POLITIK LOKAL: Dinamika Etnisitas Pada Era Desentralisasi Di Sumatera Utara
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
POLITIK LOKAL: Dinamika Etnisitas pada era Desentralisasi di Sumatera Utara POLITIK LOKAL: Dinamika Etnisitas pada era Desentralisasi di Sumatera Utara Erond L. Damanik Simetri Institute Medan 2018 Sanksi Pelanggaran pasal 72 Undang-undang nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) Politik Lokal: Dinamika Etnisitas pada era Desentralisasi di Sumatera Utara Erond L. Damanik/Penulis Ramlan Surbakti/Pendahuluan Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved @ Erond L. Damanik Cetakan pertama, Agustus 2018 6 +xxix+ 377, 14 cm x 21 cm Times new romans, 11 ISBN: 978-602-50158-7-8 Perancang sampul dan isi: Simetri Institute Gambar sampul: Simetri Institute Diterbitkan oleh Simetri Institute Kota Medan-20225, Sumatera Utara, Indonesia E-mail: [email protected] Penyalur: D’Nick Manajemen Dicetak oleh: Sigma Printshop Yogyakarta Isi di luar tanggungjawab percetakan Keterangan sampul: Ilustrasi bidak catur yang tampak sebagai raja di cermin, mengandaikan aktor dan perilaku pada politik lokal di era desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Sumber gambar: google.image Pengantar Penerbit Buku yang sedang Anda baca ini adalah hasil pemikiran penulisnya seorang dosen di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. Konten (isi) buku ini adalah pengembangan disertasinya sewaktu studi doktoral di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Surabaya. Penelitian disertasinya mengenai makna etnisitas pada etnik Pakpak dilakukan di dua kabupaten yakni Dairi dan Pakpak Bharat selama 2,5 tahun. Sedang buku ini merupakan perluasan wilayah kajian pada tema etnisitas di Sumatera Utara seperti Nias Selatan, Labuhanbatu, selatan Tapanuli, utara Tapanuli, Simalungun, Pakpak, Batak dan Melayu serta Pilgub Sumatera Utara 2018. Secara khusus, buku ini menjelaskan tentang dinamika etnisitas pada politik lokal di Sumatera Utara. Dinamika dimaksud adalah menyoal tentang pendefenisian etnisitas yang bukan semata-mata secara primordial tetapi lebih kepada konstruksi sosial yakni sebagai alat atau instrumen politik. Dinamika etnisitas ini kontras menampak di Sumatera Utara pada era desentralisasi dan otonomi daerah tahun 1998. Kebijakan berupa „lokalisasi kekuasaan‟ ke daerah-daerah otonom ini melahirkan arena politik baru yang lebih kecil dari politik nasional yakni politik lokal. Dinamika etnisitas pada politik lokal menampilkan wajahnya berupa penguatan tema-tema etnisitas pada pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif daerah, maupun distribusi jabatan-jabatan (birokrat) daerah. Setidaknya, dinamika etnisitas seperti ini ditemukan dan dikemukakan penulisnya pada delapan kasus di Sumatera Utara. Agenda desentralisasi dan otonomi daerah yakni ‘democratic decentralization’ yang pada ruang politik sekaligus menjadi ‘political decentralization’ menampilkan proses demoktratisasi yang kebablasan. Demokrasi dan kehidupan politik dimaknai sebagai „pertarungan identitas‟ sebagai wujud politik aliran seperti disebut Liddle (1970:21). Pada taraf tertentu, pemaknaan politik seperti ini sebenarnya cukup signifikan mencederai politik itu sendiri karena adanya pemaknaan parsial, bias dan tandus. Akibatnya, proses demokratisasi yang terjadi di daerah sangat kerdil dan kering. i Akhirnya, dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi di daerah dalam waktu 20 tahun Reformasi menunjukkan kegagalan nyata. Kenyataan berupa kegagalan proses demokratisasi di daerah seperti ini berelasi dengan kehidupan politik di level nasional. Menurut penulisnya, politik lokal adalah penyangga politik nasional. Semakin lebih baik demokratisasi di daerah maka politik nasionalpun berjalan lebih baik. Sebaliknya, semakin runyam pelaksanaan demokrasi di daerah, maka demokrasi di tingkat nasionalpun jauh lebih runyam. Lokalisasi kekuasaan ke daerah sebagai mekanisme checks and balance sebenarnya dimaksudkan untuk kehidupan demokrasi yang lebih mantap berazaskan keseimbangan dan keadilan. Namun yang terjadi ialah bahwa proses demokratisasi tampak berjalan timpang, jauh panggang dari api serta gagal menemukan „pemimpin‟ yang kredibel, kapabel dan akuntabel. Situasi ini membutuhkan pemikiran lebih lanjut dan komprehensif terutama untuk menemukan demokrasi khas Indonesia yakni „Demokrasi Pancasila‟. Namun, pilihan terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sudah ditetapkan. Karena itu, yang patut