DDC: 321.5 MENYIAPKAN PEREMPUAN: LEGITIMASI LANGIT DAN EFEKTIVITAS REZIM SULTAN X1

Bayu Dardias Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Email: [email protected]

Diterima: 17-3-2016 Direvisi: 29-3-2016 Disetujui: 4-4-2016

ABSTRACT Sultan Hamengkubuwono (HB) X of Yogyakarta has chosen his eldest daughter as his successor in a traditionally patrilineal Sultanate. This paper discusses the controversy surrounding Sultan HB X’s decision by measuring the impact of his proclamations and orders for the Sultanate’s long-term regime effectiveness. I argue that Sultan HB X’s proclamations and orders based, which were based on mysticism and a sense of divinity, have been ineffectual for maintaining regime effectiveness inside and outside of the Sultanate. Within the Sultanate, the Sultan’s siblings have argued that his decisions contradict the Sultanate’s centuries-long tradition of rules (paugeran). Outside the walls, broader society has been divided over Sultan HB X’s choice. One group supports Sultan HB X’s decision, while the other group is determined to hold on firmly to their patriarchal cultural and historical traditions. While Sultan HB X’s proclamations and orders have been ineffectual in maintaining the Sultanate and its influence, his decisions have even brought about an enormous challenge to the survival prospects of the Sultanate itself.

Keywords: political legitimation, regime, Sultan Hamengkubuwono,

ABSTRAK Pada 2015, Sultan Hamengkubuwono (HB) X mengeluarkan empat kali Sabda dan Dawuh Raja yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan di Kasultanan Yogyakarta. Tanpa memiliki putra laki-laki, Sultan HB X menunjuk putri sulungnya sebagai penerus takhta yang menganut patrilineal. Berdasarkan pada teori tentang efektivitas rezim, tulisan ini bertujuan menguji efektivitas rezim aristokrasi Sultan HB X, terutama dilihat dari implikasi politik Sabda Raja dan Dawuh Raja. Penulis berargumen bahwa penggunaan petunjuk langit sebagai basis legitimasi politik tidak cukup efektif menciptakan dukungan politik bagi rezim Sultan HB X. Kondisi ini menjadi ciri melemahnya rezim aristokrasi, tidak hanya di luar lingkungan Kasultanan, tetapi juga ke dalam. Legitimasi mistisisme yang berdasarkan pada petunjuk langit tidak mampu menjadi basis legitimasi di tengah masyarakat yang berubah semakin rasional. Di lingkup internal, Sabda dan Dawuh Sultan HB X menghilangkan kemampuan Kasultanan untuk memilih pemimpin politik masa depan dan bertentangan dengan ketentuan (paugeran) yang selama ini berlangsung. Di luar tembok istana, masyarakat terbelah antara mendukung Sultan dan tantangan budaya, , serta sejarah. Di tengah menguatnya posisi politik Kasultanan dalam demokrasi , kondisi ini merupakan tantangan terbesar. Kata kunci: legitimasi politik, rezim, Sultan Hamengkubuwono, Kasultanan Yogyakarta

1 Sebagian kecil dari materi ini pernah dipresentasikan bersama John Monfries dalam forum diskusi Indonesian Study Group di Australian National University, Canberra, pada 26 Agustus 2015, dengan judul The Yogyakarta Crisis of 2015.

31 PENDAHULUAN dan memiliki kontrol terhadap tanah yang menjadi sumber daya politik jangka Tulisan ini menjawab pertanyaan bagaimana panjang. Melalui kewenangan istimewa tersebut, efektivitas rezim aristokrasi Sultan Hameng- aristokrasi di Yogyakarta tetap akan kuat secara kubuwono X (HB X) dipengaruhi oleh isu suk- politik walaupun mengalami beberapa pelemahan sesi serta implikasi politik dari Sabda Raja dan di lingkungan internal rezim. Dawuh Raja. Saya berpendapat bahwa, diukur dari efektivitas rezim seperti definisi Munck Beberapa literatur membahas tentang (1996) dan Beetham (1991), rezim Sultan HB X menguatnya aristokrasi dan integrasinya dalam mulai melemah di kalangan internal Kasultanan politik Indonesia pascareformasi sebagai bagian Yogyakarta karena kegagalan menggunakan le- dari menguatnya identitas lokal dan semangat gitimasi mistisisme dalam menentukan penerus komunal serta nostalgia masa lalu (Cribb, 2006; takhta. Indikasi melemahnya kontrol rezim dilihat Dwipayana, 2004; Klinken, 2007). Sentimen dari penolakan terhadap keputusan Sultan HB X tradisionalisme dan sejarah mampu dijadikan memilih putri sulungnya, GKR Pembayun (yang magnet guna menarik dukungan politik untuk selanjutnya berganti nama menjadi GKR Mang- berkompetisi dalam pemilu di tingkat lokal, kubumi—nama Mangkubumi menjadi salah satu misalnya di Bantul (Sulistiyanto, 2009), Gianyar nama untuk menunjuk penerus takhta), sebagai (MacRae & Putra, 2007), Gowa (Buehler & putri mahkota. Rezim aristokrasi HB X juga Tan, 2007) dan Utara (Smith, 2009). semakin tidak efektif karena aturan main yang Keberhasilan integrasi Yogyakarta dalam institusi digunakannya tidak menjadi prinsip bersama demokrasi melalui UUK Yogyakarta diinginkan yang disepakati dan diikuti di lingkup internal oleh daerah lainnya, tetapi sulit disamai. Integrasi kekuasaan. Selain itu, Sultan HB X menciptakan tersebut mengandalkan sejarah dan praktik masa perpecahan eksternal rezim karena basis legiti- lalu sebagai basis legitimasi (Dardias, 2009). masi mistisisme yang digunakan sebagai dasar Oleh karena itu, ketika wacana pemilihan lang- Sabda dan Dawuh tidak mendapatkan tempat sung gubernur dilakukan, masyarakat menolak di kondisi masyarakat yang semakin rasional. karena tidak sesuai dengan tradisi (Harsono, Seluruh analisis tersebut akan dipadukan dengan 2011). Namun, literatur tentang politik aristokrasi kondisi politik yang berubah setelah diundang- masih menyisakan banyak celah, terutama di- kannya Undang-Undang Keistimewaan (UUK) kaitkan dengan perkembangan politik kekinian, Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2012. baik perkembangan di lingkup internal kerajaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mene- maupun dampaknya terhadap masyarakat. Tulisan mukan momentum politik baru dalam demokrasi ini ingin mengisi gap tersebut. Indonesia setelah diundangkannya UUK. Setelah Kasultanan dan Pakualaman termasuk ke melalui proses panjang sejak reformasi, Daerah dalam empat kerajaan yang merupakan pemekaran Istimewa Yogyakarta memiliki kewenangan dari Mataram Islam selain Kasunanan istimewa di tingkat provinsi yang meliputi lima dan , yang menggunakan garis pa- bidang: kebudayaan, pertanahan, tata ruang, triarki untuk menentukan pemimpin. Kuatnya kelembagaan, serta posisi gubernur dan wakil simbol patriarki tersebut tecermin, antara lain, dari gubernur yang otomatis dijabat Sultan dan Paku senjata, regalia, serta tata cara adat dan struktur Alam yang bertakhta. Posisi kedua institusi keraton. Dalam tradisi pemerintahan yang selama tradisional di DIY, yaitu Kasultanan Yogyakarta ini berlangsung, perempuan ditempatkan dalam (Kasultanan) dan Kadipaten Pakualaman (Paku- satu departemen keputren, sementara departemen- alaman), mendapatkan perlakuan khusus dalam departemen lainnya dijabat oleh laki-laki. Dalam sistem politik Indonesia. Pemimpin politik di perjalanan sejarah Mataram, calon raja berikutnya DIY ditentukan bukan oleh pemilu kepala daerah dapat dengan mudah ditentukan karena raja yang seperti terjadi di 33 provinsi lainnya, melainkan bertakhta biasanya memiliki lebih dari satu istri oleh pergantian kepemimpinan tradisional di dengan banyak putra. Jika salah satu istrinya di- dua institusi tersebut. Selain itu, Kasultanan angkat menjadi permaisuri, dialah yang memiliki

32 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 kedudukan lebih utama untuk menurunkan raja EFEKTIVITAS REZIM ARISTOKRASI selanjutnya dibandingkan dari selir, walaupun anak Literatur tentang rezim, menempatkan rezim lelaki selir tersebut merupakan anak tertua raja. tradisional sebagai salah satu tipe rezim yang Tradisi patriarki mendapat tantangan karena bertahan hingga saat ini. Rezim tradisional dua hal: berakhirnya tradisi poligami dan keeng- berpedoman pada dua hal, yaitu garis darah dan ganan raja yang bertakhta untuk menentukan sejarah sebagai basis legitimasi. Studi komparatif permaisuri dari istri-istrinya. Ketika tradisi Kailitz (2013) membagi rezim politik menjadi poligami diputus, raja memiliki kemungkinan tujuh kategori, yaitu liberal, electoral, commu- lebih kecil untuk mendapatkan anak laki-laki nist, one-party, monarchy, military regime, dan karena sumber keturunannya hanya berasal personalist. Salah satu ciri penting dari monarki dari satu rahim. Selain itu, beberapa raja yang adalah justifikasi rezim monarki berpedoman memiliki lebih dari satu istri tidak menentukan kepada “she/he has a God-given, natural or at permaisuri dari istri-istrinya, yang menyebabkan least established historical right to rule because aristokrasi kesulitan menentukan kandidat raja of his or her descent, regardless of the political karena keturunan laki-laki berebut takhta. outcome of his or her rule” (hlm. 48). Dengan Kedua masalah tersebut ada di Kasultanan, demikian, dalam definisi ini, baik-buruknya yang kesulitan memilih penerus Sultan HB X cara memerintah tidak menjadi persoalan serius karena tidak memiliki putra laki-laki—tetapi karena pemimpin berikutnya ditentukan bukan lima orang putri—dan sudah menunjuk permai- oleh kepiawaiannya memimpin, melainkan suri. Sultan HB X menolak berpoligami didasari hubungan darah. oleh pengalaman pribadi memiliki saudara tiri Rezim monarki mengutamakan hubungan (“Blak-blakan dengan”, 2007). Selain itu, Sultan darah dan kesejarahan memerintah. Dalam analisis menobatkan satu-satunya istrinya, Gusti Kanjeng Beetham (2013, xv), tipe rezim tradisional meru- Ratu (GKR) Hemas, menjadi permaisuri (Syamsi, pakan salah satu dari enam rezim lainnya (fascist, 2012). Sebagai solusi, Sultan HB X mengelu- communist, liberal-democratic, theocratic, tech- arkan Sabda dan Dawuh, yang menunjuk GKR nocratic, dan dictatorial), yang dibagi berdasarkan Mangkubumi menjadi calon penerus takhta. pada jenis hukum, sumber otoritas, tujuan peme- Naskah ini dihasilkan dari penelitian lapang- rintah, dan model kesepakatan publik. Beetham an di Yogyakarta dan selama akhir 2014 (2013) menyebut rezim yang sumber otoritasnya sampai awal 2016 dengan mewawancarai lebih didasarkan pada keturunan (heredity) dan sejarah dari 60 informan, baik di Kasultanan Yogyakarta, (the past) sebagai tipe rezim tradisional. Rezim Kadipaten Pakualaman, kalangan akademisi dan tradisional menggunakan pengalaman masa lalu tokoh masyarakat, serta unsur politik dan peme- sebagai sumber hukum dan bertujuan memberikan rintah. Diskusi akan diawali dengan pembahasan kesejahteraan dalam batas-batas tradisional. Ke- tentang rezim aristokrasi, kemudian dilanjutkan sepakatan publik dalam rezim tradisional diperoleh dengan pembahasan tentang sistem Kasultanan dari kesepakatan elite sosial. yang berbasis agraris yang berimplikasi pada Monarki, seperti yang didiskusikan di atas, proses menentukan pemimpin politik, dengan tidak ditemukan dalam konteks Indonesia pascare- melihat keseluruhan kandidat yang dapat men- formasi, terutama karena level institusionalisasi jadi raja. Bagian berikutnya membahas tentang dan level fragmentasi. Level institusionalisasi detail Sabda dan Dawuh yang terkait dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia sangat rendah, suksesi, serta membandingkan dan menganali- kecuali Kasultanan Yogyakarta (Kasultanan). sisnya dengan perspektif komparatif. Selanjutnya, Mereka tidak mampu menciptakan institusi yang akan dibahas tentang dampak dari sabda-sabda kompleks dan bekerja efektif seperti layaknya tersebut, terutama berkaitan dengan legitimasi sebuah rezim. Selain itu, mereka terfragmen- politik berbasis mistisisme. Simpulan tulisan ini tasi dan berada maksimum pada level provinsi, akan menakar implikasi praktis dari melemahnya menjadikan kerajaan-kerajaan di Indonesia rezim Sultan HB X. tidak mampu disandingkan dengan monarki di

