuk tetap menjaga ruang lingkup kekeluargaannya, dan atau ketakutan mendapatkan pasangan yang kurang baik bagi keturunan keluarga tersebut. Sebagian memandang pernikahan sekerabat antar keluraga juragan batik tersebut dilakukan untuk menghindarkan terjadinya perpindahan kekayaan atau ‘ndak bandane keliyan’.14 Jadi anak-anak dari juragan batik tersebut dicarikan jodoh yang tingkat atau status sosial dan ekonominya sederajat.

Dan terkadang juga terjadi pernikahan sekerabat agar harta kekayaan yang telah dimiliki oleh trah-trah keluarga di Prawirataman tersebut tidak berpindah tangan.

Namun kemudian, kebiasaan mencarikan jodoh dan pernikahan berdasarkan kekerabatan dan jaringan batik tersebut ikut memudar seiring dengan meredupnya usaha batik dan berbagai perubahan yang terjadi.

Selain dalam hal pernikahan, kebebasan juga diberikan dalam pilihan mengembangkan usaha. Dahulu pada masa kejayaan industri batik, usaha tersebut merupakan usaha turun temurun dan anak-anaknya sudah belajar tentang dunia membatik sejak masih muda, namun ketika usaha baru mulai dikembangkan dan

14 Wawancara dengan Ibu Dalulu Wanisa, 50 tahun, pada tanggal 12 Juni 2013, di Prawirataman. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 95

faktor pendidikan serta pengetahuan yang lebih luas, mereka mendapatkan kebebasan untuk menentukan pilihan. “Ada anak yang mau meneruskan usaha keluarganya, ada yang tidak mau lalu memilih menjadi pegawai negeri, sekolah tinggi, dan lain-lain.”15

Kebebasan pilihan tersebut secara tidak langsung juga memiliki pengaruh pada perubahan lingkungan di Prawirataman dalam hubungannya dengan hak kepemilikan tanah dan bangunan. Juragan batik yang memiliki rumah dan bangunan besar beserta tanah pekarangan yang sangat luas, kemudian membaginya untuk diberikan kepada anaknya sebagai warisan. Dari beberapa anak yang dimiliki tersebut, ada yang tetap bertahan dan meneruskan usaha peninggalan orang tuanya dan menetap di Prawirataman. Akan tetapi tidak sedikit pula yang menyewakan bahkan malah menjual tanah yang diwariskan kepadanya, serta memilih tinggal di daerah yang lain. Keadaan yang seperti itu tidak lagi menunjukkan kesesuaian dengan situasi yang terjadi di masa lalu ketika usaha batik begitu berkembang di Prawirataman, baik pada tahun 1920-an ataupun

1950-an.

Pada saat daerah Prawirataman menjadi sentra industri batik, para pekerja tetap mendapatkan kamar untuk menginap. Di samping itu, para perajin batik yang bukan merupakan karyawan tetap dan datang dari tempat yang cukup jauh dari Prawirataman, dapat menumpang tinggal atau ‘ngindung’16 di pekarangan

15 Wawancara dengan Bapak Suprapto, 65 tahun, tangga 13 Juli 2013, di Prawirataman.

16 Ngindung adalah kata dalam Bahasa Jawa yang berarti induk. Ngindung adalah penduduk yang turut menghuni rumah atau tanah dari pemilik rumah atau PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 96

yang dimiliki juragan-juragan batik tempat mereka bekerja ataupun penduduk asli

Prawirataman yang memiliki tanah pekarangan yang luas. Seiring dengan perkembangan zaman, dan ketika rumah-rumah besar milik juragan batik dan pekarangannya dialih fungsikan menjadi penginapan, otomatis para pengindung tersebut harus meninggalkan tempat yang mereka tinggali. Selanjutnya seiring dengan tumbuh dan berkembangnya usaha jasa penginapan, tanah-tanah kosong atau sebagian dari bangunan yang dimiliki mulai disewakan kepada para pendatang yang berkeinginan untuk membuka usaha-usaha penunjang pariwisata.

Hal ini dilakukan untuk tujuan komersial dan memperoleh keuntungan

Konsekuensi lain yang kemudian timbul dari perubahan dan perkembangan usaha jasa penginapan di Prawirataman ini adalah timbulnya persaingan yang terkadang berlebihan dan kurang sehat. Para pemilik usaha-usaha jasa penunjang wisatawan itu tidak semuanya merupakan keluarga atau memiliki hubungan kekerabatan selayaknya terjadi pada masa Prawirataman menjadi sentra industri batik. Oleh karena itu persaingan, terutama dalam menentukan harga dan fasilitas antara satu pengusaha dan yang lainnya menjadi semakin jelas.

