SOEDJATMOKO DAN ORnE BARU (1968-1989)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Saljana Humaniora

Oleh:

Olman Dahuri 102022024382

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA urn SYARIF HIDAYATULLAH 1428 HI 2007 M DAN ORDE BARD (1968-1989)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjal1a Humaniora

Oleh:

Olman Dahuri NIM 102022024382

Di Bawah Bimbingan \d!:#:~ NIP. 150240484

JURUSAN SEJARAH DAN PERADAlJAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 HI 2007 M PENGESAHAN PANIT~ UJ(AN

Skripsi yang beJjudul "SOEDJATMOKO DAN ORDE BARU (1968-

1989)", telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Adab dan Humaniora UIN

Syarif HidayatuJlah Jakarta pada tanggal 23 April 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah-satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata I (S 1) pada

Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 23 April 2007

Sidang Munaqasah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, (\ ~ Drs. H. M. Ma'rufMisbah, MA Use" Abdul Matin, S. Ag., MA, MA NIP. ISO 247 010 NIP. ISO 288 304

Penguji, Pembiml>ing,

Drs. Imam Subchi, M. Hum Dra. Hj. )'ati Hartimah, MA NIP. ISO 299 472 NIP. ISO 240 484 KATAPENGANTAR

Luapan rasa syukur penulis panjatkan keharibaan I1ahi Rabbi yang telah memberikan beragam nikmat, kesempatan serta kekuatan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat teriring do'a semoga tercurah kepada penerang semesta nabi agung Muhammad SAW yang telah membawa perubahan bagi peradaban manusia, dari peradaban yang kelam dan sempit akan ilmu pengetahuan, menjadi peradaban yang penuh dengan warna-warni ilmu pengetahuan seperti saat

1111.

Penulisan skripsi ini adalah syarat yang hams dipenuhi oleh penulis untuk menyelesaikan program Smjana pada jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas

Adab dan Humanaiora, DIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan penuh khidmat penulis berikhtiar semaksimal mungkin untuk menyusun sebuah skripsi yang terbaik.

Namun, keparipurnaan bukan lah hak manusia dan karyanya, dan begitulah pada akhirnya skripsi ini dihasilkan, ia sarat dengan cacat dan kekurangan. Oleh karenanya, ia sangat meminta hadirnya kritik, saran, maupun komentar dari berbagai pihak untuk memperbaiki kekurangan dari karya ini.

Terselesaikannya skripsi ini tak bisa dilepaskan dari supportberbagai pihak,oleh karena teramat mustahil bagi penulis mampu bekeIja seorang diri tanpa bantuan pihak-pihak lain. Maka, sudah sepatutnya penulis memberikan penghargaan tertinggi serta mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada: I. Dr. Abdul Chair MA, Selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah berupaya menunaikan perannya dengan baik

sebagai penghimpun utama semua aspirasi dan kebutuhan mahasiswanya,

termasuk penulis.

2. Drs. H. M. Ma'ruf Misbah, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban

Islam yang telah re/a menghabiskan waktunya untuk menghadapi segala keluhan­

keluhan para mahasiswanya, tak terkecuali penulis, terkait dengan persoalan

akademik jurusan.

3. Bapak Drs. Usep Abdul Matin, MA, selaku Sekretaris Jurusan Sejarah Peradaban

Islam yang selalu berusaha memberikan kemudahan administratif kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ora. Hj. Tati Hartimah, M.A, sebagai pembimbingskripsisekaligus pula

merangkap sebagai Pudek I Fakultas Adab dan Humaniora yang dengan pcnuh

perhatian telah membimbing dan mendorong penulis untuk menyusun skripsi ini

semaksimal mungkin dan mengingatkan penulis supaya menghindarkan diri dari

godaan-godaan pragmatis yang dapat berakibat pada terkuranginya kesungguhan

dalam mengeIjakan karya ini.

5. Pimpinan dan seluruh staf pegawai Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional

Jakarta, Perpustakaan LP3ES Jakarta, yang telah memberikan pelayanan dan

kemudahan bagi penulis dalam memperoleh data-data yang penulis butuhkan. 6. Bapak dan Ibu ku (Adri dan Darus Mawati), yang telah membesarkan dan

mendidik penuIis dengan kedua kaki dan tangannya, peluh dan darah, pikiran dan

jiwanya, hanya sekadar tuk melihat tangis bahagia anaknya; Kak Yanti dan suarili

yang tanpa parnrih telah bergandeng tangan membantu bapak dan ibu dalarn

menyelesaikan pendidikanku; Kak Sisti dan suarni serta adikku (Emmy) yang

selalu memberikan spirit dan motivasi; ketiga ponakanku (Ghita, Nola, dan Dian)

yang lucu-lucu, terimakasih untuk semuanya. Bahagiaku sungguh tak terperikan

telah lahir dan dewasa dalarn cinta kalian.

7. Istri tercinta, yang dengan penuh kelembutan dan kasih sayang telah menjadi

pendarnping setia penulis dalarn menyelesaikan skripsi ini. Engkau adalah

anugerah yang teramat berharga, obat dalarn kegetiran, pemberi makna dalarn

keharnpaan, penegar jiwa dalarn menggapai cita-cita. Ku takkan pemah sanggup

beIjarak denganmu, wahai bidadariku.

8. Seluruh kawan-kawan SPI angkatan 2002, Inshums dan Basis, Dakocan dan

Simatupang groups, dan seluruh kawan-kawan lain yang tak sempat tertulis di

lembaran sempit ini, kebersarnaan kalian sungguh telah mencipta memori

terindah yang tak bisa terlupa. Utarna sekaJi untuk Adi, Test dan Bulux,

terimakasih karena telah memberi ruang yang bebas bagi penulis untuk berdikusi,

bertukar ide dan pengetahuan. Kalian bukan hanya teman dalarn rasa tapi juga

rekan sesarna pendaki gunung kearifan.

9. Muthahhari, Khomeini, Rumi dan Bergson, merupakan guru-guru besar yang

telah membimbingku bahwa dasar filsafat hidup ini bukanlah materi semata melainkan juga cinta pada yang Satu sebagai nilai tertinggi; yang mengajarkan

kepada penulis untuk selalu mengejar puncak spritualnya tetapi tidak melupakan

tanggungjawab sosial di dunia. Mereka tak sekadar menjadi inspirator-inspirator

bagi munculnya ide-ide cemerlang, tapi juga merupakan penuntun-penuntun yang

baik dalarn mengarungi lautan kehidupan.

10. Soedjarnoko, Sartre dan Nietsche, yang telah menebar benderang kebebasan

dalarn laju pribadiku. Mereka adalah teman dalarn keheningan yang merigajarkan

pada penulis bahwa hidup yang bermakna adalah hidup dengan penuh

kemerdekaan dan kebebasan, bukan penghanlbaan.

II. Alunan simphoni kehidupan yang tersembur dari hati seorang Ebiet G. Ade, Iwan

Fals, Doel Sumbang dan Opick yang sanggup melancarkan edarandarah,

menormalkan detak jantung, mengurai urat yangbergelung kakudan

menggerakkan tubuh yang terkulai. Anda semua lIIerupakanpericipta nada-riada

indah yang dapat memacu gairah hidupku.

Pada akhirnya, hanya ucapan terima kasih inilah yang dapat kupersembahkan, semoga arnal dan jasa baik kalian menjadi pahala dan kemuliaan di sisi Allah SWT. Juga, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan pihak yang membutuhkannya. Amin.

Ciputat, 13 April 2007

Penulis DAFTAR lSI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR lSI V

BAB I PENDAHULUAN .

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perwnusan masaIah 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 7

D. Metode Penelitian 8

E. Kerangka Konseptual 10

F. Survey Kepustakaan 16

G. Sistematika Penulisan...... 18

BAB II KONDISI SOSIAL POLITIK ORDE BARU (1966-1989)

A. Latar Belakang Lahirnya Orde Barn...... 19

B. Menciptakan Orde Barn (1966-1975): Konsep dan Kebijakan

Pembangunan Nasional 24

C. Periode Keemasan Orde Barn (1975-1989): Beberapa

Keberhasilan dan Kekurangan dalam Pembangunan 35

BAB III BIOGRAFI SINGKAT SOEDJATMOKO .

A. Latar Belakang Keluarga 46

B. Pendidikan dan Tradisi Intelektual 48

C. Perjalanan Karir 58 BAB IV PERAN SOEDJATMOKO PADA MASA ORDE BARU..

A. Membangun Citra Orde Baru di Dunia Internasional 64

B. Mengembangkan dan Menyumbangkan Pemikiran tentang

Pembangunan bagi Pelaksanaan Pembangunan di

Indonesia...... 73

C. Kritik Soedjatmoko terhadap Konsep dan Kebijakan

Pembangunan Orde Barn 88

BAB V PENUTUP .

Kesimpulan 96

DAFTAR PUSTAKA 99 BABt

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu prinsip mendasar yang hams diperhatikan ketika menganalisa pemikiran seseorang adalah bahwa tidak ada pemikiran seseorang yang berkembang dari suatu vakum (kekosongan) tanpa sama sekali mendapat pengarub dari rangkaian pemikiran lain yang telah berkembang sebelumnya.

Prinsip lain yang tidak bisa diingkari keabsahannya adalah, tidak ada satu gagasan atau pemikiran pun di muka bumi ini yang kemunculannya lepas sama sekali dari fakta sosial yang melingkupinya dan yang menyebabkan lahirnya suatu ide.

Durkheim, seorang sosiolog kenamaan dari Perancis, mengatakan bahwa fakta atau gejala sosial yang melahirkan pemikiran itu sebagai sesuatu yang riil, ia mempengarubi kesadaran individu serta prilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. 1 Lebih lanjut Hegel, menyebut fakta sosial itu sebagai jiwa zaman (zeitgeist) yang membentuk pribadi dan pemikiran seseorang.2

Satu di antara berbagai persoalan penting yang menjadi kebutuhan yang sangat mendasar bagi bangsa dari setelah merdeka hingga sekarang adalah

I Doyle Paul Johnson, Teori Sosiotogi Klasik dan Modern, (Ierj), Jakarta: PT Gramedia, 1986, hal. 174

2 Kuntowijoyo, "Mencari Soedatmoko", dalam, M. Nursam, Pergumulan Seorang lntelektual, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Vlama, 2002, hal. xviii 2

persoalan "pembangunan", yaitu bagaimana membangun bangsa Indonesia yang tercinta ini, dengan berbagai dimensi kehidupan yang terdapat di dalamnya, menuju ke arah yang progressif dan terus maju serta keadaan yang terus membaik. Sebagai sebuah kebutuhan, pembangunan merupakan kegiatan dengan prioritas yang tidak sama pada setiap waktu dan zaman, ia dipengaruhi oleh dinamika dan situasi sosial yang teIjadi di dalamnya.

Pada masa setelah kemerdekaan, khususnya masa Orde lama, para elite dan pemimpin dalam pemerintahan memiliki suatu pola pemikiran sosio-politik yang terlalu bersifat ideologis dan politis. Sementara itu persoalan-persoalan praktis, tetapi secara langsung bisa mengatasi masalah-masalah kebutuhan dasar rakyat banyak, tidak diprioritaskan. Dalam pengertian sederhana, para pemimpin Orde Lama memiliki pola pemikiran yang menjadikan "politik sebagai panglima".

Konsekuensinya, semua aspek non-politis, seperti pembangunan ekonomi dan industrialisasi, harus ditundukkan kepada politik dan ideologi.3 Pada masa ini, pembangunan politik lebih diutamakan daripada pembangunan ekonomi.

Tahun 1968 merupakan sebuah masa transisi dari Soekarno ke Soeharto, dari

Orde Lama ke Orde Baru.4 Untuk menyongsong peralihan kekuasaan tersebut, Orde

Baru, pada masa awal dan hingga sekarang, menerapkan suatu format politik yang

memusatkan kekuasaan pada lembaga eksekutif. Hal ini dilakukan untuk mengatasi

) Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1992, hal. 94

·1 M. Nursam, Pergumulan Seorang...., hal. 158 3

situasi krisis setelah pecahnya G 30S/PKI yang harnpir melurnpuhkan sistem pemerintahan dan membawa Indonesia ke arnbang perpecahan dan konflik berdarah.

Di sarnping itu, Indonesia juga menghadapi krisis ekonomi dengan inflasi yang mencapai lebih dari 600%. Hal ini terutarna disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah Orde Lama terhadap pembangunan ekonomi serta keterlibatannya dalarn berbagai petualangan luar negeri, seperti konfrontasi dengan

Malaysia.

Untuk mengatasi situasi darurat tersebut para pemimpin Orde Baru menciptakan suatu format politik yang memberikan penekanan pada stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Stabilitas politik danpembanguan ekonomi dilihat sebagai dua sisi dari mata uang yang sarna, karena tanpa stabilitas politik pembangunan ekonomi tidak akan dapat dijalankan, sedangkan tanpa adanya pembangunan ekonomi, stabilitas akan suiit dicapai.5

Rezim Orde Baru telah mengarnbil legitimasinya dari "developmentalisme", yakni ideologi yang memberikan prioritas pada pembangunan ekonomi yang diukur sebagai perturnbuhan ekonomi dan stabilitas politik, bukannya kebebasan politik dan hak azazi manusia. Penindasan terhadap aktivitas politik dipertahankan melalui doktrin "masa mengarnbang" yang diperkenalkan pada 1971. Menurut prinsip ini, aktivitas politik pada tingkat masyarakat dilarang. Penduduk harus menjadi "massa mengambang" yang berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi dan tidak boleh

5 Dewi Fortuna Anwar, "Format Politik Orde Barn dan Agenda Pengembangan Demokrasi Politik", dalam, Demilologisasi Polilik Indonesia, Jakarta: PT Pustaka CIDESINDO, 1998, hal. 3-4 4

ambil bagian dalam politik.6 Orde Bam menerapkan semboyan, "politik no, pembangunan yes".7

Rezim Orde Bam, pada masa awal pemerintahannya, telah berusaha melakukan restrukturisasi umum, terutama yang menyangkut bidang pembangunan ekonomi dan sosial politik. Pergolakan-pergolakan ideologi politik Orde Lama yang pada akhirnya seringkali menciptakan ketidakstabilan kehidupan nasional, diusahakan benar oleh Orde Bam agar tidak terulang kembali.

Untuk itu, trilogi pembangunan yang dicanangkannya berkisar tentang stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Langkah-Iangkah yang diambil Orde Bam sehuboogan dengan kebijaksanaan umum yang terangkum dalam trilogi pembangunan segera nampak. Mooculnya gagasan rencana pem.bangunan nasional yang kemudian dikenal sebagai pem.bangunan lima taboo (PELlTA), yang dimulai sejak 1969, merupakan langkah besar yang dimaksudkan ootuk merealisasikan program pembangunan nasional secara bertahap.8

Kondisi sosial politik yang tercipta pada masa Orde Bam telah mempengaruhi pemikiran ekonomi sosial-politik dari para tokoh yang hidup dan berkiprah dari masa ini, terutama dari kalangan menengah. Salah seorang tokoh tersebut adalah

6 Anders Uhlin, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Ge/ombang Ketiga di Indonesia, (terj), Bandung: Mizan, 1998, hal. 58

7 Dewi Fortuna Anwar, "'Ponnat Politik Orde Barn dan Agenda pengembangan Demokrasi Politik", dalam, Demilologisosi Politik.. .., hal. 3-4

8 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan...., hal. 106 5

Soedjatmoko. Soedjatmoko adalah sosok intelelektual besar yang mempunyai gagasan yang besar. Soedjatmoko, meminjam ungkapan Aswab Mahasin, merupakan anak sejati dari perubahan.9 Ia lahir, tumbuh dan berkembang dalam perubahan dari masa pra kemerdekaan ke masa pasca kemerdekaan, dari periode Orde Lama hingga

Orde Barn. Suatu perubahan, dengan semua kenyataan struktural dan dinamika yang melingkupinya, diandaikan oIeh M. Nursam sebagai situasi (jiwa zaman) yang teIah memberi pengaruh pada perspektifpemikiran yang dilahirkannya. 1O

Salah satu gagasan yang telah membawanya pada kebesaran itu adalah pemikirannya tentang pembangunan, suatu konsep yang sangat berkembang dan menjadi kebutuhan utama bangsa Indonesia pada masa Orde Barn. Pemikirannya tentang pembangunan itu, meski sudah mendapatkan benihnya sejak sebelum Orde

Lama, namun lebih berkembang dan memuncak pada masa ORBA.

Hal inilah yang telah melatarbelakangi penulis untuk menulis sejarah kehidupan intelektual Soedjatmoko pada masa Orde Barn. Penulis ingin mengkaji bagaimana peranan Soedjatmoko pada masa ini, terutama sekali terkait dengan kapasitasnya sebagai seorang intelektual besar yang mempunyai pemikiran brilian dalam bidang pembangunan dan sebagai tokoh yang dengan gagasan dan idenya itu teIah turut merespon program pembangunan yang dijalankan oleh Orde Barn.

9 Aswab Mahasin, "Soedjatmoko dan Dimensi Manusia: Sekapur Sirih", dalam, Soedjatmoko, Dimensi Manllsia dalam Pembangllnan, Jakarta: PT Pusataka LP3ES, 1983, hal. ix

10 M. Nursam, Pergllmllian Soerang.. .., hal. 172 6

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

Pennasalahan pokok yang ingin dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah kehidupan intelektual Soedjatrnoko berupa peranannya pada masa Orde Barn, terutama dalam kapasitasnya sebagai seorang cendikiawan dan intelektual yang mempunyai pemikiran yang spektakuler dalam bidang pernbangunan.

Untuk mengkaji pennasalahan tersebut, ada beberapa hal yangdapat diidentitkasi, yaitu:

I. Pemikiran Soedjatrnoko pada masa Orde Barn dalam berbagai bidang seperti

politik, pendidikan, pembangunan, kebebasan, sejarah dan ekonomi.

2. Tokoh-tokoh yang telah mempengaruhi pemikiran Soedjatrnoko

3. Aktivitas Soedjatrnoko baik dalam bidang politik maupun jJemikiran(intelektual)

pada masa Orde Barn.

4. Kondisi sosial politik sebagai fakta sosial yang telah membentukpribadi dan

pemikiran Soedjatrnoko

5. Pandangan dan pemikiran Soedjatmoko mengenai kebijakan pernbangunan

pemerintah pada masa Orde Barn.

Agar penelitian dan penulisan ini tidak meluas, maka penulis akan rnembatasi pennasalahan skripsi sebagai berikut:

I. Peranan Soedjatmoko pada masa rezim Orde Barn berupa aktivitas danpemikiran

yang telah disumbangkannya untuk pembangunan Orde Baru.

2. Pandangan dan kritik Soedjatmoko terhadap kebijakan pembangunan Orde Baru. 7

Dari pembatasan tersebut, maka penulis merumuskan permasalaban dalam penelitian ini dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

I. Apa dan bagaimana peranan Soedjatmoko pada masa rezim Orde Bam berupa

aktivitas dan pemikiran yang telab disumbangkannya untuk pembangunan Orde

Baru?

2. Bagaimana pandangan dan kritik soedjatmoko terhadap kebijakan pembangunan

Orde bam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara keseluruhan penelitian ini bertujuan untuk:

I. Mengetabui peranan Soedjatmoko pada masa Orde Baru berupa aktivitas dan

pemikiran yang telab disumbangkannya untuk pembangunan Orde Bam?

2. Mengetabui pandangan dan kritik Soedjatmoko terhadap pembangunan Orde

Bam?

Adapun manfaat dari penelitian ini adalab:

I. MengenaJ lebih jauh sosok Soedjatmoko sebagai seorang intelektual besar yang

dimiliki bangsa Indonesia tercinta.

2. Menambab wawasan intelektual khususnya wawasan kesejaraban, terutama yang

berkenaan dengan sejarah Indonesia pada masa Ordc Baru

3. Menyumbang hasil karya penelitian bagi UIN Syarif Hidayatullah pada umumnya

dan Fakutas Adab dan Humaniora pada khususnya, terutama padajurusan Sejarab

Peradaban Islam 8

4. Memberi kontribusi pengetahuan tentang sosok Soedjatmoko pada kampus secara

khusus dan masyarakat secara urnurn

D. Metode Penelitian

Penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian sejarah yang menurut Louis Gottschalk berturnpu kepada kegiatan pokok, yaitu: (I) pengumpulan objek yang berasal dari zaman itu dan pengwripilianbahancbahan tercetak, tertulis dan lisan yang boleh jadi relevan, (2) menyingkirkan bahancbahan (ataubagiaIl­ bagian daripadanya) yang tidak autentik, (3) menyimpulkan kesaksian YaIlg dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang autentik, (4) penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi sesuatu kisah atau penyajian yang berarti.ll

Mengacu kepada definisi Gottschalk tentangempat kegiatan dalam l11etode sejarah tersebut, maka penelitian dalam penulisan skripsi ini akan dilakllkari dengan tabap-tahap sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Pada tahap ini penulis mencari dan mengurnpulkan data atau pun sumber­ sumber yang terkait dengan materi pembahasan penulisan ini, baik sumber primer maupun sekunder. Sumber primer berupa buku-bllku yang berisikan klll11pulan tulisan-tulisan yang ditulis oleh Soedjatmoko sendiri. Sedangkan sumber sekunder berupa buku-buku maupun artikel yang ditulis orang lain tentang Soedjatmoko.

II Louis Golischalk, Mengerli Sejarah, Jakarta: Penerbil Universitas Indonesia, 2006, hal. 23- 24 9

Sebagai pelengkap akan digunakan juga buku-buku, artikel maupun jurnal mengenai sejarah Indonesia pasca kemerdekaan khususnya pada masa Orde Baru.

Proses pencarian dan pengumpulan data dilakukan dengan menggllilakan metode library research (studi kepustakaan), yaitu kUl1jungan ke beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Umum UIN Syarif HidayatIJllahJaklU1a,

Perpustakaan Adab dan Humaniora Jakarta, LP3ES,Perpustakaan Nasional, dan

Arsip Nasional. Baru setelah itu data-data dihimpun dan diseleksi guna dijadikan rujukan utama dalam menulis tema yang diangkat

2. Pengolahan dan Klasifikasi Data

Setelah data diperoleh maka tahap selanjutnya adalah tnengklasifikaSikan data-data berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam pel1elitian ini sete1ah sebelumnya dilakukan pembacaan awal terhadap sumber tersebut. Data-data seperti buku, jurnal maupun artikel yang telah didapatkan kemudian dimasukkan sebagai data penunjang untuk tema yang dibahas.

3. Analisa Data dan Kritik Sumber

Setelah klasifikasi data dilakukan, tahap selanjutnya adalah melakukan kritik sumber yakni melalui pembacaan secara kritis terhadap sumber untuk kel1lUdian dilakukan interpretasi terhadapnya. Sedangkan analisa data dilakukan secara deskriftif historis Metode deskriptif berguna untuk memberikan gambaran obyektif dari materi yang dibahas. Deskripsi merupakan suatu proses untuk mengurigkapkan fakta-fakta tentang apa, siapa, kapan, dimana dan siapa. Sedangkan metode al1alitis 10

berguna untuk mendapatkan implikasi pemikiran dan tindakan sang tokoh terhadap peristiwa yang menjadi objek kajian. Suatu proses analisis tersebut akan membutuhkan teori dan dan konsep-konsep ilmusosial sebagai alat ana.lisisnya. 12

4. Menyusun Data Menjadi Sebuah Tulisan

Setelah data-data yang tersedia diproses sedemikian rupa, Iuelalui tahap-tahap di atas, maka tahap terakhir adalah menyusun data-data tersebut kedalam sebuah kisah atau atau tulisan yang utuh.

