Dr. Sirojuddin Aly, MA.

REVIT ALISASI IDEOLOGI NASIONAL DALAM BERBANGSADANBERNEGARA

Pengantar

Dr. Hidayat Nur Wahid, MA Wakil Ketua MPR RI (2014-2019) Ketua MPR RI (2004-2009)

•...... ~ «Me>

Jakarta 2016 Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Dr. Sirojuddin Aly, MA. Revitalisasi Ideologi Nasional Dalam Berbangsa dan Bemegara xiv, 302 hlm.: 16 x 23 em 1SBN: 978-602-19291-5-5

Revitalisasi Ideologi N asional Dalam Berbangsa dan Bernegara Penulis: Dr. Sirojuddin Aly, MA.

Pengantar: Dr. Hidayat Nur Wahid, MA Editor: Nawiruddin

Layout: Tim Mazhab Ciputat Diterbitkan oleh: Mazhab Ciputat Jakarta Dicetak oleh: CV. Sejahtera Kita 11. HOS Cokroaminoto No. 102 Ciledug - Tangerang Telp. (021) 73452483

11 Kata Pengantar Dr. Hidayat Nur Wahid, MAl

Tidak ada satu pun negara besar di dunia ini kecuali ia memiliki perangkat rujukan ide, gagasan, landasan filosofis, dan dasar pemikiran dalam merumuskan arah masa depannya. Itulah yang dikenal sebagai ideologi, yang lantas dituangkan ke dalam sebuah visi dan misi serta dijabarkan ke dalam pelbagai kebijakan yang bersifat strategis atau pun operasional. Dalam konteks ke- Indonesiaan, melalui konsensus founding father kita, Pancasila secara eksplisit telah ditetapkan sebagai dasar Negara Kesatuan Republik (NKRl). Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, "Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. " Penting dicatat, menengok ke belakang, perumusan Pancasila sebagai dasar negara tidak lah stagnan dan jumud. Para founding father kita terlibat adu gagasan, ide, dan argumentasi dalam perumusan Pancasila. Hal tersebut lumrah saja. Pasalnya, pokok yang dirumuskan adalah ideologi dasar ( Weltanschauung ) sebuah negara yang mewadahi suku, agama, dan budaya yang sangat beragam. Mereka berupaya mencari titik temu guna menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, lima sila yang sekarang ini diterima sebagai Pancasila di Indonesia temyata berbeda dengan Pancasila yang dipidatokan Soekamo pada 1 Juni 1945. Pancasila yang dikenal rakyat

1.Waki Ketua MPR RI Periode 2014-2019, Ketua MPR RI Periode 2004-2009

II I Indonesia saat ini adalah Pancasila yang disepakati pada 18 Agustus 1945. Dinamika perja1anan Pancasila tersebut menandakan satu hal penting dalam konteks ke kinian, yaitu Pancasila sejatinya harus inklusif untuk terus didialogkan dan ditafsirkan secara bersama-sama, kemudian disepakati secara bersama pula. Maka, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal seperti yang dilakukan rezim Orde Baru bukanlah langkah yang benar. Alasannya; Pertama, langkah tersebut melawan sejarah dan menyalahi pemikiran yang dikembangkan para founding father kita yang secara terbuka melakukan dialog dalam perumusan Pancasila meski kerap kali diwamai silang pendapat dan ketegangan. Dalam kaitan ini, pada tahun 1952 ada sekelompok anak muda yang mendeklarasikan organisasi yang disebutnya memiliki Azaz Tunggal Pancasila. Namun oleh Bung Kamo deklarasi itu temyata dilarang. Kedua, asas tunggal bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri yang mengcdepankan konsep musyawarah, bukan pemaksaan kehendak. Musyawarah mengharuskan adanya dialog terbuka tanpa ada tekanan apapun. Selain itu, musyawarah merupakan mekanisme terbaik untuk menggali ide dan gagasan berbagai elemen untuk menemukan titik temu. Sebaliknya, pemaksaan kehendak secara sepihak hanya menimbun api dalam sekam. Puncaknya, amarah rakyat Indonesia membuncah saat krisis multi dimensional menghantam pada tahun 1998 yang lantas disusul tumbangnya rezim Orba.Tentu saja, tidak ada yang salah dengan Pancasila. Yang keliru adalah cara rezim Orba memperlakukan Pancasila atau lebih tepatnya memanfaatkan Pancasila untuk memenuhi ambisi berkuasa. Ketiga, asas tunggal mematikan kreatifitas dan inovasi berfikir anak bangs a dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan yang kian kompleks dan sangat dinamis, termasuk tantangan-tantangan global yang inter dependent dan inter connected. Dewasa ini sebuah negara tidak dapat memandang sebuah masalah dari local perspective, tapi harus regional dan global perspective. Berfikir global saat ini merupakan tuntutan zaman. Revo1usi tekno1ogi dan informatika memaksa kita untuk semakin kreatif dan inovatif da1am berfikir dan bertindak. Hampir dapat dikatakan saat ini antar negara menjadi borderless. Nilai dan kultur yang hidup dan berkembang di belahan bumi manapun dapat secara cepat menyebar dan mewabah ke belahan bumi lain. Dalam kaitan ini Pancasila sebagai ideologi menghadapi

IV tantangan yang tak mudah, terutarna ideologi-ideologi yang secara mendasar bertolak belakang dengan Pancasila seperti komunisme, liberalisme, sekularisme, ateisme dan lainnya. Pancasila semakin rentan tergusur dan termarjinalkan. Walhasil, indoktrinasi Pancasila di era Orde Baru melalui konsep asas tunggal sangat berbahaya dan mengancam eksistensi Pancasila itu sendiri. Hal itu lantaran Pancasila tak ubahnya 'kitab suci' yang tak boleh disentuh. Akibatnya Pancasila menjadi sekadar teks-teks mati tanpa ruh. Padahal sejatinya sebuah ideologi harus menginspirasi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bemegara. Pancasila sekadar obyek studi tanpa ada upaya untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat Repulik Indonesia (MPR Rl) sejak satu dekade terakhir sampai saat ini secara konsisten melakukan sosialisasi Pancasila sebagai dasar negara. Diharapkan dengan sosialisasi tersebut masyarakat mampu mengintemalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, terutama di era keterbukaan global saat ini yang ditandai derasnya lalu- lintas pelbagai ideologi yang berpotensi menggerus nilai-nilai luhur Pancasila. Ateisme, hedonisme, anarkisme, individualisme, premanisme, dan faham- faham lainnya yang tak sejalan dengan Pancasila semakin mewarnai keseharian bangsa ini. Di sisi lain, pengetahuan dan pemahaman generasi muda atas Pancasila semakin meluntur. Bahkan saat ini tak jarang ditemukan generasi bangsa melafalkan sila-sila Pancasila di luar kepala dengan susah payah dan tergopoh-gopoh. Situasi ini tentu saja sangat mencemaskan. Untuk mengatasi ini, MPR mengemas sosialisasi Pancasila dengan beragam program seperti cerdas cermat, out bound, diskusi dan lainnya. MPR juga menggagas agar pemerintah secara aktif ikut serta dalam sosialisasi Pancasila. Namun dalam sosialisasi itu tidak menerapkan sistem lama seperti BP7 ( Badan Pembinaan Pendidikan , dan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ) yang doktrinatif. Terbukti cara dokrinatif sekadar menjadi alat pembenaran segelintir orang untuk melanggengkan kekuasaan. Pancasila tidak boleh lagi ditafsirkan secara eksklusif Saat Pancasila eksklusif dan doktrinatif, maka Pancasila dikhawatirkan menjadi momok yang menakutkan dari pada ideologi dasar sebuah negara. Parahnya lagi, atas nama Pancasila, dikhawatirkan juga penguasa melakukan tindakan

v refresif atas kelompok-kelompok yang memiliki itikad baik untuk melakukan perbaikan. Sebagai antithesis tindakan refresif tersebut, kelompok-kelompok radikal dan ekstrim tumbuh subur. Maka tak mengherankan jika kemudian ada kelompok yang secara absolute meno lak Pancasila. Padahal, Pancasila merupakan rangkuman nilai- nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia. Bahkan, sila-sila yang ada dalam Pancasila merupakan rangkaian nilai-nilai luhur yang diakui masyarakat dunia. Artinya, substansi yang dikandung Pancasila merupakan nilai-nilai luhur universaL Dalam konteks inilah kemudian kita sangat mafhum dan respek ketika tokoh-tokoh nasional dulu yang akhirnya secara lapang dada menerima Pancasila sebagai dasar negara. Akhirnya, saya menyambut baik sahabat saya saudara Dr. Sirojuddin Aly, MA. yang telah memberikan kontribusi sangat positif dan konstruktif dalam meneguhkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar NKRl. Buku yang ditulis sahabat saya ini berjudul 'Revitalisasi Ideologi Nasional dalam Berbangsa dan Bernegara', yang berupaya mengurai dan menjabarkan sila-sila Pancasila serta revitalisasinya dalam konteks kekinian. Buku ini dinilai sebagai bagian dari upaya mendialogkan kembali dan menafsirkan Pancasila secara terbuka, agar Pancasila secara dinamis dapat terus berkembang dan menginspirasi denyut kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila yang tak hanya tertulis di buku-buku pelajaran, tapi juga dirasakan dalam perikehidupan bangsa Indonesia.

Jakarta, 5 Januari 2015

Dr. Hidayat N ur Wahid, MA ( Wakil Ketua MPR Rl2014 - 2019)

VI KATA PENGANTAR PENULIS

Berdasarkan dinamika kehidupan dari waktu ke waktu, rakyat Indonesia harus mampu menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih ( good and clean governance), karena dengan pemerintahan yang baik dan bersih, keadilan dengan sendirinya akan wujud, kesejahteraan dan keamanan bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan dan Undang-undang Dasar 1945 akan menjadi kenyataan. Tetapi itu baru sebatas teoritis, realitas di lapangan berbicara lain karena berbagai persoalan dan setumpuk permaslahan bisa saja menghambat upaya-upaya yang dilakukan jika terjadi salah langkah dalam pengelolaan, Untuk menciptakan keadilan, kesejahteraan dan keamanan temyata tidak mudah, tidak semudah membalikan telapak tangan. Faktanya bertahun-tahun lamanya rakyat banyak memimpikan hidup makmur, sejahtera, aman dan damai, sampai saat ini impian tersebut belum juga menjadi kenyataan, bagaikan panggang jauh dari api. Rakyat banyak masih harus bermimpi lagi dan bermimpi, sampai saat ini pun belum ada tanda-tanda kebangkitan kekuatan ekonomi nasional secara signifikan, baik dalam sekala negara-negara Asean ataupun Intemasional, inflasi dan kenaikan harga bahan-bahan pokok terus melambung tinggi dari waktu ke waktu. Untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih tentu saja harus didukung oleh struktur dan sumber daya manusia ( SDM ) yang memiliki kapabelitas dan integritas tinggi, serta komitmen pada prinsip-prinsip profesionalitas dalam bekerja, komitmen pada undang- undang dan peraturan dan tidak mempermainkannya, komitmen pada keujujuran atau amanah, saling mempercayai ( ada tras ) dan tidak berperilaku pembohong, komitmen pada keterbukaan ( transparansi ) dan tidak ada yang ditutup-tutupi, Jika prinsip-prinsip ini dapat direalisasikan dengan benar-benar dalam kehidupan berbangsa dan bemegara, maka pada gilirannya cita-cita rakyat Indonesia untuk meraih kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan hidup akan menjadi kenyataan, Sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi dari waktu ke waktu, perpolitikan nasional pun turut mengalami dinamikanya, kekuasaan negara dan ideologi Pancasila di era Reformasi tidak lagi

Yll menjadi sesuatu yang menakutkan bagi organisasi masyarakat (ormas ) dan partai politik. Dinamika politik ini selain berdampak positif terhadap kebebasan berekspresi sebagai salah satu prinsip negara yang menganut sistem demokrasi, pada sisi lain menyebabkan rakyat bersikap apatis terhadap ideologi nasionalnya. Berbeda dengan era sebelumnya ( era Orde Baru ), di mana Pemerintah waktu itu secara ketat mengontrol ormas dan orpol dengan menggunakan Undang- undang No.8 tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi kemasyarakatan yang harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi. Proses hegemoni ideologi Pancasila di era Ordc Baru temyata bukan saja ditempuh melalui pola-pola lcgalistik, tetapi juga melalui penataran P-4 ( Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ). Penataran P-4 merupakan program yang disponsori negara untuk mendidik rakyat Indonesia bagaimana memahami ideologi Pancasila berdasarkan interpretasi resmi oleh Negara, hal ini dalam rangka menjamin keseragaman pemahaman. Pelaksanaan penataran P-4 temyata penuh dengan paksaan sehingga tidak efektif, maka hasilnya pun tidak mencapai sasaran maksimal sekalipun didukung dengan dana yang cukup besar. Persoalannya kenapa begitu? J awabannya karena pola-pola penataran P-4 tidak berdasar pada kesadaran yang tumbuh dari hati nurani yang murni dari setiap rakyat Indonesia, dan itu artinya tidak demokratis. Kedepan pola-pola pendekatan yang tidak demokratis tidak boleh terulang karena sia-sia, hanya membuang-buang waktu, pemikiran, tenaga dan sejumlah dana besar. Dalam situasi yang sarat dengan persaingan global antar berbagai ideologi dunia; Sekularisme, Liberalisme, Kapitalisme dan sebagainya, maka sebenamya Pancasila dalam statusnya sebagai ideologi nasional yang telah diposisikan secara cerdas sebagai jalan tengah dan sebagai dasar bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia adalah merupakan altematif yang memiliki prospek masa depan yang menjanjikan bagi kehidupan berbangsa dan bemegara. Oleh karena itu tinjauan ini harusnya menjadi pegangan bagi rakyat Indonesia untuk tetap setia dengan ideologi nasionalnya, dan tidak menyikapinya dengan sikap apatis. Tinjauan ini harus menjadi dasar pandangan yang teguh, jika rakyat Indonesia masih tetap komitmen melihat Indonesia bersatu sebagai sebuah negara NKRI. Hal ini karena Pancasila mengandung kebenaran nilai-nilai universal yang sesuai dengan keperibadian dan budaya rakyat

Vlll Indonesia. Nilai-nilai universal tersebut kemudian menjadi prinsip bagi negara Republik Indonesia. Nilai-nilai universal tersebut ialah; Ber- Tuhan, artinya rakyat Indonesia harus ber- Tuhan, dalam arti percaya, beriman kepada Tuhan, yaitu Zat Pencipta dan Penguasa alam semesta, yaitu Allah Swt. yang harus disembah dalam berbagai bentuk aktivitas ibadah. Perikemanusiaan, artinya adanya saling menghargai dan menghormati, saling mempercayai antara sesama rakyat Indonesia intinya bagaimana bisa memanusiakan manusia (ngewongke). Oleh karenanya rakyat Indonesia harus berperilaku jujur dan amanah, tidak saling mengkhiyanati, tidak saling membohongi, tidak saling ngakalin antara sesama. Persatuan, artinya bersatu padu untuk mencapai satu tujuan, dan tidak terpecah-pecah tetapi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Keadilan, artinya rakyat Indonesia harus menegakkan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek sosial politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Musyawarah, artinya dalam mengambil keputusan yang menyangkut persoalan orang banyak harus diselesaikan melalui proses musyawarah. Kemudian terkait dengan sikap dan pandangan rakyat Indonesia terhadap Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya terdapat perbedaan sikap dan pandangan, setidaknya ada empat sikap yang berbeda, yaitu; 1. Sebagian rakyat Indonesia melihat bahwa Pancasila adalah merupakan kumpulan prinsip-prinsip kenegaraan yang tidak bertentangan dengan dasar -dasar agama manapun, oleh karenanya mereka menerimanya sebagai ideologi dan dasar dalam berbangsa dan bernegara. 2. Sebagian rakyat Indonesia yang sudah komitmen bepegang teguh dengan ideologi lain selain Pancasila, mereka menolak Pancasila secara ekstrim. 3. Sebagian rakyat Indonesia melihat bahwa Pancasila itu merupakan seperangkat nilai-nilai yang tersusun rapi hasil gagasan manusia Indonesia (founding fathers) yang bersifat subjektif, maka nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila-pun bersifat subjektifatau relatif Dalam arti nilai-nilai Pancasila mungkin benar dan mungkin juga tidak, mungkin hari ini benar dan dalam beberapa dekade masa mendatang mungkin juga tidak benar atau tidak relevan lagi, oleh karenanya mereka tergolong orang-orang yang tidak jelas antara menerima Pancasila sebagai dasar negara ataupun tidak. 4. Sebagian rakyat Indonesia lagi dalam melihat Pancasila berikap acuh tak acuh, bersikap masa bodoh.

IX Terlepas dari perbedaan sikap dan pandangan terhadap Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, yang jelas secara politis bahwa Pancasila sudah menjadi kesepakatan bersama ( konsensus nasional ) di antara para founding fathers menjadi ideologi dan dasar dalam berbangsa dan bemegara.

Ciputat, 25 Maret 2015

Penulis,

Dr. Sirojuddin Aly, MA

x DAFTAR ISI

Kata Pengantar DR. H. Hidayat Nur Wahid _iii Kata Pengantar Penulis_vii

BABI PANCASILA PLATFORM BERBANGSA DAN BERNEGARA 1. Sekilas Kemunculan Gagasan Pancasila_l 2. Perbedaan Pemikiran Tentang Rancangan Dasar Negara_4 3. Brainstoming Tentang Rancangan Dasar Negara_8 4. Sumber Gagasan Dasar Negara Pancasila _23 5. Pancasila Dalam Rumusan Piagam Jakarta 31 6. Penerimaan Piagam Jakarta Oleh BPUPKI_37 7. Kearifan Keputusan Penerimaan Piagam Jakarta _41 8. Revisi Pancasila Dalam Piagam Jakarta _45 9. Latar Belakang Perubahan Pancasila _48 10. Pancasila Yang Diberlakukan _55 11. Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara _59 12. Pancasila Filsafat Kenegaraan Republik Indonesia _62 13. Pancasila dan Permasalahan Bangsa _75 14. Fobia Pancasila Melemahkan Tingkat Nasionalisme Indonesia _80 15. Pancasila Ideologi Nasional di Era Globalisas _84 16. Pancasila Dari Waktu Ke Waktu 95 17. Kesimpulan _98

BABII AGAMA DAN NEGARA PRAKTEK KEHIDUPAN RAKYAT INDONESIA I. Eksistensi Agama Dalam Negara Pancasila _100 2. Perbedaan Dalam Memahami Arti Ke- Tuhanan 103 3. Komitmen Beragama Berdampak Terciptanya Stabilitas Politik 106 4. Kesalehan Perilaku Masyarakat Indonesia _108 5. Ideologi Pancasila dan Eksistensi Kehidupan Sosial Keagamaan 112

Xl 6. Kerukunan Umat Beragama Berdampak Posistif Terhadap Stabilitas Politik 117 7. Kesimpulan _121

BAB III MEMBANGUN MANUSIA BERADAB DAN BERMARTABAT 1. Manusia dan Cita-cita Hidup _123 2. Bangsa Beradab dan Bermartabat_126 3. Keadilan dan Realitas Permasalahan 131 4. Keadilan Dan Komitmen Pada Tanggung Jawab _137 5. Kesimpulan_141

BABIV NASIONALISME DAN INTEGRASI NASIONAL 1. Nasionalisme Dalam Konteks Negara Republik Indonesia_143 2. Perjuangan Nasionalisme Indonesia Sepanjang Sejarah _146 3. Pengembangan Nasionalisme Indonesia_154 4. Nasionalisme Berbahaya _157 5. Integrasi Nasional dan Permasalahan _159 6. Terusiknya Integrasi Nasional di Akhir Era Orde Baru_163 7. Realisasi Persatuan dan Integrasi Nasional_166 8.Integrasi Nasional Melalui Kerukunan Antar Umat Beragama_170 9. Langkah-langkah Strategis Membangun Kerukunan Umat Beragama_178 10. Kesimpulan _184

BABV KONSOLIDASI PENGUATAN DEMOKRATISASI 1. Kerakyatan dan Demokrasi _186 2. Demokrasi dan Dinamika Sistem 191 3. Makna Demokrasi dan Penerapannya_197 4. Demokrasi dan Penyaluran Aspirasi Rakyat_200 5. Demokrasi dan Penyalahgunaan Praktek_209 6. Eksperimen Demokrasi Sebagai Sistem Politik Indonesia_228 7.Belajar Dari Kesalahan Masa Lalu Dalam Penerapan Demokrasi 240 8. Kesimpulan _249

Xli BABV} KEADILAN SOSIAL ANTARA TEORI DAN REALITAS 1. Keadilan Sosial Dalam Tataran Teori 251 2. Keadilan Sosial Dalam Realitas Kehidupan _252 3.Keadilan Sosial Meredakan Ketegangan _254 4.. Keadilan So sial Dalam Hukum 256 4. Pemberlakuan Hukum Berdasarkan Kebaikan Bersama 257 5. Pemerataan Pendapatan Secara Adil Menciptakan Pertumbuhan Ekonorni 260 7. Keadilan Sosial Menuntut Pcmerataan Kesejahteraan _266 8. Membangun Masyarakat Sejahtera_268 9. Ketimpangan Ekonomi Memperlambat Pembangunan_273 10. Keberhasilan Membangun Indonesia Ke Depan _277 11. Kesimpulan _279

DAFTAR PUS TAKA 280 INDEX 295 SEKILAS TEN TANG PENULIS 301

251 Xl ll

BAB I PANCASILA PLATFORM

BERBANGSA DAN BERNEGARA

1. Sekilas Kemunculan Gagasan Pancasila

Kemunculan Pancasila sebagai filsafat negara Republik Indonesia dilatar belakangi oleh fakta sejarah perjuangan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia. Langkah utama ke arah ini adalah pembentukan Badan yang berwenang untuk menyelidiki hal-hal asas bagi konstruksi bangunan Indonesia merdeka. Badan ini dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai dan dalam bahasa Indonesia disebut Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia disingkat BPUPKI1.

1 Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ; Pidato Peringatan Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, ( Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1978 ), h. 9. 252 Pembentukan Badan ini pada dasarnya sebagai realisasi janji Kerajaan Jepang2. Yaitu janji mewujudkan hasrat untuk memerdekakan Hindia Belanda ( Indonesia ) dikemudian hari3. Dalam melihat hasrat Kerajaan Jepang, paling tidak ada dua alasan kenapa pemerintah Jepang mengambil kebijakan ini, Pertama; Dalam rangka mempertahankan pengaruh Jepang di depan penduduk dan rakyat negeri yang didudukinya ( Indonesia ). Dengan langkah mengeluarkan pernyataan janji kemerdekaan untuk Indonesia ada harapan untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari rakyat Indonesia. Kedua; Pada waktu itu situasi semakin memburuk yang dihadapi tentara Jepang di beberapa wilayah di Asia yang didudukinya, terutama di Indonesia, karena akan berhadapan dengan kekuatan tentara Sekutu yang jauh lebih besar. Dengan janji tersebut Jepang yakin bahwa tentara Sekutu ketika hadir kembali ke Indonesia akan disambut oleh rakyat Indonesia tidak sebagai pembela, melainkan sebagai penyerang ke negara merdeka4. Kemerdekaan yang akan diberikan Kerajaan Jepang kepada rakyat Indonesia itu menurut rencananya akan dilakukan pada bulan September 1945 5. Oleh karena itu kemudian pemerintah pendudukan Jepang di Jawa dibawah pimpinan Leftenan Jendral Kumakici Harada mengumumkan pembentukan BPUPKI pada 1 Maret 19456. Badan ini didirikan bertujuan untuk menyelidiki hal-hal asas dan mendasar bagi

2 Kerajan Jepang dengan kekuatan tentaranya telah menguasai seluruh wilayah Jajahan Hindia Belanda. Setelah peyerahan tanpa syarat yang dilakukan oleh Leftenan Jendral H. Ter Poorten sebagai Panglima Angkatan Perang Sekutu di Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang dibawah pimpinan Leftenan Jendral Hitoshi Imamura pada 8 Maret 1942 . Lihat Marwati Djoened & Nugroho, Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia VI, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1992 ), h.5 dan janji Jepang diumumkan pada 7, September, 1944. 3 Pada 9 September 1944 di dalam sidang istimewa ke 85 Teikoku Ginkai ( Parlemen Jepang ) di Tokyo, Pendana Menteri Jepang; Jendral Kuniaki Koiso mengumumkan pendirian Pemerintah Kerajaan Jepang; bahwa daerah Hindia Timur ( Indonesia ) kelak dikemudian hari diperkenankan merdeka. Lihat, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h. 66. 4 Lihat. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h.66. 5 Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, ( Jakarta: Inti Idayu Press, 1984 ), h. 14. 6 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h. 67. Lihat juga, Lembaga Soekarno- Hatta, Sejarah Lahirna Undang-Undang Dasar 1945. h. 22. 253 konstrusi bangunan Republik Indonesia 7. Setelah pembentukan ini, kemudian BPUPKI bersiap-siap melakukan kajian terhadap masalah-masalah mendasar; rancangan Undang-undang Dasar Negara dan sebagainya melalui tahapan-tahapan dalam siding-sidang BPUPKI. Pada pagi hari Senin 28 Mei 1945 telah terjadi peristiwa penting dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, yaitu dikibarkannya bendera merah putih di sebelah bendera Jepang di depan gedung Cuo Sangi In terletak di jalan Pejambon Jakarta. Pada sorenya para anggota BPUPKI mengangkat sumpah sebagai pelantikan resmi oleh pemerintah tentara pendudukan Jepang8. Semua anggota Badan ini dipilih dari para tokoh masyarakat yang boleh dianggap mewakili semua golongan. Ketua dan para anggota Badan ini meskipun dilantik oleh pemerintah Jepang, namun mereka tetap bebas untuk menentukan arah tujuan dan cita-cita masa depannya9, dan oleh karena itu mereka dapat membuat rancangan undang-undang dasar berdasarkan pandangan mereka 10 . Beberapa wakil dari pemerintah Jepang di Indonesia memberikan sambutannya pada acara pelantikan ini, antaranya; Jenderal Itagaki Seisiro, Jenderal Gunseireikan Saiko dan ketua pemerintah tentara Jepang; Gunseikan11. Peristiwa pengkibaran bendera merah putih ini ternyata memicu lahirnya semangat di hati rakyat Indonesia ( terutama para anggota BPUPKI ) dalam upaya mempercepat persiapan kemerdekaan. Jumlah anggota Badan ini sebanyak enam puluh dua ( 62 ) orang, termasuk empat ( 4 ) orang keturunan Arab, keturunan Belanda dan

7 Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h. 121, Lihat juga, Lembaga Soekarno-Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 15. 8 Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. h. 119 9 Pada tahap awal memang tidak ada pengaruh atau tekanan apa-apa dari orang-prang Jepang, tetapi pada tingkat akhir justeru orang-orang Jepang telah melalkukan tekanan dan bahkan melakukan intimidasi. Hal ini terbukti ketika orang Jepang mempengaruhi PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) sehingga terjadi perubahan terhadap hal-hal penting dan mendasar; Pancasila, Pendahuluan dan Udang-Undang Dasar 1945. 10 Lihat, Solihin Salam, Haji Pahlawan Nasional ( Jakarta: Jaya Murni, T. Th. ), h. 55. 11 Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. h.119. 254 keturunan Tionghoa12. Selain enam puluh dua orang anggota BPUPKI tersebut, juga terdapat tujuh ( 7 ) orang Jepang yang statusnya sebagai pemerhati yang tidak memiliki hak suara 13 . Badan Penyelidik ini dipimpin oleh K.R.T. dan wakilnya R. Panji dan dibantu oleh A. Gaffar Pringgodigdo yang bertugas sebagai sekretaris14. Seluruh anggota Badan Penyelidik ini bertempat tinggal di Jawa dan Madura, meskipun berasal dari berbagai daerah kepulauan Indonesia, tetapi tugasnya meliputi seluruh Indonesia15. K.R.T. Rajiman, sebelum Indonesia merdeka pernah memimpin Putra ( Pusat Tenaga Rakyat ); sebuah organisasi pergerakan nasional didirikan pada 1 Maret 1942. Organisasi ini berorientasi membangun kesadaran rakyat untuk berbangsa dan bertanah air satu 16 . Dalam struktur kepemimpinan Badan Penyelidik ini Soekarno tidak ditunjuk sebagai ketua atau sekretaris. Keadaan ini justru memberi peluang kepada Soekarno untuk lebih berperan dalam melahirkan idea-idea dan gagasannya tentang hal-hal asas dan mendasar bagi bangunan Indonesia merdeka. Ternyata kemudian begitu besar sumbangan Soekarno dalam hal ini.

2. Perbedaan Pemikiran Tentang Rancangan Dasar Negara Jika dikaji lebih lanjut tentang pertumbuhan pemikiran dan idea-idea yang berkembang sepanjang berlangsungnya persidangan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI ). Paling tidak ditemukan dua aliran pemikiran yang dominan selama persidangan tersebut17. Pertama; aliran pemikiran golongan

12 Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 25. 13 Lihat, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional indonesia VI, h. 67. 14 Lihat, Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila, ( Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 M. ), h. 31 15 Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. h.121 16 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h. 18 -21 17 Lihat, Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 – 1959 ( Jakarta: CV Rajawali, 1981 ), h.9 – 10. Edisi bahasa Inggris “ The Jakarta Charte 1945 : The Stuggle for Islamic 255 Nasionalisme Sekular 18 , dan orang-orang yang mengikuti garis pemikiran ini menurut Endang Saefuddin Ansari, antaranya; Soekarno, Muh. Yamin, , Moh. Hatta, Soesanto Tirtoprodjo, , Samsi dan sebagainya. Mereka-mereka inilah sebagai representasi garis pemikiran nasionalisme radikal, dan pada saat yang sama terdapat garis pemikiran nasionalisme sederhana, antaranya K.R.T. Rajiman Wediodiningrat dan lain-lainnya19. Mereka-mereka inilah yang memperjuangkan agar Indonesia merdeka nanti didasarkan pada kebangsaan atau nasionalisme 20 . Kedua; adalah aliran pemikiran golongan nasionalisme Islam. Yaitu orang-orang nasionalis yang komitmen dengan prinsip-prinsip ajaran agama ( agama Islam ) dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek politik, ekonomi, hukum, pendidikan, kemasyarakatan, dan sebagainya, dan dibuktikan dengan amalan yang kongrit, bukan saja dalam ucapan tetapi juga dibuktikan dengan amalan dan tindakan yang nyata, oleh karena itu kehidupan masyarakat dan negara tidak dapat dipisahkan dari kehidupan agama. Dalam arti bahwa Islam tidak saja mengatur hubungan antara manusia sebagai hamba dengan Tuhan ( Allah ) dalam berbagai bentuk ritual ibadah ( hambum min Allah ), melainkan Islam juga mengatur hubung kehidupan antara sesama umat manusia ( hablum minanannas ) 21 . Orang-orang yang mewakili garis pemikiran golongan nasionalis Islam kedua ini menurut Endang Saefuddin Ansari, antaranya; K. Bagoes

Constitution In Indonesia. Diterbitkan di Kuala Lumpur oleh Muslim Youth Movement of Malaysia ( ABIM ) 1979 18 Sekular / Sekularisme adalah suatu faham atau doktrin yang nengajarkan pemisahan agama dari urusan-urusan negara atau politik, bahwa urusan-urusan agama tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negara, karena agama menurut faham ini adalah urusan-urusan individu atau pribadi, sementara negara adalah urusan publik. Oleh karena itu sangat sulit untuk mempersatukan agama dengan negara. Implikasi dari doktrin ini adalah bahwa aturan-aturan agama atau hukum-hukum yang ditetapkan agama tidak bisa dilembagakan atau diformalkan dalam aturan negara. Liha. A. Zaki Badawi, A Dictionary of The Social Sciences, ( Beirut: Librairie Du Liban, 1978 ), h.370 –371 dan lihat juga, Jum`at al-Khuli, Al-Ittijahat al-Fikriyah al-Mu`asirah wa Mauqif al-Islam Minha, ( Madinah al-Munawwarah: Islamic University of Medina, 1407 H. / 1986 M. ), h.91 19 Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 25. Lihat juga, Endang Saefuddin Ansari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional. h.9 - 10 20 Endang Saefuddin Ansari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional. h. 3 21 Ibid. h. 9 -10 256 Hadikoesoemo, A.K. Muzakkir, K.H. Masjkoer, K.H. , K.H. Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo, M. Natsir dan sebagainya. Mereka-mereka inilah yang memperjuangkan agar negara Indonesia merdeka nanti didasarkan pada asas Islam22. Keinginan para tokoh ini pada waktu itu secara de fakto dalam konteks ke-Indonesiaan yang mayoritas rakyatnya muslim sebenarnya dalam batas-batas wajar dan realistis, karena berdasarkan sejarah masa lalu pada abad-abad ke-13 dan sesudahnya di bumi Nusantara ini telah berdiri sederet pemerintahan Islam dalam bentuk Kesultanan atau Kerajaan. Hal ini ditandai dengan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai pada abad ke-13 dengan raja pertamanya Sultan Malik al-Saleh ( w. 1297 M ), disusul dengan berdirinya Kesultanan , Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Kesultanan Cirebon, Banten, Makasar, Ternate, Tidore, dan beberapa Kesultanan di Kalimantan dan sebagainya, maka wajar jika para tokoh Islam di era kemerdekaan Indonesia mengusulkan agar Islam menjadi dasar negara Indonesia merdeka. Dalam konteks ini beberapa literatur sejarah peradaban menyebutkan bahwa Islam masuk ke Nusantara bukan saja berpengaruh dalam membentuk tatacara ritual ibadah tertentu saja, tetapi juga Islam berpengaruh pada tatanan sosial budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya23. Kedua-dua aliran pemikiran di atas masing-masing memiliki dasar pemikiran yang telah berakar dalam sejarah pergerakan nasional. Hal ini disaksikan dengan berdirinya beberapa organisasi yang berorientasi nasional pada satu sisi, dan sisi lain berdirinya organisasi-organisasi yang berasaskan Islam. Sebagai justifikasi terhadap realitas ini dapat ditunjukkan beberapa fakta sebagai berikut; Pertama. Organisasi-organisasi Nasional Sekular; antaranya, Boedi Oetomo ( Budi Utomo ) didirikan pada 20 Mei 1908, organisasi ini dianggap sebagai organisasi pertama yang dibangun secara modern dan merupakan organisasi terpenting dalam sejarah pergerakan nasional24. Dari Boedi Oetomo ini lahir beberapa organisasi pergerakan nasional sekular yang lain, antaranya; Partai Nasional Indonesia ( PNI ) didirikan pada 4 Juli 1927, Partai Indonesia ( Parindo ) didirikan pada bulan April

22 Ibid. h. 16 23 Lihat, Ahmad Fadloli et al, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004 ), h. 191 24 Lihat, A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia ( Jakarta: Dian Rakyat, 1967 ), h. 1 257 1931, Pendidikan Nasional Indonesia ( PNI-baru ) didirikan pada bulan Desember 1933, Partai Indonesia Raya ( Parindra ) didirikan pada 26 Desember 1935, Gerakan Rakyat Indonesia ( Gerindo ) didirikan pada 24 Mei 193725. Organisasi-organisasi ini lahir sebagai reaksi terhadap dampak negatif penjajahan asing, dan mempunyai cita-cita agar kelak Indonesia merdeka didasarkan pada faham kebangsaan atau nasionalisme. Kedua; Organisasi-organisasi Nasionalis Islam, yaitu organisasi-organisasi yang komitmen dengan ajaran-ajaran Islam secara konsisten dan penuh kesadaran. Hal ini ditandai dengan berdirinya Syarekat Islam ( SI ) pada 16 Oktober 1905 sebagai hasil pengembangan dari Syarekat Dagang Islam ( SDI ). Dari organisasi ini kemudian lahirnya organisasi-organisasi pergerakan nasional Islam lainnya 26 . Syarekat Islam sejak berdirinya diarahkan untuk menghimpun seluruh rakyat Indonesia.27 Pada tahun 1923 Syarekat Islam berubah menjadi Partai Syarikat Islam ( PSI ). Setelah itu berubah lagi menjadi Partai Syarekat Islam Hindia Timur ( PSIHT ) pada tahun 1927, dan akhirnya menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia ( PSII ) pada tahun 193028. Kedua-dua golongan yang mewakili dua aliran pemikiran yang berbeda pada tahun 1920-an sering dikatakan sebagai dua kelompok yang saling bertentangan. Meskipun demikian, hubungan keduanya dalam perspektif sejarah cukup kuat. Jika terjadi polemik antara tokoh yang beraliran Nasionalis Islam dan tokoh yang beraliran Nasionalis Sekular dalam berbagai hal terkait masalah kenegaraan, menurut Ridwan Saidi, masih dalam batas-batas wajar bila dikaitkan dengan upaya bangsa Indonesia merumuskan landasan kehidupan bernegara 29. Dalam konteks ini, Ridwan Saidi dalam bukunya; Islam dan Nasionalisme Indonesia, telah membuktikan bahwa keberadaan ( JIB ) yang didirikan pada 1 Januari 1925 sebagai organisasi Islam yang

25 Ibid. h. 55 – 62 dan 105 - 144 26 Lihat, , The Islamic State in Indonesia: The rise of The Ideology, The Movement for It`s creation and The Theory of The Masyumi ( MA Thesis, I.I.S McGill University, Montreal Kanada, 1965 ), h. 117 27 Lihat, A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. h. 124 28 A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. h. 35 – 40. lihat juga, Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsnsus Nasional. h. 10 29 Lihat, Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia ( : Basis, 1995 ), h. 1 258 berorientasi nasional dan bagaimana JIB berperan aktif dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan30. Beberapa fakta sebagaimana disebutkan Ridwan Saidi, membuktikan bahwa, Pertama; Pada tahun 1927 Pengurus besar JIB mendirikan National Indonesia Padvinderij ( Kepanduan Nasional Indonesia ) . Fakta ini membuktikan bahwa komitmen JIB pada cita-cita Nasionalisme Indonesia sangat kuat. Kedua; Keterlibatan beberapa tokoh nasional JIB, antaranya Wilopo ( tokoh Partai Nasional Indonesia ) pada waktu mudanya pernah aktif dalam Kepanduan Nasional Indonesia, Chalid Rasyidi yang dikenal sebagai tokoh pejuang angkatan 1945 pernah memimpin JIB cabang Betawi ( Jakarta ), bahkan Soekarno sendiri sangat populer di kalangan JIB cabang Bandung, dan beberapa tokoh lain yang tidak dapat disebut di sini. Fakta ini menunjukkan bahwa betapa dekatnya hubungan antara pemuda-pemuda Islam dengan kalangan Nasionalis. Ketiga; Fakta lain adalah keterlibatan JIB dalam proses penyusunan Panitia Kongres Pemuda II pada bulan Agustus 1928. Panitia ini kemudian menyelenggarakan Kongres Pemuda ke II di Jakarta yang melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 192831. Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa ketegangan-ketegangan yang akan terjadi tidak dapat dihindari antara kedua belah pihak sepanjang persidangan BPUPKI. Tetapi dengan rahmat Allah, akhirnya kedua-dua golongan besar ini bersatu dalam satu kesepakatan perjanjian bersama atau konsensus nasional tentang dasar Negara.

3. Brainstoming Tentang Rancangan Dasar Negara Kajian tentang aspek apapun terkait dengan dasar negara Indonesia harus bertitik tolak dari apa yang disampaikan oleh tiga tokoh pemikir, yaitu; Muh. Yamin yang menyampaikan pemikirannya pada 29 Mei 1945, pada 31 Mei 1945 dan Soekarno yang menympaikan pandangannya pada 1 Juni 1945. Tanpa memperhatikan pandangan ketiga-tiga tokoh tersebut ( termasuk beberapa tokoh lain ) yang memberikan pandangannya tentang dasar negara, maka kajian terkait dengan dasar negara ( Pancasila ) tidak akan sampai pada

30 Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia. h. 3 - 5 31 Sumpah Pemuda terdiri dari tiga sumpah setia sebagai komitmen pemuda-pemuda Indonesia terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Tiga Sumpah Pemuda tersebut sebagai berikut; Bertanah air satu, tanah air Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, bahasa Indonesia. 259 pemahaman yang konfrehensif. Setelah pelantikan selesai, Badan Penyelidik ( BPUPKI ) kemudian terus melakukan persidangannya meskipun dalam suasana peperangan di Asia semakin berkobar. Badan Penyelidik, sebagaimana ditegaskan Muh. Yamin, telah menyelesaikan dua kali persidangan, yaitu; Persidangan pertama dari 29 Mei sampai 1 Juni 1945, dan Persidangan kedua dari 10 sampai 17 Juli 194532. Persidangan pertama merupakan penyampaian pandangan-pandangan umum terkait dasar negara dari beberapa tokoh terkemuka, kemudian semua pandangan tersebut ditampung sebagai bahan yang akan dibahas oleh Panitia Khusus ( Pansus ). Persidangan kedua sebagai kelanjutan dari persidangan pertama, yaitu persidangan yang memberikan fokus pembahasan secara menyeluruh dan mendalam terkait bahan yang telah disampaikan pada persidangan pertama.

Pada persidangan pertama, para anggota Badan Penyelidik telah mengadakan sidangnya untuk membahas masalah-masalah yang terkait dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Masalah yang menjadi fokus perhatian dalam persidangan kali ini ialah mengenai dasar negara. Pembahasan mengenai dasar negara ini dimulai dari sebuah pernyataan yang disampaikan oleh ketua Badan Penyelidik; K.R.T. Rajiman Wediodiningrat kepada para anggota sidang tentang dasar negara 33 . Pernyataan Ketua sidang BPUPKI tersebut sebagai kelanjutan dari pernyataan Gunseikan ( ketua pemerintah Sipil Jepang di Jawa ) pada upacara pelantikan Badan Penyelidik 28 Mei 1945. Gunseikan, antara lain menegaskan sebagai berikut; Pembentukan Badan ini dimaksudkan untuk menyelenggarakan pemeriksaan tentang hal-hal penting, rancagan-rancangan dan penyelidikan yang berhubungan dengan usaha mendirikan negara Indonesia merdeka yang baru . . Jika suatu bangsa hendak meneguhkan dasar kemerdekaannya, maka ia harus mempunyai keyakinan diri untuk sanggup membela negara sendiri dan juga mempunyai kekuatan yang nyata sebagai bangsa ......

32 Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undangan Dasar Republik Indonesia ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ) h. 121. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 ( Jakarta: Siguntang, 1971 ), Jild 1, h.59 - 197 33 Lihat, A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila ( Jakarta: CSIS – Centre For Strategic and International Studies -, 1985 ), hlm. 26. Lihat juga, Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi ( Jakarta: Bulan Bintang, 1970 ), h. 12 260 Berhubung dengan syarat-syarat untuk negara merdeka yang baru, maka tuan-tuan sekalian memajukan diri dalam penyelidikan dan pemeriksaan tentang soal-soal tadi dan demikian juga tentang soal-soal agama34. Pernyataan Gunseikan ini mengindikasikan adanya keharusan BPUPKI melakukan penyelidikan terhadap dasar-dasar yang akan menjadi landasan negara Indonesia. Untuk memberikan tanggapan terhadap pernyataan ketua sidang BPUPKI tentang dasar negara, Muh. Yamin dalam karyanya; Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 menginformasikan bahwa sekurang-kuranya tiga orang anggota Badan Persiapan yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan ketua sidang ( K.R.T. Rajiman Wediodiningrat ) tersebut. Ketiga-tiga anggota sidang itu ialah; Muh. Yamin, Soepomo dan Soekarno. Berbeda dengan pendapat Muh. Yamin, Kohar Hari Soemarno dan Lembaga Soekarno – Hatta menyatakan bahwa orang-orang yang meyampaikan gagasannya melalui pidato pada sidang pertama BPUPKI bukan tiga orang, melainkan empat orang., yaitu; Muh. Yamin pada 29 Mei 1945, Moh. Hatta pada 30 Mei 1945, Soepomo pada 31 Mei 1945, dan Soekarno pada 1 Juni 1945.35 Kohar memberikan alasan yang cukup kuat bahwa data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Bung Hatta, Mr. Sunario, Subarjo, A.G. Pringgodigdo dan Pratignyo36. Hanya saja para peneliti umumnya tidak menyebut Moh. Hatta sebagai salah seorang yang juga memberikan gagasannya melalui pidato terkait dasar negara. Jika data yang diperoleh Kohar itu lebih kuat karena bersumber dari hasil wawancara dengan para pelaku yang aktif dalam sidang-sidang BPUPKI, maka dapat dipastikan bahwa Moh. Hatta memang menyampaikan pidatonya pada sidang pertama BPUPKI, tetapi kemungkinan besar Moh. Hatta tidak menyertakan teks pidatonya secara tertulis. Hal ini sebagaimana dikatakan Kohar Hari Soemarno bahwa dia tidak mendapatkan catatan apapun mengenai isi pidato Moh. Hatta. Seandainya ada teks pidato Hatta tentu saja dapat diketahui pemikiran Hatta tentang dasar negara dengan jelas37. Demikian juga Lembaga

34 Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 22 - 23 35 Lihat, Kohar Hari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila ( Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 M. ), hlm. 36. Lihat Juga, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 33 – 37 dan 94 36 Kohar Hari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila. h. 35 37 KoharHari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila. h. 36 261 Soekarno – Hatta memperoleh datanya secara langsung dari orang-orang yang aktif menghadiri sidang-sidang BPUPKI, yaitu; Moh. Hatta. Dalam konteks ini Lembaga Soekarno – Hatta menyampaikan sebagai berikut; naskah ini ( Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila ) ditulis sekitar tahun 1979 ketika Bung Hatta masih hidup dan termasuk salah seorang yang berpidato pada sidang Badan Penyelidik. Namun Bung Hatta sendiri tidak memiliki teks pidatonya yang disampaikan pada sidang Badan Penyelidik. Tapi beliau menyatakan bahwa ia berbicara tentang sistem ekonomi sosialis atau sistem ekonomi yang berkeadilan sosial38. Berdasarkan data di atas, terbukti bahwa Moh. Hatta termasuk yang menyampaikan pemikiranya pada sidang pertama BPUPKI 30 Mei 1945, tetapi dikarenakan Moh. Hatta tidak memiliki teks pidatonya, dan di samping pidatonya berbicara tentang ekonomi, sementara kondisi saat itu menuntut pembahasan tentang dasar negara, maka wajar jika para peneliti pada umumnya tidak memasukkan Moh. Hatta ke dalam tokoh-tokoh yang menyampaikan gagasannya tentang dasar negara. Namun demikian, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa tidak berarti yang berbicara pada sidang pertama BPUPKI itu hanya tiga atau empat orang saja, melainkan lebih dari itu, karena berdasarkan laporan Zimokyoku ( Panitia Persidangan dan Tata Usaha ) BPUPKI yang dikutip Lembaga Soekarno – Hatta menyatakan ada empat puluh enam orang yang berbicara 39 selama empat hari sepanjang proses perjalanan sidang pertama BPUPKI40. Untuk mengetahui isi pidato Muh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno, berikut ini disampaikan isi pidato ketiga tokoh nasional tersebut berdasarkan sumber buku “ Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 “ yang ditulis Muh. Yamin, di samping sumber-sumber lain yang dianggap penting. Kutipan-kutipan yang akan diambil dari para penyampai gagasan hanya yang penting-pentingnya saja sesuai dengan

38 Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 33 39 Para pembicara di sini dimaksudkan adalah para anggota sidang BPUPKI yang menyampaikan pandangannya selain dari Muh. Yamin, Moh. Hatta, Soepomo dan Soekarno. 40 Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 32 - 37 262 fokus pembahasan, yaitu; yang mengandungi pemikiran tentang dasar-dasar negara.  Isi Pidato Muh. Yamin Muh. Yamin adalah orang pertama yang menyampaikan pandangannya tentang dasar negara, baik melalui lisan ataupun tulisan, kemudian diakhiri ( menurut versi Nugroho Notosusanto ) dengan melampirkan teks rancangan Undang-Undang Dasar bersama dengan Pendahuluan . Di antara pandangan-pandangannya41 sebagai berikut; Negara baru yang akan kita bentuk adalah suatu negara kebangsaan Indonesia atau suatu nasional staat atau etat nasional yang sewajar dengan peradaban kita dan menurut susunan dunia sekeluarga di atas dasar kebangsaan dan ke-Tuhanan . . . . . rakyat Indonesia mesti mendapat dasar negara yang berasal daripada peradaban kebangsaan Indonesia. Orang Timur pulang kepada kebudayaan Timur42. Selanjutnya Muh. Yamin menyatakan; Dalam keadaan yang seperti itu, perjalanan pikiran untuk kebaikan negara Indonesia yang kita selidiki itu dengan sendirinya . . . . . ditujukan kepada peninjauan diri sendiri sebagai bangsa yang beradab. Dengan penuh keyakinan, bahwa negara itu berhubungan rapi ( rapat ) hidupnya dengan tanah air, bangsa, kebudayaan dan kemakmuran Indonesia, seperti setangkai bunga berhubung rapi dengan dahan dan daun, cabang dan urat berasa-sama dengan alam dan bumi; seperti tulang, darah dan daging dalam badan tubuh yang berjiwa dan bernyawa sehat, maka kewajiban kita yang pertama kali ( ialah ) menyusuli dasar hidup kita ke dalam pangkuan, haribaan kita sendiri43. Berdasarkan penjelasan Muh. Yamin tersebut dapat difahami bahwa negara yang akan dibangun, menurut Yamin, adalah negara yang berdasarkan kebangsaan ( nasional ). Yaitu suatu pembangunan bangsa

41 Dalam konteks ini, penulis tidak akan membicarakan persamaan atau perbedaan yang tidak prinsip dari pidato Muh. Yamin, antara yang disampaikan melalui lisan dengan naskah rancangan Undang-Undang Dasar yang disampaikannya kepada BPUPKI secara tertulis. Untuk melihat perbedaan antara keduanya, penulis persilahkan pembaca merujuk buku “ Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara “ karya Nugroho Notosusanto. h. 24 - 25 42 Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar1945. Jild. 1, h. 90 - 91 43 Ibid. h. 92 263 yang mengacu pada peradaban ( sivilazation ) yang lahir dari bumi Indonesia sendiri. Ini jelas terlihat pada ucapan Muh. Yamin; orang Timur pulang kepada kebudayaan timur. Yaitu sebuah bangsa yang berusaha menciptakan kesadaran senasib dengan mendekatkan seluruh rakyatnya ke suatu bentuk ideologi yang mencintai tanah air, sehingga dapat dimungkinkan lahirnya integrasi seluruh rakyat dalam rangka mencapai tujuan dan tanggung jawab bersama. Pandangan Muh. Yamin orang Timur pulang kepada kebudayaan timur. Secara sosiologis sebenarnya tidak ada peradaban suatu bangsa di manapun berada yang tidak terpengaruh dengan peradaban bangsa lain, apalagi pada kondisi saat ini di era kecanggihan teknologi informasi ( Information Technology ) di mana dunia digambarkan seperti sabuah perkampungan yang tidak berbatas teritorial, apapun yang terjadi di benua Amerika di sana atau di belahan dunia lain, dalam beberapa detik saja sudah bisa diakses di Indonesia, maka suatu bangsa tidak bisa mencerminkan kemurnian peradabannya sendiri. Pada saat Muh. Yamin menyampaikan pandangannya juga sama saling mempengaruhi antar budaya sudah berjalan. Ini memberi perngertian bahwa setidaknya terbentuknya sebuah peradaban adalah hasil sintesis dengan peradaban bangsa lain. Masyarakat purba atau orang-orang asli yang lahir dan hidup di tengah hutan belantara saja, barangkali yang dapat dikatakan memiliki budaya atau peradaban murni atau asli, tetapi masyarakat seperti ini belum bisa dikatakan masyarakat yang berbudaya atau berperadaban. Yang jelas, pencapaian ( achievement ) bangsa Indonesia dalam peradabannya adalah hasil dari adobsi atau sintesis dengan peradaban-peradaban bangsa lain, dan ini tidak dapat terelakkan dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pemikiran Muh. Yamin yang menyentuh dasar negara terdapat di akhir pidatonya, di mana Muh. Yamin melampirkan naskah rancangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang dirumuskannya sendiri. Dalam hubungan ini Muh. Yamin menyampaikan pemkirannya sebagai berikut: Habislah pembicaraan tentang azas kemanusiaan, kebangsaan, kesejahteraan dan dasar yang tiga, yang diberkati kerahmatan Tuhan, yang semuanya akan menjadi tiang negara keselamatan yang akan dibentuk. Dengan ini saya mempersembahkan kepada

264 sidang sebagai lampiran suatu rancangan sementara perumusan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia44. Dalam mukaddimah naskah rancangan Undang-Undang Dasar yang disampaikan Muh. Yamin tersebut, terdapat dengan jelas rumusan dasar negara yang lima, yaitu; 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kebangsaan persatuan Indonesia 3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan 5. Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Berdasarkan pandangan Muh. Yamin tentang dasar negara dapatlah difahami bahwa negara Indonesia yang akan dibangun harus didasarkan pada lima asas sebagaimana disebutkan di atas45. Menurut Muh. Yamin kelima dasar tersebut dapat dijadikan tiang negara. Kelima dasar tersebut, tegas Yamin, dapat membawa keselamatan bagi seluruh rakyat Indonesia.  Isi Pidato Soepomo Soepomo dalam pidatonya seperti juga Muh. Yamin, mengkonsentrasikan pandangannya pada dasar negara yang akan menjadi landasan negara Indonesia merdeka. Dalam konteks ini, Soepomo menyatakan demikian; Pertanyaan mengenai dasar negara pada hakekatnya adalah pertanyaan tentang cita-cita negara. Negara menurut dasar pengertian apa yang akan dianut oleh negara merdeka nanti. Pandangan Soepomo selanjutnya terfokus pada teori integralistik, di samping teori individualistik ( perseorangan ), dan teori sosialistik.46 Dalam hubungan ini Soepomo menyatakan sebagai berikut; Maka teranglah Tuan-Tuan yang terhormat, bahwa jika kita hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan

44 Lihat Mh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h. 106 45 Menurut Nugroho Notosusanto terdapat rumusan lain dari Muh. Yamin tentang dasar negara, yaitu; 1. Peri-Kemanusiaan, 2. Peri–Kebangsaan, 3. Peri-Kesejahteraa. 4. Peri–Kerakyatan, 5. Peri–Ketuhanan.. Lihat, Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi Yang Otentik Dan Rumusan Pancasila Yang Otentik ( Jakarta: t. tpt., 1976 ), h. 16 46 Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h. 110 - 111 265 keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan aliran pikiran ( staatside ) negara yang integralistik; negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun47. Dalam kutipan di atas, Soepomo menawarkan teori negara integralistik. Teori ini rupanya menjadi tema penting yang mewarnai keseluruhan pemikiran Soepomo. Menurutnya bahwa negara integralistik ialah sebuah negara yang bersatu padu dengan seluruh rakyatnya dan menempatkan dirinya pada posisi yang berada di atas semua golongan. Oleh karenanya di negara integralistik tidak ada keistimewaan bagi golongan besar ( mayoritas ) ataupun golongan kecil ( minoritas ), semuanya sama, maka anggapan bahwa golongan mayoritas berkuasa atas golongan minoritas tidak sejalan dengan teori ini. Lebih lanjut Soepomo menyatakan sebagai demikian; Menurut aliran pemikiran tentang negara yang saya anggap sesuai dengan semangat Indoneia asli, negara tidak mempersatukan dirinya dengan golongan terbesar dalam masyarakat, pun tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang paling kuat, akan tetapi negara mengatasi segala golongan dan segala seseorang ( individu ), negara mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya48. Berdasarkan pandangan Soepomo di atas, dapat dimengerti bahwa negara Indonesia yang akan dibangun agar berdiri di atas semua golongan, tidak memberikan keistimewaan kepada golongan manapun, baik atas dasar kekuatan keagamaan, keturunan ( etnic ), ekonomi dan sebagainya. Oleh karena itu, Umat Islam secara keseluruhannya yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia diperlakukan sama dengan umat-umat agama lain. Ini artinya bahwa asas Islam dalam teori negara integralistik tidak dapat dijadikan dasar negara, sekalipun mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Demikian juga dengan agama-agama lain yang pada umumnya dianut oleh minoritas penduduk. Jadi, dengan demkian Indonesia yang akan dibangun dalam konsepsi Soepomo tidak bisa didasarkan pada dasar agama, baik agama

47 Ibid. h. 113 48 Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h. 114 266 yang dianut oleh mayoritas rakyat ataupun agama yang dianut oleh minoritas. Dalam konteks ini Soepomo menegaskan sebagai berikut; Akan tetapi tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang akan mempersatukan diri dengan golongan terbesar, yaitu golongan Islam49. Pandangan ini jelas menyatakan bahwa Islam tidak bisa dijadikan dasar negara, karena menurut Soepomo jika Indonesia didasarkan pada asas Islam berarti negara hanya mempersatukan diri dengan rakyat yang mayoritas dan berarti pula bahwa rakyat Indonesia yang minoritas tidak mendapatkan tempat. Oleh karena itu, Soepomo menawarkan bentuk negara nasional, negara bangsa, yaitu negara yang menaungi semua aliran dan golongan. Hal ini sebagaimana ditegaskan Soepomo sebagai berikut; Oleh karena itu saya nenganjurkan dan saya mufakat dengan pendirian yang hendak mendirikan negara nasional yang bersatu, dalam arti totaliter seperti yang diuraikan tadi, yaitu negara yang tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, akan tetapi yang akan mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala golongan, baik golongan besar, maupun golongan yang kecil50. Pernyataan Soepomo ini jelas menunjukkan bahwa negara Indonesia yang akan dibangun adalah negara nasional yang menghargai kehidupan plural, baik dari segi agama, etnic, budaya dan sebagainya. Mayoritas atau minoritas tidak mejadi persoalan, semuanya akan mendapatkan pelayanan dan perlindungan negara. Seluruh pemikiran Soepomo terkait dengan dasar negara ternyata bermuara pada teori integralistik, menurut Marsilan Simanjuntak, terpengaruh ajaran Hegel ( 1770 – 1831 ), Baruch Spinoza ( 1632 – 1677 M. ) dan Adam Muller, tidak tahan uji dengan teori kedaulatan rakyat, karena gagasan negara integralistik lebih mengutamakan keseluruhan, ketimbang teori individualistik, juga lebih mengutamakan persatuan organik dalam negara ketimbang kepentingan individu dan golongan.

