EKOLEKSIKON LALAPAN BAHASA JAWA DI DESA BINGKAT KECAMATAN PEGAJAHAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

OLEH

TRI ASTARI

150701045

PROGRAM STUDI SASTRA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memeroleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juli 2019

Tri Astari

NIM 150701045

i

Universitas Sumatera Utara EKOLEKSIKON LALAPAN BAHASA JAWA DI DESA BINGKAT KECAMATAN PEGAJAHAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TRI ASTARI 150701045

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan ekoleksikon nomina lalapan berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, ideologi, serta parameter ekologi pada bahasa Jawa di Desa Bingkat (2) mendeskripsikan tingkat pemahaman masyarakat Jawa terhadap leksikon nomina terkait lalapan di Desa Bingkat, dan (3) mendeskripsikan faktor bertahan dan menyusutnya suatu leksikon lalapan di Desa Bingkat. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekolinguistik. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu, metode cakap, observasi, wawancara mendalam, serta memberikan kuesioner kepada responden. Metode cakap terdiri atas beberapa teknik, teknik yang digunakan adalah teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Pertama, berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, ideologi, serta parameter ekologi menemukan 32 leksikon lalapan yang diklasifikasi menjadi empat, yaitu (1) lalapan bentuk daun muda sebanyak tiga belas leksikon, (2) lalapan bentuk buah sebanyak sebelas leksikon, (3) lalapan bentuk umbi sebanyak tiga leksikon, (4) lalapan bentuk biji sebanyak lima leksikon. Kedua, temuan berdasarkan tingkat pemahaman pada kategori 1 (mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah menggunakan) diperoleh jumlah pemahaman terhadap leksikon lalapan sebanyak 4082 (47%), kategori 2 (pernah mendengar, tidak mengenal, tidak pernah melihat, dan tidak pernah menggunakan) diperoleh jumlah pemahaman terhadap leksikon lalapan sebanyak 3242 (38%), dan kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah menggunakan) diperoleh jumlah pemahaman terhadap leksikon lalapan sebanyak 475 (15%). Ketiga, temuan berdasarkan Faktor-faktor bertahannya leksikon lalapan di Desa Bingkat adalah masih ditemukannya referen lalapan berupa daun muda, buah-buahan, umbi-umbian, dan biji-bijian pada masyarakat di Desa Bingkat. Di samping itu, masyarakat Bingkat masih menggantungkan hidup pada alam dengan cara menanam lalapan tersebut, sedangkan faktor-faktor menyusutnya leksikon lalapan di Desa Bingkat karena referen lalapan sulit ditemukan akibat masyarakat tidak mengetahui manfaat lalapan dan adanya pembasmian terhadap tumbuhan lalapan. Di samping itu, kurangnya pelestarian terhadap tumbuhan lalapan mengakibatkan leksikon- leksikon lalapan mulai menyusut.

Kata Kunci: Leksikon, Lalapan, Nomina

ii

Universitas Sumatera Utara PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, Tuhan

Yang Maha Esa yang telah memberikan anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Segala bimbingan, nasihat, dukungan, dan doa telah membuat penulis semangat dan sabar dalam menghadapi berbagai masalah dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Di samping itu, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari beberapa pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Budi Agustono, M.S., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, dan

juga Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, dan Wakil Dekan III.

2. Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P., sebagai Ketua Program Studi Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, USU.

3. Drs. Amhar Kudadiri, M.Hum., sebagai Sekretaris Program Studi

Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, USU.

4. Dra. Mascahaya, M.Hum., sebagai dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan, dorongan, dan waktu dalam mengoreksi

setiap masalah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Dr. Dwi Widayati, M.Hum., sebagai dosen penguji skripsi yang telah

memberikan arahan, masukan, dan kritik yang baik bagi penulis.

6. Dr. Ida Basaria, M.Hum., sebagai dosen penguji skripsi yang telah

memberikan saran dan kritik yang baik bagi penulis.

7. Seluruh staf pengajar Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu

Budaya, USU yang telah memberikan ilmu pengetahuan, baik dalam

iii

Universitas Sumatera Utara bidang linguistik, sastra, serta bidang yang lain. Tidak lupa pula saya

mengucapkan terima kasih kepada Bapak Joko yang telah membantu

penulis dalam hal administrasi di Program Studi Sastra Indonesia.

8. Kedua orang tua saya, Ayahanda Manaf dan Ibunda Marni yang telah

memberikan dukungan, nasihat, dan doa dalam menyelesaikan skripsi

saya. Tidak pula saya mengucapkan terima kasih kepada (Fitri) kakak

pertama, (Wanda) kakak kedua, dan (Tian) adik dalam memberikan

semangat serta doa dalam mempermudah pengerjaan skripsi saya.

9. Keluarga besar Retno Andriani yang telah memberikan saya tempat

tinggal dan fasilitas selama melakukan penelitian di Desa Bingkat.

10. Sahabat-sahabat saya, Aisyah Dhuhani (2014), Evalia, Nurcholidalia,

Abdilla Tri Dayana Ginting, Ismaida, Latifah Hanum, Nurfazrina, Ema

Wahyuni dan seluruh teman-teman angkatan 2015 Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Budaya, USU.

11. Sahabat-sahabat di Fakultas Ilmu Budaya, Ade (Sastra Arab 2015),

Intan (Sastra Inggris 2015), Citra (Sastra Inggris 2015), Nisa (Sastra

Inggris 2015), Yanti (Ilpus 2015), Mutiva (Ilpus 2015), Sorayawahaha

(Sastra Jepang 2015), Hannah (Ilmu Sejarah 2015), Yusda (Ekstensi

Sastra Inggris 2015).

12. Kepada pejabat daerah serta masyarakat Desa Bingkat yang telah

banyak membantu dan memberikan fasilitas untuk keperluan penelitian

bagi penulis. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala membalas semua

kebaikan bapak, ibu, saudara/saudari semua.

iv

Universitas Sumatera Utara Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Juli 2019

Tri Astari

NIM 150701045

v

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

PERNYATAAN ...... i ABSTRAK ...... ii PRAKATA ...... iii DAFTAR ISI ...... vi DAFTAR TABEL ...... viii DAFTAR GAMBAR ...... ix BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang ……....………………………………………………… 1 1.2 Batasan Masalah ………………………………………………………… 4 1.3 Rumusan Masalah ………………………………………………………… 4 1.4 Tujuan Penelitian ………………………………………………………… 4 1.5 Manfaat Penelitian………………………………………………………… 5 1.5.1 Manfaat Teoretis………………………………………………………… 5 1.5.2 Manfaat Praktis………………………………………………………….. 5

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA …. 6 2.1 Konsep …………………………………………………………………. 6 2.1.1 Leksikon …………………………………………………………………. 6 2.1.2 Lalapan …………………………………………………………………. 7 2.1.3 Kata Benda (Nomina) …………………………………………………. 7 2.1.4 Bahasa dan Lingkungan …………………………………………………. 7 2.2 Landasan Teori …………………………………………………………. 8 2.3 Tinjauan Pustaka …………………………………………………………. 10

BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………….. 15 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………………… 15 3.2 Data dan Sumber Data ………………………………………………… 15 3.3 Metode Penelitian ………………………………………………………… 16 3.4 Pengumpulan Data………………………………………………………… 16 3.5 Metode Analisis Data……………………………………………………… 20

vi

Universitas Sumatera Utara 3.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Data …………………………………. 23

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…...……………….. 24 4.1 Ekoleksikon nomina lalapan berdasarkan dimensi dan parameter ekologi pada bahasa Jawa di Desa Bingkat ...... 24 4.1.1 Lalapan bentuk daun muda...... 25 4.1.2 Lalapan bentuk buah………………………………………………….…. 42 4.1.3 Lalapan bentuk umbi…………………………………………………….. 54 4.1.4 Lalapan bentuk biji…………………………………………………….… 58 4.2 Tingkat pemahaman masyarakat di Desa Bingkat...... 64 4.2.1 Kelompok Usia I (15-20 Tahun) ...... 66 4.2.2 Kelompok Usia II (21-45 Tahun) ...... 68 4.2.3 Kelompok Usia III (≥46 Tahun) ...... 70 4.3 Faktor bertahan dan menyusutnya suatu leksikon lalapan di Desa Bingkat……………………………………………………………………. 71 4.3.1 Faktor-faktor bertahannya leksikon……………………………..………. 72 4.3.2 Faktor-faktor menyusutnya leksikon ………………………….………… 73

BAB V SIMPULAN DAN SARAN……………………………..…………… 75 5.1 Simpulan...... 75 5.2 Saran ...... 77

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 78 LAMPIRAN 1. Daftar Leksikon Lalapan LAMPIRAN 2. Persentase Tingkat Pemahaman (Ketiga Kelompok Usia) LAMPIRAN 3. Daftar Informan LAMPIRAN 4. Dokumentasi Foto LAMPIRAN 5. Peta Desa Bingkat LAMPIRAN 6. Surat Izin Penelitian

vii

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Leksikon Nomina Lalapan………………………………………… 25

Tabel 4.2 Klasifikasi Leksikon Nomina Lalapan...... 25

Tabel 4.3 Tingkat Pemahaman Masyarakat Desa Bingkat ...... 65

Tabel 4.4 Persentase Tingkat Pemahaman Kelompok Usia I (15-20 tahun) .... 67

Tabel 4.5 Persentase Tingkat Pemahaman Kelompok Usia II (21-45 tahun) ... 69

Tabel 4.6 Persentase Tingkat Pemahaman Kelompok Usia III (≥46 tahun) .... 71

viii

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Godong sintrong ……………………………………………… 26

Gambar 4.2 Suring ………………………………………………………… 29

Gambar 4.3 Semangi ………………………………………………………. 29

Gambar 4.4 Godong kates …………………………………………………. 30

Gambar 4.5 Godong jambu mente …………………………………………. 31

Gambar 4.6 Luntas ………………………………………………………… 33

Gambar 4.7 Binahong ……………………………………………………… 34

Gambar 4.8 Godong meranti ………………………………………………. 35

Gambar 4.9 Belimbing-belimbingan…………………………………………. 36

Gambar 4.10 Selada ………………………………………………………… 37

Gambar 4.11Kemangi ……………………………………………………… 38

Gambar 4.12 Kol …………………………………………………………… 39

Gambar 4.13 Godong jambu klutuk………………………………………… 41

Gambar 4.14 Cempokak …………………………………………………… 42

Gambar 4.15 Timun ………………………………………………………… 44

Gambar 4.16 Tomat ………………………………………………………… 44

Gambar 4.17 Meranti ………………………………………………………. 45

Gambar 4.18 Terong gelatik………………………………………………… 47

Gambar 4.19 Jambu air benik………………………………………………. 48

Gambar 4.20 Semangka enom ……………………………………………… 49

Gambar 4.21 Kacang panjang ……………………………………………… 50

Gambar 4.22 Cipir …………………………………………………………. 51

Gambar 4.23 Babal ………………………………………………………… 52

Gambar 4.24 Pare hutan ……………………………………………………. 53

Gambar 4.25 Wortel ………………………………………………………… 55

ix

Universitas Sumatera Utara Gambar 4.26 Bawang merah batak ………………………………………… 56

Gambar 4.27 Bengkoang …………………………………………………… 57

Gambar 4.28 Kacang koro ………………………………………………… 59

Gambar 4.29 Pete papan …………………………………………………… 60

Gambar 4.30 Lamtoro ……………………………………………………… 61

Gambar 4.31 Cambah ……………………………………………………… 62

Gambar 4.32 Jengkol enom ………………………………………………… 63

x

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa digunakan untuk menghubungkan antarpenutur dan menghubungkan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.

Dalam konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan bahasa secara metaforis, yakni lingkungan dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa, sebagai salah satu kode bahasa (Suktiningsih, 2016). Hubungan manusia dan alam akan menghasilkan ragam bahasa. Dalam hal ini, kajian ekolinguistik dibutuhkan untuk mengkaji hubungan timbal balik antara alam dan lingkungan sekitar dengan bahasa atau menyandingkan ekologi dan linguistik.

Sebagai disiplin ilmu, ekologi merupakan hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan alam di sekitarnya. Selain itu, linguistik merupakan studi ilmiah atas fenomena bahasa baik secara mikro maupun makro (Kridalaksana,

1985 dalam Suktiningsih, 2016). Ekologi bahasa disebut juga ekolinguistik.

Dalam konteks ini, perubahan-perubahan lingkungan ragawi komunitas tutur berdampak pada perubahan bahasa yang juga merepresentasikan perubahan ekologi (Liebert, 2001 dalam Nimalasari, 2016). Untuk itu, perlu dikuasainya kosa kata oleh penutur generasi muda tidak terjadi perubahan lingkungan komunitas penutur tersebut.

Dalam penelitian ini, topik yang akan dibahas berupa lalapan. Lalapan berupa daun-daun muda, biji-bijian, buah muda yang biasa disajikan beserta masakan

Indonesia. Lalapan biasa dimakan bersama nasi dan lauk-pauk lainnya. Budaya lalapan berasal dari masyarakat suku Sunda. Kebudayaan Sunda menuntut

1

Universitas Sumatera Utara manusia supaya berhubungan baik dengan semua ciptaan Tuhan lainnya. Selain dengan sesama manusia, juga dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu semakin memperjelas bahwa manusia Sunda memang mengenal alam dan terbiasa hidup menyatu dengan alam. Kebiasaan mengonsumsi lalap hanya salah satu pantulan dari cara hidup tersebut. Banyak manfaat yang diperoleh dari mengonsumsi lalapan. Budaya makan lalapan orang Sunda ternyata telah ada sejak abad ke-10 Masehi dan disebut dalam Prasasti Taji 901 Masehi. Hal ini diungkapkan oleh peneliti sejarah Fakultas Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran,

Fadly Rahman. Fadly Rahman mengatakan bahwa dalam Prasasti Taji tahun 901

Masehi, disebut sebuah nama sajian atau makanan bernama kuluban Sunda yang artinya lalap (Hendariningrum, 2018). Walaupun demikian, masyarakat Jawa juga mengadaptasi kebiasaan lalapan dari masyarakat Sunda karena dipengaruhi oleh letak geografinya.

