Representasi Perilaku Nepotisme dalam Ilustrasi Sampul Majalah Berita Mingguan TEMPO Edisi 10 Desember 2020

(Analisis Semiotika Teori Roland Barthes pada Ilustrasi Sampul Majalah Berita Mingguan TEMPO edisi 10 Desember 2020 terhadap Representasi Perilaku Nepotisme)

Dhika Chandra Devi Monika Sri Yuliarti

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sebelas Maret

Abstract

The phenomenon of the participation of two members of the President's family, Gibran Rakabuming Raka and Bobby Nasution in the 2020 regional elections, led to many assumptions in the community. One of them is the allegations related to the practice of nepotism conducted by the President's family. Many news reports have emerged related to the existence of the phenomenon. Therefore, this study aims to find out how the representation of nepotism behavior contained in the illustration on the cover of TEMPO Weekly News Magazine issue of December 10, 2020 entitled "Keluarga Berjaya" related to the phenomenon of participation of two members of the Presidential family in the 2020 elections.

This study used qualitative methods with semiotic analysis of Roland Barthes models to explore denotative, connotative, and mythical meanings. As a result, some of the objects contained in the illustration have a pseudo meaning, especially in the object of rice and cotton emblems that contain the meaning of justice and prosperity. When viewed from the events that occurred and the track record of the President's performance to date, many assumptions that arise related to the purpose of the concept of justice and prosperity itself, whether for the public at large or for certain circles only. Illustrations in the form of caricatures are also able to cause bias meaning in the reader when connected with various political phenomena that occur in today. With this caricature, MBM TEMPO strives to encourage the public to be more critical in monitoring the government's performance.

Keywords: Nepotism Behavior, MBM TEMPO, Semiotics Roland Barthes Pendahuluan

Kondisi Politik Indonesia yang tidak stabil seperti saat ini membuat kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah semakin luntur. Tantangan ketahanan persatuan dan kesatuan negara pun mengalami cobaan berat. Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, salah satunya adalah praktik dinasti politik. Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2020 yang dilakukan di tengah masa Pandemi Covid-19 menimbulkan polemik lantaran seperlima dari seluruh peserta Pilkada adalah bagian dari dinasti politik tingkat lokal maupun nasional. Pada pemilihan Kepala Daerah tersebut terdapat dua calon yang menjadi sorotan, yaitu anak dan menantu Presiden . Kedua Calon Kepala Daerah tersebut adalah, Gibran Rakabuming Raka yang mencalonkan diri di Kota Solo dan Bobby Afif Nasution yang mencalonkan diri di Kota . Dugaan Presiden Joko Widodo menerapkan perilaku nepotisme dalam pilkada pun muncul seiring terjadinya fenomena tersebut. Sehingga, peneliti tergugah untuk membahas masalah tersebut untuk menjadi dasar pada penelitian ini.

Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara (Government of Indonesia 1999). Pada praktiknya, peneliti melihat politik nepotisme menjadi hal yang wajar seakan-akan hal tersebut telah menjadi budaya dalam kepemimpinan di Indonesia. Perilaku nepotisme bahkan tidak ditindak secara tegas sehingga rantai perilaku ini belum dapat terputus. Secara umum, perilaku nepotisme menjadi tonggak awal terjadinya korupsi. Menurut data indikator pemerintahan global (The World Bank 2020), indeks kontrol terhadap korupsi di Indonesia mengalami peningkatan. Meskipun demikian, peningkatan tersebut dinilai tidak signifikan dan masih dibawah rata-rata negara di ASEAN. Untuk itu, peneliti menganggap nepotisme menjadi permasalahan yang cukup serius dan dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan bernegara di Indonesia. Keikutsertaan kedua anggota keluarga Presiden Jokowi ini ramai diperbincangkan masyarakat hingga media-media nasional pun menjadikannya sebagai headline dalam berita. Salah satu media yang mengangkatnya yaitu Majalah Berita Mingguan (MBM) TEMPO edisi 10 Desember 2020. Pada edisi tersebut, MBM TEMPO menerbitkan sebuah ilustrasi berupa karikatur yang membahas tentang keikutsertaan Gibran dan Bobby pada Pilkada Serentak 2020. Sumadiria mendefinisikan karikatur sebagai gambar wajah dan karakteristik seseorang yang diekspresikan secara berlebih-lebihan (Sumadiria 2005). Menurut Lukman dalam Sumadiria, karikatur juga sering dipakai sebagai sarana kritik sosial dan politik (Sumadiria 2005).

