Diskursus Wilwatikta Pada Kakawin Nagarakretagama Sebagai Khitah Nusantara

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Diskursus Wilwatikta Pada Kakawin Nagarakretagama Sebagai Khitah Nusantara Seminar Nasional Seni dan Desain: —Reinvensi Budaya 9isual Nusantara“ Jurusan Seni Rupa dan Jurusan Desain Universitas Negeri Surabaya, 19 September 2019 Diskursus Wilwatikta pada Kakawin Nagarakretagama sebagai Khitah Nusantara Arina Monika Y. Universitas Negeri Surabaya [email protected] Abstrak Terjadi perubahan sosial dan budaya pada masyarakat Indonesia dari masa ke masa, mulai dari zaman kerajaan Majapahit hingga sekarang. Perubahan tersebut dapat berubah menjadi valensi positif atau sebaliknya, namun valensi positif yang pernah terjadi tidak seharusnya hilang dan ditinggalkan, mengingat tujuan bangsa adalah maju dan berkembang. Kemasyuran Kerajaan Majapahit pada masanya dalam segala aspek termasuk kebudayaan pernah dituliskan dalam suatu karya sastra bernama Kakawin Nagarakratagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365M. dalam tulisan tersebut dapat ditelaah bagaimana kesejahteraan yang dirasakan rakyat pada masa itu merupakan cita-cita yang ingin digapai bangsa ini pada masa sekarang. Menggunakan konsep perbedaan diskursus yang dikembangkan oleh Michel Foucault untuk melihat sistem berpikir, ide-ide, pemikiran dan gambaran yang dapat menyebabkan munculnya konsep suatu kultur atau budaya dalam periode waktu yang berbeda. Dengan metode ini dapat diketahui penyebab perbedaan diskursus kebudayaan pada abad 14M dan masa sekarang. Kata kunci : Diskursus, Majapahit, Kakawin Nagarakatagama 1. Pendahuluan Kekhawatiran muncul akan lunturnya identitas Kemerdekaan Indonesia, seluruh masyarakat budaya bangsa. Menurut Djuli Djatiprambudi dan pemerintah mulai menata keadaan negara (2019: 291), —Dilihat perspektif perkembangan dalam segala bidang. Juga merumuskan seni rupa modern di Indonesia, sebenarnya tujuan dan cita-cita bangsa sebagaimana semangat pencarian jati diri atau identitas tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang merupakan rentetan perdebatan besar, yang Dasar 1945 Alinea ke-4, juga landasan sudah lama dihembuskan melalui polemik Negara Indonesia yaitu Pancasila sila ke-3 kebudayaan pada 1930an“. Keinginan-keinginan —3ersatuan ,ndonesia“ yang memiliki makna bangsa menyatu dengan kebudayaan semakin meskipun masyarakat Indonesia terdiri dari didambakan hari demi hari, namun hal tersebut beragam suku, bahasa, agama, budaya yang beriringan dengan bertambah pudarnya berbeda-beda namun tetap mendapatkan kebudayaan yang ada. Cita-cita besar tersebut persamaan kedudukan serta kesejahteraan digarap pemerintah dengan dikeluarkannya dibawah naungan Pemerintah guna menjaga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 persatuan dan kesatuan Indonesia. Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Kebudayaan merupakan identitas dan ciri Padahal keinginan besar tersebut sudah pernah khas suatu bangsa. Menurut Ki Hajar dinikmati masyarakat Indonesia pada abad ke-14 Dewantara, kebudayaan didefinisikan hingga ke-15M, tepatnya saat Pemerintahan sebagai buah budi manusia adalah hasil Majapahit. Hingga dikenal sebagai masa perjuangan manusia terhadap dua pengaruh keemasan segala bidang di Nusantara. Hal inilah kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan yang harusnya juga diperhatikan masyarakat dan bukti kejayaan hidup manusia untuk pemerintah untuk melihat paradigma yang mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran pernah terjadi. Bung Karno pernah berpesan didalam hidup dan penghidupannya guna dalam pidatonya —-asmerah“ yang memiliNi mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang valensi baik untuk tidak melupakan sejarah. pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Di era Sejarah memang tidak akan terulang namun modern ini, kebudayaan Indonesia