Selain itu, alam dan manusia memiliki hubungan yang sangat berkaitan.

Secara khusus lingkungan kultural dapat dikaitkan juga dengan kondisi dan mutu lingkungan hidup kebahasaan. Begitu juga dengan bahasa Jawa di Desa Bingkat.

Bahasa Jawa hadir dan hidup bersama dengan penuturnya di salah satu daerah yang ada di Kota Medan khususnya di Desa Bingkat Kecamatan Pegajahan

Kabupaten Serdang Bedagai. Masyarakat di sana hidup bergantung pada alam.

Terkadang masyarakat di sana memakan apa saja yang ada di sekitarnya, seperti lalapan.

Penelitian ini membatasi masalah pada leksikon nomina. Dalam penelitian ini, leksikon lalapan yang dibagi menjadi empat bagian, yaitu lalapan yang berbentuk daun-daunan, lalapan yang berbentuk buah, lalapan yang berbentuk umbi-umbian,

2

Universitas Sumatera Utara dan lalapan yang berbentuk biji-bijian, sehingga dengan pembagian ini pembaca atau masyarakat lebih memahaminya. Misalnya, „beluntas‟ yang dalam bahasa

Jawa „luntas‟. Luntas berupa tumbuhan semak yang bercabang banyak, berdaun lonjong, dan memiliki bulu. Luntas biasanya dimakan mentah bersama .

Selain dimakan daun luntas juga bisa sebagai obat penghilang rasa pegal. Adanya hubungan antara manusia dan lingkungan alam menyebabkan masyarakat mencari tahu khasiat yang terkandung dalam daun luntas. Walaupun lalapan, daun luntas sering dijadikan masyarakat sebagai tanaman pagar di rumah. Namun, seiring waktu tumbuhan luntas mulai jarang ditemukan di Desa Bingkat karena kurangnya pelestarian luntas dan pola pikir yang berkembang membuat masyarakat mulai mengganti tumbuhan luntas dengan tumbuhan lain sebagai tanaman pagar. Jadi, interaksi dari generasi tua ke generasi muda menyebabkan daun luntas jarang dikenal dan dipelihara oleh masyarakat di Desa Bingkat.

Akibat faktor pola pikir masyarakat dan kurangnya perhatian terhadap lalapan membuat referen tersebut jarang ditemukan, sehingga generasi muda tidak mudah untuk mengenalnya. Oleh karena itu, peneliti ingin mengungkapkan kebenaran leksikon lalapan dalam bahasa Jawa di Desa Bingkat melalui perspektif ekolinguistik. Juga peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai leksikon lalapan apa saja yang terdapat di Desa Bingkat dan sejauh mana masyarakat menguasai leksikon-leksikon lalapan tersebut.

3

Universitas Sumatera Utara 1.2 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi permasalahan yang akan dibahas dengan maksud untuk menghindari kesalahpahaman tentang judul “Ekoleksikon

Lalapan bahasa Jawa di Desa Bingkat Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang

Bedagai”. Penelitian ini dibatasi pada leksikon lalapan dalam nomina pada bahasa

Jawa di Desa Bingkat.

1.3 Rumusan Masalah

Masalah penelitian ekoleksikon lalapan bahasa Jawa di Desa Bingkat ini membahas tentang:

1. Apa sajakah ekoleksikon nomina lalapan berdasarkan dimensi biologis,

sosiologis, ideologi, serta parameter ekologi pada bahasa Jawa di Desa

Bingkat?

2. Bagaimanakah tingkat pemahaman masyarakat Jawa terhadap leksikon

nomina terkait lalapan di Desa Bingkat?

3. Apa sajakah faktor-faktor bertahan dan menyusutnya suatu leksikon

lalapan di Desa Bingkat?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian tentang ekoleksikon lalapan bahasa Jawa di Desa Bingkat bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan ekoleksikon nomina lalapan berdasarkan dimensi

biologis, sosiologis, ideologi, serta parameter ekologi pada bahasa Jawa di

Desa Bingkat.

4

Universitas Sumatera Utara 2. Mendeskripsikan tingkat pemahaman masyarakat Jawa terhadap leksikon

nomina terkait lalapan di Desa Bingkat.

3. Mendeskripsikan faktor-faktor bertahan dan menyusutnya suatu leksikon

lalapan di Desa Bingkat.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat, baik secara teoretis maupun praktis sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi tentang aneka lalapan dalam bahasa Jawa di Desa

Bingkat Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai khususnya ilmu linguistik dalam bidang ekolinguistik.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini antara lain:

1. Masyarakat dapat mengenali dan mengetahui leksikon lalapan baik yang

berbentuk daun muda, buah muda, umbi-umbian, dan biji-bijian dalam

bahasa Jawa di Desa Bingkat.

2. Masyarakat dapat memperoleh daftar leksikon nomina dalam lalapan

bahasa Jawa di Desa Bingkat sehingga dapat dibaca oleh generasi

berikutnya.

3. Dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi peneliti lain atau

pengguna bahasa Jawa di Desa Bingkat.

5

Universitas Sumatera Utara BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Dalam penelitian ekoleksikon lalapan bahasa Jawa di Desa Bingkat

Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai perlu dipaparkan konsep dasar agar mudah memahami topik terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep tersebut dipaparkan sebagai berikut.

2.1.1 Leksikon

Istilah leksikon berasal dari kata Yunani kuno lexicon yang berarti „kata‟,

„ucapan‟, atau „cara berbicara‟ (Chaer, 2007:6). Leksikon digunakan untuk mewadahi konsep „kumpulan leksem‟ dari satu bahasa, baik kumpulan secara keseluruhan maupun secara sebagian.

Leksikon sedikit dibedakan dari perbendaharaan kata karena leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa (Sibarani, 1997:4).

Kridalaksana (2008:142) mengatakan bahwa leksikon adalah 1) komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; 2) kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa; kosa kata; pembendaharaan kata; 3) daftar kata yang disusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis.

6

Universitas Sumatera Utara 2.1.2 Lalapan

Lalapan berasal dari kata lalap. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2007:628), lalap adalah daun-daun muda, mentimun, petai mentah, dsb yang dimakan bersama-sama dengan sambal dan nasi. Selain berwujud daun-daunan seperti daun pepaya atau selada, lalapan juga dapat berupa buah muda, umbi- umbian dan juga biji-bijian. Lalapan sudah dikenal pada masa kolonial yang disebut juga groentengerechten (makanan sayuran).

2.1.3 Kata Benda (Nomina)

Kata benda (nomina) adalah kelas kata yang dalam bahasa Indonesia ditandai oleh tidak dapatnya bergabung dengan kata tidak (Menurut KBBI, 2007:785).

Kata benda (nomina) adalah kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan (Chaer, 1994:166). Menurut Kridalaksana (2008:163) bahwa nomina adalah kelas kata yang biasanya dapat berfungsi sebagai subyek atau obyek dari klausa; kelas kata ini sering berpadanan dengan orang, benda, atau hal lain yang dibendakan dalam alam di luar bahasa; kelas ini dalam bahasa Indonesia ditandai oleh tidak dapatnya bergabung dengan kata tidak.

2.1.4 Bahasa dan Lingkungan

Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan

(kondisi) alam sekitarnya (lingkungan) (KBBI, 2007:286). Bahasa dan lingkungan memiliki keterikatan yang saling mempengaruhi. Dalam tulisannya Language,

Ecology, and Environment, (Muhlhausler dalam Surbakti, 2012) menyebut ada empat yang memungkinkan hubungan antara bahasa dan lingkungan. Semuanya

7

Universitas Sumatera Utara menjadi subjek yang berbeda dari kajian linguistik pada satu waktu, atau pada waktu yang lain. Keempat hubungan tersebut adalah (1) bahasa berdiri dan terbentuk sendiri (Chomsky, Linguistik Kognitif); (2) bahasa dikonstruksi alam

(Marr); (3) alam dikontruksi bahasa (structuralism dan pascastructuralism); dan

(4) bahasa saling berhubungan dengan alam-keduanya saling mengkonstruksi, tapi jarang berdiri sendiri (ekolinguistik).

Selain itu, dalam ekolinguistik mengenal lingkungan bahasa dan bahasa lingkungan. Lingkungan bahasa (language ecology) adalah produk dan kondisi alam dan bersifat alamiah, sedangkan bahasa lingkungan (ecologycal language) adalah produk budaya, produk manusia dan masyarakat (Mbete, 2013:2).

2.2 Landasan Teori

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekolinguistik. Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi. Pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Fenomena ini merupakan bidang kajian ekolinguistik, yaitu suatu disiplin ilmu yang mengkaji bahasa dan lingkungannya dan menyanding ekologi dan linguistik (Mbete dalam

Suktiningsih, 2016). Pendekatan ekolinguistik memandang bahasa sebagai wadah yang secara fungsional merekam pengetahuan manusia tentang lingkungan alam sekitarnya juga lingkungan sosial budaya sebagai tanda adanya relasi dan interaksi mereka dengan alam.

Para pakar yang membicarakan tentang definisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau linguistik hijau dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap objek kajian ekolinguistik. Jelaslah bahwa ekolinguistik menekankan

8

Universitas Sumatera Utara tujuan mereka kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa dan ekologi dari perspektif yang lebih luas. Adapun tiga parameter ekolinguistik, yang juga bertolak dari parameter ekologi, juga parameter linguistik yakni satuan-satuan bentuk dan makna lingual, harus dirujuk. Menurut Mbete

(2013:18) bahwa tiga parameter ekologi itu, seperti environment (lingkungan), diversity (keberagaman), interrelation, interaction, dan juga interdependence

(kesalingberhubungan, interaksi, dan kesalingtergantungan).

Selain itu pada tataran leksikon, dinamika, dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi (Bundsgaard dan Steffensen, 2000:11-14 dalam Mbete,

2013:30) antara lain:

1) Dimensi adicita (ideology) bertautan dengan mental, kognisi, ideologis,

dan sistem psikis individual-kolektiva kita sebagai warga guyub tutur;

2) Dimensi sosiologis, berkaitan dengan cara-cara kita mengorganisasi dan

mengola interelasi untuk merawat kolektivas antarindividu agar saling

mengasihi (baik dengan sesama anggota keluarga maupun dengan sesama

teman, bahkan dengan sesama ciptaan Tuhan), mengenali, memelihara,

menyayangi, dan mengakrabi sesama tetangga atau guyub etnik, juga

dengan orang yang tidak seetnik, atau tidak segolongan, dengan sesama

yang tidak dikenal (misalnya dalam kehidupan politik atau di lingkungan

sosial tertentu).

3) Dimensi biologis, berkaitan dengan kolektiva biologis, kebersamaan hadir

dan hidup atau koeksistensi manusia dengan spesies lainnya (hewan-

hewan, tetumbuhan, tanah, pasir, bebatuan).

9

Universitas Sumatera Utara Dalam perspektif ekolinguistik, perubahan bahasa mencerminkan atau menggambarkan perubahan lingkungan. Perubahan bahasa bersifat dinamis, sebagai akibat dari persentuhan dengan kode-kode lain yang membuat bahasa itu berubah (Chaer dan Agustina, 2010: 134). Demikian sebaliknya baik lingkungan budaya maupun lingkungan alam berubah dalam arti berkurang atau menghilangnya biota baik fauna maupun flora di lingkungan alam budaya tertentu, sehingga dapat pula mengubah pengetahuan, pemahaman, dan interelasi dengan alam lingkungan itu. Oleh karena itu, bahasa yang hidup adalah bahasa yang dituturkan atau yang ditulis secara teratur dan berkelanjutan (Mbete,

2013:28).

2.3 Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka memuat hasil-hasil penelitian, artikel, atau pustaka- pustaka mutakhir yang berkaitan dengan penelitian yang kita kaji. Sehubungan dengan itu, perlu dipertimbangkan juga keterkaitannya dan manfaatnya bagi penelitian yang akan dilakukan. Manfaat yang dimaksudkan itu berupa fakta, konsep, teori, maupun metodologi yang digunakan dalam pustaka yang dikaji

(Mbete, 2013:15).

Surbakti (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Leksikon Ekologi Kesungaian

Lau Bingei : Kajian Ekolinguistik” mendeskripsikan pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei dan menjelaskan nilai-nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo. Teori yang digunakan adalah teori ekolinguistik dan antropolinguistik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Sumber

10

Universitas Sumatera Utara data primer penelitian ini adalah kata-kata dari informan yang berprofesi sebagai pembuat obat tradisional dan petani di lingkungan irigasi Namo Sira-Sira

Kecamatan Sei Bingei. Selanjutnya, data sekunder merupakan dokumen tertulis berupa kamus bahasa Karo dan buku-buku yang berhubungan dengan lingkungan kesungaian Lau Bingei. Pengumpulan data penelitian ini terkait dengan nomina dan verba melalui wawancara mendalam dan observasi partisipan.

Hasil penelitian ini terdapat 14 kelompok leksikon ekologi kesungaian Lau

Bingei sebanyak 520, masing-masing terdiri atas 409 leksikal nomina dan 111 leksikon verba. Nilai budaya yang terdapat dalam leksikon ekologi kesungaian

Lau Bingei, yaitu (1) nilai sejarah, (2) nilai religius dan keharmonisan, (3) nilai sosial dan budaya, (4) nilai kesejahteraan, (5) nilai ciri khas. Sementara, nilai kearifan lingkungan, yaitu (1) nilai kedamaian, (2) nilai kesejahteraan gotong royong, (3) penentuan batas wilayah, dan (4) penentuan arah. Penelitian Surbakti memberikan kontribusi terhadap pengayaan teori-teori ekolinguistik dan metode penelitian.