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 33 Brunei, Thailand, Kamboja, Laos, dan Malaysia. anggotanya. Munck (1996, 6) mendefinisikan Aristokrasi di Indonesia mayoritas berpengaruh efektivitas rezim politik berdasarkan pada di- secara politik di kabupaten/kota, kecamatan, patuhinya aturan main yang diukur melalui tiga atau bahkan desa seperti di Maluku (Brauchler, hal: jumlah dan jenis aktor politik yang dapat 2011). Gabungan Kasultanan dan Kabupaten menduduki kekuasaan, metode yang digunakan Pakualaman (Pakualaman) adalah satu-satunya untuk mencapai posisi tersebut, serta aturan yang pengecualian yang dampak politiknya berada di mengikat dan ditaati oleh anggota rezim. Dengan level provinsi. Oleh karena itu, kerajaan di Indo- demikian, pemimpin rezim harus mampu me- nesia lebih tepat didefinisikan sebagai aristokrasi ngontrol dan memastikan seleksi dalam anggota yang memiliki prinsip yang sama dengan monarki rezimnya. Seleksi aktor politik ini dikendalikan dalam konteks yang lebih kecil. Lieven (1994) oleh mekanisme yang berlangsung di dalam mendeskripsikan aristokrasi sebagai “a historical, rezim. Senada dengan Munck, Beetham (1991, hereditary ruling class,” sehingga definisi rezim 16) melihat bahwa kekuasaan dapat dikatakan seperti dalam monarki dapat dipinjam untuk legitimate (sah) apabila memenuhi tiga hal: “it menjelaskan aristokrasi di Indonesia. conforms of established rules, the rules can be Lemahnya daya institusionalisasi dan ter- justified by reference to beliefs shared by both fragmentasinya aristokrasi di Indonesia dapat dominant and subordinate, and there is evident dijelaskan melalui geografis dan sejarah, terutama of consent by the subordinate to the particular terkait dengan perlakuan pemerintahan kolonial. power relation.” Jadi, kekuasaan yang legitimate Kershaw (2001a), misalnya, dalam studinya mensyaratkan adanya aturan main. Aturan main tentang monarki di Asia Tenggara, menempatkan menjadi kepercayaan bersama yang ditaati dan Indonesia sebagai sebuah pengecualian. Secara adanya tindakan yang mendukung aturan main geografis, lima negara di Asia Tenggara yang tersebut. Sebaliknya, Beetham (1991) juga menganut monarki terdiri atas struktur geo- menandai kekuasaan yang tidak legitimate grafis daratan yang mampu digunakan sebagai ditandai dengan tidak disepakatinya aturan basis konsolidasi ekonomi agraris. Salah satu main, adanya gap antara aturan main sebagai aristokrasi perairan Kasultanan Sulu di Selatan kepercayaan bersama dan adanya delegitimasi. Filipina gagal mempertahankan diri pada abad ke-20. Kedua, pemerintah Belanda memperlaku- SISTEM POLITIK DALAM kan hubungan dan kontrak politik yang berbeda ARISTOKRASI AGRARIS pada tiap-tiap kerajaan dalam konteks “indirect Tipologi aristokrasi di Indonesia, mengikuti rule” yang membuatnya tidak hanya gagal karakter di Asia Tenggara, bisa dikerucutkan terintegrasi, tetapi justru terpecah dan saling menjadi dua tipe utama, yakni agraris dan bermusuhan di antara mereka sendiri. Setelah perairan. Tipologi yang pada awalnya didasar- Perang pada 1830, terutama di Jawa, kan pada basis ekonomi ini mengejawantah Belanda mengubah sistem koloni menjadi “most menjadi sistem sosial, politik, dan budaya yang direct”, yang menjadikan aristokrasi paling tidak berbeda satu sama lain sehingga menciptakan efektif memerintah dibandingkan monarki di Asia karakter-karakter yang khas (Bastin & Benda, Tenggara lainnya (Kershaw, 2001b, 4). Dari 282 1968; Legge, 1980; Wolters, 1999). Tipe agraris wilayah yang dapat mengelola daerahnya sendiri mengandalkan, terutama, tanah, sementara per- secara terbatas, diberlakukan kontrak panjang airan mengandalkan pelayaran dan perdagangan. untuk 14 kerajaan melalui staatblaad pada Penduduk kerajaan agraris relatif lebih homogen 1939–1941 dan 268 sisanya dengan kontrak dibandingkan perairan. pendek melalui staatblaad 1919/822 (Cribb & Air dan dibangunnya sistem pengairan men- Brown, 1995; Kasepuhan Cirebon, 2014). jadi sumber kekuatan penting bagi stabilitas politik Daya tahan dan kemampuan rezim untuk dan sosial di kerajaan agraris. Wittfogel (1967), bertahan dari gelombang politik ditentukan misalnya, membagi masyarakat agraris di Asia oleh seberapa efektif rezim mampu mengontrol menjadi dua berdasarkan pada kemampuannya

34 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 menciptakan sistem irigasi yang berguna untuk pedalaman. Kasunanan Surakarta, misalnya, me- stabilitas pangan dan akhirnya berimplikasi pada manfaatkan aliran Sungai Bengawan Solo untuk sistem politik yang digunakan. Wittfogel mem- keperluan pertanian. Di Yogyakarta, pemilihan baginya menjadi hydraulic society dan hydraulic kerajaan di alas Beringan, yang terletak di geger civilization. Pada hydraulic society, masyarakat bulus (punggung kura-kura), mempertimbangkan secara mandiri dalam skala kecil membuat organi- Sungai Progo di barat dan Sungai Opak di timur sasi untuk menata sumber air bagi pertanian. Pada yang penting untuk pertanian sekaligus aman dari masyarakat hydraulic civilization, penataan air ti- ancaman banjir. dak lagi hanya digunakan sebatas untuk pertanian, Tenaga kerja menjadi penyatu tanah dan air tetapi dikembangkan dalam skala yang lebih luas karena, tanpa tenaga kerja, kedua faktor produksi dan mampu digunakan untuk mencegah bencana tersebut tidak berguna. Pentingnya tenaga kerja seperti banjir. Wittfogel juga menggarisbawahi dalam membangun kerajaan ditunjukkan dalam bahwa despotisme penguasa di Asia ditentukan Perjanjian Giyanti, yakni ketika VOC tidak oleh seberapa efektif kontrol kerajaan terhadap hanya memberi Pangeran Mangkubumi tanah, sistem pengairan. Semakin menuju civilization, yang kemudian menjadi Yogyakarta, tetapi juga peluang untuk menjadi despot semakin besar cacah (jiwa yang dihitung per keluarga) sebagai karena memiliki kontrol terhadap sumber daya penggarap. Dalam setiap pemekaran Mataram ekonomi paling penting, yaitu air. selanjutnya, tenaga kerja selalu menjadi perhi- Pada aristokrasi yang berkarakter agraris, tungan penting dalam perjanjian. Pada saat Raf- sumber ekonomi, sosial, dan politik didasarkan less memberikan hadiah tanah kepada Pangeran pada penyatuan tiga unsur, yaitu tanah, air, dan Notokusumo (), jumlah keluarga tenaga kerja. Tanah menjadi sumber ekonomi menjadi salah satu poin penting. penting bagi kerajaan agraris yang berhubungan Sebagai cara untuk memperluas tanah, erat dengan konstelasi politik. Proses perpecah- memperbaiki sistem pengairan, dan sekaligus an di Mataram, misalnya, terjadi salah satunya menjamin tenaga kerja, penguasa kerajaan agraris karena wilayah Pakubuwono II di pesisir Utara dihadapkan pada upaya untuk menjamin legiti- menyusut akibat perjanjian Ponorogo lantaran masi. Masyarakat agraris sangat menggantungkan gagal menghentikan pemberontakan China. Se- diri pada alam, cuaca, dan musim sehingga bagai bentuk protes atas hilangnya tanah sebagai cenderung religius. Walaupun sudah mencatat sumber ekonomi di wilayah pesisir, Raden Mas perubahan cuaca yang dapat mempengaruhi Said melakukan pemberontakan. Pakubuwono hasil panen mereka, seperti ditunjukkan dalam II akhirnya membuat sayembara untuk meng- sistem panata mangsa (kalender masa tanam hentikan pemberontakan dengan janji hadiah dalam hitungan kalender Jawa (Ricklefs, 1999), kekuasaan di daerah Sukowati, yang selanjutnya mereka dihadapkan pada kondisi tidak pasti memicu pemberontakan Pangeran Mangkubumi menghadapi perubahan cuaca dan hama tanaman. karena Pakubuwono II ingkar janji setelah Keterbatasan menjelaskan fenomena alam dan Pangeran Mangkubumi berhasil menekan RM ketidakpastian hasil panen membuat para petani Said. VOC mengakhiri konflik di Jawa dengan menggantungkan diri pada sesuatu yang irasional, membagi Mataram menjadi tiga kerajaan melalui dan hal ini dimanfaatkan oleh penguasa politik perjanjian-perjanjian (Ricklefs, 1981; Selosoe- sebagai basis legitimasi dengan menciptakan mardjan, 1962; Woodward, 1989). mitos dan mistis. Keseluruhan bangunan mitos- Di sejarah Mataram, air selalu menjadi mistis tersebut berpusat pada figur penguasa yang perhatian penting dan letak posisi kerajaan selalu dianggap sebagai penghubung dua alam, nyata mempertimbangkan sungai. Kerajaan di Jawa se- dan gaib, meniru konsep dewa-raja dalam Hindu. lalu mengandalkan aristokrasi yang berbasis pada Legitimasi penguasa Mataram, misalnya, agraris (Legge, 1980). Ketika Malaka dikuasai dibangun dari mitos yang berasal dari petani Portugis pada awal abad ke-16, praktis kerajaan di Ki Ageng Giring, yang secara tidak sengaja Jawa hanya mengandalkan sumber ekonomi dari meminum air kelapa milik Ki Ageng Pemanahan

