Contents available at: www.repository.unwira.ac.id

https://journal.unwira.ac.id/index.php/ARTEKS Research paper doi: http://doi.org/10.30822/arteks.v5i1.283

Mandat (creadential) dalam budaya mitigasi bencana pada masyarakat Budaya Sindang Barang

Cahyo Septianto Hutomo , Agus Suharjono Ekomadyo* , Muchi Juma Ameir

Program Studi Magister Arsitektur, SAPPK, Institut Teknologi Bandung Jl. Tamansari 64, Bandung 40116, Jawa Barat,

ARTICLE INFO ABSTRACT Article history: Mandate (credential) as mitigation culture on local community of Received Dec. 02, 2019 Sindang Barang Received in revised form Dec. 06, 2019 Accepted January 13, 2020 Local wisdom can be learned through discovery of physical elements Available online April 01, 2020 of traditional villages, such as spatial layout, architectural objects, and daily activities. The organization prevailing in environment plays an important role in managing a contextual mitigation culture. Keywords: The co-existence of authority (mandate) masters have the authority Adaptive capacity of value/cultural capital and to create symbolic elements, such as Culture of mitigation will or belief. Sindang Barang Cultural Village was taken as a case Local wisdom study to reveal the history and role of the mandate in the culture of Sindang Barang disaster mitigation. This study aims to observe the role of the

mandate and its impact in disaster mitigation. The role of the mandate is also examined to see the existence of efforts to preserve the values of local wisdom towards the times. This research uses *Corresponding author: Agus Suharjono descriptive-qualitative method by tracing the phenomena and Ekomadyo artifacts in the field. The analysis carried out in two phases. The first Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur, phase is to create a mitigation concept table based on the existing SAPPK, Institut Teknologi Bandung, program or artifacts. The second phase is to discuss the mitigation Indonesia Email: [email protected] culture based on its classified capacities. The mitigation seen from ORCID: https://orcid.org/0000-0002-6124- the Sindang Barang Cultural Village program and artifacts is the 6886 risk of fire, earthquake, and landslide. The process of determining a mandate is commensurate with adaptive capacity because this stage tends to lead to restriction or orders about in program that is carried out systematically in particular context.

Pendahuluan al. 2018) serta tektonika arsitektur tradisional yang diwariskan secara turun temurun (Lake Pandangan akan keselarasan antara lingkungan 2015). binaan dan lingkungan alam pada masyarakat adat Diskursus yang berkaitan dengan manajemen merupakan khazanah budaya yang bisa dipelajari, risiko kebencanaan masyarakat adat mulai termasuk dalam mempelajari budaya mitigasi membahas upaya adaptasi dan konservasinya (mitigation culture). Budaya mitigasi bencana terhadap perkembangan jaman. Sementara, alam dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman bencana tersendiri membahayakan masyarakat kebencanaan yang berlangsung secara terus yang tidak mengerti nilai kearifan lokal terdahulu menerus. Kearifan lokal dapat dipelajari melalui yang seharusnya dilestarikan. Upaya ini muncul penelusuran terhadap kampung adat secara fisik dalam bentuk nilai sosial, tradisi, dan keterikatan pada tata ruang kawasan, bentuk arsitektur, dan yang baik terhadap lingkungan (Krüger et al. aktivitas sehari-hari (Madiasworo 2009; Lake et 2015; Salura dan Lake 2014). Pengalaman menghadapi bencana alam diakumulasi menjadi

Copyright ©2020 Cahyo Septianto Hutomo, Agus Suharjono Ekomadyo, Muchi Juma Ameir. This is an open access article distributed the Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License 107

ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume 5 Issue 1 April 2020 pISSN 2541-0598; eISSN 2541-1217