49 Ibidh. 117 50 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h. 117 267 Gagasan negara integralistik menurut Marsilan lagi, bersemangat antiliberalisme dan antiindividualisme. Pandangan yang hampir serupa dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution yang mengkritik konsep negara integralistik Soepomo 51 . Walau bagaimanapun teori negara integralistik adalah sebuah gagasan yang muncul ketika terjadi pembahasan tentang dasar negara, terserah kepada rakyat Indonesia untuk menerima atau menolaknya, tetapi realitasnya rakyat Indonesia menerima teori kedaulatan rakyat sebagai salah satu prinsip demokrasi. Hal ini dapat dimengerti bahwa rakyat Indonesia menolak gagasan negara integralistik. Selain berbicara tentang dasar negara, Soepomo juga berbicara tentang hubungan agama dan negara. Di akhir pidatonya, Soepomo berbicara tentang kedudukan agama dalam teori negara integralistik, bahwa negara sekalipun menganut teori integralistik tidak anti agama, hanya saja negara tidak ikut mencampuri urusan-urusan agama. Dalam konteks ini Soepomo menegaskan demikian; Dengan sendirinya dalam negara nasional yang bersatu itu, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinya dalam negara nasional yang bersatu itu urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan. Dan dengan sendirinya dalam negara sedemikian, seseorang akan merdeka memeluk agama yang disukainya, baik golongan agama yang terbesar, maupun golongan agama yang terkecil, tentu akan merasa bersatu dengan negara52. Berdasarkan penjelasan Soepomo di atas, dapat difahami bahwa negara yang berdasarkan teori integralistik, ialah negara nasional sekular, yaitu negara yang memisahkan agama dari urusan-urusan negara ( politik ), sekalipun negara tidak anti agama. Dalam konteks ini, ada analisa yang cukup baik tentang gagasan negara integralistik Soepomo disampaikan A.M.W. Pranarka bahwa Soepomo telah membedakan antara negara Islam dengan negara yang berdasarkan cita-cita luhur Islam. Yaitu negara yang berdasarkan cita-cita luhur Islam ( kebaikan-kebaikan yang bersumberkan ajaran Islam ) sekalipun secara legal formal negara tidak berdasarkan asas Islam. Dalam pengertian

51 Lihat, Gatra ( Majalah berita mingguan ), 10 Juni 1995,l No. 30, tahun 1, Jakarta, h. 28 52 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h. 117 268 bahwa negara memberikan kebebasan kepada rakyatnya yang beragama Islam untuk melaksanakan ajaran-ajaran agamanya, meskipun negara tidak didasarkan pada asas Islam, demikian juga rakyat yang beragama lain53. Berikut beberapa pokok pikiran Soepomo berkenaan dengan rancangan dasar negara sebagai berikut; bahwa Indonesia harus didasarkan pada budaya asli, jati diri, yaitu budaya Indonesia, negara bersifat integralistik atau nasional totaliter, negara harus mengatasi semua golongan, baik yang mayoritas atau yang minoritas, negara tidak ikut campur dengan urusan-urusan agama. Selain itu ada beberapa para penulis, antaranya Muh. Yamin, Nugroho Notosusanto, Kohar Hari Soemarno mencatat pokok-pokok pemikiran Soepomo tentang dasar negara sebagai berikut; 1. Persatuan, 2. Kekeluargaan, 3. Keseimbangan lahir batin, 4. Musyawarah, 5. Keadilan rakyat54.  Isi Pidato Soekarno Tokoh ketiga yang menyampaikan pemikiranya tentang dasar negara adalah Soekarno. Soekarno telah menyampaikan pandanganya secara jelas dan menyentuh persoalan secara langsung dan mendasar, meskipun secara keseluruhan inti dari pandangan Soekarno menurut Nugroho Notosusanto dan lain-lainnya, dikatakannya hampir ada kesamaan dengan yang disampaikan oleh kedua tokoh sebelumnya, yaitu; Muh. Yamin dan Soepomo, lebih khusus lagi Muh. Yamin yang hampir benar-benar sama. Namun demikian, Lembaga Soekarno–Hatta tidak menyetujui pandangan Nugroho tersebut. Berikut ini disampaikan petikan-petikan pandangan Soekarno terkait dengan rancangan dasar negara. Sebelum menyampaikan inti permasalahan yang sangat fundamental berkenaan dengan pembentukan negara Indonesia, Soekarno lebih dahulu memberikan ulasan atau komentar kepada para tokoh sebelumnya yang telah menyampaikan pandangannya. Menurut Soekarno, para pemidato terdahulu belum memenuhi permintaan ketua

53 Lihat, A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila ( Jakarta: CSIS, 1985 ), h. 30 54 Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 121. Lihat Juga, Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi Yang Otentik dan Rumusan Pancasila Yang Otentik ( Jakarta: T. pt., 1976 ), h. 17. Lihat juga, Kohar Hari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila ( Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 ), h. 39 269 sidang K.R.T. Rajiman tentang dasar negara Indonesia. Menurut Soekarno lagi bahwa dirinyalah yang sudah mengerti tentang apa yang diminta ketua sidang, yaitu soal dasar, philosofhische gronsdlag ( bahasa Belanda ) weltanchouung ( bahasa Jerman ) yang akan menjadi landasan negara Indonesia merdeka. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan ; Maaf, beribu maaf, banyak anggota telah berpidato dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan paduka tuan ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh paduka tuan ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda “ philosofisch grondslag “ dari Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi55. Secara rinci Soekarno menyebut satu persatu secara sistematik terkait rangcangan dasar negara, yang pada intinya mengandung lima prinsip. Berikut ini disampaikan pokok-pokok pemikiran Soekarno tentang rancangan dasar negara tersebut. Soekarno menegaskan bahwa dasar pertama yang baik bagi negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan suatu negara kebangsaan Indonesia56. Soekarno selanjutnya menyampaikan dasar kedua, yaitu dasar internasionalisme atau peri-kemanusiaan, sebagai berikut; Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Inilah filosofische prinsip ( bahasa Belanda ) yang nomer dua, yang saya usulkan kepada tuan-tuan yang boleh saya namakan internasionalisme57. Dasar ketiga ialah permusyawaratan / perwakilan. Berikut ini Soekarno menegaskan sebagai berikut ; Kemudian apakah dasar yang ketiga ?. Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara

55 Lihat, Soekarno, Lahirnya Pancasila -Pidato pertama tentang Pancasila 1 Juni 1945- ( T.tp : Tpt, T. th. ) h. 5 56 Ibid. h. 15. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 69 57 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 21 – 22. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 73 - 74 270 untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan 58. SelanjutnyaSoekarno menyampaikan dasar keempat, yaitu dasar kesejahteraan rakyat. Sehubungan ini Soekarno menyatakan sebagai berikut; Prinsip nomer empat saya usulkan, saya di dalam tiga hari ini belum mendapat prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam rakyat Indonesia ...... Maka oleh itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima hal sociale rechtvaardigheid ( bahasa Belanda ) ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya59. Akhirnya Soekarno sampai ke prinsip yang kelima, yaitu prinsip Ketuhanan. Sehubungan ini Soekarno menegaskan sebagi berikut ; Saudara-saudara apakah prinsip ke lima ? saya telah mengemukakan empat prinsip; Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, dan Kesejahteraan sosial. Prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan, bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih. Yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi saw.. Orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan

58 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 22. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 74 59 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 24 – 26. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 75 - 77 271 cara yang leluasa, ...... Dan hendaknya negara Indonesia suatu negara yang Ber-Tuhan60. Demikianlah pada 1 Juni 1945 Soekarno telah menyampaikan prinsip-prinsip tentang dasar negara. Dan jika disusun prinsip-prinsip tersebut secara sistematik, maka menjadi sebagai berikut; 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan, 3. Mufakat, Perwakilan dan Permusyawaratan, 4. Kesejahteraan sosial, dan 5. Ketuhanan. Kelima-lima prinsip ini, Soekarno memberinya nama Pancasila, menurut pengakuannya nama tersebut diperoleh dari salah seorang teman ahli bahasa. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan sebagai berikut; Saudara-saudara, dasar-dasar negara telah saya usulkan, lima bilangannya. Inikah Panca Dharma ?. Bukan. . . Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma artinya kewajiban. Sedangkan kita ( sedang ) membicarakan dasar . . . . Namanya bukan Panca Dharma. Tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa,61 namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas ( asas ) atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia kekal dan abadi62. Untuk memperkuat gagasan tentang rancangn dasar negara yang berjumlah lima prinsip itu, Soekarno kemudian membuat padanan ( perumpaan ) simbolik yang berjumlah lima pula. Dalam hubungan ini Soekarno menjelaskan; Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukum Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apalagi yang lima bilangannya ? Seorang yang hadir ( dalam sidang BPUPKI waktu itu ) berkata, pandawa lima. . . . Pandawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya

60 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 26 – 27. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 77 61 Terdapat sumber menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan seorang ahli bahasa itu adalah Muh. Yamin. 62 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 27 - 28 272 prinsip; Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan dan Ketuhanan, lima pula bilangannya63. Soekarno setelah menyampaikan rancangan dasar negara yang berjumlah lima prinsip dan diperkuat dengan padanan lima simbol. Soekarno selanjutnya menyampaikan teori perasan ( peres ). Hal ini sebagaimana dikutip Endang Saefuddin Anshari.64 Teori perasan itu demikian; Lima Sila itu diperas menjadi tiga sila, disebut Trisila, dan Trisila ini kemudian diperas lagi menjadi satu sila, yaitu, Ekasila. Jelasnya teori perasan itu sebagaimana disampaikan Soekarno 65 , sebagai berikut; 1. Sosio-Nasionalisme, meliputi;  Kebangsaan Indonesia,  Peri-Kemanusiaan, 2. Sosio-Demokrasi, meliputi;  Demokrasi,  Kesejahteraan sosial, 3. Ketuhanan. Trisila atau tiga sila kemudian diperas lagi menjadi satu sila, yaitu; Ekasila atau Gotong royong. Dalam hubungan ini Soekarno menjelaskan sebagai berikut; Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen ( asli ), yaitu perkataan Gotong royong. Negara yang akan kita dirikan haruslan negara gotong royong. Alangkah hebatnya negara gotong royong. 66 Pada kesempatan yang sama setelah mengajukan lima prinsip, Soekarno kemudian menawarkan kepada para anggota sidang bahwa ketiga-tiga bentuk gagasan itu sebagai altenatif, yang mana satu yang dikehendaki. Berikut ini Soekarno menyatakan sebagai berikut; Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana tuan-tuan yang akan pilih, Trisila, Ekasila ataukah Pancasila. Isinya telah saya katakan

63 Ibid. h. 28. Lihat juga, Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi ( Jakarta: Bulan Bintang, 1977 ), h. 12 - 13 64 Lihat E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar negara Republik Indonesia ( Jakarta: SV. Rajawali, 1981 ), h. 17 65 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 28 66 Ibid. h. 29 273 kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu67. Demikianlah pidato Soekarno yang disampaikannya pada 1 Juni 1945 di depan sidang pertama BPUPKI. Satu persatu dari lima prinsip rancangan dasar negara tersebut dijelaskannya secara sistematik, dan Soekarno kemudian menawarkan agar lima prinsip itu diberi nama Pancasila. Para anggota sidang kemudian menyambutnya dengan tepuk tangan yang riuh rendah setelah pidato selesai. Realitas ini mengindikasikan bahwa usulan Soekarno terkait dengan Pancasila diterima68. Ketika hasil pidato Soekarno diterbitkan menjadi buku pada pertama kalinya di tahun 1947. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat ( ketua BPUPKI ) memberinya judul pada buku ini; Lahirnya Pancasila69. Ini berarti bahwa ketiga-tiga alternatif yang ditawarkan Soekarno; Pancasila, Trisila dan Ekasila, hanya nama Pancasila yang diterima oleh anggota sidang, sementara Trisila dan Ekasila tidak. Demikianlah beberapa pokok pemikiran yang muncul dan berkembang pada sidang pertama BPUPKI yang berlangsung dari tanggal 29 Mei–1 Juni 1945. Pokok-pokok pemikiran tersebut selanjutnya menjadi agenda pembahasan oleh Panitia Khusus ( Pansus ) yang beranggotakan sembilan orang.

4. Sumber Gagasan Dasar Negara Pancasila Jika diperhatikan lebih dalam dari mana inspirasi lima dasar atau lima sila tersebut, baik yang disampaikan Moh. Yamin, Soepomo atau Soekarno. Menurut E. Saefuddin Anshari yang jelas semua gagasan yang muncul dan berkembang dari ketiga-tiga tokoh nasional tersebut bukanlah gagasan baru. Karena gagasan lima dasar negara telah tertanam

67 Ibid. h. 29 - 30 68 Lihat Kirdi Dipoyudo, Pancasila, Arti dan Pelaksanaannya ( Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS, 1979 ), h. 20 69 Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila –Pidato Peringatan Lahirnya Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional- ( Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1978 ), h. 9. Lihat juga, Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Dasar Negara Dan Sebuah Proyeksi, h. 12 274 di jiwa Soekarno semenjak puluhan tahun ke belakang70. Hal ini diakui oleh Soekarno sendiri dalam pernyataanya sebagai berikut; . . . . . saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk weltanchaung itu, untuk membentuk nasionalisme Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemausiaan , untuk mufakat, untuk sociale rechtvaardigheid, untuk Ketuhanan. Pancasila inilah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun71. Pada kesempatan yang sama Soekarno menegaskan; maka yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang BPUPKI ini, akan tetapi sejak tahun 1918, dua puluh lima tahun lebih ke belakang, 72 Selain dari itu, jika diperhatikan dari aspek kronologi waktu akan terungkap bahwa pada bulan Juli 1933 ketika di dalam Konferensi Partai Indonesia ( Partindo ) di Mataram, Soekarno pernah menyatakan; Bagi kaum Marhaen73, asas itu ialah Kebangsaan atau Kemarhaenan ( Marhaenisme ). Di dalam keputusan Konferensi tersebut, Soekarno menegaskan; bahwa Marhaenisme itu ialah Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme mengandung dua konsep dasar, iaitu; Internasionalisme dan Nasionalisme, dan Sosio-demokrasi mengandung dua konsep dasar juga, iaitu; Demokrasi dan keadilan sosial.74 Dengan demikian, dasar pemikiran Soekarno tidak tiba-tiba wujud pada sidang BPUPKI, tetapi sudah tertanam dalam jiwanya semenjak tahun 1918 lagi. Demikian juga dengan Muh. Yamin ketika dipecat dari keanggotaan Gerindo ( Gerakan Indonesia ) pada tahun 1939,

70 E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalisme Islam dan nasionalisme Sekular Tentang Dasar negara Republik Indonesia 1945 – 1959, h. 19 71 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 30 72 Ibid. h. 15 73 Marhaen ialah terminologi yang dimaksudkan suatu masyarakat yang sebagian besar terdiri dari golongan bawah dengan sifat-sifat atau karakter orang bawah, baik sebagai petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, pelajar kecil, pegawai kecil dan sebagainya. Dalam bahasa Jawa disebut; Wong cilik. Soekarno juga menyebut istilah Marhaen ketika menyampaikan pidatonya di depan sidang BPUPKI. Lihat Soekarno, Indonesia Menggugat–pidato pembelaan Bung Karno di depan Hakim Kolonial–( Jakarta: S.K. Seno, 1951 ), hlm. 130. Lihat juga, Soekarno, Lahirnya Pancasila. h. 10 74 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 28 275 kemudian Muh. Yamin bersama-sama dengan kawan-kawannya mendirikan Partai Persatuan Indonesia ( Parpindo ) yang didasarkan pada faham Sosial-nasionalisme dan Sosial-demokrasi75. Jadi dasar pemikiran Muh. Yamin pun tidak mendadak lahir pada saat sidang BPUPKI, tetapi sudah berakar dalam jiwanya semenjak tahun 40-an ke belakang. Selain dari itu, jika diperhatikan penjelasan-penjelasan Soekarno yang disampaikannya pada sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 di mana Soekarno sendiri banyak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran A. Baars dan Sun Yatsen. Dalam hubungan ini Soekarno menjelaskan sebagai berikut; Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun duduk dibangku sekolah HBS ( sekolah menengah ) di , Saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars yang memberi pelajaran kepada saya, katanya; jangan berfahaman kebangsaan, tetapi berfahamanlah rasa kemanusiaan sedunia ...... itu terjadi pada tahun 1917. Tetapi pada tahun 1918 alhamdulillah, ada orang lain yang mengingatkan saya, yaitu Sun Yatsen di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People`s Principle`s, saya mendapat pelajaran yang membogkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three People`s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa ( China ) menganggap Sun Yatsen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormatnya merasa berterima kasih kepada Sun Yatsen sampai masuk ke lubang kubur76. Ketika Soekarno berbicara mengenai prinsip kesejahteraan sosial dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, Soekarno mengulangi lagi pengaruh San Min Chu I, antara lain Soekarno menjelaskan sebagai berikut; Saya di dalam tiga hari ini belum mendengar prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan; prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Saya katakan tadi; prinsip San Min

75 Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakkyat Indonesia ( Jakarta: Dian Rakyat, 1967 ), h. 110 - 112 76 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h, 21 276 Chu I, ialah Mintsu, Min Chuan, Min Seng; Nasionalism, Democracy, socialism. Maka prinsip kita harus . . . . . kesejahteraan sosial . . . . . sociale rechtvaardigheid . . . . .77. Pada tempat lain, ketika Soekarno membuat perbandingan bagaimana Sun Yatsen menyediakan konsep untuk peletakan dasar negara Tionghoa ( China ), Soekarno menyatakan sebagai berikut; Di dalam tahun 1912 Sun Yatsen mendirikan negara Tionghoa merdeka, tetapi weltanschaungnya telah ada sejak tahun 1885, kalau saya tidak salah dipikirkan, dirancangkan di dalam buku The Three People`s Principles, San Min Chu I; Mintsu, Min Chuan, Min Seng; Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme, telah digambarkan oleh Sun Yatsen weltanschaung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas weltanschaung San Min Chu I itu78. Kutipan di atas menunjukan bahwa pernyataan mengenai rancangan dasar negara Indonesia, baik lima dasar Muh. Yamin, atau lima sila Soekarno bukanlah sesuatu yang kebetulan secara tiba-tiba muncul ketika sidang pertama BPUPKI. Tetapi telah ada semenjak puluhan tahun ke belakang. Karena sebenarnya pernyataan-pernyataan yang terungkap pada hari pertama sidang BPUPKI itu, terutama mengenai pemikiran sosial-nasionalisme dan sosial demokrasi bersama dengan pengertian-pengertiannya, yaitu; Internasionalisme, Nasionalisme, Demokrasi dan Keadilan sosial pada hakekatnya sebagai penjelmaan dari apa yang pernah terungkap sebelumnya. Kemudian, selain dari itu apa yang disampaikan Soekarno di atas, dapat dimengerti bahwa Soekarno banyak dipengaruhi oleh peikiran dari luar, terutama yang datang dari Sun Yatsen dan A. Baars. Namun demikian, tidak berarti bahwa keseluruhan konsepsi dasar Soekarno merupakan barang import. Sebab jika diperhatikan pernyataan-pernyataan Soekarno dalam pidatonya itu bukanlah penyalinan seratus persen dari idea luar. Hal ini diakui sendiri oleh Soekarno bahwa; kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politik ekonomi demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini 79 . Ini dikarenakan seluruh benua Barat, menurut

77 Ibid. h. 24 - 26 78 Ibid., h. 14 79 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 21 277 Soekarno, terutama Eropa dan Amerika bukankah justeru mereka kaum kapitalis yang merajalela, karena di negara-negara tersebut tidak ada keadilan sosial, tidak ada demokrasi ekonomi, yang ada hanya politik demokrasi80. Pernyataan ini sebagai indikasi bahwa tidak semua yang datang dari luar diterima begitu saja mentah-mentah, tetapi setidaknya difilter, diproses atau diadobsi dengan pemikiran yang ada, sehingga yang muncul kemudian adalah sesuatu yang sintesis yang sesuai dengan kondisi masyarakat, rakyat dan bangsa Indonesia. Selain dari itu yang berkenaan dengan konsep nasionalisme menurut Soekarno sudah direalisasikan semenjak wujudnya kerajaan-kerajaan besar Indonesia di masa lalu, yaitu; Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Dalam konteks ini Soekarno menyatakan; Kita hanya mengalami dua kali negara nasional, yaitu; ketika di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit81. Ini berarti bahwa faham nasionalisme sudah direalisasikan dalam bentuk yang nyata semenjak lahirnya pemerintahan-pemerintahan besar di masa lalu. Hanya saja pada saat itu dasar negara masih belum terumuskan dalam satu rumusan sistematik, maka pemikiran Sun Yatsen sebagaimana tertulis di dalam karyanya; The Three People`s Principles membantu Soekarno dalam merumuskan pemikiran itu secara sistematik ke dalam pola kehidupan kenegaraan di Indonesia. Dari sini jelas dapat ditegaskan bahwa konsepsi tentang rancangan dasar negara merupakan sintesis dari pemikiran yang datang dari luar dan kemudian diolah dengan pandangan hidup yang telah ada semenjak berabad-abad lamanya. Realitas ini tepat seperti yang dinyatakan Muh. Yamin; Begitu pulalah dengan ajaran Pancasila, suatu sinthese negara yang lahir dari antithese.82 Hal ini serupa dengan yang ditegaskan Presiden Soeharto ( mantan Presiden RI ke-2 ); bahwa Pancasila sebenarnya tidak lahir secara tiba-tiba pada tahun 1945, melainkan telah melalui proses panjang, dimatangkan oleh sejarah perjuangan bangsa kita sendiri, melihat pengalaman bangsa-bangsa lain, diilhami oleh idea-idea besar

80 Pernyataan Soekarno tersebut masih relevan untuk saat ini, hanya seberapa besar pengaruh dari praktik kapitalisasme barangkali yang harus dipastikan. Dalam realitas perpolitikan memang selalu didengungkan demokrasi, tetapi dalam hal ekonomi, tidak ada demokrasi, dalam arti keadilan ekonomi tidak ada, yang ada adalah kapitalisme liberal. 81 Soekarno, LahirnyaPancasila, h. 19 82 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Repunlik Indonesia ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h.454 278 dunia, tetapi dengan tetap berakar pada kepribadian dan idea-idea bangsa kita sendiri83. Aspek lain dari pembahasan ini yang perlu diperhatikan ialah bahwa kalau konsepsi tentang rancangan dasar negara, terutama yang digagas oleh Soekarno sepertinya banyak dipengaruhi oleh buku The Three People`s Principles, maka konsep dasar Ketuhanan itu dari mana sumber inspirasinya ?. Dalam hubungan ini E. Saefuddin Anshari menegaskan bahwa Muh. Yamin dan Soekarno menemukan prinsip Ketuhanan ini dari alam pikiran dan cita-cita yang diungkapkan oleh para pemimpin Islam di dalam Badan Penyelidik ( BPUPKI ), yang pada mulanya menolak dasar Kebangsaan dan mengajukan Islam sebagai dasar negara84. Sesuatu yang sudah menjadi realitas memang bahwa pengertian Ketuhanan ini pada hakekatnya berlatar belakang Islam, walaupun tidak selalu diterima oleh golongan bukan muslim. Ahmad Syafii Maarif menganalisisnya dari aspek lain dan menyatakan bahwa jika menurut jalan pikiran Soekarno, Pancasila merupakan refleksi dari warisan sosiologis rakyat Indonesia yang kemudian Soekarno merumuskannya dalam lima prinsip. Oleh karena itu, prinsip Ketuhanan pada mulanya tidak ada hubung kait secara organik dengan mana-mana agama 85 . Dengan ungkapan lain; Tuhan dalam konsepsi Soekarno bersipat sosiologis, sehingga konsep Ketuhanan bersipat relatif 86 . Namun demikian, setelah terjadi perdebatan sengit antara pihak Nasionali Islam dan Nasionalis Sekular di dalam Badan Penyelidik ( BPUPKI ), sila Ketuhanan berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dan ditetapkan menjadi sila pertama. Dalam konteks ini, berpendapat serupa dengan di atas dan menyatakan sebagai berikut; Dari manakah sebutan Ketuhanan Yang Maha Esa itu ?, dari pihak Nasranikah atau pihak Hindukah atau dari pihak Timur

83 Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila ( Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS, 1972 ), h. 10 84 E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsnsus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 – 1959, hlm. 23 85 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante ( Jakarta: LP3S, 1985 ), h. 144 86 Hal ini dapat dirujuk pada pandangan-pandangan Soekarno tentang konsep Ketuhanan yang bersifat evolutif dalam buku yang berjudul “ Pamcasila Sebagai Dasar Negara “, dalam sub topik “ Ketuhanan Yang Maha Esa “. 279 Asing, yang ikut bermusyawarah dalam Panitia yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar 1945 itu, tidak mungkin. Istilah Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya sanggup diciptakan oleh otak kebijaksanaan dan iman orang Indonesia Islam, yakni sebagai terjemahan pengertian yang terhimpun dalam “ Allahu al-Wahid “ yang disalurkan dari Al-Qur`an, 2:163 dan dizikirkan dalam do`a kanzu al-Arasy baris 1787. Dalam hubungan ini Departemen Agama ( kini Kementerian Agama ) Republik Indonesia turut pula menyampaikan pandangannya sebagai berikut; ...... ada hubungan antara prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran teologi Islam ...... bahwa prinsip pertama Pancasila yang merupakan prima - ausa atau penyebab pertama itu adalah sejalan dengan beberapa ajaran Tauhid Islam, yaitu Tauhid al-Sifat dan Tauhid al-Af`al ...... Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia88. Pada saat dibentuknya Panitia Pancasila yang beranggotakan lima orang; Moh. Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario dan A.G. Pringgodigdo yang dianggap dapat memberikan pengertian Pancasila yang sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir batin para penyusun Undang-Undang Dasar 1945, karena mereka orang-orang yang aktif secara langsung dalam menyusun rancangan dasar negara ( Pancasila ) dan Undang-Undang Dasar 1945 di tahun 1945. Di dalam salah satu sidangnya pernah terjadi diskusi mendalam terkait dengan sumber pengambilan dasar Ketuhanan, Sunario salah seorang anggota Panitia dan tokoh PNI ( Partai Nasional Indonesia ) menyatakan; Bung Karno menegaskan bahwa beliau adalah salah seorang penggali Pancasila, saya yakin benar. Moh. Hatta langsung menyambut; mungkin saja, tetapi yang jelas Bung Karno banyak mendapat ilham, ya . . . memang demikian halnya, misalnya saja asas Ketuhanan dari pihak PSII ( Partai Syarikat Islam Indonesia ) yang menjadi dasar perjuangan Partai itu 89 . Maka atas fakta inilah barangkali tidak

87 Hazairin, Piagam Jakarta Demokrasi Pancasila ( Jakarta: Tintamas, 1970 ), h. 58 88 Department of Religious Affairs of the Republic of Indonesia, The History and the Role of the Department of Religious Affairs of the Republic of Indonesia ( Jakarta: Burean of Public Relation, Department of Religious Affairs, 1975 ), h. 11 89 Lihat, Moh. Hatta, Uraian Pancasila ( Jakarta: Mutiara, 1977 ), h. 76 280 berlebihan jika Ahmad Syafii Maarif berpendapat bahwa penafsiran yang menyimpang atau bertentangan dengan kepercayaan dasar Islam, berarti perkosaan terhadap fakta sejarah. Dalam arti bahwa prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa hanyalah cermin dari fenomena sosiologis masyarakat Indonesia yang religius90. Oleh karena itu tepatlah apa yang ditegaskan T.M. Usman El-Muhammady bahwa Pancasila ialah filsafat kehidupan orang-orang beragama, karena sila pertama dari Pancasila adalah ajaran dan didikan agama91. Pandangan T.M Usman El-Muhammady benar sesuai dengan fakta, karena para perumus Pancasila adalah orang-orang beragama. Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapatlah ditegaskan bahwa prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa bersumberkan idea-idea besar para pemimpin yang berfahaman Nasionalis Islam. Oleh karena itu penulis tidak sependapat dengan pandangan Hery J. Benda dan J.M. Van Der Kroef yang melihat Pancasila bersifat kejawen yang dinamik, meskipun dari segi kajian akademik bisa diterima92. Karena sebutan kejawen berunsurkan sukuisme ( etnicity ), selain identik dengan tingkat keberagamaan yang bersifat ( suatu terminologi yang berupaya mengkategorisasi umat Islam; Islam dan Islam abangan ), sementara Pancasila sudah diterima sebagai dasar negara oleh seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, maka Pancasila sebagai ideologi lintas suku. Selanjutnya J.M. Van Der Kroef memberi analisa yang mengambang, yaitu; bahwa ada tiga pemikiran yang membentuk alam pemikiran di Indonesia, ketiga ideologi inilah yang menjadi acuan dasar dalam perumusan Pancasila. Pertama; Ideologi tradional pra Islam yang bercampur aduk dengan mitos sosial Hinduisme. Kedua; Islam, baik yang beraliran kaum tua, yaitu golongan dari umat Islam yang mengacu pada tradisi dan belum menerima modernisasi alam pemikiran, ataupun aliran kaum muda, yaitu golongan umat Islam yang sudah menerima modernisasi dalam perjuangan. Ketiga, Liberalisme yang

90 A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante ( Jakarta: LP3S, 1985 ), h. 63 91 T.M. Usman El-Muhammady, Antropologi Religi dan Pancasila ( Jakarta: Pustaka Agus Salim, 1969 ), h. 7 - 10 92 Hery J. Benda, Continuity and Chang In Southeast ( New Haven: Yale University, 1972 ) – Southeast Asia Studies Monograph Series No. 18, h. 180. Lihat juga, Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia ( Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan LSIP, 1995 ),h. 112 281 bercampur dengan ideologi Marxisme93. Boleh jadi pandangan Van Der Kroef sebatas berdasarkan klaim Soekarno ketika nenyatakan bahwa dirinya salah seorang nasionalis yang tetap menganut Islam dan tetap Marxis. Bagi Soekarno, Pancasila adalah sebagai manifestasi dari kepribadian bangsa Indonesia, yaitu gotong royong94. Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah hasil ramoan dari pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, kemudian diproses atau diadon dengan pemikiran-pemikiran yang sudah ada semenjak ratusan tahun ke belakang dan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa berasal dari para pemikir Nasionalis Islam. Soekarno, Muh. Yamin, Soepomo, H. Agus Salim, A. dan lain-lainnya adalah orang-orang yang berjasa dalam merumuskan idea-idea itu sehingga terbentuk menjadi satu rumusan yang dipergunakan sebagai dasar dan ideologi negara Indonesia. Dalam istilah yang dikemukakan E. Saefuddin Anshari; Pancasila Soekarno dan lima dasar Yamin adalah sebagai pernyataan kembali empat segi marhaenisme Soekarno yang dirumuskannya pada tahun 1933 ditambah dengan Ketuhanan yang bersumber dari para pemikir Nasionalis Islam95. Maka tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk tidak menghargai dan mengenang jasa para perumus Pancasila dan pendiri negara ( founding fathers ) Republik Indonesia.

5. Pancasila Dalam Rumusan Piagam Jakarta Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa setelah persidangan pertama Badan Penyelidik ( BPUPKI ) pada 1 Juni 1945 selesai dan semua pemikiran tentang rancangan dasar negara telah diinpentarisir, maka untuk pertama kalinya Pancasila sebagai rangcangan dasar negara mendapatkan rumusannya yang lengkap dan sempurna pada 22 Juni 1945 dalam suatu dokumen yang ditanda tangani oleh sembilan

93 Lihat J.M. Van Der Kroef, Indonesia In Modern World ( Bandung: Masa Baru Ltd., 1956 ) h. 199 94 Gotong royong atau kerja sama adalah tradisi budaya bangsa Indonesia yang sesuai dengan ajaran Islam. Karena Islam mengajarkan tolong menolong antara sesama umat dalam kebaikan. Akar budaya ini kemudian dimanifestasikan Soekarno menjadi kerangka dasar bagi bangsa Indonesia untuk merealisasikan amanat penderitaan rakyat. 95 E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, h. 20 282 anggota Panitia khusus 96 . Sembilan orang anggota Panitia khusus tersebut, ialah; Soekarno, Moh. Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim, Ahmad Soebardjo, A. Wahid Hasyim dan Muh. Yamin97. Sebelum melangkah lebih lanjut ke pembahsan yang sangat vital dalam sejarah pembentukan negara Indonesia, ada baiknya dikemukakan sedikit tentang deskripsi latar belakang pemikiran dan agama yang dianut oleh masing-masing sembilan tokoh pemimpin bangsa tersebut, sehingga dapat diketahui arah pemikiran mereka, sebagai berikut; 1. Soekarno: beragama Islam, seorang nasionalis, pendiri dan ketua Partai Nasional Indonesia 1927, kemudian ketua Partai Indonesia 1933. 2. : Beragama Islam, taat perintah agama, seorang nasionalis demokrat, pengurus Perhimpunan Indonesia di Nederland 1923, dan kemudian pengurus Pendidikan Nasional Indonesia 1933. 3. A.A. Maramis: Beragama Kristen, seorang nasionalis. 4. Abikoesno Tjokrosoejoso: beragama Islam, seorang nasionalis, pengurus Partai Syarikat Islam Indonesia ( PSII ). 5. Abdulkahar Muzakir: beragama Islam, seorang nasionalis Islam, anggota Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI ). 6. Agus Salim: beragama Islam, seorang nasionalis Islam, pengurus Syarikat Dagang Islam ( SDI ), kemudian PSII. 7. Ahmad Subardjo: beragama Islam, seorang nasionalis, kemudian menjadi anggota MASYUMI. 8. A. Wahid Hasyim: beragama Islam, seorang nasionalis Islam, pengurus Nahdhatul ( NU ), dan anggota MASYUMI. 9. Muh. Yamin: beragama Islam, seorang nasionalis, anggota Partai Indonesia ( Partindo ) 1933, anggota Partai Murba, kemudian Front Pembela Pancasila98.

96 Lihat Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi ( Jakarta: Bulan Bintang, 1970 ), h. 15 97 Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang dasar Republik Indonesia ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h. 160. Lihat juga, Soepardo et al, Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia - Sivics ( Jakarta:: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1962 ) h. 62 98 Lihat Noor Ms. Bakry, Pancasila Yudridis Kenegaraan ( Yogyakarta: Liberty, 1985 ), h, 212 283 Panitia khusus ini telah mengadakan sidangnya yang dihadiri juga oleh anggota-anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ) lain, sehingga menjadi tiga puluh delapan ( 38 ) orang, mereka kebetulan sedang berada di Jakarta pada 22 Juni 1945. Sidang ini dipimpin langsung oleh Soekarno sendiri99. Hal ini sebagaimana dilaporkan Soekarno pada sidang lengkap ke dua Badan Penyelidik ( BPUPKI ) yang berjalan dari 10 – 17 Juli 1945; bahwa Panitia khusus ini pada tanggal 22 Juni 1945 telah mengadakan inisiatif mengadakan pertemuan dengan tiga puluh delapan anggota Badan Penyelidik, di mana sebagian dari mereka sedang menghadiri sidang Cuo Sangi In ( semacam sidang Parlemen ). Oleh karena itu sidang ini seperti diutarakan Soekarno sebagai sidang antara Panitia khusus dengan anggota-anggota Badan Penyelidik. Sidang ini telah berhasil menghimpun semua usulan dari para anggota Badan Penyelidik100. Sembilan anggota Panitia khusus ini kemudian mengadakan pertemuan untuk merumuskan rancangan dasar negara berdasarkan pandangan-pandangan umum dari para anggota sidang. Menurut Lembaga Soekarno–Hatta, rumusan Pancasila dari Soekarno dijadikan bahan pembahasan 101 . Hasil rumusan mereka kemudian disetujui pada tanggal itu juga, yaitu 22 Juni 1945, dan kemudian rancangan itu diberi nama Piagam Jakarta. Salah satu tujuan dari pembentukan Panitia khusus adalah untuk mencari modus operandi antara golongan Nasinalis Islam dan golongan Nasionalis Sekular mengenai soal hubungan agama dan negara. Persoalan ini rupa-rupanya sebagaimana dikemukakan Nugroho sudah muncul selama persidangan pertama BPUPKI, dan bahkan mungkin sudah terjadi sebelumnya. Walau bagaimanapun, Panitia khusus ini telah berhasil mencapai modus dalam bentuk suatu rancangn pembukaan hukum dasar yang kemudian disebut Piagam Jakarta.102 Dalam konteks ini Muh. Yamin menegaskan sebagai berikut; Dalam bulan Juni 1945 itu juga, yaitu pada tanggal 22 juni 1945 dan hampir dua bulan sebelum hari Proklamasi, maka

99 Lihat Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Dasar negara dan Sebuah Proyeksi, h. 15 100 Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 945, Jld. 1, h. 148 101 Lihat Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, h. 98 102 Lihat Nugroho Notosusanto, Pancasila Dasar Falsafah Negara ( Jakarta: PT. Bina Aksara, 1983 ), h.22 284 untuk menetapkan dasar dan tujuan negara serta untuk mempersatukan aliran politik dan agama, ajaran Pancasila itu dirumuskan dalam Piagam Jakarta yang dipergunakan untuk mempersatukan segala aliran dan ditanda tangani di gedung Pegangsaan Timur 56, tempat Bung Karno waktu itu berdiam ( tinggal ) oleh sembilan orang pemimpin103. Panitia khusus inilah yang menghasilkan rumus yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan negara Indonesia merdeka. Rumusan hasil Panitia ini, Muh. Yamin memberinya nama atau Piagam Jakarta104. Kemudian jika diperhatikan pernyataan Soekarno dalam laporannya yang disampaikan pada sidang Badan Penyelidik 10 Juli 1945, Soekarno mengakui secara jujur bahwa tugas Panitia Sembilan ( Panitia khusus ) ini sangat berat karena terjadi perselisihan pandangan antara golongan Nasionalis Sekular dan golongan Nasionalis Islam. Dalam hubungan ini Soekarno menegaskankan demikian; Allah Subhanahu wa Ta`ala memberkati kita, sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan golongan Kebangsaan 105 . Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan faham anatara kedua golongan itu, terutama mengenai soal agama dan negara, tetapi ...... kita sekarang sudah ada persetujuan106.

103 Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h. 290 104 Lihat Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila ( T.tp. T. pt., 1967 ) h. 14 105 Penggunaan istilah golongan Islam dan golongan Kebangsaan sebagaimana disampaikan Soekarno pada dasarnya mengelirukan, karena realitasnya tidak menepati sasaran pengertian, karena Soekarno, Moh. Hatta, Muh. Yamin dan lain-lainnya yang disebut sebagai golongan Kebangsaan adalah orang-orang Islam ( Muslim ). Demikian juga tokoh-tokoh seperti Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, A. Wahid Hasyim dan lain-lainnya yang dikatakan sebagai golonga Islam pada saat yang sama adalah juga orang-orang nasionalis atau kebangsaan. Titik perbedaannya terletak pada segi kefahaman mereka terhadap ke-Islaman. Oleh karena itu penggunaan istilah yang tepat dalam konteks ini adalah golongan Nasionalis Islam dan golongan Nasionalis Sekular. Hal ini sebagaimana diperkuat Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto dalam karyanya; Sejarah Nasional Indonesia IV, dan E. Saefuddin Anshari dalam karyanya; Piagam Jakarta 22 Juni 1945.. 106 Lihat Muh. Yamin, Naskah Persipan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, hlm. 145. Lihat juga, Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ( Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1956 ), h. 33 285 Berdasarkan penjelasan Soekarno di atas, dapat difahami bahwa dalam pembahasan soal dasar negara sebagai klimaks dari persoalan hubungan anatara agama dan negara, Panitia khusus ( Panitia Sembilan ) pada tahap awal mengalami hambatan karena terjadi perdebatan sengit akibat perbedaan pandangan antara para Nasionalis Islam dan para Nasionalis Sekular, tetapi pada akhirnya mencapai kesepakatan antara kedua golongan tersebut. Sebenarnya perdebatan ini bukan saja terjadi di antara para anggota Panitia khusus, tetapi terjadi juga perdebatan ketika diadakan sidang pleno dalam sesi pandangan umum terhadap Piagam Jakarta. Perdebatan ini tentu saja melibatkan semua anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ). Selanjutnya Soekarno melaporkan hasil kerja Panitia Sebilan berupa rancangan hukum dasar yang disebut Preambul, Mukaddimah atau Pendahuluan. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan sebagai berikut; Panitia kecil ( Panitia Sembilan ) menyetujui rancangan Preambul yang disusun oleh anggota-anggota yang terhormat; Moh. Hatta, Muh. Yamin, Soebardjo, A.A. Maramis, Muzakir, A. Wahid Hasyim, Soekarno, Abikoesno Tjokrosoejoso dan Haji Agus Salim itu adanya. Marilah saya bacakan usul rancangan Pembukaan itu kepada tuan-tuan107.

Kemudian Soekarno membacakan Preambul atau Pembukaan tersebut sebagai berikut;

PEMBUKAAN ( Preambul )

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sanpailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

107 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld 1, h. 154 286 Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia108. Preambul ini menjadi Mukaddimah atau Pendahuluan rancangan Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Hal ini sebagaimana ditegaskan Muh. Yamin sebagai berikut; Mukaddimah ini adalah suatu Jakarta Charter, yang meliputi dasar-dasar negara Indonesia merdeka, berisi dasar-dasar daripada aliran-aliran yang ada di Pulau Jawa, sehingga di dalam Jakarta Charter ini, yang kini ditulis berupa Mukaddimah Undang-Undang Dasar itu, ada disebutkan; bahwa negara dibentuk atas kemauan bangsa kita sendiri dan untuk kepentingan rakyat, yang menginginkan suatu declaration of right, atau declaration of independence dan suatu constitution republic109.

108 Lihat Muh. Yamin, Pembahsan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 154 109 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 228 287 Preambul atau Piagam Jakarta ini ditanda tangani pada 22 Juni 1945 di gedung Pegangsaan Timur No. 56, tempat Bung Karno ( waktu itu ) tinggal oleh Panitia Sembilan.110 termasuk A.A. Maramis yang beragama Kristen. Dan oleh karena Preambul ini ditanda tangani di Jakarta, maka kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter, suatu sebutan untuk pertama kalinya digunakan oleh Muh. Yamin 111, dan bahkan sampai saat ini di era Reformasi masih tetap populer dengan sebutan Piagam Jakarta. Selain sebutan Piagam Jakarta juga disebut Gentlement Agreement berdasarkan pernyataan Muh. Yamin; Adapun yang kita persembahkan kepada rapat ini adalah pula sebagai gentlement agreement, seperti gentlement agreement kota Magelang yang dimaksud oleh tuan Dr. Soekiman112. Rumusan Pancasila yang pertama dan dalam bentuk yang lengkap sebagaimana diungkapkan Prawoto, bahwa di dalam Piagam Jakarta terdapat rumusan Pancasila yang pertama dan lengkap, yaitu yang terdapat secara berturut-turut pada paragraf ke empat dari Piagam ini113, meskipun terdapat juga pada paragraf pertama, kedua, ketiga tetapi tidak sistimatis114. Pancasila yang terumuskan dalam Piagam Jakarta ini berbunyi sebagai berikut; 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 1. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 2. Persatuan Indonesia, 3. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, 4. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikianlah rumusan Pancasila di dalam Piagam Jakarta. Suatu rumusan yang disusun berdasarkan hasil musyawarah Panitia Sembilan ( Panitia Khusus ); Suatu susunan yang konfrehensif dan sistematik.

110 Ibid. h. 290 111 E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 – 1959, h. 32 112 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 228 113 Lihat Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 15 - 16 114 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesiaq, h. 289 288

6. Penerimaan Piagam Jakarta Oleh BPUPKI Setelah Soekarno selesai membacakan laporan hasil kerja Panitia Sembilan, kemudian diadakan sesi pembahasan ( tinjauan ) umum terhadap Preambul yang dalam bentuknya Piagam Jakarta pada sidang BPUPKI kedua pada 11 Juli 1945, ternyata beberapa anggota sidang ada yang merasa keberatan terhadap tujuh anak kalimat setelah kata Ketuhanan yang berbunyi; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Beberapa anggota yang merasa keberatan itu antaranya; Latuharhary, dan Hoesein Djajadiningrat. Mereka mengemukakan beberapa alasan, antaranya; 1. Tujuh anak kalimat itu akan menimbulkan kekacauan terhadap istidat, 2. Akan menimbulkan fanatisme, karena ini merupakan pemaksaan untuk menjalankan Syariat bagi orang-orang Islam saja115. H. Agus Salim, salah seorang nasionalis Islam, langsung menyampaikan tanggapannya kepada Latuharhary; bahwa pertikaian hukum agama dan adat bukan masalah baru, dan pada umumnya sudah selesai. Selain itu orang-orang yang beragama lain selain Islam tidak perlu khawatir, keamanan mereka tidak tergantung pada kekuasaan negara, tetapi pada adatnya umat Islam yang 90% itu 116 . Pada kesempatan yang sama K.H. A. Wahid Hasyim, salah seorang nasionalis Islam memberikan jawaban kepada Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat sambil mengingatkan para anggota sidang tentang asas permusyawaratan . . . . . bahwa paksaan-paksaan tidak terjadi. Bila ada orang yang menganggap tujuh anak kalimat itu sebagai sesuatu yang tajam ( yang rinci ), ada juga yang menganggap kurang tajam117. Dalam rangka mempertahankan Piagam Jakarta ( Preambul ), Soekarno sebagai ketua Panitia Sembilan mengingatkan para anggota sidang, bahwa Piagam Jakarta itu hasil jerih payah para tokoh golongan Islam dan golongan Kebangsaan ( golongan Nasionalis Islam dan golongan Nasionalis Sekular ), kalau kalimat ini ( tujuh anak kalimat )

115 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 259 116 Ibid. h. 259 117 Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld.1, h. 259 289 tidak dimasukkan, tentu saja tidak diterima oleh para tokoh Islam118. Pada saat yang sama Soekarno mengulangi pernyataannya dengan nada keras; bahwa anak kalimat itu merupakan hasil kompromi antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan yang hanya didapat dengan susah payah.119 Karena itu Piagam Jakarta harus diposisikan sebagai alat pemersatu di antara berbagai aliran pemikiran yang ada pada saat itu. Dalam konteks ini Soekarno menegaskan sebagai berikut; Di dalam Preambul ( Piagam Jakarta ) itu ternyatalah, seperti yang saya katakan tempo hari, segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar dari anggota-anggota Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai, masuk di dalamnya Ketuhanan, dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan Syariat Islam, masuk di dalamnya; kebulatan nasionalisme Indonesia. Persatuan bangsa Indonesia masuk ke dalamnya; kemanusiaan atau Indonesia merdeka di dalamnya susunan peri-kemanusiaan dunia masuk di dalamnya; keadilan sosial, sociale rechtvaardigheid masuk di dalamnya, maka oleh karena itu Panitia Sembilan berkeyakinan, bahwa inilah Preambul ( Piagam Jakarta ) yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai120. Berdasarkan penjelasan Soekarno di atas, dapat difahami bahwa Preambul ( Piagam Jakarta ) yang telah disepakati bersama oleh para anggota Panitia Sembilan adalah yang terbaik, karena dapat mempersatukan berbagai aliran pemikiran yang berbeda. Realitasnya pada tahap ini demikian, meskipun terjadi perdebatan-perdebatan yang panas tetapi semuanya tetap berpijak pada prinsip persatuan. Pada tahap ini Soekarno memperlihatkan sikap ketegasannya dalam mempertahankan Piagam Jakarta. Sebagai ketua Panitia Sembilan, Soekarno memperlihatkan keteguhan komitmennya terhadap apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama, maka tidak heran jika Soekarno mempertahankan Piagam Jakarta dengan gigih. Sidang BPUPKI 11 Juli 1945 berakhir dengan penyampaian kesimpulan Soekarno dan oleh karena tidak ada yang menolak, maka pokok-pokok pemikiran yang terkandung di dalam Preambul ( Piagam Jakarta )

118 Ibid. h. 254 119 Ibid., h. 259 120 Ibid. h. 154 - 155 290 dianggap sudah diterima121. Dengan demikian, Preambul yang dalam bentuknya Piagam Jakarta telah diterima secara sah dari sisi hukum oleh Badan Penyelidik ( BPUPKI ), dan sebagaimana ditegaskan Muh. Yamin; bahwa pada 11 Juli 1945 Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dengan bulat suara telah menyetujui isi Preambul ( Piagam Jakarta ), Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang juga dipimpin oleh Bung Karno dengan anggota-anggotanya sejumlah sembilan belas orang, semua persoalan Undang-Undang Dasar diserahkan kepada mereka, termasuk soal Preambul122. Kemudian dalam rangka memperlancar penunyusunan rumusan Undang-Undang Dasar123, panitia perancang Undang-Undang Dasar yang berjumlah sembilan belas orang itu diperkecil lagi menjadi tujuh orang saja124. Panitia Perancang Undang-Undang Dasar mulai bekerja pada 12 Juli 1945125. Pada 14 Juli 1945 dalam sidang Badan Penyelidik ( BPUPKI ), Soekarno sebagai ketua panitia perancang Undang-Undang Dasar melaporkan kepada sidang mengenai tiga rancangan yang telah dihasilkan, yaitu; 1. Pernyataan Indonesia merdeka, 2. Preambul yang dalam bentuknya Piagam Jakarta, 3. Undang-Undang Dasar itu sendirir yang terdiri dari 42 Pasal126. Setelah dilakukan pembahasan, terutama terhadap tujuh anak kalimat; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya setelah kata Ketuhanan yang terdapat pada Pasal

121 Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 529 122 Ibid. h. 250 - 251 123 Dalam konteks ini, penulis tidak bermaksud membicarakan isi rancangan Undang-Undang Dasar secara keseluruhan, karena pembicaraannya memerlukan pembahasaanya tersendiri, tetapi sekedar untuk membuktikan bahwa penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar juga bersumber pasa Preambul yang dalam bentuknya Piagam Jakarta. Terbukti bahwa di dalam rancangan Undang-Undang Dasar disebutkan ; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeliuknya. 124 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 260 125 Lihat B.J. Boland, The Struggle of ( The Hague; Martinus Nijhoff, 1971 ), h. 29 126 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 273 –276,. Lihat juga, E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945...... h. 37 291 29 ayat 1 dari rancangan Undang-Undang Dasar, pada akhirnya sidang lengkap Badan Penyelidik ( BPUPKI ) menerima rancangan Undang-Undang Dasar yang disesuaikan dengan Piagam Jakarta pada 16 Juli 1945. Dalam konteks ini Soekarno sebagai ketua panitia perancang Undang-Undang Dasar menyetakan sebagai berikut; Saya minta dengan rasa menangis supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita ...... saya harap, Paduka tuan yang mulia suka mengupayakan supaya sedapat mungkin dengan lekas mendapat persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa yang saya usulkan tadi127. Ketika tidak ada lagi persoalan-persoalan yang muncul dalam sidang, maka K.R.T. Rajiman sebagai ketua umum Badan Penyelidik ( BPUPKI ) menutup persidangan dengan ucapan yang terakhir; . . . . . Jadi rancangan ini sudah diterima semuanya. Jadi, saya ulangi ...... Undang-Undang Dasar ini kita terima dengan sebulat-bulatnya. Pernyataan terakhir tersebut diterima dengan suara bulat dan disambut dengan tepuk tangan riuh128. Hari terakhir, yaitu 17 Juli 1945 hanya acara penutupan sidang Badan Penyelidik secara resmi129. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas tentang Pancasila di dalam Piagam Jakarta, maka dapat ditegaskan bahwa sidang BPUPKI ke-2 ( dua ) yang berlangsung dari 10 – 16 Juli 1945 berakhir dengan keputusan secara bulat menerima Preambul ( Piagam Jakarta ) dan kemudian diikuti dengan pengesahan rancangan Undang-Undang Dasar menjadi Undang-Undang Dasar yang mengacu pada Piagam Jakarta.

