KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI MASYARAKAT MELAYU

Dr. Fuad Rahman, M.Ag.

Penerbit Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jalan Arif Rahman Hakim Telanaipura Kota Jambi Telp. (0741) 60731, email: [email protected]

i

Kuasa Simbolik Adat dan Syarak dalam Tradisi Masyarakat Melayu

Penulis : Fuad Rahman Editor : M.H. Abid Sohiron Layout : Cahaya Firdaus Design Cover : Cahaya Firdaus

Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN : 978-602-60957-7-0 viii, 268 hal (15,5x23 cm) Cetakan Tahun 2020

Alamat Penerbit : Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jalan Arif Rahman Hakim Telanaipura Kota Jambi Telp. (0741) 60731, email: [email protected]

Undang – undang Republik Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan Hak Eklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundanga-undangan yang berlaku Lingkup Hak Cipta Pasal 72 1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat 1 atau pasal 49 ayat 1 dan 2 dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau paling banyak Rp. 5.000.000.000,- 2. Barang siapa dengan dengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dipidana dengan penjara paling lam 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,-

ii

KATA PENGANTAR

Buku Kuasa Simbolik Adat dan Syarak dalam Tradisi Masyarakat Melayu adalah bagian dari ikhtiar penulis untuk mengungkap fenomena keterhubungan antara adat dan syarak. Masyarakat Melayu sebagai kelompok mayoritas yang mendiami wilayah Indonesia serta merupakan bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suku Melayu berasal dari akar keturunan Mongoloid yang menjadi nenek moyang bangsa Indonesia dan berkontribusi besar dalam merumuskan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pemersatu bangsa. Masyarakat Melayu yang mendominasi kepulauan Sumatera, Kalimantan dan sebagian Sulawesi terkenal dengan komunitas masyarakat yang mengimplementasikan adat dan syarak, sehingga lekat dengan slogan adatnya “Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah; Adat Mengato Syarak Memakai. Setiap wilayah yang didiami masyarakat Melayu mengklaim mengimplementasikan syarak dan adat, sekaligus penggagas dari filosofi adat itu sendiri. Oleh karenanya, kajian mengenai adat dan syarak di tanah Melayu dalam konteks kekinian masih relevan dan menarik utamanya ketika dikaitkan dengan Islamisasi Nusantara, sebagai titik awal peradaban Islam-Melayu. Sejak abad ke-14, Islamisasi hukum adat kelihatan jelas pada beberapa wilayah yang sebelumnya lebih mengedepankan budaya lokal, yang pada akhirnya terjadi asimilasi bahkan integrasi antar keduanya yaitu hukum Adat dan hukum Islam. Komitmen untuk mengawal pemberlakuan keduanya dibentuklah lembaga adat yang merupakan refresentasi dari tiga kepentingan yaitu; regulasi pemerintah, hukum Adat dan hukum Islam. Meskipun dalam perjalanannya terjadi tarik menarik kepentingan yang mengakibatkan terjadinya pertrungan kuasa. Melalui metode deskriptif-kualitatif, penulis menelaah tiga hal: 1) integrasi, praktik dan keberterimaan masyarakat terhadap adat dan syarak melalui

iii teori resepsi, 2) negosiasi dan unifikasi sistem hukum dan pemerintahan serta eksistensi kelembagaan adat melalui teori maşlahah dan 3) kuasa simbolik, kontestasi dan relasi kuasa kelembagaan adat serta yang mempengaruhi penerapan adat dan syarak melalui teori habitus. Pendekatan Sosiologi Hukum Islam penulis gunakan untuk mencermati praktik hukum dan fenomena kontestasi dalam memperebutkan posisi dan disposisi melalui kelembagaan adat internal maupun eksternal. Menyadari banyaknya pembahasan yang disajikan, maka buku ini penulis urai menjadi 3 tema besar. Bagian I, menjelaskan ke pembaca proses adaptasi adat dengan syarak yang berlangsung begitu cepat dan damai sejak kedatangan Islam melalui perkawinan dengan penguasa lokal. Adat dipersepsikan sebagai pola tutur, pola pikir dan pola tindak yang berkaitan dengan etika, hukum dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Sementara syarak dipersepsikan oleh masyarakat Melayu Jambi sebagai sumber hukum teologis karena mengandung pesan Allah dan Rasul-Nya, bersifat universal, absolut, dan abadi. Keduanya diterima sebagai aturan yang menjadi pegangan masyarakat Melayu Jambi hingga saat ini, meski penerapannya berbeda berdasarkan wilayah. Bagian II, menjelaskan sistem hukum dan pemerintahan yang dikonstruksi dan dipraktikkan masyarakat Melayu lebih dipengaruhi oleh Islam dan adat lokal yang dijalankan melalui kelembagaan adat Melayu Jambi, sebagai penyedia modal politik, religius dan kultural, yang memungkinkannya menjadi arena kontestasi kuasa antar kelompok di dalam atau di luarnya dalam memperebutkan legitimasi, posisi dan disposisi dengan mensubordinasi kelompok lain meski hanya melahirkan hegemoni bukan konflik. Bagian III, kelembagaan adat berperan sebagai patron masyarakat Melayu Jambi karena mampu memenuhi rasa nyaman dan rasa keadilan dalam persoalan hukum (perdata dan pidana), sosial dan agama. Selain itu, sebagai institusi non-formal yang memproduksi dan mereproduksi hukum meski ada institusi lain yang menangani persoalan yang sama iv sekaligus menjadi alasan menjadi potret ideal bagi daerah maupun pusat dalam menyelesaikan persoalan kekinian bidang agama, sosial, politik, dan budaya yang dihadapi bangsa ini. Akhirnya, penulis menyadari sajian buku ini sangat sederhana dan sangat jauh dari harapan pembaca dalam mengungkap gagasan tentang fenomena perberlakuan adat dan syarak pada pada beberapa wilayah yang didominasi masyarakat Melayu, karenanya kepada pembaca diharapkan saran dan masukannya guna menambah khazanah keilmuan dan kesempurnaan tulisan ini. Terima kasih buat ayah dan bundaku tercinta, isteri dan anak-anakku tersayang, tak lupa sahabat-sahabatku; Ahmad Fawaid (Probolinggo), Albert al- Fikri (Lhoksumawe), Ridhotullah (Banjarmasin), dan teman- teman seperjuangan serta semua pihak yang berkontribusi dalam penyelesaian buku ini. Semoga karya ini menjadi bagian dari pengabdian penulis terhadap tanah Jambi dan dunia akademik pada umumnya.

Penulis

Dr. Fuad Rahman, M.Ag NIP. 19730130200003 1 001

v

Daftar Isi

1 Pendahuluan ~ 1

2 Diskursus Syarak dan Adat: Mencari Dasar Pijakan ~ 13 A Studi-studi Terdahulu ~ 13 B Relevansi, Kontribusi, dan Distingsi ~ 22

3 Rekonstruksi Syarak dan Adat: Resepsi, Maşlahah, dan Habitus ~ 29 A Teori Resepsi ~ 30 B Teori Maşlahah dalam Yurisprudensi Islam ~ 33 C Teori Habitus ~ 36

4 Sejarah Singkat Melayu Jambi ~ 46 A Islamisasi dan Perkembangannya di Jambi ~ 47 B Akulturasi Syarak dengan Adat ~ 58 C Falsafah Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah ~ 65 D Kelembagaan Adat Melayu Jambi ~ 74 E Realitas Aktual: Sosial, Agama, Politik, dan Budaya ~ 80

5 Kontekstualisasi Syarak dan Adat dalam Tradisi Masyarakat Melayu Jambi ~ 100 A Pemberlakuan Aturan Adat Melayu Jambi ~ 100 B Praktik Hukum dalam Masyarakat Melayu Jambi ~ 111 C Sinkronisasi dan Diferensiasi Aturan Syarak dengan Adat ~ 124 D Unifikasi sebagai Penjembatan Pergulatan Syarak dengan Adat ~ 134

6 Pelembagaan Syarak dan Adat: Perspektif Masyarakat Melayu Jambi ~ 144 A Persepsi Masyarakat Melayu Jambi tentang Epistemologi Syarak dan Adat ~ 145

vi

B Keberterimaan Masyarakat Melayu Jambi terhadap Syarak dan Adat ~ 155 C Otoritas Pemerintah dalam Pelembagaan Syarak dan Adat ~ 169 D Penyelesaian Konflik Melalui Peradilan Adat ~ 181

7 Kelembagaan Adat Melayu Jambi sebagai Arena Pertar- ungan Kuasa ~ 189 A Modal dalam Kelembagaan Adat ~ 189 B Struktur Hierarkis Kelembagaan Adat ~ 196 C Jambi sebagai Arena Pertarungan Kuasa ~ 201 D Relasi Kuasa Internal dan Eksternal Kelembagaan Adat ~ 208 E Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Kepentingan Pemerintah, Syarak, dan Adat ~ 213 F Kontribusi Syarak, Adat Kelembagaan Adat dalam Ruang Agama, Sosial, dan Politik Kontemporer ~ 232

8 Penutup ~ 242 A Kesimpulan ~ 247 B Implikasi ~ 244 C Rekomendasi ~ 244

Daftar Pustaka ~ 246 Biodata Penulis ~ 264

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Konsonan ف = F ز = Z ب = B

ق = Q س = S ت = T

ك = K ش = Sh ث = Th

ل = L ص = Ṣ ج = J

م = M ض = Ḍ ح = Ḥ

ن = N ط = Ṭ خ = Kh

ه = H ظ = Ẓ د = D

و = W ع = ‘ ذ = Dh

ى = Y غ = Gh ر = R

ِ = Vokal Pendek : a = ‘ i = ِ u

و = ū ى = ī ا = Vokal Panjang : ā

اى = Diftong : ay

viii

1 Pendahuluan

Studi tentang konstruksi adat dengan syarak di beberapa daerah di Nusantara masih dipandang layak dilakukan terutama untuk mengakomodasi kepentingan budaya lokal dalam masyarakat dan agama.1 Upaya tersebut biasanya dilakukan oleh sebuah institusi yang mempertemukan representasi penguasa (pemerintah), tokoh agama, dan kelembagaan atau pemangku adat.2 Dalam konteks Jambi, institusi tersebut berjasa mempersatukan masyarakat sejak awal melalui ikatan agama dan adat dalam bingkai kerajaan Islam Melayu Jambi serta mengakomodasi dan menyatukan berbagai kepentingan. Institusi tersebut juga berhasil membangun relasi secara internal maupun eksternal, meski pada akhirnya mereka saling mempertaruhkan modal politik, agama, dan budaya. Masing-masing menganggap tawaran

1Penggunaan istilah adat dalam buku ini adalah hukum adat Jambi, sedangkan yang dimaksud syarak adalah hukum Islam. Penulis cenderung menggunakan istilah syarak ketimbang hukum Islam karena terminologi tersebut lebih akrab dan baku dalam masyarakat Jambi, terutama masyarakat adat. Merujuk pada jargon adat, kedudukan syarak lebih tinggi ketimbang adat, meski keduanya terangkum dalam falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. 2Menurut Parson, identitas sosial menduduki peran penting dalam menentukan partisipasi seseorang dalam sistem sosialnya. Masyarakat yang diwakili kelompok adat, agama, dan pemerintah memiliki gagasan umum tentang konstruksi sosial terhadap apa yang mereka sebut masyarakat adat, umat, dan warga negara yang bersifat total atau ideal berdasarkan evaluasi moral mereka masing-masing. Dalam konteks ini, meminjam ide Michael E. Brown, konstruksi itu akan menempatkan adat atau nilai-nilai yang terdapat di dalamnya menjadi inisiator, yang dalam dinamika lanjutannya menyebabkan konflik, baik untuk mengintegrasikan maupun menjadi ajang subordinasi semata. Lihat Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Rajawali Press, edisi kedua 2000), hlm. 986.

1 mereka meniscayakan lahirnya upaya harmonisasi dalam tata nilai suatu masyarakat, sekaligus sebagai kebutuhan yang sepatutnya diberlakukan secara bersamaan. Peran penguasa kerajaan Islam Melayu ketika itu dan pemerintahan saat ini, tokoh agama, serta pemangku adat, dalam upaya mendialogkan adat dan syarak sebagai konstruksi kontekstual, tidak hanya dilihat dari wacana yang ditawarkan oleh ketiga pihak tersebut sebagai kebutuhan masyarakat Melayu Jambi, tetapi adat juga memeroleh justifikasi syar‘ī—yang dibenarkan secara metodologis—dalam proses penemuan hukum Islam. Pada titik ini, syarak dapat dikatakan sebagai produk hukum yang dinamis; meliputi nilai- nilai tsubut (konstan) dan murūnah (fleksibel) sesuai kebutuhan zaman, sehingga meniscayakan syarak dalam memberi pembenaran nilai-nilai yang dipraktikkan oleh masyarakat. Peran tersebut dipandang sejalan dengan praktik Nabi Muhammad pada periode awal Islam, yakni memberi peluang bagi para intelektual Muslim menyeleksi mana adat yang dipertahankan, dimodifikasi, atau justru diabaikan, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip fundamental ajaran Islam (maqāsid al-syarī‘ah). Penetapan konsep sunnah taqrīrīyah menjadi bukti Muhammad tidak membatasi ruang-gerak kaum intelektual mempraktikkan hal tersebut. Penetapan hukum berdasarkan pertimbangan tradisi pada beberapa aturan fikih, seturut kategori berikut ini. Pertama, penerapan hukum keluarga (ahwāl al-syahsiyyah). Di satu sisi Muhammad mempertahankan praktik pertunangan dan menghapus praktik poliandri, free seks, perselingkuhan, pembunuhan bayi perempuan, perceraian yang berulang-ulang, dan lain sebagainya. Di sisi lain, Muhammad mengkompromikan aturan agama dan kebutuhan sosial; memodifikasi praktik- praktik hukum, seperti poligami, pembayaran mahar (mas kawin) dan iqrār (pemberitahuan) dalam perkawinan.3 Kedua, penerapan hukum transaksional (mu‘āmalah). Muhammad mempertahankan transaksi bai' al-salām yang dipraktikkan masyarakat Madinah sebelum hijrah, karena dianggap relevan

3Muhammed ‗Ullah, The Muslim Law of Marriage, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1986), hlm. iii.

2 dan disukai oleh masyarakat Arab ketika itu.4 Ketiga, penerapan hukum pidana (jināyah), Rasul mengadopsi praktik qişāş (balasan sama) dan pembayaran diyāt (kompensasi bagi ahli waris korban), sebagaimana dipraktikkan masyarakat Arab pra-Islam. Kompensasi diberikan sesuai dengan standar moral keadilan bagi pihak korban.5 Meskipun Alquran dan Sunah memodifikasi sanksi bagi pelaku, ide atau tema pokok dan prinsip yang melandasinya telah ada dan dipraktikkan jauh sebelum kedatangan Islam. Praktik akomodasi dan ijtihad mandiri diteruskan sahabat dan tābi‘īn, utamanya para mujtahid, seperti konsep amal ahl al-madīnah-nya Imam Malik6 dan qaul qadīm dan qaul jadīd-nya Imam Syafi‘i.7 Selanjutnya, seiring meluasnya ajaran Islam dan Indonesia menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Islam berkembang hingga mampu mewarnai budaya kerajaan-kerajaan pada masa kerajaan. Salah satu kerajaan Islam Nusantara yang berhasil mengakomodasi dan mengintegrasikan adat dan syarak adalah

4Imam al-Bukhari, Shahīh al-Bukhāri, (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), hlm. 44. 5N.J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1971), hlm. 18. 6Amal ahl al-madīnah adalah praktik hukum yang disepakati atau minimal dipraktikkan oleh sebagian kebanyakan penduduk Madinah. Bagi Imam Malik, amal penduduk Madinah merupakan destilasi atau kristalisasi dan pengejawantahan sunah Rasulullah. Karena itu, menurut Imam Malik, amal penduduk Madinah setara dengan Hadis mutawātir dan lebih dari Hadis ahad. Ketika muatan Hadis ahad secara eksplisit bertentangan atau tidak sejalan dengan Alquran atau Hadis mutawātir dan amal penduduk Madinah, harus diabaikan karena diragukan kebenaran sumber atau asbāb al-wurûd-nya. Hadis mutawātir diriwayatkan banyak sahabat dan diamalkan dari generasi sahabat hingga generasi tābi‘īn dan tābi‘i at-tābi‘īn seyogianya lebih meyakinkan dan lebih kuat dijadikan landasan hukum ketimbang Hadis riwayat perorangan dan tidak menjadi amalan masyarakat luas di Madinah. Lihat Yasin Dutton, Sunnah, Hadits dan Amal Penduduk Madinah, terj. Dedi Junaedi (Jakarta: Akademika Presindo, 1996), hlm. 11. 7Qaul qadīm adalah pendapat Imam Syafi‘i yang dikemukakan dan ditulis ketika berada di Irak, sedangkan qaul jadīd adalah pendapat Imam Syafi‘i yang dikemukakan dan ditulis ketika berada di Mesir. Contoh- contohnya adalah perubahan air yang terkena najis dengan kuantitas kurang dari dua qullah, hukum azan ketika shalat sendirian, membaca talbiah dalam tawaf, dan zakat terhadap buah-buahan yang tidak tahan lama. Lihat Jaiz Mubarak, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qaul Qadīm dan Qaul Jadīd, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 9-10.

3 kerajaan Islam Melayu Jambi. Di bawah kepemimpinan Sayid Ahmad Salim Tajuddin bergelar Datuk Paduko Berhalo (1460- 1500) yang berasal dari Turki, dilanjutkan putranya Sayid Ahmad Kamil bergelar Datuk Orang Kayo Hitam (1500-1515), Islam semakin menemukan identitasnya sebagai agama kerajaan Melayu Jambi.8 Pencapaian tersebut tentu dengan strategi jitu yang mengupayakan integrasi antara ajaran agama yang ditawarkan dan budaya yang sejak lama telah dipraktikkan. Langkah strategis yang dilakukan adalah menggagas Rapat Besar Adat (RBA) dengan mengundang raja, tokoh agama, dan tokoh adat yang ada di kerajaan Islam Melayu Jambi dengan maksud mengupayakan integrasi agama dan budaya. Rapat tersebut berlangsung pada 1 Muharam 920 H (1502) di Bukit Siguntang (perbatasan antara wilayah Jambi- Barat atau Damasraya sekarang), melahirkan konvensi yang dituangkan melalui falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. Dilanjutkan dengan Rapat Besar Adat (RBA) kedua pada 1530 di Bukit Sitinjau Laut, Kerinci, melahirkan konvensi yang dituangkan melalui falsafah undang datang dari hulu, teliti dari hilir. Penting untuk dicatat bahwa falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah tidak hanya ada di Jambi, tetapi juga mengemuka di seluruh daerah yang berbasis etnik Melayu seperti Minangkabau dan Riau. Lebih jauh, lahirnya falsafah itu berimplikasi pada polarisasi adat menjadi empat kategori, yaitu adat sebenar adat, adat yang diadatkan, adat nan teradat, dan adat istiadat.9 Kategorisasi itu diprediksi untuk membedakan antara ruang hukum: universal, konstan dan harus dipatuhi sebagaimana ruang hukum lokalistik, fleksibel, dan boleh

8Menurut W.B. Hallaq, sejak abad ke-7 syarak telah berinteraksi dengan budaya lokal bahkan menjadi kekuatan moral sekaligus hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan pemerintahan dalam Islam. Hukum yang dinamis (harakah) tersebut merupakan bagian dari ciri hukum Islam, yaitu takāmul, wasatiyah, dan harakah, senantiasa menjadi acuan bagi masyarakat dalam berperilaku sehingga terbentuk tatanan masyarakat yang aman dan teratur. Lihat Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politic, and Modernity‘s Moral Predicament, terj. Akh Minhaji, (Yogyakarta: SUKA- Press, 2015), hlm. 29. 9Sulaiman Abdullah, Agama dan Adat, (Jambi: Lembaga Adat Melayu Jambi, 2010), hlm. 3-4;

4 diabaikan. Persis dalam falsafah itulah terlihat sinkronisasi dan diferensiasi serta upaya integrasi antara adat dan syarak.10 Integrasi antara adat dan syarak juga melahirkan konfigurasi hukum baru yang lebih komprehensif, yaitu Undang Adat Jambi, aturan yang berlaku di wilayah dan kesatuan masyarakat kerajaan Islam Melayu Jambi. Menariknya, integrasi keduanya melalui kelembagaan adat, yang dipandang sebagai institusi yang mumpuni dan berkompeten melakukan ijtihad kolektif (ijtihād jama‘ī) dalam bentuk verifikasi, modifikasi, dan lainnya ketika itu. Kerajaan Islam Melayu Jambi juga mengintegrasikan dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan kerajaan (Tumenggung) dan sistem pemerintahan kerapatan adat (Perpatih). Sistem pemerintahan kerajaan melaksanakan pemerintahan monarki, yakni pemerintahan dipimpin oleh seorang raja dan diteruskan oleh generasi setelahnya secara turun-temurun. Sistem itu mengedepankan kepentingan syarak dan berlaku di daerah Jambi wilayah Timur atau sering disebut Jambi Hilir. Sedangkan pemerintahan kerapatan adat melaksanakan pemerintahan kolektif kolegial, dengan pemerintahan dipimpin oleh forum tiga tali sepilin (pemerintah, pegawai syarak, dan pemangku adat). Sistem pemerintahan ini ditengarai dipengaruhi tradisi Minangkabau yang mengedepankan kepentingan adat dan juga berlaku di daerah Jambi wilayah Barat atau Jambi Hulu. Kolaborasi sistem hukum dan sistem pemerintahan melalui kelembagaan adat tersebut membuat Islam dan ajarannya berkembang cepat di Jambi dan bertahan hingga saat ini.

10Menurut Schacht, secara teoretis keberadaan adat dalam kerangka hukum Islam tidak diakui sebagai salah satu sumber dalam yurisprudensi Islam, meskipun secara praksis adat memainkan peran signifikan dalam proses kreasi dan legislasi hukum. Peran adat tidak terbatas dalam pengambilan inisiatif ketika sumber hukum lain tidak mengkaver atau tidak memberikan jawaban. Atas dasar itu, menurut el-Awa, naşş, Alquran maupun Sunah, mengakui adanya ragam interpretasi yang muncul terhadapnya, namun satu-satunya metode (manhaj) yang diterima dalam mengaktualisasikan aturan dengan mempertimbangkan adat yang ada ketika itu. Lihat Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: The Clarendon Press, 1964), hlm. 62; Mohammed S. el-Awa, The Place of Custom (‗Urf) in Islamic Legal Theory, (Indianapolis: American Trust Publications, 1973), hlm. 180.

5

Menariknya, praktik dualisme hukum bahkan ―trilogisme‖ hukum terjadi, seperti dalam persoalan sistem kekerabatan, di mana masyarakat Melayu Jambi mempraktikkan dua model sistem kekerabatan dan kewarisan berdasarkan letak geografis wilayah. Wilayah Timur atau Hilir mempraktikkan sistem kekerabatan dan kewarisan patrilineal, sedangkan sebagian Barat atau Hulu mempraktikkan sistem kekerabatan dan kewarisan matrilineal. Begitu pula dalam perkawinan, masyarakat Hilir membolehkan praktik eksogami, sedangkan masyarakat Hulu, terutama suku Penghulu, melarang praktik eksogami. ―Perberdayaan budaya‖ itu pada akhirnya melahirkan ―stereotipe‖ dan ―sentimen‖ kultural berbeda di kalangan masyarakat Melayu Jambi. Anehnya, praktik itu justru mendapat pembenaran adat melalui kelembagaan adat dan dipandang tidak menyalahi syarak. Secara substansi terjadi negosiasi antara pemilik modal politik, religi, dan sosial yang pada akhirnya melahirkan kesepakatan untuk menjadikan adat dan syarak berjalan seiring sesuai keinginan dan kepentingan ketiganya, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi subordinasi antara penguasa dan tokoh agama di satu sisi dan kepentingan masyarakat adat di sisi lain. Yang menarik, subordinasi tersebut tidak memunculkan perseteruan atau konflik sebagaimana di Minangkabau. Fenomena seperti itu sebenarnya dilematis mengingat artikulasi dan implementasi syarak dalam kehidupan suatu komunitas terkadang mengalami problem ideologis, kultural, sosiologis, dan politik. Meskipun demikian, kenyataan inilah yang dihadapi masyarakat sebuah kawasan yang dihuni oleh mayoritas etnik Melayu. Kelembagaan adat pada kenyataannya menjadi modal sekaligus arena tarik-menarik kepentingan untuk mendapatkan legitimasi atas suatu praktik hukum. Meskipun demikian, patut diakui bahwa eksistensi kelembagaan adat hingga saat ini masih dianggap penting oleh masyarakat Melayu Jambi, bahkan berjasa dalam mempercepat masuk dan berkembangnya Islam di Jambi. Kelembagaan adat mempunyai hierarki mulai tingkat rukun tetangga (RT) hingga provinsi dalam seloko bejenjang naik betanggo turun. Di dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin yang terdiri atas

6 pemerintahan desa/dusun, pegawai syarak, dan pemangku adat. Sebagaimana telah disebutkan, forum itu merepresentasikan kepentingan tiga kelompok (pemerintah, umat Islam, dan masyarakat adat), dengan tugas memproduksi dan mereproduksi hukum atau melahirkan putusan melalui kerapatan adat. Melalui institusi kerapatan adat, mereka memiliki kewenangan menelaah, mempertimbangkan, dan memutuskan perkara yang berlaku di kalangan masyarakat Melayu Jambi. Pemerintah mempersiapkan institusi formal (Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri) dan nonformal (Majelis Ulama Indonesia) dalam rangka mengakomodasi dan menyelesaikan kasus hukum, sosial, dan agama, walaupun kelembagaan adat tetap menjadi pilihan utama. Terbukti banyaknya kasus yang diselesaikan melalui oleh kelembagaan adat (lihat Tabel 1.1).11

11Data diperoleh dari Lembaga Adat Melayu dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jambi serta telah dikonfirmasi melalui Lembaga Adat Melayu Kota Jambi, Batanghari, Sarolangun, dan Tanjung Jabung Timur.

7

Tabel 1.1. Rekapitulasi Penyelesaian Kasus di Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Jambi, Batanghari, Sarolangun, Muara Sabak

2012 2013 2014 2015 No. Jenis Kasus Keterangan KJ BT SR MS KJ BT SR MS KJ BT SR MS KJ BT SR MS 01. Perzinahan 5 8 7 8 4 4 5 6 3 3 4 4 3 7 6 6 Selesai Melalui 02. Perselingkuhan 2 1 2 2 1 2 2 3 2 1 1 2 3 3 3 4 Lembaga Adat 03. Penganiayaan 1 2 3 2 2 3 1 2 1 2 1 2 4 1 4 4 04. Pembunuhan 0 1 1 0 1 1 2 0 3 3 4 4 2 3 4 3 Dilanjutkan ke 05. Pencurian 2 3 4 5 2 2 2 1 2 2 3 5 2 3 3 4 Polisi dan Meja 06. Hak waris 5 6 4 3 2 2 3 4 2 3 2 3 2 2 2 3 Hijau 07. Tanah wilayat 0 2 1 2 1 3 2 1 2 3 3 4 1 2 2 2 08. Batas tanah 0 5 2 2 1 2 2 0 2 2 1 2 4 1 1 2 09. Perkelahian antar 1 1 0 1 1 2 1 0 1 1 0 0 1 2 1 3 Kampung/suku 10. Pencemaran Nama 2 4 3 3 1 2 2 1 1 2 2 1 2 2 3 6 Baik/Fitnah Jumlah Total 18 33 27 28 16 25 22 18 19 22 21 27 24 26 29 37 Catatan : KJ = Kota Jambi SR = Kabupaten Sarolangun BT = Kabupaten Batanghari MS = Kabupaten Muara Sabak

Tabel 1.1 menunjukkan banyak kasus terkait persoalan hukum, sosial, dan agama diselesaikan melalui kelembagaan adat, sekaligus mengindikasikan minat atau tingkat kepercayaan terhadap institusi tersebut yang relatif tinggi. Penyelesaian kasus melalui institusi tersebut tentu melalui tarik-menarik kepentingan atau subordinasi di kalangan internal kelembagaan adat, sebagaimana diakui oleh anggota tiga tali sepilin. Menurut mereka, sering terjadi pergulatan panjang dalam presidium kerapatan adat untuk menentukan jenis dan sanksi pelanggaran perdata dan pidana adat, meskipun hasil akhirnya sangat bergantung pada keputusan pemangku adat yang notabene dijabat oleh unsur pemerintah (kepala desa).12 Di luar kelompok tersebut, terdapat kelompok lain yang dalam beberapa hal merasa kecewa, misalnya pimpinan Kementerian Agama kabupaten/kota dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota. Mereka merasa tidak dilibatkan dalam menyelesaikan persoalan sosial keagamaan. Dalam kasus larangan duduk bersanding saat akad dan kasus penistaan agama pada 2017, misalnya, Lembaga Adat dianggap tidap berkonsultasi terlebih dahulu kepada Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kecemburuan kelompok lain juga kentara ketika para pimpinan adat selalu terdepan dan mendominasi dalam kegiatan-kegiatan seremonial pemerintah.13 Praktik semacam itu, sekali lagi, mengindikasikan adanya subordinasi antara tiga kelompok (pemerintah, umat Islam, dan masyarakat adat) dalam memproduksi dan mereproduksi hukum serta dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Meskipun demikian, perlu

12Wawancara dengan anggota forum tiga tali sepilin Kabupaten Batanghari (Fathuddin Abdi, Ferri Wilman, Saukani, Muhammad Zen, Hasbi, dan Ismail) serta anggota forum tiga tali sepilin Kota Jambi (H. Azra‘i al-Basyari, Sayuti, Sayuti, Kemas Husin, Abdul Hamid, dan Samsul), 2 April-15 Mei 2015. 13Wawancara dengan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kepala Kantor Kementerian Agama Kota Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (A. Tarmizi Sibawaihi, Samsuddin Ali, M. Samin, Suhar, Ikbal, Herman, Sulaiman, dan Umar Yusuf), 12 Mei-15 Juni 2015.

9 dicatat, subordinasi tersebut selama ini tidak mengemuka dan dipandang sebagai sesuatu yang wajar. Buku ini mencermati berbagai fenomena di atas sekaligus mengungkap praktik hukum yang terjadi selama ini di dalam komunitas masyarakat Melayu Jambi: hegemoni kuasa serta dominasi kelompok menggunakan simbol agama (syarak) dan adat yang justru dijadikan ―tameng‖ untuk melegalkan posisi dan disposisi masing- masing. Lebih spesifik, buku ini menelisik konstruksi dan proses negosiasi antara adat dan syarak yang terjadi dalam masyarakat Melayu Jambi berdasarkan tiga aspek teoretis. Pertama, aspek historis-sosiologis; dengan menjadikan teori resepsi sebagai dasar pijak, berusaha memperlihatkan konstruksi antara adat dan syarak di masyarakat Melayu Jambi. Kedua, aspek epistemologis yang berfungsi menelaah hubungan antara adat dan syarak berdasarkan kerangka maşlahah. Ketiga, aspek ideologis yang menunjukkan kuasa simbolik terjadi dalam kelembagaan adat untuk mempertahankan posisi mereka di lingkungan masyarakat Melayu Jambi di satu sisi, dan untuk melihat secara mendalam disposisi mereka terkait praktik adat dan syarak di sisi lain. Dalam aspek terakhir, teori habitus dari Pierre Bourdieu digunakan sebagai dasar pijak menelusuri apa yang tidak terlihat secara nyata di permukaan pada arena kelembagaan adat. Forum tiga tali sepilin dalam kelembagaan adat ini—meskipun sering berkumpul untuk memecahkan persoalan adat dan syarak pada acara kerapatan adat—tetap saja belum mampu mengakomodasi keinginan kelompok pendukung penerapan agama dan kelompok pendukung adat. Fenomena ini juga mengemuka di luar kelembagaan adat. Tak jarang praktik perebutan posisi dalam rangka memastikan tawarannya adalah yang paling relevan dengan masyarakat Melayu Jambi ditemukan. Negosiasi dan subordinasi antara ketiganya di Jambi pada gilirannya memperlihatkan kelas dan hierarki sosial yang bisa dibagi pada empat kelompok, yaitu elite (pemangku adat), periperal (pegawai syarak), semi-periperal (pemerintahan desa), dan marjinal (masyarakat hukum

10 adat/awam).14 Di setiap kelompok dalam hierarki sosial ini, pertaruhan utamanya adalah apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai modal (capital). Jika pemangku adat memegang modal kultural, pemerintah daerah memegang modal politik, dan pegawai syarak memiliki modal religius. Ketiga kelompok tersebut saling berebut posisi dan modal- modal itu saling diinvestasikan, ditukarkan, dan diakumulasikan untuk mempertahankan posisi mereka. Termasuk pula subordinasi kelembagaan adat dengan institusi yang ada di luarnya dan penerimaan masyarakat terhadap eksistensi mereka selama ini. Singkatnya, isu-isu historis, epistemologis, sosial, dan ideologis dari konstruksi syarak, adat, dan kelembagaan adat Melayu Jambi serta kuasa simbolik di dalamnya perlu untuk dikaji secara komprehensif. Isu-isu tersebut, internal dan eksternal kelembagaan adat (pemerintah desa, pegawai syarak, dan pemangku adat), dipilih karena mereka yang dianggap paling bertanggung jawab memperlihatkan adat dan syarak itu terbentuk sebagai diskursus yang berkelanjutan dalam masyarakat Melayu Jambi. Untuk itu, pertanyaan yang akan dijawab oleh buku ini adalah bagaimana syarak sebagai produk hukum yang datang kemudian begitu cepat beradaptasi dengan adat lokal yang telah mapan; bagaimana persepsi dan keberterimaan masyarakat terhadap keduanya? Apa saja upaya untuk menjembatani dualisme sistem hukum dan sistem pemerintahan yang dikonstruksi dan dipraktikkan oleh masyarakat Melayu Jambi agar sejalan dengan prinsip syariat Islam? Sejauhmana relasi pemerintah, agama, dan adat sebagai modal dalam subordinasi eksistensi (integrasi dan subordinasi) masing-masing? Bagaimana peran kelembagaan adat dalam memproduksi dan mereproduksi hukum, melakukan relasi kuasa secara internal dan dengan institusi lainnya, serta berkontribusi dalam penyelesaian persoalan-persoalan sosial, politik, dan agama kontemporer?

14Charles Mills, The Power Elite, (London: Oxford University Press, 1956), hlm. 45.

11

Buku ini diharapkan menjadi bagian dari khazanah pengetahuan masyarakat Melayu Jambi tentang adat dan syarak yang mereka implementasikan sehari-hari, melengkapi apa yang sudah dibahas banyak penulis sebelumnya, seperti Ismail Thalaby,15 Irma Sagala,16 Ied al- Munir,17 Fahmi Sy,18 M. Husnul Abid,19 Yuliatin,20 dan Albert al-Fikri.21 Buku ini memperlihatkan gejala-gejala kultural terkait dengan bagaimana konstruksi adat dan syarak itu bekerja secara ideologis-politis di tengah kelembagaan adat, sekaligus menunjukkan sisi lain dari sistem dan hierarki sosial masyarakat Jambi yang jarang atau bahkan tidak diungkap penulis dan masyarakat umumnya.

15 Islamil Thalaby, ―Adat Sakti Alam Kerinci dan Akulturasinya dengan Hukum Islam‖, disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2000). 16 Irma Sagala, ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model Pemerintahan Adat Tiga Tali Sepilin di Provinsi Jambi Pasca-Reformasi‖, dalam Proceedings of the First International Conference on Jambi Studies, (Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013). 17 M. Ied al-Munir, ―Derivasi Nilai-Nilai Moral dalam Tradisi Cuci Kampung‖, Proceedings of the First International Conference on Jambi Studies, (Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013). 18 Fahmi SY., Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu Jambi, (Ciputat: Pustaka Kompas, 2014). 19 M. Husnul Abid, ―Kontestasi Kemelayuan: Islam Transnasional, Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi‖, dalam Muhammad Iqbal Ahnaf (ed.), Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia: Kontestasi dan Koeksistensi, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, 2015). 20 Yuliatin, ―Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi Pembagian Harta Waris Masyarakat Seberang Kota Jambi)‖, disertasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2015). 21 Albert Al-Fikri, ―Diskursus Hukum Kewarisan ‗An Tarādin: Menjembatani Dialektika Kewarisan Maternalistik dan Paternalistik di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi‖, tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2016).

12

2 Diskursus Adat dan Syarak: Mencari Dasar Pijakan

Bab ini membahas tentang kepustakaan-kepustakaan yang pernah membahas mengenai adat dan syarak, topik yang menjadi fokus buku ini, dengan tujuan memberikan dasar pijakan yang kokoh bagi buku ini untuk menelisik proses negosiasi, subordinasi, dan relasi kuasa yang terbangun dalam konstruksi kelembagaan adat dalam forum tiga tali sepilin di Jambi. Secara umum bab ini terdiri atas dua bagian. Pertama-tama bab ini akan merangkum kepustakaan-kepustaan yang pernah ada serta menjelaskan signifikansi dan kontribusi masing-masing dalam perdebatan mengenai topik konstruksi adat dan syarak. Kepustakaan-kepustakaan tersebut juga akan dilihat relevansi dan kontribusinya bagi buku ini, sekaligus perbedaannya di antara mereka, yang akan disampaikan dalam bagian kedua bab ini.

A. Studi-studi Terdahulu

Ada beberapa kepustakaan yang penting untuk diungkap terutama terkait konstruksi adat dan syarak dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi. Kepustakaan-kepustakaan tersebut dipilah menjadi tiga jenis, yaitu buku, disertasi, dan proceeding. Kepustakaan berupa buku yang relevan antara lain ditulis Ratno Lukito, berjudul Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia (1998). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif, sosial-politik. Lukito menganalisis bagaimana pergulatan antara syarak

13 dan hukum adat di Indonesia. Di satu sisi ada yang berpandangan selalu terjadi kontradiksi bahkan konflik antara adat dan syarak. Pandangan semacam itu muncul dari kalangan ahli hukum Barat, misalnya dengan mengambil kasus Minangkabau. Di sisi lain, muncul pandangan bahwa adat dan syarak di Indonesia berjalan harmonis dan terintegrasi dengan baik, bahkan telah menjadi bagian dari spirit hukum nasional. Lukito secara tidak langsung menginformasikan stigma negatif terhadap hukum Islam sebagaimana terjadi di Minangkabau tidak seluruhnya benar, mengingat hampir di seluruh wilayah Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim hukum Islam dan hukum Adat berjalan harmonis. Untuk menengahi pemikiran yang menyatakan adanya disparitas bahkan konflik antara agama dan adat di satu sisi, serta pemikiran yang menyatakan tidak ada konflik antar agama dan adat di sisi lain, dilakukan pemetaan dari aspek masa kemunculan pemikiran tersebut, yakni zaman kolonial yang cenderung negatif dan zaman Kemerdekaan yang cenderung positif, tentu dengan berpijak pada sisi dialogis, bukan konfrontatif. Temuan Lukito menunjukkan bahwa secara teoretis dan praktis kedua sistem hukum, yaitu hukum Islam dan hukum adat, saling melengkapi. Dari satu segi, hukum Islam secara substantif menerima keefektifan hukum lokal (adat) dalam proses legislasinya. Dari segi lain, hukum adat menerima hukum Islam sebagai titik kulmulasi dan upaya penyempurnaan aturan yang ada. Fakta tersebut guna mengeleminasi stigma negatif atas konfrontasi yang berkepanjangan antara hukum Islam dan hukum adat yang selama ini dimotori oleh sarjana Barat.22 Buku yang ditulis Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, mengkaji segala persoalan yang terkait dengan hukum keluarga dalam adat Minangkabau yang mencakup falsafah adat, sistem kekerabatan, responsibilitas orang tua dalam keluarga, dan

22Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998).

14 karakteristik serta prospek hukum keluarga Islam dan adat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi hukum dengan mencermati dan menganalisis produk hukum-hukum keluarga yang muncul sejak zaman kolonial, Kemerdekaan, dan saat ini. Temuan Yaswirman adalah doktrin hukum keluarga di Indonesia dipengaruhi oleh politik hukum ketika itu, mulai dari masa kolonial, Kemerdekaan, hingga sekarang. Hukum senantiasa berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang selalu berubah dan berkembang. Idealnya, hukum yang ada menyesuaikan dengan situasi dan kondisi tersebut. Berbeda dengan yang terjadi saat ini, produk hukum yang ada hanya mengedepankan kepentingan kolonial dan adat.23 A. Qodri Azizi menulis Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Objek kajiannya terfokus pada dikotomi yang begitu tajam antara hukum Islam dan hukum umum atau positif. Termasuk dalam hukum umum adalah hukum adat, yang pada masa kolonial dipandang sebagai bagian dari politik ―culas‖ Belanda. Produk hukum adat yang ada kebanyakan tidak sama dengan hukum kebiasaan (customary law) atau hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law). Pendekatan yang digunakan Azizi adalah deskriptif-analitik dan empirik dengan maksud agar pembaca dapat berdiskusi secara leluasa dengan kritis dan argumentatif. Kesimpulan Azizi adalah syarak sedianya dapat menjadi sumber spirit dan aspiratif bagi pembentukan hukum nasional, baik menyangkut materi hukum, tataran operasional, maupun sistem kerja peradilan dalam rangka supremasi hukum (law enforcement) yang lebih luas.24 Buku Integrasi antara Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Kewarisan Suku Melayu ditulis Abdullah

23Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011). 24A. Qodri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Syarakdan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002).

15

Syah,25 mengungkap titik temu dan saling pengaruh antara hukum Islam dan hukum adat Melayu dalam persoalan kewarisan. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologis- normatif untuk mengetahui bagaimana interaksi dan integrasi antara hukum Islam dan hukum adat dapat berjalan harmonis tanpa tarik-menarik secara berarti. Kesimpulan buku ini adalah suku Melayu pada umumnya menganut sistem kekeluargaan berdasarkan parental yang sesuai dengan syarak yang dalam pembagian harta menganut sistem individual bilateral. Dalam penerapan hukum di dalam masyarakat senantiasa dikaitkan dengan agama, sehingga pengaruh agama terlihat dominan. Suatu persoalan yang timbul dalam masyarakat dilihat dari kacamata agama; agama menjadi spirit hukum adat. Bila terjadi ketidaksesuaian antara prinsip agama Islam dan hukum adat, hukum Islam akan dikedepankan. Karena itu, dalam tradisi masyarakat Melayu, pertentangan antara syarak (agama) dan adat tidak terlihat atau tidak muncul. Buku selanjutnya ditulis oleh Fahmi Sy, berjudul Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu Jambi. Pendekatan yang digunakan adalah antropologi budaya, yang menekankan aspek budaya yang hidup dan berkembang dalam komunitas masyarakat Melayu Jambi. Buku ini mengkaji sekaligus mengungkap bagaimana pola hidup masyarakat Melayu Jambi, terutama yang hidup di wilayah pedesaan, yang merupakan bagian integral dari suatu wilayah tertentu yang terikat dengan desa dan kota yang ada di sekitarnya. Kehidupan dan budaya masyarakat desa Melayu Jambi merupakan bagian dinamika kehidupan masyarakat Melayu Jambi sejak ratusan tahun lalu, mulai dari budaya kerja, kepemimpinan masyarakat, dan pribumisasi Islam. Pola hidup tersebut menyatu dan mengakar dalam kehidupan masyarakat yang bernuansa islami. Integrasi antara budaya Islam dan budaya Melayu pada akhirnya melahirkan budaya tersendiri yang dikenal dalam falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi

25Abdullah Syah, Integrasi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat Dalam Kewarisan Melayu, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2009).

16

Kitabullah. Falsafah adat tersebut merupakan wujud konkret dari asimilasi dua budaya yang kompromistis, tanpa dominasi atau saling tekan, yang sekarang lebih lekat dengan istilah kearifan lokal (local wisdom). Pola dan komunikasi yang dipraktikkan masyarakat Jambi yang hidup dalam nuansa islami dianggap mampu meredam berbagai konflik dan kepentingan, sehingga masyarakatnya hidup harmonis. Kesimpulan Fahmi tersebut terasa wajar karena pendekatan antropologi budaya yang digunakan berupaya melihat hubungan yang sinergis antara satu kelompok masyarakat dan kelompok masyarakat lainnya yang diikat oleh kesepakatan dan kebersamaan melalui kesamaan rumpun dan kultur. Kesimpulan Fahmi tersebut merupakan gagasan rekonsiliasi kultural untuk mendistorsikan kesan negatif terhadap perilaku minoritas masyarakat Muslim.26 Sementara itu, kepustakaan berupa disertasi yang relevan dengan buku ini antara lain ditulis Saifuddin Zuhri, berjudul ―Kuasa Simbolik Tidur Tanpa Kasur di Dusun Kasuran, Seyegan, Sleman‖.27 Zuhri menggunakan pendekatan sosiologis Bourdieu dengan menitikberatkan penelitian lapangan yang diperoleh melalui wawancara dan participant observation. Hasil studi Zuhri menunjukkan bahwa tidur tanpa kasur di Dusun Kasuran berawal dari tiga jalur: Sunan Kalijaga, agama Hindu, dan pasukan Pangeran Diponegoro. Kepercayaan tidur tanpa kasur di dusun itu, bagi para warga, bukan sebentuk syirik, namun merupakan satu tradisi turun-temurun dari leluhur yang mereka jaga karena memang ada berbagai bentuk sanksi yang mereka dapatkan bila dilanggar. Generasi saat ini menyingkirkan kasur kapuk lebih karena mengikuti perintah orang tua. Klaim mitologi itu selalu direproduksi oleh para agen yang bermain di dusun tersebut sehingga terpelihara secara turun-temurun dan disalahkenali (misrecognized).

26Fahmi SY, Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu Jambi, (Ciputat: Pustaka Kompas, 2014). 27Saifuddin Zuhri, ―Kuasa Simbolik Tidur Tanpa Kasur di Dusun Kasuran, Seyegan, Sleman‖, disertasi UGM Yogyakarta (2015).

17

Disertasi Ismail Thalaby, ―Adat Sakti Alam Kerinci dan Akulturasinya dengan Hukum Islam‖,28 menggunakan pendekatan deskriptif analitik dengan menitikberatkan kepada survei normatif serta menggabungkan antara penelitian kepustakaan dan lapangan. Objek penelitian Thalaby adalah eksistensi hukum adat Kerinci dan hubungannya dengan hukum Islam, seperti persoalan kekerabatan, perkawinan, kewarisan, pertanahan, dan pidana. Kesimpulannya, di dalam masyarakat Kerinci, praktik adat dan syarak saling pengaruh-memengaruhi. Penyesuaian adat dan syarak hanya dalam batas tertentu, sedangkan dalam batas lain tetap saja adat yang berjalan. Yuliatin menulis disertasi berjudul ―Hukum Islam dan Hukum Adat: Studi Pembagian Harta Waris Masyarakat Seberang Kota Jambi‖.29 Pendekatan yang digunakan adalah sejarah sosial pemikiran Islam. Disertasi ini mengkaji bagaimana pola pembagian harta waris di kalangan masyarakat Muslim di Seberang Kota Jambi. Kesimpulannya bahwa sistem kewarisan yang berlaku pada masyarakat Seberang adalah individual, di mana harta waris menjadi hak penuh ahli waris secara pribadi dan bebas untuk dipergunakan. Ada tiga bentuk pembagian harta waris di Seberang Kota Jambi. Pertama, sesuai dengan hukum waris Islam: laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dibanding perempuan. Kedua, sesuai dengan waris adat yang pelaksanaannya bervariasi: perolehan harta anak laki laki sebanding dengan anak perempuan, atau anak perempuan tertua mendapat jatah waris lebih banyak karena ditugaskan merawat orang tua. Ketiga, harta diberikan ketika orang tua masih hidup melalui hibah dan realisasinya boleh pada saat itu dan setelah orang tua wafat. Di samping buku dan disertasi, sumber kepustakaan lainnya adalah artikel yang merupakan bagian dari buku

28Ismail Thalaby, ―Adat Sakti Alam Kerinci dan Akulturasinya dengan Hukum Syarak‖, disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2000). 29Yuliatin, ―Hukum Islam dan Hukum Adat: Studi Pembagian Harta Waris Masyarakat Seberang Kota Jambi‖, disertasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2014).

18

(book chapter), artikel proceeding konferensi atau seminar, dan artikel jurnal. Artikel-artikel tersebut antara lain ditulis M. Husnul Abid, berjudul ―Kontestasi Kemelayuan: Islam Transnasional, Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi‖. Menggunakan pendekatan fenomenologis yang berupaya mengungkap subordinasi dan pencarian identitas kemelayuan di Jambi, artikel ini memotret pemaknaan Melayu atau Kemelayuan yang terjadi dalam masyarakat Jambi pasca-Reformasi. Abid memaparkan fenomena yang terjadi dalam masyarakat Jambi, yang dia sebut sebagai kebangkitan (adat) Melayu. Dari sana dicari pemaknaan Melayu yang muncul. Karena (pe)makna(an) tidak pernah tunggal, Abid juga menampilkan pemaknaan alternatif oleh beberapa kelompok masyarakat. Bagi masyarakat Melayu Jambi, adat mereka adalah Islam. Islam dan adat adalah dua hal yang tidak terpisah. Memang dalam sejarahnya semula masyarakat Melayu Jambi bukan penganut Islam. Namun, ketika telah datang ke daerah ini, Islam dianut secara kuat oleh orang Melayu Jambi. Adat diverifikasi melalui proses teliti sehingga menghasilkan rumusan adat yang selaras atau sesuai dengan Islam. Kuatnya Islam dipegang oleh masyarakat Melayu Jambi membawa implikasi, antara lain, penolakan masyarakat Jambi terhadap hal-hal yang mereka anggap bukan Islam.30 Artikel Albert Alfikri, “Diskursus Hukum Kewarisan ‗An-Tarād}in: Menjembatani Dialektika Kewarisan Maternalistik dan Paternalistik di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi‖, ingin menjawab pertanyaan esensial tentang problem paradigmatis, sosiologis, dan epistemologis dalam sistem kewarisan masyarakat Muslim Sarolangun dengan menggunakan kerangka pikir paradigma terpadu George Ritzer. Menurut Alfikri, di satu kesempatan hukum Islam lebih memengaruhi pilihan masyarakat, namun dalam kesempatan lain hukum adat yang lebih berpengaruh.

30M. Husnul Abid, ―Kontestasi Kemelayuan: Islam Transnasional, Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi‖, dalam M. Iqbal Ahnaf (ed.), Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia: Kontestasi dan Koeksistensi, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2015).

19

Situasi semacam itu memunculkan pilihan materi hukum yang tambal-sulam atau, meminjam istilah A. Qodry Azizi, hukum yang eklektis; materi hukum yang digunakan merupakan perbauran dari berbagai sistem hukum.31 Situasi subordinasi antarnorma masyarakat tersebut di Indonesia tidak sepenuhnya diterima, terutama oleh akademisi, pemuka adat, dan terlebih pemuka agama. Hal itu terlihat dari perdebatan soal keberterimaan antara hukum adat dan hukum Islam, termasuk dan terutama dalam soal kewarisan. Meskipun demikian, interaksi dan saling pengaruh antara hukum adat dan hukum Islam tak bisa dihindari, sebagaimana terlihat dalam pembagian waris dalam masyarakat Sarolangun. Mau tidak mau mereka harus memilih antara mengikuti sistem hukum waris Islam atau hukum adat. Artikel ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model Pemerintahan Adat Tiga tali sepilin di Provinsi Jambi Pasca Reformasi‖ ditulis oleh Irma Sagala. Menggunakan pendekatan struktural dan substansial, artikel ini menemukan adanya reinvensi struktur pemerintahan adat melalui forum tiga tali sepilin sebagai kebijakan menarik yang terjadi di Jambi. Kebijakan itu memberi ruang bagi penguatan kembali karakter budaya Melayu-Islam dalam masyarakat Jambi, sekaligus menghidupkan kembali nilai- nilai kearifan lokal (local wisdom) yang penting untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang bermartabat. Reinvensi tradisi juga akan memberikan karakter unik bagi daerah Jambi yang dapat dijadikan sebagai salah satu daya tarik dalam pengembangan otonomi daerah, utamanya di Jambi. Meskipun beberapa kabupaten/kota telah menunjukkan komitmen ke arah tersebut, tampaknya tidak demikian dengan Pemerintah Provinsi Jambi.32

31Albert Al-Fikri, ―Diskursus Hukum Kewarisan ‗An Tarādin: Menjembatani Dialektika Kewarisan Maternalistik dan Paternalistik di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi‖, tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2016). 32Irma Sagala, ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model Pemerintahan Adat Tiga Tali Sepilin di Provinsi Jambi Pasca-Reformasi‖,

20

Subhan MA Rahman menulis artikel ―Pergulatan Wacana al-Qur'an Bergambar Kandidat‖, dengan objek kajian studi relevansi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi dengan kondisi masyarakat Jambi yang didominasi oleh umat Islam. Temuan Rahman adalah fatwa MUI Jambi memunculkan polemik antara kalangan internal MUI sendiri dan masyarakat Jambi, yang pada akhirnya melahirkan kelompok-kelompok pro dan kontra, yang merupakan imbas kecurigaan terhadap putusan fatwa MUI Jambi yang diyakini sarat kepentingan politik. Menurut Rahman, masing-masing kelompok mempunyai basis argumentasi yang dianggap paling benar tanpa mencermati dampak yang muncul setelahnya.33 Artikel M. Ied al-Munir, ―Derivasi Nilai-nilai Moral dalam Tradisi Cuci Kampung‖, menggunakan pendekatan filosofis yang berpijak pada nilai-nilai moralitas suatu masyarakat. Artikel ini menegaskan bahwa tradisi cuci kampung merupakan sebuah usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk membersihkan wilayah/kampung tertentu dari ―kotoran‖ yang melekat pada mereka akibat perbuatan asusila. Tujuannya agar terhindar dari balak atau petaka. Tradisi tersebut masih dianggap penting dan dilaksanakan karena tertuang dalam dasar-dasar hukum adat Jambi, baik Induk Undang, Pucuk Undang nan Delapan, maupun Anak Undang Nan Dua Belas. Nilai-nilai moral agama yang menjadi pondasi dalam tradisi cuci kampung terhimpun dalam syarak yang mengatur tentang pidana (jināyah) baik perzinahan maupun pembunuhan.34

dalam Proceedings of the First International Conference on Jambi Studies, (Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013). 33Subhan MA Rahman, ―Pergulatan Wacana al-Qur'an Bergambar‖, laporan penelitian individual, Pusat Penulisan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi (2007). 34M. Ied al-Munir, ―Derivasi Nilai-Nilai Moral dalam Tradisi Cuci Kampung‖, Proceedings of the First International Conference on Jambi Studies, (Jambi: Dewan Kesenian Provinsi Jambi dan Seloko, 2013).

21

B. Relevansi, Kontribusi, dan Distingsi Buku ini menyepakati temuan Ratno Lukito tentang perlunya meluruskan stigma negatif tentang relasi antara adat dan syarak. Hanya saja buku ini tidak menjelaskan secara komprehensif relasi positif dan harmonis antara adat dan syarak sebagaimana terjadi di Jambi, jauh sebelum terjadinya pergumulan antara adat dan syarak seperti terjadi di Minangkabau, yang selanjutnya digeneralisasi secara negatif oleh Belanda. Minangkabau sendiri hanyalah bagian kecil dari masyarakat Melayu yang mempertentangkan adat dan syarak, yang pada akhirnya memunculkan kesadaran untuk merekonsialisi keduanya. Untuk menambah referensi tentang temuan Lukito sebagai harmonisasi antara adat dan syarak, buku ini melihat adanya harmonisasi antara adat dan syarak melalui proses integrasi yang pada gilirannya melahirkan produk hukum baru, yaitu Undang Adat Jambi. Proses integrasi tersebut tentu melalui adaptasi dan tarik-menarik kepentingan, namun tidak sampai kepada konflik. Kontribusi riset Yaswirman tentang persilangan hukum keluarga dalam konteks adat Minangkabau terhadap buku ini bisa dilacak dari pendekatan yang digunakan Yasirman dalam menyisir problem dualisme hukum adat dan syarak. Namun, secara geografis Jambi berbeda dari Minangkabau, meskipun secara kultural keduanya memiliki persinggungan sejarah yang panjang, utamanya sejak berkuasanya Putri Selaras Pinang Masak (Minangkabau) dan Ahmad Salim bergelar Datuk Paduko Berhalo (Jambi). Perbedaan lokus tersebut turut memengaruhi perbedaan epistemologis dalam pengambilan hukum di kedua daerah. Fenomena yang tidak disinggung oleh Yasirman, dan berusaha dieksplorasi oleh buku ini, adalah keberagaman kasuistik. Kalau Yasirman hanya berfokus pada hukum keluarga, buku ini menyuguhkan isu- isu lain yang lebih kompleks, termasuk penelusuran sejarah lahirnya falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah yang selama ini diklaim berasal dari Minangkabau.

22

Studi A. Qodri Azizi berkontribusi penting dalam hal menjadikan hukum Islam dan hukum positif sebagai bangunan teoretis untuk menjelaskan eklektisisme hukum nasional. Namun, studi Azizi tidak terlalu terhubung secara signifikan terhadap buku ini, bukan hanya karena luasnya kasus-kasus yang disajikan di dalamnya, melainkan juga penentuan sikap dan pengambilan hukum yang relatif beragam pada masing-masing daerah. Sementara itu, buku ini menampilkan bukan hanya proses pengambilan hukum, melainkan juga proses politis yang melibatkan penguasa ketika itu, dilanjutkan peran kelembagaan adat sebagai institusi yang notabene bertanggung jawab terhadap bagaimana dan apa yang seharusnya ditetapkan dari kedua hukum tersebut. Hasil dari kesepakatan tersebut melahirkan produk yang dipatuhi bersama oleh seluruh stakeholders. Buku ini juga melihat terjadinya tambal-sulam antara adat dan syarak, namun syarak tetap terdepan dalam penentuan putusan yang diambil, meski tidak melalui institusi formal. Studi Abdullah Syah yang melihat harmonisasi antara adat dan syarak yang melibatkan tiga orang penting di dalamnya (tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat), mirip dengan kelembagaan adat Melayu Jambi. Namun, buku ini tidak sepakat dengan prioritas yang diberikan kepada syarak jika terdapat pertentangan antara adat dan syarak, mengingat kondisi Jambi berbeda dari masyarakat Melayu Riau yang sejak awal berbudaya Islam. Jambi adalah kombinasi antara adat dan syarak. Sebagian besar masyarakatnya lekat dengan adat, sehingga memberi prioritas terhadap salah satu di antaranya bukan perkara mudah. Meskipun demikian, syarak tetap menjadi prioritas sekaligus dasar pijak dalam pengambilan setiap keputusan, yang terlihat dari sumber adat dan falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. Secara formal segala keputusan atau ketetapan lahir melalui kelembagaan adat yang dijadikan corong dalam menyampaikan putusan persoalan sosial keagamaan, namun kelembagaan itu juga biasanya didominasi oleh orang yang mengerti syarak.

23

Buku ini juga menyepakati apa yang disebut Fahmi Sy sebagai rekonsiliasi hukum dan rekonsiliasi kultural antara adat dan syarak atau antara budaya Islam dan budaya Melayu, yang selanjutnya melahirkan kearifan lokal (local wisdom). Kelemahan studi Fahmi adalah fokusnya pada aspek antropologis untuk memunculkan kesan positif konflik antara adat dan syarak serta perilaku masyarakat Muslim yang tersudutkan oleh minoritas masyarakat Muslim lain. Selain itu, tawaran rekonsiliatasi yang tidak terbatas pada hukum, namun juga aspek kebudayaan (kultur), memberi kontribusi signifikan pada dinamika politik pengambilan adat dan syarak di Jambi yang melibatkan kelembagaan adat. Buku ini melihat bagaimana adat dan syarak pada awalnya semacam ―dipertentangkan‖ namun pada akhirnya direkonsiliasikan menjadi aturan yang disepakati bersama tanpa ada yang merasa tersudutkan. Upaya mengakrabkan keduanya dapat dilakukan dengan ketentuan saling memahami substansi hukum masing-masing dari aspek filosofis. Selanjutnya studi yang dilakukan Saifuddin Zuhri berkontribusi terhadap buku ini dalam hal melihat tradisi menjadi habitus dan melembaga serta menjadi acuan bagi masyarakat, meski produsennya sudah tidak ada bahkan jauh ke belakang. Tradisi tersebut dilakukan secara berkelanjutan dan turun-temurun tanpa mempersoalkan siapa yang melahirkannya dan situasi yang mengitarinya. Hanya saja, habitus yang terbentuk merupakan pola tindak pribadi, tidak dilakukan secara sistemik dan institusional. Kenyataan tersebut berbeda dengan Jambi yang menjadi tradisi sistemik dan institusional, bahkan mampu melahirkan posisi dan disposisi secara terstruktur dan berkelanjutan. Keberadaan kelembagaan adat dan hukum yang diproduksinya bahkan terus dipegangi oleh masyarakat hingga saat ini. Sementara itu, studi Ahmad Thalaby sejalan dengan studi ini, yakni menyoroti bagaimana terjadinya proses tarik-menarik kepentingan antara adat dan syarak. Hanya saja, disertasi Thalaby cenderung melihat pertarungan keduanya, yang berjalan beriringan ketika terdapat kesamaan teks maupun tujuan hukum. Smentara, ketika

24 terjadi perbedaaan bahkan benturan, kepentingan adat atau masyarakatlah yang seharusnya dimenangkan. Berbeda dengan buku ini yang tidak hanya menyoroti tarik-menarik teks hukum, tetapi lebih luas siapa yang berkontribusi dalam produksi hukum dan memenangkan pertarungan ketika kedua hukum lahir. Merekalah agen yang sebenarnya berkontribusi dan memiliki kepentingan terhadap perberlakuan hukum tersebut, yang masing- masing akan tetap mempertahankan eksistensinya. Kalau studi Yuliatin berfokus pada persoalan waris, dengan objek penelitiannya adalah masyarakat Seberang Kota Jambi, buku ini mengambil objek Kota Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Disertasi Yuliatin tentu saja relevan dalam memberi gambaran antropologis-religius tentang pembagian harta waris di Jambi, yang ternyata terpecah menjadi tiga solusi (berdasarkan Islam, adat, dan sukarela). Hal itu mempertegas asumsi awal tentang perbedaan masyarakat Jambi dan masyarakat Melayu Riau; Jambi selalu berada dalam subordinasi antara adat dan syarak. Namun, ruang lingkup studi Yuliatin berfokus pada waris, sedangkan buku ini lebih luas terkait konstruksi adat dan syarak sekaligus bagaimana kelembagaan adat Melayu Jambi memproduksi hukum kewarisan yang berbeda antara Jambi bagian Barat dan Jambi bagian Timur. Kalau Jambi wilayah Barat atau Jambi Hulu bercorak matrilineal, Jambi bagian Timur atau Hilir bercorak patrilineal bahkan sebagian parental-bilateral sebagaimana temuan Yuliatin di Seberang Kota Jambi. Studi Irma Sagala berfokus pada kelembagaan adat Melayu Jambi yang di dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin sebagai subjek kajian. Artikel Sagala memberikan relevansi bagi buku ini karena membuka peluang kritik terhadap relasi kuasa yang bekerja dalam struktur hierarki sosial masyarakat Jambi. Sayangnya, Sagala hanya berupaya membuktikan efektivitas kerja kolektif dalam kelembagaan adat tanpa memberi kasus tertentu yang dimungkinkan bisa diselesaikan oleh kolektivitas ketiganya. Buku ini juga tidak seluruhnya sepakat dengan gagasan

25 reinvensi yang diusung Sagala. Kolektivitas dalam kelembagaan adat juga memungkinkan pergumulan, konstruksi, dan negosiasi yang tidak sederhana. Terlebih di Jambi, struktur hierarki internal kelembagaan adat tidak seimbang, dengan pemangku adat dan pemerintah desa memiliki struktur hierarki yang jelas sehingga dapat dikondisikan untuk berkoordinasi dan konsolidasi. Sementara itu, pegawai syarak tidak mempunyai hierarki dan organisasi yang secara khusus mewadahi, sehingga tidak bisa dinilai kualitasnya secara pasti apakah laik atau tidak untuk melakukan ijtihad atau menyelesaikan persoalan sosial keagamaan. Artikel M. Husnul Abid relatif memiliki kesamaan dengan fokus buku ini yang juga menelisik identitas masyarakat Melayu Jambi melalui berbagai tradisi yang menunjukkan eksistensi masyarakat Melayu Jambi sejak berdirinya kerajaan Islam Melayu Jambi. ―Totalitas‖ identitas Islam yang diterima masyarakat Melayu Jambi membuatnya sangat ketat dalam menerima berbagai budaya luar. Selain itu, pemberdayaan kelembagaan adat sebagai institusi yang diberi kepercayaan untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial keagamaan mengindikasikan kebangkitan etnis Melayu dalam keragaman budaya Nusantara. Kelembagaan adat itu pada awalnya menaungi berbagai etnis yang menetap di Jambi, namun setelah terjadi perubahan nomenklatur menjadi Lembaga Adat Melayu Jambi terkesan hanya milik etnik Melayu secara eksklusif. Perbedaaannya, buku ini mencermati bagaimana adat dan syarak diproduksi oleh tokoh dominan dan pertarungan dalam memperlihatkan atau memperebutkan posisi dan eksistensi masing-masing. Upaya harmonisasi keragaman tradisi yang datang dengan tradisi, misalnya, diramu dan ditengahi menjadi satu melalui adaptasi, negosiasi, bahkan subordinasi. Keberterimaan masyarakat Melayu Jambi ditandai banyaknya kasus yang menggunakan jasa Lembaga Adat untuk penyelesaiannya. Studi Albert mencermati bagaimana kompromi antara adat dan syarak meskipun harus melakukan apa yang diistilahkan A Qodri Azizi sebagai tambal-sulam

26 hukum. Albert juga menjelaskan persoalan keberterimaan masyarakat Jambi, yang dalam buku ini ditelusuri dengan teori resepsi. Yang tidak disinggung Albert dalam artikelnya adalah kuasa simbolik dan relasi kuasa yang terjadi dalam proses negosiasi tersebut. Buku ini justru memperlihatkan betapa keberterimaan terhadap hukum tertentu tidak lepas dari agen-agen dominan yang terlibat di dalamnya, yang berperan dalam pengambilan setiap keputusan bahkan saling berebut pengaruh. Selanjutnya, buku ini juga menggunakan perspektif relasi kuasa sebagaimana dipakai oleh Subhan MA Rahman dalam artikelnya mengenai wacana Alquran bergambar kontestan politik. Relevansinya terletak pada cara Rahman melacak subordinasi antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan masyarakat, sesuatu yang juga akan dilakukan oleh buku ini dalam menelusuri pergulatan politis antara ulama, tokoh adat, dan pemerintah lokal. Sayangnya Rahman hanya berfokus pada wacana Alquran yang sifatnya sosiologis, sementara studi ini mengambil isu yang jauh lebih kompleks terkait maşlahah dan relasinya dengan hukum adat. Terakhir, artikel M. Ied al-Munir tentang kasus cuci kampung memungkinkan buku ini untuk melihat lebih jauh negosiasi antara adat dan syarak serta implementasinya dalam masyarakat Melayu Jambi. Namun, yang membuat buku ini berbeda dibanding artikel al-Munir adalah gagasan relasi kuasa yang dibangun dan subordinasi di dalamnya. Jika al-Munir berfokus pada perbandingan nilai-nilai Islam dan adat dalam kasus tertentu, buku ini berfokus bukan hanya pada nilai-nilainya, tetapi juga memperlihatkan bagaimana nilai-nilai itu diproduksi dan direproduksi oleh otoritas-otoritas terkait. Dari semua kepustakaan-kepustakaan yang telah ada, dapat ditarik benang merah bahwa hampir semuanya berpijak pada subordinasi kultural-politik-religius dalam implementasi hukum. Meskipun ada yang bersentuhan dengan hubungan interaktif dan interkonektif berbagai elemen yang ada pada daerah tertentu, sifatnya global. Sedangkan buku ini secara spesifik dan komprehensif

27 menyelami bagaimana konstruksi adat dan syarak di Jambi serta kuasa simbolik kelembagaan adat masyarakat Melayu Jambi. Dari situ akan diketahui bagaimana proses tarik- menarik kepentingan dan yang paling dominan dari kepentingan tersebut. Setting politis, sosiologis, dan fenomenologis yang muncul menjadi kajian intensif sehingga dapat diketahui dengan benar konstruksi pemikiran yang ada. Buku ini menemukan beberapa persoalan yang belum terungkap selama ini mengenai Jambi sebagai pusat perdaban Melayu tertua berlokasi di Candi Muarajambi, yang lebih awal bersentuhan dengan Islam tepatnya pada Abad Ke-1 H melalui pelabuhan internasional Muarasabak. Islamisasi di Jambi yang bertolak dari istana juga berbeda dengan kerajaan Islam di Nusantara umumnya, demikian pula falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah yang muncul justru dari Jambi. Akulturasi antara adat dan syarak di Jambi sejak abad ke-15, ketika tranformasi Kerajaan Melayu menjadi Kerajaan Islam Melayu, yang melahirkan undang adat Jambi yang masih menjadi acuan dalam menyelesaikan kasus sosial keagamaan melalui kelembagaan adat hingga saat ini, juga akan dibahas. Dengan demikian, buku ini jelas memposisikan diri berbeda dari studi-studi terdahulu, tidak hanya mengafirmasi studi-studi terdahulu dengan menekankan interaksi, negosiasi, dan integrasi antara adat dan syarak, tetapi juga menyangkut relasi, keberterimaan, dan respons masyarakat serta peran kelembagan dalam memproduksi dan mereproduksi hukum. Lebih dari itu, buku ini juga mencermati bagaimana kelembagaan adat menjadi pusat pertarungan kuasa di kalangan internal maupun eksternal, bagaimana relasi kuasa dan dominasi antar-kelembagaan adat. Isu-isu itu hampir tidak ditemukan dalam keseluruhan studi-studi terdahulu, memperlihatkan perbedaannya yang substansial antara buku ini dan studi- studi sebelumnya. Artinya, buku ini menekankan sikap kritis: menerima negosiasi antara adat dan syarak demi kepentingan masyarakat banyak (maşlahah al-‗ammah), sekaligus mengkritik negosiasi tersebut dalam konteks relasi kuasa yang bekerja di dalamnya.

28

3 Konstruksi Adat dan Syarak: Resepsi, Maşlahah, dan Habitus

Sedikitnya terdapat tiga teori yang digunakan untuk menganalisis problem akademik yang termuat dalam buku ini, yakni teori resepsi, maşlahah, dan habitus. Teori resepsi digunakan untuk mengetahui bagaimana proses keberterimaan masyarakat terhadap syarak sejak kedatangan Islam dan transformasi Kerajaan Melayu Jambi menjadi Kerajaan Islam Melayu Jambi dan Kesultanan Jambi, kolonisasi Belanda, Jepang, dan era Kemerdekaan. Selain itu, untuk melihat seberapa besar peran penguasa dalam mengkonstruksi hukum ketika itu. Sedangkan teori maşlahah digunakan untuk menyeleksi dan menilai konstruksi produk syarak dan produk adat yang dinegosiasikan sedemikian rupa oleh kelembagaan adat sehingga melahirkan konfigurasi hukum baru Undang Adat Jambi. Selanjutnya, seberapa signifikan integrasi keduanya dan kompetensi kelembagaan dalam memproduksi dan mereproduksi hukum serta sejalan- tidaknya dengan prinsip ajaran Islam. Adapun teori habitus digunakan untuk mengetahui siapa yang berperan dan berkuasa dalam memproduksi dan mereproduksi hukum serta relasi dan subordinasi antar-mereka dan dengan institusi di luarnya selama ini.

29

A. Teori Resepsi Untuk menganalisis adat dan syarak, digunakan teori penerimaan hukum, yaitu receptio in complexu dan receptie.35 Keduanya membahas tentang penerimaan hukum Islam maupun hukum Adat untuk diterapkan di Indonesia ketika itu. Pertama, Teori receptio in complexu dipadankan dengan sebutan teori penerimaan secara kompleks atau sempurna atau utuh, digagas oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845–1927), penasihat bahasa Timur dan hukum Islam (1878-1887), guru besar Indische Instelling, dan walikota di Deft, Belanda (1887-1900), serta penasehat bagian jajahan (Department van Kalonien) di Belanda (1900-1902). Menurut teori ini, bagi pemeluk agama tertentu berlaku hukum agamanya. Untuk kaum Hindu berlaku hukum Hindu, untuk kaum Kristen berlaku hukum Kristen, dan untuk kaum Islam berlaku hukum Islam. Hukum yang diyakini dan dilaksanakan oleh seseorang seharmoni dengan agama yang diimaninya. Teori ini menegaskan hukum Islam seharusnya diterima dan diberlakukan secara utuh oleh seluruh warga negara sesuai agamanya, terutama yang beragama Islam.36 Oleh sebab itu, jika seseorang beragama Islam, maka secara langsung hukum Islamlah yang berlaku baginya, demikian

35Kedua teori ini tidak disadur dari buku aslinya karena kesulitan dalam perolehannya, namun beberapa pakar hukum yang dianggap representatif memuat teori ini, antara lain: Hazairin, Soekamto, Sayuti Thalib, dan lainnya. Selain itu, ini sebagai langkah menghindari plagiasi dalam pengutipan. 36Buku asli karangan Van Den Berg berjudul ―De Behinselen van het Mohammadaansche Recht, volgens de Imams Abu Hanifah en Syafi‘i (Dasar-dasar Hukum Islam Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi‘i), (Batavia: Ernsten Co.s‘ Gravenhage, 1883), diedit oleh M. Nijhorf. Pemikiran Van Den Berg ini sebenarnya lebih terinspirasi pada pemikiran pendahulunya yaitu Karel Frederik Winter (1799-1859) dan Salomon Keyzer (1823-1868). Lihat H.A.R. Gibb, Modern Trends In Islam, (Chicago: The University of Chicago, 1972), 116; Sajuti Thalib, Receptio a Contrario, (Jakarta: Akademika, 1980), 5; dan Soekanto, Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, (Jakarta: Rajawali Press, 1981), 53.