Widayati, dkk (2012) dalam penelitian mereka yang berjudul “Perubahan

Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Asahan” mendeskripsikan khazanah lingual tataran leksikal yang mempresentasikan kekayaan lingkungan sosioekologis komunitas Melayu Asahan dan mendeskripsikan faktor yang melatarbelakangi pergeseran dan penyusutan fungsi sosioekologis bahasa Melayu Asahan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif.

Hasil analisis adalah banyak leksikon biota sungai yang sudah tidak dapat ditemukan entitasnya. Nama tumbuhan ada yang masih dikenal dan ada juga yang sudah tidak dikenal. Kemudian juga leksikon peralatan tradisional, peralatan

11

Universitas Sumatera Utara rumah, dan bagian rumah sudah banyak yang tidak dikenal lagi oleh kelompok penutur muda akibat kemunculan peralatan yang lebih modern. Kelangkaan leksikon tumbuhan di daerah ini juga dilatarbelakangi oleh meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang memberi dampak terhadap kebertahanan tumbuhan sekitar karena situasi itu tentu mengakibatkan munculnya bangunan- bangunan baru. Jadi, dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa bergeser dan menyusutnya fungsi sosioekologis bahasa Melayu Asahan disebabkan dua faktor, faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi penyusutan konsep, dan faktor eksternal meliputi alam, pemukiman, alat-alat modern, dan pencemaran lingkungan. Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap konsep dan metode kualitatif dalam penelitian ini.

Renjaan (2014) dalam artikelnya yang berjudul “Leksikon Bahasa Kei dalam

Lingkungan Kelautan: Kajian Ekolinguistik”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan didukung analisis kuantitatif, sedangkan data yang dianalisis menggunakan teori ekolinguistik. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa ada penurunan tingkat pengetahuan pada sebagian kecil kelompok leksikon kelautan pada usia 25-45 tahun, yaitu 11 (12,2%) dan yang sangat rendah adalah kelompok usia 15-24 tahun, yaitu 18 (20%) sedangkan tingkat pengetahuan yang sangat tinggi ditemukan pada kelompok usia di atas 46 tahun, yaitu 3 (3,3%). Perbedaan tingkat pengetahuan informan disebabkan oleh faktor-faktor: (1) perubahan lingkungan kelautan, (2) proses penerusan atau transfer dari generasi tua ke generasi muda yang kurang, dan (3) pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon lebih dominan. Kontribusi yang

12

Universitas Sumatera Utara diberikan dalam penelitian ini berupa teori dan metode yang digunakan dalam penelitian.

Rizkyansyah (2015) dalam skripsinya yang berjudul “ Leksikon Nomina dan

Verba Bahasa Jawa dalam Lingkungan Persawahan di Tanjung Morawa : Kajian

Ekolinguistik” membahas leksikon nomina dan verba bahasa Jawa dalam lingkungan persawahan di Tanjung Morawa melalui perspektif ekolinguistik.

Teori yang digunakan yaitu teori ekolinguistik. Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dan metode kuantitatif. Data yang digunakan untuk mendukung penelitian diambil dengan teknik wawancara, observasi, dan penyebaran kuesioner. Data penelitian ini adalah leksikon nomina dan verba yang terkait dengan leksikon persawahan dan perladangan di Tanjung Morawa.

Hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa leksikon persawahan dalam bahasa

Jawa di Tanjung Morawa terdiri atas sebelas kelompok leksikon yaitu (1) leksikon bagian sawah (2) leksikon benda-benda persawahan dan perladangan (3) leksikon peralatan produksi hasil panen (4) leksikon alur beras dan palwija (5) leksikon alat dan mesin pertanian (6) leksikon tumbuhan sawah dan sekitar sawah (7) leksikon tanaman ladang (8) leksikon nama tumbuhan obat di sekitar sawah dan ladang (9) leksikon fauna dalam persawahan dan perladangan (10) leksikon alat penangkap ikan (11) leksikon alat penangkap burung. Dari sebelas kelompok leksikon tersebut diperoleh 222 leksikon nomina dan leksikon verba terdiri atas 36 leksikon dan total leksikon yang ditemukan dalam persawahan dan perladangan di Tanjung

Morawa adalah 258 leksikon. Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap konsep, teori, dan metode dalam penelitian.

13

Universitas Sumatera Utara Dhuhani (2018) dalam skripsinya yang berjudul “Ekoleksikon Perikanan dalam Bahasa Melayu Kepulauan Riau Desa Tanjung Kelit Kecamatan Senayang

Kabupaten Lingga Kepulauan Riau”. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ekolinguistik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dan metode kuantitatif. Pengumpulan data yang dilakukan menggunakan metode cakap, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Metode cakap terdiri atas beberapa teknik, teknik yang digunakan adalah teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan. Pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini terdapat dua khazanah leksikon nomina perikanan, yaitu nama-nama ikan yang hidup di laut dan alat-alat yang mendukung dalam penangkapan ikan. Dua khazanah leksikon perikanan tersebut terdapat 147 leksikon perikanan di Desa Tanjung Kelit Kepulauan Riau, 133 leksikon nomina perikanan nama-nama ikan yang hidup di laut, dan 14 leksikon nomina perikanan alat-alat yang mendukung dalam penangkapan ikan. Kontribusi yang diberikan dalam penelitian ini berupa teori dan metode yang digunakan dalam penelitian.

14

Universitas Sumatera Utara BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ekoleksikon lalapan bahasa Jawa di Desa Bingkat Kecamatan

Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Peneliti memilih lokasi Desa Bingkat karena penduduk suku Jawa yang banyak, sekitar 6.347 jiwa.

Selain itu, masyarakat di Desa Bingkat banyak berprofesi sebagai buruh tani dan petani sehingga masyarakatnya masih menggunakan bahasa Jawa dalam aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, masyarakat Bingkat selalu berinteraksi dengan lingkungan alam sekitarnya.

Pengumpulan data leksikon lalapan ini dilakukan selama dua minggu. Selain pengumpulan data, peneliti juga melakukan pengamatan terhadap pola kehidupan masyarakat setempat guna melihat khazanah leksikon lalapan. Jadi, secara keseluruhan penelitian ini dilakukan selama satu bulan.

3.2 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ekoleksikon lalapan bahasa Jawa di Desa Bingkat

Kecamatan Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai ini diperoleh dari informan dan responden, berupa leksikon nomina.

Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa kata-kata yang diperoleh dari informan di Desa Bingkat yang sehari-harinya menggunakan bahasa Jawa. Informan adalah para petani yang hidup dan sudah lama bertempat tinggal di Desa Bingkat. Data sekunder berupa

15

Universitas Sumatera Utara dokumen tertulis berupa buku-buku, jurnal, serta situs internet yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2005:6). Dengan pengertian tersebut, metode kualitatif tepat digunakan untuk mencari data, menganalisis data, serta melihat fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Salah satu ciri penelitian kualitatif ialah manusia sebagai alat (instrumen). Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama (Moleong,

2005:9). Selanjutnya, metode kuantitatif bertujuan untuk menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol fenomena melalui pengumpulan data terfokus dari data numerik (Moleong, 2005:31). Dengan begitu, tingkat pemahaman masyarakat terhadap leksikon lalapan dalam bahasa Jawa di Desa Bingkat dapat dibagi atas tiga kelompok usia yang berbeda.

3.4 Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu, metode cakap, observasi, wawancara mendalam, serta memberikan kuesioner kepada responden. Metode cakap terdiri atas beberapa teknik, teknik yang

16

Universitas Sumatera Utara digunakan adalah teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat

(Sudaryanto, 1993: 137-139). Teknik cakap semuka bisa disejajarkan dengan wawancara. Biasanya, orang yang dipancing bicaranya itu dengan demikian merupakan narasumber bahan penelitian, pemberi informasi, dan pembantu si peneliti dalam tahap perolehan data yang dicadangkan atau disediakan untuk dianalisis itu, dan biasa disebut informan (Mahsun, 2015:209). Adanya informan dalam penelitian, memudahkan peneliti untuk menggali sejumlah leksikon lalapan di Desa Bingkat tersebut. Berikut ini syarat-syarat informan menurut

Mahsun (1995: 105-106) adalah:

1. Berjenis kelamin pria atau wanita;

2. Berusia antara 25-65 tahun (tidak pikun);

3. Orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu serta

jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya;

4. Berpendidikan maksimal tamat pendidikan dasar (SD-SLTP);

5. Berstatus sosial menengah (tidak rendah atau tidak tinggi) dengan harapan

tidak terlalu tinggi mobilitasnya;

6. Pekerjaannya bertani;

7. Memiliki kebanggaan terhadap bahasa Jawa;

8. Dapat berbahasa Indonesia; dan

9. Sehat jasmani dan rohani.

Sehat jasmani maksudnya tidak cacat berbahasa dan memiliki pendengaran yang tajam untuk menangkap pertanyaan-pertanyaan dengan tepat, sedangkan sehat rohani maksudnya tidak gila atau pikun. Dalam penelitian ini dibutuhkan paling sedikit tiga orang informan dan dari tiga orang informan itu haruslah

17

Universitas Sumatera Utara ditentukan satu orang sebagai informan utama, sedangkan yang lainnya sebagai pendamping (Mahsun, 2005:135).

Selanjutnya, dalam berinteraksi dengan informan, peneliti menggunakan bahasa Indonesia. Setelah melakukan wawancara, peneliti juga meyebarkan kuesioner yang berisi tentang leksikon lalapan yang diperoleh dari informan untuk ditanyakan ke responden. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat Desa Bingkat terhadap leksikon lalapan. Adapun syarat-syarat responden, yakni:

1. Responden dibagi atas tiga kelompok usia (Mubin dan Cahyadi, 2006:106-

115 dalam Rizkyansyah, 2015), yaitu:

1) Kelompok usia remaja (15-20 tahun),

2) Kelompok usia dewasa, yaitu awal masa dewasa (21-45 tahun), dan

3) Kelompok pertengahan masa dewasa dan masa dewasa lanjut atau

masa tua (di atas 46 tahun).

2. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2011:81). Adapun penelitian ini

menggunakan rumus Slovin karena dalam penarikan sampel, jumlahnya

harus representative agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan dan

perhitungannya pun tidak memerlukan tabel jumlah sampel, tapi dapat

dilakukan dengan rumus dan perhitungan sederhana.

Rumus Slovin dalam menentukan sampel sebagai berikut:

N n = 1+N e ²

18

Universitas Sumatera Utara Ket :

n = ukuran sampel/ jumlah responden

N = ukuran populasi

E = presentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel yang

masih bisa ditolerir, e = 0,1 (10 %)

Jadi, rentang sampel yang dapat diambil dari teknik Slovin adalah 10%

dari populasi penelitian.

Menurut data dari kelurahan, populasi di Desa Bingkat sebanyak 6.347 orang. Populasi pada kelompok usia remaja sekitar 574 orang, populasi pada kelompok usia dewasa sekitar 1.610 orang, dan populasi pada kelompok usia tua sekitar 885 orang. Jadi, setiap kelompok usia dapat ditarik sampelnya sebagai berikut:

Kelompok usia remaja (574 orang)

n = ²

= ²

=

n = 85,16 ≈ 85 orang

Kelompok usia dewasa (1.610 orang)

N n = 1+N e ²

= ²

19

Universitas Sumatera Utara

=

n = 94,15 ≈ 94 orang

Kelompok usia tua (885 orang)

n = ²

= ²

=

n = 89,84 ≈ 90 orang

3.5 Metode Analisis Data

Metode yang digunakan adalah metode padan, yaitu metode analisis bahasa yang penentunya diluar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Metode padan yang digunakan pada tahapan pengkajian data adalah metode padan referensial. Teknik yang digunakan dalam metode padan ini adalah teknik pilah unsur penentu (PUP) sebagai pembeda referen. Alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto, 1993:21). Selain itu, analisis data hasil penelitian akan dilakukan dengan beberapa cara untuk memperoleh hasil yang diinginkan dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, yaitu: a. Data Reduction (Reduksi Data) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan

20

Universitas Sumatera Utara demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. b. Data Display (Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data.

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan hubungan antarkategori, flowchart dan sejenisnya. Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. c. Conclusion Drawing / Verifacation

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and Huberman dalam Sugiyono (2016: 412) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti–bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Untuk itu metode kualitatif digunakan untuk menjawab permasalahan pertama yaitu mendeskripsikan sejumlah leksikon lalapan berdasarkan dimensi dan parameter ekologi yang terdapat pada bahasa Jawa di Desa Bingkat.

Berikutnya, untuk menjawab permasalahan kedua menggunakan metode kuantitatif. Rumus yang digunakan untuk mendapat persentasi pemahaman kelompok usia responden adalah:

P = x 100% N

21

Universitas Sumatera Utara Ket : P = Persentase

F = Jumlah Temuan

N = Total Responden

Dengan tabel di bawah ini:

Kelompok Usia I Kelompok Usia II Kelompok Usia III

No. Leksikon (15-20 tahun) (21-45 tahun) (≥46 tahun)

1 2 3 1 2 3 1 2 3

Keterangan ;

1. Angka 1, yaitu mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah

menggunakan.

2. Angka 2, yaitu tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar,

dan tidak pernah menggunakan.

3. Angka 3, yaitu tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah

mendengar, dan tidak pernah menggunakan (dalam skripsi Dhuhani,

2018).

Dalam menganalisis data, jawaban dari setiap responden disimbolkan dengan angka, lalu angka-angka tersebut dijumlahkan dan diubah ke dalam bentuk persen.

Sehingga, akan terlihat perhitungan dari tingkat pemahaman masyarakat Jawa di

Desa Bingkat tersebut. Selanjutnya, untuk menjawab permasalahan ketiga menggunakan metode kualitatif.