7. Kearifan Keputusan Penerimaan Piagam Jakarta Keputusan menerima Piagam Jakarta adalah keputusan yang sangat bijak dan arif, yang akan menjadi alat pemersatu, terutama di anatara dua aliran pemikiran berlawanan yang dominan pada saat itu, yaitu aliran pemikiran Nasionalis Sekular dan aliran pemikiran Nasionalis Islam. Dalam hubungan ini Muh. Yamin menegaskan;

127 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 393 128 Ibid. h. 398 129 Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, h. 40 292 Piagam Jakarta itu dilihat sebagai modus operandi antara golongan Islam dan Nasionalis130. Para tokoh yang terpilih dalam Panitia Sembilan sebagaimana ditegaskan E. Saefuddin Anshari, adalah para penanda tangan Piagam yang sungguh-sungguh representatif, mencerminkan alam dan aliran pemikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia131. Deliar Noer memperkuat pandangan Muh. Yamin dan E. Saefuddin Anshari dengan pernyataannya; bahwa sembilan orang pemimpin itu, masing-masing dianggap mewakili golongan Kebangsan, Islam dan Kristen 132. Dengan disahkannya Preambul ( Piagam Jakarta ) oleh BPUPKI berarti sebagai awal fondasi pembangunan Indonesia ke depan. Dalam hal ini E. Saefuddin Anshari menegaskan; bahwa Piagam Jakarta adalah hasil akhir dari perjuangan panjang untuk kemerdekaan dan dalam waktu yang sama ia juga merupakan titik tolak ( starting poin ) pembangunan Indonesia pada masa akan datang133. Pandangan ini harus dimunculkan karena dengan ditanda tanganinya Piagam Jakarta oleh sembilang Orang anggota Panitia khusus ( Pansus ) berarti babak baru dimulainya pembangunan Indonesia dengan berdasar pada persatuan dan kebersamaan. Persatuan merupakan prasyarat untuk tercapainya pembangunan di semua sektor kehidupan. Atas dasar inilah kiranya patut dihargai pandangan Muh. Yamin; bahwa untuk menetapkan tujuan negara serta untuk mempersatukan aliran politik dan agama, ajaran Pancasila dirumuskan dalam Piagam Jakarta yang dipergunakan untuk mempersatukan semua aliran134. Pernyataan Muh. Yamin di atas, bisa difahami bahwa Piagam Jakarta sebagai manifestasi dari perjanjian ( the treaty ) untuk persatuan di anatara semua aliran pemikiran yang ada. Ini artinya bahwa Piagam Jakarta sebagai suatu kompromi yang dipegang bersama oleh pihak Nasionalis Islam dan pihak Nasionalis Sekular135. Hal ini tepat dengan pandangan Anwar

130 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 153 131 E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . hlm. 47 132 Lihat Deliar Noer, Administrasi Islam Di Indonesia ( Jakarta: CV. Rajawali, 1983 ), h. 47 133 E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . h. 47 134 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 290 135 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Udang Dasar 1945, Jld. 1, h. 279 293 Harjono; bahwa Piagam Jakarta dalam sejarah kita telah menduduki posisi yang tinggi dari pada sekedar soal yuridis formal136. Piagam Jakarta sudah menyangkut sendi-sendi moralitas bangsa, maka Piagam Jakarta yang mengandung rumusan Pancasila yang lengkap itu sungguh sangat mendalam, berakar, mendarah daging dan bahkan menjiwai, mewarnai setiap perjuangan, terutama perjuangan umat muslim Indonesia. Oleh karena itu Piagam Jakarta yang mengandung dasar-dasar Indonesia merdeka dan berisi dasar-dasar yang dapat mempersatukan berbagai aliran yang berbeda, pastinya harus dijadikan acuan dalam rangka merumuskan kebijakan-kebijakan publik di kemudian hari. Hal ini sebagaimana dibuktikan oleh Soekarno ketika menghadapi krisis politik tahun 1959, yaitu dengan mendeklarasikan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit Presiden mengandung pernyataan; bahwa Piagam Jakarta sebagai yang menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, dan sebagai rangkaian dengan konstitusi tersebut. Dalam konteks ini Muh. Yamin menyatakan; Pernah ajaran itu ( Pancasila ) dirumuskan dalam Piagam Jakarta bertanggal 22 Juni 1945, yang seperti kata Dekrit Presiden / Panglima Tertinggi tanggal 5 Juli 1959; yang menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian dengan konstitusi tersebut, atau menurut salinan dalam bahasa Inggris; That we have the conviction that the Jakarta Charter dated 22 Jun 1945 gave an inspiration to 1945 constitution an is linked in unity with that constitution137. Piagam Jakarta sebagaimana ditegaskan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1959 tersebut memberi arti bahwa kedudukannya dipandang begitu asas, sehingga dikatakan sebagai yang menjiwai Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu secara logika, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi dasar negara Indonesia adalah sebagai manifestasi dari Piagam Jakarta itu. Oleh karenanya rumusan Undang-Undang Dasar 1945 dibuat tidak bertentangan dengan Piagam Jakarta138.

136 Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman – Islam ( Jakarta: Gema Insani, 1995 ), h. 144 - 145 137 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. h. 289 138 Undang-Undang Dasar 1945 yang dimaksud di sini ialah Undang-Undang Dasar 1945 dalam bentuknya yang asli sebelum dilakukan perubahan atau amandemen, seperti yang terjadi pada sidang PPKI atau di era Reformasi. 294 Dari sisi lain, jika dilihat dari aspek nama, maka Piagam Jakarta adalah sebuah nama dari naskah tertulis hasil kesepakatan bersama ( konsnsus ) antara para anggota Panitia Sembilan. Ini berarti bahwa kesepakatan dan kebersamaan telah tercapai. Oleh karena itu, Soekiman; salah seorang anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ) memberinya nama Gentlemen`s Agreement, yang berarti suatu kesepakatan bersama antara semua pihak berdasarkan saling hormat menghaormati, meskipun sempat terjadi perbedaan pandangan dan pemikiran. Sehubungan ini Soekarno menyatakan sebagai berikut; Jadi, Panitia memegang teguh kompromi yang dinamakan anggota yang terhormat; Muh. Yamin, The Jakarta Charter, yang disertai perkataan ( pernyataan ) anggota yang terhormat; Soekiman, Gentlemen`s Agreement, supaya ini dipegang teguh antara pihak Islam dan pihak kebangsaan139. Dalam konteks ini selanjutnya penulis ingin menegaskan bahwa setidaknya telah terjadi dua kali kejadian yang sangat penting terkait dengan upaya strukturisasi ketata negaraan Republik Indonesia dalam dekade 1945-1959, di mana Piagam Jakarta diposisikan sebagai alat ( instrumen ) pemersatu; Pertama. Terjadi persatuan di kalangan para anggota Badan Penyelidik ( BPUPKI ), meskipun dalam hal ini diakui Piagam Jakarta tidak bertahan lama karena terjadi perubahan mendasar pada sidang PPKI 18 Agustus 1945. Kedua. Terjadi persatuan ( meskipun ini terjadi 14 tahun kemudian dari tahun 1945 ) di kalangan Badan Konstituante ( Suatu Badan yang diberi mandat untuk merumuskan kembali Undang-Undang Dasar ) setelah sebelumnya terjadi perdebatan sengit di anatara aliran Nasionalis Sekular, Nasinalis Islam dan aliran yang berfaham Komunisme tentang dasar negara. Persidangan Badan Konstituante menemui jalan buntu, hal ini yang memeaksa Presiden Soekarno kemudian mengambil langkah strategis dalam rangka terciptanya kesatuan dan kestabilan politik, yaitu keputusan kembali pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 disertai dengan memasukan Piagam Jakarta. Hal ini sebagaimana termaktub di dalam Dekrit Presiden 1959 sebagai dokumen resmi negara. Kebijakan ini ternyata menyadarkan semua pihak yang berbeda pandangan untuk bersatu kembali dalam kesatuan Republik Indonesia. Tetapi aneh sekali di era Reformasi, dan bahkan di era

139 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 279 295 Rezim Orde Baru, banyak orang alergi ketika mendengar Piagam Jakarta. Piagam Jakarta sudah disalah artikan sebagai sesuatu yang identik dengan implementasi Syariat Islam, padahal sebenarnya tidak begitu. Sebagai bangsa yang beradab dan telah menerima Demokrasi sebagai sistem pemerintahan sepatutnya kita ( terutama para elite politisi muslim ) tidak bersikap pak turut ( ikut-ikutan ), kita harusnya bersikap arif, objektif dan jujur, karena Piagan Jakarta pernah disahkan oleh suatu Lembaga tertinggi; BPUPKI, pada saat menjelang Indonesia merdeka. Demikianlah kedudukan Piagam Jakarta sebagai sesuatu yang dapat mempersatukan berbagai aliran yang berbeda. Oleh karena itu, dalam dinamika perpolitikan nasional ketika dikemudian hari terjadi penghapusan ( pencoretan ), terutama pada tujuh anak kalimat; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan imbasnya terjadi penghapusan pula pada beberapa kata dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebenarnya menjadi sumber ketidak puasan, terutama bagi para tokoh Islam, baik sebagai anggota Badan Penyelidik, atau yang berada di masyarakat. Tapi dengan semangat persatuan, para tokoh Islam sangat toleran demi tercapainya Indonesia merdeka dan dimulainya pembangunan, maka penghapusan beberpa kata tersebut disikapi dengan sikap positif dan lapang dada.

8. Revisi Pancasila Dalam Piagam Jakarta Pancasila yang terkandung di dalam Piagam Jakarta dan telah diterima oleh Badan Penyelidik ( BPUPKI ) dalam sidangnya yang kedua, rupanya belum tuntas, masih belum baku, sehingga terpaksa harus dilakukan tinjauan ulang. Hasilnya terjadi perubahan yang sangat mendasar terhadap sila pertama Pancasila. Ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal teknis yang dianggap oleh sebagian pihak sebagai sesuatu yang mengganjal, dan ini nampak jelas bagaimana ketika terjadi debat yang cukup panas pada sidang BPUPKI kedua. Sesuatu yang dianggap mengganjal itu ialah adanya beberapa kalimat, yang menurut sebagian anggota Badan Penyelidik, terlalu memberi perhatian khusus kepada umat Islam, sehingga masyarakat non muslim merasakan ada diskriminasi, meskipun hal ini sudah diberi penjelasan secukupnya oleh para tokoh Nasionalis Islam, antaranya K.H. Agus Salim, K.H. A. Wahid Hasyim dan lain-lainnya. Tetapi tetap saja hal tersebut masih dianggap mengganjal.

296 Dalam konteks ini, persoalan sebenarnya terletak di tangan Soekarno dan Moh. Hatta, karena keduanya sebagai tokoh yang berpengaruh tentu saja dapat memainkan perananya untuk menentukan arah mana yang akan dituju. Dalam arti bahwa jika Soekarno dan Moh. Hatta memang setuju dengan Piagam Jakarta sebagaimana yang sudah menjadi kesepakatan bersama, tentu tidak akan membuka ruang untuk upaya penghapusan beberapa kalimat dalam Piagam Jakarta. Kontroversi meruncing di sekitar Piagam Jakarta sejak semula memang sudah dirasakan. Namun demikian, karena kebesaran pengorbanan dan toleransi para tokoh Nasionalis Islam sangat tinggi, demi wujudnya kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia seluruhnya, maka permasalahan yang rumit itu akhirnya dapat diselesaikan bersama dengan penuh kesadaran dan husnu zan ( prasangka baik ). Pancasila yang disahkan penggunaannya semenjak Indonesia merdeka hingga hari ini adalah rumusan Pancasila yang dihapuskan tujuh anak kalimatnya pada sila pertama, yaitu; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan sebagai penggantinya kalimat; Yang Maha Esa. Jadi sila pertama Pancasila yang pada mulanya berbunyi; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa140. Secara sistematik rumusan Pancasila yang diberlakukan sampai sekarang, ialah; 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Inilah rumusan Pancasila yang diberlakukan sebagai dasar dan filsafat negara Republik Indonesia hingga hari ini. Dalam konteks ini Prawoto menyebut rumusan Pancasila tersebut sebagai rumus Pancasila ke-2141. Sehubungan dengan ini Nugroho Notosusanto menegaskan

140 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 400 - 410 141 Pembahasan tentang rumus-rumus Pancasila dari rumus 1 hingga rumus IV dan bahkan rumus V, pembaca dapat merujuk karya Noor Ms. Bakry; Pancasila Yuridis Kenegaraan, tahun terbit 1985, hlm. 40 – 41, dan rujuk pula karya Prawoto Mangkusasmito yang berjudul; Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 12 297 bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan itu ialah konsep yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan . . . . yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Konsep ini diterima dengan suatu perubahan penting, yakni sila pertama dari dasar negara yang tercamtum di dalam Pembukaan itu, yang pada awalnya berbunyi; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bangi pemeluk-pemeluknya, dirubah menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa 142. Dengan demikian, berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas tentang pertumbuhan dan perkembangan Pancasila, dapat ditegaskan di sini bahwa proses perkembangan rumus Pancasila telah mengalami beberapa tahap perkembangan. Setidaknya ada tiga tahap perkembangan, sebagai berikut; 1. Tahap sebagai konsep, rancangan atau gagasan yang disampaikan secara individu oleh ketiga tokoh nasional; Muh. Yamin, Soepomo dan Soekarno. 2. Tahap rumusan yang lengkap sebagai hasil rumusan secara kolektif, yaitu; rumusan Pancasila yang terkandung di dalam Piagam Jakarta. 3. Tahap perubahan, yaitu tahap penghapusan tujuh anak kalimat dari sila pertama Pancasila. Suatu hal yang perlu mendapatkan perhatian di sini, ialah terkait dengan penghapusan tujuh anak kalimat dari sila pertama Pancasila. Terjadinya penghapusan itu nampaknya sebagai kelanjutan dari sidang-sidang BPUPKI sebelumnya, rupanya yang dianggap prinsip masih belum selesai, dan oleh sebagian kalangan dinilai bahwa penghapusan itu sangat mengejutkan. Padahal rumus Pancasila yang terkandung di dalam Piagam Jakarta itu telah menjadi alat pemersatu atau perekat, makanya Piagam Jakarta disebut gentlement agreement. Tetapi tiba-tiba saja tujuh anak kalimat itu dihapuskan, 143 yang menurut Prawoto sebagai essensi Piagam Jakarta144. Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah melalui memeras otak dan tenaga

142 Nugroho Notosusanto, Proses Pertumbuhan Pancasila Dasar Negar ( Jakarta: PN Balai Pustaka, 1981 ), h. 23 143 Penghapusan itu bukan saja terjadi pada tujuh anak kalimat dari sila pertama Pancasila yang terkandung di dalam Piagam Jakarta, tetapi penghapusan itu terjadi juga pada beberapa kalimat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 144 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 18 298 berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) pada 18 Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat dirubah. Pasti di balik ini semua ada kekuatan yang mendorong terjadimya perubahan yang sangat mengejutkan.

9. Latar Belakang Perubahan Pancasila Jika kita mau mereview ke belakang tentang alam pemikiran yang dominan dalam sejarah pergerakan nasional sebelum terbentuknya Badadan Penyelidik ( BPUPKI ), secara umum setidaknya ada dua kekuatan pemikiran, sehingga hal ini berimplikasi pada pembentukan corak cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dua kekuatan itu, Pertama; alam pemikiran yang direpresentasikan oleh para tokoh Nasionalis Sekular dan, Kedua; alam pemikiran yang direpresentasikan oleh para tokoh Nasionalis Islam. Kedua-dua corak pemikiran ini berkembang pada saat bersamaan, dan keduanya terdapat titik temu disamping ada perbedaan mendasar. Titik temu di antara keduanya adalah karena keduanya sama-sama ingin merealisasikan cita-cita kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajah asing ( terutama Belanda waktu itu ). Perbedaannya terletak pada dasar ideologi masing-masing yang tidak dapat dipertemukan, di mana aliran pemikiran Nasionalis Sekular menginginkan Indonesia merdeka agar didasarkan pada asas kebangsaan yang bebas dari ikatan agama manapun dalam berbangsa dan bernegara 145 , meskipun negara tetap mengakui eksistensi agama-agama yang ada. Pada umumnya mereka-mereka itu lebih pragmatis146. Sementara aliran pemikiran para tokoh Nasionalis Islam menghendaki supaya Indonesia merdeka diasaskan pada Islam, mengingat jumlah penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, selain fenomena berdirinya beberapa Kesultanan Islam ( Kerajaan bercorak budaya Islam ), seperti; Kesultanan Samudera Pasai (

145 Hal ini dapat pembaca merujuk pada buku; Pemikiran Soekarno Tentang Islam dan Unsur-Unsur Pembaharuannya, tulisan Muhammad Ridwan Lubis. Dalam karyanya ini, Ridwan Lubis ( 1992:131 ) menyatakan bahwa Soekarno banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, antaranya, pemikiran Mustafa Kemal Attaturk yang berhasil mengubah sistem pemerintahan yang berdasarkan Khilafah ke bentuk Negara Republik Turkey Demokrasi Sekular. 146 Orang-orang pragmatis dalam berpolitik adalah mereka yang mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan situasi dan kondisi di mana program dan aktivitasnya tidak terlalu terikat kaku pada suatu doktrin atau ideologi tertentu. 299 diperkirakan beridiri pada abad 13 M. ), Kesultanan Demak, Kerajaan Mataram II, Kerajaan Makasar, Kerajaan Ternate, Tidore, dan lain-lain yang kesemuanya itu sebagai bukti sejarah wujudnya perpolitikan Islam di masa lalu, dan dengan sendirinya, menurut mereka, Syariat Islam dapat diberlakukan kepada rakyat Indonesia yang beragama Islam. Realitasnya keinginan ini baru berhasil sebatas dalam rumusan Piagam Jakarta, tidak sampai ke tataran implementasi praktis secara menyeluruh. Di dalam perkembangan ketata negaraan Indonesia selanjutnya keinginan ini tidak kesampaian 147 , karena terjadi perubahan atau penghapusan terhadap beberapa kalimat di dalam Piagam Jakarta.

Dalam konteks ini Moh. Hatta menegaskan; Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) yang bersidang sesudah proklamasi kemerdekaan148, menjadikan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan ( Pendahuluan ) Undang-Undang Dasar 1945 dengan menghapus bagian kalimat; dengan kewajiban menjalakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 149 . Selanjutnya Moh. Hatta menyampaikan alasannya, yaitu ada keberatan dari pihak non muslim ( pihak yang tidak beragama Islam ). Menurut mereka; tidak tepat di dalam suatu pernyataan pokok yang menyangkut ( mengatur ) seluruh bangsa Indonesia ditempatkan suatu penempatan kalimat yang hanya mengenai sebagian saja dari rakyat Indonesia sekalipun itu mayoritas. Hatta selanjutnya menyatakan; Untuk memelihara persatuan dan kesatuan seluruh wilayah Indonesia, dikeluarkanlah ( dihapus ) bagian kalimat; dengan kewajiban menjalakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dari Pembukaan Undang-Undang Dasar150. Terkait dengan kenapa penghapusan tujuh anak kalimat itu terjadi. Hal ini sebagaimana dituturkan Moh. Hatta di dalam bukunya; Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hatta menceritakan peristiwa ancaman kepadanya yang terjadi pada sore hari

147 Di dalam sejarah perkembangan dasar negara Indonesia di kemudian hari, yaitu di tahun 1959, Piagam Jakarta ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Dokumen Historis yang menjiwai penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjadi bagian dari Konstitusi tersebut. 148 Indonesia diproklamasikan pada jam 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. 149 Moh. Hatta. Uraian Pancasila ( Jakarta: Mutiara, 1977 ), h. 11 150 Ibid. 300 17 Agustus 1945, bahwa pada waktu itu Hatta kedatangan seorang Opsir Kaigun ( Angkatan Laut Jepang ) yang mengaku sebagai utusan Indonesia bagian Timur. Tamu itu datang membawa pesan penting yang harus segera disampaikan kepada Hatta. Karena pesan tersebut dikatakan sangat penting, Hatta pun bersedia menerima tamu tersebut. Opsir Kaigun itu menyatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di wilayah Kaigun merasa keberatan terhadap kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syarit Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka sebenarnya menyadari bahwa kalimat tersebut tidak mengikat mereka dan hanya mengikat sebagian rakyat Indonesia yang beragama Islam, namun begitu mereka memandangnya segabai sesuatu yang diskriminatif terhadap mereka golongan minoritas. Hatta memberi jawaban kepada Opsir tersebut, 151 bahwa hal tersebut bukan diskriminasi, sebab penetapan tujuh anak kalimat hanya menyangkut rakyat yang beragama Islam saja. Selain dari itu ketika Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan, Mr. A.A. Maramis ( salah seorang panitia sembilan yang beragama Kristen ) tidak merasa keberatan dan pada tanggal 22 Juni 1945 beliau turut pula menanda tanganinya. Opsir Jepang tersebut kemudian menyatakan; bahwa pada waktu itu A.A. Maramis memang tidak merasa ada diskriminasi dengan penetapan tujuh anak kalimat itu, tetapi kalau Pambukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu diteruskan juga apa adanya, golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik. Opsir Jepang tersebut yang ( katanya ) sungguh-sungguh menyenagi Indonesia merdeka, mengingatkan Hatta tentang semboyan yang selama itu didengun-dengunkan; bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh152. Ucapan Opsir Kaigun itu rupanya berpengaruh pada pendirian Hatta. Kemudian menurut pengakuan Hatta; terbayang gambaran bahwa perjuangannya yang lebih dari dua puluh lima tahun dengan melalui penjara dan pembuangan untuk mencapai Indonesia merdeka

151 E. Saefuddin Anshari di dalam karyanya ( Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional . . . . h. 55 ), mencatat; bahwa nama Opsir Jepang itu tidak diingat oleh Moh. Hatta. Kalau hal ini benar, adalah merupakan sesuatu yang naïf, seharusnya tidak terjadi pada Hatta yang dikenal sebagai orang yang ketat disiplin. Maka jika hal ini demikian, itu tentu saja memunculkan berbagai pertanyaan dan spekulatif. 152 Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 ( Jakarta: Tintamas, 1969 ), h. 57 - 59 301 bersatu dan tidak terpecah-pecah, apakah Indonesia yang baru dibentuk akan pecah lagi dan mungkin dijajah kembali karena suatu hal yang sebenarnya bisa diselesaikan. Jika Indonesia pecah, pasti daerah di luar jawa dan Sumatera akan dikuasai lagi oleh Belanda dengan menjalankan politik memecah belah dan menguasai153. Setelah terdiam beberapa menit, Moh. Hatta kemudian menegaskan kepada Opsir Kaigun Jepang; besok hari dalam sidang PPKI akan saya samapikan masalah yang sangat penting itu. Saya minta kepada Opsir Jepang bersabar dan termasuk pemimpin-pemimpin Kristen yang berhati panas agar mereka jangan terpengaruh oleh propaganda Belanda. Mengingat betapa seriusnya persoalan ini, keesokan harinya pada 18 Agustus 1945 sebelum sidang PPKI dimulai, Bung Hatta mengundang empat tokoh Islam; Ki Bagus Hadikusumo, K.H. A. Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo dan Teuku Moh. Hasan ( dari Sumatera ), mengadakan dialog ( lobby ) membicarakan masalah itu, supaya tidak terjadi perpecahan sebagai bangsa154. Berlima dengan Bung Hatta, tokoh-tokoh Islam tersebut mencapai kesepakatan untuk menghapus beberapa kalimat dalam Piagam Jakarta, yaitu; dengan kewajiban menjalankan Sysriat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan menggantinya dengan; Ketuhanan Yang Maha Esa. Setelah kesepakatan dicapai, Bung Hatta kemudian menegaskan bahwa pemimpin-pemimpin tersebut benar-benar mementingkan nasib dan persatuan. 155 Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Alamsyah Ratu Perwiranegara ( Menteri Agama RI di tahun 1980-an ) menegaskan bahwa tanpa bantuan dan pengorbanan umat Islam, Pancasila tidak akan ada di Indonesia. Umat Islam telah memberikan hadiah dan pengorbanan terbesar untuk kemerdekaan Republik Indonesia dan hidupnya Pancasila. 156 Hatta selanjutnya menegaskan bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghapus perkataan; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan menggantinya dengan; Ketuhanan Yang

153 Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia ManusiaPancasila ( Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 ), h. 60. Lihat juga E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta: 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsnsus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 – 1959, h. 55 154 Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 58 - 59 155 Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 59 156 Lihat Majalah Kiblat No. 23. tahun 1980, h. 8 - 9 302 Maha Esa157. Perubahan yang disetujui oleh lima tokoh itu kemudian disahkan oleh sidang lengkap PPKI. Berdasarkan penjelasan Moh. Hatta di atas terkait dengan latarbelakang penghapusan ( pencoretan ) bagian kalimat dari Piagam Jakarta, dapat dimengerti bahwa yang terlibat secara langsung dalam lobby itu lima orang tokoh. Tetapi menurut catatan Sajuti Melik ( salah seorang anggota PPKI ) dan catatan Teuku Moh. Hasan ( juga anggota PPKI ) sebagaimana dikutip Prawoto; bahwa yang melakukan lobby itu tiga orang saja; Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan Moh. Hatta158. Jadi, bukan lima orang, sebab K.H.A. Wahid Hasyim waktu itu tidak ada karena beliau masih dalam perjalanan dari Jawa Timur ( ke Jakarta ), sementara Kasman Singodimedjo sebagai anggota tambahan yang baru mendapat undangan sidang pada pagi itu, tutur Prawoto, beliau ( Kasman ) belum mengetahui sama sekali persoalannya. Jika demikian kondisinya, berarti ada dua sumber yang berlainan. Pertama; sumber dari Moh. Hatta, dan Kedua; dari Sajuti Melik dan Teuku Moh. Hasan. Sumber yang mendekati kebenaran menurut penulis adalah sumber pertama, karena penghapusan tujuh anak kalimat itu tidak dapat dipertanggung jawabkan apabila hanya dibicarakan oleh dua orang tokoh Islam ( Ki Bagus Hadikusumo dan Teuku Moh. Hasan ditambah dengan Moh. Hatta ) tampa melibatkan tokoh-tokoh Islam yang lain. Berdasarkan latarbelakang penghapusan tujuh anak kalimat di atas, penulis ingin menyampaikan beberpa catatan terkait dengan Opsir Kaigun Jepang yang datang kepada Moh. Hatta, Pertama: Orang yang datang kepada Moh. Hatta pada sore hari 17 Agustus 1945 itu adalah misteri, karena menurut catatan E. Saefuddin Anshari dalam bukunya; Piagam Jakarta 22 Juni 1945, bahwa Moh. Hatta tidak ingat nama Opsir Kaigun Jepang itu 159 . Padahal Moh. Hatta sangat dikenal sebagi seorang administrator yang ketat. Harusnya seperti yang sudah menjadi kebiasaan, dicatat dalam buku catatan tamu, karena hal itu sangat penting, apalagi menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua: Moh. Hatta tidak membicarakan lebih dulu tentang kedatangan Opsir Kaigun Jepang itu, benarkah dia membawa missi dari orang-orang Kristen ( dari Indonesia bagian Timur ) ?, bukannya terus

157 Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 59 158 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 33 - 35 159 E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . h. 55 303 memprakarsai penghapusan ( pencoretan terhadap beberapa kalimat di dalam Pembukaan dan Undang-Undang Dasar itu sendiri ). Ketiga: Opsir Kaigun Jepang itu mengaku, bahwa dia menyenangi Indonesia merdeka. Apakah ini bisa dipercaya ?. Keempat: Opsir Kaigun Jepang yang datang kepada Moh. Hatta seolah-olah mewakili golongan umat Kristen Protestan dan Katolik dari wilayah Indonesia bagian Timur. Benarkah demikian ?. Padahal umum diketahui, bahwa orang-orang Jepang umumnya beragama Budha, Shinto atau tidak beragama. Sementara agama Kristen, baik Protestan atau Katolik adalah agama tentara Sekutu ( Amerika dan Eropah ), yaitu orang-orang yang dianggap musuh oleh bangsa Jepang waktu itu. Dapatkah dikatakan bahwa Opsir Kaigun Jepang itu menjadi wakil orang-orang Kristen ? Secara logika sangat sulit untuk menerima kenyataan ini. Pertanyaan-pertanyaan menggelitik ini wajar diajukan berdasarkan analisis terhadap fakta sejarah, secara akademik sah-sah saja karena sebenarnya banyak terjadi ketidak jelasan di seputar penghapusan tujuh anak kalimat dari Piagam Jakarta. Kehadiran Opsir Kaigun Jepang sebagai tamu Moh. Hatta juga tidak jelas sehingga muncul berbagai spekulasi. Oleh karena itu perubahan-perubahan yang terjadi pada Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945, tidak heran jika di kemudian hari menjadi kontroversi dan memunculkan berbagai spekulasi, terutama di kalangan para tokoh Nasionalis Islam. Sehubungan ini, Prawoto menegaskan; bahwa perubahan itu ternyata menimbulkan benih pertentangan sikap dan pemikiran di kemudian hari. Dengan tak tersengajakan menjadi suburlah fitnah yang sangat merugikan bangsa dan negara160. Selanjutnya Prawoto menyatakan; tersiarnya teks Pembukaan dan Undang-Undang Dasar yang sudah dirubah itu menggoncangkan kalbu para pemimpin Islam yang turut merancang Undang-Undang Dasar dan juga mereka yang sudah mendengar isi rancangan tersebut. Karena kedudukan mereka di tengah-tengah masyarakat sangat vital, maka frustasi mereka itu

160 Pertentangan sikap dan pemikiran, tumbuhnya fitnah menfitnah, bahkan frustasi dan kecewa sebagai akibat dari dihapusnya tujuh anak kalimat itu, segera reda sedikit demi sedikit setelah Pemerintah Orde Baru berhasil meyakinkan umat Islam Indonesia ( tentu saja dengan berbagai pendekatan dan strategi ), bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan agama, terutama agama Islam, bahkan agama menempati posisi yang khusus di dalam Pancasila. Dari aspek lain, karena keberhasilan Rezim Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal, sehingga berdampak pada tidak adanya kemunculan ideologi-ideologi lain selain Pancasila. 304 merebak ke bawah dan ke samping. Mulailah terjadi krisis kepercayaan. Namun demikan, Prawoto menyatakan; kegoncangan ini tidak dirasakan oleh golongan di luar Islam, sehingga artinyapun tidak segera mereka tangkap161. Hampir sama dengan sikap Prawoto di atas, E. Saefuddin Anshari di dalam bukunya; Piagam Jakarta 22 Juni 1945 ...... menyatakan bahwa reaksi atas kejadian 18 Agustus 1945 itu ternyata terbagi dua sikap, Pertama; mereka yang beranggapan seperti Prawoto yang menyesalkan perubahan yang tiba-tiba itu. Kedua; mereka yang beranggapan bahwa tidak ada hal yang tidak selaras dalam semua ini. Selanjutnya E. Saefuddin Anshari yang mengutip pandangan Ahmad Sanusi di dalam bukunya; Islam: Revolusi dan Masyarakat, menyatakan bahwa Piagam Jakarta itu tidaklah dirubah atau diombang-ambingkan oleh Badan Penyelidik atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia162. Selaras dengan ini Moh. Hatta menulis; Pada waktu itu kami dapat menyadari bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghapus perkataan; Ketuhanan dengan kewajban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan menggantinya dengan; Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya Moh. Hatta menegaskan 163 bahwa dalam negara Indonesia yang berfaham semboyan Bhinneka Tunggal Ika, maka tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat diajukan sebagai rancangan undang-undang ke DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat ) dan jika diterima oleh DPR, maka akan mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara ini, kata Hatta, bagi umat Islam Indonesia ada satu sistem Syariat Islam yang diatur dalam undang-undang berdasarkan al-Qur`an dan Hadis Nabi yang sesuai dengan aspirasi umat Islam Indonesia164. Begitulah realitas yang terjadinya terkait dengan penghapusan tujuh anak kalimat di dalam Piagam Jakarta. Walau bagaimanapun, semua itu sudah berlalu dan menjadi catan sejarah, waktu tidak dapat diputar kembali ke belakang. Bangsa Indonesia seluruhnya, terutama

161 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 28 162 E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . h. 28 dan 61 163 Penegasan Moh. Hatta ini sebagaimana dikutip E. Saefuddin Anshari di dalam bukunya ; Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 62 164 Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 28 - 60 305 umat Islam, tidak ada pilihan lain selain memahami ada hikmah di balik apa yang terjadi, sehingga dengan begitu diharapkan lahir sikap positif. Para tokoh Nasionalis Islam telah berjuang begitu hebatnya, tetapi takdir Tuhan menentukan yang lain. Yang penting sekarang, ialah bagaiamana rakyat Indonesia dapat merealisasikan apa yang telah menjadi konsensus bersama para founding fathers negara Indonesia. Mempermasalahkan hal-hal yang telah lalu tidak ada gunanya, selain membazirkan waktu. Sehubungan ini, penulis setuju dengan pandangan Taufik Abdullah bahwa Pancasila sebagai hasil rumusan Panitia kecil ( panitia sembilan ) dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter, di mana Pancasila terkandung di dalamnya, maka Pancasila yang resmi diberlakukan hari ini adalah Pancasila yang disahkan oleh PPKI dalam sidangnya 18 Agustus 1945 dengan menghapus tujuh anak kalimat; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, jadinya; Ketuhanan Yang Masa Esa165. Perjuangan menegakkan Syariat Islam masih terbuka ( meskipun tidak harus secara formalistik ) sebagaimana ditegaskan Moh. Hatta; bahwa dalam negara Indonesia yang berpaham semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat diajukan sebagai rancangan undang-undang ( RUU ) ke DPR, dan jika diterima, maka undang-undang tersebut akan mengikat umat Islam Indonesia.

10. Pancasila Yang Diberlakukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ) yang dibentuk pada 7 Agustus 1945166 telah mengadakan sidangnya pada 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya. Sidang yang awalnya dijadwalkan pada jam 9.30, tetapi kemudian molor hingga baru dapat diadakan pada jam 11.30167. Keterlambatan ini dikarenakan sedang berjalannya lobi atau pembicaraan antara para tokoh nasional di seputar upaya penghapusan

165 Gatra, 10 Juni 1995, h. 28 166 Pada 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan dan pada saat yang sama dibentuk PPKI oleh Pemerintah Jepang. Lihat Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia I – VI ( Jakarta: Balai Pustaka, 1977 ), h. 22 167 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 400 306 tujuh anak kalimat dalam Piagam Jakarta sebagai jalan penyelesaian dalam rangka mengatasi konflik yang terjadi168. Agenda sidang ialah untuk membicarakan perubahan-perubahan penting pada Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 dan kemudian memilih Presiden dan wakil Presiden. Sidang dimpimpin langsung oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Soekarno dalam prolognya pada sidang kali ini menekankan arti pentinya sejarah saat itu, dan Soekarno mendesak agar Panitia Persiapan mempercepat sidang secepat kilat, seraya mengingatkan kepada para anggota sidang supaya tidak bertele-tele berbicara banyak tentang hal-hal detail, tetapi memfokuskan perhatian sepenuhya pada garis-garis besarnya saja. Agenda sidang pagi itu lebih terfokus pada beberapa perubahan penting pada Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 169 . Setelah itu Soekarno sebagai pimpinan sidang mempersilahkan Hatta untuk menyampaikan poin-poin perubahan, maka atas permintaan pimpinan sidang, Hatta berdiri ke depan untuk menyampaikan poin-poin perubahan tersebut kepada para anggota sidang. Beberapa perubahan penting yang disampaikan Hatta sebagaimana dijelaskan Muh. Yamin170 sebagai berikut; 1. Kata Mukaddimah di dalam Piagam Jakarta diganti dengan kata Pembukaan. 2. Di dalam Piagam Jakarta, anak kalimat; Berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menjadi; berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 3. Perubahan yang terjadi pada Undang-Undang Dasar, iaitu pada Pasal 6 , ayat 1, berbunyi; Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam, kalimat dan beragama Islam dihapus. 4. Konsekwensi dari perubahan yang terjadi pada Pembukaan Undang-Undang Dasar, terjadi juga pada Undang-Undang Dasar itu sendiri. Pasal 29, Ayat I, yang berbunyi; Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan

168 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 24 169 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld, 1, h. 400 170 Ibid. h. 400 - 401 307 Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dirubah menjadi; Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa171. Berikut ini disampaikan teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dirubah.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

171 Perubahan-perubahan lain yang terjadi pada Undang-Undang Dasar, ialah tentang istilah; Hukum dasar, diganti dengan; Undang-Undang Dasar, ; . . . . . dua orang wakil Presiden, menjadi, Seorang wakil Presiden. Lihat Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 30 308 permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikianlah perubahan-peubahan yang terjadi. Para pembicara yang sebelum ini sangat keras, seperti Ki Bagus Hadikusumo, K.H. A. Wahid Hasyim, tetapi pada sidang kali ini ( sidang PPKI ) mereka sangat toleran menerima perubahan yang terjadi pada Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945. Mereka bersikap toleran demi memelihara persatuan dan kesatuan Republik Indonesia. Pada jam 13,45 tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia setelah tidak ada lagi persoalan telah menerima teks Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dirubah, maka Pembukaan dan Undang-Undang Dasar yang telah disahkan itu kemudian dikenal dengan Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Hatta kemudian menyatakan keyakinannya; Inilah perubahan maha penting yang dapat menyatukan seluruh bangsa. Soekarno setelah mengambil alih pimpinan sidang, kemudian menyatakan bahwa; Undang-Undang Dasar yang dibuat ini adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, nanti kalau kita sudah bernegara di dalam kondisi aman, kita akan mengumpulkan ( mengundang ) kembali Majlis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna172. Demikianlah perkembangan Pancasila semenjak masih berupa gagasan dan rancangan sampai pada pengesahannya, yang pada tingkat permulaan disahkan oleh BPUPKI, yaitu Pancasila yang dalam keadaannya yang lengkap, dan tingkat kedua Pancasila disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, yaitu Pancasila yang sudah dirubah. Jadi, tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari pengesahan Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar dan filsafat ( Ideologi ) Negara Indonesia.

11. Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara

172 Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld, 1, h. 402 – 410. Lihat juga Boland B.J. The Stuggle of Islam in Modern indonesia, h. 37 309 Pancasila sebagai konsep modern dalam kehidupan berbangsa dan bernegara173, memiliki akar yang jauh ke belakang dalam sejarah bangsa Indonesia. Pancasila merupakan konsep baru sebagai sistem ideologi untuk men-design kehidupan dalam tatanan negara Indonesia yang modern. Pancasila pada awalnya dipakai Soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945 sebagai nama dari lima sila174. Jika ditinjau dari aspek proses pertumbuhannya akan ditemukan sekurang-kurangnya tiga pengertian. Pertama; Penggunaan Pancasila dalam realitas sejarah. Dalam konteks ini dapat dijelaskan bahwa Pancasila bukanlah istilah baru bagi rakyat Indonesia. Sejak Budhisme memasuki wilayah Nusantara ( Indonesia ) dari India dan Burma ( Miyanmar ) telah dikenal perkataan Pancasila yang artinya lima prinsip moral ( five moral principles ) atau lima aturan tingkah laku. Di dalam literatur Budhisme perkataan Pancasila biasanya disingkat menjadi Pansil. Dalam ajaran Budha menurut bahasa aslinya terdapat lima prinsip ( Code of morality ), yaitu; 1. Panatipata veramani sikkhapadan samadiyani, artinya; kami berjanji untuk menghindari pembunuhan, 2. Adinnaandana veramani sikkhapadan samadiyani artinya; kami berjanji untuk menghindari pencurian, 3. Kamesu micehara veramani sikkhapadan samadiyani, artinya; kami menghindari untuk menghindari perzinaan, 4. Mussavada veramani sikkhapadan samadiyani, artinya; kami berjanji untuk menghindari perbuatan dusta, 5. Sura meraya majja pamadatthana veramani sikkhapadan samadiyani, artimya; kami berjanji untuk menghindari makanan dan minuman yang memabukkan dan menjadikan ketagihan175. Dalam konteks ini Prawoto menegaskan; Inilah Pancasila asli yang lahir di India sebagai ciptaan Gautama Budha; Raja Agoka yang melihat Pancasila ini sebagai dasar moral ( code of morality ) bagi rakyatnya. Oleh karenanya Pancasila ini diciptakan menjadi peraturan tetap untuk mencapai tingkat kemajuan rohani rakyat Kemaharajaan

173 Lihat, Sayidiman Suryohadiprojo, Pancasila, Islam dan ABRI ( Jakarta: PT. Penebar Swadaya, T. Tahun ), h. 15 174 Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 437 175 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, hlm. 13 – 14, Lihat juga Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 9 310 Agoka176. Perkembangan selanjutya, Pancasila memasuki khazanah kesusastraan Jawa kuno pada zaman Kemaharajaan Majapahit pada masa Pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Perdana Mentrinya; Gajahmada di sekitar tahun 1364 M. Istilah Pancasila ditemukan dalam buku keropak Negarakertagama yang berupa syair pujian yang ditulis oleh seorang pujangga Istana bernama Empu Prapanca. Syair pujian tersebut berbunyi; Yatnanggegwani Pancasyila kertasangkarabhisekakrama, artinya; ( Raja ) menjalankan dengan setia kelima pantangan atau larangan itu, begitu pula upacara-upacara dan penobatan177. Selain terdapat dalam buku Negarakertagama pada zaman Majapahit, istilah Pancasila juga ditemukan dalam buku Sutasoma karya Empu Tantular 178 . Di dalam buku Sutasoma ini, Pancasila disamping mempunyai arti batu sendi lima, juga mempunyai arti pelaksanaan kesucian lima, yaitu; 1. Tidak boleh melakukan kekerasan, 2. Tidak boleh mencuri, 3. Tidak boleh berjiwa dengki, 4. Tidak boleh berbohong, 5. Tidak boleh mabuk minuman keras179. Demikian perkembangan istilah Pancasila yang berasal dari bahasa Sansekerta, kemudian memasuki khazanah kesusastraan Jawa kuno pada zaman Kerajaan Majapahit. Setelah runtuhnya Pemerintahan Majapahit dan agama Islam telah tersebar luas ke seluruh pelosok bumi Indonesia waktu itu, pengaruh ajaran Budhisme turut pula ditela waktu180. Pada perkembangan selanjutnya lahirlah dalam masyarakat Jawa istilah yang dikenal Ma Lima; kepanjangan dari lima larangan. Dalam bahasa Jawa disebut Mo Limo atau Lima M, yaitu; 1. Mateni, artinya; membunuh,

176 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 14 177 Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, hlm. 437. Lihat juga Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 10 178 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 437 179 Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 110 180 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, hlm. 14, Lihat Juga Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 10 311 2. Maling, artinya; mencuri, 3. Madon, artinya; berzina, 4. Madat, artinya; menghisap candu, 5. Main, artinya; berjudi Dalam konteks ini, Noor Ms. Bakry menyatakan bahwa lima larangan moral ini yang disingkat M – Lima dalam masyarakat Jawa dikenal dan juga masih menjadi pedoman moral, tetapi namanya sudah bukan lagi Pancasila yang berasal dari faham Budha itu, tetapi M – Lima181. Kedua; Pengertian Pancasila dari segi etimologi. Pancasila yang pada awalnya berasal dari bahasa Sansekerta ( bahasa kasta Brahmana ), menurut Muh. Yamin, adalah merupakan paduan dari dua kata, yaitu; Panca dan Syila. Panca, artinya lima dan Syila ( dengan huruf I pendek ), artinya batu sendi, alas atau dasar. Dengan demikian Pancasila ( Pancasyila ) berdasarkan pengertian ini bermakna batu sendi yang lima ( consisting of five rocks ). Sementara Syila ( dengan huruf I panjang ), artinya peraturan tingkah laku yang penting, baik dan senonoh. 182 Dengan demikian, Pancasila ( Pancasyila ) menurut pengertian ini bermakna lima peraturan perilaku yang penting. Jadi, Pancasila dari segi etimologi ialah lima sendi, dasar atau lima peraturan perilaku ( tingkah laku ) yang penting. Ketiga; Pengertian Pancasila dari segi terminologi. Secara terminologi atau berdasarkan istilah yang dipakai di Indonesia sejak sidang pertama Badan Penyelidik pada 1 Juni 1945, istilah Pancasila dipergunakan oleh Soekarno untuk nama lima dasar atau prinsip Negara Indonesia merdeka yang diusulkannya. Pada sidang pertama BPUPKI itu, Soekarno setelah menyampaikan usulan-usulannya berupa lima prinsip untuk Negara Indonesia merdeka, Soekarno kemudian menawarkan sebuah nama untuk lima prinsip itu. Hal ini sebagaimana Soekarno nyatakan . . . . . namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Panca artinya lima, Sila artinya dasar, dan di atas lima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi183.

181 Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 11 182 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 473 183 Ibid. h. 437 312 Berdasarkan pernyataan Soekarno di atas, dapat dimengerti bahwa Pancasila digunakan Soekarno sebagai nama untuk lima prinsip kenegaraan. Dan setelah kemerdekaan Indonesia, Pancasila yang terkandung di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu telah memperoleh pengesahannya yang terakhir dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945. Jadi, semenjak itu istilah Pancasila secara resmi telah dipakai oleh rakyat Indonesia, maka Pancasila mempunyai arti lima dasar ( prinsip ). Dalah hubungan ini Prawoto menegaskan bahwa Pancasila pada asalnya dipergunakan untuk tuntutan moral ( code of morality ) sebagaimana berkembang di dalam ajaran Budhisme, tetapi kemudian Soekarno mempergunakannya sebagai nama dari lima dasar kenegaraan Indonesia 184 . Dengan demikian, Pancasila diposisikan sebagai dasar bagi Negara Republik Indonesia. Demikianlah perkembangan pengertian Pancasila yang awalnya berasal dari bahasa Sansekerta dalam paham atau ajaran Budhisme yang mengandungi lima aturan perilaku ( code of morality ). Kemudian Pancasila memasuki khazanah kesusteraan Jawa kuno yang diberi arti lima larangan. Selanjutnya ajaran ini hilang dari permukaan seiringa dengan perubahan zaman sebagai akibat logis dari perubahan rakyat dalam beragama, yaitu penerimaan Islam sebagai agama rakyat, maka kemudian muncul sebagai gantinya istilah M- lima. Terakhir istilah Pancasila lahir kembali dengan kemasan baru dan pengertian yang baru pula, maka Pancasila semenjak 1 Juni 1945 menjadi bahasa Indonesia yang digunakan untuk nama dari dasar dan filsafat Negara Republik Indonesia hingga hari ini.

12. Pancasila Filsafat Kenegaraan Republik Indonesia Eksistensi suatu bangsa yang beradab di mana saja berada di dunia ini tidak lepas dari cita-cita yang menjiwainya. Dari sinilah lahirnya pandangan hidup dari bangsa tersebut, baik yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan ataupun kenegaraan. Konsekuensi dari pandangan hidup ini, semua aktivitas bangsa tersebut akan dikerahkan untuk merealisasikan cita-cita dan pandangan hidupnya ke dalam tindakan-tindakan yang kongret melalui berbagai pendekatan dan strategi. Para pendiri ( founding fathers ) negara Republik

184 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, hlm. 13. Lihat juga Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 11 313 Indonesia telah meletakkan pandangan hidup sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara. Pandangan hidup ini berisi konsep dasar tentang kehidupan yang dicita-citakannya. Bagi bangsa Indonesia, pandangan hidup itu adalah Pancasila yang lahir dari pemikiran yang dalam, sebagai manifestasi dari cita-cita yang dirumuskannya dalam bentuk filsafat kenegaraan. Filsafat kenegaraan Pancasila juga sebagai refleksi kritis tentang cita-cita hidup bangsa Indonesia, maka Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa Indonesia. Dalam konteks ini Soekarno ketika menyampaikan pidatonya mengenai dasar negara pada sidang pertama BPUPKI memberikan pernyataan dasar filsafat yang disebut Philosofische Grondslag ( bahasa Belanda ). Kemudian Soekarno menegaskan; itulah foundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi185. Apa yang dimaksud Soekarno ialah bahwa Indonesia merdeka harus didasarkan pada Philosofische Grondslag, Weltanschauung ( bahasa Jerman ) atau Dasar Filsafat Hidup. Dasar Filsafat Hidup yang dimaksud Soekarno ialah Pancasila. Oleh karena itu Pancasila ditegaskan sebagai fondasi, dasar, filsafat atau pikiran yang sedalam-dalamnya bagi Negara Indonesia. Sebagai argumen untuk menjastifikasi bahwa Pancasila merupakan filsafat kenegaraan Republik Indonesia, penulis sampaikan beberapa pandangan dari para tokoh dan sarjana yang turut memberikan pengakuannya, anatara lain; 1. Muh. Yamin; Dalam konteks ini Muh. Yamin menegaskan; Pancasila yang dalam konstitusi 1945 menjadi dasar negara Republik Indonesia, sebenarnya hasil dari tinjauan dunia ( world view ) sebagai salah satu dari sisi pandangan hidup.186 Di atas tinjauan dunia itu diletakkan susunan perumahan Republik Indonesia ...... itulah alasannya, maka ajaran Pancasila dinamakan juga dasar filsafat kenegaraan Indonesia.187 Di tempat lain Muh. Yamin menyatakan; Jika demikian,

185 Soekarno, Lahirna Pancasila -pidato pertama Soekarno tentang Pancasila 1 Juni 1945- ( T. tmpt: T.pbt, T. th. ), h. 5 186 Tinjauan dunia dalam bahasa Jerman; Weltanschauung, dan tinjauan hidup itu disebut; Lebensanchauung. Kedua-dua istilah ini banyak dipakai di Jerman ketika aliran romantik berkembang untuk menyatakan suatu keseluruhan dalam hal berpikir dan memikirkan dunia. 187 Miuh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, hlm. 445 314 benar-benar ajaran filsafat Pancasila bukanlah barang yang bercerai berai seperti pasir di tepi pantai, melainkan ajaran Pancasila itu benar-benar tersusun baik dalam satu perumahan filsafat yang harmoni dan sesuai dengan syarat-syarat filsafat yang sesungguhnya, yaitu; pertemuan tinjauan hidup berdasarkan tradisi naluri Kitab suci, serta berdasarkan percikan hikmah kebijaksanaan rakyat Indonesia188. 2. Soeharto ( mantan Presiden RI di era Orde Baru ); Soeharto dalam konteks ini ketika menyampaikan pidatonya dalam acara memperigati Hari Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1967 menyatakan; Dasar filsafat negara ini jelas diterima oleh seluruh rakyat Indonesia, karena sebenarnya telah tertanam dalam kalbu rakyat. Oleh karena itu ia juga merupakan filsafat negara yang dapat dijadikan dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat yang plural189. 3. Notonagoro ( salah seorang Profesor di Universitas Gajah Mada dan Guru Besar Luar Biasa di Universitas Airlangga ); Notonagoro memberi judul; Pancasila Dasar Falsafah Negara, pada buku yang merangkumi tiga uraian pokok-pokok persoalan tentang Pancasila. Notonagoro menyatakan; Pancasila bukanlah suatu konsepsi politik, akan tetapi buah hasil renungan jiwa yang mendalam, buah hasil penyelidikan pemikiran yang teratur dan saksama di atas dasar pengetahuan dan pengalaman yang luas190. 4. Darji Darmodiharjo; Di dalam bukunya yang berjudul; Santiaji Pancasila, Darji Darmodiharjo menjelaskan; Secara objektif ilmiah karena Pancasila adalah suatu paham filsafat, a philosophical way of thinking atau a philosophical system sehingga uraiannya pun harus logik dan dapat diterima oleh akal sehat191. Berdasarkan beberapa pandangan di atas mengenai Pancasila dalam bangnan negara Indonesia, dapat ditegaskan bahwa Pancasila

188 Ibid., h. 456 189 Soeharto Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila ( Jakarta: Yayasan Proklamasi, 1972 ), h. 12 190 Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara ( Jakarta: PT. Bina Aksara, 1983 ), h. 131 191 Darji Darmodiharjo et al, Santiaji Pancasila ( Surabaya; Usha Nasional, 1970 ), h. 13 315 adalah konsep dasar tentang filsafat kenegaraan Indonesia, karena Pancasila mengandung beberapa prinsip asas yang dapat dikategorikan sebagai filsafat kenegaraan, yaitu;  Pancasila hasil paduan tinjauan hidup berdasarkan tradisi naluri Kitab suci ( al-Qur`an bagi umat Islam ), serta berdasarkan percikan hikmah kebijaksanaan manusia Indonesia,  Pancasila hasil tinjauan dunia ( world view ) sebagai segi dari pandangan hidup ( way of life ),  Pancasila hasil renungan jiwa yang dalam dan penyelidikan yang sistematik dan saksama berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang luas,  Pancasila sebagai kesatuan yang utuh,  Pancasila merumuskan realitas manusia Indonesia dalam realitas kehidupan,  Pancasila mengandung nilai-nilai yang diyakini benar oleh rakyat Indonesia sehingga dapat dijadikan dasar persatuan bagi seluruh tumpah darah Indonesia yang berbeda-beda etnik, agama, budaya, bahasa dan sebagainya. Berikut ini penjelasan mengenai beberpa prinsip tersebut sebagai berikut;

12.a. Pancasila hasil paduan tinjauan dari kitab suci dan hikmah kebijaksanaan Muh. Yamin dalam konteks ini mendasarkan pandangannya pada teori yang disampaikan oleh salah seorang filosof Islam dan ahli hukum dari Sevilla, Sepanyol; Ibnu Rusydi ( Averus ) yang hidup di abad dua belas ( 1126 – 1198 M. ). Di dalam karyanya; al-Fashl al-Maqal Fiy Ma Bayna al-Shariat wa al-Hikmat Min al-ittishal, juga di dalam karyanya yang lain; Kashf al-Manahij, Ibnu Rusydi menyampaikan ajaranya berupa nasehat, yaitu; bahwa orang harus bisa membedakan antara kebenaran yang berdasarkan firman ( firman Allah ) dan kebenaran yang dihasilkan oleh hikmah kebijaksanaan otak manusia. Menurut Muh. Yamin, Ibnu Rusydi berpendirian teguh menerima kebenaran isi firman yang diturunkan kepada umat manusia, demikian juga kebenaran yang dihasilkan oleh hikmah kebijaksanaan manusia, kemudian Ibnu Rusydi berkeyakinan bahwa kedua jenis kebenaran itu tidak dapat disamakan, sebab

316 kebenaran firman adalah mutlak, sementara kebenaran hikmah kebijaksanaan manusia bersifat relatif dan subjektif192. Oleh karena itu Ibnu Rusydi menegaskan; Apabila Syariat yang haqq ( benar ) menyeru kepada umat agar berpikir secara analisis ( bersifat hikmah kebijaksanaan ) sehingga sampai pada kebenaran ( makrifat al-haqq ), kita dapat pastikan bahwa pemikiran yang analisis dan berdasarkan burhan ( fakta ) itu adalah tidak akan bertentangan dengan kebenaran ( haq firman ), bahkan saling memperkuat 193 . Atas dasar pandangan Ibnu Rusydi ini, Muh. Yamin berkesimpulan bahwa Pancasila sebagai kebenaran dihasilkan oleh hikmah kebijaksanaan manusia Indonesia terhindar dari pertentangan dengan isi firman Allah dalam Kitab Suci-nya 194 . Oleh karena itu, Muh. Yamin menegaskan bahwa dengan berdasarkan nasehat Ibnu Rusydi yang paling berharga itu, maka antara ajaran Pancasila dengan firman kitab Suci ( al-Qur`an bagi umat Islam ) tidak terjadi pertentangan. Realitasnya memang demikian, karena sila-sila Pancasila dirumuskan secara umum sehingga tidak terjadi bertentangan dengan firma Allah ( al-Qur`an ), bahkan dengan mana-mana kitab suci agama lain sekalipun 195 . Di sinilah sebenarnya kekuatan Pancasila sebagai dasar dan filsafat negara Republik Indonesia, karena rumusan-rumusannya bersifat umum sehingga agama-agama dan aliran pemikiran yang beraneka ragam di Indonesia terakomodasi, oleh karenanya eksistensi kehidupan keberagamaan, aliran pemikiran dan politik yang berbeda-beda terakomodasi dalam Pancasila. Hanya interpretasi-interpretasi terhadap sila-sila Pancasila yang mungkin terjadi perbedaan. Dengan demikian, persoalannya tergantung siapa yang memberikan interpretasi. Muh.Yamin selanjutnya menegaskan . . . . dengan memperhatikan nasehat

192 Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 47 193 Lihat Ibnu Rusydi Abu al-Walid, Fashl al-Maqal Fiy Ma Bayna al-Hikmah wa al-Shari`ah Min al-Ittishal ( Beirut: al-Muassisah al-`Arabiah, T.th. ), h. 13 -14 194 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 47 195 Ibid. h. 448. Lihat juga Darji Darmodiharjo et al. Santiaji Pancasila. h. 49 317 Ibnu Rusydi, dapat kita membedakan Pancasila sebagai dasar negara hasil penggalian hikmah manusia dari ajaran agama apapun, maka Pancasila menemukan berbagai aliran politik dan agama dalam kebersamaan berbangsa dan bernegara196.