30 seterusnya.37 Hukum perkawinan dan kewarisan di sebuah kerajaan Islam, misalnya, dinyatakan tetap berlaku, namun penerapannya dapat dilihat dalam peraturan Resolutie der Indische Regeering yang ditetapkan VOC pada 25 Mei 1760. Begitu pula pemberlakuan hukum Islam bagi rakyat pribumi yang beragama Islam sebagaimana termuat dalam R.R Staatbblad 1855; 2 pasal 75, 78, 109. Diperkuat dengan R.R Staatbblad 1882; 152 reorganisasi Lembaga Peradilan.38 Bahkan, menurut Ismail Suny, hukum Islam yang berlaku sejak zaman VOC tidak jarang dijadikan dasar hukum dalam penetapan Regeerning Ingsreglement (R.R) Tahun 1885. Hal itu dinyatakan dalam Pasal 75: ―oleh hakim Indonesia itu hendaknya diperlakukan undang-undang agama (godsdientigewetten)...‖39 Kedua, teori receptie, dipadankan dengan sebutan penerimaan atau pertemuan, yakni hukum adat sebagai penerima dan hukum Islam sebagai yang diterima. Teori ini digagas oleh Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), penasihat orang Timur dan hukum Islam (adviseur voor Oostersche en Mohammadaansch) pada 1891 dan berganti menjadi Hindia Belanda (adviseur voor Inlandsch) serta penasihat perdagangan orang Arab (adviseur voor Inlandsch en Arabische).40 Teori ini berawal dari kesimpulan bahwa

37Gagasan ini pada dasarnya telah dimunculkan oleh Karel Frederik Winter, pakar tentang persoalan Java-Javanici (1799-1859 M.) yang lahir dan meninggal di Yogyakarta. Ia adalah Guru ilmu bahasa dan kebudayaan Hindia Belanda yang produktif menulis tentang Islam bahkan menterjemahkan al-Qur‘an ke dalam bahasa Belanda. Lihat Yaswirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilinial Minangkabau, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), 64-65. 38Reorganisasi ini substansinya membentuk baru mendampingi Pengadilan Negeri yaitu Pengadilan Agama untuk mewadahi kepentingan umat Islam yang dinamakan ―Dewan Ulama‖ sama halnya dengan ―Dewan Pendeta‖. Lihat Mahadi, Kedudukan Pengadilan Agama di Indonesia Sampai Tahun 1882, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Kemenag RI, 1985), 99-113. 39Ismail Suny, Hukum Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1987), 5-6. 40Teori ini selanjutnya ditumbuh-kembangkan oleh pakar hukum adat Cornelis Van Vollenhoven (1874–1933) dan Betrand Ter Haar (1892– 1941). Tujuannya adalah agar orang-orang pribumi tidak terlalu kokoh

31 hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat menerimanya. Oleh karena itu, jika didapati syarak dipraktikkan di dalam kehidupan masyarakat, pada hakikatnya ia bukanlah syarak, melainkan adat. Adat sebagai penerima dan syarak sebagai hukum yang datang. Artinya, syarak berlaku ketika telah diterima atau masuk ke dalam hukum Adat, meskipun sebenarnya hukum tersebut bukan lagi syarak tetapi telah menjelma menjadi hukum adat. Teori ini berkebalikan dengan teori sebelumnya, yang justru menyatakan bahwa yang berlaku bagi rakyat pribumi seharusnya hukum adat, bukan syarak. Syarak baru bisa berlaku jika telah diterima atau masuk ke dalam hukum adat, dalam artian syarak merupakan bagian dari hukum adat. Hal ini disebabkan bangsa Indonesia bukan sebagai bangsa yang tidak memiliki tatanan hukum yang bersumber dari tradisi yang mengakar selama ini, yaitu hukum adat. Hukum adat (Adatrecht) merupakan terma yang dipopulerkan oleh Hurgronje. Kedua gagasan inilah yang merepresentasikan pandangan tentang variasi hubungan adat dan syarak sekaligus sebagai bukti subordinasi antara keduanya dalam arena sistem hukum. Selain itu, pergumulan itu dijadikan sebagai alasan pembenar oleh Belanda bahwa kedua sistem hukum tersebut tidak mungkin disatukan apalagi diharmonisasikan. Alasan klasik yang dimunculkan adalah memegang ajaran Islam karena mempersulit masuknya peradaban Barat. Gagasan ini mendapat legitimasi melalui Undang-undang Dasar Hindia Belanda yang dikenal Indische Staatsregeling (I.S). Syarak dicabut dari tata hukum Belanda, sebagaimana tertuang pada Pasal 134 ayat 2 dari I.S. tahun 1929: dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi. Upaya penyebaran teori ini dilakukan dengan cara mengembangkan negara Indonesia (yang dahulu dikenal dengan nusantara) menjadi 19 wilayah hukum adat, antara adat satu dan yang lainnya berbeda-beda. Bahkan, upaya kongkrit pemerintah Hindia Belanda menghambat implementasi hukum Islam, sebagaimana temuan Afdol dan Ichtijanto.Ichtiyanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum lslam di Indonesia, dalam Juhaya S. Praja, Hukum lslam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 97.

32 kasus Perang Paderi, konflik antara kaum Muda dan kaum Tua.

B. Teori Maşlahah dalam Yurisprudensi Islam Metode penetapan syarak (hukum Islam) secara sederhana dapat diartikan sebagai cara-cara menetapkan, meneliti, dan memahami aturan-aturan yang bersumber dari naşş hukum untuk diimplementasikan dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat. Metode ini terkandung dalam suatu disiplin ilmu yang dikenal dengan ilmu uşūl al-fiqh, yaitu pengetahuan yang membahas tentang dalil-dalil hukum secara garis besar (ijmal), cara pemanfaatannya, dan keadaan orang yang memanfaatkannya, yakni mujtahid.41 Kalangan ulama usūl al-fiqh mengklasifikasikan metode penetapan syarak ke dalam dua bagian.42 Pertama, metode verbal (at-turūq al-lafziyah), yaitu metode penetapan hukum yang bertumpu pada analisis kebahasaan, misalnya lafaz 'āmm, khās, mutlaq, muqayyad, ‗amar, nahī. Kedua, metode substansial (at-turūq al-ma'nawiyah), yaitu metode penetapan hukum yang bertumpu pada pengertian implisit nass dengan penggalian substansi syarak (al-iltifāt ilā al-

41Menurut Atho‘ Mudzhar, uşul al-fiqh adalah pengetahuan yang membahas tentang dalīl-dalīl hukum secara garis besar (ijmâl), cara pemanfaatannya dan keadaan orang yang memanfaatkannya, yaitu mujtahid. Melalui ilmu ini pengetahuan tentang syarak dapat diwujudkan, sehingga ilmu Uşūl al-Fiqh diidentifikasi sebagai metodologi konvensional dalam studi hukum Islam, atau koleksi teori-teori hukum Islam. Lihat M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pusaka pelajar, 1998), 2. 42Dua aliran yang berbeda dalam merumuskan kaidah uşūl. Pertama, aliran Mutakallimīn atau Syâfi'iyah, yang membangun kaidah Uşūl al-Fiqh secara teoritis, logis dan rasional, didukung oleh argumentasi yang kuat baik naqlī maupun 'aqlī. Kedua, aliran fuqahâ atau Hanafiyah, yang membangun dan merumuskan kaidah-kaidahuşūl berpijak pada masalah cabang dalam maźhab, setelah meneliti dan menganalisis masalah cabang tersebut. Selanjutnya, muncullah aliran konvergensi, yang berusaha memadukan metode perumusan kaidah yang ditempuh dua aliran di atas. Lihat Zakariyâ Sabrī, Maşâdir al-Ahkâm al- Islâmī, (Kairo: Kulliyah al-Huqūq Jâmi'ah al-Qâhirah, 1973), 11-12.

33 ma'ānī wa al-maqāşid), seperti ijmā‘, qiyās, ‘urf (adat), istihsān, maşlahah.43 Buku ini mengadopsi model terakhir dari metode substansial tersebut, yaitu maşlahah.44 Secara etimologis maşlahah semakna dengan manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.45 Menurut asy-Syātibi, ke- maşlahah-an (al-masālih) haruslah merujuk pada dua aspek yaitu: khiţāb syar‘ī (epistemologis) dan realitas sosial (waqā‘i‗ al-wujūd). Terkait aspek khiţāb syar‘ī (epistemologis), bagaimana hukum itu diproduksi dan direproduksi oleh institusi tiga tali sepilin melalui kerapatan adat dengan mencarikan argumentasi yang sesuai dengan prinsip syar‘ī. Aspek khiţāb syar‘ī harus berpijak pada konsep munāsib (kesesuaian), yakni ada atau tidaknya kesesuaian antara maşlahah yang dipertimbangkan dengan tujuan umum syarī‘ah (maqāsid al-syarī‘ah) dan tidak dijumpai syāhid atau 'illah, indikator yang membedakannya dengan qiyās, dan tidak ditemukan dalīl khusus mengenai status hukumnya.46 Munāsib pada konteks ini mengandung tiga makna. Pertama, munāsib yang keberadaannya diakui oleh syāri‘ dengan menyebutkan dalīl khusus, seperti disyari'atkannya qişāş untuk memelihara jiwa manusia demi terjaminnya keberlangsungan hidup dan memelihara anggota tubuh manusia. Kedua, munāsib yang keberadaannya ditolak oleh syāri‘ karena dianggap hasil pemikiran subjektif manusia yang motivasinya hawa nafsu an sich dan bertentangan

43Muhammad Abū Zahrah, Uşūl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Fikr al- ‗Arabī, 1958), 115. 44Substansi maşlahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syarak (Jalb al-masâlih wa Daf‘u al-Mafâsid li Muhâfazah Maqâsid al-Syari‘ah). Tujuan syarak yang harus dipelihara mencakup lima hal, yaitu; memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, al- Musytaşfâ fi ‗Ilm al-Ushūl, (Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1983), I, 38. 45Husain Hamid Hasan, Nazariyyah al-Maşlahah fi al-Fiqh al- Islamīy, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-‗Arabiyyah), 3-4. 46Abū Ishâq Ibrâhīm ibn Mūsâ Asy-Syâţibī, al-Muwâfaqât fī Uşūl asy-Syarī‘ah, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1973), II, 38.

34 dengan dalīl-dalīl syarak. Ketiga, munāsib yang keberadaannya tidak diakui ataupun ditolak oleh syāri‘, dalam pengertian tidak dijumpai naşş khusus untuk memegangi ataupun meninggalkannya. Dengan kata lain, tidak dijumpai dalil partikular yang mengindikasikan boleh atau tidaknya dipraktikkan oleh orang yang beriman. Munāsib dalam konteks ini mengandung dua kemungkinan: adanya naşş yang mengkonfirmasi, seperti 'illah yang menghalangi pembunuh mendapatkan warisan, atau telah sejalan dengan pandangan syarak secara universal, bukan dengan dalīl partikular.47 Konteks terakhir inilah yang dimaksud asy-Śyāţibī sebagai al-istidlāl al-mursal atau al-maşlahah al-mursalah.48 Terkait realitas sosial (waqā‘i‗ al-wujūd), bagaimana keinginan dan komitmen masyarakat Muslim Jambi untuk mempraktikkan dan mengintegrasikan adat dan syarak sehingga dapat dilaksanakan secara bersamaan,49 mengingat adanya hukum kausalitas dalam konteks adat dan syarak, di mana adat merupakan sabab (penyebab) bagi adanya musabbab (hukum), umpamanya tentang kemampuan fisik untuk melakukan suatu perbuatan atau keadaan bālig dan lain-lain. Hal-hal itu merupakan

47Ibid., 39-40. 48Menurut al-Ghazali maşlahah al-mursalah dapat diterima jika memenuhi kriteria: sejalan dengan tindakan syarak, tidak meninggalkan atau bertentangan dengan naşş; dan masuk dalam kategori dharurī, kullī dan qath‘ī. Pertama,dharurī (pokok), keberadaan maşlahah terkait dengan pemeliharaan kebutuhan esensi manusia yang mencakup pemeliharaan lima hal pokok, yakni: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kedua,qath‘ī (pasti), jika itu tidak dilakukan maka dapat dipastikan akan terjadi kerusakan. Ketiga,kullī, yang dilindungi adalah kepentingan umat secara umum (maşlahah al-ammah, bukan kepentingan personal. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustaşfâ ..., 394. 49Menurut asy-Syâţibī, taklif hukum terhadap Mukallaf didasarkan kepada kontinyuitas adat, mengingat hukum terkait erat dengan perbuatan mukallaf sebagai implementasi adat. Oleh karenanya, keberadaan dan keberlangsungan adat dalam kaitan dengan hukum merupakan keniscayaan, kalaupun terjadi perbedaan mengharuskan perbedaan proses penentuan dan perbedaan klasifikasi hukum serta al-khiţâb. Lihat Abū Ishâq Ibrâhīm ibn Mūsâ Asy-Syâţibī, al- Muwâfaqât..., Juz II, 44,79.

35 sebab-sebab langsung bagi musabbab (hukum) dan hal-hal itu diatur oleh pembuat syarak (syāri‘). Begitu pentingnya prinsip ini, sehingga dirumuskanlah kaidah ikhtilāf al-ahkām ‗inda ikhtilāf al-‗awā‘id.50 Artinya, perbedaan hukum ketika terjadi perbedaan adat; jika adat berubah dan berbeda, hukum juga dapat berubah dan berbeda.

C. Teori Habitus Teori habitus digagas oleh Pierre Bourdieu (1930- 2002), sosiolog Prancis yang dikenal karena pandangan ―politiknya‖ yang vokal dan keterlibatannya dalam isu-isu publik.51 Habitus dipahami sebagai ―logika permainan‖, ―rasa praktis‖ yang mendorong agen-agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan sekadar kepatuhan sadar kepada aturan-aturan. Habitus merupakan kondisi internal dan dapat menjadi semacam blueprint bagi seseorang atau semacam ―skenario yang telah ditentukan‖ bagi kebiasaan hidup, bahkan karir sosial, jika tidak terdapat kondisi eksternal yang berpengaruh dan dapat mengubah skenario. Habitus memiliki tiga prasyarat definitif. Pertama, habitus adalah product of structure, hasil dari struktur sosial/kultural/religius yang sudah ada. Kedua, habitus adalah producer of practice, yang menciptakan sekaligus memperkuat praktik yang sudah ada. Ketiga, habitus adalah reproducer of structure, yang berarti habitus tersebut secara tak langsung—melalui praktik yang telah dihasilkan dan bekerja terus menerus—menciptakan kembali sekaligus memperkuat struktur yang sudah ada sejak awal. Singkatnya, meminjam istilah Bourdieu, ia dibentuk oleh struktur dan sekaligus membentuk kembali struktur itu.

50Ibid. 51Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature, (Cambridge: Polity Press, 1990), diedit oleh Randal Johnson, 53.

36

Habitus bersifat sirkuler dalam ketegangan antara struktur dan praktik. Dalam konteks Jambi, masyarakatnya mayoritas Muslim dan terkenal sebagai ―masyarakat agamis‖,52 namun di sisi lain juga mengklaim sebagai masyarakat adat dan tradisi yang dilakukan lebih kental berpijak pada aturan yang tertuang dalam aturan adat (Undang Adat Jambi). Aturan adat inilah yang menjadi panduan masyarakat Jambi, dan untuk melegalkannya dibuatlah falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah; undang datang dari hulu, teliti dari hilir. Aturan yang tertuang dalam adat dan kepatuhan masyarakat terhadapnya memberikan pemahaman bahwa sebenarnya ada kekuatan kekuasaan yang mampu membentuk budaya yang tetap kokoh dan eksis menjadi habitus hingga saat ini. Apa yang diperintahkan oleh aturan adat mereka laksanakan dan apa yang dilarang oleh aturan adat mereka tinggalkan. Perberlakuan aturan adat ini dalam perkembangan selanjutnya membentuk kelas-kelas sosial dalam masyarakat dan pada akhirnya mereka saling bernegosiasi bahkan bersubordinasi dalam memperebutkan posisi dan disposisi dalam masyarakat adat Melayu Jambi. Ketiga teori tersebut diformulasikan menggunakan pendekatan sosiologi hukum Islam, suatu pendekatan mencermati proses integrasi adat dan syarak, praktik dualisme hukum, dan eksistensi kelembagaan adat sebagai produsen hukum yang senantiasa memproduksi dan

52Klaim masyarakat Jambi sebagai ―masyarakat agamis‖ agaknya tidak berlebihan karena didasarkan pada beberapa hal. Pertama, realitas bahwa hampir seratus persen masyarakat Jambi penganut agama Islam, kecuali segelintir masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) yang awalnya tidak mau dijajah lari dan menetap ke hutan dan kebanyakan migran dari Minangkabau dan , teologi mereka masih bercampur dengan ajaran animis. Dan saat ini telah kembali kepada ajaran Islam Kedua, Jambi merupakan kerajaan Melayu pertama yang memproklamirkan Islam sebagai agama kerajaan, tepatnya abad ke-15. Sejak saat itu agama kerajaan adalah Islam dan seluruh rakyat Jambi penganut Islam, bahkan segala aturan adat yang ada harus bersendikan pada ajaran Islam (Syarak). Lihat Sulaiman Abdullah, Agama dan Adat Masyarakat Jambi, (Jambi: LAM Jambi, 2010), 10.

37 mereproduksi hukum melalui kerapatan adat, meskipun terkadang terjadi subordinasi di internal institusi yang bekerja di dalamnya dan dengan institusi di luarnya. Mengingat fokus studi sosiologi adalah interaksi antara individu dengan masyarakat, esensinya interaksi dalam kehidupan sehari-hari,53 sedangkan fokus pendekatan sosiologi hukum adalah hukum dan tindakan sosial, di mana hukum adalah konsekuensi-konsekuensi hukum bagi masyarakatnya.54 Dalam konteks hukum Islam, M. Atho‘ Mudzhar menjabarkan tiga segmen dalam penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial, yaitu doktrin asas, normatif, dan gejala sosial.55 Pendekatan dalam buku ini lebih mendekati pada

53Pendekatan sosiologi juga penulis gunakan untuk mengamati historis masyarakat tempo Jambi dulu, yang di dalamnya memuat kajian bagaimana peran kelompok sosial tertentu, relasi, tarik menarik kepentingan, pelapisan sosial dan sebagainya. Lihat Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos, 1999), 11. 54Menurut Geral Turkel sebagaimana dikutip Ahmad Ali bahwa secara konvensional ada tiga pendekatan dalam mencermati hukum. Pertama, pendekatan moralitas, focal concern-nya landasan moral hukum, dan validitas hukumnya adalah konsistensi hukum dengan etika eksternal atau nilai-nilai moral. Kedua, pendekatan yurisprudensi (ilmu hukum normatif), focal concern-nya independensi hukum, dan validitas hukumnya adalah konsistensi internal hukum dengan aturan, norma, dan asas yang dimiliki hukum itu sendiri. Ketiga, pendekatan sosiologi, focal concern-nya hukum dan tindakan sosial, dimana validitas hukumnya adalah konsekuensi hukum bagi masyarakatnya. Lihat Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), 176. 55Segmen penelitian hukum Islam, yaitu; Pertama, hukum Islam sebagai doktrin asas, sasaran utamanya dasar-dasar konseptual syarak seperti masalah sumber hukum, konsep Maqâsid al-Syarī‘ah, Qawâ‘id al- Fiqhiyyah, Thurūq al-Istinbâth, dan Manhaj al-Ijtihâd. Kedua, hukum Islam normatif, sasaran utamanya syaraksebagai norma atau aturan, baik yang masih berbentuk naşş maupun yang sudah menjadi produk pikiran manusia. Aturan dalam bentuk naşş meliputi ayat-ayat dan hadits ahkâm. Sedangkan aturan yang sudah dipikirkan manusia antara lain berbentuk fatwa-fatwa ulama dan bentuk-bentuk aturan lainnya yang mengikat seperti kompilasi hukum Islam, dustūr, perjanjian internasional, surat kontrak, kesaksian dan sebagainya. Ketiga, hukum Islam sebagai fenomena sosial, sasaran utamanya perilaku hukum masyarakat Muslim dan persoalan interaksi antar sesama manusia, baik

38 segmen ketiga, yaitu penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial, pendekatan yang berupaya memahami secara dekat mengenai konstruksi adat dan syarak dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi. Untuk itu, langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut: a. Membuat rumusan pertanyaan, sebagaimana dituangkan dalam Bab 1, untuk melihat kontribusi akademik dari buku ini. b. Menjadikan kelembagaan adat sebagai subjek, mengingat di dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin yang sering berebut pengaruh bahkan kuasa dalam menentukan posisi dan disposisi masing-masing baik pada tataran internal maupun eksternal. c. Melacak, mengumpulkan, dan memilah data-data yang terkait dengan topik buku ini untuk diklasifikasikan dan diteliti sesuai kebutuhan. d. Menganalisis data yang berhasil dikumpulkan dan dijadikan bahan analisis. e. Menyajikan data yang dianggap valid, selanjutnya dinarasikan dengan cara yang baik sesuai kaidah kebahasaan agar pembaca memahami isi tulisan dan mendapatkan informasi baru dan merasa tertarik

sesama Muslim maupun dengan non Muslim. Ini mencakup persoalan- persoalan seperti politik perumusan dan penerapan hukum (siyâsah al- syarī‘ah), perilaku penegak hukum, perilaku pemikir hukum seperti; mujtahīd, fuqahâ‘, mufti dan anggota badan legislatif, persoalan administrasi dan organisasi hukum seperti pengadilan dengan segala graduasinya dan perhimpunan penegak serta pemikir hukum seperti perhimpunan hakim agama, perhimpunan studi peminat hukum Islam, lajnah-lajnah fatwa dari organisasi-organisasi keagamaan dan lembaga- lembaga penerbitan atau pendidikan yang menspesialisasikan diri atau mendorong studi-studi hukum Islam. Dalam jenis penelitian ini juga tercakup masalah-masalah evaluasi pelaksanaan dan efektivitas hukum, masalah pengaruh syarakterhadap perkembangan masyarakat atau pemikiran hukum, sejarah perkembangan hukum, sejarah pemikiran hukum, sejarah administrasi hukum serta masalah kesadaran dan sikap hukum masyarakat. Lihat M. Atho‘ Mudzhar, Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam‖, dalam Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, editor M. Amin Abdullah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 34-35.

39

melakukan kajian lebih intensif atau bahkan kajian lanjutan. f. Mencatat sumber data melalui referensi, dokumen, informan, dan data otentik lainnya, sehingga informasi yang disajikan konsisten kapan dan di mana pun. g. Membuat simpulan terakhir sebagai hasil penulisan minimal seirama dengan pertanyaan dalam rumusan masalah, guna mempermudah memahami temuan.56 Melalui pendekatan tersebut, terungkap konstruksi adat dan syarak dalam kelembagaan adat Melayu Jambi, proses akulturasi, konstruksi, keberterimaan terhadap adat dan syarak, kuasa simbolik dalam kelembagaan adat dalam mengkonstruksi adat dan syarak dalam masyarakat Melayu Jambi, serta relasi antar ketiganya dan dengan institusi di luarnya. Untuk penulis membuat desain kerangka teoretik sebagaimana tertuang dalam bagan berikut ini.

56Akh Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi dan Implementasi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2013), 180-226.

40

41

Berdasarkan teori yang dugunakan, terdapat tiga unit analisis dalam buku ini. Pertama, akulturasi, persepsi, dan keberterimaan masyarakat Melayu Jambi terhadap adat dan syarak, yang akan dianalisis dengan teori resepsi. Kedua, konstruksi, negosiasi, konfigurasi, sinkronisasi (titik temu) dan diferensiasi (titik beda), prosedural lahirnya putusan, serta unifikasi antara adat dan syarak, dianalisis menggunakan teori maşlahah. Ketiga, persoalan sosiologis mengenai peran kelembagaan adat melalui forum tiga tali sepilin, yang mencakup kuasa simbolik, dominasi, subordinasi, dan relasi kuasa antara ketiganya yang memengaruhi struktur dan praktik penerapan adat dan syarak di Jambi. Teori habitus digunakan untuk menganalisisnya. Tiga unit tersebut secara sederhana sudah diuraikan berdasarkan tiga kerangka teoretik yang telah disebutkan di atas. Dalam unit analisis pertama, akulturasi, persepsi dan keberterimaan masyarakat Melayu Jambi terhadap adat dan syarak melalui gagasan historis, teori resepsi dijadikan sebagai pijakan historis untuk melihat keberterimaan masyarakat terhadap adat dan syarak melalui lembaga-lembaga otoritatif di sana. Teori receptie in complexu memberikan jawaban historis mengapa penguasa Belanda saat itu menginginkan adanya penetapan syarak dibanding adat, sementara teori receptie menawarkan perspektif lain mengapa justru adat yang perlu diberlakukan dibanding syarak. Namun, kesamaan dari dua teori tersebut adalah bahwa dalam proses implementasi kebijakan adat dan syarak, selalu ada kepentingan politis yang berkuasa di baliknya. Jika dulu yang berkuasa adalah Kerajaan Melayu Jambi, Kerajaan Islam Melayu Jambi, Kesultanan Jambi, VOC, Belanda, dan Jepang, sekarang penguasa menjelma dalam kelembagaan adat. Masing- masing pihak dalam kelembagaan tersebut menawarkan kebijakan yang diklaim lebih dekat atau lebih sesuai dengan masyarakat Jambi, namun pada akhirnya kebijakan tersebut tak lebih dari represi hegemonik yang mereka jalankan atas kepentingan mereka sendiri.

43

Dalam unit analisis kedua, konstruksi, negosiasi, konfigurasi, sinkronisasi dan diferensiasi, eksistensi kelembagaan adat, prosedural lahirnya putusan, unifikasi antara syarak dengan adat, digunakan teori maşlahah sebagai dasar pijak. Maşlahah merupakan bagian dari metode ushūl fiqh, memberi peluang metodologis untuk menelaah sinkronisasi dan diferensiasi antara adat dan syarak di Jambi. Maşlahah memungkinkan untuk mengetahui nilai-nilai hukum universal yang berlaku bagi seluruh komunitas Muslim dan nilai-nilai hukum lokal (kultural) yang berlaku untuk masyarakat tertentu, sebagamana di Jambi. Terhadap nilai-nilai hukum yang bersifat universal, bisa dibuktikan adanya homogenitas penerimaan masyarakat Muslim di Jambi, baik yang mendukung adat maupun tidak. Universalitas syarak juga bisa ditarik kesamaan nilai-nilainya dengan hukum lain yang berlaku bagi masyarakat adat non-Muslim di Jambi. Sementara itu, terhadap nilai-nilai syarak yang bersifat lokal, Islam dinegosiasikan sedemikian rupa agar sesuai (mulā‘im) dengan hukum yang berlaku di daerah Jambi, sebagaimana tertuang dalam hukum adat. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, berdasarkan dalil al-‗ādah al- muhakkamah,57 adat di Jambi bisa menjadi dasar penetapan syarak itu sendiri. Dalam konteks ini, buku ini melihat adanya ruang bagi teori maşlahah, dengan mencermati adat merupakan hukum yang hidup di masyarakat yang perlu ditumbuh-kembangkan dengan ketentuan tidak bertentangan atau menyalahi prinsip Islam. Terkait unit analisis ketiga, persoalan sosiologis mengenai peran kelembagaan adat yang di dalamnya forum tiga tali sepilin, kuasa simbolik, dominasi, subordinasi, dan relasi kuasa ketiganya dan institusi di luarnya sangat memengaruhi struktur dan praktik penerapan adat dan syarak di Jambi; digunakan teori habitus, yang penerapannya sejalan dengan teori dan maşlahah sebelumnya. Perbedaannya, jika teori sebelumnya

57Jalaluddin as-Suyuti, al-Asbâh wa al-Nazâ‘ir fi al-Furū‘, (Semarang: Toha Putra, t.th), 32.

44 menawarkan perspektif sosiologi historis, habitus menawarkan pendekatan sosiologi politis yang memungkinkan untuk melihat kondisi sosial-keagamaan di Jambi dalam kerangka hierarki, dominasi, dan relasi kuasa. Asumsinya adalah masing-masing kelompok dalam kelembagaan adat saling berebut kuasa dalam sebuah arena sosial-keagamaan di Jambi untuk memperkuat struktur mereka di satu sisi dan membumikan praktik atas kebijakan mereka di sisi lain. Disposisi hukum yang berhasil dipraktikkan secara dominan oleh masyarakat Jambi akan memastikan pula posisi mereka dalam hierarki sosial Jambi itu sendiri. Begitu pula, siapa saja yang dianggap paling berkuasa di daerah Jambi, punya peluang paling besar untuk memperkuat praktik penerapan hukum yang dikeluarkan. Persis di titik inilah struktur kelas sosial di Jambi berkorelasi positif dengan praktik penerapan adat dan syarak di Jambi itu sendiri.

45

4 Sejarah Singkat Melayu Jambi

Jambi sebagai wilayah yang dihuni oleh mayoritas masyarakat etnik Melayu, sejak abad ke-15 berhasil mengakulturasikan dan mengrintegrasikan syarak dengan adat secara mapan. Bahkan kuat dugaan falsafah―adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖ justru lahir di wilayah ini. Secara historis Jambi diakui oleh sejarahwan sebagai pusat peradaban Melayu kuna di Nusantara. Realitas tersebut berimplikasi pada pembentukan tatanan keagamaan, sosial, politik, dan budaya sejak kedatangan Islam hingga saat ini,58 Bab ini akan membahas secara singkat sejarah Melayu dan Kemelayuan tersebut di Jambi. Cara yang paling tepat untuk melacak dan menuliskannya tentu saja dengan memandang sejarah tersebut sebagai sejarah sosial59

58Tahapan penelusuran sejarah sosial yaitu: Pertama,berorientasi pada sejarah dan gerakan sosial (social movement) yang cenderung marjinal dan menyempit dari arus utama masyarakat atau tatanan sosial yang telah mapan; kedua, berorientasi pada studi historis yang sulit diklasifikasikan, berkaitan dengan tata cara, adat istiadat, dan aktivitas keseharian; ketiga, berorientasi pada kajian sejarah sosial dan ekonomi yang memengaruhi perubahan struktur dan sosial masyarakat; dan keempat, berorientasi pada akulturasi agama dan budaya setempat.‖Ahmad Baso dalam Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme, (Bandung: Mizan, 2005), 17-20. 59Sejarah sosial berusaha mencari ―esensi‖ makna fenomena yang dialami oleh individu atau kelompok pada wilayah dan masa tertentu. Penelitian ini berusaha memahami teks-teks syarak dan adat Melayu agar dapat dipadukan dan dibandingkan sehingga diketahui persamaan dan perbedaannya untuk dikonfirmasikan kepada informan. Begitupula subordinasi antar pihak yang terlibat dalam memproduksi dan mereproduksi hukum, selanjutnya dianalisis secara intensif dengan menggunakan argumentasi. Lihat Akh Minhaji, Sejarah Sosial ..., 50-51;

46 yang diuji secara kritis dan analitis menyangkut peninggalan dan rekaman masa lalu Melayu di Jambi. 60 Bab ini pertama-tama akan mengetengahkan proses Islamisasi dan perkembangannya di Jambi, disusul satu bagian tentang akulturasi adat dan syarak. Falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah, yang dipegangi secara kuat oleh masyarakat Melayu Jambi, akan menjadi bahasan dalam bagian selanjutnya, sebelum masuk ke bagian mengenai kelembagaan adat Melayu di Jambi. Di bagian paling akhir akan disampaikan tentang realitas terkini dari masyarakat Melayu Jambi secara khusus dan masyarakat Jambi secara umum, yang dibahas dari aspek sosial, agama, politik, dan budaya.

A. Islamisasi dan Perkembangannya di Jambi Perkembangan komunitas Muslim yang begitu pesat saat ini, bahkan menjadi mayoritas di Nusantara menjadi salah satu faktor penyebab sejarahwan (muarrikhîn) mengajukan teori tentang asal usul kedatangan Islam di Nusantara, tidak luput dari kajian tersebut adalah bagaimana Islamisasi di Jambi.61 Setidaknya ada dua teori besar terkait dengan kedatangan Islam di Nusantara sebagaimana dikutip Azyumardi Azra.62

Azyumardi Azra, ―Historiografi Kontemporer Indonesia‖, dalam Henri Chambert Loir dan Hasan Mu‘arif Ambong (ed), Panggung Sejarah, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), 65. 60Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, terj. Noto Susanto, (Jakarta, UI Press, 1986), 33; Bandingkan dengan Akh Minhaji, Ibid. 61Teori masuknya Islam sebetulnya bukan merupakan bangunan teori (theory building) yang lengkap, yang mencakup paradigma, konstruksi teori (kerangka konseptual), dan metodologi pemecahan masalah, melainkan hanya sekedar merujuk kepada paradigma (keyakinan ilmiah) tentang negeri tempat asal Islam yang diperkenalkan ke Indonesia, tetapi di mana persisnya ―landing‖ Islam di daerah tujuan tidak pernah ada kepastian dengan rujukan bukti-bukti sejarahnya yang kuat, kecuali sangat fragmentaris. Karena alasan itu, maka dalam wacana sejarah Islam Nusantara, para ahli biasanya membedakan secara kasar dua konsep: ―Islam datang‖ dan ―Islam berkembang‖ (Islamisasi). 62Azyumardi Azra, Kajian Naskah Keagamaan Islamisasi Nusantara: Penilaian Ulang, dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol.9. No.

47

Pertama, Teori Gujarat (India), orang Arab bermazhab Syafi‘i migrasi ke India dan anak benua India, yakni; Gujarat dan Malabar, merekalah cikal-bakal keturunan yang kemudian—melalui jalur perdagangan— membawa Islam ke Nusantara. Teori ini didukung oleh sarjana Belanda seperti; Pijnappel, Moquette, Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrike, Hall dan Snouck Hurgronje. Bahkan Marrison dan Arnold menambahkan bahwa Islam Nusantara berasal dari Coromandel dan Malabar, meski mereka tidak menampik Islam Nusantara juga berasal dari Arabia.63 Kedua, Teori Arab, Islam Nusantara berasal dari Arabia tepatnya Hadramaut-Yaman. Teori ini didukung oleh Crawfurd, Niemann, De Hollander, meski mereka juga tidak menampik peran ulama dari pantai Timur India bahkan Mesir dalam penyebaran Islam di Nusantara. Naguib al- Attas mengamini teori ini, menurutnya teori umum tentang Islamisasi Nusantara seyogyanya mereferensi literatur sejarah Islam Melayu-Indonesia dan sejarah dunia Melayu sebagaimana terlihat melalui keyword dalam literatur Melayu-Indonesia abad abad 10-11 H./14-17 M. Kesimpulannya tidak satupun literatur keagamaan Islam Melayu-Nusantara menyebutkan pengarang dari India, kalaupun ada sebenarnya merupakan karya Arab atau Persia, dan sebagian kecil lagi berasal dari Turki atau Maroko.64 Teori kedua lebih tepat memposisikan asal asul kedatangan Islam di Jambi, sejalan dengan Elisabeth Locher yang menyebutkan titik tolak Islamisasi di Jambi oleh pengusaha Turki bernama Ahmad Salim abad ke-14.65

1 Juni 2011, 4-8; Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), 31. 63Berbeda dengan Nur Syam, yang mengungkap empat teori Islamisasi di Nusantara yaitu: Arab, Gujarat, Persia, dan China. Elaborasi lengkap lihat Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005). 64Naguib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Kuala Lumpur: Universitas Kebangsaan Melayu, 1972), 33-34. 65Elisabeth Locher Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial

48

Bukti awal dijumpai melalui folklore,66 cerita rakyat seluruh desa/dusun seluruh Jambi dan penemuan makam Ahmad Salim alias ―Datuk Paduko Berhalo‖ di Pulau Berhala.67 Meskipun menurut M.D. Mansur Islam telah eksis di Jambi sebagaimana dalam berita-berita Cina lama disebutkan ―San-fotse‖ dekat sekali dengan kata ―Tembesi‖. Bandar Utama Sriwijaya adalah Muara Sabak, dalam pemberitaan Arab disebut ―Zabaq‖. Orang Arab mentransliterasi ―Sriwijaya‖ sebagai ―Sribuzzi‖ dan berita- berita Cina menuliskan ―che-li-foche‖. Berita tersebut menyebutkan pada abad ke-7 M. saudagar-saudagar Cina dan Arab telah sampai ke Sabak dan Minangkabau Timur. Diduga pengusaha Arab ketika itu berbisnis sekaligus melakukan kegiatan dakwah hingga pada abad ke-7 M, diduga telah ada satu dua orang yang menganut agama Islam di daerah sekitar ―Bandar Zabaq‖. Diperkuat dengan bukti korespondensi Raja Melayu Jambi dengan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz (717-720) Dinasti Umayyah tersimpan di Museum Spanyol Madrid berupa surat.68

State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism 1830-1907, terj. the Dutch by Beverley Jackson, (USA: Conell SEAP, 2004), 38. 66Folklore atau cerita rakyat dapat berfungsi sebagai alat pengesahan kebudayaan, dan sebagai alat pemaksa berlakunya norma masyarakat dan pengendalian masyarakat. Lihat James Danandjaja, Folklore Indonesia, (Jakarta: Pustaka Grafitipers, 2002), 19. 67Gelar ―Datuk Paduko Berhalo‖ disandang Ahmad Salim karena keberhasilannya memusnahkan semua berhala yang menjadi sesembahan masyarakat di Pulau Berhala ketika itu. Meski, Pulau Berhala saat ini menjadi bagian Provinsi Kepulauan Riau setelah terjadi gugatan atas hak wilayah antara Jambi dan Kepulauan Riau (Kepri) dan dimenangkan oleh Kepulauan Riau (Kepri) berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 49 P/HUM/2011. Lihat Syekh HMO Bafadhal, Pengungkapan Sejarah Islam di Indonesia, disampaikan pada Pra Seminar Nasional Masuk dan Berkembangnya Islam di Jambi, 5 s/d 8 Maret 1981, Jambi, 4- 5; Ian, Pulau Berhala Resmi Milik KEPRI, dalam www.indopos.co.id, 22 Februari 2013. 68Khalifah Umayyah (661-680) menjalin hubungan baik dengan Raja Jambi di Muara Sabak, Sri Maha Raja Lokitawarman, ketika itu menjadi pusat perdagangan Lada di Bandar Muara Sabak yang dikuasai oleh Cina Tang. Pada tahun 715- 717 M. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik memerintahkan angkatan lautnya di Teluk Persia yang terdiri atas 35 buah kapal menduduki Muara Sabak, dengan tujuan memonopoli

49

Berbeda dengan apa yang tertuang dalam teks kitab ―Ajdib al-Hind‖, karangan Buzurg ibn Syahriyar al- Ramahurmuzi tahun 390 H./1000 M., aslinya berbahasa Persia, yang menyebutkan adanya komunitas muslim lokal di wilayah kerajaan Hindu-Budha ―Zabag‖, kerajaan Sriwijaya. Hasil perkawinan antara orang Arab dengan penduduk lokal terbentuklah nucleus, komunitas muslim Arab pendatang dan penduduk lokal. Pengusaha Arab menyaksikan langsung tradisi masyarakat muslim lokal maupun pendatang ketika itu yang ingin menghadap raja harus bersila. Namun, tradisi ini dihapus setelah mendapat protes keras dari pengusaha Oman karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam.69 Korespondensi Timur Tengah dan Cina juga terjadi dengan kerajaan Minangkabau Timur dan Sumatera Selatan, menurut K.H.O. Gadjahnata, perdagangan laut ke Sumatera Selatan terlebih dahulu melewati pesisir Melayu Jambi dan Semenanjung Selat Malaka dari Cina ke Timur Tengah atau sebaliknya. Sebagai tempat transit, tentunya terjalin komunikasi dan saling pengaruh dengan budaya penduduk setempat, terlebih Islam yang mengajarkan umatnya untuk senantiasa mendakwakan dan menyebarkan Islam.70 Kedatangan Islam ke Sumatera Barat dan Sumatera Selatan yang merupakan bagian wilayah rentetan Islamisasi ke Jambi karena wilayah keduanya berdekatan dan berbatasan langsung dengan Jambi. Jalur perdagangan yang memungkinkan wilayah Jambi dan sekitarnya dikunjungi pengusaha internasional dapat dilihat melalui peta berikut:71 perdagangan Lada. Hampir bersamaan dengan serangan Cina Tang ke kerajaan Jambi karena merasa kepentingan ekonominya di Sabak terusik bahkan terancam oleh Dinasti Umayyah. Sejak saat itu pelabuhan Sabak berhasil dikuasai oleh Cina Tang. Lihat M.D. Mansur, Sejarah Minangkabau, (Jakarta: Bhatara, 1976), 12. 69Azra, Kajian Naskah Keagamaan ..., 6. 70K.H.O.Gajahnata, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, (Jakarta: UI Press, 1996), 31. 71Peta sebagaimana dikutip Sri Purnama Syam, Kerajaan Melayu Jambi telah berkorespondensi dengan Tiongkok tahun 644/645 ditandai dengan pengiriman pasukan dan tahun 670 pendeta Budha bernama I-

50

Gambar 4.1. Peta Jalur Perdagangan Asia Tenggara

Peta di atas merefleksikan kawasan Asia Tenggara yang sejak awal Masehi menjadi bagian penting dari lokus jaringan jalur lintas perdagangan Timur-Barat lewat ‗Jalan Sutera‖ (Silk Road), yaitu jalur jalan Darat yang menghubungkan Cina dan Roma.72 Cabang lain jalan Sutera lewat jalan laut yang menghubungkan kawasan sekitar Asia Timur dengan Asia Tenggara. Dari Asia Tenggara menuju ke Asia Selatan. Selanjutnya terdapat hubungan pelayaran antarbenua menuju ke Barat sebelum akhirnya mencapai Eropa. Cabang lain dari Asia Tenggara menerobos ke utara sampai ke Cina dan sebaliknya. Dalam hal ini ada dua jalur utama yang menghubungkan Asia dan Eropa: (i) melalui jalur darat lewat Jalan Sutera dan melalui jalur laut, Jalur Maritim (India dan Cina).

Tsing dalam perjalanannya menuju India singgah di Sriwijaya dan menetap di Melayu Jambi selama 2 bulan. I-Tsing menulis buku berjudul ―nan-hai Chi Kuei-nai fa-Ch‘uan‖ diterjemahkan Takakusu ke bahasa Inggris, A Record of the Buddhist religion as practiced in India and the Malay Archipelago, dan bukunya Ta-A‘ang-si-yu-ku-fa kao-seng Chuan diterjemahkan Chavanco ke bahasa Ferancis: Memoire compose a‘lopoque delagrande Cherher la loi dans les pays d‘Occident, disebutkan negeri Melayu ketika itu bagian dari kerajaan Sriwijaya. Lihat Sri Purnama Syam, Seni dan Budaya ..., 6-7. 72Jalur Sutera adalah jalur jalan terpanjang yang membentang di antara dua benua, menghubungkan Tiongkok dengan dunia Barat yang sejak dulu digunakan sebagai rute perdagangan melalui darat. Penamaan Sutera dikarenakan Tiongkok terkenal sebagai penghasil kain sutera dan perdagangannya melalui jalur ini. Diakses melalui Peradaban Kuno.wordpress.com tanggal 10 November 2016.

51

Melalui jalur perdagangan ini, kawasan Asia Tenggara mulai diperhitungkan dalam kancah perekonomian internasional, utamanya abad ke-5 M. Kehadiran pengusaha dan pelaut yang melintasi wilayah tersebut dengan menggunakan teknologi pelayaran kuno (astronomi dan teknologi kapal) membuat kawasan ini dikenal di Eropa dan tercatat dalam sejarah kuno (Ptolemeus: ingat the Golden Kehrsonesis).73 Peta tersebut tidak memberikan informasi yang jelas dan tepat kapan permulaan kedatangan Islam di Nusantara, namun dapat ditelusuri yang menjadi salah satu motivasi pengusaha melakukan bisnis sampai ke Nusantara adalah kondisi alam mereka yang tandus sehingga sulit mengembangkan perekenomian, membentuk alam dan demi kelangsungan hidup.74 Kota yang memungkinkan untuk dikunjungi adalah kota yang berada di sekitar pesisir pantai atau muara sungai. Sebab masyarakat kota pusat kerajaan Maritim lebih menitikberatkan kehidupannya kepada perdagangan, dari pada pertanian. Hubungan lalu-lintas melalui sungai dan lautan dengan mempergunakan perahu dan kapal layar dianggap lebih tepat dan mudah. Asumsi ini didukung oleh Charles M. Cooley bahwa hubungan lalu- lintas menjadi penyebab utama lokasi kota-kota besar di muara atau pertemuan sungai-sungai menjadi rute bisnis.75 Referensi tentang masuknya Islam di atas tidak menyebutkan secara detail sosok orang yang berjasa meng- Islamisasi Jambi dan negara asalnya. Terlepas dari itu, menurut Syekh HMO Bafadhal dan Elisabeth Locher, kedatangan Ahmad Salim merupakan embrio Islamisasi di Jambi dan berdirinya kerajaan Islam Melayu. Utamanya setelah perkawinan Ahmad Salim dengan Ratu Putri Selaras Pinang Masak, notabene Ratu kerajaan Melayu

73Ibid., 8. 74Al-Muhandis Zakaria Hasyim, al-Mustasyriqîn al-Islâm, (Kairo: Maktabah Darul Ma‘arif, 1965), 161. 75Sebagaimana dimuat dalam Max Weber, The City Transleted and Edited By Don Mardinal and Getrud Neurith, (New York: The free Press, 1966), 16.

52

Jambi, sehingga kekuasaan kerajaan Melayu Jambipun berpindah tangan kepadanya.76 Setelah Ahmad Salim wafat, tongkat kekuasaan diteruskan putranya silih berganti hingga ke tangan Ahmad Kamil alias ―Datuk Orang Kayo Hitam‖.77 Di tangannyalah transformasi kerajaan Melayu Jambi menjadi kerajaan Islam Melayu Jambi sekaligus meng-Islamisasi negeri Melayu Jambi.78 Hal ini sebagaimana tertuang dalam Piagam Jambi pasal 36.

76Sejarahwan berbeda pendapat mengenai sosok Ahmad Salim Tajuddin, pertama, keturunan raja Turki Usmani yang sengaja dikirim oleh Khilafah Usmaniyah untuk menaklukkan kerajaan Melayu Jambi karena terdapat pelabuhan internasional yang ramai dikunjungi oleh pengusaha dari berbagai negara; kedua, pengusaha Turki yang terdampar di Pulau Berhala, dan ketiga, pendakwa muslim yang sengaja menyebarkan Islam di Jambi. Terlepas dari itu, yang jelas beliau singgah dan menetap di Jambi, merupakan keturunan ketujuh dari Saidina Zainal Abidin bin Sayyidina Husein putra Sayyidatuna Fatimah binti Muhammad Saw. Beliau mengawini Ratu Putri Selaras Pinang Masak dan dikaruniai tiga orang putra dan satu orang putri yaitu; Sayid Ibrahim (Orang Kayo Pingai/1480-1490), Sayid Abdurrahman (Orang Kayo Pedataran/1490-1500), Sayid Ahmad Kamil (Orang Kayo Hitam/1490- 1515) dan Syarifah Siti Alawiyah (Orang Kayo Gemuk). Lihat Tim Penyusun, Jurnal Kementerian Penerangan RI, Nomor 11 tentang Sumatera Tengah, (Jakarta: Kemenpen RI, 1964), 70-74; Raden Abdullah, Kenang-kenangan Jambi nan Betuah, (Jambi: ttp., 1970), 7. 77Gelar kebangsaan Melayu, seperti; wan, raja, datuk, orang kaya (orang kayo), dan kejeruan. Lihat Luckman Sinar Basarshah dalam ―Perkembangan Islam di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur‖. http:/www.kerajaan nusantara.com/id/kesultanan-Serdang/article/ 117- Perkembangan-Islam-di-Kerajaan-kerajaan-Melayu-di-Sumatera-Timur. Diakses tanggal 12 Oktober 2016. 78Berikut nama Raja dan Sultan yang pernah memimpin kerajaan dan kesultanan Jambi, yaitu; Putri Selaras Pinang Masak dan Ahmad Salim (Datuk Paduko Berhalo/1460-1480 M.), Ibrahim (Datuk Orang Kayo Pingai/1480-1490 M.), Abdurrahman (Datuk Orang Kayo Pedataran /1490-1500 M.), Ahmad Kamil (Orang Kayo Hitam/1500-1515 M.), Pangeran Hilang Diair (Pangeran Kabul di Bukit) disebut Panembangan Rantau Kapas (1515-1540 M.), Panembahan Rengas Pandak (1540-1565 M.), Panembahan Kota Baru (1565-1590 M.), Pangeran Kedah gelar Sultan Abdul Kahar (1590-1615 M.), Pangeran Depati Anom gelar Sultan Abdul Djafri, disebut Sultan Agung (1615-1643 M.), Raden Penulis gelar Sultan Abdul Mahji disebut Sultan Ingologo (1643-1665 M.), Raden Tjakra Negara (Pangeran Depati) gelar Sultan Kiyai Gede (Sultan Raja Kiai Gede (1665-1690 M.), Kiyai Singo Patih gelar Abdul Rachman,

53

Gambar 4.2. Piagam Jambi

―Pasal yang tiga puluh enam: Peri menyatokan awal Islam di Jambi zaman Datuk Orang Kayo Hitam bin Datuk Paduko Berhalo yang mengislamkannyo. Kepado hijrat Nabi Sallallahi Alaihi Wassalam 700 tahun kepado tahun Alif bilangan Syamsiah, dan kepado sehari bulan Muharam, hari Kemis, pada waktu zuhur, maso itulah awal Islam di Jambi mengucap duo kalimat Syahadat, sembahyang limo waktu, puaso sebulan ramadhan, zakat dan fitrah, barulah berdiri rukun Islam yang limo‖.79

Langkah Islamisasi berawal dari proklamasi kerajaan Melayu Jambi sebagai kerajaan Islam, dilanjutkan dengan meng-Islamisasi lingkungan istana, sepupu sekaligus menobatkan Sunan Muaro Pijoan, Sunan Kembang Seri, dan Sunan Pulau Johor sebagai penguasa wilayah masing-masing. Keluarga istana sejak awal telah berkedudukan di Bangun Jayo; Raden Tjulip (Djurat), di Bukit Serpeh Sumai (1690-1696 M.), Sultan Muhammad Syah (1696-1740 M.); Sultan Sri Maharaja Batu (1690-1721 M.); Sultan Istera Ingologo (1740-1770 M.); Sultan Ahmad Zainuddin (1770-1790 M.); Sultan Mas‘ud Badaruddin (1790-1812 M.); Sultan Muhammad Mahiddin (1812-1833 M.); Sultan Muhammad Fachruddin (1833-1841 M.); Sultan Abdurrahman Nazaruddin (1841-1855 M.); dan Sultan Thaha Saifuddin (1855-1904 M.). Junaidi T Noer, Mencari Jejak Sangkala; Mengirik Pernak Pernik Sejarah Jambi, (Jambi: Jambi Heritage, 2007). 22-23. 79Ibid., 29.

54

Muslim dan mempraktikkan tradisi ke-Islaman, ditandai saling bertukar sorban saat penobatan sebagai Raja. Sejak saat itu, Islam dikembangkan dari istana dan menurut sejarahwan berkebalikan dari apa yang terjadi di Minangkabau dan daerah lain sekitarnya, dimana Islam datang dari rakyat bukan dari istana.80 Selanjutnya, Islam semakin kokoh dan berkembang menjadi agama rakyat Jambi serta tersebar ke seluruh pelosok kerajaan Islam Melayu Jambi, sekaligus bukti keseriusan Ahmad Kamil membumikan syariat Islam dengan menetapkan undang-undang bagi rakyat, yaitu Undang Raja. Selain itu, ulama mulai mendapatkan posisi penting di kerajaan dan rakyat, agama (syarak) dan adat saling beradaptasi, saling melengkapi dan saling sandar sesuai falsafah―adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖. Sepeninggalan Ahmad Kamil, perkembangan Islam di Jambi diteruskan oleh ulama berikutnya yang datang dari Arab, Hadramaut-Yaman. Hal ini diperkuat melalui penemuan beberapa makam di antaranya; a. Makam ―Datuk Paduko Berhalo‖ di Pulau Berhala, pulau kecil di gugusan daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur provinsi Jambi. b. Makam Putri Selaras Pinang Masak di desa ―Pemunduran‖ sebelah Timur Laut Jambi. c. Makam Sayyid Husin Bin Ahmad Baragbah (1626M). di Tambak, Seberang Kota Jambi. d. Makam Syekh Muhammad Shoufi bin Umar Bafadhal (1635 M)., di Tambak, Seberang Kota Jambi. Dari sekian banyak ulama tersebut, Habib Husein merupakan tokoh sentral yang berkontribusi besar dalam pengembangan Islam di Jambi.81 Beliau menikah dengan

80Di penghujung abad ke-16, Islam menempuh perjalanan dan perjuangan yang amat panjang untuk masuk ke Istana Pagarugung, dan tersebar secara merata pada seluruh wilayah di Minangkabau pada abad ke-19. Lihat Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 104. 81Habib Husein Baragbah ke Jambi diprediksi tahun 1034 H atau 1088 H sekitar tahun 1615 atau 1668 M. pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar (1615-1665 M) dan putranya Abdul Muhyi gelar Sultan Sri Angologo (1665-1690). Menikah dengan Putri Sintai dan wafat tahun 1173

55

Nyai Resih binti Sintai, setelah 4 tahun menetap di Jambi dan kembali ke Hadramaut. Sepulangnya ke Jambi membawa ulama besar seperti; Syekh Muhammad Shoufi bin Abdullah Bafadhal dan Said Alwi al-Baiti, dan diikuti ulama lokal. Berikut nama ulama yang berkontribusi dalam penyebaran Islam di Jambi. a. Sayyid Husin Bin Ahmad Baragbah (1626M.) b. Syekh Muhammad Shoufi bin Abdullah Bafadhal (1635 M.) c. Sayyid Alwi al-Baiti (1637 M.) d. H. Ishak bin H. Karim Mufti Jambi (1700 M.) e. Kemas H. Muhammad Zen bin Kemas H. Abd. Rauf al- Jambi Asy-Syafi‘i al-Naqsyabandi (1815 M.) f. Pangeran Penghulu Noto Agamo Kampung Magatsari (1852 M.) g. Al-Qodi Abd. Gani bin H. Abd. Wahid ( 1888 M.) h. K.H. Abd. Majid bin H. M. Yusuf Keramat (1893 M.).82 Berdasarkan uraian di atas disimpulkan Islam datang ke Jambi jauh sebelum kerajaan Melayu Jambi menjadi kerajaan Islam, fakta ini didukung beberapa argumentasi, yaitu: Pertama, sejak abad ke-7 Islam telah menginjakkan kaki di tanah Jambi, bersamaan dengan ramainya pelabuhan internasional Zabag (Sabak) yang dikunjungi oleh pengusaha asing. Kedua, Kunjungan pengusaha asing dan pengusaha muslim ke bandar (pelabuhan) internasional Zabag (Sabak) dalam rangka bisnis dan menjalin hubungan bilateral dan multilateral seperti; Cina dan Semenanjung Arabia. Ketiga, Islamisasi

H, dimakamkan di perkuburan Keramat Tambak, Kecamatan Pelayangan, seberang Kota Jambi. Habib Husein bin Ahmad Baragbah dikenal sebagai Tuanku Keramat Tambak, merupakan turunan Rasulullah Saw. Nama lengkapya Said Husein bin Abdurrahman bin Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin al-Faqih al- Muqaddam bin Muhammad bin Ali Ba‘lawi bin Muhammad bin Shohibu Marbat bin Ali al-Khalil Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad al-Wajib bin Ali al-Uraidhi bin Ja`far As-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Fatimah binti Rasulullah Saw. Lihat Syekh HMO Bafadhal, Pengungkapan Sejarah Islam ..., 18-19. 82Ibid. 20.

56 secara terbuka di Jambi berlangsung pada abad ke-14 M. ketika kerajaan Islam Melayu Jambi dipimpin oleh Ahmad Kamil. Adapun pola Islamisasi sebagaimana penyebaran Islam di Nusantara yang dipilah menjadi tiga pola yaitu; integratif, dialogis dan integratif-dialogis. Pertama, pola integratif, sebagian besar aspek kehidupan dan kebudayaan suatu komunitas diintegrasikan dengan pandangan hidup, gambaran dunia, sistem pengetahuan dan nilai-nilai Islam, seperti pada masyarakat etnik-etnik Melayu di Sumatera dan Kalimantan, termasuk Aceh, Palembang, Melayu Riau, Banjar, dan sebagainya. Begitu pula pada masyarakat Jawa Pesisir, seperti; Banten, Jawa Timur, dan Madura. Pola ini dapat dilakukan karena sebelum raja atau penguasa memeluk Islam, masyarakat sudah ramai memeluk agama Islam dan mengembangkan kebudayaan bercorak Islam. Kedua, pola dialogis, Islam dipaksa berdialog dengan tradisi lokal seperti pada masyarakat Jawa pedalaman, yang langsung berada di bawah pengaruh keraton. Mistisisme Islam berkembang di wilayah ini berbaur dengan tradisi mistik lama warisan zaman Hindu, seni dan sastra zaman Hindu dipertahankan dengan memberi corak Islam. Pola ini dilakukan karena sistem kekuasaan masih mempertahankan sistem lama, dan masyarakat masih belum sepenuhnya ter-Islamkan. Ketiga, pola dialogis- integratif, kombinasi pola dialogis dan integratif yang dilakukan secara bersamaan, seperti pada masyarakat Jambi dan Sulawesi. Adapun pola Islamisasi dan penyebaran Islam di Jambi melalui pola dialogis-integratif, dimana Raja dan bangsawan lebih dahulu masuk Islam selanjutnya diikuti oleh rakyat, sehingga penyebaran Islam lebih cepat dan komprehensif. Ini pulalah yang membedakan Islamisasi di Jambi dengan wilayah yang didominasi etnik Melayu di Sumatera, utamanya Minangkabau.

57

B. Akulturasi Syarak dengan Adat Lokal Syarak merupakan bagian inheren dari ajaran Islam dan lahir bersamaan dengan hadirnya misi kerasulan Muhammad, sumber teoretisnya adalah al-Qur‘an dan sumber praktisnya adalah Rasul sendiri. Sebagai praktisi, Rasul tidak hanya membawa ajaran baru dengan merombak segala tradisi masyarakat Jahiliyah yang dianggap menyimpang dari aturan Ilahi dan norma kemanusiaan saat itu, tetapi juga menyempurnakan dan menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi masyarakat. Menyikapi kondisi ini, Rasul tidak hanya mengandalkan wahyu, akan tetapi juga menggunakan nalar (al-ra'y) secara optimal. Pada masa Rasul telah terjadi akulturasi antara syarak dengan adat lokal (adat masyarakat setempat), beliau menseleksi sekaligus memverifikasi adat mana yang perlu diteruskan, dimodifikasi atau ditinggalkan. Meski, bukan bentuk revolusi hukum melawan adat atau menghancurkannya setelah diketahui bersumber dari tradisi jahiliyah. Justru Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai ―pembuat hukum‖ banyak melegalisasi adat masyarakat Arab dan memberi ruang bagi praktik adat dalam sistem hukum Islam. Legalisasi hukum kewarisan misalkan membuktikan Rasul tidak menghapuskan secara total sistem hukum yang berlaku pada masyarakat ketika itu, meski al-Qur‘an memperkenalkan model reformasi hukum kewarisan. Tradisi pra-Islam manakala ayah wafat maka yang berhak menerima harta warisan hanya ayah, sedangkan ketentuan Islam mendistribusikan warisan tidak hanya kepada ayah, tetapi juga garis keturunan ke atas (kakek) atau menyamping (paman/bibi).83 Rasul tidak menentang tradisi masyarakat yang sejalan dan sesuai

83Substansinya, kewarisan pada keluarga orang Arab pra Islam diatur sebagai berikut: (i) Keturunan laki-laki dari jalur laki-laki yang mewarisi harta; (ii) keturunan perempuan dan jalur perempuan tidak dapat mewarisi; (iii) hubungan garis ke bawah lebih diutamakan daripada hubungan ke atas dan hubungan menyamping; (iv) ketika keturunan laki- laki mempunyai hubungan kekerabatan yang sama jauhnya, maka harta warisan dibagikan dengan cara perkapita. Lihat A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, (London: Oxford University Press, 1949), 333.

58 dengan prinsip Islam, seperti; pinangan, diyât, dan lainnya.84 Setelah Rasul wafat (632 M),85 Sahabat ―mengkonstruksi‖ syarak dengan menjabarkan pesan al- Qur‘an dan Sunnah Rasul agar mudah dipahami dan diimplementasikan oleh umat Islam baik secara tekstual maupun kontekstual. Sahabat sering dihadapkan pada berbagai persoalan baru "rumit dan bertubi-tubi", yang tidak ditemukan dalam naşş (al-Qur‘an dan Sunnah) secara eksplisit. Oleh karenanya, mereka melakukan ijtihad dengan meniru praktik-praktik yang pernah dilakukan oleh Rasul. Upaya ijtihad dilakukan melalui beberapa langkah strategis yaitu; mulai pelacakan terhadap al-Qur‘an, diteruskan kepada Sunnah dan apabila juga tidak ditemukan ketetapan hukumnya maka baru dilakukan upaya ijtihad baik secara kolektif (ijma‘) maupun personal (fardi). Hal ini dapat dibenarkan mengingat otoritas ijtihad saat ini berada pada masing-masing pribadi sahabat, seluruh sahabat secara pribadi berhak melakukan ijtihad apabila dianggap mampu. Keputusan yang diambil para sahabat dalam perkembangan selanjutnya dipandang

84Menurut Schacht, Nabi Muhammad tidak mempunyai alasan yang kuat untuk merubah hukum adat yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat sejalan dengan misinya yang bukan membuat sistem hukum baru akan tetapi lebih berorientasi pada pengajaran kepada umat manusia tentang bagaimana cara bertutur dan bertingkah laku serta memilah dan memilih perbuatan mana yang harus dilakukan atau dihindari agar mendapatkan kebahagian hakiki dunia dan akhirat. Lihat Joseph Schacht, Origin and Development of Islamic Law, (Washington: The Middle East, 1955), 31. 85Umat Islam saat itu dihadapkan pada persoalan pelik mengenai siapa yang lebih tepat untuk menggantikan posisi Rasul sebagai pemimpin umat (negara) ketika itu, sehingga memaksa mereka untuk mencari pengganti Rasul paling tepat. Pada akhirnya sahabat terpecah menjadi tiga golongan yaitu; golongan Muhâjirin, Anşâr dan Ahl al-Bait. Golongan Muhâjirin dan Anşâr menggelar pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah dan melalui perdebatan yang alot berhasil merekomendasikan Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pengganti Rasul (pemimpin umat Islam), sedangkan golongan ahl al-Bait saat itu sedang sibuk mengurus jenazah Rasul yang belum dimakamkan. Lihat Muhammad S. Elwa, On Political System of Islam, (London: Edinburg, 1983), 33-34.

59 sebagai bagian dari teks-teks suci meskipun dilakukan tanpa acuan langsung kepada naşş, sebagaimana dipraktikkan Umar ibn al-Khaţţab, yang mengakomodir dan meneruskan sistem diwân (registrasi) yang dipraktikkan kaisar Bizantium, dan institusi ini mengatur segala urusan finansial (kharâj).86 Begitupula penggunaan timbangan (al- kail) dan ukuran (al-wazn), biji-bijian dan buah-buahan (al- hubub wa al-tsimar) tetap dipandang sebagai kaili (yang diukur berdasarkan kapasitasnya), sementara emas dan perak digolongkan sebagai wazn (yang diukur berdasarkan beratnya). Meski, tidak jarang beliau menghapus tradisi sebelumnya seperti praktik bai‘ al-salâm terhadap buah yang belum muncul pada pohonnya.87 Berbeda dengan Ali bin Abi Thalib mempraktikkannya terhadap binatang, dengan menjual untanya, ‗usfur, untuk mendapatkan dua puluh onta pada waktunya sesuai kesepakatan Bai‘ al-Salâm. Abd Allah ibn Umar juga mempraktikkan ini ketika menjual satu ontanya untuk mendapatkan empat onta dengan pembayaran yang ditunda sampai waktu tertentu.88 Begitupula pada praktik pembayaran uang darah (diyât), jika Rasul mengadopsi praktik qişâş (balasan sama) dan pembayaran diyât (kompensasi bagi ahli waris korban), sebagaimana dipraktikkan masyarakat Arab pra-Islam. Kompensasi diberikan sesuai dengan standar moral keadilan bagi pihak korban.89 Sementara Umar membedakan penggunaan koin emas dan koin perak dalam pembayaran diyât, untuk emas 1000 Dinar dan untuk perak 12.000 Dirham. Menurut Imam Malik, pembayaran uang darah sesuai dengan jenis mata uang yang digunakan orang yang terlibat, bagi masyarakat desa yang bentuk pembayarannya

86Ahmad Syalabi, Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islamîy, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), 319. 87Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî bi Syarh Shahih al-Bukhârî, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), V, 181. 88Al-Sarkhisi, Al-Mabsûth, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), XII, 110. 89N.J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1971), 20.

60 bukan uang, boleh melalui aset kekayaan, seperti onta.90 Begitupula pada apa yang dipraktikkan oleh asy-Syafi‘i melalui qaul al-qadimnya ketika berada di Irak dan qaul al- jadidnya ketika berada di Mesir.91 Praktik-praktik tersebut merefleksikan akulturasi budaya Islam (syarak) dengan budaya lokal (adat) yang dilakukan oleh Rasul, sahabat dan tabi‘în dengan prinsip ajaran Islam. Selain itu, penerimaan terhadap adat merupakan bentuk akomodasi dari keinginan masyarakat Arab ketika itu, mengingat hukum Adat dalam persoalan tertentu dianggap mampu memberikan solusi terhadap keinginan masyarakat. Oleh karenanya, aturan-aturan yang bersumber dari adatpun idealnya diukur sesuai dengan keinginan masyarakat atau sebaliknya. Manakala praktik dan tujuannya sesuai dengan cita-cita masyarakat maka harus dipertahankan, manakala tidak sesuai dengan keinginan masyarakat maka harus ditinggalkan. Menurut Robert C. Ellickson, yang menentukan terealisasi atau tidaknya suatu hukum bukan hukum itu sendiri melainkan rakyat sebagai adresat hukum. Fungsi peraturan hanya sebagai titik tolak (starting point), rakyatlah yang akan menawar harga keuntungan yang didapat dari peraturan tersebut untuk keuntungan mereka.92 Praktik semacam ini juga berlangsung di Jambi, dimana terjadi akulturasi syarak dengan adat Melayu Jambi sejak kedatangan Ahmad Salim. Oleh karenanya, Ia dianggap berjasa dalam meletakkan dasar-dasar membumikan ajaran Islam di tengah adat Melayu Jambi. Diteruskan putranya Ahmad Kamil yang memverifikasi adat yang ada untuk disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam.

90Imam Malik, al-Muwaththa‘, (Beirut: al-Maktabah al- Tsaqafiyyah, 1414 H), II, 850. 91Muhammad Mustafa Syalabi, Uşûl al-Fiqh al-Islamîy, (Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1986), 322. 92Sebagaimana dikutip Satcipto Raharjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, (Jakarta: Kompas, 2007), 32.

61

Gagasan ini sekilas kelihatan seirama dengan teori ―receptio in complexu‖-nya Van Den Berg, yang menyatakan seharusnya hukum yang berlaku bagi masyarakat sesuai dengan hukum agamanya.93Artinya, jika sebelumnya kerajaan Melayu Jambi menganut agama Hindu dan hukum yang berlaku sesuai ajaran agama Hindu maka setelah kerajaan Islam Melayu Jambi menganut Islam seyogyanya hukum yang berlaku sesuai dengan ajaran Islam. Sebagaimana kebijakan hukum Belanda, yang memberlakukan hukum sesuai dengan agama yang dianut seseorang.94 Menurut Datuk Raden Jayo:95 ―Sebelum agama Islam tibo di Jambi, masyarakat Jambi la punyo aturan berupo adat istiadat, namun sudah Islam datang dan atas perintah Datuk Orang Kayo Hitam, adat atau tradisi yang ado harus disesuaikan dengan syari‘at Islam. Akhirnyo dikumpulkan seluruh kerajaan yang ado di sekitar kekuasaan kerajaan Islam Melayu Jambi hingga Pagaruyung Minangkabau untuk menentukan macam mano adat yang sudah ado ko. Keputusannyo adat atau undang yang ado harus diteliti, harus sesuai dengan ajaran Islam. Sehinggonyo lahirlah seloko ―Undang datang

93Teori ini dibangun oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1854-1927), yang pernah menetap di Indonesia tahun 1870-1887. Van Den Berg, pakar hukum yang menemukan dan memperlihatkan berlakunya syarak di Indonesia dan berjasa mengusahakan agar hukum perkawinan dan kewarisan Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan para penghulu, qadhi. Menurut Van Den Berg, sebagaimana dikutip H.A.R. Gibb: ―Bagi rakyat pribumi, yang berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya.‖ Lihat H.A.R. Gibb, Modern Trends In Islam, (Chicago: The University of Chicago, 1972), 115-116. 94Sebelum Islam tiba dan berkembang di Arab, sebenarnya telah ada tradisi yang mengatur kehidupan masyarakat seluruh penjuru bumi secara turun temurun, bahkan tradisi itu lahir seiring dengan keberadaan masyarakat itu sendiri yang dikenal hukum chthonic (hukum asli). Menurut Edward Goldsmith, sebagaimana dikutip Ratno, chthonic merupakan wujud harmonisasi kehidupan antara manusia dan bumi, selanjutnya menjadi adat (tradisi) atau hukum adat. Tradisi ini diteruskan ke generasi berikutnya secara berkesinambungan dan diyakini kebenarannya dengan asumsi perbuatan tersebut baik untuk diimplementasikan. Lihat Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2008), 3-4. 95Wawancara, Salah seorang turunan Raja Jambi bergelar Raden Pamuk, 20 Juni 2015.

62

dari Hulu, Teliti dari Hilir‖. Maksudnyo, adat yang ado harus disesuaikan dan sejalan dengan ajaran Islam.‖

Pandangan ini dipertegas oleh Dr. Ridwan:96 ―Akulturasi nilai Islam terhadap nilai adat telah lama menyatu pada masyarakat Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Atas dasar itu, masyarakat Jambi dikenal arif dan bijaksana menghadapi problema sosial dan tidak pernah terjadi konflik secara frontal. Inklusivitas masyarakat Jambi dalam menerima nilai positif Islam menjadi modal solidaritas dan spirit serta kebersamaan dalam berinteraksi tanpa membedakan status sosial. Selain itu, penghargaan terhadap nilai kemanusiaan tanpa membedakan status sosial atau lainnya‖.

Kedua statemen di atas, mempertegas eksistensi adat dan syarak sekaligus integrasi keduanya dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi. Syarak yang datang kemudian justru memverifikasi hukum adat yang ada, dan praktik semacam ini sejak masa Rasulullah. Banyak tradisi Jahiliyah diverifikasi oleh Islam untuk selanjutnya dilegalkan atau ditolak. Pada saat itu, syarak merupakan hukum terdepan dalam menyelesaikan segala persoalan keagamaan dan peran pegawai syarak sebagai refresentasi dari kelompok agama sangat dominan. Dipertegas dengan keinginan Masyarakat Melayu Jambi ketika itu yang menghendaki perpaduan hukum dan pemberlakuan keduanya secara bersamaan. Menyikapi hal ini Ahmad Kamil mengambil jalan tengah dengan menjembatani keduanya sehingga lahirlah falsafah ―adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah.‖ Pada periode berikutnya untuk menguatkan akulturasi keduanya lahir pula falsafah ―Undang datang dari Hulu teliti dari Hilir.‖ Dengan demikian, akulturasi adat dan syarak sejak awal terjadi di Jambi meski tidak mudah dan memerlukan proses, utamanya ketika Islam pertama kali masuk ke Jambi, dimana masyarakatnya telah memiliki aturan yang mapan baik hukum adat atau agama sebelumnya. Proses

96Wawancara, Ketua Laskar Melayu Jambi (LAMAJA), 15 Juli 2015.

