LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING

MODEL PENGEMBANGAN LANSKAP BUDAYA BERDASARKAN WISATA RELIJI BAGI

Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun

Ketua Peneliti: DHINI DEWIYANTI TANTARTO, Ir.,MT NIDN. 421116601

Anggota: DINI ROSMALIA, ST., M.Si NIDN. 0303067002

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS KOMPUTER NOVEMBER 2014

ii

RINGKASAN

Suatu kebudayaan pada suatu masyarakat tidak terbentuk begitu saja, tetapi selalu melalui proses kesejarahan yang panjang, lengkap dengan berbagai interaksi dan perbaurannya sehingga membentuk suatu budaya yang khas dan mencirikan keunikan lokalnya. Hasil interaksi antara budaya suatu masyarakat dengan lingkungannya dapat menciptakan suatu kawasan yang unik, khas dan spesifik yang dapat disebut cultural landscape atau lanskap budaya. Suatu lanskap budaya yang berada pada bentangan kota merupakan gambaran konkrit dari suatu budaya yang terbentuk pada kawasan bahkan kota tersebut. Keunikan dan kekhasan yang ditampilkan pada kawasan merupakan hasil dari perkembangan peradaban manusia yang berlangsung dari waktu ke waktu dalam bentuk kebudayaan sebagai suatu sumberdaya heritage yang perlu dijaga dan dilestarikan. Menjaga dan melestarikan keberadaan lanskap budaya pada suatu kawasan berarti menjaga warisan bangsa untuk generasi yang akan datang. Salah satu kota di Indonesia yang berpotensi untuk memperlihatkan lanskap budayanya adalah Cirebon. Keunikan dan kesejarahan kota muncul akibat adanya akulturasi budaya yang berasal dari berbagai suku bangsa, agama, dan kepercayaan, di antaranya yaitu Sunda, Jawa, China, dan Arab, serta adanya pengaruh Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu. Pencampuran budaya berkembang dan membentuk fisik kota dan kehidupannya selama berabad-abad. Cirebon juga merupakan salah satu kota yang disinggahi oleh salah satu wali penyebaran agama Islam yaitu Sunan Kalijaga atau Syekh Syarif Hidayatullah, sehingga masjid-masjid yang ada di Cirebonpun merupakan salah salah satu tujuan wisata reliji. Pencampuran budaya Islam dengan budaya lain, menjadikan aktifitas masjidnyapun menjadi unik. Potensi yang unik dan khas, serta bernilai konservasi dan preservasi kawasan ini ternyata kurang disadari oleh Pemerintah Kota Cirebon. Padahal Cirebon sebagai salah satu kota tujuan wisata, dimana aktivitas relijius belum dipertimbangkan dalam konsep pariwisata kota sehingga dapat meningkatkan aset daerahnya. Apabila kekayaan wisata reliji digabungkan dengan konsep wisata budaya lain dan ditata dengan baik, maka bukan tidak mungkin, Cirebon akan tumbuh sebagai kota tujuan wisata yang handal. Untuk itulah, maka penelitian ini dilakukan guna menggali potensi wisata reliji yang ada, guna direalisasikan dalam konsep lanskap budaya Cirebon. Untuk itu penelitian ini bertujuan (1) menggali dan mengidentifikasi potensi masjid sebagai salah satu wisata reliji, termasuk menggali makna masjid itu sendiri berdasarkan penggunanya; selanjutnya, (2) menggambarkan aspek spasial yang terbentuk akibat aktifitas masjid sehingga membentuk wujud fisik dan ruang Kota Cirebon; (3) selanjutnya menggali aspek dan nilai kesejarahan yang terbentuk dan membentuk kotanya, dan terakhir

iii

(4) Menilai seberapa besar pengaruh wisata reliji terhadap morfologi Kota dalam membentuk lanskap budaya Kota Cirebon. Data dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner tertutup terhadap responden. Responden ditentukan secara acak bagi pengguna masjid dengan penyusunan pertanyaan kuesioner yang disesuaikan. Hal ini dilakukan karena diasumsikan pemahaman mereka terhadap kalimat-kalimat yang digunakan dalam kuesioner tersebut sangat beragam. Operasional variabel dari kuesioner tersebut menggunakan kriteria – kriteria yang sudah dipelajari sebelumnya dalam tinjauan pustaka, serta hasil wawancara kualitatif sebagai awal langkah. Kuesioner yang sudah disebarkan tersebut akan diuji validitas dan reliabilitasnya untuk memenuhi kriteria layak sebagai kuesioner penelitian. Selain penyebaran kuestioner, juga akan dilakukan pemetaan spasial terhadap pengguna ruang yang dilalui responden untuk mengetahui alur spasialnya, serta dikaitkan dengan nilai historisnya. Karena itu penelitian ini memegang peran penting dalam upaya implementasi pendekatan berbasis pemetaan lanskap budaya bagi pengembangan pariwisata di Indonesia. Hasil penelitian diharapkan dapat dipublikasikan pada jurnal internasional serta disampaikan dalam seminar-seminar nasional maupun internasional.

iv

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Tuhan YME, karena berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Kemajuan kegiatan Penelitian Hibah Bersaing berjudul: MODEL PENGEMBANGAN LANSKAP BUDAYA BERDASARKAN WISATA RELIJI BAGI CIREBON ini dengan baik dan pada saat yang tepat, sehingga laporan ini dapat segera digunakan bagi yang berkepentingan.

Besar harapan kami Laporan Kemajuan ini dapat memenuhi ketentuan yang disyaratkan selain materi yang kami sampaikan sudah mencukupi sebagai pijakan bagi tahap selanjutnya. Laporan Kemajuan ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan penuh dari berbagai pihak yang tercantum di bawah ini, yang pantas mendapatkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya : 1. Bapak Drs H Adin Imaduddin Nur dari Dinas Pemuda, Olah-raga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporbudpar) Kota Cirebon, beserta stafnya. 2. Sepuh XIV, P.R.A. Arief Natadiningrat, SE., beserta kerabat 3. Sultan Kanoman XII, Sultan Muhammad Emiruddin, beserta kerabat Kraton 4. Sultan Kacirebon IX, K.G.P.H. Abdul Gani Natadiningrat, SE., beserta kerabat Kraton. 5. Bapak Mustakim Asteja dari Komunitas Kendi Pertula 6. Bapak Drs. Rafan S Hasyim, MSi. (Bapak Opan) 7. Bapak Drs Askadi Sastra Suganda (Mamae Titin) 8. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Seluruh rangkaian dan usaha dalam menyusun Laporan Kemajuan ini, tidak lepas dari bimbingan Tuhan Y.M.E. Namun ketidaksempurnaan pastilah ada karena keterbatasan ilmu dan pengalaman penyusun, oleh karenanya apabila ditemukan kesalahan kami mohon maaf yang sebesar–besarnya dan kami sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun guna penyusunan selanjutnya. Akhir kata mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat baik bagi yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Bandung, November 2014 Tim Peneliti v

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...... vi BAB I. PENDAHULUAN ...... 1 Latar belakang ...... 1

Permasalahan ...... 3

Urgensi (keutamaan) Penelitian...... 3

Target Temuan/ Inovasi ...... 4

Penerapan Temuan ...... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...... 4 Lanskap Budaya Perkotaan ...... 4

Kategori Lanskap Budaya ...... 6

Komponen Urban Cultural Landscape ...... 7

Elemen Fisik dan Non fisik Urban Cultural Landscape ...... 8

Proses Transformasi Aktifitas ke dalam Bentuk Spasial ...... 9

Masjid sebagai Sebuah Place ...... 10

Studi Pendahuluan yang Telah Dilaksanakan ...... 12

Hasil yang Sudah Dicapai ...... 12

Peta Jalan Penelitian ...... 14

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...... 15 Tujuan Penelitian: ...... 15

Manfaat Penelitian: ...... 15

BAB IV. METODE PENELITIAN ...... 16 Kerangka Berpikir ...... 16

Tahapan Penelitian ...... 17

Populasi dan Sampel ...... 18

Metode Pengumpulan Data ...... 18

Metode Pengolahan Data ...... 18

Metode Analisis ...... 19 vi

BAB V. HASIL YANG DICAPAI ...... 20 Elemen Fisik ...... 20

Elemen Non Fisik ...... 43

Lama Kunjungan Wisatawan dan Biaya yang dikeluarkan ...... 44

Waktu Ritual ...... 44

Makna Masjid Bagi Masyarakat Cirebon dan Pendatang ...... 52

Potensi dan Kekuatan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji ...... 53

Kelemahan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji ...... 54

Tantangan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji ...... 54

BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ...... 58 KESIMPULAN DAN SARAN ...... 59 LAMPIRAN ...... 58 Lampiran 1 : Panduan Wawancara...... 62

Lampiran 2 : Denah dan Tampak Masjid ...... 64

Lampiran 3 : Susunan Anggota Peneliti ...... 70

Lampiran 4 : MOU dengan Dinas Pariwisata...... 72

Lampiran 5 : Biodata Peneliti ...... 73

Lampiran 6 : Draft Seminar......

vii

1

BAB I. PENDAHULUAN

Latar belakang

Cirebon merupakan kota yang memiliki potensi kuat sebagai kota unik yang kaya akan budaya termasuk di dalamnya kekayaan tradisi, ritual dan kesenian. Cirebon juga merupakan kota yang terbentuk akibat akulturasi berbagai suku bangsa serta agama atau dalam bahasa lokal disebut: Caruban Nagari. Dalam kesejarahannya Cirebon yang merupakan kota dagang, juga merupakan pusat penyebaran dan pengembangan agama Islam. Bahkan Cirebon juga identik dengan kota yang dibangun oleh Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dan disinggahi oleh Sunan Kalijaga.

Masjid, merupakan salah satu representasi arsitektur Islam, yang merupakan wujud perpaduan antara kebudayaan manusia dan proses penghambaan diri seorang manusia kepada Tuhannya, yang berada dalam keselarasan hubungan antara manusia, lingkungan dan Penciptanya, termasuk disini adanya persepsi terhadap kehidupan, kematian, dan akhirat (Omar, 2012). Masjid sebagai karya arsitektur Islam mengungkapkan hubungan geometris yang kompleks, hirarki bentuk dan ornamen, serta makna simbolis yang sangat dalam. Pengaruh nilai berbagai suku bangsa, ritual dan tradisi, pada akhirnya juga turut mempengaruhi nilai ”ke-Islaman” pada masyarakat Cirebon. Akulturasi budaya yang terjadi, pada akhirnya membawa nilai-nilai keIslaman tersebut berbaur dan turut mempengaruhi kegiatan yang berlangsung pada masjid. Tidak heran apabila masjid yang ada di Cirebon juga disinggahi oleh masyarakat yang ingin melakukan jiarah.

Topik ini menjadi menarik, mengingat Cirebon sering dikunjungi sebagai salah satu tujuan wisata reliji bagi masyarakat, tidak saja bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga turis asing. Di sisi lain, pemerintah kota Cirebon sendiri belum membenahi dan mempersiapkan kotanya sebagai salah satu tujuan wisata reliji yang sebetulnya dapat meningkatkan nilai pariwisata bagi kota tersebut. Cirebon perlu untuk segera memiliki gambaran lanskap budaya pada kotanya agar perencanaan kawasannya dapat diarahkan pada konsep yang jelas dan terarah.

Pentingnya keunikan dan kekhasan lanskap budaya suatu kawasan telah menjadi perhatian dunia. Seperti disampaikan oleh ICOMOS (2009) melalui „Description of World Heritage Cultural Landscape; lanskap budayamerupakan bukti fisik kekayaan dan keragaman

1 budaya, religi, dan sosial masyarakat pada suatu kawasan. Menjaga dan mengintegrasikan lanskap budaya pada kehidupan saat ini berarti pula menjaga warisan dunia. Hal senada juga diungkapkan UNESCO (2002) dalam „Universal Declaration on Cultural Diversity‟; menjaga keberadaan lanskap budaya berarti menjaga warisan bangsa untuk generasi yang akan datang. Selanjutnya ICOMOS, (1994) juga menekankan bahwa menghargai lanskap merupakan hal penting, karena cultural landscape mengandung nilai-nilai heritage. Gambar I-1. Lanskap Budayasebagai Warisan Dunia menunjukan posisi lanskap budaya sebagai bagian dari warisan dunia.

Gambar I-1. Lanskap Budayasebagai Warisan Dunia

Sumber: World Heritage Center (2008); UNESCO (2002)

Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa lanskap budaya telah menjadi isu penting pada dekade ini, sehingga di tahun 1992 World Heritage Convention (WHC – UNESCO) memasukkan lanskap budaya sebagai salah satu jenis heritage yang perlu diproteksi. Kesempatan ini mendapat perhatian cukup besar dari seluruh negara di dunia, di mana selama 17 tahun sejak tahun 1992 hingga 2009 telah terdaftar 72 kawasan dari 64 negara sebagai World Heritage Cultural Landscape (WHCL) (Rӧssler, 2006; ICOMOS, 2009). Dari 72 kawasan tersebut, 12 di antaranya merupakan kota dan hampir semuanya merupakan kota bersejarah (historic town). Melihat kecenderungan ini, sejak tahun 2005

2 hingga kini World Heritage Committee secara intensif mendiskusikan topik ini terutama mengenai lanskap budaya yang merupakan kota bersejarah (O'Donnell, 2008).

Lanskap budaya yang berada pada kawasan perkotaan (urban landscape) dapat disebut sebagai urban cultural landscape seperti yang disampaikan oleh Calcatinge (2010) dan Hayden (1995). Lanskap budaya yang berada pada kawasan geografis dengan aktifitas kehidupan perkotaan mencakup aktifitas politik, ekonomi, sosial, dan budaya disebut sebagai urban cultural landscape. Definisi ini juga dipertegas oleh Fowler (2003), yang menyatakan lanskap budaya pada urban landscape memberi gambaran peradaban manusia yang paling maju, dengan teknologinya manusia merubah lingkungan alami menjadi suatu lingkungan perkotaan yang unik, khas dan bernilai sejarah.

Permasalahan

Lanskap kota yang ada, belum mencerminkan bahwa Cirebon sudah mempertimbangkan wisata reliji sebagai salah satu aset yang dapat diatur sedemikian rupa sehingga dapat menaikkan pamor Cirebon sebagai salah satu tujuan wisata yang tertata baik.

Pengetahuan lanskap budaya yang terencana, belum membudaya bagi kalangan perencana kota, bahkan perancang wisata, padahal dengan adanya lanskap budaya Cirebon, dapat mempermudah melihat zona-zona wisata yang pada akhirnya akan lebih tepat sasaran pada proses perencanaannya.

Urgensi (keutamaan) Penelitian.

Indonesia merupakan negara dengan penganut Islam terbesar di dunia. Dengan jumlah penganut yang banyak, tanggung jawab masjid juga menjadi besar. Kegiatan masjid bukan hanya sebagai pusat ibadah ritual saja tetapi juga sebagai pusat kebudayaan atau muamalat yang melahirkan kebudayaan dalam Islam. Karena Cirebon termasuk peta penting dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, maka mau tidak mau Cirebon akan menjadi salah satu tujuan wisata reliji bagi masyarakat Islam Indonesia, bahkan bukan tidak mengkin menjadi tujuan wisata reliji bagai wisatawan asing. Oleh karena itulah, peta lanskap budaya Cirebon menjadi suatu temuan penting yang harus segera direalisasikan.