12.b. Pancasila hasil tinjauan dunia ( world view ) Tinjauan dunia ( world view ) menurut Muh. Yamin bukanlah aliran agama, melainkan ilmu pengetahuan yang memberikan ruang untuk melakukan tinjauan menyeluruh tentang asal usul dan wujud dunia yang menentukan kedudukan kerohanian manusia dalam dunia. Dengan sendirinya tinjauan dunia juga meliputi tinjauan hidup sebagai salah satu aspek dari ilmu pengetahuan yang sangat luas, termasuk pengertian tentang dunia, kesusilaan hidup, sikap rohani manusia. Dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai tinjauan dunia ( world view ) Muh. Yamin menegaskan bahwa tinjauan Indonesia yang melahirkan ajaran Pancasila sebagai pengolahan rohani dari keseluruhan pemikiran, maka yang ditinjau ialah sikap rohani manusia Indonesia, kemajuan masyarakat Indonesia sepanjang waktu dan kemajuan sendi-sendi perumahan negara yang menjamin kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah manusia Indonesia197.

12. c. Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh Sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu dari yang lainnya, yaitu; tiap-tiap sila dari Pancasila berkaitan erat dengan sila-sila yang lain. Dalam hubungan ini Notonagoro menyatakan sebagai berikut; 1. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebjaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia,

196 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 448 197 Ibid. h. 445 - 446 318 yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 3. Persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan sosial yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan198.

12. d. Pancasila hasil renungan jiwa yang dalam dan penyelidikan yang sistematik Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia bukanlah idea tanpa proses pemikiran dan penyelidikan, melainkan Pancasila itu hasil renungan yang mendalam dan penyelidikan yang sistematik, dan bahkan melalui perdebatan yang sengit beberapa kali dalam sidang dan kemudian pada akhirnya Pancasila diterima oleh bangsa Indonesia. Soekarno sebagai salah seorang pemikir dan penyelidik telah berhasil menyampaikan dasar negara. Di dalam mempertahankan hasil penyelidikannya, Soekarno dalam bukunya; Pancasila Sebagai Dasar Negara, menegaskan argumentasinya sebagai berikut; Penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada agama Islam, saya gali sampai zaman Hindu dan pra-Hindu. Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf-safan ( tahap-tahapan ). Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu ada lagi saf, saya melihat macam-macam saf.

198 Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Filsafat Pancasila ( T.Tmpt: T. Pnt, 1967 ), h. 31 - 32 319 Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu kita telah berbangsa, berkultur dan bercita-cita. Setelah itu datang saf zaman Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara Taruma, negara Kalingga, negara Mataram, negara Sriwijaya dan sebagainya. Datang saf lagi, kita mengenal agama Islam, yang di dalam bidang politik berupa negara Demak Bintoro, negara Pajang, negara Mataram ke-II, dan seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak dengan Bangsa Eropah, yaitu saf imperialisme, yang di dalam bidang politiknya zaman hancur leburnya negara kita, hancur leburnya perekoomian kita199. Selanjutnya Soekarno menentukan sikapnya; Dalam pada saya menggali-gali, menyelami saf-saf ini, saban-saban saya bertemu dengan saf-saf, kali ini, ini yang menonjol, lain kali itu yang menonjol. Lima hal inilah; Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan rakyat, Keadilan sosial, Soekarno kemudian menyatakan dengan penuh yakin; Saya lantas berkata. Kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan dinamik, insya Allah seluruh rakyat Indonesia bisa bersatu padu200.

12. e. Pancasila merumuskan realitas manusia dalam realitas kehidupan Negara sebagai sebuah institusi atau organisasi yang melibatkan semua manusia, maka sifat dan keadaannya sangat ditentukan oleh manusia-manusia bersangkutan selama masih dalam kemampuan mengelolanya dan dalam kondisi yang bebas dari berbagai tekanan. Apa yang akan terjadi pada negara sangat bergantung sepenuhnya pada kemampuan dan kebebasan manusia-manusianya. Mampu dalam arti memiliki kelebihan atau kapabelitas untuk mengelola, dan ini menuntut adanya sikap dinamis, innovatif dan pragmatis dalam berbagai aspek sehingga sampai ke tahap pencapaian ( achievement ) maksimal,

199 Lihat Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara ( Jakarta: Yayasan Prapanca, T. th. ), h. 41 - 42 200 Soekarno, Pancasila Sebagai Dasar Negara, h. 42 320 baik dalam kualitas pemikiran atau profesionalitas kerja. Bebas dalam arti merdeka dari setiap belenggu dan tekanan, baik dari pihak internal ataupu eksternal, sehingga tercipta suasana nyaman yang dapat melahirkan berbagai kreativitas cerdas yang dinamis. Kemampuan dan kebebasan merupakan dua faktor penting dalam kerangka menciptakan langkah-langkah strategis untuk mencapai keberhasilan dan memobilisasi semua aktivitas dalam berbagai tataran real kehidupan. Oleh karena itu, sekali lagi, sifat dan keadaan sebuah negara sangat ditentukan oleh manusianya ( warganya ), sebab negara yang dinamis dapat diartikan sebagai manifestasi dari berbagai aktivitas manusia yang bernegara. Kelanjutan dari premis di atas, jika dituntut agar sifat dan keadaan negara Indonesia sesuai dengan Pancasila, berarti menuntut aktivitas dan perilaku manusia ( bangsa ) Indonesia untuk merealisasikan nilai-nilai dari ajaran Pancasila ke dalam tataran praktis. Para pemikir dan pendiri ( founding fathers ) negara Indonesia telah meletakan konsep dasar tentang deskripsi manusia Indonesia di dalam kehidupan berdasarkan realitas dan budaya yang dimilikinya. Untuk memperoleh gambaran jelas tentang konsepsi manusia Indonesia menurut para pendiri negara, diperlukan memperhatikan rumusan dasar negara, yaitu Pancasila201. Dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat ditemukan penjelasan tentang kemerdekaan Indonesia, kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa, perjuangan bangsa Indonesia, alasan dan tujuan kemerdekaan Indonesia, pertahanan nasional, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban, keamanan dan sebagainya. Secara ringkas dapat dikemukakan deskripsi dan konsepsi manusia Indonesia sepanjang berkaitan dengan aktivitas bernegara ialah para pendukung Pancasila, yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial.

12. f. Pancasila mengandung nilai-nilai aktivitas kehidupan Pancasila sebagai pandangan hidup ( way of life ) yang berakar pada kepribadian bangsa Indonesia. Dalam pandangan hidup

201 Lihat Paulus Wahana, Filsafat Pancasila ( Yogyakarta: Kanisius, 1993 ), h. 50 321 ini terkandung konsep dasar tentang kehidupan yang dicita-citakannya. Dalam pandangan hidup ini juga terkandung nilai-nilai tinggi bangsa Indonesia. Nilai yang dalam bahsa Inggris value termasuk dalam pengertian filsafat. Menilai berarti menimbang, yaitu; aktivitas manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian menentukan keputusan. Keputusan nilai kemudian dapat mengatakan; berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau buruk, ada nilai keagamaan atau tidak ada. 202 Jadi, keputusan nilai secara substansial harus berdasarkan pertimbangan pemikiran dan perasaan yang dimiliki manusia. Ketika menyampaikan pidato pada acara makan siang yang diadakan oleh Perdana Menteri Macmahon di Parlemen House Camberra pada 7 Februari 1972, Soeharto ( mantan Presiden Indonesia di era Orde Baru ) menyatakan; Kepribadian inilah yang kami tetapkan menjadi pandangan hidup kami, filsafat negara kami, merupakan kesatuan yang bulat dari Ketuhanan Yang maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan rakyat, Keadilan sosial. Di dalamnya mengandung dorongan-dorongan ( motivasi-motivasi ) pada kami untuk mengejar nilai-nilai yang kami anggap luhur. Di dalamnya juga tersimpul kesadaran kami bahwa manusia pada akhirnya bergantung pada keseimbangan-keseimbangan nilai essensial tertentu203.

Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang tidak dapat dipisahkan dari nilai rohaniah dan kebendaan. Hal ini sebagaimana ditegaskan Muh. Yamin; bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah tergolong ke dalam nilai kerohanian, tetapi nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai kebendaan dan nilai vital ( sesuatu yang sangat penting dan berguna bagi manusia ) secara seimbang, artinya Pancasila mengandung nilai-nilai kerohanian ( spiritual atau al-ruhiy ), pada saat yang sama juga mengandung nilai-nilai kebendaan ( material atau al-maddiy ), nilai

202 Lihat Darji Darmodiharjo et al, Santiaji Pancasila, h. 50 203 Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, h. 9 - 10 322 vital, nilai kebenaran, nilai estetika, nilai etika, moral dan nilai keagamaan204. Berikut ini penjelasan tentang nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila sebagaimana di sampaikan Darji Darmodiharjo 205 , sebagai berikut; 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung nilai-nilai keagamaan, anatara lain; a ). Keyakinan ( keimanan ) kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan sifat-sifa-Nya yang Maha sempurna ( sifat al-kamal ) yang hanya layak bagi Zat Tuhan saja, seperti Maha Kasih, Maha kuasa, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui dan lain-lain sifat yang suci ( al-munazzah ) dari segala sifat yang kurang. b ). Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni mejalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. c ). Nilai-nilai seperti ini menjiwai ( mendasari ) sila kedua, ketiga, keempat dan kelima. 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung nilai-nlai kemanusiaan, antara lain; a ). Pengakuan terhadap martabat manusia, artinya siapa saja; kecil, muda, tua, laki-laki, perempuan, semuanya memiliki martabat dan harga diri, oleh karenanya harus dihormati. b ). Perlakuan adil terhadap sesama manusia, karena keadilan menjamin wujudnya kehidupan yang aman, dan sekaligus mengangkat martabat dan harga diri manusia. c ). Pengertian manusia yang beradab adalah manusia yang memiliki daya cipta ( idea, pemikiran ), rasa, kehendak dan keyakinan sehingga menjadikan berbeda dari hewan yang tidak punya akal. d ). Nilai-nilai sila kedua ini menjiwai ( mendasari ) sila ketiga, sila keempat dan sila kelima. 3. Persatuan Indonesia, mengandung nilai-nilai persatuan bangsa yang menduduki seluruh wilayah Indonesia sebagaimana dikonsepsikan; NKRI, antara lain; a ). Persatuan Indonesia adalah persatuan seluruh rakyat dan warga negara yang menduduki wilayah teritorial Indonesia. b ).

204 Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia ( Jakarta: Djambatan, 1954 ), h. 108, lihat juga Darji Darmodiharjo, et al, Santiaji Pancasila, h. 52 - 53 205 Darji Darmodiharjo et al, Santiaji Pancasila, h. 53 - 56 323 Bangsa Indonesia terbentuk dari persatuan suku-suku ( etnik-etnik ) bangsa yang menduduki wilayah Indonesia. c ). Pengakuan terhadap filsahat hidup; Bhinneka Tunggal Ika ( berbeda-beda tetapi satu jiwa ), baik dalam etnik, kebudayaan atau keagamaan. Perbedaan-perbedaan ini tidak menjadi penghalang untuk bersatu di bawah satu dasar negara, yaitu Pancasila. d ). Nilai-nilai ketiga ini menjiwai ( mendasari ) sila keempat dan sila kelima. 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawarata / perwakilan, mengandung nilai-nlai kerakyatan, antara lain; a). Kedaulatan negara adalah di tangan rakyat. b). Pemimpin kerakyatan adalah hasil hikmah kebijaksanaan yang didasarkan akal sehat. c ). Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama di depan hukum. d ). Musyawarah untuk mufakat diperoleh dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat di Parlemen. e ). Nilai-nilai sila keempat ini menjiwai ( mendasari ) sila kelima. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengandung nilai-nilai keadilan sosial, antara lain; a ). Merealisasikan keadilan dalam kehidupan sosial atau masyarakat harus meliputi seluruh rakyat Indonesia secara merata. b). Keadilan harus diwujudkan terutama meliputi aspek-aspek keberagmaan, pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan nasional, dan sebagainaya. c ). Cita-cita masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual harus segera diwujudkan secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia. d ). Keseimbangan atara hak dan kewajiban, dan menghormati hak orang lain. e ). Komitmen pada kemajuan dan pembangunan bangsa. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Pancasila adalah filsafat kehidupan rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, meskipun ada kalangan yang tidak setuju dengan alasan bahwa Pancasila itu hanyalah sekumpulan pernyataan-pernyataan yang baik tetapi tidak mencukupi untuk dinyatakan sebagai kesatuan filsafat. Pandangan ini dibantah oleh Muh. Yamin, bahwa Pancasila itu tersusun secara harmoni dalam suatu

324 sistem filsafat. 206 Penulis juga melihat demikian; bahwa Pancasila memang merupakan filsafat kenegaraan yang dijadikan dasar bagi negara Republik Indonesia, karena Pancasila hasil dari hikmah ( wisdom ), kebijaksanaan, kearifan, dan ini sebagai ciri umum filasafat. Bahkan K.H. Saefuddin Zuhri ( mantan Menteri Agama di era Orde Lama ) menegaskan; Pancasila itu disebut sebagai filsafat nasional modern207. Dari sisi lain tinjauan Pancasila sebagai filsafat kenegaraan secara metodologis akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran kritis yang dapat membuka perspektif bangsa Indonesia berpandangan rasional, luas dan terbuka. Dengan aktivitas-aktivitas filsafat, ideologi Pancasila dapat terhindar dari pembekuan dan sikap otoriter atau pemikiran irrasional. Jadi, sifat filsafati yang melekat pada Pancasila menjadikannya ideologi yang dinamis dan fleksibel sesuai dengan tuntutan hidup manusia Indonesia yang selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Namun demikian, hal ini tergantung pula pada kesediaan manusia-manusia Indonesia untuk senantiasa tanggap dan cermat terhadap berbagai situasi dan kondisi yang selalu berubah. Apakah bangsa dan rakyat Indonesia senantiasa siap menghadapi perubahan-perubahan dengan tetap berpijak pada ideologi Pancasila ?. Jawabannya tentu saja; Pancasila harus menjadi world view dalam menanggapi setiap perubahan yang terjadi pada bangsa ini, agar tidak kehilang arah dan identidas kebangsaannya, dan tidak terombang ambing oleh berbagai arus gelombang yang datang menerpa pada saat apa saja dan kapan saja.

13. Pancasila dan Permasalahan Bangsa Filsafat kenegaraan sebuah negara memiliki peranan yang sangat vital dalam mengkonstruksi dasar aturan atau undang-undang dasar ( konstitusi ). Namun dasar aturan atau undang-undang dasar tersebut secara politis harus sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi rakyatnya sesuai dengan tuntutan situasi yang selalu berubah dari waktu ke waktu208, karena filsafat kenegaraan tersebut bukan untuk kepentingan

206 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 454 207 Saefuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia ( Jakarta: PT. Gunung Agung, 1981 ), h. 51 208 Faisal Baasir, Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003 ), h. 36 325 individu atau kelompok ( penguasa ). Jika yang didahulukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, maka akan memunculkan tirani kekuasaan. Di negara Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi tentu saja harus terhindar dari segala bentuk tirani dan diktatorial kekuasaan. Dengan demikian, dasar aturan dan kebijakan politik adalah untuk melindungi kepentingan semua warga dan rakyat, tanpa ada diskriminasi, baik karena faktor agama, status sosial, etnik, aliran dan sebagainya. Oleh karena itu, filsafat kenegaraan sebagai world view yang menjadi landasan undang-undang dasar dan kebijakan politik pemerintah harus bisa mengakomodasi semua kepentingan masyarakat dan bangsanya. Dengan demikian, Pancasila sebagai filsafat dan ideologi negara harus sesuai dengan dinamika ruang dan waktu, agar dapat menjawab kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Setumpuk permasalahan bangsa yang dihadapi, antaranya; Pemahaman terhadap konsep Negara Hukum berdasarkan Pancasila yang belum memberikan kesan positif dalam realitas kehidupan sehari-hari, upaya demokratisasi dalam politik, hukum dan ekonomi yang belum memberikan hasil yang memuaskan, prinsip keterbukaan ( transparansi ) yang sampai saat ini belum terbuka atau setidaknya tidak jelas, dan sebagainya. Secara terperinci barangkali penulis dapat kemukakan setumpuk permasalahan yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia sebagai berikut; 1. Permasalahan sosial, budaya dan lingkungan, seperti; Korupsi yang sudah kronik dan membudaya di kalangan Pejabat dan Pemerintah dari atas sampai bawah, meskipun sudah ditangani KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) tetapi hasilnya belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Tindak kejahatan korupsi sampai saat ini masih tetap terus berjalan, bahkan menurut ketua KPK ( tahun 2013/2014 ); Abraham Samad bahwa telah terjadi regenerasi para koruptor baru, Banjir bandang yang terjadi akibat penumpukan sampah di mana-mana, Kebakaran hutan akibat perilaku yang ceroboh dan tidak bertanggung jawab, Kemacetan lalulintas akibat tidak adanya sistem dan aturan ketat yang harus dipatuhi oleh pengendara, baik motor atau mobil, Premanisme yang bermunculan di mana-mana, Bencana alam akibat tangan-tangan manusia yang tidak peduli dengan keselamatan lingkungan, Penyakit kaki babi

326 dan flu burung akibat tidak adanya sistem penanganan kesehatan yang terpadu, Narkoba yang terus menjadi-jadi akibat penanganan yang tidak memberikan jera, TKI yang selalu bermasalah terutama terjadi di beberapa negara, seperti di Malaysia, Arab Saudi dan sebagainya. 2. Permasalahan Ekonomi; seperti, Kemiskinan, Pengangguran, Pemutusan hubungan kerja ( PHK ), Penyediaan listrik / energi, Penyelundupan, Ketimpangan ekonomi, Infrastruktur yang tidak yang tidak layak digunakan, Angkutan umum yang tidak layak pakai terutama angkot-angkot, Pungutan liar, Industri militer yang lemah, Daya saing yang lemah, dan sebagainya. 3. Permasalah hukum; seperti, Makelar kasus ( Mafia hukum ), Mafia Peradilan, Para penegak hukum ( Kejaksaan, Kepolisian dan KPK ) yang kurang kredibel, Illegal loging, Illegal fishing, Birokrasi yang bertele-tele, Kepastian hukum yang tidak menentu, Wilayah perbatasan yang sering terusik, seperti dengan Malaysia, dan sebagainya. 4. Permasalahan Pendidikan; seperti, Kualitas pendidikan rendah, Daya saing lulusan pendidikan dalam negeri lemah, Universitas tidak berdaya saing di tataran level dunia, kos biaya pendidikan tinggi, dan sebagainya. Semua permasalahan yang muncul ke permukaan tersebut akan berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi dan munculnya berbagai permasalah baru. Hal ini berimplikasi pada masih jauhnya cita-cita terciptanya kesejahteraan dengan berbagai pasilitas yang memadai bagi rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya. Penyebab utamanya ( baik disadari atau tidak ) adalah mentalitas bangsa yang lemah, yaitu tidak adanya sikap amanah dan kejujuran pada diri sendiri, pada masyarakat, pada bangsa, dan bahkan kepada Tuhan ( Allah ). Bisa dipastikan bagaimana mungkin dengan sesama manusia saja tidak jujur atau amanah, apalagi dengan Tuhan ( Allah ), Zat yang tidak bisa dilihat ( Maha Ghaib ). Di awal era Orde baru, Pancasila seolah mendapatkan tempat istimewa di mata masyarakat dan bangsa Indonesia. Di setiap sudut dan penjuru negeri, Pancasila selalu menggema, di sekolah-sekolah, di pasar, di rumah-rumah, di instansi-instansi Pemerintah atau swasta, setiap rakyat Indonesia, tua, muda, kecil, semuanya harus berpahaman Pancasilaisme. Pencitraan kondisi seperti ini diperluas ke setiap lapisan

327 masyarakat dari tingkat atas sampai tingkat Rt. dan Rw. Tetapi kemudian tanpa disadari, Pemerintah Orde Baru terjebak ke dalam kondisi diktatorial dan tirani. Hal ini memunculkan stigma bahwa Pemerintah Orde Baru telah menempatkan Pancasila sebagai alat untuk kepentingan politik, sebagai upaya melindungi sikap diktatorialnya, termasuk mematikan lawan politiknya yang tidak sejalan dengan kebijakannya209, dengan tuduhan tidak Pancasilais, bahkan yang lebih tragis tuduhan subversif; suatu tuduhan yang tidak mencerminkan sikap demokratis sebenarnya, sehingga terciptra kondisi yang apatis di kalangan masyarkat, Jadinya, daya kreativitas dan daya kritisnya terhambat, akibatnya perasaan takut dan tidak percaya diri menyelimuti lapisan masyarakat banyak, terutama masyarakat kalangan bawah. Ini artinya bahwa rakyat dan bangsa Indonesia di era Orde Baru sangat lambat dalam mengejar perkembangan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti; pertumbuhan ekonomi yang merata, kualitas pendidikan yang bisa dibanggakan, kemajuan teknologi dan sebagainya, meskipun tidak dinafikan ada pencapaian signifikan di beberapa bidang, seperti antaranya; ketahanan dan stabilita politik nasional, keberhasilan dalam menekan tingkat laju pertumbuhan penduduk melalui kebijakan sistem KB ( Keluarga Berencana ), suwasembada pangan, dan lain-lain. Tetapi keberhasilan Pemerintah Orde Baru dalam beberapa sektor pembangunan tersebut tidak dapat membawa Indonesia ke tingkat pencapaian yang membanggakan, tetap saja Indonesia tergolong negara yang lamban. Indonesia dalam banyak hal telah banyak ketinggalan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, seperti Singapura dan bahkan Malaysia, yang sama-sama bangsa serumpun, yaitu bangsa Melayu, apalagi dengan negara-negara lain di dunia Eropa, Amerika, Jepang dan sebagainya. Pada saat yang bersamaan, justeru Pemerintah Orde Baru menunjukan keadaan yang bersebrangan, karena menggunakan pendekatan; Demokrasi Pancasila, yang berarti bahwa pelaksanaan Demokrasi sebagai sistem perpolitikan nasional mengacu pada nilai-nilai yang terkadung di dalam Pancasila. Memang dapat dimengerti bahwa dengan menjadikan idea ini sebagai dasar dan langkah politik rezim Orde Baru, bisa diambil kesimpulan bahwa Demokrasi Pancasila mewakili

209 Lihat Ricklefs, Sejarah Indonesia, h. 432, Lihat juga Bachtiar Effendi, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, ( Jakarta: Paramadina, 1998 ), h. 47 328 pendekatan yang secara khusus sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Dalam konteks kehidupan keagamaan di Indonesoa, Pancasila pada dasarnya merupakan doktrin yang bertujuan untuk mengakomodasi kehidupan umat beragama yang berbeda-beda. Doktrin ini tidak hanya menawarkan agama sipil yang bersifat non sekular, tetapi juga tidak bersifat sektarian sebagai alternatif dari terbentuknya negara Islam.210 Selama era Orde Baru, Pancasila diterima oleh umat Islam karena kompromi politik antar berbagai pihak. Ironisnya, di bawah otoritas kekuasaan Soeharto, baik disadari atau tidak, Pancasila ( Demokrasi Pancasilanya ) telah dijadikan alat untuk menjastifikasi hegemoni kekuasaannya. Idea yang berkembang dan dianggap bertentangan dengan Pancasila atau sikap yang dianggap menyimpang dari kehendak Pemerintah dengan cepat akan dituduh sebagai anti Pancasila ( tidak Pancasilais ). Kemunculan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama yang menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin, dan oleh Pemerintah Orde Baru Demokrasi Terpimpin dianggap bertentangan dengan Pancasila, maka kemudian dimunculkan gagasan baru bernama “ Demokrasi Pancasila “. Pada awalnya Umat Islam khususnya, sangat antusias dan positif menyambut tampilnya Orde Baru dalam panggung perpolitikan Nasional karena ketegasannya terhadap paham Komunis dan PKI. Sikap tegas yang diperlihatkan Presiden Soeharto ini menjadikan rakyat Indonesia yang tidak sepaham dengan ideologi Komunis, terutama Umat Islam, sangat simpati karena memang sejak awal tidak sedikit dari Umat Islam berpartisipasi bersama Tentara Nasinal Indonesia ( khususnya dari kalangan Angkatan Darat ) dalam menumpas gerakan PKI yang dianggap terlah menghianati negara. Tetapi sayang, sambutan positif ini tidak berlangsung lama. Panggung perpolitikan nasional di masa Orde Baru didominasi oleh semanagat sekularisasi yang berimplikasi pada peminggiran Islam Politik ( marginalisasi Islam Politik ) dari arena perpolitikan nasional, selain terjadinya monopoli tafsir dan makna Pancasila oleh Pemerintah Orde Baru, yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menumpas aspirasi Islam politik.211

210 Frederik, dkk ( ed ), Pemahaman Sejarah Indonesia, h. 400 211 Band. Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam ( Jakarta: Gema Insani, 2009 ), h. 101 329 Demokrasi Pancasila faktanya hanya pembalut atau kemasan yang membungkus luka atau borok yang kronik. Demokrasi yang berdasarkan Pancasila sebenarnya tidak terrealisasi, yang direalisasikan justeru yang kontra dengan Demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemberlakukan sistem pemerintahan yang otoriter oleh rezim Orde Baru, selain membudayanya masalah korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya. Oleh karena itu, ketika menjelang lengsernya rezim Orde Baru tahun 1998 akibat munculnya gelombang ketidak percayaan rakyat terhadap kredibelitas Pemerintah meledak bagaikan lahar yang muntah dari perut gunung tidak dapat dibendung. Hal ini sebagai akibat dari penggunaan Pancasila sebagai instrumen untuk menjastifikasi dan melegalisasi kekuasaan Orde baru. Hal ini terbukti ketika Pancasila sudah dianggap baku, tidak bisa diinterpretasikan oleh siapapun, kecuali oleh Badan tertentu ( seperti BP-7 ), maka Pancasila tidak dapat dikaji ulang, seolah-olah seperti sesuatu yang sakral. Sebagai bentuk ideal, Pancasila harusnya terus dikaji dan direlevansikan dengan semangat zamannya, sehingga eksistensi Pancasila tetap diperlukan oleh anak bangsa pada setiap saat. Sebagai sebuah ideologi dan filsafat negara, Pancasila harus menjadi spirit dan orientasi bangsa, 212 sehingga Pancasila dapat dijadikan referensi dalam menetapkan langkah-langkah strategis dalam membangun bangsa dan negara ke depan. Sebuah realitas yang tidak dapat ditutup-tutupi, bahwa dikalangan siswa atau pelajar ada kecendrungan bahwa di antara mereka banyak yang tidak memahami apa itu Pancasila ?. Bahkan ada yang tidak tahu ururtan-urutan sila-sila Pancasila. Realitas ini setidaknya dapat kita saksikan di tayangan TV dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri. Gejala ini memang diakui oleh banyak kalangan terjadi setelah era Reformasi, setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Hal ini karena muatan pendidikan berkaitan dengan Pancasila berkurang. Kondisi ini diperparah lagi oleh makin diabaikannya pendidikan pembangunan karakter siswa di sekolah dan bahkan di tingkat Universitas. Dalam hiruk pikuk dan kompleksitas permasalahan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, Pancasila sebagai filsafat dan dasar negara kini di era Reformai disadari telah berada di ambang batas.

212 Lihat Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam ( Yogyakarta: Surya Raya, 2004 ), h. VII 330 Sejarah panjang tentang perdebatan seputar dasar negara dalam rangka memperjuangkan untuk menggapai cita-cita bangsa Indonesia kini sampai pada kenyataan bahwa Pancasila masih jauh dari harapan, eksistensinya sempat dipertanyakan, dan barangkali digantikan dengan ideologi lain jika para pemimpin bangsa ini tidak peduli lagi dengan Pancasila.

14. Fobia Pancasila Melemahkan Tingkat Nasionalisme Indonesia Sebagai sebuah konsensus nasional, Pancasila merupakan pandangan hidup ( way of life ) bangsa Indonesia yang terbuka dan bersifat dinamis. Sifat keterbukaan Pancasila dapat dilihat pada muatan Pancasila sebagai paduan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang plural dengan nilai-nilai yang bersifat universal213. Universalitas Pancasila dapat dilihat pada semangat sila-sila Pancasila yang tersusun dalam lima prinsip, yaitu; semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, semangat kemanusiaan yang adil dan beradab, semangat persatuan Indonesia, semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hiknah kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, dan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 214. Namun demikian nilai-nilai ideal Pancasila sebagaimana dijelaskan di atas, telah tereduksi dan disalah gunakan oleh penguasa Orde Baru, terbukti Pancasila telah dijadikan alat untuk menekan suara kedaulatan rakyat dengan atas nama pembangunan nasional. Pemerintah Orde Baru juga telah melakukan penyeragaman tafsir atas Pancasila yang dibakukan dan dipelajari secara paksa melalui penataran P-4 dan pendidikan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi215. Anehnya pada saat yang sama pemerintah Orde Baru telah melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri; tindakan represif, korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalah gunaan wewenang di kalangan para pejabat pemerintahan sudah menjadi fenomena umum. Implikasi dari semuanya ini adalah munculnya sikap fobia ( antipati ) sebagian besar rakyat Indonesia atas Pancasila. Implikasi ini dapat dirasakan sampai saat kini.

213 Lihat A.Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 23 214 Ibid. h. 23 215 Ibid. h. 23 331 Era Reformasi jelas mewarisi dampak negatif itu, akibatnya Pancasila terkesan tidak dipedulikan. Sepolah-olah Pancasila dinilai gagal sebagai dasar dan ideologi negara untuk menjadikan bangsa ini mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup sebagai layaknya manusia beradab. Walaupun faktanya begitu, selagi bangsa ini masih tetap memiliki komitmen tinggi terhadap Pancasila, maka Pancasila akan tetap ditempatkan pada posisinya sebagai dasar dan filsafat negara Indonesia. Sebagai sebuah karya luhur anak bangsa, Pancasila memang harus tetap ditempatkan pada kedudukan terhormat dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara. Posisinya sebagai dasar nilai dan pedoman bersama ( common platform ) untuk mewujudkan tujuan kesejahteraan bersama216. Dalam konteks sebagai dasar berbangsa dan bernegara, Pancasila tidak bisa digantikan oleh pandangan-pandangan sektarian manapun, yang berpotensi mengancam keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara kesatuan. Di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang kini tengah berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan, terkesan ada semacam ketidak beranian di kalangan masyarakat umum untuk mengemukakan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan dan lain sebagainya217. sepertinya tidak confidence jika berbicara tentang dasar-dasar kehidupan berbangsa tersebut. Ada semacam kekuatan kolektif dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi, maka ada rasa takut dicap tidak reformis. Memang di era Reformasi terkesan ada semacam alergi jika menyebut gagasan-gagasan tersebut di atas, karena semua itu pernah diwujudkan ( created ) di era Orde Baru yang menerapkan sistem pemerintahan otoriter. Seolah-olah jika menyebut kembali dasar-dasar tersebut ( Pancasila, UUD-1945, dll. ) identik dengan orang Orde Baru218 Padahal sebagai bangsa yang beradab tidak seharusnya bersikap seperti

216 Ibid. h. 24 217 Lihat Zaenal A.Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia ( Jakarta: DCSC Publishing, 2008 ), h. 66 218 Pemerintah Orde Baru yang berlangsug selama kurang lebih 32 tahun dianggap telah banyak menyalah gunakan wewenang, KKN dan sebagainya. Sehingga memunculkan imej yang tidak menyenangkan, meskipun dalam beberapa aspek dianggap berhasil. 332 itu. Justeru dasar-dasar tersebut secara objektif harus didukung, bahkan terus dipelihara sampai kapanpun dalam rangka membangun kembali Indonesia di masa depan yang lebih baik. Memang tidak dapat dinafikan bahwa di era Orde Baru telah terjadi kesalahan-kesalahan fatal, tetapi tidak secara otomatik kesalahan-kesalahan itu menyangkut substansi materi dasar-dasar tersebut. Kesalahan-kesalahan tersebut sebenarnya terjadi pada tataran praktis atau pendekatan sebagai akibat dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan sisi positif dan negatif, atau kebijakan yang tidak didasarkan pada dasar pemikiran komprehensif. Hal ini terbukti bahwa Pancasila didoktrinasikan melalui penataran P-4 yang dilakukan secara paksa dan ancaman219, sehingga menjadi dogma yang harus diterima tanpa ada kritikan. Pada tataran inilah letak kesalahan, bukan pada substansi materi. Pancasila yang telah mendapatkan konsensus nasional untuk menjadi dasar negara Republik Indonesia adalah tetap menjadi sesuatu yang vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sikap fobia terhadap Pancasila seharusnya tidak ada pada rakyat dan bangsa Indonesia. Pancasila yang kurang mendapatkan perhatian serius di era Reformasi, memang bukannya tanpa alasan, karena ternyata beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional sepanjang era reformasi tidak pernah menempatkan Pancasila sebagai agenda prioritas. Para pemimpin sibuk bertengkar di tengah kecamuk konflik dan upaya mempertahankan kekuasaanya 220 . Sementara Demokrasi yang baru mekar karena mendapatkan momentumnya di era Reformasi dimaknai secara sepihak. Padahal sejatinya Demokrasi merupakan cara atau pola menuju pencapaian nasional interes. Demokrasi sepanjang era Reformasi diakui oleh sebagian kalangan lebih sering menampakan sisi kelamnya dengan berbagai benturan kepentingan jangka pendek di

219 Penulis mengalami sendiri ancaman ini, sewaktu belajar di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia sekitar tahun-tahun 1982 – 1988. Rezim Orde Baru melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jeddah ( waktu itu KBRI belum pindah ke Riyadh ) memaksa Mahasiswa-Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Persatuan Pelajar Indonesia ( PPI ) Saudi Arabia, harus mengikuti penataran P-4. Jika tidak, maka urusan-urusan berkaitan pasport tidak akan dilayani, bahkan yang labih parah lagi ada introgasi yang menyatakan; Apakah kamu orang Indonesia ? atau orang Islam ? 220 Lihat Zaenal A. Budiyanto, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 67 333 kalangan elite politik 221 . Jika memang demikian kondisinya, tidak salah kalau ada kesimpulan bahwa Pancasila kurang mendapat perhatian serius di era Reformasi. Pada tahun 1955 hingga 1959 telah terjadi perdebatan sengit dalam Badan Konstituante tentang ideologi dan bentuk negara yang compatible dengan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Para pemimpin Islam meyakini bahwa dasar Islam adalah sesuai untuk menjadi kekuatan ideal pemersatu sebgai fondasi berbangsa dan bernegara, karena memang diakui bahwa Islam sudah menjadi pandangan hidup yang mewarnai kehidupat umat Islam Indonesia semenjak beberapa abad yang lalu, dan hal ini dibuktikan dengan berdirinya pemerintahan yang dalam bentuk Kesultanan tersebar di berbagai wilayah. Sementara kaum Sosialis bersikeras ingin menjadikan Marxisme – Leninisme sebagai model dasar kehidupan berbangsa dan bernegara222. Mereka menghendaki paham Komunis sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi pada akhirnya Pancasila muncul kembali sebagai satu-satunya jalan tengah223 untuk mengatasi kebuntuan perdebatan tentang dasar negara tersebut. Kemudian sekali lagi Pancasila berhasil menjadi dasar dan ideologi negara. Di bawah Pancasila, para pemeluk agama yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan dengan rukun dan harmonis.224 Suatu realitas yang tidak dapat dinafikan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang plural, walau bagaimanapun bangsa Indonesia harus terus berupaya untuk melakukan upaya-upaya strategis dalam rangka memastikan agar Pancasila tetap menjadi dasar atau fondasi yang dapat mengakomodasi semua perbedaan-perbedaan yang ada.

15. Pancasila Ideologi Nasional di Era Globalisasi Ideologi Nasional memiliki peran dan fungsi yang sangat vital dan strategis dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

221 Zaenal A. Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 67 222 Pada waktu itu Uni Soviet ( sekarang Republik Rusia ) menjadi model kesuksesan para penganut aliran Komunis. Bung Karno sendiri mengkagumi Uni Soviet. 223 Lihat Zaenal A. Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 66 224 Lihat Soetrisno Bachir, Membangun Kemandirian Bangsa ( Jakarta: Belantika, 2005 ), h. 11 - 12 334 Diskursus ini sangat penting karena pada saat ini, terutama di era Reformasi banyak kalangan tidak mau berbicara tentang hal-hal terkait dengan Pancasila. Hal ini dapat dimengerti karena kesalahan-kesalahan di masa lalu di era Orde Baru, baik disengaja ataupun tidak, para penguasa kerap kali menjadikan Pancasila sebagai alat untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan sesaat, maka tidak heran jika saat ini orang alergi atau meresa tidak confidence ( percaya diri ) jika berbicara Pancasila. Pancasila sebagai Dasar Negara dianggap gagal membangun bangsa di masa lalu. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan membahayakan keutuhanan integrasi Nasional. Oleh karenanya harus ada upaya-upaya refreshing dalam rangka merevitalisasi makna dan implementasi, serta memastikan pendekatan-pendekatan baru yang lebih efektif bagi penguatan ideologi Pancasila, agar Pancasila sebagai ideologi Nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tetap eksis dan semakin kuat jika kita ingin melihat Indonesia ke depan tampil sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) tetap wujud selamanya di bumi persada Nusantara.

15.a. Fakta dan Pengembangan Ideologi Pancasila Pancasila yang sudah menjadi konsensus Nasional sejak 18 Agustus 1945 mengandung nilai dan gagasan dasar, dan oleh karenanya dinyatakan sebagai ideologi Nasional. Nilai dan gagasan dasar tersebut pada hakikatnya telah terjabarkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebagai sikap, perilaku dan kepribadian yang sudah menjadi turun temurun dari generasi ke generasi. Pancasila sebagai ideologi Nasional bersifat khas berlaku bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu di era Globalisasi seperti saat ini, dengan munculnya berbagai persaingan ideologi dunia yang memasuki Indonesia, seperti Kapitalisme, Sosialisme dan sebagainya, agar Pancasila tetap eksis dan tidak terjadi kebekuan dan kaku, maka perlu ada upaya-upaya terobosan baru. Sebuah ideologi yang baik dan dapat memelihara kerelevansianya dari waktu ke waktu agar tetap sesuai dengan ruang dan waktu yang selalu berubah dan tahan uji terhadap persaingan berbagai ideologi dunia, serta dapat menyerap berbagai aspirasi masyarakatnya yang selalu mengalami dinamisasi dari waktu ke waktu, maka ideologi harus memiliki tiga dimensi dasar, yaitu;

335 1. Dimensi realitas; Artinya bahwa nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi harus bersumber pada nilai-nilai yang nyata, yang hidup dalam masyarakatnya, terutama ketika ideologi tersebut dirumuskan, sehingga masyarakat sebagai pendukungnya betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu telah tertanam dan berakar dalam realitas kehidupan masyarakat. 2. Dimensi idealisme; Artinya ideologi tersebut mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; politik, ekonomi, pendidikan, hukum, kebudayaa dan sebagainya, sehingga masyarakat yang bersangkutan tahu kearah ana mereka membangun bangsa dan negaraya. 3. Dimensi fleksibilitas dan pengembagan; Artinya bahwa ideologi tersebut membuka diri untuk menerima perkembangan pemikiran baru dalam rangka memperkaya khazanah dan wawasan tanpa mencabut nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya225. Ketiga-tiga dimensi dasar tersebut hanya bisa dimungkinkan oleh sebuah ideologi yang terbuka atau ideologi yang demokratis. Idelogi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi denga perkembangan zaman dan adanya dinamika internal yang memberi peluang ( kesempatan ) kepada penganutnya untuk mengembangkan pemikiran yang relevan dan sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ideologi tersebut tetap aktual. 226 Karena secara filosofis maupun konseptual ideologi memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam membangun kehidupan berbangsadan bernegara, karenanya harus disadari bahwa tanpa idelogi yang kuat dan berakar pada nilai-nilai budaya sendiri, suatu bangsa akan mengalami kesulitan ( hambatan ) dalam mencapai cita-citanya 227 . Pentingnya ideologi bagi sebuah negara dapat dilihat dari kehidupan politik praktis, di mana setiap Partai Politik yang ada memiliki platform yang jelas. Platform inilah sebagai

225 Lihat, M. Syamsudin, Pendidikan Pancasila ( Menempatkan Pancasila Dalam Konteks Ke-Islaman Dan Ke-Indonesiaan ) ( Yogyakarta: Total Media, 2009 ), h. 126 226 Ibid. 227 Ibid. h. 98 336 refleksi dan implementasi dari sebuah ideologi228. Dalam konteks ini, Pancasila sebagai ideologi nasional dalam berbangsa dan bernegara sudah memenuhi tiga dimensi dasar tersebut. Permasalahannya adalah tergantung pada efektivitas pengembangan dan pendekatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang. Konsekuensi dari penegasan ini adalah bahwa Pancasila harus menjadi ideologi terbuka, dan ini sangat diperukan berdasarkan kebutuhan konseptual. Keterbukaan ideologi artinya terbuka untuk terjadinya interaksi nilai yang terkandung di dalamnya dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat lingkungan sekitar, terutama pada tataran nilai penjabaran atau nilai instrumentalnya, dan bukan pada tataran nilai dasarnya.

15.b. Rehabilitasi dan rejuvenasi ideologi nasional di era global Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Indonesia, kini telah berada pada ambang batas, di mana masyarakat sudah kurang peduli ( careless ) terhadapnya, apakah sebagai dasar Negara, filsafat Negara atau sebagai ideologi Negara. Sejarah panjang perdebatan mengenainya 229 , dan sejarah perjalanannya dari momentum ke momentum ( dari kelahiran, mencari jati diri, perjuangan, hingga mempertahankan ) dalam rangka mencapai cita-cita bangsa Indonesia telah sampai pada suatu realitas bahwa Pancasila masih jauh dari harapan. Tahun 1983 Pancasila ditetapkan oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1983 sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial dan politik230. Kini sejak era Reformasi, Pancasila mulai dipertanyakan kedudukannya dan mungkin bisa digantikan ( jika tidak segera diantisipasi ) oleh segelintir kelompok atau golongan yang menginginkan tegaknya sistem pemerintahan lain. Jika melihat ke belakang ketika Soekarno mendekritkan kembali Pancasila dan UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, dan Badan Konstituante dibubarkan. Idea kembali kepada Pancasila sebagai dasar negara ternyata dalam perkembangannya di kemudian hari terjadi

228 Ibid. h. 98 229 Terkait mengenai perdebatan dasar negara, bisa pembaca telusuri karya Ahmad Syafii Maarif; Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante ( Jakarta:: LP3ES, 1996 ), Cet. Ke 3, hlm. 144 - 157 230 Ketetapan tersebut kemudian mengalami perubahan pada tahun 1998 berdasarkan rencana Tap MPR No . . . ./ MPR/ 1998 tentang pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1983 337 penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Hal ini ternyata erat kaitannya dengan kekuasaan yang ada pada genggaman Soekarno. Isu-isu politik yang muncul pasca Dekrit Presiden 1959 memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan yang diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan politik. Tiga kekuatan politik besar ( PNI, NU dan PKI ) yang ada pada waktu itu, menurut sebagian kalangan, bisa saja merongrong kekuasaan Soekarno bila tidak ditangani dengan hati-hati. Kebijakan Soekarno tertuang dalam gagasannya tentang Nasakom ( Nasionalisme, Agama dan Komunisme ). Kemunculan paham Nasakom ini dilatarbelakangi ajaran Soekarno bahwa; Pancasila bukan merupakan sistem ideologi yang ketat dan monopolistis seperti Komunisme ...... waktu Pancasila lahir dalam tahun 1945 Komunisme tidak hadir dalam masyarakat kita 231. Oleh karena itu Soekarno membuat lagi ideologi lain selain Pancasila, yaitu Nasakom. Jadi, kemunculan gagasan Nasakom hasil dari pemahaman Soekarno tentang eksistensi Pancasila bahwa; Pancasila bukan sistem ideologi yang ketat, maka Nasakom menurut Soekarno merupakan manifestasi dari Pancasila. Tetapi sebenarnya gagasan Nasakom itu sebagai strategi Soekarno untuk menguasai kekuatan-kekuatan politik agar selalu berada pada genggamannya dengan tujuan memudahkan untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan kata lain gagasan ini tidak lebih sebagai upaya untuk meredam gejolak politik pada waktu itu. Dengan menampung ketiga kekuatan tersebut dalam satu payung, Soekarno mencoba mengendalikan tiga unsur politik dominan. Namun, dengan upaya besar ini implikasinya adalah munculnya semacam pengkhianatan yang tidak terkendalikan oleh Soekarno sendiri terhadap Pancasila. Meskipun dalam Pancasila sendiri unsur-unsur nasionalisme dan agamis jelas terkandung di dalamnya, sementara paham Komunis pada hakekatnya tidak ada. Tiga unsur kekuatan ini sebenarnya paradoks, karena dari segi ajarannya Komunisme tidak mengakui adanya Tuhan ( tidak ber-Tuhan ) dan ini jelas bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi dengan mengangkat idea Nasakom menjadi sebuah ideologi, maka mau tidak mau telah terjadi penduaan ( paradoksial ), dan ini tidak terelakan. Indonesia harus mengakui Pancasila di satu sisi, pada sisi lain harus menjungjung Nasakom. Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan Soekarno sendiri yang berbunyi “……salah satu aspek dari

231 Bandingkan, Frederick dkk. ( ed. ), Pemahaman Sejarah Indonesia. hlm. 81 338 Pancasila alat pemersatu adalah Nasakom, barang siapa menolak Nasakom, berarti menolak Pancasila. 232 Ini sebagai bukti bahwa Nasakom disetarakan dengan Pancasila. Di sinilah letak penyelewengan terjadi. Pada gilirannya, Nasakom dapat dipahami sebagai manifestasi politik Soekarno dalam rangka memperkuat idea Demokrasi Terpimpinnya. Sebuah strategi politik sekalipun harus mengorbankan Pancasila demi tercapainya cita-cita, Soekarno berupaya mengangkat citranya melalui slogan-slogan kemakmuran, kesejahteraan, nasionalisme yang agamis. Tentu saja Soekarno tidak akan pernah menyatakan bahwa ada manipulasi politik di balik persoalan tersebut. Sementara realitas kondisi negara kebalikan dengan slogan-slogan Soekarno tersebut yang pada waktu itu ia gembar-gemborkan seiring dengan menurunnya kharisma dan kekuasaannya. Hal ini ditandai dengan terjadinya krisis lokal berupa inflasi keuangan negara sebesar 600% yang memaksa era Soekarno berakhir. Peristiwa ini ditandai dengan penyerahan Supersemar 11 Maret 1964 233. Lengsernya rezim Orde Baru pada tahun 1998 memunculkan berbagai kritik, terutama dari kalangan intelektual, terkait dengan kekeliruan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, maupun Orde Lama menyebabkan Pancasila menjadi ideologi eksklusif ( tertutup ). Seharusnya Pancasila diposisikan sebagai ideologi inklusif ( terbuka ). Hal ini sebagaimana terungkap dalam salah satu buku “ Pendidikan Kewarganegaraan “ sebagai berikut; Pengalaman sejarah politik bangsa Indonesia di masa lalu, seperti pada waktu besarnya pengaruh Komunisme, Pancasila pernah menjadi doktrin yang kaku. Demikian juga waktu peran pemerintah Orde Baru sangat dominan menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup234. Dua kata kunci dari petikan di atas, yaitu; kaku dan tertutup. Kaku dapat diartikan bahwa Pancasila dikondisikan menjadi ideologi yang tidak fleksibel. Hal ini karena Pancasila pada waktu Orde Lama dimanifestasikan ke dalam gagasan Nasakom, yang dalam perkembangannya kemudian menjadi ideologi di samping Pancasila.

