REPRESENTASI KEARIFAN LOKAL DALAM IKLAN (Analisis Semiotika Kearifan Lokal Pada Iklan Pariwisata Wonderful Edisi The Light of Aceh)

SKRIPSI

RAFIQAH YUSNA SIREGAR

140904020

PUBLIC RELATIONS

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

REPRESENTASI KEARIFAN LOKAL DALAM IKLAN (Analisis Semiotika Kearifan Lokal Aceh Pada Iklan Pariwisata Wonderful Indonesia Edisi The Light of Aceh)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

RAFIQAH YUSNA SIREGAR 140904020 PUBLIC RELATIONS

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk seminar hasil.

Nama : Rafiqah Yusna Siregar

NIM : 140904020

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Judul : Representasi Kearifan Lokal Dalam Iklan (Analisis Semiotika Kearifan Lokal Aceh Pada Iklan Pariwisata Wonderful Indonesia Edisi The Light of Aceh)

Medan, 2018

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Yovita Sabarina Sitepu, S.Sos, M.Si Dra. Dewi Kurniawati, M.Si., Ph.D NIP. 198011072006042002 NIP. 196505241989032001

DEKAN Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si NIP. 197409302005011002

Universitas Sumatera Utara LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh

Nama : Rafiqah Yusna Siregar

NIM : 140904020

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Representasi Kearifan Lokal Dalam Iklan (Analisis Semiotika Kearifan Lokal Aceh Pada Iklan Pariwisata Wonderful Indonesia Edisi The Light of Aceh)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ...... (...... )

Penguji : ...... (...... )

Penguji Utama : ...... (...... )

Ditetapkan di : ......

Tanggal : ......

Universitas Sumatera Utara LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

REPRESENTASI KEARIFAN LOKAL DALAM IKLAN (Analisis Semiotika Kearifan Lokal Aceh Pada Iklan Pariwisata Wonderful Indonesia Edisi The Light of Aceh)

SKRIPSI

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Medan, 2018

Rafiqah Yusna Siregar

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Murianto Amin, S.Sos., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si., Ph.D selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. 3. Ibu Emilia Ramadhani, S.Sos., M.A selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. 4. Ibu Yovita Sabarina Sitepu, S.Sos, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan waktu dan pengetahuannya kepada peneliti, hingga akhirnya peneliti mampu menyelesaikan penelitian ini dengan baik. 5. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku dosen Pembimbing Akademik saya selama masa perkuliahan. 6. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah memberikan banyak pelajaran dan ilmu pengetahuan serta pengalaman yang luar biasa selama masa perkuliahan. 7. Kak Maya yang telah baik dan membantu penulis dalam memperoleh informasi tentang perkuliahan. 8. Kedua orangtua saya, Almarhum Mukhrizal Syahputra Siregar yang walapun tidak bisa mengantarkan, mendampingi dan melihat saya sampai memperoleh gelar sarjana tetapi saya sangat bersyukur dapat mewujudkan mimpi beliau untuk bisa kuliah di Universitas Sumatera Utara, ibu saya

Universitas Sumatera Utara Dra. Cicik Suryani, M.Si yang memberikan banyak sekali motivasi, dukungan dan doa kepada saya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini dan ibu saya yang selalu tidak merasa keberatan hampir setiap tengah malam saya bangunkan hanya untuk menenangkan pikiran saya yang resah terhadap skripsi ini. 9. Abang dan kakak saya (bang Reza, Oki oppa, kak Risa, kak Ifa dan kak Mila) yang selalu bisa meyakinkan bahwa saya bisa menyelesaikan skripsi ini dan mereka selalu berkata bahwa skripsi itu gampang tetapi kata-kata mereka tersebut sangat sulit untuk saya terima. 10. Ibu Puput yang sudah saya anggap seperti ibu kedua saya yang selalu bisa memberikan solusi terhadap permasalahan saya dan seluruh keluarga besar saya yang sangat cintai dan sayangi. 11. Teman-teman SMA (Wendi, Arief, Gita, Ashifa dan Desi) yang selalu menjadi sahabat baik saya dari SMA sampai saat ini dan seluruh teman- teman SMA Negeri 1 Babalan, Pangkalan Brandan. 12. Seluruh teman-teman seperjuangan di bangku perkuliahan, Muhammad Rifai, Khoirul Rozi Lubis, Mhd. Khalis, Lucky Andriansyah, Yoga Kashogi, Kiki Adi Kesuma, Suci Ramadhani Harahap, Laili Syahrani, Rizka Gusti Sitanggang, Vanessa Pascalya, Muna Fadhiah dan seluruh angkatan 2014.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, karenanya dengan segala kerendahan hati, peneliti menerima saran maupun kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi kita dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Februari 2018

Rafiqah Yusna Siregar 140904020

Universitas Sumatera Utara HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rafiqah Yusna Siregar NIM : 140904020 Departemen : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non Exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Representasi Kearifan Lokal Dalam Iklan (Analisis Semiotika Kearifan Lokal Aceh Pada Iklan Pariwisata Wonderful Indonesia Edisi The Light of Aceh) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal :

Yang Menyatakan :

(Rafiqah Yusna Siregar)

Universitas Sumatera Utara REPRESENTASI KEARIFAN LOKAL DALAM IKLAN (Analisis Semiotika Kearifan Lokal Aceh Pada Iklan Pariwisata Wonderful Indonesia Edisi The Light of Aceh)

Rafiqah Yusna Siregar Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kearifan lokal Aceh dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes untuk menemukan makna denotasi, konotasi dan mitos dalam iklan pariwisata Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh. Penelitian ini berusaha untuk mengkaji iklan lebih dalam lagi dengan menggunakan lima kode pembacaan. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis sebagai pendekatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan fokus pada adegan-adegan yang menggambarkan kearifan lokal Aceh. Objek penelitian ini adalah iklan pariwisata Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh dengan menyeleksi adegan-adegan dalam iklan yang dibagi menjadi 8 scenes dengan total 27 gambar, sehingga dapat merepresentasikan kearifan lokal Aceh. Representasi kearifan lokal Aceh pada iklan Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh cukup kental. Iklan menampilkan sisi-sisi kearifan lokal Aceh secara jelas dan menyeluruh, seperi masjid, pakaian muslim, nelayan, petani, Rencong, tari Guel, tari Ranup Lampuan, Rumoh Aceh, adab makan dan minum serta Pacu Kude yang menjadi denotasi dalam iklan. Seluruh tanda yang digunakan dalam iklan merupakan sebuah kearifan lokal yang sudah membudaya di dalam kehidupan masyarakat dan menjadi sebuah identitas budaya masyarakat. Seluruh objek yang ditampilkan di dalam iklan merupakan hasil dari konstruksi terhadap realitas yang ada.

Kata Kunci: Kearifan Lokal, Semiotika, Representasi, Iklan

Universitas Sumatera Utara REPRESENTATION OF LOCAL WISDOM IN ADVERTISING

(Semiotics Analysis of Aceh’s Local Wisdom in Wonderful Indonesia’s Tourism Advertising, “The light of Aceh” Version)

Rafiqah Yusna Siregar Communication Studies within Social and Politics Faculty in Universitas Sumatera Utara

Abstract

This study aims to describe Aceh’S local wisdom through Roland Barthes’s semiotics analysis to define denotative, connotative, mythology meaning in Wonderful Indonesia’s Tourism Advertising, “The light of Aceh”version. It furthermore assesses the content more deeply using five major codes. This study employs constructive paradigm as the main approach. This study also use qualitative research method with the focus on scene acts describing Aceh’s local wisdom. Object of the studyWonderful Indonesia’s Tourism Advertising, specifically “The light of Aceh” version which consists of a number of acts that divided into 8 scenes with total 27 images, as such Aceh’s local wisdom is sufficiently represented. The local wisdom portrayed on the advertising is abundant. The advertising displays Aceh’s local wisdom quite clear and holistic by including mosques, moslem traditional outfits, fisherman, farmers, Rencong, Guel and Ranup Lampuan dance, Rumoh Aceh, table manners as well as and Pacu Kude that all emerge as denotative meanings. All signs used in the advertising is deeply-rooted local wisdom heritage that currently serve as local cultural identity. All objects depicted in the advertising is the result from the construction of the existing reality.

Key Words: Local Wisdom, Semiotics, Representation, Advertising

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...... i LEMBAR PERSETUJUAN ...... ii LEMBAR PENGESAHAN...... iii LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS...... iv KATA PENGANTAR ...... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...... vii ABSTRAK...... viii ABSTRACK...... ix DAFTAR ISI...... x DAFTAR GAMBAR...... xii DAFTAR TABEL ...... xiv DAFTAR LAMPIRAN...... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ...... 1 1.2 Fokus Masalah ...... 7 1.3 Tujuan Penelitian ...... 8 1.4 Manfaat Penelitian ...... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian...... 9 2.2 Kajian Pustaka ...... 11 2.2.1 Komunikasi Massa ...... 11 2.2.1.1 Karakteristik Komunikasi Massa ...... 12 2.2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa ...... 14 2.2.2 Iklan ...... 16 2.2.2.1 Iklan Televisi ...... 18 2.2.3 Semiotika ...... 20 2.2.3.1 Semiologi Roland Barthes ...... 25 2.2.4 Semiotika Iklan ...... 32 2.2.5 Representasi ...... 40 2.2.6 Komunikasi Pariwisata ...... 43 2.2.7 Kearifan Lokal ...... 49 2.2.3 Model Teoretik ...... 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ...... 54 3.2 Objek Penelitian ...... 55 3.2.1 Wonderful Indonesia ...... 56 3.3 Kerangka Analisis ...... 60

Universitas Sumatera Utara 3.4 Teknik Pengumpulan Data ...... 61 3.5 Teknik Analisis Data ...... 61 3.5.1 Lima Kode Pembacaan ...... 62

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ...... 63 4.1.1 Narasi Iklan ...... 63 4.1.2 Analisis ...... 64 4.1.2.1 Analisis Scene 1 ...... 64 4.1.2.2 Analisis Scene 2 ...... 72 4.1.2.3 Analisis Scene 3 ...... 79 4.1.2.4 Analisis Scene 4 ...... 86 4.1.2.5 Analisis Scene 5 ...... 91 4.1.2.6 Analisis Scene 6 ...... 100 4.1.2.7 Analisis Scene 7 ...... 109 4.1.2.8 Analisis Scene 8 ...... 120 4.2 Pembahasan ...... 126

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ...... 151 5.2 Saran ...... 152

DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1 Kategori Tipe Tanda dari Peirce 23 2.2 Elemen-Elemen Makna dari Saussure 24 2.3 Two Orders of Signification dari Barhtes 26 2.4 Huruf Romain 35 2.5 Huruf Egyptian 35 2.6 Huruf Sans Serif 36 2.7 Huruf Misscellaneous 36 2.8 Huruf Script 36 2.9 Bagan Teoretik Penelitian 53 3.1 Logo Brand Wonderful Indonesia 56 3.2 Logo Brand Pesona Indonesia 57 1 Analisis Scene 1 64 2 Analisis Scene 1 64 3 Analisis Scene 1 65 4 Analisis Scene 1 65 5 Analisis Scene 2 72 6 Analisis Scene 2 72 7 Analisis Scene 2 73 8 Analisis Scene 3 79 9 Analisis Scene 3 79 10 Analisis Scene 3 79 11 Analisis Scene 4 86 12 Analisis Scene 4 86 13 Analisis Scene 5 91 14 Analisis Scene 5 91 15 Analisis Scene 5 91 16 Analisis Scene 5 91 17 Analisis Scene 5 91 18 Analisis Scene 6 100

Universitas Sumatera Utara 19 Analisis Scene 6 100 20 Analisis Scene 6 100 21 Analisis Scene 6 100 22 Analisis Scene 7 109 23 Analisis Scene 7 109 24 Analisis Scene 7 109 25 Analisis Scene 8 120 26 Analisis Scene 8 120 27 Analisis Scene 8 120

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 2.1 Tabel Proses Representasi Fiske 42

Universitas Sumatera Utara DAFTAR LAMPIRAN

1. Logo Brand The Light of Aceh

2. Potongan Gambar

3. Lembar Bimbingan

4. Biodata Peneliti

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di negara Indonesia. Ibukota provinsi Aceh adalah . Provinsi Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Hal ini menjelaskan bahwa Aceh sebagai provinsi dengan syariat Islam. Sebagai salah satu provinsi yang memiliki banyak warisan budaya yang tidak dimiliki oleh bangsa lain, Aceh dianggap sebagai daerah yang memiliki potensi besar di bidang pariwisata, mulai dari wisata sejarah, alam, religi, kuliner, kesenian tradisional dan hingga wisata baru yaitu wisata tsunami.

Beragam objek wisata dan budaya Aceh tergambar jelas di dalam iklan pariwisata milik Kementerian Pariwisata Republik Indonesia yaitu WonderfulIndonesiaedisi The Light of Aceh.Iklan Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh merupakan salah satu edisi dari Wonderful Indonesiayang di dalamnya mengandung unsur kearifan lokal dan beragam warisan budaya sebagai identitas budaya daerah. Iklan yang berdurasi selama 3 menit 2 detik ini merupakan hasil karya para travel journalist asal Indonesia diantaranya, Giri Prasetyo, Barry Kusuma, Michael Sjukrie, Setiadi Darmawan dan Zheldy serta telah disiarkan pada tahun 2016 melalui TV Commercial (TVC). The Light of Aceh memiliki arti “Cahaya Aceh.” Makna tersebut merefleksikan semangat bagi seluruh masyarakat disatukan melalui Syariat Islam yang rahmatan lil ‘alamin,sebagai cahaya benderang yang mengajak pada nilai-nilai kebaikan, kemakmuran dan memberikan manfaat bagi semua pihak (http://dispudpar.acehprov.go.id). Penggunaan tagline destination branding The Light of Aceh tersebut dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi seluruh warga Aceh dan para pendatang yang kaya akan spektrum warna-warni keberagaman yang disatukan dengan syariat

1 Universitas Sumatera Utara Islam.Iklan The Light of Acehmenceritakan kehidupan masyarakat Aceh yang penuh dengan kedamaian dan keharmonisan serta jauh dari konflik. Budaya Aceh adalah budaya yang dijalani oleh masyarakat yang adat istiadatnya berkaitan dengan Islam. Budaya Aceh mempunyai prinsip bahwa adab dan agama itu tidak ubahnya seperti zat dan sifat yang tidak dapat dipisahkan. Adab adalah kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; dan akhlak (DEPDIKNAS, 2012: 7). Dapat dikatakan bahwa, adab adalah norma atau aturan yang ditaati oleh masyarakat mengenai perilaku sopan santun dan didasarkan atas aturan agama, dalam hal ini provinsi Aceh yang didasarkan atas aturan syariat agama Islam.

Walaupun Aceh merupakan wilayah dengan aturansyariat Islam, namun masyarakat Aceh memiliki toleransi yang tinggi dan menghargai adanya beragam perbedaan. Hal ini terlihat dalam iklan The Light of Aceh yang menunjukkan bahwa masyarat Aceh yang dominan beragama Muslim sangat bersahabat dan tulus dalam menyambut setiap wisatawan baik yang memiliki kepercayaan yang sama maupun berbeda dengan masyarakat Aceh pada umumnya, sehingga setiap wisatawan yang datang merasa nyaman layaknya berada di rumah sendiri. Meskipun begitu, setiap wisatawan yang berkunjung juga harus menghormati nilai-nilai yang telah tertanam di Aceh sehingga terbentuklah sikap toleransi dan saling menghormati dengan keberagaman yang ada.

Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang kaya akan aneka ragam budaya seperti kesenian daerah baik dari musik, tarian, dan peninggalan sejarah sebagai suatu daya tarik tersendiri. Selain itu, Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti pantai dan laut yang menjadikan Aceh sebagai salah satu destinasi terbaik untuk wisata bahari dan sebagian masyarakat Aceh memanfaatkan laut sebagai mata pencaharian mereka. Tidak hanya laut, dari sektor perkebunan juga merupakan salah satu andalan bagi pendapatan daerah masyarakat karena Aceh memiliki tanah yang subur sehingga banyak menghasilkan tanaman yang berkualitas.

Universitas Sumatera Utara Namun, di balik keindahan dan kedamaiannya tersimpan cerita kelam di provinsi tersebut. Jika melihat jauh ke belakang, Aceh sempat menjadi daerah rawan konflik. Konflik bersenjata yang berkepanjangan dimulai dari tahun 1976 membuat Aceh dikenal sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dimana terdapat Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu sebuah organisasi separatis yang memiliki tujuan supaya Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Aceh_Merdeka). Sebagai akibat dari konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia membuat masyarakat Aceh merasakan penderitaan yang panjang di tanah kelahirannya dan penduduk Aceh yang merantau ke daerah lain pun merasakan hal yang sama, yaitu takut untuk pulang ke daerah asalnya. Tidak hanya itu, konflik bersenjata yang telah menewaskan ratusan ribu jiwa ini menjadikan Aceh sebagai daerah terisolir dan informasi pun sangat sulit untuk didapatkan. Sehubungan dengan hal itu, juga berdampak terhadap tertutupnya eksplorasi terhadap kota tersebut termasuk terhadap tempat wisata, sehingga tidak banyak orang yang mengetahui tentang keindahan serta kekayaan alam dan budaya kota Aceh, dimana terdapat banyak pantai yang indah, kesenian daerah, kuliner khas daerah dan tempat-tempat bersejarah lainnya yang bisa dijadikan tempat berwisata. Seperti halnya pulau Sabang yang terletak di ujung paling barat Indonesia. Pada awalnya, banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahui tentang keindahan pulau Sabang. Banyak masyarakat yang mengetahui bahwa pulau Sabang hanya sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Pada awalnya, Sabang memang sudah banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun asing karena memiliki potensi keindahan alam berupa pantai, namun karena adanya konflik bersenjata menjadikan Sabang vakum sebagai daerah wisata. Namun, setelah perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005, Sabang akhirnya mulai bangkit dan berkembang yang membuat wisatawan lokal dan asing kembali datang untuk menikmati pesona pantai dan bawah laut di pulau paling barat Indonesia ini.

Universitas Sumatera Utara Selain konflik bersenjata, Aceh pernah dilanda bencana dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004 yaitu gempa bumi dengan kekuatan 9,3 skala richter (SR). Pusat gempaberada di antara pulau Simeulue yang berada di Aceh dan daratan pulau Sumatera.Gempa bumi tersebut juga mengakibatkan terjadinya tsunami (gelombang pasang) yang menyapu dan menenggelamkan sebagian besar wilayah Aceh Barat terutama Banda Aceh dan Meulaboh. Akibatnya, bencana alam tersebut menewaskan lebih 230.000 jiwa dan menyebabkan kerusakan infrastruktur dalam skala besar.

Banyak julukan yang dilekatkan pada wilayah terkaya sumber daya alam tersebut seperti “Serambi Mekkah” dan “Tanah Rencong,” namun juga julukan “Aceh Bersimbah Darah.” Hal ini terjadi karena begitu banyaknya pertumpahan darah di bumi Serambi Mekkah, mulai dari perang sampai gempa dan tsunami (Nasruddin, 2014: 2). Dalam mengatasi hal tersebut, seorang Hubungan Masyarakat (HUMAS) Pemerintahan Daerah (PEMDA) khususnya di dalam bidang pariwisata berperan besar dalam mengubah dan menciptakan persepsi baik terhadap kota Aceh di mata masyarakat Indonesia bahkan dunia. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (DISPUDPAR) menjalin kerjasama dengan Wonderful Indonesiauntuk mempromosikan Aceh sebagai kota potensial yang memiliki kearifan lokal dengan kekayaan alam dan keunikan budaya setempat. Pemerintah Aceh terus meningkatkan roda perekonomian dengan memperkenal budaya Aceh secara lebih luas.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari ratusan suku bangsa dan bahasa daerah, menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat kaya dari segi budaya. Setiap suku yang ada umumnya memiliki hukum adat yang mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari masalah hubungan sosial kemasyarakatan, ritual ibadah, kepercayaan, mitos, hingga sanksi adat bagi pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Kekayaan dan keragaman aset budaya Indonesia memberikan kontribusi yang besar bagi negara sehingga membentuk karakter, keunikan, citra budaya yang khas pada setiap daerah serta memberikan peran yang signifikan dalam pembentukan citra daerah tersebut. Keunikan tersebut mengandung kearifan lokal yang dapat menjadi daya tarik pariwisata dan

Universitas Sumatera Utara berpotensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kreatif masyarakat setempat.

Kearifan lokal secara umum dapat diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Syamsiar, 2010: 2). Definisi lain menyebutkan bahwa kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat (https://id.wikipedia.org/wiki/Kearifan_lokal).

Salah satu kegiatan promosi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Aceh adalah dengan beriklan. Iklan merupakan salah satu bentuk promosi yang paling dikenal dan paling banyak dibahas oleh masyarakat. Hal ini kemungkinan karena daya jangkauannya yang luas (Morissan, 2008: 416). Iklan juga menjadi instrumen promosi yang sangat penting, khususnya bagi perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang ditujukan kepada masyarakat luas.

Pada dasarnya iklan merupakan sarana komunikasi yang digunakan oleh komunikator dalam hal ini perusahaan atau produsen untuk menyampaikan informasi tentang barang atau jasa kepada publik, khususnya kepada pelanggan melalui suatu media massa. Selain itu, semua iklan dibuat dengan tujuan yang sama yaitu memberikan informasi dan mempersuasi para konsumen untuk mencoba atau mengikuti apa yang ada di iklan tersebut, hal ini dapat berupa aktivitas menggunakan produk dan jasa yang ditawarkan. Dewasa ini, sangat banyak iklan-iklan yang sering ditemui, mulai dari iklan media cetak seperti koran, majalah dan tabloit hingga iklan media elektronik seperti televisi, radio, jaringan internet bahkan iklan secara langsung seperti penyebaran brosur dan baliho. Artinya, dengan adanya beragam media iklan, dapat memenuhi kebutuhan akan informasi bagi masyarakat untuk memilih produk dan jasa mana yang paling bagus dan sesuai dengan kebutuhan mereka.

Universitas Sumatera Utara Salah satu media yang digunakan sebagai media promosi produk atau jasa adalah televisi. Televisi merupakan salah satu media massa yang paling populer dan memiliki pengaruh besar dibandingkan media massa lainnya di tengah-tengah masyarakat saat ini. Televisi adalah salah satu media massa elektronik yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 125). Televisi saat ini cenderung menjadi sarana hiburan bagi banyak orang. Hal ini dikarenakan televisi menyajikan program-program hiburan bagi masyarakat seperti sinetron, film, kartun serta iklan. Iklan merupakan salah satu unsur penting dalam televisi. Hal ini dikarenakan iklan sebagai salah satu cara berkomunikasi dan televisi memiliki peran yang besar dalam menentukan keberhasilan penyebaran iklan.

Iklan yang mengangkat budaya dan pesona alam bangsa mulai banyak bermunculan saat ini, dimana banyak merek yang menampilkan kesenian dari berbagai daerah sebagai identitas asli negara Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat boleh merasa bangga karena di jaman modern saat ini ternyata masih ada orang yang berinisiatif dalam menjaga warisan budaya Indonesia dalam hal ini adalah para pengiklan. Selain itu, masyarakat mulai memasuki fase dimana rasa bangga terhadap negeri ini mulai tumbuh. Hal itu dapat dilihat dari rasa bangga masyarakat Indonesia atas prestasi-prestasi gemilang dalam hal ini Wonderful Indonesiayang berkali-kali meraih juara dalam ajang kompetisi video pariwisata di tingkat dunia. Seperti penghargaan terbarunya, video promosi Wonderful Indonesia yang berjudul The Journey to a Wonderful World berhasil meraih penghargaan dalam acara 22nd United Nations World Tourism Organization(UNWTO) General Assembly yang diselenggarakan pada 15 September 2017 di Chengdu, China. Video promosi tersebut dinobatkan sebagai video pariwisata terbaik kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Iklan dengan menampilkan budaya dan kekayaan bangsa ini merupakan bagian untuk memperkuat kepemilikan warisan budaya tersebut sebagai identitas budaya asli Indonesia. Iklan dengan menampilkan budaya bekerja pada dua sisi, yaitu mendukung budaya nusantara sekaligus meningkatkan citra di konsumen (Juditha, 2015: 170). Sebab, dengan adanya beberapa kasus pengakuan sepihak

Universitas Sumatera Utara (claim) dari negara asing atas warisan budaya Indonesia yang dapat menyebabkan krisis identitas bangsa. Seperti kasus negara Malaysia pada bulan November 2007 yang meng-klaim kesenian Reog Ponorogo sebagai kesenian asli Malaysia. Setelah Reog Ponorogo, Malaysia pada bulan Desember 2008 kembali meng- klaim lagu daerah asal Maluku yaitu Rasa Sayange sebagai lagu daerah mereka. Selanjutnya, pada tahun 2009 Malaysia meng-klaim Tari Pendet dari Bali dan Batik sebagai warisan budaya asli negara Malaysia dan sempat diklaim pada bulan Agustus 2009 lewat iklan pariwisata Malaysia yaitu Truly Asia. Akhirnya kasus klaim terhadap warisan budaya Indonesia ini selesai setelah UNESCO mengakui batik sebagai warisan budaya asli Indonesia dan adanya protes keras dari Indonesia(https://nasional.tempo.co/read/malaysia-sudah-tujuh-kali-mengklaim- budayari).

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik untuk menganalisis Iklan Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh yang mengandung unsur kearifan lokal di dalamnya untuk diteliti dari segi semiotika. Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti “tanda.” Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu –yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Wibowo, 2011: 5). Sehingga yang dikaji di dalam penelitian ini adalah berbagai unsur ‘tanda’ kearifan lokal dalam tayangan iklan WonderfulIndonesiaedisi The Light of Aceh. Iklan ini tidak memiliki dialog percakapan tetapi menampilkan gambar, narasi dan musik yang memiliki makna- makna tentang sebuah daerah yang memiliki kearifan lokal di dalamnya. Oleh sebab itu, penelitian ini berjudul Representasi Kearifan LokalAcehpadaIklan Pariwisata Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh.

1.2 Fokus Masalah Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Representasi Kearifan Lokal Aceh pada Iklan Pariwisata WonderfulIndonesiaedisi The Light of Aceh ?

Universitas Sumatera Utara 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk melihat makna denotasi budaya Aceh di dalam iklan pariwisata Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh. 2. Untuk melihat makna konotasi budaya Aceh di dalam iklan pariwisata WonderfulIndonesiaedisi The Light of Aceh. 3. Untuk melihat mitos budaya Aceh di dalam iklan pariwisata Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh.

1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi khususnya studi analisis semiotika. 2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis dan dapat memahami makna dan tanda yang disampaikan dalam sebuah iklan televisi. 3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara, guna memperkaya bahan penelitian dan sebagai sumber bacaan.

Universitas Sumatera Utara BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian Thomas Khun adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah paradigma. Menurutnya, paradigma berarti perspektif yang menyusun penelitian dalam masyarakat ilmiah. Secara lebih formal, paradigma didefinisikan sebagai suatu pandangan dunia dan model konseptual yang dimiliki oleh anggota masyarakat ilmiah yang menentukan cara mereka meneliti (Bulaeng, 2004: 2).

Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja, hal ini disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukan suatu kebenaran (Sunarto dan Hermawan, 2011: 4).

Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln menyebutkan empat macam paradigma yaitu, positivisme, post positivisme, konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial: positivisme, interpretatif dan kritis. Sedangkan Cresswel (dalam Sunarto dan Hermawan, 2011: 9) membedakan dua macam paradigma yaitu kuantitatif dam kualitatif.

Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Guba dan Lincoln, menilai perilaku manusia secara fundamental berada dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Pada penjelasan ontologi tentang paradigma

Universitas Sumatera Utara konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Bungin, 2001: 3).

Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme telah dimulai oleh Giambatissta Vico seorang epistemolog dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia,’ mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.’ Ia menjelaskan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Maksudnya adalah seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Bungin, 2006: 189- 190).

Paradigma konstruktivis mengasumsikan bahwa persepsi manusia terhadap segala sesuatu yang berlangsung di sekitar dirinya dibangun dari kesadaran akan adanya nilai-nilai yang memandu manusia untuk mendefinisikan realitas kultural. Individu memahami sesuatu, melekatkan makna pada peristiwa tertentu dan berusaha menjalani realitas keseharian kita, berdasarkan nilai-nilai yang kita yakini baik disadari atau tidak (Mulyana dan Solatun, 2013: 341).

Menurut Suparno (dalam Bungin, 2006: 190), ada tiga macam konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, konstruktivisme biasa. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk oleh pikiran manusia. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan suatu realitas ontologis obyektif, namun sebuah realitas dibentuk oleh pengalaman seseorang. Dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang bersifat pasif. Oleh karena itu, konstruksi terhadap suatu pengetahuan hanya dapat dilakukan oleh individu itu sendiri, sedangkan lingkungan menjadi sarana terjadinya konstruksi tersebut.

Universitas Sumatera Utara Realisme hipotesis mengungkapkan bahwa pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas tersebut yang kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri. Namun dari ketiga konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Selanjutnya Piaget mengatakan, pengetahuan akan dibangun oleh setiap individu melalui realitas yang dilihat berdasarkan struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya yang disebut dengan skema/skemata. Konstruktivisme semacam ini yang menurut Berger dan Luckman disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2006: 191).

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Hal ini dimaksud guna memberikan penilaian akan arti penting kearifan lokal suatu daerah yang ada di dalam iklan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis dengan cara membongkar segala bentuk baik berupa tindakan, gambar, warna, teks hingga suara yang telah dikonstruksi dalam iklan Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh. Namun di sisi lain peneliti tidak berniat untuk membongkar secara keseluruhan yang ditampilkan di dalam iklan tersebut, melainkan hanya menjelaskan keberadaan kearifan lokal yang berhubungan dengan budaya Aceh itu sendiri.

2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Komunikasi Massa Secara sederhana komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia yang dilakukan dengan menggunakan media massa. Menurut Tan dan Wright (dalam Ardianto dan Erdinaya, 2004: 3), komunikasi massa merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Massa

Universitas Sumatera Utara dalam media massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Artinya, massa yang dalam sikap dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa seperti televisi atau koran, maka massa di sini dimaksudkan kepada khalayak. Khalayak biasa disebut dengan istilah penerima, sasaran, pembaca, pendengar, pemirsa, audience, decoder atau komunikan. Khalayak adalah salah satu aktor dari proses komunikasi. Oleh karena itu unsur khalayak tidak boleh diabaikan, sebab berhasil tidaknya suatu proses komunikasi sangat ditentukan oleh khalayak (Cangara, 2007: 157).

Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Gerbner. Ia mengemukakan bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan atau bulanan. Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan oleh perorangan, melainkan harus oleh lembaga dan membutuhkan suatu teknologi tertentu, sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 4).

Sekian banyak definisi komunikasi massa yang telah dikemukakan oleh para ahli, Rakhmat (dalam Ardianto dan Erdinaya, 2004: 7) merangkum definisi komunikasi massa tersebut menjadi komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tesebar, heterogen dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.

2.2.1.1 Karakteristik Komunikasi Massa Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 7): 1. Komunikator Terlembagakan Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Kita sudah memahami bahwa komunikasi massa itu menggunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik.

Universitas Sumatera Utara 2. Pesan Bersifat Umum Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semuaorang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Oleh karenanya, pesan komunikasi massa bersifat umum. Pesan komunikasi massa dapat berupa fakta, peristiwa atau opini.

3. Komunikannya Anonim dan Heterogen Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak berlangsung tatap muka. Selain anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda dan dapat dikelompokkan berdasarkan faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi.

4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

5. Komunikasi Menggunakan Isi Ketimbang Hubungan Setiap komunikasi melibatkan unsur isi dan unsur hubungan sekaligus. Pada komunikasi massa yang penting adalah unsur isi. Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.

6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah Selain ada ciri yang merupakan keunggulan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, ada juga ciri komunikasi massa yang merupakan kelemahannya. Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Oleh karena itu, melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan dan komunikan aktif menerima pesan,

Universitas Sumatera Utara namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog. Jadi, komunikasi massa itu bersifat satu arah.

7. Stimulasi Alat Indra Terbatas Pada komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

8. Umpan Balik Tertunda (Delayed) Komponen umpan balik atau feedback merupakan faktor penting dalam bentuk komunikasi apapun. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan. Umpan balik dalam komunikasi massa tidak terjadi secara langsung karena komunikator tidak dapat melihat reaksi atau tanggapan dari komunikan secara langsung.

2.2.1.2 Fungsi Komunikasi Massa Para pakar mengemukakan tentang sejumlah fungsi komunikasi, kendati dalam setiap fungsi terdapat persamaan dan perbedaan. Pembahasan fungsi komunikasi telah menjadi diskusi yang cukup penting, terutama konsekuensi komunikasi melalui media massa. Komunikasi massa memiliki fungsi-fungsi penting terhadap masyarakat. Dominick (dalam Ardianto dan Erdinaya, 2004: 15) membagi fungsi komunikasi massa sebagai berikut:

1. Surveillance (Pengawasan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama, yaitu: a. Fungsi pengawasan peringatan, terjadi ketika media massa menginformasikan tentang ancaman. Jenis pengawasan ini dilakukan oleh media massa untuk menginformasikan berbagai hal terutama tentang acaman kepada khalayak. b. Fungsi pengawasan instrumental yaitu penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.

Universitas Sumatera Utara 2. Interpretation (Penafsiran) Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan.

3. Linkage (Pertalian) Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam sehingga membentuk suatu pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu. Sebagai contoh, iklan Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh yang memperlihatkan kondisi Aceh yang damai dan rukun serta masyarakatnya ramah dan bersahabat terutama dalam menyambut setiap wisatawan lokal maupun mancanegara yang memiliki beragam perbedaan baik dari segi kepercayaan, suku, ras, bangsa dan latar belakang budaya. Sehingga setiap wisatawan yang datang merasa telah dipertalikan atau disatukan oleh media massa melalui iklan tersebut dengan memperlihatkan kota Aceh yang sebenarnya memiliki citra culture friendly dan membuat setiap wisatawan merasa nyaman dalam berwisata di provinsi Aceh.

4. Transmission of Values (Penyebaran nilai-nilai) Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini disebut sosialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu kepada cara, dimana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. Media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar dan dibaca. Media massa memperlihatkan kepada khalayak bagaimana mereka bertindak dan apa yang diharapkan mereka. Sebagai contoh, dalam iklan Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh yang memperlihatkan bagaimana keramah tamahan masyarakat Aceh dalam menyambut wisatawan terutama wisatawan mancanegara. Iklan tersebut memperlihatkan ketulusan masyarakat Aceh dalam mengajarkan wisatawan mancanegara tanpa memandang perbedaan yang ada diantara mereka untuk mempelajari dan mengenalkan kebudayaan Aceh kepada mereka, sehingga wisatawan yang datang meyakini bahwa sifat masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Aceh sangat ramah, bersahabat dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan yang ada. Sifat

Universitas Sumatera Utara yang dibentuk melalui media massa inilah yang ditiru oleh wisatawan dalam iklan pariwisata tersebut.

5. Entertainment (Hiburan) Sulit dibantah bahwa kenyataannya hampir semua media menjalankan fungsi hiburan. Televisi adalah media massa yang mengutamakan sajian hiburan. Melalui berbagai macam program acara yang ditayangkan televisi, khalayak dapat memperoleh hiburan yang dikehendakinya. Selain fungsi pertalian dan penyebaran nilai-nilai, iklan Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh juga memiliki fungsi sebagai entertainment atau hiburan. Iklan tersebut memamerkan kearifan lokal Aceh seperti keunikan-keunikan budaya setempat yang dapat menjadi hiburan bagi audiens. Selain itu, audiens yang terpersuasi oleh iklan pariwisata tersebut dengan berkunjung ke Aceh dapat mengenali, memahami dan mempelajari kebudayaan Aceh yang dapat menjadi hiburan baru bagi mereka karena keunikan budaya setempat yang belum pernah mereka kenali dan pelajari sebelumnya.

2.2.2 Iklan Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai tiap bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui. Adapun maksud ‘dibayar’ di sini menunjukkan fakta bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli, sedangkan maksud kata ‘nonpersonal’ berarti suatu iklan melibatkan media massa (Morissan, 2010: 17).

Iklan berasal dari bahasa Arab iqlama yang dalam bahasa Indonesia artinya “pemberitahuan,” dalam bahasa Inggris advertising berasal dari kata Latin abad pertengahan advertere, “mengarahkan perhatian kepada,” sedangkan reklame berasal dari bahasa Perancis re-klame yang berarti “berulang-ulang” (Danesi dalam Alquddus, 2014: 26). Sebenarnya semua istilah di atas mempunyai pengertian yang sama yaitu memberi informasi tentang suatu barang/jasa kepada khalayak.

Universitas Sumatera Utara Menurut pakar periklanan Amerika, S. William Pattis (dalam Agustrijanto, 2002: 7), iklan lebih sering disebut sebagai sebuah usaha agar barang yang diperjualbelikan laku keras. Padahal sesungguhnya iklan adalah setiap bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk memotivasi dan mempromosikan produk dan jasa kepada seseorang/pembeli potensial; mempengaruhi dan memenangkan pendapat publik untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginan si pemasang iklan.

Iklan dikategorisasikan sebagai iklan non komersial dan iklan komersial. Iklan non komersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat, sedangkan Iklan komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri. Sehingga terbentuk image, semakin tinggi estetika dan citra objek iklan, maka semakin komersial objek tersebut (Bungin, 2008: 65).

Tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi sebuah citra. Apapun pencitraan yang digunakan dalam sebuah iklan, baik itu citra kelas sosial, citra seksualitas dan sebagainya, namun yang terpenting pencitraan itu memiliki efek terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya (Bungin, 2008: 126).

Jib Fowles (dalam Bungin, 2008: 81) mengatakan bahwa iklan tidak sekedar media komunikasi. Namun, hal terpenting adalah muatan konsep komunikasi yang terkandung di dalamnya, terlebih lagi konsep itu harus mampu mewakili maksud produsen untuk mempublikasikan produk-produknya, serta konsep tersebut harus dipahami oleh pemirsa sebagaimana yang dimaksud oleh si pencipta iklan tersebut.

Kunci utama periklanan adalah iklan harus menggugah perhatian calon konsumen terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Para konsumen potensial dibuat untuk memerhatikan dan peduli terhadap produk yang memberikan manfaat bagi mereka yang akan memberikan alasan bagi mereka untuk membeli. Periklanan juga peting untuk menghubungkan konsumen yang sudah ada dan mengingatkan mereka akan alasan dalam memilih produk yang diiklankan.

Universitas Sumatera Utara Konsumen yang sudah ada juga dibuat untuk tetap menjaga hubungan dengan produk dan jasa terbaru yang tersedia bagi mereka, dengan mengingatkan keberadaan produk secara intensif. Periklanan memberikan perusahaan kesempatan untuk mengembangkan satu merek dan satu identitas (Hermawan, 2013: 72).

2.2.2.1 Iklan Televisi Media komunikasi terpopuler dan digemari umat manusia saat ini adalah televisi. Benda berbentuk kotak dengan kemampuan audiovisual ini sejak tahun 1980 (terutama diperkotaan) telah menggeser popularitas radio yang sebelumnya amat digemari, karena radio hanya memiliki kemampuan audio. Oleh sebab itu, dalam industri periklanan, media memiliki peran vital sebagai penghubung antara perusahaan dengan konsumennya. Bila dibandingkan dengan seluruh media, televisi seringkali difavoritkan menjadi media periklanan yang utama, karena efektivitas dan efisiensi dalam penyampaian pesan dan pembentukan citra di dalamnya. Melalui iklan televisi, iklan tidak lagi hidup dalam abad ke-18, namun telah tumbuh dan berkembang menjadi sebuah realitas yang dapat membangkitkan sebuah tatanan sosial baru (Bungin, 2008: 52).