Penelitian dibatasi hanya pada kebudayaan Islam, sebagai salah satu kekuatan budaya yang terlihat jelas. Untuk kegiatan penelitian di masa depan, tidak tertutup kemungkinan untuk

3 mencakup jangkuan pada wisata reliji ibadah agama lain yang juga muncul secara kuat seperti: Kong Hu Cu dan Budha.

Target Temuan/ Inovasi

 Pada tahap tahun pertama adalah: Pola aktifitas, termasuk pergerakan aksesibilitasnya termasuk bagaimana masyarakat memaknai masjidnya yang pada akhirnya akan menuntun arah penelitian pada penggambaran lanskap budayanya di tahun kedua.  Pada tahun kedua akan dibuat Model Lanskap Budaya Cirebon berdasarkan wisata reliji, sebuah guidelines bagi kota guna mengembangkan konsep pariwisata beserta sarana prasarananya yang harus disiapkan.

Output hasil temuan akan dipublikasikan melalui:

No. Nama/Jenis output Jumlah

1. Publikasi Jurnal Internasional 1

2. Publikasi pada Prosiding Konferensi Internasional 1

Penerapan Temuan

Temuan yang didapat berupa model lanskap budaya diharapkan dapat digunakan oleh Dinas Pariwisata Cirebon sebagai acuan dalam mengembangkan konsep pariwisata kota.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap Budaya Perkotaan

Konsep cultural landscape atau lanskap budaya pertama kali diperkenalkan oleh Sauer dalam makalahnya yang berjudul „The Morphology of Landscape’ pada tahun 1925, dimana ‘The cultural landscape is fashioned from the natural landscape by a cultural group. Culture is the agent, the natural area is the medium, the cultural landscape the result’. Untuk itu, Budaya merupakan produk hasil komunikasi antara manusia dengan tempat tinggalnya dari waktu ke waktu, yang kemudian menghasilkan bentukan lanskap alami. Lanskap sebagai media tidak lagi dipandang sebagai penentu arah transformasi, tetapi menjadi bagian dari cultural lanscape (Sauer, 1963;Jain & Clancy, 2011). Proses

4 terbentuknya cultural landscape dapat dilihat pada Gambar II-1. Proses Morfologi Cultural landscape dibawah ini.

Gambar II-1. Proses Morfologi Cultural landscape

Sumber: Sauer (1963)

Proses interaksi antara manusia dengan lanskapnya pada suatu kawasan geografis akan menimbulkan suatu kekhasan dan keunikan tersendiri. Kekhasan ini kemudian menjadi karakter suatu cultural landscape, seperti yang disampaikan oleh Hough (1990) dan Kaya (2002), bahwa interaksi manusia dengan lingkungannya menciptakan kekhasan yang menjadi karakter kawasan. Proses bentukan manusia ini terjadi dari generasi ke generasi dan terus berlanjut hingga saat ini. Selanjutnya, berdasarkan penelusuran Sauer dan Platt dikatakan, bahwa proses interaksi tersebut juga merupakan kombinasi antara hubungan sosial manusia dengan proses fisik lanskapnya, di mana keunikan yang dihasilkan menggambarkan pola dan keteraturan, sedangkan hubungan sosial merupakan hasil interaksi antara elemen masyarakat, melalui aktifitasnya, dengan lingkungan sebagai wadahnya (Hough, 1990). Adapun World Heritage Center (2008) danCalcatinge (2010) mengatakan, suatu kawasan dapat disebut sebagai cultural landscape bila ia menggambarkan evolusi kehidupan manusia dan tempat tinggalnya dari waktu kewaktu, yang dipengaruhi oleh potensi dan/ataupun hambatan fisikal, kekuatan eksternal dan internal dari lingkungan alami, aspek sosial, ekonomi dan budaya, yang semuanya bernilai sejarah serta berpotensi membentuk keindahan pemandangan kawasan (scenery). 5

Gambar II-2. Posisi Cultural Landscape Sumber: Kaya (2002)

Dari penelusuran teori-teori di atas, dapat dikatakan bahwa lanskap budaya merupakan sumber daya spesifik hasil perpaduan karya alami dengan karya buatan manusia di dalam suatu kawasan geografis. Morfologi sebagai gambaran evolusi interaksi manusia dengan lanskapnya berlangsung secara terus menerus sepanjang waktu, menghasilkan bentukan yang unik dan khas yang membedakan kawasan ini dengan lainnya. Calcatinge (2010) dan Fowler (2003), mengatakan bahwa kota (urban area) merupakan kawasan yang unik dan khas, sehingga dapat dikatakan sebagai bentuk cultural landscape yang sebenarnya. Lanskap kota (urban landscape) bukan lagi bagian dari lanskap budaya, tapi lanskap kota itu sendiri merupakan gambaran lanskap budaya yang paling maju dan sophisticated,karena ia menjadi pusat perkembangan budaya, dan teknologi.

Sebagai gambaran peradaban manusia yang paling maju, para ahli (akademisi) mempercayai bahwa bentangan kota (cityscape) sebagai bentuk terbaik dari lanskap budaya (Fowler, 2003). Suatu bentangan kota merupakan hasil kombinasi kerja alam dan budaya dari waktu ke waktu, di mana proses pembentukannya dipengaruhi oleh kekuatan sosial, ekonomi, dan politik. Untuk itu suatu lanskap budaya yang berada dalam suatu bentangan kota (cityscape) dapat dikatakan sebagai urban cultural landscape.

Kategori Lanskap Budaya

Lanskap budaya pada bentangan kota merupakan sumber daya yang perlu dipertahankan karena berpotensi sebagai heritage. Untuk itu World Heritage Center (2008) mendefinikan bahwa lanskap budaya merupakan “kekayaan budaya yang mempresentasikan hasil kombinasi kerja alam dan manusia‟ seperti yang disampaikan pada Konvensi dalam artikel 6

1, „lanskap budaya merupakan warisan budaya, yang di dalamnya mencakup monumen, kumpulan bangunan, dan tapak (site), yang memiliki nilai universal luar biasa (outstanding universal value) dari sudut pandang keindahan, kesejarahan, etnologi ataupun antropologi. Penilaian tersebut di atas juga berlaku untuk urban cultural landscape.

Untuk masuk dan terdaftar sebagai World Heritage Cultural Landscape (WHCL), suatu bentang kota lebih dahulu harus memiliki nilai universal yang luar biasa (OUV), setelah itu ia dapat dimasukkan ke dalam 1 (satu) atau lebih kategori berikut: a) Lanskap yang didesain/dibuat dengan sengaja oleh manusia, meliputi pembangunan taman (garden) dan taman/kebun raya (parkland) untuk alasan estetika yang sering (selalu) berhubungan dengan agama (religi) atau bangunan monumental. b) Lanskap yang berevolusi secara organik atau alamiah. Hasil perubahan dari kondisi sosial, ekonomi, administrasi, dan/atau hal-hal yang bersifat religius, dan hasil yang terbentuk saat ini karena asosiasi dan respon terhadap lingkungan alaminya. Kategori ini terbagi dalam dua sub-kategori: c) Lanskap relict (fosil/bersejarah), bentukan lanskap hasil proses evolusi, yang prosesnya telah berhenti beberapa waktu lalu sebelum masa saat ini. Bentuk khas materialnya masih terlihat secara signifikan. d) Lanskap, dimana proses evolusinya masih berlangsung dan mempertontonkan bentuk- bentuk material yang merupakan bukti signifikan dari proses evolusi tersebut. Adapun kehidupan sosial masyarakat lanskap ini, yang juga merupakan masyarakat kontemporer masih secara aktif menggunakan, memelihara, dan mempertahankan cara-cara hidup tradisional setempat. e) Associative cultural landscape, merupakan lanskap budaya yang berasosiasi. Pembentukannya dipengaruhi oleh agama, kesenian dan budaya setempat. Umumnya lanskap ini termasuk dalam World Heritage List.

Komponen Urban Cultural Landscape

Urban cultural landscape merupakan bentuk visualisasi yang memiliki potensi ekonomi, di mana suatu urban landscape dapat mengubah seorang pelancong (viewer) menjadi seorang "flaneur". Selain mendapatkan sesuatu yang bersifat leisure, pelancong tersebut juga memperoleh pengalaman (experience). Adanya flaneur, membuka peluang ekonomi untuk masyarakat setempat (Greffe, 2009). Calcatinge (2010) menyampaikan 3 (tiga)

7 komponen pembentuk urban cultural landscape, yaitu ideologi, individu, dan urban morphology (Gambar II-3).

Urban spacesebagai simbol lanskap budaya yang mengekspresikan nilai-nilai masyarakat moderen, di mana nilai-nilai spiritual dan ideologi individu, serta morfologi kota saling berhubungan memberi tekanan terhadap pembentukan urban space. Nilai spiritual individu terbentuk dari faktor-faktor kesukuan, agama, kepercayaan, bahasa, kelompok masyarakat, dan latar belakang budayanya. Komponen kedua, nilai ideologi berupa politik, ekonomi, dan sosial yang dipahami dan dijalankan oleh masyarakat maupun penguasa berfungsi mengatur kehidupan kota. Terakhir, morfologi kota merupakan hasil proses dinamis dari bentukan fisik kota, struktur spasial yang membentuk pola ruang kota, arsitektur sebagai simbol dan wadah aktifitas serta sejarah yang menggambarkan peran setiap faktor dan waktu yang dilaluinya. Untuk itu urbanspaceberfungsi sebagai media atau ruang kehidupan, yang dapat menjadi simbol kehidupan kebudayaan yang unik di kawasan tersebut.

Gambar II-3. Komponen Urban Cultural Landscape Sumber: Calcatinge (2010)

Elemen Fisik dan Non fisik Urban Cultural Landscape

Urban cultural landscape merupakan ekspresi kebudayaan tradisional kota yang unik, dimana keunikannya menjadi karakter yang memberi spirit pada kota tersebut. O'Donnell

8

(2008) mengatakan bahwa ekspresi spirit suatu urban cultural landscape dapat ditentukan dari hasil kombinasi nilai-nilai heritage yang terkandung dalam elemen fisik dan non fisiknya. Untuk itu kedua elemen tersebut perlu didokumentasi dan dipreservasi. Selanjutnya Calcatinge (2010) menambahkan bahwa elemen-elemen urban cultural landscapemerupakan icon yang menjadi identitas lokal, regional, dan nasional.Error! Reference source not found. menunjukan bentuk elemen fisik dan non fisik yang perlu diidentifikasi pada suatu urban cultural landscape, di mana elemen ini bernilai heritage dan berpotensi untuk dipreservasi.

Tabel II-1. Elemen Urban cultural landscape Sumber: O'Donnell (2008)

Elemen Fisik Elemen Nonfisik 1. Sistem Alami 1. Festival 2. Land uses, land patterns, land clusters 2. Musik tradisional, pertunjukan tari tradisional 3. Organisasi spasial 3. Ziarah 4. Visual relationships 4. Ibadah 5. Topografi, surface drainage 5. Ritual 6. Vegetasi 6. Upacara utk memperingati kejadian di masa lalu 7. Sistem sirkulasi 7. Praktek/aktifitas tradisional 8. Water feature, water natural and 8. Aktifitas untuk menjaga & mengumpulan water constructed tanaman lokal/ endemik 9. Non habitable landscape structures 9. Aktifitas untuk membuat kerajinan and buildings lokal/tradisional 10. Karakterspasial, bentuk spasial, 10. Cara komunitas mengenang sesuatu yang skalaruang, & strukturhunian (& ikonik dan masih berlangsung hingga pemukiman) kini. 11. Obyek dan furnitur lanskap

Proses Transformasi Aktifitas ke dalam Bentuk Spasial

Salah satu cara mengidentifikasi urban cultural landscape pada suatu kawasan adalah dengan melihat secara spasial suatu ruang wadah aktifitas yang berwujud tiga dimensi, melibatkan tempat dan waktu. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan The Free Dictionary, spasial merupakan hal yang bersifat memiliki atau berkenaan atau berhubungan dengan ruang (space) atau tempat (place). Adapun space merupakan hasil imaginasi dan pikiran manusia, yang diketahui dan dirasakan dengan menghubung- hubungkan benda-benda nyata yang ada di sekitar lokasi pengamatan ke dalam imajinasi seseorang (Lefebvre, 1998; Arisaka, 1995; Tuan, 2008). Selanjutnya ditambahkan oleh

9

Arisaka (1995) melalui makalahnya mengenai „teori space dari Heidegger‟, bahwa aktifitas dan waktu juga menjadi faktor penting dalam mengimajinasikan suatu space.

Berbeda dengan Arisaka, Tuan (2008) mengatakan bahwa ruang imajinasi terbentuk justru berdasarkan pengetahuan yang didapat dari kebiasaan yang dilakukannya sehari-hari (berhubungan dengan pengalaman manusia). Hal senada juga disampaikan oleh Hayden (1995), bahwa proses merasakan ruang (space) terjadi karena adanya hubungan sosial, di mana aktifitas berupa interaksi manusia dengan sesamanya dapat menciptakan space. Sebagai contoh, aktifitas parade dan festival menciptakan rute yang kemudian membentuk ruang imajinasi, yang berpotensi membentuk identitas kawasan. Untuk itu dapat dilihat bahwa ruang (space), fungsi (yang menampung aktifitas), dan waktu merupakan komponen yang saling terkait. Suatu ruang dapat dirasakan apabila pengguna melakukan aktifitas di dalamnya pada suatu waktu tertentu. Untuk itu menurut Tuan (2008) proses pembentukan ruang disebabkan oleh (1) pengetahuan mitologi dan kosmologi seseorang atau suatu komunitas; pengalaman seseorang; (2) kebiasaan dan aktifitas yang dilakukan sehari-hari oleh seorang individu dan komunitasnya; (3) mitos, di mana space merupakan fuzzy area (ruang yang tidak jelas), batasan ruang dibangun atas pengetahuan yang pragmatis. Space mitos (mythical space) ini merupakan komponen dari world view dan kosmologi pada suatu masyarakat yang dapat ditransformasikan ke dalam wujud fisik (nyata), seperti bangunan arsitektur, kuil, rumah, dan juga suatu kota.

Lefebvre (1998) mengatakan bahwa kondisi merasakan space dapat dibedakan berdasarkan pembentukannya oleh (1) architectural space, yaitu ruang sosial yang terbentuk karena pengalaman seseorang; (2) space of architects, manipulasi space yang terbentuk akibat praktik arsitek, umumnya space ini sebagai wacana.

Masjid sebagai Sebuah Place

Place dibentuk oleh hubungan antara rona fisik lingkungan, aktivitas individu maupun kelompok, serta makna yang terbentuknya. Berbagai istilah seperti: „PlaceAttachment‟, „PlaceIdentity‟ dan „Sense ofPlace‟ merupakan konsep-konsep yang memperlihatkan hubungan manusia dengan tempat dan lingkungannya. Konsep sense ofplace digunakan untuk mempelajari ikatan antara manusia dan tempat, kedekatan emosional, serta maknanya. Sense of Place juga digunakan untuk memberikan kesan utuh secara umum

10 yang menunjukkan perasaan seseorang melalui indera, menyusun konsep serta menilai lingkungannya (Altman, 1992).