22

Universitas Sumatera Utara 3.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penyajian hasil analisis data pada penelitian ini adalah metode informal dan metode formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa – walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya. Metode penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang- lambang (Sudaryanto, 1993:145).

23

Universitas Sumatera Utara BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Ekoleksikon nomina lalapan berdasarkan dimensi dan parameter ekologi pada bahasa Jawa di Desa Bingkat

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menemukan 32 leksikon nomina lalapan dalam bahasa Jawa di Desa Bingkat. Berikut ini leksikon lalapan di Desa Bingkat yang tertera dalam tabel :

No Leksikon Glos Indonesia Glos Latin 1 godong sintrong daun sintrong Crassocephalum crepidioides 2 suring kenikir Cosmos caudatus 3 semangi semanggi Sphenoclea zeylanica gaertn 4 godong kates daun papaya Carica papaya 5 godong jambu daun jambu monyet Anacardium occidentale mente 6 luntas beluntas Pluchea indica 7 binahong binahong Anredera cordifolia 8 godong meranti daun ranti Solanum nigrum 9 belimbing- belimbing tanah Oxallis barrelieri belimbingan 10 selada selada keriting Lactuca sativa 11 kemangi kemangi Ocimum citriodorum 12 kol kubis Brassica oleracea var.capitata 13 godong jambu daun jambu biji Psidium guajava klutuk 14 cempokak rimbang Solanum torvum 15 timun mentimun Cucumis sativus 16 tomat tomat Solanum lycopersicum 17 meranti ranti Solanum nigrum 18 terong gelatik terung bulat Solanum melongena L 19 jambu air benik jambu air merah Syzygium aqueum 20 semangka enom semangka muda Citrullus lanatus 21 kacang panjang kacang panjang Vigna unguiculata ssp. Sesquipedalis 22 cipir kecipir Psophocarpus tetragonolobus 23 babal nangka muda Artocarpus heterophyllus 24 pare hutan pare alas Momordica balsamina 25 wortel wortel Daucus carota

24

Universitas Sumatera Utara 26 bawang merah bawang merah Allium cepa var. aggregatum batak 27 bengkoang bengkuang Pachyrhizus erosus 28 kacang koro kacang kayu Cajanus cajan 29 pete papan petai 30 lamtoro petai cina Leuncaena leucocephala 31 cambah kecambah Vigna radiate 32 jengkol enom jengkol muda Tabel 4.1 Leksikon Nomina Lalapan

Setelah itu, dari 32 leksikon lalapan yang ditemukan oleh peneliti kemudian dikelompokkan menjadi empat bagian. Berikut ini klasifikasi lalapan di

Desa Bingkat:

No Klasifikasi leksikon nomina lalapan Jumlah leksikon

1 Lalapan bentuk daun muda 13

2 Lalapan bentuk buah 11

3 Lalapan bentuk umbi 3

4 Lalapan bentuk biji 5

Jumlah 32

Tabel 4.2 Klasifikasi Leksikon Nomina Lalapan

Selanjutnya, pembagian kelompok lalapan tersebut akan dijelaskan dengan dimensi biologis, dimensi sosiologis, dan dimensi ideologi. Kemudian, akan ditambah dengan penjelasan dari parameter ekolinguistik, seperti interaksi, interelasi, dan interdepedensi.

4.1.1 Lalapan bentuk daun muda

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 13 leksikon lalapan yang berbentuk daun muda, yaitu sebagai berikut: (1) godong sintrong „daun sintrong‟ (2) suring „kenikir‟ (3) semangi „semanggi‟ (4) godong kates „daun

25

Universitas Sumatera Utara pepaya‟ (5) godong jambu mente „daun jambu monyet‟ (6) luntas „beluntas‟ (7) binahong „gendola‟ (8) godong meranti „daun ranti‟ (9) belimbing-belimbingan

„belimbing tanah‟ (10) selada „selada keriting‟ (11) kemangi „kemangi‟ (12) kol

„kubis‟ (13) godong jambu klutuk „daun jambu biji‟.

1. Godong sintrong „daun sintrong‟

Gambar 4.1 godong sintrong

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari sintrong adalah Crassocephalum crepidioides. Secara biologis, sintrong berupa terna yaitu tumbuhan dengan batang lunak, tidak berkayu, dan memiliki ukuran 1 meter. Selain itu, bentuk dari sintrong memiliki daun lonjong, bergerigi, dan godong sintrong memiliki rasa yang harum jika diremas-remas. Berdasarkan dimensi sosiologis, godong sintrong biasa dimakan mentah bersama nasi dan sambal. Meskipun, sering dijadikan lalapan masyarakat

Bingkat juga sering mencampurnya dalam nasi . Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat godong sintrong dipercaya sebagai obat masuk angin.

26

Universitas Sumatera Utara b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap daunnya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam godong sintrong, sehingga menjadikannya sebagai obat. Sintrong biasa tumbuh di perkarangan rumah dan ladang. Namun, tumbuhan ini mulai jarang ditemukan di Desa Bingkat. Ini disebabkan karena masyarakat Bingkat kurang peduli terhadap lingkungan sekitar sehingga membuat para generasi muda tidak kenal akan bentuk dan rasa dari sintrong. Begitu pula, sintrong tumbuh sendiri dan tidak ditanam oleh masyarakat, sehingga sintrong sering tumbuh bersama rumput sedangkan para petani sering meracuni rumput dan tanpa sengaja meracuni sintrong juga. Kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenali tumbuhan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda kurang mengenali sintrong dari kognisi mereka.

2. Suring „kenikir‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari suring adalah Cosmos caudatus. Secara biologis, suring berupa terna yaitu tumbuhan dengan batang lunak, tidak berkayu, memiliki daun bertangkai panjang, dan daun yang berhadap-hadapan. Selain itu, suring juga memiliki daun dan bunga yang harum. Berdasarkan sosiologis, sebagian masyarakat ada yang memakan lalapan secara mentah dan ada yang merebusnya terlebih dahulu. Kemudian, suring juga sering dijadikan campuran dalam nasi urap.

27

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.2 suring b. Berdasarkan parameter ekologi

Tumbuhan suring biasa tumbuh di ladang, tepi sawah dan perkarangan rumah.

Namun, keberadaan suring mulai jarang ditemukan di Desa Bingkat. Walaupun begitu, masyarakat Bingkat sering memakan lalapan suring meskipun para generasi muda kurang minat terhadap lalapan suring. Akibatnya, generasi muda tidak mengenal bentuk dan rasa dari suring. Kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenali tumbuhan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda kurang mengenali suring dari kognisi mereka.

28

Universitas Sumatera Utara 3. Semangi „semanggi‟

Gambar 4.3 semangi a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari semangi adalah Marsilea. Secara biologis, semangi termasuk tumbuhan yang menjalar dan memiliki daun berbentuk tiga bulatan di atas satu tangkai. Kemudian, ada sebagian masyarakat yang menyebut semangi dengan sebutan „semanggi‟ dan „rumput kembang goyang‟. Selain itu, semangi memiliki rasa yang gurih, sehingga bisa dijadikan lalapan. Meskipun, secara sosiologis masyarakat biasa melalap semangi dalam keadaan mentah dan ada yang merebus terlebih dahulu.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Keberadaan semangi masih dapat ditemukan di Desa Bingkat. Walaupun begitu, masyarakat Bingkat jarang memakan lalapan semangi dan hanya mengenalnya saja. Akibatnya, para generasi muda kurang mengenali bentuk dan rasa dari semangi. Selain itu, semangi tidak ditanam tetapi ia tumbuh sendiri di tepian sawah. Kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik

29

Universitas Sumatera Utara antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenali tumbuhan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda kurang mengenali semangi dari kognisi mereka.

4. Godong kates „daun pepaya‟

Gambar 4.4 godong kates a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari tumbuhan ini adalah Carica papaya. Secara biologis, tumbuhan kates memiliki daun menjari dan gerigi yang tidak beraturan.

Berdasarkan sosiologis, masyarakat Bingkat biasa melalap godong kates yang masih kecil sehingga rasanya tidak terlalu pahit. Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat godong kates berguna sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah.

30

Universitas Sumatera Utara b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap daunnya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam godong kates, sehingga menjadikannya sebagai obat. Selain itu, kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungan alam membuat tumbuhan kates sangat mudah ditemukan dan dikenal oleh generasi muda. Jadi, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat masyarakat masih kenal terhadap tumbuhan kates.

5. Godong jambu mente „daun jambu monyet‟

Gambar 4.5 godong jambu mente https://ecs7.tokopedia.net/img/cache/700/product- 1/2015/11/14/507408/507408_57a67a13-8e40-4d85-b9c7- fb871e84d6a3.jpg

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari tumbuhan ini adalah Anacardium occidentale. Secara biologis, tumbuhan jambu mente memiliki daun bundar telur terbalik. Selain itu, berdasarkan sosiologis godong jambu mente memiliki rasa sedikit asam sehingga

31

Universitas Sumatera Utara masyarakat menjadikannya lalapan. Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat godong jambu mente berguna sebagai obat kencing manis.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap daunnya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam godong jambu mente, sehingga menjadikannya sebagai obat. Namun, keberadaan tumbuhan ini mulai jarang ditemukan di Desa Bingkat. Selain itu, masyarakat Bingkat jarang memakan lalapan godong jambu mente dan hanya mengenalnya saja. Akibatnya, para generasi muda kurang mengenali bentuk dan rasa dari godong jambu mente.

Kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenal tumbuhan ini.

Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda kurang mengenali godong jambu mente dari kognisi mereka.

6. Luntas „beluntas‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari luntas adalah Pluchea indica. Secara biologis, luntas berupa tumbuhan semak yang bercabang banyak, berdaun lonjong, dan memiliki bulu halus di permukaan daunnya. Selain itu, luntas memiliki rasa yang sedikit pahit dan bau yang wangi. Berdasarkan sosiologis, masyarakat ada yang memakan luntas secara mentah, tapi ada juga yang merebusnya terlebih dahulu. Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat luntas dipercaya sebagai obat penghilang rasa pegal.

32

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.6 luntas

b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap daunnya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam godong luntas, sehingga menjadikannya sebagai obat. Namun, keberadaan luntas mulai jarang ditemukan di Desa Bingkat. Ini disebabkan tumbuhan luntas sering dijadikan pageran

(tanaman pagar) sedangkan masyarakat sering mengganti-ganti pageran di rumahnya. Sehingga pelestariannya tidak terjaga dengan baik dan membuat tumbuhan ini jarang ditemukan. Akibatnya, generasi muda kurang mengenali bentuk dan rasa dari luntas. Kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenal tumbuhan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda kurang mengenali luntas dari kognisi mereka.

33

Universitas Sumatera Utara 7. Binahong „gendola‟

Gambar 4.7 binahong

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari binahong adalah Anredera cordifolia. Secara biologis, binahong memiliki daun bundar dan bergelombang. Rasa dari binahong yaitu sedikit berlendir. Sebagian masyarakat menganggap binahong hampir sama dengan sirih hanya saja rasanya yang berbeda. Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat binahong sering dijadikan obat stamina dan mengobati asam urat.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap daunnya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam binahong, sehingga menjadikannya sebagai obat. Selain itu, keberadaan binahong masih mudah untuk ditemukan di Desa Bingkat. Walaupun begitu, masyarakat Bingkat jarang memakan lalapan binahong dan hanya mengenalnya saja. Akibatnya, para

34

Universitas Sumatera Utara generasi muda kurang mengenali bentuk dan rasa dari binahong. Kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenal tumbuhan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda kurang mengenali binahong dari kognisi mereka.

8. Godong meranti „daun ranti‟ (lihat gambar 4.17)

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari ranti adalah Solanum nigrum. Secara biologis, godong ranti memiliki panjang 3-5 cm dan permukaannya yang ditutupi bulu halus. Adapun rasa dari godong meranti yaitu gurih. Berdasarkan sosiologis, selain dilalap mentah masyarakat Bingkat juga sering mencampurkan godong meranti dalam masakan sehari-hari.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Tumbuhan meranti biasa tumbuh di daerah ladang. Namun, keberadaan tumbuhan ini mulai jarang ditemukan di Desa Bingkat. Ini disebabkan kurangnya pelestarian terhadap tumbuhan meranti sehingga tumbuhan ini tidak terawat dengan baik. Akibatnya para generasi muda kurang mengenali bentuk dan rasa dari godong meranti. Kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenal tumbuhan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda kurang mengenali godong meranti dari kognisi mereka.

35

Universitas Sumatera Utara 9. Belimbing-belimbingan „belimbing tanah‟

Gambar 4.9 belimbing-belimbingan https://biologinunik.files.wordpress.com/2013/03/oxa1.jpg

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari belimbing-belimbingan adalah Oxallis barrelieri. Secara biologis, belimbing-belimbingan berupa terna yaitu tumbuhan dengan batang lunak, tidak berkayu dan tumbuhan ini sekitar ˂1 meter. Belimbing-belimbingan memiliki rasa asam pada daunnya. Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat belimbing-belimbingan dipercaya dapat mengobati gula darah dan menurunkan kolestrol.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap daunnya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam belimbing-belimbingan, sehingga menjadikannya sebagai obat. Tumbuhan ini mulai jarang ditemukan karena belimbing-belimbingan tumbuh sendiri. Walaupun begitu, masyarakat

36

Universitas Sumatera Utara Bingkat jarang memakan lalapan belimbing-belimbingan dan hanya mengenalnya saja. Akibatnya para generasi muda kurang mengenali bentuk dan rasa dari belimbing-belimbingan. Kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenal tumbuhan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda kurang mengenali belimbing-belimbingan dari kognisi mereka.