Peneliti melihat terdapat berbagai tanda yang memiliki maksud dan makna tersendiri yang terkandung dalam karikatur tersebut. Oleh sebab itu, peneliti bermaksud untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana MBM TEMPO menggambarkan perilaku nepotisme melalui ilustrasi pada sampul majalahnya menggunakan penelitian kualitatif dengan analisis semiotika.

Menurut Roland Barthes dalam Sobur, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Barthes mengkaji tanda-tanda melalui dua pendekatan, yakni makna denotatif (eksplisit) dan makna konotatif (implisit), serta tiga tahapan yaitu, denotasi, konotasi dan mitos (Sobur 2013). Oleh karena itu, peneliti menganggap metode analisis semiotika Roland Barthes merupakan metode analisis yang paling tepat untuk digunakan dalam penelitian ini, sehingga peneliti dapat mengkaji tanda-tanda secara mendalam.

Dalam hal ini, peneliti akan mengkaji makna dari tanda-tanda yang disampaikan oleh sang karikaturis. Secara khusus, peneliti akan menggali tanda- tanda yang merepresentasikan perilaku nepotisme serta mencari tahu bagaimana media, dalam hal ini MBM TEMPO, merespon suatu fenomena yang terjadi. Dalam kaitannya dengan dunia jurnalistik, serta melihat sifat media yang dapat membawa pengaruh luas, peneliti bermaksud untuk mengetahui bagaimana MBM TEMPO menyampaikan pandangannya melalui ilustrasi pada sampulnya. Rumusan Masalah

Bagaimana representasi perilaku nepotisme dalam ilustrasi sampul Majalah Berita Mingguan TEMPO edisi 10 Desember 2020 dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes?

Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: a) Menjadi rujukan untuk penelitian dengan permasalahan atau topik yang sama di kemudian hari. b) Menjadi referensi bagi penelitian studi semiotika dalam kajian ilmu komunikasi dengan menggunakan metode semiotika Roland Barthes. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: a) Menjadi referensi tentang bagaimana MBM TEMPO merespon keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Afif Nasution dalam Pilkada serentak 2020 melalui ilustrasi pada sampul edisi 10 Desember 2020. b) Bermanfaat bagi praktisi komunikasi, khususnya disiplin ilmu jurnalistik dalam memahami pemaknaan simbol dan tanda dalam suatu halaman sampul. c) Menjadi bentuk respon terhadap ilustrasi pada sampul MBM TEMPO edisi 10 Desember 2020 tentang representasi perilaku nepotisme. 3. Manfaat untuk Masyarakat Peneliti berharap hasil dari penelitian ini mampu membuka kesadaran masyarakat akan arti nepotisme yang sesungguhnya. Dengan demikian masyarakat mampu berperan aktif dalam mengawasi sistem politik di Indonesia.