E. Kerangka Konseptual

Secara keseluruhan, pembahasan dalam penulisan skripsi iniberporosjJada satu tema penting yaitu pembangunan. Oleh karena itu,'pembangtlhan'akan l11enjadi konsep utama yang akan dipergunakan sebagai kerangkajJem.ikiran dan teori >atatl sebagai model dan pendekatan di dalam mengkaji permasaiaiJan dalam tulisan ini.

Umunmya orang beranggapan bahwa 'pelllbangtlnan' adalaiJ kata benda netral yang maksudnya adalah suatu kata yang diguriakan tlhtuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, ·infrastnJktru masyarakat, dan sebagainya. Dengan pemahaman Seperli itu, 'pem.bangun

'pembangunan' adalaiJ berdiri sendiri sehingga membutuhkan keterangan lain,seperti pembangunan model kapitalisme, pembangunan model sosialisme,ataupun pembangunan model Indonesia. Dalam pengerlian seperti ini teoripel11bal1g\lnan

12 Sartono Kartodirjo, Pendekatan I/mu Sosial dalam Metodologi Se)afah,Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 5 11

berarti teori sosial ekonomi yang sangat umum. Pandangan ini menjadi pandangan yang menguasai hampir setiap diskursus mengenai perubahan sosial.

Oi lain pihak, terdapat suatu pandangan lebih minoritas yang berangkat dari asumsi bahwa kata 'pembangunan' itu sendiri adalah sebuah discourse, suatu pendirian, suatu paham, bahkan merupakan suatu ideologi dan teori tertentu tentang perubahan sosial. Oalam pandangan yang disebut terakhir ini konsep pembangunan

sendiri bukanJah kata yang bersifat netral, melainkan suatu aliran dan keyakinan

ideologis dan teoritis serta praktek mengenai perubahan soaial. Oengan demikian,

dalam pengertian yang kedua ini pembangunan tidak diartikan sebagai kata benda

belaka, tetapi sebagai suatu aliran dari suatu teori perubahan sosial. Bersanlaan

dengan teori pembangunan terdapat teori-teori perubahan sosial lainnya seperti

sosialisme, dependensia, atau teori lain. OIeh karena itulah banyak orang menanlakan

teori pembangunan sebagai pembangunanisme (developmentalisme). Oengan

demikian, pengertian seperti ini menolak teori-teori, seperti teori pembanl,'Ullan

berbasis rakyat, atau teori integrated rural development, atau bahkan pembangunan

berkelanjutan (sustainable development) dan merupakan altematif dari

pembangunanisme, melainkan variasi-variasi lain dari ideologi pembangunanisme.

Istilah pembangunan atau development tersebut kini telah menyebar dan

digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini oleh rakyat di hampir semua

negara, khususnya dunia ketiga, setelah diterjemahkannya ke dalam bahasa dengan

menggunakan kata yang sesuai dengan bahasa lokal di masing-masing negara. Oi

Amerika Latin misalnya, kata ini disamakan dengan kata dessarollo. Oi Filipina, kata 12

yang digunakan untuk melokalkan development adalah daJam tiga bahasa utama,

yakni pang-unlad untuk bahasa Tagalok, pag-uswag dalam bahasa Bongo, dan progreso dalam bahasa lIocano. Di Indonesia, kata development diterjemahkan

dengan kata 'pembangunan,.13

Konsep pembangunan yang dimaksudkan dan akan dipakai dalam penuIisan

skripsi Inl adalah dalam konteks 'filsafat pembangullan'-nya SoeJjanto

Poespowardojo yang melihat pembangunan sebagai proses kebudayaan yang

mencakup segi-segi kehidupan yang menyeluruh di mana dalam pengertian ini,

analisis budaya harus diarahkan pada empat faktor dasar yang menjadi poros daJam

suatu proses pembangunan, yaitu:

1. Anthropos, yaitu manusia secara individual sebagai faktor sentraldaJam

pembangunan nasionaJ, karena ia bukan saja subjek pendukung melaillkan juga

pencipta dan tujuan pembangunan.

2. Oikos, menunjukkan universum kosmis, di mana manusia hidup menjaJallkan

proses kebudayaannya. Lingkungan bukaniah semata-mata merupakan sarana

bagi kelangsungan hidupnya, melaillkan merupakan lebenswelt, yaitu yang

memungkillkan manusia beJjuang untuk hidup melalui karya-karyanya, sehingga

tercipta adanya hubungan struktural antara manusia dan lingkungannya.

13 Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya reari Pembangunan dan Gtabalisasi, : INSIST PRESS, 2003, 10-12 13

3. Tekne, adalah peralatan yang digunakan sebagai perpanjangan tangannya untuk

mengeJjakan dunianya. Oleh karena itu, kemajuan tekhnik sebagai cara keJja

yang diilmiahkan, merupakan pencerminan perkembangan kebudayaan manusia.

4. Ethnos, yang berarti komunitas, menunjukkan bahwa pembangunan sebagai unsur

kebudayaan merupakan hasil interaksi di antara pribadi-pribadi yang tergabung

dalam masyarakat. 14

Oleh Poespowardojo, pembangunan didefinisikan sebagai proses budaya dalam usaha peningkatan dan pertumbuhan hidup masyarakat yang bersifat struktural dan pertama-tama bergerak dalam bidang sosio-kultural, yaitu sebagai keseluruhan proses transisi dari masyarakat yang statis ke sistem sosial yang dinlllJlis. Jadi, tujuan perubahan tidak lain adalah menggerakkan serta membuat masyarakatmlllJlpu menampung dinamika yang ada serta menyalurkan aspirasi-aspirasi pembangunan.ls

Menurut Poespowardojo, sebagai sebuah proses kebudayaan, pembangunan tidak hanya berkenaan dengan proses ekonomi semata, melainkan selalu terkait dan berhubungan dengan manusia. Peningkatan kemakmuran dapat diartikansebagai tersedianya perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat; adanya mesin-mesin pabrik serta sarana komunikasi yang membuat hidup mereka lebih baik dan produktif. Namun, dalam semua itu hanya bersifat intermedier, ia hanya akan bemilai sepanjang merupakan fungsi bagi

14 Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Fi/osofis, Jakarta: PT Gramedia, J989, 7-8

IS Ibid., hal. 53 14

manusla. Pembangunan selalu menunjuk pada manusla; Ia adalah subjek pembangunan. Hal itu berarti bahwa di satu pihak manusia adalah pelaksana, dan di pihak lain ia adalah (ujuan pembangunan. Suatu proses pembangunan tidak akan berhasil kalau tidak memperhatikan manusia sebagai pelakunya. Oleh sebab itu,

pembangunan secara struktural berarti membangun manusia pembangunan.

Karena tujuan pembangunan adalah membentuk manusia pembangunan, maka

pembangunan sebagai usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat harus membuka jalan bagi masing-masing warganya dan membantunya untuk dapat berkembang

sebagai manusia sesuai dengan bakat yang dimiliki dan berdasarkan keputusan yang

diambil secara bebas. Manusia tidak hanya harns berkembang menjadi seorang yang

terampil, menjadi seorang dokter, ekonom dan usahawan, melainkan menjadi

manusia dewasa. Kewajiban dalam rangka kemanusiaan, yaitu untuk menjadi seorang

pribadi yang dewasa dan patipuma tersebut., disebut kewajiban etis.

Menurut Poespowardojo, dilihat dati segi etis dan prinsip kemanusiaan, suatu

proses pembangunan harns memperhatikan dan menghidupkan tiga kesadaran moral

utama dalam masyarakat, yakni: (I) kesadaran akan keadilan, (2) tanggungjawab

sosial, dan (3) kesadaran akan kebebasan. Keadilan sosial tidak hanya diartikan

sebagai pengakuan hak-hak azazi dati masing-masing warga negara untuk

berkembang dan mempergunakan sarana yang diperlukan, tetapi juga diberi

kesempatan untuk membangun dan ikut menikmati hasil-hasil pembangunan.

kesadaran akan tanggung jawab adalah nilai yang mendasar dalam pembangunan 15

karena mencerminkan kepedulian dan keberanian dari peJaksana pembangunan untuk bekeIja secara profesional dan penuh dcdikasi dalam pembangunan. 16

Ssedangkan kebebasan adalab ciri khas manusia sekaligus menjadi tujuannya.

Oleh sebab itu, kebebasan harus terintegrasikan dalam pembangunan. Dengan kata

Jain, pembangunan hams diarahkan sebagai kegiatan pembebasan seluruh masyarakat dari kesuJitan dan menjadikan mereka sebagai anggota masyarakat yang mandiri, bebas, percaya diri dan dapat mengaktualisaikan potensi masing-masing anggota masyarakat.

Dalam terminoJogi Conyers, pembangunan yang bertitik tekan pada dimensi

sosial kemanusiaan itu disebut pembangunan sosial. Dalam konteks ini, Conyers,

sebagaimana dikutif Moeljarto Tjokrowinoto, menyebutkan ada 3 kategori definisi

pembangunan sosiaJ:

1. Pembangunan sosial sebagai pemberian pelayanan sosial, yang ll1encakl1p

program nutrisi, kesehatan, pendidikan, perumaban, dan sebagainya yang dalam

keseluruhannya memberikan kontribusinya kepada perbaikan standar hidup

masyarakat - indikator keberhasilan pembangunan sosiaJ dalam definisi ini antara

lain adalah angka harapan hidup, angka kematian bayi, morbiditi, angka

kemampuan membaca dan menulis, dan sebagainya.

2. Pembangunan sosiaJ sebagai upaya mewujudkan nilai-niJai kemanusiaan,seperti

keadilan sosial, keamanan dan ketentraman hidup, community dan self-reliance,

harga diri, kebebasan dari dominasi, hidup sederhana, dan sebagainya.

16 Ibid., hal. 57-58 16

3. Pembangunan sosial sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat

untuk mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri mereka. 17

Titik perhatian studi ini adalah apa yang disebut Conyers sebagai pembangunan sosial terutama dalam kategori kedua dan ketiga. Perhatian saya akan memusat pada seberapa jauh pemerintah Orde Barn mampu mengimplemelasikan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan dalam definisi pembangunan Conyersdi atas dalam praktek pembangunannya. Sedangkan tema dalam studi ini, atau dalam level yang lebih spesifik, yaitu bagaimana Peranan Soedjatmoko pada Masa Orde Barn akan dibahas dengan menjawab bagaimanakah kedudukan alau peranan, reaksi, penilaian serta pemikirannya terhadap proses atau kegiatan pembangunan yang diterapkan Orde Barn tersebut..

F. Survey Kepustakaan

Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, penulis belum menemukan begitu

banyak buku yang mengupas secara khusus dan komprehensif tentang sosok dan

pemikiran Soedjatmoko. Setidaknya, ada dua buku yang telah penulis temukan yang

ditulis oleh pengarang lain yang membahas tentang sosok dan pemikiran

Soedjatmoko. Yang pertama adalah buku yang berjudul "Pemikiran Soedjatmoko

Tentang Kebebasan,,18. Buku ini berupaya mengurai pemikiran Soedjatmokotentang

otonomi dan kcbebasan manusia, suatu tema sentral yang menjadi mainstream dalam

17 Prof. Dr. Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangrman Dilema dan Tantangan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 95-96

" Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994 17

setiap pemikiran Soedjatmoko. Dalam buku ini, penulisnya mendeskripsikan beberapa tema yang menjadi bidang pemikiran Soeqjatmoko untuk kemudian ditarik ke dalam apa yang menjadi basic dari setiap gagasannya yaitu otonomi dan kebebasan. Sebagaimana yang dinyatakan pengantar dalam buku ini, meskipul1 belurn merupakan kata akbir, buku ini bermanfaat untuk memudahkan mencari informasi tentang pemikiran Soedjatmoko sehingga dapat dijadikan acuan penulis lain yang ingin mengkaji Soedjatmoko lebih lanjut.

Selanjutnya adalah buku beIjudul "Pergumulan Seorang Intelektual, Biograji

Soedjatmoko",19 merupakan panduan utama penulis terutama sekali untuk penulisan mengenai biografi Soedjatmoko. Buku ini menggarribafkan secara IeIlgkap dan utuh biografi Soedjatmoko, berupa peIjalanan hidup SoedjarIloko semenjak dilahirkan sampai meninggal dunia. Buku ini menguraikan secara lengkapbagaimana pergumulan intelektual Soedjatmoko sejak ia menerima pendidikan dari keluarga dan sekolah; menggambarkan aktivitas intelektual Soedjatmoko dari rIlasa sebelum kemerdekaan hingga revolusi; dari masa Orde Lama hingga Orde BarIl SarIlpai akbir hayatnya. Gapaian akhir yang dinginkan oleh penulis buku ini adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenaJ sosok, pemikiran, dan kepribadian

Soedjatmoko yang terbentuk dari jiwa zaman dan fakta sosial yang melingkupinya serta peIjuangan dan sumbangsih yang telah diberikan Soedjatmoko bagibangsa

Indonesia dan dunia yang ditempatinya.

19 M. Nursam, Pergumulan Seorang Inleleklual,Biograji Soedjalmoko, Jakarta: PT Oramedia Pustaka Vlama, 2002 18

G. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan penelitian ini terdiri dari lima bab, sebagai berikut:

Bab I. Adalah Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian, survey kepustakaan, dan sistematika penulisan

Bab II. Akan menjelaskan kondisi sosial politik Orde Barn dalam konteks konsep dan

kebijakan pembangunan Orde Barn serta dampaknya dalam kehidupan masyarakat.

Pembahasan dalam bab ini dibagi dalam tiga sub bab yakni: latar belakang lahimya

Orde Barn, menciptakan Orde Barn (1968-1975): Konsep dan Kebijakan

Pembangunan Nasional, dan periode keemasan Orde Barn (1975-1989): keberhasilan

dan kekurangan dalam pembangunari.

Bab III. Akan menggambarkan biografi singht Soedjatmoko yang terdiri dari latar

belakang keluarga, pendidikan dan tradisi intelektual, dan peIjalanan karir

Soedjatmoko

Bab IV. Akan menjelaskan peranan Soedjatmoko, bernpa aktivitas dan pemikirannya

yang telah diberikannya untuk pembangunan Orde barn yang terdiri dari:

mempeIjuangkan citra Orde Barn di mata intemasional, mengembangkan dan

menyumbangkan pemikiran tentang pembangunan bagi pelaksanaan pembangunandi

Indonesia, serta kritik Soedjatmoko terhadap konsep dan kebijakan pembangunan

pemerintah Orde Barn.

Bab V. Mernpakan bab Penutup yang akan menyimpulkan pembahasan yang telah

diterangkan di atas. BABII

KONDISI SOSIAL POLITIK ORDE BARU

A. Latar Belakang Lahirnya Rezim Orde Barn

Jatuhnya pemerintahan demokrasi-liberal pada tanggal 14 Matet 1957,1 telah membuka jalan bagi Soekamo, presiden pertama RI, untuk mengaJIlbil langkah- langkah menuju suatu bentuk pemerintahan barn yang disebut oleh Soekamo sebagai

"Demokrasi terpimpin". Soekamo membayangkan suatu rezim korporatis yimg didasarkan pada asas-asas tradisional gOlong-royong dan musyawarahuntuk mencapai mufakal, sebagai strategi yang paling eoeok bagimasyaralmt-p()litik

Indonesia dan paling efektif uutuk memobilisasi dukungan rakyat.

Atas dasar gagasan ini, Soekarno mengusulkanpernbentukan kahinet gOlong royong yang meliputi semua partai politik dan suatu "dewan nasional,,2 yang; terdiri dari wakil-wakil kelompok fungsional, daerah dan anggota ex-officio seperti

para kepala staf ABRI, kepala kepolisian, Jaksa Agung dan menteri-menteri tertentu.

Badan ini diketuai oleh presiden.3

Usai membangun rezim yang diimpikannnya, pada tanggal 5 Juli1959,

Soekarno mengeluarkan dekrit yang dalam sejarah Indonesia dikenal del1gan Dekrit

1 Mohtar Mas'oed, Ekonomi don SlnJktur Polilik Orde Barll 1966-1971, Jakarta: L!'3ES 1989, hal., 33

2 Lihat pidato Soekamo pada siaran RRI Jakarta, Pukul 20.05, 21 Februari J957. Telah dibukukan dalam, Wawan Tunggul Alam (peny.) Bung Kamo. Demokrasi Terpimpin Miliki Rakyal Indonesia (Kumpulan Pidalo),jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal 38-48

3 Ibid, hal. 34 20

Presiden 5 Juli 1959. Dengan dekrit itu, pemerintahan Demokrasi Terpimpin, sejak awa1 sebenamya telah menunjukkan sifat politik yang otoritarian dan monolitik.

Pemberlakuan kembali UUD 1945 yang menjadi salah satu poin dari dekrit tersebut, telah menciptakan perubahan dari pemerintahan yang terpusat pada parlemen yang terdapat pada sistem demokrasi liberal (Demokrasi Parlementer), menjadi terpusat kepada presiden. Akibatnya, sementara kekuasaan politik parlemen dan partai politik dikebiri, kekuasaan Presiden semakin meningkat.

Selain presiden Soekamo, yang juga menikmati tambahan kekuasaan akibat

perubahan politik yang disebabkan dikeluarkannya dekrit presiden itu adalah

Angkatan Darat, yang akhimya menemukan suatu rumusan legitimasi bagi

keterlibatannya dalam urusan politik dan ekonomi negara dalam bentuk perwakilan

fungsional. 4

Demokrasi Terpimpin, sejak awal hingga akhir pemerintahannya, ditandai

oleh suatu aliansi kompetitif antara Soekamo dan Pimpinan Angkatan Darat - dalam

hal ini Nasution sebagai musuh bebuyutan Soekamo, dan hubungan kekuasaan antar

dua aktor politik itu lah yang menentukan nasib partai-partai. Karena itu Seokamo,

kendati politik kepartaian dalam tahun 1950-an mengecewakannya, ia tidak dapat

membiarkan partai-partai itu mati sementara ia mengahadapi berbagai tantangan dari

4 Salah satu bentuk nyata camput tangan tentara dalam urnsan politik dan ekonomi adalah ketika pada bulan Mei 1959 diputusakn bahwa, mulai 1 Januari 1960, orang-orang asing dilarang melakukan perdagangan di daerah pedesaan. Walaupun ketetapan ini mengena ke para pedagangn Arab dan India, tetapi pada dasamya ketetapan ini mernpakan langkah yang didorong oleh pihak militer untuk memukul orang-orang Cina, dan mempersulit urnsan PKI. Selanjutanya, lihat, M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2005, hal. 528 21

Angakatan Darat yang semakin kuat. Maka, dalam menghadapi persaingan memperebutkan kekuasaan dengan Angkatan Darat, Soekarno menempuh dua taktik pokok, yaitu berusaha mendapatkan dukungan partai-partai politik yang berpusat di

Jawa, Khususnya PK1, dan merangkul angkatan bersenjata lainnya terutama

Angkatan Udara. 5

Selain Soekarno dan Angkatan darat, aktor ketiga yang juga ll1enjadi

penopang kekuasaan rezim Demokrasi Terpimpin adalah PKl. KemampuanPKl dan

kecondongan Presiden Seokarno terhadapnya lah yang antara lain menjadi faktor

penting yang memungkinkannya membangun basis massa pendukung yang kuat dan

menjadi salah satu dari "empat besar" dalam sistem kepartaian Indonesiasetelah

pemilihan umum 1955 menjadikannya organisasi yang kuat selain Angkalan Darat.

Karena itu, wajar jika Presiden Soekarno memandangnya sangat diperlukanlll1tuk

menghadapi Angkatan Darat.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa selama masaDemokrasi Terpimpin,

politik Indonesia pada umumnya adalah cerminan dari dinamika hubungankekuasaan

yang saling bersaing di antara tiga kekuatan politik: Presiden Soekamo, Angkatan

Darat, dan PKl,6 di mana Soekarno bertindak sebagai pengimbang antara kekllatan

Angakatan Darat dan PKI.

5 Ibid.

6 William Liddle menyebut pemerintahan Demokrasi Terpimpin sebagai bagaiklln seekor kuda berkaki tiga, yang terdiri dari Soekamo, PKI, dan tentara. Lihat, R. William Liddle, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1992, h. 88 22

Hubungan serta perimbangan kekuasaan yang sangat kompetitif tersebut menimbulkan akibat-akibat buruk terhadap keefektifan dan efisiensi pemerintahan.

Isyu kebijaksanaan yang seharusnya bermanfaat dalam arti kepentingan nasiollal, seperti pembangunan ekonomi, sermg dikesampingkan demi hal lain yang menjanjikan keuntungan jangka pendek bagi satu atau semua kelompok yang memperebutkan kekuasaan, misalnya peningkatan kekuasaannya.

Ketika masalah Irian Barat diselesaikan dengan kemenangan Indonesia pada tahun 1963, pemerintah memang sempat serius memperhatikan urusan ekonomi yang semakin mengalami krisis. Pada Mei 1963, pemerintah - dengan bantuan team dana

IMF - menyusun program stabilitas ekonomi lalu diikuti dengan Deklarasi Ek()nomi

(Dekon) oleh presiden dengan tujuan membangun kernbali ekonomi Illelalui jalan

kapitalis-liberal. Namun, segera setelah itu Soekarno me1ihat isyu politik yang lebih

mendesak, yaitu kampanye "Ganyang Malaysia".7

Pengabaian masalah ekonomi tersebut membuat keadaan ekonomi Indonesia

semakin terpuruk bahkan nyaris ambruk. Hal tersebut dikarenakan operasicoperasi

militer melawan pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi selama krisisl957-58

memaksa pemerintah mengambil jalan menempuh anggaran defisit yang sangat besar.

Masalah defisit anggaran itu kemudian diperburuk oleh adanya

pembangwlan militer untuk mendukung kampanye Irian Barat dan "Ganyang

Malaysia". Kalau pada tahun 1955 defisit itu hanya 14% dari pendapatan pemerintah,

7 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan...., hal. 46 23

maka pada tahun 1965 meningkat menjadi 174%. Defisit besar itu mendorong laju tingkat inflasi yang memang selalu menjadi masalah di Indonesia sejak merdeka.

Parahnya lagi, inflasi yang membumbung tinggi itu tidak diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang berarti.

Masalah lain yang juga sangat penting adalah hutang luar negeri. Demokrasi

Terpimpin menciptakan hutang luar negeri yang beIjumlah $ 2.358 juta. Hampir 42% kepada Uni Soviet; hampir 10% kepada Jepang dan 7,5% kepada Amerika Serikat.