Raymon Williams dan Simon During (dalam Bungin, 2008: 107-108), memaknai iklan televisi sebagai sesuatu yang memiliki dasar kuat mengangkat medium iklan ke dalam konteks yang sangat kompleks namun jelas, berimajinasi namun kontekstual, penuh dengan fantasi namun nyata. Pemaknaan tersebut tidak terlepas dari peran televisi yang menghidupkan iklan dalam dunia kognisi pemirsa serta penuh dengan angan-angan. Padahal televisi hanya mengandalkan kemampuan audiovisual dan prinsip-prinsip komunikasi massa sebagai media konstruksi. Pada kenyataannya copywriter (penulis naskah) dan visualizer-lah (orang yang melukis gambaran awal dari iklan) yang paling besar perannya dalam memberi nuansa ‘hidup’ dalam iklan televisi. Mereka merubah realitas sosial atau bahkan memproduksi realitas sosial dan mengomunikasikan dalam bahasa informasi kepada khalayak sehingga realitas itu tidak lagi menjadi realitas iklan televisi, namun menjadi realitas informasi-komunikasi yang sarat dengan muatan-

Universitas Sumatera Utara muatan konstruksi sosial dan setiap saat membentuk imajinasi dan kognisi pemirsa.

Iklan televisi semakin berkembang dengan berbagai kategori disamping iklan televisi memiliki kreativitas dan selalu menghasilkan produk-produk iklan baru, namun juga karena daya beli masyarakat terhadap sebuah iklan televisi yang selalu bervariasi karena tekanan ekonomi. Namun bila dibandingkan dengan media lain, iklan televisi memiliki kategorisasi yang jauh berbeda karena sifat media yang juga berbeda. Kategori besar dari sebuah iklan televisi adalah berdasarkan sifat media itu sendiri, dimana iklan televisi dibangun dari kekuatan visualisasi objek dan kekuatan audio. Simbol-simbol yang divisualisasi lebih menonjol bila dibandingkan dengan simbol-simbol verbal (Bungin, 2008: 111).

Produsen atau pengiklan dapat memilih satu maupun kedua media untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan. Media-media tersebut adalah media lini atas (above the line) dan media lini bawah (below the line). Media lini atas (above the line) adalah periklanan yang menggunakan media primer seperti media elektronik (televisi, radio, billboard dan media interaktif internet) dan media cetak (surat kabar, majalah dan tabloid). Penggunaan media lini atas memiliki kelebihan dalam menjangkau jumlah audience yang besar, namun hal ini juga membuat biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan bertambah. Media lainnya yaitu media lini bawah (below the line), adalah media-media minor yang digunakan untuk mengiklankan produk. Meskipun dianggap sebagai media minor, namun beriklan dengan media lini bawah juga memiliki peranan penting dalam suatu kampanye periklanan. Hal ini disebabkan karena media lini bawah dalam hal-hal tertentu bisa menjadi lebih efektif. Media-media yang digunakan oleh iklan lini bawah yaitu spanduk, baliho, poster, flyer, pameran dan lain sebagainya (Lukitaningsih, 2013: 3).

Sifat dan kecenderungan lain dari iklan televisi adalah berpijak pada time and space (waktu dan ruang), namun juga sebaliknya terkadang tidak berpijak pada time and space dimana realitas sosial itu dibangun (Alquddus, 2014: 29). Contohnya seperti yang terdapat dalam iklan televisi Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh yang pada bagian awal iklan menampilkan bagian dari kota

Universitas Sumatera Utara Aceh dengan menggunakan teknik pengambilan gambar Extreme Long Shot yang memberikan kesan luas terhadap kota Aceh tersebut, dimana pada tampilan tersebut terdapat gunung, bukit dan rumah-rumah yang tampak begitu kecil dan awan yang menghiasi pemandangan tersebut. Lalu di tampilan berikutnya menampilkan seorang nelayan yang sedang melaut dengan dihiasi oleh gunung- gunung di sekitarnya. Tidak hanya itu, iklan tersebut juga menampilkan tempat- tempat lain yang ada di Aceh seperti Masjid, pantai, museum, ladang dan bawah laut dengan waktu yang berbeda. Pada iklan tersebut terlihat jelas bahwa copywriter (penulis naskah) membagi cerita iklan berdasarkan pada waktu dan tempat dalam dunia saat ini menuju waktu dan tempat yang berbeda dalam televisi. Kedua dimensi itu dengan begitu mudah bersentuhan. Hal ini tidak lain karena ide-ide cerita dalam iklan televisi dapat menggunakan waktu dan tempat tanpa harus terikat padanya.

Sifat lain yang umumnya ada dalam iklan televisi adalah waktu tayangannya yang pendek namun cenderung memaksakan ide tertentu. Sehingga dalam waktu yang singkat itu, iklan televisi harus mampu meninggalkan kesan tertentu kepada pemirsa. Kesan-kesan itu bisa berupa satu atau dua kata, namun harus dapat diingat oleh pemirsa. Sementara itu, ada tiga kecenderungan dalam iklan televisi, yaitu iklan yang berkesan ‘menakjubkan’ berdasarkan segmen iklan, berdasarkan seksualitas dan memberi kesan tertentu yang sifatnya umum (Bungin, 2008: 115-116).

2.2.3 Semiotika Semiotik atau penyelidikan simbol-simbol, membentuk tradisi pemikiran yang penting dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri (Littlejohn dan Foss, 2009: 53).

Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk

Universitas Sumatera Utara merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi tertentu (Wibowo, 2011: 5).

Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. ‘Tanda’ pada masa itu masih bermakna pada suatu hal yang menunjukkan pada adanya hal lain. Jika diterapkan pada bahasa, maka huruf, kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (signifiant) dalam kaitannya dengan pembaca. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan (Sobur, 2009: 16-17).

Umberto Eco (dalam Sobur, 2009: 18), jauh-jauh hari sudah menjelaskan bahwa tanda dapat dipergunakan untuk menyatakan kebenaran, sekaligus juga kebohongan. Semiotika, kata Eco, “pada prinsipnya adalah disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui atau mengecoh,” dikatakan bahwa:

Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu tidak harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan begitu, semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari apapun yang bisa digunakan untuk menyatakan sesuatu kebohongan. Jika sesuatu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran. Fokus utama semiotika adalah tanda. Studi tentang tanda dan cara tanda- tanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi. Fiske (dalam Bungin, 2007: 175) mengatakan bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu:

o Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. o Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

Universitas Sumatera Utara o Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Menurut Preminger (dalam Kriyantono, 2010: 265), ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda- tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2009: 15).

Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua tokoh utama, yaitu Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tadisi Eropa. Sekalipun keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, pemikiran kedua tokoh tersebut memiliki kemiripan satu sama lain. Istilah semiotika yang sekarang dikenal luas mula-mula diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure memilih istilah semiologi untuk pemikirannya (Sobur, 2009: 12).

Sebuah tanda menurut Peirce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks) dan symbol (simbol) (Wibowo, 2011: 14).

1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah dikenali oleh pemakainya. 2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya. 3. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.

Universitas Sumatera Utara Ikon

Indeks Simbol

Gambar 2.1 Kategori Tipe Tanda dari Peirce

(Sumber: Bungin, 2007: 176)

Teori dari Peirce menjadi Grand theory dalam semiotik. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa secara keseluruhan seperti ahli fisika membongkar suatu zat dan kemudian menyediakan model teoretis untuk menunjukkan bagaimana semuanya bertemu di dalam sebuah struktur (Sobur, 2004: 97).

Ahli semiotika lainnya Ferdinand de Saussure lebih terfokus pada semiotika linguistik. Saussure menyerang pemahaman historis terhadap bahasa hanya berfokus pada perilaku linguistik yang nyata (Sobur, 2009: 44). Berbeda dengan Peirce, Saussure mengemukakan tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa (Alquddus, 2014: 12).

Universitas Sumatera Utara Sign

Composed of

Signification

Signifier plus Signified external reality

(physical (mental concept) of meaning

Existence of the sign)

Gambar 2.2 Elemen-Elemen Makna dari Saussure

(Sumber: Sobur, 2004: 125)

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dapat disimpulkan bahwa signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur, 2004: 125).

Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk kultural. Hubungan diantara keduanya bersifat arbitrer (manasuka) dan hanya berdasar konvensi, kesepakatan, atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Manasuka berarti sesuka hati atau dengan sukarela (DEPDIKNAS, 2012: 871). Artinya, arbitrer atau manasuka adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Sebagai contoh dari pengertian arbitrer atau manasuka dapat dilihat dari kehidupan manusia sehari-hari seperti, mengapa binatang tertentu di Indonesia disebut “anjing”di negara Inggris disebut dog, di negara Arab disebut kalbun dan akan terus berbeda di wilayah-wilayah lain tentang cara penyebutannya. Hal

Universitas Sumatera Utara seperti itulah yang disebut dengan arbitrer atau manasuka yang tidak akan bisa ditemukan alasan penyebutannya yang berbeda-beda. Jika bahasa tidak bersifat arbitrer atau manasuka, sudah dapat ditentukan bahwa sebutan untuk “anjing” hanya akan ada satu kata dalam bahasa manusia di dunia, tidak akan ada lagi penyebutan dog, kalbun dan lain sebagainya.

Hubungan antara signifier dan signified tidak bisa dijelaskan dengan nalar apapun, baik pilihan bunyi-bunyian maupun pilihan untuk mengaitkan rangkaian bunyi tersebut dengan benda atau konsep yang dimaksud. Hal ini dikarenakan hubungan yang terjadi antara signifier dan signified bersifat arbitrer, maka makna signifier harus dipelajari yang berarti ada struktur yang pasti atau kode yang membantu menafsirkan makna (Sobur, 2004: 126).

Penting untuk diingat bahwa signified (konsep mental) merupakan produk dari budaya tertentu seperti halnya signifier (aspek fisik dari tanda). Terlihat jelas bahwa kata-kata (signifiers) berbeda antara bahasa satu dengan yang lain. Namun hal tersebut membuat sering terjadi kesalah pahaman bahwa signifieds (konsep mental) bersifat universal sehingga menerjemahkan adalah hal yang mudah karena hanya terkait menggantikan sebuah kata, layaknya seperti menerjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris yang mana maknanya akan sama saja. Hal tersebut tidak benar. Konsep mental jika diibaratkan kerbau pada petani Indonesia pasti sangat berbeda dengan petani Hindu di India yang memberi pemahaman bahwasanya kerbau dalam suara Hindu (penanda/signifier) tidak membuat lebih dekat dalam berbagai konsep. Artinya, kerbau bersifat spesifik pada masing- masing budaya seperti juga perbedaan pada bentuk bahasa dari penanda/signifier di dalam setiap bahasa (Fiske, 2012: 74)

2.2.3.1 Semiologi Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra (Sobur, 2009: 63).

Universitas Sumatera Utara Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Walaupun konotasi merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas sistem lain yang ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur, 2009: 68-69).

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi)dan signified (konten) di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Hal itulah yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign) (Wibowo, 2011: 16-17).

Gambar 2.3 Two Orders of Signification dari Barthes

Dalam tatanan kedua, Sistem Tanda dari Tatanan Pertama Disisipkan ke Dalam Sistem Nilai Budaya

(Sumber: Barthes dalam Fiske, 2012: 145)

Universitas Sumatera Utara Pada signifikasi tahap kedua, menganalisis tanda konotasi yaitu makna tersirat yang ada pada gambar yang digunakan untuk membongkar mitos. Analisis konotasi ini bekerja dalam tingkat subjektif. Kode-kode komunikasi yang terdapat pada teks dalam semiologi Roland Barthes, nantinya akan dicari makna rill-nya (denotasi), kemudian hubungan antara satu dengan tanda lainnya akan dicari makna tersirat di dalamnya (konotasi) (Alquddus, 2014: 9-10).

Tradisi semiotika meyakini manakala realitas media telah terpajang dihadapan publik atau khalayaknya maka media seketika kehilangan otoritasnya untuk memaksa tafsiran makna yang dikehendaki. Pemaknaan pun berpindah ketangan pembaca, pembaca boleh semena-mena karena tafsir realitas tergantung pengalaman kebudayaan yang dipunyainya. Inilah kira-kira yang diimajinasikan oleh Roland Barthes, ketika ia menggambarkan bagaimana otoritas pembuat simbol telah berakhir dan pemaknaan pun telah beralih ke tangan pembaca (Sunarto dan Hermawan, 2011: 233).

Roland Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas beruntun yang disebutnya sebagai leksia-leksia (lexias), yaitu satuan-satuan pembacaan (unit of reading) dengan panjang pendek bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila diisolasikan akan berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan dengan teks lain di sekitarnya, adalah sebuah leksia. Sebuah leksia bisa berupa apa saja, berupa satu dua patah kata, kelompok kata, beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf. Dimensinya tergantung kepada kepekatan (density) dari konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Pada proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran pertama diantaranya pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran-tataran pengorganisasian yang lebih tinggi (Budiman dalam Alquddus, 2014: 10).

Barthes berpendapat bahwa kode terangkai dalam kode rasionalitas, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Lima kode pokok (five major code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2009: 65-66):

Universitas Sumatera Utara 1. Kode Hermeneutika atau kode teka-teki yang berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Pada narasi terdapat suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. 2. Kode Proaretik atau kode tindakan/lakuan yang dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang yang artinya antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakukan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. 3. Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai- nilai yang berlawanan secara mitologis dapat dikodekan. 4. Kode Gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal- hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya penulis bertumpu. 5. Kode Semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Pada proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir.” Menurut Lechte (dalam Sobur, 2009: 66), tujuan dari analisis Barthes ini bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal. Namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk batuan dan bukan tiruan dari yang nyata.

Selain penanda teks (leksia) dan lima kode utama yang telah dijelaskan di atas, beberapa tatanan pertandaan (order of signification) dalam analisis semiotika Roland Barthes terdiri dari:

1. Penanda dan Petanda Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Menurut Barthes, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna.” Jadi, penanda adalah aspek material

Universitas Sumatera Utara dari bahasa : apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. Dapat dikatakan bahwa petanda merupakan aspek mental dari bahasa (Sobur, 2009: 46).

Umberto Eco (dalam Bungin, 2007: 171), mendefinisikan tanda sebagai suatu ‘kebohongan’ dan di dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang laintidak perlu harus ada atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu.

2. Denotasi dan Konotasi Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Denotatif bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda (Alquddus, 2014: 12). Menurut Kridalaksana (dalam Sobur, 2009: 263), denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas konvensi tertentu dan sifatnya objektif. Denotasi merupakan definisi objektif yang bersifat umum. Tingkat pertanda ini menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti.

Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti oleh banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih sedikit (kecil). Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa,” baik positif maupun negatif. Jika kita mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi, tetapi dapat juga disebut berkonotasi (netral) (Sobur, 2009: 264). Dapat disimpulkan bahwa denotasi adalah apa yang digambarkan tanda oleh sebuah

Universitas Sumatera Utara objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya (Wibowo, 2011: 17).

3. Mitos Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan. Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat (Wibowo, 2011: 17).

Barthes menggunakan mitos sebagai orang yang mempercayainya, dalam pengertian yang sebenarnya. Mitos adalah sebuah cerita dimana suatu kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah budaya cara berpikir tentang sesuatu, cara mengonseptualisasi atau memahami hal tersebut. Ia melihat mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep yang berelasi (Fiske, 2012: 143-144).

Mitos tidak didefinisikan oleh objek pesan tetapi oleh caranya menyatakan pesan, tidak ada batas-batas formal bagi mitos, tidak ada batas-batas yang substansial. Mitos juga terdapat pola dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos juga adalah sebuah sistem pemaknaan tataran kedua (Alquddus, 2014: 16).

Barthes mengatakan, cara kerja mitos yang paling penting adalah menaturalisasi sejarah. Hal ini menunjuk pada fakta bahwa mitos sesungguhnya merupakan produk sebuah kelas sosial yang telah meraih dominasi dalam sejarah tertentu. Makna yang disebarluaskan melalui mitos pasti membawa sejarah, namun pelaksanaannya sebagai mitos membuat mereka mencoba untuk menyangkalnya dan menampilkan makna terbaru sebagai sesuatu yang alami (natural), bukan bersifat historis atau sosial. Sebagai contoh, mitos bahwa

Universitas Sumatera Utara perempuan secara natural lebih memiliki sifat memelihara dan merawat daripada laki-laki, dengan demikian tempat natural perempuan adalah di rumah, membesarkan anak dan merawat suami. Sementara suami, secara natural memainkan perannya untuk mencari nafkah. Peran ini kemudian menstrukturkan unit sosial yang membuatnya menjadi universal dan tampak tidak dapat diubah. Hal ini kemudian menciptakan mitos bahwa perempuan hanya untuk melayani kepentingan laki-laku (Fiske, 2012: 145-146).

Mata rantai konsep-konsep yang membentuk mitos saling berhubungan antara maskulinitas, feminitas dan keluarga yang telah beranak pinak, tapi tidak secara alami. Feminitas mengandung makna natural dari merawat, domestifikasi, sensitivitas dan kebutuhan dilindungi, sementara maskulinitas diberi makna kekuatan, ketegasan, kemandirian dan kemampuan bekerja di ruang publik. Namun, faktanya laki-laki menguasai sejumlah posisi publik yang tidak proporsional dalam masyarakat (Fiske, 2012: 147).

Tentu saja, mitos dapat menaturalisasi makna sangat efektif, dengan menghubungkannya pada beberapa aspek. Jadi, fakta bahwa perempuan melahirkan digunakan untuk menaturalisasi makna perawatan dan domestikasi. Sama halnya dengan tubuh laki-laki yang besar dan berotot digunakan untuk menaturalisasi kekuatan sosial dan politik laki-laki (tidak ada hubungannya dengan kekuatan fisik). Oleh sebab itu, perubahan peran perempuan dalam masyarakat dan perubahan struktur dalam keluarga mengakibatkan mitos-mitos ini menemukan posisi dominasinya dalam mitos natural sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa, mitos yang baru terbentuk bukan berarti menolak mitos sebelumnya secara keseluruhan, namun menghilangkan beberapa konsep dari mata rantai dan menambahkan konsep lainnya, dimana mitos sifatnya evolusioner dan bukan bersifat revolusioner (Fiske, 2012: 147-148).

Pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi konotatif nantinya akan menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita tradisional, legenda dan sebagainya yang mana adanya dinamisme mitos dalam aspek mitos itu sendiri. Mitos bisa berubah bahkan beberapa dapat

Universitas Sumatera Utara berubah dengan cepat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan nilai budaya di mana mereka berada. Artinya, dengan konotasi dan mitos merupakan cara utama dimana tanda bekerja dalam tatanan kedua pertandaan, yakni dimana interaksi dan pengguna atau kebudayaan menjadi sesuatu yang paling aktif (Fiske, 2012: 149).

2.2.4 Semiotika Iklan Pada mula iklan dikenal masyarakat, iklan masih berbentuk relief, iklan koran atau iklan papan nama. Hal ini disebabkan karena media informasi saat itu sangat terbatas, sebagai akibat keterbatasan masyarakat. Demikian pula perkembangan iklan mengikuti perkembangan media massa pada saat itu. Oleh sebab itu iklan pertama berupa relief, kemudian menjadi iklan koran dan papan nama, kemudian berkembang menjadi iklan radio dan saat ini iklan ditayangkan di televisi, internet atau komputer di samping iklan-iklan luar yang muncul dan bertebaran di mana-mana dengan berbagai bentuk (Safitri, 2012: 10).

Sebagai sistem pertandaan, iklan sekaligus menjadi sebuah bangunan representasi. Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas tentang manfaat produk yang ditawarkan, namun seringkali menjadi representasi gagasan yang terpendam di balik penciptanya. Prinsip semiotika iklan adalah bahwa iklan melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan menjadi tanda yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Dalam iklan kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio dan audiovisual (Safitri, 2012: 10-11).

Iklan juga merupakan konstruksi realitas dalam media. Giarcadi (dalam Safitri, 2012: 11) berpendapat bahwa iklan adalah acuan, artinya iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia mimpi hiperrealistik. Menurutnya, iklan berusaha menciptakan suatu realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas nyata yang ada di masyarakat. Suharko dalam (Wibowo, 2011: 128) mengatakan iklan berusaha merepresentasikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat melalui simbol-simbol tertentu, sehingga mampu menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah juga bagian dari kesadaran budayanya.

Universitas Sumatera Utara Konstruksi iklan atas realitas sosial terjadi melalui lima tahap, yaitu (1) tahap menyiapkan materi konstruksi iklan, (2) tahap sebaran konstruksi, (3) tahap pembentukan konstruksi, (4) tahap konfirmasi dan (5) tahap perilaku keputusan konsumen. Berdasarkan tahapan konstruksi ini yang menjadi penekanan dalam studi semiotika adalah pada tahap ke tiga, yaitu pada saat terjadi pembentukan konstruksi. Pada tahap ini tanda dibentuk dan dikonstruksi serta disampaikan pada khalayak melalui media yang terpilih. Tanda-tanda yang dikonstruksi tersebut merupakan suatu sistem tanda yang dalam semiotika dipakai sebagai kajian utama. Dalam hal ini akan dicari gambaran seperti apa tanda sebagai sebuah sistem dalam realitas simbolik berupa teks iklan sehingga terjawab bagaimana sistem representasi yang terdapat dalam konstruksi iklan tersebut (Wibowo, 2011: 128-129).

Mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik tanda verbal yang mencakup bahasa yang kita kenal maupun tanda non verbal yaitu bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi dan film. Kajian sistem tanda dalam iklan mencakup objek. Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Pada iklan produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya. Hal terpenting dalam menelaah iklan adalah penafsiran kelompok sasaran dalam proses interpretan (Sobur, 2009: 116).

Ada berbagai elemen desain grafis dalam mengkaji iklan yang meliputi gambar (ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, teknik serta pengambilan gambar. Hal ini dilakukan guna menyampaikan pesan secara visual, audio dan/atau audiovisual kepada target sasaran yang dituju (Safitri, 2012: 33).

1. Komposisi Warna Salah satu elemen visual terpenting yang membuat sebuah karya menjadi paripurna dalam esensi visualnya adalah warna. Selain untuk menarik perhatian warna juga berperan untuk memperkuat makna pesan yang disampaikan. Secara visual warna memiliki kekuatan yang mampu memengaruhi citra orang yang melihatnya. Menurut pakar warna Molly E. Holzschlag seperti yang dikutip

Universitas Sumatera Utara Kusrianto (dalam Sriwitari dan Widnyana, 2014: 41-42), secara psikologis masing-masing warna memberikan respon tertentu. a. Merah, bermakna kekuatan, bertenaga, kehangatan, nafsu, cinta, agresifitas dan bahaya. b. Biru, bermakna kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan dan perintah. c. Hijau, bermakna alami, kesehatan, pandangan yang enak, kecemburuan dan pembaruan. d. Kuning, bermakna optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran atau kecurangan, pengecut dan penghianatan. e. Ungu, bermakna spiritual, misteri, keagungan, perubahan bentuk, galak dan arogan. f. Orange, bermakna energi, keseimbangan dan kehangatan. g. Coklat, bermakna bumi, dapat dipercaya, nyaman dan bertahan. h. Abu-abu, bermakna intelek, futuristik, modis, kesenduan dan merusak. i. Putih, bermakna kemurnian atau suci, bersih, kecermatan, innocent (tidak berdosa), steril dan kematian. j. Hitam, bermakna kekuatan, seksualitas, kemewahan, kematian, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan dan keanggunan.

2. Tipografi Kata tipografi berasal dari bahasa Inggris, typography yang berarti “seni cetak” dan “tata huruf.” Tipografi adalah seni memilih jenis huruf dari ratusan jumlah rancangan atau desain jenis huruf yang tersedia, menggabungkan jenis huruf yang berbeda, menggabungkan sejumlah kata yang sesuai dengan ruang yang tersedia, menandai naskah untuk proses typesetting, menggunakan ketebalan dan ukuran huruf yang berbeda. Tipografi merupakan istilah untuk naskah yang telah atau akan dicetak maupun direproduksi. Tipografi juga dapat dikatakan penataan bahan cetak atau tayangan produksi untuk membuat komunikasi menjadi efektif. Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tipografi merupakan pemilihan, pemilahan dan pengaturan tata letak yang

Universitas Sumatera Utara harmonis serta mengandung maksud tertentu dari huruf yang ditampilkan (divisualisasikan) dalam berbagai media (Sriwitari dan Widnyana, 2014: 87).

Tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau target sasaran. Lima jenis huruf berikut ini (Tinarbuko, 2010: 25):

a. Huruf (Romain)

Gambar 2.4 Huruf Romain

(Sumber: Lendy, 2011: 3)

Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya. b. Huruf Egyptian

Gambar 2.5 Huruf Egyptian

(Sumber: Lendy, 2011: 4)

Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus dan kaku.

Universitas Sumatera Utara c. Huruf Sans Serif

Gambar 2.6 Huruf Sans Serif

(Sumber: Sudiana, 2001: 5)

Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait. d. Huruf Miscellaneous

Gambar 2.7 Huruf Miscellaneous

(Sumber: Lendy, 2011: 5)

Jenis huruf ini mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuk senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental. e. Huruf Script

Gambar 2.8 Huruf Script

(Sumber: Lendy, 2011: 4)

Jenis huruf yang menyerupai tulisan tangan dan bersifar spontan.

Universitas Sumatera Utara 3. Teknik Pengambilan Gambar Gambar merupakan hal yang penting dalam pembuatan iklan. Teknik pengambilan suatu gambar akan memberikan suatu kesan tersendiri dan dapat menginformasikan kepada para penerima pesan mengenai aspek yang ingin disampaikan melalui iklan tersebut.

Bahasa gambar yang muncul di televisi haruslah dimaknai sama bagi setiap orang. Ada kesepakatan bahwa ukuran pengambilan gambar selalu dikaitkan dengan ukuran tubuh manusia. Namun, penerapan ukuran ini juga berlaku pada benda lain. Tinggal menyesuaikan ukurannya saja. Berikut ukuran gambar tersebut (Harahap, 2007: 37):

a. Extreme Close-Up (ECU), gambar diambil secara detail, misalnya pangkal tangan, jari, mata dan telinga. Fokus utama pada bagian detail tersebut karena ada sesuatu yang ingin ditonjolkan, misalnya kebiasaan orang Dayak menggunakan anting berat sehingga telinganya menjadi panjang dan kebiasaan orang Jayawijaya, Papua, memotong jari tangan bila ada keluarga yang meninggal sebagai tanda duka. Kalau gambar seperti ini diambil dari jarak jauh kurang dramatis. b. Very Close-Up (VCU), gambar diambil mulai dari dagu sampai dahi. Fokus utama pada wajah orang tersebut sehingga terlihat detailnya. Gambar ini diambil karena ingin menunjukkan guratan wajah orang, misalnya karena sedih dan gembira. Latar belakang tidak penting dalam pengambilan gambar ini. c. Close-Up (CU), gambar diambil mulai dari bahu sampai atas kepala. Objek menjadi titik perhatian utama dalam pengambilan gambar dan lata belakang hanya terlihat sedikit. d. Medium Close-Up (MCU), gambar diambil mulai dari dada sampai atas kepala. e. Medium Shot (MS), objek memenuhi layar kamera dari pinggul sampai atas kepala. Latar belakang relatif sebanding dengan objek utama. f. Knee Shot (KNEE), objek diambil mulai dari lutut sampai atas kepala.

Universitas Sumatera Utara g. Medium Long Shot (MLS), objek memenuhi layar kamera mulai dari bawah kaki sampai atas kepala. h. Long Shot (LS), objek memenuhi sekitar ¾ layar kamera. i. Extreme Long Shot (ELS), subjek memenuhi sekitar ½ layar kamera.

Selain ukuran gambar, gerakan kamera juga menjadi bagian yang sangat penting dalam pengambilan suatu gambar. Gerakan kamera adalah dimana badan kamera bergerak terhadap subjek (talent). Beberapa gerakan kamera diantaranya (Brata, 2007: 33-34):

a. Pan, adalah gerakan kamera pada poros horizontal, menoleh ke samping, mengikuti gerakan subjek (talent). Pan-right berarti kamera menoleh ke kanan, sedangkan Pan-left berarti kamera menoleh ke kiri. b. Tilt, adalah gerakan kamera pada poros vertikal, mendongak atau menunduk. Tilt-up berarti kamera bergerak menengadah, sedangkan Tilt-down kamera bergerak menunduk. c. Track, adalah gerakan kamera pada landasan yang bergerak mendekati atau menjauhi subjek (talent). Track-in berarti kamera bergerak mendekati talent, sedangkan Track-out berarti kamera bergerak menjauhi talent. Tracking menghasilkan efek psikologis seakan-akan penonton “ditarik” mendekati atau menjauhi subjek (talent). d. Crab, adalah gerakan kamera pada landasan yang bergerak melintasi subjek. Lintasan gerakan kamera bersifat orbital dengan subjek sebagai titik pusat/sumbu. e. Zoom, adalah gerakan lensa yang dapat merubah rasio ukuran subjek. Zoom-in berarti menggeser titik lensa dari yang kecil ke titik lensa yang lebih besar sehingga menghasilkan pembesaran rasio ukuran subjek dalam bingkai shot, sedangkan Zoom-out berarti menggeser titik lensa dari yang besar ke titik lensa yang kecil sehingga menghasilkan pengecilan rasio ukuran subjek dalam bingkai shot. Zooming menghasilkan efek psikologis seakan-akan subjek “ditarik” mendekati atau menjauhi penonton.

Universitas Sumatera Utara f. Follow Thru, adalah gerakan kamera maju mengikuti gerakan subjek yang membelakangi kamera. Gerakan kamera searah dengan gerakan subjek. g. Lead, adalah gerakan kamera mundur mengikuti gerakan maju subjek. Gerakan kamera searah dengan gerakan subjek. h. Teknik lain yang digunakan yakni pengambilan gambar tanpa menggerakan kamera, jadi cukup objek yang bergerak.

o Objek bergerak sejajar dengan kamera. o Walk-in yaitu objek bergerak mendekati kamera. o Walk Away yaitu objek bergerak menjauhi kamera.

Selain gerakan kamera, arah pandang kamera terhadap subjek tidak kalah penting di dalam memainkan emosi penonton. Biasanya titik acuan sudut pandang kamera adalah mata subjek/talent atau garis horison jika subjek adalah pemandangan atau lokasi. Sudut pandang kamera terdiri dari (Brata, 2007: 35-36):

a. Frog eye, jenis shot ini merupakan sudut rekam yang rendah. Sudut pandang ini disebut juga low level shot, menghasilkan kesan keangkuhan, keagungan, ketegaran dan kekokohan. Biasanya terjadi distorsi perspektif berupa pengecilan ukuran subjek pada bagian atas. b. Eye level, jenis shot ini menggunakan sudut rekam yang sama tinggi dengan mata subjek/talent. Atau, letak horison relatif di tengah bidang shot. Sering juga disebut dengan normal shot. c. Eagle eye, jenis shot ini menggunakan sudut rekam yang tinggi (high level shot), biasanya digunakan untuk mendeskripsikan posisi subjek yang berada dalam kelompok atau pada suatu lokasi. d. Slanted, jenis shot ini merupakan perekaman dengan sudut tidak frontal dari depan atau frontal dari samping objek, melainkan dari sudut 45 derajat dari objek, sehingga objek yang lain masuk ke dalam bingkai rekam. e. Over shoulder, jenis shot ini merupakan versi close-up dari slanted shot sehingga seakan-akan objek lain di shot dari bahu objek utama.

Universitas Sumatera Utara Fokus dari pengambilan gambar merupakan elemen lain yang perlu diperhatikan dalam menganalisis sebuah gambar. Langkah utama agar pemirsa mengetahui apa yang harus dilihat di dalam sebuah shot adalah dengan memerhatikan apa yang sedang difokuskan di dalam shot tersebut. Fokus pada kamera terdiri dari (Campbell, 2002: 59):

a. Deep Focus, jenis fokus ini memperlihatkan objek yang terlihat tajam dan jelas secara menyeluruh. b. Shallow Focus, jenis fokus ini merupakan pengambilan gambar objek dengan lensa yang diatur sedikit tidak fokus atau out of focus, sehingga objek lainnya pada gambar terlihat buram atau blur. c. Focus Puller, jenis fokus yang berubah dari satu objek ke objek lainnya.

2.2.5 Representasi Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Marcel Danesi (dalam Wibowo, 2011: 122), mendefinisikannya sebagai proses merekam ide, pengetahuan atau pesan dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Hal ini dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik. Dapat dikarakterisasikan sebagai proses konstruksi bentuk X untuk menimbulkan perhatian kepada sesuatu yang ada secara material atau konseptual yaitu Y atau dalam bentuk spesifik Y, X = Y.

Menurut Stuart Hall (dalam Wibowo, 2011: 122), ada dua proses representasi: 1. Representasi Mental. Representasi mental adalah konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. 2. Bahasa Bahasa berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan ke dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol tertentu.

Universitas Sumatera Utara Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi pada media menunjuk pada bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain di luar pemberitaan. Intinya bahwa sama dengan berita, iklan juga merepresentasikan orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi:

Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 Tabel Proses Representasi Fiske

REALITAS Dalam bahasa tertulis, seperti dokumen wawancara transkip dan sebagainya. PERTAMA Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik dan sebagainya. REPRESENTASI Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tertulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya dan lain- KEDUA lain. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi, setting, dialog dan lain-lain). IDEOLOGI Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi, KETIGA seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriaki, ras, kelas, materialisme dan sebagainya. (Sumber: Fiske dalam Wibowo, 2011: 123)

Pertama, realitas dalam proses ini merupakan peristiwa atau ide yang dikonstruksi oleh media dalam bentuk bahasa gambar pada umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan, ekspresi dan lain- lain. Kedua, representasi dalam proses ini merupakan realitas yang digambarkan dalam perangkat teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara Ketiga, tahap ideologis dalam proses ini merupakan peristiwa-peristiwa yang dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam berbagai konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat (Wibowo, 2011: 123).

Sementara itu menurut David Croteau dan William Hoynes (dalam Wibowo, 2011: 123), representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal-hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan- kepentingan dan pencapaian tujuan komunikasi yang ideologisnya digunakan sementara tanda lainnya diabaikan.

Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah karena selalu ada pemaknaan baru. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia itu sendiri yang juga terus bergerak dan berubah (Wibowo, 2011: 124).

2.2.6 Komunikasi Pariwisata Istilah pariwisata berhubungan erat dengan pengertian perjalanan wisata sebagai suatu perubahan tempat tinggal sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan untuk melakukan kegiatan yang menghasilkan upah. Secara etimologi kata pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yaitu, Pari yang berarti “berkali-kali” dan Wisata yang berarti “perjalanan” atau “bepergian.” Jadi, kata pariwisata diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali dari suatu tempat ke tempat lainnya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka definisi pariwisata dapat disimpulkan sebagai berikut: “Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan maksud bukan untuk berusaha (business) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi tetapi semata-

Universitas Sumatera Utara mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna bertamasya dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beragam” (Khotimah, 2016: 1).

Keberadaan pariwisata dalam suatu daerah bisa dikatakan sebagai suatu gejala yang kompleks di dalam masyarakat. Dalam hal ini terdapat suatu ketertarikan antara daerah objek wisata yang memiliki daya tarik, masyarakat atau penduduk setempat dan wisatawan itu sendiri. Sejak dahulu, kegiatan pariwisata sudah banyak dilakukan oleh masyarakat baik di dunia maupun di Indonesia. Kata pariwisata mulai memasyarakat di Indonesia pada tahun 1958, yaitu setelah diadakannya Musyawarah Nasional Tourism II di Tretes Jawa Timur pada tanggal 12 sampai 14 Juni 1958 (Khotimah, 2016: 2).

Pada tahun 2007, ketika event Visit Malaysia Year 2007 (VMY 2007), jumlah kunjungan wisatawan ke Malaysia, sebanyak 20.9 juta (Tourist Arrivals & Receipts to Malaysia, 2010). Pada tahun berikutnya ketika event Visit Malaysia Year 2008, jumlah wisatawan ke Indonesia mencapai jumlah 5,5 juta wisatawan. Angka-angka tersebut baik di Malaysia maupun di Indonesia merupakan jumlah tertinggi sepanjang sejarah pariwisata di kedua negara tersebut pada tahun tesebut. Pada hakikatnya, Indonesia memiliki banyak objek pariwisata berkelas dunia dan juga memiliki destinasi terkenal di dunia seperti Bali, Lombok, Yogyakarta, Solo, Bandung, Aceh dan lainnya. Begitu juga Malaysia, memiliki bidang-bidang pariwisata berkelas dunia yang menjadi daya tarik Malaysia di tingkat Internasional (Bungin, 2015: 4).

Ada perbedaan yang cukup besar dari segi jumlah wisatawan yang datang ke Malaysia dan Indonesia. Artinya, pada tahun 2009 ketika Malaysia sudah mencapai angka kunjungan wisatawan sebanyak 23,6 juta, Indonesia baru mencapai jumlah 6,4 juta. Apabila kita melihat kembali, brandyang dilihat audiensi akan merangsang terciptanya pembelian. Maka mungkin perbedaan jumlah kunjungan wisatawan di kedua negara tersebut disebabkan karena BrandDestinasi Negara (BDN) di kedua negara ini dikonstruksi secara berbeda sehingga memberi rangsangan yang berbeda pula kepada wisatawan yang mengamatinya. Sehingga, respons seseorang yang berbeda terhadap suatu

Universitas Sumatera Utara peristiwa disebabkan oleh konstruksi sosial terhadap realitas yang berbeda pula (Bungin, 2015: 5).

Kotler dan Pfoertsch (dalam Bungin, 2015: 6), mendefinisikan brandsebagai konsep yang tidak terukur, sering kali dipahami atau sering kali dianggap mengkonstruksi citra sosial sehingga produk pelayanan atau nilai terkesan lebih baik dari yang sebenarnya. Oleh karena itu, brandingmembawa suatu yang biasa dan meningkatkannya dengan cara-cara yang membuatnya menjadi lebih berkesan, lebih berharga dan bernilai. Artinya, brandingmerupakan upaya mengkonstruksi brand, sehingga brandmenjadi kuat apabila brandingnyadilakukan dengan efektif melalui proses konstruksi citra sosial. Menilai apa yang dikatakan oleh Kotler dan Pfoertsch mengenai brandsebagai konsep yang tidak terukur, sering kali dipahami atau dianggap mengkonstruksi citra sosial hingga produk atau pelayanan lebih efektif dari yang sebenarnya adalah suatu fenomena yang dapat dikonstruksi melalui Social Construction of Reality (SCoR). Jadi, apabila brandmerupakan sebuah branddestinasi, maka artinya branddestinasi itu adalah SCoR atau dengan kata lain bahwa branddestinasi adalah suatu konsep destinasi yang dapat mengkonstruksi citra sosial hingga ia terlihat lebih baik dari realitas sebenarnya.

Branddalam pandangan komunikasi adalah sebuah pesan yang memiliki tanda komunikasi, baik penanda maupun yang ditandai (penanda yang ditandai). Tanda maupun penanda komunikasi adalah pesan yang disampaikan dari komunikator kepada komunikan. Oleh karena itu, brand menjadi penting di dalam proses komunikasi brandingketika brandmenjadi “sistem tanda yang dipesankan” dari pihak-pihak yang ingin menandai pesan brand kepada masyarakat awam (Bungin, 2015: 32).

William Al Big (dalam Bungin, 2015: 45), mengatakan bahwa komunikasi adalah proses transmisi dalam memaknakan simbol-simbol di antara individu. Dapat dikatakan bahwa komunikasi adalah proses sosial yang terjadi di antar dua orang atau lebih, dimana mereka saling mengirim dan bertukar simbol-simbol atau lainnya. Komunikasi dikatakan berjalan baik apabila mereka saling mengolah dengan baik simbol-simbol itu di dalam proses komunikasi tersebut. Proses

Universitas Sumatera Utara pertukaran simbol-simbol itu juga terjadi di dalam mengkomunikasikan suatu produk brand. Ketika suatu brand dikomunikasikan kepada masyarakat, maka terjadi proses komunikasi seperti apa yang dikatakan oleh Al Big, bahwa brand sebagai simbol yang dikomunikasikan oleh pemilik brand mengalami proses komunikasi.

