<<

DALAM KEPERCAYAAN MASYARAKAT Sri in Indonesian Society Belief

Titi Surti Nastiti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jl. Raya Condet Pejaten No. 4 Pasar Minggu Jakarta Selatan [email protected]

Naskah diterima: 20/05/2020; direvisi: 03/06/2020; disetujui: 03/06/2020; publikasi ejurnal: 26/06/2020

Abstract In , Goddess Sri is known as the wife of Lord . There were found several statues made from stone and bronze called “Dewi Sri” (Goddess Sri) in Indonesia. Judging from the hand positions and attributes of the statue of Goddess Sri found in Indonesia, iconographically they are different from Goddess Sri statue found in India. The assumption is that the depiction of Dewi Sri in Indonesia has always been related as the Goddess of Fertility or the Goddess of . Paying homage to the Goddess of Rice or the Goddess of Fertility had already existed before Hindu-Buddhist influences came to the archipelago. Therefore, when the siplin (statue maker) depicting Goddess Sri as the Goddess of Rice, the siplin has a different concept from Goddes Sri as the wife of Lord Vishnu, although Goddess Sri as the Goddess of Rice is also believed to be the wife of Lord Vishnu. The depiction of Goddess Sri is inseparable from the concept of her as the Goddess of Rice that has been worshipped from the Prehistoric Period, therefore Goddess Sri has a distinctive attribute that depicts this, which is her left hand holding a sprig of rice. The purpose of writing this paper is to find out the description of Goddess Sri as the Goddess of Rice in the beliefs of Indonesian society and its tradition up to now. This paper used a qualitative and analytical descriptive method, while to describe the statue iconographic analysis is used. From the result of this study, it can be described how the belief of Goddess Sri in the Indonesian Society as a Goddess of Rice which is very closely related to fertility plays an important role in agriculture.

Keywords: Goddes Śrī, Indonesian society, Hindu-Buddhist iconography

Abstrak Dewi Sri dalam agama Hindu, dikenal sebagai istri Dewa Wisnu. Arca “Dewi Sri” baik berbahan batu maupun perunggu ditemukan di beberapa tempat di Indonesia. Berdasarkan sikap tangan dan atribut arca Dewi Sri yang ada di Indonesia, secara ikonografis berbeda dengan arca Dewi Sri dari India. Asumsinya adalah karena penggambaran Dewi Sri di Indonesia dikaitkan dengan Dewi Kesuburan atau Dewi Padi. Penghormatan kepada Dewi Kesuburan atau Dewi Padi sudah ada sebelum pengaruh Hindu-Buddha datang ke Nusantara. Pembuat arca dalam menggambarkan Dewi Sri sebagai Dewi Padi mempunyai konsep yang berbeda dengan Dewi Sri sebagai istri Wisnu, meskipun Dewi Sri sebagai Dewi Padi ini dipercaya sebagai istri Wisnu. Penggambaran Dewi Sri tidak terlepas dari konsep Dewi Padi yang telah dipuja dari Masa Prasejarah, sehingga Dewi Sri mempunyai atribut yang khas yaitu tangan kirinya memegang setangkai padi. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui penggambaran Dewi Sri dalam kepercayaan masyarakat Indonesia dan tradisinya sampai saat ini. Metode yang dipakai adalah metode kualitatif dan deskriptif analitis, sedangkan untuk mendeskripsikan arca dipakai analisis ikonografi. Hasil penelitian ini dapat digambarkan bagaimana kepercayaan Dewi Sri dalam masyarakat Indonesia sebagai Dewi Padi yang sangat erat kaitannya dengan kesuburan memegang peranan penting dalam pertanian.

Kata Kunci: Dewi Sri, masyarakat Indonesia, ikonografi Hindu-Buddha

Dewi Sri dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia - 1 Titi Surti Nastiti

PENDAHULUAN dengan India? Bagaimana kepercayaan Kata Sri diambil dari bahasa Sansekrta śrī masyarakat Indonesia terhadap Dewi Sri sebagai yang artinya kesuburan (prosperity), kekayaan Dewi Padi? Tujuan penulisan ini adalah (welfare), keberuntungan (good fortune), menggambarkan bagaimana kepercayaan kesehatan (wealth), keindahan (beauty), masyarakat Indonesia terhadap Dewi Sri sebagai personifikasi (personification) (Liebert, 1976). Dewi Padi. Pemujaan kepada Dewi Laksmi Śrī dalam bahasa Sanskerta dipakai juga sebagai sebagai Dewi Padi di India, hanya terdapat di awalan dalam menyebut nama orang terhormat Orissa dan Bengali (Tate, 2016). atau orang suci, misalnya Śrī Krisna. Kata Sri sebagai awalan untuk menyebut nama orang terhormat juga dikenal dalam Bahasa Indonesia, METODE misalnya Sri Baginda, Sri , dan lain-lain. Metode yang dipakai adalah metode Dewi Sri di Indonesia dihubungkan kualitatif dan analisis deskriptif, sedangkan dengan mitos tentang asal muasal tumbuhan, untuk mendeskripsikan arca Dewi Sri digunakan terutama padi. Mitos ini berasal dari beberapa analisis ikonografi. Metode penelitian kualitatif daerah Indonesia, dan ceritanya hampir sama, merupakan prosedur penelitian yang yaitu tentang tumbuhan yang berasal dari tubuh menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata seorang wanita. Mitos ini berhubungan dengan tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku pemujaan kesuburan, terutama pada masyarakat yang dapat diamati (Moleong, 2000). Analisis berbudaya agraris di seluruh dunia yang sudah ikonografi dilakukan dengan mempelajari ciri- sangat tua usianya. Padi merupakan salah satu ciri suatu benda yang menggambarkan tokoh tanaman budidaya terpenting yang diperkirakan dewa atau orang suci atau simbol-simbol berasal dari India atau Indocina sekitar 1500 SM keagamaan tertentu dalam bentuk lukisan, relief, (Shadily, 1984). Mitos mengenai padi, di Jawa mozaik, arca, dan benda lainnya (Tim Penyusun, dan pada umumnya dihubungkan dengan 2008). Dewi Sri. Dewi Sri yang dikenal sebagai dewi padi ini menjadi dewi yang sangat dipuja dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda, Jawa, HASIL DAN PEMBAHASAN dan Bali. Tokoh Dewi Sri dikenal dalam Arca Dewi Sri berbagai cerita pada ketiga masyarakat tersebut Dewi Sri dikenal sebagai istri Dewa yang dihubungkan dengan asal muasal padi. Wisnu yang dipercaya sebagai Dewa Pelindung Cerita Dewi Sri tertua terdapat dalam teks dalam Trimurti agama Hindu. Dewi Sri dikenal Tantu Panggelaran. Teks itu mengisahkan juga dengan nama Dewi Laksmi, sehingga tentang keadaan Pulau Jawa ketika baru terjadi penggabungan dua nama menjadi Dewi diciptakan. Dewa-dewa turun ke Pulau Jawa Sri Laksmi pada masa Hindu awal. Selain itu, untuk menyempurnakannya. Batara Wisnu Dewi Sri Laksmi dikenal juga dengan nama dengan Batari Sri menjelma menjadi raja di Gaurī dan Gayalaksmi. Sri yang digambarkan Mdang Gana bernama Sang Kandyawan dengan sebagai salah satu aspek dari Dewa Wisnu permaisurinya. Mereka dikaruniai lima orang disebut dengan Śrīdhāra (Liebert, 1976). putra. Suatu hari, kelima putranya membunuh Dewi Sri dalam ikonografi Hindu burung kesayangan ibunya. Tembolok burung digambarkan memegang śrīphala (buah bilwa tersebut mengeluarkan empat macam biji-bijian atau kawista) dan teratai. Ia ditemani dua berwarna kuning, hitam, putih, dan merah. Biji perempuan yang membawa chaurī (alat berwarna kuning itu menjadi kunyit, biji pengebut lalat) dan dua atau empat gajah yang berwarna hitam, putih, dan merah tumbuh membawa ghata (kendi). Dewi Laksmi menjadi padi (Pigeaud, 1924). digambarkan bertangan dua, empat atau delapan. Berkaitan dengan Dewi Sri, dalam Atributnya adalah sangkha (cangkang kerang) khasanah ikonografi Indonesia ditemukan arca dan teratai jika bertangan dua. Apabila bertangan Dewi Sri yang secara ikonografi berbeda empat, ia membawa cakra, sangkha, teratai, dan penggambarannya dengan Dewi Sri di India. bunga pala atau membawa mahālungga (sejenis Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan penelitian buah lemon), teratai, dan bejana berisi minuman ini adalah mengapa terdapat perbedaan para dewa, atau teratai, buah bilwa, sangkha, dan penggambaran arca Dewi Sri di Indonesia bejana berisi ambrosia (makanan para dewa).