63 negosisasi dan konfigurasi tersebut melahirkan kompilasi hukum yang mewakili aspirasi kepentingan syarak dan kepentingan adat. Selanjutnya Islam datang ke Jambi sebagaimana agama lainnya seperti Budha dan Hindu membawa perubahan besar pada aspek ideologis dan paradigma berpikir masyarakat ketika itu, meski tidak secara totalitas. Terbukti tradisi masyarakat Melayu yang ada sebelum kedatangan agama tersebut tetap eksis hingga saat ini, utamanya aturan dan simbol adat. Idealnya segala aturan adat dirubah secara totalitas oleh Islam setelah kerajaan Melayu Jambi bertransformasi menjadi kerajaan Islam Melayu Jambi. Ahmad Salim dan Ahmad Kamil sebagai penguasa sekaligus ahli dakwah, tidak memaksakan Islam kepada rakyatnya yang terbiasa dengan adat. Namun, mereka menunjukkan dan memperkenalkan keagungan Islam, setelah masyarakat mengenal dan akrab dengan Islam, selanjutnya tradisi masyarakat dibenahi melalui verifikasi apakah telah sejalan dengan prinsip Islam atau sebaliknya. Praktik ini sebagaimana dilakukan oleh Rasul ketika menghadapi adat masyarakat Arab-Jahiliyah pra- Islam, dimana langkah Rasul meneruskan atau memodifikasi tradisi yang ada, jika tidak memungkinkan baru dihapus. Praktik inilah pada perkembangannya melahirkan beragam corak pemikiran fikih, bila diidentifikasi faktor penyebabnya antara lain.97 Pertama, adanya dorongan keagamaan yang merupakan sumber norma dan nilai normatif yang mengatur seluruh aspek kehidupan, sehingga upaya sosialisasi dan internalisasi senantiasa dibutuhkan. Kedua, terjadinya perubahan sosial budaya sebagai konsekuensi meluasnya imperium Islam terutama pada masa kekhalifahan Umar ibn Khaţţab karena itu dibutuhkan upaya penanganan terhadap persoalan hukum secara serius, sehingga kelihatan dominasi beliau dalam menetapkan keputusan baru melalui ijtihad. Ketiga, adanya

97Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung; Mizan, 1989), 33-35.

64 independensi yang diberikan oleh penguasa kepada para ahli hukum Islam untuk mengembangkan pemikiran mereka. Keempat, adanya prinsip fleksibilitas (harakah) yang terkandung dalam hukum Islam itu sendiri, sehingga sesuai dengan segala masa dan keadaan tanpa terikat oleh ruang dan waktu.

C. Falsafah Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah

Pergumulan antara aturan yang termuat dalam syarak dan aturan yang termuat dalam adat pada perkembangan selanjutnya melahirkan aturan perundang- undangan bagi masyarakat Melayu Jambi yang dikodifikasi melalui keputusan Ahmad Kamil, raja kerajaan Islam Melayu Jambi ketika itu. Syarak, sebagai produk hukum yang datang pasca pembentukan aturan adat, dituntut mampu beradaptasi dengan kondisi sosialnya. Meski regulasi hukum yang ditawarkan oleh syarak tidak selalu ‗dianggap‘ sebagai aturan yang kompatibel bagi masyarakat Muslim Melayu, tetapi justeru perlu dipelajari dan/atau diseleksi untuk kemudian diakrabkan dengan adat mereka. Upaya adaptasi inilah pada akhirnya melahirkan falsafah ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah‖, yang sangat populer di kalangan masyarakat etnik Melayu di Nusantara bahkan Asia, begitu populernya memunculkan klaim dari daerah-daerah yang dihuni oleh mayoritas etnik Melayu di dalam maupun di luar wilayah Nusantara, seperti; Aceh, Sumatera Barat (Minangkabau), Sumatera Selatan, Lampung, Riau maupun mancanegara, seperti; Malaysia, Brunai Darussalam, dan Singapura. Falsafah ini berlaku pada seluruh wilayah kerajaan Melayu atau mereka yang mengklaim sebagai bagian dari etnik Melayu, meski klaim tersebut lebih dikenal lahir dalam tradisi Minangkabau. Perebutan ini tentunya membuka ruang analisis bahkan kritik bagi setiap kelompok yang memperebutkan eksistensi keber-Islaman adat mereka. Inilah yang oleh Ibn Khaldun (779 H.) dalam Muqaddimah-nya, dikatakan:

65

―Sering terjadi kesalahan dalam catatan sejarah disebabkan sejarahwan hanya menukil tanpa memeriksa benar-salahnya. Mereka tidak mengevaluasinya dengan prinsip-prinsip yang berlaku pada situasi historis, dan tidak pula membandingkannya dengan materi-materi yang serupa. Misalnya, ketika menyatakan bahwa Nabi Musa telah menghitung tentara Israel di padang pasir Tiih berjumlah enam ratus ribu orang lebih, kebanyakan para sejarahwan lupa menghitung apakah luas Mesir dan Syria cukup memuat tentara sebanyak itu?‖98

Kerancuan ini juga terjadi pada masyarakat Melayu ketika mereka saling klaim mengenai eksistensi falsafah adat ini. Implikasinya terjadi kesimpangsiuran sejarah yang menjadi acuan penerapan hukun masyarakat saat ini, untuk menengahinya menurut penulis perlu dicermati melalui dua sudut pandang, yaitu; perlunya mengkaji ulang dan menduduk-benarkan klaim masyarakat Minangkabau atas falsafah tersebut, mengingat sistem kekerabatan dan kewarisan Minangkabau bercorak matrilineal dan jika benar berasal dari Minangkabau, maka pembenaran itu hanya mengafirmasi kemunculannya secara kultural, bukan secara konstitusional, sebab rekonsiliasi antara agama dan adat di Minangkabau terjadi pasca perang Paderi, tepatnya tahun 1830 di Bukit Marapalam. Kekaburan sejarah tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek; Pertama, sejarahwan menulis raja Minangkabau berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain (Alexander de Grote) yang mempunyai tiga putra, yaitu; Maharaja Alif, Maharaja Dipang dan Maharaja Diraja, ketiganya terdampar di Puncak Gunung Merapi pada pertengahan Pulau Sumatera. Maharaja Diraja menetap di Minangkabau, Maharaja Dipang migran ke Cina dan Maharaja Alif migran ke Anatolia (Turki), semuanya menjadi raja di wilayah masing-masing. Kedua, sistem kekerabatan dan kewarisan yang mereka anut bercorak matrilineal, ada yang menghubungkan sistem ini

98‗Abd ar-Rahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrami, Muqaddimah, terj. Ahmadie, cet-10, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 13.

66 terpengaruh dengan pemikiran filosof Cina Meng Tze (Mencius), yang hidup sezaman dengan Alexander de Grote, mengembangkan prinsip ―persamaan‖ manusia di bawah unsur alam yang dinaungi satu langit.99 Meski demikian, kedua riwayat tersebut menurut A.A Nafis tidak dapat ditelusuri secara jelas kapan dan siapa yang menggagas tradisi ini.100 Kekaburan tersebut menurut penulis menyentuh pada klaim terhadap falsafah adat,101 dimana Minangkabau sejak awal mengklaim falsafah ini lahir dari tradisi mereka sejak terjadinya kesepakatan rekonsiliasi antara Ulama dengan tokoh adat melalui Traktat Bukit Marapalan 1830 M. Kesepakatan ini setelah terjadinya konplik yang pada akhirnya terjadi Perang Paderi, yang oleh Belanda diasumsikan sebagai ―Perang Hitam Putih‖ perang antara kaum adat dengan kaum agama.102 Taufik Abdullah juga

99M. Rasyid Manggis, Minangkabau; Sejarah Ringkas dan Adatnya, (Padang: Sri Dharma, 1971), 144 100Kekerabatan Matrilineal di Minangkabau adalah garis keturunan yang disandarkan kepada perempuan (ibu lurus ke atas, anak perempuan lurus ke bawah). Elaborasi lengkap lihat A.A. Nafis, Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: Grafiti Press, 1984), 129-130. 101Beberapa tulisan yang memaparkan tentang falsafah ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah‖, tidak menjelaskan secara detail waktu dan historis proses peralihan dan integrasi syarak dan adat, di antaranya: Pertama, Hamka, berjudul ―Islam dan Adat Minangkabau‖, (Jakarta: Pani Mas, 1984). Kedua, Taufik Abdullah, berjudul ―Sejarah dan Masyarakat; Lintasan Historis Islam di Indonesia‖. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987); Taufik Abdullah, ―Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau‖, Jurnal Indonesa, Volume 2 Oktober 1966. Ketiga, Yaswirman, berjudul ―Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilinial Minangkabau‖, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011). Dan Keempat Ramayulis, berjudul ―Traktat Marapalam ―adat basandi syara‘, Syara‘ basandi Kitabullah‖, yang mengungkap terjadinya konsensus penyatuan syarak dan adat di Minangkabau terjadi pada tahun 1830 bertempat di Bukit Marapalam setelah terjadi perang Paderi antara Kaum Ulama Puritan dengan Kaum Adat.‖ (2015). 102Ratno Lukito melalui disertasinya menyebutkan rekonsiliasi ini berangkat dari konflik terbuka antara kelompok Kaum Tua (Old Generation) yang mewakili kepentingan adat dengan Kaum Muda (Young

67 sepakat bahwa dalam masyarakat Minangkabau terdapat kesinambungan konflik antara kaum adat dan kaum agama.Kesinambungan sejarah itu melahirkan berbagai gerakan sosio-religius yang dimulai dengan gerakan Wahabi. Gerakan ini merupakan usaha radikal untuk meniadakan kesenjangan antara keharusan agama dengan realitas hubungan dan kehidupan sosial.103 Namun gerakan itu secara substansial tidak berhasil mengubah struktur sosial, kultural, dan politik di Minangkabau. Perang Paderi berimplikasi semakin menguat dan besarnya pengaruh agama dalam sistem kemasyarakatan Minangkabau. Pandangan ini dibantah oleh Hamka, menurutnya Perang Paderi merupakan bentuk perlawanan ulama kepada Belanda.104 Sebelumnya aturan adat mereka bersumber pada ―jumhur‖ yaitu penilaian berdasarkan baik dan buruk, kemudian ―adat bersendi ke alur dengan patut, alur bersendi ke mufakat, mufakat bersendi ke kebenaran.‖ Sumber adat ini juga berlaku pada wilayah yang didominasi etnik Melayu, termasuk Jambi dan bahkan dalam beberapa literatur dan informasi dari informan juga mengklaim bahwa falsafah adat tersebut berasal dari Jambi. Meskipun di Jambi dalam merespons falsafah ini ada dua versi yang berkembang. Pertama, menurut Dr. Kemas Arsyad Somad dalam bukunya ―Mengenal Adat Jambi dalam Perspektif Modern‖ falsafah ini jika dilihat dari budaya merupakan percampuran antara budaya Jambi dan Minangkabau, sebagaimana seloka ―Adat dari Minangkabau, Teliti dari Jambi‖ yaitu adat dari Minangkabau, tetapi hukum dan undang-undang dari Jambi yang cenderung bercorak paternalisitik.105 Kedua, menurut Fahmi SY, M.Si dalam bukunya ―Silang Budaya Islam-

Generation) yang mewakili kepentingan kaum agama melahirkan Perang Paderi. Lihat Lukito, Islamic Law..., 45. 103Taufik Abdullah, ―Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau‖, Jurnal Indonesa, Volume 2 Oktober 1966, 1. 104Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Panjimas, 1984), 173. 105Kemas Arsyad, Adat dan Budaya Jambi: Menelisik Akar Sejarah JAmbi, (Jambi: Diknas Prov. Jambi, 1995), 20.

68

Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu Jambi‖. Falsafah adat ini lahir ketika terjadi transisi kebudayaan lama Melayu Tua, Melayu Muda, hingga masa kerajaan Islam Melayu Jambi yang jika bercermin pada pendapat yang mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya berada di Jambi hari ini menjadi identitas Sumatera Selatan meski bukti pusat peradabannya ada di Jambi, maka besar kemungkinan justru Minangkabau yang mengadopsi falsafah tersebut. Terlebih hingga saat ini masyarakat Melayu Jambi ―mayoritas muslim dan budayanya‖ bercorak paternalistik.106 Berbeda dengan Muchtar Agus Cholif,107 falsafah adat ini telah dipraktikkan di Jambi sejak abad ke-15 jauh sebelum terjadinya Traktat, meminjam istilah Ramayulis, di Bukit Marapalam Tanah Datar pada paruh abad ke-19, tepatnya pada tahun 1830 M.108 Traktat Marapalan merupakan penegasan bagi masyarakat Minangkabau untuk kembali kepada khittah menjadikan adat dan syarak berjalan seiring dan harmoni. Hal senada juga disampaikan Junaidi T Noer, berpijak pada studi sejarah Islam lahir di Jambi lebih awal daripada Minangkabau, begitupula dengan

106Fahmi SY, Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu Jambi, (Ciputat: Pustaka Kompas, 2014), 41. 107Wawancara, Wakil Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 20 September 2015. 108Ramayulis menyebutkan lahirnya falsafah Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah merupakan bagian dari konsensus Traktat di Bukit Marapalam-Tanah Datar yang memuat perjanjian damai antara pemuka adat dengan pemuka agama (ulama Paderi) setelah terjadinya konplik. Meskipun penggunaan istilah kurang tepat karena traktat merupakan bagian perjanjian atau kesepakatan antar negara, sebelum merdeka boleh disebut kerajaan. Traktat (treaties) sebagai segala bentuk perjanjian internasional, namun secara khusus merujuk kepada perjanjian internasional yang sangat formal dan penting. Biasanya Traktat (treaties) digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang bersifat multilateral, namun ada yang menggunakannya dalam tingkatan bilateral sehingga penggunaan bentuk ini tidak memiliki keseragaman. Lihat Ramayulis ―Traktat Marapalam ―Adat Basandi Syara‘-Syara‘ Basandi Kitabullah‖ (Diktum Karamat Konsensus Pemuka Adat dengan Pemuka Agama dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau – Sumatera Barat), diakses tanggal 21 Januari 2017.

69 penerapan falsafah adat tersebut sejak awal abad ke-15 M.109 Terlepas dari itu, yang jelas dalam perspektif sejarahwan Jambi pada awal abad ke-15 Ahmad Kamil (1500-1515 M.), sebagai raja kerajaan Islam Melayu Jambi mendeklarasikan kerajaan Melayu Jambi bertransformasi menjadi kerajaan Islam Melayu Jambi dan Islam sebagai agama kerajaan. Selanjutnya Ia menghendaki agar seluruh wilayah dalam kekuasaannya menjadikan Islam sebagai agama sekaligus mempraktikkan ajarannya, digagaslah Rapat Besar Adat (RBA) dengan mengundang raja, tokoh agama dan tokoh adat, yang berada di sekitar kerajaan Islam Melayu Jambi, dengan tujuan mengupayakan integrasi antara agama dan adat. Rapat berlangsung pada tanggal 1 Muharram tahun 920 H/1502 M bertempat di Bukit Siguntang Damasraya, perbatasan antara wilayah Jambi-Sumatera Barat.110 Rapat ini melahirkan konvensi yang dituangkan dalam falsafah ―Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖.111

109Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 21 Mei 2015. 110Rapat ini mengundang raja dari kerajaan tetangga, antara lain; Demang Selebar Daun Raja Palembang, Pat Petulay Raja Rejang Lebong, Raja Inderapura Teluk Air Manis Muko-Muko, Raja Bakilat Alam Rajo Minangkabau di Pagaruyung, dan seluruh kepala adat dalam wilayah Tanah Pilih. Karena kesulitan transfortasi, yang hadir hanya Raja Bakilat Alam Rajo Minangkabau dari Pagaruyung beserta para penghulu dan kepala negeri. Setelah terjadi perundingan antara raja, kepala adat dan tokoh agama yang dihadiri rakyat dari berbagai negeri, Ahmad Kamil menyampaikan beberapa persoalan penting, yaitu; bahwa kerajaan Melayu Jambi adalah kerajaan Islam, adat dipadu dengan syarak, Pucuk undang adalah dasar negara, hukum dasar adalah Adat nan Empat, hukum Adat Sembilan Pucuk, Islam merupakan agama kerajaan, Melayu adalah Islam dan Islam adalah Melayu, dan bahasa resmi kerajaan adalah bahasa Melayu Jambi. Lihat Muchtar Agus Kholif, Kodifikasi Hukum Adat Jambi, (Jambi: Lembaga Adat Melayu (LAM), 2010), 140- 141. 111Deklarasi (Declaration) adalah suatu perjanjian yang berisi ketentuanketentuan umum dimana para pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut dimasa yang akan datang. Deklarasi memiliki isi yang singkat dan ringkas, serta menyampingkan ketentuan-ketentuan yang bersifat formal seperti diperlukannya ―Surat Kuasa‖, atau persyaratan kualifikasi. Lihat

70

Pada masa kerajaan Melayu falsafah adat Jambi merujuk ke jumhur, yaitu penilaian umum tentang baik dan buruk, yang sangat bergantung pada naluri kemanusiaan (fitrah). Dalam konsep teologis Islam penilaian semacam ini dikenal dengan terminlogi al-Husn (baik) dan al-Qabih (buruk). Menurut kalangan al-Asy‘ariyah keduanya hanya dapat diketahui melalui wahyu, kalaupun akal manusia dapat membedakan perbuatan al-Husn dan al-Qabih serta itu dijadikan landasan dalam melakukan perbuatan maka perbuatan tersebut tidak dapat dinilai sebagai suatu pahala atau dosa. Berbeda kelompok Mu‘tazilah yang berpandangan manusia dengan akalnya dapat menentukan sekaligus membedakan al-Husn dan al-Qabih baik dan yang buruk.112 Pada perkembangan selanjutnya falsafah adat tersebut beralih ke ―adat bersendi ke alur dengan patut, alur bersendi ke mufakat, mufakat bersendi ke kebenaran‖. Setelah Islam datang dan ajarannya terintegrasi dengan

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta, Bina Cipta, 1990), 79 & 84. 112Konsep baik (al-Husnu) dalam perspektif ulama Usul Fiqh sebagaimana dirangkum oleh Nasrun Haroen mengandung empat makna, yaitu: pertama, seluruh perbuatan yang sesuai dengan tabiat manusia seperti rasa manis dan menolong orang lain; kedua, sifat yang sempurna seperti pengetahuan dan kemuliaan; ketiga, sesuatu yang boleh dikerjakan manusia dan dikenali kebalikannya serta sanggup dikerjakan; keempat, sesuatu yang jika dikerjakan pelakunya mendapat pujian di dunia dan ganjaran pahala di akhirat. Sedangkan buruk (al-Qabih) mengandung makna sebaliknya yaitu; sesuatu yang tidak disenangi tabiat manusia; sifat negatif yang merupakan kekurangan seseorang seperti bodoh dan kikir; sesuatu yang tidak boleh dikerjakan manusia dan tidak dapat dicapai oleh akal; atau sesuatu yang jika dikerjakkan maka pelakunya mendapat cercaan di dunia dan ganjaran dosa di akhirat. Menurut ulama al-Asy‘ariyah pengertian baik dan buruk pada point ketiga dan keempat bersifat syar‘i dan harus ditentukan oleh syarak karena keduanya hanya dapat diketahui oleh syarak. Baik dan buruk tidak terdapat pada zat namun bersifat nisbi (relatif). Berbeda dengan ulama Muktazilah yang meyakini baik dan buruk dapat dijangkau oleh akal secara keseluruhan tanpa melalui informasi syarak. Baik dan buruk satu sisi terdapat pada zat dan di sisi lain terletak pada manfaat dan mudarat, serta baik dan buruk. Lihat Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), 288-289.

71 adat lokal falsafah adat masyarakat Melayu Jambi beralih lagi ke Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. Pada saat bersamaan sebagian besar wilayah kekuasaan kerajaan Islam Melayu telah mempraktikkan aturan hukum dan pemerintahan adat, utamanya wilayah Timur, merealisasikan hasil konvensi tersebut serta menjabarkannya melalui institusi kerapatan adat, di dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin sebagai representasi dari kepentingan raja alam (penguasa), raja ibadat (agama) dan raja adat (pemangku adat), yang telah ada sebelumnya diperkuat. Untuk itu, Ia mengeluarkan kebijakan sebagai upaya mengawal eksistensi syarak dengan mengganti kedudukan raja ibadat dengan pegawai syarak.113 Pegawai syarak mendapat kompensasi (gaji) dari pihak kerajaan atas pekerjaannya setiap bulan. Sejak saat itu, adat dan syarak terintegrasi secara mapan dan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi sehingga terjadi keseimbangan. Atas dasar itu, Ahmad Kamil merupakan tokoh sentral yang berjasa mengkolaborasikan aturan hukum kerajaan yang bernuansa Islami dengan aturan hukum adat yang bernuansa Budha dan Hindu, meski menyatukan kedua sistem hukum tersebut bukan pekerjaan mudah. Terlebih harus merespons situasi dan kondisi serta keinginan rakyat ketika itu. Upaya ini bertujuan memuat

113Kebijakan-kebijakan Ahmad Kamil menghidupkan tradisi Islam, yaitu:1. Memerintahkan dan menghadiahkan siapa saja yang mampu menulis dan memperbanyak al-Qur‘an, mempelajari al-Qur‘an dan menkhatamkannya; 2. Merayakan tahun baru Hijriyah 1 Muharram , 10 Muharram, Awal bulan Ramadhan, Nuzul al-Qur‘an, menghidupkan malam bulan Ramadhan dengan Tarawih dan Tadarusan Malam Lailah al-Qadr, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, Isra‘ Mi‘raj, Nispu Sya‘ban, Idul Fitri, Idul Adha (Qurban); 3. Setiap anak lelaki yang telah cukup usianya wajib dikhitan; 4. Setiap lelaki dewasa tanpa ‗uzur wajib shalat Jum‘at dan puasa di bulan Ramadhan ; 5. Calon pengantin harus bisa baca al-Qur‘an dan mengerti tentang tata cara shalat; 6. Syukuran dan membayar zakat setelah memanen hasil pertanian dan perkebunan; 7. Setiap kampung harus ada mesjid; 8. Pegawai Syarak harus ada pada setiap kampung yang digaji oleh kerajaan; 9. Setiap dusun harus ada gelanggang (arena) untuk belajar beladiri; dan setiap dusun harus ada pandai besi. Lihat Muchtar Agus Kholif, Kodifikasi Hukum ..., 163-164.

72 aturan tentang tata cara bertutur, bertindak, berinteraksi, dan memutuskan perkara sosial keagamaan yang berlaku bagi seluruh rakyat, endingnya mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera dan agamis. Alhasil, tradisi syarak merupakan tradisi hukum yang inheren dengan realitas dan nilai kebudayaan setempat, selanjutnya penyandaran adat kepada syarak memberikan pengaruh signifikan terhadap integritas masyarakat Melayu. Meski implikasinya daerah yang berbasis budaya Melayu justru saling-memperebutkan eksistensinya sebagai yang lebih awal menjadi wilayah Melayu Islam dan keber-Islaman adatnya. Masyarakat Melayu Minangkabau misalkan mengklaim adatnya bersendi syarak dan syaraknya bersendi al-Qur‘an, sementara masyarakat Melayu Jambi dan Riau-pun demikian, perebutan ini mengindikasikan klaim keber- Islaman adat mereka. Masyarakat Melayu Jambi mengklaim Ahmad Kamil-lah yang menjadi penggagas pertama rekonsiliasi antara syarak dengan adat. Selain itu, keberterimaan terhadap adat sebagai sebuah ruang memperkenalkan prinsip fleksibilitas (murunah) syarak sebagai bagian dari devine law yang mampu menjawab berbagai situasi dan perkembangan zaman.114 Dengan demikian, tak dapat dipungkiri, Jambi sebagai wilayah yang dihuni masyoritas masyarakat etnik Melayu menjadi bagian penting dan integral dari sejarah Islam Nusantara. Hal ini dapat ditelisik melalui beberapa aspek, pertama, dari aspek kultural nenek moyang bangsa Indonesia adalah Etnik Melayu dan bahasa nasional diadopsi dari bahasa Melayu, sedangkan Jambi merupakan pusat peradaban Melayu. Kedua, di antara jalur perdagangan internasional terpenting dan pusat penyebaran Islam di Sumatera pada abad ke-7 adalah Zabag, yang secara geografis berada di Kabupaten Muara Sabak Provinsi Jambi. Ketiga, Jambi merupakan kerajaan yang sejak awal memproklamirkan sebagai kerajaan Islam serta memadukan adat dan syarak menjadi undang negara, yang

114Lukito, Pergumulan ..., 17-18.

73 diberlakukan terhadap seluruh rakyat. Pada bab selanjutnya, penulis memaparkan kontekstualisasi adat dan syarak dalam praktik keberagamaan masyarakat Melayu Jambi.

D. Kelembagaan Adat Melayu Jambi Kajian sejarah kelembagaan adat Melayu Jambi dipandang signifi- kan dalam upaya mendudukkan- benarkan akar sejarah Melayu Jambi dan kelembagaan adatnya. Mengingat masih terjadi kekaburan di kalangan peneliti dalam mempersepsikan etnis Melayu Jambi sebagai salah satu suku tertua di Nusantara dan merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Melayu. Selain itu, Jambi hingga saat ini masih menjadikan Kelembagaan Adat sebagai institusi pilihan masyarakat Melayu Jambi untuk menyelesaikan kasus sosial keagamaan. Kelembagaan adat mengandung makna yang luas, baik menyangkut institusi adat maupun nilai nilai, asas atau prinsip maupun norma norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sebagai contoh nilai nilai ketuhanan, kebersamaan, persatuan, non diskriminasi dan sebagainya terdapat dalam kelembagaan adat. Prinsip musyawarah mufakat, demokrasi, keadilan dan sebagainya, semuanya terdapat dalam kelembagaan adat. Norma norma yang disepakati misalnya jangan mencuri, jangan merusak lingkungan hidup, dan sebagainya, telah disepakati sejak dahulu dan menjadi pedoman dalam berperilaku. Namun dalam konteks Jambi adalah nama lembaga yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan berbagai kasus yang dihadapi masyarakat Melayu Jambi yang mencakup aturan formil dan materil. Aktor yang bekerja di dalamnya representasi dari penguasa/pemerintah, pegawai syarak dan pemangku adat. Tak dapat dipungkiri, lahirnya kelembagaan adat ini bersamaan dengan berdirinya kerajaan Melayu Jambi, jauh sebelum kedatangan Islam ke Jambi. Bahkan hingga saat ini masih eksis dan masih menjadi pilihan yang diminati oleh kebanyakan masyarakat Melayu Jambi dalam

74 menyelesaikan kasus sosial keagamaan. Pilihan ini berjalin erat dengan kepercayaan masyarakat dan tradisi yang me- lingkupinya, sekaligus merepresentasikan kepentingan yang ada di dalamnya yaitu; penguasa, agama dan adat. Pada awalnya institusi ini dikenal dengan nama Kerapatan Adat, yang praktiknya hampir sama dengan tradisi Minangkabau, bahkan ada yang mempersepsi- kan tradisi ini merupakan adopsi tradisi Minangkabau atau bias Minangkabau. Meski, sebenarnya sulit memisahkan antara budaya Jambi dan Minangkabau, mengingat keduanya abad ke-12 sampai dengan abad ke-14 menjadi bagian integral dari kerajaan Pagaruyung, meski pada abad akhir abad ke-14 memisahkan diri setelah terjadi pertempuran di Padang si Busuk.115 Kelembagaan adat menjadikan semua elemen penting dan tak terpisahkan dalam pengambilan keputusan, sehingga hasilnya di- anggap adil dan dipatuhi stakeholders. Praktik semacam ini merupakan konsekuensi dari sistem pemerintahan Perpatih (demokrasi), yang memberdayakan semua komponen untuk terlibat dalam penetapan maupun putusan melalui Kerapatan Adat. Sistem pemerintahan yang berlangsung sejak masa kerajaan Melayu, kerajaan Islam Melayu, dan kesultanan Jambi, dan berlanjut masa

115 Pusat kerajaan Melayu Jambi pada awalnya berada di Candi Muaro Jambi di bawah kepemimpinan Raja Srinamat Trailokia Raja Tiribuana Bhusana Mawarmadewa (1178-1210 M.) namun setelah diserang kerajaan Singosari, implikasinya pusat kerajaan beralih ke Damasraya dan berganti nama men- jadi kerajaan Melayu Swarnabumi. Beberapa tahun kemudian kerajaan Ma- japahit berhasil menaklukkan kerajaan Singosari, dan pusat kerajaan Melayu Swarnabumi dialihkan ke Pagaruyung. Pada tahun 1347 M, Adityawarman yang ketika itu berada di Melayu, daerah asal ibundanya, menggantikan Raja Mauliwarmadewa dan dinobatkan menjadi Maharaja Diraja untuk kerajaan Melayu Jambi seluruh Sumatera. Setelah mangkat tahun 1376 M. digantikan putranya Maharaja (Ananggawarman), dan saat itu kerajaan Pagar- uyung berusaha melepaskan diri dari kerajaan . Perjuangan ber- hasil dan kerajaan Pagaruyung pecah menjadi dua; Luhak Nan Bepenghulu ke Minangkaba dan Alam nan Berajo ke kerajaan Melayu Jambi. Lihat Sri Purnama Syam, Seni dan Budaya Melayu Jambi, makalah disampaikan pada seminar ―Menggali Warisan Negeri Melayu Jambi‖, tanggal 10 Mei 2014, 5.

75 kolonial Belanda. Berkebalikan dengan sistem Tumenggung (otokrasi) yang menjadikan penguasa sebagai ujung tombak pembuat putusan. Pada masa kolonial Belanda melalui pasal 131 ayat 8 Indische Staatsregeling (IS) dikukuhkan oleh Belanda sistem pemerintahan adat yang mengatur pemerintahan sampai kepada desa. Dipertegas dengan Indische Gemonte Ordonentic Buitengewesten (IGOB) yang diterbitkan pada tanggal 3 September 1938 (Stbl. No. 490) yang diberi nama Peraturan Negeri Otonom di luar Jawa dan Madura.116 Pasal 1 menegasi susunan dan hak-hak negeri dan susunan badan pengurus negeri dan susunan dari alat negeri lainnya terkecuali sebagaimana tersebut dalam pasal 8 akan diatur menurut hukum adat (Adatrecht). Juga dijelaskan negeri adalah suatu Indische Rechtspersoen yang diwakili oleh kepala negeri, yang mempunyai Rechtsgebied (daerah hukum) sendiri. Setelah masa kolonisasi Belanda be- rakhir, tahun 1942 pemerintahan beralih ke tangan Jepang. Ketika itu, sistem pemerintahan adat tidak mengalami perubahan. Hanya saja beberapa nama diubah dan disesuaikan dengan bahasa mereka. Seperti, istilah keresidenan ditukar menjadi Syu, sedangkan residen disebut Syucukon. Implementasi dari ketentuan ini, seluruh setiap desa dibentuk marga yang dipimpin oleh Pasirah, di Kerinci dibentuk mendapo dip- impin oleh Kepala Mendapo, dan di Kota Jambi dibentuk kampung dipimpin oleh Kepala Kampung. Kesemuanya menaungi beberapa dusun dan desa serta merangkap sebagai kepala adat. Pada masa kemerdekaan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 terbentuklah DPRD dan DP pada setiap marga, mendapo, dan kampung. Sayangnya, lembaga ini tidak bisa bertahan lama karena adanya agresi Belanda I dan II, dan tahun 1965 Indische Gemonte Or- donentic (IGO) dan Indische Gemonte Ordonentic Buitengewesten (IGOB) dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 1965 tentang

116 A. Wahab Madjid, Hukum Adat Dalam Pelaksanaan Pemerintah di Jambi, (Jambi, Lembaga Adat Melayu Jambi, 1999), 3-4.

76

Desapraja sebagai bentuk peralihan akselerasi terwu- judnya daerah Tingkat II di seluruh wilayah Republik Indonesia. Materinya sarat nuansa politik kolonial dan belum mampu memberi otonomi penuh kepada desa serta tidak sejalan dengan spirit adat, pada akhirnya memunculkan gejolak dari rakyat.117 Ditambah munculnya dualisme pemerintahan pada level Desa dan Kecamatan karena undang-undang ini menegasi struktur hierarki pemerintahan mulai tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa. Oleh karenanya, sistem pemerintahan marga hilang dan diambil alih oleh negara berdasarkan peraturan pemerintahan, akhirnya pemberlakuan undang- undang tersebut dibatalkan. Selanjutnya, pada tahun 1975 kelembagan adat disahkan menjadi institusi formal dengan nama Lembaga Adat Provinsi Jambi, beberapa tahun setelah itu pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Desa, yang menekankan pada pengaturan pemerintahan secara administratif. Namun, persoalan keamanan, keadaan desa dan adat istiadat belum diakomodir, sehingga masih memunculkan gejolak dari masyarakat adat. Kemuncu- lan Undang-undang ini justru menjadi pemicu ketidakseimbangan atau terganggunya tatanan pemerintahan adat pada level pemerintahan terkecil di beberapa daerah di Indonesia. Jambi sebagai daerah yang terkena imbasnya dengan kehilangan model pemerintahan adatnya dan memudarnya nilai-nilai kearifan lokal yang bercorak Melayu Islam.118 Untuk mengantisipasi gejolak pada tingkat grassroot, diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 tahun 1984 ten- tang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan. Peraturan ini menyatakan bahwa adat istiadat adalah kebiasaan yang hidup serta dipertahankan dalam pergaulan hidup sehari- hari dalam masyarakat sesuai pancasila. Pada pasal 5

117 Asnawi AB, MM., Kedudukan Adat Dalam Rangka Menunjang Penyelengga- raan Pemerintahan Desa, (Jambi, Pemprov Jambi, 2010), 2. 118 Irma Sagala, Peluang dan Tantangan ..., 1-2.

77 dinyatakan bahwa Camat dan Kepala Desa/Lurah beserta perangkatnya wajib melakukan pembinaan dan pengembangan terhadap adat istiadat yang hidup di kalangan masyarakatnya. Problema-problema terkait kepentingan masyarakat adat Melayu Jambi belum terwadahi secara kelembagaan legal-formal, Lembaga Adat belum dikenal, mengingat struktur pemerintahan Desa mencakupi tugas kelembagaan adat. Kelembagaan Adat secara institusional baru eksis setelah sistem hukum adat digantikan dengan pemerintahan Desa. Adanya kekhawatirkan memudar bahkan hilangnya budaya (adat) Melayu Jambi dibentuklah Lembaga Adat berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Tingkat I Provinsi Jambi No. 11 Tahun 1991 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istia- dat Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat di Desa/Kelurahan dalam Provinsi Daerah Tingkat I Jambi. Mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 11 Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan. Berikutnya, lahir Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dimana desa atau kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional berkedudukan di kabupaten/kota. Substansi aturan tersebut melegalisasi sistem pemerintahan (kepemimpinan) yang berlaku dalam tradisi masyarakat adat, tak luput dari itu masyarakat Melayu Jambi, sehingga kepemimpinan adat diaktifkan sesuai seloka ―berjenjang naik bertanggo turun bak tali berjalin berpintal tigo, bak tigo tungku sejerangan‖. Lebih jauh, mereka diberi ruang memformulasi aturan untuk disesuaikan dengan kebutuhan lokal (local wisdom). Artinya kelembagaan adat yang di dalamnya terdapat forum tiga tali sepilin (trilogi kuasa) yang diakui oleh negara dan memiliki payung hukum yang

78 kuat.119 Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa (Kades), Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga Perwakilan Desa (LPM), sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam mengelola pemerintahan di desanya. Begitupula pegawai syarak terdiri dari; alim ulama, imam, khatib dan bilal, memiliki kewenangan dalam mengelola segala persoalan keagamaan. Sedangkan pemangku adat terdiri dari; cerdik pandai, tuo tengganai dan nenek mamak), memiliki kewenangan dalam mengelola persoalan adat. Kesemuanya menyatu dalam musyawarah dan mufakat melalui kerapatan adat. Selanjutnya, Lembaga Adat Provinsi Jambi berubah nama men- jadi Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi setelah terbit Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat Melayu Jambi. Perda ini merupakan revisi dari Perda Nomor 11 Tahun 1992 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan. Pemerintahan di lingkungan provinsi Jambi memfasilitasi kelem- bagaan adat dalam upaya mengakomodir dan menyelesaikan berba- gai persoalan sosial keagamaan yang terjadi di kalangan masyarakat Melayu-Muslim Jambi. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya peraturan daerah (perda) tentang legalitas lembaga adat dan aturan yang melekat di dalamnya, sebagaimana tertuang dalam Perda No. 4 tahun 2014 tentang Lembaga Adat Melayu (LAM) Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.

119 Dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi forum ini dikenal dengan sebutan tigo tali sepilin, sedangkan dalam tradisi masyarakat Melayu Minangkabau dikenal dengan tali tigo sepilin, ketiganya pada awalnya merupakan refre- sentasi dari; Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat. Pertama, Raja Alam adalah penguasa kerajaan ketika itu. Kedua, Raja Adat, orang yang paling berpengaruh di masyarakat dan sangat mengerti tentang norma adat. Ke- tiga, Raja Ibadat, adalah orang sangat memahami persoalan keagamaan. Di Minangkabau pada awalnya posisi Raja Ibadat dijabat oleh ―pandito (pen- deta)‖, yang kemudian diganti dengan alim ulama. Sedangkan di Jambi oleh Ahmad Kamil diganti dengan istilah Pegawai Syarak, yang terdiri dari imam, khatib dan bilal. Pegawai syarak dibebani tanggung jawab oleh kerajaan me- melihara eksistensi dan keberlangsungan syarak. Sejak saat itulah muncul istilah pegawai syarak sesuai falsafah adat. Lihat Asnawi AB, MM., Kedudu- kan ..., 10.

79

Perda ini merupakan revisi dari Perda No. 11 Tahun 1992 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Desa/Kelurahan dalam Provinsi Daerah Tingkat I Jambi.120 Perubahan nama lembaga adat berkonsekuensi pada perubahan nomenklatur, jika nama Lembaga Adat Provinsi Jambi bersifat netral menaungi seluruh masyarakat yang berdomisili di Jambi tanpa membedakan rasial, etnik dan agama yang mengemuka berdasarkan administrasi wilayah, namun pada nama Lembaga Adat Melayu Jambi lebih spesifik menaungi masyarakat Melayu Jambi. Dalam Pasal 1 Perda Nomor 5 Tahun 2007 disebutkan bahwa ―Lembaga Adat Melayu Jambi merupakan sebuah lembaga yang berperan penting dalam membina dan menjaga kelestarian adat istiadat Melayu Jambi.‖ Lembaga ini memiliki kewenangan mengurusi segala persoalan terkait hukum adat dan tata cara penyelesaiannya, yang mempunyai turunan hingga desa/kampung. Keberadaan lembaga ini mengindikasikan menguatnya eksistensi hukum Adat atau peraturan adat sebagai aturan non-formal yang dipraktikkan masyarakat Jambi.

E. Realitas Sosial, Agama, Politik dan Budaya Aspek Sosial Secara sosiologis, masyarakat Jambi adalah kumpulan orang atau etnik Melayu yang berdiam di wilayah Jambi mulai dari Ujung Jabung sampai Durian Betakuk Rajo, dalam berkomunikasi mereka menggunakan bahasa Melayu. Masyarakat Melayu berasal dari Ras Melayu, yang diasumsikan nenek moyang bangsa Indonesia, terbagi dua yaitu Melayu Tua (Proto Melayu) dan Melayu Muda (Deutro Melayu).

120 M. Husnul Abid, Kontestasi Kemelayuan: Islam Transnasional, Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi, dalam Muhammad Iqbal Asnaf ―Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia Kontesatasi dan Koeksistensi‖, (Yogya- karta: Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS UGM, 2015), 181-182. 80

Menurut AL. Kroeber sebagaimana dikutip Idris Jakfar, ada 8 (delapan) ras terpenting di dunia yaitu; Ras Caucasoid, Mongoloid, Negroid, Bushman, Veddoid, Austroloid, Polynesian; dan Ras Ainu. Ras Mongoloid menyebar ke Selatan benua Asia sampai ke benua Amerika melalui Selat Bering.121 Sub-Ras Mongoloid, Malayan Mongoloid, mendominasi penduduk Asia Tenggara lautan dan daratan masyarakat yang berbudaya Melayu percampuran orang Austro-Melanisoid dari Selatan dengan Paleoo-Mongoloid dari Utara. Manusia Anstro-Melanisoid awalnya mendiami kawasan dekat pantai dan sungai, hidup dalam goa batu kerang atau abris sous roches, goa ini dijumpai di Sumatera (Jambi, Medan, Langsa/Aceh), Sulawesi, Irian, Kedah dan Pahang Malaysia. Migrasi manusia Ras Mongoloid ke perairan Asia Tenggara melahirkan manusia Proto Malay (Melayu Tua) dan Deutro Malay (Melayu Muda).122

121Orang Melayu Tuo (Proto Melayu) diprediksi datang ke Jambi sekitar 3500 SM dan orang Melayu Muda (Deutro Melayu) sekitar tahun 350 SM. Melayu Tua (Proto Malay) adalah suku yang kebudayaannya sangat sedikit bercampur dengan kebudayaan asing dan tinggal di dataran tinggi, sedangkan Melayu Muda (Deutro Malay) adalah suku yang kebudayaannya telah bercampur dengan kebudayaan asing dan tinggal di dataran rendah. Idris Jakfar, Akar Budaya Melayu Jambi, (Jambi: Lembaga Adat Melayu Jambi, 1990), 10-15. 122Menurut G.E. Gerini kata ―Melayu‖ berasal bahasa Sanskrit ―malayakom atau malaikurram‖, yang merujuk pada Tanjung Kuantan di Semenanjung Malaysia. Sebaliknya, Roland Bradell menganggap tempat itu merujuk kepada Tanjung Penyabung. Istilah Malaya dvipa muncul dalam kitab Purana, kitab Hindu purba yang ditulis sebelum zaman Gautama Buddha sejak 500 M. Dwipa bermaksud ―tanah yang dikelilingi air‖ dan Malaya dwipa terdapat di Pulau Sumatera yaitu Jambi. Istilah ―Mo-lo-yu‖ tercatat dalam buku pengembara Cina tahun 644-645 M., sezaman dengan ―Dinasti Tang‖. Mayoritas peneliti sejarah menyimpulkan kata ―Mo-lo-yo‖ adalah kerajaan yang terletak di Jambi Pulau Sumatera, Sriwijaya. Terma Melayu diprediksi adalah nama anak Sungai Melayu di hulu Sungai Batang Hari, Sumatera, tempat berdirinya ―Kerajaan Melayu‖ sekitar 1500 tahun sebelum atau semasa adanya Kerajaan Sriwijaya. Penggunaan terma ―Melayu‖ muncul sekitar tahun 100-150 Masehi dalam karya Ptolemy, Geographike Sintaxis, dikenal dengan ―maleu-kolon‖. Melayu mengandung 4 makna yakni; sebagai Etnis, sebagai Bahasa, sebagai Kebudayaan dan Melayu sebagai Kerajaan Tua yang pernah ada tahun 644/645 M. Keempat makna tersebut

81

Masyarakat Jambi yang didominasi etnik Melayu saat ini terpolarisasi menjadi dua kelompok yaitu; penduduk asli dan penduduk pendatang, kesemuanya terangkum dalam 7 suku atau bangsa, yaitu:123 Pertama, Suku Kubu, atau Suku Anak Dalam (SAD), hidup dalam keadaan terasing (terisolasi), tingkat kebudayaannya masih rendah. Hidup dalam komunitasnya sendiri dan kurang komunikasi dengan masyarakat lain, jika berkomunikasi dengan pihak luar melalui perantara yaitu Jenang. Kedua, Suku Bajau, hidup terisolasi di pinggiran laut dan menjadikan laut sebagai sentral kehidupan. Tingkat pendidikan dan kebudayaan masih tergolong rendah dan mendiami daerah pantai Utara wilayah Kabupaten Tanjung Jabung, dikenal dengan Orang Laut. Ketiga, Suku Batin, mendiami sebagian besar wilayah kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun dan Bangko. Keempat, Suku Kerinci, mendiami Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci, hidup di daerah subur dan pegunungan, sebagian besar mata pencahariannya bertani dan berkebun. Tradisi masyarakatnya bidang kekerabatan, waris, dan dialek hampir sama dengan Suku Penghulu. Kelima, Suku Penghulu, migran dari Minangkabau dan mendiami wilayah Suku Batin, kedatangan mereka ke Jambi berawal dari misi mencari pekerjaan (penghidupan) dengan menambang emas di hulu Sungai Batang Hari. Kebanyakan mereka mendiami wilayah; Pelawan, Batang Asai, Pangkalan Jambu, Limun, Ulu Tabir, Ting Ting, Nibung, Sungai Abang dan di beberapa wilayah lain dalam Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun, dan Merangin. Keenam, Suku Pindah, orang pindahan dari Sumatera Selatan yang berbatasan dengan Jambi, seperti Rupit dan Rawas. Faktor pendorong mereka migran ke Jambi belum diketahui secara pasti dan mereka mendiami wilayah Pauh,

diidentifikasi tercover dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi. Kebudayaan Melayu Jambi dan masih dapat dikontruksikan keberadaannya di Jambi. Kebudayaan Melayu Jambi yang diwarnai oleh 3 corak kebudayaan yakni, Kebudayaan Melayu Prasejarah, Kebudayaan Melayu Budhis dan Kebudayaan Melayu Islam. Lihat Fahruddin Saudagar, dalam ―Sejarah Adat ..., 9. 123Ibid., 7-8.

82

Mandiangin dalam sebagian kecil wilayah Sarolangun, Bangko dan Batanghari. Ketujuh, Suku Melayu Jambi, mendiami sekitar sungai Batanghari yaitu; Kabupaten Batanghari, Muaro Jambi, Kota Jambi, serta sebagian Bungo dan Tebo, Muara Sabak (Tanjung Jabung Timur), dan Tungkal (Tanjung Jabung Barat). Mereka diasumsikan sebagai penduduk asli dari kerajaan Islam Melayu Jambi.124 Sedangkan Suku Pendatang merupakan migran dari berbagai daerah di Indonesia seperti; Jawa, Sunda, Tapanuli, Banjarmasin, Makasar, Palembang, Minangkabau, dan daerah lainnya. Datang ke Jambi dengan motivasi dan kepentingan berbeda serta dalam waktu yang tidak bersamaan. Selain itu, yang termasuk penduduk pendatang adalah orang asing migran dari; Arab, India, Malaysia dan Cina, mendiami beberapa daerah dalam provinsi Jambi, utamanya Kota Jambi. Diantara mereka ada yang berasimilasi dengan penduduk setempat dikarenakan adanya ikatan emosional dan persamaan agama dengan penduduk asli Jambi, berbeda dengan Cina yang terkesan eksklusif namun memegang tampuk perekonomian. Hampir semua sektor ekonomi dipegang oleh orang Cina meski mereka belum dapat berasimilasi secara total dengan penduduk setempat, karena adanya perbedaaan keyakinan dan budaya serta stratifikasi ekonomi. Orang Cina dikenal sangat kuat memegang budaya, inilah faktor terpenting menurut penulis sebagai penghambat terjadinya asimiliasi dengan penduduk asli. Dari sisi etnisitas, persentasi masyarakat Jambi dapat dilihat melalui tabel berikut:

124Junaidi T. Noer, Mencari Jejak ..., 14-19.

83

Tabel 4.1. Komposisi Etnisitas di Jambi

Etnisitas Persentase Melayu 37,87 Jawa 27,64 Kerinci 10,56 Minangkabau 5,47 Banjar 3,47 Sunda 2,62 Bugis 2,59 Lain-lain 9,78

Porsentase etnis Jawa cukup besar di Jambi dikarenakan sejak masa Orde Baru beberapa tempat di Jambi menjadi tujuan transmigrasi, mayoritas peserta transmigrasi dari Jawa disebar ke beberapa wilayah transmigrasi seperti; Sungai Bahar di Kabupaten Batanghari, Rimbo Bujang di Kabupaten Tebo, dan Purwodadi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Ditambah dengan migran karena alasan mengikuti kerabat yang sukses, mencari pekerjaan, perkawinan dan lainnya.125 Meski demikian, semua suku ini menyatu dalam kebinekaan di Jambi, mengingat masyarakat Jambi terkenal inklusif dan toleran dengan pendatang serta budaya yang mereka bawa, ditandai dengan kebebasan masyarakat pendantang menggunakan bahasa sehari-hari, acara seremonial, dan tidak adanya konflik SARA yang dipicu oleh perbedaan; kultur, etnisitas dan agama. Meski, mayoritas etnik Melayu muslim, kecuali segelintir masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) awalnya penganut animis, saat ini secara gradual menjadi muslim atau Kristiani.

125Sebagaimana dikutip M. Husnul Abid dalam Leo Suryadinata, dkk. Indonesia‘s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, (Singapura: ISEAS, 2013), 23.

84

Aspek Agama Dari aspek agama, sedikitnya tiga agama yang pernah mewarnai kepercayaan masyarakat Jambi setelah ajaran animisme, yakni; Budha, Hindu dan Islam. Pada abad pertama Masehi datang agama Budha Hinayana dan diikuti Budha Mahayana yang masuk ke Jambi dan berkembang sebagai agama kerajaan dan rakyat. Perkembangan agama Budha di kerajaan Melayu Jambi begitu pesat terbukti ditemukannya candi-candi seperti; Candi Tinggi dan Candi Astano di Kabupaten Muaro Jambi.126 Selanjutnya, abad ke- 3 M. agama Hindu tiba di Jambi dan semakin berkembang ketika kerajaan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya abad ke-7 dan ke-8 M. Inilah yang dikatakan Junaidi T. Noer ketika menyebut Melayu Jambi adalah penanda satuan wilayah keserumpunan dan kebudayaan Melayu, masyarakatnya mengalami proses symbiotics relationship, tidak hanya ajaran Islam, melainkan pengaruh Animisme, Hindu, Budha dan bangsa-bangsa lain dalam semangat pergaulan.127 Sejak kedatangannya, Islam dari aspek hukum dan spirit telah memberi warna terhadap tradisi yang berlaku di kerajaan Melayu Jambi, utamanya sejak kerajaan Islam Melayu Jambi dipimpin oleh Ahmad Kamil. Sejak itu, adat (hukum Adat) Jambi ada diyakini sebagai aturan hukum kontekstual karena merupakan kesepakatan antar penguasa, alim-ulama, dan tokoh adat Jambi. Bahkan adat yang telah diverifikasi kedudukannya dianggap ―sejajar‖ dengan syarak, sejalan dengan falsafah adat. Akulturasi keduanya justru memberi semangat keagamaan masyarakat Jambi untuk mengimplementasikan ajaran agama dan adat, karena dianggap sejalan. Pada perkembangannya bersamaan kedatangan ulama Arab dan

126Yusuf Majid, Sejarah Kota Jambi Pada Masa Lampau, Sekarang dan yang Akan Datang, (Jambi: Lembaga Adat Tanah Kota Jambi, 1997), 7-8. 127Junaidi T. Noer, Sekilas tentang Sejarah dan Peradaban/Kebudayaan Islam di Provinsi Jambi‖ Makalah, Silaturahim Peradaban Islam Festival Maulid Nusantara 1431 di Palu-Sulawesi Tengah, 1.

85 munculnya ulama lokal yang terus mengembangkan Islam melalui pendidikan formal maupun non-formal. Melalui pendidikan formal ditandai maraknya pendirian pesantren Salafi, di antaranya; Pesantren Nurul Iman, As‘ad, Jauharain, Nurul Islam dan Sa‘adatuddarain, yang justru berada di satu wilayah yaitu Seberang Kota Jambi.128 Pondok pesantren ini menjadi pelopor pengembangan Islam dan berdirinya pondok pesantren di seluruh pelosok negeri Jambi.129 Kitab-kitab yang menjadi referensi (maraji‘) di pesantren ini berorientasi pada pemahaman dan penghayatan terhadap isi al-Qur‘an dan Sunnah, penelaahan terhadap keduanya melahirkan; Ilmu Tauhîd, Fiqh, Tasawuf, Nahwu, Sharaf, Badî‘, Bayân, dan lain-lain. Adapun kurikulum pesantren di Jambi.130 Secara garis besar sistem pengajaran di pesantren atau madrasah di Jambi dipilah menjadi dua pola; Pertama Pola Salafi, memiliki ciri; tetap mempertahankan kitab- kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya; sistem sorogan; tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Kedua Pola Khalaf, dengan ciri; adanya pelajaran

128Pemberian nama kelima Madrasah ini melalui musyawarah para pendiri dan Ulama dari Mekkah. Guru Kemas H. Muhammad Soleh bin Kemas H. Muhammad Yasin tinggal di Kampung Tanjung Pasir (kampung paling Hulu), memilih nama Nurul Islam, guru Guru H. Ibrahim bin Syekh Abdul Majid al-Jambi (Mudir Pertama Nurul Iman), memilih nama Nurul Iman. Karena dua nama ini telah dipilih, maka guru Guru H. Ahmad bin H. Abdus Syakur di Kampung Tahtul Yaman memilih nama Madrasah Sa‘adatud Darain, dan Guru H. Usman bin H. Ali memilih nama Madrasah Jauharain. Pada tahun 1926 Madrasah al- Jauharain dipindahkan ke kampung Tanjung Johor Jambi. 129Pesantren di Jambi menekankan penguasaan Kitab kuning, kitab-kitab berbasis aliran ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (aswaja) dan bermadzhab Syafi‘i. Menurut Van Bruinessen, dalam persoalan hukum dan doktrin, Muslim tradisionalis mengikuti ulama besar di masa lalu ketimbang melakukan derivasi kesimpulan dari al-Qur‘an dan al-Hadits secara langsung. Lihat Van Bruinessen, ―Tradisi Menyongsong Masa Depan‖, Tradisionalis Radikal. (Yogyakarta: LKIS, 1997), 142. 130Husein Muhammad, Kontekstualisasi Kitab Kuning; Tradisi Kajian dan Metode Pengajaran dalam Marzuki Wahid, et. al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 270.

86 umum atau membuka tipe sekolah umum dalam lingkungan pesantren yang umumnya bersifat klasikal.131 Paradigma ke-Islaman yang berkembang di pesantren ketika itu bidang teologi berorientasi pada pemikiran Asy‘ari, bidang ushul fikih dan fikih berorientasi pada pemikiran asy-Syafi‘i dan bidang tasawuf berorientasi pada pemikiran al-Ghazali.132 Artinya, secara kultural mayoritas masyarakat Melayu Jambi dan pesantren- pesantren yang ada di Jambi berorientasi pada faham keagamaan Ahl Sunnnah wa al-Jama‘ah plus Nahdhatul Ulama (NU) kultural (NU oriented). Ditandai dengan tradisi; pembacaan talqin dan tahlil, shalat tarawih 20 rakaat, pembacaan doa qunut ketika shalat subuh. Faham keagamaan lain seperti; Muhammadiyah, Salafi (Wahabi), Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII) atau Jamaah Islamiyah, dan al-Irsyad al-Islamiyyah relatif tidak berkembang. Kalaupun ada hanya di wilayah perkotaan sebagai implikasi pluralisme sosial keagamaan. Di sisi lain, ini membuktikan begitu besar spirit keagamaan masyarakat melalui pendirian institusi pendidikan keagamaan guna melestarikan agama Islam di Jambi, yang pada akhirnya membuat Islam semakin kokoh di Jambi dan menjadi agama mayoritas masyarakat. Hal ini sesuai dengan jumlah penganut agama Islam dan agama lain, yaitu; 92,95 % beragama Islam, Katolik sebesar 2,31 %, Protestan 2,26 %, Budha 1,17 %, Hindu 0,23 %, dan Konghucu 1,08 %.133

131Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta, LP3ES, 1994), Cet. VI, 41–42. 132Abdul Kadir Sobur, Teologi Progreaif: Mengungkap Corak Teologi dan Doktrin Aqidah Masyarakat Melayu, disertasi 2012, 244. 133Jambi in Figure, tahun 2016, 134-135.

87

Grafik 4.1. Prosentase Agama yang Dianut

Grafik di atas merefleksikan mayoritas masyarakat Jambi adalah Muslim dan sangat menjunjung tinggi moralitas dan pengamalan keagamaan, karenanya Jambi bahkan oleh sejarahwan pernah mendapat julukan Serambi Mekah.134 Dengan demikian, kondisi keagamaan di Jambi bervariasi namun masyarakat Jambi saat ini masuk kategori masyarakat inklusif yang jauh dari konplik vertikal maupun horizontal. Jika dijumpai adanya subordinasi antara berbagai kelompok internal maupun eksternal masih dipandang wajar sebagai dinamika kehidupan masyarakat.

Aspek Politik Dari aspek politik, entry point sejarah perpolitikan di Jambi ketika dipimpin oleh Raja Perempuan, Putri Selaras Pinang Masak, yang kawin dengan Ahmad Salim dan dilanjutkan

134Gelar Serambi Mekah disandarkan ke Jambi karena merupakan daerah awal penyebaran Islam di Sumatera melalui pelabuhan Muara Sabak, yang sudah dikenal dunia Internasional sebagai pusat perdagangan sejak abad ke-1 Masehi. Selain itu, sejak berdirinya madrasah Islam banyak berdatangan ulama besar dari Mekkah yang diundang oleh Mudir Madrasah untuk mengajar dan melakukan Imtihân al-waqf (ujian akhir kelulusan kelas 7). Lihat Syekh HMO Bafadhal, Pengungkapan Sejarah ..., 18-19.

88 oleh ketiga putranya.135 Namun ketika tampuk kekuasaan di tangan Ahmad Kamil perubahan besar terjadi melalui inovasi dan langkah cerdas bidang politik, sosial, maupun keagamaan. Sepeninggalan Ahmad Kamil, kepemimpinan kerajaan Islam Melayu Jambi berlanjut secara turun temurun hingga kesultanan Jambi. Meski kepemimpinan setelahnya tidak membawa perubahan politik signifikan dalam upaya mendongkrak reputasi kerajaan Islam Melayu atau kesultanan Jambi. Terlebih setelah Belanda berusaha menginjakkan kaki di tanah Jambi dengan maksud menjajah. Kalaupun ada hanya berupa perlawanan atau gerilya dalam upaya mengusir kolonial, sebagaimana yang dilakukan oleh Sultan Thaha Saifuddin. Meski demikian, sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda selalu menghadapi berbagai pemberontakan dari penduduk asli di Jawa maupun Sumatera.136 Seperti Perang Cirebon (1802–1806), Perang Diponegoro (1825– 1830), Perang Padri (1821–1857),

135Pada abad ke-3 kerajaan Melayu Jambi pernah dikuasai oleh kerajaan Koying dan Tupo, disusul kerajaan Kantoli abad ke-5. Setelah ketiganya runtuh berdirilah kerajaan Melayu Jambi, pada abad ke-7 kembali dikuasai Kerajaan Sriwijaya meski mengalami kemunduran pada abad ke-12 kerajaan Sriwijaya. Meski sejarahwan hingga saat ini belum bisa memastikan pusat kerajaan Sriwijaya di Jambi atau Palembang, saling klaimpun masih terjadi. Meski bukti pendukung adanya istana kerajaan, tempat peribadatan, pusat pendidikan, pesanggrahan dan pemandian raja beserta keluarga kerajaan Sriwijaya terbesar seluas + 600 hektar justru berlokasi di Jambi. Implikasinya jika pusat kerajaan Sriwijaya berada di Jambi maka Palembanglah yang menjadi daerah jajahan Jambi tempo dulu, begitupula sebaliknya. Lihat Ngebi Sutho Dilogo, Alih Aksara dan Kajian Naskah Silsilah Raja Jambi, Undang- Undang, Piagam dan Cerita Rakyat Jambi, terj. Syamawi Darahim et.al., (Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2005), 5-6. Buku ini telah dialih bahasakan dari aksara Arab Melayu, teks aslinya berada di tangan Ratumas Siti Zahrah salah seorang turunan (ahli waris) Sultan Thaha Saifuddin. 136Syamsir Salam, Mencari Ufuk Baru dalam Pengembangan Masyarakat Jambi, dalam Kertas Kerja pada Diskusi LPKS tahun 1982, 3.

89

Perang Aceh (1872-1908), dan Perang Jambi (1858-1906).137 Berbagai alasan menjadi pemicu pergolakan, seperti; Pertama, gerakan petani, perang yang melambangkan kepentingan kelas ekonomi ataupun sosial. Kedua, Perang Sabil, perang yang melambangkan kepentingan agama. Ketiga Perang Kekuasaan, perang yang melambangkan kepentingan politik atau kekuasaan yang dipelopori oleh Sultan atau bangsawan karena merasa kekuasaannya terancam dengan kekuasaan Belanda. Perang Jambi masuk pada kategori terakhir yaitu perang memperebutkan kekuasaan, dimotori oleh Sultan Thaha Saifuddin.138 Menyikapi perlawanan berkepanjangan dari rakyat pribumi, pemerintah Belanda mengangkat Cristian Snouck Hurgronye menjadi penasehat politiknya. Snouck Hurgronye, sebagai sosiolog handal, melakukan penelitian di beberapa daerah di Nusantara mengamati fenomena gerakan perlawanan dan sampai pada kesimpulan mengenai langkah strategis menghadapi gerakan rakyat pribumi, yang

137Pemicu perang Jambi adalah keengganan Sultan Thaha menandatangani perjanjian yang dibuat Belanda memuat; negeri Jambi dikuasai dan dilindungi oleh Belanda dan Belanda berhak mendirikan kekuatan militer di Jambi jika dianggap perlu. Perjanjian ini mengindikasikan Belanda tidak hanya mempunyai kepentingan dagang di Pantai Timur Jambi namun ingin menjajah daerah Jambi. Berlanjut tanggal 15 Desember 1834, pemerintah Belanda melalui Residen Palembang Practonis, memperluas perjanjian karena khawatir monopoli perdagangan dikuasai atau diganggu oleh pengusaha Inggris, Portugis dan Amerika, yang juga mempunyai kepentingan dagang di daerah Pantai Timur sebagai penghasil rempah. Bahkan Amerika Serikat tahun 1851 mengirim kapal Flirt, di bawah komando Walter Gibson berhasil memprovokasi Sultan Nazaruddin melawan Belanda meski akhirnya gagal. Ibid., 5; Anonim, Kementerian Penerangan Republik Indonesia No. 11 Tentang Sumatera Tengah, Jakarta, 1954, 70–74. 138Gelar Saifuddin (pedang agama) diberikan kepada Sultan Thaha oleh Sultan Aceh karena tekad dan ketekunannya menggali ilmu pengetahuan dan keterampilan perang, setelah ayahandanya Sultan Muhammad Fachruddin mengirimnya ke Aceh untuk menuntut ilmu. Sultan Thaha juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional atas jasanya membela bangsa dan negara berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 079/TK/1977 tertanggal 24 Oktober 1977. Lihat Junaidi T. Noor, Mencari Jejak ..., 133.-141.

90 dinamai garis politik etis.139 Perubahan fundamental kebijakan politik yang sebelumnya mengedepankan konplik militer melalui kontak senjata dialihkan menjadi ideologis- etis, strategi Snouck Hurgronye dengan mengklasifikasikan aktivitas ajaran Islam kepada tiga bentuk, yaitu; keagamaan murni (ibâdah), kemasyarakatan (mu‘âmalah) dan politik (siyâsah). Oleh karenanya, nasihat Snouck Hurgronye kepada pemerintahan Belanda terkait dengan persoalan ibâdah, pemerintah jangan melakukan intervensi, terkait persoalan mu‘âmalah pemerintah harus mendorong dan memberikan fasilitas sesuai kebutuhan warga pribumi, sedangkan terkait persoalan politik pemerintah harus bersikap tegas. Selain itu, konversi pendekatan militer menuju pendekatan sosio-kultural bertujuan mengambil hati rakyat agar merasa nyaman dengan keberadaan dan peraturan pemerintahan Belanda serta tidak melakukan gerakan yang dapat mengganggu stabilitas politik. Gagasan ini diprediksi menjadi referensi bagi pemerintah Hindia Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di Nusantara. Kebijakan ini juga berimbas ke Jambi ketika itu yang sedang gencar melakukan gerakan perlawanan dipimpin kalangan bangsawan dan ulama.140

139Cristian Snouck Hurgronye, Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan, Judul asli tulisan ini De Islam in Nederlandsch Indie, Terbit dalam ―Groote Godsdiensten‖, (Jakarta: Bhatara, 1973), Seri II, No. IX, 8- 9. 140Empat orang ulama yang mendukung gerakan perlawanan terhadap kolonial yaitu; Guru Ibrahim, Guru Ahmad, Guru Usman dan Guru Kms. H. M. Shaleh, semuanya murid Guru K.H. Abd. Majid Bin H. M. Yusuf Keramat (1893 M). Guru K.H. Abd. Majid Bin H. M. Yusuf Keramat adalah guru Sultan Thaha Saifuddin dan ulama besar yang populer dan paling berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam ke seluruh pelosok Jambi. Sebegitu besar pengaruhnya, sehingga ketika menunaikan ibadah Haji Belanda melakukan pencekalan agar ia tidak lagi kembali ke Jambi. Usaha Belanda berhasil dan akhirnya beliau menetap di Mekkah dan menjadi guru pada salah satu serambi Masjidil Harâm. Guru. H. Abd. Majid menjadi warga Mekkah, sambil mengajar agama Islam dan melayani Umat Islam utamanya jama‘ah haji dari Jambi. Lihat Syamsir Salam, Perukunan Tsamaratul Insan Sebagai Perintis ke Arah Pendidikan Formal Islam di Kodya Jambi, (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 1979), 12.

91

Tak lama kemudian, efek gerakan nasional di Jambi memunculkan Gerakan Sarekat Islam (S.I) di bawah pimpinan Roni bin Akib, yang terpolarisasi menjadi dua yaitu; Kota dan Uluan.141 Sarekat Kota merupakan refresentasi mayoritas pendatang yang tidak mempunyai lahan pertanian dan bisnis mereka bergantung pada perekonomian pasar, yang dikuasai China sebagai investor (pemodal) dan Belanda sebagai penguasa. Sedangkan gerakan Uluan merupakan refresentasi petani dan mantan pengikut setia Sultan Thaha, sebagai bentuk protes terhadap peraturan Belanda yang dianggap diskriminatif, utamanya dalam penguasaan atas tanah. Selain itu, gerakan ini dimanfaatkan pengikut setia Sultan Thaha yang kalah untuk kembali menegakkan kesultanan Jambi. Menyikapi kondisi ini dan sebagai upaya menghindari gejolak sosial atau perang antara Belanda dan penduduk pribumi. Pemerintah Belanda meminta nasihat Snouck Hurgronye, akhirnya ia berhasil memetakan organisasi ini sesuai misi yang diemban.142 Kedua gerakan dipolarisasi menjadi dua yaitu; Kota dan Uluan. Gerakan Kota, cenderung bergerak pada bidang doktrinasi dan pendidikan, harus dicermati secara serius bentuk doktrinasi yang dikembangkan. Sedangkan gerakan uluan, cenderung pada bidang politik sehingga harus dihadapi dengan kekuatan militer. Selain itu, Belanda juga berhasil dengan mudah membenturkan dua sistem yang berkembang di kalangan umat Islam, yaitu Islam ortodok dan Islam modern. Islam ortodok didukung warga pribumi, sedangkan Islam Modern didukung pendatang dari Jawa dan Minangkabau.143 Pihak Belanda menilai bahwa

141Jang A. Muttalib, Suatu Tinjauan Mengenai Beberapa Gerakan Sosial di Jambi Pada Perempat Pertama Abad ke 20 Prisma, 1980, 77. 142Hurgronye, Islam ..., 359 – 392. 143Pola yang diterapkan Belanda dalam upaya mengorganisir sekaligus membuat konflik antar keduanya dengan memberikan kesempatan kepada Sarekat Islam Kota mengorganisir internal organisasi agar tidak berbentuk disfuse, sehingga sulit dikendalikan. Untuk itu, Belanda menerbitkan izin untuk perukunan Tsamaratul Insan, yayasan sosial yang seluruh pengurus dan anggotanya adalah

92 organisasi ini memungkinkan menjadi penyeimbang sekaligus kontra produktif atas aktivitas Sarekat Kota, melalui politik devide et impera-nya Belanda benturkan kedua gerakan sehingga dengan mudah terjadi konplik.144 Langkah awal dengan menciptakan sistem dan struktur ekonomi yang memposisikan kelompok pribumi- pendatang sebagai kelompok ketiga dalam struktur masyarakat. Slogan perbaikan sektor ekonomi pribumi yang digaungkan oleh Sarekat Islam mendapat sambutan baik kelompok ini, sehingga terbentuklah dua kekuatan sosial, harapan pemerintah Belanda terjadi konflik di antara kedua kubu, dan Belanda menjadi mediator atau arbitrase.145 Pola managemen konflik tersebut untuk menghindari munculnya ledakan sosial dalam bentuk violence, sehingga benturan yang terjadi antara kelompok Kota dengan kelompok Tsamaratul Insan, hanya berkisar pada tata nilai dan sistem nilai yang dikembangkan oleh faksi masing- masing.146 Sedangkan langkah menghadapi Sarekat Islam Uluan, yang diklaim sebagai organisasi radikal dan fanatik, tidak ada pilihan lain kecuali dengan kekuatan militer. Mengingat kelompok ini sering melakukan penyerangan di beberapa pusat militer Belanda.147

warga asli daerah Jambi dari kalangan Islam ortodok. Lihat Samsir Salam, Perukunan Tsamaratul Insan ..., 25-26. 144Organisasi ini berdiri pada tahun 1914, atas persetujuan pemerintah Belanda, SK nomor 1636 tanggal 10 September 1915, yang dipimpin oleh H. A. Shomad bin H. Ibrahim H. A. Madjid, Kemas H. M. Sholeh bin H. M. Yasin, H. Ahmad bin H. Sjakur dan H. Usman bin H. M. Ali. Ibid. 145Nasrun, Sebuah Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem Sosial di Indonesia, (Yogyakarta: Fak. Sospol UGM, 1974), 26-29. 146Berikutnya beberapa penyerangan ke pusat pemerintahan Belanda di antaranya; penyerangan ke pusat pemerintahan di Muara Tembesi tanggal 26 Agustus 1916, di Sarolangun tanggal 31 Agustus 1916 menewaskan Controleur Water dan pengawalnya. Berlanjut penyerangan ke Muaro Tebo tanggal 12 September 1916, dan kembali berlanjut penyerangan ke Bangko tanggal 11 September 1916. Anehnya, keseluruhan daerah basis Sarekat Abang (SA) merupakan basis pengikut Sultan Thaha Saifuddin. Muttalib, Suatu Tinjauan ..., 98. 147Ada lima daerah terkuat di Indonesia yang sulit ditaklukkan oleh Belanda yaitu; Aceh (1914), Nias (1914), Bali (1908), Tapanuli (1907),

93

Menurut Jang A. Muttalib, pergerakan rakyat Jambi terpolarisasi menjadi dua gerakan kekuasaan dan messianistis. Gerakan yang murni mempertahankan wilayah dan kekuasaan sejak abad ke-2 M. sampai abad ke- 19 dan gerakan pada abad ke-20 utamanya pada perempat abad ke-20, baik di Jambi maupun pedalaman Palembang melawan Belanda mengandung unsur Messianistis.148 Berbeda dengan Syamsir Salam, menurutnya tidak semua perlawanan di Jambi dikategorikan sebagai Messianistis. Perbedaan ini didasarkan perbedaan rentang waktu peristiwa, Jang A. Muttalib menandai sejak perempat abad ke-20, sedangkan Syamsir Salam sejak pembatalan perjanjian oleh Sultan Thaha Tahun 1855 sampai dengan 1907. Selanjutnya, sejak kedatangan Islam kerajaan Melayu Jambi menjadi kuat dan sulit ditaklukkan oleh kerajaan lain sekitarnya sampai kedatangan Belanda. Perjuangan Belanda yang panjang dan menelan banyak korban dalam menaklukkan Jambi tidak membuat masyarakat Jambi menyerah begitu saja hingga pemimpin mereka dari kalangan penguasa dan bangsawan gugur. Bahkan para pejuang Jambi sanggup mengorbankan simbol- simbol kekuasaan mereka untuk mempertahankan tanah air. Aspek Budaya Dari aspek budaya (kultural), masyarakat Melayu Jambi mempunyai budaya tersendiri yang bisa jadi berbeda dengan budaya lainnya, mengingat setiap kelompok masyarakat memiliki identitas dan ciri khas tersendiri, baik itu pengetahuan, norma maupun nilai budaya. Pengetahuan dan nilai tersebut dijadikan pedoman dalam mensiasati pola hidup, tutur dan tindak tidak hanya terkait dengan hal yang dianggap penting dan berharga dalam hidup, begitu pula sebaliknya. Selain itu, juga berfungsi sebagai pendorong

dan Jambi (1904). Sumber htttp. ―lima daerah terkuat di Indonesia yang sulit ditaklukkan Belanda‖, diakses tanggal 10 Juli 2016. 148Samsir Salam, Perukunan Tsamaratul ..., 12.