Pentingnya media massa di dalam sebuah proses komunikasi dapat memaksimalkan peran pesan di dalam proses komunikasi tersebut. Di dalam pemasaran, peran media massa itu sangat penting sebagai katalisator pesan pemasaran. Jadi, apabila pesan itu adalah brand destinasi, maka pesan itu akan menjadi; “datang ke sini dan kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan.” Pesan brand destinasi yang berhasil akan di-decoding oleh masyarakat dengan “jika saya datang ke sana, maka saya akan lebih berhemat selama masa melancong.” Sebagai masukan balik, maka pesan itu akan menjadi; “jika mereka datang ke sana, maka mereka akan mendapatkan semua yang mereka inginkan.” Masukan balik ini akan menjadi encoding terhadap pesan brand destinasi itu. Proses komunikasi semacam ini akan menjadi maksimal apabila media massa digunakan sebagai media dalam proses penyampaian pesan tersebut, seperti yang dilakukan di dalam periklanan melalui media massa dengan semua varian periklanan yang ada (Bungin, 2015: 46-47).

Pariwisata modern adalah konsep pariwisata yang mendefinisikan dirinya sebagai produk bisnis modern. Jadi, semua produk pariwisata didesain sebagai produk bisnis, mulai dari destinasi, ekonomi kreatif, transportasi, perhotelan, venue rekreasi, atraksi senilai dari destinasi, paket wisata menarik, mengagumkan, menantang dan mengesankan. Pariwisata modern bersentuhan dengan sektor- sektor bisnis, sebab pariwisat ataupun tidak telah menjadi produk yang dijualkan kepada orang luar. Destinasi pariwisatan modern sangat kompleks dan sangat kapitalistik, dengan demikian pengelolaan pariwisata modern harus menggunakan manajemen bisnis yang akurat dan terukur (Bungin, 2015: 85).

Sebagai disiplin ilmu, komunikasi telah berkembang begitu pesat, terutama di Indonesia. Setelah reformasi, kajian-kajian komunikasi tumbuh subur dan berkembang secara multilinear membangun disiplin-disiplin ilmu baru yang

Universitas Sumatera Utara memperkaya khazanah disiplin ilmu komunikasi, komunikasi multietnik, kesehatan, ekonomi media, sosiologi komunikasi, komunikasi kebijakan publik, komunikasi pemerintahan, komunikasi pemasaran, brand, periklanan dan masih banyak lagi (Khotimah, 2016: 6).

Komunikasi pariwisata berkembang dengan menyatukan beberapa disiplin ilmu di dalam suatu kajian tentang komunikasi dan pariwisata. Oleh karena itu, kelahiran disiplin kajian ini adalah bagian dari perkembangan ilmu secara multilinear dengan bergabungnya beberapa disiplin ilmu. Kajian komunikasi pariwisata memiliki kedekatan biologis dengan kajian-kajian komunikasi dan pariwisata yang melahirkannya. Komunikasi menyumbangkan teori-teori komunikasi persuasif, komunikasi massa, komunikasi interpersonal dan komunikasi pariwisata, aksesibilitas ke destinasi dan sumber daya manusia serta kelembagaan kepariwisataan (Khotimah, 2016: 7).

Komunikasi pariwisata memiliki beberapa bidang kajian utama yang dapat dikembangkan sebagai bidang-bidang kajian yang menarik. Bidang-bidang ini akan terus berkembang di waktu-waktu yang akan datang sejalan dengan berkembangnya kompleksitas kajian di komunikasi pariwisata. Adapun yang menjadi bidang kajian komunikasi pariwisata adalah sebagai berikut (Bungin, 2015: 94):

1. Komunikasi Pemasaran Pariwisata Bidang komunikasi pemasaran pariwisata (tourism communication marketing) disingkat TCM mengkaji secara keseluruhan dalam konteks komunikasi pemasaran.

2. Brand Destinasi Brand destinasi adalah kajian tentang brand destinasi dalam konteks brand produk destinasi. Brand destinasi adalah media dan pesan di dalam konteks dan proses komunikasi pemasaran secara umum dan khususnya di dalam konteks pemasaran pariwisata.

Universitas Sumatera Utara 3. Manajemen Komunikasi Pariwisata Kajian ini mengulas mengenai bagaimana manajemen diterapkan di bidang komunikasi pariwisata, yaitu bagaimana memenej pemasaran pariwisata, destinasi, asesibilitas dan sumber daya manusia serta kelembagaan pariwisata.

4. Komunikasi Transportasi Pariwisata Kajian komunikasi pariwisata ini menyangkut media atau saluran-saluran komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan informasi transportasi pariwisata, dampak informasi terhadap wisatawan dan umpan balik yang diharapkan.

5. Komunikasi Visual Pariwisata Kajian ini menyangkut tentang pendekatan sistem komunikasi pariwisata dengan destinasi, venue, transportasi, hotel dan stakeholder pariwisata. Pembentukan jaringan komunikasi bisnis dengan pihak-pihak lain yang potensial seperti bank, pasar dan tokoh masyarakat juga dikaji dalam bidang ini.

6. Komunikasi Kelompok Pariwisata Kajian ini menyangkut kemampuan pribadi pelaku pariwisata baik pemilik destinasi, penguasa venue atau bahkan kemampuan pribadi pramuwisata dan pandu wisata. Hal-hal lain yang penting dalam kajian ini seperti penyelenggaraan event, dinamika kelompok, kemampuan bertutur, penguasaan sejarah destinasi dan venue wisata.

7. Komunikasi Online Pariwisata Media online menjadi kajian tersendiri di dalam komunikasi pariwisata, karena itu media online tidak saja dapat digunakan sebagai media pemasaran, namun juga dapat digunakan untuk berbagai kepentingan di dalam dunia pariwisata. Ada lima kemampuan media online saat ini, yaitu kemampuan meng- upload informasi, mengolah informasi, mengeluarkan informasi (download), menyebarkan komunikasi dan kemampuan mengkonstruksi citra informasi.

Universitas Sumatera Utara 8. Public Relations dan Meeting, Incentive, Convention and Exhibition (MICE) Bidang Public Relations dan Meeting, Incentive, Convention and Exhibition (MICE) adalah bidang yang sangat menarik dalam komunikasi pariwisata, karena bidang ini menjadi salah satu pintu masuk pariwisata ke destinasi. Meeting, Incentive, Convention and Exhibition (MICE) atau pertemuan, insentif, konvensi dan pameran merupakan usaha dengan kegiatan memberikan jasa pelayanan bagi suatu pertemuan (negarawan, usahawan, cendikiawan dan lain sebagainya) untuk membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Oleh karena itu, peran PRs sangat diperlukan untuk mengatur semua program MICE, mulai dari merencanakan dan merumuskan program MICE, masalah funding explore, sponsorship, pemasaran MICE, akomodasi MICE sampai dengan pelaksanaan, evaluasi dan perencanaan event MICE.

9. Riset Komunikasi Pariwisata Salah satu ujung tombak pengembangan kajian adalah riset, karena itu komunikasi pariwisata juga menaruh harapan yang tinggi kepada riset ini. Riset komunikasi pariwisata dapat mengambil objek-objek riset pada bidang komunikasi pariwisata.

2.2.7 Kearifan Lokal Kearifan (wisdom) secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi suatu kejadian, objek atau situasi. Sedangkan lokal menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun menurun akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh disebut dengan kebudayaan (budaya) (Wikantiyoso dan Tutuko, 2009: 7).

Universitas Sumatera Utara Sementara itu konsep kearifan lokal yang dikemukakan oleh Quaritch Wales adalah “the sum of cultural characteristic which the vast majority of people have in common as a result of their experiences in early life,” (keseluruhan ciri- ciri kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau). Secara umum kearifan lokal muncul melalui proses internalisasi yang panjang dan berlangsung turun-temurun sebagai akibat interaksi manusia dengan lingkungannya. Proses evolusi yang panjang ini bermuara pada munculnya sistem nilai yang terkristalisasi dalam bentuk hokum adat, kepercayaan dan budaya setempat. Kearifan lokal terbina secara kumulatif, terbentuk secara evolusioner, bersifat tidak abadi, dapat menyusut dan tidak selamanya tampak jelas secara lahiriah. Secara konseptual kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan. Kearifan lokal secara keseluruhan meliputi bahkan mungkin dapat dianggap sama dengan cultural identity yang dapat diartikan dengan identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa (Brata, 2016: 11).

Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan karena kearifan lokal merupakan kandungan dari tradisi budaya yang diwarisi secara turun- temurun dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas (Sibarani, 2012: 112).

Menurut Balitbangsos Depsos RI (dalam Sibarani, 2012: 113), kearifan lokal itu merupakan kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, perilaku dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik atau positif. Berdasarkan pernyataan itu, kearifan lokal merupakan milik masyarakat yang sikap dan kepribadiannya matang untuk mampu mengembangkan potensi dan sumber lokal dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Memang,

Universitas Sumatera Utara kearifan lokal itu adalah nilai budaya yang positif. Perlu dipahami bahwa nilai budaya yang positif pada komunitas masa lalu belum tentu semuanya positif pada komunitas masa sekarang ini. Dapat dikatakan bahwa, kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan bersumber dari nilai budaya yang masih dapat diterapkan pada masa sekarang, baik itu nilai budaya yang bermanfaat untuk penciptaan kedamaian maupun untuk peningkatan kesejahteraan.

Perspektif kultural lebih menekankan pada konteks kearifan lokal sebagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan dari masyarakat itu sendiri dan karena kemampuannya mampu bertahan dan menjadi pedoman hidup masyarakat. Dalam ruang lingkup kearifan lokal terdapat berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, berperilaku dan bertindak yang dituangkan dalam suatu tata sosial. Kearifan lokal memandang bahwa setiap warga memiliki proses sosial yang berbeda sehingga setiap masyarakat tidak dapat dipahami secara uniformitas, tetapi haruslah dipahami dari keunikan karena karakternya yang berbeda (Sibarani, 2012: 114).

Poespowardojo (dalam Brata, 2016: 11), secara tegas menyebutkan bahwa sifat-sifat hakiki kearifan lokal adalah sebagai berikut:

1. Mampu bertahan terhadap budaya luar; 2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; 3. Memiliki kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli; 4. Mampu mengendalikan; 5. Mampu memberikan arah pada perkembangan budaya. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit seperti agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni (Syamsiar, 2010: 2). Budaya adalah suatu sistem yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya. Bentuk simbolis berupa bahasa, benda, musik, kepercayaan serta aktivitas-aktivitas masyarakat yang mengandung makna kebersamaan merupakan cakupan budaya (Yunus, 2014: 11). Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal berwujud nyata (tangible) dan kearifan lokal tidak berwujud (intangible) (Astuti dan Ismadi, 2012: 6):

1. Kearifan Lokal Berwujud Nyata (Tangible)

Universitas Sumatera Utara Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek berikut: a. Tekstual Berbagai jenis kearifan lokal seperti nilai, tata cara, ketentuan khusus yang dituangkan dalam bentuk catatan tertulis seperti yang dapat ditemui dalam kitab tradisional primbon dan prasi. b. Bangunan Banyak bangunan-bangunan tradisional yang yang merupakan cerminan dari bentuk kearifan lokal, seperti candi dan rumah adat. c. Benda Cagar Budaya (Karya Seni) Banyak benda-benda cagar budaya yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal, contohnya batik. Batik sebagai salah satu kerajinan yang memiliki nilai tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia khususnya Jawa sejak lama. Sentuhan seni budaya yang terlukiskan pada batik tersebut bukan hanya lukisan gambar semata, namun memiliki makna dari leluhur terdahulu seperti pencerminan agama, nilai-nilai sosial dan budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat.

2. Kearifan Lokal Tidak Berwujud (Intangible) Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke genersi.

Atas dasar itu, kearifan lokal dapat dimaknai sebagai kebijakan manusia dan komunitas yang bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara-cara dan berperilaku yang melembagakan secara tradisional serta mengelola sumber daya alam, sumber daya hayati, sumber daya manusia dan sumber daya budaya untuk kelestarian sumber kaya tersebut bagi kalangan hidup berkelanjutan.Segala aspek kearifan lokal di nusantara adalah kekayaan budaya yang tidak ternilai sebagai sumber gagasan yang tidak ada habisnya, tinggal bagaimana seniman merespon

Universitas Sumatera Utara budaya lokal ini ke dalam struktur karya seninya yaitu seni yang berbasis kearifan lokal.

2.3 Model Teoretik Model adalah analogi yang mangabstraksikan dan memilih bagian dari keseluruhan, unsur, sifat dan komponen yang penting dari fenomena yang dijadikan model. Model dapat dikatakan sebagai gambaran informal untuk menjelaskan atau menerapkan teori. Model teoretik secara sederhana bisa dipahami sebagai representasi suatu fenomena, baik nyata maupun abstrak dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting fenomena tersebut (Fisher dalam Alquddus, 2014: 39).

Universitas Sumatera Utara

Objek Penelitian

Iklan Wonderful Indonesiaedisi The Light of

Semiotika Roland Barthes

Analisis Leksia dan 5 Kode Pembacaan

Level Analisis

- Teks (Gambar) - Konteks (Sosial, Sejarah, Budaya dan Ekonomi

Hasil

Bentuk Kearifan Lokal yang Terbangun Di Dalam Iklan (Denotasi, Konotasi dan Mitos)

Gambar 2.9 Bagan Teoretik Penelitian

Universitas Sumatera Utara BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian Metodologi penelitian secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu ilmu mengenai metode-metode yang dipergunakan dalam proses penelitian (Sastradipoera, 2005: 28). Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk mendekati suatu masalah dan mencari jawabannya atau dapat dikatakan juga bahwa metodologi merupakan suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe mode penelitian kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln (dalam Moleong, 2005: 5), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang memfokuskan kepada studi dokumen yang bersifat interpretatif. Dapat dikatakan bahwa, penelitian ini menitikberatkan pada analisis atau interpretasi bahan tertulis berdasarkan konteksnya (Sugiarto, 2015: 13).

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotika, dimana melalui analisis semiotika dapat diketahui makna yang terkandung di dalam suatu teks atau gambar. Analisis semiotika dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar sistem tanda yang dapat dimanfaatkan pada kajian media dan kajian kultural lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa semiotika merupakan suatu pendekatan terbaik dalam mengkaji suatu makna khususnya yang berhubungan dengan media audiovisual. Metode semiotika merupakan salah satu metode yang paling interpretif dalam menganalisis teks ataupun gambar. Keberhasilan ataupun kegagalannya sebagai sebuah metode dapat dilihat pada seberapa baik peneliti mampu mengartikan suatu teks atau gambar, hal ini dikarenakan proses semiotika selalu melibatkan dan menuntut daya pikir, pengalaman, budaya dan emosi tiap manusia dalam melihat suatu tanda.

Universitas Sumatera Utara Penelitian kualitatif berbasis analisis semiotika ini menggunakan semiologi Roland Barthes untuk membedah teks atau gambar pada iklan Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh. Analisis semiotika Roland Barthes melihat peran pembaca (the reader) dan tidak terbatas pada level teks saja namun juga pada level konteks yaitu pada sosial, budaya dan ekonomi. Pada penelitian ini menggunakan lima kode pembaca teks dengan konsep budaya, ideologi, nilai dan kepentingan yang meresapi teks tersebut.

3.2 Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah iklan WonderfulIndonesia edisi The Light of Aceh. Peneliti mengunduh terlebih dahulu video iklan tersebut melalui situs youtube, kemudian mengubah video tersebut menjadi potongan- potongan gambar yang akan dianalisis. Setelah dikonversi video iklan tersebut menjadi 121 potongan gambar. Tidak semua gambar yang ada bisa dianalisis. Karena yang dianalisis adalah video yang dikonversi menjadi potongan gambar, ada banyak gambar yang hampir sama baik itu dari adegan yang digambarkan maupun dari segi konten yang dianalisis. Misalnya, ekspresi atau mimik wajah, fashion maupun adegan-adegan yang hampir sama. Oleh sebab itu, dari 121 potongan gambar tersebut peneliti memilih 27 gambar yang dianggap memenuhi kriteria untuk dianalisis yang kemudian peneliti bagi kedalam 8 scenes. Peneliti menganggap 27 gambar yang dipilih telah menggambarkan seluruh ide cerita dan penggambaran kearifan lokal yang berhubungan dengan budaya Aceh dalam iklan.

Peneliti memilih iklan Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh untuk dijadikan sebagai objek penelitian sebab di balik masa kelam yang dialami oleh provinsi Aceh, ternyata daerah tersebut memiliki kearifan lokal yang berpotensi sebagai daya tarik pariwisata seperti wisata sejarah, alam, religi, kuliner, kesenian tradisional dan hingga wisata baru yaitu wisata tsunami yang terdapat di dalam iklan pariwisata tersebut. Kearifan lokal dalam iklan inilah yang akan menjadi perhatian peneliti yang kemudian akan dianalisis sehingga terungkap makna denotasi, konotasi maupun mitos yang terdapat dalam iklan.

Universitas Sumatera Utara 3.2.1 Wonderful Indonesia

Gambar 3.1 Logo Brand Wonderful Indonesia

(Sumber: www.indonesia.travel)

Wonderful Indonesia adalah sebuah brand pariwisata milik Kementerian Pariwisata Republik Indonesia. Wonderful Indonesia (WI) melambangkan harapan Indonesia terhadap sebuah realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang “luar biasa,” di samping menggambarkan kesatuan berbagai elemen pariwisata di Indonesia yang terdiri dari people, culture, national beauty, natural resources dan opportunity investment yang luar biasa (Bungin, 2015: 147). WonderfulIndonesia atau Pesona Indonesia adalah janji pariwisata Indonesia kepada dunia. Kata Wonderful atau “Pesona” mengandung janji bahwa Indonesia kaya dengan ketakjuban, dari segala manusia maupun alamnya yang mengusik kalbu dan menjanjikan pengalaman baru yang menyenangkan. Indonesia percaya bahwa dunia akan menjadi tempat yang lebih baik ketika semua orang memiliki kesempatan untuk menikmati World of Wonderful(www.indonesia.travel/).

Wonderful Indonesia dan Pesona Indonesia diresmikan oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata Republik Indonesia (KEMENBUDPAR RI) pada tanggal 1 Januari 2011 yang pada saat itu dipimpin oleh Jero Wacik dan digantikan oleh Mari Elka Pangestu yang menjabat pada tanggal 19 Oktober 2011 sampai 20 Oktober 2014. Bergantinya menteri pariwisata sejalan dengan bergantinya nama Kementerian Budaya dan Pariwisata Republik Indonesia menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (KEMENKRAF RI) (https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Menteri_Pariwisata_Indonesia). Lalu pada tanggal 27 Oktober 2014 dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo, Dr. Ir.

Universitas Sumatera Utara Arief Yahya, M. Sc, resmi menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan nama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif diubah kembali menjadi Kementerian Pariwisata Rebublik Indonesia (KEMENPAR RI) (https://id.wikipedia.org/wiki/Arief_Yahya).

Gambar 3.2 Logo Brand Pesona Indonesia

(Sumber: www.indonesia.travel)

Kementerian Pariwisata memiliki dua logo pariwisata yakni “Wonderful Indonesia” dan “Pesona Indonesia.” Perbedaan kedua logo tersebut hanya dalam penggunaannya saja. Jika event yang diselenggarakan di dalam negeri dan 99 persen yang hadir adalah warga negara Indonesia, maka logo yang digunakan adalah “Pesona Indonesia.” Jika event yang diselenggarakan di dalam negeri dan yang hadir didominasi oleh warga negara asing, maka logo yang digunakan adalah “Wonderful Indonesia.” Sebagai contoh, salah satu event yang pernah diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata adalah “Jakarta Marathon,” pihak Kementerian Pariwisata menggunakan logo “Wonderful Indonesia,” meskipun event diselenggarakan di dalam negeri namun yang mengikuti event tersebut didominasi oleh wisatawan mancanegara. Dengan kata lain, bahwa penggunaan kedua logo tergantung pada audience atau wisatawan (http://travel.kompas.com/Apa.Beda.Antara.Logo).

Logo pariwisata Wonderful Indonesiadan Pesona Indonesia memiliki konsep yang sama yaitu burung yang suka berkelompok melambangkan hidup damai antar sesama di alam sentosa. Burung juga merupakan satwa dengan populasi terbesar di Indonesia dan menjadi lambang bangsa. Rentangan sayap

Universitas Sumatera Utara berarti keterbukaan, hasrat untuk terbang jauh dan melintasi batas. Sifatnya semesta, dikenali oleh semua. Tulisan “Indonesia” berwarna hitam yang lebih besar daripada Wonderfulatau “Pesona” mengedepankan dan memperkuat Indonesia diantara persaingan pariwisata internasional.Logo Wonderful Indonesia atau logo Pesona Indonesia terdiri dari komponen logo burung yang disebut logogram dan tulisan Wonderful dan “Indonesia” atau “Pesona” dan “Indonesia” yang disebut logotype. Pengaplikasiannya pada berbagai media, kedua komponen logo ini tidak boleh dipisah. Filosofi warna yang digunakan di kedua logo pariwisata Indonesia tersebut seperti, hijau yang melambangkan kreativitas, ramah kepada alam dan keselarasan; ungu yang melambangkan daya imajinasi, keimanan, kesatuan lahir dan batin; jingga merefleksikan inovasi, semangat pembaruan dan keterbukaan; biru yang merefleksikan kesemestaan, kedamaian dan keteguhan; magenta yang melambangkan keseimbangan, akal sehat dan sifat praktis (http://www.kemenpar.go.id).

Semenjak Arief Yahya menjabat sebagai menteri Pariwisata, banyak prestasi yang diraih oleh Wonderful Indonesia. Tahun 2016 dan 2017 merupakan tahun keemasan bagi Pariwisata Indonesia dan merupakan suatu kebanggaan bagi seluruh bangsa Indonesia, dimana pada tahun 2016 dan 2017 banyak penghargaan yang diraih oleh Wonderful Indonesia dalam ajang internasional seperti:

1. ASEAN Tourism Association (ASEANTA), diselenggarakan pada 22 Januari 2016 di Sofitel Manila, Filipina. Dalam ajang tersebut Wonderful Indonesia meraih 3 penghargaan sekaligus, seperti (http://travel.kompas.com/Mantap.Wonderful.Indonesia.Sabet.3.Penghargaan.di. ASEANTA.Manila):

a. Kategori BEST ASEAN Tourism Photo oleh Agung Parameswara dengan karya fotografi berjudul Morning in Bromo, Indonesia.

b. Kategori BEST ASEAN Cultural Preservation Effort oleh Saung Angklung Mang Udjo dengan musik tradisional Sunda.

c. Kategori BEST ASEAN Travel Article dengan tema The Perfect Wave di Colour Magazine.

Universitas Sumatera Utara 2. Honorarium the Best in the Travel Industry, diselenggarakan pada 17 Oktober 2016 di Singapura. Dalam ajang tersebut Wonderful Indonesia meraih penghargaan, yaitu Kategori The Best Destination Marketing 2016(https://www.cnnindonesia.com).

3. The World Halal Tourism Awards 2016, diselenggarakan pada 7 Desember 2016 di Abu Dhabi. Dalam ajang tersebut Wonderful Indonesia meraih 12 penghargaan sekaligus, seperti (http://nationalgeographic.co.id):

a. World’s Best Airlines Travellers (Garuda Indonesia).

b. World’s Best Airport for Halal Travellers (Sultan Iskandar Muda Internasional Airport, Aceh).

c. World’s Best Family Friendly Hotel (The Rhadana Kuta, Bali).

d. World’s Most Luxurious Family Friendly Hotel (The Trans Luxury Bandung).

e. World’s Best Halal Beach Resort (Novotel Lombok Resort and Villas).

f. World’s Best Halal Tour Operator (ERO Tours Sumatera Barat).

g. World’s Best Halal Travel Website (www.Wonderfullomboksumbawa.com).

h. World’s Best Halal Honeymoon Destination (Sembalun Valley Region, Nusa Tenggara Barat).

i. World’s Best Haji & Umrah Operator (ESQ Tours and Travel).

j. World’s Best Halal Destination (Sumatera Barat).

k. World’s Best Halal Culinary (Sumatera Barat).

l. World’s Best Halal Cultural Destination (Aceh).

4. Diving and Resort Travel Expo, diselenggarakan pada 11 Desember 2016 di Hongkong. Dalam ajang tersebut, Wonderful Indonesia meraih penghargaan, yaitu Kategori The Outstanding Live Abroad Diving Destination 2016 (http://lifestyle.liputan6.com).

Universitas Sumatera Utara 5. Internationale Tourismus Borse (ITB), diselenggarakan pada 12 Maret 2017 di Messe, Berlin, Jerman. Dalam ajang tersebut Wonderful Indonesia meraih penghargaan, yaitu The Best Exhibitor 2017 (http://travel.kompas.com/read///kembali.Wonderful.indonesia.juara.di.itb.b erlin).

6. XIII International Tourism Film Festival, diselenggarakan pada awal April 2017 di Bulgaria. Dalam ajang tersebut Wonderful Indonesia meraih penghargaan seperti (https://pesona.indonesia.travel/berita/video-promosi- Wonderful-indonesia-raih-penghargaan-tertinggi-di-festival-internasional/):

a. International Grand Prix Award, berupa video berjudul Explore Further and Higher in the World of Wonder.

b. Kategori Nature and Ecotourism untuk subkategori Advertising Film Category. Film tersebut adalah Wonderful Indonesia dengan judul A Visual Journey to Lombok dan Wonderful Indonesia dengan judul A Visual Journey to Wakatobi.

7. United Nations World Tourism Organization (UNWTO) dalam acara 22nd UNWTO General Assembly, diselenggarakan pada 15 September 2017 di Chengdu, China. Dalam ajang tersebut Wonderful Indonesia meraih 2 penghargaan sekaligus, seperti (http://travel.kompas.com/bangga-indonesia- raih-2-penghargaan-di-kompetisi-video-pariwisata-dunia-unwto):

a. Video Competition 2017 yang berjudul The Journey to a Wonderful World, menjadi video pariwisata terbaik kawasan Asia Timur dan Pasifik.

b. People Choice Award.

Penghargaan-penghargaan yang telah diraih merupakan sebuah prestasi besar bagi Pariwisata Indonesia yang membanggakan seluruh bangsa Indonesia atas kepemilikan warisan budaya asli dan kemenangan tersebut membuktikan bahwa Indonesia sudah mampu berkalibrasi dengan standar pariwisata dunia.

3.3 Kerangka Analisis Penelitian ini akan menganalisis mengenai kearifan lokal yang ditampilkan dalam iklan Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh. Penulis juga akan menganalisis makna dan mitos apa saja yang muncul dalam iklan Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh tersebut. Penulis menggunakan analisis

Universitas Sumatera Utara semiotika dengan teknik analisis semiologi Roland Barthes signifikasi dua tahap (two order of signification); denotasi, konotasi dan mitologi.

Pada konsep semiologi Roland Barthes makna denotasi, konotasi dan mitologi yang ada dalam iklan tersebut akan dikaji lebih dalam lagi dengan menggunakan lima kode pembacaan (five major codes). Kelima kode tersebut adalah kode hermeutika, kode proairetik (proairetic code), kode simbolik (symbolic code), kode kultural (cultural code) dan kode semik.

3.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang ditempuh peneliti untuk memperoleh data. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: a. Studi Dokumentasi, yaitu dengan mengunduh video iklan Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh tahun 2016 melalui situs youtube. Video tersebut kemudian dikonversi menjadi gambar yang terdiri dari 121 potongan gambar. Melalui potongan gambar tersebut, kemudian diseleksi dan terpilih 27 gambar yang peneliti anggap layak dan memenuhi kriteria untuk diteliti. b. Studi Kepustakaan, teknik ini merupakan upaya yang dilakukan peneliti dalam mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dan kepustakaan yang berhubungan. Sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian dan sumber-sumber lain yang sesuai (internet, koran dan lain-lain).

3.5 Teknik Analisis Data Penulis menggunakan analisis semiotika dengan menggunakan teknik analisis semiologi Roland Barthes signifikasi dua tahap (two order of signification); denotasi, konotasi dan mitologi. Peneliti akan menganalisis makna denotasi atau makna gambar atau teks sebenarnya dari potongan video iklan Wonderful Indonesiaedisi The Light of Aceh. Kemudian peneliti akan menganalisis gambar ataupun teks tersebut dan makna ini bisa berkaitan dengan mitos atau pengertian berdasarkan cerita atau budaya yang ada dalam masyarakat.

Universitas Sumatera Utara Melalui tahapan-tahapan analisis di atas, maka dapat ditemukan makna atau pesan yang terdapat dalam iklan Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh.

3.5.1 Lima Kode Pembacaan Barthes menggunakan lima kode pembacaan untuk menganalisis lebih dalam makna denotasi, konotasi dan mitologi yang terdapat dalam iklan tersebut. Lima kode pembacaan menurut Barthes yaitu (Sobur, 2009: 65-66): 1. Kode Hermeneutika atau kode teka-teki yang berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Pada narasi terdapat suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. 2. Kode Proaretik atau kode tindakan/lakuan yang dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang yang artinya antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakukan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. 3. Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai- nilai yang berlawanan secara mitologis dapat dikodekan. 4. Kode Gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal- hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya penulis bertumpu. 5. Kode Semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Pada proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir.

Universitas Sumatera Utara BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian Pada BAB ini peneliti akan menjelaskan proses analisis dan pembahasan hasil penelitian untuk judul “Representasi Kearifan Lokal Dalam Iklan (Analisis Semiotika Kearifan Lokal Aceh Pada Iklan Pariwisata Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh).” Analisis dilaku kan dengan membaca atau menganalisis langsung setiap potongan gambar dari beberapa scenes agar dapat melihat makna tersendiri dari potongan gambar tersebut. Data penelitian ini adalah iklan Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh tahun 2016 yang telah diunduh melalui situs Youtube.

4.1.1 Narasi Iklan

Have you heard the story, about a beautiful place? A place that makes you feel restful in the midst of people, who live in religious harmony. A place that makes you feel home. Makes you curious for more adventure. Start your journey, travel to the place where the story is. Feel the sea breeze, caressing your face and the sound of waves breaking your consciousness. That you can see them, through the beauty of woven fabrics, or smell them through the scent of coffee that wafted into the air. If you never heard it before, you may now find it intriguing. You may want to know every square inch of this place. From the beauty its land to the depths of the sea with its amazing biodiversity. Perhaps you’ve heard this story, about a land which has tradition so diverse. Meet the friendly people who will welcome you with warmth. After all, welcoming guest is their tradition. The light of Aceh, Wonderful Indonesia.

Universitas Sumatera Utara 4.1.2 Analisis Pada proses analisis semiotika, iklan yang akan dianalisis diubah menjadi potongan-potongan gambar yang tersusun dalam sebuah scene. Gambar yang ditampilkan dalam sebuah scene mengandung pesan semiotik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Agar dapat mengetahui makna yang ingin disampaikan oleh iklan tersebut lebih dalam, maka akan dilakukan proses analisis dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yaitu dengan analisis leksia dan 5 kode pembacaan. Analisis semiotika Roland Barthes mengupas makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam iklan Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh.

The Light of Aceh memiliki arti “Cahaya Aceh.” Makna dari brand tersebut merefleksikan semangat bagi seluruh masyarakat disatukan melalui Syariat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sebagai cahaya benderang yang mengajak pada nilai-nilai kebaikan, kemakmuran dan memberikan manfaat bagi semua pihak (http://dispudpar.acehprov.go.id). Rahmatan lil ‘alamin memiliki arti “rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam, termasuk hewan, tumbuhan dan manusia.” Provinsi Aceh merupakan daerah dengan otonomi khusus berupa peraturan syariat Islam yang mengatur kehidupan masyarakat, beragam budaya dan tradisi serta kekayaan sumber daya alam yang menjadi kearifan lokal daerah setempat. Kearifan lokal yang dimiliki oleh provinsi Aceh diharapkan mampu memberikan manfaat seperti kebaikan dan kesejahteraan hidup masyarakat Aceh secara merata dan menyeluruh.

4.1.2.1 Analisis Scene 1

Gambar 1 Gambar 2

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3 Gambar 4

a. Analisis Leksia Pada gambar 1 menampilkan kubah masjid yang berwarna hitam dengan dinding masjid yang berwarna putih. Gambar 1 ini dihiasi dengan pemandangan langit yang berwarna biru cerah dan kubah masjid terlihat begitu dekat dengan langit yang menghiasinya. Pada gambar 1 ini diambil dengan teknik pengambilan gambar medium close up, dimana teknik ini mengambil gambar mulai dari dada hingga atas kepala objek. Fungsi dari teknik ini adalah untuk mempertegas objek yang ditampilkan sehingga penonton dapat melihatnya dengan jelas. Adapun objek yang ditampilkan dalam scene pertama ini adalah kubah masjid, artinya masjid yang ditampilkan pertama kali merupakan objek utama dari iklan ini. Gambar ini diambil dengan menggunakan sudut pandang (angle) slanted, dimana jenis shot ini merupakan perekaman dengan sudut tidak frontal atau lurus dari depan melainkan dari samping objek. Fokus yang digunakan dalam gambar ini adalah deep focus, dimana jenis fokus ini memperlihatkan objek yang terlihat tajam dan jelas secara menyeluruh. Fokus jenis ini memiliki arti bahwa semua unsur dalam gambar adalah penting. Scene ini diawali dengan suara narator yang mengatakan “A place that makes you feel restful in the midst of people who live in religious harmony.”

Pada gambar 2 memperlihatkan sebuah keluarga dimana terdiri dari ayah, ibu dan 2 orang anak yang sedang berjalan sambil tersenyum bahagia yang terlihat dari mimik wajah mereka menuju masjid untuk melakukan ibadah sholat bersama- sama.Pada gambar ini diambil dengan teknik pengambilan gambar medium close up, dimana teknik ini mengambil gambar dari dada sampai atas kepala objek.Teknik ini menandakan sebuah hubungan personal yang harmonis. Teknik

Universitas Sumatera Utara ini bertujuan untuk memperlihatkan kepada penonton tentang sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Gambar ini menggunakan sudut pandang (angle) slanted, dimana jenis angle ini merupakan perekaman gambar dengan sudut tidak lurus dari arah depan melainkan dari sudut objek. Fokus yang digunakan dalam gambar ini adalah shallow focus, dimana fokus jenis ini hanya menampilkan objek utama dan objek atau latar belakangnya diburamkan atau blur. Pada gambar 2 ini terlihat seorang ibu yang menggunakan mukena berwarna putih sambil membawa sebuah sajadah di tangannya. Lalu, bapak dan 2 orang anaknya mengenakan baju gamis dan kopiah serba berwarna putih. Kedua anak tersebut terlihat membawa sajadah seperti yang dibawa oleh ibunya.

Pada gambar 3 memperlihatkan sebuah pantai dengan ombak yang tenang. Gambar ini memperlihatkan warna biru pada air laut, pasir yang berwarna putih dan pohon-pohon hijau yang menghiasinya berada di sekitar pantai. Gambar ini diambil dengan teknik pengambilan gambar extreme long shot yang memberikan kesan luas dan keluarbiasaan yang tergambar pada objek pantai. Sudut pandang yang digunakan pada gambar 3 ini menggunakan sudut pandang high angle shot, dimana teknik ini digunakan untuk mendeskripsikan posisi objek yang berada dalam suatu lokasi. Teknik ini juga merupakan dimana posisi kamera lebih tinggi daripada objek yang diambil sehingga gambar yang ditampilkan sangat luas. Penggunaan sudut pandang ini pada gambar 3 bertujuan untuk memperlihatkan kepada penonton kesan luas yang menjadikan pantai dan laut sebagai objeknya. Fokus yang digunakan pada gambar 3 adalah deep focus, dimana jenis fokus ini memperlihatkan objek secara tajam, jelas dan menyeluruh. Fokus jenis ini memiliki arti bahwa semua unsur dalam gambar adalah penting.

Pada gambar 4 memperlihatkan sebuah keluarga yang terdiri dari ibu, ayah dan 2 orang anak laki-laki. Keluarga tersebut terlihat sedang berlari-lari dengan riang di pantai. Keluarga tersebut tampak begitu bahagia terlihat dari mimik wajah mereka. Sang ayah terlihat sedang menggendong salah satu anak laki-lakinya. Sang ayah mengenakan baju kaus berwarna putih dan celana cargo panjang berwarna coklat. Kedua anak laki-laki mengenakan baju kaus berwarna merah dan celana cargo pendek berwarna coklat. Sementara ibu mengenakan baju gamis

Universitas Sumatera Utara berwarna hijauyang menutupi seluruh tubuhnya. Selain itu, ibu juga mengenakan hijab yang berwarna sama dengan baju yang ia pakai. Gambar ini diambil dengan menggunakan teknik pengambilan gambar long shot, dimana objek memenuhi sekitar ¾ layar kamera. Teknik ini bertujuan untuk menunjukkan progres bagaimana posisi objek memiliki hubungan dengan objek yang lain. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar 4 ini bertujuan untuk memperlihatkan kepada penonton tentang sebuah keluarga yang sedang berekreasi di pantai yang letaknya jauh dari kamera. Sudut pandang (angle) yang digunakan pada gambar 4 ini adalah eye level, dimana teknik ini menggunakan sudut rekam yang sama tinggi dengan posisi objek, sehingga menampilkan sebuah kesejajaran antara objek yang ditampilkan dengan arah penglihatan penonton. Fokus yang digunakan pada gambar 4 adalah deep focus, dimana jenis fokus ini memperlihatkan objek secara tajam, jelas dan menyeluruh. Fokus jenis ini memiliki arti bahwa semua unsur dalam gambar adalah penting.

Gambar 1 dan 2 diiringi dengan musik dan diikuti oleh suara narator yang bergenre laki-laki atau male voice. Musik yang digunakan pada gambar 1 terdengar slow atau lambat sehingga menambahkan kesan dramatis dalam suatu cerita. Penggunaan musik ini dapat menaikkan atau menurunkan emosi penonton sesuai dengan kebutuhan cerita.

Gambar 3 dan 4 diiringi dengan musik yang sedikit lebih cepat dibandingkan dengan gambar sebelumnya dan menggunakan efek suara manusia. Efek suara manusia yang terdengar dalam gambar adalah suara perempuan yang sedang bersenandung. Tujuan dari penggunaan musik ini pada gambar 3 dan 4 untuk membuat jalan cerita menjadi lebih detail dan menunjukkan sebuah keluarbiasaan terhadap objek yang ditampilkan.

b. Analisis Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika Beberapa pertanyaan yang dapat muncul di dalam benak pemirsa terhadap scene pertama iklan ini yaitu: (a) mengapa masjid yang ditampilkan? (b) mengapa dinding masjid berwarna putih? (c) mengapa ibu mengenakan mukena berwarna putih? (d) mengapa ayah dan 2 orang anaknya mengenakan gamis dan kopiah

Universitas Sumatera Utara serba berwarna putih? (e) mengapa narator mengatakan “A place that makes you feel restful in the midst of people who live in religious harmony?” (f) mengapa pantai yang ditampilkan? (g) mengapa ayah mengenakan kaus berwarna putih di pantai? (h) mengapa ayah mengenakan celana cargo panjang berwarna coklat di pantai? (i) mengapa kedua anak mengenakan kaus berwarna merah di pantai? (j) mengapa kedua anak mengenakan celana cargo pendek berwarna coklat di pantai? (k) mengapa ibu mengenakan baju gamis berwarna hijaudi pantai? (l) mengapa ibu mengenakan hijab di pantai?

2. Kode Proaretik Provinsi Aceh dikenal dengan julukan “Serambi Makkah,” karena provinsi ini merupakan daerah perdana masuknya agama Islam di Indonesia. Selain itu, terdapat banyak persamaan antara Aceh pada saat itu dengan Makkah, yaitu sama- sama menganut agama Islam, berbudaya Islam dan berhukum Islam. Seluruh penduduk Makkah beragama Islam dan seluruh penduduk Aceh juga Islam. Namun, pada saat sekarang ini penduduk Aceh telah berbaur dengan pemeluk agama lain, tetapi penduduk Aceh tetap mayoritas menganut agama Islam. Oleh karena itu, di provinsi Aceh terdapat banyak masjid sebagai tempat beribadah umat Islam. Dinding masjid tampak berwarna putih menunjukkan bahwa masjid sebagai tempat ibadah umat beragama muslim sangat suci dan bersih.

Melaksanakan ibadah sholat bagi umat Islam diwajibkan untuk memakai pakaian shalat seperti mukena untuk kaum wanita, kopiah dan baju gamis untuk kaum pria. Hal tersebut sudah menjadi ciri khas umat Islam dalam melaksanakan ibadah.