Persaingan itu juga muncul dalam hubungannya dengan perluasan lapangan kerja. Maksudnya adalah kesempatan dan lapangan pekerjaan yang muncul seiring dengan berkembangnya usaha jasa penginapan di daerah

Prawirataman menjadi semakin luas sehingga tidak hanya dinikmati oleh tanah tersebut. Para pengindung ini tidak memiliki hak milik atas tanah, melainkan hanya hak pakai saja. Adat ngindung ini pada prinsipnya hampir sama dengan sewa menyewa tanah. Namun demikian, dalam prakteknya, adat ngindung ini juga sangat tergantung adari pemilik tanah, ada dari mereka yang menuntut uang sewa ada yang tidak dan hanya didasarkan pada hubungan baik. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 97

penduduk setempat. Akan tetapi, ketersediaan lapangan pekerjaan tersebut juga dapat menarik pendatang-pendatang dari luar daerah. Para pendatang yang masuk ke wilayah Prawirataman ini tentu saja juga membawa adat dan kebiasaan masing-masing, yang tidak selalu sama dengan sifat, adat dan kebiasaan penduduk setempat. Penerimaan, perlawanan ataupun penolakan terhadap kebaruan yang muncul tersebut tentu sangat tergantung pada keterbukaan masyarakat daerah

Prawirataman sendiri.

Sikap yang sama juga diperlukan dalam menghadapi derasnya gelombang wisatawan asing yang berkunjung dan menginap di Prawirataman. Pandangan dan persepsi yang keliru tentang para pendatang dan wisatawan itu, lambat laun dapat memberikan dampak pada perubahan pola hidup masyarakat setempat. Misalnya saja, besarnya pengeluaran dan uang yang dibelanjakan para wisatawan, di satu sisi memberikan keuntungan bagi penduduk setempat, namun demikian peningkatan pendapatan tersebut juga dapat mendorong timbulnya pola hidup yang konsumtif. Meskipun demikian, keterbukaan sikap yang ditunjukan oleh masyarakat Prawirataman terhadap unsur-unsur kebudayaan asing yang masuk ke daerah mereka, tidak begitu saja menghilangkan nilai-nilai tradisional yang sudah ada di daerah tersebut. Namun justru dapat dikatakan bahwa nilai yang lama dapat berjalan beriringan dengan nilai baru yang datang. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya kegiatan kampung yang dijalankan di Prawirataman, misalnya siskamling, pengajian, perkumpulan RT, perkumpulan pemuda-pemudi, kerja bakti, dan lain sebagainya. Dan ketika masyarakat ingin mengadakan kegiatan tertentu, misalnya pembangunan gapura, lomba takbiran dan lain-lain, mereka PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 98

juga melibatkan para pengusaha jasa pariwisata di Prawirataman, baik untuk berpartisipasi aktif dalam rapat dan pertemuan ataupun sebagai penyumbang dana.

Kegiatan-kegiatan dalam masyarkat tersebut juga dapat menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan yang tinggal di Prawirataman. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

BAB V PENUTUP

Dalam rentang waktu 1920 – 1975 pemukiman Prajurit Prawiratama yang dikenal dengan nama Kampung Prawirataman telah mengalami berbagai proses perubahan. Di dalam proses perubahan tersebut, Kampung Prawirataman mengalami perkembangan, kemajuan, kemunduran dan pergantian dalam bidang usaha yang ditekuni, yaitu dari industri batik menjadi industri pariwisata.

Perubahan tersebut terjadi bukan hanya karena faktor internal dari dalam masyarakatnya sendiri, yaitu tuntutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Akan tetapi juga dipengaruhi oleh dinamika dan situasi yang terjadi pada tingkat nasional, baik dalam bidang ekonomi, sosial ataupun politik. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, baik lokal ataupun nasional juga turut memberikan pengaruh.

Proses perubahan yang terjadi di Kampung Prawirataman pada kurun waktu 1920 – 1975 tersebut adalah sebagai berikut, kampung Prawirataman awalnya merupakan suatu pemukiman yang tanahnya diberikan oleh Kraton kepada abdi dalem dengan profesi prajurit yang tergabung dalam Kesatuan

Prajurit Prawiratama, sehingga kemudian nama kampungnya disebut

Prawirataman. Para istri dari abdi dalem prajurit tersebut menekuni usaha batik PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 100

untuk memenuhi kebutuhan batik istana, dan juga sebagai sumber penghasilan tambahan. Lambat laun peminat kain batik semakin meluas bukan hanya untuk kalangan istana saja, sehingga batik menjadi komoditi dagang yang sangat populer. Permintaan pasar yang tinggi bersamaan dengan berkembangnya penemuan teknik cap yang memudahkan proses pembuatan batik dalam waktu yang relatif singkat, daerah Prawirataman tumbuh menjadi salah satu sentra industri batik yang penting di Yogyakarta.