pengetahuan mitigasi seperti membentuk tradisi ditemukan dalam sejumlah masyarakat adat di hingga kemampuan memprediksi datangnya Jawa Barat dan Banten, seperti masyarakat adat bencana alam secara lokal pada konteks tertentu Kasepuhan di Desa Kanekes (Baduy) (Permana, (Permana, Nasution, dan Gunawijaya 2011). Nasution, dan Gunawijaya 2011; Suparmini, Menurut Haggett (1991); Birkmann (2012), Setyawati, dan Sumunar 2014), Kampung proses kultural ini memiliki irisan pengetahuan Ciptagelar (Maryani dan Yani 2014), Kampung terhadap proses ilmiah, namun cukup sulit untuk Naga (Maryani dan Yani 2014), Kampung mensosialisasikannya (Birkmann, Chang Seng, Budaya Sindang Barang (Dahlan 2009), dan dan Setiadi 2013). lainnya. Secara umum, masyarakat adat memiliki Organisasi yang berlaku dalam sebuah status sosio-kultural yang berperan aktif dalam lingkungan menjadi faktor penting dalam mengelola aktivitas di kampungnya (Harun mengelola budaya mitigasi yang kontekstual. 2011). Dalam masyarakat adat di Kanekes, puun Cannon (2008) membuat skema peranan berperan sebagai pengatur adat dan budaya yang wewenang (power) dalam sebuah sistem kontekstual. Adat ini dikenal sebagai buyut dan pemerintahan (governance) beserta distribusi pikukuh karuhun yang bersifat seperti mandat jaminan proteksi bencana yang diberikan kepada lokal dalam urusan pelestarian lingkungan hidup. masyarakatnya. Urusan tata kelola ini juga Puun sendiri merupakan pemimpin yang menyangkut modal budaya (cultural capital) menyandang gelarnya dari hidup sampai mati dan yang dimiliki masyarakat. Modal ini secara umum tidak boleh meninggalkan kampungnya terdiri atas empat proses natural, yaitu: (1) (Suparmini, Setyawati, dan Sumunar 2014). pengetahuan (knowledge), (2) keterampilan Pada Kampung Budaya Sindang Barang, (skill), (3) tata krama (manner), dan (4) mandat struktur sosio-kulturalnya tidak jauh berbeda (credential) (Bourdieu 1986; Dovey 2009). dengan adat Kasepuhan lainnya, namun, ada Adanya wewenang (mandat) dapat menguasai sedikit kriteria yang harus dipenuhi ketika nilai/modal kultural dan menciptakan unsur mencalonkan dirinya untuk jabatan sosial simbolis seperti kepercayaan atau keyakinan tertentu, seperti penengkes (sesepuh adat) yang (Bourdieu 1986). Menurut Bourdieu, diharuskan merupakan orang asli keturunan kepercayaan atau keyakinan tersebut belum tentu Sindang Barang dan berwawasan luas mengenai merepresentasikan adanya wewenang (mandat) kearifan lokal yang dimiliki di dalamnya. sebagai nilai politik secara konkret, tetapi lebih Penengkes sendiri memiliki peranan sebagai kepada ekspresi atas kuatnya budaya tersebut pelestari pengetahuan sejarah budaya Sindang (Bourdieu 1986; Swartz 1998). Barang. Sementara itu, pupuhu (ketua adat) Mengacu pada paparan sebelumnya, merupakan pemimpin dari kampung yang penelitian ini bertujuan mengamati adanya peran diharuskan memiliki nilai-nilai kepemimpinan mandat (credential) beserta dampaknya dalam dan menjadi teladan bagi masyarakatnya. Pupuhu mitigasi bencana. Peran mandat juga ditelaah bertugas menjalankan mandat dan anjuran dari untuk melihat adanya upaya pelestarian nilai-nilai penengkes. Dua jabatan sosial ini cukup kearifan lokal terhadap perkembangan jaman. memegang peranan penting dalam melestarikan Untuk mencapai tujuan ini, digunakan pendekatan kehidupan adat di Sindang Barang (Dahlan 2009). membaca proses kultural (Dovey 2009) sebagai Kampung Budaya Sindang Barang diambil modal budaya (cultural capital) dalam mengelola sebagai kasus kajian untuk mengungkap sejarah mitigasi bencana alam. Membaca budaya mitigasi dan peran mandat dalam budaya mitigasi bencana pada masyarakat lokal diharapkan dapat bencana. Hal ini dilakukan dengan mengamati menjadi inspirasi dalam melakukan inovasi pesan yang terkandung dalam objek arsitektur, terhadap penanggulangan bencana yang bersifat wawancara pada narasumber relevan, dan artefak kultural (Thomalla, Smith, dan Schipper 2015). yang masih terlihat. Nilai-nilai semiotika yang terkandung dapat menjadi jejak untuk mengungkap adanya modal-modal (Bourdieu Metode penelitian 1986) yang berkaitan satu sama lain. Dengan demikian, peran mandat dapat diketahui menurut Mempelajari budaya mitigasi masyarakat adat prosesnya. dilakukan dengan membaca struktur sosio- Untuk mengamati hal tersebut, Voss dan Funk kultural (Sabri 2004). Budaya mitigasi ini (2008) membuat pendekatan berupa indikator resiliensi kebencanaan (transdisciplinary

108

Cahyo Septianto Hutomo, Agus Suharjono Ekomadyo, Muchi Juma Ameir: Mandate (credential) as mitigation culture on local community of Sindang Barang

integrative vulnerability-resilience approach). capital), ekonomi (economic capital), dan sosial Resiliensi ini bergantung pada kapasitas sebuah (social capital) digunakan untuk mengamati komunitas dalam mengatasi segala macam kapasitas dan proses budaya mitigasi yang intervensi sebagai potensi atau tantangan (Adger dimiliki (Lihat gambar 1). 2000; Voss 2008). Modal kultural (cultural

Gambar 1. Indikator resiliensi kebencanaan Sumber: (Voss 2008; Krüger et al. 2015)

Resiliensi kebencanaan dibedakan atas tiga Hal ini ditunjukkan dengan adanya kepercayaan, kapasitas. Kapasitas adaptif (adaptive capacity) ritual, atau tradisi yang diyakini suatu komunitas merupakan tindakan mempertahankan budaya dalam melakukan mitigasi bencana, namun, mitigasi bencana dari intervensi luar lingkup tradisi ini sebetulnya dapat ditelaah secara ilmiah. komunitas. Sebuah komunitas dianggap memiliki Kapasitas partisipatif (participative capacity) kapasitas adaptif ketika kelompok tersebut merupakan kapasitas yang memperlihatkan melakukan upaya sebagai bentuk adaptasi adanya upaya berdampak sosial, ekonomi, atau terhadap intervensi luar berupa tantangan atau kultural yang terlihat pada proses beradaptasi ancaman yang berpotensi mengacaukan sistem terhadap fenomena lingkungan dan bencana alam. penanggulangan kebencanaan yang telah Kapasitas partisipatif berfungsi untuk memetakan diberlakukan sejak lama. Upaya tersebut dapat modal-modal (capital) apa saja yang terlibat pada berupa proses pembelajaran terhadap sebuah tren, penanggulangan bencana (Adger 2000; Voss atau proses trial and error. Kapasitas preservatif 2008). (coping capacity) memiliki sedikit kemiripan Penelitian ini akan melihat peran mandat definisi dengan kapasitas adaptif. Perbedaannya dalam budaya mitigasi masyarakat adat. Mandat terletak pada bagaimana kapasitas preservatif (credential) dibaca dari tiga aspek kapasitas dapat merumuskan suatu program atau konsep masyarakat adat dalam mitigasi, yaitu kapasitas mitigasi yang ilmiah dan rasional menjadi proses beradaptasi, kapasitas membangun pengetahuan mitigasi bencana yang tradisional dan kultural. dan kapasitas partisipatif (Adger 2000; Voss

109

ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume 5 Issue 1 April 2020 pISSN 2541-0598; eISSN 2541-1217