Mukena yang digunakan ibu berwarna putih bermakna suci dan bersih. Begitu pula halnya dengan baju gamis dan kopiah. Kedua benda tersebut memiliki fungsi untuk menutup aurat bagi kaum pria beragama Islam terutama ketika dalam melaksanakan ibadah shalat. Suasana religius menempel pada pemakainya sehingga memiliki kesan agamis.Hal ini menunjukkan bahwa untuk melaksanakan ibadah shalat haruslah dalam keadaan yang suci dan bersih.

Universitas Sumatera Utara Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir dan terdapat di daerah pesisir laut. Aceh dikelilingi oleh banyak pantai yang indah, sehingga banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang datang untuk menikmati wisata pantai karena provinsi Aceh dianggap memiliki banyak pantai yang indah dan menawan.

Ayah dan kedua anaknya memilih mengenakan kaus. Pemilihan baju yang tepat karena fungsi baju kaus dapat menjadi fashion bersantai terutama ketika sedang berwisata ke alam terbuka seperti pantai, sehingga pemakainya akan merasa nyaman. Warna putih pada kaus yang digunakan ayah merefleksikan sebuah kemurnian dan kesucian cinta dan kasih sayang kepada keluarganya yang terlihat dalam gambar 4. Ayah tampak begitu bahagia berlibur bersama keluarganya di salah satu pantai yang ada di Aceh. Sementara itu, warna merah pada kaus yang digunakan kedua anak merefleksikan kehangatan dan cinta kepada kedua orangtua dan keluarganya yang terlihat dalam gambar 4.

Ayah mengenakan celana cargo panjang, karena jenis celana ini membuat pemakainya bebas bergerak. Hal ini dapat dilihat dalam gambar 4 yang memperlihatkan sebuah keluarga yang sedang berlari-lari dengan riang dan bahagia di salah satu pantai di Aceh. Celana cargo banyak dipakai oleh para pendaki dan petualang karena memiliki bahan yang ringan dan nyaman. Warna coklat yang terlihat pada celana cargo ayah dan kedua anaknya merefleksikan sebuah kenyaman bagi pemakainya, hal ini terlihat dalam gambar yang menunjukkan bahwa keluarga tersebut sangat merasa nyaman dan bahagia berlibur di salah satu destinasi pantai yang dimiliki provinsi Aceh.

Pemilihan celana cargo panjang yang dipakai oleh ayah karena provinsi Aceh dikenal sebagai provinsi yang memiliki otonomi yang diatur sendiri, berbeda dengan provinsi lainnya yang ada di Indonesia. Hal ini dikarenakan provinsi Aceh sebagai provinsi dengan syariat Islam sejak berdirinya Kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636).

Nafas Islam begitu menyatu dalam adat dan budaya masyarakat Aceh, sehingga segala bentuk aktivitas dan budaya masyarakat kerap berazaskan agama

Universitas Sumatera Utara Islam. Begitu pula halnya dengan budaya berpakaian di Aceh yang tidak luput dari aturan syariat di dalamnya. Baik kaum pria maupun wanita muslim dewasa dalam artian sudah aqhil baligh atau sudah menanggung dosa sendiri, diwajibkan untuk menutup aurat mereka agar tidak mengundang nafsu lawan jenis dan sebagai sarana perlindungan diri mereka. Bagi pria, auratnya berada di antara pusat dan lutut. Hal inilah yang mendasari ayah memakai celana cargo panjang.

Begitu pula dengan ibu yang memakai gamis ketika berada di pantai. Gamis adalah baju panjang yang menyerupai kemeja dengan potongan longgar (DEPDIKNAS, 2012: 410). Gamis adalah pakaian muslim bagi wanita dan pria dengan model baju menyatu antara atasan dan bawahan yang berbentuk lurus, panjang dan longgar sehingga menutupi seluruh badan mulai dari leher sampai ke mata kaki. Dalam budaya berbusana di Aceh, kaum wanita lah yang paling diperhatikan. Wanita diwajibkan untuk memakai pakaian yang menutup aurat seperti hijab, pakaian yang longgar dan tidak membentuk bagian tubuh.

Begitu pula halnya dengan hijab. Bagi wanita dewasa, aurat yang meliputi seluruh tubuh mulai dari rambut hingga kaki (selain wajah dan telapak tangan) haruslah ditutup. Dalam menutupi rambut, seorang wanita dewasa harus menutupinya dengan menggunakan hijab terutama ketika sedang beraktivitas di luar rumah. Hal ini lah yang mendasari ibu mengenakan hijab ketika berada di pantai. Sejatinya, pantai adalah tempat untuk berekreasi dan bersantai. Dalam berekreasi, agar terlihat dan merasa nyaman, pemilihan busana juga harus diperhatikan, seperti pada umumnya setiap wisatawan yang datang ke pantai dengan mengenakan kaus dan celana sehingga mudah untuk bergerak dan bermain. Pemilihan warna hijau yang terlihat pada baju dan hijab ibu merefleksikan sebuah kealamian. Hal ini berhubungan dengan aktivitas yang sedang dilakukan di alam terbuka, seperti pantai yang terdapat di dalam gambar 4.

Pada peraturan berbusana, di kalangan anak-anak tidak ada peraturan yang begitu ketat dalam hal berbusana. Anak-anak yang belum dewasa atau aqhil baligh masih dibebaskan dalam memilih busana yang ingin dipakai, namun tetap dalam konteks pakaian yang sopan. Hal seperti inilah yang melandasi kedua anak

Universitas Sumatera Utara memakai celana cargo pendek ketika berada di pantai. Selain dapat dengan bebas bergerak, celana cargo tidak akan membentuk tubuh pemakainya.

“A place that makes you feel restful in the midst of people who live in religious harmony,” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “tempat yang membuat anda merasakan ketenangan di tengah-tengah orang yang hidup dalam harmoni keagamaan.” Harmoni adalah pernyataan rasa; aksi; gagasan; minat; keselarasan; keserasian; harus ada antara irama dan gerak (DEPDIKNAS, 2012: 484). Irama mengarah kepada syariat Islam yang melandasi provinsi Aceh, sedangkan gerak mengarah kepada segala aktivitas dan budaya masyarakat. Kalimat tersebut merefleksikan bahwa Aceh sebagai provinsi dengan aturan syariat agama khususnya Islam, sehingga segala bentuk budaya dan aktivitas masyarakat diatur dengan syariat agama Islam yang melandasinya. Segala peraturan tehadap budaya dan aktivitas tersebut dapat membuat semua orang yang ada di dalamnya baik penduduk asli maupun wisatawan hidup dalam kerukunan, ketenangan dan kedamaian.

3. Kode Simbolik Masjid dan baju muslim merupakan wujud simbolis yang menunjukkan bahwa provinsi Aceh identik atau dikenal dengan ke-Islamannya. Hal ini berkaitan dengan aturan syariat agama Islam yang melahirkan aktivitas atau budaya Islam yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya.

4. Kode Gnomik atau Kode Kultural Sebagai daerah yang dilandasi oleh peraturan syariat agama Islam di dalamnya membuat segala aktivitas atau budaya masyarakat Aceh harus berazaskan agama Islam termasuk dalam hal berbusana di kalangan masyarakatnya. Aktivitas atau budaya masyarakat Aceh yang diatur dengan syariat Islam ini menjadi sebuah kearifan lokal daerah setempat.

Budaya berbusana baik bagi pria dan wanita dewasa menjadi salah satu peraturan yang berlandaskan syariat Islam di provinsi Aceh. Bagi pria dan wanita dewasa harus menutup aurat mereka untuk melindungi diri dan tidak mengundang

Universitas Sumatera Utara nafsu lawan jenis. Pria dan wanita dewasa harus memakai pakaian yang tertutup dan sopan ketika sedang beraktivitas di luar rumah.

Peraturan tentang budaya berbusana lebih difokuskan kepada kaum wanita. Bagi wanita yang sudah dewasa diwajibkan untuk menutup aurat mereka dengan berhijab. Tidak hanya berhijab, pemilihan pakaian juga harus selalu diperhatikan, seperti tidak memakai pakaian yang ketat dan membentuk lekuk tubuh. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh narator yaitu, “people who live in religious harmony,” bahwa masyarakat Aceh hidup di daerah yang segala peraturan berlandaskan dengan agama Islam.

Namun pada kenyataannya, tidak semua kaum wanita di Aceh memakai hijab sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bagi wanita yang bukan menganut agama Islam atau non-Islam diperbolehkan untuk tidak memakai hijab ketika sedang beraktivitas di luar rumah tetapi tetap dalam konteks pakaian yang sopan. Selain itu, tidak sedikit kaum wanita yang beragama Islam berani tidak memakai hijab mereka ketika sedang beraktivitas di luar rumah dan mereka menganggap hijab hanya sebagai “seragam” yang harus dipakai ke tempat-tempat yang mengharuskan memakai pakaian muslim.

5. Kode Semik Provinsi Aceh merupakan daerah yang berlandaskan dengan peraturan agama Islam di dalamnya.

4.1.2.2 Analisis Scene 2

Gambar 5 Gambar 6

Universitas Sumatera Utara

Gambar 7

a. Analisis Leksia Pada gambar 5 dan 6 memperlihatkan seorang nelayan yang sedang melaut untuk mencari ikan. Nelayan tersebut terlihat menggunakan sebuah sampan kecil yang berwarna coklat. Pada gambar 5 dan 6 terlihat nelayan sedang membentangkan jalanya untuk menangkap ikan. Gambar 5 dan 6 memperlihatkan langit yang begitu cerah dengan awan yang menghiasinya. Lalu pada kedua gambar ini tampak barisan bukit berwarna hijau yang berada di pinggir laut. Nelayan menggunakan baju kemeja berwarna putih dan celana panjang berwarna hitam. Terlihat di sebelah nelayan terdapat seorang wanita yang duduk sambil memfoto nelayan yang sedang bekerja tersebut. Wanita tersebut memakai baju berwarna kuning dan hijab berwarna orange. Pada gambar 6 dan 7 menggunakan teknik pengambilan gambar long shot, yaitu objek memenuhi sekitar ¾ layar kamera sehingga menampilkan sebuah hubungan antara objek yang satu dengan objek lainnya. Dalam hal ini objek yang ditampilkan adalah nelayan yang sedang bekerja dan laut merupakan objek yang kedua dimana antara nelayan dan laut memiliki sebuah hubungan yaitu laut merupakan tempat bekerja bagi nelayan.

Pada gambar 7 memperlihatkan kondisi bawah laut Aceh yang terdapat banyak ikan. Laut pada gambar 7 terlihat begitu bersih. Teknik pengambilan gambar medium long shot, yaitu objek memenuhi layar kamera mulai dari kaki sampai atas kepala. Penggunaan teknik ini memiliki tujuan untuk memperkaya keindahan gambar karena dengan menampilkan objek dalam jarak yang cukup dekat dengan penonton, akan tetapi tetap menunjukkan bahasa tubuh objek secara jelas. Dalam hal ini teknik pengambilan gambar menunjukkan banyak ikan sebagai objek utamanya yang menjadikan gambar dalam scene ini terlihat indah. Pada gambar 7, narator mengatakan “from the beauty of it’s land to the depth of the sea with it’s amazing biodiversity.”

Universitas Sumatera Utara Pada gambar 5 menggunakan sudut pandang (angle) slanted, dimana jenis angle ini menampilkan objek secara tidak lurus melainkan dari sudut posisi objek sehingga objek yang lain masuk ke dalam bingkai rekam. Sementara pada gambar 6 dan 7 menggunakan sudut pandang (angle) eye level, dimana teknik ini memperlihatkan posisi objek sejajar dengan penglihatan atau mata penonton. Pada gambar 5, 6 dan 7 juga menggunakan deep focus, dimana fokus ini memperlihatkan objek secara keseluruhan kepada penonton.

Pada gambar 5 dan 6 diiringi dengan musik yang bernada sedikit lebih cepat dan menggunakan efek suara manusia. Tujuan dari penggunaan musik ini sama dengan gambar 3 dan 4 yaitu untuk membuat jalan cerita menjadi lebih detail dan menunjukkan sebuah keluarbiasaan terhadap objek yang ditampilkan, sehingga membuat penonton merasa takjub dalam melihatnya. Sementara itu, pada gambar 7 diiringi dengan musik yang bernada slow atau lambat dan menggunakan efek suara manusia diikuti dengan suara narator male voice. Efek suara manusia yang terdengar dalam gambar sama dengan scene sebelumnya yaitu suara perempuan yang sedang bersenandung.

b. Analisis Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika Beberapa pertanyaan yang dapat muncul di dalam benak pemirsa terhadap scene kedua iklan ini yaitu: (a) mengapa menampilkan seorang nelayan yang sedang melaut? (b) mengapa nelayan menggunakan sampan kecil? (c) mengapa sampan berwarna coklat? (d) mengapa nelayan menggunakan jala untuk menangkap ikan? (e) mengapa nelayan memakai kemeja berwarna putih dan celana panjang berwarna hitam? (f) mengapa ada seorang wanita duduk di sebelah nelayan? (g) mengapa menampilkan ikan? (h) mengapa narator mengatakan “from the beauty of it’s land to the depth of the sea with it’s amazing biodiversity?”

2. Kode Proaretik Provinsi Aceh dianggap sebagai daerah yang memiliki potensi perikanan dan kelautan yang melimpah. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali oleh banyak kelebihan bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Maka

Universitas Sumatera Utara dengan kelebihan berupa akal yang dimiliki, manusia mampu berpikir terutama dalam memperbaiki taraf hidupnya dengan mencari nafkah. Pada saat sekarang ini, terdapat berbagai bidang pekerjaan yang dapat dijadikan sebagai sumber nafkah. Pada masyarakat pedesaan, bertani dan melaut merupakan sumber utama dalam mencari nafkah. Hal itu disebabkan oleh potensi pedesaan yang dimiliki seperti sawah dan laut yang berpotensi. Oleh sebab itu, dengan potensi kelautan dan perikanan yang memadai membuat sebagian masyarakat pedesaan di Aceh berprofesi sebagai nelayan.

Menurut Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan (Aprilia, 2017: 5). Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.6 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan, pengertian nelayan dibedakan menjadi menjadi dua yaitu, nelayan pemilik dan nelayan penggarap.

Nelayan pemilik ialah orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas suatu kapal atau perahu yang digunakan dalam usaha penangkapan ikan. Nelayan penggarap adalah semua orang yang sebagai kesatuan dengan menyediakan tenaganya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut. Sementara itu, dalam ketentuan Undang-Undang Perikanan, mengatur dan membedakan pengertian nelayan menjadi dua yaitu, nelayan dan nelayan kecil.

Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal berukuran paling besar 5 (lima) Gross Ton (GT). Berbeda dengan pasal 18 ayat 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjelaskan tentang nelayan kecil. Menurt pasal tersebut, nelayan kecil adalah nelayan masyarakat tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan ikan secara tradisional (Retnowati, 2011: 4).

Nelayan tradisional menggunakan teknologi penangkapan sederhana, umumnya peralatan penangkapan ikan dioperasikan secara manual dengan tenaga

Universitas Sumatera Utara manusia. Hal inilah yang terlihat pada gambar 5 dan 6 dimana nelayan hanya mengguakan jala seadanya dan sampan manual atau sampan yang dikayuh oleh tenaga manusia.

Warna yang terlihat pada sampan yang digunakan oleh nelayan adalah warna coklat. Warna coklat bermakna bumi, nyaman dan dapat bertahan. Hal ini menunjukkan bahwa bumi merupakan tempat tinggal manusia dan makhluk lainnya. Agar dapat hidup nyaman di atas bumi, seorang manusia haruslah berusaha dan berjuang untuk bertahan hidup, dalam hal ini bertahan hidup diartikan sebagai sarana mencari nafkah untuk diri sendiri dan keluarga. Bertahan hidup dengan mencari nafkah dapat dilihat pada gambar 5 dan 6 dimana terdapat seorang nelayan tradisional meski hanya menggunakan peralatan dan perlengkapan sederhana, ia tetap melakukan tugasnya untuk menangkap ikan di laut. Tidak ada kekhawatiran yang terlihat dari raut wajah sang nelayan, karena provinsi Aceh dianugerahi potensi perikanan yang melimpah sehingga dapat membuat makmur masyarakatnya.

Nelayan tampak mengenakan baju kemeja pada saat bekerja. Kemeja adalah sebuah jenis baju atau pakaian atasan yang sifatnya formal maupun non formal dengan karakteristik memiliki kerah, berkancing, berlengan panjang ataupun pendek dan menutupi tubuh sampai ke perut. Kata kemeja berasal dari bahasa Portugis yaitu camisa yang berarti “sebuah baju atau pakaian atas untuk pria.” Fungsinya secara umum yang dimiliki oleh kemeja pria tidaklah berubah. Secara garis besar, peruntukkannya terbagi menjadi kemeja pria formal dan kasual. Kemeja formal adalah sebuah kemeja yang dikenakan untuk acara bersifat resmi dan biasanya memiliki bentuk kaku yang elegan agar mendukung penampilan bergaya formal. Sementara itu, kemeja kasual adalah sebuah kemeja yang digunakan untuk mendukung penampilan gaya bersantai, sporty dan tidak terlalu formal (http://www.galerikonveksi51.com/jenis-kemeja-pria/).

Pemilihan baju kemeja kasual yang dikenakan oleh nelayan merupakan suatu pemilihan yang tepat, karena ia memfungsikannya untuk bekerja. Mengenakan kemeja saat bekerja akan membuat nelayan menjadi nyaman dan terlihat santai. Tidak hanya terlihat nyaman dan santai, dengan mengenakan

Universitas Sumatera Utara kemeja membuat penampilan nelayan terlihat lebih rapi karena banyak nelayan yang tidak terlalu memerhatikan penampilan ketika akan melaut. Warna yang terlihat pada kemeja nelayan adalah warna putih. Putih bermakna suci, bersih dan kecermatan. Hal ini terlihat pada gambar 5 dan 6 dimana nelayan sangat cermat dan terampil dalam melakukan pekerjaannya demi menyambung hidupnya.

Tidak hanya kemeja, nelayan juga terlihat memakai celana panjang berwarna hitam. Celana panjang adalah celana yang berukuran panjang sampai ke mata kaki. Penggunaan celana panjang tidak hanya lintas gender, artinya baik wanita maupun pria diperbolehkan mengenakan jenis celana ini. Celana panjang juga lintas kelas, tidak peduli status sosial yang melekat pada pemakainya, celana panjang tetap dikenakan semua orang. Celana tidak mengenal usia, pemakainya tidak terbatas dari anak-anak hingga orangtua, dan celana panjang tidak mengenal special occasion, penggunaannya bisa dari kasual hingga formal. Dapat dikatakan bahwa celana panjang bersifat universal atau menyeluruh ke segala arah. Oleh sebab itu, pemilihan celana panjang yang dikenakan oleh nelayan juga merupakan suatu pemilihan yang tepat karena ia mengenakan celana panjang tersebut untuk bekerja mencari ikan dilaut yang sifatnya tidak formal. Sementara itu, jika mengingat kembali provinsi Aceh yang dianggap sebagai provinsi dengan aturan syariat Islam di dalamnya sehingga segala aktivitas dan budaya yang dijalani oleh masyarakatnya berlandaskan dengan aturan agama Islam termasuk dalam budaya berbusana. Baik kaum wanita maupun pria memiliki aturan dalam hal budaya berbusana. Bagi kaum pria, aurat mereka berada di pusat hingga lutut sehingga mereka wajib untuk menutupi daerah tersebut di tubuh mereka. Hal ini lah yang medasari nelayan mengenakan celana panjang saat melaut.

Warna yang tampak pada celana nelayan adalah warna hitam. Hitam memiliki makna sebuah kekuatan. Artinya, nelayan memiliki kekuatan dalam hal bekerja mencari ikan di laut untuk menyambung hidupnya. Jika disinggung dengan kemeja putih yang dikenakan nelayan, hal ini memiliki sebuah kesinambungan. Putih yang bermakna kecermatan, dalam hal ini nelayan yang memiliki kecermatan dan ketelitian dalam melaksanakan tugasnya dan hitam

Universitas Sumatera Utara yang bermakna kekuatan. Kekuatan di sini artinya adalah mampu bertahan hidup. Artinya, dalam melakukan pekerjaan apapun seseorang haruslah memiliki kecermatan, ketelitian dan kekuatan dalam melakukan pekerjaannya agar mendapatkan hasil yang maksimal dan mampu untuk bertahan hidup.

Pada gambar 5 dan 6 menampilkan seorang wanita yang sedang duduk sambil memfoto nelayan yang sedang bekerja tersebut. Wanita tersebut merupakan seorang wisatawan yang sedang berkunjung ke provinsi Aceh. Hal ini memiliki makna bahwa provinsi Aceh merupakan salah satu destinasi wisata terbaik yang dimiliki Indonesia. Berbagai budaya yang unik dan potensi sumber daya alam yang melimpah dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk berlibur ke provinsi Aceh.

Provinsi Aceh memiliki beragam budaya yang unik dan sumber daya alam yang melimpah seperti kebun dan laut. Sektor perkebunan menghasilkan hasil panen yang berkualitas tinggi sehingga dapat mensejahterakan para pekerjanya. Sedangkan dari sektor kelautan, provinsi Aceh memiliki hasil laut yang kaya akan ikan dan biota laut lainnya yang juga dapat memakmurkan masyarakat setempat. Hal ini terlihat pada gambar 7 yang menampilkan banyak ikan yang sedang berenang dan ikan tersebut merupakan hasil laut yang paling diminati oleh nelayan.

Seperti yang dikatakan oleh narator, “from the beauty of it’s land to the depth of the sea with it’s amazing biodiversity.”Kalimat tersebut jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi, “dari keindahan tanahnya sampai ke kedalaman laut dengan keanekaragaman hayati yang menakjubkan.” Kalimat tersebut merefleksikan sebuah kesuburan tanah dan laut yang dimiliki oleh provinsi Aceh yang dapat mensejahterakan serta memakmurkan masyarakat dengan berbagai kearifan lokal yang ada.

3. Kode Simbolik Nelayan merupakan wujud simbolis dimana menunjukkan profesi sebagai seorang nelayan yang memanfaatkan laut sebagai sarana mencari nafkah dan didukung dengan hasil laut yang kaya dan beraneka ragam.

Universitas Sumatera Utara 4. Kode Gnomik atau Kode Kultural Melaut atau mencari ikan merupakan sebuah pekerjaan yang dilakukan masyarakat khusunya masyarakat pedesaan sebagai sarana mencari nafkah. Hal ini sudah menjadi sebuah budaya bagi masyarakat terutama yang bermukim di daerah pedesaan dengan memanfaatkan laut dan ladang untuk bekerja.

5. Kode Semik Aceh merupakan provinsi dengan kekayaan serta keindahan alam dan lautnya.

4.1.2.3 Analisis Scene 3

Gambar 8 Gambar 9

Gambar 10

a. Analisis Leksia Pada gambar 8 menampilkan tangan seorang petani yang sedang memetik buah kopi di kebun. Buah kopi terlihat berwarna merah dan hijau. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar 8 ini adalah teknik close up, dimana teknik ini menjadikan objek sebagai titik perhatian utama dalam pengambilan gambar, artinya teknik ini memperlihatkan sebuah kedekatan antara objek dengan penonton. Tujuan teknik ini adalah untuk memperlihatkan kepada

Universitas Sumatera Utara penonton secara lebih dekat tentang pekerjaan memetik buah kopi sehingga penonton dapat melihatnya secara jelas. Pada gambar ini menggunakan teknik shallow focus, dimana jenis fokus ini hanya menampilkan tangan petani yang sedang memetik buah kopi sedangkan bagian lainnya yaitu badan petani terlihat blur atau buram karena gambar ini hanya memfokuskan kepada aktivitas memetik buah kopi.

Pada gambar 9 memperlihatkan biji kopi yang berwarna hitam di dalam sebuah karung. Karung terlihat berwarna putih dengan sedikit garis yang berwarna biru sebagai coraknya. Teknik pengambilan gambar yang digunakan dalam gambar 9 ini adalah teknik medium close up, dimana teknik ini hampir sama dengan medium shot yang menjadikan latar belakang objek relatif sebanding dengan objek utamanya. Teknik yang digunakan untuk memperlihatkan biji kopi ini menandakan bahwa biji kopi yang ditampilkan terlihat berkualitas baik. Pada gambar ini fokus yang digunakan adalah deep focus, dimana fokus jenis ini meperlihatkan objek secara jelas dan menyeluruh. Pada scene ini narator mengatakan “smell them through the scent of coffee that wafted into the air.”

Pada gambar 10 memperlihatkan seorang petani kopi. Petani kopi tersebut tampak bahagia terlihat dari mimik wajahnya yang tersenyum. Teknik pengambilan gambar pada gambar 10 ini adalah teknik big close up, yaitu memperlihatkan objek secara lebih tajam dan jelas, selain itu teknik dapat memperlihatkan kedalaman mata pandangan objek, raut wajah objek sehingga terlihat emosi hingga keharuan yang merupakan ungkapan-ungkapan yang terwujud dalam komposisi gambar ini. Fokus yang digunakan pada gambar ini adalah shallow focus, yaitu jenis fokus ini merupakan pengambilan gambar objek dengan lensa yang diatur sedikit tidak fokus atau out of focus, sehingga objek lainnya pada gambar terlihat buram atau blur. Objek lain yang terlihat buram atau blur adalah daun pada pohon kopi yang menghiasi gambar 10. Fokus jenis ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa tidak semua elemen dalam gambar ditonjolkan, hanya bagian-bagian tertentu saja seperti ekspresi wajah objek sehingga penonton dapat merasakan dan melihat bagaimana ekspresi wajah petani kopi tersebut.

Universitas Sumatera Utara Pada gambar 8, 9 dan 10 menggunakan sudut pengambilan gambar (angle) eye level, dimana teknik ni menggunakan sudut rekam yang sama tinggi atau sejajar dengan mata penonton. Sudut pandang jenis ini memiliki makna sebuah kesejajaran antara objek dan penonton.

Pada gambar 8, 9 dan 10 diiringi dengan musik yang masih merupakan lanjutan dari musik pada gambar sebelumnya dengan diikuti oleh suara narator male voice. Namun, pada ketiga gambar tidak menggunakan efek suara manusia tetapi narator memberikan penekanan pada kalimat “wafted into the air.” Tujuan dari penekanan pada kalimat tersebut adalah untuk menegaskan bahwa kopi yang dihasilkan memiliki aroma yang sangat kuat.

a. Analisis Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika Beberapa pertanyaan yang dapat muncul di dalam benak pemirsa terhadap scene ketiga iklan ini yaitu: (a) mengapa menampilkan petani kopi yang sedang memetik buah kopi? (b) mengapa buah kopi berwarna merah dan hijau? (c) mengapa biji kopi berwarna hitam? (d) mengapa karung berwarna putih dengan sedikit garis yang berwarna biru sebagai coraknya? (e) mengapa narator mengatakan “smell them through the scent of coffee that wafted into the air?” (f) mengapa petani kopi tersenyum?

2. Kode Proaretik Kondisi alam provinsi Aceh dianggap sebagai tanah yang subur. Daerah Aceh memiliki potensi besar di bidang pertanian dan perkebunan. Pertanian diAceh menghasilkan tanaman yang berkualitas seperti beras, kedelai, buah- buahan dan sayur mayur. Sementara itu, di bidang perkebunan, daerah Aceh menghasilkan kelapa sawit, coklat, cengkeh, pala, nilam, lada, tembakau dan yang paling terkenal dari daerah ini adalah kopi. Kearifan lokal dari sektor pertanian dan perkebunan inilah yang dimanfaatkan oleh banyak masyarakat Aceh, khususnya yang bermukim di pedesaan dengan memanfaatkan lahan yang subur untuk bertani demi mencukupi kebutuhan keluarga.

Universitas Sumatera Utara Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang pertanian, utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman, dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk digunakan sendiri atau menjualnya kepada orang lain. Petani merupakan seseorang yang terlibat dalam bidang pertanian. Seorang petani mengusahakan tanah miliknya atau bekerja sebagai buruh di kebun orang lain. Pemilik tanah yang mengusahakan tanahnya dengan mempekerjakan buruh juga dikenal sebagai petani atau buruh tani. Petani secara tradisional didefinisikan dalam sosiologi sebagai anggota komunitas dalam masyarakat agraris pedesaan (Sidabutar, 2014: 12).

Kopi merupakan salah satu hasil panen yang diandalkan dari provinsi Aceh. Kondisi alam yang subur, dipadu dengan cuaca yang mendukung menjadikan tanaman kopi di provinsi ini berkembang menjadi komoditas yang bermutu tinggi dan menguntungkan. Indonesia merupakan pengekspor biji kopi terbesar keempat di dunia dan Aceh adalah salah satu penghasil kopi terbesar yang mampu menghasilkan sekitar 40% biji kopi jenis Arabica tingkat premium dari total panen kopi di Indonesia. Kopi dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan jenisnya, yaitu kopi Arabica dan kopi Robusta. Provinsi Aceh membudidayakan kedua jenis kopi ini. Kopi Arabica umumnya dibudidayakan di wilayah dataran tinggi Tanah Gayo, termasuk Takengon, Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Sementara itu, di Kabupaten Pidie (terutama wilayah Tangse dan Geumpang) dan Aceh Barat, masyarakatnya lebih menyukai mengembangkan jenis kopi Robusta (https://www.kaskus.co.id/thread//asal-usul-kopi-aceh/).

Menanam kopi tentu yang menjadi harapan besar bagi petani kopi adalah hasil panen yang berkualitas. Pengertian panen adalah suatu cara atau tehnik sewaktu pengambilan atau pengutipan hasil dari usaha yang selama ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil, mengurangi hama dan penyakit, mengurangi beban percabangan produksi dan memberi kesempatan tumbuh bagi buah yang masih berwarna hijau. Panen merupakan hal yang sangat dinantikan oleh petani kopi, sebagai wujud nyata dari kerja keras mereka dalam pemeliharaan kebun kopi.

Universitas Sumatera Utara Cara menentukan waktu panen dengan pemilihan buah yang tepat untuk dipanen menjadi sangat penting karena sangat menentukan kualitas kopi dan pastinya harga jual kopi. Pemilihan buah kopi untuk dipanen dilakukan dengan melihat warna buah kopi. Seperti warna hijau yang terlihat pada gambar 8, warna hijau pada buah kopi memperlihatkan kondisi buah yang masih sangat muda dan bila dipetik maka biji kopi masih berwarna hitam-putih pucat dan keriput dengan aroma yang dihasilkan flavor, acidity dan body yang lemah. Sementara warna merah yang segar dan sehat menunjukan buah cukup masak, fisik biji keabuabuan dengan aroma dan citarasa yang bagus, acidity seimbang, body mantap, bitterness sedang, astringent sedang, tidak terdapat cacat citarasa sehingga buah dengan warna ini harus dipetik (Arief dkk, 2011: 49).

Warna hitam pada biji kopi yang terlihat dalam gambar 9 disebabkan oleh penyangraian (roasting) terhadap biji kopi. Pohon kopi sendiri tidak memproduksi buah yang berwarna hitam, tetapi hijau atau kekuningan sewaktu buahnya belum matang dan menjelma merah ketika buahnya (ceri kopi) matang dan siap dipanen. Setelah mengalami proses pemisahan antara buah dan biji kopinya, maka warna yang terdapat pada biji kopi tersebut adalah hijau keputih-putihan. Berbeda warna kopi sesuai dengan jenisnya. Biji kopi yang berwarna hijau keputih-putihan ini kemudian dijemur hingga kadar airnya cukup dan memenuhi standar sebelum disangrai (roasting). Pada tahap roasting inilah biji-biji kopi akhirnya mendapatkan warna hitam yang menjadi ciri khas kopi yang tertanam di benak banyak orang (https://majalah.ottencoffee.co.id/kenapa-kopi-berwarna-hitam/).

Setelah melewati berbagai tahap dalam pengolahan kopi, tahap penyimpanan kopi juga harus diperhatikan oleh petani agar dapat mempertahankan kualitas kopi. Biji kopi, baik yang mentah maupun sudah disangrai, harus disimpan dengan benar di tempat yang tepat. Kesalahan dalam penyimpanan biji kopi juga mengakibatkan warna bijinya memudar hingga biji kopi tersebut menjadi sarang kutu. Biji kopi paling baik disimpan di wadah tertutup yang mempunyai sedikit lubang. Wadah tersebut lantas diletakkan di salah satu sudut ruangan yang memiliki sirkulasi udara yang lancar. Pada jaman dahulu, masyarakat biasa menyimpan biji kopi di dalam karung goni. Karung goni

Universitas Sumatera Utara yang dipakai adalah karung yang masih baru, bukan karung bekas wadah beras, cengkeh, dan sebagainya. Rasa dan aroma biji kopi bisa terkontaminasi apabila menggunakan karung goni yang bekas (http://kopi-papua.com/cara-menyimpan-biji- kopi-mentah-yang-benar.html/).

Warna karung goni yang tampak pada gambar 9 adalah berwarna putih. Putih melambangkan sebuah kebersihan atau steril dan kecermatan. Hal ini menjelaskan tentang pekerjaan seorang petani kopi yang mengharuskan untuk selalu teliti dan cermat dalam memanen dan mengolah kopi. Demi mendapatkan biji kopi yang baik dan bersih, petani kopi harus mencuci biji kopi dengan tujuan agar membersihkan biji dari lendir dan pencucian selesai apabila biji sudah tidak terasa licin lagi (Arief dkk, 2011: 52). Biji kopi yang sudah melewati tahap pengolahan kopi akan diletakkan di dalam karung goni. Kemudian, terlihat sedikit garis yang berwarna biru sebagai corak di karung goni yang tampak pada gambar 9. Biru melambangkan sebuah kepercayaan, keamanan dan kebersihan. Warna garis biru yang terlihat pada gambar 9 sesuai dengan makna warna putih pada karung goni yang menunjukkan bahwa kopi Aceh dianggap sebagai kopi yang berkualitas tinggi karena cara pengolahan yang baik dan benar dan banyak orang yang percaya bahwa kualitas kopi yang dihasilkan oleh provinsi ini tidak diragukan lagi dan banyak orang yang berlibur ke Aceh tetapi tidak melewatkan kesempatan untuk menikmati kopi berkualitasnya. Tidak hanya di Aceh, kopi Aceh sudah bisa ditemukan di luar provinsi tersebut hal ini menunjukkan bahwa kopi Aceh sangat terkenal dan digemari oleh banyak orang terutama wisatawan.

Seperti yang dikatakan oleh narator yaitu, “smell them through the scent of coffee that wafted into the air.” Kalimat tersebut jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu, “menghirup aroma kopi yang melayang di udara.” Kalimat tersebut merefleksikan bahwa kopi Aceh memiliki karakter rasa, aroma, perisa, serta kekentalan yang kuat. Hal tersebut terlihat dari cara narator yang memberikan penekanan pada kalimat “wafted into the air,” yang bertujuan untuk memberikan sebuah ketegasan kepada penonton. Bahkan dalam International Conference in Coffee Science di Bali pada Oktober 2010 lalu menominasikan kopi Aceh sebagai kopi terbaik nomor satu dibandingkan kopi arabika dari tempat

Universitas Sumatera Utara lainnya (https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup//pikat-aroma-kopi-gayo-dari-aceh- tengah).

Kualitas kopi Aceh yang sudah diakui ini didukung oleh kondisi alam yang subur dan tidak terlepas dari peran para petani kopi yang memanen dan mengolah kopi dengan baik. Banyak orang yang beranggapan bahwa dengan kekayaan alam yang subur dapat memberikan hasil panen yang berkualitas pula. Hal tersebut berdampak pula pada kehidupan para petani yang memanfaatkan lahan subur untuk mencari nafkah. Petani yang ada pada gambar 10 tampak sedang tersenyum terlihat dari mimik wajahnya. Hal ini menunjukkan bahwa ia merasa sangat bahagia karena kopi yang ditanamnya menghasilkan biji-biji berkualitas, sehingga semakin banyaknya orang yang menyukai kopi Aceh maka proses produksi juga akan semakin bertambah yang berdampak pada ekonomi keluarga para petani kopi di Aceh.

3. Kode Simbolik Petani merupakan wujud simbolis dalam iklan ini, dimana menunjukkan profesi sebagai seorang petani yang memanfaatkan lahan subur dengan cuaca yang mendukung untuk bercocok tanam terutama kopi sebagai sarana mencari nafkah. Setting pada scene ini menceritakan tentang Aceh dikenal sebagai salah satu sentra produksi kopi terbesar tidak hanya di Indonesia, namun juga di Asia dengan kualitas kopinya yang baik di level dunia, hal ini tidak terlepas dari peran petani yang bekerja keras untuk menghasilkan kopi yang berkualitas

4. Kode Gnomik atau Kode Kultural Bertani merupakan sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat terutama masyarakat pedesaan sebagai sarana mencari nafkah.Hal ini sudah menjadi sebuah budaya atau kebiasaan bagi masyarakat pedesaan dengan memanfaatkan lahan yang subur untuk mendapatkan hasil panen yang berkualitas baik terutama kopi dan penghasilan yang memadai demi menghidupi perekonomian keluarga. Hal ini disebabkan para petani beranggapan bahwa dengan sumber daya alam yang subur dapat memperbaiki perekonomian dan taraf hidup keluarga para petani, terlebih kopi-kopi yang dihasilkan merupakan kopi dengan peminat terbesar di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara 5. Kode Semik Provinsi Aceh merupakan daerah dengan lahan yang subur sehingga mendukung hasil panen yang berkualitas dan menjamin taraf perekonomian keluarga petani.

4.1.2.4 Analisis Scene 4

Gambar 11 Gambar 12

a. Analisis Leksia Pada gambar 11 memperlihatkan seorang pandai besi yang sedang bekerja membuat Rencong. Pandai besi tersebut telihat mengenakan baju berwarna hitam dengan penutup kepala berwarna putih. Pandai besi terlihat sedang bekerja di dalam sebuah ruangan yang gelap dan terlihat api yang menyala-nyala. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar ini menggunakan teknik knee shot, yaitu dimana objek diambil mulai dari lutut sampai atas kepala. Sudut pandang pengambilan gambar (angle) yang digunakan dalam gambar 11 adalah low level shot, dimana teknik ini merupakan sudut rekam yang rendah. Artinya, pengambilan gambar objek diambil melalui bagian bawah di mana objek tersebut berada.

Gambar 12 memperlihatkan 3 buah Rencong. Pada gambar 12 memperlihatkan hulu Rencong atau bagian gagang dari Rencong yang kuat dan berwarna hitam. Terlihat perut Rencong yang terdapat di bagian tengah Rencong. Perut Rencong tampak terbuat dari besi berwarna putih. Bentuk perut Rencong tampak melengkung. Kemudian, tampak ujung Rencong yang ditutupi oleh penutup dengan berbahan keras. Lalu, terdapat batang Rencong yang terlihat lebih tebal dan kuat dibandingkan dengan perut dan ujung Rencong. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada bagian ini adalah teknik medium close

Universitas Sumatera Utara up, dimana objek terlihat sedikit lebih dekat ke penonton. Sudut pandang (angle) yang digunakan pada gambar 12 adalah teknik eye level, dimana teknik ini mensejajarkan posisi objek dengan mata penonton.

Fokus yang digunakan pada kedua gambar tersebut adalah deep focus. Deep focus adalah jenis fokus yang menganggap seluruh unsur dalam gambar adalah penting, sehingga tidak ada bagian yang diburamkan atau blur.

Pada gambar 11 dan 12 diiringi dengan musik yang bernada sedikit lebih cepat tetapi tidak menggunakan efek suara manusia yang bersenandung. Musik yang terdengar merupakan lanjutan dari musik yang digunakan pada jalan cerita sebelumnya. Pada kedua gambar tidak menggunakan suara narator male voice yang mengatakan sebuah kalimat.

b. Analisis Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika Beberapa pertanyaan yang dapat muncul di dalam benak pemirsa terhadap scene keempat iklan ini yaitu: (a) mengapa menampilkan seorang pandai besi? (b) mengapa pandai besi memakai baju berwarna hitam dan penutup kepala berwarna putih? (c) mengapa pandai besi bekerja di dalam sebuah ruangan yang gelap dengan api yang menyala-nyala? (d) mengapa menampilkan Rencong? (e) mengapa hulu Rencong terlihat kuat dan berwarna hitam? (f) mengapa perut Rencong terletak di bagian tengah Rencong? (g) mengapa perut Rencong terbuat dari besi berwarna putih? (h) mengapa perut Rencong tampak melengkung? (i) mengapa ujung Rencong ditutupi dengan penutup dengan berbahan keras? (j) mengapa batang Rencong terlihat lebih tebal dan kuat dibandingkan dengan perut dan ujung Rencong?

