Analisis Hasil Pemeriksaan Bpk Atas Laporan Keuangan Perusahaan Umum Damri
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN BPK ATAS LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN UMUM DAMRI BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK DAN PENGAWASAN DPD BEKERJASAMA DENGAN TENAGA KONSULTAN Dr. HENDRI SAPARINI I. Pendahuluan Perusahaan Umum DAMRI merupakan badan usaha yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1982 yang menyediakan pelayanan jasa bagi kemanfaatan umum berupa penyelenggaraan jasa angkutan penumpang untuk umum dan atau barang, angkutan perintis berdasarkan penugasan Pemerintah, dan usaha-usaha lain yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan dengan memperoleh keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Kegiatan pelayanan angkutan Perum DAMRI ini dilaksanakan oleh Unit-unit Pelaksana Teknis (UPT) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pada era 70-an, hampir seluruh masyarakat Indonesia begitu akrab dengan perusahaan yang mengelola jasa angkutan ini. Namun, setelah rentang waktu puluhan tahun, jasa angkutan jalan raya ini bukan lagi “milik” Perum DAMRI, lantaran persaingan yang ketat. Hal ini dikarenakan mulai menjamurnya berbagai perusahaan otobus yang dikelola swasta murni secara profesional yang memberikan fasilitas lebih menawan. Selain itu, muncul pula berbagai permasalahan dalam tubuh Perum DAMRI yang pada akhirnya menuai demo besar dan aksi mogok kerja, khususnya dari ratusan kru bus DAMRI. Ratusan kru bus ini menuntut hak-hak normatif, seperti gaji dan Jaminan Hari Tua (JHT) yang belum dibayarkan. Permasalahan Perum DAMRI pun semakin meluas pada besaran gaji dan status kekaryawanan para kru yang belum memperoleh kejelasan. Salah satu alasan mengapa Perum DAMRI belum membayarkan gaji dan Jaminan Hari Tua (JHT) kepada para karyawannya adalah karena kondisi keuangan Perum DAMRI yang sedang bermasalah, dimana antara penerimaan dan biaya operasional tidak seimbang. Hal ini dikarenakan hanya trayek-trayek khusus saja yang bisa memberikan keuntungan bagi Perum DAMRI, seperti trayek jurusan Bandara Soekarno-Hatta Jakarta yang bersifat monopolistik. Di sisi lain biaya operasional yang harus dikeluarkan semakin tinggi. I. Hasil Pemeriksaan dan Temuan BPK Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester II Tahun Anggaran 2008 terhadap Laporan Keuangan Perum DAMRI untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2006 dan 2005, BPK berpendapat bahwa laporan keuangan Perum DAMRI disajikan secara “wajar” dalam semua hal yang material, posisi keuangan Perum DAMRI tanggal 31 Desember 2006 dan 2005, dan hasil usaha, serta arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Namun dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester II Tahun Anggaran 2008 itu BPK RI menemukan beberapa permasalahan antara lain : 1. Perum DAMRI kurang membebankan PPh Pasal 21 atas uang pesangon atau Jaminan Hari Tua (JHT) karyawan yang menjalani PHK sebesar Rp 43,65 juta. Pada tahun 2006 Perum DAMRI telah menjalani pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada sejumlah karyawannya sebanyak 284 orang. Jumlah kewajiban Perum DAMRI untuk memberikan Jaminan Hari Tua (JHT), Tabungan Hari Tua (THT), Jaminan Kematian (JKM) dan pesangon terhadap karyawan yang di PHK 2 tersebut sebesar Rp9.188.695.883,00 dan yang sudah dibayar baru sebesar Rp3.532.863.485,00. Hasil pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa Perum DAMRI untuk tahun 2006 belum memungut dan menyetor ke kas negara PPh Pasal 21 atas pembayaran kepada karyawan yang di PHK tersebut sebesar Rp43.648.650,00. Hal ini terjadi dikarenakan Perum DAMRI kurang memahami ketentuan perpajakan yang berlaku atas pembayaran uang pesangon/JHT karyawan. 2. Perum DAMRI belum menyetorkan potongan penghasilan karyawan untuk iuran program THT sebesar Rp539,942 juta kepada PT TASPEN (Persero) sehingga karyawan Perum DAMRI yang pensiun tidak dapat menerima haknya sebagai peserta Taspen. Perum DAMRI telah mengikutsertakan pegawainya sebagai peserta Program Tabungan Hari Tua (THT) pada PT Taspen (Persero) melalui Perjanjian Kerjasama No:05/KU.103/DU-1998/No:JAN-01/DIR/1998 tentang Kepesertaan Pegawai Perum DAMRI dalam Program THT, terhitung mulai tanggal 23 Januari 1998. Hak karyawan Perum DAMRI ada tiga yaitu Manfaat THT, Manfaat Nilai Tunai dan Manfaat Asuransi Kematian. Kewajiban Perum DAMRI adalah memungut iuran peserta sebesar 3,25% dari penghasilan setiap bulan dan menyetorkan kepada PT Taspen. Berdasarkan pemeriksaan terhadap daftar gaji karyawan Perum DAMRI diketahui bahwa sejak bulan Januari sampai dengan November 2006 jumlah potongan penghasilan karyawan untuk iuran Taspen adalah sebesar Rp1.069.942.034,46. Dari jumlah tersebut, yang sudah disetorkan oleh Perum DAMRI kepada PT Taspen baru sebesar Rp530.000.000,00 untuk iuran Taspen bulan Januari sampai dengan Mei 2006, sedangkan