TOKOH NYI POHACI SANGHYANG SRI DALAM WAWACAN SULANJANA DAN CARITA PANTUN SRI SADANA: TINJAUAN INTERTEKSTUALITAS JULIA KRISTEVA

THE CHARACTER OF NYI POHACI SANGHYANG SRI IN WAWACAN SULANJANA AND CARITA PANTUN SRI SADANA: JULIA KRISTEVA’S INTERTEXTUALITY OVERVIEW

Evi Fuji Fauziyah1 dan Ade Kosasih2 1Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2Universitas Padjadjaran Pos-el: [email protected] dan [email protected]

*)Naskah diterima: 30 Maret 2021; direvisi: 23 April 2021; disetujui: 2 Juni 2021

Abstrak Penelitian ini akan membandingkan cerita, tokoh, dan peristiwa antara teks dalam naskah Wawacan Sulanjana dan teks dalam Carita Pantun Sri Sadana. Kedua teks tersebut memiliki bentuk berbeda yaitu yang satu teks tertulis dan yang satu teks yang dituturkan secara lisan. Adapun teori yang digunakan yaitu teori intertekstualitas yang dikemukakan oleh Julia Kristeva. Secara genre, Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana bisa dikategorikan sebagai puisi. Disinyalir Wawacan Sulanjana menjadi salah satu bentuk transformasi dari Carita Pantun Sri Sadana. Adapun untuk membuktikan transformasi dan hipogram maka digunakan teori intertekstualitas Julia Kristeva. Berdasarkan hasil analisis didapatkan kesimpulan bahwa tema dalam kedua teks tersebut memiliki satu kesamaan yaitu tentang kehidupan masyarakat agraris di tanah Sunda. Adapun yang menjadi objek cerita yaitu seorang tokoh bernama Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Setelah dibandingkan, ada sedikit perbedaan urutan peristiwa dalam cerita dan adanya tokoh-tokoh lain yang menyertai cerita di dalam teks Carita Pantun Sri Sadana, tidak disertakan dalam cerita Wawacan Sulanjana.

Kata kunci: intertekstualitas, wawacan, carita pantun, sunda,

Abstract This research will compare the stories, chadacters, and events in the text between the Wawacan Sulanjana manuscript and the text in the Carita Pantun Sri Sadana. The two texts have different forms, one is a written text and one is oral text. The theory used is the intertextuality theory proposed by Julia Kristeva. In genre, Wawacan Sulanjana and Carita Pantun Sri Sadana can be categorized as poetry. It is pointed out that Wawacan Sulanjana is a form of transformation of Carita Pantun Sri Sadana. As for proving the transformation and hypogram, Julia Kristeva’s theory of intertextuality is used. Based on the results of the analysis, it can be concluded that the themes in the two texts have one thing in common, namely about the life of agrarian communities in Sundanese land. The story is based on one of the character, namely Nyi Pohaci Sanghyang Sri. After comparison, there is a slight different in the sequence of the events, and there are several characters who told in the Carita Pantun Sri Sadana were not involved in the Wawacan Sulanjana.

Keywords: intertextuality, wawacan, carita pantun, sundanese, dewi sri

64 Vol. 16, Nomor 1, Juni 2021 PENDAHULUAN wilayah barat Jawa Barat. Berdasarkan Wawacan Sulanjana adalah salah satu penelusuran berbagai katalog, setidaknya naskah Sunda yang berisi teks tentang ada tiga lembaga penyimpanan naskah yang mitologi padi, khususnya kisah Nyi Pohaci (pernah) mengoleksi naskah Wawacan Sanghyang Sri. Penamaan judul Wawacan Sulanjana, yaitu: Perpustakaan Nasional RI, Sulanjana berasal dari kata “Wawacan”, Jakarta (2 naskah), EFEO Bandung (3 naskah), yakni sebuah genre sastra berbentuk puisi dan Perpustakaan Universitas Leiden, yang dikenal oleh masyarakat Sunda ter- Belanda (5 naskah). Di luar ketiga lembaga utama pada abad ke-19, sedangkan penyimpanan naskah itu, naskah Wawacan “Sulanjana” mengacu kepada salah satu Sulanjana masih ada juga yang disimpan tokoh utama di dalam cerita yang bertugas oleh pemilik naskah secara perorangan melindungi padi dari serangan antagonis (Holil, 2018: 1). yaitu Sapi Gumarang, Kalabuat (babi hutan), Sejauh penelusuran yang telah dilaku- dan Budug Basu (hama) yang di dalam teks kan (Holil, 2018) meskipun cerita Wawacan digambarkan sebagai perusak tanaman Sulanjana sangat populer, namun alih aksara padi. dan terjemahan naskah-naskah ini belum Wawacan mulai dikenal masyarakat banyak dilakukan, khususnya Wawacan Sunda setelah masuknya pengaruh kebu- Sulanjana yang menjadi koleksi lembaga dayaan Jawa (terutama Mataram ) yang telah disebutkan. Kajian yang dilaku- pada awal abad ke-17 (Adiwidjaja, t.t.; kan Kalsum berupa skripsi (1983) dan Dina Salmun, 1963; Ekadjati, dalam Holil 2018). Darnia berupa skripsi (2004) bersumberkan Penguasaan Mataram di Tanah Sunda se- pada naskah koleksi pribadi yang ada di lama kurang lebih 50 tahun telah memberi- masyarakat. kan pengaruh besar dalam bidang bahasa Adapun teks Wawacan Sulanjana yang dan kesusastraan Sunda. Beberapa peng- dijadikan objek dalam tulisan ini adalah teks aruh di antaranya tampak pada teks dalam wawacan koleksi Perpustakaan Universitas naskah-naskah yang bersifat kesusasteraan Leiden yang sudah ditransliterasi oleh yang banyak ditulis dalam genre wawacan Munawar Holil (2019: 3) dengan kode (1) dan guguritan (Rosidi, 1995: 385). Genre Wawacan Sulanjana (bernomor koleksi Cod. wawacan masuk ke wilayah Sunda (melalui Or. 7612 atau Mal. 2568); (2) Wawacan Keresidenan Priangan) menggunakan dua Sulanjana (bernomor LOr. 7839 atau Mal. jalur yaitu jalur kabupaten dan jalur pesan- 2058); (3) Wawacan Sulanjana (bernomor tren. Wawacan yang masuk melalui kabu- koleksi LOr. 7851 atau Mal.2070; (4) paten biasanya menggunakan aksara Wawacan Sulanjana (bernomor koleksi LOr. Cacarakan, sedangkan yang masuk melalui 7926 atau Mal. 2132; (5) Wawacan Sulanjana jalur pesantren memakai aksara Pegon (bernomor koleksi Cod. Or. 8633 atau Mal. (Rosidi, 1966). 3136). Kelima naskah tersebut mengguna- Teks Wawacan Sulanjana sangat populer kan aksara Pegon, adapun bahasa yang di masyarakat Sunda. Kepopuleran itu digunakan adalah bahasa Sunda. Naskah- bukan hanya dapat ditemui di desa-desa naskah tersebut merupaka pemberian dari pertanian Sunda, seperti di Sumedang, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje kepada Per- Majalengka, atau Kuningan saja, tetapi juga pustakaan Leiden pada tahun 1936. Untuk dapat dicermati dari jumlah naskah Wawacan titimangsa dalam naskah hanya ada satu Sulanjana yang relatif banyak dan berasal yang mencantumkan tanggal, sedangkan dari berbagai daerah: dari timur sampai ke

Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 65 dua diantaranya informasi hanya berdasar- naskah Sunda kuno, Sanghyang Siksa kan katalog yaitu: Kandang Karesyan yang ditulis pada tahun a. Pada naskah (2) Wawacan Sulanjana 1518 masehi tercatat bahwa jika kita ingin (bernomor LOr. 7839 atau Mal. 2058) bertanya tentang sebuah masalah tanyakan- yang mana pada lembaran terkahir ter- lah pada ahlinya, dan bila kita ingin menge- dapat tulisan tahui tentang carita pantun maka bertanyalah ‘Wawatjan Solenjana kepada juru pantun. “Hayang nyaho di pantun Ongeveer = het ex. Uit Tjiampea ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; prepantun tanya.” Yang artinya Bandoeng 1896’ “bila ingin mengetahui tentang pantun, seperti Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Wawacan Sulanjana Haturwangi; tanyalah juru pantun” (Fauziyah, Tentang = mantan dari Ciampea 2014: 2). Bandung 1896 Jika merujuk pada keterangan tersebut, bisa dipastikan Carita Pantun Sri Sadana b. Pada naskah (3) LOr. 7851 (Mal 2070) memiliki teks yang lebih tua daripada Naskah ini berasal dari Koleksi Snouck Wawacan Sulanjana. Yang menarik dari Hurgronje No. 75, salinan tahun 1894, kedua teks tersebut adalah adanya tokoh Sri berdasarkan naskah dari Ciampea, yang disakralkan dan menjadi pusat pen- Bogor (Holil, 2018: 7). ceritaan. Kristeva dalam Culler (1975) me- c. Pada naskah (5) Cod. Or. 8633 (Mal. ngemukakan bahwa tiap teks itu merupa- 3136) kan mosaik kutipan-kutipan dan merupa- Sampul halaman terbuat dari karton kan penyerapan (transformasi) teks-teks tipis berwarna biru seperti yang umum- lain. Transformasi adalah teks yang muncul nya digunakan untuk sampul buku tulis. belakangan, sedangkan teks yang menjadi Alas naskah menggunakan buku tulis sumber acuan disebut hipogram. bergaris seperti buku “Letjes”. Kondisi Maka dari itu pendekatan penelitian naskah masih bagus, aksara jelas dan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dapat dibaca. Naskah ini disatukan pendekatan intertekstual. Pendekatan dalam bundel yang sama dengan intertekstual membandingkan dua buah naskah-naskah bernomor koleksi: Cod. teks yang diduga memiliki keterkaitan. Or. 8630, Cod. Or. 8631, Cod. Or. 8632, Dengan menggunakan intertekstual ini Cod. Or. 8634, Cod. Or. 8633, Cod. Or. diharapkan mampu memunculkan per- 8635, dan Cod. Or. 8637 (atau Mal. 3133- bandingan antar teks dan mendeskripsikan 3140). Naskah ini berasal dari Koleksi keterkaitan karakter tokoh, alur, dan latar Rinkes, ditulis pada 1321 H/ 1903 M pada Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun (Holil, 2018: 9). Sri Sadana. Penulis juga menggunakan pendekatan intertekstual untuk menemu- Carita pantun merupakan satu dari kan hipogram dan transformasi dalam sekian banyak sastra lisan yang tersebar di kedua teks tersebut. Data dalam penelitian masyarakat Sunda. Bentuk carita pantun ini adalah kutipan berupa kata-kata atau berupa narasi monolog seorang juru pantun, kalimat yang mendeskripsikan tentang yang menceritakan kisah-kisah yang di- tokoh, alur, latar, untuk mengetahui per- anggap suci dan sakral, kebanyakan berupa samaan dan perbedaan dari kedua teks mitos berkisah tentang kerajaan Sunda dan tersebut. tokoh-tokoh pada zaman dahulu. Dalam

