Konflik Partai: Perbandingan Antara Pkb Dan Pdip
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
KONFLIK PARTAI: PERBANDINGAN ANTARA PKB DAN PDIP Muhtar Haboddin Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya Malang Abstrak Tulisan ini menfokuskan diri pada kajian konflik yang terjadi dalam tubuh PKB dan PDIP. Studi perbandingan ini menarik, bukan saja karena jumlahnya masih kurang dilakukan tetapi juga memberikan ruang yang cukup luas dalam mendalami anatomi konflik yang terjadi di PKB maupun di PDIP. Pada kedua partai ini tidak pernah lepas dari intrik dan konflik. Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat model konflik. Pertama, konflik secara horizontal dimana yang terlibat dalam konflik ini adalah para petinggi partai politik. Konflik ini biasa terjadi pada saat pemilihan ketua umum partai. Kedua, konflik yang terjadi secara vertikal. Konflik senantiasa terjadi dalam konteks pemilihan kepala daerah. Implikasi yang ditimbulkan akibat konflik adalah terjadinya perpecahan di partai PKB maupun PDIP. Kata Kunci: Konflik Partai, PKB, PDIP Pendahuluan Salah satu fungsi partai politik adalah manajemen konflik. Namun, dalam konteks partai politik Indonesia fungsi ini tidak bisa dilakukan, dijalankan dengan baik oleh hampir semua partai politik. Dikatakan demikian karena hampir semua partai politik, baik yang besar maupun yang kecil, tidak pernah sepi dari konflik yang terjadi dalam dirinya sendiri1. Kondisi seperti itu menyebabkan energi partai politik habis terkuras hanya soal-soal yang tidak substansial. Konflik selalu muncul menjelang atau sesudah kongres atau muktamar partai2. Inilah fenomana rutin yang 1 Sultani ‘Partai Baru Diantara Pemilih Yang Ragu’ Kompas, 2 Oktober 2006. Periksa juga Muhtar Haboddin ‘Mengurai Perpecahan Partai Politik’ Makalah Mata Kuliah Politik Indonesia Kontemporer, Tahun Ajaran 2007. Lihat juga Saiful Mujani ‘Konflik-konflik Dalam Partai Politik’ Kompas, 3 Desember 2001; Azyumardi Azra ‘Menunggu Pemimpin Baru’ Kompas, 24 April 2007. 2 Sultani, ibid. Muhtar Haboddin 83 selalu kita saksikan. Sebuah fenomena yang tidak sehat dalam kacamata demokrasi yang mengisaratkan pentingnya pengelolaan konflik bagi aktor yang terlibat dalam wacana bagi-bagi kekuasaan dalam rangka mendapatkan posisi tertinggi dalam struktur kepengurusan partai politik. Ketidakmampuan elit partai dalam mengelola konflik dalam tubuhnya, baik sebelum maupun pasca kongres/muktamar meng- indikasikan belum terlembaganya partai politik secara baik, kata I Ketut Putra Erawan. Pendapat ini tentu saja relevan dalam melihat konflik yang terjadi dalam tubuh PKB maupun PDIP. Bahkan kedua partai ini sudah dihinggapi penyakit kronis yang kian akut. Pertama, bahwa konflik dalam partai itu terjadi karena personalitas individu. Misalnya Gus Dur di PKB dan Mega di PDIP. Pandangan yang kedua, mengatakan bahwa konflik dalam tubuh partai karena pelembagaan aturan main yang tidak dipatuhi seperti di PKB. Pandangan yang pertama tidak terlalu banyak dibicarakan dalam tulisan ini. Tetapi akan lebih banyak membicarakan pandangan kedua. Paper ini mengambil tema konflik dalam tubuh partai perbandingan antara PKB dengan PDIP. Pilihan kajian ini sangat cocok karena masih tergolong langka. Karena itu, menjadi