Sementara itu juga, di arena intemasional, terutama dalam masyarakat bisnis intemasional, Indonesia semakin dikucilkan.8

Kemelut ekonomiyang juga diikuti kemelut poIitik dalam wujud persaingan antar kekuatan di dalam negeri, dan kadang-kadang berupa konflik terbuka antara

Angkatan Darat dan komunis, membawa pemerintahan Soekamo dengan Demokrasi

Terpimpin-nya ke arah kejatuhannya. Akhimya, pada akhir 1965, tatanan Demokrasi

Terpimpin yang terus goyah itu roboh juga. Pada fajar 1 Oktober, kesatuan dari

pengawal Soekamo menculik dan membunuh enam jenderal senior anti komunis,

merebut stasion radio dan fasilitas telekomunikasi, dengan mengumumkan

pembentukan Dewan Revolusioner dengan kuasa penuh untuk melindungi Soekamo

dan mempertahankan integritas Demokrasi Terpimpin.9

R Ibid., hal. 4749

, Robert Cribb, "Bangsa: Menciplakan Indonesia", dalam, Indoensia Beyond Soeharto, Jakarta: Gramedia Pustaka Ulama, 200 I, h. 55 24

Ketegangan politik semakin meningkat dengan kudeta tersebut. Soekarno mengalami pukulan berat dan PKI dipersalahkan. Kekuatan anti komunis dan anti

Seokarno yang sudah lama menantikan kesempatan seperti itu segera menyerang PKI dengan bantuan pimpinan Angkatan Darat yang mana peristiwa itu telah menelan ribuan korban jiwa.

Tidak diketahui dengan pasti apa yang terjadi selama peristiwa kudeta itu dan siapa yang menjadi dalangnya. Berbagai teori telah diajukan tentang aktor yang telah memainkan peran dalan peristiwa tersebut, misalnya Angkatan Bersenjata, PKI,

Soekarno, Soeharto dan CIA. Namun hingga saat ini belum ada keterangan yang benar-benar sahih yang dapat membuktikan bahwa salah satn dari beberapa aktor tersebut menjadi dalang kndeta yang dikenal dengan pemberontakan G-30-S-PKI itu.

Yang jelas, kejadian pada 1965-66 tersebut telah menjadi momentum penting bagi berdirinya suatu "tertib bam" di bawah kendali Soeharto yang dikenal dengan rezim

Orde Baru.

B. Menciptakan Orde Barn (1968-1975): Konsep dan Kebijakan Pembangunan

Nasional

Sampai beberapa bulan setelah usaha kudeta 1965, masa depan Indoensia belum jelas. Pada akhimya, Soeharto membangun apa yang dikenal dalam sejarah

Indonesia dengan "Orde Bam", untuk membedakannya dengan rezim "Orde Lama".

Kelahiran Orde Baru ini ditandai rasa optimis dari masyarakat Indonesia yang dari sejak lama sangat merindukan terciptanya perubahan dari kekacauan masa laiu kepada keadaan yang baik. Kekecewaan terhadap masa laiu dan harapan akan masa 25

depan yang lebih baik itu lah yang memungkinkan Soeharto yang didukung militer itu untuk membangun dukungan dari masyarakat sipil.

Optimisme masyarakat ini kemudian diikuti oleh penghapusan orientasi pemikiran lampau tentang masalah sosial-politik yang berkembang pada masa Orde

Lama. Dalam pandangan pemimpin Orde Barn, pemikiran sosial-politik e1it pemimpin Orde Lama terlalu bersifat ideologis dan politik, atau dalam bahasa para pemimpin Orde Barn, menjadikan "politik sebagai panglima". Konsekuensinya, semua aspek non politis, seperti pembangunan ekonomi, industrialisasi dan aspek non politis lain, harns ditundukkan kepada politik dan ideologi.

Menurut para pendukung Orde Barn, eara berpikir semaeam itu harns dibayar mahal oleh bangsa Indonesia. Runtuhnya ekonomi Indonesia yang ditandai oleh inflasi yang tinggi, besarnya jumlah hutang terhadap luar negeri serta berbagai krisis sosial politik yang terjadi pada masa Orde Lama, telah menyebabkan tidak terlaksananya kelanearan pembangunan pada masa itu.

Karena itulah, para pendukung Orde Barn berusaha meneiptakan counters ideas (pemikiran-pemikiran tandingan). Dari sinilah kemudian muneul ide-ide seperti

"pragmatisme", "ideologisasi" atau "deparpolisasi". Ide-ide positif yang lahir dari

para pendukung Orde barn adalah "program oriented", dan "pembarigunan oriented".lo Semua slogan yang bersifat negasi dan positif ini merupakan respon

10 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan,1992, h. 95 26

terhadap ide-ide lampau, sekaligus sebagai pembenaran terhadap kehadiran situasi baru.

Di antara beragam ide tersebut, ide tentang pembangunan lah yang paling banyak menyita perhatian elit Orde Bam. Ide pembangunan oriented - seringdisebut depelopmentalisme - inilah, yang telah mengilhami para pemimpin Orde Bamuntuk menjadikan masalah pembangunan ekonomi sebagai bagian dari formatpolitik Orde

Baru. Untuk menciptakan legitimasi bagi pemerintahannya, para pemimpin Orde

Bam mengubah slogan "politik sebagai panglima" pada masa Orde Lama menjadi

"ekonomi sebagai panglima".

Pilihan kepada pembangunan ekonomi sebagaibagiandariformllla penciptaan legitimasi adalah wajar bagi para pemimpin suatu negara yang sejak Imna dilanda kemerosotan ekonomi. Tentang cara penciptaan legitimasi semacam ini,

Seymour Martin Lipset - sebagaimana dikutifMohtar Mas'oed, mengatakan:

"Semua tuntutan tentang hak sah memerintah di negara-negi1rd baru akhirnya harus memenangkan dukungan (rakya/) dengan cari1 menl1njukkan keefektifannya. Ketaatan kelompok terhadap sis/em itu hi1rusdiperoleh dengan cara menumbuhkan keyakinan di antara mereka bahwa sistem ini adalah jalan yang terbaik untuk meraih tujuan mereka. Bagi negara"negara bam, pendemonstrasian keefektifan umumnya berarti pembllngl1ndn ekonomi "."

Menurut Bahtiar Effendy dan Fachry Ali, perubahan orientasi pemikiran dari

yang berorientasi politik dan ideologi kepada pemikiran yangberorientasi

pembangunan menunjukkan bahwa, dengan "pembangunan", telah terjadiproses

II Mohtar Mas'oed, Ekollomi dall...., hal. 58 27

westernisasi dalam alam pemikiran para pendukung Orde Barn. Hal ini terjadi karena pada dasarnya konsep "pembangunan" - dan kemudian dilaksanakan di Indonesia- merupakan pemindahan pengalaman negara-negara Barat dan Amerika Utara ke dalam masyarakat Indonesia, khususnya pengalaman ekonominya. 12

Dalam bukunya Merambah Jalan Baru Islam, Balltiar dan Fachry menunjukkan bahwa konsep dan pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan Orde Barn merupakan cerminan dari gagasan pembangunan Hettne tentang ide ojprogress yang kemudian direkonstruksikan oleh Rostow dalam teori ekonominya yang terkenal dengan the Stages ojEconomic Growth atau tahap-tahap pertunlbuhan ekonomi.

Rostow merupakan seorang ahli ekonomi, tetapi perhatiannya tidak hanya terbatas pada persoalan ekonomi melainkan juga sosiologi. Menurut Rostow, ada lima tahapl3 proses pembangunan dalam masyarakat: pertama, adalah masyarakat tradisional. Dalam tahap ini, ilmu pengetahuan belUlll dikuasai oleh masyarakat.

Masyarakat semacam ini masih dilruasai oleh kepercayaan-kepercayaart tentang kekuatan di luar kekuasaan manusia. Manusia masih tunduk kepada alam, beiliU menguasai alam. Akibatnya, produksi masih sangat terbatas. Masyarakat cenderung bersifat statis dan kemajuan berjalan lambat. Produksi dipakai untuk konsUlllsi. Tidak ada investasi, pola dan tingkat kehidupan generasi kedua pada umUlllnya hampir sarna dengan kehidupan generasi sebelumnya.

12 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan...., hal. 98

13 Arief Budiman. TeoriPembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Vtam", 2000, hal. 26 28

Tahap kedua, adalah pra kondisi untuk lepas landas. Dalam tahap ini, masyarakat tradisional, meskipun sangat lambat, terus bergerak sampai meneapai posisi prakondisi untuk lepas landas. Keadaan ini terjadi karena adanya eampur tangan dari luar, dari masyarakat yang sudah lebih maju. Perubahan ini tidak datang dari faktor internal masyarakat tersebut, karena pada dasarnya masyarakat tradisional tidak mampu mengubah dirinya sendiri. Campur tangan dari luar iill menggoneangkan masyarakat tradisional itu. Di dalamnya mulai berkembang ide pembaharuan.

Pada periode Ill! usaha untuk meningkatkan tabungan masyarakat terjadi.

Tabungan ini kemudian dipakai untuk melakukan investasi pada sektor-sektor produktif yang menguntungkan, termasuk rnisalnya pendidikan. Investasi ini dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh negara. Pendeknya, segaIa usaha untuk meningkatkan produksi mulai bergerak dalam periode ini. 14

Tabap ketiga adalah tahap the take Off atau lepas landas. Tahap ini oleh

Rostow, dilihat sebagai interval, karena pada tahap ini, halangan-halangan yang dapat menghambat proses pertumbuhan yang mantap (steady growth) dapat teratasi.

Kekuatan pendorong kemajuan ekonomi meluas dan mendominasi masyarakat.

Pertumbuhan menjadi kondisi normal.'s Pada periode ini, tabungan dan investasi meningkat dari 5% menjadi 10% pendapatan nasional, atau lebih. Industri-industri

J4 [bid., hal. 27

15 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, MerambahJa[an...., hal. 102 29

maju mulai berkembang pesat. Dalam pertanian, tekhnik-tekbnik baru juga tumbuh.

Pertanian menjadi usaha komersial untuk mencari keuntungan, bukan sekedar untuk konsumsi. Peningkatan dalam produktivitas pertanian menjadi sesuatu yang penting karena proses modernisasi masyarakat membutuhkan hasH pertanian yahgbanyak supaya ongkos perubahan ini dalam proses lepas landas illi tidak terlalu ll1ahal. 16

Tahap keempat adalah tahap bergerak kekedewasaan (pematangan pertumbuhan). Setelah lepas landas, akan tenYdi proses kemajuan yang terns bergerak ke depan, meskipun kadang-kadang teJjadi pasang surut. Antara 10% samapi 20% dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kembali, supaya bisa mengatasi persoalan pertambahan penduduk. lndustri berkembang dengan cepat. Setelah 60 tahun sejak sebuah masyarakat lepas landas atau 40 tahun sejak periode lepas landas berakhir, tingkat kedewasaan sudah tercapai. Perkembangan industri terjadi tidak saja meliputi tekhnik-tekhnik produksi, tetapi juga dalam aneka barang yang diptoduksi.

Tahap kelima atau tahap terakhir adalah zaman masyarakt industri atau yang disebut zaman konsumsi masal yang tinggi. Dalam zaman ini, karena kenaikah pendapatan masyarakat, konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang kebih tinggi. Pada periode ini,investasi

untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan yang paling utama. Seslldah taraf kedewsaan dicapai, surplus ekonomi akibat proses politik yang tcrjadi dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dari penambahan dana sosial. Pada titik ini

16 Arief Budiman, TeoriPembangunan...., hal. 27 30

pembangunan sudah merupakan sebuah proses yang berkesinambungan yang bisa

. 17 menopang I,emaJuan secara terus menerus.

Pendapat Bahtiar dan Fachry tentang pengaruh pemikiran Barat terhadap konsep pembangunan Orde Baru ini diperkuat oleh Mansour Fakih. Dalam bukunya

Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Mansour menulis:

"Sejak tahun i967, pemerintahan militer di indonesia di bawah Soeharto menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow ini dan merifadikannya landasan pembangunan jangka parifang indonesia yang ditetapkan secara berkala untuk waktu lima tahunan, yang terkenal dengan Pembangunan Lima Tahun (PEUTA). Dengan demikian, selama pemerintahan Orde Baru, Indonesia sepenuhnya mengimplementasikan teori pembangunan kapitalistik yang bertumpu pada ideologi dan teori modernisasi dan adaplasi serta implementasi teori pertumbuhan tersebut ". 18

Analisa Bahtiar, Fachry dan Mansour Fakih tentang pengaruh Teori

Preturnbuhan Rostow terhadap pemikiran pembangunan elit Orde Barn tersebut dapat dibenarkan bilamana merujuk kepada ideologi pembangunan Orde Barn yang termaktub dalam Trilogi Pembangunan yang memasukkan term "pertumbuhan ekonomi" sebagai bagian terpenting kebijakan pembangunan Indonesia, selain

"stabilitas politik" dan "pemerataan".

Istilah "pertumbuhan ekonomi" dimaksudkan sebagai usaha untuk meningkatkan produksi barang-barang dan jasa-jasa di bidang-bidang yang semakin meluas dalam masyarakat secara keseluruhan. Hasil produksi masyarakat tersebut disebut produk nasional. Laju pertumbuhan ekonomi menunjuk kepada tingkat

17 Ibid., hal. 28

18 Dr. Mansour Fakih. Runtuhnya Tear; Pembangunan Dunia Ketiga dan Globalisasi, Yogyakarta: INSIST PRESS, 2002, h.57 31

bertambahnya produksi masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan pemerataau dalam istilah Trilogi pembangunan adalah suatu pembagian hasil produksi masyarakat yang lebih merata sehingga dirasakan lebih adil dalam kehidupan masyarakat.

Kebijaksanaau pembangunan yang menuju kepada dua sasaran kembar tadi selanjutnya memerlukan suasana kehidupan yang stabil. Apalagi dalam masyarakat

Indonesia yang majemuk dan beraneka ragam. Karenanya, stabilitas menjadi syarat pokok bagi usaha pembangunan yang berkesinambungan. 19 Maka, dengan Trilogi

Pembangunan, ideologi pembangunan yang dicanangkan Orde Barn mempunyai tiga dimensi atau sasaran utama yaitu pertumbuhan ekonomi yang diwujudkan melalui

PELlTA, stabilitas dan pemerataau.

Pertanyaannya, kenapa "stabilitas" menjadi unsur penting dari tujuan pembangunan Orde Barn, setelall perturnbuhan ekonomi? Jawaban terhadap pertanyaau tersebut dapat ditemukan dengan cara melihat pola betpikir yang melingkupi para pendukung Orde Barn saat itu. Sudah merupakan keyakinan yang meluas di kalangan para pendukung Orde Barn saat itu bahwa masa depan Indonesia harns bebas dari politik yang didasarkan pada ideologi. Konflik ideologi dilihat sebagai dosa masa lalu. Ketidakstabilan politik yang menyebabkan kehancuran ekonomi di masa lalu dianggap sebagai akibat dari konflik ideologi yang berkepanjangan. Maka, bersamaan dengan slogan "ekonomi sebagai panglima",para

19 Sumitro Djojohadikusumo, Pmebangunan Ekonomi Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. 32

pendukung Orde Barn mengajukan argumen tentang perlunya pembentukan suatu masyarakat yang bebas dari ideologi.

Oleh karenanya, sejak saat itu, muneul suatu kesadaran di kalangan elit pendukung Orde Barn tentang pentingnya ketertiban, stabilitas dan keamanan nasional untuk mendukung pembangunan ekonomi. Tentang hal 1m James W.

Schiller menulis:

"Soeharto menggambarkan stabilitas, ketertiban dan keamanan sebagai tujuan pembangunan itu sendiri, yaitu membuat ldta semua merasa aman secara fisik dan damai di hati, bebas dari ketakutan akan ancaman­ ancaman dari luar dan bebas dari ketakutan terhadap ganguaan dari dalam. Salah satu tujuan Orde Baru yang paling penting, katanya, adalah membangun suatu masyarakat baru yang merasa aman, menikmati arti penting ketertiban dan mengejar kemajuan dalam suasana kestabilan... ,,20

Supaya tercipta suasana politik yang stabil dan untuk rnemastikaribahwa konflik ideologis tidak lagi akan mengkhianati janji developmentalis iui, Soeharto kemudian membangun di atas puing-puing Demokrasi Terpimpin suatu demoktasi yang dikenal dengan "Demoktasi Pancasila".21 Selain itu, kebutuhan akan suasana politik yang stabil tanpa adanya konflik tentunya tidak akan terwujud tanpa adanya suatu alat yang dapat digunakan untuk menjaga kestabilan tersebut. Maka, muneul pula kesadaran, terntama dikalangan Angkatan Darat, untuk memanfaatkanmiliter mclalui mekanisme dwi-fungsi - dikenal dengan Dwi Fungsi ABRI, sebagai motor penggerak pembangunan.

'0 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan...., hal. 147

" Robert Cribb, "Bangs.: Meneiptakan Indonesia"', dalam, Donald K. Emmerson (ed.), Indoensia Beyond...., hal. 58 33

Dengan mekanisme dwi-fungsi tersebut, sebenarnya para plmpman

Angkatan Darat tidak lagi hanya menjadi penjaga stabilitas saja, melainkan jugatelah menemukan rumusan pembenaran bagi keterlibatan mereka· dalam iurusancurusan non-militer atau sosial politik. Tentang keterlibatanmiliterdalamurusansosial- politik ini, Unders Uhlin mengatakan:

"Orde Baru telah sejak awal berusaha menjustijikasidirinya, dan terutama keterlibatan militer dalam politik, dengan menggunakan alasanideologis, bukan solusi jangka pendek bagi stabilitas politik dan elwnomi, tetapi sebagai rezim alami jangka panjang. Selain pancasila,langkah itu dilakukan melalui doktrin dwi-jungsi militer. Menurut doktrin dwi.jungsi ini, angkatan bersenjata Indonesia tidak hanya bertugas memfteriahankan negeri, tetapi juga memainkan peran aktifdalam urusah sosial politik...',22

Selain menjadikan militer terlibat dalam bidang sosial-politik ·.urituk menopang ideologi pembangunan Orde Barn, pemerintah juga menjadikankekuasaan negara sepenuhnya terpusat di tangan eksekutif seearn meluas dan sisternatis,dan membiarkan lembaga negara lainnya lemah dan terganturig padaeksekutif, serta menjadikan Golkar sebagai alat untuk memobilisasi dukuhgan rakyat.

Dalam hal ini, Dewi Fortuna Anwar, menyebutkan adaenam hal yang diupayakan pemerintah Orde Barn untuk memperkuateksekutif sertamenjamin keberlanjutan pemerintahan Orde Barn: (I), semakin memperluas peranan sosial politik ABRI, (2) meneiptakan sistem pemilu yang tujuan utamanya adalahuntuk mempertahankan status quo, (3) menjadikan Golkar sebagai mesin pengulllplli suara bagi pemerintah yang didukung penuh oleh ABRI dan Korpri, (4)rnembiarkan

22 Anders Uhlin, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Getombl1ng Keligadi Indonesia, (terj), Bandung: Mizan, 1998, hal. 57 34

bidang legislatif dan yudikatif dalam posisi yang lemah dan subordinat pada cabang eksekutif, (5) dibentuknya organisasi-organisasi korporatis yang ditujukan untuk

memobilisasi dan sekaligus mengendalikan kegiatan berbagai kelompok masyarakat

oleh pemerintah, seperti kelompok buruh, pemuda, wanita dan wartawan, (6)

diterapkannya peraturan dan undang-undang yang membatasi kebebasan menyatakan

pendapat atau melakukan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk memberdayakan

masyarakat.23

Tentu saja, implikasi dari kebijakan Orde Baru sebagaimana disebut Dewi

Fortuna tersebut tidak secara keseluruhan dirasakan langsung oleh masyarakat pada

masa-masa awal pemerintahan Orde Baru, melainkan juga pada masa-masa

pertengahan dan akhir Orde Baru. Akan tetapi, format politik semacam itu telah

diupayakan sejak awal hingga akhir kekuasaan Soeharto. Dan dengan format politk

semacam itu, Orde Barn telah mendirikan suatu rezim yang otoriter, dengan

menjadikan pembangunan sebagai- meminjam istilah Robert Cribb, leitmotif

rezlmnya.• 24

Dari urman di atas, sangat nampak bahwa pertumbuhan ekonomi dan

stabilitas politik merupakan dua tujuan utama dari pemerintah Orde Barn.

Pertanyaannya, bagaimana dengan "pemerataan" yang juga menjadi unsur dalam

Trilogi Pembangunan yang dicanangkan Orde Baru? Tentang hal ini Schiller menulis:

23 Dewi Fortuna Anwar, "Fonnat Politik Orde Barn dan Agenda pengembangan Demokmsi Politik", dalam, Demitologisasi Polilik Indonesia, Jakarta: PT Pustaka CIDESINDO, 1998, h. 4-6

24 Robert Cribb, "Bangsa: Menciptakan Indonesia", dalam, Donald K. Emmerson (ed.), Indoensia Beyond...., hal. 58 35

"Kalau harus dipilih an/am keadilan dan pertumbuhan maka terdapat sejumlah besar bukti dari pernyataan-pernyataan kaum elite tentang pembangunan (juga para pengamat ekonomi Indonesia) bahwa pertumbuhan ekonomi lebih diutamakan. Ali Moertopo menulis bahwa "target pokok adalah meningkatkan GNP tiga kali lipat dalam waktu 25 tahun '...Mohamad Sadli menulis bahwa perhatian utama pemerintah baru diamhkan untuk membuat kue nasional menjadi lebih besar, paling tidak sebagai prioritas utama. Widjojo Nitisastro menyatakan bahwa pembangunan yang lebih merata membuluhkan perlumbuhan ekonomi sedemikian rupa sehingga apa yang didistribusikan jauh lebih besar. Pertumbuhan ekonomi mungkin hanya merupakan suatu tujuan anlam tetapi pernyataan-pernyataan para elite tentang pembangunan jelas menekankannya sebagai tujuan yangpalingpenting".2

Jadi, meskipun terdapat semangat dari rezim Orde Barn untuk menciptakan

"masyarakat adil dan makmur" yang berarti pertumbuhan ekonomi hams disertai oleh keadilan sosial dalam arti "pemeratan", sebagaimana terkandung dalam Trilogi

Pembangunan, namun masih terdapat kualifikasi terhadap pemyataan itu. Orde Barn, sejak awal, sesungguhnya telah mensubordinasikan unsur keadilan dan pemerataan dalam pembangunan dibawah semangat penciptaan "pertumbuhan ekonomi" dan

"stabilitas politik", dua istilah yang menjadi idiom yang terkenal dari rezim Orde

Barn.

C. Periode Keemasan Orde Barn (1975-1989): Beberapa Keberhasilan dan

Kekurangan dalam Pembangunan

Ideologi depelopmentalis Orde Barn yang sangat berorientasi ekonomi dan yang telah diterapkan sejak berdirinya rezim ini, pada akhimya dapat menciptakan

25 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan...., hal. 146-147 36

"prestasi-prestasi" dan kemajuan dalam pembangunan, suatu keadaan yang memang menjadi prioritas rezim ini dan tidak diraih pada masa Orde Lama.

