BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi setiap negara melakukan pembangunan di segala bidang dalam upaya untuk memberi kesejahteraan bagi masyarakatnya, hal tersebut tertuang dalam Alenia 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi sebagai berikut “Untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam Undang-Undang Dasar Negara tersebut harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Seperti kita ketahui bahwa pembangunan ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diharapkan akan memberi dan menjadikan masyarakat Indonesia adil serta makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Hal tersebut terlihat pada dasawarsa terakhir yang terlihat semakin nyata dalam pembangunan yang berbasis industri serta ekonomi kreatif yang akan menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat Indonesia. Kesepakatan Indonesia untuk merealisasi gagasan ASEAN Free Trade Area (AFTA) serta keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organisation (WTO) dan Asia-Pasific Economic Coorporation (APEC), hal 157 tersebut menunjukan keseriusan pemerintah dalam mendukung sistem perekonomian yang terbuka, sehingga secara tidak langsung akan memacu masyarakat untuk lebih kreatif dan mempunyai daya saing yang tinggi di bidang karya cipta. Kekayaan Intelektual merupakan hak atas suatu ciptaan dibidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk memberi perlindungan dan jaminan kepastian hukum dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sastra bagi pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait. Hak Cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang memiliki ruang lingkup objek dilindungi paling luas, karena mencakup ilmu pengetahuan, seni dan sastra (art and literary). Perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan Indonesia dan berbagai negara dan berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi mengharuskan adanya pembaruan Undang-Undang Hak Cipta, mengingat Hak Cipta menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif dan pembangunan yang berbasis industri nasional. Dengan Undang-Undang Hak Cipta yang memenuhi unsur pelindungan dan pengembangan ekonomi kreatif ini maka diharapkan kontribusi sektor Hak Cipta dan Hak Terkait bagi perekonomian negara dapat lebih optimal. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi salah satu variabel dalam Undang-Undang tentang Hak Cipta ini, mengingat teknologi informasi dan komunikasi di satu sisi memiliki peran strategis dalam pengembangan Hak Cipta, tetapi di sisi lain juga menjadi alat untuk pelanggaran hukum di bidang ini. Pengaturan yang proporsional sangat diperlukan, agar fungsi positif dapat dioptimalkan dan dampak negatifnya dapat diminimalkan. 158 Hak eksklusif yang diberikan kepada seseorang (pencipta, pendesain, dan sebagainya) sebagai penghargaan terhadap karya ciptanya serta orang lain akan berusaha untuk dapat mengembangkan lagi karya cipta tersebut. Sehingga tujuan diaturnya kekayaan intelektual dalam hukum adalah memberi pengakuan dan perlindungan hukum bagi pemegang hak yang berupa hak eksklusif kepemilikan hasil ciptaannya serta mengatur penggunaan hasil ciptaannya dalam jangka waktu tertentu. Disamping itu juga karena penerimaan dan keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan mengenai Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods/TRIP’s) yang merupakan bagian dari persetujuan pembentukan organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing The World Trade Organization), kemudian dengan Keputusan Presiden RI No. 15 Tahun 1997 tentang pengesahan organisasi WIPO (WIPO Copyright Treaty) serta dengan Keputusan Presiden RI No. 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Bern (Bern Covention of The Protection of Literary and Artistic Works).1 Kondisi-kondisi inilah yang telah mengubah hukum domestik Indonesia, karena pengaruh hukum (perjanjian-perjanjian) Internasional. Hal seperti ini bila dihubungkan dengan nilai-nilai budaya yang tumbuh, sikap sosial dunia hukum berproses dan berlaku akan menimbulkan masalah tersendiri. Mengingat satu sisi ketentuan hak cipta merupakan adopsi dari hukum asing yang sangat diperlukan sebagai upaya untuk mengantisipasi diri dalam menghadapi globalisasi, tapi dalam sisi lain kondisi sosial, budaya masyarakat Indonesia khususnya di Surakarta yang masyarakatnya masih tradisional berproses menuju pada masyarakat modern (Transisi). 