26 BAB III DESKRIPSI DAN KONTEKS WAWACAN SULANJANA Sebuah
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB III DESKRIPSI DAN KONTEKS WAWACAN SULANJANA Sebuah naskah wawacan tidak bisa terlepas dari tradisi, seperti pada Wawacan Sulanjana yang dibacakan pada upacara Babarit Pare. Upacara Babarit Pare dengan Wawacan Sulanjana menjadi satu kesatuan yang saling menguatkan. Naskah Wawacan Sulanjana sebagai sumber cerita, sedangkan upacara Babarit Pare merupakan implementasi dan refleksi dari Wawacan Sulanjana. A. Upacara Babarit Pare Upacara Babarit Pare merupakan hajat syukuran ketika padi mulai berisi atau warga Kulur biasa menyebutnya hamil atau bunting, ciri-ciri padi yang hamil umurnya sekitar 2 bulan lebih dan daun paling ujung berisi. Kata babarit memiliki arti “syukuran tujuh bulan yang sedang hamil”, sedangkan kata pare memiliki arti padi.33 Upacara Babarit Pare dilaksanakan di Balai Kampung yang dihadiri warga sekitar. Balai kampung merupakan tempat serbaguna yang berada di desa yang biasa digunakan untuk acara-acara pementasan seni, tradisi, atau acara lainnya. Di balai kampung inilah warga berkumpul untuk melaksanakan upacara Babarit Pare.34 Sebelum upacara Babarit Pare dilaksanakan, warga mempersiapkan sesajen sebanyak 22 macam makanan yang terdiri dari kelapa muda, kupat tiga macam, serabi kecil dua macam, dan lainnya. Sedangkan untuk minuman terdiri dari air teh, kopi, air putih, rujak selasih, rujak pisang, rujak kelapa jumlahnya 33 Wawancara dengan Abah Rukmin pada tanggal 30 Juni 2015 pukul 18:19:28 dikediaman rumahnya Desa Kulur. 34 Ibid., 26 minimal tujuh. Semua sesajen di atas akan dimakan bersama setelah upacara selesai.35 Menurut penuturan Abah Rukmin, ada makna simbolis dari sesajen pada upacara Babarit Pare, seperti: terdapat bubur dua macam yaitu bubur putih dan bubur merah yang keduanya disimpan dalam satu wadah. Bubur merah sebagai simbol perempuan, sedangkan bubur putih simbol dari laki-laki. Kedua bubur yang disimpan dalam satu wadah ini memiliki makna bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan itu untuk saling menyayangi dan rukun.36 Selanjutnya ada sesajen kupat berbentuk segitiga sebagai simbol perempuan, ada kupat dari daun kelapa yang bentuknya memanjang sebagai symbol laki-laki. Kemudian ada kupat berbentuk bundar sebagai simbol laki-laki juga. Ketiga bentuk kupat di atas diikat menjadi satu, anggap itu sebagai keluarga bahwa kita harus rukun tidak bercerai berai. Sedangkan sesajen berupa minuman yang terdiri dari: air teh, kopi, air putih, rujak selasih, rujak pisang, rujak kelapa yang berjumlah minimal tujuh jenis. Tujuh jenis minuman ini menyimbolkan jumlah hari dalam satu minggu. Sejarah diadakannya upacara Babarit Pare di Desa Kulur Majalengka tidak bisa terlepas dari padi yang dimitoskan dengan cerita dewi sri. Berbeda dengan daerah lain yang mengaitkan padi dengan mitos dewi sri, di Desa Kulur padi biasa disebut Nyi Sri atau Nyi Puhaci. Padi diperlakukan layaknya manusia, ketika manusia saat hamil tujuh bulan diadakan acara tujuh bulanan, sedangkan pada saat padi hamil/bunting diadakan acara Babarit Pare.37 35 Ibid., 36 Ibid., 37 Ibid., 27 Pelaksanaan upacara Babarit Pare dengan cara membaca teks (mamacan)38 atau juga disebut wawacan singkatan dari wawar ka