BUKU POLITIK GENDER ACEH.Pdf

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

BUKU POLITIK GENDER ACEH.Pdf DAFTAR ISI Halaman Pengantar Penulis Pengantar Editor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Masalah Kajian 4 1.3 Kondisi Politik Gender pada masa lalu 4 1.4 Ketidaksetaraan Gender 8 1.5 Pemberdayaan gender 9 1.5.1 Gender 17 1.5.2 Pemberdayaan 19 1.5.3 Kesetaraan 22 BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Teori yang relevan 23 2.2 Gender 24 2.3 Pemberdayaan 27 2.4 Politik Gender 30 2.4.1 Teori Nurture 31 2.4.2 Teori Equilibrium 33 2.5 Partisipasi Politik 34 2.6 Budaya Politik 36 2.7 Kesetaraan 38 2.8 Feminisme 39 2.8.1 Feminisme Radikal 41 2.9 Kesimpulan 43 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Kualitatif 45 3.2 Wawancara 45 3.3 Kajian Pustaka 46 3.4 Teknis Analisis data 46 3.5 Kesimpulan 47 BAB IV ACEH DALAM KONTEKS SEJARAH POLITIK GENDER 4.1 Sejarah Politik gender di Aceh 49 4.2 Berbagai sebutan yang dianugerahkan untuk Aceh 52 4.3 Perkembangan Kerajaan Aceh 58 4.3.1 Masa Keemasan 59 4.3.2 Masa Kemunduran 61 4.4 Hubungan Aceh dengan dunia Internasional 65 4.5 Kedudukan Wanita dalam Kerajaan Aceh 69 4.5.1 Ratu Nur Illah pelopor pemimpin Wanita di Nusantara 70 4.5.2 Ratu Nahrasiyah sebagai Sulthanah terakhir di Kerajaan 72 Samudera Pasai 4.5.3 Kemajuan Kerajaan Samudera Pasai dimasa kepimpinan Ratu 73 4.6 Kesungguhan Wanita Aceh menentang penjajah 75 4.7 Kesimpulan 77 BAB V POLITIK GENDER DI ACEH SEBELUM DAN SETELAH MoU HELSINKI 5.1 Politik Gender di Aceh 80 5.2 Faktor-faktor berlakunya diskriminasi ke atas Wanita Aceh 81 5.3 Pemahaman perempuan Aceh mengenai konsep gender 86 5.4 Keadaan politik gender sebelum MoU Helsinki 89 5.4.1 Pemahaman undang-undang berkaitan gender 90 5.4.2 Partisipasi politik pereampuan Aceh 92 5.4.3 Pendidikan dan kesedaran politik di kalangan perempuan Aceh 94 5.4.4 Peranan keluarga dalam partisipasi politik 96 5.4.5 Kapabilitas sistem Pemilu 97 5.4.6 Peran pemerintah Aceh dalam monsosialisasi konsep gender 100 5.5 Kondisi politik gender setelah MoU Helsinki 104 5,5.1 MoU Helsinki sebagai blue print pemberdayaan politik gender 109 di Aceh 5.5.2 Pemahaman undang-undang berkaitan dengan gender 130 5.5.3 Partisipasi Politik Perempuan Aceh 132 5.5.4 Pendidikan kesedaran politik di kalangan perempuan Aceh 139 5.5.5 Peran keluarga dalam partisipasi politik 144 5.5.6 Kapabilitas sistem Pemilu 145 5.5.7 Peran pemerintah Aceh dalam mensosialisasi konsep gender 146 5.4.8 Pengaruh adat resam Aceh dalam memahami gender 148 5.6 Pengalaman penerapan keadilan gender di Aceh 151 5.6.1 Masa penerapan otonomi daerah 152 5.6,2 Masa reformasi 155 5.7 Partisipasi politik perempuan Aceh di masa rekonstruksi dan 157 rehabilitasi 5.7 Kesimpulan 159 BAB VI USAHA PEMBERDAYAAN POLITIK GENDER DI ACEH 6.1 Usaha pembedayaan politik gender di Aceh 162 6.2 Pemahaman politik gender di kalangan masyarakat Aceh 164 6.3 Peluang partisipasi politik di kalangan perempuan Aceh sesuai 166 undang-undang 6.4 Pendidikan politik bagi perempuan Aceh sesuai dengan keadaan 167 6.5 Partisipasi keluarga sebagai sebagai pemicu perberdayaan politik 171 gender 6.6 Partai politik perempuan alat komunikasi politik di Aceh 172 6.7 Kapabilitas Sistem Pemilihan Umum 173 6.8 Peran pemerintah Aceh dalam promosi gender 175 5.8.1 Peran institusi pendidikan dalam memasyarakatkan gender 176 6.9 Tinjauan kembali penafsiran syariat yang berhubungan dengan 178 gender 6.10 Penafsiran kembali budaya patriarki di masyarakat Aceh 181 6.10 Kesimpulan 182 BAB VII KESIMPULAN 184 DAFTAR PUSTAKA 194 LAMPIRAN 204 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pada dasarnya manusia diciptakan menjadi perempuan maupun laki-laki , memang berbeda sehingga saling melengkapi agar mampu membangun suatu kekuatan