Landasan Teori

1. Perilaku Nepotisme Sigmund Freud mendefinisikan perilaku sebagai hasil interaksi subsistem dalam kepribadian manusia yaitu Id, Ego, dan Superego (Sobur 2011). Perilaku memiliki 2 jenis, yaitu Perilaku tertutup yang merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Perilaku terbuka (over behavior) yang berupa tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain (Walgito 2003). Secara etimologis, istilah “nepotisme” berasal dari bahasa Latin, yaitu “Nepos” yang artinya keponakan atau cucu. Sehingga kata nepotisme dapat didefinisikan sebagai tindakan pemilihan orang bukan berdasarkan kemampuannya, tetapi atas dasar hubungan kekeluargaan atau kedekatan semata. Menurut KBBI, nepotisme merupakan kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan Pemerintah (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2016). Nepotisme adalah sikap seseorang (pemimpin) yang menggunakan keistimewaan terkait dengan posisinya untuk memihak kerabatnya. Praktik ini diamati secara luas di lembaga dan organisasi publik (Id 2018). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku nepotisme merupakan tindakan yang dilakukan oleh suatu individu yang dinilai dapat menguntungkan kerabat atau keluarganya terutama dalam jabatan di lingkup pemerintahan. Biasanya perilaku nepotisme ditandai dengan adanya kesenjangan dan ketidakadilan dalam pelaksanaan pemberian fasilitas. Perilaku nepotisme juga kerap mengabaikan kesempatan orang yang lebih kompeten dalam bidangnya dengan tujuan menguntungkan anggota keluarganya. 2. Jurnalistik Secara etimologis, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Perancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Onong Uchjana Effendy mengemukakan, secara sederhana jurnalistik dapat didefinisikan sebagai teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada masyarakat (Sumadiria 2005). Dilihat dari segi bentuk dan pengelolaannya, jurnalistik terbagi menjadi 3 bentuk, antara lain: 1) Jurnalistik media cetak. Jurnalistik media cetak sangat dipengaruhi 2 faktor yaitu verbal dan visual. Faktor verbal menekankan pada kemampuan kita memilih dan menyusun kata dalam rangkaian kalimat dan paragraf yang efektif dan komunikatif. Sedangkan faktor visual menekankan pada kemampuan kita dalam menata, menempatkan, mendesain tata letak karena dapat membangkitkan minat dan selera baca pembaca (Sumadiria 2005). 2) Jurnalistik media elektronik auditif Jurnalistik media elektronik auditif atau jurnalistik radio siaran lebih banyak dipengaruhi oleh dimensi verbal, teknologikal, dan fisikal. Verbal berkaitan dengan kemampuan menyusun kata, kalimat, dan paragraf yang efektif dan komunikatif. Teknologikal berkaitan dengan teknologi yang memungkinkan daya pancar radio dapat ditangkap dengan jelas dan jernih oleh penerima. Sedangkan fisikal berkaitan dengan tingkat kemampuan khalayak dalam menyerap dan mencerna setiap pesan kata yang disampaikan (Sumadiria 2005). 3) Jurnalistik media elektronik audiovisual Jurnalistik media elektronik audiovisual atau jurnalistik televisi siaran merupakan gabungan dari segi verbal, visual, teknologikal dan dimensi dramatikal. Verbal berkaitan dengan kata-kata yang disusun secara singkat, padat, efektif. Visual lebih banyak menekankan pada gambar yang tajam, jelas, hidup, memikat. Teknologikal berkaitan dengan daya jangkau siaran, kualitas suara dan gambar yang dihasilkan serta diterima oleh pesawat televisi di rumah-rumah. Dramatikal berarti bersinggungan dengan nilai dramatik yang dihasilkan oleh rangkaian gambar yang dihasilkan secara simultan. Televisi dapat dengan mudah memindahkan setiap peristiwa yang terjadi di dunia, ke ruang tamu ataupun ruang tidur pemirsa pada saat bersamaan. Aspek dramatik inilah yang tidak dimiliki oleh media massa radio dan surat kabar (Sumadiria 2005). 