1 Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 57 159 Karena dalam masyarakat Surakarta terlihat sifat-sifat kekerabatan yang masih mengedepankan nilai dan sifat ketimuran yang lebih mengemukakan kebersamaan (sifat individualisnya tidak nampak). Jadi sikap dan sifat masyarakat Surakarta lebih mementingkan kepentingan bersama dari pada kepentingan individu atau perorangan serta tidak semua masyarakat mengerti dan memahami Undang-undang Hak Cipta (hukum hak cipta). Suatu kondisi nyata yang terdapat dalam budaya masyarakat Indonesia adalah bahwa sebagian masyarakatnya masih sederhana terhadap sesuatu hal yang bersifat menjiplak atau meniru suatu karya cipta atau karya seni batik, hal tersebut adalah hal yang sudah biasa atau lumrah. Si penciptanya tidak merasa dirugikan apabila ciptaannya atau motif batiknya ditiru atau dijiplak oleh orang lain, bahkan mereka (pencipta) merasa bangga karena bisa membagi rezeki (segi ekonomi) kepada sesama pengrajin atau pencipta batik. Keadaan semacam inilah yang perlu disadarkan dan diberi pemecahannya, karena itu dengan diterapkannya Undang-undang Hak Cipta diupayakan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap karya cipta yang dihasilkan, sehingga akan menumbuhkan inovasi dan kreasi di kalangan para pencipta khususnya para pengrajin batik. Dengan adanya perlindungan terhadap karya ciptanya tersebut diharapkan para pencipta batik dapat memproduksi hasil dari karya ciptanya tersebut serta dapat menikmati hasil dari karya ciptanya tersebut dari segi kebutuhan ekonomi, jadi si pencipta tidak saja menikmati hanya untuk kepuasan batin saja tetapi juga dalam arti ekonomi. Karena itu perlindungan Hak Milik Intelektual di Indonesia (termasuk hak cipta) tetap harus dititik beratkan pada kepentingan Nasional. Seperti diketahui bahwa sebagian besar pengusaha batik atau pencipta batik kebanyakan adalah pengusaha kecil, dalam melakukan usahanya atau memproduksi batiknya masih bersifat sederhana atau tradisional karena tidak menggunakan alat-alat 160 modern. Mereka juga berangapan bahwa seni batik tersebut adalah seni atau produk yang sudah ada serta bersifat turun-temurun dari para leluhur mereka sehingga dengan demikian karya seni dalam hal ini karya cipta batik dianggap sebagai milik masyarakat. Oleh karena itu perilaku masyarakat dalam hal ini adalah pengusaha atau pengrajin batik yang meniru suatu corak atau motif batik yang sudah diproduksi oleh penciptanya dan produk tersebut sangat diminati oleh masyarakat sehingga laku, diangap sesuatu yang lumrah atau sudah biasa, bahkan para pencipta batik atau pengusaha menganggap bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang melanggar Undang-undang Hak Cipta, bahkan ada juga seorang pencipta batik yang merasa bangga apabila corak atau motif dari batik yang ia ciptakan ditiru oleh sesama pengrajin batik. Pada awalnya seni batik lebih dipandang sebagai karya seni yang dibuat untuk kebutuhan sendiri, batik memegang peranan penting dalam hal untuk menentukan tata busana adat keraton, dan hanya dipergunakan oleh para bangsawan.2 Pada waktu itu batik masih dianggap sebagai barang mewah, yang hanya dipakai oeh masyarakat kelas atas sebab hanya merekalah yang dapat membelinya.3 Namun dalam perkembangannya batik tidak diangap atau bukan merupakan barang mewah dan seni yang merupakan suatu kebanggaan bagi penciptanya. Kemudian karya batik tersebut diproduksi oleh penciptanya serta diperdagangkan sehingga dapat dinikmati hasilnya oleh si penciptanya. Dengan diproduksinya karya seni batik tersebut berarti produk tersebut mempunyai nilai ekonomis dan bersifat komersil serta dapat meningkatkan penghasilan dan memberi kesejahteraan bagi pencipta. Apalagi batik Surakarta lebih berkembang dan menjadi produk yang diunggulkan untuk menopang penghasilan daerah pada umumnya dan penghasilan para pencipta atau pengrajin batik pada khususnya. 2 Mari S. Condronegoro, Busana Adat Keraton Yogyakarta Makna dan Fungsi Dalam Berbagai Upacara, (Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusantara, 1995), hal. 17 3 Anesia Aryunda Dofa, Batik Indonesia, (Jakarta : PT. Golden Terayon Press,1996), hal. 8 161 Berdasarkan uraian di atas, maka perlu adanya rekonstruksi perlindungan hukum hak cipta pengrajin batik yang berbasis nilai