BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemuda Adalah Pelaku
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemuda adalah pelaku perubahan bangsa. Berbicara masalah pemuda tidak akan ada habisnya, perubahan besar yang terjadi pada bangsa ini tidak terlepas dari peran para pemuda yang pada saat itu cerdas, kritis dan kreatif. Sumpah pemuda 1928 lahir karena langkah strategis yang dilakukan oleh pemuda untuk menyatukan pemuda di seluruh tanah air menjadi satu bangsa dan satu bahasa. “Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, sedangkan satu pemuda dapat mewujudkan mimpi mereka,” kata Bung Karno. Peran pemuda dalam mengisi kemerdekaan serta pembangunan nasional telah memberikan dampak positif bagi pertumbuhan bangsa. Kepeloporan pemuda dalam pembangunan bangsa dan negara harus dipertahankan sebagai generasi penerus yang memiliki jiwa pejuang, perintis dan kepekaan terhadap sosial, politik dan lingkungan. Hal ini dibarengi pula oleh sikap mandiri, disiplin, dan memiliki sifat yang bertanggungjawab, inovatif, ulet, tangguh, jujur, berani dan rela berkorban dengan dilandasi oleh semangat cinta tanah air. Dalam perjalanan zaman, sejarah baru selalu ditandai dengan lahirnya generasi baru. Dalam kancah sejarah, generasi baru yang mengukir sejarah baru itu adalah dari kalangan kaum muda. Perputaran sejarah juga telah membuktikan bahwa setiap generasi itu ada umurnya. Dengan demikian, nama-nama yang muncul sekarang sebagai calon pemimpin yang sebenarnya adalah satu generasi, juga ada umurnya. Inilah peluang yang mesti dijemput oleh kaum muda saat ini. Sebuah peluang untuk mempertemukan berakhirnya umur generasi itu dengan muara dari gerakan kaum muda untuk menyambut pergantian generasi dan menjaga perputaran sejarah dengan ukiran-ukiran prestasi baru. Maka, harapannya adalah bagaimana kaum muda tidak membiarkan begitu saja sejarah melakukan pergantian generasi itu tanpa kaum muda menjadi subjek di dalamnya. Semangat zaman, kata itu yang paling tepat karena menggambarkan semangat pemikiran dominan yang ada dalam setiap pemuda. Bambang Shergi Lakmono (2014) mengatakan bahwa pemikiran dominan antara lain yakni maindset atas evolusi perkembangan seperti kepentingan, cita-cita, dan kesadaran kolektif. Produk dari evolusi perkembangan yang ada merupakan hasil dari politik/ mobilisasi politik. Perkembangannya saat ini pemuda lebih kepada sebagai objek perubahan yakni pemuda didorong untuk melakukan perubahan dan melakukan kesadaran, namun pemuda juga diharapkan dapat menjadi subjek dimana perubahan itu sendiri sebagai suatu konsep kesadaran. Undang-undang kepemudaan di Indonesia yakni UU No. 40 tahun 2009 menarik sekali karena dalam undang-undang ini menjelaskan kepemudaan secara sosiologis, menempatkan posisi pemuda lebih jelas, salah satunya menurut batasan usia. Tidak dapat dipungkiri bahwa politik menjadi karakter/ranah dasar membangun (toning) tersendiri, maksudnya adalah di setiap perkebangan menurut periode memiliki kecenderungan ke arah mana unsur politiknya dan seberapa kuat unsur politik itu mendominasi dan seharusnya ada pemerataan atau penyeimbangan. Perkembangan pemuda menurut periodenya, dapat dilihat berdasarkan semangat kolektif atau semangat zamannya. Dalam ilmu sejarah terdapat istilah yang dikenal dengan sebutan zeitgeist atau semangat zaman. Istilah tersebut secara umum bisa dipahami bahwa segala sesuatu, apapun wujudnya, selalu mencerminkan jiwa atau semangat zaman dan senantiasa mencerminkan ikatan kultural zamannya. Dalam disiplin ilmu sejarah istilah tersebut dapat dijadikan alat ukur untuk menilai apakah sebuah uraian sejarah itu benar atau salah. Uraian sejarah dinilai sebagai benar, apabila isi uraiannya sesuai dengan jiwa zaman dan situasi kulturalnya. Begitu juga sebaliknya, uraian sejarah yang tidak sesuai dengan semangat zaman dan lingkungan budayanya disebut sebagai anakrinitis. (Muhsin, 2012) Sejarah bercerita kepada kita bahwa sejarah negeri ini adalah cerita anak- anak muda. Tahun 1908 menjadi momentum kebangkitan. Tahun 1928 menjadi momentum penyadaran tentang kesamaan (bukan perbedaan), persatuan, dan kesatuan. Tahun 1945 merupakan momentum yang dinanti dari perjuangan panjang untuk mengumandangkan kedaulatan di tanah sendiri. Tahun 1966 merupakan akhir dari PKI di Indonesia dan awal orde baru. Dan pada 1998 terjadi peristiwa besar yang menjadi momentum perantara kita menuju era sekarang. Pada setiap momentum perubahan, pemuda terpelajar selalu ada di depan dan sangat penting perannya. Mereka menjadi inisiator sekaligus motor perubahan. Bahkan pada titik tertentu mereka menjadi katalisator yang memaksa dan memberi arah perubahan. Indonesia dengan jumlah populasi pemuda yang mencapai 60 juta lebih (BPS, 2013), merupakan sebuah kekuatan potensial dan patut menjadi perhatian