TELEVISIAL Merayakan Budaya Menonton, Membaca Program Televisi
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
TELEVISIAL Merayakan Budaya Menonton, Membaca Program Televisi Bukan Hanya Menonton I i ii I Bukan Hanya Menonton TELEVISIAL Merayakan Budaya Menonton, Membaca Program Televisi Kata Pengantar : Fajar Junaedi Editor : Baiq Rita Astari, Lintang Filia Ardiana, Monica Putri Wulandari, Eri Sri Wulandari, Larasati Rizky Apsari, Zul!kar Gazali, Enola Putri Ardianka, Zia Khusnun Amalia Bukan Hanya Menonton I iii TELEVISIAL Merayakan Budaya Menonton, Membaca Program Televisi Hak cipta pada para penulis dan dilindungi oleh Undang-undang (All Rigths Reserved) Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit, 15,5 x 23,5 cm, xii + 226 hal ISBN : 978-602-6751-16-4 Cetakan Pertama, 2016 Penulis Insania Sagita Belladina, Sulhi Azhari, Muhammad Firdaus Sam, Baiq Rita Astari, M.Ghazian Hawari, Siti Fitria Pellu, Larasati Rizky Apsari, Azka Adiba, Basudewa Suryo Ajie, Erik Bagus Prastyawan, Sondri Aryadi, Arief Fadhilah Putra, Adianty F. Sagala, Eri Sri Wulandari, Monica Putri Wulandari, Odi Susanto, Rio Candra Pratama, Zia Khusnun Amalia, Cintaning Prasmi Nabiila, Ade Rio Wibowo, Lintang Filia Ardiana, Muhammad Faisal Akbar, Syahrizal Maulana Hadis, Enola Putri Ardianka, Agung Pangeran Bungsu, Sachryn Fadullah H, Naila Nadila, Ragata Rahma Sejati, Nanda Setiawan, Budi Firdaus, Danang Aristya, Dita Herlinda Sekar Langit Putri, Rizky Rivaldo Haruna, Zul!kar Gazali. Editor : Baiq Rita Astari, Lintang Filia Ardiana, Monica Putri Wulandari, Eri Sri Wulndari, Larasati Rizky Apsari, Zul!kar Gazali, Enola Putri Ardianka, Zia Khusnun Amalia KataPengantar : Fajar Junaedi Perancang Sampul : M. Faisal Akbar, Nanda Setiawan, Budi Firdaus, Sulhi Azhari Ilustrator isi : All Editor Penata Letak : Ibnu Teguh W Pertama Diterbitkan : Pertama kali diterbitkan oleh Mahasiswa peserta kelas Hukum Media Massa Program Studi Ilmu Komunikasi UMY tahun ajaran 2015/2016 Bekerjasama dengan : Buku Litera Minggiran MJ II/1121, RT 53/15 Suryodiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta. Telp. 08179407446 e-mail: [email protected]., [email protected]. iv I Bukan Hanya Menonton KATA PENGANTAR Televisi dalam Kehidupan Kita : Media Hiburan bukan Media Informasi Fajar Junaedi (Dosen Ilmu Komunikasi UMY, pengurus pusat Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi / Aspikom, twitter @fajarjun) Siaran televisi pertama kali mengudara di langit Indonesia dengan alasan dan latar belakang nasionalisme. Ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games tahun 1962, Menteri Penerangan R. Maladi, mengajukan proposal pendirian stasiun televisi kepada Presiden Soekarno. Selain itu menyiarkan pembukaan Asian Games secara langsung dan juga menyiarkan pertandingan di Asian Games, stasiun televisi yang didirikan ditujukan bagi penguatan identitas nasional. Sebagai bangsa yang baru merdeka, identitas nasional merupakan persoalan sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai latar belakang budaya. Sebagaimana teori terkenal dari Bennedict Anderson, bangsa Indonesia pada hakikatnya adalah sebuah komunitas terbayangkan (imagined community) yang dipersatukan dalam ikatan bayangan kesamaan nasib dan identitas, walaupun antar rakyatnya tidak pernah bersua sama sekali. Presiden Soekarno dan Menteri Penerangan R. Maladi menyadari perlunya media massa dalam membangun ikatan – ikatan nasionalisme yang terbayangkan tersebut. Maka berdirilah stasiun televisi pertama di Indonesia bernama Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang secara keseluruhan pada awal pendiriannya dimiliki oleh negara dan berada di bawah kontrol Departemen Penerangan. Maka pers yang bebas hampir tidak dijumpai di langit penyiaran televisi pada masa pemerintahan Soekarno karena memang TVRI berada di bawah kontrol pemerintah. Hanya melalui pers cetak dalam bentuk koran dan majalah, kebebasan pers menemukan bentuknya, walaupun tetap ada tekanan yang dilakukan oleh pemerintahan Soekarno pada kekebasan pers. Pers yang tidak mendukung kebijakan Soekarno, terutama yang bera!liasi pada Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia ditekan, sebagai akibat perlawanan mereka terhadap kebijakan Nasakom (Nasionalis, Agama, TELEVISIAL Merayakan Budaya Menonton, Membaca Program Televisi v Komunis) yang menjadi kredo pemerintahan Soekarno. Pasca 1965, setelah kekacauan nasional sebagai akibat pemberontakan perwira menengah, yang kemudian dicap sebagai pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), pemerintahan Orde Baru semakin represif terhadap kebebasan pers. Pers yang pro kepada PKI dilarang terbit segera setelah pemerintahan Soeharto, yang menamakan dirinya sebagai Orde Baru, berkuasa. Pada awalnya ada bulan madu antara pers yang mendukung Orde Baru dengan pemerintahan Orde Baru. Namun, masa bulan madu itu tidak lama. Pasca kerusuhan yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974, yang