terus jalannya akan tetap sama. dipertanyakan kelangsungannya. Arina Monika Y. (Universitas Negeri Surabaya) 93 Seminar Nasional Seni dan Desain: —Reinvensi Budaya 9isual Nusantara“ Jurusan Seni Rupa dan Jurusan Desain Universitas Negeri Surabaya, 19 September 2019 2. Metode berbagai bidang kesenian seperti tari, pelawak, Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalang dan sebagainya. Patih Majapahit antara dengan konsep perbedaan diskursus yang tahun 1331 hingga 1364 Gajah Mada, berhasil dikembangkan oleh Michel Foucault. memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini Diskursus dibangun oleh asumsi-asumsi yang sebagian besarnya adalah Indonesia beserta umum dan kemudian menjadi ciri khas dalam hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan suatu periode sejarah tertentu. Penelitian ini dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi melihat adanya perbedaan diskursus hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, kebudayaan pada abad ke-14 dan masa seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana. sekarang dengan lingkup yang sama. Dengan Masyarakat Majapahit yang tertib dan sejahtera melihat kajian dokumen sejarah atau karya sangat mungkin berkat adanya norma dan sastra yang ditemukan juga buku-buku yang penegakan aturan secara baik dan ditaati oleh mengangkat sejarah zaman Majapahit, buku seluruh rakyat. kiranya pada masa kejayaan kebudayaan Indonesia dimasa sekarang, dan Majapahit telah dikenal adanya hukum dan data statistik kebudayaan Indonesia guna peraturan perundang-undangan yang sangat mendapat jawaban dari rumusan masalah dihormati (Munandar, 2018: 23). terdapat tiga yang ada. komponen untuk mendukung perkembangan kerajaan, yaitu (1) adanya sistem pemerintahan 3. Pembahasan yang baik, (2) didukung oleh kekuatan militer, Majapahit berdiri selama kurang lebih dua dan (3) adanya regulasi kemasyarakatan yang abad lamanya. Prasasti Kudadu menuliskan ditaati oleh penduduknya. dari ketiga komponen bahwa kerajaan ini pertama kali diresmikan tersebut, Majapahit memiliki semuanya. pada tahun 1293 dengan raja pertamanya Kertarajasa Jayawardhana atau dalam Kitab Pararaton dikenal dengan julukan Raden Wijaya. Raden Wijaya naik takhta Majapahit setelah mengalahkan Jayakatwang yang berpusat di Kadiri. Sedangkan tahun keruntuhan Majapahit masih menjadi pertanyaan hingga saat ini. Beberapa pihak menyebutkan bahwa kerajaan Majapahit runtuh di tahun 1521M dan ada yang menyebutkan keruntuhannya ditahun 1525M. Sebagai kerajaan terbesar sepanjang sejarah di Asia Tenggara, kerajaan Majapahit Gambar 1. Komponen pengembangan kerajaan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam Sumber : Munandar, Wilwatikta Prana (2018: 42) segala aspek peradaban Nusantara, salah Pada puncak kejayaan kerajaan Majapahit yang satunya kebudayaan. Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk antara tahun 1351- juga mampu menciptakan kesenian 1389, Kerajaan ini menjadi acuan kebesaran bagi tradisional yang bersifat adiluhung. Kesenian kerajaan-kerajaan di Nusantara bahkan pada yang dihasilkan pada masa Majapahit cukup masa itu Majapahit juga dianggap sebagai rekan bernilai seperti kesenian reog, wayang beber, yang setara oleh beberapa kerajaan besar di Asia tarian bedhana surya, tarian bentengan, tarian Tenggara. Mengetahui bagaimana komponen golek sedayung juga karya sastra yang yang dimiliki Majapahit dalam mengembangkan berkembang pesat terutama pada masa kerajaan, harusnya hal itu juga yang dijadikan pemerintahan Hayam Wuruk. Pendidikan acuan Nusantara sekarang ini untuk kemajuan pada masa itu yang diterapkan kepada putra dan perkembangan bangsa ini. Kemegahan dan putri raja memiliki konsentrasi tertentu, tersebut dituliskan dalam sebuah karya sastra yaitu kesenian, sastra atau kewiraan. kuno bernama Kakawin Nagarakretagama karya Mengingat hal tersebut kebudayaan Mpu Prapanca pada tahun 1365. Nama merupakan hal yang sangat penting pada Nagarakretagama merupakan tambahan masa itu. Berdasarkan kitab Pararaton, raja penyalin Arthapamasah pada bulan Kartika termegah kerajaan Majapahit yaitu Hayam tahun saNa 1662 yang Eerarti —1egara dengan Wuruk merupakan sosok yang mahir dalam 94 Diskursus Wilwatikta pada Kakawin Nagarakretagama Sebagai Khitah Nusantara Seminar Nasional Seni dan Desain: —Reinvensi Budaya 9isual Nusantara“ Jurusan Seni Rupa dan Jurusan Desain Universitas Negeri Surabaya, 19 September 2019 Tradisi (Agama) yang suci“. 