anu acan (memberitahu kepada yang belum mengetahui). Pada saat pelaksanaan Babarit Pare menggunakan (wawacan sulanjana)39 yang ditampilkan dengan kesenian Gaok. Gaok merupakan seni tradisional yang telah mengalami singkretisme antara nilai budaya etnis Sunda Buhun yang bernuansa Islam, yang dibawa dari Cirebon. Di dalam pertunjukan selalu diawali dengan bacaan Basmalah, sedangkan bahasa yang disampaikan adalah bahasa Sunda. Terkadang gayanya seperti orang sedang mengumandangkan Adzan.40 Kesenian Gaok dipimpin oleh seorang dalang/pengawawit dan juru mamaos. Tugas seorang dalang melantunkan tembang (Wawacan Sulanjana) dengan suara keras sehingga dinamakan Gaok yang diambil dari kata “ngagorowok” (berteriak).41 Jadi pelaksanaan upacara Babarit Pare di Desa kulur Majalengka diadakan dengan menggunakan kesenian tradisional yaitu Gaok. Semua warga berkumpul di Balai Kampung, kemudian menyediakan sesajen dan air kembang. Setelah warga berkumpul upacara dimulai dengan membaca basmallah. Dalang atau pengawawit akan melantunkan tembang (Wawacan Sulanjana) yang bercerita tentang penciptaan padi (Nyi Pohaci) kemudian warga akan memperhatikannya, karena apa yang diceritakan dalang mengandung nilai- 38 Semua wawacan berbentuk buku, yang dicetak (terbitan), atau yang berupa salinan ditulis tangan. Hurufnya, ada yang aksara Sunda (atau Jawa), Latin atau Pegon (Arab-gundul, Jawi). 39 Sebuah naskah sunda yang berisi cerita lahirnya padi (Nyi Puhaci) 40 Disadur dari Koran Lingkar Jabar (Edisi 143 – Tahun 1 – Rabu – 12 – September 2012. 41 Ibid., 28 nilai moral mengenai tata cara/ tata tertib bertani mulai pra-tanam sampai pasca tanam. Setelah naskah Wawacan Sulanjana selesai dilantunkan, maka acara di tutup dengan doa dan sesajen yang telah disediakan dimakan bersama peserta upacara Babarit Pare. Kemudian warga berebut mengambil air kembang yang telah disediakan untuk disiramkan di pematang sawahnya masing-masing, dengan harapan hasil panennya nanti menjadi berkah. B. Pengertian Wawacan Sebelum mengartikan wawacan kita harus mengetahui terlebih dahulu arti dari naskah, karena semua bahan tulisan tangan itu disebut naskah. Naskah merupakan benda konkret yang dapat dilihat atau dipegang, sedangkan yang dimaksud dengan teks ialah kandungan atau isi dari naskah yang bersifat abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja. Naskah itu dipandang sebagai hasil budaya berupa cipta sastra karena teks yang terdapat dalam naskah itu merupakan suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan.42 Gambar 6: Abah Rukmin sedang menunjukkan contoh wawacan (sumber foto: buruan.co) 42 Elis Suryani NS. Ragam Pesona Budaya Sunda (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) Hal. 130. 29 Wawacan merupakan karya sastra yang sangat terkenal pada abad ke-19 sampai pada abad ke-20. Sebelum orang Sunda mengenal bentuk penulisan prosa, hampir semua bentuk tulisan disusun dengan bentuk puisi wawacan dan danding, yang dikarang berpedoman pada aturan pupuh43. Wawacan adalah cerita yang digubah dalam bentuk puisi dangding, biasa beraksara Pegon/Arab Sunda serta bertema syiar Islam).44 Gambar 7: Koleksi Wawacan Abah Rukmin Sumber foto: dokumen pribadi 43 Tembang nyanyian yang terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan. 44 Ibid., hlm. 94. 