3. Majalah Menurut KBBI (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2016), majalah merupakan terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui pembaca. Majalah dirancang untuk disimpan dalam waktu yang lebih lama dibanding surat kabar (Danesi 2010). Sampul menjadi bagian penting dalam sebuah majalah. Ketika seseorang akan membeli majalah, hal pertama yang diperhatikan dari majalah tersebut adalah sampul. Sehingga, semakin menarik sampul tersebut dibuat, maka akan semakin orang tertarik untuk membeli dan membaca majalah tersebut. 4. Teori Simbol Menurut Hartoko dan Rahmanto menjelaskan bahwa secara etimologis simbol berasal dari kata Yunani "sym-ballein" yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. Biasanya simbol terjadi berdasarkan metonimi, yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya. Semua simbol melibatkan tiga unsur: simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbolik (Sobur 2013). Manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan abstraksi, yang merupakan sebuah proses pembentukan ide umum dari sebentuk keterangan konkret berdasarkan konotasi dan denotasi dari simbol. Abstraksi merupakan proses yang mengesampingkan detail dalam memahami objek, peristiwa, atau situasi secara umum (Littlejohn dan Foss 2009). Simbol dan tanda sama-sama berusaha menjembatani proses komunikasi. Secara umum, tujuan dari komunikasi sendiri adalah bagaimana suatu pesan dapat tersampaikan dengan tepat dari komunikator kepada komunikan. 5. Analisis Semiotika Barthes Menurut Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur 2013). Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal. Memaknai dalam hal ini tidak dapat mencampuradukkan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti objek-objek tidak hanya membawa informasi, dimana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur 2013). Sobur menjelaskan mengenai salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Para ahli semiotik aliran konotasi pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui makna konotasi (Sobur 2013). Dalam sistem analisis semiotika model Barthes terdapat beberapa tingkatan pemakaan, antara lain: 1) Sistem pemaknaan tingkat pertama (Denotatif) Secara umum Sobur memaknai denotasi sebagai makna harfiah atau makna yang sesungguhnya, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan (Sobur 2013). Denotasi merupakan bagian dari tataran pertandaan pertama yang menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan ereferennya dalam realitas eksternal (Fiske 1990). 2) Sistem pemaknaan tingkat kedua (Konotatif) Makna konotasi adalah makna yang dapat diberikan pada lambang- lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang karenanya berada pada signifikansi tingkat kedua. Makna denotatif akan selalu sama, sedangkan perbedaannya akan ada dalam konotasinya (Fiske 1990). Konotasi berubah-ubah mengikuti perkembangan sejarah. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Sobur 2013). 3) Mitos Dalam mitos terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun, sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua (Sobur 2013). Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang percaya, dalam artian yang orisinal. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Mitos ada sebelum foto, dan foto mengaktifkan mata rantai konsep yang membentuk mitos. Bila konotasi merupakan pemaknaan tataran kedua dari penanda, mitos merupakan pemaknaan tataran kedua dari petanda (Fiske 1990).

