Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.

Copyright and reuse: This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.

Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP LAMPIRAN A HASIL OBSERVASI

Tanggal Observasi Keterangan 05/03/19 13.00 – 15.16 : Melakukan wawancara - Karyawan Prambors dengan Evan Perdana dan Boy Henry. bekerja dengan kondusif di meja 13.17 – 14.22 : Melihat sekilas ruang masing-masing. kerja manajemen Prambors dan diajak berkeliling ke ruang siaran. - Melihat sekilas siaran program DJ Show yang disiarkan oleh CJ.

20/03/19 13.28 – 13.45 : Melihat sekilas kegiatan - Mengumpulkan studi siaran di Prambors. Melihat proses pustaka dari buku rapat program Sunset Trip dari jauh. ‘Tempat Anak Muda Mangkal: Prambors 102.30 Tahun’.

- Melihat sekilas siaran program DJ Show yang disiarkan oleh CJ.

27/03/19 13.29 – 15.30 : Melihat acara yang - Suasana kantor dilakukan Prambors. Melihat rapat sedang dirapihkan usai manajemen dari jauh. Mengamati syukuran ulang tahun situasi di Prambors. ke-48 Prambors.

15.30 – 17.44 : Melakukan wawancara - Petinggi Prambors, dengan Evan Perdana sesi 2 Malik Sjafei, turut hadir dalam rapat 17.44 – 18.28 : Melihat proses rapat manajemen. dari jauh. - Evan Perdana turut hadir dalam rapat sore.

166

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 LAMPIRAN B BUKTI FOTO

Wawancara 5 Maret 2019 Wawancara 27 Maret 2019 (Evan P.)

Wawancara 5 Maret 2019 (Boy H.) Suasana Ruang Siaran 5 Maret 2019

Wawancara 5 Maret 2019 (Evan P.) Suasana Ruang Kerja 5 Maret 2019

Wawancara 19 Maret 2019 (Malik S.) Suasana Prambors 5 Maret 2019

167

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 LAMPIRAN C TRANSKRIP WAWANCARA

Narasumber : Mas Evan Jabatan : Brand Manager Durasi : 53:42 Tanggal : 5 Maret 2019 Lokasi : Kantor Prambors

1. Q. Sudah berapa lama Anda menjabat sebagai Brand Manager di Prambors? A. Kalau Brand Manager Pramborsnya sih, to be honest, baru masuk bulan ke tiga karena sebelumnya megang Brand Delta terus sekarang megang dua Brand, Pramborsnya baru, kurang lebih masuk bulan ke tiga.

2. Q. Bagaimana perjalanan Prambors selama mas Evan bekerja di Prambors? A. Ehm, yang pasti sih perubahan terbesar itu terjadi di tahun 2012 awal atau di 2011 akhir yang sering kita sebut sebagai Revitalisasi. Apa yang disebut dengan Revitalisasi itu adalah, intinya kita melakukan banyak perombakan baik dari sisi konten, dari sisi promosi, sisi marketing, dari sisi jualan dan lain-lain. Tapi yang paling berasa sih, ehm, balik dulu ke ruh-nya yaitu bagian musik karena biar gimana pun Prambors kan adalah radio musik, ya oke radio anak muda tapi secara format adalah radio musik. Berarti, main product-nya music. Jadi, waktu itu, itu (musik) yang kita benerin pertama, ehm, Revitalisasinya hingga akhirnya keluarlah tagline waktu itu masih 'Hits Terbaik Dunia', gitu sih.

3. Q. Apa yang menyebabkan Revitalisasi ini mas? A. Ehm, bisnis. Bisnis aja, it's all about business karena melihat, yaa, kan ada trend kok ada penurunan dan lain-lain segala macem hingga akhirnya kita perlu melakukan Revitalisasi aja sih, tapi ya balik lagi, benerin dulu produknya baru nanti penjualan dan lain-lain, komponen dan lain-lain yang tadi gue sebut, ya main product-nya dulu yang kita benerin pertama.

4. Q. Mas Evan bekerja di Prambors-nya sendiri sudah berapa lama? A. 2007, berarti sekarang udah hampir 12 tahun.

5. Q. Selama tiga bulan sebagai Brand Manager, apakah mas Evan sudah mendapatkan pengalaman di posisi itu? A. Kalau bicara short term tiga bulan sih pengalaman berharganya, apa ya, yang paling clear sih pengalaman berharganya (selama kerja di Prambors) adalah kebetulan gini, Revitalisasi itu kan juga kita melibatkan konsultan, gitu. Konsultan yang kita hire untuk, ya, untuk counseling kita lah, so far, selama dari 2012 sampai sekarang itu pengalaman paling berharga sih buat gue adalah industri radio sekarang itu memang jauh berbeda dibandingkan yang dulu, adalah

168

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 pengalaman berharga sekarang semuanya akhirnya dibalikin kepada market, kalau dulu istilahnya Prambors sebagai 'Hits Maker', itu kita justru muterin lagu yang orang belum tahu (dan menjadi hits), salah satu contohnya boleh lah ambil di era . Ya, dulu 'Hits Maker' ya, cuman makin kesini bahwa orang tuh banyak, kasarnya tuh, ada other media, kalau dulu kan orang pay attention ke radio bisa berjam-jam, kind of that lah, tapi kan sekarang, mereka, radio sebagai media yang "menemani" aja gitu, kita di mobil, sambil kerja atau segala macem. Jadi kebutuhannya tuh lebih men-serve sesuatu yang dibutuhin market akhirnya kan, dan itu berpengaruh sama tadi yang udah di mention di Revitalisasi dari main product, "oh ya gak bisa nih kalau kita jadi 'Hits Maker' mulu disaat orang membutuhkan, kita akhirnya survey gitu kan. Apa sih yang dicari dari sebuah radio?". Sampai detik ini masih base music pilihan mereka nomor satu. Jadi memutarkan lagu-lagu yang mereka suka, yang mereka doyan, dari marketnya anak muda, gitu. Akhirnya dari situ juga, itu yang menjadi landasan kita juga 'oke kita men-serve lagu-lagu yang istilahnya base music', atau bahasa ekstrimnya dari salah satu komisaris kita 'iya, radio sekarang ini memutarkan lagu, bukan lagu enak bahkan, lagu yang tidak ditolak market'. As long as tidak ditolak market, which is, mereka familiar, kan familiaritiynya dia (masyakarat) kenal, dia (masyarakat) bisa sing along mungkin. Ya itulah yang akhirnya di-serve juga, hampir semua radio sih sekarang kayak gitu.

6. Q. Apa saja tugas dan tanggung jawab mas Evan sebagai Brand Manager di Prambors? A. Gue kutipnya as a Brand Manager overall aja ya, karena sebelum Prambors pun (pernah menjadi) Brand Manager Delta. Intinya adalah jobdesc utamanya lebih ke masalah intinya adalah brand-nya sendiri. Kalau di Masima, Brand Manager itu mencakup dua aspek besar, yaitu konten dan marketing. Maksudnya marketing ini bukan jualan ya, tapi marketing and promotion. Nah itu yang memastikan pertama dari sisi konten dan tim di bawahnya itu selalu berpijakan sama yang itu tadi, men-serve segala sesuatu yang memang disukai sama market, gak cuman lagu akhirnya kan, kita kan juga survey 'apa sih yang lo (masyarakat) cari ketika dengerin radio di pagi hari?' dan itu juga bisa berbeda dengan di siang hari, sore hari dan malam hari. Itu kan balik lagi istilahnya tuh, eh, consumen behavior-nya sedikit berbeda gitu, bahwa mereka tetap mau di-serve lagu, cuman lagu seberapa banyak nih, let's say, kalau di pagi sama dibutuhin penyiar yang kocak yang lucu untuk nemenin, oke. Kalau di siang gak perlu banyak-banyak deh ngomong, tapi, lagunya aja yang di serve karena gue (masyarakat) sambil kerja, sambil apalah, ya pokoknya habitnya siang tuh jauh lebih light. Kalau sore, juga sama pengennya yang agak lebih seru, lebih kocak, tapi lagunya yang oke-oke, ya kaya gitu-gitu. Jadi intinya, yang bagian dari konten yang gue maksud terkait pekerjaan yang ada adalah memastikan itu sesuai jalurnya, begitu pun sama yang si marketing and promotion. Akhirnya kita as a media, gak bisa berdiri sendiri, kita memerlukan sebuah, let's say, sarannya marketing and promotion activity. 'Apa nih yang perlu dilakukan Prambors untuk merepresentasikan konten-konten yang tadi kita serve?'. Jadi kita bikin plan, melakukan beberapa kegiatan yang ada yang masuk ke target market yang existing atau pun yang baru, gitu. Either dari

169

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 kompetitor kita coba tarik segala macem, ya itu adalah fungsi utamanya memastikan semua berjalan sesuai dengan goals-nya yang ada, sih.

7. Q. Bagaimana cara Prambors mendapatkan survey (yang tadi sudah dijelaskan)? A. Oke, survey sih yang pasti kalo di media, khususnya radio, survey utamanya yang digunakan semua radio di dan beberapa kota besar di Indonesia menggunakan Nielsen, itu (Nielsen) lembaga survey independen yang juga dipakai media lain. Bahkan, satu-satunya jadi acuan untuk di industri media, itu lembaga Nielsen. Dia (Nielsen) kan ada survey yang sifatnya per-tiga bulanan, mereka (Nielsen), selalu update. Tapi, kita juga ada melakukan survey besar di internal. Survey besar di internal itu, let's say, kita sebut namanya Indonesia Music Survey, itu bahasa keluarnya, tapi bahasa internalnya sebenarnya Online Music Test, itu (Online Music Test) setahun kita lakukan dua kali since 2011 sebelum kita launching Revitalisasi, gitu kan, kan launchingnya 2012 kan, nah dari 2011 sampai sekarang kita konsisten selalu melakukan itu untuk melakukan test terhadap produk yang kita serve ke market, baik itu komponennya, ya walaupun nama Indonesia Music Survey memang tetap dominasi utamanya adalah dari lagu, lagu-lagu yang di Prambors itu ibarat kata tuh lagu itu kita scoring, ini (lagu) tinggi gak ya skornya, rendah 'gak ya skornya. Jadi kaya statistik, pure kaya statistik terus bahkan lagu ini familiaritynya tinggi 'gak ya, bahkan ada misalkan kaya ada juga lagu yang skornya tinggi tapi resistance-nya juga gede, let's say, kalo itu istilahnya 'burn' atau istilahnya orang udah bosen, gitu kan. Gue ambil kasus misalnya lagu, kalo dari lokal tuh Rizky Fabian - Kesempurnaan Cinta, itu familiaritynya tinggi, skornya tinggi, cuman orang bosen karena semua radio muterin itu, atau kalau dari Barat tuh kemarin Despacito, familiaritynya tinggi, skornya tinggi, cuman orang kaya, hmm yah (bosen). Itu bagian dari kita mengukur semua lagu yang ada, bukan berarti lagu itu tidak kita puterin, karena kan high score, cuman masalah nantinya masalah schedulingnya, masalah rotasi lagunya yang kita atur. Nah itu, salah satu terkait sama musik, terus juga dari sisi konten siaran yang ada, kita (manajemen) test juga, baik itu pagi, terutama pagi sama sore ya, pagi dan sore, itu kita bikin suatu konten itu skornya tinggi gak ya, orang rejection gak ya atau sebenarnya kalau misalnya pun rejection atau skornya rendah mungkin kita bisa re-work lagi untuk test lagi atau segala macem even talent, kaya gitu, talent pun kita coba analisa. Posisi talent kita tuh sekarang skornya dimana, gitu. Survey itu kita lakukan tidak hanya ke pendengarnya Prambors, atau kita sebut 'loyal listeners', tapi kita juga lakukan test itu ke 'disloyal', artinya adalah kita juga mengajak atau merekrut 'para pendengar radio kompetitor', let's say, saat ini Prambors menempatkan Mustang, Virgin, Hard Rock? mungkin, little bit, sebagai kompetitor utama, gitu kan. Jadi kita juga mau tahu nih, point of view dari listeners-nya mereka karena kan balik lagi gini, misalkan kalau tadi kita mau ambil, get new listeners, kita juga mesti tahu nih demand-nya mereka nih apa? bisa jadi sama bisa jadi beda, oh, kalau demand-nya kita tau dan kita bisa serve lebih baik dari radio yang mereka suka, kan ada potensinya 'eh gue (Prambors) juga punya loh kaya gini (konten), tapi gue dua kali lebih bagus serve-nya', itu kaya bagian dari strategi kita dibelakangnya, sih.

170

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 8. Q. Bagaimana cara Prambors menarik pendengar radio lain? A. Ya, salah satunya, paling gampang kita selalu menyebutnya Major and Minor Tactics. Major and Minor Tactics itu kita lakukan setahun minimal empat kali, empat kali itu dalam artian per-quartal kita lakukan satu Major and Minor Tactics. Mostly, bentukannya kuis, mostly. Bahasa gampangnya kuis atau kontes, competion, kind of that lah karena iming-iming hadiah itu paling cepet, instantly, pay attention sama orang. Tapi, balik lagi, formulasi lo (radio) bikin kuis itu jangan lupa untuk balikin lagi mereka untuk dengerin radio. Jadi ada strateginya, kaya, okelah Prambors kan selalu suka tuh bagi-bagi tiket konser bahkan ngirimin ke luar negeri segala macem kan, itu masih permukaan banget tuh. Tapi gimana ya cara biar si pendengar radio ini yang dari radio lain tuh akhirnya 'nyicipin' juga produk aslinya Prambors. Jadi dibuat sedemikian rupa kontes-kontes itu bukan kontes sosial media tapi harus balikin ke ruh tadinya, arus, mekanismenya okelah lewat sosmed, tapi then lo (masyarakat) harus, mau gak mau harus dengerin si Pramborsnya itu sendiri, gitu. Terus sambil nungguin kuisnya kan, bisa 'oh iya ya enak juga (Prambors), okelah gue (masyarakat) switching ke Prambors', akhirnya seperti itu rahasianya.

9. Q. Bagaimana cara mendapatkan kerjasama dengan para promotor tiket (untuk kuis)? A. Kalau balik mundur ke awal Revitalisasi dan masih kita lakukan sekarang, di Indonesia Music Survey itu kita juga menanyakan bahwa 'kalau lo (masyarakat) ikutan kuis di radio, hadiah apa yang pengen lo dapetin?' masih sampai detik ini, tiket konser dan jalan-jalan keluar negeri itu masih jadi top 1 dan top 2 nya rather than uang cash atau gadget atau vehicle dan lain-lain. Jadi mereka pilih tiket konser dan liburan, either ke dalam negeri atau luar negeri, emang kebanyakan ke luar negeri. Makanya dari data itu yang kita pegang dari 2012 dari Revitalisasi itu, itu terus yang kita serve. Kita pantau juga sih, oh masih kok sampai detik ini masih (diminati). Waktu itu masih beraninya bagi-bagi konser yang dalam negeri, terus lama-lama kok mereka (masyarakat) ada kebutuhan keluar negeri juga ya (liburan), oh kita barengin aja sekalian, konser tapi di luar negeri, akhirnya begitu masuk, gue inget di tahun 2015, mulai berani bagi-bagi konsernya gak cuma di Indonesia nih, cuma yang di luar sekalian. Dari situ kita melihatnya bahwa anak muda itu mereka lebih ke experience ya yang pertama, beda sama ketika, sedikit compare ya sama yang waktu gue test untuk market Delta, mereka (masyarakat) lebih settle, mereka dewasa muda sih ya gak tua-tua amat, tapi ada komparasi kalo mereka (konsumen Delta) lebih realistis, pilihan utamanya uang karena kalo gue (konsumen Delta) liburan harus cuti kantor, harus izin sama keluarga, ada pertimbangan lah. Makanya ada perbedaan tuh di situnya. Nah balik lagi ke pertanyaan 'gimana cara akhirnya sama si konser-konser ini?' karena kita udah ngebangun itu dari 2012, jalannya tuh macem-macem either ke label, ke promotor, sama media planner. Jadi itu yang, ya karena kita udah build komunikasinya dari lama ya Alhamdulillah baik dari sisi listenersnya itu pun, oh pas konser misalnya, ada muncul nih satu konser, di detik ini sih udah positioning 'oh tenang aja ntar Prambors pasti bakal bagi-bagi', let's say, kaya waktu Ed Sheeran kita baru, apalagi kita dapat privilage untuk big announce pertama di

171

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 Indonesia bahwa Ed Sheeran bakal dateng itu komen kita udah rame 'oh kapan mulai bagi-bagi kuisnya?' segala macem. Itu pun dari sisi listenersnya dan juga dari sisi promotor gitu kan, udah pasti kalau dia bawa artis, terutama dari luar, ya Alhamdulillah sih Prambors masuk ke dalam list yang mereka ajak kerja sama. Bahkan gak sedikit yang akhirnya karena dari management artisnya globally, let's say, waktu salah satunya Shawn Mendes lah gue ambil contoh, dia cuma mau ketika dia tour ke negara-negara itu ya dari manajemennya, satu portal digital, satu televisi, satu cetak/print, satu radio doang. Yaudah, begitu radio mereka kasih Prambors definitely, begitu sih.

10. Q. Apakah ada pembengkakan dalam segi cost di Prambors (dengan adanya kuis)? A. Sebenarnya pembengkakan engga karena kan kita pasti masukin dalam anggaran budgeting tahunan kan, yang memang sudah, karena kan kaya tadi gue bilang, per-Q-kuartal, itu udah pasti siapin budgetnya, gak yang tiba-tiba ada. Let's say, Maroon 5 nih di Bangkok, ya kita bisa punya sedikit link, minimal labelnya, buat bocoran, 'guys, ada gak dari list artis lo yang tahun depan mau dateng tour ke Asia?' Asia dulu yang kita tanya karena kan belum tentu ke Indonesianya, let's say ke Bangkok, Singapore, Manila atau segala macem. Nah dari situ kita udah bisa plotting, 'oh sekian nih (biayanya)', gitu.

11. Q. Apakah ada perbedaan dalam menarik massa dari sebelum dengan sesudah Revitalisasi? A. Kalau sebelum itu biasanya lebih banyak memang off air, konvensional. Kita juga tidak berdasarkan research waktu itu, pokoknya bikin aja berdasarkan 'wah kayanya keren nih', berdasarkan feeling aja. Pernah juga kita gagal, di balik semua kesuksesan pasti juga banyak kegagalan. Kita lakukan, bikin ini lah apa segala macem, eh, ya waktu itu belum punya ukuran pasti lah, lebih ke kaya 'wah ini keren nih, lagi rame' jadi kita buat. Tapi makin kesini kan apalagi sosmed juga makin gede, eh, kita mulai juga lebih banyak mainin digital akhirnya karena satu, sifatnya, sosmed itu sama radio hampir mirip karena kan radio sifatnya 'one by one', beda sama tv dan koran yang 'one to many'. Nah sosmed itu mirip kan sama radio, mereka juga 'one by one', dari situ juga sosmed tuh, ya gue sedikit mengutip dari seminar yang pernah gue ikutin 'konvergensi media dengan sosial media yang paling klik duluan waktu di awal itu radio, pertama' that's why ketika lo liat tv tuh sosmed baru-baru, sama dia bikin account di Instagram atau dimana kan sampai detik ini sifatnya masih kaya 'oh ada aja' gitu, tapi sedangkan radio men-treat sosmed sama kaya mereka men-treat pendengarnya, interaksinya sih. Kurang lebih kaya gitu perbedaan paling mendasar sih. Ya tadi, kita mainnya lebih banyak konvensional, segala macem terus makin kesini sosmed terus mungkin sedikit lebih pinter tadi, karena ada konsultan segala macem, yaudah ini kenalin dulu habit market lo (Prambors) apa segala macem, terus apakah kegiatan didatengin 50 orang, 100 orang, 1000 orang tuh udah rame atau belum sih. Jadi gitu sih.

12. Q. Apakah Prambors pernah mengalami di posisi 'jatuh'?

172

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 A. Ya pasti titik jatuhnya itu di tahun 2011 itu, gitu kan. Waktu itu, kita evaluasi besar-besaran. Gak bohong bahwa memang ada faktor, kalo gue sih bilangnya 'Gen Effect'. Gen Effect itu dalam artian Gen FM muncul, itu to be honest mempengaruhi industri radio di Jakarta. Mereka sebagai pemain baru, nongol, nge-serve pure lagu doang, istilahnya 'Talk Less More Music' terus jadi nomor satu, gitu. Terus waktu itu, banyak radio, even termasuk Prambors karena mungkin kan berada di zona nyamannya terus sombong terus gak aware sama kompetisi yang ada, yaudah kita gak langsung cepat berbenah kan ya Gen langsung melejit jadi nomor satu di Jakarta bertahun-tahun. Akhirnya kita coba adaptasi 'oh iya iya, kita coba deh bikin banyakin (lagu) Indonesianya kali ya' sempet tuh di masa itu, waktu itu belum ada konsultan, kita-kita aja 'sotoy- sotoyan' kita aja. Dulu sempet Prambors 'yaudah banyakin (lagu) Indonesianya aja' tapi ada egonya juga 'masa kita muterin lagu Indonesia sih', cuman balik lagi gak sukses. Kita coba copycat si Gen FM nya 'plek' juga percuma. Akhirnya ketemu dengan si konsultan itu ya akhirnya balik lagi bukan masalah 'yang mau lo (Prambors) serve Indonesia atau Barat, tapi balik lagi lo target market lo apa. Lo (target market) anak muda, upper-middle, yaudah lo tesnya demand-nya mereka (karena) belum tentu demand-nya mereka lagu Indonesia' dan ternyata emang engga, gitu. Justru mereka lebih suka lagu-lagu Barat, 'yaudah lo (Prambors) serve di situ', gitu sih.

13. Q. Bagaimana sejarah awal mula Prambors dibentuk? A. Kami itu berdiri tahun 1971, pemilik atau pendiri kita ada namanya mas Malik Sjafei sama mas Imran Amir itu mereka temenan tinggal di daerah Borobudur situ lah. Jadi kan kalo belum tahu, Prambors itu kan adalah gabungan dari nama-nama jalan tempat mereka tinggal dulu Prambanan Mendut Borobudur dan sekitarnya, gitu. Jadi awalnya mereka, kalau ceritanya mereka ya, ya iseng-iseng awalnya mereka cuman bikin radio, ya, dibilang radio ilegal juga engga sih ya waktu itu emang belum ada sih ya radio anak muda. Bikin di kamar sendiri kebetulan bisa rakit-rakit segala macem dari situlah mulainya gitu, ehm, hingga akhirnya sampai sekarang ya makin rame makin rame apalagi di tahun 70-an, 60 atau 70, itu lagi hype banget istilahnya kalo globally ya Parets Radio, gak cuma di Indonesia, di UK, di Amerika segala macem karna waktu itu didominasi sama radio-radio negeri atau ibarat kata di Indonesia ada RRI kalau di UK ada BBC yang pure memang itu radio BUMN lah, cuman trend muncul Parets Radio atau radio yang lebih rebel itu tahun 60-70 an, termasuk si Founding Fathernya kita ini. Akhirnya ramelah diomongin orang, awalnya coveragenya ya cuma tadi itu Prambanan Mendut Borobudur dan sekitarnya, terus makin gede makin gede terus tapi akhirnya muncul tuh regulasi dari regulator kan, waktu itu mungkin masih Menteri Penerangan atau komisaris, soalnya KPI tuh belum ada waktu itu, ya pokoknya dari Pemerintah, yaudah akhirnya dirapihin frekuensinya dibenerin, didaftarkan, badan hukumnya juga diperjelas. Masuk ke frekuensi publik kan juga harus terdaftar gitu, ibarat kata radio itu kan minjem ya (frekuensi publik). Waktu itu Prambors, kalau sekarang kan 102,2, dulu tuh awal nongol 102,3. Please, jangan tanya gue kenapa 102,3 nya. Mungkin waktu itu 'oh ada kosongnya di sini', gitu. Yaudah 102,3 bla bla bla segala macem sampe ada penataan frekuensi di

173

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 2000an awal ya sekitar segitu soalnya memang sudah terdaftar ya si frekuensi- frekuensi ini, cuman rapet-rapet tuh. Ntar 102,4 udah berubah lagi jadi apa. Kalau lo perhatiin nih sekarang, akhirnya ditertibin itu di Jakarta sendiri tuh range-nya tuh 0,4, atau 400 kHz, jadi 102,2 berarti radio berikutnya itu 102,6. Jadi selalu intervalnya 400 (kHz) atau 0,4.

14. Q. Apa Visi dan Misi terbentuknya Prambors? A. Kalau di awalnya sih lebih ke, iya (iseng-iseng), selayaknya mereka anak muda ya, itungannya 'eh bikin apa nih', lebih ke pengen bikin sesuatu yang keren aja sih dulu, gitu. Buat si Founding Father kita sih mereka passion awalnya kan dari musik, gitu, emang doyan dengerin lagu segala macem kan 'eh gimana ya supaya passion gue sama musik, selera musik gue, gue share ke orang lain', gitu. Akhirnya, ya kalau sekarang kan bedanya kita bisa lihat either lo punya Spotify, kita bisa lihat selera dari playlist lo, tapi kan waktu itu kan belum ada tuh, yaudah mereka bikinnya radio bahkan.

15. Q. Apakah kehadiran Spotify dianggap sebagai saingan bagi Prambors? A. Dibilang saingan, iya pasti karena secara industri radio sih iya, tapi kalau dibilang kita kompetisi, sangat betul tapi kalau dibilang berteman atau berusaha menggandeng, engga. Tapi dari research yang kita dapet bahwa memang radio terutama Prambors lah ya, atau radio yang ada tuh masih punya uniqueness nya tersendiri sih dibandingin Spotify. Punya plus (dan) minusnya masing-masing, kalau Spotify kan bisa dengerin pasarannya tuh On Demand kan, 'mau dengerin lagu apa', kalau di radio kan gabisa tuh kaya gitu. Cuman di balik itu justru itulah jadi kelebihan radio juga, Element of Surprise itu 'wah gila tiba-tiba ada lagu ini yang diputerin sama radio', itu satu. Kedua, bedanya Spotify dan sejenisnya (music streaming) sama radio tuh juga mereka tuh belum punya Element of Companionship, disaat lo (pendengar) disapa, disaat lo di update secara real time juga gitu kan baik informasi traffic, informasi real secara umum atau kejadian- kejadian luar biasa. Itunya sih, gitu. Even dari si Spotifynya sendiri tuh terakhir nge-release, ehm, 2018, ini si Spotifynya sendiri yang bilang, dia compare with digital platform kita yaitu streaming. Jadi, jumlah pendengar Spotify vs jumlah pendengar radio tapi via streaming biar sama-sama biar apple to applenya dapet, ehm, Prambors masih nomor satu sih, gitu.

