URGENSI LEMBAGA DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

YUSRI WAHYUNI NIM: 16160480000004

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1439 H / 2018 M LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Yusri Wahyuni

Nim : 16160480000004

Tempat, Tanggal Lahir : Batusangkar, 13 Mei 1996

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Syariah dan Hukum

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya atau merupakan hasil

jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku

di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Juli 2018

YUSRI WAHYUNI NIM:16160480000004

iv ABSTRAK Yusri Wahyuni, NIM 16160480000004,“Urgensi Lembaga Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1439 H/2018 M. x + 72 halaman 5 lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui urgensi lembaga Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia dengan melihat perbandingan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, komposisi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) serta melihat urgensi nasihat dan pertimbangan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan sejarah. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi dokumen yaitu peraturan perundang-udangan serta literature dan data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan diolah menggunakan metode analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lembaga ini (Wantimpres) memang diperlukan dan dibutuhkan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, agar Presiden mempunyai lembaga khusus yang dapat membantunya dalam memecahkan masalah dan mendapatkan masukan dan pertimbangan yang baik untuk kemajuan bangsa dan negara. Dengan menelaah perbandingan Wantimpres dengan DPA dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, kedua lembaga ini sebenarnya mirip, tetapi memiliki perbedaan yang prinsip, yang menyebabkan Wantimpres lebih efektif dan efisien daripada DPA. Dari komposisi anggota Wantimpres memang sangat tergantung dari subjektivitas Presiden, perlunya pengaturan tentang dilarangnya politisi untuk diangkat menjadi anggota Wantimpres untuk mengantisipasi adanya kepentingan golongan diatas kepentingan bangsa dan negara. Presiden dalam menjalankan tugasnya memang membutuhkan masukan dan nasihat-nasihat, tetapi bentuk nasihat itu seharusnya tidak dirahasiakan dan harus dipublikasikan sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas lembaga ini kepada publik. Kata Kunci :Urgensi, Lembaga Dewan Pertimbangan Presiden, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Pembimbing I : Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H Pembimbing II : Irfan Khairul Umam, SH.I., LLM Daftar Pustaka : 1965-2017 Tahun

v

KATA PENGANTAR بسم هللا الرمحن الرحيم

Puji dan rasa syukur mendalam peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena peneliti yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu peneliti secara khusus ingin menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Bapak Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., MH., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum; 3. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., dan Irfan Khairul Umam, SH.I., LLM., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik; 4. Bapak Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., dan Nur Rohim, LLM., selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini; 5. Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, Narasumber dan Pimpinan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi fasilitas dan informasi serta ilmunya hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik; 6. Kedua orang tua tercintah Ayahanda Syarif Usman dan Ibunda Noviar, dan semua

vi

pihak yang terkait dengan skripsi ini yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang telah memberikan do’a dan dukungan sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik; Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan atas bantuan yang telah diberikan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Aamiin.

Jakarta, 10 Juli 2018

Peneliti

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... ii

SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...... iii

LEMBAR PERNYATAAN ...... iv

ABSTRAK ...... v

KATA PENGANTAR ...... vi

DAFTAR ISI ...... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 7 D. Metode Penelitian ...... 7 E. Sistematika Penulisan ...... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual ...... 12 B. Teori-Teori Terkait ...... 15 C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...... 27

BAB III PROFIL DEWAN PERTIMBANGAN SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN A. Sejarah Dewan Pertimbangan...... 30 B. Profil Anggota Dewan Pertimbangan ...... 34

viii

C. Tugas dan Fungsi Dewan Pertimbangan ...... 41 D. Pembiayaan dan Hak Keuangan Dewan Pertimbangan ...... 42 E. Bidang dan Jenis Kegiatan Dewan Pertimbangan Presiden 43 F. Mekanisme Kerja Dewan Pertimbangan dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan ...... 46

BAB IV URGENSI LEMBAGA DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Perbandingan Dewan Pertimbangan Presiden dengan Dewan Pertimbangan Agung dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia ...... 50 B. Komposisi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ...... 56 C. Urgensi Nasihat dan Pertimbangan Wantimpres dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia ...... 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...... 66

B. Rekomendasi ...... 67

DAFTAR PUSTAKA ...... 68

LAMPIRAN-LAMPIRAN

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kekuasaan Presiden RI ada dua jenis, yaitu sebagai Kepala Pemerintahan dan sebagai Kepala Negara. Di dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan dijelaskan bahwa Presiden RI memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD. Arti kekuasaan pemerintah adalah kekuasaan di bidang eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.1 Lembaga kepresidenan dipimpin oleh seorang Presiden, yang mana seorang Presiden dipilih langsung melalui Pemilihan Umum setiap periodenya. Presiden menurut bahasa, kata “Presiden” adalah derivative dari to preside (verbum) yang artinya memimpin atau tampil di depan. Kalau dicermati dari bahasa latin, yaitu prae yang artinya di depan dan sedere yang berarti menduduki.2 Presiden memiliki kekuasaan pemerintahan Negara. Landasan hukum kekuasaan pemerintahan Negara oleh Presiden Republik Indonesia di era reformasi tidak mengalami perubahan karena selama proses perubahan pertama UUD 1945 s.d. perubahan ke-empat MPR RI tidak mengubah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tersebut.3 Perubahan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang dilakukan secara bertahap sebanyak 4 (empat) kali sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah membawa akibat yang luas dan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Perubahan institusi secara besar-besaran itu mengakibatkan berubahnya format dan struktur ketatanegaraan secara cukup ekstrem,4 baik berupa penghapusan lembaga Negara

1 Abu Tamrin dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010), h. 115.

2 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 13.

3 Abu Tamrin dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara... h. 134.

4 Donald L. Horowitz, Constitutional Change and Democracy in Indonesia, (New York: Combridge University Press, 2013), h. 1-3.

1

2

tertentu, pembentukan lembaga-lembaga Negara baru, maupun penataan ulang kewenangan lembaga-lembaga Negara yang ada. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, tugas pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden telah dikenal dan berlangsung sejak lama, yang pada masa sebelum perubahan UUD 1945 dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUD 1945 yang asli (sebelum perubahan). Pada perkembangannya, perubahan keempat UUD 1945 yang disahkan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 menghapus lembaga yang bernama Dewan Pertimbangan Agung tersebut. Dewan Pertimbangan Agung yang sebelumnya berkedudukan sebagai lembaga tinggi Negara yang pengaturannya ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung, dihapus dan diganti dengan suatu dewan pertimbangan bentukan Presiden yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden5. Penghapusan DPA dan penggantiannya dengan sebuah dewan pertimbangan bentukan Presiden itu termaktub dalam Pasal 16 UUD 1945 hasil perubahan ke-empat, yang berbunyi: “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden yang selanjutnya disebut UU Wantimpres, Wantimpres merupakan lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUD NRI Tahun 1945. Dilihat dari sejarahnya, Wantimpres pertama kali didirikan oleh Presiden ke-6 Republik Indonesia Dr. H. pada tanggal 10 April 2007. Wantimpres merupakan kelanjuan dari Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia yang dibubarkan pada tanggal 31 Juli 2003 pada masa pemerintahan Presiden ke-5 Republik Indonesia Dr. (HC) Hj. dikarenakan adanya amandemen ke-IV Undang-Undang Dasar 1945 oleh Majelis Pemusyawaratan

5 Jimly Asshiddiqie, Momorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 115. 3

Rakyat (MPR) Republik Indonesia yang pada saat itu diketuai oleh Dr. H. Amien Rais.6 Ada sejarah panjang dengan segala alasan yang melatarbelakangi mengapa Dewan Pertimbangan Agung dihapus dan diganti dengan Dewan Pertimbangan Presiden. Alasan yang paling penting adalah tidak efektifnya peran DPA sebagai lembaga tinggi Negara dalam mengaktualisasikan fungsinya sebagai advisory organ (organ penasehat). 7 Meskipun DPA secara umum dianggap kurang berhasil dalam mengemban tugas konstitusionalnya sebagai organ penasehat, akan tetapi mayoritas perumus perubahan UUD NRI 1945 masih menghendaki dipertahankannya fungsi pemberian nasihat dan pertimbangan tersebut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dari sepanjang masa berdirinya Wantimpres tersebut hingga saat ini, nampaknya sulit dipungkiri bahwa eksistensi dan peran dari lembaga ini masih kurang terdengar gaungnya. Bahkan dalam perkembangan yang terkini, dalam kasus gesekan kepentingan antara KPK dan Polri pada akhir tahun 2014 dan awal tahun 2015, Presiden lebih memilih untuk membentuk tim independen yang dikenal luas dengan sebutan “Tim 9” untuk melaksanakan tugas-tugas yang sebetulnya bisa dilakukan oleh Wantimpres. Tugas dan output dari tim tersebut adalah memberi rekomendasi tentang langkah-langkah yang perlu yang diambil oleh Presiden dalam rangka menyelesaikan konflik KPK dengan Polri yang mana sebetulnya itu merupakan tugas pokok daripada Wantimpres.8 Alasan Presiden mengenai penunjukan dan penugasan Tim 9 itu ialah

6 Yeni Handayani, Ada Apa dengan Dewan Pertimbangan Presiden?, RechtsVinding Online, h. 1.

7 Jimly Asshiddiqie, Momorabilia Dewan Pertimbangan Agung... h. 115.

8 Tim independen bentukan Presiden Jokowi yang disebut “tim 9” ini adalah tim yang terdiri dari tokoh nasional lintas bidang yang ditugasi oleh Presiden untuk menganalisis konflik KPK-Polri dan diakhiri memberikan rekomendasi langkah-langkah yang perlu diambil oleh Presiden dalam rangka menyelesaikan konflik dua lembaga tersebut. Tim ini dibentuk secara informal oleh presiden tanpa melalui keputusan Presiden atau dasar legalitas lainnya pada awal tahun 2015. Lihat berita mengenai isi ini, salah satunya di kompas, Jokowi bentuk Tim atasi kisruh KPK-Polri, edisi 25 Januari 2015, http://nasional.kompas.com/read/2015/01/25/21444121/Jokowi. bentuk Tim.Atasi, diakses pada Tanggal 28 Maret 2018 Pukul 10.43 WIB.

4

agar Presiden mendapat banyak masukan terkait konflik KPK dengan Polri. Alasan ini memang tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Sebagai satu- satunya organ yang ditunjuk konstitusi9 Kasus baru-baru ini antara PKPU dengan Menkumham juga banyak diperbincangkan, PKPU yang berisi larangan mantan napi korupsi menjadi calon legislatif itu menuai polemik sejak diwacanakan oleh KPU. Menkumham pun tegas menolak untuk meneken PKPU tersebut.10 Presiden Jokowi sebelumnya menegaskan, KPU memiliki kewenangan untuk membuat aturan sendiri, apabila ada pihak yang keberatan atas peraturan KPU tersebut, Presiden Jokowi mengatakan ada mekanisme hukum yang dapat ditempuh, yaitu melalui permohonan uji materi di Mahkamah Agung (MA). Terjadinya dua pendapat yang berseberangan antara PKPU dengan Menkumham. Mestinya antara Presiden dan Menkumham sejalan dan satu. 11 Satu lagi kontroversial muncul di jagad politik nasional, terkait dengan pengumuman daftar 200 mubaligh atau penceramah yang dikeluarkan Kementerian Agama (Kemenag). Label anti-NKRI dan anti-kebangsaan bisa muncul kepada para penceramah yang berada di luar daftar pilihan kemenag. Langkah ini kurang tepat, karena justru akan membuat umat Muslim terbelah sekaligus melahirkan persepsi yang kurang kondusif bagi bangunan solidaritas nasional. Ada kesan bahwa 200 orang yang direkomendasikan Kemenag itu pembela NKRI dan bervisi kebangsaan, sedangkan yang lainnya, yang tidak termasuk dalam daftar tersebut, seakan-akan sebaliknya. 12

9 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 49

10 https://nasional.tempo.co/read/1102817/kata-refly-harun-soal-pkpu-larangan-eks-napi-korups i-jadi-caleg, diakses pada Tanggal 10 Juli 2018 Pukul 20.00 WIB.

11 http://nasional.kompas.com/read/2018/07/03/13171711/jokowi-diminta-tegur-menkumham- soal-pkpu-larangan-eks-koruptor-nyaleg, diakses pada Tanggal 10 Juli 2018 Pukul 18.20 WIB

12 http://m.republika.co.id/berita/nasional/news/analysis/18/05/21/p91irj440-daftar-200-mubali gh-kemenag-yang-bikin-gaduh, diakses pada Tanggal 10 Juli 2018 Pukul 18.40 WIB

5

Kasus-kasus yang sudah dipaparkan di atas peneliti menilai bahwa Wantimpres masih kurang dilibatkan secara langsung dalam memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Presiden. Seharusnya Wantimpres lebih diberdayakan dan ditingkatkan perannya untuk terjun langsung memberikan masukan dan rekomendasi yang terbaik untuk kemajuan bangsa. Beberapa alasan tidak dibutuhkan adanya Dewan Pertimbangan Presiden, Pertama, dalam jajaran kabinet sebagai pelaksana pemerintahan di bawah Presiden telah ada tenaga-tenaga profesional dibidangnya, sehingga Presiden lebih tepat minta nasihat dan pertimbangan kepada mereka dibandingkan dengan minta nasihat dan pertimbangan kepada Wantimpres. Kedua, walau sekalipun anggota Wantimpres dipilih orang-orang profesional dibidangnya, kalau tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan pemerintahan maka nasihat dan pertimbangan tidak aplikatif dan implementatif. Hal ini disebabkan para anggota Wantimpres tidak terlibat langsung dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Sehingga tidak paham realitas kenegaraan dan kepemerintahan yang terjadi. Ketiga, penyelenggaraan pemerintahan, apabila sistem berjalan dengan baik maka tidak dengan begitu mudahnya membentuk dewan yang mempunyai tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. sistem yang dimaksud, meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pengawasan serta nasihat dan pertimbangan. Terlebih selama waktu 4 (tahun) sejak DPA dihapus, penyelenggaraan pemerintahan tetap berjalan, walau tanpa ada kekuasaan konsultatif. Hal tersebut menunjukkan, bahwa eksistensi Wantimpres tidak bermanfaat dalam penyelenggaran negara.13 Pernyataan di atas menunjukkan bahwa eksistensi Wantimpres tidak bermanfaat dalam penyelenggaran negara, peneliti menganggap perlunya penelitian lebih lanjut untuk menunjukkan apakah Indonesia benar-benar membutuhkan lembaga ini atau

13 Yudi Widagdo Harimurti, “Analisis Kritis UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, (Februari 2014), h. 63 6

tidak, lembaga ini perlu ada atau tidak, dan seberapa pentingnya Wantimpres dalam Struktur ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti menganggap penting untuk menjelaskan tentang “URGENSI LEMBAGA DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini, di antaranya: a. Kedudukan Wantimpres dalam Struktur ketatanegaraan Indonesia b. Peran dan kewenangan Wantimpres c. Fungsi Wantimpres terhadap pelaksanaaan undang-undang d. Efektivitas Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) e. Urgensi Lembaga Wantimpres dalam Struktur ketatanegaraan Indonesia 2. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya penelitian ini, maka perlu dilakukan pembatasan. Peneliti membatasinya pada Urgensitas Lembaga Wantimpres dalam Struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu dengan menelaah perbandingan Wantimpres dengan DPA, komposisi anggota Wantimpres, dan urgensi Nastim Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah, maka peneliti merumuskan masalah utama yang menjadi fokus permasalahan yakni urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama di atas, maka peneliti membatasi penulisan ini melalui rincian perumusan masalah sebagai berikut : 7

a. Bagaimanakah perbandingan antara Dewan Pertimbangan Presiden dengan Dewan Pertimbangan Agung dalam struktur ketatanegaraan Indonesia ? b. Bagaimanakah komposisi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden? c. Bagaimanakah urgensi nasihat dan pertimbangan Dewan Pertimbangan Presiden dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui perbandingan antara Dewan Pertimbangan Presiden dengan Dewan Pertimbangan Agung dalam struktur ketatanegaraan Indonesia b. Untuk mengetahui komposisi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden. c. Untuk mengetahui urgensi nasihat dan pertimbangan Dewan Pertimbangan Presiden dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan dan pengetahuan dalam memahami urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia serta menambah literature perpustakaan khususnya dalam bidang ilmu hukum. b. Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan yang berguna dan bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Adapun metode pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.14

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet, IV, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 137 8

2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma- norma dalam hukum positif.15 Dan juga menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur, dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. 3. Data Penelitian Dalam penelitian kepustakaan digunakan data sekunder berupa bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa yang berupa buku-buku, buku-buku, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, termasuk data-data atau dokumen-dokumen dari internet yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini. 4. Sumber Data Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan rujukan dalam penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini peneliti bagi ke dalam dua jenis data, yaitu : a Sumber Primer Data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang diperlukan. Dan disebut juga bahan-bahan hukum yang mengikat.16 Dalam hal ini, yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 Tentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

15 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.

