26 BAB III DESKRIPSI DAN KONTEKS WAWACAN SULANJANA Sebuah

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

26 BAB III DESKRIPSI DAN KONTEKS WAWACAN SULANJANA Sebuah BAB III DESKRIPSI DAN KONTEKS WAWACAN SULANJANA Sebuah naskah wawacan tidak bisa terlepas dari tradisi, seperti pada Wawacan Sulanjana yang dibacakan pada upacara Babarit Pare. Upacara Babarit Pare dengan Wawacan Sulanjana menjadi satu kesatuan yang saling menguatkan. Naskah Wawacan Sulanjana sebagai sumber cerita, sedangkan upacara Babarit Pare merupakan implementasi dan refleksi dari Wawacan Sulanjana. A. Upacara Babarit Pare Upacara Babarit Pare merupakan hajat syukuran ketika padi mulai berisi atau warga Kulur biasa menyebutnya hamil atau bunting, ciri-ciri padi yang hamil umurnya sekitar 2 bulan lebih dan daun paling ujung berisi. Kata babarit memiliki arti “syukuran tujuh bulan yang sedang hamil”, sedangkan kata pare memiliki arti padi.33 Upacara Babarit Pare dilaksanakan di Balai Kampung yang dihadiri warga sekitar. Balai kampung merupakan tempat serbaguna yang berada di desa yang biasa digunakan untuk acara-acara pementasan seni, tradisi, atau acara lainnya. Di balai kampung inilah warga berkumpul untuk melaksanakan upacara Babarit Pare.34 Sebelum upacara Babarit Pare dilaksanakan, warga mempersiapkan sesajen sebanyak 22 macam makanan yang terdiri dari kelapa muda, kupat tiga macam, serabi kecil dua macam, dan lainnya. Sedangkan untuk minuman terdiri dari air teh, kopi, air putih, rujak selasih, rujak pisang, rujak kelapa jumlahnya 33 Wawancara dengan Abah Rukmin pada tanggal 30 Juni 2015 pukul 18:19:28 dikediaman rumahnya Desa Kulur. 34 Ibid., 26 minimal tujuh. Semua sesajen di atas akan dimakan bersama setelah upacara selesai.35 Menurut penuturan Abah Rukmin, ada makna simbolis dari sesajen pada upacara Babarit Pare, seperti: terdapat bubur dua macam yaitu bubur putih dan bubur merah yang keduanya disimpan dalam satu wadah. Bubur merah sebagai simbol perempuan, sedangkan bubur putih simbol dari laki-laki. Kedua bubur yang disimpan dalam satu wadah ini memiliki makna bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan itu untuk saling menyayangi dan rukun.36 Selanjutnya ada sesajen kupat berbentuk segitiga sebagai simbol perempuan, ada kupat dari daun kelapa yang bentuknya memanjang sebagai symbol laki-laki. Kemudian ada kupat berbentuk bundar sebagai simbol laki-laki juga. Ketiga bentuk kupat di atas diikat menjadi satu, anggap itu sebagai keluarga bahwa kita harus rukun tidak bercerai berai. Sedangkan sesajen berupa minuman yang terdiri dari: air teh, kopi, air putih, rujak selasih, rujak pisang, rujak kelapa yang berjumlah minimal tujuh jenis. Tujuh jenis minuman ini menyimbolkan jumlah hari dalam satu minggu. Sejarah diadakannya upacara Babarit Pare di Desa Kulur Majalengka tidak bisa terlepas dari padi yang dimitoskan dengan cerita dewi sri. Berbeda dengan daerah lain yang mengaitkan padi dengan mitos dewi sri, di Desa Kulur padi biasa disebut Nyi Sri atau Nyi Puhaci. Padi diperlakukan layaknya manusia, ketika manusia saat hamil tujuh bulan diadakan acara tujuh bulanan, sedangkan pada saat padi hamil/bunting diadakan acara Babarit Pare.37 35 Ibid., 36 Ibid., 37 Ibid., 27 Pelaksanaan upacara Babarit Pare dengan cara membaca teks (mamacan)38 atau juga disebut wawacan singkatan dari wawar ka anu acan (memberitahu kepada yang belum mengetahui). Pada saat pelaksanaan Babarit Pare menggunakan (wawacan