Industri batik tersebut mengalami kemunduran pada saat krisis ekonomi melanda dunia pada kisaran tahun 1930. Namun kemudian, perjuangan melawan keterpurukan yang dilakukan para pengusaha batik di Yogyakarta mendapatkan dukungan dari pemerintah pasca Proklamasi Kemerdekaan RI. Kebijakan pemerintah yang membatasi impor kain bermotif batik dan melindungi industri dalam negeri, membawa nama Prawirataman kembali pada tingkat kesuksesan, meskipun tidak berlangsung lama. Situasi dan dinamika sosial, politik serta ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1960-an, membawa pengaruh yang besar. Situasi itu diperparah dengan berbagai kebijakan baru dari pemerintahan yang baru pula. Di samping itu juga adanya ekspansi batik printing secara besar- besaran. Kemunduran dan kemerosotan industri batik tidak dapat dihindarkan, banyak pengusaha batik yang terpaksa menutup usaha mereka, dan mencoba peruntungan dengan mengembangkan berbagai jenis usaha yang baru misalnya rumah kos, peternakan ayam, dan lain sebagainya.

Pada tahun 1968, salah satu mantan pengusaha batik di Prawirataman memulai usaha baru dengan mengalihfungsikan rumah bekas usaha batiknya PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 101

sebagai tempat penginapan. Usaha tersebut dipandang berhasil karena pada saat itu pemerintah sedang gencar-gencrnya menggalakkan program pariwisata sebagai penghasil devisa negara. Keberhasilan usaha penginapan tersebut kemudian diikuti dengan munculnya penginapan-penginapan yang lain, sehingga kemudian dan bahkan sampai sekarang, daerah industri batik Prawirataman beralih menjadi daerah yang menekuni sektor pariwisata.

Bidang sosial dan ekonomi merupakan dampak yang paling dirasakan masyarakat sebagai akibat dari perubahan tersebut. Masyarakat yang dulunya menekuni usaha batik berkenalan dengan dunia pariwisata melalui usaha jasa penginapan. Usaha baru dalam bidang pariwisata itu disatu sisi membawa kerugian bagi para buruh batik yang kehilangan pekerjaan, namun kemudian eksternalisasi positif yang berupa perluasan kesempatan kerja yang baru kembali muncul bagi masyarakat. Bukan hanya dalam bidang penginapan, akan tetapi juga usaha penunjang pariwisata lainnya, misalnya rumah makan, tempat penyewaan moda transportasi, biro perjalanan wisata, tukang becak, pemandu wisata, dan lain sebagainya. Sebagian dari penduduk Prawirataman juga memperoleh penghasilan dari usaha mereka menyewakan tanah dan bangunan yang dimiliki kepada para pendatang.

Perubahan sosial yang signifikan juga dialami oleh sebagian masyarakat terutama mantan pengusaha batik yang berasal dari lima trah kekerabatan yang dipandang sebagai pelopor usaha batik di Prawirataman. Pola pernikahan berdasarkan pada jaringan usaha batik yang dulu terjadi di kalangan para pengusaha yang menjalankan usahanya batiknya secara turun-temurun, tidak lagi PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 102

terjadi seiring dengan merosotnya usaha batik tersebut. Keturunan para pengusaha batik tersebut diberi kebebasan dalam menentukan pasangan hidupnya serta usaha perekonomian yang dijalankan.

Meskipun telah terjadi perubahan yang signifikan di daerah Prawirataman seperti telah diuraikan di atas, namun masih ada hal yang sampai sekarang masih bertahan, yaitu ikatan masyarakat setempat yang masih kuat. Ikatan yang dimaksud di sini adalah bahwa meskipun daerah Prawirataman telah berkembang menjadi industri tersier dalam bidang kepariwisataan dan merupakan daerah domisili bagi wisatawan lokal ataupun asing dari berbagai negara dan kebudayaan, tidak serta merta merubah perilaku dan gaya hidup masyarakatnya.

Dengan kata lain, walaupun budaya asing dan nilai-nilai baru masuk ke daerah

Prawirataman namun nilai-nilai tradisional yang hidup di masyarakatnya masih tergolong kuat. Hal ini tercermin dari kegiatan-kegiatan kampung yang masih tetap dilaksanakan, misalnya kerja bakti, siskamling, pengajian, pertemuan RT, dan lain-lain.