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 35 (Soemanto, 2003). Maka keturunan peminum air karena ketiadaan putra laki-laki. Yurisprudensi ini kelapa tersebut akan menjadi raja-raja Mataram. digunakan oleh saudara laki-laki Sultan HB IX Selain itu, diciptakan pula mitos tentang pe- bahwa merekalah yang lebih berhak meneruskan nguasa laut selatan, Ratu Kidul yang membantu takhta Kasultanan. raja pertama Mataram, Panembahan Senopati, Sistem patriarkal ini erat kaitannya dengan membangun kerajaan baru di Pleret, Yogyakarta. sistem irigasi dan penggarapan tanah. Raja Senopati diceritakan menghabiskan tiga hari tiga menerima upeti dan sumber ekonomi dari tanah malam di kerajaan Ratu Kidul di dalam lautan. yang pengurusannya diserahkan kepada para Sejak saat itu, seluruh empat penerus Kerajaan pangeran dan bupati sebagai penguasa wilayah. Mataram adalah suami Ratu Kidul dan dipercaya Para pangeran dan bupati mengandalkan para memiliki kontak langsung dengannya (Selosoe- bekel sebagai perantara dengan tenaga kerja mardjan, 1962, 18). Seluruh legitimasi yang sekaligus mengandalkan mereka untuk meng- didasari oleh mitos ini dipakai sebagai upaya organisasi petani. Peran bekel ini sangat krusial untuk membangun legitimasi politik dalam kon- sebagai perantara antara pemilik dan penggarap teks masyarakat tradisional-irasional. yang digaji dengan sistem bagi hasil. Para bekel Di Kasultanan Yogyakarta, legitimasi ira- kemudian bertransformasi menjadi kepala desa. sional didasarkan pada keberadaan Ratu Kidul Seluruh sistem apanage di atas menggunakan dan Kiai Sapu Jagad di Gunung Merapi. Kesatuan basis patriarki, yaitu penggantian raja, pangeran, selatan-utara ini membentuk garis lurus geografis bupati, hingga bekel dijabat secara turun-temurun imajiner Yogyakarta, yang terdiri atas Parangku- mengikuti garis laki-laki (Suhartono, 1991). sumo, yang dipercaya sebagai tempat pertemuan Sebagai basis legitimasi paling penting untuk Ratu Kidul dan Panembahan Senopati; Panggung sistem politik dan ekonomi, seluruh silsilah ketu- Krapak; Siti Hinggil; Tugu; serta Gunung Merapi. runan mulai Sultan dicatat Ketika Sultan Yogyakarta berdiri di Siti Hinggil dengan rapi di dalam sebuah divisi di Kasultanan menghadap ke utara, dia akan melihat Tugu dan yang disebut Darah Dalem. Penerus saat ini di- Gunung Merapi dalam satu arah pandangan. perebutkan antara putra Sultan HB IX dan putri Ketaatan sekaligus ketakutan terhadap mitos ini Sultan HB X. Menurut KRT Mandoyokusumo dapat dilihat dari tidak dimanfaatkannya potensi (1980), Sultan Hamengkubuwono IX memiliki laut selatan Yogyakarta dari sisi ekonomi. Sam- 15 putra dan tujuh putri dari keempat istrinya, pai sekarang, Yogyakarta menjadi satu-satunya dan tidak ada satu pun dari kelima istrinya yang provinsi di Indonesia yang memiliki garis pantai diangkat menjadi permaisuri. Penentuan Sultan 113.000 km, tetapi tidak memiliki pelabuhan yang HB X ditentukan melalui rapat keluarga yang dapat dilayari kapal berukuran sedang dan besar dilakukan setelah Sultan HB IX mangkat dan (Bappeda DIY, 2014). Selama berabad-abad, dilihat dari penanda pemberian nama KGPH tidak ada nelayan di pesisir selatan Yogyakarta. Mangkubumi kepada Herjuno Darpito, yang saat Kultur perairan dimulai pada 1983 setelah ada ini menjadi Sultan HB X (Roem, Lubis, Mochtar, beberapa nelayan dari Cilacap yang memperke- & Maimoen, 2011; “Robohnya Kami”, nalkan kultur laut dan mengubah petani menjadi 1985). Setelah mendapat nama Mangkubumi, nelayan (“Wamin, Mbahnya”, 2009). sesaat sebelum dinobatkan sebagai sultan, KGPH Dalam tradisi aristokrasi agraris di Mataram, Mangkubumi dilantik terlebih dahulu menjadi pemimpin politik ditentukan oleh kontestasi putra mahkota selama lima menit dengan gelar internal di antara anggota keluarga inti kerajaan, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Hamengku yang dalam sejarah selalu dipegang oleh laki-laki. Negoro Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram. Pada beberapa kasus, penerus takhta berlanjut Tiga orang putra HB IX sudah meninggal, yaitu bukan ke anak lelaki, melainkan menyamping GBPH Hadikusumo, GBPH Joyokusumo, dan ke saudara lelaki raja (anak lelaki raja sebel- BRM Kuslardiyanto, sehingga saat ini Sultan umnya). Harjono (2012) mencatat, pada 1855, HB X memiliki 11 adik laki-laki. Berikut ini Sultan HB VI diangkat dari adik Sultan HB V ke-11 adik Sultan HB X berdasarkan usia dan kepangkatan mereka di dalam internal keraton.

36 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Tabel 1. Adik Laki-laki Sultan Berdasarkan Garis Ibu Ibu Windyaningrum Ibu Pintokopurnomo Ibu Hastungkoro Ibu Ciptomurti KGPH Hadiwinoto (1) GBPH Hadisuryo (2) GBPH Prabukusumo (3) GBPH Pakuningrat (4) GBPH Yudhaningrat (5) GBPH Cakraningrat GBPH Chandraningrat GBPH Suryodiningrat GBPH Suryometaram GBPH Hadinegoro GBPH Suryonegoro * KGPH: Kanjeng Gusti Pangeran Haryo, gelar dua tingkat di bawah Sultan dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) sebagai Putra Mahkota. ** GBPH: Gusti Bendara Pangeran Haryo, satu tingkat di bawah KGPH. *** Angka (1) sampai (5) menunjukkan urutan berdasarkan pada usia walaupun urutan kelahiran tidak selalu dijadikan prinsip utama penerus takhta. Sumber: Hasil wawancara penulis dengan kerabat dan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta (Kurniadi, 2015b).

Dalam sistem patriarkal yang berlangsung Sultan , dua sultan sebelum selama ini, sekaligus mengikuti yurisprudensi Tajul Alam. Keempat sultanah tersebut tidak yang terjadi semasa pergantian pemimpin dari memiliki hubungan darah dan dipilih bergantung Sultan HB V ke VI, salah satu dari adiknyalah pada kontestasi politik di seputar singgasana yang berhak menjadi Sultan HB XI. Lebih lanjut, sekaligus mengakhiri model pemilihan sultan dari 11 adik lelaki tersebut, KGPH Hadiwinoto berdasarkan pada hubungan darah. Kondisi tanpa memiliki kesempatan lebih besar karena berapa hubungan darah ini diteruskan pada masa sultan hal: pertama, dia merupakan satu-satunya adik laki-laki hingga Kasultanan dibubarkan kandung Sultan HB X; kedua, memiliki derajat Belanda pada awal abad ke-20. Lebih lanjut, kepangkatan tertinggi; serta ketiga, dalam struk- Reid & Ito (1985) mencatat, munculnya sultanah tur keraton, dirinya merupakan pemimpin (lurah) memberikan alternatif bagi pemimpin despotik dari semua pangeran. Namun, prosesi kepangkat- untuk Kasultanan yang berbasis pada perairan an sering kali tidak menjadi acuan yang mutlak. dan perdagangan. Pendapat lain dikemukakan Sultan HB IX, sebelum menjadi sultan, memiliki Onghokham (2002, 75). Menurut Onghokham, pangkat yang lebih rendah daripada kakaknya, karakter negara maritim tidak menempatkan tetapi oleh Sultan HB VIII diberi keris Joko sultan dalam posisi berkuasa penuh. Dalam kasus Piturun, yang merupakan keris putra mahkota. Aceh, para orang kaya (para saudagar) berkuasa Namun, Sultan HB X tidak memilih dari 11 adik- di seputar singgasana dan memilih raja seorang adiknya, tetapi memilih calon sultanah. perempuan karena alasan lebih mudah dipenga- Walaupun tidak dikenal dalam tradisi Mata- ruhi dibandingkan laki-laki. Sultan tidak pernah ram Islam yang agraris, Sultan perempuan pernah memiliki otoritas penuh terhadap orang kaya di memerintah di Aceh Dar al-Salam selama 55 ta- Aceh karena sumber ekonomi mereka bersifat hun. Dalam studi doktornya, Khan (2009) meng- bergerak (seperti emas dan perak), berbeda de- analisis empat raja perempuan yang disebutnya ngan sumber ekonomi agraris yang berupa tanah. sebagai sultanah, yaitu Tajul Alam Safiatuddin Sementara untuk aristokrasi Islam yang berbasis Syah, Nur Alam Naqiatuddin Syah, Inayat Za- agraris, tidak pernah muncul sultanah, kecuali kiatuddin Syah, dan Kamalat Zaniatuddin Syah. pada periode Hindu-Buddha di Jawa. Dengan Keempat sultanah tersebut mewarisi masa sulit demikian, dalam konteks kerajaan Islam agraris, ketika perusahaan Eropa, VOC, ataupun East In- yang memiliki sumber ekonomi tidak bergerak dia Company secara bertahap memperkuat posisi berupa tanah dan kekuasaan raja bersifat mutlak, mereka di Sumatera. Akhirnya, keempat sultanah model sultanah sulit diterapkan dan tidak pernah tersebut gagal mempertahankan dominasi Aceh terjadi sebelumnya. yang mencapai puncak kejayaannya pada masa