sulanjana)39 yang ditampilkan dengan kesenian Gaok. Gaok merupakan seni tradisional yang telah mengalami singkretisme antara nilai budaya etnis Sunda Buhun yang bernuansa Islam, yang dibawa dari Cirebon. Di dalam pertunjukan selalu diawali dengan bacaan Basmalah, sedangkan bahasa yang disampaikan adalah bahasa Sunda. Terkadang gayanya seperti orang sedang mengumandangkan Adzan.40 Kesenian Gaok dipimpin oleh seorang dalang/pengawawit dan juru mamaos. Tugas seorang dalang melantunkan tembang (Wawacan Sulanjana) dengan suara keras sehingga dinamakan Gaok yang diambil dari kata “ngagorowok” (berteriak).41 Jadi pelaksanaan upacara Babarit Pare di Desa kulur Majalengka diadakan dengan menggunakan kesenian tradisional yaitu Gaok. Semua warga berkumpul di Balai Kampung, kemudian menyediakan sesajen dan air kembang. Setelah warga berkumpul upacara dimulai dengan membaca basmallah. Dalang atau pengawawit akan melantunkan tembang (Wawacan Sulanjana) yang bercerita tentang penciptaan padi (Nyi Pohaci) kemudian warga akan memperhatikannya, karena apa yang diceritakan dalang mengandung nilai- 38 Semua wawacan berbentuk buku, yang dicetak (terbitan), atau yang berupa salinan ditulis tangan. Hurufnya, ada yang aksara Sunda (atau Jawa), Latin atau Pegon (Arab-gundul, Jawi). 39 Sebuah naskah sunda yang berisi cerita lahirnya padi (Nyi Puhaci) 40 Disadur dari Koran Lingkar Jabar (Edisi 143 – Tahun 1 – Rabu – 12 – September 2012. 41 Ibid., 28 nilai moral mengenai tata cara/ tata tertib bertani mulai pra-tanam sampai pasca tanam. Setelah naskah Wawacan Sulanjana selesai dilantunkan, maka acara di tutup dengan doa dan sesajen yang telah disediakan dimakan bersama peserta upacara Babarit Pare. Kemudian warga berebut mengambil air kembang yang telah disediakan untuk disiramkan di pematang sawahnya masing-masing, dengan harapan hasil panennya nanti menjadi berkah. B. Pengertian Wawacan Sebelum mengartikan wawacan kita harus mengetahui terlebih dahulu arti dari naskah, karena semua bahan tulisan tangan itu disebut naskah. Naskah merupakan benda konkret yang dapat dilihat atau dipegang, sedangkan yang dimaksud dengan teks ialah kandungan atau isi dari naskah yang bersifat abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja. Naskah itu dipandang sebagai hasil budaya berupa cipta sastra karena teks yang terdapat dalam naskah itu merupakan suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan.42 Gambar 6: Abah Rukmin sedang menunjukkan contoh wawacan (sumber foto: buruan.co) 42 Elis Suryani NS. Ragam Pesona Budaya Sunda (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) Hal. 130. 29 Wawacan merupakan karya sastra yang sangat terkenal pada abad ke-19 sampai pada abad ke-20. Sebelum orang Sunda mengenal bentuk penulisan prosa, hampir semua bentuk tulisan disusun dengan bentuk puisi wawacan dan danding, yang dikarang berpedoman pada aturan pupuh43. Wawacan adalah cerita yang digubah dalam bentuk puisi dangding, biasa beraksara Pegon/Arab Sunda serta bertema syiar Islam).44 Gambar 7: Koleksi Wawacan Abah Rukmin Sumber foto: dokumen pribadi 43 Tembang nyanyian yang terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan. 44 Ibid., hlm. 94. 