16 Soejono Sukanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND HILLCO, 2001), h., 13. 9

b Sumber Sekunder Yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan hukum primer, yaitu data pendukung dan data pelengkap, Adapun bahan hukum sekunder yang peneliti gunakan adalah buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, termasuk data-data atau dokumen-dokumen dari internet yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.17 Selain melakukan wawancara dengan beberapa narasumber untuk memperkuat sumber data primer. 5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data studi dokumen yaitu dengan mempelajari dokumen-dokumen yang didapatkan dari Wantimpres dan juga mewawancarai narasumber untuk pengumpulan data dengan jalan komunikasi baik secara lisan maupun tertulis. Kedua metode pengumpulan tersebut akan dipadukan baik data yang berupa dokumen maupun dengan hasil wawancara untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. 6. Subjek Penelitian Subyek penelitian yang akan dijadikan sebagai bahan analisis dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 Tentang DPA. Adapun subyek yang menjadi sumber data tambahan adalah mewawancarai beberapa narasumber seperti ahli hukum tata negara, pengamat politik, praktisi hukum, dan Anggota atau Sekretariat Wantimpres untuk menilai seberapa pentingnya lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. 7. Teknik Pengolahan Data Cara mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari pendekatan yang di lakukan oleh peneliti yaitu yuridis normatif, ,kemudian dihubungkan dengan pendapat para ahli-ahli hukum atau narasumber, dari sini akan

17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum... h., 155. 10

ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini. Dan hal lain yang akan dijadikan sebagai bahan penunjang dan bahan pelengkap dalam penelitian ini didasarkan atas beberapa aspek penelitian untuk mendapatkan sumber data dan informasi yang akurat. Dan kemudian dianalisis untuk mendapatkan titik terang dan jawaban terhadap permasalahan yang dikaji. 8. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dan dikumpulkan baik dalam data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang dilakukan guna mencari kebenaran kualitatif yakni data yang tidak berbentuk angka.18 Analisis kualitatif dilakukan dengan jalan memberikan penilaian apakan ketentuan UU Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Dewan Pertimbangan Presiden dapat dijadikan pedoman untuk menilai urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, kemudian dipaparkan secara deskriptif yaitu dengan cara menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. 9. Pedoman Penulisan Dalam penulisan skripsi ini peneliti merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

E. Sistematika Penulisan Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan, penulis menyusun skripsi ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, Identifikasi, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

18 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2010), h. 56 11

BAB II Merupakan kajian pustaka yaitu pembahasan terkait kerangka konseptual, teori-teori terkait dan tinjauan (review) kajian terdahulu. Kerangka teori yaitu definisi operasional yang berkaitan dengan judul skripsi sedangkan teori-teori terkait adalah pandangan atau teori-teori hukum yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Selanjutnya akan dijelakan terkait review (tinjauan ulang) studi terdahulu, agar tidak ada persamaan dengan apa yang ditulis pihak lain. BAB III berisi tentang profil dewan pertimbangan sebelum dan sesudah amandemen, yang berisi sejarah dewan pertimbangan, profil anggota dewan pertimbangan, tugas dan fungsi dewan pertimbangan, pembiayaan dan hak keuangan dewan pertimbangan, bidang dan jenis kegiatan Wantimpres, dan mekanisme kerja dewan pertimbangan dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan. BAB IV berisi tentang hasil analisis dari sumber data yang didapat untuk melihat bagaimana perbandingan Dewan Pertimbangan Presiden dengan Dewan Pertimbangan Agung dalam struktur ketatanegraan Indonesia, komposisi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan urgensi nasihat dan pertimbangan Dewan Pertimbangan Presiden dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. BAB V merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari apa yang sudah diuraikan dari Bab I – IV yang kemudian diberikan solusi dan rekomendasi yang berguna untuk perbaikan di masa yang akan datang. BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual Sesuai dengan judul penelitian, pokok bahasannya adalah urgensi lembaga Dewan Pertimbangan Presiden dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Agar tidak terjadi kekaburan dan kerancuan pemahaman terhadap istilah-istilah kunci, peneliti akan mendeskripsikan dan merumuskan istilah-istilah dimaksud. 1. Urgensi Pengertian Urgensi jika dilihat dari bahasa latin “urgere” yaitu kata kerja yang berarti mendorong dan jika dilihat dari bahasa Inggris bernama “urgent” yang memiliki arti kata sifat dalam bahasa Indonesia “urgensi” disebut kata benda. Istilah urgensi menunjuk pada sesuatu yang mendorong kita, yang memaksa kita untuk diselesaikan, dengan demikian mrngandaikan ada suatu masalah dan harus segera ditindak lanjuti. Urgensi bisa juga berarti “pentingnya”.1 Urgensi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah urgensi yang berarti “pentingnya” yaitu urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Itu berarti “pentingnya” lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. 2. Lembaga Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Lembaga Dewan Pertimbangan Presiden (biasa disingkat Wantimpres) adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Namun ketentuan Pasal 16 baru ini ditempatkan menjadi bagian bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara. Dengan demikian berarti, keberadaan lembaga baru ini berada dalam

1 https://id.answers.yahoo.com, diakses pada tanggal 7 Juni 2018 Pukul 14.20 WIB

12

13

lingkup cabang kekuasaan pemerintahan negara. Posisi strukturalnya tidak lagi seperti kedudukan DPA di masa lalu yang diperlakukan sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang sederajat dengan Presiden/Wakil Presiden, DPR, MA, dan BPK. 2 3. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945, struktur dan/atau hirarki peraturan perundang-undangan menempatkan UUD 1945 berada pada posisi paling atas. Setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga Tertinggi Negara pada posisi kedua yang anggota-anggotanya terdiri dari: Dewan Pertimbangan Rakyat (DPR) ditambah dengan Utusan Golongan dan Utusan Daerah. Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, dan terakhir Mahkamah Agung (MA).3 Setelah dilakukan amandemen, maka posisi dan mekanisme kerja kelembagaan negara mengalami perubahan yang cukup signifikan. MPR yang tadinya sebagai lembaga tertinggi negara berubah menjadi lembaga tinggi negara. Artinya, posisi MPR sudah sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti DPR, Presiden, BPK, dan lain-lain. Dengan demikian, struktur kelembagaan negara setelah amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. 4 Setelah UUD NRI 1945 mengalami perubahan sebanyak empat kali, sistem ketatanegaraan Republik Indonesia juga mengalami perubahan. Perubahan terjadi dalam beberapa lembaga Negara, baik mengenai hubungan antara lembaga

2 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 182

3 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, (Bekasi, Gramata Publishing, 2016), h. 22

4 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945... h. 23 14

Negara, penambahan nama lembaga Negara baru, dan mengenai pembubaran lembaga Negara yang ada. Penambahan lembaga baru setelah amandemen UUD 1945 misalnya Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi yudisial (KY), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan pembubaran lembaga Negara setelah Amandemen semisal pembubaran Dewan Pertimbangan Agung (DPA).5 Dewan Pertimbangan Presiden dalam struktur ketatanegaraan Indonesia termasuk baru. Lembaga ini diadakan sebagai pengganti dari penghapusan Dewan Pertimbangan Agung pada perubahan keemapat UUD 1945 pada Sidang Umum MPR Tahun 2002. 6 Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD NRI 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa Indonesia. Namun sistem ketatanegaraan Republik Indonesia tidak terlepas dari ajaran trias politica montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing- masing badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggungjawaban. 7Apabila ajaran trias politica diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas UUD NRI 1945 menganut ajaran tersebut, oleh karena memang dalam UUD NRI 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.

5 Sri Warjiati, Al-daulah: jurnal hukum dan perundangan Islam, volume 2, nomor 2, Oktober 2012; ISSN 2089-0109, h. 185-186

6 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, h. 115.

7 Kartohadiprojo Soediman, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit pembangunan, 1965), h. 24. 15

B. Teori-teori Terkait 1. Teori Kelembagaan Negara Konsep lembaga negara secara terminologis tidak hanya mempunyai arti yang tunggal dan seragam tetapi ada banyak makna. Menurut kepustakaan Inggris istilah lembaga negara disebut dengan istilah political institution, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan instila staat organen. Sementara di Indonesia menggunakan banyak istilah seperti lembaga, badan, dan organ. Secara definitif alat-alat kelengkapan negara atau biasanya disebut dengan lembaga negara merupakan institusi yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi-fungsi negara. Berdasarkan teori trias politica, dalam penyelenggaraan negara setidaknya ada tiga badan yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan menjadi tiga badan selain untuk membedakan fungsi dan peran juga sebagai cara untuk mencegah dominasi salah satu badan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Jimly Asshiddiqie bahwa untuk mewujudkan struktural dan mekanisme kelembagaan yang sesuai dengan kaidah hukum, maka ada dua jenis penggolongan yakni pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan. Tetapi, istilah tersebut menurut Jilmy Asshiddiqie mempunyai arti yang sama tergantung konteks yang dianutnya.8 UUD NRI 1945 pra amandemen tidak menjelaskan secara jelas definisi lembaga negara. Tap MPR No. III/MPR/1978, memberikan pencerahan ketika dalam Tap MPR tersebut membagi menjadi dua kategori yakni lembaga negara tertinggi dan lembaga negara tinggi. UUD 1945 pasca amandemen pun tidak ditemukan definisi secara gamblang berkaitan lembaga negara. Hanya saja dalam Pasal 24 C ayat (1) yang menyebutkan kewenangan MK yakni MK dapat mengadili dan memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Di sisi lain keberadaan lembaga negara pasca amandemen tidak saja dibentuk atas dasar konstitusi, tetapi ada lembaga yang

8 Andi Setiawan, dkk, Pengantar State Auxuliary Agency, (Malang: UB Press, 2015), h. 23- 24 16

dibentuk atas dasar undang-undang dan Kepres.9 Sistem kelembagaan negara dengan mekanisme check and balances menjadikan kelembagaan negara terpisah kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lain. Pengaturan lembaga negara oleh konstitusi (UUD), sebagaimana bentuk dan fungsi lembaga negara tersebut, serta dalam praktek ketatanegaraan ada pengaturan lembaga negara oleh peraturan perundang-undangan. Menurut Max Weber sebagaimana dikutip oleh Yudi Widagdo Harimurti mengenai pembagian kekuasaan dan persaingan antar kekuasaan dalam suatu negara. Pendapat tersebut secara tersirat mengenai kelembagaan negara dalam merealisasikan kekuasaan-kekuasaan negara. 10 Bagir Manan sebagaimana dikutip Andi Setiawan dkk mengklasifikasikan lembaga negara menjadi tiga kategori yakni lembaga negara yang bersifat ketatanegaraan, lembaga negara yang bersifat administratif, dan bersifat auxiliary. Pertama, lembaga negara yang termasuk dalam kategori ketatanegaraan meliputi lembaga negara sebagai syarat keberadaan negara dan lembaga yang tidak absolut terhadap keberadaan sebuah negara. Yang dimaksud sebagai syarat keberadaan negara adalah keberadaan negara harus ada agar fungsi negara bisa berjalan seperti fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Setiap negara secara umum melaksanakan fungsi-fungsi tersebut guna tercapainya sebuah tujuan negara. sedangkan lembaga negara yang tidak absolut mempunyai arti bahwa tanpa lembaga negara ini fungsi- fungsi negara dapat berjalan. Dengan kata lain lembaga ini di luar konsteks trias politica. Kedua, lembaga yang bersifat administratif artinya keberadaan lembaga ini sebagai pelaksanan pemerintahan secara administratif. Ketika, lembaga yang bersifat bantu. Lembaga negara ini sebagai pendukung dari lembaga-lembaga yang menyelenggarakan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lembaga yang bersifat bantu ini biasanya dibentuk atas dasar Undang- Undang atau bahkan Kepres.

9 Andi Setiawan, dkk, Pengantar State Auxuliary Agency... h. 24

10 Yudi Widagdo Harimurti, Analisis Kritis UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, Bangkalan: Universitas Trunojoyo Madura, h. 60 17

Terlepas dari banyaknya konsep lembaga negara. Secara nyata keberadaannya selain untuk menjalankan fungsi negara, lembaga juga mempunyai peran menjalankan fungsi pemerintahan. 11 Konsep trias politica merupakan sebuah konsep yang dicetuskan oleh Montesquieu yang menyebutkan kekuasaan harus dibagi ke dalam tiga kekuasaan yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing- masing cabang kekuasaan itu menjalankan fungsinya sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan cabang kekuasaan yang lain. Pemisahan kekuasaan ke dalam tiga cabang tersebut juga berfungsi untuk membatasi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak-pihak yang berkuasa. 12 Untuk membatasi pengertian pemisahan kekuasaan dalam trias politica, G. Marshall dalam karyanya Constitutional Theory, membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan kekuasaan dalam lima aspek yakni : (a) Differentiation. Doktrin ini lebih menitikberatkan pada perbedaan fungsi-fungsi kekuasaan seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masing-masing lembaga ini menjalankan sesuai dengan fungsi dan perannya. (b) Legal Incompatibility of office holding. Dalam doktrin ini menghendaki tidak adanya rangkap jabatan. Seseorang sudah menduduki jabatan di legislatif tidak diperkenankan untuk menduduki jabatan di luar legislatif seperti eksekutif ataupun yudikatif. (c) Isolation, Immunity, Independence. Doktrin pemisahan kekuasaan ini menghendaki bahwa masing-masing fungsi tidak boleh ikut campur atau saling intervensi satu sama lain dalam pelaksanaan fungsi kekuasaan/lembaga yang lain. (d) Checks and balances adanya konsep checks and balances di setiap cabang kekuasaan menginginkan adanya saling mengimbangi dan mengawasi antara cabang kekuasaan. Hal ini dikarenakan dalam menjalankan tugas dan perannya tidak dapat sendiri melainkan harus didukung oleh lembaga yang lain dan mencegah adanya konsentrasi oleh salah satu cabang kekuasaan. (e)

11 Andi Setiawan, dkk, Pengantar State Auxuliary Agency, h. 25

12 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 282. 18

Coordinate state and lack of accountability, prinsip koordinasi dan kesederajatan mempunyai arti bahwa negara dalam menyelenggarakan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif bersifat koordinat bukan subordinat dari lembaga yang lain. 13 Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Sri Nur Hari Susanto, organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (lawcreating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function). Dengan menggunakan analisis Kelsen tersebut, Jimly Asshiddiqie menyimpulkan bahwa pasca perubahan UUD 1945, dapat dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik 15 Indonesia Tahun 1945. Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Hirarki antar lembaga negara itu penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya. yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke- 34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary), dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai

13 Jimly Asshiddiqie, Komisi-Komisi Negara Independen; Eksistensi Independent Agencies Sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, (Yogyakarta: Genta Press, 2012), h. 34. 19

lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai Lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga- lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Corak dan struktur organisasi negara kita di Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan yang sangat pesat. Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi- komisi independen yang dibentuk. 14 Menurut Jimly Assshiddiqie, beberapa diantara lembaga-lembaga atau komisi-komisi independent dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan dikelompokkan sebagai berikut:15 a. Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu: 1) Presiden dan Wakil Presiden; 2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); 3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD); 4) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); 5) Mahkamah Konstitusi (MK); 6) Mahkamah Agung (MA); 7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). b. Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki constitutional importance lainnya, seperti: 1) Komisi Yudisial (KY); 2) Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral; 3) Tentara Nasional Indonesia (TNI);

14 Sri Nur Hari Susanto, Pergeseran Kekuasaan Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945, MMH, Jilid 43 No. 2, April 2014, h. 283.