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 37 MAKNA SIMBOLIS DAN POLITIS dikeluarkan pada saat tidak ada perubahan SABDA DAN DAWUH sosial di luar domain tradisional, tetapi muncul Sultan HB X memperkenalkan tradisi baru berupa dinamika di dalam internal Kasultanan. Berikut Sabda dan Dawuh, yaitu pengumuman formal ini perbandingan lima Sabda dan Dawuh yang di dalam Keraton Kasultanan. Sebelumnya, dikeluarkan Sultan HB X sampai 2015. setelah proklamasi kemerdekaan, hanya dikenal Dari lima Sabda dan Dawuh di atas, bahasa maklumat, yang dilakukan dua kali, yaitu pada 5 simbolik yang ingin disampaikan Sultan HB X September 1945, secara bersamaan tetapi terpisah adalah sebagai berikut: Pertama, pengumuman oleh Sultan HB IX dan Paku Alam VIII. Sultan yang sifatnya terbuka dilakukan di Bangsal HB X dan Paku Alam VIII menegaskan diri Kencono di dalam kompleks Keraton, sedangkan sebagai bagian dari Republik Indonesia yang yang bersifat tertutup dilaksanakan di Bangsal baru diproklamasikan dengan proviso tetap me- Manguntur Tangkil di kompleks Siti Hinggil. Siti ngontrol dan memimpin wilayah tradisionalnya Hinggil merupakan tempat untuk penobatan raja sebagai bagian istimewa dari Republik Indonesia dan tata cara adat penting lainnya di Keraton. (Kementerian Penerangan, 1957, 36). Maklumat Keraton Yogyakarta merupakan kompleks yang kedua dikeluarkan sehari sebelum Soeharto jatuh luas, terdiri atas beberapa bagian yang merupakan pada 20 Mei 1998 secara bersamaan dan bersama- kumpulan bangunan dan gedung. Kompleks Siti sama antara Sultan HB X dan Paku Alam VIII Hinggil berada di sebelah utara, sedangkan Bang- di Alun-alun Utara Yogyakarta. Kedua tokoh sal Kencono terletak di tengah kompleks Keraton tradisional dan politik itu mendukung gerakan (Robson & Robson-McKillop, 2003). Saat ini, reformasi yang dipelopori mahasiswa. kompleks Siti Hinggil dikelola oleh Tepas (kan- Maklumat pertama mampu menegaskan tor) Keprajuritan, sedangkan kompleks Keraton eksistensi Kasultanan dan Pakualaman dalam dikelola oleh Tepas Pariwisata. republik. Kedua kerajaan tersebut bergabung Kedua, dua Sabdatama ditujukan untuk untuk menjadi daerah istimewa. Sebaliknya, merespons proses pembentukan UUK dan Perda kedua pecahan Mataram di Solo tidak mampu Istimewa tentang Tata Cara Pengisian Jabatan dengan bijak mengantisipasi perubahan politik, Gubernur dan Wakil Gubernur. Pada Sabdatama kehilangan daerah istimewa dan tanahnya, serta 2012, Sultan HB X menegaskan sikap politiknya menjadi pemain politik yang tidak diperhitungkan terhadap lambatnya proses pembahasan Rancang- dan semakin kehilangan pengaruh. Ihwal kepi- an UUK karena beberapa isu strategis, sedangkan awaian Sultan HB IX dalam mempertahankan perpanjangan masa jabatannya sebagai Gubernur wilayah tradisionalnya tersebut, Monfries (2015, DIY, yang sudah diperpanjang sejak 2008, segera 123) menulis: berakhir (Dardias 2009, 2015d). Pada Sabdatama 2015, Sultan HB X merespons proses penyusunan “Hamengkubuwono was a politically astute, perdais dan menghendaki dihapuskannya kata non-ideological pragmatist who cleverly used his ascribed status as Sultan not only to support “istri” dalam persyaratan riwayat hidup calon the Republican cause during the Revolution, but Gubernur dan Wakil Gubernur DIY pada saat also to ensure his own political survival and, audiensi DPRD DIY di Keraton Kasultanan ultimately, to preserve his principality.” (“Polemik daftar rakyat”, 2015; Dardias, 2015e). Berkebalikan dengan dua maklumat, yakni Kata “istri” dipersepsikan bahwa seluruh raja pemimpin tradisional merespons perubahan yang Kasultanan dan Pakualaman adalah laki-laki, terjadi di luar domain mereka, Sabda dan Dawuh sedangkan Sultan HB X tidak memiliki putra justru merupakan pesan keluar yang berkaitan dan merupakan hambatan bagi keinginannya dengan perubahan yang terjadi di lingkup internal untuk menempatkan putri sulungnya menjadi Kasultanan. Pada kedua maklumat, Indonesia raja dan selanjutnya menjadi gubernur. Perbedaan dihadapkan pada perubahan sosial dramatis, yaitu paling mendasar dari Sabdatama 2012 dan 2015 proklamasi kemerdekaan dan gerakan reformasi. terletak pada tingkat keberhasilan dan dampak Sementara sebagian besar Sabda dan Dawuh kohesivitas internal dan eksternal. Sabdatama

38 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Tabel 2. Dawuh dan Sabda Sultan Hamengkubuwono X Dawuh Sabdatama I Sabdatama II Sabda Raja Dawuh Raja Jejering Raja Diumumkan Kamis, 10 Jumat, 6 Maret Kamis, 30 April Selasa, 5 Mei 2015 Kamis, 31 De- Mei 2012 2015 2015 sember 2015 Selisih Waktu - 1.030 hari 55 hari 5 hari 240 hari Sifat Terbuka Terbuka Tertutup Tertutup Tertutup Tempat Bangsal Ken- Bangsal Ken- Bangsal Manguntur Bangsal Manguntur Bangsal cono cono Tangkil (Siti Hing- Tangkil (Siti Hing- Ma nguntur gil) gil) Tangkil (Siti Hinggil) Pakaian Per- Batik Per- Kebesaran+ Kebesaran+ Batik Per- Sultan anakan+ anakan + Kuluk Wakidan Kuluk Wakidan Biru anakan+ Blangkon Blangkon Biru Blangkon Isi Pokok Menegaskan Penerus tahta Mengganti gelar Gelar Gusti Kanjeng Keturunan Kasultanan bisa lelaki atau Sultan yaitu Buwo- Ratu Pembayun Sultan harus sebagai ne- perempuan dan no menjadi Bawono menjadi Gusti Kan- tunduk kepada gara merdeka sudah digaris- dan Khalifatullah jeng Ratu Mang- perintah Sul- dan sudah kan Perjanjian Ki Ageng kubumi Hamemayu tan. selayaknya Dasar perubah- Giring dan Pemana- Hayuning Bawono Tidak tun- mendapatkan an UUK adalah han sudah berakhir. Langgeng in Mata- duk kepada keistimewaan Sabdatama ini. Mengistirahatkan ram. perintah Sultan politik keris untuk Sultan GKR Mangkubumi akan diusir dari (Kiai Kopek) dan duduk di Watu Gi- Mataram. keris Putra Mahkota lang untuk penerus (Kiai Joko Piturun) takhta. Kehadiran GKR Hemas GKR Hemas GKR Hemas, Putri GKR Hemas GKR Hemas Putri Dalem Putri Dalem Dalem Putri Dalem Putri Dalem Adik Dalem Adik Dalem KGPH Hadiwinoto GBPH Chandraning- GBPH Chan- PA IX PA IX GBPH Chandra- rat draningrat ningrat Latar Be- Penyusunan Penyusunan Suksesi Suksesi Suksesi lakang RUUK Perdais dan Suksesi Target Eksternal Internal dan Internal Keraton Internal Keraton Internal Kera- Keraton Eksternal ton Keraton Dampak United Divided Divided Divided Divided Internal Dampak United Divided Divided Divided Divided Eksternal Keberhasilan Berhasil Gagal (Perdais Contested Contested Contested (UUK disah- tidak mengha- kan) pus kata “istri”) *Tidak ada perbedaan signifikan tentang arti Sabda (proclamation) dan Dawuh (order) yang berarti perintah. Sumber: kompilasi dari observasi penulis dan liputan media.

2012 berhasil mempercepat proses penyusunan sultanan dalam kaitan dengan pentingnya UUK, RUUK yang akhirnya disahkan setahun berikut- sementara Sabdatama 2015 menciptakan segre- nya, sementara Sabdatama 2015 gagal memenuhi gasi internal dan eksternal yang akan dibahas di keinginan Sultan HB X untuk menghapus kata bagian selanjutnya. “istri”. Sabdatama 2012 berhasil mempersatukan Ketiga, dari sisi busana, Sultan HB X elemen di bagian internal dengan eksternal Ka- menggunakan “pakaian biasa”, berupa batik