66 Vol. 16, Nomor 1, Juni 2021 METODE PENELITIAN dibentuk secara budaya dan kelembagaan. Metode yang digunakan di dalam pene- Sebagian besar gagasan yang dikemukakan litian ini yaitu metode deskriptif, metode ini Kristeva merupakan pengerjaan ulang atau melihat keterkaitan dua variabel melalui revisi gagasan Bakhtinian tentang inter- analisa data yang dikemukakan Nasir (2003: teksualitas. Bakhtin juga berpandangan 54) bahwa metode deksriptif adalah pen- bahwa teks tidak dapat dilepaskan dari carian fakta dengan interpretasi yang tepat, tekstualitas sosiokultural yang melatar- yang bertujuan membuat deskriptif, gam- belakangi penciptaan sebuah teks. baran secara sistematis, faktual, akurat ten- Julia Kristeva menciptakan istilah tang fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan intertekstualitas. Meskipun intertekstualitas antar fenomena yang diselidiki. Sumber data muncul sebagai konsep poststrukturalis, untuk penelitian ini yaitu teks yang terdapat intertekstualitas ada sebagai fenomena di dalam teks Wawacan Sulanjana dan teks universal yang menjelaskan interkoneksi Carita Pantun Sri Sadana. Data dalam pene- komunikatif antara teks dan teks dan konteks. litian ini adalah kata, frasa, kalimat, dan isi Namun, seperti yang diamati Zindziuviene keseluruhan teks cerita yang mencakup dalam Raj (2015) ia masih “mempertahan- tentang tema, kejadian, dan tokoh dalam kan aspek mozaik, absorptif, dan transfor- teks keduanya. matifnya” dalam wacana poststrukturalis. Teknik yang digunakan dalam meng- Dengan datangnya berbagai teori, inter- analisis data yaitu pertama, mengidenti- tekstualitas kini telah memperoleh makna fikasi data tokoh di dalam teks Wawacan yang lebih luas daripada apa yang telah Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana. Ke- dijelaskan Kristeva dalam karya terobos- dua, mengidentifikasi kejadian di dalam annya “Word, Dialogue and Novel”. teks. Ketiga, membandingkan teks, me- Intertekstualitas menyatakan bahwa teks nentukan transformasi antar teks, dan me- “tidak dapat eksis sebagai keseluruhan yang nemukan hipogram. Keempat, membuat hermetis atau mandiri, sehingga tidak kesimpulan. berfungsi sebagai sistem tertutup” (Worton dan Still, 1990). Penulis menyusun teks LANDASAN TEORI dengan membaca teks lain dan teks tersebut Pendekatan intertekstual pertama kali menjadi tersedia bagi audiens dalam proses diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail membaca. Bhaktin menemukan dalam Bakhtin. Bakhtin adalah seorang filsuf Rusia dialog Socrates sebagai bentuk novel paling yang mempunyai minat besar terhadap awal, heteroglossia dan dialogisme, yang sastra. Bakhtin dikenal karena tiga teorinya kemudian disebut Kristeva sebagai inter- yaitu: karnaval, konsep dialogis (polifoni), tekstualitas. Kirsteva berasumsi bahwa serta chronotope dan diskursus novelistik. sebuah teks disusun sebagai bermacam- Kontribusi Julia Kristeva terhadap macam kutipan dan merupakan asimilasi gagasan intertekstualitas sangat besar. Dia dan perubahan dari kutipan lain. Inter- tidak hanya menciptakan kata interteks- tekstualitas mengembalikan intersubjek- tualitas tetapi secara substansial menekan- tivitas. Dalam “The Bounded Text”, Kristeva kan pentingnya dinamika potensial yang ada membahas proses pembuatan teks di luar di dalam teks. Teks bukanlah entitas yang wacana yang sudah ada. Penulis tidak asli tidak linier melainkan kombinasi teks yang dan tidak membuat apapun dari teks me- heterogen. Teks apa pun sekaligus sastra reka dari pikiran aslinya tetapi meng- dan sosial, kreatif dan budaya. Teks kompilasi dari teks yang sudah ada. Dia

Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 67 menjelaskan teks sebagai “permutasi teks, teks terletak dalam transformasi dari satu intertekstualitas dalam teks tertentu,” genre ke dalam genre lain baik sebagai “beberapa ucapan, diambil dari teks lain negasi, oposisi, sinis, lelucon, parodi mau- berpotongan dan menetralkan satu sama pun sebagai apresiasi, afirmasi, nostalgia, lain” (Kristeva, 1980). dan jenis pengakuan estetis lain yang secara Intertekstual yang digagaskan oleh keseluruhan berfungsi untuk menemukan Kristeva ada dalam sebuah ruang teks yang makna-makna baru dan orisinil. Trans- terdapat berbagai ujaran atau tuturan, yang formasi tidak terbatas semata-mata dalam diambil dari teks lain dan teks tersebut kerangka literer, tetapi juga meluas dalam silang-menyilang dan menetralisir satu sama karya seni yang lain. Dalam kerangka multi lain (Kristeva, 1980). Dengan kata lain, kultural, aktivitas intertekstual berfungsi sebuah teks dikonstruksi atas beberapa untuk membangktikan kesadaran masa komponen atau potongan tekstual yang lampau, baik sebagai citra primordial mau- dapat dilihat melalui karya tersebut. pun nostalgia atau disebut teks pastiche. Potongan-potongan teks dalam satu teks Untuk melakukan kegiatan transformasi tersebut tidak dapat dilihat sebagai satu hal atau perubahan dari teks satu ke teks yang yang terpisah, tetapi dimaknai sebagai satu lain, pengarang tidak semata-mata melaku- kesatuan (Kristeva, 1980). Hal itu disebut kan duplikasi atau menyalin, menyadur ideologeme oleh Kristeva. atau menterjemahkan. Bentuk transformasi Kristeva memandang teks sebagai ditandai dengan suatu proses tertentu baik interaksi teks bukan sebagai entitas tunggal. secara langsung ataupun tak langsung Kemungkinan keterbukaan yang dimasuk- menggambarkan tanggapan pengarang kan teks di dalamnya melepaskan kemung- terhadap teks asing yang diambilnya kinan melihat teks dari berbagai bidang. sebagai latar karya sastranya. Bagaimana- Klaim bahwa penulis saat menyusun teks pun, gagasan Bakhtin tentang dialogisme terlibat dalam wacana dengan teks lain didasarkan pada bagaimana manusia meng- menunjukkan dinamika kreativitas yang gunakan bahasa dalam situasi sosial ter- menjelajah di luar subjek kreatif. Percakapan tentu, tetapi Kristeva lebih banyak berpikir yang dilakukan penulis ini adalah dialog dalam konteks teks dan tekstualitas. Kedua- kreatif di mana makna diatur atau disusun, nya sampai pada titik teks tidak dapat bukan diciptakan. Oleh karena itu, apa yang dilepaskan dari tekstualitas sosial atau kita sebut sebagai makna teks menemukan budaya yang merupakan titik balik teks itu karakterisasi yang lebih luas dan kompleks dibuat. Teks sosial dan teks sastra saling di luar apa yang tertulis dalam teks. terkait tak terpisahkan. Bakhtin dalam Ratna (2006) berpendapat tidak ada teks yang benar-benar asli tanpa HASIL DAN PEMBAHASAN dipengaruhi oleh teks lain. Dalam penyim- Pantun dalam masyarakat Sunda adalah pangan dan transformasi pun model teks simbol budaya, yakni alam pikiran masya- yang sudah ada tetap memainkan peranan rakat Sunda. Pantun bukan hanya simbol, kaitannya transformasi karya sastra. Hal tetapi simbol sakral. Pantun tidak dapat tersebut merupakan proses pengalihan diceritakan sehari-hari. Pantun diceritakan hubungan intertekstualitas untuk menemu- dalam sebuah ritual, tempat ritual, waktu kan hubungan makna secara langsung ritual dan tema ritual. Tema ritualnya adalah maupun tak langsung. Kristeva dalam menghadirkan tokoh-tokoh pahlawan Ratna, (2006) berpendapat bahwa dinamika budaya Sunda di masa lampau, tingkah