15 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 25-27. 20

4) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI); 5) Komisi Pemilihan Umum (KPU); 6) Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di bidang pro justisia, juga memiliki constitutional importance yang sama dengan kepolisian; 7) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945; 8) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( komnas-HAM0 yang dibentuk berdasarkan undang-undang tetapi juga memiliki sifat constitutional importance. c. Lembaga-Lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang- undang, seperti: 1) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK); 2) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU); 3) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI); d. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan peme-rintahan, seperti: 1) Konsil Kedokteran Indonesia (KKI); 2) Komisi Pendidikan Nasional; 3) Dewan Pertahanan Nasional; 4) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas); 5) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); 6) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); 7) Badan Pertanahan Nasional (BPN); 8) Badan Kepegawaian Nasional (BKN); 9) Lembaga Administrasi Negara (LAN); 21

10) Lembaga Informasi Nasional (LIN). e. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti: 1) Menteri dan Kementerian Negara; 2) Dewan Pertimbangan Presiden; 3) Komisi Hukum Nasional (KHN); 4) Komisi Ombudsman Nasional (KON); 5) Komisi Kepolisian; 6) Komisi Kejaksaan. f. Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya, seperti: 1) Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA; 2) Kamar Dagang dan Industri (KADIN); 3) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI); 4) BHMN Perguruan Tinggi; 5) BHMN Rumah Sakit; 6) Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI); 7) Ikatan Notaris Indonesia (INI); 8) Persatuan Advokat Indonesia (Peradi)

2. Teori Efektivitas Hukum Efektivitas dalam kegiatan organisasi dapat dirumuskan sebagai tingkat perwujudan sasaran yang menunjukkan sejauh mana sasaran telah dicapai. Semawardi berpendapat bahwa: organisasi dapat dikatakan efektif bila organisasi tersebut dapat sepenuhnya mencapai sasaran yang telah ditetapkan.16 Peranan efektivitas manajemen biasanya diakui sebagai faktor paling penting dalam

16 Sumaryadi, Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Jakarta: Citra Utama, 2005), h. 105. 22

keberhasilan jangka panjang suatu organisasi. Keberhasilan diukur dalam bentuk pencapaian sasaran organisasi. Keberhasilan organisasi dapat diukur dengan konsep efektivitas. Yang dimaksud efektivitas adalah sesuatu yang menunjukkan tingkatan keberhasilan kegiatan manajemen di dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.17 Sharma memberikan kriteria atau ukuran efektivitas organisasi yang menyangkut faktor internal organisasi dan faktor eksternal organisasi yang meliputi antara lain :18 a. Produktivitas organisasi atau output b. Efektivitas organisasi dalam bentuk keberhasilannya menyesuaikan diri dari perubahan-perubahan di dalam dan di luar organisasi c. Tidak adanya ketegangan di dalam organisasi atau hambatan-hambatan konflik diantara bagian-bagian organisasi. Steers mengemukakan lima kriteria dalam pengukuran efektivitas organisasi yaitu:19 a. Produktivitas b. Kemampuan adaptasi atau fleksibelitas c. Kepuasan kerja d. Kemampuan berlaba e. Pencarian sumber daya Efektivitas hukum diartikan keberhasilan hukum, berkenaan dengan keberhasilgunaan hukum, berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum. Pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang yang dibidiknya. Menurut Soejono Soekanto berbicara mengenai

17 Komaruddin Sastradipoera, Kegunaan Konsep Koefisien Gini dan Konsep Kesenjangan Pendidikan dalam Pemerataan Kesempatan Pendidikan, (Bandung: IKIP Bandung, 1989), h. 126.

18 Hassel Nogi S. Tangkilisan, Manajemen Publik, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), h. 148.

19 M. Richard Steers, Efektifitas Organisasi Perusahaan, (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 206. 23

derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal asumsi, bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan indikator berfungsinya sistem hukum, serta berfungsinya hukum merupakan petanda hukum telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.20 Teori efektivitas hukum merupakan teori yang mengkaji dan menganalis, kegagalan dan faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum. Teori efektivitas hukum antara lain dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, Lawrance M. Friedman, Soejono Soekanto, Clearance J. Dias, Howard, Mummers, Satjipto Rahardjo dan Tan Kamelo. Ada tiga fokus kajian teori efektivitas hukum, yang meliputi : a. Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum; b. Kegagalan di dalam pelaksanaannya; dan c. Faktor yang mempengaruhinya. 21 Keberhasilan hukum apabila norma hukum itu ditati dan dilaksanakan masyarakat maupun penegak hukum, pelaksanaan hukum dikatakan efektif atau berhasil dalam implementasi, kegagalan pelaksanaan hukum adalah ketentuan hukum tidak mencapai maksudnya atau tidak berhasil dalam implementasinya. Faktor yang mempengaruhi hal yang ikut menyebabkan atau mempengaruhi di dalam pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut. Faktor yang mempengaruhi dapat dikaji dari aspek keberhasilannya dan aspek kegagalannya. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan, meliputi subtansi hukum, staruktur hukum, kultur, dan fasilitasnya. Norma hukum dikatakan berhasil atau efektif apabila ditaati dan dilaksanakan masyarakat maupun penegak hukum itu sendiri. Faktor yang

20 Soejono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Bandung: Rajawali Pres, 1996), h. 62

21 Dahlan, Problematika Keadilan: dalam Penerapan Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkoba, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 185 24

mempengaruhi kegagalan di dalam pelaksanaan hukum karena norma hukum yang kabur atau tidak jelas, aparatur penegak hukum yang korup, atau masyarakat yang tidak sadar atau taat pada hukum atau fasilitas yang tersedia untuk mendukung pelaksanaan hukum itu sangat minim: Derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk penegak hukum, sehingga dikenal asumsi bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya sistem hukum. Berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.22

Dari beberapa teori efektivitas di atas, dari sisi pelaksanaan fungsi dan tugas Dewan Pertimbangan Presiden tidak bisa dinilai apakah sudah efektif atau belum, karena dinilai dari rekomendasi yang diberikan kepada Presiden bersifat rahasia dan tidak boleh dipublikasikan.

3. Teori Politik Hukum Padmo Wahjono dalam bukunya Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum,23 mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya yang berjudul Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, yang dikatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut

22 Dahlan, Problematika Keadilan: dalam Penerapan Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkoba, h. 186

23 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasatkan atas hukum, Cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), h. 160 25

dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri.24 Sementara Soedarto sebagaimana yang dikutip oleh Sutekti mendefinisikan politik hukum “sebagai kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mrncapai apa yang dicita-citakan”.25 Menurut Sunaryati Hartono,26 faktor-faktor yang akan menentukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan pula oleh kenyataan serta perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan hukum internasional. Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang kemudian menimbulkan apa yang disebut dengan Politik Hukum Nasional. Pengertian politik hukum tersebut jelas menunjukkan tugas penyelenggaraan negara terhadap eksistensi dan keberlangsungan hidup. Kebijakan atau pernyataan kehendak politik penyelenggara negara agar tidak sewenang-wenang. Maka harus berlandaskan etika atau moral dan tidak absolut kebenarannya. Tepat jika ada pendapat yang menyatakan, politik hukum itu, “lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya harus dapat diuji dengan kriteria moral”.27 Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas

24 Padmo Wahyono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, (Forum Keadilan, 1991), h. 65

25 Sutekti, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro-Rakyat, (Malang: Surya Pena Gemilang, 2010), h. 65

26 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), h. 23

27 Bernard L Tanya, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), h. 2-3 26

memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.28 Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara sebagaimana yang dikutip oleh Mahfud MD dalam bukunya, politik hukum adalah kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan oleh suatu pemerintahan negara tertentu.29

4. Teori Tujuan Hukum Roscou Pound sebagaimana dikutip oleh Salim mengemukakan bahwa tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia (law as tool of social engineering). Kepentingan manusia adalah suatu tatanan yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam bidang hukum. Sedangkan menurut Jeremy Bentham dengan teori utilitasya, berpendapat bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang banyak. Pendapat ini dititikberatkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memerhatikan soal keadilan. Maka teori ini menetapkan bahwa tujuan hukum ialah untuk memberikan faedah sebanyak-banyaknya. Menurut Geny berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk keadilan semata- mata. Isi hukum ditentukan oleh unsur keyakinan seseorang yang dinilai etis. Adil atau tidak, benar atau tidak, berada pada sisi bathin seseorang, menjadi tumpukan dari teori ini. Kesadaran etis yang berada pada tiap-tiap bathin orang menjadi ukuran untuk menentukan warna keadilan dan kebenarnnya. Menurut Sudikno Mertousumo bahwa tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang: tertib; ketertiban; dan keseimbangan. Masyarakat yang tertib merupakan masyarakat yang teratur, sopan, dan menaati berbagai peraturan-peraturan perundang-undangan dan peraturan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. ketertiban suatu keadaan di mana masyarakatnya hidup serba teratur baik. Yang diartikan dengan keseimbangan adalah suatu keadaan masyarakat, di mana

28 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000)... h. 35

29 Mahfud MD, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),h. 15 27

masyarakatnya hidup dalam keadaan seimbang dan sebanding. Tujuan hukum menurut Van Apeldoorn adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Demi mencapai kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. 30 Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Tujuan kepastian hukum menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan Nazime legalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek – praktek kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas tujuan hukum yang lain. Kenyataannya sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan.31

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Ada beberapa penelitian yang membahas dan mengkaji Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Diantaranya adalah Yudi Widagdo Harimurti yang menulis “Analisis kritis UU Nomor 19 Tahun 2006 tetang Dewan Pertimbangan Presiden”. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penjabaran mengenai eksistensi, tugas dan keanggotaan Wantimpres setelah ditelaah secara seksama dengan cara proses

30 Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 42-46.

31 Keadilan Kepastian dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia, http://www .academia.edu /10691642/Keadilan-Kepastian-dan-Kemanfaatan-Hukum-di-Indonesia, di akses pada tanggal 30 April 00.37 BBWI 28

perbandingan antara standar nasihat dan pertimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan fakta yang terjadi. Maka dapat diperoleh analisis hasil, bahwa Wantimpres tidak efektif, tidak bermanfaat dan tidak dibutuhkan. Terlebih jelas Wantimpres sebagai lembaga Negara non permanen (pendukung) sama dengan jenis lembaga Negara permanen. Demikian pula dengan dengan kewenangan yang ada pada Wantimpres mestinya adalah derevatif dari lembaga Negara permanen.32 Bedanya penelitian di atas dengan penelitian ini adalah penelitian di atas menilai dan menganalisis menggunakan teori-teori hukum serta membandingkan Wantimpres melalui UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres dengan lembaga yang mempunyai kewenangan yang sama dengan Wantimpres yaitu DPA (Dewan Pertimbangan Presiden) yang dihapus pada amandemen ke-4 UUD 1945, sedangkan penelitian ini membahas tentang urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menelaah dengan membandingkan Wantimpres dengan DPA, melihat latar belakang susunan anggota Wantimpres dan urgensi Nastim Wantimpres, tidak hanya menelaah teori saja tetapi juga mewawancarai beberapa narasumber untuk memperkuat data yang didapat. Henry Afrian Sancoko yang menulis, “Kedudukan Dan Fungsi Dewan Pertimbangan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia (Studi Komparasi Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Pertimbangan Presiden)”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kedudukan dan peranan Dewan Pertimbangan Presiden didalam sebuah struktur organisasi pemerintahan sangatlah penting, penasehat-penasehat adalah orang-orang yang ahli, seorang negarawan yang mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum sangat membantu Presiden dalam menjalankan tugasnya. Sekaligus dimaksudkan agar Presiden dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakan berdasarkan prinsip-prinsip hukum, demokrasi serta pemerintahan yang baik dalam rangkan pencapaian tujuan negara.

32 Yudi Widagdo Harimurti, “Analisis Kritis UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, (Februari 2014), h. 58 29

Peningkatan kedudukan dan fungsi Dewan Pertimbangan Presiden tergantung kepada kemauan politik Presiden bersama-sama semua pimpinan dan anggota partai-partai politik yang sekarang ini menjabat kedudukan di lembaga negara untuk menentukannya.33 Bedanya penelitian di atas dengan penelitian ini adalah penelitian di atas penelitian yuridis normatif yang menelaah Kedudukan dan Fungsi Dewan Pertimbangan Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia dan Urgensi Dewan Pertimbangan dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. sedangkan penelitian ini membahas tentang urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia menelaah dengan membandingkan Wantimpres dengan DPA, melihat latar belakang susunan anggota Wantimpres dan urgensi Nastim Wantimpres, tidak hanya menelaah teori saja tetapi juga mewawancarai beberapa narasumber untuk memperkuat data yang didapat. Berdasarkan kajian terdahulu di atas, belum ditemukan karya ilmiah yang secara khusus membahas tentang urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, para peneliti baru sebatas mengakaji analisis kritis UU Nomor 19 Tahun 2006 tetang Dewan Pertimbangan Presiden, dan Tugas, Fungsi dan Kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 serta Dewan Pertimbangan Presiden dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia: Analisis Yuridis Kewenangan dan Fungsi Dewan Pertimbangan Presiden Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945. Oleh karena itu, peneliti bermaksud mengisi kekosongan penelitian tentang urgensi lembaga Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

33 Henry Afrian Sancoko yang menulis, Kedudukan Dan Fungsi Dewan Pertimbangan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia (Studi Komparasi Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Pertimbangan Presiden), (Penulisan Hukum: Universitas Muhammadiyah Malang, 2013). BAB III PROFIL DEWAN PERTIMBANGAN SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN

A. Sejarah Dewan Pertimbangan Dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) memiliki banyak sejarah yang panjang, baik pada masa persiapan pembentukannya maupun perjalanan sejak masa Pemerintahan Presiden Ir. Sukarno hingga masa Pemerintahan Presiden Ir. . Di awal kelahirannya Wantimpres dikenal sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA berubah menjadi Wantimpres pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.1 Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tugas pemberian nasihat dan pertimbangan kepada Presiden telah dikenal dan berlangsung sejak lama yang dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Agung. Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), Dewan Pertimbangan Agung diatur dalam bab tersendiri, yaitu BAB IV Dewan Pertimbangan Agung. Hasil Amandemen ke-empat UUD NRI Tahun 1945, Dewan Pertimbangan Agung merupakan salah satu lembaga negara yang dihapus. Keberadaan Dewan Pertimbangan Agung diganti dengan suatu dewan yang ditempatkan dalam satu rumpun bab yang diatur dalam BAB III Kekuasaan Pemerintahan Negara. Amandemen tersebut menunjukan bahwa keberadaan suatu dewan yang mempunyai tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden masih tetap diperlukan.2 Pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno, Wantimpres dibentuk setelah satu bulan satu minggu proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17

1 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi, (Jakarta: Wantimpres, 2017), h. 3.