3ada pupuh 94/2 Pupuh 18.4 menjelaskan rupa bentuk kereta yang disebutkan sang penulis menyebut ciptaanya ditunggangi Sri Nata Wilwatikta sangat indah, Decawarnana atau uraian tentang desa-desa. bergambarkan buah maja dan beratapkan kain Kakawin ini menguraikan keadaan yang gringsing yang berasal dari Bali, dan berhiaskan terjadi didalam Kerajaan Majapahit. lukisan emas. Naskahnya terdiri dari 98 pupuh, tiap kakawin terdiri dari empat pada dan tiap barisnya terdiri dari delapan hingga 24 suku kata yang disebut matra. Pupuh 1-7 tentang raja dan keluarganya, pupuh 8-16 tentang kota dan wilayah Majapahit, pupuh 17-39 tentang perjalanan keliling Lumajang, pupuh 40-44 tentang silsilah raja Majapahit dari Kertarajasa Jayawardhana sampai Hayam Wuruk, pupuh 50-59 tentang perjalanan Hayam Wuruk yang sedang berburu di hutan Nandawa, pupuh 60-82 tentang oleh-oleh dari pelbagai daerah yang Gambar 4. Penenun kain gringsing di desa tenganan dikunjungi, perhatian raja Hayam Wuruk Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kain_gringsing diakses 28 Agustus 2019 kepada leluhurnya berupa pesta srada, dan tentang kematian Patih Gajah Mada, pupuh Kain gringsing merupakan kain tenun tradisional 83-91 tentang upacara keagamaan berkala Indonesia satu-satunya yang menggunakan yang berulang kembali setiap tahun di teknik dobel ikat dan memerlukan waktu Majapahit, yakni musyawarah, kirap, dan pembuatan selama 2-5 tahun lamanya. Pada pesta tahunan. pupuh 92-98 tentang pujangga umumnya masyarakat Tenganan memiliki kain yang setia kepada raja. pada tahun 2008 gringsing yang berusia ratusan tahun untuk Kakawin Nagarakretagama diakui sebagai digunakan dalam berbagai
Recommended publications
  • Concise Ancient History of Indonesia.Pdf
    CONCISE ANCIENT HISTORY OF INDONESIA CONCISE ANCIENT HISTORY O F INDONESIA BY SATYAWATI SULEIMAN THE ARCHAEOLOGICAL FOUNDATION JAKARTA Copyright by The Archaeological Foundation ]or The National Archaeological Institute 1974 Sponsored by The Ford Foundation Printed by Djambatan — Jakarta Percetakan Endang CONTENTS Preface • • VI I. The Prehistory of Indonesia 1 Early man ; The Foodgathering Stage or Palaeolithic ; The Developed Stage of Foodgathering or Epi-Palaeo- lithic ; The Foodproducing Stage or Neolithic ; The Stage of Craftsmanship or The Early Metal Stage. II. The first contacts with Hinduism and Buddhism 10 III. The first inscriptions 14 IV. Sumatra — The rise of Srivijaya 16 V. Sanjayas and Shailendras 19 VI. Shailendras in Sumatra • •.. 23 VII. Java from 860 A.D. to the 12th century • • 27 VIII. Singhasari • • 30 IX. Majapahit 33 X. The Nusantara : The other islands 38 West Java ; Bali ; Sumatra ; Kalimantan. Bibliography 52 V PREFACE This book is intended to serve as a framework for the ancient history of Indonesia in a concise form. Published for the first time more than a decade ago as a booklet in a modest cyclostyled shape by the Cultural Department of the Indonesian Embassy in India, it has been revised several times in Jakarta in the same form to keep up to date with new discoveries and current theories. Since it seemed to have filled a need felt by foreigners as well as Indonesians to obtain an elementary knowledge of Indonesia's past, it has been thought wise to publish it now in a printed form with the aim to reach a larger public than before.