2 Tumotowa Volume 3 No. 1, Juni 2020: 1 - 12

Apabila Dewi Sri digambarkan bertangan anting, kalung, kelat bahu, gelang siku, dan delapan, membawa busur, bunga pala, panah, channawīra (Gambar 1). teratai, cakra, shangka, alu kayu, dan tongkat penghalau (Gupte, 1972). Śrī disebut juga dengan nama Śrīdewī yang merupakan personifikasi dari dharmapāla perempuan, sehingga ia dianggap sebagai dewi pelindung terutama oleh Dalai Lama dalam agama Buddha sekte Lama. Ia juga dikenal sebagai Singhawaktrā, Makarawakrtā, dan salah seorang dewi dari Dākinī (dewi empat musim). Śrīdewī digambarkan dalam bentuk menakutkan berwarna biru dengan kendaraan berupa kuda putih atau biru. Atribut yang biasa dikenakan berupa daṇḍa, kāpala, candra, gadā, kangkala, Gambar 1. Dewi Sri koleksi Museum Sonobudoyo, khadga, khatwangga, mayūrapattra, nāga, nakula, trinaya, triśirah (kadang-kadang), dan (Sumber: Penulis, n.d). wajra (separuh) (Liebert, 1976). Arca perunggu Dewi Sri koleksi Museum Beberapa arca “Dewi Sri”, baik dari batu Sonobudoyo, Yogyakarta disebutkan sebagai maupun perunggu ditemukan di Indonesia, di koleksi Museum Radya Pustaka, Solo ketika antaranya adalah arca Dewi Sri dari Candi diidentifikasi W.F. Stutterheim. Arca Dewi Sri , Yogyakarta, arca batu dan perunggu digambarkan duduk di atas padmāsana dengan koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta, arca posisi paryanka, memakai kiritamakuta dan perunggu koleksi Museum Nasional. Arca Dewi perhiasan berupa kalung, gelang siku, gelang, Sri dari Candi Barong berjumlah dua buah dan anting, dan channawīra. Terdapat prabha dibuat dari batu (Pramastuti, 2005). Arca berbentuk oval dengan hiasan lidah api di pertama, Dewi Sri digambarkan duduk dalam belakangnya, dan di atas kepalanya terdapat posisi paryangka di atas padmāsana. Tangannya payung. Tangannya dua, tangan kanan dalam empat, tangan kanan terletak di depan dengan sikap waradamudrā dan tangan kiri memegang sikap waramūdra, tangan kiri depan diletakkan setangkai padi (Gambar 2). Stutterheim di atas pangkuan dengan telapak tangan terbuka. mengidentifikasi arca ini sebagai arca Tangan kanan belakang memegang kamandalu Wasudhārā (Stutterheim, 1934) bukan arca Dewi (kendi) dan tangan kiri belakang memegang Sri. Pendapat tersebut disanggah oleh Hariani setangkai padi. Arca kedua, digambarkan dalam Santiko. Menurut Hariani Santiko, jika arca itu posisi duduk bersila di atas padmāsana. Namun, adalah arca Wasudhārā seharusnya pada bagian atasnya sudah tidak utuh lagi. Tangannya mahkotanya terdapat relief Aksobhya atau dua, tangan kanan memegang kamandalu dan Wairocana (Santiko, 1977). Wasudhārā dalam tangan kiri memegang setangkai padi. Memakai agama Hindu disebut dengan Bhūdewi (dewi kirītamakuta, anting, kalung, kelat bahu, gelang kesuburan) atau sebagai sakti Dewa Kuwera siku, dan channawīra. (Liebert, 1976). Namun, dalam pantheon agama Arca Dewi Sri koleksi Museum Buddha Mahāyāna, Wasudhārā adalah emanasi Sonobudoyo, Yogyakarta, sandaran sebelah dari Aksobhya atau Ratnasambhawa, sebagai kanan patah. Leher arca tadinya patah dan telah sakti dari Jambala atau Wajrasattwa. Menurut disambung kembali. Dewi Sri dilukiskan duduk Sādhanamālā, Wasudhārā digambarkan dalam posisi paryangka di atas padmāsana. memakai perhiasan lengkap dengan mahkota Terdapat śirascakra berbentuk oval di belakang yang ada relief Aksobhya sebagai tanda emanasi arca. Sri digambarkan bertangan empat, tangan Dhyani Buddha, bertangan dua, tangan kanan kanan belakang memegang sangkha dan tangan dalam sikap waradamudrā dan tangan kiri kiri belakang memegang setangkai padi. Tangan memegang setangkai gandum (Liebert, 1976; kanan depan bersikap waramūdra tangan kiri Santiko, 1977) depan diletakkan di atas pangkuan dengan telapak tangan terbuka. Memakai kirītamakuta,

Dewi Sri dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia - 3 Titi Surti Nastiti

Nusantara pada masa itu. Penggambaran secara ikonografis Dewi Sri tidak sama dengan Dewi Sri dalam agama Hindu tetapi lebih mirip dengan Wasudhārā. Sikap duduk dan atribut Dewi Sri sama dengan Wasudhāra. Bedanya jika tangan kiri Wasudhārā memegang setangkai gandum maka tangan kiri Dewi Sri memegang setangkai padi, dan tidak memakai mahkota berelief Aksbobhya atau Wairocana seperti Wasudhārā.