baru yang berguna bagi berbagai aktivitas manusia. Namun dalam sejarah perkem-bangannya telah terjadi dominasi oleh satu pihak terhadap pihak yang lain, sehingga menimbulkan perbedaan di antara laki-laki dan perempuan. Secara statistik pada umumnya perempuan berada pada tingkat yang kurang berhasil dalam berbagai aspek kehidupan. Situasi ini merupakan hasil akumulasi dan akses dari nilai sosiokultural suatu masyarakat. Hal ini telah menjadi perubahan yang sangat signifikan seiring dengan perjalanan waktu dan peran perempuan itu sendiri. Perubahan tersebut seiring dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan stabilitas menuju ke pendekatan kesejahteraan dan keadilan atau dari pendekatan produksi ke pendekatan kemanusiaan dalam situasi yang lebih demokratis dan terbuka. Persoalan gender pada dasrsnya adalah menganut prinsip kesetaraan dan keharmonisan, namun dalam kenyataan sering terjadi perbedaan atau diskriminasi serta sejenisnya di satu pihak. Sedangkan di lain pihak perlakuan terhadap perempuan sering disalahkan, terutama oleh kaum laki laki. Jadi denganberbagai argumen mendukung perjuangan kaum perempuan dalam upaya memperjuangkan kesetaraan mereka dengan kaum laki-laki menjadi penting terutama di dunia politik, ekonomi maupun akademik. Kaum perempuan menyadari ketertinggalannya dibandingkan kaum laki-laki dalam banyak aktivitas kehidupan termasuk di bidang politik. Berbagai organisasi tentang perempuan didirikan baik dalam konteks Negara Republik Indonesia maupun di tingkat internasional, semua organisasi tersebut memiliki tujuan yang mendasar yaitu untuk memperjuangkan kesetaraan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aktivitas kehidupan. Sementara pada tahun 1993 di Wina diselenggarakan pertemuan yang ke - 34 mengenai status kaum perempuan. Pertemuan ini telah merumuskan bahwa analisis terhadap konsep pemberdayaan perempuan tanpa memberikan peluang keterlibatan laki - laki, namun hasil yang diperoleh juga kurang efektif (Meutia Hatta, 2006 : 05). Pada mesyuwarat tersebut dibahas juga bahwa tanpa kesungguhan yang nyata dari berbagai kalangan terutama dari pihak kaum laki-laki, maka pemberdayaan 1 perempuan tidak akan berhasil, efektif dan mantap. Jadi untuk pemberdayaan perempuan pendekatan yang sesuai adalah menggunakan pendekatan gender yang dikenal sebagai gender dan pembangunan. Pendekatan ini sesuai dengan paradigma baru yang menekankan pada hubungan kesetaraan yang harmonis antara keduanya. Dalam konteks provinsi Aceh keterlibatan perempuan sebelum kemerdekaan telah dicatat dalam perjalanan sejarah tentang kesuksesan dan kegemilangan kaum perempuannya. Mereka telah menunjukkan kemampuannya dalam bidang politik dan pemerintahan secara efektif. Pada saat itu mereka mampu melawan kaum kolonial bahkan ada yang menjadi kepala militer seperti Malahayati, Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia serta Tungku Fakinah dan lain sejenisnya. Pada tahun 1042 Masehi, pemerintah Islam Samudera Pasai berada di bawah pemerintahan Sultan Malikul Saleh , kemudian pemerintah tersebut bergabung dengan beberapa pemerintah di Aceh menjadi negara baru yang bernama kerajaan Aceh Darussalam. Dari pemerintah Malikul Saleh sampai pemerintah Aceh Darussalam ada 31 Sulthan yang memerintah kerajaan tersebut , lima orang diantaranya adalan adalah Sulthanah atau kaum perempuan, yaitu ; 1) . Ratu Nahrisyah Wangsa Kadiyu 1400 - 1427) di kerajaan Samudera Pasai, 2). Sulthanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan berdaulat (1641 - 1675) , 3). Sulthanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675 - 1678) , 4). Sulthanah Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah (1678 - 1988), dan 5). Sulthanah Sri Ratu Kemalat Syah (1688 - 1699). Selain Sulthanah tersebut di atas, di