    [Show full text]
  • Space and Myth in Surakarta Kasunanan Palace, Indonesia
    SPACE AND MYTH IN SURAKARTA KASUNANAN PALACE, INDONESIA A PRELIMINARY INVESTIGATION OF SPATIAL AND MYTHICAL QUALITIES OF THE PALACE AND HOW THEY RELATE TO THE POWER AND AUTHORITY OF THE K1NG/DOM By WAHYU DEWANTO (Architect) SUBMITTED IN FULFILMENT OF THE REQUIREMENTS FOR THE DEGREE OF DOCTOR OF PHILOSOPHY DEPARTMENT OF ARCHITECTURE & URBAN DESIGN UNIVERSITY OF TASMANIA LAUNCESTON U-S-T-R-A-L—I-A NOVEMBER 1997 STATEMENT OF AUTHENTICITY OF MATERIAL This dissertation contains no material which has been accepted for the award of any other degree or diploma in any institution and to the best of my knowledge and belief, the research contains no material previously published or written by another person, except where due reference has been made in the text of the dissertation. ahyu Dewanto Launceston, 21 November 1997 STATEMENT OF AUTHORITY OF ACCESS TO LOAN AND COPYING The University of Tasmania and its approved officers and representatives are authorised to loan or make limited copies of this dissertation for general dispersal in the interests of academic research, subject to the Copyright act 1968. Signed Wahyu Dewanto Launceston, 21 November 1997 111 abstract Surakarta Kasunanan palace, in central Java, is an important part of the heritage of the Indonesian nation. It is regarded as a centre of Javanese culture. The architecture of the palace represents the complexity of Indonesian culture, where local tradition and external social, cultural and religious influences are manifested in the form and structure. Surakarta Kasunanan palace as a whole is considered a sacred place, gives a religious impression and reflects the characteristics of the kingdom.
    [Show full text]
  • Kearifan Budaya Sunda Dalam Peralihan Kepemimpinan Kerajaan Sunda Di Kawali Setelah Perang Bubat
    KEARIFAN BUDAYA SUNDA DALAM PERALIHAN KEPEMIMPINAN KERAJAAN SUNDA DI KAWALI SETELAH PERANG BUBAT Oleh: Rusya’i Padmawijaya 1 Siti Khodijah 2 ABSTRAK Pemerintahannya, Bunisora Suradipati cenderung sebagai raja yang berkarakteristik religius. Kepiawaian Bunisora Suradipati dalam mengolah kerajaan sangat bagus dan sangat bijaksana. Beliau memegang penuh kestabilan aturan dan norma-norma kenegaraan. Konsep kepemimpinan di Sunda pada waktu pemerintahan Bunisora Suradipati tidak bisa lepas dari dua hal. Pertama, kitab Watang Ageung (satu kitab yang selalu digunakan oleh orang Sunda yang mengadopsi atau meyakini ageman atau kepercayaan Sunda Wiwitan. Yang kedua yaitu dari Siksakandang Karesian. Salah satunya konsep kepemimpinannya ialah dengan menggunakan konsep Tri Tangtu (tiga kunci atau tiga titik pemerintahan). Ketiga kunci tersebut yaitu Resi, Ratu, dan Rama. Tipe kepemimpinan Bunisora Suradipati adalah tipe kepemimpinan demokratis. Pada tahun 1371 Masehi, Bunisora Suradipati menyerahkan tahtanya kepada Niskala Wastu Kancana. Hal itu terjadi karena keluhuran budi Bunisora Suradipati, khususnya kejujurannya, sehingga Bunisora Suradipati menganggap bahwa tahta tersebut merupakan sebuah titipan, sebagai amanat sambil menunggu pewaris tahta yang sebenarnya dewasa, yaitu Niskala Wastu Kancana. Budaya Sunda berdampak besar terhadap kepemimpinan dan tatanan pemerintahan, serta berdampak juga terhadap kehidupan masyarakatnya. Salah satu dampak besar yang terjadi di Kerajaan Sunda setelah terjadinya tragedi Perang Bubat, yaitu “Dilarangnya keluarga
    [Show full text]
  • In the Footsteps of Hayam Wuruk
    IIAS_NL#39 09-12-2005 17:00 Pagina 17 > Research Rocks washed by the sea as Hayam Wuruk probably saw them at the cape of Tanjung Papuma. courtesy of author In the footsteps of Hayam Wuruk In the Old Javanese text Nagarakertagama or Desawarnana (1365), the Buddhist poet Prapanca describes King Hayam Wuruk’s journey through East Java in 1359. We followed the royal tracks in a 900-kilometer jeep expedition in June 2005 and discovered that many of the places can still be identified. Amrit Gomperts Renes, the caravan passed through a for- descending the steep ravine is impossi- cape of Tanjung Papuma, nowadays a human hands on the southern shore of est referred to as Jati Gumelar or ‘spread ble. Thus, in 1359, the wooden or bam- small tourist resort. The rocks jutting up Ranu Segaran, in front of a terraced gar- out teak trees’ (DW 23.1). The Dutch boo bridge may have been in a moul- close to the beach remain as Hayam den; this site may well indicate the loca- he expedition departed from the topographic maps show details of vege- dering state but it could not have been Wuruk may have seen them (see photo- tion of the bwat ranten. Tcourt of Majapahit, during the day tation that locate the forest near the vil- entirely in tatters. Such bridges chal- graph). of the full moon on 8 September 1359. lage of Tasnan which my Javanese trav- lenge our archaeological imagination. At the end of the journey, the royal car- The royal caravan drove in ox-carts, with el companions recognized as jati ‘teak’.