Mitos Asal-Usul Padi Jawa Barat Banyak cerita yang dihubungkan dengan Dewi Sri atau Dewi Pohaci di Jawa Barat seperti Wawacan Pohaci, Cariyos Sawargaloka, Wawacan Sanghyang Sri, Wawacan Puhaci Dangdayang, Wawacan Dewi Sri dan Wawacan Gambar 2. Dewi Sri koleksi Museum Sonobudoyo, Sulanjana (Ekajati, 2000; Kartakusuma, 2001; Yogyakarta (Sumber: OD 6497). Sukanda-Tessier, 1991). Salah satu cerita mitos yang populer adalah , Arca perunggu Dewi Sri koleksi Museum diceritakan bahwa Sang Tunggal atau Nasional digambarkan dalam posisi paryanka di dengan patihnya Narada dari atas padmāsana, memakai jatamakuta dan Kerajaan Jagat Raya akan membuat Bale perhiasan berupa kalung, gelang siku, gelang, Pancawarna (Kalsum, 2013). Setiap dewa dan anting, dan channawīra. Terdapat prabha dewi diminta untuk bekerja membangun Bale berbentuk oval dengan hiasan lidah api di Pancawarna. Namun, Dewa Anta (Dewa Ular) belakangnya, dan di atas kepalanya terdapat tidak bisa ikut bekerja karena tidak memiliki payung. Tangannya dua, tangan kanan dalam tangan dan kaki sehingga ia menangis dan sikap waradamudrā dan tangan kiri memegang tetesan air matanya berubah menjadi telur. setangkai padi (Scheurleer & Klokke, 1988). Ketiga butir telur tersebut dipersembahkan Dengan ditemukannya arca Dewi Sri kepada Batara Guru atas usul Batara Narada. sebagai pasangan Wisnu di Candi Barong, Telur tersebut dibawa dengan cara dimasukkan Yogyakarta dapat dipastikan bahwa arca Dewi dalam mulutnya. Di tengah perjalanan Dewa Sri di Indonesia adalah Dewi Sri istrinya Wisnu Anta bertemu dengan seekor elang yang bukan Wasudhārā. Secara ikonografis, menyapanya. Karena mulutnya penuh berisi pengarcaan Dewi Sri di Indonesia lebih mirip telur, ia tidak menjawab pertanyaan burung dengan Wasudhārā daripada Dewi Sri istri elang. Burung elang marah dan mencakar Dewa Wisnu. Hal tersebut kemungkinan disebabkan Anta mengakibatkan dua butir telur pecah dan silpin (pembuat arca) pada masa Jawa Kuno jatuh ke bumi menjadi Kalabuat dan Budug mempunyai konsep sendiri mengenai Dewi Sri Basu. Kalabuat dan Budug Basu dipelihara oleh yang dihubungkan dengan pemujaan terhadap Sapi Gumarang. Batara Guru memerintahkan padi. Penghormatan kepada Dewi Kesuburan Dewa Anta mengerami telur yang tersisa hingga (Mother Goddess) sudah ada sebelum pengaruh menetas menjadi bayi perempuan yang diberi Hindu-Buddha datang ke Nusantara, yaitu sejak nama Dewi Sri. Dewi Sri diserahkan kepada masuknya penyebaran budidaya padi di Batara Guru, disusui oleh Dewi Uma dan diasuh pada Masa Prasejarah. Dewi Kesuburan masa oleh Dewi Esri. itu dihubungkan dengan hasil pertanian berupa Dewi Sri atau Dewi Pohaci setelah dewasa padi sehingga timbul pemujaan terhadap Dewi menjadi gadis cantik yang membuat Batara Guru Padi yang kemudian berkembang menjadi mitos- jatuh cinta. Batara Narada memikirkan agar mitos tentang asal-mula padi. Pembuat arca Batara Guru tidak menikahi Dewi Sri, maka ia mengambil konsep Dewi Sri yang telah ada memberi buah kholdi pada Dewi Sri sampai dalam agama Hindu dianggap sebagai Dewi Dewi Sri ketagihan dan meninggal. Mayat Dewi Kesuburan atau Dewi Padi dalam masyarakat Sri diurus oleh Aki Bagawat dan dikubur di