Place seperti yang digambarkan oleh Canter tidak dapat diakui secara penuh sampai kita mengetahui perilaku yang terkait dengan tempat itu, parameterfisikdari rona lingkungannya, serta deskripsiatau konsepsi pengguna mengenai lingkungan fisiknya (Canter, 1977). Mengamati perbedaan perilaku manusia dan konsep tempat memungkinkan munculnya pemahaman tersembunyi mengenai makna tempat tersebut. Place juga dapat dilihat sebagai wadah manusia untuk mengeksplorasikan kepentingan, perhatian, pengaruh, perhatian, perubahan, dan kenikmatan. Place juga diyakini dapat membangkitkan emosi orang,suasana hati,tanggapan, kendala, prestasi, kelangsungan hidup, dan kesenangan(Steele, 1981).

Keterikatan emosional seseorang pada akhirnya akan membangun sense of place. Seseorang akan membangun sense of place melalui cara yang berbeda tergantung dari rona fisik dan karakter ruang (Schulz, 1980). Sense of place dapatdiciptakan olehrona lingkungan yang menstimulasi seseorang(Steele, 1981). Reaksi sense of place merupakan gabungan antara atribut rona lingkungan dan karakteristik personal. Pengalaman khusus seseorang dalam suatu lingkungan tertentu akan mempengaruhi seseorang dalam menilai pengalaman ruang yang baru dialaminya.

Masyarakat muslim sebagai salah satu peradaban terbesar di dunia pun tidak ketinggalan dalam menyemarakkan peradaban dengan arsitektur yang mencerminkan worldview dan nilai-nilai Islam sepanjang sejarah perkembangan dan perjalanannya di muka bumi ini. Dalam Islam, arsitektur merupakan bagian dari karya seni yang tidak pernah lepas dari keindahan yang merujuk pada kebesaran Allah sebagai Sang Maha Pencipta. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan, serta aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama mahluk, termasuk di dalamnya persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Pada akhirnya pedoman yang dijadikan pegangan bagi umat Islam adalah Al Quran beserta hadistnya.

Masjid sebagai sebuah tempat dengan rona lingkungan tertentu, dengan beragam pengguna di dalamnya serta kehidupan yang boleh dikatakan memiliki proses beradaptasi, berorganisasi, bersosialisasi dan sebagainya, diyakini akan mampu membangun image bagi siapapun penggunanya (usia, gender, etnis, pekerjaan, strata social, ekonomi dan

11 sebagainya) yang mampu membangun keterikatan dengan tempat. Masjid sebagai sebuah place, lengkap dengan interaksi manusianya, tentunya dapat dimaknai oleh penggunanya. Kesadaran pengguna terhadap ajaran-ajaran Islam berdasarkan ajaran Al Quran dan hadistnya pastinya juga akan turut mewarnai bagaimana masjid dan lingkungan sekitarnya saling berinteraksi. Pengaruh ritual dan kegiatan yang ditampung di dalamnya tentu juga akan mempengaruhi kota Cirebon itu sendiri.

Studi Pendahuluan yang Telah Dilaksanakan

PENELITI I Sejarah Arsitektur Sejarah Masjid Kampus

Perilaku Lingkungan Makna Masjid bagi Pengguna

Fleksibilitas Masjid Kampus di Indonesia

Place Making Masjid Kampus

Efek Ornamen dan Ruang Interior pada Masjid MODEL Makna Spiritual Masjid PENGEMBANGAN

Teritori dan Masjid dan LANSKAP Pengembangannya BUDAYA BERDASARKAN WISATA RELIJI PENELITI II BAGI CIREBON Sejarah Arsitektur Sejarah dan Budaya yang Terbentuk di Kota Cirebon

Arsitektur Lanskap Pengaruh Keraton Pada Lanskap Budaya Kota Cirebon

Hasil yang Sudah Dicapai

Hasil yang didapatkan sebelumnya bahwa, masjid mampu menjadi identitas kawasan yang membedakannya dengan kawasan lain, bahkan masjid yang memiliki konteks sejarah yang kuat, „identitas dan sense of place’ ikut muncul dalam diri seseorang (Dewiyanti & Kusuma, 2012).Identitas adalahbentuk sederhana dariakal dansejauh manaseseorang dapatmengenaliatau mengingattempatsebagaiberbedadari tempat lain, dengan kata lain, tempat yang unikakan memiliki karakter yang membedakannya dengan tempat lain. Hal ini sejalan dengan munculnya rasa “self-efficacy” yang didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk berfungsi secara tepat dalam lingkungan fisik dan situasi sosial tertentu yang dihubungkan dengan kebutuhan manusia untuk mengendalikan lingkungan. 12

Selanjutnya hasil dari rasa membedakan tersebut akan memberikan efek ”distinctiveness”, yaitu keinginan untuk memelihara keberbedaan dari yang lain. Distinctiveness berhubungan dengan persepsi positif terhadap keunikan suatu tempat, dan pemanfaatan tempat yang berbeda dengan orang lain pada kawasan lain (Ross & Uzzel, 1996). Identitas dengan teritori tertentu menyebabkan pengidentifikasian seseorang dengan orang-orang lain yang hidup dalam ruang tersebut. Identitas juga mensyaratkan adanya kebutuhan untuk keberlanjutan (prinsip continuity) dalam konteks waktu dan situasi. Bentuk kontinuitas dalam hubungan dengan lingkungan, yaitu: a. the ”place-referent continuity”, yaitu apabila tempat (place) bertindak sebagai acuan masa lalu dan tindakan sehingga menghasilkan hubungan antara identitas masa lalu dengan identitas masa kini. b. the ”place-congruent continuity”, yaitu ketidakserasian antara lingkungan dan keinginan serta nilai-nilai masyarakat setempat.

Adapun hasil mengenai lanskap budaya yang telah didapat sebelumnya yaitu, lanskap budaya pada kawasan perkotaan terbentuk karena adanya kepercayaan yang dibentuk dari pemahaman yang dipercaya secara turun-temurun oleh masyarakatnya. Kepercayaan ini kemudian menjadi panduan untuk mewujudkan hal yang bersifat fisik dan nonfisik, yang disebut sebagai elemen lanskap budaya (Rosmalia & Martokusumo, 2012). Elemen lanskap budaya ini memiliki peran penting, karena secara signifikan dapat membangun spirit dan membentuk karakter kawasan tersebut. Hal serupa disampaikan oleh O'Donnell (2008), bahwa elemen fisik dan nonfisik pada suatu kawasan kota yang merupakan lanskap budaya maka ia mengandung „spirit of space‟. Untuk kasus Kota Cirebon elemen lanskap budayanya sebagai berikut: a. elemen fisik berupa, keraton-keraton (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan), masjid-masjid (Sang Cipta Rasa, Panjunan, Jagasatru, dsb), Taman Gua Sunyaragi, jalan raya, pelabuhan, sungai, dan lainnya, b. elemen non fisiknya berupa, tradisi Muludan, Grebeg Syawal, Kliwonan, Nadran (sedekah laut), seni wayang, seni , seni tari, dan sebagainya.

Keberadaan elemen lanskap budaya pada suatu kawasan perkotaan memiliki daya tarik yang membuat seorang atau banyak pengunjung untuk datang dan melihat. Ketertarikan pengunjung ini oleh Greffe (2009) disebut „flaneur‟, yaitu pengunjung yang datang tidak hanya mendapatkan pengetahuan dari apa yang dilihatnya, tetapi juga dari keterlibatannya

13

dalam aktifitas di kawasan tersebut seperti ritual tradisi. Dari ini kemudian suatu lanskap budaya yang memiliki daya tarik tersebut dapat dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata.

Peta Jalan Penelitian

Gambar II-4 Peta Jalan Penelitian.

VISI Sejarah dan Arsitektur Universalis- DAN MISI Modern me Arsitektur Teori Kritik UNIKOM Budaya Lokal dan Arsitektur Kontekstual Budaya dan Vernakular Penelitian Tradisi Keilmuan di Transformasi Arsitektur FTIK dan Relijius UNIKOM Akulturasi

Sejarah Pencampuran Penelitian Arsitektur Budaya Keilmuan Kelompok Perancangan Arsitektur MODEL Riset Arsitektur PENGEMBANG- Pembangunan dan Perilaku Place AN LANSKAP BUDAYA Berkelanjutan Lingkungan Attachment Arsitektur BERDASARKAN Lanskap WISATA RELIJI Konsep Lanskap BAGI CIREBON Berkelanjutan Budaya Arsitektur Kota Morfologi Kota Desain Desain Teknologi berdasar Bangunan Tipologi Manajemen Konstruksi Teknologi, Struktur dan Evakuasi dan Metode Mitigasi Bencana

Pasif Desain

Permukiman Pembangunan partisipasi

Permukiman Rumah Susun berkelanjutan

Kampung 14 Kota

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan Penelitian:

Mengidentifikasi pengaruh masjid-masjid yang ada di Cirebon terhadap aktifitas dan perkembangan Cirebon. Mengetahui bagaimana aktifitas dan makna sebagai suatu elemen tak teraga mampu membentuk wujud fisik dan ruang (spasial) di Kota Cirebon . Menilai seberapa besar pengaruh masjid terhadap morfologi kota dalam membentuk lanskapbudayaCirebon.

Manfaat Penelitian:

Hasil penelitian diharapkan akan menjadi masukan bagi pemerintah dan perancang dalam merencanakan kota berbasis pemetaan lanskap budaya bagi pengembangan pariwisata di Indonesia, dan Cirebon pada khususnya.

15

BAB IV. METODE PENELITIAN

Kerangka Berpikir

Gambar IV-1. Kerangka Pikir 16

EMOTIONAL FEELINGS Tahapan Penelitian

Gambar IV-2. Tahapan Berpikir

17

Populasi dan Sampel

Populasi dalam metode penelitian digunakan untuk menyebutkan serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. Oleh karenanya populasi penelitian merupakan keseluruhan (universum) dari objek penelitian yang berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup dan lain sebagainya sehingga objek ini dapat menjadi sumber data penelitian. Populasi dilihat dari sumber data maka populasi dapat dibedakan dalam populasi terbatas dan populasi tak hingga. Populasi terbatas yaitu populasi yang jelas batas-batasnya secara kuantitatif sedangkan populasi tak hingga yaitu populasi yang memiliki sumber data yang tidak dapat ditentukan batas- batasnya secara kuantitatif. (Bungin M B, 2006). Pada penelitian ini yang menjadi objek penelitiannya adalah pengguna masjid-masjid Cirebon yang dipilih secara random (acak) dan memenuhi kriteria sebagai pengguna ruang.

Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui proses pengamatan, wawancara mendalam dan kemudian dilanjutkan dengan penyebaran kuesioner tertutup terhadap responden. Responden ditentukan secara acak dalam setiap kategori pengguna ruang masjidnya dengan penyusunan pertanyaan kuesioner yang disesuaikan. Hal ini dilakukan karena diasumsikan pemahaman mereka terhadap kalimat-kalimat yang digunakan dalam kuesioner tersebut sangat beragam. Operasional variabel dari kuesioner tersebut menggunakan kriteria – kriteria yang sudah dipelajari sebelumnya dalam tinjauan pustaka. Kuesioner yang sudah disebarkan tersebut akan diuji validitas dan reliabilitasnya untuk memenuhi kriteria layak sebagai kuesioner penelitian. Selain penyebaran kuestioner, juga akan dilakukan pemetaan spasial terhadap ruang kota yang dilalui responden untuk mengetahui tingkat aksesibilitas, dan penggunaan ruang kota tersebut menurut standar/konsep dan panduan desain.

Metode Pengolahan Data

Data yang didapat selanjutnya akan dilakukan:

. Mencatat yang dibuat berupa catatan lapangan/buku harian dan rekaman, diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri . Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar dan membuat indeksnya 18

. Membuat kategori data yang mempunyai makna, mencari dan menemukan pola, hubungan-hubungan dan temuan-temuan umum

Kuesioner yang sudah disebarkan dalam proses pengumpulan data kemudian dikelompokan berdasarkan kategori penggunanya dan dibuat rekapitulasi dalam bentuk tabel untuk mempermudah pengolahan data dengan menggunaka software dengan tahapan pengolahan data kuesioner tersebut adalah :

1. Uji validitas dan reliabilitas jawaban kuesioner keseluruhan 2. Uji validitas dan reliabilitas jawaban kuesioner berdasarkan kategori 3. Uji distribusi 4. Menghitung statistik deskriptif 5. Menghitung korelasi variabel penelitian 6. Analisis hasil Selain melakukan pengolahan data kuesioner juga melakukan perbandingan data survei ruang kota berdasarkan kategori tipologinya.

Metode Analisis

Pada analisis data kualitatif, kata-kata dibangun dari hasil wawancara dan diskusi kelompok terfokus terhadap data yang dibutuhkan untuk dideskripsikan dan dirangkum. Metode analisis data kualitatif mengikuti metode Stevick-Colaizzi-Keen (proses 4 langkah). Selanjutnya analisis deskriptif naratif yang didapatkan akan dibandingkan dengan data empirik serta survei dengan studi lanskap budaya Cirebon yang akan dilakukan di tahun kedua.