    [Show full text]
  • The Mandala Culture of Anarchy: the Pre-Colonial Southeast Asian International Society
    The Mandala Culture of Anarchy: The Pre-Colonial Southeast Asian International Society Pandu Utama Manggala Australian National University, Australia Abstract Throughout the years, study on pre-colonial Southeast Asian international relations has not garnered major attention because it had long been seen as an integral part of the China- centred tribute system. There is a need to provide greater understanding of the uniqueness of the international system as different regions have different ontologies to comprehend its dynamics and structures. This paper contributes to the pre-colonial Southeast Asian literature by examining the interplay that had existed between pre-colonial Southeast Asian empires and the hierarchical East Asian international society, in particular during the 13th- 16th Century. The paper argues that Southeast Asian international relations in pre-colonial time were characterized by complex political structures with the influence of Mandala values. In that structural context, the Majapahit Empire, one of the biggest empires at that time had its own constitutional structures of an international society, albeit still sought close relations with China. Keywords: Pre-Colonial History, Southeast Asia, Mandala, Tributary System Introduction Southeast Asian countries were far from peaceful and stable under the tribute Throughout the years, study on pre- system. Fierce competition for survival and colonial Southeast Asian international domination had characterized the balance relations has not garnered major attention of power politics throughout the pre- because it had long been seen as an integral colonial era (Shu 2012b, p. 46). part of the China-centred tribute system. For that reason, there is a need to Moreover, Southeast Asia has often been provide greater understanding of the regarded as a political backwater uniqueness of the international system as compared to East Asia because Southeast different regions have different ontologies Asia as a region is seen as relatively to comprehend its dynamics and structures.
    [Show full text]
  • George Yeo, Minister
    National Archives of Release No.: 23/NOV 03B-l/94/11/09 SPEECH BY BG (NS) GEORGE YEO, MINISTER (INFORMATION AND THE ARTS) AND (HEALTH), AT THE OPENING OF THE LEGACY OF MAJAPAHIT AT THE NATIONAL MUSEUM ON WEDNESDAY, 9 NOVEMBER 1994 AT 6.00 PM To many Singaporeans, Majapahit is an ancient empire we read of only in the pages of a history textbook. The Kingdom of Majapahit ruled by Hindu Kings was the largest empire ever established in Southeast Asia from the 13th century to the 16th century. It was founded in East Java in 1294, exactly 700 years at the end of Kublai Khan's invasion. In the 14th century, Majapahit became a great centre of power in the entire Malay Archipelago. Its sway spread over much Administratively the empire was loosely bound by tribute paid in products and services to the centre by small states in the region including old Singapore, then known as Temasek. In the 15th century it was gradually torn apart by civil war. The trading ports of Java's north coast, where Islam was becoming popular, came into conflict with the traditional centre of power in the rice-growing interior. Majapahit authority in the Malacca Straits was increasingly contested by an emergent Malacca. By the time the Portuguese conquered Malacca in 1511, only a shell was left of Majapahit. Through archaeology and historical writings, we know that Majapahit had a major influence on the politics and culture of old Singapore. Both the 14th Century poem, Nagarakertagama and the 17th century Pararaton (Book of Kings) mentioned Temasek as part of the Majapahit empire.