2008). Dari ketiga kapasitas mitigasi, mandat adalah Bapak Ukat, selaku pemandu wisatawan ditelusuri melalui pengetahuan (knowledge), dan memiliki hubungan sesama masyarakat adat keterampilan (skill), dan tata krama (manner) dari terhadap salah satu keluarga pendiri Kampung budaya mitigasi masyarakat adat yang diteliti. Budaya Sindang Barang dan mantan sesepuh Penelitian ini menggunakan analisis cultural adat, Alm. Etong Sumawijaya (sekarang dikelola studies sebagai alat dalam mengidentifikasi oleh cucunya, Achmad Sumawijaya yang adanya tradisi. Sebelumnya, pendekatan cultural merupakan ketua adat hingga kini). studies untuk mengidentifikasi tradisi dilakukan Analisis dilakukan melalui dua tahap, tahap oleh Putra dan Ekomadyo (2015b) untuk pertama yang dilakukan adalah membuat tabel membaca tradisi Rumoh dengan pendekatan upaya mitigasi berdasarkan program atau artefak semiotika (Putra dan Ekomadyo 2015b). Untuk yang masih ada. Tahap kedua adalah membuat membaca budaya mitigasi Kampung Budaya diskusi konsep budaya mitigasi berdasarkan Sindang Barang, penelitian ini menggunakan kapasitasnya (Voss 2008). Dengan memaparkan pendekatan modal budaya (cultural capital) dari kapasitas, peran mandat (credential) dapat terlihat Bourdieu (1986) dengan menelaah bagaimana pada (1) proses kulturalnya (Bourdieu 1986; keterampilan, pengetahuan, tata krama, dan Dovey 2009) dan (2) kapasitas ekonomi, sosial, mandat menurut kapasitas mitigasi bencana pada atau kultural (participative capacity) yang masyarakat adatnya (Bourdieu 1986). diberikan pada ketahanan budaya mitigasi di Penelitian ini menggunakan metode Kampung Budaya Sindang Barang (Bourdieu deskriptif-kualitatif dengan menelusuri fenomena 1986). dan artefak yang ada di lapangan. Melalui pendekatan kultural berupa semiotika, tanda fisik pada sebuah artefak dapat menjadi makna dan Temuan dan pembahasan pesan bagi pembuat. Makna dan pesan ini dikaji berdasarkan pendekatan teori dasar budaya Kampung Budaya Sindang Barang tergabung mitigasi (indikator resiliensi kebencanaan) (Voss dalam wilayah Desa Pasir Eurih di Kecamatan 2008). Pendekatan ini berfungsi sebagai tolok Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Secara ukur dalam mengamati dan menelusuri peran geografis, situs Kampung Budaya Sindang mandat dalam budaya mitigasi bencana. Barang terletak pada dataran tinggi dan dibatasi Pengumpulan data dilakukan melalui oleh sawah sistem irigasi yang membentang di observasi lapangan dan wawancara terhadap sekitar kawasan sebelah Utara (A), Barat (B), narasumber setempat. Observasi dilakukan Timur (C), dan hutan keramat (leuweung tutupan) selama satu hari pada tanggal 25 Oktober 2019 di sebelah Selatan (D) (Lihat gambar 2). dari pukul 10.00-16.00 WIB. Narasumber yang berada di Kampung Budaya Sindang Barang

Gambar 2. Peta kawasan Kampung Budaya Sindang Barang

110

Cahyo Septianto Hutomo, Agus Suharjono Ekomadyo, Muchi Juma Ameir: Mandate (credential) as mitigation culture on local community of Sindang Barang

Kampung Budaya Sindang Barang merupakan konsekuensi”. Secara garis besar pola tripartit contoh pemukiman tradisional Sunda Kasepuhan, menempatkan manusia, alam, dan ruh sebagai sehingga tata ruangnya benar-benar disesuaikan unsur-unsur dalam mempertahankan kehidupan menurut kaidah yang diyakini oleh leluhurnya. yang saling berkaitan menurut peran dan Latar belakang berdirinya kampung dengan batasannya. konsep pelestarian budaya ini berasal dari inisiatif Pola tripartit menjadi pondasi dalam sesepuh adat (penengkes) yang melihat persoalan merumuskan beberapa batasan yang terangkum turunnya kepedulian terhadap nilai budaya Sunda dalam sebuah program atau mandat di antaranya: di tengah era modernisasi. Masyarakat adat (1) lemah-cai, dijelaskan sebagai pemukiman Kasepuhan meyakini adanya konsep patempatan manusia yang membutuhkan tanah dan air, (2) yang berarti proses berkembangnya tempat luhur-handap, dijelaskan sebagai hubungan (locus) secara berkala. Hal ini terlihat dari kultural manusia-manusia dan manusia-Tuhan, perkembangan jumlah komponen pemukimannya dan (3) kaca-kaca, dijelaskan sebagai kehidupan (umbalan: 1-3 rumah; babakan: 3-6 rumah; dan manusia yang tidak boleh liar dalam kebebasan, kampung: lebih dari 6 rumah). sehingga perlu diberikan batasan berupa aturan. Kampung Budaya Sindang Barang berada di Pola tripartit juga diterapkan dalam mengatur lahan berkontur landai dengan cakupan luas hubungan antar pengurus adat. Pola tripartit sekitar 8600m2 dengan rincian massa atau ditranslasikan ke dalam tiga unsur penting fasilitas: (1) rumah ketua adat (imah gede), (2) pengurus adat, antara lain (1) resi sebagai sekretariat (girang seurat), (3) dua unit rumah pemegang mandat. Pada masanya dipegang oleh sesepuh adat (imah kokolot), (4) aula (bale struktur dalam kampung adat dan berperan pangriungan), (5) tempat kesenian (imah talu), sebagai pembentuk kampung lainnya, (2) ratu (6) beberapa unit lumbung padi (), dan (7) sebagai pelaksana, pada masanya dipegang oleh rumah penduduk (imah). (Gambar 2) kampung nagara dan berperan sebagai lembaga Fasilitas ini tidak hanya berperan sebagai eksekutif, dan (3) rama sebagai pelaksana fasilitas pengunjung yang datang ke Kampung otonom, pada masanya dipegang oleh kampung Budaya Sindang Barang, tetapi juga sebagai tani dan berperan sebagai lembaga pengelola contoh fisik perkampungan di Kampung Budaya sumber makanan. Sindang Barang yang difungsikan sebagai tempat Sejak era modernisasi bentuk pemerintahan, tinggal bagi para leluhur pada masanya. Sumber ketiga unsur sistem tersebut melebur di dalam daya dan ekosistem yang dipercaya sebagai kampung adat dan hanya mengatur apa yang kebutuhan bertahan hidup dibedakan atas tiga berlaku di dalam kampung adat tersebut. komponen: hutan keramat (leuweung tutupan), Pengurus adat yang terdiri atas penengkes sebagai pemukiman, dan pertanian sistem irigasi (serang). tetua adat dan sang rama sebagai ketua adat bersifat sebagai resi yang dipercaya dalam Struktur adat memegang kendali mandat. Perangkat pembantu Masyarakat adat Sindang Barang memahami dari masing-masing ketua dan tetua adat bersifat latar belakang kebencanaan yang diwujudkan sebagai ratu yang berperan melaksanakan mandat dalam unsur arsitektur karena adanya pola tersebut dalam bentuk sosialisasi atau instruksi. tripartit yang dipatuhi. Pola ini berasal dari Arahan tersebut diterima oleh para kepala prinsip paternalisme yang diyakini leluhur bahwa keluarga yang bersifat sebagai rama untuk manusia tidak dapat hidup seenaknya, terutama diterapkan dalam lingkungan internal dalam urusan yang berkaitan dengan bencana keluarganya (Lihat gambar 3). karena prinsip” ada perbuatan maka ada

