ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN BPK ATAS LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN UMUM DAMRI

BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK DAN PENGAWASAN DPD BEKERJASAMA DENGAN TENAGA KONSULTAN

Dr. HENDRI SAPARINI I. Pendahuluan Perusahaan Umum DAMRI merupakan badan usaha yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1982 yang menyediakan pelayanan jasa bagi kemanfaatan umum berupa penyelenggaraan jasa angkutan penumpang untuk umum dan atau barang, angkutan perintis berdasarkan penugasan Pemerintah, dan usaha-usaha lain yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan dengan memperoleh keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Kegiatan pelayanan angkutan Perum DAMRI ini dilaksanakan oleh Unit-unit Pelaksana Teknis (UPT) yang tersebar di seluruh wilayah . Pada era 70-an, hampir seluruh masyarakat Indonesia begitu akrab dengan perusahaan yang mengelola jasa angkutan ini. Namun, setelah rentang waktu puluhan tahun, jasa angkutan jalan raya ini bukan lagi “milik” Perum DAMRI, lantaran persaingan yang ketat. Hal ini dikarenakan mulai menjamurnya berbagai perusahaan otobus yang dikelola swasta murni secara profesional yang memberikan fasilitas lebih menawan. Selain itu, muncul pula berbagai permasalahan dalam tubuh Perum DAMRI yang pada akhirnya menuai demo besar dan aksi mogok kerja, khususnya dari ratusan kru bus DAMRI. Ratusan kru bus ini menuntut hak-hak normatif, seperti gaji dan Jaminan Hari Tua (JHT) yang belum dibayarkan. Permasalahan Perum DAMRI pun semakin meluas pada besaran gaji dan status kekaryawanan para kru yang belum memperoleh kejelasan. Salah satu alasan mengapa Perum DAMRI belum membayarkan gaji dan Jaminan Hari Tua (JHT) kepada para karyawannya adalah karena kondisi keuangan Perum DAMRI yang sedang bermasalah, dimana antara penerimaan dan biaya operasional tidak seimbang. Hal ini dikarenakan hanya trayek-trayek khusus saja yang bisa memberikan keuntungan bagi Perum DAMRI, seperti trayek jurusan Bandara Soekarno-Hatta yang bersifat monopolistik. Di sisi lain biaya operasional yang harus dikeluarkan semakin tinggi.

I. Hasil Pemeriksaan dan Temuan BPK Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester II Tahun Anggaran 2008 terhadap Laporan Keuangan Perum DAMRI untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2006 dan 2005, BPK berpendapat bahwa laporan keuangan Perum DAMRI disajikan secara “wajar” dalam semua hal yang material, posisi keuangan Perum DAMRI tanggal 31 Desember 2006 dan 2005, dan hasil usaha, serta arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Namun dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Semester II Tahun Anggaran 2008 itu BPK RI menemukan beberapa permasalahan antara lain : 1. Perum DAMRI kurang membebankan PPh Pasal 21 atas uang pesangon atau Jaminan Hari Tua (JHT) karyawan yang menjalani PHK sebesar Rp 43,65 juta. Pada tahun 2006 Perum DAMRI telah menjalani pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada sejumlah karyawannya sebanyak 284 orang. Jumlah kewajiban Perum DAMRI untuk memberikan Jaminan Hari Tua (JHT), Tabungan Hari Tua (THT), Jaminan Kematian (JKM) dan pesangon terhadap karyawan yang di PHK