Sebagaimana disebutkan bahwa, perhatian yang berlebihan paradit Orde

Lama pada urusan politik, telah menyebabkan keadaan perekonomian Indonesia pada kondisi yang benar-benar terpuruk. SambiI mengutip Benyarnin Higgins, Anne Booth menyatakan bahwa keadaan ekonomi Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin harns dianggap sebagai kegagalan ekonomi nomor satu di antara negara-negara besar yang sedang berkembang. Lebih lanjut, Booth menggambarkan bahwa:

"Pada paruh perlama 1960-an, ekspor menurun, cadangan devisa mencilll sampai nol (pada 1965) dan inflasi meningkal hampir 600% selahun(1966). Pada perlengahan dekade 1960-an ilu, lebih dari selengah penduduk yang linggal di daerah pedesaan Jawa tergolong "sangat miskin", menyebabkan ahli demografi Nalhan Keyfilz menggambarkan pulau yangberpenduduk padal ini sebagai "sesak naJas karena kekurangan lal1ah". Begilu juga landa-Ianda deleriorasi lidak hanya diketahui para ah/i. Prasarana seperli pelabuhan, bandar udara, jalan raya, kerela api, pabrik, dan slasiun pembangkil listrik sudah lidak lerurus lagi. Siapa pun juga yang mengunjungi kola llIama mana pun di 1ndonesia pada 1960-an pasli akan menyaksikan kemiskinan di lengah-Iengah keadaan kumuh dan lak lerpelihara ". 26

Kondisi ekonomi yang buruk tersebut kemudian berangsur-angsur pulih ketika Soeharto memulai pemerintahannya. Menurut Mohtar Mas'oed, di bawah

Soeharto, untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang mantap, pemerintah menerapkan strategi kebijakan ekonomi yang "berorientasi ke Iuar",yakni

'6 Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan", dalam, Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond...., hal. 187-188 37

menstabilkan ekonomi secepat mungkin dengan sebagian besar pembiayaan dari surnber-surnber asing.27

Senada dengan itu, Anne Booth menyatakan bahwa, untuk menempatkan

Indonesia pada perturnbuhan ekonomi yang mantap, Soeharto menyadaribahwa ia harns memulihkan kredibilitas negaranya di mala pemerintah dan perusahaan Barat. ltu sebabnya diikutsertakan dalam kabinetnya kelompok yang disebllt "Mafia

Barkeley,,28 - para ahli ekonomi dan demografi dari Universitas Indeonsia yang terdidik di Barat, termasuk diantaranya yang memang memperoIeh gelar dari

University of California di Barkeley. Kelompok yangdipimpin oleh olehProf.

Widjojo Nitisastro ini, menjalankan kebijakan ultra liberal berdasarkankepercayaan dogmatis kepada pasar bebas.29

Strategi yang diterapkan oleh pemerintah Orde Barn kemudian berhasil dalam menstabilkan perekonomian negara. la mampu menarik cukup banyak bantuan asing sehingga memungkinkan pemerintah untuk mengurangi defisit APBNsecara drastis dan kemudian berhasil mengendalikan tingkat inflasi dari 600%lebih pada

27 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan...., hal. 199

28 Munculnya kelompok Barkeley ini di arena kebijakan Orde Barn pada pertengahanl960-an merupakan salah salu faklor penling dalam proses pembangunan ekonomi di lndonesia. Mafia Barkeley lahir lahir dari sebuah kelompok diskusi yang dibentuk oleh Emil Salim, Ali Wardhana Sumarlin, Widjojo, serta rekan intelektual lndonesia lainnya. Untuk mengetahui secara lebih Jengkap peran kaum lekhnokrat ini sebagai penentu utama kebijakan ekonomi Orde Barn serta posisimeiekll dalam ranah pemikiran pembangunan Indonesia pada masa tersebul, lihat, Rizal· Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi. Indonesia 1986-1992, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sarna dengan Freedom Institute, 2004, hal. 36-57

29 Anne BOOlh, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan", dalam, Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond...., hal. 189 38

akhir tahun 1966 menjadi 15% dua tahun kemudian (1968).30 Dari tahun 1966 -

1969, pertumbuhan ekonomi sudah mencapai 4,3%. Di bidang ekspor, pada akhir

1966, kegiatan ekpsor sudah me~adi $ 470,2 juta, pada 1967 sekitar $ 600 juta, tahun

1968 $ 830 juta, dan pada tahun 1969 $ 933 juta.31

Akan tetapi, keberhasilan dalam bidang pembangunan benar-benar dirasakan setelah Orde Barn memerintah selama sekitar dua belas tahun, yaitu setelah selesai tahap pertama pembangunan, Pelita I. Hingga awal 1980-an, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Dari tahun 1971 hingga 1981, tingkat pertumbuhan tahunan Produksi Domestik Bruto (PDB) berkisar pada angka 7,7% dan tidak pemah berada di bawah angka 5%. Prestasi ini kebanyakan karena pendapatan dari minyak yang tetap tinggi hingga 1982, terutama dipicu lagi oleh perang Irak-Iran pada 1979. Pada tahun 1981, Indonesia merupakan penghasil gas alam cair terbesar di dunia.32

Transformasi ekonomi ini diikuti juga transformasi dalam bidang sosial.

Prestasi Orde Baru dalam sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan sangat mengagumkan, terutama jika dibandingkan dengan catatan prsetasi pada masa

Soekamo. Dalam bidang pertanian, investasi untuk irigasi, jenis bibit baru, dan pertisida mampu memacu produksi beras dan bahan pangan lainnya. Pada tahun

30 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan.. .., hal. 199

31 Prof. H. Bintoro Tjokroamidjojo, Manajemen Pembangunan, Jakarta: CV Haji Masagung, 1988,h.29

J2 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia...., hal. 594 39

I960-an, tingkat ketersediaan beras diperkirakan kurang dari 100 kilogram perkapita, namun pada tabun 1983 angka itu berubah menjadi 146 kilogram. Impor beras berkurang hingga hampir tidak ada, dan Jakarta mengklaim telah mencapai

swasembada beras pada pertengahan tahun 1980-an.

Pada sektor pendidikan, terjadi kemajuan pesat. Lebih dmi 100.000 sekolah

dibangtm, terutarna di daerah-daerah pedalaman, dan lebih dari 500.000 guru

dipekerjakan. Pada tabun 1974, dilaporkan bahwa 97% daJi anak berusia 7 -12 tahun

sedang mengenyam bangku sekolah, dibandingkan dengan angka 57% pada tabun

1973. Tingkat melek huruf terus meningkat. Sensus penduduk 1980 melaporkan

bahwa 80,4% kaum laki-laki di atas 10 tabun dan 63,6% wanita sudah melek huruf.33

Dalam bidang kesehatan., salah satu prestasi paling sukses yang dicapai

adalah program Keluarga Berencana. Pada tahun 1968, Soeharto mendirikan

Lembaga Keluarga Berencana, dan pada tabun 1970-an sudah nampak tanda-tanda

penurunan tingkat kesuburan di Jawa dan Bali, dan juga di Sumatera.34 Menurut

Ricklefs, kesuksesan program KB ini dikarenakan pemerintall mengalokasikan

sumber daya yang besar bagi program KB ini, ditambah fakta bahwa organisasi-

organisasi Islam tidak menentang langkah-langkah program ini.35

33 Ibid., h. 599-600

34 Anne Booth, "Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan", dalam, Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond...., hal. 209

35 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia...., hal. 60 I 40

Selain itu, dan yang paling penting, keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dibuktikan dengan melihat taraf kemiskinan masyarakat yang teIjadi pada masa rezim Orde Bam. Dalam hal ini, hams disebutkan bahwa pembangunan ekonomi

Orde Bam telah seeara sukses mengurangi jumlah penduduk miskin. Jika pada tahun

1976 persentase penduduk miskin adalah 40,36% dari keseluruhan penduduk, maka pada tahun 1990 diestimasikan BPS, sebagaimana dirujuk oleh Eef SaefulIah Fatah, bahwa angka tersebut tinggal 14,33% saja.36

Sementara itu, di samping transformasi ekonomi, pembangunan Orde Baru juga sukses melakukan transonnasi di bidang politik. Wujudnya konkretnya adalah terjaganya stabilitas politik sepanjang dua dasawarsa lebih, tanpa gangguan·gangguan politik yang berarti. Konflik-konflik politik berhasil dikendalikan sehingga tidak muneul menjadi pengganggu proses pembangunan. Lembaga-Iembaga politik berhasil ditata seeara struktural, sehingga di satu sisi semua lembaga tersebut terkonstruksi sejalan dengan konstitusi - dalam hal ini paneasila yang menjadi payung pemersatu ideologis, dan di sisi lain seluruh wujud partisipasi terarahkan pada saluran-saluran politik fonnal, dalam hal ini terutama Golkar yang ditopang oleh kekuatan militer.

Sayangnya kebijakan ekonomi pragmatis yang sukses memproduksi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak disertai tertadinya pemerataan yang bennakna, sesuatu yang juga menjadi sasaran dalam Trilogi pembangunan Orde Barn. Sekalipun

3(, Eep Saefullah fatah, Penghianalan Demokrasi Ala Orde Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, h. 119 41

- menurut data resmi - jum1ah penduduk miskin mengalami penurooan berarti dari

40,8% penduduk di tahun 1976 menjadi hanya 15% di tahoo 1990, namun distribusi

pendapatan antara penduduk lapisan menengah-atas dan bawah mengalami

ketimpangan yang signifikan. Penduduk yang berada di 40% lapisan terbawah

memperoleh persentase penerimaan yang makin berkurang. Jika di taboo 1964 40%

penduduk lapisan terbawah menerima 25,3% dari penerimaan total, dalam taboo 1980

angka itu menjadi hanya 10,4% saja.37 Maka, kekurangan pertama dari kebijakan

pembangooan Orde Bam adalah menyangkut ketimpangan sosial.

Di sisi lain, penekanan stabilitas yang dilakukan demi menopang kemajuan

ekonomis telah menimbulkan dampak negatif lain yang sangat mendasar berupa

pe1anggaran dan pengekangan terhadap beberapa bentuk kebebasan yang teJjadi pada

beberapa lapisan masyarakat. Bentuk pertama pelanggaran terhadap kebebasan itu

adalah berupa lemah dan kurang berkembangnya partisipasi politik masyarakat.

Menurut Eef Saefullah Fatah, hal tersebut ditandai oleh: (I) dimonopo1inya

kekuasaan dan partisipasi politik oleh level-level teratas dalam birokrasi sipi1 dan

militer, (2) militer menjadi pengendali utama birokrasi pusat dan berperan paling

menentukan dalam proses politik dan pemerintaban, (3) sekalipoo angka partisipasi

politik dalam pemilu-pemilu Orde Bam senantiasa tinggi (di atas 90%) namoo

keadaan itu tercipta sebagai hasil represi, tekanan dan mobilisasi politik yang

dilakukan negara melalui peran birokrasi sipil dan militer dari tingkat pusat sampai ke

37 Ibid., h. 100 42

tingkat loyal yang terendah, (4) terhambatnya aktualisasi nilai dan kepentingan politik masyarakat, baik dalam dimensi organisasi, dimensi legalitas, dimensi gerakan dan

isu-isu yang mendasari gerakan.38

Pada level kepartaian, desakan pemerintah agar beberapa partai Islam dan

non Islam dileburkan dan disederhanakan ke dalam dua partai, PPP dan PD!, pada

bulan Januari 1973,39 merupakan eontoh nyata tindakan pemerintah dalam membatasi

partisipasi politik masssa. Pada lapisan masyarakat yang lain, seperti masyarakat pers,

kebebasan berpolitik ditekan dengan kekerasan fisik, penahanan dan pelarangan

terhadap penerbitan serta tidak tersedianya peluang ootuk mengontrol apalagi

mengkritik negara. Contoh penting adalah ketika tetjadi kekerasan kampanye

berskala besar pada pemilu 1982. Surat kabar harian Islam, Pelita, dilarang terbit

karena menurunkan laporan tentang kekerasan tersebut, sebagaimana dilarangnya

penerbitan harian Tempo yang didirikan tahoo 1971 oleh salah seorang intelektual

terkemuka, Goenawan Mohamad.40

Dampak negatif lain yang penting disebut dalam pembahasan ini adalah

berkenaan dengan isyu gender. Hal ini dikarenakan, salah-satu struktur masyarakat

yang terkekang hak dan kebebasannya pada masa "orde pembangunan" ini adalah

kaum wanita. Sebagaimana dieatat oleh Saparinah Sadli, pada zaman OrdeBaru,

dengan Demokrasi Pancasila-nya, terutama di akhir 1970-an, kemandirian dart peran

3B Ibid., h. 100-10 I

39 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia...., hal. 586

·'0 Ibid., hal. 607 aktif perempuan di dunia publik sangat menyurut jika dibanding denganperiode sebelumnya. Pada masa sebelum kemerdekaan, menurut Saparinah, ·perell1puan

Indonesia telah aktif berorganisasi dan mengadakan aksi. Beberapa ()rganisasi perempuan didirikan untuk memajukan el11ansipasi wanitadi antaranyaadalah Putri

Merdilw (1912) di Batavia, Pawiyata Wanita (1915)di MagelangWanitaHado

(1915) di Jepara, Wanita Soesila (1918) di Pemalang atau Poetri Sejati (1918)di

Surabaya. Sedangkan dalam periode revolusi kemerdekaan,perandan POSlSl perempuan dan laki-Iaki cukup seimbang. Mereka tidakdirendahkan, tidak diasosiasikan sebagai ibu yang tugas utal11anya menjadipenda1l1pil1g sUllll1i dan mengurus rurnah tangga belaka, tetapi pere1l1puan juga diikutsertakan /dalllll1 peIjuangannya bangsa.41

Namun, pada masa Orde Baru, seiring dengansistem politikyang represif dan otoriter, kebijakan yang dijalankan pemerintah ll1enjadikanperempuan sebagai pihak yang berada pada posisi sangat terdiskiriminasi.Salah satu contohkebijakan pemerintah yang diskriminatif tersebut adalah Peraturan •Menteri No.· SE-

04/Men/1988 yang antara lain mengatur tentang jaminanpemeliharaan kesehatan yang menyatakan bahwa baik pekeIja laki-Iaki maupunpere1l1puan ll1e1l1peroleh tunjangan kesehatan yang sarna kecuali pekeIja perempuan tersebut telah mendapat tunjangan kesehatan dari suaminya, baik dari perusahaan yang sama maupun· dari perusahaan yang berbeda. Ini berarti, jika pekeIja perempuan telahmel1dapat

41 Penganlar oleh Saparinah Sadli, dalam, Ani Widyani Soeljipto, Polilik Perempual1Bukan Gerhana. Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hal. xxi-xxiv 44

tunjangan kesehatan dari suaminya, maka ia dianggap berstatus tidak menikah,

sehingga ia kehilangan haknya untuk memperoleh tunjangan yang sama dengan

rekannya dari kaum laki-laki.42 Situasi diskriminatif ini sungguh ironis, mengingat

pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bnetuk

Diskriminasi terhadap perempuan tanggal 29 Juli 1980 ketika diadakan Konferensi

Sedunia tentang Perempuan di Kopenhagen, yang empat tahun kemudian diratifikasi

dengan UU No. 7 tahun 1974 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan

Diskriminasi terhadap Wanita43 yang menjadi acuan dikeluarkannya Peraturan

Menteri No. SE-04/Men/1988 tersebut.

Dengan fakta-fakta tersebut di atas, sangat jelas bahwa kebijakan

pembangunan Orde Barn yang berorientasi ekonomi telah melalaikan dimensi

pembangunan yang menurut hemat penulis sangat penting, yaitu dimensi sosial

kemanusiaan atau yang biasa disebut pembangunan sosial. Dalam konteks ini,

Conyers, sebagaimana dikutif Moeljarto Tjokrowinoto, menyebutkan ada 3 kategori

definisi pembangunan sosial:

I. Pembangunan sosial sebagai pemberian pelayanan sosial, yang mencakup

program nutrisi, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sebagainya yang dalam

keseluruhannya memberikan kontribusinya kepada perbaikan standar hidup

masyarakat - indikator keberhasilan pembangunan sosial dalam definisi ini antara

4' Nursyahbani Katjasungkana, "Perempuan dan Hak Azazi Manusia, Tinjauan dari Sudut Hukum Intemasional dan Pennasalahnnya di Indonesia", dalam, Mohammad Farid (ed.), Perisai Perempuan. Kesepaka/an Internasional un/uk Perlindungan Perempuan, (terj.), Yogyakarta: Yayasan Galang, 1999, hal. xv

4' Ibid., hal. xiii 45

lain adalah angka harapan hidup, angka kematian bayi, morbiditi, angka

kemampuan membaca dan menulis, dan sebagainya.

2. Pembangunan sosial sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti

keadilan sosial, keamanan dan ketentraman hidup, community dan self-reliance,

harga diri, kebebasan dari dominasi, hidup sederhana, dan sebagainya.

3. Pembangunan sosial sebagai upaya untuk meningkatkan kem.ampuan rnasyarakat

untuk mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri mereka.44

Dari kategori pertama definisi pembangunan sosial Conyers, pembangunan dikonotasikan sebagai perbaikan kesejahteraan masyarakat (social walfare). Dalam kategori pertama ini, pembangunan Orde Barn - dengan data-data seperti dipaparkan di atas - telah menunjukkan prestasi yang sangat mengesankan. Sedangkan kategori kedua dan ketiga terkait dengan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam definisi kedua dan ketiga ini lah, dapat dikatakan bahwa pembangunan OrdeBal1J mengalarI1i kegagalan.

Kebijakan pembangunan Orde Barn yang - meminjam Istilah Eef SaefullahFatah,

"memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dengan berpagarkan stabilitas· politik",45 dengan militer sebagai motor penggeraknya, telah menyebabkan tertekannya kebebasan masyarakat dalam berbagai bidang. Kebijakan pembangunan Orde Baru,dengan demikian, belum memanusiakan manusia. Maka, penegasan GBHN bahwa pernbangul1an nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya,baru bersifat slogan dari rezim Orde Barn saja.

44 Prof. Dr. Moeljarto Tjokrowinoto. Pembangunan Dilema dan Tantangan, Yogyakarla: Pustaka Pelajar, 1996, h. 95-96

" Eep Saefullah Fatah, Penghianatan Demokrasi.. .., hal. 98 BAB III

BIOGRAFI SINGKAT SOEDJATMOKO

Hal pertama yang akan diuraikan dalam melukiskan riwayat hidup singkat

Soedjatmoko adalah latar belakang keluarga, sebagai sebuah unit terkecil dalam masyarakat tempat di mana seorang individu dilahirkan. Hal ini penting mengingat keluarga merupakan tempat paling pertama dimana seseorang dapat mengenal, mengetahui, berdialog dan bersosialisasi dengan lingkungan dan kehidupannya.

Keluarga merupakan medan di mana kepribadian seseorang mulai terbentuk.

A. Latar Belakang Kelnarga

Seodjatmoko dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 10 Januari 1922 dari sebuah keluarga priyayi Jawa. Ayahnya, Mohammad Saleh Mang\lndiningrat, merupakan di antara pribumi yang bernasib baik. Pendidikan formal yang pernah diperolehnya ialah Indisch Arts, di STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlansche

Arsten), pada tanggal 22 Juni 1916. Sejak saat itu, Saleh Mangundiningrat telah memulai kariernya sebagai dokter, 1916-1919, sebagai asissten-Chirurgie di Batavia.

Ketika bertugas Sebagi Assisten-Chirurgie inilah, ia kemudian menikah dengan R.A.

lsnadikin bt. Tcitrokusumo pada tanggal21 September 1918 di Ponorogo.

Setelah bekeIja sebagai Assisten-Chirurgie selama tiga tahun, Saleh

Mangundiningrat dipindahkan ke Sumatera Barat, sebagai Kepala Rumah Sakit

Umum Sawahlunto. Oi Rumah Sakit Umum ini, ia bertugas selama tiga tahun, 1919­

1922. Oi masa akhir tugasnya inilah, istrinya, Isnadikin, melahirkan Soedjatmoko. 47

Tidak lama setelah kelahiran Soedjatmoko, pada tahun 1922, Saleh mangundiningrat dipindahkan ke Rumah Sakit Umum di Kediri. Setelah dna tahun bertugas di Kediri, 1922-1924, ia kemudian mendapat beasiswa dari Pemerintah

Hindia Belanda untuk melanjutkan studinya di Belanda. Maka, pada tahun 1924, ia berangkat ke Negeri Belanda beserta keluarganya. Tiga tahun pertarna di Negeri

Belanda, dokter Saleh berhasil memperoleh diploma Europeesch Arts di Universitas

Amsterdam pada tanggal 2 Maret 1927. la juga meraih Brevet Specialist Chirurgie

(ahli bedah) dan Brevet Gynaecologie (ahli kandungan). Selanjutnya, pada tahun

1929, ia berhasil meraih gelar Doktor I dalam IImu Kedokteran pada Gemeente

Universiteit Amsterdam dengan disertasi yang berjudul : "Over Echinococus", di bawah bimbingan promoter Prof. Dr. Nodenboos. Setelah mendapatkan gelar doktomya, ia dan keluarganya kembali ke Indonesia, pada tahun 1929.

Sekembalinya ke Indonesia, Dr. Saleh Mangundiningrat kemudian bekeIja pada Rumah Sakit Umum di Menado, 1929-1934, lalu pindah ke Surabaya, bekeIja pada Centrale Burgerlijke Zieken Inrichting, bagian Chirurgie, dari tahun 1934 sampai 1937. Kemudian berturut-turut dari 1937-1945 bekeIja dan ditugaskan pada: ter beschiking gesteld pada Rijksbetuurder ; bekeIja sebagai Dokter Kraton

Surakarta dengan pangkat Bupati Dokter; di samping itu juga merangkap sebagai pemimpin Kantor Kesehatan "Kridonirmolo" Surakarta, Kepala Rumah Obat

I Saleh Mangundiningrat merupakan satu di antara sekelompok kecil orang Indonesia pada masanya yang mendapatkan gelar sederajat doktor di Belanda dan termasuk orang Indonesia pertama yang dididik dalam Hmu pengobatan model Bara!. Lihat Pengantar Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana Soedjatmoko (Peny.), dalam, Soedjatmoko, Menjelajah Cakrawala Kumpulan Karya Visioner Soedjalmoko, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal. xxxi 48

"Pantihusudo" Surakarta, pemimpin Rumah Sakit Umum "Pantirogo" Surakarta,

Eiseikachoo (Karesidenan Surakarta), dan Sibuchoo Karesidenan Surakarta.

Sedangkan dari tahun 1945 sampai 1957, Dokter Saleh Mangundiningrat menjabat sebagai Dokter Karesidenan Surakarta merangkap sebagai Letnan Kolonel (titular);

Mahaguru pada Pergurua Tinggi "Cokroaminoto" pada waktu sekolah tersebut

dipindahkan ke Surakarta; Inspektur, Kepala Dinas Kesehatan Rakyat Propinsi Jawa

Tengah; Ketua Ikatan Dokter Indonesia (lDI) Cabang Surakarta; rektor Universitas

Islam Cokroaminoto Surakarta sampai akhir hayatnya?

B. Pendidikan dan Tradisi Intelektual

Uraian berikut dilakukan dalam rangka menjawab pertanyaan: dari manakah

dasar-dasar pendidikan dan tradisi intelektual Soedjatrnoko bermula dan bagaimana

perkembangan pendidikannya untuk lahap-lahap selanjutnya dalam kehidupannya?

Telah dijelaskan bahwa, keluarga merupakan basis utama pengenalan seseorang akan

kehidupannya. Maka, jelaslah bahwa tradisi pendidikan dan intelektual awal

Soedjatmoko dibangun di keluarga.