    [Show full text]
  • Documenting Endangered Literary Genres in Sasak, Eastern Indonesia
    Documenting endangered literary genres in Sasak, eastern Indonesia Peter K. Austin Endangered Languages Academic Programme Department of Linguistics, SOAS ANDC, Australian National University [email protected] 2013-01-30 Draft paper prepared for Indonesian Linguistics Workshop, Tokyo University of Foreign Studies, February 2013 – do not quote or cite without permission Abstract1 The island of Lombok, eastern Indonesia, is linguistically and culturally complex, with several languages being used there, including Sasak, Balinese, Kawi (a form of early modern Javanese) and Indonesian. Sasak shows wide geographical and social variation, with a system of speech levels, apparently borrowed from its western neighbours. The Sasaks also have a literary tradition of writing manuscripts on palm leaves (lòntar) in a manner similar to that of the Balinese (Rubinstein 2000, Creese 1999), and historically, the Javanese. Lombok today remains one of only a handful of places in Indonesia where reading lòntar (called in Sasak, pepaòsan) continues to be practised, however even there the number of people who are able to read and interpret the texts is rapidly diminishing. In this paper I outline the nature of the Sasak literary materials (see also Marrison 1999, 2000, Van der Meij 1996, 2002), how reading is taught, the nature of reading performances, and the role of this genre within contemporary Sasak culture. This work results from fieldwork undertaken in two locations on Lombok, and studies I have carried out with some of the few younger specialists who is able to perform lòntar reading. The paper concludes with discussion of some challenges for language documentation theory and practice (Himmelmann 2002, Woodbury 2011) that arise in the process of recording and analyzing 1 Research on Sasak has been supported at various times by the Australian Research Council, the School of Oriental and African Studies, Tokyo University of Foreign Studies and the Alexander von Humboldt Stiftung.
    [Show full text]
  • Accounting and Accountability Strategies of Gajah Mada's
    IOSR Journal of Economics and Finance (IOSR-JEF) e-ISSN: 2321-5933, p-ISSN: 2321-5925.Volume 5, Issue 6. Ver. I (Nov.-Dec. 2014), PP 19-24 www.iosrjournals.org Accounting and Accountability Strategies of Gajah Mada’s Government: Analysis of Power – Knowledge Calysta Dessi Rosyinadia1 , EG Sukoharsono2 , A Djamhuri3 1 Postgraduate Program, Faculty of Economic and Business, University of Brawijaya. Malang-Indonesia 2 Faculty of Economic and Business, University of Brawijaya. Malang-Indonesia 3 Faculty of Economic and Business, University of Brawijaya. Malang-Indonesia Abstract: This study is aimed to more deeply analyze the history of accounting in Indonesia, particularly in the Majapahit empire in the reign of Gajah Mada as the mahapatih (Prime Minister). The role of Gajah Mada in the establishment of the unity of archipelago has a significant contribution to the development of the accounting ideas in Indonesia. In addition to the expansion of the territory expressed in the Palapa oath, Gajah Mada committed to his own mission to improve the economy of Majapahit Empire. Gajah Mada’s accounting strategy is one of successful strategy that formed Indonesian archipelago. In the age of Gajah Mada, Majapahit was one of the biggest ports with biggest warehouse in Asia frequently transited by foreigners from various countries. Moreover, Gajah Mada used his power to formulate legislation governing Majapahit taxes and penalties. In the Gajah Mada reign, Majapahit Empire is levied kinds of taxes, namely: (a) trade tax, (b) tax for foreigner, (c) exit-premit tax,(d) land tax, and (e) arts tax. Keywords: Gajah Mada, Accounting History of Indonesia, Foucault Power-Knowledge Framework I.