2 tersebut sebesar Rp9.188.695.883,00 dan yang sudah dibayar baru sebesar Rp3.532.863.485,00. Hasil pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa Perum DAMRI untuk tahun 2006 belum memungut dan menyetor ke kas negara PPh Pasal 21 atas pembayaran kepada karyawan yang di PHK tersebut sebesar Rp43.648.650,00. Hal ini terjadi dikarenakan Perum DAMRI kurang memahami ketentuan perpajakan yang berlaku atas pembayaran uang pesangon/JHT karyawan. 2. Perum DAMRI belum menyetorkan potongan penghasilan karyawan untuk iuran program THT sebesar Rp539,942 juta kepada PT TASPEN (Persero) sehingga karyawan Perum DAMRI yang pensiun tidak dapat menerima haknya sebagai peserta Taspen. Perum DAMRI telah mengikutsertakan pegawainya sebagai peserta Program Tabungan Hari Tua (THT) pada PT Taspen (Persero) melalui Perjanjian Kerjasama No:05/KU.103/DU-1998/No:JAN-01/DIR/1998 tentang Kepesertaan Pegawai Perum DAMRI dalam Program THT, terhitung mulai tanggal 23 Januari 1998. Hak karyawan Perum DAMRI ada tiga yaitu Manfaat THT, Manfaat Nilai Tunai dan Manfaat Asuransi Kematian. Kewajiban Perum DAMRI adalah memungut iuran peserta sebesar 3,25% dari penghasilan setiap bulan dan menyetorkan kepada PT Taspen. Berdasarkan pemeriksaan terhadap daftar gaji karyawan Perum DAMRI diketahui bahwa sejak bulan Januari sampai dengan November 2006 jumlah potongan penghasilan karyawan untuk iuran Taspen adalah sebesar Rp1.069.942.034,46. Dari jumlah tersebut, yang sudah disetorkan oleh Perum DAMRI kepada PT Taspen baru sebesar Rp530.000.000,00 untuk iuran Taspen bulan Januari sampai dengan Mei 2006, sedangkan sisanya sebesar Rp539.942.034,46 belum disetorkan. Adanya kekurangan pembayaran kepada PT Taspen tersebut dikarenakan sebagian besar uang iuran digunakan untuk operasional UPT sehingga belum disetorkan oleh UPT kepada kantor pusat dan untuk penyelesaian kewajiban iuran THT karyawan ke PT Taspen direncanakan pembayarannya dari hasil penjualan aset yang telah mendapatkan persetujuan dari Menteri BUMN. 3. Direksi Perum DAMRI belum melakukan penyelesaian kerja sama program JHT karyawan dengan PT Asuransi Jiwasraya sehingga iuran yang telah dibayarkan sebesar Rp22.860,83 juta tidak jelas statusnya dan tidak memberikan manfaat sesuai tujuannya. Program pemberian Jaminan Hari Tua (JHT) bagi karyawan Perum DAMRI dilaksanakan sejak tahun 1994 berdasarkan ketentuan JHT Pegawai Perum DAMRI No.53/KP.605/DAMRI-1994 tanggal 4 Februari 1994 yang menyatakan setiap peserta wajib membayar iuran sebesar 4,75% dari gaji terakhir ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan perusahaan. Kewajiban membayar iuran tersebut dimulai pada bulan karyawan yang bersangkutan diterima menjadi peserta dan berakhir pada akhir bulan peserta meninggal dunia atau berhenti sebagai karyawan. Menurut perjanjian kerja sama antara Perum DAMRI dengan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) (Perjanjian No.54/KU.103/DU- 1994/No.024.SJ.U.0494 tanggal 14 April 1994), Perum DAMRI berkewajiban untuk melunasi Iuran Back Service dan Iuran Coming Service yang terhutang atas penutupan JHT beserta kenaikan-kenaikannya pada tanggal jatuh tempo pembayaran iuran selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah tagihan iuran di terima. Bila terjadi keterlambatan, Perum DAMRI dikenakan bunga sebesar 1%