16. Q. Survey itu didapatkan dari mana? A. Dari Spotify itu sendiri.

17. Q. Apa arti di balik logo Prambors? A. Logo ya, logo itu jadi gini, mereka berdua (Founding Father) suka sama band Belanda namanya 'The Exception' dan itu logonya mirip banget, nih gue tunjukin. Jadi itu tuh dia band Belanda gitu. Ini band favorite mereka, sedikit di adaptasi terus jadilah logo yang sekarang. Sempet kok ada di masa kita sempet di sue sama The Exceptionnya ini karena kan waktu itu kan tahun 70 kita belum tahu, maksudnya era informasi sekarang kan cepet nih. Tapi maksudnya kita di sue itu tahun 90-an pertengahan lah. 90-an pertengahan itu sempet di sue gitu kan tapi

174

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 kita akhirnya urus, jadi waktu itu sempet Prambors tuh gaboleh pake logo kribo. Jadi waktu itu cuma 102,3 FM Mania lah atau apa, logo kribonya gaboleh. Terus kita selesaikan proses copy rightnya segala macem ya Alhamdulillah clear, kita nongol lagi abis itu.

18. Q. Apakah ada arti di balik pemilihan warna pada logo (warna hitam dan kuning)? A. Kita memahami kuning itu identicalnya sama youth aja sih, justru menariknya kalo lo perhatiin, atau gak radio deh, yang juga (targetnya) anak muda Trax FM warnanya apa? kuning juga, terus Oz? juga gitu. Jadi maksudnya waktu itu pemahamannya dari awal pun berpikir kuning itu enerjik, dinamis, anak muda banget lah. Kalau biru kan kalem, adem, settle, gitu. Jadi gitu sih. Kalau untuk hitamnya itu elegan.

(Tambahan dari mas Boy: Hitam itu elegan, sama lebih menunjukan kelas kita itu kan untuk middle-up. Kan kelasnya kelas ke atas. Jadi pakai warna hitam. Sama satu lagi tambahkan untuk yang kribo itu, itu sebenarnya ada filosofinya. Kribo itu lambang kreatifitas, jadi selain dari terinspirasi dari grup band Belanda, Prambors ini dulunya kan memang dianggap sebagai icon kreatifitas. Nah, icon kreatifitas itu kalau misalkan mau dilambangkan itu adalah orang yang kribo yang keluar, apa namanya, ide segala macem dari kepalanya sehingga terkesan itu rambutnya tuh jadi kaya muncul-muncul gitu. Sebenarnya wujud daripada ceritanya sih seperti kreatifits yang keluar tanpa batas, begitu. Jadi kribo itu lebih melambangkan kreatifitas tanpa batas.

19. Q. Bagaimana struktur perusahaan di Prambors? Apakah ada perbedaan dari sebelum dengan sesudah masuknya konvergensi media? A. Kalau struktur perusahaan nanti gue email aja sih. Kalau perbedaan struktur pasti, sebelumnya tidak ada orang yang dedicated ngurusin digital, sekarang ada, bahkan termasuk sebelumnya kan gak ada tuh produser digital maksudnya, dia tuh produser acara, acara pagi, siang, sore, malem, nah akhirnya ada produser untuk ngurusin digital, seperti itu. Kedua juga yang jadi perbedaan, dulu gak ada tuh desain grafis, kedua, gak ada tuh videographer. Itu sih salah satu perbedaan yang paling mencolok tuh dari sisi struktur ya soal struktur ya adalah dengan adanya posisi-posisi itu saat ini

(Tambahan dari mas Boy: karena itu yang mendukung dan membantu kita untuk memproduksi konten-konten digital. Jadi si graphic designer terus kemudian si videographer, mereka yang membuatkan itunya kan, materi-materi digitalnya dari mereka semua. Jadi memang dedicated mereka untuk itu.)

20. Q. Kapan era konvergensi media mulai masuk ke Prambors? A. Jauh sebelumnya sih, sebelum, gue lupa persisnya, cuman ya website muncul, 2000-an awal saat masih ada rocketmail, even astaga.com, di era itu kan anak muda udah mulai ngeh tuh untuk, dulu kan, sebenernya website udah ada. Waktu itu udah ada termasuk pengelolaan news, newsnya balik lagi tetep news-news

175

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 anak muda sih termasuk istilahnya tuh Kalender Event buat anak muda 'oh weekend tuh ada apa' buat update ke mereka, walaupun waktu itu belum ada divisi khusus sendiri untuk ada tim khusus sendiri ya sebatas yang kita serve On Air, materi On Air ya kita masukin, kita taro aja di website, sebatas itu waktu itu dulu.

(Tambahan dari mas Boy: koreksi untuk websitenya itu tahun 2000 ya, diregisternya tahu 1999 dan kemudian dipakenya itu tahun 2000, pramborsfm.com ya.)

21. Q. Perubahan apa saja yang dialami Prambors setelah masuknya konvergensi media? A. Perubahan paling besarnya, gini, awalnya tuh kita cuma serve atau kita berpikir 'yaudah konten yang ada tuh konten radio' tanpa berpikir mem-visualkan, kan soalnya radio tuh auditif, sedangkan ini sifatnya udah mulai audio-visual gitu kan. Yaudah dari situ kita mem-visualkan radio, satu itu perubahan, step, eh, fase pertama yang kita lakukan. Yaudah sempet masa itu kan lumayan booming waktu itu ya selain audio streaming, video streaming. Jadi orang bisa lihat tuh keadaan studio segala macem, day by daynya kaya apa segala macem, ya sebenarnya kaya CCTV tapi lo (Prambors) streamingin. Cuma kita belajar dari situ kok ada nilai- nilai, kok ini, oh nilai-nilai privacynya si talent tuh, talent tuh jadi apa-apa seolah diawasin. Tren itu juga udah mulai gak ada, jadi akhirnya mulai masuk ke sosial media mulai tumbuh. Yaudah, tadinya tuh kita cuman mem-visualkan apa yang terjadi di radio, terus lama-lama atau makin kesini, melihat konten digital tuh gak mungkin plek ketiplek lo konten On Air terus lo bawain ke digital. Perlu ada juga setting yang clear konten digitalnya Prambors tuh seperti apa, akhirnya kita mulai buat juga tuh beberapa, akhirnya kita bikin web series, padahal sebenarnya kan di On Airnya tuh gak ada. Pokoknya banyak konten digital yang kita buat juga untuk nyeimbanginlah si kontennya itu tadi.

22. Q. Kapan dimulainya (dari pertanyaan di atas)? A. Mulai semenjak kita mulai ngerapihin sih di 2015 tadi.

23. Q. Apakah perbedaan dari website yang dulu (awal muncul) dengan yang sekarang? A. Jauh banget, perbedaannya tuh sangat jauh sih. Di saat itu kita belum mengenal istilah search engine operation terus yaudah bikin tuh cuma, 'oh ternyata tuh ada triknya ya untuk bikin sebuah tulisan' dulu kan belum ada istilah tagging terus interaktifnya masih one way terus makin kesini juga kan banyak UGC (User Generate Content) ya kaya, let's say, kaya apasih portal-portal berita yang sekarang tuh kaya Tirto.id lah, Opini lah, Brilio lah kaya gitu-gitu sih, ya banyak banget sih perubahannya gitu. Dulu aja orang waktu buka website belum bisa streaming, gitu.

24. Q. Apakah (Prambors) streaming memiliki pengaruh besar terhadap Prambors?

176

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 A. Ya, gini, justru dengan adanya streaming itu sangat membantu kita memperluas penetrasinya Prambors, karena kenapa? karena kan kalau konvensional itu sifatnya menggunakan media Terrestrial, which is, pake si frekuensi publik tadi, FM, dan itu ada batasannya kan, let's say, Jakarta coveragenya kan cuma JABODETABEK, gitu terus Bandung sampai daerah sekitarnya doang, tapi kan dengan adanya streaming, as long as lo (pendengar) bisa akses internet, lo mau, kan Prambors ada di sembilan kota, Jakarta, Bandung, , Solo, Makassar, Manado, Surabaya, Yogyakarta, Semarang. Pokoknya ada sembilan kota, dengan adanya streaming kan ada jadinya Kawula Muda di, let's say, kepulauan di Kalimantan yang kita belum ada, maksudnya itu pun kita lihat sendiri, mereka (pendengar) kan ada ikut interaktif komen ya 'oh ya lucu banget nih gue dari Pontianak dengerin' segala macem, jadi justru manfaatnya sangat-sangat berasa sih.

25. Q. Apakah video streaming yang dimaksud adalah yang ketika bekerja sama dengan ANTV? A. Oh itu udah lama banget, itu 95-an dulu itu sempet ada namanya Prambors Wow Mania, itu sama ANTV memang kerja sama seminggu sekali itu kaya siaran radio itu tapi ditayangkan juga di TV secara Live. Itu sih waktu itu 95-an lah pertengahan, zamannya Irfan sama Angga.

26. Q. Apakah itu (Prambors Wow Mania) efektif? A. Nah itu tadi, kita gak punya datanya ya, dibilang efektif atau engganya balik lagi pertanyaannya. Definisi efektif yang dimaksud tuh apa, to be honest gak clear, tapi kalau melihat dari perjalanan ceritanya waktu itu hingga tadinya awalnya cuma tayang satu jam perminggu hingga akhirnya jadi dua jam, ya dibilang efektif, disaat itu efektif kalau, kita gak bisa bandingin sekarang, kalau dulu kan belum ada sosial media, belum ada digital, kalau dibilang efektif ya efektif untuk membantu, ya kan yang tadi dibilang juga kita as a media gak mungkin berdiri sendiri sebagai radio doang, perlu other media untuk juga create sebuah konten, ya berhasil sih, dibilang efektif sih efektif. Efektif untuk meningkatkan nama Prambors apalagi saat itu ANTV sebagai TV baru emang target marketnya anak muda makanya yaudah kita join atau bahasa anak sekarang kolaborasi.

27. Q. Bagaimana awalnya terjadi kerja sama itu? A. Wah kurang tahu yang soal Prambor Wow Mania, mungkin lebih ke ya networking segala macem ya ANTV baru-baru nongol.

(Tambahan dari mas Boy: Ya kira-kira gini aja, biasa sih ya kerja sama antara media televisi dengan media radio biasa bekerja sama, jadi ya program radio dipromosikan di televisi begitu juga sebaliknya program televisi dipromosikan di radio. Jadi, pasti ada beberapa hal yang mendasari televisi-televisi itu ngajak Prambors kerja sama. Pastinya mereka akan melirik program-program yang cocok dengan anak muda, which is, program mereka juga punya program untuk anak muda. Jadi biar sinergi, jadi artinya biar pendengar Prambors dan penonton TV itu

177

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 bisa saling mengisi. Nah jadi bukan hanya dengan ANTV, jadi sampai sekarang bahkan hampir seluruh televisi tuh bekerja sama dengan kita, kan. Jadi yang terakhir-terakhir ini misalkan NET TV, terus kemudian juga RCTI, terus ada SCTV, kemudian juga Global TV. Jadi tuh pasti mereka bekerja sama bilamana ada program-program anak muda yang bisa dikolaborasikan antar kedua media ini.)

28. Q. Apa dampak konvergensi media terhadap Prambors (plus dan minus)? A. Dampak konvergensi media dampak plus (dan) minusnya, minusnya dulu ya, konvergensi media minusnya adalah memang, sebenarnya gini, itu kurang lebih sama halnya kayak kita melihat convenience store sama e-commerce, kurang lebih. Sebenarnya marketnya masih ada, cuman mereka hanya berpindah dari yang sebelumnya ke toko, pembelinya jumlah pembelinya sama gitu kan, yang, begitu pun ketika di sini tuh, yang mendengarkan radio ada cuman mediumnya dari yang sebelumnya dari radio player, kalau nanya anak muda sekarang siapa yang masih punya, ada radio player di rumahnya, yaa gak tahu, dikit banget pasti compare sama zaman gue waktu masih muda kan ya. Radio player tuh jadi kaya lo punya gadget dulu lah, lo punya Spotify juga segala macem. Kalau sekarang sih ya mediumnya berubah akhirnya gitu mau gak mau kan dengan berkembangnya teknologi, Prambors masuk juga ke streaming karena sebisa mungkin Prambors udah ada di tangannya anak muda, which is di gadgetnya, gitu. Nah jadi kalau dibilang minusnya lebih ke akhirnya pendengar si Terrestrialnya pasti berkurang, tapi bukan berkurang dalam arti dia menghilang, dia cuma berpindah. Plusnya jauh lebih banyak, tadi yang sempet gue mention, yang tadinya belum coverage kita bisa menjangkau sampai ke daerah-daerah yang memang kita belum ada stationnya secara FM, tapi akhirnya kita penetrasi kita bisa sampai either gak cuma di Indonesia, akhirnya sampai di luar (negeri) juga orang masih bisa dengerin Prambors, tinggal mereka streaming.

29. Q. Apa yang dilakukan oleh Prambors dalam upaya (kunci) mempertahankan eksistensinya di era digital? A. Kuncinya? kalau kuncinya sih adalah, kalau pake stating yang biasa kita pakai tiap kali ulang tahun kalau sama kita internal 'Age is Just Number, Young Forever', selalu berjiwa muda aja sih, tapi itu ditambah atau dilengkapi sama yang konsultan kita biasa selalu ngajarin gitu kan, ya serve apa yang market butuhin, as long as lo nge-serve apa yang anak muda saat ini perlukan, karena bisa jadi lima tahun lagi beda lagi tuh karena kan lima tahun yang lalu kondisinya juga beda gitu. Selalu ikutin seleranya market.

30. Q. Apakah ada radio yang pernah gulung tikar? A. Dibilang tutup sih ada, cuman penyebabnya apakah pure karena digital masih perlu studi lebih dalam sih, misal gue ambil contoh deh waktu itu empat tahun yang lalu ada radio namanya Hits FM 96,7, mereka launching kalau gak salah tahun 2014 deh, pokoknya sebentar deh cuma dua tahun terus abis itu tutup. Tapi apakah, padahal mereka catch up dengan segala sesuatu yang ya 11-`12 sama

178

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 Prambors ya maksudnya main digital, bahkan waktu itu mereka lebih rutin gitu ngerjain digitalnya, kaya tiap hari tuh mereka ngerelease konten digitalnya, bikin video apa segala macem, tapi, makanya kalau dibilang, karena faktor adanya digital sekarang makin booming dan akhirnya mereka tutup karena itu gue rasa ngga, bukan karena mereka sendiri catch up sama itu. Cuman faktor, lebih ke faktor lainnya sih either mungkin manajemennya kali salah urus atau revenuenya gitu kan, balik lagi sebenarnya ini kan bisnis radio ya, eh radio bisnis. Ujung- ujungnya ngomongin juga soal revenue kan, mungkin dari faktor revenuenya atau revenuenya vs costnya gak balance, neraca keuangan, eh gak tahu gak tahu. Tapi kalau dibilang karena digital? gue rasa dibilang tutup lebih ke, mohon maaf sih, bodoh aja sih radionya untuk gak justru memanfaatkan itu gitu dengan streaming atau, ya karena kan balik lagi, pendengarnya masih ada cuman pindah platform aja, gitu dan distraction other media dengan adanya Spotify, JOOX dan lain-lain aja sih.

31. Q. Bagaimana upaya Prambors dalam mengembangkan Prambors serta pandangan Prambors dalam 5-10 tahun ke depan? A. Jadi gini, oke, Prambors melihat dirinya saat ini gak cuma akhirnya jadi radio doang, tapi itu, akhirnya kita, kalau lo perhatiin tuh Prambors, sebenarnya udah dari tiga tahun yang lalu, kita di logo tuh men-take out tulisan FM karena kita mau build bahwa Prambors itu as a brand, bukan lagi cuma sekedar radio. Prambors FM itu adalah one of business yang kita kelola, gitu tapi Prambors itu ya as a brandnya, ntar ada Prambors, kan kita juga punya Prambors Channel nih, ya Prambors Channel another industry yang kita kelola juga, sosmed juga ada sendiri nanti segala macem, itu makanya kalau ditanya 5-10 tahun ke depan, ya semoga insyaAllah Prambors itu udah dikenal sebagai brandnya anak muda gitu bukan radionya anak muda lagi, Prambors FM okelah radio anak muda tapi Prambors, itu brand anak muda, gitu.

32. Q. Apa saja tantangan mas Evan selama di Prambors dan bagaimana cara menyikapinya? A. Kalau gue inget salah satu mentor gue bilang ketika waktu itu kan namanya Program Director ada jadi Content Director terus sekarang jadi Brand Manager, tantangan terberat itu adalah mengelola manusianya, kalau lo mau bikin konten mau kreatif, you name it, lo bisa lo, temen-temen lo, anak buah lo atau tim lo lah kasarannya gitu, ya ngomongin kreatifitas tuh ada aja lah, as long as mereka juga punya ruh yang sama tapi ngelola individu itu adalah tantangannya tersendiri, ada yang lagi bad mood lah ada yang lagi berantem lah, talentnya jadi apalah segala macem. Ya gue inget banget tuh, 70% kerjaan lo sebagai ngurus radio itu apalagi misalnya yang udah di top level, ya ngurusin manusianya, kalo ngomongin konten apa segala macem lo buka buku pun lo bisa lihat, lo tanya ke konsultan lo pun masih bisa nanya, 'gimana ya bikin musiknya?', survey segala macem, tapi itu sih tantangannya menurut gue sih itu.

179

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 Transkrip Wawancara

Narasumber : Mas Evan Jabatan : Brand Manager Durasi : 1 jam 32 menit Tanggal : 27 Maret 2019 Lokasi : Kantor Radio Prambors

1. Q. Apa saja tugas mas Evan di Prambors? A. Aku ini statusnya sebagai Brand Manager di Prambors. Kalau dulu kan istilahnya ada Program Director (PD) terus sempet jadi Content Director (CD) terus mulai di 2018 pertengahan, fungsi itu (PD dan CD) dirubah menjadi Brand Manager karena gini PD or CD itu cuma pure fokus ngurusin konten. Segala sesuatu yang terkait sama on air, plus ya ada digital sih dikit, digital dalam artian tuh mendigitalkan konten-konten on air, itu aja perbedaanya. "Terus apa sih kalo Brand Manager tuh? Apa bedanya sama PD sama CD?" akhirnya kalau dulu (era masih) PD (dan) CD ada manager promosi, dulu terpisah. Manajer promosi itu untuk handling langsung 3 brand, which is Prambors, Delta dan Bahana. Terus akhirnya di restrukturisasi, akhirnya tim promosi, kan ada manajer promosi ada tim promosinya juga kan, tim promosinya dilebur ke masing-masing station supaya lebih fokus. Kalau dulu kan timnya satu tapi ngurusin 3 terus ngasih evaluasi yang ada jadinya gak terlalu fokus nih, jadi ga lebih tajem (laporannya), kayanya perlu dipindahkan tim promosi ini ke masing-masing station. Jadi, oke ke masing-masing station, terus berarti siapa yang mengomandoinya? Akhirnya dibikinlah posisi namanya Brand Manager yang mengomandoi urusan konten, programming dan lain-lain, dan urusan promosi, marketing dan lain-lain, gitu.

2. Q. Boleh tolong diceritakan perjalanan karir mas Evan selama di Prambors? A. Oke, gue gabung di grup ini, di grup Masima itu (tahun) 2007. Tapi waktu itu karena masih kuliah di Universitas Diponegoro di Semarang, jadi waktu itu gue gabungnya di Prambors Semarang, kan ada unit di situ kan Prambors Semarang. Awalnya jadi staff programminglah, ada juga penyiar, terus bagian produksi juga. Ya kalo di non-Jakarta itu satu orang bisa ngapa-ngapainnya (tugas) lebih banyak, gitu. Akhirnya 2010 diangkat jadi Program Directornya Prambors Semarang, 2010. Jalan waktu segala macem sampai masuk di tahun 2012 akhir, kebetulan juga kuliah udah selesai terus ditanyain sama Jakarta, ibaratnya bahasa gampangnya ya 'eh kan kuliah lo udah selesai nih, lo minat balik ke Jakarta atau gak?' karena kan gue SMP (dan) SMA di Jakarta. Terus gue iyain waktu itu kan, maksudnya udah selesai kuliah juga dan GM (General Manager) di Prambors Semarang udah ngijinin juga, yaudah 2013 ke Jakarta. Istilahnya tuh ke headquarternya lah di sini, tapi waktu itu pindah kesini untuk bagian promosinya Prambors. Walaupun promosi dalam satu tim tetep ada spesifikasinya waktu pertama, untuk bagian Supervisi promotion Prambors, (tahun) 2013. Terus jalan setahun, 2014, ditawarin untuk ngisi posisi program directornya Delta, kebetulan PD Delta yang lama resign, posisinya kosong, gue ditawarkan, jadi 2014 jadilah

180

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 CD nya Delta FM Network sampai 2018 pertengahan baru istilahnya jadi Brand Manager, tapi Brand Manager untuk Delta. Terus di tahun 2018 akhir, rekanan saya si bapak Christo Putra itu resign, cabut kan, terus manajemen memutuskan untuk akhirnya 'yaudah deh lo handling 2 deh Van, untuk Prambors sama Delta'. Jadi per-Desember akhir 2018 sampai sekarang dipercaya untuk megang 2 brand, yaitu Prambors sama Delta.

3. Q. Apakah ada perubahan dari sisi pembuatan konten (selama mas Evan menjabat)? A. Pasti sih berubah banget, banget-banget. Lebih ke kalau konten siarannya sih gak jauh beda ya, ya nyiapin topik siaran, terus ngelempar topik, dapet feedback. Yang berbeda itu adalah, yang berbeda ya?, menurut gue adalah lebih ke how to communicatenya, itu satu, dan tools untuk mengkomunikasikannya itu. Dulu, orang cuma ada SMS sama telepon, yang 2007 ya, atau bahkan kalau tarik mundur lagi zaman dulu bahkan orang cuma telepon doang, atau bahkan tarik mundur lagi, orang beneran dateng (ke Prambors) atau kasih surat gitu kan. Dan juga yang membedakan itunya, pertama. Terus yang dimaksudkan toolsnya, sehingga akhirnya, radio melihat sosial media itu jadi tools tambahan untuk mereka berinteraksi karena sifatnya radio kan lebih ke engagement kan, companion dan engagement, yaa engaging si pendengar. Sosial media nih rame nih, jadi waktu itu sosial media baru hanya digunakan sebagai 'yaudah, selain lo lempar topik di siaran, lo lempar topik siaran itu lo tulis dalam bentuk Twitter, status Twitter terus orang komen, atau di Facebook. Tapi kan terus beriring waktu lagi, 'kok digital platform ini sayang ya? cuma hanya menradiokan sosial medianya. Sedangkan akhirnya diperlukan konten-konten non-radio, which is konten digital, gitu, dalam bentuk, itu masih dalam gambar, flyer, meme, video, gitu-gitu kan banyak. Itu kenapa sempet berubah dari PD jadi CD, kalo PD itu identiknya programming, pure cuma ngurusin siaran, evaluasi siaran, make sure si produser planning siarannya gimana, air-checking, produksi ya sesuatu yang sangat audio banget lah radio itu. Terus begitu jadi CD, 'oh iya sekarang ngomongnya kita konten nih', konten yang, makanya tadi gue bilang, yang membedakan adalah cara distribusinya. Berarti gak cuma radio, (tapi juga) ada konten digital, itu juga diurusin akhirnya kan. 'Oh iya bikin sesuatu konten yang pure konten digital, walaupun dia gak ada di on air', ada juga yang kaya gitu, atau ada juga yang, 'oh on air, tapi bagaimana ya mendigitalkan ini ya? dalam bentuk seperti Podcast maybe? atau dalam bentuk materi visual mungkin, kaya gitu-gitu. Baru jadilah sekarang Brand Manager yang lebih ngomongin Brandnya gitu, gak cuma ngomongin konten doang, gitu-gitu sih. Jadi kalau Program (Director) itu ngurusin program aja, kalau Content Director itu program dan digital, tapi Brand (Manager) itu keseluruhan (beserta promosi) gitu.

4. Q. Perubahan penyebutan jabatan itu berubah di tahun berapa mas? A. Kan mulai, awal tuh jadi PDnya Delta itu 2014, kan PD Delta, istilah Brand Manager tercetus di 2018 pertengahan, istilah Content Writer itu diperkenalkan di 2015 pertengahan (beserta dengan istilah Content Director). Tim promosinya akhirnya dilebur ke masing-masing station.

181

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019

5. Q. Contoh konten digital yang dibedakan (dengan analog) itu apa saja mas? A. Oke, contohnya misalnya gini, paling gampang adalah kita melihat yang langsung kelihatan berbeda ya. Ketika ngomongin radio yang sebagai audio sama audio visual, means kita pakai platform namanya YouTube, kalau misalnya Lia pernah liat YouTubenya Prambors ya itu kan ada tuh konten-konten seperti Gender War, atau Casting atau Serem Merem. Itu kan konten-konten yang dedicatednya hanya ada di online, di YouTube, di on airnya gak ada. On air hanya sebatas mempromo doang, 'eh Kawula Muda, ada episode terbaru nih dari Serem Merem, udah liat belum?' lebih ke gitu, lebih ngedirect orang untuk ngelihat. Akhirnya, kalau karena, kalau dulu waktu awal-awal banget waktu kita cuma menggunakan sosmed sebagai engagement on social media untuk ngepromote on air, tapi kalau makin kesini jadi equal (diberlakukannya antara on air dan digital), bisa dibalik juga on air ngepromote salah satu konten dari digital atau digital juga bisa ngepromote konten on air.

