1 Bab 1 Kerajaan Awal Abad Masehi 1

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

1 Bab 1 Kerajaan Awal Abad Masehi 1 BAB 1 KERAJAAN AWAL ABAD MASEHI 1. Pengantar Informasi dan pengetahuan sejarah bangsa-bangsa yang mendiami Pulau Sumatera sampai awal abad masehi belum mendapat rujukan yang dapat mengungkapkan secara jelas dan luas, semuanya masih samar-samar. Tidak banyak ahli sejarah Indonesia yang menulis tengtang kejadian awal-awal abad masehi sehingga yang menjadi rujukan utama adalah bersumber dari catatan-catatan sejarah oleh bangsa lain. Menurut A.A. Navis (1981), menyatakan bahwa pada peta yang dibuat Claudius Ptolomeous telah diterangkan nama Malagi Colon yang letaknya di ujung Tanah Semenanjung. Setidak-tidaknya dalam masa Ptolomeou, yang hidup pada abad ke 1 M, nama Melayu telah terkenal. Namun, tidak dapat dijelaskan apakah Melayu itu merupakan suatu kerajaan atau suatu bangsa, karena catatan sejarah lebih memperkenalkan nama Swarnadwipa. Penyamaan Malaei Colin dengan Melayu tampaknya juga tidak mendapatkan kesepakatan para sejarawan. Menurut Munoz (2006) bahwa pembentukan negara-negara telah mencapai fase awalnya sebelum abad ke-1M dan para pimpinan Austronesia memiliki keuasaan yang kuat dalam wilayah mereka masing-masing. Wilayah-wilayah pesisir sering terbatas pada emporium-emporium (suatu pusat dagang, biasanya terdiri atas sebuah desa atau kota kecil yang dekat dengan sebuah pelabuhan). Lalu lintas alur sungai. Dalam sistem egaliterian tradisisonal oarang-orang Austronesia, pada pimpinan tidak mampu mengembangkan kekuasaan mereka di luar emporium mereka. Penaklukan-penaklukan militer hanya menyebabkan kemenangan yang sementara, dengan tanpa adanya kemungkina hubngan-hubungan vassal yang permanen terbangun antara para pemimpin lokal dengan seorang pimpinan tertinggi. Oleh karena itu semua wilayah semua wilayah alur sungai terbagi menjadi banyak area inti yang saling bersaing. Dengan berkembangnya kebudayaan India dan peningkatn kecanggihan sosial dari komunitas-komunitas lokal, para piminan Austronesia – yang sekarang sebaai raja atau hamaharaja – mampu untuk melegitimasi dominasi mereka atas wilayah yang lebih luas. Para pimpinan yang takluk umumnya diangkat kembali sebagai pimpinan bawahan yang otonom. Kulke (19860) telah mencatat bahwa terkesamping dari satus kedewataan yang diklaim oleh si Raja, beban kultural dari warisan Austronesia-nya memberi arti bahwa dia pada dasarnya tetap seorang pimpina di antara para pimpinan yang dikendalikannya. Semua pimpinan bisa menjadi Raja jika mereka mampu tetap mengkhawaritkan dan setiap waktu menjadi sumber tantangan. Konsep awal tentang raja muncul karena sistem politik yang kompleks yang disaranai oleh adopsi selektif beberapa kerajaan dari India, terutama tentang konsep status raja. Munoz (2006) menyebutkan bahwa dengan menyebarnya kebudayaan India, keruweta komunitas-komunitas lokal semakin meningkat dan para pimpinan kelompok mampu melegitimasi dominasi mereka atas wilayah-wilayah yang lebih luas. Oleh karena itu kebudayaan India memberikan sebuah kerangka kelembagaan pada entitas-entitas politik lokal terbatas yang belum mewujud memungkinkan mereka untuk menetapkan hubungan 1 yang legitimate dan permanen antara daerah-daerah taklukan dan para penakluk mereka. Ini memungkinkan pembentukan, selama abad ke-1 M, kerajaan-kerajaan atau sistem politik lokal di Jawa, Sumatera dan Semenanjung Malaysia; kerajaan-kerajaan awal yang para pemimpinnya kemudian menggunakan gelar Raja atau Maharaja. Kerajaan-kerajaan awal dicirikan dengan suatu keragaman pusat-pusat politik atau terkadang pusat-pusat politik regional yang tak memiliki tapal-tapal batas yang pasti. Pusat politik bergerak antara kota-kota yang saling bertetagga menurut alur dinasti yang sedang berkuasa. Ketidakstabilan itu menjelaskan alasan kenapa sebagian