tantangan bagi penulis untuk menyingkap konflik yang terjadi dalam tubuh kedua partai tersebut. Apalagi ada indikasi yang kuat bahwa terjadinya konflik dalam PKB maupun PDIP bukan karena, pertama, intervensi pemerintah sebagai yang terjadi dalam sejarah konflik partai politik di era Orde Baru. Kedua, konflik juga terjadi bukan karena perbedaan ideologi atau visi politik, namun yang lebih mungkin adalah pertentangan kepentingan-kepentingan individu dari masing-masing tokoh itu sendiri dalam berebut dan mempertahankan status quo-nya. Dua indikasi ini menggiring kita pada pemahaman bahwa konflik dalam tubuh partai PKB dan PDIP bersumber dalam dirinya sendiri. Mereka saling menanduk—mereka saling meniadakan—bahkan mereka saling berkelahi demi jabatan Ketua Umum. Untuk mendapatkan jabatan Ketua Umum mereka tidak malu-malu menelikung Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai politik demi mempertahankan ‘sang jago’. Hal ini terjadi di PKB dan PDIP. Paper ini berangkat dari pertanyaan mengapa konflik terjadi dalam PKB dan PDIP? Lalu, dilanjutkan dengan membandingkan konflik yang 84 governance, Vol.1, No. 2, Mei 2011 terjadi dalam tubuh PKB dan PDIP. Sebelum membandingkan konflik terlebih dahulu akan dipaparkan konseptualisasi konflik, lalu dilanjutkan dengan melihat sumber penyebab konflik kedua partai politik pasca kejatuhan Soeharto. Kemudian berdasarkan itu akan ditelusuri pula tipologi konflik. Konflik sebagai Kerangka Pikir Partai politik sebagai wadah atau muara bertemunya banyak kepentingan sudah barang tentu rawan terjadi konflik. Partai politik sebagai organisasi modern akan selalu dihadapkan pada realitas konflik. Misalnya saja konflik yang berupa perbedaan pandangan, ide atau paham, dan pertentangan kepentingan dan seterusnya. Bersamaan dengan itu, Marck dan Synder mengatakan konflik atau perpecahan dalam tubuh partai bisa timbul dari kelangkaan posisi dan resources. Makin sedikit posisi atau sumber yang dapat diraih setiap anggota atau kelompok dalam organisasi politik, makin tajam konflik dan persaingan di antara mereka untuk merebut posisi dan sumber itu. Selanjutnya, dikatakan di dalam hirarki sosial dimana pun hanya ada sejumlah terbatas posisi sosial kekuasaan yang nyata dan tidak lebih dari seseorang yang dapat mendudukinya3. Sedangkan Paul Conn mendefinisikan konflik sebagai bentuk disfungsional dimana aktor-aktor yang terlibat dalam perebutan kekuasaan berusaha saling menghancurkan4. Konflik yang dibahasakan oleh Conn ini lebih populer dengan sebutan zero sum conflict. Pemahaman Conn tentang konflik tesebut sedikit banyak membantu kita dalam memahami konflik yang terjadi dalam tubuh PKB maupun PDIP. Akibat dari penerapan zero sum conflict sebagai kebijakan politik partai membangkitkan semangat tokoh-tokoh yang tersingkirkan mengartikulasikan kepentingan mereka dengan menentang norma-norma dan struktur kekuasaan yang ada5. Hal inilah yang dipraktikkan oleh para penggagas Gerakan Pembaharuan PDIP. 3 Lihat Syamsuddin Haris ‘Pola dan Kecenderungan Konflik Partai Politik Masa Orde Baru’ Jurnal Analisis CSIS, 1988. hlm. 271. 4 Lebih lanjut periksa Leo Agustino ‘Konflik dan Pembangunan’ Jurnal Analisis CSIS, Vol. 33, No.3, 2004. hlm. 329. Ramlan Surbakti Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 1992. hlm. 154. 