30 Sedangkan menurut R.H. Hasan Mustapa, wawacan adalah cerita atau dongeng yang panjang dan ditulis dalam bentuk tembang. Wawacan ada yang ditulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Wawacan yang dinyanyikan disebut beluk45 atau di daerah Majalengka biasa disebut gaok. C. Asal-Usul Wawacan Sulanjana Di daerah Majalengka, Jawa Barat, sekitar tahun 1980-an teks naskah Wawacan Sulanjana masih sangat produktif dan digunakan untuk ritual dalam siklus penanaman padi, mulai dari guar bumi (mencangkul), tebar (menanam bibit), dan tandur (menanam bibit di sawah). Begitu juga pada waktu tanaman padi keur reuneuh (sedang hamil), biji padi beuneur hejo (ketika padi mulai bernas), dan ketika upacara nyalin (memetik ibu padi untuk penanaman yang akan datang). Naskah Wawacan Sulanjana ditulis oleh Wangsa Harja, yang tulisannya sangat indah, baik dalam tulisan Latin maupun Pegon, ia telah menulis naskah ini lebih dari satu dan hasil tulisannya antara yang satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan, diperkiran ia menulis tanpa referensi karena sudah hafal di luar kepala. Contohnya adalah: abdi-abdi dengan kuring-kuring (kami semua), kuwu sadaya lurah dengan santana (kepala desa), jung indit dengan geus indit (silahkan/telah pergi), dan nami abdi dengan ngaran kula (nama saya).46 Dengan keragaman teks dalam naskah Wawacan Sulanjana beserta perbedaannya namun alur kisahnya hampir sama, maka peneliti akan memilih naskah Wawacan Sulanjana tulisan Wangsa Harja yang berada di Abah Rukmin Desa Kulur Kecamatan Majalengka Kabupaten Majalengka. 45 Nyanyian buhun berirama bebas yang dibawakan dengan nada-nada tinggi dan oleh beberapa orang secara bergantian. 46 Ibid., hlm. 85. 31 Kisah Wawacan Sulanjana yang penulis teliti diambil dari sebuah naskah milik Abah Rukmin (76), penulis naskah Wangsa Harja tahun 1965 dengan aksara latin berbahasa Sunda. Naskah ini dalam bentuk Foto Copy dengan kertas ukuran F4 dan dijilid, cover naskahnya bertuliskan: WAWACAN SULANJANA, Milik: RUKMIN Dusun Tarikolot Desa Kulur Kec/Kab Majalengka 1995. Kemudian dalam naskah tersebut terdapat keterangan Wawacan Sulanjana dari Kecamatan Majalengka. Abah Rukmin adalah murid langsung dari juru Gaok generasi buhun Sabda Wangsahardja. Ia telah menjadi juru Gaok sejak tahun 1963. Pada mulanya Abah Rukmin belajar membaca wawacan yang ditulis dengan huruf Pegon. Gambar 8: Foto Abah Rukmin beserta istri (Sumber foto: buruan.co) Kemudian ia diajar membacakan atau menyanyikannya dengan langgam pupuh. Juru Gaok di kampung Tari Kolot Desa Kulur, sebetulnya tidak hanya Abah Rukmin. Ada dua orang lagi, “Aya dua urang deui. Tapi nuhi tos geringan, nu hiji deui tos kurang mireng (Ada dua orang lagi, tapi yang satu sudah sakit- 32 sakitan, yang satunya lagi sudah kurang pendengarannya),” ujar Abah Rukmin mengenai dua kawannya.47 Dengan kata lain, Abah Rukmin merupakan juru Gaok terakhir yang dimiliki Kampung Tarikolot Desa Kulur, bahkah mungkin Majalengka. Kini Abah Rukmin prihatin dengan keadaan sekarang dengan tidak adanya generasi muda yang tertarik dengan seni Gaok.48 Berbicara Wawacan Sulanjana tidak bisa terlepas dari kesenian Gaok, karena antara kesenian Gaok dengan Wawacan Sulanjan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Recommended publications
  • Dewi Sri" Dalam Masyarakat Jawa Trisna Kumala Satya Dewi, Author Deskripsi Lengkap: ------Abstrak