Aceh juga ada panglima perang perempuan yang memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda seperti Laksamana Keumalahayati adalah merupakan perempuan pertama di dunia yang pernah menjadi seorang laksamana. Beliau lahir pada masa kejayaan Aceh , tepatnya pada akhir abad ke-15. Aceh terkenal karena telah melahirkan banyak pahlawan perempuan, seperti Cut Nyak Meutia, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Aisyah, Pocut Meurah Intan, Pocut Biheu, Cutpo Fatimah, Teungku Fakinah, Pocut Baren dan lain- lain. Pocut Baren yang menjadi bahasan tulisan ini merupakan wanita bangsawan yang lahir pada tahun 1880 di Tungkop, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. Dia adalah putri Teuku Cut Amat, Uleebalang (tokoh adat) Tungkop yang sangat berpengaruh pada masa tersebut. Kemunduran kaum perempuan di provinsi Aceh terjadi setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, dimana keterlibatan kaum perempuan selalu dibatasi dalam berbagai aktivitas baik bidang politik, budaya, sosial maupun ekonomi. Hal ini terjadi pada rezim orde lama, rezim orde baru maupun rezim reformasi. Dalam rezim orde baru kaum perempuan tidak ada kesempatan untuk terlibat dalam pemerintahan Negara atau daerah, saat ini kaum perempuan Indonesia dan Aceh mengalami masa kemunduran dalam berbagai aktivitas Negara. Berdasarkan Aida Vitayala S.Hubeis (2010 : 28) menyatakan bahwa keterlibatan perempuan diberbagai lembaga Negara 2 belum mencapai minimal quota affirmative action seperti yang diinginkan undang- undang yang ada. Dalam konteks Aceh persoalan gender sebelum MoU Helsinki berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, hal telah terjadi pada rezim orde lama, orde baru dan reformasi. Kaum perempuan pada masa tersebut tidak diberikan kesempatan yang signifikan, di samping itu perempuan Aceh juga hidup dalam konflik yang berlangsung selama 32 tahun . Peminggiran kaum perempuan Aceh sangat signifikan, hal ini dapat dibuktikan bahwa keterlibatan mereka dalam berbagai bidang tidak pernah diperhitungkan apalagi untuk mencapai taraf yang memuaskan. Misalnya dalam proses MoU Helsinki tidak ada perempuan seorangpun terlibat di dalamnya, pada hal proses konsultasi dan negosiasi menuju MoU berlangsung dalam waktu yang cukup lama dimulai di Aceh, Jepang, Stockhon, Jenewa dan Helsinki. Selain itu pemerintah
Recommended publications
  • Camscanner 07-09-2020 10.13.44
    Daftar Isi KATA PENGANTAR............................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vi DAFTAR TABEL..................................................................................... xiii BagianSatu Sejarah Aceh 1. Sejarah Singkat Aceh........................................................................ 1 2. Masa Kesultanan Aceh ..................................................................... 6 BagianDua Rumoh Aceh Adat dan Sejarah . 1. Adat Menetap .................................................................................... 20 2. Sekilas Rumoh Aceh ......................................................................... 23 3. Upacara Dan Adat............................................................................. 36 4. Upacara Pengambilan Bahan dari Hutan .......................................... 37 5. Upacara Pada Saat Mendirikan Rumah ............................................ 44 6. Upacara Adat Ketika Menempati Rumah Baru.................................. 47 7. Keterkaitan Dengan Adat Lain........................................................... 49 8. Kearifan Lokal ................................................................................... 52 Halaman iv Bagian Tiga Struktur Rumoh Aceh . 1. Alat Dan Ukuran ...............................................................................