3 dari jumlah iuran yang terhutang untuk setiap bulan terjadinya keterlambatan. Kewajiban premi JHT Perum DAMRI yang telah dibayarkan kepada PT Asuransi Jiwasraya sejak tahun 1992 s/d 2002 berupa Iuran Back Service periode tahun 1997 sebesar Rp8.909.327.397,00; Iuran Coming Service periode tahun 1992 s/d 2000 sebesar Rp9.849.041.588,00 dan Suplesi periode tahun 1998 s/d 2001 sebesar Rp4.102.457.802,00 atau seluruhnya sebesar Rp22.860.826.787,00. Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa: a. Sejak tahun 2001 Perum DAMRI tidak lagi mampu membayar kewajiban premi kepada PT Asuransi Jiwasraya, dan Direksi Perum DAMRI tidak pernah mengajukan permohonan penangguhan pembayaran atau pemutusan sementara kerja sama dengan PT Asuransi Jiwasraya, sehingga mulai akhir tahun 2005 PT Asuransi Jiwasraya tidak bersedia membayar uang JHT karyawan Perum DAMRI yang pensiun. b. Pada tanggal 25 Agustus 2006 Direktur Keuangan, SDM dan Administrasi Umum Perum DAMRI mengirimkan surat permohonan pembebasan premi peserta program JHT kepada PT Asuransi Jiwasraya, namun belum ada tanggapan dari PT Asuransi Jiwasraya. c. Perum Damri tidak pernah melakukan rekonsiliasi dengan PT Asuransi Jiwasraya mengenai jumlah kewajiban Perum DAMRI yang belum dibayar dan hak-hak Perum DAMRI yang belum diberikan oleh PT Asuransi Jiwasraya. 4. Pengendalian intern atas pembukuan dan administrasi aktiva bus lemah sehingga jumlah bus milik Perum DAMRI belum dapat diketahui secara pasti. Berdasarkan Laporan Keuangan (Unaudited) Perum DAMRI Tahun Buku 2006, diketahui nilai perolehan keseluruhan bus yang dimiliki oleh Perum DAMRI sebesar Rp428.040.688.973,79 dan akumulasi penyusutan sebesar Rp285.530.985.513,09 atau nilai buku aktiva bus sebesar Rp142.509.703.460,70. Bus yang tercatat sebagai aktiva tetap tersebut merupakan bus yang masih layak jalan dan tidak termasuk bus yang akan diafkir atau telah diafkir. Menurut daftar rincian aktiva bus yang dibuat oleh Bagian Akuntansi, diketahui juga bahwa jumlah seluruh bus yang dimiliki oleh perusahaan sebanyak 1.731 buah (tidak termasuk bus yang diusulkan afkir), sedangkan menurut catatan Bagian Teknik jumlah seluruh bus sebanyak 1.484 buah (tidak termasuk bus yang diusulkan afkir) atau terdapat selisih sebanyak 247 buah bus. Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut terhadap aktiva bus, diketahui: a. Bus yang dilaporkan UPT jumlahnya berbeda dengan jumlah fisik bus yang berada di UPT, sehingga jumlah bus yang dimiliki Perum DAMRI tidak dapat diketahui secara pasti dan berpotensi hilang. b. Daftar rincian aktiva bus yang dibuat oleh Bagian Akuntansi tidak selalu diperbarui sesuai dengan data-data yang ada. Selain itu, penyusunan dan pencatatan yang dilakukan tidak dapat menggambarkan jumlah bus yang berada di masing-masing UPT serta jumlah keseluruhan bus yang dimiliki oleh Perum DAMRI.

4 c. Bagian Teknik dalam membuat Buku Taman Kendaraan hanya berdasarkan laporan UPT, Bagian Teknik tidak pernah melakukan inventarisasi secara fisik. d. Bagian Akuntansi dan Bagian Teknik tidak pernah melakukan koordinasi dan atau rekonsiliasi mengenai jumlah bus yang dimiliki perusahaan. e. Perum DAMRI belum memiliki aturan atau sistem yang memadai untuk melakukan administrasi dan pengendalian atas aktiva bus. 5. Terdapat beberapa tanah milik Perum DAMRI yang tidak dilaporkan dalam laporan keuangan serta yang tercatat dalam laporan keuangan tetapi diantaranya sudah dikuasai oleh pihak ketiga dan masih dalam sengketa dengan pihak ketiga. Pada Laporan Keuangan (Unaudited) Tahun 2006, nilai perolehan aktiva tetap berupa tanah sebesar Rp15.035.310.273,40. Tanah tersebut terdapat di 74 lokasi yang terletak di Jakarta dan UPT di daerah. Hasil pemeriksaan terhadap daftar aktiva tetap tanah menunjukkan adanya beberapa masalah: a. Terdapat 3 lokasi tanah yang sertifikatnya dimiliki atas nama Perum DAMRI namun belum tercatat, yaitu tanah di UPT Serang seluas 285 M2, tanah di UPT Ende seluas 1.200 M2, dan tanah di UBK seluas 3.540 M2. b. Terdapat 6 lokasi tanah seluas 21.864 M2 yang masih tercatat di dalam laporan keuangan sebagai tanah milik Perum DAMRI, tetapi status tanah sudah bukan milik dan tidak dikuasai oleh Perum DAMRI, yaitu tanah di UPT seluas 590 M2, tanah di UPT Palu seluas 4.000 M2, tanah di UPT Tegal seluas 3.600 M2, tanah di UPT Ungaran seluas 1.500 M2, tanah di UPT seluas 10.000 M2, dan tanah di Kantor Pusat seluas 2.174 M2. c. Terdapat 5 lokasi tanah yang masih dalam sengketa dengna pihak ketiga, seluas 23.219 m2, yaitu tanah di Pool Kemayoran seluas 12.230 M2, tanah di UPT seluas 1.829 M2, tanah di UPT Biak seluas 7.500 M2, tanah di UPT seluas 700 M2, dan tanah di UPT Mataram seluas 960 M2. Dengan adanya permasalahan tersebut mengakibatkan nilai perolehan tanah Perum DAMRI tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya dan berpotensi hilangnya aset tanah perusahaan.