68 Vol. 16, Nomor 1, Juni 2021 laku dan kisah hidup mereka merupakan dalam Wawacan Sulanjana, Pupuh ke 3, teladan untuk menyatukan etos sosial Kinanti, baris 2—7 : (Sumardjo, 2006: 50). d. Aya deui nu kacatur, gagah sarta leuwih sakti, Dalam proses pemantunannya, pantun jenengan Nyang Deìwa Wenang, anu gagah Sunda hanya diceritakan pada waktu ter- taya tanding, mikir sajeroning manah, eìta ka tentu saja, pada saat ritual. Misalnya, Carita Deìwi Puhaci. Pantun Sri Sadana ini, hanya diceritakan Ada lagi yang diceritakan, gagah dan khusus ketika musim panen. Ajip Rosidi lebih sakti, namanya Nyang Dewa mengatakan dalam bukunya (1970: X), Wenang, yang gagah tiada tamding, “lakon Sri Sadana ini merupakan salah satu lakon berpikir di dalam hati, memusatkan favorit Ki Atjeng Tamadipura. Sedangkan pikirannya pada Dewi Pohaci. dikisahkannya dalam musim panen. Seperti e. Sabab eìta enggeus tangtu, ku Deìwa Guru diketahui pertunjukan pantun erat bertalian dikawin, ku sabab leuwih geulisna, eìta Nyi dengan ritual padi: sehabis panen sesudah Deìwi Puhaci, ayeuna kuma petana, sangkan mendudukan padi di dalam rengkiang”. ulah tulus kawin. I. Tokoh Sri dalam Wawacan Sulanjana Sudah tentu akan dikawin oleh Dewa Tokoh dalam Wawacan Sulanjana dibagi Guru, karena lebih cantik, itu Nyi Dewi ke dalam dua kelompok, yaitu tokoh se- Pohaci, sekarang bagaimana caranya, bagai pelaku utama dan pelaku tambahan. supaya (mereka) gagal kawin. Pelaku utama cerita ini adalah Dewa Guru, f. Tangtuna ngaruksak hukum, eìta lamun Sulanjana, dan Sapi Gumarang. Sedangkan tulus kawin, geureuhana Yang Parmeìsti ku pelaku tambahannya adalah Panji Narada, saba geus jadi anak, disusuan Nyi Puhaci, Dewa Anta, para dewa, Prabu Siliwangi, ku ngaran Nyi Deìwi Uma, geureuhana Yang Dewi Nawang Wulan, Ki , Budug Permeìsti. Basu, Kalabuat, dan sebagainya. Inti cerita Karena tentu saja merusak hukum, jika dari Wawacan Sulanjana adalah tentang sampai terjadi kawin, istrinya Yang upaya Sulanjana menyelamatkan dan Parmesti sudah menganggapnya anak, melindungi Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang disusuinya Nyi Pohaci, oleh orang sudah berbentuk padi. bernama Nyi Dewi Uma, istrinya Yang Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang Permesti. menjadi objek cerita merupakan anak yang g. Ti dinya Yang Wenang tuluy, nyandak buah lahir dari telur yang berasal dari air mata Naga huldi, ..... eìta buah, ka Deìwi Puhaci, ti dinya Anta. Di dalam teks Wawacan Sulanjana, buah didahar, langkung ni’mat Nyi Puhaci. penyebutan Nyi Pohaci Sanghyang Sri biasa Dari situ Yang Wenang, lalu mengambil disebut Nyi Dewi Puhaci, kadang juga Nyi buah huldi, yaitu buah, (yang diberikan) Pohaci. kepada Dewi Pohaco, lalu buahnya Nyi Pohaci Sanghyang Sri dibesarkan di dimakan, betapa menikmatinya Nyi kahyangan dan disusui oleh Dewi Uma istri Pohaci. Dewa Guru. Namun, ketika anaknya mulai h. Geus kitu teu kersa nyusu, eìta Nyi Deìwi agak besar tapi masih dalam proses me- Puhaci1, sabab eìta kaeìdanan, hayang deui nyusui, Yang Wenang, seorang dewa yang buah huldi, hanteu kersa barang dahar, derajatnya lebih luhur dari Dewa Guru beurang peuting nangis. memiliki firasat bahwa Dewa Guru akan Setelah itu tidak mau menyusu (kepada memperistri anak ini. Berikut cuplikanya ibunya), itu Nyi Dewi Puhaci, karena

Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 69 tergila-gila, ingin lagi makan buah holdi, beureum eusi, buluna sawareìh aya nu gundil, tidak mau makan minum, siang malam tina lebah panon, buluna nya kitu pisan, aya hanya menangis saja. panjang aya gundil. i. Caritana lajeng ngangluh, eìta Nyi Deìwi Ada yang panjang bulu, ada yang gun- Puhaci, langkung banget kasawatna, sagala dul, dari sebelah mata kiri, keluar padi tamba teu matih, ti dinya dongkap ka ajal, merah berisi, sebagian bulunya gundul, pupus Nyi Deìwi Puhaci. dari pas mata, bulunya ya begitu, ada Lalu dia mengeluh, dia Nyi Dewi Pohaci, yang panjang ada yang gundul. semakin menjadi sakitnya, segala obat 4. Aya anu beureum bulu, sawareìh aya nu tidak manjur, lalu dia menemui ajalnya, putih, aya nu koneìng rupana, aya anu meninggal Nyi Dewi Puhaci. hideung kulit, anu jadi lebah mata, ketan saranggeuy bijil. Setelah Nyi Pohaci meninggal lalu Dewa Ada yang merah berbulu, sebagian ada Guru memerintahkan Aki Bagawat untuk yang putih, ada yang kuning rupanya, mempersiapkan ruangan kubur untuk me- ada yang hitam kulitnya, yang tumbuh ngubur jasadnya. Ketika mayat sudah di- pas mata, beras ketan satu tangkai tumbuh. mandikan, disalatkan dengan tertib, lalu 5. Bulu ketan geì nya kitu, aya panjang aya mayatnya dikuburkan. Dewa Guru memberi gundil, eusina nya kitu pisan, //13// aya amanat kepada Bagawat untuk menjaga hideung aya putih, aya nu beureum rupana, kuburannya. Setiap Jumat Aki Bagawat me- eusina kabeìh teu sami. nyapu bersih kuburannya, tidak ada sam- Bulu ketan juga begitu, ada yang pan- pah atau daun satu lembar pun, kuburannya jang ada yang gundul, isinya juga begitu, rapih bersih. Lama-lama dari kuburannya ada yang hitam ada yang putih, ada juga tumbuh berbagai macam tanaman. Berikut yang merah rupanya, isinya semua tak ini kutipannya dalam Wawacan Sulanjana, sama. Pupuh 3, Kinanti baris 13 – 20: 6. Ti lebah pingping katuhu, haur cucuk anu 1. Lila-lila tina kubur, bet aya kalapa jadi, jeung jadi, ti lebah pingping ti keìnca, haur temen tina lebah sirahna, buah kalapa teu sami, heìjo haur geulis, ti lebah bitis ti keìnca, awi tali beureum rupa buah, warna-warna hanteu anu jadi. sami. Dari sebelah paha kanan, bambu duri Lama-lama dari kuburannya, tumbuh bertumbuh, dari sebelah paha kiri, pohon kelapa, dari pas kepalanya, tumbuh bambu haur temen dan haur tumbuh juga buah kelapa yang tidak geulis, dari betis sebelah kiri, tumbuh sama, hijau merah rupa buah, warna- bambu tali. warnanya tidak sama. 7. Ti lebah bitis katuhu, awi teman anu jadi, eìta 2. Salebah panon katuhu, eìta pareì anu jadi, perkara wartana, jadi areuy bulat-beulit, sarta ngan saranggeuy pisan, buahna eìta teu buluna jadi sagala, cukup nu aya di bumi. sami, aya beureum aya bodas, buluna nya kitu Dari betis sebelah kanan, bambu temen deui. tumbuh, adapun urat nadinya, menjadi Di sebelah mata kanan, ada padi yang sembung rambat yang menjulat jalit. tumbuh, hanya satu tangkai, buahnya 8. Sakabeìh taya nu kantun, sapangeusi jagat juga tidak sama, ada yang merah ada bukti, sipat rupa nu dicekel, hanteu aya anu yang putih, bulunya pun juga begitu. kari, ki Bagawat ngadeuheusan, uninga ka 3. Aya anu panjang bulu, sawareìh aya nu Yang Permeìsti. gundil, tina lebah naon keìnca, bijil pareì