    Universitas Indonesia Library >> UI - Disertasi (Open) Transformasi mitos "Dewi Sri" dalam masyarakat Jawa Trisna Kumala Satya Dewi, author Deskripsi Lengkap: http://lib.ui.ac.id/detail?id=20426595&lokasi=lokal ------------------------------------------------------------------------------------------ Abstrak <b>ABSTRAK</b><br> Penelitian ini berjudul, ?Transformasi Mitos Dewi Sri dalam Masyarakat Jawa". Perumusan masalah penelitian ini, yaitu (1) Bagaimanakah transformasi mitos Dewi Sri dalam sastra?, (2) Bagaimanakah persebaran mitos Dewi Sri dalam masyarakat Jawa? dan (3) Bagaimanakah iimgsi mitos Dewi Sri dalam masyarakat Jawa? Tujuan penelitian ini, yaitu (1) Mengungkapkan transformasi mitos Dewi Sri dalam sastra, (2) Mengungkapkan persebaran mitos Dewi Sri dalam masyarakat Jawa, dan (3) Mengungkapkan fungsi mitos Dewi Sri dalam masyarakat Jawa. Teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori sastra lisan, teori filologi dan transformasi teks. Metode penelitian dalam penelitian ini meliputi beberapa bagian, yaitu (I) Iokasi dan sasaran penelitian, (2) pengumpulan data, dan (3) dokumentasi, yaitu pengumpulan, penggolongan dan penganalisisan. Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan etnografi. Dalam rangka analisis transformasi teks Dewi Sri digunakan prinsip intertekstualitas dan hipoglam (Riffaterre, 1978) dan Kristeva (Culler, 1977). Penelitian ini menghasilkan hal-hal sebagai berikut. Dalam masyarakat Jawa mitos Dewi Sri bertransformasi dalam wayang purwa lakon Sri Sadana dan Sri Mulih yang dipagelarkan dalam upacara bersih desa. Masyarakat Jawa sering menyebut lakon Sri Sadana dengan Mikukuhan (Mikukuhan Dewi Sri) dan lakon Sri Mulih disebut juga Sri Boyong atau Sri Mantuk Berdasarkan analisis hubungan intertekstualitas maka dapat diketahui bahwa lakon Sri Sadana sebagai teks transformasi secara signifikan teksnya menunjukkan kemiripan dengan hipogram 3 dan 4 yaitu Sera! Manfkmaya (Priyohutomo, 1952) dan Serat Manikmaya (B.97).
    [Show full text]
  • A Socio-Cultural Analysis on the Role of Sunan Ambu, Dewi Sri and Rongeng) Endang Caturwati*
    Saudi Journal of Humanities and Social Sciences Abbreviated Key Title: Saudi J Humanities Soc Sci ISSN 2415-6256 (Print) | ISSN 2415-6248 (Online) Scholars Middle East Publishers, Dubai, United Arab Emirates Journal homepage: http://scholarsmepub.com/sjhss/ Original Research Article The Profile of Indung in Sundanese Society (A Socio-Cultural Analysis on the Role of Sunan Ambu, Dewi Sri and Rongeng) Endang Caturwati* Institute of Indonesian Art and Culture, Bandung Indonesia DOI:10.21276/sjhss.2019.4.7.12 | Received: 20.07.2019 | Accepted: 27.07.2019 | Published: 30.07.2019 *Corresponding author: Endang Caturwati Abstract The research discusses the profile of Indung in Sundanese society, namely Sunan Ambu, Dewi Sri, and Ronggeng. It is conducted as an effort to unravel the existence of woman as indung or mother that has been influencing many aspects of life of Sundanese society. All those three actors have very dominant role both in social and internal aspect. The figure purpose of the research is to identify the process of value change in a series of time, particularly the change in their function caused by the particular circumstances during the past colonial era. The research employs descriptive-analytical methodology with qualitative approach, and focuses its analysis on process, event and authenticity. The findings of the research suggests that either the of Sunan Ambu, Dewi Sri or Ronggeng, have a multi-dimensional character: namely (1) as a woman who is responsible for human kind‟s life sustainability, (2) as a mother or indung, (3) as a protector and life-giver, the character of which are deeply embedded in those three figures.