6. Q. Kalau untuk konten streaming perbedaannya bagaimana? A. Oke, streaming itu sebenernya kita sudah, apalagi Prambors itu dari 2002 sudah ada cuman kan ya, gatau deh mungkin si mas Malik pernah ngomong juga, 'kadang-kadang tuh Prambors tuh kadang kecepetan, marketnya belum ready, ekosistemnya belum ready'. Kita udah punya streaming dari tahun 2002 saat itu, bahkan ya itu sih lebih ke bentuk lain, apa ya dibilang amplifikasi konten iya, karena streaming kita create lebih ke kita believe bahwa kalau kita hanya bermain di FM, atau yang kita sebut terrestrial, itu kan coveragenya terbatas means maksudnya cuma ada di 9 kotanya Prambors karena terkait regulasi, izin dan segala macem ya. Kalau di Jakarta berarti ya Jakarta dan sekitarnya, kalau Semarang ya Semarang dan sekitarnya. Terus gimana kita buat expand si Prambors ini juga bisa didengarkan juga secara, product utamanya itu radio, di kota-kota yang kita gak punya terrestrialnya, gak punya FM nya, ada lah namanya streaming. Streaming kan saat itu internet belum kenceng, orang masih pake Telkom instan bahkan belum yang segampang itu. Tapi kita rasa itu (streaming) perlu, untuk mengekspansi marketnya kita. Jadi orang tuh gak cuma dengerin Prambors di 9 kota yang ada, bisa aja dia (pendengar mendengarkan dari) di Lampung, kan kita gak ada (terrestrialnya) kan, atau bahkan bisa didengerin di Papua, dari luar negeri segala macem, itu sih lebih ke fungsinya kita menstreamingkan si FM ini supaya mengekspansi market yang ada.

7. Q. Fungsi dari streaming mulai terasa (dibutuhkan) di Prambors itu dari tahun kapan mas? A. 2000-an awal sih to be honest sih waktu itu, karena kan ya gabisa bohong kan kiblat kita kan waktu itu masih Amerika, Amerika waktu itu kan 'Amerika udah mulai ada streaming nih, kita coba pelajarin aja' yaudah kita bikin gitu. Awalnya baru sebatas buat keren-kerenan, belum mikir gimana monetizenya, yaudah cuma menstreamingkan FM lo, kasarnya gitu. Begitu masuk ke 2012 or 2013, kita seriusin si streaming ini, 'jadi gimana ya cara ngomongin bisnisnya?' dalam artian

182

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 gini, kita waktu itu bahkan ngedesign iklan di FM itu akan beda sama iklan di streaming, means kita jadi punya extra slot untuk menjual slot komersialnya di streaming yang akhir-akhirnya berimbas sama other revenue buat kita kan. Karena kalau streaming awal kan cuma plek ketiplek FM cuma di streamingin aja gitu, orang bisa denger cuma lewat streaming, (jadi ada) iklan A ya iklan A, lagu A ya lagu A (yang didenger orang di streaming dan FM) gitu. Kita waktu itu punya vendor namanya Radioactive, dia basenya di Singapura, cuma ya balik lagi stating gue tadi dibilang iya Prambors tuh identiknya, Masima ya terutama, kadang suka terlalu cepat sama marketnya. Marketnya ini dalam artian si advertiser belum mau tuh 'emang iya ya pendengarnya banyak yang di streaming?' segala macem, walaupun tumbuh terus (pendengar streaming) gitu, Prambors aja sekarang udah ada di 3 juta pendengar (streaming) setiap harinya orang ngestream untuk Prambors itu. Ya kalau dibedah lagi sih memang mostly masih Jakarta dan sekitarnya dan beberapa kota lain termasuk kalau di luar dari 9 kota itu ya di Lampung, di Banjarmasin yang kita gak ada itu (FM). Tapi itunya (coveragenya) sih dapet untuk ngegedein listenership, kalau bisa dibilang 'pendengar lo, Prambors tuh berapa?' ya 9 kota plus kota-kota lainnya dari streaming, itu bisa kita klaim mereka pendengarnya Prambors. Nah itu bagian situ (coverage) kita achive, tapi bagian ngomongin akhirnya ngomongin salesnya, klien belum siap gitu, ya mereka believenya adalah 'lo radio ya radio, gitu kan, kan gue masangnya spot, gue masangnya ad libs, atau gue masangnya blocking time, gue masangnya di talk show ya' dan lain-lain, 'terus kenapa lo (Prambors) harus split antara iklan FM sama iklan streaming?', nah itu yang masih belum, ya kita masih terus berusaha untuk ngeyakinin si advertiser nih 'kita juga punya loh pendengar bahkan lebih gampang ngukurnya' digital kan lebih gampang ngukurnya (pendengar) kan, analyticnya lebih clear buat si pengiklan walaupun kita juga lagi, pengen ngeliat 'bisa gak ya si iklan streaming ini lebih targeting' kaya halnya kita digital apps, kan kalau digital kan biasanya terconnect sama Facebook, Gmail segala macem. Itu kan part of dia menyari demografi (pendengarnya) kan, dalam artian si klien A cuma mau masang iklan ini di kota ini dengan si pendengar umurnya sekian, gitu. Walaupun itu juga masih kita terus berusaha untuk ngeyakinin ke pengiklan sih karena kan kalau terrestrial kan yaudah 'oh ya pendengar lo segitu jadi diputerin (iklannya) mass' tapi kan kita mau ambil prinsip kaya digital ads, kita bisa nambahin requirenya atau gak 'gue mau masang iklan...' let's say salah satu produk FM CG gitu, sabun cuci, '..bisa gak gue masang iklan di Delta tapi gue cuma mau yang dengerin ibu-ibu', gitu itu udah kita siapin, walaupun masih developing cuman untuk tahap kita di internalnya udah ready, kita harus memperkenalkan itu ke advertiser, sebagai eksternal yaa mereka masih kaya nimbang-nimbang gitu sih. Gitu masih memilih untuk digital itu ya kalau untuk placement digital itu ya digital ads orang taunya ya (masih cuma) pasang (iklan) YouTube atau promote di Instagram, ya gitu-gitu. Itu yang kita lagi terus edukasi si advertiser.

8. Q. Jadi pengiklan masih belum percaya dengan radio streaming tapi sudah mulai percaya dengan aset digital lain gitu mas?

183

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 A. iya, akhirnya sebatas akhirnya, 'yaudah Instagram lo berapa followernya?' yaudah pasang flyer doang, padahal kita mau ngasih services lain ke pengiklan kan 'lo kalau pasang di FM mass loh, lo pasang tapi yaudah mau ada yang denger usia di bawah 18 tahun ya terserah, 18 tahun mau cewe mau cowo ya terserah, tapi ini kita ngeserve dalam bentuk streaming itu dengan kita sudah punya numbers yang cukup besar, bisa lo targeting kok, gitu, lo misalnya lo cuma ada, bahkan mentargetingnya klien-klien non 9 kota tadi' misalnya dia orang Lampung, dia ngefans banget sama Prambors gitu kan, terus dia (orang Lampung itu) punya coffee shop terus kita juga punya data 'eh pendengar streaming kita di Lampung itu sekian ratus ribu loh numbersnya', let's say gitu 'lo gamau nih iklan di sini? Tapi di streaming' nah kaya gitu-gitu tuh karena kan digital dianggap medium sendiri, radio dianggap medium sendiri. Streaming itu kan kaya irisan antara digital dan si radio sebagai mediumnya. Irisannya ini yang kita terus berusaha ngeyakinin si (pengiklan), kecuali gatau entah di masa depan semua radio FM tuh gak ada, semua adalah radio streaming, bisa jadi kan kaya gitu-gitu. Radio tetep ada cuma ya tadi yang gue bilang, jalur distribusinya udah lagi gak FM tuh orang udah gak lagi pake tuner tapi pakenya streaming karena mungkin terkait regulasi atau emang arahnya kesitu secara market atau trend pasarnya, gitu-gitu sih.

9. Q. Selain dari faktor pengiklan, kemarin pak Malik menyebutkan juga faktor pendengar yang menghambat digitalisasi di Prambors. Itu bagaimana mas? A. Oh gini, ada semacam istilahnya itu kaya secara psikologis, yang tadi gue bilang, masih menganggap 'radio itu ya medium sendiri dan digital itu medium sendiri, jangan dicampur-campur', ada nilai historikalnya sendiri lah gitu dan mungkin di situlah poinnya kenapa radio masih sedikit lebih selamat ketimbang cetak ketika arus digital sangat luar biasa gitu kan, banyak cetak yang collapse, tutup dan segala macem sedangkan radio tetep terus running karena mereka (pendengar) berpikir 'ya radio itu harus FM, tuner gitu segala macem' gitu, 'sedangkan kalau gue mau dengerin lagu dengan digital ya mending gue (dengerin) Spotify, mending buka JOOX, mending buka iTunes', itu sih kenapa tuntutannya pun masih, 'engga FM itu sebenernya, yaudah gue pengennya FM ya FM. Radio tuh ya FM', nah itu kita juga mau, karena marketnya masih perlu edukasi, balik lagi faktornya bisa banyak, bisa jadi terkait regulasi pemerintah bahwa sekarang 'oke gelombang FM' kan gini, radio itu kan dapet frekuensi itu kan sebenernya kita minjem ke pemerintah kan, once ternyata regulasinya berubah kan, kalau Lia pernah denger berita tv analog disuruh menjadi tv digital, someday? sometime? regulasinya? Mungkin radio juga 'akhirnya oke radio sekarang digital ya, gak lagi analog', bisa jadi, faktor yang mendorongnya itu banyak. Atau tuntutan market yang ada, makin banyak orang-orang yang, anggaplah misalnya siapa gitu, masih ada gitu tuner di rumahnya? Radio player? Enggak kan? Paling nggak minimum, paling di mobil, oke di mobil masih ada. Tapi kan kita gatau juga (kalau misalkan) perkembangan teknologi industri otomotif udah gak ada lagi tuh (tuner) karena orang udah, di situ (radio) tuh bukan FM, ya udah kaya lo muterin Spotify tapi di mobil, bisa jadi kan? Tapi mungkin radionya ada, radio bisa masuk kesitu (perangkat mobil) tapi dia udah gak ada lagi

184

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 pake antena terrestrial tapi bisa kesitu as long as lo ngejalurin distribusi lo dalam streaming. Jadi gitu sih faktor pendukungnya banyak, maka yang kita pikir gak ada kaitannya ternyata ada kaitannya, contohnya kaya industri otomotif kan? Bisa jadi gitu kan, atau yang si produsen para pembuat radio player udah gak ada, gitu. Akhirnya kita berkaca bahwa 'yaudah' makanya istilahnya waktu itu sempet disebut content, ya kita produce konten itu hanya, radio itu hanya salah satu jalur distribusinya, tapi konten, tapi makin ditajemin lagi, yaudah jadi dia brand. Ya itulah Prambors, Prambors itu (brand) anak muda, Prambors itu adalah sosial, sorry, Prambors itu hype, Prambors itu Fun dan segala macem. Itu asosiasi Prambors as a brand, ya kalo, sehingga kalau dia udah sebagai brand, ya itu distribusinya ada, ini namanya radio Prambors, ini ada namanya digital platformnya Prambors istilahnya Prambors Channel, eh Prambors Channel udah ada. Secara visualnya kalau dibikin tv tuh Prambors Channel tuh gimana? Oh ntar Prambors misalnya, let's say, Prambors dulu kan punya clothing atau ngomongin soal merchandise ada sendiri, tapi brandnya ya itu (Prambors) nanti diasosiasikannya kaya gitu, jadi kita, makanya akhirnya kenapa ada istilah Brand Manager itu, kita pelan-pelan mau ke arah situ tuh, gitu. Karena kalau enggak, ya kalau dibilang mati sih enggak (karena Spotify dan lain-lain), karena ya balik lagi masih ada orang yang menanggap 'ya radio itu FM' gitu ada nilai historikalnya sendiri, cuma disitu-situ aja tuh gak bakalan pendengar radio secara umum tuh langsung melejit tiba-tiba (kalau terrestrial), tapi statis aja gitu, tetep ada tapi ya disitu-situ aja. Nah kalau kita mau, masih berpikir kita ngelolanya masih radio, ya segitu doang sehingga, ya balik lagi ini kan ngomongin bisnis kan, biar gimana pun ya gimana ya, mindset kita tuh kita ubah 'engga kita menaro, menempatkan Prambors itu sebagai brand', gitu. Sebagai brand yang nanti bisa diasosiasikan macem-macem, Prambors kalau digital tuh apa? Prambors kalau dia bentuknya tv tuh apa? Prambors kalau dia bentuknya sebagai apparel tuh apa? Tapi secara brand dia diasosiasikannya sama, buat anak muda gitu sih.

10. Q. Bagaimana upaya Prambors dalam menangani pemikiran pengiklan dan pendengar yang masih terpaku pada analog? A. Jadi, ya kita sendirinya yang harus expand ke market yang lain sih. Dalam artian kan kaya, contohnya gini salah satu yang paling aman adalah kita mulai memisahkan konten digital itu gak plek sama dengan (konten) yang disiaran, kalau sama dengan yang disiaran itu kan kayanya lo, orang masih mengasosiasikan lo sebagai 'ya lo radio', pasti kan harusnya dibedain. Atau lo kaya si, let's say kita kan punya Prambors Channel sekarang. Kita memvisualisasikan siaran dalam bentuk visual, dulu sih sempet ada istilahnya selain audio streaming itu ada video streaming, sempet ngetrend di 2008/2009 di mana saat itu orang bisa melihat penyiarnya siaran, tapi treatmentnya waktu itu ya sebatas lo CCTV di studio lo streamingin. Mau itu lagi lagu, mau itu penyiarnya lagi ngangkat kaki, mau penyiarnya lagi tidur, penyiarnya lagi telat, apa segala macem itu ngestreamingin kaya CCTV aja. Terus masuk ke, namanya juga teknologi ya, makin kesini ada lah ya nama teknologi buat lo bisa memvisualkan si radio tapi dengan cara yang lebih elegan, eh tapi bukan yang lebih elegan sih, lebih enak untuk dinikmatin secara visual. Begitu dia ngomong baru kamera on

185

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 untuk penyiar lagi ngomong, begitu dia lagu, dia (visual) berubah jadi video klip gitu, begitu dia iklan, biasa kita ngedenger iklan, kita misalnya liat di appsnya kita gitu, dia (iklan) berubah dalam bentuk, ya kalau biasanya spot, ini dalam bentuk TVC gitu misalnya. Kaya gitu-gitu sih, itu salah satu yang, ya memang gak mudah sih untuk meyakinkan itu ke market dalam artian baik itu pendengar maupun ke pengiklan (ini untuk Prambors Channel).

11. Q. Sosmed mulai aktif digunakan itu mulai dari tahun berapa mas? A. Waduh persisnya itu gue lupa pokoknya se, masih di tahun yang sama saat Twitter itu baru masuk Indonesia, saat dimulai Facebook itu, ya karena kan ketika itu lagi nongol dan hype, ya Prambors ikutan. Facebook nongol 'eh apa nih Facebook?', ya belum tau nih gimana cara mengoptimize ya even memonetizenya, gitu aja yang penting bikin dulu. Prinsipnya bahkan gini 'tiap kali ada sosmed baru yang penting kita bikin accountnya dulu deh, biar orang juga ga ngeklaim' karena ada kekhawatiran gitu kan misalkan, karena kita sempet miss waktu era website. Kita tuh pengennya tuh www.prambors.com, sayangnya domainnya itu dibeli orang. Udah dihak milikin sama orang lain, makanya kenapa mau gak mau sekarang itu website masih www.pramborsfm.com. Nah itu kan gak sejalan sama visi kita mau meninggalkan istilah FM atau radio itu karena kita mau Prambors itu as a brand. Itu yang lagi kita usahain banget. Kebetulan yang punya domainnya (prambors.com) kita udah ketemu cuma masih, antara dia sok jual mahal untuk ngelepasnya, dia sebenarnya pendengarnya Prambors. Domainnya itu gak diapa- apain juga, kalau buka prambors.com itu gabisa dibuka. Entah dia gamau ngasih atau dia bargain untuk harga mungkin kan, kan ada juga kaya gitu. Itu sih, makanya ya salah satunya belajar dari website means juga tarik mundurnya jauh jadi akhirnya tiap kali sosmed nongol, mau itu nanti hype atau engga kan kita gatau kan, jadi ya kita bikin aja dulu, gitu.

12. Q. Apakah ada perbedaan dari segi pembuatan konten untuk aset digital (Twitter, Facebook, Instagram) Prambors? A. Gini, waktu, kan kita tuh per enam bulan sekali selalu ada survey besar, sejak 2012 lah. Inget banget gue waktu 2012, 2013, even 2014 kayanya masih deh, 'sosial media apa sih yang lo pake secara rutin?' gitu, itu (jawabannya) masih Twitter. Instagram masih kecil kan numbersnya, sampai di 2014 tuh, Facebook masih nomor kedua tuh. Sedikit berbeda ketika, waktu gue liat data di Delta waktu itu mereka lebih milih Facebook rather than Twitter, Instagram malah 'apaan tuh?' (survey Delta) gitu. Persisnya itu baru mulai Instagram nih, jadi sesuatu yang hype nih buat anak muda kan. Ketika kita survey lagi, Instagram masih pilihan nomor 1, sempet nyelip Snapchat waktu itu, walaupun terakhir kita udah nggak. Pokoknya semenjak Instagram merilis IG Story itu Snapchat jadi sedikit berkurang, tapi sekarang tuh sosial media yang selalu dipake (di) data terakhir kita ya di November 2018, terakhir kita bikin survey, Instagram itu ya 2 tahun terakhirlah (masih nomor 1). Entah apa lagi ya ntar bisa berubah lagi, nah terus pernyataan lo 'itu beda gak sih antara ketiga itu (kontennya)?', di awal mulanya sama ya, balik lagi karena waktu itu kan masih sebatas kita content director kan, atau bahkan waktu itu masih program director, (dulu fungsinya)

186

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 hanya sebatas mendigitalkan radio gitu, let's say paling gampang topik siaran, yaudah topiknya di Twitter, di Facebook di Instagram, orang komen, itu (sosmed) hanya sebagai tools untuk kita engagement seperti yang tadi gue bilang. Makin kesini kita lihat 'engga kita harus bikin differentiating yang beda juga gitu' that's why timbullah namanya content director, istilah content director. Karena lo perlu juga konten yang berdiri sendiri-sendiri, gitu gak mesti sama dengan si radionya. Contoh paling gampang kan tadi gue bilang YouTube, even Instagram, Twitter sama Facebook pun makin kesini itu ada yang sama tapi juga banyak yang beda (kontennya) karena behaviournya pengguna platform itu juga berbeda gitu. Tapi sekarang Twitter, iya, sempet down, ada sedikit balik lagi sekarang pengguna Twitter. Tapi kan Instagram karena mediumnya lebih ke visual, ya balik lagi kita modalnya bikin, let's say paling gampang kalau lo perhatiin di Prambors itu setiap hari program unggulan kita kan pagi sama sore, istilah kita sebutnya prime timenya kita kan Desta & Gina sama Sunset Trip. Tiap hari tuh kita produce konten kedua mereka (di Instagram), mau sama ataupun engga sama siaran mereka hari itu, silahkan aja. Atau sesuatu yang lagi viral mereka bikin versinya mereka, bisa juga. Tapi gak mesti itu plek ketiplek sama dengan yang disiaran. Terus 'apakah itu ada di Twitter?' kayanya kalau kaya gitu gak bakal pas sih di Twitter, Twitter lain lagi, Twitter bisa kita main polling atau kita update status. To be honest kita sekarang ini tuh lebih banyak, setengah tahun terakhir tuh lebih banyak kita ke, fokusin ke Instagram rather than Twitter sama Facebook sih.

13. Q. Kalau untuk Facebook sendiri itu kontennya bagaimana mas? A. Dua tahun terakhir sih gaada yang dedicated to be honest. Ya karena balik lagi ke survey kita, Facebook itu ada di peringkat ke tiga, ke empat, bahkan sempet kegeser sama Snapchat kan. Jadi kita gak terlalu bikin dedicated konten banget di Facebook sih gak ada. Jadi lebih fokus di Instagram, Twitter pun juga gak banyak kayanya, lebih masih, Twitter sebatas media yang kita gunakan untuk engagement, ngelempar topik, polling segala macem. Itu pun aja masih kita harus bagi sama Line dan WhatsApp sebagai chat messenger.

14. Q. Jadi konten di Twitter itu gak jauh berbeda dengan konten di siaran gitu mas? A. Iya karena kita memperlakukannya lebih ke medium kita untuk berinteraksi, karena Twitter itu cepet yah. Facebook sama Instagram kan lebih lama ya, walaupun mereka lebih komen. Jadi lebih kita menggunakan medium Twitter include chat messenger sebagai medium kita interaksi sama pendengar terkait siaran yang ada.

15. Q. Kalau chat messenger itu bagaimana interaksinya mas? A. Ada dua hal dalam artian ketika penyiar ngelempar topik itu 'yaudah lo bisa telepon kesini atau bales di Linenya kita' gitu, kan kebetulan Prambors punya official account di Line, kalau di WhatsApp memang belum sih karena kalau di WhatsApp belum ada istilah official account. Walaupun kita bisa aja bikin ke WhatsApp bisnis, bisa, cuma belum, ya baru sebatas menggunakan itu sebagai medium interaksi. Oh iya gue baru inget, bahkan gue inget dulu tuh belum ada,

187

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 sebelum ada chat messenger dalam artian WhatsApp sama Line, tarik mundur itu BBM bahkan Blackberry Messenger, terus tarik mundur lagi sempet Yahoo Messenger, ya itu medium interaksi kita. Itu bagian upaya kita untuk catch up sama dunia digital sih karena mungkin kalo waktu itu, kalo SMS kan kepotong Rp. 300 atau Rp. 500, terus kalo nelfon 'wah kepotong pulsa', gitu kan. Yahoo? YM lebih murah nih, mereka (pendengar) tetep pengen engagement tapi juga mikir-mikir, lumayan kan 300 atau 500 perak buat mereka (pendengar) untuk sekali SMS.

16. Q. Aset digital mana yang paling interaktif? A. Interaktif? To be honest, Instagram tetep karena Instagram pun kita posting dengan metode engagement, jadi gini, kita gak mau terperangkap 'wah jumlah likesnya banyak, jumlah followersnya tinggi', pertama itu kita gak believe. Misalkan let's say ada follower, akun A gitu, jumlah followersnya tinggi, tapi enggak engagement dalam artian orang cuma ngelike doang. Dia suka sih kontennya, misalnya konten foto-foto, sedangkan radio itu kan kaya ngobrol kan perlu engagement. Jadi, 'kayanya kita arahnya gak kesitu deh kita sesuatu yang kita posting, sesuatu yang visualnya juga menarik tapi juga bisa engagement dalam artian paling ngga ngakalinnya dari sisi captionnya gitu, captionnya lebih ke kalimat tanya untuk abis itu kita balesin komen-komen, orang komen nanti kita balesin komen. Jadi, dan ya itu, walaupun gue bilang Instagram nomor 1 sama Twitter nomor 2, tapi gap antara Instagram ke Twitter itu jauh. Jadi Twitter kita tuh sebatas dimaintain, tapi kalo dibilang interaktif masih lebih, di sosial media ya, Instagram tapi kalau compare chat messenger, WA apa Line, Line to be honest kalau buat anak muda. Twitter interaksinya cepet, betul, cuma kita berpatokan sama, setiap kali survey yang kita lakukan aja sih gitu untuk anak muda Twitter masih digunakan tapi kita mau pilih buat si Instagram karena lebih bisa tervisualisasikan lebih bagus lah.

17. Q. Sebenarnya mas, masalah Indonesia digitalnya belum bisa maju itu karena apa sih mas? A. Digital kalau overall? Kalau overall sih gue kurang tahu ya. Kalau radionya? Gini, ya itu tadi faktornya kan banyak tuh, termasuk gue juga berfikirnya gini, 'Prambors tuh gak mungkin berdiri sendiri. Perlu industrinya bahkan, industri radionya, kompakan juga. Terus kita mulai streaming yuk' karena gue inget banget, karena gini apalagi makin, kebetulan bulan April itu ada Munas, Musyawarah Nasional, PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia), itu adalah asosiasi radio-radio swasta, salah satu isu yang diangkat itu, yang mau diangkat adalah, kita di Prambors dari PD-DKI nya, 'yuk kita mulai membenahi industri ini kalau enggak yaudah gini-gini aja' gitu, dalam artian mulai mengoptimize digital, 'apakah nanti ada radio 2.0? 3.0? 4.0?' itu seperti apa, gitu, industrinya. Ya makanya kalau Prambors dan grup ini (Masima) kesana (digital), yang lainnya belum, makanya si pengiklan juga 'ya gimana orang si industri lo masih pada jualannya terrestrial' gitu-gitu sih. Kalau mau ya seiring berjalannya bareng, sama-sama, gitu sih.

188

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 18. Q. Kemarin pak Malik sempat membahas mengenai revenue digital (streaming khususnya) di Indonesia masih belum jelas sehingga pengiklan juga masih ragu untuk beralih ke digital. A. Karena itu tadi, karena istilahnya gini, itu kan ADEX, gue lupa panjangannya apa, tapi itu ADEX itu angka tahunan setiap, jadi gini ADEX, nanti lo googling aja A-D-E-X, dia setiap tahun itu ada angka total belanja iklan dalam satu tahun, total media, eh total berapa triliun sih uang yang berputar dalam tahun itu untuk seluruh brand itu beriklan di Indonesia, biasanya ADEX soalnya coveragenya itu nasional. Proposi radio aja, let's say, ADEX 2018, ini bukan angka real ya, 300 Triliun, let's say, tv kebagian jatah 60%, OOH sebagai medium kedua yang masih juga orang pake, itu 20%, OOH itu Billboard, Videotron dan lain-lain, terus digital, dalam artian digital itu masih abu-abu, karena kan digital sendiri tuh memang medium yang dalamnya, rinciannya lebih banyak. Maksudnya kan kalau tv itu kan tv gitu, OOH ya udah itu Billboard atau dia Videotron atau apa, tapi digital itu kan mecahinnya banyak banget lagi kan. Tapi anggaplah misalnya kebagiannya juga 20% gitu. Radio itu, dapet 5% aja udah syukur, gitu. Gimana mau radio streaming? Balik lagi tadi kan, radio FM nya aja yang udah, kasarnya aja untuk FM, industri radio yang udah settle bertahun-tahun dia dapet kue iklannya cuma segitu, 'terus lo mau bikin streaming? Terus lo sendirian industri lo belum kesana? Ya belum iklan orang juga' (pandangan pengiklan untuk Prambors), gitu sih. Makanya kalau kita harus maksain radio streaming untuk jualan? Kayanya juga kita kok effort banget ya? yaudah akhirnya balik lagi, memposisikan Prambors itu sebagai brand. Kita bisa masuk ke digital akhirnya, ngambil kuenya digital karena kita bawa brand Pramborsnya, tapi di Prambors di digital medium itu kaya apa? Gak tau, yang penting dapet kue iklannya.