Seodjatmoko merupakan individu yang "beruntung". la lahir di tengah

keluarga yang sejak awal telah menciptakan suasana keterbukaan dan

membentangkan diri terhadap semua pengetahuan dari masa silam dan masa depan

dan terbuka terhadap semua ide dari mana pun datangnya. Kondisi semacam itu

terbangun berkat pendidikan yang diterapkan oleh ayahnya. Sang ayah, Dr. Saleh

2 M. Nursam., Pergumulan Seorang Intelektual Biografi Soedjatmoko, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 14-16 49

Mangundiningrat, sangat ketat dalam mendidik anak. Akan tetapi, kendati keras dalam mendidik, ayahnya sangat menghargai perbedaan pendapat dan pandangan dalam keluarganya. Hal semacam itu bahkan sudah dibiasakan sejak Soedjatrnoko masih dalam usia kanak-kanak.3

Sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi, ayahnya sangat gemardalam membaca dan mempunyai berbagai macam bahan bacaan. Perpustakaan pribadinya berisikan buku-buku mengenai sejarah dunia, filsafat, perkembangan ilmu pengetahuan dan karya-karya klasik. Koleksinya meliputi karya-karya pemikir seperti

Hegel, Marx, Nietsche, dan karya-karya cendikiawan India seperti Krishnamurti,

Gandhi, Vivekananda, dan Ramakrsina.4 Dengan lingkungan keluarga yang

demikian, telah memungkinkan Soedjatmdko untuk memasuki duniabacaan.

Sumber-sumber bacaan yang tersedia dan sikap ayahnya yang selalu menariamkan

kebiasaan membaca, telah membuat Soedjatmoko kecil menjadi kutu buku dan selalu

bergelut dengan dunia bacaan.

Ketika memasuki sekolah dasar, bacaan yang paling memukau Soedjatmoko

adalah sen sejarah dunia dan kisah-kisah petualangan fiksi ilmiah karya Jules Verne.

lni memberikan kepadanya kesadaran akan sejarah dan perhatian terhadap luasnya

pengalaman manusia. Di akhir sekolah dasar, ia mulai membaca buku-buku tentang

3 Ibid., hal. 16-17

4 Kathleen Newland dan Kernala Candrakirana (Peny.), dalarn, Soedjatrnoko, Menjelajah Caf

alam pikiran Yunani dan filsafat Barat,5 Satu di antara buku-buku tersebut yang mengesankannya adalah buku yang berjudul Leven en Lessen van Grote Denlcers

(Hidup dan Pelajaran Pemikir Besar).6

Seeara formal, Soedjatmoko mengawali pendidikannya dari pendidikan

Taman Kanak-Kanak sampai kelas II Sekolah Oasar, di Negeri Belanda, ketika

ayahnya sedang melanjutkan studinya di negeri penjajab tersebut. Kemudian ia

masuk sekolab ELS sampai kelas VI di Menado. Selama lima tabun di Menado

(1929-1934), ayahnya dipindahkan ke Surabaya. Oi Surabaya lab ia menyelesaikan

ELS-nya, lalu kemudian melanjutkan studinya ke Hogere Burger School (HBS) pada

tabun 1936.

Oari HBS, Soedjatmoko melanjutkan studinya ke Gymnasium. Oi

Gymnasium ini puIa lab, mata pelajaran yang diajarkan di HBS lebih diperdalam lagi.

Babasa Latin dan babasa Yunani merupakan mata pelajaran yang dengan intens

diajarkan. Hal ini memudahkan Soedjatmoko mengerti babasa Inggris, babasa

Peraneis dan babasa Jerman. Oi samping pelajaran babasa, diajarkan pula sastra,

sejarah, matematika, Aritmatika, ilmu pasti, dan sebagainya. Melalui mata pelajaran

ini, Soedjatmoko kemudian terangsang untuk lebih mengenal kebudayaan, sastra,

arsitektur, dan filsafat Yunani dan modern.

5 Aswab Mahasin, "Soedjatmoko dan Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Sekapur Sirih", dalam. Soedjatmoko, Diemensi Manusia da/am Pembangunan Pilihan Karangan Soedjalmoko, Jakarta: LP3ES, 1995

6 M. Nursam .. Pergumu/an Seorang.. '" hal. 17 51

Jika pada saat masih duduk di bangku sekolah dasar Soedjatmoko telah mulai berkenalan dengan pemikiran filsafat dari filsuf -filsufYunani dan Barat, maka tentu saja, ketika sekolah di Gymnasiwn ini, pengenalan dan penghayatannnya akan a1am pemikiran itu semakin bertambah. Sebagaimana ditulis Aswab Mahasin, pada masa ini, ia meneruskan penjelajahan intelektualnya melalui perkenalannya dengan pemikir-pemikir besar seperti Spinoza, Descartes, dan pemikir-pemikir modem seperti Hegel, Marx dan Nietsche - buku-buku yang juga menjadi bacaan ayahnya.

Dari rak buku ayahnya ia juga mempelajari Gandhi, Krishnamurti, Vivekananda, dan

Ramakrisna.7

Bersamaan dengan itu pula minatnya terhadap sejarah dan politik mulai muncul. Buku-buku seperti Machten van deze Tijd (Kekuasaan-Kekuasaan Masa

Kini), yang diterbitkan tahun 1932 dari , yang memberikan til1jauan mengenai politik intemasional ketika itu, buku karya Ortega Y Gasset yang membangkitkan khayalan, The Revolt of the Masses (1929), atau tentang pengarllh minyak terhadap politik dunia dari Antoine Zischka, mulai menarik perhatianl1ya.

Bacaannya kemudian berlanjut dengan karya-karya Jan Romein yang lebih barn, De

Sociale en Economische van het Fascisme (Landasan-Landasan Sosial dan Ekonomi dari Fascisme) yang terbit tahun 1938 dan Het Fascisme in de lnternationale Politiek

(Fasisme dalam Politik Intemasional) yang terbit pada 1939, telah memberikan

7 Aswab Mahasin, Menyemai Kuttur Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2000, h. 9 52

sumbangan kepada Soedjatmoko akan pemahaman mengenai fasisme intemasional.8

Soedjatmoko sangat terkesan dengan kedua penulis terakhir tersebut dalam penilaiannya mengenai fasisme dan efeknya terhadap konfigurasi kekuasaan di

. 9 duma.

Di tengah pergumulannya dengan berbagai pemikiran dari pemikir-pemikir dunia, pencariannya tentang kebenaran terns berlanjut. Dari sekolahnya di

Gymnasium Soedjatmoko mulai mengetahui dari mana dan bagaimana rasio dan pikiran Eropa Rarat, ilmu pengetahuan serta perkembangan pemikirannya yang dicerminkan dalam beberapa a1iran filsafat. Hal itu berlanjut pada pengertiannya pada budaya Sarat. Dengan pengertian budaya Sarat itu, ia dapat menempatkan diri tentang apa yang diperlukan dari budaya itu. Dia menempatkan mekamsmedalam upayanya mencari kebenaran yang bertolak dari visi dasar tentang dirinya,sebagai manusia universal. Kemudian memperdalam sendiri berbagai pengertian, dan dia tidak puas pada pengertian yang berhenti pada dogma. Oleh karena dalam visinya yang universal itu, yang menjalankan dan melakukan pikiran, akhimya dia sampai pada kesimpulan bahwa yang penting dalam kehidupan itu adalah manusia, karena manusia itulah yang mengisi kehidupan. Jadi, manusia itu yang hams menjadi sasaran. 1O

8 M. Nursam., Pergumulan Seorang.. .., hal.20

9 J. D. Legge, Kaum lntelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Syahrir, terj., Jakarta: Grafiti, 1993, eel. I

10 M. Nursam., Pergumulan Seorang...., hal. 21 53

Demikianlah, sejak kecil hingga remaja, Soedjatmoko teIah melewati tahap- tahap kehidupannya. Tradisi demokratis yang berlaku dalam keIuarganya, berbagai macam bacaan baik yang diperoleh dari rak buku ayahnya, mauptm yang diperoleh dari pendidikan formalnya, merupakan dinamika sosial yang Jelahmembentuk pribadi dan pemikirarmya. Sebuah pribadi dengan cakrawala pemikiran yang luas dan tidak dibatasi oleh sekat-sekat ideologis dan makna serta pengertian yang sempit.

Suatu sosok yang bangunan intelektualnya tidak dibatasi oleh pengertian "Barat" dan

'Timur", melainkan gabungan dari keduanya.

Setelah lulus dari Gymnasium, Soedjatmoko mulai menapaki fase harn dalam kehidupan dan pencarian intelektualnya dengan segala dinamika yang menyertainya. Pada tahun 1940, Soedjatmoko kemudian melanjutkan pendidikannya ke Geneeskundige Hoge School (HGS) atan Sekolah Tinggi Kedokteran. 11

Soedjatmoko menjadi mahasiswa.

Ketika pertama menjadi mahasiswa, Soedjatmoko berkenalan dengan

Soedarpo Sastrosatomo yang bertemn dengannya pada saat perpeloncoan12 dan berkenalan dengan Soebandrio 13. Selanjutnya, melalui para aktivis di Sekolah kedokteran, ia diperkenalkan kepada para pemimpin gerakan nasional seperti,

11 Ibid, hal. 23

12 Rosihan Anwar, Soedarpo Saslrosalomo Sualu Biograji 1920-2001, Berlumbuh Melawan Ams, Jakarta: PUSDOK GUNTUR 49,200 I, hal. 54

13 M. Nursam., Pergumulan Seorang...., hal. 25 54

Soekamo, Hatta, Syahrir, dan Amir Syarifuddin. la dengan segera direkrut masuk ke dalam lingkaran-lingkaran puncak pergerakan itu. t4

Pada masa itu, dalam kehidupan mahasiswa, ada beberapa perkumpulan mahasiswa, yaitu: Persatuan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) yang diketuai oleh

Chaerul Saleh, Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI), Perhimpunan Pelajar

Perempuan Indonesia (lndonesische Vrouwen Studenten Vereniging - IVSV) yang diketuai oleh Siti Wahyunah Poppy Saleh. Soedjatmoko memilih menjadi anggota

USL t5 Melalui USI inilah kernudian Soedjatmoko melakukan aktivitasnya sebagai rnahasiswa yang rnernungkinkannya terlibat dalam dunia pergerakan mahasiswa ketika itu.

Pada saat rnenjadi rnahasiswa ini pula lah Soedjatmoko, untuk pertama kalinya rnelihat kerniskinan yang ekstrem, yaitu ketika ia dibawa ke daerah perkampungan kumuh Jakarta oleh salah seorang ternan aktivis rnahasiswa,

Soebandrio. Malam demi rnalam ia rnelihat pria, wanita dan anak-anak tidur di jalanan dan di gerbong-gerbong kereta api. Hal ini rnerupakan kejutan besar baginya, sejak saat itu, ia bertekad untuk beIjuang rnelawan kerniskinan dan ketirnpangan struktural. Untuk rnencapai maksud tersebut, ia yakin bahwa kernerdekaan nasional rnerupakan suatu prasyarat.

14 Kathleen Newland dan Kernala Candrakirana (Peny.), dalarn, Soedjatrnoko, Menje/ajah Cakrawa/a...., hal. xxxii

15 M. Nursarn., Pergumu/an Seorang...., hal. 26 55

Sementara itu, selama perang dunia II, Jepang dapat mengalahkan Belanda di Indonesia dan mengambil a1ih kontrol terhadap daerah koloni tersebut. Mereka datang dengan janji kemerdekaan bagi Indonesia. Soedjatmoko merupakan salah seorang dari sejumlah kecil di lingkungan pergerakan nasional yang menaruh kecurigaan terhadap maksud kedatangan Jepang. Kemahirannya dalam bahasa Jerman memungkinkan ia untuk membaca literatur fasis Eropa. Ia menangkap kesamaan fasisme dengan ideologi Jepang saat itu, dan bertekad untuk menolak dominasi

Jepang terhadap Indonesia. 16

Setelah dua tahun di Sekolah Tinggi Kedokteran, Soedjatmoko ditahan

l karena menyelenggarakan aksi mogok ? melawan penguasa Jepang. Tindakan itu teIjadi ketika, pimpinan sekolah, atas keinginan Jepang, meneghamskan mahasiswa

memakai topi pet dan memotong rambutnya san1pai gunduL Hal ini menimbulkan

protes keras dari mahasiswa. Memakai topi pet masih dapat diterima, tetapi

menggunduli kepala ditolak mentah-mentah, dengan alasan bahwa hal itu tidak sesuai

dengan budaya Indonesia dan merupakan pelanggaran terhadap martabat mahasiswa

. 18 In donesJa.

16 Kathleen dan Kemala Candrakirana (Peny.), dalam, Soedjatmoko, Menjelajah Cakrmvala...., hal. xxxiii

17 Tindakan protes ini dinilai oleh Nusa Putra sebagai tindakan yang secara nyata mellcenninkan pribadi Soedjatmoko sebagai pejuang pembela kebebasan. Lihat, Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko Temong Kebebasan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 5

18 M. Nursam., Pergumulan Seorang...., hal. 26 56

la di penjarakan dan mengalami tindakan penyiksaan seCara langsung dari tentara Jepang, suatu pengaJaman yang terns bercokol selama hidupnya dan menegaskan pemahamannya tentang rapuhnya pribadi manusia.Setelah selama dua bulan ditahan di penjara, para mahasiswa dilepaskan. Akan tetapi sembilanorang tidak diizinkan menernskan pelajaran di Sekolah Tinggi Kedokteran dan sekolah lainnya, yaitu: Soedjatmoko, Soedarpo, Daan Yahya, Sanjoto, Octaryo, Soebianto,

Soeroto Konto, Poerwoko dan petit Moeharto. 19

Soedjatmoko, sangat terpukul dengan kejadian penangkapannya. Karena diskriminasi semacam itu tidak pernah dirasakannya. Suatu bentuk diskrirnillasi dan penyiksaan yang telah merenggut kebebasaannya yang selama ini telahdisernai oleh orang tuanya. Pukulan itu semakin terasa tatkala ia, bersama delapan ternan lainnya dilarang sekolah lagi di institusi pendidikan mana pun. Karenanya, setelah bebas dari penjara, Soedjatmoko pergi ke rumah orang tuanya di Solo dan tinggal di sana selama dua tahun sampai proklamasi kemerdekaan I11donesia pada tahun 1945. Selamadi

Solo ia tetap dalam pengawasan tentara Jepang

Masa dua tahun di Solo dilewatkannya hampir sepertill1asa pernbuangan hingga kemudian masa itu menjadi sebuah periode yang sangat menentukan karena pada masa ini penuh dengan permenungan dan penjelajahan intelektual· bagi

Soedjatmoko yang pada saat itu berwnur dua puluh satu tahun. Selama diSolo,

Soedjatmoko membaca dengan penuh semangat. DaJam keadaan hilangkontak dengan dunia luar, ia menemukan keasyikan dengan membaca bukucbuku loakan

19 Rosihan Anwar, ...., hal. 73 57

yang dibelinya di Pasar Klewer: Bergson, Max Scheler, Karl Jasper dan Martin

Heidegger. Masa pengucilan itu juga dipergunakannya untuk mempelajari mistik,

Islam, Katolik, India dan alam kebatinan Jawa. Pada waktu ini pula ia sempat berdialog dengan Ki Agung Suryomentaram, pemimpin suatu aliran kebatinan yang berpengaruh, dan tak habis mengerti, mengapa tokoh ini diam saja ketika alam pikiran Jawa begitu terancam oleh ideologi murahan Jepang,20 Fasisme.

Setelah berbulan-bulan terserap mutlak dalam pembacaan akan karya para pemikir besar dunia, Soedjatmoko menjadi kehilangan kepercayaan dirinya, bahkan juga kehilangan pemahamannya mengenai dirinya sendiri. Ia mempertanyakan penerimaan yang pasif terhadap gagasan-gagasan besar yang telah ia baca. Rasa frustasi itu kemudian menjadi sedemikian kuat dan memuncak dalam keputusannya untuk meninggalkan apa yang selama ini menjadi sumber proses belajarnya yang amat ia hargai. Ia tidak mau membaca selama 6 bulan. Keputusaunya ini membawanya pada keterpencilan secara total. Ia tak dapat berdiaIog dengan siapa pun, juga dengan dunia ide yang selama ini digelutinya.

Namun, dalam kegelapan selalu ada cahaya. Setelah 6 bulan menjalani krisis yang sulit dan kadang menyakitkan itu akhimya Soedjatmoko sampai kepada

kesadaran bam tentang makna pengetahuan. Ia sampai pada pemahaman akan

pengetahuan sebagai sarana pemahaman yang tidak akan memiliki makna tanpa

ketulusan hati dan kemauan untuk mengetahui, untuk memahami, dan pada akhimya

untuk mewujudkan cinta terhadap sesama manusia.

20 Aswab Mahasin, Menyemai KlIltllr...., hal. 9 58

Setelah proses pencarian diri yang sulit itulah Soedjatmoko mulai merasa terbebaskan dari cengkeraman dan dominasi hasil bacaan yang selama ini digelutinya. la tidak lagi merasa diintimidasi oleh kemampuan dan reputasi pemikir-pemikir besar melainkan mampu menjadikan pemikir-pemikir itu sebagai sesama rekan pencari kebenaran. Krisis yang melingkupinya telah membawa pencerahan pada dirinya.

Sejak saat itu, ia memandang dirinya sebagai "seseorang manusia budaya Indonesia, yang sekaligus juga menjadi warga dunia".21

Sejak saat, Soedjatmoko telah melakukan revolusi diri dari pembentukan, pembebasan, lalu membawanya pada penemuan jati diri dan sekaligus siap menghadapi serta menjawab tantangan zamannya. Dengan penemuan diri itu,

Soedjatmoko juga telah menempatkan dirinya pada posisi seorang humanis, seseorang yang menerima gagasan tentang kesemestaan manusia.

C. Perjalanan Karir

Klliir Soedjatmoko, terutama di bidang intelektual, secara nyata dimulai pada masa revolusi Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa, Revolusi Indonesia bermula ketika Soekarno Hatta - atas nama bangsa Indonesia - memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat itu, Soedjatmoko sedang berada di S010.22

21 Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana (Peny.), dalam, Soedjatmoko, Menjelajah Cakrawala... ", hal. xxxiv-xxxv

22 M. Nursam., Pergumulan Seorang...., hal. 61 59

Pada permulaan revolusi, setelah menerima tawaran dari Amir Syarifuddin,

Soedjatmoko kemudian berangkat ke Jakarta dan menjadi pegawai departemen penerangan,23 di mana Amir Syarifuddin menjadi menterinya. Ia bersama ternan dekatnya, Soedarpo, diserahi tanggungjawab untuk hubUIlgan dengan wartawan luar negeri. Sebuah pengalaman menarik yang didapatkannya dalammeng1lrus wartawan luar negeri adalah bahwa di Departemen Penerangan, belum ada sistem registrasi bagi wartawan luar negeri: "jadi, orang asing yang mengaku sebagai wartawan luar negeri kita perlakukan sebagai wartawan luar negeri". Melalui perkenalannya dengan Harold

Isaacs, seorang koresponden perang bangsa Amerika dari majalah Asiaweeks, yang datang ke Jawa pada akhir November 1945, ia meIldapat masukan bagaimana mengurus wartawan luar negeri, yaitu dengan membuat sistem pendaftaran}4

Setahun kemudian, dari tahun 1946-I947,25 selain mengunIs wartawanasing yang ada di Jakarta dan menangani keperluan-keperluan pemerintah terhadap sekutu,

Soedjatmoko ditunjuk oleh PM Syahrir menjadi pemimpin m.ajalahberbahasa

Belanda milik republik, Het Inzicht.26 Tujuan penerbitan majalah ini ialah supaya ada komunikasi dengan pihak Belanda, agar Belanda mengerti posisi Indonesia;bahwa

23 SaaI iiu SoedjaImoko menjabat sebagai Kepala OeputiHubungan Lllar Negeri Kementerian Penerangan. Lihat, kaIhleen Newland dan KemalaCandrakrana (Peny.), dalam, SoedjaImoko, Menjelajah Cakrawala...., hal. xxxv

24 M. Nursam., Pergumulan Seorang...., hal. 61-62

25 Nusa Putra, Pemikiran Soedjalmoko...., hal. 6

26 Hel lnziehl adalah sebuah mingguan berbahasa Belanda yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan sebagai respon terhadap surat kabar Belanda, Hel Vi/ziehl. Oi Hel lnziehl, Soedjatmoko bekerja bersama-sama dengan Soedarpo dan Sanjoto sebagai pemimpin redaksi. Lihat, J. O. Legge, Kaum lnlelektual...., hal. 234 60

Indonesia siap berunding tetapi juga siap berkelahi. Di Het Inzicht, Soedjatmoko menggantikan Mr. Asmaun, pemimpin Redaksi pertama.27

Ketika teJjadi Konferensi Malino 1946, sebagai wartawan, ia ikut meliput konferensi ini. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, bahwa konferensi yang dilaksanakan pada Juli 1946 ini, bertujuan untuk membentuk negara-negara bagian

Indonesia, sebagai usaha untuk mengepung dan menghancurkan Republik. Ada tiga wartawan yang diundang dalam kenferensi itu, yakni Rosihan Anwar, Rinto Alwi, dan Soedjatmoko. Dalam konferensi itulah, Soedjatmoko dan Rosihan Anwar yang kctika itu bekeJja sebagai wartawan harian Merdelw, bersepakat untuk medirikan majalah yang berhaluan revolusioner, kritis, dan independent. Hasilnya lahirlah sebuah majalah mingguan SJASA T, yang diterbitkan dengan modal pinjaman oleh mereka berdua dan Abu Bakar Lubis. Rosihan Anwar menjadi redaktur dan

Soedjatmoko mengetuai dewan redaksi serta menyumbangkan artikel yang pertarnanya yang berjudul Situasi Indonesia.28

Karir jumalistik Soedjatmoko sempat terhenti, namun be1um berakhir, ketika

suatu hari, pada bulan Februari 1947, beberapa bulan sebelum agresi mil iter Belanda

I, Syahrir, yang sudah mengetahui akan serangan itu, meminta kepada Soedjatmoko

untuk berangkat ke New York, sebagai salah seorang anggota kelompok Indonesia

yang, bilamana diperlukan, akan mengajukan masalah yang dihadapi oleh Indonesia

27 M. Nursam., Pergumulan Seorang...., h. 64

28 J. D. Legge, Kaum Intelektual...., h. 234-235 61

kepada PBB. Kegiatan jurnalistik Soedjatmoko telah memungkinkan dirinya terdaftar sebagai koresponden dinas penerangan Belanda, dan ketenmgan ini dapat digunakannya sebagai dasar untuk memperoleh paspor Belanda, dengan alasan bahwa ia ingin mengurus distribusi surat kabar SIASAT di Singapura. Dengan demikian ia tidak memperoleh kesulitan ketika meninggalkan Jakarta menuju Singapura tempat ia mengadakan pertemuan dengan Surnitro Djojohadikusurno dan Charles Tambu, yang juga ditunjuk Syahrir untuk berangkat ke Arnerika Serikat, dan kemudian bersama­ sama berangkat ke Arnerika.29

Soedjatmoko berdiam di New York selama tujuh tahun. Dengan demikian, selama kurun waktu tersebut ia telah melewatkan dua kejadian sejarah yang menimpa bangsa Indonesia, yakni Agresi Militer Belanda I dan II. Pada tahun 1949, melalui

Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda, yang didahului dengan persetujuan

Roem-Royen pada 7 Mei 1949, Indonesia memperoleh pengakuan intemasional bagi kedaulatan Indonesia.

Pada tahun 1951, Soedjatmoko mengirimkan surat kepada Menlu Mohamad

Hatta. Isinya memberitahukankan bahwa Soedjatmoko ingin pulang ke Indonesia.

