Analisis Sejarah Vol.9 No. 1, 2020 Labor Sejarah Unand

Potensi Sejarah dan Purbakala Das Batanghari

Witrianto

Staf pengajar Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang

Abstract

Batang Hari River Basin is an area bounded by topography and blunt receiving rain water, sediment and nutrients, and running it through its tributaries. Batanghari DAS consists of three parts, namely the upstream, midstream and downstream, located in West and province, each of which has different physical characteristics. In the upper region is located at an altitude 500- 1000 meters above sea level with rainfall 3000 mm / yr and the geology is dominated Bukit Barisan mountains that are volcanic quarter. Culture that flourished in the upper reaches of the culture, especially in the of Province, located in Solok District, South Solok, and , while the center is a cultural area with a mixture of Malay Minangkabau Jambi is located in the district of Bungo and Tebo, the downstream Malay culture is an area located in the city of Jambi Jambi, District Batanghari, Muarojambi, Tanjungjabung East. Along the flows are historical relics from the small kingdoms and large, like a Malay kingdom, Dharmasraya, Siguntur, Alam Surambi Sungaipagu, Pulaupunjung, and others.

Keywords: Watershed, culture, historical

PENDAHULUAN Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi pembatas topografi (punggungan bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta mengalirkan melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet). Selanjutnya Departemen Kehutanan (2001) memberikan pengertian bahwa Daerah Aliran Sungai adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan smber air lainnya, dan kemudian mengalirkan melalui sungai utamanya (single outlet). Suatu DAS dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya (DAS-DAS) oleh pemisah dan topografi, seperti punggug perbukitan dan pegunungan. Daerah Aliran Sungai Batanghari merupakan kawasan yang dibatasi oleh topografi yang menerima dan menumpulkan air hujan, sedimentasi dan unsur hara dan mengalirkannya melalui anak-anak sungainya. DAS Batanghari terdiri dari tiga bagian yaitu hulu, tengah dan hilir yang masing-masing mempunyai ciri fisik yang berbeda. Pada bagian hulu terletak pada wilayah ketinggian 500 – 1.000 mdpl dengan curah hujan 3.000 mm/th dan geologinya didominasi pegunungan Bukit Barisan yang bersifat vulkan kuarter. Dari hulu sampai hilir matapencaharian masyarakat pada DAS Batanghari didominasi sektor pertanian Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 32

untuk menunjang perekonomian dan merupakan penyumbang terbesar pembangunan dalam PDRB daerah. DAS Batanghari mempunyai luas daerah tangkapan air (catchment area) ± 4,5 juta hektar, dan merupakan DAS terbesar kedua di (Departemen Kehutanan, 2002). Secara administrasi pemerintahan, sebagian besar DAS Batanghari berada di wilayah Provinsi Jambi (bagian hulu, tengah dan hilir DAS), sisanya berada di wilayah Provinsi Sumatera Barat (hulu DAS). Keberadaan DAS ini ditunjang pula dengan adanya faktor fisik berupa geologi, morfologi, litologi jenis tanah dan faktor sosial ekonomi. Sungai Batanghari merupakan sungai terpanjang di Sumatera yang memiliki panjang 800 km. Di samping digunakan sebagai tempat mandi, mencuci, dan irigasi pertanian bagi penduduk yang bertempat tinggal di sepanjang tepiannya, sungai ini juga dipergunakan sebagai sarana transportasi yang menghubungkan berbagai kota dan desa yang ada di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat. Sungai Batanghari berhulu di Jorong Batanghari Alahanpanjang Kecamatan Lembahgumanti Kabupaten Solok. Dari Kabupaten Solok, sungai ini kemudian terus mengalir ke Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Batanghari, Kota Jambi, Kabupaten Muaro Jambi, kabupaten Tanjung Jabung Timur sampai akhirnya bermuara di perairan Timur Sumatera dekat Muara Sabak. Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari secara geografis terletak pada posisi 0˚43’ - 0˚46’ Lintang Selatan dan 100˚45’ - 104˚25’ Bujur Timir. Secara topografis DAS Batanghari dibatasi oleh Bukit Barisan di sebelah barat dengan puncak Gunung Kerinci, Gunung Tujuh, Gunung Pantai Cermin, Gunung Mesjid, Gunung Terasik, Gunung Raja, dan Gunung Kunyit. Sedang di sebelah selatan berbatasan dengan puncak puncak gunung dari Gunung Tengah Leras, Gunung Pandan Bongsu, dan Gunung Kayu Aro. Selanjutnya di sebelah utara berbatasan dengan puncak-puncak gunung dari Gunung Tigajerai dan Gunung Rinting, dan sebelah timur berbatasan dengan Selat Berhala (Departemen Kehutanan 1993). Sedangkan secara administratif, DAS Batanghari berbatasan dengan Provinsi Riau di bagian utara, pada bagian barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan , sedang di bagian selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan, sementara di bagian timur berbatasan dengan Selat Berhala. Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia, mencakup luas areal tangkapan (catchment area) ± 4,5 juta Ha (Departemen Kehutanan, 2002), dan meliputi sebagian besar wilayah Provinsi Jambi dan sebagian Provinsi Sumatera Barat. anjang Sungai Batanghari ± 775 Km berhulu di Pegunungan Bukit Barisan dan bermuara di Selat Berhala. Sungai- sungai besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Bungo, dan Batang Suliti. DAS Batanghari mempunyai topografi yang bervariasi dari dataran rendah sampai pegunungan. Daerah dataran rendah umumnya berada di bagian tengah dan hilir DAS, sementara daerah pegunungan berada di daerah hulu yang juga merupakan bagian dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Elevasi berkisar dari 200 m dpl sampai dengan > 3000 dpl. Puncak-puncak gunung yang tinggi yang terdapat di kawasan DAS Batanghari seperti Gunung Kerinci (3.805 m), Gunung Tujuh (2.604 m) Gunung Baleng (2.560 m), Gunung Ratam (2.566 m), Gunung Pantai Cermin (2.690 m),

Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 33

Gunung Terembung (2.577 m), dan Gunung Raya (2.543 m), (Departemen Kehutanan, 2002). Kawasan DAS Batanghari semenjak ribuan tahun lalu telah menjadi sarana transportasi dan denyut kehidupan manusia masa lampau. Khususnya pada abad VII sampai dengan abad ke-14yang berdasarkan bukti peninggalan sejarah merupakan masa keemasan kerajaan-kerajaan Hindu Buddha. Di Kabupaten Dharmasraya sendiri pada periode tersebut berdasarkan bukti sejarah yang ada telah berdiri Kerajaan Melayu Dharmasraya yang dipimpin oleh dengan pusat pemerintahan di Dharmasraya. Kawasan kepurbakalaan di DAS Batanghari, khususnya di Kabupaten Dharmasraya tersebar dari mulai arah hulu sungai Batanghari di daerah Rambahan (Lubukbulang Kecamatan Pulaupunjung., Siguntur (Kecamatan Sitiung), Sungai Lansek (Kecamatan Sitiung, sampai ke Padanglaweh (Kecamatan Kotobaru). Perjalanan panjang sejarah Dharmasraya dan jambi tidak bisa dilepaskan dari peranan Sungai Batanghari. Sungai Batanghari memainkan peranan penting sebagai sarana yang menghubungkan daerah hulu sebagai penghasil emas dan komoditas pertanian dengan daerah hilir yang berfungsi sebagai pelabuhan pada masa Kerajaan Melayu.

II. KERAJAAN MELAYU Nama Melayu sudah dikenal pada abad ke-7 yang diketahui dari Kitab Sejarah Dinasti Tang di Cina yang menyebutkan bahwa pada tahun 644-645 datang utusan dari Mo-le-yeu di Cina. Kata Mo-le-yeu diidentifikasikan dengan Melayu yang letaknya di Pantai Timur Sumatera dengan pusatnya di Tepi Sungai Batanghari (Marjoned, 1993). Selain itu, dari Berita Arab, pada masa pemerintahan Muawiyah (661-681) dari Dinasti Umayyah, menyebutkan bahwa bandar lada terbesar di Sumatera terletak di Zabag Sribusa, yang diidentifikasikan sebagai Muara Sabak, sebuah kota pesisir yang terletak di muara Sungai Batanghari (Sulaiman, 1979). Berita lainnya didapatkan dari kisah perjalanan seorang filosof Cina bernama I-Tsing (671) yang dalam perjalannya dari Kanton ke India, pernah singgah di She-li-fo-she, yang diidentifikasi sebagai Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar bahasa Sansekerta dan agama Buddha. Tahun 1672 ia berlayar dari Sriwijaya ke India dengan menggunakan kapal milik raja dan singgah selama dua bulan di Mo-le-yeu (Sartono, 1992). Hal ini menunjukkan bahwa pada masa ini sudah ada Kerajaan Melayu. Berita ini juga senada dengan Prasasti Kedukan Bukit yang berangka tahun 682 M. Prasasti ini berbahasa Melayu Kuno dengan menggunakan Huruf Palawa yang mengatakan berita yang berisi: “Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa tentara sebanyak dua laksa dan 200 peti perbekalan dengan perahu, serta 1.312 orang tentara yang berjalan di darat (Noor, 2007). Krom dan Poerbatjaraka mencoba menjelaskan bahwa tentara yang disebut dalam Prasasti Kedukan Bukit berasal dari Minanga yang diidentifikasi sebagai Minangkabau, sebelum sampai ke lebih dahulu datang ke melayu yang terletak di tepi Sungai Batanghari. Apabila pendapat ini benar, berarti ada seorang pembesar Minangkabau yang pergi berperang, berhenti lebih dahulu di Melayu, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Palembang dengan mendapat kemenangan lalu membuat kota di daerah itu yang diberi nama Sriwijaya.

Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 34

Kisah perjalanan I-Tsing dan kisah perjalanan Dapunta Hyang dalam Prasasti Kedukan Bukit memberi gambaran bahwa Melayu adalah tempat persinggahan yang cukup penting, karena tidak dilewati begitu saja. Coedes (1930) dan Poerbatjaraka (1952) membacanya dengan Minanga Tamwam dan menjelaskan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya adalah Minangkabau atau sekitar pertemuan Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar Kiri yang sekarang terletak dalam wilayah Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jika pernyataan Krom, Poerbatjaraka, dan Coedes benar, dapat disimpulkan bahwa Minangkabau sudah ada sebelum Sriwijaya. Menurut Bambang Soemandio, sebagaimana dikutip oleh Utomo (2002), ketika I-Tsing datang untuk kedua kalinya ke Mo-le-yeu, daerah ini telah menjadi bagian dari Sriwijaya. Menurut Sartono (1992), pada masa ini nama Jambi identik dengan nama Melayu. Pada Cian yang ditulis oleh Ling Piao Lui, disebutkan bahwa Chan-pi yang diidentifikasi sebagai Jambi tahun 853 dan 871 mengirim misi dagang ke Cina (Utomo, 1992). Kemudian dalam Dinasti Song (960-1270), disebutkan sebuah kerajaan Sumatera bernama San-fo-tsi, yang terletak di Laut Selatan dengan ibukotanya Chan-pi. Berdasarkan catatan sejarah, Melayu pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singasari, , Malaka hingga Johor- Riau. Setelah Koying, Tupo dan runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di masa pemerintahan dinasti T’ang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad ke-7, M di masa pemerintahan dinasti Sung. Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari Sriwijaya yang berdiri tahun 670. Harus diakui bahwa, sejarah tentang Melayu kuno ini masih gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari negeri Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan. Namun, dibandingkan daerah lainnya di Sumatera, data arkeologis yang ditemukan di Jambi merupakan yang terlengkap. Data-data arkeologis tersebut terutama berasal dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka, sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada fase pasca abad ke-9, terutama ketika Aditywarman mendirikan Kerajaan Swarnabhumi pada pertengahan abad ke-14 M (Noor, 2007). Pada saat Kerajaan Sriwijaya berdiri, Kerajaan Melayu menjadi daerah taklukannya. Kemudian, ketika Sriwijaya runtuh akibat serangan Kerajaan Cola dari India pada tahun 1025 M, para bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batanghari, dan bergabung dengan Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dulu berdiri, tapi saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M, keadaan berbalik, Kerajaan Melayu menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran. Kerajaan Melayu mulai berkembang lagi dengan nama Melayu Dharmasraya yang berpusat di hulu Sungai Batanghari. Kerajaan ini dinamakan Melayu Dharmasraya karena berpusat di Dharmasraya yang sekarang menjadi nama sebuah kabupaten di Provinsi Sumatera Barat. Rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: dan Dara Petak.

Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 35

Menjelang akhir abad ke-13, Raja Kartanegara dari Kerajaan Singasari mengirim dua kali ekspedisi, yang kemudian dikenal dengan nama Ekspedisi I dan II. Dalam ekspedisi pertama, Kartanegara berhasil menaklukkan Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memang sudah lemah. Berdasarkan Babad Jawa versi Mangkunegaran disebutkan bahwa, Kartanegara menaklukkan Melayu pada tahun 1275 M. Menurut sumber sejarah yang tertulis dalam Kitab Pararaton dan Negarakertagama disebutkan bahwa tahun 1275, Raja Kertanegara mengirim tentaranya ke Kerajaan Melayu. Pengiriman pasukan ini dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang, kemudian ditahun 1286 Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan Amoghapasa yang kemudian dipahatkan pada Prasasti Padang Roco di Dharmasraya ibukota Bhumi Malayu sebagai hadiah dari kerajaan (Joned, 1993). Maksud dari ekspedisi ini adalah untuk menjalin persahabatan antara Singasari dari Jawa dengan Melayu di Sumatera untuk sama-sama menahan serangan ekspansi Kaisar Khubilai Khan dari Cina. Pada tahun 1286 M, Kartanegara mengirimkan sebuah arca Amogapacha ke Kerajaan Dharmasraya. Raja dan rakyat Dharmasraya sangat gembira menerima persembahan dari Kartanegara ini. Untuk memperat persahabatan kedua kerajaan tersebut, untuk membalas pemberian hadiah arca tersebut, Raja Melayu Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, menyerahkan dua orang putrinya Dara Petak dan Dara Jingga untuk dikawini oleh bangsawan Singasari. Ketika utusan Kartanegara ini kembali ke tanah Jawa, mereka mendapatkan Kerajaan Singosari telah hancur akibat serangan Jayakatwang dan pasukan Kubilai Khan. Sebagai penerus Singosari, muncul Kerajaan Majapahit dengan raja pertama . Kedua putri ini kemudian dikawini oleh bangsawan Majapahit sebagai penerus Kerajaan Singasari yang sudah dikalahkan oleh Kerajaan Kediri. araD kataP dinikahkan oleh Raja Raden Wijaya yang telah menjadi raja Majapahit penganti Singhasari, dan pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sedangkan Dara Jingga dinikahkan dengan Alaki Dewa (orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Janaka atau Warmadewa yang identik dengan Adityawarman. Demikianlah, keturunan Dara Petak menjadi Raja, sementara keturunan Dara Jingga, yaitu Adityawarman, menjadi salah seorang pejabat di istana Majapahit. Tujuan utama Kertanegara dari Kerajaan Singhasari menyerang Kerajaan Melayu adalah untuk menaklukkan Sumatera berdasarkan jejak sejarah yang terdapat pada Lapik Patung Amoghapasa yang ditemukan di daerah Rambahan – Lubukbulang Kecamatan Pulaupunjung Kabupaten Dharmasraya. Pada tahun 1208 Saka (1286 M), Kertanegara, Raja Singhasari, memberikan hadiah berupa patung Buddha (Amoghapasa) kepada penguasa Kerajaan Melayu. Patung tersebut dibawa dari Jawa ke Sumatera dan ditempatkan di Dharmasraya (diantuk dari bhumi Jawa ka Swarnnabhumi dipratistha di Dharmasraya), dan seluruh penduduk di Bhumi Malayu. Teori lainnya dikemukakan oleh C.C. Berg yang mengatakan bahwa Ekspedisi Pamalayu dan ekspedisi lainnya dari penguasa-penguasa di Jawa merupakan bagian dari far-reacing imperialistic dan secara sistematis telah direncanakan, yang bertujuan untuk menyatukan Nusantara (Jawa dan Sumatera) untuk menghadapi kemungkinan serangan dari Can dengan membentuk Aliansi anti-Mongol. Teori Berg ini juga diperbaharui oleh De Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 36