10. Selada „selada keriting‟

Gambar 4.10 selada https://lemonilo.imgix.net/product/77012145c7e075bdeef3bb9a526f692e.jpeg?aut o=format&q=50&w=560

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari selada adalah Lactuca sativa. Secara biologis, selada memiliki daun keriting, berwarna hijau, dan rasa yang segar. Berdasarkan soiologis, selain enak dilalap mentah selada juga sering dijadikan campuran oleh masyarakat Bingkat.

37

Universitas Sumatera Utara b. Berdasarkan parameter ekologi

Selada tidak dapat tumbuh di Desa Bingkat. Walaupun begitu, adanya hubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungan alam membuat selada sangat mudah ditemukan dan dikenal oleh generasi muda. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal tumbuhan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali selada dari kognisi mereka.

11. Kemangi „kemangi‟

Gambar 4.11 kemangi

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari kemangi adalah Ocimum citriodorum. Secara biologis, kemangi memiliki daun yang lonjong dan bunga warna putih serta menjulang ke atas. Kemangi memiliki wangi yang khas. Berdasarkan sosiologis, selain dijadikan lalapan kemangi juga sering dibuat campuran dalam iwak (pepes ikan).

38

Universitas Sumatera Utara Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat kemangi dipercaya dapat menghilangkan bau mulut.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap daunnya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam kemangi, sehingga menjadikannya sebagai obat. Kemangi banyak tumbuh di daerah perkarangan rumah, sehingga keberadaan kemangi masih banyak ditemukan di Desa Bingkat.

Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal tumbuhan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenal kemangi dari kognisi mereka.

12. Kol „kubis‟

Gambar 4.12 kol

39

Universitas Sumatera Utara https://ecs7.tokopedia.net/img/cache/700/product- 1/2017/12/17/24785448/24785448_d1bae25f-943f-45a5-9fc7- 0713463387be_1500_1500.jpg

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari kol adalah Brassica oleracea var. capitata. Secara biologis, bentuk kol berbentuk bulat dan memiliki warna hijau; putih; dan ungu.

Berdasarkan sosiologis, masyarakat Bingkat biasanya mengomsumsi kol yang berwarna putih. Apalagi bagian inti dari kol tersebut memiliki rasa yang manis sehingga sangat nikmat dimakan bersama nasi panas dan sambal belacan.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Sama seperti kemangi, keberadaan kol cukup mudah untuk ditemukan di Desa

Bingkat. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal tumbuhan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenal kol dari kognisi mereka.

13. Godong jambu klutuk „daun jambu biji‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari tumbuhan jambu klutuk yaitu Psidium guajava. Secara biologis, tumbuhan ini memiliki daun berbentuk bulat dan lonjong. Berdasarkan soiologis, masyarakat biasanya sering menggunakan daunnya yang tua untuk rebusan bunga kates agar rasanya tidak pahit. Namun, godong jambu klutuk yang masih muda jika dilalap mentah akan menimbulkan rasa yang asam dan sepat.

Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan

40

Universitas Sumatera Utara pengalaman dan pengetahuan membuat godong jambu klutuk dipercaya untuk mengatasi diare.

Gambar 4.13 godong jambu klutuk

b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap daunnya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam godong jambu klutuk, sehingga menjadikannya sebagai obat. Saat ini, masih banyak tumbuhan jambu klutuk tumbuh di Desa Bingkat, sehingga generasi muda masih mengenal walaupun tidak suka memakannya. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal tumbuhan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali godong jambu klutuk dari kognisi mereka.

41

Universitas Sumatera Utara 4.1.2 Lalapan bentuk buah

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 11 leksikon lalapan bentuk buah muda, yaitu: (1) cempokak „rimbang‟ (2) timun „mentimun‟ (3) tomat

„tomat‟ (4) meranti „ranti‟ (5) terong gelatik „terung bulat‟ (6) jambu air benik

„jambu air merah‟ (7) semangka enom „semangka muda‟ (8) kacang panjang

„kacang panjang‟ (9) cipir „kecipir‟ (10) babal „nangka muda‟ (11) pare hutan

„pare alas‟.

1. Cempokak „rimbang‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari cempokak adalah Solanum torvum. Secara biologis, tumbuhan ini memiliki buah yang berbentuk bulat, kecil, dan berwarna hijau. Biasanya rasa dari buah cempokak yaitu sedikit manis. Berdasarkan sosiologis, selain dimakan mentah cempokak sering dijadikan campuran masakan misalnya seperti teri jos

(sambal teri kuah). Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat cempokak sering dijadikan lalapan karena dapat menambah nafsu makan.

Gambar 4.14 cempokak

42

Universitas Sumatera Utara b. Berdasarkan ekologi parameter

Cempokak banyak tumbuh di Desa Bingkat. Adanya kesalingtergantungan terhadap cempokak membuat masyarakat menjaga dan melestarikannya.

Walaupun sebagian masyarakat tidak suka melalapnya dalam keadaan mentah, tapi para generasi muda masih kenal dan tahu akan cempokak. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal buah ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali cempokak dari kognisi mereka.

2. Timun „mentimun‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari timun adalah Cucumis sativus. Secara biologis, timun memiliki bentuk yang panjang, lonjong, berwarna hijau, dan biji yang lunak.

Berdasarkan sosiologis, timun sering kali dijadikan lalapan sebab rasanya manis dan segar. Selain itu, timun sering dimakan bersama nasi serta sambal belacan.

Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat timun dipercaya dapat menurunkan tekanan darah tinggi.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap buahnya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam timun, sehingga menjadikannya sebagai obat. Selain itu, timun masih banyak dijumpai di Desa

Bingkat. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara

43

Universitas Sumatera Utara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal buah ini.

Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali timun dari kognisi mereka.

Gambar 4.15 timun https://img.okeinfo.net/content/2016/12/20/481/1571470/4-manfaat-kulit- timun-yang-tidak-banyak-kalian-tahu-GuXchtlIxT.jpg

3. Tomat „tomat‟

Gambar 4.16 tomat

44

Universitas Sumatera Utara a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari tomat yaitu Solanum lycopersicum. Secara biologis, tomat memiliki bentuk yang bulat dan berwarna merah. Selain itu, berdasarkan sosiologis masyarakat Bingkat sering menjadikan tomat sebagai lalapan karena rasanya yang manis.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Keberadaan tomat cukup mudah untuk ditemukan di Desa Bingkat karena masyarakatnya bekerja sebagai petani. Selain itu, tomat juga digunakan sebagai penambah nafsu makan. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal buah ini. Begitu juga, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali tomat dari kognisi mereka.

4. Meranti „ranti‟

Gambar 4.17 meranti

45

Universitas Sumatera Utara https://1.bp.blogspot.com/- LX_RtM6TZDU/WX55H9rU9BI/AAAAAAAABrA/S3qnpQuS_1A5OIyb0Q- 4hyZUnMMxlVJGQCLcBGAs/s640/BuahRanti-Leunca-BeritaHCI.jpg

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari meranti yaitu Solanum nigrum. Buahnya mirip dengan cempokak. Selain itu, rasa buahnya manis jika sudah matang. Secara biologis, warna dari buah meranti yang sudah matang yaitu hitam dan agak keungu-unguan.

Selain itu, berdasarkan sosiologis meranti sangat enak untuk dijadikan lalapan apalagi kalau dimakan bersama dalam sambal dan nasi.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Keberadaan meranti sangat sulit untuk dijumpai di Desa Bingkat. Sebab tumbuhan meranti tumbuh sendiri dan tidak ditanam. Selain itu, kurangnya pelestarian membuat tumbuhan meranti tidak terawat dengan baik. Hal ini membuat para generasi muda kurang mengenali bentuk dan rasa dari buah meranti. Akibat kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenal buah ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda tidak mengenali meranti dari kognisi mereka.

5. Terong gelatik „terung bulat‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari terong gelatik yaitu Solanum melongena L. Masyarakat sering menyebut terung bulat dengan sebutan terong gelatik, terong susu, dan terong ndok. Secara biologis, terong gelatik memiliki bentuk bulat dengan corak garis berwarna hijau dan putih. Selain itu, rasa dari terong gelatik sedikit manis.

46

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan sosiologis, masyarakat ada yang memakannya mentah tapi ada juga yang memakannya dengan cara direbus terlebih dahulu.

Gambar 4.18 terong gelatik

b. Berdasarkan parameter ekologi

Terong gelatik biasa tumbuh di perkarangan rumah, sehingga keberadaannya cukup mudah untuk ditemukan di Desa Bingkat. Meskipun, generasi muda kurang suka memakan terong gelatik. Namun, adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda masih mengenal buah ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali terong gelatik dari kognisi mereka.

6. Jambu air benik „jambu air merah‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari jambu air benik yaitu Syzygium aqueum. Jambu air benik memiliki ukuran yang lebih kecil dari jambu yang lain. Secara biologis, jambu air

47

Universitas Sumatera Utara benik memiliki warna yang merah dan rasanya sedikit asam serta segar.

Berdasarkan sosiologis, selain dijadikan lalapan jambu air benik sering juga dijadikan campuran rujak.

Gambar 4.19 jambu air benik https://hipmee.com/wp-content/uploads/2017/11/buah-jambu-air.jpg

b. Berdasarkan parameter ekologi

Jambu air benik biasa tumbuh di perkarangan rumah, sehingga keberadaannya cukup mudah untuk ditemukan di Desa Bingkat. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal buah ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali jambu air benik dari kognisi mereka.

7. Semangka enom „semangka muda‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari semangka enom yaitu Citrullus lanatus. Secara biologis, tanaman semangka tumbuh menjalar dan memiliki daun menjari dengan ujung

48

Universitas Sumatera Utara yang runcing. Sebagian masyarakat lebih gemar dengan semangka yang matang.

Walaupun begitu, berdasarkan sosiologis semangka enom bisa dilalap bersama nasi hanya saja penggemarnya sedikit.

Gambar 4.20 semangka enom https://s4.bukalapak.com/img/9262534222/w- 1000/aHR0cHM6Ly9lY3M3LnRva29wZWRpYS5uZXQvaW1nL3Byb2R1Y3Qt MS8yMDE3.jpg

b. Berdasarkan parameter ekologi

Semangka enom biasa tumbuh di ladang warga, sehingga keberadaannya cukup mudah untuk ditemukan di Desa Bingkat. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal buah ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali semangka enom dari kognisi mereka.

49

Universitas Sumatera Utara 8. Kacang panjang „kacang panjang‟

Gambar 4.21 kacang panjang

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari kacang panjang yaitu Vigna unguiculata ssp. Sesquipedalis.

Secara biologis, tumbuhan kacang panjang tumbuh secara menjalar dan memiliki daun menyirip dan runcing. Masyarakat melalap kacang panjang yang masih muda karena rasanya yang manis. Berdasarkan sosiologis, masyarakat ada yang memakan mentah dan ada juga yang merebusnya terlebih dahulu. Apalagi lalapan kacang panjang paling nikmat kalau dimakan bersama sambal belacan.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Masyarakat di Desa Bingkat banyak yang menanam kacang panjang, sehingga kelestariannya masih tetap terjaga. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal buah ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali kacang panjang dari kognisi mereka.

50

Universitas Sumatera Utara 9. Cipir „kecipir‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari cipir yaitu Psophocarpus tetragonolobus. Secara biologis, tumbuhan cipir memiliki daun yang menyirip dan runcing di ujungnya.

Kemudian, cipir tumbuh menjalar dan memiliki bentuk buah yang panjang serta bergerigi. Buah cipir memiliki rasa yang manis jika masih muda, tapi kalau sudah tua rasanya hambar. Berdasarkan sosiologis, selain dijadikan lalapan cipir juga sering menjadi campuran nasi urap oleh masyarakat Bingkat.

Gambar 4.22 cipir

b. Berdasarkan parameter ekologi

Dulu cipir sangat mudah ditemukan tapi sekarang ini sudah jarang ditemukan di Desa Bingkat. Alasannya karena daun cipir sangat disukai oleh kambing, sehingga efek yang ditimbulkan pada kambing yaitu masuk angin. Oleh karena itu, sebagian masyarakat mulai membasmi tumbuhan cipir. Kurangnya pelestarian terhadap tumbuhan cipir membuat keberadaannya mulai jarang ditemukan. Hal ini

51

Universitas Sumatera Utara membuat para generasi muda kurang mengenali bentuk dan rasa dari cipir. Akibat kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenal buah ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda tidak mengenali cipir dari kognisi mereka.

10. Babal „nangka muda‟

Gambar 4.23 babal

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari babal yaitu Artocarpus heterophyllus. Secara biologis, babal memiliki buah yang lonjong, daun yang bundar, serta rasa yang sepat. Babal memiliki banyak getah, sehingga masyarakat sering memberikan garam untuk menghilangkan getahnya. Berdasarkan sosiologis, babal sering dijadikan campuran rujak untuk acara tujuh bulanan orang hamil. Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan

52

Universitas Sumatera Utara pengetahuan membuat babal dipercaya oleh masyarakat sebagai obat meredakan diare.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap buahnya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam babal, sehingga menjadikannya sebagai obat. Walaupun begitu, masyarakat Bingkat jarang memakan lalapan babal dan hanya mengenalnya saja. Hal ini membuat para generasi muda kurang mengenali bentuk dan rasa dari babal. Akibat kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenal buah ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda tidak mengenali babal dari kognisi mereka.

11. Pare hutan „pare alas‟

Gambar 4.24 pare hutan

53

Universitas Sumatera Utara https://3.bp.blogspot.com/-lbF4vqm- xLs/WyjalFA3ngI/AAAAAAAAKZ8/MGOw0JKP8hM9TtQ2F2tS0PjKVqld4B3 ugCLcBGAs/s1600/pare%2Bhutan3a.JPG

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari pare hutan yaitu Momordica balsamina. Secara biologis, buah pare hutan memiliki bentuk yang lonjong, kecil, bergerigi, dan rasa yang pahit.