II. ANALISA Dari laporan tersebut dapat disimpulkan beberapa hal: 1. Pemahaman yang kurang terhadap objek yang menjadi tanggungjawab Perum DAMRI. Hal ini terlihat pada Perum DAMRI kurang membebankan PPh pasal 21 atas uang pesangon atau Jaminan Hari Tua (JHT) karyawan yang menjalani PHK karena Perum DAMRI kurang memahami ketentuan perpajakan yang berlaku atas pembayaran uang pesangon/JHT karyawan. 2. Penyalahgunaan anggaran yang merugikan karyawan dan ketidaktegasan Direksi dalam menyelesaikan persolan. Hal ini nampak pada tidak disetorkannya potongan penghasilan karyawan untuk iuran progam THT

5 sebesar Rp539,942 juta kepada PT TASPEN (Persero) karena sebagian besar uang iuran digunakan untuk operasional UPT sehingga belum disetorkan oleh UPT kepada Kantor Pusat. Akibatnya karyawan Perum DAMRI yang pensiun tidak dapat menerima haknya sebagai peserta Taspen. Di disisi lain Direksi Perum DAMRI yang seharusnya bertanggungjawab menyelesaikan hal ini tidak segera bertindak untuk menyelesaikan permasalahan. 3. Kelalaian dalam menjalankan aturan. Hal ini terlihat misalnya pada Hasil Pemeriksaan BPK-RI Tahun Buku 2004 dan 2005 yang menyangkut kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan belum seluruhnya ditindaklanjuti oleh Perum DAMRI. 4. Sistem administrasi dan informasi Perusahaan yang lemah. Hal ini ditunjukkan oleh (1) tidak jelasnya berapa sebenarnya aset Perusahan yang berbentuk bus, (2) terdapat beberapa tanah milik Perum DAMRI yang tidak dilaporkan dalam laporan keuangan serta yang tercatat dalam laporan keuangan tetapi di antaranya sudah dikuasai oleh pihak ketiga dan masih dalam sengketa dengan pihak ketiga.