daerah pemerintahan awal kemudian menghilang begitu saja sejalan dengan berjalannya waktu, sementara yang, lain, menikmati wilayah geografis yang lebih baik dan keuntungan dagang, bisa bertahan dalam waktu yang sangat lama bahkan sampai ratusan tahun. Khusus untuk periode awal masehi di Austronesia (khususnya di wilayah nusantara) dijelaskan bahwa tahapan-tahapan awal pesisir ini dimulai dari pemukiman-pemukiman kecil di sekitar bandar sungai, para penguasa umumnya tidak memiliki kekuasaan melebihi batas-batas wilayah kekuasaan mereka dengan perkembangan dagang, pemukiman berkembang menjadi emporium-emporium yang mendominasi Lebih lanjut diterangkan bahwa kerajaan yang diperkenalkan sebagai Swarnadwipa itu apda abad ke-5 M hanya dada satu kerajaan, yakni kerajaan Kuntala atau Kantoli. Rupa- rupanya kerajaan itu didirikan oleh para penganut Budha dari Gandhara di India Selatan. Mungkin karena mereka telah berdatangan seabad sebelumnya sebab tertarik pada banyaknya emas di pulau itu. Setelah membentuk kerajaan yang kuat di pulau Sumatera, mereka membuat hubungan dengan Cina pada tahun 441 M. Pengiriman itu berlangsung sampai tahun 520 M. Pusat kerajaan Kuntala diperkirakan di dekat perbatasan Jambi dengan Riau. Untuk melihat perkembangan kerajaan-kerajaan di Sumatera sejak awal abad masehi, maka akan ditelusuri perkembangan bentuk-bentuk komunitas mendekati bentuk kerajaan yang paling sederhana. Artinya terbentukkan susunan pemerintahan yang berbentuk kerajaan akibat dari interaksi penduduk setempat dengan pendatang atau pedagang dari India, karena sebagian besar pendapat ahli sejarah menyatakan bahwa bentuk kerajaan pertama jauh semasa agama Hindu dan Budha India yang masyarakat dan daerahnya sudah mempunyai bentuk pemerintahan dengan sistem kerajaan. Perkembangan pemerintahan dengan sistem kerajaan tersebut berpengaruh cepat pada daerah-daerah yang memunyai kontak dagang dengan mereka. Beberapa informasi tentang kerajaan-kerajaan awal akan diterangkan dengan mengutip pendapat dan hasil kajian sejarawan sebelumnya. 2. Kerajaan Koying a. Keberadaan Kerajaan Koying Ada catatan yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari bangsa Wu (222-208 M) tentang adanya negeri Koying.Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812 M) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen- hsien-t’ung-k’ao (Wolters 1967: 51). Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api pada kedudukannya 5.000 di timur Chu-po. 2 Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ada pulau bernama P’u-lei (Pulau). Penduduk yang mendiami pulau itu semuanya telanjang bulat, lelaki maupun wanita, dengan kulit berwarna hitam kelam, giginya putih-putih dan matanya merah. Mereka melakukan dagang barter (tukar menukar) dengan para penumpang kapal yang mau berlabuh di Koying seperti ayam dan babi serta bebuahan yang mereka tukarkan dengan berbagai benda logam. Melihat warna kulitnya kemungkinan besar penduduk P’u-lei itu bukan termasuk rumpun Proto-Negrito yang sebelumnya menghuni daratan Sumatera. Menurut catatan Cina yang lain, lokasi Koying diperkirakan di Indonesia Barat ataupun di Semenanjung Malaka. Jika lokasinya memang di wilayah tersebut akhir itu, pasti hal demikian tidak mungkin karena dilaporkan bahwa Koying merupakan sebuah negeri dengan banyak gunung api sedang di Semananjung Malaka tidak ada gunung api. Jika kedudukannya di Indonesia Barat, yakni di Kalimantan, Jawa atau Sumatera, di pulau tersebut pertama juga tidak ada gunung api. Kalau negeri itu kedudukannya dianggap di Jawa juga sukar untuk diterima mengingat dengan demikian negeri itu harus berada di selatan gunung api bersangkutan yakni misalnya di Pegunungan Selatan Jawa. Kalau Koying dicoba ditempatkan di sebelah timur pulau Jawa, hal itu juga tidak mungkin karena wilayah itu tidak disebut-sebut dalam catatan