19. Q. Berarti kalau dari segi konten sendiri, streaming sama terrestrial itu masih sama? A. Maksudnya semua industri, semua radio kan pasti juga sekarang, kalau Jakarta sih pasti semua radio tuh memang, radio-radio besar semuanya punya streaming. Biasanya ditanemin di websitenya sama di appsnya, sampai detik ini, to be honest (kontennya) masih sama karena mereka masih hanya menggunakan streaming itu sebagai perpanjangan tangannya aja, pengennya kan (beda), harusnya beda gitu, karena kalo engga? Apa bedanya sama lo dengerin FM karena pendengar FM sama pendengar streaming itu masih di, ya gitu, ibaratnya tuh 'added valuenya apa ya gue dengerin streaming sama di FM yang kontennya sama-sama aja', karena, atau ketika dia mendengarkan streaming sama FM (kontennya) beda sepenuhnya juga 'apakah itu udah pas belum ya?' Sebenarnya kita juga masih ngukur, kalau beda, jadi gini, menanggap streaming itu sebagai perpanjangan tangan juga gak salah, gitu kan, karena tujuannya mau expand market yang ada. Cuma ekosistemnya masih dengerin FM nih, mereka ke arah sananya (streaming) ada sih cuman paling cuma ya, yang menikmatinnya masih tertentu terus kalau kita langsung bikin beda yang streaming, akan ngomong yang beda nih, mengasosiasikannya beda sama si yang dengerin FM, jadi kita mau, lagi masih kaya, 'seberapa banyak ya..', contoh kasus gini, Prambors Channel. Prambors Channel kan kalau kita lihat, (kontennya) ada yang sama persis, ada yang beda,

189

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 misalnya, di terrestrial kita gak punya sih, di Prambors Channel tuh kita punya (program) K-Pop Chart, jadi ada program chart K-pop, di situ. Itu secara jam (penayangannya) dia beda, karena balik lagi kalau ngomongin digital dia bisa ada perbedaan kan? Maksudnya gini, 'oke jam Sunset Trip dari jam 4 (sore) sampai jam 6 (sore)', padahal di FM nya itu jam 4 (sore) sampai jam 8 (malam), cuman yang kita tahu tuh untuk, jadi kita ngeliat traffic itu data trend, bukan listenership ya, trend konsumer untuk paid tv karena konsumer itu kan, jadi gini, kita gak bisa ngukur dari tv terrestrial tapi kita bisa ngukur dari trend paid tv secara grafis, dia justru makin tinggi tuh sore ke malem. Kalau radio itu identik dengan, kaya panah kuda, cuma di pagi sama sore yang tinggi (trafficnya). Tapi kalau paid tv dalam artian si Prambors Channel ini lah, karena Prambors Channel itu ada di Usee TV, dia trendnya begini (meningkat di akhir), justru pagi ke sorenya kecil (trafficnya). Jadi kan kita perlu treatment yang berbeda, ada yang sama ada yang dibedain. Di bagian tertentu kita sama persis, kaya di on air, dalam artian hanya memvisualisasikan, tapi ada juga 'sayang nih kalau kita samain terus, kita bikin apa kek atau gak bisa diatur di jam yang lemah, kita mau kasih apa?' gitu, belum tentu kan treatmentnya sama.

20. Q. Perbedaannya (treatment) itu apa mas? A. Ya salah satunya misalnya si K-Pop Chart itu kita gak ada di FM tapi di Prambors Channel kita punya. Dia setiap hari itu jam, gue gak hafal sih karena Prambors Channel itu ada timnya sendiri, kalau gak salah 6 (sore) ke 7 (malem), kalau gak salah ya. Pokoknya dia, pokoknya Sunset Tripnya itu cuma 2 jam terus setelahnya K-Pop Chart, itu salah satunya. Ada yang lain-lain programnya Prambors Channel yang gak ada di FM, Indie Chart ada sendiri juga, padahal di FM kita gak ada Indie Chart. Terus punya juga program Airy's 90's lagu (tahun) 80-90an padahal kalau di FM nya kan gak mungkin dong, kita kan harus catch up sama target marketnya anak muda. Tapi satu sisi, ya big takesnya kan ya Prambors itu bisa dibilang legend orang mau seumuran 80-90 dia inget aja waktu mudanya 'gue dengerin Prambors kok', makanya ada program Airy's 90's. Ada kok perbedaannya. Tapi itu, kita masih nakar mau sebanyak apa ya proporsi konten yang sama dengan radio sama yang pure atau dedicated untuk program si Prambors Channelnya itu sendiri.

21. Q. Apa perbedaan digital audio broadcasting (high-definition radio) dengan digital satellite radio? A. To be honest gue ga tau, daripada gue sotoy (sok tahu) jawabnya. Digital audio broadcasting sama digital satellite radio.. Nih cuma, kalau penganalogiannya adalah itu kan sama aja kaya telepon satelit, maksudnya gini, radio itu kan cara dia mendistribusikan, FM ya, adalah dengan yang namanya pake pemancar. Dari dari sini, studio kita, nembak ke pemancar kita. Pemancarnya Prambors kebetulan ada di gedung Indosiar, pemancar, nembak ke pemancar, (kemudian) pemancar ini akan nyebarin. Tapi coveragenya ya udah, karena si pemancar itu dia modelnya coveragenya (seperti) lingkaran, tergantung dari seberapa canggih antena lo (dan) seberapa besar coverage antena lo, 'berapa kilometer?', semakin canggih sih, gue gak bilang mahal, semakin canggih antenanya, ya dia

190

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 coveragenya bisa semakin jauh tuh even sampe ke Cikampek mungkin. Tapi ada juga yang coveragenya cuma 5 km doang. Nah mungkin, ni mungkin ya, karena gue menganalogikan mirip sama telepon terrestrial, yang pake BTS (Base Transceiver System), telepon satelit. Kalau satelit, dia nembaknya gak ke pemancar tapi (ke) satelit. Jadi jalur distribusinya si radio ini bisa dinikmatin ya selama, satelit kan untuk coverage semua dunia, bisa dinikmatin di mana pun. Cuman setau gue itu mahal karena lo harus minjem satelit, that's why ada digital audio broadcasting karena itu dari jalur internet. Jadi kalau digital satellite radio, dia (pemancar) nembaknya ke atas ke satelit baru dipancarin, (kalau) digital audio broadcasting dia menggunakan jalur internet. Mungkin, mungkin itu ya, mungkin sih kaya streaming gitu (digital audio broadcasting). 'Ngapain gue harus mahal- malah bayar ke, nyewa satelit?', ya kalau pun bikin tuh gak mungkin (karena pasti) mahal banget itu satelit, pake spacenya satelit. Padahal mah tujuannya mungkin sama (antara audio broadcasting dengan satellite radio), untuk memperluas coverage siaran lo, atau tadi, mengexpand target market. Mungkin, mungkin itu ya.

22. Q. Bagaimana cara tahu pendengar Prambors berasal dari kota lain selain 9 kota terrestrial? A. Oh karena gini di streaming kita itu kan ada analyticnya kan karena analyticnya itu, kenapa kalau si streamingnya Prambors itu konek ke Facebook. Itu sebenernya kita numpang ke Facebook, 'biar apa sih?', sebenernya pengen tahu aja sih databasenya mereka. Kan kalau kita buka akun Facebook, eh kita bikin akun Facebook kan kita bilang kita ada di mana kan, kota apa. Dengan kata lain kita kan punya data analyticnya kan, 'oh si Lia nih adalah listener dari Singapura', jadi bisa tau gitu. 'Oh jadi si pendengar Prambors tuh streaming kesebarnya di mana aja sih', akhirnya selain di 9 kota yang pasti udah ada, belum di kota-kota lainnya ada (pendengar).

23. Q. Apa tujuan awal Prambors berekspansi ke 9 kota? A. Berekspansi ke 9 kota? Gimananya? Gue gak tahu mas Malik pernah ngomong, eh udah ngomong ini ke lo apa engga, tapi, ini pun juga sebenarnya kan model bercandaan dia atau engga. 'Waktu, apa sih, Prambors expand ke kota-kota lain mas?', 'ya supaya karyawannya banyak, terus supaya kalau gue meninggal banyak yang ngelayat'. Model mas Malik kan begitu (suka bercanda), ngomong ceplas ceplos. Tapi dia gini, ya balik lagi ujung-ujungnya sih ngomongin bisnis kan karena kalo, kenapa model bisnisnya MRN, Masima itu adalah banyak radio berjaringan, supaya kita berupaya mau mengangkatkan revenue iklan kita sih, salah satunya. Let's say gini, (kita) dateng ke klien, terus lo cuma ada di Jakarta doang, yaudah lo cuma dapet iklan, karena coveragenya cuma Jakarta doang, ya lo dikasih placement duit untuk Jakarta doang. Tapi (kalau) lo dateng (ke pengiklan), let's say, 'gue punya 9 station nih terus numbersnya atau pendengarnya di masing-masing kota juga bagus' gitu kan, walaupun kita gak bilangin nomor 1 tapi baguslah dan sesuai dengan target market yang ada. Jadinya satu pintu doang kan (Prambors saja), tapi kita dapet duitnya (untuk 9 kota).

191

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 Opportunity yang tadinya kita dapet di kota lain karena dia placementnya ke radio lokal, jadi kita bisa dapet (karena berjaringan), gitu.

24. Q. Bagaimana cara untuk menghubungkan dari satu kota ke kota lain (dari 9 kota yang ada)? A. Oke, interaksinya kan, mereka sebenernya gini, tetap kita rasa perlu akunnya sendiri-sendiri. Dalam artian, kalau di Twitter, ya Twitter Prambors Jakarta, ada Twitter Prambors Medan, ya sendiri-sendiri. Karena, ya waktu itu kan kita lebih ke, ya ini gatau bener atau engga, lebih ke. kalau kita tumpuk cuma dalam satu akun, 'sanggup gak ya kita ngehandling itu?'. Sedangkan kan disiarannya Prambors, ada yang nasional which is relay, pagi, sore sama malem. Tapi kan siang engga, weekendnya engga (ada program yang berbeda), yang tengah malem juga engga. Masing-masing kota punya interaksinya sendiri kan. Kebayang kalau cuma misalkan di sini (Prambors) satu akun Twitter, okelah kalo di jam relay atau nasional si Desta ngomong A di Jakarta juga ngomong A di kota-kota lainnya. Itu masih lumayan gampang. Tapi begitu udah masuk ke jam lokal time, penyiar A di Jakarta ngelempar topik A, penyiar B di kota Bandung ngelempar topik B (dan) sama-sama ngajak 'ayo mention ke Twitternya Prambors dong', gitu. Wah itu kaya 'punya siapa, punya siapa nih?' (yang mention dari mana untuk ke Prambors mana), gitu. Walaupun kan bisa juga kan dia reply aja jadi bisa ketauan tracknya. Akhirnya kayanya kurang bagus juga buat kita, waktu itu kita melihatnya gitu. Terus belum lagi ada kepentingan, kan Prambors pengen deket sama anak SMA atau sama anak kuliah kan, atau sama anak event-event lah. Kalau dalam satu hari, eh maksudnya juga ada, misalnya ada pensi SMA 3 Jakarta sama SMA 3 Bandung (dan) sama-sama media partnernya Prambors nih. Itu juga akan kaya, terlalu banyak distraction aja sih di timeline, jadi ini, akhirnya kita coba pisahin aja. Ya Prambors, ya Jakarta (akunnya) Jakarta, Bandung ya (akunnya) Bandung, kota lain ya kota lain. Facebook pun juga hampir sama, WhatsApp pun sama (perlakuannya seperti di atas) dan Line pun sama, Instagram juga sama. Akhirnya, itu plus (dan) minus sih yang kita coba pilih walaupun kalau kita milih 'eh lumayan juga jadi satu kan? Yaudah numpuk ke satu core, jadi forumnya bisa lebih gede dong?' pendengar kota lain juga follow ke Prambors aja gitu. Cuma balik lagi karena kan kita juga mentreat sosial media itu kan juga bagian dari medium untuk kita engagement sama pendengar. Dan kita belum mampu untuk punya tim yang, 'oh lo nih khusus..', walaupun misalnya di @Prambors, 'lo akan balesin orang-orang di Medan ya', (kalau seperti itu) gak mampu kita. Karena kita gak ada di tempat itu secara real time, itu sih.

25. Q. Kalau untuk distribusinya bagaimana? (lanjutan no. 24) A. Oke, distribusi itu, karena gini, kan siarannya, siaran itu kita membaginya (jadi) siaran nasional dan siaran lokal. Kalau siaran lokal ya sebenernya sama kaya yang tadi gue jelasin di tadi gitu, dari studio nembak ke pemancar (terus) pemancar nyebarin. Begitu pun ke kota lain, kan kota-kota lain juga ada studionya sendiri, ada pemancarnya sendiri kan. Ya Bandung nembak ke pemancarnya Bandung, karena gini, gak semua radio itu pemancar sama radionya itu dalam satu area karena terkait topologinya atau segala macemnya lah. Itu yang kita bilang

192

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 local distributionnya. 'Terus gimana dong kalo yang siaran relay?' gitu, kita pernah kok, akhirnya gue inget si radio satellite broadcasting, karena kita sempet memanfaatkan itu (radio satelit) untuk siaran nasionalnya kita, relanya. Gimana ya cara si, waktu itu kan masih jamannya 'Putuss - Dagienkz dan Desta', nasional. 'Gimana nih cara kita menasionalkan ini?' sedangkan pemancar kan punya limitation, batasan kan cuma coverage sekian. Apalagi ada regulasi, lo ga bisa satu pemancar dengan frekuensi 102.2 FM itu langsung coveragenya satu Indonesia karena gak mungkin itu FM (dengan frekuensi yang sama) karena setiap provinsi punya regulasi sendiri-sendiri. Punya kavlingnya sendiri-sendiri, kasarannya, Jakarta lo dapeting (frekuensinya) di jatah di 102.2 ya, di Bandung gak 102.2 (tapi) di frekuensi 99.4 misalnya, atau di kota lain di Semarang dapetnya di, jadi kan gabisa kan kita bikin satu pemancar gede dengan coverage satu Indonesia (itu) gak mungkin, itu karena lo, bisa jadi kan, bukan bisa jadi sih, 102.2 nya di Makassar itu radio lain. Yang ada kan gak mungkin (pake satelig). Sempet kita pake satelit akhirnya kan, cuma mahal.

26. Q. Itu tahun berapa mas? (lanjutan no. 25) A. Wah persisnya sih bahkan waktu 2007 gue gabung aja itu udah pake sih, persisnya gue gak tahu. Waktu itu gue inget banget, relay itu pake satelit. Jadi kaya kita, either kita nebeng ke jalurnya punyanya satelitnya Indo Vision atau mana gitu, gitu. Karena kan kalo lo, gue gatau lo, kalau gue kan berlangganannya Indo Vision kan juga ada radionya gitu kan. Jadi si radionya itu dia (Indo Vision) masukin ke processor (terus) dia pancarin ke lokalnya, gitu. Itu mahal banget, itu satu. Kedua, kelemahannya satelit itu salah satunya adalah faktor cuaca. Kalau misalkan mendung segala macem itu (siarannya) bisa putus-putus tuh. Tapi kalau internet memang dulu di awal-awal buffering segala macem, tapi itu kan beriring berjalannya teknologi sekarang kan buffering udah sangat jarang kan, dulu kalo siaran putus-putus segala macem. Akhirnya kita pakelah si jalur streaming atau istilahnya tuh ya link streaming lah, tapi link streaming internal, agak dibedain tuh karena kalo kita pake link streaming yang dipublish, once kenapa-napa, jalur distribusi streaming kita yang ke antar unit itu bisa keganggu juga kan, jadi biasa kita akan bedain apa istilahnya kaya IP nya beda lah, gitu. Yang buat itu, misalnya kita relay Jakarta nih sebagai master stationnya, Desta Gina in the Morning, 'gimana cara dia bisa terdengar, let's say, di Bandung? atau di kota lainnya?', ada jalur distribusi streaming lokal kita ke Prambors Bandung, masuk ke studionya kan. Studio itu (nanti) mancarin ke pemancarnya, gitu. Jadi kurang lebih sih seperti itu.

27. Q. Berarti peralihan dari satelit ke audio broadcasting ini itu tahun berapa mas? A. Beralih persis, nah problemnya itu yaa masih 2007 itu ya masih ijo banget, seinget gue mulai pake istilahnya shoutcast segala macem itu di 2008 or 2009 karena gue ingetnya waktu pas 2008 atau 2009 itu kantor Prambors Semarang itu pindah, disaat itu gue tidak pernah lagi melihat si tv satelit di kantor.

193

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 28. Q. Apakah ada perbedaan (dari sisi untuk menarik pendengar) antara terrestrial, streaming dan aset digital? A. Cara nariknya? To be honest harusnya ada, tapi saat ini kita masih memperlakukannya sih sama, gitu. Dalam artian, caranya seperti apa? Ya menggunakan other media yang ada karena kan balik lagi kita akhirnya mau 'yang mau lo promosiin tuh apanya? Prambors radionya? Atau Prambors as a brand Pramborsnya?', dari situ kita belajar 'oh kalo kita promote Prambors radio, Prambors FM? Jadi gak nyambung' gitu. Sedangkan lo mau bikin Prambors versi digital platform tuh lain lagi, yaudah kita tarik ke atasnya lagi (jadi) Prambors as a brandnya. Jadi lebih make sense. Prambors as a brand tuh ini, dia ada di sini, di sini, di sini (beda platform). Jadi, tapi, masih di titik yang baru sebatas menggunakan other media dalam artian, menggunakan medium-medium layaknya, oh misalnya, sekarang sih udah gak terlalu banyak, kalau dulu kan masih lumayan tuh masih ada majalah-majalah anak muda kan, ya Gogirl! lah atau Hai, Rolling Stone dan lain-lain itu kan sebagai other media untuk kita mempromokan itu. Terus mulai masuk ke digital, istilahnya tuh kaya masang banner di Detik.com, Kaskus, kaya portal lah, website lain istilahnya gitu. Terus masang juga misalnya ke Billboard itu kita juga pernah pasang di Billboard dan kaya sekarang-sekarang tuh karena banyaknya orang, sosial media dan ada digital ads, ya itu juga (lewat) digital ads.

29. Q. Bila Prambors menaruh iklan di media lain, bagaimana proses kerjasamanya? A. Sebenernya media itu kan gak punya duit untuk masang ke medium lainnya dan kita media sama media, kecuali kita sebagai produk gitu, kita placement. That's why kalau media ke media (itu) biasanya dalam bentuk partnership atau kerjasama full barter, ya kita pasang ke, atau kita menggunakan pihak ketiga untuk, atau minimal semi barter lah terus setengahnya kita bayarkan, let's say yang kita pasang Billboard 'oh kita deal kerjasama cuman lo (Prambors) yang bayar pajaknya ya', tetep ada uang yang keluar cuman gak sebanyak kalo kita placement. Kaya sekarang aja kita kan juga pasang di semua, gue gatau lo pernah naik commuter line gak sih. Commuter line itu kan ada gerbong-gerbong yang ada screennya, itu ada pengelolanya tuh, maksudnya ada divisi sendiri. Ya kita bekerja sama dengan mereka, partnership, jadi ada iklannya Prambors juga di situ. Cuma balik lagi yang gue bilang, haknya tuh akhirnya yang kita promote adalah haknya masih Prambors FM yang belum Prambors as a brand.

30. Q. Di luar yang disebutkan di no. 29, cara apa lagi yang digunakan Prambors untuk menarik pendengar? A. Kan, gini-gini, kita itu berpegangan sama istilahnya, gue selalu diajarin kalo dulu tuh namanya Multiple O. Kalau mau dikecilin lagi jadi Triple O deh (yaitu) On air, Online ya si digital itu, sama On ground activity atau Off air. Jadi menjawab pertanyaan lo selain digital sama other media (penjelasan no. 28), ya kita melakukan on ground activity atau event, ya banyak, macem-macem, maksud, bukan banyak sih, macem-macem. Either kita bikin event musik Mangkal Bareng Prambors misalnya atau kita mau bikin nih nanti di pertengahan

194

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 tahun (namanya) Youth Fest, kita mau claiming the biggest karaoke land in Indonesia. Ya on ground activity lah atau kita dateng ke event-event yang sudah existing gitu, kita bikin booth, buka booth di situ. Ya kaya gitu sih, selayaknya sebuah brand lah.

31. Q. Apakah penyiar juga termasuk sarana untuk menarik pendengar juga gak sih mas? A. Nah ini menariknya adalah bisa dibaca 2 sisi, gini, penyiar itu juga tumbuh dengan nama besarnya radionya, dan sebaliknya. From, let's say, from nothing to something. Dari yang gak dikenal jadi dikenal melalui si radionya itu sendiri. Apakah mereka membawa massanya? Bisa jadi, gitu kan karena penyiar now gitu kan, itu kan gak hanya sebagai penyiar gak kaya dulu gitu. Dia juga jadi mainan sosial media, dia create konten yang buat dianya sendiri personal brandnya dia, dia bikin channel YouTube mungkin atau dia MC, bahkan atau dia nongol di acara tv lain. Ada pasti ada irisannya ada juga fansnya dia yang datengnya bukan dari radionya (misalnya) 'oh iya ini gue ngefans banget nih sama Desta tapi gue fans Desta di Tonight Show', terus baru nih tau, 'oh Desta tuh siaran di Prambors ya? Ah dengerin Prambors ah' nah mutualisme, atau sebaliknya, gitu kan. Dia taunya 'Julio tuh di Prambors' gitu, di Sunset Trip, terus dia tau, let's say 'oh sekarang Julio main series Catatan Si Boy ya', jadi dia pendengarnya Prambors nontonlah si (Catatan Si Boy), ya, makanya itu bisa kaya, bisa dua hal, apakah pertanyaannya 'penyiar bisa mendatangkan pendengar baru?' (jawabannya) bisa dan sebaliknya, gitu.

32. Q. Kalau mas Evan sendiri umurnya berapa? Karena pak Malik kemarin membahas masalah usia tim kreatif yang masih memiliki touch dibidangnya. A. Gue persis 30. Sebenernya gue masih bisa sedikit membantah, bukan membantah sih, sedikit mematahkan statementnya mas Malik, tergantung sisi kreatif, kalo sisi kreatif iya (sejalan dengan omongan pak Malik) pasti ada kehilangan (touch). Tapi kan yang terpenting itu ketika di usia bertambah kan lo punya point of view yang jauh lebih matang, at least, gini nih kalau ngomongin kreatif detail turunannya pasti mas Malik akan nyerahin ke kita karena kan bikin, 'yang sekarang tuh anak mudanya kaya gimana ya?', tapi kan ada patternnya, concern pokoknya Prambors gimana caranya anak muda (targetnya), ngeakuisisinya, pokoknya Prambors harus akuisisi ini, lebih ke strategic. Kalau ketika usia lo makin bertambah dengan pengalaman lo juga akan makin bertambah juga lo akan mikirnya lebih holistik, itu pun terjadi di, gue pribadi pun begitu. Dulu sampe urusan perintilan pun gue pikirin, 'gimana ya kreatifnya gimana?', akhirnya lebih ke pendedikasian ya ke tim yang penting make sure objectivenya ini (target) ya. Kreatifnya untuk mencapai ke situ (target), kita serahin ke tim. Kita pun juga percaya usia itu tidak mempengaruhi, kalau mindset lo anak muda ya masih anak muda, gitu kan, cuma lebih berpikirnya kalau kreatif detailnya mau dibikin gimana, pasti akan hilang touchnya. Bisa jadi kan nanti, entah apalagi sosial media yang ada di depan, yang ada, tergantung lo bisa catch up lebih cepet apa engga, update sama sosial media yang baru dan bisa mengimplementasikannya, pasti ada perbedaannya, iya, gitu. Tapi ketika

195

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 ngomongin kreatif, as long, karena gini, gue pun masih terus mendapatkan brief dari mas Malik tapi yang holistik, gitu. Karena dia mikirnya udah, ya menurut, dengan jam terbangnya dia lebih holistik 'gimana ya Van (bikin) si Prambors ini (jadi) brand?', akhirnya diasosiasikannya emang Prambors sama dengan anak muda, bukan Prambors sama dengan radio. Itu kan pemikiran kreatif juga tapi lebih holistik, gitu. Tapi gimana cara (jalannya), nah itu baru tuh dia akan serahin ke anak-anak yang lebih muda karena anak muda yang lebih, timnya yang lebih muda lebih tau circleannya tuh lagi ngomongin apa ya sekarang (trend), walaupun juga, yang penting dia tau holistiknya sih.

33. Q. Range umur di Prambors itu berapa? A. Karena baru syukuran ya, rata-rata di Prambors itu, di luar dari penyiar ya, rata-rata di usia 22/23. Kalo di divisi gue sih paling muda umur 19 tahun juga ada, paling tua even (umur) 40an juga ada kok. Tapi kan tergantung, ada juga yang lebih dibutuhkan bukan karena usianya (tapi) lebih ke karena skill dia untuk operating operator tuh misalnya, operator siaran umurnya udah 40an semua, ya 30/40, tapi kan dia dibutuhkan tenaganya. Makanya masih ada, even, gue bilang station admin untuk ngurusin administrasi kan ga perlu, dia beranjak jadi tua pun gak masalah. Gak ada kaitannya sama, karena balik lagi kalo lo tanya timnya itu kan terdiri dari ada staff programming, even admin, operator, ada hal yang, even orang produksi, ada yang berusia lama juga gapapa. As long as sesuai sama pekerjaan lo, tapi begitu ngomongin kreatif, tim kreatif atau si produser, ya pasti ada adjustment lah.