19

BAB V. HASIL YANG DICAPAI

Elemen Fisik

Masjid di Cirebon dan Sekitarnya

Tabel V-1. Daftar Masjid yang menjadi Tujuan Wisata Religi

Dibangun No Nama Masjid Lokasi Foto tahun 1 Masjid Jalan Sekitar abad Jagabayan Karanggetas, ke-15 Kelurahan panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon 2 Masjid Agung Kompleks tahun 1679 Kanoman Kraton Masehi Kanoman, Kelurahan Pekalipan, Kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon 4 Masjid At Jalan Kartini, Tahun 1918 Taqwa Kelurahan M Kejaksaan, Tahun 1951 Kecamatan di renovasi Kejaksaan, Tahun1963 Kota Cirebon diresmikan sebagai masjid 5 Masjid Gamel/ Jalan Sekh Sekitar abad Nurul Karomah Datu Kahfi, ke-17. Blok Kauman, Rehabilitasi Kelurahan I Gamel, Tahun 1995- Kecamatan 1996 Weru, Rehabilitasi Kabupaten I Cirebon. Tahun 1996- 1997

20

6 Masjid Gunung Kompleks Sekitar abad Sembung/ Sang Astana ke-15 Saka Ratu/ Dog Gunung Jumeneng Sembung Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon 7 Masjid Desa Sebelum Kaliwulu Kaliwulu, direhabilitasi Kecamatan tahun 1826 Weru, Masehi. Kabupaten Cirebon

8 Masjid Megu Desa Megu sekitar abad Gede/ Kramat Gede, ke-14/15 Ki Megu Gede Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebo

9 Masjid Merah Kelurahan tahun 1480 Panjunan/Abang Panjunan, Masehi Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon

10 Masjid Kampung Sitti tahun 1450 Pejaglarahan Mulya, Masehi Kelurahan kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon 11 Masjid Kelurahan Pesalakan Pesalakan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon

21

12 Masjid Sang Jalan Keraton tahun 1480 Cipta Rasa Kasepuhan, Masehi Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon 13 Masjid Trusmi Kampung tahun 1481 Dalem, M Kelurahan Trusmi Wetan, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon 14 Masjid Kramat Desa Depok, Depok/ Al- Kecamatan Karomah Depok, Kabupaten Cirebon

15 Masjid Buntet Kompleks Sekitar Buntet tahun 1758 Pesantren, M Kecamatan Mertapada Kulon, Kabupaten Cirebon

Sejarah Masjid-Masjid di Cirebon

Pada pada kejayaan Kerajaan Cerbon, yaitu abad ke-15 hingga abad ke-18, Cirebon dikenal sebagai pusat penyebaran dan perkembangan agama Islam terutama untuk wilayah Jawa Barat dan sekitarnya. Oleh sebab itu pada wilayah ini banyak terdapat masjid- masjid yang berusia lebih dari 5 (lima) abad, dan beberapa masjid tersebut bahkan ada yang berdiri sebelum adanya kerajaan Cirebon. Masjid-masjid tua tersebut berjumlah lebih dari 13 masjid, yang sejarah berdirinya seperti diungkapkan dibawah ini:

1. Masjid Jagabayan, Masjid ini terletak di Kota Cirebon, tepatnya di Jalan Karanggetas, Kelurahan panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kotamadya Cirebon. Masjid ini berukuran 8,5 x 6 meter

22 persegi (Nugroho, 20121). Posisi masjid berada diantara pertokoan, jalan raya, dan pemukiman. Pada awalnya masjid Jagabayan ini merupakan pos jaga, yang berfungsi sebagi tempat pelaporan setiap pengunjung akan masuk ke area Kraton. Pada sekitar pos dibangun langgar dan sumur. Pos jaga ini didirikan pada sekitar 600 tahun yang lalu, yaitu pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah, Raja I Kerajaan Cerbon. Selnjutnya pada tahun 1972, langgar Jagabayan ini diresmikan menjadi masjid oleh Pemerintah Kota Cirebon. Kata Jagabayan itu sendiri berasal dari nama Pangeran Jagabayan, utusan Pabu Siliwangi dari Kerajaan Pakuan-Pajajaran, yang kemudian menetap di Cirebon (Nugroho, 20122). Dilain pihak Jagabayan memiliki arti „jaga bahaya‟, yaitu menjaga tamu yang akan masuk ke wilayah Kraton.

2. Masjid (Langgar) Masjid ini merupakan bagian dari kompleks Kraton Kanoman, yang terletak di Kelurahan Pekalipan, Kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon, tepatnya di sebelah timur kompleks Keraton. Adapun masjid ini didirikan pada tahun 1930 oleh Sultan Zurkanain dan Sultan Nurbuat atas prakasa Belanda.

Masjid Kraton Kanoman ini hampir berbentuk bujur sangkar, yaitu 6 x 8 meter persegi. Selain sebagai tempat ibadah, pada waktu aritual Maulid Nabi, masjid ini sebagai tempat upacara pencucian benda-benda pusaka Kraton Kanoman, dan upacara Panjang Jimat.

3. Masjid Agung Kanoman Masjid ini terletak di luar kompleks Kraton Kanoman, tepatnya di sebelah timur alun-alun, yang berlokasi di Kelurahan Pekalipan, Kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon. Masjid ini dibangun pada tahun 1679 Masehi, tidak lama setelahKraton Kanoman didirikan oleh Sultan Kanoman I atau Pangeran Badridin atau Pangeran Kertawijaya. Adapun luas masjid ini sekitar 1000 meter persegi

1Nugroho, YA. 2012. Mustaka pada Bangunan Islam Kuno di Cirebon. Depok: Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (skripsi) 2Nugroho, YA. 2012. Mustaka pada Bangunan Islam Kuno di Cirebon. Depok: Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (skripsi) 23

4. Masjid At-Taqwa Pada awalnya Masjid At-Taqwa berupa tajug agung atau mushalla yang didirikan pada tahun 1918 Masehi oleh pemerintah Belanda di Jalan Kartini, Kelurahan Kejaksaan, Kecamatan Kejaksaan, Kota Cirebon. Selanjutnya pada tahun 1951 atas prakarsa RM. Arhtha, Kepala Koordinator Urusan Agama Kota Cirebon direnovasi untuk memperbaiki arah kiblatnya yang dianggap kurang tepat. Pada tahun 1963 tajug agung ini resmi bernama Masjid At Taqwa. Keseluruhan lahan kompleks masjid ini berukuran 8000 meter persegi dengan bangunan masjid seluas 5000 meter persegi yang dapat menampung 20.000 jamaah.

5. Masjid Gamel (sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2012/01/03/masjid-tua-gamel-cirebon- 426991.html) Masjid Gamel atau Masjid Sir Budi Rasa, atau disebut juga Masjid Nurul Karomah terletak di Jalan Sekh Datu Kahfi, Blok Kauman, Kelurahan Gamel, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. Posisi masjid berada di tengah pemukiman penduduk yang berbatasan dengan Kali Cikananga. Berdasarkan inskripsi huruf palawa pada tiangnya, Masjid Gamel didirikan pada abad ke-17 Masehi oleh Ki Buyut Gamel. Bangunan asli Masjid Gamel berukuran 9 x 9 meter persegi. Pada tahun 1960 luas bangunan bertambah di bagian serambi. Selanjutnya masjid ini telah direhabilitasi sebanyak dua kali yaitu pada tahun 1995-1996 oleh Suaka peninggalan Sejarah dan Purbakala Wilayah Propinsi Jawa Barat, DKI , dan Lampung, sedangkan pada tahun 1996-1997 oleh masyarakat setempat.

Sejarah masjid ini lebih dikenal dengan sebutan Masjid Gamel karen terletak di Desa Gamel. Pada awalnya desa ini merupakan wilayah yang bernama Kedokan, kemudian berubah menjadi Desa Maja, dan selanjutnya berubah menjadi Desa Gamel setelah Ki Suradinata, utusan Sultan Kanoman, membawa hadiah dari Sultan Mataram III ke desanya. Keunikan gamelan ini karena cara membawanya dengan cara ditusuk dan dipikul menggunakan batang padidian (sejenis kayu untuk memancing).

6. Masjid Sang Saka Ratu / Dog Jumeneng (Gunung Sembung) Masjid ini merupakan bagian dari kompleks Astana Gunung Sembung, kompleks makam Syekh Syarif Hidayatullah atau beserta turunannya. Terletak di Desa

24

Astana, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon. Masjid ini didirikan tidak lama setelah Astana gunungjati dibangun, yaitu sekitar abad ke-15 (Tahun 1470 Masehi).

Nama Dog jumeneng berasal adari dog yang memiliki arti „anteng‟ (bahasa Jawa) atau „tenang‟, sedangkan jumeneng berarti „menjadi diri sendiri dengan kesejatian insani‟, sehingga dog jumeneng mengandung makna dalam memperoleh keagungan tertinggi dilakukan oleh diri sendiri dengan jiwa yang tenang dan istiqomah.

7. Masjid Kaliwulu Masjid Kaliwulu terletak pada Desa Kaliwulu, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon pada lahan seluas 350 meter persegi. Tahun berdirinya masjid ini tidak diketahui secara jelas, akan tetapi berdasarkan inkripsi yang tertatah di bagian atas pintu masuk masjid, diketahui bahwa masjid ini pernah diperbaiki pada tahun 1227 Hijriah atau 1826 Masehi, sehingga dapat diprediksi bahwa masjid ini telah berdiri lebih dari 188 tahun.

Berdasarkan cerita legenda pertama kali masjid ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati, yaitu pada perjalanannya menuju Galuh. Saat itu telah masuk waktu shalat sehingga Sunan berhenti di tepi sungai untuk berwudhu dan menunaikan shalat. Selanjutnya tempat dimana Sunan berhenti dibangun masjid, dan kemudian sekitar masjid berkembang menjadi Desa Kaliwulu. Adapun asal kata Kaliwulu berasal dari „kali’ dan „wulu’ atau wudhu‟.

8. Masjid Megu Gede Masjid Megu Gede yang biasa disebut juga masjid Kramat Ki Megu Gede berada di Desa Megu Gede, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. Bangunan masjid ini didirikan pada sekitar abad ke-14/15 oleh Ki Buyut Atas Angin, panglima perang Kerajaan Pajajaran. Ki Buyut Atas Angin ini menetap di daerah Megu setelah kalah saat tanding dengan Pangeran Cakrabuana, dan memeluk Agama Islam (Nugroho, 2012).

Posisi Kompleks masjid ini berada ditengah-tengah pemukiman penduduk, dengan ukuran 40 x 28 meter persegi. Kompleks ini terdiri dari beberapa bangunan, yang semuanya berfungsi menunjang kegiatan masjid.

9. Masjid Merah Panjunan Masjid Merah Panjunan atau dikenal juga dengan sebutan Masjid abang berada di Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kotamadya Cirebon. Posisi masjid berada ditengah pemukiman penduduk, dan tidak jauh dari Kraton Kasepuhan dan Kraton 25

Kanoman. Luas masjid ini berukuran 80 x 125 meter persegi, dengan ruang utama seluas 7 x 10 meter persegi.

Pada awal masjid ini berupa tajug atau mushala yang bernama Al-Athya. Mushala ini didirikan pada tahun 1480 Masehi oleh Syarif Abdurahman atau Pangeran Panjunan Pangeran Panjunan, seorang pemimpin rombongan Arab yang datang ke Cirebon, dan kemudian berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Mushalla ini berfungsi sebagai tempat bertemunya pada pedagang dari berbagai suku banngsa. Melihat perkembangan tersebut, maka pada tahun 1549 Masehi mushalla diperluas menjadi masjid oleh Panembahan Ratu (Raja II Kerajaan Cerbon). Pembangunan masjid menggunakan gaya arsitektur Hindu-Budha, dengan pagar keliling berupa tumpukan bata merah (tembikar atau jun) yang diekspos. Oleh sebab itu masjid ini kemudian lebih dikenal sebagai masjid merah Panjunan

10. Masjid Pejlagrahan Masjid Pejlagrahan merupakan masjid pertama yang didirikan di Kota Cirebon, letaknya di Kampung Sitti Mulya, Kelurahan kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kotamadya Cirebon. Posisi masjid berada di tengah pemukiman magersari Kraton Kasepuhan. Tidak diketahui dengan pasti kapan Masjid ini didirikan, akan tetapi berdasarkan cerita legenda, masjid ini didirikan tidak lama setelah Kraton Pakungwati dibangun pada tahun 1450 Masehi. Masjid ini berukuran 5,25 x 6,80 meter persegi..

Awalnya masjid ini sebagai tempat pertemuan dan musyawarah para alim ulama dan tokoh Agama Islam pada saat itu, sebelum mereka membangun Masjid Sang Cipta Rasa. Letak masjid pada awalnya berada diatas air, sehingga disebut sebagai bangunan di atas air (jala- graha yang artinya rumah di atas laut).

11. Masjid Pesalakan Masjid ini terletak di Kelurahan Pesalakan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon. Posisi masjid ini berada di tengah-tengah pemukiman warga desa. Waktu pembangunan masjid tidak diketahui, konon masjid ini dibangun sebelum Masjid Sang Cipta Rasa oleh Habib Syarif Abdurahman al-Usmani atau Habib Usman al Usmani.

Berdasarkan legenda, pada awalnya masjid ini terletak di sebelah timur sungai yang membentang desa Pesalakan, tepatnya disebelah timur „Balong Kramat‟ yang berfungsi

26 sebagai tempat wudhu‟, akan tetapi setelah dipertimbangkan bahwa bahwa balong tersebut juga sebagai tempat buang hajat, kemudian masjid dipindahkan menjauh dari balong.

12. Masjid Sang Cipta Rasa Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun oleh pada wali pada tahun 1480 Masehi. Adapun arsitek masjid ini yaitu Sunan Kalijaga dan Raden Sepat dari Majapahit. Saat pembangunannya masjid ini melibatkan sekitar 500 orang.

Lokasi masjid berada jalan , Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kotamadya Cirebon. tepatnya sebelah barat alun-alun, di depan Kraton Kasepuhan. Nama masjid ini terdiri dari kata „sang‟ yang berartikan keagungan, „cipta‟ yang artinya dibangun, dan „rasa‟ yang artinya digunakan.

Total luas Kompleks Masjid Sang Cipta Rasa berukuran 25 x 25 meter persegi, terdiri dari bangunan utama dan serambi yang mengelilingi bangunan aslinya. Bangunan masjid itu sendiri telah mengalami beberapa penambahan dan renovasi, yaitu pada tahun 1936-1937, 1957, 1965-1967, 1976-1978, dan terakhir tahun 19913

13. Masjid Trusmi Masjid trusmi merupakan bagian bangunan Kompleks Ki Buyut trusmi, terletak di Kampung Dalem, Kelurahan Trusmi Wetan, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. Adapun luas bangunan masjid itu sendiri yaitu 12 x 7 meter persegi. Kompleks Masjid ini berada di tengah-tengah pemukiman penduduk. Pada kompleks masjid ini terdapat pemakaman, sumur dan balong, yang oleh masyarakat setempat dikramatkan.

Masjid ini didirikan pada tahun 1481 M oleh Pangeran Cakrabuwana (Ki Buyut Trusmi), anak pertama Prabu Siliwangi, yang menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Cirebon pada saat itu. Trusmi itu sendiri berasal dari istilah „terus bersemi‟. Istilah ini muncul konon berdasarkan cerita legenda, yaitu berdasarkan kejadian dimana setiap tanaman yang dirusak oleh Bung Cikal secara otomatis akan tumbuh kembali. Bung Cikal atau Pangeran Manggarajati adalah anak dari Pangeran Carbon Girang, yang kemudian diangkat anak oleh Syekh Syarif Hidayatullah.

3Sudjana, TD. 2003. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Muatan Mistiknya. Bandung: Humaniora Utama Press. 27

14. Masjid Kramat Depok Masjid Al-Karomah yang lebih dikenal dengan nama Masjid Kramat Depok, berada di Desa Depok, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon. Dipercaya bahwa masjid ini memiliki karomah, karena letak mihrabnya yang menjorok ke arah sungai tidak rubuh walaupun terkena terpaan aliran air saat meluap atau banjir. Masjid ini dibangun pada awal abad ke-15 Masehi oleh para ulama sebelum Sunan Gunungjati.

15.Masjid Buntet Masjid ini ini didirikan pada sekitar tahun 1758 M oleh Mbah Muqoyyim, turunan keluarga Kesultanan Kasepuhan. Lokasi masjid terletak di Jalan Buntet Pesantren, Kecamatan Mertapada Kulon, Kabupaten Cirebon. Pada awalnya bangunan masjid hanya berukuran 8 x 12 meter persegi. Bangunan masjid ini seusia dengan masjid Kanoman, sehingga bentuk masjid memiliki kemiripan.