2 Yeni Handayan, Ada Apa dengan Dewan Pertimbangan Presiden?, RechtsVinding Online, 04 Februari 2015, h. 1

30 31

Agustus 1945. Ketika pertama kali dibentuk pada tanggal 25 September 1945, jumlah anggotanya sebelas orang yang diketuai oleh Margono Djojohadikusumo. Namun, hanya sebentar karena pada tanggal 6 November 1945 Margono Djojohadikusumo mengundurkan diri, dan digantikan oleh Wiranatakusumah pada tanggal 29 November 1945. Para pendiri bangsa yang merumuskan UUD 1945, mengusulkan nama Majelis Pertimbangan (MP). Nama ini diusulkan oleh Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H., ahli hukum, politikus pelopor Sumpah Pemuda sekaligus juga seorang sastrawan, sejarawan, serta budayawan. Sejak zaman Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden B.J. Habibie sampai Presiden (Gus Dur), lembaga penasehat Presiden yang bersifat ekstra konstitusional juga dibentuk dengan nama yang bermacam-macam. Antara lain Dewan, Komisi, Tim, dan lain sebagainya. Namun, dalam rancangan naskah yang disusun oleh Hoesein Djajadiningrat, Soepomo, Soewandi, Singgih, Sastromoeljono, Soetardjo dan Soebardjo, nama Majelis Pertimbangan diubah menjadi Badan Penasihat Agung (BPA). Pada naskah akhir yang disahkan, nama BPA diubah lagi menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan mengenai DPA ini masuk dalam Bab IV UUD 1945, dengan judul Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Isinya hanya satu pasal, yaitu Pasal 16, yang terdiri dari dua ayat. Ayat (1) menyatakan bahwa: “Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan Undang-Undang”. Ayat (2) menyatakan: “Dewan ini berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah”. Ketika Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 dirumuskan, lembaga DPA ini tidak dicantumkan dalam UUD 1945 karena dianggap tidak diperlukan lagi. 3 Harun Al Rasyid mengatakan bahwa DPA itu warisan Belanda dengan mengutip ucapan Soepomo bahwa DPA itu tidak diperlukan. Dulu namanya Raad van Nederlandsch-Indie. Karena lembaga negara yang ada dalam UUD 1945, sebagian besar hanya meniru warisan kolonial Belanda. Seperti Gouverneur General menjadi

3 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi... h. 3. 32

Presiden, Raad van Gouverneur General menjadi Wakil Presiden, Algemene Reken Kamer menjadi BPK, Volksraad menjadi DPR, Hogerechthoft menjadi Mahkamah Agung dan Raad van Indie menjadi DPA. Raad van Naderladsch-indie bertugas menyampaikan usul-usul Gouverneur General (Gubernur Jenderal). Bahkan ternyata tugas dan kewenangan Raad van Nederlandsch-Indie justru lebih luas dari pada DPA, karena dalam beberapa hal, Gubernur Jenderal harus mendengar nasihat-nasihat Raad van Nederlandsch-Indie tersebut. Oleh karena itu DPA di zaman Soekarno hampir tidak pernah difungsikan. DPA pertama diketuai Radjiman Widiodiningrat hingga tahun 1949, keberadaannya tidak jelas. Periode berikutnya posisi DPA makin tidak jelas. Kondisi ini berlangsung hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. DPA Sementara dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959, 22 Juli 1959. Ketuanya dirangkap oleh Presiden Soekarno. DPA definitif baru muncul pada 1967 melalui UU No. 3 Tahun 1967 tentang DPA yang disahkan pejabat Presiden Soeharto. Ruslan Abdu Gani menambahkan bahwa kekuasan DPA sebagai advisory power tidak jelas dalam kerangka trias politica. Satu bentuk pemisahan kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pendapat lain menyatakan keberadaan DPA sama seperti dewan penasehat sistem pemerintahan negara-negara Eropa Kontinental di abad XVIII-XIX. Apa yang disebut Le Conseil d’Etat di Perancis. Situasi pemerintahan Gus Dur (saat itu masih menjabat sebagai Presiden) tak luput dari evaluasi. Para peserta sidang PAH III MPR mengatakan Presiden Gus Dur lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan nasihat para ulama dan kyai yang sengaja datang khusus, ketimbang DPA. Jika demikian, apa pentingnya DPA bila kenyataannya Presiden lebih mendengar nasihat dari orang-orang yang dia percayai. Sebaliknya, pihak yang ingin tetap mempertahankan DPA mengatakan bahwa jikapun ada kesalahan dimasa lampau, kedepan kinerja DPA yang ditingkatkan bukan dihapus. 4

4 https://www.kompasiana.com/hendra_budiman/sejarah-lahirnya-watimpres, diakses pada Tanggal 28 Maret 2018 Pukul 15.00 WIB. 33

Baru setelah kembali ke UUD NRI Tahun 1945, keberadaan DPA dikembalikan lagi dalam struktur pemerintahan RI sebagai Lembaga Tinggi Negara, dengan adanya penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959 tentang DPA Sementara (DPAS). Pada bulan Agustus Tahun 2002, DPA dihapuskan dari struktur ketatanegaraan Indonesia, dengan disahkannya Perubahan Ke-empat UUD 1945 oleh MPR pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002. Ketika itu, MPR secara bulat meghapuskan Bab IV UUD 1945 yang menjadi dasar hukum pembentukan DPA di Indonesia.5 Sebenarnya keinginan untuk melakukan penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sudah muncul sejak perubahan pertama, yaitu tahun 1999. Namun, karena keterbatasan waktu, maka para anggota MPR menggunakan skala prioritas yang pada akhirnya DPA baru dibubarkan pada perubahan keempat tahun 2002. Sebelum memutuskan perlunya pembubaran lembaga ini, berbagai langkah telah dilakukan, diantaranya melakukan kunjungan ke berbagai daerah menyerap aspirasi masyarakat, mengundang para ahli di berbagai bidang terutama ahli hukum tata negara, dan mengundang ketua dan anggota DPA yang ketika itu masih menjabat. Pada rapat ke-6 Panitia Ad Hoc I BP-MPR tanggal 26 Februari 2002, Ketua DPA, Achmad Tirtosudiro mengatakan:6 Hal penting yang perlu jadi pertimbangan majelis mengenai alternatif ini adalah bahwa format dan komposisi keanggotaan serta hak dan kewajiban badan penasehat tentunya akan cenderung untuk disesuaikan dengan kehendak dan kepentingan Presiden. badan penasehat Presiden ini akan menimbulkan masalah dalam sistem ketatanegaraan di amsa depan dalam rangka meningkatkan kehidupan demokrasi, yaitu: 1. Kedudukan badan yang merupakan sub-ordinasi dari lembaga kepresidenan hubungan kerjanya cenderung akan diwarnai oleh suasana budaya tertutup, ewuh pakewuh dan tidak independent; 2. Dalam melaksankan tugasnya badan ini cenderung hanya membenarkan kehendak dan kepentingan Presiden sehingga berakibat:

5 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi.... h. 3-4. 6 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 114-115. 34

a. Tidak dapat mencegah terjadinya penyimpangan dan ketergesa-gesahan Presiden dalam mengambil keputusan, b. Tidak dapat mencegah tindakan kebijakan Presiden yang bersifat birokratis, c. Tidak dapat ikut mengembangkan kearifan dan kenegarawanan dan keputusan-keputusan Presiden; 3. Badan ini cenderung akan menjadi ekslusif sehingga hakikat reformasi yang menghendaki keterbukaan dan wawasan masyarakat tidak dapat dilakukan secara sempurna; dan 4. Hasil pertimbangan dengan badan ini dikhawatirkan tidak dapat disosialisasikan apalagi diawasi oleh lembaga negara yang lebih tinggi dari lembaga kepresidenan.

Sekarang DPA hanya lembaga yang tinggal kenangan, karena Pasal 16 UUD 1945 sudah tidak mengatur Dewan Pertimbangan Agung kembali melainkan mengatur mengenai Dewan Pertimbangan Presiden. Sesuai dengan Pasal 16 yang baru berbunyi: “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”

Ini artinya DPA sebagai “Lembaga Tinggi Negara” ditiadakan, dan sebagai gantinya diatur sendiri dalam undang-undang adanya lembaga penasihat Presiden yang berada di dalam lingkup kekuasaan pemerintahan negara. Dengan landasan konstitusi Pasal 16 UUD 1945 yang sudah diamandemen tahun 2002, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengubah nama Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), seperti diatur dalam Undang- Undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.7

B. Profil Anggota Dewan Pertimbangan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pertama kali dibentuk pada tanggal 25 September 1945. Waktu itu jumlah anggotanya sebelas orang dan diketuai oleh Margono Djojohadikusumo. Namun, hanya sebentar. Karena pada tanggal 6 November 1945 Margono Djojohadikusumo mengundurkan diri, dan digantikan oleh

7 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi... h. 4 35

Wiranatakusumah pada tanggal 29 November 1945. Pada konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1945, DPA tidak dikenal lagi, DPA muncul lagi setelah kembali ke UUD 1945 pada tahun 1959, dan dengan ditetapkannya Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959. Dan sementara itu DPA diketuai oleh Presiden Soekarno. Tetapi Wakil Ketua DPAS ini diberikan kedudukan oleh Presiden sebagai eks-officio Menteri. Pada masa Presiden Soeharto, kedudukan Menteri ex-officio dihilangkan, yaitu dengan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1966 pada tanggal 5 Mei 1967, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1978. Pada masa Presiden B.J. Habibie DPA saat itu dipimpin oleh A.A. Baramuli dan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid juga dibentuk beberapa lembaga penasehat. Di bidang ekonomi, seperti Widjojo Nitisastro, Frans Seda dan lain sebagainya. Bahkan mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew diangkat Presiden Abdurrahman Wahid sebagai penasehatnya. Di bidang ekonomi Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim. Kemudian ada juga Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN) yang diketuai oleh Sofyan Wanandi. Ada juga Komisi Nasional Hukum diketuai oleh Prof. Dr. J.E. Sahatepi; dan lain-lain lagi. 8 Dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Nomor 3 Tahun 1967 tentang DPA menyatakan susunan Anggota Dewan Pertimbangan Agung meliputi unsur-unsur dari kehidupan masyarakat dan tersiri dari: tokoh-tokoh politik;, tokoh-tokoh karya;, tokoh- tokoh daerah;, dan tokoh-tokoh nasional. Jumlah anggota Dewan Pertimbangan Presiden ditetapkan sebanyak-banyaknya 27 (dua puluh tujuh) orang termasuk Pimpinan Dewan Pertimbangan Agung. Setelah DPA dihapus pada amandemen ke- empat UUD NRI Tahun 1945, digantikan oleh Dewan Pertimbangan Presiden. Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode pertama pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini merupakan amanat dari UUD

8 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi... h. 5-7 36

NRI Tahun 1945 Amandemen ke-empat. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2007-2009 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28/M Tahun 2007 tanggal 26 Maret 2007 dan dilantik pada 10 April 2007 adalah sebagai berikut:9 1. (Alm) Ali Alatas, S.H., Ketua/Anggota Wantimpres Bidang Hubungan Internasional 2. Prof. Dr. Emil Salim, S.E., Anggota Wantimpres Bidang Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan 3. Dr. Hj. Rachmawati Soekarnoputri, S.H., Anggota Wantimpres Bidang Politik 4. (Alm) Dr. Syahrir, Anggota Wantimpres Bidang Ekonomi 5. K.H. Dr. Ma’ruf Amin, Anggota Wantimpres Bidang Kehidupan Beragama 6. Dr. T.B. Silalahi, S.H., Anggota Wantimpres Bidang Pertahanan Keamanan 7. Prof. Dr. S. Budhisantoso, Anggota Wantimpres Bidang Sosial Budaya 8. Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany, Anggota Wantimpres Bidang Pertanian 9. Prof. Dr. Iur Adnan Buyung Nasution, S.H., Anggota Bidang Hukum Angota Dewan Pertimbangan Presiden 2010-2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih dan mengangkat Dewan Pertimbangan Presiden kembali untuk periode kedua (2010-2014) pada tanggal 25 Januari 2010 berdasarkan Keppres No. 13/P Tahun 2010, Keppres No. 30/P Tahun 2010, dan Keppres No. 2/M Tahun 2012 adalah sebagai berikut:10 1. Prof. Dr. Emil Salim, S.E., Ketua/anggota Wantimpres Bidang Ekonomi dan Lingkungan Hidup 2. Dr. N. Hassan Wirajuda, Anggota Wantimpres Bidang Hubungan Luar Negeri/Internasional 3. Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, M.A. Anggota Wantimpres Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi

9 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi... h. 159.

10 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi... h. 165. 37

4. Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, Anggota Wantimpres Pembangunan dan Otonomi Daerah 5. K.H. Dr. Ma’ruf Amin, Anggota Wantimpres Bidang Hubungan Antar Agama 6. Laksamana TNI (Purn) Widodo A. S., S. IP., Anggota Wantimpres Bidang Pertahanan dan Keamanan 7. Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, Anggota Wantimpres Bidang Pendidikan dan Kebudayaan 8. Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K) Anggota Wantimpres Bidang Kesejahteraan Rakyat 9. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., 10. Dr. Albert Hasibuan, S.H., Anggota Wantimpres Bidang Hukum dan HAM (menggantikan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada tahun 2011) Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan sejumlah menteri dalam kabinet Kerja secara resmi melantik sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Pelantikan kesembilan anggota Wantimpres berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 6/P/2015 tentang Pengangkatan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Pelantikan dilakukan di Istana Negara. Berikut data singkat kesembilan anggota Wantimpres tersebut:11 1. Abdul Malik Fadjar (Bidang Kesejahteraan Rakyat) Abdul Malik Fadjar adalah tokoh pendidikan yang lahir di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 22 Februari 1939. Sebelum dilantik sebagai anggota Wantimpres mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang pernah menduduki beberapa jabatan strategis dalam pemerintahan. Pada tahun 1998-1999 di era Presiden BJ. Habibie Abdul Malik Fadjar menjabat sebagai Menteri Agama. Kemudian pada tahun 2001-2004 di era Presiden Megawati Soekarnoputri ia

11 https://merahputih.com/post/read/profil-singkat-9-ang gota-wantimpres, diakses pada Tanggal 5 Maret 2018 Pukul 12.10 WIB.