Cina, dan besar kemungkinan memang belum dikenal oleh mereka. Menurut data Cina, Koying memiliki pelabuhan dan telah aktif mengadakan perdagangan, terutama dengan berbagai daerah di bagian barat Sumatera. Catatan Cina tentang hal itu didapatkan dari sumber India dan Funan (Vietnam) karena pengiriman perutusan perdagangan langsung dengan Cina belum dilakukan. Dilaporkan selanjutnya bahwa Koying berpenduduk sangat banyak dan menghasilkan mutiara, emas, perak, batu giok, batu kristal dan pinang. Dari aktifnya perdagangan rasanya sangat sukar untuk menerima pantai selatan Jawa sebagai kedudukan Koying. Namun dapat ditambahkan selain Koying telah melakukan perdagangan dalam abad ke 3 M juga di Pasemah (wilayah Sumatera Selatan) dan Ranau (wilayah Lampung) telah ditemukan petunjuk adanya aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh Tonkin (Tongkin, Ton-king) dan Vietnam (Fu- nan) dalam abad itu juga. Malahan keramik hasil zaman dinasti Han (abad ke 2 SM sampai abad ke 2 M) ditemukan di wilayah Sumatera tertentu (Ridho, 1979). Adanya kemungkinan penyebaran berbagai negeri di Sumatera Tengah hingga Palembang di Selatan dan Sungai Tungkal di utara digambarkan oleh Obdeyn (1942), namun dalam gambar itu kedudukan negeri Koying tidak ada. Jika benar Koying berada di sebelah timur Tupo (Thu-po, Tchu-po, Chu-po) dan kedudukannya di Muara pertemuan dua sungai, maka ada dua tempat yang demikian yakni Muara Sabak (Zabaq, Djaba, Djawa, Jawa) dan Muara Tembesi (Fo-ts’i, San-fo-tsi’, Fo-che, Che-li-fo-che) sebelum seorang sampai di Jambi (Tchan-pie, Sanfin, Malayur, Moloyu, Malayu). Dengan demikian seolah-olah perpindahan Kerajaan Malayu Kuno pra-Sriwijaya bergeser dari arah barat ke timur mengikuti pendangkalan Teluk Wen yang disebabkan oleh sedimen terbawa oleh sungai terutama Batang Tembesi. Interaksi dagang yang terjadi secara langsung dan adapula melalui perantaraan pihak ketiga. Hubungan dagang secara langsung terjadi dalam perdagangan dengan
Recommended publications
  • Bustamin , Islam Di Jawa Hubungannya Dengan Dunia Melayu | 113
    Bustamin , Islam Di Jawa Hubungannya Dengan Dunia Melayu | 113 ISLAM DI JAWA Hubungannya Dengan Dunia Melayu Oleh: Bustamin [email protected] Abstrak : Islam di Asia Tenggara mempunyai daya tarik untuk diteliti, karena tidak hanya sekedar tempat bagi agama besar dunia –Islam, Budha, Kristen dan Hindu—tetapi juga penyebarannya sedemikian rupa sehingga ikatan-ikatan yang mempersatukan pengikutnya dapat mengaburkan dan sekaligus menegaskan batas-batas perbedaan politis dan teritorial. Dalam masalah ini kasus Islam adalah yang paling menarik, mengingat para pengikutnya terdapat di hampir semua negara Asia Tenggara dalam jumlah yang besar. Penelusuran kembali sumber-sumber lokal yang berhubungan dengan kesultanan di Jawa menjadi penting dilakukan. Dengan penelusuran ini diharapkan akan diperoleh data dan fakta mengenai sejarah awal dan perkembangan Islam di Jawa. Data dan fakta tersebut kemudian diidentifikasi, dideskripsikan, diverifikasi, dan dihadirkan sebagai bukti sejarah yang dapat dipercaya. Dalam rangka penelusuran data dan fakta tersebut, ISMA mengadakan seminar Islam di Asia Tenggara, salah satunya adalah Islam di Jawa, yaitu datang, masuk dan berkembangnya. Kata Kunci: Islam, Jawa, Melayu, Dunia, Sejarah A. Pendahuluan Sampai sekarang, sejarah masuknya dan berkembangnya Islam di Asia Tenggara, masih menjadi perdebatan dan menjadi kajian yang menarik. Permasalahannya masih berkisar kapan masuknya Islam, siapa pembawanya, wilayah mana yang pertama kali didatangi, serta bagaimana proses pengislamannya. Terkait dengan perkembangan
    [Show full text]
  • Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten
    Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten (Western Java, Indonesia) Gabriel Facal Abstract: This article examines the religious specificities of Banten during the early Islamizing of the region. The main characteristics of this process reside in a link between commerce and Muslim networks, a strong cosmopolitism, a variety of the Islam practices, the large number of brotherhoods’ followers and the popularity of esoteric practices. These specificities implicate that the Islamizing of the region was very progressive within period of time and the processes of conversion also generated inter-influence with local religious practices and cosmologies. As a consequence, the widespread assertion that Banten is a bastion of religious orthodoxy and the image the region suffers today as hosting bases of rigorist movements may be nuanced by the variety of the forms that Islam took through history. The dominant media- centered perspective also eludes the fact that cohabitation between religion and ritual initiation still composes the authority structure. This article aims to contribute to the knowledge of this phenomenon. Keywords: Islam, Banten, sultanate, initiation, commerce, cosmopolitism, brotherhoods. 1 Banten is well-known by historians to have been, during the Dutch colonial period at the XIXth century, a region where the observance of religious duties, like charity (zakat) and the pilgrimage to Mecca (hajj), was stronger than elsewhere in Java1. In the Indonesian popular vision, it is also considered to have been a stronghold against the Dutch occupation, and the Bantenese have the reputation to be rougher than their neighbors, that is the Sundanese. This image is mainly linked to the extended practice of local martial arts (penca) and invulnerability (debus) which are widespread and still transmitted in a number of Islamic boarding schools (pesantren).
    [Show full text]
  • Western Java, Indonesia)
    Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten (Western Java, Indonesia) Gabriel Facal Université de Provence, Marseille. Abstrak Artikel ini membahas kekhasan agama di Banten pada masa awal Islamisasi di wilayah tersebut. Karakteristik utama dari proses Islamisasi Banten terletak pada hubungan antara perdagangan dengan jaringan Muslim, kosmopolitanisme yang kuat, keragaman praktek keislaman, besarnya pengikut persaudaraan dan maraknya praktik esotoris. Kekhasan ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi Banten sangat cepat dari sisi waktu dan perpindahan agama/konversi yang terjadi merupakan hasil dari proses saling mempengaruhi antara Islam, agama lokal, dan kosmologi. Akibatnya, muncul anggapan bahwa Banten merupakan benteng ortodoksi agama. Kesan yang muncul saat ini adalah bahwa Banten sebagai basis gerakan rigoris/radikal dipengaruhi oleh bentuk-bentuk keislaman yang tumbuh dalam sejarah. Dominasi pandangan media juga menampik kenyataan bahwa persandingan antara agama dan ritual masih membentuk struktur kekuasaan. Artikel ini bertujuan untuk berkontribusi dalam diskusi akademik terkait fenomena tersebut. Abstract The author examines the religious specifics of Banten during the early Islamizing of the region. The main characteristics of the process resided in a link between commerce and Muslim networks, a strong cosmopolitism, a variety of the Islam practices, the large number of brotherhood followers and the popularity of esoteric practices. These specificities indicated that the Islamizing of the region was very progressive within 16th century and the processes of conversion also generated inter-influence with local religious practices and cosmologies. As a consequence, the widespread assertion that Banten is a bastion of religious orthodoxy and the image the region suffers today as hosting bases of rigorist movements may be nuanced by the variety of the forms that Islam 91 Religious Specificities in the Early Sultanate of Banten (Western Java, Indonesia) took throughout history.