2. Kode Proaretik Salah satu keistimewaan Rencong ada pada proses pembuatannya. Rencong dibuat pada tempat penempaan besi yang pada orang Aceh disebut dengan pandei beuso. Pandai besi atau pandei beuso adalah tukang (orang) yang bekerja menempa besi dengan menggunakan api untuk membentuk besi yang

Universitas Sumatera Utara ditempanya menjadi suatu benda yang diinginkan, seperti belati, pedang, pisau dan lain sebagainya.

Seorang pandai besi yang terdapat pada gambar 11 tampak mengenakan pakaian berwarna hitam. Hitam memiliki makna sebuah kekuatan dan seksualitas. Pemilihan warna yang tepat pada pakaian pandai besi karena pada scene ini menceritakan tentang Rencong yang merupakan senjata tradisional provinsi Aceh. Rencong dianggap sebagai simbol ketangkasan karena fungsinya untuk bertahan diri dan melawan musuh. Pekerjaan seorang pandai besi sangat erat kaitannya dengan seksualitas kaum pria yang memiliki otot yang kekar atau badan yang kuat, dikarenakan cara mereka bekerja bersumber dari otot dan kekuatan tubuh mereka.

Pandai besi juga terlihat memakai penutup kepala yang terbuat dari bahan kain. Fungsi dari penutup kepala ini adalah sebagai alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi kepala dari benturan, terpukul benda tajam atau keras dan terpapar oleh radiasi panas, api, percikan bahan-bahan kimia dan suhu yang ekstrim (http://medansafety.com/fungsi-jenis-alat-pelindungan-diri/). Bila dilihat dari fungsinya, sangatlah tepat seorang pandai besi yang tampak pada gambar 11 memakai penutup kepala karena scene ini menampilkan ia sedang bekerja membuat senjata Rencong di dalam sebuah ruangan dengan api yang menyala- nyala atau dengan suhu yang panas.

Warna yang tampak pada penutup kepala pandai besi adalah putih. Putih merefleksikan sebuah kecermatan. Dalam hal ini, untuk membuat sebuah Rencong yang merupakan senjata tradisional daerah haruslah memiliki sebuah kecermatan dalam membuatnya karena jika detail dari senjata tradisional tidak sesuai maka akan mengurangi kualitas dan mengubah citra dari senjata tradisional tersebut.

Rencong atau dalam bahasa Aceh disebut Rintjong adalah senjata tradisional milik suku Aceh. Rencong termasuk salah satu hasil seni tradisional. Menurut catatan sejarah, Rencong merupakan senjata tradisional yang digunakan di Kesultanan Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat

Universitas Sumatera Utara Syah yang merupakan Sultan Aceh yang pertama (https://id.wikipedia.org/wiki/Rencong). Kedudukan Rencong di Kesultanan Aceh dianggap sangat penting karena Rencong dianggap sebagai petanda egalitarianisme dan ketinggian martabat (http://www.wacana.co/2014/04/rencong- aceh/).

Rencong memiliki bagian-bagian yang mempunyai masing-masing fungsi, seperti hulu Rencong merupakan bagian gagang dari Rencong, yaitu tempat menggenggam senjata Rencong. Dalam pembuatannya, bagian ini menjadi perhatian dari si pembuat dan si pengguna, khususnya pada aspek kekuatan dan keindahannya, sehingga dicari bahan yang kuat untuk membuat hulu Rencong tersebut, seperti tanduk kerbau atau gading gajah yang sudah cukup tua. Sehingga, tidak ada hulu Rencong yang terbuat dari kayu karena akan mengurangi kredibilitas pemiliknya (Waryanti, 2013: 4). Pada gambar 12 terlihat hulu Rencong berwarna hitam. Hitam bermakna sebuah kekuatan. Maka, dalam pemilihan warna pada hulu Rencong tersebut sangatlah tepat menggunakan hitam karena dalam pembuatan hulu Rencong sangat memperhatikan aspek kekuatan terhadap senjata tersebut.

Perut Rencong adalah bagian yang terdapat di bagian tengah Rencong. Perut Rencong merupakan bagian Rencong yang lebih lebar dibandingkan dengan ujung dan pangkal Rencong. Fungsi perut Rencong adalah untuk membelah. Lengkungan Rencong dapat memberi batas tertentu yang berfungsi sebagai pengendali gagang atau sebagai alat untuk menekan (Waryanti, 2013: 5). Penggunaan besi berwarna putih pada perut Rencong karena besi putih lebih mahal harganya dibandingkan dengan besi biasa. Jadi dapat dikatakan bahwa, semakin mahal bahan-bahan pembuatan Rencong maka akan semakin mahal dan tinggi pula harga dan kredibilitas senjata tradisional tersebut.

Ujung Rencong merupakan bagian Rencong yang tajam. Bagian ini menentukan keampuhan sebuah Rencong. Sebuah Rencong akan semakin ampuh jika ujungnya semakin tajam. Bagian ujung Rencong bukan hanya bagian ujung Rencong saja, tetapi termasuk juga bagian pangkal perut Rencong (Waryanti, 2013: 5). Oleh sebab itu, ujung Rencong selalu ditutupi dengan sarung yang

Universitas Sumatera Utara berbahan keras karena ujung nya yang tajam agar tidak melukai diri sendiri bila diselipkan di pinggang penggunanya.

Batang Rencong merupakan tumpuan kekuatan sebuah Rencong. Bagian ini lebih tebal dan kuat dibandingkan dengan perut dan ujung Rencong karena Rencong adalah senjata tikam. Jika dibandingkan Rencong dengan jenis senjata tikam lain, misalnya keris Jawa, maka akan terdapat perbedaan. Misalnya, keris Jawa berbentuk berkelok-kelok dan membentuk lekukan dengan jumlah tertentu, sedangkan Rencong mempunyai bentuk tertentu yang merupakan kombinasi bentuk dan dapat dibayangkan membentuk kalimat basmalah. Hal ini sesuai dengan budaya masyarakat Aceh yang kental dengan nuansa Islam (Waryanti, 2013: 5).

3. Kode Simbolik Wujud simbolis pada scene keempat ini adalah Rencong. Bagi masyarakat Aceh, Rencong adalah benda pusaka yang memiliki fungsi sebagai pertahanan diri. Selain itu, Rencong merupakan lambang kebesaran bangsawan Aceh serta lambang keberanian para pejuang Aceh dalam melawan kolonial.

4. Kode Gnomik atau Kode Kultural Bagi masyarakat Aceh, Rencong memiliki fungsi sebagai senjata untuk menikam/menusuk pada saat berhadapan langsung dengan lawan atau musuh dan lebih berfungsi dalam peperangan jarak dekat (bukan untuk menebas sebagaimana fungsi utama pedang). Tujuan utama dari pembuatan Rencong ini adalah untuk berperang dan melawan musuh. Pada masa kerajaan Aceh, anak laki-laki yang beranjak dewasa dianjurkan untuk memiliki Rencong agar mereka bisa menjaga diri. Namun, pada era modern seperti saat ini mengubah fungsi Rencong sebagai alat pertahanan diri dan sebagai simbol kebesaran bangsawan bangsa Aceh menjadi cendera mata dan sebagai barang koleksi bagi pengkolektor.

Universitas Sumatera Utara 5. Kode Semik Rencong adalah sebuah senjata tradisional masyarakat Aceh yang berfungsi sebagai alat pertahanan diri dan sebagai petanda sebuah martabat, kehormatan dan keberanian.

4.1.2.5 Analisis Scene 5

Gambar 13 Gambar 14

Gambar 15 Gambar 16

Gambar 17

Universitas Sumatera Utara a. Analisis Leksia Pada gambar 13 di scene 5 iklan ini menampilkan sekelompok pria yang sedang duduk sambil menggerakkan tangan dan jari mereka. Sekelompok pria tersebut sedang menarikan sebuah tarian tradisional Aceh yang disebut dengan tari Guel. Sekelompok pria tersebut sedang menari di alam terbuka terlihat gunung dan pepohonan yang menghiasinya. Sekelompok pria tersebut tampak khidmat dalam menarikan tarian Guel tersebut. Sekelompok pria tersebut memakai pakaian khas tarian Guel yang berwarna hitam. Terlihat satu orang pria yang memakai kain tebal berwarna hitam dengan corak berwarna putih, merah dan hijau yang menutupi punggung hingga tangannya. Sekelompok pria tersebut terlihat memakai topi khas tarian Guel yang berwarna hitam. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar 13 ini adalah teknik knee shot, dimana teknik ini menampilkan objek dari lutut hingga atas kepala objek sehingga penonton dapat melihat dengan lebih jelas apa yang sedang dikerjakan oleh objek di dalam gambar.

Pada gambar 14 menampilkan seorang pria yang sedang memainkan alat musik tiup tradisional Aceh yang disebut dengan Suling. Pria tersebut terlihat memakai kain tebal berwarna hitam dengan corak putih, merah dan hijau yang menutupi punggung hingga tangannya. Pria tersebut tampak memakai topi khas tarian Guel berwarna hitam. Kemudian, tampak 2 orang pria lainnya yang berada di samping pria tersebut sedang menepuk-nepuk tangan mereka. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar 14 ini adalah teknik medium close up, dimana teknik ini memperlihatkan objek sedikit lebih dekat ke penonton. Teknik pengambilan gambar ini dilakukan dengan cara mengambil gambar mulai dari dada sampai atas kepala objek.

Pada gambar 15 terlihat 6 orang pemain musik dan penari Guel yang sedang menarikan tarian Gueldengan iringan musik tradisional. 6 orang tersebut terdiri dari 3 orang wanita dan 3 orang pria. 3 orang wanita tersebut terlihat sedang memainkan alat musik tradisional yang disebut dengan Canang. 3 wanita tersebut tampak memakai pakaian serba warna hitam dan mengenakan hijab. 3 orang pria yang terdiri dari 2 orang yang sedang menarikan tari Gueldan 1 orang

Universitas Sumatera Utara lainnya sedang memainkan alat musik tradisional Aceh yang disebut dengan Gegedem. Sekelompok penari dan pemain musik tersebut terlihat sedang memainkan tarian tradisional tersebut di alam terbuka, terlihat dari gunung, laut dan rumah-rumah masyarakat yang menjadi latar belakang mereka. Mereka terlihat sedang menarikan tarian tradisional tersebut di sebuah dataran tinggi. Kemudian, di depan mereka tampak rumput ilalang yang berwarna kuning yang menghiasi bagian depan mereka. Teknik pengambilan gambar yang digunakan dalam gambar ini adalah teknik long shot, dimana teknik ini memenuhi sekitar ¾ layar kamera dan teknik ini menampilkan area yang lebar dan luas dan dapat menampilkan dimana adegan berada atau menunjukkan tempat. Teknik ini juga dapat menunjukkan bagaimana posisi objek memiliki hubungan dengan objek yang lain.

Pada gambar 16 terlihat 2 orang pria yang sedang menarikan tarian Guel. Kedua pria tersebut tampak sedang menggerak-gerakkan bahu dan tangan mereka. Gerakan tari kedua pria tersebut diiringi dengan musik tradisional yang dihasilkan oleh alat musik tradisional yang dimainkan oleh kedua wanita yang tampak pada gambar 16. Teknik pengambilan gambar yang digunakan dalam gambar 16 ini adalah teknik knee shot, dimana teknik ini menampilkan objek mulai dari lutut hingga atas kepala objek. Pada gambar ini narator mengatakan sebuah kalimat “a land which has tradition so diverse.”

Pada gambar 17 terlihat seorang pria yang sedang memainkan alat musik tradisional Aceh yang disebut Gegedem. Pria tersebut terlihat memakai pakaian berwarna putih dengan sedikit motif garis di bagian dada bajunya. Pria tersebut juga terlihat memakai topi khas dari pakaian yang ia pakai. Pria tersebut terlihat memakai kacamata hitam sebagai aksesoris tambahannya. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar ini adalah teknik medium close up, dimana teknik ini diambil dari dada sampai atas kepala objek dan memperlihatkan objek sedikit lebih dekat ke arah penonton.

Pada gambar 13 dan 14 menggunakan sudut pengambilan gambar (angle) slanted, dimana jenis shot ini merupakan perekaman pada gambar yang tidak lurus melainkan mengambil gambar dari sudut objek sehingga objek lainnya

Universitas Sumatera Utara terekam ke dalam gambar. Sementara pada gambar 15, 16 dan 17 menggunakan sudut pengambilan gambar (angle) eye level. Jenis shot ini menggunakan sudut rekam yang sejajar atau sama tinggi dengan cara pandang penonton.

Pada gambar 13, 15 dan 16 menggunakan deep focus, dimana fokus jenis ini memperlihatkan objek secara keseluruhan apa yang tampak pada gambar atau semua unsur pada gambar adalah penting. Sementara pada gambar 17 dan 14 menggunakan shallow focus, dimana jenis fokus ini hanya menampilkan bagian yang dianggap penting dan unsur lainnya diburamkan atau blur. Pada gambar 14 objek yang ditampilkan adalah pria yang sedang memainkan Seruling, sedangkan yang terlihat buram atau blur adalah 2 orang pria yang sedang menepuk-nepuk tangannya, sedangkan pada gambar 14, objek yang ditampilkan adalah pria yang sedang memainkan Gegedem dan unsur lainnya yaitu berupa rumput menjadi bagian yang diburamkan.

Pada gambar 13, 14, 15 dan 17 menggunakan musik yang bernada semakin cepat dengan efek suara gendang. Pada gambar 16 kembali menggunakan musik yang bernada slow atau lambat dengan efek suara perempuan yang bersenandung dengan diikuti oleh suara narator male voice.

b. Analisis Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika Beberapa pertanyaan yang dapat muncul di dalam benak pemirsa terhadap scene kelima iklan ini yaitu: (a) mengapa menampilkan tari Guel? (b) mengapa menari di alam terbuka? (c) mengapa penari menarikan tarian tradisional tersebut di sebuah dataran tinggi? (d) mengapa pria yang menari? (e) mengapa penari pria memakai pakaian khas tarian Guel berwarna hitam? (f) mengapa corak pada baju penari berwarna putih, merah dan hijau? (g) mengapa penari memakai topi khas tari Guel? (h) mengapa menampilkan wanita? (i) mengapa wanita memakai pakaian serba hitam dan mengenakan hijab? (j) mengapa satu orang pria memakai pakaian berwarna putih? (k) mengapa penari menggerakkan bahu dan pergelangan tangan mereka? (l) mengapa para wanita memainkan alat musik tradisional yang disebut dengan Canang? (m) megapa satu orang pria memainkan alat musik tradisional yang disebut Gegedem? (n) mengapa satu orang pria memainkan alat

Universitas Sumatera Utara musik tradisional yang disebut Suling? (o) mengapa narator mengatakan “a land which has tradition so diverse?”

2. Kode Proaretik Nanggroe Aceh Darussalam bukan hanya sebuah batasan geografis yang kemudian menjadikannya sebagai salah satu provinsi yang berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), namun juga merupakan wilayah berkumpulnya beragam suku bangsa. Kepercayaan dan keyakinan yang dianut oleh mayoritas masyarakat Aceh, kiranya sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari terutama dalam berkesenian.

Aceh memiliki beragam kesenian baik seni tari, musik, drama dan lain sebagainya menjadi sebuah kearifan lokal bagi masyarakatnya dan dapat menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung ke provinsi Aceh. Beragam kesenian provinsi Aceh sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Aceh. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh narator iklan, “a land which has tradition so diverse”. Kalimat tersebut jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi, “sebuah tanah yang memiliki tradisi begitu beragam.”

Salah satu tradisi yang lahir di provinsi Aceh ada seni tari Guel. Tari Gueladalah salah satu khasanah budaya Gayo di provinsi Aceh, khususnya di dataran tinggi Gayo. Kata “Guel” dalam tari Guel memiliki arti “membunyikan” atau “memukul,” dalam hal ini membunyikan atau memukul sesuatu benda hingga mengeluarkan suara yang kemudian dari kata inilah tercipta tari Guel. Dalam penciptaannya, masyarakat Gayo menjadikan alam sebagai sumber inspirasi, sehingga dapat dikatakan bahwa tari Guel merupakan apresiasi masyarakat Gayo kepada alam dan dari alamlah mereka belajar tentang kehidupan (Bintang, 2017: 105).

Pada awalnya, tari Guel dipertunjukkan pada kegiatan-kegiatan adat yang menyertakan kelengkapan ritual dalam pertunjukannya dan menjadikan laki-laki sebagai penari (Bintang, 2017: 13). Tari Guel lahir dari legenda gajah putih yang menjadi sejarah melatar belakangi munculnya tarian ini (Kampalia, 2006: 13).

Universitas Sumatera Utara Menurut cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat Gayo, Tari Guelberawal dari mimpi seorang pemuda bernama Sangeda anak Raja Linge ke XIII. Sangeda bermimpi bertemu saudara kandungnya Bener Meria yang konon telah meninggal dunia karena pengkhianatan. Mimpi tersebut menggambarkan Bener Meria memberi petunjuk kepada Sangeda (adiknya), tentang kiat mendapatkan gajah putih sekaligus cara menggiring gajah tersebut untuk dibawa dan dipersembahkan kepada Sultan Aceh Darussalam, karena putri raja menginginkan seekor gajah berwarna putih seperti yang dilukis oleh Sangeda (Bintang, 2017: 14).

Proses dalam membawa gajah putih ke istana ini yang menjadi asal penciptaan dari tari Guel, melalui hentakan kaki dan gerakan tangan yang lembut serta gerakan-gerakan membujuk dari Sangeda dengan memukul-mukul berbagai benda yang menimbulkan ‘bunyi-bunyian’ (Guel), membuat gajah ini mengikuti kemauan Sangeda untuk sampai ke Kuteni Reje. Tari yang dilakukan dengan gerak mengikuti suara gendang (Gegedem) dalam pembelajarannya, memiliki ciri khas goyangan pada bahu diputar ke depan dan ke belakang mengikuti iringan pukulan gendang yang penuh ritmik. Tari Guel juga menunjukan kewibawaan, keperkasaan, tanggungjawab seorang pria dalam menjalani kehidupan yang tertuang dalam tarian ini (Bintang, 2017: 15).

Penempatan Gajah putih sebagai inti cerita merupakan bentuk inspirasi pada kehidupan hewan. Tidak heran apabila hewan menjadi sumber inspirasi masyarakat Gayo, dikarenakan masyarakat meyakini ada hubungan antara kehidupan hewan dengan kehidupan manusia, tercermin dalam isi cerita tari Guel(Bintang, 2017: 14).

Pemakaian rias dan busana merupakan bagian dari elemen pendukung sebuah tarian. Penggunaannya akan berbeda dari masing-masing tarian sesuai dengan tujuan dari pelaksanaannya. Penggunaan tata rias biasanya dipakai untuk membantu penonjolan dari suasana yang diinginkan agar penyampaian tujuan dari pesan yang diinginkan akan tersampaikan.Dalam pemakaian busana, penari laki- laki dan perempuan memakai tenunan khas Gayo yang disebut dengan tenunan Krawang Gayoyang juga menjadi pakaian adat Gayo.Warna busana biasanya

Universitas Sumatera Utara memakai warna hitam dengan berbagai macam motif dari alam yang kemudian ditenun menjadi sebuah kain tenun (Bintang, 2017: 135).

Berbagai macam motif tenunan Krawang ini menggunakan benang dari berbagai warna. Warna yang menjadi pilihan utama dalam tenunan Krawang Gayo adalah; hitam merupakan hasil keputusan adat; merah sebagai tanda berani bertindak dalam kebenaran; putih sebagai tanda suci dalam tindakan lahir dan batin; dan hijau sebagai tanda kejayaan dan kerajinan di dalam kehidupan sehari- hari. Makna warna-warna tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Gayo dilambangkan sebagai masyarakat yang berani, rajin dan teliti (Bintang, 2017: 140).

Busana yang dikenakan oleh penari laki-laki terdiri dari dua warna yaitu untuk Sangeda memakai warna hitam yang terdiri dari baju teluk belanga, memakai celana, kain samping dan memakai ikat kepala berupa kain. Sedangkan untuk penari yang memerankan Gajah Putih, memakai baju teluk belanga, celana dan kain samping berwarna putih serta memakai ikat kepala (topi). Sementara itu, untuk penari wanita memakai pakaian berwarna hitam baik untuk baju maupun kain (Bintang, 2017: 141-142). Namun, karena provinsi Aceh merupakan provinsi yang diatur oleh syariat-syariat agama Islam di dalamnya, maka bagi penari wanita diharuskan untuk memakai hijab sebagai penutup auratnya.

Pemakaian busana yang berbeda dari sisi warna ini untuk memperjelas dari karakter yang dimainkan agar penari dapat meresapi peran yang dilakukan. Warna putih pada Gajah Putih menunjukkan sebuah kasih sayang dari seorang Bener Meria pada adiknya Sangeda yang melalui mimpinya bahwa Bener Meria menjelma menjadi Gajah Putih dan adiknya dapat membawanya ke istana sebagai obat bagi putri raja. Warna putih juga menunjukkan bahwa gajah yang merupakan penjelmaan dari Bener Meria berwarna putih. Busana Sangeda sebagai seorang adik memakai warna hitam yang juga merupakan warna berdasarkan kesepakatan dalam adat yang diambil dalam setiap musyawarah adat. Pemaknaan ini menunjukkan bahwa Sangeda sebagai seorang adik, anak dan rakyat harus mematuhi apa yang sudah menjadi keputusan dan menunjukkan kesetiaan pada raja selaku pemimpin (Bintang, 2017: 143-144).

Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan pertunjukan tari Guel dilakukan dengan mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan pertunjukan. Dalam hal ini pelaku seperti penari dalam pertunjukan menjadi penting dalam keterlibatannya.Pada awalnya, tari Guelditarikan oleh penari laki-laki namun sejalan dengan perkembangannya, kemudian penari perempuan diikut sertakan dan dilakukansecara berkelompok (Bintang, 2017: 145).

Tari Guel ditarikan oleh 1 orang penari yang berperan menjadi Sangeda, 1 orang yang berperan menjadi Gajah Putih (Bener Meria) dan 4 orang atau 6 orang menjadi penari pendukung. Jumlah ini bisa berubah sesuai dengan kebutuhan, namun untuk peran Sangeda dan Gajah putih tetap dilakukan oleh masing-masing 1 orang. Penari yang mendapatkan peran sebagai penari utama harus menguasai teknik dalam tari Guel, dimana dalam sisi gerak ada beberapa gerak khas yang menjadi ciri tari Guel harus dapat dilakukan dengan baik. Selain penari yang berperan sebagai Gajah Putih juga harus mampu dan menguasai gerakan kelembutan dari seekor gajah yang lamban tetapi memiliki kekuatan, ketegasan dengan gerakan yang didominasi pada gerak bahu dan pergelangan tangan (Bintang, 2017: 146).

Tari Guelbiasanya diiringi oleh musik tradisional dan lantunan lagu adat atau daerah. Jumlah penabuh atau pengiring musik tari Guel biasanya terdiri dari minimal 4 orang yang menabuh Canang, Gong, Gegedem dan Suling. Sedangkan lagu daerah yang dibawakan lebih bertema kesedihan atau kepiluan, sehingga sangat sesuai dan membuat pertunjukan tari Guel menjadi lebih hidup (http://www.negerikuindonesia.com).

Canang adalah alat musik tradisional provinsi Aceh yang dapat ditemui pada kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang dan Alas. Canang terbuat dari kuningan dan berbentuk menyerupai Gong. Hampir semua daerah di provinsi Aceh memiliki alat musik Canang dan masing-masing memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda pula. Fungsi utama dari Canang secara umum sebagai pengiring tarian tradisional. Canang juga dijadikan sebagai hiburan bagi anak- anak gadis yang sedang berkumpul (http://budaya-indonesia.org/canang). Hal inilah

Universitas Sumatera Utara yang terlihat pada gambar 15 dan 16 dimana para wanita memainkan alat musik tradisional Canang tersebut.

Gegedem terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Gegedem merupakan sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi sebagai pengiring kesenian tradisional (https://www.acehprov.go.id). Hal inilah yang terlihat pada gambar 15 dan 17 dimana seorang pria tampak sedang memainkan alat musik tradisional tersebut pada saat penari sedang menarikan tari Guel.

Suling adalah alat musik tradisional yang terbuat dari bambu dan memiliki karakter suara yang khas. Ukurannya yang berbeda bisa memengaruhi tinggi rendahnya nada tergantung ukuran Suling yang digunakan. Cara memainkan alat musik tradisional ini adalah ditiup dengan menggunakan teknik pernapasan yang baik (Misdalina, 2015: 18). Fungsi dari Sulingsama dengan fungsi alat musik tradisional lainnya yaitu sebagai pengiring kesenian tradisional. Hal inilah yang terlihat pada gambar 14 dimana seorang pria tampak sedang memainkan alat musik tradisional tersebut dengan cara ditiup.

3. Kode Simbolik Tari Guel merupakan sebuah simbolisasi terhadap legenda Sangeda yang berusaha mengajak dan membawa Gajah Putih untuk dipersembahkan kepada putri Sultan Aceh Darussalam pada masa Kerajaan Aceh Darusslam. Gerakan yang khas dari tari Guel merupakan gerakan kelembutan yang tergambar dari seekor gajah yang lamban tetapi memiliki kekuatan dengan gerakan yang didominasi pada gerak bahu dan pergelangan tangan. Keseluruhan struktur dari tari Guel baik legenda, unsur gerakan, pakaian, tempat atau lokasi, penari dan unsur musik pengiring merupakan simbol dari keseluruhan nilai-nilai moral, adat dan agama suku Gayo dan menjadi simbol masyarakatnya. Bagi masyarakat Gayo, tari Guelmenunjukan sebuah kewibawaan, keperkasaan, tanggungjawab dan kesetiaan.

Universitas Sumatera Utara 4. Kode Gnomik atau Kode Kultural Pada awalnya tari Guel ditarikan dan dipertunjukkan pada kegiatan- kegiatan adat yang menyertakan kelengkapan ritual dalam pertunjukannya dan menjadikan laki-laki sebagai penari. Namun, dalam perkembangannya tari Guel mengikut sertakan kaum perempuan dan dilakukan secara berkelompok. Tari Guelditarikan di alam terbuka karena masyarakat Gayo menjadikan alam sebagai apresiasi bagi mereka dan mereka meyakini bahwa dari alamlah mereka belajar tentang sebuah kehidupan. Namun, di era modern seperti saat ini, tari Guel tidak hanya dilakukan untuk acara ritual adat tetapi menjadi sebuah tarian pertunjukan.

5. Kode Semik Tari Guel merupakan tarian yang mencerminkan hidup masyarakat Gayo melalui unsur legenda, gerak, pakaian, tempat atau lokasi, penari dan musik pengiring.

4.1.2.6 Analisis Scene 6

Gambar 18 Gambar 19

Gambar 20 Gambar 21

a. Analisis Leksia Pada gambar 18 dalam scene ke enam iklan ini memperlihatkan sekelompok penari wanita yang sedang menari tarian tradisional yang dikenal

Universitas Sumatera Utara dengan tarian Ranup Lampuan. Kelompok penari tersebut tampak sedang menari di sebuah halaman karena terlihat pepohonan dan rumput yang menghiasinya. Selain itu penari terlihat sedang menari di tengah cuaca yang cerah, tampak dari langit berwarna biru cerah dan awan berwarna putih yang menghiasinya. Kelompok penari tersebut tampak memakai baju khas tarian berwarna merah. Selain itu tampak kain yang berwarna kuning yang menutupi daerah pinggang mereka. Mereka juga tampak mengenakan hijab atau kerudung berwarna hitam dengan mahkota yang menghiasi kepala mereka. Penari juga terlihat sedang membawa sebuah wadah yang berwarna merah dengan hiasan berwarna kuning emas di tangan mereka. Seluruh penari tampak tersenyum terlihat dari mimik wajah mereka pada saat menarikan tarian tradisional Ranup Lampuan. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar 18 adalah teknik medium shot, dimana teknik ini menampilkan objek yang memenuhi layar kamera dari pinggul sampai atas kepala objek. Latar belakang yang ditampilkan relatif sebanding dengan objek utama, dalam hal ini terlihat halaman dengan memperlihatkan pepohonan dan rumput yang menghiasi apa yang sedang dilakukan oleh objek di dalam gambar.

Pada gambar 19 dalam scene ini memperlihatkan kelompok penari wanita yang sedang menarikan tarian tradisional Aceh Ranup Lampuan. Kelompok penari tersebut tampak menggunakan aksesoris berwarna kuning emas yang menghiasi bagian dada mereka. Penari juga tampak mengenakan celana panjang berwarna hitam dengan motif bunga. Wadah berwarna merah terlihat diletakkan di atas rumput. Penari terlihat sedang menggerakkan tangan mereka sambil memutari wadah tersebut. Teknik pengambilan gambar yang digunakan dalam gambar ini adalah teknik long shot, dimana teknik ini memenuhi sekitar ¾ layar kamera dan tujuan dari teknik ini adalah sebagai penunjuk bagaimana posisi objek memiliki hubungan dengan objek lain yang ditampilkan di dalam sebuah gambar.

Pada gambar 20 masih menampilkan para penari tradisional Aceh Ranup Lampuan. Gambar 20 memperlihatkan para penari sedang duduk seperti berlutut di atas tanah. Pada gambar 20 ini terlihat 2 orang turis mancanegara yang sedang belajar tarian tradisional tersebut. Kedua turis tersebut tampak mengenakan

Universitas Sumatera Utara selendang yang menutupi daerah kepala mereka. Turis satu tampak mengenakan baju berwarna abu-abu dan selendang yang berwarna serupa dengan baju yang ia pakai. Turis dua tampak mengenakan baju berwarna hitam dengan selendang berwarna orange. Mereka tampak sedang menggerakkan tangan mereka. Para penari dan turis tampak tersenyum bahagia di dalam gambar. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar ini adalah teknik medium long shot, dimana teknik ini menampilkan objek yang memenuhi layar kamera mulai dari bawah kaki sampai atas kepala objek sehingga dengan menampilkan lebih dari satu objek maka seluruhnya akan tampak terlihat apa yang sedang dilakukan oleh objek tetapi dengan ruang yang sedikit lebih sempit. Pada gambar ini narator mengatakan, “Meet the friendly people who will welcome you with warmth.”

Pada gambar 21 menampilkan sekelompok pria yang sedang memainkan alat musik tradisional Aceh. Kelompok pria tersebut tampak sedang duduk sambil memainkan alat musik tradisional Aceh tersebut. Alat musik yang dimainkan oleh pria tersebut bernama Genderang dan Rapai. Terlihat satu orang pria memainkan alat musik tradisional dengan menggunakan kayu pukul dan tiga orang pria lainnya menggunakan tangan mereka. Pria tersebut tampak memakai pakaian berwarna hitam. Kelompok pria tersebut juga tampak memakai kopiah berwarna hitam. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar ini sama dengan teknik yang digunakan pada gambar 20 yaitu teknik medium long shot, yaitu teknik yang menampilkan objek mulai dari bawah kaki sampai atas kepala objek dengan ruang yang sedikit lebih sempit sehingga objek dapat terlihat dengan jelas.

Pada gambar 18, 19, 20 dan 21 menggunakan sudut pengambilan gambar (angle) slanted, dimana jenis angle ini merupakan suatu bentuk perekaman terhadap objek secara tidak frontal atau lurus melainkan diambil dari sudut objek, sehingga objek lainnya masuk ke dalam gambar. Fokus yang digunakan pada keempat gambar ini adalah deep focus, dimana fokus ini memiliki makna semua unsur adalah penting karena cara menampilkan objek dala fokus ini dengan memperlihatkan objek secara menyeluruh.

Pada gambar 18, 19 dan 21 masih menggunakan lanjutan musik dari scene kelima yaitu musik yang bernada semakin cepat dengan efek suara gendang. Pada

Universitas Sumatera Utara gambar 20 kembali menggunakan musik yang bernada lambat atau slow dengan efek suara perempuan yang sedang bersenandung dan diikuti dengan suara narator male voice. Pada gambar 20 narator memberi penekanan pada kata “warmth.” Tujuan dari penekanan pada kata tersebut adalah untuk mempertegas arti di balik kata “warmth” yaitu “kehangatan” yang mencerminkan kehidupan masyarakat Aceh dalam menyambut tamu dan bergaul.

b. Analisis Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika Beberapa pertanyaan yang dapat muncul di dalam benak pemirsa terhadap scene keenam iklan ini yaitu: (a) mengapa menampilkan tari Ranup Lampuan? (b) mengapa wanita yang menari? (c) mengapa penari menari di halaman? (d) mengapa pakaian tarian berwarna merah? (e) mengapa penari memakai kain yang menutupi daerah pinggang mereka berwarna kuning? (f) mengapa penari memakai hijab atau kerudung berwarna hitam dengan mahkota yang menghiasi kepala mereka? (g) mengapa penari membawa sebuah wadah berwarna merah dengan hiasan berwarna kuning emas? (h) mengapa narator mengatakan “meet the friendly people who will welcome you with warmth?” (i) mengapa penari menggunakan aksesoris berwarna kuning emas? (j) mengapa penari mengenakan celana panjang berwarna hitam dengan motif bunga? (k) mengapa penari tersenyum? (l) mengapa pria yang memainkan alat musik tradisional? (m) mengapa pria memakai pakaian hitam? (n) mengapa pria memakai kopiah? (o) mengapa pria memainkan Genderang dan Rapai?

2. Kode Proaretik Tari Ranup Lampuan adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah Aceh. Tari Ranup Lampuan merupakan tari penyambuatan tamu yang berasal dari Banda Aceh yang bercerita tentang kebiasaan masyarakat Aceh dalam menyambut tamu. Tarian ini diciptakan oleh Yuslizar pada tahun 1959, Yuslizar sendiri adalah seorang koreografer tari Aceh yang mampu mengangkat citra daerahnya ke permukaan lewat karya-karya tari yang dihasilkannya. Ranup dalam bahasa Aceh bearti “Sirih,” sedangkan Puan bearti “Cerana,” yaitu tempat meletakkan sirih. Secara koreografi tari Ranup Lampuan menggambarkan proses

Universitas Sumatera Utara gadis-gadis Aceh dalam menghidangkan sirih, mulai dari memetik lalu membungkus hingga menghidangkan kepada tamu yang datang (Pakpahan, 2017: 10). Hal inilah yang terlihat pada gambar 18, 19 dan 20 dimana para penari yang berasal dari kaum wanita yang membawa sebuah wadah berupa sirih untuk menjamu tamu yang mereka hormati.

Gerakan tari Ranup Lampuan sebagian besar diadaptasi dari gerakan membuat sirih yang dilakukan oleh kaum wanita di kalangan masyarakat Aceh dengan dipadukan dengan gerakan Zapin Melayu dan gerakan lainnya sehingga membuat gerakan ini menjadi lebih indah. Pesan yang terkandung dalam tari Ranup Lampuan merupakan sebuah ucapan selamat datang yang ditujukan kepada tamu dan merupakan sebuah bentuk rasa hormat serta ingin menyuguhkan yang terbaik (Akbar dan Maryani, 2016: 6-7).

Kalimat “meet the friendly people who will welcome you with warmth” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi, “bertemu dengan orang- orang ramah yang akan menyambut mu dengan kehangatan.” Kalimat yang dikatakan oleh narator tersebut merefleksikan bahwa masyarakat Aceh memiliki sifat yang ramah dalam bergaul dan terutama dalam menyambut tamu yang datang. Pada kata “warmth” narator mengatakannya dengan sedikit nada penekanan pada suaranya, hal ini bertujuan untuk mempertegas kata “kehangatan” yang merujuk pada kebiasan masyarakat Aceh dalam menyambut tamu.

Ekspresi atau mimik wajah para penari juga merupakan bagian yang penting dalam pertunjukan tari. Ekspresi wajah atau facial expression adalah sebuah hasil dari satu atau lebih gerakan otot pada wajah. Ekspresi wajah merupakan salah satu bentuk dari komunikasi nonverbal dan juga dapat menyampaikan keadaan emosi seseorang kepada orang lain yang mengamatinya.

Senyuman yang dipancarkan atau diperlihatkan oleh penari adalah senyuman yang mencerminkan keramahan. Bibir kiri dan kanan ditarik ke atas bersamaan. Senyum keramahan ketika menerima atau menyambut tamu yang datang dengan maksud untuk mengajak tamu memberikan senyum kembali kepada tuan rumah. Bentuk pesan berupa senyuman yang ditampilkan oleh penari

Universitas Sumatera Utara dalam tarian ini bukan bermaksud untuk menggoda tamu melainkan untuk menunjukkan keramahan dan bentuk penghormatan kepada tamu yang datang (Akbar dan Maryani, 2016: 5).

Tarian ini biasanya ditarikan di luar ruangan atau di halaman. Tujuannya adalah jika mengingat fungsi dari tari Ranup Lampuan adalah untuk menyambut tamu yang datang, maka tarian ini ditarikan di halaman dimana menunjukkan bahwa setiap tamu yang datang berkunjung pasti melewati halaman rumah pemilik rumah terlebih dahulu dimana halaman berarti pintu masuk bagi tamu untuk berkunjung ke rumah si pemilik.

Kostum yang digunakan para penari dalam tari Ranup Lampuan biasanya memakai pakaian tradisional Aceh. Busana yang digunakan para penari biasaya terdiri dari baju lengan panjang, celana panjang dan kerudung (Akbar dan Maryani, 2016: 5). Hal ini berkaitan dengan aturan syariat Islam yang melandasi segala aspek budaya di provinsi Aceh termasuk dalam hal berbusana terutama di kalangan kaum wanita. Sementara itu, motif bunga yang tampak pada celana penari menandakan bahwa celana tersebut dipakai oleh kaum wanita karena secara umum celana yang dipakai pada pakaian adat Aceh baik untuk pria maupun wanita adalah sama hanya motif saja yang membedakannya (https://ekspektasia.com/pakaian-adat-aceh/).

Pada bagian pinggangmenggunakan kain songket yang diikatkan di bagian pinggang penari tujuannya untuk menutupi celana panjang dan bagian belakang tubuh wanita agar terlihat lebih sopan dan anggun. Hal ini dikarenakan merupakan sebuah wujud penghormatan kepada tamu dengan penampilan yang sopan dan baik di hadapan tamu yang datang berkunjung (Akbar dan Maryani, 2016: 5).

Aksesoris yang digunakan dalam pakaian adat Aceh bagi kaum wanita merupakan unsur yang paling mencolok dan merupakan suatu keharusan sebagai pelengkap dalam berbusana. Aksesoris yang digunakan pada pakaian adat wanita berupa ikat pinggang, mahkota, gelang dan kalung (Akbar dan Maryani, 2016: 5). Seluruh unsur aksesoris tersebut mengisyaratkan bahwa wanita Aceh sejak jaman

Universitas Sumatera Utara dahulu sudah dimuliakan dan diberikan harta yang cukup bagi kemakmurannya (http://aceh.net/news/detail/makna-filosofis-dibaik-pakaian-adat-aceh).

Pada gambar 21 memperlihatkan sekelompok pria yang sedang memainkan alat musik tradisional sebagai pengiring tari Ranup Lampuan. Pria tersebut tampak memakai pakaian adat Aceh. Baju adat bagi kaum pria ini disebut dengan Baju Meukeusah. Baju Meukeusah merupakan baju yang terbuat dari tenunan kain sutra. Pada baju Meukeusah terdapat sulaman benang emas sebagai motif pada baju adat tersebut yang mirip dengan kerah baju China. Bentuk kerah tersebut diperkirakan karena adanya asimilasi kebudayaan Aceh dengan kebudayaan China yang dibawa oleh para pelaut dan juga pada pedagang China di masa lalu. Gambar 21 juga mempelihatkan sekelompok pria tersebut mengenakan kopiah di kepala mereka. Pengaruh Islam di dalam adat Aceh juga terasa dengan adanya sebuah kopiah yang digunakan sebagai penutup kepala bagi kaum pria. Selain itu, fungsi kopiah ini sebagai pelengkap pakaian adat Aceh di kalangan pria (http://www.kamerabudaya.com).