dikenal sebagai tragedi Malapetaka Limabelas Januari (Malari), Orde Baru dengan segera membredel koran – koran yang dianggap mematik kerusuhan Malari. Kerusuhan itu sendiri terjadi ketika mahasiswa berunjuk rasa menentang investasi Jepang yang dianggap mematikan perekonomian nasional saat kunjungan Perdana Menteri Tanaka dari Jepang ke Jakarta. Sejak Malari, pemerintahan Soeharto dengan tangan besinya membungkam media massa yang dianggap kritis. Jurnalisme yang direstui oleh Orde Baru melalui Departemen Penerangan adalah jurnalisme pembangunan, sebagaimana kredo pembangunanisme yang didengungkan Orde Baru. Kalangan oposisi memplesetkan jurnalisme pembangunan sebagai jurnalisme seremoni, karena isinya memang hanya peresmian proyek – proyek pembangunan oleh para pejabat pemerintah. Pada posisi jurnalisme seremoni inilah TVRI era Orde Baru berada. Pada tahun 1980-an sampai dengan 1990-an, TVRI memiliki beberapa program berita diantaranya adalah Berita Nusantara, Berita Nasional dan Dunia dalam Berita. Dua program berita yang disebut pertama adalah berita tentang peristiwa dalam negeri, sedangkan program berita yang disebut terakhir berisi peristiwa di luar negeri. Selain program berita reguler, TVRI juga memiliki program berita non reguler yang bernama Laporan Khusus yang disiarkan pada jam 21.30 WIB. Laporan Khusus berisi kegiatan peresmian proyek pembangunan oleh Presiden Soeharto, konferensi pers menteri penerangan / menteri koordinator / menteri sekretaris negara. Tahun 1989, ijin dikeluarkan oleh pemerintahan Orde Baru bagi stasiun televisi swasta. Maka mengudaralah Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Ijin ini tidak lepas dari kebijakan langit terbuka (open TELEVISIAL vi Merayakan Budaya Menonton, Membaca Program Televisi sky policy) yang mulai diterapkan oleh pemerintah. Berbeda ketika media cetak pribumi pertama kali terbit di masa kolonial yang berorientasi pada media pers atau berita, televisi swasta yang pertama kali mengudara bukan berorientasi pada berita. Televisi diijinkan mengudara dalam kapasitasnya sebagai media hiburan, bukan media berita. Dalam konteks komunikasi massa, televisi swasta diijinkan mengudara dalam fungsinya untuk menghibur (to entertain), bukan dalam fungsinya untuk memberi informasi (to inform). Implikasi dari kesejarahan televisi di Indonesia sebagaimana tersebut di atas terasa sampai sekarang. Jika kita perhatikan, mayoritas stasiun televisi di Indonesia lebih banyak menempatkan hiburan dalam slot programnya daripada program berita. Jikapun memiliki program berita, selalu muncul persoalan tentang independensi jurnalismenya, karena para pemilik stasiun televisi rata – rata adalah pengusaha bukan jurnalis, beberapa diantaranya bahkan adalah politisi. Bandingkan dengan pers yang kebanyakan dimiliki oleh pengusaha yang mengawali kariernya sebagai jurnalis. Karena mereka pengusaha, maka orientasi mereka adalah keuntungan ekonomi. Jurusnya sederhana : membuat program acara yang ratingnya tinggi dengan biaya produksi yang rendah. Akibatnya fatal. Persoalan etika dan regulasi dalam siaran televisi menjadi terabaikan. Regulasi yang berlaku seperti Undang – undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan regulasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bernama Pedoman Perilaku Penyiaran – Standar Program Siaran (PPP – SPS) lazim dilanggar. Masyarakat awam pun dengan mudah menjumpai kekerasan, pornogra!, rasisme dan ketidaknetralan berita dalam berbagai program televisi. Kini kita tidak lagi bisa diam. Frekuensi adalah milik publik, pemilik stasiun televisi tidak lagi bisa semena – mena memanfaatkannya. Kini publik harus bersuara mengkritisi tayangan televisi. TELEVISIAL Merayakan Budaya Menonton, Membaca Program Televisi vii TELEVISIAL viii Merayakan Budaya Menonton, Membaca Program Televisi DAFTAR ISI KATA PENGANTAR Televisi dalam Kehidupan Kita : Media Hiburan bukan Media Informasi Fajar Junaedi ....................................................................................................v DAFTAR ISI ....................................................................................................ix TELEVISIAL 1 Malapetaka Cerita Layar Kaya ....................................................................1 Sinetron: Sampah (in) Elektronik Insania Sagita Belladina ...................................................................................3 Madun: Wajah Kerasnya Persepakbolaan Nasional dalam Balutan si Kotak Ajaib Sulhi Azhari .......................................................................................................8 Kekerasan di Balik Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala Muhammad Firdaus Sam ............................................................................ 14 Dimanakah Etika Pangeran? Baiq Rita Astari ...............................................................................................18