    [Show full text]
  • The Sinophone Roots of Javanese Nini Towong
    Margaret Chan Singapore Management University The Sinophone Roots of Javanese Nini Towong This article proposes that Nini Towong, a Javanese game involving a pos- sessed doll, is an involution of fifth-century Chinese spirit-basket divination. The investigation is less concerned with originist theories than it is a discus- sion of the Chinese in Indonesia. The Chinese have been in Southeast Asia from at least as early as the Ming era, yet Chinese contributions to Indonesian culture is an understudied area. The problem begins with the asymmetrical privileging of Indic over Sinic influences in early European scholarship, a sit- uation which in turn reveals the prejudices that the Europeans brought to bear in their dealings with the Chinese of Southeast Asia in the seventeenth to nineteenth century. Europeans introduced the Chinese-Jew analogy to the region. Their disdain contributed to indigenous hostility toward the Chinese. Racialism is a sensitive topic but a reminder of past injustices provides a timely warning in this moment of tense world geopolitics. keywords: Nini Towong—jelangkung—spirit-basket divination— Sinophone—Sinophobia Asian Ethnology Volume 76, Number 1 • 2017, 95–115 © Nanzan University Anthropological Institute ini Towong is a Javanese rain ritual that involves a female effigy made with Na coconut-shell ladle head mounted upon a basket body.* The soul of a dead person possesses the doll when it self-animates to answer questions put to it by rapping, nodding, and pointing. There is a second Indonesian spirit-basket game, jelangkung, from the Chinese cai lan gong (菜篮公), meaning “vegetable basket deity.” Two people hold onto a basket which moves to write using a pen stuck into its reeds.
    [Show full text]
  • Mengenal Sunda Wiwitan Dan Agama Sunda Yang Lain
    LAMPIRAN Mengenal Sunda Wiwitan dan Agama Sunda yang Lain Anak-anak Baduy dalam turut hadir dalam acara Seba Baduy di Pendopo Rangkasbitung. tirto.id/Arimacs Wilander Oleh: Irfan Teguh - 24 Agustus 2017 Dibaca Normal 5 menit Terdapat klaim Sunda adalah Islam, tapi mengapa kepercayaan lama bertahan di beberapa wilayah Sunda? tirto.id - “Islam itu Sunda, Sunda itu Islam”. Jargon ini dicetuskan H. Endang Saifuddin Anshari, putra Isa Anshari (tokoh penting Masyumi). Kenapa jargon tersebut bisa muncul? Jakob Sumardjo dalam Paradoks Cerita-cerita Si Kabayan (2014) menerangkan hal itu dilandasi karakter masyarakat Sunda yang berbasis huma atau ladang. Dibanding kerajaan-kerajaan Jawa berbasis masyarakat sawah yang menetap, kebudayaan istana di kerajaan-kerajaan Sunda hanya berkembang di lingkungan terbatas masyarakat negara. Masyarakat negara adalah masyarakat Sunda di wilayah yang benar-benar dikuasai kerajaan secara langsung. Di luar wilayah kekuasaan kerajaan, masih terdapat kampung-kampung Sunda yang berpindah-pindah akibat hidup dari berladang. Hidup yang berpindah-pindah membuat ikatan istana dan rakyat di luar wilayah kekuasaan sangat longgar. Ini membuat ulama leluasa keluar-masuk kampung-kampung Sunda. Tidak mengherankan bila kenangan terhadap zaman kebudayaan Hindu amat tipis bagi kalangan masyarakat Sunda. Hal ini tercermin dalam mitos-mitos rakyat terhadap penyebar Islam seperti Kian Santang. “Mereka percaya bahwa agama Islam itu sudah sejak awal ada di Sunda. Sunda itu Islam,” tulis Sumardjo. Kanékés dan Ajaran Sunda Wiwitan Jika menilik agama mayoritas etnis Sunda hari ini, paparan Jakob Sumardjo tersebut bisa jadi benar. Namun kenyataannya, beberapa daerah di Jawa Barat dengan mayoritas etnis Sunda sampai sekarang masih ada sistem kepercayaan lain di luar Islam atau agama-agama lain yang diakui pemerintah.
    [Show full text]
  • Designing Digital E-Book (App) for the Familiarization of Nine Consumptive Plants for Preschool Children Through the Story of Sri Pohaci, a Sundanese Goddess of Rice
    Designing Digital E-book (app) for The Familiarization of Nine Consumptive Plants for Preschool Children through The Story of Sri Pohaci, a Sundanese Goddess of Rice Author Citra M. Remi [email protected] Game Design and Digital Media, Bandung Institute of Technology, Indonesia Riama Maslan Sihombing [email protected] Visual Communication Design, Faculty of Art and Design, Bandung Institute of Technology, Indonesia ABSTRACT The myth of Sundanese goddess of rice, Sri Pohaci is modified to fit the current context, without changing the basic structure of the story. As the story told, Sri Pohaci incarnated into nine plants. These plants are modified to nine consumptive plants, to support diversification of food consumption through the story of Sri Pohaci, intended for pre-school children. To preserve classic literature, Sri Pohaci tales need to be modified and packaged in a variety of media. The pre-design phase for this research applies qualitative methodology based on action research. The e-book application (app) design utilizes digital storytelling method, combined with touch-screen technology to enable interactive animated features. The concept of storytelling through narration, visual, audio and interactivity can increase the sensation of two-way interaction to encourage children’s comprehension and enjoyment of storybook. Keywords: Sri Pohaci, myth, nine consumptive plants, e-book app 1. INTRODUCTION “Finish your rice, dear. Or the rice will cry”. That is one of popular phrases among parents to persuade their children to finish their meal. These phrases are derived from local myths in agricultural community. The myth of Dewi Sri, Goddess of Paddy is told orally, generation to generation in these communities, spread across several regions in Indonesia.