232 Frederick, dkk ( ed. ), Pemahaman Sejarah Indonesia, hlm. 400 233 Frederick, dkk ( ed. ), Pemahaman Sejarah Indonesia, hlm. 400 234 Lihat Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan ( Jakarta: Penaku, 2008 ), hlm. 27 - 28 339 Sementara, Tertutup, dapat diartikan bahwa Pancasila tidak dapat ditafsirkan oleh siapa pun berdasarkan keperluan dan relevansi zaman yang senantiasa menuntut perubahan dari waktu ke waktu, sehingga Pancasila kemudian menjadi tertutup. Hal ini karena Pancasila ditafsirkan oleh rezim Orde Baru dengan tafsiran yang sesuai dengan kepentingan sesaat, maka kemudian Pancasila menjadi alat politik untuk menjastifikasi tindakan-tindakan Pemerintah Orde Baru waktu itu. Senada dengan pandangan dalam kutipan di atas, As`ad Said Ali ( Wakil Kepala BIN Th. 2001 – 2009 ) menyatakan di dalam karyanya “ Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa “, bahwa kecendrungan untuk menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara kembali muncul di era Orde Baru. Menurutnya, rezim Orde Baru telah menjadikan dasar negara ( Pancasila ) sebagai ideologi tunggal. Hal ini menurutnya lagi sama dengan cara Soekarno memahami Pancasila sebagai kepribadian dan welstanchauung bangsa. Ini berarti sama dengan menerima kebenaran Pancasila hampir tanpa pembuktian, maka kemudian implikasinya Pancasila di era Orde Baru diposisikan sebagai sebuah ideologi yang komprehensif, yaitu sebagai jiwa dan kepribadian, sebagai pandangan hidup, sebagai tujuan, sebagai perjanjian luhur, sebagai dasar negara, sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan seterusnya235. Realitasnya upaya ini semua tidak dapat menciptakan hasil yang baik bagi kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia. Lengsernya rezim Orde Baru dan disusul dengan tampilnya era Reformasi di pentas perpolitikan nasional dengan ditandai semaraknya proses demokratisasi dalam berbagai bidang kehidupan, terbukanya keran kebebasan ( liberalisasi ) dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini tentu saja menjadikan sebagian pihak merasa bangga dengan pencapaian Indonesia dalam pelaksanaan demokrasinya236. Tetapi sayang sekali ada hal terpenting dan sangat mendasar terkait dengan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang terabaikan dan terlupakan, yaitu; Pancasila. Dalam salah satu seminar

235 Lihat As`ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa ( Jakarta: LP3ES, 2009 ), hlm. 34 - 39 236 Prestasi ini, setidaknya diukur dengan keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan dua kali Pemilihan Umum di era Reformasi, yaitu; pada tahun 2004 dan tahun 2009, dianggap sebagai negara yang paling demokratis di dunia setelah Amerika dan India. 340 yang diselenggarakan di Universitas Gajah Mada pada 1 Februari 2006, bertajuk “ Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara “ terungkap kehkawatiran oleh salah seorang peserta seminar tentang masa depan Pancasila. Ungkapan kekhawatiran tersebut sebagai berikut; Jikalau kita mau jujur dewasa ini Pancasila hanya tinggal rumusan verbal sila-sila Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, Perguruan Tinggi pun tampaknya sudah akan menghilangkan Pancasila dari kajian ilmiah. Kalangan elit politik merasa tidak populer jikalau berbicara tentang Pancasila, apalagi bersuara dan berminat untuk melaksanakannya. Jikalau hal ini dibiarkan berlalu maka bukannya mustahil dalam waktu singkat negara Indonesia yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa dengan darah dan nyawanya akan hancur oleh anak-anak bangsa sendiri yang berpola pikir terjajah oleh bangsa lain237. Gelombang demokratisasi melalui tuntutan reformasi yang melanda negara-negara yang tidak demokratis berbarengan dengan terjadinya krisis moneter tahun 1997, salah satunya adalah Indonesia, ternyata menjadi ancaman terhadap eksistensi dasar negara; Pancasila238. Hal ini terjadi secara kebetulan di era global. Globalisasi menjadikan sesuatu bukan hanya untuk wilayah atau bangsa tertentu, tetapi untuk semuanya tanpa mengenal batas wilayah atau bangsa. Ini artinya bahwa globalisasi merupakan kondisi yang menunjuk pada proses kaitan yang erat semua aspek kehidupan. Gejala yang muncul dari interaksi yang makin intensif dapat dilihat pada dunia perdagangan, media, budaya, transportasi, teknologi informasi dan sebagainya239. Ancaman terhadap ideologi negara tersebut diperparah lagi dengan arus kekuatan politik nasional yang tidak mempercayai pemerintah Orde Baru, dampaknya kepercayaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara turut menurun di kalangan rakyat Indonesia pada umumnya. Ini artinya Pancasila dihadapkan pada persoalan mendasar. Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan bagi rakyat dan bangsa

237 Lihat Abbas Hamami Mintaredja dkk. ( ed. ), Memaknai Kembali Pancasila ( Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2007 ), hlm. 21 238 Lihat A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani ( Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008 ), cet. III, hlm. 24 239 A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 27 341 Indonesia seluruhnya. Paling tidak ada tiga persoalan mendasar bagi eksistensi Pancasila sebagai dasar dan filsafat negara Indonesia. Tiga persoalan mendasar tersebut itu, ialah; 1. Penyimpangan pemahaman Pancasila. 2. Penyalah gunaan status Pancasila. 3. Adanya kompetisi ideologi-ideologi dunia yang memasuki Indonesia. Gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia bersamaan dengan krisi moneter, ekonomi dan politik sejak 1997, menurut menjadikan Pancasila seolah-olah kehilangan relevansinya 240 . Kenapa Pancasila seolah-olah tidak relevan ? menurut Azyumardi lagi 241 paling tidak ada tiga faktor yang menjadikan Pancasila tidak relevan saat ini. Tiga faktor tersebut itu ialah; 1. Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang menjadikan Pancasila untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. 2. Liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan yang ditetapkan Presiden B.J. Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas. 3. Desentralisasi dan otonomisasi daerah. Sebagaimana kita ketahui bahwa di era Orde Baru, rezim Soeharto telah menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ( asas tunggal ) dalam berorganisasi, baik organisasi politik ( partai politik ) atau organisasi kemasyarakatan. Konsekuensi dari kebijakan ini semua organisasi harus menetapkan Pancasila sebagai asasnya dalam AD dan ART-nya. Jika tidak, maka organisasi tersebut diancam dibubarkan. Oleh karena tujuan dari kebijakan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal adalah untuk memudahkan kontrol terhadap kekuatan-kekuatan sosial politik, baik pada tataran elite partai atau pada tataran akar rumput, maka rezim Orde Baru juga mendominasi pemaknaan ( pemahaman) Pancasila sesuai dengan kehendak dan keinginan ( political will ) Pemerintah waktu itu. Selanjutnya pemahaman Pancasila tersebut diindoktrinasikan secara paksa lewat

240 A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( peny. ), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 24 241 A. Ubaedillah dan Abd. Rozak ( Peny. ), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 25 342 Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( P-4 ). Tetapi pada akhirnya usaha meng-P-4-kan rakyat Indonesia mengalami kegagalan, walaupun dibiayai dengan miliaran rupiah, karena menggunakan pendekatan yang tidak tepat, yaitu pemaksaan, bukan berdasarkan kesadaran. Penghapusan kebijakan asas tunggal oleh Presiden B.J. Habibie, pada satu sisi membuka peluang tampilnya ideologi-ideologi lain selain Pancasila ( baik yang berdasarkan agama atau non agama ) di pentas perpolitikan nasional, sementara pada sisi lain penghapusan asas tunggal tersebut memunculkan dampak yang tidak baik, yaitu terjadinya penurunan pemahaman dan komitmen rakyat Indonesia pada Pancasila sebagai ideologi pemersatu dan dasar negara, akibatnya Pancasila cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebijakan otonomi daerah tidak terlepas dari latarbelakang dan tujuan atau visi, baik dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dari aspek politik, otonomi daerah harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi tampilnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, terciptanya pemerintahan responsif serta terciptanya pengambilan keputusan berdasarkan pertanggung jawaban publik. Dari aspek ekonomi, otonomi daerah setidaknya bisa menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah dan mendorong terciptanya peluang untuk pengembangan kebijakan kedaerahan dalam rangka mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Sementara dalam aspek sosial budaya, otonomi daerah harus diarahkan pada terciptanya pengelolaan dan pemeliharaan integrasi dan harmonisasi sosial, mengembangkan nilai, tradisi karya seni, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif dalam rangka merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global242. Namun demikian, ada sebagian pihak yang menghawatirkan kebijakan otonomi daerah, karena otonomi daerah menurutnya, dimungkinkan akan menumbuhkan sentimen kedaerahan, dan ini berdampak hilangnya loyalitas atau kesadaran untuk kebersamaan dan kesetiaan dari daerah sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Walau bagaimanapun harus ada upaya antisipasi, jika tidak,

242 Lihat A. Ubaedillah dan Abd. Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 25 343 kemungkinan akan muncul sintimen lokal-nasionalisme yang hidup di ruang Nasionalisme Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, Pancasila sebagai dasar Negara akan makin kehilangan posisi sentralnya. 243 Realitas di lapangan membuktikan kebalikannya, salah satu contoh Aceh, justeru di era Reformasi Aceh kembali ke pangkuan NKRI, dan di beberapa daerah yang pernah rawan konflik, seperti Poso dan Ambon, kini sudah berada dalam kondisi kondusif. Tentu saja upaya mengembalikan daerah-daerah yang rawan konflik tersebut tidak begitu saja mudah seperti membalikan telapak tangan, tanpa melalui proses, kebijakan dan setrategi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, dan tanpa melibatkan semua pihak dan kekuatan. Tanpa keterlibatan semua pihak, keamanan dan kesatuan tidak akan terwujud. Mengingat betapa pentingnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dijadikan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang plural, memang sangat mendesak untuk dilakukan upaya-upaya revitalisasi Pancasila, baik terkait terhadap maknanya, perannya dan posisinya. Kenapa demikian ? karena berdasarkan keyakinan rakyat Indonesia bahwa Pancasila dapat dijadikan dasar kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, Azyumardi Azra menegaskan bahwa Pancasila telah terbukti sebagai common platform ideologi negara bangsa Indonesia yang paling feasible, dan sebab itu lebih veable bagi kehidupan bangsa hari ini dan masa datang244. Oleh karena itu, secara terperinci, Azyumardi Azra menyatakan, sangat mendesak untuk dilakukan rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila. Rejuvenasi Pancasila menurut Azyumardi Azra dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila sebagai public discourse ( wacana Publik ) 245 . Dengan menjadikan Pancasila sebagai wacana publik diharapkan akan muncul idea-idea brilian, baik dalam rangka pengembangan atau penilaian kembali ( reassissment ) makna dan pemahaman, sehingga Pancasila tetap relevan pada setiap saat dan zaman, tetapi dengan catatan bahwa teks Pancasila yang tersusun dalam lima sila tetap dipertahankan, tidak boleh ada amandemen atau perubahan. Dengan merekonstruksi pemahaman Pancasila tersebut, maka berarti telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka ( inclusive ), bukan ideologi tertutup ( exclusive ) yang berakibat

243 Ibid. 244 Ibid. h.25 245 Ibid. h.25 344 terjadinya peminggiran atau tereliminasi oleh persaingan ideologi-ideologi dunia yang memasuki Indonesia sebagai dampak dari era global. Namun demikian, rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila, sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra di atas memerlukan keberania moral para pemimpin nasional. Empat pemimpin nasional pasca Soeharto sejak dari Presiden B.J. Habibie, Presiden , Presiden Megawati, dan bahkan Presiden SBY, diakui oleh banyak kalangan belum berhasil membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik. Nampaknya seperti ada kesan traumatik untuk membicarakan kembali Pancasila. Oleh karena itu, jika kita memang peduli terhadap nasiolisme Indonesia dan integrasi nasional, maka sudah saatnya sekarang para elite dan para pemimpin bangsa memberikan perhatian khusus pada ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu.

16. Pancasila Dari Waktu Ke Waktu Sebagai sebuah ideologi Nasional, Pancasila tidak muncul dari ruang kosong, tetapi sebagaimana ditegaskan A. Syafi`i Maarif 246; ia hadir dari realitas sejarah dan semangat zaman yang melingkupinya. Realitas kesejarahan telah berproses dalam kurun waktu yang tidak sebentar, ia mampu memunculkan ramuan ideologi baru di tengah pertarungan ideologi saat itu; ideologi Kapitalis, dan Sosialis. Kelahiran dan perkembangan Pancasila sejak dipersiapkan untuk diusulkan sebagai dasar dan filsafat negara hingga saat disahkannya pada tanggal 18 Agustus 1945 M. semuanya berlangsung dalam forum politik, bukan dalam forum akademik ilmiah. Dalam forum politik itulah, imbauan politik dikumandangkan untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan politik yang sangat fundamental bagi dasar dan arah kehidupan kemerdekaan menuju masa depan yang dicita-citakan bersama 247 . Oleh karena itu, Pancasila yang telah menempuh perjalanan panjang melebihi setengah abad dan telah mengalami pasang surutnya perjalanan Republik Indonesia, bukan merupakan dasar negara yang lahir tanpa mengalami berbagai

246 Ahmad Syafi`i Maarif dalam kata pengantar buku “ Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, oleh M. Abdul Karim. ( Yogyakarta: Surya Raya, 2004 ) h. VI. 247 Lihat. M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, h. 3 345 perdebatan. Perdebatan yang terjadi justeru menjadikan Pancasila menemukan kekuatannya tersendiri. Dalam konteks kemunculan Pancasila, A.M.W. Pranarka 248 telah mengidentifikasi pertumbuhan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan dimulai dengan cita-cita kebangsaan yang bermula dari kebangkitan Nasional dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Namun posisi Pancasila sebagai ideologi kebangsaan itu mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan mendapatkan kekuatannya dalam Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit Presiden menegaskan pemberlakuan kembali UUD 1945. Demikian itu tidak berarti bahwa pemikiran tentang Pancasila serta merta berhenti. Pengembangan pemikiran Pancasila dimungkinkan oleh adanya anggapan bahwa Pancasila merupakan wadah yang dapat mengakomodir berbagai aliran ideologi yang merasa terpanggil untuk memberikan interpretasi tentang Pancasila. Hal ini sejalan dengan pandangan Notonagoro, dan pada saat yang sama Notonagoro menekankan bentuk kompromi Pancasila249. Dalam sepanjang sejarah keberadaannya sebagai dasar dan filsafat negara Republik Indonesia, perkembangan Pancasila telah mendapatkan stresingnya yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, baik di era Orde Lama, Orde Baru, dan bahkan di era Reformasi. 1. Orde Lama mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara diinstrumentalisasikan untuk mendukung kepentingan politik sesaat, sebab pada era Orde Lama politik dijadikan panglima yang berakhir dengan tragedi Nasional G 30 S/PKI. 2. Pada era Orde Baru ekonomi dijadikan ideologi pembangunan dan Pancasila dijadikan kata sihir sebagai Asas Tunggal yang secara manipulatif diritualisasikan untuk menjaga stabilitas pengembangan Kolusi, Nepotisme dan Kronisme di bawah kekuasaaan tunggal dengan mengatasnamakan diri sebagai mandataris MPR. 3. Pada era Reformasi, setelah pembangunan menghadapi jalan buntu sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi dan politik, maka dengan ambruknya seluruh bangunan ekonomi, turut

248 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila ( Jakarta: CSIS, 1985 ), h. 313-318 249 Lihat, Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, ( Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984 ), h. 58 346 ambruk pula seluruh kehidupan politik. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai permasalahan bangsa yang semrawut; pertentangan, perpecahan dan permusuhan yang dipicu latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama, sehingga kondisi kehidupan bangsa cenderung berkembang tanpa arah250. Pancasila sebagai dasar negara seakan tenggelam dalam lumpur pertentangan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan sebagainya. Memang sejak bergulirnya era Reformasi, Pancasila tidak lagi tampil dalam berbagai wacana, baik dalam forum-forum diskusi ilmiah, seminar, maupun dalam program-program Pemerintahan. Kondisi seperti ini sebagai akibat dari dicabutnya Ketetapan MPR RI No. II / MPR / 1978 tentang P-4 dalam Sidang Istimewa MPR Tahun 1998. Demikian pula Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional-pun pada Pasal 37 ( 2 ) tidak menyebut pendidikan Pancasila. Ia hanya menyebut Pendidikan Kewarganegaraan, Agama dan Bahasa. Hal ini merupakan indikasi bahwa Pancasila dalam fungsinya sebagai dasar negara telah dilupakan, sehingga secara gradual akan menghilangkan komitmen kita ( bangsa ) untuk tetap mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945251. Oleh karena kondisisi Pancasila di era pasca Reformasi seperti itu, A. Syafi`i Maarif, dalam kata pengantarnya pada buku “ Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam “ menilai bahwa di era pasca Reformasi telah terjadi rendahnya pemahaman masyarakat kita saat ini ( pasca era Reformasi ) terhadap Pancasila. Hal ini dapat dimengerti sebagai implikasi dari perselingkuhan rezim Orde Baru dengan ideologi bangsa tersebut. Pancasila di era Soeharto menjadi kuda troya politik demi kekuasaan. Dalam kondisi seperti inilah pemahaman kembali terhadap Pancasila menjadi sesuatu yang sangat urgen dan mendesak. Jika kondisi pemahaman masyarakat dan anak bangsa ke depan masih terjebak pada isu-isu politik, maka justeru akan mengantarkan negeri ini pada labirin gelap tanpa ujung, yang hanya diiringi ketakutan-ketakutan tanpa dasar. Sebenarnya, mind setnya tidak selalu harus begitu. Karena sampai kapanpun selagi Indonesia berdiri sebagai negara NKRI,

250 M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam. h. 2 -3 251 Ibid. h. 2 347 Pancasila akan tetap menjadi dasar negara, meskipun tidak selalu didengung-dengungkan pada berbagai kesempatan seperti di era Orde Baru. Hal terpenting dalam konteks ini adalah substansi dari nilai-nilai Pancasila sebagai dasar, ideologi dan filsafat kenegaraan tetap diaplikasikan pada tataran praktis, bukan sebatas dalam tataran teoritis saja. Upaya pensemaian nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 kepada setiap anak bangsa Indonesia menjadi keharusan. Malaysia, barangkali salah satu negara yang juga memiliki dasar negara yang mereka sebut Rukun Negara, terdiri dari lima Rukun, mereka tidak banyak menyebut Rukun Negara mereka dalam berbagai kesempatan, tetapi pembangunan Malaysia dalam berbagai aspek kehidupan terus berjalan.

17. Kesimpulan `Berdasarkan pembahasan tentang latar belakang dan proses pertumbuhan dan perkembangan pemikiran Pancasila hingga pengesahannya oleh PPKI, maka berikut ini disampaikan beberapa kesimpulan, antaranya sebagai berikut; 1. Rumusan Pancasila yang komprehensif, ialah rumusan Pancasila yang terdapat pada Piagam Jakarta. Piagam Jakarta sebagaiamana ditetapkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai dokumen historis yang menjiwai penyusunan UUD-1945 dan menjadi bagian dari Konstitussi tersebut. 2. Rumusan Pancasila yang diberlakukan sampai saat ini, ialah rumusan Pancasila yang sudah diamandemen, yaitu Pancasila yang disahkan oleh PPKI dan dipertegas lagi oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 3. Ideologi Pancasila di masa lalu kerap kali dijadikan alat ( dipolitisir, dimanipulasi ) oleh rezim penguasa demi mempertahankan kepentingan dan dominasi politik sesaat, sehingga ideologi Nasional terkesan kaku dan tertutup. 4. Sifat filsafat kenegaraan yang tersirat dalam Pancasila, menjadikannya ideologi yang dinamis dan fleksibel untuk membangun tatanan kehidupan bangsa Indonesia yang multi etnik dan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan politik anak bangsa. Oleh karenanya, Pancasila harus diperkuat sebagai dasar hidup dalam berbangsa dan bernegara.

348 5. Sebuah ideologi yang baik dan dapat mempertahankan eksistensinya pada zaman dan masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu, ideologi tersebut harus memiliki setidaknya tiga dimensi dasar; Dimensi realitas, Dimensi idealisme, dan Dimensi fleksibilitas. 6. Pada masa yang lalu pernah terjadi mutual misunderstanding antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi negara. Tetapi kesalah pahaman tersebut lebih banyak dilatar belakangi oleh berbagai kepentingan politik dari pada substansinya, atau lebih dikarenakan ketidak jelasan paradigma dan cara pandang. Substansi keduanya jelas berbeda, Islam adalah agama, sementara Pancasila adalah ideologi negara. Tetapi esensi ajaran Islam dan ideologi Pancasila tidak bertentangan. 7. Di era Reformasi telah terjadi rendahnya pemahaman masyarakat terhadap Pancasila. Dalam kondisi seperti ini upaya revitalisasi pemahaman Pancasila sebagai dasar negara menajadi sangat urgen dan mendesak. 8. Sejak bergulirnya era Reformasi, Pancasila tidak lagi tampil dalam berbagai wacana. Hal ini merupakan indikasi bahwa Pancasila dalam fungsinya sebagai dasar Negara telah terlupakan, sehingga hal ini secara gradual bisa mengurangi komitmen bangsa Indonesia untuk tetap menggunakan nilai-nilai yang bersumberkan Pancasila dan UUD 1945. 9. Pengembangan Pancasila sebagai ideologi Nasional harus menjadi ideologi terbuka, agar dapat tetap relevan dengan zaman dan masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu. 10. Dalam rangka efektivitas sosialisasi Pancasila sebagai ideologi negara kepada seluruh rakyat Indonesia harus bijaksana. Oleh karena itu pada sebagian masyarakat tidak harus menyebutkan kata Pancasila, tetapi cukup nilai-nilai dari ajaran ( doctrine ) Pancasila itu sendiri, karena sebagian masyarakat masih ada yang alergi ketika mendengar sebutan Pancasila. BAB II AGAMA DAN NEGARA

PRAKTEK KEHIDUPAN RAKYAT INDONESIA

349

1. Eksistensi Agama Dalam Negara Pancasila Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi payung bagi kehidupan keagamaan rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, UUD 1945, BAB XI, Pasal 29, Ayat ( 1 ) berbunyi; Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Ayat ( 2 ) berbunyi; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan Pasal 29, Ayat ( 1 ) dan ( 2 ) ini sebagai dasar pijakan bagi negara dalam membangun kehidupan umat beragama dan sekaligus merupakan pengakuan negara terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, rakyat Indonesia dijamin untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan tuntutan ajaran agama yang diyakininya benar. Sebab kebutuhan untuk beragama merupakan tuntutan terdalam dari diri manusia, maka beragama merupakan hak asasi sejak manusia mengenal Tuhannya. Oleh karena itu, siapa pun tidak ada hak untuk melarang seseorang beragama. Selanjutnya perlu diperhatikan apa yang disampaikan Moh. Hatta terkait dengan implikasi pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai berikut; a. Melahirkan keharmonian di dalam masyarakat dan lingkungan jika dihayati dan dilakukan dengan memupuk persahabatan dan persaudaaan di antara sesama masyarakat. b. Mengharuskan manusia membela kebenaran dan menentang segala tindakan dusta ( melanggar aturan ). c. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mangharuskan manusia membela keadilan dan menentang segala bentuk kezaliman. d. Mengharuskan manusia berperilaku baik, dan dengan sendirinya akan memperbaiki kesalahan. e. Mengharuskan manusia berlaku jujur, dan dengan sendirinya akan menghindari dari tindakan curang ( main curang ). f. Mengharuskan manusia berlaku suci, dan dengan sendirinya akan menentang segala kekotoran.

350 g. Mengharuskan manusia menikmati keindahan, dan dengan sendirinya akan melenyapkan segala keburukan252. Dengan begitu, menurut Moh. Hatta; sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang dapat mengarahkan cita-cita kenegaraan untuk menyelenggarakan segala sesuatu yang baik bagi kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia253, seperti yang digagas oleh Plato dan Aristoteles; en dam onia atau the good life, orang Indonesia bilang; gemah ripah loh jinawi254, maka atas dasar pemikiran ini Moh. Hatta menegaskan; politik negara mendapatkan dasar moral yang kuat. Oleh karena itu dalam tataran praktis sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak sebatas wujudnya hormat menghormati antara sesama pemeluk agama, melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dijadikan panduan yang memberikan arah ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Negara dengan demikian, menurut Moh. Hatta lagi mendapatkan fondasinya yang kuat 255 . Hal ini sesuai dengan pandangan D. Chairat yang menyatakan bahwa negara kita mempunyai dasar-dasar pertahanan yang kuat dengan komitmen dan berlandaskan Ketuhanan256. Tetapi itu semua bergantung pada political will elite negara dan perilaku para politisinya. Jika tidak, semuanya hanya sebatas gagasan-gagasan yang tidak bermakna. D. Chairat selanjutnya menyatakan; mempercayai Tuhan; Tuhan yang menjadikan langit da bumi, Tuhan yang menguasai alam semesta, maka seluruh gerak negara tetap berlindung di bawah rahmat Tuhan257. Fakta menunjukan bahwa sejak perjuangan rakyat Indonesia 17 Agustus 1945 dalam menghadapi berbagai seragan dahsyat, selamanya kata D. Chairat, kita minta perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks ini D. Chairat menyatakan bahwa kita belum dapat melupakan rangkaian sejarah pada hari Pahlawan 10 November 1945 di mana tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Indonesia untuk

252 Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( Pidato Peringatan Lahirnya Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional ) ( Jakarta: Inti Idayu Press, 1978 ), h. 29 253 Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h, 28 254 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008 ), edisi revisi, h. 13 255 Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h. 28 256 Lihat. D. Chairat, Filsafat Pancasila ( Jakarta: wijaya, 1955 ), h. 8 257 Ibid. 351 menyerah. Di saat itulah perjuangan bangsa Indonesia dikomandokan dengan kalimat “ Allahu Akbar “; Tuhan Maha Besar258. Berdasarkan kenyataan di atas dapat difahami bahwa betapa tingginya hal yang menyangkut Ketuhanan sebagai landasan moral, karena itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa diletakan pada posisi pertama 259 dalam susunan Pancasila. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muh. Yamin; Jika diartikan lebih tegas, maka ajaran Pancasila tentang sila Ketuhanan adalah semata-mata urusan negara. Para founding fathers negara Republik Indonesia sejak awal telah menyadari bahwa bangsa Indonesia sejak dahulu adalah bangsa yang religius, pemeluk agama. Sejarah membuktikan bahwa agama-agama yang masuk ke wilayah Nusantara berproses dan penuh damai, sehingga antara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda dapat hidup harmonis dan penuh toleransi260. Oleh karenanya kehidupan keagamaan yang harmonis ini harus dipelihara dari waktu ke waktu, meskipun sesekali terjadi gesekan-gesekan atau benturan-benturan antara sesama pemeluk agama yang berbeda. Hal ini bisa saja terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan ideologi, ritual ibadah, adat istiadat dan sebagainya. Namun demikian, yang penting bagaimana mengatasi persoalan-persoalan tersebut secara efektif sehingga tetap tercipta kesatuan dan persatuan Indonesia. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Indonesia tidak disebut negara teokrasi261. Hal ini seperti ditegaskan Soeharto ( Presiden RI ke 2 ); Negara kita bukanlah negara agama, bukan negara yang mendasarkan pada agama tertentu262. Karena sistem pemerintahannya didasarkan

258 Ibid. 259 Soekrno dan Muh. Yamin ketika menyampaikan gagasannya tentang dasar negara pada sidang pertama BPUPKI, Kedua-dua tokoh ini tidak meletakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada kedudukan yang pertama, tetapi hasil rumusan Panitia Sembilan meletakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada urutan pertama sampai tingkat pengesahan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945. 260 Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 261 Teokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan agama ( tertentu ) secara mutlak, di mana para tokoh agamawan mengendalikan pemerintahan sekaligus. Berdasarkan kajian sejarah, menurut A. Zaki Badawi sistem Pemerintahan Teokrasi selalunya terjadi konflik karena perbedaan kecendrungan, baik dalam aspek filsafat, demokrasi atau dalam kebijakan dan sebaganya. Lihat. A. Zaki Badawiy, A Dictionary of The Social Sciences ( Beirut: Librairie Du Liban, 1978 ), h. 424 262 Lihat Soeharto, Pandangan Presiden soeharto Tentang Pancasila, h. 27 352 pada kedaulatan rakyat, yaitu; sistem pemerintahan berparlemen. Seperti juga ditegaskan Muh. Yamin; Dalam konstitusi ditegaskan bahwa kekuasaan bersumber dari rakyat263. Meskipun Indonesia bukan negara teokrasi, tetapi Indonesia tetap memberi jamina kebebasan beragama dan beribadah kepada seluruh rakyat sesuai dengan agama yang dianut. Hal ini sebagaimana ditandaskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29, Ayat ( 2 ) berbunyi; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Umat Islam, termasuk umat agama-agama lain, dengan menjalankan ajaran-ajaran agamanya pada dasarnya telah merealisasikan nilai-nilai Pancasila pada tataran praktis.

2. Perbedaan Dalam Memahami Arti Ke-Tuhanan Dalam konteks ini Muh. Yamin menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa ialah ber-Tuhan, yaitu; Tuhan Yang Tunggal264. Berdasarkan pernyataan ini dapat dimengerti bahwa negara Indonesia didasarkan pada kepercayaan atau keimanan kepada Tuhan Yang Esa; Tuhan Yang Maha Tunggal, yaitu Allah Yang Ahad ( menurut faham Islam ). Oleh karena itu D. Chairat265 menegaskan; hanya negara Indonesia yang tegas-tegas menyebutkan di dalam Undang-Undang Dasarnya bahwa negara di dasarkan kepada Ketuhanan266. Haji Agoes Salim, seperti juga Muh. Yamin adalah para pelaku sejarah yang turut aktif membidani kemerdekaan Indonesia dan turut pula memproses pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, sungguh mereka telah memahami bahwa yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan ( Allah ) Yang Tunggal. Dalam hubungan ini Agoes Salim menegaskan; …… saya ingat betul bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan akidah, kepercayaan agama dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan

263 Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 264 Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 265 Lihat, D. Chairat, Falsafah Pancasila, h. 8 266 D. Chairat barangkali tidak mengikuti perkembangan negara lain, Malaysia antaranya yang berdasarkan lima rukun negara. Rukun pertama adalah Ketuhanan. 353 tanah air suatu hak yang diperoleh dari rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ketentuan-Nya yang dilaksanakan-Nya pada ketika masanya menurut kehendak-Nya ….. maka pastilah bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pokok yang terutama mengepalai ( menjadi permulaan ) Pancasila kita sebagai pernyataan akidah267. Apa yang tersirat dalam pemikiran Haji Agoes Salim terkait dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan sebagaimana yang difahami di dalam Akidah Tauhid, yaitu Allah Ta`ala. Sejalan dengan pandangan ini Hazairin menegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebagai terjemahan dari pengertian “ Allahu Al-Wahidu al-Ahad “ yang disalurkan Al-Qur`an, 2:173 dan dizikirkan dalam do`a Kanzu al-Arasy baris 17. Oleh itu, Hazairin dengan penuh yakin bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bukan dari pihak Nasrani atau dari Hindu atau pun dari pihak Timur Asing yang aktif mengikuti sidang-sidang yang bertugas menyusun UUD 1945. Tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa hanya mampu dilahirkan oleh otak dan kebijakan orang Indonesia Islam268. Lebih jauh Departemen Agama ( sekarang Kementrian Agama RI ) menegaskan bahwa jelas ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran Tauhid dalam teologi Islam, dan jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang kedudukannya sebagai prima causa atau sebab pertama itu sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, yaitu; ajaran tentang Tauhid al-Sifat dan Tauhid al-Af`al. Dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam Zat-Nya, Sifat-Nya dan Af`al-Nya 269 . Dalam istilah lain yang selalu dikemukakan Ibnu Taimiyah dalam berbagai karyanya ialah tauhid Uluhiyah, tauhid Rububiyah dan tauhid al-Asma wa al-Sifat 270 . Pengertian Esa dalam konteks ini ialah tunggal, tidak ada duanya.

267 Lihat, Haji Agoes Salim, Ketuhanan Yang Maha Esa ( Jakarta: Bulan Bintang, 1977 ), h. 13-14 268 Hazairin, Piagam Jakarta, Demokrasi Pancasila ( Jakarta: Tintamas, 1970 ), h. 58 269 Lihat, Department of Religious Affairs of The Republic of Indonesia, The History and The Role of The Department of Religious Affairs of The Republic of Indonesia ( Jakarta: Burean of Public Relation, Department of Religious Affairs, 1975 ), h. 11 270 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu` Fatawa Ibnu Taimiyah ( Qahirah: Idarah al-Masahah al-`Ashriyyah, 1404 H. ). Jld. 1, h. 22 354 Ke-Esaan Allah, artinya bahwa segala sesuatu yang dinisbatkan kepada-Nya adalah tunggal. Berdasarkan uraian di atas dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Yang Maha Esa. Oleh karena itu setiap warga Indonesia dan terutamanya umat Islam yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara harus benar-benar ber-Tuhan dengan dibuktikan ketaatan atas segala perintah-Nya, yang secara otomatik akan diikuti dengan ketaatan kepada Rasul-Nya ( Nabi Muhammad saw. ). Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan dibuktikan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya disebut takwa. Deskripsi tentang faham Ketuhanan di atas jelas itu berdasarkan ajaran Islam. Tetapi, ini tidak berarti bahwa faham Ketuhanan dalam Pancasila adalah satu-satunya faham yang identik dengan doktrin Islam sebagaimana difahami dalam akidah tauhid. Faham Ketuhanan yang dalam redaksinya dibuat secara umum diterima oleh umat-umat agama lain selain umat Islam 271 . Pemeluk agama-agama di Indonesia sama-sama mempercayai Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi yang berbeda adalah dari aspek pendekatan atau cara memahami Ketuhanan itu sendiri, maka subtansi pengertian Ketuhanan akan difahami berbeda sesuai dengan keyakinan dan doktrin masing-masing agama. Faham Ketuhanan dalam Kristen faham Trinitas272. Yaitu faham bahwa Tuhan itu Esa tapi memiliki tiga oknum; Tuhan Bapak ( Father ), Tuhan Anak ( Lord ) dan Roh Kudus ( The Holy Spirit ). Ketiga-tiganya adalah satu273. Begitu juga faham Ketuhanan dalam Hinduisme – Budhisme yang didasarkan pada paham Trimurti. Yaitu; faham yang mempercayai Tuhan Esa tapi beroknum tiga ( seperti faham Ketuhanan dalam Kristen

271 Agama-agama di Indonesia dan diakui eksistensinya oleh negara berdasarkan Surat Keputusan bersama Mendagri No. 477 / 740 SS4 / tanggal 18 November 1979, Surat Menteri Agama No. B-VI / 112 15 / 1978 tanggal 18 Oktober 1978 dan Surat Menteri Agama No. MA / 650 / 1979 tanggal 28 Desember 1979, adalah Agama Islam, Kristen Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. 272 Paham Ketuhanan Trinitas dalam Kristen terdapat banyak kesamaan dengan paham Ketuhanan Trinitas dalam Hinduisme – Budhisme, termasuk cerita-cerita tentang Jesus yang hampir sama dengan Krisna ( lahir 3000 th. SM. ) yang dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Lihat, O. Hashem, Pembahasan Ilmiah Tentang Ke-Esaan Tuhan, h. 17 dan 24 273 Ibid. h. 17 355 ), yaitu; Brahma, Wisnu dan Syiwa 274 . Dengan demikian, faham Ketuhanan versi agama Kristen dan Hindu-Budha adalah suatu faham yang meyakini bahwa Tuhan itu Esa, tetapi beroknum tiga. Di sinilah titik perbedaan faham dengan Islam. Walaupun itu berbeda dalam pendekatan atau cara dalam memahami tentang Ketuhanan, tetapi toleran dalam kehidupan keberagaman. Di sinilah kunci keberhasilan dalam membangun kehidupan umat beragama yang plural. Berdasarkan analisis tentang faham Ketuhanan dari beberapa agama di atas, dapat ditegaskan bahwa bangsa Indonesia dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa harus beragama, karena bangsa yang be-Tuhan pada dasarnya adalah bangsa yang religius, maka bangsa Indonesia yang beragama adalah bangsa yang taat agama. Dalam arti bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen untuk melaksanakan ajaran agama, baik perintahnya atau larangannya. Dengan demikian, bangsa Indonesia disebut bangsa yang ber-Tuhan. Jika hal ini telah terealisasi dalam tataran kehidupan praktis, berarti bangsa Indonesia sudah merealisasikan nilai-nilai ajaran Pancasila itu sendiri. Realitas bahwa bangsa Indonesia ber-Tuhan (dalam pengertian beragama ), konsekuensinya bahwa negara tidak mengakui warga yang tidak beragama. Oleh karena itu sebagian rakyat Indonesia yang menganut ideologi Komunis dan merealisasikannya dalam tataran kehidupan praktis, secara konstitusional telah melakukan tindakan yang bertentangan, dan dengan sendirinya tereliminasi dari bumi Indonesia karena pada dasarnya mereka tidak ber-Tuhan, Tuhan menurut mereka telah lama mati dan agama dianggap candu bagi rakyat.

3. Komitmen Beragama Berdampak Terciptanya Stabilitas Politik Konsep ketakwaan dalam pembahasan ini sebagai konsekuensi dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sebenarnya takwa itu sebagai perwujudan dari iman yang tertanam di dalam jiwa setiap individu. Iman merupakan aktivitas hati dan pemikiran, bersifat abstrak. Sementara takwa merupakan aktivitas anggota badan dapat dilihat oleh mata, oleh karenanya bersifat zahiriyah ( lahir ). Takwa dalam arti melaksanakan segala perintah Tuhan ( Allah ) dan meninggalkan semua yang dilarang275, maka takwa berhubung kait

274 Ibid. h. 17 275 Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur`an Al-`Azim ( T.Tmpt: T.Pnbt, 1993 / 1414 H. ), Juz 1, h. 42-43 356 dengan tindakan-tindakan lahiriah, sedangkan iman berhubung kait dengan keyakinan di dalam hati. Oleh karena itu, takwa sebagi manifestasi dari iman yang tertanam di dalam jiwa setiap individu. Dengan demikian takwa dapat dilihat, dan apa yang terlihat mengindikasikan apa yang ada di dalam jiwa. Atas dasar ini iman dan takwa tidak dapat dipisahkan dalam realitas kehidupan umat beragama. Kekuatan iman kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa akan melahirkan kekuatan internal yang dapat menghalang keinginan hawa nafsu yang membawa kehancuran dan kebinasaan 276 . Ini berarti bahwa seseorang yang memiliki keimanan yang kuat akan muncul di dalam dirinya proteksi interternal ( internal protection ), maka dari sini akan muncul sikap ikhlas dan tanggung jawab yang sebenarnya, sehingga dalam melaksanakan kerja di mana saja dan kapan saja akan didasarkan pada kesedaran dan tanggung jawab. Jika hal di lakukan secara kolektif, akan melahirkan kebersamaan. Kesatuan di kalangan umat atau bangsa akan melahirkan kesamaan pandangan, kesepakatan kata dan kebersamaan gerak. Oleh itu, keimanan dan ketakwaan dapat dilihat pada perilaku positif pada seseorang yang bersangkutan. Dengan berpegang teguh pada keimanan dan mengaplikasikan ketakwaan sebenar-benarnya akan melahirkan sikap dan perilaku saleh pada diri setiap individu dan masyarakat yang bersangkutan, maka akan lahir hal-hal yang positif, antarany; a. Setiap ucapan yang keluar dari mulut orang yang bersangkutan tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak menyakiti orang lain, tidak gemar berbohong, pendek kata tidak meucapkan ucapan-ucapan negatif. b. Sikap dan perilakunya senantiasa memperlihatkan kesederhanaan, bertimbang rasa, rela berkorban, mencerminkan keteladanan dan tindakan-tindakan lain yang baik. Ucapan dan perilaku positif sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya berhubung kait dengan interaksi dalam pergaulan hidup yang melahirkan karakter bangsa yang baik, mencerminkan seseorang yang baik. Karakter yang baik ini hanya dimungkinkan lahir dari seseorang yang berakhlak mulia, tanpa akhlak dan moral yang baik tidak mungkin akan lahir ucapan dan perilaku yang baik. Oleh karenanya, agar interaksi antara sesama masyarakat baik, maka interaksi tersebut harus

276 Muhammad Abdullah Darraz, al-Din Buhuts Mumahhidah Li Dirasat Tarikh al-Adyan ( Beirut: Dar al-Kutub, 1970 ), h. 100 357 berlandaskan akhlah atau moral yang baik, sebagaimana diatur di dalam ajaran agama, sebab pelaksanaan ajaran agama terkait dengan akhlak yang mengatur bagaimana interaksi pergaulan hidup baik, bukan saja bertujuan agar masyarakat menjadi baik secara individual, tetapi bahkan berimplikasi pada kebaikan sosial yang berujung pada terciptanya kondisi negara yang baik. Berdasarkan penjelasan di atas terkait ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat ditegaskan bahwa inti dari pengakuan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah agar dapat mencerminkan sifat bangsa Indonesia yang meyakini bahwa ada kehidupan lain di masa nanti setelah kehidupan di dunia sekarang ini, yaitu kehidupan di akhirat. Kehidupan di akhirat bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa adalah lebih baik dari pada kehidupan di dunia sekarang ini.277 Hal inilah sebenarnya yang menjadi motivasi untuk mengejar nilai-nilai luhur dengan meningkatkan aktivitas-aktivitas yang baik berdasarkan ajaran agama, maka seseorang yang bayak beramal saleh tidak saja akan mendapatkan kebahagiaan di dunia, tetapi juga dia akan mendapat kebahagiaan di akhirat nanti.

4. Kesalehan Perilaku Masyarakat Indonesia Realisasi ketakwaan kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Indonesia secara umum dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk; Pertama: Bentuk amalan yang berhubungan antara manusia ( sebagai hamba ) dengan Tuhan ( Allah ) sebagai yang disembah. Kedua: Bentuk amalan atau perilaku yang melibatkan interaksi antara sesama masyarakat. Ketiga: Bentuk amalan atau perilaku yang berhubungan antara manusia dengan lingkungan atau alam sekitar. Berikut ini penjelasan ketiga-tiga bentuk amalan tersebut; 4.1. Bentuk Amalan Yang Menghubungkan Manusia Dengan Tuhan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk ini adalah setiap amalan yang dilakukan oleh manusia ditujukan sebagai bukti penghambaan diri ( ibadah ) kepada Allah sebagai Zat yang disembah ( Al-Ma`bud ). Manifestasi ketakwaan pada komunitas-komunitas umat Islam di Indonesia yang paling utama dalam konteks ini adalah Shalat lima waktu, Puasa, Ibadah Haji. Shalat lima waktu dikerjakan secara berjemaah atau

277 Lihat Al-Qur`an: 17, 87 358 sendiri-sendiri. Pada masyarakat Islam yang komitmen kuat terhadap ajaran agamanya, seperti di Aceh, Melayu ( Riau, Jambi dan sekitarnya ), Minangkabau dan Jawa, Madura, Banjar dan masyarakat Bugis, kegiatan shalat lima waktu dikerjakan secara berjamaah, tetapi bagi penganut Islam yang pengaruh tradisinya masih dominan, kecendrungan shalat berjamaah hanya sebatas pada waktu tertentu saja, seperti waktu Maghrib, sementara waktu-waktu lain shalat berjamaah dilakukan kadang-kadang. Selain melakukan shalat fardhu ( lima waktu ) masyarakat Islam juga melaksanakan shalat sunnah, menghadiri ceramah-ceramah pengajian, baik yang diselenggarakan di Majlis Ta`lim, Masjid atau di tempat-tempat yang ditentukan, mengaji Al-Qur`an dan melaksankan zikir atau membaca bislimillah, al-hamdulillah ketika memulai dan setelah selesai kerja dan mengucapkan salam ketika berjumpa dengan sesama muslim. Kegiatan seperti ini merupakan perwujudan umat bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Puasa, Zakat da Haji adalah wujud ketakwaan yang penting 278 , dan sebagai perwujudan amal saleh, karena amalan-amalan ini tidak saja berimplikasi positif pada dirinya sendiri secara individual ( terhindar dari tindakan-tindakan buruk dan mungkar ), tetapi berimplikasi pada kesalehan hidup dalam masyarakat, baik berkaitan dengan aspek pemerataan ekonomi ( Zakat, Haji ), atau aspek ketaatan dan kesadaran untuk berbuat baik terhadap sesama umat manusia ( shalat dan Puasa ). 4.2. Manifestasi Amalan Antara Sesama Masyarakat Manifestasi ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk yang kedua ini, adalah wujudnya interaksi positif dalam kehidupan keluarga, kekerabatan dan kehidupan sosial yang lebih luas, seperti bantu membantu membuat rumah, tolong menolong dalam kebaikan, mendidik anak, menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda, bersilaturrahmi kepada saudara dan kerabat dan sebaginya. 279 Semua itu

278 Team Perangkum Badan Litbang Agama, Ketaqwaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Berbagai Sistem Sosial Budaya Masyarakat Di Indonesia ( Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Proyek Penelitian Keagamaan, 1989/1990 ), h. 13 279 Ibid. h. 14 359 merupakan manifestasi amal saleh yang diharapkan dapat tercipta kesalehan kehidupan sosial dalam berbangsa dan bernegara. 4.3. Manifestasi Amal Saleh Antara Manusia Dengan Lingkungan Manifestasi ketakwaan kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa dalam bentuk ketiga ini adalah wujudnya interaksi antara masyarakat dengan lingkungan, seperti kerjasama dalam menjaga kebersihan, kerja bakti membuat sumur, bercocok tanam ( bertani ), kerjasama membangun Mesjid, Musholla, gotong royong membuat rumah dan sebagainya.280 Ini merupakan fakta adanya interaksi sosial yang tumbuh dan berkembang sebagai bukti amal saleh yang ada pada masyarakat Indonesia dan menjadi ciri khas sejak berabad-abad yang lalu berupa tolong menolong dalam kebaikan bersama, sikap kebersamaan dan solidaritas ini berimplikasi terciptanya kehidupan yang harmonis antara sesama warga sekaligus dengan lingkngannya. Namun demikian, ketakwaan yang ada pada masyarakat bertingkat-tingkat. Tingkat ketakwaan yang tinggi ( kuat ) dan ada pula tingkat ketakwaan yang rendah. Pada masyarakat yang kuat berpegang pada ajaran agama dapat dipastikan tingkat ketakwaannya tinggi. Dalam arti komitmen dan konsistensi beramal saleh lebih banyak dilakukan sehingga menjadi adat kebiasaan dan budaya yang baik. Sebaliknya pada masyarakat yang tingkat keberagamaanya lemah, maka dapat diprediksi tingkat ketakwaannyapun lemah. Oleh karenanya dalam meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para agamawan seperti Ustaz, Kiyai, Paderi dan sebagainya memiliki peran sangat penting dalam hal ini. Para Ustaz dan Kiyai selain bertugas melayani umat Islam dalam aktivitas keagamaan, juga bertindak sebagai konsultan tentang berbagai persoalan hidup, baik yang bersangkutan dengan hal-hal individu, keluarga, maupun yang berkaitan dengan kemasyarakatan 281 . Kiyai, seperti di Jawa Pantai Utara juga menikahkan, membagikan harta warisan, memberi pengobatan, memberi nama kepada anak yang baru lahir dan memimpin hampir semua kegiatan peribadatan dan upacara adat. Dengan demikian, para pemimpin agama dalam berbagai tingkatannya adalah paling efektif dalam upaya meningkatkan aktivitas keagamaan, karena pemimpin

280 Ibid. h. 14 281 Ibid. h. 15 360 agama mempuyai kedudukan yang terhormat. Oleh karena itu, para pemimpin agama sangat mudah menggerakkan masyarakat untuk beramal atau beraktivitas. Dalam konteks kajian Pancasila, pengertian ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang difahami tidak sebatas pada pemeluk-pemeluk Islam yang sudah dapat melaksanakan perintah agama dan meninggalkan hal-hal yang dilarang agama. Tetapi faham ketakwaan ini meliputi ketakwaan seluruh agama-agama yang ada dengan melaksanakan semua perintah dan meninggalkan larangan agama masing-masing; agama Islam, Kristen Katholik, Protestan, Hindu, Budha dan lain-lain dalam berbagai sistem sosial budaya masyarakat di Indonesia berdasarkan pendekatan kebudayaan atau yang lazim disebut pendekatan antropologis282. Apa yang menarik perhatian dalam konteks ini, ialah penggunaan istilah ketakwaan untuk seluruh pemeluk-pemeluk agama; pemeluk agama Islam, Kristen, Hindu, Budha dan termasuk agama Lokal. Hal ini karena dari konsepsi dasar istilah ketakwaan berasal dari khazanah perbendaharaan Islam, dan termasuk dalam ruang lingkup akidah ( keyakinan ). Ketakwaan berasal dari kata dasar taqwa, yang artinya melaksanakan perintah-perintah Allah ( perintah agama ) dan meninggalkan tindakan-tindakan yang dilarang agama. Sementara orang-orang yang taqwa, dalam bahasa Arab disebut Muttaqin adalah predikat, sifat bagi orang-orang yang melaksanakan perintah-perintah agama Islam dan meninggalkan tindakan-tindakan yang dilarang, dan secara umum sifat-sifat orang Muttaqin sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an, surah al-Baqarah, ayat 2 – 5, yaitu; a. Yang beriman kepada yang ghaib, terutama Allah Yang Maha Esa, Malaikat, Jin, Syaitan, Syurga, Neraka, siksa kubur dan sebagainya. b. Yang mendirikan Shalat, terutama shalat-shalat fardhu. c. Yang menafkahkan ( mensedakahkan ) sebagian rizki ( harta ), terutama yang wajib kepada orang-orang yang sudah ditentukan ( delapan asnaf ), antaranya orang-orang fakir miskin dan sebagainya. d. Yang beriman kepada Kitab Suci ( al-Qur`an ) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

282 Ibid. h. 2 361 e. Yang beriman kepada Kitab-Kitab Suci yang diturunkan kepada Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw. ( antaranya Kitab Taurat, Injil dan sebagainya ), dan f. Orang yang yakin adanya hari akhirat. Dengan beberapa sifat tersebut, seorang muslim dengan sendirinya menyandang predikat Muttaqin, yaitu orang yang bertakwa. Jadi sebenarnya istilah taqwa itu hanya ada di dalam Islam dan pengertiannya pun lebih khusus sebagaimana disebutkan di atas. Maka penggunaan istilah takwa kepada pemeluk-pemeluk agama lain selain pemeluk agama Islam tidak tepat. Tetapi mungkin atas dasar pertimbangan agar tidak menyinggung perasaan pemeluk-pemeluk agama lain atau karena tidak didapati istilah lain selain istilah takwa, meskipun sebenarnya terdapat istilah lain yang lebih tepat penggunaannya sebagai sinonim istilah takwa, yaitu pengabdian ( meskipun istilah pengabdian juga berasal dari kata Arab; `abdun yang artinya hamba ), maka penggunaan istilah takwa kepada pemeluk-pemeluk agama lain nampaknya tidak menjadi keberatan bagi umat Islam.

5. Ideologi Pancasila dan Eksistensi Kehidupan Sosial Keagamaan Pancasila sebagai ideologi, karena ideologi itu sendiri merupakan rangkaian bangunan idea-idea yang tersusun rapih berdasarkan hasil kajian dan dibuktikan dalam realitas kehidupan. Dalam arti bahwa ideologi menyangkut keseluruhan prinsip atau norma yang berlaku dalam masyarakat dan meliputi berbagai aspek; sosial politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum dan sebagainya, maka ideologi sebagai acuan untuk menentukan perilaku kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah demikian, maka dengan ini dapat dikatakan Ideologi Pancasila 283 . Pancasila hasil konsensus nasional untuk menjadi ideologi dan dasar negara Republik Indonesia. Sementara agama ( agama dalam pengertian agama samawi; agama yang bersumberkan wahyu Allah, tentu saja dengan tidak menafikan keberadaan agama bumi yang bersumberkan adat istiadat dan budaya ) berasal dari Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa untuk menjadi pedoman hidup bagi umat manusia, termasuk manusia yang hidup di negara Pancasila. Pancasila ( sebagai Ideologi dan Filsafat

283 Lihat, Soerjanto Poepowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya ( Jakarta: PT. Gramedia, 1989 ), h. 17 362 Kenegaraan ) dan agama bisa selaras, jika keduanya tidak bertentangan atau tidak dicari-cari pertentangannya, seperti ditegaskan Ibnu Rushd dalam karyanya; Faslul Maqal Fiyma Bayna al-Hikmah wa al-Shariah Minal Ittishal. Oleh karena itu, Singgih ( Mantan Jaksa Agung RI ) mengesahkan bahwa setiap individu warga Indonesia wajib berpedoman Pancasila, tetapi dalam kehidupan keagamaan tentunya wajib berpedoman Kitab Suci agama masing-masing284. Oleh karena itu Indonesia bukan negara sekuler. Di negara sekuler agama terpisah dari urusan negara, negara dikondisikan tidak ikut campur dalam urusan agama. Di Indonesia, negara mempunyai peranan dalam pembangunan agama. Dengan demikian agama mempunyai kedudukan tersendiri, tetapi tidak berarti bahwa Indonesia negara teokrasi, karena Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan direpresentasikan melalui wakil-wakilnya di Parlemen ( DPR / MPR ). Kehidupan sosial keagamaan di Indonesia sudah berkembang sejak masuknya agama Hindu, Budha, kemudian diikuti agama Islam, Kristen Katholik, Protestan. Kelima-lima agama tersebut berkembang subur dan hidup berdampingan antara satu dengan yang lainnya dalam kondisi rukun dan damai, kecuali jika ada pihak-pihak yang mempolitisir agama untuk kepentingan sesaat, bisa terjadi konflik antara sesama pemeluk agama yang berbeda, seperti yang pernah terjadi di awal-awal era Reformasi di Poso, Sampit dan tempat-tempat lain. Menurut Singgih di dalam makalahya “ Pembinaan Aliran-Aliran Keagamaan Di Indonesia “ menegaskan bahwa kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesis dapat tercipta dengan baik, karena adanya budaya toleransi dalam masyarakat, antaranya sifat gotong royong dan mufakat yang kemudian dirumuskan dalam filsafat negara, yaitu Pancasila pada sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa285. Kerukunan hidup antar umat beragama merupakan fenomena yang berkelanjutan sejalan dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri286. Hidup rukun berarti adanya kondisi yang harmoni dan damai

284 Lihat Singgih, Pembinaan Aliran Keagamaan Di Indonesia ( Makalah dipresentasikan pada 18 / 12 / 1996 dalam Seminar Internasional di Hotel Kota Makasar, Sulawesi ) h. 7 285 Ibid. h. 4 286 Majlis Ulama Indonesia, Kerukunan Hidup antar Umat Beragama, ( Solo: CV Ramadhani, 1987 ), h. 7 363 antara sesama anggota masyarakat yang berbeda etnik dan agama. Ini artinya bahwa hidup rukun menghendaki adanya; a. Saling hormat menghormati, b. Menghargai sesama pemeluk agama yang berbeda, c. Adanya saling pengertian antara sesama pemeluk agama yang berbeda. Dengan demikian, hidup rukun terkait dengan sikap dan perilaku dari setiap individu pemeluk agama, dan ini tidak dapat terpisah dari etika atau moral yang erat hubungannya dengan agama yang dianut, karena agama membentuk sikap setiap penganutnya. Ini disebabkan rakyat Indonesia adalah rakyat yang religius. Tidak dapat dinafikan bahwa keberadaan agama-agama dalam kehidupan umat yang multi etnik merupakan sesuatu yang sensitif. Semua agama yang hidup dan berkembang di Indonesia secara sosiologis mengajarkan ajaran-ajaran yang baik, membimbing umatnya masing-masing agar berbudi luhur, berbakti ( beribadah kepada Tuhannya ) berdasarkan pemahaman agama masing-masing, serta mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menyayangi sesama umat manusia tanpa membedakan antara satu dari lainnya. Walaupun demikian, kehidupan sosial keagamaan harus mendapatkan perhatian dari waktu ke waktu, karena hubungan setiap individu pemeluk agama dengan agama yang dipeluknya merupakan hubungan atas dasar keyakinan dan emosional, lebih-lebih jika fenomena keagamaan didasarkan pada fanatisme agama. Kondisi ini sangat sensitive bila dihubungkan dengan persoalan interaksi antar umat beragama yang berbeda, bisa dimungkinkan memunculkan konflik dan perpecahan antara sesama pemeluk agama yang berbeda jika salah satu pihak dari penganut agama lain menganggap pihak tertentu melakuklan penghinaan atau pelecehan terhadap agama yang dipeluknya. Oleh karena itu ajaran agama-agama, terutama agama Islam yang dilaksanakan dengan benar ( dalam konteks negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila ) akan berperan sebagai daya perekat bagi bangsa Indonesia yang plural, sama-sama membangun bangsa dan negara yang lebih baik ke depan. Tetapi jika ajaran agama dilaksanakan tidak benar, lebih-lebih jika didasarkan pada sikap saling mencurigai, akan memunculkan gesekan-gesekan yang bisa mengancam keutuhan bangsa287.