38

ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Selanjutnya pada 22 April 2004 hingga 21 Oktober 2004 Malik menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra). 2. Ahmad Hasyim Muzadi (Bidang Kesejahteraan Rakyat) Seperti dilansir dari Wikipedia, Hasyim Muzadi adalah ulama (NU) yang lahir di Tuban, Jawa Timur pada 8 Agustus 1944. Pada tahun 1999, Hasyim menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sebelum menjadi pucuk pimpinan Organisasi Massa Islam terbesar di tanah air, Hasyim pernah menjadi anggota DPRD tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986 dari Partai Persatuan Pembangunan. Seiring berjalannya waktu karier politik Hasyim terus meroket. Pada pemilu Presiden (pilpres) 2004, Hasyim mendampingi Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden (capres- cawapres). Pada pilpres 2004 lalu, pasangan Hasyim-Mega meraih 26.2% suara di putaran pertama, tetapi kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla di putaran kedua. 3. Jan Darmadi (Bidang Ekonomi) Selain dikenal sebagai seorang pengusaha properti, Jan Darmadi adalah seorang politisi Partai NasDem. Di Partai NasDem, pendiri PT. Jakarta Setiabudi Internasional menjabat sebagai ketua Majelis Tinggi Partai NasDem. Partai NasDem sendiri adalah salah satu partai pendukung utama Presiden Joko Widodo dalam pemilu presiden (pilpres) 2014 lalu. Setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla tampil sebagai pemenang pilpres. Partai pimpinan berhasil mendudukan 3 kadernya sebagai menteri di kabinet kerja Jokowi-Kalla. Bukan hanya itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga dipimpin oleh politisi Partai NasDem HM. Prasetyo 4. M. Yusuf Kartanegara (Bidang Pertahanan dan Keamanan) Yusuf Kartanegara adalah purnawiranan TNI dengan pangkat terakhir jenderal bintang tiga atau Letnan Jenderal. Yusuf Kartanegara sendiri adalah mantan 39

Wakil Ketua Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Bersama dengan Jenderal Subagyo HS dan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Yusuf memanggil untuk disidang terkait dugaan penculikan aktivis sebelum reformasi pada tahun 1998. Dalam sidang DKP tersebut Yusuf bersama dengan perwira tinggi ABRI lainnya memutuskan memberhentikan Prabowo Subianto dari jabatan Panglima Komandao Cadangan Strategis (Pangkostrad). Setelah pensiun dari dunia militer, Yusuf terjun dalam panggung politik. Yusuf bergabung dengan Letjen (purn) TNI Sutiyoso dalam Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Berdasarkan hasil Kongres III PKPI pada tanggal 13 April 2010, Yusuf di dapuk sebagai Sekretaris Jenderal PKPI. Dalam pemilu 2014, PKPI gagal mendudukkan kadernya sebagai anggota DPR RI, hal tersebut dipicu perolehan suara PKPI yang dibawah ambang batas perolehan suara minimal (Parliementary Threshold). Meskipun demikian pada Pemilu presiden (pilpres) 2014, PKPI adalah salah satu partai politik pendukung pasangan capres- cawapres, Joko Widodo-Jusuf Kalla. 5. Rusdi Kirana (Bidang Ekonomi) Publik mengenal luas Rusdi Kirana sebagai seorang penguasaha terkemuka. Pria kelahiran Jakarta 17 Agustus 1966 kini menjabat sebagai CEO Lion Air Group. Setelah sukses di dunia bisnis, Rusdi Kirana merambah jagad politik. Semula Rusdi digadang-gadang sebagai salah satu peserta konvensi calon presiden (capres) Partai Demokrat. Namun demikian hingga konvensi capres Demokrat berlangsung, nama Rusdi sama sekali tidak muncul. Pada tanggal 12 Januari 2014, Rusdi Kirana resmi bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski baru bergabung Rusdi langsung menduduki jabatan Wakil Ketua Umum DPP PKB. Bergabungnya Rusdi ke partai politik yang digawangi dikritisi banyak pihak, salah satunya pemikir politik Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti. Menurut Ray bergabungnya Rusdi ke PKB adalah peritiwa politik yang mengecewakan. Selain itu, Ray juga meyakini alasan kuat PKB memberikan kursi Waketum kepada Rusdi Kirana adalah karena dana yang dimilikinya cukup besar. Hal tersebut 40

dianggap menjadi sasaran empuk partai berlambang bintang sembilan tersebut. Alasan kuat bagi PKB untuk memberi kursi Waketum kepada yang bersangkutan, kalau bukan karena pengalaman, kapasitas, jasa, hubungan historis, bakti, maka yang tersedia jawabannya adalah karena dana besar yang dimiliki oleh Kirana. 6. Sri Adiningsih (Bidang Ekonomi) Sri Adiningsih adalah salah seorang ekonom dan salah seorang dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Ia juga pernah ditunjuk menjadi salah satu anggota Tim Ahli Panitia Ad hoc MPR pada 2001 yang kemudian terpilih menjabat sebagai Sekretaris Komisi Konstitusi. Sri Adiningsih adalah alumnus terbaik Cum Laude Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 1989, Sri berhasil meraih gelar Master of Science (MSc) dari University of Illinois Amerika kemudian pada tanggal 15 Oktober 1996, di universitas yang sama, ia meraih gelar Doktor bidang ekonomi. 7. Sidarto Danusubroto (Bidang Politik dan Hukum) Sidarto Danusubroto adalah pensiun polisi dengan pangkat akhir jenderal bintang dua (Inspektur Jenderal). Seperti dilansir dari Wikipedia, sebelum bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan duduk sebagai Ketua MPR RI masa jabatan 8 Juli 2013 hingga Oktober 2014 adalah bekas ajudan Presiden Soekarno. Sidarto lahir di Pandeglang, Banten pada tanggal 11 Juni 1936. Pada tahun 1967-1968 ia menjadi ajudan Presiden Soekarno. Kemudian pada tahun 1986-1988 ia menjadi kapolda Sumbagsel dan pada tahun 1988-1991 ia menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat. 8. Subagyo Hadisiswoyo (Bidang Pertahanan dan Keamanan) Subagyo Hadi Siswoyo banyak menghabiskan kariernya dalam dunia militer. Sebelum menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) pada 1998- 1999, pria kelahiran Piyungan, Daerah Istimewa Yogyakarta 12 Juni 1946 pernah menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus TNI AD. Subagyo HS sendiri pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Pengaman Presiden (Paspamres), Kemudian Panglima Daerah (Pangdam) IV Diponegoro, Jawa Tengah. Saat terjadi 41

huru-hara dan pesta pora pengrusakan Mei tahun 1998, Subagyo menjabat sebagai KSAD. Ia juga pernah ditunjuk sebagai Ketua Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Bersama dengan Letjen Susilo Bambang Yudhoyono dan Letjen Yusuf Kartanegara ia memanggil tim mawar dan Prabowo Subianto untuk dimintai keterangan. Hasil dari DKP adalah pemberhentian dengan hormat Prabowo Subianto sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis (Pangkostrad). 9. Suharso Manoarfa (Bidang Ekonomi) Suharso Monoarfa merupakan mantan Menteri Perumahan Rakyat kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Pria kelahiran Mataram, 31, Oktober 1954 ini juga seorang pengusaha dan politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namanya tercantum dalam daftar Wantimpres yang dilantik siang ini, syarat yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden tidak membolehkan anggota Wantimpres aktif dalam bisnis atau pun berpolitik di partai politiknya. Karena itu Suharso sudah siap melepas jabatannya sebagai pengurus PPP. Dalam dinamika internal PPP, Suharo bersama dengan Emron Pangkapi dan M. Romahurmuziy berbeda sikap dengan Ketua Umum DPP PPP, . Buntut dari perbedaan sikap tersebut, Suharso bersama dengan Emron dan Romahurmuziy menggelar Muktamar di Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu. Bukan hanya itu, Suharso bersama dengan rekan- rekannya menyatakan diri mendukung penuh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf kalla.

C. Tugas dan Fungsi Dewan Pertimbangan Sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945, pada Pasal 16 (2) UUD 1945 sebelum amandemen disebutkan bahwa Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Pernyataan yang sama juga terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang DPA, tugas Dewan Pertimbangan Agung ialah : 42

a. Memberi jawaban atas pertanyaan Presiden; b. Memajukan usul kepada Pemerintah.

Setelah amandemen UUD NRI Tahun 1945 Dewan Pertimbangan Presiden berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang dewan Pertimbangan Presiden kemudian diatur dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2007 tentang Tata Kerja Wantimpres dan Sekretariat Wantimpres, tugas Wantimpres adalah: (1) Dewan Pertimbangan Presiden bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara; (2) Pemberian nasihat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden, baik diminta atau tidak diminta oleh Presiden; (3) Nasihat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan baik secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan nasihat dan pertimbangan seluruh anggota dewan.

Pasal 5 menyatakan bahwa: “Dalam menjalankan tugasnya Dewan Pertimbangan Presiden melaksanakan fungsi nasihat dan pertimbangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara”.

Pasal 6 UU Nomor Tahun 2006 menyatakan bahwa: (1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana pun. (2) Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden atas permintaan Presiden dapat: a. Mengikuti sidang kabinet; b. Mengikuti kunjungan kerja dan kunjungan kenegaraan.

D. Pembiayaan dan Hak Keuangan Dewan Pertimbangan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 75 Tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara serta Uang kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi Negara, seperti Ketua DPR, MA, dan BPK, sebesar Rp. 5.040.000 per bulan. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 huruf a: Ketua Majelis Perwakilan Rakyat, Ketua Dewan Pertimbangan Agung, Ketua Badan pemeriksa Keuangan, dan Ketua Mahkamah Agung adalah sebesar Rp 5.040.000 (lima juta empat puluh ribu rupiah) sebulan. 43

Sementara itu, di huruf b disebutkan gaji Wakil Ketua MPR, Wakil Ketua DPR, Wakil Ketua DPA, Wakil Ketua BPK, Wakil Ketua MA, dan Wakil Ketua MPR yang tidak merangkap Wakil Ketua DPR sebesar RP 4.620.000 (empat juta enam ratus dua puluh ribu rupiah) sebulan. Huruf d nya menyebutkan gaji anggota DPA sevesar 4.200.000 (empat juta dua ratus ribu rupiah) sebulan. Tentunya gaji tersebut dibebankan kepada Angggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setelah amandemen Pada Bab VI Pasal 22 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2007 tentang Tata Kerja Dewan Pertimbangan Presiden dan Sekretariat Pertimbangan Presiden, menyatakan bahwa: “Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Pertimbangan dan Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang ditempatkan pada anggaran Sekretariat Negara”.

Pasal 23 menyatakan bahwa: (1) Hak keuangan dan fasilitas lain Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden diatur dengan Peraturan Presiden. (2) Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden apabila berhenti atau telah berakhir masa jabatannya tidak diberikan pensiun dan/atau pesangon.

Pembiayaan dan hak keuangan Dewan Pertimbangan Presiden terdapat juga dalam Bab V Pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) mengatur hal yang sama. Hak keuangan dan fasilitas ketua dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden setara dengan menteri. 12

E. Bidang dan Jenis Kegiatan Dewan Pertimbangan Presiden Secara internal, terdapat 4 (empat) bidang program yang menjadi tanggung jawab anggoa Wantimpres, yaitu bidang Ekonomi oleh Sri Adiningsih, Suharso Monoarfa, Jan Darmadi, dan Rusdi Kirana; bidang Kesejahteraan Rakyat oleh Achmad Hasyim Muzadi dan Abdul Malik Fadjar; bidang Politik dan Hukum oleh Sidarto Danusubroto, dan Abdul Malik Fadjar; dan bidang Pertahanan dan Keamanan oleh M. Yusuf

12 http://m.tribunnews.com/nasional/2015/01/19/sembilan-anggota-dewan-pertimbangan-presid en-dapat-fasilitas-setara-menteri, diakses pada Tanggal 11 Juli 2018 Pukul 08.00 WIB. 44

Kertanegara dan Subagyo Hadi Siswono. Setiap bidang mengandung 3 elemen, yakni isu fundamental, isu strategis, dan isu terkini. Isu fundamental adalah hal-hal terkait dasar dan filosofi negara, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bhineka Tunggal Ika. Isu strategis adalah hal-hal terkait pelaksanaan program Nawa Cita. Sedangkan isu terkini, lebih bersifat kasuistik yang dirasakan dan menjadi pembicaraan sebagian besar masyarakat di ruang publik, yang memerlukan perhatian untuk memperoleh pemecahan segera. 13 Output dari tugas anggota di atas adalah berupa nasihat dan pertimbangan Presiden baik secara perorangan maupun kolektif. Masing-masing bidang dapat melaksanakan tugas pokoknya melalui sejumlah kegiatan yakni:14 1) Pertemuan Terbatas Pertemuan Terbatas merupakan pertemuan yang dilakukan dengan mengundang beberapa narasumber untuk memberikan masukan kepada Anggota sebagai salah satu bahan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. 2) Diskusi Terbatas Diskusi Terbatas adalah pertemuan yang dilakukan dengan mengundang beberapa kelompok dan narasumber dalam rangka menghimpun informasi, pandangan, dan pengalaman dari para tokoh masyarakat, pakar, peneliti, praktisi/pejabat terkait, serta pemangku kepentingan lainnya. 3) Kajian Kajian yang dimaksudkan di sini adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam waktu tertentu oleh tim yang terdiri dari beberapa pakar dari berbagai latar belakang keilmuan untuk menemukan data dan informasi dalam rangka memecahkan suatu masalah sebagai bahan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden

13 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi, (Jakarta: Wantimpres, 2017), h. 25

14 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi... h. 19-20. 45

4) Kunjungan Kerja dalam Negeri Merupakan kegiatan Anggota Wantimpres ke daerah-daerah di Indonesia dalam rangka mengetahui situasi dan kondisi secara langsung di lapangan terutama yang berkaitan dengan isu-isu aktual, sebagai bahan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Kunjungan ke daerah ini dilakukan oleh Anggota Wantimpres sesuai bidang tugasnya masing-masing. Anggota Wantimpres akan menghimpun berbagai data dan informasi mengenai isu-isu strategis, permasalahan aktual, dan aspirasi masyarakat yang terkait. Dalam kunjungan ini, para Anggota Wantimpres akan didampingi oleh Sekretariat atau staf Anggota Wantimpres, atau staf dari Sekretariat Wantimpres. Kegiatan yang dilakukan selama kunjungan, antara lain berupa diskusi dengan pemerintahan provinsi, kabupaten/kota bersama-sama dengan para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, ada dialog dengan masyarakat dan peninjauan langsung ke lapangan. 5) Kunjungan Kerja Luar Negeri Kunjungan kerja luar negeri adalah kegiatan Anggota Wantimpres ke berbagai negara, dalam rangka mengetahui masalah internasional secara langsung di negara/lembaga internasional, berkaitan dengan isu-isu aktual sebagai bahan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden 6) Kegiatan lain (1) Pertemuan Khsusus Merupakan kegiatan tatap muka antara Anggota Wantimpres dengan Presiden atau Wakil Presiden, baik dilakukan secara perorangan, sebagian, maupun seluruh Anggota Wantimpres. (2) Penyerapan Aspirasi Penyerapan aspirasi adalah kegiatan Anggota Wantimpres untuk meminta masukan dari individu atau kelompok masyarakat tentang masalah tertentu sebagai bahan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden.

46

(3) Audiensi Audiensi adalah kegiatan Anggota Wantimpres menerima permintaan tatap muka dari individu atau kelompok masyarakat tentang maslaah tertentu. (4) Forum Ilmiah Forul ilmiah adalah kegiatan Anggota Wantimpres menghadiri undangan yang bersifat keilmuan sebagai narasumber dalam seminar, kuliah umum, dan lain-lain. (5) Kegiatan Tambahan Selain kegiatan-kegiatan tersebut di atas, Anggota Wantimpres biasanya melakukan sejumlah aktivitas, seperti menghadiri pelantikan pejabat tinggi di Istana Negara, menghadiri jamuan makan malam kenegaraan di Istana, menghadiri penandatanganan nota kesepahaman dan lainnya.

F. Mekanisme Kerja Dewan Pertimbangan dalam Perspektif Peraturan Perundang- undangan Sebelum amandemen mekanisme penetapan pertimbangan oleh DPA harus melalui prosedur pembahasan dalam pengambilan keputusan dalam sidang anggota DPA, sehingga membutuhkan waktu atau tidak dapat dilakukan secara serta merta apabila Presiden membutuhkan pertimbangan yang cepat. 15 Setelah amandemen mekanisme kerja Wantimpres diatur dalam Bab IV Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan 16 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2007 tentang Tata Kerja Dewan Pertimbangan Presiden dan Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden. Pasal 10 menyatakan: (1) Setiap anggota Dewan Pertimbangan Presien berhak menyampaikan nasihat dan pertimbangan yang disampaikan secara perorangan kepada Presiden. (2) Nasihat dan pertimbangan anggota Dewan Pertimbangan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang bersangkutan.

15 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, (Bekasi, Gramata Publishing, 2016), h. 44 47

(3) Nasihat dan pertimbangan anggota Dewan Pertimbangan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) , tembusnya disampikan kepada ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang lain.

Pasal 11 menyatakan: (1) Nasihat dan pertimbangan yang diajukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden merupakan nasihat dan pertimbangan yang disetujui secara mufakat oleh seluruh anggota Dewan Pertimbangan Presiden. (2) Nasihat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan rapat yang dihasidi paling sedikit oleh 5 (lima) orag anggota Dewan Pertimbangan Presiden. (3) Nasihat dan pertimbangan Dewan Pertimbangan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.