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif yang bertujua untuk menganalisis representasi perilaku nepotisme pada ilustrasi yang terdapat dalam sampul MBM TEMPO edisi 10 Desember 2020. Penelitian ini menggunakan data primer berupa ilustrasi berjudul “Keluarga Berjaya”. Sementara data sekunder penelitian ini ialah studi kepustakaan berbagai literatur baik cetak maupun digital berbentuk buku, jurnal, artikel, maupun sumber lain. Penelitian ini menitikberatkan pada semiotika Roland Barthes. Pada tahap pertama, penelitian akan mencari data berupa ilustrasi sampul Majalah Berita Mingguan TEMPO edisi 10 Desember 2020. Peneliti akan mencari hubungan antara representasi perilaku nepotisme dengan makna yang terkandung dalam ilustrasi sampul tersebut. Peneliti juga akan mencari berbagai sumber literatur yang berhubungan dengan ilustrasi tersebut. Penelitian akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui analisis semiotika Roland Barthes.

Analisis semiotika Barthes akan mencari makna denotasi, konotasi, dan mitos pada simbol-simbol yang ditonjolkan dalam ilustrasi sampul tersebut. Dari analisis ini, maka peneliti akan mendapat data berupa makna denotatif, konotatif dan mitos. Nantinya, hasil penelitian ini akan dihubungkan dengan realitas yang terjadi saat ini.

Penyajian dan Analisis Data

Pada penelitian ini, peneliti membedah ilustrasi pada sampul Majalah Berita Mingguan (MBM) TEMPO edisi 10 Desember 2020, berupa karikatur yang berjudul “Keluarga Berjaya”. Judul tersebut merefleksikan pemberitaan mengenai keikutsertaan dua anggota keluarga Presiden Joko Widodo, yaitu Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Afif Nasution. Kedua anggota keluarga Presiden tersebut sama-sama mencalonkan diri sebagai Walikota Surakarta dan Walikota Medan di waktu yang bersamaan. Keikutsertaan dua anggota keluarga Presiden Jokowi memunculkan berbagai persepsi dalam masyarakat, khususnya anggapan praktik perilaku nepotisme.

Pembedahan ilustrasi sampul MBM TEMPO edisi 10 Desember 2020 tersebut peneliti lakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika model Roland Barthes. Melalui analisis tersebut, peneliti dapat melihat hubungan antara penanda dengan pertanda yang terdapat dalam ilustrasi sampul tersebut. Tahap pertama yang peneliti lakukan dalam analisis ini adalah pembacaan makna denotasi, yaitu makna harfiah yang dapat terlihat secara langsung dalam karikatur tersebut. Selanjutnya, peneliti melakukan analisis untuk mendapatkan makna konotasi, dimana makna akan muncul akibat dari adanya interaksi antara penanda, petanda, dan aspek “dunia luar”. Pada tahap terakhir, peneliti juga akan mengungkap makna mitos yang dibangun oleh TEMPO dalam ilustrasi tersebut.