5 Hugh Mall dkk, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Jakarta: Rajawali, 2002. hlm. 23. Muhtar Haboddin 85 Atau gerakan gugat-menggugat dalam tubuh PKB sebagaimana dilakukan oleh kubu Matori terhadap kubu Alwi Shihab; kubu Alwi Shihab terhadap Muhaimin. Memahami Konflik dalam Tubuh PDIP dan PKB Penerapan kebijakan zero sum conflict membuat konflik semakin melebar karena memungkinkan pihak-pihak lain menarik dirinya untuk terlibat. Hal inilah yang kita saksikan dalam tubuh PKB maupun PDIP. Kedua partai ini benar-benar dililit oleh konflik. Dalam konteks PKB. Saking terjerembabnya dalam pusaran konflik hingga PKB pun diplesetkan menjadi “Partai Khusus Berkelahi”, demikian kata KH Mustafa Bisri. Deklarator ini tampaknya kesal menyaksikan konflik internal partai yang tak kunjung usai. Bahkan konflik terus menerpa yang berujung pada keretakan hubungan Gus Dur dengan Matori. Gus Dur dengan para kiai. Keretakan hubungan semacam ini sangat baik dijelaskan oleh Syamsuddin Haris dalam tulisannya Potret PKB: Peta Konflik dan Resistensi Elit Lokal Terhadap Pusat6. Tentang konflik Gus Dur dengan Ketua PBNU, KH Hasyim Muzadi patut juga dikedepankan. Karena konflik Gus Dur versus KH Hasyim Muzadi terjadi ketika Gus Dur maju menjadi Capres yang mengharuskan warga NU memilihnya, sementara KH Hasyim Muzadi berulang kali menyatakan bahwa warga NU bebas memilih siapa saja. Konflik antar dua figur ini berimplikasi pada kaum nahdliyin. Rentetan konflik yang terjadi di tubuh PKB bermula sebelum maupun sesudah Gus Dur menjadi presiden, berlanjut pada Matori dipecat menjadi Ketua Umum, disusul dengan pemecatan Alwi Shihab-Saifullah Yusuf hingga terbentuknya kepemimpinan kembar PKB sebagai reaksi terhadap kebijakan Gus Dur. Konflik ini tidak hanya terjadi pada level Jakarta tetapi juga merambah pada level daerah. Begitu dashyatnya konflik itu sehingga “perjalanan partai ini tak kunjung reda dirundung konflik”, tutur Indris Thoha7. 6 Syamsuddin Haris ‘Potret PKB: Peta Konflik dan Resistensi Elit Lokal Terhadap Pusat’ dalam Lili Romli (ed), Potret Partai Politik Pasca Orde Baru, Jakarta: LIPI, 2003. hlm.83-103 7 Indris Thoha (ed), Pergulatan Partai Politik di Indonesia Jakarta: Rajawali, 2004. hlm.240. 86 governance, Vol.1, No. 2, Mei 2011 Konflik yang akut di tubuh PKB juga menimpa PDIP. Partai ini sudah menjadi langganan konflik. Bahkan PDIP yang merupakan salah satu pecahan dari PDI tidak jera-jeranya dihantam konflik. Konflik sudah menjadi bagian dari sejarah kehadiran dan perjalanannya. Aroma konflik dalam tubuhnya telah berhasil melahirkan empat partai politik yakni, Partai Indonesia Tanah Airku (PITA) yang diketuai Dimyati Hartono, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) dikomandani Eros Djarot, Partai Demokrasi Perjuangan (PDP) oleh Handoko Yudha dan Partai Demokrasi Pembaharuan (DPP). Kehadiran partai ini menunjukkan bahwa konflik sudah mendarah daging dalam PDIP. Pertanyaan kita adalah mengapa para petinggi di DPP maupun DPW PDIP tidak menghindar atau paling tidak belajar sambil mengambil hikmah dari konflik itu. Ketidakmampuan orang-orang PDIP dalam mengambil hikmah dan mengelola konflik yang bersarang dalam tubuhnya mengingatkan