34. Q. Apa saja kesulitan di jabatan mas Evan sebagai brand manager dari segi pembuatan konten? A. Dalam konteks pembuatan konten? Bukan promosi? Gini, gue selalu menghindari kata sulit. Boleh gak kalo katanya diganti jadi tantangan? Kalau tantangan ini, menyamakan visi, pertama itu. Karena setiap orang kan punya isi pikiran masing-masing kan, kita sebagai brand manager kan mencoba membawa si brand ini arahnya mau kemana nih, objectivenya mau kemana? Apa yang mau kita tuju? Di, at the end of the tunnel tuh kita mau nih sama si Pramborsnya. Memastikan kaya gitu sih, supaya 'kesitu ya arahnya ya', apalagi untuk ngurusin brand anak muda tuh, ya karna anak muda tuh bedanya ketika, ini yang gue sedikit cerita, ini yang bedanya ketika waktu gue handling data mainin Prambors (dan) Delta itu kan untuk segmentasi dewasa muda, means mereka sedikit lebih establish, sedikit lebih settle, sudah menemukan sebagai pendengar 'oh gue tuh kaya gini' gitu. Anak muda kan karna dia sifatnya masih, mau (banyak) coba- coba, ya memastikan aja sih itunya (visi) kesitu. Boleh sih arahnya kesitu (arah lain) cuman as a brand decision itu kalo arahnya kesitu, misalnya contoh paling gampang yang gue ambil adalah ketika, ini hal-hal sederhana, kita mau bikin jaket, jaket buat kita-kita aja (internal Prambors), wah itu beda-beda tuh (maunya). Yang satu kiblatnya hypebeast, yang satu pengennya jeans, yang satu bikinnya mau kaya jaket baseball ya segala macemlah. Gak salah kan? Cuma kan, tapi kita punya brand guideline kan 'guys Prambors tuh, kesitu ya', yaudah itu sih perlu, mau memastikan mereka dalam satu visi misi menuju brand guidelinenya

196

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 sih, itu aja sih menurut gue challenge nya karena balik lagi, gue lebih suka untuk mendelegasikan sesuatu karena di situlah proses buat mereka juga belajar, salah? Pasti ada, ya itu bagian dari proses. As long as, balik lagi kesitu ya (visi dan misinya), misalnya ada yang tersesat ya kita "balikin" lagi. Gagal? Ya gapapa, gitu kan, yang penting lo udah nyoba. Ternyata gak bisa, kita mau kesitu tapi, misalnya gini, kita mau kesitu tapi, let's say, ini analoginya, kesitu itu memerlukan kereta terus dia milih untuk naik perahu. Mohon maaf nih, menuju kesana, sungai aja gak ada. Tapi dia nyoba ya gak bisa kan, ya gak papa, ganti lagi yang lain "kendaraannya", itu sih.

35. Q. Kalau dari segi eksternal tantangannya apa mas? (lanjutan no. 34) A. Anak muda itu memang susah-susah gampang sih, itu susahnya ada dua ya dan gampangnya satu. Karena mereka terus, bukan berubah sih, cuma cepet gitu, (misalnya) satu A booming gitu (terus) sebentar (setelah itu) trendnya ganti lagi. Tantangannya adalah gimana Prambors itu selalu keep up sama hal-hal kaya gitu tuh, jangan sampe, gue sendiri aja mikir 'ini gue yang gak tahu karna gue udah gak catch up atau emang, emang ini kali ya anak muda..' ya itu berusaha untuk memastikan itu sih, Prambors kan mau di acc sama anak muda kan bukan Prambors sama dengan radio lagi, Prambors (itu) anak muda. Ketika lagi trendnya itu ya kita kesitu karena itu yang selalu diingetin juga sama mas Malik. Prambors didirikan dari 1971, Prambors itu istilahnya selalu ada di pop culturenya anak muda Indonesia, orang yang ngerjain silih berganti udah makin tua segala macem, Prambors juga udah gak muda lagi cuman kan 48 tahun itu, makanya kita selalu punya tagline setiap kali kita ulang tahun 'age is just a number, young is forever' that's it. Jadi kesannya, Pramborsnya sih umurnya boleh tua tapi pendengarnya gak boleh tua karena shifting terus anak muda-anak muda-anak muda, bukan kita yang ngikutin 'oh satu gerbongnya ini anak muda, kita, terus dia jadi ini (tua) terus Prambors ikutin' enggak, gak gitu.

36. Q. Bagaimana proses pembuatan konten di Prambors? A. Survey, survey dulu semua. Kita pengen cari tahu dulu nih, apa sih needsnya buat si target market yang mau kita incer means anak muda gitu. Kita bikin survey, apa sih needsnya anak muda dengerin radio tuh? Apakah penyiarnya? Musiknya? Berita? Atau apa. Bahkan, apa sih yang lo pengen ketika lo dengerin radio di pagi hari? Itu beda tuh pagi, siang, sore, malem itu behaviournya beda. That's why treatment kita gak mungkin semuanya Desta Gina setiap hari, engga karena kan pasti di siang, mereka lebih pengen lagu makanya single DJ (programnya), sore lain lagi, malem lain lagi. Kaya gitu-gitu. Pokoknya as long as kita tahu needsnya mereka dengan data yang kita punya itu kan dengan survey itu dari situ kita baru, 'oke kita bikin ini ya'. Konten untuk aset digital juga sama pake survey, semuanya (pembuatan konten) berdasarkan survey. Apalagi kan gini, sedikit bedanya sama, kan kalo istilahnya mas Malik tuh kalau radio itu kan ya analog-digital itu lebih ke yaudah digital, lo gak perlu kelamaan mikir 'ini udah oke banget belum ya?', as long as tau objectivenya ini lagi rame, viral (trend), naikin aja dulu (publish). Once nanti, kan kalau digital kan, that's why makanya

197

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 kenapa kan masih bisa diedit segala macem kan. Kalau gagal yaudah tinggal di drop, (terus) naikin yang baru.

37. Q. Secara umum apakah proses digitalisasi ini menguntungkan untuk Prambors atau tidak? A. Menguntungkan sih. Kalau proses digitalisasinya justru sangat menguntungkan karena kita masuk ke area yang tidak pernah bisa ngejamah, sebenernya kaya streaming kita lebih expand "menyapa" melalui sosial media dan lain-lain, website dan lain-lain. Orang lebih kenal Prambors yang tadinya cuma di Jakarta doang sekarang ke kota-kota lain even di negara lain. Tapi kalau terhadap expand industri digital, terhadap industri radio, apakah dibilang menguntungkan atau tidak? Balik lagi ke obrolan kita di awal, radio itu punya masanya sendiri ya makanya dia (radio) segitu aja (grafiknya) karena ya orang mikirnya 'ya radio itu harus FM, udah gitu'. Jadi dibilang kemakan? Mungkin, dibilang keganggu? Ada pastinya lebih ke karena ada behaviour yang berubah, misalnya, contoh yang tadi gue tanyain ke lo 'emang ada radio player di rumah? Engga. Terus kalo di rumah dengerinnya apa? Spotify paling', ya pasti ada kan tapi yang pendengar FM masih ada cuman proporsi waktu mengkonsumsinya berkurang, paling cuma hanya di mobil, kalau dulu kan kalau kita lihat atau mendengarkan cerita-cerita orang di film-film, yang dengerin radio itu rame-rame. Ya itu aja sih, pendengar radio sih masih ada cuman time spend listeningnya yang kurang.

38. Q. Kalau website Prambors ini kegunaannya apa mas? A. Gini, ngomongin digital itu kan kalau kita, jadi gini, ketika masuk ke digital, kalau gue punya point of viewnya gini, 'di antara semua aset digital apa sih yang perlu kita urusin pertama?' karena kan kita gatau mau ada apa lagi (sosmed yang akan muncul), ya itu website. Kenapa? Karena kalau sosial media itu kita bukan si pemilik, karena kita hanya pemilik akun saja bukan pemilik media sosialnya. Once, lo anggaplah Instagram Prambors adalah Instagram radio dengan followers paling banyak se Indonesia saat ini, terus besok Instagram bilang 'ah gue mau tutup ah', terus lo bisa apa? Facebook juga sama, atau yang lain atau ntar sosial media lainnya apa. Perlu (sosmed) tetep, kita perlunya tetep kita maintain karena marketnya ada di situ karena kan balik lagi Prambors perlu catch up sama anak muda tuh lagi apa sih? (trendnya), kalau dari Instagram kan keliatan. Tapi kalau bilang, tadi, website itu sih karena gue di, baru 3 bulan (menjabat menjadi brand manager), ini arahnya ya, kalau sekarang sih (website) masih sebatas etalase buat orang tau 'Prambors tuh apa sih?' ya dengan dia googling ya dia buka websitenya Prambors, ya baru etalase 'oh Prambors acaranya ini, chartnya minggu ini tuh ini, ada berita apa' gitu-gitu segala macem. Pengennya sih justru gue ngebuat si websitenya ini istilahnya, ada stating Prambors 'Tempat Anak Muda Mangkal'. Dulu kalo mas Malik cerita, gak tau mas Malik sempet mention atau nggak zamannya dulu masih di Mendut segala macem ya beneran emang anak-anak mudanya di masa itu ya nongkrongnya di Prambors makanya ada istilahnya Tempat Anak Muda Mangkal. Nah arah kedepannya sih pengen, karena ini juga as a brand, pengen ngarahin si websitenya ini sebagai tempat anak muda mangkal 2.0 lah atau yang kekinian karena kita melihat sekarang ini kan juga banyak anak

198

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 muda yang berani berekspresi segala macem, ibaratnya gini lah kita mau si website gak cuma etalase tapi buat website itu sebagai tempat atau medium anak muda berinteraksi, pengennya gitu. Nah kita lagi godok itu banget sih karena jujur sekarang sih www.pramborsfm.com itu yaudah etalase aja gitu. Tapi belum sebagai media untuk mereka (anak muda) berinteraksi. Kita ngeliatnya kaya istilahnya, oh menggunakan istilah User-Generated Content (UGC), kaya Buzzfeed itu kan dia yang isi konten bukan redaksi (tapi) si readersnya dia. Terus yang baru-baru kalo di Indonesia kaya Opini.id, Brilio, even Kaskus deh gede namanya kan lebih ke mereka menjadikan situs sebagai komunitas, kalo ga salah (taglinenya tuh) the largest community apalah Kaskus sempet ngeclaimnya apa. Nah Prambors tuh mau ke arah itu juga, jadi gue, once punya, 'eh gue punya event nih, gue upload ke (website) Prambors biar orang-orang liat' terus jadi ada ekosistemnya, atau gue punya demo musik (terus) dimasukin ke situ (website) jadi kan orang bisa berinteraksi even dia (pendengar) bikin tulisan (di website) dan orang lain baca juga gitu. Jadi pengennya arahnya kesitu, gitu, semoga akhirnya bisa sih Prambors.com itu (domainnya diambil Prambors), arahnya kesitu. Ya pasti juga ada streaming yang lain-lain, orang tetep bisa nikmatin itunya tapi lebih ke tempat medium mereka berinteraksi kaya Kaskus, Buzzfeed, Brilio, Opini, Kumparan gitu sih. Jadi harapan Prambors nih website bisa jadi pusat interaksi Kawula Muda, pusat digitalnya karena kita berpikir sosial media ya hanya perpanjangan tangannya aja dan ya kita cuma "numpang", gitu.

199

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 Transkrip wawancara

Narasumber : Mas Boy (Boy Henry) Jabatan : Head of PR dan Markom Durasi : 38:55 Tanggal : 5 Maret 2019 Lokasi : Kantor radio Prambors

1. Q. Tolong ceritakan mengenai diri Anda dan Prambors. A. Saya Boy Henry, saya sudah di Prambors ini sejak tahun 2005 di awalnya dulu saya jadi pimpinan radio Prambors di Medan kemudian setelah itu saya ke Surabaya, kemudian sekarang saya menjabat menjabat sebagai Head of PR dan Media Relation. Jadi sehari-hari tujuan saya, kegiatan saya adalah untuk membangun relasi baik internal maupun eksternal dan juga berhubungan dengan media-media baik media cetak, media elektronik bahkan juga dengan media digital, jadi kaitannya untuk kerja samalah seperti itu ya. Nah mungkin sedikit saya mau menjelaskan tentang sejarah radio Prambors tapi tadi sudah disampaikan oleh Evan. Jadi pada awalnya kan Prambors itu adalah nama yang diambil dari lokasi tempat pertama kali berdirinya radio ini itu di daerah Menteng ada jalan Prambanan Mendut Borobudur dan sekitarnya. Jadi Prambanan Mendut Borobudur dan sekitarnya itulah dimaksud dengan Prambors. Nah Prambors ini pada awalnya tuh didirikan oleh lima orang ya, namanya mas Malik Sjafei, Imran Amir, Mursid Rustam, Bambang Wahyudi, serta Tri Tunggal. Jadi mereka mendirikan radio ini sebagai idealisme mereka atas musik-musik yang mereka suka dan kemudian mereka ingin menunjukan musik yang mereka suka tersebut serta ingin membagikan musik tersebut kepada orang lain juga. Tapi bentuknya pada waktu itu kan masih pemancar yang sederhana yang hanya bisa didengar di daerah sekitar pemancar itu berdiri. Nah itu sekitar tahun 70-an ya, tahun 69 atau 70 lah seperti itu. Nah kemudian pada tahun 70, itu pemerintah mengeluarkan aturan bahwa setiap radio tuh harus berbadan hukum, itu harus berbentuk PT. sehingga akhirnya Prambors juga mulai untuk menjadi badan usaha dengan nama PT. Radio Prambors Broadcasting Service, kemudian aktenya dirubah menjadi namanya PT. Radio Prambors, jadi 'Broadcasting Service'nya udah gak ada lagi. Nah kemudian, Prambors ini kan sangat terkenal dengan ini ya, kreatifitas, jadi kalau kita lihat logonya, mungkin tadi udah dijelaskan juga, itu terinspirasi dari band Belanda namanya The Exception. Jadi ada perempuan yang rambutnya keriting, tapi kalau kita sebutnya sih kribo ya, si kribo ya, jadi selain memang terinspirasi dari The Exception tersebut yang kemudian setelah itu kita mendapatkan, apa namanya, hak ciptanya dan kemudian menjadi logonya Prambors, kribo ini itu juga bisa diasosiasikan sebagai bentuk kreatifitas tanpa batas. Jadi kalau kribo itu kan, memang ini ya, keluar-keluar gitu rambutnya kan, jadi seolah-olah itu idenya keluar-keluar gitu dari kepala, nah itu makanya disebutnya dengan 'ide kreatif yang tanpa batas' jadi 'kreatifitas tanpa batas'. Nah, dan itu memang ditunjukan Prambors sejak tahun 1971, jadi resminya tuh Prambors berdiri sebagai PT. tuh pada tahun 1971 sampai sekarang ya, itu dikenal sebagai radio yang emang radio yang paling kreatif, ya. Berbagai macam acara,

200

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 itu sudah dibuat oleh Prambors sebelum yang lain memikirkannya bahkan, ya, dan acara itu adalah acara-acara yang kreatif dan itu terbukti memang jadi legend. Bahkan kalau disebut-sebut, orang pasti ingat, contohnya LCLR (Lomba Cipta Lagu Remaja), terus kemudian kalau misalkan ada namanya Balada Cinta Ramadhan misalnya gitu ya, kemudian Catatan Si Boy, dan kemudian misalkan ada Warkop DKI, kalau dulu sih Warkop Prambors namanya. Jadi kalau misalkan disebut itu, orang pasti ingat, sehingga kita adalah salah satu wujud bahwasanya kalau kita bisa kreatif dan kita menciptakan sesuatu yang baru, itu pasti akan menimbulkan kesan yang sangat dalam di benak audience kita, bahkan sampai sekarang, kira-kira seperti itu. Nah bahkan kadang-kadang kalau misalkan dibilang Prambors, orang ngingetnya tuh yang Trio ini loh Trionya Warkop itu, jadi Dono, Kasino, Indro, pasti ingatnya kesitu. Padahal mereka itu adalah satu bagian dari keluarga besarnya Prambors, tapi itu pun orang ingat sampai sekarang kan kira-kira seperti itu. Artinya, kalau memang kita bisa punya program yang bagus, pasti orang akan ingat terus dan kemudian itu istilahnya meningkatkan valuenya kita, brand valuenya kita. Jadi nilai daripada brand Prambors itu semakin tinggi, nah kira-kira seperti itu. Dan untuk menjaga konsistensinya itu gak mudah ya karena apapun ceritanya, Prambors itu harus selalu berinovasi dan terus kemudian harus selalu menemukan hal-hal yang baru karena memang kita itu dikenal sebagai 'Innovator', jadi kita itu creator, jadi pencipta sesuatu yang baru. Kalau yang lain, itu banyakan follower atau bahkan biasanya sih yang paling kita kesel tuh adalah radio-radio lain tuh tinggal copy-paste aja gitu. Jadi apa yang kita buat, dia lihat bagus, dia tinggal copy-paste. Nah sementara kita untuk membuat itu kan berpikirnya keras sekali terus kemudian idenya mahal, terus kemudian juga untuk merencanakan itu juga gak mudah, perlu waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Nah kebanyakan adalah ya yang lain-lain tinggal ngikut, tinggal copy terus kemudian di paste sama mereka.

2. Q. Apa salah satu contoh (program) yang diikutin oleh radio lain? A. Banyak lah, jadi kalau misalkan kalau dulu tuh Prambors selalu bagi-bagi hadiah dan hadiahnya spektakuler gitu kan, jadi mungkin Prambors tuh adalah radio pertama yang ngasih hadiah mobil misalnya gitu, untuk kuisnya, radio lain ikut juga. Terus kemudian, Prambors itu yang pertama buat Bumper Sticker, mungkin pernah lihat ada sticker namanya kaya 102,3FMania dulu? radio lain, ikut juga buat. Terus kemudian Prambors buat, kita sebut aja namanya Radio Play atau Radio Drama, itu misalnya Catatan Si Boy atau Balada Cinta Ramadhan, Balada Cinta Remaja gitu kan, radio lain juga buat Radio Play juga. Jadi ya, macem-macem lah gitu, ya tapi ya kita sebagai Prambors ngerasa 'ya itu memang kehebatan kita dan itu resiko kita', kalau memang orang yang menjadi innovator ya mau gak mau kalau misalkan dia ditiru, dia difollow, dia diikutin dan lain-lain ya apa boleh buat lah, yang jelas kita tetap harus maju, tetap harus muncul dengan ide-ide baru dan itu yang kita lakukan sekarang ini sehingga kalo bisa dibilang, 'Prambors itu gak ada matinya', kira-kira begitu. Nah, cuman konsekuensinya adalah kita pasti butuh SDM yang hebat yang qualified dan jumlahnya juga banyak dan bervariasi, ya kan. Pasti biayanya besar, kan kira-kira seperti itu. Nah, mau gak mau kita memang harus ambil resiko itu kalau kita ingin tetap menjadi

201

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 leading station untuk anak muda, ya kan. Nah bahkan kalau nanti kita cerita tentang konvergensi media, konvergensi media itu kan perpaduan ini ya, perpaduan teknologi internet terus kemudian media massa dan juga komputer kan kira-kira seperti itu, nah kalau misalkan kita perhatikan ya dari apa yang dilakukan oleh Prambors, dari awal sih memang Prambors itu udah, sudah memikirkan, ini udah ada konvergensi media. Jadi kita sudah berpikir ke depan, kalau ada konvergensi media, jadi misalkan nanti media massa itu termasuk radio pasti nanti akan disandingkan atau bahkan dipertentangkan dengan aplikasi komputer atau pun teknologi internet. Nah lantas kita mau gimana? apakah kita diam saja atau kita tetap yakin dengan radio kita, radio On Air kita atau kita sebut namanya Radio Terrestrial kita atau kita bersahabat dengan konvergensi media ini sehingga kita bisa memanfaatkan konvergensi media ini bukan sebagai ancaman tetapi sebagai peluang. Nah itu yang kita lakukan sehingga kita tuh diawal-awal memang sudah sangat concern dengan konsep konvergensi media sehingga kita mempersiapkan diri. Apa yang kita persiapkan? nah tentunya SDM dan juga aset digitalnya kita.

3. Q. Dari kapan Prambors memersiapkan diri untuk menghadapi masuknya konvergensi media? A. Ya konvergensi media itu tahun berapa tuh sekitar tahun 80-an kan ya, udah lama gitu jadi udah sekitar di era tahun 90-an lah lebih kurang ya. Di era tahun 90-an, nah, kita itu sudah mulai untuk mempersiapkan diri ya kan, nah jadi seperti yang tadi disampaikan juga, kan kita mulai dengan beberapa aset digital kita diantaranya adalah website gitu kan. Website kita itu kan mulai launch itu tahun 2000, pramborsfm.com ya kan. Jadi mulai 90-an dan tahun 2000an, kita tuh sudah masuk dan kita menganggap konvergensi media itu sebagai sahabat, sebagai teman gitu ya sehingga kita akan memanfaatkan konvergensi media ini untuk perkembangan bisnis dan juga perkembangan terhadap layanan pendengar ataupun pengiklan kita, kira-kira seperti itu. Nah jadi nanti kalau misalkan, boleh lihat ya aset-aset digitalnya kita itu kan yang pertama adalah website, nanti saya kasih datanya, jadi kalau di websitenya kita, sekarang itu website pramborsfm.com menurut Alexa.com itu adalah website radio paling banyak visitornya di Indonesia, kemudian kalau apps-nya kita, Prambors Apps itu ada yang di Android ada juga di iOs, itu streamingnya lebih kurang 4 juta streaming perbulan, ya. Kemudian kalau kita masuk ke aset digital kita yang lain, Facebooknya kita punya lebih dari 300 ribu followers, Twitternya kita punya lebih dari 2 juta followers, Instagramnya kita punya lebih dari 316 ribu followers, Line kita punya lebih dari 6.500 friends, Youtube Channelnya kita punya lebih dari 57 ribu subsribers. Nah, itulah kenapa kita itu dengan digital itu kita memang bersahabat dan kita memanfaatkannya. Terus terang memang saat ini, kalau kita cerita lagi ya, digital itu 'not just only to utilize but should be to monetize', nah kira-kira begitu. Tapi, saat ini kita belum sampai kepada monetize ya kan, padahal kalau misalkan kita lihat apakah Youtuber, Influencer, endorser itu kan mereka mudah dapat duit dari sini kan? Nah tapi saat ini kita hanya memberikan, kita belum me-monetize ini tapi kita masih men-utilize dulu, artinya kita mau generate follower atau juga mungkin men-generate subscribers sebanyak-banyaknya dulu

202

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 ya kan, jadi nanti baru setelah ini kita akan buat ini menjadi duit. Sekarang ini kita jadikan ini pelengkap untuk siaran On Airnya kita, itulah yang disebut dengan kita bersahabat dengan konvergensi media itu. Jadi kalau misalkan orang nanya, 'selain di On Air, gimana sih bentuk promosinya?' kita juga bisa promosi di digital asetnya kita, digital asetnya kita seperti tadi disampaikan itu kan one to one, kalau ini kan one to many, jadi bisa one to one. Bayangkan, kalau sekali Anda posting di Instagram, paling engga 300 ribuan orang itu bisa ter-expose dan orang yang ter-expose itu adalah orang yang benar-benar senang dengan kita karena dia follow Instagram kita. Paling ngga kalau dari 300 ribu itu masa sih 10%nya atau 5%nya ajalah kira-kira tidak tergugah, kira-kira gitu, tidak tertarik, ya kan. Gak usah 5%, 1% aja lah misalnya gitu, ya kan. Jadi kalau dari 300 ribu, 3 orang itu tertarik untuk datang, untuk coba, untuk beli? Itu kan menguntungkan. Nah jadi kita lebih kepada itu, makanya dalam konteks saya sebagai Public Relations dan juga Media Relations, kita memanfaatan digital aset ini untuk membantu mempromosikan relasi-relasi kita, yang bekerja sama dengan kita. Jadi misalkan kalau ada anak-anak sekolah buat pensi, kemudian buat kegiatan apa, buat apa, kemudian nanti ada pihak label buat konser musik, ya kemudian televisi buat kontes buat kompetisi dan lain-lain, kemudian juga relasi-relasi yang lain juga buat event, nah kita menyarankan lebih, 'kenapa gak pakai sosial media aja? Gunakan dong aset digital kita untuk berpromosi', itu menurut kita lebih bagus dan juga lebih efektif daripada pakai siaran On Air. On Air ini kan boleh dibilang kan media tradisional, kalau yang sekarang ini, yang aset digital ini kan itu kan namanya media digital, ya. Nah kalau memang memungkinkan dan memang nilainya besar, kita pakai dua-dua, On Air dan digital. Tapi kalau sekiranya nilainya tidak besar, kita sarankan pakai di digital aja.

4. Q. Bagaimana proses promosi ketika sebelum adanya era digital? A. Ya belum adalah, jadi kalau dulu-dulu, tapi begitu pun dulu-dulu kita tuh udah hebat ya. Jadi, kita ada namanya konsep promosinya Multi O, jadi ada On Air terus kemudian selain On Air itu ada yang lain ya, jadi ada yang namanya Offline, Offline itu seperti Off Air, ada yang namanya On Mobile, itu pakai telepon, pakai SMS misalnya gitu kan, kalau zaman dulu ya MMS, terus kemudian nanti ada On the Street, nah kita jalan ya kan, kemudian ada namanya yaitu adalah, kita sebut kalau Billboard itu On apa ya, jadi Multi O, jadi On Outdoor ya, jadi On Outdoor itu kaya Billboard-Billboard. Jadi kemudian ada juga yang terakhir tuh namanya On Ground Activation, jadi artinya kita buat kegiatan aktivasi, misalnya ke sekolah-sekolah atau tempat hang out dan lain-lain. Jadi belum menggunakan digital, nah kemudian belakangan kita masukan namanya Online. Tadi ada On Mobile kan? Nah setelah itu baru masuk Online, eh ternyata belakangan Online ini justru yang paling ini, yang porsinya itu lebih banyak dan lebih kita perhatikan. Paling efektif dan kemudian ini kan paling kekinian gitu, paling menjawab konvergensi media yang tadi disampaikan terus kemudian kita boleh sebut ini adalah yang paling mudah lah karena boleh dibilang semua orang kan punya smartphone dan kemudian semua orang bisa download aplikasi ya kan, sehingga semua orang tuh bisa ikut serta, kira-kira begitu. Kalau misalkan kita Off Air, belum tentu semua orang bisa ikut ya kan, kalau misalkan On the Street

203

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 paling nanti yang dikunjungi atau yang datang, eh sorry, paling yang dikunjungi adalah orang yang memang sudah kita rencanakan mungkin di Jakarta Barat satu, Jakarta Timur satu, Selatan satu, Utara satu, Pusat satu misalkan gitu. Nah jadi ini kan (digital) bisa menjangkau kemana saja, bahkan yang dari luar Jakarta pun itu bisa ikut. Nah sehingga itu sangat bermanfaat buat kita yang berjaringan, kan Prambors ini adalah Prambors Radio Network, dia kan berjaringan dia ada di sembilan kota ya kan, tadi udah disebutkan kan. Nah itu kalau misalkan pakai digital, semua bisa terlayani.