Pasal 12 menyatakan: (1) Presiden dapat menunjuk 1 (satu) atau beberapa anggota Dewan Pertimbangan Presiden untuk melakukan suatu kajian atau telaahan dan memberi nasihat dan pertimbangan tertulis langsung kepada Presiden. (2) Nasihat dan pertimbangan anggota Dewan Pertimbangan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang bersangkutan. (3) Nasihat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya disampaikan kepada Ketua dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang lain.

Pasal 13 menyatakan: (1) Dewan Pertimbangan Presiden mengadakan rapat sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam setiap bulan. (2) Ketua Dewan Pertimbangan Presiden bertindak sebagai koordinator dan tidak dapat menyampaikan nasihat dan pertimbangannya sendiri atas nama Dewan Pertimbangan Presiden.

Pasal 14 menyatakan: (1) Dewan Pertimbangan Presiden menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden sekurangkurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan. (2) Presiden dapat meminta Dewan Pertimbangan Presiden menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya sewaktuwakktu apabila deperlukan. (3) Laporan Dewan Pertimbangan Presiden kepada Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi seluruh nasihat dan pertimbangan yang disampaikan baik secara perorangan maupun sebagai satu kesatuan nasihat dan pertimbangan seluruh anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

48

Pasal 15 menyatakan: (1) Segala surat menyurat Dewan Pertimbangan Presiden ditandatangani oleh Ketua Dewan Pertimbangan Presiden. (2) Apabila Ketua Dewan Pertimbangan Presiden berhalangan sementara, maka salah seorang anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang ditunjuk oleh Ketua Dewan Pertimbangan Presiden sebagai pelaksana tugas, berwenang menandatangani segala surat Dewan Pertimbangan Presiden.

Pasal 16 menyatakan: Apabila Ketua Dewan Pertimbangan Presiden berhalangan tetap, maka Presiden memilih dan mengangkat Ketua Dewan Pertimbangan Presiden yang baru.

Berdasarkan Perpres Nomor 10 Tahun 2007 di atas, Tata Kerja Dewan Pertimbangan Presiden adalah sebagai berikut:16 1. Nastim Perorangan Nasihat dan pertimbangan (Nastim) merupakan hasil dari kegiatan para Anggota Wantimpres, bersifat rahasia dan diberikan langsung kepada Presiden. Dalam pelaksanaannya, Nastim dari Anggota Wantimpres dapat disampaikan secara perorangan dan seluruh Anggota Dewan. Nastim yang disampaikan ke Presiden menyangkut 4 (empat) aspek sesuai dengan perbidangan yang telah ditetapkan oleh Presiden, yakni bidang ekonomi, bidang kesejahteraan rakyat, bidang politik dan hukum, serta bidang pertahanan dan keamanan. Dan Nastim yang disampaikan secara perorangan kepada Presiden harus ditandatangani oleh Anggota Wantimpres yang bersangkutan, serta tembusannya disampaikan kepada Ketua dan Anggota Wantimpres yang lain. 2. Nastim Kolektif Nasihat dan pertimbangan (Nastim) yang diajukan oleh Wantimpres merupakan Nastim yang disetujui secara mufakat oleh seluruh Anggota Wantimpres, yang ditetapkan berdasarkan rapat yang dihadiri paling sedikit oleh 5

16 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi... h. 21-22 49

(lima) orang Anggota Wantimpres, Nastim yang akan diberikan kepada Presiden terlebih dahulu ditandatangani oleh Ketua Wantimpres. 3. Permintaan Presiden Presiden dapat menunjuk 1 (satu) stsu beberapa Anggota Wantimpres untuk melakukan suatu kajian atau telaahan dan memberi Nastim tertulis langsung kepada Presiden. Nastim atas permintaan Presiden ini harus ditandatangani oleh Anggota Wantimpres bersangkutan, dan tembusnya disampaikan kepada Ketua dan Anggota Wantimpres lainnya. 4. Laporan Pelaksanaan Tugas (Lapgas) Wantimpres menyampaikan Laporan Pelaksanaan Tugas (Lapgas) yang sudah dilakukan kepada Presiden sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan. Namun, Presiden dapat meminta Wantimpres untuk menyampaikan Lapgasnya sewaktu-waktu apabila diperlukan. Lapgas kepada Presiden tersebut meliputi seluruh nasihat dan pertimbangan yang disampaikan, baik secara perorangan maupun sevagai satu kesatuan Nastim seluruh Anggota Wantimpres. 5. Surat Menyurat Dalam tata kerja Wantimpres, segala surat menyurat Wantimpres harus ditandatangani oleh Ketua Wantimpres. Apabila Ketua Wantimpres berhalangan sementara, maka salah seorang Anggota Wantimpres yang ditunjuk oleh Ketua Wantimpres sebagai pelaksana tugas, berwenang menandatangani segala surat Wantimpres. Jika Ketua Wantimpres berhalangan tetap, maka Presiden memilih dan mengangkat Ketua Wantimpres yang baru. BAB IV URGENSI LEMBAGA DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Perbandingan Dewan Pertimbangan Presiden dengan Dewan Pertimbangan Agung dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Wantimpres, apabila merujuk sejarah ketatanegaraan Indonesia, terlebih pasca Orde Lama dan pra-Orde Reformasi, sebenarnya mirip, meski tak sama persis dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dalam konstitusi pra amandemen, DPA diberi kewajiban menjawab pertanyaan presiden dan juga diberi hak untuk mengajukan usul kepada pemerintah. Bedanya, DPA adalah lembaga sejajar dengan presiden, sedangkan Wantimpres berada di bawah presiden. Dalam hal komposisi anggota DPA, UU No 3/1967 tentang DPA dan UU No 4/1978 perubahan dan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang DPA menyatakan, susunan anggota DPA terdiri dari tokoh politik, tokoh karya, tokoh daerah, dan tokoh nasional.1 DPA yang berdasarkan UUD 1945 yang asli dan Wantimpres berdasarkan hasil amandemen mempunyai perbedaan yang prinsip:2 Pertama, DPA tidak berada di bawah Presiden tetapi setara dengan Presiden sehingga DPA memiliki kebebasan untuk memberikan pertimbangan berupa pendapat, nasihat, atau kritik mengenai pemerintahan negara. Sedangkan, wantimpres yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan atas Keppres bersifat subordinasi kepada Presiden dan logikanya tidak berani memberikan kritik atas kebijakan Presiden. Kedua, keanggotaan DPA terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh nasional, tokoh daerah, dan tokoh golongan profesi dengan kriteria yang jelas berdasarkan UU tentang DPA, sedangkan Wantimpres sangat tergantung dari subjektivitas Presiden. Memang

1 Hifdzil Alim, Wantimpres, https://nasional.kompas.com/read/2015/01/27/14050061/Wantim pres, diakses pada Tanggal 28 Mei 2018 Pukul 10.00 WIB.

2 M. Dimyati Hartono, Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 66.

50

51

kenyataannya, dalam Zaman Orde Baru penyelenggaran negara, keanggotaan DPA diisi oleh eks Pejabat sipil dan militer yang sudah memasuki masa pensiun sehingga timbul sindiran bahwa DPA diartikan sebagai “Dewan Pensiunan Agung”. Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta yang menyatakan bahwa perbandingan antara Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) adalah sebagai berikut:3 1) DPA itu kedudukannya setingkat dengan Presiden dan lembaga negara lainnya, sedangkan Wantimpres kedudukannya langsung di bawah Presiden; 2) DPA itu birokrasinya panjang atau proseduralnya panjang, DPA harus rapat dulu untuk membicarakan sesuatu untuk kemudian baru bisa dilaporkan kepada Presiden padahal Presiden sedang membutuhkan, sedangkan Wantimpres birokrasinya mudah, jika Presiden membutuhkan Nasihat, Wantimpres bisa langsung kepada Presiden karena kantornya juga berada ditempat kedudukan Presiden (Istana); 3) DPA pemborosan keuangan dengan jumlah pegawai yang banyak, sedangkan Wantimpres jumlah anggotanya berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2006 dalam Pasal 7 ayat (2) terdiri dari seorang ketua merangkap anggota dan 8 orang anggota. Peneliti membandingkan dua lembaga ini dengan menelaah peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung, dan juga melihat dari data yang sudah peneliti paparkan pada bab 3 yaitu tentang profil dewan pertimbangan sebelum dan sesudah amandemen, peneliti menemukan beberapa perbedaan antara Dewan Pertimbangan Presiden dengan Dewan Pertimbangan Agung, diantaranya: 1) Dewan Pertimbangan Presiden berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden yang berkedudukan di tempat kedudukan Presiden, sedangkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berkedudukan di tempat kedudukan

3 Wawancara langsung dengan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H, M.H., Pada tanggal 06 Juli 2018 Pukul 14.30 WIB 52

Pemerintah Pusat yang kedudukannya sejajar dengan Presiden, dan bertanggung jawab secara langsung kepada MPR sebagai lembaga tinggi negara; 2) Jumlah anggota Wantimpres terdiri dari seorang ketua merangkap anggota dan 8 (delapan) orang anggota, sedangkan DPA jumlah anggotanya ditetapkan sebanyak- banyaknya 27 (dua puluh tujuh) orang termasuk Pimpinan Dewan Pertimbangan Agung; dari sepanjang sejarah berdirinya, jumlah anggota DPA ini pernah mencapai 66 orang anggota pada masa Presiden Soekarno; 3) Ketua Wantimpres dijabat secara bergantian di antara anggota yang ditetapkan oleh Presiden, sedangkan pimpinan DPA terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua yang diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Pertimbangan Agung; 4) Nasihat-nasihat dan pertimbangan yang diberikan oleh wantimpres kepada presiden bersifat rahasia, apapun bentuk usulan dan rekomendasi dari Wantimpres tidak boleh dipublikasi kepada publik, sedangkan DPA hingga dihapuskan pada tahun 2002 pada amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bentuk pertimbangan dan usulan dari DPA dapat dipublikasikan terutama pada sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI). Namun juga bisa disampaikan dalam bentuk lisan langsung kepada Presiden, salah satu bentuk dari hasil pertimbangan DPA juga dikeluarkan dalam bentuk sebuah keputusan. Dengan membandingkan dua lembaga yang memiliki fungsi yang sama: memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden. Perbedaannya, Watimpres secara tegas disebut “bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan”, sedangkan DPA Pasal 16 ayat (2) yang lama disebut “berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah”. Pengalaman Indonesia terhadap keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) selama pemerintahan Orde Baru telah memberikan labelling bahwa DPA tidak memiliki fungsi sebagaimana yang diinginkan. Pertimbangan yang dahulu diberikan 53

oleh DPA seringkali dianggap tidak dipergunakan. Citra ini menumbuhkan semangat agar 'dewan' yang nanti akan dilembagakan tidak sama dengan DPA. 4 Mengenai penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diatur dalam Pasal 16 UUD 1945 dan kekuasaan Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan perlu dikemukakan bahwa ditiadakannya Dewan Pertimbangan Agung DPA) pasca amandemen UUD Tahun 1945 adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara. Sebelum amandemen UUD 1945, kewenangan DPA adalah untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam kedudukan sejajar. Namun Presiden tidak terikat dengan nasihat dan pertimbangan tersebut, ini menujukkan keberadaan DPA sebagai lembaga tinggi negara setingkat Presiden tidak efektif dan tidak efisien. 5 Beberapa pandangan yang ingin DPA dihapuskan dengan mengajukan beberapa alasan. Selama ini (maksudnya sejak zaman Sukarno sampai Gus Dur), fungsi DPA tidak efektif. Apalagi pada era Suharto, DPA diplesetkan menjadi (Dewan Pensiunan Agung). Tempat bermukim orang-orang buangan yang tidak disukai oleh Presiden. Atau pos untuk para mantan pejabat. Dalam kehidupan ketatanegaraan, nasihat-nasihat DPA hampir tidak pernah digubris oleh presiden. Presiden tidak terikat dengan nasihat DPA. Padahal secara kelembagaan antara DPA dan Presiden setara, sama-sama lembaga tinggi negara. Sebagai lembaga tinggi negara, menjadi aneh pengangkatan dan pemberhentian anggota DPA dilakukan oleh Presiden. Sehingga secara kultural ada hambatan psikologis buat mereka memberi nasehat kepada Presiden. Oleh karena itu DPA dizaman Soekarno hampir tidak pernah difungsikan. DPA pertama diketuai Radjiman Widiodiningrat hingga tahun 1949, keberadaannya tidak jelas. Periode berikutnya posisi DPA makin tidak jelas. Kondisi ini berlangsung hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. DPA Sementara dibentuk

4 Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Tentang Dewan Pertimbangan Dan Penasihat Presiden

5 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, (Bekasi, Gramata Publishing, 2016), h. 44 54

berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959, 22 Juli1959. Ketuanya dirangkap oleh Presiden Soekarno. DPA definitif baru muncul pada 1967 melalui UU No. 3 Tahun 1967 yang disahkan pejabat Presiden Soeharto. Ruslan Abdul Gani menambahkan bahwa kekuasaan DPA sebagai advisory power tidak jelas dalam kerangka trias politica. Satu bentuk pemisahan kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pendapat lain menyatakan keberadaan DPA sama seperti dewan penasehat sistem pemerintahan negara-negara Eropa Kontinental di abad XVIII-XIX. Apa yang disebut Le Conseil d’Etat di Perancis. Situasi pemerintahan Gus Dur (saat itu masih menjabat sebagai Presiden) tak luput dari evaluasi. Para peserta sidang PAH III MPR mengatakan Presiden Gus Dur lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan nasihat para ulama dan kyai yang sengaja datang khusus, ketimbang DPA. Jika demikian, apa pentingnya DPA bila kenyataannya Presiden lebih mendengar nasihat dari orang-orang yang dia percayai.6 Harun Alrasid, Guru Besar Universitas Indonesia sejak tahun 1995 sudah langsung menyuarakan agar DPA dibubarkan. Menurutnya keberadaan lembaga tersebut tidak efektif. Jika Presiden memerlukan penasehat, cukup menganggkat staf ahli Presiden saja. Ini akan lebih memudahkan bagi seorang Presiden, dia tinggal angkat telepon saja, tidak perlu surat-menyurat secara formal sebagaimana yang dilakukan kepada DPA selama ini. Pendapat tersebut kembali disampaikan olehnya pada tahun 1998 sampai lembaga tersebut akhirnya benar-benar dibubarkan pada tahun 2002 oleh MPR. 7 Jimly Asshiddiqie adalah satu-satunya ahli hukum tata negara yang menyuarakan agar DPA tidak dibubarkan, dia mengatakan betapa pentingnya tersebut tetap dipertahankan. Menurutnya, selama ini yang membuat lembaga ini tidak efektif

6 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999–2002 Edisi Revisi. Buku ke IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid I (Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), h. 691- 897.