Casparis, yang menyatakan bahwa pemberian Patung Amoghapasa harus dilihat sebagai bentuk ungkapan persahabatan untuk membentuk aliansi dengan tujuan ganda, yaitu untuk memperluas pengaruh Kerajaan Singhasari di tengah makin melemahnya pengaruh kerajaan, dan untuk membentuk sebuah Konfederasi Malaya di bawah Kerajaan Singhasari untuk menghadapi potensi serangan dari pasukan Kubilai Khan. Sesudah Ekspedisi Pamalayu, ibukota Kerajaan Melayu bergeser ke Sungailangsat yang terletak di Hulu Sungai Batanghari (Utomo, 2002). Tahun 1316, Kerajaan Melayu dipimpin oleh Akarendrawarman. Hingga suatu ketika, tahun 1340 M, Adityawarman dikirim kembali ke Sumatera, negeri leluhurnya, untuk mengurus daerah taklukan Majapahit, Dharmasraya. Namun, sesampainya di Sumatera, ia bukannya menjaga keutuhan wilayah taklukan Majapahit, malah kemudian berusaha untuk melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Swarnabhumi. Wilayahnya adalah daerah warisan Dharmasraya, meliputi wilayah Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya. Dengan ini, berarti eksistensi Dharmasraya telah diteruskan oleh kerajaan baru: Swarnabhumi. Pusat kerajaan terletak daerah hulu Sungai Batanghari di daerah yang sekarang disebut Padangrocok yang merupakan bagian dari Kabupaten Dharmasraya di Sumatera Barat. Pada tahun 1347, memindahkan pusat kerajaan ke Saruaso dengan tujuan menghindarkan diri dari serangan Majapahit. Keberadaan kerajaan di pedalaman Minangkabau ini didukung oleh 22 prasasti yang tersebar di Kabupaten Tanahdatar Sumatera Barat, di antaranya Prasasti Pagaruyung, Prasasti Kuburajo, Prasasti Saruaso, Prasasti Batubapahat, Prasasti Pariangan, Prasasti Rambatan, dan Prasasti Umbilin. Prasasti-prasasti tersebut sebagian besar menceritakan tentang raja Adityawarman (Zubir, 2002). Dalam perkembangannya, pusat kerajaan yang dipimpin Aditywarman ini kemudian berpindah ke Pagaruyung, hingga nama kerajaannya kemudian berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung, atau dikenal juga dengan Kerajaan Minangkabau. Akibat perpindahan pusat kerajaan ini, Jambi kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-14.Ketika Kerajaan Malaka muncul sebagai kekuatan baru di perairan Malaka pada awal abad ke-15, Jambi menjadi bagian wilayah kerajaan ini. Saat itu, Jambi merupakan salah satu bandar dagang yang ramai. Hingga keruntuhan Malaka pada tahun 1511 M di tangan Portugis, Jambi masih menjadi bagian dari Malaka. Tak lama kemudian, muncul Kerajaan Johor-Riau di perairan Malaka sebagai ahli waris Kerajaan Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri ini. Jambi memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu Johor berperang melawan Portugis di Malaka. Kemudian, memanfaatkan situasi yang sedang tidak stabil di Johor akibat berperang dengan Portugis, Jambi mencoba untuk melepaskan diri. Dalam usaha untuk melepaskan diri ini, sejak tahun 1666 hingga 1673 M, telah terjadi beberapa kali peperangan antara Jambi melawan Johor. Dalam beberapa kali pertempuran tersebut, angkatan perang Jambi selalu mendapat kemenangan. Bahkan, Jambi berhasil menghancurkan ibukota Johor, Batu Sawar. Jambi terbebas dari kekuasaan Johor. Namun, ini ternyata tidak berlangsung lama. Johor kemudian meminta bantuan orang-orang Bugis untuk mengalahkan Jambi. Akhirnya, atas bantuan orang-orang Bugis, Jambi berhasil dikalahkan Johor.

Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 37

III. PENINGGALAN BUDAYA DI HILIR DAS BATANGHARI Di sepanjang DAS Batanghari banyak ditemukan peninggalan budaya, seperti pemukiman kuno, area candi, prasasti, keramik, dan sebagainya yang tersebar di daerah hilir, yaitu Kualatungkal, Muarasabak, Koto Kandis, Suak Kandis, Jambi, Muara Jambi, Pematang Jering, Pematang Saung, Lubuk Ruso, Rantau Kapas Tuo, Sumai, Teluk Kuali, dan Betung Berdarah yang terletak di Provinsi Jambi (Zubir, 2002). Mengenai Kerajaan Melayu dapat dapat pula kita telusuri melalui peninggalan budaya yang banyak terdapat di sepanjang Sungai Batanghari dari Sumatera Barat sampai ke Jambi. Peninggalan tersebut berupa candi yang ditemukan di daerah Muara Jambi, Solok Sipin, Pematang Jering, Pematang Saung, Lubuk Ruso, dan Teluk Kuali. Candi yang berada di hilir Sungai Batanghari diperkirakan didirikan pada abad IX-XIII. Penanggalan ini berdasarkan penemuan batu tertulis yang ditemukan di Situs muara Jambi. Sedangkan Candi Kemingking diperkirakan dibangun pada abad X-XII (Data Suaka PSP Jambi). Peninggalan budaya berbentuk arca ditemukan di Muara Jambi, Rantau Kapas Tuo, Betung Berdarah, Tanah Periuk, Kuala Tungkal, Rantau Limau Manis, Solok Sipin, dan Teluk Kuali. Arca tersebut adalah Arca Awalokiteswara perunggu, arca Buddha batu, potongan arca Buddha, arca Buddha perunggu, arca nadi, arca makara batu, dan arca Prajnaparamita. Peninggalan arca yang ada di DAS Batanghari bahagian hilir diperkirakan berasal dari abad ke-6 yang ditemukan di Situs Solok Sipin, Kota Jambi, dan arca yang paling muda di temukan di Koto Kandis dan Muara Jambi, yaitu Arca Dipalaksmi dan Prajnaparamita (Suaka PSP Jambi). Menurut Setyawati Sulaiman, arca Prajnaparamita (tanpa lengan dan kepala) memiliki persamaan dengan arca yang ada di Singasari, sehingga diduga arca ini berasal dari abad XIII-XIV (Utomo, 1992). Peninggalan-peninggalan kebudayaan berbentuk prasasti ditemukan di Karang Berahi, oleh L.M. Berkhout tahun 1904, berisikan kutukan d n ancaman. Peninggalan berupa keramik pada umumnya berasal dari abad X-XIII. Peninggalan berbentuk lempengan emas bertulis diperkirakan berasal dari abad IX-X, dan peninggalan budaya berupa perhiasan seperti kalung emas seberat 98 gram dan ikat pinggang (sabuk) emas seberat 300 gram ditemukan tahun 1995. Perhiasan ini juga berasal dari abad ke-7 (Suaka Purbakala Jambi, 1995). Hal ini dapat dihubungkan dengan berita Arab dan Cina yang menyatakan bahwa Melayu merupakan penghasil emas yang terbesar di kawasan Nusantara (Zubir, 2002). Beberapa benda arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi menunjukkan bahwa, di daerah ini telah berlangsung suatu aktifitas ekonomi yang berpusat di daerah Sungai Batang Hari. Temuan benda-benda keramik juga membuktikan bahwa, di daerah ini, penduduknya telah hidup dengan tingkat budaya yang tinggi. Temuan arca-arca Budha dan candi juga menunjukkan bahwa, orang-orang Jambi merupakan masyarakat yang religius.

IV. PENENINGGALAN SEJARAH MELAYU KUNO DI HULU DAS BATANGHARI Peninggalan sejarah yang ada di sepanjang Hulu DAS Batanghari yang terdapat di wilayah Provinsi Sumatera Barat, terutama berada di Kabupaten Dharmasraya yang di masa lampau merupakan pusat kerajaan Melayu Dharmasraya. Peninggalan tersebut tersebar di Padanglaweh, Padangroco, Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 38

