BUKU POLITIK GENDER ACEH.Pdf
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
DAFTAR ISI Halaman Pengantar Penulis Pengantar Editor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Masalah Kajian 4 1.3 Kondisi Politik Gender pada masa lalu 4 1.4 Ketidaksetaraan Gender 8 1.5 Pemberdayaan gender 9 1.5.1 Gender 17 1.5.2 Pemberdayaan 19 1.5.3 Kesetaraan 22 BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Teori yang relevan 23 2.2 Gender 24 2.3 Pemberdayaan 27 2.4 Politik Gender 30 2.4.1 Teori Nurture 31 2.4.2 Teori Equilibrium 33 2.5 Partisipasi Politik 34 2.6 Budaya Politik 36 2.7 Kesetaraan 38 2.8 Feminisme 39 2.8.1 Feminisme Radikal 41 2.9 Kesimpulan 43 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Kualitatif 45 3.2 Wawancara 45 3.3 Kajian Pustaka 46 3.4 Teknis Analisis data 46 3.5 Kesimpulan 47 BAB IV ACEH DALAM KONTEKS SEJARAH POLITIK GENDER 4.1 Sejarah Politik gender di Aceh 49 4.2 Berbagai sebutan yang dianugerahkan untuk Aceh 52 4.3 Perkembangan Kerajaan Aceh 58 4.3.1 Masa Keemasan 59 4.3.2 Masa Kemunduran 61 4.4 Hubungan Aceh dengan dunia Internasional 65 4.5 Kedudukan Wanita dalam Kerajaan Aceh 69 4.5.1 Ratu Nur Illah pelopor pemimpin Wanita di Nusantara 70 4.5.2 Ratu Nahrasiyah sebagai Sulthanah terakhir di Kerajaan 72 Samudera Pasai 4.5.3 Kemajuan Kerajaan Samudera Pasai dimasa kepimpinan Ratu 73 4.6 Kesungguhan Wanita Aceh menentang penjajah 75 4.7 Kesimpulan 77 BAB V POLITIK GENDER DI ACEH SEBELUM DAN SETELAH MoU HELSINKI 5.1 Politik Gender di Aceh 80 5.2 Faktor-faktor berlakunya diskriminasi ke atas Wanita Aceh 81 5.3 Pemahaman perempuan Aceh mengenai konsep gender 86 5.4 Keadaan politik gender sebelum MoU Helsinki 89 5.4.1 Pemahaman undang-undang berkaitan gender 90 5.4.2 Partisipasi politik pereampuan Aceh 92 5.4.3 Pendidikan dan kesedaran politik di kalangan perempuan Aceh 94 5.4.4 Peranan keluarga dalam partisipasi politik 96 5.4.5 Kapabilitas sistem Pemilu 97 5.4.6 Peran pemerintah Aceh dalam monsosialisasi konsep gender 100 5.5 Kondisi politik gender setelah MoU Helsinki 104 5,5.1 MoU Helsinki sebagai blue print pemberdayaan politik gender 109 di Aceh 5.5.2 Pemahaman undang-undang berkaitan dengan gender 130 5.5.3 Partisipasi Politik Perempuan Aceh 132 5.5.4 Pendidikan kesedaran politik di kalangan perempuan Aceh 139 5.5.5 Peran keluarga dalam partisipasi politik 144 5.5.6 Kapabilitas sistem Pemilu 145 5.5.7 Peran pemerintah Aceh dalam mensosialisasi konsep gender 146 5.4.8 Pengaruh adat resam Aceh dalam memahami gender 148 5.6 Pengalaman penerapan keadilan gender di Aceh 151 5.6.1 Masa penerapan otonomi daerah 152 5.6,2 Masa reformasi 155 5.7 Partisipasi politik perempuan Aceh di masa rekonstruksi dan 157 rehabilitasi 5.7 Kesimpulan 159 BAB VI USAHA PEMBERDAYAAN POLITIK GENDER DI ACEH 6.1 Usaha pembedayaan politik gender di Aceh 162 6.2 Pemahaman politik gender di kalangan masyarakat Aceh 164 6.3 Peluang partisipasi politik di kalangan perempuan Aceh sesuai 166 undang-undang 6.4 Pendidikan politik bagi perempuan Aceh sesuai dengan keadaan 167 6.5 Partisipasi keluarga sebagai sebagai pemicu perberdayaan politik 171 gender 6.6 Partai politik perempuan alat komunikasi politik di Aceh 172 6.7 Kapabilitas Sistem Pemilihan Umum 173 6.8 Peran pemerintah Aceh dalam promosi gender 175 5.8.1 Peran institusi