4 Tumotowa Volume 3 No. 1, Juni 2020: 1 - 12

Banyu Suci. Kuburan Dewi Sri kemudian bisa memenuhi syarat tersebut memaksa untuk tumbuh padi dan tanaman lainnya. dan menjamah Ratna Dumilah. Sebelum sempat anak-anaknya diperintahkan membawa seluruh dijamah, Ratna Dumilah meninggal. Tempat tanaman tersebut untuk ditanam di Pakuan yang dikuburkannya Ratna Dumilah tumbuh kelapa, diperintah oleh Prabu Siliwangi, sehingga padi, enau, bambu, dan umbi-umbian. Pakuan menjadi negara yang subur makmur Batara Guru kemudian bertemu dengan kerta loh jinawi. Dampu Awang ingin membeli Dewi Sri, istri Dewa Wisnu. Ia tertarik pada padi, tetapi Prabu Siliwangi menolaknya karena kecantikan Dewi Sri, dan mengejar Dewi Sri padi adalah titipan Batara Guru. Dampu Awang yang menolaknya. Dewi Sri mengutuknya bersekutu dengan hama padi untuk menyerang menjadi babi hutan. Meskipun telah berubah Pakuan, namun berkat Sulanjana putra Batara wujud, ia tetap mengejar Dewi Sri. Dewi Sri Guru padi tersebut dapat dilindungi. tidak kuat lagi berlari, dan meminta dikembalikan ke Kayangan. Tempat hilangnya Jawa Tengah Dewi Sri tumbuh tanaman padi. Sementara itu, Versi cerita mitos yang dihubungkan dari babi hutan tersebut muncul hama tanaman dengan Dewi Sri dalam masyarakat Jawa salah seperti belalang, tikus, dan sebagainya. Untuk satunya adalah cerita Sri Sedana. Sedana berasal mengatasi hal tersebut, Dewi Sri sering dari bahasa Sanskerta, Sādhana yang merupakan mengirim ular sawah ke bumi. Para petani nama lain dari Wisnu (Stutterheim, 1956). biasanya tidak membunuh ular sawah karena Dalam Sri Sedana diceritakan Dewi Sri, istri dapat mengusir hama yang menyerang tanaman Batara Wisnu mendapat tugas untuk mereka (Sartini, 2012). mengajarkan kepada manusia cara bercocok tanam. Ia turun ke bumi menjadi putri raja Bali dengan nama Sri juga dan Cerita Dewi Sri di Bali mirip dengan mempunyai saudara laki-laki bernama Sedana. mitos dari daerah Jawa Barat. Selain disebut Sedana diusir dari istana dan dikutuk sebagai Dewi Sri, dalam masyarakat Hindu di menjadi ular karena menolak untuk menikah. Sri Bali, ia disebut juga Sri Sadhana atau Rambut sangat sedih dan pergi dari istana untuk mencari Sadhana, Dewi Danu, atau Dewa Ayu Manik saudaranya. Dalam perjalanannya, Sri diganggu Galih. Adapun ceritanya disebutkan sebagai oleh raksasa yang bernama Kala Srenggi (Kala berikut, Batara Guru, pemimpin para dewa di Gumarang) yang kemudian dikutuk oleh Sri Kayangan, akan mendirikan bangunan baru di menjadi babi hutan. Kala Srenggi masih terus kayangan. Ia meminta semua dewa ikut mengejar Sri meskipun telah berbentuk babi menyumbang bahan bangunan yang diperlukan. hutan, sehingga Sri minta pertolongan kepada Dewa Anta tidak dapat menyumbang bahan Batara Guru. Batara Guru mencabut nyawa Sri bangunan karena tidak dapat membawa bahan dan tubuhnya masuk ke dalam tanah, dan di bangunan karena ia tidak punya tangan dan kaki. tempat menghilangnya tubuh Sri tumbuh padi. Dewa Anta menghadap ke Batara Narada sambil Kala Srenggi tahu bahwa padi adalah tubuh Sri menangis, dan air matanya berubah menjadi tiga maka ia selalu merusaknya. Sadana dalam butir telur. Dewa Narada memerintahkan Dewa wujudnya sebagai ular selalu melindungi padi Anta membawa telur tersebut kepada Barata dengan membunuh babi hutan (Santiko, 1977). Guru dengan cara memasukkan dalam mulutnya. Dewa Anta bertemu burung yang Madura mengajukan pelbagai pertanyaan di tengah Mitos asal usul padi dari Madura dimulai perjalanannya, tetapi Dewa Anta tidak dapat dari Batara Guru menciptakan seorang menjawab karena mulutnya terdapat telur. Dewa perempuan cantik yang diberi nama Ratna Anta berusaha menjawab pertanyaan garuda, Dumilah. Kecantikan Ratna Dumilah sebutir telur jatuh dan pecah menjadi babi hutan. menyebabkan Batara Guru jatuh cinta kepada Telur yang tersisa diberikan kepada ciptaannya sendiri dan ingin memperistrinya. Batara Guru yang berubah menjadi bayi Ratna Dumilah mengajukan tiga syarat, yaitu perempuan yang diberi nama Nyi Pohaci. Nyi makanan yang tidak membosankan, pakaian Pohaci disusui oleh Dewi Uma, istri Batara yang tidak pernah rusak, dan gamelan yang Guru. Nyi Pohaci setelah dewasa menjadi dapat berbunyi sendiri. Batara Guru yang tidak perempuan cantik, dan Batara Guru ingin

Dewi Sri dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia - 5 Titi Surti Nastiti memperistrinya. Karena takut menjadi bencana dilanda kekeringan sehingga seluruh penduduk dan agar rumah tangga Batara Guru dan Dewi desa kelaparan suatu ketika. Si Beru Dayang Uma terjaga, maka Nyi Pohaci diracun dan meninggal dunia karena kelaparan, ibunya dikuburkan di bumi. Dari kuburannya muncul sangat sedih atas kematian anaknya dan berlari beraneka tumbuhan yang berguna bagi manusia, terjun ke sungai, tubuhnya menjelma menjadi dari kepalanya tumbuh pohon kelapa, hidung, ikan. Kemudian terjadi lagi kemarau panjang bibir dan telinganya muncul berbagai tanaman sehingga bencana kelaparan kembali melanda rempah dan sayur mayur, dari rambutnya desa itu. Diceritakan ada dua orang anak yang tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang kelaparan mengorek tanah untuk mendapatkan cantik dan harum, dari payudaranya tumbuh makanan. Mereka mendapatkan sebuah labu dari tanaman buah-buahan, sedangkan dari pusarnya dalam tanah, ketika akan dibelah labunya tumbuh tanaman padi. Umat manusia mulai meledak dan mengeluarkan suara yang memuja, memuliakan dan mencintai Dewi Sri mengatakan untuk memotong halus buah labu yang baik hati, karena dengan pengorbanannya kemudian ditanam. Mereka mengikuti suara gaib yang luhur telah memberikan berkah kebaikan menanam potongan buah labutersebut, yang alam, kesuburan sejak saat itu (Sartini, 2012). kemudian keluar tanaman padi. Padi menjadi makanan pokok penduduk desa tersebut sejak saat itu, dan mereka percaya bahwa padi itu Asal mula tanaman padi di Kalimantan adalah jelmaan dari Si Beru Dayang (Yetti, dihubungkan dengan kisah Putri Liung. 2014). Diceritakan di Desa Tanah Lingo mengalami bencana kelaparan karena kemarau panjang. Ende, Flores Masyarakat desa bermusyawarah dengan kepala Selain mitos asal-usul padi yang desa yang bernama Datu Baru Taun, diketahui dihubungkan dengan dewa-dewi, ada beberapa bahwa penyebab bencana adalah ulah manusia mitos yang tokohnya laki-laki, di antaranya yang banyak melanggar aturan leluhur. Dosa mitos dari masyarakat Ende, Flores. Dikisahkan tersebut dapat diampuni jika mengurbankan di Lio Ende, ada dua bersaudara yang sudah seorang manusia. Anak Datu Baru Taun, Putri yatim piatu bernama Bobi (laki-laki) dan Nombi Liung, menyerahkan dirinya untuk dikurbankan. (perempuan). Hidup mereka tidak karuan, Datu Baru Taun sedih karena yang akan sehingga Ndoi janda yang tinggal di Monikuru dikurbankan adalah putri semata wayangnya, merasa kasihan dan merawat mereka. Suatu namun demi keselamatan desanya akhirnya dia ketika datang musim kemarau yang sangat mengikhlaskannya. panjang, banyak orang kelaparan. Mereka Upacara dilakukan di lapangan yang ada mencari penyebabnya mengapa sampai terjadi di luar desa disaksikan semua warga desa. Putri kemarau panjang. Akhirnya masyarakat dan Liung dibawa ke tempat upacara setelah semua seorang tuan tanah bernama Mosalaki penduduk desa berkumpul, kemudian ditusuk menyimpulkan bahwa kemarau panjang ini sampai mati, namun ia tidak menjerit sedikit terjadi karena ada yang berzinah. Mereka pun. Tubuhnya tersungkur ke tanah dengan menduga Bobi dan Nombi telah melakukan darah yang bercucuran. Tubuh Putri Liung perbuatan mesum (insect), karena mereka hidup segera dikuburkan, ketika mereka memberi berdua sebelum dipelihara oleh Ndoi. Atas penghormatan terakhir ke Putri Liung tiba-tiba perintah Mosalaki, Bobi dan Nombi dapat guntur menggelegar diiringi hujan lebat. ditangkap, kemudian dibawa ke puncak Gunung Penduduk desa menganggap bahwa dosa-dosa Kelinida. Bobi ditempatkan di sisi timur dan mereka sudah diampuni. Beberapa waktu Nomba di sisi barat sebelum dibunuh. Mekipun kemudian, di permukaan tanah Putri Liung jatuh, kedua anak tersebut telah dibunuh, namun hujan tumbuh tanaman padi (Dongeng Cerita Rakyat, tidak kunjung datang. Mereka memutuskan 2017). untuk menengok makam Bobi dan Nombi. Setibanya di sana, mereka melihat tanaman yang Sumatera Utara berwarna kuning yang belum pernah mereka Alkisah di suatu desa ada seorang janda lihat, yaitu padi. miskin mempunyai seorang anak perempuan Mereka membawa pulang padi, dan yang diberi nama Si Beru Dayang. Desa mereka setelah dikupas oleh Ndale dan Sera, keluarlah