287 Ibid. h. 5 364 Fenomena kehidupan sosial keagamaan masyarakat Indonesia, baik dahulu ataupun sekarang akan menunjukkan adanya realitas bahwa agama memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pembentukan karakter dan kehidupan umat manusia. Agama menjadi motivasi atas lahirnya berbagai pergerakan menentang penjajah, tidak sedikit tokoh-tokoh nasional seperti Dipenegoro, Imam Bonjol, Ki Ageng Tirtayasa dan sebagainya, umur mereka dihabiskan demi mempertahankan kedaulatan rakyat dan bangsa. Demikian juga dengan berdirinya Organisasi-organisasi Islam, seperti Syarekat Islam ( SI ), Syarekat Dagang Islam ( SDI ), , ( NU ), Majlis Islam A`la Indonesia ( MIAI ), Majlis Syuro Muslimin Indonesia ( Masyumi ), dan sebagainya. Para tokoh tersebut dan organisasi-organisasi Islam ini memiliki pengaruh besar dalam peta perpolitikan di Indonesia, semua aktifitasnya didorong oleh ajaran agama, baik dalam rangka membebaskan diri dari keterpurukan, kezaliman, eksploitasi, ketertindasan dan sebagainya. Sepanjang kehidupan umat manusia, baik dahulu ataupun sekarang, agama dipandang sebagai sesuatu yang sensitif. Hal ini dikarenakan agama terkait dengan eksistensi manusia, bahkan agama dipandang sebagai bagian terdalam dalam diri manusia. Oleh karenanya di Indonesia agama merupakan bagian dari masalah-masalah SARA ( Suku, Agama dan Ras ) dan hubungan antar golongan 288 . Dengan demikian, masalah SARA merupakan masalah sensitif dan tidak bisa dianggap ringan, maka umat beragama semuanya dituntut untuk mencari solusi dalam setiap masalah yang muncul. Jika gagal menangani masalah, tentu umat beragama akan dihadapkan pada ledakan-ledakan sosial yang bisa mengganggu keharmonian kehidupan, dan bahkan akan mengganggu kestabilan politik Nasional. Masalah ini bisa jadi dieksploitasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Ledakan dan goncangan yang diakibatkan masalah-masalah SARA seringkali terjadi dalam situasi suhu politik memanas. Kondisi akan bertambah parah jika gagal menangani masalah-masalah tersebut. Kondisi seperti ini dapat dirasakan ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi sekitar tahun 1997–an dan berimplikasi terjadinya krisis kepimpinan, sosial dan agama, mengakibatkan terjadinya demonstrasi besar-besaran di

288 Lihat Martin Sardy ( Pnyt. ), Agama Multi Dimensional ( Bandung: Alumni, 1987 ), h. 23 - 24 365 mana-mana, tidak luput tejadinya konflik antar umat beragama di beberapa tempat, seperti di Ambon Maluku, Lombok, Sampit di Kalimantan dan sebagainya. Berdasarkan pandangan beberapa kalangan bahwa masalah agama sebenarnya dieksploitasi untuk memperparah keadaan oleh pihak-pihak yang merasa kecewa terhadap kebijakan politik saat itu dengan motif-motif tertentu. Beragama merupakan fitrah bagi setiap manusia hidup di atas bumi ini, kecuali di beberapa belahan bumi yang memaksakan penduduknya untuk tidak beragama atau melepaskan agama dari kehidupan publik, maka menjadi keharusan untuk mewujudkan kondisi yang rukun, tenteram dan damai, agar dapat membangun masa depannya lebih baik, karena itu menjadi kewajiban bagi semua pihak, baik pemerintah atau rakyat untuk mengumandangkan seruan-seruan hidup rukun di kalangan umat beragama. Tanpa kerukunan hidup, stabilitas politik akan terganggu, maka kerukunan hidup menjadi prasyarat bagi keberhasilan pencapaian pembangunan, karena bagaimana mungkin pembangnan dapat berjalan dengan efektif kalau negara selalu diganggu oleh ledakan-ledakan konflik antar sesama umat beragama. Berdasarkan paparan di atas, Pemerintah Indonesia sejak era Orde Baru sebenarnya sudah melakukan berbagai langkah setrategis dalam mewujudkan kondisi hidup rukun, harmoni dan tenteram. Berbagai pendekatan dan upaya telah dilakukan; dialog, musyawarah, seminar dan sebagainya289. Hal ini harus dipastikan dari waktu ke waktu agar efektifitas upaya-upaya tersebut benar-benar melahirkan hasil maksimal. Dari sini muncul pemikiran tentang pembinaan kerukunan hidup antar umat beragama, yaitu; upaya yang dilaksanakan secara sadar, terencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesatuan dan solidaritas antar umat beragama290. Oleh karena itu pembinanaan kerukunan hidup antar umat beragama harus selalu dievaluasi dari waktu ke waktu. Kerukunan secara umum dapat diartikan sebagai kondisi hidup dan kehidupan yang damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai

289 Martin Sardy ( penyt. ), Agama Multidimensional. h. 24 290 Lihat Majlis Ulama Indonesia, Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama. h. 7 366 dengan tuntutan ajaran agama dan kepribadian Pancasila 291. Hidup beragama adalah pengamalan ajaran agama sebagai bukti ketaatan kepada Allah ( Tuhan ) dalam kehidupan umat manusia yang menjadikannya saleh dalam perilaku dan perangai. Oleh karena itukesalehan manusia adalah sebagai implikasi dari pengamalan ajaran agama baik sebagai unsur individu ataupun sebagai unsur sosial. Pengamalan tersebut secara riil tercermin baik secara pribadi di dalam golongan maupun antar golongan di tengah-tengah masyarakat 292 . Dengan demikian kerukunan hidup umat beragama dapat diartikan sebagai kondisi hidup dan kehidupan yang harmonis. Kerukunan hidup akan mudah diwujudkan apabila ada persamaan dan kesamaan latar belakang sejarah, penderitaan, cita-cita dan keserasian dalam banyak hal293, maka agar kerukunan hidup umat beragama dapat direalisasikan dengan baik dan efektif sesuai dengan semangat kebersamaan, perlu diperhatikan beberapa langkah strategis sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

6. Kerukunan Umat Beragama Berdampak Positif Terhadap Stabilitas Politik Terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama akan berdampak positif pada penguatan kehidupan sosial politik. Oleh karena itu, pembinaan kehidupan umat beragama harus berdasarkan perencanaan dan langkah-langkah strstegis, agar pembinaan tersebut mencapai sasaran yang dikehendaki. Dalam konteks negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pembinaan kehidupan umat beragama diarahkan untuk mencapai sasaran tercapainya; a. Kerukunan antara sesama pemeluk seagama, b. Kerukunan antara pemeluk berlainan agama, c. Kerukunan umat beragama dengan Pemerintah294.

291 Departemen Agama RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia ( Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997 ), h. 20 292 Ibid. 293 Ibid. 294 Lihat Singgih, Pembinaan Aliran Keagamaan di Indonesia. h. 7. Lihat juga Departemen Agama, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat beragama Di Indonesia ( Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997 ), h. 10 dan 40 367 Berdasarkan fenomena yang ada pada masyarakat Indonesia sesungguhnya telah tertanam nilai-nilai positif, seperti sikap hormat menghormati dan saling bantu menbantu ntara sesama pemeluk-pemeluk agama yang berbeda sehingga dapat dibina kerukunan hidup yang baik dan maksimal. Faktanya Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara ideologis dan konstitusional telah berhasil mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana tercermin dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika, yang kemudian dikonsepsikan dalam paham NKRI, walaupun sesekali terjadi gesekan antar umat beragma, tetapi secara umum dapat dikatakan situasi relatif terkendali. Pada saat menjabat Menteri Agama, beliau telah memprakarsai dialog antara umat beragama, melibatkan para tokoh umat berbagai agama. Rencana tersebut mendapatkan respon positif dari berbagai kalangan. Melalui dialog antar umat beragama menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang disetujui, yaitu; kerukunan antara umat beragama dapat dibina, kerjasama yang baik dapat diwujudkan melalui sikap saling pengertian dan toleransi, kecurigaan sesama umat dapat dihilangkan dan sebagainya295. Pada tahun 1960 –an peta pluralitas di Indonesia sangat kritis akibat dari banyaknya pergolakan dan konflik296. Pergolakan ini dapat dirasakan ketika banyaknya terjadi aksi yang melemahkan rasa persatuan, misalnya munculnya sikap saling menghina, penyebaran slogan, mendatangi rumah-rumah orang yang sudah beragama Islam untuk tujuan missionari, penyebaran fitnah, pengrusakan rumah ibadah dan sebaginya. Melihat kondisi yang mengancam persatuan umat dan kestbilan politik negara, Pemerintah waktu itu berinisiatif untuk mengadakan pertemuan antara umat beragama. Hasil dari pertemuan itu lahirnya langkah positif didirikannya Wadah Musyawarah Antara Umat Beragama oleh H. Alamsyah Ratu Perwiranegara ( Menteri Agama ) pada 30 Juni 1980 di Jakarta. Tujuan pembentukan Wadah ini sebagai tempat; a. Mengkomunikasikan masalah-masalah agama, b. Menciptakan komunikasi yang baik antara umat beragama

295 Lihat, Martin Sardy ( pnyt.), Agama Multidimensional. h. 46 -47 296 Ibid. h. 43 368 c. Melahirkan hubungan antara umat beragama dengan Pemerintah, dan sebagainya297. Ketiga-tiga tujuan pembentukan wadah tersebut secara umum telah terlaksana walaupun belum maksimal. Langkah selanjutnya dalam rangka pembinaan kerukunan umat beragama, ialah sebagimana ditegaskan Majlis Ulama Indonesia sebagai berikut; a. Menanamkan arti pentingnya kehidupan bermasyarakat yang mampu mendukung tercapainya kerukunan hidup antar umat beragama, b. Melahirkan lingkungan yang dapat mendorong sikap dan perilaku yang mengarah pada tercapainya kerukunan hidup umat beragama, c. Menumbuh kembangkan sikap dan perilaku yang dapat melahirkan kerukunan hidup beragma298. Langkah-lankah strategis sebagaimana dijelaskan di atas, sangat penting dalam upaya menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama yang berbeda dan yang paling penting bukan sebatas retorika dalam ucapan, tetapi lebih dari itu harus diikuti dengan tindakan-tindakan riil. Selain langkah-langkah tersebut di atas, barangkali ada baiknya diperhatikan nasehat-nasehat Soeharto ( Mantan Presiden RI-2 ) yang secara objektif ilmiah masih relevan dengan konteks kekinian, sebagai berikut299; a. Tidak menimbulkan kecurigaan dan kecemasan. Dalam konteks ini Soeharto ketika memberikan sambutannya pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. di Istana Negara pada 8 Februari 1979, menyatakan; saya berharap agar upaya mengembangkan dan meningkatkan kehidupan umat beragama, masing-masing golongan agama dapat mengendalikan diri dari tindakan-tindakan yang menimbulkan kecurigaan dan kecemasan kepada yang lain. Tetapi sebaliknya agar dapat menempatkan kepentingan golongan di bawah kepentigan yang lebih besar demi kepentingan bangsa dan negara, kepentingan rakyat, juga untuk kepentingan bangsa seluruhnya.

297 Ibid. h. 39 298 Majlis Ulama Indonesia, Kerukunan Hidup antar Umat Beragama. h. 7 299 Lihat, Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila ( Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS, 1976 ), h. 32-33 369 b. Menghindari perbuatan yang menyinggung perasaan Dalam konteks ini Soeharto menyatakan bahwa di dalam mengembangkan agama, melaksanakan ibadah adalah untuk berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa ( Allah ) dan untuk amal perbuatan yang baik kepada sesama umat, bukan untuk memperlihatkan kekuatan, bukan untuk memperlihatkan kekayaan. Oleh itu, di dalam upaya mengembangkan agama harus menghindari tindakan yang dapat menyinggung perasaan orang yang kebetulan beragama lain, bukan karena tidak suka kepada agama yang berkenaan, tetapi karena adanya perbedaan yang mencolok dalam nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. c. Pengembangan agama tidak menggunakan cara-cara paksaan Dalam konteks ini Soeharto ketika menyampaikan sambutannya pada acara peringatan Nuzulul Qur`an tanggal 19 Desember 1967 di Jakarta, menegaskan bahwa; penyebaran dan pengembangan agama tidak harus disertai dengan cara-cara paksaan dalam bentuk apa pun, baik paksaan dengan intimidasi fisik, paksaan karena mayoritas, paksaan dengan kekuatan material, dan sebagainya. Dengan demikian, penyebaran dan pengembangan agama tidak semata-mata untuk memperluas atau menambah penganut agama, tetapi yang lebih penting adalah untuk meningkatkan kualitas keyakinan pemeluk agama dan membimbingnya dengan tepat agar setiap pemeluk agama melaksanakan ajaran agama dengan tepat dan benar, beramal dan bekerja demi kesejahteraan umat sesuai dengan perintah agama, sehingga pola-pola penyebaran agama dan melaksanakan ibadah agama tidak menyinggung perasaan pemeluk agama lain, tidak mengganggu ketenteraman orang banyak dan tidak melanggar hukum. d. Tidak mempertajam perbedaan agama Kehidupan beragama dalam masyarakat dan bangsa yang berbeda eknik dan agama adalah masalah sensitif. Oleh karena itu, ini harus menjadi perhatian bersama dan menyampaikan peringatan jika terjadi goncangan akibat tindakan sebgian pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti menghina atau

370 menganggap kecil agama lain, mempertajam perbedaan agama dan sebagainya. Berdasarkan penjelasan di atas terkait langkah-langkah strategis dalam rangka terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama, maka dapat ditegaskan bahwa upaya dan langkah itu pada dasarnya untuk terciptanya sebuah persatuan umat beragama, sehingga dengan sendirinya tercipta kehidupan yang harmonis. Namun demikian, kerukunan dan persatuan tidak akan wujud selama tidak ada saling pengertian dan toleransi di antara sesama umat beragama. Oleh karena itu, sikap saling pengertian dan toleransi harus diperkuat dikalangan umat beragama yang berbeda. Toleransi umat beragama dalam perngertian, bahwa toleransi itu tidak berarti ajaran agama masig-masing menjadi campur aduk seperti adonan tepung atau dalam pengertian lain sinkretis, toleransi hidup antar umat beragama bukan suatu bentuk campur aduk, melainkan wujudnya saling harga menghargai dan terciptanya kebebasan bagi setiap warga untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing. Sikap bermusuhan, sikap prasangka buruk terhadap pemeluk agama lain harus dihindari. Bangsa Indonesia sesungguhnya sudah tertanam tradisi yang baik tentang toleransi dan kerukunan hidup. Tradisi inilah antara lain yang menguatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dan sebaliknya, dengan Pancasila itu harus dikembangkan sikap toleransi. Terciptanya kebersamaan dan kesatuan umat beragama menjadi pilar atau landasan bagi terciptaya stabilitas politik nasional.

7. Kesimpulan Dari pembahasan tentang sila pertama Pancasila, yaitu; Ketuhanan Yang Maha Esa. Berikut ini disampaikan beberapa kesimpulan, antaranya sebagai berikut; 1. Kepercayaan ( beriman ) kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai wujud religiusitas bangsa Indonesia. 2. Tuhan Yang Maha Esa difahami oleh umat Islam adalah Allah swt. 3. Ketakwaan kepada Tuhan ( Allah ) Yang Maha Esa sebagai manifestasi dari iman yang tertanam di dalam jiwa setiap individu bangsa Indonesia ( terutama yang beragama Islam ) dan

371 sebagai perwujudan dari kepribadian bangsa yang komitmen pada ajaran agama. 4. Saling pengertian dan toleransi antara sesama umat beragama sebagai implikasi dari ketakwaan adalah landasan penting untuk terciptanya persatuan bangsa Indonesia. 5. Terciptanya kerukunan antar umat beragama adalah salah satu faktor penting bagi terciptanya stabilitas politik nasional.

BAB III

MEMBANGUN MANUSIA

BERADAB DAN BERMARTABAT

372

1. Manusia Dan Cita-Cita Hidup Pembahasan tentang hakikat manusia sudah banyak dibicarakan oleh para Filosof, baik di Barat ataupun di Timur. Ibnu Khaldun ( 1332 – 1406 M. ) salah seorang filosof yang lahir di dunia Islam ( Timur ) di dalam karyanya “ Mukaddimah “ menyampaikan pandangannya tentang hakikat manusia, bahwa manusia adalah makhluk Allah yang berbeda dari makhluk-makhluk lain dengan kesanggupannya berfikir, menjadi sumber dari segala kesempurnaan dan puncak dari segala kemuliaan dan ketinggian dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain 300 . Kesanggupan manusia berfikir menjadikan manusia berbeda dari makhluk-makhluk lain. Dengan akal dan pemikiran yang diwarnai iman dan taqwa manusia bisa melampaui derajat Malaikat seperti para Nabi dan Rasul Allah, tetapi juga manusia bisa derajatnya turun lebih rendah dari haiwan jika manusia tidak menggunakan akal dan pemikirannya sesuai dengan petunjuk wahyu Allah seperti Qarun ( hidup di zaman Nabi Musa ) dll. Kesanggupan manusia berfikir, termasuk berfikir mendalam merumuskan dasar negara Republik Indonesia ( Pancasila ). Pemikiran tentang manusia dan kemanusiaan sebagaimana dikonsepsikan di dalam ideologi negara; Pancasila adalah merupakan realitas tinjauan hidup ( wold view ) sangatlah penting artinya, karena keberhasilan implementasi ideologi Pancasila sebagai dasar negara bergantung sepenuhnya kepada manusia-manusia Indonesia itu sendiri301. Oleh karena itu, diskursus tentang kemanusiaan dalam konteks ini lebih banyak akan difokuskan pada sikap dan karakteristik serta keberadaan manusia Indonesia sebagai masyarakat yang melibatkan diri dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial politik, ekonomi, pendidikan, keagamaan dan sebagainya. Pertama sekali yang

300 Lihat, Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terj. An Arab Philosophy of History, Oleh A. Mukti Ali, ( Jakarta: Tintamas, 1976 ), h. 228 - 229 301 Lihat, Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1954 ), h. 110 373 perlu ditegaskan di sini adalah bahwa manusia Indonesia ( dan bahkan manusia di mana pun berada di dunia ini ) adalah makhluk Allah302. Di dalam al-Qur`an terdapat banyak ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia itu makhluk Allah303. Pernyataan bahwa manusia makhluk Allah mengandung pengakuan terhadap adanya Al-Khaliq ( Pencipta ) dan Al-Ma`bud (yang disembah ). Pengakuan ini dalam tradisi kalangan umat Islam ialah iman kepada-Nya. Iman atau beriman kepada Pencipta ini bukan hanya sekedar diucapkan di dalam lisan, tetapi harus direalisasikan dalam amalan real sesuai dengan tuntutan ajaran agama. Dengan demikian, realisasi dalam bentuk pengamalan ini adalah tuntutan dari iman itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moh. Hatta bahwa dasar kemanusiaan yang adil dan beradab itu sebagai pengrealisasian dengan perbuatan secara nyata dalam praktek hidup dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa304. Di dalam melaksanakan berbagai aktivitas hidup, manusia memerlukan kondisi yang kondusif, antaranya kebebasan dan kemerdekaan, yang dapat mendukung tercapainya tujuan. Dalam konteks ini Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan; bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, karena jika tidak ada kemerdekaan bagaimana mungkin dapat melahirkan aktivitas-aktivitas untuk tercapainya tujuan yang dicita-citakan, oleh karenanya kemerdekaan di dalam UUD 1945 ditegaskan sebagai hak setiap orang. Kemerdekaan dalam arti bebas dari setiap belenggu, tekanan dan intimidasi oleh siapa pun dan dari mana pun. Bangsa yang berada dalam kondisi tidak bebas, apalagi terjajah, tidak dapat membangun masa depannya dengan baik. Oleh karena itu, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya menegaskan; maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan

302 Ibid. h. 111 303 Lihat, Al-Qur`an: 96, 1 - 2 304 Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( Pidato tentang lahirnya Pancasila 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional ), ( Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1978 ), h. 30 374 perikemanusiaan dan perikeadilan. Kemerdekaan dan kebebasan bangsa Indonesia seluruhnya di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi landasan untuk membentuk pemerintahan yang akan melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial305. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kemerdekaan ( kebebasan ) bukanlah tujuan akhir dari sebuah perjuangan, melainkan sarana atau wasilah untuk terciptanya tujuan. Bangsa Indonesia sebelum merdeka tidak dapat melahirkan beragai aktivitas sesuai dengan kehendaknya, sehingga tidak dapat mewujudkan cita-citanya. Tetapi setelah mencapai kemerdekaan dari penjajah, bangsa Indonesia baru dapat merealisasikan cita-cita dan tujuan. Dengan tujuan ini, dapat dilahirkan berbagai program dan upaya sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki berdasarkan acuan sendiri.306 Tujuan yang hendak digapai oleh bangsa Indonesia semenjak memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajah ialah sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: . . . . . melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan hidup yang hendak diraih oleh bangsa Indonesia itu kemudian akan memperoleh penguatannya jika manusia-manusianya kebetulan beragama Islam ( Musilm ), maka tujuan hidupnya di samping sebagimana yang telah termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu sekaligus memperoleh ridho Allah aerta menjadi

305 Lihat, Teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 306 Lihat, Paulus Wahana, Filsafat Pancasila ( Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 51 375 manusia-manusia Muslim yang baik dan taat, yang membawa rahmat ( kedamaian dan kesejahteraan ) bagi segenap alam307. Secara rinci, Nainggolan menyebut dua tujuan hidup; Pertama, tujuan hidup Vertikal, dan Kedua, tujuan hidup Horizontal. Tujuan hidup Vertikal ialah sasaran yang akan dicapai dalam hubungan antara seorang Muslim dengan Tuhannya melalui berbagai bentuk amalan dan ibadah yang dilakukan adalah untuk memperoleh keridhoan Allah. Dalam artian, setiap perilaku seorang Muslim, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan diridhoi Allah. Sementara tujuan hidup Horizontal ialah sasaran yang akan dicapai dalam interaksi anatara sesama Muslim, dan antara seorang Muslim dengan Non Muslim, antara seorang Muslim dengan keluarganya, dan bahkan berinteraksi dengan alam sekitar; flora, fauna, benda-benda alam dan makhluk-makhluk lain adalah mewujudkan rahmat bagi segenap alam308. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa perilaku setiap orang Muslim harus baik dalam ucapan dan perbuatan, dan bahkan semua aktivitasnya mendatangkan rahmat, manfaat, faidah dan keuntungan kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, agama, dan termasuk dapat memberikan kontribusinya untuk kemajuan bangsa dan negara.

2. Bangsa Beradab dan Bermartabat Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana dikonsepsikan di dalam sila ke dua dari Pancasila adalah sebagai prinsip yang ingin memposisikan manusia ( bangsa ) Indonesia pada posisi yang tinggi sesuai dengan darjatnya sebagai makhluk Tuhan ( Allah ), sehingga menjadi bangsa yang bermartabat dan memiliki harga diri yang dihormati bangsa lain. Manusia Indonesia sebagai manusia hidup dan beraktivitas harus difahami dari beberapa aspek, antaranya;

307 Z. S. Nainggolan, Pandangan Cendikiawan Muslim Terhadap P-4 (Jakarta: Gema Isra Utama, 1990 ), h. 12 - 17 308 Ibid. h. 13 376 1. Aspek status. Artinya manusia Indonesia secara geopolitik harus dipersepsikan secara integral. Dengan begitu dapat dihindari kekhawatiran munculnya fragmentasi dan upaya-upaya sparatis, sehingga keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara dapat dipertahankan dari waktu ke waktu. 2. Asper martabat. Artinya manusia Indonesia harus diposisikan sebagai subjek yang aktif, maka prinsip-prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan manusia Indonesia harus dijungjung tinggi, sehingga menjadi manusia-manusia yang terhormat dan dihargai, baik dalam pergaulan di tingkat regional, nasional atau pergaulan dalam sekala Internasional. Oleh karenanya prinsip-prinsip kemanusiaan manusia Indonesia tidak dapat dikorbankan hanya untuk mencapai tujuan yang tidak memberi manfaat banyak kepada manusia Indonesia secara keseluruhan, dalam arti yang tidak memihak pada kepentingan rakyat banyak. 3. Aspek kebersamaan dalam perbedaan. Manusia Indonesia sebagimana bangsa-bangsa lain di dunia, terutama di beberapa kawasan Asia Tenggara adalah individu-individu yang terhimpun dari etnik, komunitas, bangsa yang berbeda-beda tapi dalam satu kordinasi ke arah kesatuan gerak dan langkah dalam membangun masa depannya yang lebih baik, maka dalam konteks ini saling pengertian ( understanding ) antara sesama etnik, komunitas dan bangsa harus terus dibina dari waktu ke waktu dalam rangka terciptanya solidaritas nasional sepanjang tidak mengganggu prinsip-prinsip dasar keyakinan masing-masing. Oleh karena itu sikap egoistik dan sikap tidak peduli terhadap sesama etnik dan komunitas harus dihindari, karena sikap egoistik cenderung memunculkan tindakan eksploitatif, maka gagasan multi kulturalime dalam membangun Indonesia ke depan yang pluralistik harus didukung. 4. Aspek dinamisasi. 377 Manusia Indonesia sebagaimana manusia-manusia lain di dunia adalah manusia-manusia yang terus menerus berproses dari satu tahap ke tahap berikutnya, maka manusia Indonesia-pun adalah manusia-manusia yang memiliki inisiatif, innovatif dan berwawasan ke depan sesuai dengan perjalanan hidup dari satu titik ke titik yang lain309. Jika aspek-aspek tersebut di atas difahami dan dihayati dengan baik, maka kita harus bisa memposisikan manusia Indonesia sebagai manusia yang memiliki harga diri dan martabat. Namun dari aspek lain bangsa yang bermartabat dan memiliki harga diri di mata bangsa lain berdasarkan ukuran dan fakta di era global seperti sekarang ini dapat diwujudkan jika rakyat Indonesia sudah bisa menciptakan kesejahteraan yang adil dan merata. Tetapi malangnya negara kita di mata bangsa lain dalam beberapa dekade terakhir tidak memiliki martabat dan harga diri. Sebagai bukti dari realitas ini ialah banyaknya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) di beberapa negara di luar negeri, antaranya di Malaysia, Singapore, Korea, Hongkong, Arab Saudi, Kuweit dan sebagainya 310. Tidak sedikit dari para TKI yang dideportasi ke Tanah Air akibat berbagai masalah, baik karena perilaku para majikan yang tidak bermoral atau karena skill yang tidak dimiliki para TKI atau karena komunikasi yang tidak nyambung. Tidak adanya martabat dan harga diri bangsa kita di mata bangsa lain adalah sebagai akibat dari beberapa faktor, antaranya sebagai berikut; 1. Penegakkan hukum ( supremasi hukum ) yang kontra produktif. Lebih parah lagi hukum terkesan dimanipulasi atau dipermainkan dengan kekuatan uang, maka dampaknya hukum sedikitpun tidak memberikan rasa jera kepada para pelaku kejahatan. 2. Korupsi yang semakin merajalela. Berbagai pendekatan dalam rangka pemberantasan korupsi telah dilakukan antaranya melalui

309 Band. Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya ( Jakarta: PT. Gramedia, 1989 ), h. 156 310 .Beberapa istilah yang bernada hinaan muncul, misalnya di Malaysia “ Indon “, di Arab Saudi “ Indonesia Bagor “ ( orang Indonesia sapi, tidak memiliki otak atau mukh ). 378 KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ). Tetapi semua upaya sepertinya tidak membawa hasil menggembirakan. Korupsi tetap saja berjalan terus dari waktu ke waktu semakin menjadi-jadi, seolah-olah tidak ada henti-hentinya, bahkan menurut Abraham Samad Ketua KPK tahun 2011 - 2015 bahwa tindak kejahatan korupsi telah mengalami regenerasi. Oleh karenanya efektivitas pemberantasan korupsi harus dipertanyakan. 3. Kebijakan Pemerintah yang tidak tepat terkait dengan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) ke beberapa negara luar negeri, antaranya Malaysia, Hongkong, Arab Saudi, Kuweit dan beberapa negara lain. Pengiriman para TKI yang tidak melalui seleksi ketat, sehingga para TKI dikirim tidak memiliki skill dan standar profesional, karena pada umumnya mereka dari kalangan orang-orang yang tidak edukated ( tidak berpendidikan ) sehingga kemudian banyak menimbulkan masalah. 4. Masalah kesejahteraan sampai hari ini masih belum bisa direalisasikan secara merata, sepertinya kesejahteraan masih jauh ibarat panggang jauh dari api, rakyat pada tataran bawah masih harus bermimpi dan bermimpi. Hal ini menyebabkan prosentase angka kemiskinan masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Akibat dari beberapa faktor tersebut menyebabkan bangsa Indonesia tidak memiliki martabat dan harga diri di mata bangsa lain. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan mrtabat dan harga diri bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia harus menyelesaikan masalah-masalah di atas. Dalam pandangan yang berdasarkan ajaran Islam, ada prinsip persamaan ( al-musawa, equality ). Islam mengajarkan prinsip ini karena manusia seluruhnya dari aspek kedudukannya sama sebagai makhluk Allah yang menjadi khalifah ( pengganti dan penerus ) di atas muka bumi ini untuk memelihara keseimbangan hidup dan memakmurkan bumi dengan kebaikan, bukan dengan kerusakan. Prinsip ini didasarkan pada ajaran bahwa manusia seluruhnya di hadapan Allah tidak ada beda, meskipun dari aspek zahir manusia terdapat perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan dalam kemampuan, keturunan, warna kulit, status sosial, prestasi, harta kekayaan yang dimiliki, dan sebagainya. Tetapi perbedaan-perbedaan itu tidak dijadikan ukuran untuk menentukan tinggi rendahnya darjat dan

379 martabat seseorang. Semua itu di sisi Allah tidak menjadikan manusia berbeda dari manusia lain, karena perbedaan-perbedaan itu bersifat insidental ( incidental ) atau kebetulan 311 . Ketakwaanlah yang menjadikan manusia berbeda dari manusia yang lain, maka bagi Allah manusia itu hanya beda dari segi takwanya. Orang yang paling bertakwa adalah orang yang paling mulia di sisi Allah312. Dia-lah yang memiliki darjat dan harga diri di sisi Allah.

Menurut Abdullati; Keistimewaan persamaan tersebut bukan suatu hak konstitusional atau atas kesepakatan-kesepakatan bersama. Tetapi persamaan ini sebagai bagian dari iman yang dihayati dengan serius oleh umat Islam313. Menurutnya lagi, konsep persamaan dalam Islam sangat mendasar. Hal ini didasarkan pada beberapa prinsip asas, antaranya; 1. Seluruh manusia adalah ciptan Allah. 2. Seluruh manusia terdiri dari komunitas, dan semuanya sama dalam satu keturunan, yaitu dari Adam dan Hawa. 3. Allah sangat adil dan sangat sayang kepada seluruh makhluk-Nya 4. Seluruh manusia dilahirkan ke dunia dalam kondisi yang sama, tidak membawa apa-apa, andaikan dia mati, dia tidak membawa apa-apa pun ke alam kubur selain amalan-amalannya, baik yang saleh atau yang buruk. 5. Allah memberi ganjaran kepada seseorang sesuai dengan amalannya. 6. Allah memberi anugerah yang tinggi kepada manusia dengan kehormatan dan kemuliaan. Berdasarkan uraian di atas dapat ditegaskan bahwa hanya dengan ketakwaan kepada Allah sajalah satu-satunya dasar untuk menentukan tinggi rendahnya darjat seseorang muslim di hadapan Allah. Apa yang

311 Lihat, Hammudah Abdulati, Islam Satu Kepastian, terj, Ta`rifun Bil Islam, ( Kuweit: International Islamic Federation of Student Organisation, 1986 ), h. 75 312 Dalam konteks ini al-Qur`an, 49:13 menegaskan yang artinya; Hai manusia sesungguhnya kami menjadikan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan berkelompok-kelompok agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. 313 Hammudah Abdullati, Islam Satu Kepastian. h. 75 380 akan ditegaskan dalam konteks ini, ialah betapa mendasarnya konsep persamaan di dalam ajaran Islam, oleh karenanya apabila konsep ini dapat direalisasikan sepenuhnya dalam realitas kehidupan umat manusia ( manusia Indonesia ), maka tidak akan ada ruang munculnya ketidak adilan ( kezaliman ) dan kekacauan, tidak akan ada perlakuan intimidasi atau tekan menekan dari manusia kepada sesama manusia lain. Konsep ini jika mewarnai kehidupan masyarakat akan lahir kondisi kehidupan yang tentram, damai dan mulia, tidak akan ada sikap curiga mencurigai, perlakuan eksploitasi terhadap orang lain, penipuan, pendustaan, pencurian, perampokan, korupsi, kolusi, nepotisme dan tindakan-tindakan lain yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Secara otomatik akan muncul di tengah masyarakat sikap-sikap positif antaranya; kejujuran, amanah, saling mempercayai antara satu dengan yang lainnya, maka dengan sendirinya semua rakyat akan menikmati hasil pembangunan dalam keadaan damai, tentram, dan sejahtera lahir batin. Dengan sikap-sikap positif ini akan tercapai tujuan yang ingin digapai, yaitu wujudnya bangsa yang memiliki harga diri, bermartabat dan beradab.

3. Keadilan Dan Realitas Permasalahan Masalah yang paling memdasar dalam membangun kekuatan bangsa dan negara adalah masalah keadilan 314 . Keadilan akan terus menjadi agenda umat manusia sepanjang zaman di atas muka bumi ini. Karena

314 Di dalam Pancasila terdapat dua kata keadilan. Pertama; keadilan yang terdapat pada sila kedua, yaitu; Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kedua; terdapat pada sila kelima, yaitu; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan yang ada pada sila kedua terfokus pada sifat dan sikap yang adil dari manusia-manusia Indonesia. Sementara keadilan yang ada pada sila kelima ialah terfokus pada upaya-upaya realisasi keadilan dalam berbagai aspek kehidupan pada tataran praktis, aspek penegakan hukum, ekonomi, pembagian pendapatan, pembagian ( distribusi ) kekuasaan dan sebagainya. 381 pentingnya masalah keadilan, sehingga Al-Qur`an menyebut kata adil ( keadilan ) berulang-ulang sebanyak dua puluh delapan kali315. Adil atau keadilan secara umum dapat diartikan sebagai upaya menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, atau upaya untuk memastikan seseorang yang memiliki hak memperoleh haknya tanpa ada halangan apa pun 316 . Dalam pengertian lain ialah; memberikan hak kepada orang yang berhak. Selanjutnya jika kata adil atau keadilan ini dikaitkan dengan rumusan sila kedua Pancasila, iaitu; Kemanusiaan yang adil dan beradab, maka artinya ialah; Manusia-manusia Indonesia yang memiliki sifat adil, iaitu; orang-orang yang menghormati hak-hak orang lain dan tidak sewenang-wenang menuruti kecendrungan dan keinginan sendiri atau golongannya dan tidak pula berlebihan ketika memutuskan hukuman kepada orang yang terkena hukum. Agama-agama dulu menurut Musthafa al-Rafi`ie didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan. Tetapi sumber-sumber keadilannya berbeda antara satu agama dengan agama lainnya sesuai dengan perbedaan kondisi, pemikiran dan kecendrungan masing-masing bangsa dan pemeluk agama-agama yang bersangkutan, misalnya sumber keadilan bangsa Roma adalah undang-undang rakyat, bangsa Yunani keadilannya bersumber pada undang-undang natural ( tabi`ie ), bangsa Inggris sumber keadilannya hati Raja, sumber keadilan di dalam agama Islam adalah pemikiran dan hikmaf pelaksanaan Syariat Islam ( perundang-ndangan ) yang diilhami oleh al-Qur`an dan Sunnah Nabi317. Dalam realitas kehidupan yang sudah carut marut, kezaliman terjadi berleluasa di mana-mana, keadilan sangat sulit diwujudkan, kecuali harus melalui proses perjuangan serius yang melibatkan semua pihak, terutama Pemerintah. Masyarakat dalam kondisi seperti ini pada umumnya merasa takut untuk menyampaikan aspirasi kebenaran,

315 Lihat, Muhammad Aziz Nazamiy Salim, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam ( Iskandariyah: Muassisah Shabbab al-Jami`ah, 1996 ), h. 90 316 Lihat, Musthafa al-Rafi`ie, al-Islam Din al-Madaniyyah al-Qadimah ( Beirut: al-Shinkat al-Alawiyyah Li al-Kitab, 1990 ), h. 167 317 Ibid. 382 hanya sebilangan kecil orang-orang yang memiliki jiwa patriotik merasa terpanggil untuk melakukan restorasi kondisi yang sudah rusak ke keadaan yang normal. Dalam kondisi seperti ini keadilan akan disuarakan, maka mau atau tidak, mereka akan berhadapan dengan struktur kekuatan. Di sinilah akan terjadi pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, mana yang menang dan mana yang kalah, tergantung pada dominasi kekuatan masing-masing, jika kebenaran itu yang mendominasi, pasti akan meraih kemenangan. Tetapi jika sebaliknya, maka kebatilan akan memperoleh kemenangan. Di sinilah dominasi kekuatan menjadi penentu. Berbicara soal keadilan, Ahmad Syafii Maarif menegaskan; Bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat sejak sekian lama dan banyak kemajuan-kemajuan yang telah dicapai melalui pembangunan demi pembangunan, sekalipun sasaran akhir berupa wujudnya masyarakat adil dan makmur masih jauh dari jangkauan318. Soeharto sendiri ( Presiden Indonesia ke II ) mengakui; bahwa masyarakat adil dan makmur masih jauh dari kenyataan, meskipun pembangunan Nasional yang sedang berlangsung sampai sekarang ( sekitar tahun 1980-an ) telah banyak menghasilkan buah yang nyata319.

Banyak kasus yang terjadi di era Orde Baru membuktikan adanya indikasi bahwa keadilan dalam berbagai aspek kehidupan belum terealisasikan, baik dalam ranah hukum, ekonomi dan termasuk bidang pendidikan. Pada tahun 1980-an ada kecendrungan untuk mempersempit makna keadilan hanya sebatas formal, yaitu; keadilan menurut hukum. Kecendrungan ini menurut laporan Hak Asasi Manusia, semakin diperkuat karena pola komunikasi tidak lagi terjadi timbal balik antara

318 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante ( Jakarta: LP3S, 1985 ), h. 62. Lihat juga, A. Syafii Maarif, Al-Qur`an Realitas dan Limbo Sejarah ( Bandung: Penerbit Pustaka, 1985 ), h. 319 Umar Hasyim, Negeri Allah, Adil Makmur Di Di Bawah ampunan Allah ( Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981), h. 20 - 21 383 rakyat dengan Pemerintah, melainkan yang terjadi justeru satu arah320. Lalu lintas satu arah ini lebih parah lagi karena terkesan sebagai manifestasi dari kehendak struktur kekuasaan yang dominan, secara sederhana, kita melihat pola komunikasi satu arah ini ternyata penuh dengan paksaan. Menurut laporan Hak Asasi Manusia lagi saat itu, melawan pola komunikasi yang demikian ini, berarti melawan rumusan yang secara kelembagaan sudah disiapkan, dan ini berarti pula melakukan perlawanan terhadap struktur kekuatan itu. Keadilan dalam arti yang sebenarnya tidak mendapat tempat, karena semakin hari rumusan keadilan semakin dipersempit sesuai dengan kehendak undang-undang yang telah disiapkan 321 . Dengan demikian undang-undang yang dibuat itu tidak lebih sekedar dijadikan alat atau justifikasi untuk tujuan melindungi tindakan-tindakan struktur kekuatan yang sedang berkuasa, bukannya undang-undang dan hukum digunakan untuk menegakkan keadilan, melindungi orang-orang teraniaya dan menghukum orang-orang yang bersalah di sisi undang-undang. Rakyat Indonesia selalu menaruh harapan kepada siapa saja yang cerdas dan akan memimpin Indonesia agar dapat melaksanakan keadilan yang sebenar-benarnya sesuai dengan tuntutan fitrah dan tuntutan hak asasi manusia. Sudah menjadi fenomena di era Orde Baru, bahwa dominasi tafsiran formal akan lebih dimengerti jika kita memperhatikan sejumlah peraturan-peraturan Pemerintah waktu itu seperti; Penpres ( Petunjuk Presiden ), Kepres ( Keputusan Presiden ), Inpres ( Instruksi Presiden ), Permen ( Peraturan Menteri ), SK. Menteri, Perda, Instruksi Gubernur, sampai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh tingkat Rt. dan Rw322. Dominasi undang-undang atau peraturan dan tafsiran resmi seperti itu adalah sebagai akibat dari penerapan kedaulatan hukum ( rule of low )

320 Lihat, T. Mulya Lubis, et al ( Pnyt ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1981 ( Jakarta: Djaya Pirusa, 1983 ), h. 45 321 Ibid. 322 Lihat, T. Mulya Lubis, et al ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Indonesia. h. 46 384 yang dikondisikan untuk mendapatkan legitimasi yang dipaksakan atas tindakan yang sedang dan akan diambil. Peta perpolitikan Nasional era Orde Baru berdasarkan mobilisasi arus atas ke bawah ( top down ) telah memunculkan Pemerintahan yang lepas kendali dari kontrol rakyat, sehingga masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat tidak dapat ditangani dengan baik. Pencurian, perampokan, penodongan, perkelahian, pembunuhan, seolah-olah tidak ada henti-hentinya dari waktu ke waktu, semua itu terjadi dengan teranga-terangan. Perkelahian antar remaja, antar anak-anak sekolah telah terjadi begitu marak. Pelacuran di rumah-rumah bordil dan di warung remang-remang telah terjadi di mana-mana, baik yang legal ( di sisi aturan Pemerintah ) ataupun yang illegal. Belum lagi penyalah gunaan kekuasaan ( wewenang ) juga telah terjadi melalui berbagai modus seperti korupsi, kolusi dan nepotisme ( KKN ) danitu terjadi secara terangan-terangan, tanpa rahasia-rahasiaan323. Kondisi yang carut-marut ini sebagai akibat dari adanya ketimpagan-ketimpangan yang menyebabkan terjadinya rasa tidak puas terhadap pelaksanaan hukum ( undang-undang ), yang sering kali dimanipulasi dan dipermainkan. Keputusan hakim sering kali terjadi kontraprodutif, yang benar bisa menjadi salah, dan yang salah bisa menjadi benar tergantung pada kekuatan lobi-lobi, uang dan jasa-jasa lain. Siapa yang banyak menyogok uang kepada para penegak hukum dan aparat terkait bisa dipastikan dia akan menang, meskipun hakikatnya dia berada di pihak yang salah. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyogok uang besar bisa dipastikan dia akan kalah, meskipun hakikatnya dia berada di posisi yang benar. Fenomena ini jelas bertentangan dengan Pancasila, terutama sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena sikap adil yang harusnya menjadi cermin para penegak hukum dan aparat terkait tidak terealisasi dalam kehidupan nyata. Kelanjutan dari fenomena ini memunculkan implikasi yang lebih parah, yaitu munculnya sindrom ketidak percayaan rakyat kepada Pemerintah.

323 Ibid. h. 54 385 Keadilan merupakan salah satu nilai unversal adalah sesuatu yang asas bagi bangsa yang berprikemanusiaan dan berperadaban, yaitu manusia-manusia yang beradab, maka realisasi keadilan sebagai manifestasi dari sikap manusia-manusia yang berprikemanusiaan adalah dambaan semua manusia yang tidak dapat ditawar-tawar sampai kapanpun. Pemerintah yang mengabaikan keadilan pasti akan dihadapkan pada berbagai masalah yang berat-berat. Secara politis dapat dikatakan bahwa pelaksanaan keadilan adalah untuk memastikan agar setiap individu rakyat dapat dengan mudah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam kondisi yang aman, damai dan tenteram. Dengan demikian, semua tugas dan tanggung jawab dapat direalisasikan sepenuhnya dengan baik dalam situasi yang kondusif, maka dengan memberi perhatian sepenuhnya pada pelaksanaan keadilan secara merata, kesejahteraan untuk seluruh rakyat dapat diwujudkan dengan mudah. Tuntutan keadilan akan terus muncul pada setiap saat, kapan saja dan di mana saja, terutama ketika situasi politik dalam keadaan carut marut ( tidak stabil ) sebagai akibat dari; 1). melemahnya peran para penegak hukum, 2). Terjadinya kesenjangan yang sangat ketara antara yang kaya dan yang miskin, 3). Peraturan dan kebijakan Pemerintah semakin hari semakin keras, 4). Rasa takut selalu menghantui rakyat, 5). Rakyat merasa dikontrol dalam berbagai aspek kehidupan, 6). Hukum dan undang-undang hanya menjadi bahan mainan di antara para penegak hukum, 7). Nepotisme terjadi di mana-mana secara leluasa dalam sistem pemerintahan. Semuanya tu akan berdampak pada munculnya berbagai masalah sosial ( social problems ), seperti pencurian, perampokan, kemiskinan, pelacuran, pembunuhan, penipuan, penggelapan uang, persekongkolan ( kolusi ) dalam berbagai tindak kejahatan, korupsi dan sebagainya. Pada akhirnya kondisi ini akan memunculkan semangat rakyat yang memiliki kesadaran tinggi untuk mendobrak ketimpangan-ketmpangan yang ada, meskipun harus berhadapan dengan resiko yang mengancam diri mereka karena akan dianggap menentang struktur kekuatan. Kebangkitan ini mengkristal didorong oleh rasa tanggung 386 jawab untuk menegakan keadilan, melakukan restorasi dan reformasi untuk perbaikan hidup yang lebih baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Dalam kondisi seperti ini Pemerintah mau atau tidak, dihadapkan pada dilema dan kekuatan rakyat. Bagi pemimpin yang berjiwa besar, bijaksana, akan menghadapi situasi ini dengan penuh kesadaran akan menyadari ketimpangan-ketimpangan ini, kemudian melakukan perbaikan kemaali sesuai dengan tuntutan keadilan rakyat. Tetapi jika pemimpinnya bersikap egois, otoriter atau tirani, semua tuntutan rakyat itu akan dihadapi dengan kekuatan aparat militer. Peristiwa yang menimpa bangsa Indonesia pada sekitar tahun 1998 yang berujung pada terjadinya pelengseran Presiden Soeharto dari jabatannya karena desakan dari berbagai elemen masyarakat adalah sebagai akibat dari berbagai masalah yang terjadi pada bangsa ini dalam setiap lini kehidupan. Berbagai permasalahan yang menimpa saat itu sebenarnya bermuara pada tidak adanya keadilan dalam arti yang sebenarnya, baik dalam aspek ekonomi, pendidikan, hukum dan sebaginya. Di era Reformasi, Pemerintah nampak komitmen dalam pemberantasan tindak kejahatan korupsi. Hal ini dibuktikan dengan upaya-upaya Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) mengejar para Koruptor, meskipun KPK harus berhadapan dengan tantangan-tantangan berat, yaitu percobaan-percobaan kerdilisasi KPK oleh orang-orang yang tidak suka dengannya melalui upaya mengkriminalkan beberapa pimpinannya, seperti yang terjadi kepada Antasari Azhar, Bibit dan Candra. Walaupun begitu Pemerintah tidak putus-asa, upaya pemberantasan korupsi harus diteruskan sampai Negara ini benar-benar bersih dari para Koruptor. Pemberantasan dimulai dari para pejabat tinggi, para mantan pejabat ataupun sedang menjabat, baik di Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan bahkan di Lembaga Penegakkan hukum dan Kepolisian sendiri. Pengejaran terhadap para Koruptor adalah merupakan upaya penegakan hukum untuk memastikan keadilan itu ditegakan, karena para Koruptor adalah para penjahat berdasi dan sebenarnya mereka adalah musuh negara dan musuh seluruh rakyat Indonesia yang selalu berlindung di balik permainan hukum dan undang-undang, oleh karenanya harus diadili karena memang merugikan

387 negara, menggerogoti asset Negara dan menyengsarakan masyarakat banyak. Berbagai tindak pidana di era Reformasi sebenarnysa merupakan fenomena yang tidak ada habis-habisnya. B.J. Habibie ( Presiden RI ke III ) mengkritik Pemerintah era Reformasi, bahwa reformasi memang diakui telah berhasil membuahkan demokratisasi, tetapi belum terkordinasi secara baik. Dampaknya dalam praktik masih terjadi berbagai penyimpangan 324 . Menurut Habibie lagi penyimpangan ini terjadi selama sepuluh tahun era Reformasi, yaitu orientasi para elite politik lebih mengutamakan kepentingan politik sesaat. Hal ini terjadi karena kelembagaan politik belum melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya, baik di tingkat Birokrasi, Partai Politik, maupun di tingkat Lembaga Perwakilan Rakyat ( Parlemen ) 325 . Dengan demikian, kepentingan dan keberpihakan kepada rakyat dan masyarakat banyak belum sepenuhnya terakomodasi. Di sinilah letak permasalahan bahwa keadilan belum terealisasikan secara merata dan pastinya belum banyak dinikmati oleh masyarakat dan rakyat banyak.

4. Keadilan dan Komitmen Pada Tanggung Jawab Sebagimana disebutkan di atas bahawa keadilan sebagai salah satu nilai universal menjadi dambaan setiap manusia hidup, bukan saja manusia Indonesia tetapi juga manusia sejagat326, karena itu keadilan berimplikasi lahirnya ikatan dan penyatuan masyarakat dalam satu kesatuan yang harmoni dan dinamis. Setiap individu dalam masyarakat akan menunaikan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing sesuai dengan kemampuan, keinginan dan latar belakang pendidikannya dalam kondisi aman dan bebas dari setiap tekanan dan rasa takut. Hanya

324 Pidato Mantan Presiden RI ke III, B.J. Habibie, di depan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD ) dalam rangka peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional di Gedung DPD Jakarta pada tanggal 29 Mei 2008. 325 Ibid. 326 Band. M. Ruthnaswamy, The Making of The State ( London: T.Tpt, 1932 ), h. 301 - 328 388 dalam kondisi aman dan kondusif pembangunan Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian, keadilan harus ditegakan di tengah-tengah masyarakat, dan ditegakan kepada siapa saja sepanjang sebagai warga negara, siapa pun dia, terlepas dari posisi dan pangkat yang disandangnya, terlepas dari asal usul keturunan siapa, warna kulit, orang kecil, orang besar, orang bawah, orang kuat, orang lemah, lelaki, perempuan, tua, muda dan sebagainya, sehingga keadilan mewarnai segenap aspek kehidupan dan setiap individu rakyat, di dalam ucapan, di dalam aktivitas harian, di dalam mengatur ( memanaj ) kehidupan orang banyak, di dalam memberikan kesaksian kepada orang yang tertuduh agar tidak memberikan saksi palsu atau mempermain-mainkan hukum, di dalam menerapkan hukum dan undang-undang, di dalam pemerataan ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Dalam konteks ini, Mustafa al-Rafi`iy ( salah seorang penulis kontemporer tentang pemikiran Politik Islam ) menegaskan bahwa; semua itu tidak mungkin bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata, melainkan jika setiap individu masyarakat menyadari tanggung jawabnya masing-masing. Pihak pertama sekali yang harus memiliki sikap adil ialah pemerintah, kemudian rakyat327. Ini disebabkan di tangan pemerintah terletak kekuatan dan kekuasaan yang bersifat memaksa. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang ada padanya memungkinkan pemerintah mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat dan rakyat sekalipun sedikit terkesan otoriter, tetapi itu tidak mengapa, yang penting keadilan dapat ditegkan. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa keadilan sebagai sesuatu yang asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dalam rangka merealisasikan keadilan pada setiap individu dan masyarakat harus ada langkah-langkah strategis. Langkah-langkah strategis tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu;

327 Lihat, Mustafa al-Rafi`iy, Al-Islam Din al-Madaniyyah al-Qadimah ( Beirut: al-shinkat al-`Alawiyyah Li Al-Kitab, 1990 ), h. 170 - 171 389 4.1. Langkah-Langkah Umum Langkah umum dimaksudkan adalah langhkah-langklah yang lebih menekankan pada pembinaan interaksi secara eksternal antara sesama masyarakat, antara rakyat dengan pemerintah. Dalam konteks ini setidaknya ada tiga langkah, yaitu; 1. Merealisasikan persaudaraan, khususnya di antara sesama individu dalam masyarakat yang beragama Islam dan umumnya di antara sesama masyarakat yang berlainan agama, baik dalam tataran nasional atau dalam skala Internasional, sehingga sering terdengan pernyataan bahwa; bangsa Indonesia sebagai bagian dari seluruh umat manusia. Dengan demikian, akan muncul sikap saling mencintai antara sesama, selanjutnya akan berimplikasi lahirnya kondisi yang harmoni, kemesraan, kedamaian, saling mempercayai, saling pengertian, gotong royong, bantu membantu antara sesama. Kondisi seperti ini memungkinkan lahirnya sikap adil dengan mudah pada setiap individu dan masyarakat Indonesia. 2. Tidak mudah memberikan kesempatan terhadap munculnya berbagai aktivitas yang melemahkan persaudaraan. Dalam hal ini setidaknya ada enam sikap buruk yang harus dihindari, yaitu Pertama; sikap memandang rendah kepada orang lain. Karena jika sikap ini dibiarkan berkembang, dampaknya akan muncul kondisi tidak saling mempercayai antara sesama anggota masyarakat, saling mencurigai antara satu dengan yang lain, akibatnya muncul sikap saling membenci, maka implikasinya akan terjadi permusuhan antara sesama sendiri atau dengan orang lain. Kedua; menjauhi sikap membuka keburukan ( `aib ) orang lain. Ketiga; sikap suka berbangga dengan keturunan. Karena sikap-sikap seperti ini akan melahirkan sikap egoistik, takabbur, yaitu rasa besar diri. Sikap egoistik tidak mudah menghormati orang lain, tidak mudah menghormati hak-hak orang lain. Keempat; sikap suka menggunjing, yaitu sikap suka membicarakan ( ngulik ) keburukan orang lain. Kelima; sikap suka mengadu domba, dan Keenam; sikap suka berprasangka buruk ( su`u zan ) kepada orang lain. Akibat dari sikap-sikap buruk ini semua, orang akan selalu curiga dan selalu gelisah, tidak tenteram, dalam setiap pandangannya dia selalu bersifat subjektif, negative thinking, sikap objektif tidak dapat mewarnai pemikiran dan perasaannya. Oleh karena itu, harus ditanamkan sikap positive thinking, yaitu sikap dan pikiran positif

390 dalam diri sendiri, masyarakat dan bangsa agar tidak selalu berprasangka buruk kepada orang lain, kecuali kalau memang orang yang bersangkutan terbukti telah melakukan kejahatan. Dengan lahirnya sikap positif dalam diri individu, masyarakat, bangsa dan negara akan memudahkan lahirnya sikap yang adil pada setiap individu rakyat Indonesia. 3. Mengkodisikan situasi persatuan. Antaranya, Pertama; mendamaikan orang-orang yang sedang dilanda sengketa atau konflik. Kedua; membina kerukunan hidup sehingga tercipta hidup rukun. Ada pepatah kata yang berbunyi; jiran mufakat membawa berkat ( tetangga sepakat membawa berkah ). Realitasnya memang demikian, jika pola kejiranan ( sistem ketetanggaan ) dan masing-masing individu dalam masyarakat baik, maka akan lahir kondisi damai, tenteram dan familiar, secara otomatik persatuan dengan sendirinya akan lahir. Implikasinya akan lahir pula rasa saling bantu membantu, gotong royong dan rasa tanggung jawab antara sesama. Dengan membina sistem kejiranan ( kerukunan antara warga ) yang baik dalam berbagai tingkatannya, baik tingkat kampung, desa, daerah, wilayah, Nasional dan bahkan Internasional, maka akan mudah untuk merealisasikan sikap adil pada setiap individu masyarakat. Jika masyarakat berada dalam kondisi penuh konflik, maka tidak mudah untuk menamkan rasa keadilan kepada setiap individu masyarakat.