94 kelakuan manusia yang hidup dan membentuk siklus kehidupan masyarakat sebagai suatu sistem dan tata nilai. Di antara budaya masyarakat Melayu Jambi yaitu ketika penyampaian pesan atau nasehat menggunakan seloka adat. Seloka adalah ungkapan tradisional yang mewarnai kultur masyarakat, sebagai bagian dari tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk tutur kata.149 Seloka adat Jambi merupakan ungkapan yang mengandung pesan, amanat, petuah, atau nasehat yang bernilai etik dan moral adat masyarakat Melayu Jambi. Pesan yang terkandung di dalamnya berupa ungkapan yang jelas maupun analogi sebagai tradisi masyarakat sehari-hari sebagai pengokoh nilai-nilai dan norma-norma.150 Menurut Datuk Junaidi T Noer, seloka sebagai memori kolektif tradisi tutur bijak masyarakat Melayu Jambi.151 Seloka merupakan bagian dari nilai budaya

149Ada tujuh kategori seloka, yaitu; 1) Hukum Adat, 2) Perkawinan, 3) Kepemimpinan, 4) Perbuatan Buruk, 5) Kehidupan Bermasyarakat, 6) Kewajiban Diri Sendiri, dan 7) Kehidupan Keluarga. Kultur ini masih dapat dipertahankan oleh masyarakat Melayu Jambi hingga saat ini, meski terjadi pergeseran imbas dari pengaruh budaya asing. 150Pada beberapa daerah penggunaan istilah ini bervariasi, seperti; masyarakat Jawa menggunakan istilah seloka, dan masyarakat Minangkabau menggunakan istilah petatah petitih. Dalam sastra Melayu klasik, seloko termasuk jenis puisi yang berisi pepatah atau perumpamaan yang mengandung olok-olok, ejekan, senda gurau, dan sindiran. Biasanya seloka ditulis dalam empat baris dengan memakai bentuk pantun atau syair, tetapi juga sering ditulis kurang atau lebih dari empat baris. Menurut Hawkes seloka adalah kisah berisi petuah dan amanat yang disampaikan dari mulut ke mulut secara turun- temurun tanpa diketahui siapa pengarangnya. Ajaran, petuah, dan pesan- pesan itu disampaikan dengan bahasa rakyat. Lihat Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Canada: Routledge, 2003), 104. 151Masyarakat Melayu Jambi menggunakan dialek yang sedikit berbeda dalam pengungkapan kata berakhiran huruf ‗a‘. Jika mayoritas masyarakat Melayu lain menggunakan ‗e‘, maka masyarakat Melayu Jambi menggunakan huruf akhiran ‗o‘, seperti; apa menjadi ‗ape: apo‘, kemana menjadi ‗kemane:kemano‘, paduka berhala menjadi ‗paduke berhale;paduko berhalo‘ dan sebagainya. Sedangkan dalam pengungkapan pesan moral mereka menggunakan seloka, adagium atau slogan, contoh seloka Jambi ― Apabila berjalan memakai Tongkat, takkan terasa Lelah dan Penat, apabila iman sudah Melekat, takkan susah Dunia dan Akhirat: apabila halaman sudah di Sapu, tidakkan ada

95 masyarakat Jambi yang mencerminkan pandangan hidup (way of life), seperti; nilai religiuitas, nilai etik (moral) dan nilai sosial. Nilai-nilai yang meliputi kaidah-kaidah, pranata sosial dan tingkah laku yang diasumsikan sesuatu benar dan pantas oleh masyarakat. Oleh karenanya, seloka Jambi dipersepsikan bagian dari ayat Allah yang keluar dari lisan orang Jambi. Karena apa yang disampaikan melalui seloka dapat menyentuh dan menyadarkan orang lain. Mereka yang menyimaknya akan mengerti kenapa ini diucapkan tanpa ada perasaan tersinggung atau sakit hati. Selain itu, salah satu budaya yang merupakan identitas masyarakat Melayu Jambi adalah cuci kampung, sebuah tradisi untuk membersihkan sebuah wilayah (kampung) dari kotoran setelah terjadi perbuatan asusila atau perbuatan mesum, tidak senonoh, atau amoral. Secara umum cuci kampung dikenakan bagi siapa saja yang melanggar larang pantang, tindak perdata maupun tindak pidana adat. Praktiknya melalui doa bersama agar terhindar dari bala dan malapetaka serta pelaksanaannya di atas bumi sebagai simbol pembersihan bumi yang tercemar karena perilaku manusia. Denda adat yang dikenakan untuk mencuci kampung berupa 2 ekor ayam, 1 ekor kambing, atau 1 ekor kerbau. Kambing adalah batasan yang boleh dilakukan oleh nenek mamak. Sementara bila melebihi kambing harus dengan putusan raja.152 Boleh jadi pada kasus tertentu dikenakan denda melebihi kambing. Contohnya, peristiwa dalam lingkup menikam bumi,

Sampah dan Debu, apabila iman sudah Menyatu, tentulah hilang Bimbang dan Ragu; Ulat bulu dibatang Pisang, kena bulunya terasa Miang, Nasehat guru dikenang-kenang, supaya hidup tiada Terbuang; Mengail di Tanjung menjala di Pantai, bila mendapat makan Beramai, Keadilan dijunjung Kebenaran dipakai, Dunia akhirat aman dan damai; Bekato merendah rendah, mandi dibawah-bawah, bekato dulu sepatah, bejalan dulu selangkah, rajo alim rajo disembah, rajo zalim rajo disanggah, menyanggah rajo dengan undang, menyanggah alim dengan kitab. Kota la Jambi dilintas sungai, Sungai benamo si Batanghari, Baikla budi elok perangai, dimano-mano orang kasihi; Asal kapas menjadi benang, Benang di tenun menjadi kain, Kasih yang lepas jangan dikenang, sudah menjadi si orang lain.‖. 152Wawancara, Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jambi, 12 Mei 2015.

96 mencarak telur, bersunting bungo setangkai, dan mandi di pancuran gading. Atau peristiwa orang yang dituakan dan dihormati di kampung, seperti imam mesjid melakukan zina, maka hukumannya berupa 1 ekor kerbau, 100 gantang beras dan diusir dari kampung. Hukumannya menjadi lebih berat karena kampung menjadi sangat tercemar oleh karena perilaku manusia yang menyerupai perilaku hewan. Orang tua belaku budak, orang besak belaku kecik. Pelaku dihukum seberat-beratnya. Sementara bila bujang gadis hanya‘ didenda 1 ekor kambing, 20 gantang beras dan dinikahkan. Namun demikian, saat ini karena beralasan maksud memudahkan tradisi cuci kampung diganti dengan uang yang besarannya tergantung pada harga denda dan perundingan serta batas kemampuan pihak yang didenda. Uang dimasukkan ke dalam kas RT/kampung atau diserahkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, seperti panti asuhan. Selain dalam persoalan denda, cuci kampung juga memiliki perbedaan dalam hal perkara yang dikenakan cuci kampung. Umumnya, perkara yang dikenakan denda adalah perkara-perkara hubungan laki- laki dan perempuan yang menjurus pada perzinaan atau perzinaan itu sendiri. Padahal sebenarnya, cuci kampung juga dapat dilakukan untuk semua bentuk kerusuhan, contoh, untuk mendamaikan dua kelompok pemuda yang berkelahi atau kasus pembunuhan. Setelah denda dikenakan, maka yang paling penting dalam tradisi cuci kampung adalah menanggulangi resiko yang ditanggung oleh pihak korban, dan mempersaudarakan antara pelaku dan korban. Lebam balu ditepung tawar, luka lukih dipampas, mati dibangun. Luka dipampas, bukan sekadar didamaikan dengan kambing, namun juga pihak korban diobati hingga sembuh dan segala kerugian diganti. Mati dibangun, maka dalam hal ini ruh korbannya yang dibangunkan dalam bentuk ikut membantu keluarga korban sehingga seakan-akan korban masih tetap hidup. Selanjutnya, sebagai bagian dari kebudayaan melayu digolongkan sebagai kebudayaan pantai yang bercorak

97 perkotaan dan didominasi aktivitas perdagangan dan kelautan. Bukti-bukti arkeologi tentang relasi Islam dan Melayu dijumpai melalui makam-makam kuno bertulis huruf Arab dan huruf daerah tentang ketokohan penguasa dan bangsawan Melayu di berbagai wilayah Nusantara. Fenomena legitimasi raja-raja Melayu Islam ini mengindikasikan Islam menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Melayu. Tak dapat dipungkiri, Islam memberi pengaruh amat besar terhadap budaya pikir dan tindak serta kepribadian masyarakat Melayu Jambi sehingga menjadi lebih arif, toleran dan berkualitas. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu; pertama, aspek bahasa, pengaruh Islam pada budaya melayu seperti dipergunakannya aksara Arab-melayu, Arab Gundul, pada literatur dan karya tulis tentang kerajaan dan perdaban Melayu Jambi. Kedua, aspek kesenian, masyarakat Jambi banyak mengadopsi kesenian yang bernuansa Islami seperti; Zapin (Gambus), Qasidah, burdah, kompangan, barzanji nazam dan Diba‘. Ketiga, adat, suatu tradisi berpegang teguh pada falsafah―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah‖. Ketentuan- ketentuan adat yang bertentangan dengan syarak tak boleh dipakai, syaraklah yang dominan karena dianggap memiliki sandaran yang kuat yaitu al-Qur‘an dan Sunnah.153 Sejak saat itu, Islam memberi warna terhadap adat sehingga melahirkan stereotipe kultural Islam-Melayu, Melayu-Islam. Bahkan, Islam dan melayu menjadi dua kata yang sering dan harus berjalan beriringan; Islam menjadi bagian integral kehidupan masyarakat melayu, sebaliknya masyarakat melayu juga menjadi identik dengan Islam. Keduanya mengakar di kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam dengan sendirinya nilai Islami termanifestasi dalam kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan sosial-politik, seperti konsep kekuasaan, penguasa atau raja, hubungan penguasa

153Muhammad Yusrizal, Pola Sistem Pemerintahan Melayu. Diakses 20 September 2016.

98 dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah sosial-politik.154 Dengan demikian, dari perspektif budaya identitas Melayu Jambi ditentukan oleh tiga aspek, yaitu; berbahasa melayu, beradat- istiadat melayu, dan beragama Islam. Atas dasar itu, masyarakat Melayu nusantara dipersatukan oleh adanya kerajaan-kerajaan melayu pada masa lampau. Kebesaran kerajaan-kerajaan melayu telah meninggalkan tradisi-tradisi dan simbol-simbol kebudayaan melayu yang menyelimuti berbagai suasana kehidupan hampir sebagian besar masyarakat wilayah kepulauan tersebut. Kerajaan- kerajaan besar melayu tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Sumatera, namun penyebarannya mencapai sebagian besar wilayah Nusantara. Hal ini memungkinkan karena beberapa penguasa beserta pengikutnya melarikan diri yang dipicu oleh berbagai faktor, dan selanjutnya mendirikan kerajaan Melayu baru di daerah lain. Simbol-simbol kebudayaan Melayu digunakan dalam upaya menjembatani berbagai suku bangsa dan golongan etnis yang berbeda sehingga saling berinteraksi melalui bahasa dan etika Melayu. Dengan kata lain, kebudayaan Melayu Jambi memiliki ciri- ciri utama yang bersifat fungsional dan inklusif dalam mengakomodasi perbedaan rasial, etnik dan agama. Budaya inilah yang merupakan sebagian kecil dari identitas budaya masyarakat Melayu Jambi yang masih berlaku, tidak menutup kemungkinan terjadi perkembangan atau pergeseran seiring dengan perkembangan zaman. Meski mayoritas masyarakat Jambi muslim, namun khazanah adat tetap terjaga dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

154Iswara N. Raditya, Menyoal (Kembali)―Dwitunggal‖, Islam dan Melayu. Dunia Melayu Sedunia, Diakses 20 September 2016.

99

5. Kontekstualisasi Adat dan Syarak dalam Tradisi Masyarakat Melayu Jambi

Syarak diformulasikan sebagai sekumpulan aturan agama yang mengatur perilaku kehidupan kaum Muslim dalam segala aspeknya individual maupun kolektif, seringkali bertransformasi dari yang awalnya abstrak menuju yang bersifat kongkret. Sementara adat sebagai seperangkat aturan yang berlaku di masyakarat dalam waktu dan tempat tertentu, namun terkadang tidak sesuai diberlakukan oleh masyarakat di waktu dan tempat yang berbeda. Transformasi ini seringkali melalui proses saling beradaptasi, beraktualisasi, dan bersinkronisasi antara syarak dengan adat. Pada titik inilah terjadi dinamika syarak antara nilai-nilai tsubut (konstan) dan murûnah (fleksibel) sesuai kebutuhan zaman. Syarak dituntut selalu adaptif dan menerima nilai-nilai baru dari masyarakat secara kontekstual, mengingat syarak merupakan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini mengikat seluruh umat muslim. Pada bab ini penulis mengelaborasi kontekstualisasi adat dan syarak dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi.

A. Pemberlakuan Aturan Adat Melayu Jambi Pergulatan aturan ketetapan syarak dengan aturan ketetapan adat dinegosiasikan sedemikian rupa melahirkan

100 konfigurasi Undang Adat Jambi yang dikodifikasi melalui keputusan Ahmad Kamil, raja kerajaan Islam Melayu Jambi ketika itu. Sebagaimana aturan hukum lainnya, Undang Adat Jambi memiliki falsafah, sumber, teks, institusi dan teknis operasional tersendiri. Falsafah Undang Adat Jambi adalah Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah, meskipun sebelumnya telah ada falsafah adat bersendi ke alur dengan patut, alur bersendi ke mufakat, mufakat bersendi ke kebenaran. Konsep ini jika sejalan dengan pemikiran hukum Socrates sebagaimana dikutip Bernard L. Tanya, menurutnya hukum adalah tatanan kebajikan, sejatinya hukum membuat usernya aman dan damai sejalan dengan tujuan hidup manusia yaitu meraih kebahagiaan (eudaimonia).155 Tangga menggapai kebahagiaan (kesempurnaan jiwa) itu adalah kemampuan membedakan mana yang baik dan buruk (arete) dan melakukan kebajikan (virtue).156 Adapun sumber adat Melayu Jambi yaitu pucuk undang lima,terdiri dari: Titian teras bertanggo batu; Cermin nan idak kabur; Lantak nan idak goyah, kaping idak tagenso; Kato mupakat dan Dak lapuk dek hujan dak lekang dek panas.157 Secara spesifik menurut Junaidi T. Noer:158

155Dalam konsepsi Islam tujuan hidup manusia menggapai kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Q.S. al-Baqarah [2]: 201-202. 156Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yo gyakarta: Genta Publishing, 2013), 28. 157Menurut Zevenbergen sumber hukum merupakan sumber terjadinya hukum. Pada hakekatnya sumber hukum secara konvensional dapat dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Menurut Utrecht sumber hukum materil yaitu perasaan hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum (public opinion) yang menjadi determinan materil membentuk hukum, menentukan isi dari hukum, sedangkan sumber hukum formil, yaitu menjadi determinan formil membentuk hukum (formele determinanten van de rechtsvorming), menentukan berlakunya dari hukum. Sumber hukum formil antara lain: Undang-Undang, Kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam keputusan dari yang berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrina). Lihat E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: 1989, Djambatan), 84-85. 158Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 21 Mei 2015.

101

―Sumber atau sokoguru masyarakat Melayu Jambi adalah lima Pucuk Undang atau lima undang-undang dasar. Pertama, Titian teras bertanggo batu, yaitu segala syariat Islam yang bersumber dari al-Qur‘an dan Hadits; Kedua, Cermin nan idak kabur, yaitu ketentuan hukum adat yang ada sejak dahulu dan dijadikan tradisi oleh masyarakat setempat tidak boleh diubah; Ketiga, Lantak nan idak goyah, kaping idak tagenso, yaitu ketentuan hukum adat yang ada dari dulu harus dipelihara, jika diubah terjadi kekacauan (chaos) sehingga harus dipelihara seoptimal mungkin; Keempat, Kato mupakat, yaitu keputusan harus melalui musyawarah adat. Kelima, Dak lapuk dek hujan dak lekang dek panas, yaitu keputusan yang telah disepakati melalui musyawarah harus dipatuhi dan menjadi tanggung jawab bersama.‖

Sumber inilah sebagai dasar pijak (uşûl al-mazhab) forum tiga tali sepilin dalam pengambilan setiap keputusan melalui presidium kerapatan adat. Selanjutnya adat terpolarisasi kepada empat kategori, yaitu; Adat Sebenar Adat, Adat yang Diadatkan, Adat nan Teradat, dan Adat Istiadat.159 Tidak dijumpai alasan kenapa dan kapan

159Pertama, Adat Sebenar Adat, aturan yang berhubungan dengan persoalan; ibadah, bisnis (muâmalah), perdata (akhwâl al-syahsiyyah), pidana (jinâyah), keluarga (munâkahât), dan ketatanegaraan (siyâsah). Kesemuanya merujuk pada al-Qur‘an dan Hadits serta hasil ijtihad ulama ‗ahl Sunnah wa al-Jamâ‘ah; Kedua, Adat yang Diadatkan, aturan yang bersumber dari budaya manusia dan ditetapkan menjadi hukum Adat pada kasus pidana, perdata, dan tata negara sesuai keinginan masyarakat adat. Seperti sanksi pembunuhan, penganiayaan, pencurian, zina, dan model perdamaian antara pelaku dan korban; Ketiga, Adat nan Teradat, aturan yang bersumber dari budaya suatu tempat atau daerah, diubah hanya melalui musyawarah karena dianggap tidak relevan dengan situasi dan kondisi. Contoh, sebelum menikah harus ada acara seremonial pertunangan (letak tando) agar kepala desa dan ketua adat mau hadir pada saat pesta pengantin. Aturan ini dapat berubah sesuai dengan kesepakatan pengurus adat; dan Keempat, Adat Istiadat, aturan tradisi warisan nenek moyang, contoh, setiap akan membaca doa pada acara seremonial selamatan, kematian dan lainnya diawali dengan membakar kemenyan. Tradisi ini dapat berubah kapanpun bergantung pada keinginan masyarakat sebagai adresat hukum, termasuk meningkatkan klasifikasi adat seperti peningkatan status adat istiadat atau adat nan teradat naik levelnya menjadi adat yang diadatkan melalui. Hanya saja

102 terjadinya polarisasi adat tersebut, oleh karenanya saling klaim dan polemik tak terhindarkan. Versi Jambi, menurut Sulaiman Abdullah dan Junaidi T. Noer polarisasi adat munculnya bersamaan dengan kemunculan falsafah adat meski penerapannya berawal dari wilayah Jambi bagian Hilir.160 Setelah ekspansi kerajaan Islam Melayu Jambi ke wilayah Barat pemberlakuan falsafah merata ke seluruh wilayah kerajaan, meskipun pada beberapa kasus penerapannya berbeda antara Barat/Hulu dan Timur/Hilir. Versi Minangkabau, menurut Taufik Abdullah dan Ramayulis polarisasi adat muncul bersamaan lahirnya Traktat Marapalam.161 Terlepas dari itu, menurut penulis asumsi mengenai polarisasi adat dipetakan menjadi dua berdasarkan kronologisnya. Pertama, masa kerajaan Melayu sebagaimana klaim masyarakat Melayu Jambi bahwa falsafah dan polarisasi adat lahir sejak abad ke-15. Kedua, masa kolonial Belanda sebagaimana klaim masyarakat Melayu Minangkabau yang memungkinkan dua hal. Satu sisi sebagai strategi umat Islam Minangkabau menghadapi politik Belanda yang hanya mengakui keberadaan adat sehingga disiasati agar Belanda tetap mengakui keberadaan syarak melalui polarisasi adat. Di sisi lain, justru sebagai strategi pemerintah Belanda yang menghendaki pemberlakuan hukum mereka dan upaya mengkerdilkan syarak sehingga yang mengemuka hanyalah adat bukan syarak. Disinilah entitas adat semakin kelihatan jelas, sebaliknya eksistensi syarak justru menjadi ―redup‖. Secara substantif polarisasi adat sebagai upaya memilah mana ruang hukum universal, konstan dan harus perubahan status tersebut melalui kerapatan adat manakala dianggap urgen. Lihat Sulaiman Abdullah, Agama ..., 5; Herman Basyir, Mengenal Adat Budaya Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, (Jambi: LAM Provinsi Jambi, 2005), 10-12.. 160Wawancara, Ketua MUI dan Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 21 Mei – 13 Juni 2015. 161Ramayulis, Traktat Marapalam ―Adat Basandi Syara‘- Syara‘ Basandi Kitabullah‖ (Diktum Karamat Konsensus Pemuka Adat dengan Pemuka Agama dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau – Sumatera Barat), 3, diakses tanggal 21 Januari 2017.

103 dipatuhi, dan mana ruang hukum lokalistik, fleksibel dan boleh diabaikan. Aturan syarak dengan adat dikompromikan sehingga lahirlah Undang Adat Jambi dan Undang Kerajaan Islam Melayu Jambi, negara ketika itu, yang dikodifikasi oleh Ahmad Kamil.162 Pada masa itu hukum didominasi oleh syariat Islam, berbeda dengan masa kolonial Belanda dimana hukum yang ada lebih didominasi hukum Belanda utamanya hukum Pidana sehingga undang adat Jambi mulai termarginalkan dan hanya dipahami oleh tokoh adat. Setelah dihidupkannya kembali lembaga adat, Undang Adat Jambi kembali dikumpulkan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Materi pokoknya dalam Undang Duapuluh, terpolarisasi menjadi dua yaitu; Undang Delapan (Induk Undang) dan Undang Duabelas (Anak Undang). Polarisasi ini untuk menentukan sanksi bagi pelaku, menetapkan nama atau tingkatan kesalahan dan menentukan kompensasi yang patut diterima pihak korban, yang dijabarkan dalam aturan lain sesuai domain, motivasi dan bentuk pelanggaran.163

162Undang Adat Jambi termuat dalam Hukum Adat kabupaten/kota mencakup adat istiadat, asas berlakunya hukum adat, hukum kekerabatan, undang-undang adat, undang-undang hukum tentang adat, bayyinah, ikrar, sumpah, waris dan bentuk perceraian. Aturan pokok adat termuat dalam undang duapuluh, yang dipolarisasikan menjadi dua yaitu; Pucuk Undang Delapan dan Anak Undang Duabelas. Namun keduanya mengatur bentuk kejahatan (hukum publik) dan tata tertib masyarakat yang berkaitan dengan paranata ekonomi (hukum privat/sipil). Sedangkan Undang raja, yaitu peraturan yang ditetapkan oleh raja yang berlaku bagi seluruh rakyat kerajaan, seperti delapan ketetapan Raja Ahmad Kamil, mengenai ―larang pantang‖ bagi rakyat Jambi, yaitu: pertama, Menikam Bumi, yaitu seorang anak laki-laki berzina dengan ibu kandungnya; Kedua, Mencarak Telur, yaitu seorang bapak menzinai anak kandungnya; Ketiga, Besunting Bungo Setangkai, yaitu berzina dengan saudara kandungnya; Keempat Mandi di Pancuran Gading, yaitu berzina dengan istri raja, atasan atau pejabat; Kelima, Nutuh Kepayang Nubo Tepian, yaitu merusak fasilitas umum berupa; pohon, air, atau sumber alam lainnya. Lihat Azra‘i Basyari, Adat Budaya Jambi, (Jambi: LAM, 2005), 6-7. 163Aturan adat dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi berbeda dengan tradisi Minangkabau, di Minangkabau mencakup empat bentuk susunan nagari, yaitu; teratak, dusun, koto dan nagari. Empat bentuk kata, yaitu; kata pusaka, kata mupakat, kata dahulu dan kata kemudian.

104

Ketika mengelaborasi Undang Duapuluh, penulis menambahkan contoh terkini agar pembaca memahami kasus berikut contohnya.164 Undang Delapan terdiri dari: Pertama, Dago Dagi. Dago yaitu kesalahan seseorang atau sekelompok orang terhadap negeri (pemerintah), sementara Dagi, yaitu kesalahan individu atau kelompok yang memfitnah orang lain dan mengakibatkan terjadinya konflik antar kelompok masyarakat, seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, Teroris Amrozi, Azhari Cs dan sebagainya. Kedua, Sumbang Salah. Sumbang yaitu perbuatan menurut penilaian umum masuk kategori perbuatan tercela, seperti, pergaulan yang tidak etis antara laki-laki dan perempuan bukan muhrim (ajnabi), dalam seloka adat ―tegak baduo-duo, bagandeng duo di tempat sepi, tegak menanti lengah, duduk menunggu sepi. Perbuatan yang dinilai tidak pantas dan lazim dalam pandangan masyarakat setempat, satu kali melanggar dinamakan sumbang dan kali dua kali pelaku mendapat tegur sapo dari pemangku adat. Namun jika berulang kali menurut Amin Khudori hukumnya berubah menjadi salah, pelaku dikenakan sanksi cuci kampung.165 Sedangkan pada kasus perselingkuhan antara perempuan dan lelaki lajang atau perselingkuhan antara perempuan bersuami menurut Datuk Tabroni, M.Pd.I sanksi adatnya berbeda:166

Empat tingkat adat, yaitu; adat yang sebana adat, adat yang diadatkan, adat yang teradat dan adat istiadat. Empat bentuk hukum, yaitu; hukum ilmu, hukum bayyinah (sumpah), hukum qarinah dan hukum perdamaian. Empat bentuk undang-undang, yaitu; undang-undang luhak dan rantau, undang-undang nagari, undang-undang dalam nagari dan undang-undang duapuluh. Sistem kekerabatan, perkawinan, kewarisan dan tanggung jawab terhadap ke keponakan, lihat Idrus Hakimi, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 106-107. 164Azra‘i Basyari, Adat Budaya ..., 8-10; Fathuddin Abdi, dkk., Undang-undang ..., 7. 165Wawancara, Ketua Lembaga Adat Desa Rambutan Masam Kabupaten Batanghari, 10 Mei 2015. 166Wawancara, Ketua Lembaga Adat Sungai Duren Jambi, 15 April 2015.

105

―Jika terjadi perselingkuhan antara lelaki baik bujang, duda atau beristeri dengan perempuan bersuami, maka suami dapat mengajukan gugatan atas isterinya dilengkapi bukti ke peradilan adat dan minta kepada sidang adat menghukum isteri dan lelaki selingkuhannya. Berdasarkan aturan adat mereka harus menjalani persidangan dan jika terbukti maka peradilan adat menghukum si istri dan lelaki selingkuhannya. Bagi isteri dibebani biaya membayar tebus talak (‗iwadh) dan diusir dari rumah dengan pakaian seadanya. Selanjutnya suami meminta ganti rugi kepada lelaki yang menodai istrinya untuk membayar ganti rugi dengan dua pilihan yaitu; sepenyebutan atau sepenjemputan. Pertama, Sepenyebutan, maksudnya suami meminta ganti rugi sesuai keinginannya karena laki-laki tersebut karena telah menodai isterinya dan menjatuhkan martabatnya di tengah masyarakat. Kedua, Sepenjemputan, maksudnya suami meminta ganti rugi sesuai dengan jumlah uang yang ia keluarkan ketika melamar isterinya.

Ketiga, Samun Sakal. Samun yaitu mengambil harta benda orang lain dengan kekerasan, seperti; ancaman, pencideraan dan pembunuhan. Sanksinya jika korban meninggal, pemangku adat wajib melaporkan pelaku ke aparat hukum (polisi) dan jika diperlukan ikut menangkap pelaku dan jika korban hanya diteror/disakiti, pelaku dikenakan sanksi ―salah ambik balikkan, salah makan muntahkan, utang kecik dilunasi, utang gedang diangsur.‖ Keempat, Upas Racun. Upas yaitu meracuni korban melalui makanan atau minuman mengakibatkan korban mati secara perlahan. Sedangkan racun meracuni korban dengan zat beracun sehingga korban mati seketika, seperti; kasus Munir penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) yang diracuni oleh Poli Carpus, pilot sebuah maskapai penerbangan di Indonesia dan kasus I Wayan Mirna Solihin yang diracuni oleh Jessica Kumala Wongso dengan zat yang disebut sianida. Kelima, Siur Bakar. Siur yaitu membumi-hanguskan pemukiman penduduk, lahan perkebunan (pertanian), atau tempat pengembalaan ternak merugikan orang lain, seperti

106 kasus pembakaran hutan (karhutla) yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Keenam, Tipu–Tepok. Tipu–Tepok yaitu tindakan menipu individu atau kelompok dengan modus berbuat baik mengakibatkan kerugian moril maupun materil, seperti; korupsi, money laundring, human trafiking, coin mas, arisan fiktif, bisnis narkoba, penggandaan uang oleh Kanjeng Dimas Taat Pribadi, janji politik dalam pemilihan kepala daerah, anggota legislatif dan presiden. Ketujuh, Maling Curi. Maling yaitu mengambil hak milik orang lain di tempat terkunci atau tersembunyi tanpa sepengetahuan pemiliknya, seperti curanmor. Sementara curi yaitu mengambil hak milik orang lain di tempat yang tidak terkunci atau tersembunyi tanpa sepengetahuan pemiliknya seperti; rampok dan begal. Kedelapan, Tikam Bunuh. Tikam yaitu tindakan menikam seseorang dengan senjata tajam atau tumbuh, sementara Bunuh adalah tindakan menghilangkan nyawa seseorang dengan sesuatu alat sehingga orang itu mati baik seketika maupun setelah rentang waktu. Pelaku dikenakan sanksi adat berupa ―denda adat atau pampas‖. Menurut Habib Muhammad, Denda adat disimbolkan dengan binatang ternak berupa kerbau atau kambing, makanan pokok, buah-buahan dan lain-lain. Tujuannya memberi efek jera bagi pelaku dan menengahi konflik yang terjadi antara pelaku dan korban, agar tidak menyisakan dendam bagi korban dan terjalin hubungan persaudaraan antara pelaku dan korban.167 Sedangkan Undang Duabelas, terdiri dari: Pertama, Lebam-balu ditepung tawar, yaitu menyakiti tubuh orang

167Pada kasus besar seperti ini langkah awal Pemangku Adat melaporkannya kepada aparat penguasa atau pemerintah. Selain itu, pelaku dikenakan sanksi adat, yaitu: 1). 1 ekor kambing; 2). Selemak semanis seasam segaram; 3). 20 gantang beras; 4). 5 hasta kain putih; 5). 20 tali/tandan kelapa. Jika kematian seseorang itu akibat upas, maka pampasnya lebih berat menjadi seekor kerbau, 100 gantang beras, 8 hasta kain, dan 100 tandan kelapa. Jika korban mengalami luka ringan maka tidak perlu cuci kampung, cukup membayar denda adat, yaitu; 1). 1 ekor ayam; 2). Selemak semanis seasam segaram; 3). 1 gantang beras. Wawancara, Pemerhati Adat Jambi, 20 Agustus 2015.

107 lain dan pelaku berkewajiban mengobatinya sampai sembuh dan baik kembali sampai hilang bekasnya. Kedua, Luka- lekih dipampas, yaitu melukai tubuh orang lain luka dan pelaku dikenakan sanksi membayar pampas sesuai tingkatan luka rendah, tinggi atau parah. Ketiga, Orang gedang berlaku kecik, yaitu kesalahan orang yang seharusnya menjadi contoh tauladan masyarakat seperti; pemimpin, penguasa, pemangku adat, imam, khatib, kepala desa. Keempat, Gawal menyembah, yaitu kesalahan yang tidak disengaja seperti; kesalahan istri terhadap suami atau sebaliknya. Kelima, Salah makan diludah, Salah bawak dikembalikan, Salah pakai diluruskan, yaitu perbuatan yang merugikan orang lain sehingga pelaku wajib mengganti atau membayar senilai kerugian yang ditimbulkan. Keenam, Hutang kecil dilunasi, Hutang Besar diangsur, kewajiban melunasi hutang jika kuantitasnya kecil dilunasi sekaligus, jika kuantitasnya besar boleh diangsur. Ketujuh, Golok Gadai Timbang Lalu, harta benda yang digadaikan sebagai jaminan beralih kepemiliknya jika telah lewat waktu (taqâdum). Kedelapan, tegak mengintai lengang, duduk menanti kelam, tegak begandeng duo, salah bujang dengan gadis kawin, pergaulan antar orang bujang dengan seorang gadis yang diduga kuat melanggar adat dan memberi malu kampung tanah sisik siang harus dikawinkan. Kesembilan, memekik mengentam tanah, menggulung lengan baju, menyingsingkan kaki celana, yaitu menantang orang lain berkelahi dikenakan sanksi sesuai status sosial yang ditantang. Kesepuluh, menempuh nan bersamo, mengungkai nan berebo, yaitu larangan memasuki wilayah atau memanjat yang ada tanda larangannya baik berupa pagar atau tanda khusus. Kesebelas, Meminang di atas pinang, Menawar di atas tawar, yaitu larangan meminang gadis yang telah dipinang orang lain Keduabelas, Umo bekandang siang, Ternak bekandang malam, yaitu petani harus menjaga kebun dan sawahnya di siang hari dan peternak harus mengurung ternaknya di malam hari.168

168 Cholif, Hukum Pidana Adat..., 50-55.

108

Undang Duapuluh secara konseptual menjadi spirit masyarakat Melayu Jambi dalam menyelesaikan kasus hukum, selain sebagai warisan leluhur yang harus dipertahankan. Meski penetapan sanksinya bisa jadi berbeda sesuai wilayah dan eco pakai. Secara umum segala bentuk pelanggaran ―larang pantang‖ dalam Undang Duapuluh dikenakan sanksi adat berupa ―denda adat atau pampas‖, namun berbeda sesuai jenis dan tingkat kesalahan, yang diklasifikasikan pada tiga kategori yaitu; ringan, sedang dan berat. Pada awalnya pemberlakuan aturan adat secara universal pada bidang perdata, pidana, kelautan, kehutanan, ketatanegaraan dan undang raja. Namun, sejak Indonesia merdeka kompetensi peradilan adat hanya pada bidang pidana dan perdata. Bidang perdata meliputi: 1). Hukum Orang, yaitu hukum mengenai orang menurut adat setempat yang dipakai meliputi orang perorangan sebagai subjek hukum dan badan hukum, tempat tinggal, kewenangan berhak dan berbuat, kedewasaan dan pendewasaan dan pencatatan peristiwa hukum. 2). Hukum Kekerabatan, yaitu hukum yang mengatur hubungan keluarga, darah, perkawinan, keturunan, kekuasaan orang tua, harta benda perkawinan, warisan, pertalian, dan perceraian. 3). Hukum perkawinan, yaitu hukum yang mengatur tatacara melakukan ikatan suami istri dan perceraian antar keduanya serta akibat hukum yang muncul setelahnya. Sedangkan bidang pidana adat berorientasi pada hukum yang tidak terjangkau secara langsung oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mencakup: 1) pidana ringan seperti pencurian dan perkelahian; 2) Delik aduan; perzinaan, penghinaan, pencurian dalam keluarga; 3) Delik adat seperti pemangku adat melanggar aturan adat. Ketidakterjangkauan dimaksud disebabkan dua hal; pertama, banyaknya kasus ringan yang harus ditangani oleh aparat hukum setempat; kedua, keinginan dari masyarakat sebagai adresat hukum memberdayakan dan mengoptimalkan peran peradilan adat.

109

Berikut urutan-turunan Struktur Hierarki Undang Adat Jambi:169

Gambar 5.1. Struktur Hierarki Undang Adat Jambi 1502- 1906

Bagan struktur di atas merefleksikan hukum adat Jambi meliputi berbagai persoalan hukum yang dihadapi masyarakat kecuali bidang ibadah yang tidak dicover dalam undang adat mengingat persoalan tersebut diatur secara eksplisit oleh Islam melalui naşş al-Qur‘an maupun Sunnah. Begitupula bidang perdata (akhwâl al-syahsiyyah) dan bidang pidana (akhwâl al-janâ‘iyyah), bidang bisnis

169Struktur hukum adat ini merupakan simpulan dari beberapa referensi tentang adat yang penulis baca dan pahami melalui Undang Adat Jambi yang dipublis Lembaga Adat Melayu Jambi di wilayah Provinsi Jambi utamanya Kota Jambi, Batanghari, Sarolangun dan Muara Sabak, utamanya tulisan Mucktar Agus Cholif.

110

(muâmalah), dan ketatanegaraan (siyâsah), kesemuanya termuat dalam aturan undang adat Jambi.170 Dengan demikian, aturan kerajaaan Islam Melayu Jambi dalam bentuk Undang Adat ketika itu telah komplit mengakomodir segala kebutuhan hukum rakyat, aturan materil berupa peraturan tentang cara berinteraksi antar personal, kelompok maupun penguasa dengan rakyat. Begitupula dengan aturan formil yang mengatur tentang cara beracara mulai dari gugatan terhadap orang yang melanggar peraturan.

B. Praktik Hukum dalam Masyarakat Melayu Jambi Kedatangan Islam ke kerajaan Melayu Jambi, memberi pengaruh besar terhadap warna adat yang awalnya bersendikan kepada alur, alur bersendikan ke patut dan patut bersendi ke kebenaran menjadi ―Adat bersendi syarak, dan syarak bersendi Kitabullah. Selanjutnya dijabarkan menjadi ―Adat nan lazim syarak nan qawi; Syarak mengato adat memakai, Haram kato syarak dihukum kata adat,

170Ibadah adalah segala usaha lahir dan batin sesuai dengan perintah Tuhan untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan hidup, baik terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, maupun alam semesta. Terma ibadah sangat lekat dengan bahasa Melayu, sebagai perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah dilandasi ketaatan mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan muamalah adalah segala bentuk hubungan antara sesama manusia, terkait dengan harta dan kebutuhannya kepada pemilikan harta yang melahirkan Fiqh Muamalah, seperti; jual beli, sewa menyewa, serikat usaha dan sebagainya. Hubungan antar sesama manusia berkaitan dengan pelanggaran kasus dan sanksi pencegahan melahirkan Fiqh Jinayah (Hukum Pidana), seperti; zina, teroris, penghinaan, pencurian, perampokan, pembunuhan dan sebagainya. Hubungan antar sesama manusia berkaitan dengan penyaluran nafsu syahwat guna meneruskan keturunan secara sah melairkan Fiqh Munakahat (Ahwal al-Syahsiyyah), seperti nikah, cerai, waris, pengasuhan anak, dan sebagainya. Hubungan antar sesama manusia sebagai kelompok dengan pemimpinnya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa melahirkan Fiqh Dusturiyah (Hukum Tata Negara). Hubungan antar sesama manusia dalam suatu negara dengan negara lain dalam masa perang maupun damai melahirkan Fiqh Dualiyah (Hukum Internasional). Lihat Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), 14-17.

111

Larang kato syarak pantang kato adat.‖ Inilah dasar ideologis dan sosiologis bagi masyarakat Melayu Jambi dalam penerapan hukum sejak abad ke-15 hingga saat ini yang cenderung mengupayakan integrasi keduanya, meski tak luput dari tarik ulur memperebutkan kepentingan masing-masing. Secara umum masyarakat Melayu Jambi mempraktikkan syarak sesuai ajaran Islam, komitmen idealnya tertancap dalam lubuk hati setiap muslim. Meski karena persoalan sosial-politik, historis dan tarik menarik kepentingan akhirnya menyebabkan mereka dihadapkan persoalan yang mengalihkannya kepada praktik hukum lain. Kenyataan ini dialami masyarakat Jambi yang menjadikan kelembagaan adat sebagai institusi menyelesaikan kasus sosial keagamaan. Konsistensi penerapan aturan adat dan menjadikan kelembagaan adat sebagai alternatif dalam penyelesaian kasus perdata maupun pidana adat dapat dilihat pada kasus-kasus hukum yang diselesaikan melalui peradilan adat, sebagaimana pada latar belakang. Menurut Datuk Drs.Azrai Basyari,171 praktik hukum yang berlaku pada masyarakat Melayu Jambi secara substantif terkait dengan hubungan antar personal, kelompok dalam masyarakat berupa kebiasaan, hukum atau etika bergaul mengacu pada Undang Adat Jambi, meskipun pada beberapa kasus penerapannya berbeda. Perbedaan tersebut sesuai wilayah geografis provinsi Jambi, yaitu wilayah Timur dan Barat. Posisi Provinsi Jambi di bagian tengah Pulau Sumatera secara geografis sekaligus memetakan Jambi yang terdiri dari wilayah Timur dan Barat, kedua wilayah ini yang dalam stereotip-kultural masyarakat Jambi dikenal dengan sebutan Hilir dan Hulu (Mudik).172 Wilayah Hilir tradisi masyarakatnya cenderung pada tradisi masyarakat Melayu Riau, Deli-Sumatera Utara bahkan Malaysia, berlaku di Kota Jambi, Batanghari, Muara Jambi, Muara Sabak, Tungkal, sebagian Muara Bungo dan Tebo. Berbeda

171Wawancara, Ketua Lembaga Adat Kota Jambi, 20 Mei 2015. 172Jambi dalam Angka 2015, 20.

112 dengan wilayah Hulu, tradisi masyarakatnya cenderung kepada tradisi Minangkabau, berlaku di sebagian besar Sarolangun, Merangin, Sungai Penuh, Kerinci dan sebagian kecil Muara Bungo dan Tebo. Wilayah ini terintegrasi dengan Provinsi Jambi secara georgafis, namun tidak secara kultural karena terjadi saling-pengaruh antar-kebudayaan yang pada gilirannya justru melahirkan kebudayaan Jambi bias Minangkabau. Menurut Barbara Watson Andaya, Hilir dan Hulu merupakan pemetaan wilayah dalam kerajaan Islam Melayu Jambi.173 Hilir adalah wilayah Jambi bagian yang berada di pinggir laut dan berdataran rendah berawa yang dihuni oleh beragam etnisitas, daerah awalnya ini dihuni oleh etnis Melayu, namun dalam perkembangannya migran dari berbagai etnis utamanya Bugis, Jawa dan Banjar berdatangan dan terjadi kompetisi budaya serta budayanya lebih pluralistik. Sedangkan Hulu adalah wilayah Jambi bagian Barat yang berdataran tinggi, kebudayaannya lebih seragam. Selain di wilayah sentra transmigrasi, daerah ini dihuni oleh mayoritas Melayu dan Minangkabau karena berbatasan secara geografis dengan Sumatera Barat.174 Menariknya, pada kedua wilayah ini terjadi terjadi dualisme (ambivalen) hukum, meminjam istilah George Rizert hukum berparadigma ganda), antara Hilir dan Hulu. Pada beberapa kasus masyarakatnya menerapkan hukum berbeda satu dengan lainnya, seperti; sistem kekerabatan, kewarisan dan perkawinan eksogami.175 Pertama, praktik

173Barbara Watson Andaya, ―Upstreams and Downstreams in Early Modern Sumatera‖, dalam The Historian, 57, III, 1995, 537-552. 174Heinzpeter Znoj, ―Sons versus Nephews: A Highland Jambi Alliance at War with the British East India Company, ca. 1800‖, dalam Indonesia, 97, 1998, 97-121. 175Masyarakat Arab Jahiliyah, membagi harta waris hanya kepada laki-laki dewasa, sementara perempuan dan anak-anak tidak tergolong ahli waris. Mereka berkata ―apakah kami perlu mewariskan harta kepada orang yang tidak bisa memegang pedang dan menunggang kuda?‖ Perempuan yang ditinggal mati suaminya, hanya diberikan warisan dalam bentuk nafkah dari harta yang ditinggalkan, selama setahun/masa ‗iddah. Pada awal mula Islam, mereka mulai mewariskan harta kepada sadara laki-laki, keponakan, istri saudara dan paman dari ayah, secara terpaksa. Kemudian, ketentuan iddah di-naskh dengan Q.S. al-Baqarah

113 kekerabatan masyarakat Melayu Jambi wilayah Hilir menggunakan sistem kekerabatan patrilineal, sementara masyarakat Melayu Jambi wilayah Hulu sebagian besar mempraktikkan sistem kekerabatan matrilineal, utamanya Suku Penghulu. Menurut Hazairin ada tiga bentuk kekerabatan yang dipraktikkan masyarakat Indonesia.176 1. Patrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menimbulkan kesatuan kekeluargaan besar dengan suku, klan dan marga yang dihubungkan hanya kepada ayah, dan karenanya seseorang bernasab ke ayah, seperti di tanah Batak, Palembang, dan di tanah Arab. 2. Matrilineal, yaitu sistem kekerabatan dalam bentuk kesatuan kekeluargaan besar dengan suku dan klan yang dihubungkan hanya kepada ibu, dan karenanya seseorang bernasab ke ibu, seperti di Minangkabau. 3. Bilateral atau Parental, sistem kekerabatan yang menimbulkan satu kesatuan kekeluargaan besar, seperti trible atau rumpun yang dihubungkan kepada keduanya, ibu dan ayah, seperti di tanah Jawa. Praktik kekerabatan Patrilineal berimplikasi pada praktik kewarisan Patrilineal, dimana pihak laki-laki mendapat jatah warisan dua kali lipat melebihi perempuan. Begitupula dengan kekerabatan Matrilineal, dimana pihak perempuan menerima bagian waris lebih besar ketimbang laki-laki. Inilah yang dipraktikkan oleh masyarakat Jambi bagian Hulu. Menurut penulis ada dua prediksi embrio

[2]: 234, wa yatarabbas}na bi‘anfusihinn arba‗ah asyhur wa ‗asyra, hak perempuan ditetapkan dengan Q.S. an-Nisa‘ [4]:12, walahunn ar-rubu‗ dan mewariskan secara terpaksa di-naskh oleh ayat ―wala yahill lakum an taris an-nisâ‘ karha. Selanjutnya, secara berkala, al-Qur‘an merubah sistem kewarisan Jahiliyah. Dari hanya diberikan kepada keluarga partisipan perang dengan dua syarat: pertama, dengan mengikrarkan sumpah ―wa allazin ‗aqadat aimânakum fa‘tuhum nasibahum‖, Q.S. an- Nisâ‘ [4]:33. Kedua, dengan berhijrah ―inna allazin âmanu wa hâjaru wa jâhadu bi amwâlihim wa an fusihim sampai pada hatta yuhâjiru‖ al-Anfâl [7]: 72. Setelah masyarakat beradaptasi dengan ketentuan tersebut, diturunkan Q.S. an-Nisa‘ 4:11, sebagai afirmasi terhadap gagasan tiga sebab kewarisan; nasab, nikah, dan wulâ‘. Lihat Ibrâhîm al-Bâjûri, Hâsyiah al-Bâjûrî, (Beirut: Dâr Ihyâ‘ at-Turâs| al-‗Arabi, 1426 H), II. 96. 176Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur‘an dan Hadith, cet-2, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982), 11-12.

114 lahirnya corak matrilineal dalam tradisi Minangkabau, utamanya di kerajaan Pagaruyung. Pertama, strategi masyarakat Minangkabau yang ingin menghilangkan bekas- bekas dan tradisi kerajaan Majapahit yang pernah menjadi kolonial di Minangkabau setelah kerajaan Pagaruyung dan kerajaan kecil sekitarnya berhasil memisahkan diri dari kerajaan Majapahit ketika dipimpin Ananggawarman setelah perang terbuka di Padang Si Busuk. Kedua, strategi Raja Beramah kerajaan Pagaruyung yang berkuasa pada abad ke-4 M. yang tidak mempunyai anak laki-laki sebagai penerus tahta, selanjutnya mendoktrinasi masyarakat Minangkabau agar menerima kepemimpinan perempuan dalam kerajaan. Doktrin ini pada akhirnya merambah ke persoalan sistem kekerabatan dan kewarisan, sebagaimana diakui Ismail Zen:177 ―Tradisi masyarakat Hulu, utamanya Kabupaten Sarolangun maupun Merangin mengklasifikasikan harta warisan (peninggalan) menjadi tiga bentuk yaitu; harta berat, harta ringan dan seko. Harta Berat adalah harta yang oleh anak laki-laki dianggap berat hati untuk dibawa pergi karena anak perempuan lebih pantas menerimanya berupa benda keras, seperti; rumah, sawah, kebun, toko, dan aset bernilai lainnya yang ditinggal oleh orang tua (Muwarris) diperuntukkan bagi anak perempuan. Begitupula rumah peninggalan orang tua diberikan kepada anak perempuan bungsu. Sedangkan harta ringan adalah harta bergerak diberikan kepada anak laki-laki sebagai pencari nafkah, seperti; kendaraan, ternak dan lainnya. Adapun seko adalah pangkat, gelar atau jabatan yang diturunkan kepada anak laki-laki tertua.‖ Statemen ini diperkuat penelitian Albert al-Fikri tentang kewarisan paradigmatik di Sarolangun, menurutnya tidak mudah bagi masyarakat Muslim Sarolangun—utamanya kelompok pendukung kewarisan matrilineal—meninggalkan sistem kewarisan adat warisan nenek moyang. Praktik adat mereka percayai sebagai aturan ―dak lekang dek panas, dak lapuk dek hujan,‖

177Wawancara, Ketua Lembaga Adat Sarolangun, 25 Mei 2015.

115

(sesuatu yang spontan dan tak akan pernah berubah kapanpun). Bagi pendukung matrilineal falsafah adat diyakini kompatibel dengan materi adat itu sendiri, sedikitnya dua argumentasi untuk mengabsahkan praktik tersebut: 1) Karena adat telah diverifikasi oleh syarak. 2) Karena masyarakat adat tidak harus mempraktikkan keduanya akan tetapi boleh memilih salah satunya. Sementara itu, masyarakat Melayu Jambi bagian Hilir pendukung praktik kewarisan patrilineal menginginkan keselarasan syarak dengan adat sesuai pesan Islam menuntut pemeluknya mengimplementasikan Islam secara totalitas (kâffah).178 Kelompok ini menjadikan falsafah adat sebagai cara pandang (frame of thinking) dalam mempraktikkan sistem kewarisan sebagaimana adanya, seperti di Batanghari dan Muara Sabak yang mempraktikkan sistem kekerabatan dan kewarisan Patrilineal, yaitu pemberian hak waris kepada anak laki- laki dua kali lipat ketimbang anak perempuan. Hal ini ditegaskan oleh Fathuddin Abdi dan Samsul:179 ―Masyarakat Batanghari sejak awal komit dengan falsafah adat, oleh karenanya apapun putusan syarak itulah yang harus dijalani atau diamini adat. Tidak hanya itu, bahkan pengurus adat Batanghari saat ini banyak memverifikasi adat yang berlaku dianggap ganjil untuk disesuaikan dengan syarak baik persoalan lama maupun persoalan baru. Persoalan lama seperti; upacara pengantin menginjak kerbau ditiadakan, mengambur beras kunyit diganti dengan mengambur biji pinang. Sedangkan persoalan baru seperti; larangan duduk bersanding saat aqad nikah, menulis bismillah foto bersanding di undangan.‖ Berbeda dengan masyarakat Kota Jambi yang mempraktikkan sistem kekerabatan dan kewarisan bilateral/parental, yaitu kekerabatan yang bertumpu kepada ayah dan ibu secara seimbang dan pemberian hak waris

178Albert al-Fikri, Diskursus Hukum ..., 24-25. 179Wawancara, Ketua Lembaga Adat Batanghari dan Muara Sabak, 23-25 Mei 2015.

116 kepada anak laki-laki sama kuantitasnya dengan anak perempuan baik diberikan melalui hibah ataupun wasiat.180 Sebagaimana dikatakan Azra‘i Basyari:181 ―Pada umumnya masyarakat Melayu Jambi menganut prinsip kekerabatan bilateral, dimana setiap individu ketika menarik garis keturunannya selalu menghubungkan dirinya kepada pihak ayah ataupun ibu. Kekerabatan seorang anak dengan kerabat pihak ayah sebanding dengan kerabat pihak ibunya, sehingga dikenal dalam adagium―Anak dipangku kemenakan dijinjing‖. Sistem billateral juga tidak mempunyai akibat yang selektif karena bagi setiap individu semua kerabat ayah maupun ibu masuk dalam hubungan kekerabatannya sehingga tidak mengenal batas. Garis keturunan ditarik dengan menempatkan faktor keluarga sebagai kelompok masyarakat terkecil dan menjadi basis perhitungan batas hubungan kekerabatan di antara satu sama lain. Statemen ini diperkuat penelitian Yuliatin yang menyimpulkan praktik kewarisan msyarakat Kota Jambi dan sekitarnya adalah parental/bilateral.182

180Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan tentang ketentuan waris secara damai, sebagaimana termuat dalam Pasal 183 ―para ahli waris dapat bersepakat mekakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.‖ Menurut Imâm asy-Syâfi‗i kerelaan merupakan prioritas utama dalam perdamaian (s}ulh), bahkan s}ulh tidak sah jika tidak diiringi tîb an-nafs (kerelaan). Pendapat ini memperjelas kedudukan an-tarâd}in sebagai prasyarat mutlak bagi penerapan waris secara damai. Kewarisan secara damai tidak dapat dilakukan tanpa kerelaan, dasar argumentatifnya al-Qur‘an pada kata‗‗an-tarâd}in‖ dan hadis ―innahu la yahill mâl imri‘in Muslim illâ bi t}îbah min nafsih‖ Lihat Muhammad bin Ismâ‘îl bin al-Amîr al- Yamani as-San‘ani, Subul as-Salâm Syarh Bulûg} al-Marâm min Adillah al-Ahkâm, (Kairo: Dar al-Hadîs}, 1428 H), III, 80-81. 181Wawancara, Ketua Lembaga Adat Kota Jambi, 20 Mei 2015 182Penelitian Yuliatin menyimpulkan sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Kota Jambi bilateral/parental, dimana garis keturunan adari pihak Ayak dan ibu diperlakukan sama atau seimbang, sehingga masyarakat setempat memiliki ikatan kekeluargaan yang luas karena berasal dari keduanya. Sedangkan praktik kewarisan yang berlaku ada dua bentuk, yaitu; patrilineal dengan merujuk kepada aturan Islam, parental/bilateral dengan merujuk kepada aturan dan pembagian waris dalam bentuk hibah yang diberikan secara merata saat muwarris masih hidup. Lihat Disertasi Yuliatin, Hukum Islam dan

117

Apapun perspektifnya, kompleksitas fenomena patrilineal-matrilineal dalam pergulatan adat dan syarak tetap saja berkontribusi memberikan gambaran umum (common sense) tentang pengaruh adat terhadap kewarisan matrilineal dan pengaruh syarak terhadap kewarisan patrilineal masyarakat Melayu Jambi. Dapat dimaklumi masing-masing kelompok memiliki cara pandang sendiri, baik secara adat maupun syarak. Substansinya, selagi tidak menimbulkan perselisihan, sebagaimana dipraktikkan mayoritas masyarakat Melayu Sarolangun melalui pembagian waris secara adat, yakni matrilineal. Ketika pihak ahli waris laki- laki merasa keberatan maka dapat menempuh jalur farâ‘id melalui Pengadilan Agama. Keabsahan praktik ini bergantung pada sudut pandang masing-masing, pendukung matrilineal menganggap sistem kewarisannya sah secara adat, sementara pendukung patrilineal justru menganggap praktik waris mereka yang ‗sebenarnya‘ dan sejalan dengan falsafah adat. Masing-masing kelompok mempunyai argumentasi dan pandangan paradigmatik yang kemudian melahirkan subordinasi kewarisan berparadigma ganda antara Hilir dan Hulu. Terlepas dari itu, Islam menerapkan sistem kekerabatan yang mempunyai hubungan keluarga yang dapat ditarik baik dari garis keturunan bapak (laki-laki) maupun dari garis keturunan ibu (perempuan).183 Islam memposisikan laki-laki dan perempuan setara dalam masyarakat dan keluarga serta tidak mengutamakan garis keturunan bapak atau menafikan garis ibu. Atas dasar itu, menurut Sulaiman Abdullah:184 ―Praktik waris adat saat ini secara umum ada dua yaitu komunitas masyarakat yang cenderung mengamalkan sistem kewarisan Patrilineal yang diasumsikan bersumber dari warisan Islam dan sistem kewarisan Matrilineal yang diasumsikan bersumber dari tradisi Minangkabau. Prinsip pembagian waris adalah

Hukum Adat (Studi Pembagian Harta Waris Masyarakat Seberang Kota Jambi), 126-135. 183Syarifuddin, Hukum Kewarisan..., 188. 184Wawancara, Ketua MUI Jambi, 10 Agustus 2015.

118 berdasarkan kerelaan dari kedua pihak, jika pihak laki-laki merelakan harta warisan diberikan lebih banyak kepada pihak perempuan maka hukumnya boleh, meskipun praktiknya sangat bergantung pada keinginan dan kenyamanan pelakunya karena keduanya memiliki landasan hukum, terlepas landasan hukum tersebut sejalan dengan syarak atau sebaliknya. Substansinya dan terpenting masyarakat Melayu Jambi selama ini hidup nyaman dan damai, jangan sampai terjadi konflik hanya karena harta waris.‖ Statemen ini menjelaskan aturan hukum Adat Jambi yang mencakup berbagai persoalan sosial keagamaan. Segala aturan yang dibuat dalam upaya menjadikan masyarakat Jambi hidup dalam suasana yang damai tanpa melanggar pola tutur dan tindak yang mengakibatkan orang lain terganggu. Artinya, secara substantif baik syarak maupun adat menawarkan aturan sekaligus sanksi dengan tujuan mengedepankan nilai ideologis, moralitas dan sosial. Dari ketiga sistem kekerabatan dan kewarisan tersebut masyarakat Melayu Jambi mempraktikkan semuanya, hanya saja disesuaikan dengan kondisi wilayah. Wilayah Hilir tradisinya ‗mirip‘ dengan Riau, Deli-Sumatera Utara dan Malaysia, seperti; Kabupaten Muaro Bungo, Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, Kota Jambi, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur, mempraktikkan sistem kekerabatan patrilineal dan bilateral. Sedangkan wilayah Hulu, seperti; Kabupaten Sarolangun, Merangin, Sungai Penuh dan Kerinci, sebagian besar masyarakatnya mempraktikkan sistem kekerabatan matrilineal. Kedua, praktik perkawinan eksogami, yang berlaku di kalangan masyarakat adat ber-penghulu yakni tidak boleh kawin dengan satu klan atau marga. Padahal implikasinya jika tidak dibolehkan perkawinan tersebut berarti tidak sah alias batal. Larangan seperti ini tidak didasari atau bersendi kepada syarak, hanya saja dianggap ―tidak baik, melanggar baso‖ (tidak baik, karena bertentangan dengan budi-bahasa). Dengan kata lain, adanya ketidakjelasan status hukum pada kasus ini, yang seharusnya melahirkan hukum mubah. Menurut Hazairin

119 ada tiga model perkawinan di Indonesia, yaitu; endogami, eksogami, dan eleutherogami.185 Pertama Endogami, yaitu ketentuan yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di lingkungan sosial, kerabat, kelas sosial, atau lingkungan pemukiman. Praktik semacan ini dapat dijumpai di tanah Toraja, meski jarang terjadi, terlebih di tengah era globalisasi. Kedua Eksogami, ketentuan yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di luar lingkungan sosial, kerabat, kelas sosial, atau lingkungan pemukiman, sebagaimana terjadi di Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Boru dan Seram. Ketiga Eleutherogami, tidak mengenal larangan sebagaimana endogami dan eksogami, yang dilarang jika terdapat hubungan nasab atau keluarga (musahharah) sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.186 Praktik semacam ini dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah Nusantara seperti; Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi, Lombok, termasuk masyarakat Melayu Jambi. Menurut A Lutfi di kalangan masyarakat adat yang ber-penghulu berlaku larangan kawin dengan satu suku dan sepupu se-ibu. Alasannya hubungan terlalu dekat berimplikasi pada keluarga tidak berkembang dan perasaan persaudaraan yang masih begitu terasa seperti saudara sendiri.187 Meski aneh mengingat argumentasi yang dikemukakan justru bukan adat, melainkan syarak. Padahal dalam syarak, semua pernikahan kekerabatan dibolehkan kecuali yang ditentukan oleh syarak itu sendiri. Lutfi menambahkan bahwa kekhawatiran tersebut juga pada susuan (rad}â‘ah) di masa kecil antara kedua mempelai—ternyata—menjadi sebab larangan perkawinan sepupu se-ibu dengan tujuan (sadd az|-z|arî‘ah). Di sinilah (dis)fungsi syarak dipertanyakan; teliti (hukum syarak) yang awalnya difungsikan sebagai korektor aturan yang termuat

185Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, (Jakarta: Masagung, 1982), 32. 186Q.S. an-Nisa‘ [3]: 23. 187Wawancara, Pegawai Syarak Desa Tanjung Kabupaten Sarolangun, 25 Mei 2015.

120 dalam adat untuk diteliti kemudian mengatur adat, justru ‗diperalat‘ untuk melegalkan kehendak adat. Anehnya, pemetaan wilayah berdasarkan adat ini berlangsung hingga saat ini dan tradisi mendua ini justru mendapat ‗pembenaran-etis‘ dari adat dan syarak. Praktik perberdayaan ―budaya‖ inilah yang akhirnya melahirkan stereotipe-kultural bahkan ―sentimen kultural‖ berbeda di kalangan masyarakat Melayu Jambi.188 Fenomena-fenomena inilah yang terjadi di Jambi meski sebenarnya ―tidak dihendaki‖ oleh Islam, mengingat syarak sebagai seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia. Sementara adat seperangkat aturan yang berlaku bagi suatu golongan masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Secara umum, dapat diillustrasikan bahwa pemberlakuan syarak bersifat mutlak, ia senantiasa berstatus halal sejauh tidak ada faktor yang memaksanya menjadi haram, seperti hukum berwudu dengan air curian. Pada dasarnya wudhu‘ merupakan suatu kewajiban yang berkonsekuensi pahala, namun jika air yang digunakan untuk berwudu adalah air curian, hukumnya berubah menjadi haram karena faktor yang mempengaruhinya. Sebaliknya hukum memakan babi adalah haram, sampai

188Stereotipe adalah gambaran tertentu mengenai sifat seseorang atau sekelompok orang yang bercorak negatif, yang pembentukannya didasarkan pada generalisasi, sehingga sifatnya subjektif. Lebih jauh, stereotipe merupakan produk dari proses interaksi antarkelompok etnis atau yang terdapat dalam masyarakat di dalamnya ada kelompok mayoritas dan minoritas. Sedangkan ―Sentimen Kultural‖, yaitu munculnya stigma negatif dari kedua kubu untuk menonjolkan diri dan mendeskreditkan kelompok lain. Kenyataan ini dicermati ketika masyarakat Hulu lebih akrab dan senang dipanggil ―Budak Mudik‖ ketimbang putra Jambi, karena ingin membuktikan diskriminasi, keunggulan, atau superioritas ketimbang ―Budak Hilir‖. Persepsi ini bisa jadi tidak berlaku bagi masyarakat Melayu Hilir yang masyarakatnya heterogen dan lebih megedepankan pluralitas. Tidak ada referensi yang menjelaskan tentang pihak mana yang memulai memunculkan paradigma dikotomik ini, namun patut diakui bahwa ini terus terjadi bahkan pada momen tertentu sering mengemuka. Tidak jelas faktor pemicu, kapan dikotomi ini muncul dan siapa menjadi provokator atau penanggung jawab manajemen konplik ini. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Akademia Tazaffa, 2009), 209.

121 kondisi darurat memaksa untuk memakannya, maka hukumnya menjadi boleh. Berbeda dengan adat yang pada beberapa item penerapannya mensyaratkan nilai-nilai etik, yakni di suatu tempat ia dapat dikatakan pantas, namun di tempat yang lain ia bisa pula dikatakan sebaliknya. Meski demikian, masyarakat Melayu Jambi tetap mempraktikkan dualisme hukum bahkan ―trilogisme hukum‖ yaitu hukum positif yang dioperasionalkan oleh pemerintah melalui lembaga peradilan umum yang merupakan produk hukum Belanda, hukum Islam yang dioperasionalkan oleh pemerintah melalui lembaga peradilan Agama yang merupakan produk hukum Islam, dan hukum adat yang dioperasionalkan oleh kelembagaan adat melalui presidium kerapatan adat (qadhi).189 Selain itu, hukum Islam yang dioperasionalkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas dasar permintaan masyarakat muslim, sebagai organisasi non-formal. Praktik semacam ini dalam perspektif Islam mengundang problem signifikan menyangkut ideologi, sosial, politik dan kultural. Pertama, Problem Ideologi, yaitu umat Islam idealnya secara holistik mengimplementasikan syarak tanpa memilah dan memilih atau bahkan mencampuradukkan dengan aturan hukum lain termasuk Adat. Selain itu, pemberlakuan kedua hukum secara bersamaan merupakan refleksi terjadinya ambivalensi adat dan syarak atau manipestasi dari praktik hukum berparadigma ganda, meminjam istilah George Ritzer, dalam memegangi hukum.190

189Menurut Bustanul Arifin ketiga hukum tersebut sebenarnya hingga kini masih berlangsung, namun dengan argumen mengedepankan kepentingan nasional dan disesuaikan dengan kasadaran hukum masyarakat dibahasakanlah oleh sarjana hukum Indonesia bahwa hukum nasional Indonesia diramu dari unsur hukum Islam, Adat dan Barat. Lihat Bustanul Arifin, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: PP IKAHA, 1994), 40. 190George Ritzer merupakan penggagas teori Paradigma Ganda karena berhasil menjembatani dua paradigma filsafat dalam sosiologi. Menurutnya, ada tiga faktor penyebab perbedaan paradigma dalam sosiologi. Pertama, perbedaan pandangan filsafat yang mendasari

122

Kedua, Problem Kultural, yaitu apakah seorang muslim telah mengalami pembatinan (internalisasi) nilai- nilai Islam dalam kepribadiannya sehingga benar-benar menyadari bagaimana mengekspresikannya ke dalam pola pikir, sikap, dan tindakan (eksternalisasi). Demikian pula sebaliknya, sering terjadi keterputusan reflektif disebabkan oleh desakan lingkungan yang sangat pluralistik, dikemas dengan logika komunikasi yang menawan dan otoritas yang kuat, terhadap komitmen individu muslim untuk mengimplementasikan norma agama dan adat. Ketiga, Problem Sosial, yaitu hukum yang merupakan refleksi tata nilai masyarakat dijadikan sebagai pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan beragama. Atas dasar itu, syarak seharusnya perlu menangkap aspirasi umat yang berkembang pada persoalan kekinian, dan menjadi pijakan mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik masa mendatang. Keempat, Problem Politis, dalam sejarah Jambi sejak abad ke-15 terjadi antara syarak dengan adat, sehingga melahirkan berbagai kesepakatan melalui deklarasi yang dituangkan dalam falsafah adat. Endingnya dimenangkan oleh syarak meski mengatasnamakan adat. Selanjutnya pada masa kolonial Belanda munculnya politik unifikasi hukum yang memaksakan hukum mereka untuk diberlakukan di negeri jajahan sehingga berimplikasi pada lahirnya tiga sistem hukum, yaitu; syarak, adat dan hukum Belanda. Artinya terjadi subordinasi antara tiga sistem hukum yang pada awalnya dimenangkan oleh syarak pemikiran komunitas masing-masing sosiolog tentang pelajaran yang semestinya dipelajari. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari perbedaan pandangan itu, pendukung masing-masing sistem tidak hanya mempertahankan pandangannya, tetapi juga melancarkan serangan terhadap pandangan berbeda. Ketiga, metode memahami dan menerangkan substansi disiplin itu pun berbeda pula. Inilah yang menjadi dasar rupakan pijak penerapan teori paradigma terpadu menjembatani dialektika dua paradigma kewarisan di kalangan masyarakat Muslim Sarolangun. Lihat George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Ali Mandan, (Jakarta; Rajagrafindo Persada 2014), 6-8.

123 berdasarkan masukan Christian Van Den Berg melalui teori ―Receptio in complexiunya‖, namun setelah kedatangan Christian Snouck Hurgronje keadaan menjadi berbalik yang dimenangkan oleh adat, hingga syarak dapat berlaku manakala sesuai atau sejalan dengan adat, meski idealnya syarak terdepan sebagai panduan terhadap pola tindak umat Islam.191 Kondisi ini semakin ironi ketika intervensi kolonial Belanda mempersempit ruang gerak praktik syarak dengan menerapkan teori receptie Christian Snouck Hurgronje. Gagasannya didasarkan pada fakta bahwa syarak hanya diterima dan berlaku di Indonesia ketika ia mendapatkan justifikasi adat. Persis ketika penguasa kolonial Belanda, penguasa adat dan komunitas Muslim saling subordinasi inilah adat dan syarak dihadapkan pada persoalan eksistensi. Pada masa berikutnya, setelah kemerdekaan dan sampai saat ini pemerintah daerah Jambi belum menegasi perlunya pemberlakuan syarak secara total atau merevisi undang adat yang ada untuk disesuaikan dengan perkembangan situasi, kondisi dan keinginan masyarakat Jambi. Terlebih memberlakukannya ke seluruh warga masyarakat Jambi tanpa memandang sekat etnik, domisili dan agama.

C. Sinkronisasi dan Diferensiasi Aturan Syarak dengan Adat

Aturan syarak sebagai produk hukum yang muncul kemudian dipadukan dengan aturan adat yang telah mapan pada suatu wilayah. Ketika keduanya terintegrasi dan dikompilasi menjadi Undang Adat Jambi tentu dijumpai sinkronisasi (titik temu) dan diferensiasi (titik beda) antar keduanya.

191Syarak yang bersumber dari naşş al-Qur‘an maupun Sunnah, keduanya memberikan skema kehidupan (the scheme of life) sangat jelas bagi masyarakat muslim yang tunduk pada kehendak Ilahi. Nilai baik dan buruk yang terkandung di dalamnya seyogyanya menjadi landasan etis untuk pengembangan seluruh dimensi kehidupan. Lihat Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1987), 50- 51.

124

Sinkronisasi Aturan Syarak dengan Adat Sinkronisasi (titik temu) antara aturan adat dan syarak dapat ditelisik dari dua aspek; Pertama, sinkronisasi dalam artian produk hukum yang bersumber dari ajaran Islam masuk pada klasifikasi Adat Sebenar Adat. Produk hukum kategori ini bersendi kepada syarak dengan ideologi ahl sunnah wa jama‘ah yang berorientasi pada pemahaman keagamaan NU kultural (NU Cultural Oriented), praktiknya hampir sama pada seluruh daerah sesuai dengan ―ideologi‖ masing-masing. Kedua, adat yang di-Islamisasi atau terintegrasi dengan syarak karena substansi pesannya sejalan dengan pesan syarak. Produk hukumnya disandingkan dengan syarak, dalam artian aturan adat yang ada dipaksakan sejalan dengan syarak meski praktiknya berbeda. Keduanya dipadukan melahirkan konfigurasi Undang Adat Jambi dan berlaku di seluruh wilayah Jambi. Produk hukum kategori kedua ini sebagaimana termuat dalam Undang Duapuluh dan beberapa kasus hukum lain menjadi dasar pijak penetapan hukum di Jambi. Pertama, Undang tentang Pampas, sebagaimana tertuang dalam seloka adat: ―luka-lekih dipampas‖, pelaku yang melukai badan/fisik orang lain diberi sanksi membayar pampas (denda) yang dibedakan atas 3 kategori, yaitu:192 1. Luka Rendah, pampasnya seekor ayam, segantang beras, dan kelapa setali (dua buah). 2. Luka Tinggi, pampasnya seekor kambing dan 20 gantang beras, dan 3. Luka Parah, pampasnya dihitung setengah/separo bangun. Mati Dibangun, pelaku yang membunuh orang lain, dihukum membayar bangun dimana pelaku harus membayar denda (diyât) sebesar 2.400 gram emas, dan biaya cuci kampung berupa seekor kerbau, selemak semanis seasam segaram, 20 gantang beras, 5 hasta kain putih, dan 20 tandan kelapa.193

192Aulian Tasman, Membongkar Adat Lamo Pusako Usang, diakses tanggal 6 Juni 2016. 193Nawawi, Hukum Adat Jambi, (Jambi: LAM Kota Jambi, 2005), 13.

125

Sanksi pampas dikenakan terhadap pelaku tindak kriminal (jarîmah) seperti; membunuh, melukai fisik orang lain, atau menghilangkan bagian anggota tubuh korban.194 Pelaku pembunuhan dikenakan sanksi diyât (denda adat), karena diupayakan seoptimal mungkin oleh unsur pemerintahan desa, pegawai syarak dan tokoh adat terjadinya perdamaian (işlâh) antara kedua belah pihak yaitu pelaku dan ahli waris korban. Hanya saja, kuantitas diyât yang harus dikeluarkan oleh pelaku berbeda dengan ketentuan fikih dan disesuaikan dengan tradisi setempat. Substansinya hukum tetap ditegakkan dan diharapkan pelaku jera atas sanksi yang diberikan sehingga tidak mengulanginya.195 Sedangkan dalam Islam diberlakukan hukum Qişâş terhadap pelaku pembunuhan, terkecuali dimaafkan oleh ahli waris korban sehingga sanksinya dialihkan menjadi sanksi diyât.196 Dengan demikian, penetapan sanksi adat dan syarak sejalan ketika ada upaya mendamaikan antara pelaku dengan ahli waris korban. Kedua, Penantang Berkelahi (dago dagi), pelaku dikenakan sanksi denda sebagaimana adagiumadat ―Memekik Mengentam Tanah, Menggulung Lengan Baju, Menyingsing Kaki Celana‖. Jika yang ditantang orang biasa sanksinya 1 ekor ayam, 1 gantang beras dan 2 buah kelapa,

194Syarak mengenal tiga bentuk Jarîmah (pidana), yaitu; Jarîmah Hudud, Jarîmah qişâş dan Jarîmah Ta‘zîr. Pertama, Jarîmah Hudud yaitu pelanggaran tindak pidana yang telah ditentukan standar sanksinya oleh Allah melalui naşş (al-Qur‘an dan Sunnah) berupa rajam atau cambuk bagi pelaku zina, potong tangan bagi pencuri, li‘an dan lainnya karena merupakan hak Allah. Kedua, Jarîmah qişâş yaitu pelanggaran tindak pidana yang telah ditentukan standar sanksinya sebagai hak adamî, seperti; berupa qişâş (balasan yang sama) terhadap pelaku pembunuhan dengan sengaja. Ketiga, Jarîmah Ta‘zîr, yaitu pelanggaran tindak pidana yang ketentuan dan kadar sanksinya diberikan keleluasaan kepada pemerintah. Lihat Imam Nawawi, al- Majmu‘: Syarh al-Muhazzab, (Jedah: Maktabah al-Irsyad, t.th.), XXII, 3-5. 195Dalam literatur fikih dijelaskan sanksi terhadap pelaku pembunuhan adalah membayar diyât sebesar 100 onta dengan jenis yang berbeda. Kalau tidak mampu dikenakan sanksi qişâş yaitu balas bunuh. Lihat Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyah al-Bajuri, (Beirut: Dar al-Ihya at- Turats al-Araby, 1980), Jilid II, 280-281. 196Q.S. al-Baqarah [2]; 178.