111

ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume 5 Issue 1 April 2020 pISSN 2541-0598; eISSN 2541-1217

Gambar 3. Struktur jabatan ketua adat (sang rama) dan tetua adat (penengkes)

Masyarakat adat meyakini adanya peran yang kemudian diteruskan ke serat dan instruktur dalam memberi mandat, namun mereka perangkatnya hingga sampai kepada kepala tidak menerapkan prinsip otoriter dalam keluarga. Di samping itu, hubungan sosialisasi kesehariannya. Dalam pantun Sunda dijelaskan juga diberikan dari penengkes kepada kepala bahwa “yang berkuasa tidak memiliki, namun keluarga melalui perangkat penengkes. Pada yang memiliki tidak berkuasa”. Sehingga dalam bagan struktur pada gambar 3 ditunjukkan penerapannya, hubungan struktur adat bersifat hubungan dua arah yang bersifat kolektif masih kolektif (Lihat gambar 3). Instruksi yang dapat dilakukan dari ketiga unsur ini. dipercayakan kepada para pengurus adat hanya Berdasarkan observasi di lapangan dan studi bersifat sebagai pedoman hidup yang harus literatur, ada beberapa artefak dan konsep yang diteruskan dari generasi ke generasi, namun terlihat di Kampung Budaya Sindang Barang dalam penerapannya, setiap orang tetap berdasarkan kategori bencananya, di antaranya memegang teguh tujan hidup bersama. ada pada tatanan (risiko tanah longsor), pawon, Dari gambar 3, penengkes dan sang rama sawung leuit (risiko kebakaran), sistem bangunan, memiliki kedudukan setara. Hubungan instruksi dan orientasi (risiko gempa) (Lihat tabel 1). yang terjadi hanya sebatas penyaluran mandat

Tabel 1. Beberapa konsep dan artefak sebagai upaya mitigasi terhadap risiko bencana Mitigasi bencana Konsep atau program Ilustrasi Risiko tanah longsor Tatanan Menjaga ekosistem hutan keramat sebagai buffer longsornya tanah untuk area pemukiman

112

Cahyo Septianto Hutomo, Agus Suharjono Ekomadyo, Muchi Juma Ameir: Mandate (credential) as mitigation culture on local community of Sindang Barang

Mitigasi bencana Konsep atau program Ilustrasi Risiko kebakaran Pawon Membuat hawu dan parako. Alat ini adalah wadah berbentuk bidang segiempat dengan bahan tanah liat yang ditumpuk dengan abu

Sawung leuit Membuat bangunan lumbung padi terpisah dari area rumah untuk mencegah penyebaran api

Risiko gempa Sistem bangunan Konsep rumah panggung, pondasi umpak dan atap ijuk

Orientasi Membuat orientasi bangunan menghadap ke pekarangan yang juga dipakai sebagai titik kumpul masyarakat