dilakukan dikemudian hari adalah menemukan dasar-dasar politik yang paling sesuai dengan nation-state Indonesia dalam bingkai negara kesatuan (unity state) yakni Republik Indonesia. Buku ini menjadi penting karena kontribusinya „memotret‟ politik lokal dari Sumatera Utara yang berkontribusi pada politik nasional Indonesia. Medan, awal Agustus 2018 Penerbit ii Kata Pengantar Buku ini menyodorkan semacam snapshots tentang politik lokal di Sumatra Utara pasca pengunduran diri Soeharto tahun 1998. Lewat pengunduran diri itu, Indonesia memasuki era baru yang disebut Reformasi. Suatu kebijakan yang ditempuh lewat Reformasi ini adalah desentralisasi dan otonomi daerah (decentralization and local autonomy) sebagai upaya „menghapus‟ sentralisme. Buku ini menghadirkan fenomena-fenomena baru terhadap politik lokal di Indonesia terutama di Sumatera Utara, yakni dinamika etnisitas (ethnicity) yang tercermin pada pemekaran (redistricting) maupun pemilihan kepala daerah (local executive election). Di Sumatera Utara, dinamika etnisitas ini tampak pada pembelahan etnik berdasar religius, ekonomi dan politik. Pembelahan-pembelahan etnisitas ini mewujud dalam sentimen antar kampung, sentimen antar klan (marga) dan descendant, sentimen agama, sentimen teritorial, sentimen etnik dan sentimen kultural. Keseluruhan atribut-atribut etnisitas ini mengalami penguatan dengan cara di „politisasi‟ guna mencapai „kepentingan etnik‟ yakni membentuk wilayah baru (pemekaran), menjadi kepala daerah (pilkada) ataupun distribusi jabatan ataupun birokrat daerah. Pada taraf tertentu, „kemantapan strategis etnisitas‟ dipermaikan sebagai alat, strategi atau taktik dan kelompok kepentingan guna mencapai kepentingan aktor politik pada level lokal. Sumatera Utara dianggap sebagai miniatur Indonesia karena keragaman suku, budaya, agama, kebiasaan, sejarah, adat istiadat ataupun organisasi dan sistem sosial. Karena itu, Sumatera Utara menjadi salah satu daerah yang paling heterogen di Indonesia. Meskipun heterogen, namun tidak terdapat budaya dominan (dominant culture) di kawasan ini (Bruner, 1961:63). Dampaknya ialah bahwa setiap kelompok etnik memiliki kebebasan untuk mengembangkan identitasnya secara terpisah-pisah. Sumatera Utara seperti disebut Geertz pada pendahuluan buku Pelzer (1982:ix) disebut dengan „campuran etnik eksplosif‟ karena terdapat keragaman etnis, kontras idiologi dan perbedaan kelas yang membentuk lingkungan sosial yang rumit. Menurut Perret (2010:22), iii Sumatera Utara adalah wilayah Indonesia yang pertama kali menunjukkan fenomena pembelahan etnik secara politik, religius dan ekonomi. Sebelumnya, kenyataan seperti ini telah ditegaskan Liddle (1970:21) ataupun Bruner (1975:261) bahwa pembedaan dan pembelahan sosial di Sumatera Utara terjadi karena faktor etnisitas. Etnisitas dalam kajian ini tidak di pandang sebagai kesatuan identitas yang didasarkan pada ikatan primordial (primordial ties) sebagaimana disebut Geertz (1975:61). Ikatan-ikatan seperti ini dalam kehidupan organsiasi justru berdampak pada kemunculan birokrasi dan organisasi patrimonial yang paradoks dengan birokrasi dan organisasi modern. Namun, etnisitas dalam kajian ini dilihat sebagai konstruksi sosial (social construction) yakni sebagai alat (instrumen). Sebagai kontruksi sosial, maka etnisitas berfungsi sebagai instrumen atau alat (Nagata, 1981:93), Barth (1969:9), Hale (2008:5), ataupun strategi pada masyarakat majemuk (Royce, 1983:4). Sebagai alat (mobilisasi), etnisitas dipandang sebagai kelompok kepentingan yang dapat wujud karena adanya „kemantapan strategis etnisitas‟ (Glazer dan Moynihan, 1971:iii). Kenyataan ini sejalan dengan van den Berghe (1981:5) bahwa etnisitas adalah „permainan etnik‟ yang sengaja memperalat simbol- simbol etnik untuk memperoleh akses ke sumberdaya ekonomi dan politik. Menurut Perret (2010:17), etnisitas sangat terkait dengan „kepentingan etnik‟ di mana referensi etnik pada arena sosial diterapkan ke semua aspek kehidupan sehari-hari yang melahirkan strategi dan taktik yang cenderung diproduksi terus menerus mengubah bentuk identitas yang diakui. Karena itu, etnisitas menurut Hale (2004:3) adalah referensi personal, sumber motivasi dan konstruksi sosial sebagai radar sosial guna memahami dunia sosial. Delapan daerah yang dijelaskan pada buku ini masing-masing diantaranya menunjukkan penguatan etnisitas pada setiap momen- momen politik. Labuhanbatu di mekarkan untuk membentuk daerah- daerah baru sebagai perebutan tahta politik berdasarkan etnisitas. Di selatan