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 39 peranakan dan tutup kepala model blangkon laki-laki, karena semua nabi dalam Islam adalah untuk merespons isu eksternal, tetapi justru laki-laki, memberi peluang GKR Mangkubumi menggunakan pakaian kebesaran Sultan HB X untuk menjadi sultanah. Selain itu, dalam tradisi untuk merespons isu internal. Menariknya, tutup Mataram, keris hanya digunakan untuk laki-laki, kepala/kuluk yang digunakan oleh Sultan HB X sedangkan perempuan menggunakan semacam berwarna biru biasa dipakai adik-adik Sultan, keris kecil yang disebut cundrik (Harsrinuksmo, dan tidak menggunakan kuluk warna hitam yang 2004). Berbeda dengan kerajaan Barat, yang biasa digunakan raja seperti foto resmi Sultan simbolisasi rajanya dilakukan dengan pemberian HB X (Kraton Yogyakarta, 2002). Jika dipadukan mahkota, dalam kerajaan Jawa dilakukan dengan dengan tempat dilangsungkannya acara, pakaian cara mengganti keris dengan Keris Kiai Kopek kebesaran Sultan dua kali digunakan di Siti yang khusus digunakan oleh sultan. Maka, setelah Hinggil dan tidak pernah digunakan di Bangsal hambatan kultural paling penting disingkirkan, Kencono. Pada Dawuh Jejering Raja yang Sultan HB X baru mengumumkan putri mahkota terakhir, Sultan HB X melakukan pengecualian pada 5 Mei 2015. Dilihat dari rentetan peristiwa dengan tetap memilih tempat di Siti Hinggil, tersebut, tampak bahwa langkah-langkah tersebut tetapi menggunakan pakaian batik peranakan merupakan langkah sistematis dan terukur pertama dengan blangkon. Dengan demikian, bisa ditarik kali dengan mengubah tradisi suksesi, dilanjutkan kesimpulan bahwa secara simbolik, penggunaan dengan pengumuman penerus perempuan, walau- pakaian kebesaran Sultan untuk merespons isu pun pengistirahatan keris bertentangan dengan internal dan batik peranakan untuk isu eksternal tradisi suksesi yang selama ini berlangsung. menunjukkan isu internal terkait dengan suksesi Keenam, tidak ada perhitungan pasti ihwal lebih penting dibandingkan isu eksternal. hari dan selisih Sabda dan Dawuh. Pemberitahuan Keempat, tingkat kehadiran adik-adik Sultan tentang Sabda dan Dawuh dilakukan beberapa HB X menurun dalam tiga pengumuman terakhir. jam sebelum diumumkan sekitar pukul 10.00 Pada dua sabda yang terakhir, para adik Sultan sehingga semua yang hadir dalam Sabda dan menolak hadir karena yang mengundang adalah Dawuh baru mempersiapkan diri pagi harinya. Sultan Hamengkubawono—bukan Hamengkubu- Hal ini menciptakan kesibukan karena baju yang wono sebagaimana diumumkan dalam Sabda 30 digunakan keluarga kerajaan harus mengikuti April. Selain itu, PA IX tidak hadir saat Sabda 30 pakaian yang dikenakan raja. Hal ini juga yang April dan Dawuh 5 Mei lantaran sedang dirawat menjadi alasan beberapa adik Sultan yang berada di rumah sakit. Adapun putra mahkota Paku di Jakarta tidak hadir dalam acara tersebut (“GKR Alam, Kanjeng Bendara Pangeran Harya (KBPH) pembayun jadi”, 2015). Suryodilogo, hadir dalam Sabda dan Dawuh Langkah-langkah sistematis Sultan HB X selain Dawuh Jejering Raja pada 31 Desember. mempersiapkan GKR Mangkubumi menjadi sul- Beliau tidak hadir pada 31 Desember karena tanah mendapat tantangan keras dan menciptakan sedang mempersiapkan diri menjadi penguasa dua kubu yang berkonflik. Kubu pertama, yang Pakualaman dalam Jumenengan Pakualaman 7 terdiri atas Sultan, permaisuri, putri, dan menan- Januari 2016 (Dardias, 2016). tunya, berseberangan dengan adik-adik Sultan Kelima, Sabda dan Dawuh merupakan yang akan dianalisis dalam bagian berikutnya. langkah Sultan HB X yang secara sistematis dan terstruktur mempersiapkan GKR Pembayun/ GAGALNYA LEGITIMASI LANGIT GKR Mangkubumi menjadi raja. Pada Sabda 6 Maret, Sultan HB X menegaskan bahwa perintah YANG MENYEBABKAN KONFLIK utama berasal dari raja dan penerus kerajaan bisa INTERNAL laki-laki dan perempuan. Dua bulan setelahnya, Konflik internal menjadi masalah paling serius beliau mengganti nama dan mengistirahatkan dalam aristokrasi modern. Ancaman dari luar, dua simbol lelaki sebagai raja, yaitu Keris Kiai seperti perang sebagaimana terjadi pada masa Kopek dan Keris Kiai Joko Piturun. Berubahnya lalu, sulit ditemukan saat ini ketika aristokrasi gelar “khalifatullah” yang diidentikkan dengan menjadi bagian dari sistem politik negara.

40 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Konflik internal ini menjadi persoalan di banyak Sultan HB X menganggap bahwa beliau aristokrasi yang masih bertahan di Indonesia. menjalankan perintah dari Tuhan dan leluhur se- Pada Kasultanan yang menjadi bagian dari sistem bagai basis legitimasi mistisisme. Beliau merasa politik Indonesia melalui UUK, konflik internal memperoleh pesan dari leluhur untuk meng- tidak menjadi bagian yang diatur negara. Pada ganti gelar Sultan dan memilih putri sulungnya saat bersamaan, tidak ada institusi lain yang menjadi penerus. Sabda Raja 30 April 2015 tiga mampu menjadi penengah jika konflik ini terjadi. kali mengulang bahwa perubahan gelar Sultan Aristokrasi di Indonesia dihadapkan merupakan petunjuk dari Allah (lihat Tabel 3). pada persoalan konflik internal yang pelik.Menurut Sultan HB X, aturan tertinggi dalam Di Kasunanan Solo, saudara tua Kasultanan, kerajaan adalah titah/perintah raja. Itulah aturan konflik internal terjadi setelah wafatnya Sunan main/paugeran tertinggi yang harus diikuti oleh Pakubuwono XII. Setelah penobatan Sunan seluruh komponen Kasultanan, termasuk warga Pakubuwono XIII Hangabehi, yang merupakan Yogyakarta. Inilah rule, sebagaimana didefinisi- anak tertua dari 35 anak Sunan Pakubuwono kan oleh Munck (1996) dan Beetham (1991), XII, Kanjeng Gusti Pangeran Harya Panemba- yang harus diikuti dan dipatuhi. Kasultanan han Agung (KGPHPA) Tejowulan, yang merasa harus merespons zaman yang berubah, dan salah dirinya lebih cakap dibandingkan kakaknya, satu bentuk respons tersebut adalah memberikan menobatkan diri. Walaupun kedua sunan sudah kekuasaan kepada perempuan. Siapa pun raja bersepakat untuk bersatu dan Tejowulan menjadi berikutnya bergantung pada raja yang bertakhta Mahapatih, konflik tidak berhenti karena adik (Dardias, 2015d). Penggunaan basis mistisisme Hangabehi, GKR Murtiyah Wandansari (Gusti tampak jelas dalam bunyi Sabda Raja 30 April Moeng), menggagalkan pelantikan Tejowulan dan Dawuh Raja 5 Mei pada Tabel 3. dan menguasai Keraton Surakarta sampai saat Sementara itu, adik-adik Sultan HB X ini (Alim, 2013; Ismaniyah, 2013). Di Kasultanan mempu nyai pendapat yang berseberangan Ternate, istri keempat mendiang Sultan Mudaf- dengan kakak tertua mereka, berbasis pada far Syah, Boki Nita Budhi Susanti, menjadi akar argumentasi historis, adat, dan budaya. Sultan masalah suksesi karena mengaku memperoleh adalah pelaksana dari paugeran (aturan main) dua anak kembar lelaki dari suaminya. Saat ini yang telah dibuat oleh leluhur mereka dan sudah dirinya ditetapkan menjadi tersangka pemalsuan bertahan sejak 1755. Artinya, siapa pun sultan identitas bayi kembar di tengah suksesi Kasul- yang bertakhta harus mengikuti prinsip patriarkal tanan Ternate (“Bobato Siapkan Pemilihan”, yang menjadi fondasi utama kerajaan dalam 2016). Di Kerajaan Gowa, Selatan, dua menentukan pemimpin. Ketiadaan putra bukan kakak-adik Andi Maddusila Andi Idjo dan Andi halangan dalam sistem patriarkal karena pernah Kumala Idjo berebut takhta Gowa, salah satunya terjadi sebelumnya, takhta menurun ke adik laki- bertujuan memenangi pilkada Gowa (Baharud- laki jika sultan tidak memiliki putra. (Dardias, din, 2014). Andi Maddusila gagal menjadi bupati 2014, 2015b, 2015c). untuk ketiga kalinya dalam pilkada 2015. Selain pertimbangan dominasi laki-laki, Konflik internal di Kasultanan diakibatkan historis, dan budaya, konflik di Kasultanan lebih oleh Sabda dan Dawuh Sultan HB X karena disebabkan oleh hilangnya sistem untuk memilih memilih putri sulungnya menjadi sultanah. Kri- pemimpin tanpa adanya sistem lain yang dita- sis mencari penerus Sultan HB X diselesaikan warkan Sultan HB X. Kasultanan, sebagaimana bukan dengan memilih salah satu dari 11 adik aristokrasi lainnya, menggunakan hubungan da- laki-lakinya, melainkan meneruskan kursi raja rah sebagai sistem politik mereka. Jauh-dekatnya ke anak perempuannya. Perbedaan pendapat hubungan dengan sultan sebagai pusat kekuasaan tajam terjadi di antara keturunan Sultan HB IX, ditentukan oleh jarak hubungan darah dengan dan sumber serta pendiriannya dapat dijelaskan sultan. Penerus dalam aristokrasi dapat diketahui sebagai berikut. ketika mereka dilahirkan. Sebagai perbandingan dalam politik modern, pemilu digunakan untuk memilih presiden. Sabda dan Dawuh Sultan HB

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 41 Tabel 3. Penggunaan Legitimasi Langit dalam Sabda Raja dan Dawuh Raja

Sabda Raja 30 April 2015 Dawuh Raja 5 Mei 2015 Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto. Siro abdi ingsun, seksenono Kawuningono siro kabeh Ingsun; Abdiningsun, putri dalem, sederek dalem, sentono dalem lan abdi dalem Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri nompo weninge dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Sultan Hamengkubawono Ingkang Jumeneng Kas- Kuoso Cipto lan romoningsun, epuluh, Suryaning Mataram, Senopati ing Ngalogo eyang-eyang ingsun poro leluhur Mataram. Langgenging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Wiwit waktu iki, ingsun nompo dawuh kanugrahan, Panotogomo dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto Kadawuhan netepake putriningsun asmo kelenggahan ingsun, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri katetepake Sultan Hamengkubawono Ingkang Jumeneng Kasepu- luh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayun- Langengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto ing Bawono Langgeng ing Mataram. Panotogomo. Sabdo Rojo iki perlu dimangerteni, diugemi lan ditin- Mangertenono yo mengkono dawuh ingsun. dakake yo mengkono sabdoningsun.

Gusti Allah, Gusti Agung, Kuasa Cipta Kalian abdi saya, saksikan Untuk kalian ketahui semua Saya: Abdi saya, putri Sultan, Saudara Sultan, Kerabat Sul- tan dan Abdi Dalem Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Menerima perintah Gusti Allah, Gusti Agung, Kuasa Sultan Hamengkubawono Ingkang Jumeneng Kas- Cipta dan ayah saya, kakek-kakek saya para leluhur epuluh, Suryaning Mataram, Senopati ing Ngalogo Mataram. Langgenging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Mulai saat ini, saya menerima perintah kehormatan, Panotogomo Perintah Gusti Allah, Gusti Agung, Kuasa Cipta Nama kedudukan saya, Diminta untuk menetapkan putri saya, Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengkubawono Ingkang Jumeneng Kasepu- Gusti Kanjeng Ratu Pembayun luh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Langengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Ditetapkan Panotogomo. Sabda Raja ini perlu dipahami, dipegang teguh, dan Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayun- dilaksanakan. ing Bawono Langgeng ing Mataram. Begitulah Sabda saya. Pahamilah, ya begitulah perintah saya.