    [Show full text]
  • Kawasan Heritage Jalan Gajah Mada Sebagai Upaya Pelestarian Kawasan Kota Tua Denpasar Bali
    Jurnal Industri Pariwisata e-ISSN : 2620-9322 Vol 1, No. 1, 2018 KAWASAN HERITAGE JALAN GAJAH MADA SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN KAWASAN KOTA TUA DENPASAR BALI 1 2 Derinta Entas , A.A. Istri Putera Widiastiti 1Jurusan Usaha Perjalanan Wisata, Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid, Jakarta 2Program Studi DIV MPH, Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional, Denpasar Email korespondensi: [email protected] ABSTRAK Kawasan wisata Jalan Gajah Mada Denpasar sebagai kawasan heritage di kota Denpasar memiliki sejarah panjang. Kawasan yang merupakan pusat niaga dan bisnis terbesar, dihuni oleh mayoritas kaum etnis Tionghoa. Kawasan heritage Jalan Gajah Mada merupakan kawasan kota tua Denpasar. Perkembangan kota Denpasar lebih mengarah kepada konsep kota urban. Penataan dan pengembangan kawasan tersebut memberikan wajah baru bagi kota Denpasar khususnya di kawasan Jalan Gajah Mada. Ada kekhawatiran bahwa bangunan-bangunan lama yang mendominasi di sepanjang kawasan Jalan Gajah Mada tersebut akan hilang tergerus pertumbuhan kawasan tersebut. Upaya-upaya dilakukan untuk mempertahankan heritage area ini. Tujuannya untuk menjaga peradaban kota tua dari perkembangan sporadis pembangunan kota besar khususnya kota Denpasar. Bangunan-bangunan yang dikatagorikan heritage building di kawasan heritage Jalan Gajah Mada memiliki nilai estetik dari eksterior maupun interiornya yang perlu untuk dijaga kelestariannya. Kata Kunci: heritage area, kota tua, kota urban ABSTRACT Tourism area Gajah Mada street Denpasar as the heritage area has a long stories. This area as the biggest center of business and trade at Denpasar city, inhabited by the majority of the chinese ethnic. Heritage area of Gajah Mada street is one of the old city at Denpasar Bali. Development cities of Denpasar directed to the concept of urban city.
    [Show full text]
  • Gayatri Dalam Sejarah Singhasari Dan Majapahit1
    16 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Ketujuh, Nomor 2, Desember 2013 GAYATRI DALAM SEJARAH SINGHASARI DAN MAJAPAHIT1 Deny Yudo Wahyudi1 Jurusan Sejarah FIS Universitas Negeri Malang Abstrak: Gayatri is an important woman figure in history of Majapahit. As a main family member, she had central role, although her role is invisible. Her status as Rajapatni gave her a big power, so she ascended her husband’s throne after her son in law, who has no son, died. Her Pendharmaan becomes an important source to be studied because of its vague of supporting data. Key Words: Gayatri, history, Singhasari, Majapahit Pergulatan menarik ditunjukkan Prof. Drake Singhasari sebagai pendahulu raja-raja (mantan Diplomat Canada) ketika akan Majapahit. Sumber lain selama ini hanya memilih tema tulisan sejarah sebagai kebiasa- Pararaton dan Nagarakartagama. Informasi an beliau ketika bertugas di luar negeri. yang diberikan oleh Mula-Malurung banyak Pilihan terhadap sosok Gayatri sebagai bahan yang memperkuat atau bahkan memperjelas tulisan patut diacungi ibu jari karena beliau kisah dalam Pararaton, karena tidak semua tidak tergoda untuk mengangkat nama-nama hal kisah dalam Pararton tergambarkan besar dalam sejarah Majapahit, semisal Prabu dengan jelas dan justru beberapa menimbul- Wijaya, Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada kan pertanyaan. ataupun kalau tokoh wanita, Tribhuana dan Silsilah raja-raja Singhasari me- Suhita yang lebih banyak perannya dalam nunjukkan bahwa semua cabang dalam sejarah kerajaan. Selanjutnya saya akan keluarga ini pernah memerintah3 dalam tahta sedikit berdiskusi dengan tulisan Prof. Drake Singhasari. Hal yang menarik bahwa politik melalui tulisan sederhana, karena jika me- perkawinan selain sebagai upaya konsolidasi lakuklan kontra tulisan memerlukan waktu dan meredam suksesi juga dapat berakibat panjang untuk mempersiapkan suatu proses berlawanan, yaitu penuntutan hak atas tahta.