4.2. Langkah-Langkah Khusus Langkah-langkah khusus dalam konteks ini dimaksudkan langkah-langkah yang lebih memfokuskan pada pembinaan individu-individu dengan hal-hal yang baik secara internal dalam masyarakat. Langkah-langklah tersebut setidaknya ada lima tahapan sebagaimana ditegaskan Muhammad Jalal dan Abdul Mukthi Muhammad dan juga ditegaskan oleh Ibnu Abi Rabi`, yaitu; 1. Menanamkan sikap amanah dan jujur dalam setiap perilaku masyarakat. 2. Menanamkan sikap keperibadian yang berakhlak, menghormati orang lain dan bersih dari sikap negatif. 3. Menanamkan sikap menepati janji ( komitmen ). 4. Menanamkan sikap bertanggung jawab.

391 5. Menanamkan sikap tegas dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya secara proporsional328. Berdasarkan langkah-langkah umum dan khusus sebagaimana dijelaskan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa negara akan menjadi baik, karena masyarakat dan rakyatnya baik. Jika semuanya baik ( meskipun ini agak berlebihan dan utopis, tetapi harus disampaikan sebagai gagasan ), maka keadilan dengan sendirinya akan mudah diwujudkan dalam tataran praktis. Implikasi dari semua itu kesejahteraan dan kemakmuran yang menjadi impian setiap warga dan masyarakat akan menjadi kenyataan ( tentu saja melalui seperangkat aturan yang diperlukan ). Dari sinilah sesungguhnya dapat menjawab sebuah pertanyaan terkait keadilan yang dalam praktenya sangat sulit direalisasikan, yaitu; kenapa keadilan susah diwujudkan ? Jawabannya adalah karena tidak ada kebaikan dalam arti yang sebenarnya. Kalaupun ada, tidak lebih sekedar kepura-puraan dalam berbagai bentuknya; manipulasi dan eksploitasi dalam setiap aspek kehidupan. Oleh karena itu, dalam rangka merealisasikan keadilan yang merata dalam segenap aspek kehidupan, maka setiap individu masyarakat dan rakyat Indonesia harus memiliki standar moral yang tinggi; amanah, kejujuran, tidak berbohong atau tidak dusta dan sebagainya. Dengan demikian, tatanan politik yang adil memanifestasikan diri dalam diri para pejabat publik yang jujur dan profesional dalam mengelola kebijakan publik dengan cara yang adil329. Hal ini sesuai dengan yang dikehendaki Pancasila, baik sila ke-II ataupun sila ke-V.

5. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas terkait dengan pembahasan keadilan yang harus menjadi karakter bagi rakyak dan

328 Lihat, Muhammad Jalal Sharaf dan Ali Abdul Mukthi Muhammad, al-Fikr al-Siyasiy fiy al-Islam: Shakhshiyyat wa Madhahib ( T.tpt: Dar al-Makrifat al-Jami`iyyah, 1996 ), h. 228 – 229. Lihat juga, Ibnu Abiy Rabi`, Suluk al-Malik fiy Tadbir al-Mamalik ( Kairo: T. pbt., 1286 H. ), h. 112 - 116 329 Lihat, Abdul Rashid Moten, Ilmu Politik Islam, terj. Political Science: An Islamic Perspective ( Bandung: Pustaka, 2001 ), h. 107 392 bangsa Indonesia, kini disampaikan beberapa kesimpulan, antaraya sebagai berikut; 1. Keadilan merupakan persoalan umat manusia sejagat, semenjak dulu sampai sekarang, dan bahkan sampai akhir zaman. 2. Dalam kondisi carut marut, di mana kezaliman terjadi secara leluasa pada setiap aspek kehidupan, keadilan sulit diwujudkan melainkan harus melalui perjuangan dan pengorbanan yang melibatkan semua pihak. 3. Keadilan merupakan tuntutan yang asasi bagi setiap manusia hidup di mana saja dan kapan saja. 4. Dalam rangka membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, keadilan merupakan prinsip yang mendasar bagi penguatan sistem demokrasi. 5. Negara akan menjadi baik, sekiranya masyarakat dan rakyatnya baik. Jika semuanya baik, maka keadilan dengan sendirinya akan mudah diwujudkan. 6. Tatanan politik yang adil termanifestasikan pada diri para pejabat publik yang amanah dan jujur. 7. Dalam rangka merealisasikan keadilan, setiap individu masyarakat agar memiliki standar moral ( akhlak ) yang tinggi, yaitu; komitmen pada kejujuran, amanah, tidak berbohong dan sebaginya. 8. Keadilan yang merata akan menciptakan kesejahteraan prima yang menjadi impian segenap lapisan masyarakat dan bangsa Indonesia..

393

BAB VI

KEADILAN SOSIAL

ANTARA TEORI DAN REALITAS

1. Keadilan Sosial Dalam Tataran Teori

Keadilan berasal dari bahasa Arab adil yang berawalan ke dan akhiran an, kemudian menjadi hazanah bahasa Indonesia. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata adil diartikan; 1.Tidak berat sebelah / tidak memihak, 2. Berpihak pada kebenaran, dan 3. Sepatutnya / tidak sewenang-wenang. Dalam buku berjudul “ Pedoman Pelaksanaan P-4 Bagi Umat Islam” dijelaskan bahwa; Adil artinya sikap dan perilaku dalam keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan keserasian dengan semua makhluk 330 . Dicontohkan bahwa; manusia mempunyai hak untuk memanfaatkan alam ini, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk memelihara dan melestarikan kepentingan makhluk lainnya. Karena itu manusia berhak memanfaatkan apa saja yang dimilikinya, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan-kepentingan orang lain. Senada dengan pengertian di atas, D. Chairat menegaskan bahwa; Adil adalah sesuatu yang diletakkan pada tempatnya 331 . Berdasarkan pengertian ini, jika keadilan menjadi kata sifat dari masyarakat, sehingga dikatakan masyarakat yang adil, maka di dalam masyarakat itu terdapat berbagai bentuk keadilan, baik terkait dengan masalah politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya. Searti dengan pengertian di atas, Notonagoro

330 Departemen Agama RI, Pedoman Pelaksanaan P-4 Bagi Umat Islam ( Jakarta: Proyek Bimbingan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Bagi Umat Beragama, 1985 – 1986 ), h. 43 331 D. Chairat, Falsafah Pancasila ( Jakarta: Wijaya, 1955 ), h. 21 394 menegaskan bahwa; hakekat pengertian adil berdasarkan pengertian ilmiah, ialah terpenuhinya segala sesuatu yang telah menjadi hak di dalam kehidupan masyarakat 332 . Oleh karena itu keadilan yang wujud di masyarakat, bangsa dan negara dalam konteks ini disebut keadilan sosial atau keadilan masyarakat, dan secara umum dapat dikatakan keadilan dalam hidup masyarakat.

Pemahaman di atas tentang keadilan sosial senada dengan yang ditegaskan Soekarno. Menurutnya; sosialisme Indonesia bukan sosialisme ala Moskow ( Komunis ), bukan sosialisme ala Yugoslavia, bukan ala negara apapun, bukan pula religius sosialis menurut ajaran satu agama tertentu, tetapi sistem sosial kita ( Indonesia ) berdasarkan ajaran Pancasila, yaitu sosialisme Indonesia yang membawa kepribadian sendiri, baik dalam sosialisme politik, sosialisme ekonomi, sosialisme keagamaan, dan sebagainya333. Oleh karena itu sosialisme Indonesia difokuskan bahasannya pada keadilan sosial. Keadilan sosial sebagai cermin dari kondisi masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, berbagi untuk semua orang, di mana di dalam masyarakat tidak ada penghinaan atau pelecehan terhadap sesama, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan, tidak ada eksploitasi antara satu dengan yang lainnya. Lebih lanjut Soekarno menegaskan bahwa sosialisme adalah kecukupan atau terpenuhinya berbagai macam kebutuhan dengan pertolongan modernisme yang telah dikolektifikasikan. Oleh karenanya sosialisme adalah kesenangan dan kenyamanan hidup yang pantas atau wajar. Kecukupan berbagai kebutuhan itu hanyalah mungkin dapat diwujudkan dengan dipergunakannya secara sosial alat-alat teknik334.

Dengan demikian, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tertuang di dalam Pancasila adalah wujudnya kondisi adil yang

332 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer ( Jakarta: Bina Aksara, 1983 ), h. 162 dan 167 333 Soekarno dalam pidato peletakan batu pertama Universitas Khatolik Senat Dharma di Yogyakarta tahun 1961 334 Soekarno, Sarinah, Panitia penerbit buku-buku karangan Presiden Soekarno, 1963, Cet. Ke-3, h. 261 - 262 395 dirasakan bersama oleh seluruh rakyat Indonesia secara merata dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan dalam lapangan pekerjaan dan sebagainya.

2. Keadilan Sosial Dalam Realitas Kehidupan

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa keadilan sosial meliputi seluruh aspek kehidupan, maka hal ini merupakan tugas negara yang memiliki otoritas untuk merealisasikan keadilan sosial dan mengontrolnya dari hal-hal yang mengganggu terciptanya keadilan sosial itu sendiri, sekalipun harus menggunakan tindakan-tidakan ketat berdasarkan undang-undang. Notonagoro dalam konteks ini memberi ilustrasi bahwa keadilan sosial meliputi pemeliharaan kepentingan umum, kepentingan para warga negara secara khusus, dan kepentingan khusus dari warga negara secara perorangan, keluarga, suku, bangsa dan setiap golongan warga negara335.

Dengan demikian, keadilan sosial meliputi seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat dan negara. Oleh karena itu, adalah kesalahan fatal jika keadilan dimaknai dalam batas-batas sempit formal, yaitu keadilan menurut hokum saja, sebagaimana hal ini umum terjadi di era Orde Baru. Kecendrungan ini menjadi kenyataan karena di era Orde Baru pola komunikasi tidak terjadi interaktif antara Pemerintah dengan rakyat, dan rakyat dengan Pemerintah, tetapi yang terjadi adalah satu arah ( one way ), yaitu Pemerintah ke rakyat. Parahnya pula satu arah ini lebih merupakan manifestasi dari kehendak struktur kekuatan formal ( Pemerintah waktu itu ) melalui alat-alat negara ( ABRI ) sebagai pelengkapnya336.

Menurut T. Mulya Lubis lagi; pola komunikasi satu arah ini pada prakteknya penuh dengan paksaan, dan melawan komunikasi yang demikian berarti menentang rumusan yang secara kelembagaan sudah disiapkan,

335 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, h. 160 - 161 336 Lihat, T. Mulya Lubis ( Pny. ), Laporan Keadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1981 ( Jakarta: Djaya Pirusa, 1983 ), h. 45 396 dan ini berarti pula melakukan perlawanan terhadap struktur yang ada, sementara keadilan dalam arti yang sebenarnya tidak lagi mendapatkan tempat yang layak, karena semakin hari rumusan keadilan semakin dipersempit sesuai dengan kehendak si pembuat undang-undang337. Pola komunikasi satu arah ini sebagaimana terjadi di era Orde Baru, harus dipastikan tidak berulang di era Reformasi dan di era mendatang, maka yang perlu dipastikan di era ini adalah pola komuikasi timbal balik antara Pemerintah dengan rakyat, dan sebaliknya, yaitu rakyat dengan Pemerintah. Karena pola komunikasi timbal balik antara kedua belah pihak ( Pemerintah dan rakyat ) merupakan faktor yang mempermudah terealisasinya sistem demokrasi. Dengan Pemerintah yang betul-betul demokratis diharapkan keadilan dapat direalisasikan secara maksimal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kedamaian, kesejahteraan dan kejujuran dapat dirasakan bersama.

Berdasarkan penjelasan di atas, sasaran keadilan sosial setidaknya dapat dirumuskan sebagai berikut;

a. Keadilan sosial diwujudkan untuk terciptanya kesejahteraan umum dalam masyarakat, b. Keadilan sosial menjadi satu segi dengan perikeadilan bersama-sama dengan perikemanusiaan, c. Keadilan politik berhubungan dengan keadilan sosial memberi hak yang sama kepada setiap warga negara dalam hukum dan susunan masyarakat, d. Keadilan ekonomi berhubungan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menghendaki persamaan kesejahteraan harta benda dengan menghilangkan perbedaan338. Oleh karena itu, menurut Yamin; keadilan sosial memberi perimbangan kepada kedudukan seseorang dalam masyarakat dan negara339.

337 Ibid. 338 Lihat, Muhammad Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, h. 470 339 Ibid. h. 471 397 Berikut ini dijelaskan secara rinci aspek-aspek terkait dengan keadilan sebagai berikut;

3. Keadilan Sosial Meredakan Ketegangan

Keadilan dalam politik, artinya secara demokratis politik memberi hak yang sama kepada warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam struktur negara dan pemerintahan serta menduduki jabatan-jabatan tertentu sebagai alat-alat negara340. Hal senada ditegaskan Muh. Yamin; demokrasi politik berhubungan dengan keadilan sosial memberi hak yang sama kepada seluruh warga dalam hukum dan susunan masyarakat negara341. Pernyataan Muh. Yamin ini mengacu pada Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945, yang berbunyi; segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Memberi hak yang sama dalam arti bahwa memberi hak kepada seluruh rakyat dan bangsa Indonesia tanpa berdasar pertimbangan kedekatan keluarga, keturunan ( etnic ), daerah dan sebagainya untuk terlibat secara langsung dalam proses menyusun dan memenaj ( mengelola ) negara secara bersama-sama. Atas dasar ini, maka akan terealisasi persamaan ( egaliter ), hak dan kewajiban dalam berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, sepatutnya tidak ada lagi diskriminasi karena perbedaan-perbedaan agama, etnik, budaya, daerah, dan sebagainya, termasuk perbedaan-perbedaan aliran politik yang menjelma ke dalam berbagai partai politik. Maka, bangsa Indonesia yang merdeka dan demokratis harusnya tidak lagi terkotak-kotak karena perbedaan-perbedaan yang bersifat primordial dan perbal dalam mewujudkan keadilan politik. Oleh karenanya yang menjadi ukuran atau tolok ukur dalam rekrutmen warga negara untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan atau

340 D. Chairat, Falsafah Pancasila, h. 21 341 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, h. 471 398 partai-partai politik dan sebagainya adalah kelayakan dan kapabilitas di samping tingkat pendidikan yang memadai. Jika dalam rekrutmen warga negara untuk mendudukuki jabatan-jabatan tersebut masih berlaku atas dasar pertimbangan daerah, etnik, aliran politik tertentu, keluarga, teman, dan sebagainya, sementara kelayakan dan kapabilitas tidak ada, maka berarti keadilan sosial dalam politik atau demokratisasi politik belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, dan ini berarti pula bahwa pelaksanaan sila keadilan sosial sebagaimana termaktub di dalam Pancasila belum terealisasi dalam kehidupan berbangsa dan Negara, karena memang dalam rekrutmen tersebut belum dapat menempatkan seseorang pada tempatnya. Dalam hal terjadi perubahan mendasar terkait dengan restrukturisasi sistem pemerintahan daerah atau wilayah karena adanya kebijakan otonomi daerah, rekrutmen warga negara berdasarkan kelayakan, kapabilitas, serta tingkat pendidikan yang diperlukan tetap harus menjadi kriteria atau tolok ukur, meskipun di sana tidak dapat dihindari adanya prioritas warga setempat atau daerah dibanding warga dari luar daerah.

Walau bagaimana pun masalah-masalah perbedaan etnik, budaya, aliran politik, agama, dan sebagainya sampai hari ini dalam sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia modern masih tetap terkendali342, meskipun tetap saja terjadi pasang surut dari waktu ke waktu. Selain dari itu harus disadari bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak mungkin dapat dihilangkan sampai kapanpun. Perbedaan-perbedaan itu akan tetap wujud sepanjang umur dunia, karena perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya menyangkut kepentingan-kepentingan khusus yang jika tidak diakomodir oleh pemerintah, akan memunculkan masalah serius. Tetapi dengan terealisasinya keadilan sosial dalam berbagai aspek kehidupan, setidaknya

342 Kecuali wilayah Timor Timur yang terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) pada bulan Agustus 1999 setelah dilakukan referendum dibawah pengawasan PBB, ternyata rakyat Timor Timur memilih merdeka. Sejak dari awal integrasi wilayah Timor Timur ke Indonesia pada tahun 1975 tidak diakui oleh PBB ( Perserikatan Bangsa-Bangsa ). Oleh karena itu wajar kalau Pemerintah Indonesia di era Presiden BJ. Habibie melepaskan wilayah Timor Timur ( kini menjadi Timor Leste ) atas persetujuan MPR. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tekanan-tekanan Barat atas Indonesia, terutama karena masalah Hak Asasi Manusia ( HAM ). 399 dapat meminimalisir krisis dan meredakan ketegangan-ketegangan yang terjadi di masyarakat, bangsa, dan negara.

4. Keadilan Sosial Dalam Hukum

Pada dasarnya keadilan terletak pada kemampuan seseorang untuk bersikap menghormati dan mengakui serta memperlakukan orang lain sebagai sesama manusia yang mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama di depan hukum. Dengan demikian, keadilan merupakan nilai etika yang memberi makna pada kehidupan manusia dalam pergaulan dan interaksi, tanpa keadilan kehidupan tidak bermakna.

Sistem hukum yang dipagari oleh ideologi Pancasila merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem kehidupan bernegara sebagai satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, terkait dengan sistem lainnya secara timbal balik melalui berbagai pengaruh dan interaksinya 343 . Dengan demikian, sistem hukum negara Indonesia tidak tergantung secara deterministic ( menentukan ) sebagaimana yang ditegaskan oleh faham materialisme historis yang berdasarkan pada kekuatan produksi semata-mata, juga tidak dengan sendirinya wujud melalui keberhasilan dan kemajuan ekonomi. Oleh karenanya, pembentukan sistem hukum yang dapat melahirkan keadilan harus dibuat secara objektif dan berdasarkan pertimbangan - pertimbangan kebaikan bersama ( maslahat `ammah ), maka pembuatan hukum tidak sepihak berdasarkan kepentingan-kepentingan golongan, atau partai politik yang dominan. Jika hal ini yang terjadi, maka hukum akan menjadi bahan mainan. Parahnya lagi hukum dapat dibeli dengan uang, akibatnya orang yang beruang akan menang meskipun sebenarnya dia kalah, dan orang yang tidak punya uang akan kalah meskipun sebenarnya menang.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa rakyat Indonesia menganut faham Ketuhanan dalam ber-Tuhan. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam

343 Lihat, Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya ( Jakarta: PT. Gramedia, 1989 ), h. 161 400 Pancasila, dan termaktub juga di dalam Undang-undang Dasar 1945. Oleh karena itu, masalah-masalah hukum dalam rangka ketata-negaraan Indonesia mengacu pada koridor Pancasila sebagai ideologi negara. Hal ini sebagaimana disampaikan seorang pakar hukum; Hazairin yang dikutip Anwar Harjono, menegaskan bahwa ada dua pandangan mengenai hukum yang menjadi perdebatan klasik ketika orang merumuskan pendapat mengenai apa itu hukum. Dua pandangan itu ialah, Pertama; Melihat hukum sebagai masalah manusia antar manusia. Unsur-unsur lain seperti hubungan dengan alam sekitar atau bahkan dengan Tuhan ( Allah ) yang menciptakan manusia tidak menjadi perhatian. Secara sosiologis pandangan seperti ini disebut pandangan berdasarkan faham kemasyarakatan. Kedua; Melihat hukum tidak saja sebagai sestuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya yang sangat erat dengan Tuhan. Bahkan Tuhan ( Allah ) dilihat sebagai sumber hukum yang utama. Secara teologis pandangan kedua ini berdasarkan faham ke-Tuhanan344.

Menelaah dua pendekatan terhadap sumber hukum yang berbeda sebagaimana disebutkan di atas, maka pembinaan sistem hukum di Indonesia adalah berdasarkan faham Ketuhanan. Yaitu; hukum tidak hanya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya dengan Tuhan ( Allah ). Setidaknya rumusan hukum yang dibuat dalam bingkai Ketuhanan.

5. Pemberlakuan Hukum Berdasarkan Kebaikan Bersama

Upaya-upaya untuk merealisasikan keadilan sosial dalam hukum harus menjadi dasar bagi tatanan kehidupan demi terciptanya ketenteraman dan kedamaian hidup. Berikut ini disampaikan beberapa langkah, antaranya sebagai berikut;

1. Hukum dikembangkan berdasarkan acuan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, tetapi tanpa mengabaikan kemasukan

344 Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman – Islam, ( Jakarta: Gema Insani, 1995 ), h. 126 - 127 401 nilai-nilai lain, baik dari agama ataupun budaya asalkan dapat memperkuat kedudukan hukum itu sendiri. Ini berarti bahwa yang akan dibina itu bersifat dinamik sesuai dengan keperluan pada setiap saat. 2. Hukum dapat melahirkan afektifitasnya, jika dapat mewujudkan keadilan yang sebenarnya. Ini berarati bahwa hukum bukanlah alat justifikasi untuk memperkokoh kekuasaan atau posisi semata, bukan pula sebagai alat legitimasi dalam melakukan eksploitasi yang justeru melahirkan keadaan tidak adil. Dengan demikian, hukum diwujudkan secara objektif untuk tujuan memelihara kepentingan rakyat banyak. 3. Hukum mempunyai fungsi untuk memelihara dinamika kehidupan bangsa. Dengan demikian, hukum berfungsi untuk memelihara ketertiban masyarakat, dan bukan untuk mempertahankan status quo, melainkan untuk membuka kemungkinan terjadinya kemajuan yang tercermin dalam proses perubahan. Sehingga hukum tidak dijadikan mainan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan pribadi atau golongan dengan meminggirkan aspek keadilan dan kepentingan orang banyak. 4. Hukum ditegakkan untuk memelihara kehormatan dan kemuliaan masyarakat, bangsa dan negara, sehingga masyarakat memiliki harga diri, dan percaya diri. 5. Hukum ditegakkan untuk melindungi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak bersalah, sehingga orang yang bersangkutan merasa terlindungi hak-hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan warga negara. 6. Hukum berfungsi untuk melindungi orang-orang kecil dan orang-orang teraniaya, sehingga meraka merasa aman dan damai dalam pergaulan hidup antar sesama warga, tidak merasa takut untuk menyuarakan kebenaran di depan publik. Selain dari itu, perlu diperhatikan bahwa dalam kehidupan di masyarakat terdapat hubungan segi tiga keadilan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Notonagoro, yaitu;

1. Keadilan membagi-bagikan segala sesuatu kepada sesama warga yang telah menjadi haknya. 2. Menerima dengan sepenuh hati atas segala keadilan. Ini disebabkan tanpa ada komitmen dengan keadilan, tidak ada rakyat, bangsa dan negara yang dapat hidup tenteram dan damai, maka komitmen

402 terhadap penghormatan keadilan adalah mutlak menjadi hak hidup rakyat, bangsa dan negara. 3. Keadilan secara timbal balik atau komunikatif di dalam hidup bersama, yaitu memberikan segala sesuatu yang telah menjadi hak masing-masing kepada sesama rakyat, bangsa dan negara atas dasar kesamaan nilai antara hal-hal yang wajib diberikan345. Apabila fenomena ini benar-benar terlaksana di dalam kehidupan bermasyarakat, maka dapat diharapkan keadilan sosial dalam hukum akan menjadi kenyataan. Hanya saja dalam upaya-upaya merealisasikan keadilan sosial dalam hukum selain dari hal-hal positif sebagaimana disebutkan di atas terdapat pula hal-hal negatif yang harus dihindari, yaitu;

1. Hukum agar tidak digunakan untuk mempertahankan status quo. Karena kalau hal ini terjadi, menurut Anwar Harjono, jelas yang diutamakan adalah kepastian dan keterlibatan ( pelaksanaan hukum ), dan bukan sesuatu pengembangan atau kemungkinan mengikuti perkembangan masyarakat. 2. Hukum agar tidak semata-mata hasil rekayasa kekuatan-kekuatan sosial politik, atau hukum dipakai untuk merekayasa masyarakat ( low as a tool of social engineering )346. Hukum yang dibuat hasil rekayasa kekuatan-kekuatan sosial politik, menurut Anwar Harjono pada umumnya terjadi dalam negara yang mempraktekkan pola politik liberal, di mana kekuatan-kekuatan sosial politik yang berkoalisi atau yang menang merekayasa hukum347. Dalam kondisi seperti ini, kepentingan golonganlah yang lebih dominan dibandingkan kepentingan publik. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa hukum diberlakukan tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan golongan, status sosial, asal usul, agama, suku bangsa dan sebagainya, dan jika ini yang terjadi jelas tidak demokratis, justru kondisi ini mengarah pada keadaan diktator, karena hukum atau undang-undang dibuat berdasarkan kepentingan sepihak untuk tujuan-tujuan melindungi golongan ( kekuatan-kekuatan sosial politik ) dominan dalam percaturan politik.

345 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer ( Jakarta: Bina Aksara, 1983 ), h. 163 346 Lihat, Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman – Islam, h. 131 347 Ibid. 403 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa keadilan sosial yang mempertimbangkan hal-hal di atas adalah bukan saja karena kesadaran terhadap hukum dari warga masyarakat, tetapi karena pengaturan hukum yang diarahkan pada struktur masyarakat. Hal inilah yang memberikan peluang kepada rakyat untuk mendapatkan keadilan yang sebenarnya. Oleh karena itu, realisasi keadilan dengan sendirinya mengharuskan terlaksananya hak dan kewajiban348 dalam masyarakat. Ini sesuai dengan pandangan A. Gunawan Setiardja bahwa wujud atau tidaknya kesejahteraan seluruh rakyat bergantung pada ditaati ( dipatuhi ) atau tidaknya kewajiban oleh rakyat itu sendiri349. Oleh karena itu, jika rakyat komitmen untuk mentaati ( loyal ) dan menghormati hak dan kewajiban secara ikhlas dan jujur, maka kesejahteraan dengan sendirinya akan wujud. Ini artinya ada keterkaitan antara keadilan sosial dalam hukum dengan hak dan kewajiban serta kesejahteraan sosial, maka secara logika kesejahteraan sosial tidak akan terealisasi jika tidak ada keadilan yang merata di dalam masyarakat, bangsa dan negara.

6. Pemerataan Pendapatan Secara Adil Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi

Keadilan dalam ekonomi, dalam arti pemerataan ekonomi menghendaki wujudnya kehidupan yang layak dan memadai bagi seluruh rakyat tanpa membedakan perbedaan keturunan, aliran politik, daerah, agama, dan sebagainya. Pemerataan ekonomi sebagai agenda manusia dalam sepanjang hidupnya di muika bumi ini di mana saja berada, termasuk di Indonesia. Adalah langkah bijak menerapkan konsep keadilan sosial pada aktivitas perekonomian agar setiap individu rakyat mendapatkan pelayanan yang sama. Pemerataan ekonomi tidak berarti menyamaratan

348 Hak adalah kuasa untuk melakukan sesuatu yang semestinya dilaksanakan. Kewajiban dapat diartikan sebagai suatu beban untuk dikerjakan yang sudah menjadi kemestian. Bedanya hak lahir dari dalam diri sendiri ( internal ), sementara kewajiban datang dari luar ( eksternal ). 349 Lihat, A. Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila ( Yogyakarta: Kanisius, 1983 ), h.48 404 pendapatan pada setiap rakyat (seperti di negara-negara yang menerapkan ideologi Komunis). Pemerataan ekonomi bertujuan agar setiap rakyat dapat menikmati kehidupan yang layak350.

Kehidupan yang layak ditandai dengan tersedianya berbagai fasilitas yang cukup memadai, antaranya; rumah yang layak huni, tersedinya obat-obatan untuk menjamin kesehatan, tersedianya makanan yang mencukupi, jaringan jalan ( infra structure ) yang baik, pemilikan kendaraan yang sesuai dengan kemampuan meskipun harus melalui kredit, mendapatkan kesempatan pendidikan dan pengajaran. Kehidupan yang layak ini tidak berarti harus glamour atau mau menciptakan mahligai dan istana buat rakyat, tetapi kehidupan yang layak itu dimaksudkan untuk memberi keseimbangan kepada rakyat sebagai manusia dengan kehidupannya 351. Kondisi seperti ini harus dimiliki oleh setiap rakyat, baik rakyat petani, buruh, pedagang, professional, pegawai bawahan, baik yang di kampung ataupun di kota. Dengan demikian, kemakmuran, dalam arti kehidupan sejahtera menjadi bagian yang harus diraih oleh setiap rakyat Indonesia, dan hal ini hanya dapat direalisasikan melalui demokratisasi ekonomi, maka kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh segelintir individu atau kalangan tertentu saja sebagaimana terjadi dalam masyarakat yang kental dengan budaya nepotisme dan kronisme.

Pemerataan ekonomi akan melahirkan kesejahteraan sosial, hal ini sebagaimana dirumuskan di dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu dengan tersedianya segala keperluan dan fasilitas hidup, baik yang primer, seperti rumah tempat tinggal, makanan, pakaian dan sebagainya, atau keperluan skunder, seperti; rumah bagus, kendaraan bagus, baju bagus, jalan raya bagus, TV, dan sebagainya. Oleh karena itu semua aktivitas perekonomian pada dasarnya bertujuan untuk memajukan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

350 Lihat, D. Chairat, Falsafah Pancasila ( Jakarta: Wijaya, 1955 ), h. 22 351 Ibid. 405 Berbicara tentang keadilan sosial yang merata dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya tentang pemerataan ekonomi, maka paling tidak ada beberapa langkah yang harus direalisasikan, yaitu;

1. Kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan Dalam hubungan ini, Pemerintah sebaiknya dapat menawarkan pembiayaan pendidikan yang terjangkau oleh masyarakat, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah. Karena dengan biaya yang tinggi menyebabkan masyarakat yang berpendapatan rendah tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka, maka implikasinya kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi mereka sangat sulit, akibatnya pemerataan dalam bidang pendidikan tidak tidak mencapai sasaran, dalam kata lain keadilan sosial dalam hal ini tidak terealisasi. Demikian juga dengan pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan harus terjangkau dengan kemampuan masyarakat, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah, meskipun mutu pelayanan kesehatan dari waktu ke waktu harus selalu ditingkatkan. Memang diakui bahwa Pemerintah telah menyediakan Puskesmas ( Pusat Kesehatan Masyarakat ) sebagai alternatif tempat pengobatan yang memberi pelayanan kepada masyarakat dengan harga murah, tetapi itu untuk penyakit ringan. Sementara pada saat yang sama dengan adanya Rumah Sakit yang memasang tarif mahal sehingga masyarakat umum yang berpendapatkan rendah tidak mampu berobat. Apalagi rumah sakit swasta yang tidak dapat dimasuki kecuali oleh orang-orang berduit. Jika hal ini yang terjadi, maka keadilan sosial dalam hal pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat belum terealisasi.

2. Pemerataan kesempatan kerja Dalam hal ini Pemerintah agar lebih komitmen mendukung pemberdayaan ekonomi koperasi sampai ke tingkat desa dan perkampungan, serta membuka perusahaan-perusahaan yang dapat memberi peluang pekerjaan bagi menyerap tenaga kerja, baik dalam jumlah besar ataupun kecil. Dengan demkian, diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi rakyat

406 Indonesia. Target dari semua ini adalah terciptanya pertumbuhan ekonomi secara merata.

3. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam politik Kesempatan untuk berpartisipasi bagi rakyat dalam berpolitik secara luas sudah dapat dirasakan, tetapi perlu upaya peningkatan kesadaran berpolitik untuk kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan ( maslahat umat ), bukan semata untuk kepentingan pribadi atau golongan. Jika kepentingan bangsa dan negara yang menjadi prioritas dalam berpolitik, maka akan tercipta kedamaian dan stabilitas politik. Tetapi jika yang terjadi prioritas kepentingan pribadi dan golongan, maka yang terjadi adalah banyaknya konflik kepentingan sebagai akibat banyaknya persaingan antara partai politik, dan hal ini berdampak pada kondisi perpolitikan yang tidak kondusif, negara akan selalu gonjang ganjing, carut marut dan sebagainya.

4. Pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air. Di era Reformasi sudah ada Kementerian Pembangunan Wilayah Tertinggal, tetapi hasil kerjanya belum terlihat. Walau bagaimana pun juga pembangunan harus dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Indonesia, agar tidak terjadi kecemburuan sosial dari wilayah tertinggal kepada daerah lain yang sudah dibangun.

5. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan. Saat ini meskipun sudah di era Reformasi, tetapi untuk mendapatkan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan masih diselimuti kabut tebal, karena bangsa Indonesia masih kental dengan praktek nepotisme dan korupsi, terutama dalam hal memperoleh keadilan hukum tetap saja masih ada permainan-permainan.

Dalam rangka merealisasikan langkah-langkah pemerataan ekonomi, maka berbagai program kongrit berdimensi sosial harus diwujudkan dan di kelola secara professional, baik melanjutkan program terdahulu yang terbengkelai ataupun merangka program baru. Di dalam merealisasikan itu semua hal terpenting yang menjadi prioritas adalah membangun

407 usaha-usaha golongan ekonomi lemah melalui pembangunan koperasi352. Oleh karena itu pemerataan ekonomi harus menjadi agenda penting dalam membangun negara, karena hal ini sesungguhnya merupakan amanat Undang-undang Dasar 1945. Jika amanat ini diimplementasikan secara kongrit pada tataran praktis disertai dengan penuh kesedaran dan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara, maka tidak akan ada lagi kemiskinan di Indonesia. Dalam rangka implementasi pemerataan pembangunan ini, perlu diperhatikan beberapa hal penting sebagaimana ditegaskan T. Mulya Lubis, maka setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu;

1. Selalu diadakan reformasi dari waktu ke waktu ( up dating reformation ) terhadap pemerataan sumber-sumber pendapatan masyarakat, yaitu hak milik dan produksi. Demikian juga terhadap kebijakan pemberian fasilitas usaha dan alokasi dana modal kepada perusahaan-perusahaan. Hal ini penting agar dapat diketahui dari waktu ke waktu perkembangan sumber-sumber pendapatan masyarakat dan fasilitas-fasilitas yang dimiliki perusahaan-perusahaan berkenaan. 2. Kondisi pemerintahan disentralistik harus dipertahankan, karena hal ini berdapak positif terhadap wujudnya pertumbuhan ekonomi yang merata353. Perubahan sistem pemerintahan dari yang bersifat sentralistik di era Orde

Lama dan Orde Baru ke sistem pemerintahan yang desentralistik di era Reformasi merupakan langkah maju, dan ini akan berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi yang merata di kalangan rakyat. Namun itu semua tidak serta merta terjadi pertumbuhan ekonomi merata secara otomatis, tetapi semuanya bergantung pada sejauh mana integritas dan kapabilitas para pemimpin bangsa dan para politisinya. Jika para pemimpin bangsa dan para elite politisi, integritas dan kapabilitasnya dipertanyakan, maka

352 Lihat, T. Mulya Lubis ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, h. 27 353 Ibid, h. 28 -29 408 pertumbuhan ekonomi yang merata akan tetap jauh dari kenyataan, atau setidaknya akan menjadi lamban.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa orientasi pemenuhan hak-hak sasi manusia dalam ekonmi, terutama yang berkenaan dengan pekerjaan dan penghidupan layak bagi rakyat harus menjadi prioritas perhatian bersama dengan berpijak pada prinsip-prinsip persamaan, keadilan, transparansi dan kejujuran, atau dengan lain kata ialah prinsip keadilan sosial 354 . Maka berdasarkan pertimbangan ruang dan waktu menurut Adi Sasono harus dikatakan bahwa keadilan sosial dalam ekonomi hanya mungkin dapat diwujudkan jika penguasaan sumberdaya berada di tangan rakyat banyak. Artinya jika penguasaan sumberdaya ekonomi di bawah kekuasaan segelintir orang saja akan menyebabkan terjadinya ketimpangan-ketimpangan sosial 355 , implikasinya keadilan sosial dalam ekonomi tidak dapat direalisasikan.

Namun demikian, T.Mulya Lubis memperingatkan bahwa keberhasilan bangsa Indonesia di dalam melakukan reformasi struktural ke depan akan bergantung pada sejauh mana masyarakat mampu membangun sikap dan budaya, serta semangat kemanusiaan yang dapat mengatasi arus materialisme dan konsumerisme yang secara jelas semakin nampak dalam pergaulan hidup, baik di era Reformasi ataupun di era sebelumnya356. Materialistik dan konsumeris diakui sebagai gaya hidup terutama bagi masyarakat yang sedang mengalami transformasi ke kondisi modern. Hal ini banyak dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang – seperti Indonesia-, maka gaya hidup materialistik dan konsumeris masih ketara melekat pada sebagian masyarakat Indonesia. Memang tidak bisa dihindari terjadinya pola dan gaya hidup, karena setiap hari masyarakat selalu disuguhi berbagai iklan TV. yang mencerminkan gaya hidup mewah ( glamour ). Hal ini

354 Lihat, Adi Sasono, Keadilan Sosial Tema Abadi, dalam, Muntaha Azhari, Abdul Mun`im Saleh ( Pnyt. ), Islam Indonesia Masa Depan ( Jakarta: P3M-Perhimpunan Pengembangan dan Masyarakat-, 1989 ), h.109 355 Ibid. h. 110 356 T. Mulya Lubis ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, h. 30 409 sebenarnya tidak menjadi masalah, kalau tingkat ekonomi negara tinggi, tingkat kesejahteraan masyarakat sudah merata dan tingkat daya beli masyarakat juga tinggi. Tetapi jika kondisi ekonomi masih di bawah tingkat rata-rata pendapatan negara berkembang 357 , maka implikasinya pada kemapanan ekonomi antara pendapatan dan pengeluaran tidak seimbang, di mana pengeluaran jauh lebih besar ketimbang pendapatan ( in come ), dan ini berdampak pada terjadinya ketimpangan-ketimpangan pada ekonomi masyarakat.

7. Keadilan Sosial Menuntut Pemerataan Kesejahteraan

Dalam membangun bangsa dan negara Republik Indonesia, keadilan sosial tidak saja menjadi dasar negara, tetapi sekaligus menjadi tujuan. Hal ini harus menjadi agenda utama pada setiap saat sampai kapanpun bagi siapa saja yang memimpin bangsa ini, agar kemakmuran dan kesejahteraan sebagaimana ditegaskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat direalisasikan serta dapat dinikmati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, keadilan sosial menjadi target bagi bangsa dan rakyat Indonesia untuk mencapai kemakmuran hidup dan stabilitas politik. Langkah utama ke arah ini ialah melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27, Ayat 2, yang berbunyi; Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maka, atas dasar ini keadilan sosial bertujuan hendak merealisasikan kesejahteraan secara umum dalam masyarakat sebagai warga negara dan penduduk

357 Negara berkembang ( developing country ) adalah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi relatif lamban sehingga dilakukan upaya-upaya melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Negara berkembang dapat diidentifikasi dengan cirri-cirinya sebagai berikut; 1. Pendapatan per kapita rendah, 2. Tingkat pendidikan penduduk rendah, 3. Tingginya angka pertumbuhan penduduk, 4. Banyaknya angka kematian bayi ( Infant Mortality Rate ), 5. Angka harapan untuk hidup rendah, 6. Banyak penduduk miskin, 7. Banyaknya pengangguran, 8. Tingkat ketergantungan tinggi, 9. Adanya ketergantungan pada sektor pertanian, 10. Sumber daya alam banyak yang belum dikelola karena kekuarangan tenaga ahli, 11. Banyak kekurangan modal sehingga mengandalkan pinjaman luar negeri, 12. Adanya ketergantungan pada impor barang-barang industri. 410 Indonesia358. Dalam konteks ini Moh. Hatta menegaskan bahwa dalam rangka keadilan sosial terdapat tujuan untuk memeratakan pendapatan rakyat, supaya dengan itu menjadi hilang perbedaan yang ketara antara yang kaya dan yang miskin. Dengan demikian, inti dari keadilan sosial ialah cita-cita kemanusiaan yang memenuhi hakikat yang adil, yaitu terpenuhinya segala sesuatu yang telah menjadi hak di dalam hubungan hidup kemanusiaan sebagai sesuatu yang wajib, apakah itu aspek politik, ekonomi, hukum dan sebagainya 359

Keadilan dalam aspek ekonomi ialah memberi hak yang sama dalam lapangan kehidupan kepada seluruh rakyat Indonesia. Dalam hubungan ini Moh. Hatta menegaskan bahwa; pemimpin-pemimpin Indonesia yang menyusun Undang-undang Dasar 1945 berkeyakinan bahwa cita-cita keadilan sosial dalam ekonomi dapat mencapai kemakmuran yang merata360. Tujuan ini, tegas Moh. Hatta telah ditanamkan di dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut;

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3. Bumi dan tanah air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Menurut Moh. Hatta; Pasal 33 dari Undang-undang Dasar 1945 ini adalah sendi utama bagi politik perekonomian dan politik sosial Republik

358 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. H. 470 359 Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( pidato peringatan lahirnya Pancasila di Gedung Kebangkitan Nasional ), h. 36 360 Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ( pidato peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, h. 36 411 Indonesia 361 . Berdasarkan pernyataan Moh. Hatta ini dapat dijabarkan bahwa untuk merealisasikan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus dilakukan penataan langkah-langkah kongrit dan strategis. Hal ini dimaksudkan untuk membuka lapangan kehidupan dalam berbagai sektor. Dalam konteks ini D. Chairat menegaskan bahwa; lapangan hidup ini bermacam-macam dan mempunyai aspek yang banyak, antaranya; tani, bisnis, industri kecil, industri besar, seluruhnya adalah termasuk segi penghidupan warga negara Indonesia362, maka berdasarkan sila keadilan sosial, kehidupan rakyat Indonesia tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya, antara besar dan kecil, antara industri besar dan industri kecil, perusahaan dan pertanian, semuanya harus mendapatkan keadilan dan pelayanan yang sama dari Pemerintah. Jika perusahaan-perusahaan besar dibantu melalui pemberian modal, kenapa tidak perusahan-perusahaan kecil tidak dibantu. Jika para pemilik PT mendapatkan fasilitas untuk membesarkan perusahaannya, maka para petani dan pedagang kecil pun sewajarnya mendapatkan pelayanan yang sama, agar demokratisisi ekonomi dapat direalisasikan dengan baik. Dan jika ini terlaksana, maka ekonomi kerakyatan363 sebagaimana diprogramkan di era Reformasi dapat diwujudkan.

Demokrasi ekonomi, menurut Muh. Yamin berhubungan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menghendaki pemerataan kesejahteraan dengan meminimalisir perbedaan atau jurang pemisah antara warga negara364. Ini artinya bahwa pertumbuhan ekonomi harus merata, sehingga tidak ada jurang pemisah antara rakyat yang tinggal di kota denga

361 Ibid. 362 D. Chairat, Falsafah Pancasila ( Jakarta: Wijaya, 1955 ), h. 21 363 Ekonomi kerakyatan dapat diartikan sebagai kegiatan yang menggunakan sumber-sumber ekonomi berdasarkan kepada demokrasi ekonomi, keadilan berusaha yang diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Lihat, M. Azrul Tanjung, Koperasi UMKM dan Paragdima Baru Ekonomi Kerakyatan ( Jakarta: JKPB Press, 2010 ), h. 51 364 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, h.471 412 rakyat yang tinggail di kampung, antara petani dan pedagang, antara PNS dan wiraswatawan, dan sebagainya. Untuk mewujudkan kondisi ini tentu saja harus didukung dengan kebijakan-kebijakan strategis, efektif, dan professional.

8. Membangun Masyarakat Sejahtera

Berbicara soal kesejahteraan. Kesejahteraan tidak mungkin wujud menjadi kenyataan jika tidak tercipta sistem perpolitikan nasional yang stabil atau mantap. Dalam konteks ini setidaknya ada tiga serangkai yang menjadi sendi atau landasan bagi terciptanya negara kesejahteraan. Tiga serangkai itu ialah;

1. Adanya sistem politik yang mantap. Hal ini sebagai landasan bagi lahirnya, 2. Kemajuan sosial-ekonomi berkelanjutan. Hal ini sebagai prasyarat untuk mendorong lahirnya, 3. Kesejahteraan sosial, martabat bangsa dan kecerdasan rakyat. Demikian ini sebagaimana ditegaskan Wakil Presiden RI; Prof. Dr. Boediono pada acara kuliah umum yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Jakarta, sebagai berikut;

. . . . . Sistem politik yang mantap adalah landasan bagi kemajuan sosio-ekonomi yang berkelanjutan. Pada gilirannya kemajuan sosio-ekonomi berkelanjutan adalah prasyarat mutlak bagi dimungkinkannya ( lahirnya ) kesejahteraan, martabat ( bangsa ) dan kecerdasan rakyat yang terus meningkat, yang pada gilirannya akan membuat sistem politik makin matang dan makin berakar365

Dengan demikian, maka kesejahteraan sosial merupakan inti dari keadilan sosial. Bahkan berdasarkan kondisi yang dialami oleh rakyat

365 Dipetik dari Kuliah Umum yang disampaikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia; Prof. Dr. Boediono di Universitas Islan Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis 23 Desember 2010 di Auditorium Harun Nasution, yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ( FISIP, UIN. 413 Indonesia, kesejahteraan merupakan sesuatu yang harus segera direalisasikan. Oleh karenanya, negara harus segera memastikan langkah-langkah kongrit, strategis, dan efektif untuk terciptanya kesejahteraan, karena sebagian besar rakyat Indonesia sudah terlalu lama dalam kondisi hidup penderitaan dan tidak menikmati hidup berkecukupan.

Kemunculan negara kesejahteraan berawal dari upaya negara untuk mengelola sumber daya yang dimiliki dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan ( welfare ) rakyat, kemudian negara merealisasikannya melalui kebijakan-kebijakan politik yang menghadirkan pelayanan sosial ( social services )366. Dengan demikian, negara kesejahteraan menghendaki peran negara yang lebih dominan terhadap pengelolaan sektor publik, kecuali dalam sektor-sektor ( perusahaan-perusahaan negara ) yang sudah jenuh atau kurang produktif 367 . Realitas ini bagi rakyat Indonesia sebenarnya sudah memiliki dasar yang kuat untuk merealisasikan cita-cita ini, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33, ayat 2, yang berbunyi bahwa; Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan ayat 3, dari Pasal 33, UUD-1945 lebih tegas menyatakan bahwa “ Bumi dan tanah air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

366 Sejarah kelahiran negara kesejahteraan ( menurut versi Barat ) ialah setelah negara-negara di Eropa dilanda krisis pasca perang Dunia I dan perang Dunia II. Munculnya negara kesejahteraan sebagai respon terhadap tantangan Kapitalisme dan kesulitan-kesulitan yang melanda karena depresi dan perang. Negara kesejahteraan di Eropa telah dimulai oleh Jerman pada masa Kanselir Otto Von Bismarck. Tujuan mendesak dari sistem negara kesejahteraan di Eropa adalah untuk meminimalisir akses Kapitalisme yang paling mencolok. Karena sistem Kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang tidak memihak kepada orang-orang lemah ( dhuafa ) atau miskin. Bahkan dalam sistem Kapitalisme, negara hanya memiliki peran yang terbatas dalam mengelola sektor publik, karena banyak persahaan-perusahaan milik negara diswastakan, artinya diserahkan kepada pihak swasta untuk dikelola. Selain dari itu, negara kesejahteraan adalah untuk mengurangi daya tarik sistem sosialis. Lihat, M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. “ Islam and The Ekonomic Challenge “ ( Jakarta: Gema Insani Press, 2000 ), h. 133 367 Terkait dengan sektor-sektor atau perusahaan-perusahaan negara yang sudah jenuh atau kurang produktif, bisa saja negara melakukan kebijakan swastanisasi agar tidak membebani negara. 414 dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara kesejahteraan ( welfare state ) adalah negara yang mengupayakan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini setidaknya ada tiga langkah yang harus dilaksanakan, yaitu;

1. Mengatasi dan mengantisipasi anarki produksi dan krisis ekonomi, 2. Meningkatkan jaminan hidup ( jaminan sosial ) warga, 3. Memberantas pengangguran368. Dalam pengertian lain, dapat ditegaskan bahwa negara kesejahteraan adalah negara yang merujuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih dominan kepada negara untuk menciptakan pelayanan sosial secara konfrehensif, maka fokus dari sistem negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan sebuah sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap warga negara sebagai gambaran adanya hak warga negara dan kewajibannya369. Oleh karena itu, negara kesejahteraan sebenarnya tidak sebatas menciptakan pelayanan-pelayanan sosial untuk orang-orang miskin saja, tetapi juga untuk semua penduduk atau warga negara, baik orang tua atau anak-anak, pria atau wanita, kaya atau miskin dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar pelayanan-pelayanan sosial sebagai fasilitas yang diselenggarakan dapat dinikmati bersama oleh seluruh warga negara secara merata.

Oleh karena itu, negara kesejahteraan merupakan bentuk negara yang memposisikan dirinya sebagai lembaga yang mampu memenuhi hak-hak sosial warganya. Kebijakan-kebijakan politik negara yang bertujuan untuk menghadirkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat merupakan komitmen politik yang harus dilakukan dari waktu ke waktu sebagai tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Dalam konteks ini negara diidentikkan sebagai lembaga yang mengeluarkan sejumlah kebijakan sosial sebagai langkah kongrit untuk menjembatani hubungannya dengan

368 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan ( Jakarta: LPKN, 2000 ), h. 708 369 Edi Suharto, Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos, artikel diakses pada 6 September 2008 dari http / 209.85.175.104 415 warganya. Kemudian untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat secara umum dan merata ada beberapa langkah prioritas yang harus dilakukan oleh negara, paling tidak untuk ukuran saat ini, yaitu;

1. Kebijakan terhadap peningkatan ketenagakerjaan. Kebijakan terhadap ketanagakerjaan ( employment policy ) merupakan kebijakan yang sangat penting di dalam negara kesejahteraan. Negara semaksimal mungkin berupaya membangun dan membuka seluas-lusanya lapangan kerja dalam berbagai sektor kehidupan sebagai upaya memenuhi tanggung jawab negara kepada rakyat, baik di sektor birokrasi, industri, perdagangan, pertanian, dan di sector-sektor lapangan pekerjaan lainnya. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meminimalisir pengangguran dan mengurangi ketergantungan rakyat pada tunjangan-tunjangan sosial yang disedikan negara.

2. Layanan maksimal bagi kelanjutan pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia, di mana setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. Oleh karenanya negara tidak bisa mengabaikan layanan pendidikan, karena negara yang penduduknya memiliki tingkat pendidikan yang rendah, negara akan berada pada klasifikasi negara terbelakang, dan kondisi ini memunculkan dampak yang tidak menguntungkan bagi negara, yaitu ketidak mampuan untuk berdaya saing atau berkompetisi dengan negara-negara maju, baik di tataran negara-negara regional ataupun dalam skala Internasional. Hal ini disebabkan karena warga negaranya tidak mampu mengakses informasi dan ilmu pengetahuan untuk kepentingan perkembangan dan kemajuan negaranya dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam politik, ekonomi, teknologi, pertanian, dan sebagainya. Sedangkan negara-negara yang penduduknya berpendidikan, maka negara akan berada pada tingkat kesejahteraan yang memadai. Ini disebabkan warga negaranya memiliki pendidikan yang cukup memadai, sehingga mereka mampu

416 mengakses informasi yang diperlukan untuk mencapai tingkat hidup yang lebih baik dan sejahtera.

3. Layanan kesehatan secara prima Di negara-negara berkembang dan negara-negara yang memiliki penduduk miskin yang relatif tinggi, layanan kesehatan gratis yang disediakan negara merupakan sesuatu yang sangat sulit didapatkan. Dalam negara kesejahteraan, layanan kesehatan merupakan salah satu pilar penting yang harus disediakan oleh negara, tentu saja dengan catatan bahwa layanan kesehatan yang disediakan Pemerintah harus prima. Di beberapa negara berkembang dan maju, termasuk Malaysia, memiliki skem layanan kesehatan yang cukup baik, tertata rapi, dan tidak memberatkan rakyat.

4. Ketersediaan Jaminan social secara merata Jaminan sosial ( social scurity ) secara umum adalah sistem penyimpanan dan pengelolaan dana segera yang dipakai untuk mendanai berbagai layanan sosial publik secara merata. Dana jaminan sosial merupakan dana yang dikumpulkan oleh negara melalui beberapa sumber pendapatan, antaranya melalui perpajakan ( terutama pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak bisnis ), dan melalui pungutan non-pajak, seperti potongan gaji untuk asuransi, dan sebagainya.