    [Show full text]
  • Download Article
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 258 2nd International Conference on Research of Educational Administration and Management (ICREAM 2018) Documentation and Transliteration of Ancient Sundanese Manuscript in the Jatigede Dam Area of Sumedang Regency (A philological and ethnopedagogical study) Dingding Haerudin, Dedi Koswara Department of Sundanese Language Education Faculty of Languages and Literature Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Indonesia [email protected], [email protected] Abstract—This research article repors the study results of I. INTRODUCTION Sundanese ancient manuscript in the Jatigede Dam Area of This research was triggered by concerns about the fate of Sumedang Regency. It describes the results of transliteration and formulation of formal and narrative structures of the manuscript ancient Sundanese manuscripts. The manuscripts increasingly wawacan genre. The first year object is Wawacan Sulanjana tend to be ignored so that their existence may be worsen and manuscript transliteration, from Pegon-Arabic into Latin neglected. The contents of ancient Sundanese manuscripts alphabet. This research employed descriptive method. It contain the local wisdom values that are identity of Sundanese describes the physical characteristics, the wawacan content, and people. They are very valuable for Sundanese people of today the results of transliteration. The data was collected by library and future. research and field study. The data sources are catalogs of As an ethnic community, Sundanese people also have a Sundanese manuscripts in various libraries, museums, long record of the life of society, social culture, government, universities, and communities. The research concludes that the formal structure was built in 289 stanzas of Pupuh (a kind of and so on.
    [Show full text]
  • The Folklore About Food Sustainability According Javanese Culture
    Journal of Education and Social Sciences, Vol. 3, (Feb.) ISSN 2289-9855 2016 THE FOLKLORE ABOUT FOOD SUSTAINABILITY ACCORDING JAVANESE CULTURE Bani Sudardi Cultural Studies Department, Post Graduted Program Sebelas Maret University Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta [email protected] Murtini Indonesian Literature Department, Faculty of Culture Sciences Sebelas Maret University Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta [email protected] Hesti Widyastuti Indonesian Literature Department, Faculty of Culture Sciences Sebelas Maret University Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta [email protected] ABSTRACT Folklore reflected the development of human mind. There are many local wisdom appeared in the folklore. Javanese has living for thousands years in the island and fit to the change of life. Food is the vital thing in the human life and it has found in the food sustainability according Javanese folklore. My research location is in area around Surakarta kingdom. It called in Javanese word “cedhak ratu adoh watu” (near the king and far from stones) and as the best place to live. People believe it is as the peaceful place due to the near of the king.The research found that the folklore about the origin of the food in Javanese tradition is not so far from Hinduism influent. The emergence of food associated with the story of Dewi Sri is the origin of all kinds of foods that are considered good in Java. The story is about Dewi Sri who has falling love to her brother namely Sadana. It will be incest married so their parent driven them from the house. Dewi Sri destroyed her body and incarnated to be rice.