5. Q. Apakah konvergensi media memberikan dampak (negatif) bagi radio Prambors? A. Minusnya ya? Hmm, kalau saya, kalau di kita itu terus terang begini ya, minusnya itu lebih kepada, pasti peningkatan investasi ya, sorry, peningkatan biaya. Biaya itu dua, ada investasi dan juga ada yang disebut dengan operation cost, biaya operasionalnya. Jadi minusnya lebih kepada itu. Nah baru minus yang kedua adalah kalau misalkan kita tidak memanfaatkan ini, tidak kita jual itu sayang, dan kita memang belum, ya, artinya kan kita keluar duit saja, seperti tadi mungkin disampaikan, eh, costnya paling yang besar apa? Salah satunya pasti rekrut orang dong, ya kan, biaya SDM. Yang kedua, pasti ada biaya operasional ya kan untuk maintain website, maintain ini, maintain ini kan perlu biaya. Me- maintain aset-aset digital gitulah, kira-kira begitu. Nah jadi minusnya paling mengenai biaya aja. Ya investasi misalnya kita kan pasti akan punya server, kan kira-kira seperti itu, kan jadi perangkat-perangkat ininya dong, perangkat- perangkat digitalnya.. Kita beli kamera, kita beli drone, terus kita beli kamera foto dan kamera video, itu kan investasi. Kita beli untuk komputer untuk editnya, nah seperti itu.

6. Q. Apakah aset digital ini dapat menutupi biaya operasional yang dikeluarkan? A. Jadi begini, kita memang dari awal sudah menyadari 'ini pasti ada costnya', sehingga setiap tahun kita selalu merencanakan biayanya, itu yang disebut, tadi disebut ada RABnya, Rencana Anggaran Biaya. Jadi, dalam setiap annual meeting, kan kita ada meeting tahunan untuk merencanakan rencana kerja tahun ke depan gitu kan. Pasti kita akan masukan cost untuk digital, kira-kira seperti itu. Cost paling besar pasti untuk production, kita sebut namanya Broadcast and Production namanya.

7. Q. Bagaimana upaya manajemen Prambors mempertahankan eksistensinya di era digital? A. Kalau menurut saya sih memang kontennya dan promosinya, ya. Sebetulnya begini, sebetulnya radio itu kalau saya jelaskan ya, bisnis radio itu utamanya itu ada tiga aja. Pertama, itu adalah programnya atau kontennya. Kedua, distribusinya atau coveragenya, daya jangkaunya, tekniknya. Ketiga, promosinya. Kita punya program bagus tapi kalau pemancar kita jelek? Percuma aja, punya program bagus, pemancar bagus, gak dipromosikan? Orang gatau. Punya Program bagus, promosi bagus, pemancar jelek? Jadi tiga-tiga itu yang utama dan harus kuat tiga-

204

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 tiganya. Nah dari dulu sampai sekarang, Prambors itu menang di tiga-tiganya ini, jadi memperkuat diri di tiga-tiganya. Tapi tentunya kan berbeda dari zaman ke zaman kan, jadi kalau zaman dulu mungkin dengan pemancar 5 kilowatt udah hebat gitu, kalau sekarang, kita pemancar harus yang 10 kilowatt dan antena kita itu di Menara Indosiar. Kalau dulu, pemancar 5 kilowatt di Borobudur aja misalkan gitu kan, pakai tower pendek ya udah okelah, tapi sejalan dengan perkembangan zaman, pertumbuhan gedung-gedung bertingkat segala macem, ya mau gak mau kita harus memperkuat ini kan supaya, karena kalau misalnya kita denger radio tapi kresek-kresek suaranya gak jernih ya orang kan males, orang switching, pasti pindah gitu kan. Nah itu satu cerita distribusi. Kedua program, dari dulu itu kan Prambors dikenal sebagai radio yang sangat kreatif ya kan, terus kemudian program utamanya pastinya musiklah seperti itu. Dari dulu sampai sekarang, pasti Prambors itu jadi trendsetter untuk musik. Bedanya seperti yang tadi disebutkan oleh Evan, kalau dulu itu lebih berdasarkan kepada seleranya kita, kita itu siapa? Music Directornya kita, tapi sekarang itu based on audience needs. Jadi kita buat survey, buat riset, kemudian nanti lagu-lagu itu ditest, diberi skor, nah skor yang paling tinggi itulah yang akan diputarkan, kenapa? Karena itu yang paling disukai oleh pendengarnya kita. Nah jadi udah beda ya, nah jadi tetep kita pegang, musik itu nomor satu, ya kan. Tapi itu berdasarkan apa? Ya tentunya berdasarkan riset kalau sekarang ini, kalau dulu kan berdasarkan feeling aja, berdasarkan seneng-senengnya si Music Director, kira-kira begitu. Program juga begitu, kalau dulu kan berdasarkan feeling aja 'oh kalo ini kayanya oke nih', kebetulan aja pada waktu itu sukses kan, cuman kalau sekarang kan udah banyak pilihan. Di era digital nih banyak pilihan, kalau dulu mungkin orang gak ngerti ada Spotify terus mungkin orang gak bisa denger radio-radio di luar negeri atau dimana gitu kan. Kalau sekarang kan dunia ini kan borderless ya, di era konvergensi media ini kan dunia ini tanpa batas, sehingga kadang-kadang orang tuh bisa ngebandingin gitu, 'woah, disana nih kayanya ada acara begini, di sini begini, masa di sini gak bisa?' nah, jadi mau gak mau kita harus berpikir terus gimana supaya program-program kita itu tetap disukai dari dulu sampai sekarang. Tentunya itu pasti ada terjadi perubahan-perubahan, sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi ya kan. Kalau dulu orang masih pakai telepon itu senang, dulu ada namanya SMS Engine gitu kan, kalau sekarang orang udah pakai WhatsApp, udah gak ada lagi cerita SMS Engine ya kan. Pokoknya mana yang, ngikutin yang kekinian lah gitu. Nah terus kemudian, kalau misalkan untuk kuis- kuis, nah dulu tuh masih ada kuis yang sifatnya kaya ngumpul-ngumpulin kotak- kotak ya kan, cangkang, bungkus-bungkus apa kan gitu-gitu kan, atau misalnya beli produk apa. Kalau sekarang gak gitu lagi, pokoknya datang kesana ada struk belanjanya, foto, kirim, nah ya kan. Itu kan ngikut kepada perkembangan zaman. Nah jadi program, itu kita tetep jagain, nah terus penyiar juga begitu. Prambors ini, mau gak mau penyiarnya harus yang nomor satu, ya, nanti bagaimana untuk rekrutmen penyiar itu tentunya nanti dibagian programminglah. Banyak kriteria- kriterianya, jadi salah satu kriterianya memang harus artis atau artis wannabe, dia bakal jadi artis, dan dari dulu sampai sekarang. Coba aja lihat, siapa-siapa yang pernah jadi penyiar Prambors itu pasti jadi artis, atau bahkan kalau ngga ya udah jadi artis udah jadi penyiar. Kalau sekarang Desta dan Gina, kalau dulu kan ada

205

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 Becky Tumewu kan kira-kira gitu kan, terus bahkan juga ada si itu juga, Ben Kasyafani, dulu-dulu ya macem-macemlah gitu. Ya, jadi mereka itu artis atau artis wannabe, sampai juga sekarang. Nah kalau sekarang ditambah lagi, mesti punya followers banyak, penampilan harus oke, wajah harus keren, karena dia kan sekarang ini kan bukan cuma audio ya, sekarang ini audio-visual. Jadi nanti suatu saat dia (penyiar) akan dishoot atau apa namanya di TV, terus kemudian dia juga, dia pasti akan tampil jadi MC terus kemudian di studio juga ada kamera, ada Live lagi siaran, itu kalau wajahnya jelek gimana coba? Ya kan, jadi, sekarang wajah juga penting. Ya itulah perkembangan zaman dulu sama-sama zaman sekarang. Jadi kalau di era digital ini, banyaklah persyaratannya, karena kita, kalau misalkan ini juga wajah harus camera face, kenapa? Karena segala sesuatu kan masuk, diposting kan gitu. Di era digital ini mau diposting. Kalau zaman dulu, suaranya yang penting, bener gak? Wajah gak penting-penting amat. Nah jadi kira-kira itulah yang membuat teknologi digital itu ada bagusnya ada juga repotnya. Repotnya itu ya seperti tadi ya, jadi kita butuh banyak hal, audio-visualnya harus bagus karena kalau ngga nanti pasti orang komplain. Coba deh lihat video-video kita di Youtube, kan bagus-bagus semua. Coba kalau misalkan kita buat video jelek pasti nanti orang banyak yang ngasih thumbs down, unlike, dislike, gitu kan. Itu baru satu contoh aja, contoh lain kalau misalkan kita buat misalnya grafis, desain grafis key visual yang mau ditampilkan di Twitter kah atau di Facebook kah, dimana-mana gitu ya, kalau misalkan jelek, orang juga 'ah apaan nih' kan kira-kira begitu. Nah makanya tadi dibilang, kita perlu Design Graphic, terus kemudian perlu Photographer, kemudian Videographer, Video Editor, kira-kira seperti itu.

8. Q. Bagaimana tanggapan mas Boy terhadap media yang gulung tikar? A. Kalau menurut saya mereka itu, ini ya, tidak, tidak bisa menghadapi era konvergensi media ini ya, artinya, mereka itu, mungkin, tidak mau, ya, menolak, sehingga mereka berpatokan kepada apa yang sudah mereka lakukan selama ini, yang konvensional saja. Ya akhirnya, pelan-pelan pasti mereka ditinggalkan oleh pendengarnya atau juga ditinggalkan oleh pengiklannya. Nah kalau misalkan kita udah ditinggalkan oleh pendengar, ditinggalkan pengiklan? Ya sudah habislah kita. Apalagi yang mau kita banggakan coba?

9. Q. Apakah mas Boy ada saran terhadap media (radio) lain agar tidak gulung tikar? A. Jadi kalau media lain, saran saya untuk yang radio yang pertama, pasti kita berharap mereka itu bersahabatlah dengan teknologi komunikasi dan informatika saat ini, ya kan. Bersahabat itu dalam arti manfaatkanlah seoptimal mungkin, nah cara memanfaatkannya sebetulnya dengan apa? Dengan kreatifitas yang tinggi, kreatifitas yang tinggi yang seperti apa? Yang sesuai dengan brand masing- masing. Jadi yang sesuai dengan karakter radionya masing-masing, segmen radionya masing-masing. Jadi jangan asal-asal buat juga, nah baru yang ketiga, yang ketiga atau yang keempat ya, Prambors itu salah satu kekuatannya di riset ya. Jadi sejak tahun 2012 itu, kita itu mengandalkan riset untuk menghasilkan program-program yang berkualitas, sampai sekarang, dan kita sudah merasakan

206

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 manfaatnya. Nah jadi kepada (radio) yang lain-lain, jangan kita berdasarkan feeling aja. Jadi Anda itu harus berdasarkan riset supaya tepat sasaran gitu loh. Ya kita bilang 'wah ini program bagus', yang bilang siapa? 'teman-teman, tim kita bilang bagus semua', timnya ini yang mau beli rupanya? Timnya yang mau dengar? Kan engga, ya kan. Ya jadi riset itu berdasarkan audience yang akan kita sasar gitu.

10. Q. Platform apa saja yang dimiliki oleh Prambors? A. Kan platformnya tadi sudah saya sebutkan tadi, jadi kita tuh platformnya kita tuh selain yang On Air, kita kan punya platform digital yang terdiri dari yang itu tadi, kita sebut aset digital, ada website terus kemudian ada sosial media, kemudian ada Youtube. Yaudah, kalau di sini kita ngitungnya sih Youtube tuh sosial media.

11. Q. Dari sosial media yang ada, mana yang paling efektif? A. Kita gak bisa bilang paling efektif, jadi itu tergantung ya, kepada, kita mau programnya apa, kira-kira gitu kan. Kalau kita sih memang sekarang ini, itu bisa macem-macem, ya kan, kalau misalkan dia pengen musik misalnya nah pasti kita nanti akan pilih kaya di Youtube sama di Instagram atau bahkan juga di Line misalkan gitu kan. Tapi kalau misalkan dia, informasi atau kaya stories itu mungkin di Facebook. Jadi itu, semua, semua efektif, jadi tergantung tujuannya, ya kan. Jadi, semua aset digital kita ini efektif jadi tergantung sasarannya siapa dan kemudian tujuan promosinya apa, gitu, karena kalau temen-temen kita sih pasti udah ngertilah, temen-temen yang di promotion itu tau. Jadi nanti tuh ada masuk misalnya penawaran kerja sama gitu kan, nanti mereka bilang 'oke, ini cocoknya masuknya di sini', kenapa masuknya di sini? Misalnya di Line, karena anak-anak sekolah tuh banyak punya Line, komunikasi mereka lebih kepada Line, kira-kira gitu kan. Jadi mereka masukin di Line atau nanti kalau mau ditambah bisa dimasukin di Instagram, kaya gitu.

12. Q. Bagaimana upaya manajemen Prambors dalam mengembangkan Prambors? A. Ya kalau di kita sih memang ya yang dibilang kalau makin berkembang ya tidak berhenti untuk berkreasi, itu sih. Jadi tidak berhenti berkreasi, yang kedua, memanfaatkan teknologi komunikasi dan informatika seoptimal mungkin. Nah baru yang ketiga, terus menerus dan meningkatkan engagement, istilahnya kedekatan dengan pendengar dan pengiklan karena dua-duanya yang penting. Kalau pendengar, artinya program kita itu bagus, tapi kalau pengiklan, dia beli program kita kan, an dapet duit kita. Kalau pendengar banyak, pengiklan gak ada ya gak ada duit. Kalau pengiklannya banyak, pendengarnya gak ada, itu aneh itu, itu artinya si pengiklan itu yang jadi pendengar kan. Jadi dua-dua sih.

13. Q. Darimana sumber pemasukan terbesar Prambors? A. Iklan, iklan radio.

14. Q. Radio lain yang merupakan saingan Prambors?

207

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 A. Kan tadi udah disebut ya yang Mustang, terus kemudian ada Trax, masa sih cuma dua itu ya. Tadi kalau gak salah ada disebut Virgin ya?

15. Q. Bagaimana Prambors menyikapi (radio yang disebutkan sebagai) saingan? A. Sejauh ini sih mereka masih di bawah kita, ya kan, jadi cara menyikapinya ya kita memang harus mempertahankan kualitas kita bahkan kalau perlu kita meningkatkan kualitas kita sehingga jarak antara kita dengan dia (radio lain) itu semakin jauh, gitu, ya kan. Jadi sejauh ini kita masih di atas mereka, kalau misalkan Gen, terus terang Gen itu bukan pesaing langsung kita karena dia (Gen) itu dia range pendengarnya lebar, kalau kita itu 18-24 tahun, kalau Gen itu dia mungkin sampai 35-an lah kira-kira begitu ya. Memang ada juga sih kompetisinya dengan Gen, tapi dia karena terlalu lebar ya kita bukan anggap itu sebagai kompetitor langsung. Yang kompetitor langsung itu tentunya radio-radio anak muda, yang persis sama anak muda.

16. Q. Apakah Gen menjadi salah satu faktor terjadinya Revitalisasi? A. Tetep, sampai sekarang juga masih tetep, walaupun tidak ini ya, tidak apa namanya, bukan kesana arah persaingan kita. Kita juga berusaha sih mengambil pendengarnya Gen, tetep berusaha.

17. Q. Revitalisasi ini dimulai kapan? A. 2011/2012

18. Q. Mas Boy sudah berapa lama bekerja di Prambors Jakarta? A. Kalau yang jabatan ini saya baru sih sebetulnya ya, tapi saya di Jakarta ini sejak tahun 2013. Saya baru bulan Juni aja baru yang jadi Head of PR. Sebelumnya kan saya di Surabaya, di Medan.

208

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 Transkrip Wawancara

Narasumber : Malik Sjafei Jabatan : Pendiri Prambors Durasi : 1 jam 39 menit Tanggal : 19 Maret 2019 Lokasi : TIS Square Tebet

1. Q. Bagaimana Prambors melihat dirinya di masa dahulu dan masa sekarang? A. Melihat diri? Sesuatu yang jarang-jarang saya kerjain tuh hahaha. Eh, maksudnya melihat diri apa ya, jadi sebetulnya konsepnya adalah sejak awal kita hanya sudah memutuskan untuk melayani sebuah pangsa pasar tertentu dan itu kita kerjakan sejak dari tahun awal ya dari tahun 70-an awal sampai sekarang itu kita gak pernah mengubah pangsa pasar dari produk kita. Bahwa kemudian ada, diperjalanannya ada bener ada salah , segala macem, itu tapi target marketnya gak pernah berubah. Barangkali itu yang membuat kita, sekarang, boleh dibilang yang paling berpengalaman di pangsa pasar itu bahkan bukan hanya terhadap sesama radio tetapi bahkan di produk-produk lain yang memang mensasar segmen yang sama. Banyak dari temen-temen di, apakah retail, apakah produsen fisik, itu yang kalau mau memilih pangsa pasar anak muda seringkali kita sering duduk bareng- bareng untuk coba diskusikan karena memahami pangsa pasar anak muda ini, yaa, sebetulnya kalau buat Prambors ya gak terlalu, buat kami gak terlalu sulit, tapi buat orang yang baru masuk memang aneh anak muda itu kan. Tapi, itu tadi, karena pengalaman ya sempet tuh 8 tahun kita melayani pangsa pasar yang sama plus dinamikanya plus perubahan-perubahannya karena berbeda sekali antara tahun awal-awal kita mulai siaran sampai sekarang pangsa pasarnya, anak mudanya udah sangat-sangat berbeda. Tapi, karena proses perbedaan itu juga bukan revolusi, dia kan pelan-pelan, kita bisa ngikutin kalau diliat tentu saja tahun 2019 dengan tahun 1971 itu memang signifikan sekali perubahannya, tapi, kan processingnya dia pelan-pelan. Jadi buat Prambors seperti gak ada perubahan karena dari setiap, kita biasanya bikin studi-studi, kita bikin riset-riset itu biasanya 3 tahunan. Setiap 3 tahunan itu kita melakukan, penyesuaian-penyesuaian.

2. Q. Bagaimana perbedaan (yang dijelaskan di atas) Prambors dahulu dengan sekarang? Apa kunci eksistensi Prambors? A. Apa ya, kan, radio itu kan barangkali berbeda misalnya kalau jualan sepatu, jualan baju, jualan Nike gitu ya, itu kan sebuah produk yang harus ada fungsinya tapi ada juga bagusnya, ada trendnya, ada apa gitu. Kalau radio itu kan dikonsumsi oleh konsumennya dia itu sebagai lifestyle, ya. Nah jadi, yang berubah adalah lifestyle mereka (pendengar). Bagaimana lifestyle mereka berubah? yaitu, mereka sangat tergantung sama lingkungannya, ya. Sebagai contoh, tahun 70-an, anak muda itu ya hanya cuman punya TVRI televisinya, cuma punya beberapa koran, barangkali ada majalah Tempo, tapi gak ada internet, ya, mereka sama sekali gak tahu dunia di luar Indonesia karena gak punya

209

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 exposure, ekonominya juga, negaranya masih gak terlalu bagus. Tahun 70-an itu pengelompokan remaja itu based on geografi, kenapa? karena mobilisasi mereka sangat terbatas karena kemampuan ya, misalnya mobil aja gak punya, motor sedikit gitu ya. Sehingga kelompok anak muda itu berbasis kepada letak geografis, jadi anak tetangga-tetangga ngumpul. Kalau sekarang, pengelompokan anak muda itu berbasis kepada, tadi, lifestyle, yang sama-sama doyan band Indie, band Indie yang ini aja sama band Indie yang itu udah beda. Jadi pengelompokan anak muda sekarang jauh lebih kecil, misalnya cukup 20 orang itu udah bisa ini, tapi kadang-kadang 20 itu temennya ada di New York, ada di mana, di belahan dunia manapun mereka berkumpul atas kesamaan selera. Nah jadi, itulah yang kita pelajari dan itulah yang mesti kita berikan kepada mereka karena kita dikonsumsi itu as a bagian gaya hidup mereka. Kalau kita tidak menjadi bagian gaya hidup mereka, kita gak dipake, orang udah gausah beli lagi, kan radio gausah beli, terus ya radio lain banyak gitu ya. Itulah yang membuat barangkali kita bisa bertahan terus.

3. Q. Bagaimana tanggapan Bapak terhadap media yang gulung tikar? A. Nah tapi kalau dibilang, tadi, media cetak gulung tikar itu karena biaya operasional media cetak itu memang sangat mahal karena dia harus ada kertas, percetakan, dan kertas itu perhari ini kertas media itu masih import. Jadi, mereka kalau mau tetap hidup mereka mesti, harus punya iklan berapa, kaya gitu ya, jadi memang bertahan hidup untuk media cetak itu jauh lebih kritis ketimbang radio. Radio itu kalau, gak ada cerita juga kan ada radio bangkrut. Kenapa engga? karena radio itu, pertama, istilah bangkrutnya sendiri gak ada kriterianya. Asal dia bisa pemancarnya dia nyalain, jadi misalnya pemancar 1 Kilowatt itu perbulannya untuk biaya listrik, kira-kira 4 juta perbulan. Jadi untuk nyalain pemancar 1 Kilowatt tuh kira-kira butuh hanya 4 juta. Terus puter lagu, nah puter lagu kita sambungin aja Spotify, colokin Spotify masukin ke mixer? udah siaran kita namanya radio nih. Tapi, masalahnya adalah ada yang denger atau enggak, gitu kan. Nah jadi, kalau dibilang rugi, itu dia kalau udah gak punya uang 10 juta, baru dia gulung tikar kalau istilah kamu tadi. Nah kalau di media cetak, harus punya, berapa ya 200 juta kali ya sebulan ya, lebih ya, tergantung oplahnya berapa. Jadi barangkali minimum harus punya uang 200 juta untuk jadi gak bangkrut, jadi gak gulung tikar. Sementara kalau di radio, cukup punya 10 juta, kalau gaji saya 60 juta sebulan, saya sisihkan 10 juta untuk nyalain pemancar, usaha saya gak dibilang mati. Padahal itu dibiayai oleh gaji saya, gitu kan. Se-simple itu yang namanya radio, nah jadi memang istilah gulung tikar radio itu memang harus di, goverment atau regulator harus membuat itu. Karena apa? Berbeda sama media cetak, media cetak itu, kamu mau bikin koran, kamu mau punya duit silahkan, kamu bisa nulis gak ada yang baca, dalam waktu 6 bulan kamu bilang 'ah I'm give up' terus tutup, gak ada yang rugi. Yang rugi kamu aja. Nah kalau radio, kita itu menggunakan frekuensi. Frekuensi itu punyanya orang banyak, jadi kamu itu sebetulnya one of the owner of the, yang namanya langit yang ada frekuensinya, gitu. Jadi frekuensi udara yang bisa kita gunakan untuk siaran itu dimiliki oleh, kalau Jakarta itu dimiliki oleh 7 juta orang. Nah itu yang membuat sebetulnya, radio yang tidak bermanfaat buat orang, radio di Jakarta, gak bermanfaat buat

210

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 orang Jakarta, si pemilik radionya, mesti ditutup. Nah tapi apa kriterianya dulu, kalau tutupnya karena gak punya duit? Tadi, gak tutup-tutup, orang cuman 10 juta. Karenanya dia harus, bermanfaat atau nggak. Gak ada yang denger? Gak ada yang dengernya untuk berapa lama? Masa baru setahun gak ada yang denger, tutup. Ya pokoknya menjadi lebih kompleks kalau kamu tanya tentang 'dia gulung tikar atau enggak', jadi kalau ditanya lagi 'radio gak ada yang gulung tikar?' kalau definisi gulung tikar kita adalah, si pengelolanya kehabisan uang. Kalau TV itu untuk nyalain TV, minimum kamu mesti punya video klip. Iya dong? gak sekedar lagu, video klip. Bisalah video klip kita datang ke, apa, produsen-produsen label musik, kita buat, itu yang dikerjain sama Prambors Channel, tapi kalau mau TV yang bener, kita harus bikin program. Bikin program itu untuk satu jam tuh dipotong iklan, 48 atau berapa gitu ya, 48 menit? itu 300 juta. Paling simple, apakah dia sinetron, apakah dia apa, hanya satu jam, padahal siarannya 24 jam. Jadi 24 x 300? baru satu hari, kalau satu bulan?. Nah jadi kalau TV lebih gampang, yang siaran sekarang juga gaya-gayaan aja pada, udah pada gak tahu pada pake duit darimana itu kan, gak ada yang untung, yang untung cuman 3 RCTI, SCTV sama yang nomor tiga ganti-gantian. Gitu, jadi kalau ditanya dari sisi (gulung tikarnya) itunya seperti itu, tapi kalau, tadi, masalah marketingnya? ya tadi itu ya, memang dia lifestyle, kalau TV itu program, jadi TV itukan sebenarnya kamu, mindahin pertunjukan di Taman Ismail Marzuki dipindahin ke, dikirim ke rumah melalui TV set, jadi kita bisa lihat. Tabrakan di mana, dikasih lihat ke kita, band juga dikasih lihat ke kita, komedian juga dikasih lihat ke kita. Nah, jadi yang dia kirim adalah pertunjukan. Kalau kita yang dikirim adalah 'companion', kalau radio itu dikonsumsi sebagai 'temen'. Kenapa dia bisa 'temen'? karena radio itu hanya dikonsumsi melalui satu panca indera orang, hanya melalui kuping. Sebagai contoh nih kita sekarang lagi interview, lagu itu kan bunyi. Kamu denger tapi gak pikirin kan, kenapa? kamu gak kenal lagunya, saya juga gak kenal. Jadi dia hanya sebagai suara, karenanya kalau radio kalau mau, jadi gini, kalau radio itu mau nyala terus, dia itu mesti, sambil kita ngobrol, begitu kamu 'bentar ya, saya minum', itu kan berenti ya otak kamu. Itu begitu, begitu, karena melodinya kita udah ada di (otak) kita, itu langsung, langsung otak kita nyanyi, jadi sebetulnya badan kita ikut nyanyi gitu karena dia very popular di top of mind kita. Nah nanti kalau udah selesai minum, terus 'jadi gimana?', nah itu ilang lagi tuh, nah ilang-gak-ilang-gak itu, itu gak jadi ukuran di survey. Yang diukur survey adalah, dia (lagu yang didengar) itu Prambors terus gak. Nah karenanya, kalau lagunya kaya begini (gak dikenal), terus kita ngobrol, saya bisa bilang 'ganti dong lagunya, berisik nih, ganggu kita lagi ngomong' (terus) dimatiin dong (lagunya), nah itu di survey (terlihat) kamu matiin Prambors, berarti kita kehilangan 1 responden yang merepresentasikan N- dari 2.500 untuk 20 juta, surveynya juga gila. JABODETABEK ITU 20 juta, let's say 20 juta responden. Riset radio itu cuma 2.500 untuk JABODETABEK, jadi 1 berbanding 25 juta (perandaian), (total) 10 ribu. Jadi berarti waktu kamu matiin radio Prambors, itu Prambors kehilangan 10 ribu pendengar. Nah karenanya, itu gak boleh mati itu, karenanya gak boleh muter lagu yang (gak enak) begini ini nih, gak boleh ngomong kebanyakan, itu annoying pasti dimatiin karena gak ada yang dengerin radio tapi kupingnya ditempelin di speaker, karena mata kita itu dipake buat yang

211

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 lain. Once mata kita, harus memperhatikan, yang harusnya pakai kuping, itu kupingnya ngikut sama mata. Kuping gak pernah bisa menguasai mata, gak bisa kamu bilang 'mata gue tutup supaya gue mau dengerin lagu', gak, mata itu tidak pernah ditutup hanya karena kamu mau dengar sesuatu. Nah jadi, seperti itulah kita harus melayani pendengar kita. Jadi berbeda dengan koran yang harus dipegang (cara bacanya), kalau radio? enggak. Jadi memang paling tinggi memang (didengar) di mobil.