Program Restrukturisasi Masalah Perum DAMRI lainnya adalah menyangkut tentang tingkat kesejahteraan karyawan yang luput dari perhatian. Yang memprihatinkan bukan saja persoalan gaji karyawan yang terlambat dibayar, tetapi juga menyangkut pembayaran hak pensiun. Pemberian gaji yang tertunda dialami sejumlah karyawan di beberapa cabang perusahaan di daerah misalnya di Solo, , dan . Untuk mengatasi semua persoalan tersebut, Perum DAMRI berusaha menjual aset perusahaan untuk mendanai program penataan struktur organisasi (restrukturisasi) di tubuh Perum DAMRI. Aset DAMRI yang akan dilepas itu sebagian besar berupa tanah dan bangunan yang dianggap tidak produktif lagi. Jajaran manajemen DAMRI perlu melakukan program restrukturisasi yang mulai dicanangkan 2006-2008 tersebut karena dipandang sangat urgen untuk mengeluarkan perusahaan tersebut dari berbagai persoalan. Salah satu langkah penyehatan perusahaan tersebut yang mendapat dukungan dari para karyawan adalah pengurangan jumlah karyawan. Hal ini karena jumlah karyawan perusahan tersebut dinilai terlalu banyak sehingga tidak sebanding dengan jumlah bus yang layak jalan. Selain itu program restrukturisasi tersebut mencakup perampingan struktur organisasi, evaluasi terhadap rute pelayanan yang selama ini tidak efisien dan penjualan sejumlah aset perusahaan untuk uang pensiun dini dan gaji karyawan yang terlambat dibayarkan.

Mengapa DAMRI Merugi Pada tahun 2005 dan 2006 Perum DAMRI mengalami kerugian masing- masing sebesar Rp 19.32 miliar dan Rp 28.89 miliar. Pada dasarnya kerugian tersebut diakibatkan biaya operasional dan non operasional yang lebih tinggi dibandingkan pendapatan. Padahal di dalam Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2002 tentang Perusahaan Umum DAMRI pasal 6.b dinyatakan: Maksud dan Tujuan

6 Perusahaan adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyelenggaraan jasa angkutan umum, penumpang dan barang di atas jalan dengan kendaraan bermotor yang bermutu tinggi dengan memperoleh keuntungan sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan. Laporan Laba Rugi 2005-2006 2006 2005 Pendapatan Usaha 380,283,243,410 299,231,252,251 Biaya Komisi Penjualan 7,017,780,029 6,769,948,508 Pendapatan Usaha Bersih 373,265,463,381 292,461,303,743 Beban Pokok Beban Langsung 307,499,296,938 236,317,618,906 Beban Tak Langsung 18,743,812,502 16,802,993,235 Jumlah Beban Pokok 326,243,109,440 253,120,612,141 Laba Usaha Kotor 47,022,353,941 39,340,691,603 Beban Usaha 88,491,633,916 54,503,456,359 Laba (Rugi) Usaha Bersih -41,469,279,975 -15,162,764,757 Pendapatan (Beban) Lain-lain Bersih 5,229,741,322 2,180,950,969 Laba (Rugi) Sebelum Pajak -36,239,538,653 -12,981,813,788 Beban (Penghasilan) PPh Badan : Beban (Penghasilan) Pajak Tangguhan -7,352,665,988 6,338,747,569 LABA (RUGI) BERSIH -28,886,872,665 -6,643,066,219

Banyak faktor yang menjadi penyebab kerugian tersebut. Salah satunya adalah kualitas pelayanan perusahaan yang rendah. Padahal dalam kompetisi penyediaan transportasi umum yang makin ketat ketersediaan sarana transportasi yang memberikan pelayanan yang prima disamping aman dan nyaman, menjadi syarat utama untuk menggaet konsumen yang kini makin selektif. Buruknya layanan perusahaan salah satunya terlihat dari kondisi fisik armada bus yang tidak terawat dengan baik (kecuali bus DAMRI untuk bandara) sehingga pilihan konsumen untuk memanfaatkan jasa perusahaan tidak lagi menjadi pilihan utama. Persaingan yang cukup tinggi dengan perusahaan penyedia transportasi swasta yang menawarkan pelayanan yang lebih baik menyebabkan pangsa pasar PT Damri makin menciut. Belum lagi dengan berkembangnya sistem pembiayaan barang konsumsi, masyarakat makin mudah memperoleh sarana transportasi subtitusi seperti mobil dan motor yang dianggap lebih nyaman. Perusahaan juga menghadapi tingkat inefisiensi yang cukup tinggi dalam pengelolaan usaha. Hal ini terlihat pada tingginya beban/biaya langsung seperti: biaya tenaga operasi, biaya operasi, dan biaya perawatan dan perbengkelan. Salah satu penyebab tingginya biaya langsung tersebut (khususnya operasi) akibat penggunaan bahar bakar yang masih bergantung pada solar dan bensin. Hal tersebut diperparah oleh kondisi fisik kendaraan yang mengakibatkan penggunaan bahan bakar menjadi lebih boros. Minimnya subsidi dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk mengganti dan meremajakan armada bus juga menjadi persoalan bagi perusahaan ini. Pada tahun 2005 dan 2006 PMN sebesar 105 miliar dan 110 miliar. Ekuitas perusahaan BUMN ini terus merosot akibat kerugian yang terus terjadi sementara subsidi tidak bertambah signifikan. Akhirnya yang terjadi adalah proses kanibalisasi