Sumber: Penjelasan Sabda Raja dan Dawuh Raja oleh Sultan HB X di Ndalem Wironegaran pada 8 Mei 2016 (Hamengkubuwono X, 2015b). Translasi oleh penulis.

X dapat diibaratkan sebagai upaya untuk meng- dari nasab Sultan HB X dan leluhur Mataram hapus pemilu dalam politik modern. Masalahnya, sejak Sultan Hamengkubuwono I/Pangeran Dawuh Sultan HB X selama lima menit berusaha Mangkubumi. Sebelum menjadi suami GKR menghapus fondasi selama 250 tahun tanpa mem- Mangkubumi, KPH Wironegoro tidak memiliki berikan alternatif sistem lainnya untuk memilih darah bangsawan Jawa. pemimpin. Pertanyaan sederhana sebagai kon- Penjelasan pada 8 Mei 2015, tiga hari setelah sekuensi perubahan sistem ini adalah hilangnya Dawuh Raja, Sultan HB X hanya memberikan kemampuan Kasultanan memilih pemimpin alasan bagi munculnya Sabda dan Dawuh meng- karena hilangnya garis laki-laki. Keturunan GKR gunakan pendekatan mistis tanpa menjelaskan Mangkubumi dalam tradisi patriarkal adalah anak konsekuensi logis dari pilihan politik tersebut. dari suaminya, KPH Wironegoro, bukan berasal Publik mempertanyakan siapa yang akan

42 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 menjadi Sultan HB XII pengganti GKR Mang- eksternal. Secara internal, adik-adik Sultan HB kubumi apabila akhirnya dapat menjadi sultanah? X menentang Sabda dan Dawuh Raja, sedangkan Bagaimana dengan konsekuensi Sultan menjadi secara eksternal, penolakan dilakukan oleh komu- Gubernur DIY ketika tekanan politik Sultan gagal nitas Islam modernis ataupun Islam tradisional menghapus kata “istri” dalam perdais? Padahal yang menunjukkan melemahnya rezim politik Sultan yang bertakhta secara otomatis akan Sultan HB X. menjadi Gubernur DIY sesuai dengan amanat Adik-adik Sultan yang menentang Sabda dan UUK. Penjelasan logis mengenai Sabda dan Dawuh dipelopori oleh tiga orang, yaitu GPBH Dawuh sulit didapatkan karena basis legitimasi Prabukusumo, serta adik kandungnya, GBPH yang paling mungkin didapatkan adalah dengan Yudhaningrat; dan adik kandung Sultan HB X, basis legitimasi langit, menyitir saran dari leluhur KGPH Hadiwinoto. Penolakan dari ketiga adik melalui proses gaib sebagaimana dibahas di ini penting karena ketiganya merupakan pejabat bagian berikut ini. pokok dari struktur institusi birokrasi Kasultanan (Hamengkubuwono X, 1999). Kasultanan Yogya- LEGITIMASI LANGIT DAN karta terdiri atas 21 kantor serta biro operasional MELEMAHNYA REZIM dan fungsional yang dikoordinasikan oleh empat Kasultanan Yogyakarta selalu menggunakan “kementerian koordinator”. Tiga dari empat basis legitimasi langit/gaib untuk menciptakan kementerian koordinator tersebut dipimpin oleh legitimasi politik sebagaimana dilihat dalam tiga adik Sultan HB X, yaitu KGPH Hadiwinoto Sabda Raja. Sultan HB X juga menegaskan bahwa (Kawedanan Hageng Punakawan Parasraya dirinya hanya sekadar menjalankan perintah Gusti Budaya) yang mengurusi tanah, transportasi, Allah melalui para leluhur. Legitimasi langit ini keamanan, dan perbekalan; GBPH Yudhanin- digunakan untuk menciptakan dukungan politik grat (Kawedanan Hageng Punakawan Parwo sekaligus dengan ancaman siapa saja yang tidak Budaya), yang mengurusi keagamaan, makam, melaksanakan perintah “mesti lebur digulung dan kesenian; serta GBPH Prabukusumo (Kawe- jagad” (akan hancur digulung semesta) (Dardias, danan Hageng Punakawan Nitya Budaya), yang 2015d). Sultan HB X juga ingin memberikan mengurusi perlengkapan upacara museum dan kesan bahwa perintah langit tersebut mendadak pariwisata. Selain itu, KGPH Hadiwinoto meru- serta harus segera diumumkan dan dilaksanakan pakan pemimpin (pengageng) di Kawedanan sehingga pengumuman ihwal Sabda dan Dawuh Hageng Punakawan Panitikismo, yang mengu- baru dilakukan beberapa jam sebelumnya. Ketika rusi pertanahan; dan GBPH Yudhaningrat meru- dalam dialog muncul pertanyaan apakah akan ada pakan Manggala Yudha atau Panglima Perang Sabda atau Dawuh lagi, Sultan HB X menjawab, Kasultanan Yogyakarta. Melalui pesan singkat “Tanya Gusti Allah yang Mahakuasa, jangan yang ditujukan ke publik, GBPH Prabukusumo tanya saya, saya hanya nglaksanaake Dawuh menulis: (menjalankan perintah Tuhan) kok. Tinggal kamu “MASYARAKAT KEDAH GUMREGAH!!! Ayo percaya tidak, hanya itu saja, itu urusan kamu Bareng Bareng Pada Njejegake Jejege Paugeran, bukan urusan saya” (Dardias, 2015d). Dudu Njejegake Jejege Kekarepan. Bakal Kena Bebendu Seko Gusti ALLAH Swt. Uga Saka Para Mistisisme yang dipraktekkan di Kasul- Leluhur Dalem. Titenana. Becik Ketitik Ala Keta- tanan Yogyakarta serta menjadi bagian dari ra!!! Ngerso Dalem Kudu Nyuwun Pangapuro legitimasi Sabda dan Dawuh sebagaimana Dumateng Gusti ALLAH Swt., Mergo Ora Gelem dibahas oleh (Mulder, 2005; 1998; Woodward, Ngagem Khalifatullah Sarta Assalamualaikum 1989) mendapatkan tempat dalam masyarakat Ing Kraton. Uga Nyuwun Pangapuro Dumateng tradisional yang cenderung irasional tetapi Umat Islam Sarta Masyarakat. Ora Usah Nyuwun Pangapuro Karo Rayi-Rayi Dalem. Kabeh Wis kesulitan mencari pendukung dalam masyarakat Ngapuroni. Kudu Neng Paugeran Ndalem rasional. Maka, pemilihan GKR Mangkubumi Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Rayi Rayi tidak mendapatkan sambutan di masyarakat, Dalem Masrahke Dumateng Warga Masyarakat tetapi miskin legitimasi, baik internal maupun Ing Ngayogyokarto Hadiningrat Arep Diapakke.

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 43 Sumangga Warga Ingkang Duweni Ati, Pikiran disesuaikan dengan paugeran Keraton. Ketiga, Sarta Niat Ingkang Luhur. Warga Sing Ndukung Sultan yang bertakhta saat ini adalah Sri Sultan Tumindak Ala Ben Kena Lan Ngrasake Ulah Hamengkubuwono X sehingga sabda selain Karmane Dewe. (“Gusti Prabu Minta”, 2015) menggunakan nama tersebut tidak memiliki (MASYARAKAT HARUS BERGERAK!!! Ayo legitimasi. Surat Terbuka ini ditandatangani bersama-sama menegakkan tegaknya Paugeran, oleh putra-putri tertua dari masing-masing ibu bukan menegakkan tegaknya kemauan. Akan kena (Murdokusumo, Hadiwinoto, Prabukusumo, & hukuman dari Gusti ALLAH Swt. juga dari para Pakuningrat, 2015). lelulur (para raja sebelumnya). Perhatikanlah. Yang baik akan ditandai, yang buruk akan Penolakan dari adik-adik Sultan HB X ini terlihat!!! Ngarso Dalem (Sultan HB X) harus menjadi bukti melemahnya rezim Sultan HB X minta maaf kepada ALLAH Swt., karena tidak secara internal. Mengutip Munck (1996) dan mau menggunakan Khalifatullah dan Assalamua- Beetham (1991) sebagaimana dibahas di awal laikum di Kraton. Juga minta maaf kepada umat tulisan, Sultan HB X tidak mampu menentukan Islam dan masyarakat. Tidak perlu minta maaf ke- pada adik-adik Sultan. Semua (adik-adik Sultan) aktor politik yang menduduki jabatan sebagai sudah memaafkan. Harus kembali ke Paugeran putri mahkota, dan aturan main yang diterapkan- Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Adik-adik nya tidak diikuti anggota rezim. Metode Sabda Sultan menyerahkan kepada warga masyarakat dan Dawuh yang digunakan untuk melegitimasi di Ngayogyakarta Hadiningrat akan diapakan. tindakan politisnya mendapatkan tantangan ang- Silakan warga yang masih memiliki hati, pikiran gota inti rezim, dalam hal ini adik-adik kandung serta niat yang luhur. Warga yang mendukung perbuatan tercela akan terkena dan merasakan dan tirinya. Pemimpin rezim gagal mengontrol balasan karmanya sendiri). dan memastikan pilihan politiknya menjadi aturan main yang disepakati anggota inti rezim Penolakan terhadap Sabda dan Dawuh aristokrasi sehingga yang terjadi adalah delegiti- Raja dilakukan oleh adik-adik Sultan walaupun masi Sultan HB X. mereka masing-masing memiliki pendirian poli- tik berbeda yang didasari oleh garis ibu. Pada Selain itu, melemahnya daya kontrol rezim 10 Mei 2015, adik-adik Sultan HB X dari ibu terlihat dari tidak adanya sanksi bagi anggota inti Ciptomurti, yang berdomisili di Jakarta, membuat rezim yang menolak aturan main. Sampai saat press release menolak Sabda dan Dawuh Raja ini, ketiga adik Sultan HB X masih menduduki dengan tidak mengakui Sultan Hamengkubawono posisi yang sama di birokrasi internal Kasultanan dibandingkan sebelum mereka menolak Sabda dan Putri Mahkota (Pakuningrat, 2015). Garis ibu dan Dawuh. Merekalah yang memegang peranan Hastungkara (ibu Prabukusumo dan Yudhanin- penting terkait dengan sumber ekonomi Keraton grat) tidak mengeluarkan surat pernyataan serupa (yang antara lain didapatkan dari ekstraksi tanah lantaran salah satu adik lelaki mereka, GBPH dan pariwisata), sumber budaya Keraton, serta Chandraningrat, terlihat mendukung Sultan HB angkatan bersenjata. Seluruh urat nadi pemerin- X karena selalu hadir dalam setiap Sabda dan tahan Kasultanan secara praktis tetap dijalankan Dawuh. Sementara garis ibu Windyaningrum dan oleh para penentang rezim. Satu-satunya “menteri Pintokopurnomo tidak mengeluarkan surat karena koordinator” yang berada di bawah kontrol hanya menyisakan masing-masing satu laki-laki, Sultan adalah Kawedanan Hageng Punakawan KGPH Hadiwinoto dan GBPH Hadisuryo. Panitrapura, yang membawahkan administrasi Respons berbeda dilakukan oleh keturunan dan keuangan Kasultanan yang dijabat oleh putri Sultan HB IX pada Sabda 31 Desember 2015. kedua Sultan, GKR Condrokirono. Mereka bersatu menolak Sabda dan Dawuh Melemahnya rezim Sultan HB X juga dilihat yang dikeluarkan sepanjang 2015. Pada Surat dari penentang di eksternal Kasultanan. Para Terbuka 12 Januari 2016, putra-putri Sultan HB penentang Sabda dan Dawuh menguat seiring IX mengeluarkan tiga sikap: pertama, Sultan dihilangkannya kata “khalifatullah” dalam gelar bukan pemilik keraton, melainkan sebagai Sultan. Gelar lengkap sebelumnya, yaitu “Ngarsa pemimpin adat sehingga harus menyesuaikan Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun dengan paugeran Keraton. Kedua, suksesi harus Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati ing