6 Tumotowa Volume 3 No. 1, Juni 2020: 1 - 12 biji-bijian berwarna putih dan merah yang sehingga mereka memutuskan untuk berpisah. diasosiasikan oleh mereka penjelmaan daging Letwir minta izin istrinya untuk membawa padi dan darah Bobi dan Nombi. Mereka tidak berani ke bumi, namun istrinya melarangnya. Ia memakannya, namun setelah dimusyawarahkan mencoba menyembunyikan dalam lipatan bersama Mosalaki, agar tidak beresiko mereka sarung namun ketahuan. Akhirnya ia berhasil sepakat beras tersebut harus dimakan oleh membawa beberapa butir padi dengan seorang janda yang bernama Pare. Pare awalnya memasukkan ke lubang hidungnya. Ia menanam tidak mau makan karena takut mati keracunan, biji padi yang tumbuh dengan subur sampai di namun karena diancam oleh masyarakat dan bumi. Masyarakat Maluku percaya bahwa padi Mosalaki maka ia akhirnya makan beras berasal dari Dasar Pratala (Yetti, 2014). Padi tersebut. Pare makan beras tersebut diikuti oleh sebenarnya bukan makanan pokok orang Kei. Wole, yang kemudian diikuti oleh masyarakat di Hanya sebagian kecil saja yang menanam padi, kampung itu. Beras tersebut kemudian menjadi agaknya karena ada pengaruh dari Jawa atau Bali makanan utama bagi kampung tersebut. maka ada mitos tentang padi. Masyarakat di sekitarnya yaitu dari daerah Lise, Mbuli, dan Tenda akhirnya mengikuti mereka Upacara Penghormatan pada Dewi Sri makan beras. Versi lainnya menyebutkan bahwa Bagi masyarakat pendukung kebudayaan darah yang berasal dari Bobi dan Nombi menjadi agraris, terutama pada masyarakat Jawa dan beras merah, tulangnya menjadi umbi-umbian, Bali, agar kesuburan tanah tetap terjaga dan gigi dan rambutnya menjadi jagung, dan mendapatkan hasil panen yang melimpah jantungnya menjadi pisang. dilakukan ritual atau upacara untuk Menurut P. Sareng Orin Bao, Bobi dan penghormatan kepada Dewi Sri. Tradisi untuk Nombi adalah samaran dari Dewi Padi. Nama menghormati Dewi Sri yang dianggap sebagai asli Dewi Padi adalah “Ine Pare” atau “Ine Dewi Padi yang memelihara dan melindungi Mbu”, putri dari Ine Kaja dan Ame Ratu. Ame padi masih terus berlangsung sampai sekarang. Ratu adalah adik dari Konde Laki, penguasa Upacara yang berhubungan dengan penanaman Gunung Kelimutu. Ine Pare bersedia padi sampai panen. Setiap daerah mempunyai mengorbankan dirinya di Gunung Keli Ndota tradisi yang berbeda dalam melakukan upacara yang dikeramatkan, di wilayah Lio utara, agar penghormatan pada Dewi Sri. Berikut ini, masyarakat mendapatkan bahan makanan. Pada diuraikan bagaimana penghormatan kepada akhirnya dari jasadnya munculah tanaman padi Dewi Sri mulai dari menanam sampai panen yang menjadi makanan pokok masyarakat. Ine dalam masyarakat Sunda, Jawa, dan Bali, karena Pare memiliki dua saudara yang ketiganya upacara penghormatan masyarakat pada Dewi dijadikan juga menjadi nama jenis padi. Ine Pare Sri dengan mengadakan upacara hanya ada di atau Ine Mbu menjadi sejenis padi yang bernama Pulau Jawa dan Bali. ‘pare mbu’, kemudian kedua saudaranya yang bernama Ndale dan Sipi, menjadi nama padi juga Masyarakat Sunda yang bernama ‘pare ndale’ dan ‘pare sipi’ (Bao, Masyarakat Sunda, dari dahulu dikenal 1969). dua penanaman padi, yaitu huma dan sawah. Tradisi berhuma adalah tradisi orang Sunda yang Pulau Kei, Maluku dikenal dengan masyarakat berladang. Upacara Alkisah, di Pulau Kei, Maluku ada penghormatan kepada Dewi Sri yang lebih seorang pemuda bernama Letwir. Suatu hari ia dikenal dengan sebutan Sri Pohaci atau Nyi berburu dengan membawa seekor anjing dan Pohaci (singkatan dari Nyi Pohaci Sanghyang anjingnya jatuh ke dalam sungai. Letwir terjun Sri) masih dilakukan oleh masyarakat di Jawa ke sungai dan mencari anjingnya sampai ke Barat, terutama masyarakat seperti dasar sungai yang disebut Dasar Pratala. Ia masyarakat Baduy, Ciptagelar Kasepuhan, bertemu dengan seorang perempuan tua yang Banten Kidul, Kampung Naga, Garut, Cigugur, memberi Letwir beras putih dan beras merah Kuningan dan lainnya. Upacara penghormatan untuk dimakan di sana. Letwir menolak karena pada Dewi Sri dilakukan mulai dari pengolahan berasnya masih mentah. tanah sampai pasca panen. Mereka kemudian menikah dan hidup Upacara dimulai sejak pengolahan tanah bahagia, sampai suatu hari mereka bertengkar mulai dari mempersiapkan tanah untuk ditanami