Risiko tanah longsor: Tatanan Keyakinan bahwa leluhur punya andil dalam Struktur tanah di Kampung Budaya Sindang menjaga anak cucunya juga menjadi Barang dapat dikatakan cukup aktif karena pertimbangan masyarakat adat Sindang Barang seringkali mengalami tanah longsor. Jenis tanah dalam menempatkan kompleks makam leluhur di yang berada di Kampung Budaya Sindang Barang area hutan keramat (leuweung tutupan). Melalui umumnya didominasi oleh latosol berpasir yang prinsip ini, status leluhur ditinggikan dan dihargai memungkinkan terjadinya longsor di tanah oleh masyarakatnya. Dengan menghargai adanya berkontur. Jenis tanah ini banyak dijumpai di area peran leluhur dan ruh melalui panjatan doa, hutan keramat (leuweung tutupan) dan pertanian masyarakat adat mempercayai efek tersebut akan (serang). Leluhur adat Sindang Barang menjauhkan siapa saja yang berperilaku baik dari mempelajari fenomena tanah longsor secara bencana longsor. Sementara itu, melalui natural berdasarkan pengalaman. Hutan tidak perbuatan baik dalam mengelola alam, mereka seharusnya dikonsumsi sebebasnya sebagai percaya bahwa sumber makanan dan air yang kebutuhan bahan bangunan. Seiring berjalannya melimpah akan datang. waktu, kesadaran bahwa menghargai dan Pemikiran ini disempurnakan menjadi konsep mengelola alam merupakan perilaku yang akan luhur-handap sebagai tatanan pemukiman di memberikan efek baik. Pemikiran ini kawasan berkontur (Lihat gambar 4). Konsep dikembangkan berdasarkan logika tripartit bahwa luhur-handap terlihat pada Kampung Budaya manusia hidup berdampingan dengan alam dan Sindang Barang yang menempatkan wilayah ruh yang memiliki kehendaknya masing-masing pemukiman berada di antara hutan keramat tergantung dari perbuatan. Hal ini yang menjadi (leuweung tutupan) pada kontur tertinggi dan cikal bakal pengelompokkan antara hutan yang sawah (serang) pada kontur terendah. Seperti dapat dikonsumsi dan hutan yang mampu ditunjukkan pada gambar 4, pola tripartit terlihat menahan struktur tanah lemah. Semenjak hutan dari bagaimana masyarakat adat membagi unsur- dikelola dengan baik, tanah yang meluruh tidak unsur kehidupan atas tiga kelompok penting yang menyebabkan risiko bencana yang menelan saling mendukung berdasarkan perilakunya. korban.

113

ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume 5 Issue 1 April 2020 pISSN 2541-0598; eISSN 2541-1217

Gambar 4. Ilustrasi konsep luhur-handap tatanan pemukiman masyarakat adat Sindang Barang

Risiko kebakaran: Pawon dan sawung leuwit bangunan hunian seperti ditunjukkan pada Masyarakat Sindang Barang tidak memiliki gambar 5b, risiko penjalaran api akan berkurang banyak aktivitas yang berkaitan dengan dan pengelolaan hasil panen juga menjadi mudah. penggunaan api. Namun, masyarakat adat mengusahakan sejumlah upaya tertentu berupa alat bantu dalam mengatasi risiko kebakaran. Pada masanya, karakter material bangunan adat di Sindang Barang didominasi oleh kayu, ijuk, dan anyaman bambu. Material semacam ini disadari cukup rentan terhadap kebakaran dan proses penyebaran apinya cepat. Mengetahui hal tersebut, leluhur masyarakat adat menemukan bahwa material tanah liat dan batuan alam dapat menahan api untuk memasak. Berdasarkan observasi lapangan, terdapat artefak berupa hawu dan parako sebagai alat memasak di dapur (pawon). (Lihat gambar 5a) Alat-alat ini berfungsi sebagai pelindung material bangunan di Gambar 5a dapur dari api yang dihasilkan untuk memasak. Hawu merupakan wadah berbahan batu-batuan alam yang dipahat sebagai alas wajan untuk memasak, sementara parako merupakan wadah bidang segiempat yang berisi abu dan tanah liat. Seperti ditunjukkan pada gambar 5a, penggunaan alat masak ini dilakukan dengan meletakkan parako di bagian terbawah sebagai tungku. Abu pada parako berfungsi melindungi alas kayu atau bambu. Sementara itu, hawu diletakkan di atas parako untuk memasak atau memanaskan makanan. Upaya mengatasi risiko kebakaran juga tampak pada penyimpanan hasil panen pada lumbung padi (sawung leuit) (Lihat gambar 5b). Leluhur adat menilai hasil panen sebagai rejeki perlu diberikan perlakuan yang pantas. Dengan adanya lumbung padi yang dibangun terpisah dari

114

Cahyo Septianto Hutomo, Agus Suharjono Ekomadyo, Muchi Juma Ameir: Mandate (credential) as mitigation culture on local community of Sindang Barang

(luhur) yang berperan sebagai naungan juga memerlukan material pengisi yang ringan. Atap ringan berupa ijuk dianggap oleh leluhur sebagai tindakan yang didasari oleh petuah “pantang menggunakan atap tanah liat, karena seperti membuat kuburan bagi orang hidup”. Seperti ditunjukkan pada gambar 6, ruang hampa pada atap diyakini merupakan ruang bagi para leluhur sebagai bentuk penghormatan bagi manusia yang tinggal di tengah.

Gambar 5. a) Hawu dan parako sebagai artefak alat masak di dapur (pawon), (b) lumbung padi (leuit) sebagai tempat menyimpan hasil panen

Risiko gempa: Sistem bangunan dan orientasi Masyarakat adat Kasepuhan di Jawa Barat umumnya mengenali karakteristik gempa yang berada pada lahan pemukimannya. Sejak lama, leluhur mengamati aktivitas struktur tanah yang dapat berakibat fatal terhadap bangunan yang dihuni masyarakatnya. Leluhur memahami bahwa membuat sistem bangunan yang kaku (rigid) dapat memberikan dampak yang cukup berisiko ketika gempa terjadi. Oleh karena hal tersebut, konsep bangunan adat Sunda selalu menerapkan sistem bangunan dengan material yang ringan dan tidak kaku. Pada Kampung Budaya Sindang Barang, model struktur massa bangunan didirikan dengan pondasi umpak dengan timbunan pasir. Sementara itu, material ringan pada penutup atap juga ditunjukkan dengan penggunaan atap berbahan ijuk yang bertujuan untuk memberikan fungsi naungan yang maksimal tanpa harus membebani struktur massa (Lihat gambar 6). Seperti ditunjukkan pada gambar 6, konsep ini tetap mengacu kepada pola tripartit dengan membagi tatanan massa bangunan atas tiga kelompok, yaitu bagian atas, tengah, dan bawah, Gambar 6. Konsep luhur-handap sebagai upaya yang akhirnya dirumuskan menjadi konsep luhur- mitigasi gempa pada bangunan handap. Mitigasi yang berkaitan dengan risiko gempa Ketika berkaitan dengan keselamatan, pondasi umpak pada bagian bawah (handap) berperan juga tampak dari pertimbangan bagaimana titik kumpul (assembly point) bagi masyarakat untuk penting dalam menahan bangunan agar tidak mudah runtuh. Alas bangunan dan tapak yang evakuasi ketika hunian atau naungan tidak dapat menahan kekuatan gempa. Leluhur adat yang hanya bersentuhan secara titik lokal (tidak menyeluruh) menjadi usaha leluhur adat untuk memahami bahwa lingkungannya rentan terhadap risiko gempa memikirkan bagaimana seharusnya tidak memberikan banyak perubahan terhadap alam sebagai perilaku menghargai alam. Ruang tatanan permukimannya akan mempengaruhi akses bagi masyarakatnya untuk melakukan hampa pada bagian bawah bangunan yang menghasilkan bentuk rumah panggung dipercaya evakuasi. Pantun Sunda yang menyebutkan bahwa “yang berkuasa tidak memiliki, namun sebagai ruang tinggal bagi ruh-ruh bencana gempa (Lihat gambar 6). Atap pada bagian atas yang memiliki tidak berkuasa”. Ungkapan ini