44 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama sebagai Kerajaan Mataram Islam.” Tentang raja Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa perempuan, Heni menolak, “Kami tak setuju (raja ing Ngayogyakarta Hadiningrat”, berubah men- perempuan), bukan bicara soal kesetaraan, namun jadi “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang pakem adatnya” (Wicaksono, 2015). Sinuhun Sri Sultan Hamengkubawono Ingkang Penolakan juga dilakukan oleh elemen Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram masyarakat yang menjadi pendukung Sultan HB Senopati ing Ngalogo Langengging Bawono X pada saat pembahasan RUUK. Elemen-elemen Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo” masyarakat ini memiliki peran signifikan dalam (Hamengkubuwono X, 2015b). Kondisi yang mi- menuntut penetapan Sultan sebagai Gubernur, rip dapat dipersamakan dengan Pangeran Charles terutama terkait dengan aksi-aksi politis di Yog- di Inggris, yang meningkatkan tensi politik ketika yakarta. Ketua Paguyuban Dukuh Gunungkidul pada 2002 dia mengatakan jika diangkat sebagai Janaloka, Sutiyono, mengatakan, “Tak hanya Raja akan menjadi Defender of Faiths daripada masyarakat kota, di desa pun alasan itu tetap Defender of the Faith, yang hanya merujuk ke tak bisa diterima.” Pendapat serupa diutarakan satu agama, Nasrani (Abell & Stevenson, 2011). Mohammad Zuhud, Koordinator Paguyuban Salah satu penentang eksternal paling kuat Seksi Pengamanan Keraton (Paksi Katon), yang dari Sabda dan Dawuh Sultan HB X adalah berpendapat bahwa alasan wahyu sebagai kemun- komunitas Islam di Yogyakarta yang culan Sabda Raja adalah omong kosong (Zakaria, berada di halaman depan Kasultanan. Kauman 2015). Sementara Sukiman, Ketua Paguyuban adalah komunitas yang menopang sisi keislaman Dukuh DIY Semar Sembogo, mengatakan, “Ya Kasultanan dan menjadi penjaga Masjid Gedhe kalau namanya, Sayidin Panatagama itu namanya Kasultanan. KH , misalnya, adalah imam, selama berkaitan dengan ‘din’, yaitu tokoh Kauman abdi dalem Kasultanan yang dibia- agama (Islam), imam itu kan kakung (laki-laki)” yai untuk belajar agama dan berhaji ke Mekah (Siswoyo & Waskita, 2015). sebelum mendirikan , organi- Penolakan eksternal ini menjadi tanda sasi Islam terbesar kedua. Dalam selebarannya, melemahnya rezim karena keputusan pemimpin Amali (2015) menganggap Sabda dan Dawuh rezim tidak menjadi shared beliefs yang disepakati bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Gerakan- dan diikuti dengan aksi. Legitimasi langit yang nya menuntut dikembalikannya paugeran yang digunakan sebagai basis politik pembenaran selama ini dianut Kasultanan. Sabda dan Dawuh gagal diikuti sebagai aturan Penolak lainnya berasal dari Islam tradisional main yang disepakati anggota luar rezim yang yang bergabung dalam dua organisasi Islam terbe- semakin rasional. Ditambah dengan gagalnya sar, (NU) dan Muhammadiyah. keinginan Sultan HB X untuk menghapus kata NU wilayah Yogyakarta khawatir Sultan dibisiki “istri” sebagai persyaratan riwayat hidup calon setan sehingga menolak Sabda Raja. Dalam kon- gubernur, rezim aristokrasi Sultan HB X tidak ferensi persnya, Jadul Maula, Wakil NU DIY, mendapatkan legitimasi politik. mengatakan, “Klaim itu dikhawatirkan bersifat Perlawanan terhadap dominasi mistis- distortif, mengandung ilusi syaithoniyah, dan sarat religius yang dilakukan Sultan HB X oleh ma- kepentingan pribadi” (JPPN, 2015). Sama dengan syarakat tradisional-irasional dilakukan dengan komponen di Kauman, NU ulama berpandangan menggunakan pertanda alam dan bencana. Bagi bahwa klaim Sultan HB X, yang menyebutkan masyarakat tradisional-irasional, peristiwa alam penggantian nama dan penunjukan putri mahkota sebagai perintah dari Gusti Allah, menyesatkan (yang sebenarnya normal terjadi) dipersepsikan dan menyimpang dari akidah Islam. Sementara sebagai penolakan atau persetujuan alam terha- Ketua Muhammadiyah Kota Yogyakarta, Heni dap apa yang terjadi di lingkungan Kasultanan. Astriyanto, tidak setuju dengan perubahan gelar Tumbangnya pohon dan retaknya makam yang Sultan. Dia mengatakan, “Penghapusan gelar akan digunakan Sultan HB X dimaknai sebagai pemimpin agama itu praktis mengubah pakem pertanda bahwa Sabda dan Dawuh, yang dilaku- Keraton Yogya yang selama ini beridentitas kannya tidak mendapatkan legitimasi langit. Pada

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 45 3 Februari 2016, Pohon Preh (Ficus ribes Reinw), Penolakan terhadap aturan main Sultan HB X yang berusia ratusan tahun setinggi lebih dari 10 tidak hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi meter, tumbang di halaman Bangsal Praciman- tetapi melalui penolakan terbuka yang menunjuk- toro. Walaupun sangat sering terjadi pohon-pohon kan delegitimasi tengah terjadi. tua tumbang di tengah musim hujan yang disertai Melemahnya rezim aristokrasi Sultan HB angin, masyarakat menganggap ada pertanda X disebabkan oleh gagalnya legitimasi langit alam yang disampaikan melalui pohon tumbang sebagai basis legitimasi politik. Dari sisi internal, tersebut (“pohon keramat keraton”, 2016). Tiga legitimasi langit tidak mampu melawan tradisi minggu setelahnya, dinding di kompleks pemaka- dan adat sistem pemilihan Sultan yang sudah ber- man raja Mataram di Bantul retak. Di langsung selama dua ratus tahun lebih. Dari sisi kompleks ini, rencananya akan dimakamkan eksternal, penolakan terhadap legitimasi langit Sultan HB X. Beberapa minggu sebelumnya, yang berbasis pada mistisisme tidak menemu- bagian di sekitar kompleks mengalami perbaikan kan tempat di tengah masyarakat yang semakin dan diguyur hujan terus-menerus (“Lokasi calon rasional dan ajaran agama Islam. makan”, 2016). Bagi kalangan rasional, kedua peristiwa tersebut tidak memiliki makna terha- Implikasi praktis melemahnya rezim politik dap Sabda dan Dawuh. Namun, bagi kalangan Sultan HB X adalah masa depan integrasi Ka- tradisional-irasional, kedua peristiwa tersebut sultanan dan Pakualaman dalam struktur politik digunakan untuk mempertanyakan kebijakan modern. UUK mengasumsikan persoalan menge- Sultan HB X. Penggunaan kata “pohon keramat” nai suksesi merupakan bagian internal Kasultanan dan pertanyaan “pertanda apa?” dalam judul di dan Pakulaman, dan dalam hal ini pemerintah media Kedaulatan Rakyat menunjukkan bukti pusat tidak memiliki kewenangan melakukan upaya penulis berita berusaha menghubungkan intervensi. Apabila Sultan berhalangan, posisi gu- kedua peristiwa tersebut dengan konstelasi in- bernur dipegang oleh Paku Alam yang bertakhta ternal Kasultanan sesuai dengan selera sebagian yang dapat menduduki jabatan gubernur tanpa besar pembacanya. batas waktu definitif. Namun, walaupun terdapat pelemahan rezim PENUTUP Sultan HB X, terutama dari sisi internal, Kasul- Kekuatan rezim aristokrasi Sultan Hamengkubu- tanan secara institusional dan aristokrasi secara wono X, dilihat dari implikasi dan respons terhadap umum tetap memiliki pengaruh yang sangat Sabda dan Dawuh Raja yang dikeluarkan selama kuat secara politik di Yogyakarta. Hal ini terjadi 2015, mengalami pelemahan. Seleksi pemimpin karena Kasultanan tetap mengontrol basis-basis politik dalam rezim aristokrasi yang tersusun ekonomi aristokrasi berupa tanah yang menjadi atas sistem politik piramida menempatkan Sultan kewenangan istimewa bagi DIY sebagaimana sebagai pemimpin tertinggi rezim, tidak berhasil yang diatur dalam UUK. Basis ekonomi mate- memperkuat rezim, tetapi justru melemahkannya. rial berupa tanah tetap dikontrol oleh Kasultanan Dalam rezim aristokrasi yang efektif, hegemonik, sebagai bagian dari aristokrasi agraris sehingga dan kuat, keputusan pemimpin rezim menjadi delegitimasi yang terjadi terhadap pribadi Sultan aturan main yang disepakati bersama oleh HB X tidak secara otomatis menjadikan legiti- anggota rezim dan ditunjukkan dengan aksi masi terhadap Kasultanan menurun. dukungan yang nyata. Pemimpin politik rezim aristokrasi mampu mengontrol anggota rezim PUSTAKA ACUAN untuk menduduki posisi-posisi politik tertentu. Abell, J., & Stevenson, C. (2011). Defending the Sabda dan Dawuh Sultan HB X selama 2015 faith(s)? Democracy and hereditary right in menunjukkan melemahnya rezim, baik internal di England. Political Psychology, 32(3), 485–504. dalam keluarga inti Kasultanan maupun eksternal Alim, A. (2013). Gusti Moeng tuding sikap raja biang di masyarakat Yogyakarta, karena aturan main prahara keraton. Diakses 3 Februari 2016 dari http://daerah.sindonews.com/read/775492/22/ untuk menunjuk putri sulungnya sebagai penerus gusti-moeng-tuding-sikap-raja-biang-prahara- rezim politik aristokrasi mendapatkan tentangan. keraton-1377504663.