30 Sedangkan menurut R.H. Hasan Mustapa, wawacan adalah cerita atau dongeng yang panjang dan ditulis dalam bentuk tembang. Wawacan ada yang ditulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Wawacan yang dinyanyikan disebut beluk45 atau di daerah Majalengka biasa disebut gaok. C. Asal-Usul Wawacan Sulanjana Di daerah Majalengka, Jawa Barat, sekitar tahun 1980-an teks naskah Wawacan Sulanjana masih sangat produktif dan digunakan untuk ritual dalam siklus penanaman padi, mulai dari guar bumi (mencangkul), tebar (menanam bibit), dan tandur (menanam bibit di sawah). Begitu juga pada waktu tanaman padi keur reuneuh (sedang hamil), biji padi beuneur hejo (ketika padi mulai bernas), dan ketika upacara nyalin (memetik ibu padi untuk penanaman yang akan datang). Naskah Wawacan Sulanjana ditulis oleh Wangsa Harja, yang tulisannya sangat indah, baik dalam tulisan Latin maupun Pegon, ia telah menulis naskah ini lebih dari satu dan hasil tulisannya antara yang satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan, diperkiran ia menulis tanpa referensi karena sudah hafal di luar kepala. Contohnya adalah: abdi-abdi dengan kuring-kuring (kami semua), kuwu sadaya lurah dengan santana (kepala desa), jung indit dengan geus indit (silahkan/telah pergi), dan nami abdi dengan ngaran kula (nama saya).46 Dengan keragaman teks dalam naskah Wawacan Sulanjana beserta perbedaannya namun alur kisahnya hampir sama, maka peneliti akan memilih naskah Wawacan Sulanjana tulisan Wangsa Harja yang berada di Abah Rukmin Desa Kulur Kecamatan Majalengka Kabupaten Majalengka. 45 Nyanyian buhun berirama bebas yang dibawakan dengan nada-nada tinggi dan oleh beberapa orang secara bergantian. 46 Ibid., hlm. 85. 31 Kisah Wawacan Sulanjana yang penulis teliti diambil dari sebuah naskah milik Abah Rukmin (76), penulis naskah Wangsa Harja tahun 1965 dengan aksara latin berbahasa Sunda. Naskah ini dalam bentuk Foto Copy dengan kertas ukuran F4 dan dijilid, cover naskahnya bertuliskan: WAWACAN SULANJANA, Milik: RUKMIN Dusun Tarikolot Desa Kulur Kec/Kab Majalengka 1995. Kemudian dalam naskah tersebut terdapat keterangan Wawacan Sulanjana dari Kecamatan Majalengka. Abah Rukmin adalah murid langsung dari juru Gaok generasi buhun Sabda Wangsahardja. Ia telah menjadi juru Gaok sejak tahun 1963. Pada mulanya Abah Rukmin belajar membaca wawacan yang ditulis dengan huruf Pegon. Gambar 8: Foto Abah Rukmin beserta istri (Sumber foto: buruan.co) Kemudian ia diajar membacakan atau menyanyikannya dengan langgam pupuh. Juru Gaok di kampung Tari Kolot Desa Kulur, sebetulnya tidak hanya Abah Rukmin. Ada dua orang lagi, “Aya dua urang deui. Tapi nuhi tos geringan, nu hiji deui tos kurang mireng (Ada dua orang lagi, tapi yang satu sudah sakit- 32 sakitan, yang satunya lagi sudah kurang pendengarannya),” ujar Abah Rukmin mengenai dua kawannya.47 Dengan kata lain, Abah Rukmin merupakan juru Gaok terakhir yang dimiliki Kampung Tarikolot Desa Kulur, bahkah mungkin Majalengka. Kini Abah Rukmin prihatin dengan keadaan sekarang dengan tidak adanya generasi muda yang tertarik dengan seni Gaok.48 Berbicara Wawacan Sulanjana tidak bisa terlepas dari kesenian Gaok, karena antara kesenian Gaok dengan Wawacan Sulanjan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.