115

ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume 5 Issue 1 April 2020 pISSN 2541-0598; eISSN 2541-1217

juga berarti bahwa masyarakat adat harus hidup jaman yang ditunjukkan dengan meleburnya berdampingan dengan yang lain tanpa adanya kawasan kampung adat, nagara, dan tani tidak sekat derajat yang berbeda. Hal ini ditujukan menjadikan mandat (credential) lenyap begitu untuk menumbuhkan sikap kepedulian terhadap saja. Mandat yang sudah ditetapkan sejak lama sesama ketika mengalami musibah. mengalami adaptasi terhadap mengecilnya Leluhur adat menetapkan bagi setiap orientasi kawasan kampung adat Sindang Barang. bangunan harus menghadap pekarangan (buruan) Pantangan atau batasan tetap dapat diberlakukan yang berperan sebagai pembatas wilayah dan juga walaupun ruang lingkup pemerintahannya sebagai titik kumpul (Lihat gambar 7). Dengan menjadi lebih kecil. Seperti ditunjukkan pada menyediakan pekarangan di tengah kawasan gambar 8, proses kultural yang dilakukan permukiman seperti ditunjukkan pada gambar 7, masyarakat adat Sindang Barang berawal dari evakuasi ketika gempa menjadi mudah untuk pengamatan dan pengalaman leluhur adat dalam dilakukan bagi masyarakat. Leluhur adat juga mengatasi bencana. membuat alternatif bagi massa bangunan jika orientasi menuju pekarangan terhalang oleh bangunan lain untuk membuat orientasi bangunan dapat menghadap sisi timur atau barat, sehingga pertimbangan evakuasi masih bisa tetap dioptimalkan. Pemikiran ini ditetapkan menjadi konsep kaca-kaca yang membahas mengenai batasan manusia dalam hidup teratur berdampingan dengan yang lain.

Posisi mandat (credential) dalam mitigasi Mandat (credential) yang dipegang oleh penengkes dan sang rama berperan sebagai kapasitas adaptif pada Kampung Budaya Sindang Barang (Lihat gambar 8). Setiap budaya mitigasi bencana pada kelompok masyarakat adat akan Gambar 7. Konsep kaca-kaca dalam mengatur selalu berhadapan dengan perubahan jaman. orientasi bangunan Perubahan jaman sebagai potensi dan tantangan berkaitan dengan bagaimana mandat (credential) dari struktur adat dalam mengatasinya. Perubahan

Gambar 8. Diagram proses kultural dalam mitigasi bencana

116

Cahyo Septianto Hutomo, Agus Suharjono Ekomadyo, Muchi Juma Ameir: Mandate (credential) as mitigation culture on local community of Sindang Barang

Berdasarkan literatur dari Voss dan Funk menjadi suatu kepercayaan dalam melaksanakan (2008), adanya kapasitas adaptif menunjukkan ritual yang dapat berbuah menjadi rutinitas tanpa kualitas sebuah kelompok dalam menyediakan perlu mengetahui latar belakang dan tujuannya. program manajemen risiko bencana. Kapasitas Dalam menciptakan proses pembelajaran, hal adaptif dalam bentuk mandat ini didasari oleh yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana adanya tata krama (manner) yang bersifat sakral. budaya lokal dapat mengembangkan peradaban Hal ini diperlihatkan seperti pada gambar 8 pada (Supraptiningrum and Agustini 2015). Melalui bagaimana pola tripartit berperan sebagai pemetaan proses kultural, modal kultural dan pedoman dalam membentuk konsep-konsep yang nonkultural, serta kelompok kapasitasnya sakral. Konsep-konsep seperti luhur-handap atau berdasarkan telaah cultural studies, peran dan kaca-kaca yang telah dijelaskan sebelumnya potensi mandat dalam penanggulangan bencana merupakan bentuk kapasitas preservatif yang pada kampung budaya Sindang Barang dapat menunjukkan adanya kemampuan sebuah dicermati secara jelas sebagaimana dijelaskan kelompok dalam mentranslasikan program menurut tabel 2.