    [Show full text]
  • National Heroes in Indonesian History Text Book
    Paramita:Paramita: Historical Historical Studies Studies Journal, Journal, 29(2) 29(2) 2019: 2019 119 -129 ISSN: 0854-0039, E-ISSN: 2407-5825 DOI: http://dx.doi.org/10.15294/paramita.v29i2.16217 NATIONAL HEROES IN INDONESIAN HISTORY TEXT BOOK Suwito Eko Pramono, Tsabit Azinar Ahmad, Putri Agus Wijayati Department of History, Faculty of Social Sciences, Universitas Negeri Semarang ABSTRACT ABSTRAK History education has an essential role in Pendidikan sejarah memiliki peran penting building the character of society. One of the dalam membangun karakter masyarakat. Sa- advantages of learning history in terms of val- lah satu keuntungan dari belajar sejarah dalam ue inculcation is the existence of a hero who is hal penanaman nilai adalah keberadaan pahla- made a role model. Historical figures become wan yang dijadikan panutan. Tokoh sejarah best practices in the internalization of values. menjadi praktik terbaik dalam internalisasi However, the study of heroism and efforts to nilai. Namun, studi tentang kepahlawanan instill it in history learning has not been done dan upaya menanamkannya dalam pembelaja- much. Therefore, researchers are interested in ran sejarah belum banyak dilakukan. Oleh reviewing the values of bravery and internali- karena itu, peneliti tertarik untuk meninjau zation in education. Through textbook studies nilai-nilai keberanian dan internalisasi dalam and curriculum analysis, researchers can col- pendidikan. Melalui studi buku teks dan ana- lect data about national heroes in the context lisis kurikulum, peneliti dapat mengumpulkan of learning. The results showed that not all data tentang pahlawan nasional dalam national heroes were included in textbooks. konteks pembelajaran. Hasil penelitian Besides, not all the heroes mentioned in the menunjukkan bahwa tidak semua pahlawan book are specifically reviewed.
    [Show full text]
  • Perempuan Dalam Gerakan Kebangsaan
    PEREMPUAN DALAM GERAKAN KEBANGSAAN Triana Wulandari Hilmar Farid Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan Triana Wulandari Pengantar : Sri Margana Prakata Penulis : Triana Wulandari Sekapur Sirih : Hilmar Farid Desain Sampul : Ruhtata Tata-Letak : Tim Redaksi Penerbit Cetakan I: November 2017 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Wulandari, Triana. Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan. xxxii + 312 hlm.:15,5 x 23 cm ISBN :978-602-72017-7-4 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin tertulis dari Penerbit. Isi di luar tanggung jawab percetakan Sekapur Sirih Oleh:Oleh: Dr. Hilmar Hilmar Farid Farid DirjenDirektur Kebudayaan Jenderal Kemendikbud Kebudayaan RI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia BERBICARA tentang gerakan kaum perempuan, di ujung dunia mana pun, selalu menjadi tema perbincangan yang menarik dan hangat. Bukan saja karena sisi “perempuan”-nya, melainkan lebih karena isu-isu yang diusungnya senantiasa menjadi titik perbincangan menarik di tengah dunia yang didominasi kuasa lelaki ini. Di Indonesia sendiri gerakan kaum perempuan sudah dimulai sejak awal, sejak jaman kolonialisme, bahkan jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia. Nama-nama seperti Ken Dedes, Tribuana Tunggadewi, Roro Jonggrang, dan lain-lain sudah cukup populer sebagai perempuan legendaris yang menurut beberapa tafsir sejarah –meski perlu dikaji lebih serius—sedikit banyak dapat terhitung sebagai pergerakan perempuan kala itu. Di jaman modern, gerakan kaum perempuan menjadi semakin terorganisir, terstruktur, dan massif, mulai dari era Kartini hingga era reformasi terkini. Sudah banyak hasil yang terlihat dan bisa dinikmati dari gerakan perempuan berabad-abad lamanya itu. Namun demikian, dalam konteks sejarah perjuangan bangsa, peran kaum perempuan kerap diabaikan, bahkan dipandang sebelah mata.