    [Show full text]
  • Torch Light in the City: Auto/Ethnographic Studies of Urban Kampung Community in Depok City, West Java1
    Torch light in the city: Auto/Ethnographic Studies of Urban Kampung Community in Depok City, West Java1 Hestu Prahara Department of Anthropology, University of Indonesia “Di kamar ini aku dilahirkan, di bale bambu buah tangan bapakku. Di rumah ini aku dibesar- kan, dibelai mesra lentik jari ibuku. Nama dusunku Ujung Aspal Pondokgede. Rimbun dan anggun, ramah senyum penghuni dusunku. Sampai saat tanah moyangku tersentuh sebuah rencana demi serakahnya kota. Terlihat murung wajah pribumi… Angkuh tembok pabrik berdiri. Satu persatu sahabat pergi dan takkan pernah kembali” “In this room I was born, in a bamboo bed made by my father’s hands. In this house I was raised, caressed tenderly by my mother’s hands. Ujung Aspal Pondokgede is the name of my village. She is lush and graceful with friendly smile from the villagers. Until then my ancestor’s land was touched by the greedy plan of the city. The people’s faces look wistful… Factory wall arrogantly stood. One by one best friends leave and will never come back” (Iwan Fals, Ujung Aspal Pondokgede) Background The economic growth and socio-spatial trans- an important role as a buffer zone for the nucleus. formation in Kota Depok cannot be separated Demographically speaking, there is a tendency of from the growth of the capital city of Indonesia, increasing population in JABODETABEK area DKI Jakarta. Sunarya (2004) described Kota from time to time. From the total of Indonesian Depok as Kota Baru (new city) of which its socio- population, 3 percent live in satellite cities of economic transformations is strongly related to Jakarta area in 1961, increased by 6 percent in the development of greater Jakarta metropolitan.
    [Show full text]
  • Awal Pengaruh Hindu Buddha Di Nusantara
    AWAL PENGARUH HINDU BUDDHA DI NUSANTARA Agustijanto Indradjaja Pusat Arkeologi Nasional, Jl. Condet Pejaten No. 4, Jakarta Selatan 12510 [email protected] Endang Sri Hardiati [email protected] Abstrak. Berbicara tentang awal pengaruh Hindu Buddha di Nusantara sejauh ini selalu dimulai pada sekitar abad ke-5 M. yang ditandai oleh kehadiran kerajaan Kutai dan Tarumanagara di Nusantara dan masih sedikit perhatian terhadap periode sebelum itu. Padahal periode awal sampai dengan abad ke-5 M. adalah periode krusial bagi munculnya kerajaan yang bercorak Hindu- Buddha di Nusantara. Penelitian terhadap periode awal sejarah dimaksudkan untuk mengungkapkan dinamika sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat Nusantara sehingga mampu menerima dan menyerap unsur-unsur budaya asing (India) yang pada puncaknya memunculkan sejumlah ARKENASkerajaan bersifat Hindu-Buddha di Nusantara. Metode analisis yang dipakai adalah metode analisis tipologis dan kontekstual serta beberapa analisis C-14 atas temuan diharapkan dapat menjelaskan kondisi masyarakat Nusantara pada masa lalu. Hasil penelitian ini dapat mengidentifikasikan sejumlah tinggalan arkeologi seperti sisa tiang rumah, sisa perahu, keramik, tembikar, manik-manik, alat logam, dan sejumlah kubur yang diidentifikasi berasal dari periode awal sejarah. Berdasarkan tinggalan tersebut dapat direkonstruksi kondisi sosial-ekonomi masyarakat Nusantara dan peranannya di dunia internasional di Kawasan Asia Tenggara. Kata kunci: Awal sejarah, Hindu-Buddha, Nusantara, Budaya India. Abstract. Early Hindu-Buddhist Influence in the Indonesian Nusantara. So far discussions about early Hindu-Buddhist influence in the Indonesian Archipelago (Nusantara) have always been started at around 5th Century AD, which is characterized by the presence of the kingdoms of Kutai and Tarumanagara in the archipelago, while the earlier period is barely noticed although the period between early and 5th century AD is a crucial period for the emergence of Hindu- Buddhist kingdoms in the archipelago.