Setelah terlebih dahulu mengadakan perjalanan intelektual mengunjungi Amerika bagian selatan dan beberapa negara Eropa Barat dan Timur yang berlangsung selama

hampir satu tahun , ia pun kembali ke Indonesia pada tahun 1952. Dalam periode

setelah perjalanannya ke Eropa itulah Soedjatmoko mulai mengambil peran

29 Ibid., hal. 235 62

intelektual yang lebih aktif di Indonesia. Ia menjadi editor harian Pedoman dan kemudianjuga di majalah mingguan politik SIASAT.3o

Karir Soedjatmoko mulai mengarah kepada politik ketika, pada tahun 1955,

ia bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan dipilih sebagai anggota

konstituante setahun kemudian. 31 Selama menduduki posisi di konstituante, ia

menyaksikan pembusukan sistem politik di Indonesia. Penciptaan masyarakat

demokratis, yang baginya mernpakan tujuan akhir dari pergerakan nasionalis, telah

ditinggalkan dan diganti dengan otoritarianisme. Konflik politik di antara berbagai

lapisan masyarakat terns meningkat, sementara kemiskinan yang dikira akan dapat

diatasi dengan berakhimya sistem kolonial, terns merajalela.

Ketika PSI bersama Masyumi dibubarkan bertepatan dengan perayaan HUT

kemerdekaan RI ke-15, tanggal 17 Agustus 1960, yang kemudian berlanjut dengan

pembubaran surat kabar harian Pedoman yang dianggap organ PSI pada bulan Januari

1961; ketika itu pula Soedjatmoko telah berhenti dari jabatannya sebagai direktur

penerbit PT pembangunan yang dipimpinnya sejak tahun 1953. Pada masa ini, praktis

Soedjatmoko tidak punya keJja, nganggur. Di rnmah, keJjanya hanya membaca

30 Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana (peny.), dalam, Soedjatmbko, Menjelajah Cakrawala.. .., hal. xxxviii

31 Soedjatmoko menjadi anggota konstituante selama kurang lebih tiga tahun yakni sejak tahun 1956-1959. Nusa Putra, Pemikiran Soedjalmoko...., hal. 6

32 M. Nursam., Pergumulan Seorang...., hal. 118 63

Pada tahun 1968, setelah Orde Bam mengambil kontrol terhadap kekuasaan yang sebelumnya dipimpin oleh Soekarno melalui Demokrasi Terpimpin-nya,

Soedjatmoko ditunjuk oleh Soeharto menjadi Duta besar RI untuk Amerika Serikat.

Soedjatmoko kembali ke Indonesia setelah masa tugas kenegaraannya sebagai Duta besar di Amerika berakhir pada tahun 1971.

Karir intelektual dan jabatan penting yang dimiliki oleh Soedjatmoko pada masa Orde Bam adalah ketika ia menjadi Rektor Universitas PBB pada tallun 1980 hingga menjelang akhir hayatnya, 1987, di , Jepang.33 Dengan berakhimya posisi sebagai Rektor Universitas PBB tersebut pada 1987, bukan berarti

Soedjatmoko telah mengakhiri pergumulan intelektualnya. Ia tetap menjalani sisa-sisa terakhir hidupnya dengan permenungan, berolah gagasan, dan men)'UIllbangkan pemikirarmya bagi Indonesia sesuai kapasitasnya sebagai intelektual. Sampai akhimya, ia berpulang ke-Rahmatullah tahun 1989, meninggalkan semua hal yang pemah dijumpai, dirasakan, dipikirkan dan dicintai dalam peIjalanarl hidupnya.

33 Nusa Putra, Pemikiran Soecijatmoko.. .., hal. 7 BAD IV

PERAN SOEDJATMOKO PADA MASA ORnE BARU

A. Memperjuangkan Citra Orde Barn di Dunia Internasional

Setelah tahun 1965, Indonesia mulai memasuki tahapan baru dalam perkembangannya. Kegagalan reZlm Soekarno untuk menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang lebih baik, telah mendatangkan perubahan sosial yang ditandai oleh sambutan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap tertib baru yang dikenal dengan Orde Bam.

Orde Baru, sejak kelahirannya, telah memenciptakan dampak psikologis yang sangat kuat di kalangan masyarakat Indonesia. Dampak psikologis tersebut terutama sekali sangat terasa pengaruhnya di kalangan "kaum menengah kota" yang secara umum terdiri dari kaum terdidik secara Barat, umat Islam, dan para mahasiswa. Menurut Fachry Ali, dampak psikologis ini secara sl~derhana ditandai

oleh rasa optimisme yang meluap-Iuap akan kebebasan dan demokrasi yang di masa

Demokrasi Terpimpin ditekan oleh mitos revolusi,' suatu mitos yang diciptakan

Soekarno melalui semboyannya yang sangat terkenal "revolusi belum selesai".

Soedjatmoko, sebagaimana halnya sebagian besar masyarakat Indonesia

ketika terjadi proses pergantian dari Soekarno ke Soeharto, menyambut dengan penuh

I Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baril Islam, Bandung: Mizan, 1992, hal. 93 65

optimis kelahiran Orde Baru,2 sebagai sebuah era baru yang akan mendatangkan perubahan. Dalam sebuah makalahnya yang ditulis pada masa awal Orde Baru

(1967), optimisme Soedjatmoko tersebut tercermin dalam penilaiannya tentang kelahiran Orde Baru:

"Akhirnya saya lelah mencoba mengemukakan pendapal bahwa perubahan-perubahan baru di Indonesia telah mendatangkan sualu kebangkitan kembali yang dinamis, dalam beberapa segi mengingatkan kita pada ledakan semangat pada awal revolusi 1945. Dan bahwa ini, bersilma timbulnya generasi pasca-revolusi di gelanggang politile, stabilitas relalif persekutuan sipil-mililer yang sekarang, serta meningkalnya kemampuan serla penampilan kaum intelektual, lelah membuka peluang-peluang baru un/uk membenluk sislem polilik, memanfaatkan sumber-sumber daya ekonomi kita secara lebih rasional demi mencapai lujuan nasional kita, dan dalam cara itu mempercepal proses revolusioner yang akan1l1embual Indonesia menjadi mandiri sepenuhnya".3

Dalam suasana yang penuh dengan optimisme dan harapan itu, pada tahun

1968, Soeharto sebagai pemimpin baru bangsa Indonesia, menunjuk SoedjatlIloko

untuk menjadi duta besar Amerika. Menurut Nursam, sebelumditunjukmenjadi

dubes, Soedjatmoko telah mendengar bahwa dia akan diangkat sebagai Duta Besar RI

untuk Amerika Serikat menggantikan Soewito Koesoemowidagdo} Awalnya,

Soedjatmoko belum bersedia menerima tawaran tersebut karena ia belum mengenal

2 Untuk keterangan lebih lengkap tentang masa awal Orde Baru hingga pertengahan fahun 70-an, lihat buku M.e. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: PT SERAMBI. ILMV SEMESTA, 2005, hal. 558-593

J Soedjatmoko, "Indonesia: Problems dan Opportunities", ceramah yang disaml'aikan untUk Dyson Memoriol Lectures, tahun I, 1967. Diterjemahkan dan dimuatkembali dalambukll, Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Jakarta: LP3ES, 1996, hal. 105

4 M. Nursam, Pergumulan Seorang Intelektual, Jakarta,PT GramediaPustaka Vtama, 2002, hal. 157. 66

siapa Soeharto sebenarnya. Tapi akhimya ia mengatakan bersedia menerima tawaran untuk menjadi dubes tersebutjika-benar-benar diminta.5

Dengan kesediaannya menjadi duta besar, Soedjatmoko sesungguhnya telah membawa dirinya masuk dalanl struktur kekuasaan dan mengabdikan dirinya pada kepentingan Orde Barn. Karena itu, bagi penulis, sebagai seorang cendekiawan dan intelektual, pilihan Soedjatmoko untuk menjadi dubes ini cukup mengherankan mengingat salah satu sifat intelektual adalah selalu menjaga jarak pada kekuasaan.

Sebagaimana dikatakan Edward Said, orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa, dan karena itu ia cenderung ke oposisi daripada ke akomodasi. Seorang intelektual, kata Said, ia tidak pernah boleh mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa.6

Dalam konteks ini, apa yang melatarbelakangi kesediaan Soedjatmoko menjadi duta besar dapat ditelusuri dalam tulisannya tentang "Peranan Intelektual di

Negara Berkembang". Dalam tulisan tersebut, Soedjatmoko menyampaikan dilema yang dihadapi seorang kaum cendekiawan termasuk dirinya. Menurutnya, dilema

5 Dalam sumber lain disebutkan bahwa sebelumnya yang ditunjuk menjadi duta besar RI untuk Amerika adalah Sarbini Sumawinata yang dihubungi oleh Aspri Presiden Mayjen Soedjono Hoemardhani. Akan tetapi Sarbini merasa tidak pantas menduduki jabatan itu dan menolaknya serta mengusulkan agar Soedjatmoko yang sebaiknya dicalonkan kepada presiden dan akhimya terlaksana. Lihat catatn kaki dalam Nursam, Ibid., hal. J94

6 Pengantar oleh Franz Magnis Suseno, dalam, Edward Said, Peran Intelektual, (terj.), 1akarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal. Xi 67

terbesar dan paling berat yang dihadapi seorang intelektual adalah mengenai hubungan intelektual itu dengan kekuasaan. 7

Sebagai seorang cendekiawan humanis, Soedjatmoko menyadari POSlSI dirinya sebagai pelaksana tugas mempertalikan nilai-nilai insaniah universal terhadap situasi konkrit di mana ia berada sambil mencari metode-metode yang tepat Ilntuk

mencapai tujuan modemisasi.8 Dalam posisi itu, Soedjatmoko melihat dirinya sebagai

sosok intelektual yang mau tidak mau terpukau oleh kekuasaan sebagai suatu alat

yang tak dapat dihindarkan untuk mewujudkan gagasan-gagasannya dalam

kenyataan. 9 Menurut penulis, landasan berpikir inilah yang telah membawa

Soedjatmoko bersedia menjadi dubes dan berkompromi dengan kekuasaan Orde

Bam, yaitu untuk menjembatani nilai-nilai kemanusiaan yang menjadiaspirasi

masyarakatnya.

Sebagaimana diketahui bahwa, untuk membedakan pemerintahannya dengan

Rezim Orde Lama, Soeharto menjalankankan program pembangunan yang bertumpu

pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Konsekuensi dari kebijakan ini

adalah mendorong investasi dan bantuan asing. Kebijakan untuk membuka diri

7 Soedjannoko, "Peranan Intelektual di Negara Sedang Berkembang", berasal dari ceramah yang disampaikan di depan The Asia Society, New York, 15 Januari 1970. Dimuat kembali dalam, Aswab Mahasin dan Ismet Natsir (peny.). Cendikiawan dan Palilik, Jakarta: LP3ES, 1984, hal. 27-28. Diulas dalam bentuk berita oleh harian Kompas, Sen in, 2 Maret 1970.

8 Aswab Mahasin, "Soedjatmoko dan Dimensi Manusia: Sekapur Sirih", dalam, Soedjatmoko, Dimensi Manllsia dalam Pembangllnan, Jakarta: PT Pusataka LP3ES, 1983, hal. xviii

9 Soedjatmoko, "Peranan Intelektual di Negara Sedang Berkembang", dalam, Aswab Mahasin dan Ismet Natsir (peny.), Cendikiawan dan ...., hal. 28 68

terhadap investasi Barat ini, memungkinkan kembali negara-negara Barat untuk memainkan peran ekonomi utama di Indonesia.

Pada tahun 1967, da1am rangka mendapatkan investasi asi,ng, terutama dari

AS, pemerintah mengeluarkan undang-undang investasi yang memberikan kemudahan bagi Barat, sekaligus juga menandatangani suatu perjlmjian dengan AS untuk memberikan jaminan bagi para investor Barat. Berbagai upaya dan langkah dilakukan untuk mensukseskan program ini dengan mendekati negara-negara Barat dan Jepang sebagai donatur terbesar bagi program pembangunan ekonomi

Indonesia. I0

Dalam upaya dan kepentingan inilah, Soedjatmoko menunaikan tugasnya sebagai Dubes Rl di AS. Apa yang dilakukarmya sebagai Dubes, difokuskan pada persoalan ini: membangun citra Orde Barn di mata internasional demi kepentingan pembangunan ekonomi nasional. Hal ini diungkapkan oleh Soedjatmoko dalam surat

pribadinya yang dikirimkan kepada Soeharto tanggal 26 Mei 1969:

"Di dalam menunaikan fugas ini saya sebagai Dufa Besar di sini (AS), dari semula fujuan pokak yang dikejar ialah figa: perfama, maksimalisosi pemindahan dana: baik dari pemerinfah maupun swasfa, dari Amerika Serikaf ke Indonesia. Kedua, sebanyak-banyaknya mempengaruhi krisfalisasi konsepsi-konsepsi baru mengenai banfuan luar negeri. Kefiga, sedapaf-dapafnya mempengaruhi konsepsi-konsepsi baru mengenai peran sfarfegis Amerika Serikaf di Asia Tenggara, sehingga sesuai, afau sefidak­ fidaknya fidak berlawanan dengan kepenfingan nasional Indonesia ".11

10 Nursam, "Tentang Sural-Sural Pribadi Soedjalmoko Kepada Presiden (Jenderal) Soeharto 1968-1971", dalam Nursam (ed), Sura/-Sural Pribadi Soetija/moko kepada Presiden (Jenderal) Soehar/o (/6 Juni /968-26 April/Ol/), Jakarta; PT Gramedia Puslaka Utama, 2002, hal.x

11 /bid., hal. 131 69

Sebagai Duta Besar, tugas yang dihadapi Soedjatmoko tidak ringan. Selain mengemban misi negara, yang tidak kalah penting adalah karena pada saat itu, 1968, merupakan masa transisi dari Soekarno ke Soeharto yang menyimpan banyak persoalan. Sebagaimana diketahui, periode transisi ini didahului oleh "tragedi nasional" yang menumpahkan darah dan menghilangkan banyak nyawa anak bangsa.

Dalam tragedi ini, PKI dianggap sebagai pelaku yang harns bertanggungjawab. Maka, tidaklah mengherankan jika kemudian para tokoh PKI dihadapkan pada pertanggungjawaban hukum, terutama vonis hukuman mati.

Vonis hukuman mati terhadap tokoh-tokoh PKI ini menjadi di antara perhatian Soedjatmoko sebagai Dubes, karena masalah ini mendapat perhatian dari dunia intemasional, terutama Amerika Serikat. Oleh karena pentingnya persoalan ini bagi citra Indonesia di mata intemasional, dan lebih khusus lagi bagi keberhasilan pelaksanaan tugas Soedjatmoko sebagai Duta Besar, maka pada Oktober 1968

Soedjatrnoko mengirim kawat kepada Presiden Soeharto.

lsi kawat itu, sebagaimana dikutif Nursam, menyatakan keinginan

Soedjatmoko agar Soeharto tidak melaksanakan hukuman mati tersebut dan menginginkan agar hukuman tersebut diubah. Dalam pandangan Soedjatrnoko, vonis hukuman mati tersebut dapat menimbulkan dampak dan image negatifbagi citra Orde

Barn yang barn berdiri. 12 Tidak dapat diketahui secara pasti seberapa jauh kawat

Soedjatmoko ini menjadi pertimbangan Presiden Soeharto? Y811g pasti adalah,

12 Nursam, Pergumulan Seorang...., hal. 160 70

Presiden Soeharto pada akhinnya memang mengubah vonis hukuman mati tersebut menjadi hukuman seumur hidup, antara lain terhadap Soebandrio, Latief dan Vmar

Dhani. 13

Persoalan lain yang menjadi tugas berat Soedjatmoko di Amerika adalah bagaimana menjelaskan situasi Indonesia, pemerintahan OrdeBaru yang baru terbentuk kepada publik Amerika, khususnya pengusaha. Para pengusaha yang mendapatkan penjelasan dari Soedjatmoko terhimpun dalarn Forum Dagang AS, suatu forum pergagangan semacarn KADIN I4 (Karnar Dagang dan Industri).

Penjelasan tersebut dilakukan untuk menarik simpati para pengusaha supaya mau memberikan bantuan dan melakukan kerja sarna ekonomi kepada Indonesia. Kepada para pengusaha ini Soedjatmoko mengatakan bahwa "Saya dikirim kemari (AS) untuk menjelaskan kepada Tuan kalau ingin menjalin busines dengan Indonesia tidak perlu lewat jalan belakang". Soedjatmoko membangun pandangan bahwa Indonesia sudah memulai babak baru dalarn sejarahnya, bersih, zakelijk, yang berkonsentrasi

kepada pembangunan, dan kepemimpinannya lain sarna sekali dari kepemimpinan sebelumnya. 15

Dalarn pandangan penulis, keperluan untuk menjelaskan posisi Indonesia

kepada para pengusaha adalah wajar mengingat tugas utarna Soedjatmoko menjadi

13 Lebih lanjut liha! catatan kaki dalm, Ibid, hal. 195

14 Ibid., hal. 162

" Nursam, "Tentang Surat-Sura! Pribadi Soedjatmoko Kepada Presiden (Jenderal) Soeharto 1968-1971", dalam Nursam (ed), Sural-Sural...., hal.xiv 71

Duta Besar AS aadalah dalam rangka memperjuangkan kepentingan pembangunan

Orde Barn berupa maksimalisasi penarikan bantuan dana dari luar negeri terutarna

AS, baik pemerintah maupun swasta. Keperluan tersebut semakin mehdesak mengingat negara Indonesia pada waktu itu tidak begitu dikenal secara baik. Yang dikenal oleh publik intemasional adalah Indonesia sebagai negara yang penuh konflik dan tidak aman. Selain itu, ada pendapat yang berkembang di publik Amerika bahwa pemerintah Orde Barn bertanggung jawab atas pembunuhan jutaan orang yang dianggap anggota PKI. Di pihak lain, Indonesia digambarkan sebagai negara yang korup pada akhir pemerintahan Soekarno. Maka, untuk menjalankan tugasnya dengan baik, Soedjatmoko memmpunyai tanggung jawab untuk menjernihkan anggapan negatiftersebut.

Untuk mempeIjuangkan citra Orde Barn kepada publik AS dan lembaga­ lembaga donatur serta pihak-pihak yang berkaitan dengan kepentingan Orde Barn,

Soedjatmoko melakukan berbagai upaya. Akan tetapi, upaya yang paling dominan adalah dengan cara menyampaikan pidato-pidato, melakukan diskusi-diskusi, dan menerima berbagai undangan dari berbagai kalangan, baik dari kalangan pemerintah maupun lembaga-Iembaga swasta. Selain itu, Soedjatmoko juga banyak melakukan lawatan ke kota-kota kecil di AS.

Karena sikapnya yang senng berinteraksi dengan berbagai pihak, menjadikan Soedjatmoko sebagai duta besar yang sangat berpengaruh, terutama di kalangan publik AS. Selama bertugas di Amerika Serikat - Sebagaimana dicatat

Nursam - Soedjatmoko terbukti sebagai diplomat yang efektif dan dihormati selama 72

tiga tahun masa jabatannya. Ia mendapatkan perhatian dari Presiden Amerika Richard

Nixon dan Sekretaris Negara, Henry Kissinger, karena pandangan-pandangannya yang penuh pemahan1an mengenai politik intemasional. La juga mendapatkan banyak perhatian dari anggota kongres AS karena perjalanannya di seluruh negeri itu, termasuk kola-kota kecil di mana ia berbicara dengan para warga Amerika. 16

Selama di Amerika itu pula, Soedjatmoko memanfaatkan waktunya untuk tujuan-tujuan inlelektual. Dalam banyak kesempatan, ia melibatkan diri untuk

bertukar pikiran dengan pemikir dan pembuat kebijakan yang ia kagumi. Edward

Shils, Rodert McNamara, Zbignew Brezinski, dan Thomas Merton, adalah beberapa

dari banyak orang dengan siapa Soedjatmoko menjalin hubungan. Para wartawan

senior, praktisi pemhangunan dan pemhuat keputusan intemasional. serta para

cendekiawan di lingkungan universitas juga menjadi teman dialognya. Selain itu,

Soedjatmoko juga memprakarsai diskusi-diskusi dengan orang-orang di Pentagon dan

di Think Thank, seperti Rand Corporalion. 17

Dalam hal ini, upaya yang dilakukan Soedjatmoko dalam membangun citra

positif Indonesia "barn" di bawah Presiden Soeharto bukan tanpa resiko. Dalam

beberapa kesempatan ceramah di kampus. Soedjatmoko didemonstTa~i dan dituduh

16 Nursam, Pergurnulan Seorang...., hal. 166

17 Kathleen Newland dan Kernala Candrakirana Soedjatrnoko (Peny.), dalarn, Soedjatrnoko. Menjelajah Cakrawala Kumpulan Karya Visioner Soedjatmoko, (Jakarta: PT Grarnedia Pustaka Ulama, 1994), hal. xlii 73

sebagai wakil bangsa pernbunuh 18 oleh pihak ekstrirn kiri Arnerika. Sebagairnana dinyatakan Koko - panggilan akrab Soedjatrnoko, ia seringkali diserang ketikll sedang berpidato sarnpai suatu kali pemah terjadi kekacauan dalanl ruang ternpat ia berpidato. Narnun, rnenurutnya, kekacauan itu dapat ia kuasai dan akhirnya rnayoritas daripada audience rnenyatakan sirnpatinya untuk Indonesia. 19

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa baik pandangan rnaupun peljuangan

Soedjatrnoko pada rnasa ini pada dasarnya adalah dalam rangka rnewakili optimisrne

Orde Baru yang rnenjangkiti hampir segenap rnasyarakat Indonesia ketika itu.

Optirnisrnenya itu diperlihatkan dalam rnasa tugasnya selama tiga tahun sebagai Duta

Besar RI untuk Amerika Seribt. Hampir sernua kalangan di Arnerika Serikat, baik para pejabat, senator universitas, pengusaha dan para pernikir dijadikannya sebagai tempat untuk rnenjelaskan posisi Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang berbenah diri dalam rnelakukan perubahan. Hingga akhir rnasa tugasnya, 1971,

Soedjatrnoko tetap rnasih rnernperlihatkan optirnisrnenya itu.

B. Mengembangkan dan Menyumbangkan Pemikiran tcntang Pembangunan

bagi Pelaksanaan Pembangunan di Indonesia.

Setelah selesai rnasa tugasnya sebagi Duta Besar RI untuk Amerika,

Soedjatrnoko kernbali ke tanah air tercintanya, Indonesia. Pada saat awal kedatangannya, Soedjatrnoko dipanggil oleh Presiden Soeharto. Sebagairnana dicatat

18 Nursam, "Tenlang Sural-Sural Pribadi Soedjalmoko Kepada Presiden (Jenderal) Soeharto 1968-1971", dalam Nursam (ed), Sural-Sural...., hal.xvi

I' Ibid., hal. 212 74

Nursam, saat itu Soeharto bertanya kepada Soedjatmoko, "You minta pekeIjaan apa?"