70 Vol. 16, Nomor 1, Juni 2021 Semua tidak ada yang ketinggalan, se- diperintahkan Yang Wenang untuk me- luruh jagat menjadi buktu, sifat dan lawan Sapi Gumarang. rupa yang digenggam, tidak ada yang Sapi Gumarang sangat marah serta tertinggal, Ki Bagawat menghadap, mem- merasa malu kepada Dempu Awang. Be- beritahukannya kepada Yang Permesti. berapa kali padi dirusak, lalu “disehatkan” lagi oleh Sulanjana. Akhirnya Sapi Gumarang Ki Bagawat menghadap kepada Dewa mengajak Sulanjana untuk berperang tan- Guru menceritakan atas apa yang terjadi di ding. Namun, ternyata, Sapi Gumarang kuburan Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Setelah kalah, bahkan selanjutnya dia mengucapkan melihat langsung kuburannya lalu Dewa janji akan mengabdi kepada Sulanjana dan Guru memerintahkan Ki Bagawat untuk akan menjaga serta memelihara padi, asal membawa rupa-rupa benih tanaman setiap mulai bertanam padi nama dirinya tersebut ke Pakuan, harus diberikan kepada dan kedua anaknya, Kala Buwat dan Budug Prabu Siliwangi. Benih dan surat tersebut Basu harus “dipanggil”, baik secara batin lalu dibaca oleh Raja Pakuan, kemudian ia maupun dengan mengucapkan mantra memerintahkan seluruh ponggawa dan mulia menanam padi. Selain itu, juga harus rakyatnya untuk menanam benih. Seluruh disediakan daun paku di pepohonan se- benih yang diberikan tumbuh subur. Dewa bagai syarat ketika menanam padi. Per- Guru lalu mengutus Semar untuk menjaga tarungan antara Sapi Gumarang dan sawah dan tumbuhan yang subur tersebut. Sulanjana ini berlangsung lama dan dikisah- Kesuburan tanah Pakuan dan hasil kan dalam berbagai baris pupuh. Mungkin panennya yang melimpah sampai ke telinga ini menjadi salah satu alasan judul dari seseorang nahkoda yang bernama Dempu Wawacan Sulanjana. Awang. Dia menghitung uang sebanyak tiga II. Tokoh Sri dalam Carita Pantun Sri ratus real, untuk membeli padi di pakuan. Sadana Namun, Prabu Siliwangi menolak menjual Carita Pantun Sri Sadana beras tersebut, karena benihnya dari Dewa Tokoh Sri dalam Guru, jadi beras tersebut adalah milik Dewa (selanjutnya disingkat CPSS) tidak hanya Guru. Lalu Dempu Awang sakit hati dan dia satu orang, tetapi ada dua nama Sri dalam- bertemu dengan Sapi Gumerang. Sapi nya. Tokoh yang pertama adalah tokoh Sri Gumerang adalah nama tokoh antagonis di Sadana yang bersaudara dengan Jaka dalam Wawacan Sulanjana, sementara Sadana dan Rambut Sadana. Mereka bertiga dalam Carita Pantun Sri SadanaCarita adalah anak yang berasal dari air mata Gusti Pantun Sri SadanaCarita Pantun Sri Sadana Allah. Tokoh Sri yang kedua yaitu Nyi tokoh ini disebut Sapi Gumarang. Pohaci Sanghyang Sri yang berasal dari air Selanjutnya dikisahkan Sapi Gumarang mata Naga Anta. Baik Sri Sadana ataupun datang ke Pakuan dan merusak tanaman Nyi Pohaci Sanghyang Sri, keduanya me- yang ada di sana terutama padi. Dia bersama miliki kisahnya masing-masing dan yang dengan Kala Buwat dan Budug Basu me- menarik keduanya juga yang mengakibat- nyerang padi dengan berbagai cara. Di- kan munculnya tanaman di dunia. Berikut antaranya dengan membuat angin, men- ini kejadian tumbuhnya tanaman yang datangkan hama, binatang seperti tikus, dan disebabkan oleh tokoh Sri Sadana: yen sri sadana parantos sedeng rumaja bahkan babi hutan. Melihat kekacauan dan hancurnya Nyi Pohaci Sanghyang Sri, putri kemudian Sulanjana dan kedua adiknya kinten yuswa lima welas taun

Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 71 datang tangara ti nu kawasa kenyataan dari kejadian itu terbukti kareseban kotoran sri sadana bijil ciciri menjadi gadung, gandrung, jagung, bijil kotoran jagung kecil, hanjere, hanjeli, clak murag kana jagat kotoran sri sadana sekul, kunyit, dan terigu katingali ku nini jeung aki (CPSS, 1970: 22) lila ti lila Jadi proses kejadian yang melibatkan Sri pelentung aya nu jadi Sadana tidak menunggu dia meninggal tuluy bae dipiara terlebih dahulu, tetapi tanaman itu tumbuh dimumule dihade-hade dari darah yang menetes ke bumi. Lain halnya dengan Nyi Pohaci Sanghyang Sri, bahwa sri sadana sudah masuk usia dalam CPSS tanaman padi-padian tumbuh remaja putri dari kuburannya. Akibat melakukan per- kira-kira usia lima belas tahun buatan suami istri, kakak beradik Nyi Pohaci dan Bangbang Kusiang dipisahkan. datang berita dari yang kuasa Dewa Guru marah dan Bangbang Kusiang menstruasi dibuang ke Tanah Aceh. Karena ditinggal keluar ciri kekasihnya, Nyi Pohaci akhirnya jatuh sakit keluar kotoran dan meninggal. Nawang Wulan diperintah menetes ke bumi darah sri sadana Raja Pajajaran menghadap Dewa Guru dan bertanya harus bagaimana dengan mayat terlihat oleh nini dan aki Nyi Pohaci. Maka diperintahkanlah mayat- lama-lama nya di kuburkan di Tegal Cikahuripan, kemudian ada yang tumbuh makamnya harus dijaga Aki Nini Oma yang lalu dipelihara kemudian diangkat dan diubah namanya dilestarikan dengan baik menjadi Aki Bagawat Sangsri dan Nini Bagawat Sangsri. Dari kuburannya tumbuh (CPSS, 1970: 22) berbagai macam tanaman. Berikut kutipan teks dalam CPSS: Lalu kelanjutannya, setelah kejadian di tanah pakuburan tea darah menstruasi yang turun ke bumi, maka pelentung aya nu jadi tumbuh berbagai tanaman palawija, serealia, dan rempah. Disebutkan diantaranya ada angenna ngajadi pare ketan gadung, gandrung, jagung, jagung kecil, rupa-rupa ketan sarupana sacangci hanjere, hanjeli, sekul, kunyit, dan terigu panon bobodasna jadi pare bulu (gandum). bodas nu kenca jadi alot kanyataanna kajadian kabuktian kotoran sri nu bereum jadi pare gintung bereum sadana teh nu konengna jadi pare sari kuning ngajadi gadung, gandrung, jagong, hihideungna pare gintung hideung jagong leutik, hanjere, hanjeli, bulu panon ngajadi bulu pare sekul, kunyit, sareng tarigu ….. dari tanah kuburan (Nyi Pohaci Sanghyang Sri)