    [Show full text]
  • Psychology Counseling of Sufistic Method for an EX-Hoodlum and Prostitute to Be Islamic Behaviour Shift (Quran Memorizers)
    Psychology Research, November 2018, Vol. 8, No. 11, 558-566 doi:10.17265/2159-5542/2018.11.003 D DAVID PUBLISHING Psychology Counseling of Sufistic Method for an EX-Hoodlum and Prostitute to Be Islamic Behaviour Shift (Quran Memorizers) Elfi Mu’awanah IAIN Tulungagung, East Java, Indonesia The researcher argues that KH Muhammad Ali Shodiqin or Gus Ali Gondrong, a chairperson of Roudotun Ni’mah Islamic boarding school in Semarang, can be used as an inspiration source to give counseling to Muslim clients with sholawat as sufistic counseling. His Islamic boarding school becomes famous not due to sholawat mafia, but because he is preaching in a way appropriate for youth. The figure of Gus Ali is loved by young people and most of them are street children, “naughty” children, and hoodlums. Gus Ali’s pupils or Santri is also not ordinary children born to ordinary families, but they are “extraordinary” kids, since they can get out of the dark society covering them. Most santris are hoodlums, thugs, ex-gambler, ex-drunkards, and even ex-prostitutes. Everyone receives guidance from Allah SWT so that they can be educated at Roudlotun Ni’mah Islamic boarding school. This may sound quite weird for common people, since the word “Mafia” stands for unifying mind and heart into Sholawat. It is expected that the followers will love to do sholawat, and do sholawat continuously and full of self-consciousness. Members of this community come from various life backgrounds; among them are the youth and ex-thugs. It is hoped that this youngster style sholawat group can attract many people, especially the youth.
    [Show full text]
  • Dermaga-Sastra-Indon
    Dermaga Sastra Indonesia Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji sampai Suryatati A. Manan komodo books komodo books DERMAGA SASTRA INDONESIA: Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji sampai Suryatati A Manan Tim Penyusun: Pelindung: Dra. Hj. Suryatati A. Manan (Walikota Tanjungpinang) Drs. Edward Mushalli (Wakil Walikota Tanjungpinang) Penasehat: Drs. Gatot Winoto, M.T. (Plt. Sekretaris Daerah Kota Tanjungpinang) Penanggung Jawab: Drs. Abdul Kadir Ibrahim, M.T. (Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang) Ketua: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum. Wakil Ketua: Syafaruddin, S.Sn., M.M. Sekretaris: Said Hamid, S.Sos. Anggota: Drs. Al azhar Drs. H. Abdul Malik, M.Pd. Drs. Agus R. Sarjono, M. Hum. Raja Malik Afrizal Desain dan Visualisi Isi: Drs. Tugas Suprianto Pemeriksa Aksara: Muhammad Al Faris ISBN: 979-98965-6-3-2 Diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau bekerja sama dengan Penerbit Komodo Books, Jakarta ii DERMAGA SASTRA INDONESIA WALIKOTA TANJUNGPINANG SAMBUTAN WALIKOTA TANJUNGPINANG Bismillâhirrahmânirrahîm. Assalâmu‘alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh. Salam sejahtera bagi kita semua. Encik-encik, Tuan-tuan, Puan-puan, dan para pembaca yang saya hormati, Pertama-tama marilah kita mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga kita dapat melanjutkan aktivitas dan kreativitas masing-masing dalam rangka mencapai ridha-Nya. Shalawat dan salam senantiasa diucapkan untuk junjungan alam, Nabi Besar Muhammad SAW. Allâhumma shalli ‘alâ saiyidinâ Muhammad. Sidang pembaca yang saya muliakan, Terkait dan terbabit pertumbuhkembangan sastra Indo- nesia modern sampai dewasa ini, sejatinyalah tidak dapat dipisahkan dengan adanya sastra Melayu yang sentralnya antara lain di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, sejak berbilang abad yang lampau.