    [Show full text]
  • (Bidadari) in Indonesian Folklore: a Feminist Literary Critical Perspective
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 401 International Conference on Educational Research and Innovation (ICERI 2019) Female Deities (Bidadari) in Indonesian Folklore: A Feminist Literary Critical Perspective Wiyatmi Else Liliani Esti Swatikasari Indonesian Literature Study Indonesian Literature Study Indonesian Language and Program, Program, Literature Education Study Faculty of Languages and Art Faculty of Languages and Art Program Universitas Negeri Yogyakarta Universitas Negeri Yogyakarta Faculty of Languages and Art Yogyakarta, Indonesia Yogyakarta, Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta [email protected] [email protected] Yogyakarta, Indonesia [email protected] Abstract—This study tries to examine the existence more knowledgeable than humans [1]. In contrast to of female deity figures (bidadari) found in a number of humans who live on earth, bidadari lived in heaven folklores in Indonesia using the perspective of feminist (palace of the sky), with the gods. Previous research literary criticism. Folklore which is the source of data is conducted by Atisah [2] suggested that in a (1) Dewi Sri, (2) Dewi Nawang Wulan, and (3) Dewi preliminary study conducted by the Language Board Candika. The results showed that the female deity figures in Indonesian folklore are in accordance with the team in 2003 there were about 26 stories of bidadari collective view of the past people with Hindu from various ethnic groups in Indonesia, namely (1) backgrounds who believed that there were other “Malem Dewa”, Folk Story from Aceh, Gayo, (2) creatures besides humans who lived on earth, namely “Putri Bensu”, Folk Story from Aceh, Gayo,(3) the spirits and the gods who came from heaven (sky “Tupai Malimdewa”, Folk Story from Aceh Selatan, palace) who had a relationship with human on earth.
    [Show full text]
  • 221 Upacara Hajat Bumi Dalam Tradisi Ngamumule Pare Pada Masyarakat
    UPACARA HAJAT BUMI DALAM TRADISI NGAMUMULE PARE PADA MASYARAKAT BANTEN SELATAN (Studi di Kecamatan Sobang dan Panimbang) Oleh: Eva Syarifah Wardah Abstrak Tradisi ngamumule pare pada aktifitas pertanian di Kecamatan Sobang dan Panimbang merupakan salah satu kearifan lokal yang memiliki manfaat secara ekonomi, sosial serta pelestarian lingkungan maka keberadaannya dapat berkelanjutan hingga saat ini. Manfaat ekonomi dapat diperoleh secara langsung dan tidak langsung, begitupun dengan manfaat sosial yakni kepatuhan pada tradisi, bertanggungjawab, kebersamaan, saling berbagi dan jujur. Keselarasan manusia dengan alamnya didasarkan pada pengalaman masa lalu membuat manusia menyadari dan perlu menjaga keselarasan dengan alam. Keberadaan kearifan lokal yang berupa kearifan terhadap lingkungan tentunya tidak dapat dipisahkan dari kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan alam sekitarnya. Kebiasaan tersebut berkembang menjadi tradisi yang dipegang sebagai pedoman untuk bertingkah laku positif terhadap alam. Kearifan lokal dibangun dari persepsi masyarakat akan kehidupan di masa lalu yang selaras dengan alam kemudian tertuang di dalam tingkah laku, pola hidup dan kebiasaan sehari- hari serta mendatangkan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan membentuk ikatan yang kuat antara masyarakat dengan kearifan lokal yang dianut. Masyarakat agraris yang memiliki suatu kepercayaan terhadap mitos yang diwujudkan dalam sebuah tradisi menghormti dan memulyalan Dewi Sri Pohaci. Upacara ritual Ngamumule Pare untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut dilaksanakan
    [Show full text]
  • Education As Cultural Strategy: Character Educational in Dewi Sri's
    Education as Cultural Strategy: Character Educational in Dewi Sri’s Folklore* Haryo Kunto Wibisono, S.AP, Linda Novi Trianita, Sri Widagdo, P.A, S.AP* Faculty of Administrative Science, Brawijaya University Malang, Indonesia, 2011 Discourse of education equals with concept of transfer knowledge, culture negotiate, dialectic of value and idea or relationship between educator-learner. Even so,variabel of character and human knowledge can’t be separated from education concept as process of human building who begins to see, know, understand, and believing. In this aspect, culture plays an important role to building construction of think, act, and speak. Later, thought developing from myth, mythological, and functional period to achieve their cultural strategic. Meanwhile, folklore working area to build mythology idea upon the fact which is represented by local-knowledge production/indigenous knowledge. Dewi Sri’s Folklore is based on the context of agricultural society and culture chart that surrounding whole character and attitude of society. The story tells about concept of Dewi Sri as symbol of fertility and food security guards through symbolism of ritual and tradition. It symbolises the beginning of thought about the progress of agriculture which is characterised by life-cycle or fertility. The story says that everyone has a responsibility to protecting the staple food, humans have an obligation to maintain mankind welfare. In addition, Dewi Sri’s Folklore with many variations is also expressed in agrarian society such as ritual, spells for cycle rice planting, character and manners educate to children, these all interrelated promoted by ancestor belief from generation to generation, especially Javanese people.