Kondisi Kota Cirebon

Cirebon merupakan Daerah Pengembangan Wilayah III Jawa Barat, yang meliputi: Wilayah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning) . Wilayah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, adalah Eks-Karesidenan Cirebon yang merupakan bagian paling timur dari wilayah Provinsi Jawa Barat di Indonesia. Pada awalnya, wilayah ini termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Cireboni, akan tetapi setalah pemerintah kolonial Belanda masuk dibawah pimpinan Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808 M), wilayah ini menjadi salah satu wilayah administrasi yang berbentuk Prefectur. Kemudian pada tahun 1809, istilah Prefectur diganti menjadi Landdrostambten, dimana Ciayumajakuning pada masa itu termasuk dalam Landdrostambt der Cheribonche Preanger - Regentschappen yang terdiri dari Kesultanan Cirebon, Limbangan, Sukapura, dan Galuh. Pada masa ini kedudukan Bupati dan Sultan Cirebon berada dibawah pengawasan Landdsrostii. Selanjutnya pada masa pemerintahan Raffles (1811 M) istilah Landdrostambten berganti lagi menjadi Residen. Selanjutnya pada tahun 1922, Karesidenan Cirebon dibagi atas 2 (dua) Afdelingiii, 4 (empat) Kabupaten, 20 Distrik, dan 1206 Desa. Di masa kekuasaan kolonial Jepang, pada tahun 1943 M, Karesidenan Cirebon menjadi Syuu Cirebon dibawah pimpinan Syutyokan. Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1974, Karesidenan tidak lagi menjadi daerah administrasi, dan residen hanya berfungsi sebagai penghubung antara Gubernur dan Bupati/Walikota untuk urusan pertanahan, perangkat pemerintahan wilayah 28 dan desa, dan catatan sipil. Selanjutnya pada tahun 2007 terjadi reorganisasi Karesidenan ini menjadi wilayah dibawah Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah III Provinsi Jawa Barativ Wilayah Cirebon terletak pada 108o33‟ - 108o48‟ BT dan 6°30‟– 7°00‟ LS. Luas wilayahnya sebesar 1.108,41 km2 (Kota Cirebon 37.36 Km2 dan Kabupaten Cirebon 1.071,05 km2), mencakup 45 Kecamatan dan 434 Kelurahan (Error! Reference source not found.). Wilayah ini memiliki batas administrasi sebagai berikut:  Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Indramayu.  Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Brebes.  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kuningan.  Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Majalengka

Peta Wilayah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka &

Gambar V-1. Posisi Wilayah Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon

Secara umum wilayah Cirebon terbagi dua bagian, yaitu kawasan utara hingga timur dan kawasan selatan hingga barat. Kawasan utara hingga timur wilayah ini merupakan daerah pantai dan dataran rendah, sedangkan kawasan selatan hingga barat merupakan dataran tinggi pegunungan yang berbukit-bukit dengan puncaknya berupa kaki Gunung Ciremai 29

(3084 m dpl). Adapun sebagian besar lahan Cirebon mengandung endapan vulkanis, untuk itu sebagian besar wilayah ini digunakan sebagai lahan pertanianv.

Tabel V-2. Jumlah Kecamatan, Kelurahan dan Desa Wilayah Ciayumajakuning Tahun 2012

No. Kabupaten/Kota Jumlah Jumlah Kelurahan & Kecamatan Desa 1. Kota Cirebon 5 22 2. Kabupaten Cirebon 40 412 Jumlah 45 434 Sumber: Provinsi Jawa Baratvi

Tabel V-3. Kondisi Geografi dan Topografi Wilayah Ciayumajakuning

No. Kabupaten/Kota Luas Ketinggian Kemiringan Lahan Wilayah mdpl (%) (Km²) 1. Kota Cirebon 37,33 0-5 0-40 % 2. Kabupaten Cirebon 990,32 0-200 0-40 %

 78,43 % luas wilayah: kemiringan 0-3% Sumber: Bappeda Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon (antara Tahun 2010 hingga Tahun 2013)

Wilayah Cirebon memiliki iklim yang cukup bervariasi, yaitu suhu terendah dan dan kelembaban tertinggi di kawasan pegunungan, serta suhu tertinggi dengan kelembaban terendah di kawasan pesisir. Curah hujan, curah hujan tertinggi ada di wilayah pegunungan, dan curah Hujan terendah ada di wilayah pesisir, yaitu Kota Cirebon, dan bagian utaraKabupaten Cirebon .

30

Tabel V-4. Kondisi Iklim Wilayah Ciayumajakuning

No. Kabupaten/Kota Suhu Kelembaban Curah Jumlah Rata-rata Rata-rata Hujan hari hujan mm/tahun 1. Kota Cirebon 22,3-33 ºC 48-93 % 1.351 155 hari/th 2. Kabupaten Cirebon 24-33 ºC 56,06 % 1500-4000 Sumber: Bappeda Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, (antara Tahun 2010 hingga Tahun 2013)

Pada Tahun 2011 jumlah penduduk wilayah Cirebon dapat dilihat pada Error! Reference source not found., yang mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani.

Tabel V-5. Kondisi Demografi Wilayah Ciayumajakuning.

No. Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 1. Kota Cirebon 329.669 8831 2. Kabupaten Cirebon 2.388.562 2412 Sumber: Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah III Provinsi Jawa Barat (2009)vii; Database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2011viii

31

Gambar V-2. Suasana Kraton Kasepuhan dan Kawasan Sekitarnya Sumber: Rosmalia (2014)

Gambar V-3. Suasana Kraton Kanoman dan Kawasan Sekitarnya Sumber: Rosmalia (2014)

32

Gambar V-4. Suasana dan Kawasan Sekitarnya Sumber: Rosmalia (2014)

Gambar V-5. Suasana Kraton Kaprabonan dan Kawasan Sekitarnya Sumber: Rosmalia (2014)

33

Gambar V-6. Suasana Kota Cirebon (Stasiun Kejaksaan, Jalan Gunung Sahari, Pelabuhan, Pesisir Cangkol, Sungai Kasunean, Siliwangi) Sumber: Rosmalia (2014)

34

Sistem Sirkulasi

Jalan sirkulasi yang ada di Kota Cirebon, cukup menunjang sarana kota, tetapi memang, kondisi pasar dan keramaian warga seringkali menghambat kelancaran sirkulasi.

Gambar V-7. Suasana Kabupaten Cirebon (sekitar kompleks pemakaman Talun, Mertasinga, Sungai Bondet, Desa Cangkring) Sumber: Rosmalia (2014)

35

Karakter Spasial Kota dan Kawasan Wisata

1. Karakter Jalan

Gambar V-8. Peta Jalan wilayah Cirebon dan sekitarnya

Gambar V-9. Suasana Kota Cirebon Sumber: Rosmalia (2013)

Kondisi jalan di Kota dan sekitar Cirebon cukup baik. Lebar jalan di pusat kota, rata-rata antara 12 sampai 18 meter, sedangkan jalan menuju masjid sekitar 4 hingga 6 meter. Pada umumnya jalan-jalan tersebut dapat dilalui kendaraan dari dua arah. Kualitas jalan cukup

36 baik, sebagian besar (>70%) telah di aspal, tetapi beberapa ada juga yang menggunakan benton. Kondisi jalan cukup terawat.

Gambar V-10. Jalan RA. Kartini di Kota Cirebon (Kiri); Jalan Kraton Kasepuhan menuju Masjid Sang Cipta Rasa (Kanan) Sumber: Rosmalia (2013)

Pada jalan-jalan tertentu, kondisi lalu lantas cukup padat, sehingga Dinas Perhubungan baik di Kota Cirebon maupun di Kabupaten Cirebon memberlakukan kondisi lalu lintas satu arah. Gambar dibawah ini menunjukan jalur satu arah disekitar Masjid Jagabayan.

37

Masjid Jagabayan

Gambar V-11. Peta jalur satu arah di Kota Cirebon.

2. Kondisi Sungai

Hampir 90 persen sungai di Kota dan Kabupaten Cirebon sudah di atas ambang batas kotor. Ketidakpedulian masyarakat memperparah kondisi sungai saat ini. Tingkat kekotoran sungai tersebut bisa dilihat dari tumpukan sampah yang menumpuk di beberapa titik sungai. Air yang tidak mengalir dan endapan lumpur yang tebal menyebabkan air sungai tidak mengalir termasuk menimbulkan bau tidak sedap yang berasal dari sungai. Kota Cirebon dikelilingi oleh sejumlah sungai. Salah satunya, Sungai Sukakalila yang membelah Kota Cirebon.

38

Gambar V-12. Peta posisi sungai

39

3. Pola Tata Letak

Gambar V-13. Peta Posisi Masjid di Cirebon

40

Masjid-masjid yang dikunjungi para wisatawan reliji ini tersebar di wilayah pesisir Cirebon (Gambar 18). Pengaruh Cirebon sebagai bandar perdagangan, bagian dari jalur sutra pada masa pembangunannya (abad ke-15-18), mempengaruhi tata letak masjid- masjid ini. Para pengguna masjid pada masa itu pada umumnya merupakan pedagang yang datang ke Cirebon melalui jalur laut. Jarak antar masjid satu dengan lainnya tidak terlalu jauh, sekitar 1 hingga 2 km untuk yang didalam Kota Cirebon, dan sekitar 5 hingga 30 km untuk masjid yang berada di Kabupaten Cirebon. Dari letak masjid ini dapat disimpulkan bahwa masjid-masjid tersebut didirikan disesuaikan dengan waktu perjalanan seseorang dari pesisir ka pedalaman, dimana pada saat waktu shalat tiba mereka dapat shalat dan beristirahat di masjid tersebut.

Gambar V-14. Posisi Masjid-Masjid Sumber: Hasil analisis (2014)

41

Pemanfaatan Lahan di Wilayah Cirebon

Gambar V-15. Peta Pemanfaatan Lahan di wilayah Cirebon 42

Elemen Non Fisik

Tabel V-6. Daftar Asal Pengunjung di Masjid

Rata-Rata No Nama Masjid Jumlah Rata-Rata Asal Pendatang Pengunjung/bulan 1. Masjid Jagabayan 200 Cirebon, Indramayu, Majalengka Kuningan 2. Masjid Kanoman 100 Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Jakarta, Bekasi, Bogor 3. Masjid At Taqwa 200 Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu 4. Masjid Gamel 50 Cirebon, Indramayu, Majalengka Kuningan 5. Masjid Gunung Jati 1000 Cirebon, Kuningan, Indramayu, Majalengka, Jabodetabek, Bandung, Jawa Tengah, Jawa Timur, , 6. Masjid Kaliwulu 100 Cirebon, Bandung, Jakarta, Subang 7. Masjid Megu 50 Cirebon, Indramayu, Majalengka Kuningan 8. Masjid Merah Panjunan 100 Cirebon, Indramayu, Majalengka Kuningan 9. Masjid Pejaglarahan 20 Cirebon 10. Masjid Pesalakan 100 Cirebon, Jakarta, Garut, Sumatra, Jawa Timur, Jawa Tengah 11. Masjid Sang Cipta Rasa 400 Cirebon, Majalengka, Kuningan, Indramayu, Jakarta, Bandung, Subang, Jawa Tegah, Jawa Timur. 12. Masjid Trusmi 200 Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, Karawang, Subang, Jakarta, Bandung, Sumatra

43

Lama Kunjungan Wisatawan dan Biaya yang dikeluarkan

Tabel V-7. Lama Kunjungan dan Biaya yang dikeluarkan Wisatawan

No Nama Masjid Rata-Rata Jumlah Hari Rata-Rata Biaya

1. Masjid Jagabayan 1-2 20.000-50.000 2. Masjid Kanoman 1 50.000- 100.000 3. Masjid At Taqwa 1 < 50.000 4. Masjid Gamel 1 <50.000 5. Masjid Gunung Jati 1-30 200.000-500.000 6. Masjid Kaliwulu 1 < 50.000 7. Masjid Megu 1 < 50.000 8. Masjid Merah Panjunan 1 < 50.000 9. Masjid Pejaglarahan 1 < 100.000 10. Masjid Pesalakan 1-2 < 400.000 11. Masjid Sang Cipta Rasa 1-2 < 200.000 12. Masjid Trusmi 2-30 < 300.000

Waktu Ritual

Tabel V-8. Waktu dan Lama Ritual

Lamanya Waktu No Nama Masjid Waktu/ Momen Ritual Ibadah Tiap Kedatangan Sore, malam- kliwonan 1-5 jam 1. Masjid Jagabayan (dzikir, tahlil, sodaqoh) Sore, malam – kliwonan < 10 jam 2. Masjid Kanoman ritual (dzikir, tahlil) 3. Masjid At Taqwa Tiap waktu solat < 2 jam 4. Masjid Gamel Kliwonan < 2 jam Kliwonan, Muludan, < 15 jam 5. Masjid Gunung Jati Syawalan 6. Masjid Kaliwulu Kliwonan < 5 jam 7. Masjid Megu Kliwonan < 1 jam 8. Masjid Merah Panjunan Dini hari Kliwonan < 3 jam 9. Masjid Pejaglarahan Kliwonan < 2 jam 10. Masjid Pesalakan Kliwonan < 15 jam 11. Masjid Sang Cipta Rasa Kliwonan < 15 jam 12. Masjid Trusmi Kliwonan <15 jam 44

Kebutuhan Selama Ibadah

Tabel V-9. Sarana dan Prasarana Wisata yang dibutuhkan

No Nama Masjid Akomodasi Transportasi Logistik 1. Masjid Jagabayan Sepeda motor, mobil 2. Masjid Kanoman Menginap di Mobil, sepeda Membawa bekal Masjid motor, angkutan makanan umum 3. Masjid At Taqwa Mobil , sepeda motor 4. Masjid Gamel Mobil, sepeda motor 5. Masjid Gunung Menginap di Mobil, sepeda Membawa bekal Jati Masjid motor, angkutan makanan, mendapat umum, kereta jatah makan dari pengurus masjid, membeli makanan di sekitar masjid 6. Masjid Kaliwulu Menginap di Sepeda motor, mobil Membawa bekal masjid makanan 7. Masji d Megu Sepeda motor, mobil 8. Masjid Merah Mobil, angkutan Panjunan umum, sepeda motor. 9. Masjid Mobil, sepeda Pejaglarahan motor, angkutan umum 10. Masjid Pesalakan Menginap di Mobil, sepeda Membawa bekal masjid motor, kereta makanan, membeli makanan di sekitar masjid 11. Masjid Sang Meginap di Mobil, sepeda Membawa bekal Cipta Rasa masjid motor, angkutan makanan, membeli umum makanan di sekitar masjid 12. Masjid Trusmi Menginap di Mobil, angkutan Membawa bekal dari masjid umum masjid, mendapat jatah makanan dari pengurus masjid, membeli makanan di sekitar masjid

45

Keluhan Selama Proses Ibadah

Tabel V-10. Keluhan Wisatawan Selama Ritual

No Nama Masjid Jenis Keluhan 1. Masjid Jagabayan Fenomena pengemis 2. Masjid Kanoman Akses jalan menuju masjid tertutup pasar 3. Masjid At Taqwa Tidak ada permasalahan berarti 4. Masjid Gamel Kualitas jalan menuju kurang memadai Fenomena pengemis, dan tarif masuk yang tidak 5. Masjid Gunung Jati paten 6. Masjid Kaliwulu Tidak ada permasalahan berarti 7. Masjid Megu Fenomena pengemis 8. Masjid Merah Panjunan Tempat parkir yang terbatas Lokasi yang sulit dijangkau, karena berada di 9. Masjid Pejaglarahan pemukiman warga yang padat Kulaitas akses menuju lokasi masjid kurang 10. Masjid Pesalakan memadai 11. Masjid Sang Cipta Rasa Tidak ada permasalahan berarti 12. Masjid Trusmi Tidak ada permasalahan berarti