1. Analisis Denotatif Pada Ilustrasi Sampul MBM TEMPO Edisi 10 Desember 2020 Dalam penelitian ini, peneliti membagi objek kedalam empat unsur untuk mempermudah jalannya identifikasi. Keempat unsur tersebut yakni, objek utama yaitu sosok yang menyerupai Presiden Joko Widodo, Gibran, Bobby, dan Ibu Iriana, objek lain yaitu gambar padi dan kapas, teks yang bertuliskan “Keluarga Berjaya” yang ditulis dengan font yang tegas dan berwarna hitam, serta latar belakang polos berwarna putih. Dari hasil analisis tersebut peneliti menemukan bahwa Terdapat gambaran sebuah keluarga yang digambarkan sebagai Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, Bobby Afif Nasution dan Ibu Iriana. Keempat tokoh dalam karikatur tersebut saling bergandengan tangan dengan kaki seperti melangkah. Adapun ekspresi tokoh-tokoh dalam gambar tersebut digambarkan dengan ekspresi bahagia, terlihat dari senyum di wajah masing-masing tokoh kecuali tokoh yang menggambarkan Gibran karena ekspresinya nampak datar saja. Terdapat pula lambang padi dan kapas yang hampir mengelilingi keempat tokoh dalam karikatur tersebut. Pada bagian atas gambar terdapat judul “Keluarga Berjaya” yang dicetak dengan ukuran cukup besar berwarna hitam. Jika dilihat secara seksama karikatur berjudul “Keluarga Berjaya” tersebut mirip dengan logo program Pemerintah yakni “Keluarga Berencana”. Kemiripan tersebut nampak dari berbagai unsur didalamnya yaitu objek utama yang menggambarkan sebuah keluarga yang terdiri dari ibu, ayah dan dua anak ditengah, objek pendukung berupa lambang padi dan kapas, karakteristik teks judul, serta warna latar belakang yaitu putih polos. Dari hasil analisis tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa karikatur “Keluarga Berjaya” merupakan gambaran dari logo “Keluarga Berencana” yang digambarkan dengan dilebih-lebihkan. 2. Analisis Konotatif Pada Ilustrasi Sampul MBM TEMPO Edisi 10 Desember 2020 Konotasi digunakan untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tataran pertandaan kedua. Makna denotatif akan selalu sama, sedangkan perbedaannya akan ada dalam konotasinya (Fiske 1990). Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Barthes menjelaskan bahwa yang terbentuk dari tatanan konotasi adalah makna yang berhubungan dengan cara menghubungkan penanda- penanda dengan aspek kultural yang lebih luas lagi, seperti sikap, kerangka kerja, keyakinan-keyakinan, serta ideologi suatu formasi sosial tertentu (Barker 2005). Hal tersebut tentu membuat pemaknaan konotasi sangat erat hubungannya dengan berbagai aspek kultural dan sejarah yang lebih luas lagi, sehingga setiap tanda pasti terkoneksi dengan begitu banyak pemahaman. Dalam pembedahan makna konotasi, peneliti mendapatkan beberapa temuan, atara lain: a. Penggambaran tokoh Presiden Joko Widodo, Gibran, Bobby, dan Ibu Iriana Dalam ilustrasi yang terdapat pada MBM TEMPO edisi 10 Desember 2020, tokoh Presiden Joko Widodo, Bobby, dan Ibu Iriana digambarkan dengan ekspresi bahagia dengan pose kaki yang siap melangkah. Penggambaran ini menunjukkan kemantapan dan rasa bahagia dalam menyongsong kejayaan yang akan mereka dapatkan. Berbeda dengan tokoh lainnya, tokoh Gibran justru digambarkan dengan ekspresi cemas yang menunjukkan bahwa dirinya cemas akan hasil atau dampak yang akan diperoleh. Meskipun demikian, keempat tokoh dalam ilustrasi tersebut nampak saling bergandengan tangan yang berarti bahwa mereka saling mendukung apa yang akan mereka lakukan, dalam hal ini adalah turut serta dalam Pilkada 2020. b. Teknik Pencahayaan Cahaya yang jatuh tepat di depan keempat tokoh tersebut menandakan bahwa merekalah pemeran utama dalam dunia politik saat ini. Pencahayaan tersebut juga menggambarkan kejayaan yang sedang mereka dapatkan saat ini mengingat keempat tokoh tersebut sedang menjadi orang-orang yang berpengaruh di Indonesia. Terlebih dengan fenomena keikutsertaan Gibran dan Bobby dalam Pilkada 2020, cahaya yang menggambarkan kejayaan tersebut fokus kepada keempat tokoh dalam ilustrasi. c. Lambang Padi dan Kapas Padi dan kapas melambangkan kemakmuran dan keadilan. Dalam hal ini, lambang tersebut dapat berarti kemakmuran untuk tokoh-tokoh dalam ilustrasi tersebut serta keadilan bagi Gibran dan Bobby karena siapa saja berhak untuk mencalonkan diri dalam Pesta demokrasi, ataupun untuk seluruh rakyat Indonesia. Namun jika dilihat dari pewarnaannya, padi dan kapas dalam ilustrasi tersebut seakan mengungkapkan bagaimana keadilan dan kemakmuran yang masih semu bagi rakyat Indonesia. d. Teks “Keluarga Berjaya” Teks ini merujuk pada fenomena keikutsertaan Gibran dan Bobby dalam Pilkada 2020. Jika dilihat dari paduan kata yang digunakan, peneliti melihat bahwa kata-kata tersebut hanya mengungkapkan tentang keluarga yang sedang berjaya. Teks ini menegaskan bahwa tokoh-tokoh dalam ilustrasi tersebut merupakan gambaran keluarga yang tengah berjaya. e. Latar Belakang Putih Latar belakang dengan warna tersebut menunjukkan makna kesucian, kebenaran, serta ketidak bersalahan. Dalam konteks ini, latar belakang tersebut juga menunjukkan makna cahaya. Cahaya tersebut berarti kejayaan yang sedang mereka miliki. Dari hasil analisis tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa makna konotasi pada ilustrasi tersebut seolah mengatakan bawa Keikutsertaan Gibran dan Bobby dalam Pilkada 2020 membawa keluarga Presiden Joko Widodo mencapai puncak kejayaannya. Meskipun demikian, berdasar pada fenomena tersebut keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia patut untuk dipertanyakan karena masih semu. Apakah keadilan dan kemakmuran tersebut tertuju untuk seluruh rakyat Indonesia atau hanya kerabat dekat Presiden yang dapat merasakannya. Dengan adanya fenomena ini maka keluarga Presiden Joko Widodo menjadi pusat perhatian banyak perhatian. 3. Analisis Mitos Pada Ilustrasi Sampul MBM TEMPO Edisi 10 Desember 2020