    [Show full text]
  • Promovenda Aan Hasanah NIM 1402534 PROGRAM STUDI
    ALIH WAHANA MITOS DEWI POHACI DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN LITERASI BUDAYA DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DISERTASI diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Promovenda Aan Hasanah NIM 1402534 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2021 Aan Hasanah, 2021 ALIH WAHANA MITOS DEWI POHACI DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN LITERASI BUDAYA DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu AAN HASANAH ALIH WAHANA MITOS DEWI POHACI DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN LITERASI BUDAYA DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN disetujui dan disahkan oleh panitia disertasi Promotor, Prof. Dr. Syihabuddin, M.Pd. NIP 196001201987031001 Kopromotor, Anggota Dr. Sumiyadi, M.Hum. Dr. Vismaia S. Damaianti, M.Pd. NIP 196603201991031004 NIP 196704151992032001 Penguji, Penguji, Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum. Dr. Ade Makmur Kartawinata, M.Phil. NIP 196310241988031003 NIDN 0004125502 Ketua Prodi, Dr. Andoyo Sastromiharjo, M.Pd. NIP 196109101986031004 Aan Hasanah, 2021 ALIH WAHANA MITOS DEWI POHACI DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN LITERASI BUDAYA DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu ABSTRAK Hasanah, Aan. (2021). Alih Wahana Mitos Dewi Pohaci dan Pemanfaatannya sebagai Bahan Literasi Budaya di Sekolah Menengah Kejuruan. Cerita asal-usul tanaman padi merupakan sebuah cerita yang tergolong pada kelompok mitologi. Mitologi padi merupakan salah satu tradisi lisan yang memiliki fungsi yaitu fungsi alat pengesahan kebudayaan terutama budaya bertani. Fungsi itu hadir melalui cerita prosa naratif seperti mitos Dewi Pohaci (MDP). Dalam masyarakat tradisional, mitos memainkan peran sebagai pedoman tingkah laku. MDP mengalami berbagai alih wahana, salah satunya dalam bentuk wawacan Sulanjana Sulanjani (WSS). WSS adalah wawacan yang mengandung kearifan lokal serta memuat tradisi memuliakan tanaman padi pada masyarakat Sunda.
    [Show full text]
  • The Culture of Postharvest Rice Plant Utilization In
    The Bulletin of JSSD Vol.x No.x pp.x-x (20xx) Original papers Received April 16, 2016; Accepted September 20, 2016 postharvest rice plant, is the most useful because of its part from the local variety, which has better structure quality Original articles structure and height. Tying (24 artefacts), bundling (24 through laboratory tests and taller dimension compared to the artefacts) and stacking (22 artefacts) are the most utilized present superior variety, the majority of which was planted by production processes (Figure 7, diagram B). Utility items were the community after the Green Revolution. In terms of the THE CULTURE OF POSTHARVEST RICE PLANT made through 1 production process such as mat base by production process and utilization phase, there are several UTILIZATION IN JAVANESE COMMUNITY stacking damen with unidirectional pattern, through 2 notable values: community relationships, individual, and production processes such as jerambah (traditional floor) by mythological values. RITUAL PROCESSION cutting and mixing damen with clay, and through 3 production In future, not only in the Javanese community, but also in Rice Postharvest Utilization Culture in Indonesia (2) processes such as welit (thatched roof) by bundling, tying and all of Indonesia, there are several ethnicities that traditionally stacking damen into roof truss. have a close relationship with rice farming activities, such as From the quantity of production process in completing Sundanese and Balinese. This fact could potentially open Pandu PURWANDARU*, Dudy WIYANCOKO**, Akira UEDA* utility artefacts, the greatest utilization (with 17 artefacts) was research related to postharvest rice plant utilization culture in * Chiba University Yayoi-cho 1-33, Inage-ku, Chiba 263-8522, Japan completed through two production processes.
    [Show full text]