7 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 116. 55

adalah karena kedudukan dan perannya tidak cukup penting. Untuk itu, sebaiknya lembaga tersebut diberikan kewenangan yang lebih besar dari yang ditentukan dalam UUD 1945. Tetapi jika ingin nasihat tersebut diharapkan mengikat, maka yang memberi nasihat harus sederajat. Dengan demikian, DPA adalah jawabannya, yaitu dengan diberikan lembaga tersebut mempunyai daya ikat terhadap Presiden. sehingga apa yang terjadi selama ini tidak terulang lagi. DPA bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden dalam kedudukan sejajar, karena sama-sama lembaga tinggi negara. Namun, Presiden tidak terikat dengan nasihat dan pertimbangan itu. Hal tersebut dianggap keberadaan DPA tidak efektif dan efisien. Demikian pula mekanisme penetapan pertimbangan oleh DPA harus melalui prosedur pembahasan dalam pengambilan putusan sidang DPA sehingga membutuhkan waktu yang lama sehingga ketika Presiden membutuhkan nasihat tidak dengan serta merta bisa diberikan. 8 Hal yang senada juga dikatakan oleh Kepala Bagian Politik, Hukum dan Keamanan Biro Data dan informasi sekretariat Wantimpres, Bapak M. Faried, S.IP, DEA, yang menyatakan bahwa Wantimpres jika dibandingkan dengan DPA, Wantimpres lebih efektif dan efisien dari DPA, karena jika Presiden membutuhkan nasihat dan pertimbangan bisa langsung mendapatkan masukan dari Wantimpres, karena kantornya juga berada ditempat kedudukan Presiden, dan dari segi pembiayaan Wantimpres juga efisien dari DPA, karena jumlah anggota Wantimpres tidak sebanyak anggota DPA. 9 Dari beberapa perbandingan di atas, peneliti menilai antara DPA dengan Wantimpres, dalam hal mekanisme pelaksanaan tugas, Wantimpres lebih efektif dan efisien dari DPA karena birokrasinya cepat, kapan saja Presiden membutuhkan bisa. Dan dari sisi anggarannya, DPA pemborosan keuangan dengan jumlah anggota yang

8 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 116-117

9 Wawancara langsung dengan Kabid Polhukam Sekretariat Wantimpres, M. Faried, S.IP, DEA, di Sekretariat Wantimpres, Pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 11.00 WIB 56

lebih banyak dari Wantimpres. Tentunya Wantimpres harus berkaca dari kegagalan DPA di masa lalu, dan tidak mengulangi hal yang sama.

B. Komposisi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Kalau melihat komposisi keanggotaan Wantimpres sejak diberlakukan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden akan tampak bahwa kebanyakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden berasal dari unsur partai politik, para pakar di bidang yang sesuai dengan kebutuhan di Wantimpres, pimpinan Ormas keagamaan, serta purnawirawan TNI dan Polri. Pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007-2014) hingga pemerintahan Joko widodo (2015-2019). Anggota Wantimpres yang berasal dari unsur Pegawai Negeri aktif, tidak ada. Berdasarkan Undang-Undang 19 Tahun 2006 sebetulnya tidak ada larangan bagi Pegawai Negeri menjadi Anggota Wantimpres sebagaimana tersirat dalam Pasal 12 UU Nomor 19 Tahun 2006 di atas, yang kemudian diatur selanjutnya berdasarkan Pasal 6, 7, 8 Peraturan Presiden RI Nomor 10 Tahun 2007. 10 Untuk dapat diangkat menjadi seorang Anggota Dewan Penasihat Presiden, harus dipenuhi sejumlah persyaratan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penilaian subjektivitas dari Presiden11 , sekalipun sebenarnya itu sah saja dalam sebuah praktek pemerintahan. Namun demikian, undang-undang ini mencoba menghindari penilaian subjektivitas tersebut dengan mengajukan sejumlah persyaratan yang dinilai dapat diukur. Syarat-syarat yang harus dipenuhi itu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden adalah sebagai berikut: 1) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Ketentuan ini dilihat dari ketaatan seseorang menjalankan ibadat menurut agamanya dan kepercayaannya.

10 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi, (Jakarta: Wantimpres, 2017), h. 15.

11 Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Tentang Dewan Pertimbangan Dan Penasihat Presiden 57

2) Warga negara Republik Indonesia dan bertempat tinggal dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk calon anggota. Seorang calon anggota dapat saja tidak bertempat tinggal di wilayah negara RI, namun ketika sudah menjadi anggota, yang bersangkutan harus bertempat tinggal di wilayah negara RI. 3) Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; Ketentuan ini adalah ketentuan normatif yang disyaratkan bagi seseorang yang akan menduduki sebuah jabatan negara. 4) Mempunyai sifat kenegarawanan; Sifat kenegarawanan dapat dilihat dari sikap konsistensi mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Sebagai contoh adalah seseorang yang tidak pernah mengusulkan untuk disintegrasi di sebuah wilayah negara kesatuan RI. Dalam kelompok ini dapat dimasukkan kriteria para mantan presiden atau mantan menteri yang dinilai telah memiliki bukti adanya sifat kenegarawanan. 5) Sehat jasmani dan rohani; Persyaratan ini dapat dibuktikan dengan surat keterangan dari seorang dokter yang menyatakan bahwa yang bersangkutan sehat baik secara jasmani maupun rohani. Persyaratan ini harus dipenuhi juga oleh seorang calon anggota legislatif. 6) Jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; Persyaratan ini sama dengan persyaratan untuk mejadi anggota legislatif. Yang dimaksud dengan "tidak pernah melakukan perbuatan tercela" adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, maupun zina. 7) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; Yang dimaksud dengan tindak pidana kejahatan adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Buku Kedua KUHP. Dijatuhi pidana karena menabrak seseorang misalnya, tidak dikategorikan sebagai melakukan tindak pidana kejahatan. 8) Mempunyai keahlian tertentu di bidang pemerintahan negara. 58

9) Tidak merangkap jabatan lain; Larangan merangkap jabatan dimaksudkan agar anggota Dewan mampu berkonsentrasi penuh terhadap tugasnya sebagai penasihat dan pemberi pertimbangan kepada Presiden. Jabatan lain yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah sebagai pejabat negara (pimpinan dan anggota lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD, BPK, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Dewan Gubernur Bank Indonesia, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kepala Polri), sebagai pejabat pemerintahan (pejabat struktural pada kementerian/departemen dan lembaga pemerintah non departemen dan/atau pejabat struktural yang dipersamakan di lingkungan TNI dan Polri), pejabat lain di komisi-komisi (seperti di Pemberantasan Korupsi, Komisi Komisi Ombudsman Nasional), badan (seperti di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), lembaga (Lembaga Penjamin Simpanan) yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dibiayai oleh APBN; Gubernur, Bupati/Walikota, serta Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, maupun pimpinan partai politik (ketua umum, dewan syuro, dan lain-lain penyebutan dalam partai politik), pimpinan Organisasi Masyarakat (Ormas), pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pimpinan perusahaan (baik sebagai komisaris, direksi, dan lain sebagainya), pimpinan BUMN, pimpinan organisasi profesi, pejabat struktural di perguruan tinggi (seperti Rektor, Dekan, Kepala Departemen, dan lain sebagainya). Di masa Presiden Jokowi, anggota Wantimpres banyak didominasi politisi. Seperti Sidarto Danusubroto (PDI Perjuangan), Yusuf Kertanegara ( PKPI), Suharso Monoarfa (PPP), Rusdi Kirana (PKB), dan Jarmadi (Partai Nasdem). Ada juga mantan KSAD Subagyo Hadi Siswoyo yang disebut diusulkan oleh Ketua Umum Partai Hanura Wiranto. Anggota lainnya yakni Hasyim Muzadi adalah mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama yang merupakan mantan penasehat Tim Transisi Jokowi-JK. Sementara Sri Adiningsih mewakili kalangan profesional. Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengakui anggota Wantimpres pada masa Jokowi-JK didominasi kalangan 59

partai politik. Namun dia membantah bahwa ini bagian dari bagi-bagi kursi bagi partai pengusung Presiden Jokowi. 12 Di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono anggota Wantimpres tidak didominasi anggota partai politik. Pada periode pertama menjabat SBY mengangkat Ali Alatas, Emil Salim, Rachmawati Soekarnoputri, Syahrir, Ma’ruf Amin, Tiopan Bernhard Silalahi, Adnan Buyung Nasution, Subur Budhisantoso dan Radi A Gani sebagai anggota Wantimpres. Saat terpilih untuk kedua kalinya pada 2010 anggota Wantimpres yang diangkat SBY adalah: Emil Salim, Hassan Wirajuda, Ryaas Rasyid, Ginandjar Kartasasmita, Ma’ruf Amin, Widodo Adi Sutjipto, Jimly Asshiddiqie, Meutia Farida Hatta, Siti Fadillah Supari. Pada tahun 2012 satu anggota Wantimpres diganti. Albert Hasibuan masuk menggantikan Jumly Asshiddiqie. Pada masa Presiden Susilo Bambang yudhoyono kalangan profesional mendominasi anggota Wantimpres yang diangkat SBY.13 Memang untuk menentukan komposisi anggota Wantimpres adalah hak prerogative Presiden dan terserah kepada Presiden siapa-siapa saja yang dipi``lih oleh beliau untuk menjadi anggota Wantimpres, karena memang itu adalah anggap orang yang beliau bisa bekerja sama dan bisa memberikan pertimbangan dan nasihat- nasihat.14 Tetapi, Presiden juga harus mengacu kepada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres, yang menjadi sumber hukum untuk memilih komposisi anggota Wantimpres, dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap anggota Wantimpres. Salah satu persyaratannya adalah Mempunyai sifat kenegarawanan; Sifat kenegarawanan dapat dilihat dari sikap konsistensi mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum di atas kepentingan

12 https://m.detik.com/news/berita/2807749/beda-sby-dan-jokowi-saat-angkat-anggota-wantimp res, Senin, 19 Januari 2015, Pukul 10.04 WIB

13 https://m.detik.com/news/berita/2807749/beda-sby-dan-jokowi-saat-angkat-anggota-wantimp res, Senin, 19 Januari 2015, Pukul 10.04 WIB

14 Dialog langsung Fitri Megantara via telephone dengan Sri Adiningsih pada acara Berdayakan Wantimpres! Prime Time Talk, Berita Satu: News Channel, Pada Pukul 18.25 WIB 60

pribadi, kelompok, dan golongan. Dan jika anggota Wantimpres dipilih dan didominasi dari kalangan Partai politik sangat dimungkinkan ada intervensi partai politik dalam memberikan setiap usulan dan pertimbangan yang diberikan kepada Presiden. Mereka akan sangat terpengaruh dengan kepentingan politik mereka masing- masing jika memberikan pendapat kepada Presiden. Walaupun setelah diangkat menjadi anggota Wantimpres mereka harus keluar dari partai politik tersebut, akan tetapi untuk mengantisipasi semua itu komposisi susunan anggota Wantimpres seharusnya bukan dari kader-kader partai politik dan sepenuhnya mengacu kepada UU yang sudah ditetapkan bukan semata-mata hanya hak subjektivitas Presiden saja. Siradjuddin abbas seorang peneliti senior SMRC mengatakan bahwa, pemilihan anggota Wantimpres menjadi wewenang penuh Presiden, dia mengira bahwa soal asal usul partai politik menjadi tidak terlalu penting kalau kita lihat pada otoritas dan prospek kontribusi mereka dalam memberikan nasihat-nasihat yang baik kepada Presiden, memang orang akan cendrung sinis, sinis akan asal usul partai politiknya, bisa jadi membawa pesanan-pesanan partai politiknya, yah tidak apa-apa, toh nantinya mereka yang dari partai politik juga akan keluar secara formal kaitan kelembagaan mereka dengan partai politik akan terputus dan mereka akan mengundurkan diri, tetapi satu hal lagi yang perlu dipahami bahwa mereka itu adalah representatif satu kelompok pemenang dalam pemilihan presiden, jadi tidak ada apa-apa menurut saya. 15 Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa anggota Dewan Pertimbangan Presiden pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Joko Widodo mengangkat komposisi anggota Wantimpres sebetulnya tidak jauh berbeda. Perbedaannya adalah pada masa Presiden Jokowi, anggota Wantimpres banyak didominasi oleh politisi sedangkan pada masa Presiden SBY didominasi oleh orang- orang birokrat, profesional, walaupun politisi juga ada tetapi tidak sebanyak pada masa Presiden Jokowi. Sebenarnya tidak ada yang salah dari mana latar belakang komposisi anggota Wantimpres yang akan diangkat oleh Presiden. Namun, peneliti menilai

15 Dialog langsung Fitri Megantara dengan Siradjuddin Abbas, peneliti senior SMRC pada acara Berdayakan Wantimpres! Prime Time Talk, Berita Satu: News Channel, Pukul 18.38 WIB 61

lembaga ini sebagai lembaga penampungan orang-orang yang berjasa kepada Presiden, penampungan tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh politik yang mungkin tidak dipakai lagi. Ini dibuktikan dari 11 tahun Wantimpres didirikan, apalagi pada masa Presiden Jokowi, kader-kader politik yang mendominasi anggota Wantimpres berasal dari partai politik pengusung Jokowi-JK pada pilpres 2014 yang lalu. Masih banyak orang-orang yang berkompeten di bidangnya yang bisa menjadi anggota Wantimpres, ketimbang harus dari politisi. Sebaiknya lembaga ini diisi oleh para akademisi, negarawan, dan dari kalangan profesional. Karena nantinya setiap kebijakan yang akan diambil oleh Presiden akan berdampak luas untuk kemajuan bangsa dan negara. Jika didominasi oleh politisi, ditakutkan akan berimplikasi pada bentuk nasihat dan masukan yang nantinya akan diberikan kepada Presiden hanya untuk kepentingan golongan saja bukan kepentingan bangsa dan negara.

C. Urgensi Nasihat dan Pertimbangan Dewan Pertimbangan Presiden dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Nasihat dan pertimbangan Presiden (NASTIM) merupakan output dari sejumlah tugas dan kegiatan yang dilaksanakan oleh para anggota. Nastim dapat dikirim kepada Presiden baik secara perorangan maupun kolektif. 16 Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 menyatakan bahwa: “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan, dan/atau menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana pun”

Pernyataan di atas memberikan larangan kepada setiap anggota Dewan Pertimbangan Presiden memnyebarluaskan bentuk nasihat dan petimbangan yang

16 Ahmad Fachrudin, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi... h. 47.

62

diberikan kepada Presiden. Dan hanya memberitahu jumlah nasihat dan pertimbangan yang diberikan kepada Presiden. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Dewan Pertimbangan Presiden periode 2010-2014 memberikan 254 pertimbangan kepada SBY. Hal itu terungkap dalam acara serah terima anggota Wantimpres periode 2010-2014 ke periode 2015-2019 di Gedung Wantimpres. Sri Adiningsih sebagai ketua Wantimpres dalam acara tersebut menyatakan bahwa “perlu kita ketahui banyak sekali yang sudah dihasilkan, 254 pertimbangan kepada Presiden dalam kurun waktu lima tahun”. Sri menjelaskan, pertimbangan Wantimpres sebelumnya itu disampaikan kepada Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono secara bersama-sama atau inisiatif perseorangan. Karena sesuai tugasnya anggota Wantimpres dapat memberikan pertimbangan kepada Presiden jika diminta atau inisiatif secara bersama-sama atau perorangan. Dalam kesempatan itu juga, mantan ketua Wantimpres Emil Salim meminta maaf kepada media karena selama bertugas tidak dapat memberikan pernyataan kepada publik. Ia menyatakan bahwa setiap anggota Wantimpres wajib memegang rahasia negara dan hanya dapat berbicara mengenai subtansi suatu persoalan kepada Presiden RI. Meski demikian, kata Emil semua pekerjaan Wantimpres periode 2010-2014 telah disampaikan secara tertulis kepada Wantimpres yang melanjutkan.17 Ketentuan di atas menyebabkan masyarakat tidak bisa menilai apakah Presiden telah sungguh-sungguh memperhatikan nasihat dan pertimbangan dari lembaga ini atau tidak. Sebab, masyarakat sudah sepatutnya mengetahui apa bentuk nasihat dan pertimbangan yang telah diberikan oleh Dewan tersebut. Salah satu alasan kenapa Nastim itu bersifat rahasia adalah, dikhawatirkan jika nasihat dan pertimbangan tersebut terkait dengan strategi negara dalam menghadapi negara lain, sehingga harus dirahasiakan, akan bocor ke tangan pihak yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu,