4. Q. Bagaimana perjalanan Prambors dari awal hingga kini? A. Saya itu salah satu pendiri, waktu saya dirikan itu dulu saya baru 15 tahun jadi kalau kamu tau nyangka atau nggak, ya boro-boro nyangka, itu kan bagian dari iseng-iseng anak 15 tahun aja. Tapi, tadi, waktu kita bikin Prambors itu hanya goalsnya adalah 'kita mau bikin sebuah radio yang didenger oleh temen-temen kita' yang kebetulan sampai sekarang itu adalah segmen market yang sama. Jadi, saya gatau itu pinter atau gak, kebetulan atau feeling, kita waktu itu hanya 'pokoknya yang gue seneng, itu gue kerjain, karena gue seneng, mudah-mudahan temen-temen yang denger itu, karena seleranya sama jadi seneng juga'. Ternyata relatively, semua seneng, apalagi pada waktu itu kompetisinya juga gak terlalu banyak, radio anak muda juga adanya cuman kita waktu itu. Jadi semua dengerin. Nah, yang barangkali menjadi, entah kelebihan entah konsistensi dari management Prambors adalah, pada saat saya, saya pendiri itu yang paling muda, jadi saya beranjak menjadi dewasa itu saya nggak lagi nanganin hal-hal yang kreatif karena kreatif itu sangat ditentukan oleh selera si creatornya. Nah karena selera, jadi gini, anak muda itu dari yang saya alami, karena ngurusin Prambors, anak muda itu begitu dia menjadi dewasa, misalnya, waktu masuk perguruan tinggi, dia masih anak muda, begitu barangkali sarjana muda, sekitar, berapa ya, tingkat dua-tingkat tiga, udah tuh jadi orang tua dia tuh. Saya juga heran kenapa bisa begitu, jadi antara anak muda dengan orang dewasa, kalau kita ngomong turn off lifestyle, ya, dia bisa kaya, bisa kaya, sebuah pager aja, jadi bisa dia, bukannya gradasi, tiba-tiba aja dia berubah. Dia gak seneng Prambors, gak seneng ini, gak seneng ini, terus dia langsung radionya lain segala macem, dia terus jadi yang nuain jadi nuain (menua), terus jadi menjadi orang yang berbeda. Yang tadinya satu kelompok, begitu ngelewatin garis itu, mereka menjadi manusia sendiri- sendiri. Kadang-kadang kalau yang kawin, wajar ya dia harus sharing sama istrinya kemudian ada urusan rumah dan lain sebagainya, itu mereka lepas dari kelompok anak mudanya, kelompok peernya, tapi ada yang gak ngapa-ngapain tapi lepas juga dari peernya. Saya gak tahu kenapa tapi itulah yang, fenomena yang ada di anak muda kita itu, jadi dia tuh, kira-kira pada usia berapa ya, 35-an (tahun) lah, gitu, itu mereka menjadi orang yang berbeda. Nah, jadi itu tadi, bahkan creator-creator di Prambors, pada saat dia usianya mulai 30-an, itu udah mulai tidak punya touch lagi sama anak muda. Walaupun didukung oleh, kan gini, survey itu hanya ngasih data, dari data itu harus dibuat sebuah program, sebuah radio siaran. Nah, dari data menjadi sebuah konten siaran itu dibutuhkan proses kreatif. Nah, di proses inilah kalau kita salah pakai orang, keluarnya salah. Datanya sama, waktu dibalikin ketemu sama data, tapi kok enggak ya (gak jalan), nah karena ada kemampuan kreasi yang gak cocok, jadi tadi, dia dari awal sudah

212

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 segmen pasarnya sama, kemudian secara konsisten, kita melakukan, apa ya, kaderisasi di pengelolaannya, khususnya di pengelolaan bagian kreatifnya. Kalau orang keuangan sih mau kakek-kakek juga boleh dong, kalau bosnya mau jadi tua juga gak apa-apa. Tapi once, si bos (yang sudah lost touch) ikut-ikutan, itu awal dari malapetaka. Jadi, menurut saya di semua usaha, semua usaha kreatif, pada saat si pemilik yang sudah tidak punya feeling di market itu, di pangsa pasar itu, tapi terus-terusan ikut-ikutan, itu dia akan jadi masalah. Saya ada cerita, salah satu media, si pemiliknya sudah tua tapi dia masih ikut-ikutan di rapat redaksi, akhirnya ya, rapatnya jadi lama, gak pernah bisa dikalahin (ketika) debat, kalau dikerjain, gak cocok, karena udah tua banget. Udah tua banget dan udah mulai pikun, gitu kan. Begitu dia udah kehilangan touch terhadap market, gak bisa dipaksain. Saya, kalau ikut-ikut rapat di siaran, gak (akan) pernah ada yang menang, karena ada aja alesan saya gitu ya. Kalau saya ikut-ikutan terus, barangkali mereka akan 'ya namanya bos biarin aja deh, kita ikutin aja', itulah yang merusak kebanyakan dari produk-produk konten kreatif, jadi memang, tadi, kita mesti memang selalu punya kreatif yang mampu melakukan, membuat konsep-konsep, bahkan sampai produk, yang, ya selalu, update sama marketnya. Gak boleh kejauhan.

5. Q. Jadi kunci eksistensinya Prambors ini adalah dari kreatifnya? A. Iya, jadi banyak radio-radio siaran yang lahirnya bersamaan dengan Prambors di tahun 70-an itu, yang sekarang udah gak ada lagi radio itu hanya karena pemiliknya mati, radionya mati. Itu maaf, si pemilik mati dalam arti sebenarnya, si radio mati ya, licensenya dibeli, sahamnya dibeli sama orang lain terus konsep radionya diubah. Itu hanya karena, dulu ada yang namanya , radio Elshinta itu pemiliknya Mas Yos (Suyoso Karsono), Mas Yos itu, pokoknya orang dari zaman Orde Lama lah, orang kemerdekaan, tapi dia tuh AURI (angkatan udara) kalau gak salah, pilot atau apa saya lupa, tapi dia punya selera musik. Sehingga dia mendirikan studio rekaman yang dulu namanya Irama, ada di Cikini, bahkan dia sampai memproduksi piringan hitam, banyaklah musisi-musisi yang dia rekam, kemudian dibikinin piringan hitam. Nah dia yang bikin radio Elshinta, dia yang terkenal dengan Hawaian Senior, nah jadi radionya dia (Mas Yos) isinya, ya itulah orang-orang seangkatannya dia, yang waktu saya bikin Prambors itu namanya radio Oldies karena itu yang ada (salah satu pendiri dan penyiar) neneknya temen saya, itu neneknya suka siaran, bapak saya yang sudah tua juga suka ikut-ikut, kena kelompoknya itu. Jadi, itu mereka itu, bapak-bapak kita. Waktu saya ganti-ganti (penyiar dan kreatif) Mas Yos tuh siaran terus, jadi itu, kemudian Elshintanya dia lepas sahamnya terus dia bikin, dia pindahin radionya ke Suara Irama Indah, namanya, sama persis (Mas Yos juga siaran), kemudian kalau gak salah, adeknya (Mas Yos juga) siaran. Adeknya dibanding saya aja barangkali selisihnya 10 tahun lebih (tua), jadi itu terdiri, itulah radio yang orang tua banget yang bisa kalau ngomong (pas siaran) diem dulu, gitu, gak ada suaranya 'jadi...', gitu. Akhirnya, semuanya meninggal, orang-orang (penyiar dan pendiri) itu, udah, radio itu sekarang, siapa tuh? siapa yang jalanin ya. Jadi ya pokoknya dirubah deh tuh formatnya (Suara Irama Indah). Seperti itu, jadi gak bisa yang punya itu, kan yang punya itu ga berenti kan karena dia owner, tapi,

213

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 tadi, dia kan gabisa ngeberentiin usianya sehingga mereka harus aware bahwa suatu saat mereka harus lepas dari (keterlibatan). Kebanyakan pemilik adalah gak punya mainan lain sehingga mau ngerecokin terus (jalannya usaha).

6. Q. Bagaimana tanggapan Prambors terhadap era digital? A. Jadi sebetulnya, gini, sebetulnya teknologi digital ini, ya kita mesti, saya sependapat sekali sama Professor Rhenald nih, orang mengantisipasi digital itu, ada yang melihat dia (digital) sebagai ancaman, tapi ada yang melihat dia (digital) sebagai alat bantu. Jadi, malah value added. Yang melihat sebagai ancaman, itu melihat dia di seberang, jadi gue (pemilik usaha) di sini dan digital ada di sana (bersebrangan). Terus kalau gue (pemilik usaha) mau pake teknologinya, ya gue tetep di sini (diam di tempat), gitu loh. Itu yang dilakukan salah satu perusahaan media. Menurut saya, media itu konsep yang, seperti tadi 'saya orang, media analog, terus itu ada digital. Saya ambil digital, saya gunakan teknologinya di pola pikir analog', coba deh kamu baca koran itu. Itu kan jadi kaya baca koran dalam bentuk .com yang gak dipegang, yang gak pake kertas. Padahal mestinya gak begitu, mestinya ini orang media analog, nyebrang (menghampiri) kesitu (ke digital). Masuk (ke digital), lo (media) jadi apa disitu (digital)? karena disitu (digital) itu arusnya beda, atau misalkan kalau dianalogikan dengan laut, habitatnya lain. Saya gak pernah, padahal kalau saya, saya juga selalu ngomong sama temen-temen di media itu 'lo kalau jadi digital, wartawan lo itu, kan sekarang kameranya juga digital. Motret seenak udelnya, tinggal ganti SD Card aja, gausah beli film. Berarti dalam sehari dia punya barang kali ribuan shot, ya, terus ribuat shot itu, waktu lo di koran analog, yang lo pake satu. Kalau lo udah pake satu (di koran analog), yang wartawan yang lain, ada kurang bagus sedikit, itu udah gak bisa masuk (dipublish di koran analog). Nah kalau di digital, itu seluruh SD Cardnya lo taro (dipublish) bisa karena dia unlimited'. Soal bandwidth soal server, berapa sih server, jadi apakah begitu koran itu? kenapa sih dia (media tersebut) gak jualan foto orang lari gitu ya, siapa jadi juara, instead of (cuma) foto dimedaliin sama Jokowi (saja), dia punya semua foto (orang lari tersebut, seperti gallery foto) sehingga orang yang baca koran itu (dalam bentuk digital/aplikasi), dia cuma lihat foto, kenapa engga? kenapa harus jadi, isinya harus pembaca koran itu, yang seperti saya (masih dalam bentuk analog yang didigitalkan). Saya baca salah satu rubriknya aja udah gak enak karena formatnya aja lain, saya baca media (koran) lain itu saya gak mau karena saya, di kepala saya, di otak saya tuh format koran ya si koran itu. Terus, kalau dia terus mempertahankan saya (tidak sepenuhnya terjun ke digital), saya gak bakal ngeliat koran itu (dalam bentuk digital), terlalu capek (karena formatnya masih dalam bentuk analog yang didigitalkan). Saya bukan generasi digital kan, jadi saya gak pernah, gak terbiasa, mencari news dengan cara digital, saya memang orang analog. Terus buat apa dia mempertahankan saya (generasi analog)? The next generation kan saya abis, kenapa dia gak bikin apa ya, mestinya mereka lebih tau, tapi ya dia (koran itu) tetep aja, otaknya, halaman pertama terus di pojok sini apa, yang sini apa, kan ada tuh, ada ilmunya tuh. Itu kok dibawa ke digital? Ya gak ada dong. Digital itu ya, digital itu kan bisa, kalau kamu sudah pakai aplikasinya (media tersebut), saya pakai juga (aplikasinya), di kamu (iklan) yang nongol apa (notifikasi), di saya

214

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 yang nongolnya apa, lain. Kenapa? karena saya register data saya kan, saya umurnya 66 tahun, kamu 22 tahun, yang keluar (iklan) di kamu foto yang di saya (iklan) kuburan di San Diego Hills gitu kan. Itu yang jadi notifikasi dong, ini sekarang apa notifikasinya (media tersebut di aplikasinya)? Logo!, kaya kita lagi di traffic light, mau beli koran (dalam bentuk kertas), yang kita lihat logonya dong. Digital kan gak gitu, digital kan kita bangun, kita tau-tau plek (muncul notifikasi harusnya yang menarik pembaca), pokoknya kita seneng. Kamu karena 22 tahun dan perempuan, (notifikasi) keluarnya, let's say, lipstick. (Notifikasinya keluar) 'ih lipstick bagus' dan pas kamu klik, taunya itu (iklan atau berita) dari koran itu (dalam bentuk aplikasi). Iya dong? dari situ baru kamu semakin masuk (buka aplikasinya media tersebut). Saya? tadi, (iklan) kuburan murah, pas saya klik (masuk aplikasi), ternyata (dari) media itu (dalam bentuk aplikasi). Mestinya kan begitu (notifikasi yang muncul di layar adalah gambar atau artikel yang sekiranya menarik pembaca tergantung usia yang terdaftar di aplikasi tersebut, bukan malah logo yang keluar karena akan menurunkan minat orang untuk membuka aplikasi tersebut). Itu kan sebuah konsep yang sangat berbeda, bukan hanya (secara) gradasi tapi juga esensi (perubahannya). Jadi jangan orang analog terus ngakal-ngakalin jadi digital, jangan (seperti itu). Jadi itu memang harus, nah, jadi, ini ada teknologi, ini ada kebiasaan sebetulnya (di posisi yang berbeda). Nah orang yang tetep didua kolam yang tidak masuk di kolamnya digital, itu akan membuat, 'gue punya digital product tapi gue not a digital content', sementara yang digital content itu kan, ya gimana ya itu anak-anak muda, yang bikin digital content, kalau orang (media yang dibahas) nonton Youtubenya anak muda, pasti dia (reaksinya) 'apasih ini? gak ada isinya'. Tapi itu (Youtube anak muda) ditonton, yang nonton emang gak nyari isi. Nah, waktu dia koran kalau kamu, jadi gini, redaksi (media yang dibahas) kalau dia bikin 'eh kita mau dapet, supaya pembaca anak muda, kita bikin yuk (konten) yang gak ada manfaatnya', kan anak muda suka konten yang gak ada manfaatnya kan. Once dia bikin gitu (konten yang gak bermanfaat), saya gak beli lagi koran itu. Dia kehilangan satu pelanggan, jadi gak berani kalau dia analog. Nah, kalau di digital, dia bikin (konten untuk anak muda) bisa, dia bikin (konten untuk) saya bisa, dia bikin (konten buat) kamu lipstick tadi bisa, dia bikin buat si ini si itu (berbeda pembaca) bisa. Itu ditaro semua, kamu liat (kontennya), yang kamu liat (kontennya) gak saya liat dan yang saya liat (kontennya) gak kamu liat. Itu digital, itu yang gak bisa di analog. Sekali saya beli (media yang dibahas), kalau saya dikasih selera anak muda yang recehan itu, buat saya itu recehan, saya besoknya gak baca koran itu lagi, dia kehilangan pelanggan. Itulah, saya pernah diundang diskusi di media tersebut waktu mereka, karena bola, tabloid bola mau (pangsa pasarnya) anak muda, saya diundang. Saya ngoceh dan terakhir saya bilang (memberi nasihat) untuk membuat konten yang lebih menarik lagi, untuk mengembalikan salah satu konten yang menarik kembali diterbitkan, 'wah susah pak ini management...' ya saya 'ya gue tau, tapi kalau saya mau jujur itu (konten itu) jadiin aja, tinggal setiap Jumat lo (media tersebut) nyetak biasanya 15 atau berapa (halaman), sekarang jadi 20 (halaman)' tapi itu (konten tersebut) ada segmen baru dan dia (pembaca) beli koran tersebut, (untuk menarik pembaca) untuk dia mau baca bola ya dia harus beli koran itu. Nah tapi mereka gak bisa (melakukan itu) karena managementnya

215

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 ternyata yang satu ini dan yang satu lain (beda management). Nah itu tadi, jadi teknologi itu gak as is bisa digunakan (saja), (tetapi) orangnya yang harus berubah pemikirannya (agar dapat mengikuti perkembangan teknologi). Saya sekarang ini mau namanya Detikcom mau apa, itu semua, media cetak yang dipindahin ke sini (gadget), akhirnya pusing itu (untuk menyesuaikan, mengikuti perkembangan digital tapi masih dalam pola pikir analog), media cetak itu kan tulisannya gede (yang dicetak di koran), terus kita tutup (korannya) taro dulu (korannya), kalau kita buka (korannya, masih di halaman yang) itu lagi (karena berupa koran cetak), kalau ini (koran dalam bentuk aplikasi yang ada di gadget)? kita taro (handphonenya, rehat membacanya) (dan pas mau kita buka lagi di halaman yang terakhir dibaca) kita harus nyari lagi, 'dimana tadi tulisannya', gitu kan (karena kalau tulisan di koran yang dalam bentuk aplikasi ukuran fontnya kecil dan formatnya masih seperti koran cetak yang hanya dipindahkan ke digital saja, tidak dibuat format lain yang lebih mudah untuk dibaca). Nah, kalau di radio, itu sama, kalau dia sebagai 'waduh sekarang bisa ada audio-streaming, kita gak ada lagi yang denger' (bila takut dengan digital), yaa kalau posisinya begitu tadi (tidak siap dengan perkembangan digital) di situ ada audio streaming, saya punya audio terrestrial kan, di udara. Tapi, dengan teknologi digital, radio yang tadinya hanya kuping (media yang didengar), itu bisa jadi sama mata (menjadi media audio- visual), walaupun tidak sekuat televisi (visualnya). Tapi memang kita gak perlu (kekuatan visualnya) sekuat televisi kan, kita gak perlu nahan orang (selama) satu jam (hanya untuk) satu program kan (televisi), kita (radio) seperti tadi, (menggunakan audio) tapi sekarang, matanya ditahan (karena ada visualnya), jadi misalnya (pendengar dengerin) ini (gadget) bisa ya (pendengar sambil dengerin) lagu terus ternyata keluar (video) dia nyanyi. Kamu kalau udah pake aplikasinya Prambors (kalau buka aplikasinya Prambors) gini, terus keluar (muncul visualnya juga). Program radio yang tadinya hanya sesederhana didenger (saja), dengan digital itu bisa lebih kompleks.

7. Q. Jadi apakah bagi Prambors, digital adalah sebagai 'teman'? A. Sebagai, iya sebagai 'teman' dan sebetulnya sebagai memperkaya creativity dari programnya. Dulu orang kalau mau minta lagu itu harus (lewat) telepon, kalau sekarang? tulis aja di Twitter, kapan kita (penyiar) mau puternya ya gatau deh (kapan), tergantung nanti kreativitas kita (Prambors). Tapi dia (digital) anytime bisa, bahkan kita punya website kita punya segala macem, ya (Prambors) masih belum secara, ya sebetulnya bukan yang ide (tentang digital)-nya gak tahu, tapi belum mampu untuk menjadikan (digital sebagai) sebuah produk itu adalah, dia (digital) bener-bener (harus) synchronize dan intergrated, itu (digital) belum terjadi, masih audio abis itu digital, gak pernah, belum sampai 'waktu mikirin digital kepikiran audio dan waktu mikirin audio kepikiran digital, itu belum sampai begitu, ini yang masih proses. Jadi juga butuh proses untuk mengedukasi kemampuan kreasi yang dia (konten) harus jalannya bareng karena kalau udah, jadi gini, kalau udah bikin kreasi audio yang terrestrial, terus 'oke, terus digitalnya gimana?' nah itu udah gak bener tuh (kalau pemikirannya masih seperti itu). Itu namanya udah analog terus (baru) dicari-cari digitalnya. Sebaliknya, ada yang bikin, departemen yang bikin website segala macem, udah mikir digital 'terus

216

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 audionya gimana ya?' nah itu udah gak bener. Itu namanya udah bikin (terrestrial) tapi pengen bikin, ditambah-tambahin (jadi digital) ditarik-tarik (dipaksakan menjadi digital). Mikirnya tuh mesti dalem sebuah konsep yang sama, dari awal itu udah audio tapi mikirin, udah otaknya tuh otak digital, misalnya, dulu radio itu feedbacknya itu susah, koran dulu feedbacknya harus surat pembaca. Kalau radio itu feedbacknya (dulu) nungguin orang harus bikin surat atau orang telepon. Orang telepon itu satu tidak mewakili jumlah audiens, jumlahnya gak proporsional (tidak sebanding dengan jumlah pendengar yang ada), kalau sekarang? sambil lagunya jalan, kamu (pendengar) bisa itu (ngasih feedback). Jadi gini loh, ini radio bunyi, digitalnya diem, padahal mestinya lagunya ini, digitalnya ini sehingga kalau toh ini (terrestrial) dia matiin, dia (pendengar) tetep di Prambors karena bisa misalnya 'oh iya bagus ya lagunya' (ngasih feedback). Jangan sampai orang berpikir 'buat apa saya harus mengunduh aplikasi (Prambors) kalau misalkan saya bisa mendengarkan siaran yang sama dari audio terrestrialnya? kan (audio terrestrial itu) gratis. Buat apa saya harus membeli kuota untuk mendengarkan atau konsumsi produk yang sama?'. Jadi kita (Prambors) harus membuat konten digital yang juga menarik pendengar dan membuat mereka merasa ingin tetap (mendengarkan) di Prambors.

Penjelasan No. 7 : Jadi, untuk membuat produk digital itu Prambors atau media lain harus bisa mengikuti konsep digital secara synchronize dan intergrated. Prambors atau media lain tidak bisa membuat konten hanya memikirkan satu konsep baru kemudian merencanakan konsep yang lain, jadi pembuatan konten di kedua medium itu harus beriringan dan saling melengkapi agar memunculkan manfaat bagi konsumen. Jangan sampai konsumen berpikir bahwa konten yang ada di analog dan digital sama sehingga mereka meninggalkan salah satunya, kalau bisa buat pendengar agar bisa bertahan di Prambors. Bagi Prambors, kehadiran digital sebenarnya sangat membantu memperkaya kreatifitas program yang ada (dianggap sebagai 'teman'). Prambors masih dalam tahap upaya untuk mengusung konsep digital yang bermanfaat bagi konsumennya. Sampai saat ini, Prambors belum terjun sepenuhnya ke digital. Prambors baru memanfaatkan konsep digital dengan menghadirkan radio streaming dan website serta aset digital.

8. Q. Boleh tolong diceritakan masa transisi Prambors dari era konvensional ke era konvergensi? A. Ya tadi, tadi ya, kita harus, otaknya tuh harus, memang kita utilize, bagaimana me-utilize, jadi gini loh, akhirnya jangan, eh kita harus berpikir keluar dari pemikiran analog kita, kita harus berpikir konten. (urutannya) Mula-mula market, market, terus harus bikin apa? bikin sesuatu, nah bikin sesuatu terus teknologinya apa? jadi gausah kepikiran, yang analisa kita sejauh ini adalah kalau orang hanya punya digital untuk mendapatkan jumlah hits atau apa ya, jadi untuk kamu masuk, dateng ke itu, apalagi harus download aplikasi itu promosinya mahal. Itu yang dikerjakan oleh Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, adalah mempromosikan Billboard segede-gede apa untuk orang download aplikasi mereka. Nah, kalau di Prambors, Prambors itu yang denger udah 1 juta di Jakarta, kalau di 9 kota itu kira-kira kita

217

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 more less 3 juta lah, bisa sampai 4 (juta pendengar). Kalau kita bikin sebuah aplikasi digital itu setiap hari bahkan setiap jam, bisa 24 kali perhari, itu kita bisa ngajak mereka untuk gunakan aplikasinya Prambors. Aplikasi Prambors, streamingnya Prambors itu sekarang sudah digunakan oleh ratusan ribu (pendengar) streaming Prambors, kan Prambors punya audio streaming, itu (aplikasi Prambors) sudah digunakan dan itu, yang pake itu (berdasarkan survey) itu udah jutaan (pengguna aplikasi Prambors). Itu (nominal segitu) buat digital- digital lain, itu (Prambors dapat mencapai jumlah pengguna aplikasi sampai jutaan) sesuatu yang hebat banget. Kita yang analog, ngomongin satu juga-satu setengah juta (pendengar terrestrial-perbandingan) itu udah, satu juta itu kalau management Prambors udah saya marahin kalau cuma satu juta (pendengar audio terrestrialnya) di Jakarta, tapi kalau buat digital, seratus, dua ratus, tiga ratus ribu yang download (aplikasi Prambors) itu udah hebat banget. Jadi, itulah yang kita coba sinergikan antara (konsep) digital dengan analog. Memang sebetulnya itu bukan digital dan analog aja, tapi antara terrestrial dan streaming ini. Jadi karena terrestrialnya ada kemungkinan sebentar lagi juga (menjadi) digital. Tapi dia yang free to air, jadi dipancarkan kemudian orang secara gratis bisa ambil, bisa menangkap (siarannya). Radionya juga nanti jadi digital, sebenarnya (konsepnya) bukan digital dan analog tapi free to air atau streaming. Kemudian yang free to air itu barangkali, kalau digital, free to air itu bahkan bisa bergambar. Tapi untuk itu (kalau mau seperti itu) licensenya kita berbeda. Ya untuk itu, butuh bandwidth yang lebih lebar dan sebagainya, tapi itu tadi, dia (free to air) itu satu arah. Baliknya dia (feedbacknya) gak bisa pake sistem yang sama (free to air), kalau streaming itu dua arah, once kita udah nyambung, kita udah bisa (feedbacknya) bolak balik. Nah yang harus dimanfaatkan adalah, tadi, fasilitas bolak baliknya si streamingnya ini. Nah konsepnya free to air itu harus kita manfaatkan untuk feedbacknya melalui streaming.