Dewi Sri dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia - 7 Titi Surti Nastiti hingga memasukkan padi ke dalam lumbung. Malamnya diadakan pagelaran kulit. Tahapan pengolahan sawah pada masyarakat Upacara mapag sri di daerah Indramayu dan Sunda dimulai dari nyacar, mopok, ngawalajar hampir serupa dengan Dawuan, hanya (mencangkul pertama), mindo (mencangkul selain menanggap wayang kulit juga menanggap kedua), ngeueuman taneuh (merendam tanah), tari topeng (Tosu, 2014). ngangler (membalikan tanah), ngararata Pola pertanian dengan sistem huma di (meratakan tanah), ngabelehem, nyaplak, babut, Jawa Barat, masih dapat dilihat di daerah Banten tandur, nyaian (mengairi), ngayuman, ngaberak dan di beberapa daerah Jawa Barat bagian (memupuk), ngabaladah (menyaingi pertama), selatan. Upacara dalam ngahuma yang biasa ngarambet mindo (menyiangi kedua), mangkas dilakukan di Banten Selatan: Pertama, memberi (menebas daun-daun padi yang tampak rindang), tanda area yang ditanami dengan upacara tunggu pare (menghalau burung), melet narawas, dilanjutkan dengan membersihkan (mengikat sekeliling padi agar tidak roboh kena lahan yang akan ditanami (nyacar). Kemudian, angin), panen, ngakut (mengangkut), dan mengumpulkan ranting (nyukuh) dan rumput terakhir memasukkan padi ke dalam lumbung untuk dikeringkan lalu dibakar (ngaduruk). (Rosidi, 2000). Sebelum melakukan setiap Tahap berikutnya membuat lubang kecil untuk tahapan biasanya dimulai dengan berdoa, juga ditanami padi yang disebut ngaseuk dengan minta ijin kepada yang menguasai (nu upacara ngaseuk pare. Setelah padi tumbuh, ada ngageugeuh) tanah dan juga untuk Dewi Sri. masa memelihara tanaman dengan menyiangi Upacara memberkati bibit padi dilakukan rumput atau ngored munggaran yang didahului dengan menyanyikan beberapa pantun/kidung dengan upacara ngirab sawah. Upacara yang dimaksudkan untuk mengundang Dewi Sri berikutnya pada saat ngored ngarambas disebut agar mau turun ke bumi dan memberkati benih upacara ngubaran pare (mengobati padi). padi di beberapa daerah di Jawa Barat. Upacara terakhir berupa upacara mipit pada saat Masyarakat Baduy mengawali penanaman padi panen yang dilakukan kaum perempuan dengan dengan memainkan . Setelah itu, menggunakan ani-ani. Setelah padi kering, menanam bibit padi yang disebut mitembeyan dibawa ke lumbung (ngaleuitkeun pare) untuk tandur (menanam benih) yang dikerjakan oleh disimpan (Samasyari, 2016). kaum perempuan. Upacara setelah panen, baik panen di Upacara besar biasanya dilakukan setelah sawah maupun huma pada desa-desa adat di panen, misalnya di Desa Linggamukti, Jawa Barat terdapat upacara yang disebut seren Kabupaten Purwakarta ada upacara yang disebut taun. Upacara tidak selalu sama dari mitembeyan, yaitu upacara untuk desa adat yang satu dengan lainnya. Orang-orang mengungkapkan rasa syukur telah diberi panen datang ke kepala adat sambil membawa hasil yang melimpah dan juga penghormatan kepada pertanian atau peternakan sehari sebelum Nyi Pohaci (Dewi Padi) berupa sajen (sesaji). upacara. Pertunjukan pantun diadakan malam Ucapan rasa syukur telah panen di Kecamatan harinya. Upara dimulai keesokan harinya dengan Rancakalong dilakukan dengan mengadakan iring-iringan yang berangkat dari dangau tempat upacara ngalaksa dan memainkan tarawangsa. padi hasil panen. Calung renteng ditabuh Tarawangsa adalah seni jentreng yang berfungsi sebelum berangkat diikuti oleh orang yang sebagai “hiburan” kepada Dewi Sri (Heryana, memikul padi dan alat-alat pertanian diringi oleh 2014). Upacara setelah panen di beberapa angklung dan dogdog lojor. Kaum perempuan daerah disebut mapag sri (menjemput sri), telah siap menyambut iring-iringan tersebut misalnya daerah Dawuan, Majalengka. Upacara dengan tutunggulan gondang, yaitu menabuh ini merupakan pernyataan rasa syukur kepada lesung dengan alu di dekat lumbung. Para Tuhan Yang Maha Esa yang dilakukan dengan penabuh angklung menyanyi dan menari mengarak boneka sebagai simbol Dewi Sri bersahutan dengan penabuh gondang. Setelah mengelilingi kampung. Usai pergelaran itu, barulah upacara nginebkeun, yaitu dilanjutkan dengan selamatan dan acara menyimpan padi di lumbung dan seorang memperebutkan air yang berasal dari tujuh mata perempuan tua menyanyikan rajah memohon air yang dipercaya masyarakat sebagai obat izin menempatkan Dewi Padi ke lumbung untuk segala macam penyakit dan tolak bala (Rosidi, 2000). (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2011).