126 sedangkan yang ditantang atasan atau kedudukannya lebih tinggi sanksinya 1 ekor kambing, 20 gantang beras dan 20 buah kelapa.197 Dalam kasus ini, tidak dijumpai naşş şahîh yang secara eksplisit menjelaskan tentang status dan sanksi hukum bagi pelaku yang menantang orang lain, sebagaimana adat Melayu Jambi. Namun, spirit yang termuat dalam naşş menunjukkan dorongan kepada umat Islam untuk menjalin persaudaraan, hubungan baik bertetangga, bahkan untuk mendamaikan konflik internal maupun eksternal antar sesama muslim.198 Di sisi lain, banyak dijumpai naşş al-Qur‘an maupun Sunnah Rasul melarang perilaku sombong, berbuat keonaran dan kericuhan yang berujung pada disharmonisasi, perselisihan bahkan konflik berkepanjangan dengan orang lain.199 Dipertegas oleh hadis Muslim mengenai larangan menantang orang lain,200 dan larangan menakut-nakuti muslim lain (teror).201

197Azra‘i al-Basyari, Undang-undang Adat ..., 5-8. 198Q.S. al-Hujurat [49]: 9-10. 199Q.S. Luqman [31]: 18. 200Teks hadis: ِ ِ ِ ِ َحَّدثَِِن َعْمٌرو النَّاق ُد، َوابْ ُن أَِِب عَُمَر، قَاَل َعْمٌرو: َحَّدثػَنَا ُسْفيَا ُن بْ ُن عُيػَْيػنَةَ، َع ْن أَيُّو َب، عَ ِن ابْ ِن سريي َن، ََسْع ُت أَََب ُىَريػَْرةَ، يػَُقوُل: قَاَل أَبُو ِ ِ َّ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ الَْقاسم َصلى هللاُ َعلَْيو َو َسل َم: »َم ْن أَ َشاَر إََل أَخيو ِبَديَدة، فَإ َّن الَْمََلئ َكةَ تػَْلَعنُوُ، َحََّّت يََد َعوُ َوإ ْن َكا َن أَ َخاهُ ِلَبيو َوأ ُّمو ―Telah menceritakan kepadaku 'Amr an-Naqd dan Ibn Abiy 'Umar, 'Amru berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibn 'Uyainah dari Ayyub dari Ibn Sirin Aku mendengar Abu Hurairah berkata; Abu Qasim bersabda: "Barang siapa yang mengacungkan senjata kepada saudaranya, maka malaikat akan melaknatinya hingga ia menurunkannya kembali. Meski dia saudara sebapak atau saudara seibu. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah; Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dari Ibnu 'Aun dari Muhammad dari Abu Hurairah dari Nabi Saw dengan hadits yang serupa.‖ Lihat Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi Al-Naisaburi, şahîh Muslim, hadis No 2616 (125) juz IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 2020. 201Teks hadis: ِ ٍ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ َحَّدثػَنَا َعْب ُد ا ََّّلل بْ ُن ُُنَْري، َحَّدثػَنَا اِْلَ ْعَم ُش، َع ْن َعْبد ا ََّّلل بْن يَ َسار ا ْْلَُه ِِّن، َع ْن َعْبد الَّرْْحَن بْن أَِب لَْيػلَى قَاَل: َحَّدثػَنَا أَ ْص َا ُب َر ُسول ا ََّّلل َصلى ِ َّ ِ ِ ِ َّ ِ َّ ِ ِ ٍ ِ ِ هللاُ َعلَْيو َو َسلَم، أَنػَُّهْم َكانُوا يَسريُوَن َم َع َر ُسول ا ََّّلل َصلى هللاُ َعلَْيو َو َسلَم ِف َمسري، فػَن َاَم َرُجلٌ مْنػُهْم، فَانْطَلَ َق بػَْع ُضُهْم إََل نػَْبٍل َمَعوُ فَأَ َخ َذَىا، ِ ِ َِّ ِ َّ فػَلََّما ا ْستػَْيػَق َظ الَّرُجلُ فَِزَع، فَ َضَ َك الَْقْومُ، فػََقاَل: »َما يُ ْضَ ُك ُكْم « ، فػََقالُوا: ََل، إَل أَََّّن أَ َخْذََّن نػَْب َل َىَذا فػََفِزَع، فػََقاَل َر ُسوُل ا ََّّلل َصلى هللاُ ِ َّ ِ ِ ٍِ ِ ِ َعلَْيو َو َسلَم: »ََل ََيلُّ ل ُم ْسلم أَْن يػَُرّوَع ُم ْسلًما« ―Telah menceritakan kepada kami 'Abd Allah ibn Numair telah menceritakan kepada kami al A'masy dari 'Abd Allah ibn Yasar al-

127

Secara substantif Islam mengajarkan manusia saling menolong, mengasihi, menyayangi, kedamaian, dan melarang memicu konflik apalagi permusuhan, meski tanpa menyebutkan secara spesifik tingkatan sanksi bagi pelaku. Dorongan untuk berbuat baik dan larangan berbuat kerusakan (jalb al-maşâlih wa daf‘ al-mafâşid) endingnya menciptakan ke-maşlahah-atan bersama antar sesama manusia dan makhluk hidup, sesuai tujuan hidup manusia (maqâşid al-Syari‘ah). Berpijak pada asas maşlahah dan menjaga diri (Hifzun Nafs) dari segala mudarat itulah dalam hukum adat Melayu Jambi diberlakukan beberapa standar hukum, tujuannya memberi efek jera bagi para pelakunya agar tidak mengulanginya dan menjaga ketentraman masyarakat. Mengingat Islam tidak menolak pemberlakuan sanksi, sejalan dengan kaidah ―Adat yang baik (yang sudah diketahui secara umum) sebagai syariat dan bersifat mengikat‖.202 Bahkan dalam kaidah lain ditegaskan bahwa ―al-Ma‘rûfu ‗urfan kal masyrûthi syarthan, al-Tsâbit bil ‗urfi ka al-Tsâbit bi al-Naşş‖, (yang baik itu menjadi ‗urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat, dan yang ditetapkan melalui ‗urf sama dengan ditetapkan melalui naşş). Larangan melawan atasan, pemimpin, atau bahkan melakukan kudeta terhadap penguasa (wali al-amr).203 Ketiga, tentang Pinangan, dimana pada adat Melayu Jambi aturan peminangan sebelum menikah dimuat dalam seloka adat: ―Meminang di atas Pinang, menawar di atas

Juhaniy dari 'Abd ar-Rahman ibn Abu Laila berkata: telah menceritakan kepada kami para sahabat bahwa mereka berjalan bersama Rasulullah Saw dalam suatu perjalanan lalu seseorang di antara mereka tidur, sebagian dari mereka mendekati anak panahnya lalu mengambilnya kemudian orang itu terbangun dan kaget, orang-orang tertawa kemudian Rasul bersabda: "Apa yang membuat kalian tertawa?" mereka berkata: Tidak, kami hanya mengambil anak panah orang ini lalu ia kaget. Rasulullah Saw bersabda: "Tidak halal bagi seorang muslim menakut- nakuti muslim lain." Lihat Ahmad ibn Hanbal Musnad Ahmad ibn Hambal, hadis No-23064 (Beirut: ar-Risalah, t.th.), XXXVIII, 163. 202Ali Haidar, Durar al-Hukkâm: Syarh al-Majallah al-Ahkâm, (Beirut: al-Kutub al-‗Alamiyah, t.th.), I, 66. 203Ahmad bin Ruslan, Shofwa al-Zubâd, (Madinah: t.tp., 1417 H.), 5.

128 tawar. Artinya, jika seorang gadis telah dipinang oleh orang lain dan jelas pinangan itu diterima, maka status gadis tersebut adalah tunangan orang lain dan tidak boleh lagi dipinang. Pelanggaran ketentuan ini, dihukum dengan 1 ekor kambing dan 20 gantang beras.‖ Penerapan sanksi adat ini sejalan pesan Rasul yang secara tegas melarang seseorang meminang perempuan yang dipinang oleh laki- laki lain, kecuali setelah meminta izin dari peminang sebelumnya atau peminangan dibatalkan.204 Menurut Kemas Husin, jika pembatalan pinangan (lamaran) oleh pihak laki-laki secara sepihak maka pembatalan tersebut diakui oleh adat maka barang bawaannya ketika melamar berupa cincin dan barang lamaran lainnya yang telah diberikan kepada pihak perempuan dianggap hangus. Berbeda ketika inisiatif pembatalan tunangan dari pihak perempuan maka pihak perempuan dikenakan sanksi adat dengan mengembalikan cincin dan barang lamaran dua kali lipat kepada pihak laki- laki.205 Tradisi masyarakat Melayu Jambi mengenai larangan meminang perempuan yang telah dipinang orang lain, sejalan dengan ketentuan syarak. Sementara itu, persoalan denda/hukuman yang ditentukan itu pada prinsipnya hanyalah untuk menjaga dan mencegah terjadinya permusuhan, prasangka buruk, kebebasan dan moral (akhlak) yang tidak baik serta menjaga sikap saling menghargai sehingga tercipta ketenangan dan kedamaian di tengah masyarakat. Hal seperti ini tidak bertentangan dengan Islam.206 Keempat, tradisi Cuci Kampung, yaitu ritual adat ketika ada perbuatan salah (asusila) yang terjadi antara

204Teks hadis: َّ ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِ َّ ِ ِ َّ ِ َحدثػَنَا َم ّك ُّي بْ ُن إبػَْراىيَم، َحد ثػَنَا ابْ ُن ُجَريْ ٍج، قَاَل: ََسْع ُت ََّنفًعا، َُيَّد ُث أَن ابْ َن عَُمَر َرض َي ا ََّّللُ َعْنػُهَما، َكا َن يػَُقوُل: »نػََهى النَّ ُِّب َصلى هللاُ َعلَْيو َّ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َو َسلَم أَْن يَبي َع بػَْع ُض ُكْم َعلَى بػَْيِع بػَْعض، َوَلَ ََيْطُ َب الَّرُجلُ َعلَى خطْبَة أ َخيو، َحََّّت يػَْتػُرَك اخلَاط ُب قػَْبػلَوُ أَْو ََيْذَ َن لَوُ اخلَاط ُب « Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Al-Jami‘ ash- Shahîh. hadis No 5142 (t.th) (Kairo: Mathba‘ah as-Salafiyah, t.th), VII, 19. 205Wawancara, Ketua Adat Simpang Rimbo, 28 Mei 2015. 206Asy-Syafi‘i, al-Umm, (T. Tp: Dar al-Wafa‘ li al-Thoba‘ah wa al- Nasyr wa al-Tauzi, 2001), VI, 107-108.

129 sesama Bujang Gadis (perjaka-perawan), atau antara Bujang Gadis dengan orang yang sudah menikah. Mengenai Cuci Kampung tercermin dalam adagium adat: ―Tegak mengintai Lenggang, Duduk Menanti Kelam, Tegak berdua begandeng dua, Salah Bujang Gadis dikawinkan‖. Pergaulan Bujang Gadis yang diduga kuat melanggar adat dan memberi malu kampung tanpa sisik siang harus dikawinkan. Sanksi pertama diberi nasehat, jika masih mengulangi perbuatan tersebut maka dikenakan sanksi berupa denda cuci kampung sebanyak 1 ekor kambing, dan 20 gantang beras serta dikawinkan. Secara tekstual sanksi seperti ini tidak sejalan dengan pesan al-Quran.207 Penegasan al-Qur‘an terhadap sanksi bagi pelaku zina harus dijilid (dicambuk), terkesan tidak sejalan dengan sanksi yang diimplementasikan melalui adat. Padahal secara substantif sanksi yang diterapkan sesuai dengan spirit Islam, meski tidak persis dengan putusan syarak. Menikahkan keduanya berarti telah menutup pintu maksiat berikutnya dan memberi kesempatan pelaku bertobat kepada Allah atas kekhilapannya. Sedangkan ritual cuci kampung merupakan sanksi sosial yang harus dijalani pelaku beserta keluarga yang memakan waktu tidak terbatas bahkan ke beberapa generasi.208 Atas dasar itu, solusinya dengan mengawinkan pelaku zina laki-laki dan perempuan sebagai sanksi atas perbuatan mereka, perkawinan sarana terbaik sekaligus langkah apresiatif terhadap ajaran Islam. Pemberlakuan hukum rajam atau cambuk dirasa berat, namun harus dicarikan solusi agar tidak terulang kembali perbuatan asusila tersebut.209 Dengan demikian, terlihat adanya sinkronisasi (titik temu) antara putusan syarak dan putusan adat yaitu; pertama, dasar pijak keduanya adalah al-Qur‘an dan Sunnah (ayat maktûbah) dan tradisi yang hidup dalam

207Q.S. an-Nur [24]: 3. 208Pelaku zina dalam Islam dikenakan sanksi, Muhsan sanksinya adalah rajam jika telah terpenuhinya 4 syarat; baligh, berakal, merdeka dan pernah berjima‘. Lihat Imam Nawawi, al-Majmu‘..., 320-322. 209Khotib Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma‘rifat al-Fadh al- Minhaj, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997), III, 492.

130 masyarakat serta lingkungan sekitar (ayat kauniyah). Kedua, materi teksnya mencakup semua aspek fikih, yaitu: ibâdah, akhwâl al-syahsiyyah, jinâyah, muâmalat dan siyâsah, berikut sanksi bagi pelaku serta konpensasi bagi korban. Ketiga, paradigmanya menciptakan maşâlih dan menghindari mafâsid, stabilitas sosial-politik, kompromistis, dan ukhuwah. Keempat, subjek hukumnya adalah umat Islam. Kelima, pada kasus tertentu memiliki institusi yudikatif secara hierarkis. Diferensiasi Aturan Syarak dengan Adat Adat Melayu Jambi sejak awal abad ke-15 telah diverifikasi oleh syarak dengan falsafah ―adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖, dan ―undang datang dari hulu teliti dari hilir‖, namun demikian tidak menutup kemungkinan adanya diferensiasi (titik beda) antar-keduanya. Misalkan dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan hukum pidana mengatur pelaku dihukum Qişâş dan diyât, berbeda dengan hukum adat yang mengatur pelaku dikenakan sanksi adat berupa cuci kampung, membayar pampas dan meminta maaf kepada korban serta membayar bangun atau diyât sesuai dengan aturan adat. Perbedaan putusan syarak dan putusan adat terlihat pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat.210 Pertama, larangan kawin dengan satu klan atau marga. Jika tidak boleh mafhûm-nya tidak sah. Larangan ini, pada dasarnya tidak bersendi syarak, namun bagi masyarakat wilayah Hulu (Barat) praktik semacan ini ―kurang baik, melanggar baso‖ (sû‘u al-adab). Konsekuensinya, larangan itu tidak ditentang tetapi juga tidak dianjurkan; nahy tapi tidak tahrîm. Begitupula larangan menikahi sepupu se-ibu, argumentasi yang dimunculkan justru bukan adat melainkan syarak. Padahal ketetapan syarak membenarkan seluruh pernikahan kecuali ditemukan ketentuan dalil yang melarangnya.211 Kekhawatiran susuan (rad}â‘ah) di masa

210George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Post Modern, alih bahasa Saut Pasaribu, et. al. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014). 211Q.S. an-Nisa‘ [4]; 23.

131 kecil antara kedua mempelai—ternyata—menjadi sebab larangan perkawinan sepupu se-ibu dengan tujuan (sadd az|-z|arî‘ah). Di sinilah (dis)fungsi syarak dipertanyakan; apakah teliti (hukum syarak) difungsikan sebagai yang meneliti kemudian mengatur adat, atau justru ‗diperalat‘ untuk melegalkan keinginan adat. Kedua, perempuan yang pernah menikah (al-Tsaib) tidak berhak mendapatkan lamaran (hantaran) alias tanpa lamaran dari pihak lelaki, berbeda dengan gadis yang berhak menerima lamaran bahkan ikut menentukan jumlah lamaran. Dalam Islam perbedaan perempuan gadis dan janda hanya saat menikah, dimana perempuan gadis diberikan hak kepada orang tuanya menentukan calon suami (wali al-mujbir), sedangkan perempuan janda mempunyai hak sendiri memilih pasangan hidupnya. Hadis ini tidak menetapkan perbedaan dalam nilai ataupun jumlah lamaran, namun dalam adat Jambi dibedakan jumlah dan nilai lamaran bagi perempuan janda. Perempuan janda tidak berhak menentukan jumlah lamaran, tergantung kemauan pihak laki-laki atau sekedarnya saja Meski belum dijumpai alasan yang kuat tentang dasar penetapan hukum tersebut. Ketiga, dalam sistem kekerabatan dan kewarisan terjadi dualisme penerapan hukum antara masyarakat Melayu Jambi Hulu (Barat) menganut sistem kekerabatan matrilineal menisbatkan anak kepada ibu, berbeda dengan masyarakat Melayu Jambi wilayah Hilir (Timur) menganut sistem patrilineal yang menisbatan anak kepada ayah dan ini merupakan refleksi dari pemahaman terhadap konsep Islam. Keempat, sanksi perselingkuhan, penerapan sanksi bagi istri dengan membayar tebus thalak sebagai syarat perceraian dan diusir dari rumah dengan membawa pakaian seadanya dan bagi selingkuhannya sanksi wajib membayar tebus talak kepada suami agar suami dapat menceraikannya atas dasar permintaan isteri, lalu isteri diusir dari rumah dengan membawa pakaian yang sedang ia pakai (sepelulusan). Selanjutnya suami meminta ganti rugi kepada lelaki yang menodai isterinya untuk membayar

132 ganti rugi dengan dua pilihan yaitu; sepenyebutan atau sepenjemputan. Pertama, Sepenyebutan, maksudnya suami meminta ganti rugi sesuai keinginannya karena laki-laki tersebut karena telah menodai isterinya dan menjatuhkan martabatnya di tengah masyarakat. Kedua, Sepenjemputan, maksudnya suami meminta ganti rugi sesuai dengan jumlah uang yang ia keluarkan ketika melamar isterinya. Berpijak pada beberapa contoh kasus tersebut disimpulkan perbedaan antara syarak dengan adat dijumpai pada beberapa aspek: pertama, penerapan sanksi hukum Islam lebih mengedepankan praktik ijtihad istinbathy (maksud naşş), sedangkan adat lebih mengedepankan ijtihad tathbiqy (maksud adat).212 Kedua, penerapan sanksi Islam lebih mengedepankan implementasi khiţâb syar‘i dan aspek jera guna mewujudkan maqâsid al-syar>i‗ah, sedangkan adat lebih mengedepankan, meminjam istilah Pahmi Sy, kompromi antara pelaku dan korban. Adat selalu selalu menginterpretasikan khiţâb syar‘i untuk disesuaikan dengan keinginan masyarakat adat dan kondisi di lapangan meski dalam persoalan tertentu tidak sejalan dengan khiţâb syar‘i. Seperti pada kasus mengganti mati-bangun pembunuhan dengan kerbau, sebagaimana dicontohkan pada kasus penyembelihan Nabi Ismail As. digantikan dengan Kibas. Begitupula dengan cuci kampung sebagai bentuk pengakuan atas kesalahan dan permohonan ampun sehingga disucikan dengan doa bersama. Mencermati sinkronisasi (titik temu) dan diferensiasi (titik beda) antara putusan syarak dan putusan adat, beberapa hal yang dapat disimpulkan. Pertama, secara umum syarak mengakomodir adat, baik dari aspek prinsip maupun implementasi. Contoh, prosedur acara seremonial sebelum acara pernikahan, mulai dari perkenalan, pinangan, lamaran, dan tunjuk ajar (nasihat perkawinan). Kedua, bila terjadi perbedaan prinsip terkait persoalan

212Ijtihad menurut asy-Śyâţibî اَلجتهاد ىواستفراغ اْلهد وبذل غاية والوسع ىف ادارك اَلحكام الشرعية ―Pengetahuan kesungguhan dengan usaha yang optimal dalam menggali hukum syarak.‖ Lihat Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ Asy-Syâţibî, al- Muwâfaqât ..., Juz. IV, 89.

133 ideologis antara aturan adat dengan adat, maka aturan syarak menjadi prioritas utama dan putusan adat dapat dilaksanakan bila keadaan memungkinkan. Contoh kasus perdata, kuantitas pembagian harta waris 2:1 atau lebih bagi anak perempuan ketimbang anak laki-laki. Ketiga, memodifikasi berbagai bentuk sanksi terhadap pelanggaran kasus pidana maupun perdata. Contoh kasus pidana, menetapkan sanksi Dibangun bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dengan kewajiban membayar seekor kerbau dan kain putih, beras, kelapa dan selemak semanis, dengan tujuan memberikan modal penghidupan bagi keluarga korban. Dalam bidang perdata, penetapan wajib nikah bagi pelaku dan membayar denda cuci kampung berupa seekor kambing dan peralatan dapur lainnya bagi pelaku sumbang salah untuk ritual pembacaan doa dengan tujuan agar kampung tersebut jauh dari balak bencana. Pengadopsian terhadap adat seperti ini, pada hakikatnya yang berlaku adalah syarak meskipun materinya diterima dari adat. Meski antara syarak dengan adat berbeda dalam definisi dan epistemologi sehingga memunculkan sinkronisasi dan diferensiasi, namun misinya sama yaitu mewujudkan tatanan masyarakat yang hidup damai dalam perspektif politis maupun sosiologis.

D. Unifikasi sebagai Penjembatan Pergulatan Syarak dengan Adat Unifikasi merupakan upaya menyeragamkan aturan yang awalnya berbeda menjadi satu baik berupa hukum dan pemerintahan, sebagaimana terjadi di Jambi sejak abad ke- 15. Penyeragaman aturan syarak dengan aturan adat melahirkan Undang Adat Jambi, begitupula dengan penyeragaman aturan pemerintahan berdasarkan kerajaan (Temenggung) dengan pemerintahan berdasarkan kerapan adat (Perpatih) melahirkan Pemerintahan Adat Melayu.213

213Kedua aturan tersebut jelas, terarah dan sistemik sehingga menjadi sistem. Sistem adalah batasan metode dimana metode tersebut memkoridorkan batasan masalah yang di hubungkan atau komponen yang memiliki suatu parameter kesamaan saling terhubung dalam suatu

134

Pertama, unifikasi sistem hukum, dalam sejarah kerajaan Islam Nusantara, salah satu kerajaan yang berhasil menyunifikasi syarak dengan adat adalah kerajaan Islam Melayu Jambi oleh Ahmad Kamil. Beliau berjasa memadukan adat dan syarak menjadi aturan dan dikodifikasi menjadi undang negara dengan nama Undang Adat Jambi. Unifikasi ini justru jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berawal dari kedatangan Islam yang memberi pengaruh besar terhadap warna adat yang awalnya bersendikan kepada alur, alur bersendikan ke patut dan patut bersendi ke kebenaran menjadi adat bersendi syarak, dan syarak bersendi Kitabullah. Sejak saat itu, kerajaan Melayu Jambi mendasarkan syariat Islam sebagai dasar ideologis dan sosiologis sehingga muncul seloka ―Adat nan lazim syarak nan qawi‖, syarak mengato adat memakai, haram kato syarak dihukum kata adat, larang kato syarak pantang kato adat.‖ Sementara wilayah Jambi bagian Barat tetap berlaku ―adat bersendi alur, alur bersendi patut, patut bersendi kebenaran‖.214 Pada abad ke-15 M. mulailah kerajaan ini berusaha memasukkan wilayah Barat sebagai bagian dari wilayah kerajaan secara keseluruhan dan hukum yang diberlakukan adalah hukum yang didasarkan pada syariat Islam. Untuk mempercepat dan mempermudah penguasaan wilayah Barat, seorang wakil raja ditempatkan di wilayah Barat yang berkedudukan di Muaro Masumai – Bangko.

batasan. Ada dua sistem yang berhasil dikombinasikan pada masa kerajaan Islam Melayu yaitu; sistem hukum dan sistem pemerintahan. Pertama, sistem hukum yaitu kesatuan dari tatanan yang terdiri dari bagian atau unsur yang saling berhubungan dan berkaitan secara erat. Kedua, sistem pemerintahan, yaitu suatu sistem untuk menjaga kestabilan masyarakat dalam banyak segi sosial, norma, dan ekonomi, menjaga kestabilan sistem dalam menjaga kedaulatan negara, menjaga kekuatan dari segi pertahanan, ekonomi, politik dan keamanan dimata dunia sehingga menjadi berkelanjutan untuk memenuhi tugas esensial dan fakultif dari Negara. Lihat Lilik Mulyadi, Sistem Hukum Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Korupsi dikaji dari Perspektif Yurisprudensi dan Pergeseran ―kebijakan‖ Mahkamah Agung Republik Indonesia, diakses tanggal 10 April 2017. 214Ibid.

135

Ketika itu wilayah Sarolangun Bangko (Sarko) berada di bawah sistem persekutuan adat Depati Setio Rajo, Depati Setio Nyato dan Depati Setio Rajo. Mengingat Jambi wilayah Barat tidak mempunyai persekutuan sebagaimana sistem kerajaan, dengan mudah dikuasai oleh kerajaan Islam Melayu Jambi. Wilayah Muaro Masumai yang termasuk sistem persekutuan adat Depati Setio Rajo harus tunduk kepada aturan kerajaan yang dikepalai oleh Temenggung Kabul Dibukit pada awal abad ke-15 M. Selanjutnya, atas perintah raja beliau mengupayakan agar sistem hukum adat yang ada disesuaikan dengan spirit ajaran Islam. Sejak saat itu terjadi ambivalen dalam penerapan hukum di wilayah Jambi bagian Barat, mereka mempunyai hukum adat sendiri semenjak dulu kala dipaksakan untuk menerapkan syarak. Sebelumya di Kerinci dan Sarko semenjak tahun 1347-1526 M. memberlakukan hukum adat yang disebut Undang berasal dari Pagaruyung. 215 Atas dasar itu, menurut Junaidi T Noer muncul seloka―Undang turun dari hulu, Teliti mudik dari Tanah Pilih, Undang Tibo dulu Taliti Tibo kurian, Undang datang bertali gial, Teliti tibo bertali tajuk, Undang talanjuo kile Teliti telanju mudik‖.216 Implikasinya timbul kesulitan penerapan hukum pidana adat, memberlakukan hukum pidana dari Pagaruyung atau hukum pidana dari Tanah Pilih. Untuk menengahinya digagaslah Rapat Besar Adat (RBA) kedua di Bukit Sitinjau Laut tahun 1530 M. melalui konvensi yang dituangkan dalam falsafah―Undang datang dari Hulu, Teliti

215Undang diasumsikan adat yang berasal dari Minangkabau, sedangkan Teliti diasumsikan aturan yang bersumber dari ajaran Islam. Asumsi pertama ini tidak seluruhnya benar dengan alasan, pertama, adat Minangkabau dan adat Jambi pada awalnya inheren dalam kesatuan adat Melayu di bawah kekuasaan kerajaan Melayu. Penggunaan bahasa adatpun relatif sama sebagaimana termuat dalam undang duo puluh, yang tidak hanya dipakai dalam terminologi Minangkabau akan tetapi juga digunakan pada beberapa etnis dan bangsa Melayu di dalam dan luar negeri. Kedua, jika bahasa Melayu yang dijadikan acuan maka cikal bakal etnis Melayu justru dari Jambi. 216Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 21 Mei 2015.

136 dari Hilir.‖ Tujuannya adalah memadukan Undang dengan Teliti yang penerapannya berbeda, sesuai seloka: ‗Apo kato Teliti, apo pulo kato Undang, cukil mato pembunuh kato Teliti, cukil mato kerbau kato Undang, potong tangan pencuri kato Teliti, potong tangan kambing kato Undang‖. Begitupula kesulitan menjatuhkan sanksi pada kasus pembunuhan, menurut Teliti ahli waris korban mempunyai pilihan satu diantara dua hukum, menerima uang denda (diyât) atau qişâş yaitu pelaku dihukum mati. Berbeda dengan sistem hukum menurut Undang pelaku wajib bayar bangun, yaitu membayar kepada pihak korban dan denda adat, serta cuci kampung, dan berdamai saling memaafkan antara pihak korban dan pelaku, maka untuk menyatukan Undang dengan Teliti diusulkan oleh adanya Rapat Adat pada tahun 1530 bertempat di Bukti Sitinjau Laut perbatasan antara Kerinci dengan Padang. Sejak saat itu syarak dengan adat terintegrasi secara mapan dan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi sehingga terjadi keseimbangan karena mampu mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok sebagai adresat hukum. Meskipun lahirnya falsafah ini mengindikasikan terjadinya subordinasi antara dua hukum dalam suatu arena yang disimbolkan dengan undang dan teliti.217 Integrasi keduanya dirumuskan dalam Undang Adat Jambi, yang di dalamnya memuat undang duapuluh dan undang raja.218

217Ngebi Sutho Dilogo, Alih Aksara ..., 25-27. 218Di antara undang kerajaan Jambi sebagai ditulis Ngebi Sutho Dilogo, sebagai peraturan yang berlaku pada waktu itu dan harus ditaati oleh semua masyarakat yang bernaung dalam kerajaan Jambi terdiri dari 33 pasal dan 70 pasal. Kesimpulan 33 pasal 1). Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi, karena keputusan pengadilan harus disahkan oleh raja; 2). Kedudukan setiap priyayi atau raja kecil sama dengan kerajaan yang dua belas bangsa; 3). Rakyat dapat membantah priyayi yang berlaku zalim baik secara perorangan maupun secara bersama-sama. 4).Tidak ada hukum kurungan, yang ada hanya hukum denda, pukul, rantai, kerja paksa, luka berpampas, mati membangun; 5). Hukuman yang dijatuhkan tidak dapat diganggu gugat; 6). Hukuman yang tidak setimpal dengan dakwaan maka dibolehkan naik banding dalam jangka tujuh hari; 7). Hukum adat itu lebih kuat daripaada hukum celaga; dan 8). Semua perkara yang diajukan haruslah dengan bukti yang lengkap. Ibid, 34.

137

Kedua, Ahmad Kamil juga berhasil menyatukan dua sistem pemerintahan otonom, yaitu; berdasarkan kerajaan (Temenggung) dan berdasarkan kerapatan adat (Perpatih).219 Sistem pemerintahan yang awalnya terpisah, di wilayah Hilir menerapkan pemerintahan berdasarkan kerajaan (Temenggung), sedangkan di wilayah Hulu menerapkan pemerintahan berdasarkan kerapatan adat (Perpatih). Sedangkan pemerintahan Kerapatan Adat hanya menetapkan pemerintahan adat berdasarkan falsafah Berjenjang naik, Bertanggo turun. Sebagai bukti ditemukannya gelar pemuka adat mulai dari Sigindo, Pamuncak hingga Depati. Sistem ini mempunyai beberapa ciri, yaitu; tidak mengenal raja dalam pengertian absolut karena posisi raja bergantian, kepemimpinan adat berdasarkan kesepakatan berdasarkan ‗alur dan waris‘ secara bergantian antar kaum kerabat dalam komunitas tersebut. Sistem pemerintahan ini didasarkan pada adat dan lembaga pemerintahannya disebut dengan Lembaga Adat yang merepresentasikan kepentingan penguasa (pemerintah), pegawai syarak dan pemangku adat.220 Sistem

219Aulia Tasman, Memahami Adat Lamo di Wilayah Jambi, makalah dalam "Seminar Adat Melayu Jambi", 2014, 2. 220Kedua model pemerintahan baik Temenggung maupun Perpatih diprediksi adopsi dari tradisi Minangkabau, keduanya yang diidentikkan dengan otokrasi dan demokrasi. Pertama, Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani derivasi dari kata oto yang berarti sendiri dan kratos berarti pemerintah. autokratôr yang secara harfiah berarti "berkuasa sendiri" atau "penguasa tunggal". Otokrasi merupakan Pemerintahan atau kekuasaan yang dipegang oleh seseorang yang berkuasa secara penuh dan tidak terbatas masanya. Sedangkan yang memegang kekuasaan disebut otokrat yang biasanya dijabat oleh pemimpin yang berstatus sebagai raja atau yang menggunakan sistem kerajaan. Para pendukung otokrasi biasanya mengajukan pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang beragam, atau persaingan antar kelompok menjadi relatif terkurangi oleh sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan. Negara yang mempraktikkan pemerintahan ini antara lain: Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg, Jepang, Muangthai, dan Spanyol.

138 pemerintahan ini dikenal dengan istilah Perpatih (pemerintahan adat yang dipimpin oleh Pemangku Adat). Pemangku Adat memimpin forum tiga tali sepilin yang ada dalam kelembagaan adat melalui kerapatan adat dan merupakan representasi dari; pertama, Raja Alam, Raja dari kerajaan dan sedang berkuasa; kedua, Raja Ibadat, orang sangat memahami persoalan keagamaan, dan ketiga, Raja Adat, orang yang paling berpengaruh di masyarakat dan sangat mengerti tentang norma adat. Raja ibadat awalnya dalam tradisi Minangkabau adalah ―pandito (pendeta)‖, kemudian diganti oleh Ahmad Kamil dengan istilah pegawai syarak, yang terdiri dari imam, khatib dan bilal. Inilah kali pertama munculnya istilah pegawai syarak sesuai falsafah ―adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖. Pegawai syarak dibebani tanggung jawab oleh kerajaan memelihara eksistensi dan keberlangsungan syarak pada setiap marga dan kampung. Kedua sistem hukum dan ―pemerintahan adat‖ inilah yang masih berlaku di Jambi, meski kelihatan unik namun tetap diakui dan dipraktikkan oleh masyarakat Melayu Jambi. Setelah kerajaan Islam Melayu yang mempraktikkan sistem kerajaan (Temenggung) dengan berhasil menaklukkan Kerinci dan Sarolangun-Bangko (Sarko) yang ketika itu memberlakukan sistem kerapatan adat (Perpatih), terjadi kolaborasi kedua sistem pemerintahan sehingga lahirlah sistem pemerintahan Adat Melayu Jambi. Struktur pemerintahan Melayu Jambi ini merupakan kolaborasi dari dua sistem pemerintahan dan dipraktikkan

Di negara-negara ini, otokrasi menjadi instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya sebagai simbol persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah masyarakat. Kita perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan Jepang pun masih menerapkan sistem monarki. Kedua, Demokrasi, dimana kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few, maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik, jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy). Lihat Carlton Clymer Rodee, dkk., Introducti on to Political Science, terj. Zulkipli Hamid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 64, 159.

139 secara bersamaan sesuai tugas masing-masing. Dalam sistem pemerintahan Melayu Jambi, kerajaan dipimpin oleh seorang Raja atau Sultan secara hierarkis merupakan pemimpin tertinggi dibantu oleh Perdana Menteri, yang bertugas mengendalikan administrasi kerajaan dan calon pengganti Raja atau Sultan. Pendana menteri bergelar Pangeran Ratu membawahi dua dewan, yaitu Dewan Patih Dalam dan Dewan Patih Luar. Patih Dalam dan Patih Luar sama dengan kedudukan Menteri dalam kabinet presidensial. Anggota-anggota kerapatan Patih Dalam terdiri dari Panggeran yang mempunyai gelar masing- masing.221 Saat ini, sistem hukum yang ada di wilayah Jambi bagian Barat masih tetap memberlakukan sistem hukum

221Sistem pemerintahan asli masyarakat Jambi tidak banyak berbeda sejak dari kerajaan Melayu sampai zaman kesultanan Jambi, kerajaan disusun berdasarkan adat, pada zaman kesultanan adat bersendi syarak dan syarak bersendi kitabullah. Bentuk dan struktur pemerintahan kerajaan adalah berjenjang naik bertanggo turun, asas demokrasi berdasarkan kepribadian seorang raja, yang tercermin dalam pepatah ―raja adil raja disembah raja zalim raja disanggah‖. Secara hierarkis raja atau sulthan adalah pucuk pimpinan tertinggi yang dibantu oleh seorang perdana menteri (Pangeran Ratu). Tugas perdana menteri ini adalah mengendalikan administrasi kerajaan. Perdana menteri adalah seorang bergelar Pangeran Ratu sebagai calon seorang pengganti Raja atau Sultan. Pangeran Ratu atau perdana menteri membawahi dua macam dewan, yaitu Dewan Patih Dalam dan Dewan Patih Luar, yang mana pemerintahan Jambi terdiri dari Dewan kerajaan Melayu Islam adalah sistem pemerintahan yaitu: Kuasa Sultan, Kuasa Patih Dalam, Kuasa Patih Luar, Rantau Sekato Jenang, Negeri Sekato Batin, Luhak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, dan Rumah Sekato Tengganai. Patih Dalam dan Patih Luar adalah merupakan kerapatan Sultan (sistem) sekarang sama dengan kabinet dalam menjalankan pemerintahan. Anggota-anggota kerapatan Patih Dalam terdiri dari Panggeran-pangeran yang bergelar: 1. Pangeran Adipati Mangkuningrat (Pangeran ratu) Calon Sultan; 2. Pangeran Soetie Nyato Kereno; 3. Pangeran Djojoningrat; 4. Pangeran Ario Djoyo Kusumo; 5. Pangeran Noto Manggolo; dan 6. Pangeran Wiro Kusumo. Sedangkan anggota kerapatan patih luar terdiri dari: 1. Pangeran Soero Mangku Negoro; 2. Pangeran Mangku Negoro; 3. Pangeran Prabunegoro; 4. Pangeran Joyokusumo; 5. Pangeran Keromodelogo; dan 6. Pangeran Koesoemo Dilogo. Hierarki pemerintahannya dikenal dengan adagium―berjenjang naik bertanggo turun‖. Lihat Ngebi Sutho Dilogo, Alih Aksara ..., 30.

140 adat bias pemerintahan kerapatan adat (Perpatih), sementara sistem pemerintahan yang awalnya kerajaan (Temenggung) sejak kemerdekaan kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam konteks ini pemerintah Indonesia telah yang mempunyai struktur hierarkis dari pusat sampai daerah (lurah/desa) bahkan sampai tingkat Rukun Tetangga (RT).222 Pengalaman ―mendamaikan‖ isi teks syarak dengan adat sebagai hukum rakyat (atau sebut saja kaidah-kaidah sosial yang tersosialisasi dan diyakini oleh warga masyarakat lokal) dan sistem pemerintahan ini dipandang sukses membawa masyarakat Melayu Jambi menuju kedamaian, inklusifitas dan fluralitas. Pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku sebagai living law berdasarkan paham partikularisme pada zaman kerajaan Melayu berlanjut pada masa kerajaan Islam Melayu dan kesultanan hingga saat ini. Begitupula dengan mendamaikan kedua sistem pemerintahan sebagai kesatuan hukum dan politik substansinya menyerap aspirasi dari berbagai kelompok dan kekuatan di tengah pluralitas masyarakat untuk selanjutnya diganti dengan hukum flural yang diunifikasikan dan bahkan dikodifikasikan.223 Berikut

222Pemerintahan Temenggung digagas oleh Datuk Ketemenggungan yang dipraktikkan di seluruh wilayah Melayu seperti; Jambi, Palembang, Riau dan Aceh dengan ciri, antara lain: mempraktikkan sistem otokrasi, kekerabatan dan kewarisan patrilineal, aturan hukum berorientasi kepada syarak, sanksi hukum berorientasi pada pengajaran (efek jera). Sedangkan Pemerintahan Perpatih digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang, yang dipraktikkan di wilayah Minangkabau, Negeri Sembilan, Malaka dan sebagian wilayah Jambi bagian Hulu dengan ciri, antara lain: mempraktikkan sistem demokrasi, setiap suku bersaudara, kekerabatan dan kewarisan matrilineal, aturan hukum berorientasi kepada adat dan sanksi hukum berorientasi pada pemulihan dan persaudaraan. Lihat ―Sistem Perundangan Kerajaan Melayu, diakses tanggal 25 Januari 2017. 223Unifikasi hukum adalah langkah penyeragaman hukum atau penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa di suatu wilayah negara tertentu sebagai hukum nasional di negara tersebut. Sedangkan kodifikasi hukum adalah suatu langkah pengkitaban hukum atau penulisan hukum ke dalam suatu kitab undang-undang (codex) yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah. Beberapa contoh hukum yang telah dikodifikasikan di Indonesia adalah: Hukum pidana

141 refleksi unifikasi sistem hukum dan sistem pemerintahan Melayu Jambi.

Gambar 5.2. Unifikasi Sistem Hukum dan Pemerintahan

Dalam konteks pembauran dan kolaborasi sistem hukum dan sistem pemerintahan, oleh Mahfud MD dikatakan sedikitnya ada dua yaitu karakter produk hukum responsif (otonom) dan produk hukum konservatif (ortodoks).224 Produk hukum responsif karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan- tuntutan baik individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat, serta lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat; sedangkan rumusannya biasanya cukup rinci sehingga tidak terbuka untuk diinterpretasikan berdasarkan kehendak dan visi pemerintah sendiri.

yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);Hukum perdata yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdsata); Hukum dagang yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD); dan Hukum acara pidana yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 224Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), 8-9

142

Sedangkan Produk hukum konservatif karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan, sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara serius. Pada produk demikian biasanya diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program penguasa. Rumusan materi hukum pokok-pokoknya saja sehingga memungkinkan penguasa dapat menginterpretasikan sesuai visi dan kehendaknya sendiri dengan berbagai peraturan pelaksanaan. Dengan demikian adat dan syarak di Jambi mengalami dinamika yang cukup panjang sampai hari ini, mulai dari mencari formulasi hukum dengan mempertimbangkan kepentingan syarak, masyarakat mempraktikkan ambivalensi hukum dalam kehidupan meskipun pada kenyataan mengalami dilematis manakala terjadi trigolisme (pemerintah, agama dan adat) hukum pada tataran teoritis, dan dualisme hukum. Begitupula pada aspek pemerintahan dengan mengkolaborasikan dua model pemerintahan pada tataran praktis berdasarkan wilayah geografis yaitu Hulu dan Hilir. Gagasan cemerlang dan luar biasa yang patut diakui dan diteladani dalam rangka menjaga stabilitas hukum, politik dan kepentingan multikultural. Gagasan ini pada akhirnya menyebabkan Islam begitu cepat diterima dan berkembang di Jambi. Menurut penulis, beberapa aspek penyebab Islam dan ajarannya berkembang pesat di Jambi yaitu aspek internal dan eksternal. Aspek Internal, yaitu budaya inklusif masyarakat Jambi terhadap budaya luar, yang juga dimiliki masyarakat Melayu Nusantara. Sedangkan aspek eksternal dimana Islam mampu masuk ke dalam sistem hukum dan sistem pemerintahan sehingga mempunyai legitimasi yang kuat dari penguasa, adat dan masyarakat. Pada bab berikutnya mengurai persepsi masyarakat Melayu Jambi terhadap epistemologis adat dan syarak.

143

6 Adat dan Syarak serta Pelembagaannya: Perspektif Masyarakat Melayu Jambi

Syarak sebagai produk hukum yang muncul kemudian inheren dengan agama Islam, dibawa oleh Ahmad Salim ke tanah Jambi dan dibumikan Ahmad Kamil serta diikuti ulama Arab berikutnya. Sementara adat merupakan produk hukum yang lahir dari budaya masyarakat Melayu Jambi yang terpengaruh oleh budaya Budha dan Hindu, keduanya dipadukan melalui kelembagaan adat sehingga lahirlah Undang Adat Jambi. Konfigurasi dan praktik keduanya dalam konteks kekinian terkadang dilematis karena masyarakat dihadapkan pada kecenderungan berteologi di satu sisi dan kecenderungan melestarikan tradisi warisan nenek moyang di sisi lain. Oleh karenanya penelusuran mengenai persepsi, keberterimaan masyarakat terhadap adat dan syarak, otoritas kelembagaan adat serta pola penyelesaian konflik yang terkonstruksi dalam pergulatan ideologis, sosial, dan kultural dewasa ini sangat diperlukan sekaligus menjadi kajian bab ini.

144

A. Persepsi Masyarakat Melayu Jambi tentang Epistemologi Adat dan Syarak

Masyarakat Melayu Jambi sebagaimana masyarakat etnik Melayu muslim lainnya sangat akrab dengan terminologi adat dan syarak, sejalan dengan falsafah ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah.‖ Namun, sejauhmana persepsi mereka terhadap keduanya perlu pendalaman dengan berpijak pemahaman terhadap substansi makna keduanya.

Persepsi Masyarakat tentang Epistemologi Adat Masyarakat Jambi sebagai masyarakat Melayu-Muslim mempunyai persepsi tersendiri tentang adat, untuk itu perlu penegasan terlebih dulu makna adat secara universal. ‖العادة― atau عاد – يعود – عادة Terma adat derivasi dari kata berarti ―kebiasaan atau tradisi‖, dalam bahasa Inggris digunakan custom, practice, legal practice.225 Terma ini diserap ke dalam bahasa Indonesia berarti kebiasaan, yakni kebiasaan yang berulang dan terus-menerus (mengkristal) dilakukan oleh masyarakat adatnya tanpa perubahan pada sifatnya, mempunyai nilai atau norma yang dianut dan dipatuhi bersama serta diberi sanksi bagi pelanggarnya. Mustafa Ahmad Zarqa memaknai adat:226 األمر املتكرر من غري عالقة عقلية "Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang tanpa ada hubungan dengan pemikiran (rasional).‖

Adat merupakan keberulangan sesuatu sehingga mudah melaksanakannya bahkan dianggap bagaikan naluri kedua, berbeda dengan keberulangan sesuatu yang disebabkan hubungan pemikiran rasional atau konsekuensi Penyebutan adat biasanya dengan kata ‗urf .(تلزم املعقلى) logis (ma‘rûf) yang berarti ―segala macam kebaikan yang

225Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York: Sage Pub., 2002), 606. 226Mustafa Ahmad Zarqa, al-Fiqh al-Islamîy fi Tsaubih al-Jadîd: al-Madkhal al-Fiqh al-Amm, (Damsiq: Tharbin, 1968), Cet. X, 838.

145 disetujui dan diterima oleh akal sehat serta disenangi oleh jiwa yang tentram.‖227 Al-Jurjani dalam Ta‘rifât-nya memaknai ‗urf : ما استقرت النفوس عليه بشهادة العقول وتلقته الطبائع ابلقبول ―Sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan ketenangan dalam mengerjakannya karena sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusian.‖228

Persoalan al-‗âdah sama atau semakna dengan al-‗urf, di kalangan fuqahâ‘ berbeda pandangan ada yang menyamakan dan ada yang membedakan.229 Terlepas dari itu, Akh Minhaji memahami adat dari perspektif berbeda dengan berpijak pada teks ayat yang mendorong berbuat baik dan mencegah orang berbuat mungkar.230 Pada ayat ini

227Qurtubi, al-Jami‘ al-Ahkâm al-Qur‘ân, (Kairo: Dar al-Kitab al- Arabiy, 1967), Juz VII, 346. 228Ali ibn Muhammad al-Sayyîd al-Syarif a-Jurjanîy, al-Ta‘rifât, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 125. Pemaknaan ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-A‘râf [7]: 199 dan Q.S. al-A‘râf [7]:157. 229Fuqaha berbeda pandangan tentang pemaknaan al-‗âdah dan al-‗urf: Pertama, fuqahâ‘ yang meyakini al-‗âdah berbeda dengan al-‗urf. al-‗âdah adalah sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Pemaknaan ini memungkinkan al-‗âdah ditafsirkan secara luas dan praktiknya sangat mungkin bersumber dari empat kecenderungan: 1) kecenderungan pribadi, seperti; kebiasaan tidur, makan, minum; 2) kecenderungan kolektif, seperti; kebiasaan melakukan upacara-upacara tertentu; 3) kecenderungan alamiah, seperti; kebiasaan cepat atau lambatnya seseorang menjadi bâlig, atau 4) kecenderungan hawa nafsu dan akhlak maźmûmah, seperti; kebiasaan mabuk-mabukan. Sementara itu, al-‗urf adalah kebiasaan mayoritas suatu kaum, berupa perkataan maupun perbuatan. Kedua, fuqahâ‘ yang meyakini tidak ada perbedaan antara al-‗âdah dan al-‗urf, sebagaimana dikemukakan Sobhi Mahmassani al-‗urf dan al-‗âdah memiliki kesamaan makna (al-‗urf wa al-‗âdah bi ma‘na al-wâhid). Oleh karena itu, apabila kedua itu dirangkaikan dalam suatu kalimat, seperti: ―hukum itu didasarkan pada âdah dan ‗urf‖, tidaklah berarti kata âdah dan ‗urf itu berbeda maksudnya. Kata ‗urf di sini adalah sebagai penguat terhadap kata âdah. Lihat Ahmad Fahmî Abu Sunnah, al-‗Urf wa al-‗âdah fi Ra‗yi al Fuqahâ‘, (Mesir: Dâr al-Fikr al-‗Arabî, t.th.); Sobhi Mahmassani, Falsafat at- Tasyri‘al-Islamîy, (Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1952), 179. 230Q.S. Ali Imran [3]: 104.

146 terdapat dua kata kunci (key word) yaitu; al-khair dan al- ma‘rûf, keduanya bermakna ‗kebaikan‘. Namun jika ditelisik keduanya berbeda, al-khair merupakan kebaikan normatif- universal, kebaikan tingkat tertinggi serta tidak terbatas ruang dan waktu, sedangkan al-ma‘rûf merupakan kebaikan yang terbatas pada ruang dan waktu.231 Ditambahkannya, al-khair merupakan kebenaran normatif, sedangkan al-ma‘rûf merupakan kebenaran historis- operasional.232 Berbeda dengan asy-Syâţibî yang memaknai adat mencakup tiga hal yaitu;233 Pertama, kebiasaan dan prilaku manusia semata-mata serta berlaku umum, seperti; makan, minum, gembira, sedih, tidur, jaga, mendapatkan kebaikan dan kesenangan, menghindari rasa sakit dan sebagainya. Kedua, adat istiadat atau custom, seperti keadaan berpakaian, tempat tinggal (bentuk rumah), keramah- tamahan, lambat dan cepat dalam berbagai urusan, egositis dan sebagainya. Ketiga, sebagai imbangan dari ibadah yaitu mu‘amalat. Bertolak dari kompleksitas pemaknaan adat di atas, adat dirumuskan pada tiga aspek; Pertama, adat berarti hukum, aturan, ajaran, moralitas, kebiasaan, kesepakatan, tindakan yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat, dan sebagainya. Kedua, adat berarti kebiasaan yang dipraktikkan oleh masyarakat dalam wilayah tertentu. Ketiga, adat sebagai kumpulan dari literatur tentang adat.234 Dalam konteks Jambi, menurut Datuk Ramli: ―Masyarakat Melayu Jambi memahami ada tiga arti adat yaitu; pertama, adat berupa perintah maupun larangan, ukurannya adalah hukum syarak dan hukum adat sebagaimana termuat dalam Undang Adat Jambi seperti; membunuh, mencuri, berzina dan lain sebagainya. Kedua, adat sebagai kebiasaan masyarakat dalam bentuk etika, ukurannya adalah kepantasan atau kepatutan seperti;

231 Akh Minhaji, et., al., Antologi ..., 8. 232Ibid., 9. 233Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ asy-Syâţibî, al-Muwâfaqât..., Jilid II, 266. 234Lukito, Tradisi Hukum..., 5-6.

147

sholat tidak pakai kopiah dan sarung, ta‘ziah tidak pakai kopiah hitam dan sebagainya. Ketiga, adat sebagai perbuatan yang didiamkan, tidak disuruh atau mendapat celaan, seperti; acara tujuh bulanan, membaca surah Yusuf dan Maryam saat hamil dan sebagainya.235 Pandangan senada disampaikan Datuk Roni: ―Inti pemahaman masyarakat Melayu Jambi tentang adat termuat dalam adat nan empat¸ yaitu; adat sebenar adat, adat yang teradat, adat yang diadatkan dan adat istiadat. Segala persoalan pribadi maupun kelompok tercakup di dalamnya baik hukum, tingkah laku ataupun kebiasaan.236 Selain itu, adat sebagai sumber utama tata nilai yang membentuk sikap mental atau pola pikir masyarakat serta mempengaruhi dan membentuk pola tingkah dalam berbagai aspek kehidupannya yang pada gilirannya melahirkan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dinamika adat selanjutnya sangat bergantung pada kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembannya, yaitu; politisi, hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat serta situasi dan kondisi yang mengitarinya.237 Substansinya adat merupakan gagasan kebudayaan mencakup; nilai, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan tradisi yang lazim dilakukan. Pelanggaran terhadapnya memunculkan kerancuan yang berdampak pada sanksi sosial karena dianggap melanggar larang pantang.238 Sedangkan hukum Adat sebagai istilah teknis ilmiah mereferensi pada kebiasaan pada masyarakat

235Wawancara, Salah seorang turunan Sultan Thaha Saifuddin, 21 Juni 2016. 236Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Muara Sabak, 22 April 2015. 237M.J Saptenno, Menata Kembali Hukum Adat dan Kelembagaan Adat untuk Kedamaian dan Keharmonisan Hidup dalam Masyarakat, diakses tanggal 10 Januari 2017. 238Berbeda dengan fuqahâ‘ yang menetapkan kriteria tertentu agar adat menjadi hukum, antara lain: Adat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh pendapat umum; Adat dilakukan berulangkali dan berlaku umum dalam masyarakat; Adat telah ada saat transaksi dilakukan; Tidak ada persetujuan atau pilihan lain dari kedua belah pihak; dan Tidak bertentangan dengan nass. Lihat Mahmassani, Falsafat at-Tasyri‘ ..., 185-186.

148 tertentu dan tidak diundangkan. Substansi hukum adat adalah refleksi dari keyakinan dalam masyarakat terhadap tradisi untuk dijadikan pandangan hidup (way of life) sesuai perasaan keadilan dan kepatutan. Inilah yang dipersepsikan oleh masyarakat Melayu Jambi terhadap adat. Selanjutnya, atas gagasan Snouck Hurgroyne sekitar tahun 1900 nomenklatur adatpun berubah menjadi hukum Adat (Adat Recht), yang dipopulerkan oleh C.Van Vollen Hoven.239 Unger mendefinisikan hukum adat adalah setiap pola interaksi yang muncul berulang-ulang di antara banyak individu dan kelompok, diikuti pengakuan yang relatif eksplisit dari kelompok dan individu tersebut bahwa pola- pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal-balik yang harus dipenuhi.240 Menurutnya, hukum Adat pada umumnya tidak mesti sesuatu yang positif, bersifat interaksionalis dan masih kaburnya batasan das sein dan das sollennya, hukum adat juga lebih berorientasi pada sesuatu yang implisit ketimbang eksplisit. Pengertian ini mengindikasikan adat yang tumbuh dan berkembang di Indonesia merupakan hukum asli atau hukum pribumi dan tidak dilembagakan dalam bentuk perundang-undangan, mengandung norma adat dan syarak serta telah menyatu dalam kehidupan komunitas masyarakat. Sebagai produk hukum, adat di Indonesia berpijak pada paradigma tertentu, sehingga menjadi sebuah sistem yang mapan dan dipatuhi masyarakat adat.241 Adat (hukum Adat) merupakan aturan hukum yang sebagian besar sifatnya tidak tertulis dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama dan masyarakat

239I Gede Ab. Wiranata, Hukum Adat di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 21. 240Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis:Posisi Hukum dalam Masyarakat, terj. Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, (Bandung: Nusa Media, cet. IV, 2010), 63-64. 241Ada banyak istilah yang digunakan menamai hukum lokal, di antaranya; hukum tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum ―adat―. Lihat Keebet Von Benda- Beckmann, Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Ford Fondation, 2006), 21.

149

tunduk dan patuh terhadapnya. Kesepakatan tersebut mengalami dinamika berdasarkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat, oleh karenanya adat dipandang sebagai hukum yang hidup (living law). Selain itu, aturan adat sebagaimana hukum lainnya mengandung falsafah dan norma yang mampu menata kehidupan masyarakat adat secara baik dan teratur serta bernilai manfaat yang dirasakan stakeholders agar menjadi referensi dalam menyelesaikan berbagai kasus yang dihadapi. Persepsi Masyarakat tentang Epistemologi Syarak Terma syarak semakna dengan hukum Islam, dalam literatur Barat dikenal ‗Islamic Law‘,242 sementara literatur uşûliyyîn menyebut tiga istilah: syariah Islam (al-Syarî‘ah al-Islâmiyah), fikih Islam (al-fiqh al-Islâmîy) dan hukum syar‘i (al-Hukm asy-Syar‘îy). Substansinya relatif sama namun—dalam kaitannya dengan perspektif dan kerangka keilmuan hukum secara umum—sering dikeliru-pahamkan berupa ambiguitas antara fikih sebagai hukum praktis yang diadopsi dari dalil tafsîlîy (terperinci) dan syariat sebagai peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada manusia dalam relasi imanen-transenden.243 Karenanya, perlu menduduk-benarkan definisinya, seturut penjelasan berikut: berarti شريعة-يشرع--شرع Pertama, syariah derivasi dari ―jalan menuju ke tempat keluarnya air untuk diminum, jalan setapak yang harus ditempuh atau jalan mengalirnya air sungai (the clear path to the folowwed).244 Menurut Mahmud Syaltut, syariah berarti hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syariatkan bagi hamba-Nya untuk

242Joseph Schacht, . An Introduction to Islamic Law, (USA; Oxford University Press, 1964), 1. 243Akh Minhaji, Hukum Islam antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial), dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga, 25 September 2004, 30-35. 244Louis Ma‘luf, al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lâm, (Beirut: Da>r al-Masyriq, 1986), 383.

150 diikuti.‖245 Syariah terkadang diidentikkan dengan agama meski dikhususkan untuk hukum amaliyah.246 Pengkhususan ini untuk membedakan agama dengan syariah karena pada hakikatnya agama itu satu dan berlaku universal, sementara syariah berbeda antara satu umat dengan umat lainnya. berarti فقه - يفقه - فقيه Kedua, fikih, derivasi dari ―mengetahui hukum syarak secara detail.‖247 Menurut al- Amidi, fikih berarti ‗ilmu tentang seperangkat hukum syarak yang bersifat furu‘iyah yang didapatkan melalui penalaran dan istidlâl.248 Ketiga, hukum Islam berarti seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan atau Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini mengikat semua umat Islam. Sumber syarak adalah wahyu mencakup al-Qur‘an dan Sunnah dan ra‘yu, wahyu mencakup; rasio, akal, daya pikir, dan nalar. Akal amat penting sebagai sumber dan piranti memahami wahyu, terutama persoalan hukum yang tidak dinyatakan secara tegas (sharih). Pada konteks inilah ruang ijtihad terbuka terutama persoalan berdimensi instrumental.249 A.A. Fyzee menyebut syarî'ah sebagai canon law of Islam, yaitu keseluruhan perintah Allah berupa naşş,

245Mahmûd Syaltût, Aqîdah wa al-Syarî‘ah, (Kairo: Dâr al-Qalam, T.Th), 5. 246Agama atau religi (Latin), Religion atau Religious (Inggris), berasal dari relegere, dan ad-Dîn (Arab)berarti ―mengumpulkan dan membaca‖. Makna terakhir, ad-Dîn berarti balasan dan pahala, taat, adat, keadaan, ketundukan, kekuasaan dan paksaan. Dapat juga diartikan ―tingkah laku, cara, jalan, adat, keadaan, kekuasaan, ketetapan, keputusan, semakna dengan millat‖. Sedangkan menurut Ibrahim Unais agama (ad-Dîn) : وضعإذلى سائق لذوى العقول السليمة إبختيارىم إايه إَل الصَلح ىف احلال والفَلح ىف ادلال ―Agama adalah "peraturan Ilahi yang mengantarkan orang yang berakal sehat, atas kehendak mereka sendiri menuju kebahagiaan dunia akhirat." Lihat Ibnu al-Manzur, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar al-Shadr, t.th), Jil. XIII, 170-171; Ibrahim Unais, Mu‘jam al-Wasith, (Mesir: Majma‘ al- Lughah al-Arabiyyah, 1972), 307. 247Ibrahim Unais, Mu‘jam ..., II, 635. 248Saifuddin al-Amidi, al-Ih}kâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Kairo: Muassasah al-Halabî, 1967), I, 8. 249Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir at-Tasyrî‗ al-Islâmîy fî Mâ lâ nas}s{a Fîh, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1987), 8.

151 sedangkan fikih atau hukum Islam yaitu pengetahuan tentang hak dan kewajiban seseorang yang diketahui dari al-Qur‘an dan Sunnah, disimpulkan dari keduanya, atau kesepakatan pakar ahli hukum agama.250 Sri Wahyuni mengartikan syariah sebagai hukum Tuhan (devine law) mengatur segala aspek kehidupan manusia tanpa memilah moralitas atau hukum, juga memuat aspek hukum seperti; ibâdah, akhwâl al-syahsiyyah, jinâyah, muâmalat, siyâsah, dualiyah dan dusturiyah. Inilah pembeda hukum Islam (devine law)—yang mengatur antara manusia dengan Tuhan dan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya—dengan hukum positif (legal positivism)—yang hanya mengatur tata masyarakat dalam hubungan antar sesama individu, kelompok dan negara.251 Pengertian terakhir sejalan dengan epistemologi syarak yang dipersepsikan oleh masyarakat Melayu Jambi,252 meski mereka cenderung menggunakan istilah syarak, sebagaimana ditegaskan Prof. DR. KH. Sulaiman Abdullah, adat Melayu Jambi merupakan warisan leluhur

250A.A. Fyzee, The Outlines of Muhammadan Law, (Delhi: Idarah-I Adabiyah, 1981), 19-20. 251Sri mengemukakan hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari Tuhan, tidak memisahkan antara law dan morality, dan sanksinya bersifat eskalogis. Sedangkan hukum positif merupakan karya manusia dalam masyarakatnya, memisahkan antara law dan morality serta sanksinya tegas. Sri Wahyuni, ―Pengaruh Hukum Barat dalam Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara-Negara Muslim‖, dalam Akh Minhaji, et., al., Antologi Hukum Islam, (Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2015), 120. 252Epistemologis umumnya mengarah pada epistemologi burhâni, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum- hukum logika. Episteme burhâni—sering disebut pendekatan rasional argumentatif—adalah pendekatan yang mendasarkan kekuatan rasio melalui instrumen logika, seperti induksi dan deduksi. Pendekatan ini menjadikan realitas sebagai sumber kajian yang mencakup realitas alam (kauniyyah), realitas sejarah (târîkhiyyah), realitas sosial (ijtimâ‘iyyah) dan budaya (s|aqâfiyyah). Mengingat sumber kajian episteme adalah realitas kehidupan sosial keagamaan secara lebih memadai, diperlukan pendekatan-pendekatan lain, seperti; sosiologi, antropologi, budaya, sejarah dan lain-lain. Lihat M. Amin Abdullah, ―al-Ta‘wiîl al-‗Ilm: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci‖ Jurnal Al-Jami‘ah, Vol. 39 No. 2 July-Desember 2001, 379-380.

152 memuat pesan hukum, etika dan tradisi. Ketika Islam datang dan mampu menyentuh jiwa masyarakat (volkgeist), ia-pun diterima dan dijadikan panduan, terlebih setelah keduanya dipadukan. Syarak dipersepsikan sebagai hukum Tuhan yang harus dipatuhi oleh umat Islam dan menjadi sandaran (sendi) adat sehingga keduanya saling melengkapi dan menguatkan.253 Ditambahkan oleh Muhammad Zen, syarak merupakan hukum Tuhan yang harus dipatuhi meski telah menjelma menjadi adat, tak heran praktiknya masyarakat ada menggunakan istilah berbeda syarak atau adat. Masyarakat yang memahami ilmu agama menggunakan kata syarak, sedangkan masyarakat yang kurang mengerti ilmu agama menggunakan kata adat. Substansinya sama dan syaraklah yang jadi pionir atau sendi dalam hukum yang dipraktikkan masyarakat. Sah menurut syarak, sah pula menurut adat, keduanya menyatu dan sulit dibedakan.‖254 Kedua statemen ini mengindikasikan epistemolgi syarak telah akrab di kalangan masyarakat Melayu Jambi, meski pada tataran praksis syarak digunakan masyarakat yang lebih faham tentang Islam, sedangkan masyarakat awam terbiasa menggunakan terma adat.255 Menurut

253Wawancara, Ketua MUI Provinsi Jambi, 13 Juni 2015. 254Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Sarolangun, 19 Mei 2015. 255Syarak merupakan parsial dari agama, paradigma agama antara lain; Pertama adanya kepercayaan kekuatan gaib, yaitu kekuatan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk baik berupa; Tuhan atau Allah yang dalam agama Islam sebagai Sang Pencipta, ruh atau jiwa, benda sakti, atau lainnya; Kedua kepercayaan perolehan kebahagiaan di dunia dan akhirat yang sangat bergantung pada komunikasi dengan kekuatan gaib dimaksud; Ketiga respon emosional berupa perasaan cinta pada agama monoteisme; dan Keempat keyakinan adanya kitab suci sebagai panduan dalam menjalani kehidupan. Atas dasar itu, dua aspek yang menjadi kewenangan agama yaitu keyakinan dan tradisi. Keyakinan mencakup aspek internal, tak terkatakan, orientasi transenden, dan dimensi pribadi kehidupan beragama. Sedangkan tradisi mencakup eksternal keagamaan, aspek sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat. Kedua aspek ini sebagaimana dikutip M. Arfan Mu‘amar, dikategorikan oleh Charles J. Adam sebagai inward experience dan outward experience. Inward experience adalah hal yang bersifat batiniyah

153

Mohammad Daud Ali, persepsi masyarakat Indonesia tentang syarak diklasifikasikan ke dalam dua bentuk:256 a. Syarak bersifat normatif, yaitu berkaitan dengan aspek ibadah murni yang pelaksanaannya mensyaratkan iman dan kepatuhan umat Islam kepada agamanya. b. Syarak bersifat yuridis formal, yaitu berkaitan dengan aspek muamalat (khususnya bidang perdata dan diupayakan pula dalam bidang pidana sekalipun sampai sekarang masih dalam tahap perjuangan) yang telah menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia. Keduanya berbeda pada tataran implementatif, namun esensinya syarak di Indonesia merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, baik yang bersifat normatif maupun yuridis formal, yang konkritnya bisa berupa Undang-undang, fatwa ulama dan yurisprudensi.257 Dengan demikian, persepsi masyarakat Melayu Jambi terhadap syarak mencakup dua hal, yaitu: pertama, syarak dipahami sebagai sumber hukum teologis, sebagai pesan Allah dan Rasulnya yang harus dipatuhi oleh umat Islam. Kedua, pesan syarak mencakup segala persoalan yang diperintahkan Allah untuk dilaksanakan sebagai kewajiban bidang perdata, pidana maupun lainnya. Melaksanakan perintah syarak sama halnya melaksanakan perintah agama karena substansi syarak merupakan bagian tak terpisahkan dari agama. Segala putusan adat diafirmasi dalam agama dan merupakan wilayah kesadaran perasaan dan tanggung jawab yang bersifat personal, yang tidak dapat dikomunikasikan serta hanya secara parsial dapat dipahami oleh orang lain. Sedangkan outward experience adalah wujud luar atau manifestasi eksternal dari agama yang dapat diamati dan dikomunikasikan. Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), 14-15; M. Arfan Mu‘ammar dan Abdul Wahid Hasan, Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2013), 83. 256Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, 17 Mei 1995, 3. 257Uraian lengkap mengenai eksistensi hukum Islam di Indonesia melalui pendekatan historis, ataupun teoritis. Lihat Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 101.

154 melalui putusan syarak sehingga keduanya saling menguatkan dan diterima dengan mudah.

B. Keberterimaan Masyarakat Melayu Jambi terhadap Adat dan Syarak Syarak merupakan produk hukum yang datang kemudian dituntut mampu beradaptasi dengan adat sebagai produk hukum yang mapan pada suatu wilayah. Studi sejarah Islam Nusantara memperlihatkan proses Islamisasi di Indonesia merefleksikan toleransi para penyiar Islam terhadap realitas adat yang hidup dan berkembang sehingga terjalin harmonisasi antara syarak dengan adat.258 Inilah salah satu penyebab syarak begitu cepat terintegrasi dengan hukum lokal (adat) karena tidak serta menghancurkan tatanan hukum yang ada dan mapan. Praktik ini mereferensi pada ajaran Rasulullah ketika terjadi tranformasi dari tatanan budaya Jahiliyah menuju budaya Islam, ditambah karakter fleksibel dan universalitas syarak sehingga mudah diterima oleh komunitas manapun. Selain itu, syarak masuk melalui sistem hukum yang berada dalam kelembagaan adat, meski setelah keduanya terkonstruksi menjadi satu pada akhirnya mengundang respons berbeda dalam penerapan dan penerimaan terhadap keduanya sebagaimana praktik hukum di Jambi bagian Hilir dan Hulu. Secara universal penerimaan adat dan syarak pada beberapa wilayah Nusantara, utamanya Jambi, yang dihuni mayoritas masyarakat muslim dipilah menjadi dua fase, yaitu ; sebelum dan setelah kemerdekaan.259

Fase Pra-Kemerdekaan Fase Pra-Kemerdekaan meliputi masa kerajaan Islam, kesultanan, kolonial Belanda dan Jepang yang dipilah menjadi dua: Pertama, berlakunya syarak secara

258Abdullah Syah, Integrasi Antara Hukum Islam ..., 8. 259Ismail Sunny, ―Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,‖ dalam Bustanul Arifin, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, 200.

155 utuh sejak masa kerajaan Islam seperti; Kesultanan Aceh Darussalam, Riau, Palembang, Padang, Deli, Siak, Kesultanan Johor, Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan Brunei dan lainnya. Meskipun kemunculan syarak sebagai produk hukum baru tidak serta merta diterima masyarakat yang ketika itu penganut agama Hindu.260 Dalam konteks Jambi, kedatangan Islam dan penerimaan (resepsi) terhadap syarak sejak kedatangan Ahmad Salim dan dibumikan oleh putranya Ahmad Kamil. Masyarakat Melayu Jambi menerima syarak secara utuh sebagai kebutuhan ideologis-sosiologis dan meyakini penerimaan terhadap agama berkonsekuensi terhadap penerimaan segala aturan hukum di dalamnya, yaitu syarak (Hukum Islam).261 Menurut Fathuddin Abdi, masyarakat muslim Jambi sangat menyadari syarak bagian dari agama Islam, sedangkan adat merupakan tradisi warisan nenek moyang. Setelah keduanya dipadukan dan saling melengkapi harus dipatuhi sebagai wujud menjunjung tinggi idealisme keberagamaan dan keberadatan mereka.262 Pandangan senada disampaikan KH. Samsuddin Ali, masyarakat

260Pada masa Pra-Kolonial corak adat masyarakat Melayu Indonesia diwarnai budaya Hindu dan Budha yang merupakan corak asli, dibuktikan dengan beberapa prasasti: Prasasti Raja Sanjaya tahun 734 M., ditemukan di Gunung Wukir dekat Kedu Jawa Tengah, tertulis dalam aksara pahlawan tentang keagamaan perekonomian dan pertambangan; Prasasti Buldi dari Rakai Gunung Talun tahun 860, memuat aturan tentang peradilan perkara perdata; Prasasti Raja Tuladong tahun 919 berupa susunan lembaran tembaga mengatur jabatan pemerintah, hak raja atas tanah, ganti rugi tanah dan keagamaan (zaman Mataram). Sedangkan pada masa kolonial corak adat masyarakat Melayu Indonesia diwarnai oleh budaya Islam sebagaimana dijumpai melalui: Catatan hukum adat di keraton Bone dan Goa oleh Bosscchenaar Van Dirk Chlootwisxk, Gubernur Pantai Sulawesi 1757-1755; Kitab hukum Freiser, memuat hukum perkawinan dan waris menurut syarak untuk pengadilan-pengadilan kompeni, dibuat atas perintah Gubernur Jenderal Mossel dan disahkan 1679; Lihat Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1992), 51; Soerojo Wignodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), 35-36. 261Q.S. al-Baqarah [2]: 208. 262Wawancara, Ketua Adat Kabupaten Batanghari, 20 Juli 2015 .