Sungailangsat, Pulausawah, Rambahan, dan Lubukbulan. Peninggalan yang ditemukan berupa candi, arca, prasasti, dan keramik (Amran, 1981). Di hulu DAS Batanghari terdapat tiga buah kompleks candi, di antaranya Candi Padangrocok, Candi Pulausawah, dan Candi Rawamangambe. Candi ini pernah digali oleh Belanda di bawah pimpinan Schnitger tahun 1935 (Helmi, 1997). Di sekit ar lokasi candi juga ditemukan dua arca, yaitu Arca Bhairawa dan Arca Amoghapasa. Arca Bhairawa ditemukan di Sungailangsat, memiliki tinggi 4,41 meter, berdiri di atas mayat. Arca ini dibuat semasa Akarendrawarman yang dipandang sebagai lambang yang harus melindungi negara yang dipimpin oleh Adityawarman dari penyebaran agama Islam (Casparis, 1922). Arca Amoghapasa berangka tahun 1286 Masehi, memiliki prasasti di bagian bawah dan belakangnya. Prasasti yang terletak di bagian bawah arca ini dikenal dengan nama Prasasti Amoghapasa yang dikeluarkan oleh Kertanegara dari Kerajaan Singasari untuk ditempatkan di Dharmasraya. Prasasti ini tidak dapat dipisahkan dengan ekspedisi Pamalayu. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berita asing (Cina dan Arab) serta keberadaan peninggalan sejarah yang terdapat di sepanjang DAS Batanghari, menunjukkan bahwa benda2 yang ditemukan di Hilir lebih tua umurnya dibandingkan dengan temuan yang ada di Hulu. Bukti-bukti sejarah tentang keberadaan Kerajaan Melayu Dharmasraya tersebut sebagian sudah ditemukan seperti situs-situs candi, patung Amoghapasa,1 arca-arca, artefak- artefak, dan perkuburan raja-raja. Pejabat yang diperintah oleh Raja Kertanegara untuk mengiringi arca Amoghapasa tersebut adalah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan Hang Dipangkara, dan Rakryan Dmung Pu Wira. Seluruh rakyat Melayu dari keempat kasta (Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra) berukacita, terutama rajanya yang bernama Srimat Tribhuwanaraha Mauliwarmadewa. Arca Amoghapasa yang dikirim tersebut kemudian ditemukan di situs Rambahan, sedangkan alas arcanya ditemukan di Dusun Padangrocok Nagari Sungailansek yang berjarah sekitar 5 Km arah hilir Sungai Batanghari. Arca dan alas kakinya sekarang berada di Museum Nasional Jakarta. Dari data prasasti Dharmasraya dapat diketahui bahwa arca Amoghapasa yang dikirim dari Kertanegara sebagai tanda persahabatan tersebut kemudian didirikan di Dharmasraya, suatu tempat yang penting artinya. Tempat ditemukannya arca kemungkinan adalah pusat (ibukota) pemerintahan dengan rajanya yang bernama Srimat Tribhuanaraja Warmadewa. Salah satu bukti sejarah tertulis yang ditemukan tentang sejarah Kerajaan Melayu di Dharmasraya adalah tulisan yang ditulis di media kertas yang dibuat dari kulit pohon mulberry, yang dikenal dengan dluwang.Manuskrip ini ditemukan di Desa Tanjung Tanah oleh Petrus Voorhoeve yang mengunjungi Sumatera, tepatnya di Kabupaten Kerinci pada bulan April dan Juli 1941 sehingga disebut juga dengan Manuskrip Tanjung Tanah. Nama Dharmasraya terdapat dalam manuskrip ini yang merupakan tempat keberadaan Patung Amoghapasa yang dikirim oleh Raja Singasari pada tahun 1208 Saka (1286 M). Manuskrip Tanjung Tanah memiliki ukuran 10 x 15 cm yang terdiri dari 17 lembar dan ditulis pada kedua sisinya yang mana setiap halamannya berisi tujuh baris tulisan, tidak dijilid, tidak memiliki cover, dan ditulis dengan tinta hitam.

1 Patung Adityawarman yang saat ini berada di Museum Nasional Jakarta. Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 39