khusus ‘penggiat’ negeri ini. Pemuda sebagai tulang punggung bangsa, bukan hanya dimasa yang akan datang tetapi juga saat ini, tentunya perlu ada sebuah agenda utama untuk menyiapkan masa depan sekaligus menyiapkan Indonesia menghadapi tantangan demographic bonus. Demographic bonus yang akan terjadi sejak tahun 2010 hingga tahun 2040 dimana jumlah usia produktif lebih banyak daripada usia tidak produktif dengan kata lain jumlah pemuda akan dominan. Mengutip pernyataan Prof. Sri Murtianingsih Adiutomo dalam Prof. Dorodjatun (2012) bahwa demographic bonus (gambar 1.1) merupakan window of oppurtunity yang tidak akan terulang di masa depan dimana beban ketergantungan (dependency of ratio) berada di posisi terendah. Gambar 1.1 Dependency Ratio 1950-2050 Sumber : Presentasi Prof Dorodjatun Kuntjoro Jakti (9/10/2012) Berdasarkan prediksi kependudukan di atas pemuda merupakan potensi yang besar dalam pembangunan. Namun di masa globalisasi sekarang ini begitu banyak input yang dapat masuk kedalam jati diri pemuda, tinggal pemuda itu bisa memilih mana input yang baik dan mana input yang buruk. Godaan disertai dengan tekanan yang sangat kuat terkadang membuat kebanyakan pemuda justru terlena dengan kemewahan-kemewahan yang ditawarkan oleh zaman globalisasi ini. Mereka seolah telah terhipnotis untuk kemudian melupakan hakikat inti dari predikat agent of change yang disandangnya. Modernisasi tak sedikit telah menyelimuti tubuh pemuda bangsa ini, pemuda kekinian telah terjebak oleh gaya hedonisme, rasa ego yang tinggi, sampai kepada apatis.Kondisi saat ini pemuda dituntut untuk lebih siap menghadapi tantangan global. Bagaimana halnya dengan predikat sebagai pemuda modern? Dan pemuda perkotaan?. Kata modern sendiri dapat diartikan sebagai sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman (KBBI, 2014). Definisi masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Masyarakat modern umumnya telah tinggal di daerah perkotaan sehingga disebut juga masyarakat kota. (Adhyzal Kandar, 2010). Sedangkan pengertian kota secara sosiologi terletak pada sifat dan ciri kehidupannya dan bukan ditentukan oleh menetapnya sejumlah penduduk di suatu wilayah perkotaan. Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa tidak semua warga masyarakat kota dapat disebut masyarakat modern, sebab banyak orang kota yang tidak mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan peradaban dunia masa kini, misalnya gelandangan atau orang yang tidak jelas pekerjaan dan tempat tinggal. Berdasarkan definisi di atas, pemuda modern dapat diartikan sebagai pemuda yang memiliki orientasi nilai budaya yang terarah dalam peradaban masa kini akibat situasi atau perkembangan zaman yang telah menjadi modern dan umumnya tingga di daerah perkotaan. Sedangkan pemuda perkotaan sendiri adalah pemuda yang tinggal di daerah perkotaan dan memiliki sifat dan ciri kehidupannya. Selain sebagai ibukota provinsi, DKI Jakarta juga berperan sebagai ibukota negara. Hal ini tentu membuat DKI Jakarta memiliki beberapa spesialisasi peran dan fungsi kota dalam aktivitas sosial ekonomi. Luas wilayah DKI Jakarta mencapai 662,33 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 9,1 juta jiwa (BPS DKI Jakarta, 2013). Kondisi luas wilayah, jumlah penduduk dan beberapa spesialisasi peran dan fungsi kota telah menjadikan DKI Jakarta sebagai Kota Metropolitan. Pakar perkotaan Angotti (1993) berpendapat bahwa kota metropolitan tidak hanya sebuah kota yang sangat besar, tetapi juga sebuah bentuk baru dari masyarakat, lebih besar, lebih kompleks dan memiliki peran kekuasaan yang lebih sentral, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya. Pendapat pakar perkotaan tersebut jelas tercermin dalam kondisi DKI Jakarta saat ini. Saat ini DKI Jakarta memiliki peran dan fungsi sebagai pusat kekuatan politik, ekonomi dan administrasi sebuah negara, kemudahan kegiatan mobilitas (pekerjaan, perumahan dan perjalanan), pusat pertumbuhan wilayah dan tempat berpusatnya sebagian besar pelayanan perkotaan, serta menjadi gerbang wilayah untuk berhubungan dengan wilayah lain di tingkat nasional dan internasional. Dengan kondisi peran dan fungsi tersebut, maka DKI Jakarta dapat dikategorikan sebagai Kota Metropolitan Nasional. (penataanruang.net) Jumlah penduduk menjadi salah satu faktor penggerak roda kehidupan perkotaan. Saat ini jumlah penduduk Indonesia sebesar 242,1 juta jiwa, yang mana 4% dari total penduduk tersebut merupakan penduduk DKI Jakarta. Hampir 52% dari jumlah keseluruhan penduduk DKI Jakarta merupakan kelompok usia muda. Hal ini memperlihatkan bahwa kelompok usia muda cukup mendominasi jumlah penduduk (dapat dilihat dalam tabel 1), sehingga secara logis roda kehidupan perkotaan digerakkan oleh kelompok pemuda. Tabel 1. Jumlah Penduduk di Indonesia dan DKI Jakarta Jumlah Penduduk Jumlah