156

Melayu Jambi sejak Islam datang sepakat Islam sebagai panduan hidup, sesuai falsafah ―adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabulllah; syarak menetapkan suatu hukum maka adat merealisasikannya, ketentuan syarak direalisasikan oleh adat sehingga keduanya sejalan dan tetap harmonis.263 Kedua statemen ini merefleksikan keberterimaan terhadap syarak secara totalitas sebagai panduan hidup (way of life), menurut H.A.R. Gibb umat Islam yang menerima Islam sebagai agamanya secara otomatis menerima otoritas pemberlakuan syarak terhadap dirinya.264 Sejalan dengan Robert Van Niel, menurutnya di Indonesia agama tidak bisa dipisahkan dari seluruh aspek kehidupan begitupula dengan seluruh kebijakan yang melekat di dalamnya harus seturut dengan apa yang diterapkan terhadap masyarakat setempat. Artinya Islam menjadi elemen penting dalam kultur kehidupan masyarakat Indonesia.265 Terlebih setelah syarak terintegrasi dengan adat masyarakat Melayu Jambi dan melahirkan Undang Adat Jambi sebagai sumber hukum otoritatif. Penerimaan tersebut diimplementasikan melalui kepatuhan terhadap hukum berupa perintah melaksanakan, perintah meninggalkan ataupun perintah memilih. Inilah yang menjadi salah satu alasan keberterimaan masyarakat Melayu Jambi yang mayoritas muslim dan religius. Kedua, berlakunya syarak secara parsial sejak kemunculan VOC. Pada awalnya Belanda memberlakukan teori ―Receptio in Complexu‖, atas gagasan W.C. Van Den Berg, yang mendukung pemberlakuan syarak terhadap umat Islam. Setelah posisi Belanda semakin kokoh melalui VOC-nya, pada tanggal 25 Mei 1760 M dikeluarkan peraturan Resolutio der Indischer Regeering atau Compendium Freijer, yang membatasi pemberlakuan syarak pada bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan)

263Wawancara, Ketua MUI Kabupaten Batanghari, 21 Maret 2016. 264H.A.R. Gibb, Modern Trends In Islam, (Chicago: The University of Chicago, 1972), 116. 265Akh Minhaji dalam ―Pemikiran dan implementasi hukum Islam di Indonesia.‖ (Teori dan Respon), diakses tanggal 20 Juli 2016.

157 ansich dan mengganti kewenangan peradilan Islam menjadi peradilan Belanda.266 Selanjutnya Belanda memberlakukan Teori Receptie gagasan Cristian Snouk Hurgronje (1857- 1936),267 yang justru mempersempit ruang gerak syarak dengan memberlakukan adat terhadap umat Islam. Syarak diverifikasi begitu ketat agar dapat legalisasi dari adat sehingga baru dapat diterima dan diberlakukan setelah diterima oleh adat.268 Jika asumsi kedua ini benar maka gagasan ini diprediksi muncul setelah pemerintah Belanda menerima masukan dari Christian Snouck Hurgronje, melalui teori Receptie, menurutnya syarak hanya berlaku setelah mendapat justifikasi dari adat dan melebur ke dalam adat agar diakui sebagai hukum.269

266Keberadaan syarak di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur- angsur, dan terakhir dengan staatstabled 1913 Nomor 354. Dalam Staatsbled 1882 Nomor 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan Madura dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fikih. Lihat M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), 12. 267Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Tinta Mas, 1973), 13; Soerojo Wignjodipoero, Pengantar ..., 28. 268Penguatan pemberlakuan Teori Resepsi diprediksi konspirasi Snouck Hurgronje dengan Van Vollen Hoeven untuk mengkerdilkan pemberlakuan syarak dan menomor-satukan adat. Usaha mereka berhasil hingga Belanda menerapkan dualisme hukum yaitu; hukum Erofah dan hukum adat, sedangkan syarak tidak muncul karena dianggap bagian integral dari hukum adat. Van Vollen Hoeven juga berhasil memetakan hukum adat di Indonesia menjadi 19 wilayah, yaitu; 1). Aceh, 2). Tanah Gayo, Alas dan Batak, 3). Tanah Minangkabau, 4). Sumatera Selatan yang terdiri dari Bengkulu (Rejang Lebong), Lampung (Abung, Peminggir, Pubian, Rebang, Gedong Tataan, dan Tulang Bawang), Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah dan Semendo), Jambi (penduduk Batin dan Penghulu). 6). Tanah Melayu, 7). Bangka Belitung, 8). Minahasa, 9). Gorontalo, 10). Tanah Toraja dan Sulawesi Tengah, 11). Sulawesi Selatan, 12). Kepulauan Ternate, 13). Kepulauan Ambon, 14). Irian, 15). Kepulauan Timor, 16). Bali dan Lombok, 17). Jawa Tengah, Timur, dan Madura, 18). Daerah Kerajaan (Solo dan Yogyakarta), dan 19). Jawa Barat. Sebagaimana dikutip Yaswirman dalam Cornelis Van Vollen Hoeven, Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, (Leiden: E.J. Brill, 1928), 78. 269Snouck Hurgronje mengemukakan tidak hanya pada tataran teoritis, namun lebih pada tataran praksis konsekuensi sebagai penasehat

158

Menurut penulis kemunculan teori ini tidak luput atau minimal ―terinspirasi‖ dari praktik hukum di Jambi yang mengharuskan adat beradaptasi dengan syarak, meski melalui kelembagaan adat. Berbeda dengan gagasan Snouck Hurgronje yang mendistorsikan gagasan Ahmad Kamil dan Islam secara umum dengan mengharuskan syarak mendapat justifikasi dari adat. Argumentasi yang mendukung prediksi ini, pertama, Snouck Hurgronje pernah menetap di Jambi bersamaan kunjungannya ke Aceh meneliti tentang tradisi Islam, rute perjalanan darat dari pusat kolonial yaitu Batavia (Jakarta) ke Acehpun memungkinkan ia melewati Jambi terlebih dahulu, minimal tempat transit. Snouck selaku sosiolog sekaligus penasehat Belanda tidak mungkin melewati momen mencermati formulasi penerapan adat dan syarak di setiap rute daerah yang dilaluinya.270 Kedua, Jambi sejak abad ke-15 mempraktikkan verifikasi aturan adat agar sejalan dengan prinsip ajaran Islam sehingga melahirkan falsafah ―Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah‖ dan ―Undang datang dari Hulu teliti dari Hilir.‖ Implementasi teori Receptie ini pada perkembangan selanjutnya justru menjadi pemicu ketidak-seimbangan artikulasi dan penerapan hukum, dominasi politik berimplikasi pada ketidaksinkronan syarak dengan adat. hukum Belanda bidang hukum Islam dan anak negeri (bumi putera) (adviseur voor Inlandsch), penasehat orang Timur dan Hukum Islam (adviseur voor Oostersche taken en Mohammedaansch) dan penasehat perdagangan untuk orang Arab (adviseur voor Oostersche Inlandsch en Arabische zaken). Lihat Soekanto, Meninjau Hukum ..., 36. 270E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1995), XIV. Buku ini memuat nasehat Snouck Hurgronje kepada Belanda mengenai strategi dan sikap pemerintah Belanda menghadapi rakyat Jambi yang melakukan gerakan perlawanan secara maupun sosial. Pembahasan tentang Jambi memuat 118 halaman. Di antara pesan penting dalam buku ini adalah strategi Belanda menghadapi gejolak berupa perlawanan atau gerakan masyarakat Jambi sehingga harus dihadapi dengan Etis, yang tidak mengedepankan konflik senjata dan tidak mengintervensi persoalan keagamaan masyarakat termasuk hukum utamanya tentang ibadah.

159

Sebegitu kuatnya pengaruh politis ini menyebabkan syarak sulit berkembang secara natural di Indonesia, sementara berbagai kebijakan Belanda menekan syarak bergerak leluasa. Hal inilah memberi ruang terjadinya dominasi terhadap produk hukum, bahkan antar produk hukum.271 Teori ini dan peraturan pelaksananya diprediksi sebagai upaya melumpuhkan sistem dan kelembagaan syarak serta membumikan hukum Barat di Indonesia. Mengingat ruang gerak adat sangat terbatas dan pada kasus-kasus tertentu membutuhkan hukum Barat. Sejak saat itu syarak mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yang sangat memahami letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.272 Meski, kedua teori ini tidak

271Pergantian secara resmi dengan diterbitkannya Wetop de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), Stbl 1929: 212 memuat hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda sekaligus pembatalan Pasal 75 Regeerings Reglement (RR) Tahun 1885, tentang legalitas hakim Indonesia yang memberlakukan UU agama. Perkara perdata antar umat Islam diselesaikan hakim muslim jika adat menghendakinya, begitu pula pencabutan wewenang Pengadilan Agama dalam masalah waris wewenang Pengadilan Negeri. Implementasi teori Receptie dan peraturan pelaksanaannya diprediksi upaya melumpuhkan sistem dan kelembagaan syarak serta membumikan hukum Barat di Indonesia. Mengingat ruang gerak adat sangat terbatas dan pada kasus-kasus tertentu membutuhkan hukum Barat. Sejak saat itu syarak mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yang sangat kekuatan moral umat Islam pada komitmen terhadap ajaran Islam. Langkah politis Belanda semakin kentara dengan terbitnya Wetop de Staatsinrichting van Nederlands Indie, Stbl 1929: 212 syarak dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda sekaligus pembatalan Pasal 75 Regeerings Reglement (RR) Tahun 1885, tentang legalitas hakim Indonesia yang memberlakukan UU Agama. Lihat Notosusanto, Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1963), 9-12. 272Misi utama kolonialisasi adalah mengeruk keuntungan ekonomi (gold) dari tanah jajahan (glory), selain itu missionaris (gospel), upaya yang dilakukan Belanda dengan mengintervensi persoalan hukum di Indonesia dan mempertentangkan syarak sebagai hukum yang hidup di masyarakat ketika itu dengan adat sehingga pertumbuhan syarak menjadi terhambat dan secara gradual tersingkirkan. Misi utama Belanda mendeskriditkan syarak dan mengadu domba umat Islam dengan kaum nasionalis berhasil melalui indoktrinasi seakan syarak milik orang Asing dan adat milik kaum Nasionalis. Kompetisi antara

160 berkembang di Jambi mengingat wilayah ini sangat sulit ditaklukkan dan hanya dikuasai oleh Belanda dalam rentang waktu 36 tahun (1906-1942) dan Jepang selama 3 tahun (1942-1945). Kebijakan Belanda menyerahkan persoalan masyarakat Melayu Jambi ke Badan Peradilan yaitu Kerapatan Adat, kecuali bagi mereka yang tunduk pada perundangan Hindia Belanda diadili berdasarkan Hukum Perdata/Hukum Pidana. Berlanjut masa kolonisasi Jepang, dimana perhatian terhadap pengembangan adat dan syarak sangat kurang karena rakyat hidup dalam kondisi politik dan ekonomi yang memprihatinkan. Pada masa ini politik hukum yang mereka kembangkan tidak memberi pengaruh signifikan terhadap tatanan hukum adat yang ada di Jambi dan keberterimaan masyarakat Melayu Jambi secara totalitas terhadap pemberlakuan adat dan syarak. Adat dan syarak terintegrasi dan inheren laksana satu mata ruang sesuai seloka ―syarak mengato, adat memakai‖. Meski penerapannya terkadang berbeda antara Jambi wilayah Hulu dan Hilir. Menurut penulis dua alasan penyebab teori hukum Belanda tidak berkembang di Jambi baik internal maupun eksternal. Secara internal; Pertama, Jambi telah mempunyai institusi, hukum dan peradilan adat yang mumpuni untuk menyelesaikan segala persoalan hukum, moral, sosial dan agama. Kedua, spirit dan moralitas cinta tanah air merupakan salah satu indikator keberimanan seorang muslim (Hubb al-Watan min al-Imân) dan pantang

syarak dengan adatpun dimenangkan adat, sedangkan gagasan unifikasi hukum dianggap gagal, sehingga melahirkan stratifikasi penduduk Indonesia menjadi tiga; Erofa, Timur Asing dan Inlanders. Bahkan Belanda mempolarisasi golongan masyarakat berdasarkan status sosial yaitu: Eropa dianggap sebagai ras tertinggi, Indo (turunan pribumi dan Eropa), Timur Asing (Cina) dan Bumiputera/pribumi (Inlanders) merupakan golongan paling bawah itupun dibedakan berdasarkan keturunan, pekerjaan dan pendidikan yaitu bangsawan, pemimpin agama dan adat serta rakyat biasa. Lihat Mohd. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), Cet. 1, 23.

161 dijajah senantiasa dikobarkan dan dibangkitkan oleh penguasa, bangsawan dan ulama meski Jambi berhasil ditaklukkan Belanda. Sedangkan secara eksternal; Pertama, Belanda disibukkan dengan gerakan perlawanan dari penguasa, bangsawan dan ulama secara terang-terangan maupun gerilya seperti gerakan Kota dan Uluan. Kedua, secara geografis wilayah Jambi berbukit dan dikelilingi sungai yang panjang serta hutan lebat sehingga memudahkan rakyat pribumi melakukan serangan terbuka maupun gerilya serta mudah melarikan diri ke sungai atau ke hutan. Ketiga, kolonial Belanda dan Jepang tidak perlu menguras tenaga menginterversi institusi hukum adat sebagai penyeimbang syarak sejalan dengan teori Receptie.

Fase Pasca-Kemerdekaan Fase ini berawal dari diproklamirkannya Indonesia sebagai negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan lahirnya Piagam Jakarta sebagai sumber persuasif UUD-45 sekaligus sebagai titik tolak peralihan hukum. Sarjana hukum terkemuka saat itu berspekulasi tentang sifat dan corak hukum yang berlaku untuk Bangsa Indonesia ke depan, sebelumnya ―disetting‖ tunduk pada sistem hukum Belanda. Kaum nasionalis menginginkan unifikasi adat dan hukum positif atau minimal menjadi spirit atau sumber hukum nasional. Keinginan ini wajar mengingat adat juga merupakan sistem hukum yang dibangun dari bahan asli yang konkrit dan ideal milik bangsa Indonesia.273 Meski di balik ini ada upaya membatasi gerak syarak yang dibungkus dengan pluralisme agama, sosial, dan budaya serta dikondisikanlah seolah-olah terjadi tarik-menarik bahkan konflik antara ketiga sistem hukum tersebut. Implikasinya adat tetap eksis bahkan mendapat legitimasi kuat dari pemerintah dengan argumen Indonesia bukan negara agama (Islam) baik melalui undang-undang maupun peraturan perundangan lainnya. Pemerintah sebagai pemegang otoritas memberi ruang seluas-luasnya

273M. Koesno, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 1992), 101-105.

162 pemberlakuan adat di daerah. Kebijakan ini sedikit ambivalen karena bagaimana mungkin satu masyarakat menggunakan dua atau bahkan tiga hukum pada kasus pidana maupun perdata yang sama. Akhirnya pemerintah berusaha melepaskan diri dan menggali hukum secara mandiri hingga lahirnya ―teori Receptio a Cantrario‖ (penerimaan yang tidak bertentangan) yang menghendaki hukum adat baru dapat diberlakukan jika tidak bertentangan dengan syarak.274 Meski gagasan ini awalnya muncul sebagai bentuk penentangan Hazairin sekaligus upaya mengcounter teori Receptie Snouck Hurgronje yang dikatakannya sebagai Teori ―Iblis‖, menurutnya hukum yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia adalah adat dan syarak baru bisa berlaku kalau tidak bertentangan dengan syarak. Gagasan Receptio a Contrario sebenarnya bukan merupakan teori mapan namun cenderung pada pemikiran yang sangat keberatan dengan pemikiran Christian Snouck Hurgronje memberlakukan hukum yang tidak sesuai dengan keinginan dari user hukum. Lebih jauh, gagasan ini diasumsikan sebagai kritik atas teori receptie yang dianggap mengangkangi umat Islam secara terbuka karena tidak mungkin umat Islam meninggalkan syarak sebagai ideologi mereka.275

274Secara de jure dan de facto syarak telah eksis dan menjadi entitas hukum negara pada masa kerajaan Islam Melayu-Nusantara. Elaborasi lengkap lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. I, 12; Rahmat Djatmika, Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Abdurrahman Wahid, et., al, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991), Cet. I, 230. 275Kritik terhadap teori Receptie disampaikan oleh Prof. Mr. Hazairin (1905-1975), ketika mengikuti Konferensi Kementrian Kehakiman Salatiga Tahun 1950, sebagai Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Adat Universitas Indonesia ia menyampaikan syarak hubungan hukum agama dengan hukum adat. Melalui pernyataannya ―Hai orang Islam, meski al-Qur‘an melarang perzinahan dengan ancaman pidana, janganlah takut melakukannya selama tradisi masyarakat mempraktikkannya. Begitupula jangan takut dihukum menurut peraturan Gubernemen, selama tidak melanggar syarat-syarat acara bebas dalam peraturan Gubernemen, misalnya dengan istri orang kecuali

163

Gagasan ini mendorong ruang gerak syarak menjadi lebih leluasa dan sejak saat itu, syarak banyak berkontribusi terhadap lahirnya hukum nasional terutama dalam menunjang Program Legislasi Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN ikut aktif dalam pembuatan peta hukum nasional, hingga tahun 1989 tercatat berhasil menerbitkan 35 Undang-undang. Usaha mewujudkan hukum baru nasional itu tetap berlangsung, meski berbagai kendala untuk menghentikan proses kemunculan hukum baru tersebut terus disuarakan oleh bukan hanya penganut teori resepsi, yang masih banyak bercokol di tengah elit politik dan masyarakat Indonesia.276 Utamanya kalangan perguruan tinggi umum yang tidak menginginkan dominasi syarak dalam hukum nasional, melainkan juga oleh kalangan ulama Islam sendiri yang ―masih dangkal‖ pengetahuannya tentang Islam dan terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab secara sempit (taklid buta), sehingga lebih tersibukkan oleh berbagai konflik internal dengan mengabaikan peningkatan kesadaran untuk mengimplementasikan syarak dalam realitas kehidupan umat. Keberterimaan masyarakat Melayu Jambi didasari pada keyakinan bahwa adat yang berlaku selama ini bersumber dari syarak, mengamalkan adat sama halnya melaksanakan agama itu sendiri. Menurut Suhar AM., Undang Adat Jambi merupakan kompilasi dari ijtihad forum tiga tali sepilin yang memadukan syarak dengan adat jika adat mengizinkan seperti di Minahasa, dengan orang yang belum matang badannya dan dengan perkosaan.‖ Gagasan ini terus bergulir dan menjadi titik awal pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari‘ah di luar Jawa dan Madura yang dimuat dalam lembaran negara Nomor 99 Tahun 1957. Lihat Hazairin terhadap gagasan Snouck Elaborasi lengkap dapat dilihat Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Timtamas, 1986), 8-10; A. Qodri Azizi, Eklektisisme ..., 158. 276Teori ―Receptie‖ menggariskan bahwa syarak bukanlah "hukum" dan tidak dapat menjadi "hukum" manakala belum diverifikasi dan diresepsi oleh hukum adat. Meski sebenarnya sejak berlakunya UU Perkawinan pada 1 Oktober 1974, eksistensi teori ini hilang dengan sendirinya, spiritnya ternyata masih melekat dalam benak sebagian sarjana hukum Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 85.

164 berpijak pada falsafah adat. Meski kenyataannya ada rumusan hukum yang benar-benar bersendikan (bersandar) kepada syarak dan ada yang hanya disendikan (disandingkan) kepada syarak, kategori kedua ini yang terkadang mengundang polemik di kalangan masyarakat, seperti ritual perkawinan, sistem kekerabatan dan kewarisan dan sebagainya. Namun, secara substantif keduanya berbanding lurus dengan tujuan hukum yaitu menciptakan kemaslahatan masyarakat.277 Penerimaan masyarakat Melayu Jambi terhadap keduanya semakin kokoh manakala di lapangan banyak kasus konflik sosial dan keagamaan diselesaikan melalui presedium kerapatan adat yang melahirkan fatwa atau petuah adat. Kenyataan ini dialami Isro, SH. warga masyarakat Kelurahan Bagan Pete Kecamatan Kota Baru:278 ―Kami pernah kebingungan menghadapi masalah perilaku warga pendatang yang berbeda keyakinan dan atnik namun selalu meresahkan masyarakat hampir setiap malam dengan pesta minum tuak dan miras hingga larut malam bahkan subuh. Ketika ditegur oleh warga bahkan bersama aparat hukum, jawabnya minuman ini bagi kami biasa dan tidak dilarang agama. Akhirnya, kami meminta pendapat tokoh agama beliau menyarankan agar melibatkan tokoh adat. Selanjutnya, warga bersama aparat, tokoh agama dan tokoh adat menjelaskan tentang aturan adat di Jambi dan sanksi bagi pelanggarnya sesuai seloka ―Dimana tembilang dicacak, Disitu tanaman tumbuh, Dimana bumi dipijak, Disitu langit dijunjung. Masalah yang kami hadapipun teratasi dengan damai tanpa kekerasan.‖ Pengalaman ini mengindikasikan penerimaan aturan adat sebagai bagian integral dari pesan agama, meski masyarakat umumnya lebih memilih menggunakan simbol adat ketimbang syarak. Menariknya, beberapa tahun terakhir muncul penolakan terhadap praktik adat

277Wawancara, Ketua Majelis Ulama Sarolangun, 2 Februari 2016. 278Wawancara, Ketua Pemuda Kelurahan Bagan Pete Kota Baru Jambi, 16 Maret 2015.

165 sebagaimana temuan M. Husnul Abid.279 Menurutnya, pasca Reformasi bermunculan kelompok-kelompok agama yang oleh beberapa sarjana dikatakan sebagai gerakan trans- nasional, seperti Tarbiyah. Gerakan ini berkembang pesat tidak hanya di Jambi bahkan hampir di seluruh wilayah Indonesia, utamanya di kampus-kampus. Diimbangi dengan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada pendidikan Islam seperti madrasah, terlebih dengan munculnya kebijakan Menteri Pendidikan Nasional mengenai full day school. Kebijakan ini diasumsikan dapat melemahkan pendidikan agama (Madrasah Diniyah Takmiliyah) yang biasa diselenggarakan pada sore hari sebagai tambahan bagi siswa yang sekolah pagi. Perkembangan gerakan Tarbiyah cukup signifikan terutama di kampus Universitas Jambi (UNJA) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jambi serta di sekolah yang berbasis Tarbiyah seperti; Sekolah Islam Terpadu Nurul Ilmi, Diniyah al-Azhar, ash-Shiddiqi dan lainnya. Kehadiran gerakan ini belakangan memunculkan gesekan dengan kalangan adat dengan memunculkan kritik terhadap klaim keber-Islaman adat masyarakat Melayu Jambi selama ini

279Contoh kasus di Jambi pada pertengahan 2014, putri HS dilamar seorang lelaki. HS mempersiapkan segala yang terkait dengan hajatan, mulai dari undangan, membentuk panitia, memesan tenda dan sound system, termasuk menghubungi kerabatnya di Lembaga Adat Melayu untuk mengisi acara nasihat perkawinan berupa ―Tunjuk Ajar‖, memimpin upacara adat, dan lainnya. Setelah persiapan lengkap dan selesai, putrinya tiba-tiba menolak menikah dengan cara-cara adat dan berdalih adat Melayu sebagaimana dilaksanakan dalam acara pernikahan selama ini di Jambi tidak sesuai syariat Islam. HS marah dan putrinya tetap tidak bergeming, alhasil daripada harus membatalkan undangan yang sudah tersebar, HS terpaksa mengalah saat pernikahan berlangsung, semua kerabat HS heran tidak ada upacara adat, tempat tamu dipisah laki-laki dengan perempuan, panitianya teman-teman putrinya. Setelah diselidiki putri HS menikah dijodohkan murabbiyyah- nya. Anaknya mengisi formulir berisi biodata dirinya dan kriteria laki- laki yang diinginkan, murabbiyah-nya mencocokkan formulir isian laki- laki tersebut lewat murabbi-nya. Setelah cocok, mereka menikah melalui arahan dan pengawasan murabbi-murabbiyah keduanya. Panitia disiapkan oleh mereka, begitupula tatacara pernikahan dan musik hiburan. Praktik inilah yang mereka klaim sebagai budaya Islami. Lihat M. Husnul Abid, Kontestasi Kemelayuan ..., 193-195.

166 terutama praktik adat dalam prosesi perkawinan mulai dari lamaran sampai penganten (walimah al-‗arusy), mereka menampilkan Islam secara ―berbeda‖ dengan identitas; jilbab panjang, berbicara dengan istilah dalam bahasa Arab, cenderung eksklusif, dan hanya peduli dengan sesama mereka. Tampilan inilah yang mereka klaim sebagai Islam yang sebenarnya sebagaimana dipraktikkan Nabi tempo dulu. Pandangan ini diamini oleh Dr. H. Husin Abdul Wahab, Praktik hukum adat masyarakat Melayu Jambi kekinian pada beberapa kasus tidak sejalan dengan prinsip Islam, seperti; proses ta‘aruf antara calon pasangan dan pihak keluarga, ritual perkawinan dengan menginjak kepala kerbau dan mengambur beras kunyit, mencuci kampung atas kasus perzinahan, larangan perkawinan eksogami, praktik waris matrilineal dan bilateral dan sebagainya. Oleh karenanya, perlu dicarikan solusi agar adat yang ada tidak membuat masyarakat menjadi dilematis antara keberpihakan terhadap syarak atau sebaliknya.280 Pandangan terakhir refleksi sebagian kecil masyarakat yang mungkin mengklaim sebagai kelompok ―tercerdaskan‖ dengan ilmu agama namun belum tentu dengan ilmu metodologi hukum Islam (ushul al-fiqh), yang memungkinkan kelompok etnik, ras, agama berbeda mengkritisi praktik adat bahkan tidak patuh terhadap putusan adat. Terlepas dari itu, masyarakat Jambi yang beridentitas etnik Melayu menjadikan adat yang bersendikan syarak sebagai panduan dalam menjalani aktivitas kehidupan dan menerima secara total keberadan kelembagaan adat sebagai sumber inspirasi moralitas dan institusi penengah dari berbagai konflik hukum, agama dan sosial. Meski perlu direformulasi agar menjadi obyektif dan ideal sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman guna mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama. Inilah yang oleh Kluckhon sebagaimana dikutip Hilman Hadikusuma, nilai merupakan ―a conception of desirable‖ (suatu konsepsi yang diinginkan) yang memuat

280Wawancara, Sekretaris MUI Kota Jambi, 20 Januari 2016.

167 nilai primer dan sekunder.281 Singkatnya, nilai primer memuat nilai luhur menyangkut etika, budi pekerti, dan epistimologis-sosiologis, sedangkan nilai sekunder memuat aturan tentang penghargaan sosial atas siapa saja yang mengimplementasikan aturan adat. Syarak yang merupakan produk Ilahi mencakup nilai ideologis- epistemologis (vertikal dan horizontal), sedangkan adat sebagai hukum yang dibangun berdasarkan nilai: harmonisasi, keselarasan, keutuhan menentukan corak, sifat, karakter hukumnya. Keduanya mengajarkan kebaikan dan menghindari keburukan, jika syarak mengajarkan kebaikan berdasarkan pada doktrin Islam, sedangkan adat mengajarkan kebaikan berdasarkan kepantasan (eco pakai) yang merupakan penilaian umum kemanusiaan.282 Implikasinya adat dan syarak dipersepsikan secara positif dan relatif sama sebagai aturan hukum bertujuan mewujudkan tatanan masyarakat yang hidup damai secara politis-sosiologis, meski pada beberapa aspek tetap ada perbedaan. Secara spesifik perbedaan syarak dengan adat sebagaimana dihantarkan pada sub bab sebelumnya diketahui melalui beberapa aspek. Kesamaan epistemologis dan harmonisasi keduanya berimplikasi terhadap penerimaan masyarakat secara utuh terhadap produk hukum hasil konfigurasi adat dan syarak dan praktik hukum, meski belakangan mendapat sorotan bahkan kritik tajam dari sekelompok kecil masyarakat Jambi.

281Hilman Hadikusuma, PengantarIlmu Hukum ..., 8. 282Paradigama adat mencakup beberapa dimensi, yaitu; Pertama keagamaan, yaitu adanya dunia ghaib yang mengatur kehidupan manusia (magic religius) seperti tradisi cuci kampung; Kedua kebersamaan sebagai mahluk sosial (zoon politicon); Ketiga dinamis dan fleksibel, struktur dan fungsi masyarakat bergerak mengikuti situasi dan perkembangan zaman; Keempat inklusif dan sederhana, keterbukaan dan kesederhanaan memberi ruang bagi norma dan budaya lain untuk disinergikan dengan adat yang ada; Kelima konvensi (tidak terkodifikasi), secara umum adat tidak dikodifikasi dan ditulis dengan baik dan lengkap, hanya diketahui oleh orang-orang tertentu; Keenam musyarawah dan mufakat, antara komponen pemangku adat dan tokoh masyarakat; dan ketujuh tradisional, dalam tradisi manapun adat merupakan produk warisan turun-temurun. Ibid., 1-2.

168

Syarak merealisasikan tujuan penciptaan manusia yakni mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat melalui aturan secara vertikal maupun horizontal, sedangkan adat bertujuan menciptakan tatanan sosial, tutur, sikap, perasaan agar terjadi keseimbangan sosiologis- axiologis dalam setiap individu atau kelompok demi ketentraman lahir maupun bathin. Keduanya menyatu dalam sistem hukum sejak daerah Jambi menjadi kerajaan Islam Melayu dipimpin oleh Ahmad Kamil, meskipun memerlukan proses yang panjang tentunya untuk dapat beradaptasi bahkan berasimilasi antara syarak dengan adat setempat. Pada praktiknya syaraklah yang menseleksi adat mana yang relevan dengan ideologi Islam atau sebaliknya. Jika adat yang berlaku sejalan dengan syarak (pesan agama) diteruskan dan disesuaikan kondisi dan kebutuhan, begitupula sebaliknya jika adat bertentangan dengan syarak maka diverifikasi untuk disesuaikan dengan syarak. Proses saling beradaptasi dengan damai inilah pada akhirnya melahirkan Undang Adat Jambi.

C. Otoritas Pemerintah dalam Pelembagaan Adat dan Syarak

Otoritas merupakan kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu. Robert Bierstedt memaknai otoritas sebagai suatu kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power),283 pengertian ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Laswell dan Kaplan bahwa otoritas adalah kekuasaan formal (formal fower).284 Artinya, ada legitimasi yang dimiliki untuk mengharapkan

283Robert Bierstedt, ―Power and Progress: Essays on Sociological Theory‖ (review), American Journal of Sociology, Vol. 81, No. 4 (Januari, 1976), 34. 284Harold Laswell dan Abraham Kaplan, Power and Society: A Framework for Political Inquiry, (Yale: Yale University Press, 2014), 56.

169 kepatuhan orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya, sedangkan legitimasi adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati.285 Substansi kekuasaan adalah milik bersama dan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Kekuasaan terdapat di semua bidang kehidupan dan mencakup kemampuan memerintah dan memberi keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tindakan pihak lainnya. Dengan kata lain, idealnya ia tidak berdiri sendiri tetapi menuntut otoritas lain sebagai pendukung. Setiap lembaga mempunyai otoritas yang oleh Bourdieu disebut posisi, sebagai tolok ukur kemampuan seseorang atau sekelompok manusia memengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari pemangku kekuasaan. Ketika dikatakan seseorang memiliki kekuasaan atas orang lain, berarti orang pertama membuat orang kedua tidak bisa memilih tindakan lain.286 Kekuasaan idealnya netral sehingga bergantung pada pemangkunya untuk menilai baik atau buruknya guna kepentingan masyarakat, substansinya kekuasaan mesti ada pada seluruh lapisan masyarakat. Pemangku kekuasaan di Jambi awalnya adalah kerajaan dipimpin oleh Raja, setelah kemerdekaan beralih menjadi pemerintahan dipimpin oleh Presiden. Pemerintah mempunyai otoritas kuat mengejewantahkan tujuan negara (pemerintah) bekerjasama dengan rakyat demi mencapai cita-cita bersama.287 Peran pemerintah sangat penting dalam

285Miriam Budiarjo, Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Gramedia, 1994), 90-91. 286Pierre Bourdieu, Mengungkap Kuasa Simbol, terj. Fauzi Fashri, (Yogyakarta: Jalasutra, 2014), 25-26. 287Menurut Finer pemerintah mengandung empat pengertian; 1). Pemerintah mengacu kepada proses memerintah yakni pelaksanaan

170 mewujudkan cita-cita politik, stabilitas sosial, pembangunan moral, pendidikan, agama, budaya.288 Pemerintahlah yang memiliki kekuasaan mengimplementasikan sekaligus memaksakan tujuan bernegara dalam upaya mewujudkan stabilitas politik, kemakmuran, dan kesejahteraan masyarakat. Meskipun sering dijumpai fenomena dalam mengaktualisasikan kekuasaan di mana kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain acapkali tidak disertai kewibawaan sehingga tingkat ketaatan dan kepatuhan seseorang sering tidak dilandasi oleh kesadaran secara sukarela melainkan karena pemaksaan oleh instrumen atau alat kekuasaan. Dalam konteks ini, kajian mengenai otoritas (authority) dan legitimasi (legitimacy) menjadi amat penting dan tidak bisa dilepaskan dalam kekuasaan. Atas dasar itu, menurut Ibnu Taimiyah nilai (organisasi pemerintah) bagi kehidupan kolektif manusia merupakan salah satu kebutuhan yang terpenting, tanpa tumpangannya institusi sosial bahkan agama serta lainnya tidak dapat tegak dengan kokoh. Lebih spesifik dalam konteks ketatanegaraan Islam keberadaan pemerintah dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas politik dan sosial melalui konsep seruan kepada kebenaran dan celaan terhadap keburukan (jalb al-maşâlih wa daf‘u al- mafâsid).289 Menyikapi signifikansi pemerintah dalam menjaga stabilitas hukum, sosial dan politik menurut Ibnu Khaldun

kekuasaan oleh yang berwenang; 2). Eksistensi dari proses pemerintahan yang memiliki aturan; 3). Orang atau sekelompok orang yang menduduki jabatan tertentu dalam masyarakat atau lembaga; dan 4). Bentuk, metode, atau sistem pemerintahan dalam suatu masyarakat, yakni struktur dan pengelolaan dinas pemerintahan dan hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah. Lihat John Curtice, ―Pemerintah‖ dalam Adam dan Jessica Kupper, The Social..., I, 418-419. 288April Carter, Otoritas dan Demokrasi, (Jakarta: Rajawali Press, 1979), 54-56. 289Ibnu Taimiyah, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, (Kairo: Dâr al-Kutub al-'Arabi, 1952), 174; Ibnu Taimiyah, Majmu‘ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad Ibnu Taimiyah, (Riyadh: Mathba‘ al-Riyadh, 1963), Jilid XXVIII, disunting oleh Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim, 62.

171 ada tiga kategorisasi pemerintahan. Pertama, Pemerintahan Natural (Siyâsah Thabî‘iyah), yaitu pemerintahan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan syahwat dan masyarakatnya diarahkan untuk mencapai tujuan yang sama (passion oriented). Pemerintahan lebih mengedepankan kehendak dan hawa nafsunya tanpa memperhatikan kepentingan rakyat sehingga rakyat tidak patuh dan muncul teror pada berbagai tempat dan situasi, tirani dan anarkis, mirip Pemerintahan Otoriter, Individualis, Otokrasi, atau Inkonstitusional. Kedua, Pemerintahan berdasarkan Nalar (Siyâsah ‗Aqliyah), yaitu Pemerintahan yang mendorong rakyatnya untuk cerdas, kreatif dan bermoral sesuai rasio mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan, mirip Pemerintahan Republik, atau Monarki, dan Insitusional. Ketiga, Pemerintahan berlandaskan Agama (Siyâsah Dîniyyah), yaitu pemerintahan yang mendorong rakyatnya untuk taat menjalankan agama. Model terakhir menurut Ibnu Khaldun terbaik dan ideal, karena muncul interaksi dalam memandang komunitasnya sebagai sub sistem berupa organisasi sosial maupun keagamaan.290 Ibnu Khaldun menambahkan untuk mempertahankan kekuasaan atau kekuatan politik manapun perlu support dari agama dan solidaritas sosial (aşabiyah).291 Tanpa keduanya kekuasaan yang ada akan segera hancur, karena tidak mendapat legitimasi yang kuat dari arus bawah yang menjadi mayoritas user dari kekuasaan itu sendiri. Selain itu, agama dan solidaritas

290‗Abd ar-Rahmân bin Muhammad bin Khaldun al-Had}rami, Muqaddimah ..., 128-131. 291‗Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial, dalam artian cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Ibnu Khaldun dalam konteks ini hal ini memunculkan dua ,komunitas pedalaman) (بداوة) kategori sosial fundamental yaitu Badawah (حضارة) masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury). Ibid.

172 sosial dapat memperkuat eksistensi kekuasaan sehingga terwujud kekuasaan yang solid dan kokoh. Menariknya, model pemerintahan ideal dan integratif versi Ibnu Khaldun ini secara substantif justru dipraktikkan oleh masyarakat Melayu Jambi sejak masa kerajaan Islam Melayu. Secara kultural kekuasaan dalam tradisi masyarakat Jambi berada pada kelembagaan adat Melayu Jambi melahirkan produk adat dan syarak sebagai manifestasi hubungan sosial dalam dinamikanya yang saling bersinergi hingga terwujud stabilisasi dan harmonisasi untuk menjaga maupun mengubah tatanan sosial. Institusi justru mengcover tiga sistem kekuasaan dan kepentingan sekaligus melalui forum tiga tali sepilin (trilogi kuasa). Forum ini merupakan representasi dari penguasa, pegawai syarak dan pemangku adat, yang telah beberapa kali mengalami perubahan nomenklatur. Forum ini merepresentasikan kepentingan yaitu; pemerintah yang diwakili oleh pemerintahan daerah, kepentingan agama dan adat. Praktik ini juga secara institusional mengakomodir tiga pilar yaitu; pilar politik, religius dan kultural, inilah yang oleh Bourdieu disebut sebagai modal yang dimiliki oleh anggota kelembagaan adat sebagai subjek untuk melanggengkan posisi dan disposisi mereka masing-masing, yang terbentuk menjadi habitus dalam setiap momen pengambilan kebijakan, terlepas ada yang mendominasi atau sebaliknya.292 Pertama Pilar Politik, seberapa besar

292Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan, yang kemudian membimbing mereka. Habitus tumbuh dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Habitus dibuat melalui proses sosial, bukan individu yang mengarah ke pola yang abadi dan ditransfer dari satu konteks ke konteks lainnya, tetapi yang juga bergeser dalam kaitannya dengan konteks tertentu dan dari waktu ke waktu. Habitus dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau selama periode sejarah panjang. Lihat Pierre Bourdieu, Outline of Theory of Practice, (England: Cambrige university Press, 1977), 170.

173 dukungan pemerintah terhadap praktik kepemimpinan kolegial (collegial management) dan mengawal pemberlakuan adat dan syarak. Meski telah ada lembaga yang mengurusi persoalan hukum, moralitas, sosial dan keagamaan formal maupun non-formal. Eksistensi kelembagaan adat tetap diakui pemerintah bahkan putusan adat dapat dijadikan dasar penetapan hukum oleh pengadilan formal, begitupun kasus yang tidak dicover oleh perundangan yang ada dapat diputuskan melalui peradilan adat.293 Oleh karena itu, pemerintah pusat senantiasa mendorong keberadaan kelembagaan adat sebagai bagian potensial dan khazanah hukum Nusantara, terlebih setelah Orde Reformasi sebagai babak baru bagi daerah mendapatkan kewenangan mengatur sistem pemerintahan dan pengelolaan keuangan sendiri.294 Otonomisasi memberikan fleksibilitas bagi daerah merencanakan pembangunan, khususnya dalam pembuatan Peraturan

293Secara substantif politik mengandung dua makna yaitu sebagai instrumen manusia mencapai tujuan bersama dan kesadaran. Politik sebagai instrumen manusia untuk mencapai tujuan implementasinya melalui institusi formal dan organisasi masyarakat. Institusi formal yang merujuk pada eksistensi sebuah negara yang menghendaki adanya eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan organisasi masyarakat merupakan perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Adapun politik sebagai kesadaran, manusia sebagai— subjek atau objek politik—menyadari pentingnya menjalin relasi dan bertanggung jawab terhadap orang lain. Tanggung jawab berupa kesadaran menentukan pilihan dan rencana untuk diwujudkan secara bersama yaitu mewujudkan tatanan masyarakat yang adil, nyaman dan sejahtera melalui pemenuhan hak dan kewajiban. Lihat Andreas Doweng Bolo. dkk, Pancasila Kekuatan Pembebas, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 192. 294Sebagaimana diatur UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10 Ayat [1] dan [3]. Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud Ayat [1] meliputi (a) luar negeri, (h) pertahanan, (c) keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal nasional, (f) agama‖.

174

Daerah guna mencapai tujuan pembangunan nasional. Pemerintah memberikan kewenangan kepada kepala desa mempraktikkan sistem pemerintahan adat dalam konteks penyelesaikan problem sosial keagamaan. Menyusul lahirnya UU dan peraturan pemerintah lainnya sebagai refleksi peran pemerintah dalam memberdayakan bahkan melembagakan hukum adat sebagai bagian tak terpisahkan dari tata hukum nasional.295 Upaya merevitalisasi lembaga adat mulai dengan komunikasi antar daerah yang difasilitasi beberapa lembaga swadaya masyarakat di Indonesia sehingga lahir gerakan

295Peraturan pemerintah tentang otoritas adat dijumpai melalui: I. UU Darurat Nomor 1 tahun 51 Pasal (5) ayat 3 huruf b, 1) ―bila suatu kejahatan diatur oleh hukum Adat dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP); (a) ―bila suatu kejahatan diatur hukum Adat dan tidak diatur Kitab UU Hukum Perdata (KUHP), maka yang dipakai hukum Adat. Jika tidak ada bandingannya dalam KUHP dipakai hukum Adat namun sanksinya maksimal 3 bulan kurungan; Jila masih dirasa kurang adil atas pertimbangan hakim (hakim adat) maka hakim boleh menjatuhkan hukuman maksimal 10 tahun. II. UU Adat Nomor 5 Tahun 1960, Pasal (2) Ayat 1 ―bumi, air dan ruang angkasa dikuasai oleh negara‖. Hak menguasai negara implementasinya dapat dikuasai daerah dan masyarakat hukum adat. Selanjutnya pasal 3 ―pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum Adat sepanjang masih ada, sesuai Pasal (4) dan (5) Hukum Agraria juga berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan negara Republik Indonesia. III. UU Nomor 41 Tahun 1999, Pasal [67] dan [68] ‖Masyarakat Adat berhak melaksanakan pungutan hasil hutan dan berhak memperoleh kompensasi atas hilangnya akses hutan mereka. IV. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal [6] Ayat 1 ―dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), perbedaan dan kebutuhan masyarakat Adat harus diperhatikan, dilindungi oleh hukum masyarakat dan pemerintah‖; dan ayat 2 ―Identitas budaya masyarakat hukum Adat termasuk hak tanah ulayat dilindungi; serta ayat 3 ―dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), identitas budaya nasional masyarakat hukum Adat, hak-hak adat masih dipegang teguh masyarakat hukum adat setempat. V. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Pasal [22] huruf m ―dalam menyelenggarakan otonomi, daerah berkewajiban melestarikan nilai budaya. Seterusnya Pasal [23] Ayat 1 ―wakil kepala daerah punya tugas membantu kepala daerah dalam upaya pengembangan dan pelestarian sosial budaya. VI. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal (2) ―kewenangan adat, pemerintahan secara adat, peraturan adat diakui oleh negara jo. Pasal (103 - 111).

175 masyarakat adat.296 Pada tanggal 21 Maret 1999 masyarakat adat di seluruh Indonesia melakukan kongres pertama di Jakarta dan mendeklarasikan tanggal 17 Maret sebagai ―Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara.‖297 Untuk merealisasikan komitmen tersebut, pemerintahan daerah (Pemda) Jambi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat berperan aktif mendorong aktivitas kelembagaan adat melalui pemberian fasilitas seperti; kantor yang representatif, kendaraan dan dana operasional. Menurut Chumaidi Zaidi, Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jambi senantiasa mendorong tumbuh kembangnya adat melalui pemberdayaan organisasi dan kegiatan sosial- keagamaan baik itu melalui Lembaga Adat Melayu Jambi maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi. Tahun 2017 dana yang digelontorkan sebesar 1.9 Milyar, melebihi anggaran untuk Musabaqah Tilawatil Qur‘an (MTQ) tingkat provinsi Jambi sebesar 1.8 Milyar, dana operasional untuk kegiatan Majelis Ulama Indonesia provinsi Jambi sebesar 500 Juta.298 Statemen ini seirama dengan Kailani dan Syargawi, keduanya menyatakan pemerintah daerah kabupaten/kota

296Leena A Vonius dan Sehat Ihsan Shadiqin, "Revitalisasi Adat di Indonesia dan Aceh", dalam Leena Avonius dan Sehat lhsan Shadiqin, (ed.), Adat dalam Dinamika Aceh, (Banda Aceh: ICAIOS dan ARTI, 2010), 9. 297Hasil kongres menyepakati beberapa point keputusan: 1. Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur dan landasan kehidupan Masyarakat Adat; 2. Adat di Nusantara ini sangat majemuk sehingga tidak ada ruang kebijakan Negara mensergamkannya; 3. Jauh sebelum negara berdiri, Masyarakat Adat di Nusantara telah berhasil mengembangkan sistem ―ideal dan harmonis‖ oleh karenanya Negara harus menghormati kedaulatan Masyarakat Adat; 4. Masyarakat adat sebagai kumpulan manusia sehingga berhak atas kehidupan yang layak dan pantas menurut nilai-nilai sosial yang berlaku. Segala bentuk tindakan dan kebijakan negara yang keluar dari kepatutan kemanusiaan universal dan melanggar rasa keadilan yang dipahami Masyarakat Adat harus segera diakhiri. Keputusan masyarakat Adat ini dikutip dari tulisan Rosnidar Sembiring, Kedudukan Hukum Adat dalam Era Reformasi, diakses tanggal 5 Januari 2016, 5. 298Wawancara, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi, 27 September 2016.

176 memberikan perhatian serius terhadap pemberdayaan dan pelestarian adat budaya Jambi melalui kelembagaan adat. Alasannya sederhana secara historis daerah Jambi lahir dan berkembang karena identitas adatnya yang melahirkan spirit moral, sosial dan agama sehingga hidup harmonis dan aman tanpa konflik vertikal maupun horizontal. Selain itu, pemerintah daerah sesuai aturan yang berlaku dituntut mampu mendorong dan memfasilitasi tumbuh-kembangnya adat dan budaya lokal sesuai nilai kearifan lokal.299 Statemen ini diamini Junaidi T. Noer, Azra‘i Basyari dan Fathuddin Abdi, A. Roni dan Muhammad Zen, patut diakui begitu besar dukungan pemerintah daerah dalam memberdayakan Lembaga Adat Melayu (LAM) pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota ditandai dengan pemberian fasilitas kantor dan alokasi dana yang besar serta kesempatan seluas-luasnya melaksanakan acara atau momen seremonial adat, seperti; sosialisasi, pemberian gelar, dan lainnya. Terakhir diterbitkannya peraturan daerah (perda) tentang legalitas lembaga adat dan aturan yang melekat di dalamnya, sebagaimana tertuang dalam Perda No. 4 tahun 2014 tentang Lembaga Adat Melayu Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Kedua Pilar Religius, dimainkan oleh Pegawai Syarak yang notabene bagian dari ulama. Secara historis dan sosiologis ulama dipahami sebagai ―orang yang berilmu‖ dan selalu dikaitkan dengan terma ilmu pengetahuan agama baik pengertian gnosis maupun eksetoris hukum agama. Legalisasi otoritas ulama dijumpai dalam al-Qur‘an maupun Sunnah.300 Bahkan di Indonesia saat ini maknanya lebih dipersempit melalui pengakuan masyarakat pada organisasi struktural yang menggunakan simbol ulama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Nadhatul

299Wawancara, Sekda Kota Jambi dan Kabupaten Batanghari, 23- 25 Maret 2016. 300Q.S. Fâtir [35]: 28 ― Sesungguhnya di antara hamba-hamba yang takut kepada-Ku adalah ulama‖, sedangkan hadis ―Inna al-‗ulamâ waratsah al-Anbiyâ‘ (sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi). Uraian secara komprehensif mengenai legitimasi ulama tersebut lihat Ibn Hajar al-Asqalany, Fath al-Bâriy, (Mesir: al-Baby al-Halaby, 1959), I, 169.

177

Ulama (NU), terlepas dari keilmuan yang dimiliki benar- benar dalam atau sebaliknya. Dengan kata lain, mereka yang memberikan pengajian atau ceramah, sering berbicara di muka umum tentang Islam, turunan ulama, menggunakan atribut atau simbol ulama, organisaisi ulama dilekatkan dengan terma ulama, bukan pada fungsionalnya dan kemampuan substansialnya pada ilmu-ilmu agama.301 Secara umum tugas ulama mencerahkan umat atau amar ma‘ruf nahi munkar, yang jika dirinci meliputi empat hal, yakni : 1). Menyebarkan dan mempertahankan ajaran dan nilai agama; 2). Melakukan kontrol dalam masyarakat (social control); 3). Menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi umat; 4). Menjadi agen perubahan sosial (agent of social change).302 Di bidang pemerintahan, ulama sebagai penasihat pemerintah dalam pengambilan kebijakan berkenaan dengan persoalan sosial keagamaan. Peran ulama selanjutnya terus mengalami dinamika seiring dengan perkembangan zaman dan keadaan sebagai refresentasi kepentingan agama. Ketiga, Pilar Kultural, yang dimainkan kelembagaan adat sebagai institusi yang berwenang menangani berbagai kasus hukum, sosial dan agama yang dihadapi oleh masyarakat Melayu Jambi.303 Kelembagaan adat

301Di Indonesia terdapat dua lembaga formal maupun non-formal yang menangani persoalan hukum, sosial dan agama. Lembaga formal merupakan institusi yang dikelola dan dikendalikan oleh pemerintah seperti kementerian hukum, agama dan sosial. Sedangkan lembaga non- formal yang concern mengurusi persoalan sosial-keagamaan, yaitu lembaga sosial kemasyarakatan dan lembaga sosial keagamaan. Lembaga sosial kemasyarakatan seperti; paguyuban, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga adat, organisasi lingkungan hidup, dan lainnya. Sedangkan organisasi sosial keagamaan seperti; Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, al-Irsyad al-Islamiyyah, Tarbiyah Islamiyah, Front Pembela Islam (FPI) dan lainnya. Organisasi kedua ini tidak bersentuhan langsung dengan kelembagaan adat Melayu Jambi sehingga mereka betul-betul otonom dan independen dalam pengambilan setiap keputusan. 302Masykuri Abdillah, Kiprah Ulama dalam Kehidupan Masyarakat dan Negara Dewasa ini, dalam Mimbar Agama dan Budaya, (Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, (1999), 1. 303Terma lembaga mempunyai beberapa arti, antara lain : 1) asal mula (yang akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, tumbuhan);

178 mengandung makna yang luas, baik menyangkut institusi adat maupun nilai nilai, asas atau prinsip maupun norma norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sebagai contoh nilai nilai ke-Tuhanan, kebersamaan, persatuan, non diskriminasi dan sebagainya terdapat dalam kelembagaan adat. Prinsip musyawarah mufakat, demokrasi, keadilan dan sebagainya, semuanya terdapat dalam kelembagaan adat. Norma norma yang disepakati misalnya jangan mencuri, jangan merusak lingkungan hidup, dan sebagainya, telah disepakati sejak dahulu dan menjadi pedoman dalam berperilaku. Kelembagaan ini lebih menekankan pada aturan main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action) untuk mewujudkan kepentingan bersama. Pada awalnya institusi ini sebagai wahana mengkaji dan menyelesaikan segala persoalan hukum, moral, sosial, politik dan agama, namun pada masa pasca-kemerdekaan beralih menjadi wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Selain itu, awalnya kelembagaan adat merupakan institusi formal berubah menjadi institusi non-formal, namun tetap diakui oleh pemerintah Republik Indonesia (Rl) sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa/konflik horizontal antar masyarakat. Meskipun sejak berdirinya kelembagaan adat Melayu Jambi mengalami beberapa kali perubahan nomenklatur mulai dari Kerapatan Adat, Lembaga Adat Provinsi Jambi, dan Lembaga Adat Melayu Jambi tentunya berimbas pada perubahan paradigma. Institusi ini sejak masa kerajaan Melayu memainkan perang penting dalam membantu penguasa menyelesaikan berbagai kasus dengan pola dan pendekatan tersendiri.304 Perubahan nomenklatur dan

(2) bentuk (rupa, wujud) yang asli; (3) acuan; ikatan (tentang mata cincin dan sebagainya); (4) badan (oganisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (5) pola perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan. Lihat W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pustaka Pelajar, 1991), 979. 304Lembaga adat yang merupakan wadah atau organisasi permusyawaratan/permufakatan para pengurus adat, pemuka-pemuka

179 pasang surut kewenangannya tidak membuat institusi ini kehilangan jati diri, ia tetap hidup dan menjadi wahana alternatif dan patron bagi masyarakat Melayu Jambi. Begitupula praktik adat bersendi syarak, awalnya diapropriasi sebagai bagian budaya, bahkan sebagai faktor determinan yang memproduksi budaya itu sendiri, akhirnya tak lebih menjadi arena pertarungan politik. Sejarah mencatat bagaimana pertarungan muncul sejak Jambi dipimpin Puteri Selaras Pinang Masak yang beragama Hindu dan Ahmad Salim yang beragama Islam, keduanya menikah dan berhasil ―meng-Islamkan‖ kerajaan Melayu, klimaksnya masa Ahmad Kamil hingga munculnya otoritas pemerintah Belanda yang berupaya ―mengkerdilkan‖ syarak melalui politik hukumnya. Begitupula otoritas pemerintah masa modern dan pemerintah daerah yang juga ikut andil dalam pembentukan praktik adat dan syarak. Dengan demikian, dukungan terhadap pelembagaan adat dan syarak sangat signifikan dan optimal, utamanya sejak awal kerajaan Islam Melayu melahirkan kolaborsi sistem pemerintahan dan sistem hukum, yang berimplikasi pada pribumisasi ajaran Islam dan akselerasi penyebaran Islam di Jambi. Dukungan ini berlanjut oleh pemerintah pasca kemerdekaan sehingga syarak tetap bertahan meski adat/masyarakat yang berada di luar susunan organisasi pemerintahan, tugas pokok Lembaga Adat sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3 Tahun 1997 sebagai berikut: Pasal 1 huruf e. (Permendagri No. 3 tahun 1997 dan Juklaknya In-Mendagri Nomor 15 Tahun 1998 telah dicabut dengan Permendagri Nomor 4 Tahun 1999 bersama 45 Peraturan, Keputusan, dan Instruksi Menteri Dalam Negeri lainnya). Pertama, menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada Pemerintah serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan- kebiasaan masyarakat. Kedua, memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan. Ketiga, menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah.

180 menjadi hukum lokal, meski sebagian telah menjadi spirit bagi hukum nasional.

D. Penyelesaian Konflik Melalui Peradilan Adat Masyarakat Melayu Jambi merupakan bagian dari masyarakat hukum Adat dengan indikator adanya kesatuan dalam masyarakat yang bersifat tetap dan teratur, anggotanya terikat ranah domisili tertentu dan hubungan keturunan berupa pertalian darah atau kekerabatan.305 Penekanannya pada signifikansi kelompok kebangsaan agar kewibawaan hukum dan kekuasaan kelompok tadi dapat berjalan teratur, memiliki otoritas dan kewibawaan. Masyarakat yang tidak teratur bukanlah masyarakat hukum karena tidak adanya otoritas dan kewibawaan karena setiap sistem hukum mengkaji siapa saja yang menjadi stakeholders, pemberlakuan dan kontinuitas dan kepatuhan stakeholders sehingga tercipta stabilitas sesuai keinginan pembuat hukum.306 Konsekuensi dari masyarakat hukum adat adanya pengakuan dan kepatuhan terhadap aturan terkait dengan adat seperti; undang-undang adat, pemangku adat,

305Masyarakat hukum adat adalah komunitas sosial manusia yang mempunyai aturan sebagai pedoman untuk dilaksanakan atau ditinggalkan sesuai situasi dan kondisi serta mempunyai rasa persatuan dan struktur masyarakat untuk menentukan sistem hukum. Masyarakat hukum adat dipetakan menjadi tiga kelompok, yaitu: Pertama, Genealogis, yaitu kesatuan masyarakat yang teratur, keanggotaannya berasal dari dan terikat pada kesamaan keturunan melalui hubungan darah maupun perkawinan, menganut sistem kekerabatan patrilineal, matrilineal, dan parental/bilateral. Kedua, Territorial, yaitu masyarakat yang tetap dan teratur terikat pada daerah kediaman tertentu, baik jasmani sebagai tempat kehidupan maupun rohani tempat pemujaan terhadap roh leluhur, terdiri dari persekutuan desa (dorpsgemeenschap); segolongan atau komunitas sosial yang senantiasa hidup bersama berasaskan pandangan, hidup dan sistem kepercayaan serta kediaman yang sama. Ketiga, Territorial Genealogis, yaitu kesatuan masyarakat yang bersifat tetap dan teratur serta terikat pada ranah domisili tertentu dan hubungan keturunan dalam pertalian darah atau kekerabatan. Lihat Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Suatu Pengantar (Jakarta: Pradya Paramita, 1997), 42; I Gede AB. Wiranata, Hukum Adat..., 113. 306Ibid.

181 komunitas masyarakat adat, dan peradilan adat.307 Point terakhir merupakan salah satu tugas kelembagaan adat Melayu Jambi yaitu menengahi atau mengadili kasus-kasus hukum, moralitas dan agama. Praktik peradilan adat berlangsung sejak masa kerajaan Melayu, kerajaan Islam Melayu, kesultanan, kolonialisme dan kemerdekaan, meski telah ada kerajaan atau pemerintah. Pada masa pra kolonialisme, kerajaan dan kesultanan melayu, kewenangan peradilan adat sangat luas mencakup segala persoalan yang dihadapi masyarakat kecuali pelanggaran berat yang menghendaki putusan penguasa. Selanjutnya masa kolonial Belanda sejak tahun 1930 terjadi perubahan politik hukum adat (adat recht politic) guna mengantisipasi kemungkinan perubahan kondisi hukum. Ditandai pengakuan secara formal terhadap perangkat hukum adat, seperti: Hukum desa diberi pengakuan oleh pemerintahan Belanda; peradilan adat di daerah diperintah dan diatur melalui ordonansi (1928-1932) serta dalam peraturan pelaksanaan yang dibuat residen setempat; dan 1 Januari 1938, melalui Raad Justitie di kota Betawi didirikan Adat Kamer (kamar adat) yang bertugas mengadili tingkat banding perkara adat, hukum privat adat yang ditentukan dan diputuskan oleh Landraden di Jawa, Palembang, Jambi dan Kalimantan. Segala persoalan sosial terkait dengan peradilan bagi Bumi Putera/Pribumi diserahkan kepada Badan Peradilan (Kerapatan Adat) kecuali mereka yang tunduk pada perundangan Hindia Belanda diadili berdasarkan Hukum Perdata dan Pidana. Sedangkan masa Kolonial Jepang, perhatian terhadap pengembangan adat dan syarak sangat kurang karena

307Berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 67 Ayat [1] menyatakan Masyarakat (Hukum) Adat diakui keberadaanya jika menurut kenyataanya memenuhi unsur antara lain: Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschap); Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; Ada wilayah hukum adat yang jelas; Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kehidupan sehari- hari.

182 rakyat hidup dalam kondisi politik dan ekonomi memprihatinkan.308 Selanjutnya, masa kemerdekaan kewenangan peradilan ini dikoordinir oleh pemerintahan pusat dengan membentuk lembaga peradilan yang secara khusus mengurusi persoalan perdata, pidana, administrasi negara dan militer serta mendapat legitimasi melalui undang- undang tentang kekuasaan kehakiman. Sistem pemerintahan Republik Indonesia yang menganut trias politika yaitu; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lembaga yudikatif di bawah payung Mahkamah Agung RI UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memetakan empat jenis pengadilan yaitu; Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Pengadilan Militer (PM). Dalam peradilan ini yang menentukan putusan dan melaksanakan persidangan adalah hakim, panitera, penggugat, tergugat,saksi dan alat bukti. Meski demikian, peradilan adat tetap berjalan dengan menyelesaikan berbagai kasus hukum, moral, sosial dan agama di bawah payung kelembagaan adat Melayu.309 Menurut Ahmad Rasyid segala persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan melalui peradilan adat sesuai seloka―tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan, keruh

308Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum: Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1981), 94. 309Pemerintah Belanda tidak mengintervensi persoalan adat dan membiarkan konstruksi adat yang ―mapan‖ ketika itu bahkan memberikan perhatian serius terhadap adat, ini dilihat pada beberapa tulisan di antaranya: Kitab hukum Mogharaer, Tahun 1750, acuan Pengadilan Negeri di Semarang, sebagian besar justru memuat pidana Islam; Catatan hukum adat di keraton Bone dan Goa oleh Bosscchenaar Van Dirk Chlootwisxk, Gubernur Pantai Sulawesi 1757-1755; Kitab hukum Freiser, memuat hukum perkawinan dan waris menurut syarak untuk pengadilan Kompeni, atas perintah Gubernur Jenderal Mossel dan disahkan 1679; Tulisan Nicholasses Engelhard Gurbenur Pasundan tentang penduduk asli dan pendatang di Pasundan Tahun 1805; Hasil penelitian Dirk Van Hogendrop dan Gezaghebber tentang pantai Timur Pulau Jawa (1794-1798) mengenai soal milik tanah. Lihat Soerojo Wignodipuro, Pengantar ..., 36-37.

183 yang tidak dapat dijernihkan.‖310 Peradilan adat di Jambi aktif membantu pemerintah daerah menyelesaikan masalah hukum, oleh karenanya banyak kasus terselesaikan secara adat sehingga tidak perlu diteruskan kepada peradilan umum (Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri). Legalitas putusan peradilan adat diakui melalui sistem perundangan yang berlaku di Indonesia dan oknum yang bekerja di dalamnya adalah forum tiga tali sepilin melalui presedium kerapatan adat. Forum ini merupakan refresentasi dari kepentingan tiga kelompok yaitu; pemerintahan desa, pegawai syarak dan pemangku adat. Teknis operasionalnya terkait dengan aturan beracara dan materi undang adat diatur sedemikian rupa laiknya suatu peradilan seperti; proses beracara, prosedur pelaporan atau pengaduan, persyaratan administratif, biaya sidang, pelaksanaan sidang, sanksi bagi pelaku ataupun kompensasi bagi korban, kekuatan hukum putusan, perangkat yang melakukan eksekusi dan lainnya. Penerapan aturan administratif dan denda terhadap pelaku variatif sesuai situasi dan kondisi wilayah (eco pakai). Peradilan adat Melayu Jambi, sebagaimana peradilan lainnya, mempunyai kompetensi absolut (absolute competency) dan kompetensi relatif (relative competency).311 Pertama, Kompetensi Absolut, yang terkait dengan cakupan

310Wawancara, Sekretaris Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Batanghari, 20 Mei 2015. 311Kompetensi Absolut adalah kewenangan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Pertama, Peradilan Umum (UU Nomor 2 Tahun 1986) memeriksa dan memutus perkara dalam hukum Pidana (umum dan khusus) dan Perdata (umum dan niaga); Kedua, Peradilan Agama (UU Nomor 7 Tahun 1989) memeriksa dan memutus perkara perkawinan, kewarisan, wakaf dan shadaqah; Ketiga, Peradilan Tata Usaha Negara (UU Nomor 5 Tahun 1986) memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara; Keempat, Peradilan Militer memeriksa dan memutus perkara pidana anggota TNI. Sedangkan Kompetensi Relatif adalah kewenangan pengadilan mengadili perkara berdasarkan wilayah perkara, sesuai tingkatan pengadilan yaitu: Pengadilan tingkat Pertama, Pengadilan tingkat Kedua (Banding); dan Pengadilan tingkat Ketiga (Kasasi).

184 jenis kasus yang dapat diselesaikan oleh peradilan adat yaitu; kasus pidana dan perdata sebagaimana tertuang dalam Undang Adat Jambi, utamanya yang tidak terjangkau oleh aturan hukum positif bidang Pidana dan Perdata. Kasus pidana seperti; pembunuhan, perkelahian, zina, pengrusakan, pencurian, penipuan, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan dan lainnya. Sedangkan kasus perdata seperti; kepemilikan tanah, penetapan hak waris, wakaf, hibah, penentuan batas tanah, perselingkuhan, konflik keluarga, perkawinan, perceraian dan lainnya. Kedua, Kompetensi Relatif, yang terkait dengan wilayah sesuai domisili penggugat dan tergugat serta tingkatan peradilan adat, sesuai seloka ―Berjenjang naik bertanggo turun,‖ sesuai dengan tingkatan masing- masing yaitu; Kerapatan Tengganai pada tingkat rukun tetangga (RT), Kerapatan Nenek Mamak pada tingkat rukun warga (RW) atau dusun dan Kerapatan Desa/Lurah pada tingkat desa/kelurahan. Adapun tahapan pelaksanaan sidang mulai dari pelaporan sebagaimana dijelaskan oleh Datuk Hasbi, Feri Yulman, SE dan Drs. Sayuti Abdullah.312 1. Pihak penggugat mengajukan gugatannya secara lisan maupun tertulis kepada pemerintahan desa, pegawai syarak atau tokoh adat dengan memenuhi persyaratan administrasi dan biaya sidang adat untuk honor, konsumsi peserta sidang dan alat tulis kantor (ATK) sesuai seloka ―Sirih secabik pinang setemih.‖ Pada kasus pidana penggugat menyerahkan tanda patuh kepada pemangku adat, kasus pampas (darah) sebilah keris dan kasus bangun (nyawa) sebatang tombak, sebagai tanda keseriusan penggugat mengharapkan keadilan ―kusut diurai, keruh dijernihkan, angkang disusun, selang dipasut.‖ 2. Setelah persyaratan administratif terpenuhi dan gugatan diterima pemangku adat menetapkan jadual sidang Kerapatan Adat dan menunjuk Majelis Hakim (LID) yang

312Wawancara, Ketua Adat, Kepala Desa, dan Pegawai Syarak Desa Kuap Kabupaten Batanghari Jambi, 12 Mei 2015.

185

menyidangkan terdiri dari pimpinan dan dua orang anggota refresentasi tiga tali sepilin. 3. Majelis hakim melalui presidium kerapatan adat menjalani sidang sesuai tahapan dengan melibatkan pihak penggugat, tergugat dan saksi-saksi serta alat bukti. 4. Hasil sidang dilaporkan kembali ke Pemangku Adat untuk disampaikan kepada pihak yang berperkara. Setelah putusan disampaikan, pihak penggugat ataupun tergugat yang keberatan atas hasil putusan sidang dapat mengajukan banding ke tingkat yang lebih tinggi. Ditambahkan Ambasri kehadiran pihak tergugat dalam persidangan tidak mempengaruhi jalannya persidangan dan eksekusi terhadap putusan sidang melalui dua jalur, yaitu: diserahkan kepada penguasa untuk mengambil keputusan atau Nenek mamak dari tersangka mengambil alih tanggung jawab perbuatan hukum tersangka.313 Menurut Arfan sesuai seloka adat: 314 ―Bilo seseorang keras tak dapat ditarik, runcing tanduk untuk mengewang, gedang kelaso hendak mendorong, lembut tidak bersudu maka nenek mamak menyerahkan kepada ombak yang berderu, angin yang mendengung (raja/penguasa) disebabkan mereka memegang bungkal yang piawai teraju yang berkatok. Rajolah yang menetak putus menyincang abis‖.

Para pihak yang berperkara baik penggugat ataupun tergugat yang tidak dapat bekerjasama dengan pihak peradilan adat maka putusannya dikembalikan kepada penguasa sebagai pihak yang berkompeten mengeksekusi sanksi pihak yang dinyatakan bersalah. Begitu pula, mereka yang keberatan atas putusan peradilan adat dapat mengajukan banding sesuai hierarki peradilan adat yaitu tingkat kerapatan tengganai, kerapatan nenek mamak, kerapatan kampung. Jika putusan tingkat kampung belum

313Wawancara, Pemangku Adat Kecamatan Batin XXXIV, 20 Februari 2016. 314Wawancara, Pemangku Adat Rambutan Masam, 21 Februari 2016.

186 mampu memuaskan pihak yang berperkara maka dapat mengajukan ke pengadilan lain agama ataupun umum, artinya institusi yang menjadi wahana penyelesaian kasus bergantung pada keinginan masyarakat, meminjam istilah Satcipto sebagai adresat hukum. Oleh karena itu, setiap akhir putusan peradilan adat ditutup dengan kalimat demikianlah putusan ini dibuat dengan ketentuan ―Yang patuh balik ke batin, Yang ingkar balik ke rajo.‖ Menurut Ambasri pihak berperkara yang mematuhi putusan adat diakui sebagai masyarakat Melayu Jambi yang berpegang kepada adat, sebaliknya pihak yang tidak mematuhi putusan berarti ia telah keluar dari masyarakat hukum adat dan disilahkan mengajukan kasusnya ke pengadilan.315 Jika masyarakat menghendaki penyelesaian kasusnya melalui peradilan adat maka berlakulah aturan adat, sebaliknya jika masyarakat menghendaki Peradilan Agama atau Umum maka berlakulah aturan perdata dan pidana. Begitupula jika masyarakat merasa kurang puas atas putusan peradilan adat maka dapat melaporkannya kembali ke peradilan lain sesuai kewenangannya. Praktik ini sejalan dengan aturan yang berlaku di Indonesia yang memberikan alternatif pada masyarakat untuk menyelesaikan persoalan internal melalui peradilan adat. Hal ini mengindikasikan ada dua model penyelesaian hukum yang berlaku bagi masyarakat Melayu Jambi yaitu Litigasi dan Non- Litigasi.316 Litigasi yaitu gugatan atas suatu konflik antara para pihak yang saling bertentangan sehigga harus diambil keputusan dua pilihan yang bertentangan. Litigasi sangat formal terkait pada hukum acara, para pihak berhadap-hadapan untuk saling beragumentasi, mengajukan alat bukti, pihak ketiga (hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannya bersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transparan, hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau pertimbangan hakim. Sedangkan Non-Litigasi yang sering disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif

315Wawancara, Pimpinan Adat Batanghari, 20-22 Februari 2016 316Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 8-9.

187

Penyelesaian Sengketa untuk melindungi hak keperdataan pihak yang bersengketa dengan cepat dan efisien, mengingat penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi cenderung membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif tidak sedikit sekaligus membantu menyelesaikan penumpukan perkara di tingkat Mahkamah Agung. Begitupula pada saat penyampaian putusan melalui presidium kerapatan sidang, pihak kelembagaan adat melalui perangkatnya mengundang instansi terkait untuk menyaksikan hasil keputusan, seperti; Camat, Danramil, Kapolsek, Ketua MUI serta semua pihak dan instansi terkait dengan kasus yang dihadapi. Hal in i merefleksikan dukungan pemerintah dan perangkatnya terhadap kinerja dan pemberdayaan kelembagaan adat sebagai salah satu pilar yang dapat membantu pemerintah dalam penyelesaian masalah hukum dan konflik sosial-agama yang terjadi di masyarakat. Pada bab berikutnya diurai tentang kelembagaan adat yang menjadi arena tarik menarik atau bahkan subordinasi internal dan dengan institusi di luarnya.

188

7 Kelembagaan Adat Melayu Jambi sebagai Arena Pertarungan Kuasa

Kelembagaan Adat Melayu Jambi yang hadir sejak masa kerajaan Melayu mempunyai peran signifikan dalam membantu penguasa menyelesaikan persoalan hukum, sosial, kenegaraan dan agama. Kelembagaan adat yang di dalamnya forum tiga tali sepilin memainkan tiga peran sekaligus yaitu ―eksekutif, legislatif dan yudikatif‖. Meski dalam perkembangannnya peran ini bergeser menjadi wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, sosial dan agama. Bahkan terkadang justru menjadi arena subordinasi dalam memperebutkan posisi bahkan disposisi melalui kuasa simbolik. Bab ini menjelaskan kuasa simbolik (symbolic power) dalam kelembagaan adat dapat beroperasi dengan mengubah sesuatu dan menciptakan realitas agar diakui dan dikenal secara absah, yang pada akhirnya membentuk suatu habitus. Habitus dibuat secara tidak sadar sehingga diterima oleh masyarakat, meski di dalamnya terjadi negosiasi bahkan subordinasi dalam memproduksi hukum dan memperebutkan kuasa atau kepentingan.