8 Tumotowa Volume 3 No. 1, Juni 2020: 1 - 12

Masyarakat Jawa membungkus padi yang dipotong Mbah Kaum. Masyarakat Jawa dalam mengolah tanah Mbah Kaum membaca doa sambil membakar pertanian banyak melakukan upacara ritual kemenyan dan membakar seikat jerami yang sebagai penghormatan pada Dewi Sri. Upacara sudah disiapkan. Air di dalam kendi disiram ke ini banyak ragamnya, namun pada hakekatnya sudut-sudut kotak sawah yang siap dipanen hampir sama hanya dengan variasi-variasi sambil terus membacakan doa. Setelah itu, tertentu yang membedakannya. Upacara dimulai memotong padi sebagai simbol bahwa padi dari menabur benih, pada waktu perawatan dan sudah siap dipanen. Petani yang akan panen pada siklus-siklus sesudahnya, sampai saat membagikan makanan yang sudah disiapkan tanaman dipanen. Petani percaya bahwa Dewi kepada warga sekitar setelah upacara selesai. Sri dalam wujud biji padi yang ditanam di tanah Setiap warga boleh mengikuti tradisi wiwitan bertemu dengan Dewa Wisnu dalam wujud air. tersebut tanpa terkecuali dan memakan makanan Upacara pertama adalah upacara menabur yang sudah disiapkan. Makanan yang disajikan benih biasanya dilakukan oleh laki-laki. Orang yaitu nasi gurih, ayam kampung, urap, ikan asin, yang mau menabur benih mengambil 9 butir tahu, tempe, rempeyek, telur, dan lain-lain, serta padi, satu butir ditanam di tengah dan delapan jajanan yang dibungkus dengan daun pisang atau butir lainnya ditanam di delapan penjuru mata daun jati (Ashari, 2016). angin. Upacara selanjutnya diadakan ketika akan tandur (menanam padi). Upacara ini disiapkan sajen yang berupa bubur putih, pisang batu, sirih dan kapur sirih, dan bunga. Sajen di bawa ke sawah dan diletakkan di dekat persemaian. Pemimpin upacara kemudian membaca doa sambil membakar kemenyan. Sajen kemudian dibagi menjadi beberapa bagian dan diletakkan di sudut kotak-kotak sawah sebagai sajen untuk penjaga sawah. Sisa sajen dibagikan kepada para pekerja di sawah (Tabloid Desa, 2016). Upacara pada saat padi mulai berbuah yang dalam istilah bahasa Jawa meteng (bunting), berupa bubur Gambar 3. Sesajen pada upacara wiwitan sebelum putih atau telur yang diletakkan di tulakan. panen Sesajen diletakkan di dekat daun lego-lego atau (Sumber: Penulis, n.d). legundi yang dibakar dengan maksud untuk Upacara terakhir ketika akan mengusir roh jahat atau penyakit. memasukkan padi ke dalam lumbung, berupa Upacara wiwitan dilakukan menjelang kenduri yang dihadiri oleh warga dan dipimpin panen sebagai wujud terima kasih dan rasa oleh sesepuh warga. Peserta datang dengan syukur kepada bumi sebagai sedulur sikep dan menggunakan pakaian adat tanpa keris. Setelah Dewi Sri yang telah menumbuhkan dan itu, padi dimasukkan di dalam lumbung disertai memelihara padi sampai panen. ‘Wiwitan’ persembahan untuk Dewi Sri berupa ampo berarti ‘wiwit’ adalah ‘mulai’, jadi memulai (tanah liat dikeringkan), prang atau kenye memotong padi sebelum panen diselenggarakan. (wadah untuk menginang), cermin, sisir, dan Bumi sebagai sedulur sikep, dimaksudkan bagi suri, boreh (param kunyit), dan bedak dari orang Jawa bumi dianggap sebagai saudara yang tepung beras dan kencur (Tabloid Desa, 2016). harus dihormati dan dijaga kelestariannya untuk kehidupan. Masyarakat Bali Upacara wiwitan dilakukan merupakan Puspawati dalam Majalah Bali Post persembahan kepada Dewi Sri sebagai wujud (Puspawati, 2015), menuliskan mengenai rasa syukur masyarakat terhadap hasil panen upacara penghormatan kepada Dewi Sri di yang telah diberikan. Upacara dipimpin oleh Kecamatan Tabanan, Bali yang merupakan Mbah Kaum (orang tertua) di desa yang akan lumbung padi Bali. Penghormatan pada Dewi Sri melakukan panen. Perlengkapan upacara berupa dimulai dengan upacara mapag toya (menjemput kendi berisi air, ani-ani, bunga mawar, air dari sumber mata air). Upacara ini biasanya kemenyan, seikat jerami, serta kain untuk

Dewi Sri dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia - 9 Titi Surti Nastiti diikuti oleh seluruh anggota subak, yang KESIMPULAN dilanjutkan dengan kempelan, yaitu kegiatan Dewi Sri dalam tradisi budaya masyarakat membuka saluran air ke sumber aliran air di hulu Sunda, Jawa, dan Bali dianggap sebagai Dewi subak yang kemudian dialirkan ke sawah. Padi yang sangat dihormati. Setiap pengolahan Upacara selanjutnya ngendag tanah carik, yaitu sawah maupun huma ada upacara-upacara upacara memohon keselamatan kepada Tuhan tertentu yang dilakukan untuk menghormati saat membajak tanah sawah dan dilakukan oleh Dewi Sri. Meskipun dalam beberapa cerita masing-masing anggota subak. Ketiga upacara mitos, Dewi Sri dianggap sebagai istri Dewa tersebut dilaksanakan pada bulan Ketiga Wisnu. Namun, secara ikonografis Dewi Sri (September). yang dikenal masyarakat Nusantara, bukanlah Upacara ngurit, yaitu upacara pembibitan Dewi Sri yang digambarkan di India. Pembuat yang dilakukan oleh semua anggota subak pada arca (silpin) dalam menggambarkan Dewi Sri masing-masing tanah garapannya dilakukan memakai konsep Dewi Kesuburan atau Dewi pada bulan Kelima (sekitar November). Awal Padi yang telah dikenalnya, sehingga ia bulan Kepitu (awal bulan Januari) dilakukan membuat atribut khusus untuk arca Dewi Sri, upacara ngerasakin, yaitu upacara yaitu memegang setangkai padi di tangan membersihkan kotoran (leteh)setelah selesai kirinya. membajak sawah. Upacara pangawiwit, yaitu Pemujaan terhadap Dewi Padi yang telah upacara mencari hari baik untuk mulai menanam dikenal sejak Masa Prasejarah, pada saat padi yang juga dilakukan sekitar bulan Kepitu pengaruh Hindu-Buddha datang ke Indonesia dilakukan setelah itu. Upacara ngekambuhin, dapat dikatakan bahwa sosok Dewi Padi yaitu upacara meminta keselamatan anak padi dipadankan dengan sosok Dewi Sri yang dikenal yang berumur 42 hari dilakukan pada bulan sebagai Dewi Kesuburan. Sampai saat ini Kewulu (Februari), dilanjutkan dengan sayangnya belum ada penelitian ikonografi pamungkah, yaitu upacara memohon mengenai arca Dewi Sri yang dikaitkan dengan keselamatan agar padi dapat tumbuh dengan fungsinya dalam pertanian. baik. Upacara penyepian, yaitu upacara Penamaan tokoh Dewi Sri dalam setiap memohon keselamatan agar padi terhindar dari masyarakat tidak sama. Masyarakat Jawa dan hama dilakukan bulan Kesanga (Maret). Setelah Bali disebut Dewi Sri, masyarakat Sunda disebut itu, pada bulan Kedasa (Maret atau April) Dewi Pohaci atau Dewi Pohaci Sanghyang Asri. dilakukan upacara pangerestitian nyegara Semua cerita mitos mengenai asal-usul padi gunung di Pura Luhur Petali dan Pura Luhur yang dihubungkan dengan Dewi Sri, berasal dari Pekendungan. masyarakat yang pengaruh Hindu-Buddhanya Upacara masaba dilakukan sebelum sangat kuat seperti masyarakat Sunda, Jawa, dan panen pada bulan Kedasa oleh anggota subak di Bali. Masyarakat yang pengaruh Hindu- sawahnya masing-masing, dan ngadegang Buddhanya tidak begitu kuat atau tidak ada sama Batari Sri (Batara Nini), yaitu upacara secara sekali, nama tokohnya bukan Dewi Sri. Selain simbolis memvisualisasikan Dewi Sri sebagai itu, yang menjadi tokoh tidak hanya perempuan Lingga-Yoni. Upacara selanjutnya adalah tetapi juga laki-laki. nganyarin, yaitu upacara mulai panen pada bulan Sada (bulan Juni) oleh anggota subak pada masing-masing sawahnya. Terakhir adalah ***** manyi, yaitu kegiatan memanen padi di bulan Juli. Selesai panen padi dilakukan upacara seperti upacara mantenin, yaitu upacara menaikkan padi ke lumbung atau upacara menyimpan padi di lumbung yang dilaksanakan pada bulan Karo atau Agustus (Puspawati, 2015).