    [Show full text]
  • Potret Pahlawan Dalam Karya Tapestri
    POTRET PAHLAWAN DALAM KARYA TAPESTRI ARTIKEL FITRIA ERVIANI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA JURUSAN SENI RUPA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI PADANG Wisuda Periode September 2017 Abstrak Berbahasa Indonesia Abstrak Tujuan pembuatan karya akhir ini adalah menciptakan tujuh potret pahlawan Indonesia teknik tapestry, dengan alasan karena pengorbanan, perjuangan, dan tindakan mereka yang sangat berarti dan bermanfaat bagi masyarakat. Alasan lain generasi muda sekarang kurang menghargai jasa para pahlawan, dan rasa nasionalismenya kian memudar. Oleh karena itu, penulis mengambil tema potret pahlawan sebagai subjek dalam berkarya. Metode proses penciptaan karya : pertama, persiapan dengan cara melakukan pengamatan. Kedua, elaborasi, ketiga, tahap sintesis, keempat, realisasi konsep yaitu membuat sketsa, persiapan alat dan bahan, memindahkan sketsa, proses berkarya, dan finishing. Kelima, penyelesaian yaitu pameran dan pembuatan katalog dan laporan. Hasil karya, potret pahlawan Indonesia yakni Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Meutia, Sultan Hasanudin, Jenderal Sudirman, Imam Bonjol, Ir. Soekarno, dan Teuku Umar. Diharapkan karya akhir bermanfaat bagi mahasiswa jurusan seni rupa, sebagai bahan apresiasi dan karya pembanding untuk menciptakan karya tapestri yang lebih baik di masa yang akan datang. Kata Kunci : Potret Pahlawan, Tapestri Abstrak Berbahasa Inggris Abstract The purpose of making this final work is for creating seven potraits Indonesian’s heroes of dashing tapestry techiques. With reason because of sacrifices, stuggles, and actions that giving meaning and benefits for society. Other reason, today the younger generations are less appreciative of the heroes and their sense of nationalism is fading away. Therefore, the author takes a theme about as a subject in this work. The method of creation processnof work : first, preparation bay way doing observatio.
    [Show full text]
  • In Southeast Asian Nationalist Movements
    & Ting Blackburn NUS PRESS SINGAPORE Women Books on Southeast Asian nationalist movements make very little — if any — mention of women in their ranks. Biographical studies of politically active women in South- inSoutheastAsianNationalistMovements Women in Southeast Asian east Asia are also rare. Women in Southeast Asian Nationalist Movements makes a strong case for the signifi cance of women’s involvement in nationalist movements and for the diverse impacts of those movements on the lives of individual women Nationalist Movements activists. Susan Blackburn & Helen Ting, editors Some of the 12 women whose political activities are discussed in this volume are well known, while others are not. Some of them participated in armed struggles, while others pursued peaceful ways of achieving national independence. The authors show women negotiating their own subjectivity and agency at the confl uence of colonialism, patriarchal traditions, and modern ideals of national and personal emancipation. They also illustrate the constraints imposed on them by wider social and political structures, and show what it was like to live as a political activist in different times and places. Fully documented and drawing on wider scholarship, this book will be of interest to students of Southeast Asian history and politics as well as readers with a particular interest in women, nationalism and political activism. PUBLISHED WITH SUPPORT FROM THE NICHOLAS TARLING FUND Susan Blackburn is an associate professor in the School of Political and Social Inquiry at Monash University, where she teaches Southeast Asian Politics. Helen Ting is a research fellow at the Institute of Malaysian and International Studies of Universiti Kebangsaan Malaysia.