Transliterasi terhadap manuskrip dibuat oleh Philologist Poerbatjaraka, manuskrip tersebut pernah hilang pada waktu perang dan ditemukan kembali oleh Antropolog Inggris pada tahun 1975. Manuskrip ini merupakan booklet kecil yang ditulis pada media deluwang, di mana dua halaman merupakan tulisan Rentjong, dan halaman lainnya adalah tulisan Jawa Kuno, serta kebanyakan isinya berisi daftar hukuman atau denda dan merupakan buku perundang-undangan Saramucchaya Versi Melayu. Manuskrip Tanjung Tanah merupakan bukti jelas bahwa budaya menulis di Kerajaan-kerajaan Melayu telah ada sebelum pengaruh Islam masuk pada masyarakat Pesisir Asia Tenggara. Biasanya aturan-aturan hukum pada periode Islam dibuka dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahim, namun manuskrip Yanjung Tanah jelas ditulis sebelum masuknya Islam ke Kerajaan Melayu karena dimulai dengan kalimat dalam bahasa Sansekerta dan ditandai dengan bulan- bulan Waisyak Tahun Saka. Dalam manuskrip Tanjung Tanah pada halaman 29 dan 30 disebutkan bahwa penguasa saat itu, Paduka Ari Maharaja Drammastara (ditulis Drammasaraya dan Drammasraya), di mana aturan hukum yang ada mengikat seluruh wilayah Kerinci (saisi bumi Kurinci), yang berbunyi: “Nyatnya titahmaharaja drammasaraya // yatnya yatna sidangmahatnya saisi bumi kurinci si lunju kurinci // sasta likitangkuja ali dipati diwaseban di bumi palimbang di hadappan paduka ari maharaja drammasraya // & // .. //” “Ini merupakan titah dari Maharaj Drammasaraya […] yang diagungkan di seluruh daerah Kerinci […] di tempat pertemuan daerah Palimbang, di hadapan Paduka Ari Maharaja Drammasraya” Salah satu candi di Muarajambi, yaitu Candi Gumpung, memiliki kemiripan dengan Candi Jawi di Jawa Timur yang merupakan candi pemujaan dari Kertanegara, sehingga dapat disimpulkan bahwa Kertanegara sepertinya berusaha untuk menjadikan Jambi sebagai titik strategis dengan mengirimkan pasukan dan buruh untuk membangun tempat pemujaan Buddha (Suleiman, 1982). Kertanegara tidak saja mengembangkan pengaruhnya di Muarajambi, tetapi juga sampai ke Dharmasraya, hal ini dibuktikan dengan pemberian Patung Amoghapasa. Penempatan patung ini oleh Kertanegara di Dharmasraya, secara kontekstual dapat diartikan sebagai bentuk pengakuan Dharmasraya sebagai ibukota baru. Dengan pindahnya ibukota Kerajaan Melayu ke Dharmasraya berakibat hilangnya monopoli perdagangan maritim di Selat Melaka yang merupakan gerbang ke Negeri Siam dan Jawa, sehingga perekonomian diarahkan pada eksplorasi potensi sumberdaya alam pertanian (land-based resources). Dharmasraya terletak di perbatasan antara Jambi dan Minangkabau, dan merupakan lokasi yang ideal untuk merumuskan kembali identitas Kerajaan Melayu Baru sebagai kerajaan berbasis sumberdaya alam pertanian (land-based state), yang diperkaya dengan konsep politik dan kelembagaan yang dibawa dari Jawa Timur. Manuskrip Tanjung Tanah mengindikasikan bahwa Dharmasraya merupakan tempat pengaturan perdagangan yang terindikasi dengan adanya kerjasama yang erat dengan Lembah Kerinci hingga Palembang. Penguasa Dharmasraya menyadari pentingnya untuk mengatur perdagangan dengan Kerinci yang dikenal dengan deposit emasnya yang sangat besar dan menarik bagi penguasa Kerajaan Melayu di mana pada manuskrip tersebut ditemukan aturan yang dikeluarkan Maharaja Dharmasraya yang berbunyi: “barangsiapa yang Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 40

terbukti menipu dalam menimbang […] akan didenda sebesar satu dan seperempat tahil emas”. Dharmasraya berlokasi di jalur utama perdagangan dari Dataran Tinggi Minangkabau (Saruaso) menuju ibukota Jambi Lama di pesisir pantai, di mana penguasa Dharmasraya menurut Manuskrip Tanjung tanah bergelar “Maharaja”, yang merupakan bawahan dari penguasa Minangkabau yang bergelar “Maharajadiraja. Pada akhir abad ke-13, Dharmasraya menjadi pusat administrasi yang penting sebelum ibukota Kerajaan Malayu pindah dari wilayah Pesisir ke Saruaso pada awal abad ke-14, sehingga tidaklah salah untuk mengatakan bahwa Dharmasraya pernah menjadi ibukota Kerajaan Malayu sebelum dipindahkan ke Dataran Tinggi Minangkabau di Saruaso. Sayangnya tidak banyak diketahui tentang proses masuknya sebagian wilayah Jambi menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau serta tentang peran Dharmasraya dalam proses ini. Pada abad ke-14, Saruaso, Dharmasraya, dan Muarajambi merupakan pusat-pusat utama perdagangan, di mana Sungai Batanghari merupakan jalur utama perdagangan pada masa itu. Ibukota Kerajaan Melayu yang berlokasi di Dataran Tinggi Minangkabau memudahkan dalam mengontrol wilayah perdagangannya. Rute lalu lintas utama pada masa sekarang yang menghubungkan daerah Minangkabau dengan kota-kota lainnya di Sumatera, seperti Medan, Pekanbaru, Jambi, dan Palembang, sama dengan rute di masa pemerintahan Adityawarman. Lokasi ibukota yang berada di dataran tinggi juga sangat menguntungkan sebagai perlindungan untuk mengantisipasi serangan dari Dinasti Yuan dari Mongol atau Kerajaan Thai. Tanah gunung api yang subur juga mendukung stabilitas ekonomi, di mana diindikasikan dengan pembangunan jaringan irigasi dekat Saruaso yang pernah dilakukan oleh Adityawarman. Dari manuskrip tersebut terbukti bahwa terbukti bahwa saluran irigasi dibangun selama kepemimpinan Akarendra (Putra Mauliwarmadewa), dan diselesaikan di masa kepemimpinan Adityawarman. Keberadaan irigasi tersebut membuktikan bahwa Akarendra dan penerusnya sangat menyadari pentingnya sektor pertanian dan sumberdaya lainnya yang tersedia di sepanjang lembah dan hutan Bukit Barisan. Tiga lokasi yang memainkan peran utama di Kerajaan Melayu pada masa Pemerintahan Adityawarman adalah; (1) Saruaso, ibukota Dataran Tinggi Minangkabau; (2) Dharmasraya, titik tumpu utama tempat sumberdaya alam dari daerah sekitarnya dikumpulkan; dan (3) Muarajambi, dan atau pelabuhan lainnya di Muarasabak, wilayah Kotokandis sepanjang Kualaniur, yang merupakan cabang dari Sungai Batanghari menuju perdagangan internasional. Bukti sejarah keberadaan Kerajaan Melayu di Dharmasraya berupa situs, bangunan sejarah, dan peninggalan artefak. Bukti sejarah berupa situs di antaranya adalah (1) Situs Rambahan yang terletak di Jorong Lubukbulang Nagari IV Koto Pulaupunjung; (2) Situs Sungai Siran yang terletak di Jorong Lubukbulang Nagari IV Koto Pulaupunjung; (3) Situs Makam Raja-raja Siguntur yang terletak di Jorong Siguntur Bawah nagari Siguntur Kecamatan Sitiung; (4) Situs Parit Keliling Candi Padangroco yang terletak di Jorong Sungai Lansek Kecamatan Sitiung; (5) Situs Bekas Arca Bhairawa yang terletak di Jorong Sungailansek Kecamatan Sitiung; dan (6) Situs Padang Laweh yang terletak di nagari Padang Laweh Kecamatan Sitiung. Bukti sejarah berupa bangunan sejarah di antaranya adalah; (1) Kompleks Candi Padangroco yang terletak di Jorong Sungailansek Kecamatan Sitiung; (2) Kompleks Candi Pulau Sawah yang terletak Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 41