Mitos merupakan sistem semiologis tatanan kedua (second-order semiological system) yang merupakan hasil bentukan dari rantai semiologis yang telah ada sebelumnya. Pada sistem sekunder, Barthes menggunakan beberapa unsur dalam mitos, yaitu form, concept, dan signification (Sunardi 2004). Unsur form berasal dari hasil pemaknaan konotasi pada tatanan sistem penandaan pertama. Dalam membedah makna mitos, peneliti perlu untuk menghubungkan form dan concept. Hubungan dari kedua unsur tersebut akan terbentuk dari aspek kultural dan historis yang terkandung pada ilustrasi dalam sampul MBM TEMPO edisi 10 Desember 2020 mengenai keikutsertaan dua anggota keluarga Presiden Joko Widodo dalam Pilkada 2020. Untuk menjelaska makna concept, peneliti menganggap elemen padi dan kapas menjadi elemen yang cukup penting dalam ilustrasi tersebut. Padi dan kapas yang dianggap sebagai simbol kemakmuran dan keadila erat kaitannya dengan sejarah lambang Garuda Pancasila. Sesuai dengan susunan posisi lambang-lambang pada perisai yang terdapat pada lambang Garuda Pancasila, lambang padi dan kapas berada pada posisi kelima dimana lambang tersebut merupakan representasi dari sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Padi dan kapas merupakan kebutuhan dasar manusia, dimana padi merupakan makanan pokok rakyat Indonesia, sedangkan kapas merupakan bahan utama untuk membuat pakaian. Kedua hal tersebut merupakan syarat untuk mencapai kemakmuran (Soegiti dan Tri 2016). Sebagai elemen yang tak kalah penting, sepak terjang Presiden Joko Widodo dalam dunia politik juga peneliti paparkan untuk mendapatkan makna mitos dala ilustrasi tersebut. Hal ini tentu untuk menemukan indikasi-indikasi praktik nepotisme yang hedak direpresentasikan MBM TEMPO dalam ilustrasi tersebut. Sebelum terjun ke dunia politik, Presiden Joko Widodo merupakan bergelut di dunia bisnis yang berfokus pada ekspor industri kayu bernama PT. Rakabu. Pada tahun 2005, beliau mulai mencoba peruntugan di dunia politik dengan menerima tawaran dari partai politik PDI-P dan PKB dalam Pilkada Solo Kala itu, beliau bersama pasangannya, F.X. Hadi Rudyatmo, berhasil memenangkan hati warga Solo sekaligus menjabat sebagai Walikota Solo periode 2005-2010. Berbagai pencapaian telah diraih dalam masa jabatan tersebut seperti memperkenalkan Batik Solo Trans (BST), meremajakan Kawasan Ngarsopuro dan Jalan Slamet Riyadi, serta menjadikan Solo sebagai tuan rumah berbagai acara Internasional (Daryono 2014). Berkat kinerja beliau yang sangat baik, masyarakat Solo pun mempercayakan jabata tersebut pada Presiden Jokowi higga periode kedua. Pada pertengahan masa jabatannya, Jokowi dipercaya untuk hijrah ke Ibu Kota melalui Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 yang dipasangkan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Selama dua tahun masa jabatannya (2012-2014), Jokowi mampu mempopulerkan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar, membuka akses Balai Kota sebagai tempat terbuka bagi publik, merapikan jajaran birokrasi PNS Pemprov DKI dari unsur nepotisme dan lambannya pelayanan publik, serta membudayakan inspeksi dadakan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta (Syahban 2020). Belum selesai mengemban tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta, pada tahun 2014 Jokowi kembali melangkah ke jenjang yang lebih tinggi dengan mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia bersaa Jusuf Kalla. Kineja cukup baik pu ditunjukkannya dengan berbagai pencapaia hingga beliau meyabet peghargaan The Asian of The Year 2019 oleh The Straits Times, Singapura (Arshad 2019). Oleh karena itu masyarakat Indoesia kembali menaruh kepercayaan pada Presiden Joko Widodo untuk mengemban jabatan tersebut pada periode kedua. Sayagnya pada periode kedua ini, perjalanan beliau tidak semulus sebelum-sebelumnya. Banyak kebijakan-kebijaka beliau yang dianggap hanya mementigkan pribadi dan golonganya saja. Mulai dari pemilihan Kabinet Indonesia Maju, pengangkatan staf Wakil Menteri, proyek Kartu Pra Kerja, hingga pengangkatan staf khusus milenial (Syahban 2020). Tak hanya itu, Sebuah film dokumenter karya Dandhy Dwi Laksono yang berjudul “Sexy Killer” yang rilis pada pertengahan April 2019 menambah dugaan adanya penyimpangan politik keadilan yang menyeret nama Presiden Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka. Sebagai landasan konstitusional, Undang-Undang Dasar 1945 menjadi pedoman dalam penetapan hukum di Indonesia. Penetapan hukum tersebut tentu harus memberi perlindungan terhadap masyarakat. Perlindungan dalam hal ini, berarti bahwa rasa keadilan yang ada pada nurani warga harus terpenuhi (Johan Nasution 2014). Film tersebut mengangkat tentang bagaimana realita masyarakat yang terdampak oleh mega proyek yang menyeret nama-nama tokoh besar di Indonesia tersebut tentu membuat publik berasumsi bahwa terdapat permainan politik di tengah berbagai krisis yang dirasakan, khususnya krisis lingkungan. Beberapa nama tersebut bahkan menjadi bagian aktif dalam Pemilihan Presiden 2019, baik kubu petahana maupun kubu lawan. Dari hasil pemaparan concept tersebut, peneliti pun megkaitkanya dengan form. Beberapa peristiwa yang terjadi menunjukkan adanya indikasi praktik perilaku nepotisme yang terjadi pada pemerintah saat ini. Pada masa awal keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam dunia politik, tentu belum ada asumsi akan adanya perilaku nepotisme yang beliau terapkan. Seiring berjalannya waktu, penilaian-penilaian publik terhadap kinerja beliau pun muncul. Sehingga, terkait dengan ilustrasi pada sampul MBM TEMPO edisi 10 Desember 2020, peneliti mengasumsikan bahwa lambang padi dan kapas yang mengandung makna keadilan dan kesejahteraan sejatinya hanya tertuju pada empat tokoh dalam ilustrasi tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil yang telah peneliti paparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa MBM TEMPO berusaha merespon fenomena yang terjadi dengan menggambarkan sebuah keluarga yang menyerupai keluaga Presiden Joko Widodo. Latar belakang Presiden Joko Widodo, sepak terjang beliau dalam dunia politik, berbagai kebijakan yang diambil, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi sedikit banyak menggiring asumsi masyarakat pada perilaku nepotisme.