46

Kegiatan Ibadah dan Ritual

Tabel V-11. Jenis Ritual

Kegiatan: RITUAL IBADAH Kegiatan: RITUAL TRADISI Keterangan3 Shalat 5 Shalat Shalat Pengajian Kliwonan Muludan Grebeg 1 Suro/1 MASJID Waktu Jumat Ied Rutin Muharam Berjamaah warga 1. Waktu kegiatan Setiap Setiap Setiap Setiap Setiap Setiap Setiap waktu minggu Tahun bulan tahun tahun tahun shalat 1. Masjid Ada, Biasa Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Tidak ada Ada, Biasa Jagabayan Biasa Ramai Ramai Biasa 2. Masjid Agung Ada, Biasa Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Tidak ada Ada, Biasa Kanoman Biasa Ramai Biasa Biasa 3. Masjid At Ada, Ramai Ada, Ada, Ada Tidak ada Ada, Tidak ada Ada, Sebelumdirenovasi, masjid Taqwa Ramai Ramai Ramai Ramai ini merupakan masjid tua yang juga dikramatkan oleh warga Cirebon. 4. Masjid Gamel/ Ada, Sepi Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Tidak ada Ada, Biasa Nurul Karomah Biasa Ramai Biasa Biasa 5. Masjid Gunung Ada, Sepi Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Ada, Ada, Pada lokasi ini terdapat Sembung/ Sang Biasa Ramai Ramai Ramai Ramai Ramai makam para Raja Saka Ratu/ Dog Kerajaan Cirebon, dan Jumeneng merupakan pusat kegiatan ritual budaya terkait Kraton Cirebon

47

Kegiatan: RITUAL IBADAH Kegiatan: RITUAL TRADISI Keterangan3 Shalat 5 Shalat Shalat Pengajian Kliwonan Muludan Grebeg 1 Suro/1 MASJID Waktu Jumat Ied Rutin Muharam Berjamaah warga 6. Masjid Kaliwulu Ada, Sepi Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Tidak ada Ada, Biasa Biasa Ramai Biasa Biasa 7. Masjid Megu Ada, Sepi Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Tidak ada Ada, Biasa Gede/ Kramat Biasa Ramai Biasa Biasa Ki Megu Gede 8. Masjid Merah Ada, Sepi Ada, Tidak ada Tidak ada Ada, Ada, Tidak ada Ada, Biasa Panjunan/Abang Biasa Biasa Biasa 9. Masjid Ada, Sepi Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Tidak ada Ada, Biasa Masjid pertama di Pejaglarahan Biasa Ramai Biasa Biasa Cirebon 10. Masjid Ada, Sepi Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Tidak ada Ada, Biasa Pesalakan Biasa Ramai Biasa Biasa 11. Masjid Sang Ada, Ramai Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Ada Ada, Menjadi Pusat Cipta Rasa Ramai Ramai Ramai Ramai Ramai Ramai penyebaran dan pengembangan Agama Islam utk wilayah jawa Barat dan sekitarnya pada Abad ke-5 s/d 18 12. Masjid Trusmi Ada, Sepi Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Tidak ada Ada, Biasa Kompleks Ki Buyut Biasa Ramai Ramai Ramai Trusmi telah ada sebelum abad ke-5. 13. Masjid Kramat Ada, Sepi Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Tidak ada Ada, Biasa Depok/ Al- Biasa Ramai Biasa Biasa Karomah

48

Kegiatan: RITUAL IBADAH Kegiatan: RITUAL TRADISI Keterangan3 Shalat 5 Shalat Shalat Pengajian Kliwonan Muludan Grebeg 1 Suro/1 MASJID Waktu Jumat Ied Rutin Muharam Berjamaah warga 14. Masjid Buntet Ada, Ramai Ada, Ada, Tidak ada Ada, Ada, Tidak ada Ada, Biasa Pesantren Buntet adl. Ramai Ramai Biasa Ramai pesantren terbesar di Wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan Kategori: 1. Penyelenggaraan Kegiatan : Ada/Tidak ada 2. Suasana Kegiatan : Ramai/biasa/Sepi 3. Keterangan : keunikan/kekhususan yang berbeda dengan yang ada dimesjid lainnya Kegiatan Ziarah Tabel V-12. Suasana Ritual Ziarah Makam MASJID Kegiatan: ZIARAH MAKAM Ada makam Situasi Ziarah 1. Masjid Jagabayan Tidak ada makam Ramai 2. Masjid Agung Kanoman Tidak ada makam - 3. Masjid At Taqwa Tidak ada makam - 4. Masjid Gamel/ Nurul Karomah Ada makam Ramai 5. Masjid Gunung Sembung/ Sang Saka Ratu/ Dog Jumeneng Ada makam Sangat ramai 6. Masjid Kaliwulu Ada makam Ramai 7. Masjid Megu Gede/ Kramat Ki Megu Gede Ada makam Ramai 8. Masjid Merah Panjunan/Abang Ada makam Ramai 9. Masjid Pejaglarahan Tidak ada makam - 10. Masjid Pesalakan Ada makam Ramai 11. Masjid Sang Cipta Rasa Tidak ada makam - 12. Masjid Trusmi Ada makam Ramai 13. Masjid Kramat Depok/ Al-Karomah Ada makam Ramai 14. Masjid Buntet Ada makam Ramai 49

Pola Aktivitas Wisata Reliji

Adapun aktivitas yang dilakukan seseorang saat melakukan wisata reliji adalah sebagai berikut: a. Kegiatan ritual ibadah di Masjid b. Kegiatan ziarah ke situs kramat c. Kegiatan ziarah ke makam Wali, tokoh, dan orang suci (aulia) d. Kegiatan kuliner e. Kegiatan wisata belanja

Kegiatan tersebut biasanya dilakukan bersama-sama dengan kerabat, rekan pengajian, ataupun anggota keluarga. Lama rata-rata wisata religi ini antara satu hingga dua hari, tetapi ada juga yang hingga 30 hari, tergantung kepentingan dari pengunjung.

Pergerakan Wisata Reliji

Para pengunjung pada umumnya tidak hanya mendatangi satu lokasi masjid saja, tetapi juga ke masjid-masjid lainnya yang lainnya yang dianggap penting untuk mereka kunjungi. Ada beberapa masjid utama yang harus mereka kunjungi pada saat wisata religi ini yaitu Masjid Gunung Sembung/Sang Saka Ratu/Dog Jumeneng, Masjid Sang Cipta Rasa, dan Masjid Trusmi. Masjid ini dianggap penting oleh pengunjung karena terkait dengan tokoh yang mendirikan masjid-masjid tersebut.

Masjid Sang Cipta Rasa yang didirikan oleh para Wali penyebar agama Islam. Adapun masjid Gunung Sembung merupakan masjid yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati, dan juga dilokasi ini juga terdapat makam para Sultan Kraton Cirebon, sedangkan Masjid Trusmi sebagai masjid yang didirikan oleh Ki Buyut Trusmi, yaitu Raja pertama Kerajaan Cirebon.

50

Gambar V-16. Pergerakan Pengunjung berdasarkan Posisi Tujuan Wisata

51

Makna Masjid Bagi Masyarakat Cirebon dan Pendatang

Masjid bagi masyarakat Cirebon merupakan bangunan yang menjadi tujuan kedatangan di Cirebon. Sebagai bagian dari penyebaran agama Islam di Indonesia, minat masyarakat begitu tinggi. Adapun makna-makna dapat terbagi sebagai berikut:

PERAN MAKNA BAGI MAKNA BAGI MASYARAKAT PENDATANG CIREBON Peran ibadah Masjid menjadi tempat Masjid menjadi tujuan ibadah wisata reliji Peran ekonomi Masjid membantu Merupakan ajang yang peningkatan perekonomian dianggap sebagai zakat dan bahkan menjadi nafkah infaq bagi sesama. utama Peran sosial Menyatukan berbagai Menyatu dengan masyarakat elemen masyarakat terutama kota. Perbauran ini saat adanya kegiatan yang membawa lekatnya berkaitan dengan budaya. hubungan masyarakat dengan pendatang terutama pada penginapan dan MCK rakyat.

Secara diagram batang dapat digambarkan sebagai berikut:

100% 90% 80% 70% 60% 50% 40%

Prosentase 30% 20% 10% 0% sebagai sebagai tempat tempat tempat tempat tempat tempat salah satu yang yang keseimba supaya utk beribadah tujuan membuat membuat ngan mengetah bersosial wisata tenang kita dunia dan ui sejarah merefleksi akhirat diri Series1 44 32 9 3 4 3 5

Gambar V-17. Makna Masjid Bagi Pendatang

52

100% 90%

80% 70% 60% 50% 40%

Prosentase 30% 20% 10% 0% sebagai sebagai sebagai sebagai sebagai tempat tempat tempat tempat tempat tempat penting beribada tambaha bekerja beristirah yang bagi h n rejeki at mengand Cirebon ung nilai sejarah Series1 31 24 11 8 12 14

Gambar V-18Makna Masjid Bagi Masyarakat Cirebon

Potensi dan Kekuatan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji

Dari hasil analisis mengenai pemaknaan masjid oleh pengunjung dan masyarakat Cirebon bahwa masjid-masjid tersebut dapat dikategorikan berdasarkan (1) sejarah dari pendirian masjid tersebut, (2) tokoh pendiri masjid, dan (3) ritual yang yang diselenggarakan dimasjid tersebut.

53

Terlihat bahwa Masjid rusmi, Sang Cipta Rasa dan Gunung Sembung memiliki makna yang berbeda bagi pengunjung dan masyarakat Cirebon sehingga ketiga masjid ini menjadi daya tarik utama para wisatawan religi yang datang ke Cirebon. Pada umumnya perjalanan wisata religi mereka dimulai dari ketiga masjid ini sebelum menuju masjid-masjid lainnya.

Kelemahan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji

Minat yang besar dari pengunjung untuk berkunjung ke masjid-masjid di wilayah Cirebon ternyata memiliki beberapa kendala terutama pada infrastrukturnya. Beberapa lokasi masjid tidak didukung oleh infrastruktur yang mamadai. Tetapi ada juga lokasi-laokasi yang telah mencukupi terutama seperti dalam hal aksesibilitas, seperti menuju Masjid Sang Cipta Rasa dan Gunung Sembung, sedangkan menuju masjid-masjid lainnya walau beberpa memiliki prasarana jalan yang cukup memadai tetapi daya dukungnya kurang memenuhi, terutama disaat-saat diselenggarakan ritual-ritual. Kelemahan lainnya yang harus diperbaiki adalah perubahan image masjid yang pada umumnya berkesan kumuh, selain karena bangunan dan lingkunngan masjid yang kurang terawat, juga karena banyaknya pengemis yang meminta-minta terkadang cukup mengganggu sehingga membuat pengunjung menjadi tidak nyaman. Suasana yang mengganggu ini yang kemudian membuat nilai kesakralan masjid-masjid ini menjadi berkurang.

Tantangan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji

Berdasarkan kriteria penilaian dari World Heritage Center (2008), dimana kelayakan sebuah tempat dapat disebut sebagai tempat yang mengandung lanskap budaya, berdasarkan kriteria yang ada: 1) Merupakan hasil karya manusia yang jenius; 2) Menunjukan suatu persimpangan nilai-nilai manusia yang penting dalam suatu rentang waktu dalam suatu area budaya tertentu, yang di dalamnya mengandung unsur arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota dan disain lanskap; 3) Merupakan bukti keunikan yang luar biasa dari suatu tradisi budaya atau peradaban yang sudah hilang, maupun yang masih berlangsung hingga kini. 4) Merupakan gambaran yang luar biasa dari suatu permukiman tradisional, penggunaan lahan, sea use, dan semuanya merepresentasikan nilai-nilai kebudayaan yang

54

merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungan alaminya. Nilainya menjadi tinggi ketika kondisinya menjadi rentan terhadap dampak perubahan; 5) Mempunyai kaitan secara fisik dengan peristiwa, tradisi sehari-hari, gagasan, kepercayaan, karya seni dan sastra yang bernilai luar biasa; 6) Mengandung fenomena alam, atau keindahan alam dengan estetika sangat luar biasa; 7) Merupakan gambaran dari tahap perubahan sejarah bumi, rekaman kehidupan alam, proses geologi (sedang berlangsung), dan menjadi bagian dari perkembangan landform, atau geomorfik, atau fitur fisiografi; 8) Merupakan gambaran signifikan dari proses ekologis dan biologis yang sedang berlangsung (bagian dari proses evolusi) dalam perkembangan kehidupan komunitas (berupa tumbuhan dan hewan) di darat, air tawar, pesisir, maupun di laut; 9) Mengandung unsur-unsur habitat alam yang penting dan signifikan untuk di konservasi (in-situ biodiversity), termasuk di dalamnya spesies yang terancam punah (dilihat dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan konservasi).

Penilaian diatas memiliki ketentuan, bahwa suatu lokasi atau properti beserta komponen yang terkandung didalamnya, dapat memenuhi outstanding universal value bila mengandung 1 (satu) atau lebih parameter outstanding universal value tersebut. Lainnya adalah, penilaian ini dianggap outstanding bila memenuhi syarat integritas dan/atau keaslian (otentik), dan memiliki perlindungan serta sistem pengelolaan yang memadai. Cara yang kedua berupa penilaian dengan menggunakan kriteria cultural significant yang diperkenalkan oleh (The Burra Charter, 1999). Dalam penilaian ini sejarah berperan penting dalam menentukan nilai signifikansi suatu lanskap, dimana lanskap ataupun komponennya terkait kuat dengan tema sejarah yang merupakan gambaran dari masa lalu. Adapun kriteria penilaiannya sama dengan penilaian outstanding universal value, bahwa suatu kawasan beserta elemennya paling tidak mengandung 1 (satu) atau lebih kriteria cultural significant berikut: i) nilai estetika, merupakan persepsi yang diterima oleh indera sensorik dalam memahami bentuk, skala, warna, tekstur dari bahan/material, bebauan, dan suara yang terkait dengan tempat dan penggunaannya; ii) nilai kesejarahan, mencakup sejarah, estetika, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, yang mungkin dipengaruhi oleh tokoh, peristiwa, periode/fase atau aktifitas bersejarah;

55 iii) nilai keilmiahan dan riset yang tergantung pada keterlibatan data, dilihat dari tingkat kelangkaan, kualitas, dan keterwakilannya yang memberi informasi yang substansial; iv) nilai sosial, mencakup kualitas suatu tempat yang peka terhadap spiritualitas, kebudayaan, politikal, dan nasionalitas di dalam kelompok besar maupun kecil; v) pendekatan lainnya, atau hal-hal lain yang dapat meningkatkan kualitas suatu tempat.