di Jorong Siguntur Bawah Kecamatan Sitiung; (3) Siguntur yang terletak Jorong Siguntur Bawah Kecamatan Sitiung; (4) Masjid Tua Siguntur yang terletak di Jorong Siguntur Bawah Kecamatan Sitiung; (5) Candi Bukik Awang Maombiak yang terletak di Jorong Kotobaru Siguntur Kecamatan Sitiung; (6) Rumah Gadang Pulaupunjung yang terletak di Kecamatan Pulaupunjung; dan (7) Rumah Gadang Padanglaweh yang terletak di Kecamatan Kotobaru. Bukti sejarah berupa peninggalan artefak adalah; (1) Arca Dewa setengah badan dari Siguntur yang terbuat dari batu; (2) Arca dari Sungailansek yang terbuat dari perunggu; (3) Arca dari Pulausawah yang terbuat dari perunggu; (4) Arca Bhairawa dari Sungailansek yang terbuat dari batu; (5) Arca Amoghapasa dari Rambatan yang terbuat dari batu dan merupakan hadiah dari Raja Sri-Kertanegara dari Kerajaan Singhasari untuk Raja Melayu Tribhuwana Mauliwarmadewa yang dibuktikan dengan pahatan yang terbaca pada Lapik Arca Amoghapasa; (6) Artefak lainnya yang pernah ditemukan di DAS Batanghari (Efrianto & Ajisman, 2010).

V. PENUTUP Daerah sepanjang DAS Batanghari mulai dari hulunya di Sumatera Barat sampai ke hilir di Jambi, merupakan daerah yang kaya dengan peninggalan budaya yang berasal dari Kerajaan Melayu yang merupakan salah satu kerajaan besar di masa lalu di Nusantara. Berbagai peninggalan berupa candi, arca, keramik, dan lain-lain sebagian besar sudah tidak utuh lagi. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang masih tetap memelihara peninggalan benda-benda bersejarah dari zaman Hindu dan Buddha walaupun mereka sudah masuk Islam, masyarakat Melayu ketika mereka sudah masuk Islam, mereka menghancurkan sebagian besar bukti-bukti peninggalan sejarah dari zaman Hindu dan Buddha karena dianggap sebagai tempat pemujaan orang kafir dan dianggap syirik. Hal ini berakibat sebagian besar masyarakat yang hidup di abad ke-21 tidak bisa lagi menyaksikan kemegahan Melayu di masa lampau, karena peninggalannya berupa candi, arca, keramik, dan sebagainya sudah tidak ada lagi yang masih utuh sebagaimana peninggalan sejarah yang ada di Jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Amran, Rusli (1981), Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan. Casparis, J. G. de., , (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi. Helmi, Surya, et al., (1997), “Kepurbakalaan DAS Batanghari, Sumatera Barat: Suatu Paparan Singkat”, Cinandi. Yogyakarta: UGM. Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi. Efrianto & Ajisman (2010), Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Dharmasraya, Padang: BPNST PadangPress. Muljana, Slamet (1981), Kuntala, Sriwijaya, dan Swarnabhumi, Jakarta: Idayu. Muljana, Slamet (2006), Sriwijaya, Yogyakarta: LKiS. Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 42

Muljana, Slamet (2006), Tafsir Sejarah , Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Noor, Junaidi T. (2007), Mencari Jejak Sangkala Mengirik Pernik-pernik Sejarah Jambi. Jambi: Pusat Kajian Pengembangan Sejarah dan Budaya Jambi. Zubir, Zusneli (2002), “Peninggalan Budaya Melayu pada Zaman Klasik di Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari: Keterkaitan Kerajaan Minangkabau dengan Kerajaan Melayu” dalam Sastri Yunizarti Bakry & Media Sandra Kasih (Eds.), Menelusuri Jejak Melayu-Minangkabau, Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.

Analisis Sejarah, Vol.9 No. 1, 2020 43