7 aset dimana bus-bus tua dijual untuk mengkompensasi sebagian kerugian perusahaan. Aturan mengenai pembinaan terhadap perusahaan ini juga agak aneh. Dalam Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2002 tentang Perusahaan Umum DAMRI pasal 14 dinyatakan bahwa: (1) Pembinaan Perusahaan dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pelaksanaan pembinaan sehari-hari dilakukan oleh Menteri. Mungkin akan lebih optimal jika Perum ini dialihkan ke Departemen Perhubungan yang memang diberi tanggungjawab untuk mengurus masalah transportasi. Padahal jika perusahaan ini dikelola dengan baik maka tidak hanya akan memperoleh laba yang dapat terus tumbuh namun juga akan meningkatkan preferensi masyarakat untuk menggunakan jasa transportasi publik. Eksternalitas yang ditimbulkan dari peralihan preferensi tersebut sangat positif bagi pemerintah dan masyarakat antara lain polusi dapat direduksi, kemacetan akibat membludaknya penggunaan kendaraan pribadi akan berkurang sekaligus menekan konsumsi bahan bakar secara nasional yang pada akhirnya ikut mengurangi pengeluaran pemerintah untuk subsidi bahan bakar. Keberadaan PT Damri sebagai leader dalam menyediakan transportasi publik yang murah dan nyaman perlu diwujudkan.

III. REKOMENDASI Untuk merealisasikan hal tersebut program restrukturisasi perusahaan mutlak diperlukan antara lain dengan cara: 1. Memilih Dewan Direksi yang lebih kompeten untuk menangani BUMN ini. Hal ini sejalan dengan pasal pasal 20.b yang menyatakan bahwa direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya karena antara lain: a. tidak melaksanakan tugasnya dengan baik; b. tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan dan atau ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Kerugian yang terus dibukuan oleh perusahaan ini cukup menjadi bukti kegagalan Dewan Direksi menangani persoalan yang membelit perusahaan tersebut. 2. Mengalihkan pengawasan dan pembinaan BUMN ini ke Departemen Perhubungan. Dengan cara tersebut diharapkan perusahaan ini mendapatkan perhatian yang lebih serius sehingga dapat meningkatkan fungsinya sebagai penyedia transportasi publik yang nyaman dan ekonomis sekaligus mampu mencatat laba yang dapat menyumbang APBN. 3. Kondisi keuangan perusahaan yang terus merugi mengharuskan adanya intervensi pemerintah yang lebih tinggi dalam pemberian subsidi sehingga perusahaan dapat beroperasi secara normal. Pemberian subsidi tersebut salah satunya digunakan untuk melakukan peremajaan armada dan menghentikan operasi bus-bus DAMRI yang tua yang berkontribusi pada pencemaran udara. 4. Perlu terobosan untuk memperluas pasar perusahaan seperti menggalang kerjasama dengan berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta untuk menggunakan jasa perusahaan dengan sistem leasing pada kegiatan-kegiatan yang membutuhkan transportasi dalam kapasitas yang besar.

8 5. Menggalang kerjasama dengan BUMN lain dalam penyediaan dan peremajaan armada bus DAMRI (Pindad, INKA, dll). Kerjasama tersebut sekaligus meningkatkan produktifitas perusahaan otomitif domestik sehingga tidak terus menerus tergantung dengan impor bus-bus bekas. 6. Selain itu restrukturisasi sistem administrasi dan keuangan sangat diperlukan sehingga berbagai temuan BPK tidak lagi terulang dari tahun ke tahun.

9