Batik sebagai cikal bakal usaha di daerah Prawirataman juga tidak sepenuhnya hilang dan mati. Masih ada satu perusahaan yang tetap menekuni bidang usaha batik, meskipun dengan skala produksi yang kecil. Usaha pelestarian batik ini juga bisa dilihat dengan adanya beberapa biro perjalanan wisata yang menjual paket kursus membatik bagi para wisatawan. Di samping itu ikatan kekerabatan yang didasarkan pada trah-trah kekerabatan yang juga merupakan pelopor dalam industri batik Prawirataman masih tetap dihargai oleh masyarakat setempat. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdurrachman Surjomiharjo, Kota Yogyakarta 1880-1930: Sejarah Perkembangan Sosial. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000. Aditya Kusumawan, Dari Kampung Menjadi Kelurahan: Patehan 1940-an– 1970-an, Skripsi: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2009. Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang. 2000

Alamsyah, Kajian Arkeomusikologi Terhadap Alat Musik Prajurit Kraton Yogyakarta, Skripsi: Jurusan Arkeologi fakltas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: 2005.

Darwis Khudori, Menuju Kampung Pemerdekaan Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-akarnya Belajar dari Romo Mangun di Pinggiran Kali Code. Yogyakarta: Yayasan Podok Rakyat. 2002.

Djoko Suryo, Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900 – 1990, dalam Freel Colombijn, dkk. (ed), Kota lama Kota Baru Sejarah Kota-Kota di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2005. Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. Yogyakarta: Dari Hutan Beringan Ke Ibukota Daerah Istimewa. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. 2002. Evers, Hans-Dieter dan Korff, Rudiger, Urbanisme di Asia Tenggara Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2002. Gatut Murniatmo dan Tshadi, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Budaya daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993.

Hafda Zuraida, Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935 – 1942, Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta: 2010. Keller, Ila, Batik: The Art and Craft, Japan: Charles E. Tuttle Company Co, Inc. 1966.

Jules R. Benjamin, A Student’s Guide to History, Boston: Bedford Books. 1994. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 104

Kawamura, Chiyo Inui, Peralihan Usaha dan Perubahan Sosial di Kampung Prawirotaman 1950-1990-an. Tesis: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2004.

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1994. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka. 2005. Mohammad Chawari, Bangunan Tradisional Jawa Di Kampung Kauman Yogyakarta Sebuah Model Pengelolaan. Tesis: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. 2008. Moedjanto, G, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1994. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2007. Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1993. Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Jakarta: Komunitas Bambu. 2009. Siska Narulita, Sejarah Koperasi Batik PPBI Yogyakarta 1950 -1980, Skripsi: Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: 2004. Spillane, James J, Pariwisata Indonesia: Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius. 1987. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali. 1982. Sudarmo Ali Murtopo, dkk, Dampak Pembangunan Ekonomi (Pasar) Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (Studi Kasus Pertanian Salak Pondoh Desa Bangunkerto). Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995/1996. Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830- 1920. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1991. Sutrisno Kutoyo, dkk. Sejarah Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinan Nilai-nilai Budaya Pusat Direktorat dan Nilai Tradisional, Direktorat Jendral Kebudayaan. 1997. Tim Penulis, Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta. 2009. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI 105

Tim Penyusun, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Tim Penyusun Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 1990. Zulyani Hidayat, (ed). Dampak Pariwisata Terhadap Pola Pemukiman Penduduk Cipanas Garut, Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994/1995.

Pdf files:

Chusnul Hayati, Gender dan Perubahan Ekonomi: Peranan Perempuan Dalam Industri Batik di Yogyakarta 1900-1965. http://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/chusnul_hayati.htm. Diakses pada 10 Oktober 2011. PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

LAMPIRAN 1

Data Narasumber dari Penelitian Lapangan No. Nama Umur Pekerjaan Alamat 1. Dalulu Wasina 50 Tahun Perawat Prawirataman 2. Heriyadi Ayik 54 Tahun Ketua RT 06 Prawirataman 3. HR. Hartono Tidak dijawab Pemilik Penginapan Prawirataman 4. Sarijan 67 Tahun Tukang Becak Prawirataman 5. Soegiran 65 Tahun Tukang Becak Prawirataman 6. Sri Fitriyati 52 Tahun Wiraswasta Prawirataman 7. Suprapto 65 Tahun Pemilik Penginapan Prawirataman

Catatan: Jumlah narasumber yang diwawancarai untuk penelitian ini kurang lebih ada sepuluh orang dan tujuh diantaranya tercatat di dalam daftar ini. Ketujuh orang tersebut merupakan narasumber yang perkataannya dipakai sebagai sumber lisan dalam skripsi ini.

Sumber: Hasil penelitian lapangan.