Melalui ilustrasi ini, peneliti melihat bahwa MBM TEMPO memiliki keragu-raguan atas kejayaan yang dimiliki keluarga tersebut serta tujuan dari keadilan dan kemakmuran. Peneliti menilai penggunaan lambang padi dan kapas pada karikatur tersebut seakan mempertanyakan apakah keadilan dan kemakmuran tertuju pada masyarakat secara umum atau hanya pada keluarga yang terdapat dalam ilustrasi tersebut. Hal tersebut tentu memunculkan berbagai asumsi yang semakin menguat dalam masyarakat terkait perilaku nepotisme yang dikhawatirkan dapat kembali berkembang di Indonesia. Karikatur tersebut juga mampu menimbulkan bias makna pada pembaca ketika dihubungkan dengan berbagai fenomena politik yang terjadi di Indonesia saat ini.

Daftar Pustaka Arshad, Arlina. 2019. “ST Asian of the Year 2019: Jokowi a respected leader at home and abroad, Singapore News & Top Stories.” The Straits Times. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016. “Pencarian - KBBI Daring.” : 1. https://kbbi.kemdikbud.go.id/ (Maret 8, 2021). Baran, Stanley J. 2012. Pengantar Komunikasi Massa: Melek Media & Budaya. Jakarta: Erlangga. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. 1 ed. Yogyakarta: Jalasutra. Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra. Daryono, Iqbal Aji. 2014. “Begini Perjalanan Politik Jokowi, Si ‘Capres Kerempeng.’” Detiknews. https://news.detik.com/berita/d-2723501/begini- perjalanan-politik-jokowi-si-capres-kerempeng (Juni 9, 2021). Fiske, John. 1990. Introduction To Communication Studies: 2nd Edition. Government of Indonesia. 1999. “Act of The Republic of Indonesia No. 28 of 1999 on Nation Corruption Collusion Nepotism Free.” : 1–29. Id, H A L. 2018. “Du népotisme au mécanisme de contrôle interne informel dans les PME familiales en Afrique To cite this version : HAL Id : hal-01907913 Du népotisme au mécanisme de contrôle interne informel dans les PME familiales en Afrique.” Johan Nasution, Bahder. 2014. “Kajian Filosofis Tentang Konsep Keadilan Dari Pemikiran Klasik Sampai Pemikiran Modern.” Yustisia Jurnal Hukum 3(2). Kusrianto, Adi, dan Renati Winong Rosari. 2009. Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: ANDI. Liliweri, Alo. 2004. Wacana Komunikasi Organisasi. Bandung: Mandar Maju. Littlejohn, Stephen W., dan Karen A. Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory. 1 ed. London: SAGE Publications. Mulyana, Deddy. 2010. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. XIV. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2011. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Jaya. ———. 2013. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Soegiti, dan Ari Tri. 2016. Pendidikan Pancasila. Semarang: Unnes Press. Sumadiria, Haris. 2005. Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik. Syahban, Gigih Prawira. 2020. “Mengenal Siapa Jokowi Sebenarnya.” Voice Of Informatics. The World Bank. 2020. “Worldwide Governance Indicators | DataBank.” The World Bank. https://databank.worldbank.org/source/worldwide-governance- indicators/preview/on. Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: ANDI.