    [Show full text]
  • Kontribusi Konstitusi Madinah Dan Konstitusi
    KONTRIBUSI KONSTITUSI MADINAH DAN KONSTITUSI NAGARAKRETAGAMA TERHADAP RANCANGAN AMANDEMEN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 TERKAIT HAK DAN KEBEBASAN BERAGAMA JURNAL Oleh: MUWAFFIQ JUFRI NIM. 146010100111010 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM 2016 KONTRIBUSI KONSTITUSI MADINAH DAN KONSTITUSI NAGARAKRETAGAMA TERHADAP RANCANGAN AMANDEMEN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 TERKAIT HAK DAN KEBEBASAN BERAGAMA Muwaffiq Jufri1, Rachmad Safa’at2, Jazim Hamidi3 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. M.T. Haryono 169 Malang 65145 E-mail : [email protected], [email protected], [email protected]. Abstract Legal issues concerning the rights and freedom of religion in Indonesia is experiencing various problems. It indicates that the arrangement of this right in the constitution should be reformatted so that the constitutional right to be met to the fullest. The purpose to be achieved in this research is to find the ideal format regulation rights and religious freedom in the constitution based on the regulations contained in the Constitution of Medina and the Constitution of Nagarakretagama. This study uses normative law research that produced important findings about the ideal format regulation rights and religious freedom, among others; Tauhid religious freedom; no distinction of religion and belief; the balance of rights and liabilities in religious freedom; straightness meaning of freedom of religion; and affirmation of the concept of restrictions of the rights and freedom of religion. All the findings in this study are expected to be a consideration in the framework of the fifth amendment of the Indonesia Constitution Year 1945 regarding the rights and freedom of religion.
    [Show full text]
  • Nancy J. Smith-Hefner
    NANCY J. SMITH-HEFNER Associate Professor, Associate Chair Department of Anthropology, Boston University, Boston, MA 02215 USA. Tel.: (617)353-2198/95; Fax: (617)353-353-6408 PROFESSIONAL EMPLOYMENT 2001-Present. Associate Professor (tenured), Department of Anthropology, Boston University. 1994-2001. Associate Professor of Linguistics and Anthropology (tenured), Graduate Program in Applied Linguistics; Adjunct Professor, Department of Anthropology, University of Massachusetts, Boston. 1999. Visiting Research Associate, Center for Women’s Studies, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. 1987-1994. Assistant Professor of Linguistics and Anthropology, Graduate Program in Bilingual/English as a Second Language Studies, Department of English, University of Massachusetts, Boston. 1984-1987. Visiting Assistant Professor, Graduate Program in BIL/ESL Studies, Department of English, University of Massachusetts, Boston. l984. Visiting Professor, Department of Anthropology, University of Massachusetts. 1984, Summer. Program Director, Indonesian Language Program, Southeast Asian Summer Studies Institute, University of Michigan, Ann Arbor. EDUCATION 1983, Spring. Doctor of Philosophy in Linguistics, University of Michigan, Ann Arbor. Dissertation Title: Language and Social Identity: Speaking Javanese in Tengger. 1978, Summer. U.S. Office of Education Program in Advanced Indonesian, IKIP Malang, East Java, Indonesia. 1977, Summer. Indonesian Summer Studies Institute, University of Wisconsin, Madison, Intensive Indonesian and Javanese Language Study. 1976. Master of Arts, Department of Linguistics, University of Michigan, Ann Arbor. 1974. Bachelor of Arts in Comparative Literatures, Residential College, University of Michigan, Ann Arbor. 1972-73. L’Universite de Provence, Aix-en-Provence, France. Comparative Literatures (French and Italian). ADMINISTRATIVE DIRECTORSHIPS 2010-present. Associate Chair, Department of Anthropology, Boston University. 2003-2009. Director of Undergraduate Studies, Department of Anthropology, Boston University.
    [Show full text]