Pemilihan warna pada pakaian dan aksesoris yang digunakan pada tari Ranup Lampuan ini memiliki makna tersendiri. Seperti warna merah pada baju penari Ranup Lampuan dan wadah sirih yang dibawa oleh penari, bagi masyarakat Aceh, merah melambangkan sebuah keberanian dan kepahlawanan dengan segala keperkasaannya. Warna kuning pada kain songket dan aksesoris penari dimana bagi masyarakat Aceh, kuning melambangkan sebuah warna kerajaan dengan segala kebesaran yang terkandung didalamnya (http://maa.acehjayakab.go.id). Dalam hal ini, warna kuning yang tampak pada kain songket dan aksesoris yang digunakan oleh penari sedikit bercorak keemasan karena pada masa kesultanan Aceh, segala unsur aksesoris dan perhiasan terbuat dari emas. Dapat dikatakan bahwa warna yang beragam seperti merah atau kuning yang tampak pada pakaian adat dan aksesoris kaum wanita mengisyaratkan sebuah keindahan, keanggunan dan keberanian pemakainya.

Selain itu, warna hitam pada kerudung, celana penari dan pakaian adat pria yang memainkan musik melambangkan sebuah keteguhan dan kebesaran (http://maa.acehjayakab.go.id). Warna hitam dipercaya sebagai simbol kebesaran.

Universitas Sumatera Utara Jika terdapat acara besar di provinsi Aceh seperti pernikahan dan adat lainnya, pakaian hitam menandakan sebuah kemegahan dan kemuliaan. Hal ini berbeda dengan realitas yang ada pada masyarakat lain yang biasanya menganggap warna hitam menandakan adanya sebuah peristiwa duka cita (http://aceh.net/news/detail/makna-filosofis-dibaik-pakaian-adat-aceh).

Musik pengiring dalam tari Ranup Lampuan pada awalnya menggunakan musik orchestra band yang dimainkan oleh anggota band dari URRIL KODAM Banda Aceh yang merupakan tempat lahirnya tarian ini. Perubahan terjadi pada Festival Tari Tingkat Nasional tahun 1974. Panitia penyelenggara acara pada saat itu meminta tari Ranup Lampuan diiringi oleh musik tradisional. Maka iringan musik tari Ranup Lampuan yang pada awalnya menggunakan orchestra diganti dengan menggunakan alat musik tradisional seperti Serune Kale, Geundrang dan Rapai (Murtala dalam Akbar dan Maryani, 2016: 5).

Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkat musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan cara memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Fungsi Geundrang merupakan sebagai alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh. Selain itu, alat musik yang digunakan sebagai pengiring tari Ranup Lampuan ini adalah Rapai. Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Rapai merupakan sejenis alat musik pukul yang berfungsi sebagai pengiring kesenian tradisional khusunya Aceh (https://www.acehprov.go.id).

Adapun sosok pencipta musik dari irama tarian Ranup Lampuan adalah Almarhum T. Djohan yang juga merupakan pengarang lagu “Tanoh Lon Sayang.” Tari Ranup Lampuan merupakan suatu kreasi mentradisi setelah menjalani proses panjang untuk menjadi tradisi dengan terus menyesuaikan diri sesuai dengan jaman. Pada tahun 1959, ketika tim kesenian Aceh akan melakukan lawatan kerajaan ke Malaysia dalam rangka pertukaran cendramata, maka tari Ranup Lampuan dimodifikasi dengan menambahkan tiga orang penari pria, dua penari sebagai pemegang pedang dan satu penari sebagai pemegang vandel atau bendera. Kemudian pada tahun 1966, setelah mendengar saran dari para ketua adat bahwa

Universitas Sumatera Utara pekerjaan menyuguhkan sirih adalah pekerjaan kaum wanita, maka sebaiknya jika tarian tersebut ditarikan oleh kaum wanita saja (https://www.acehprov.go.id). Oleh sebab itu, sekelompok pria yang ditampilkan di dalam iklan berperan sebagi pemain alat musik tradisional yang berfungsi sebagai pengiring tarian tradisional Ranup Lampuan.

Musik dalam tari Ranup Lampuan merupakan alunan musik dari instrumen yang telah dijelaskan sebelumnya tanpa adanya syair yang mengisi lantunan musik tersebut. Musik memiliki peranan penting dalam sebuah tarian yaitu untuk mengiringi setiap gerakan dalam tari agar menjadi sebuah bentuk yang indah. Perpaduan irama musik dan gerak tari yang seirama atau selaras menimbulkan kegembiraan pada emosi penonton. Oleh karena hal itu, selain sebagai pengiring gerakan, musik dalam tari Ranup Lampuan dapat membangkitkan emosi bagi penonton yaitu berupa kesenangan atau kegembiraan (Akbar dan Maryani, 2016: 6).

3. Kode Simbolik Pada scene ini menceritakan tentang sebuah seni budaya tari tradisional yang dikenal dengan tari Ranup Lampuan. Tari Ranup Lampuan berfungsi sebagai tarian penyambutan tamu yang datang dengan menyuguhkan Ranup (sirih) yang dapat dimakan oleh tamu.

Ranup (sirih) sebagai simbol pemulia tamu atau penghormatan terhadap seseorang yang dihormati. Berkaitan dengan adat menyuguhkan Ranup (sirih) kepada tamu tersebut, maka dapat diartikan bahwa sirih sebagai simbol kerendahan hati dan dengan sengaja memuliakan tamu atau orang lain yang datang berkunjung.

4. Kode Gnomik atau Kode Kultural Tari Ranup Lampuan sama halnya seperti merekam budaya Aceh. Tari Ranup Lampuan merefleksikan kehidupan sehari-hari atau kebiasaan masyarakat Aceh yang terkenal ramah dan suka memuliakan tamu yang datang berkunjung. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh narator, “meet the friendly people who will welcome you with warmth.” Menyambut atau memuliakan tamu dilakukan

Universitas Sumatera Utara dengan cara menyuguhkan sirih sebagai bentuk penghormatan kepada tamu tersebut.

Namun, tari tradisional Aceh kini mulai bergeser dari nilai-nilai budaya keAcehannya. Tari tradisional Aceh sampai saat ini masih ditarikan, diajarkan dan bahkan sudah mendunia. Tetapi, terdapat permasalahan yang muncul terhadap eksistensi tari tradisional Aceh dewasa ini.

5. Kode Semik Tari Ranup Lampuan adalah sebuah tarian penyambutan tamu dengan menyuguhkan sirih kepada tamu yang datang sebagaisebuah bentuk penghormatan, kekuatan adat dan niat baik dari tuan rumah.

4.1.2.7 Analisis Scene 7

Gambar 22 Gambar 23

Gambar 24

a. Analisis Leksia Pada gambar 22 dalam scene ke 7 iklan ini menampilkan 2 orang pria yang sedang berdiri di depan halaman rumah adat Aceh. Kedua orang pria tersebut tampak sedang memberikan salam terlihat dari kedua tangan mereka yang menyatu.

Universitas Sumatera Utara Kedua pria tersebut tampak memakai pakaian adat Aceh berwarna hitam. Pada pria yangs satu terlihat baju yang ia pakai terdapat motif yang berwarna kuning keemasan sebagai hiasannya sedangkan pada baju pria lainnya tidak terlihat motif kuning keemasan tetapi hanya terlihat kancing baju sebagai hiasannya. Kedua pria tersebut tampak memakai topi adat yang berwarna merah dengan hiasan berwarna kuning keemasan.

Pada gambar 22 memperlihatkan sebuah rumah adat Aceh. Rumah tersebut berbentuk panggung terlihat dari tangga yang berada di depan rumah. Jumlah anak tangga yang terlihat dalam iklan sebanyak 9 buah anak tangga. Warna atau cat pada rumah tersebut adalah hitam. Pada bagian depan rumah tersebut tampak hiasan dinding yang berwarna merah, kuning dengan motif bunga berwarna putih. Teknik pengambilan gambar yang digunakan dalam gambar ini adalah teknik medium shot, dimana teknik ini menampilkan objek yang memenuhi layar kamera dari pinggul sampai atas kepala objek. Latar belakang yang ditampilkan oleh teknik ini terlihat sebanding dengan objek yang ditampilkan. Teknik ini biasanya mengambil tampilan pada saat dua orang sedang berbicara. Gambar ini diambil dari sudut pandang (angle) low angle atau low level shot, dimana sudut pandang ini merupakan sudut rekam yang rendah. Artinya, sudut pengambilan gambar yang rendah dan jika menggunakannya untuk mengambil gambar seseorang, maka tingginya sorotan kamera harus lebih rendah dari kepala objek yang diambil. Sudut pengambilan gambar seperti ini memberikan kesan keangkuhan, keagungan, ketegaran dan kekokohan. Pada gambar ini narator mengatakan welcoming guest is their tradition.

Pada gambar 23 memperlihatkan berbagai macam makanan daerah. Makanan tersebut tampak sedang dihidangkan dengan menggunakan piring dan diletakkan di atas nampan. Makanan tersebut tampak dihidangkan di lantai, terlihat kaki objek yang sedang duduk bersila di lantai. Jenis makanan yang dihidangkan seperti telur asin, olahan kari dan sambal. Teknik pengambilan gambar yang digunakan dalam gambar ini adalah teknik close up, dimana teknik ini menampilkan objek pada gambar yang lebih dekat. Objek menjadi titik perhatian utama dalam pengambilan gambar dan latar belakangnya hanya terlihat

Universitas Sumatera Utara sedikit. Sudut pengambilan gambar (angle) digunakan pada gambar 23 adalah eye level, dimana jenis angle ini menggunakan sudut rekam yang sejajar antara posisi objek dengan mata penonton. Sesuai dengan cara pengambilan gambarnya yaitu sejajar, angle ini bermakna sebuah kesejajaran atau kesamaan antara apa yang ditampilkan dengan apa yang dilihat.

Pada gambar 24 terlihat dua orang wanita yang sedang makan. Kedua wanita tersebut tampak menggunakan tangan mereka pada saat makan. Kedua wanita tersebut tampak sedang menikmati makanan mereka. Kedua wanita tersebut tampak memakai selendang yang menutupi kepala mereka. Wanita 1 tampak memakai selendang berwarna biru, sedangkan wanita 2 memakai selendang berwarna orange. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar ini adalah teknik close up, dimana teknik ini menampilkan bahu sampai bagian atas kepala objek dan latar belakang hanya terlihat sedikit. Sudut pengambilan gambar yang digunakan pada gambar ini adalah over shoulder, dimana jenis shot ini merupakan versi close up dari slanted sehingga seakan-akan objek lain diambil dari bahu objek utama.

Pada gambar 22, 23 dan 24 menggunakan deep focus. Jenis fokus ini memperlihatkan objek secara lebih tajam, jelas dan menyeluruh. Jenis fokus ini memiliki makna bahwa semua unsur adalah penting dilihat dari objek yang ditampilkan secara menyeluruh.

Pada gambar 22 diiringi dengan musik yang bernada lambat atau slow. Pada gambar 22 menggunakan efek suara laki-laki yang sedang bersenandung dengan nada tinggi serta diikuti dengan suara narator male voice. Pada gambar 23 dan 24 menggunakan musik yang bernada cepat. Gambar 23 dan 24 diiringi dengan efek suara perempuan yang sedang bersenandung.

b. Analisis Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika Beberapa pertanyaan yang dapat muncul di dalam benak pemirsa terhadap scene ketujuh iklan ini yaitu: (a) mengapa pria memakai pakaian hitam? (b) mengapa pria memakai topi adat berwarna merah dengan hiasan kuning

Universitas Sumatera Utara keemasan? (c) mengapa pria memberi salam? (d) mengapa narator mengatakan welcoming guest is their tradition? (e) mengapa menampilkan rumah adat? (f) mengapa rumah adat berbentuk panggung? (g) mengapa jumlah anak tangga 9? (h) mengapa cat rumah berwarna hitam? (i) mengapa hiasan dinding rumah berwarna merah, kuning dengan motif bunga berwarna putih? (j) mengapa menampilkan makanan tradisional? (k) mengapa makanan diletakkan di atas lantai? (l) mengapa objek duduk bersila? (m) mengapa objek atau kedua wanita makan dengan menggunakan tangan? (n) mengapa kedua wanita memakai selendang? (o) mengapa selendang wanita berwarna orange dan biru?

2. Kode Proaretik Indonesia terdiri dari beberapa provinsi dan beragam suku bangsa yang mewarnai dari Sabang sampai Merauke. Salah satu identitas kesukuan dalam kemajemukan bangsa Indonesia adalah dengan adanya pakaian adat. Seperti daerah lainnya, provinsi Aceh juga memiliki pakaian adat khusus yang memiliki nilai dan penuh sarat makna.

Provinsi Aceh mendapat julukan “Serambi Mekkah” dikarenakan adat kebudayaannya yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan agama Islam dan salah satunya adalah pada gaya berpakaian. Pakaian adat Aceh baik untuk pria maupun wanita merupakan percampuran antara kebudayaan Melayu dan kebudayaan Islam sehingga membuat pakaian adat ini sangat unik.

Pakaian adat Aceh untuk kaum pria disebut dengan Linto Baro. Sebelumnya, Linto Baro merupakan pakaian adat yang dipakai oleh pria dewasa ketika menghadiri upacara adat atau upacara kepemerintahan. Pakaian adat ini diperkirakan sudah ada sejak jaman Kerajaan Perlak dan Samudra Pasai. Pakaian Linto Baro terdiri dari baju atasan yang disebut dengan baju Meukeusah, celana panjang yang disebut dengan Siluweu, kain sarung yang bernama Ijo Krong, sebilah senjata Rencong serta tutup kepala yang bernama Meukeutop.

Baju Meukeusah merupakan baju yang terbuat dari tenunan kain sutra yang umumnya mempunyai warna dasar hitam. Warna hitam di dalam kepercayaan adat provinsi Aceh merupakan lambang sebuah kebesaran. Oleh

Universitas Sumatera Utara sebab itu, baju Meukeusah dianggap sebagai baju kebesaran dari adat provinsi Aceh. Pada baju Meukeusah memiliki sulaman benang emas sebagai hiasannya (http://www.kamerabudaya.com).

Pengaruh kebudayaan Islam di dalam adat Aceh juga terasa dengan adanya sebuah kopiah yang digunakan sebagai penutup kepala dan pelengkap pakaian adat Aceh. Kopiah ini bagi masyarakat Aceh disebut Meukeutop. Kopiah Meukeutop berbentuk lonjong ke atas. Kopiah Meukeutop terbuat dari kain berwarna dasar merah dan kuning. Pinggiran bawah kopiah terdapat motif anyaman yang dikombinasikan dengan warna hitam, hijau, merah dan kuning. Warna yang dipakai memiliki makna tersendiri. Merah melambangkan kepahlawanan, kuning berarti kerajaan atau negara, hitam berarti keteguhan hati dan putih bermakna kesucian atau keikhlasan (https://www.djkn.kemenkeu.go.id).

Merah yang melambangkan kepahlawanan memiliki makna bahwa kopiah Meukeutop bagi masyarakat Aceh tidak hanya bernilai dari segi adat, tetapi juga penuh dengan nilai sejarah. Secara historis, kopiah Meukeutop lebih diidentikkan dengan topi kebesaran yang sering dipakai oleh Teuku Umar yang merupakan pahlawan nasional asal provinsi Aceh. Kuning berarti kerajaan atau negara, hal ini menjelaskan bahwa provinsi Aceh pada jaman dahulu dipimpin oleh seorang Sultan dan pada masa kerajaan segala aksesoris dan perhiasan dibuat dari bahan dasar emas yang berwarna kuning. Sementara hijau melambangkan sebuah agama, dimana dalam hal ini provinsi Aceh merupakan sebuah provinsi yang sangat erat kaitannya dengan agama khususnya Islam yang melandasi seluruh aspek kehidupan masyarakatnya.

Kedua pria terlihat menyatukan kedua tangan mereka. Menyatukan kedua tangan mereka memberi makna sebuah ungkapan selamat datang untuk menyambut tamu. Kedua pria tersebut berperan sebagai tuan rumah. Tuan berarti pemilik atau yang empunya; orang laki-laki yang patut dihormati (DEPDIKNAS, 2012: 1490). Berdasarkan pengertian tersebut maka “tuan” identik dengan kepemilikian sesuatu yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Hal inilah yang mendasari gambar 22 menampilkan pria yang sedang menyambut datangnya tamu di depan rumah mereka. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh

Universitas Sumatera Utara narator, welcoming guest is their tradition. Kalimat tesebut jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi,“menyambut tamu merupakan tradisi mereka.” Kalimat tersebut merefleksikan bahwa kebiasaan masyarakat Aceh dalam menyambut tamu dengan ramah dan penuh rasa hormat, dimana hal ini sejalan dengan sifat masyarakat Aceh yang digambarkan di dalam iklan terkenal ramah dan tulus dalam menyambut setiap tamu.

Rumah adat yang ditampilkan dalam gambar 22 merupakan rumah adat Aceh yang dikenal dengan sebutan Rumoh Aceh. Rumoh Aceh merupakan salah satu artefak dari sebuah kebudayaan masyarakat. Sebagai sebuat artefak budaya, Rumoh Aceh dapat dibaca sebagai teks yang merepresentasikan tradisi suatu masyarakat. Terdapat pesan-pesan yang terkandung di dalam rumah adat ini. Pengaruh Islam yang kuat pada masyarakat Aceh turut serta memengaruhi tatanan pada arsitektur Rumoh Aceh.

Rumoh Aceh merupakan artefak kebudayaan yang berfungsi sebagai tempat berhuni atau tinggal bagi masyarakat Aceh. Tentunya sebagai sebuah arsitektur, Rumoh Aceh memiliki pesan tersendiri di dalamnya. Rumoh Aceh berbentuk panggung dengan ditopang oleh tiang-tiang kayu berbentuk bulat. Wujud dari arsiterktur Rumoh Aceh merupakan sebuah kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh.

Arsiterktur rumah berbentuk panggung menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah berbentuk panggung memberikan rasa nyaman tersendiri kepada penghuninya karena dengan mengangkat bagian rumah ke atas, maka hal ini dapat menghindari pemilik rumah dari gangguan binatang buas. Bentuk rumah panggung juga menjadikan bagian kolong di bawahnya sebagai tempat beraktivitas dan bersosialisasi antar warga. Bagian kolong rumah ini terkadang juga digunakan sebagai tempat penyimpanan padi atau lumbung padi yang di dalam bahasa Aceh disebut Krong Pade (Mirsa dalam Putra dan Ekomadyo, 2015: 3).

Universitas Sumatera Utara Kearifan dalam menyikapi alam keyakinan (religiusitas) juga terlihat pada orientasi bangunan rumah. Pada bagian tangga, Rumoh Aceh memiliki jumlah anak tangga yang ganjil. Hal ini dikarenakan pengaruh Islam yang sering menggunakan bilangan ganjil yang menjadi salah satu upaya masyarakat untuk mengingat atau mendekatkan diri kepada Tuhan (Putra dan Ekomadyo, 2015: 10).

Rumoh Aceh memiliki beberapa motif sebagai hiasan yang dipakai seperti, motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat suci Al- Qur’an. Motif ini menghadirkan wujud islam dalam kehidupan sehari-hari. Motif ini dianggap sebagai bentuk untuk mengingat dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Motif fauna atau hewan yang biasanya digunakan adalah binatang- binatang yang sering dilihat dan disukai oleh masyarakat. Motif flora atau tumbuhan melambangkan kedekatan dan kecintaan terhadap alam dan tumbuh- tumbuhan. Tujuan dari penggunaan motif ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan alam (Putra dan Ekomadyo, 2015: 13). Hal inilah terlihat dalam gambar 22 yang menunjukkan motif bunga sebagai hiasan rumah adat.

Pemilihan warna seperti hitam pada badan rumah, merah, kuning dan putih pada hiasan dinding rumah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hitam merupakan warna kebesaran dari masyarakat Aceh. Warna hitam melambangkan kebesaran dan keteguhan hati serta merupakan ciri-ciri keAcehan bagi masyarakat Aceh. Merah melambangkan sebuah keberanian dan kepahlawanan dengan segala keperkasaannya. Kuning melambangkan kerajaan dengan segala kebesaran yang terkandung di dalamnya. Putih melambangkan kesucian dan kebersihan. Masyarakat Aceh pada jaman dahulu telah menggunakan warna-warna dasar tersebut dan sudah menjadi bagian dari kehidupan dan kebutuhan bagi masyarakat yang selalu mengaplikasikannya ke dalam wadah atau media tertentu (http://maa.acehjayakab.go.id).

Menyambut tamu yang datang berkunjung ke rumah sudah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh untuk memuliakan tamu dengan menghidangkan berbagai makanan khususnya masakan tradisional kepada tamu yang datang. Meskipun tuan rumah tergolong sebagai keluarga kurang mampu, tetapi dalam menyambut tamu mereka tetap memberikan jamuan atau pelayanan terbaik

Universitas Sumatera Utara kepada tamu mereka. Beberapa tempat khususnya di wilayah pedesaan, adat menyambut tamu dengan menghidangkan berbagai makanan khas Aceh sudah mentradisi di tengah-tengah masyarakatnya.

Provinsi Aceh memiliki beragam makanan khas tradisional. Olahan kari, gulai dan sambal merupakan masakan tradisional yang sering dihidangkan terutama kepada tamu yang datang. Rumoh Aceh memiliki ruang depan yang luas dan lapang tanpa ada kursi dan meja. Jadi, setiap tamu yang datang akan dipersilahkan duduk secara lesehan atau bersila di atas tikar (https://www.kompasiana.co). Hal inilah yang terlihat pada gambar 23, dimana tampak makanan yang dihidangkan dan kaki objek yang sedang duduk bersila.

Menyajikan makanan di atas nampan dan dihidangkan di depan tamu secara langsung memiliki maksud bahwa tuan rumah ingin memuliakan tamu yang datang ke rumahnya. Hal ini bertujuan agar tamu tidak perlu mengantri ketika ingin meletakkan makanan ke dalam piring. Menghidangkan makanan secara langsung di hadapan tamu, tentunya tamu tidak perlu bangkit untuk meletakkan makan ke dalam piring mereka. Ketika ingin menambah makanan, mereka juga tidak akan merasa malu karena hanya tinggal mengambil saja apa yang sudah tersaji di depan mereka. Berbeda halnya dengan makanan yang tersaji di atas meja, tamu harus kembali berdiri untuk menambah makanan. Tentu ketika bangkit kembali untuk menambah makanan, sudah tentu akan terngiang perasaan malu sebelumnya di benak mereka, meskipun sebenarnya hal tersebut hanya perasaan tamu saja (https://www.bandaacehtourism.com). Hal seperti itu lah cara memuliakan tamu bagi masyarakat Aceh.

Aktivitas yang sedang dilakukan oleh objek pada gambar 24 yaitu makan dengan menggunakan tangan. Makan adalah memasukkan makanan ke dalam mulut serta mengunyahnya lalu menelannya (Farida dalam Sari, 2016: 29). Makan dan minum merupakan hal yang penting dan dilakukan berulang-ulang setiap harinya dan merupakan bagian hidup dari manusia yang tidak dapat dipisahkan serta dapat memberikan manfaat bagi yang melakukannya. Provinsi Aceh merupakan daerah yang berbasis syariat Islam di dalamnya sehingga mengatur segala aspek kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain budaya

Universitas Sumatera Utara berbusana, wujud tari dan bangunan rumah adat yang berbasis Islam, provinsi Aceh juga menerapkan adab makan dan minum sesuai dengan ajaran agama Islam.

Adab makan dan minum dalam Islam diatur dengan variasi dan jumlah asupan makanan, kebersihan makanan, kebiasaan makan bersama dan lain-lain. Islam menganjurkan untuk makan dan minum harus dilakukan dengan baik dan benar, baik dilakukan sendiri, bersama keluarga maupun bersama teman-teman. Membersihkan atau mencuci tangan sebelum makan, membaca bismillah sebelum makan, makan dengan tangan kanan, berhenti sebelum kenyang, tidak makan sambil berdiri merupakan beberapa adab makan dan minum yang diterapkan di dalam agama Islam (Sari, 2016: 18-19). Makan dengan menggunakan tangan artinya adalah makan tanpa menggunakan sendok. Nabi Muhammad mencontohkan cara makan ini dengan menggunakan tiga jari. Cara makan tanpa menggunakan sendok dan garpu memberikan beberapa manfaat bagi yang menerapkannya seperti terhindar dari berbagai penyakit, meningkatkan kinerja sistem pencernaan dan mencegah makanan terlalu banyak masuk ke dalam perut (https://www.arrahmah.com). Berdasarkan penjelasan tentang adab makan dan minum yang mendasari objek pada gambar 24 makan dengan menggunakan tangan atau tanpa menggunakan sendok dan garpu.

Kedua wanita di dalam gambar 24 juga terlihat memakai selendang yang menutupi kepala mereka, hal ini seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa provinsi Aceh sebagai daerah yang memiliki otonomi daerah sendiri yang berbedan dengan provinsi lainnya di Indonesia, yaitu segala peraturan berbasis dengan syariat Islam yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam hal berbusana terutama bagi kaum wanita. Kaum wanita terutama dari kalangan remaja dan dewasa diwajibkan memakai hijab atau kerudung untuk menutupi aurat mereka ketika sedang beraktivitas di luar rumah. Hal inilah yang mendasari kedua wanita dalam gambar 24 memakai selendang yang menutupi rambut mereka. Selendang yang dipakai oleh wanita 1 yaitu berwarna biru. Biru memiliki makna sebuah kepercayaan, keamanan, kebersihan dan perintah. Wanita 2 memakai selendang berwarna orange. Orange memiliki makna sebuah

Universitas Sumatera Utara keseimbangan. Jika menyinggung soal kedua warna pada selendang yang dipakai oleh objek, terdapat suatu kesinambungan, dimana biru yang bermakna sebuah kepercayaan, kebersihan, keamanan dan perintah, artinya bila disinggung dengan aktivitas yang sedang dilakukan oleh objek yaitu makan dengan menggunakan tangan.

Makan dengan menggunakan tangan menurut ajaran agama Islam merupakan cara yang aman bagi yang menerapkannya karena dengan menggunakan cara makan seperti ini dapat terhindar dari berbagai penyakit dan bermanfaat bagi sistem pencernaan manusia. Kebersihan memiliki arti bahwa Islam menerapkan adab membersihkan atau mencuci tangan terlebih dahulu sebelum makan, hal ini bertujuan agar makanan terhindar dari kuman yang dapat menyebabkan penyakit. Perintah berarti segala unsur-unsur yang telah tercakup dalam kebudayaan masyarakat harus dijalankan dan dipelihara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat yang terkandung di dalamnya. Kepercayaan merefleksikan bahwa peraturan agama Islam tentang adab makan dan minum merupakan suatu ajaran yang bermanfaat bagi yang menerapkannya dan anjuran- anjuran tentang makan dan minum tersebut dipercaya sebagai suatu cara yang baik untuk hidup sehat.

Orange bermakna sebuah keseimbangan. Warna orange dengan arti sebuah kesimbangan merefleksikan bahwa dengan tata cara makan yang diajarkan oleh agama Islam dengan beberapa manfaat yang terkandung di dalamnya memberikan suatu keseimbangan antara apa yang dilakukan dengan dampak yang didapat oleh orang yang melakukannya.

3. Kode Simbolik Rumah adat dan adab makan merupakan wujud simbolis dalam scene ini. Rumah adat Aceh yang dikenal dengan sebutan Rumoh Aceh merupakan identitas dari masyarakat Aceh. Segala unsur bangunan dalam Rumoh Aceh berlandaskan dengan Islam. Pada scene ini secara simbolis menggambarkan Rumoh Aceh sebagai tempat tinggal bagi masyarakat Aceh. Selain sebagai tempat tinggal bagi masyarakat Aceh, hal lainnya yang ditampilkan dalam scene ini adalah adab

Universitas Sumatera Utara makan dan minum masyarakat yang sesuai dengan ajaran agama Islam dan tata cara menghidangkan makanan di hadapan tamu yang berkunjung ke rumah.

4. Kode Gnomik atau Kode Kultural Penggambaran rumah adat dalam scene ini karena fungsi rumah adat sejatinya sebagai tempat tinggal bagi makhluk hidup terutama manusia. Rumah adat suatu daerah melambangkan sebuah identitas bagi masyarakat yang mediaminya. Rumah dalam arti khusus mengacu pada konsep sosial kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal seperti keluarga yang hidup, makan, minum, tidur, beraktivitas, menyambut tamu dan lain-lain yang kemudian hal-hal tersebut sudah menjadi suatu budaya bagi manusia.

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia ditakdirkan untuk hidup berdampingan dan saling tolong menolong sehingga terjalinlah suatu interaksi. Manusia pada hakikatnya adalah bergaul dengan sesamanya. Bergaul dapat diwujudkan dalam bentuk apa saja termasuk dalam berkunjung ke rumah teman atau kerabat.

Setiap daerah memiliki cara yang berbeda-beda dalam menyambut dan memuliakan tamu. Cara-cara dalam menyambut tamu inilah yang menjadi suatu budaya atau kebiasaan masyarakat setempat dan menjadi suatu kearifan lokal bagi daerah tersebut.

Namun, di era modern masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatannya dan pengadaan bahannya lebih mudah dibandingkan dengan rumah adat Aceh yang pembuatannya dan pengadaan bahan tergolong sulit dan biaya perawatan rumah yang lebih mahal. Selain itu, adanya perubahan budaya yang sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku masyarakat. Unsur-unsur kebudayaan asing mulai masuk dan hidup di kalangan anak-anak, remaja bahkan orang dewasa yang mengubah pola hidup masyarakat Aceh, dalam hal ini adalah adab makan dan minum terutama dalam menghidangkan makanan kepada tamu.

Universitas Sumatera Utara 5. Kode Semik Rumoh Aceh berfungsi sebgai tempat tinggal masyarakat Aceh yang tidak memiliki meja dan kursi di ruang depan rumah karena fungsinya untuk menyambut tamu yang dipersilahkan untuk duduk bersila.

4.1.2.8 Analisis Scene 8

Gambar 25 Gambar 26

Gambar 27

a. Analisis Leksia Pada gambar 25 memperlihatkan 2 orang yang sedang menunggangi kuda. Terlihat 1 orang duduk di atas kuda dan yang lainnya berlari di sebelah kuda. Pada gambar ini hanya terlihat kaki objek dan kaki kuda saja tanpa memperlihatkan badan objek dan badan kuda yang ditunggangi. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar 25 ini adalah close up, dimana teknik ini menjadikan objek sebagai titik perhatian utama dalam pengambilan gambar. Teknik ini memperlihatkan objek secara lebih dekat sehingga memberikan kesan kedekatan antara objek dan penonton. Sudut pandang (angle) yang digunakan pada gambar ini adalah low level shot, dimana teknik ini mengambil sudut rekam yang rendah. Sudut rekam yang rendah artinya adalah

Universitas Sumatera Utara mengambil gambar dari sudut pandang kaki atau bagian bawah objek, sehingga dengan menggunakan angle ini akan memberikan kesan keangkuhan, keagungan, ketegaran dan kekokohan.

Pada gambar 26 memperlihatkan seorang anak laki-laki remaja yang sedang menunggangi kuda. Anak laki-laki tersebut sedang menunggangi kuda di pantai. Kuda terlihat berwarna putih. Anak laki-laki tersebut terlihat hanya menggunakan baju kaus lengan panjang dan celana panjang. Baju yang dipakai oleh anak laki-laki tersebut terlihat berwarna putih dengan motif berwarna merah sebagai hiasannya. Anak laki-laki tersebut terlihat memakai celana panjang berwarna hitam. Anak laki-laki tersebut terlihat tidak memakai alat pengaman atau pelana dalam menunggangi kuda. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar ini adalah long shot, dimana dalam teknik ini objek memenuhi sekitar ¾ layar kamera. Artinya, teknik pengambilan gambar ini hanya menggunakan area yang cukup atau pas untuk memperlihatkan seluruh tubuh objek tanpa terpotong oleh frame. Teknik ini hanya mensorot objek utama dengan maksud untuk menonjolkan objek dengan ekspresi dan interaksinya tanpa ada bagian tubuh yang terpotong.

Pada gambar 27 menampilkan dua anak laki-laki remaja. Kedua anak laki- laki tersebut terlihat memakai baju kaus. Anak laki-laki 1 memakai baju kaus berwarna kuning dan anak laki-laki 2 memakai baju kaus berwarna putih. Anak laki-laki yang memakai baju kaus berwarna putih terlihat memakai ikat kepala yang berbahan kain berwarna putih. Anak laki-laki berbaju kaus putih tersebut terlihat sedang duduk di atas kuda berwarna hitam. Sementara anak laki-laki berbaju kaus kuning tampak sedang berdiri sambil memegang tali yang terikat di kuda tersebut. Keduanya tampak tersenyum. Lokasi scene ini berada di pantai. Teknik pengambilan gambar yang digunakan pada gambar ini adalah medium close up, dimana teknik ini diambil dari dada sampai atas kepala objek.

Pada gambar 26 dan 27 scene ini menggunakan sudut pandang (angle) eye level, dimana teknik ini sering disebut dengan normal shot karena jenis sudut pandang ini menggunakan sudut rekam yang sama tinggi atau sejajar dengan mata penonton. Sementara fokus yang digunakan pada ketiga gambar pada scene ini

Universitas Sumatera Utara menggunakan deep focus, dimana fokus ini memperlihatkan objek secara keseluruhan tanpa ada bagian yang diburamkan atau blur. Menggunakan deep focus memberikan arti bahwa semua unsur yang terlihat pada objek adalah penting.

Pada gambar 25 dan 26 menggunakan musik yang bernada cepat dan penggunaan musik ini merupakan lanjutan dari gambar-gambar sebelumnya. Kedua gambar tidak diiringi dengan efek suara manusia dan narator. Pada gambar 27 musik yang terdengar semakin lambat atau slow. Hal ini menunjukkan sebuah akhir dari jalan cerita. Pada bagian akhir terdengar musik semakin pelan namun efek suara perempuan yang bersenandung terdengar lebih jelas.

b. Analisis Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika Beberapa pertanyaan yang dapat muncul di dalam benak pemirsa terhadap scene kedelapan iklan ini yaitu: (a) mengapa menampilkan aktivitas menunggang kuda? (b) mengapa anak laki-laki remaja yang menunggang kuda? (c) mengapa menunggang kuda di pantai? (d) mengapa ketiga anak laki-laki remaja memakai baju kaus? (e) mengapa penunggang kuda tidak memakai alat pengaman atau pelana pada saat menunggang kuda?

2. Kode Proaretik Kegiatan menunggang kuda yang terlihat dalam scene ini disebut dengan pacuan kuda. Pacuan kuda adalah sejenis perlombaan dimana seorang joki menunggangi kuda untuk mencapai garis finish secepatnya dengan lintasan yang telah ditetapkan (Ali, 2016: 8). Masyarakat Aceh menyebut kegiatan pacuan kuda ini dengan sebutan Pacu Kude.

Pacu Kude telah menjadi agenda rutin yang diselenggarakan pada bulan Januari selama seminggu penuh dalam memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Bener Meriah yang merupakan salah satu kabupaten di dataran tinggi Gayo, selain itu juga diadakan di Kabupaten Aceh Tengah setiap tanggal 18 Agustus selama satu minggu penuh serta pada bulan Februari dalam memperingati hari ulang tahun Takengon. Pacu Kude merupakan acara khas masyarakat dataran

Universitas Sumatera Utara tinggi Gayo yang digelar setiap tahunnya. Pacu kude tradisional ini merupakan suatu tradisi yang memiliki banyak manfaat positif bagi masyarakat Gayo selain dijadikan ajang pariwisata yang dapat membangun ekonomi masyarakat, tradisi ini juga menjadi event yang dapat mempererat silaturahmi dan solidaritas masyarakat setempat (Pintenate dan Bukhari, 2017: 3-4).

Pacu Kude di dataran tinggi Gayo diyakini telah dilakukan sejak jaman dahulu yaitu berkisar tahun 1850-an. Pacu Kude pertama kali diperkenalkan di daerah Bintang yang pada saat sekarang ini telah menjadi Kecamatan Bintang. Kampung Bintang terletak di bagian KM Timur Kota Takengon atau terletak di pinggir danau Lut Tawar. Rute pacuan kuda pada saat itu hanya berjarak 1,5 KM dengan menempuh rute kawasan Wikip ke Menye dan kawasan ini disebut dengan Pasir Bintang. Pacu Kude di Aceh Tengah pada jaman penjajahan Belanda sudah dimulai tepatnya di kawasan Pante Menye, Kecamatan Bintang. Tradisi tersebut kemudian berlanjut sampai di jaman penjajahan Jepang. Pacu Kude tersebut digelar pada saat masyarakat telah usai memanen padi di lokasi dekat pantai. Kuda-kuda tersebut dipacu di atas air danau laut tawar, kuda yang keluar dari ari pada saat perlombaan pacu dinyatakan kalah (Pintenate dan Bukhari, 2017: 7). Hal inilah yang mendasari scene kedelapan iklan ini berlokasi di pantai dengan kegiatan menunggang kuda.

Pelaksanaan Pacu Kude ini memiliki keunikan dalam menjaga nilai-nilai tradisi leluhur sebelumnya. Hal yang menarik dari tradisi Pacu Kude tradisional adalah jokinya yang masih muda dengan kisaran umur 10-16 tahun. Keahlian joki didapat secara alami dengan berani menunggangi kuda tanpa memakai pelana atau pelindung. Tidak ada peraturan khusus dalam pemilihan busana, joki cukup hanya memakai baju kaus dengan celana yang biasa dipakai sehari-hari, serta tanpa pelindung tubuh lainnya (Piet Rusdi dalam Pintenate dan Bukhari, 2017: 3).

Pacu Kude merupakan ajang lomba balapan kuda yang diadakan di lapangan terbuka untuk memeriahkan keberhasilan panen padi. Namun dalam perkembangannya, Pacu Kude tidak sekadar menjadi ajang adu cepat lari kuda, tetapi sudah menjadi adu gengsi, prestise dan harga diri bagi pemilik kuda balapan. Hal ini menyebabkan tidak adanya hadiah bagi pemenang, hanya Gah

Universitas Sumatera Utara atau “marwah,”“gengsi” dan “status sosial” yang dipertaruhkan dan dipertahankan. Kemenangan yang diperoleh tersebut dilanjutkan dengan perayaan dan syukuran oleh penduduk setempat dengan sistem yaitu saling sumbang menyumbang untuk biaya perayaan kemenangan tersebut (Ali, 2016: 11).

Pacu Kude di dataran tinggi Gayo sarat akan tradisi yang diwariskan oleh pendahulu sebelumnya. Nilai-nilai tersebut hingga saat ini sebahagian masih terjaga dan terpelihara oleh masyarakat Gayo. Sebelumnya, perlombaan pacuan kuda tidak memperbolehkan kaum wanita ikut menyaksikan dan hanya kaum pria saja yang diperbolehkan untuk menontonnya. Namun setelah mengalami beberapa perubahan sistem dan kondisi jaman, para wanita telah diperbolehkan untuk menyaksikannnya. Siapapun diperbolehkan untuk menonton pacuan kuda baik laki-laki maupun perempuan (Piet Rusdi dalam Pintenate dan Bukhari, 2017: 8).

3. Kode Simbolik Pacu Kude merupakan wujud simbolis dalam scene kedelapan iklan ini. Wujud simbolis dari Pacu Kude memberikan makna sebuah harmoni, kerukunan dan solidaritas masyarakat setempat.Pacu Kude merupakan ajang perlombaan berkuda sehingga menumbuhkan nilai persahabatan, sosial, ekonomi, motivasi, sportifitas dan budaya yang juga menjadi simbolis dari ajang perlombaan ini.