pendidikan dalam memasyarakatkan gender 176 6.9 Tinjauan kembali penafsiran syariat yang berhubungan dengan 178 gender 6.10 Penafsiran kembali budaya patriarki di masyarakat Aceh 181 6.10 Kesimpulan 182 BAB VII KESIMPULAN 184 DAFTAR PUSTAKA 194 LAMPIRAN 204 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pada dasarnya manusia diciptakan menjadi perempuan maupun laki-laki , memang berbeda sehingga saling melengkapi agar mampu membangun suatu kekuatan baru yang berguna bagi berbagai aktivitas manusia. Namun dalam sejarah perkem-bangannya telah terjadi dominasi oleh satu pihak terhadap pihak yang lain, sehingga menimbulkan perbedaan di antara laki-laki dan perempuan. Secara statistik pada umumnya perempuan berada pada tingkat yang kurang berhasil dalam berbagai aspek kehidupan. Situasi ini merupakan hasil akumulasi dan akses dari nilai sosiokultural suatu masyarakat. Hal ini telah menjadi perubahan yang sangat signifikan seiring dengan perjalanan waktu dan peran perempuan itu sendiri. Perubahan tersebut seiring dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan stabilitas menuju ke pendekatan kesejahteraan dan keadilan atau dari pendekatan produksi ke pendekatan kemanusiaan dalam situasi yang lebih demokratis dan terbuka. Persoalan gender pada dasrsnya adalah menganut prinsip kesetaraan dan keharmonisan, namun dalam kenyataan sering terjadi perbedaan atau diskriminasi serta sejenisnya di satu pihak. Sedangkan di lain pihak perlakuan terhadap perempuan sering disalahkan, terutama oleh kaum laki laki. Jadi denganberbagai argumen mendukung perjuangan kaum perempuan dalam upaya memperjuangkan kesetaraan mereka dengan kaum laki-laki menjadi penting terutama di dunia politik, ekonomi maupun akademik. Kaum perempuan menyadari ketertinggalannya dibandingkan kaum laki-laki dalam banyak aktivitas kehidupan termasuk di bidang politik. Berbagai organisasi tentang perempuan didirikan baik dalam konteks Negara Republik Indonesia maupun di tingkat internasional, semua organisasi tersebut memiliki tujuan yang mendasar yaitu untuk memperjuangkan kesetaraan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aktivitas kehidupan. Sementara pada tahun 1993 di Wina diselenggarakan pertemuan yang ke - 34 mengenai status kaum perempuan. Pertemuan ini telah merumuskan bahwa analisis terhadap konsep pemberdayaan perempuan tanpa memberikan peluang keterlibatan laki - laki, namun hasil yang diperoleh juga kurang efektif (Meutia Hatta, 2006 : 05). Pada mesyuwarat tersebut dibahas juga bahwa tanpa kesungguhan yang nyata dari berbagai kalangan terutama dari pihak kaum laki-laki, maka pemberdayaan 1 perempuan tidak akan berhasil, efektif dan mantap. Jadi untuk pemberdayaan perempuan pendekatan yang sesuai adalah menggunakan pendekatan gender yang dikenal sebagai gender dan pembangunan. Pendekatan ini sesuai dengan paradigma baru yang menekankan pada hubungan kesetaraan yang harmonis antara keduanya. Dalam konteks provinsi Aceh keterlibatan perempuan sebelum kemerdekaan telah dicatat dalam perjalanan sejarah tentang kesuksesan dan kegemilangan kaum perempuannya. Mereka telah menunjukkan kemampuannya dalam bidang politik dan pemerintahan secara efektif. Pada saat itu mereka mampu melawan kaum kolonial bahkan ada yang menjadi kepala militer seperti