Dalam menilai cultural significant dari The Burra Charter (1999), suatu lokasi harus mengandung informasi tentang: 1. Periode perkembangan lokasi dan hubungannya dengan situs/benda yang dinilai; 2. Kondisi keaslian, kelengkapan, atau ada bagian yang hilang dari fabric (situs/benda) yang dinilai; 3. Kelangkaan, dan secara teknis menjadi bagian dari kawasan/tempat yang dinilai; 4. Nilai fungsional, dan menjadi bagian dari kawasan/tempat yang dinilai. 5. Hubungan dengan tempat/komponen yang dinilai, dan menjadi bagian dari settingnya; 6. Nilai kebudayaan berpengaruh pada bentuk komponen dan fabric (situs/benda /material)-nya; 7. Nilai penting kawasan, masyarakat kawasan menganggap penting dan telah menjadi bagiannya secara turun temurun; 8. Nilai kesejarahannya menjadi bagian fabric (dipengaruhi kekuatan & perjalanan sejarah); 9. Nilai ilmiah dan riset dari lokasi/komponen yang dinilai; 10. Hubungan lokasi yang dinilai dengan lokasi lainnya, berhubungan dengan disain, penggunaan teknologi, unsur lokalitas atau keaslian; 11. Faktor lainnya yang mempunyai hubungan dalam menilai lokasi/komponen.

Masjid-masjid yang merupakan bagian dari lanskap budaya Cirebon harus dikembangkan sebagai bagian dari warisan pendahulu. Pengembangan tersebut harus berdasarkan potensi yang telah ada, dan juga memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dapat mengurangi minat pengunjung untuk datang kembali ke lokasi ini. Dari hasil analisis diatas, pengembangan kawasan wisata religi dapat terbagi dalam dua hirarki, yaitu area inti wisata dan area pendukung. Pada area inti terdapat Masjid Trusmi, Sang Cipta Rasa, dan Gunung Sembung, sedangkan pada area pendukung terdapat masjid-masjid lainnya yang menjadi tujuan pengunjung setelah mengunjungi masjid-masjid lain di area inti.

56

Pengembangan lebih kearah revitalisasi bangunan dan sosial masyarakat, dengan merubah penambilan fisik dan membangun image sebagai tujuan wisata yang nyaman, aman, dan bebas dari pengemis yang seakan-akan mempertontonkan kemiskinan kawasan.

57

BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

58

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, karakter lanskap budaya kota Cirebon sangat ditentukan oleh: 1) Tradisi budaya dari kegiatan masyarakat Cirebon. Tradisi ini bercampur antara kegiatan turun temurun dari nenek moyang yang berkaitan dengan budaya, kebiasaan atau tradisi yang apabila tidak dipahami dengan baik akan memberikan konotasi pada kegiatan yang bagi masyarakat dapat dikatakan negatif. Cirebon sebagai basis jalur penyebaran agama Islam juga memiliki aura yang yang sangat kuat. 2) Mempunyai kaitan secara fisik dengan peristiwa, tradisi sehari-hari, gagasan, kepercayaan, karya seni dan sastra yang bernilai luar biasa. Nilai-nilai ini terlihat dari peninggalan fisik masjid di Cirebon yang bercampur dengan budaya Cina, Arab serta nilai lokalitas dari Cirebon itu sendiri. 3) Mengandung fenomena alam, atau keindahan alam.

Percampuran budaya dari lokalitas tradisi serta agama Islam hendaknya menjadi dasar bagi perencanaan kawasan wisata di Cirebon. Perencanaan yang baik akan memberikan pendidikan bagi masyarakat dalam membedakan antara ritual agama yang sesuai dengan kaidah Islam, dengan ritual tradisi yang hanya merupakan faktor budaya.

Saran bagi penelitian lanjut adalah penelitian yang berkaitan dengan wisata reliji bagi budaya Cina, mengingat pengaruh budaya Cina yang terlihat kental pada jejak fisik masjid- masjid di Cirebon.

DAFTAR PUSTAKA

Altman, I. (1980). Environmental and Culture. New York: Plenum Press.

Altman, I. (1992). Place Attachment. New York: Plenum Press.

Arisaka, Y. (1995). On Heidegger's Theory of Space: A Critique of Dreyfus. Inquiry, 38 (4), 445- 467.

Calcatinge, A. (2010). Vision of the Real in Contemporay City. International Journal of Art and Science, 3 (8), 320-342.

Canter, D. (1977). The Psychology of Place. London: Architecture Press.

59

Dewiyanti, D., & Kusuma, H. (2012). Spaces for Muslims Spiritual Meaning. dAcE-Bs 2012. Bangkok.

Fowler, P. (2003). World Heritage Cultural Landscape, 1992-2002: a Review and Prospect. Cultural Landscape: the Challenges of Conservation. World Heritage 2002 Shared Legacy, Common Responsibility Associated Worldshops (hal. 16-32). Ferara: UNESCO, World Heritage Centre.

Greffe, X. (2009). Urban Cultural Landscapes: an Economic Approach. International Centre for Research on the Economics of Culture, Institutions, and Creativity (EBLA), Centro Studi Silvia Santagata (CSS), Dipartimento di Economia “S. Cognetti de Martiis”. Torino: Departement of Economics “S. Cognetti de Martiis”.

Hayden, D. (1995). The Power of Place: Urban Landscape as Public History. Cambridge & London: The MIT Press.

Hough, M. (1990). Out of Place: Restoring Identity to Regional Landscape. New Haven & London: Yale University Press.

ICOMOS. (1994). Nara Document on Authenticity. ICOMOS.

ICOMOS. (2009). World Heritage Cultural Landscape: Description of World Heritage Cultural Landscape with a Bilbliography Based on Dokument Available at the UNESCO-ICOMOS Document Center. Paris: ICOMOS.

Jain, P., & Clancy, G. (2011). Preserving Cultural Landscape: A Cross-Cultural Analysis. The Alliance for Historic Landscape Preservation (Exploring the Boundaries of Historic Landscape Preservation), 15-29.

Kaya, L. G. (2002). Cultural Landscape for Tourism. ZKÜ Bartin Orman Fakültesi Dergisi, 4 (4), 54-60.

Lefebvre, H. (1998). The Production of Space (Cetak ulang ke-10 ed.). (D. Nicholson-Smith, Penerj.) Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell Publishers Ltd.

O'Donnell, P. M. (2008). Urban Cultural Landscape and the Spirit of Place. ICOMOS 16th General Assembly & Scientific Symposium (hal. 1-8). Quebec: ICOMOS.

Omar, S. (2012). The Concept of God Man, and the Environment in Islam: Implications for Islamic Architecture. Journal of Islamic Architecture .

Rosmalia, D., & Martokusumo, W. (2012). The Notion on Urban Cultural Landscape from the Perspective of Landscape Architecture. Case Study: Cirebon City, West . Artepolis 4 International Conference. Creative connectivity and the making of place: living smart by

60

design.2, hal. 719-728. Bandung: Architecture program. School of Architecture, Planning and Policy Development.

Ross, C. L., & Uzzel, D. L. (1996). Place and Identity Processes. Journal of Environmental Psychology, 16, 205-220.

Rӧssler, M. (2006). World Heritage Cultural Landscapes: A UNESCO Flagship Proggramme 1992- 2006. Landscape Research, 31 (4), 333-353.

Sauer, C. O. (1963). The Morphology of Landscape. Dalam C. O. Sauer, & J. Leighly, Land and Life: A Selection From the Writing of Carl Ortwin Sauer (hal. 315-350). Berkley: University of California Press.

Schulz, C. N. (1980). Genius Loci: Towards a Phenomenology of Architecture. New York: Rizzoli.

Schulz, C. N. (1974). Intentions in Architecture. MIT Press.

Schulz, C. N. (1984). The Concept of Dwelling. Rizolli.

Steele, F. (1981). Sense of Place. Massachusetts: CBI Publishing Company, Inc.

The Burra Charter. (1999). The Australia ICOMOS Charter for Places of Cultural Significance. Burwood: Australia ICOMOS Incorporated.

Tuan, Y. F. (2008). Space and Place: The Perspektif of Experience (8 ed.). London: University of Minnesota Press.

World Heritage Center. (2008). Operating Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention. Intergovernmental Committee for The Protection of the World Cultural and Natural Heritage. Paris: UNESCO World Heritage Center.

61

LAMPIRAN 1. Panduan Wawancara 1. PANDUAN WAWANCARA PANDUAN WAWANCARA PENELITIAN HIBAH BERSAING 2014 MODEL PENGEMBANGAN LANSKAP BUDAYA BERDASARKAN WISATA RELIJI BAGI CIREBON

BUTIR PENGETAHUAN DAFTAR PERTANYAAN

1. KARAKTERISTIK a. Usia PENGUNJUNG b. Jenis kelamin c. Datang bersama siapa d. Asal Daerah e. Sudah pernah berkunjung ke masjid tsb? f. Jika sudah pernah: siapa yang dulu menunjukkan masjid tsb?. g. Apakah orang tua pernah mengajak? 2. TUJUAN KEDATANGAN a. Tujuan datang ke masjid: sholat wajib atau ada tujuan lain? b. Jika bertujuan selain sholat wajib: kenapa harus dilakukan di masjid tersebut? 3. FREKWENSI a. Seberapa sering datang ke Cirebon? b. Seberapa sering memakai masjid tersebut? 4. WAKTU a. Ketika sedang di Cirebon, dan berkunjung ke mesjid tsb, berapa lama waktunya? (waktu di mesjid dan waktu kunjungan di Cirebon) b. Adakah waktu2 tertentu yang menjadi favorit ketika datang ke Cirebon? c. Adakah waktu2 favorit ketika berkunjung ke masjid tersebut? 5. KEGIATAN a. Apa saja yang dilakukan di masjid tersebut? b. Mengapa dilakukan? Dan mengapa harus di masjid lain? 6. PENGALAMAN LAIN a. Pernah datang ke masjid lain di Cirebon? b. Pernah datang ke masjid mana saja di Indonesia? c. Ada pengalaman berkesan? Ketika di masjid mana? Mengapa? 7. AKSESIBILITAS a. Naik apa datang ke Cirebon? b. Naik apa selama berada di Cirebon? c. Mudah/sulit? 8. KEBUTUHAN SELAMA a. Selama berada di Cirebon, tujuan lain KUNJUNGAN kemana saja? b. Apa saja yang dibutuhkan selama berada di Cirebon?. (misal: hotel yang bagaimana?, tempat makan yg bagaimana?, rekreasi lain 62

BUTIR PENGETAHUAN DAFTAR PERTANYAAN

yang bagaimana? Tempat oleh2 seperti apa? c. Kebutuhan selama wisata religi berkaitan dengan ibadah: peralatan solat, peralatan ziarah? d. Apakah butuh informasi wisata? e. Mudah tidak dicari di Cirebon? 9. KESAN SELAMA KUNJUNGAN a. Kesan selama kunjungan di Cirebon? b. Kesan selama kunjungan di masjid? 10. WILLINGNESS TO PAY a. Berapa total biaya yang rela dikeluarkan (KERELAAN UNTUK untuk kebutuhan wisata religi? MEMBAYAR) b. Kerelaan tersebut, untuk biaya apa saja?

63

Lampiran 2. Gambar-gambar Denah Masjid 2. GAMBAR MASJID a. MASJID GUNUNG JATI

64 b. MASJID KALIWULU

65 c. MASJID KRAMAT MEGU

66 d. MASJID PESALAKAN

67

Lampiran

68 e. MASJID TRUSMI

69

LLampiran 3. Susunan Anggota Peneliti

Susunan Organisasi Tim Peneliti/Pelaksana dan Pembagian Tugas

Alokasi Instansi Bidang No. Nama / NIDN Waktu Uraian Tugas Asal Ilmu (jam/minggu)

1 Dhini Universitas Arsitektur 8 - Ketua Tim - Bertanggung jawab Dewiyanti Komputer Perilaku terhadap hal-hal Tantarto/ Indonesia yang berhubungan dengan masalah 0421116601 manusia pengguna lingkungan - Bersama anggota tim merumuskan temuan dan menganalisis serta membuat sintesa

2 Dini Universitas Arsitektur 8 - Bertanggung jawab terhadap hal-hal Rosmalia/ Pancasila Lanskap yang berhubungan dengan masalah fisik 0303067002 lanskap Cirebon - Bersama ketua dan anggota tim merumuskan temuan dan menganalisis serta membuat sintesa

70

Alokasi Instansi Bidang No. Nama / NIDN Waktu Uraian Tugas Asal Ilmu (jam/minggu)

3 Tri Widianti Universitas Perancangan 6 - Bertanggung jawab terhadap hal-hal Natalia/ Komputer dan yang berhubungan Indonesia Komputer dengan perancangan 0425128504 dan penggambaran Arsitektur - Bersama ketua dan anggota tim merumuskan temuan dan menganalisis serta membuat sintesa

71

Lampiran 1. Nota kesepahaman MOU atau pernyataan kesediaan dari mitra

72

Lampiran 2. Biodata Ketua/Anggota Tim Peneliti/Pelaksana

A. Identitas Diri 1. Nama Lengkap (dengan gelar) : Ir. Dhini Dewiyanti, MT 2. Jenis Kelamin : L / P 3. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala 4. NIP/NIK/Identitas lainnya : 04127 70 12 010 5. NIDN : 421116601 6. Tempat dan Tanggal Lahir : Singapore, 21 November 1966 7. E-mail : [email protected] 8. Nomor Telepon/HP : 08122184048 9. Alamat Kantor : Universitas Komputer Indonesia Jl. Dipati Ukur 112- 117. Bandung 40132 10. Nomor Telepon/Faks : (022) 2504119/ (022) 2533754 11. Lulusan yang Telah Dihasilkan S-1 = 112 orang; S-2 = - orang; S-3 = - orang 12. Mata Kuliah yg Diampu 1. Teori Arsitektur 1, 2 SKS 2. Teori Arsitektur 2, 2 SKS 3. Studio Perancangan Arsitektur 1, 4 SKS 4. Studio Perancangan Arsitektur 2, 4 SKS

B. Riwayat Pendidikan S-1 S-2 S-3 Nama Perguruan Tinggi Univ. Katolik Institut Teknologi Parahyangan Bandung Bidang Ilmu Teknik Arsitektur Arsitektur

Tahun Masuk-Lulus 1985 - 1991 1998 -2000 Judul Skripsi/Tesis/Disertasi Re-Desain Pasar Karakteristik Ruang Simpang Dago, Bermain Sebagai Bandung Tanggapan Anak Terhadap Lingkungan Nama Ir. Suhartono Susilo, Dr. Ir. Baskoro Pembimbing/Promotor Dr. Ir., Abang Tedjo,, Ir. Rini Winarwan, MSA Reksadjaya, MSA

73

C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi) Pendanaan No Tahun Judul Penelitian Sumber Jml (Juta Rp) 1. 2014 Model Pengembangan Lanskap Budaya Hibah 57.500.000 Bersaing Kota Cirebon, Tahun I. DIKTI 2014 2. 2011 Model Lingkungan Permukiman Yang Hibah 43.000.000 Bersaing Tanggap Terhadap Kebutuhan Anak DIKTI 2011 Studi Kasus: Lingkungan Permukiman Nelayan Karangantu, Kabupaten Serang, Banten 3. 2007 - Strategi Pengembangan Kampus Rektorat 98.000.000 2008 Berbasis IAIN di bawah Departemen IAIN, Sultan Agama Menjadi Sebuah Institusi Maulana Pendidikan di Bawah Naungan Hasanudin Kementrian Pendidikan Nasional 4. 2008 Islamic Center, Kota Prabumulih Pemerintah 60.000.000 Provinsi Sumatera Selatan

D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir Judul Pengabdian Kepada Pendanaan No Tahun Masyarakat Sumber Jml (Juta Rp) 1. 2008 Perancangan Balai Rukun RW 07 Kelurahan 300.000 Warga 07. Kelurahan Cigadung, Kecamatan Cigadung Cibeunying Kaler, Kompleks UNPAD, Cigadung. 2. 2013 Penanaman 1000 pohon di LPPM UNIKOM 5.000.000 Majalengka

74

E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/ Nomor/Tahun 1. Flexibility of Form on Campus International Vol. 2/2/2013 in Indonesia 2. The Spatial Pattern of Ritual and Journal of Islamic September 2014 Non Ritual Activities in Salman Architecture, UIN , Bandung.