Selain itu, pare hutan tumbuh di ladang dan tumbuhnya menjalar. Berdasarkan sosiologis, masyarakat ada yang melalapnya mentah dan juga menjadi campuran dalam masakan, seperti tumis pare.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Keberadaannya pare hutan mulai berkurang sebab tidak ada proses pembudidayaan terhadap tumbuhan ini. Selain itu, masyarakat Bingkat jarang memakan lalapan pare hutan dan hanya mengenalnya saja. Hal ini membuat para generasi muda kurang mengenali bentuk dan rasa dari pare hutan. Akibat kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenal buah ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda tidak mengenali pare hutan dari kognisi mereka.

4.1.3 Lalapan bentuk umbi

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 3 leksikon lalapan berbentuk umbi, yaitu (1) wortel „wortel‟ (2) bawang merah batak „ bawang merah‟ dan (3) bengkoang „bengkuang‟.

54

Universitas Sumatera Utara 1. Wortel „wortel‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari wortel yaitu Daucus carota. Secara biologis, wortel memiliki warna yang jingga dan rasa yang manis. Selain itu, berdasarkan sosiologis wortel sangat suka dimakan mentah oleh masyarakat Bingkat karena rasanya yang manis.

Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat wortel dipercaya sebagai obat yang bagus untuk mata.

Gambar 4.25 wortel https://encrypted- tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRrAaNCavlJnOiPjoaasGWoXK94Vome YcbR7Iifdne5ZYMgoCFVcQ

b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap umbinya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam wortel, sehingga menjadikannya sebagai obat. Walaupun, generasi muda tidak suka memakan lalapan wortel. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik

55

Universitas Sumatera Utara antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal umbi ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali wortel dari kognisi mereka.

2. Bawang merah batak „bawang merah‟

Gambar 4.26 bawang merah batak https://jogjagarden.com/wp-content/uploads/2019/03/cara-budidaya-bawang- merah-dalam-pot.jpg

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari bawang merah batak yaitu Allium cepa var. aggregatum.

Secara biologis, bawang merah batak memiliki bagian yang berlapis-lapis dan berwarna merah keunguan. Rasa dari bawang merah batak yaitu sedikit langu dan sengir. Berdasarkan sosiologis, biasanya hanya orang tua yang sering melalap mentah bawang merah batak tapi ada juga yang melalap bawang merah dalam bentuk . Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat bawang merah batak dapat mengeluarkan angin dalam perut.

56

Universitas Sumatera Utara b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap umbinya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam bawang merah batak, sehingga menjadikannya sebagai obat. Keberadaannya masih mudah dijumpai di

Desa Bingkat. Meskipun, generasi muda tidak suka memakan lalapan bawang merah batak. Namun, akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal umbi ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali bawang merah batak dari kognisi mereka.

3. Bengkoang „bengkuang‟

Gambar 4.27 bengkoang https://www.pertanianku.com/wp-content/uploads/2018/12/Teknik-Sederhana- Budidaya-Bengkoang-untuk-Pemula.jpg

57

Universitas Sumatera Utara a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari bengkoang yaitu Pachyrhizus erosus. Secara biologis, bengkoang memiliki daging buah yang putih dan rasa yang manis. Berdasarkan sosiologis, selain dijadikan lalapan biasanya buah bengkoang sering dijadikan campuran rujak.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Keberadaannya masih mudah dijumpai di Desa Bingat. Akibatnya generasi muda masih kenal dan tahu akan bengkoang. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenali umbi ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenal bengkoang dari kognisi mereka.

4.1.4 Lalapan bentuk biji

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 5 leksikon lalapan berbentuk biji-bijian, yaitu (1) kacang koro „kacang kayu‟ (2) pete papan „petai‟

(3) lamtoro „petai cina‟ (4) cambah „kecambah‟ dan (5) jengkol enom „jengkol muda‟.

1. Kacang koro „kacang kayu‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari kacang koro yaitu Cajanus cajan. Secara biologis, kacang koro hampir sama dengan kacang kapri serta rasanya gurih seperti rasa kacang biasa. Berdasarkan sosiologis, kacang koro sangat nikmat jika disajikan bersama nasi dan sambal.

58

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.28 kacang koro http://www.satuharapan.com/uploads/pics/news_65296_1475120863.jpg

b. Berdasarkan parameter ekologi

Tumbuhan kacang koro mulai jarang ditemukan di Desa Bingkat, sehingga masyarakat Bingkat jarang memakan lalapan kacang koro dan hanya mengenalnya saja. Hal ini membuat para generasi muda kurang mengenali bentuk dan rasa dari kacang koro. Akibat kurangnya pelestarian serta kesalinghubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda tidak mengenal lalapan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda tidak mengenali kacang koro dari kognisi mereka.

2. Pete papan „petai‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari pete papan yaitu Parkia speciosa. Secara biologis, pohon pete memiliki ukuran yang besar sekitar 20 meter dan juga buah yang musiman. Pete papan yang masih muda memiliki rasa hambar dan bau yang tidak menyengat.

59

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan sosiologis, walaupun memiliki bau yang khas lalapan pete papan sangat nikmat dimakan mentah bersama nasi sambal. Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat pete papan dapat menambah nafsu makan.

Gambar 4.29 pete papan https://media.himedik.com/thumbs/2018/08/27/38350-petai/745x489-img-38350- petai.jpg b. Berdasarkan parameter ekologi

Walaupun tidak tumbuh di Desa Bingkat, tumbuhan ini sangat mudah dikenali dari lintas generasi tua ke generasi muda. Meskipun, generasi muda kurang menyukai lalapan pete papan. Namun, akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal lalapan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali pete papan dari kognisi mereka.

60

Universitas Sumatera Utara 3. Lamtoro „petai cina‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari lamtoro yaitu Leuncaena leucocephala. Secara biologis, bentuk lamtoro hampir sama dengan pete papan hanya saja ukurannya lebih kecil.

Berdasarkan sosiologis, lamtoro selain dimakan mentah biasanya masyarakat

Bingkat juga mencampurkannya dalam masakan (sejenis pepes). Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat lamtoro digunakan sebagai obat cacingan.

Gambar 4.30 lamtoro https://ecs7.tokopedia.net/img/cache/700/product- 1/2017/1/22/15074137/15074137_4fcde0c7-259b-4bc8-978e- 3699c9395968_500_375.jpg

b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap bijinya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam lamtoro, sehingga menjadikannya sebagai obat. Keberadaan lamtoro sangat mudah dijumpai di Desa

61

Universitas Sumatera Utara Bingkat. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenal lalapan ini.

Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenali lamtoro dari kognisi mereka.

4. Cambah „kecambah‟

Gambar 4.31 cambah http://manfaatbagus.com/wp-content/uploads/2015/01/kecambah-kacang- hijau.png

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari cambah adalah Vigna radiata. Cambah berasal dari biji kacang hijau yang tumbuh menjadi tumbuhan muda. Secara biologis, cambah memiliki rasa yang manis dan sedikit langu. Berdasarkan sosiologis, sebagian masyarakat ada yang memakan mentah dan ada juga yang merendamnya dengan air panas terlebih dahulu. Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat

62

Universitas Sumatera Utara Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat cambah juga dipercaya baik bagi kesuburan wanita.

b. Berdasarkan parameter ekologi

Adanya kesalingtergantungan terhadap bijinya membuat masyarakat di Desa

Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung dalam cambah, sehingga menjadikannya sebagai obat. Keberadaan cambah sangat mudah dijumpai di Desa

Bingkat karena sebagian masyarakatnya merupakan petani kacang hijau setelah musim padi. Walaupun, generasi muda tidak suka memakan cambah. Namun, adanya hubungan yang baik antara masyarakat dan lingkungan alam membuat cambah sangat mudah ditemukan dan dikenal oleh generasi muda. Akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenali lalapan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenal cambah dari kognisi mereka.

5. Jengkol enom „jengkol muda‟

a. Berdasarkan dimensi biologis, sosiologis, dan ideologi

Nama latin dari jengkol yaitu Archidendron pauciflaum. Secara biologis, jengkol memiliki bentuk yang bundar dan juga bau yang khas. Walaupun begitu, jengkol enom belum memiliki bau dan rasa yang hambar. Berdasarkan sosiologis, jengkol enom sangat jarang dilalap oleh masyarakat Bingkat karena harganya yang lumayan mahal. Kemudian, adanya suatu paham ideologi masyarakat

Bingkat yang berlandaskan pengalaman dan pengetahuan membuat masyarakat percaya kalau terlalu banyak makan jengkol akan membuat kita jengkolan.

63

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4.32 jengkol enom https://s2.bukalapak.com/img/2086330891/w- 1000/JENGKOLMUDASEGAR_1_scaledjpg_scaled.jpg

b. Berdasarkan parameter ekologi

Walaupun tidak tumbuh di Desa Bingkat, tumbuhan ini sangat mudah dikenali dari lintas generasi tua ke generasi muda. Meskipun, generasi muda kurang menyukai lalapan jengkol enom. Namjun, akibat adanya pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungannya membuat generasi muda mengenali lalapan ini. Selain itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi muda mengenal jengkol enom dari kognisi mereka.

4.2 Tingkat pemahaman masyarakat di Desa Bingkat

Dalam pencarian data leksikon lalapan di Desa Bingkat, peneliti juga melakukan penyebaran kuesioner kepada masyarakat. Tujuannya agar mengetahui

64

Universitas Sumatera Utara sejauh mana pemahaman masyarakat terhadap lalapan. Selain itu, dalam pembagian kuesioner terdapat kategori dalam menjawab pertanyaan dari leksikon tersebut, yaitu:

1) mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah menggunakan

2) tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan tidak

pernah menggunakan

3) tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidah pernah mendengar, dan tidak

pernah menggunakan, serta dibagi atas tiga kelompok usia.

Selanjutnya dalam penyebaran kuesioner, peneliti mengambil 10% dari jumlah populasi di setiap kelompok usia. Pada kelompok usia I (15-20 tahun) sampel yang diambil 10 % sekitar 85 orang, kelompok usia II (21-45 tahun) sampel yang diambil 10 % sekitar 94 orang, dan kelompok usia III (≥46 tahun) sampel yang diambil 10 % sekitar 90 orang.

Berikut ini persentase jumlah pemahaman masyarakat Desa Bingkat terhadap leksikon lalapan, sebagai berikut:

Kategori

No Klasifikasi 1 2 3

Leksikon JP % JP % JP %

1 Lalapan bentuk daun 1466 544,9 1258 467,6 773 287,3

2 Lalapan bentuk buah 1462 543,5 1130 420 367 136,4

3 Lalapan bentuk umbi 460 171 340 126,4 7 2,6

4 Lalapan bentuk biji 694 258 520 193,3 131 48,7

Jumlah 4082 1517,4 3248 1207,3 1278 475

Rata-rata 47 38 15

65

Universitas Sumatera Utara Tabel 4.3 Tingkat Pemahaman Masyarakat Desa Bingkat

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa persentase tingkat pemahaman

masyarakat Desa Bingkat terhadap lalapan masih menggunakan dan kenal

terhadap referennya. Ini dibuktikan pada jumlah dan rata-rata kategori I yang

mendapatkan angka lebih tinggi dari perhitungan leksikon lalapan yang

ditemukan. Berarti masyarakat Bingkat masih mengenal, pernah melihat, pernah

mendengar, dan pernah menggunakan lalapan bentuk daun. Selain itu, pada

lalapan bentuk daun memiliki angka yang tinggi karena masyarakat Desa Bingkat

sering menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari. Selanjutnya, pada jumlah dan

rata-rata kategori III mendapatkan angka yang lebih rendah dari perhitungan

leksikon lalapan yang ditemukan. Hal ini terjadi karena masyarakat Desa Bingkat

tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah

menggunakan referen tersebut. Jadi, secara keseluruhan menurut analisis di atas

bahwa lalapan di Desa Bingkat masih berinteraksi, interdepedensi, dan interelasi

dengan masyarakatnya, sehingga leksikon lalapan tersebut masih dikenal.

Berikut ini akan diuraikan persentase tingkat tertinggi dan terendah dari

pemahaman ketiga kelompok usia terhadap leksikon lalapan di Desa Bingkat.