4. Kode Gnomik atau Kode Kultural Pacu Kude merupakan bagian dari kehiduapan masyarakat Gayo yang tidak dapat dipisahkan karena Pacu Kude telah menjadi ciri khas sosial yang mengandung nilai-nilai solidaritas di tengah masyarakatnya seperti nilai persahabatan, hal ini dikarenakan ajang pacuan kuda dihadiri oleh keramaian masyarakat sehingga dapat menjadikan terjalinnya persahabatan satu sama lain, dengan demikian tradisi Pacu Kude dapat mempertemukan masyarakat dari berbagai kelas sosial. Nilai sosial merupakan wujud saling bekerja sama antar masyarakat dalam mengatasi berbagai problema, karena mereka telah saling kenal mengenal dalam arena Pacu Kude maka dalam menguatkan solidaritas sosial lainnya akan semakin mudah.

Universitas Sumatera Utara Nilai Ekonomi, Pacu Kude juga akan menciptakan aktivitas ekonomi, karena pada arena Pacu Kude ini berkumpul para pedagang, pengusaha, petani dan buruh sehingga arena ini dapat menjadi arena tradisional bisnis yang menyangkut aktivitas jual beli antar masyarakat. Nilai Motivasi, arena Pacu Kude ini dapat menjadi arena yang mampu membangkitkan motivasi untuk berkreasi sebab dalam kerumunan massa timbul interaksi sosial untuk saling tukar menukar pikiran antara satu sama lainnya dan dapat mengembangkan motivasi yang mampu menghasilkan karya.

Nilai Sportifitas, dalam arena pacu kude tersebut berhimpun bermacam ragam manusia yang akan menikmati tontonan yang penuh sportifitas, karena Pacu Kude itu sendiri merupakan cabang olah raga yang didalamnya mengandung nilai sportifitas, nilai-nilai keadilan dan rendah hati. Nilai Budaya merupakan hasil karya akal budi manusia yang memiliki nilai seni.Namun, pertarungan Pacu Kude sering dijadikan sebagai ajang pertaruhanatau perjudian yang merupakan kegiatan melanggar norma agama khususnya Islam.

5. Kode Semik Pacu Kude merupakan tradisi pertarungan berkuda bagi masyarakat Gayo dan sekaligus menjadi ajang silaturahmi antar sesama warga.

Universitas Sumatera Utara 4.2 Pembahasan Provinsi Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang kaya akan aneka ragam budaya seperti kesenian daerah yang terdiri dari musik, tarian, rumah adat dan peninggalan sejarah lainnya. Selain kesenian daerah, Aceh dianggap memiliki sumber daya alam yang melimpah baik dari segi perkebunan, pertanian dan kelautan. Sebagian besar masyarakat memanfaatkan kekayaan sumber daya alam sebagai sumber mata pencaharian seperti bertani dan melaut.

Kekayaan dan keragaman aset budaya dan pemanfaatan sumber daya alam mengandung kearifan lokal yang dapat menjadi daya tarik pariwisata dan berpotensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kreatif masyarakat setempat. Kearifan lokal adalah gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat. Kearifan lokal tersebut diperoleh dari tradisi budaya atau lisan yang diwariskan secara turun menurun dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas (Sibarani, 2012: 112).

Berdasarkan penjelasan tentang kearifan lokal tersebut, maka hal ini sesuai dengan apa yang ditampilkan dalam iklan The Light of Aceh. Iklan The Light of Aceh menampilkan berbagai kesenian daerah, kekayaan sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk mencari nafkah dan berbagai peraturan daerah yang dipatuhi oleh masyarakatnya, seperti ketentuan berbusana muslim bagi kaum wanita di Aceh karena provinsi ini merupakan daerah yang berlandaskan dengan syariat Islam yang melahirkan segala aktivitas dan budaya masyarakat berazaskan Islam. Selain itu, kekayaan hasil laut dan dari sektor perkebunan yang menghasilkan tanaman berkualitas, terutama kopi. Kesenian, tradisi, kekayaan alam dan peraturan daerah tersebut merupakan suatu kearifan lokal daerah setempat. Seluruh kearifan lokal tersebut sudah dilakukan oleh para pendahulu mereka di masa lalu dan diwariskan kepada generasi-generasi penerus, sehingga apa yang telah diwariskan tidak hilang begitu saja.

Universitas Sumatera Utara Pada iklan pariwisata Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh terdapat pesan yang terkandung dalam iklan. Pesan yang terkandung di dalam iklan menimbulkan beberapa mitos yang mengarah pada kearifan lokal provinsi Aceh, antara lain:

Adanya mitos bahwa provinsi Aceh sebagai daerah dengan peraturan syariat agama Islam di dalamnya, sehingga membuat segala aktivitas atau budaya masyarakat Aceh harus berazaskan agama Islam termasuk dalam hal berbusana di kalangan masyarakatnya. Namun, pada kenyataannya tidak semua kalangan masyarakat khususnya kaum wanita yang tinggal dan menetap di provinsi Aceh menggunakan pakaian muslim atau lebih dispesifikkan kepada hijab. Wanita yang bukan beragama Islam diperbolehkan tidak memakai hijab ketika beraktivitas di luar rumah. Selain itu, tidak sedikit kaum wanita yang beragama Islam berani tidak memakai hijab mereka ketika sedang beraktivitas di luar rumah dan mereka menganggap hijab hanya sebagai “seragam” yang harus dipakai ke tempat-tempat yang mengharuskan memakai pakaian muslim. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang berjudul “Kita Kan Beda!: Persamaan Remaja Perempuan Muslim dan Kristen di Langsa, Aceh” oleh Muhammad Ansor tahun 2014.

Penelitian tersebut menceritakan pengalaman langsung peneliti terhadap fenomena pendisiplinan tubuh melalui pengaturan pakaian dengan razia Wilayatul Hisbah atau Polisi Syariat dan Dinas Syariat Islam. Razia pakaian ditujukan tidak hanya kepada umat Muslim tetapi juga non-Muslim, karena diantara remaja perempuan yang terjaring razia di Langsa, ada yang beragama Kristen. Pada saat dirazia, diantara mereka umumnya berhasil meyakinkan petugas bahwa dirinya adalah non-Muslim setelah menunjukkan kartu identitas. Tetapi bagi yang tidak membawa kartu identitas harus rela menghentikan perjalanan sejenak guna menunggu penjemputan pihak keluarga. Beberapa remaja perempuan membelokkan sepeda motor mereka ke gang-gang kecil atau sekedar memarkir di pinggir jalan guna menghindari razia. Beberapa perempuan lain terlihat senang ketika berhasil lolos dari razia, sebaliknya yang terjaring razia menampakkan wajah panik dan ketakutan. Bagi remaja perempuan yang terjaring razia karena pakaian mereka dianggap tidak memenuhi standar regulasi syariat Islam Aceh.

Universitas Sumatera Utara Kalimat yang sering didengar oleh peneliti tersebut dari remaja perempuan non-Muslim di Langsa ketika diwawancarai antara lain ungkapan: “kita kan beda dengan yang muslim!” atau “kita ni non-Muslim lho!” Kalimat dengan redaksi beragam ini memiliki substansi yang sama. Ungkapan tersebut muncul sebagai reaksi atas penilaian subjektif mereka ketika “dituntut” berpakaian serupa seperti remaja perempuan Muslim ketika berada di tempat-tempat tertentu, seperti sekolah, kampus atau tempat kerja.

Penjelasan di atas dipertegas dengan pernyataan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah yang memberi pernyataan publik bahwa membantah kewajiban berjilbab bagi non-Muslim di Aceh. Qanun Syariat Islam memang tidak mewajibkan non-Muslim berjilbab kendati mereka tetap harus berpakaian yang sopan dalam artian untuk menyesuaikan diri dengan peraturan daerah (Ansor, 2014: 2).

Penelitian lain yang berjudul “Islam dan Masyarakat Kosmopolit: Relevankah Syariat Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?” oleh Sehat Ihsan Shadiqin tahun 2010. Penelitian tersebut memamparkan tentang adanya dua kontroversi besar yang muncul pada akhir tahun 2009 berkaitan dengan penerapan syariat Islam di Aceh. Pertama, pengesahan Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Qanun ini menjadi kontroversi karena di dalamnya memuat hukum rajam bagi orang yang melakukan zina. Kontroversi kedua, keputusan Bupati Aceh Barat yang mengeluarkan aturan larangan menggunakan celana panjang pada perempuan di daerahnya. Celana panjang dianggap tidak mewakili pakaian yang menutup aurat secara islami. Bupati menganggap satu-satunya pakaian yang mewakili cara Islam adalah rok panjang pada perempuan. Ketentuan ini juga memunculkan berbagai polemik di kalangan masyarakat dan pemerintah.

Kedua kontroversi tersebut bermula dari keistimewaan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Aceh untuk melaksanakan syariat Islam melalui UU Nomor 18 Tahun 2001. Keistimewaan ini memungkinkan Pemerintah Aceh mengeluarkan peraturan daerah (Qanun) yang berisi implementasi hukum Islam sebagai hukum positif yang akan diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Pada

Universitas Sumatera Utara level provinsi, sejauh ini Pemerintah Aceh telah mengeluarkan tujuh Qanun yang berkaitan dengan implementasi syariat Islam. Qanun tersebut lebih banyak yang berhubungan dengan masalah privat individu dan hanya sedikit menyentuh masalah-masalah publik. Akibatnya, banyak pihak yang menganggap pemberlakukan Qanun syariat Islam di Aceh cenderung mengatur hal-hal yang tidak terlalu signifikan. Hal ini diperparah lagi dengan kenyataan yang banyak menjadi tersangka dalam penerapan Qanun tersebut adalah perempuan dan masyarakat sipil yang tidak memiliki akses politik dan kekuasaan (Shadiqin, 2010: 2).

Pemberlakuan syariat Islam di Aceh tidak luput dari komentar dan perhatian masyarakat luas. Tidak hanya dari para ahli di Indonesia, perhatian juga diberikan oleh berbagai kalangan di belahan dunia lain. Perhatian yang dimaksud oleh peneliti tersebut adalah komentar dan respons mereka terhadap pemberlakuan syariat Islam dan beberapa kritik yang diberikan. Kebanyakan tentu saja menganggap apa yang terjadi di Aceh merupakan kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan demokrasi yang dijunjung oleh negara Indonesia, dimana Aceh merupakan bagian dari Indonesia (Shadiqin, 2010: 15).

Hasil yang didapat oleh penelitian tersebut adalah keinginan menerapkan syariat Islam semata belum cukup seandainya tidak memerhatikan berbagai aspek lain yang memiliki hubungan dan korelasi dengan pelaksanaan syariat Islam tersebut. Aspek lain adalah keyakinan dan perkembangan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat modern, yakni penganutnya bukan hanya dari kalangan Islam namun juga masyarakat keseluruhan. Demi menjaga kehidupan yang harmonis dan berjalan dengan baik dan tenang, apa saja yang dilakukan sekelompok orang harus memerhatikan aspek keseluruhan yang lebih luas. Pada konteks penerapan syariat Islam di Aceh, aspek tersebut belum diperhatikan dengan baik. Akibatnya, berbagai kebijakan yang telah berkembang termasuk dalam peraturan berbusana dengan konteks pakaian islami, justru menimbulkan masalah dan menghangatkan kontroversi di kalangan masyarakat luas. Hal ini bukan hanya terjadi dalam masyarakat Aceh dan Indonesia, namun juga

Universitas Sumatera Utara masyarakat internasional. Kejadian ini tentu saja sedikit-banyaknya akan memengaruhi kehidupan masyarakat Aceh secara keseluruhan.

Kemudian adanya mitos bahwa Aceh merupakan provinsi dengan kekayaan serta keindahan alam dan lautnya. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali oleh banyak kelebihan bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Maka dengan kelebihan berupa akal yang dimiliki, manusia mampu berpikir terutama dalam mencari nafkah untuk memperbaiki taraf hidup.

Salah satu profesi yang dijadikan sebagai sumber nafkah terutama bagi masyarakat yang bermukin di pedesaan adalah nelayan. Melaut atau mencari ikan merupakan sebuah pekerjaan yang dilakukan masyarakat khusunya masyarakat pedesaan sebagai sarana mencari nafkah. Hal ini sudah menjadi sebuah budaya bagi masyarakat terutama yang bermukim di daerah pedesaan dengan memanfaatkan laut dan ladang untuk bekerja. Aceh dianggap memiliki potensi keindahan laut dan kekayaan hasil lautnya yang menjadi sebuah kearifan lokal daerah untuk dimanfaatkan oleh masyarakatnya terutama untuk mencari nafkah.

Provinsi Aceh merupakan provinsi yang dianugerahi dengan potensi perikanan dan kelautan yang melimpah, sehingga dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat terutama keluarga nelayan. Namun, pada kenyataannya nelayan di Aceh belum bisa dikatakan sejahtera. Hal ini seperti yang diberitakan oleh media online tribunnews.com dengan judul artikel “Potensi Perikanan Melimpah Seharusnya Nelayan Aceh Sejahtera,” oleh Ilham Zulfahmi pada tanggal 23 Mei 2016. Berita tersebut memaparkan tentang produksi perikanan laut Aceh terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Berita tersebut menjelaskan tentang besarnya potensi perikanan laut Aceh dinilai masih belum berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan nelayan Aceh. Faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan dibagi menjadi tiga macam, yaitu kemiskinan struktural, kultural dan alamiah.

Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan karena struktur ekonomi, sosial dan politik yang tidak kondusif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Beberapa contoh situasi yang dapat

Universitas Sumatera Utara mengakibatkan terjadinya kemiskinan struktural adalah tidak stabilnya pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kebutuhan melaut. Kelangkaan BBM terjadi hampir setiap tahun di Aceh. Kelangkaan BBM tersebut telah menyebabkan nelayan tidak bisa melaut. Hal ini berdampak negatif bagi nelayan tanpa usaha sampingan yang terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, tidak tersedianya dan tidak berfungsinya cold storage atau lemari pendingin untuk menyimpan ikan, masih tingginya angka pencurian ikan di laut serta susahnya akses permodalan bagi nelayan juga merupakan penyebab terjadinya kemiskinan secara struktural.

Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor budaya seperti kurangnya kepedulian dan rendahnya etos kewirausahaan. Masih tingginya alat tangkap ikan tidak ramah lingkungan merupakan salah satu permasalahan kultural yang dihadapi saat ini. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya trawl (pukat harimau) yang beroperasi di perairan Aceh Utara dan Lhokseumawe serta masih maraknya penggunaan bahan peledak untuk bom ikan di perairan Simeulue. Kultur nelayan Aceh yang masih menggunakan alat tangkap ikan tidak ramah lingkungan seperti ini, akan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan perairan yang berdampak terhadap menurunnya stok ikan di masa yang akan datang.

Kemiskinan alamiah terjadi karena kondisi sumberdaya alam yang serba terbatas untuk kepentingan kegiatan produksi. Salah satu isu global penting yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan nelayan adalah perubahan iklim dan pemanasan global. Meningkatnya suhu permukaan laut merupakan suatu ancaman terhadap kelestarian terumbu karang. Rusaknya terumbu karang secara langsung akan berdampak terhadap menurunnya hasil tangkapan nelayan (www.tribunnews.com).

Firth (dalam Haryono, 2005: 3) mengemukakan bahwa masyarakat nelayan memiliki paling sedikit lima karakteristik yang membedakannya dengan profesi lainnya pada umumnya, seperti: Pertama, pendapatan nelayan biasanya bersifat harian (daily increments) dan jumlahnya sulit ditentukan. Selain itu, pendapatannya juga sangat tergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri,

Universitas Sumatera Utara dalam arti apakah ia sebagai juragan atau pandega. Dengan pendapatannya yang bersifat harian, tidak dapat ditentukan dan sangat tergantung pada musim, maka mereka sangat kesulitan dalam merencanakan penggunaan pendapatannya. Keadaan demikian mendorong nelayan untuk segera membelanjakan uangnya setelah mendapatkan penghasilan. Implikasinya, nelayan sulit untuk mengakumulasikan modal atau menabung. Pendapatan yang mereka peroleh pada musim penangkapan ikan habis digunakan untuk menutupi kebutuhan keluarga sehari-hari, bahkan seringkali tidak mencukupi kebutuhan tersebut.

Kedua, dilihat dari segi pendidikan, tingkat pendidikan nelayan maupun anak-anak nelayan pada umumnya rendah. Ketiga, dihubungkan dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan, maka nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar menukar karena produk yang dihasilkan bukan merupakan makanan produk. Sifat produk tersebut mudah rusak dan harus segera dipasarkan yang menimbulkan ketergantungan besar dari nelayan kepada pedagang. Keempat, bahwa bidang perikanan membutuhkan investasi yang besar dan cenderung mengandung resiko yang lebih besar. Kelima, kehidupan nelayan yang miskin juga diliputi oleh kerentanan, misalnya ditunjukan oleh terbatasnya anggota yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan yang sangat besar pada mata pencaharian menangkap ikan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kehidupan nelayan memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan alam. Keeratan hubungan ini menciptakan ketergantungan nelayan pada lingkungan alam, terutama ketergantungan terhadap sumber daya hayati yang dapat memberikan sumber penghidupan bagi nelayan.

Scene kedua iklan The Light of Aceh memperlihatkan seorang nelayan yang sedang melaut dan hanya menggunakan perahu manual atau perahu yang dikayuh oleh tenaga manusia serta hanya menggunakan jaring seadanya. Jika merujuk pada gambar yang ditampilkan dalam scene kedua ini, maka objek yang berupa nelayan dapat dikatakan sebagai nelayan tradisional. Kehidupan nelayan memiliki ketergantungan pada lingkungan. Hal tersebut terutama terlihat pada

Universitas Sumatera Utara nelayan tradisional. Ketergantungan dengan alam (musim) mengakibatkan mereka tidak bisa melaut sepanjang tahun. Hal tersebut berakibat pada ketidakstabilan dan ketidakteraturan penghasilan mereka.

Sejatinya, nelayan tradisional yang hanya menggunakan peralatan seadanya mengalami kemiskinan struktural, dimana kemiskinan ini disebabkan oleh aspek ekonomi, sosial dan politik yang tidak sesuai dengan kesejahteraan masyarakat pesisir. Sebagi contoh, permasalahan terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menyebabkan nelayan tidak bisa melaut. Nelayan lebih memilih menggunakan perahu manual dengan jaring seadanya untuk tetap bisa bekerja. Meskipun, terdapat beberapa kasus bahwa beberapa nelayan di Aceh menggunakan cara-cara yang tidak benar dalam menangkap ikan seperti yang diberitakan. Namun, yang ditampilkan di dalam iklan ini adalah hanya nelayan tradisional yang menggunakan peralatan sederhana tetapi tetap melaut untuk mendapatkan ikan, karena nelayan tersebut meyakini bahwa dengan kekayaan hasil laut dapat mensejahterakan hidupnya. Hal ini terlihat dari mimik wajah nelayan yang tersenyum bahagia ketika sedang melaut.

Adanya mitos bahwa Provinsi Aceh merupakan daerah dengan lahan yang subur sehingga mendukung hasil panen yang berkualitas dan menjamin taraf perekonomian keluarga petani. Aceh dikenal sebagai salah satu sentra produksi kopi terbesar tidak hanya di Indonesia, namun juga di Asia dengan kualitas kopinya yang baik di level dunia. Provinsi Aceh merupakan salah satu kota penghasil kopi berkualitas baik di Indonesia dengan nama asal (origin) yang paling sering digunakan yaitu “Aceh-Gayo” karena karakteristik kopi dan aromanya yang khas menjadi kopi favorit banyak orang.

Lahan yang subur mendukung pertumbuhan kopi yang berkualitas, dimana provinsi Aceh terkenal sebagai provinsi yang menghasilkan kopi berkualitas baik, diakui dan diminati oleh banyak orang. Sebagian masyarakat terutama masyarakat yang bermukim di pedesaan berprofesi sebagai petani, karena mereka beranggapan bahwa dengan sumber daya alam yang subur dapat memperbaiki perekonomian dan taraf hidup keluarga para petani, terlebih kopi-kopi yang dihasilkan merupakan kopi dengan peminat terbesar di Indonesia.

Universitas Sumatera Utara Namun, pada kenyataannya petani merupakan objek yang mendapatkan posisis paling memprihatinkan. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa pemberitaan di media mengenai taraf perekonomian dan kesejahteraan hidup petani di pedesaan. Pemberitaan yang peneliti kutip seperti, pemberitaan di media online aceh.tribunnews.com yang berjudul “Memiskinkan Petani Kopi,” oleh Indra Setia Bakti pada tanggal 5 Desember 2011, media online lintasgayo.com yang berjudul “Dilema Petani Kopi Gayo,” oleh Jamhuri Ungel pada tanggal 16 April 2013, media online kompas.com yang berjudul “Petani Kopi Gayo yang Selalu Dalam Posisi Terimpit,” oleh Iwan Bahagia pada tanggal 5 November 2015 dan media online ajnn.net yang berjudul “Mata Rantai Ekspor Kopi Gayo Rugikan Petani, Ini Kata Tagore,” oleh Arsadi Laksamana pada tanggal 21 Oktober 2016.

Keempat pemberitaan tersebut memaparkan tentang kesungguhan masyarakat dalam menggarap lahan untuk dijadikan perkebunan khususnya kopi, membuat semua orang optimis melihat masa depan masyarakat petani kopi. Namun, pada kenyataannya keoptimisan tersebut masih belum terjawab. Kebanyakan dari petani kopi di Aceh khususnya Gayo masih belum merasa bahwa kebutuhan hidup mereka dapat dipenuhi dengan hasil dari kebun kopi. Mereka sering mengeluhkan hasil panen yang tidak ada harga dan buah yang dihasilkan tidak seimbang dengan luasnya lahan yang dimiliki.

Mata rantai eksportir kopi dinilai terlalu panjang, hal ini merugikan petani dan hanya menguntungkan para broker yang umumnya tidak berpihak kepada petani. Cita rasa kopi Gayo sangat terkenal bahkan sudah mendunia. Sayangnya, hal ini tidak membuat para petani hidup jauh dari sejahtera.

Kemiskinan petani lebih disebabkan oleh ketidakmampuan petani untuk menentukan harga jual, tidak seperti pedagang yang mampu menentukan harga dari produknya. Selain itu, harga dari produk-produk pertanian seperti bibit, pupuk dan lain sebagainya semakin meningkat dan terkadang langka ketika dibutuhkan. Hal tersebut memberikan tekanan kepada petani. Peralatan dan perlengkapan pertanian hingga hasil pertanian dikuasai oleh pihak kapitalis, baik lokal hingga global. Keadaan ini berpotensi mendorong pihak kapitalis untuk

Universitas Sumatera Utara menekan nilai kerja petani di bawah nilai produk pertanian yang mereka hasilkan (http://aceh.tribunnews.com).

Selain masalah antara petani dan pihak kapitalis, terdapat masalah lain yang memicu kehidupan petani kopi di Aceh hidup di dalam garis kemiskinan, yaitu perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi menyebabkan gagal panen dan harga yang turun atau sumber daya lahan yang tidak memadai. Hal tersebut memengaruhi dasar dari sumber nafkah rumah tangga para keluarga petani kopi (Suryadi dan Hamid, 2013: 4).

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pemberitaan di media online http://www.bbc.comyang berjudul “Petani Kopi Gayo Aceh Keluhkan Panen Menurun ‘Akibat Perubahan Iklim,’ oleh Mehulika Sitepu pada tanggal 3 Februari 2018. Pemberitaan tersebut memaparkan tentang biji kopi yang dihasilkan banyak yang mengalami kerusakan akibat cuaca yang seharusnya hujan justru panas dan sebaliknya. Hal tersebut berdampak pada petani kopi Gayo mengalami penurunan panen hingga 30% sejak tahun 2017.

Adanya mitos sarana pertahanan diri, petanda sebuah martabat, kehormatan dan keberanian disimbolkan melalui senjata tradisional Rencong. Tujuan utama dari pembuatan Rencong adalah untuk berperang dan melawan musuh. Selain itu, Rencong merupakan lambang kebesaran bangsawan Aceh serta lambang keberanian para pejuang Aceh dalam melawan kolonial.

Namun kenyataannya, pada masa sekarang masyarakat tidak diperbolehkan menggunakan Rencong di depan umum karena adanya larangan untuk membawa senjata tajam yang dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain. Rencong hanya dipakai pada saat pesta pernikahan yang diselipkan di pinggang oleh kaum pria, sunatan dan ikut pawai kesenian sebagai aksesoris. Setelah tidak lazim dibawa sebagai alat untuk mempertahankan diri, Rencong berubah fungsi menjadi barang cindera mata, sebagai tanda bahwa seseorang sudah pernah berkunjung ke provinsi Aceh. Hampir semua toko kerajinan yang menjual perhiasan khas Aceh dengan memajang Rencong (Ramadhan, 2012: 40).

Universitas Sumatera Utara Adanya tulisan di media online kompas.com yang berjudul “Genggam Kembali Senjata Tradisional Indonesia,” oleh Visual Interaktif Kompas pada tahun 2017 menguatkan bukti eksistensi Rencong di jaman modern. Artikel tersebut menjelaskan tentang senjata tradisional merupakan salah satu unsur budaya yang dirancang oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat tradisional menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Seiring dengan perkembangan jaman, fungsi senjata tradisional mulai bergeser karena kemunculan senjata modern. Hal yang terjadi selanjutnya adalah masyarakat banyak yang menjadikan senjata tradisional sebagai benda koleksi.

Tidak hanya Rencong, eksistensi senjata tradisional lainnya terus mengalami pergerusan. Generasi muda seakan kurang menaruh minat pada warisan budaya Indonesia. Hal ini dikarenakan informasi dan edukasi yang kurang, membuat orang tidak terlalu apresiasi terhadap senjata-senjata tradisional yang cukup banyak dibuat oleh para pendahulu.

Adanya mitos pencerminan hidup masyarakat Gayo dengan unsur legenda, gerak, pakaian, tempat atau lokasi, penari dan musik pengiring melalui tari Guel. Tari Gueladalah salah satu khasanah budaya Gayo di provinsi Aceh, khususnya di dataran tinggi Gayo. Kata “Guel” dalam tari Guel memiliki arti “membunyikan” atau “memukul,” dalam hal ini membunyikan atau memukul sesuatu benda hingga mengeluarkan suara yang kemudian dari kata inilah tercipta tari Guel.

Bagi masyarakat Gayo tari Guel merupakan sebuah simbolisasi terhadap legenda Sangeda yang berusaha mengajak dan membawa Gajah Putih untuk dipersembahkan kepada putri Sultan Aceh Darussalam pada masa Kerajaan Aceh Darusslam. Gerakan yang khas dari tari Guel merupakan gerakan kelembutan yang tergambar dari seekor gajah yang lamban tetapi memiliki kekuatan dengan gerakan yang didominasi pada gerak bahu dan pergelangan tangan. Keseluruhan struktur dari tari Guelbaik legenda, unsur gerakan, pakaian, tempat atau lokasi, penari dan unsur musik pengiring merupakan simbol dari keseluruhan nilai-nilai moral, adat dan agama suku Gayo dan menjadi simbol masyarakatnya.

Universitas Sumatera Utara Pada awalnya tari Guel ditarikan dan dipertunjukkan pada kegiatan- kegiatan adat yang menyertakan kelengkapan ritual dalam pertunjukannya dan menjadikan laki-laki sebagai penari. Namun, dalam perkembangannya tari Guel mengikut sertakan kaum perempuan dan dilakukan secara berkelompok. Tari Guel ditarikan di alam terbuka karena masyarakat Gayo menjadikan alam sebagai apresiasi bagi mereka dan mereka meyakini bahwa dari alamlah mereka belajar tentang sebuah kehidupan. Bagi masyarakat Gayo, tari Guelmenunjukan sebuah kewibawaan, keperkasaan, tanggungjawab dan kesetiaan.

Seluruh unsur dari tari Guelyang menjadi simbol masyarakat Gayo seperti legenda, gerak, pakaian, tempat atau lokasi, penari dan musik pengiring memiliki fungsi sebagai penanda suatu peristiwa yang memiliki makna dari simbol-simbol visual tari Guel yang ditampilkan. Keseluruhan unsur tersebut memiliki makna sebagai petanda peristiwa dari pencarian seorang adik kepada kakaknya yang mencerminkan kesetiaan, tanggungjawab, persaudaraan, kepahlawanan dan kewaspadaan yang memberikan pesan kepada masyarakat bahwa dalam melakukan sesuatu harus selalu mempersiapkan diri baik lahir maupun batin.

Namun, sejak masuknya Islam ke daerah Gayo, perlahan kelengkapan ritual dalam pertunjukan tari Guelmulai dihilangkan dan tari ini menjadi tari hiburan, yang bisa disaksikan oleh seluruh masyarakat (Bintang, 2017: 13). Pada masa sekarang ini fungsi tari Gueltidak hanya sebagai seni tari pertunjukan, tari Guel dipertunjukan pada acara pernikahan yaitu pada penyambutan mempelai laki-laki sebagai tarian pengantin (Rahma, 2013: 10). Tari Guel mulai berkembang menjadi sebuah tarian pertunjukan seni, festival budaya dan promosi pariwisata. Hal ini dilakukan sebagai wujud pelestarian budaya.

Adanya mitos penghormatan, kekuatan adat dan niat baik dari tuan rumah dalam menyambut tamu yang datang melalui media sirih dalam tarian Ranup Lampuan. Tari Ranup Lampuan merefleksikan kehidupan sehari-hari atau kebiasaan masyarakat Aceh yang terkenal ramah dan suka memuliakan tamu yang datang berkunjung.Menyambut atau memuliakan tamu dilakukan dengan cara menyuguhkan sirih sebagai bentuk penghormatan kepada tamu tersebut.

Universitas Sumatera Utara Namun pada kenyataannya, tari tradisional Aceh telah mulai bergeser dari nilai-nilai budaya ke-Acehannya. Hal ini seperti yang dipaparkan dalam artikel yang berjudul “Keberadaan dan Keprihatinan Tari Tradisional Aceh,” oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh (BPNB Aceh) yang ditulis oleh Cut Zuriana serta diterbitkan pada tanggal 4 Desember 2014 melalui situs https://kebudayaan.kemdikbud.go.id.

Artikel tersebut menjelaskan tentang ketimpangan terhadap tarian tradisional Aceh. Ketimpangan terhadap tari tradisional Aceh yang paling utama dan kentara adalah ketimpangan terhadap keseragaman gerak. Dewasa ini, telah terjadi ketidak seragaman gerak pada tari-tari tradisional Aceh. Gerakan-gerakan dalam salah salah satu tarian dapat berbeda apabila diajarkan atau ditarikan oleh orang yang berbeda. Jika tari diamati dengan teliti, tampak secara jelas terdapat banyak unsur di dalamnya, diantaranya yang sangat signifikan adalah gerak dan ritme.

Ketidak konsistensian gerak tari tradisional Aceh diantaranya terdapat pada tari Ranup Lampuan. Pada tari Ranup Lampuan telah banyak penyimpangan gerak, yakni tidak adanya keseragaman gerak antara kelompok tari yang satu dengan kelompok tari lainnya. Hal ini terdapat pada gerak melangkah (ada yang menghentakkan kaki ada yang melangkah biasa). Pada gerakan memetik sirih, ada kelompok yang melakukannya dan ada pula yang tidak melakukannya.

Sebuah seni dapat disebut orisinil atau tidak dapat dilihat dari konsep seni, yaitu wujud, bobot dan penampilannya, dengan demikian tarian tradisional tersebut harus sesuai dengan wujud, bobot dan penampilan yang telah baku. Seandainya terdapat penyimpangan dari konsep dasarnya, maka tari tersebut tidak dapat disebut sama dengan tari dengan wujud aslinya, karena hal tersebut akan merugikan pemilik tari dan juga hal yang paling parah akan memberikan informasi keliru tentang budaya Aceh kepada dunia.

Informasi yang keliru tersebut telah terjadi dalam tari tradisional Aceh. Informasi keliru tersebut terjadi karena berbagai praktik yang mencoreng tari tradisi tersebut. Hal tersebut terdapat pada selesainya tari Ranup Lampuan yang

Universitas Sumatera Utara kerap terjadi pemberian sirih kepada tamu yang diikuti dengan pemberian uang atau saweran dari tamu kepada penari. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tari Ranup Lampuan merupakan tari penyambutan atau pemuliaan tamu. Pada konsep masyarakat Aceh, tidak ada transaksi pada saat memberikan sirih kepada tamu, terlebih sirih yang disuguhkan dianggap sebagai simbol kemuliaan. Tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan yang mencederai budaya Aceh.

Tari Ranup Lampuan yang ditarikan pada masa sekarang telah kehilangan wujud aslinya sebagai tari memuliakan tamu. Tari tradisional Aceh khususnya Ranup Lampuan, sampai saat ini masih ditarikan, diajarkan dan bahkan sudah mendunia. Tetapi, di balik semua realita yang ada terdapat permasalahan terhadap eksistensi tari tradisional Aceh dewasa ini. Bergesernya tradisi dalam sebuah tarian disebabkan oleh munculnya berbagai ide kreasi manusia yang berkecimpung dalam bidang kesenian. Kreasi tersebut dapat dihargai tetapi sebaiknya kreasi tersebut tidak menggeser dan mencederai tradisi yang telah diciptakan oleh pencipta tari sebelumnya.

Adanya mitos Rumoh Aceh berfungsi sebgai tempat tinggal masyarakat Aceh yang tidak memiliki meja dan kursi di ruang depan rumah karena fungsinya untuk menyambut tamu yang dipersilahkan untuk duduk bersila. Fungsi rumah adat sejatinya sebagai tempat tinggal bagi makhluk hidup terutama manusia. Rumah adat suatu daerah melambangkan sebuah identitas bagi masyarakat yang mediaminya.

Namun, pada jaman sekarang Rumoh Aceh dianggap sebagai bentuk tempat kediaman masyarakat Aceh masa lalu. Pada masa saat ini Rumoh Aceh hampir punah dan sulit untuk ditemukan. Dewasa ini, keberadaan rumah adat Aceh sangat memprihatinkan. “Memprihatinkan” memiliki arti bahwa rumah tradisonal masyarakat Aceh pernah ada dan kini hampir punah. Masyarakat yang tergolong mampu juga hampir tidak ada lagi yang membangun rumah tradisional Aceh, bahkan lebih memilih membangun rumah modern. Hal ini dikarenakan pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dibandingkan dengan rumah

Universitas Sumatera Utara adat Aceh yang pembuatannya dan pengadaan bahan tergolong sulit dan biaya perawatan rumah yang lebih mahal.

Seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi saat ini, turut memengaruhi nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kearifan lokal rumah tradisional Aceh. Nilai-nilai budaya di masyarakat Aceh mulai memudar dari generasi ke generasi. Dampak perubahan yang muncul menyebabkan keberadaan Rumoh Aceh saat ini sulit ditemukan, karena masyarakat umumnya membangun rumah modern (Hairumini dkk, 2017: 2).

Rumoh Aceh masih tersisa dan dapat ditemui di beberapa tempat saja di Aceh. Rumah adat Aceh telah diabadikan di Banda Aceh, seperti Komplek Kantor Museum Aceh, Rumah Cut Nyak Dhien yang berada di Desa Lampisang, berjarak 10 KM dari pusat Kota Banda Aceh dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Akan tetapi, Rumoh Aceh berubah fungsi dari sebagai tempat tinggal masyarakat Aceh menjadi Museum (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id).

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia ditakdirkan untuk hidup berdampingan dan saling tolong menolong sehingga terjalinlah suatu interaksi. Manusia pada hakikatnya adalah bergaul dengan sesamanya. Bergaul dapat diwujudkan dalam bentuk apa saja termasuk dalam berkunjung ke rumah teman atau kerabat.

Rumoh Aceh tidak memiliki furniture berupa meja dan kursi di ruang bagian depanlayaknya rumah pada umumnya. Ruang tersebut berfungsi untuk menyambut tamu yang datang. Lalu, tamu yang datang dipersilahkan untuk duduk berila atau lesehan bersama tuan rumah. Kemudian, tuan rumah menyambut tamu dengan cara menghidangkan makanan di atas nampan dan diletakkan di hadapan tamu tersebut secara langsung. Hal ini bertujuan untuk memuliakan tamu karena dengan terhidangnya makanan di hadapan mereka, tamu tidak perlu bersusah payah untuk mengantri mengambil makanan dan bangkit dari tempat duduknya jika ingin menambah makanan.

Setiap daerah memiliki cara yang berbeda-beda dalam menyambut dan memuliakan tamu. Cara-cara dalam menyambut tamu inilah yang menjadi suatu

Universitas Sumatera Utara budaya atau kebiasaan masyarakat setempat dan menjadi suatu kearifan lokal bagi daerah tersebut.

Namun pada kenyatannya, adanya perubahan budaya yang sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku masyarakat. Unsur-unsur kebudayaan asing mulai masuk dan hidup di kalangan anak-anak, remaja bahkan orang dewasa yang mengubah pola hidup masyarakat Aceh, dalam hal ini adalah adab makan dan minum terutama dalam menghidangkan makanan kepada tamu.

Adanya perubahan tata cara makan dan minum yang terjadi di tengah- tengah masyarakat, dikarenakan adanya proses modernitas. Perubahan-perubahan yang terjadi mengenai adab makan dan minum terutama dalam menyambut tamu, karena anggota masyarakat pada waktu tertentu merasa tidak puas lagi terhadap keadaan kehidupannya yang lama. Norma dan sarana penghidupan yang lama dianggap tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang baru. Berbeda dengan saat ini, adab makan dan minum sudah memiliki sarana dan prasarana yang mendukung dan memudahkan. Masyarakat Aceh yang hidup di jaman sekarang, ketika makan tidak lagi mengutamakan kebersamaan. Perilaku atau etika makan dan minum saat ini dilengkapi oleh sarana atau alat makan yang modern sebagai daya tarik masyarakat terhadap penggunaannya (Sari, 2016: 67- 68).

Adanya mitos tradisi pertarungan berkuda bagi masyarakat Gayo sebagai simbol silaturahmi antar sesama warga. Pacu Kude merupakan bagian dari kehiduapan masyarakat Gayo yang tidak dapat dipisahkan karena Pacu Kude telah menjadi ciri khas sosial yang mengandung nilai-nilai solidaritas di tengah masyarakatnya seperti nilai persahabatan, hal ini dikarenakan ajang pacuan kuda dihadiri oleh keramaian masyarakat sehingga dapat menjadikan terjalinnya persahabatan satu sama lain, dengan demikian tradisi Pacu Kude dapat mempertemukan masyarakat dari berbagai kelas sosial.

Sayangnya kegiatan tersebut juga telah mengalami banyak perubahan yaitu dengan menghilangkan beberapa cara yang melanggar norma agama dan bertentangan dengan hukum Islam yang melandasi provinsi Aceh, bertentangan

Universitas Sumatera Utara dengan perundang-undangan di negara Indonesia dan norma adat lokal. Kegiatan yang bertentangan tersebut seperti perjudian, perzinaan, penipuan, perkelahian dan permusuhan.

Kasus yang paling menonjol dan tidak lepas dari penglihatan masyarakat adalah perjudian. Sedang masalah perjudian sangat jelas dilarang oleh agama manapun, negara dan hukum adat. Tetapi kasus ini tidak dicegah, diperhatikan dengan baik saat event ini berlangsung. Hal ini membuat sebagian masyarakat yang beragama Islam berpandangan bahwa acara Pacu Kude ini tidak relevan dilaksanakan telah menjadi tradisi turun-temurun. Sedangkan sebagian lain dari masyarakat tetap dengan komitmennya agar eventPacu Kude terus diselenggarakan, karena Pacu Kude merupakan budaya yang harus tetap dijaga dan dilestarikan selamanya.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka kontradiksi terhadap penyelenggaraan Pacu Kude ini apabila dicermati menjadi dua perspektif, yaitu perspektif positif dan negatif. Pandangan positif tentang Pacu Kude yang ada pada masyarakat Gayo merupakan salah satu bentuk untuk melestarikan budaya yang ada pada masyarakat Gayo dan juga sebagai hiburan yang diselenggarakan sebanyak satu kali dalam setahun dan juga sebagai peringatan hari ulang tahun Kabupaten Bener Meriah. Sedangkan dampak negatif dari Pacu Kude yang ada pada tradisi masyarakat Gayo, merupakan sebagai tempat terjadinya perjudian, ajang pertemuan remaja putra dan putri yang bukan muhrim serta hal lainnya yang secara jelas dilarang oleh agama, negara dan adat (Ali, 2016: 12).