    [Show full text]
  • 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
    1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banten merupakan salah satu bumi intelektualitas yang banyak melahirkan ulama ilmiah dan pejuang. Syekh Nawawi Al-Bantani yang berasal dari Banten, menjadi salah satu contoh teladan bagi kemajuan perkembangan gerakan keagamaan Islam di Indonesia. Keulamaan beliau sangat dihormati oleh kalangan tokoh-tokoh Islam Indonesia pada abad ke-18, tidak pelak lagi, banyak murid yang dulu berguru kepadanya menjadi tokoh yang punya pengaruh besar di nusantara. Di antara yang pernah menjadi murid beliau adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) almarhum Hadraatussyekh Kyai Haji Hasyim Asy’ari. Banten tidak hanya dikenal dengan intelektualitas keulamaannya, tetapi juga dari segi pewacanaan masa lampau, daerah ini menyimpan segudang sejarah yang banyak dikaji oleh peneliti dari dalam maupun manca. Daerah yang dikenal dengan permainan tradisional debusnya ini, banyak sekali dibahas dalam literatur- literatur asing. Claude Guillot, seorang sejarawan dan arkeolog asal Prancis, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya akan kekayaan sumber-sumber sejarah Banten, ia berujar bahwa, “... Banten adalah negeri yang kaya sekali akan sumber- sumber sejarah. Kerajaan ini bukan hanya telah menulis sejarahnya sendiri, melainkan juga merangsang banyak tulisan dari pengunjung-pengunjung asing, khususnya Eropa...”1 1 Claude Guillot, Banten (Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008, hlm. 11-12. 2 Kekhasan dan keunikan sumber sejarah Banten yang beraneka ragam tidak bisa lepas dari letak geografis
    [Show full text]
  • Chapter 1: Sino-Malay Interaction in the First Millenium AD
    Chapter 1 S ino -M alay INTERACTION IN THE FIRST MILLENNIUM AD Since the late first millennium BC, the Malay region has played a pivotal role in the international maritime economy that encompasses maritime Southeast Asia, the South China Sea region, and the Indian Ocean littoral. This role has been as much the result of the region’s strategic location in maritime Asia as the geographical and demographic characteristics of the region’s islands. Unlike land-based polities, which have inter- nal economies based on agrarian hinterlands that enabled them to be self-sufficient, the islands of the Malay region have throughout history maintained two distinct types of societies—coastal societies and upland social groups. The polities of the Malay coastal region did not extend very far inland. The islands’ mountainous interiors have been occu- pied by groups who were ethnically and even linguistically distinct from the coastal societies.1 Although the coastal and inland groups interacted with each other economically, the prosperity and political stability of the coastal groups were determined mainly by their ability to capitalize on the international maritime trade that flowed through the region. The ports of the Malay region participated in the international trade in three ways. The first was by acting as an entrepôt in the trade between the Indian Ocean, the South China Sea, and island Southeast Asia. From the middle of the first millennium AD onward, the port-settlements along the Strait of Malacca and the northeastern parts of the Java Sea were able to capitalize on the region’s geographical advantages, under the leadership of a succession of port-polities that were able to project themselves as the key entrepôt in different eras.
    [Show full text]
  • Bab 2 Landasan Teori
    BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Umum 2.1.1. Letak Geografis Sumatra Barat Secara geografis, Provinsi Sumatera Barat terletak pada garis 00 54’ Lintang Utara sampai dengan 30 30’ Lintang Selatan serta 980 36’ – 1010 53’ Bujur Timur dengan luas wilayah 42.29730 Km2 atau 4.229.730 Ha. Luas perairan laut Provinsi Sumatera Barat kurang lebih 186.500 Km2 dengan jumlah pulau besar dan kecil sekitar 345 pulau. 2.1.2. Kedatangan Majapahit Di Minangkabau Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit, sekaligus melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman. Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 masehi atau 1267 saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya dengan namaMalayapura. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya, dan memindahkan ibukotanya dari Dharmasraya ke daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso). Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada bangsa Mauli penguasa Dharmasraya, dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari 3 4 Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi. 2.1.3. Kerajaan Pagaruyung Masa Kebudayaan Islam Sultan Alif Khalifatullah naik tahta sekitar tahun 1560. Beliau merupakan raja (sultan) pertama di Kerajaan Pagaruyung yang memeluk agama Islam.