    [Show full text]
  • Women's Marginalization from Public Spaces
    Women’s Marginalization from Public Spaces: The Case of Aceh Mohd Roslan Mohd Nor University of Malaya, Malaysia Inayatillah The State Institute for Islamic Studies Ar-Raniry, Indonesia Abstract Women’s roles and positions in the governmental system, as well as in other institutions in the contemporary context, can be seen from their involvement in the political arena and the ability of women to occupy decision-making positions. Women’s inability to achieve important positions in public is influenced by many factors, including ideology and government policy, as well as by social changes and modernization. This article aims to focus on the condition of Acehnese women by analyzing their roles and positions in the governmental system as well as in other institutions. The discussion intends to explore the factors that have triggered the marginalization of Acehnese women in public. This article implies that the ex- clusion of Acehnese women from public spaces is largely caused by internal and external factors, by protracted conflicts as well as the modernization process in the region. Key words Acehnese women, marginalization, public space, contemporary context, decision making Introduction Women’s marginalization is still being studied by many researchers and scholars in order to address gender inequality in many aspects of life. Some cases of women’s marginalization among Muslims are related to the issue of hijab, although in some Arab and Muslim countries, hijab is not a symbol of oppression but one of devotion to Islam. Nevertheless, in several Muslim countries, it seems that women are 56 ❙ Mohd Roslan Mohd Nor⋅Inayatillah forced to wear hijab.
    [Show full text]
  • Representasi Pendekar Perempuan Pada Tokoh Malini Dalam Film
    ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan representasi pendekar perempuan dalam film Gending Sriwijaya. Hal yang akan diteliti adalah representasi heroisme perempuan yang berperan sebagai pendekar. Film sendiri didefinisikan sebagai sebuah karya seni yang juga berperan sebagai media komunikasi massa yang menyampaikan pranata sosial dan dibuat berdasarkan kaidah sinematografi (Sobur,2004: 126) Kemunculan film Gending Sriwijaya merupakan hal yang baru dalam perfiliman Indonesia. Hal ini dikarenakan film Gending Sriwijaya merupakan Film Kolosal pertama yang ditayangkan di bioskop Indonesia pasca tahun 80-an (Tariz, 1013 melalui cinetariz.blogspot.com/2013/01/review-gending-sriwijaya) Film ini juga menjadi menarik diteliti karena memunculkan tokoh pendekar perempuan bernama Malini. Kemunculan malini diasumsikan dapat menunjukkan hal yang baru, terutama mengenai penyajian representasi perempuan dalam film Indonesia. Pada umumnya, perempuan dalam film Indonesia direpresentasikan sebagai sosok yang lemah serta memiliki kedudukan di bawah laki laki (Puspitasari, 2013:13-14). Penelitian mengenai representasi perempuan sebenarnya sudah sering dilakukan. Namun, penelitian mengenai perempuan yang berperan sebagai pendekar masih jarang dilakukan. Selain itu film yang dipilih juga belum pernah I - 1 SKRIPSI REPRESENTASI PENDEKAR ... RIZKY CHANDRA S. ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA diteliti sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya hasil penelitian mengenai film Gending Sriwijaya, baik secara cetak maupun online. Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini peneliti berupaya untuk melakukan penelitian mengenai representasi pendekar perempuan pada tokoh Malini dalam film Gending Sriwijaya menggunakan riset kualitatif dengan analisis semiotik John Fiske. Dalam film Indonesia, perempuan seringkali ditampilkan secara tidak adil. Perempuan seringkali ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dalam kelas, sosial, ekonomi, politik, dan kekuasaan (Fakih,2003 : 15).