Seodjatmoko menjawab, "Saya ingin menyumbangkan pikiran-pikiran untuk pembangunan di Indonesia". Akhimya, Soedjatmoko ditempatkan sebagai penasihat abli bidang sosial-budaya pada Ketua Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS), yang waktu itu dipegang oleh Widjojo Nitisastro.20

Dengan pengangkatannya sebagai tenaga abli di BAPPENAS, clapat dipastikan babwa Soedjatmoko menerima pekeIjaannya dengan senang hati karena dapat memberinya ruang baru untuk menyumbangkan pemikirannya bagi Indonesia

yang saat itu sedang menggalakkan program pembangunan. Namun demikian,

menurut Nursam, posisi Soedjatmoko di BAPPENAS itu hanya merupakan posisi

buatan, di mana Soedjatmoko tidak mempunyai otoritas. Selama di BAPPENAS, dia

babkan tidak mengeIjakan apa-apa untuk perencanaan pembangunan negara.21

Bersamaan dengan itu, sejak kembali dari Washington D.C., Soedjatrnoko

menyaksikan negaranya telah dikendalikan oleh pemikiran tunggal ke arah pertumbuhan

ekonomi dan stabilitas politik. Dan ia pun mulai merasa risau ketika menyaksikan

bagaimana, demi pertumbuhan ekonomi, stabilitas lebih diprioritaskan dad pada keadilan,

kebebasan dikorbankan demi kontrol sosial, dan partisipasi rakyat ditiadakan demi efisiensi,

serta ketimpangan struktural yang sangat menjadi kepeduliannya hanya ditangani setengah

hati."

.'0 Nursam, Pergumulan Seorang...., hal. 171

21 Ibid.

22 Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana Soedjatmoko (Peny.), dalam, Soedjatmoko, Menjelajah Cakrawala...., hal. xliii 75

Kenyataan sosial tersebut pada akhimya memaksa Soedjatmoko untuk mempertanyakan kembali komitmen Orde Barn dengan cita-cita awalnya,yaitu pcnegakan kebebasan dan demokrasi. Di sisi lain, otokrasi rezim Soeharto.yang semakin menguat dan sikap kritis Soedjatmoko, membawa. dampakpada perselisihannya dengan Soeharto yang pada akhimya l1lenjauhkandirinyadalam ruang pengambilan keputusan. Saat seperti itulah, perlahan-Iahan optimisme

Soedjatmoko mulai memudar. Yang teIjadi kemudian adalah kekecewaannya terhadap praktek dan kebijakan Orde Baru beserta implikasinya.

Dalam konteks itu, benarlah apa yang dikatakan Aswab Mahasinbahwa kekuasaan memang bukan lah negeri asal seorang cendikiawan.23 Tak mudahuhtuk

merasa betah dengan "tetek bengek" kekuasaan, apalagikarehapembawaankaum

cendekiawan hanya memandangnya sebagai sarana untuk l1lelaksal1akan gagasan-

gagasannya. Hal itu pulalah yang berlaku bagi Soedjatmoko. Kekecewaal1l1ya

terhadap Orde Barn telah menghantarkannya kembali berada di pinggir kekuasaan.

Soedjatmoko, pasca menjadi Dubes, kembali menempatkan dirinya sebagaiseorang

intelektual yang akan berbicara tentang kondisi masyarakatnya dan IIlcnyumbangkan

ide dan pemikirannya untuk negaranya tanpa menggunakankekuasaan sebagai sarana

mewujudkan berbagai gagasannya.

23 Aswab Mahasin, "Soedjalmoko dan Dimensi Manusia: Sekapur Sirih",dalal11, Soedjatmoko, Dimensi Manusia..." hal. xvi 76

Dari pengalaman Soedjatmoko ketika menjadi duta besar yang menyimbolkan optimismenya, lalu kemudian berakhir dengan pesimisme dan kekecewaan, tampak bahwa kekuasaan hanya lah merupakan sisi lain dari kehidupan

Soedjatmoko. Yang sejati dari dirinya adalah ke-cendekiaan-nya, seorang intelektual besar dengan keluasan pengetahuan dan gagasan. Keuyataan tersebut telah nampak bahkan ketika ia menjadi Duta Besar RI untuk Amerika. Reputasi intemasional serta besamya pengaruh yang diterimanya ketika di Washington adalah dikarenakan kapasitasnya sebagai seorang intelektual.

Besarnya pengaruh intelektual Soedjatmoko itu setidaknya dapat dibuktikan dari ulasan yang dibuat oleh hampir semua media massa yang ada di Amerika ketika dia mengakhiri tugasnya sebagai dubes di Amerika. John Burthon, koresponden senior United Press Internasional - sebagaimana dikutif Nursam - menulis di harian ini tentang sosok Soedjatmoko:

·'Mungkin karena ia seorang intelektual Indonesia yang terkemuka dan humanis, Soedjatmoko telah berhasil mendapatkan pengaruh yang besar di kalangan budaya dan politik di sini, sesuatu yang hanya berhasil diperoleh oleh dubes-dubes Inggris dan Perancis. Pengaruhnyajuga sangatterasa di lingkungan diplomatik. Seorang diplomatik Inggris mcnyatakan kepada saya bahwa "jika Soedjatmoko mulai bicara, kami semua diam untuk mendengarkan dengan baik".24

Sebagai seorang intelektual, Soedjatmoko merupakan seorang pemikir yang

mempunyai perhatian dalam bidang yang luas. Karena itu pemikirannya tidak dapat

dibatasi pada perspektif tertentu seperti pembangunan, politik, kebudayaan,

pendidikan, sejarah atau agama saja. Sebaliknya, jika ia berbicara tentang

24 Nursarn, Pergllmulan Seorang...., hal. 169 77

pembangunan misalnya, ia akan membahas masalah tersebut dalam kaitannya dengan berbagai perspektif tersebut. Ignas Kleden mengatakan bahwa seseorang yang terbiasa dengan eara berpikir disipliner yang dengan ketat membatasi dirinya dalam satu bidang persoalan, niseaya akan kebingungan mengikuti pemikirannya.25 Nusa

Putra menjulukinya sebagai eendikiawan "pelintas batas".26

Meski demikian, di antara berbagai subjek yang menjadifokus pembahasannya, pembangunan merupakan tema pemikiran yang paling mendapat perhatiannya. Perhatiannya yang besar terhadap masalah pembangunan ini merupakan hal yang wajar mengingat persoalan terpenting yang dihadapi bangsa

Indonesia Sll!lt itu (Orde Barn) adalah bagaimana membangun bangsanya menuju kepada keadaan yang lebih baik. Fakta sosial itu lah yang tampaknya mempengaruhi

Soedjatrnoko. Sebagaimana dikatakan Durkheim bahwa "fakta sosialmempengatuhi kesadaran individu".

Pemikiran Soedjatrnoko tentang pembangunan· pada daSarnya telahdimulai benihnya sejak masa Orde Lama. Pada tahun 1958, ia mengeluarkan sebuah tulisan berjudul: "Pembangunan Ekonomi Sebagai Masalah Kebudayaan". Dalam tulisan tersebut ia menguraikan berbagai persoalan yang muneul setelah kemerdekaan

Indonesia tereapai, baik dalam bentuk muneulnya berbagai harapan barn sebagai akibat tereapainya kemerdekaan, maupun yang bersumber pada· keruntuhan •yang

" Ignas Kleden, "Soedjatmoko: Sebuah Psikologi Pembebasan", dalam,Soedjatmoko, Etika....• hal. Ix

26 Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan, Jakarta: PT GramediaPustaka Utama, 1994, hal. 32 78

teIjadi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat selanla masa penjajahan sampai tercapainya kemerdekaan. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, Soedjatmoko berpendirian bahwa tidak bisa tidak hams dilakukan pembangunan ekonomi. Ia menulis bahwa bentuk dan sifat negara serta isi kemerdekaan Indonesia ditentukan oleh cara kita membangun perekonomian.27

Dalam tulisannya tersebut, Soedjatmoko mengingatkan bahwa meskipun pembangunan ekonomi sangat penting, akan tetapi dimensi manusia beserta segala faktor kebudayaan menjadi penting diperhatikan jika kebahagiaan dan kebebasan masyarakat hendak dicapai. Oleh karenanya, menurut Soedjatmoko, cara pelaksanaan dan tujuan pembangunan ekonomi hams ditempatkan dalam rangka kebudayaan yang berlangsung dalam masyarakat.28

Memasuki periode 60-an, Soedjatmoko tetap berpikir d,m mcnulis. Pada periode ini, salah-satu tulisan terpentingnya dan yang mengupas masalah pembangunan adalah karangannya yang beIjudul: "Daya Cipta Sebagai Unsur Mutlak dalam Pembangunan". Dalam bagian ini ia memaparkan pentingnya tempat dan faktor pendorong daya cipta dengan bertitik tolak dari dua gerak sejarah terpenting yaitu bangsa-bangsa teIjajah serta usaha pcmbangunan ekonominya, dan revolusi

ilmu pengetahuan.29

27 Soedjatmoko, Kebudayaan Sosialis, Jakarta: MELIBAS, 2001, hal. 140

28 Ibid., hal. 145

29 Soedjatmoko, Dimensi Manusia...., hal. 23 79

Dalam karangan yang disampaikan di depan Seminar tentang Daya Cipta dan Pembangunan Indonesia (MIPI) di Bogor (Agustus 1961) ini, ia menjelaskan revolusi ilmu pengetahuan yang telah melahirkan perubahan-perubahan dahsyat merupakan kekuatan revolusioner paling menentukan kehidupan rnanusiadi dunia.

Persoalan krusial adalah bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan untuk kepentingan pembangunan. Oleh karena itu, menurut Soedjatmoko, perlu dikembangkan daya kreatif bangsa.30 la kemudian menegaskan bahwa daya cipta manusia itu sendiri harns menjadi tujuan dari pembangunan.

Akan tetapi, meskipun pemikirannya tentang pembangunan telah dirintis jauh sebelum rezim Orde Baru berdiri, Soedjatmoko barn benar-benar mengembangkan pemikiran dalam bidang ini pada masa Orde Barn, terutama setelah kembali dari tugasnya sebagai dubes untuk Amerika. Hal itu dikarenakan praktek dan kebijakan pembangunan Orde Barn sejak kedatangannya ke Indonesia telah membawa dirinya kepada kekecewaan yang menuntut tanggapan segera dari seorang cendekiawan bebas seperti dirinya.

Di sisi lain, reputasi internasional yang telah diraihnya pada saat menjadi dubes telah membuat peranannya sebagai cendekiawan semakin memuncak. Dunia intelektual saat itu telah menerimanya dengan amat semarak; ia diminta hadir hampir

30 Ibid., hal. 32-38 80

di semua pertemuan ilmiah yang penting.31 Suatu anugerah yang menuntut sumbangan pikiran dan pencarian yang lebih intens dari Soedjatmoko

Pada masa Orde Bam, perkembangan pemikiran Soedjatmoko tentang pembangunan dapat dibagi ke dalam dua periode, yakni:

1. Periode 1970-ao

Dari berbagai tulisan Soedjatmoko pada periode I970-an yang dipergunakan untuk penulisan ini, penulis menemukan dan memilih empat karangan yang secara khusus membahas masalah pembangunan, yakni " Agama dan Proses Pembangunan di Asia" (1970), "Tekhnologi, Pembangunan dan Kebudayaan" (1972), "Beberapa

Pemikiran tentang Perguruan Tinggi" (1975) dan "Pembangunan dan kebebasan"

(1979).

Dalam tulisannya yang berjudul "Agama dan Proses Pembangunan di Asia",

Soedjatmoko mengemukakan gagasan tentang tidak memadainya model-model pembangunan yang ada yang didasarkan pada teori-teori pembangunan ekonomi.

Soedjatmoko berpendapat demikian karena pembangunan membutuhkan unsur-unsur knltural, sosial dan politis. Jadi, bukan sekedar proses ekonomi.32

Khususnya pada masyarakat Asia, pertanyaan menclasar di sekitar pembangunan ekonomi bahkan menghamskan dijawabnya pertanyaan mendasar tentang makna hidup, keabsahan tujuan pencarian kesejahteraan material, hubungan

J1 Aswab Mahasin, "Soedjatmoko dan Dimensi Manusia: Sekapur Sirih", dalam, Ibid., hal. xviii-xix

32 Soedjatmoko, Etika...., hal., 181 81

manusia dengan sesama alam dan Tuhan. Persoalan ini membawa akibat perlunya memberi tempat pada agama, karena di Asia agama menentukan batin masyarakat tradisional dan sistem sosialnya.

Awal tahun 1972, Soedjatmoko kembali mengembangkannya gagasannya tentang pembangunan. Kali ini ia memperluas spektrum pemikirannya tentang pembangunan dengan mengaitkan masalah pembangunan kepada persoalan tekhonologi, kebudayaan dan kebebasan. Pemikirannya itu terkandung dalam tulisannya yang beIjudul "Tekhnologi, Pembangunan dan Kebudayaan". Dalam karangannya itu diungkapkan bahwa strategi pembangunan yang menekankan industrialisasi temyata lebih banyak memunculkan masalah, terutama yang herkaitan dengan pengangguran dan berbagai akibatnya pada dunia pendidikan. Untuk mengatasi hal tersebut ia menulis bahwa yang dibutuhkan adalah strategi pembangunan yang diarahkan kepada perkembangan, kesempatan keIja (employment) serta keadilan sosial, inisiatif lokal dan yang paling penting kesadaran untuk

berswasembada.33

Terkait dengan hubungan pembangunan dan perguruan tinggi, dalam

tulisannya "Bebcrapa Pikiran tentang Perguruan Tinggi", Soedjatmoko

mengemukakan bahwa perguruan tinggi perlu meningkatkan kemampuannya, terus­

menerus memperbaharui diri serta mendorong kemajuan pembangunan. Perguruan

tinggi juga diharapkan ikut serta memecahkan masalah sehubungan dengan keadilan

sosial dan kesempatan kerja melalui berbagai program yang terencana dan dijalankan

33 Soedjatmoko, Dimensia Mal/usia...., hal. 72-73 82

seeara sistematis. Dengan eara itu perguruan tinggi dapat mengembangkan berbagai kemampuan yang merupakan prasyarat untuk meningkatkan kemerdekaan dan kebebasan Indonesia untuk memilih sesuai nilai-nilainya di dalam dunia yang saling tergantung pada masa modem ini.

Puneak pemikiran Soedjatmoko tentang pembangunan pada periode 1970-an tertuang dalam tulisan Soedjatmoko "Pembangunan dan Kebebasan". Pada bagian awal tulisannya ini, ia menyatakan bahwa masa depan kebebasan dan keadilan bagi seluruh umat manUSIa ditentukan oleh mampu tidaknya Dunia Ketiga mengembangkan dirinya menjadi masyarakat yang relatif bebas dan terbuka, di mana kemiskinan dapat dihapuskan. Untuk itu Soedjatmoko mengajak untuk meneari teori tentang jenis-jenis pembangunan yang arah lintasannya bersifat mendukung dan bukannya menghaneurkan kebebasan dan martabat manusia.34 la menyebutnya sebagai teori pembangunan demokratik.

Teori pembangunan demokratik dikemukakan karena pembangunan yang selama ini dijalankan dengan tujuan memperbaiki mutu hidup manusia dan memperluas jangkauan kebebasannya temyata tidak jarang justru merupakan aneaman bagi kebebasan manusia. Pada satu sisi pembangunan dibarengi

pemerintahan otoriter; pada sisi lainnya pembangunan gagal mengatasi kemiskinan.

Soedjatmoko berpendapat bahwa kebebasan tidak dapat tumbuh dalam kemiskinan.

Dalam kemiskinan, otoritarianisme dan penindasanlah yang akan tampil. Dalam

3<\ Soedjatmoko, Pemhangunan dan Kebebasan, Jakarta: LP3ES~ 1985, hal. 2 83

bagian akhir tulisannya, ia mengingatkan babwa tanpa teori pembangunan demokratik, modernisasi akan tetap superfisial dan bisa jadi hanya merupakan fenomena sementara di daJam suatu dunia yang berdesakan, lapar, bersaing dan bengis.35

Membaca gagasan Soedjatmoko tentang pembangunan padaperiode 70-al1 secara umum dan teori pembangunan demokratik secata .khusus, terasa sekaJi perJuangan Soedjatmoko untuk memabami dan menjelaskan kompleksitas pembangunan. Pembangunan bagi Soedjamoko, bukanlab suatu proses ekonomi semata, melaiukan suatu proses multi dimensional yang saling terkait satu sama lain dengan berbagai bidang kehidupan yang lain baik agama, tekn()logi, sejatab, pendidikan dan kebudayaan. Semua hal itu kemudian dirarigkum dalam suatu proses perjuangan untuk menegakkan kebebasan.

Dengan pelbagai permasalaban yang mampu dikaitkan Soedjatmoko dalam konsep pembangunannya, pada satu sisi menampakkan sketsa besar pemikiran

Soedjatmoko tentang pembangunan. Namun di sisi lain, menurutpenulis, keluasan masalah yang dihimpun dalam pemikirannya, membuat teorinya tidak jelas. Dalam konteks teori pembangunan demokratik misalnya, Soedjatmoko beIum menyediakan

bagaimana kerangka operasional yang dapat dipedomani untuk mengimplementasikan teori yang dikemukakannya itu. Kendati demikian, dalam

kekurangan itu, teori pembangunan Soedjatmoko telah melampaui berbagai leori

J5 Ibid., hal 124 84

pembangunan yang ada yang menempatkan pembangungan sebagai proses ekonomi semata.

2. Periode 1980-an.

Dari berbagai tulisan yang dihasilkan Soedjatmoko pada p,:riode ini, penulis menemukan tiga karangan pokok yang mengupas secara khusus masalah pembangunan. Yang pertama adalah tulisannya yang berjudul "Pembangunan sebagai

Proses Belajar" (1985). Dalam tulisan ini, ia menentang pemahaman yang mengartikan pembangunan sebagai suatu proses yang hampir mekanis, yang mesti dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu untuk mencapai target tertentu. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa pembangunan bukan lah sebagai sesuatu yang "dilakukan" - melalui berbagai tindakan atau pun melalui berbagai keahlian yang diperoleh - melainkan sebagai sesuatu yang "dipelajari".36

Sebagai sesuatu yang dipelajari, lanjut Soedjatmoko, pembangunan merupakan upaya peningkatan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, tidak hanya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, melainkan juga untuk mengarahkan perubahan tersebut mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Hal

ini melibatkan proses belajar untuk keluar dari kerangka pikir yang menerima sikap

pasif sebagai satu-satunya tanggapan yang relevan bagi penindasan dan ketidak

berdayaan.37

36 Seodjatmoko, "Pernbangunan Sebagai Proses Belajar", dalarn, Kathleen Newland dan Kernala Candmkirana, Menjelajah Cakrawala...., hal. 50

37 Ibid. 85

Karangan Soedjatmoko yang lain tentang pembangunan adalah "Hlimaniora dan Pembangunan" yang ditulisnya pada tahun 1986. Dalam karangan ini

Soedjatmoko mengemllkakan gagasan bahwa hllmaniora mendudllki tempat sentral dalam proses pembangunan. Soedjatmoko berkeyakinan bahwa kebanyakan dari penyimpangan dalam pembangunan muncul karena diabaikarmya hurnaniora.

Baginya, berbagai studi kemanusiaan justru menjadi penting dalam zaman teknologi

Illl.

Menurut Soedjatmoko, selain sejarah, filsafat, etika, sastra dan bahasa yang merupakan bidang humaniora yang pokok, bidang studi lain seperti ilmu perbandingan agama, hukurn arkeologi, sejarah seni, dan kritik seni, biasanya juga dipandang sebagai bagian dari hurnaniora. Studi mengenai hurnaniora tersebut akan membantu seseorang, baik secara individu maupun kolektif, untuk menangkap makna dari pengalaman hidup dan menyajikan jalan untuk memahami kegiatan-kegiatan dan tujuan-tujuan dari masyarakat. Mengutif William Bennet, Soedjatmoko menyatakan bahwa hurnaniora membantu upaya untuk mengembangkan kerrmgka moral dan imajinatifbagi pengambilan tindakan.38

Karya terakhir Soedjatmoko pada periode ini yang sekaligus juga karya penutup Soedjatmoko dalam bidang pembangunan adalah tulisannya yang berjudul

"Manusia Indonesia Menjelang Abad ke-21 dan Persiapannya". Karya ini ia tulis sebagai surnbangan untuk rencana pembangunan 25 tahun kedua bangsa Indonesia,

38 Ibid. hal 87 86

setelah Pelita V. Sebuah karya yang berasal dari ceramah yang ia sampaikan di

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tidak lama sebelum ia wafat (1989).

Dalam karangan tersebut Soedjatmoko berpendapat bahwa pembangunan lahap kedua merupakan masa diskontinu yang memerlukan orientasi dan garis kebijakan yang baru.39 Terdapat persoalan yang menyangkut kependudukan, tenaga keIja dan kemiskinan yang membawa banyak akibat. Semua itu terjadi dalam situasi kemiskinan intemasional dan tidak terelakkannya dampak IPTEK yang akan ikut menentukan tempat bangsa Indonesia dalam percaturan Intemasional. Khusus mengenai IPTEK, Soedjatmoko menulis bahwa penguasaan IPTEK merupakan syarat mutlak untuk bersaing dan menjaga otonomi bangsa Indonesia dalam pertarungan di geIanggang mtemaslOna..I.40

Persoalan lain yang diulas Soedjatmoko adalah masalah :pemanasanbumi dan dampaknya bagi lingkungan hidup. Antisipasi yang dianjurkan Soedjatmoko menghadapi kenyataan itu adalah meningkatkan kemampuan manusia Indonesia yang meliputi kemampuan untuk serba tahu, sadar bahwa proses belajar tidak peruah selesai, mampu berpikir secara integratif dan konseptual. Soedjatmoko menegaskan pada bagian akhir tulisannya bahwa upaya untuk menumbuhkan kemampuan tersebut hanya dapat memberikan hasilnya dalam masyarakat yang bebas dan demokratis.41

39 Soedjatmoko, Soedjall1loko dan Keprihalinan Masa Depan, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, hal. 87

'0 Ibid. hal 94

" Ibid., hal 104 87

Bagaimanakah memposisikan pemikiran pembangunan Soedjatmoko pada periode ini dengan teori pembangunan lainnya yang berkembang di dunia ketiga terutama sekali di Indonesia? Dalam bagian pengantar dari bukunya yang beJjudul

"Teori Pembangunan Dunia Ketiga", Arief Budiman menjelaskan bahwa ada satu kelompok utama teori pembangunan yang sangat dominan berkembang di Indonesia yang disebutnya kelompok Teori Modemisasi.42 Teori Rostosw tentang lima tahap pembangunan yang dikembangkan dalam pelaksanaan pembangunan pada masa Orde

Barn adalah salah satu aliran yang tergolong ke dalam kelompok Teori Modemisasi.

Teori Modemisasi telah melibatkan faktor manusia dalarn proses pembangunan. Sebagai contoh adalah teori Weber tentang peran agama dalam pembentukan kapitalisme atau teori McClelland yang menekaukan bahwa kebutuhan akan berprestasi dari seorang individu dapat mendorong semangat wira usaha yang sangat berguna dalarn mendorong laju pembangunan. Meskipun demikian, semua faktor manusia tersebut masih dilihat sebagai alat yang berguna dalarn mendorong kemajuan material (ekonomis) dalam pembangunan. Dengan kata lain, menurut penulis, Teori Modemisasi masih bersifat materialistis.