9. Q. Pandangan untuk free to air (yang dijelaskan) merupakan pandangan untuk berapa tahun lagi? A. Saya gak tahu, saya gak bisa tebak. Kalau free to airnya berdiri sendiri, even TV barangkali gak lebih dari 10 tahun (umurnya), dalam 10 tahun gak ada yang nonton TV, lebih menyeramkan televisi daripada radio. Kalau radio, waktu orang semua kesini (handphone - digital), kita masih dipake untuk bunyi-bunyian (karena salah satu kelebihan radio adalah audionya), tapi kalau televisi? kalau semua sudah ada di sini (handphone - digital)? Netflix pun sebetulnya bukan free to air, Netflix tuh streaming, sekarang mereka (televisi) ketakutannya sama Netflix tuh bukan main. Ada salah satu perusahaan yang ngelarang Netflix tuh, Telkom, Indihome karena dia juga punya (Iflix), tapi itu menakutkan (Netflix), buat RCTI, buat SCTV. Di rumah saya udah gak pernah lagi anak-anak nonton TV nasional, mereka nontonnya Netflix, gak laku (televisi nasional). TV terrestrial itu yang nonton tinggal pembantu, makanya kalau kamu lihat programnya jelek, jangan protes, nonton enggak tapi protes. Kata RCTI 'kalian nonton enggak tapi protes', (kamu) bukan target audiensnya (karena target audiensnya kalangan menengah ke bawah). Acaranya (televisi sekarang) emang gak bermanfaat, gak mendidik, karena emang bukan (targent audiensnya), kalau

218

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 bermanfaat ntar malah gak ngerti lagi (target audiensnya). Nah jadi, kalau kamu tanya bahwa si free to airnya itu tidak berbuat apa-apa, hanya bertahan di free to air? barangkali televisi (hanya bertahan) less than 10 tahun, kemudian tambah murah (internet). Bayangin kalau Palapa Ring itu jadi, itu yang namanya streaming bisa dikonsumsi oleh orang di mana pun, borderless, bayangin, ngapain lagi nonton TV? kemudian (internet) jadi murah ya. Kan gini, saya soal murah ini kan saya sudah ngomong sama, zaman Menkominfonya masih Sofyan Djalil, saya bilang 'pak, ini (internet) kemahalan, backbone (rute perputaran internet) itu harusnya murah pak, nanti dia (internet) yang mahal yang konsumsinya lebih, yang konsumsi (internet) lebih itu pasti yang kaya pak. Dia akan beli kalau kelebihan itu ada manfaat, tetapi basically orang tidak mampu harus sudah bisa pakai (internet). Itu apa? itu backbone rendah, kalau backbonenya aja Bapak kasih ke Indosat (pegang backbone) terus Indosatnya perusahaan asing pula, waktu itu udah dijual, backbonenya itu perusahaan asing, ya dia mahal pak. Backbone itu harus Telkom dan itu harus subsidi', ya barangkali kata dia 'sok tau lah', tapi menurut saya bener yang barangkali Sandi bilang, bahwa ini terlalu mahal, internet kita masih terlalu mahal. Barangkali internetnya gapapa mahal, tapi ada yang murah yang, yang barangkali cuma bisa ngapainlah (kegunaannya) sehingga setiap kali ada peningkatan kemampuan orang, dia (internet) naik ke step yang berikutnya. Layanannya servicenya bagus, tapi tidak pernah ada yang buta (internet). Nah kan kebayang kalau itu (masyarakat fasih dengan internet) sudah terjadi, siapa yang mau nonton RCTI? karena apa? karena (kalau sudah digital) kita bisa nonton RCTI layanannya lain-lain (lewat aplikasi), kalau (sekarang) di RCTI gak bisa (karena masih pada konsep yang lama), 'gue lagi mau (nonton), gue lagi bebas waktunya (untuk nonton, tapi begitu nyalain televisi) yee lagi program buat pembantu gue, pas (program) yang gue, eh gue mesti pergi', waktu dia (jadi gabisa nonton RCTI karena masih konsep lama), (kalau sudah konsep baru) itu (konsep lama) gak ada. Ya as a free to air mah ada ya ada aja, tapi ditonton? enggak. Itulah yang saya lihat temen-temen televisi akhirnya semua gambar dibikin di streaming, produk yang sama dibikin di streaming? kaya media koran yang tadi saya ceritain dong, itu cuman distribusinya (aja yang berbeda), channel of distributionnya yang free to air dijadiin streaming (untuk TV), tapi bahannya sama, ya enggak (gitu dong). Kalau streaming itu ya jadi on demand (harusnya), jadi (harusnya) gak ada lagi itu TV sesuai jadwal siaran (di digital atau streaming), jadi on demand (harusnya kalau mau berkembang). Terus harus lain-lain, setiap orang harus disajikan program yang berbeda sesuai dengan demand mereka (kalau digital), jadi gak bisa disamain tayangannya tiap orang karena kalau begitu terus ya jadi gak berkembang (kalau mau masuk digital). Itu konsepnya digital, setiap orang lain (ditayanginnya), tapi semua itu di kanalnya di aplikasinya RCTI, misalnya ya, (jadi RCTI atau TV lain harus bisa mengimbangi demand masyarakat bila terjun ke dunia digital. Caranya adalah dengan membuat format baru di aplikasinya yang disesuaikan dengan selera pengguna aplikasi tersebut) biar ketika ditanya, kita semua itu pake kanal RCTI, tapi nontonnya apa? ya lain-lain sesuai selera. Itulah digital, kalau sekaran RCTI nontonnya apa? ya sama (tayangan yang ditayangkan untuk semua penonton). Kalau masih sama (tayangannya)? ya gak nyambung (dengan konsep digital). Dia (TV) tidak akan

219

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 bisa ngalahin (digital bila masih terpaku dengan konsep lama), dia (TV) tidak memanfaatkan digital, dia akan menjadi seperti (media yang diceritakan di No. 6) dia tidak memanfaatkan digital.

10. Q. Apakah konvergensi media merubah struktur perusahaan di Prambors? A. Kalau as a company, gak ada bedanya, dia (struktur perusahaan) sama. Sama, ada modal, ada production house, ada overhead, semua sama. Barangkali revenue streamingnya yang ada beda, tapi akhirannya sama. Yang jadi beda adalah waktu streaming ini (Prambors) borderless, jadi waktu jualan 'bisa gak kita jualan bahwa yang nonton orang Amerika? bahwa aplikasi kita diakses oleh anak muda Amerika?' nah itu yang kita jual, bisa gak itu (mencapai target)?. Kalau kita udah streaming tapi yang streaming anak Jakarta, ini sekarang di kantor masih (bawa iming-iming) 'Jakarta streaming jumlahnya sekian, Manado sekian' nah 'lo (Prambors) streaming atau terrestrial sih? kok ngomongnya masih Jakarta, Manado.' Itu aja (kalau masih bawa kota) otaknya masih otak analog, kalau streaming ya jangan ngomongin kota lagi. Borderless, bahkan, itu yang saya bilang tadi, kelompok manusia dikemudian hari itu nanti dia (kelompok) temen sekolah tapi temen (kelompok) seselera, isinya? sedunia, ada orang Kenya, Aborigin, di mana, yang punya selera sama, ngomongnya sama. Tapi ini kita memang masih ada kendala bahasa, kalau di dunia bersepakat bahwa bahasa Inggris menjadi bahasa internasional, semua (siaran) berbahasa Inggris, gak ada lagi (bahasa Indonesia). Ini kan sekarang kita masih buat Indonesia ya, kendalanya ada di bahasa.

11. Q. Masuknya era digital ke Prambors itu dimulainya kapan? A. Kita sih udah mulai (dengan adanya website, streaming dan aset digital), cuman belum, kita udah mulai tapi belum, tadi, belum sampai yang melakukan hal-hal yang ekstrim seperti itu (menghilangkan terrestrial) karena bagaimanapun, waktu kita mau melakukan itu (fokus ke digital) ada sebuah infrastruktur yang harus kita siapkan dan biasanya infrastruktur itu juga gak terlalu murah, sehingga harus ada pertimbangan investasi kalau udah ada investasi terus ada lagi nanti hitungan-hitungan tentang returnnya (investasi), nah di digital kalau ngomongin return, sampai saat ini, terutama di Indonesia, kesulitannya adalah revenuenya belum jelas. Jadi memang aneh, jadi kalau ngobrol sama orang periklanan (karena Prambors hidup dari iklan), mereka (periklanan) ngomong tinggi tentang digital (nyuruh Prambors masuk digital) tapi begitu kita tawarin digital, mereka masih takut untuk beli, alasannya karena mereka belum tahu apakah nanti (produknya kalau diiklankan melalui digital akan) laku atau nggak. Yang ada, mereka nawarnya pengen beli (slot) yang terrestrial tapi dapet (slot) di digital. Kenapa? karena dia (pengiklan) gak berani juga ngomong ke kliennya (karena revenue digital masih belum jelas). Jadi, semua ini (revenue dan pengiklan) masih analog. Pengiklan masih meragukan digital, takut produk mereka tidak laku bila dipasarkan melalui digital (karena pemikirannya masih analog). Padahal melalui digital semua itu jadi mudah loh, kalau dulu kan siklusnya kan bikin produk, promosi, sediain di toko, promosi, orang dateng ke toko, beli, pake, (setelah)

220

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 pake, abis, balik lagi mau beli harus ke toko dulu dan siklusnya terus kaya gitu, kan. Kalau digital? sekarang gak perlu kaya gitu, tinggal pencet aja (di aplikasi shopping online) tinggal tunggu ya nanti dateng sendiri barangnya ke rumah, gak usah kemana-mana, gak usah ke toko lagi. Kalau masih mikir toko ya masih belum digital. Kalau kita mikirnya masih gak keluar dari box, itu gak bakal bisa (jalan ke digital). Prambors ini kan masih (di masa) transisi, jadi divisi digital ini masih berupa divisi saja. Jadi gini, kalau misalkan terlalu mikirin digital, nanti analognya malah jadi turun ratingnya. Jadi, untuk ngembangin digital, kita harus lakukan di divisi sendiri yang gak terbeban oleh target harian. Sementara yang analog harus mengejar target harian, bukan hanya target listeners tapi juga target rupiah. Jadi dia (Prambors) strukturnya pengembangan (konten digital) itu di divisi tersendiri. Kalau kamu tanya tentang organizational charts kita itu masih analog.

12. Q. Mas Evan bilang kalau (digital membuat) ada perubahan di Prambors yaitu dengan munculnya divisi digital. A. Sebetulnya engga, sebetulnya Evan itu, dia tadinya Program Director, sekarang namanya Content Director kalau gak salah ya. Kenapa dia jadi Content Director? karena konsep kita adalah 'yang dipikirin oleh Evan adalah konten', gak penting lagi dia di distribute by terrestrial or by streaming. Jadi dia bikin konten aja, nah tetapi, bagaimana pun Evan itu, dia masih proses, masih terbiasa dalam proses analog. Kemudian yang membahayakan adalah si proses daily, daily process dari analog ini, ini selalu dituntut oleh, ya ditantang oleh environment, baik dia listeners maupun dia klien pemasang iklan. Nah waktu terjadi ketemu begini (tantangan) dia gak akan bisa berpikir di luar dari yang dituntut ini, (listeners dan pengiklan) nuntutnya analog, gitu. Misalnya, dia untuk listenership dia akan dituntut oleh rating di Nielsen. Rating Nielsen itu analog, kemudian as a client, dia menuntut 'spot gue di mana? ini gue di mana? berapa kali sehari (diputarkan iklannya)? impactnya gimana (pada penjualannya)?' itu analog. Once dia mikirin digital, tadi ya, kebayang kamu, begitu bedanya dia berpikir, kemudian ada telepon dari klien yang nanyain analog dan harus dijawab orang dia (klien) udah bayar, dia udah jadi pelanggan kita. Yang ini (digital)? gue tinggalin gapapa orang ini (digital) masih future. Jadi ini (digital) gak akan pernah kepegang kalau itu di assign kepada orang-orang yang daily basis punya pekerjaan yang tuntutannya sudah bukan tuntutan company lagi tapi tuntutan dari environment. Jadi kita sekarang bikin, jadi kalau Evan bilang engga, ya Evan, gini, Evan itu as a Content Director, dia berpikirnya 'produknya terrestrial, promotionnya streaming', tapi belum bikin konten streaming. Waktu dia harus mikirin konten streaming? gak jadi-jadi, bukan karena dia gak bisa tapi 40 jam seminggu dia waktunya habis melayani tuntutan (yang masih analog) itu tadi.

13. Q. Jadi apakah Prambors ini posisinya masih di masa transisi? A. Yang di Prambors sendiri saya gak bilang dia transisi, dia jalan aja karena secara managerial dibilang, kalau kita bilang transisi mereka (crew) menjadi ngerasa bahwa 'someday akan berubah nih atau someday gue akan berenti atau someday gue bisa diganti', terlalu banyak pemikiran managementnya yang

221

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 negatif. Padahal mereka (crew) harus fokus pada, tadi, melayani day to day. Kebayang kalau nanti ditanya 'pak besok aja deh pak, saya juga masih belum tau mau jadi apa kan', jadi dia yang namanya transisi itu gak pernah kita (management) berikan kepada mereka (crew).

14. Q. Kalau menurut Bapak, apakah Prambors sudah masuk digital atau belum? A. Jauh, buat saya, kalau kamu nanya Prambors dan Prambors bilang belum, yang lain (radio lain) juga pasti belum. Prambors relatively lebih punya kemampuan, ya barangkali 2 atau 3 steps di depan yang lain (radio lain). Kita sudah berpikir kesitu (digital), barangkali kalau yang lain (radio lain) bahkan berpikir kesitu aja belum. Kita udah berpikir, tapi belum bisa ngerjain karena tadi ya, ngerjain itu harus, kan itu tadi saya hanya cerita aja, waktu kamu tanya 'pak udah ngerjain pak?', 'udah' saya bilang, 'gimana pak?', 'gatau' saya bilang karena itu kan baru cerita, kan itu kan yang saya ceritain kan udah jadi. Prosesnya ya harus bikin, dan itu harus bikin dalam day to day, jam ke jam bahkan menit ke menit kalau bikin. Ya tadi ada notifikasi yang muncul di handphone. Bayangin kalau kamu mau, kalau mau handphone kamu diganggu oleh Prambors, kaya apa kita kerjanya? walaupun itu as a technology itu bisa dibantu ya, tapi kan tetep ya kontennya harus kita siapin.

15. Q. Jadi bentuk digital di Prambors ini baru streaming (dan website serta aset digital)? A. Mestinya sih begitu. Tapi itu tadi ya, kita masih belum lepas terrestrial karena streamingnya masih mahal. Kebayang gak kamu kalau kamu saya kasih konten yang sangat menarik, Prambors, kemudian kamu download aplikasi Prambors kemudian itu (aplikasi) nyala terus 24 hours dan saya kirim gambar, kirim video klip, kirim apa, kirim apa. Paket buat sebulan ya bisa habis dalam seminggu, nanti yang disalahin siapa? Prambors kan. Waktu kamu kehabisan paket? kamu marah ke Prambors, kamu kehilangan 100 ribu kan yang seharusnya 4GB untuk satu bulan tapi satu minggu sudah habis hanya karena buat berlangganan (streaming) Prambors. Jadi gitu tadi, bayangin gak kamu bahwa misalnya saya sangat ahli di dalam membuat konten digital sehingga kamu berlangganan aplikasi Prambors, 4GB satu bulan kamu habis dalam satu minggu, it means tadinya 100 ribuan paket itu ya, itu kamu jadi. 400 ribu sebulan (untuk dengerin streaming Prambors selama 24 jam). Kamu nyalahin siapa? Prambors, bukan nyalahin providernyam gitu loh. Itu juga harus dipikirin karena waktu kita di blame, kita kehilangan kepercayaan pelanggan dan nanti hilang lagi terrestrialnya Prambors karena kamu jadi marah kan. Jadi memang mesti tetep asik, tetep murah. Selama operatornya masih gila (internet mahal) seperti ini ya memang repot (untuk sepenuhnya terjun ke digital). Bayangin kalau di Amerika aja udah, bahkan wifinya aja ada di mana- mana, nyambung (di jalan pun, jalan kaki pun masih bisa dapat wifi publik).

16. Q. Apa harapan Prambors untuk 10 tahun ke depan? Bagaimana upaya Prambors untuk terus mempertahankan eksistensinya?

222

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 A. Ya kalau saya sih, itu ya, Prambors tuh sekarang sudah berpikirnya bukan radio lagi, kita itu konten. Jadi konten untuk anak muda. Yang juga belum kita lakukan adalah, belum serius digarap ya itu, kan anak muda juga kumpul-kumpul, physically, itu belum digarap, karena tadi, (pengelompokan) dia jadi semakin kecil-kecil (berdasarkan selera), hanya 10-20 orang. Kalau dulu bikin acara off air itu yang nonton ribuan, kalau sekarang? engga. Anak udah ngumpul itu (palingan) 20, 50 (sesuai selera). (kalau sesuai selera) Bayangin, ada berapa acara harus kita siapkan? Nah itu yang belum, kan idealnya adalah Prambors itu harus selalu ada di hidupnya anak muda, kita merchandise juga belum ya, kita belum sampai ngelayanin mereka (anak muda) merchandise, misalnya, kita mustinya pensil aja Prambors juga punya, terus penggaris, rak buku, buat yang sekolah. Buat yang perguruan tinggi ya barangkali backpack atau apa. Mestinya Prambors harus seperti itu. Waktu kita sudah seperti itu, gak mungkin kita kehilangan pelanggan. Apalagi kalau abis itu kita punya produk makanan, kalau udah makanan anak muda.

17. Q. Apakah ini yang disebut dengan Prambors ingin menjadi sebuah brand anak muda (yang dibahas ketika wawancara dengan mas Evan)? A. Iya, walaupun itu sih cita-cita ya. Sampai engga (terjalankan) juga gak harus, tapi, tapi mestinya begitu, apalagi kalau kita bicara itu sudah borderless. Kan kita mesti (mikir ke depan, biar media lain jadi) 'oke lo head to headnya siapa?', 'siapa?', kalau sekarang gitu ya head to headnya ya masih sama sesama radio lain seperti Gen, sama Trax. Tapi kalau kita sudah menjadi sebuah produk borderless, ketika ditanya 'head to headnya siapa?', kita bisa jawab 'Nike' dan itu yang akan membuat minder radio lain. Ya bukan gak mungkin. Kita udah pernah ya bikin, pernah clothing tapi ya tadi, bikin clothing tapi otaknya masih otak analog, bikinnya toko? ya gak ada yang dateng.

18. Q. Bagaimana upaya Prambors agar dapat masuk (berpindah) ke digital? A. Kalau masuk, sebetulnya masuk ya semua bebas masuk ya, tinggal mampu bikin barang yang bermanfaat gak? Kalau digital itu kan kalau gak bermanfaat ya gak bisa (bertahan). Kalau gak bermanfaat nanti ya gak dipake lagi (sama masyarakat). Turn to digital itu gak gampang, harus cari manfaatnya, jadi bukan sekedar hanya mau tapi harus bisa. Contohnya seperti Go-Jek, dia memberikan manfaat, bukan hanya sekedar digital. Dia (Go-Jek) mikirin manfaat, dia bisa jalanin karena ada digital. Kebalik, Go-Jek itu tidak pernah bisa (jalan) kalau bukan digital. Sebaliknya, saya, tahun 2000 saya sudah bikin aplikasi seperti Tokopedia, tapi gak jalan karena digitalnya masih seperti itu (belum berkembang), ngirimnya masih lewat Tiki, orang beli online juga masih bingung, handphone juga belum secanggih sekarang, belinya masih melalui PC. Dulu itu konsepnya sama kaya Tokopedia sekarang, cuman sistem pengiriman (dulu) masih payah banget, kurirnya jelek banget (dulu). Kalau sekarang kan yang namanya Jne gila. Nah itu tadi, (usaha saya) mati karena gak bisa melayani, gak bisa nguntungin, malah ngebebanin kan. Kalau sekarang kan karena (belanja) jadi mudah, ya ngapain gue ke toko. Saya kemarin habis beli barang yang tokonya di Bali

223

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 bahkan, kalau Tokopedia kan kalau di Jakarta nggak ada (barang yang di mau) ya dibeli dari Bali, cuman ya paling delivery timenya jadi lama. Sekarang infrastrukturnya sangat mendukung. Kalau pertanyaannya 'sudah goes digital?' jawabannya belum karena ya itu tadi, dia benefitnya apa buat customer. Kalau hanya 'oh gue digital loh', silahkan aja. Kalau masalah konvergensi, di kontennya Prambors itu sudah ada di dua medium, tadi ya, yang terrestrial dan free to air. Tapi kalau dibilang yang streaming itu bermanfaat atau tidak? Lebih kepada kelengkapan, masih melengkapi saja. Begitu (streaming) berdiri sendiri? gak bermanfaat. Misalnya orang nulis di, ngechar di Twitternya Prambors? dapet apa? gak dapet apa-apa. Saya gatau, kayanya juga gak ada tuh yang nungguin Twitter. Twitter itu lebih kepada di blast terus followersnya disuruh komen, tapi ya abis itu ditinggalin, Twitternya gak ditungguin. Mestinya Desta kan begitu selesai siaran dia ke Twitter, jadi orang bisa terus ngobrol sama Desta by Twitter, mestinya gitu, tapi belum.

19. Q. Apa hubungan Prambors dengan Masima Network? A. Masima Network itu perusahaan yang mengelola radio Prambors. Jadi radio Pramborsnya sendiri pengelolanya gak ada, kalau kamu dateng ke 'mana PT. Radio Prambors?' itu gak ada, gak ada pengelolanya. Jadi PT. Prambors itu, jadi gini, pemilik izin siaran itu harus perseroan terbatas, nah jadi PT. Radio Prambors itu pemilik license, pemilik izin siaran nah pengelolanya itu Masima. Semua Prambors, 9 (wilayah) Prambors itu dikelola oleh Masima, juga Delta, juga Bahana. Jadi kenapa dia (Masima) itu (kelola)? karena kerjaannya sama, Delta, Prambors, Bahana, bahkan Female itu pekerjaannya sama sehingga kalau saya bikin masing-masing kerja sendiri, biayanya jadi kemahalan. Ada 20 organisasi yang kerjanya sama, sekarang dibikin satu sehingga pekerjaan-pekerjaan yang khas yang khusus untuk satu titik (organisasi) menjadi kecil sehingga cost di setiap titik itu menjadi sangat rendah. Sebaliknya, cost yang besar di Masima Radio Network itu menjadi murah karena digunakan di sembilan radio Prambors. Prambors ini rencananya dalam waktu dekat, dia (terrestrialnya) harus menjadi 20 (wilayah), terus kemudian menjadi 50. Waktu dia menjadi 50 (wilayah) di Masima Radio Network itu costnya sama, gak berubah karena dibikinnya (konten) sama terus tinggal dikirim, gak nambah sama sekali.

20. Q. Boleh tolong diceritakan ketika masa Revitalisasi di Prambors? Apa penyebabnya? A. Ya sebetulnya lebih kepada, apa ya, itu sebetulnya kita cari sparing yang lebih bisa, yang lebih bisa maju. Itulah biasa kan kita stuck, orang tuh mikir kadang- kadang stuck. Nah sementara masalahnya masalah kreatif, agak sulit, kan gak bisa cuman ikut kursus. Susahnya Prambors, Masima, itu tadi, kita tuh kira-kira tiga langkah di depan industri. Waktu kita stuck, kita gak bisa ngomong ke siapa- siapa. Kalau yang di belakang kami, itu kalau ada apa-apa masih bisa ke kami. Kalau kita? udah gak ada lagi nanya ke siapa. Radio berjaringan pertama ya Prambors. Jadi kita mesti cari sendiri, nah seringkali mencari-cari ini, itu tadi kan 'mau cari templatenya gimana, ini gimana' nah akhirnya pada saat itu kita coba cari partner yang sudah lebih berpengalaman, walaupun dari sisi waktu ngitung-

224

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 ngitung masa kerja sih lamaan gue (Prambors), cuman karena dia belajar serius di pusatnya industri radio, dia belajar di Amerika, kemudian dia terapkan di Australia, Australia itu kan radio swastanya lebih belakang dari kita (Prambors). Tapi dia dapet ilmunya dari sumbernya kemudian dia aplikasikan (dari Amerika di Australia karena budaya dan ekonominya mirip), jadi dia bisa terapkan disitu. Saya juga beberapa kali coba dapetin ilmu di Amerika tapi Amerika dan Indonesia itu sebuah environment yang sangat berbeda, gak bisa begitu aja kita terapkan, ekonominya, jadi pendengarnya itu kalau di Amerika, pendengar radio country itu kaya raya. Sementara di Indonesia, country itu sama dengan dangdut. Kalau dangdut kamu bilang kaya raya? gak bisa, susah. Jadi memang agak sulit (dari ekonomi saja sudah beda). Radio itu selera, belum tentu miskin. Kita kerjasama sama dia

21. Q. Jadi kerjasama dengan Masima itu dimulai dari tahun 2011/2012 (Revitalisasi)? A. Iya, kita kerjasama sama orang dari New Zealand. Dia orang New Zealand tapi dia kerja di Australia.

225

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019 GHESILIA GIANTY JOURNALISTIC STUDENT

CONTACT A B O U T M E I'm 23 years old and searching for experience to work in media industry. I'm 08126552806 an open-minded, fast learner, well-organized, and honest person. I'm [email protected] capable of controlling myself in any situation. Instagram : Ghesilia Language

Bahasa Pertamina Raya No. 20, Pondok English Ranji, Tangerang Selatan. ORGANIZATIONAL EXPERIENCE

EDUCATION COMMPRESS 2016

Pembangunan Jaya Junior High School Sponsorship 2008-2011 I'm responsible for finding sponsor to support Commpress 2016, an event Pembangunan Jaya Senior High School regarding journalistic thing. 2011-2014 ANGLOCITA 2016 Multimedia Nusantara University 2014-present Sponsorship Anglocita is an event that show some of Indonesia traditional dance SKILLS performances by Tracce UMN and I'm responsible for finding sponsor to Photoshop support this event. Premiere RADIOACTIVE 2016 InDesign Food and Beverages iMovie I'm responsible for handling food and beverages for Radioactive 2016, an Microsoft Office event by UMN Radio team.

INTEREST COMMPRESS 2017 Fashion Food and Beverages Beauty I'm responsible for finding vendors to support this event in food and Travelling beverages section.

Manajemen prambors media..., Ghesilia Gianty, FIKOM UMN, 2019