    [Show full text]
  • Para Tokoh Tokoh Muhammadiyah
    MENGENAL MENGENAL MENGENAL NILAI MENGENAL NILAI NILAI PERJUANGAN KI NILAI PERJUANGAN PERJUANGAN BAGUS HADI PERJUANGAN NYAI AHMAD K.H. Mas KUSUMO SUDIRMAN DAHLAN Mansoer Nyai Ahmad Dahlan lahir dengan nama Siti Walidah di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1872. Ia adalah putri dari Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta; daerah bertempatnya tokoh agama banyak dari keraton. Dia bersekolah di rumah, diajarkan berbagai aspek tentang Islam, termasuk bahasa Arab dan Qur'an, ia membaca Al Qur'an dalam naskah Jawi. Pada tahun 1914 ia mendirikan Sopo Tresno, dia dan suaminya bergantian memimpin kelompok tersebut dalam membaca Al Qur'an dan mendiskusikan maknanya. Segera ia mulai berfokus pada ayat-ayat Al Qur'an yang membahas isu- isu perempuan. Dengan mengajarkan membaca dan menulis melalui Sopo Tresno, pasangan ini memperlambat Kristenisasi di Jawa melalui sekolah yang disponsori oleh pemerintah kolonial. Bersama suami dan beberapa pemimpin Muhammadiyah lainnya, Nyai Ahmad Dahlan membahas peresmian Sopo Tresno sebagai kelompok perempuan, dan memutuskan nama Aisyiyah, berasal dari nama isteri Nabi Muhammad, yakni Aisyah. Kelompok baru ini, diresmikan pada tanggal 22 April 1917, dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai kepala. Lima tahun kemudian organisasi menjadi bagian dari Muhammadiyah. Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan, Dia juga berkhotbah menentang kawin paksa. Dia juga mengunjungi cabang-cabang di seluruh Jawa. Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa yang patriarki, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra suami mereka. Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi pendidikan Ahmad Dahlan yakni Catur Pusat: pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah.
    [Show full text]
  • Politik, Dominasi Dan Populariti Dalam Sejarah Islam Nusantara (Politics, Dominance and Popularity in Islamic History of the Archipelago)
    JATI, Volume 22, December 2017, 58-71 POLITIK, DOMINASI DAN POPULARITI DALAM SEJARAH ISLAM NUSANTARA (POLITICS, DOMINANCE AND POPULARITY IN ISLAMIC HISTORY OF THE ARCHIPELAGO) Afriadi bin Sanusi Jabatan Sains Politik Islam Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya ([email protected]) Abstract This article discusses politics of colonial domination and popularization followed by a period of independence in the Malay lands by a ruler who tends to be dominated by secular Muslims on the grounds of nationalism and narrow nationality. This review is qualitative by using literature review. Studies have found that the size of truth is no longer what it is, but to who it is. That power of politics has influenced dominance and popularity as it is often used as a tool of legitimacy, power and purpose and interests. The reviewer suggests that between the scientific language and the political language -parti- that often blend into one and it is difficult to separate it needs to be reconsidered for objective truth. Keywords: politics, domination, popularity, Islam, archipelago Pendahuluan Politik dominasi dan populariti pernah menyebabkan perang saudara yang melahirkan PRRI Permesta, Dewan Gajah, Dewan banteng yang menurut bahasa H. Muhammad Yamin (2009) penyebabnya adalah; sama merdeka dan berlainan nikmat. Mereka menuntut keadilan, egualiti atau persamaan. Kemerdekaan yang sama diperjuangkan oleh segenap lapisan masyarakat dari berbagai etnik suku bangsa harus dinikmati bersama tanpa dominasi dan ketidakadilan (Leirissa, 1997) Politik dominasi dan populariti juga jelas terlihat ketika Orde lama Soekarno menyingkirkan lawan politiknya seperti Natsir, Hamka, Hatta, Sjahrir dan sebagainya demi membentuk opini satu raja untuk Indonesia iaitu 58 Afriadi bin Sanusi Soekarno (Sanusi, 2007).
    [Show full text]
  • Mother Plant Productivity and Cutting Quality of Chrysanthemum Varieties Grown Under Plastichouse and Open Conditions1)
    MotherIndonesian plant Journal productivity of Agriculture and cutting 2(2), quality 2009: of 115-120 chrysanthemum... 115 MOTHER PLANT PRODUCTIVITY AND CUTTING QUALITY OF CHRYSANTHEMUM VARIETIES GROWN UNDER PLASTICHOUSE AND OPEN CONDITIONS1) K. Budiarto and B. Marwoto Indonesian Ornamental Plant Research Institute Jalan Raya Ciherang, Segunung, Pacet, Cianjur 43252, PO Box 8 SDL Phone: (0263) 512607, 516684, Facs.: (0263) 512607, E-mail: [email protected] ABSTRACT Indonesian trade on this commodity was surplus about US$ 1 million and its export value was increasing from Chrysanthemum is one of important ornamental plants in national year to year until present. floriculture agribusiness. The increase in production cost due to The increases in export value and world demand the raise in input prices that has led into the unfavorable business actually indicated the prospective market of chrysan- conditions. Efforts have been made to make chrysanthemum production becomes competitive and profitable. One of the themum. However, currently chrysanthemum farming is production input costs that can be reduced is planting the mother perceived less profitable. Many cases showed that plants for cutting production under open conditions. A research traditional chrysanthemum farmers faced unfavorable was conducted to find out the mother plant productivity and the business condition and they changed to other business. cutting quality produced under plastichouse and open conditions. This caused by uncompetitive product selling price at The research was carried out in Indonesian Ornamental Plant farmer level and low quality of cut flowers produced Research Institute, Segunung, Cianjur, West Java, from November 2003 to May 2004. Twelve commercial chrysanthemum varieties, (Marwoto et al.