46 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Amali, H. S. (2015). Islah itu mulia. Yogyakarta. Dwipayana, A. A. (2004). Bangsawan dan kuasa: Baharuddin. (2014, 5 Juni). Maddusila jadi Raja Gowa Kembalinya ningrat di dua kota. Yogyakarta: ke-37. Koran Sindo. IRE Press. Bappeda DIY. (2014). Luas wilayah garis pantai. Murdokusumo, G.B.Ray., Hadiwinoto, K.G.P.H., Pra- Diakses 2 Februari 2016 dari http://bappeda. bukusumo G.B.P.H., & Pakuningrat, G.B.P.H. jogjaprov.go.id/dataku/data_profil/html- (2015). Surat terbuka untuk ngarso dalem 2print/441/0/2/2010-2014. [Press release]. Bastin, J. S., & Benda, H. J. (1968). A history of mod- GKR pembayun jadi GKR Mangkubumi. (2015, 6 ern southeast Asia: Colonialism, nationalism, Mei). Tribun Jogja. and decolonization. Sydney: Prentice-Hall. Gusti Prabu minta masyarakat gumregah. (2015, 6 Beetham, D. (1991). The legitimation of power. Mei). Dikutip dari www.radarjogja.co.id: Humanities Press International. http://www.radarjogja.co.id/gusti-prabu-minta- masyarakat-gumregah/ ______. (2013). The legitimation of power. Palgrave. Hamengkubuwono X. (1999). Pranatan tata rakite Blak-blakan dengan Sultan. (2007). Kick Andy Metro peprintahan karaton Ngayogyakarta Hadin- TV. ingrat (struktur pemerintahan Keraton Yog- Bobato siapkan pemilihan sultan Ternate. (2016, 3 yakarta). Dawuh Dalem No. 01/DD/HB.X/ Februari). Malut Post, hlm. 1. EHE-1932/1999. Brauchler, B. (2011). Kings on stage: Local leadership Hamengkubuwono X. (2015a). Penjelasan Sabda Raja in the post- mollucas. Asian Journal of dan Dawuh Raja [Press release]. Social Science, 39, 196–218. ______. (2015b). Sabda Raja [Press release]. Buehler, M., & Tan, P. (2007). Party-candidate Harjono, S. (2012). Kronik suksesi keraton Jawa relationship in Indonesian local politics: A . Yogyakarta: Polgov JPP Fisipol case study of the 2005 regional elections in 1755–1989 UGM. Gowa, Province. Indonesia, 84(Oktober), 41–69. Harsono, D. (2011). To reign for the people: Exercis- ing the “democratic monarchy” in Yogyakarta. Cribb, R. B. (2006). Indonesia: back on the throne. (Master of Arts Thesis), Institute of Social Asia Current, February 2006. Studies, The Hague. Cribb, R. B., & Brown, C. (1995). Modern Indonesia: Harsrinuksmo, B. (2004). Ensiklopedi keris. Jakarta: A history since 1945. London: Longman. Gramedia Pustaka Utama. Dardias, B. (2009). Yogyakarta in decentralized Ismaniyah, G. K. (2013). Mau ke mana keraton kasu- Indonesia: Integrating traditional institution nanan Surakarta. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. into democratic transitions. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 13(2). JPPN. (2015). Khawatir sultan dibisiki setan, Kiai NU Jogja tolak sabdaraja. Jawa Post. ______. (2014, 24 Desember). GBPH Prabukusumo Diakses 4 Februari 2016 dari http://www. (interview). Yogyakarta. jpnn.com/read/2015/06/03/307628/Khawatir- ______. (2015a). Siapa sosok HB XI? Diakses 30 Sultan-Dibisiki-Setan,-Kiai-NU-Jogja-Tolak- Februari 2016 dari http://bayudardias.staff. Sabdaraja-. ugm.ac.id/2015/03/24/siapa-sosok-hb-xi/. Kailitz, S. (2013). Classifying political regimes revis- ______. (2015b, 7 Januari). GBPH Yudhaningrat ited: Legitimation and durability. Democratiza- (interview). Yogyakarta. tion, 20(1), 39–60. ______(2015c, 14 Februari). KGPH Hadiwinoto Kasepuhan Cirebon. (2014). Kasultanan Kasepu- (interview). Yogyakarta. han Sejarah dan Permasalahannya di Kota ______. (2015d, 3 March). Hamengkubuwono X Cirebon. Diakses dari Kasultanan Kasepuhan (interview). Yogyakarta. Cirebon. ______. (2015e, 7 Maret). Polemik riwayat hidup. Kementerian Penerangan. (1957). Republik Indonesia: Kedaulatan Rakyat, p. 1. Diakses 30 Februari Daerah Istimewa Jogjakarta. Jakarta: Kemen- 2016 dari http://krjogja.com/liputan-khusus/ terian Penerangan. analisis/3857/polemik-riwayat-hidup.kr Kershaw, R. (2001a). Indonesia: The exception that ______. (2016, 28 Januari). (inter- proves the rule? Dalam R. Kershaw (Ed.), view). Sleman Legge, J. D. (1980). Indonesia. Monarchy in South-East Asia: The faces of Sydney: Prentice-Hall. tradition in transition. New York: Routledge.

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 47 ______. (2001b). Monarchy in South East Asia: Pranatan tata rakite peprintahan karaton ngayogya- The faces of tradition in transition. New York: karta hadiningrat, 01/DD/HB.X/EHE-1932 Routledge. C.F.R. (1999). Khan, S. B. A. L. (2009). Rule behind the silk curtain: Reid, A., & Ito, T. (1985). From harbour aristocracies The sultanahs of Aceh 1641–1699. (Ph.D. to feudal diffusion in 17th century Indonesia: thesis). University of London. The case of Aceh. Dalam E. R. Leach, S. N. Klinken, G. V. (2007). Return of the Sultan: The com- Mukherjee, & J. Ward (Eds.), Feudalism: Com- munitarian turn in local politics. Dalam J. S. parative studies. Sydney: Sydney Association Davidson & D. Henley (Eds.), The revival of for Studies in Society and Culture. traditional institution in Indonesian politics: Ricklefs, M. C. (1981). A history of modern Indonesia The deployment of adat from colonialism to c 1300 to the Present. London: The Macmillan Indigenism. New York: Routledge. Press Ltd. Kraton Yogyakarta. (2002). Kraton Jogja: The history ______. (1999, Oktober). Time and time again in . and cultural heritage. Karaton Ngayogyakarta History Today, p. 49. Hadiningrat. Robson, S. O., & Robson-McKillop, R. (2003). The KRT Mandoyokusumo. (1980). Serat Raja Putra Kraton: Selected essays on Javanese Courts. Ngayogyakarta Hadiningrat. Leiden: KITLV Press. Lieven, D. (1994). The Aristocracy in Europe 1815- Roem, M., Lubis, M., Mochtar, K., & Maimoen, 1914. New York: Columbia University Press. S. (2011). Takhta untuk rakyat: Celah-celah Lokasi calon makam sultan retak, pertanda apa? (2016, kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. 23 Februari). Diakses 24 Februari 2016 dari Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. http://krjogja.com/read/291827/lokasi-calon- Selosoemardjan. (1962). Social changes in Yogyakarta. makam-sultan-retak-pertanda-apa.kr New York: Cornell University Press. MacRae, G., & Putra, I. N. D. (2007). A new theatre- Siswoyo, H., & Waskita, D. (2015, 4 Mei). Sabda state in Bali? Aristocracies, the media and raja sultan Yogya dikritisi. Diakses 30 Januari cultural revival in the 2005 local elections. 2016 dari http://nasional.news.viva.co.id/news/ Asian Studies Review, 31, 171 –189. read/621806-sabda-raja-sultan-yogya-dikritisi. Monfries, J. (2015). A prince in a republic: The life Smith, C. Q. (2009). The return of the Sultan? Power, of Sultan Hamengkubuwono IX of Yogyakarta. patronage, and political machines in “post”- Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. conflict . Dalam M. Erb &P. Mulder, N. (1998). Mysticism in Java: Ideology in Sulistiyanto (Eds.), Deepening democracy in Indonesia. Amsterdam: Pepin Press. Indonesia? Direct elections for local leaders. Singapore: ISEAS. ______. (2005). Inside Indonesian society: Cultural change in Java. Amsterdam: Pepin Press. Soemanto, B. (2003). Cerita rakyat dari Yogyakarta (Vol. 3). Yogyakarta: Grasindo. Munck, G. L. (1996). Disaggregating political regime: Conceptual issues in the study of democratiza- Suhartono. (1991). Apanage dan bekel, perubahan tion. Working Paper #228. Kellogg Institute: sosial di pedesaan Surakarta (1830–1920). The Helen Kellogg Institute for International Yogyakarta: Tiara Wacana. Studies. Sulistiyanto, P. (2009). Pilkada in Bantul district: Onghokham. (2002). Negara agraris dan maritim. Incumbent, populism and the decline of royal Dalam Onghokham (Ed.), Dari soal power. Dalam M. Erb & P. Sulistianto (Eds.). sampai Nyi Blorong: Refleksi historis nusan- Deepening democracy in Indonesia? Direct tara. Jakarta: Kompas election for local leaders. Singapore: ISEAS. Pakuningrat, G. (2015). GKRay Ciptomurti [Press Syamsi, I. (2012). G.K.R Hemas: Ratu di hati rakyat. release]. Kompas. Pohon keramat kraton Yogyakarta tumbang. (2016, Robohnya kraton kami. (1985, Februari 16). Tempo, 3 Februari 2016). Diakses 24 Februari 2016 hlm. XIV. dari http://krjogja.com/read/289658/pohon- Wamin, Mbahnya nelayan Yogyakarta. (2009, Mei 5). keramat-kraton-yogyakarta-tumbang.kr. KR Kompas. Yogya. Wicaksono, P. (2015, 7 Mei). Muhammadiyah dan NU Polemik daftar riwayat hidup calon gubernur DIY. sesalkan langkah sultan. Koran Tempo. (2015, 16 Februari). Kedaulatan Rakyat, Hlm.1.

48 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Wittfogel, K. A. (1967). Oriental despotisma a com- Woodward, M. R. (1989). Islam in Java: Normative parative study of total power. New Haven: Yale piety and mysticism in thesultanate of Yogya- University Press. karta. Tucson: University of Arizona Press. Wolters, O. W. (1999). History, culture, and region in Zakaria, A. (2015, 12 Mei). NU pertanyakan sabda southeast Asian perspectives. Southeast Asia raja berdasarkan wahyu. Koran Tempo. Program Publications, Southeast Asia Program, Cornell University.

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 49