Tabel 2. Indikator resiliensi kebencanaan pada kampung budaya Sindang Barang Indi- Kapasitas partisipatif Kapasitas preservatif Kapasitas adaptif kator Pengetahuan Keterampilan Proses perumusan Proses Tata krama (manner) Mandat (credential) (knowledge) (skill) pola tripartit • pentingnya hidup • mengelola • status leluhur konsep luhur-handap • hukum dan

menghargai alam makam ditinggikan pantangan • mengelola • menghormati kegiatan pada hutan keberadaan alam area makam Tatanan • larangan menebang pohon • sadar bahwa • membuat

bangunan rentan alat masak terhadap api (hawu dan

Pawon parako)

• hasil panen tidak • membuat

bisa diletakkan di sawung leuit

dapur yang berisiko

leuit api

Sawung Kultural

• memahami bahaya • membuat • status leluhur konsep luhur-handap • bangunan harus

gempa merusak pondasi ditinggikan berupa panggung bangunan umpak • meyakini adanya • pantangan • membuat ruh bencana memakai atap bahan genteng (tanah bangunan liat)

Sistembangunan dari material ringan • pentingnya • menyediaka • kebersamaan konsep kaca-kaca • bangunan harus evakuasi darurat n sarana dalam hidup menghadap saat gempa keselamatan berkelompok pekarangan • alternatif

Orientasi orientasi timur- barat • kesadaran peduli • ketahanan • apresiasi

alam pangan • ketahanan

naungan kultural • keselamatan Non • pengelolaan lingkungan

Modal (capital) (Bourdieu 1986; Dovey Krüger et al. 2015) merupakan komponen 2009) dan kapasitas (capacities) (Voss 2008; penyusun budaya mitigasi. Komponen penyusun

117

ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume 5 Issue 1 April 2020 pISSN 2541-0598; eISSN 2541-1217

budaya mitigasi ini dikemukakan melalui empat disesuaikan secara adaptif menjadi hanya sebatas proses kultural (Dovey 2009) untuk mengamati lingkungan kampung adat Sindang Barang. Kini, kearifan lokal yang muncul ketika mengatasi mandat tersebut sudah tidak dilestarikan kembali, bencana alam. Proses kultural diurutkan namun tindakan adaptif yang diambil oleh para berdasarkan telaah cultural studies yang sudah tetua adat adalah dengan membuat kampung adat dilakukan. Proses kultural dan kapasitas pada tersebut menjadi Kampung Budaya Sindang indikator resiliensi bencana memiliki kesamaan Barang sebagai objek wisata. Hal ini ditujukan menurut langkah pembentukan budayanya. sebagai upaya dalam mempertahankan eksistensi Berdasarkan tabel 2, proses kultural (Dovey kampung tersebut walaupun dampaknya tidak 2009) yang dilakukan leluhur adat Sindang signifikan. Barang dalam membentuk penanggulangan bencana diurutkan atas tahap (1) akumulasi pengetahuan (knowledge), (2) membentuk Kesimpulan keterampilan (skill), (3) mencipta tata krama menurut pola tripartit (manner), dan (4) Penanggulangan kebencanaan berperan penting menentukan mandat (credential). dalam menjamin keselamatan manusia dari waktu Indikator resiliensi bencana (Voss 2008; ke waktu. Modernisasi dapat mempengaruhi Krüger et al. 2015) yang muncul pada proses eksistensi budaya mitigasi yang telah dipelihara akumulasi pengetahuan dan pembentukan sejak lama. Kampung Budaya Sindang Barang keterampilan sepadan dengan kapasitas dibentuk sebagai bentuk rekonsiliasi terhadap partisipatif karena dari proses-proses ini muncul modernisasi yang menyebabkan tergerusnya banyak manfaat/modal kultural dan sosial- kepedulian terhadap nilai leluhur, termasuk ekonominya (nonkultural). Modal kultural budaya mitigasi bencana. (cultural capital) menjadi pemicu bagi modal Mandat (credential) yang tergabung dalam ekonomi-sosial dan berlaku sebaliknya (Bourdieu proses kultural menjadi kunci sebuah sistem yang 1986; Dovey 2009). Modal-modal ini menjadi dapat menciptakan resiliensi terhadap bencana nilai yang dimanfaatkan dalam mengukur peluang serta upaya pelestariannya, walaupun dampaknya dan ancaman bagi suatu komunitas dalam tidak signifikan. Tindakan adaptif yang diwakili menjawab tantangan modernisasi. Modal-modal dalam sebuah mandat dalam masyarakat adat ini memiliki potensi sebagai komponen daya Sindang Barang sebagai kapasitas adaptif saing masyarakat di masa mendatang (Putra dan (adaptive capacity) dapat dijadikan sebagai Ekomadyo 2015a; 2015b) pelajaran bagi masyarakat adat dalam Sementara itu, proses mencipta tata krama melestarikan adanya esensi nilai kearifan lokal, sepadan dengan kapasitas preservatif karena termasuk mitigasi bencana. tahap ini cenderung mengarah kepada Pengembangan Kampung Budaya Sindang kemampuan mentranslasi sebuah skema menjadi Barang saat ini mengarah kepada industri konsep yang sakral seperti luhur-handap atau pariwisata dengan intervensi pemerintah kaca-kaca berdasarkan pola tripartit. Namun setempat. Tantangan yang dihadapi adalah seperti ditunjukkan pada tabel 2, peran pola menyelamatkan eksistensi nilai leluhur yang tripartit berada di antara proses kultural berkaitan dengan mitigasi bencana. Penelitian keterampilan (skill) dan tata krama (manner). dengan pendekatan ekonomi masyarakat dan ilmu Proses menentukan mandat sepadan dengan pariwisata dapat menjadi peluang untuk kapasitas adaptif karena tahap ini cenderung meneruskan peninggalan nilai mitigasi mengarah kepada pantangan atau perintah dalam kebencanaan sebagai bekal pengetahuan bagi sebuah program yang diselenggarakan secara masyarakat setempat. sistematis pada konteks tertentu. Kapasitas adaptif ditunjukkan oleh Kampung Budaya Sindang Barang dari masa ke masa sebagai Referensi bentuk pelestarian esensi kearifan lokal, termasuk yang berkaitan dengan kebencanaan. Pada masa Adger, W. Neil. 2000. “Social and ecological kejayaan Kampung Adat Sindang Barang, mandat resilience: Are they related?” Progress in dari kampung adat mencakup setiap Kampung Human Geography. Nagara, dan Kampung Tani. Seiring modernisasi berkembang, cakupan mandat tersebut