Berdasarkan permasalahan yang dialami oleh provinsi Aceh mengenai kearifan lokal setempat, maka dapat dikatakan bahwa kearifan lokal yang diwariskan oleh para pendahulu mereka di masa lalu belum tentu sama pada masa sekarang. Artinya, kearifan lokal yang dianggap memiliki nilai positif bagi para pendahulu, tetapi belum tentu baik apabila dilakukan pada masa sekarang. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial Republik Indonesia (Balitbangsos Depsos RI) (dalam Sibarani, 2012: 113), bahwa nilai budaya yang positif pada komunitas masa lalu belum tentu semuanya positif pada komunitas masa sekarang ini. Pada masa

Universitas Sumatera Utara sekarang, kearifan lokal yang dimanfaatkan bersumber dari nilai budaya yang masih dapat diterapkan, bermanfaat untuk penciptaan kedamaian maupun untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kehidupan masyarakat Aceh pada jaman sekarang semakin kompleks, terlihat pada pola pikir masyarakat yang semakin maju. Gaya hidup masyarakat mengikuti perkembangan jaman yang mempertahankan nilai-nilai westernisasi, sehingga terdapat kecenderungan bagi masyarakat untuk berpenampilan dan beretika layaknya kehidupan asing. Budaya tersebut dapat terlihat dari hasil interaksi manusia melalui media massa dan jejaring sosial yang ditransformasikan serta ruang-ruang publik yang disediakan dalam masyarakat. Selain dipengaruhi oleh perkembangan jaman yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat, tidak dapat dipungkuri bahwa setelah bencana alam gempa dan tsunami pada tahun 2004, keterlibatan bangsa asing di Aceh tidak dapat dielakkan.

Derasnya arus informasi juga ditandai dengan hadirnya alat-alat komunikasi, seperti internet yang ikut serta dalam menyumbang sebuah perubahan dan pergeseran budaya yang selama ini menjadi identitas budaya atau cultural identity masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Quaritch Wales (dalam Brata, 2016: 11), bahwa kearifan lokal secara keseluruhan meliputi bahkan mungkin dapat dianggap sama dengan cultural identity yang dapat diartikan dengan identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa.

Globalisasi memiliki pengaruh yang kuat dalam mengubah dan menggeser budaya yang selama ini telah tertanam di masyarakat. Hal ini menyebabkan kearifan lokal yang telah dianut oleh masyarakat perlahan memudar seiring dengan perkembangan jaman. Pernyataan tersebut seperti yang juga dinyatakan oleh Quaritch Wales (dalam Brata, 2016: 11), bahwa kearifan lokal terbina secara kumulatif, terbentuk secara evolusioner, bersifat tidak abadi, dapat menyusut dan tidak selamanya tampak jelas secara lahiriah.

Pergeseran nilai-nilai budaya tidak hanya dialami oleh masyarakat Aceh, tetapi hampir seluruh daerah khususnya di Indonesia mengalami pergeseran budaya yang disebabkan oleh globalisasi. Seperti penelitian yang berjudul

Universitas Sumatera Utara “Budaya Dalam Iklan: Analisis Semiotik Iklan So Nice Versi ‘Slank Rame-Rame,’ oleh Christiany Juditha pada tahun 2015. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa representasi budaya Nusantara dalam iklan So Nice versi ‘Slank Rame-Rame cukup kental, meski durasi iklan terbilang singkat namun bisa menampilkan sisi-sisi budaya Nusantara, diantaranya rumah adat Betawi yang kini sangat sulit ditemukan lagi.

Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Aceh untuk menjaga, melestarikan dan mempromosikan berbagai kearifan lokal setempat. Memperkenalkan dan mempromosikan Aceh secara tepat sasaran kepada wisatawan nusantara dan mancanegara, maka perlu dilakukan berbagai strategi marketing yang bersifat terpadu dan profesional, salah satunya adalah dengan pemberian brand destinasi.

Brand destinasiadalah kajian tentang brand destinasi dalam konteks brand produk destinasi. Brand destinasi adalah media dan pesan di dalam konteks dan proses komunikasi pemasaran secara umum dan khusus di dalam konteks pemasaran pariwisata (Bungin, 2015: 94).

The Light of Aceh atau “Cahaya Aceh” merefleksikan semangat bagi seluruh masyarakat disatukan melalui Syariat Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sebagai cahaya benderang yang mengajak pada nilai-nilai kebaikan, kemakmuran dan memberikan manfaat serta kebaikan bagi semua pihak. Bekerja sama dengan pemerintah kabupaten dan kota, pariwisata Aceh telah dikemas dalam sebuah branding baru yang sebelumnya menggunakan branding “Visit Aceh”

Mengemas ulang pariwisata Aceh sangat penting, karena dengan menyesuaikan pada kekhasan dan kekhususan Aceh sebagai provinsi yang menjalankan syariat Islam. Hal ini merupakan strategi pemerintah dalam memasarkan pariwisata Aceh. Penggunaan branding baru tesebut dapat semakin memperjelas positioning provinsi Aceh, karena dengan positioning tersebut maka pariwisata Aceh mempunyai citra yang kuat, terlebih jika menonjolkan ciri khas tertentu yang tidak dimiliki oleh daerah lain (http://disbudpar.acehprov.go.id).

Universitas Sumatera Utara Namun, dalam penggunaan brand destinasi sering dianggap sebagai bentuk dari konstruksi terhadap realitas yang ada di daerah tersebut, mengingat adanya beragam pergeseran nilai-nilai budaya dan ketimpangan kesejahteraan yang dialami oleh masyarakat kecil. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Kotler dan Pfoertsch (dalam Bungin, 2015: 6), mendefinisikan brand sebagai konsep yang tidak terukur, sering kali dipahami atau dianggap mengkonstruksi citra sosial sebagai produk pelayanan atau nilai terkesan lebih baik yang sebenarnya. Artinya, apabila brand merupakan sebuah branding destinasi, maka branding destinasi tersebut merupakan suatu konsep destinasi yang dapat mengkonstruksi citra sosial sehingga ia terlihat lebih baik dari realitas sebenarnya.

Representasi kearifan lokal Aceh pada iklan Wonderful Indonesia edisi The Light of Aceh cukup kental. Iklan berdurasi selama 3 menit 2 detik menampilkan sisi-sisi kearifan lokal Aceh secara jelas dan menyeluruh, mulai dari kesenian daerah, artefak, tradisi, kekayaan sumber daya alam dan peraturan daerah. Seluruh talent di dalam iklan tersebut terlihat tersenyum bahagia, meskipun pada kenyataannya terdapat berbagai permasalahan di dalamnya. Penggunaan teknik kamera seperti deep focus dan shallow focus, menunjukkan bahwa keseluruhan objek yang ditampilkan dalam iklan merupakan unsur penting dan hanya bagian objek yang dianggap tidak terlalu penting diburamkan atau blur dan hanya sebagai hiasan di dalam bingkai rekam.

Narasi yang diucapkan oleh narator memiliki makna yang dalam tentang sebuah kedamaian, kerukunan dan keharmonisan masyarakat yang hidup di tengah-tengah aturan syariat agama. Narasi juga memiliki makna tentang budaya dan tradisi yang sangat beragam sehingga dapat menjadi daya tarik wisatawan, kehangatan dalam bergaul dan menyambut tamu serta kekayaan sumber daya alam yang dianggap dapat mensejahterakan hidup masyarakatnya merupakan sebuah kearifan lokal yang menjadi identitas budaya masyarakat atau cultural identity.

Penggunaan musik dengan efek suara manusia yang bersenandung dan sedikit efek suara gendang pada bagian tertentu, melatar belakangi jalan cerita

Universitas Sumatera Utara iklan. Penggunaan musik dengan efek suara tersebut menambah kesan dramatis dan ketakjuban terhadap objek-objek yang ditampilkan. Penonton diajak untuk merasakan keluarbiasaan terhadap kearifan lokal yang dimiliki oleh provinsi Aceh.

Seluruh penampilan yang ditampilkan di dalam iklan seakan menjadikan provinsi Aceh sebagai daerah yang tidak memiliki permasalahan di tengah-tengah masyarakatnya. Pada kenyataannya, daerah Aceh sedang mengalami permasalah yang tidak membuat masyarakatnya tersenyum seperti yang ditampilkan oleh iklan.

Permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat seperti yang telah dijelaskan yaitu pengaruh globalisasi yang mengubah sikap dan perilaku masyarakat, ketimpangan kesejahteraan di kalangan masyarakat kecil seperti nelayan dan petani serta bergesernya budaya-budaya yang telah lama hidup di masyarakat, seperti sulitnya menemukan rumah adat yang kini beralih fungsi menjadi museum. Selain itu, perubahan fungsi juga terjadi pada senjata tradisional Rencong yang kini berfungsi sebagai hiasan atau aksesoris, cendera mata dan sebagai barang koleksi. Perubahan fungsi juga terjadi pada seni tari, seperti tari Guel yang pada awalnya merupakan tarian ritual adat yang menjadikan alam sebagai wujud apresiasi masyarakat kini berubah menjadi tari pertunjukan dan penyambutan pengantin laki-laki. Ketimpangan gerakan pada tari Ranup Lampuan dan adanya perjudian di dalam tradisi Pacu Kude juga menjadi bagian pergeseran nilai-nilai budaya.

Aceh merupakan daerah dengan otonomi khusus yaitu peraturan syariat Islam yang melahirkan segala aktivitas dan budaya masyarakat dilandaskan dengan nafas Islam, termasuk dalam hal berbusana. Apa yang dikatakan oleh narator pada scene pertama iklan yaitu, “a place that makes you feel restful in the midst of people, who live in religious harmony.” Kalimat tersebut merefleksikan sebuah ketenangan dan kedamaian di tengah-tengah orang yang hidup dalam harmoni keagamaan.

Universitas Sumatera Utara Bila mengacu pada penjelasan penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa masyarakat Aceh sendiri dapat dikatakan belum mendapatkan kedamaian dan ketenangan dengan berbagai peraturan syariat yang menghadirkan kontroversi di tengah-tengah mereka. Masyarakat seolah terbagi menjadi dua bagian, yaitu pro terhadap peraturan yang ada dan kontra terhadap peraturan daerah. Hal tersebut secara sederhana dapat dilihat dengan remaja perempuan yang berani tidak memakai pakaian islami dan panik ketika dilakukannya razia pakaian muslim seperti penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ansor.

Iklan The Light of Aceh menampilkan segala unsur kearifan lokal dengan menggunakan talent yang tesenyum bahagia, pengguaan teknik kamera, narasi yang bermakna serta penggunaan musik dan efek suara yang menambah kesan dramatis dan keagungan objek yang ditampilkan, sehingga membuat penonton merasa takjub dalam melihatnya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Raymon Williams dan Simon During (dalam Bungin 2008: 107-108), iklan televisi hanya mengandalkan kemampuan audiovisual dan prinsip-prinsip komunikasi massa sebagai media konstruksi. Pada kenyataannya copywriter (penulis naskah) dan visualizer-lah (orang yang melukis gambaran awal dari iklan) yang paling besar perannya dalam memberi nuansa ‘hidup’ dalam iklan.

Kunci utama periklanan adalah iklan harus menggugah perhatian calon konsumen terhadap produk dan jasa yang ditawarkan. Para konsumen dibuat untuk memerhatikan dan peduli terhadap produk yang memberikan manfaat bagi mereka dan akan memberikan alasan bagi mereka untuk membeli (Hermawan, 2013:72). Senada dengan penjelasan tersebut, iklan The Light of Aceh menampilkan berbagai kearifan lokal yang begitu beragam dan luar biasa. Konstruksi terhadap iklan tersebut diharapkan dapat menambah nilai ekonomis seluruh aspek kehidupan masyarakat dengan banyaknya wisatawan baik nasional maupun mancanegara untuk datang ke provinsi Aceh. Meskipun masih terdapat ketimpangan kesejahteraan di kalangan masyarakat kecil dan arus globalisasi yang sulit untuk dihindari oleh masyarakat kosmopolit.

Ketimpangan kesejahteraan di kalangan masyarakat kecil menyebabkan penduduk miskin di provinsi Aceh meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh

Universitas Sumatera Utara merilis jumlah angka penduduk miskin di provinsi Aceh pada periode Maret 2017 mencapai 872,61 ribu orang atau sekitar 16,89 persen. Bila dibandingkan dengan persentase penduduk miskin pada September 2016, terjadi peningkatan penduduk miskin yang cukup drastis, yaaitu mencapai 31 ribu orang (https://aceh.bps.go.id).

Hasil kajian Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS), dari publikasi tebaru BPS RI, Aceh mendapat predikat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin tertinggi di Sumatera. Secara nasional, Aceh berada di peringkat keenam termiskin setelah Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo. Melonjaknya angka kemiskinan di Aceh menunjukkan kinerja pemerintahan di Aceh buruk. Kinerja pembangunan tidak memiliki dampak terhadap penurunan angka kemiskinan di provinsi Aceh dalam tiga tahun terakhir.

Aceh adalah provinsi dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terbesar dibangkinkan 10 provinsi di Sumatera. Namun, hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi kemiskinan dan pengangguran yang masih merupakan provinsi termiskin serta tingkat pengangguran tertinggi di Sumatera (http://harian.analisadaily.com).

Pembangunan dan program pemerintah terutama dengan cara membranding destinasi wisata daerah Aceh berfungsi sebagai “cahaya benderang” yang mengajak pada nilai-nilai kebaikan, kemakmuran dan memberikan manfaat serta kebaikan bagi semua pihak, dengan salah satu tujuannya yaitu untuk menggerakkan roda perekonomian masyarakat, dianggap belum mampu menjawab persoalan pengangguran dan kemiskinan yang memberikan posisi terbelakang se-Sumatera. Branding destinasi dianggap hanya berpihak kepada golongan tertentu. Hal tersebut sesuai dengan ideologi kapitalisme.

Masyarakat kapitalis adalah masyarakat yang hidup dengan sistem ekonomi yang didasarkan pada pemilikan pribadi atas sarana produksi dan distribusi untuk kepentingan pencarian laba pribadi ke arah pemupukan modal

Universitas Sumatera Utara melalui prinsip-prinsip persaingan bebas. Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumber daya vital yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan maksimal. Karl Marx menyebut para individu tersebut sebagai kaum Borjuis yang mempekerjakan sejumlah besar buruh yang disebut kaum Proletar (Sanderson dalam Narwoko dan Suyanto, 2010: 294).

Pada masyarakat kapitalis, media massa merupakan media yang berorientasi pasar sangat memegang peranan dan menjadi saluran utama untuk memopulerkan budaya baru kepada masyarakat. Budaya baru merupakan suatu bentuk bsudaya yang terbentuk akibat adanya suatu realitas yang terkonstruksi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu identitas tertentu dimana dengan adanya identitas tersebut, manusia dapat menguasai dan mengkonstruksi pikiran orang lain dengan menanamkan berbagai macam ideologi yang dimilikinya demi kepentingan individu atau golongan tertentu. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Guba dan Lincoln, bahwa manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka (Alquddus, 2014: 8). Individu atau golongan yang sanggup melakukan hal tersebut hanyalah individu atau golongan yang menguasai faktor produksi yang ada dan dapat mengendalikan media.

Kapitalisme memungkinkan pemilik modal memproduksi komoditas yang akan menghasilkan keuntungan bagi mereka. Komoditas tersebut diproduksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, namun seringkali dihasilkan untuk menciptakan kebutuhan masyarakat. Iklan, dalam konteks ini, digunakan sebagai salah satu sarana penciptaan tersebut.

Iklan, dalam kontek isi, tidak berbohong, tetapi juga tidak mengatakan yang sebenarnya terhadap realitas yang ada. Tidak ada iklan yang menangkap kehidupan seperti apa adanya, tetapi selalu ada maksud untuk memotret ideal- ideal sosial dan merepresentasikannya sebagai suatu yang normatif, seperti kebahagian, kerukunan, kedamaian, kepuasan dan lain sebagainya.

Menampilkan dan memanfaatkan unsur-unsur kearifan lokal di dalam iklan dapat menjadi nilai tambah dalam pemasaran branding destinasi. Iklan

Universitas Sumatera Utara dengan menggunakan identitas etnik lebih cepat diterima dan diingat oleh masyarakat (Dewi dalam Juditha, 2015: 199). Hal ini dikarenakan identitas etnik yang ditampilkan dalam iklan diwujudkan melalui upacara adat, pakaian tradisional, artefak, seni tari dan lain sebagainya.

Selain itu, media juga turut berpengaruh dalam menentukan besar kecilnya dampak iklan, hal ini dikarenakan iklan yang ditayangkan melalui media massa seperti televisi lebih cepat diketahui oleh masyarakat, selain itu lebih luas jangkauannya dalam arti mencapai segala lapisan masyarakat. Hal tersebut merupakan bagian dari karakteristik komunikasi massa, yaitu komunikannya anonim dan heterogen. Artinya, dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media tidak tatap muka secara langsung. Selain anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda dan dapat dikelompokkan berdasarkan faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi.

Kenyataan multikultural sangat kaya di Indonesia yang menjadi suatu kearifan lokal daerah setempat sangat potensial bagi para produsen yang memberikan perhatian pada aspek kultural. Produsen dapat memanfaatkan kearifan lokal di Indonesia dalam strategi pemasaran mereka. Selain itu juga, dengan menampilkan keanekaragaman etnis dan budaya, pemasar dapat dikatakan telah turut andil dalam menjaga dan melestarikan budaya di Indonesia, meskipun keuntungan dari hasil pemasaran tidak merata ke seluruh lapisan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan oleh peneliti, maka simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Iklan The Light of Aceh menampilkan masjid, talent yang berpakaian muslim, nelayan yang sedang melaut, petani kopi, senjata tradisional Rencong, tari Guel, tari Ranup Lampuan, rumah tradisional Aceh, adab makan dan minum terutama dalam menyambut tamu dan tradisi tahunan Pacu Kude yang menjadi denotasi dalam iklan. 2. Makna konotasi pada iklan The Light of Aceh adalah apa yang ditampilkan di dalam iklan merupakan kearifan lokal provinsi Aceh yang sudah dilakukan oleh para pendahulu di masa lalu dan diwariskan kepada generasi-generasi penerus, sehingga apa yang telah diwariskan tidak hilang begitu saja. Peraturan daerah, kesenian, artefak, tradisi yang sangat beragam, kehangatan dalam bergaul dan menyambut tamu serta kekayaan sumber daya alam yang dianggap dapat mensejahterakan hidup masyarakat merupakan sebuah kearifan lokal yang sudah membudaya di dalam kehidupan masyarakat dan menjadi sebuah identitas budaya masyarakat atau cultural identity. Kearifan lokal yang ada dapat memberikan nilai-nilai kebaikan, kemakmuran dan memberikan manfaat bagi semua pihak, seperti dapat menjadi daya tarik pariwisata dan berpotensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kreatif masyarakat setempat. 3. Masyarakat yang merasakan ketenangan dan kedamaian dalam harmonisasi agama; kekayaan sumber daya alam baik sektor kelautan maupun perkebunan yang dapat mensejahterakan hidup nelayan dan petani; sarana pertahanan diri, petanda sebuah martabat, kehormatan dan keberanian yang disimbolkan melalui senjata tradisional Rencong; pencerminan hidup masyarakat Gayo dengan unsur legenda, gerak,

151 Universitas Sumatera Utara pakaian, tempat, penari dan musik pengiring melalui tari Guel; penghormatan, kekuatan adat dan niat baik dari tuan rumah dalam menyambut tamu yang datang melalui media sirih dalam tari Ranup Lampuan; Rumoh Aceh berfungsi sebagai tempat tinggal masyarakat Aceh yang tidak memiliki meja dan kursi di ruang depan rumah karena fungsinya untuk menyambut tamu yang dipersilahkan duduk bersila; serta simbol silaturahmi antar masyarakat Gayo dalam tradisi pertarungan Pacu Kude, merupakan mitos di dalam iklan karena pada kenyataannya, seluruh kearifan lokal tersebut mengalami pergeseran nilai-nilai di tengah-tengah masyarakat disebabkan oleh globalisasi yang memengaruhi perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat dan kenyataan akan kekayaan sumber daya alam tetapi tidak turut serta dalam mensejahterakan hidup masyarakat. Seluruh unsur yang ditampilkan di dalam iklan merupakan hasil dari konstruksi terhadap realitas yang ada.

5.2 Saran 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi khususnya studi analisis semiotika bagi masyarakat luas terutama masyarakat dan pemerintah provinsi Aceh. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadikan pembaca lebih kritis dan memahami makna dan tanda tentang kearifan lokal suatu daerah yang disampaikan dalam sebuah iklan televisi. Hasil dari penelitian ini dapat direkomendasikan bagi peneliti selanjutnya untuk memperluas dan memperdalam kajian penelitian terkait. 3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan dapat dijadikan bahan rekomendasi guna memperkaya bahan penelitian serta sebagai sumber bacaan bagi mahasiswa.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR REFERENSI

Buku:

Agustrijanto. (2002). Copywriting Seni Mengasah Kreativitas dan Memahami Bahasa Iklan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya. (2004). Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Arief, Muhammad, Candra, Irawan dkk. (2011). Panduan Sekolah Lapangan Budidaya Kopi Konservasi : Berbagi Pengalaman Dari Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara. Jakarta: Conservation International (CI).

Brata, Vincent, Bayu, Tapa. (2007). Videografi dan Sinematografi Praktis. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Bulaeng, Andi. (2004). Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer. Yogyakarta: ANDI OFFSET.

Bungin, Burhan. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Metodologis Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA.

______. (2006). Sosiologi Komunikasi : Teori Paradigma dan Diskursus Teori Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

______. (2007). Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

______. (2008). Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

______. (2015). Komunikasi Pariwisata : Pemasaran dan Brand Destinasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Campbell, Drew. (2002). Technical Film And TV For Nontechnical People. New York: Allworth Press.

Cangara, Hafied. (2007). PengantarIlmu Komunikasi. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA.

Departemen Pendidikan Nasional. (2012). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fiske, John. (2012). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA.

Universitas Sumatera Utara Harahap, S, Arifin. (2007). Jurnalistik Televisi : Teknik Memburu dan Menulis Berita. Jakarta: PT INDEKS.

Hermawan, Agus. (2013). Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kriyantono, Rachmat. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Littlejohn, W, Stephen dan Karen A. Foss. (2009). Teori Komunikasi : Theories of Human Communication. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Moleong, J, Lexy. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Morissan, M.A. (2008). Manajemen Media Penyiaran Strategi Mengelola Radio & Televisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

______. (2010). Periklanan : Komunikasi Pemasaran Terpadu. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mulyana, Deddy dan Solatun. (2013). Metode Penelitian Komunikasi : Contoh Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Narwoko, Dwi, J dan Bagong Suyanto. (2010). Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sastradipoera, Komaruddin. (2005). Mencari Makna di Balik Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Bandung: Penerbit Kappa-Sigma.

Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal : Hakikat, Peran, Dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Sobur, Alex. (2004). Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

______. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sriwitari, Nyoman, Ni dan I Gusti Nyoman Widnyana. (2014). Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: GRAHA ILMU.

Sugiarto, Eko. (2015). Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif : Skripsi dan Tesis.Yogyakarta: Suaka Media Yogyakarta.

Sunarto dan Hermawan. (2011). Mix Methodology Dalam Penelitian Komunikasi. Jakarta: ASPIKOM.

Tinarbuko, Sumbo. (2010). Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra.

Universitas Sumatera Utara Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. (2011). Semiotika Komunikasi : Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Wikantiyoso, Respati dan Pindo Tutuko. (2009). Kearifan Lokal Dalam Perencanaan Dan Perancangan Kota; Untuk Mewujudkan Arsitektur Kota yang Berkelanjutan. Malang: Group Konservasi Arsitektur & Kota.

Yunus, Rasid. (2014). Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa : Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish.

Referensi Jurnal: Akbar, Muhammad dan Anne Maryani. (2016). Pesan Dalam Tari Ranup Lampuan. Universitas Islam Bandung. (repository.unisba.ac.id, diakses pada tanggal 1 Februari 2018 pukul 09.00 WIB).

Ali, Mukti. (2016). PersepsiMasyarakat Gayo Tentang Pacuan Kuda. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. (repository.ar- raniry.ac.id, diakses pada tanggal 15 Februari 2018 pukul 13.00 WIB).

Alquddus, Jani, Rafsan. (2014). Hedonisme Dalam Iklan : Analisis Semiotika Hedonisme Dalam Iklan Televisi Ice Cream Magnum Versi “Undian Berhadiah Wisata Belanja di Lima Kota Besar di Dunia”. Universitas Sumatera Utara. (http://repository.usu.ac.id, diakses pada tanggal 15 November 2017 pukul 09.00 WIB). Ansor, Muhammad. (2014). “Kita Kan Beda!”: Persamaan Remaja Perempuan Muslim dan Kristen di Langsa, Aceh. STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa. (http://jurnalharmoni.kemenag.go.id, diakses pada tanggal 21 April 2018 pukul 14.00 WIB).

Aprilia, Mardiana. (2017). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Nelayan Di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan. Universitas Muhammadiyah Malang. (http://eprints.umm.ac.id, diakses pada tanggal 27 Januari 2018 pukul 07.00 WIB).

Astuti, Puji, Eni dan Ismadi. (2012). Pengembangan Bahan Ajar Mata Kuliah Dasar - Dasar Desain Berbasis Kearifan Lokal Bagi Mahasiswa Pendidikan Seni Rupa. Universitas Negeri Yogyakarta. (eprints.uny.ac.id, diakses pada tanggal 21 Januari 2018 pukul 12.00 WIB).

Bintang, Murni, Magfhirah. (2017). Analisis Struktur Tari Guel Pada Masyarakat Gayo Di Kabupaten Aceh Tengah. Universitas Sumatera Utara. (www.magisterseniusu.com, diakses pada tanggal 19 Januari 2018 pukul 21.00 WIB).

Universitas Sumatera Utara Brata, Bagus, Ida. (2016). Kearifan Budaya Lokal Perekat Identitas Bangsa.Universitas Mahasaraswati Denpasar. (IB Brata - Jurnal Bakti Saraswati (JBS), 2016 - jurnal.unmas.ac.id diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 pukul 11.00 WIB).

Hairumini dkk. (2017). Kearifan Lokal Rumah Tradisional Aceh Sebagai Warisan Budaya Untuk Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami. Universitas Negeri Semarang. (journal.unnes.ac.id, diakses pada tanggal 26 Februari 2018 pukul 14.30 WIB).

Haryono, Tri, Joko, Sri. (2005). Strategi Kelangsungan Hidup Nelayan : Studi tentang diversifikasi pekerjaan keluarga nelayan sebagai salah satu strategi dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Berkala Ilmiah Kependudukan. (madib.blog.unair.ac.id, diakses pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 18.30 WIB).

Judhita, Christiany. (2015). Budaya Dalam Iklan : Analisis Semiotik Iklan So Nice Versi ‘Slank Rame-Rame’. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BBPPKI) Makassar. (C Juditha - Walasuji, 2015- jurnalwalasuji.net, diakses pada tanggal 24 Oktober 2017 pukul 14.00 WIB).

Kampalia, Nikmah. (2006). Makna Tari Guel Dalam Kehidupan Masyarakat Gayo (Suatu Penelitian Di Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah). Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. (http://etd.unsyiah.ac.id, diakses pada tanggal 21 Januari 2018 pukul 11.00 WIB).

Khotimah, Khusnul. (2016). Komunikasi Pariwisata Daerah Di Kabupaten Bojonegoro. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. (http://digilib.uinsby.ac.id/13101, diakses pada tanggal 11 Desember 2017 pukul 14.00 WIB).

Lendy, Pellankorin. (2015). Redesain Logo Esther House of Beauty. Institute Bisnis dan Informatika STIKOM Surabaya. (http://sir.stikom.edu, diakses pada tanggal 4 Februari 2018 pukul 08.00 WIB).

Lukitaningsih, Ambar. (2013). Iklan Yang Efektif Sebagai Strategi Komunikasi Pemasaran. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. (ejurnal.unisri.ac.id, diakses pada tanggal 16 Januari 2018 pukul 11.00 WIB).

Misdalina. (2015). Alat Musik Tradisional Suling Gayo Di Desa Toweren Kecamatan Lut Tawar Kabupaten Aceh engah. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. (http://etd.unsyiah.ac.id, diakses pada tanggal 24 Jauari 2018 pukul 10.00 WIB).

Universitas Sumatera Utara Nasruddin. (2014). Pengaruh Konflik GAM-RI Terhadap Kehidupan Beragama, Sosial dan Politik Rakyat Aceh (1976-2005). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. (http://digilib.uin-suka.ac.id/11792/, diakses pada tanggal 11 November 2017 pukul 14.00 WIB).

Pakpahan, Novie, Elsa. (2017). Bentuk Penyajian Tari Ranup Lampuan (Studi Komparatif Makna Filosofi Antara Sanggar Lempia Dan Sanggar Nurul Alam. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. (https://repository.ar-raniry.ac.id, diakses pada tanggal 2 Februari 2018 pukul 12.00 WIB).

Pintenate, Amalia dan Bukhari. (2017). Pacuan Kuda Dalam Kajian Sosiologi (Suatu Penelitian Di Kabupaten Bener Meriah). Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. (jim.unsyiah.ac.id, diakses pada tanggal 15 Februari 2018 pukul 14.00 WIB).

Putra, Aulia, Riza dan Agus S Ekomadyo. (2015). Penguraian Tanda (Decoding) Pada Rumoh Aceh Dengan Pendekatan Semiotika. Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Insitut Teknologi Bandung. ( journal.unika.ac.id, diakses pada tanggal 11 Februari 2018 pukul 09.00 WIB).

Rahma, Sitti. (2013). Estetika dan Etika Tari Guel dalam Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah. Universitas Negeri Medan. (http://jurnal.unimed.ac.id, diakses pada tanggal 12 Januari 2018 pukul 02.45 WIB).

Ramadhan, Rahmat. (2012). Proses dan Makna Simbolik Kerajinan Rencong Aceh Produksi H. Harun Keuchik Leumik. Universitas Negeri Yogyakarta. (eprints.uny.ac.id, diakses pada tanggal 25 Februari 2018 pukul 08.00 WIB).

Retnowati, Endang. (2011). Nelayan Indonesia Dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif Sosial, Ekonomi dan Hukum). Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. (http://jurnal-perspektif.org, diakses pada tanggal 27 Januari 2018 pukul 14.00 WIB).

Safitri, Dwi, Fradina. (2012). Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi : Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan WRP “Diet To Go” di Televisi Swasta. Universitas Sumatera Utara. (http://repository.usu.ac.id, diakses pada tanggal 17 November 2017 pukul 14.00 WIB).

Sari, Novita, Desi. (2016). Adab Makan dan Minum Dalam Masyarakat : Kajian Sosiologi Budaya. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. (http://etd.unsyiah.ac.id, diakses pada tanggal 12 Februari 2017 pukul 14.00 WIB).

Universitas Sumatera Utara Shadiqin, Ihsan, Sehat. (2010). Islam dan Masyarakat Kosmopolit: Relevankah Syariat Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh. (http://e-journal.iainjambi.ac.id, diakses pada tanggal 20 Januari 2018 pukul 02.45 WIB).

Sidabutar, Prandani. (2014). Pengaruh Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) Terhadap Kesejahteraan Petani Di Desa Dipar Hataran Kecamatan Jorlanghataran Kabupaten Simalungun. Universitas Sumatera Utara. (http://repository.usu.ac.id, diakses pada tanggal 29 Januari 2018 pukul 14.00 WIB).

Sudiana, Dendi. (2001). Tipografi : Sebuah Pengantar. Universitas Islam Bandung. (ejournal.unisba.ac.id, diakses pada tanggal 4 Februari 2018 pukul 10.00 WIB).

Suryadi dan Hamid, Humam, A. (2013). Strategi Bertahan Hidup Petani Kopi Pasca Konflik : Studi Kasus Di Kecamatan Kute Panang Kabupaten Aceh Tengah. Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. (http://jurnal.unsyiah.ac.id, diakses pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 17.00 WIB).

Syamsiar, Cia. (2010). Bentuk-Bentuk Kearifan Lokal Dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia Sebagai Sumber Gagasan Berkarya Seni Rupa. Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. (http://jurnal.isi-ska.ac.id, diakses pada tanggal 11 Januari 2018 pukul 21.00 WIB).

Waryanti, Sri. (2013). Makna Rencong Bagi Ureueng Aceh. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh. (http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id, diakses pada tanggal 2 Januari 2018 pukul 7.30 WIB).

Sumber Lain: https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Aceh_Merdeka (diakses pada tanggal 25 Oktober 2017 pukul 09.30 WIB). https://id.wikipedia.org/wiki/Kearifan_lokal (diakses pada tanggal 26 Oktober 2017pukul 11.00 WIB). https://nasional.tempo.co/read/malaysia-sudah-tujuh-kali-mengklaim-budayari (diakses pada tanggal 30 November 2017 pukul 21.00 WIB). www.indonesia.travel (diakses pada tanggal 2 Desember 2017 pukul 08.00 WIB). https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Menteri_Pariwisata_Indonesia (diakses pada tanggal 2 Desember 2017 pukul 10.00 WIB). https://id.wikipedia.org/wiki/Arief_Yahya (diakses pada tanggal 2 Desember 2017 pukul 10.20 WIB).

Universitas Sumatera Utara http://travel.kompas.com/Apa.Beda.Antara.Logo (diakses pada tanggal 2 Desember2017 pukul 14.00 WIB). http://www.kemenpar.go.id (diakses pada tanggal 3 Desember 2017 pukul 09.00 WIB). http://travel.kompas.com/Mantap.Wonderful.Indonesia.Sabet.3.Penghargaan.di. ASEANTA.Manila(diakses pada tanggal 10 Desember 2017 pukul 19.00 WIB). https://www.cnnindonesia.com (diakses pada tanggal 10 Desember 2017 pukul 19.15 WIB). http://nationalgeographic.co.id (diakses pada tanggal 10 Desember 2017 pukul 19.30 WIB). http://lifestyle.liputan6.com (diakses pada tanggal 10 Desember 2017 pukul 19.45 WIB). http://travel.kompas.com/read///kembali.wonderful.indonesia.juara.di.itb.berlin (diakses pada tanggal 10 Desember 2017 pukul 20.00 WIB). https://pesona.indonesia.travel/berita/video-promosi-wonderful-indonesia-raih penghargaan-tertinggi-di-festival-internasional/ (diakses pada tanggal 10 Desember 2017 pukul 20.15 WIB). http://travel.kompas.com/bangga-indonesia-raih-2-penghargaan-di-kompetisi video pariwisata-dunia-unwto (diakses pada tanggal 10 Desember 2017 pukul 20.30 WIB). www.wisataterindah.net (diakses pada tanggal 10 Januari 2018 pukul 12.00 WIB). http://www.galerikonveksi51.com/jenis-kemeja-pria/ (diakses pada tanggal 12Januari 2018 pukul 09.00 WIB). https://www.kaskus.co.id/thread//asal-usul-kopi-aceh/ (diakses pada tanggal 28Januari 2018 pukul 15.00 WIB). https://majalah.ottencoffee.co.id/kenapa-kopi-berwarna-hitam/ (diakses pada tanggal 29Januari 2018 pukul 09.00 WIB). http://kopi-papua.com/cara-menyimpan-biji-kopi-mentah-yang-benar.html/ (diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 07.00 WIB). https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup//pikat-aroma-kopi-gayo-dari-aceh tengah(diakses pada tanggal 31 Januari 2018 pukul 07.00 WIB). http://medansafety.com/fungsi-jenis-alat-pelindungan-diri/ (diakses pada tanggal 4Februari 2018 pukul 10.00 WIB). https://id.wikipedia.org/wiki/Rencong (diakses pada tanggal 4 Februari 2018 pukul 11.00WIB).

Universitas Sumatera Utara http://www.wacana.co/2014/04/rencong-aceh (diakses pada tanggal 4 Februari 2018pukul 12.00 WIB). http://www.negerikuindonesia.com (diakses pada tanggal 7 Februari 2018 pukul 07.00WIB). http://budaya-indonesia.org/canang (diakses pada tanggal 7 Februari 2018 pukul 09.00 WIB). https://www.acehprov.go.id//jelajah/alat-musik-tradisional-di-aceh.html (diakses pada tanggal 7 Februari 2018 pukul 10.00 WIB). https://www.acehprov.go.id///tarian-ranub-lampuan.html (diakses pada tanggal 8 Februari 2018 pukul 12.00 WIB). https://ekspektasia.com/pakaian-adat-aceh/ (diakses pada tanggal 8 Februari 2018 pukul 07.00 WIB). http://aceh.net/news/detail/makna-filosofis-dibaik-pakaian-adat-aceh (diakses pada tanggal 9 Februari 2018 pukul 09.00 WIB). http://www.kamerabudaya.com (diakses pada tanggal 9 Februari 2018 pukul 11.00 WIB). http://maa.acehjayakab.go.id (diakses pada tanggal 9 Februari 2018 pukul 11.00 WIB). https://www.kompasiana.com/hack87/mengenal-lebih-dekat-rumoh-aceh (diakses pada tanggal 19 Februari 2018 pukul 15.00 WIB). https://www.djkn.kemenkeu.go.id (diakses pada tanggal 10 Februari 2018 pukul 08.00 WIB). https://www.bandaacehtourism.com (diakses pada tanggal 10 Februari 2018 pukul 09.00 WIB). https://www.arrahmah.com (diakses pada tanggal 10 Februari 2018 pukul 11.00 WIB). http://www.tribunnews.com/tribunners//potensi-perikanan-melimpah-seharusnya nelayan-aceh-sejahtera (diakses pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 08.00 WIB). http://aceh.tribunnews.com/2011/12/05/memiskinkan-petani-kopi (diakses pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 12.00 WIB). http://www.lintasgayo.com/37356/dilema-kehidupan-petani-kopi.html (diakses pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 12.00 WIB). http://regional.kompas.com/read//Petani.Kopi.Gayo.yang.Selalu.dalam.Posisi.Ter mpit (diakses pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 12.00 WIB).

Universitas Sumatera Utara http://www.ajnn.net/news/mata-rantai-ekspor-kopi-gayo-rugikan-petani-ini-kata tagore/index.html (diakses pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 13.00 WIB). http://www.bbc.com/indonesia/majalah-42901494 (diakses pada tanggal 25 Februari 2018 pukul 08.00 WIB). https://vik.kompas.com/senjata-tradisional-indonesia/beberapa-senjata tradisional-indonesia (diakses pada tanggal 25 Februari 2018 pukul 10.00 WIB). https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/2014/12/04/281/ (diakses pada tanggal 25 Februari 2018 pukul 13.00 WIB). https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2014/01/26/rumah-aceh-atau rumoh-aceh/ (diakses pad tanggal 25 Februari 2018 pukul 18.00 WIB). http://disbudpar.acehprov.go.id (diakses pada tanggal 26 Februari 2018 pukul 08.00 WIB). https://aceh.bps.go.id (diakses pada tanggal 27 Februari 2018 pukul 12.00 WIB). http://harian.analisadaily.com (diakses pada tanggal 27 Februari 2018 pukul 17.00 WIB). http://www.academia.edu/6414334/HURUF_and_TIPOGRAFI (diakses pada tanggal 28 Februari 2018 pukul 10.00 WIB).

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Logo Brand The Light of Aceh

Lampiran 2 : Potongan Gambar

V

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

BIODATA PENELITI

Nama : Rafiqah Yusna Siregar

NIM : 140904020

Jurusan : Ilmu Komunikasi (S1)

Konsentrasi : Public Relations (PRs)

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 13 September 1996

Agama : Islam

Alamat : Jalan Perhubungan, Perumahan RPP 2, blok H-5,

Laut Dendang, Deli Serdang

Orangtua : (Alm) Mukhriza Syahputra Siregar

Dra. Cicik Suriani, M.Si

Saudara : Muhammad Reza Gama Siregar, S.Pd

Risa Gama Siregar S.Kom

Pendidikan : 1. TK Pertamina UP. 1 Pangkalan Brandan

2. SD Pertamina UP. 1 Pangkalan Brandan

3. SD Negeri No. 050743 Pangkalan Brandan

4. SMP Negeri 2 Babalan, Pangakalan Brandan

5. SMA Negeri 1 Babalan, Pangkalan Brandan

6. Ilmu Komunikasi FISIP USU

Organisasi : Himpunan Mahasi

Universitas Sumatera Utara