sisanya sebesar Rp539.942.034,46 belum disetorkan. Adanya kekurangan pembayaran kepada PT Taspen tersebut dikarenakan sebagian besar uang iuran digunakan untuk operasional UPT sehingga belum disetorkan oleh UPT kepada kantor pusat dan untuk penyelesaian kewajiban iuran THT karyawan ke PT Taspen direncanakan pembayarannya dari hasil penjualan aset yang telah mendapatkan persetujuan dari Menteri BUMN. 3. Direksi Perum DAMRI belum melakukan penyelesaian kerja sama program JHT karyawan dengan PT Asuransi Jiwasraya sehingga iuran yang telah dibayarkan sebesar Rp22.860,83 juta tidak jelas statusnya dan tidak memberikan manfaat sesuai tujuannya. Program pemberian Jaminan Hari Tua (JHT) bagi karyawan Perum DAMRI dilaksanakan sejak tahun 1994 berdasarkan ketentuan JHT Pegawai Perum DAMRI No.53/KP.605/DAMRI-1994 tanggal 4 Februari 1994 yang menyatakan setiap peserta wajib membayar iuran sebesar 4,75% dari gaji terakhir ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan perusahaan. Kewajiban membayar iuran tersebut dimulai pada bulan karyawan yang bersangkutan diterima menjadi peserta dan berakhir pada akhir bulan peserta meninggal dunia atau berhenti sebagai karyawan. Menurut perjanjian kerja sama antara Perum DAMRI dengan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) (Perjanjian No.54/KU.103/DU- 1994/No.024.SJ.U.0494 tanggal 14 April 1994), Perum DAMRI berkewajiban untuk melunasi Iuran Back Service dan Iuran Coming Service yang terhutang atas penutupan JHT beserta kenaikan-kenaikannya pada tanggal jatuh tempo pembayaran iuran selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah tagihan iuran di terima. Bila terjadi keterlambatan, Perum DAMRI dikenakan bunga sebesar 1% 3 dari jumlah iuran yang terhutang untuk setiap bulan terjadinya keterlambatan. Kewajiban premi JHT Perum DAMRI yang telah dibayarkan kepada PT Asuransi Jiwasraya sejak tahun 1992 s/d 2002 berupa Iuran Back Service periode tahun 1997 sebesar Rp8.909.327.397,00; Iuran Coming Service periode tahun 1992 s/d 2000 sebesar Rp9.849.041.588,00 dan Suplesi periode tahun 1998 s/d 2001 sebesar Rp4.102.457.802,00 atau seluruhnya sebesar Rp22.860.826.787,00. Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa: a. Sejak tahun 2001 Perum DAMRI tidak lagi mampu membayar kewajiban premi kepada PT Asuransi Jiwasraya, dan Direksi Perum DAMRI tidak pernah mengajukan permohonan penangguhan pembayaran atau pemutusan sementara kerja sama dengan PT Asuransi Jiwasraya, sehingga mulai akhir tahun 2005 PT Asuransi Jiwasraya tidak bersedia membayar uang JHT karyawan Perum DAMRI yang pensiun. b. Pada tanggal 25 Agustus 2006 Direktur Keuangan, SDM dan Administrasi Umum Perum DAMRI mengirimkan surat permohonan pembebasan premi peserta program JHT kepada PT Asuransi Jiwasraya, namun belum ada tanggapan dari PT Asuransi Jiwasraya. c. Perum Damri tidak pernah melakukan rekonsiliasi dengan PT Asuransi Jiwasraya mengenai jumlah kewajiban Perum DAMRI yang belum dibayar dan hak-hak Perum DAMRI yang belum diberikan oleh PT Asuransi Jiwasraya. 4. Pengendalian intern atas pembukuan dan administrasi aktiva bus lemah sehingga jumlah bus milik Perum DAMRI belum dapat diketahui secara pasti. Berdasarkan Laporan Keuangan (Unaudited) Perum DAMRI Tahun Buku 2006, diketahui nilai perolehan keseluruhan bus yang dimiliki oleh Perum DAMRI sebesar Rp428.040.688.973,79 dan akumulasi penyusutan sebesar Rp285.530.985.513,09 atau nilai buku aktiva bus sebesar Rp142.509.703.460,70. Bus yang tercatat sebagai aktiva tetap tersebut merupakan bus yang masih layak jalan dan tidak termasuk bus yang akan diafkir atau telah diafkir. Menurut daftar rincian aktiva bus yang dibuat oleh Bagian Akuntansi, diketahui juga bahwa jumlah seluruh bus yang dimiliki oleh perusahaan sebanyak 1.731 buah (tidak termasuk bus yang diusulkan afkir), sedangkan menurut catatan Bagian Teknik jumlah seluruh bus sebanyak 1.484 buah (tidak termasuk bus yang diusulkan afkir) atau terdapat selisih sebanyak 247 buah bus. Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut terhadap aktiva bus, diketahui: a. Bus yang dilaporkan UPT jumlahnya berbeda dengan jumlah fisik bus yang berada di UPT, sehingga jumlah bus yang dimiliki Perum DAMRI tidak dapat diketahui secara pasti dan berpotensi hilang. b. Daftar rincian aktiva bus yang dibuat oleh Bagian Akuntansi tidak selalu diperbarui sesuai dengan data-data yang ada. Selain itu, penyusunan dan pencatatan yang dilakukan tidak dapat menggambarkan jumlah bus yang berada di masing-masing UPT serta jumlah keseluruhan bus yang dimiliki oleh Perum DAMRI. 4 c. Bagian Teknik dalam membuat Buku Taman Kendaraan hanya berdasarkan laporan UPT, Bagian Teknik tidak pernah melakukan inventarisasi secara fisik. d. Bagian Akuntansi dan Bagian Teknik tidak pernah melakukan koordinasi dan atau rekonsiliasi mengenai jumlah bus yang dimiliki perusahaan. e. Perum DAMRI belum memiliki aturan atau sistem yang memadai