72 Vol. 16, Nomor 1, Juni 2021 mulai ada yang tumbuh paha menjadi bambu surat lambungnya menjadi padi ketan cecekolan (lutut bagian belakang) men- rupa-rupa beras ketan yang brukuran jadi jengkol sacangci bagian mata yang putih menjadi padi Dalam CPSS tanaman yang tumbuh dari bulu kuburan Nyi Pohaci Sanghyang Sri benar- bagian putih yang kiri jadi tumbuhan benar detail dari atas kepala hingga ujung alot kaki yang menjadi berbagai tanaman yang bisa dimakan baik itu padi, buah-buahan, yang merah jadi beras merah dan bambu. Sementara di dalam Wawacan yang kuning jadi berar sari kuning Sulanjana hanya disebutkan beberapa saja hitamnya jadi padi gintung hitam yang berhubungan dengan padi dan palawija, bulu mata menjadi bulu padi makanan pokok orang Sunda. ….. Kisah selanjutnya akan masuk ke tokoh yang bernama Sulanjana. Dalam CPSS juga mastaka ngajadi kalapa merupakan anak dari ibu pertiwi. Sulanjana, pangambung jadi bawang bereung bawang Talimenar, Talimenir lahir dari ibu pertiwi bodas saat ia mengandung dan menerima tetesan baham jeung tapangeusi baham sir Dewa Guru. Sulanjana dalam CPSS ber- jadi rupa-rupa tatangkalan anu bubuah- tarung melawan Bangbang Kusiang, saudara anana raos diteda kembarnya Nyi Pohaci Sanghyang Sri. …. Sampai di Tanah Pajajaran, Bangbang Kusiang melihat kuburan Nyi Pohaci Sanghyang Sri kepala jadi kelapa dan mengambil padi segenggam padinya hidung menjadi bawang merah bawang dipegang dan diciumi. Melihat hal ini putih Raden Jaka Sulanjana yang diperintah untuk mulut dan isi mulut menjaga padi mencoba menangkap menjadi rupa-rupa tanaman dan buah- Bangbang Kusiang namun dihalangi oleh buahan yang enak dimakan Jaka Sela dan Jaka Pamor yang akhirnya mati di tangannya. Dari kuburan mereka berdua tumbuh besi dan baja. Bangbang Kusiang panangan ruasan handap jadi tangkal kembali ke Tanah Aceh, setibanya di sana kawung ia bunuh diri di hadapan Raja Aceh. Melihat pepeteuyan jadi tangkal peteuy hal ini, Dewa Wisnu yang berada di bulu saluar awak jadi lalab nu raos diteda Kahyangan menangis hingga air matanya uratna jadi areuy-areuyan jatuh ke bumi dan menjadi Jaka Sabeulah. pingping jadi awi surat Kuburan Bangbang Kusiang yang ada di cecekolan jadi jengkol Aceh, menjadi benih emas dan perak. Budugbasu meminta izin ke kahyangan …. untuk melamar Nyi Pohaci, ia menghadap tangan bagian bawah jadi pohon enau Dewa Guru, dan di sana ia mendapat kabar lengan menjadi pohon petai bahwa Nyi Pohaci telah mati. Ia turun ke bulu di tubuh bagian luar menjadi bumi menemui Aki dan Nini Bagawat lalaban yang enak dimakan Sangsri dengan digiring malaikat Kalamula urat menjadi pohon areuy dan Kalamuntir. Di depan kuburan Nyi

Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 73 Pohaci, Budugbasu berkeliling 7 kali lalu Proses meninggalnya Nyi Pohaci mati. Sapi Gumarang merasa kehilangan Sanghyang Sri tidak mau makan dan Budugbasu, lalu ia mencarinya dan me- minum karena ditinggalkan oleh kakak- nemukan Budugbasu telah menjadi ber- nya ke Aceh. bagai macam hama. Kemudian Sapi Guma- Di dalam Wawacan Sulanjana, Nyi rang memelihara hama-hama tersebut dan Pohaci diberi buah khuldi saat masih juga memelihara Kalamula yang berganti menyusui kepada Dewi Uma, lalu dia nama menjadi Ki Darweng yang bertugas menangis karena tidak mau minum susu menjaga hama di darat dan Kalamuntir dan mau makan buah khuldi saja. Akhir- yang berganti nama menjadi Ki Kaliwengkang nya, Nyi Pohaci meninggal dan mayatnya yang bertugas menjaga hama di air. diturunkan ke bumi diurus oleh Aki Sawah-sawah di Pajajaran sudah mulai Bagawat. menguning dan tiba waktunya untuk di- 2. Sulanjana panen. Dewa Guru dan Dewi Uma turun ke Tokoh Sulanjana dalam Wawacan bumi menyamar menjadi burung pipit, dan Sulanjana adalah anak ibu pertiwi yang mematuk-matuk padi, artinya padi harus berasal dari air mani Dewa Guru yang dipipit atau dipanen. Semar dan anak-anak- jatuh ke bumi, kemudian ia menjelma nya diganggu dan diajari membuat air nira menjadi lawan Sapi Gumarang, dan dan gula kawung. Aki dan Nini Bagawat anak buahnya Budug Basu dan Kalabuat. Sangsri memetik padi. Negara Pajajaran Dalam wawacan, terjadi pertempuran subur makmur, Nyi Pohaci menjalankan hebat antara keduanya. tugasnya dengan baik yaitu memajukan Sementara itu, edangkan tokoh kehidupan manusia. Sulanjana dalam CPSS hanya berkisah III. Perbedaan Cerita dalam Wawacan saat ia menemui ayahnya yaitu Dewa Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana Guru dan saat berduel dengan Bangbang Tema yang terkandung dalam teks Kusiang. Jadi, Sulanjana dalam CPSS Wawacan Sulanjana adalah asal mula tidak menjadi tokoh utama. terjadinya tumbuhan padi dan tanaman 3. Tokoh Pelengkap lainnya. Disebutkan bahwa padi berasal dari Dalam Wawacan Sulanjana tokoh yang kuburan Puhaci, kemudian ditanam di disebutkan antara lain Dewa Guru, Panji Pakuan. Jadi negeri yang pertama kali Narada, Dewa Anta, Sulanjana, Nyi mengenal padi adalah Pakuan di bawah Pohaci Sanghyang Sri, Sapi Gumarang, pimpinan Prabu Siliwangi. Sedangkan Budug Basu, Nini dan Aki Bagawat, dalam Carita Pantun Sri Sadana negara yang keluarga Semar, Prabu Siliwangi, dan menjadi tempat pertama kali mengenal Dewi Nawang Wulan. padi adalah Pajajaran. Namun yang menarik Sementara itu, dalam CPSS selain istri dari raja namanya sama yaitu Dewi tokoh-tokoh yang disebutkan tadi, ada Nawang Wulan. Beberepa perbedaan lain juga tokoh lain yang bercerita dan dalam Wawacan Sulanjana dan CPSS bisa diceritakan. Diantaranya adalah kisah dirunut sebagai berikut. Sri Sadana, Jaka Sadana, Rambut Sadana. 1. Buah Khuldi Lalu kisah Lembu Wulung dan Idajil, Di dalam Carita Pantun buah khuldi Jaka Sabeulah, Raja Majapait dan Dewi diberikan kepada Nyi Pohaci Sanghyang Sukraba, Anggana Anggani Angganiah, Sri dan Bangbang Kusiang, lalu mereka Raja Aceh, dan Jaka Sela Jaka Pamor. diturunkan ke bumi, dan hidup di bumi.