    [Show full text]
  • 5. Kontekstualisasi Adat Dan Syarak Dalam Tradisi Masyarakat Melayu Jambi
    KUASA SIMBOLIK ADAT DAN SYARAK DALAM TRADISI MASYARAKAT MELAYU Dr. Fuad Rahman, M.Ag. Penerbit Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jalan Arif Rahman Hakim Telanaipura Kota Jambi Telp. (0741) 60731, email: [email protected] i Kuasa Simbolik Adat dan Syarak dalam Tradisi Masyarakat Melayu Penulis : Fuad Rahman Editor : M.H. Abid Sohiron Layout : Cahaya Firdaus Design Cover : Cahaya Firdaus Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN : 978-602-60957-7-0 viii, 268 hal (15,5x23 cm) Cetakan Tahun 2020 Alamat Penerbit : Pascasarjana UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jalan Arif Rahman Hakim Telanaipura Kota Jambi Telp. (0741) 60731, email: [email protected] Undang – undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak Cipta merupakan Hak Eklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundanga-undangan yang berlaku Lingkup Hak Cipta Pasal 72 1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat 1 atau pasal 49 ayat 1 dan 2 dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau paling banyak Rp. 5.000.000.000,- 2. Barang siapa dengan dengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dipidana dengan penjara paling lam 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- ii KATA PENGANTAR Buku Kuasa Simbolik Adat dan Syarak dalam Tradisi Masyarakat Melayu adalah bagian dari ikhtiar penulis untuk mengungkap fenomena keterhubungan antara adat dan syarak.
    [Show full text]
  • Region Kabupaten Kecamatan Kelurahan Alamat Agen Agen Id Nama Agen Pic Agen Jaringan Kantor
    REGION KABUPATEN KECAMATAN KELURAHAN ALAMAT AGEN AGEN ID NAMA AGEN PIC AGEN JARINGAN_KANTOR NORTHERN SUMATERA ACEEH UTARA DEWANTARA ULEE PULO GAMPONG ULEE PULO 213IB0107P000076 INDI CELL INDIRA MAYA RISWADANA PENSION LHOKSEUMAWE NORTHERN SUMATERA ACEEH UTARA SEUNUDDON ALUE CAPLI DUSUN MATANG ARON 213IB0115P000048 DUA PUTRA MANDIRI RATNA JELITA PENSION LHOKSEUMAWE NORTHERN SUMATERA ACEH BESAR BAITUSSALAM BAET DUSUN KRUENG CUT 213IA0115P000031 KIOS NASI IBU BETA SURYANI PENSION BANDA ACEH NORTHERN SUMATERA ACEH BESAR BAITUSSALAM BAET JL LAKSAMANA MALAHAYATI 213IA0115P000039 KIOS WARKOP PAYONG 1903 HERI DARMANSYAH PENSION BANDA ACEH NORTHERN SUMATERA ACEH BESAR BAITUSSALAM BAET JL LAKSAMANA MALAHAYATI 213IA0115P005130 MOCHY CELL ERNI PENSION BANDA ACEH NORTHERN SUMATERA ACEH BESAR BAITUSSALAM BAET JL LAKSAMANA MALAHAYATI 213IA0115P010046 KIOS ARRAHMAN ARAHMAN KAUNUS PENSION BANDA ACEH NORTHERN SUMATERA ACEH BESAR BAITUSSALAM BAET JL LAKSAMANA MALAHAYATI 213IA0115P000026 KIOS ZAIMAN ZAIMAN NURDIN S.PT PENSION BANDA ACEH NORTHERN SUMATERA ACEH BESAR BAITUSSALAM CADEK JL LAKSAMANA MALAHAYATI 213IA0115P010008 ARITA NEW STEEL MASRI PENSION BANDA ACEH NORTHERN SUMATERA ACEH BESAR BAITUSSALAM CADEK JL LAKSAMANA MALAHAYATI 213IA0115P005091 USAHA HIJRAH SYAIF ANNUR PENSION BANDA ACEH NORTHERN SUMATERA ACEH BESAR BAITUSSALAM CADEK JL MALAHAYATI 213IA0115P005080 USAHA BARU T ISKANDAR PENSION BANDA ACEH NORTHERN SUMATERA ACEH BESAR BAITUSSALAM CADEK JL. LAKSAMANA MALAHAYATI 213IA0115P000004 PUTRA MAMA ANWARDI PENSION BANDA ACEH NORTHERN SUMATERA ACEH
    [Show full text]