Malahayati, Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia serta Tungku Fakinah dan lain sejenisnya. Pada tahun 1042 Masehi, pemerintah Islam Samudera Pasai berada di bawah pemerintahan Sultan Malikul Saleh , kemudian pemerintah tersebut bergabung dengan beberapa pemerintah di Aceh menjadi negara baru yang bernama kerajaan Aceh Darussalam. Dari pemerintah Malikul Saleh sampai pemerintah Aceh Darussalam ada 31 Sulthan yang memerintah kerajaan tersebut , lima orang diantaranya adalan adalah Sulthanah atau kaum perempuan, yaitu ; 1) . Ratu Nahrisyah Wangsa Kadiyu 1400 - 1427) di kerajaan Samudera Pasai, 2). Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan berdaulat (1641 - 1675) , 3). Sulthanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675 - 1678) , 4). Sulthanah Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah (1678 - 1988), dan 5). Sulthanah Sri Ratu Kemalat Syah (1688 - 1699). Selain Sulthanah tersebut di atas, di Aceh juga ada panglima perang perempuan yang memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda seperti Laksamana Keumalahayati adalah merupakan perempuan pertama di dunia yang pernah menjadi seorang laksamana. Beliau lahir pada masa kejayaan Aceh , tepatnya pada akhir abad ke-15. Aceh terkenal karena telah melahirkan banyak pahlawan perempuan, seperti Cut Nyak Meutia, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Aisyah, Pocut Meurah Intan, Pocut Biheu, Cutpo Fatimah, Teungku Fakinah, Pocut Baren dan lain- lain. Pocut Baren yang menjadi bahasan tulisan ini merupakan wanita bangsawan yang lahir pada tahun 1880 di Tungkop, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Dia adalah putri Teuku Cut Amat, Uleebalang (tokoh adat) Tungkop yang sangat berpengaruh pada masa tersebut. Kemunduran kaum perempuan di provinsi Aceh terjadi setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, dimana keterlibatan kaum perempuan selalu dibatasi dalam berbagai aktivitas baik bidang politik, budaya, sosial maupun ekonomi. Hal ini terjadi pada rezim orde lama, rezim orde baru maupun rezim reformasi. Dalam rezim orde baru kaum perempuan tidak ada kesempatan untuk terlibat dalam pemerintahan Negara atau daerah, saat ini kaum perempuan Indonesia dan Aceh mengalami masa kemunduran dalam berbagai aktivitas Negara. Berdasarkan Aida Vitayala S.Hubeis (2010 : 28) menyatakan bahwa keterlibatan perempuan diberbagai lembaga Negara 2 belum mencapai minimal quota affirmative action seperti yang diinginkan undang- undang yang ada. Dalam konteks Aceh persoalan gender sebelum MoU Helsinki berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, hal telah terjadi pada rezim orde lama, orde baru dan reformasi. Kaum perempuan pada masa tersebut tidak diberikan kesempatan yang signifikan, di samping itu perempuan Aceh juga hidup dalam konflik yang berlangsung selama 32 tahun . Peminggiran kaum perempuan Aceh sangat signifikan, hal ini dapat dibuktikan bahwa keterlibatan mereka dalam berbagai bidang tidak pernah diperhitungkan apalagi untuk mencapai taraf yang memuaskan. Misalnya dalam proses MoU Helsinki tidak ada perempuan seorangpun terlibat di dalamnya, pada hal proses konsultasi dan negosiasi menuju MoU berlangsung dalam waktu yang cukup lama dimulai di Aceh, Jepang, Stockhon, Jenewa dan Helsinki. Selain itu pemerintah