10 Tumotowa Volume 3 No. 1, Juni 2020: 1 - 12

DAFTAR PUSTAKA https://samasyari.blogspot.com/2016/11/mata Ashari, A. (2016). Tradisi Wiwitan Cara Masyarakat -pencaharian-masyarakat-sunda.htm Jawa Bersyukur atas Hasil Panen. Santiko, H. (1977). Dewi Sri. Unsur Pemujaan https://www.tribunnews.com/tribunners/2016 Kesuburan pada Mitos Padi. Majalah Ilmu- /01/06/tradisi-wiwitan-cara-masyarakat-jawa- Ilmu Sastra Indonesia, 7(3). bersyukur-atas-hasil-panen Sartini. (2012). Nilai-nilai Kearifan Lokal pada Bao, P. S. O. (1969). Nusa Dipa :nama pribumi Nusa Hubungan Antara Mitos Dewi Sri dan Flores (warisan purba). Nusa Indah. Eksistensi Seni Tradisional di Indonesia. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. (2011). Upacara https://repository.ugm.ac.id/96950/ Mapag Sri. Scheurleer, P. L., & Klokke, M. J. (1988). Divine http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/ Bronze : Ancient Indonesian Bronzes From dest-det.php?id=429&lang=id AD 600-1600. E.J. Brill. Dongeng Cerita Rakyat. (2017). Cerita Dongeng Shadily, H. (1984). Ensiklopedi Indonesia. In Jaman Dulu Asal Mula Padi. Ensiklopedi Indonesia. Ichtiar Baru-Van https://dongengceritarakyat.com/cerita- Hoeve dan Elsevier Publishing Projects. dongeng-jaman-dulu-asal-mula-padi/ Stutterheim, W. . (1934). De Oude-Collectue van Ekajati, E. S. (2000). Direktori Edisi Naskah Resink Wikens. Djawa, 14(1). Nusantara. Masyarakat Pernaskahan Stutterheim, W. F. (1956). Studies in Indonesian Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. Archaeology. Martinus-Nijhoff. Gupte, R. S. (1972). Iconography of the , Sukanda-Tessier, V. (1991). Sukanda-Tessier, V. Buddhist and Jains. B.D. Taraporevala sons & 1991. “Figur Prabu Siliwangi dalam Mite co. Private Ltd. Dewi Sri/Padi: Tinjuan Kritis tentang Heryana, A. (2014). 2012. “Mitologi Perempuan beberapa Naskah”. In V. Sukanda-Tessier & Sunda”, Patanjala 4(1):159-169. Patanjala, H. M. Ambary (Eds.), Proceeding: Seminar 4(1). Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30959/pata Pemerintah Jawa Barat, École Française njala.v4i1.129 D’Éxtrême-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Kalsum. (2013). Rasa Kebersamaan dan Konsep Nasional. Kesejahteraan Bersama dengan Pemuliaan Tabloid Desa. (2016). Tabloid Desa. tabloid- terhadap Padi dalam Wawacan Sulanjana. desa.com/wp Prosiding Seminar Naskah Kuna Nusantara content/uploads/2016/11/Tabloid-DESA- “Pangan Dalam Naskah Kuna Nusantara". 20.pdf Kartakusuma, R. (2001). Perempuan dan Religi: Tate, K. (2016). Sacred Palces of Goddess: 108 Apresiasi Urang Sunda kepada Sang Ibu Destinations. The Consortium of Collective (Ambu/Pohaci Sanghyang Asri). Diskusi Consiousness. Ilmiah Arkeologi Dinamika Perempuan Tim Penyusun. (2008). Metode Penelitian Arkeologi Nusantara. (2nd ed.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Liebert, G. (1976). Iconographic dictionary of the Arkeologi Nasional. Indian religions: Hinduism, Buddhism, Tosu, M. (2014). Mapag Sri - Ritual Menyambut Jainism (Studies in South Asian culture, 5). In Datangnya Panen Di Indramayu. J. E. van L. Leeuw (Ed.), Studies in South Yetti, E. (2014). Motif Asal-Usul Tanaman Padi Asian Culture. E.J. Brill. dalam Tiga Cerita Rakyat Indonesia. Kandai, Moleong, L. J. (2000). Metodologi Penelitian 10(1). Kualitatif (18th ed.). Remaja Rosdakarya. https://doi.org/https://doi.org/10.26499/jk.v10 Pigeaud, T. G. T. (1924). De Tantu Panggelaran, i1.312 Oud-Javaansche Prozageschricht uitgegeven. Verstaalt en toegelicht. University of Leiden. Pramastuti, H. et all. (2005). Barong: Candi Wisnu di Bukit Kapur. Balai Peninggalan Purbakala Yogyakarta. Puspawati. (2015). “Ritual Bertani di Bali. Dari “Mapag Toya” hingga “Mantenin” Padi". Majalah Bali Post. Rosidi, A. et all. (2000). Ensiklopedi Sunda. Alam, Manusia, dan Budaya termasuk Budaya Cirebon dan Betawi. Pustaka Jaya. Samasyari. (2016). Mata Pencaharian Masyarakat Sunda.

Dewi Sri dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia - 11 Titi Surti Nastiti

12 Tumotowa Volume 3 No. 1, Juni 2020: 1 - 12