17 Era Presiden SBY, Wantimpres beri 254 Pertimbangan, http://nasional.kompas.com. Diakses pada Tanggal 10 Mei 2018 Pukul 11.10 WIB 63

ketentuan agar Presiden memperhatikan dengan sungguh-sungguh merupakan ketentuan yang membantu mengingatkan Presiden akan pentingnya peran dari Dewan Penasihat dan Pertimbangan ini.18 Bagaimana publik akan mengetahui objektif tidaknya rekomendasi atau nasihat yang diberikan oleh lembaga ini kepada Presiden jika bentuk nasihat itu dirahasiakan. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Kepala Bagian Politik, Hukum dan Keamanan Biro Data dan informasi sekretariat Wantimpres, Bapak M. Faried, S.IP, DEA, menyatakan bahwa, bentuk nasihat dan pertimbangan dari setiap anggota Wantimpres itu bersifat rahasia, dan tidak boleh dipublikasi, itu adalah perintah UU, dan bagi yang menyebarluakan akan dikenai delik sesuai dengan aturan yang berlaku, karena ini adalah rahasia negara, dan sayapun selama bekerja di Sekretariat Wantimpres tidak pernah mengetahui bentuk nasihat dan pertimbangan tersebut. Adapun untuk mengetahui kinerja dari lembaga ini tunggu 20 tahun lagi baru bentuk nasihat dari lembaga ini bisa di akses dan masyarakat baru bisa menilai efektif tidaknya lembaga ini, tetapi dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara Presiden memang memelukan nasihat-nasihat dan pertimbangan untuk mengambil sebuah keputusan. 19 Hal senada juga disampaikan oleh Sri Adiningsi Ketua Wantimpres periode 2015-2019 menyatakan bahwa, peran dari Wantimpres tidak akan pernah dipahami dan diketahui oleh masyarakat karena pertimbangan ataupun nasihat yang diberikan oleh Wantimpres itu kepada Presiden sifatnya rahasia, dan hanya boleh diberikan kepada Presiden bahkan Wantimpres tidak diperbolehkan untuk mendiskusikan itu kepada publik. Dan mengatakan bahwa Wantimpres bisa memberikan rekomendasi yang baik pada saatnya diperlukan dan memang digunakan oleh Presidendan itu akan bisa meningkatkan kinerja Presiden untuk membuat keputusan yang baik, dan

18 Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Tentang Dewan Pertimbangan Dan Penasihat Presiden

19 Wawancara langsung dengan Kabid Polhukam Sekretariat Wantimpres, M. Faried, S.IP, DEA, di Sekretariat Wantimpres, Pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 11.00 WIB 64

Wantimpres memberikan masukan yang objektif, yang terbaik dan bukan asal Presiden senang saja. Dan secara tidak langsung indikator keberhasilan kinerja Wantimpres akan terlihat pada kinerja Presiden dalam memimpin kekuasaan pemerintahan.20 Pertimbangan ataupun usulan yang diberikan oleh Wantimpres kepada Presiden bersifat rahasia, dan tidak boleh dipublikasikan, jika dilihat pada masa DPA terdahulu yang dihapuskan pada amandemen ke-empat UUD NRI Tahun 1945, hasil pertimbangan dan usulan dari Wantimpres ini dapat dipublikasikan terutama pada Sidang Tahunan MPR RI. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta yang menyatakan bahwa dari sisi nasihat, Presiden memang membutuhkan nasihat dan pertimbangan untuk untuk kepentingan bangsa dan negara. Tetapi, bentuk nasihat dan pertimbangan itu seharusnya tidak semua harus dirahasiakan, ada beberapa nasihat yang publik harus mengetahuinya. 21 Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa pemberian nasihat dan pertimbangan Presiden masih tetap diperlukan, dan dilakukan oleh suatu organ baru yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Hal yang sama juga disampaikan oleh Masinton Pasaribu, anggota Komisi III DPR RI bahwa dari sisi kelembagaan Wantimpres masih diperlukan untuk membantu Presiden dalam memberikan nasihat-nasihat dan pertimbangan dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara. 22 Dari beberapa pernyataan di atas, peneliti menilai bahwa dari sisi nasihat, Presiden memang membutuhkan masukan dan nasihat-nasihat untuk membuat sebuah

20 Dialog langsung Fitri Megantara via telephone dengan Sri Adiningsih pada acara Berdayakan Wantimpres! Prime Time Talk, Berita Satu: News Chhannel, Pukul 18.25 WIB

21 Wawancara langsung dengan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H, M.H., Pada tanggal 06 Juli 2018 Pukul 14.30 WIB

22 Wawancara langsung dengan Masinton Pasaribu, di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Pada tanggal 28 Maret 2018, Pukul 12.30 WIB 65

kebijakan, dan membentuk Dewan Pertimbangan Pesiden adalah jawabannya, tetapi sebaiknya nasihat-nasihat itu tidak dirahasikan sedemikian rupa sehingga tidak satupun orang yang mengetahuinya kecuali hanya antara Presiden dan anggotanya saja. Tidak perlu ada larangan bahwa bentuk Nastim dari Wantimpres itu berifat rahasia. Biarkan itu menjadi kewenangan Wantimpres untuk bisa mempublikasikan nasihatnya atau jika nasihatnya itu berkaitan dengan strategi dengan negara lain yang nantinya ditakutkan akan bocor kepada pihak yang tidak diinginkan tidak perlu dipublikasikan. Publik perlu tahu bahwa nasihat dan pertimbangan Wantimpres ini benar-benar objektif, dan berguna untuk kemajuan bangsa dan negara. Seperti DPA, publik bisa menilai efektif tidaknya kinerja DPA karena bentuk Nastim yang diberikan dipublikasikan kepada publik. Inilah keunggulan DPA dari Wantimpres. BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Perbandingan antara Dewan Pertimbangan Presiden dengan Dewan Pertimbangan Agung dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, dari sisi tugas dan fungsinya keduanya sama, yaitu sama-sama memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. yang membedakannya adalah dewan pertimbangan presiden kedudukannya di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden, sedangkan DPA kedudukannya sejajar dengan Presiden dan bertanggung jawab kepada MPR. Dari sisi kelembagaan, Wantimpres dinilai lebih efektif dan efisien dari DPA terdahulu yang dihapus pada amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945. 2. Komposisi anggota Wantimpres, dari 11 tahun Wantimpres didirikan sampai sekarang anggotanya banyak didominasi oleh kalangan politisi, sebaiknya anggota Wantimpres berasal dari kalangan profesional, negarawan dan akademisi sehingga setiap masukan dan nasihat yang diberikan benar-benar objektif dan semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara bukan kepentingan golongan. 3. Urgensi nasihat dan pertimbangan Wantimpres dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sangat penting dan dibutuhkan, Tetapi isi nasihat dan pertimbangan tersebut sebaiknya tidak semua dirahasikan, sebagai bukti transparansi dan akuntabilitas lembaga ini kepada publik. Sehingga ukuran efektif tidaknya kinerja lembaga ini bisa dinilai oleh publik seperti DPA di masa lalu.

66

67

B. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, melalui penelitian ini, peneliti mengajukan beberapa saran dan rekomendasi konstruktif sebagai berikut: 1. Setiap Anggota Wantimpres harus banyak belajar dan berkaca dari kegagalan DPA di masa lalu, sehingga bisa menjadi pelajaran untuk bisa lebih meningkatkan kinerjanya sebagai lembaga pensehat Presiden. karena anggaran yang dihabiskan untuk lembaga ini tidak sedikit, jadi wantimpres diharapkan bisa efektif dan efisien seperti yang diharapkan. . 2. Perlunya persyaratan tambahan untuk menjadi anggota Wantimpres yang termuat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006, yaitu setiap anggota Wantimpres dilarang dari kalangan politisi sebagai upaya untuk mengantisipasi bahwa lembaga ini murni menjalankan tugas untuk kepentingan negara, bukan kepentingan golongan. 3. Revisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan pernyataan kepada publik terkait dengan isi nasihat dan pertimbangan yang diberikan kepada Presiden. Tidak perlu ada larangan untuk mempublikasikan bentuk Nastim tersebut, ada saatnya publik mengetahui Nastim yang diberikan Wantimpres tersebut kepada Presiden, sehingga masyarakat bisa menilai bahwa Nastim yang diberikan benar-benar objektif dan berpengaruh untuk kemajuan bangsa dan negara. Akhirnya semoga skripsi ini dapat menjadi solisi untuk menyelesaikan sekelumit persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam mengetahui urgensi lembaga dewan pertimbangan Presiden dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2010)

Alder, John, Constitutional and Administrative, (London: The Macmillan Pres LTD, 1989)

Asshiddiqie, Jimly, Momorabilia Dewan Pertimbangan Agung, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005).

------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006).

------, Komisi-Komisi Negara Independen; Eksistensi Independent Agencies Sebagai Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, (Yogyakarta: Genta Press, 2012).

Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)

Dahlan, Problematika Keadilan: dalam Penerapan Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkoba, (Yogyakarta: Deepublish, 2017)

Fachrudin, Ahmad, Aas Subarkah dkk, Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019: Sejarah, Tugas dan Fungsi, (Jakarta: Wantimpres, 2017)

Ghoffar, Abdul, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009)

Harimurti, Yudi Widagdo, Analisis Kritis UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th. 27, Nomor 1, (Februari 2014)

Hartono, Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991)

Hartono, M. Dimyati, Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009)

68

69

Horowitz, Donald L., Constitutional Change and Democracy in Indonesia, (New York: Combridge University Press, 2013)

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Pubblishing, 2008)

Lahamid, Agus Wanti, Dewan Pertimbangan Presiden dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia: Analisis Yuridis Kewenangan dan Fungsi Dewan Pertimbangan Presiden Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945, Tesis: Universitas Indonesia, 2007.

Maggalatung, Salman Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, (Bekasi, Gramata Publishing, 2016)

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cet, IV, (Jakarta: Kencana, 2008)

MD, Mahfud, Membangun Politik Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)

Mubarrak, Mugammad Zaki, Tugas, Fungsi dan Kedudukan Dewan Pertimbangan Presiden Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006, Skripsi: Universitas Islam Indonesia, 2010

Naskah Akademik Rancangan Undang Undang Tentang Dewan Pertimbangan Dan Penasihat Presiden

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999–2002 Edisi Revisi. Buku ke IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid I (Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010)

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000) Sastradipoera, Komaruddin, Kegunaan Konsep Koefisien Gini dan Konsep Kesenjangan Pendidikan dalam Pemerataan Kesempatan Pendidikan, (Bandung: IKIP Bandung, 1989)

Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) Sancoko, Henry Afrian Sancoko, Kedudukan Dan Fungsi Dewan Pertimbangan Presiden Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia (Studi Komparasi 70

Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Pertimbangan Presiden), (Penulisan Hukum: Universitas Muhammadiyah Malang, 2013).

Setiawan, Andi dkk, Pengantar State Auxuliary Agency, (Malang: UB Press, 2015) Soediman, Kartohadiprojo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit pembangunan, 1965).

Soekanto, Soejono, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Bandung: Rajawali Pres, 1996)

Soekanto, Soejono dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND HILLCO, 2001).

Sumaryadi, Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Jakarta: Citra Utama, 2005)

Susanto, Sri Nur Hari, Pergeseran Kekuasaan Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945, MMH, Jilid 43 No. 2, April 2014

Sutekti, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro-Rakyat, (Malang: Surya Pena Gemilang, 2010)

Steers, M. Richard, Efektifitas Organisasi Perusahaan, (Jakarta: Erlangga, 1985) Tangkilisan, Hassel Nogi S., Manajemen Publik, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005).

Tamrin, Abu dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010)

Tanya, Bernard L, Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011).

Wahyono, Padmo, Indonesia Negara Berdasatkan atas hukum, Cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986)

Warjiati, Sri, Al-daulah: jurnal hukum dan perundangan Islam volume 2, nomor 2, Oktober 2012; ISSN 2089-0109.

Yeni Handayani, Ada Apa dengan Dewan Pertimbangan Presiden?, RechtsVinding Online

71

WEBSITE Alim, Hifdzil, Wantimpres, https://nasional.kompas.com/read/2015/01/27/ 14050061/ Wantimpres, diakses pada Tanggal 28 Mei 2018 Pukul 10.00 WIB.

Era Presiden SBY, Wantimpres beri 254 Pertimbangan, http://nasional.kompas.com, diakses pada Tanggal 28 Maret 2018 Pukul 10.00 WIB.

Hai Mr. Jokowi, untuk Apa Wantimpres, https://www.kompasiana.com/abahpitung /hai-mr-jokowi-untuk-apa-wantimpres, diakses pada Tanggal 28 Maret 2018 Pukul 10.00 WIB. https://m.detik.com/news/berita/2807749/beda-sby-dan-jokowi-saat-angkat-anggota- wantimpres , Senin, 19 Januari 2015, Pukul 10.04 WIB https://id.answers.yahoo.com diakses pada tanggal 7 Juni 2018 Pukul 14.20 WIB https://nasional.tempo.co/read/1102817/kata-refly-harun-soal-pkpu-larangan-eksnapi- korupsi-jadi-caleg, diakses pada Tanggal 10 Juli 2018 Pukul 20.00 WIB. http://nasional.kompas.com/read/2018/07/03/13171711/jokowi-diminta-tegur-menku mham-soal-pkpu-larangan-eks-koruptor-nyaleg, diakses pada Tanggal 10 Juli 2018 Pukul 18.20 WIB http://m.republika.co.id/berita/nasional/news/analysis/18/05/21/p91irj440-daftar-200- mubaligh-kemenag-yang-bikin-gaduh, diakses pada Tanggal 10 Juli 2018 Pukul 18.40 WIB http://nasional.kompas.com/read/2015/01/25/21444121/Jokowi.bentuk.Tim.Atasi. diakses pada Tanggal 28 Maret 2018 Pukul 10.43 WIB. http://Merdeka.com, ini alasan Jokowi bentuk tim independen, diakses pada tanggal 29 April 2018

Keadilan Kepastian dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia, http://www.academia .edu/10691642/Keadilan-Kepastian-dan-Kemanfaatan-Hukum-diIndonesia , di akses pada tanggal 30 April 00.37 WIB

Profil Singkat 9 Anggota Wantimpres, https://merahputih.com/post/read/profil-sing kat-9-anggota-wantimpres, diakses pada Tanggal 5 Maret 2018 Pukul 12.10 WIB.

72

Sejarah Lahirnya Wantimpres, https://www.kompasiana.com/hendrabudiman/sejarah - lahirnya-watimpres, diakses pada Tanggal 28 Maret 2018 Pukul 15.00 WIB

WAWANCARA

Dialog langsung Fitri Megantara via telephone dengan Sri Adiningsih pada acara Berdayakan Wantimpres! Prime Time Talk, Berita Satu: News Channel, Pada Pukul 18.25 WIB

Dialog langsung Fitri Megantara dengan Siradjuddin Abbas, peneliti senior SMRC pada acara Berdayakan Wantimpres! Prime Time Talk, Berita Satu: News Channel, Pukul 18.38 WIB

Wawancara langsung dengan Masinton Pasaribu, di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Pada tanggal 28 Maret 2018, Pukul 12.30 WIB

Wawancara langsung dengan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H, M.H., Pada tanggal 06 Juli 2018 Pukul 14.30 WIB

Wawancara langsung dengan Kabid Polhukam Sekretariat Wantimpres, M. Faried, S.IP, DEA, di Sekretariat Wantimpres, Pada tanggal 5 Juni 2018, Pukul 11.00 WIB

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Dewan Pertimbangan Presiden, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 108

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967 Tentang Dewan Pertimbangan Agung

DOKUMENTASI WAWANCARA

Wawancara Langsung dengan Bapak M.Faried, S.IP, DEA Kepala Bagian Politik, Hukum dan Keamanan Biro Data dan Informasi di Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden

Wawancara Langsung dengan Bapak Masinton Pasaribu, SH di Ruang Rapat Komisi III DPR RI Dialog Langsung dengan Bapak Sirajuddin Abbas, Peneliti Senior SMRC, dalam acara BERITA SATU

Dialog Langsung dengan Ibu Sri Adiningsih, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2019, dalam acara BERITA SATU