F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir Nama Pertemuan Ilmiah / Waktu dan No Judul Artikel Ilmiah Seminar Tempat 1 Seminar Nasional : SAINTIK Penerapan Konsep 23 Oktober 2014, teknologi hijau, membangun masa Ecotecture pada Masjid: Unikom, kini merawat masa depan Komparasi Transformatif Bandung Teori Desain Ekologis 2 Seminar DARK ITB 1 Production and SAPPK ITB. 22 Reproduction of Space September 2014. 3 Seri seminar nasional arsitektur Produksi dan Re-Produksi UKDW Ruang Masjid Salman, merah-putih. Ruang dan Tempat , 23 Bandung dalam Latar Indonesia Mei 2014. 4 Seminar Nasional. Manusia dan Sense of Place Dalam UGM. Ruang dalam Arsitektur dan Konteks Antar Generasi Yogyakarta, 22- Perencanaan. SERAP 3 Pengguna. Studi Kasus: 23 Agustus 2014. Masjid Kampus Salman, Bandung 5 Seminar Arsitektur Islam 3 Pola Ruang Aktivitas Universitas Malik Ritual dan Non Ritual Pada Ibrahim, Malang, Masjid Salman, Bandung. 7 November 2013 6 Prosiding dalam Arte-Polis 4 Intl The Place Making of Institut Teknologi Salman Mosque. Conference - Creative Connectivity Bandung, and the Making of Place: Living Smart Bandung 5-6 Juli by Design 2012. 7 Seminar DARK ITB 1 Space Segregation on SAPPK ITB. 2 Mosque Transition Area. September 2013. Case Study: Mosque Salman, ITB.

75

8 First International Conference on The Effects of Ornaments March 28-29, in the Interior Space of Islamic Built Environmet Towards 2012, UNISBA. Mosque on the Level of an Understanding of The Islamic Concentration of its Congregations. Built Environment 9 dAcE-Bs 2012 Bangkok, ASEAN Spaces for Muslims 16-18 July 2012, Conference on Environment- Bangkok, Spiritual Meanings. Behaviour Studies Thailand. 10 International Seminar on Livable The Mosque Territories Jakarta, 16 - 17 Space – Creating Space for Better and Its Development as Februari 2012, Life, Department of Architecture – Manifestation of Changes Trisakti Faculty of Civil Engineering and in The Function. Planning Trisakti University. 11 Arte-Polis 4 Intl Conference - The Place Making of Bandung 5-6 Juli Creative Connectivity and the Salman Mosque. 2012, ITB. Making of Place: Living Smart by Design, Institut Teknologi Bandung, 12 International The Second Sustainable Living 12 – 14 July International Conference on Community In Urban 2010, Amman, Sustainable Architecture and Kampung. Case Study: Jordan. Urban Development, Jordan and Kampung Sekeloa, the University of Dundee,School of Bandung, Indonesia. Architecture, UK 13 Seminar Nasional Metodologi Penerapan Metode 3 Juni 2010, Riset dalam Arsitektur:Menunju Naturalistik Pada Kasus Unud, Pendidikan Arsitektur Indonesia Anak Sebagai Subyek Denpasar, . Berbasis Riset Penelitian Arsitektur 14 Seminar Nasional Pola Bermain Anak 16 Januari 2009, Humanisme dan Perencanaan Sebagai Pertimbangan Universitas Gajah Perancangan. Perencanaan Lingkungan Mada Yogyakarta. 15 Seminar Nasional ASJI (Asosiasi Tokyo: Kota Organik 11 Desember Studi Jepang di Indonesia). Terencana 2009, Banana Inn, Bandung 16 Seminar Nasional Pola Kearifan Pola Kearifan Lokal 6 Agustus 2009, Lokal Universitas Permukiman Kampung Unmer Merdeka Malang Kota Sekeloa dalam Malang.

76

Menghadapi Pembangunan Jl. Dipati Ukur, Bandung 17 Seminar SNUBL 2009 Universitas Kampung Kota Sebentuk 14 Agustus 2009, Budi Luhur. Pola Keberlanjutan Universitas Budi Berwawasan Kearifan Luhur. Jakarta. Lokal yang Mulai Kehilangan Jati Diri

G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir No Judul Buku Tahun Jumlah Halaman Penerbit 1 -

H. Perolehan HKI dalam 5–10 Tahun Terakhir No Judul/Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ID 1 -

I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir Judul/Tema/Jenis Respon Rekayasa Sosial Tahun Tempat Penerapan No Masyarakat Lainnya yang Telah

Diterapkan 1 Pedoman Teknis 2007 Nasional Digunakan Bangunan Gedung Fungsi sebagai Khusus acuan 2 Rancangan Akademis 2011 Nasional Sudah Perda Bangunan Gedung disahkan Kota Tangerang Selatan DPRD Rancangan Akademis 2011 Nasional Baru Perda Bangunan Gedung digodok Kabupaten OKU Timur DPRD Rancangan Akademis 2012 Nasional Baru Perda Bangunan Gedung digodok Kabupaten OKU Selatan DPRD Rancangan Akademis 2013 Nasional Baru Perda Bangunan Gedung digodok Kota Lubuk Linggau DPRD Rancangan Akademis 2014 Nasional Baru dikaji Perda Bangunan Gedung Kabupaten PALI

77

J. Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau institusi lainnya) Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Tahun No Penghargaan 1 Dosen Teladan III Tingkat UNIKOM 2007 Fakultas 2 Juara II Desain Islamic Centre DKM Masjid Tebet Barat 1998 di Tebet Barat, JakSel

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah Bersaing tahun 2014

Bandung, 24 Oktober 2014 Pengusul,

( Dhini Dewiyanti )

78

Biodata Ketua/Anggota Tim Peneliti/Pelaksana A. Identitas Diri 1. Nama Lengkap (dengan gelar) Dini Rosmalia, ST, MSi. 2. Jenis Kelamin L / P 3. Jabatan Fungsional Lektor 4. NIP/NIK/Identitas lainnya 4109211081 5. NIDN 0303067002 6. Tempat dan Tanggal Lahir Bogor, 03 Juni 1970 7. E-mail [email protected] 8. Nomor Telepon/HP 08129206903 9. Alamat Kantor Universitas Pancasila Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640 10. Nomor Telepon/Faks 11. Lulusan yang Telah Dihasilkan S-1 = 14 12. Mata Kuliah yg Diampu Studio Perancangan Arsitektur 1, 4 SKS Studio Perancangan Arsitektur 2, 4 SKS Perancangan Tapak, 4 SKS Perancangan Ruang Dalam, 3 SKS

B. Riwayat Pendidikan S-1 S-2 S-3 Nama Perguruan Tinggi Univ. Pancasila Institut Pertanian Bogor Bidang Ilmu Teknik Arsitektur Arsitektur Lanskap

Tahun Masuk-Lulus 1989 - 1994 2005 – 2008 Judul Skripsi/Tesis/Disertasi Perancangan Taman Perencanaan Koridor Rekreasi Danau Lido Sungai Ciliwung sebagai di Bogor Ekowisata Perkotaan di Jakarta Nama Ir. Gustaf Abbas Dr. Ir. Siti Nurisyah, Pembimbing/Promotor M.Arch; Ir. Ahmad MLA; Dr. Ir. Setiahadi, Husaini, M.Arch. MS

C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi) Pendanaan No Tahun Judul Penelitian Sumber Jml (Juta Rp) 1. 2013 Ruang Lanskap Budaya Kota Cirebon Universitas 10.000.000 Pancasila 2. 2012 Perencanaan Tata Ruang Wisata Budaya Univ. Pancasila 5.000.000 Betawi Kota Jakarta 3. 2009 Konsep Pengembangan Sistem Wisata PHK A2 DIKTI- 17.500.000 Univ. Pancasila Budaya Kota Jakarta

79

4. 2009 Pengembangan Model Belajar Mengajar PHK A2 DIKTI- 12.500.000 Univ. Pancasila Perancangan Tapak Guna Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa Dalam Merancang Tapak Sebagai Bagian Dari Perancangan Arsitektur 5. 2009 Rencana Induk Penataan Lanskap ICRAF-Program 78.000.000 Kawasan Pusat Pendidikan dan Pelatihan RUPES. Lingkungan Hidup di Kayu Gadis- Paninggahan, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. 6. 2008 Evaluasi Perencanaan Taman Interaksi Dinas Pertamanan 50.000.000 Sosial Prov. DKI Jakarta

D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir Pendanaan No Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Sumber Jml (Juta Rp) 1. - -

E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/ Nomor/Tahun 1 The Kesunean River Revisited: Some Nakhara Journal, Vol.10. tahun 2014 Notion on the Role of Urban Landscape Thailand (sedang tahap cetak) Elements in Cirebon, , Indonesia 2. Studi Evaluasi Tata Hijau Jalan Raya Jurnal Teknik Vol. 2 No. 1 Januari 2010, Bebas Hambatan Jagorawi, Kota Bogor. Padmasana hal 3-12. 3 Evaluasi Penerapan Metode Jurnal Hirarchi Vol. 08 No. 01 Maret Pembelajaran Kognitif- 2011, hal 1-10. Konstruktivistik dalam Mata Kuliah Tapak. 4 Penelusuran Konsep Urban Cultural Jurnal Lanskap Sudah diterima, sedang Landscape dari Perspektif Arsitektur Indonesia dalam pencetakan. Lanskap. Studi Kasus Kota Cirebon di Jawa Barat.

F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir Nama Pertemuan Ilmiah / Waktu dan No. Judul Artikel Ilmiah Seminar Tempat 1 2014 International Symposium of The Influence of 7-9 Oktober 2014. 80

ACLA. Tema: Waterfront Asian Mauludan Tradition Urban Grening on the Ritual Scape of Cultural Landscape” Institute, Seoul Cirebon Cultural Landscape in National University- Indonesia Korea Selatan.

2 Seminar Nasional SERAP 3. Pola Spasial Lanskap 22-23 Agustus Budaya Kota Cirebon Tema: Manusia dan Ruang dalam 2014. Jurusan Berdasarkan Elemen Arsitektur dan Perencanaan Fisik Kraton Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM-Yogyakarta 3 Seri Seminar Nasional Arsitektur Identifikasi Pola 23 Mei 2014. Spasial sebagai Merah-Putih. Tema: Ruang dan Gedung Gnosis, Wadah Aktifitas Tempat dalam Latar indonesia Budaya pada Lanskap UKDW-Yogyakarta Budaya Kota Cirebon 4 The International Conference The Notion on Urban 5-6 Juli 2012. Cultural Landscape „Arte-Polis 4. Tema: Creative SAPPK-ITB, from the Perspective Connectivity and the Making of Landscape Bandung Architecture. Case Place: Living Smart by Design‟ Study: Cirebon City, West Java 5 Simposium Ilmiah Nasional Pengembangan 10 November 2010. Kawasan Berbasis IPB International Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia Kondisi Fisik Lokal. Convention Center, 2010. Tema: Pemberdayaan Peran Studi Kasus: Kawasan Bogor. Paninggahan Solok, Serta Profesi Arsitek Lanskap Sumatera Barat. dalam Mengatasi Masalah Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam melalui Pendekatan Konservasi dan Penataan Ruang. 6 International Conference on River Corridor Spatial 16 April 2009. Planning For Urban Surakarta Informal Settlement and Ecotouring Affordable Housing: Sustainable Development at Ciliwung – Jakarta. Slum Upgrading in Urban Area. 7 Seminar Nasional, Penelitian Metode Partisipatori 16 Mei 2009. Magister Teknik Arsitektur, Metode dan Dalam Perencanaan Arsitektur Penerapannya Seri ke-2 Setting Taman Universitas

81

Interaksi Sosial di Diponegoro, . Jakarta. 8 International Symposium of Urban Ecotourism 10-11 Agustus Development 2009. IPB Green City. Planning Area at International Ciliwung Corridor. Convention Center Bogor. 9 4th International Symposium of Designing an 7 November 2009. Ecocomm park for Nusantara Urban Research Departemen revitalizing densely Institute (NURI), Tema: Change populated area in Arsitektur Jakarta. and Heritage in Architecture and Universitas Urban Development. Diponegoro, Semarang.

G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir No Judul Buku Tahun Jumlah Halaman Penerbit 1 Development Planning for 2012 89 LAP Lambert Ecotourism. Case Study: Academic Ciliwung River Corridor, Publishing, Jerman Jakarta

H. Perolehan HKI dalam 5–10 Tahun Terakhir No Judul/Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ID 1 -

I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir Judul/Tema/Jenis Respon Tahun Tempat Penerapan No Rekayasa Sosial Lainnya Masyarakat

yang Telah Diterapkan 1 Panduan Perencanaan 2008 Provinsi DKI Jakarta Digunakan Teknis Taman Interaksi sebagai acuan Sosial di Permukiman Padat Penduduk 2 Pemaduserasian RTH Hulu- 2011 Jabodetabekjur Digunakan Hilir untuk Keseimbangan sebagai acuan Iklim di Jabodetabekjur

J. Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau institusi lainnya)

82

Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Tahun No Penghargaan 1 2

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah Bersaing tahun 2014 Bandung, 25 Oktober 2014 Pengusul,

( Dini Rosmalia )

i Cek sejarah & sumber Unang Sunarjo & adeng ii Landdrost adalah pejabat Landdrostambten yang merupakan wakil pemerintah kolonial di daerah administratif yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jenderal. iiihttp://bakorpembang- wilcrb.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=340&idMenu=436: Tahun 1922 Karesidenan Cirebon dibagi menjadi 2 Afdeling yang dipimpin oleh Asisten Residen (1) Afdeling Cirebon: Kabupaten Cirebon & Kuningan (2) Afdeling Indramayu: Kabupaten Indramayu & Majalengka iv UU No, 32 Th. 2004, tentang Pemerintahan Daerah; PP No. 41 Th.2007, tentang Organisasi Perangkat Daerah; Perda Provinsi Jawa Barat No. 22 Th. 2008 tentang perangkat BAKORWIL menjadi Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan (BAKORPEMBANG) Wilayah III Provinsi Jawa Barat, sebagai lembaga koordinasi antara Kabupaten dan Kota untuk penguatan kewilayahan. v(cek land use & aspek ekonomi masyarakat). vihttp://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1263 (diunduh 31/3/2014, pukul 15:58) vii http://bakorpembang-wilcrb.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=340&idMenu=358. Edit Terakhir : 24-08-2010 17:26:44. (diunduh 31/3/2014 pukul 10:02) viii Data penduduk. http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/75 (diunduh 31/3/2014, pukul 14:58)

83