Sifat materialistis inilah yang membedakan teori modemisasi dengan semangat dalam pemikiran Soedjatmoko tentang pemmangunan Jika teori modemisasi menempatkan aspek manusia sebagai alat dalam mencapai kemajuan material dalam pembangunan, maka bagi Soedjatmoko, aspek UlflSur manusia itu

42 Arief Budiman, TeoriPembangunan Dunia Keliga, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal. x 88

bukan hanya sebagai alat melainkan sebagai tujuan dari proses pembangunan. Ia memandang pembangunan bukan sebagai sesuatu yang dilakukan untuk mencapai target tertentu melainkan sebagai sesuatu yang dipelajari. 1a menekankan pembangunan sebagai suatu proses yang manusiawi dan bergantung pada kemampuan membebaskan dan menyaIurkan kekuatan kreatif yang ada pada suatu masyarakat atau bangsa. Jika membandingkan teori pembangunan seperti yang dijelaskan dalam Teori Modernisasi dengan gagasan Soedjatmoko tentang pembangunan sebagai proses belajar misalnya, maka visi yang tertuang dalam pemikiran pembangunan Soedjatmoko jelas melampaui semangat dari teori-teori pembangunan yang berkembang di dunia ketiga khususnya Indonesia

C. Kritik Soedjatmoko terhadap Konsep dan Kebijakan Pembangunan

Pemerintah Orde Baru

Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II bahwa, untuk membebaskan bangsa Indonesia dari krisis ekonomi dan politik yang diwariskan Orde Lama, para pendiri Orde Bam yang dipimpin Soeharto telah menempuh format politik pembangunan yang berbeda dengan cara yang ditempuh oleh elit Orde Lama di bawah Soekarno. Pemerintahan Orde Barn yang didominasi ABRI dan dibantu para teknokrat yang dipimpin Widjojo Nitisastro dan para Mafia Barkeley lainnya, tampil ke depan dengan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi sebagai raison d 'elre­

nya. 89

Untuk mencapat kesuksesan pembangunan ekonominya, pemerintah menempuh strategi yang diarahkan pada peningkatan perturnbuhan ekonomiyang berusaha diwujudkan dengan cara menggalang modal dan bantuan asing. Kenyataan ini mendorong pemerintah Orde Barn sejak tahun pertama berdirinya untuk memulai politik luar negeri yang lebih akomodatif dan low profile43 terhadap pihak luar.

Sedangkan stabilitas politik pada dasarnya dilihat sebagai prasyarat yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan ekonominya.

Dalam perkembangannya, kebijakan pembangunan yang ditempuh oleh pemerintah Orde Baru ini berhasil menciptakan beberapa kemajuan yang ditandai oleh meningkatnya kesejahteraan rakyat dan terkuranginya tingkat kemiskinan.

Kemajuan tersebut disokong oleh terciptanya keadaan politik yang semakin stabil.

Nanmn demikian, kebijakan pembangunan Orde Barn yang berturnpu pada perturnbuhan ekonomi dan stabilitas politik tersebut juga diiringi oleh berbagai dampak negatif. Dampak negatif tersebut dikarenakan keberhasilan pembangunan ekonomi yang diraih tidak disertai oleh distribusi yang merata dalam pendapatan nasional, antara golongan elit dan rakyat bawah. Maka, dampak negatif pertama dari kebijakan pembangunan Orde Baru adalah terjadinya ketimpangan sosial.

Di sisi lain, penciptaan stabilitas telah menimbulkan darnpak lain berupa terciptanya rezim negara yang bersifat korporatis dan berakibat pada terkuranginya hak-hak politk rakyat dan hak-hak lainnya. Dalam bahasa lain, problem utama dari

43 Dewi Fortuna Anwar, "Implikasi Interdependensi Intemasional terhadap Politik Orde Barn". dalam. Syamsuddin Haris dan Riza Sihbudi (ed). Menelaah KembaU Formal PaUlik Orde Barn, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1995, hal. 160 90

praktek kebijakan pembangunan Orde Baru terjadinya pengabaian terhadap

penegakan demokrasi dan pengekangan terhadap kebebasan di segala lini, terutama kebijakan yang terkait dengan SDM perempuan yang sepintas terlihat merupakan

kebijakan yang sangat ekonomis, padahal justru menimbulkan pemiskinan terstruktur,

yang menurut penulis hal ini juga merupakan tidak beIjalannya kebebasan dan

keadilan. Relitasnya bisa dilihat melalui program Paca Dharma Wanita yang

merupakan program unggulan dalam peningkatan peran wanita dalam pembangunan.

Pengekangan terhadap kebebasan inilah yang menjadi dasar kritik

Soedjatmoko terhadap konsep dan kebijakan pembangunan Orde Baru. Kritik

tersebut muncul dari pribadi Soedjatmoko semenjak ia pulang ke Indonesia dari

Amerika, ketika ia menyaksikan progranl pembangunan Orde Baru telah berimplikasi

pada sempitnya ruang kebebasan yang berkembang dalam masyarakat. Sootu keadaan

yang telah memudarkan sikap optimismenya terhadap Orde Baru.

Kebebasan memang merupakan sesuatu hal yang sangat melekat dalam

pribadi Soedjatmoko. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakarl 19nas Kleden,

kebebasan dan otonomi manusia merupakan kata kunci untuk memahami

Soedjatmoko. Kebebasan merupakan nilai terakhir dan tertinggi yang dicita-citakan

Soedjamoko untuk setiap manusia. Dalam pengertian Soedjatmoko, masalah atau

problem berarti setiap hal, keadaan dan perkembangan yang mengancam otonomi dan

kebebasan manusia:4 Dalam keluasan masalah dan obyek yang rnenjadi perhatian

." Ignas Kleden, "Soedjatmoko: Sebuah Psikologi Pembebasan", dalam, Soedjatmoko, Etika...., hal. x 91

dari pemikiran Soedjatmoko, apakah itu ilmu, politik, agama, kebudayaan dan ekonomi, pada puncaknya akan berakhir pada suatu tujuan yaitu peJjuangan bagi tegaknya kebebasan.

Cita-cita akan kebebasan itu pula yang mendasari pemikiran Soedjatmoko

tentang pembangunan. Bagi Soedjatmoko, pembangunan sebagai kondisi sosial amat

diperlukan bagi kebebasan. la menyatakan bahwa, tujuan dari pembangunan adalah

membuat penduduk suatu negeri (terntama kaum lemah dan miskin) tidak hanya lebih

produktif, tetapi juga secara sosial lebih efektif dan sadar diri. Pembangunan

dimaksudkan untuk meningkatkan keterbukaan masyarakat dan untuk memperbesar

lingkup kebebasan. Oleh karena itu, peningkatan efektivitas sosial dan kesadaran diri

hendaknya berlangsung dengan cara-cara yang tidak berbenturan dengan

kebebasa\'l!1edjatmoko menegaskan bahwa pembangunan dalam kebebasan dati

pembangunan menuju kebebasan bukan hanya berarti pembebasan kaum miskin dan

lemah dari struktur-struktur sosial yang menindas. Melaiukan, pernbangunan hams

mencakup pendidikan mereka, modemisasi keterampilan tradisional mereka, serta

keterampilan-keterampilan barn, dan kemampuan mereka berorganisasi.46 Untuk itu

ia menyarankan agar dikembangkan suatu pola pernbangunan yang employment

oriented yang mengutamakan keadilan sosial dan rnemperkuat kesanggupan untuk

berdiri di atas kaki sendiri (se((relieance). Bahkan ia menandaskan agar menjadikan

45 Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoka.. .., hal. 92-93

46 Soedjatmoko, Pembangunan dOll...., hal. 114 92

~elf reliance itu sendiri sebagai nilai, bukan sikap tergantung kepada negara melainkan keberanian untuk mewujudkan kehidupan sendiri.47

Terkait dengan cakupan kebebasan yangdiinginkan Soedjatmoko dalam proses pembangunan, sangatlah perlu untuk mengungkapkan teori Isaiah Berlin tentang kebebasan. Berlin, dalam "Four Essays on Liberty" - sebagaimana dikutif

Carol C. Gould - mengatakan bahwa ada dua bentuk kebebasan yaitu kebebasal1 positif (kebebasan untuk) dan kebebasan negatif (kebebasan dari). Kebebasan negatif berarti kebebasan dari gangguan yang diciptakan oleh orang lain. Dalam konteks politik, kebebasan negatif menunjuk pada bebasnya setiap orang dari intervensi dan pengendalian negara, atau dilindunginya tiap orang oleh negata dad intervensi atau penindasan pihak lain. Sedangkan kebebebasan positif diartikan sebagai kebebasal1 memilih dan mengembangkan diri. Kebebasan positif dimaknai sebagai kebebasan yang "terkandung dalam diri sendiri" atau sebagai "alatku sendiri" untuk

4 mengejahwantahkan keinginan. &

Soedjatmoko, sebagai seorang cendekiawan yang bervisi hurnanis

(kemanusiaan), menginginkan agar dua bentuk kebebasan itu dapat dhvujudkan secara serentak dalam proses pembangunan yang berlangsung di dalam masyarakat.

Dalam konteks negara, ia mcnghendaki agar negara berfungsi sebagaipembantu masyarakat untuk mewujudkan kebebasarmya dan tidak menjadi penghambat

," Soedjatmoko, Etika..." hal. 118

48 Carol C. Gould. Demokrasi Ditinjau Kembali, (terj.). Yogyakartl: PT Tiara Wacana Yogya, 1993, hal. 36 93

kebebasan tersebut. Sedangkan bagi masyarakat sendiri ia menganjurkan agar individu-individu dalam masyarakat menyadari bahwa dirinya mempunyai kebebasan untuk mengembangkan diri dan keinginannya dan dengan penuh percaya diri ingin mewujudkan potensi yang dimilikinya.

Karena begitu sentralnya nilai kebebasan di dalam proses pembangunan,

Soedjatmoko menyatakan bahwa pembangunan bukanlah sekedar proses ekonomi semata, melaiukan harns melibatkan dimensi manusia dalam proses tersebut. Ia berpendapat bahwa usaha pembangunan tidak sekedar demi keperlrum material tetapi dilakukan sebagai syarat untuk memungkinkan suatu kehidupan yang bebas dan bahagia. Pembangunan harns mementingkan pertumbuhan manusia, mengubah manusia dan kemampuan perorangan serta kolektifuya untuk menjawab secara kreatif dan mengorganisir diri bagi tugas dan kesempatan barn.49 Oleh karena itu juga, menurut Soedjatmoko, pembangunan harns mampu mendorong masyarakat untuk memahami makna hidupnya dalam proses pembangunan.

Dalam kerangka penekanan kepada dimensi manusia itulah, maka

Soedjatmoko mengkritik model pembangunan ekonomi Rostow yang diterapkan pada masa Orde Barn di Indonesia karena terlalu menekankan perturnbuhan ekonomi

(economic growth). la rnenambahkan, teori pertumbuhan ekonorni Rostow tidak dapat memahami dinamika sosial yang sedang berlangsung di Indonesia. Dan model apa pun yang tidak berakar dalam dinamika sosial yang ada tidak dapat ditiru begitu

49 Nusa Putra, Pemikiran Soedjatmoko...., hal. 72 94

saja dalam pembangunan negara bam seperti Indonesia.50 Oleh karena itu, lanjut

Soedjatmoko, perlu diupayakan pencarian jawaban sendiri dalam menghadapi pembangunan.51

Akan tetapi, meskipun Soedjatmoko mengedepankan arti penting pembangunan bagi terwujudnya kebebasan manusia, ia ffilenyadari bahwa pembangunan yang sungguh-sungguh diupayakan tidak akan begi1:l.\ saja menurnbuh kembangkan kebebasan. Bahkan sebaliknya, adakalanya pembangungan malah menjadi ancaman bagi kebebasan. Apalagi jika pembangunan melahirkan ketidakadilan, potensi tindak kekerasan dari kemarahan akan teraktualkan. Hal ini juga dapat terjadi jika rakyat kehilangan harapan karena sistem politik yang ada tidak mendukung pencapaian kebebasan.

Kritik Soedjatmoko terhadap teori pembangunan Rostow yang diterapkan

Orde Baru serta sarannya untuk mengembangkan pemikiran altematif, membawa ia kepada upaya untuk merurnuskan suatu teori pembangunan bam yang arah lintasannya bersifat mendukung kebebasan dan martabat manusia dan bukan menghancurkannya. Teori itu disebutnya teori pembangunan demokratik.

Menurut Soedjatmoko, teori pembangunan demokratik harus memiliki kemampuan analitik dan menjelaskan agar masyarakat dapat mernahami hubungan antara perubahan dan pembangunan; kestabilan dan keamanan; serta keadilan sosial.

Teori ini perlu menyajikan peta perjalanan bagi pilihan-pilihan menuju arah lintasan

50 Ibid., hal. 73

51 Soedjatmoko, Etika.. .., hal. 53 95

pembangunan yang menghormati dan secara konstan memperluas wilayah kebebasan, martabat, dan hak-hak manusia.52

Untuk membuka ruang bagi terciptanya kebebasan tersebut, menurut

Soedjatmoko, proses pembangunan harns dilaksanakan dari bawah dengan melibatkan partisipasi dan keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Penekanan pada emansipasi pembangunan dari bawah tersebut membawa konsekuensi perlunya menjalankan kebijaksanaan budaya; karena itu, faktor politik dan sosial-ekonomi saja tidak cukup. Pembangunan dati bawah pada akhimya harns melibatkan transformasi sosial yang menyeluruh dan manusiawi.

Semangat utama yang harns ditempatkan dalam teori pembangunan demokratik Soedjatmoko adalah penegakkan demokrasi dan kebebasan serta keseimbangan yang harus dijaga antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan kestabilan politik. Ia menekankan bahwa kelangsungan hidup suatu masyarakat sebagian besar bergantung pada kemampuan negara untuk memelihara petimbangan yang dinamik antara perubahan dan pembangunan, ketertiban dan kestabilan serta persepsi keadilan sosial yang akan menentukan pada titik mana kebebasan dan paksaan betimbang.53 Suatu petimbangan sosial yang tidak dirasakan masyarakat

Indonesia dalam praktek dan kebijaksanaan pembangunan rezim Orde Baru.

52 Soedjatmoko, Pembangunan dan...., hal. 38-39

53 Soedjatmoko. Pembangunan dan....• hal. 15 BABV

PENUTUP

Kesimpulan

Soedjatmoko merupakan seorang cendekiawan dunia ketiga yang mempunyai bidang perhatian yang luas, dari mulai agama, ilmu, pendidikan, sejarah kebudayaan, dan pembangunan. Dalam keluasan masalah y,mg ia gumuli,

Soedjatmoko merupakan cendekiawan bervisi humanis yang memegang teguh nilai­ nilai kemanusiaan sebagai tujuan akhir dari perjuangan dan pemikirannya. Salah-satu unsur kemanusiaan yang menjadi roh dalam pemikirarmya dan yang ingin selalu ditega!kkarmya untuk setiap manusia adalah otonomi dan kebebasan manusia.

Perjuangan untuk menega!kkan kebebasan bagi setiap manusia itu pula yang melandasi seluruh gagasan dan ide-nya tentang pembangunan yang telah dirintisnya sejak tahun ]950-an. Pembangunan, bagi Soedjatmoko, harns dilakukan dalam rangka memperluas ruang kebebasan dan martabat manusia, bukan mempersempitnya. Pembangunan yang sungguh-sungguh berhasil harns dapat mewujudkan kehidupan yang bahagia dan membebaskan masyarakat dari keterkekangannya. Oleh karena itu, pembangunan harns dilihat bubn sekadar proses ekonomi semata melainkan juga sebagai proses kebudayaan yang berporos pada kebebasan.

Sebagai intelektual yang rindu akan kebebasan, Soedjatmoko, pada saat berdirinya Orde Barn, menyambut dengan gegap gembira rezim barn yang dikomandoi oleh Soeharto dan Angkatan Darat itu. Kekecewaannnya terhadap rezim 97

)rde Lama dan komitmen pemerintah Orde Barn bagi penegakan kebebasan dan iemokrasi menggiring Seodjatmoko pada sikap optimis dan akomodatif terhadap

Jemerintahan yang bam terbentuk tersebut. Dalam suasana yang penuh dengan

)ptimisme itu lah, Soedjatmoko telah memberikan peran penting bagi pembangunan

Jangsanya, Indonesia.

Peranan terpenting dan terbaik yang dijaIankan Soedjatmoko sebagai wntributor bagi bangsa Indonesia seeara umum, dan kepentingan pembangunan Orde

Bam seeara khusus, adalah ketika ia menjadi Duta Besar R1 untuk Amerika Serikat periode 1968-1971. Dengan tugasnya sebagai dubes, ia berhasil membangun citra positif Indonesia di mata intemasional dan menjemihkan anggapan-anggapan negatif lerhadap Indonesia yang saat itu dirundung krisis dan berbagai problem. Dengan kedudukannya sebagai cendekiawan di dunia ketiga yang sangat dihormati di dunia intemasional, ia berhasil memikat simpati negara-negara besar, terutama Amerika,

IJlltuk tetap menjalin hubungan yang erat dan memberikan bantuan ekonomi kepada

Indonesia.

Pasca menjadi Dubes, karena kekecewaannya terhadap Orde Barn yang telah bembah menjadi rezim korporatis dan sentralistik, dengan kebijaklm pembangunan yang menundukkan program yang lain di bawah pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, Soedjatmoko memposisikan dirinya sebagai cendekiawan yang tidak mempergunakan kekuasaan untuk memperjuangkan cita-citanya akan kebebasan.

Perannya pada masa ini lebih sebagai pemikir yang mcngabdikan diri untuk kepentingan bangsanya melalui gagasan dan ide yang disumbangkannya. Salah satu 98

~agasan yang sangat intens ia kembangkan pada masa ini ialah gagasannya tentang

Jembangunan

Dengan posisinya sebagai cendekiawan yang berada dipinggir kekuasaan,

peranan Soedjatmoko untuk kemajuan pembangunan bangsa tidak menyurut.

SebaJiknya, dengan posisi tersebut ia justru dapat lebih kreatif dan lebih bebas untuk

berpikir dan mengembangkan pemikiran-pemikirannya yang brilian. Dengan posisi

yang berhadapan dengan kekuasaan, posisi Soedjatmoko sebagai intelektual justru

semakin agung; ia semakin diterima dipuja oleh pengagunmya; ia banyak

memperoleh penghargaan intemasional karena keluasan pengetahuannya. Diantara

prestasi internasional yang diperolehnya ialah penghargaan Magsaysay Award for

International Understanding - suatu penghargaan yang sering disebut sebagai

"Hadiah Nobel Asia" - untuk tulisannya yang beljuduJ "Model Kebutuhan Dasar:

Implikasinya dalam Kebijaksaaan Nasional, tahun 1978.

Pada akhirnya, Soedjatmoko adalah seorang cendekiawan dunia ketiga dan

merupakan anak bangsa yang pernah dimiliki Indonesia dan telah rnengabdikan diri

dan keseluruhan pemikirannya bagi kemajuan bangsanya dan dunia ketiga serta

merupakan sosok mulia yang telah dengan setia mempeljuangkan otonomi dan

kebebasan bagi setiap manusia. DAFTAR rUSTAKA

IlUKU-BUKU TERCETAK

<\lam, Wawan Iunggul, (peny.), Bung Kamo, Demokrasi Terpimpin Milik Raleyal Indonesia, (Kumpulan Pidalo), Jakarta: PI Gramedia Pustaka Utama, 2001

<\nwar, Rosihan, Soedarpo Saslrosalomo sualu Biografi 1920-2001, Berlumbuh Melawan Arus, Jakarta: PUSDOK GUNIUR 49, 2001

<\li, Fachry, dan Effendy, Bahtiar, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1992

<\rba MF, Syarofin (ed.), Demilologisasi Po/itik Indonesia, Jakarta: PI Pustaka CIDESINDO, 1998

Budiman, Arief, Teori Pembangunan Dunia Keliga, Jakarta, PI Gramedia Pustaka Utama, 2000

Djojohadikusumo, Sumitro, Pembangunan Ekonomi Indonesia, Kuliah Perdana di Universitas Terbuka, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993

Emmerson, Donald K. (peny.), Indonesia Beyond Soeharto, Jakarta: PI Gramedia Pusatka Utama, 2001

Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta, Insist Press, 2003

Farid, Mohammad (ed.), Perisai Perempuan: Kesepakatan Intemasional untuk Perlindungan Perempuan, (telj.), Yogyakarta: Yayasan Galang: 1999

Fatah, Eef Saefullah, Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru, Bandung: PI Remaja Rosdakarya, 2000

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2006

Gould, L., Carol, Demokrasi Ditinjau Kembali, (terj.), Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1993 100

-faris, Syamsuddin, dan Sihbudi, Riza, (ed.), Menelaah Kembali Formal Polilik Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995

(artodirjo, Sartono, Pendekalan Ilmu Sosial dalam Melodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993

~egge J.D, Kaum Inteleklual dan Perjuangan Kemerdekaan, (terj.) Jakarta: Grafiti, 1993

Liddle, R. William, Parlisipasi dan Parlai Polilik Indoensia pada Awal Orde Baru, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1992 l,1allarangeng, Rizal, Mendobrak Senlralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2004 l,1ahasin, Aswab, Menyemai Kullur Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2000 l,1ahasin, Aswab, dan Natsir, Ismet, (peny.), Cendikiawan dan Polilik, Jakarta: LP3ES,1984 l,1as'oed, Mohtar, Ekonomi dan Slruktur Polilik Orde Baru /966-1971, Jakarta: LP3ES, 1989

Nursam, M, Pergumu1an Seorang Intelektual, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2002

...... , (ed.), Krisis Daya Cipla Indonesia, Polemik Soedjalmoko Versus Boejoeng Saleh, Yogyakarta: Ombak, 2004

...... , (ed.), Sural-Sural Pribadi Soetijalmoko Kepada Presiden (Jenderal Soeharlo (16 Juni 1968-26 April 1971), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002

Paul Johnson, Doyle, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (terj), Jakarta: PT Gramedia, 1986

Poespowardojo, Soerjanto, Slralegi Kebudayaan, Jakarta: PT Gramedia, 1989

Putra, Nusa, Pemikiran Soedjalmoko Tenlang Kebebasan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994 !OI

Ricklefs, M. C., Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, Jakarta: PT Serambi IImu Semesta, 2005

Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan Karangan Tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1996

...... , Dimensi Manusia dalam Pembangunan: Pilihan Karangan Soedjatmoko, Jakarta: LP3ES, 1983

...... , Merifelajah Cakrawala: Kumpulan Karya Visioner Soedjatmoko, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994

...... , Pembangunan dan Kebebasan, Jakarta: LP3ES, 1985

...... , Soedjatmoko dan Keprihatinan Masa Depan, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1991

...... , Kebudayaan Sosialis, Jakarta: MELIBAS, 2001

Soetjipto, Ani Widyani, Politik Perempuan bukan Gerhana, Esai-esai Pilihan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005

Said, Edward, Peran Intelektual, Kuliah-Kuliah Reith Tahun 1993, (terj), Jakarta: Yayasan Goor Indonesia, 1998

Tjokroamidjojo, Bintoro, Manajemen Pembangunan, Jakarta, CV Haji Masagung, 1988

Tjokrowinoto, Moeljarto, Pembangunan Dilema dan Tantangan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Uhlin, Anders, Oposisi Berserak Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (teIj), Bandung: Mizan, 1998