4.2.1 Kelompok usia I (15-20 tahun)

Berikut ini persentase tingkat pemahaman pada kelompok usia remaja (15-

20 tahun) tentang lalapan di Desa Bingkat dalam tabel di bawah:

No. Leksikon Kategori 1 2 3 JP % JP % JP % Lalapan bentuk daun muda 1 godong sintrong 12 14,1 21 24,7 52 61,2

66

Universitas Sumatera Utara 2 suring 11 13 50 58,8 24 28,2 3 semangi 0 0 15 17,6 70 82,4 4 godong kates 16 18,8 62 73 7 8,2 5 godong jambu mente 10 11,7 20 23,5 55 64,7 6 luntas 0 0 7 8,2 78 91,8 7 binahong 10 11,7 15 17,6 60 70,6 8 godong meranti 0 0 16 18,8 69 81,2 9 belimbing-belimbingan 11 13 21 24,7 53 62,3 10 selada 24 28,2 50 58,8 11 13 11 kemangi 24 28,2 48 56,4 13 15,3 12 kol 64 75,3 21 24,7 0 0 13 godong jambu klutuk 11 13 74 87 0 0 Lalapan bentuk buah 14 cempokak 16 18,8 62 73 7 8,2 15 timun 85 100 0 0 0 0 16 tomat 50 58,8 35 41,1 0 0 17 meranti 0 0 10 11,7 75 88,2 18 terong gelatik 9 10,6 64 75,3 12 14,1 19 jambu air benik 27 31,8 48 56,4 10 11,7 20 semangka enom 9 10,6 64 75,3 12 14,1 21 kacang panjang 21 24,7 64 75,3 0 0 22 cipir 10 11,7 20 23,5 55 64,7 23 babal 0 0 32 37,6 53 62,3 24 pare hutan 9 10,6 23 27 53 62,3 Lalapan bentuk umbi 25 wortel 13 15,3 72 84,7 0 0 26 bawang merah batak 9 10,6 76 89,4 0 0 27 bengkoang 48 56,4 30 35,2 7 8,2 Lalapan bentuk biji 28 kacang koro 9 10,6 11 13 65 76,4 29 pete papan 13 15,3 72 84,7 0 0 30 lamtoro 7 8,2 52 61,2 26 30,6 31 cambah 21 24,7 53 62,3 11 13 32 jengkol enom 11 13 65 76,5 9 10,5 Jumlah 1043, 560 643,4 1273 1497 887 2 Rata-rata 20 47 33 Tabel 4.4 Persentase Tingkat Pemahaman Kelompok Usia I (15-20 tahun)

Berdasarkan tabel 4.4 persentase tingkat pemahaman kelompok usia remaja (15-20 tahun) terhadap leksikon lalapan yaitu tidak kenal dan hanya pernah mendengar. Ini dapat dilihat pada jumlah dan rata-rata kategori I yang mendapatkan angka lebih rendah dari perhitungan leksikon lalapan yang

67

Universitas Sumatera Utara ditemukan. Dari analisis di atas menunjukkan bahwa ada beberapa leksikon yang

tidak dikenal oleh kelompok usia remaja, seperti luntas, semangi, godong meranti,

dan meranti. Hal ini disebabkan karena benda atau referennya sulit untuk

ditemukan. Selain itu, generasi tua tidak mewarisi leksikon tersebut kepada

generasi remaja, sehingga referen tersebut hilang dari pikiran atau kognisi mereka.

Selanjutnya, untuk jumlah dan rata-rata kategori II mendapatkan angka

yang lebih tinggi dari perhitungan leksikon lalapan yang ditemukan. Dari analisis

di atas menunjukkan lalapan seperti godong jambu klutuk dan bawang merah

batak memiliki angka yang tinggi. Ini disebabkan karena kelompok usia remaja

sering mendengar lalapan tersebut walaupun mereka tidak suka memakannya

dalam keadaan mentah.

4.2.2 Kelompok usia II (21-45 tahun)

Berikut ini persentase tingkat pemahaman pada kelompok usia II (21-45

tahun) tentang lalapan di Desa Bingkat dalam tabel di bawah:

No. Leksikon Kategori 1 2 3 JP % JP % JP % Lalapan bentuk daun muda 1 godong sintrong 49 52,1 38 40,4 7 7,4 2 suring 66 70,2 22 23,4 6 6,3 3 semangi 10 10,7 51 54,2 33 35,1 4 godong kates 71 75,5 23 24,4 0 0 5 godong jambu mente 15 15,9 61 64,8 18 19,1 6 luntas 6 6,3 43 45,7 45 47,9 7 binahong 11 11,7 49 52,1 34 36,2 8 godong meranti 10 10,6 25 26,5 59 62,7 9 belimbing-belimbingan 31 32,9 51 54,2 12 12,7 10 selada 78 82,9 14 14,9 2 2,1 11 kemangi 67 71,2 24 25,5 3 3,1 12 kol 84 89,3 10 10,6 0 0 13 godong jambu klutuk 55 58,5 38 40,4 1 1,0 Lalapan bentuk buah

68

Universitas Sumatera Utara 14 cempokak 64 68,0 30 31,9 0 0 15 timun 92 97,8 2 2,1 0 0 16 tomat 70 74,4 24 25,5 0 0 17 meranti 10 10,6 25 26,6 59 62,7 18 terong gelatik 53 56,3 41 43,6 0 0 19 jambu air benik 66 70,2 28 29,7 0 0 20 semangka enom 10 10,6 84 89,3 0 0 21 kacang panjang 70 74,4 24 25,5 0 0 22 cipir 52 55,3 34 36,1 8 8,5 23 babal 15 15,9 72 76,5 7 7,4 24 pare hutan 38 40,4 50 53,1 6 6,3 Lalapan bentuk umbi 25 wortel 59 62,7 35 37,2 0 0 26 bawang merah batak 26 27,6 68 72,3 0 0 27 bengkoang 81 86,1 13 13,8 0 0 Lalapan bentuk biji 28 kacang koro 20 21,2 64 68,0 10 10,6 29 pete papan 55 58,5 39 41,4 0 0 30 lamtoro 53 56,3 31 32,9 10 10,6 31 cambah 62 65,9 32 34,0 0 0 32 jengkol enom 41 43,6 53 56,3 0 0 Jumlah 1583, 1272, 1490 1198 320 339,7 6 9 Rata-rata 49 40 11 Tabel 4.5 Persentase Tingkat Pemahaman Kelompok Usia II (21-45 tahun)

Berdasarkan tabel 4.5 persentase tingkat pemahaman kelompok usia dewasa (21-45 tahun) terhadap leksikon lalapan yaitu masih kenal dan masih menggunakan. Ini dapat dilihat pada jumlah dan rata-rata kategori I yang mendapatkan angka lebih tinggi dari perhitungan leksikon lalapan yang ditemukan. Dari analisis di atas menunjukkan bahwa ada beberapa leksikon yang dikenal oleh kelompok usia dewasa, seperti kol, timun, dan selada. Ini disebabkan karena referennya sangat mudah untuk ditemukan.

Selanjutnya, untuk jumlah dan rata-rata kategori III mendapatkan angka yang lebih rendah dari perhitungan leksikon lalapan yang ditemukan. Dari analisis di atas menunjukkan lalapan seperti godong meranti dan meranti sulit untuk ditemukan di Desa Bingkat sehingga pada lalapan tersebut masyarakat tidak

69

Universitas Sumatera Utara mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah

menggunakan.

4.2.3 Kelompok usia III (≥46 tahun)

Berikut ini persentase tingkat pemahaman pada kelompok usia III (≥ 46

tahun) tentang lalapan di Desa Bingkat dalam tabel di bawah:

No. Leksikon Kategori 1 2 3 JP % JP % JP % Lalapan bentuk daun muda 1 godong sintrong 75 83,3 15 16,7 0 0 2 suring 90 100 0 0 0 0 3 semangi 16 17,8 65 72,2 9 10 4 godong kates 85 94,4 5 5,6 0 0 5 godong jambu mente 16 17,8 69 76,7 5 5,5 6 luntas 16 17,8 58 64,4 16 17,8 7 binahong 12 13,3 62 68,9 16 17,8 8 godong meranti 18 20 57 63,3 15 16,7 9 belimbing-belimbingan 72 80 18 20 0 0 10 selada 85 94,4 5 5,5 0 0 11 kemangi 74 82,2 16 17,8 0 0 12 kol 87 96,7 3 3,3 0 0 13 godong jambu klutuk 74 82,2 16 17,8 0 0 Lalapan bentuk buah 14 cempokak 90 100 0 0 0 0 15 timun 90 100 0 0 0 0 16 tomat 85 94,4 5 5,6 0 0 17 meranti 15 16,7 65 72,2 10 11,1 18 terong gelatik 83 92,2 7 7,8 0 0 19 jambu air benik 81 90 9 10 0 0 20 semangka enom 9 10 81 90 0 0 21 kacang panjang 85 94,4 5 5,6 0 0 22 cipir 83 92,2 7 7,8 0 0 23 babal 20 22,2 70 77,8 0 0 24 pare hutan 45 50 45 50 0 0 Lalapan bentuk umbi 25 wortel 84 93,3 6 6,7 0 0 26 bawang merah batak 50 55,6 40 44,4 0 0 27 bengkoang 90 100 0 0 0 0 Lalapan bentuk biji 28 kacang koro 70 77,8 20 22,2 0 0

70

Universitas Sumatera Utara 29 pete papan 87 96,7 3 3,3 0 0 30 lamtoro 90 100 0 0 0 0 31 cambah 80 88,9 10 11,1 0 0 32 jengkol enom 75 83,3 15 16,7 0 0 Jumlah 2257, 2032 777 863,4 71 78,9 6 Rata-rata 71 27 2 Tabel 4.6 Persentase Tingkat Pemahaman Kelompok Usia III (≥46 tahun)

Berdasarkan tabel 4.6 persentase tingkat pemahaman kelompok usia tua

(≥46 tahun) terhadap leksikon lalapan yaitu masih kenal dan masih menggunakan referennya. Ini dapat dilihat pada jumlah dan rata-rata kategori I mendapatkan angka lebih tinggi dari perhitungan leksikon lalapan yang ditemukan. Dari analisis di atas menunjukkan bahwa ada beberapa leksikon yang sangat dikenal oleh kelompok usia dewasa, seperti cempokak, suring, timun, bengkoang dan lamtoro.

Ini disebabkan karena referennya sangat mudah untuk ditemukan. Selain itu, pada kelompok usia ini membuat mereka lebih tahu akan perubahan kondisi lingkungan yang terjadi dalam kurun waktu. Oleh karena itu, pada kelompok usia inilah yang lebih menyukai lalapan.

Selanjutnya, untuk jumlah dan rata-rata kategori III mendapatkan angka yang lebih rendah dari perhitungan leksikon lalapan yang ditemukan. Dari analisis di atas menunjukkan lalapan seperti luntas dan binahong sulit untuk ditemukan di

Desa Bingkat sehingga pada lalapan tersebut masyarakat tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah menggunakan.

4.3 Faktor bertahan dan menyusutnya suatu leksikon lalapan di Desa

Bingkat

Peran bahasa terhadap perkembangan dan keberlangsungan suatu lingkungan sangat perlu dijaga dan dipelihara karena untuk mengetahui perubahan

71

Universitas Sumatera Utara yang terjadi baik secara fisik, bentuk, maupun makna. Selain itu, bahasa merupakan gambaran keseharian yang dilakukan oleh masyarakat dalam berinteraksi dengan sesama manusia maupun lingkungan. Bahasa juga dapat hidup dan mati tergantung pada pengguna atau penutur bahasa. Inilah yang bisa menyebabkan suatu leksikon pada bahasa bisa berkurang atau bertahan. Jadi, bahasa harus hidup dalam lingkungan sosial suatu masyarakat penutur dengan cara berinteraksi, interelasi, dan interdepedensi dengan lingkungan. Dengan demikian, bahasa itu akan tetap terjaga dalam pikiran atau kognisi penutur bahasa tersebut.

4.3.1 Faktor-faktor bertahannya leksikon

Ada dua faktor yang membuat leksikon lalapan itu bertahan di Desa

Bingkat, yaitu sebagai berikut:

1. Sumber Penghidupan Masyarakat Desa Bingkat

Masyarakat di Desa Bingkat pada umumnya bekerja sebagai petani dan buruh tani. Sehingga pada umumnya mereka menggantungkan hidup pada alam sekitar.

Alam memberikan banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat sehingga peran mereka dalam menjaga dan melestarikan sangatlah penting. Jadi, kondisi ini membuat masyarakat Desa Bingkat sangat kenal dan tahu akan keadaan lingkungan di sekitarnya. Dengan demikian, hasil yang didapat dari pelestarian terhadap lingkungan memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat dan juga leksikon-leksikon yang didapat dari lingkungan tersebut itu untuk disimpan dalam pikiran atau kognisi mereka.

72

Universitas Sumatera Utara 2. Referen Tumbuhan

Dalam hal ini, referen tumbuhan khususnya lalapan baik itu yang berbentuk daun muda, buah, umbi, dan biji masih dapat ditemui di Desa Bingkat. Walaupun begitu, ada beberapa lalapan yang sulit untuk ditemukan sebab lalapan itu tumbuh sendiri dan tidak ditanam oleh masyarakat. Sebagai contoh lalapan belimbing- belimbingan dan pare hutan, tumbuhan tersebut tumbuh sendiri. Walaupun ditanam oleh masyarakat, tidak semua bisa tumbuh dengan baik.

4.3.2 Faktor-faktor menyusutnya leksikon

Ada tiga faktor yang membuat leksikon lalapan itu menyusut di Desa

Bingkat, yaitu sebagai berikut:

1. Perubahan lingkungan di Desa Bingkat

Perubahan lingkungan terhadap lalapan di Desa Bingkat terjadi secara alamiah maupun pembangunan fisik pada lingkungan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari keadaan lingkungan setempat seperti banyaknya tanaman hias di perkarangan rumah sebagai pageran sehingga membuat tumbuhan luntas jarang untuk ditanam lagi, tumbuhan di ladang yang mati akibat diracun seperti cipir yang sulit untuk ditemukan di sekitaran Bingkat dan bahkan sudah berpindah ke daerah ekosistem lain. Selain itu, musim kemarau yang tak menentu membuat tumbuhan-tumbuhan pada layu dan mati. Apalagi, ada beberapa lalapan yang tumbuh sendiri dan tidak ditanam oleh masyarakat, sehingga hidupnya bergantung pada kondisi alam.

73

Universitas Sumatera Utara 2. Kurangnya proses penerusan bahasa dari generasi tua ke generasi muda

Kurangnya proses penerusan atau transfer bahasa dari generasi tua ke generasi muda membuat para generasi muda tidak mengenali beberapa leksikon tentang lalapan. Ini terjadi akibat kurangnya pelestarian terhadap beberapa tumbuhan lalapan sehingga leksikon atau referen tidak dapat ditemukan. Hal ini mengakibatkan leksikon atau referen tentang lalapan tidak terkonsep dalam kognisi mereka, sehingga leksikon atau referen tersebut menyusut bahkan hilang dari pikiran penutur terutama generasi muda. Begitu pula, para generasi muda kurang minat terhadap sayuran bukan hanya sayuran mentah, sayuran yang biasa dimasak pun kurang minat. Tambahan, banyak para pelajar yang bersekolah di luar Desa Bingkat membuat mereka tidak mengetahui lalapan yang tumbuh di lingkungannya meskipun referen atau leksikon tersebut masih ada, seperti godong sintrong.