5. Perumahan Masyarakat miskin identik dengan tempat tinggal yang tidak layak atau bahkan bisa jadi tempat tinggalnya di kolong–kolong jembatan, atau di pinggir-pinggir tempat pembuangan sampah. Warga negara yang memiliki pendapatan rendah akan semakin sulit untuk memiliki tempat tinggal yang layak akibat rendahnya daya beli, ditambah dengan harga barang pokok, serta harga barang-barang bangunan melambung tinggi akibat inflasi yang tidak terbendung, dan mereka akan semakin menjadi warga negara yang terpuruk. Fenomena ini berdampak pada munculnya kawasan kumuh dengan fasilitas yang amat rendah dan tanah-tanah sengketa yang tidak jelas. Jika permasalahan perumahan ini tidak segera diatasi oleh negara, maka

417 akan menyebabkan naiknya angka kemiskinan, keterbelakangan yang berpotensi tumbuhnya kriminalitas. Dalam negara kesejahteraan, masalah layanan perumahan menjadi prioritas perhatian. Ada beberapa alasan kenapa kebijakan mengenai layanan perumahan menjadi tanggung jawab negara dalam model negara kesejahteran. Pertama, Perumahan adalah bagian dari pasar asset yang rentan terhadap spekulasi, karena sektor perumahan mampu menimbulkan krisis ekonomi ( seperti yang pernah terjadi di Amerika ) apabila tidak dikelola dengan baik. Jadi, sektor perumahan harus ditangani secara profesional dan serius oleh negara. Kedua, Perumahan secara langsung melibatkan tata ruang dan wilayah. Tata ruang dan tata wilayah merupakan pintu masuk kepentingan ekonomi dan politik, sehingga memerlukan pengaturan yang akuntabel. Ketiga, Berkembangnya kota-kota kecil menjadi mega-cities. Apabila pengelolaan sektor perumahan gagal ditangani secara profesional, masalah perumahan akan menjadi embrio kriminal. Untuk mengatasi permasalahan di atas, negara harus melakukan beberapa kebijakan, antaranya; a). Negara menyediakan fasilitas tanah sekaligus bangunan untuk layanan perumahan bagi warganya. Layanan perumahan ini bisa berupa penyediaan rumah sederhana atau rumah susun. b). Negara menyediakan skem-skem kredit rumah sesuai dengan jenis dan kelas perumahan, dengan tujuan agar warga negara bisa memiliki kualitas hidup yang baik dengan tempat tinggal yang layak dan dengan ansuran jangka panjang ( pola kredit dengan skem subsidi ). Dalam hal ini negara membeli perumahan melalui kerjasama dengan pengembang ( developer ), kemudian warga negara membelinya dengan harga yang jauh lebih murah.

Dengan melakukan beberapa langkah di atas, diharapkan rakyat dapat menikmati tingkat kemakmuran hidup dan kesejhteraan.

9. Ketimpangan Ekonomi Memperlambat Pembangunan

418 Sebuah fakta yang tidak dapat disembunyikan bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini, meskipun sudah berada di era Reformasi, masih tetap memperlihatkan ketidak mampuan untuk melepaskan diri dari ciri-ciri ekonomi tradisional, meskipun industrialisasi sudah berkembang dan para miliyarder ( miliyoner/orang kaya baru –OKB- ) bermunculan, tetapi yang menjadi fenomena di lapangan sebagian sebagian rakyat masih hidup bergantung pada hasil pertanian, pendapatan perkapitanya masih rendah dan pembagian pendapatan nasional masih belum merata. Berdasarkan pengalaman-penglaman masa lalu menunjukkan bahwa rakyat Indonesia masih belum dapat menerapkan teknologi tinggi untuk mengejar ketinggalan. Rakyat Indonesia terpaksa masih harus menerapkan teknologi sederhana untuk mencegah agar tidak sampai pembangunan yang tengah berjalan terkendala. Hal ini tentu saja bisa berimplikasi pada terjadinya pengangguran rakyat secara besar-besaran. Pengangguran akan berdampak pada bertambahnya masalah-masalah sosial ( social problems ), antaranya kemiskinan, kriminalitas, dan sebagainya. Dari aspek lain, dalam masyarakat yang sedang berkembang, masalah-masalah sosial akan bertambah terus dari waktu ke waktu karena meningkatnya pembangunan di berbagai wilayah yang tidak diringi dengan pembukaan lapangan pekerjaan baru secara merata. Pembangunan akan melahirkan perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan ini walaupun kelihatannya menyangkut aspek material, tetapi akan berimplikasi pada perubahan-perubahan nilai hidup manusia. Ini tidak berarti bahwa kita tidak menghendaki perubahan dari masyarakat petani ke masyarakat industri sebagai ciri negara maju, tetapi perubahan-perubahan itu bagaimana agar tidak memunculkan shock culture atau mengakibatkan terpinggirnya nilai-nilai luhur, seperti sikap bersopan santun, kepedulian kepada orang-orang fakir miskin, saling bantu membantu, saling hormat menghormati antara sesama, komitmen pada adat istiadat atau tradisi yang baik, dan sebagainya.

Jika memperhatikan beberapa tahun silam, yaitu pada sekitar tahun-tahun 1989 ketika Indonesia dilanda krisis berbagai dimensi, Indonesia

419 menurut Adi Sasono370 tengah menghadapi dua tantangan besar, Pertama; adanya kesenjangan melebar antara golongan kaya dan golongan miskin, Kedua; kecendrungan meningkatnya ketergantungan kaum miskin kepada para pemilik modal dan ketergantungan Indonesia kepada negara-negara maju. Kedua-dua masalah tersebut, menurut Adi Sasono telah sampai ke tingkat kritis, bahkan dikatakannya kedua-dua masalah tersebut sampai ke tingkat mengancam persatuan dan kesatuan nasional 371 . Apa yang diketengahkan Adi Sasono di atas, memberikan deskripsi bahwa masalah yang terjadi di Indonesia waktu itu adalah terjadinya jurang pemisah ( gap ) lebar antara yang kaya dan yang miskin, dan kondisi ini berimplikasi terjadinya ketergantungan orang miskin kepada orang kaya dan pada saat yang sama terjadinya ketergantungan Indonesia kepada negara-negara maju ( terutama kepada Jepang, Eropa dan Amerika ). Fenomena ini sebagai akibat dari salah urus terhadap aktifitas perekonomian yang didominasi oleh segelintir orang-orang tertentu yang menguasai pasar, dan secara kebetulan mendapatkan fasilitas-fasilitas dari Pemerintah yang berkuasa waktu itu. Budaya monopoli ini sebenarnya terjadi sebagai akibat dari tidak adanya keadilan sosial, terutama dalam hal pemberian modal kepada rakyat dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara merata. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa pada waktu itu tidak ada upaya-upaya pemeretaan ekonomi, tetapi mungkin efektifitasnya yang masih pada tingkat belum maksimal. Hal ini sebagaimana ditegaskan Adi Sasono bahwa; memang telah dilakukan beberapa bentuk bantuan, mulai bantuan karikatif ( amal kebajikan ), pinjaman modal sampai pada bentuk bapak angkat, tetapi upaya-upaya ini belum maksimal. Dalam arti lain, upaya-upaya ini belum melahirkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, merata dan agresif372. Hal ini memunculkan fenomena di mana orang-orang kaya bertambah kaya, dan orang-orang miskin tetap miskin, atau bahkan semakin miskin.

370 Adi Sasono pernah menjabat Menteri Koperasi dalam Kabinet Reformasi di era BJ. Habibie. 371 Adi Sasono, Keadilan Sosial Tema Abadi, dalam, Muntaha Azhari, Abdul Mun`im Saleh ( Pnyt. ), Islam Indonesia Menatap Masa Depan ( Jakarta: P3M, 1989 ), h. 108 372 Ibid. h. 109 420 Untuk penyelesaian masalah, pemberian modal secara merata kepada seluruh rakyat yang memerlukan harus segera dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tentu saja ini harus melalui skema dan syarat yang tidak terlalu ketat, serta melalui bimbingan dan penyuluhan yang memadai dan efektif agar sasaran yang diharapkan dapat tercapai. Pemberian modal dalam jumlah besar kepada para pengusaha besar ternyata tidak banyak memberikan efek meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang merata, dan justru malah menciptakan sistem ekonomi kapitalis. Kesejahteraan yang menjadi impian rakyat banyak, tidak kunjung datang. Rakyat banyak,( meskipun di era Reformasi ), masih tetap dibuai dengan janji-janji perbaikan nasib di masa depan. Harga barang kebutuhan pokok seperti; beras, sayur mayor, barang bangunan, gas, BBM, transportasi, baik udara, darat ataupu angkutan laut dan sebagainya semakin hari semakin meningkat, bahkan terkesan sekali naik tetap akan naik terus, sepertinya sudah menjadi fenomena bahwa jika barang sudah naik tidak mungkin akan turun kembali. Kenaikan harga barang yang tidak terkontrol ini mengakibatkan terjadinya inflasi berkali-kali di luar kewajaran. Sementara pendapatan rakyat banyak tidak memadai, akibatnya surplus antara pendapatan dan pengeluaran tidak seimbang, justru pengeluaran lebih tinggi ketimbang pendapatan ( income ), hal ini berakibat sering terjadinya defisit ( deficit ). Kondisi ini menyebabkan rakyat terpaksa mencari tambahan di luar jam kerja ( bagi para pegawai, baik negeri ataupun swasta ) dengan menguras tenaga dan fikiran untuk menutupi kekurangan. Jika kondisi ini berterusan dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, maka perekonomian rakyat akan bermasalah. Memperbaiki dan upaya pemulihan kondisi perekonomian yang parah tentu saja memerlukan waktu yang tidak sebentar, karena menyangkut berbagai aspek yang harus diperhatikan, antaranya; perilaku dan kebijakan para pembuat kebijakan ( decition makers ) serta implementasi dari kebijakan-kebijakan yang tepat dan pasti. Apa yang terjadi sebagaimana digambarkan di atas adalah sebagai akibat dari tidak adanya keadilan menyeluruh ( keadilan sosial ) pada masyarakat dalam berbagai aspeknya.

Secara umum dapat ditegaskan bahwa berbagai persoalan itu terjadi sebagai akibat dari; 421 1. Terjadinya pemusatan kekayaan dan pemilikan atas alat-alat produksi serta gaya hidup mewah pada sekelompok anggota masyarakat. 2. Kebijakan-kebijakan yang tidak tepat terhadap perekonomian nasional karena didasarkan kepada kepentingan kelompok tertentu, bukan atas dasar keberpihakan kepada rakyat, atau atas dasar pertimbangan kemaslahatan rakyat banyak. 3. Tidak adanya kontrol ( kawalan ) dari Pemerintah terhadap kenaikan harga barang, seolah-olah terkesan selama ini bahwa kenaikan harga barang diserahkan kepada para pemain pasar untuk menentukan naik –turunnya harga barang, ini sebenarnya sebagai akibat dari diberlakukannya pasar bebas ( free trade market ), maka tidak heran jika dalam setahun saja bisa terjadi kenaikan harga berkali-kali, akibatnya terjadi inflasi yang tidak bisa dibendung, akibat lanjutnya adalah daya beli masyarakat menurun. 4. Terjadinya PHK pada beberapa perusahan, baik besar atau kecil. Hal ini menyebabkan bertambahnya pengangguran. 5. Meluasnya kemiskinan, dan memburuknya kondisi ekonomi yang berimplikasi terjadinya ketimpangan-ketimpangan pendapatan. Fenomena ini menurut T. Mulya Lubis sering dilaporkan sebagai masalah yang terjadi pada negara-negara berkembang yang melaksanakan program pembangunan berorientasikan gross national product atau penghasilan kasar negara373. Dalam hal ini termasuk Indonesia yang terus menerus terjadi ketimpangan-ketimpangan ekonomi, sehingga hal ini berimplikasi lambannya pembangunan Indonesia untuk mencapai negara maju, baik dalam skala regional ataupun Internasinal.

10. Keberhasilan Membangun Indonesia Ke Depan

Namun demikian, secara umum dapat ditegaskan bahwa untuk mencapai keberhasilan pembangunan ke depan terletak pada sejauh mana rakyat Indonesia mampu merealisasikan beberapa faktor di bawah ini, antaranya;

373 T. Mulya Lubis ( Pnyt. ), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia ( Jakarta: Djaya Pirusa, 1989 ), h. 26-27 422 a. Adanya stabilitas politik dan ekonomi yang mantap, b. Terciptanya situasi yang bebas yang dapat menumbuhkan daya kreatifitas masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, c. Adanya modal yang cukup memadai untuk mendanai proyek-proyek pembanguan, d. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, e. Profesionalitas yang tinggi dalam bekerja berdasarkan kejujuran dan tanggung jawab, f. Pemberantasan korupsi yang lebih efektif dan signifikan. Kesemuanya itu terletak pada kemampuan dan upaya-upaya pemerintah dan rakyat Indonesia dalam merealisasikan faktor-faktor tersebut dan tentu saja harus selalu dilakukan evaluasi dari waktu ke waktu, agar upaya-upaya tersebut membuahkan hasil yang lebih berarti bagi pembangunan bangsa dan negara di masa depan. Terkait dengan korupsi. Korupsi pada dasarnya mengakibatkan kerugian bagi negara dan rakyat banyak, karena uang negara digerogoti dan digelapkan oleh para koruptor. Jika korupsi tidak diberantas, maka negara dan bangsa Indonesia bisa terperosok ke dalam jurang pailit atau bengkraf. Maraknya tindak kejahatan, termasuk dalam hal ini tindakan korupsi, dalam batas-batas pandangan agama ( agama Islam ) adalah karena faktor mentalitas bangsa Indonesia yang rendah yang tidak memiliki sikap jujur ( amanah ) dan tanggung jawab, karena korupsi terjadi bukan saja karena tidak adanya iman di dalam hati, tetapi juga bisa terjadi karena adanya kesempatan atau peluang untuk melakukannya, meskipun dari aspek lain dapat dikatakan bahwa korupsi terjadi karena adanya salah satu dari tiga faktor, yaitu; Pertama, karena kebutuhan, Kedua, karena serakah, dan Ketiga, karena sistem yang berlaku menyebabkan orang mudah melakukan tindak korupsi. Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya-upaya pemberantasan korupsi menjadi agenda utama Pemerintah di era Reformasi melalui badan yang diamanati untuk menuntaskan masalah korupsi, yaitu; KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ). Di era Reformasi banyak terjadi penangkapan terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindak korupsi, baik pejabat Eksekutif, Legislatif, dan bahkan para pejabat Judikatif. Tetapi upaya-upaya pemberantasan korupsi masih berkutat ( berjalan ) di tempatnya,.Pemberantasan korupsi dinilai masih belum membuahkan hasil signifikan, faktanya bahwa hukuman yang dikenakan kepada para terpidana korupsi tidak menimbulkan rasa jera, 423 implikasinya tindak korupsi berlanjut terus, bahkan menurut Abraham Samad ( Ketua KPK tahun 2011 – 2015 ) bahwa tindak kejahatan korupsi mengalami regenarasi, akibatnya tindak korupsi dilakukan oleh para koruptor baru tanpa ada rasa takut atau malu. Dan ini artinya bahwa upaya-upaya pemberantasan tindak kejahatan korupsi selama ini belum efektif. Oleh karena itu jika pendekatan pemberantasan korupsi tidak ditingkatkan efektifitasnya, misalnya dengan menerapkan hukuman yang seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi yang telah sampai pada tingkat-tingkat tertentu, yaitu sampai tingkat merugikan negara dan menyengsarakan rakyat banyak, maka pemberantasan korupsi tidak banyak memberikan dampak positif terhadap kehidupan perpolitikan nasional ataupun pada pertumbuhan perekonomian secara merata. Barangkali rakyat dan bangsa Indonesia tidak perlu malu-malu untuk belajar melakukan studi komparatif ke China dan Jepang yang telah berhasil memberantas tindak korupsi melalui hukuman mati terhadap para pelaku korupsi, ternyata hukuman mati ampuh ( effective ) menimbulkan rasa jera, dapat dipastikan masyarakat merasa takut melakukan tindak korupsi karena takut dihukum mati, tidak perlu banyak orang yang dihukum mati, satu, dua, tiga orang koruptor saja yang dihukum mati akan berdampak membuat jera bagi seluruh rakyat Indonesia untuk tidak melakukan tindak kejahatan korupsi. Jika hal ini yang menjadi kebijakan Pemerintah, Indonesia tidak perlu merasa riskan atau bersalah bila kemudian ada tuduhan sebagai negara yang tidak menghormati HAM.

424 11. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terkait dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kini dapat disampaikan beberapa poin kesimpulan, antaranya;

1. Keadilan sosial meliputi seluruh aspek kehidupan; hukum, ekonomi, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, dan sebagainya. 2. Keadilan sosial diwujudkan untuk terciptanya kedamaian dan kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat. 3. Hukum dapat memperlihatkan efektifitasnya jika dapat mewujudkan keadilan yang sebenarnya, serta dapat menimbulkan efek jera. 4. Kemakmuran dan kesejahteraan hidup menjadi tujuan setiap rakyat, dan ini hanya dapat direalisasikan melalui demokratisasi ekonomi atau pemerataan ekonomi. 5. Sistem politik yang stable ( mantap ) akan menciptakan kemajuan sosial ekonomi berkelanjutan yang pada gilirannya akan melahirkan kesejahteraan sosial, martabat bangsa, dan kecerdasan rakyat. 6. Keberhasilan suatu bangsa tidak saja diukur dengan keberhasilan pembangunan yang bersifat materi, tetapi juga harus diukur dengan keberhasilan melahirkan sikap mental yang jujur, amanah dan bertanggung jawab.

425 DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Filsafat Pancasila, Jakarta: IND-HILL, 1991.

Asmara Hadi, Pancasila: Doktrin Revolusi Nasional Rakyat Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit Nasional, 1951.

A.Gunawan Setiardja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1983.

Abubakar ( pnyt.), Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: t.pt. 1975.

A.Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU ? Konsepsi Tentang Agama, Pendidikan dan Politik, Butaran Sanusi Rony Kaloke dan Kasunandar ( pnyt.), Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1983.

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1980.

------, Politik Kebudayaan dan Manusia, Jakarta: LP3S, 1980.

Adi Sasono, Keadilan Sosial Tema Abadi, dalam, Muntaha Azhari, Abdul Mun`im Saleh ( pnyt.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M ( Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat ), 1989.

A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, Jakarta: CSIS ( Centre For Strategic and International Studies ), 1985.

A. Poedja, Rev. Fr. Pancasila Dalam Renunganku, T. tp. T. pt. 1969.

Azam, Abd. Al-Rahman, The Eternal Message of Muhammad, London: Quarter, 1964.

426 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Darul Falah, 1999.

Abdul Qahhar Muzakkar, Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia: Koreksi Pemikiran Politik Pemerintahan Soekarno, Jakarta: Madinah Press, 1999.

A.S.S. Tambunan, Dualisme Naskah UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.

A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1967.

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia: Studi Legal Atas Konstitusi 1956 – 1959 ( terj. Sylviatiwan ), Jakarta: Grafiti, 1995.

Adam Malik, Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Jakarta: Wijaya, 1970.

Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majmuk, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1995.

Ahmad Sanusi, Islam, Revolusi dan Masyarakat, Bandung, Duta Rakyat, 1969.

Agoes Salim, Ketuhanan Yang Maha Esa, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Bandung: Alumni, 1981.

------, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta: Gema Insani, 1995.

Abdul Munir Mulkan, Perubahan Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologi, Jakarta: Rajawali, 1989. 427 Abdul Halim El-Muhammadi, Tinjauan Kepada Perundang-undangan Islam, dalam, Abdul Munir Yacoob Sarina Othman ( pnyt.) Kuala Lumpur: IKIM ( Institut Kefahaman Islam Malaysia ), 1996.

Amrullah Ahmad ( pnyt.), Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta: PP. IKAHA, 1994.

Al-Sharif, Ahmad Ibrahim, Makkah wa al-Madinah fiy al-Jahiliyyah wa `ahd al-Rasul, T.tp. Dar al-Fikr al-`Arabiy, T. th.

Al-`Ayd, Ahmad, al-Mu`jam al-`Arabiy, T. tp.: al-Munazamat al-`Arabiyah Li al-Tarbiyyah wa al-Ulum, T.th.

Ahmad Fadhali et al, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Asastruss, 2004.

A.Ubaedillah dan abd. Rozak ( pnyt.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ( edisi ke tiga ), Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008.

Anas Urbaningrum, Islam, Demokrasi, Pemikiran Nurcholis Madjid, Jakarta: Republika, 2004.

Artani Hasbi, Masyarakat dan Demokrasi, Analisis Konseptual Aplikatif Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Economic Doctrines of Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1996.

Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, Yogyakarta: Surya Raya, 2004.

Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, Jakarta: Gema Insani, 2009.

428 As`ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta: LP3S, 2009.

Abbas Hamami Mintaredja, dkk. ( ed.), Memaknai Kembali Pancasila, Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2007.

Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.

Al-Fara`, Abu Ya`la, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Qahirah: Mathba`ah al-Babiy al-Halabiy, 1938.

Abdul `Athi, Hammudah, Islam Satu Kepastian, terj, dari, Ta`rifun bi al-Islam, Kuet: Internasional Islamic Federation of Student Organisation, 1986.

Al-Khuliy, Jum`ah, al-Ittijah al-Fikriyah al-Mu`ashirah wa Mauqif al-Islam Minha, Universitas Islam Madinah, 1986.

Abdul Hamid, Muhsin, al-Mazhabiyah al-Islamiyah wa al-Taghayyur al-Hadhariy, Beirut: Muassisah al-Risalah, 1985.

Abdullah Darraz, Muhammad, al-Din Buhuth Mumahhidah Li Dirasat Tarikh al-Adyan, Beirut: Dar al-Kutub, 1970.

Abu Zahrah, Muhammad, al-Wahdah al-Islamiyah, dalam, Abdul Karim Biy Azar al-Shayiaziy ( pnyt.), al-Taqrib bayna al-Mazhab al-Sab`ah, Lubnan: Muassisah al-`Alamiy, 1975.

------, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah fiy al-Siyasah wa al-`Aqid wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyyah, al-Qahirah: Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1996.

Al-Sayyid al-Wakil, Muhammad, al-Madinah al-Munawwarah `Ashimah al-Ula, Jeddah: Dar al-Mujtama`, 1406 H./1986 M.

Al-`Aeyd al-Khathrawiy, Muhammad, al-Madinah Fiy al-Jahiliyah, Damaskus: Muassisah al-`Ulum al-Qur`an, T.th.

Aziz Nazamiy Salim, Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, Iskandariyah: Muassisah Shahab al-Jami`ah, 1996. 429 Al-Rafi`ie, Musthafa, al-Islam Din al-Madaniyah al-Qadimah, Beirut: al-Shingkat al-`Alamiyah Li al-Kitab, 1990.

Abu al-Hasan, al-Mawardiy, al-Ahkan al-Sulthaniyah, Qahirah:Matba`ah al-Babiyal-Halabiy, 1960.

------, al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, Beirut: al-Maktabah al-Islamiy, 1416 H./1996 M.

------, Adab al-Qadhi, Baghdad: Matba`ah al-Irshad, 1970.

Asad, Muhammad, The Principle of State Government In Islam, Gibraltar: Dar al-Andalusi, 1961.

Al-Naysaburiy, Abiy al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qushayriy, Sahih Muslim, 2 Jld. Beirut: Muassisah Izzuddin, 1407 H./1987 M.

Al-Samira`ie, Nu`man Abul Razaq, Mabahith Fiy al-Thaqafah al-Islamiyah, Riyadh: Maktabah al-Ma`arif, 1404 H./1984 M.

Abu Jayb, Sa`idiy, Dirasat Fiy Manhaj al-Islam al-Siyasiy, Beirut: Muassisah al-Risalah, 1985.

BP-7, Bahan Penaran, Jakarta: BP-7 Pusat, 1991.

Bachtiar Djamily, Bung Karno: Ajarannya dan Pelaksanaannya, Jakarta: Biro Ikhwan Surabaya, 1988.

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paeamadina, 1998.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001.

Boland, B.J. The Straggle of Islam In Modern Indonesia, The Hagoe: Martinus Nijhoff, 1971.

Badawiy, A. Zaki, A Dictionary of The Social Science, Beirut: Librairie Du Liban, 1987.

430 Borg, W.R. & Gall M.D. Education Research, London: Longmen, 1989.

C.S.T. Kamil, Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, Jkarta: Pradnya Paramita,, 1974.

D. Chairat, Falsafah Pancasila, Jkarta: Wijaya, 1955.

Darji Darmodiharjo, et al, Santiaji Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1970.

Dawam Raharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.

Department of Religious Affairs of The Republic of Indonesia, The History and The Role of The Department of Religious Affairs of The Republic of Indonesia, Jakarta: Burean of Public Relation, Department of Religious Affairs, 1975.

------,Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbitan dan Pengembangan Agama, Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997.

------, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1983/1984.

Djohan Effendi, Moeslim Abdurrahman & Soenarto Soedarto ( team perangkum ), Agama Dalam Pembangunan Nasional: Himpunan Sambutan Presiden Soeharto, Jakarta: Pustaka Biru, 1981.

Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: C.V. Rajawali, 1983.

E. Saifuddin Anshari, The Jakarta charter 1945 The Struggle for an Islamic Constitution in Indonesia ( edisi Bahasa Inggris ), Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia ( ABIM ), 1979.

------, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 – 1959 ( edisi Bahasa Indonesia ), Jakarta: C.V, Rajawali, 1983.

431 Esposito, John L. dan Jonh O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, Problem dan Prospek, terj. Islam and Democracy, Bandung: Mizan, 1991.

------, Islam dan Politik, terj. Islam and Politic, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Fachry Aly, Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik, Jakarta: Pustaka antara, 1984.

Faisal Baasir, Etika Politik: Pandangan Seorang Politisi Muslim, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

Gay, L.R., Education Research Competencies for Analysis and Application, Columbus: Merrill Publishing Company, 1987.

Geertz, Clifforrd, The Religion of Java, Illionis: The Pree Press of Glencoe,1960.

Hazairin, Piagam Jakarta Demokrasi Pancasila, Jakarta: Tintamas, 1970.

Harun Nasution, The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Movement for It`s Creation and The Theory of The Masumi, ( MA Thesis, I.I.S. Mc Gill University ), Montreal Kanada, 1965.

------, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jil. 1, Jakarta: Universitas Indonesia, 1985.

Hasbullah Bakry, Iman dan Kepercayaan Islam, Jakarta: CV. Granada, 1986.

Herbert Feith & Lance Castle ( pnyt.), Indonesian Political Thinking, Ithaca, New York: Cornel University Press, 1970.

Hasbullah, Ali, Muhadharat Fiy Ilmi al-Tauhid, Mesir: Mathba`ah al-Ulum, 1952.

Imam Toto K. Rahardjo dan Herdianto, Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, dalam, Bung Karno dan Ekonomi Berdikari Kenangan 100 Tahun Bung Karno, Jakarta: Grasindo, 2001.

432 Issawi, C, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terj. An Arab Philosophy of History, Jkarta: Tintamas, 1976.

Idris Zakaria, Teori Politik al-Farabiy dan Masyarakat Melayu, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991.

Inu Kencana Syafi`e, al-Qur`an dan Ilmu Politik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996.

Ignas Keiden, Melacak Akar Konsep Demokrasi: Suatu Tinjauan Kritis, dalam, Sari Islam dan Demokrasi, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, oleh Ahmad Suaidy ( ed.) Yogyakarta: LKIS, 2000.

Ibnu Rushd, Abu al-Walid, Fashl al-Maqal Fiy Ma Bayna al-Hikmah wa al-Shari`ah Min al-Ittishal, Beirut: al-Muassissat al-`Arabiyah, T.th.

Ibnu Taimiyah, Mu`jam Fatawa, (37 Jld.), Qahirah: Idarah al-Masahah al-`Ashkariyah, 1404 H.

Ibnu Hisham, al-Sirah al-Nabawiyah, ( 2 Jld. ), Beirut: Dar Ihya al-Turath al-`Arabiy, 1981.

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Qahirah: al-Mathba`ah al-Khadiuwiyah, 1284 H.

Juwono Sudarsono, Peranan Ilmu Politik Dalam Memantapkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Ditinjau Dari Ilmu Hukum Internasional, dalam, Alfian dan Hidayat Mukmin ( pnyt.), Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia Serta Perannya Dalam Kemantapan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

J. Zarcher, Arnold ( ed.), Constitution and Constitutional Trends Since World War II, New York: New York University Press, 1955.

J.H. Raper, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

J.M. Vander Kroef, Indonesian In Modern World, Bandung: Masa Baru Ltd, 1956.

433 John ( Yohanna ) Qumair, Usul al-Falsafah al-Arabiyah, Beirut: al-Mathba`ah al-Katholiqiyah, T.th.

Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila ( cet. 1 ), Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H./ 1984.

Kirdi Dipoyudo, Pancasila: Arti dan Pelaksanaannya, Jakarta: Yayasan proklamasi CSIS, 1979.

Kahin, G. Mct, Nationalism and Revolution In Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, 1952.

Konstituante Republik Indonesia, Risalah Perundangan, Jld. I – II dan VIII, Bandung: Masa Baru, 1958.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.

Khamaini Zada dan arief R. Arofah, Diskursus Politik Islam, Jakarta: Lembaga Studi Islam Progresif ( LSIP ), 2004.

Lembaga Soekarno-Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Inti Idayu Press, 1984.

Lukman Harun, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.

Lewis, Bernad, Bahasa Politik Islam, terj. The Political Language of Islam, oleh Ihsan Ali Fauzi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia ( MPR RI ), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia No. II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, 1988.

------, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia No. II/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, 1988.

------, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, Surabaya: Bina Pustaka Tama, 1993.

434 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Jambatan, 1954.

------, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jld. I, Jakarta: Siguntang, 1971.

------, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960.

Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Tintamas, 1969.

------, Uraian Pancasila, Jakarta: Mutiara, 1977.

------, Pengertian Pancasila ( pidato peringatan lahiornya Pancasila 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional ), Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1978.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik ( edisi revisi), Jakarta: PT. Gramedia Utama, 2008.

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993.

Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996.

Masykur Hakim dan Tanu Wijaya, Model Masyarakat Madani, Jakarta: Intimedia, 2003.

M. Umer Chapra, Negara Kesejahteraan Islami dan Peranannya di Bidang Ekonomi, dalam, Ainur Rafik ( ed.), Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Setrateg iPembangunan Masyarakat Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1997.

------, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Islam and The Economic Chalenge, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

435 M. Syamsudin, Pendidikan Pancasila, Menempatkan Pancasila Dalam Konteks Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan, Yogyakarta: Total Media, 2009.

M. Azrul Tanjung, Koperasi UMKM dan Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: JKPB, 2010.

Muhammad Asad, The Principles of The State and Government in Islam, Gibraltar: Dar Andalusia, 1980.

M. Abdul Karim dkk. Wacana Politik Islam Kontemporer, Yogyakarta: Suka Press, 2009.

Muhammad Natsir, Islam Sebagai Ideologi, Jakarta: Pusaka Lida, 1951.

------, Islam Sebagai Dasar Negara, Bandung: T.pt. 1957.

Moeslim Taher, Sistem Pemerintahan Pancasila, Jakarta: Penerbit Nusa Bangsa, T.th.

Mohammad Roem, Lahirnya Pancasila 1945 Tiga Peristiwa Bersejarah, Jakarta: Sinar Idayu, 1972.

Muhammad Ridwan Lubis, Pemikiran Soekarno Tentang Islam dan Unsur-unsur Pembaharuannya, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1992.

Muntaha Azhari dan abdul mun`im Saleh ( pnyt.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: CV. Guna Aksara, T.th.

M. Rusli Karim ( pnyt.), Muhammadiyah Dalam Kritikan dan Komentar, Jakarta: CV. Rajawali, 1986.

------, Nuansa Gerak Politik Era 1980-an di Indonesia, Yogyakarta: Media, Widya Mandala, 1992.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.

Martin Sardy ( pnyt.), Agama Multidimensional, Bandung: Alumni, 1983.

436 Majelis Ulama Indonesia ( MUI ), Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama, Solo: CV. Ramadhani, 1987.

Machnum Husein ( pnyt.), Islam dan Pembaharuan, Encoklopedian Masalah-masalah, terj. Islam in Transtition Muslem Perspectives, Jakarta: CV. Rajawali, 1984.

Mintz, Jeannes, Mohamed, Max, Marhaen, The Roots of Indonesian Socialism, New York: Frederik A-Proeger Publishers, 1965.

Muhammad Hamidullah, Majmu`ah al-Siyasiyyah Li al-`Ahd al-Nabawiy wa al-Khalifah al-Rashidah, Beirut: Dar al-Irshad, 1969.

Muhammad Jamaluddin Surur, Qiyam al-Daulah al-`Arabiyah al-Islamiyah Fiy Hayati Muhammad saw. Qahirah: Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1977.

Muhammad Jalal Abu al-Futuh Sharaf dan Ali Abdul aql-Mukthi Muhammad, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, Shakhshiyyat wa al-Mazahib, T.tp.: Dar al-Makrifah al-Jami`iyyah, 1996.

Majid Khadduri, War and Peace In The Law of Islam, Baltimore: The Johns Hopkins Press, 1955.

M. Hadi Hussain and A.H. Kamali, The Nature of The Islamic State, Karachi: National Book Foundation, 1977.

]Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1983.

------, Naskah Proklamasi Yang Otentik dan Rumusan Pancasila Yang Otentik, Jakarta: T.pt., 1976.

Notonagoro, Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Yogyakarta: Universitas Gaja Mada, 1956.

------, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, T.tp.: T.pt., 1967.

------, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta: PT. Bina Akasra, 1981.

437 ------, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1983.

Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Liberty, 1985.

Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1998.

Al-Nadawiy, Abu Hasan Aly al-Hasaniy, Kerugian Apa Yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan Kaum Muslim, terj. Kuet: I.I.F.S.O., 1984.

Nieuwenhuijze, C.A.D. Van, Aspects of Islam in Post Colonial Indonesia, The Hague and Bandung: W.Van Hoeve, 1958.

Nicholson, R.A. A Literary History of The , New York: Cambridge University Press, 1969.

O. Hashem, Pembahasan Ilmiah Tentang Ke-Esaan Tuhan, Surabaya: Yapi, 1962.

Oetojo Oesman dan alfian ( pnyt.), Pancasila Sebagai Ideologi DalamBerbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara, Jakarta: BP-7 Pusat, 1990.

Prawoto Mangkusasmito, Rumus Pancasila dan Sejarah Pertumbuhannya, Jakarta: Lembaga Riset dan Perpustakaan, T.th.

------, Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

Pramudito Sumalyo, Ideologi Negara dan Tantangan Zaman, Jakarta: PT. Golden Terayon Press, 1995.

Paulus Wahana, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Pringgodigdo, A.K., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1967.

P. Sharma dan St. H. Rivai Abidin, Sistem Demokrasi Yang Hakiki, Jakarta: Tayasan Menara Ilmu, 2004.

438 Philip K. Hitti, Capital Citiers of Arab Islam, Minnesota: University of Minnesota Press, 1973.

Qamaruddin Khan, al-Mawardi`s Theory of the State, Lahore: Bazm-I-Iqbal, T.th.

Roeslan Abdulgani, Pengembangan Pancasila di Indonesia, Jakarta: Idayu Press, 1976.

------, Pancasila The Prime Mover of Indonesian Revolution, Jakarta: Prapanca, T.th.

Rahmat Subagya, Pancasila Dasar Negara Indonesia, Yogyakarta: Basis, 1955.

Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan ( LSIP ), 1995.

Rashid Ridha, Muhammad, Tafsir al-Mannar, T.tp.: Dar al-Fikr, T.th.

Rawwas Qal`ah Jiy, Muhammad, Qiraah Siyasiyyah Li al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: Dar al-Nafais, 1416 H./1996.

Soekarno, Lahirnya Pancasila, ( pidato pertama tentang Pancsila 1 Juni 1945 ), T.tp.: T.pt. T.th.

------, Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Yayasan Prapanca, T.th.

------, Indonesia Menggugat ( pidato pembelaan Bung Karno di depan Hakim Kolonial ), Jakarta: S.K. Seno, 1951.

------, Lahirnya Pancasila, dalam, Tujuh Bahan Indoktrinasi, Jakarta: Dewan Pertimbangan Agung, 1961.

------, Di Bawah Bendera Revolusi I – II, Jakarta: Panitia Di Bawah Bendera Revolusi, 1963-1964.

Soeharto, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS, 1976.

439 Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila dan/dalam Undang-undang Dasar 1945, Bandung: Bina Cipta, T.th.

Sayidiman Suryohadiprojo, Pancasila, Islam dan ABRI, Jakarta: PT. Penebar swadaya, 1992.

Sumitro, Budaya Politik Dalam Perkembangan Demokrasi Di Indonesia, dalam, Demitologisasi Politik Indonesia Menguasai Elitisme Dalam Orde Baru, oleh Syarofin Arba MF, Jakarta: Pustaka Gresinda, 1998.

Said Agil Husin al-Munawwar, Fiqih Hubungan Antar Agama, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Soetrisno Bachir, Membangun Kemandirian Bangsa, Jakarta: Belantika, 2005.

Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta: PT. Gramedia, 1989.

Sartono Kartodidjo, Sejarah Nasional Indonesia I – VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1977.

------, ( ed.), Indonesian Historiography: A Search for The Identity of National History, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Penaku, 2008.

Soepardo et al, Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia ( Sivics ), , Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1962.

Solichin Salam, Haji Agoes Salim Pahlawan Nasional, Jakarta: Jayamurni, T. th.

Saifuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1981.

Sekretaris Negara Republik Indonesia, Himpunan Risalah Sidang-sidang Dari BPUPKI dan PPKI, T.tp.: T.pt., T.th.

440 Sulaiman Noordin, Islam, al-Qur`an dan Ideologi Masa Kini, T.tp.: Pusat Pengajian Umum Universiti Kebangsaan Malaysia, 1990.

Soerono ( Jenderal ), Usaha Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat, dalam, Majalah Mimbar Ulama, Jakarta: Terbitan Desember, 1978.

S. Ziyad Abbas ( pnyt.), Pilihan Hadis Politik, Ekonomi dan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991.

Surtahman Kastim Hasan, Ekonomi Islam, Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1990.

Smith, Donald Eugene, Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analisis, terj. Religion and Political Development: an Analytic Study, oleh Machnum Husein, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Sabine, George H., Plato: The Republik, dalam, A History of Political Theory, New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co, 1973.

Sukran Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah konseptual dan Historis, Jakarta: Gaya Media, 2002.

Team Peneliti PSIK, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman, Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008.

Team Perangkum Badan Litbang Agama, Ketakwaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Berbagai Sistem Sosial budaya Masyarakat di Indonesia, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kegamaan, Departemen Agama RI, 1989/1990.

Team Penyusun Buku 70 Tahun K.H. Achmad Sjaichu, Kembali Ke Pesantren, Kenagnan 70 Tahun K.H. Achmad Sjaichu, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1991.

T.M. Usman El-Muhammady, Antropologi Religi dan Pancasila, Jakarta: Pustaka Agus Salim,1969.

441 T. Mulya Lubis ( pnyt.), Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Indonesia 1981, Jakarta: Djaya Pirusa, 1983.

Teuku Ramli Zakaria, Peranan Pendidikan Pancasila Dalam Membina Sikap Moral Pelajar Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ( Disertasi Ph.D. di Universiti Kebangsaan Malaysia, 1997.

Umar Hasyim, Negeri Allah, Adil Makmur di Bawah Ampunan Allah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981.

Undang-undang Dasar 1945, P-4, GBHN, Tap-Tap MPR 1988.

Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Kabinet Indonesia Bersatu Periode 2004 – 2009.

Wolter Bonar Sidjabat, Religiouse and Tolerance and The Christian Faith, Jakarta: Badan Penerbit Kristian, 1965.

W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statemen, New York: Oxford University Press, 1964

------, Muhammad at Medina, London: Oxford University Press, 1972.

Weisman, W. , Research Methods in Education, Boston: Allyn and Bacon, 1991.

Yayasan Pembela Tanah Air ( Yapeta ), Sejarah Lahirnya Pancasila, Jakarta: Yapeta, 1995.

Yusuf Qardhawiy, Fiqh Daulah Dalam Perspektif al-Qur`an dan Sunnah, terj., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.

Y. Mansur Marican, Perkauman, Perpaduan dan Persemufakatan, dalam, Masalah Perkauman dan Perpaduan, Kuala Lumpur: Buku Kreatif Sdn, Bhd., 1986.

Z.S. Nainggolan, Pandangan Cendikiawan Muslim Terhadap P-4, Jakarta: PT. Gema Isra Utama, 1986. 442 Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad saw. Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Ziauddin Sardar, Masa Hadapan Islam, Bentuk Idea Yang Akan Datang, terj. Islamic Future, The Shape of Idea to Come, oleh Mohd. Sidin Ahmad Ishak, Kuala Lumpur: DBP, 1985

Zaenal A. Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia Ke Orbit Dunia, Jakarta: DCSC Publishing, 2008.

Zafir al-Qasimiy, Nizam al-Hukmi Fiy al-Shari`ah wa al-Tarikh al-Islamiy, Beirut: Dar al-Nafais, 1983.

Working Paper

Boediono ( Wakil Presiden RI ), Konsolidasi Demokrasi Kita, Kuliah Umum disampaikan pada Auditorium Harun Nasution, Penyelenggara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN

Mattulada, Implementasi Agama dan Budaya Dalam Pembentukan Sumberdaya Manusia, Makalah disampaikan pada Seminar Internasional tentang Ilmu-ilmu Usuluddin dan Falsafah, Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1996.

Faisal Haji Othman, Program Pelaksanaan Perpaduan Nasional Dari Perspektif Islam, Kertas Kerja disampaikan pada Simposium Perpaduan Negara 17 Januari 1988 di Universiti Kebangsaan Malaysia ( UKM ).

Singgih, Pembinaan Aliran Kepercayaan di Indonesia, Kertas Kerja dipresentasikan pada Seminar Internasional di Hotel Kota Makasar, Sulawesi, 18 Desember 1996,

443 Ting Chiew Peh, Komunitas Bukan Melayu dan Perpaduan Nasional, Kertas Kerja dipresentasikan pada Simposium Perpaduan Negara di Bilik jumuah Universiti Kebangsaan Malaysia, 16 Januari 1998.

Majalah

Gatra ( Majalah Mingguan ), No. 30, tahun 1, Jakarta, 10 Juni 1995.

Panji Masyarakat, 1 Mei 1996.

Berita Harian

Republika ( Berita Harian Indonesia ), dalam, Jefferson Kameo, Pilar Negara Demokrasi di Indonesia 1998.

------, 2 Desember 1998,

------, 18 Desember 1998.

------, 6 Oktober 1999,

------, 17 Agustus 1999.

444 INDEX

A

A.Gaffar Pringgodigdo 3, 8 Alamsyah Ratu Perwiranegara 44 Amerika 10, 22 Ahmad Sanusi 46, 116 A.Baars 21, 22 Aristoteles 88, 172, 173 Ahmad Syafii Maarif 23, 25, 82, 83 Abdullati 114 Ahmad Soebardjo 24 Abdul Mukthi Muhammad 124 A.G. Pringgodigdo 24 Asia 128 Adam Muler 14 Australia 128 Anti-individualisme 14 Alfian 185, 202, 204, 208, 212, 220 Adnan Buyung Nasution 14 A.Gunawan Setiardja 235 A.M.W. Pranarka 14, 82 Adi Sasono 247 A.A. Maramis 24, 26, 29, 31, 43 ABRI 146, 213, 216, 219, 220 223, Abdurrahman Wahid 81, 146 229

Azyumardi Azra 78, 79, 81

As`ad Said Ali 77

Abikoesno Tjokrosoejoso 27, 29 Abraham Lincoln 167

Abdul Kahar Muzakir 4, 27, 29 Arbi Sanit 168

Anwar Harjono 36, 204, 234 Azhari 134

Adhyaksa Dault 137

445

B Darji Darmodiharjo 55

B.J. Habibie 79, 81, 120, 147, 156, Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai 33 196, 215 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 36, 37 Boediono 216, 242 D. Chairat 88, 90, 168, 170, 227, Boedi Oetomo 5, 131, 136, 149, 341 195

BPUPKI 1, 2, 3, 6, 7, 8, 9, 18, 19, 21, 23, 24,26, 27,28, 32, 33, 34, 35, 37,38, 39, 40, 50, 52, E 54, 134, 149 Endang Saefuddin Anshari 4, 18, Baruch Spinoza 14 20, 23

Badan Konstituante 37 Eka Sila 18, 19,

Bal Gandahar Tilak 133 Eropa 22

Belanda 136 Era Reformasi 37

Era Orde Baru 37

Ernest Renan 127

C Endin A.J. Soefihara 184

Cuo Sangi In 2

G

Chalid Rasyidi 6 Gunseikan 2, 7, 8

Gerakan Rakyat Indonesia ( D Gerindo ) 5, 20

177 Gajahmada 50 Hindia Belanda 1

Globalisasi 73, 78, 143, 199 Hery J.Benda 25

G.30 S/PKI 83 Hinduisme 25

Gotong Royong 18, 19 Hazairin 24

GAM ( Gerakan Aceh Merdeka ) H. Agus Salim 26, 29, 32, 38, 90 145 Hoesein Djayadiningrat 32

Hayam Wuruk 50, 134

H. Alamsyah Ratu Perwiranegara H 104, 160, 232

Hitler 140

Hegel 14

I Internasionalisme 15, 16, 20

Integralistik 12, 13, 14, Ibnu Rusydi ( Averus ) 56, 57, 98

Individualistik 12, 14

Ideologi 50, 68, 72, 73, 74, 77, 78, 79, 81,

82 127, 151, 153, 192, 199

Ibnu Abi Rabi` 124 Imam Bonjol 100

Ibnu Khaldun 108 India 128

J Jenderal Gunseireikan Saiko 2

Jenderal Itagaki Seisiro 2 Jong Islamiten Bond ( JIB ) 6, 149 296 J.M.Van Der Kroef 25 Juwono Sudarsono 146

Jepang 140 Jong Java 149

Jusuf Kalla ( JK ) 145

K Kerajaan Sriwijaya 22, 23, 131, 134 K.R.T. Rajiman Wediodiningrat 3, 4, 7, 8, 15, 19 Kementerian Agama 23

Kumakici Harada 2 K.H. Saefuddin Zuhri 63

Ki Hajar Dewantara 4 Kapitalisme 73

Ki Bagoes Hadikoesoemo 4, 43, Kesultanan Demak 135 49, 149 Kesultanan Cirebon 135 Kohar Hari Soemarno 8, 15 KWI ( Konferensi Wali Gereja K.H. Mas Mansoer 4 Indonesia ) 160

K.H.A. Wahid Hasyim 4, 26, 27, 29, KKN ( Korupsi, Kolusi dan 32, 38, 43, 44, 49, 159 Nepotisme ) 118, 212, 215, 224 Kasman Singodimedjo 4, 43, 44, 159 KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) 133, 120, 198, 204, Kesejahteraan 16, 21 218, 250 Konferensi Partai Indonesia ( Ki Ageng Tirtayasa 100 Partindo ) 20 Kemal Attaturk 132

L LSM 200

Lembaga Soekarno-Hatta 9, 15, 28 Loekman Soetrisno 224

177 Muhammad Jalal 124

MK ( Mahkamah Konstitusi ) 183, 184, 186, 218

Miriam Budiardjo 193, 194, 196, 215

M M. Rusli Karim 194

Muh. Yamin 4, 7, 8, 9, 10, 11, 12, MAII ( Majelis A`la Islam Indonesia 15, 20, 21, 22, 23, 26, 27, ) 149, 160, 163 28, 29, 31, 33, 35, 36, 37, 38, 49, 52, 54, 56, 57, 58, Masyumi 149, 162, 213, 223 61, 63, 90, 129, 130, 133, 134, 135, 168, 230, 241 Martin Sardy 157, 158, 162

Moh. Hatta 4, 8, 9, 24, 25, 26, 29, MUI 164 38, 39, 42, 44, 45, 47, 48, Majapahit 22, 23, 131, 133, 134, 87, 88, 128, 129, 151, 180, 135, 148 205, 240 241 Mohandas Karamchad Gandi 133 M. Natsir 4 Muhammadiyah 136, 149, 162 Mr. Sunario 8 195

Marsilan Simkanjuntak 14

Mufakat 16

Marhaen 20 N

Marxisme 26, 71 Nasional Indonesia Padvinderij 6

Megawati 81 Nasionalisme 20, 22, 29, 129, 130 Mukti Ali 100 137, 148

Musthafa al-Rafi`ie 116, 121 Noor Ms Bakry 52

298 Notonagoro 44, 58, 227, 228 PSII ( Partai Syarekat Islam Indonesia ) 6, 25 NKRI 69, 72, 80, 100, 159, 173, 212 Panitia Kongres Pemuda II 6

NU ( Nahdlatul Ulama ) 136, 149, Pratignyo 8 162, 164, 165, 195, 223 Perwakilan 16

Philosofhische Gronslag 15, 16

Piagam Jakarta 28, 30, 31, 32, 33, O 35, 36, 37, 38, 39, 42, 46,

Opsir Kaigun Jepang 42, 43, +44, Pancasila 17, 18, 19, 23, 25, 26, 45 28, 30, 31, 38, 39, 44, 50, 53, 54, 56, 57, 60, 63, 66, Otto Bauer 127 68, 69, 72, 75

Panca dharma 17

Parpindo ( Partai Persatuan P Indonesia ) 20

PNI ( Partai Nasional Indonesia ) 5, Prawoto 31, 44, 45, 46, 50 223 PPKI 37, 42, 43, 44, 47, 49, 50, Parindo ( Partai Indonesia ) 5 53

PNI- baru ( Pendidikan Nasional Plato 88 Indonesia ) 5 Pramudito Sumalyo 140 Parindra ( Partai Indonesia Raya ) Palestina 140 5, 213 PGI ( Persatuan Gereja-geraja PSI ( Partai Syarekat Islam ) 6, 213 Indonesia ) 160

PSIHT ( Partai Syarekat Islam PHDI ( Parisada Hindu Dharma Hindia Timur ) 6 Indonesia ) 160 299 PKI ( Paratai Komunis Indonesia ) Samsi 4 160 Soepomo 7, 8, 9, 13, 14, 15, 20, Pakistan 128 26, 39

Proletariat 131 Soebardjo 8, 29

Portogis 136 Sumpah Pemuda 6

SI ( Syarekat Islam ) 5, 149, 162, 195

SDI ( Syarekat Dagang Islam ) 5,

136, 149

R Sosialistik 12

R. Panji Soeroso 5 Simbolik 18

Sosial-nasiolisme 20

S Sosial-demokrasi 20 Soekarno 3, 4, 7, 8, 9, 15, 16, 17, Sun Yatsen 21, 22, 23, 133 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, Sosialisme 22 33, 34, 37, 38, 39, 48, 50, 52, 53, 54 Sunario 24Soekiman 31, 37

Soeharto 23, 54, 61, 67, 79, 104, 44 116, 141, 142, 144, 146, Singgih 98 149, 151, 167, 192, 194, 196, 214, 215, 222, 224 Sayidiman Suryohadiprojo 142, 151, 182 SBY 145 Said Agil Husin Al-Munawwar 152, Soesanto Tirtoprodjo 4 163, 164

Sartono 4 Saefuddin Zuhri 168

300 Sygman Rhee 133

Sartono Kartodirjo 137

T Taman Siswa 136

Teuku Moh. Hasan 43, 44 TNI ( Tentara Nasional Indonesia ) 216, 219, 220, 222 T.M. Usman El-Muhammady 18, 25 T. Mulya Lubis 239, 249

Trisila 18, 19 TKI ( Tenaga Kerja Indonesia ) 112, 113 Taufik Abdullah 47

Timor Leste ( Timor Timur ) 129, 145, 223

W Woodrow Wilson 133

Wilopo 6 WALUBI ( Perwalian Umat Budha Indonesia ) 160 Weltanchoung 15, 20

Wongsonegoro 32

Z

U Y

UNESCO 174 Yusril Ehza Mahendra 224

301 Zimukyoku 9

303 SEKILAS TENTANG PENULIS

Sirojuddin Aly; tenaga akademik konsen pada kajian pemikiran politik Islam adalah dosen tetap pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ( FISIP ), Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan sebelumnya dari tahun 2002 – 2009 dosen pada Fakultas Usuluddin dan Filsafat, Program Studi Pemikiran Politik Islam di Universitas yang sama. Penulis lulus Lc. ( S-1 ) dari Universitas Islam Madinah Saudi Arabia tahun 1988, meraih Master of Islamic Studies ( S-2 ) dari Universiti Kebangsaan Malaysia ( UKM ) tahun 1993, dan Ph.D ( S-3 ) diraih dari Universitas yang sama, yaitu; Universiti Kebangsaan Malaysia pada akhir tahun 2001. Mengenai pengalaman kerja sebagai berikut;

1. Tahun 1993 – 1997 dosen ( pensyarah ) pada Fakulti Pengajian Islam ( Faculty of Islamic Studies ), Universiti Kebangsaan Malaysia ( UKM ). 2. Tahun 1997 dosen part time pada Kolej Anjung Selatan di Sepang, Selangor, Malaysia. 3. Tahun 1998 – 2001 dosen ( pensyarah ) pada Institut Kemajuan Ikhtisas Pahang, Malaysia yang bekerjasama dengan Universiti Malaya ( UM ) dan Universitas Yarmouk di Jordan. 4. Tahun 2003 – 2006 mengajar di Institut PTIQ dan IIQ Jakarta. 5. Tahun 2002- 2006 mengajar pada Program Pascasarjana S-2 Program Studi Politik Islam, Isntitut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta (Kayumanis ). 6. Tahun 2006 – 2009 Direktur Pascasarjana, Program Studi Politik Islam, Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta ( Klender ). 7. Tahun 2010 – 2013 Pembantu Ketua I ( Puket -1 ) bidang Akademik pada Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia ( STAIINDO ) Jakarta. 8. Sejak tahun 2009 – sekarang; Anggota Dewan Penilai Ijazah Studi Islam Pendidikan Tinggi Luar Negeri, pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam, Kementerian Agama RI. 9. Sejak tahun 2013 – 2015 sebagai anggota Team Pembakuan Format Ijazah ( S-1, S-2 dan S-3 ) pada Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Islam, Kementerian Agama RI. 10. Sejak tahun 2010 – 2015, ketua Dewan Kehormatan Akademik Fakultas ( Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ), Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta. 11. Sejak tahun 2015 – sekarang, ketua Center for Islamic Political Thought (CIPT) atau Pusat Kajian Pemikiran Politik Islam (Puskappolis), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 304