118

Cahyo Septianto Hutomo, Agus Suharjono Ekomadyo, Muchi Juma Ameir: Mandate (credential) as mitigation culture on local community of Sindang Barang

https://doi.org/10.1191/03091320070154046 https://doi.org/10.1088/1755- 5. 1315/213/1/012034. Birkmann, Joern, Denis Chang Seng, dan Neysa Madiasworo, Taufan. 2009. “Revitalisasi Nilai- Setiadi. 2013. “Enhancing early warning in Nilai Kearifan Lokal Kampung Melayu the light of migration and environmental Semarang.” Local Wisdom : Jurnal Ilmiah shocks.” Environmental Science and Policy Kajian Kearifan Lokal 1 (1): 10–18. 27 (1): S76–88. http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/lw/article/ https://doi.org/10.1016/j.envsci.2012.04.002. view/1360/867. Bourdieu, Pierre. 1986. “The Form of Capital, in Maryani, Enok, dan Ahmad Yani. 2014. Handbook of Theory and Research for the “Kearifan Lokal Masyarakat Sunda dalam Sociology of Education. ” Greenwood Press. Memitigasi Bencana dan Aplikasinya sebagai https://doi.org/10.1002/9780470755679.ch15 Sumber Pembelajaran IPS berbasis Nilai.” . Jurnal Penelitian Pendidikan 14 (2): 114–25. Dahlan, Mohammad Zaini. 2009. “Perencanaan https://ejournal.upi.edu/index.php/JER/article lanskap kawasan wisata budaya di kampung /view/3111/2132. budaya Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Permana, Raden Cecep Eka, Isman Pratama Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor Nasution, dan Jajang Gunawijaya. 2011. (pendekatan community based planning).” “Kearifan Lokal tentang Mitigasi Bencana Institut Pertanian Bogor. pada Masyarakat Baduy.” Makara Human http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/ Behavior Studies in Asia. 44815. https://doi.org/10.7454/mssh.v15i1.954. Dovey, Kim. 2009. Becoming Places: Putra, Riza Aulia, dan Agus S. Ekomadyo. 2015a. Urbanism/Architecture/Identity/Power. 1 ed. “Interpretasi Makna pada Warung Kopi Aceh, United Kingdom: Routledge, Taylor and Studi Kasus: Warung Kopi Solong di Banda Francis Group. Aceh.” Atrium : Jurnal Arsitektur 1 (1): 1–10. Harun, Ismet Belgawan. 2011. “Arsitektur Rumah https://doi.org/10.21460/atvm.2015.11.1. dan Pemukiman Tradisional di Jawa Barat.” In ———. 2015b. “Penguraian Tanda (Decoding) Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan pada Rumoh Aceh dengan Pendekatan Provinsi Jawa Barat. Semiotika.” Tesa Arsitektur 13 (1): 1–14. Krüger, Fred, Greg Bankoff, Terry Cannon, https://doi.org/10.24167/TES.V13I1.354. Benedikt Orlowski, dan E. Lisa F. Schipper. Sabri, Hala M. 2004. “Socio-cultural values and 2015. Cultures and Disasters: Understanding organizational culture.” Journal of Cultural Framings in Disaster Risk Transnational Management Development 9 Reduction. Routledge Studies in Hazards, (2–3): 123–45. Disaster Risk and Climate Change. 1 ed. https://doi.org/10.1300/J130v09n02_07. United Kingdom: Routledge. Salura, Purnama, dan Reginaldo Christophori https://doi.org/10.4324/9781315797809. Lake. 2014. “The architectural language of Lake, Reginaldo Christophori. 2015. “Budaya inner and outer space as observed among the Tektonika Wologai Ende, Nusa Tenggara Atoni tribe in the Tamkesi kampong on Timor Timur Sebuah Seni Berkonstruksi Rumah Island.” International Journal of Academic Adat Desa Wologai Tengah, Kecamatan Research 6 (3). https://doi.org/10.7813/2075- Detusoko, Warisan Leluhur Wawo - Ata Lio 4124.2014/6-3/a.29. di Bawah Kaki Gunung Lepembusu.” Suparmini, Suparmini, Sriadi Setyawati, dan ATRIUM : Jurnal Arsitektur 1 (2): 151–66. Dyah Respati Suryo Sumunar. 2014. https://doi.org/10.21460/atvm.2016.12.15. “Mitigasi Bencana Berbasis Kearifan Lokal Lake, Reginaldo Christophori, Benediktus Boli, Masyarakat Baduy.” Jurnal Penelitian Ubaldus Djonda, dan Yohanes Nurak Siwa. Humaniora 19 (1): 47–64. 2018. “Building Task Concepts of the https://journal.uny.ac.id/index.php/humaniora Vernacular Settlement in Tamkesi Village.” In /article/view/3511/2995. IOP Conference Series: Earth and Supraptiningrum, and Agustini. 2015. Environmental Science. ‘Membangun Karakter Siswa Melalui Budaya Sekolah Di Sekolah Dasar’. Jurnal Pendidikan

119

ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume 5 Issue 1 April 2020 pISSN 2541-0598; eISSN 2541-1217

Karakter 5 (2): 219–28. on Livelihood and Cultural Survival, diedit https://doi.org/10.21831/jpk.v0i2.8625. oleh Michelle Companion. United States: Swartz, David. 1998. Culture and Power: The CRC Press. https://doi.org/10.1201/b18233-3. Sociology of Pierre Bourdieu. Social Forces. Voss, Martin. 2008. “The vulnerable can′t speak. Chicago: University of Chicago Press. An integrative vulnerability approach to https://doi.org/10.2307/3005998. disaster and climate change research.” Thomalla, Frank, Rebecca Smith, dan E Schipper. Behemoth. A Journal on Civilisation 1 (3): 2015. “Cultural Aspects of Risk to 39–56. Environmental Changes and Hazards: A https://doi.org/10.6094/behemoth.2008.1.3.7 Review of Perspectives.” In Disaster’s Impact 30.

120