74 Vol. 16, Nomor 1, Juni 2021 Dari perbandingan tokoh di atas bisa Literature. London: Routledge and Kegan dilihat bahwa penulis Wawacan Sulanjana Paul. hanya mengambil bagian inti tokoh yang ber- Dina Darnia. 2004. “Kajian Struktur jeung hubungan dengan kisah Nyi Pohaci Ajen Budaya Naskah Wawacan Sanghyang Sri saja. Mulai dari terbentuknya Sulanjana”. Bandung: FPBS Universitas tanaman yang diringkas, pemilihan tokoh, dan Pendidikan Indonesia. latar cerita hal ini membuktikan wawacan Ekadjati, Edi S. 1984. “Sejarah Sunda” dalam menjadi teks yang bertransformasi dari carita Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. pantun. Dengan kata lain CPSS menjadi Bandung: Girimukti Pasaka, hlm. 77—123. hipogram atau teks awal dari Wawacan Fauziyah, Evi Fuji. 2014. Carita Pantun Sri Sulanjana. Sadana: Kajian Strukturalisme Levistrauss. Skripsi. Universitas Padjadjaran. PENUTUP Holil, Munawar. 2018. Wawacan Sulanjana. Berdasarkan hasil analisis maka di- Jakarta: Perpustakaan Nasional dapatkan kesimpulan bahwa tema dalam Republik Indonesia. teks Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Kalsum dan Etti Rochaeti. 2005. Sastra Ritual, Sadana tersebut memiliki satu kesamaan Wawacan , Wawacan Sulanjana. yaitu tentang kehidupan masyarakat agraris Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. di tanah Sunda. Sebuah teks dikonstruksi Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language a atas beberapa komponen atau potongan Semiotic Approach to Literature and Art. tekstual dapat dilihat melalui karya Wawacan Oxford: Basil Blackwell. Sulanjana. Potongan-potongan teks CPSS Raj, P. P. E. 2015. Text/Texts: Interrogating Wawacan Sulanjana dalam teks tidak dapat Julia Kristeva’s Concept of dilihat sebagai satu hal yang terpisah, tetapi Intertextuality. Ars Artium, 3, 77. dimaknai sebagai satu kesatuan. Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, Cerita dalam teks Wawacan Sulanjana dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: dan CPSS keduanya didasarkan pada salah Pustaka Pelajar. satu tokoh yakni Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Rosidi, Ajip. 1966. Kesusastraan Sunda Dewasa Namun, ada sedikit perbedaan urutan peris- Ini. Jatiwangi: Tjupumanik. tiwa dan tokoh-tokoh lain yang menyertai cerita di dalam teks. Kompleksitas tokoh, Rosidi, Ajip. 1995. “Kasusastraan Sunda” latar, cerita dalam CPSS menjadi bukti dalam Sastera dan Budaya: Kedaerahan bahwa CPSS menjadi teks asal yang se- dalam Keindonesiaan. Jakarta: Pustaka lanjutnya bertransformasi menjadi Wawacan Jaya. hlm. 376—411. Sulanjana. Tokoh-tokoh dalam CPSS ini Salmun, M.A. 1963. Kandaga Kasusastran. disusun berdasarkan alur dan kapan si Cetakan ke-2. Bandung/Jakarta: Ganaco tokoh keluar. Jadi susunannya berurutan N.V. dari yang petama kali diceritakan sampai Sumardjo, Jakob. 2006. Khazanah Pantun yang terakhir menjadi subjek penceritaan. Sunda: Sebuah Interpretasi. Bandung: Kelir. DAFTAR PUSTAKA Worton, Michael dan Judith Still. 1990. Adiwidjaja, R.I. t.t. Kasusastran Sunda II. Intertextuality and Practices. New York: Jakarta: J.B. Wolters—Groningen. Manchester University Press. Culler, Jonathan. 1975. Structuralist. Structuralism, Linguistic and the Study of

Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana dan Carita Pantun Sri Sadana: ... 75