A. Modal dalam Kelembagaan Adat Modal dapat berupa; kultural, religius, pendidikan, sosial, simbolis, politis dan ekonomis, namun bagi Bourdieu modal bisa berupa kultural, sosial, simbolis, dan ekonomis serta

189 tidak bisa dihubungkan oleh seperangkat materi semata.317 Sedangkan modal kultural bisa berupa; kompetensi, skill, dan kualifikasi yang memungkinkan para agen dominan memobilisasi otoritas kultural dan dapat menjadi sumber salah pengenalan dan kekerasan simbolik. Selain itu, modal kultural turut berpengaruh terhadap penciptaan modal simbolik yang dimiliki oleh para agen. Para pemegang modal simbolik bisa mempengaruhi para agen lain yang tidak memiliki modal ini, mendiseminasikan nilai-nilai sosial, yang diharapkan bisa menjadi habitus yang tanpa disadari oleh mereka. Dalam proses transformasi dan pengalih-rupaan inilah, dominasi bahkan tekanan bekerja secara diam-diam. Karena berada dalam sebuah arena yang di dalamnya para agen saling berdialektika membentuk habitus, meskipun dominasi itu tidak lagi dirasakan sebagai sebuah ‗tekanan‘, melainkan sebagai praktik kultural yang given. Modal kultural yang masih diakui oleh masyarakat Melayu Jambi ada pada kelembagaan adat, yang memainkan peran signifikan dalam percaturan agama dan budaya.318 Fakta inilah yang terjadi dalam kelembagaan

317Bourdieu, ―The Forms of Capital‖, terj. dari bahasa Jerman oleh Richard Nice, dalam J.G. Richardson (Ed.), Handbook for Theory and Research for the Sociology of Education, (New York: Greenwood Press, 1986), 65. 318Menurut John Hick agama merupakan subyek yang amat luas dan kompleks sehingga dapat dilihat dari berbagai perspektif sehingga melahirkan teori tentang watak agama, seperti; antropologi, sosiologi, psikologi, naturalis dan teori keagamaan (wahyu). Atas dasar itu, Titus mengklasifikasikan agama kepada dua aspek; pertama, agama lahir dari kemauan manusia untuk menjalani dan menyempurnakan kehidupannya. Kedua, agama berasal dari kesadaran manusia untuk mengakui keberadaan alam sekitarnya yang lebih sempurna dan memberi kontribusi terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sedangkan budaya (kebudayaan) menurut E.B Taylor merupakan sesuatu yang kompleks mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum adat istiadat, kesenia dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Lihat Ali Sunarso dan Mochlasin Sofyan, Islam Doktrin dan Konteks; Studi Islam Komprehensif, (Yogyakarta: Yayasan Ummul Qur‘an, 2006), 25-26; Tim Penyusun, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), 8.

190 adat Melayu Jambi sebagai institusi yang dibebani tanggung jawab menyelesaikan persoalan sosio-religius yang dihadapi oleh masyarakat. Institusi ini pada kenyataannya merupakan bagian penyedia modal kultural untuk mendapatkan kekuasaan ataupun status sosial, ketika agen memiliki modal tertentu maka di titik awal dari sebuah ranah agen lebih diuntungkan. Karena ranah bergantung pada, dan juga menghasilkan lebih banyak lagi, modal. Dengan demikian agen bisa menggunakan keuntungan modalnya untuk mengakumulasi lebih banyak lagi dan mencapai keberhasilannya dengan mudah ketimbang agen lain. Modal kultural ini dipandang signifikan karena di dalamnya terdapat beberapa sub modal yaitu; modal politik, modal religius dan modal sosial. Menurut Junaidi T. Noer, kelembagaan adat sangat berjasa meng-unifikasi syarak dengan adat sehingga melahirkan falsafah ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabulllah,‖ meski nomenklatur yang dimunculkan hanya adat hasil negosiasi antara penguasa, pegawai syarak dan tokoh adat.319 Hal senada disampaikan Lukman Hakim, menurutnya secara historis kontribusi kelembagaan adat sangat besar terhadap tegaknya hukum dan moralitas di negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Institusi ini bahkan berhasil mempersatukan dua sistem hukum yaitu sistem syarak dan sistem adat menjadi satu entitas, bahkan syarak dijadikan sebagai korektor terhadap adat.320 Selanjutnya Datuk Sayuti dan Pakdo Ismail menambahkan kinerja kelembagaan adat selama ini telah terbukti dan teruji mampu membawa masyarakat Jambi hidup rukun dan damai pada seluruh lapisan masyarakat karena mengharmoniskan syarak dengan adat. Islampun begitu pesat dan merata di Jambi setelah instiusi ini mampu mengkolaborasikan syarak dengan adat menjadi entitas

319Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi, 5 April 2016. 320Wawancara, Ketua Ikatan Tarbiah Islamiyah Provinsi Jambi, 6 April 2016.

191 hukum di bawah payung Undang Adat Jambi.321 Pandangan di atas secara substantif mengakui peran signifikan kelembagaan adat sebagai korektor (nâqid) dan mediator (wasâil) antar syarak dengan adat, bahkan pemersatu masyarakat Melayu Jambi sebagai representasi kepentingan pemilik modal politik, religius dan kultural. Institusi ini memiliki otoritas agar ada legitimasi sehingga dapat dipatuhi oleh pihak lain secara individual maupun kolektif. Legitimasi dimaksud berupa keyakinan anggota- anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati.322 Dalam sistem pemerintahan berdasarkan Kerapatan Adat (Perpatih), presidium yang dihadiri oleh forum tiga tali sepilin ini memiliki otoritas tertinggi dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial, moral dan agama, memproduksi dan mereproduksi hukum bahkan menentukan kebijakan strategis bahkan saat ini berperan dalam memilih perangkat pelaksana harian pemerintahan desa. Ketiga modal dimaksud yaitu; pemerintahan desa, pegawai syarak dan pemangku adat. Pertama, Pejabat Pemerintahan Desa (Pemdes), sebagai organisasi terkecil penyelenggara negara idealnya memiliki otoritas mengejawantahkan tujuan negara (pemerintah) bekerjasama dengan rakyat demi mencapai cita-cita bersama. Sejalan dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat [1, 3]. Kepemimpinan desa adalah kepala desa yang dipilih oleh masyarakat setempat dan dalam melaksanakan tugas, dibantu oleh perangkat desa, kepala dusun dan ketua rukun tetangga. Kepala desa dipilih langsung oleh masyarakat desa sebagai wujud demokrasi, bertugas merencanakan, melaksanakan dan membuat kebijakan di desa. Kepala Desa dan perangkatnya menjadi tumpuan utama bagi masyarakat desa dalam mengatasi persoalan hidup, dari

321Wawancara, Tokoh Adat Kota Jambi dan Batanghari, 2 Mei 2016. 322Miriam Budiarjo, Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Gramedia, 1994), 90-91.

192 persoalan pribadi sampai persoalan bersama. Saat ini kepemimpinan desa adalah kepala desa yang dipilih oleh masyarakat setempat, tugas kepala desa dibantu oleh perangkat desa, kepala dusun dan ketua rukun tetangga, yang memiliki peran signifikan dalam mengelola desa. Untuk menjabat kepala desa, diperlukan kriteria tertentu, disamping pendidikan yang baik, akhlak, dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki ketrampilan atau kemampuan dalam memimpin.323 Konsepsi umum kepemimpinan masyarakat Melayu Jambi mensyaratkan seorang pemimpin memiliki beberapa karakter umum. Pertama, kemuliaan budi pekerti atau akhlak yang baik. Kedua, siap dan rela berkorban untuk orang lain. Ketiga, siap menghadapi segala macam resiko yang ditimbulkan, baik karena ditimbulkan oleh perbuatan masyarakat maupun juga dampak dari keputusan yang diambil. Keempat, tidak lari dari masalah bahkan selalu siap menyelesaikan setiap persoalan. Kelima, seorang pemimpin mesti berada dan berdiri di tiap-tiap kelompok sehingga berguna bagi semuanya.324 Kedua, Pegawai Syarak, merupakan organ kelembagaan adat yang masuk dalam sistem pemerintahan Adat Melayu Jambi dengan fungsi memimpin urusan ibadah dan pemberi pertimbangan aspek syariah pada pemerintah. Pegawai Syarak merupakan refresentasi dari alim ulama, imam, khatib, bilal, orang yang dalam struktur masyarakat Melayu Jambi menempati posisi terhormat sebagai tokoh agama yang memberikan pengetahuan keagamaan sekaligus intelektual Muslim. Meskipun peran ulama selanjutnya mengalami dinamika seiring perkembangan zaman, berkontribusi besar dan memainkan peran dalam percaturan pemikiran hukum Islam di Jambi. Kontribusi ulama dapat ditelusuri sejak peralihan kerajaan Melayu Jambi ke tangan Ahmad Salim, dilanjutkan Ahmad Kamil. Islam menampakkan

323Ibrahim Lakoni, Adat Kepemimpinan Desa, Kampung, Dusun, dan Pembangunan Arus Bawah Serta Peranan Tali Tigo Sepilin, (Jambi: Lembaga Adat Melayu Jambi, 2001), 4. 324Ibid., 5-10.

193 eksistensinya bahkan raja memproklamirkan kerajaan Islam yang bersendikan syariat Islam. Setelahnya penyebaran dan pribumisasi Islam melalui ulama Arab- Yaman berkolaborasi dengan ulama lokal. Saat ini pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jambi mengatur berbagai kebijakan tentang tugas Pegawai Syarak yaitu untuk meningkatkan penyelenggaraan dan pembinaan ibadah ke-Islaman di mesjid. Ketiga, Pemangku Adat, sekelompok orang pilihan refresentasi dari Penghulu, Nenek Mamak, Tuo Tengganai dan Cerdik Pandai, dipilih berdasarkan hubungan keturunan dan memenuhi kriteria tertentu. Untuk menjadi pemangku adat harus memiliki syarat-syarat tertentu, seperti; memiliki pengetahuan tentang adat, baik itu pengetahuan tentang hukum adat, falsafah dan seloka adat maupun pengetahuan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.325 Syarat lain Pemangku Adat harus memiliki integritas dan perilaku terpuji (akhlak al-karimah) sesuai tugasnya yaitu; menggali, mengembangkan, memelihara persoalan terkait dengan adat. Ketiganya bernaung di bawah payung kelembagaan adat, melalui forum tiga tali sepilin, yang eksis selama berabad-abad bersamaan adanya kerajaan Melayu Jambi.326

325Pada masyarakat Melayu Jambi wilayah Hulu, Pemangku Adat diangkat oleh Depati atau suatu Lembaga Adat untuk memimpin suatu bagian dari wilayah adat tertentu, dan bertanggung jawab kepada kepala wilayah kedepatian tertentu, atau menjalankan tugas ninek mamak untuk hal-hal yang telah disepakati adat. Tugas Pamangku adalah memangku segala urusan. Dari pemangku ini baru diteruskan kepada yang berkepentingan, apakah untuk depati, ataukah orang tua cerdik pandai, untuk alim ulama ataupun masyarakat dan lain-lainnya. Pemangkulah yang bertugas membawa dan menyampaikannya. Lihat Ismail Thalaby, Adat Sakti ..., 12. 326Sejak awal Pegawai Syarak bertanggung jawab mengawal implementasi syarak sekaligus menjadi dewan pertimbangan syariah pemerintah. Meski saat ini telah terjadi distorsi makna dan fungsi utamanya setelah adanya institusi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengklaim sebagai lembaga otoritatif dalam menjawab persoalan keumatan. Pegawai Syarak ini diangkat melalui SK Bupati meliputi Imam, Khatib, Bilal, dan mudim (penjaga) masjid, bahkan pada beberapa wilayah Pegawai Syarak hanya penanggung jawab kegiatan ibadah ritual, atau lebih tepatnya shalat berjamaah. Defenisi dan ruang lingkup kerja

194

Singkatnya, modal dalam kelembagaan adat ini terkonstruksi menjadi modal politik, sosial dan agama, yang disimbolkan dengan modal kultural. Modal kultural, menempati posisi signifikan dalam relasi kekuasaan sosial, karena ia menyediakan sejenis strategi dominasi dan hierarki non-ekonomi terhadap kelas-kelas dalam tatanan sosial.327 Dengan modal ini aspirasi stakeholders dapat diakomodir dan bertahan terus yang pada akhirnya menurut Bourdieu membentuk habitus. Modal kultural bagi masyarakat Melayu Jambi disimbolkan melalui kelembagaan adat yang di dalamnya sub-sub modal politik dan agama serta kultural. Berbeda dengan Bourdieu yang memisahkan modal menjadi ekonomi, budaya, sosial dan simbolik serta tidak memasukkan agama dan politik sebagai bagian dari modal. Boudieu secara khusus tidak memasukkan agama sebagai salah satu modal kapital, namun setidaknya 10 essay Bourdieu mengenai agama serta beberapa bagian mengenai agama yang berserakan di berbagai karyanya, salah satu karyanya The Algerians menunjukkan bahwa dia sangatlah tertarik dengan pengaruh agama dalam kehidupan orang-orang Algeria.328 Meski demikian, secara substantif modal yang ada dalam kelembagaan adat Melayu Jambi mengcover modal dimaksud, yang dipilah ke dalam empat jenis yakni; modal ekonomi (uang, aset), budaya (bentuk pengetahuan, kecenderungan dalam seni), sosial (keluarga, agama, jaringan) dan simbolik (kejujuran, kepercayaan). Ketiga organ tersebut sebagai modal dalam kelembagaan memiliki peran secara proporsional sesuai

Pegawai Syarak mengalami penyempitan dibandingkan dengan masa lalu, meskipun sebagai organ kelembagaan adat Pegawai Syarak memiliki ikatan emosional di tengah masyarakat Melayu yang notabene muslim. 327Pierre Bourdieu, Handbook for Theory and Research for the Sociology of Education, (New York: Greenwood Press,1986), 65. 328Pierre Bourdieu, Habitus X Modal + Ranah = Praktik, editor Richard Harker: pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, et. al., (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 48-50; Fauzi Fashri, Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol, (Yogyakarta: Jalasustra, 2014), 55; Pengantar Paling 50-52

195 dengan kompetensi masing-masing, meski pada praktinya tentu ada yang mendominasi. Dari aspek materi hukum didominasi kepentingan agama, dari aspek fasilitator dan penentu kebijakan didominasi kepentingan pemerintah dan aspek institusional didominasi oleh kepentingan adat. Kesemuanya berkolaborasi dalam membuat memproduksi dan mereproduksi hukum serta meneyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Melayu Jambi.

B. Struktur Hierarkis Kelembagaan Adat Habitus memiliki tiga prasyarat definitif. Pertama, habitus adalah product of structure, hasil dari struktur sosial/kultural/religius) yang sudah ada. Kedua, habitus adalah producer of practice, menciptakan sekaligus memperkuat praktik yang sudah ada. Ketiga, habitus adalah reproducer of structure, secara tak langsung—melalui praktik yang dihasilkan dan bekerja terus menerus— menciptakan kembali sekaligus memperkuat struktur yang sudah ada sejak awal. Singkatnya, ia dibentuk oleh struktur dan sekaligus membentuk kembali struktur itu (Structure of structure), habitus bersifat sirkuler dalam ketegangan antara struktur dan praktik.329 Struktur dalam kelembagaan inilah pada akhirnya menjadi habitus dan membentuk hierarki, yang melahirkan posisi dan disposisi yang mapan hingga saat ini. Inilah yang nantinya dijadikan sebagai arena kekuasaan yang di dalamnya terdapat beragam potensi yang eksis. Potensi inilah yang dimiliki oleh aktor-aktor yang melakukan perjuangan memperebutkan atau mempertahankan posisi demi eksistensi dan situasi kongkret. Jika memang habitus adalah produk dari struktur suatu masyarakat tertentu, sebenarnya struktur masyarakat Melayu Jambi itu sendiri yang berhasil menciptakan habitus ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi

329Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, terj. dari bahasa Prancis oleh Richard Nice, (London: Routledge.1984), 170.

196

Kitabullah; ―Undang datang dari Hulu, Teliti dari Hilir. Secara struktural semua organ dalam kelembagaan adat mempunyai posisi strategis dalam masyarakat bahkan dapat menentukan sanksi terhadap pelanggar norma agama dan adat. Sedangkan secara fungsional mereka mempunyai disposisi terhadap kehidupan masyarakat dan memainkan peran dominan dalam tradisi masyarakat bahkan dalam perpolitikan di Jambi melalui simbol agama dan adat. Selanjutnya, struktur hierarki kuasa yang dimiliki kelembagaan adat menurut Kemas Husin dikemas dalam seloka adat ―Berjenjang Naik Bertanggo Turun.‖330 Seloka ini tidak hanya berlaku pada sistem kepemimpinan, dimana hierarki kepemimpinannya terstruktur mulai dari raja, patih, jenang, kepala kampung, penghulu, dan tiga tali sepilin. Namun juga berlaku pada sistem peradilan adat, dimana hierarkinya mulai dari kerapatan Tengganai, kerapatan Nenek Mamak dan kerapatan Kampung. Begitupula dengan posisi dan disposisi organ internal kelembagaan adat mulai dari pemerintahan desa, pemangku adat, pegawai syarak dan masyarakat adat. Secara kongkret, struktur sosial kultural Jambi dilihat berdasarkan hierarki atau segmentasi berikut.331 Pertama adalah kaum elit kultural, yang fanatik pada adat dan syarak serta memiliki posisi strategis, seperti yang diwakili oleh kelompok pemangku adat, Junaidi T. Noer, Mukhtar Agus Cholif, Fathuddin Abdi, Azra‘i al-Basyari, Pakdo Ismail, dan Hasbi. Dikatakan sebagai kaum elit karena didukung oleh institusi kultural tertentu yang memungkinkan mereka untuk mengakumulasi modalnya masing-masing. Tidak hanya itu pada institusi inilah modal tersebut bisa direproduksi, dilipatgandakan, bahkan

330Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu Simpang Rimbo, 10 April 2016. 331Hierarki adalah suatu jenjang atau tatanan atau peringkat kekuatan, prestise atau otoritas. Dalam pengertian yang umum, konsep hierarki diserap oleh ilmu sosial dan menjadi istilah yang umum. Lihat Adam dan Jessica Kupper, The Social Science..., 433; Charles Mills, The Power ..., 39.

197 dipindahkan untuk mencapai tujuan politis yang mungkin tidak mereka sadari. Kekuatan kaum elit ini hampir selalu berpijak pada privasi tertentu yang anggota-anggotanya mampu menunjukkan posisi tingginya di masyarakat.332 Untuk mempertahankan posisinya dalam masyarakat, mereka senantiasa menggunakan adat sebagai modal sosial- kultural-politik untuk tampil dalam setiap momen acara seremonial. Modal dasar yang dimiliki oleh kaum elit ini menurut Mills adalah budaya, meski tidak seluruhnya benar mengingat perebutan posisi bagi kaum elite berpijak pada modal, status, dan kelas.333 Pada level kedua yaitu kaum elit organisasional yang memiliki posisi struktural namun terkadang mengkritik praktik dominasi adat, secara institusional diwakili sebagian pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kepala Kantor Kementerian Agama, kelompok tokoh masyarakat dan tokoh muda lainnya, seperti: Tarmizi, Husin Abdul Wahhab, Muallim, Abdul Hamid Bafadhal, Dahlan Malik, Ikbal, dan Herman, Izzat, dan Husin Jufri. Mirip dengan kaum elit kultural, kelompok ini juga mempertahankan posisinya melalui kerjasama saling memahami satu sama lain namun antarkelompok tak jarang terjadi ‗subordinasi‘. Dalam perspektif Bourdieu, lembaga, jabatan, posisi, status, memiliki peran penting dalam menentukan suatu disposisi. Meski demikian, dalam konteks masyarakat Jambi, mereka yang dikategorikan sebagai elit kultural dan organisasion al dibedakan atas dasar bahwa keduanya memiliki level kepercayaan, keyakinan, atau disposisi yang berbeda

332Elit adalah setiap orang yang berkuasa, berharga, cakap, memiliki hak istimewa, atau kelompok yang mempunyai keunggulan. Istilah ini untuk membedakan suatu kelompok dengan kelompok lainnya sesuai fakta mereka merupakan kelompok dengan jenis kekuasaan khusus, orang yang menduduki posisi puncak dalam hierarki komando. Lihat John Scott, Sociology ..., 99. 333Menurut Karl Marx, kelas-kelas yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh kepemilikan atau ketidak-pemilikan alat produksi yang pada akhirnya akan menjadi modal. Modal ini yang dijadikan sumber relasi sekaligus yang membedakan pemilik modal atau sebaliknya. Ibid., 46.

198 terhadap praktik adat bersendi syarak. Itulah mengapa meskipun kedua kelompok dianggap memiliki posisi namun disposisi yang mereka hasilkan berbeda dalam merespons praktik tersebut. Pada level ketiga yaitu kelompok semi-periperi yang fanatik, tapi tidak memiliki posisi, seperti masyarakat awam yang mendukung pemberlakuan adat bersendi syarak, yang umumnya di wilayah Jambi bagian Barat yaitu; Kerinci, Sungai Penuh, Sarolangun, Merangin, sebagian Muaro Bungo dan Tebo. Dianggap sebagai masyarakat semi-periperal karena syarat utama pembentukan habitus, yakni posisi yang tidak dimiliki oleh kelompok ini. Mereka hanya mengikuti disposisi dari orang yang memiliki posisi institusional (elit kultural) dalam struktur masyarakat Melayu Jambi. Meskipun kelompok ini hanya memiliki satu syarat pembentukan habitus (disposisi) sebagaimana kaum elit organisasional (posisi), tesis Bourdieu yang menempatkan disposisi berada subordinat di bawah posisi membuat kelompok semi periperi juga berada subordinat di bawah elit organisasional. Dalam proses reproduksi modal, mereka berperan membantu elit kultural mengakumulasi putusan adat, sekaligus mengukuhkan posisi elit kultural tanpa memberi dampak sebaliknya pada diri mereka sendiri. Pada level keempat yaitu kelompok periperal atau marginal. Karena menurut Bourdieu ―kelas sosialmu menentukan seleramu‖ atau ―posisimu menentukan disposisimu‖, maka begitulah para pemangku adat Jambi menjadi bourjuis kultural, dan masyarakat awam menjadi proletar kultural. Inilah kelompok yang dalam kelas Marxian-Bourdieu dianggap sebagai kaum ploretariat yang tidak memiliki modal apapun khususnya modal kultural. Peran kelompok ini ada dua, pertama mendukung disposisi kelompok elit organisasional, namun dukungan mereka terkendala oleh posisi mereka yang tidak punya efek pada disposisi itu sendiri; dan kedua, mereka turut bertarung dalam arena, namun potensi keberhasilannya sangat terbatas.

199

Gambar 7.1. Struktur Hierarkhis Kelembagaan Adat

Keterangan: Positif/ mendukung atau didukung Negatif/ tidak mendukung atau tidak didukung Praktik adat bersendi syarak ini bertahan lama hingga saat ini, karena para elit kultural memiliki praktik dan struktur kekuasaan atas praktik tersebut. Praktik ini direproduksi terus oleh para elit kultural dan diikuti serta diamini oleh kelompok periperal, sementara posisi elit struktural meramaikan, kelompok yang mengcounter praktik, dan mereproduksi perlawanan dan praktik ini. Pada akhirnya melahirkan habitus dan struktur baru (structure of structure).

200

C. Jambi sebagai Arena Pertarungan Kuasa Laiknya sebuah pertarungan diperlukan suatu arena (ranah), yang oleh Bourdieu diasumsikan sebagai field of struggle. Para aktor berjuang sekuat tenaga dan dengan berbagai strategi untuk meningkatkan posisi mereka. Inilah yang dikatakan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus dalam sambutannya pada hari Ulang Tahun Jambi tahun 2015:334 ―Jambi hari ini telah menjadi pondokan besar yang terhampar luas bagi orang melayu dan suku-suku yang berasal dari penjuru Indonesia, tidak hanya itu hadir juga secara cukup lama bangsa-bangsa besar di dunia seperti komunitas Arab, India, dan Cina, semuanya menyatu menjadi masyarakat Jambi. Ikatan-ikatan sosial budaya telah menyatukan mereka dalam naungan adat dan budaya Jambi, hal ini menjadi kekuatan besar dalam mewujudkan Jambi ke depan lebih baik dan lebih sejahtera‖. Pada praktiknya tidak tertutup kemungkinan adanya gesekan antar budaya, meski tradisi masyarakat Jambi yang inklusif menerima fluralisme etnik, budaya maupun agama. Inilah aset terbesar yang kita punya yang perlu diberdayakan dan dimaksimalkan.‖

Statemen ini merefleksikan adanya keragaman kultur dan struktur masyarakat yang mendiami wilayah Jambi, di satu sisi, masyarakat dibentuk oleh perbedaan distribusi dan penguasaan modal, di sisi lain, para individu ini berjuang memperbesar modal mereka. Sehingga hanya melalui field yang di dalamnya terjadi apa yang disebut Bourdie sebagai field of struggle ditambah modal, Bourdieu hendak menampilkan sosiologi kritisnya bahwa di suatu masyarakat selalu ada praktik dominasi antara yang mendominasi dan yang didominasi. Pada masyarakat Melayu Jambi sebenarnya kelembagaan adat memainkan peran dominan dalam percaturan sosial dan agama yang melahirkan doxa, yaitu kecenderungan keberpihakan atau lebih menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi dominan

334Koran Harian Jambi Independen, 8 Januari 2015.

201 mereka sebagai sesuatu yang terbukti dengan sendirinya dan diinginkan secara universal.335 Secara lebih spesifik, Bourdieu menyatakan doxa merupakan hubungan ketaatan langsung yang terjadi dalam praktik antara sebuah habitus dan ranah dimana ia disesuaikan, diterima begitu saja terhadap dunia yang terjadi secara praverbal yang berasal dari rasa praktis.336 Menurut Mukhtar Latif, fenomena sosial di Jambi hari ini memudarkan pemahaman nilai agama dan adat di kalangan masyarakat Melayu Jambi, utamanya generasi muda. Secara institusional ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui dinas pendidikan namun juga tanggung jawab Majelis Ulama Indonesia Jambi dan Lembaga Adat Melayu. Meskipun di lapangan peran kelembagan adat lebih dominan ketimbang Majelis Ulama Indonesia, mungkin ini disebabkan faktor historis dan kemampuan komunikasi dari petinggi kedua institusi tersebut.337 Realitas semacam ini diamini oleh Fachrori Umar, menurutnya adat istiadat warisan pendiri negeri ini mengandung nilai ideologis dan estetika yang sejalan dengan prinsip agama. Oleh karenanya perlu dilestarikan dan disosialisasikan kepada masyarakat terutama generasi muda yang mulai terkontaminasi dengan budaya luar dan kurang memahami budi pekerti. Tanggung jawab menanamkan nilai agama dan moral tersebut tidak hanya dibebankan pada pemerintah daerah, namun juga pada

335Doxa merupakan keyakinan fundamental, mendalam, dan tanpa melalui proses pemikiran yang diasumsikan terbukti universal yang menginformasikan tindakan dan pemikiran agen pada ranah tertentu. Doxa cenderung menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi dominan sebagai realitas kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dengan kata lain doxa merupakan hubungan ketaatan langsung yang terjadi dalam praktik antara sebuah habitus dengan ranah dimana ia disesuaikan dan diterima secara given. Lihat Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, terj. dari bahasa Prancis oleh Richard Nice, (Stanford: Stanford University Press 1992), 66-68. 336Ibid. 337Wawancara, Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jambi dan Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jambi, 10 Januari 2016.

202

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga adat. Sementara yang keduanya terkesan berjalan sendiri-sendiri dan saling memperebutkan posisi dan pengaruh dalam menarik perhatian masyarakat.338 Ditambahkan Fachruddin Razi, satu sisi, tokoh agama kurang kreativitas dalam membentuk dan mengembangkan nilai moral masyarakat. Di sisi lain, tokoh adat dengan segudang pengalaman terus bergerak membangun komunikasi intensif dengan kepala daerah dan masyarakat sehingga terdepan dalam acara seremonial serta senantiasa dilibatkan dalam membahas persoalan sosial keagamaan. Keduanya berjalan secara tidak seimbang sehingga terkesan ada yang mendominasi.339 Berbeda dengan pandangan di atas, menurut Husin Abdul Wahab seharusnya lembaga adat mulai dari level terendah senantiasa berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia dalam menyelesaikan persoalan keagamaan, mengingat ada banyak pegawai syarak yang tidak memenuhi standar ―ulama apalagi mujtahid. Begitupula dengan putusan yang terkadang bersinggungan dengan kinerja dan kepentingan institusi di luarnya. Pandangan ini diamini oleh Sulaiman Abdullah, Suhar, Ahmad Tarmizi, Ikbal, Herman, dan Dahlan Malik. Ditambahkannya, secara kelembagaan pengurus Majelis Ulama Indonesia Jambi tidak mendapat konfirmasi atau undangan dalam rapat adat. Padahal ada banyak kasus yang ditangani oleh lembaga adat utamanya pada tingkat desa, yang dominan bahkan murni syarak, seperti; nikah, cerai, penetapan waris, perselingkuhan, zina, dan lain sebagainya.340 Belum lagi, dominasi adat pada berbagai momen seremonial. Hal ini menimbulkan kesan publik terjadi fenomena dominasi atau bahkan subordinasi yang sepertinya terus muncul meski tidak secara prontal, oleh karenanya Bourdieu dengan tegas menyatakan pertarungan

338Wawancara, Wakil Gubernur Jambi, 10 Januari 2016. 339Wawancara, Cendikiawan, Rektor Universitas Batanghari (UNBARI) Jambi, 11 Januari 2016. 340Wawancara, Pengurus MUI Kota, Batanghari, Sarolangun dan Muara Sabak, 20-25 Januari 2016.

203 sosial semacam ini seyogyanya dilenturkan melalui klasifikasi-klasifikasi simbolik, praktik-praktik kultural dengan menempatkan individu dan kelompok ke dalam hierarki kelas dan status yang kompetitif, arena-arena pertarungan itu pada akhirnya turut mempengaruhi upaya memperebutkan sumber daya potensial, menerapkan strategi-strategi mencapai kepentingan masing-masing dalam arena tersebut, dan selanjutnya mereproduksi kembali tatanan stratifikasi sosial. Endingnya bukan sekedar bebas dari politik, melainkan sebuah ekspresi atas politik itu sendiri. Contoh kongkrit perdebatan yang tak kunjung usai hingga saat ini adalah klaim falsafah adat, pemberlakuan syarak dengan adat, penerapan sanksi, dualisme sistem kekerabatan, praktik kewarisan, dan praktik hukum serta upacara seremonial. Selain itu, konflik penentuan batas dan hak atas tanah wilayat antara masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Kabupaten Batanghari dengan perusahaan sawit PT. Asiatik dan antara masyarakat Tungkal Ulu (Merlung) Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan perusahaan kertas PT. Wira Karya Sakti (WKS). Rekonsiliasi antara masyarakat dan perusahaan telah melibatkan semua komponen tiga tali sepilin, perdebatan panjang dan tarik menarik kepentingan tak dapat dihindari. Bahkan negosiasi antara pihak pemerintah daerah, lembaga adat, dan PT. Asiatik di kabupaten Batanghari justru berakhir pada kasus suap yang memasuki ranah hukum pidana. Di sini terlihat jelas bahwa praktik adat bersendi syarak yang awalnya hanya dimanfaatkan sebagai modal simbolik di level kultural secara perlahan bergeser nilai dan fungsinya di level ekonomis. Posisi yang tidak melulu merujuk pada posisi struktural di mana Pemangku Adat hendak melengserkan posisi Pegawai Syarak atau Pemerintah Desa, tetapi lebih merepresentasikan suatu kondisi dimana semakin banyak social recognition yang diperoleh, semakin besar kesempatan mempengaruhi ‗struktur berpikir‘ masyarakat di sekitarnya. Inilah yang dikatakan Bourdieu mengenai pergeseran modal dari modal

204 yang satu ke modal lain seperti ekonomi dan seberapa kuat resistensi antar agen politik itu—menurut Bourdieu— bergantung pada seberapa banyak modal yang mereka miliki. Untuk mendapatkan posisi ‗strategis secara kultural‘ itu, mereka perlu menerapkan strategi, upaya seseorang untuk mendapat pengakuan atau sebagai produk intuitif pengetahuan tentang aturan permainan di dalam ranah tertentu. Dalam konteks politik-ekonomi, strategi ini bisa berbentuk strategi reproduksi dan strategi penukaran (reconversion). Kedua strategi ini sama-sama dimaksudkan untuk memperoleh sumber daya dan/atau dukungan masyarakat, sekali lagi pengakuan sosial, yang lebih luas di kalangan penduduk Jambi. Strategi reproduksi, ditunjukkan melalui akumulasi praktik adat bersendi syarak dan akumulasi wacana tentang adat bersendi syarakitu sendiri. Mereka yang mendukung posisi dan atau disposisi Pemangku Adat terus menerus melakukan praktik tersebut, sehingga dimungkinkan menjadi model bagi masyarakat lain. Begitu pula, setiap kali Pemangku Adat diwawancarai oleh orang asing terkait dengan mitos itu, ia juga terus mengakumulasi wacana untuk memastikan bahwa posisinya secara politik tak tergantikan di wilayah Jambi. Hal yang sama juga dilakukan oleh para pemuka agama dan/atau ormas lain. Hal ini bisa dilihat dari keterlibatan Junaidi T. Noer, Hasip Kalimuddin Syam dan Azra‘i al-Basyari, Fathuddin Abdi, M. Zen dan Samsul dalam berbagai momen seremonial yang digelar oleh pemerintah daerah. Terlepas dari pro dan kontra atau bahkan kekecewaan internal dan eksternal kelembagaan adat, yang terpenting kelembagaan adat memiliki posisi strategis dan modal simbolik yang besar sehingga memungkinkannya menjadi agen atau pemilik kuasa yang diyakini paling legitimate untuk menjelaskan praktik adat. Artinya, posisinya dalam struktur hierarki sosial masyarakat Jambi, yang membuat sebagian besar orang merasa perlu mengkonfirmasi apapun yang terkait dengan praktik adat bersendi syarak. Parson menyebutnya sebagai identitas sosial yang

205 menduduki peran penting dalam menentukan partisipasi seseorang dalam sistem sosialnya.341 Masyarakat yang diwakili kelompok pemerintah, agama, adat memiliki gagasan umum tentang konstruksi sosial terhadap apa yang mereka sebut masyarakat adat, umat, dan warga negara yang bersifat total atau ideal berdasarkan evaluasi moral mereka masing-masing.342 Dalam konteks ini, memakai ide Michael E. Brown, maka konstruksi itu menempatkan adat atau nilai-nilai di dalamnya menjadi inisiator, yang pada dinamika lanjutannya menyebabkan konflik, baik untuk mengintegrasi maupun ajang subordinasi semata.343 Sementara itu, strategi penukaran yang—dalam konteks politik praktis—bisa diibaratkan sebagai ‗lobi-lobi politik‘ melalui komunikasi informal, basa-basi, keakraban, dan gurauan. Di belakang, baik Pemangku Adat maupun pegawai syarak boleh saja saling berebut wacana hukum adat dan syarak, begitupula yang terjadi dengan institusi di luarnya berebut pengaruh dalam mengambil hati masyarakat. Namun saat bertemu dan bertatap muka di acara kerapatan adat dan momen seremonial serta rapat dengan pemerintah daerah, misalkan, keduanya menjaga diri untuk memastikan stabilitas masyarakat Jambi. Kolektivitas kultural mereka sudah jelas, mitologisasi ‗adat bersendi syarak; namun individualitas politik mereka juga terang benderang, saling bermain dan berebut pengaruh di belakang arena kekuasaan, agama dan adat Jambi. Begitupula pada praktik adat bersendi syarak, awalnya diapropriasi sebagai bagian budaya, bahkan sebagai faktor determinan yang memproduksi budaya itu sendiri, akhirnya tak lebih menjadi arena pertarungan politik. Sejarah mencatat bagaimana pertarungan muncul sejak Jambi dipimpin Puteri Pinang Masak yang beragama Hindu dan Ahmad Salim yang beragama Islam, keduanya menikah dan berhasil ―meng-Islamkan‖ kerajaan Melayu, klimaksnya masa Ahmad Kamil hingga munculnya otoritas

341Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi ..., 986. 342Ibid., 743. 343Sebagaimana dikutip oleh Samsul Hadi dalam ―Disintegrasi Pasca Orde Baru‖, (Jakarta: Yayasan Obor, 2007), 23.

206 pemerintah Belanda yang berupaya ―mengkerdilkan‖ syarak melalui politik hukumnya. Begitupula otoritas pemerintah masa modern dan pemerintah daerah yang juga ikut andil dalam pembentukan praktik adat dan syarak. Selanjutnya, bisa dilihat Jambi dibentuk oleh serangkaian diskursus politik dari para agen sejarah yang berbeda, sehingga berada di tapal batas antara politik dan kebudayaan. Singkatnya, Jambi berada dalam subordinasi genealogis antara Hindu (yang diwakili oleh Putri Pinang Masak, yang kini menjelma menjadi para pemangku adat), Islam (yang diwakili oleh Ahmad Salim, yang kini menjelma sebagai lembaga syarak), dan nilai-nilai sekular (diwakili oleh pemerintah daerah). Pada titik ini, harus mengamini apa yang dikatakan Foucault genealogi pengetahuan itu ternyata tak lepas dari pengaruh kekuasaan.344 Demikian pula, Jambi diproduksi oleh agen-agen sejarah yang—meski tak bertemu langsung—terlibat dalam pertarungan simbolik, dan pertarungan itu kini mematerialkan diri menjadi pertarungan politik. Hal ini pula yang tampaknya menjadi alasan mengapa praktik itu menjadi sejenis ‗diskursus‘ yang terus diperebutkan oleh subjek-subjek politik demi mencapai kepentingannya masing-masing. Kepentingan di sini bukanlah kepentingan perebutan jabatan administratif (job atau artefak), melainkan minat tak sadar (uncounsciousness interests) atau sejenis ideologi untuk mengakumulasi modal masing- masing. Sederhananya, sebagaimana yang sudah disebutkan di muka, kepentingan di sini adalah ruang sosial yang memiliki daya tarik tersendiri bagi peminatnya, baik secara sadar maupun tak sadar untuk merebut social recognition. Perebutan itu bisa dilakukan secara terang benderang ataupun samar-samar misalnya menolak wacana simbolik atau disposisi yang dimiliki oleh subjek lain. Karena arena yang dihuni oleh subjek itu adalah kebudayaan, lebih tepatnya ―praktik adat bersendi syarak,

344Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, (London: Tavistock,1972), 117.

207 syarak bersendi Kitabullah dan undang datang Hulu, Teliti dari Hilir‖ sebagai habitus kultural, tidak mengherankan jika pertarungan simboliknya lebih kuat dibanding pertarungan struktural. Pertarungan antar kekuatan simbolik—atau meminjam istilah Foucault ‗kekuatan diskursus‘—itu sudah dijelaskan di bagian awal. Politik selalu mensyaratkan perebutan posisi dan sumber daya, yang dijalani setiap tokoh yang memiliki posisi struktural di masyarakat Jambi, demi mengakumulasi modalnya masing- masing, dengan keterlibatan dalam strategi reproduksi dan pertukaran. Sumberdaya dan posisi tersebut bahkan tidak hanya berwujud ruang immaterial melainkan materi itu sendiri.

D. Relasi Kuasa Internal dan Eksternal Kelembagaan Adat Menurut Bourdieu, kekuasaan pada level teoritik adalah kemampuan mempengaruhi orang lain atau kemampuan menentukan keputusan sehingga orang lain mengikuti keputusan tersebut sesuai dengan kehendak yang membuat putusan.345 Kekuasaan selalu menjadi paradigma dalam menilai atau menganalisis suatu kebijakan beserta aturan yang terikat di dalamnya, yang termanipestasikan dalam hubungan simetris dan asimetris. Hubungan simetris berkaitan dengan persahabatan, hubungan sehari-hari, dan hubungan bersifat ambivalen. Sedangkan hubungan asimetris berkaitan dengan popularitas, peniruan, mengikuti perintah, tunduk pada pemimpin formal atau informal dan lainnya. Oleh karenanya, kekuasaan idealnya tidak berdiri sendiri dan menuntut otoritas lain sebagai pendukung seperti agama (syarak) dan adat (solidaritas sosial). Kekuasaan, agama dan adat terintegrasi dan mengakar dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi, seyogyanya bernaung dalam lembaga Pemerintah Daerah (Pemda), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Adat Melayu (LAM). Kekuasaan sebagai refresentasi dari kepentingan

345Pierre Bourdieu, Mengungkap ..., 27.

208 penguasa, kepentingan agama, dan kepentingan masyarakat adat, yang membutuhkan sinergitas dan relasi. Wujud kongkret dari kerjasama kolaboratif organ ini terlihat ketika kelembagaan adat pada level desa dihadapkan pada kasus yang harus diselesaikan, setelah menerima laporan atau pengaduan atas laporan masyarakat pemangku adat sesuai mekanisme menentukan jadual rapat dengan mengundang unsur tiga tali sepilin, yaitu; representasi pemerintah diutuslah aparat desa atau Badan Perwakilan Desa (BPD), representasi pegawai syarak diutuslah alim ulama/ imam/khatib/bilal, dan representasi adat diutuslah nenek mamak/tuo tengganai. Sekaligus wujud pemberdayaan berbagai potensi yang ada di sekitar dengan melaksanakan kepemimpinan kolegial (collegial management). Menurut Junaidi T. Noer, forum tiga tali sepilin merupakan sarana masyarakat adat menyampaikan aspirasi, keluhan, permasalahan dan meminta nasihat atau petuah. Selama ini segala persoalan yang ditengahi melalui kerapatan adat selalu sukses tanpa ada pihak yang merasa dirugikan atau dizalimi. Karena penyelesaian kasus melalui mekanisme yang tepat dan mengedepankan prinsip keadilan dan kompromi serta kerjasama antar ketiganya harmonis. Harmonisasi organ kelembagaan adat tersebut sejak awal berdirinya kerajaan Melayu tetap terjaga karena semuanya merupakan utusan pilihan dari kelompok masing-masing. Meskipun, seiring perkembangan zaman dan perubahan nomenklatur pemerintahan serta bermunculannya kasus baru yang belum tercover dalam aturan adat. Disparitas dan volume kerja yang terus mengalami dinamika mempertanyakan integritas dan kompetensi organ bahkan institusi ini mempoduksi hukum utamanya syarak, mengingat telah ada institusi yang mengurusi persoalan tersebut sebut saja Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi. Menurut Herman saatnya mereformulasi konsep pegawai syarak mengingat di lapangan banyak pegawai syarak dalam kelembagaan adat yang kapasitas keilmuan agamanya belum mumpuni untuk

209 melakukan ijtihad.346 Pandangan serupa dilontarkan oleh Dahlan Malik, MHI., menurutnya selama ini penentuan pegawai syarak terkesan hanya didasarkan pada kegiatan ritual ibadah seperti; imam shalat, pembaca doa, khatib atau bilal bukan pada profesional pemahaman keilmuan agama sebagaimana yang dipersyaratkan ulama terdahulu (salafi). Ditambahkan KH. Lohot Hasibuan penetapan pegawai syarak sebagai keterwakilan ulama harus diperketat sesuai dengan standar minimal ulama seperti bisa membaca kitab sebagaimana pegawai syarak terdahulu yang merangkap ulama pada suatu wilayah bahkan bergelar Tuan Guru.347 Ditambahkan Pakdo Ismail konsep awal pegawai syarak secara historis adalah orang yang mendampingi penguasa agar mengimplementasi syarak sekaligus memberi masukan kepada penguasa. Berawal dari kebijakan Ahmad Kamil pada setiap kampung harus ada pegawai syarak, sebagai ujung tombak mengawal pemberlakuan syarak dan memberi nasihat atau masukan kepada kepala kampung, marga, Mendapo, Rio dan seterusnya seturut ke atas sesuai pangkat dan jabatan, membantu mereka menyelesaikan berbagai kasus yang dihadapi serta memverifikasi adat setempat untuk disesuaikan dengan prinsip ajaran Islam.348 Dengan kata lain, pegawai syarak adalah ulama yang memiliki kapasitas keilmuan agama yang mumpuni, utusan raja dan mendapat gaji bulanan dari kerajaan serta berhak melakukan ijtihad sehingga melahirkan fatwa adat dan fatwa hukum.349

346Wawancara, Ka-Kan Kemenag Batanghari, 2 Maret 2016. 347Wawancara, Tokoh masyarakat Jambi, 27 April 2016. 348Wawancara, Tokoh Adat Pemayung Batanghari, 2 Mei 2016. bermakna : petuah, nasehat dan jawaban terhadap الفتوى 349Fatwa suatu pertanyaan. Dapat juga dipahami sebagai suatu pendapat yang diperoleh melalui ijtihad sebagai respon terhadap suatu kasus hukum yang muncul melalui peminta fatwa dan ketetapannya tidak mengikat. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak punya daya ikat namun dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk membuat suatu putusan, banyak peraturan perundang-undangan yang memberikan otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa yang dijadikan rujukan bagi negara dalam mengambil keputusan baik dalam

210

Selain itu, setelah lahirnya organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975 tugas melahirkan fatwa beralih kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), idealnya segala persoalan yang terkait dengan syarak diselesaikan melalui institusi ini. Namun, pada praktiknya justru institusi ini tidak pernah dilibatkan dalam menetapkan fatwa adat. Hal ini sebagaimana diakui oleh A. Tarmizi, M. Samin, Husin Abdul Wahab, Ikbal dan Herman, selaku pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama kami tidak mendapatkan konfirmasi atau undangan dalam rapat adat untuk menyelesaikan kasus atau meminta fatwa, meski kami sering berjumpa dalam momen tertentu.350 Kenyataan ini sebenarnya juga terjadi pada organ kelembagaan adat, dimana menueurt pengakuan Alwi Jufri, Ahmad Ridwan, dan Saiful pegawai syarak pada beberapa wilayah, menurut mereka dalam sidang kerapatan adat pegawai syarak hanya memberikan pertimbangan dan argumentasi namun kata putusnya didominasi putusan adat dan bergantung pada pemangku adat.351 Pertimbangan yang diberikan berpijak pada argumentasi aturan Islam, namun tidak semua diterima dan diimplementasikan. Menurut Fathuddin Abdi, patut diakui pada beberapa kasus baru aturan adat perlu dibenahi karena sudah melenceng dari prinsip syarak. Oleh karenanya, melalui musyawarah adat dikaji kembali persoalan yang perlu dilurus-benarkan agar jangan terjadi kesalahfahaman dan permasalahan ideologis masyarakat. Di samping itu, pembentukan hukum, kebijakan maupun peradilan. Hal ini dapat dilihat pada hukum materil yang memberlakukan syarak sebagai acuan dalam lalu lintas hukum bidang keuangan dan perbankan, asuransi, surat berharga syari‘ah, jaminan produk halal dan lainnya. Sedikitnya terdapat 87 fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjadi rujukan hukum dalam bisnis syari‘ah. Lihat Lihat Ibn Mandzur, Lisân ..., IV, 175; Abu Husain, al-Mu‘tamad fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1975), 357; Hamdan Zoelva, Eksistensi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Bingkai Kenegaraan, disampaikan pada seminar Nasional IAIN STS Jambi, 10 Mei 2016, 3. 350Wawancara, Pimpinan MUI dan Kemenag Kota Jambi dan Kabupaten Batanghari, 5-8 Mei 2016. 351Wawancara, Pegawai Syarak Kelurahan Beringin, Loundrang, Sungai Baung Kota Jambi, Batanghari dan Sabak, 9-11 Mei 2016.

211 pimpinan adat dan pegawai syarak sudah banyak yang mumpuni mengkaji persoalan keagamaan tersebut.‖352 Statemen ini mendeskripsikan ―kurangnya sinergitas‖ institusi ini dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang dihadapi dengan institusi di luarnya. Keterlibatan ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi dan Kementerian Agama kalaupun dilibatkan hanya sebatas saksi untuk mendengarkan hasil putusan adat (fatwa adat), bersamaan dengan undangan lainnya seperti; polsek, koramil, forum dai dan tokoh masyarakat. Idealnya kelembagaan adat menjalin hubungan interaktif-konektif secara internal namun juga dengan institusi eksternal utamanya yang terkait langsung dengan putusan yang dilahirkan seperti Majelis Ulama dan Kementerian Agama. Secara implisit ini merefleksikan terjadi pergulatan kuasa antar ketiganya dan institusi di luarnya, meskipun sejauh ini masih dalam batas wajar. Indikasinya belum dijumpai konflik apalagi konprontasi secara prontal dan saling menjatuhkan. Dengan demikian, sedikitnya ada lima proposisi terkait relasi kuasa (kekuasaan): Pertama, kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan sebagai sesuatu yang digenggam atau bahkan punah; tetapi kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dengan relasi yang terus bergerak. Kedua, relasi kekuasaan bukanlah relasi struktural hierarkhis yang mengandaikan ada yang menguasai dan dikuasai. Ketiga, kekuasaan itu datang dari bawah yang mengandaikan tidak ada lagi distingsi binary opositions karena mencakup dalam keduanya. Keempat, relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif. dan Kelima, dimana ada kekuasaan, di situ pula ada anti kekuasaan (resistance). Resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan itu, setiap orang berada dalam kekuasaan, tidak ada satu jalanpun untuk keluar darinya.353

352Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Batanghari, 22 Mei 2016. 353Michael Foucault, Discipline and Punish; The Birth of the Prison, (Pantheon: Penguin Book, 1975), 93.

212

Terlepas dari tarik menarik tersebut, yang relasi internal kelembagaan adat Melayu Jambi secara umum baik dan terbukti dapat mempersatukan masyarakat dalam ikatan politik, agama dan adat melalui forum tiga tali sepilin. Ditambah dengan minat masyarakat yang cukup tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus melalui kelembagaan adat. Kekuasaan yang dimiliki kelembagaan adat merupakan wujud dari kekuasaan, meminjam istilah weber kekuasaan tradisional.354 Kekuasaan yang telah mengakar di daerah Jambi dalam perspektif adat telah turun temurun bahkan menjadi tradisi yang melembaga. Meskipun, secara kelembagaan tidak semua organ kelembagaan adat memiliki hierarki instruktif-koordinatif sebagaimana Pemerintah daerah (Pemda) dan Lembaga Adat Melayu (LAM).

E. Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Kepentingan Pemerintah, Syarak, dan Adat Kuasa simbolik (symbolic power) menurut Bourdieu adalah kuasa mengubah sesuatu dan menciptakan realitas, yakni mengubah dan menciptakannya agar diakui dan dikenal secara absah. Kuasa simbolik yang terjadi pada suatu ranah pada akhirnya membentuk suatu habitus, yang dibuat dan direproduksi secara tidak sadar sehingga diterima oleh masyarakat, meski di dalamnya terjadi negosiasi bahkan

354Menurut Weber ada tiga tipe kekuasaan, yaitu; kekuasaan tradisional, rasional-legal, dan kharismatik. Pada konteks pertama Kekuasaan Tradisional, menurut Weber berada dalam tata sosial yang bersandar pada kebiasaan-kebiasaan lama dimana status dan hak pemimpin ditentukan adat kebiasaan serta memerlukan unsur kesetiaan pribadi (personal attachment) yang menghubungkan ―tuan‖ dan ―hambanya‖. Aturan-aturan yang menghubungkan mereka biasa- nya tidak tertulis, namun masing-masing saling memahami tentang posisi dan apa yang harus dilakukan.Tipe-tipe Weber tersebut dikaitkan dengan bentuk aksi sosial dan hubungan sosial yang menjadi ciri khas berbagai kelompok masyarakat. Memang tipologi yang dirumuskan Weber diletakkan dalam konteks kepemimpinan (politik). Namun, karena kepemimpinan tidak dapat dilepaskan dari otoritas, maka tipologi ini juga bisa kita adaptasi dalam melihat otoritas keagamaan. Sebagaimana dikutip April Carter, Otoritas ..., 54-56..

213 subordinasi dalam memproduksi hukum dan memperebutkan kuasa atau kepentingan. Penggunaan idiom-idiom dan simbol-simbol serta logika, kekuasaan, keagamaan dan adat sebagai bentuk kuasa simbolik yang pada akhirnya merupakan bentuk hegemoni dengan mengatasnamakan kepentingan politik, agama dan adat.355 Kenyataan ini sering disaksikan dalam berbagai momentum seperti; pemilukada, bisnis advertising, penggunaan stiker dalam al-Qur‘an dan surat yasin, sarana pendidikan, pengalihfungsian tempat ibadah, tempat pemakaman umum (TPU), larangan duduk bersanding saat akad nikah, dan penistaan asma Allah serta penguatan terhadap seloka adat. Penulis mengelaborasi kuasa simbolik (symbolic capital) dalam kaitannya perebutan kuasa, meski selama ini secara simbolik pemerintah, adat dan syarak terintegrasi

355Hegemoni adalah dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga gagasan-gagasan yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar (common sense). Teori ini menekankan bagaimana penerimaan kelompok terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam proses damai, tanpa reaksi kekerasan. Proses marjinalisasi wacana berlangsung wajar, apa adanya, dan dikhayati bersama. Khalayak tidak merasa dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui para korbannya, sehingga berhasil dan mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat dipertukarkan. Akan tetapi, berbeda dengan manipulasi atau indoktrinasi, hegemoni justru terlihat wajar, ketika orang menerima sebagai kewajaran dan sukarela. Kebalikannya adalah Counter Hegemoni (hegemoni tandingan), upaya melawan proses memunculkan kepatuhan aktif terhadap penguasa tertentu. Munculnya sikap perlawanan dikarenakan membaiknya aspek kognisi masyarakat, mencairnya hubungan negara dan rakyat karena adanya faktor yang melahirkan keterbukaan, dan nilai-nilai kepatuhan yang ingin didoktrinasi berseberangan dengan nilai-nilai yang lebih sakral maupun universal. Lihat Roger Simon, Gramsci‘s Political Thought, terj. Kamdani dan Imam Baehaqi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 19-22; Muhammad A.S. Hikam, Bahasa dan Politik: Penghampiran ―Discursive Practice‖, dalam Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Editor Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, (Bandung : Mizan, 1996), 77.

214 serta terjalin hubungan harmonis-interaktif. Kasus simbolik yang terjadi di Jambi, terkait dengan dominasi pemerintah, agama dan adat, di antaranya:

Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Pemerintah Pemerintah (Penguasa) adalah organisasi yang mempunyai kekuatan besar dalam suatu negara mengurus masyarakat, territorial dan kekuasaan dalam rangka mencapai tujuan Negara. Tahapan membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan dalam masyarakat berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan terkait dengan kondisi masyarakat dinamakan politik. Intervensi politik bahkan ‘politisasi‘ terhadap persoalan sosial keagamaan sejauh ini merupakan hal yang lumrah dan dianggap epektif dalam upaya memobilisasi berbagai kepentingan politik pihak tertentu. Sejak abad ke-14 Islam Ahmad Salim dan putranya Ahmad Kamil menggunakan kekuatan politik berhasil memadukan adat dan syarak dan mengkolaborasikan dua sistem pemerintahan Tumenggung (otokrasi) dan Perpatih (demokratis) sehingga melahirkan konfigurasi hukum dan sistem pemerintahan kolaboratif. Praktik ini berlanjut masa kolonial Belanda yang membatasi wilayah cakupan syarak hanya pada persoalan perdata dan mengabaikan hukum pidana adat. Sementara dalam bidang ―pemerintahan‖ pemerintah Belanda mengambil alih secara total dan kelembagaan adat tetap dihidupkan mengimbangi bahkan mempersempit gerak syarak. Klaim tersebut didasari kekhawatiran politis terhadap kelompok militan Islam, meski faktanya masyarakat adat justru mengafirmasi hukum pidana Islam agar beradaptasi dengan aturan-aturan adat. Mereka menggunakan istilah ―tikam bunuh‖ untuk menyatakan aturan qişâş, semua bentuk pelanggaran hukum dikenakan sanksi adat berupa ―denda adat atau pampas‖. Klimaksnya, terjadi politisasi syarak dengan menjadikan syarak sebagai hukum yang berada di balik adat atau berada di bawah bayang-bayang adat. Politisasi dalam konteks ini adalah upaya organ kelembagaan adat di Jambi menjadikan aspirasi mereka

215 diakomodir dan bertahan terus akhirnya menurut Bourdieu membentuk habitus. Konsep ini juga dapat dilihat pada budaya patrimonial dalam budaya masyarakat Jawa, dimana ketundukan rakyat pada raja (penguasa) dan tabu menentang segala titah raja. Pemimpin (raja, penguasa, pemerintah) merupakan titisan Tuhan di muka bumi dan budaya patrimonial pada pemerintahan orde baru dengan sistem pemerintahan otoriter. Semua struktur pemerintahan terpusat di bawah tampuk komando Soeharto, segala titah Soeharto harus dilaksanakan. Budaya ―bapakisme‖ atau asal bapak senang sudah terinternalisasi selama 32 tahun. Kasus yang juga terkait dengan dominasi politik adalah kasus pengalihfungsian tempat pemakaman umum (TPU), dimana pada tahun 1992 atas permintaan pemerintah daerah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi mengeluarkan fatwa tentang kebolehan membongkar kuburan Muslim (tempat pemakaman umum) yang bertempat di Kelurahan Sungai Puteri Kecamatan Telanaipura. Argumentasi melegalkan putusan ini dimana letak tempat pemakaman umum (TPU) tersebut dianggap sangat strategis guna pengembangan Kota Jambi karena berdekatan dengan jalan protokol. Keputusannya lebih baik dimanfaatkan bagi pembangunan sarana prasarana sosial untuk kepentingan umum (maşlahah al-Ammah), meskipun kenyataanya di atas tanah tersebut justru berdiri Gedung Mercusuar yakni Hotel Tepian Ratu, yang saat ini berganti nama menjadi "Ratu Convention". Fatwa ini mengundang reaksi keras dan tendensius dari kalangan ulama salaf dan sebagian masyarakat agamis karena dianggap sangat menyinggung perasaan pihak keluarga yang anggota keluarganya dimakamkan pada pemakaman ini.356 Implikasi negatif lain yakni terjadi krisis

356Guru Zaini merupakan salah seorang ulama salaf yang bermukim di seberang Kota Jambi sebagai salah seorang ulama yang sangat terkemuka dan berpengaruh saat itu, beliau merasa sangat tersinggung dengan lahirnya fatwa tersebut dan sempat berkirim surat dengan menggunakan Bahasa Arab bernada tendensius kepada Ketua

216 kepercayaan atau memudarnya pencitraan positif terhadap eksisitensi lembaga dan ulama utamanya yang berada dalam lingkaran institusi ini.

Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Agama Agama sebagai sistem simbol berperan mengukuhkan suasana hati dan motivasi yang kuat serta mendalam pada setiap diri manusia dengan memformulasikan konsepsi tentang tatanan umum eksistensi dan membungkus konsepsi itu dengan aura aktualitas bagi perasaan dan motivasi realistis. Artinya, simbol keagamaan memformulasikan adanya kesesuaian mendasar tentang tipe kehidupan partikular dengan pola pikir yang mensistesis tradisi, gagasan, estetika, nilai-nilai spiritual. Selain itu, simbol agama mengandung makna yang dapat dielaborasi dengan berbagai cara salah satunya melalui ritual.357 Kuasa simbolik yang mengatasnamakan agama juga terjadi di Jambi ketika beredarnya al-Qur'an bergambar kandidat gubernur di Provinsi Jambi menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) Mei 2005, melahirkan polemik berkepanjangan di kalangan umat Islam Jambi. Kasus cover al-Qur'an bergambar yang menuai respon pro dan kontra dari berbagai lapisan masyarakat Jambi.358 Kelompok yang pro diwakili oleh Sulaiman Abdullah, Said Magwie dan kawan-kawan beragumentasi bahwa al-Qur'an tersebut murni sumbangan, dan karena jauh dari masa Pilkada berkisar delapan bulan, terhitung dari 30 Oktober 2004 sampai proses pemilihan 12 Juni 2005, maka al-Qur'an tersebut bukan untuk Pilkada. Dan hanya ditempeli sticker dengan photo ZN 1 dimensi dan berupa pas photo, bukan melalui proses cetak al-Qur'an secara keseluruhan

Komisi Fatwa dan menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi. 357Haidar Nasier, Atas Nama Agama, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), 172-173. 358Naskah fatwa MUI No.05/KP-MUI/II/1992 dan No.01/KP- MUI/VI/2005

217 bersamaan dengan photo sejak awal.359 Kelompok yang kontra dan ekstrim diwakili Chatib Quzwain, Buya Satar, Ahmad Tarmizi Sibawaihi, Husin Wahhab dan kawan-kawan berpandangan tindakan mencantumkan gambar pada kitab suci pada cover al-Qur'an salah satu bentuk penghinaan (Ihânah) terhadap al-Kitab Suci Qur'an dan bahkan bentuk ke-kufuran, zhalim, penistaan agama dan sebagainya dengan menggunakan argumentasi tertentu.360 Sedangkan kelompok moderat berargumentasi tindakan ini bukan implementasi dari penghinaan terhadap al-Qur'an ansich apalagi sampai kufr, bahkan status hukum yang terjadi hanyalah mubah (boleh) dengan argumentasi yang lain lagi. Paling tidak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi telah menggunakan simbol politik dan agama untuk mengabsahkan putusannya. Simbol ini dianggap memiliki kekuatan membentuk, melestarikan, dan mengubah realitas sehingga mengandung energi magis yang bisa membuat orang percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh tata simbol. Bahkan kekuatan simbol mampu mengarahkan siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah persepsi hingga sampai pada tingkah laku seseorang, kelompok saat bersentuhan dengan realitas. Daya magis simbol tidak hanya terletak pada kemampuannya merepresentasikan kenyataan, tetapi realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan makna- makna simbol. Dalam mengapresiasi bentuk-bentuk simbol, individu-individu terikat dalam proses pembentukan (constituting) dan pembentukan kembali (reconstituting) makna yang sedang berlangsung. Keterikatan tersebut dapat menjelaskan logika dan praktik permainan sosial yang dipadati semangat kompetisi antar agen/pelaku sosial. Ini semua dilakukan untuk menguak pertarungan antar

359Subhan MA Rahman, Pergulatan Wacana ..., 20. 360Kasus penistaan agama (Ihanah al-Din) dan simbol-simbol agama merupakan perbuatan pelanggaran tindak pidana sebagaimana termuat dalam pasal 156 dan 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

218 kuasa yang dijalankan agen/pelaku sosial dalam berbagai posisi yang ditempati, maupun yang sedang memperebutkan posisi-posisi tertentu.361 Selain itu, dengan memberikan fatwa boleh (mubah) tersebut, jelas Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki dan memainkan modal religius, sejenis disposisi objektif yang kepadanya masyarakat dibuat percaya objektivitas pernyataan mereka tentang kebolehan itu. Di sini, umat Muslim yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung fatwa tersebut, yang jelas posisi mereka tetap berpijak pada agensi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memonopoli diskursus itu dalam konteks keberagamaan masyarakat Jambi yang lebih luas. Mereka melihat fatwa itu sebagai hukum, bukan mitos. Kedua bentuk fatwa kontroversi tersebut mengatasanamakan pemerintah ataupun agama menuai kritikan tajam terhadap eksistensi dan kinerja Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi, yang selama ini dipercaya sebagai wadah atau kumpulan ulama yang sangat dihormati. Meski, menurut pengakuan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi, putusan tersebut tidak dipengaruhi oleh pihak manapun dan sudah sesuai dengan ketentuan Islam.362 Namun putusan kontroversial tersebut tetap melahirkan polemik yang cukup dilematis bahkan membuat sebagian masyarakat Jambi ada yang pro maupun kontra. Respon tersebut sampai pada mobilisasi umat dan massa, meski dipandang wajar dalam proses politik manapun terutama bagi masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh agama dan adat, meski dikhawatirkan melahirkan polemik lanjutan antar keduanya. Persoalannya masyarakat Muslim Jambi dibuat tidak sadar (miss- recognized) fatwa tersebut hakikatnya hanya menguntungkan pihak tertentu yaitu pemerintah dan pemuka Majelis Ulama Indonesia (MUI). Merekalah yang memonopoli fatwa itu sebagai produk religius demi menjaga

361Pierre Bourdieu dan Wacquant JD., An Invitation to Reflexive Sociology, (Chicago: University Press, 1992), 75. 362Wawancara, Ketua MUI Jambi, 22 Juli 2015.

219 akumulasi kerja simbolik yang berkelanjutan. Mereka inilah sebagai religious specialists (para spesialis agama) yang dianggap berwenang menentukan ‗versi religius‘ fatwa tentang al-Qur‘an bergambar di Jambi, pengalihfungsian Tempat Pemakaman Umum (TPU), dan lainnya.

Kuasa Simbolik Mengatasnamakan Adat Proses adaptasi antara adat dan syarak di Jambi tidak serta merta menjadikan adat yang ada berubah secara totalitas, simbol adat tetap eksis dan bahkan mengalahkan simbol agama meski filosofinya mengedepankan agama melalui syarak sesuai falsafah adat. Kuasa simbolik mengataskan- namakan adat tetap terjadi dan dianggap wajar padahal simbol inilah yang memiliki kekuatan membentuk, melestarikan, dan mengubah realitas sehingga mengandung energi magis yang bisa membuat orang percaya, mengakui, serta tunduk atas kebenaran yang diciptakan oleh tata simbol. Bahkan kekuatan simbol mampu mengarahkan siapapun untuk mengakui, melestarikan atau mengubah persepsi hingga sampai pada tingkah laku seseorang, kelompok saat bersentuhan dengan realitas. Pertama, Praktik Cuci Kampung, meski bukan merupakan hal baru dalam budaya masyarakat Melayu, bahkan juga berlaku di daerah yang dihuni etnik Melayu lainnya seperti; Minangkabau, Bengkulu dan Palembang. Namun, bagaimana tradisi tersebut diimplementasikan dan berdampak terhadap persoalan ideologis dan sosiologis itu yang menjadi pertanyaan. Mengingat substansi dari pesan hukum terkesan bergeser atau bahkan terabaikan, menurut Abdul Hamid kami sepakat dengan sanksi bagi pelanggar aturan adat, namun perlu kejelian dan obyektivitas dalam penerapan sanksi adat. Seperti aturan yang melarang lelaki dan perempuan yang berduaan harus cuci kampung meski belum tentu berbuat zina, ditambah prioritas sanksi berupa denda adat cuci kampung bukan menikahkan kedua belah pihak.363

363Wawancara, Tokoh Adat Kampung Manggis, 13 Mei 2016

220

Ditambahkan Syarifuddin, akhir-akhir ini denda adat tersebut yang katanya atas kesepakatan lembaga adat digantikan dengan uang untuk dialihkan ke kepentingan umum dan sosial. Pelaku tidak mesti nikah asal membayar denda adat, praktik ini tidak sesuai lagi dengan apa yang dipraktikkan oleh tua-tua adat tempo dulu.364 Statemen ini mengindikasikan adanya kritik atas kebijakan tokoh adat yang ditengarai ―inkonsisten dan kurang obyektif‖ dalam menerapkan hukum melalui kelembagaan adat. Terlebih kasus zina merupakan bagian dari kasus hudud yang harus disikapi secara serius dan hati-hati karena menyangkut nama baik korban beserta keluarga. Selain itu, polemik tentang penerapan tradisi cuci kampung yang terkesan ―semaunya‖ dan berlaku pada hampir seluruh bentuk pelanggaran adat. Kedua, Larangan Duduk Bersanding, pada tahun 2014 dimana lembaga adat Melayu Kaupaten Batanghari mengeluarkan fatwa adat tentang larangan duduk bersanding bagi pasangan yang sedang melaksanakan akad nikah.365 Fatwa adat tersebut berlaku bagi seluruh warga masyarakat yang berdomisili di wilayah Kabupaten Batanghari, menurut Fathuddin Abdi ada banyak fenomena yang terjadi di masyarakat yang memerlukan inisiasi atau kebijakan dari tokoh adat menyikapinya tentunya melalui fatwa adat. Dalam rangka merespons fenomena inilah lembaga adat Melayu Kabupaten mengkaji dan menetapkan beberapa putusan sebagai panduan bagi masyarakat. Fatwa tentang larangan duduk bersanding bagi pasangan yang melaksanakan akad nikah, karena duduk berduaan lelaki

364Wawancara, Pegawai Syarak Desa Dusun Aro, 15 Mei 2016 365Ada beberapa fatwa adat yang dikeluarkan oleh Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Batanghari yang menyatakan larangan; duduk bersanding saat akad nikah, poto pra wedding, dan menuliskan kalimat bismillah dalam undangan pernikahan, mencantumkan foto dalam Surat Yasin, mewajibkan bagi anak rantau yang menikah di Batanghari memiliki ayah angkat dan lainnya, namun fatwa tersebut ada yang bersinggungan dengan kompetensi institusi di luarnya sehingga menuai pro dan kontra di masyarakat, begitupula sebaliknya.

221 dan perempuan hakikatnya dilarang oleh agama, sedangkan agama menjadi sendi adat masyarakat Batanghari.366 Meskipun pada akhirnya fatwa tersebut menuai kritik dari pimpinan Kementerian Agama Kabupaten Batanghari karena dianggap menyulitkan pihak Kemenag di lapangan, utamanya Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Menurut Herman, seyogyanya sebelum mengeluarkan fatwa, pimpinan lembaga adat berkoordinasi dengan Kementerian Agama yang berkompeten mengurusi persoalan pernikahan. Terlebih fatwa tersebut menyebabkan pihak Penghulu kesulitan mendapatkan informasi intensif mengenai status dan persetujuan mempelai perempuan, mengingat pejabat harus memastikan terlebih dahulu pernikahan tersebut apakah atas kesepakatan bersama atau sebaliknya.367 Ditambahkannya pada Bab IV Pasal 6 Peraturan Menteri Agama (PMA) RI Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah dinyatakan bahwa ―Pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.‖ Persetujuan ini tidak bisa diperoleh tanpa menghadirkan pihak mempela perempuan saat akaad nikah. Ketiga, Perdamaian Kasus Penistaan Asma Allah, pada tanggal 25 Desember 2016 terjadi kasus penistaan terhadap Asma Allah yang dilakukan oleh oknum di Hotel Novita Jambi bertepatan dengan momen Natal umat Kristiani. Dimana pihak manajemen hotel membuat ornamen natal dengan menambahkan tulisan lapaz Allah pada alas kaki ornamen tersebut. Atas kasus ini, umat muslim Jambi yang diwakili umat muslim Kota Jambi diikuti oleh kabupaten lainnya tidak terima dan melakukan aksi demo menuntut penutupan Hotel Novita dan meminta aparat hukum mengadili pemilik beserta manajemen hotel serta dihukum seberat-beratnya, karena telah menghina Tuhan umat muslim, yang notabene mayoritas di Jambi. Mengamati

366Wawancara, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Batanghari, 22 Mei 2016. 367Wawancara, Ka-Kan Kemenag Kabupaten Batanghari, 15 Juli 2015.

222 kondisi ini, pimpinan Lembaga Adat Melayu berinisiasi dan memediasi untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara adat merekomendasikan agar pihak manajemen hotel meminta maaf kepada umat Islam Jambi dan mengadakan acara seremonial cuci kampung sebagai bentuk pelanggaran Sumbang Salah yang difasilitasi oleh pemerintah provinsi dan kota Jambi. Sedangkan aparat hukum diminta tetap memproses kasus pidana ini hingga pelaku diadili sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Rekomendasi lembaga adat direspon positif oleh pemerintah daerah, lembaga adat dinilai tanggap terhadap fenomena yang terkini.368 Meski demikian, pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai persoalan ini tugas mereka, seyogyanya pihak lembaga adat tidak ikut mencampuri apalagi mengambil alih tugas yang bukan domain mereka.369 Alhasil, kelembagaan adat memainkan peran dominan dalam tradisi masyarakat Melayu Jambi dengan melahirkan fatwa adat sekaligus merupakan modal kultural yang memungkinkan untuk diinvestasi, diakumulasi, dan dipertukarkan demi melipat-gandakan profit. Selain itu, kelembagaan adat telah berhasil menggunakan dominasi simbol adat melalui nomenklatur institusi, falsafah, dan organ penentu putusan. Pertama, aspek nomenklatur, sejak masa kerajaan Melayu Jambi nomenklatur institusi yang berkompeten mengurusi persoalan hukum, sosial dan agama adalah kerapatan adat, seiring perkembangan zaman berubah menjadi lembaga adat provinsi Jambi dan terakhir Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi. Ditambah dengan hierarki institusi dan peradilan adat yang begitu mapan. Kedua, aspek falsafah, yang menjadi icon budaya Melayu-Islam falsafah ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah.‖ Falsafah inilah yang melahirkan polarisasi adat nan empat¸ yaitu; adat sebenar adat, adat yang teradat, adat yang diadatkan dan adat istiadat, yang tidak hanya

368Wawancara, Ketua Lembaga Adat dan Ketua Laskar Melayu Jambi, 29 Desember 2016 369Wawancara, Sekretaris MUI Kota Jambi, 1 Januari 2017.