    [Show full text]
  • Architecture and the Politics of Identity in Indonesia a Study of the Cultural History of Aceh
    Architecture and the Politics of Identity in Indonesia A Study of the Cultural History of Aceh Izziah Hasan B.Arch. (Institute of Technology, Surabaya, Indonesia) M.Sc. (Drexel University, Philadelphia, USA) A thesis submitted in fulfillment of the requirements of the degree of Doctor of Philosophy The University of Adelaide School of Architecture, Landscape Architecture and Urban Design Centre for Asian and Middle Eastern Architecture (CAMEA) © Izziah Hasan September 2009 ABSTRACT While the history of the region of Aceh is intertwined with the history of Indonesia, contemporary literature provides only scanty information on the cultural and architectural heritage of Aceh. This study explores the cultural history of Aceh to reveal, on the one hand, its distinctive richness and the role it has played in shaping the contemporary history of Indonesia, and on the other, the influence of the socio- political developments in post-independence Indonesia on the shaping of Aceh’s cultural, urban and architectural identity. The study focuses on the discourse of architectural identity in post-independence Indonesia in general and the region of Aceh in particular. It examines the ways in which architecture and urban spaces are conceived and represented by Indonesian scholars and politicians, and the ways in which they are politicalised and aesthethicised to represent a uniform Indonesian identity, including that of Aceh. The study argues that such uniform and rigid representation is problematic, for it tends to obliterate differences and to reduce the richness and diversity of the Indonesian culture to a simplified pattern of predictable characteristics. It further argues that cultural identity evolves over time and is difficult to fix within rigid frames and definitions.
    [Show full text]
  • The Panarchy of Peace
    The Panarchy of Peace A thesis presented to the faculty of the Center for International Studies of Ohio University In partial fulfillment of the requirements for the degree Master of Arts Mark R. Mason March 2008 2 This thesis titled THE PANARCHY OF PEACE by MARK R. MASON has been approved for the Center for International Studies by Elizabeth F. Collins Associate Professor of Classics and World Religions Jieli Li Director, International Development Studies Drew McDaniel Interim Director, Center for International Studies 3 ABSTRACT MASON, MARK R., M.A., March 2008, International Development Studies The Panarchy of Peace (159 pp.) Director of Thesis: Elizabeth F. Collins Panarchy theory has been utilized to first conceptualize the entrenched conflict that lasted for nearly 30 years between Aceh and Indonesia and second, the development of peace prior to and shortly following the tsunami of 2004. The purpose of this paper is to show how panarchy or complex adaptive systems theory can be used to explain the previous state of the Aceh-Indonesia conflict as a sustained maladaptive system and how it was eventually changed into an adaptive system harboring the potential for peaceful sustainability. There are four main questions that this thesis answers. First, how can the Aceh-Indonesia conflict be explained as a rigidity trap? Second, what were the main elements or inputs from cyclical systems below or above the Aceh-Indonesia conflict scale that led to the collapse of the rigidity trap and the generation of a healthy or complex adaptive system? Third, what role, if any, did the tsunami of December 2004 play in achieving the peace of the new complex adaptive system and fourth, what elements or inputs into the new healthy system may or may not lead to the systems peaceful sustainability? The conflict and the peace achieved between the two former antagonists appears to be an example of a maladapted cyclical socio-economic and political rigidity trap that was acted upon by new inputs from cyclical scales above the Aceh-Indonesia conflict scale.
    [Show full text]