3. Penggemar lalapan mulai berkurang

Penggemar lalapan mulai berkurang karena masyarakat di Desa Bingkat tidak menyukai lalapan mentah. Biasanya mereka mengolahnya terlebih dahulu.

Apalagi bagi generasi muda yang kurang minat akan sayuran sehingga susah untuk makan lalapan. Selain itu, penggemar lalapan berkurang akibat benda atau referennya jarang untuk ditemukan. Hanya generasi tua yang kenal dan suka menikmati lalapan, sebab masa kecil mereka masih banyak tumbuh lalapan di desa tersebut. Oleh karena itu, pengemar lalapan hanya diminati oleh generasi tua.

Tambahan lagi, masyarakat di Desa Bingkat kurang peduli akan lalapan sebab merasa takut akan efek setelah memakan lalapan.

74

Universitas Sumatera Utara BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, dapat diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Ekoleksikon lalapan yang terdapat di Desa Bingkat sebanyak 32 leksikon.

Selanjutnya dari 32 leksikon lalapan dibagi menjadi empat bagian, yaitu

13 leksikon lalapan bentuk daun muda, 11 leksikon lalapan bentuk buah, 3

leksikon lalapan bentuk umbi, dan 5 leksikon lalapan bentuk biji.

Pembahasan (bagian A) yang diuraikan dalam dimensi biologis,

sosiologis, dan ideologi pada leksikon lalapan berupa bentuk dari

referennya. Kemudian, selain bentuk, rasa, dan jenisnya pada lalapan

biasanya dalam mengolah lalapan pun masyarakat memiliki cara

tersendiri, seperti makan mentah, direbus, atau sebagai campuran

masakan. Adapun berdasarkan pengalaman dan pengetahuan dari

masyarakat Bingkat, lalapan juga memiliki khasiat yang terkandung di

dalamnya. Selanjutnya, pembahasan (bagian B) yang diuraikan dalam

parameter ekologi meliputi interaksi, interelasi, dan interdependensi.

Adanya kesalingtergantungan terhadap leksikon tersebut membuat

masyarakat di Desa Bingkat mencari tahu manfaat yang terkandung di

dalamnya, sehingga menjadikannya sebagai obat. Selain itu, keberadaan

leksikon lalapan tersebut sangat mudah dijumpai di Desa Bingkat karena

sebagian masyarakatnya merupakan petani. Walaupun, generasi muda

tidak suka memakan lalapan. Namun, karena adanya hubungan yang baik

antara masyarakat dan lingkungan alam membuat leksikon tersebut sangat

75

Universitas Sumatera Utara mudah ditemukan dan dikenal oleh generasi muda. Akibat adanya

pelestarian serta kesalinghubungan yang baik antara masyarakat dengan

lingkungannya membuat generasi muda mengenali lalapan tersebut. Selain

itu, hasil interaksi dari generasi tua ke generasi muda membuat generasi

muda mengenal lalapan itu dari kognisi mereka.

2. Dari data kuesioner yang ditemukan di Desa Bingkat bahwa persentase

tingkat pemahaman masyarakat Desa Bingkat terhadap lalapan masih

menggunakan dan kenal terhadap referennya. Ini dibuktikan pada jumlah

dan rata-rata kategori I ditemukan yang angka lebih tinggi dari

perhitungan leksikon lalapan. Berarti masyarakat Bingkat masih mengenal,

pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah menggunakannya.

Walaupun, pada jumlah dan rata-rata kategori III ditemukan angka yang

lebih rendah dari perhitungan leksikon lalapan. Hal ini terjadi karena

masyarakat Desa Bingkat tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak

pernah mendengar, dan tidak pernah menggunakan referen tersebut. Jadi,

secara keseluruhan dari analisis data bahwa lalapan di Desa Bingkat masih

berinteraksi, interdepedensi, dan interelasi dengan masyarakatnya,

sehingga leksikon lalapan tersebut masih mengenal dan pernah

menggunakan.

3. Faktor-faktor bertahannya leksikon lalapan di Desa Bingkat adalah masih

ditemukannya referen lalapan berupa daun muda, buah-buahan, umbi-

umbian, dan biji-bijian pada masyarakat di Desa Bingkat. Di samping itu,

masyarakat Bingkat masih menggantungkan hidup pada alam dengan cara

menanam lalapan tersebut. Selanjutnya, faktor-faktor menyusutnya

76

Universitas Sumatera Utara leksikon lalapan di Desa Bingkat karena referen lalapan sulit ditemukan

akibat masyarakat tidak mengetahui manfaat lalapan dan adanya

pembasmian terhadap tumbuhan lalapan. Di samping itu, kurangnya

pelestarian terhadap tumbuhan lalapan mengakibatkan leksikon-leksikon

lalapan mulai menyusut.

5.2 Saran

1. Pemerintah Daerah Kecamatan Pegajahan Desa Bingkat diharapkan dapat

membukukan leksikon nomina lalapan dan melestarikan lingkungan serta

budaya sebagai warisan budaya. Masyarakat Jawa Di Desa Bingkat juga

diharapkan dapat mempertahankan dan melestarikan bahasa Jawa. Selain

itu, masyarakat harus menjaga dan melestarikan lalapan agar referennya

tidak hilang.

2. Masyarakat guyub tutur Jawa dapat melestarikan budaya Jawa, salah

satunya makan lalapan. Agar budaya tersebut tetap terjaga dan leksikon-

leksikonnya masih dipakai dalam kehidupan bermasyarakat.

3. Adanya penelitian lanjutan terhadap leksikon lalapan di Desa Bingkat

terutama mengkaji dari segi masalah dan juga pendekatan yang lain. Sebab

peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki banyak

kekurangan.

77

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:

Balai Pustaka.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2007. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta: Rineka

Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: perkenalan awal.

Jakarta : Rineka Cipta.

Dhuhani, Aisyah. 2018. “Ekoleksikon Perikanan dalam Bahasa Melayu

Kepulauan Riau Desa Tanjung Kelit Kecamatan Senayang Kabupaten

Lingga Kepulauan Riau”. (Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Budaya.

Hendariningrum, Retno. 2018. “Budaya dan Komunikasi Kesehatan (Studi

Pandangan Kesehatan Pada Masyarakat Sunda dalam Tradisi Makan

Lalapan)”. (Jurnal Lugas, Vol. 2, No. 1, Juni 2018, pp.13-19).

Yogyakarta: Fakultas Sosial dan Ilmu Politik.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Limguistik. Jakarta: Gramedia.

Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: sebuah pengantar. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: tahapan strategi, metode, dan

tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mbete, Aron Meko. 2013. Penuntun Singkat Penulisan Proposal Penelitian

Ekolinguistik. Denpasar: Vidia.

Moleong, J. Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

78

Universitas Sumatera Utara Nirmalasari. 2016. “Ekoleksikon Ke-kaghati-an Bahasa Muna” (Retorika: Jurnal

Ilmu Bahasa, Vol.2, No.2 Oktober 2016, 328-349). Kendari: Universitas

Halu Oleo.

Renjaan, Meiksyana Raynold. 2014. “Leksikon Bahasa Kei dalam Lingkungan

Kelautan : Kajian Ekolinguistik” (Jurnal Linguistika). Politeknik

Perikanan Negeri Tual.

Rizkyansyah, M Rozy. 2015. “Leksikon Nomina dan Verba Bahasa Jawa dalam

Lingkungan Persawahan di Tanjung Morawa: Kajian Ekolinguistik”

(Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Budaya.

Sibarani, Robert. 1997. Leksikografi. Medan: USU Press.

Sudaryanto. 1993. Metode Dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Manajemen. Bandung: Alfabeta.

Suktiningsih, Wiya. 2016. “Leksikon Fauna Masyarakat Sunda: Kajian

Ekolinguistik”. (Retorika: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No. 1 April 2016,

138-156).

Surbakti Br, Ernawati. 2012 “Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Binge: Kajian

Ekolinguistik”. (Tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara.

Widayati, dkk. 2012. “Perubahan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Asahan.”

Medan: Universitas Sumatera Utara.

79

Universitas Sumatera Utara Lampiran 1. Daftar Leksikon Lalapan

Lalapan yang berbetuk daun muda

No Leksikon Glos Indonesia Glos Latin 1 godong sintrong daun sintrong Crassocephalum crepidioides 2 suring kenikir Cosmos caudatus 3 semangi semanggi Sphenoclea zeylanica gaertn 4 godong kates daun pepaya Carica papaya 5 godong jambu daun jambu monyet Anacardium occidentale mente 6 luntas beluntas Pluchea indica 7 binahong binahong Anredera cordifolia 8 godong meranti daun ranti Solanum nigrum 9 belimbing- belimbing tanah Oxallis barrelieri belimbingan 10 selada selada keriting Lactuca sativa 11 kemangi kemangi Ocimum citriodorum 12 kol kubis Brassica oleracea var.capitata 13 godong jambu daun jambu biji Psidium guajava klutuk

Lalapan yang berbentuk buah

No Leksikon Glos Indonesia Glos Latin 1 cempokak rimbang Solanum torvum 2 timun mentimun Cucumis sativus 3 tomat tomat Solanum lycopersicum 4 meranti ranti Solanum nigrum 5 terong gelatik terung bulat Solanum melongena L 6 jambu air benik jambu air merah Syzygium aqueum 7 semangka enom semangka muda Citrullus lanatus 8 kacang panjang kacang panjang Vigna unguiculata ssp. Sesquipedalis 9 cipir kecipir Psophocarpus tetragonolobus 10 babal nangka muda Artocarpus heterophyllus 11 pare hutan pare alas Momordica balsamina

Lalapan yang berbentuk umbi

No Leksikon Glos Indonesia Glos Latin 1 wortel wortel Daucus carota 2 bawang merah bawang merah Allium cepa var. aggregatum batak 3 bengkoang bengkuang Pachyrhizus erosus

Universitas Sumatera Utara Lalapan yang berbentuk biji

No Leksikon Glos Indonesia Glos Latin 1 kacang koro kacang kayu Cajanus cajan 2 pete papan petai Parkia speciosa 3 lamtoro petai cina Leuncaena leucocephala 4 cambah kecambah Vigna radiate 5 jengkol enom jengkol muda Archidendron pauciflorum

Universitas Sumatera Utara Lampiran 2. Persentase Tingkat Pemahaman Masyarakat Desa Bingkat

Terhadap Leksikon Nomina Lalapan (Gabungan Tiga Kelompok Usia 15-20,

Usia 21-45, dan Usia ≥46)

No. Leksikon Kategori 1 2 3 JP % JP % JP % Lalapan bentuk daun 1 godong sintrong 136 50,6 74 27,5 59 21,9 2 suring 167 62,1 72 26,7 30 11,1 3 semangi 26 9,7 131 48,7 112 41,6 4 godong kates 172 63,9 90 33,4 7 2,6 5 godong jambu mente 41 15,2 150 55,8 78 28,9 6 luntas 22 8,2 108 40,1 139 51,7 7 binahong 33 12,3 126 46,8 110 40,9 8 godong meranti 28 10,4 98 36,4 143 53,2 9 belimbing-belimbingan 114 42,4 90 33,4 65 24,2 10 selada 187 69,5 69 25,7 13 4,8 11 kemangi 165 61,3 88 32,7 16 5,9 12 kol 235 87,4 34 12,6 0 0 13 godong jambu klutuk 140 52 128 47,6 1 0,4 Lalapan bentuk buah 14 cempokak 170 63,2 92 34,2 7 2,6 15 timun 267 99,3 2 0,7 0 0 16 tomat 205 76,2 64 23,8 0 0 17 meranti 25 9,3 100 37,2 144 53,5 18 terong gelatik 145 53,9 112 41,6 12 4,5 19 jambu air benik 174 64,7 85 31,6 10 3,7 20 semangka enom 28 10,4 229 85,1 12 4,5 21 kacang panjang 176 65,4 93 34,6 0 0 22 cipir 145 53,9 61 22,7 63 23,4 23 babal 35 13 174 64,7 60 22,3 24 pare hutan 92 34,2 118 43,9 59 21,9 Lalapan bentuk umbi 25 wortel 156 58 113 42 0 0 26 bawamg merah batak 85 31,6 184 68,4 0 0 27 bengkoang 219 81,4 43 16 7 2,6 Lalapan bentuk biji 28 kacang koro 99 36,8 95 35,3 75 27,8 29 pete papan 155 57,6 114 42,4 0 0 30 lamtoro 150 55,8 83 30,9 36 13,4 31 cambah 163 60,6 95 35,3 11 4,1 32 jengkol enom 127 47,2 133 49,4 9 3,3

Universitas Sumatera Utara Lampiran 3. Daftar Informan

Informan 1

Nama : Misem

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 80 tahun

Tempat lahir : Melati II

Agama : Islam

Universitas Sumatera Utara

Informan 2

Nama : Siffon

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 88 tahun

Tempat lahir : Melati II

Agama : Islam

Universitas Sumatera Utara

Informan 3

Nama : Untung

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 66 tahun

Tempat lahir : Melati II

Agama : Islam

Nama : Lasmi Nama : Miskam

Jenis kelamin : Perempuan Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 65 tahun Umur : 50 tahun

Tempat lahir : Gunung parah Tempat lahir : Desa Bingkat Dusun Bersama Agama : Islam Agama : Islam

Universitas Sumatera Utara Lampiran 4. Dokumentasi Foto

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Lampiran 5. Peta Desa Bingkat

Universitas Sumatera Utara Lampiran 6. Surat Izin Penelitian

Universitas Sumatera Utara