223 diklaim oleh masyarakat Melayu Jambi namun juga masyarakat Melayu Nusantara lainnya.370 Daya magis simbol tidak hanya terletak pada kemampuannya merepresentasikan kenyataan, tetapi realitas juga dipresentasikan lewat penggunaan makna- makna simbol. Dalam mengapresiasi bentuk-bentuk simbol, individu-individu terikat dalam proses pembentukan (constituting) dan pembentukan kembali (reconstituting) makna yang sedang berlangsung. Keterikatan tersebut

370Polarisasi adat juga berlaku di Melayu lainnya seperti; Minangkabau, Aceh dan Bugis. Minangkabau mempolarisasi adat kepada empat, sebagaimana di Jambi, yaitu; Pertama, adat nan sebenar adat,yaitu hukum Alam atau Sunnatullah seperti adat tajam melukai, adat air membasahi, adat api menghanguskan dan sebagainya; Kedua, adat nan teradat, yaitu segala aturan yang merupakan karya cipta Datuk Ketumenggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang; Ketiga, adat nan diadatkan yaitu adat setempat; dan Keempat, adat istiadat, yaitu tradisi acara ritual. Sedangkan di Aceh mempolarisasi adat menjadi tiga; Pertama, Adat bak Peuteu Merehum, yaitu tradisi yang merujuk kepada kebiasaan dan tatacara upacara yang berlaku dalam lingkungan istana; Kedua, Hukom bak Syiah Kuala, yaitu merujuk kepada hukum Islam, fikih, atau hukum syariah di bawah kawalan dan pengurusan Syeikhul Islam dan Kadi Malikul Adil, Syah di Kuala; dan Ketiga, Meujeuleueih kanun bak puteu phang, Resam bak bentara-bentara, yaitu atau majelis kanun, atau urusan kanun kebijaksanaan Maharani Puteri Pahang (permaisuri Sultan Iskandar Muda). Keempat, resam bak bentara-bentara, artinya urusan resam (adat tempatan) urusan Panglima, Bentara, atau hulubang (ulebalang) masing-masing wilayah. Dengan kata lain, resam semacam adat yang dijalankan oleh penguasa setempat, atau adat tempatan, dalam tradisi Minangkabau disebut ―adat yang teradat.‖ Adapun di Bugis mempolarisasi adat menjadi lima; Pertama, Ade‘ pura onro, yaitu peraturan yang sudah tetap mengatur hubungan antara raja dengan rakyat disaksikan olah Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat diubah lagi, perubahan dan pelanggaran terhadap adat ini boleh membuat negara runtuh. Kedua, Ade‘ assituruseng yaitu peraturan yang telah disepakati bersama melalui musyawarah boleh diubah harus melalui musyawarah pula; Ketiga, Ade‘ maraja ri arunggo, adalah adat yang berasaskan kepatutan yang berlaku terutama di kalangan raja dan kaum bangsawan; Keempat, Ade‘ abiasane wanuae, yatu adat yang berlaku untuk seluruh rakyat harus didasarkan atas persetujuan bersama dan harus dilaksanakan oleh rakyat; Kelima, Ade‘ tanro anang, yaitu adat yang lahir dari kepala-kepala kampung (tua-tua desa). Lihat Amri Marzali, Adat Categories in Melayu-Nusantaran Culture, diakses tanggal 20 Januari 2017.

224 dapat menjelaskan logika dan praktik permainan sosial yang dipadati semangat kompetisi antar agen/pelaku sosial. Ini semua dilakukan untuk menguak pertarungan antar kuasa yang dijalankan agen/pelaku sosial dalam berbagai posisi yang ditempati, maupun yang sedang memperebutkan posisi-posisi tertentu.371 Keberadaan dan peran institusi ini mendominasi persoalan sosial keagamaan masyarakat sejalan dengan gagasan Snouck Hurgronje dalam teori Receptie-nya, yang menghendaki agar syarak masuk ke dalam adat atau menjadi bagian dari sistem adat dalam konteks ini kelembagaan adat. Institusi inilah yang menjadi korektor sekaligus corong penetapan syarak, artinya syarak yang dipraktikkan masyarakat selama ini hakikatnya bukanlah syarak melainkan adat. Adat sebagai penerima dan syarak sebagai hukum yang datang, syarak berlaku manakala telah diterima atau masuk ke dalam sistem adat dan menjelma menjadi produk adat. Dengan kata lain, sebenarnya kelembagaan adat memainkan peran dominan dalam percaturan sosial dan agama pada masyarakat Melayu Jambi yang melahirkan doxa, yaitu kecenderungan keberpihakan atau lebih menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi dominan mereka sebagai sesuatu yang terbukti dengan sendirinya dan diinginkan secara universal.372 Secara lebih spesifik, Bourdieu menyatakan doxa

371Pierre Bourdieu dan Wacquant JD., An Invitation to Reflexive Sociology, (Chicago: University Press, 1992), 75. 372Doxa merupakan keyakinan fundamental, mendalam, dan tanpa melalui proses pemikiran yang diasumsikan terbukti universal yang menginformasikan tindakan dan pemikiran agen pada ranah tertentu. Doxa cenderung menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi dominan sebagai realitas kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dengan kata lain doxa merupakan hubungan ketaatan langsung yang terjadi dalam praktik antara sebuah habitus dengan ranah dimana ia disesuaikan dan diterima secara given. Lihat Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, terj. dari bahasa Prancis oleh Richard Nice, (Stanford: Stanford University Press 1992), 66-68.

225 merupakan hubungan ketaatan langsung yang terjadi dalam praktik antara sebuah habitus dan ranah dimana ia disesuaikan, diterima begitu saja terhadap dunia yang terjadi secara praverbal yang berasal dari rasa praktis.373 Dalam perspektif maşlahah, menurut asy-Syâtibi ke- maşlahah-an (al-mas}âlih) haruslah merujuk pada dua aspek yaitu: khiţâb syar‘î (epistemologis) dan realitas sosial (waqâ‘i‗ al-wujûd).374 Pertama aspek khiţâb syar‘î (epistemologis), keberadaan kelembagaan adat dan perannya selama ini dalam memproduksi dan mereproduksi hukum merupakan prototipe yang belum ada referensinya dalam studi hukum Islam sehingga tidak ditemukan dalîl khusus mengenai status hukumnya. Kedua, realitas sosial (waqâ‘i‗ al-wujûd), masyarakat Melayu Jambi berkomitmen memberdayakan kelembagaan adat mempraktikkan hukum adat hasil integrasi syarak dengan adat. Begitupula dengan memfungsikan kelembagaan adat sebagai agen memproduksi dan mereproduksi hukum.375 Selain itu, ada status hukum persoalan yang tidak tercakup dalam naşş hukum partikular, sehingga perlu diteliti berdasarkan naşş universal. Pada kasus yang didiamkan Syâri‘ berupa al‘afwu (kema‘afan), ulama memprediksi jawaban terhadap kasus diamnya Syâri‘, dengan menyatakan setiap kasus dijelaskan oleh cakupan makna naşş dan dapat dilacak melalui qiyâs. Dalam konteks undang adat dan kelembagaan adat Jambi, kedua aspek tersebut secara umum telah terpenuhi sehingga dapat disimpulkan bahwa undang adat Jambi dan kelembagaan adat Jambi memenuhi kriteria kemaşlahatan. Menurut asy-Syâtibi adat diklasifikasikan dalam dua bentuk: Pertama, al-‗awa`îd asy-syar‘iyah, yaitu adat yang ditetapkan atau ditiadakan oleh dalîl syarak. Artinya,

373Ibid. 374Teori maşlahah menjadi referensi pemikir hukum Islam kontemporer yang merespons dan menggunakan pemikiran asy-Syâţibî, di antara pemikir dimaksud; Mahmûd Syaltût (w. 1971 M.), Fazlu Rahman (w. 1988 M.), Abdullâh Darrâz dan Wael B. Hallaq. 375Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ Asy-Syâţibî, al-Muwâfaqât ..., Juz II, 44,79.

226 syarak memerintahkan sebagai sesuatu yang wajib atau nadab, atau melarangnya sebagai larangan haram atau makruh, atau syarak memberikan ruang pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan (mubah). Mengingat adat macam yang pertama ini sifatnya tetap, maka ia sama dengan hukum-hukum syarî‘ah yang tetap dan terus-menerus. Undang duapuluh dalam adat Jambi mencakup aspek fikih mu‘amalah (sumbang salah, tipu tepok), munakahat, siyasah (dago dagi, siur bakar) dan jinayat (samun sakai, upas racun, maling curi, tikam bunuh). Kedua, al-‗âwa`id al-jâriyah, yaitu adat yang tanpa ada dalîl syarak secara khusus yang menetapkan atau meniadakannya. Model adat ini dikembangkan dalam kajian tentang hubungan naşş-naşş dengan adat. Asy-Syâţibî mengakui adanya perubahan hukum ketika terjadi perubahan adat, praktik ini dijumpai dalam undang duapuluh, dimana jenis sanksi (denda/pampas) yang dikenakan bagi pelaku maupun kompensasi yang diterima korban atau keluarga korban berbeda dengan ketentuan syarak meski substansinya sama yaitu memberikan hukuman dan epek jera. Seperti cuci kampung dengan membayar pampas bagi pelaku atas segala bentuk pelanggaran tindak pidana perdata, maupun ketatanegaraan yang meliputi; bidang muamalah, munakahat, jinayat maupun siyasah, pada konteks inilah menjadi ruang kajian maşlahah. Pandangan ini sejalan dengan Abd. al-Rahman Taj, yang mengkategorisasi hukum dari perspektif sumber mencakup siyâsah syar‘iyyah dan wad‘iyyah. Siyâsah Syar‘iyyah adalah peraturan perundang-undangan yang bersumber pada wahyu atau agama, sedangkan Siyâsah Wad‘iyyah adalah peraturan perundang-undangan yang bersumber pada manusia sendiri dan lingkungannya, seperti; arâ‘ al-basyar (pendapat ahli atau pakar), ‗urf atau adat, al-tajârib (pengalaman) dan al-auda‘ al-maurusah

227

(aturan terdahulu yang merupakan warisan pendahulu).376 Sumber kedua ini senantiasa berkembang sesuai situasi dan kondisi, ia dapat diterima jika memenuhi kriteria antara lain:377 1. Mutâbaqah (sejalan) dan tidak bertentangan dengan prinsip syariat Islam; 2. Raf‘u al-haraj, tidak memberatkan atau membebani masyarakat di luar kemampuan mereka; 3. Tahqîq al-‗Adâlah, tujuannya menegakkan keadilan; 4. Tahqîq al-masâlih wa daf‘u al-madharr, dapat merealisasikan kemaslahatan dan menghindari kerusakan; 5. Menempatkan manusia pada posisi yang sama di mata hukum dan pemerintahan kecuali pada kasus tertentu; 6. Peraturan atau kebijakan yang ditetapkan harus berpijak pada asas musyawarah. Adapun dari perspektif sosiologi, tugas sosiologi mengeksplorasi produksi, sirkulasi, dan konsumsi berbagai jenis modal ekonomi, kultural, dan—termasuk juga—agama. Namun, berbeda dengan konsepsi tentang ―modal manusia‖ (human capital), ―modal kultural‖ Bourdieu lebih berfokus pada variasi kelas dalam konteks makna dan fungsi modal demi memperoleh tujuan akhir yang diinginkan. Bahkan, Ia melampaui gagasan yang hanya melihat minat simbolik itu sekadar ―perspektif‖ untuk melihat praktik-praktik kultural. Menurutnya, kepemilikan modal itu justru menyimpan dimensi kekuasaan, sehingga memungkinkannya membentuk hierarki sosial.378 Sebagaimana modal kapital, modal kultural dan pada hakikatnya berperan dalam menciptakan hierarki sosial itu. Modal religius dapat berupa status atau posisi tertentu dalam institusi-institusi keagamaan yang secara formal

376Abd. al-Rahman Taj, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah wa al-Fiqh al- Islamîy, (Mesir: Matba‘ah Dâr al-Ta‘lif, 1953), 8. 377Abd. Wahhab Khallâf, al-Siyâsah al-Syar‘iyyah, (Kairo: Dâr al- Ansar, 1977), 4; Muhammad Diya al-Din al-Ris, an-Nazariyyah al-Siyâsah al-Islamiyyah, (Kairo: Dâr al-Mâ‘arif, 1967), 280-292. 378Elaborasi lengkap dapat dilihat dalam Gary Becker, The Economic Approach To Human Behavior, (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 20.

228 diakui oleh masyarakat Jambi. Status dan posisi inilah yang membuat pemilik modal dan posisi, secara tidak langsung mempengaruhi struktur berpikir atau disposisi masyarakat, karena status individu dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Kepada lembaga inilah masyarakat merasa perlu untuk menyandarkan kepercayaannya terhadap isu- isu sosial dan keagamaan di Jambi. Hal ini berarti dengan modal kultural tersebut para pemangku jabatan di kelembagaan adat Melayu sangat berperan dalam membentuk persepsi, opini, disposisi, dan selera masyarakat. Asumsinya, semakin masyarakat percaya terhadap lembaga ini dan produk fatwa yang dikeluarkan maka semakin kuat pula struktur sosial atau religius masyarakat Jambi. Di sini, modal kultural harus dipahami bukan sekadar sebagai pengetahuan tentang adat, melainkan juga yang terpenting sebagai modal yang fungsinya mirip dengan modal ekonomi dalam industri kapital. Mereka yang memiliki modal berada dalam posisi kelas yang lebih tinggi dibanding mereka yang tidak memiliki modal atau status tertentu dalam masyarakat Melayu Jambi. Inilah yang menjadi dasar logis mengapa para pemuka adat dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi sebenarnya sedang menginvestasikan modal sosial dan religius itu melalui posisi dan disposisi mereka kepada masyarakat, implikasinya semakin kuatnya habitus dan kelas-kelas sosial di Jambi. Begitu kuatnya pengaruh kedua aspek tadi yaitu adat dan agama, seringkali menjadi komuditas politik oleh sebagian orang menggapai ambisi pribadi maupun kelompok. Intervensi politik bahkan politisasi terhadap persoalan agama dan adat dan selama ini merupakan hal yang lumrah dan dianggap epektif dalam upaya memobilisasi berbagai kepentingan politik pihak tertentu. Selain itu, perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengarah kepada pembentukan cara lebih halus sebagian masyarakat untuk menguasai mayoritas masyarakat lain. Kegiatan mendominasi tersebut dengan menggiring pemikiran mayoritas melalui diskursus dan pewacanaan.

229

Permainan otoritas dapat dilakukan oleh kelembagaan adat melalui forum tiga tali sepilin yang dalam masyarakat dipandang memiliki keistimewaan dan kuasa. Dalam kasus larangan duduk bersanding saat akad nikah dan penistaan asma Allah, lembaga adat sedang menggiring pemikiran khalayak kepada kebenaran individual miliknya. Pengetahuan baru sedang diproduksi menjadi satu kebenaran dengan kekuasaan dan kekayaan, dan halayak sedang ‗dibimbing‘ untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Begitupula yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kementerian agama-pun dalam konteks ini sedang terlibat, baik sebagai bagian pihak yang memproduksi wacana dan pemahaman maupun mungkin korban dari wacana yang sedang dikembangkan oleh otoritas yang lebih mendominasi daripada organisasi tersebut. Perasaan semacam ini yang tanpa disadari ini oleh Gramsci melahirkan hegemoni kelompok kepada kelompok lain dengan mengatasnamakan kepentingan politik, agama atau adat. Melalui ini kekuasaan akan dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama bahkan permanen (abadan), namun untuk merealisasikannya dibutuhkan minimal dua piranti.379 Pertama, piranti kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa law enforcemant. Piranti kerja yang biasanya dipraktikkan oleh pranata negara (bilad) melalui lembaga seperti; peradilan, hukum, militer, polisi dan bahkan penjara. Kedua, piranti kerja untuk membujuk masyarakat beserta pranata agar taat pada penguasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga. Piranti kerja yang dipraktikkan masyarakat sipil (civil

379Pemetaan antara masyarakat sipil dan masyarakat politik sebagai pisau analisis. Kedua suprastruktur itu, pada kenyataannya sangat diperlukan, satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Bahwa kedua level itu sangat diperlukan bisa dilihat dengan gamblang dalam konsepsi tentang negara yang lebih luas, dimana ia tunjuk sebagai ―negara integral‖ meliputi tidak hanya masyarakat sipil tetapi juga msyarakat politik yang didefinisikan negara = masyarakat politik + masyarakat sipil. Lihat Roger Simon, Gramsci‘s ..., 99-100.

230 society) melalui lembaga masyarakat seperti; majelis ulama, lembaga adat, organisasi sosial-keagamaan, dan sebagainya. Dengan demikian, praktik semacam ini bentuk lain dari dominasi simbolik atau penindasan dengan menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan tersebut mendapatkan persetujuan dari pihak yang ditindas itu sendiri. Praktik penindasan juga dapat terjadi pada seorang istri yang tidak dapat membela diri, meski dirugikan oleh suaminya, karena ia, secara tidak sadar, telah menerima statusnya sebagai yang tertindas.380 Namun konsep dominasi simbolik (penindasan simbolik) juga dapat dengan mudah dilihat dalam konsep sensor panopticon. Sensor panopticon adalah konsep yang menjelaskan mekanisme kekuasaan yang tetap dirasakan oleh orang- orang yang dikuasai, walaupun sang penguasa tidak lagi mencurahkan perhatiannya untuk melakukan kontrol kekuasaan secara nyata. Setiap sistem simbol memiliki kekuatan untuk memberikan pemaknaan bagi realitas sosial, sebagai produk perjuangan agen (individu, kelompok, institusi) dalam mendapatkan modal dalam sebuah ranah tertentu. Ranah tersebut merupakan arena sosial (field) yang di dalamnya terdapat berbagai macam tindakan agen untuk memperebutkan sumber pertaruhan dengan akses terbatas. Arena dalam ranah, seperti dikatakan Bourdieu merupakan ruang sosial yang terstruktur, terorganisir hierarkis, dan menciptakan ketidaksetaraan objektif dalam pendistribusian berbagai modal sekaligus spasial bagi dominasi dan resistensi yang terkait secara relasional dengan yang lain. Lewat proses pencitraan, sistem simbol memperoleh daya abstraknya guna mengubah makna, menggiring cara pandang, hingga memengaruhi praktik seseorang maupun kelompok. Contoh, kekuasaan Keraton Yogyakarta dengan sosok Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai simbol kekuasaan di

380Pierre Bourdieu, Mengungkap Kuasa ..., 21-22.

231 masyarakat daerah Yogyakarta. Tanpa menyentuh langsung rakyatnya, Sri Sultan sebagai simbol kekuasaan kerajaan sangat dikagumi dan diakui kharismanya oleh masyarakat. Sri Sultan menjadi panutan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta, tanpa memberikan perintah sudah dengan sendirinya masyarakat Yogyakarta hidup tertib, aman, nyaman. Contoh lainnya budaya ―Patriarki‖ atau kedudukan perempuan dalam struktur sosial masyarakat. Dalam adat budaya timur, khususnya Indonesia, perempuan selalu menjadi subordinat dari laki–laki dalam berbagai hal. Posisi subordinat dalam masyarakat ini terbentuk secara alami dan terinternalisasi dalam waktu yang lama. Sehingga sudah menjadi asumsi umum bahwa perempuan berada dibawah laki–laki. Seaktif apapun peranan perempuan di luar baik dalam berbagai ranah seperti politik, bisnis, hukum, maupun ekonomi, saat kembali ke rumahnya tetap kedudukan perempuan menjadi istri rumah tangga, laki-laki yang menjadi pemimpin keluarga. Ini menjadi kebiasaan dalam kultur masyarakat Indonesia, dimana tabu bagi perempuan untuk melakukan tugas laki–laki, termasuk dalam terjun dalam arena politik.

F. Kontribusi Syarak, Adat Kelembagaan Adat dalam Ruang Agama, Sosial, dan Politik Kontemporer Struktur masyarakat manapun pada awalnya berada dalam ketidak-seimbangan, minimal terjadi dominasi antara yang satu dengan lainnya. Kenyataan ini yang diungkap oleh Roscoe Pound, oleh karenanya perlu penataan ulang hukum agar aplikatif dan melingkupi semua kepentingan. Hukum dijadikan sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social Engineering), karena berfungsi menata perubahan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Kepentingan dimaksud meliputi tiga aspek yaitu; umum, sosial dan pribadi. Pertama kepentingan umum, yaitu kepentingan negara sebagai badan hukum dan sebagai penjaga kepentingan sosial. Kedua kepentingan sosial, yaitu kepentingan yang terkait dengan keamanan umum, institusi

232 sosial, moral umum, pengamanan sumber daya sosial, kemajuan sosial, dan kehidupan individual. Ketiga kepentingan pribadi/individual, yaitu kepentingan yang terkait dengan integritas dan privasi, internal keluarga/domestik, dan perlindungan hak milik serta kebebasan melakukan transaksi dan komunikasi dengan orang lain.381 Perubahan dalam struktur masyarakat seiring dengan bermunculannya kasus-kasus hukum baru setidaknya disebabkan beberapa faktor, antara lain: perubahan situasi, perubahan anggota kelompok dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam situasi sosial dan ekonomi. Kenyataan ini beralasan mengingat dinamika masyarakat yang sering melahirkan persoalan-persoalan baru. Untuk mencari solusi terhadap persoalan yang dihadapi setidaknya ada dua hal yang harus dipahami. Pertama, problema yang dihadapi telah dinyatakan tegas status hukumnya melalui sumber formal atau non-formal. Kedua, seberapa epektif penyelesaian problema tersebut atau sanksi yang dijatuhkan sudahkah memberi epek jera bagi pelaku, begitupula kepatuhan menjalani sanksi dan implikasi setelahnya. Pada kategori kedua inilah kelembagaan adat memegang peran signifikan dan diharapkan mampu memberikan jawaban dan menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi umat Islam. Terlebih hukum yang berlaku di Indonesia selama ini umumnya merupakan hukum warisan kolonial Belanda, oleh A Qodri Azizi disebut hukum yang dalam kajian ke-Indonesiaan kontemporer sebagai hukum yang telah mati. Hukum masa depan adalah merupakan perwujudan eklektisisme dalam ilmu hukum dan pengaruh globalisasi yang selalu terjadi dan berkembang. Hampir mustahil saat ini sebuah negara dapat lepas dari pengaruh dunia Barat, namun demikian adat merupakan hukum yang hidup di masyarakat (customary law).382

381Bernard L. Tanya., dkk, Teori Hukum .., 140-141. 382A. Qodri Azizi, Eklektisisme Hukum ..., 175-176

233

Banyaknya problem yang dihadapi bangsa ini pada skala nasional maupun lokal yang sulit terselesaikan ketika hanya mengandalkan salah satu elemen dalam satu wilayah bahkan negara. Pada skala nasional, kasus yang melibatkan Basuki Cahaya Purnama (Ahok) mengguncang stabilitas politik nasional tidak hanya sejak diunggah oleh Bunyamin melalui Media Sosial tetapi diprediksi akan terus berlanjut sampai suksesi kepemimpinan nasional ke depan. Belum lagi, bagaimana perekrutan kelompok teroris yang melakukan berbagai pengeboman di Indonesia yang dihubungkan dengan aksi teroris ISIS yang berpusat di Sirya. Konflik sosial yang cenderung berbau SARA di berbagai daerah seperti Poso, Ambon, Sampit, dan lainnya. Belum lagi penumpukan kasus yang tidak terselesaikan oleh Mahkamah Agung.383 Pada tingkat lokal menurut penulis ada banyak persoalan sosial-agama lokal yang belum terselesaikan bahkan belum tersentuh sama sekali oleh pemerintah daerah, kalangan ulama dan tokoh adat di Jambi, seperti: maraknya penambang emas tambang illegal (PETI), konflik tanah wilayat (tanah adat) antara perseroan terbatas (PT) dengan masyarakat, perselingkuhan, prostitusi, pembakaran hutan milik negara maupun masyarakat (karhutla), penghianatan terhadap komitmen oleh kepala daerah dan anggota dewan perwakilan rakyat, peredaran narkoba dan sebagainya. Langkah strategis yang harus dilakukan. Pertama, menelisik problema yang dinyatakan dengan tegas status hukumnya melalui sumber formal atau non-formal atau tidak. Kedua, seberapa epektif penyelesaian problema tersebut atau sanksi yang dijatuhkan sudahkah memberi epek jera bagi pelaku, begitupula kepatuhan menjalani

383Detik News Jumat (29\/10\/2010) melansir berita tentang kerepotan pihak Mahkamah Agung (MA) dalam menyelesaikan kasus- kasus yang mereka hadapi, penumpukan ini bukan tanpa upaya penyelesaian banyak yang telah dilakukan, namun menurut pengakuan Ketua MA Harifin Tumpa hasilnya tetap belum optimal. Ditambahkan Ketua MA yang baru Hatta Ali pada tahun 2016 sebanyak 2 juta perkara yang dapat dilihat di direktorat putusan. Ini di dunia terbanyak yang sampai 2 juta lebih Rabu (28/12/2016).

234 sanksi dan implikasi setelahnya. Kenyataan seperti ini sebenarnya sejalan dengan frame work politik hukum itu sendiri, berupa pembangunan hukum yang berintikan perbuatan dan pembaharuan terhadap materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan dan implementasi hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga.384 Selain itu, dari perspektif formal eksistensi hukum tentunya tidak hanya terkait erat dengan kebijakan hukum dan rumusan produk hukum melainkan dapat juga dilihat dari kronologis, setting sosial politik yang melatar-belakangi lahirnya legal policy tersebut. Begitupula yang terjadi di Jambi manakala terjadi tarik menarik antara politik, hukum dan adat maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik karena sub sistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Jika terjadi benturan maka hukum berada pada pihak yang lemah. Politik sering mengintervensi hukum apakah hukum agama (hukum Islam) ataupun hukum adat. Diskriminasi politik terhadap hukum bermuara pada tujuan atau kepentingan tertentu, baik sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah, sarana memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, atau sarana untuk memfasilitasi proses rekayasa sosial (social engeenering). Meski demikian, terjadi subordinasi internal dan eksternal kelembagaan adat Melayu Jambi, pemerintahan yang mengaplikasikan sistem pemerintahan model tiga tali sepilin dinilai kuat dalam upaya meminimalisir konflik vertikal-horizontal. Menurut Jimly Asshiddiqie sebenarnya kebudayaan Melayu telah memainkan peran dominan dalam kebudayaan Nusantara. Sebelum pergerakan kemerdekaan, bahasa, kebudayaan, serta adat Melayu telah berkembang menjadi identitas dan entitas budaya bangsa Indonesia. Bahkan sejak Sriwijaya, bahasa Melayu telah diterima sebagai bahasa Nusantara dari Sabang sampai Merauke.385

384M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), 9. 385Jimly Asshiddiqie, Peranan Adat Melayu dalam Membangun Identitas Budaya dan Upaya Pembinaan Karakter Bangsa, Makalah

235

Menurut Clifford Geertz kebudayaan Melayu digolongkan sebagai kebudayaan pantai yang bercorak perkotaan dan kegiatannya adalah perdagangan dan kelautan. Bukti-bukti arkeologi tentang hubungan Islam melayu diperoleh dari makam-makam kuno bertulis huruf Arab dan huruf Melayu tentang ketokohan raja-raja atau sultan melayu di berbagai wilayah nusantara. Fenomena yang merupakan usaha legitimasi raja-raja melayu Islam ini memberikan indikasi bahwa Islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat melayu.386 Terlebih dengan lahirnya aturan yang memberikan legitimasi yang kuat terhadap berlakunya adat pada masyarakat hukum adat di beberapa daerah dan undang- undang otonomisasi yang memberi ruang bagi penguasa daerah eksekutif maupun legislatif mendesain model peraturan lokal berdasarkan kearifan lokal. Putusan yang lahir melalui musyawarah tali tiga sepilin dinilai bijak dan adil demi meminimalisir konflik lanjutan dari korban maupun pelaku, sehingga ditaati dengan semangat kesadaran dan kebersamaan. Lembaga-lembaga sosial seperti lembaga pendidikan maupun agama menjadi sarana strategis sekaligus mesin epektif dalam menjalankan operasi penundukan tersebut. Hal ini menjadikan kesadaran yang terbangun tidak lebih sebagai kontrol simbolik terhadap kemungkinan penyelewengan ataupun pengingkaran terhadap dominasi kekuasaan. Aspek kritis yang berada dalam sistem kognitif individu, sosial, maupun kolektif diredam, dan dibatasi sehingga seolah-olah setiap pernyataan kritis yang bersifat evaluatif terhadap kekuasaan menjadi asing dan kehilangan maknanya. Hegemoni yang dilakukan kekuasaan telah meniadakan kreativitas berpikir yang berwujud pada sikap kritis menjadi sekedar pernyataan dan tindakan tanpa pengaruh, karena tidak sesuai dengan nilai, carapikir yang dipahami bersama yang sebenarnya ilusif. disampaikan pada Musyawarah Besar VI Lembaga Adat Melayu, Pekanbaru: 14 Februari 2012. 386Clifford Geertz, Local Knowledge, Further Essays in Interpretive Anthropology, (New York, Basic Books. Inc. Publisher, 1983), 98.

236

Contoh konkret yang bisa dilihat disini mulai memudarnya kebanggaan dan kecintaan terhadap tanah air dan pelbagai hasilnya karena adanya dorongan yang kuat dari kapitalisme global. Akibatnya, terasa lebih bangga menjadi konsumen barang-barang impor daripada tampil sebagai bangsa yang memproduksi atau menggunakan produk-produk dalam negeri. Selain itu ada dorongan untuk tampil lebih percaya diri bila mengikuti icon-icon budaya populer dalam berpakaian, berkomunikasi dibandingkan tampil apa adanya serta bicara dengan bahasa resmi dan sewajarnya. Selain itu, rasa asketis berlebihan terhadap suatu nilai keyakinan yang dipercayai dengan membedakan diri dari yang lain melalui simbol yang dikenakan, seolah-olah menjalankan misi suci (mission sacre) namun tetap terindividualisasikan, terlepas dari tanggungjawab sosialnya bahwa persoalan kemiskinan, menegakkan kemashalatan bagi orang banyak seolah-olah bukan tanggungjawabnya, meskipun setiap keyakinan mengharuskan para pengikut-pengikutnya untuk merealisasikan kewajiban-kewajiban sosial tersebut. Dalam kaitan politik, kekuasaan tiga unsur yang berada pada tingkat terendah dalam struktur pemerintahan yaitu pemerintahan desa dalam setiap wilayah di daerah Jambi, disimbolkan dengan kekuasaan tiga tali sepilin. Tiga kekuasaan yang terdiri dari; pemerintahan desa desa, pegawai syarak dan pemangku adat. Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan (institusionalisasi), diawali oleh proses eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang –sehingga terlihat polanya dan dipahami bersama- yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitus). Habitus yang berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Disinilah terdapat peranan tokoh agama dan adat di dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Artinya, mempresentasikan tatanan kelembagaan

237 atau lebih jelasnya; pelaksanaan peran sebagai representasi diri sendiri. Peran dalam mempresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yeng melembaga, misalnya peranan hakim dengan peran-peran lainnya di sektor hukum.387 Pemerintahan yang mengaplikasikan sistem pemerintahan model tiga tali sepilin dinilai kuat dalam upaya meminimalisir konplik vertikal maupun horizontal. Terlebih dengan lahirnya undang-undang yang memberikan legitimasi yang kuat terhadap berlakunya hukum adat pada masyarakat hukum adat di beberapa daerah dan undang- undang otonomisasi yang memberi ruang bagi penguasa daerah eksekutif maupun legislatif mendesain model peraturan lokal berdasarkan kearifan lokal. Putusan yang lahir melalui musyawarah tali tiga sepilin dinilai bijak dan adil demi meminimalisir konplik lanjutan dari korban maupun pelaku, sehingga ditaati dengan semangat kesadaran dan kebersamaan. Lembaga-lembaga social seperti lembaga pendidikan maupun agama menjadi sarana strategis sekaligus mesin efektif dalam menjalankan operasi penundukkan tersebut. Oleh karena itu, penguatan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) merupakan fenomena menarik di berbagai daerah Indonesia, yang berpijak pada norma agama dan adat. Dalam konteks kesatuan masyarakat Melayu, umumnya norma adat dikonsepsi dalam kepaduan dengan norma agama, yaitu Islam. Maka falsafah ―Adat bersendi

387Sebagian daerah mengeluarkan peraturan daerah secara parsial untuk tema-tema tertentu, namun ada juga yang membuat kebijakan reinvensi nilai-nilai lokal sebagai sebuah sistem adat seperti masa lalu. Pendekatan yang digunakan masing-masing daerah juga berbeda, antara pendekatan struktural dan pendekatan substansial. Contoh pendekatan struktural yang cukup fenomenal dalam mengembalikan sistem adat di Era Reformasi sebagaimana di Sumatera Barat melalui Gerakan Kembali ke Nagari-nya. Pada tahun 2000, dua tahun setelah reformasi, Sumatera Barat segera meresmikan kembalinya sistem pemerintahan Nagari di Sumatera Barat melalui Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Pendekatan struktural yang digunakan karena gerakan ini lebih menonjolkan pada pengaktifan kembali struktur adat, ketimbang mengawalinya dengan penanaman kembali nilai-nilai adat (tradisi).

238 syarak, Syarak bersendi kitabullah‖ yang berarti adat berdasarkan syariat dan syariat berdasarkan Kitabullah (al- Qur‘an), tidak asing bagi masyarakat Melayu Jambi. Upaya-upaya sejenis juga terjadi di Provinsi Jambi, sebagaimana diuraikan di atas karakteristik Melayu-Islam saat ini mulai tercerabut dari kehidupan masyarakat Jambi. Realitas sosial dalam kelompok masyarakat, selalu ada upaya pengendalian sosial (social control) terhadap perilaku masyarakat. JS Roucek dalam Wulansari mengatakan pengendalian sosial merupakan seluruh proses baik yang direncanakan, bersifat mendidik, mengajak bahkan memaksa warga masyarakat agar patuh pada nilai dan kaidah kemasyarakatan yang berlaku, dimana menurut Soekanto proses tersebut dapat dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Upaya-upaya pengendalian sosial seringkali dikaitkan tidak hanya dengan hukum positif melainkan juga dengan hukum adat yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Sebagai sebuah tatanan nilai yang tumbuh dan mengakar pada kehidupan masyarakat secara turun- temurun, hukum adat diyakini memiliki kekuatan kontrol yang lebih kuat dalam masyarakatnya. Kecenderungan ini juga terjadi di Provinsi Jambi bahkan sejak awal tahun 1990-an dan semakin masif setelah reformasi yang semangatnya mengembalikan hak-hak asal-usul daerah. Studi sejarah memperlihatkan ketika masyarakat menghadapi kerumitan sosial, ekonomi, politik, konflik agama, dan lain-lain, banyak bangsa yang menemukan solusi dari tradisi. Membangun tradisi berarti membangun seperangkat institusi adat yang pernah berfungsi dalam memenuhi kebutuhan sosial-politik pada masa tertentu yang terus-menerus direvisi sesuai dengan perubahan kebutuhan. Kebudayaan berfungsi sebagai kontrol dan hampir semua unsur kebudayaan bertranformasi, ada yang gugur dan munculnya yang baru, meski terkadang yang gugur dapat muncul kembali dengan interpretasi baru. Craig J. Calchoon dan AJ Francis menyebutkan ―individu

239 yang lahir di tengah masyarakat tidak menciptakan kulturnya sendiri, tetapi dibentuk kultur lingkungannya.388 Secara sosiologis kelembagaan adat tidak hanya mampu memadukan dua sistem hukum yaitu adat dan syarak, namun juga berhasil memadukan dua kekuatan dalam masyarakat Melayu ketika itu yaitu masyarakat Aristokrat dan Komunal.389 Masyarakat Aristokrat adalah golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan terhormat seperti raja dan keturunannya, pejabat kerajaan, dan pejabat pribumi dalam pemerintahan kolonial. Sedangkan Masyarakat Komunal adalah kelompok yang memiliki perasaan atau sentimen bersama berdasarkan ikatan kedaerahan, loyal, satu darah, dan asal-usul keturunan, kekerabatan, dan kepercayaan terhadap keyakinan batin tertentu. Keduanya menyatu dalam satu institusi yang dikenal dengan kelembagaan adat. Secara politis, kelembaganaan adat mampu mengkolaborasikan dua sistem pemerintahan yaitu Tumenggung dan Perpatih. Pemerintahan yang mengaplikasikan sistem pemerintahan model tiga tali sepilin dinilai kuat dalam upaya meminimalisir konflik vertikal maupun horizontal. Terlebih dengan lahirnya undang-undang yang memberikan legitimasi berlakunya hukum adat pada masyarakat hukum adat di beberapa daerah dan undang-undang otonomisasi yang memberi ruang bagi penguasa daerah baik eksekutif maupun legislatif mendesain model peraturan lokal berdasarkan kearifan lokal (local wisdom). Putusan yang lahir melalui kerapatan adat dinilai bijak dan adil demi meminimalisir konflik lanjutan dari korban maupun pelaku, sehingga ditaati dengan semangat kesadaran dan kebersamaan. Adapun aspek agama, secara internal keberadaan kelembagaan adat selama ini mampu menjadi penengah berbagai persoalan keumatan dan kemasyarakatan bahkan kenegaraan serta untuk keberlangsungan adat diperlukan

388Craig J. Calchoon and Francis A.J., The Anthropological Study of Education, (Paris: The Hague Movton Publisher, 1976), 12. 389Yusron Razak, Sosiologi sebuah Pengantar: Tujuan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam, (Tangerang: Mitra Sejahtera, 2008), 77.

240 lembaga yang secara khusus mengelola aturan adat sesuai tuntutan masyarakat agama maupun masyarakat adat. Sedangkan secara eksternal pemerintah manapun membutuhkan kekuatan agama dan kekuatan sosial sebagai penopang kekuatannya dalam rangka mensukseskan pembangunan, kedua kekuatan tersebut ada dalam kelembagaan adat. Dengan demikian, model penyelesaian kasus politik, sosial dan agama melalui kelembagaan dianggap ideal karena melibatkan seluruh komponen refresentasi dari pemerintah, agama dan adat. Meski berada dalam subordinasi bahkan dominasi, institusi ini terbukti mampu meredam berbagai konflik vertikal maupun horizontal. Lebih jauh, keberadaan sekaligus pengalaman kelembagaan adat Jambi mampu ―mendamaikan‖ dua sistem hukum yaitu syarak dengan adat dapat dikatakan sukses. Meski pada kenyataannya pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku sebagai living law berdasarkan paham partikularisme pada kerajaan Melayu tidaklah mudah diteruskan pada masa kerajaan Islam Melayu, kolonial, kemerdekaan hingga saat ini.

241

8 Penutup

A. Kesimpulan Berpijak pada uraian mengenai kons truksi syarak dan adat (mengungkap kuasa simbolik kelembagaan adat Melayu Jambi), maka ada beberapa poin penting yang menjadi kesimpulan disertasi ini. Pertama, proses adaptasi syarak dengan adat di Jambi berlangsung damai sejak kedatangan Islam, terjadinya perkawinan dengan penguasa lokal dan integrasi antar keduanya. Akselerasi perkembangan Islam yang spektakuler dan merata di seluruh wilayah Jambi dikarenakan Islam masuk melalui sistem hukum dan sistem pemerintahan. Syarak sebagai produk hukum yang datang pasca pembentukan aturan adat beradaptasi dengan budaya lokal serta kondisi sosial sekitarnya. Syarak dipersepsikan oleh masyarakat Melayu Jambi sebagai sumber hukum teologis karena mengandung pesan Allah dan Rasul-Nya, bersifat universal, absolut, dan abadi. Sementara adat sebagai pola tutur, pola pikir dan pola tindak yang berkaitan dengan etika, hukum dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Oleh karenanya, keduanya dapat diterima sebagai aturan yang menjadi pegangan masyarakat Melayu Jambi hingga saat ini, meskipun dalam penerapannya berbeda berdasarkan peta wilayah Barat/Hulu dan Timur Hilir. Kedua, sistem hukum dan sistem pemerintahan yang dikonstruksi dan dipraktikkan oleh masyarakat Melayu Jambi pada awalnya dipengaruhi oleh Islam dan adat lokal, atas gagasan Ahmad Kamil keduanya dinegosiasikan sedemikian rupa melalui dua kali Rapat Besar Adat (RBA) melalui konvensi sebagaimana tertuang dalam adagium ―Adat bersendi syarak, Syarak bersendi Kitabullah dan

242

Undang datang dari Hulu, Teliti dari Hilir― sehingga lahirlah konfigurasi hukum dan pemerintahan baru yaitu Undang Adat Jambi dan Pemerintahan Adat Melayu Jambi. Sejak saat itu tugas memverifikasi, memodifikasi dan memproduksi hukum dibebankan kepada kelembagaan adat, yang berganti nama mulai dari kerapatan adat, lembaga adat Provinsi Jambi dan lembaga adat Melayu Jambi, perubahan nama tersebut berimplikasi pada perubahan nomenklatur. Upaya unifikasi sistem hukum dan sistem pemerintahan melalui kelembagaan adat secara substantif tidak bertentangan dengan prinsip syariat Islam. Ketiga, kelembagaan adat Melayu Jambi merepresentasikan kepentingan politik, agama dan adat sebagai penyedia modal politik, religius dan kultural yang memungkinkannya menjadi arena subordinasi kuasa antar kelompok di dalam atau di luarnya untuk memperebutkan legitimasi, posisi dan disposisi dengan mensubordinasi kelompok lain sehingga menjadi habitus. Meskipun subordinasi tersebut ini tidak melahirkan konflik seperti terjadi di daerah lain, yang terjadi justru hanya hegemoni atau dominasi. Keempat, kelembagaan adat sejak awal merupakan institusi yang sangat berjasa dalam membumikan syarak dan memadukan syarak dengan adat dan hinggga saat ini menjadi patron masyarakat Melayu Jambi karena dianggap mampu memenuhi rasa nyaman dan rasa keadilan masyarakat dalam penyelesaian kasus hukum (perdata dan pidana), sosial dan agama. Selain itu, kelembagaan adat diakui sebagai institusi non-formal yang memproduksi dan mereproduksi hukum meski ada institusi lain yang menangani persoalan yang sama sekaligus menjadi salah satu alasan dapat menjadi potret ideal bagi daerah maupun pusat dalam menyelesaikan persoalan kekinian bidang agama, sosial, politik, dan budaya yang dihadapi bangsa ini.

243

B. Implikasi Ada beberapa implikasi dari kesimpulan sebagaimana di atas. Pertama, pembentukan teks hukum dalam konteks apa pun tentunya tidak terlepas dari kondisi dan keinginan dari penguasa, kelompok tertentu (agama/adat) atau masyarakat yang berkepentingan secara politis, sosial dan agamis dengan eksistensi hukum tersebut. Dengan kata lain, muatan teks, nilai atau konstruksi hukum yang lahir ditentukan oleh seberapa besar power, kebijakan, dan pengaruh kelompok yang menginginkan hukum itu terbentuk. Kedua, hukum tetap berlaku selama adresat hukum (user) merasa masih nyaman dan perlu mempertahankannya. Ketiga, eksistensi kelembagaan dianggap penting meski perlu mereformulasi paradigmanya untuk disesuaikan dengan kepentingan stakeholders yang menaungi berbagai kepentingan tanpa sekat aliran, eknik dan agama sehingga dapat berlaku universal. Keempat, perlu reformulasi nomenklatur pegawai syarak agar produksi dan reproduksi hukum sejalan dengan prinsip syariat Islam. Kelima, bagi para pakar sejarah dan sosiologi, disertasi ini memberi refleksi betapa konstruksi hukum adalah bagian inheren kekuasaan dan peristiwa masa lalu serta selalu berada dalam setiap hierarki sosial masyarakat.

C. Rekomendasi Buku ini tentu saja tidak lepas dari berbagai kelemahan teoretis dan empiris. Untuk itu, ada beberapa rekomendasi yang dapat diberikan. Pertama, pemerintah daerah Jambi perlu mengkaji dan merekonstruksi paradigma dan nomenklatur aturan adat yang merupakan warisan penguasa, ulama dan tokoh adat terdahulu untuk disesuaikan dengan kondisi saat ini sehingga mendapat legalisasi dan berkontribusi terhadap hukum lokal maupun nasional. Kedua, eksistensi kelembagaan adat dapat dijadikan prototipe kepemimpinan dan penyelesaian kasus serta sampai kapanpun dipandang penting bahkan amat penting sebagai perekat kepentingan tiga tali sepilin yaitu penguasa,

244 agama dan adat. Selain itu, sebagai perekat dari sekat etnik, agama, budaya agar bangsa Indonesaia terhindar dari kemungkinan disintegrasi. Ketiga, dibutuhkan studi lebih lanjut terhadap konstruksi politik dalam memproduksi dan mereproduksi adat dan syarak di Jambi dengan lokasi penelitian yang jauh lebih luas dibanding yang sudah dilakukan buku ini. Keempat, diharapkan muncul suatu riset yang berusaha melihat relasi kuasa bukan hanya di level kelembagaan adat, tetapi juga di level pemerintahan pusat dan penguasa- penguasa grassroot, seperti kepala dusun, kepala desa, atau di beberapa komunitas agama dan adat.

245

Daftar Pustaka

Tim Penyusun Kemenag RI. al-Qur‘an dan Terjemahnya. Jakarta: Binbaga Islam, 1990. ‗Ullah, Muhammed. The Muslim Law of Marriage. New Delhi: Kitab Bhavan, 1986. A.A. Fyzee. Outlines of Muhammadan Law. London: Oxford University Press, 1949. Abdi, Fathuddin, dkk.. Undang-undang Adat Batanghari. Muara Bulian: Lembaga Adat Melayu Batanghari, 2010. Abdillah, Masykuri. ―Kiprah Ulama dalam Kehidupan Masyarakat dan Negara Dewasa ini‖, dalam Mimbar Agama dan Budaya. Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1999. Abdullah, M. Amin. ―al-Ta‘wiîl al-‗Ilm: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci‖ Jurnal Al- Jami‘ah, Vol. 39 No. 2 July-Desember 2001, 379-386. Abdullah, Raden. Kenang-kenangan Jambi nan Betuah. Jambi: ttp., 1970. Abdullah, Sulaiman. Agama dan Adat Masyarakat Jambi. Jambi: LAM Jambi, 2010. Abdullah, Taufik. ―Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau‖, Jurnal Indonesia, Volume 2 Oktober 1966. Abdullah, Taufik. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987. Abdurrahman, Dudung. ―Metode Penelitian Sejarah‖. Jakarta: Logos, 1999. Abid, M. Husnul. ―Kontestasi Kemelayuan: Islam Transnasional, Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi‖, dalam Muhammad Iqbal Ahnaf Praktik Pengelolaan Keragaman di Indonesia Kontesatasi dan Koeksistensi. Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS UGM, 2015.

246

Abu Husain. al-Mu‘tamad fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al- Kutub al-Alamiyah, 1975. Ahmad, Imam. Hadis No-23064.Beirut: ar-Risalah, t.th. Al-Amidi, Saifuddin. al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Kairo: Muassasah al-Halabî, 1967, I. Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Bârî bi Syarh Shahih al- Bukhârî. V. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. Al-Attas, Naguib. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: Universitas Kebangsaan Melayu, 1972. Al-Bâjûri, Ibrâhîm. Hâsyiah al-Bâjûrî. Beirut: Dâr Ihyâ‘ at- Turâs| al-‗Arabi, 1426 H, II. Al-Bukhari, Imam. Shahîh al-Bukhâri. Beirut: Dâr al-Fikr, 1981. al-Bukhari. Imam. Al-Jami‘ ash-Shahîh. hadis No 5142. VII. Kairo: Mathba‘ah as-Salafiyah, t.th. Al-Fikri, Albert. Diskursus Hukum Kewarisan ‗an-tarâd}in (Menjembatani Dialektika Kewarisan Maternalistik dan Paternalistik di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi), 2015. Al-Ghazali, Abu Hamid. al-Musytaşfâ fi ‗Ilm al-Ushûl, I. Beirut: Dar al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1983. Al-Hadrami, ‗Abd ar-Rahman bin Muhammad bin Khaldun. Muqaddimah, terj. Ahmadie, cet-10. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011. Ali Haidar. Durar al-Hukkâm: Syarh al-Majallah al-Ahkâm, I. Beirut: al-kutub al-‗Alamiyah, t.th. Ali, Ahmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (legisprudence). Jakarta: Kencana, 2009. Ali, M. Daud. Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta: Risalah, 1984. Ali, M. Daud. Penerapan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, 17 Mei 1995. Al-Jurjanîy, Ali ibn Muhammad al-Sayyîd al-Syarif. al- Ta‘rifât. Beirut: Dar al-Fikr, 1990.

247

Al-Manzur, Ibnu. Lisân al-Arab. Jil. XIII. Beirut: Dar al- Shadr, t.th. Al-Muhandis Zakaria Hasyim. al-Mustasyriqîn al-Islâm. Kairo: Maktabah Darul Ma‘arif, 1965. Al-Ris, Muhammad Diya al-Din. an-Nazariyyah al-Siyasah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-MA‘arif, 1967. Al-Sarkhisi. Al-Mabsûth. XII. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989. Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung; Mizan, 1989. Andaya, Barbara Watson. ―Upstreams and Downstreams in Early Modern Sumatera‖, dalam The Historian, 57, III, 1995. Anonim. Jurnal Kementerian Penerangan RI, Nomor 11 tentang Sumatera Tengah, (Jakarta: Kemenpen RI, 1964). Anonim. Kementerian Penerangan Republik Indonesia No. 11 Tentang Sumatera Tengah, Jakarta, 1954. Arifin, Bustanul. Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia. Jakarta: PP IKAHA, 1994. Arikunto, Suharsimi. Metodologi Penulisan. Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Arsyad, Kemas. Adat dan Budaya Jambi: Menelisik Akar Sejarah Jambi. Jambi: Diknas Prov. Jambi, 1995. Asnawi AB. Kedudukan Adat Dalam Rangka Menunjang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jambi, Pemprov Jambi, 2010. As-San‘ani, Muhammad bin Ismâ‘îl bin al-Amîr al-Yamani. Subul as-Salâm Syarh Bulûg al-Marâm min Adillah al-Ahkâm III. Kairo: Dar al-Hadîs, 1428 H. Asshiddiqie, Jimly. ―Peranan Adat Melayu dalam Membangun Identitas Budaya dan Upaya Pembinaan Karakter Bangsa‖ Makalah disampaikan pada Musyawarah Besar VI Lembaga Adat Melayu, Pekanbaru: 14 Februari 2012. As-Suyuti, Jalaluddin. al-Asbâh wa al-Nazâ‘ir fi al-Furû‘. Semarang: Toha Putra, t.th.

248

Asy-Syafi‘i, Imam. al-Umm. VI. T. Tp: Dar al-Wafa‘ li al- Thoba‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 2001. Asy-Syâţibî, Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ. al-Muwâfaqât fî Uşûl asy-Syarî‘ah, II. Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1973. Azizi, A. Qodri. Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Syarakdan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media, 2002. Azra, Azyumardi. ―Historiografi Kontemporer Indonesia‖, dalam Henri Chambert Loir dan Hasan Mu‘arif Ambong (ed), Panggung Sejarah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998. Azra, Azyumardi. ―Kajian Naskah Keagamaan Islamisasi Nusantara: Penilaian Ulang‖, Jurnal Lektur Keagamaan Vol.9. No. 1 Juni 2011. Bafadhal, Syekh HMO., ―Pengungkapan Sejarah Islam di Indonesia‖, disampaikan pada Pra Seminar Nasional Masuk dan Berkembangnya Islam di Jambi, 5 s/d 8 Maret 1981, Jambi. Basarshah, Luckman Sinar. ―Perkembangan Islam di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur‖. http:/www. Kerajaan Nusantara.com/id /kesultanan- Serdang/article/117-Perkembangan-Islam-di- Kerajaan-kerajaan-Melayu-di-Sumatera-Timur. Diakses tanggal 12 Oktober 2016. Baso, Ahmad. Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme. Bandung: Mizan, 2005. Basyari, Azra‘i. Adat Budaya Jambi. Jambi: LAM, 2005. Basyir, Herman. Mengenal Adat Budaya Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Jambi: LAM Provinsi Jambi, 2005. Becker, Gary. The Economic Approach To Human Behavior. Chicago: University of Chicago Press, 1976. Benda-Beckmann, Keebet Von. „Pluralisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis―, dalam

249

Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Ford Fondation, 2006. Bierstedt, Robert. ―Power and Progress: Essays on Sociological Theory‖ (review), American Journal of Sociology, Vol. 81, No. 4 (Januari, 1976). Bolo, Andreas Doweng. dkk, Pancasila Kekuatan Pembebas, (Yogyakarta: Kanisius, 2012). Bourdieu, Pierre. ―The Forms of Capital‖, terj. dari bahasa Jerman oleh Richard Nice, dalam J.G. Richardson (Ed.), Handbook for Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood Press, 1986. Bourdieu, Pierre. Outline of Theory of Practice. England: Cambridge University Press, 1977. Bourdieu, Pierre. The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature. Cambridge: Polity Press, 1990, diedit oleh Randal Johnson Bourdieu, Pierre. The Logic of Practice, terj. dari bahasa Prancis oleh Richard Nice. Stanford: Stanford University Press 1992. Bourdieu, Pierre. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, terj. dari bahasa Prancis oleh Richard Nice, London: Routledge, 1984. Bourdieu, Pierre. Handbook for Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood Press,1986. Bourdieu, Pierre dan Wacquant JD.. An Invitation to Reflexive Sociology. Chicago: University Press, 1992. Bourdieu, Pierre. Habitus X Modal + Ranah = Praktik, editor Richard Harker: pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, et. al. Yogyakarta: Jalasutra, 2009. Van Bruinessen, Martin. Tradisi Menyongsong Masa Depan: Tradisionalis Radikal. Yogyakarta: LKIS, 1997. Budiarjo, Miriam. Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Gramedia, 1994. Bungin, Burhan. Analisis Data Penulisan Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah

250

Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Calchoon, Craig J. and Francis A.J.. The Anthropological Study of Education. Paris: The Hague Movton Publisher, 1976. Carter, April. Otoritas dan Demokrasi. Jakarta: Rajawali Press, 1979. Coulson, N.J.. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1971. Danandjaja, James. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafiti pers, 2002. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Cet. VI. Jakarta, LP3ES, 1994. Dilogo, Ngebi Sutho. Alih Aksara dan Kajian Naskah Silsilah Raja Jambi, Undang-Undang, Piagam dan Cerita Rakyat Jambi, terj. Syamawi Darahim et.al..Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2005. Djatmika, Rahmat. ―Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia‖, dalam Abdurrahman Wahid, et., al, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia. Cet. I.Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991. Dokumentasi Madrasah Nurul Iman, Nurul Islam, Jauharain, dan Sa‘adatud Darain 2015. Dutton, Yasin. Malik‘s Use of the Qur‘an in the Muwatha‘, terj. oleh Dedi Junaedi, dengan judul: Sunnah, Hadits dan Amal Penduduk Madinah. Jakarta: Akademika Presindo, 1996. El-Awa, Mohammed S.. The Place of Custom (‗Urf) in Islamic Legal Theory. Indiana Polis: American Trust Publications, 1973. Elwa, Muhammad S.. On Political System of Islam. London: Edinburg, 1983. Eriyanto. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKIS, 2006. Fahmi SY. Silang Budaya Islam Melayu: Dinamika Masyarakat Melayu Jambi. Ciputat: Pustaka Kompas, 2014.

251

Fauzi, Fashri. Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra, 2014. Fyzee, A.A. The Outlines of Muhammadan Law. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I, 1981. Foucault, Michel. Discipline and Punish; The Birth of the Prison. Pantheon: Penguin Book, 1975. Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. London: Tavistock,1972. Gajahnata, K.H.O.. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. Jakarta: UI Press, 1996. Geertz, Clifford. Local Knowledge, Further Essays in Interpretive Anthropology. New York, Basic Books. Inc. Publisher, 1983. Gibb, H.A.R.. Modern Trends In Islam. Chicago: The University of Chicago, 1972. Gobee, E. dan C. Adriaanse. Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. XIV Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1995. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Noto Susanto. Jakarta, UI Press, 1986. Hadi, Samsul. Disintegrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor, 2007. Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1992. Hakimi, Idrus. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. Hallaq, Wael B.. The Impossible State: Islam, Politic, and Modernity‘s Moral Predicament. alih bahasa Akh Minhaji. Yogyakarta: SUKA-Press, 2015. Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Panjimas, 1984. Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos, 1996. Hasan, Husain Hamid. Nazariyyah al-Maşlahah fi al-Fiqh al-Islamîy. Kairo: Dar al-Nahdhah al-‗Arabiyyah. Hawkes, Terence. Structuralism and Semiotics. Canada: Routledge, 2003. Hazairin. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Tinta Mas, 1973.

252

Hazairin. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Timtamas, 1986. Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur‘an dan Hadith, cet-2, Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982. Hikam, Muhammad A.S.. ―Bahasa dan Politik: Penghampiran ―Discursive Practice‖, dalam Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Editor Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim. Bandung : Mizan, 1996. Hoeven, Cornelis Van Vollen. Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie. Leiden: E.J. Brill, 1928. Hosen, Ibrahim, Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam, dalam Jamal D. Rahman, et. al, Wacana Baru Fiqih Sosial; 70 Tahun Prof. Ali Yafie. Bandung: Mizan, 1994, 33. Hurgronye, Cristian Snouck. Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan, Judul asli tulisan ini De Islam in Nederlandsch Indie, Terbit dalam ―Groote Godsdiensten‖., Seri II, No. IX. Jakarta: Bhatara, 1973. Ian, Pulau Berhala Resmi Milik KEPRI, dalam www.indopos.co.id, 22 Februari 2013. Ichtiyanto. ―Pengembangan Teori Berlakunya Hukum lslam di Indonesia‖, dalam Juhaya S. Praja, Hukum lslam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. Jakfar, Idris. Akar Budaya Melayu Jambi. Jambi: Lembaga Adat Melayu Jambi, 1990. Jambi dalam Angka 2015. Khallâf, Abd al-Wahhâb. Masâdir at-Tasyri‗ al-Islâmiy fî Ma la Nassa Fih. Kairo: Dâr al-Fikr, 1987. Khallâf, Abd al-Wahhâb. Abd. Wahhab, al-Siyasah al- Syar‘iyyah, Kairo: Dar al-Ansar, 1977. Kholif, Muchtar Agus. Kodifikasi Hukum Adat Jambi. Jambi: Lembaga Adat Melayu (LAM), 2010. Koesno, M.. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum. Bandung: Mandar Maju, 1992.

253

Kuper, Adam dan Jessica. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Edisi II. Jakarta: Rajawali Press, 2000. Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Bina Cipta, 1990. Lakoni, Ibrahim. Adat Kepemimpinan Desa, Kampung, Dusun, dan Pembangunan Arus Bawah Serta Peranan Tali Tigo Sepilin. Jambi: Lembaga Adat Melayu Jambi, 2001. Laswell, Harold, dan Abraham Kaplan. Power and Society: A Framework for Political Inquiry. Yale: Yale University Press, 2014. Lukito, Ratno. Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia. Jakarta: INIS, 1998. Lukito, Ratno. Tradisi Hukum Indonesia. Yogyakarta: Teras, 2008. M.D., Mansur. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhatara, 1976. Ma‘luf, Louis. al-Munjid fî al-Lughah wa al-A‘lâm. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986. Madjid, A. Wahab. Hukum Adat Dalam Pelaksanaan Pemerintah di Jambi. Jambi, Lembaga Adat Melayu Jambi, 1999. Mahadi. Kedudukan Pengadilan Agama di Indonesia Sampai Tahun 1882. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Kemenag RI, 1985. Mahmassani, Sobhi. Falsafat at-Tasyri‘al-Islamîy. Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1952. Majid, Yusuf. Sejarah Kota Jambi Pada Masa Lampau, Sekarang dan yang Akan Datang. Jambi: Lembaga Adat Tanah Kota Jambi, 1997. Malik, Imam. al-Muwaththa‘. II.. Beirut: al-Maktabah al- Tsaqafiyyah, 1414 H. Manggis, M. Rasyid. Minangkabau; Sejarah Ringkas dan Adatnya. Padang: Sri Dharma, 1971. Marzali, Amri, Adat Categories in Melayu-Nusantaran Culture, diakses tanggal 20 Januari 2017. MD, Mahfud. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 1999.

254

MD, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1998. Miles, Mattew B. dan Michael Huberman. Qualitative Data Analysis: A Source Book of New Methods. London: Sage Publication, 1994. Mills, Charles. The Power Elite. London: Oxford University Press, 1956. Minhaji, Akh. dalam ―Pemikiran dan Implementasi Hukum Islam di Indonesia (Teori dan Respon)‖, diakses tanggal 25 April 2016. Minhaji, Akh. Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi dan Implementasi. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2013. Minhaji, Akh. Hukum Islam antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial), dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga, 25 September 2004. Mu‘ammar, M. Arfan dan Abdul Wahid Hasan. Studi Islam Perspektif Insider/Outsider. Jogjakarta: IRCiSoD, 2013. Mubarak, Jaiz. Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qaul Qadîm dan Qaul Jadîd. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Mudzhar, M. Atho‘. ―Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam‖, dalam M. Amin Abdullah (ed), Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. Mudzhar, M. Atho‘. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998. Muhammad, Bushar. Asas-asas Hukum Adat, Suatu Pengantar. Jakarta: Pradya Paramita, 1997. Muhammad, Husein. ―Kontekstualisasi Kitab Kuning; Tradisi Kajian dan Metode Pengajaran‖ dalam Marzuki Wahid, et. al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. Mulyadi, Lilik. Sistem Hukum Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Korupsi Dikaji dari Perspektif Yurisprudensi

255

dan Pergeseran ―kebijakan‖ Mahkamah Agung Republik Indonesia, diakses tanggal 10 April 2017. Munir, M. Ied. ―Derivasi Nilai-Nilai Moral dalam Tradisi Cuci Kampung‖, dalam "The First International Conference on Jambi Studies": 2013. Muslim, Imam. Şahîh Muslim, hadis No 2616 (125) juz IV. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Muttalib, Jang A.. ―Suatu Tinjauan Mengenai Beberapa Gerakan Sosial di Jambi Pada Perempat Pertama Abad ke 20‖, Prisma, 1980. N.J. Coulson. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1971. Nafis, A.A.. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press, 1984. Nasier, Haidar. Atas Nama Agama. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Naskah fatwa MUI No.05/KP-MUI/II/1992 dan No.01/KP- MUI/VI/2005 Nasrun. Sebuah Pendekatan Untuk Mempelajari Sistem Sosial Di Indonesia. Yogyakarta: Fak. Sospol UGM, 1974. Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Akademia Tazaffa, 2009. Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012. Nawawi. Hukum Adat Jambi. Jambi: LAM Kota Jambi, 2005. Nawawi, Imam. al-Majmu‘: Syarh al-Muhazzab, XXII. Jedah: Maktabah al-Irsyad, t.th. Nazir, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Ekalia, 1988. Noer, Junaidi T. Mencari Jejak Sangkala Mencari Jejak Sangkala; Mengirik Pernak Pernik Sejarah Jambi. Jambi: Jambi Heritage, 2007. Noer, Junaidi T. ―Sekilas tentang Sejarah dan Peradaban/Kebudayaan Islam di Provinsi Jambi‖, Makalah, Silaturahim Peradaban Islam Festival Maulid Nusantara 1431 di Palu-Sulawesi Tengah.

256

Notosusanto. Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada, 1963. Peorwadarminta, W.J.S.. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Pustaka Pelajar, 1991. Praja, S. Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Qurtubi. al-Jami‘ al-Ahkâm al-Qur‘ân, Juz VII. Kairo: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1967. Raditya, Iswara N.. Menyoal (Kembali)―Dwitunggal‖, Islam dan Melayu Sedunia, Diakses 20 September 2016. Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. I. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Raharjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta: Kompas, 2007. Rahman, Subhan MA. Pergulatan Wacana al-Qur'an Bergambar, dalam Laporan Penelitian Individual Pusat Penulisan IAIN STS Jambi tahun 2007. Rais, Amin. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1987. Ramayulis. ―Traktat Marapalam ―Adat Basandi Syara‘- Syara‘ Basandi Kitabullah‖ (Diktum Karamat Konsensus Pemuka Adat dengan Pemuka Agama dalam Memadukan Adat dan Islam di Minangkabau – Sumatera Barat), diakses tanggal 21 Januari 2017. Ramulyo, Mohd. Idris. Asas-Asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 1995. Razak, Yusron. Sosiologi sebuah Pengantar: Tujuan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam. Tangerang: Mitra Sejahtera, 2008. Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. Ali Mandan. Jakarta: Rajagrafindo Persada 2014. Rodee, Carlton Clymer dkk.. Intoducton to Political Science, terj. Zulkiply Hamid. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.

257

Roger, Simon. Gramsci‘s Political Thought, terj. Kamdani dan Imam Baehaqi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014. Ruslan, Ahmad. Shofwa al-Zubâd. Madinah: t.tp., 1417 H. Sagala, Irma. ―Peluang dan Tantangan Reinvensi Model Pemerintahan Adat Tiga tali sepilin di Provinsi Jambi Pasca Reformasi‖, dalam The First International Conference on Jambi Studies: 2013. Salam, Syamsir. Mencari Ufuk Baru dalam Pengembangan Masyarakat Jambi, dalam Kertas Kerja pada Diskusi LPKS tahun 1982. Salam, Syamsir. Perukunan Tsamaratul Insan Sebagai Perintis ke Arah Pendidikan Formal Islam di Kodya Jambi. Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 1979. Saptenno, M.J.. Menata Kembali Hukum Adat dan Kelembagaan Adat untuk Kedamaian dan Keharmonisan Hidup dalam Masyarakat, diakses tanggal 10 Januari 2017. Saudagar, Fahruddin. ―Sejarah Adat Budaya Melayu Jambi‖, makalah disampaikan pada seminar Mengungkap Cikal Bakal Adat Budaya Melayu Jambi, 2014 Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law. Oxford: The Clarendon Press, 1964. Schacht, Joseph. Origin and Development of Islamic Law. Washington: The Middle East, 1955. Scholten, Elisabeth Locher. Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism 1830-1907, terj. the Dutch by Beverley Jackson. USA: Conell SEAP, 2004. Sembiring, Rosnidar. Kedudukan Hukum Adat dalam Era Reformasi, diakses tanggal 5 Januari 2016. Sobur, Abdul Kadir. Teologi Progresif: Mengungkap Corak Teologi dan Doktrim Aqidah Masyarakat Melayu. disertasi 2012. Soekanto. Meninjau Hukum Adat di Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat. Jakarta: Rajawali Press, 1981.

258

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo, 2001. Shiddieqy, Nouruzzaman. Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, 65. Sudiyat, Imam. Asas-asas Hukum: Bekal Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1981. Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum (Teori dan Praktek). Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997. Sunarso, Ali dan Mochlasin Sofyan. Islam Doktrin dan Konteks; Studi Islam Komprehensif. Yogyakarta: Yayasan Ummul Qur‘an, 2006. Sunny, Ismail. ―Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,‖ dalam Bustanul Arifin, Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasio nal di Indonesia. Sunny, Ismail. Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1987. Suryadinata, Leo, dkk. Indonesia‘s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Singapura: ISEAS, 2013. Syah, Abdullah. Integrasi Antara Hukum Islam dan Hukum Adat Dalam Kewarisan Melayu. Bandung: Cita Pustaka Media, 2009. Syalabi, Ahmad. Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islamîy. Beirut: Dâr al- Fikr, t.th. Syalabi, Muhammad Mustafa. Uşûl al-Fiqh al-Islamîy. Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, 1986. Syaltût, Mahmûd. Aqîdah wa al-Syarî‘ah. Kairo: Dâr al- Qalam, T.Th. Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS, 2005. Syam, Sri Purnama. ―Seni dan Budaya Melayu Jambi‖, makalah disampaikan pada seminar Menggali Warisan Negeri Melayu Jambi, tanggal 10 Mei 2014. Syarbini, Khotib. Mughni al-Muhtaj ila Ma‘rifat al-Fadh al- Minhaj, III. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1997. Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana, 2003.

259

Taimiyah, Ibnu. al-Siyâsah al-Syar‘iyyah. Kairo: Dâr al- Kutub al-'Arabi, 1952. Taimiyah, Ibnu. Majmu‘ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad Ibnu Taimiyah. Jilid XXVIII, disunting oleh Muhammad Abdurrahman Ibnu Qasim. Riyadh: Mathba‘ al-Riyadh, 1963. Taj, Abd. al-Rahman, al-Siyasah al-Syar‘iyyah wa al-Fiqh al-Islamiy, Mesir: Matba‘ah Dar al-Ta‘lif, 1953. Tanya, Bernard L. dkk.. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing, 2013. Tasman, Aulia. Memahami Adat Lamo di Wilayah Jambi, makalah dalam "Seminar Adat Melayu Jambi", 2014. Tasman, Aulian. Membongkar Adat Lamo Pusako Usang, diakses tanggal 6 Juni 2016. Thalaby, Ismail. ―Adat Sakti Alam Kerinci dan Akulturasinya dengan Hukum Islam‖, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000. Thalib, Sajuti. Receptio a Contrario. Jakarta: Akademika, 1980. Tim Penyusun. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005. Unais, Ibrahim. Mu‘jam al-Wasith. Mesir: Majma‘ al-Lughah al-Arabiyyah, 1972. Unger, Roberto M. Teori Hukum Kritis:Posisi Hukum dalam Masyarakat, terj. Dariyatno dan Derta Sri Widowatie. Bandung: Nusa Media, cet. IV, 2010. Usman, Rachmadi. Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Utrecht, E. dan Moh. Saleh Djindang. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1989. Vonius, Leena A., dan Sehat Ihsan Shadiqin. "Revitalisasi Adat di Indonesia dan Aceh", dalam Leena Avonius dan Sehat lhsan Shadiqin, (ed.), Adat dalam Dinamika Politik Aceh, Banda Aceh: ICAIOS dan ARTI, 2010. Wahyuni, Sri. ―Pengaruh Hukum Barat dalam Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara-

260

Negara Muslim‖, dalam Akh Minhaji, et., al., Antologi Hukum Islam. Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga, 2015. Weber, Max.. The City Transleted and Edited By Don Mardinal and Getrud Neurith. New York: The free Press, 1966. Wehr, Hans. A Dictionary of Modern Written Arabic. New York: Sage Pub., 2002. Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat. Jakarta: Masagung, 1982. Wignodipuro, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung, 1985. Wiranata, I Gede Ab.. Hukum Adat di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Yaswirman. Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011. Yuliatin. ―Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi Pembagian Harta Waris Masyarakat Seberang Kota Jambi)‖, Disertasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. Yusrizal, Muhammad. Pola Sistem Pemerintahan Melayu. Diakses 20 September 2016. Zahrah, Muhammad Abû. Uşûl al-Fiqh. Kairo: Dâr al-Fikr al-‗Arabî, 1958. Zakariyâ Sabrî. Maşâdir al-Ahkâm al-Islâmîy. Kairo: Kulliyah al-Huqûq Jâmi'ah al-Qâhirah, 1973. Zarqa, Mustafa Ahmad. al-Fiqh al-Islamîy fi Tsaubih al- Jadîd: al-Madkhal al-Fiqh al-Amm, Cet. X. Damsiq: Tharbin, 1968. Znoj, Heinzpeter. ―Sons versus Nephews: A Highland Jambi Alliance at War with the British East India Company, ca. 1800‖, dalam Indonesia, 97, 1998. Zoelva, Hamdan. ―Eksistensi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Bingkai Kenegaraan‖, disampaikan pada seminar Nasional IAIN STS Jambi, 10 Mei 2016.

261

Zuhri, Saifuddin. ―Kuasa Simbolik Tidur Tanpa Kasur di Dusun Kasuran, Seyegan, Sleman‖. Disertasi. UGM Yogyakarta, 2015.

Media dan Sumber Internet Harian Jambi Independen, 8 Januari 2015. ―Lima Daerah Terkuat di Indonesia yang sulit ditaklukkan Belanda‖, diakses tanggal 10 Juli 2016. ―Sistem Perundangan Kerajaan Melayu, diakses tanggal 25 Januari 2017. Detik News, Jumat (29/10/2010)

Wawancara Wakil Gubernur Jambi. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi. Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jambi dan Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jambi. Ketua Ikatan Tarbiah Islamiyah Provinsi Jambi. Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi. Ketua Lembaga Adat (LAM) Kota Jambi. Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Batanghari. Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Sarolangun. Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Jambi. Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Batanghari. Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Muara Sabak. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Jambi. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Batanghari. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sarolangun. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Muara Sabak. Ka-Kan Kemenag Kota Jambi. Ka-Kan Kemenag Kabupaten Batanghari. Ka-Kan Kemenag Kabupaten Sarolangun. Ka-Kan Kemenag Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sekretaris MUI Kota Jambi.

262

Tokoh Masyarakat Kampung Manggis. Ketua Adat Desa Rambutan Masam. Ketua LAM Kecamatan Batin Kabupaten Batanghari Jambi. Ketua Laskar Melayu (LAMAJA) Jambi. Ketua Lembaga Adat Desa Rambutan Masam Kabupaten Batanghari. Ketua Lembaga Adat Melayu Simpang Rimbo. Ketua Lembaga Adat Sungai Duren Jambi. Ketua Pemuda Kelurahan Bagan Pete Kota Baru Jambi. Keturunan Raja Jambi bergelar Raden Pamuk. Pegawai Syarak Desa Dusun Aro Kabupaten Batanghari. Pegawai Syarak Desa Tanjung Kecamatan Bathin VIII Sarolangun. Pemangku Adat Desa Kuap. Pemerhati Adat Jambi. Penasehat Laskar Melayu Jambi (LAMAJA). Penasehat Lembaga Adat Melayu Muara Sabak. Rektor Universitas Batanghari (UNBARI) Jambi. Sekretaris Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Batanghari. Sekretaris Lembaga Adat Melayu Batanghari. Tokoh Adat Kota Jambi. Tokoh Adat Pemayung Batanghari. Tokoh masyarakat Jambi. Wakil Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi. Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Jambi. Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Batanghari. Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Sarolangun. Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

263